Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya angka
morbiditasbaik pada anak maupun pada dewasa ( Buku Ajar Nefrologi Anak, edisi 2, hal.323, 2002).
Terminologi glomerulonefritis yang dipakai disini adalah untuk menunjukkan bahwa kelainan yang
pertama dan utama terjadi pada glomerulus, bukan pada struktur ginjal yang lain.

Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan dimulai dalam


gromleurus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan atau hematuria. Meskipun lesi utama pada
gromelurus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal
ginjal. Penyakit yang mula-mula digambarkan oleh Richard Bright pada tahun 1827 sekarang diketahui
merupakan kumpulan banyak penyakit dengan berbagai etiologi, meskipun respon imun agaknya
menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis.

Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun (kronis)
seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa mual-mual, kurang
darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab kelopak mata, kencing sedikit, dan
berwarna merah, biasanya disertai hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan,
10% menjadi kronis, dan 10% berakibat fatal.

B. Identifikasi Masalah

Dalam makalah ini penulis akan membahas masalah Glomerulonefritis akut. Dimana penyakit ini
banyak di derita oleh anak yang berusia 3-7 tahun.

C. Tujuan

Untuk memberikan sumber ilmu pengetahuan bagi pembaca dan masyarakat umum lainnya.Untuk
mengetahui definisi, anatomi fisiologi, etiologi, patologis serta Asuhan Keperawatan dari
Glomerulonefritis itu sendiri.
1
Page
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Glomerulonefritis kronik adalah peradangan lama di sel-sel glomerolus. Kelainan ini dapat terjadi
akibat glomerolus akut yang tidak membaik atau timbul secara spontan ((Arif muttaqin & kumala Sari,
2011)

Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal progresif dan difus yang seringkali
berakhir dengan gagal ginjal kronik. Glomerulonefritis berhubungan dengan penyakit-penyakit
sistemik seperti , poliartritis nodosa, granulomatosus Wagener.

Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes mellitus (glomerulosklerosis)


tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan penyakit ginjal kronik. Glomerulonefritis yang
berhubungan dengan amilodois sering dijumpai pada pasien-pasien dengan penyakit menahun seperti
tuberkulosis, lepra, osteomielitis arthritis rheumatoid dan myeloma (Sukandar, 2006).

glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi
secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998).
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder.

Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan
glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti
diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis
(Prodjosudjadi, 2006).

B. ETIOLOGI

Umumnya penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit ginjal

intrinsik difus dan menahun. Hampir semua nefropati bilateral dan progresif akan berakhir dengan
penyakit ginjal kronik. Umumnya penyakit di luar ginjal, seperti nefropati obstruktif dapat
menyebabakan kelainan ginjal intrinsik dan berakhir dengan penyakit ginjal kronik (Sukandar, 2006).

Menurut data yang sampai saat ini dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-
2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut: glomerulonefritis (25%), diabetes melitus
(23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).
2
Page
1. Glomerulonefritis

Glomerulonefritis kronik merupakan penyakit parenkim ginjal progresif dan difus yang seringkali
berakhir dengan gagal ginjal kronik. Glomerulonefritis berhubungan dengan penyakit-penyakit
sistemik seperti lupus eritomatosus sistemik, poliartritis nodosa, granulomatosus Wagener.
Glomerulonefritis (glomerulopati) yang berhubungan dengan diabetes mellitus (glomerulosklerosis)
tidak jarang dijumpai dan dapat berakhir dengan penyakit ginjal kronik.

Glomerulonefritis yang berhubungan dengan amilodois sering dijumpai pada pasien-pasien dengan
penyakit menahun seperti tuberkulosis, lepra, osteomielitis arthritis rheumatoid dan myeloma
(Sukandar, 2006). Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya
tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus
(Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder.

Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan
glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes
melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinis glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari
pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi
pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).

2. Diabetes melitus

Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.

Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua
organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus
dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun.
Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke
dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996).

3. Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg
(Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi
esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi
3
Page

sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998). Penyakit ginjal hipertensif (arteriolar
nephrosclerosis) merupakan salah satu penyebab penyakit ginjal kronik. Insiden hipertensi esensial
berat yang berakhir dengan gagal ginjal kronik kurang dari 10% (Sukandar, 2006).

