Anda di halaman 1dari 34

1.

Ketentuan median jalan


Median adalah merupakan suatu bagian tengah badan jalan yang secara fisik
memisahkan arus lalu lintas yang berlawanan arah; median jalan (pemisah tengah)
dapat berbentuk median yang ditinggikan (raised), median yang diturunkan
(depressed), atau median rata (flush).

Fungsi Median Jalan :


 Memisahkan dua aliran lalu lintas yang berlawanan arah
 Untuk menghalangi lalu lintas belok kanan
 Lapak tunggu bagi penyebrangan jalan
 Penempatan fasilitas untuk mengurangi silau dari sinar lampu kendaraan dari arah
berlawanan
 Penempatan fasilitas pendukung jalan
 Cadangan lajur (jika cukup luas)
 Tempat prasarana kerja sementara
 Dimanfaatkan sebagai jalur hijau

Median jalan dapat digunakan jika :


1) Jalan bertipe minimal empat lajur dua arah (4-2/UD)
2) Volume lalu lintas dan tingkat kecelakaan tinggi
3) Diperlukan untuk penempatan fasilitas pendukung lalu lintas

3 Tipe median jalan :


1) Median datar

Median yang dibatasi oleh dua buah marka membujur garis utuh, jarak dua buah marka
membujur garis utuh bisa dikatagorikan sebagai median jika jarak tersebut > 18 cm, di
dalamnya dilengkapi marka serong.
2) Median yang ditinggikan

Median yang dibuat lebih tinggi dari permukaan jalan. Pada sisi luar median harus
dilengkapi dengan kereb. Median yang ditinggikan harus mengikuti ketentuan sebagai
berikut :
a) median yang ditinggikan dipasang apabila lebar lahan yang tersedia untuk
penempatan median kurang dari 5,0 meter .
b) tinggi median dari permukaan jalan adalah antara 18 cm dan 25 cm. Detail potongan
dan penempatan median yang ditinggikan dalam potongan melintang jalan dapat
dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.
c) Spesifikasi kereb yang dipasang harus mengikuti SNI 03-2442-1991. Sudut bagian
muka permukaan kereb tidak boleh tajam. Detail potongan kereb dapat dilihat pada
Gambar 3 dan Gambar 4.
3) Median yang diturunkan

Median yang dibuat lebih rendah dari permukaan jalur lalu lintas. Pemasangan median
ini mengikuti ketentuan sebagai berikut :
a) median yang diturunkan dipasang apabila lebar lahan yang disediakan untuk median
lebih atau sama dengan 5.0 meter;
b) kemiringan permukaan median antara 6 – 15 %, dimulai dari sisi luar ke tengah-
tengah median dan secara fisik berbentuk cekungan, seperti terlihat pada Gambar 5.
c) permukaan median tidak diperkeras dan dapat diberi material yang mampu
meredam laju kecepatan kendaraan yang lepas kendali.

Lebar median dihitung dari antara kedua marka membujur garis utuh termasuk lebar
marka tersebut, lihat Gambar 2 dan Gambar 5. Minimum lebar median ditetapkan
berdasarkan ada tidaknya bukaan yang direncanakan pada median tersebut, seperti
diuraikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Bukaan median harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
1) median dilengkapi dengan bukaan sesuai dengan Tabel 2, khusus untuk arteri antar
kota mengikuti tipikal Gambar A-2 dan A-3;
2) median dengan lebar kurang dari ketentuan Tabel 2 dapat dilengkapi dengan
bukaan, apabila dilakukan pelebaran setempat untuk mencapai ketentuan Tabel 2
pada daerah pendekat bukaan dapat dibuat seperti terlihat pada Gambar 6.

3) bukaan sebaiknya dilengkapi lajur tunggu bagi kendaraan yang akan melakukan
putaran balik arah (lihat Gambar 8). Bukaan median harus dilengkapi prasarana
pendukung pengaturan lalu lintas seperti marka dan rambu;
4) jarak bukaan (d1) dan lebar bukaan (d2) diatur sebagaimana dalam Tabel 3; jarak
bukaan dimulai dari titik tengah lebar bukaan sampai titik tengah lebar bukaan
berikutnya tanpa melihat arah lalu lintas di bukaan, sesuai Gambar 7

Ujung median adalah bagian awal dan akhir median tidak termasuk bagian
median pada bukaan. Ujung median harus mengikuti ketentuan sebagai berikut :
1) ujung median harus dilengkapi jalur tepian dan marka serong, lihat Gambar 9.
2) bentuk median yang berakhir di persimpangan, lihat pedoman geometri
persimpangan.
Pada tikungan yang mempunyai superelevasi, median harus tetap dalam
posisi datar (kedua ujung sisi median); untuk maksud tersebut disarankan sumbu
putar superelevasi kedua jalur lalu lintas berada di sisi luar median dan median
dapat difungsikan serta atau dilengkapi drainase.

