Anda di halaman 1dari 19

TUGAS INDIVIDU

SISTEM KEWASPADAAN DINI KEJADIAN LUAR BIASA CAMPAK

Tugas ini Dibuat untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah SKD-KLB dan Wabah

Dosen Pengampu: Hoirun Nisa, Ph.D

Disusun Oleh:

Fika Muntahaya (11171010000074)

PEMINATAN EPIDEMIOLOGI

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

DESEMBER/2019
A. Penyakit Campak

1. Etiologi

Campak adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh RNA virus genus
Morbillivirus, famili Paramyxoviridae. 1,5,6 Virus ini dari famili yang sama dengan
virus gondongan (mumps), virus parainfuenza, virus human metapneumovirus, dan
RSV (Respiratory Syncytial Virus) (Halim, 2016). Virus tersebut diketahui mudah mati
apabila terkena panas dan cahaya (Kemenkes, 2011).

2. Patofisiologi

Penyebaran infeksi campak terjadi jika seseorang menghirup droplet di udara


yang berasal dari penderita campak melalui bersin, batuk, maupun sekresi hidung
penderita. Virus campak masuk melalui saluran pernapasan dan melekat di sel-sel
epitel saluran napas. Setelah melekat, virus bereplikasi dan diikuti dengan penyebaran
ke kelenjar limfe regional. Setelah penyebaran ini, terjadi viremia primer disusul
multiplikasi virus di sistem retikuloendotelial di limpa, hati, dan kelenjar limfe.
Multiplikasi virus juga terjadi di tempat awal melekatnya virus. Pada hari ke-5 sampai
ke-7 infeksi, terjadi viremia sekunder di seluruh tubuh terutama di kulit dan saluran
pernapasan. Pada hari ke-11 sampai hari ke14, virus ada di darah, saluran pernapasan,
dan organ-organ tubuh lainnya, 2-3 hari kemudian virus mulai berkurang. Selama
infeksi, virus bereplikasi di sel-sel endotelial, sel-sel epitel, monosit, dan makrofag
(Halim, 2016).

3. Masa Inkubasi

Menurut Kemenkes (2011) masa inkubasi virus penyebab campak berkisar


antara 7-18 hari. Sementara itu, pada sumber lain dikatakan masa inkubasi virus
campak berkisar 10 hari (8-12 hari) (Halim, 2016).

4. Gambaran Klinis

Gambaran klinis yang terjadi setelah masa inkubasi terdiri dari 3 tahap, yaitu
stadium prodromal, stadium eksantem, dan stadium penyembuhan (Halim, 2016).
a. Stadium Prodormal
Staidum ini berlangsung kirakira 3 hari (kisaran 2-4 hari), ditandai dengan
demam yang dapat mencapai 39,50oC ± 1,10oC. Selain demam, dapat timbul
gejala berupa malaise, coryza (peradangan akut membran mukosa rongga
hidung), konjungtivitis (mata merah), dan batuk. Gejala-gejala saluran
pernapasan menyerupai gejala infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh
virus-virus lain. Konjungtivitis dapat disertai mata berair dan sensitif terhadap
cahaya (fotofobia). Tanda patognomonik berupa enantema mukosa buccal yang
disebut Koplik spots yang muncul pada hari ke-2 atau ke-3 demam. Bercak ini
berbentuk tidak teratur dan kecil berwarna merah terang, di tengahnya
didapatkan noda putih keabuan. Timbulnya bercak Koplik ini hanya sebentar,
kurang lebih 12 jam, sehingga sukar terdeteksi dan biasanya luput saat
pemeriksaan klinis.
b. Stadium Eksantem
Pada stadium ini timbul ruam makulopapular dengan penyebaran
sentrifugal yang dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian
menyebar ke wajah, leher, dada, ekstremitas atas, bokong, dan akhirnya
ekstremitas bawah. Ruam ini dapat timbul selama 6-7 hari. Demam umumnya
memuncak (mencapai 400oC) pada hari ke 2-3 setelah munculnya ruam. Jika
demam menetap setelah hari ke-3 atau ke-4 umumnya mengindikasikan adanya
komplikasi.
c. Stadium Penyembuhan
Stadium ini disebut juga stadium konvalesens. Setelah 3-4 hari umumnya
ruam berangsur menghilang sesuai dengan pola timbulnya. Ruam kulit
menghilang dan berubah menjadi kecoklatan yang akan menghilang dalam 7-
10 hari.

