Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH IMUNISASI

Dosen pengampu:

di susun oleh:
Hairul Hasan (1801021010)

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2019
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Penyakit campak merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah
kesehatan di Indonesia, karena sering dilaporkan dibeberapa daerah. Menurut data SKRT (1996)
insiden campak pada balita sebesar 528/10.000. angka tersebut jauh lebih rendah dibandingkan
tahun 1982 sebelum program imunisasi campak dimulai, yaitu sebesar 8000/10.000 pada anak
umur 115 tahun. Imunisasi merupakan salah satu upaya terbaik untuk menurunkan insiden
campak cenderung turun pada semua golongan umur. Pada bayi kurang dari 1 tahun dan anak
umur 1-4 tahun terjadi penurunan cukup tajam, sedangkan pada golongan umur 5-14 tahun
relative lambat. Saat ini program pemberantasan penyakit campak dalam tahap reduksi yaitu
penurunan jumlah kasus dan kematian akibat campak, menyusul tahap eliminasi dan akhirnya
tahap eradikasi. Diharapkan 10-15 tahun setelah tahap eliminasi, penyakit campak dapat
dieradikasi, karena satu-satunya pejamunya dalah manusia. Respon imun memegang peranan
penting dalam upaya mengatasi infeksi virus campak. Baik respon yang timbul oleh infeksi
campak alam maupun respon setelah imunisasi.
Program Pencegahan dan pemberantasan Campak di Indonesia pada saat ini berada pada
tahap reduksi dengan pengendalian dan pencegahan KLB. Hasil pemeriksaan sample darah dan
urine penderita campak pada saat KLB menunjukkan Igm positip sekitar 70% – 100%. Insidens
rate semua kelompok umur dari laporan rutin Puskesmas dan Rumah Sakit selama tahun 1992 –
1998 cenderung menurun, terutama terjadi penurunan yang tajam pada kelompok umur = 90%)
dan merata disetiap desa masih merupakan strategi ampuh saat ini untuk mencapai reduksi
campak di Indonesia pada tahun 2000. dengan dampak kiris pangan dan gizi, namun masih perlu
dikaji secara mendalam dan komprehensive.
Masalah Dalam makalah ini kami akan membahas tentang penyakit campak dan
bagaimana pencegahan penyakit campak dengan imunisasi campak.
C.Tujuan
1. Tujuan umum
Tujuan umum dari makalah ini adalah memberikan gambaran bagaimana pencegahan
penyakit campak dengan imunisasi campak.
2. Tujuan khusus
Tujuan Khusus dari pembuatan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui definisi dari penyakit campak itu sendiri
2. Untuk mengetahui Etiologi penularan penyakit campak.
3. Untuk mengetahui cara pencegahan penularan penyakit campak dengan imunisasi
campak.

D. Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penyusunan makalah ini adalah Metode Studi Literatur,
dimana penyusun mengumpulkan data dari berbagai sumber seperti internet, buku dan referensi
lainnya.

BAB II TINJAUAN TEORI


Penyakit Campak Definisi Penyakit Campak adalah satu penyakit berjangkit. Campak
(Rubeola, Campak 9 hari) atau dikenal dengan sebutan Gabagen (dalam bahasa Jawa); atau
Keremut (dalam bahasa Banjar). Dalam istilah medisnya disebut juga dengan Morbili, Measles.
Campak adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam, lemas,
batuk, konjungtivis (peradangan selaput ikat mata/ konjungtiva) dan bintik merah dikulit kulit).
Gambar. 1: Anak yang Terkena Campak

1. Etiologi
Campak, rubeola, atau measles Adalah penyakit infeksi yang sangat mudah
menular atau infeksius sejak awal masa prodromal, yaitu kurang lebih 4 hari pertama
sejak munculnya ruam. Campak disebabkan oleh paramiksovirus ( virus campak).
Virus ini terdapat dalam darah dan sekret (cairan) nasofaring (jaringan antara
tenggorokan dan hidung) pada masa gejala awal (prodromal) hingga 24 jam setelah
timbulnya bercak merah di kulit dan selaput lendir. Virus dalam jumlah sedikit saja
dapat menyebabkan infeksi pada individu yang rentan. Penyakit