Pemasangan fasilitas pendukung jalan yang dipasang pada median agar


mempertimbangkan keperluan ruang bebas kendaraan sejauh > 0,60 meter, dimulai
dari sisi luar kereb, lihat Gambar 10.
2. Kereb Jalan
Kereb adalah penonjolan atau peninggian tepi perkerasan atau bahu jalan, yang
terutama dimaksudkan untuk keperluan-keperluan drainase, mencegah ketegasan tepi
perkerasan.
Pada umumnya kereb digunakan pada jalan-jalan di daerah perkotaan, sedangkan untuk
jalan-jalan antar kota kereb hanya dipergunakan jika jalan tersebut direncanakan untuk
lalu lintas dengan kecepatan tinggi atau apabila melintasi perkampungan.
Berdasarkan fungsi dari kereb, maka kereb dapat dibedakan atas :
a) Kereb peninggi (mountable curb), adalah kereb yang direncanakan agar dapat
didaki kendaraan, biasanya terdapat di tempat parkir di pinggir jalan/jalur lalu
lintas. Untuk kemudahan didaki oleh kendaraan maka kereb harus mempunyai
bentuk permukaan lengkung yang baika. Tingginya berkisar antara 10 – 15 cm.
b) Kereb penghalang (barrier curb), adalah kereb yang direncanakan untuk
menghalangi atau mencegah kendaraan meninggalkan jalur lalu lintas, terutama di
median, trotoar, pada jalan-jalan tanpa pagar pengaman. Tingginya berkisar antara
25-30 cm.
c) Kereb berparit (gutter curb), adalah kereb yang direncanakan untuk membentuk
sistem drainase perkerasan jalan. Kereb ini dianjurkan pada jalan yang memerlukan
sistem drainase perkerasan lebih baik. Pada jalan lurus diletakkan di tepi luar dari
perkerasan, sedangkan pada tikungan diletakkan pada tepi dalam. Tingginya
berkisar antara 10-20 cm.

Median yang dibuat lebih tinggi dari permukaan jalan harus dilengkapi dengan kereb
dengan spesifikasi kereb yang dipasang harus mengikuti SNI 03-2442-1991. Sudut
bagian muka permukaan kereb tidak boleh tajam.
3. Sumbu kendaraan saat belokan
alinyemen horizontal secara keseluruhan
Ditinjau secara keseluruhan, penetapan alinyemen horizontal harus dapat menjamin
keselamatan maupun kenyamanan bagi pemakai jalan. Untuk mencapai tujuan ini
antara lain perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
 Sedapatnya mungkin menghindari broken back, artinya tikungan searah yang hanya
dipisahkan oleh tangen yang pendek.
 Pada bagian yang relatif lurus dan panjang, jangan sampai terdapat tikungan yang
tajam yang akan mengejutkan pengemudi.
 Kalau tidak sangat terpaksa jangan sampai menggunakan radius minimum, sebab
jalan tersebut akan sulit mengikuti perkembangan-perkembangan mendatang.
 Dalam hal kita terpaksa menghadapi tikungan dengan lengkung majemuk harus
diusahakan agar R1 > 1,5 R2.
 Pada tikungan berbentuk S maka panjang bagian tangen diantara kedua tikungan
harus cukup untuk memberikan rounding pada ujung-ujung tepi perkerasan.
Menetapkan kecepatan rencana (design speed)
Untuk menetapkan alinyemen horizontal pada suatu rute, section ataupun segment dari
suatu jalan, perlu diketahui terlebih dahulu ‘Topography” yang akan dilalui oleh trase
jalan yang akan di design. Keadaan topograpi tersebut kemudian akan dijadikan dasar
dalam menetapkan besarnya kecepatan rencana dari jalan yang akan direncanakan,
setelah kelas jalan tersebut ditentukan.
Macam-macam kurva dalam alinyemen horizontal
Bentuk kurva dalam alinyemen horizontal terdiri atas :
 Full Circle – FC (Lengkung Penuh) yaitu, Lengkung yang hanya terdiri dari bagian
lengkung tanpa adanya peralihan. Yang dimaksud disini adalah hanya ada satu
jari2 lingkaran pada lengkung tersebut. (lihat perbedaan dengan SCS)

 Spiral-Circle-Spiral – SCS yaitu, Lengkung terdiri atas bagian lengkungan


(Circle) dengan bagian peralihan (Spiral) untuk menghubungkan dengan bagian
yang lurus FC. Dua bagian lengkung di kanan-kiri FC itulah yg disebut
Spiral. (lihat perbedaan dengan FC).