5. Tanda dan Gejala

Tanda yang timbul pertama kali biasanya demam tinggi, yang dimulai sekitar
10 hingga 12 hari setelah terpapar virus, dan berlangsung 4 hingga 7 hari. Hidung
berair, batuk, mata merah dan berair, dan bintik-bintik putih kecil di dalam pipi dapat
berkembang pada tahap awal. Setelah beberapa hari, ruam meletus, biasanya di wajah
dan leher bagian atas. Lebih dari 3 hari, ruam menyebar, akhirnya mencapai tangan dan
kaki. Ruam berlangsung selama 5 hingga 6 hari, dan kemudian memudar. Rata-rata,
ruam terjadi 14 hari setelah terpapar virus (dalam kisaran 7 hingga 18 hari) (WHO,
2019).

Sebagian besar kematian terkait campak disebabkan oleh komplikasi yang


terkait dengan penyakit ini. Komplikasi serius lebih sering terjadi pada anak di bawah
usia 5 tahun, atau orang dewasa di atas usia 30 tahun. Komplikasi paling serius
termasuk kebutaan, ensefalitis (infeksi yang menyebabkan pembengkakan otak), diare
parah dan dehidrasi terkait, infeksi telinga, atau pernapasan parah. infeksi seperti
pneumonia. Campak parah lebih mungkin terjadi pada anak-anak muda yang kurang
gizi, terutama mereka yang kekurangan vitamin A, atau yang sistem kekebalannya telah
dilemahkan oleh HIV/AIDS atau penyakit lainnya.

6. Diagnosis
a. Anamnesis berupa demam, batuk, pilek, mata merah, dan ruam yang mulai timbul
dari belakang telinga sampai ke seluruh tubuh.
b. Pemeriksaan fisik berupa suhu badan tinggi (>380C), mata merah, dan ruam
makulopapular.
c. Pemeriksaan penunjang: pemeriksaan darah berupa leukopenia dan limfositopenia.
Pemeriksaan imunoglobulin M (IgM) campak juga dapat membantu diagnosis dan
biasanya sudah dapat terdeteksi sejak hari pertama dan ke-2 setelah timbulnya
ruam. IgM campak ini dapat tetap terdeteksi setidaknya sampai 1 bulan sesudah
infeksi.

7. Tatalaksana

Pengobatan terhadap campak sesuai dengan gejala yang muncul. Penderita


tanpa komplikasi cukup diberikan antipiretik dan pemberian vitamin A dosis tinggi
sesuai usia. Jika ada komplikasi anjurkan penderita dirawat di Puskesmas atau di
Rumah Sakit, Pengobatan komplikasi di sarana pelayanan kesehatan dengan pemberian
antibiotik tergantung berat ringannya komplikasi, bila keadaan penderita cukup berat
segera rujuk ke rumah sakit. Kasus yang terkena penyakit campak, diisolasi, untuk
memutuskan rantai penularan pada orang lain.

Pemberian Vitamin A untuk mengobati campak dapat diberikan sebanyak 2


kapsul (kapsul pertama diberikan saat penderita ditemukan, kapsul kedua diberikan
keesokan harinya, dosis sesuai umur penderita). Pemberian Vitamin A diutamakan
untuk penderita campak, jika persediaan vitamin A mencukupi, sebaiknya juga
diberikan pada yang tidak terkena kasus campak.

a. Umur 0 - 6 bulan, bagi bayi yang tidak mendapatkan ASI , diberikan vitamin A 1
kapsul 50.000 IU pada saat penderita ditemukan, dan kapsul ke dua diberikan
keesokan harinya.
b. Umur 6 – 11 bulan, pada saat penderita ditemukan, diberikan vitamin A sebanyak
100.000 IU, dan kapsul kedua diberikan pada hari kedua.
c. Umur 12 – 59 bulan, saat penderita ditemukan, diberikan vitamin A sebanyak 1
kapsul 200.000 IU, dan kapsul kedua diberikan pada hari kedua.