campak sangat infeksius selama masa prodromal yang ditandai dengan demam, malaise,
mata merah, pilek dan trakeobronktis dengan manifestasi batuk. Infeksi campak pertama kali
terjadi pada epitalium saluran pernafasan dari nasofaring, kongjungtiva, dengan penyebaran ke
daerah limfa. Viremia primer tejadi 2-3 hari setelah individu terpapar virus campak,diikuti
viremia sekunder 3-4 hari kemudian. Viremia sekunder menyebabkan infeksi dan relikasi virus
lebih lanjut pada kulit kongjungtiva, saluran pernafasan dan organ lainnya. Replikasi virus
memerlukan watu 24 jam. Jumlah virus dalam darah mencapai pncaknya pada hari 11-14 setelah
trpapar dan emudian menurun cepat 2-3 hari kemudian.
2. Karakteristik Virus Campak
Virus campak atau morbili adalah virus RNA anggota family paramyxoviridae.
Secara morfologi tidak dapat dibedakan dengan virus anggota family paramyxoviridae.
Virus campak trdiri atas nukleokapsid berbentuk heliks yang dikelilingi oleh selubung
virus. Sifat infeksius virus c ampak ditunjukkan dengan tingginya sensitivitas dan
aktivitas hemolitiknya. .

3. Tanda dan Gejala


a. Tanda-Tanda Penyakit Campak
Tanda khas penyakit campak adalah adanya Koplik spots (kemerahan dengan putih di
tengah) di selaput lendir pipi yang tampak 1-2 hari sebelum timbulnya rash. Rash adalah
kemerahan kulit yang biasanya muncul pada hari ke 14 setelah terpapar, kemudian menyebar
dari kepala ke anggota badan selama 3-4 hari. Setelah 3-4 hari rash akan menghilang
meninggalkan noda kehitaman. Rash merupakan manifestasi reaksi hipersensitivitas yang tidak
akan terlihat pada orang yang mengalami penekanan sistem imunitas seluler. Sel yang terinfeksi
virus campak mampu berfusi membentuk sel raksasa multinuklear (multinuclear giant cells),
yang merupakan tanda patologis infeksi virus campak.
b. Gejala – Gejala Gejala mulai timbul dalam waktu 7-14 hari setelah terinfeksi, yaitu
berupa: - Panas badan - nyeri tenggorokan - hidung meler ( Coryza ) - batuk ( Cough ) - Bercak
Koplik - nyeri otot - mata merah ( conjuctivitis ), 2-4 hari kemudian muncul bintik putih kecil di
mulut bagian dalam (bintik Koplik). Ruam (kemerahan di kulit) yang terasa agak gatal muncul 3-
5 hari setelah 5
timbulnya gejala diatas. Ruam ini bisa berbentuk makula (ruam kemerahan yang
mendatar) maupun papula (ruam kemerahan yang menonjol). Pada awalnya ruam tampak di
wajah, yaitu di depan dan di bawah telinga serta di leher sebelah samping. Dalam waktu 1-2 hari,
ruam menyebar ke batang tubuh, lengan dan tungkai, sedangkan ruam di wajah mulai memudar.
Pada puncak penyakit, penderita merasa sangat sakit, ruamnya meluas serta suhu tubuhnya
mencapai 40° Celsius. 3-5 hari kemudian suhu tubuhnya turun, penderita mulai merasa baik dan
ruam yang tersisa segera menghilang. Demam, kecapaian, pilek, batuk dan mata yang radang dan
merah selama beberapa hari diikuti dengan ruam jerawat merah yang mulai pada muka dan
merebak ke tubuh dan ada selama 4 hari hingga 7 hari.
4. Cara Penularan Penularan terjadi melalui percikan ludah dari hidung, mulut maupun
tenggorokan penderita campak (air borne disease). Masa inkubasi adalah 1014 hari sebelum
gejala muncul. Cara penularan melalui droplet dan kontak, yakni karena menghirup percikan
ludah (droplet) dari hidung, mulut maupun tenggorokan penderita morbili/campak. Artinya,
seseorang dapat tertular Campak bila menghirup virus morbili, bisa di tempat umum, di
kendaraan atau di mana saja. Penderita bisa menularkan infeksi ini dalam waktu 2-4 hari
sebelum rimbulnya ruam kulit dan selama ruam kulit ada. Masa inkubasi adalah 10-14 hari
sebelum gejala muncul. Sebelum vaksinasi campak digunakan secara meluas, wabah campak
terjadi setiap 2-3 tahun, terutama pada anak-anak usia pra-sekolah dan anak-anak SD. Jika
seseorang pernah menderita campak, maka seumur hidupnya dia akan kebal terhadap penyakit
ini. Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi, infeksi aktif dan kekebalan pasif
pada seorang bayi yang lahir ibu yang telah kebal (berlangsung selama 1 tahun).
Orang-orang yang rentan terhadap campak adalah:
• bayi berumur lebih dari 1 tahun
• bayi yang tidak mendapatkan imunisasi • remaja dan dewasa muda yang belum
mendapatkan imunisasi kedua.
5. Komplikasi
Pada anak yang sehat dan gizinya cukup, campak jarang berakibat serius. Beberapa
komplikasi yang bisa menyertai campak: 1. Infeksi bakteri : Pneumonia dan Infeksi telinga
tengah 2. Kadang terjadi trombositopenia (penurunan jumlah trombosit), sehingga pendeita
mudah memar dan mudah mengalami perdarahan 3. Ensefalitis (inteksi otak) terjadi pada 1 dari
1,000-2.000 kasus.