 Spiral-Spiral – SS yaitu, Lengkung yg hanya terdiri dari spiral-spiral saja tanpa


adanya circle. Ini merupakan model SCS tanpa circle. Lengkung ini biasanya
terdapat di tikungan dengan kecepatan sangat tinggi. (lihat perbedaan dengan SCS)

Tinjauan alinyemen vertikal secara keseluruhan


Ditinjau secara keseluruhan alinyemn vertikal harus dapat memberikan kenyamanan
kepada pemakai jalan disamping bentuknya jangan sampai kaku. Untuk mencapai itu
harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
 Sedapat mungkin menghindari broken back, grad line atinya jangan sampai kita
mendesaign lengkung vertikal searah (cembung maupun cekung) yang hanya
dipisahkan oleh tangen yang pendek.
 Menghindari hidden dip, artinya kalau kita mempunyai alinymen vertikal yang
relatif datar dan lurus, jangan sampai didalamnnya terdapat lengkung-lengkung
cekung yang pendek yang dari jauh kelihatannya tidak ada atau tersembunyi.
 Landai penurunan yang tajam dan panjang harus diikuti oleh pendakian agar secara
otomatis kecepatan yang besar dari kendaraan dapat dikurangi.
 Kalau pada suatu potongan jalan kita menghadapi alinyemen vertikal dengan
kelandaian yang tersususun dari prosentase kecil sampai besar, maka kelandaian
yang paling curam harus ditaruh pada bagian permulaan landai, berturut-turut
kemudian kelandaian yang lebih kecil. Sampai akhirnya yang paling kecil.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan
Alinyemen vertical direncanakan dengan mempertimbangkan antara lain hal-hal
sebagai berikut :
 Kecepatan rencana
Kecepatan rencana yang diambil harus disesuaikan dengan ketetapan yang telah dipakai
pada alinyemen horizontal. Dengan demikian klasifikasi medan yang telah ditetapkan
untuk alinyemen horizontal berikut wilayah-wilayah kecepatan rencananya harus
dijadikan pegangan untuk menghitung tikungan-tikungan pada alinyemen vertikal.
Kalau hal ini tidak dijaga akan diperoleh ketidak seimbangan, misalnya disatu pihak
kita mempunyai kecepatan rencana yang tinggi untuk alinyemen horizontal, sedangkan
alinyemen vertikalnya hanya mempunyai kecepatan rencana yang lebih rendah atau
sebaliknya. Ini berarti akan merugikan pemakai jalan atau bahkan bias membahayakan
pemakai jalan.
 Topography
Keadaan topography ini earat hubungannya dengan volume pekerjaan tanah. Untuk
terrain yang berat sering kita terpaksa harus menggunakan angka-angka kelandaian
maximum pada alinyemen vertikal agar volumem pekerjaan tanah dapat dikurangi.
Pada perencanaan jalan baru kita harus agak berhati-hati dalam menetapkan alinyemen
vertikal. Sebab sekali kita kurang bijaksana dalam menetapkan kelandaian jalan,
perbaikannya akan menuntut biaya yang sangat besar. Disamping itu penetapan
kelandaian harus sedemikian sehingga tinggi galian atau dalamnya timbunan masih
dalam batas-batas kemampuan pelaksanaan.
 Fungsi jalan
Dalam merencanakan jalan (terutama didaerah perkotan) sering kita hadapi bahwa
rencana jalan kita akan crossing dengan existing road. Sebelum menetapkan bentuk
tersebut kita harus mengetahui betul, apa sebetulnya fungsi jalan kita maupun fungsi
jalan yang dicross oleh kita jalan tersebut. Sehingga dengan demikian dapat kita
tentukan bentuk-bentuk crossing tersebut. Dari bentuk-bentuk crossing tersebut baru
dapat kita tentukan alinyemen vertikalnya.
 Tebal perkerasan yang diperhitungkan
Untuk design jalan baru, tebal perkerasan tidak mempengaruhi penarikan alinyemen
vertikal. Tapi untuk design yang sifatnya betterment, tebal perkerasan akan memegang
peranan penting. Dalam hal ini penarikan alinyemenvertikal harus sudah sedemikian
sehingga kedudukannya terhadap permukaan jalan lama mendekati atau sesuai dengan
yang telah diperhitungkan.
 Tanah dasar
Kadang-kadang kita terpaksa membuat jalan diatas tanah dasar yang sering kena banjir.
Disini kita harus hati-hati artinya jangan sampai alinyemen vertikal kita tidak cukup
tinggi. Kedudukan alinyemen vertikal harus sedemikian sehingga : Permukaan air
banjir tidak mencapai lapis-lapis perkerasan. Cukup tinggi sampai kita dapat memasang
culvert yang betul-betul bisa berfungsi.
Macam-macam contoh bentuk dalam alinyemen vertikal
4. Hirarki jalan
Klasifikasi jalan atau hirarki jalan adalah pengelompokan jalan berdasarkan fungsi
jalan, berdasarkan administrasi pemerintahan dan berdasarkan muatan sumbu yang
menyangkut dimensi dan berat kendaraan. Penentuan klasifikasi jalan terkait dengan
besarnya volume lalu lintas yang menggunakan jalan tersebut, besarnya kapasitas jalan,
keekonomian dari jalan tersebut serta pembiayaan pembangunan dan perawatan jalan.
Jalan umum menurut fungsinya berdasarkan pasal 8 Undang-undang No 38 tahun 2004
tentang Jalan dikelompokkan ke dalam jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan
lingkungan.

1) Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan utama
dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah jalan
masuk dibatasi secara berdaya guna.
2) Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata
sedang, dan jumlah jalan masuk dibatasi.
3) Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan setempat
dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan jumlah jalan
masuk tidak dibatasi.
4) Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
Didalam pasal 6 dan pasal 9 Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2006 tentang Jalan
dijelaskan bahwa fungsi jalan terdapat pada sistem jaringan jalan primer dan sistem
jaringan jalan sekunder yang merupakan bagian dari Sistem jaringan jalan merupakan
satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri dari sistem jaringan jalan primer dan sistem
jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan hierarki.
Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan yang menghubungkan
antarkawasan perkotaan, yang diatur secara berjenjang sesuai dengan peran perkotaan
yang dihubungkannya. Untuk melayani lalu lintas menerus maka ruas-ruas jalan dalam
sistem jaringan jalan primer tidak terputus walaupun memasuki kawasan perkotaan.
Sistem jaringan jalan sekunder merupakan sistem jaringan jalan yang menghubungkan
antarkawasan di dalam perkotaan yang diatur secara berjenjang sesuai dengan fungsi
kawasan yang dihubungkannya.

KLASIFIKASI FUNGSI JALAN


Menurut PP No.26 Th.1985 Tentang Jalan, sistem jalan dibagi dalam 2 kategori,
yakni sistem jaringan primer dan sistem jaringan sekunder.

SISTEM JARINGAN PRIMER


1) Sistem Jaringan Jrimer disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang dan
struktur pengembangan wilayah tingkat nasional yang menghubungkan simpul-
simpul jasa distribusi sebagai berikut :
a) Dalam satu Satuan Wilayah Pengembangan menghubungkan secara menerus kota
jenjang kesatu, kota jenjang kedua, kota jenjang ketiga, dan kota jenjang di
bawahnya sampai ke persil.
b) Menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kesatu antar Satuan
Wilayah Pengembangan.
2) Jalan Arteri Primer, menghubungkan kota jenjang kesatu yang terletak berdampingan
atau menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang kedua.
3) Jalan Kolektor Primer, menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang
kedua atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga.
4) Jalan Lokal Primer, menghubungkan kota jenjang kesatu dengan persil atau kota
jenjang kedua dengan persil atau menghubungkan kota jenjang ketiga dengan kota
jenjang ketiga, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang dibawahnya, kota jenjang
ketiga dengan persil atau kota dibawah jenjang ketiga dengan persil.

Tabel Hubungan antar hierarki kota dengan peranan ruas jalan


dalam Sistem Jaringan Primer
KOTA JENJANG I JENJANG II JENJANG III PERSIL
JENJANG I Arteri Arteri - Lokal
JENJANG II Arteri Kolektor Kolektor Lokal
JENJANG III - Kolektor Lokal Lokal
PERSIL Lokal Kolektor Lokal Lokal
Sumber : Departemen Perhubungan, 1993, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1993
Tentang Prasarana dan Lalu Lintas, Jakarta.

Maksud Penjenjangan Kota


Penjenjangan kota yang dimaksudkan adalah pengelompokan kota ditinjau dari segi
pembinaan jaringan jalan, dan bukan pembagian kota berdasarkan kelas-kelasnya sesuai
dengan UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dengan kriteria
sebagai berikut :
 Kota Jenjang kesatu : adalah kota yang berperan melayani seluruh satuan wilayah
pengembangannya, dengan kemampuan pelayanan jasa yang paling tinggi dalam
satuan wilayah pengembangannya serta memiliki oriebtasi ke luar wilayahnya.
 Kota Jenjang kedua : adalah kota yang berperan melayani sebagian dari satuan
wilayah pengembangannya, dengan kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah
dari kota jenjang kesatu dalam satuan wilayah pengembangannya dan terikat
jangkauan jasa ke kota jenjang kedua serta memiliki orientasi ke kota jenjang kesatu.
 Kota Jenjang ketiga : adalah kota yang berperan melayani sebagian dari satuan
wilayah pengembangannya, dengan kemampuan pelayanan jasa yang lebih rendah
dari kota jenjang kedua dalam satuan wilayah pengembangannya dan terikat
jangkauan jasa ke kota jenjang kedua serta memiliki orientasi ke kota jenjang kedua
dan kota jenjang kesatu.

