Anda di halaman 1dari 37

1

KAJIAN
SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL
DAN
DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
OLEH:

KAJIAN STRATEGIS
KOORD:
FRANZ SINATRA YOGA FK UNSRI 2008
ANGGOTA:
ABDURRAHMAN HADI FK UNSRI 2009
NORA RAMKITA FK UNILA 2009
MARIA ROSSYANI FK UI 2009
AGRA DHIRA NARENDRAPUTRA FK UB 2009
RADENRORO ANGGRAENI FK UMS 2010

Hingga saat ini belum ada bentuk universal coverage yang sesungguhnya
Jamkesmas, Bantuan Sosial, Berobat Gratis bukanlah universal coverge
Sistem Jaminan Sosial Nasioanal (SJSN) adalah jawaban paling rasional saat ini
SJSN tidak akan dilaksanakan bila RUU BPJS tidak diundangkan
Apabila SJSN masih ditolak oleh segelintir orang ataupun lembaga
jaminan seperti apa yang mereka inginkan?? Jaminan yang gratis??
Apakah telah dianalisis manfaat dan mudharatnya bila diterapkan??
Khodratnya, Setiap hal didunia ini memiliki sisi pro dan kontra
Walaupun implikasinya adalah bagi kesejahteraan rakyat
Sudah kewajiban kita sebagai cendekiawan muda Indonesia
Untuk mengkritisi hal tersebut secara KONSTRUKTIF
mengambil sikap tegas dengan dasar kajian yang kuat
Jangan memberikan kritik yang detruktif dan tanpa solusi

Sebuah kajian dari Mahasiswa Kedokteran Indonesia


Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
2

SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL


Sistem Kesehatan Nasional adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya bangsa
Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya, sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti dimaksud dalam
pembukaan UUD 1945. Sedangkan tujuan dari sistem tersebut adalah terselanggaranya
pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa baik masyarakat, swasta, maupun
pemerintah secara sinergis. Berhasil guna dan berdaya guna, sehingga tercapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Sistem Kesehatan Nasional dibagi lagi menjadi beberapa subsistem, di antaranya
adalah Upaya kesehatan, Pembiayaan Kesehatan, Sumber daya manusia kesehatan, Obat dan
Perbekalan Kesehatan, Pemberdayaan masyarakat, dan Manajemen kesehatan. Hingga saat
ini kita belum memiliki system pelayanan kesehatan yang kuat. Hal ini tentu dipengaruhi oleh
komitmen pemerintah dalam mewujudkannya. Salah satu bukti komitmen yang rendah dan
lemahnya kebijakan sosial bidang kesehatan terlihat dari rendahnya anggaran kesehatan
Indonesia. Hal ini dapat dibandingkan
dengan negara lain. Belanja kesehatan
kita hanya naik dari 2,9% Produk
Domestik Bruto (PDB) di tahun 1999
menjadi 3,1% PDB di tahun 2003.
Sementara di Cina, belanja kesehatan
naik dari 4,9% PDB di tahun 1999
menjadi 5,6% PDB di tahun 2003, dan
di India turun sedikit dari 5,1% menjadi
4,8% PDB. Hal yang menarik adalah
pada periode tersebut, Pemerintah
China membelanjakan antara 9,7%-
12,5% anggaran pemerintah untuk kesehatan dan Filipina menghabiskan 4,9%-7,1%, dan
pemerintah Indonesia hanya membelanjakan 3,8%-5,1% anggaran pemerintah untuk
kesehatan (WHO, 2006). Selain itu, kinerja sistem kesehatan Indonesia berada pada urutan
ke-92, yang jauh lebih rendah dari kinerja sistem kesehatan negara tetangga seperti Malaysia
(urutan ke 49), Thailand (urutan ke 47), dan Filipina yang berada pada urutan ke 60 (WHO,
2000). Rendahnya kinerja sistem kesehatan kita sangat berkorelasi belanja kesehatan
(Thabrany, 2008).