4. Ginjal polikistik

Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid.
Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua
ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan
oleh berbagai keadaan atau penyakit. Ginjal polikistik merupakan kelainan gsenetik yang paling sering
didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult
polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun.
Glomerulonefritis, hipertensi esensial, dan pielonefritis merupakan enyebab paling sering dari PGK,
yaitu sekitar 60%. Penyakit ginjal kronik yang berhubungan dengan penyakit ginjal polikistik dan
nefropati obstruktif hanya 15-20% (Sukandar, 2006).

Kira-kira 10-15% pasien-pasien penyakit ginjal kronik disebabkan penyakit ginjal kongenital seperti
sindrom Alport, penyakit Fabbry, sindrom nefrotik kongenital, penyakit ginjal polikistik, dan
amiloidosis (Sukandar, 2006). Pada orang dewasa penyakit ginjal kronik yang berhubungan dengan
infeksi saluran kemih dan ginjal (pielonefritis) tipe uncomplicated jarang dijumpai, kecuali
tuberkulosis, abses multipel. Nekrosis papilla renalis yang tidak mendapat pengobatan yang adekuat
(Sukandar, 2006).

5. Infeksi

Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus respiratorius bagian atas
dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A tipe 12,4,16,25,dan 29. Hubungan
antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada
tahun 1907 dengan alas an timbulnya glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina,diisolasinya
kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A, dan meningkatnya titer anti- streptolisin pada serum
penderita.

Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama kurang 10 hari.
Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat nefritogen daripada yang lain, tapi
hal ini tidak diketahui sebabnya. Kemungkinan factor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan factor
alergi mempengaruhi terjadinya glomerulonefritis akut setelah infeksi kuman streptococcus.

Glomerulonefritis akut pasca streptococcus adalah suatu sindrom nefrotik akut yang ditandai dengan
timbulnya hematuria, edema, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. Gejala-gejala ini timbul setelah
infeksi kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada
4

kulit. Glomerulonefritis akut pasca streptococcus terutama menyerang pada anak laki-laki dengan usia
Page

kurang dari 3 tahun.Sebagian besar pasien (95%) akan sembuh, tetapi 5 % diantaranya dapat mengalami
perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.Penyakit ini timbul setelah adanya infeksi oleh
kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A disaluran pernafasan bagian atas atau pada kulit,
sehingga pencegahan dan pengobatan infeksi saluran pernafasan atas dan kulit dapat menurunkan
kejadian penyakit ini. Dengan perbaikan kesehatan masyarakat, maka kejadian penyakit ini dapat
dikurangi. Glomerulonefritis akut dapat juga disebabkan oleh sifilis, keracunan seperti
keracunan timah hitam tridion, penyakitb amiloid, trombosis vena renalis, purpura anafilaktoid dan
lupus eritematosus.

C. MANIFESTASI KLINIS

Gambaran klinik penyakit ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi
kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput
serosa, dan kelainan neuropsikiatri (Sukandar, 2006).

Penderita biasanya mengeluh tentang rasa dingin, demam, sakit kepala, sakit punggung, dan udema
(bengkak) pada bagian muka biasanya sekitar mata (kelopak), mual dan muntah-muntah. Pada keadaan
ini proses kerusakan ginjal terjadi menahun dan selama itu gejalanya tidak tampak. Akan tetapi pada
akhirnya orang-orang tersebut dapat menderita uremia (darah dalam air seni) dan gagal ginjal.
proteinuria, hematuria, sembab, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal, yang dapat terlihat secara
tersendiri atau secara bersama seperti misalnya pada sindrom nefrotik, gejala klinisnya terutama terdiri
dari proteinuria massif dan hipoalbuminemia, dengan atau tanpa sebab.

1. Kelainan saluran cerna

Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama
pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan
dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia (NH3). Amonia inilah yang
menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna
ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika (Sukandar, 2006).

2. Kelainan mata

Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien penyakit ginjal kronik.
Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan penyakit ginjal kronik yang
adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis, dan pupil
asimetris.Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang sering
dijumpai pada pasien penyakit ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada konjungtiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga
dijumpai pada beberapa pasien penyakit ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau
5

tertier (Sukandar, 2006).


