Anda di halaman 1dari 54

KASUS POSISI Putusan 145/G/2011/PTUN-JKT

Dalam kasus ini Penggugat adalah:

1. Organisasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang dalam


hal ini diwakili oleh Berry Nahdian Forgan, Warganegara Indonesia selaku
Ketua Badan Pengurus, beralamat di Jalan Srikandi II No. 51, RT, 003,
RW. 015, Bentarjati Bogor Utara, Jawa Barat, dan Muhammad Teguh
Surya. Pengurus, beralamat di Jalan Tegal Parang Selatan (Jl. Raufal), RT.
007. RW. 07, Teg'al Parang, Mampang, Jakarta Selatan.

2. Gerakan Masyarakat Cinta Alma “Gema Alam”. Dalam hal ini diwakili
oleh Muhammad Juaini Warganegara Indonesia selaku Masyarakat Cinta
Alarn "Gema Alam" , beralamat di Lingkungan . Lauq Masjid, Kelurahan
pancor, Kecamatan Selong, Kabupaten Lombok Timur. Selanjutnya
PENGGUGAT I dan PENGGUGAT II dalam perkara ini memberikan
Kuasa kepada :

- ALEX ARGO HERNOWO, S.H.;

- ANDI MUTTAQIEN, S.H.;

- ANDIKO SUTAN MANCAHYO, S.H.;

- GRANDY NADEAK, S.H.;

- IKHANA INDAH BARNASAPUTRI, S.H.;

- IKI DULAGIN, S.H.;

- JUD1ANTO SIMANJUNTAK, S.H.;

- JUMI RAHAYU, S.H. LLM.;

- MARIA MAGDA BLEGUR,, S.H.;

- N. ARTHUR RUMIMPUNU, S.H.;

1
- PEBRI ROSMALIA, S.H,;

- RICKY GUNAWAN, S.H.;

- SIGOB M. TAMBUNAN, SH.;

- TANDIONO BAWOR PURBAYA, S.H.;

- WAHYU WAGIMAN, S.H.;

Kesemuanya Warganegara Indonesia, pekerjaan Advokat,


Warganegara Indonesia, yang fergabung dalam " TIM ADVOKASI
PULIHKAN INDONESIA "dan memilih domisili Hukum di Jalan Tegal
Parang Utara No. 14 Mampang, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tanggal 27 Juli 2011, untuk selanjutnya disebut sebagai PARA
PENGGUGAT;

3. PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT, yang


diwakili oleh Dr. KH. Zulkifli .Muhadli, S.H., M.M., Bupati Sumbawa
Barat, beralamat di Jalan Bung Karno No. 3, Kompleks Kemutar Telu
Center (KTC) Taliwang, Kabupaten Sumbawa Ba'rat, dalam perkara ini
memberikan kuasa kepada :

- BURHANUDDIN JEBANG, SH.; Staf Ahli Bidang Hukum Dan


Politik pada Pemerintah Kabupaten Surnbawa Barat;

- HIRAWANSYAH, S.H.M.H; Kepala Badan Lingkungan Hidup


Kabupaten Sumbawa Barat;

- SUZAINUDDIN, .S.H.M.lW. Kepala Bagian Hukum Dan Organisasi


Sekretariat Daerah Kabupaten Sumbawa Barat;

- SUDIRMAN, S.H. Staf Bagian Hukum Dan Organisasi Sekretariat


Daerah Kabupaten Sumbawa Barat;

2
- MUHAMMAD'IMRAN ROSIAWAN S.H. Staf Bagian Hukum
Dan Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten Sumbawa

Kesemuanya Warga Negara Indonesia, beralamat di Jalan Bung Karno


No. 3, Kompleks Kemutar Telu Center (KTC) Taliwang, Kabupaten
Sumbawa Barat .berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor :
875.1/85/HOR/2011 tanggal 15 September 2011, untuk selanjutnya
disebut sebagai PENGGUGAT II INTERVENSI.

Tergugat adalah:

1. MENTERI NEGARA LINGKUNGAN. HIDUP REPUBLIK


INDONESIA, Tempat kedudukan di Jalan DI Panjaitan Kav. 24, Kebon
Nanas, Jakarta Timur, dalam perkara ini memberikan kuasa kepada:

- PATRA M.ZEIN, SH. LLM; Advokat;

- FAUZUL ABRAR, S.H. ; Advokat;

- C1CILIA SULASTRI, S.H. MS.I; Asisten Deputi Penyelesaian


Sengketa Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup;

- UMAR SUYUDI, S.H. M.M; Kepala Bidang Penyelesaian Sengketa


Lingkungan Melalui Pengadilan;

Kesemuanya Warga Negara Indonesia, beralamat di Kantor


Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Jalan DI
Panjaitan Kav. 24, Kebon Nanas, Jakarta Timur Berdasarkan Surat
Kuasa.Khusus Nomor: 02/MENLH/09/2011 tanggal 7 September 2011,
dan selanjutnya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor:
01/MENLH/08/2011, tanggal 26 Agustus 2011 Pihak Tergugat Juga
memberikan Kuasa kepada BASRIEF ARIEF, S.H.M.H, Jaksa Agung
Republik Indonesia, dan berdasarkan Surat Kuasa Substitusi Nomor : SK-
095/A/JA/09/ 2011, tanggal 9 September 2011 memberikan kuasa

- SUWARSONO.S.H,;

3
- SUSD1YARTO AGUS PRAPTONO, S.H.M.H;

- HENNY ROSANA, S.H.;

- B. MARIA ERNA E, S.H.M.H. ;

- AYU AGUNG, S.Sos, S.H.M.H,;

- ANTONIUS BUDI SATRIA, S.H.M.H.;

- ARIE EKO YULIEARTI, S.H.M.H;

Kesemuanya Warganegara Indonesia, Pekerjaan Jaksa Pengacara


Negara pada Kejaksaan Agung Republik Indonesia, beralamat di Jalan
Sultan Hasanuddin No. 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

2. PT. NEWMONT NUSA TENGGARA, dalam hal ini diwakili oleh


MARTIONO HADIANTO, Selaku Presiden Direktur, beralamat di
Menara Rajawali lantai 26, Mega Kuningan Lot #5.1, Kawasan Mega
Kuningan, Jakarta 12950, dalam perkara ini memberikan kuasa kepada:

- HAFZAN TAHER, S.H;

- NIRA SARI NAZARUDIN, S.H. LLM.;

- IGNATIUS ANDY, S.H;

- HARVARDY M. IQBAL, S.H.,M.H.;

- RANDO PURBA, S.H.;

- AHMAD DJOSAN, S.H.;

- ROMI EMIRAT, S.H.;

- ERIE HOTMAN TOBING, S.H.LLM ;

4
Kesemuanya Warganegara Indonesia, pekerjaan Advokat pada Kantor
Advokat SOEMADIPRAJA & TAHER, beralamat di Wisma GKBI, lantai
9, Jalan Jenderal Sudirman Jakarta Pusat 10201, berdasarkan Surat No.
817/PD-MH/NNTA/III/2011 tanggal 19Agustus selanjutnya Pihak
Tergugat II Intervesi, berdasarkan Surat Kuasa Khusus 864/PD-
MH/NNT/XI/2011 tanggal 28 Nopember 2011 juga memberikan kuasa
kepada :

- DR. LUHUT. M.P. PANGARIBUAN, S.H.LLM.;

- DYMAS SATRIOPROJO, S.H.LLM.;

- SETYAWAT FITRIANGGRAENI, S.H. LL.M.;

ketiganya Warganegara Indonesia, Advokat pada Kantor LUHUT


MARIHOT PARULIAN PANGARIBUAN (LMPP), Advocates &
counsellors at law, beralamat di di Menara Kuningan Lt. 15, Jl. H.R.
Rasuna Said Blok X-7 Kav. 5, Jakarta 12940,

Objek Gugatan adalah Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup


Nomor 92/2011 mengenai pemberian izin Penempatan Tailing di Dasar Laut
kepada PT Newmont Nusa Tenggara pada Proyek Batu Hijau pada tanggal 9 Mei
2011 yang dituntut pembatalannya oleh WALHI dan GEMA ALAM ke
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Dalam persidangan berikutnya,
turut pula menggugat adalah Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat yang
mengambil posisi sebagai penggugat intervensi karena dianggap memiliki
kepentingan mengingat obyek sengketa berada di wilayah administratifnya.
Namun demikian, selama persidangan dari sejak proses pembuktian hingga
putusan, boleh dibilang pihak Pemkab tidak terlalu aktif dan sering tidak hadir.

Alasan Penggugat mengajukan gugatan adalah:

1. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan


peraturan perundang-undangan.

5
2. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat bertentangan dengan asas-asas
pemerintahan yang baik.

Setelah mempertimbangkan segala hal yang muncul di persidangan termasuk


mendengar keterangan saksi, fakta masyarakat dan pemerintah daerah juga saksi
dari Kementerian Lingkungan Hidup serta mempertimbangkan para ahli yang
berkompeten, majelis hakim memutuskan untuk tidak menerima gugatan/menolak
gugatan yang diajukan. Keputusan Majelis Hakim PTUN yaitu:

1. Dalam penundaan: menolak penundaan pemberlakuan Permen LH tentang


ijin tailing PT Newmont Nusa Tenggara

2. Dalam eksepsi menolak sebagian eksepsi para tergugat, dan menolak


Gerakan Masyarakat Cinta Alam (GEMA ALAM) sebagai pihak
penggugat

3. Dalam pokok perkara menolak gugatan para penggugat

Berdasarkan bukti surat dan keterangan para saksi dan ahli yang diajukan
selama persidangan, terbukti dalam melaksanakan kewenangannya, Menteri
Negara Lingkungan Hidup sebagai tergugat tidak melanggar peraturan
perundangan yang berlaku maupun bertentangan dengan Asas Umum
Pemerintahan yang Baik (AUPB). Dengan demikian Izin Dumpling Tailing ke
laut yang menjadi obyek sengketa tetap dinyatakan sah dan berlaku.

6
HAK GUGAT

Dalam Putusan Nomor 145/G/2011/PTUN.JKT, yang berposisi sebagai Penggugat


adalah:

1. Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), sebuah badan


hukum berbentuk yayasan yang didirikan berdasarkan Hukum Negara
Republik Indonesia, berdasarkan Akta Notaris Arman Leny, S.H., Nomor:
04 tanggal 24 Mei 2007 dan Nomor: 04 tanggal 17 Juni 2008 (Pernyataan
Keputusan Rapat/Perubahan), berkedudukan di Jalan Tegal Parang Raya
Utara No. 14, Jakarta 12790, dalam hal ini diwakili oleh BERRY
NAHDIAN FORQAN, Warga Negara Indonesia selaku Ketua Badan
Pengurus, beralamat di Jalan Srikandi II No. 51, RT, 003, RW. 015,
Bentarjati Bogor Utara, Jawa Barat, dan MUHAMMAD TEGUH SURYA,
Warga Negara Indonesia, selaku Anggota Badan Pengurus, beralamat di
Jalan Tegal Parang Selatan (Jl. Raufal), RT. 007. RW. 07, Tegal Parang,
Mampang, Jakarta Selatan.

2. Gerakan Masyarakat Cinta Alam (Gema Alam), Sebuah Badan Hukum


berbentuk Perkumpulan yang didirikan berdasarkan Hukum Negara
Republik Indonesia, berdasarkan Akta Notaris Hafsan Hirwan, SH.
Nomor: 85 tanggal 20 Oktober 2004, berkedudukan di Jalan Pejanggik
Nomor: 64 Pancor 83611 Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, dalam hal
ini diwakili oleh MUHAMMAD JUAINI, Warga Negara Indonesia selaku
Ketua Gerakan Masyarakat Cinta Alarn "Gema Alam", beralamat di
Lingkungan Lauq Masjid, Kelurahan pancor, Kecamatan Selong,
Kabupaten Lombok Timur.

Selain Penggugat diatas, terdapat pihak lain sebagai Penggugat Intervensi, yaitu:

1. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat, yang diwakili oleh Dr.


KH. Zulkifli Muhadli, SH.MM. Bupati Sumbawa Barat, beralamat di Jalan

7
Bung Karno No. 3, Kompleks Kemutar Teluk Center (KTC) Taliwang,
Kabupaten Sumbawa Barat.

Berdasarkan pendapat hakim, tidak semua Penggugat memiliki hak gugat


untuk menggugat dalam sengketa ini. Jika dilihat dari berbagai pertimbangan
hakim, hakim menerima Penggugat I dan Penggugat intervensi sebagai pihak
penggugat karena memiliki hak gugat dalam sengketa ini. Berbeda halnya dengan
Penggugat II, Penggugat II tidak diterima sebagai pihak yang dapat berposisi
sebagai Penggugat karena menurut hakim Penggugat II tidak memiliki hak gugat
yag dapat membenarkan posisinya sebagai pihak penggugat.