B. Pencegahan dengan Imunisasi Campak


1. Definisi Imunisasi adalah pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit
tertentu. Vaksin adalah suatu obat yang diberikan untuk membantu mencegah suatu penyakit.
Vaksin membantu tubuh untuk menghasilkan antibodi. Antibodi ini berfungsi melindungi
terhadap penyakit. Vaksin tidak hanya menjaga agar anak tetap sehat, tetapi juga membantu
membasmi penyakit yang serius yang timbul pada masa kanak-kanak. Vaksin secara umum
cukup aman. Keuntungan perlindungan yang diberikan vaksin jauh lebih besar daripada efek
samping yang mungkin timbul. Dengan adanya vaksin maka banyak penyakit masa kanak-kanak
yang serius, yang sekarang ini sudah jarang ditemukan. Imunisasi campak efektif untuk memberi
kekebalan terhadap penyakit campak sampai seumur hidup. Penyakit campak yang disebabkan
oleh virus yang ganas ini dapat dicegah jika seseorang mendapatkan imunisasi campak, minimal
dua kali yakni semasa usia 6 bulan - 59 bulan dan masa SD (6 - 12 tahun). Upaya imunisasi
campak tambahan yang dilakukan bersama dengan imunisasi rutin terbukti dapat menurunkan
kematian karena penyakit campak sampai 48%. Tanpa imunisasi, penyakit ini dapat menyerang
setiap anak, dan mampu menyebabkan cacat dan kematian karena komplikasinya seperti radang
paru (pneumonia); diare, radang telinga (otitis media) dan radang otak (ensefalitis) terutama pada
anak dengan gizi buruk. Hingga kini penyakit campak masih menjadi penyebab utama kematian
anak di bawah umur 1 tahun dan Balita umur 1 - 4 tahun di Indonesia. Diperkirakan lebih dari
30.000 anak/tahun meninggal karena komplikasi campak. Selain itu, campak berpotensi
menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) atau wabah. Imunisasi
7
adalah jalan utama untuk mencegah dan menurunkan angka kematian anakanak akibat
campak. Imunisasi ada dua macam, yaitu imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif adalah
pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk
merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri. Contohnya adalah imunisasi polio atau
campak. Sedangkan imunisasi pasif adalah penyuntikan sejumlah antibodi, sehingga kadar
antibodi dalam tubuh meningkat. Contohnya adalah penyuntikan ATS (Anti Tetanus Serum)
pada orang yang mengalami luka kecelakaan. Contoh lain adalah yang terdapat pada bayi yang
baru lahir dimana bayi tersebut menerima berbagai jenis antibodi dari ibunya melalui darah
placenta selama masa kandungan, misalnya antibodi terhadap campak.
2. Jenis Imunisasi Campak Vaksin Campak Kering a. Deskripsi Vaksin campak
merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap dosis (0,5 ml) mengandung tidak kurang
dari 1000 infective unit virus strain CAM 70, dan tidak lebih dari 100 mcg residu kanamycin dan
30 mcg residu erythromycin. Vaksin ini berbentuk vaksin beku kering yang harus dilarutkan
hanya dengan pelarut steril yang tersedia secara terpisah untuk tujuan tersebut. Vaksin ini telah
memenuhi persyaratan WHO untuk vaksin campak. Jumlah pemberian imunisasi campak
diberikan sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun. Dianjurkan, pemberian
campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan,
penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita. Jika sampai 12 bulan belum
mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan harus diimunisasi MMR (Measles
Mump Rubella). b. Indikasi Untuk Imunisasi aktif terhadap penyakit campak. c. Komposisi Tiap
dosis vaksin yang sudah dilarutkan mengandung : 8
1. Virus Campak >= 1.000 CCID50 2. Kanamycin sulfat <= 100 mcg 3. Erithromycin <=
30 mcg d. Dosis dan Cara Pemberian Imunisasi campak terdiri dari dosis 0,5 ml yang
disuntikkan secara Subkutan, lebih baik pada lengan atas. Pada setiap penyuntikan harus
menggunakan jarum dan syringe yang steril. Vaksin yang telah dilarutkan hanya dapat
digunakan pada hari itu juga (maksimum untuk 8 jam) dan itupun berlaku hanya jika vaksin
selama waktu tersebut disimpan pada suhu 2°-8°C serta terlindung dari sinar matahari. Pelarut
harus disimpan pada suhu sejuk sebelum digunakan. Satu dosis vaksin campak cukup untuk
membentuk kekebalan terhadap infeksi.Di negaranegara dengan angka kejadian dan kematian
karena penyakit campak tinggi pada tahun pertama setelah kelahiran, maka dianjurkan imunisasi
terhadap campak dilakukan sedini mungkin setelah usia 9 bulan (270 hari). Di negara-negara
yang kasus campaknya sedikit, maka imunisasi boleh dilakukan lebih dari usia tersebut. Vaksin
campak tetap aman dan efektif jika diberikan bersamaan dengan vaksin-vaksin DT, Td, TT,
