Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH FARMAKOTERAPI I

EPILEPSI

DISUSUN OLEH KELOMPOK III :


Kelas S1.V.A

Citra Ramadhani (1301016)


Fakriyah Aulia (1501015)
Okla Elfitri (1501035)
Mardiah Novita (1501028)
Raesa Tartilla (1501031)

Dosen Pembimbing : Fina Aryani M.Farm.,Apt

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU


YAYASAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU

2017

0
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami ucapkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga penulis dapat menyusun
makalah ini dengan baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini
penulis akan membahas mengenai “Epilepsi”.
Makalah ini berisikan tentang pengertian atau definisi dari epilepsi,
epidemiologi epilepsi di Dunia,Indonesia,Riau dan Pekanbaru, etiologi epilepsy,
patofisiologi epilepsy, prognosis, gejala dan tanda, tata laksana terapi dan
pembedahan kasus dengan metode SOAP, pemilihan Obat Rasional, Evaluasi
Obat Terpilih, Monitoring dan Follow Up, KIE dan jawaban pertanyaan . Penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan saran serta
kritik yang dapat membangun penulis. Kritikan dari pembaca sangat penulis
harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, Desember 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Tujuan ............................................................................................. 2
1.3 Manfaat ........................................................................................... 2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 3
2.1 Definisi Epilepsi ................................................................................ 3
2.2 Epidemiologi Epilepsi ....................................................................... 4
2.3 Etiologi Epilepsi ................................................................................ 5
2.4 Patofisiologi Epilepsi ........................................................................ 6
2.5 Prognosis Epilepsi ............................................................................. 7
2.6 Gejala dan Tanda............................................................................... 8
2.7 Penatalaksanaan Terapi ..................................................................... 10
2.7.1 Terapi Non Farmakologi ................................................. 11
2.7.2 Terapi Farmakologi ......................................................... 11
BAB III. KASUS ................................................................................................ 17
3.1 Deskripsi Kasus ................................................................................. 17
3.2 Analisis Kasus dengan metode SOAP ............................................ 17
3.3 Pemilihan Obat Rasional .................................................................. 19
3.4 Evaluasi Obat Terpilih ..................................................................... 20
3.5 Monitoring dan Follow Up ............................................................... 22
3.6 KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) ..................................... 22
3.7 Jawaban dan Pertanyaan .................................................................. 22
BAB IV PENUTUP ............................................................................................ 26
4.1 Kesimpulan ....................................................................................... 26
4.2 Saran ................................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 27
LAMPIRAN

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Epilepsi didefinisikan sebagai suatu sindrom yang ditandai oleh
gangguan fungsi otak yang bersifat sementara dan paroksismal, yang
memberi manifestasi berupa gangguan, atau kehilangan kesadaran, gangguan
motorik, sensorik, psikologik, dan sistem otonom, serta bersifat
episodik.Defisit memori adalah masalah kognitif yang paling sering terjadi
pada pederita epilepsi.
Pada dasarnya setiap orang dapat mengalami epilepsi. Setiap orang
memiliki otak dengan ambang bangkitan masing-masing apakah lebih tahan
atau kurang tahan terhadap munculnya bangkitan. Selain itu penyebab
epilepsy cukup beragam; cedera otak, keracunan, stroke, infeksi, infestasi
parasit, tumor otak. Epilepsi dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan,
umur berapa saja, dan ras apa saja. Jumlah penderita epilepsy meliputi 1-2%
dari populasi. Secara umum diperoleh gambaran bahwa insidensi epilepsy
menunjukkan pola bimodal: puncak insidensi terdapat pda golongan anak dan
usia lanjut.
Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat
epilepsi.Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi.
Pengguna narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena menggunakan
narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat seizure walaupun
sudah lepas dari narkotik. Di Inggris, satu orang diantara 131 orang mengidap
epilepsi. Epilepsi dapat menyerang anak-anak, orang dewasa, para orang tua
bahkan bayi yang baru lahir. Angka kejadian epilepsi pada pria lebih tinggi
dibandingkan pada wanita, yaitu 1-3% penduduk akan menderita epilepsi
seumur hidup. Di Amerika Serikat, satu di antara 100 populasi (1%)
penduduk terserang epilepsi, dan kurang lebih 2,5 juta di antaranya telah
menjalani pengobatan pada lima tahun terakhir. Menurut World Health
Organization (WHO) sekira 50 juta penduduk di seluruh dunia mengidap
epilepsi (2004 Epilepsy.com).

1
1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi epilepsi
2. Untuk mengetahui epidemiologi epilepsi
3. Untuk mengetahui etiologi terjadinya epilepsi
4. Untuk mengetahui patofisiologi epilepsi
5. Untuk mengetahui prognosis epilepsi
6. Untuk mengetahui gejela dan tanda epilepsi
7. Untuk mengetahui tatalaksana terapi epilepsi
8. Untuk mengetahui analisis kasus epilepsi dengan menggunakan metode
SOAP
1.3 Manfaat
Diharapkan pada makalah ini dapat memberikan gambaran informasi
mengenai bagaimana cara menangani penderita epilepsi dengan pemberian
obat yang rasional.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Epilepsi


