Anda di halaman 1dari 17

KORELASI ANTARA GLOBAL BOND FINANCING DENGAN

DEPRESIASI RUPIAH TERHADAP US DOLLAR,


DAMPAKNYA TERHADAP LABA PERUSAHAAN, DAN
UPAYA MENJAGA STABILITAS KINERJA KEUANGAN

PAPER
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Khusus Akuntansi
Dosen Pengampu: Prof. Dr.Amilin, S.E.Ak., M.Si

Oleh:

Feby Nurul Fitri (11150820000007)


Rifqoh Maulidiah (11150820000025)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018
A. Pendahuluan
Obligasi adalah surat pernyataan utang penerbit obligasi terhadap
pemegang obligasi. Ringkasnya, penerbit obligasi adalah pihak yang berutang
dan pemegang obligasi adalah pihak yang berpiutang. Dalam obligasi
dituliskan jatuh tempo pembayaran utang beserta bunganya (kupon), yang
menjadi kewajiban penerbit obligasi terhadap pemegang obligasi. Jangka
waktu obligasi yang berlaku di umumnya 1 hingga 10 tahun. Saat jatuh tempo
uang yang dipinjam tadi harus dikembalikan 100%. Kita akan mendapatkan
sejumlah bunga yang disebut dengan bond yield, yang dibayarkan dalam
setiap periode tertentu. Bond yield mengacu pada tingkat pengembalian atau
bunga yang dibayarkan kepada pemilik obligasi. Sedangkan harga obligasi itu
sendiri adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli obligasi.
Diterbitkannya obligasi dilatarbelakangi upaya menghimpun dana dari
masyarakat yang akan digunakan sebagai sumber pendanaan. Bila ditinjau
dari sudut pandang pebisnis, obligasi bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan
dana segar demi berjalannya usaha. Sementara negara memandang obligasi
sebagai sumber pendanaan untuk membiayai sebagian defisit anggaran
belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Keuntungan yang diperoleh dari kupon (bunga) yang terbagi atas tiga
jenis, yaitu kupon tetap (fixed coupon) dan kupon mengambang
(floating/variable coupon). Walaupun demikian, ada obligasi yang tak
memberlakukan kupon (zero coupon bond). Imbal balik (yield) obligasi yang
didapat bisa besar tergantung dari jangka waktu obligasi. Makin lama, makin
besar keuntungannya.
Keuntungan obligasi khususnya yang dikeluarkan negara: sangat aman
karena pembayaran kupon dan pokok dijamin UU. Kupon/bunga obligasi
lebih tinggi dibandingkan bunga deposito. Obligasi negara bisa dijaminkan
sebagai agunan. Kemudian mudah untuk diperdagangkan di luar bursa atau di
pasar sekunder yang mekanismenya sudah diatur.
Sampai saat ini tak satu pun produk investasi yang hanya memiliki
kelebihan tanpa memiliki kekurangan. Selain kelebihan, obligasi juga
memiliki kekurangan yang perlu diperhatikan, di antaranya: rentan terhadap
perubahan suku bunga, ekonomi, dan kondisi politik yang tidak stabil.
Perubahan-perubahan tersebut berdampak pada pasar keuangan. Menjual
obligasi sebelum jatuh tempo di pasar sekunder menimbulkan kerugian bagi
investor. Sebab harga jualnya lebih rendah dari harga belinya.