Penggugat I dan Penggugat II merupakan suatu organisasi lingkungan


hidup. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan hidup (yang selanjutnya disebut dengan UU
Lingkungan Hidup), hak gugat organisasi lingkungan hidup diatur di dalam Pasal
92, yang rumusannya adalah sebagai berikut:

(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan


pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak
mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan
hidup.

(2) Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan


tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau
pengeluaran riil.

(3) Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila


memenuhi persyaratan:

a. berbentuk badan hukum;

b. menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi


tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan
hidup; dan

8
c. telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran
dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun.1

Jika diuraikan unsur-unsur apakah sebuah organisasi memiliki hak gugat


berdasarkan Pasal 92 UU Lingkungan Hidup, maka sebuah organisasi yang
memiliki hak gugat harus:

- mengajukan gugatan dalam rangka menjaga pelestarian fungsi lingkungan


hidup

- berbentuk badan hukum

- menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan


untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup

- melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat


2 (dua) tahun

1. WALHI

Dalam perkara ini, WALHI dinyatakan memiliki legal standing dan


diterima sebagai Penggugat oleh Majelis Hakim. Hal ini dikarenakan WALHI
adalah organisasi lingkungan hidup yang telah memenuhi syarat untuk dapat
mengajukan gugatan. WALHI telah terbukti menurut hukum sebagai Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang berbentuk badan hukum. WALHI meruakan
yayasan yang telah didaftarkan di Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia dengan Kepmenhukham Nomor: C-
2898.HT.Q1.02.TH.2007 tanggal 10 September 2007. Berdasarkan hal
tersebut, WALHI benar menurut hukum telah memenuhi syarat sebagai badan
hukum.

WALHI juga telah menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa


WALHI merupakan organisasi yang didirikan untuk kepentingan pelestarian
1
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32
Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, Psl. 92

9
fungsi lingkungan hidup. Hal ini dapat dibuktikan di dalam Pasal 5 angka 2
dari anggaran dasar WALHI bahwa WALHI secara jelas menyebutkan bahwa
salah satu maksud dan tujuan dari WALHI adalah “Meningkatkan kesadaran
masyarakat sebagai Pembina lingkungan dan terkendalinya pemanfaatn
sumberdaya secara bijaksana.” Sehingga, berdasarkan hal ini dapat dinyatakan
bahwa WALHI telah memenuhi syarat (b) yaitu merupakan organisasi
lingkungan hidup yang menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa
organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan
hidup.

WALHI juga terkenal aktif dalam mengawal isu-isu lingkungan hidup di


Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan:

- WALHI sejak 1980 telah aktif melakukan advokasi lingkungan termasuk


dalam permasalahan pertambangan dan perlindungan pesisir dan laut,
diantaranya dengan mendampingi masyarakat Buyat, Sulawesi Utara
dalam persoalan kesehatan dan pencemaran serta melakukan gugatan
terhadap pembuangan tailing ke laut yang dilakukan oleh PT. Newmont
Minahasa Raya. Aktivitas ini terekam dalam website www.walhi.or.id;

- Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 548/Pdt.G/ 2007/ PN.Jaksel,


WALHI dkk. Melawan PT. Newmont Mihahasa Raya;

- Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang No.


04/G/2009/PTUN.SMG, Yayasan Walhi melawan Kepala Kantor Perijinan
Terpadu Kabupaten Pati dalam kasus Semen Gresik;

- Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 459/PDT.G/


2000/PN.Jak/Sel., Yayasan WALHI melawan PT. Freeport Indonesia;

- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 060/PUU-II/2005 tentang Pengujian


UU No, 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap UUD 1945;

10
- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-HI/2005 tentang Pengujian
UU No. 19 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan terhadap UUD 1945;

- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21.-22/PUU-V/2007 tentang Pengujian


UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal;

Maka, berdasarkan hal-hal diatas, dapat dibuktikan secara hukum


bahwa WALHI telah memenuhi syarat hak gugat organisasi huruf (c) yang
telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling
singkat 2 (dua) tahun.

Selain itu, pengajuan gugatan oleh Penggugat ini juga ditujukan sebagai
pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
untuk kepentingan pelestarian lingkungan hidup khususnya kawasan Teluk
Senunu sebagai akibat pembuangan tailing oleh PT Newmont.

Berbagai penjabaran diatas telah membuktikan bahwa WALHI telah


memenuhi syarat hak gugat organisasi untuk mengajukan gugatan dalam
perkara ini.

2. GEMA ALAM

Dalam perkara ini, pertimbangan majelis hakim menyatakan bahwa


GEMA ALAM sebagai Penggugat II tidak memiliki legal standing dalam
perkara ini. Majelis hakim menyatakan bahwa GEMA ALAM tidak memenuhi
keseluruhan syarat untuk mendapatkan hak gugat organisasi. Maka,
berdasarkan pertimbangan hakim tersebut, akan dipaparkan apakah GEMA
ALAM memang tidak memenuhi syarat sebagai Penguggat dalam perkara ini.

GEMA ALAM adalah sebuah Perkumpulan yang didirikan berdasarkan


Akta Notaris Hafsan Hirwan, SH, Nomor : 85, tanggal 20 Oktober 2004 dan
sebuah Organisasi Kemasyarakatan dibidang advokasi lingkungan yang
terdaftar di Badan Kesbang Linmas Pemerintah Lombok Timur dengan nomor
Inventarisasi: 016/BKL/LSM/VI/2005, tanggal 14 Juni 2005 (Bukti Surat P-

11
9). Namun, berdasarkan pertimbangan dari Majelis Hakim GEMA ALAM
bukanlah suatu badan hukum, sehingga tidak memenuhi syarat huruf (a) dari
Pasal 92 ayat (3) UU Lingkungan Hidup. Untuk menjadikan sebuah organisasi
berbadan hukum, organisasi tersebut harus didaftarakan di Kementeria Hukum
dan Hak Asasi Manusia. Namun, GEMA ALAM tidak melakukan hal tersebut.
Dan, berdasarkan Bukti Surat T.II-lnt-8, berupa Surat Keterangan Ketua
Pengadilan Negeri Selong Nomor: W25-U4/945/HK.02/IX/2011, Perihal:
Keterangan Resmi, tertanggal 28 September 2011, dinyatakan bahwa:
Perkumpulan "Gerakan Masyarakat Cinta Alam"; yang beralamat di Jalan
Pejangik Nomor 64. Pancor 83611, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat
sampai saat ini belum didaftarkan di Kepaniteraan Negeri Selong. Jadi,
berdasarkan pemaparan diatas GEMA ALAM tidak memenuhi syarat huruf (a)
yaitu merupakan organisasi lingkungan hidup yang berbadan hukum.

Berdasarkan Pasal 5 dari anggaran dasar GEMA ALAM, disebutkan


bahwa tujuan lembaga diantaranya adalah melakukan kegiatan advokasi
lingkungan dan meningkatkan mutu atau kualitas lingkungan hidup. Jadi,
GEMA ALAM telah memenuhi syarat hak gugat organisasi yang kedua dalam
Pasal 92 ayat (3) huruf (b) UU Lingkungan Hidup.

Syarat yang ketiga dari Pasal 92 ayat (3) UU Lingkungan hidup adalah
organisasi tersebut telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran
dasarnya paling singkat 2 (dua) tahun. GEMA ALAM menyatakan bahwa
sejak berdirinya di tahun 2004, GEMA ALAM telah aktif melakukan kegiatan
pelestarian lingkungan di provinsi Nusa Tenggara Barat, diantaranya:

- dengan memfasilitasi perlindungan mata air di kawasan hutan Lemor;

- memfasilitasi legalistas hak kelola hutan kemasyarakatan di Kabupaten


Lombok Timur diantaranya di Gunung Walang;

- melakukan berbagai aktivitas kampanye lingkungan seperti lomba lintas


alam.

12
Semua hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai dokumentasi berupa
foto, laporan kegiatan, dan tulisan di berbagai media yang dapat dibuktikan.
Berdasarkan penjelasan diatas, GEMA ALAM telah memenuhi Pasal 92 ayat
(3) huruf (c) dari UU Lingkungan Hidup.

Sama halnya dengan WALHI, GEMA ALAM mengajukan gugatan ini


juga ditujukan sebagai pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup untuk kepentingan pelestarian lingkungan
hidup khususnya kawasan Teluk Senunu sebagai akibat pembuangan tailing
oleh PT Newmont.

Berbagai penjabaran diatas telah membuktikan bahwa GEMA ALAM


telah memenuhi syarat hak gugat organisasi untuk mengajukan gugatan dalam
perkara ini, kecuali syarat huruf (a) dari Pasal 92 ayat (3) UU Lingkungan
Hidup. Sehingga dengan tidak terpenuhinya satu dari semua syarat gak gugat
organisasi, GEMA ALAM tidak memiliki legal standing untuk mengajukan
perkara ini. Maka, berdasarkan penjabaran syarat-syarat hak gugat organisasi
diatas, majelis hakim telah benar berdasarkan hukum yang menyatakan dalam
pertimbangannya bahwa GEMA ALAM sebagai Penggugat II tidak memiliki
legal standing dalam perkara ini.

Penggugat Intervensi yang dalam hal ini adalah Pemerintah Daerah


Kabupaten Sumbawa Barat, merupakan Pemerintah Daerah yang berdasarkan
Pasal 90 dari UU Lingkungan Hidup memiliki hak gugat untuk mengajukan
gugatan dalam dalam pelestarian lingkungan hidup. Rumusan dari Pasal 90 UU
Lingkungan Hidup adalah sebagai berikut:

(1) Instansi pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di


bidang lingkungan hidup berwenang mengajukan gugatan ganti rugi dan
tindakan tertentu terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan
kerugian lingkungan hidup.

13
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.2

Berdasarkan Pasal 90 UU Lingkungan Hidup, instansi pemerintah dalam


hal ini pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup
dapat mengajukan gugatan atas tindakan tertentu terhadap kegiatan yang
menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Pemerintah Daerah Kabupaten
Sumbawa Barat mengajukan gugatan atas dikeluarkannya suatu surat keputusan
oleh Kementerian Lingkungan Hidup dengan Nomor 92 Tahun 2011 tanggal 5 Mei
2011, tentang Izin Dumping Tailing Di Dasar Laut PT. Newmont Nusa Tenggara Proyek
Batu Hijau, yang dianggap telah menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. Pengeluaran
surat keputusan tersebut berimplikasi langsung kepada daerah administrartif dari
Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat, sehingga Pemerintah Daerah
Kabupaten Sumbawa Barat yang bertanggung jawab atas lingkungan hidup di
daerah tersebut memiliki hak gugat dalam perkara ini. Selain itu, jika dilihat dari
aspek administrasi, masuknya Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat
sebagai pihak yang berkepentingan dalam sengketa ini adalah dalam hal
mempertahankan haknya. Karena dalam wilayah hukumnya telah diterbitkan
Objek Sengketa in litis, yang pada akhirnya akan berakibat hukum kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat.

Pada dasarnya, Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat merupakan


Penggugat Intervensi. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat
mengintervensi ke dalam kasus ini karena kepentingannya terganggu akan
diterbitkannya Surat Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup dengan Nomor 92
Tahun 2011 tanggal 5 Mei 2011, tentang Izin Dumping Tailing Di Dasar Laut PT.
Newmont Nusa Tenggara Proyek Batu Hijau. Sehingga, berdasarkan berbagai pemaparan
diatas, penulis setuju pada pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa Pemerintah
Daerah Kabupaten Sumbawa Barat diterima legal standing-nya sebagai
Penggugat Intervensi.

2
Ibid, Psl. 90

14
15
HUBUNGAN AMDAL, RISK ASSESSMENT, DAN
PRECAUTIONARY PRINCIPLE DALAM PUTUSAN NOMOR
145/G/2011/PTUN.JKT

Pasal 1 angka 11 UU Lingkungan Hidup memberikan pengertian tentang


Amdal yaitu

“Kajian mengenai dampak penting suatu usahan dan/atau kegiatan yang


direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.”

Pengaturan amdal adalah sebagai upaya untuk mengkaji apakah kegiatan


pemanfaatan atau pengelolaan sumber daya alam atau kebijakan pemerintah akan
dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Setiap usaha atau
kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki amdal.
Dampak penting tersebut berdasarkan pasal 22 UU UPPLH ditentukan dengan
melihat besar jumlah penduduk yang akan terkena dampak, luas wilayah yang
akan terkena dampak, lamanya waktu dampak tersebut berlangsung, jumlah
komponen lingkungan lain terkena dampak, sifat kumulatif dampak, berbalik atau
tidak berbaliknya dampak, dan sebagainya sesuai dengan perkembangan
pengetahuan. Yang dimaksud dengan usaha atau kegiatan yang berdampak penting
tersebut dijelaskan dalam Pasal 23 UU Lingkungan Hidup dimana kegiatan atau
usaha tersebut meliputi pengubahan bentuk lahan dan bentang alam, usaha berupa
eksploitasi sumber daya alam, penggunaan dan pemanfaat sumber daya alam yang
digunakan secara boros dan akan menyebabkan terjadinya kemerosotan sumber
daya alam, proses dan kegiatan yang hasilnya akan berpengaruh pada lingkungan
alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya, serta memengaruhi
pelestarian kawasan konservasi sumberd aya alam, intoduksi jenis tumbuh-
tumbuhan, hewan, dan jasad renik, pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan
non hayati, kegiatan yang berisiko tinggi dan mempengaruhi pertahanan negara,
serta usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan teknologi yang berpotensi besar

16
mempengaruhi lingkungan hidup.