Epilepsi merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang terjadi
berulang- ulang. Diagnose ditegakkan bila seseorang mengalami paling tidak
dua kali kejang tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Epilepsi adalah penyakit serebral kronik dengan karekteristik kejang
berulang akibat lepasnya muatan listrik otak yang berlebihan dan bersivat
reversibel (Tarwoto, 2007).
Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala
yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas
muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversibel dengan
berbagai etiologi (Arif, 2000).
Epilepsi adalah sindroma otak kronis dengan berbagai macam etiologi
dengan ciri-ciri timbulnya serangan paroksismal dan berkala akibat lepas
muatan listrik neuron-neuron otak secara berlebihan dengan berbagai
manifestasi klinik dan laboratorik.
Epilepsi adalah suatu gejala atau manifestasi lepasnya muatan listrik
yang berlebihan di sel neuron saraf pusat yang dapat menimbulkan hilangnya
kesadaran, gerakan involunter, fenomena sensorik abnormal, kenaikan
aktivitas otonom dan berbagai gangguan fisik.
Epilepsi adalah merupakan sindrom yang ditandai oleh kejang yang
terjadi berulang-ulang. Diagnosa ditegakkan paling tidak dua kali kejang
tanpa penyebab (Jastremski, 1988).
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi gangguan otak dengan berbagai
gejala klinis, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik dari neuron-neuron otak
secara berlebihan dan berkala tetapi reversibel dengan berbagai etiologi.

Jenis-Jenis / Macam-Macam Tipe Penyakit Epilepsi :


A. Epilepsi Umum
1. Epilepsi Petit Mal

3
Epilepsi petit mal adalah epilepsi yang menyebabkan gangguan
kesadaran secara tiba-tiba, di mana seseorang menjadi seperti bengong
tidak sadar tanpa reaksi apa-apa, dan setelah beberapa saat bisa kembali
normal melakukan aktivitas semula.
2. Epilelpsi Grand Mal
Epilepsi grand mal adalah epilepsi yang terjadi secara mendadak,
di mana penderitanya hilang kesadaran lalu kejang-kejang dengan napas
berbunyi ngorok dan mengeluarkan buih/busa dari mulut.
3. Epilepsi Myoklonik Juvenil
Epilepsi myoklonik Juvenil adalah epilepsi yang mengakibatkan
terjadinya kontraksi singkat pada satu atau beberapa otot mulai dari
yang ringan tidak terlihat sampai yang menyentak hebat seperti jatuh
tiba-tiba, melemparkan benda yang dipegang tiba-tiba, dan lain
sebagainya.
B. Epilepsi Parsial (Sebagian)
1. Epilepsi Parsial Sederhana
Epilepsi parsial sederhana adalah epilepsi yang tidak disertai hilang
kesadaran dengan gejala kejang-kejang, rasa kesemutan atau rasa kebal
di suatu tempat yang berlangsung dalam hitungan menit atau jam.
2. Epilepsi Parsial Kompleks
Epilepsi parsial komplek adalah epilepsi yang disertai gangguan
kesadaran yang dimulai dengan gejala parsialis sederhana namun
ditambah dengan halusinasi, terganggunya daya ingat, seperti
bermimpi, kosong pikiran, dan lain sebagainya.Epilepsi jenis ini bisa
menyebabkan penderita melamun, lari tanpa tujuan, berkata-kata
sesuatu yang diulang-ulang, dan lain sebagainya (otomatisme).

2.2 Epidemiologi Epilepsi


Epilepsi merupakan salah satu penyakit otak yang sering ditemukan di
dunia. Data World Health Organization (WHO) menunjukkan epilepsi
menyerang 70 juta dari penduduk dunia (Brodie et al., 2012). Epilepsi dapat
terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan sosial ekonomi.
Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang yang

4
mencapai 114 per 100.000 penduduk per tahun. Angka tersebut tergolong
tinggi dibandingkan dengan negara yang maju dimana angka kejadian
epilepsi
berkisar antara 24-53 per 100.000 penduduk per tahun (Benerjee dan Sander,
2008). Angka prevalensi penderita epilepsi aktif berkisar antara 4-10 per 1000
penderita epilepsi (Beghi dan Sander, 2008).
Bila jumlah penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan
jumlah penderita epilepsi baru 250.000 per tahun. Dari berbagai studi
diperkirakan prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata prevalensi
epilepsi 8,2 per 1000 penduduk. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak
cukup tinggi, menurun pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian
meningkat lagi pada kelompok usia lanjut (Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (PERDOSSI, 2011).
Data Dinas Kesehatan Provinsi Riau Tahun 2012 menunjukkan kasus
cedera intrakranial pada anak usia 1-14 tahun sebanyak 86 kasus, persalinan
macet sebanyak 256 kasus, persalinan dengan penyulit gawat janin 112 kasus,
penyulit kehamilan dan persalinan lainnya 1389 kasus, dan cedera lahir 14
kasus. Kasus-kasus di atas adalah termasuk faktor predisposisi terjadinya
epilepsi pada anak.
Telah dilakukan survei pendahuluan, diperoleh data penderita epilepsi di
instalasi rawat inap RSUD Arifin Achmad Pekanbaru selama tiga tahun
terakhir, yaitu tahun 2010 tercatat 47 orang, tahun 2011 sebanyak 45 orang,
tahun 2012 tercatat sebanyak 70 orang dan 43 orang diantaranya adalah anak-
anak. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa kejadian epilepsi mengalami
fluktuasi (Rekam Medik RSUD Arifin Achmad, 2013).