Pada tahun 2011, bukannya peningkatan yang dialami, tetapi malah terjadi penurunan
belanja kesehatan. Pada tahun 2008 anggaran belanja kesehatan Indonesia sebesar 14,1 T,
tahun 2009 sebesar 15,743, pada tahun 2010 mencapai 19,8 T, dan tahun 2011 menurun
drastis menjadi 12,84 T. Nilai tersebut malah lebih rendah dibandingkan anggaran tahun
2008. Penurunan ini mencapai 35% dari RAPBN yang diajukan.

Ruby (2007) dalam disertasinya menemukan bahwa 83% rumah tangga mengalami
pemiskinan ketika mereka membutuhkan rawat inap. Artinya, sebuah rumah tangga akan
jatuh miskin (sadikin, sakit sedikit jadi miskin), ketika sakit dan perlu berobat di RS,
meskipun di rumah sakit publik yang sudah sebagian dibiayai dengan uang rakyat.
Seharusnya negara menjamin terwujudnya keadilan sosial sesuai Pancasila.

Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI


3

Di negara maju, khususnya Jerman, Inggris, Belanda, Kanada, Amerika dan beberapa
negara di Asia misalnya Jepang, pembiayaan melalui asuransi merupakan jalan keluar dari
masalah pembiayaan kesehatan yang ada. Dibandingkan dengan negara maju lainnya,
asuransi kesehatan di Amerika Serikat boleh dikatakan kurang berhasil karena hanya
mencakup 70% penduduk. Hal ini terjadi karena asuransi kesehatan yang dilaksanakan
bersifat komersial dan membuka peluang persaingan di antara berbagai perusahaan asuransi
yang jumlahnya banyak, sehingga partisipasi masyarakat terpecah-pecah, akibatnya hukum
jumlah besar tidak tercapai. Sistem di Inggris dan Kanada lebih ideal, namun tampaknya akan
sulit dijalankan di Indonesia karena peran pemerintah sangat besar, sedangkan saat ini
keadaan keuangan negara belum memungkinkan., bahkan untuk memenuhi standar WHO
(5%) saja tidak tercapai. Asuransi kesehatan sosial seperti yang dijalankan di Jerman lebih
memungkinkan untuk diterapkan di Indonesia karena premi dibayar secara proporsional
berdasarkan persentase pendapatan dan akan lebih cocok dengan budaya gotong royong
masyarakat Indonesia. Pada intinya, usaha asuransi yang dilakukan berbagai negara ini
merupakan usaha untuk menjamin hal-hal yang menjadi kebutuhan dasar rakyat negara
tersebut. Jaminan ini sama halnya merupakan kebutuhan bagi rakyat Indonesia, rakyat yang
telah merdeka 66 tahun akan tetapi hingga saat ini belum mendapatkan jaminan kemerdekaan
atas hal-hal dasar yang juga menjadi kebutuhan hidup mereka.

SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL


Sebuah usaha untuk mewujudkan implementasi kemerdekaan bagi rakyat Indonesia
akhirnya terjadi dan ditandai dengan pengukuhan resmi kepala negara pada tahun 2004.
Sebuah sistem yang diharapkan akan merubah nasib bangsa ini ke depannya, yaitu Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial
untuk menjamin seluruh rakyat indonesia agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya
yang layak. Setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidup yang layak dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat Indonesia
yang sejahtera, adil, dan makmur dan untuk memberikan jaminan sosial yang menyeluruh,
negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bagi seluruh rakyat
Indonesia. Untuk mewujudkan hal ini, pada tahun 2004 dibentuklah suatu Undang-undang
Republik Indonesia no. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang
merupakan turunan dari pasal 28H ayat 3 Undang-undang 1945. Adapun jaminan yang
diberikan meliputi 5 aspek, antara lain jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan
hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.