B. Korelasi Global Bond Financing dengan Depresiasi Rupiah terhadap US


Dollar

Ketika lingkup dunia bisnis bukan hanya terpaku pada lingkungan


sekitar atau negara setempat saja tetapi sudah merambah menjadi lebih
global, suatu perusahaan menjadi memiliki berbagai macam cara untuk
mendapatkan dan mengakses sumber dana yang dibutuhkan dan lebih bisa
mendapatkan peluang pendanaan yang lebih murah di luar negara di mana
perusahaan tersebut beroperasi. Bukan hanya dapat mengandalkan investor di
pasar domestik, bisnis dan pemerintah juga dapat memanfaatkan kantong para
investoor global untuk mendapatkan modal yang mereka dibutuhkan. Salah
satu cara agar mereka mendapatkan sumber dana dengan pinjaman
internasional adalah dengan menerbitkan obligasi internasional.
Obligasi internasional sendiri diterbitkan di negara atau dengan mata
uang yang bukan merupakan mata uang domestik bagi investor. Jika dilihat
dari perspektif investor domestik dan penduduk di Amerika Serikat, obligasi
internasional merupakan obligasi yang dikeluarkan oleh perusahaan atau
pemerintah di negara lain dalam mata uang selain dollar Amerika Serikat.
Obligasi jenis ini biasanya dikeluarkan oleh negara di luar Amerika Serikat
dan umumnya didukung oleh mata uang negara asli. Obligasi internasional
sendiri diantaranya termasuk Eurobond, obligasi luar negeri, dan obligasi
global.
Ketiga obligasi tersebut akan dijelaskan di bawah ini:
1. Eurobond.
Eurobond ini merupakan obligasi yang diterbitkan dan
diperdagangkan di negara-negara selain negara di mana mata uang atau
nilai obligasi ini berdominasi. Obligasi jenis ini biasanya diterbitkan
dalam mata uang yang bukan merupakan mata uang domestik penerbit.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan Perancis yang menerbitkan obligasi
di Jepang dalam mata uang dollar AS telah mengeluarkan Eurobond,
lebih khusus, obligasi ini bisa disebut sebagai obligasi Eurodollar. Tipe
eurobond lainnya adalah obligasi Euroyen dan Euroswiss.
2. Obligasi asing (foreign bond).
Obligasi jenis ini biasanya diterbitkan di pasar domestik oleh
penerbit asing dalam mata uang negara domestik. Misalnya, suatu
obligasi diterbitkan oleh suatu perusahaan Amerika di Kanada dan
dihargai dalam dollar Kanada, ini disebut sebagai obligasi luar negeri
atau foreign bond. Agar lebih spesifik, ikatan dalam contoh tersebut
disebutt sebagai ikatan Maple.
3. Obligasi global (global bond).
Obligasi jenis ini mirip dengan obligasi jenis pertama yaitu
eurobond, tetapi juga dapat diperdagangkan dan diterbitkan di negara
yang mata uangnya digunakan untuk menilai obligasi.

Karena obligasi yang berskala internasional biasanya berdominasi dan


melakukan pembayaran bunga dalam mata uang tuan rumah atau negara
domestik, nilai obligasi dalam mata uang domestik akan berfluktuasi
tergantung pada kondisi ekonomi dan nilai tukar negara tersebut dan negara
asing. Oleh karena itu, obligasi ini mengandung unsur risiko mata uang.
Investor harus berhati-hati ketika berinvestasi ketika berinvestasi pada
obligasi internasional karena mereka dapat dikenakan persyaratan peraturan
dan perpajakan yang berbeda dari yang biasanya diterapkan kepada para
investor.
Lebih rinci, global bond adalah obligasi internasional atau surat utang
negara yang diterbitkan oleh suatu negara dalam valuta asing. Dengan
menawarkan obligasi global kepada jumlah investor yang banyak dapat
mengurangi biaya pinjaman atau utang. Global bond di Indonesia yang
diterbitkan oleh pemerintah Indonesia atau perusahaan korporasi di Indonesia
umumnya berdenominasi dollar.
Jika diterbitkan oleh pemerintah Indonesia namanya obligasi Indonesia,
sedangkan yang diterbitkan oleh korporasi di Indonesia namanya tergantung
dari korporasi yang menerbitkannya. Jika diterbitkan oleh Pertamina, nama
oligasi tersebut menjadi Pertamina global bond.
Sebelum lebih lanjut membahas global bond, harus mengenal istilah-
istilah di bawah ini terlebih dahulu.
1. Carry Trade. Kegiatan menjual instrument perdagangan dengan suku
bunga rendah kemudian menggunakannya untuk membeli instrument
perdagangan dengan suku bunga tinggi.
2. Bond Yield. Bunga yang didapat dari pembelian obligasi dan dibayarkan
dalam setiap periode tertentu yang disebut sebagai kupon pembayaran.
3. Bond Spread. Perbedaan besarnya nilai bond yield antara dua Negara.
Perbedaan tersebut akan mengakibatkan adanya carry trade.