8. Prognosis

Campak merupakan self limited disease, namun sangat infeksius. Mortalitas


dan morbiditas meningkat pada penderita dengan faktor risiko yang mempengaruhi
timbulnya komplikasi. Di negara berkembang, kematian mencapai 1-3%, dapat
meningkat sampai 5-15% saat terjadi KLB campak (Halim, 2016).

9. Pencegahan

Pencegahan dilakukan dengan vaksinasi campak ataupun vaksinasi MMR


(Measles, Mumps, Rubella). Sesuai jadwal imunisasi rekomendasi IDAI tahun 2014,
vaksin campak diberikan pada usia 9 bulan. Selanjutnya, vaksin penguat dapat
diberikan pada usia 2 tahun. Apabila vaksin MMR diberikan pada usia 15 bulan, tidak
perlu vaksinasi campakpada usia 2 tahun. Selanjutnya, MMR ulangan diberikan pada
usia 5-6 tahun. Dosis vaksin campak ataupun vaksin MMR 0,5 mL subkutan.

Imunisasi ini tidak dianjurkan pada ibu hamil, anak dengan imunodefisiensi
primer, pasien tuberkulosis yang tidak diobati, pasien kanker atau transplantasi organ,
pengobatan imunosupresif jangka panjang atau anak immunocompromised yang
terinfeksi HIV. Anak terinfeksi HIV tanpa imunosupresi berat dan tanpa bukti
kekebalan terhadap campak, bisa mendapat imunisasi campak.

Reaksi KIPI (Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi) yang dapat terjadi pasca-


vaksinasi campak berupa demam pada 5-15% kasus, yang dimulai pada hari ke 5-6
sesudah imunisasi, dan berlangsung selama 5 hari. Ruam dapat dijumpai pada 5%
resipien, yang timbul pada hari ke 7 s/d 10 sesudah imunisasi dan berlangsung selama
2-4 hari.8 Reaksi KIPI dianggap berat jika ditemukan gangguan sistem saraf pusat,
seperti ensefalitis dan ensefalopati pasca-imunisasi. Risiko kedua efek samping
tersebut dalam 30 hari sesudah imunisasi diperkirakan 1 di antara 1.000.000 dosis
vaksin.

Reaksi KIPI vaksinasi MMR yang dilaporkan pada penelitian mencakup 6000
anak berusia 1-2 tahun berupa malaise, demam, atau ruam 1 minggu setelah imunisasi
dan berlangsung 2-3 hari. Vaksinasi MMR dapat menyebabkan efek samping demam,
terutama karena komponen campak. Kurang lebih 5-15% anak akan mengalami demam
>39,40C setelah imunisasi MMR. Reaksi demam tersebut biasanya berlangsung 7-12
hari setelah imunisasi, ada yang selama 1-2 hari. Dalam 6-11 hari setelah imunisasi,
dapat terjadi kejang demam pada 0,1% anak, ensefalitis pasca-imunisasi terjadi pada
<1/1.000.000 dosis.
B. Epidemiologi Campak

1. Dunia

Berikut adalah data kasus campak dan suspek kasus campak di dunia
berdasarkan regional negara anggota WHO, pada tahun 2018 dan 2019 (WHO, 2019).