Asas Kehati-hatian sebagaimana dimuat dalam Penjelasan Pasal 2 huruf c


UU PPLH, yakni:

"bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan


karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan
merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminalisasi atau
menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan.”

Asas kehati-hatian haruslah dilihat sebagai suatu upaya untuk memperbaiki


proses pengambilan keputusan yang selama ini dilakukan yaitu proses yang
tertutup, tidak demokratis, dan berpura - pura sebagai proses yang ilmiah. Adanya
risk assessment tidak serta merta menunjukan bahwa asas kehati-hatian telah
dilaksanakan, sebaliknya kita justru masih harus melihat apakah risk assessment
telah dilaksanakan sesuai asas kehati-hatian atau tidak. Risk assessment
sebenarnya tidak dapat dijadikan suatu indikator yang baik untuk menunjukan
bahwa asas kehati-hatian telah dilaksanakan karena selama ini justru telah
digunakan oleh beberapa pihak untuk menjadi senjata dalam melawan asas kehati-
hatian. Risk assessment sebenarnya sering kali gagal untuk secara terbuka
membahas risk dan uncertainty. Di samping itu, meskipun seandainya risk dan
uncertainty telah dibahas, risk assessment belum tentu mampu mendefinisikan
secara mendalam tingkat keseriusan (besaran) dari tiap dampak yang mungkin
muncul. Apabila hal ini terjadi maka, risk assessment dianggap gagal dalam
memperhatikan kondisi ambiguity.

Bahwa di samping itu, asas kehati-hatian juga berfungsi sebagai arahan


dalam proses pembuatan keputusan agar proses tersebut lebih terbuka terhadap
ketidakpastian ilmiah (uncertainty) dan mampu melibatkan serta
mempertimbangkan setiap pendapat. Prinsip kehati-hatian meskipun didasari pada
analisa dan prediksi tetapi mengakui dan mengkompensasi ketidakpastian yang
melekat dan ketidakpastian dalam sistem alam yang memberikan paradigmna
pusat untuk tindakan pencegahan yang bertanggung jawab, tepat waktu dan
definitif. Prinsip kehati-hatian tidak bisa dan tidak boleh dibawa mekanisme risk

17
assessment. Prinsip kehati-hatian merupakan alat ilmiah yang penting untuk
mengurangi ancaman lingkungan. Dalam praktek pada umumnya, proses
penilaian resiko untuk lingkungan laut disederhanakan seideal mungkin, mereka
membandingkan Predicted No-Effect Concentration (PNEC) dengan Predicted
Enviromental Concentration (PEC) untuk menghasilkan rasio PNEC atau PEC
yang besarnya menentukan kebijakan berikutnya. Kerangka umum dalam risk
assessment terdiri dari identifikasi bahaya dan penilaian bersama dengan
peniliaian eksposur. Output dari kedua unsur ini kemudian digunakan sebagai
bahan untuk menentukan penilaian risiko secara komperhensif. Dengan cara
tersebut maka, ketidakpastian akan berkurang.3

Terkait precautionary principle yang didebatkan oleh pihak penggugat dan


tergugat, dimana asas tersebut merupakan asas penting yang dibutuhkan dalam
menyelenggarakan kegiatan berdasarkan Undang-Undang yang telah berlaku
bahwa asas kehati-hatian ini tidak hanya berkaitan dengan AMDAL atau risk
assesment. Hal ini dapat diteliti dalam undang-undang bahwa langkah
meminimalisasi ataupun menghindari ancaraman pencemaran atau kerusakan
lingkungan tidaklah hanya berdasarkan AMDAL atau risk assesment.

“ Adopting the Precautionary Principle, STD should not be considered until


deep-ecosystem has been thoroughly studied by independent scientist so that’s it
ecological role and value is better understood.”4

Dimana mengadopsi dari asas kehati-hatian bahwa tailing dumping haruslah


memperhatikan ekosistem secara mendalam yang dapat diartikan bahwa dengan
memperhatikan ekosistem secara mendalam merupakan suatu langkah untuk
meminimalisasi akan ancaman pencemaran dan kerusakan lingkungan yang akan
dating.

Environmental Risk Assesment atau biasa disingkat ERA adalah suatu kajian
yang dilakukan terhadap resiko yang akan ditimbulkan dari suatu bentuk kegiatan
yang memiliki hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap
3
D. Santilo, et. Al., “The Precautionary Principle: Protecting Against Failure of Scientific
Method and Risk Assesment”, Marine Pollution Bulletin, Vol. 36(12), 939-950 (1998).
4
Project Underground dan MiningWatch Canada, “STD Toolkit”, 2002

18
lingkungan hidup. Dalam melakukan ERA terdapat empat tahapan yang harus
dilakukan, yakni anatara lain:5

1. Hazard Identification, yang meliputi identifikasi mengenai hal-hal yang


kemungkinan dapat menyebabkan dampak-dampak yang buruk, namun
seringkali diperluas hingga meliputi tindakan identifikasi dari kemungkinan
timbulnya konsekuensi yang buruk yang mana dihasilkan dari bahaya yang
telah teridentifikasi.

2. Exposure Assesment, merupakan suatu kajian mengenai kemungkinan bahaya


yang mengancam lingkungan hidup.

3. Effect Assesment, merupakan suatu kajian terhadap kemungkinan kondisi yang


mengandung efek berbahaya yang mana akan merusak lingkungan hidup.

4. Risk Characterization, merupakan suatu tahapan di mana dilakukan tindakan


penggabungan terhadap seluruh informasi yang didapat untuk nantinya
digunakan dalam memprediksi suatu resiko yang akan ditimbulkan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa AMDAL di


Indonesia adalah suatu bentuk dari Environmental Risk Assesment yang
merupakan suatu kajian standar terhadap resiko lingkungan hidup yang dikenal
secara luas dalam dunia internasional. Namun Environmental Risk Assesment
hanya memuat kajian mengenai resiko yang akan timbul terhadap lingkungan dari
adanya suatu usaha/kegiatan, sedangkan AMDAL juga memuat evaluasi dari
kegiatan yang dilakukan bahkan hingga memuat mengenai bagaimana
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup atas dasar kegiatan yang
dilaksanakan. Hal ini mengindikasikan bahwa AMDAL memiliki cakupan yang
lebih luas dari Environmental Risk Asessment.

Dalam perkembangannya, Precautionary Principle tidak dapat di


implementasikan hanya dengan sebuah risk assesment dan AMDAL.6

5
Andow, D.A. and C. Zwahlen. 2006. “Assessing Environmental Risks of Transgenik
Plants”. Ecology Letters, Vol. 9, No.2, February, pp. 196-214
6
Andri G. Wibisana, “The Development of Precautionary Principle in International and
Indonesia Environmental Law”, Asia Pacific Journal of Environmental Law 13, (2011), hlm. 20

19
Precautionary Principle dianggap telah berlaku berdasarkan proses dalam
pengambilan keputusan yang mana dampak jangka panjang telah lihat,
ketidakpastian telah diketahui dan diselesaikan solusinya, dan segala alternatif dan
solusi telah didiskusikan secara terbuka dan menimbang berbagai opini yang telah
disampaikan.7

Dalam putusan, Penggugat dalam gugatannya menjabarkan beberapa alasan


untuk dibatalkannya Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup yang dianggap
bertentangan dengan Asas kehati-hatian. Bahwa Indonesia merupakan satu dari
hanya beberapa negara yang masih mempertahankan sistem pembuangan tailing
ke dasar laut atau submarine tailing (STD). Sistem pembuangan tailing ini
dianggap lebih beresiko bagi lingkungan, akan tetapi masih dipilih karena
biayanya hanya 17% dari biaya pembuangan tailing di darat atau tailing dam.
Pendapat dari pihak penggugat yang menyatakan bahwa Surat Keputusan yang
dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup melanggar prinsip kehati-hatian
merupakan suatu pendapat yang tepat. Karena seharusnya Menteri Lingkungan
Hidup dalam memberikan izin seperti pembuangan tailing ke dalam laut haruslah
mengidentifikasi mengenai kemungkinan terjadinya dampak-dampak yang
mengancam lingkungan hidup, dan Menteri Lingkungan Hidup seharusnya dalam
mengambil suatu keputusan haruslah melibatkan masyarakat, dan keterlibatan
para ilmuwan. Seperti pandangan yang diungkapkan oleh Ducrotoy dan Elliot,
bahwa kebutuhan akan suatu informasi ilmiah secara efektif melibatkan ilmuwan,
politisi, LSM, dan masyarakat yang lebih luas dalam mencapai keputusan akhir.

Menurut Penggugat, asas kehati-hatian (precautionary principle) bukanlah


dibuktikan dengan menunjukan izin, AMDAL atau environmental risk assesment
(ERA), tetapi dengan membuktikan bahwa pengambilan keputusan telah
mempertimbangkan semua potensi dampak yang akan terjadi, baik secara jangka
pendek atau jangka panjang, telah mempertimbangkan ketidakpastian ilmiah,
telah memperhatikan berbagai alternatif kegiatan yang lebih baik berdasarkan
best available technology, serta telah dengan seksama memperhatikan pendapat
dari berbagai kalangan.

7
Andri G. Wibisana, loc. Cit., hlm. 20

20
Dalam sengketa ini, penulis setuju dengan pendapat para ahli yang diajukan
oleh para penggugat yaitu Prof. Dr. Sonny Keraf yang menyatakan bahwa
sebelum Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan Izin Dumping Tailing harus
ada keterbukaan informasi yang melibatkan seluruh komponen yang terkait
khususnya peran masyarakat yang akan terkena dampak tersebut dan dalam
rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, maka sebelum
mengeluarkan suatu Izin yang menyangkut Lingkungan hidup harus
melaksanakan dan mematuhi Asas Tanggung Jawab Negara, Asas Kelestarian Dan
Kelanjutan, Asas Kehati-Hatian dan Asas Partisipatif. Apabila asas-asas tersebut
belum dipenuhi, maka izin tidak boleh diterbitkan, namun apabila sudah dipenuhi
barulah izin dapat diterbitkan. Apabila kita melihat putusan ini, kita dapat melihat
bahwa keputusan yang diambil oleh Menteri Lingkungan Hidup tidak
mengikutsertakan peran masyarakat, sehingga Menteri Lingkungan Hidup tidak
memenuhi Asas Tanggung Jawab Negara, yaitu tidak menjamin hak warga
Negara, dimana berdasarkan Pasal 2 UUPPLH yang dimaksud dengan asas
tanggung jawab Negara adalah:

a. negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan


manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat,
baik generasi masa kini maupun generasi masa depan;

b. negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat;

c. negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan SDA yang


menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Sedangkan Ahli yang diajukan oleh penggugat II Intervensi yaitu Alan


Frendy Koropitan menyatakan bahwa teknologi pembuangan tailing dibawah laut
merupakan pelanggaran teknologi yang tidak dapat diperkirakan sehingga
merupakan pelanggaran terhadap asas kehati-hatian. Dan saksi ahli lain yaitu Dr.
W. Riawan Tjandra, menyatakan bahwa Surat Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup No. 92 Tahun 2011 ini telah memenuhi karakter sebagai Objek
Sengketa Tata Usaha Negara dan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik harus

21
dijadikan nilai oleh Pejabat Tata Usaha Negara dalam mengambil keputusan.

Pihak Tergugat berpendapat bahwa Obyek Sengketa Tidak Bertentangan


dengan Asas Kehati-hatian (Pasal 2 huruf c UU PPLH). Bahwa setiap Negara
mempunyai kebijakan dan Analisis mengenai Dampak Lingkungan masing-
masing. Mengenai hubungan AMDAL, Risk Assesment, dan Precautionary
Principle, Berdasarkan dokumen ANDAL (yang merupakan bagian dari AMDAL
PT. Newmont Nusa Tenggara Proyek Batu Hijau), karena kondisi geografis pulau
Sumbawa yang kecil, rawan gempa, maka pilihan dumping batuan sisa dari
kegiatan produksi tambang ke dasar laut justru lebih sedikit resikonya jika
dibandingkan dengan pembuangan batuan sisa dari kegiatan produksi tambang
didarat yang membutuhkan Dam buatan yang sangat tinggi dan berisiko
bendungan dapat runtuh dan meluap (Over Toped) pada saat gempa bumi, serta
keharusan merelokasi penduduk. Bahwa di dalam dokumen KA, ANDAL, telah
dipertimbangkan dua alternatif untuk penempatan batuan sisa dari kegiatan
produksi tambang di Pulau Sumbawa. Kedua altematif tersebut dikaji dalam
AMDAL dan menunjukkan bahwa penempatan batuan sisa dari kegiatan produksi
tambang di darat memiliki potensi dampak lingkungan lebih besar. Dari alternatif
tersebut, keduanya dikaji dalam AMDAL dimana hasil kajian tersebutlah yang
menjadi dasar bagi komisi AMDAL pusat untuk mengeluarkan surat kelayakan
lingkungan.