Global bond di Indonesia sendiri merupakan salah satu cara pemerintah


mendapatkan sumber pembiayaan, sekaligus optimalisasi alokasi portofolio
utang. Sehingga risiko hutang dapat diminimalkan. Namun, tidak serta merta
menerbitkan global bond adalah upaya yang tepat dalam melakukan
pembiayaan. Tetapi para penerbit, pemerintah ataupun korporasi haruslah
cermat bahwa menerbitkan global bond itu berarti juga menerbitkan bahwa
adanya kewajiban membayar bunga yang artinya Indonesia harus menambah
beban dan mengalirkan dana ke luar negeri.
Sejak Indonesia meraih Investment Grade ( peringkat layak investasi)
dari dua lembaga internasional Moody’s dan Fitch Ratings tahun lalu, minat
investor terhadap global bond korporasi Republik Indonesia meningkat tajam.
Selama tahun 2012, nilai emisi meningkat 119% menjadi US$ 10 miliar
dibandingkan tahun 2011 sebesar US$ 4,57 miliar. Penerbitan global bond itu
marak seiring tingginya minat investor asing. Saat ini permintaan investor
global terhadap global bond korporasi Indonesia besar, hal ini tampak dari
beberapa kelebihan permintaan (oversubscribed) selama penawaran obligasi.
Sedangkan awal tahun 2018 dari total SUN yang diterbitkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia dalam pasar modal kepemilikan asing berada
di angka 41,7%. Dengan adanya data ini menunjukkan bahwa minat investor
asing di Indonesia sangatlah tinggi yang berdampak pada tingginya juga
permintaan global bond.
Dengan mata uang Indonesia sekarang yang sangat melemah terhadap
US Dollar, dengan teori yang sudah dipaparkan, dan melihat kenyataan
bahwa permintaan global bond meningkat, dapat dikatakan bahwa investor
asing akan lebih memilih menginvestasikan dananya pada global bond
dengan berdenominasi mata uang asing khususnya US Dollar. Penerbitan
global bond ini diirngi dengan pembayaran beban bunga yang artinya
Indonesia akan mengalirkan dananya dalam bentuk US Dollar dan ini
mengindikasikan bahwa akan semakin menguatnya nilai US Dollar terhadap
rupiah, sehingga Bank Indonesia dapat menanggulanginya dengan membeli
global bond berdenominasi rupiah agar rupiah tetap stabil.
Lalu bagaimana dampaknya terhadap laba perusahaan yang
menerbitkan global bonds? Penerbitan global bond bergantung oleh
perusahaan bergantung pada nilai kurs, apabila perusahaan menerbitkan
global bond akan menguntungkan perusahaan karena menerbitkan global
bond dalam bentuk US Dollar namun akan berdampak jika nilai kurs rupiah
terhadap US Dollar tinggi maka perusahaan akan kesulitan untuk membayar
beban bunga obligasi dan menambah beban bagi perusahaan. Hal tersebut
akan mempengaruhi laba perusahaan yang tercatat dalam laporan keuangan,
dimana laporan keuangan salah satu acuan bagi investor untuk menanamkan
modalnya, bisa mengurangi kepercayaan investor kepada perusahaan dan
perusahaan tidak bisa maksimal dalam mengelola usahanya dan mengurangi
pendapatan.
C. Dampak terhadap Laba Perusahaan
Seperti yang kita ketahui, bahwa dengan adanya penerbitan obligasi, ini
juga merefleksikan bahwa penerbit obligasi harus membayar sejumlah pokok
dan bunga sesuai tanggal jatuh tempo dari obligasi tesebut. Sama halnya
dengan global bond, penerbit global bond juga harus melakukan