BCG, Polio, (OPV dan IPV), Hepatitis B, dan Yellow Fever. Tata Cara Pemberian Imunisasi
Campak
Imunisasi campak dilakukan dengan menggunakan alat suntik sekali pakai (autodestruct
syringe). Penggunaan alat suntik tersebut dimaksudkan untuk menghindari penularan penyakit
HIV/AIDS dan Hepatitis B.
Dengan cara : 1. Vaksin Campak dilarutkan dulu sebelum saat pelayanan akan dimulai. 2.
Buka tutup torak dan tutup jarum. 3. Tusukkan jarum tersebut ke vial vaksin. Pastikan ujung
jarum selalu berada didalam cairan vaksin, jauh dibawah permukaan cairan vaksin, sehingga
tidak ada udara yang masuk kedalam semprit.
9
4. Tarik torak perlahan-lahan agar cairan vaksin masuk kedalam semprit, sampai torak
terkunci secara otomatis, torak tidak dapat ditarik lagi. 5. Cabut jarum dari vial, keluarkan udara
yang tersisa dengan cara mengetuk alat suntik dan mendorong torak sampai pada skala 0,5 cc. 6.
Bersihkan kulit dengan air hangat, kemudian suntikan vaksin secara intramuskular (lakukan
aspirasi sebelumnya untuk memastikan apakah jarum tidak menembus pembuluh darah). Alat
suntik yang telah dipakai langsung dibuang kedalam insinerator tanpa penutup jarum dan
penutup torak.
Untuk menghindari resiko tertusuk jarum, petugas kesehatan tidak boleh memasang
kembali penutup jarum.
Insinerator berisi alat suntik bekas pakai dibawa kembali ke Puskesmas dan kemudian
setelah penuh, baru dipakai.
7. Vaksin campak yang telah dilarutkan hanya bertahan 3 jam, setelah lewat waktu
tersebut tidak boleh dipakai lagi. 8. Lokasi penyuntikan sebaiknya paha anak, tekhnis
penyuntikan sesuai juknis imunisasi.
e. Efek Samping Hingga 15 % pasien dapat mengalami demam ringan dan kemerahan
selama 3 hari yang dapat terjadi 8 - 12 hari setelah vaksinasi. 10
Perhatian ! Alat suntik ini bersifat sekali pakai (autodestruct), maka torak tidak boleh
ditarik sebelum jarum tersebut ditusukkan kedalam vial vaksin. Torak yang sudah ditarik
sebelum diisi vaksin tidak akan dapat digunakan lagi.
Terjadinya Encephalitis setelah vaksinasi pernah dilaporkan yaitu dengan perbandingan 1
kasus per 1 juta dosis yang diberikan. f. Kontraindikasi Terdapat beberapa kontraindikasi yang
berkaitan dengan pemberian vaksin campak. Walaupun berlawanan penting untuk
mengimunisasi anak yang mengalami malnutrisi. Demam ringan, infeksi ringan pada saluran
nafas atau diare, dan beberapa penyakit ringan lainnya jangan dikategorikan sebagai
kontraindikasi. Kontraindikasi terjadi bagi individu yang diketahui alergi berat terhadap
kanamycin dan erithromycin. Karena efek vaksin virus campak hidup terhadap janin belum
diketahui, maka wanita hamil termasuk kontraindikasi. Individu Pengidap Virus HIV (HUMAN
IMMUNODEFFICIENCY VIRUS). Vaksin Campak kontraindikasi terhadap individu-
individu yang mengidap penyakit immune deficiency atau individu yang diduga menderita
gangguan respon imun karena leukimia, lymphoma atau generalized malignancy. Bagaimanapun
penderita HIV, baik yang disertai gejala ataupun tanpa gejala harus diimunisasi vaksin campak
sesuai jadual yang ditentukan. g. Penyimpanan dan Daluarsa Vaksin Campak beku-kering harus
disimpan pada suhu dibawah 8 °C (kalau memungkinkan di bawah 0 °C) sampai ketika vaksin
akan digunakan. Tingkat stabilitas akan lebih baik jika vaksin (bukan pelarut) disimpan pada
suhu -20 °C. Pelarut tidak boleh dibekukan tetapi disimpan pada kondisi sejuk sampai dengan
ketika akan digunakan. Vaksin harus terlindung dari sinar matahari. Daluarsa : 2 tahun h.
Kemasan Vaksin tersedia dalam kemasan vial 10 dosis + 5 ml pelarut dalam ampul.
3. Gambar Vaksin Campak
11
C.KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi) a. Definisi KIPI Menurut Komite Nasional
Pengkajian dan Penaggulangan KIPI (KN PP KIPI), KIPI adalah semua kejadian sakit dan
kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. Pada keadaan tertentu lama
pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari (arthritis kronik pasca vaksinasi rubella), atau
bahkan 42 hari (infeksi virus campak vaccinestrain pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi
campak, dan polio paralitik serta infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non
imunodefisiensi atau resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio). Pada umumnya reaksi
terhadap obat dan vaksin dapat merupakan reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain
yang bukan terjadi akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat berupa
efek farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat, intoleransi, reaksi idoisinkrasi, dan