LANDASAN HUKUM
Ada beberapa landasan hukum yang digunakan dalam penyusunan undang-undang
SJSN, yaitu:
a. UUD 1945 amandemen Pasal 28H
- ayat 1: setiap penduduk berhak atas pelayanan kesehatan
- ayat 3: setiap penduduk berhak atas jaminan sosial
b. UUD 1945 amandemen Pasal 34 ayat 2 bahwa Negara mengembangkan jaminan sosial
bagi seluruh rakyat
c. UUD 1945 amandemen pasal 34 ayat 3 bahwa Negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas kesehatan yang layak
d. UU Nomor 3/ 1992 tentang Jamsostek
e. PP 69/ 1991 tentang JPK PNS
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
4

f. UU Nomor 23/ 1992 tentang Kesehatan, khususnya pasal 66


g. UU Nomor 43/ 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil
h. PP Nomor 28/ 2003 tentang Asuransi Kesehatan Pegawai Negeri

Semua landasan hukum diatas mendukung upaya-upaya penyusunan dan pelaksanaan


Undang-undang SJSN.

ASAS DAN PRINSIP PENYELENGGARAAN

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) diselenggarakan berdasarkan asas


kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Dalam
undang undang no 40 tahun 2004, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) diselenggarakan
berdasarkan pada prinsip:

1. Kegotong-royongan, yaitu suatu prinsip adanya saling membantu di antara dua


segmen yang berbeda sehingga terjadi subsidi silang. Prinsip tersebut memungkinkan
perluasan cakupan terhadap seluruh penduduk.
2. Nirlaba, yaitu tidak mengambil untung namun bukan berarti harus merugi tetapi azas
manfaat bagi seluruh pelaku asuransi kesehatan
(Bapel, peserta, pemberi pelayanan kesehatan
serta pemerintah karena mempunyai penduduk
yang sehat dan produktif).
3. Keterbukaan; terdapat sikap transparansi dari
badan penyelenggara terhadap masyarakat
terkait penyelenggaraan SJSN.
4. Kehati-hatian
5. Akuntabilitas; dalam pelaksanaannya dapat
dipertanggungjawabkan atau badan
penyelenggara menjawab dan menerangkan
kinerja dan tindakan yang dilakukan dalam
upaya implementasi kepada pihak yang
memiliki hak atau berkewenangan meminta
pertanggungjawaban.
6. Portabilitas yang menunjukkan bahwa
seseorang tidak boleh kehilangan jaminan/
perlindungan.
7. Kepesertaan bersifat wajib; seluruh rakyat Indonesia wajib menjadi peserta dalam
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan didukung prinsip ekuitas yang berarti
setiap penduduk harus memperoleh pelayanan sesuai kebutuhan.
8. Dana amanat; dana untuk SJSN merupakan dana milik seluruh peserta SJSN dan
berarti dana rakyat.
9. Hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan
program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.

Adapun beberapa prinsip tambahan, antara lain:


 Prinsip responsif, yaitu responsif terhadap tuntutan peserta sesuai standar kebutuhan hidup
sehingga sifatnya lebih dinamis.
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
5

 Prinsip koordinasi manfaat, dengan adanya prinsip ini diharapkan tidak akan terjadi
duplikasi sehingga lebih efisien.
 Prinsip efisiensi yang memungkinkan pelayanan menjadi terkendali karena
pelayanan yang diberikan hanya pelayanan yang dibutuhkan saja. Selain itu, terjadi
juga urun biaya sehingga tidak dirasakan terlalu berat bagi yang tidak mampu

MANFAAT DAN TUJUAN JAMINAN SOSIAL

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bertujuan untuk menjamin terpenuhinya


kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya. Dalam
sistem jaminan sosial, terdapat lima hal yang dijamin, yaitu jaminan kesehatan, jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Alasan utama
mengapa kelima hal tersebut menjadi jaminan sosial adalah untuk menghindari atau
meminimalkan risiko yang timbul dari kelima hal yang akan dijamin tersebut.