kewajibannya yaitu membayar pokok dan bunga global bond tersebut sesuai
dengan mata uang denominasi bond tersebut. Jika global bond diterbitkan
dengan menggunakan mata uang asing seperti US Dollar, maka penerbit juga
harus membayar pokok dan bunga global bond tersebut dalam bentuk US
Dollar.
Dengan terdepresiasinya nilai rupiah terhadap US Dollar ini
mengindikasikan bahwa adanya peningkatan beban bunga yang akan
dibayarkan oleh perusahaan atau korporasi penerbit bond sekalipun itu
pemerintah. Pasalnya jika global bond didenominasi dengan mata uang US
Dollar ini berarti korporasi maupun pemerintah harus merogoh kantong lebih
dalam untuk membayar kewajiban bunganya yang artinya akan menambah
beban bunga dalam laporan keuangannya dan mengurangi laba perusahaan.
Statement di atas dibuktikan dengan adanya berita bahwa PT Tower
Bersama Infastruktur Tbk urung menerbitkan global bond sebesar US$ 850
juga yang pada awalnya akan diterbitkan pada awal tahun ini. Dikutip dari
konten.co.id bahwa “PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) salah
satunya. Perusahaan ini urung menerbitkan global bond US$ 850 juta yang
semula dijadwalkan tahun ini. Padahal, rencana ini sudah mendapat
persetujuan pemegang saham beberapa waktu lalu. "Betul (karena depresiasi
rupiah)," ujar Direktur Keuangan TBIG Helmy Yusman Santoso kepada
Kontan.co.id, Kamis”.
Dalam berita tersebut Direktur keuangan TBIG Helmy Yusman Santoso
mmbenarrkan bahwa penyebab mereka membatalkan penerbitan global bond
adalah karena terdepresianya rupiah sehingga kita dapat menarik garis bahwa
PT Tower Bersama Infrastruktur tidak berani mengambil risiko yang ada,
ditambah dengan tersepresiasinya nilai rupiah terhadap US Dollar ini
membuktikan bahwa global bond harus mendapat perhatian lebih detil sebab
dengan menerbitkan global bond, korporasi atau perusahaan tersebut bukan
hanya mendapatkan suntukan dana, tetapi juga mendapatkan tambahan beban
bunga yang harus dibayarkan pada saat tanggal jatuh tempo.
Dalam berita tersebut juga diberikan informasi bahwa tak hanya TBIG,
PT Intiland Development Tbk (DILD) juga menunda penerbitan global bond
senilai US$ 250 juta. Padahal, dana tersebut semula akan digunakan untuk
restrukturisasi. Lagi-lagi ini mengindikasikan bahwa korpoorasi atau
perusahaan penerbit global bond tidak mau mengambil risiko menambah
beban bunga sampai dengan merugi akibat kondisi rupiah terhadap US Dollar
yang sedang tidak stabil.
Kasus lain juga membuktikan bahwa global bond dengan
terdepresiasinya rupiah terhadap US Dollar saat ini sangat berpengaruh
signifikan terhadap penerbitan global bond itu sendiri yang akan berdampak
pada laba perusahaan penerbit yang dapat kita lihat pada berita
industri.kontan.co.id yang berjudul “Rupiah melemah PLN tunda penerbitan
global bond bulan ini” dalam berita tersebut juga benarkan bahwa penundaan
penerbitan global bond oleh PLN disebabkan oleh terdepresiasinya nilai
rupiah terhadap US Dollar dan dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir
memang sedang tidak stabil. PLN pun tidak mau mengambil risiko kurs sebab
jika nilai rupiah terhadap US Dollar semakin melemah maka beban bunga
yang akan ditanggung oleh PLN semakin besar.