Tergugat berpendirian bahwa telah melaksanakan perencanaan secara hati-


hati serta dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tersedia,
dimungkinkan dipenuhinya persyaratan-persyaratan sebagaimana telah dimuat
dalam Obyek Sengketa. Bahwa Obyek Sengketa dalam Perkara yaitu izin
lingkungan kepada usaha 'dan/atau kegiatan yang sudah dilengkapi dengan
dokumen AMDAL (Analisa mengenai Dampak Lingkungan) sebagaimana dimuat
dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP-
41/MENLH/1071996. Namun, Karena Obyek Sengketa merupakan pembaruan
(perpanjangan) izin sebelumnya yakni Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 23 Tahun 2007 tentang Izin Penempatan Tailing Di Dasar Laut kepada PT
Newmont Nusa Tenggara Proyek Batu Hijau, dan bukan merupakan izin baru,

22
yang diterbitkan berdasarkan Dokumen AMDAL Proyek Tembaga-Emas Batu
Hijau yang dimuat dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor Kep-
41/MENLH/10/1996 bertanggal 2 Oktober 1996. Dokumen AMDAL seharusnya
diperbaharui apabila akan melakukan pengembangan lokasi penambangan, baik
area maupun kapasitas produksinya. Berdasarkan berbagai ketentuan dan uraian di
atas, dapat diketahui bahwa Dokumen AMDAL Kegiatan Pertambangan
Tembaga-Emas di Batu Hijau Kecamatan jereweh - Kabupaten Sumbawa Provinsi
Nusa Te'nggara Barat harus dilakukan revisi, karena peraturan perundang-
undangan yang dijadikan acuan sudah tidak berlaku lagi serta adaanya
pengembangan lokasi penambangan PT. Newmont, baik area maupun kapasitas
produksinya. Dokumen Amdal tersebut masih didasarkan pada Peraturan
Perundang-undangan yang lama yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. Menurut pendapat penulis, pendapat atau
pembelaan yang dinyatakan oleh pihak Tergugat tidak berkesinambungan dengan
suatu prinsip kehati-hatian atau Precautionary Principle. Tergugat mengatakan
bahwa dalam mengeluarkan Surat Keputusan tersebut telah disertai dengan
pertimbangan adanya AMDAL dalam pelaksanaan usaha PT Newmont tersebut,
namun AMDAL tersebut ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang ada
sebeneranya. Pihak tergugat mengaku telah melakukan perencanaan tersebut
secara hati-hati. Namun, bagaimana hal tersebut dapat terlaksana secara efektif
apabila AMDAL yang digunakan tersebut masih berdasar pada Peraturan
Perundang-undangan yang sudah tidak berlaku lagi. Hal tersebut membuyarkan
adanya suatu prinsip kehati-hatian yang disinggung oleh pihak tergugat. Selain
itu, dari kondisi sosial yang ada di daerah sekitar, telah muncul keberatan-
keberatan dari masyarakat sekitar yang merasa dirugikan akan adanya Izin
Dumping.

Dalam putusan ini, Majelis Hakim membenarkan pernyataan Majelis Hakim


PN Bandung yang menyatakan bahwa:

"Dalam keadaan kurangnya ilmu pengetahuan termasuk adanya


pertentangan pendapat yang saling mengecualikan sementara keadaan

23
lingkungan sudah sangat rusak, maka Pengadilan dalam kasus ini harus memilih
dan berpedoman kepada prinsip hukum lingkungan yang dikenal dengan
pencegahan dini "Precautionary Principle", prinsip ke-15 yang terkandung
dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada Konferensi Rio tanggal 12 Juni
1992, United Nation Conference on Environment and Development walaupun,
prinsip ini belum rnasuk ke dalam perundang-undangan tetapi karena Indonesia
sebagai anggota dalam konferensi ini maka semangat dari prinsip ini dapat
dipedomani dan diperkuat dalam mengisi kekosongan hukum dalam praktek"
(Putusan PN Bandung No. 49/P.dtG/2003/PN.BDG).

Namun dalam putusannya, Hakim menggantungkan putusannya pada


pendapat Ahli Dr. Alan Frendy, Ahli bidang Oseanografi yang menyatakan bahwa,
"teknologi pembuangan tailing di bawah laut merupakan pelanggaran teknologi
yang tidak dapat diperkirakan sehingga merupakan pelanggaran terhadap asas
kehati-hatian, harus dikesampingkan. Menimbang, bahwa mengenai gugatannya,
Majelis Hakim sependapat dengan keterangan Ahli Prof. Dr. Philipus M. Hadjon,
SH. yang menyatakan, "asas merupakan meta norma. Dan akan menjadi norma
(mengharuskan sesuatu) jika dirumuskan dalam pasal-pasal, sehingga perumusan
asas-asas dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup adalah merupakan Pedoman
umum yang selanjutnya dirumuskan menjadi norma yang tertuang dalam pasal-
pasalnya yang bersifat mengikat". Oleh karena itu asas-asas tersebut tidak dapat
dijadilkan alasan gugatan dan oieh karenanya tidak dapat digunakan sebagai alat
uji yuridis Hakim dalam menilai keabsahan Objek Sengketa. Menimbang, bahwa
berdasarkan keseluruhan pertimbangan tersebut, Hakim menyimpulkan penerbitan
Surat Keputusan Tergugat Nomor 92 Tahun 2011 tanggal 5 Mei 2011, Tentang
Izin Dumping Tailing Di Dasar Laut PT. Newmont Nusa Tenggara Proyek Batu
Hijau, dari aspek kewenangan, prosedur dan subtansi tidak bertentangan dengan
ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku dan tidak melanggar Asas-asas
Umum Pemerintahan Yang Baik, oleh karenanya gugatan Penggugat I dan
Penggugat II Intervensi harus ditolak. Tertera dengan jelas bahwa hakim
memutuskan bahwa Precautionary Principle dikesampingkan oleh Hakim.
Majelis hakim mengesampingkan fakta persidangan. Dalam putusan ini, Majelis
Hakim tidak menilai kesalahan fakta lapangan yang terkait dengan titik koordinat

24
pipa tailing yang berbeda antara AMDAL dan obyek sengketa.

Bila dikaitkan dengan Kasus Mandalawangi, Kasus ini digugat oleh Penggugat
karena adanya kejadian longsor di kawasan gunung Mandalawangi sehingga
lingkungan hidup kawasan itu menjadi rusak dan menimbulkan kerugian warga
Gunung Mandalawangi. Penggugat menyatakan bahwa longsor yang menimpa
desa mereka berasal dari wilayah hutan yang berada dalam kekuasaan Perhutani,
dan akibatnya mereka meminta agar pihak Perhutani bertanggung jawab atas
strict liability atas kerugian yang terjadi. Pengggugat juga menggugat Pemerintah
agar bertanggungjawab karena telah melakukan perbuatan melawan hukum
dengan melalaikan kewajibannya untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan
Perhutani. Tergugat dalam hal ini mendalilkan bahwa kejadian longsor di Gunung
Mandalawangi merupakan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi akibat
bencana alam, berupa curah hujan diatas normal. Namun seharusnya para pihak
tersebut menerapkan suatu prinsip Precautionary Principle dimana,
Ketidakpastian ilmiah tidak menjadi alasan tidak dilakukannya pencegahan
terhadap suatu resiko. Maka terlihat jelas bahwa pihak Tergugat tidak
menerapkan Precautionary Principle. Karena bencana alam merupakan suatu
peristiwa yang tidak ada kepastian kapan terjadinya namun seharusnya para pihak
tetap melakukan upaya untuk mencegah terjadinya suatu kerusakan dan
pencemaran yang sangat berat terhadap lingkungan.

KEAMANAN PEMBUANGAN TAILING DI LAUT

Para penggugat melihat bahwa dikeluarkannya izin pembuangan tailing di


laut (submarine tailing disposal) bukan lah sesuatu hal yang aman. Karena pada
dasarnya hal tersebut merupakan tindakan yang tidak sejalan dengan kewajiban
Pemerintah dalam melakukan perlindungan ekosistem laut.

Setiap negara pada dasarnya ikut memikul kewajiban untuk mengambil


segala langkah yang diperlukan untuk mencegah terjadinya pencemaran di laut
yang diakibatkan oleh dimasukannya media ke laut baik secara langsung atau

25
tidak langsung, bahan-bahan yang berbahaya bagi kesehatan manusia, bahan yang
berpotensi menimbulkan bahaya bagi makhluk hidup dan ekosistem laut, serta
bahan yang dapat mengganggu pemanfaatan laut. Negara memiliki kewajiban
untuk menghapuskan pencemaran laut dari sumber pencemaran di darat yang
diakibatkan oleh bahan-bahan, antara lain, senyawa organohalogen; merkuri dan
senyawa merkuri; cadmium dan senyawa cadmium; bahan sintetik yang bersifat
persisten; serta minyak dan hidrokarbon minyak yang bersifat persisten. Negara
juga memiliki kewajiban untuk secara progresif mengurangi kemungkinan
terjadinya pencemaran laut dari sumber pencemar di darat yang diakibatkan oleh
unsur/bahan dan senyawa, antara lain, zinc, selenium, timah, vanadium, tembaga,
arsenic, tiarium, cobalt, nikel, berilium, thallium, krom, molybdenum, boron,
tellurium, titanium, uranium, silver, sianida, dan timbal.

Dengan demikian para Penggungat melihat bahwa izin pembuangan limbah


tailing di laut adalah tindakan yang tidak dengan sejalan dengan semangat
perlindungan laut yang terdapat dalam berbagai dokumen hukum pada tingkat
global atau regional. Sedangkan para Tergugat memandang bahwa pembuangan
tailing di laut tidak bertentangan dengan asas kelestarian dan keberlanjutan seperti
yang dikatakan oleh pihak penggugat, karena mengenai hal ini diatur dalam
AMDAL.

Tailing jika dibandingkan dengan cara pembuangan sisa kegiatan produksi


lainnya dipandang memiliki resiko yang lebih sedikit. Penempatan tailing di darat,
berpeluang menimbulkan kontaminasi tanah dan air bawah tanah oleh unsur-unsur
logam. Selain itu, pelarutan logam berat oleh air hujan dan oksidasi oleh udara
akan menyebar di permukaan tanah sehingga akan meningkatkan luasan lahan
cemaran. Kondisi tempat pembuangan tailing di darat umumnya sangat rentan
terhadap kestabilan lereng, terutama yang dipicu oleh fenomena alam seperti
gempabumi, banjir, longsoran, ataupun amblesan tanah. Oleh sebab itulah,
penempatan tailing di dasar laut merupakan pilihan yang dianggap lebih aman,
karena diupayakan berada pada kondisi dasar laut yang stabil dimana fenomena
alam lebih kecil pengaruhnya.

Hal-hal yang terjadi akibat tailing ini, yang dipermasalahkan oleh pihak

26
penggugat, menurut para tergugat bukanlah sepenuhnya salah tailing. Secara
ilmiah, keberadaan klorofil atau fitoplankton yang bersifat musiman turut
mengambil peran dalam menurunnya hasil tangkapan ikan. Hal ini bukan
disebabkan aktivitas akibat pelaksanaan tailing. Dan lagi, tidak ada akibat hukum
dan/atau fakta-fakta hukum menyangkut kerugian yang telah ditimbulkan akibat
tailing.

Terkait dengan keamanan, tergugat pun sebelumnya sudah melibatkan


partisipasi masyarakat secara penuh pada saat penerbitan dokumen kelayakan
lingkungan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor:
KEP-41/MENLH/10/1996. Sedangkan menurut Makim, berdasarkan putusan ini,
dapat diketahui bahwa hakim membenarkan diadakannya Dumping Tailing di
Dasar Laut PT. Newmont Nusa Tenggara Proyek Batu Hijau berdasarkan bukti-
bukti yang dianggap relevan untuk pertimbangan putusan ini, seperti beberapa
keterangan ahli yang diantaranya adalah keterangan Ahli Prof. Ir. Andojo
Wuryanto M.sc./ Ahli Teknik Fisika Oseanografi yang menyatakan bahwa,
"penempatan tailing di laut memiliki resiko lebih kecil dibanding di darat dan
setelah diperlihatkan Peta Lokasi Penempatan Tailing PT. Newmont Nusa
Tenggara pada Bukti T.ll.lnt-70 Ahli menyatakan sesuai dengan pemberian izin
penempatan tailing pada keputusan Objek Sengketa dan penempatan pipa
dumping tailing tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada" dan dari
keterangan Ahli Dr. Surya Hadi menyatakan bahwa, penempatan tailing oleh
Tergugat II Intervensi telah memenuhi standar regulasi lingkungan Indonesia.

