PAPER
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Khusus Akuntansi
Dosen Pengampu: Prof. Dr.Amilin, S.E.Ak., M.Si
Oleh:
JAKARTA
2018
A. Pendahuluan
Obligasi adalah surat pernyataan utang penerbit obligasi terhadap
pemegang obligasi. Ringkasnya, penerbit obligasi adalah pihak yang berutang
dan pemegang obligasi adalah pihak yang berpiutang. Dalam obligasi
dituliskan jatuh tempo pembayaran utang beserta bunganya (kupon), yang
menjadi kewajiban penerbit obligasi terhadap pemegang obligasi. Jangka
waktu obligasi yang berlaku di umumnya 1 hingga 10 tahun. Saat jatuh tempo
uang yang dipinjam tadi harus dikembalikan 100%. Kita akan mendapatkan
sejumlah bunga yang disebut dengan bond yield, yang dibayarkan dalam
setiap periode tertentu. Bond yield mengacu pada tingkat pengembalian atau
bunga yang dibayarkan kepada pemilik obligasi. Sedangkan harga obligasi itu
sendiri adalah sejumlah uang yang dikeluarkan untuk membeli obligasi.
Diterbitkannya obligasi dilatarbelakangi upaya menghimpun dana dari
masyarakat yang akan digunakan sebagai sumber pendanaan. Bila ditinjau
dari sudut pandang pebisnis, obligasi bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan
dana segar demi berjalannya usaha. Sementara negara memandang obligasi
sebagai sumber pendanaan untuk membiayai sebagian defisit anggaran
belanja dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Keuntungan yang diperoleh dari kupon (bunga) yang terbagi atas tiga
jenis, yaitu kupon tetap (fixed coupon) dan kupon mengambang
(floating/variable coupon). Walaupun demikian, ada obligasi yang tak
memberlakukan kupon (zero coupon bond). Imbal balik (yield) obligasi yang
didapat bisa besar tergantung dari jangka waktu obligasi. Makin lama, makin
besar keuntungannya.
Keuntungan obligasi khususnya yang dikeluarkan negara: sangat aman
karena pembayaran kupon dan pokok dijamin UU. Kupon/bunga obligasi
lebih tinggi dibandingkan bunga deposito. Obligasi negara bisa dijaminkan
sebagai agunan. Kemudian mudah untuk diperdagangkan di luar bursa atau di
pasar sekunder yang mekanismenya sudah diatur.
Sampai saat ini tak satu pun produk investasi yang hanya memiliki
kelebihan tanpa memiliki kekurangan. Selain kelebihan, obligasi juga
memiliki kekurangan yang perlu diperhatikan, di antaranya: rentan terhadap
perubahan suku bunga, ekonomi, dan kondisi politik yang tidak stabil.
Perubahan-perubahan tersebut berdampak pada pasar keuangan. Menjual
obligasi sebelum jatuh tempo di pasar sekunder menimbulkan kerugian bagi
investor. Sebab harga jualnya lebih rendah dari harga belinya.
"Belum selesai (Mei 2018). Kita masih roadshow. Penawaran paling besar
kemarin New York, karena kondisi nilai rupiah lagi down dan murah banget,"
ungkap Made saat ditemui di Hotel Dharmawangsa, Selasa(22/5) malam.
"Kami cari dana sekarang itu kalau total pembiayaan 10.000-an MW hanya Rp
385 triliun. Itu jauh lebih murah dari pada pembelanjaan IPP," ungkap Made.
Made menambahkan penerbitan global bond juga tidak akan dilakukan pada mei
ini karena melemahnya harga rupiah terhadap dollar AS mencapai Rp 14.200.
"Jadi jangan diambil sekarang. Kalau dari sekarang nanti pengembaliannya tinggi
sekali," tandas Made.
Semula, TBIG akan menggunakan dana hasil global bond untuk keperluan
refinancing. Sebagian perolehan dana juga untuk kebutuhan belanja modal.
TBIG saat ini mengandalkan strategi hedging, yang memang sudah tak asing bagi
perusahaan. Ada dua hedging yang bisa dilakukan, yaitu untuk kurs dan suku
bunga. Helmy mengakui, TBIG sudah hedging untuk keduanya.
Lindung nilai bahkan dilakukan hingga jatuh tempo utang. "Sehingga, perusahaan
tak terpengaruh depresiasi rupiah, termasuk efek ke suku bunga atau kupon yang
harus dibayar," ujar Helmy. Perusahaan ini juga tak perlu renegosiasi utang.
Namun, Helmy tak menampik, butuh biaya lebih besar melakukan hedging saat
ini. Cost of fund menjadi lebih mahal sebab pembeli obligasi ingin kupon yang
lebih tinggi guna mengompensasi fluktuasi kurs.