2.3 Etiologi Epilepsi


Kejang disebabkan oleh banyak faktor. Faktor tersebut meliputi penyakit
serebrovaskuler (stroke iskemik atau stroke hemoragi), gangguan
neurodegeneratif, tumor, trauma kepala, gangguan metabolik, dan infeksi SSP
(sistem saraf pusat). Beberapa faktor lainnya adalah gangguan tidur, stimulasi
sensori atau emosi (stres) akan memicu terjadinya kejang. Perubahan hormon,
sepeti menstruasi, puberitas, atau kehamilan dapat meningkatkan frekuensi

5
terjadinya kejang. Penggunaan obat-obat yang menginduksi terjadinya kejang
seperti teofilin, fenotiazin dosis tinggi, antidepresan (terutama maprotilin atau
bupropion), dan kebiasaan minum alcohol dapat meningkatkan resiko kejang.
1. Idiopatik.
2. Acquerit : kerusakan otak, keracunan obat, metabolik, bakteri.
 trauma lahir
 trauma kepala
 tumor otak
 stroke
 cerebral edema
 Hypoxia
 Keracunan
 gangguan metabolic
 infeksi.

2.4 Patofisiologi Epilepsi


Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan
transmisi pada sinaps. Tiap sel hidup, termasuk neuron-neuron otak
mempunyai kegiatan listrik yang disebabkan oleh adanya potensial membran
sel. Potensial membran neuron bergantung pada permeabilitas selektif
membran neuron, yakni membran sel mudah dilalui oleh ion K dari ruang
ekstraseluler ke intraseluler dan kurang sekali oleh ion Ca, Na dan Cl,
sehingga di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah
ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang
ekstraseluler. Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan
potensial membran. Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik,
dapat merubah atau mengganggu fungsi membaran neuron sehingga
membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra
seluler.
Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas
muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik
demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu
serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa

6
saat serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi. Di duga inhibisi ini
adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptik. Selain itu juga
sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-
neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan
lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan
neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
Otak merupakan pusat penerima pesan (impuls sensorik) dan sekaligus
merupakan pusat pengirim pesan (impuls motorik). Otak ialah rangkaian
berjuta-juta neuron. Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan
mengolah aktivitas listrik saraf yang berhubungan satu dengan yang lain
melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter.
Asetilkolin dan norepinerprine ialah neurotranmiter eksitatif, sedangkan zat
lain yakni GABA (gama-amino-butiric-acid) bersifat inhibitif terhadap
penyaluran aktivitas listrik sarafi dalam sinaps. Bangkitan epilepsi dicetuskan
oleh suatu sumber gaya listrik di otak yang dinamakan fokus epileptogen.
Dari fokus ini aktivitas listrik akan menyebar melalui sinaps dan dendrit ke
neron-neron di sekitarnya dan demikian seterusnya sehingga seluruh belahan
hemisfer otak dapat mengalami muatan listrik berlebih (depolarisasi). Pada
keadaan demikian akan terlihat kejang yang mula-mula setempat selanjutnya
akan menyebar ke bagian tubuh/anggota gerak yang lain pada satu sisi tanpa
disertai hilangnya kesadaran. Dari belahan hemisfer yang mengalami
depolarisasi, aktivitas listrik dapat merangsang substansia retikularis dan inti
pada talamus yang selanjutnya akan menyebarkan impuls-impuls ke belahan
otak yang lain dan dengan demikian akan terlihat manifestasi kejang umum
yang disertai penurunan kesadaran.

2.5 Prognosis Epilepsi


Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis
epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat.
Prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi
serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu
waktu akan dapat berhenti minum obat.21 Prognosis epilepsi dihubungkan
dengan terjadinya remisi serangan baik dengan pengobatan maupun status

7
psikososial, dan status neurologis penderita. Batasan remisi epilepsi yang
sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan terapi. Pada
pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan untuk
penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala.
Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas
serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah
tercapai bebas serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka
perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian
obat dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah
penghentian obat. Berbagai faktor prediktor yang meningkatkan risiko
terjadinya relaps adalah usia awitan pada remaja / dewasa, jenis epilepsi
sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG.
Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki
risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian
yang paling tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit
neurologi akibat penyakit kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-
anak paling sering disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang
mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.

2.6 Gejala dan Tanda


Kejang berulang merupakan gejala utama epilepsi. Karakteristik kejang
akan bervariasi dan bergantung pada bagian otak yang terganggu pertama kali
dan seberapa jauh gangguan tersebut terjadi. Berdasarkan gangguan pada
otak, jenis kejang epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu parsial dan umum.
Kejang Parsial
Pada kejang parsial atau focal, otak yang mengalami gangguan hanya
sebagian saja. Kejang parsial ini dibagi lagi menjadi dua kategori, yaitu:
kejang parsial simpel (tanpa kehilangan kesadaran) dan kejang parsial
kompleks.
Kejang parsial simpel ditandai dengan tidak hilangnya kesadaran
penderita saat kejang terjadi. Gejalanya dapat berupa anggota tubuh yang
menyentak, atau timbul sensasi kesemutan, pusing, dan kilatan cahaya.