Page
3. Kelainan kulit

Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan
hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi.
Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan
dinamakan urea frost (Sukandar, 2006).

4. Kelainan neuropsikiatri

Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, depresi. Kelainan mental
berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis. Kelainan mental ringan atau
berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan tergantung dari dasar
kepribadiannya (personalitas). Pada kelainan neurologi, kejang otot atau muscular twitchingsering
ditemukan pada pasien yang sudah dalam keadaan yang berat, kemudian terjun menjadi koma
(Sukandar, 2006)

D. Klasifikasi

1. Glomerulonefritis membranoproliferasif

Suatu glomerulonefritis kronik yang tidak diketahui etiologinya dengan gejala yang tidak spesifik,
bervariasi dari hematuria asimtomatik sampai glomerulonefitis progresif. 20-30% pasien menunjukkan
hematuria mikroskopik dan proteinuria, 30 % berikutnya menunjukkan gejala glomerulonefritis akut
dengan hematuria nyata dan sembab, sedangkan sisanya 40-45% menunjukkan gejala-gejala sindrom
nefrotik. Tidak jarang ditemukan 25-45% mempunyai riwayat infeksi saluran pernafasan bagian atas,
sehingga penyakit tersebut dikira glomerulonefritis akut pasca streptococcus atau nefropati IgA.

2. Glomerulonefritis membranosa

Glomerulonefritis membranosa sering terjadi pada keadaan tertentu atau setelah pengobatan dengan
obat tertentu. Glomerulopati membranosa paling sering dijumpai pada hepatitis B dan lupus
eritematosus sistemik. Glomerulopati membranosa jarang dijumpai pada anak, didapatkan insiden 2-
6% pada anak dengan sindrom nefrotik. Umur rata-rata pasien pada berbagai penelitian berkisar antara
10-12 tahun, meskipun pernah dilaporkan awitan pada anak dengan umur kurang dari 1 tahun. Tidak
ada perbedaan jenis kelamin. Proteinuria didapatkan pada semua pasien dan sindrom nefrotik
merupakan 80% sampai lebih 95% anak pada saat awitan, sedangkan hematuria terdapat pada 50-60%,
dan hipertensi 30%.

3. Nefropati IgA (penyakit berger)

Nefropati IgA biasanya dijumpai pada pasien dengan glomerulonefritis akut, sindroma nefrotik,
6

hipertensi dan gagal ginjal kronik. Nefropati IgA juga sering dijumpai pada kasus dengan gangguan
Page
hepar, saluran cerna atau kelainan sendi. Gejala nefropati IgA asimtomatis dan terdiagnosis karena
kebetulan ditemukan hematuria mikroskopik. Adanya episode hematuria makroskopik biasanya
didahului infeksi saluran nafas atas atau infeksi lain atau non infeksi misalnya olahraga dan imunisasi.

4. Glomerulonefritis sekunder

Golerulonefritis sekunder yang banyak ditemukan dalam klinik yaitu glomerulonefritis pasca
streptococcus, dimana kuman penyebab tersering adalah streptococcus beta hemolitikus grup A yang
nefritogenik terutama menyerang anak pada masa awal usia sekolah. Glomerulonefritis pasca
streptococcus datang dengan keluhan hematuria nyata, kadang-kadang disertai sembab mata atau
sembab anasarka dan hipertensi.

E. PATOFISIOLOGI

Ginjal merupakan salah satu organ paling vital dimana fungsi ginjal sebagai tempat membersihkan
darah dari berbagai zat hasil metabolisme tubuh dan berbagai racun yang tidak diperlukan tubuh serta
dikeluarkan sebagai urine dengan jumlah setiap hari berkisar antara 1-2 liter. Selain fungsi tersebut,
ginjal berfungsi antara lain mempertahankan kadar cairan tubuh dan elektrolit (ion-ion), mengatur
produksi sel-darah merah. Begitu banyak fungsi ginjal sehingga bila ada kelainan yang mengganggu
ginjal, berbagai penyakit dapat ditimbulkan.