Selain itu hakim juga mempertimbangkan keterangan Ahli Prof. Dr. Ir.
Irwandy Arif, M.Sc./Dosen ITB/Ketua Perihimpunan Ahli Pertambangan
Indonesia, menyatakan bahwa, beberapa Negara di dunia juga melakukan
pembuangan/dumping tailing di bawah laut yaitu; Inggris, Perancis, Amerika
Serikat, Chili dan Norwegia. Sedangkan, Saksi Dra. Masnellyarti Hilman,
M.Sc./Deputi IV Kantor Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa,
"negara lain yang melakukan pembuangan/dumping tailing di bawah laut yaitu:
Kanada, Chili, Turki, Papua Nugini.

Hakim juga sependapat dengan keterangan Ahli Prof. Dr. Mangantar Daud

27
Silalahi, SHT Dosen Unpad /Ahli Hukum Lingkungan Laut menyatakan bahwa,
"Hukum positif di Indonesia maupun UNCLOS tidak melarang penempatan
pembuangan tailing di dasar laut". Bahwa setelah Majelis Hakim mencermati
ketentuan UNCLOS sebagaimana terdapat pada Bukti T.ll.lnt-20, T-10, P-25, P-
21A, P-21B maupun dari ketentuan lain ternyata tidak melarang penempatan
tailing di laut. Dari ketentuan-ketentuan tersebut, dapat diketahui yang dilarang
adalah pembuangan/tailing tanpa izin dari pihak yang berwenang sebagaimana
terdapat pada Pasal 210 ayat (1 dan (3) Unclos dan Pasal 18 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau
perusakan laut dengan dernikian, keterangan Ahli Dr. Alan Frendy
Koropitan/Dosen IPB. Bahkan hakim berpendapat bahwa keterangan Ahli bidang
Oseanografi yang menyatakan bahwa, "teknologi pembuangan tailing di bawah
laut merupakan pelanggaran teknologi yang tidak dapat diperkirakan sehingga
merupakan pelanggaran terhadap asas kehatihatian, harus dikesampingkan.

Menurut penulis diberlakukannya STD atau Submarine Tailings Disposal


seharusnya tidak hanya dilihat dari memadai atau tidaknya teknologi, atau
kesiapan kita secara scientific. Yang menjadi pokok permasalahan disini adalah
diterima atau tidaknya STD ini di masyarakat, baik oleh pihak pemerintah atau
local community level. Seperti yang kita ketahui, STD memiliki resiko yang tinggi
baik dari substansi yang dapat diperkirakan maupun tidak dapat diperkirakan, dan
hal ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip yang dianut oleh Precautionary
Principle. Akibat jangka panjang dari STD ini pun masih belum diketahui secara
penuh karena sedikitnya pengetahuan kita akan ekosistem dasar laut.

Bila kita mengacu pada Precautionary Principal, pembuangan komponen


secara STD seharusnya tidak dilakukan sampai kita sudah tahu sepenuhnya,
memiliki pengetahuan yang utuh mengenai ekologi dasar laut. Keterangan Ahli
Prof. Dr. Ir. Irwandy Arif, M.Sc. yang menyatakan bahwa beberapa Negara di
dunia juga melakukan pembuangan/dumping tailing di bawah laut termasuk
diantaranya Amerika Serikat, adalah suatu anggapan yang tak berdasar karena
tailing di Amerika Serikat secara efektif telah dilarang. Perusahaan pertambangan
sering menyatakan bahwa STD dilegalkan di Amerika Serikat.Tetapi dalam

28
ketentuan dari Clean Water Act, tertulis bahwa STD dikecualikan dari pilihan
pembuangan dengan metode tailing.Walaupun beberapa perusahaan telah
mengajukan pengecualian terhadap peraturan tersebut, tidak ada permohonan atas
rencana pengaplikasian STD dari perusahaan pertambangan di Amerika Serikat
yang pernah disetujui.Sekarang tidak ada pertambangan yang beroperasi di
Amerika Serikat yang menggunakan STD.8

STD mengurangi kualitas dan menghancurkan dua sumber daya, alam


bawah laut dan logam bumi. Seperti yang telah diketahui bahwa STD tidak hanya
mengganggu, meracuni kehidupan bawah laut dan memasukkan logam yang
berpotensi mematikan dan cukup mematikan ke dalam lingkungan bawah laut,
tetapi kegiatan ini juga menjauhkan logam yang berguna dari jangkauan kita.
Tailing yang mengandung sulfat rawan terhadap oksidasi, pengeluaran asam, dan
pelepasan logam. Logam yang terlepas keluar karena tailing di dalam laut adalah
suatu masalah karena logam tersebut menjadi bioavailable, maksudnya dapat
diresap oleh makhluk hidup laut dan berpotensi mempengaruhi kesehatan
makhluk hidup tersebut dan orang-orang yang menggantungkan diri pada
makanan dari laut.

Sering kali tidak memungkinkan bagi masyarakat untuk mempertimbangkan


pilihan-pilihan tersebut karena informasi tentang resiko yang berhubungan dengan
proyek tersebut tidak tersedia untuk mereka. Dan bahkan seringkali masyarakat
hanya diberikan pilihan berupa resiko antara pembuangan limbah di daratan (land
based) dan pembuangan limbah di laut (ocean based) dengan tidak diberikan
pilihan alternatif pembangunan selain pertambangan. Dalam setiap perkara STD
yang diketahui, prediksi ilmiah dan teknologi terbaru tidak dapat mempertahankan
lingkungan bawah laut dari dampak tinggi yang diperkirakan (seperti matinya
organisme di dasar laut), dan juga resiko-resiko yang tidak dapat diprediksi.
Setiap sistem STD telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang tidak dapat
diprediksi atau kegagalan sistem.

Terdapat beberapa dampak akibat STD yang terjadi di seluruh dunia :

8
Project Underground dan MiningWatch Canada, “STD Toolkit”, 2002, hal.11

29
1. Kebocoran pipa;

2. Peluapan tailing yang lebih besar dari yang diperkirakan;

3. Mengganggu keberlangsungan hidup organisme Benthic;

4. Meningkatnya kekeruhan;

5. Bercampurnya logam dan agen pengolahan (bahan kimia seperti sianida,


yang dipergunakkan untuk pengekstrakan logam yang diinginkan, detergen
dan frothing agents yang dikeluarkan oleh logam) ke lautan.

Mengenai pemberlakuan STD pun sebelumnya harus dilakukan penelitian


independen. Terdapat setidaknya dua alasan mengapa penelitian independen harus
diperbanyak, yaitu:

1. Pertama, penelitian independen semakin banyak menunjukan bahwa klaim


ilmiah yang mendukung STD, yang dibuat oleh industri dan konsultannya
itu sendiri didasarkan oleh informasi yang tidak sesuai dan tidak lengkap.9
Berdasarkan beberapa kenyataan yang terjadi, tidak terdapat transparansi
mengenai resiko yang ditimbulkan oleh STD. Sebuah penilaian dari
penelitian independen menunjukkan bahwa semakin independen informasi
yang tersedia, maka semakin kuat argument secara keseluruhan melawan
STD.

2. Kedua, permintaan terhadap penilaian ilmiah yang independen dari


penelitian pertambangan perusahaan dapat menjadi alat strategis yang kuat
bagi masyarakat dalam usaha menghentikan STD.

Penulis tidak setuju dengan pendapat Hakim yang mengesampingkan


prinsip kehati-hatian (Precautionary principle) yang disampaikan dalam
keterangan Ahli bidang Oseaongrafi yang menyatakan bahwa “teknologi
pembuangan tailing dibawah laut merupakan pelanggaran teknologi yang tidak
dapat diperkirakan sehingga merupakan pelanggaran terhadap asas kehati-hatian”.
The Precautionary Principle atau yang biasa disebut dengan prinsip kehati-hatian
9
Ibid., hal. 9

30
adalah salah satu prinsip hukum lingkungan yang dipakai saat ada ancaman yang
serius tanpa diharuskan ada bukti yang cukup. Sehingga kurangnya
bukti/kepastian ilmiah tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda dilakukannya
tindakan pencegahan. Hal ini dapat digunakan untuk memutuskan apa yang
seharusnya diperbolehkan untuk terjadi di masa depan. Pelanggaran terhadap
prinsip kehati-hatian melahirkan suatu tanggung jawab mutlak kepada aparat
tergugat tanpa bergantung pada ada tidaknya pembuktian dari para tergugat.10

Secara garis besar berdasarkan pembahasan yang sudah dalam topik ini
adalah Pihak penggugat menyatakan bahwa tailing di laut tidak aman, karena
resiko yang ditimbulkan tidak sebanding dengan hasil yang didapatkan.
Sementara tergugat membantah pendapat tersebut, tergugat berpendapat bahwa
taling di laut cukup aman untuk digunakan sebagai cara pembuangan, terutama
bila dibandingkan dengan alternatif pembuangan dan pengolahan limbah
daratan.Setelah mendengarkan pernyataan dan pembelaan dari kedua pihak,
Hakim berpendapat bahwa tailing di laut cukup aman. Yang perlu diingat adalah
bahwa STD seharusnya yang menjadi pokok permasalahan disini adalah diterima
atau tidaknya STD ini di masyarakat, baik oleh pihak pemerintah atau local
community level. Sedangkan menurut pendapat penulis, STD ini sangat tidak
aman dengan pertimbangan yang didasarkan pada Precautionary Principles.

10
Hardjaloka L, ”Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai “Ius
Cogen” dalam Kasus Gunung Mandalawangi Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004,” Jurnal
Yudisial (2 Agustus 2012), hal.134

31
HUBUNGAN UNCLOS DENGAN PEMBUANGAN TAILING DI
LAUT SERTA ISTILAH DUMPING DI DALAM PUTUSAN NO.
145/G/2011/PTUN.JKT.

Menurut Penggugat dengan dikeluarkannya izin dumping tailing ini


pemerintah tidak mengindahkan ketentuan UNCLOS. Hal ini karena Tergugat
tidak mengoptimalkan usahanya sejauh mungkin untuk meminialisir pencemaran
itu. Penggugat mengaitkan dengan pasal 194, 207, dan 210 ketentuan UNCLOS,
dimana Tergugat yang memiliki tanggung jawab untuk melindungi lingkungan
dalam hal ini ekosistem laut tidak melakukan usaha untuk mencegah pencemaran,
sebaliknya Tergugat memberikan izin untuk perbuatan pencemaran tersebut.

Menurut tergugat justru izin tersebutlah yang merupakan upaya pemerintah


dalam rangka meminimalisir pelepasan bahan-bahan beracun tersebut karena
untuk dapat izin perlu memenuhi persyaratan yang ketat. Dalam hal ini Tergugat
menyatakan bahwa Tergugat telah menjalankan ketentuan yang ada di dalam pasal
194 UNCLOS untuk melindungi ekosistem laut dengan memberikan memperketat
pemberian izin dumping.

Pasal 1 butir (24) UU Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa:

“Dumping (pembuangan) adalah kegiatan membuang, menempatkan, dan/atau


memasukkan limbah dan/atau bahan dalam jumlah, konsentrasi, waktu, dan
lokasi tertentu dengan persyaratan tertentu ke media lingkungan hidup tertentu”

Selain di UU Lingkungan Hidup, dumping juga dibahas di dalam United


Nations Convention on The Law Of The Sea (UNCLOS). Berdasarkan pasal 1
ayat (5) UNCLOS, dumping berarti:

1. Setiap pembuangan dengan sengaja limbah atau benda lainnya dari


kendaraan air, pesawat udara, peralatan (platform) atau bangunan buatan
lainnya di laut.

2. Setiap pembuangan dengan sengaja kendaraan air, pesawat udara,


pelataran (platform), atau bangunan buatan lainnya di laut.

32
Tidak termasuk dumping:

1. Pembuangan limbah atau benda lainnya yang berkaitan dengan atau


berasal dari pengoperasian wajar kendaraan air, pesawat udara, pelataran
(platform) atau bangunan buatan lainnya di laut serta peralatannya, selain
dari limbah atau benda lainnya yang diangkut oleh atau ke kendaraan air,
pesawat udara, pelataran (platform) atau bangunan buatan lainnya di laut,
yang bertujuan untuk pembuangan benda tersebut atau yang berasal dari
pengolahan limbah atau benda lain itu di atas kendaraan air, pesawat
udara, pelataran (platform) atau bangunan tersebut.

2. Penempatan benda untuk keperluan tertentu, tetapi bukan semata-mata


untuk pembuangan benda tersebut, asalkan penempatan itu tidak
bertentangan dengan tujuan konvensi ini.

Dalam hal ini kegiatan yang dilakukan oleh PT Newmont merupakan perbuatan
yang termasuk dumping yaitu membuang limbah yang dilakukan dengan sengaja
ke dalam laut. Kesengajaan PT Newmont terbukti dari adanya permohonan izin
kepada Menteri Lingkungan Hidup untuk melakukan dumping. Sehingga
dumping dibahas dalam putusan ini.