8
Bagian tubuh yang mengalami kejang tergantung kepada bagian otak
mana yang mengalami gangguan. Contohnya jika epilepsi mengganggu
fungsi otak yang mengatur gerakan tangan atau kaki, maka kedua anggota
tubuh itu saja yang akan mengalami kejang. Selain itu, kejang parsial juga
dapat membuat penderita berubah secara emosi, seperti merasa gembira atau
takut secara tiba-tiba.
Kadang-kadang, kejang focal memengaruhi kesadaran penderita sehingga
dia terlihat seperti bingung atau setengah sadar selama beberapa saat. Inilah
yang dinamakan dengan kejang parsial kompleks. Ciri-ciri
kejang parsial kompleks lainnya adalah pandangan kosong, menelan,
mengunyah, atau menggosok-gosokkan tangan.
Kejang Umum
Pada kejang umum atau menyeluruh, gejala terjadi pada sekujur tubuh
dan disebabkan oleh gangguan yang berdampak kepada seluruh bagian otak.
Berikut ini adalah gejala-gejala yang bisa terjadi saat seseorang terserang
kejang umum:
 Mata yang terbuka saat kejang.
 Kejang tonik. Tubuh yang menjadi kaku selama beberapa detik. Ini bisa
diikuti dengan gerakan-gerakan ritmis pada lengan dan kaki atau tidak
sama sekali. Otot-otot pada tubuh terutama lengan, kaki, dan punggung
berkedut.
 Kejang atonik. Otot tubuh tiba-tiba menjadi rileks sehingga penderita
jatuh tanpa kendali.
 Kejang klonik. Gerakan menyentak ritmis yang biasanya menyerang
otot leher, wajah dan lengan.
 Penderita epilepsi kadang-kadang mengeluarkan suara-suara atau
berteriak saat mengalami kejang-kejang.
 Mengompol.
 Kesulitan bernapas untuk beberapa saat sehingga badan terlihat pucat
atau bahkan membiru.
 Dalam sebagian kasus, kejang menyeluruh membuat penderita benar-
benar tidak sadarkan diri.

9
 Setelah sadar, penderita terlihat bingung selama beberapa menit atau
jam.

Ada jenis epilepsi yang umumnya dialami oleh anak-anak, dikenal


dengan nama epilepsi absence atau petit mal. Meski kondisi ini tidak
berbahaya, namun konsentrasi dan prestasi akademik anak bisa terganggu.
Ciri-ciri epilepsi ini adalah hilangnya kesadaran selama beberapa detik,
mengedip-ngedip atau menggerak-gerakkan bibir, serta pandangan kosong.
Anak-anak yang mengalami kejang ini tidak akan sadar atau ingat akan apa
yang terjadi saat mereka kejang.
2.7 Penatalaksanaan Terapi
Menurut Shorvon (2001), pertimbangan untuk memulai pemberian obat
anti epilepsi memperhatikan faktor-faktor atau kondisi-kondisi yang
mempengaruhi dan perlu dipertimbangkan, yakni:
1) Diagnosa.
2) Risiko bangkitan ulang setelah kejang pertama.
3) Etiologi; adanya lesi struktural otak atau epilepsi sim tomatik, idiopatik
atau kriptogenik.
4) Elektroensefalogram.
5) Umur; risiko ulang lebih besar pada usia di bawah 16 tahun atau di
atas 60 tahun.
6) Tipe kejang.
7) Jenis, waktu dan frekuensi bangkitan.
8) Jenis epilepsi; beberapa sindroma epilepsi benigna mempunyai
prognosis yang baik tanpa terapi, dan tidak memerlukan terapi jangka
panjang.
9) Kepatuhan berobat; keputusan untuk memberi pengobatan perlu
dipertimbangkan kembali pada semua keadaan dimana kepatuhan
berobat diragukan.
10) Bangkitan reflektoris dan bangkitan simtomatik akut; kadang-kadang
bangkitan timbul hanya pada keadaan spesifik atau oleh adanya
pemicu terrtentu (misal fotosensitif, kelelahan, alkohol).

10
11) Harapan penderita; tergantung sudut pandang penderita, perlu
diterangkan keuntungan dan kerugian relatif apabila menggunakan
atau tanpa pengobatan (Husni, 2002).

Penatalaksanaan epilepsi ada anak-anak sedikit lebih kompleks dibanding


kelompok populasi lainnya dan memerlukan perhatian yang khusus.
Penentuan diagnosis epilepsi masa anak-anak yang tepat akan sangat
membantu dalam menentukan terapi, meramalkan prognosis, dan pemberian
informasi kepada pasien dan keluarganya (Murphy & Dehkhargani, 1994).
2.7.1. Terapi Non Farmakologi
A. Amati faktor pemicu
B. Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya : stress, OR,
konsumsi kopi atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan,
dll.
2.7.2. Terapi Farmakologi
Menggunakan obat-obat antiepilepsi, yaitu ;
Obat-obat antiepilepsi dapat dibagi menjadi 2 kategori berdasarkan
efeknya yaitu efek langsung pada membran yang eksitabel dan efek
melalui perubahan neurotransmitter (Wibowo dan Gofir, 2006).
1.) Efek langsung pada membran yang eksitabel

Gambar 1. Mekanisme Inhibisi Obat Anti Epilepsi


(Wibowo dan Gofir, 2006)
Perubahan pada permeabilitas membran merubah fase recovery
serta mencegah aliran frekuensi tinggi dan neuron-neuron pada keadaan
lepas muatan listrik epilepsi. Efek ini karena adanya perubahan