Pada dasarnya kelima hal tersebut berdampak tak hanya bagi orang perseorangan,
tetapi bagi keluarga yang merupakan bagian terpenting dari masyarakat (komunitas), dan
secara kolektif akan berpengaruh terhadap stabilitas bangsa baik dari sektor ekonomi,
kesehatan, dan kesejahteraan rakyat. Lebih rincinya, ada beberapa hal yang dapat
menguatkan alasan utama.

1. Tidak ada orang kaya dalam dunia kesehatan.


Adanya pengeluaran yang tidak terduga apabila seseorang terkena penyakit, apalagi
tergolong penyakit berat yang menuntut stabilisasi yang rutin, seperti hemodialisa
atau biaya operasi yang sangat
tinggi. Hal ini berpengaruh pada
penggunaan pendapatan seseorang
dari pemenuhan kebutuhan hidup
pada umumnya menjadi biaya
perawatan dirumah sakit, obat-
obatan, operasi, dan lain lain. Hal
ini tentu menyebabkan kesukaran
ekonomi bagi diri sendiri maupun
keluarga sehingga muncullah
istilah “SADIKIN”, sakit sedikit
jadi miskin. Mengingat fakta di
atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kesehatan tidak bisa digantikan dengan uang,
dan tidak ada orang kaya dalam menghadapi penyakit karena dalam sekejap kekayaan
yang dimiliki seseorang dapat hilang untuk mengobati penyakit yang dideritanya.

2. Risiko kecelakaan dan kematian.


Suatu peristiwa yang tidak kita harapkan, namun mungkin saja terjadi kapan saja di
mana kecelakaan dapat menyebabkan merosotnya kesehatan, kecacatan, ataupun
kematian yang menyebabkan kita kehilangan pendapatan, baik sementara maupun
permanen.

3. Jumlah penduduk lanjut usia di masa datang.

Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI


6

Pada tahun 2030, diperkirakan jumlah penduduk Indonesia adalah 270 juta orang dan
70 juta di antaranya diduga berumur lebih dari 60 tahun. Berdasarkan hal tersebut,
kita dapat menyimpulkan bahwa pada tahun 2050, terdapat 25% penduduk Indonesia
adalah lansia. Lansia ini sendiri rentan mengalami berbagai penyakit degeneratif yang
akhirnya dapat menurunkan produktivitas dan berbagai dampak lainnya. Apabila tidak
ada yang menjamin hal ini, suatu saat hal ini mungkin dapat menjadi masalah yang
besar.

PEMBIAYAAN JAMINAN SOSIAL

SJSN akan diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial, ekuitas, dan atau
tabungan wajib sehingga dalam pelaksanaannya, SJSN memerlukan iuran yang besarnya
ditetapkan berdasarkan persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu yang akan
disetorkan kepada badan penyelenggara jaminan sosial secara berkala.

1. Asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang
berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang
menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Iuran adalah sejumlah uang yang
dibayar secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.
2. Tabungan wajib adalah simpanan yang bersifat wajib bagi peserta program jaminan
sosial.
3. Bantuan iuran adalah iuran yang dibayar oleh pemerintah bagi fakir miskin dan orang
tidak mampu sebagai peserta program jaminan sosial.

Dana yang terkumpul dari sumber dana tersebut merupakan dana jaminan sosial. Dana ini
merupakan dana amanat milik seluruh peserta yang merupakan himpunan iuran beserta hasil
pengembangannya yang dikelola oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk
pembayaran manfaat kepada peserta dan
pembiayaan operasional penyelenggaraan
program jaminan sosial sehingga pada
dasarnya, badan penyelenggara berprinsip
nonprofit, tetapi bukan sama sekali tidak
mengambil keuntungan. Keuntungan dapat
diambil dengan syarat digunakan untuk
pengembangan badan penyelenggara dan
peningkatan mutu penyelenggaraan sistem
jaminan sosial itu sendiri.