Pembuangan tailing ke laut termasuk dalam klasifikasi dumping baik


menurut ketentuan yang terdapat dalam UNCLOS maupun dalam UUPPLH.
Tailing merupakan limbah dari kegiatan pertambangan. Dan kegiatan pembuangan
limbah pertambangan merupakan tindakan yang memiliki dampak buruk terhadap
lingkungan sehingga pelaksanaanya harus dengan pengawasan seketat mungkin
oleh pemerintah.

Walaupun terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah kegiatan dumping


tailing boleh dilakukan, namun semua pihak menyetujui bahwa kegiatan dumping
bentuk apapun memiliki efek yang merusak lingkungan.

Berdasarkan pasal 194 UNCLOS, yang menyebutkan bahwa:

33
1. Negara-negara harus mengambil segala tindakan yang perlu sesuai dengan
Konvensi, baik secara individual maupun secara bersama-sama menurut
keperluan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran
lingkungan laut yang disebabkan oleh setiap sumber dengan menggunakan
untuk keperluan ini cara-cara yang paling praktis yang ada pada mereka
dan sesuai dengan kemampuan mereka, selagi negara-negara ini harus
berusaha sungguh-sungguh untuk menyerasikan kebijaksanaan mereka
dalam hal ini.

2. Negara-negara harus mengambil segala tindakan yang perlu untuk


menjamin agar kegiatan-kegiatan yang berada di bawah yurisdiksi atau
pengawasan mereka dilakukan dengan cara sedemikian rupa supaya
tindakan-tindakan tersebut tidak mengakibatkan kerusakan yang
disebabkan oleh pencemaran kepda negara-negara lain dan lingkungannya,
dan agar pencemaran yang timbul dari tindakan-tindakan dan kegiatan
dibawah yurisdiksi atau pengawasan mereka tidak menyebar melampaui
daerah-daerah yang ada di bawah pelaksanaan hak-hak kedaulatan mereka
sesuai dengan konvensi ini.

3. Tindakan-tindakan yang diambil berdasarkan bab ini harus meliputi segala


sumber pencemaran lingkungan laut. Tindakan-tindakan yang
direncanakan untuk mengurangi sejauh mungkin adalah:

 Dilepaskannya bahan-bahan yang beracun, berbahaya atau


mengganggu, khususnya bahan-bahan yang persisten, yang berasal
dari sumber daratan, dari udara atau karena dumping.

 Pencemaran dari kendaraan air, terutama tindakan-tindakan untuk


mencegah kecelakaan dan yang berkenaan dengan keadaan darurat,
untuk menjamin keselamatan operasi di laut, untuk mencegah
terjadinya pembuangan yang sengaja atau tidak serta mengatur
disain, konstruksi, peralatan, operasi dan tata awak kendaraan air

34
 Pencemaran dari instalasi-instalasi dan alat peralatan yang
digunakan dalam eksplorasi atau aksploitasi kekayaan alam dasar
laut dan tanah dibawahnya, khususnya tindakan-tindakan untuk
mencegah kecelakaan dan yang bertalian dengan keadaan darurat,
untuk menjamin keselamatan operasi laut, serta yang mengatur
disain, konstruksi, perlatan operasi dan tata instalasi-instalasi atau
peralatan tersebut.

 Pencemaran dari lain-lain instalasi dan peralatan yang dioperasikan


dalam lingkungan laut

 Tindakan yang diambil harus melindungi dan melestarikan


ekosistem maupun habitat bagi jenis-jenis yang telah langka, yang
terancam oleh kelangkaan serta kehidupan laut lainnya.

Dapat disimpulkan berdasarkan Pasal 194 UNCLOS setiap negara diminta


untuk melakukan upaya-upaya guna mencegah (prevent), mengurangi (reduce),
dan mengendalikan (control) pencemaran lingkungan laut dari setiap sumber
pencemaran, seperti pencemaran dari pembuangan limbah berbahaya dan beracun
yang berasal dari sumber daratan (land-based sources), dumping, dari kapal, dari
instalasi eksplorasi dan eksploitasi. Dalam berbagai upaya pencegahan,
pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan tersebut setiap negara
harus melakukan kerjasama baik kerjasama regional, maupun global sebagaimana
diatur oleh pasal 197-201 Konvensi Hukum Laut 1982.

Dalam hal ini kami setuju dengan Penggugat dimana tanggung jawab
Tergugat untuk meminimalisir terjadinya dumping seharusnya dilakukan. Serta
tidak setuju dengan Hakim dan Tergugat. Dumping memang tidak dilarang di
dalam UNCLOS, hanya saja negara memiliki tugas untuk meminimalisir
terjadinya dumping. Hal inilah yang tidak dilakukan oleh Tergugat. Berdasarkan
keterangan saksi yang ada di persidangan dapat diketahui bahwa terdapat dampak
yang merugikan dari kegiatan dumping yang dilakukan PT Newmont. Nelayan-
nelayan di lokasi tempat dilakukannya dumping menurun pendapatannya, karena
banyak ikan-ikan yang mati. Dari dampak yang ditimbulkan terlihat bahwa

35
dumpinh yang dilakukan membahayakan ekosistem di laut. Sehingga Tergugat
terbukti tidak menjalankan tanggung jawab yang seharusnya seperti yang terdapat
di dalam ketentuan Pasal 194 UNCLOS.

Selain itu berdasarkan Pasal 207 UNCLOS, Tergugat dalam menjalankan


tugasnya harus mengurangi dampak yang timbul dari suatu pencemaran yang
terjadi, akan tetapi dalam hal ini tidak terjadi upaya yang dilakukan oleh Tergugat
untuk menjaga kelestarian ekosistem laut. Pemberian izin melakukan dumping
justru merupakan tindakan yang merusak ekosistem laut. Penggugat dalam
mengajukan gugatanya tidak salah mengaplikasikan ketentuan yang terdapat
dalam UNCLOS, karena memang kegiatan dumping tailing ini merupakan
kegiatan yang membahayakan kelestarian lingkungan hidup sehingga seharusnya
tidak boleh dilakukan, hal ini sejalan dengan asas precautionary principle yang
dianut dalam hukum lingkungan hidup. Tergugat mengatakan bahwa Kegiatan
dumping tailing walaupun tidak baik bagi kesehatan lingkungan hidup, tetap dapat
dilakukan namun dengan izin. Pendapat ini kemudian dikuatkan dengan adanya
putusan hakim. Menurut kami, putusan tersebut tidak mengindahkan prinsip-
prinsip pelestarian lingkungan hidup karena membiarkan adanya kegiatan
perusakan lingkungan hidup.

36
HUBUNGAN KASUS DENGAN PRINSIP UMUM
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI BIDANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN
HIDUP BERDASARKAN UU NOMOR 32 TAHUN 2009

Di dalam UU Lingkungan Hidup, terdapat 5 (lima) prinsip pokok terkait


penegakan hukum administrasi yang diatur dalam UU Lingkungan Hidup, yaitu:

1. Penegakan Hukum Administrasi sebagai Pencegahan

Upaya prevenstif dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup


perlu dilaksanakan dengan mendayagunakan instrument pengawasan dan
perizinan. Pengawasan dan perizinan merupakan inti dari penegakan
administrasi hukum lingkungan. Asumsinya, izin memuat persyaratan
pencegahan dampak lingkungan hidup yang wajib dipantau dan diperiksa
secara berkala oleh pemeriksa/pengawas tentang konsistensi pelaksanaan
persyaratannya (compliance).11

Berdasarkan prinsip ini, seharusnya Kementerian Lingkungan Hidup


menjadikan perizinan yang berupa suatu surat keputusan sebagai pencegahan
dari perbuatan yang akan berakibat merusak lingkungan hidup. Dengan kata
lain, seharusnya hakim mencabut surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 92 Tahun 2011 tanggal 5 Mei 2011, tentang Izin Dumping Tailing Di
Dasar Laut PT. Newmont Nusa Tenggara Proyek Batu Hijau. Walaupun
dumping tailing ini akan dilakukan secara hati-hati, tetap ada kemungkinan hal
tersebut akan merusak kualitas lingkungan hidup di daerah tersebut.

2. Pelaksanaan Penegakan Hukum Administrasi Merupakan Kewajiban


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

11
Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M., Penegakan Hukum Administrasi dalam
Perlindungan dan Pengelilaan Lingkungan Hidup, LTA S-1 Fakultas Hukum Universitas
Indoensia, 2014, hlm. 6.

37
Salah satu tugas dan kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah diatur secara jelas dalam Pasal 63 UU Lingkungan Hidup. Salah satu
tugas Pemerintah adalah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap
ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap ketentuan
perizinan lingkungan dan peraturan perundang-undangan di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Di dalam putusan tersebut, Penggugat menyatakan bahwa pelaksanaan


dari pipa pembuangan tailing ke dasar laut tidak sesuai dengan perencanaan di
dalam AMDAL. Walaupun ini hanya berupa indikasi dari Penggugat,
Pemerintah harus menindaklanjuti adanya indikasi PT Newmont tidak taat
terhadap ketentuan perizinan lingkungan berupa AMDAL.

Dalam hal ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan,


seharusnya Pemerintah melaksanakan kegiatan penegakan berdasarkan asas-
asas yang terkandung di dalam UU Lingkungan Hidup, yaitu yang dinyatakan
dalam Pasal 2. Dalam huruf (f), terdapat asas kehati-hatian. Yang dimaksud
dengan asas kehati-hatian adalah bahwa ketidakpastian dampak suatu usaha
dan/atau kehiayan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah
meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.12 Berdasarkan asas ini, seharusnya pemerintah
memperhatikan bahwa dalam pelaksanaan dari Surat Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 92 Tahun 2011 tanggal 5 Mei 2011, tentang Izin
Dumping Tailing Di Dasar Laut PT. Newmont Nusa Tenggara Proyek Batu
Hijau, apakah pelaksanaannya sudah sesuai dengan asas kehati-hatian, dan
keterbatasan teknologi yang dimiliki pemerintah tidak dapat menunda
langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

3. Pendelegasian Kewenangan dan Penetapan Pejabat Pengawas Lingkungan


Hidup13

12
Indonesia, op.cit., Penjelasan Pasal 2
13
Ibid., Psl. 71-74

38
Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota dapat mendelegasikan
kewenangannya dalam melakukan pengawasan dan penegakan hhukum
kepada pejabat/instansi teknis yang bertanggung jawab di bidang perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Pendelegasian ini sangat penting karena
pejabat/instansi teknis itulah yang melakukan tugas-tugas pengawasan di
lapangan secara rutin sehingga pendelegasian dapat mempercepat dan
mencegah birokratisasi yang bersifat menghambat dalam pelaksanaan
penegakan hukum administrasi.14

Pendelegasian ini sangat penting untuk dilakukan dalam pembuangan


tailing di dasar laut PT. Newmont Nusa Tenggara Proyek Batu Hijau. Hal ini
dikarenakan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) yang diberikan
delegasi untuk ini, merupakan nyawa dari pelaksanaan penegakan hukum
administrasi negara, yang dalam hal ini penegakan Surat Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor 92 Tahun 2011, tentang Izin Dumping Tailing Di
Dasar Laut PT. Newmont Nusa Tenggara Proyek Batu Hijau.

4. Kewenangan Menteri Lingkungan Hidup untuk ”step in”15

Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung


jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh
pemerintah daerah.16 Namun, karena dalam hal ini izin lingkungan itu
diterbitkan oleh pemerintah pusat, maka memang pemerintah pusatlah yang
harus tetap melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan.

5. Sanksi Administratif17

Dalam UU Lingkungan Hidup, terdapat 4 (empat) jenis sanksi


administratif, yaiu sebagai berikut:

a. Teguran tertulis;

14
Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M., op.cit., hlm.7.
15
Indonesia, op.cit., Psl. 73 dan 77.
16
Ibid.,
17
Ibid., Psl. 74 dan 76 ayat (2).

39
b. Paksaan pemerintah;

c. Pembekuan izin lingkungan;

d. Pencabutan izin lingkungan.

Berdasarkan kenyataan yang terungkap di gugatan Penggugat, AMDAL


Kegiatan Pertambangan Tembaga-Emas di Batu Hijau Kecamatan Jereweh -
Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat pada Peraturan
Pemerintah No. 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan, sedangkan dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah No. 27
Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, maka
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 84, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3538) dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini juga
tidak disangkal dalam eksepsi oleh tergugat. Maka, berdasarkan hal itu
harusnya PT Newmont mendapatkan sanksi administratif yang dapat berupa
teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, dan
pencabutan izin lingkungan.