Tabel 1. Distribusi Kasus Campak dan Suspek Kasus Campak Berdasarkan


Regional pada Tahun 2018 dan 2019

2018 2019
Region Member Suspected Measles Member Suspected Measles
States* cases cases States* cases cases
AFR 42/47 82851 55951 44/47 209069 187640
AMR 32/35 30756 16690 33/35 62497 12655
EMR 20/21 81042 57960 20/21 34542 17090
EUR 53/53 102584 88692 53/53 110075 98717
SEAR 11/11 106379 83687 11/11 65348 44360
WPR 26/27 79603 30465 26/27 133384 52846
Total 184/194 483215 333445 187/194 614915 413308
Sumber: Global Measles and Rubella Update November 2019

Berdasarkan data berikut, diketahui pada tahun 2018 kasus campak di dunia
mencapai 333.445 kasus, dengan Regional Eropa sebagai regional dengan kasus
campak tertinggi, yaitu 88.692 kasus, disusul oleh Regional Asia Tenggara, dengan
83.687 kasus. Sementara itu pada tahun 2019 (Januari-November), di dunia terdapat
413.308 kasus campak, dengan Regional Afrika sebagai regional dengan kasus campak
tertinggi, yaitu 187.640 kasus campak, dan disusul Regional Eropa 98.717 kasus.
2. Regional Asia Tenggara

Berikut adalah data distribusi kasus di Negara-negara Regional Asia Tenggara.

Tabel 2. Distribusi Kasus Campak Berdasarkan Negara Regional Asia


Tenggara pada Tahun 2018 dan 2019

Total Kasus
Negara
2018 2019
Bangladesh 2263 3567
Bhutan 10 0
Indonesia 5389 1335
India 69461 29031
Sri Lanka 1 53
Maldives 2 3
Myanmar 1390 5295
Nepal 260 429
Democratic People's Republic of
0 0
Korea
Thailand 4909 4489
Timor-Leste 2 158
Total 83687 44360
Sumber: Measeles Distribution of Cases by Country, Year and Month (WHO, 2019)

Berdasarkan data tersebut, kasus campak tertinggi di Asia Tenggara pada tahun
2018 terjadi di India, dengan 69.461 kasus, disusul Indonesia dengan 5.389 Kasus.
Sementara itu data dari bulan Januari sampai November tahun 2019 menunjukkan
kasus campak tertinggi masih terjadi di India dengan 29.031 kasus, dan disusul
Bangladesh dengan 3.567 Kasus.
3. Nasional

Berikut adalah distribusi kasus campak di Indonesia lima tahun terakhir


berdasarkan data WHO (WHO, 2019).

Tabel 3. Distribusi Kasus Campak di Indonesia Lima Tahun


Terakhir.

Tahun Kasus Konfirm


2015 6209
2016 7204
2017 11389
2018 5389
2019 1335
Sumber: Global Measles and Rubella Update November 2019
Berdasarkan data tersebut, pada 5 tahun terakhir, kasus campak tertinggi
terjadi pada tahun 2017 dengan 11.389 kasus, namun terus menurun sampai November
2019 berjumlah 1335 kasus.

Berikut adalah distribusi kasus campak di Indonesia berdasarkan provinsi pada


tahun 2017 dan 2018 (Kemenkes, 2017; Kemenkes 2018).

Tabel 4. Distribusi Kasus Campak di Indonesia Berdasarkan Provinsi

Kasus Campak
Provinsi
2017 2018
Aceh 596 1619
Sumatera Utara 232 144
Sumatera Barat 278 205
Riau 760 160
Jambi 539 291
Sumatera Selatan 203 505
Bengkulu 148 92
Lampung 252 346
Kep. Bangka Belitung 61 61
Kepulauan Riau 471 88
DKI Jakarta 1196 578
Jawa Barat 1067 254
Jawa Tengah 0 473
DI Yogyakarta 2186 546
Jawa Timur 3547 401
Banten 244 49
Bali 0 251
Nusa Tenggara Barat 0 201
Nusa Tenggara Timur 0 59
Kalimantan Barat 298 122
Kalimantan Tengah 569 59
Kalimantan Selatan 0 480
Kalimantan Timur 0 298
Kalimantan Utara 89 169
Sulawesi Utara 47 22
Sulawesi Tengah 0 0
Sulawesi Selatan 662 330
Sulawesi Tenggara 190 38
Gorontalo 45 21
Sulawesi Barat 13 158
Maluku 0 16
Maluku Barat 0 0
Papua Barat 0 2
Papua 947 391
Indonesia 14640 8429
Sumber: Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2017 dan 2018

Berdasarkan data di atas, pada tahun 2017, kasus campak tertinggi di Indonesia
terjadi di Provinsi Jawa Timur dengan 3.547 kasus, sementara pada tahun 2018 kasus
campak tertinggi terjadi di Provinsi Aceh dengan 1.619 kasus.
C. Kejadian Luar Biasa Campak

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.