SISTEM JARINGAN SEKUNDER


1. Sistem Jaringan Sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang kota
yang menghubungkan kawasan-kawasan yang mempunyai fungsi primer, fungsi
sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga sampai perumahan.
2. Jalan Arteri Sekunder : menghubungkan kawasan primer dengan kawasan sekunder
kesatu atau menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan kawasan sekunder
kedua.
3. Jalan Kolektor Sekunder : menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan
sekunder kedua atau menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan kawasan
sekunder ketiga.
4. Jalan Lokal Sekunder : menghubungkan kawasan sekunder kesatu dengan
perumahan, menghubungkan kawasan sekunder kedua dengan perumahan, kawasan
sekunder ketiga dan seterusnya ke perumahan.

Tabel Hubungan antar kawasan kota dengan peranan ruas jalan


dalam Sistem Jaringan Sekunder
KAWASAN PRIMER SEKUNDER SEKUNDER SEKUNDER PERUMAHAN
I II III
PRIMER - Arteri - - -
SEKUNDER I Arteri Arteri Arteri - Lokal
SEKUNDER II - Arteri Kolektor Kolektor Lokal
SEKUNDER III - - Kolektor - Lokal
PERUMAHAN - Lokal Lokal Lokal -
Sumber : Departemen Perhubungan, 1993, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1993
Tentang Prasarana dan Lalu Lintas, Jakarta.

Maksud Kawasan
Kawasan adalah wilayah yang dibatasi oleh lingkup pengamatan fungsi tertentu, meliputi
:
 Kawasan Primer : adalah kawasan kota yang mempunyai fungsi primer.
 Kawasan Sekunder : adalah kawasan kota yang mempunyai fungsi sekunder.
 Fungsi Primer suatu kota adalah sebagai titik simpul jasa distribusi bagi daerah
jangkauan peranannya.
 Fungsi Sekunder suatu kota dihubungkan dengan pelayanan terhadap warga kota itu
sendiri yang lebih berorientasi ke dalam jangkauan lokal

Klasifikasi jalan adalah pengelompokan jalan berdasarkan fungsi jalan, berdasarkan administrasi
pemerintah dan berdasarkan muatan sumbu. Banyak sekali faktor sebagai penentuan klasifikasi antara
lain besarnya volume lalu lintas, kapasitas jalan, keekonomian dari jalan tersebut dan pembiayaan
pembangunan dan perawatan jalan. Berikut penjelasan untuk jenis klasifikasi jalan di Indonesia.
Klasifikasi berdasarkan fungsi
Klasifikasi jalan di Indonesia berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku antara lain:

1. Jalan Arteri, adalah jalan umum yang berfungsi untuk melayani angkutan utama dengan ciri
perjalanan jarak jauh, kecepatan rencana > 60 km/jam, lebar badan jalan > 8 m, kapasitas jalan
lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata, tidak boleh terganggu oleh kegiatan lokal, dan
jalan primer tidak terputus, dan sebagainya.
2. Jalan Kolektor adalah jalan yang digunakan untuk melayani angkuatan pengumpul/pembagi
dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rencana >40 km/jam, lebar badan jalan > 7 m,
kapasitas jalan lebih besar atau sama dengan volume lalu lintas rata-rata, tidak boleh terganggu
oleh kegiatan lokal, dan jalan primer tidak terputus, dan sebagainya.
3. Jalan Lokal adalah jalan umum yang digunakan untuk melayani angkutan setempat denan ciri
perjalanan dekat, kecepatan rencana > 40 km/jam, lebar jalan > 5 m,
4. Jalan Lingkungan adalah jalan umum yang digunakan untuk melayani angkutan lingkungan
dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata rendah.
5. Teori Jarak Pandangan
JARAK PANDANG
Jarak Pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi pada saat
mengemudi sedemikian sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan yang
membahayakan, pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk menghidari bahaya tersebut
dengan aman. Dibedakan dua Jarak Pandang, yaitu Jarak Pandang Henti (Jh) dan Jarak
Pandang Mendahului (Jd).