Glomerulonefritis merupakan berbagai kelainan yang menyerang sel-sel penyerang ginjal (sel
glomerulus). Glomerulonefritis menahun adalah penyakit paling sering menimbulkan gagal ginjal
dikemudian hari. Kelainan ini terjadi akibat gangguan utama pada ginjal (primer) atau sebagai
komplikasi penyakit lain (sekunder), misalnya komplikasi penyakit diabetes mellitus, keracunan obat,
penyakit infeksi dan lain-lain. Pada penyakit ini terjadi kebocoran protein atau kebocoran eritrosit.

Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya angka
morbiditas baik pada anak maupun pada dewasa. Sebagian besar glomerulonefritis bersifat kronik
dengan penyebab yang tidak jelas dan sebagian besar tampak bersifat imunologis. Glomerulonefritis
menunjukkan kelainan yang terjadi pada glomerulus,bukan pada struktur jaringan ginjal yang lain
seperti misalnya tubulus, jaringan interstitial maupun sistem vaskulernya.
7
Page
PATHWAY

Glomerulonefritis

GFR menurun

GGK

RETENSI NATRIUM SEKRESI ERITROPOIETIN MENURUN

CES PRODUKSI HB TURUN

TEKANAN KAPILER MENINGKAT SUPLAI O2 KEJARINGAN MENURUN

VOLUME INTERSTISIAL MENINGKAT


GG.PERFUSI JARINGAN

EDEMA

KELEBIHAN VOLUME
CAIRAN

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada urin ditemukan albumin (+), silinder, eritrosit, leukosit hilang timbul, berat jenis urin menetap
pada 1008-1012. Pada darah ditemukan LED, ureum, kreatinin dan fosfor serum yang meninggi serta
kalsium serum yang menurun, sedangkan kalium meningkat. Anemia tetap ada. Uji fungsi ginjal
menunjukkan fungsi ginjal menurun.
8
Page
Menurut (Sukandar, 2006) pendekatan diagnosis Penyakit Ginjal Kronik (PGK) mempunyai sasaran
berikut:

1. Memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

2. Mengetahui etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi

3. Mengidentifikasi semua faktor pemburuk faal ginjal (reversible factors) 4. Menentukan strategi
terapi rasional

5. Menentukan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan pemeriksaan yang terarah dan
kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang diagnosis
rutin dan khusus (Sukandar, 2006).

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang berhubungan dengan retensi atau
akumulasi toksin azotemia, etiologi PGK, perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat
memperburuk faal ginjal (LFG). Gambaran klinik (keluhan subjektif dan objektif termasuk kelainan
laboratorium) mempunyai spektrum klinik luas dan melibatkan banyak organ dan tergantung dari
derajat penurunan faal ginjal (Sukandar, 2006).

2. Pemeriksaan laboratorium

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan derajat penurunan faal ginjal
(LFG), identifikasi etiologi dan menentukan perjalanan penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal
ginjal (Sukandar, 2006).

a. Pemeriksaan faal ginjal (LFG)

Pemeriksaan ureum, kreatinin serum dan asam urat serum sudah cukup memadai sebagai uji saring
untuk faal ginjal (LFG). Pemeriksaan klirens kreatinin dan radionuklida (gamma camera imaging)
hampir mendekati faal ginjal yang sebenarnya (Sukandar, 2006).

b. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit

Progresivitas penurunan faal ginjal, hemopoiesis, elektrolit, endoktrin, dan pemeriksaan lain
berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal (LFG) (Sukandar, 2006).

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu:

a. Diagnosis etiologi PGK


9
Page
Beberapa pemeriksaan penunjang diagnosis, yaitu foto polos abdomen , ultrasonografi (USG),
nefrotomogram, pielografi retrograde, pielografi antegrade dan Micturating Cysto Urography (MCU)
(Sukandar, 2006).

G. PENCEGAHAN

Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan pada stadium dini
penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah
penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin
kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian
merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan (National Kidney Foundation,
2009).