949/MENKES/SK/VIII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan
Dini Kejadian Luar Biasa (KLB), Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau
meningkatnya kejadian kesakitan dan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis
pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, maka KLB Campak berarti peningkatan
kasus campak atau kasus kematian akibat campak yang bermakna secara epidemiologis
pada daerah dan dalam kurun waktu tertentu.

WHO merekomendasikan kriteria KLB campak yaitu 5 kasus campak per 100.000
populasi. Di Indonesia sendiri, definisi KLB tersangka campak ditetapkan apabila terdapat
5 kasus klinis dalam waktu 4 minggu berturut-turut yang terjadi mengelompok dan
dibuktikan dengan adanya hubungan epidemiologi (Kemenkes, 2011). KLB campak
dipastikan apabila terdapat minimal 2 spesimen positif IgM campak dari hasil pemeriksaan
kasus pada tersangka KLB campak (Kemenkes, 2011).

1. Penyelidikan Epidemiologi

Penyelidikan KLB campak bertujuan untuk mengetahui gambaran


epidemiologi KLB berdasarkan waktu kejadian, umur dan status imunisasi penderita,
sehingga dapat diketahui luas wilayah yang terjangkit dan kelompok yang berisiko.
Disamping itu juga untuk mendapatkan faktor risiko terjadinya KLB sehingga dapat
dilakukan tindak lanjut.

Jika ada 1 kasus suspek campak, yang dilaporkan dari rumah sakit, puskesmas
maupun laporan masyarakat, harus dilakukan pelacakan untuk memastikan apakah di
tempat tinggal kasus, di sekolah, dan lain-lain, ada kasus serupa.

Jika dilaporkan KLB tersangka campak, maka dilakukan kunjungan dari rumah
ke rumah (rumah yang ada kasus campak dan rumah yang tidak ada kasus campak) di
wilayah tersebut, dengan mengisi format C1. Ini dilakukan untuk mencari kasus
tambahan, populasi berisiko dan untuk melihat status imunisasi campak pada populasi
di daerah KLB. Cari faktor resiko KLB Campak dengan form C2, dan berikan
rekomendasi.
2. Penanggulangan

Penanggulangan KLB campak didasarkan pada analisis dan rekomendasi hasil


penyelidikan KLB campak, dilakukan sesegera mungkin agar transmisi virus dapat
dihentikan dan KLB tidak meluas serta dibatasi jumlah kasus dan kematian. Langkah
penanggulangan KLB Campak adalah dengan tata laksana kasus, imunisasi, dan
penyuluhan.

Imunisasi yang dilakukan pada saat terjadi KLB Campak adalah sebagai
berikut.

a. Imunisasi Selektif
Imunisasi ini diberikan apabila cakupan imunisasi tinggi. Imunisasi tersebut
dilakukan dengan Meningkatkan cakupan imunisasi rutin (upayakan 100 %)
setiap balita (Usia 6 bl – 5 th) yang tidak mempunyai riwayat imunisasi campak,
diberikan imunisasi campak (di puskesmas atau posyandu hingga 1 bulan dari
kasus terakhir).
b. Imunisasi Campak Masal
Dilakukan dengan memberikan imunisasi campak secara masal kepada seluruh
anak pada golongan umur tertentu tanpa melihat status imunisasi anak tersebut.
Hal yang menjadi pertimbangan adalah cakupan imunisasinya rendah,
mobilitas tinggi, rawan gizi dan pengungi, daerah padat dan kumuh.
Pelaksanaan imunisasi masal ini harus dilaksanakan sesegera mungkin,
sebaiknya pada saat daerah tersebut diperkirakan belum terjadi pemularan
secara luas. Selanjutnya cakupan imunisasi rutin tetap dipertahankan tinggi dan
merata.