5.1 Jarak Pandang Henti


1) Jh adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk menghentikan
kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya halangan di depan. Setiap titik di
sepanjang jalan harus memenuhi Jh.
2) Jh diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi
halangan 15 cm diukur dari permukaan jalan.
3) Jh terdiri atas 2 elemen jarak, yaitu:
(1) jarak tanggap (Jht) adalah jarak yang ditempuh oleh kendaraan sejak pengemudi
melihat suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti sampai saat
pengemudi menginjak rem; dan
(2) jarak pengereman (Jh,) adalah jarak yang dibutuhkan untuk menghentikan
kendaraan sejak pengemudi menginjak rem sampai kendaraan berhenti.
4) Jh, dalam satuan meter, dapat dihitung dengan rumus:
Vr
( )2
V 3,6
R
Jh = T+ (II.2)
2gf
3,6

di mana :
VR = kecepatan rencana (km/jam)
T = waktu tanggap, ditetapkan 2,5 detik
g = percepatan gravitasi, ditetapkan 9,8 m/det2
f = koefisien gesek memanjang perkerasan jalan aspal, ditetapkan 0,35-0,55.
Persamaan (11.2) disederhanakan menjadi:
V 2

R
JBhB = 0, 694 VBRB + 0, 004 (II.3)
F

5) Tabel 11.10 berisi J h minimum yang dihitung berdasarkan persamaan (11.3) dengan
pembulatan-pembulatan untuk berbagai VR.
Tabel II.10.Jarak Pandang Henti (Jh) minmum.

VR, km/jam 120 100 80 60 50 40 30 20

Jh minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 16

5.2. Jarak Pandang Mendahului


1) Jd adalah jarak yang memungkinkan suatu kendaraan mendahului kendaraan lain di
depannya dengan aman sampai kendaraan tersebut kembali ke lajur semula (lihat
Gambar 11.17).
2) Jd diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi
halangan adalah 105 cm.
3) Jd, dalam satuan meter ditentukan sebagai berikut:

Jd=dl+d2+d3+d4 (1L4)

dimana :
d1 = jarak yang ditempuh selama waktu tanggap (m),
d2 = jarak yang ditempuh selama mendahului sampai dengan kembali ke lajur
semula (m),
d3 = jarak antara kendaraan yang mendahului dengan kendaraan yang datang dari
arah berlawanan setelah proses mendahului selesai (m),
d4 = jarak yang ditempuh oleh kendaraan yang datang dari arah berlawanan, yang
besarnya diambil sama dengan 213 d2 (m).
4) Jd yang sesuai dengan VR ditetapkan dari Tabel II.11.
Tabel II.11.Panjang Jarak Pandang Mendahului

VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20

Jd(m) 800 670 550 350 250 200 15 100

5) Daerah mendahului harus disebar di sepanjang jalan dengan jumlah panjang minimum
30% dari panjang total ruas jalan tersebut.
5.3. Daerah Bebas Samping Di Tikungan
1) Daerah bebas samping di tikungan adalah ruang untuk menjamin kebebasan
pandang di tikungan sehingga Jh dipenuhi.
2) Daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan kemudahan pandangan di
tikungan dengan membebaskan obyek-obyek penghalang sejauh E (m), diukur dari garis
tengah lajur dalam sampai obyek penghalang pandangan sehingga persyaratan Jh dipenuhi
(lihat Gambar 11.18 dan Gambar 11.19).
3) Daerah bebas samping di tikungan dihitung berdasarkan rumus-rumus sebagai berikut:
(1) Jika Jh<Lt :

(11.5)
(2) Jika J h>L

(II.6)

di mana: R = Jari jari tikungan (m)


Jh = Jarak pandang henti (m)
Lt = Panjang tikungan (m)

Tabel 11.12 berisi nilai E, dalam satuan meter, yang dihitung menggunakan persamaan
(11.5) dengan pembulatan-pembulatan untuk Jh<Lt. Tabel tersebut dapat dipakai untuk
menetapkan E.
Tabel II.12.E (m) untuk J h<LI, VR (km/jam) dan Jh (m).

R (m) VR =20 30 40 50 60 80 100 120

Jh=16 27 40 55 75 120 175 250


5000 1.6
3000 2,6
2000 3,9
1,9
1500 5,2
2,6
1200 6,5
1,5 3,2
1000 7,8
1,8 3,8
800 9,7
2,2 4,8
600 13,0
3,0 6,4
500 15,5
3,6 7,6
400 Rmin=500

1,8 4,5 9,5


300
6,0 Rmin=350
250 2,3
200 2,8 7,2
1,5 Rmin=210
175 3,5
1,9
150 4,0
2,2
130 4,7
2,5
120 5,4
1,5 2,9
110 5,8
1,7 3,1
Rmin=115
100
1,8 3,4
90
2,0 3,8
80
2,2 4,2
70
2,5 4,7
60 Rmin=80
1,5 2,8
50
1,8 3,3
40
2,3 3,9
30 Rmin=50
3,0
20
Rmin=30
15
1,6
2,1
Rmin=15