H. PENATALAKSANAAN

1. Terapi konservatif

Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan
keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan
memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG
sehingga perburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara
ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi
terhadap penyakit dasar sudah tidak bermanfaat (Suwitra, 2006). Penting sekali untuk mengikuti dan
mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui
kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor
komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi
traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obatan nefrotoksik, bahan radiokontras, atau
peningkatan aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra, 2006). Perencanaan tatalaksana (action plan)
penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya,

2. Peranan diet

Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia,
tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen
(Sukandar, 2006). Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG ≤ 60 ml/mnt, sedangkan di
atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6-
10

0,8/kgbb/hari, yang 0,35-0,50 gr diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang
Page

diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi
pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan
lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi tapi dipecah menjadi urea
dan substansi nitrogen lain, yang terutama dieksresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi
protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lain juga dieksresikan melalui
ginjal (Suwitra, 2006). Pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan
mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan
klinis dan metabolik yang disebut uremia. Pembatasan protein akan mengakibatkan berkurangnya
sindrom uremik (Suwitra, 2006).

Masalah penting lain adalah, asupann protein berlebihan (protein Overload) akan mengakibatkan
perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus
(intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat
selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya
hyperfosfatemia (Suwitra, 2006).

a. Kebutuhan jumlah kalori

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk PGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu
mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi
(Sukandar, 2006).

b. Kebutuhan cairan

Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L
per hari.

c. Kebutuhan elektrolit dan mineral

Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal
dasar (underlying renal disease).

3. Terapi simtomatik

a. Keluhan gastrointestinal

Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada PGK. Keluhan
gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari PGK. Keluhan gastrointestinal
yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu
program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik (Sukandar, 2006).
11

b. Kelainan kulit
Page

Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.


c. Kelainan neuromuskular

Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat,
medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.

d. Hipertensi

Pemberian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat
penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi
intraglomerulus dan hipertrofi glmerulus. Beberapa studi membuktikann bahwa, pengendalian tekanan
darah mempunyai peran sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil
hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Selain itu, sasaran terapi farmakologis sangat
terkait dengan derajat proteinuria, yang merupakan faktor risiko terjadinya perburukan fungsi ginjal
(Suwitra, 2006).

e. Kelainan sistem kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita. Pencegahan dan terapi
terhadap penyakit kardiovaskular. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan
hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan danterapi terhadap penyakit kardiovaskular
adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian
anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit
ginjal kronik secara keseluruhan (Suwitra, 2006).

4. Terapi pengganti ginjal

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik

stadium yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis
peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

a. Hemodialisis

Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi.
Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien PGK yang belum tahap akhir akan
memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi
elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi
12

refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%.
Page
Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat
(Sukandar, 2006).

Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak
rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah
kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik
dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal
(Rahardjo, 2006).

b. Dialisis peritoneal (DP)

Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di
luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih
dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang
cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting,
pasien dengan stroke, pasien GGTA (gagal ginjal tahap akhir) dengan residual urin masih cukup, dan
pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan
pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh
dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).

c. Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Menurut (Sukandar, 2006)
pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:

1. Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan
hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah

2. Kualitas hidup normal kembali

3. Masa hidup (survival rate) lebih lama

4. Kompllikasi terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan.

5. Biaya lebih murah dan dapat dibatasi.

I. KOMPLIKASI

1. Oliguri sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari.

Terjadi sebagai akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufisiensi ginjal akut
dengan uremia, hiperfosfatemia, hiperkalemia dan hidremia. Walaupun oliguria atau anuria yang lama
13

jarang terdapat pada anak, jika hal ini terjadi diperlukan peritoneum dialisis (bila perlu).
Page
2. Ensefalopati hipertensi, merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala berupa
gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan karena spasme pembuluh
darah lokal dengan anoksia dan edema otak.

3. Gangguan sirkulasi berupa dipsneu, ortopneu, terdapat ronki basah, pembesaran jantung dan
meningginya tekanan darah yang bukan saja disebabkan spasme pembuluh darah tetapi juga disebabkan
oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesardan terjadi gagal jantung akibat hipertensi
yang menetap dan kelainan di miokardium.

4. Anemia yang timbul karena adanya hipervolemia disamping sintesis eritropoietik yang menurun

ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan perfusi jaringan b/d retensi air dan hipernatremia

2. kelebihan volume cairan b/d penurunan volume urine, retensi cairan dan natrium

Intervensi

1. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan retensi air dan hipernatremia

Kriteria / Evaluasi: Klien akan menunjukkan perfusi jaringan serebral normal ditandai dengan tekanan
darah dalam batas normal, penurunan retensi air, tidak ada tanda-tanda hipernatremia.