Selain itu dilakukan Analisa Data Rutin (kasus dan faktor risiko) kasus KLB
Campak yang meliputi hal-hal berikut.

a. Distribusi kasus menurut waktu (Time), Tempat (Place) dan orang (person).
b. Kurva epidemi kasus, Mapping kasus, Grafik kasus menurut kelompok umur
dan status imunisasi
c. Attack rate menurut kelompok umur, Case Fatality Rate
d. Menghitung vaksin efikasi dan Populasi Rentan
e. Analisa pelaksanaan program imunisasi (Manajemen, logistik, cakupan)

3. Surveilans Ketat pada KLB

Perkembangan kasus baru dan kematian KLB campak direkam dalam form C1 dan
dilaporkan setiap hari ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. KLB dinyatakan berakhir jika
tidak ada kasus, dalam kurun waktu 2 kali masa inkubasi dari kasus terakhir.

D. Sistem Kewaspadaan Dini KLB Campak


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
949/MENKES/SK/VIII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan
Dini Kejadian Luar Biasa (KLB), kegiatan SKD-KLB merupakan kewaspadaan terhadap
penyakit yang berpotensi KLB beserta faktor=faktor yang mempengaruhinya dengan
menerapkan teknologi surveilans epidemiologi dan dimanfaatkan untuk meningkatkan
sikap tanggap kesiapsiagaan, upaya-upaya pencegahan dan tindakan penanggulangan
kejadian luar biasa yang cepat dan tepat.

Dalam Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa


Penyakit Menular dan Keracunan Pangan (Kemenkes, 2011), disebutkan tiga kegiatan
SKD-KLB campak, yaitu pemantauan populasi rentan, Pemantauan Wilayah Setempat
(PWS) kasus campak mingguan, serta tindakan terhadap ancaman KLB campak. Secara
umum kegiatan SKD-KLB dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
949/MENKES/SK/VIII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan
Dini Kejadian Luar Biasa (KLB), adalah sebagai berikut.

1. Kajian Epidemiologi Ancaman KLB

Kajian epidemiologi terus menerus dilakukan untuk mengetahui adanya


ancaman KLB, salah satunya KLB Campak. Bahan kajian epidemiologi meliputi:

a. Data surveilans epidemiologi penyakit berpotensi KLB


b. Kerentanan masyarakat, antara lain status gizi dan imunisasi
c. Kerentanan lingkungan
d. Kerentanan pelayanan kesehatan
e. Ancaman penyebaran penyakit berpotensi KLB dari daerah atau negara lain
f. Sumber data lain dalam jejaring surveilans epidemiologi

Untuk sumber data surveilans epidemiologi penyakit berpotensi KLB


adalah sebagai berikut.

a. Laporan KLB/wabah dan hasil penyelidikan KLB


b. Data epidemiologi KLB dan upaya penanggulangannya
c. Surveilans terpadu penyakit berbasis KLB
d. System peringatan dini-KLB di rumah sakit

Sumber data lain dalam jejaring surveilans epidemiologi adalah sebagai


berikut.

a. Data surveilans terpadu penyakit


b. Data suveilans khusus penyakit berpotensi KLB
c. Data cakupan program
d. Data lingkungan pemukiman dan perilaku, pertanian, meteorology geofisika
e. Informasi masyarakat sebagai laporan kewaspadaan KLB
f. Data lain terkait

Hasil kajian epidemiologi ini kemudian digunakan untuk merumuskan


suatu peringatan kewaspadaan dini KLB pada daerah dan periode waktu tertentu.