D. Upaya Menjaga Stabilitas Kinerja Keuangan


Sistem keuangan yang stabil adalah sistem keuangan yang kuat dan
tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu
melakukan fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar
risiko secara baik.
Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi dimana mekanisme
ekonomi dalam penetapan harga, alokasi dana dan pengelolaan risiko
berfungsi secara baik dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Stabilitas keuangan bagi perusahaan merupakan syarat penting
terjaminnya keberlangsungan hidup perusahaan, apabila perusahaan
mempunyai stabilitas keuangan yang baik maka perusahaan mampu
mengelola kegiatan operasional secara baik.
Dalam kaitannya dengan beberapa kasus yang sudah saya paparkan
sebelumnya, manajemen sebenarnya dapat melakukan beberapa tindakan agar
dalam penerbitan global bond korporasi atau perusahaan penerbit tidak harus
merogoh kantong yang lebih dalam untuk membayar beban bunga ditambah
perubahan-perubahan nilai rupiah terhadap US Dollar.
Seperti di kutip dari kontan.co.id bahwa TBIG saat ini mengandalkan
strategi hedging, yang memang sudah tak asing bagi perusahaan. Ada dua
hedging yang bisa dilakukan, yaitu untuk kurs dan suku bunga. Helmy
mengakui, TBIG sudah hedging untuk keduanya.
“Lindung nilai bahkan dilakukan hingga jatuh tempo utang. "Sehingga,
perusahaan tak terpengaruh depresiasi rupiah, termasuk efek ke suku bunga
atau kupon yang harus dibayar," ujar Helmy. Perusahaan ini juga tak perlu
renegosiasi utang.
Namun, Helmy tak menampik, butuh biaya lebih besar melakukan
hedging saat ini. Cost of fund menjadi lebih mahal sebab pembeli obligasi
ingin kupon yang lebih tinggi guna mengompensasi fluktuasi kurs.”
Dapat kita ambil kesimpulan bahwa jika manejemen ingin menjaga
kestabilan kinerja keuangannya dalam penerbitan global bond maka korporasi
atau manajemen tersebut harus melakukan lindung nilai atau yang kita kenal
sebagai hedging.
Langkah lain yang dilakukan untuk menjaga stabilitas kinerja keuangan
bukan hanya dilakukan oleh manajemen. Bank Indonesia sebagai bank sentral
pun turut ikut andil dalam upaya menstabilkan kinerja keuangan dengan cara
menstabilkan nilai rupiah terhadap nilai US Dollar. Dikutip dari website BI,
BI memandang bahwa:
1. Depresiasi rupiah yang terjadi akhir-akhir ini kami pandang lebih
disebabkan oleh penguatan mata uang AS (USD) terhadap hampir
semua mata uang dunia (broad based). Penguatan USD ini tersebut
adalah dampak dari berlanjutnya kenaikan yield UST (suku bunga obligasi
negara AS) hingga mencapai 3,03% (tertinggi sejak tahun 2013). Selain
itu, depresiasi rupiah juga terkait faktor musiman permintan valas yang
meningkat pada triwulan II antara lain untuk keperluan pembayaran ULN
dan pembiayaan impor, dan dividen.
2. Fundamental ekonomi Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang
kuat. Inflasi masih sesuai dengan kisaran 3,5+1%, defisit transaksi
berjalan lebih rendah dari batas aman 3% PDB, momentum pertumbuhan
ekonomi berlanjut diikuti oleh struktur pertumbuhan yang lebih baik, dan
stabilitas sistem keuangan yang tetap kuat. Kepercayaan asing juga terus
membaik yang tercermin pada upgrade rating Indonesia oleh Moody’s,
JCRA, dan R&I serta dimasukkannya obligasi negara ke dalam
Bloomberg Global Bond Index.
3. Sampai dengan hari Kamis tanggal 26 April 2018, rupiah terdepresiasi
sebesar -0,88% (mtd). Depresiasi rupiah ini masih lebih rendah
dibandingkan dengan depresiasi mata uang negara Asia lain termasuk
Thailand THB (-1,12%, mtd), Malaysia MYR (-1,24%, mtd), Singapore
SGD (-1,17%, mtd), Korea Selatan KRW (-1,38%, mtd), dan India INR (-
2,4%, mtd).
4. Dengan memperhatikan perkembangan tersebut, Bank Indonesia telah
melakukan langkah-langkah stabilisasi baik di pasar valas maupun pasar
SBN (dual intervention) untuk meminimalkan depresiasi yang terlalu
cepat dan berlebihan.
5. Ke depan, untuk memperkuat upaya stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai
dengan fundamentalnya dengan tetap mendorong mekanisme pasar, Bank
Indonesia akan menempuh langkah-langkah sebagai berikut :
a. Senantiasa berada di pasar untuk memastikan tersedianya likuiditas
dalam jumlah yang memadai baik valas maupun rupiah;