11
mekanisme pengaturan aliran ion Na+ dan ion Ca2+. Channel Na secara
dinamis berada dalam tiga keadaan:
a.) Keadaan istirahat yaitu keadaan selama Na+ berjalan menuju
ke sel melalui channel Na.
b.) Keadaan aktif yaitu keadaan dimana terjadi peningkatan Na+ yang
masuk ke dalam sel.
c.) Keadaan inaktif yaitu keadaan dimana channel tidak memberikan
jalan untuk Na+ masuk ke dalam sel.
Dalam keadaan istirahat, sel-sel neuron mempunyai keseimbangan
antara ion ekstraseluler dan intraseluler, yakni ion Ca, Na, dan Cl lebih
cenderung berada di luar sel sedangkan ion K cenderung berada di dalam
sel. Adanya rangsang mekanik, kimiawi, dan listrik serta rangsangan lain
akibat suatu penyakit membuat permeabilitas membran terhadap ion-ion
tersebut meningkat. Ion Na, Ca, dan Cl masuk ke dalam sel secara
berlebihan. Hal ini mencetuskan pelepasan muatan listrik yang berlebihan
sehingga menyebabkan terjadinya epilepsi (Wibowo dan Gofir, 2006).
Obat-obat anti epilepsi dengan mekanisme ini, bekerja dengan
memblokade channel Na sehingga menutup channel ini dan membuat
channel Na dalam keadaan inaktif. Blokade channel Na pada akson pre-
post sinaptik menyebabkan stabilisasi membran neuronal, menghambat dan
mencegah potensial aksi post tetanik, membatasi perkembangan aktifitas
serangan, dan mengurangi penyebaran serangan (Wibowo dan Gofir,
2006). Adapun OAE dengan mekanisme ini antara lain fenitoin,
karbamazepin, okskarbazepin, valproat, dan lamotigrin (Ikawati, 2011).

Efek perubahan mekanisme pengaturan aliran ion Ca2+ melalui

mekanisme menghambat kanal ion Ca2+ tipe T. Arus Ca2+ kanal tipe T
merupakan arus pacemaker dalam neuron talamus yang bertanggung
jawab terjadinya letupan kortikal ritmik kejang. Obat anti epilepsi yang

menurunkan nilai ambang arus ion Ca2+, contohnya yaitu etoksuksimid


(Ikawati, 2011).

12
2.) Efek melalui perubahan neurotransmiter

Gambar 4. Mekanisme Eksitasi Obat Anti Epilepsi


(Wibowo dan Gofir, 2006)
Mekanisme obat jenis ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
mekanisme dengan memblokade aksi glutamat (glutamate blockers) dan
mekanisme dengan mendorong aksi inhibisi GABA (Gamma Amino
ButyricAcid) pada membran post- sinaptik dan neuron (Wibowo dan Gofir,
2006).
a.) Blokade aksi glutamat (glutamate blockers)
Reseptor glutamat mengikat glutamat, suatu neurotransmitter eksitatorik
asam amino yang penting dalam otak. Reseptor glutamat mempunyai 5
tempat ikatan yang potensial sehingga menyebabkan respon yang
berbeda-beda tergantung tempat yang distimulasi atau dihambat. Tempat
pengikatan tersebut diantaranya kainite site, Alpha-amino-3-hidroxy-5-
methylisoxazole-4-propionic acid (AMPA) site, N-methyl-D-aspartate
(NMDA) site, glisine site, dan metabotropic site yang mempunyai 7
subunit (Glu R 1-7). Adapun obat-obat anti epilepsi yang termasuk dalam
mekanisme ini diantaranya ialah felbamat dan topiramat (Wibowo dan
Gofir, 2006).
b.) Mendorong aksi inhibisi GABA pada membran post sinaptik dan
neuron Reaksi kejang merupakan hasil ketidakseimbangan antara
aktivitas eksitasi dan inhibisi pada otak, dimana aktivitas eksitasinya lebih

13
tinggi daripada inhibisi. Akson melepaskan neurotransmitter, melalui
ruang sinaps yang berhubungan dengan dendrit-dendrit dan badan sel
neuron lain. Neurotransmitter terbagi menjadi dua bagian yaitu eksitator
dan inhibitor. Hasil pengaruh kedua neurotransmitter tersebut dapat
bersifat eksitasi atau inhibisi. Jika yang terjadi lebih kuat eksitasi, maka
neuron akan lebih mudah melepaskan muatan listrik dan meneruskan
impuls ke neuron-neuron lain. Sebaliknya jika inhibisi yang lebih kuat,
maka neuron-neuron akan dihambat untuk tidak meneruskan impuls ke
neuron lain. Proses inhibisi ini akan menghentikan serangan epilepsi
(Wibowo dan Gofir, 2006).
Obat-obat yang bekerja dengan meningkatkan transmisi inhibitori
GABAergik, antara lain:
(1.) agonis reseptor GABA, dengan mekanisme meningkatkan transmisi
inhibitori dengan mengaktifkan kerja reseptor GABA. Contohnya
benzodiazepin dan barbiturat.
(2.) inhibitor GABA transaminase, dengan mekanisme menghambat
GABA transaminase sehingga konsentrasi GABA meningkat.
Contohnya vigabatrin.
(3.) Inhibitor GABA transporter, dengan mekanisme menghambat
GABA transporter sehingga memperlama aksi GABA. Contohnya
tiagabin.
(4.) meningkatkan konsentrasi GABA, diperkirakan dengan menstimulasi
pelepasan GABA dari non-vesicular pool pada cairan serebrospinal
pasien. Contohnya gabapentin. (Ikawati, 2011)

14
Pemilihan obat : Tergantung pada jenis epilepsinya
Kejang Kejang Umum (generalized seizures)
parsial

Tonic-clonic Abscense Myoclonic,


atonic

Drug of Karbamazepin Valproat Etosuksimid Valproat


choice Fenitoin Karbamazepin Valproat
Valproat Fenitoin

Alternati Lamotrigin Lamotrigin Clonazepam Klonazepam


ves Gabapentin Topiramat Lamotrigin Lamotrigin
Topiramat Primidon Topiramat
Tiagabin Fenobarbital Felbamat
Primidon
Fenobarbital