40
KEKELIRUAN PENEGAKAN ADMINISTRASI DALAM
HUKUM LINGKUNGAN BERDASARKAN PRINSIP
OTONOMI DAERAH DALAM KASUS NEWMONT BATU
HIJAU

Kewenangan penegakan hukum administrasi berdasarkan UU Lingkungan Hidup


terbagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pembagian kewenangan
tersebut diatur dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a dan huruf o, ayat (2) huruf I dan
huruf s, dan ayat (3) huruf I dan huruf p, yaitu :

Pasal 63 ayat (1) huruf a dan o :

“Dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah bertugas


dan berwenang:

a. Melakukan penegakan hukum lingkungan hidup (penegakan hukum


administrasi, perdata, dan pidana)

o. Melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab


usaha dan/ atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan
peraturan perundang-undangan,”

Pasal 63 ayat (2) huruf I dan huruf s:

“Sedangkan pemerintah provinsi bertugas dan berwenang:

i. Melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab


usaha dan/ atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;

s. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat provinsi


(penegakan hukum administrasi, perdata dan pidana)”

41
Pasal 63 ayat (3) huruf I dan p:

“… Pemerintah Kabupaten/ Kota bertugas dan berwenang:

i. Melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab


usaha dan/ atau kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan
peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup;

p. Melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat Kabupaten/


Kota (penegakan hukum administrasi, perdata dan pidana)”

Dalam Kasus ini, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 92 Tahun


2011 mengenai perpanjangan izin dumping tailing di dasar Laut perairan Teluk
Senunu oleh PT Newmont Nusa Tenggara Proyek Batu Hijau dianggap telah
melangkahi wewenang Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat dan tidak sesuai
dengan penegakan prinsip Otonomi Daerah. Hal ini dikarenakan keputusan
tersebut telah menyalahi Pasal 63 ayat (3) huruf i UU Lingkuangan Hidup yang
memberikan kewenangan pada pemerintah Kabupaten/Kota (dalam kasus ini
Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat) untuk melakukan pengawasan ketaatan
penanggung jawab usaha terhadap ketentuan perizinan lingkungan.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 92 Tahun 2011 mengenai


izin dumping tailing di dasar Laut perairan Teluk Senunu oleh PT Newmont Nusa
Tenggara merupakan perpanjangan dari izin pembuangan tailing sebelumnya yang
dikeluarkan pada tanggal 8 Mei tahun 2007 didasarkan kepada Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup Nomor Kep. 236/2007. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor Kep. 236/2007 yang berlaku selama 4 (empat) tahun dan berakhir tanggal
8 Mei tahun 2011 sebenarnya juga berdasarkan rekomendasi dari Bupati
Kabupaten Sumbawa Barat tahun 2007, dimana dalam rekomdasi tersebut
ditetapkan jumlah maksimum pembuangan tailing mencapai 58.400.000 metrik
ton kering pertahun, dengan laju harian selama setahun adalah 160.000.000 metrik
ton kering perhari.

42
Menjelang berakhirnya tenggang waktu pembuangan limbah PT Newmont
Nusa Tenggara, Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat,
menurunkan tim khusus untuk memantau pembuangan tailing atau limbah
tambang PT Newmont Nusa Tenggara di palung laut Teluk Senunu. Tim tersebut
bertugas memastikan apakah PT Newmont Nusa Tenggara mematuhi kebijakan
Pemerintah Kabupaten Sumbawa Barat untuk tidak membuang tailing melebihi
jumlah maksimum selama rekomendasi perpanjangan izin tailing belum
dikeluarkan. Selain itu Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat, melalui
suratnya bernomor 660/114/BLHKSB/V/2011 telah menghimbau PT Newmont
Nusa Tenggara untuk tidak menempatkan tailingnya di teluk Senunu terhitung
mulai tanggal 9 Mei 2011, penghentian penempatan tailing itu dilakukan sampai
batas waktu yang tidak ditentukan. Dalam surat itu dijelaskan alasannya antara
lain, adanya aspirasi dari masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat dan elemen
pemerhati lingkungan yang menolak penempatan tailing PT Newmont Nusa
Tenggara di perairan Teluk Senunu. Penempatan tailing PT Newmont Nusa
Tenggara di Teluk Senunu sangat merugikan masyarakat dan Pemerintah Daerah
Kabupaten Sumbawa Barat yang mana lokasi pembuangan tailing merupakan
wilayah laut yang menjadi kewenangan Kabupaten Sumbawa Barat yang
menerima dampak langsung dari pembuangan tersebut.

Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat juga bersurat secara resmi


ke Menteri Lingkungan Hidup di Jakarta tertanggal 27 April 2011 tentang
penolakan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat terhadap rencana
perpanjangan izin pembuangan tailing PT Newmont Nusa Tenggara di Teluk
Senunu, namun surat tersebut tidak mendapatkan respon positif dari Kementrian
Lingkungan Hidup hingga diketahui pihak perusahaan sudah mengantongi izin
perpanjangan. Meskipun dengan istilah yang berbeda, yaitu ”dumping” izin dari
Kementerian Lingkungan Hidup yang mana dikeluarkan tanpa rekomdasi dari
Bupati Sumbawa Barat menjadikan aktivitas pembuangan tailing masih terus
berlangsung. Berdasarkan izin pembuangan limbah ini, PT Newmont Nusa
Tenggara diperbolehkan membuang limbah tambang (tailing) sebanyak 148.000
ton/hari ke laut. Menurut Wakil Bupati Sumbawa Barat H. Mala Rahman, sesuai
dengan kewenangan daerah, pembuangan tailing di dasar laut harus mendapat

43
rekomendasi dari pemerintah kabupaten sebelum Kementerian Lingkungan Hidup
menerbitkan izin, dan penempatan tailing tersebut cukup meresahkan masyarakat
khususnya nelayan.

Para nelayan setempat mengeluhkan telah terjadi penurunan tangkapan


ikan, yang yang disebabkan karena telah terjadi penurunan kualitas laut. Hal ini
menunjukkan daya dukung dan daya tampung laut bagian selatan-barat Pulau
Sumbawa telah terlampaui atau tidak mencukupi lagi. Di Kabupaten Lombok
Timur, Bupati M. Sukiman Azmi mengeluhkan, sejak adanya pembuangan tailing
di Ngarai Senunu, hasil tangkapan ikan nelayan di Selat Alas, Ngarai Senunu
menurun. Izin yang dikeluarkan oleh Menteri Lingkungan Hidup membuat
mahluk hidup di sekitar Teluk Senunu dalam keadaan bahaya terkontaminasi
bahan-bahan berbahaya.

Hal yang bertolak belakang disampaikan oleh Deputi IV menteri LH


kepada pansus tailing Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten
Sumbawa Barat yang menyatakan bahwa:

1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2010 tentang


lingkungan hidup, daerah tidak memiliki hak dalam masalah perizinan
pembuangan atau penempatan tailing

2. Daerah hanya memiliki hak untuk melakukan pengawasan dan memberi


rekomendasi jika ada dampak yang ditimbulkan dari aktifitas tersebut.
“Artinya Pemda punya ruang untuk melakukan evaluasi atas izin
pembuangan yang diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.

3. Di klausul izin yang berlaku selama 5 tahun itu juga disebutkan tentang
evaluasi per tahun.

Menteri mendasarkan Kepmen tersebut pada Peraturan Pemerintah Nomor


19 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut.
Peraturan Pemerintah tersebut menetapkan semua izin dumping limbah ke laut
sebagai monopoli Menteri Lingkungan Hidup. Atas dasar hal tersebut di atas,
Bupati Sumbawa Barat KH Zulkifli Muhadli melayangkan somasi (sebagai

44
pendahuluan) kepada Menteri Lingkungan Hidup dan PT Newmont Nusa
Tenggara. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa Barat menganggap
kementerian terkait tidak menghargai hak dan kewenangan Pemerintah Daerah
dalam konteks otonomi daerah yang dibuktikan dengan terbitnya izin tailing tanpa
koordinasi dengan Pemerintah Daerah. Padahal sebelumnya bupati telah
mengirim surat ke Menteri yang menyatakan Kabupaten Sumbawa Barat menolak
memberi rekomendasi perpanjangan ijin dan meminta agar ijin tersebut tidak
diterbitkan.

Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang


Pertambangan Mineral Dan Batubara (yang selanjutnya akan disebut dengan UU
Minerba), Pasal 6 UU Minerba menyatakan pemerintah pusat berwenang
mengeluarkan izin pertambangan, pembinaan, dan pengawasan tambang
berdampak lingkungan pada wilayah laut lebih dari 12 mil (19 kilometer) dari
garis pantai. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah,
memberikan kewenangan kepada daerah, untuk mengurus wilayah perairan dari
bibir pantai sampai dengan 4 mil ke dalam permukaan laut, 4 mil dari bibir pantai
itu merupakan kewenangan daerah, sedangkan pembuangan limbah oleh PT
Newmont Nusa Tenggara itu berada di perairan Kabupaten Sumbawa Barat.

Menurut penulis, dasar dikeluarkannya Keputusan Menteri Lingkungan


Hidup Nomor 92 Tahun 2011 yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut sudah tidak berlaku
lagi dengan adanya UU No 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Minerba). Hal ini juga diperkuat dengan ketentuan dalam Pasal 61 ayat
(1) UU Lingkungan Hidup yang menyebutkan bahwa dumping/pembuangan
limbah ke laut hanya dapat dilakukan dengan izin dari Menteri, Gubernur, atau
Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. Dalam hal ini Menteri tidak
dapat memonopoli izin pembuangan/dumping limbah tambang ke laut disamping
kewenangan yang seharusnya dimiliki pula oleh Bupati dalam wilayah yang
menjadi kewenangannya.

Penggunaan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1999 yang


menyatakan bahwa izin Dumping Tailing mutlak dari Kementrian Lingkungan

45
Hidup, seharusnya berlaku asas "lex posteriori derogat legi priori" yang berarti
bahwa peraturan yang lebih baru mengesampingkan peraturan yang lebih lama
dan "lex superiori derogat lex inferiori", yaitu peraturan yang lebih tinggi
.mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Bahwa Undang-Undang yang
lahir di era otonomi daerah seperti UU Minerba yang telah disebutkan diatas dan
UU Lingkungan Hidup menghendaki wewenang yang lebih besar pada
pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan di wilayahnya, atau setidak-
tidaknya mendapat bagian untuk dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.

Bahwa dengan demikian, kebijakan Menteri Negara Lingkungan Hidup


Republik Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 92 Tahun 2011
Tentang Izin Dumping Tailing di Dasar Laut perairan Teluk Senunu oleh PT.
Newmont Nusa Tenggara Proyek Batu Hijau merupakan kekeliruan dan
bertentangan dengan prinsip-prinsip otonomi daerah sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah jo. Undang-
undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, selain itu juga
bertentangan dengan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah jo. Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah jo. Pasal 61 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup jo. Pasal 8 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009, tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, kewenangan untuk
menerbitkan izin pembuangan tailing merupakan kewenangan yang diberikan
pada Pemerintah Kabupaten/Kota.

46
KERUSAKAN LINGKUNGAN DI MARINDUQUE, FILIPINA
OLEH PLACER DOME INC.18

Placer Dome Inc. adalah sebuah perusahaan pertambangan emas nomor tiga
terbesar di Amerika Utara dan nomor 5 terbesar di dunia yang berpusat di
Vancouver, British Columbia. Pada awal tahun 1956, Placer Dome, disusul oleh
Placer Development Limited, memulai pemetaan eksplorasi pengeboran di
Marinduque. Pada tahun 1964, Marcopper Mining Corporation turut terlibat.
Dalam 30 tahun penambangan dibawah manajemen Placer Dome, Penduduk
Marinduque mengalami berbagai bencana yang merugikan. Selama 16 tahun,
mulai dari tahun 1975 sampai 1991, Placer Dome menghasilkan sekitar 200 juta
ton limbah yang secara langsung dibuang ke perairan dangkal di teluk Calancan
dimana limbah tersebut menutupi koral, rumput laut dan dasar dari teluk seluas 80
km2. Tailing yang mengalirkan limbah hasil dari pertambangan ini juga
mengeluarkan kandungan logam di teluk dan dicurigai sebagai penyebab dari
terkontaminasinya anak-anak di sekitar teluk. Para penduduk desa Calancan, yang
telah melakukan protes akan dumping selama 16 tahun ini, tidak pernah sekalipun
dimintai izin dan diberi kompensasi akannya. Pada tahun 1991, sebuah bendungan
didirikan di sungai Mogpop. Pada tahun 1993, bendungan ini rusak. Steve Raid,
manajer dari Marcopper, menolak bertanggungjawab dan mengatakan bahwa hal
ini bukan merupakan akibat dari tailing. Selain itu terdapat dampak terkait
keanekaragaman hayati, diantaranya menghilangnya salah satu spesies kepiting
yaitu kepiting Bagtuk yang biasa dikonsumsi masyarakat sekitar. Dapat dilihat
bahwa kerusakan alam yang terjadi ini sangat mengancam keberlangsungan hidup
masyarakat Marinduque. Pada 24 Maret 1996, kebocoran tailing secara massive
kembali terjadi di Marcopper mine di sungai Boac dengan 3-4 juta ton metal dan
asam yang terkandung didalamnya. Dapat kita lihat bahwa manajemen lingkungan
bukanlah prioritas utama dari Marcopper. Karena jika demikian, tentunya bencana
ini tidak akan terjadi.