b. Memantau dengan seksama perkembangan perekonomian global dan


dampaknya terhadap perekonomian domestik;

c. Mempersiapkan 2nd line of defense bersama dengan institusi eksternal


terkait;

d. Apabila tekanan terhadap nilai tukar terus berlanjut serta berpotensi


menghambat pencapaian sasaran inflasi dan menganggu stabilitas
sistem keuangan, yang merupakan mandat Bank Indonesia, Bank
Indonesia tidak menutup ruang bagi penyesuaian suku bunga kebijakan
BI7DRR. Kebijakan ini tentunya akan dilakukan secara berhati-hati,
terukur, dan bersifat data dependence, mengacu pada perkembangan
data terkini maupun perkiraan ke depan.
SIMPULAN

Dengan mata uang Indonesia sekarang yang sangat melemah terhadap US


Dollar, dengan teori yang sudah dipaparkan, dan melihat kenyataan bahwa
permintaan global bond meningkat, dapat dikatakan bahwa investor asing akan
lebih memilih menginvestasikan dananya pada global bond dengan berdenominasi
mata uang asing khususnya US Dollar. Penerbitan global bond ini diirngi dengan
pembayaran beban bunga yang artinya Indonesia akan mengalirkan dananya
dalam bentuk US Dollar dan ini mengindikasikan bahwa akan semakin
menguatnya nilai US Dollar terhadap rupiah, sehingga Bank Indonesia dapat
menanggulanginya dengan membeli global bond berdenominasi rupiah agar
rupiah tetap stabil. Namun apakah dengan membeli global bond yang
berdenominasi rupiah akan menstabilkan rupiah itu sendiri?
Hal ini juga berdampak pada perusahaan yang menerbitkan global bond
yang berdenominasi mata uang asing khususnya US Dollar. Sebab dengan
merosotnya nilai rupiah terhadap US Dollar ini berarti bahwa perusahaan penerbit
akan membayarkan beban bunga yang lebih tinggi jika tidak dilakukan lindung
nilai.
LAMPIRAN KASUS

Rupiah melemah, PLN tunda penerbitan global


bond pada bulan ini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana PT Perusahaan Listrik Negara (PLN)


untuk menerbitkan surat utang berdenominasi asing (global bond) pada Mei ini
dibatalkan. Pemicunya, pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS).

Tapi sejauh ini, kegiatan roadshow kebeberapa negara tetap berjalan.

Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka mengatakan PLN


sudah melakukan roadshow ke tiga negara. Diantaranya, New York, Hongkong
dan Singapura.

"Belum selesai (Mei 2018). Kita masih roadshow. Penawaran paling besar
kemarin New York, karena kondisi nilai rupiah lagi down dan murah banget,"
ungkap Made saat ditemui di Hotel Dharmawangsa, Selasa(22/5) malam.

Untuk jumlah penerbitan global bond, Made masih enggan menyebutkan


angkanya. Tapi yang pasti keperluannya adalah untuk mendanai pembangunan
pembangkit listrik dengan kapasitas 10.000 Megawatt (MW) yang masuk kedalam
megaproyek 35.000 MW.

"Kami cari dana sekarang itu kalau total pembiayaan 10.000-an MW hanya Rp
385 triliun. Itu jauh lebih murah dari pada pembelanjaan IPP," ungkap Made.

Made menambahkan penerbitan global bond juga tidak akan dilakukan pada mei
ini karena melemahnya harga rupiah terhadap dollar AS mencapai Rp 14.200.

"Jadi jangan diambil sekarang. Kalau dari sekarang nanti pengembaliannya tinggi
sekali," tandas Made.