Algoritma Terapi Epilepsi

15
16
BAB III
KASUS

3.1 Deskripsi Kasus


An. DR usia 19 tahun, 50 kg, tiba-tiba jatuh saat dikamarnya, kejang,
nafas terengah-engah, keluar air liur. Kejang terjadi hanya beberapa menit,
kemudian merasa lemah dan kebingungan. An.DR sudah tidak
mengkonsumsi Dilantin 400 mg/hari sejak dua tahun terakhir. An. DR
kembali ke dokter yang merawatnya dan diresepkan Dilantin dengan dosis
100 mg 3 x sehari.
Riwayat penyakit dahulu : Epilepsi semenjak usia 10 tahun, sejak dua tahun
terakhir putus obat. Sering mengeluhkan pusing kepala. An. DR juga
merupakan penderita asma.
Riwayat pengobatan : Symbicort 2dd 2 puff.
Hasil pemeriksaan fisik :
TD : 108/68 mmHg
T : 36,8ºC
P : 21 x/menit
N : 80 x/menit
Pemeriksaan laboratorium :
KGDS : 110 mg/dL
LDL : 100 mg/dL
HDL : 80 mg/dL
Trigliserida : 150 mg/dL

3.2 Analisis Kasus dengan metode SOAP


A. Subjektif
Nama Pasien : An. DR
Umur : 19 tahun
Berat Badan : 50 kg
Keluhan :

17
 Tiba-tiba jatuh saat dikamarnya, kejang, nafas terengah-engah,
keluar air liur. Kejang terjadi hanya beberapa menit, kemudian
merasa lemah dan kebingungan.

Riwayat Penyakit :

 Pasien memiliki riwayat penyakit epilepsi sejak usia 10 tahun dan


sudah putus obat sejak 2 tahun.
 Pasien merupakan penderita asma
 Pasien mengeluh sering pusing kepala
Riwayat Pengobatan :
 Pasien pernah mengkonsumsi Dilantin 400 mg/hari namun sudah
berhenti sejak dua tahun terakhir.
 Pasien pernah menggunakan Symbicort 2dd 2 puff.
B. Objektif
PEMERIKSAAN HASIL NORMAL
Tekanan darah 108/68 mmHg 120/80 mmHg
Suhu tubuh 36,8ºC 36-37 ºC
Pernafasan 21 x/menit 15-24 x/menit
Nadi 80 x/menit 60-100 x/menit
KGDS (Kadar Gula Darah 110 mg/dL 70-200 mg/dL
Sesaat)
LDL (Low Density 100 mg/dL >60 mg/dL
Lipoprotein)
HDL (High Density 80 mg/dL <100 mg/dL
Lipoprotein)
Trigliserida 150 mg/dL <150 mg/dL

C. Assessment
 Pasien memiliki riwayat penyakit epilepsi dan asma
 Pasien tiba-tiba terjatuh di kamarnya
D. Plan
 Pasien harus patuh mengkonsumsi obat epilepsi

18
 Perbaikan pola hidup, seperti : pengaturan diet, pola makan, dan
olahraga teratur.
 Pasien harus menghindari faktor pencetus kambuhnya asma, seperti:
dingin, debu dan stress
 Mengendalikan kejang menggunakan monoterapi, tanpa
menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan
E. Goals
 Tercapainya kualitas hidup optimal, sesuai dengan perjalanan
penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental yang
dimilikinya
 Mencegah kekambuhan epilepsi
 Mengobati asma

3.3 Pemilihan Obat Rasional


Pemilihan obat rasional dilakukan dengan menganalisis obat-obat yang
digunakan dengan lima kategori yaitu tepat indikasi, tepat obat, tepat
pasien, tepat dosis dan waspada terhadap efek samping obat (4H 1W).
 Tepat indikasi

Nama Obat Indikasi Mekanisme Aksi Keterangan


Fenitoin Epilepsi semua Inaktivasi kanal Na Tepat indikasi
jenis kecuali petit sehingga menurunkan
mal dan status kemampuan syaraf untuk
epileptikus menghantarkan muatan
listrik

 Tepat Obat

Nama Obat Alasan sebagai drug of choice Keterangan


Fenitoin Merupakan OAE yang pernah digunakan Tepat obat
oleh pasien dan digunakan untuk terapi
pemeliharaan dan pengontrolan

 Tepat Pasien

19
Nama Obat Kontra Indikasi Keterangan

Fenitoin Hipersensitif dengan fenitoin Tepat pasien tidak ada


riwayat alergi

 Tepat Dosis

Nama Obat Dosis Standar Dosis yang diberikan Keterangan

Fenitoin 200-300 mg/hari 300 mg/hari Tepat dosis

 Waspada Efek Samping Obat

Nama Obat Efek Samping Obat Saran


Fenitoin Nyeri kepala, anemia, insomnia, ruam, Beristirahat yang cukup dan
akne demam efek hematologic jangan melakukan aktivitas
diluar rumah. Untuk
mengatasi demam yang bila
timbul dapat diberikan
ibuprofen syrup. Dan berikan
vit B complex jika efek
samping fenitoin anemia
terjadi.