Prinsip dasar dari asuransi sosial diambil dari prinsip solidarity dari German, yaitu
yang kaya membantu yang miskin; yang muda membantu yang tua; yang sehat membantu
yang sakit serta keluarga kecil membantu keluarga besar. Di Indonesia hal ini tercermin
dalam istilah “gotong royong” dan tercermin pula dalam sila kelima “keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia”. Adil dalam hal ini dimaksudkan membebankan iuran sesuai dengan
kemampuan ekonomi yang bersangkutan dan tidak disamaratakan, serta membudayakan
subsidi silang dalam pendanaan kesehatan. Dengan demikian, kesejahteraan seluruh
masyarakat dapat tercapai secara optimal.
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
7

BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) diatur dalam UU no 40 tahun 2004 Bab
III Pasal 5 bahwa sejak berlakunya Undang-Undang ini, badan penyelenggara jaminan sosial
yang ada dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menurut Undang-
Undang yaitu 4 badan penyelenggara antara lain Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan
Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN), Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), dan Perusahaan Perseroan (Persero)
Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES). Dalam pembentukannya, badan penyelenggara
harus melalaui undang undang. Jika diperlukan, badan penyelenggara jaminan sosial selain
yang ditetapkan di atas dapat dibentuk yang baru dengan Undang-Undang.

KENDALA REALISASI SJSN

Mengulas sejarah
pada tahun pertama
pengesahan, tepatnya
beberapa bulan setelah
pengesahan, yaitu tanggal 21
Februari 2005, UU SJSN
diajukan untuk dilakukan uji
materi yang keputusannya
dibacakan mahkamah
konstitusi pada tanggal 31
Agustus 2005. Uji materi
dilakukakan oleh beberapa
pemerintah daerah (DPRD
Provinsi Jawa Timur,
Pengurus JPKM Provinsi
Jawa Timur, Pengurus Satpel JPKM Kabupaten Rembang, dan Pengurus Perbapel JPKM
DKI Jakarta) yang berpendapat bahwa hak dan kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh
berlakukanya UU SJSN. Di samping itu, beberapa Pemda tersebut berpendapat bahwa UU
SJSN bertentangan dengan UUD 1945 dan UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemda serta
menyatakan bahwa pemerintah pusat (Departemen Kesehatan) telah menafsirkan UU SJSN
sepihak melalui penerbitan keputusan Menteri Kesehatan no. 1241 tahun 2005 tentang
penugasan PT ASKES sebagai pengelola program jaminan kesehatan masyarakat miskin.

Keputusan mahkamah konstitusi akhirnya mengabulkan permohonan pemohon untuk


sebagian dan hal ini merupakan pelajaran berharga bagi seluruh pemangku kebijakan terkait.
Di bagian lain, pertimbangan hukumnya mahkamah konstitusi berpendapat bahwa
kewenangan untuk menyelenggarakan jaminan sosial nasional bukan saja menjadi
kewenangan pusat, tetapi dapat juga menjadi kewenangan pemerintah daerah. Oleh karena
itu, Undang undang Sistem Jaminan Sosial Nasional tidak boleh menutup peluang pemerintah
daerah untuk ikut mengembangkan sistem jaminan sosial sebagai sistem jaminan sosial
nasional sesuai dengan kewenangan yang diturunkan dari ketentuan pasal 18 ayat (2) dan (5)
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
8

Undang-undang Dasar Negara RI tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi juga


mengingatkan pentingnya upaya pembentukan BPJS tingkat daerah, hal ini untuk menjaga
terjadinya keselarasan dan kesinergisan kerja dari pusat dan daerah sehingga diharapkan
tercipta sistem yang baik dalam tatanan konsep dan teknis pelaksanaan di lapangan. Norma,
standar, dan prosedur BPJS tingkat daerah harus dituangkan dalam peraturan perundang-
undangan yang akan dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun peraturan
daerah.