Artikel ini tayang di industri.kontan.co.id dengan judul “Rupiah melemah PLN


tunda penerbitan global bond bulan ini”,
https://industri.kontan.co.id/news/rupiah-melemah-pln-tunda-penerbitan-global-
bond-pada-bulan-ini
INVESTASI / EMITEN

Emiten batal menerbitkan obligasi global


Senin, 20 Agustus 2018 / 07:56 WIB

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dampak depresiasi rupiah mulai terasa.


Sejumlah emiten memilih menunda rencana pencarian dana di pasar global untuk
belanja modal atau refinancing utang karena kurang menguntungkan.

PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) salah satunya. Perusahaan ini


urung menerbitkan global bond US$ 850 juta yang semula dijadwalkan tahun ini.
Padahal, rencana ini sudah mendapat persetujuan pemegang saham beberapa
waktu lalu. "Betul (karena depresiasi rupiah)," ujar Direktur Keuangan
TBIG Helmy Yusman Santoso kepada Kontan.co.id, Kamis (16/8).

Semula, TBIG akan menggunakan dana hasil global bond untuk keperluan
refinancing. Sebagian perolehan dana juga untuk kebutuhan belanja modal.

TBIG saat ini mengandalkan strategi hedging, yang memang sudah tak asing bagi
perusahaan. Ada dua hedging yang bisa dilakukan, yaitu untuk kurs dan suku
bunga. Helmy mengakui, TBIG sudah hedging untuk keduanya.

Lindung nilai bahkan dilakukan hingga jatuh tempo utang. "Sehingga, perusahaan
tak terpengaruh depresiasi rupiah, termasuk efek ke suku bunga atau kupon yang
harus dibayar," ujar Helmy. Perusahaan ini juga tak perlu renegosiasi utang.

Namun, Helmy tak menampik, butuh biaya lebih besar melakukan hedging saat
ini. Cost of fund menjadi lebih mahal sebab pembeli obligasi ingin kupon yang
lebih tinggi guna mengompensasi fluktuasi kurs.

Tak hanya TBIG, PT Intiland Development Tbk (DILD) juga menunda penerbitan
global bond senilai US$ 250 juta. Padahal, dana tersebut semula akan digunakan
untuk restrukturisasi.

Beruntung, DILD masih memiliki cadangan kas dari sejumlah fasilitas pinjaman
yang belum ditarik. Dana tersebut bisa digunakan untuk melanjutkan agenda
bisnisnya pada tahun ini.

Risiko default

Di tengah fluktuasi seperti saat ini, penerbitan obligasi dalam negeri menjadi
alternatif. Seperti, PT Jakarta Lingkar Baratsatu (JLB) yang akan menerbitkan
obligasi Rp 1,3 triliun. Kupon yang ditawarkan 9%–10,65%
Persoalannya, saat ini, para emiten membutuhkan dana cukup besar dengan cepat.
Penerbitan obligasi di dalam negeri biasanya dilakukan secara berkelanjutan.
Likuiditas di dalam negeri juga tidak sebesar pasar global.

Sedangkan, cara lain, seperti penerbitan saham baru alias rights issue juga sulit
dilakoni, karena waktunya sempit. Terlebih, jika ada utang jatuh tempo di tahun
ini. "Risiko defaults obligasi korporasi membesar setidaknya selama 12 bulan ke
depan," ujar Harry Su, Managing Director and Head of Equity Capital Market
Samuel Internasional.

Dengan adanya risiko tersebut, kata Harry, perlu antisipasi dini seperti yang
ditempuh TBIG. Akan lebih aman hedging sejak awal saat mencari pinjaman dari
asing.

Harry menyebut, saat ini, perlu peran pemerintah, terutama untuk mengendalikan
rupiah. Rencana pemerintah memotong penerbitan obligasi menjadi sekitar Rp
384 triliun, dinilai positif.

Strategi itu menimbulkan konsekuensi perlambatan ekonomi. Tapi, saat


bersamaan, defisit anggaran pemerintah mengecil.
Surat Utang Kini Jadi Andalan Pembiayaan,
Ancaman Defisit Transaksi Berjalan Makin
Lebar
Selasa, 16 Januari 2018 05:56 WIB

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penerbitan obligasi global kini semakin


jadi sumber andalan pembiayaan bagi Indonesia. Keberhasilan PT Jasa Marga
(Persero) Tbk menerbitkan obligasi dalam denominasi rupiah di luar negeri atau
Komodo Bond senilai Rp 4 triliun, mendorong korporasi lain seperti PT PLN, PT
Garuda Indonesia Tbk, PT Intermedia Capital Tbk, dan PT Sawit Sumbermas
Sarana Tbk mengikutinya.