Intervensi :

a. Monitor dan catat Tekanan Darah setiap 1 – 2 jam perhari selama fase akut.

Rasional: untuk mendeteksi gejala dini perubahan Tekanan Darah dan menentukan intervensi
selanjutnya.

b. Jaga kebersihan jalan nafas, siapkan suction.

Rasional: serangan dapat terjadi karena kurangnya perfusi oksigen ke otak

c. Atur pemberian anti Hipertensi, monitor reaksi klien.

Rasional: Anti Hipertensi dapat diberikan karena tidak terkontrolnya Hipertensi yang dapat
menyebabkan kerusakan ginjal

d. Monitor status volume cairan setiap 1 – 2 jam, monitor urine output (N : 1 – 2 ml/kgBB/jam).

Rasional: Monitor sangat perlu karena perluasan volume cairan dapat menyebabkan tekanan darah
14

meningkat.
Page

e. Kaji status neurologis (tingkat kesadaran, refleks, respon pupil) setiap 8 jam.
Rasional: Untuk mendeteksi secara dini perubahan yang terjadi pada status neurologis, memudahkan
intervensi selanjutnya.

f. Atur pemberian diuretic : Esidriks, lasix sesuai order.

Rasional: Diuretic dapat meningkatkan eksresi cairan.

2. kelebihan volume cairan b/d penurunan volume urine, retensi cairan dan natrium

Kriteria Evaluasi: Klien dapat mempertahankan volume cairan dalam batas normal ditandai dengan
urine output 1 - 2 ml/kg BB/jam.

Intervensi:

a. Timbang BB tiap hari, monitor output urine tiap 4 jam.

Rasional: Peningkatan BB merupakan indikasi adanya retensi cairan, penurunan output urine
merupakan indikasi munculnya gagal ginjal.

b. Kaji adanya edema, ukur lingkar perut setiap 8 jam, dan untuk anak laki-laki cek adanya
pembengkakan pada skrotum

Rasional: Peningkatan lingkar perut dan Pembengkakan pada skrotum merupakan indikasi adanya
ascites.

c. Monitor reaksi klien terhadap terapi diuretic, terutama bila menggunakan tiazid/furosemide.

Rasional: Diuretik dapat menyebabkan hipokalemia, yang membutuhkan penanganan pemberia


potassium.

d. Monitor dan catat intake cairan.

Rasional: Klien mungkin membutuhkan pembatasan pemasukan cairan dan penurunan laju filtrasi
glomerulus, dan juga membutuhkan pembatasan intake sodium.

e. Kaji warna warna, konsentrasi dan berat jenis urine.

Rasional: Urine yang keruh merupakan indikasi adanya peningkatan protein sebagai indikasi adanya
penurunan perfusi ginjal.

f. Monitor hasil tes laboratorium

Rasional: Peningkatan nitrogen, ureum dalam darah dan kadar kreatinin indikasi adanya gangguan
fungsi ginjal.
15
Page
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Glomerulonefritis kronik adalah peradangan lama di sel-sel glomerolus. Kelainan ini dapat terjadi
akibat glomerolus akut yang tidak membaik atau timbul secara spontan ((Arif muttaqin & kumala Sari,
2011)

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan keadaan
klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

Kelainan ginjal berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan manifestasi klinis dan kerusakan
ginjal secara laboratorik atau kelainan pada pemeriksaan radiologi, dengan atau tanpa penurunan fungsi
ginjal (penurunan LFG) yang berlangsung > 3 bulan. 2. Penurunan LFG < 60 ml/menit per 1,73 m2
luas permukaan tubuh selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal (National Kidney
Foundation, 2002).

16
Page
DAFTAR PUSTAKA

Arfin, Behrama Kliegman, 2000. Nelson : Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : EEC

Brunner and Suddarth, 2001. Keperawatan Medikal Bedah. Ed.8 Vol.2. Jakarta : EEC

http://dinkes.banyuasinkab.go.id/index.php/artikel-kesehatan/124-glomerulonefritis-kronis nefrologi-
anak-.html.

Buku patofisiologi karangan elizbet j. Corwin 2009.

17
Page

Anda mungkin juga menyukai