reaksi alergi yang umumnya secara klinis sulit dibedakan.efek farmakologi, efek samping, serta
reaksi
12
idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan reaksi alergi
merupakan kepekaan seseorang terhadap unsure vaksin dengan latar belakang genetic. Reaksi
alergi dapat terjadi terhadap protein telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam
kuning), antibiotik, bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsure lain yang terkandung
dalam vaksin. Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi karena
kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta penyimpanan vaksin, kesalahan
prosedur dan teknik pelaksanaan imunisasi, atau semata-mata kejadian yang timbul secara
kebetulan. Sesuai telaah laporan KIPI oleh Vaccine Safety Committee, Institute of Medicine
(IOM) USA menyatakan bahwa sebagian besar KIPI terjadi karena kebetulan saja. Kejadian
yang memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan teknik
pelaksanaan (pragmatic errors).
Etiologi Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian besar
ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu unutk menentukan KIPI
diperlukan keterangan mengenai: Besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu
Sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik Derajat sakit resipien Apakah penyebab dapat
dipastikan, diduga, atau tidak terbukti Apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan
dengan vaksin, kesalahan produksi, atau kesalahan prosedur KN PP KIPI membagi penyebab
KIPI menjadi 5 kelompok faktor etiologi menurut klasifikasi lapangan WHO Western Pacific
(1999), yaitu: 1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)
Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan
imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana
pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi,
misalnya:
13
a. Dosis antigen (terlalu banyak) b. Lokasi dan cara menyuntik c. Sterilisasi semprit dan
jarum suntik d. Jarum bekas pakai e. Tindakan aseptik dan antiseptik f. Kontaminasi vaksin dan
perlatan suntik g. Penyimpanan vaksin h. Pemakaian sisa vaksin i. Jenis dan jumlah pelarut
vaksin j. Tidak memperhatikan petunjuk produsen
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat
kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
2. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun
tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit,
bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung
misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.
3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih
dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun
demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko
kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk
pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus,
atauberbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi obat atau
vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana
imunisasi.
14
4. Faktor kebetulan (koinsiden)
Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara kebetulan
saja setelah diimunisasi. Indicator faktor kebetulan ini ditandai dengan ditemukannya kejadian
yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakterisitik serupa
tetapi tidak mendapatkan imunisasi.
5. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan kedalam salah
satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan kedalam kelompok ini sambil menunggu
informasi lebih lanjut. Biasanya denagn kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan
kelompok penyebab KIPI.
Gejala Klinis KIPI
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi
gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya makin
cepat KIPI terjadi makin cepat gejalanya.
Reaksi KIPI Gejala KIPI Lokal Abses pada tempat suntikan
Limfadenitis
Reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis, BCG-it is SSP Kelumpuhan akut
Ensefalopati
Ensefalitis
Meningitis
Kejang
Lain-lain Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema
Reaksi anafilaksis
Syok anafilaksis
Artralgia
Demam tinggi >38,5°C
Episode hipotensif-hiporesponsif
Osteomielitis
Menangis menjerit yang terus menerus (3jam)
Sindrom syok septik
Dikutip dari RT Chen, 1999
Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping, maka apabila
seorang anak telah mendapatkan imunisasi perlu diobsevasi beberapa saat, sehingga dipastikan
tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada
umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi harus dilakukan observasi selama 15