Namun, penerbitan global bond yang lebih besar juga berpengaruh terhadap
defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).

Asisten Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menjelaskan neraca
primer dalam transaksi berjalan selalu mencatatkan defisit atau kewajiban. Ini
berarti, Indonesia harus mengalirkan dana asing ke luar negeri.

Defisit pada neraca pendapatan primer salah satunya bersumber dari pembayaran
kewajiban investasi portofolio.

Itu berupa bunga atas pinjaman dan surat utang atau investasi. Defisit pada
pendapatan investasi portofolio terus meningkat dari tahun ke tahun karena utang
luar negeri yang terus bertambah nilainya.

Semakin banyak penerbitan utang luar negeri, baik berupa obligasi maupun
pinjaman akan meningkatkan pembayaran kewajiban. "Pada gilirannya dapat
meningkatkan defisit current account," kata Dody, Jumat (12/1/2018).

Meski begitu, peningkatan penerbitan obligasi global tersebut juga bisa


meredakan beban pembayaran utang luar negeri. Asalkan, surat utang yang
diterbitkan untuk kegiatan usaha yang berorientasi ekspor.

"Secara neto, dampak langsung dan tidak langsung terhadap CAD bisa berupa
defisit yang lebih rendah atau bahkan bisa menciptakan surplus," tambah Dody.
Namun ia menyatakan tidak ada jaminan bahwa utang dari luar negeri tersebut
untuk mendongkrak kegiatan ekspor.
Dewan Gubernur BI sebelumnya memperkirakan transaksi berjalan Indonesia
masih sulit surplus dalam jangka pendek. Gubernur BI Agus Martowardojo
memperkirakan, CAD tahun ini sebesar 2%-2,5% dari Produk Domestik Bruto
(PDB). Naik dibanding 2017 yang diperkirakan 1,65% dari PDB.

Kenaikan CAD diperkirakan akan terus terjadi hingga tahun 2019 akibat. Baru
pada tahun 2022 CAD diperkirakan kembali menurun hingga di bawah 2% dari
PDB karena pertumbuhan ekspor.

Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengamini semakin besarnya
penerbitan global bond bisa memperlebar CAD dalam jangka menengah panjang.
Sementara penerbitan global bond saat ini yang nominalnya belum terlalu besar
membuat dampak ke CAD juga belum terlalu besar. Defisit pada neraca primer,
masih terbantu oleh dana repatriasi dari kebijakan amnesti pajak pemerintah.

Hal utama yang perlu dilakukan pemerintah dalam memperbaiki struktur transaksi
berjalan adalah neraca jasa yang selalu mencatat defisit. Itu terutama dari
penggunaan kapal-kapal asing dan asuransi kapal-kapal asing.

Pemerintah sudah mewajibkan penggunaan kapal domestik dan asuransi dalam


negeri. Kewajiban itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan
(Permendag) Nomor 82 Tahun 2017 yang diundangkan 31 Oktober 2017 dan
berlaku pada April 2018.

Kebijakan wajib kapal domestik ini harus dilaksanakan secara konsisten. BI


mencatat, neraca jasa pada kuartal III tahun 2017 defisit US$ 2,2 miliar, naik
kuartal II US$ 2,18 miliar dan kuartal I US$ 1,22 miliar.

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Surat Utang Kini Jadi
Andalan Pembiayaan, Ancaman Defisit Transaksi Berjalan Makin
Lebar, http://www.tribunnews.com/bisnis/2018/01/16/surat-utang-kini-jadi-
andalan-pembiayaan-ancaman-defisit-transaksi-berjalan-makin-lebar?page=2.

Editor: Choirul Arifin

Anda mungkin juga menyukai