3.4 Evaluasi Obat Terpilih


Dari kasus epilepsi diatas , diketahui bahwa pasien mengalami gejala
bangkitan parsial atau local atau fokal disertai dengan adanya penyakit
asma dan juga pasien sering mengalami pusing kepala. Yang mana
pasien pada saat mengalami kekambuhan epilepsi pasien kembali ke
dokter yang merawatnya dua tahun terakhir dan diresepkan Dilantin
dengan dosis 100 mg 3 x sehari.
 Dilantin
Dilantin adalah sediaan yang mengandung Na fenitoin dosis 100 mg; 50
mg/ml (ISO Vol. 49 hal. 83)

20
Jurnal Pengaruh Pemakaian Obat Antiepilepsi Jangka Panjang Terhadap
Densitas Tulang Dan Kadar Alkali Fosfatase Pada Penderita Epilepsi Yang
Berobat Di Poliklinik Saraf Rs. Dr. M. Djamil Padang. (Frida, 2015)
Dari 49 penderita epilepsi yang diteliti, penderita wanita
merupakan yang terbanyak. Usia yang terbanyak adalah usia muda.
Setelah melakukan serangkaian analisis, didapatkan hubungan yang
bermakna antara pemakaian obat antiepilepsi dengan densitas mineral
tulang pada wanita (p<0,05), sedangkan kadar alkali fosfatase darah tidak
berhubungan dengan pemakaian obat. Pada penderita pria, tidak
ditemukan hubungan yang bermakna antara pemakaian obat antiepilepsi
dengan densitas mineral tulang maupun kadar alkali fosfatase darah,
meskipun dalam temuan di lapangan terdapat penurunan densitas tulang.

Junal Pemberian Fenitoin Oral dan Timbulnya Hiperplasia Ginggiva pada


Pasien Epilepsi (Salmiah, 2009)
Dosis tinggi fenitoin oral (≥300 mg) memiliki risiko 29 kali lebih
tinggi mengalami hiperplasia gingiva dibandingkan pasien yang mendapat
fenitoin oral dengan dosis <300 mg, sedangkan lama pemberian fenitoin
tidak merupakan faktor risiko terhadap kejadian
hiperplasia ginggiva.

Pengaruh Obat Anti Epilepsi Terhadap Gangguan Daya Ingat pada


Epilepsi Anak (Nur, Setiawati and Salimo, 2011)
Gangguan daya ingat dialami 46% pasien epilepsi anak. Lama
pengobatan lebih dari dua tahun berpengaruh terhadap terjadinya
gangguan daya ingat pada pasien epilepsi anak.

Jurnal Evaluasi dan Manajemen Status Epileptikus


Fenitoin merupakan salah satu obat yang efektif mengobati kejang
akut dan SE. Disamping itu, obat ini sangat efektif pada manajemen
epilepsi kronik, khususnya pada kejang umum sekunder dan kejang
parsial. Keuntungan utama fenitoin adalah efek sedasinya yang minim.

21
3.5 Monitoring dan Follow Up
1. Monitoring efek samping obat
2. Monitoring fungsi hati
3. Monitoring tekanan darah
4. Monitoring EEG
5. Monitoring konsentrasi obat dalam darah dan perkembangan dari
bangkitan epilepsi
6. Analisis darah lengkap, kadar elektrolit dan urea, kalsium, glukosa
pembekuan darah, dan jika mungkin kadar obat epilepsi dalam darah.

3.6 KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi)


1. Beritahu orangtua agar dapat memberikan makanan yang tidak
menyebabkan kenaikan berat badan pada anak, seperti makanan yang
banyak mengandung lemak.
2. Sarankan kepada orangtua agar anaknya tidak terlalu kecapean, dan
tidur yang cukup.
3. Penggunaan obat harus sehemat mungkin dan sedapat mungking
dalam jangka waktu pendek.
4. Jika terjadi kambuhan SE segera hubungi dokter.
5. Berikan informasi kepada orang tua pasien seputar ESO yang
potensial terjadi.
6. Jangan berikan obat melebihi dosis yang ditentukan.
7. Jangan mengganti sediaan obat ataupun dosis tanpa sepengetahuan
dokter.

3.7 Jawaban Pertanyaan


A. Pertanyaan :
1. Keracunan obat seperti apa yang dapat menyebabkan epilepsi ?
(Erfina Dwi Meilandari)
2. Bagaimana cara penanganan pertama pada pasien epilepsi ?
(Nurmaida)
3. Kenapa epilepsi cenderung terjad pada anak ? (Mentari )

22
4. Apa pertimbangan digunakan fenitoin pada kasus ? (Fathllah Dhya
M)
5. Terapi farmakologi apa yang diberikan untuk ibu hamil yang
mengalami epilepsi? (Putri Lestari)
B. Jawaban
1. Keracunan obat yang dapat menyebabkan epilepsi salah satunya
adalah petidin. Petidin ini memiliki efek samping yang serius berupa
kejang, dimana kejang merupakan suatu gejala atau tanda dari
epilepsi. (Citra Ramadhani).
Menambahkan jawaban : Lovina Aldelin
Keracunan obat yang dapat menyebabkan epilepsi adalah obat-obat
gol inhibitor colisterase seperti donifezil karena obat-obat tersebut
dapat meningkatkan ACTH sehingga impuls yang disampaikan
meningkat.

2. Cara penanganan pertama untuk penderita epilepsi :


a. Jangan panik dan tidak memasukkan benda apapun kemulut pasien
b. Jangan mengikat atau mengekang pasien, longgorkan semua
pakaian
c. Miringkan pasien, bila muntah agar tidak masuk keparu-paru
d. Jangan memegang atau mencoba menahan gerakan karena
berpotensi patah tulang
e. Bila terlalu berbahaya segera bawa kerumah sakit. (Mardiah
Novita)
Menanggapi : Muhammad Halim Satria
Dari penjelasan diatas ada disebutkan bahwa tidak boleh memasukkan
benda apapun kemulut pasien, sedangkan pada beberapa kasus terjadi
epilepsy, ada disebutkan bahwa memasukkan sendok kedalam mulut
agar lidah pasien tidak tergigit. Jadi bagaimana ?
Dijawab oleh : Raesa Tartilla
Tidak memasukkan benda apapun kemulut pasien tersebut dengan
maksud benda yang berbahaya yang berarti nanti akan menjadi
penyakit penderita menjadi berbahaya. Kalau sekedar sendok atau

23
benda yang dimaksud ditujukan untuk pasien agar tidak tergigit
lidahnya, tidak apa apa. Terkecuali benda yang berbahaya baru tidak
boleh.