menit.untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi
dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis.
A. Angka Kejadian KIPI
KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis. Angka kejadian
reaksi anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT, tetapi yang
benar-benar reaksi anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang lebih
besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau lambat. Episode
hipotonik/hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum dapat terjadi 4-24 jam setelah
imunisasi.
Imunisasi Pada Kelompok Resiko
Untuk mengurangi resiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien
termasuk dalam kelompok resiko. Yang dimaksud dengan kelompok resiko adalah:
1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu
Hal ini harus segera dilaporkan kepada Pokja KIPI setempat dan KN PP KIPI dengan
mempergunakan formulir pelaporan yang telah tersedia untuk penanganan segera
2. Bayi berat lahir rendah
Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi cukup bulan. Hal-
hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan adalah:
a) Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dar pada bayi cukup bulab
b) Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dan diberikan
setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan; imunisasi hepatitis B diberikan
pada umur 2 bulan atau lebih kecuali bila ibu mengandung HbsAg
c) Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang diberikan
adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak menyebabkan penyebaaran virus polio
melaui tinja
3. Pasien imunokompromais
Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar atau sebagai
akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Jenis vaksin
hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien imunokompromais dapat diberikan IVP bila
vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan
pemberian dalam waktu pendek. Tetapi imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan
kortikosteroid sistemik dosis 2 mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/ kg berat badan/hari
selama 14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan
atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi selesai.
4. Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin
Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan utnuk menghindarkan
hambatan pembentukan respons imun.
Indikasi Kontra dan Perhatian Khusus Untuk Imunisasi
Pada umumnya tidak terdapat indikasi kontra imunisasi untuk individu sehat kecuali
untuk kelompok resiko. Pada setiap sediaan vaksin selalu terdapat petunjuk dari produsen yang
mencantumkan indikasi kontra serta perhatian khusus terhadap vaksin. Petunjuk ini harus dibaca
oleh setiap pelaksana vaksinasi. (cfs/pedoman tata laksana medik KIPI bagi petugas kesehatan)
Keterangan Jadwal Imunisasi Periode 2008 Vaksin Keterangan BCG Diberikan sejak
lahir. Apabila umur > 3 bulan harus dilakukan uji tuberkulin terlebih dulu, BCG diberikan
apabila uji tuberkulin negatif. Hepatitis B HB diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir,
dilanjutkan pada umur 1 dan 3-6 bulan. Interval dosis minimal 4 minggu. Polio Polio-0 diberikan
saat kunjungan pertama. Untuk bayi yang lahir di RB/RS OPV diberikan saat bayi dipulangkan
(untuk menghindari transmisi virus vaksin kepada bayi lain). DTP Diberikan pada umur ³ 6
minggu, DTwP atau DTaP atau secara kombinasi dengan Hep B program BIAS SD kelas VI.
atau Hib. Ulangan DTP umur Campak Campak-1 umur 9 bulan,campak-2 diberikan pada
program BIAS pada SD kl 1, umur 6 tahun.
Vaksin Keterangan Hib Diberikan mulai umur 2 bulan dengan interval 2 bulan.
Diberikan terpisah atau kombinasi. Pneumokokus ( PCV ) Pada anak yang belum mendapat PCV
pada umur > 1 tahun PCV diberikan dua kali dengan interval 2 bulan. Pada umur 2 - 5 tahun
PCV diberikan satu kali. Influenza Umur < 8 tahun yang mendapat vaksin influenza trivalen
(TIV) pertama kalinya harus mendapat 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu. MMR MMR
dapat diberikan pada umur 12 bulan, apabila belum mendapat campak 9 bulan. Umur 6 tahun
diberikan untuk ulangan MMR maupun catchup immunization. Tifoid Tifoid polisakarida injeksi
diberikan pada umur ³ 2 tahun, diulang setiap 3 tahun. Hepatitis A Hepatitis A diberikan pada
umur > 2 tahun, dua kali dengan interval 6-12 bulan. HPV Vaksin HPV diberikan pada umur
>10 tahun dengan jadwal 0, (1-2) dan 6 bulan Sumber : Buku Pedoman Imunisasi Di Indonesia –