Tabel II.13.E (m) untuk Jh>L„ VR (km/jam) dan Jh (m), di mana Jh-Lt 25 m.
R(m) VR=20 30 40 50 60 80 100 120
Jh=16 27 40 55 75 120 175 250
6000 1,6

5000 1.9
3000 1,6 3,1
2000 2,5 4,7
1500 1,5 3,3 6,2
1200 2,1 4,1 7,8
1000 2,5 4,9 9,4
800 1,5 3,2 6,1 11,7
600 2,0 4,2 8,2 15,6
500 2,3 5,1 9,8 18,6
400 12,2 Rmin=500
1,8 2,9 6,4
300 Rmin=350
2,4 3,9 8,5
1,5
250 4,7 10,1
2,9
1,8
200 5,8 Rmin=210
3,6
2,2
175 6,7
4,1
150 2,6
1,5 4,8 7,8
130 3,0
1,7 5,5 8,9
120 3,5
2,0 6,0 9,7
110 3,7 Rmin=115
2,2 6,5
100 4,1
2,4 7,2
90 4,5
2,6 7,9
80 5,0
1,5 2,9 8,9
70 5,6 Rmin=80
1,6 3,2
60 6,4
1,9 3,7
50 7,4
2,2 4,3
40 8,8
2,6 5,1 Rmin=50
30 6,4
3,3
20 8,4
4,4
15 Rmin=30
6,4
8,4
Rmin=15
Tabel II.14.E (m) untuk Jh>Lt, VR (km/jam) dan Jh (m), di mana J.-L,=50 m.

R (m) VR=20 30 40 50 60 80 100 120


Jh=16 27 40 55 75 120 175 250
6000 1,8

5000 2,2
3000 2,0 3,6
2000 1,6 3,0 5,5
1500 2,2 4,0 7,3
1200 2,7 5,0 9,1
1000 1,6 3,3 6,0 10,9
800 2,1 4,1 7,5 13,6
600 1,8 2,7 5,5 10,0 18,1
500 21 33 66 12 0 2yy1=S070
400 2,7 4,1 8,2 15,0 Rmin=500
1,7
300 3,5 5,5 10,9 R m i n =350
2,3
250 4,3 6,5 13,1
2,8
200 1,7 R min =210
3,5 5,3 8,2
175 2,1
4,0 6,1 9,3
150 2,4
4,7 7,1 10,8
130 1,5 2,9
5,4 8,1 12,5
120 1,8 3,3
5,8 8,8 13,5
110 1,9 3,6 R min =115
6,3 9,6
100 2,1 3,9
7,0 10,5
90 2,3 4,3
7,7 11,7
80 2,6 4,7
8,7 13,1
70 2,9 5,3
9,9 Rmin=80

60 3,3 6,1
11,5
50 3,9 7,1
13,7
40 4,6 8,5
Rmin=50
30 5,8 10,5
20 7,6 13,9
11,3 Rmin=30
15
14,8
R min=15
6. Tata cara Perencanaan Jalan

KRITERIA PERENCANAAN

11.2.2 Kendaraan Rencana

1) Kendaraan Rencana adalah kendaraan yang dimensi dan radius putarnya dipakai sebagai
acuan dalam perencanaan geometrik.
2) Kendaraan Rencana dikelompokkan ke dalam 3 kategori:
(1) Kendaraan Kecil, diwakili oleh mobil penumpang;
(2) Kendaraan Sedang, diwakili oleh truk 3 as tandem atau oleh bus besar 2 as;
(3) Kendaraan Besar, diwakili oleh truk-semi-trailer.
3) Dimensi dasar untuk masing-masing kategori Kendaraan Rencana ditunjukkan dalam Tabel
11.3. Gambar 11.1 s.d. Gambar 11.3 menampilkan sketsa dimensi kendaraan rencana
tersebut.
Tabel II.3.Dimensi Kendaraan Rencana

KATAGORI DIMENSI KENDARAAN TONJOLAN RADIUS PUTAR RADIUS


KENDARAAN (cm) (cm) TONJOLAN
RENCANA (cm)

Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Minimum Maksimum

Kendaraan Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780

Kendaraan Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410

Kendaraan Besar 410 260 2100 1.20 90 290 1400 1370


Gambar II.4 Jari - jari Manuver Kendaraan Kecil
Gambar II.5 Jari – jari Manuver Kendaraan Besar
Gambar II.6 Jari – jari Manuver Kendaraan Besar
II.2.2 Satuan Mobil Penumpang

1) SMP adalah angka satuan kendaraan dalam hal kapasitas jalan, di mana mobil
penumpang ditetapkan memiliki satu SMP.
2) SMP untuk jenis jenis kendaraan dan kondisi medan lainnya dapat dilihat dalam
Tabel II.4. Detail nilai SMP dapat dilihat pada buku Manual Kapasitas Jalan Indonesia
(MKJI) No.036/TBM/1997.