3. Banyak penderita epilepsy terjadi pada anak dikarenakan adalah


kebanyakan dari kondisi sang Ibu sendiri. Kondisi ini bisa terjadi
apabila saat ibu sedang hamil mengalami infeksi, demam tinggi, dan
mal nutrisi. Proses persalinan yang sulit, bayi kurang atau telat bulan,
juga dapat menyebabkan otak janin kekurangan zat asam. Gangguan
otak janin seperti infeksi, cedera akibat benturan fisik dan tumor
kelainan pembuluh darah pada otak yang mengidap bayi atau anak
tersebut mengidap epilepsy. (Okla Elfitri)
Menanggapi jawaban : Muhammad Haikal
Jadi bagaimana pada saat bayi lahir timbul bintik-bintik merah pada
bayi ?
Dijawab oleh : Raesa Tartilla
Apabila pada bayi yang baru lahir timbul bintik-bintik merah itu
biasanya emang bayi normal ada timbulnya bintik-bintik merah. Akan
tetapi apabila ibu tersebut mengalami epilepsy saat kehamilan, dan
ada kelainan pada bayi baru lahir nya maka kemungkinan dikarenakan
factor dari obat epilepsi yang diminum oleh sang ibu tersebut.

4. Obat epilepsi untuk ibu hamil sebenarnya hampir semuanya dapat


menyebabkan malformasi pada janin. Namun untuk mengurangi
resiko tersebut dapat dilakukan hal berikut :
 OEA dipilih untuk sindrom atau tipe bangkitan (jika mungkin,
monoterapi)
 Lakukan pemantauan kadar obat total dan bebas (jika tersedia)
setiap bulan
 Gunakan dosis paling rendah untuk mengendalikan bangkitan
dengan optimal
 hindari kadar puncak yang tinggi dengan membagi dosis harian
total kedosis multipel

24
 Asam valproat janbgan digunakan sebagai obat pilihan pertama
karena tercatat paling sering berhubungan dengan malformasi
kongenital. Jika asam valproat menrupakan terapi yang paling
optimal dalam mengontrol kejang, sejumlah cara harus dilakukan
untuk meminimalkan risiko pada janin. (Citra Ramadhani).

5. Pertimbangan digunakannya fenitoin karena dokter telah memberikan


terapi obat dilantin yang isinya adalah fenitoin. (Fakhriyah Aulia)

25
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat (SSP) yang dicirikan
oleh terjadinya bangkitan (seizure, fit, attact, spell) yang bersifat spontan
(unprovoked) dan berkala.Bangkitan dapat diartikan sebagai modifikasi
fungsi otak yang bersifat mendadak dan sepintas, yang berasal dari
sekolompok besar sel-sel otak, bersifat singkron dan berirama. Bangkitnya
epilepsi terjadi apabila proses eksitasi didalam otak lebih dominan dari pada
proses inhibisi.
Setiap orang punya resiko satu di dalam 50 untuk mendapat
epilepsi.Pengguna narkotik dan peminum alkohol punya resiko lebih tinggi.
Pengguna narkotik mungkin mendapat seizure pertama karena
menggunakan narkotik, tapi selanjutnya mungkin akan terus mendapat
seizure walaupun sudah lepas dari narkotik. Umumnya epilepsi mungkin
disebabkan oleh kerusakan otak dalam process kelahiran, luka kepala, strok,
tumor otak, alkohol.Kadang epilepsi mungkin juga karena genetik, tapi
epilepsi bukan penyakit keturunan.Tapi penyebab pastinya tetap belum
diketahui.
4.2. Saran
Setelah memahami makalah ini semoga bermanfaat bagi pembaca.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini oleh karena
itu sangat diharapkan kritik maupun saran dari pembaca, untuk
peyempurnaan pada makalah-makalah berikutnya.

26
DAFTAR PUSTAKA

Depkes. (2013). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Diperoleh dari:
http://www.depkes.go.id/downloads/dak_09/jdak09.pdf [Diakses tanggal
16 Oktober 2013]
Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S, et al.2006. Pedoman Tatalaksana
Epilepsi. Yogyakarta. PERDOSSI.
Frida, M. (2015) ‘Terhadap Densitas Tulang Dan Kadar Alkali Fosfatase Pada
Penderita Epilepsi Yang Berobat Di Poliklinik Saraf Rs . Dr . M . Djamil
Padang.
Gidal, B.E., and Garnett, W.R., 2005, Epilepsy, in Pharmacotherapy: A
Phathophisiology Approach, Dipiro, J.T., et al (eds) McGraw Hill, New
York, 1023-1048.
Nur, F. T., Setiawati, S. R. And Salimo, H. (2011) ‘Pengaruh Obat Anti Epilepsi
Terhadap Gangguan Daya Ingat Pada Epilepsi Anak’, Sari Pediatri, 12(5),
Pp. 10–14.
Salmiah, S. (2009) ‘Gingivitis Pada Anak’, G.K.K, Pp. 1–14.
Wibowo, S., dan Gofir, A., 2006, Obat Antiepilepsi, Pustaka Cendekia Press,
Yogyakarta, 85.
World Health Organization. Definisi Sehat WHO: WHO; 1947

27

Anda mungkin juga menyukai