2. Peringatan Kewaspadaan Dini KLB


Peringatan kewaspadaan dini KLB dana tau peningkatan KLB pada daerah
tertentu dibuat untuk jangka pendek, yaitu periode 3-6 bulan yang akan dating.
Peringatan tersebut disampaikan kepada semua unit terkait di Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi, Departemen Kesehatan, sector terkait
dan anggota masyarakat, sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan dan
kesiapsiagaan terhadap KLB di Unit Pelayanan Kesehatan dan Program terkait,
serta pada masyarkat.
Selain itu peringatan kewaspadaan dini KLB juga dapat dilakukan terhadap
penyakit yang berpotensi KLB dalam jangka panjang, yaitu periode 5 tahun yang
akan dating, agar menciptakan kesiapsiagaan yang lebih baik dan dapat menjadi
acuan perumusan perencanaan strategis program penanggulangan KLB.

3. Peningkatan Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan terhadap KLB

Kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap KLB meliputi peningkatan


kegiatan surveilans untuk deteksi dini kondisi rentan KLB dan deteksi dini KLB,
penyelidikan epidemiologi adanya dugaan KLB, kesiapsiagaan menghadapi KLB,
dan mendorong segera dilaksanakan tindakan penanggulangan KLB.

a. Deteksi Dini Kondisi Rentan KLB


1) Identifikasi Kondisi Rentan KLB
Dengan mengidetifikasi perubahan kondisi lingkungan, kualitas dan
kuantitas pelayanan kesehatan, kondisi status kesehatan masyarakat yang
berpotensi KLB di daerah.
2) Pemantauan Wilayah Setempat Kondisi Rentan KLB
Dengan perekaman data perubahan kondisi rentan KLB menurut desa atau
kelurahan atau lokasi tertentu lainnya oleh setiap sarana pelayanan
kesehatan, kemudian dianalisis secara terus menerus dan sistematis untuk
mengetahui secara dini ancaman KLB.
3) Penyelidikan Dugaan Kondisi Rentan KLB
Dilakuan dengan cara sebagai berikut.
a) Pengumpulan informasi kondisi rentan KLB dari berbagai sumber oleh
sarana pelayanan kesehatan
b) Penelitian dan pengkajian data kondisi rentan KLB oleh petugas
kesehatan di sarana pelayanan kesehatan
c) Pengumpulan informasi dengan wawancara pihak-pihak tertentu yang
mengetahui perubahan kondisi rentan KLB oleh petugas kesehatan
d) Kunjungan ke daerah yang dicurigai terdapat perubahan kondisi rentan
KLB
b. Deteksi dini kondisi rentan KLB dilakukan Deteksi Dini KLB
Dilakukan dengan cara:
1) Identifikasi kasus berpotensi KLB, dengan mewawancarai setiap kasus
berpotensi KLB yang datang ke unit pelayanan kesehatan.
2) Pemantauan Wilayah Setempat Penyakit Berpotensi KLB, dengan cara:
a) Perekaman data epidemiologi penderita penyakit berpotensi KLB oleh
setiap sarana pelayanan kesehatan.
b) Penyusunan table dan grafik PWS KL
c) Analisis terus menerus dan sistematis terhadap perkembangan penyakit
yang berpotensi KLB di daerahnya
d) Penyelidikan dugaan peningkatan penyakit dan faktor risiko yang
berpotensi KLB
3) Penyelidikan dugaan KLB, dilakukan dengan cara:
a) Petugas kesehatan menanyakan setiap pengunjung Unit Pelayanan
Kesehatan tentang kemungkinan adanya peningkatan sejumlah
penderita penyakit yang diduga KLB pada lokasi tertentu
b) Petugas kesehatan meneliti register rawat inap dan rawat jalan terhadap
kemungkinan adanya peningkatan kasus yang dicurigai pada lokasi
tertentu berdasarkan alamat penderita, umur dan jenis kelamin, atau
karakteristik lain
c) Petugas kesehatan mewawancarai kepala desa, kepala asrama, dan
setiap orang yang mengetahui keadaan masyarakat tentang adanya
peningkatan penderita penyakit yang diduga KLB
d) Membuka pos pelayanan di lokasi yang diduga terjadi KLB dan
menganalisis data penderita berobat untuk mengetahui kemungkinan
adanya peningkatan penyakit yang dicurigai
e) Kunjungan ke rumah pendertia yang dicurigai atau ke rumah-rumah