Tabel II.4.Ekivalen Mobil Penumpang (emp)

No. Jenis Kendaraan Datar/ Pegunungan


Perbukitan

1. Sedan, Jeep, Station Wagon. 1,0 1,0

2. Pick-Up, Bus Kecil, Truck Kecil. 1,2-2,4 1,9-3,5


3. Bus dan Truck Besar 1,2-5,0 2,2-6,0

II.2.3 Volume Lalu Lintas Rencana

1) Volume Lalu Lintas Harian Rencana (VLHR) adalah prakiraan volume lalu lintas
harian pada akhir tahun rencana lalu lintas dinyatakan dalam SMP/hari.
2) Volume Jam Rencana (VJR) adalah prakiraan volume lalu lintas pada jam sibuk tahun
rencana lalu lintas, dinyatakan dalam SMP/jam, dihitung dengan rumus:
K
VJR = VLRH x (1)
F

di mana K (disebut faktor K), adalah faktor volume lalu lintas jam sibuk, dan
F (disebut faktor F), adalah faktor variasi tingkat lalu lintas perseperempat
jam dalam satu jam.
3) VJR digunakan untuk menghitung jumlah lajur jalan dan fasilitas lalu lintas lainnya
yang diperlukan.
4) Tabel II.5 menyajikan faktor-K dan faktor-F yang sesuai dengan VLHR-nya.
Tabel IL5.Penentuan faktor-K dan faktor-F berdasarkan Volume Lalu Lintas Harian
Rata-rata.

VLHR FAKTOR-K FAKTOR-F


(%) (%)

> 50.000 4-6 0,9 - 1

30.000 - 50.000 6-8 0,8-1

10.000 - 30.000 6-8 0,8-1

5.000 - 10.000 8-10 01,6-0,8

11.2.2 Kecepatan Rencana


1.000 - 5.000 10 - 12 0,6-0,8
1) Kecepatan rencana, VR, pada suatu ruas jalan adalah kecepatan yang dipilih sebagai
dasar perencanaan geometrik jalan yang memungkinkan kendaraan-kendaraan bergerak
dengan aman
< 1.000dan nyaman dalam kondisi
12 - 16 cuaca yang cerah, lalu lintas
< 0,6 yang lengang,
dan pengaruh samping jalan yang tidak berarti.
2) VR untuk masing masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari Tabel II.6.
3) Untuk kondisi medan yang sulit, VR suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan syarat
bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km/jam.

Tabel II.6.Kecepatan Rencana, VR, sesuai klasifikasi fungsi dan kiasifikasi medan jalan.

Kecepatan Rencana, VR, Km/jam

Fungsi Datar Bukit Pegunungan


Arteri 70 - 120 60 - 80 40 - 70

Kolektor 60 - 90 50 - 60 30 - 50
Lokal 40 - 70 30 - 50 20 - 30

11.3. BAGIAN BAGIAN JALAN

11.3.1 Daerah Manfaat Jalan

Daerah Manfaat Jalan (DAMAJA) dibatasi oleh (lihat Gambar 11.7):


a) lebar antara batas ambang pengaman konstruksi jalan di kedua sisi jalan, b)
tinggi 5 meter di atas permukaan perkerasan pada sumbu jalan, dan
c) kedalaman ruang bebas 1,5 meter di bawah muka jalan.

11.3.2 Daerah Milik Jalan

Ruang Daerah Milik Jalan (Damija) dibatasi oleh lebar yang sama dengan Damaja ditambah
ambang pengaman konstruksi jalan dengan tinggi 5 meter dan kedalaman 1.5 meter (Gambar
11.7).

11.3.3 Daerah Pengawasan Jalan

1) Ruang Daerah Pengawasan Jalan (Dawasja) adalah ruang sepanjang jalan di luar
Damaja yang dibatasi oleh tinggi dan lebar tertentu, diukur dari sumbu jalan
sebagai berikut (Gambar 11.7):
(1) jalan Arteri minimum 20 meter,
(2) jalan Kolektor minimum 15 meter,
(3) jalan Lokal minimum 10 meter.
2) Untuk keselamatan pemakai jalan, Dawasja di daerah tikungan ditentukan oleh jarak pandang
bebas.
Perencanaan Geometrik Jalan
Tugas II

Nama : Faishal Imam


NPM : 41187011160060
Fakultas : Teknik
Jurusan : Sipil A

UNIVERSITAS ISLAM 45

Anda mungkin juga menyukai