Tak hanya TBIG, PT Intiland Development Tbk (DILD) juga menunda penerbitan
global bond senilai US$ 250 juta. Padahal, dana tersebut semula akan digunakan
untuk restrukturisasi.
Beruntung, DILD masih memiliki cadangan kas dari sejumlah fasilitas pinjaman
yang belum ditarik. Dana tersebut bisa digunakan untuk melanjutkan agenda
bisnisnya pada tahun ini.
Risiko default
Di tengah fluktuasi seperti saat ini, penerbitan obligasi dalam negeri menjadi
alternatif. Seperti, PT Jakarta Lingkar Baratsatu (JLB) yang akan menerbitkan
obligasi Rp 1,3 triliun. Kupon yang ditawarkan 9%–10,65%
Persoalannya, saat ini, para emiten membutuhkan dana cukup besar dengan cepat.
Penerbitan obligasi di dalam negeri biasanya dilakukan secara berkelanjutan.
Likuiditas di dalam negeri juga tidak sebesar pasar global.
Sedangkan, cara lain, seperti penerbitan saham baru alias rights issue juga sulit
dilakoni, karena waktunya sempit. Terlebih, jika ada utang jatuh tempo di tahun
ini. "Risiko defaults obligasi korporasi membesar setidaknya selama 12 bulan ke
depan," ujar Harry Su, Managing Director and Head of Equity Capital Market
Samuel Internasional.
Dengan adanya risiko tersebut, kata Harry, perlu antisipasi dini seperti yang
ditempuh TBIG. Akan lebih aman hedging sejak awal saat mencari pinjaman dari
asing.
Harry menyebut, saat ini, perlu peran pemerintah, terutama untuk mengendalikan
rupiah. Rencana pemerintah memotong penerbitan obligasi menjadi sekitar Rp
384 triliun, dinilai positif.
Namun, penerbitan global bond yang lebih besar juga berpengaruh terhadap
defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).
Asisten Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menjelaskan neraca
primer dalam transaksi berjalan selalu mencatatkan defisit atau kewajiban. Ini
berarti, Indonesia harus mengalirkan dana asing ke luar negeri.
Defisit pada neraca pendapatan primer salah satunya bersumber dari pembayaran
kewajiban investasi portofolio.
Itu berupa bunga atas pinjaman dan surat utang atau investasi. Defisit pada
pendapatan investasi portofolio terus meningkat dari tahun ke tahun karena utang
luar negeri yang terus bertambah nilainya.
Semakin banyak penerbitan utang luar negeri, baik berupa obligasi maupun
pinjaman akan meningkatkan pembayaran kewajiban. "Pada gilirannya dapat
meningkatkan defisit current account," kata Dody, Jumat (12/1/2018).
"Secara neto, dampak langsung dan tidak langsung terhadap CAD bisa berupa
defisit yang lebih rendah atau bahkan bisa menciptakan surplus," tambah Dody.
Namun ia menyatakan tidak ada jaminan bahwa utang dari luar negeri tersebut
untuk mendongkrak kegiatan ekspor.
Dewan Gubernur BI sebelumnya memperkirakan transaksi berjalan Indonesia
masih sulit surplus dalam jangka pendek. Gubernur BI Agus Martowardojo
memperkirakan, CAD tahun ini sebesar 2%-2,5% dari Produk Domestik Bruto
(PDB). Naik dibanding 2017 yang diperkirakan 1,65% dari PDB.
Kenaikan CAD diperkirakan akan terus terjadi hingga tahun 2019 akibat. Baru
pada tahun 2022 CAD diperkirakan kembali menurun hingga di bawah 2% dari
PDB karena pertumbuhan ekspor.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengamini semakin besarnya
penerbitan global bond bisa memperlebar CAD dalam jangka menengah panjang.
Sementara penerbitan global bond saat ini yang nominalnya belum terlalu besar
membuat dampak ke CAD juga belum terlalu besar. Defisit pada neraca primer,
masih terbantu oleh dana repatriasi dari kebijakan amnesti pajak pemerintah.
Hal utama yang perlu dilakukan pemerintah dalam memperbaiki struktur transaksi
berjalan adalah neraca jasa yang selalu mencatat defisit. Itu terutama dari
penggunaan kapal-kapal asing dan asuransi kapal-kapal asing.
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Surat Utang Kini Jadi
Andalan Pembiayaan, Ancaman Defisit Transaksi Berjalan Makin
Lebar, http://www.tribunnews.com/bisnis/2018/01/16/surat-utang-kini-jadi-
andalan-pembiayaan-ancaman-defisit-transaksi-berjalan-makin-lebar?page=2.