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Penyakit campak disebabkan oleh virus morbilli. Tanda khasnya berupa Koplik spot
di selaput lendir pipi, dan rash kulit yang muncul pada hari ke 14 setelah terpapar virus
campak. Imunisasi campak efektif untuk memberi kekebalan terhadap penyakit campak
sampai seumur hidup. Penyakit campak yang disebabkan oleh virus yang ganas ini dapat
dicegah jika seseorang mendapatkan imunisasi campak. Jumlah pemberian imunisasi
campak diberikan sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun.
Dianjurkan, pemberian campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah
menurun di usia 9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita. Jika
sampai 12 bulan belum mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan harus
diimunisasi MMR (Measles Mump Rubella). Imunisasi campak terdiri dari dosis 0,5 ml
yang disuntikkan secara Subkutan, lebih baik pada lengan atas. Pada setiap penyuntikan
harus menggunakan jarum dan syringe yang steril.

B. Saran

Untuk mencegah terjadinya penyakit campak sebaiknya ibu harus memberikan vaksin
campak sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan agar tidak terjadi penularan penyakit campak
dan Sebaiknya jika ada satu orang anak terkena campak, maka anak lain dianjurkan untuk tidak
berdekatan dengannya. Karena virusnya yang keluar melalui napas atau semburan ludah
(droplet) bisa terisap lewat hidung atau mulut dan akan menulari anak lain

DAFTAR PUSTAKA

Flexner, C. 1998. HIV-Protease Inhibitor. N. Engl. J.Med. 338:1281-1293 Patrick, A.K.


& Potts, K.E. 1998. Protease Inhibitors as Antiviral Agents. Clin. Microbiol. Rev. 11: 614-627.

Anda mungkin juga menyukai