18
Poject Underground dan MiningWatch Canada, Project nderground STD Toolkit: Philipines
Case Studies, 2002.

47
Atas peristiwa ini kemudian CEO dari Placer Dome, John Wilson membuat
perjanjian tertulis kepada Presiden Filipina saat itu yaitu Fidel Ramos, dengan
pernyataan bahwa Placer Dome bertanggung jawab terhadap kerusakan yang
diderita oleh penduduk Marinduque dan kerugian tersebut akan dikompensasi
secara adil. Beberapa program yang akan dilakukan berkaitan dengan proses
rehabilitasi sungai dan laut yang terkena dampak. Pada bulan Maret 1997, setahun
setelah kebocoran, Placer Dome melepaskan diri dari Marcopper. Placer Dome
menyatakan bahwa ia akan membersihkan sungai dengan cara membuang tailing
nya ke lautan dengan menggunakan STD. Pada saat itu belum ada kesadaran yang
tinggi pada masyarakat Marinduque akan teknologi ini, namun hal ini di tolak
oleh masyarakat lokal yang peduli dengan potensi dampak yang akan terjadi pada
lautan.

Pada 30 Oktober 1997, Philippine Department of Environment and Natural


Resources (DENR) menolak permohonan izin dilakukannya STD oleh Placer
Dome. “Under current laws and regulations, all the offshore and submarine areas
of the country are considered to be Environmentally Critical Areas (ECA)....
Hence, your applica- tion for the submarine placement of redredged channel
tailings materials is hereby denied.”19

Placer Dome menerima keputusan DENR namun dalam prosesnya tetap


mempromosikan keabsahan teknologi STD, mengatakan bahwa STD adalah
teknologi terbaik yang telah terbukti dan telah dilakukan dan diterima di Kanada
dan begitu pula disini. Sekitar tahun 1980, terdapat aksi melawan Placer Dome di
Kanada oleh para pemegang saham. Tindakan hukum yang diambil oleh
masyarakat, pada tahun 1988, mengarah pada perintah penghentian dumping. Tapi
hal ini ditolak oleh Presiden. Pada 16 Februari 2000, diadakan pertemuan dimana
Dr. Batac-Catalan tidak dapat hadir karena sakit. Pada pertemuan ini, sebuah
keputusan diambil untuk menyetujui rencana STD Placer Dome. Beliau
memperdebatkan bahwa Placer Dome tidak dapat membuktikan bahwa STD tidak
akan menimbulkan bahaya lingkungan, ketika STD dilakukan di lautan, adalah hal
19
Project Underground dan MiningWatch Canada, “Project Underground STD Toolkit:
Philippines Case Studies”, 2002, hal. 3.

48
yang mustahil jika tidak ada hal yang salah. Pada 14 Maret 2000, sebuah MOA
dibuat dan MOA tersebut mengharuskan masyarakat Marinduque melalui
pemerintahan provinsi, dengan konsultasi dengan badan provinsi, untuk memilih
para konsultan untuk memberikan padangan indpenden dan rekomendasi akhir
akan rencana yang akan dilakukan terhadap sungai. Placer Dome menyatakan
bahwa mereka tidak akan membayar pada penasehat independen yang dipilih oleh
masyarakat. Terdapat potensi yang tinggi bahwa asam, muatan logam dan
environmentally detrimental plume akan berkembang didalam lautan sekitar
tailings dan tempat sekitar tailings dalam pembuangan tailings. Oleh sebab itu
DENR meyakinkan masyarakat Marinduque bahwa STD tidak akan lagi dijadikan
pilihan dari pembuangan tailing di sungai Boac. Namun pada hari-hari terakhir
rezim Estrada, DENR menandatangani 200 Environmental Compliance
Certificates (ECC). Pada Desember 2001, tanpa peringatan apapun, Placer Dome
Technical Services menutup kantor mereka di Marinduque dan kantornya di
Manila dan menarik diri dari Filipina. Meninggalkan racun hasil pertambangan di
sungai Boac, dan ancaman akan 5 bekas pertambangan yang tidak stabil dan
kompensasi yang belum lunas kepada masyarakat Marinduque pada tahun 1996
silam.

Di periode yang sama, masyarakat Mindoro di Filipina berjuang melawan


rencana pembangunan Submarine Tailing Disposal (STD)/ Tailing di Laut di
daerahnya. Dalam pergerakan ini koalisi besar yang terbangun dari berbagai
grassroot organization, institusi terkait dan beberapa pejabat pemerintahan
terpilih berjuang bersama-sama melawan didirikannya pertambangan Nikel oleh
Crew Developent Corporation (Crew) sebuath perusahaan pertambangan Canada.
Crew berencana menggunakan STD yang mengalirkan limbah pertambangan ke
area perikanan di Selat Tablas. Sebelum revolusi, penduduk Mindoro dan berbagai
organisasi sudah melakukan protes terhadap rencana didirikannya tambang Nikel.
Pada bulan Desember 2000 terlepas dari berbagai protes yang dilakukan, Antonio
Cerilles, Sekertaris dari Kementrian Lingkungan tetap mengeluarkan Mineral
Production Sharing Agreement (MPSA). Perjanjian ini memberikan izin bagi
Crew untuk malekukan eksplorasi dan menggunakan mneral apapun yang terdapat
di area kontrak selama periode 25 tahun.

49
Pada bulan Januari 2001 Presiden Estrada digulingkan oleh revolusi dan
beberapa bulan kemudian yaitu April 2001 proses besar-besaran terhadap MPSA
terjadi di Mindoro. Ditengan kericuhan Duta Besar Canada, Robert Collette
mengunjungi Mindoro bersama dengan Badan Investasi dalam rangka
menunjukkan dukungan kepada Crew. Di Akhir bulan April, Sekertaris
Kementrian Lingkungan Filipina, Heherson Alvarez memberikan memo kepada
Presiden Macapagal-Arroyo berisi rekomendasi pencabutan MPSA. Pada tanggal
16 Juli 2001 Jejerson Alvares secara resmi mencabut MPSA. Meskipun Duta
Besar Canada memprotes keputusan ini dan Aglubang/Crew mengajukan
permohonan resmi untuk mempertimbangkan lagi pencabutan izi ini secara
langsung kepada Presiden Macapagal-Arroyo, pencabutan MPSA oleh
Kementrian Lingkungan Filipina tetap dipertahankan oleh presiden pada tanggal 1
November 2001.

Berbeda dengan perjuangan yang dilakukan dengan masyarakat


Marinduque, perjuangan masyarakat Mindoro terbilang sukses dengan hasil
dicabutnya izin eksplorasi perusahaan tambang Crew. Hasil ini didapatkan dari
kerjasama yang solid dari berbagai kelompok, instansi-instansi, dan pejabat
pemerintahan. Dalam perjuangan di Marindo tidak hanya satu atau dua kelompok
saja yang aktif melakukan perlawaan. Terdapat berbagai organisasi yang ikut
berjuang , diantaranya ALAMIN (Alyansa Laban sa Mina “ Persekutuan
Perlawanan terhadap Pertambangan”), MAHAL (Mindoro Assistance for Human
Advancement through Linkages, Inc.), Kafcode (Kaunsayan Formation for
Community Development), Roman Catholic Church, Mindoro Conference
(jaringan dari Gereja-gereja di Mindoro yang menyatakan perlawanan terhadap
projek dari Crew), Mangyan Tribes, KALIPUNAN ng MAKABAYANG
MINDOREÑO (Association of Nationalist Mindoreños) dan CPP-NPA-NDF
(Communist Party of the Philippines-New People’s Army-National Democratic
Front)

Dalam kedua kasus ini pejabat Department of Environment and Natural


Resources (DENR) atau pejabat kementerian ligkungan pada pemerintahan
Presiden Arroyo memiliki peran yang kuat. Terlihat dari kasus Mindoro bahwa

50
kementrian tersebut benar-benar serius menanggapi permasalahan lingkungan
yang dihadapi oleh Filipina pasca revolusi yang menggulingkan pemerintahan
Presiden Estrada. Selain itu terdapat bebrapa pejabat pemerintahan daerah yang
juga vokal dalam menyuarakan masalah ini dalam kasus Mindoro pejabat tersebut
adalah Gubernur Rodolfo G. Valencia dan wakil gubernur Bartolome Marasigan.
Selain peran dari para kelompok, instansi-instansi dan pejabat pemerintah, sistem
informasi dan pemberitaan yang baik juga mendukung pergerakan ini.
Keuntungan-keuntungan inilah yang seringkali tidak terdapat di dalam perjuangan
melawan kegiatan tidak ramah lingkungan di Indonesia dimambah pula dengan
adanya ketidakjelasan hukum terkait hukum lingkungan serta minimnya
pengetahuan atas masalah terkait oleh para pejabat penegak hukum.

Pada dasarnya, hal yang terjadi di Filipina ini hampir sama dengan yang
terjadi pada kasus PT Newmont ini. Kerusakan lingkungan yang terjadi di Filipina
ini diakibatkan oleh Pemerintah Pusatnya yang memberikan izin seenaknya tanpa
mempertimbangkan kondisi asli di wilayah tersebut. Kasus ini dapat memberikan
pelajaran kepada Pemerintah dari negara-negara yang ada di dunia bahwa
pemberian izin yang dapat mengurangi kualitas lingkungan harus dilakukan secara
hati-hati, khususnya kasus ini memberikan pencerahan mengenai bagaimana
seharusnya sikap yang diberikan oleh Pemerintah kepada pemberian izin
pembuangan tiling.

Hal ini juga seharusnya dapat memberikan pelajaran akan kesadaran


lingkungan yang harus dimiliki oleh masyarakat setempat. Karena dengan segala
usaha keras, lingkungan hidup di wilayah hidup suatu masyarakat akan dapat
terjaga bila masyarakat setempat memiliki kesadaran dan kecintaan terhadap
lingkungan. Kesadaran dan kecintaan terhadap lingkungan ini ditunjukan oleh
masyarakat di Marinduque dengan perjuangan selama 30 tahun lebih untuk dapat
mempertahankan wilayah tempat tinggalnya terhadap kerusakan lingkungan yang
dilakukan oleh perusahaan yang mengekspoitasi hasil tambang di daerah tempat
tinggal mereka.

51
KESIMPULAN

Berikut adalah beberapa poin yang disimpulkan oleh penulis dari hasil
diskusi dan analisis terhadap putusan ini, yaitu:

- Majelis hakim telah benar dalam mempertimbangkan hak gugat setiap


Penggugat yang terdapat dalam kasus ini;

- Majelis hakim dalam pertimbangannya tidak mempertimbangkan prinsip-


prinsip Precautionary Principles, Risk Assesment, dan pengawasan yang
buruk terhadap AMDAL PT NEWMONT;

- Dumping tiling ke dasar laut yang dilakukan oleh PT NEWMONT telah


mengancam kelestarian lingkungan hidup sekitar, dan hal ini seharusnya
menjadi pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus perkara;

- Telah terjadi kekeliruan oleh Majelis Hakim terhadap penegakan administrasi


yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip dalam hukum lingkungan;

- Harusnya ada kerjasama yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah dalam memberikan izin dumping tiling ini;

- Kasus Marinduque seharusnya dapat dijadikan acuan agar kasus yang serupa
tidak terjadi lagi, khususunya di Indonesia.

52
DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.


UU No. 32 Tahun 2009. LN No. 140 Tahun 2009. TLN No. 5059.

_______.Undang-Undang Mineral dan Batubara. UU No. 4 Tahun 2009. LN. No.


4 Tahun 2009. TLN. No. 4959.

_______. Undang-Undang Pemerintahan Daerah. UU No. 32 Tahun 2004. LN


No. 125 Tahun 2004. TLN. No. 4437.

_______. Peraturan Pemerintah Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau


Perusakan Laut, PP No. 19 Tahun 1999.

_______. Peraturan Pemerintah Tentang Analisis Mengenai Dampak


Lingkungan, PP No. 51 Tahun 1993.

_______. Peraturan Pemerintah Tentang Analisis Mengenai Dampak


Lingkungan, PP No.27 Tahun 1999.

_______. Peraturan Pemerintah Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan


Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota, PP No.38 Tahun 2010.

United Nations, United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS),
1982.

Jurnal
Dr. Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M., Penegakan Hukum Administrasi dalam
Perlindungan dan Pengelilaan Lingkungan Hidup, LTA S-1 Fakultas Hukum
Universitas Indoensia, 2014.

53
L, Hardjaloka. Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle sebagai
“Ius Cogen” dalam Kasus Gunung Mandalawangi Kajian Putusan Nomor
1794K/Pdt/2004. Jurnal Yudisial (2 Agustus 2012).
Project Underground and MiningWatch Canada, “STD Toolkit”, 2002.

Project Underground and MiningWatch Canda, “Project Underground STD Toolkit:


Philippines Case Studies”. 2002.

Santillo, D., et al., The Precautionary Principle: Protecting Against Failures of Scientific
Method and Risk Assessment, Marine Poluution Bulltetin, Vol. 36(12). 1998.

54

Anda mungkin juga menyukai