penduduk tergantung pilihan tim penyelidikan
c. Deteksi Dini KLB melalui Pelaporan Kewaspadaan KLB oleh Masyarakat
Isi laporan kewaspadaan terdiri dari jenis penyakit; gejala; desa/lurah,
kecamatan dan kabupaten/kota tempat kejadian; waktu kejadian; jmlah
penderita dan jumlah meninggal. Perorangan dan organisasi yang wajib
membuat laporan kewaspadaan KLB antara lain adalah sebagai berikut.
1) Orang yang mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita penyakit
berpotensi KLB, yaitu orang tua penderita, atau tersangka penderita, orang
dewasa yang tinggal serumah dengan penderita atau tersangka penderita,
Ketua Rukun Tetangga, Ketua Rukun Warga, Ketua Rukun Kampung, atau
Kepala Dukuh yang mengetahui adanya penderita atau tersangka penderita
tersebut
2) Petugas kesehatan yang memeriksa penderita atau memeriksa bahan=bahan
pemeriksaan penderita penyakit berpotensi KLB, yaitu dokter atau petugas
kesehatan, dokter hewan yang memeriksa hewan sumber penyakit menular
berpotensi KLB dan petugas laboratorium yang memeriksa specimen
penderita atau tersangka penderita penyakit berpotensi KLB
3) Kepala stasiun kereta api, kepala pelabuhan laut, kepala bandar udara,
kepala terminal kendaraan bermotor, kepala asrama, kepala sekolah,
pemimpin perusahaan, kepala kantor pemerintahan dan swasta, kepala Unit
pelayanan kesehatan.
4) Nahkoda kapal, pilot pesawat terbang, dan pengemudi angkutan darat
d. Kesiapsiagaan Menghadapi KLB
Dilakukan terhadap sumber daya manusia, system konsulatsi dan referensi,
sarana penunjang, laboratorium dan anggaran biaya, strategi dan tim
penanggulangan KLB serta jejaring kerja tim penanggulangan KLB
Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat
e. Tindakan Penanggulangan KLB yang Cepat dan Tepat
Setiap daerah menetapkan mekanisme agar setiap kejadian KLB dapat
terdeteksi dini dan dilakukan tindakan penanggulangan dengan cepat dan tepat
f. Advokasi dan Asistensi Penyelenggaraan SKD-KLB
Penyelenggaraan SKD-KLB dilakukan terus menerus secara sistematis di
tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan di masyarakat yang
membutuhkan dukungan politik dan anggaran yang memadai di berbagai
tingkatan tersebut untuk menjaga kesinambungan penyelenggaraan dengan
kinerja yang tinggi.
g. Pengembangan SKD-KLB darurat
Apabila diperlukan untuk menghadapi ancaman teradinya KLB penyakit
tertentu yang sangat serius dapat dikembangkan dan atau ditingkatkan SKD-
KLB penyakit tertentu dan dalam periode waktu terbatas dan wilayah terbatas.
Daftar Pustaka

Halim, Ricky Gustian. 2016. Campak Pada Anak, CDK-238, Vol. 34 No. 3, hal 186-189

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buku Pedoman Penyelidikan dan


Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Data dan Informasi Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2017. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Data dan Informasi Profil Kesehatan
Indonesia Tahun 2018. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia No. 949/MENKES/SK/VIII/2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (KLB)

World Health Organization. 2019. Global Measles and Rubella Update November 2019.
[Diperoleh dari
https://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/surveilla
nce_type/active/measles_monthlydata/en/ pada 10 Desember 2019]

World Health Organization. 2019. Measles, Distribution of Cases by Country, Year and
Month. [Diperoleh dari
https://www.who.int/immunization/monitoring_surveillance/burden/vpd/surveilla
nce_type/active/measles_monthlydata/en/ pada 10 Desember 2019]

World Health Organization. 2019. Measles. [Diperoleh dari https://www.who.int/en/news-


room/fact-sheets/detail/measles pada 10 Desember 2019]

Anda mungkin juga menyukai