Setelah putusan mahkamah


konstitusi tersebut keluar, dalam
beberapa tahun setelahnya hampir
tidak pernah terdengar usaha
memperjuangkan SJSN. Pada
tahun 2010 dan 2011 usaha
memperjuangkan SJSN kembali
terdengar. Saat ini, tahun 2011,
undang-undang ini telah memasuki
tahun ke-7 sejak pengesahan, yang
artinya undang undang ini telah
melalui 2 kali pergantian kepala
negara dan kabinetnya, akan tetapi
realisasi dari undang undang yang
menjamin nasib rakyat indonesia
sama sekali belum ada. Semua stakeholder menurut kacamata rakyat jelata terasa lalai untuk
menjalankan sebuah amanat yang jelas harus dilaksanakan. Salah satu yang masih menjadi
permasalahan dalam pelaksanaan adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Rancangan Undang Undang BPJS ini sendiri saat ini telah menjadi Prolegnas 2011 dan
termasuk pembicaraan tingkat 1.

Beberapa informasi terbaru terkait, Rapat Kerja terkait Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) diungkapkan ketua Pansus BPJS, Nizwar Shihab saat membacakan kesimpulan
di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (18/7/2011). Antara lain:
1. DPR RI dan pemerintah sepakat menerima laporan Panja RUU BPJS dengan catatan
bahwa dua paragraf pertama pada angka 2 huruf g dikeluarkan.
2. Pansus RUU BPJS DPR RI dan pemerintah sepakat untuk membahas usulan
pemerintah tentang delapan pokok-pokok pikiran ketentuan peralihan untuk dibahas
lebih lanjut dalam raker pansus.
3. Pansus RUU BPJS DPR RI dan pemerintah sepakat bahwa prinsip dalam bab
ketentuan peralihan yang telah disepakati dalam Panja RUU BPJS 5 Juli 2011 terdiri
dari tujuh butir akan dibahas dalam raker pansus.
4. Sisa DIM sejumlah 46 yang tidak terkait dengan transformasi akan dibahas di rapat
Pansus RUU BPJS.
5. Kelima, Raker Kerja Pansus RUU BPJS selanjutnya akan dilaksanakan 19 Juli 2011
pukul 16.00.
6. Pemerintah dan Pansus RUU BPJS DPR RI sepakat untuk mengusulkan perpanjangan
pembahasan RUU BPJS dilanjutkan pada sidang yang akan datang.

Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI


9

Setelah itu, dilakukan Rakernas SJSN yang kelima bertema “Transformasi Jaminan
Sosial” diikuti oleh sekitar 180 peserta, yang terdiri atas utusan Pemerintah Daerah dari 33
provinsi, 13 Kementerian/Lembaga Negara (Kemenkokesra, Kemenkes, Kemenakertrans,
Kemensos, Kemhan, Kemendagri, Kemen PAN dan RB, Kementerian PPN / Bappenas,
Kemenhukum dan HAM, DJSN, Mabes TNI, Mabes POLRI, BPS), organisasi pekerja,
organisasi pengusaha, lembaga swadaya masyarakat, lembaga donor, konsultan dan para ahli
jaminan sosial. Ketua DJSN Ghazali, H. Situmorang mengungkapkan enam rekomendasi dari
peserta Rakernas kepada DJSN dalam keterangan pers seusai penutupan Rakernas SJSN di
Hotel Merlynn Park Jakarta, Rabu (20/7), yaitu:

Pertama, mendesak Pemerintah dan DPR untuk segera menuntaskan pembahasan


RUU BPJS pada masa sidang 2011 berikutnya, untuk memenuhi amanat Undang-
undang No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN.
Kedua, mengingatkan Pemerintah dan DPR untuk merumuskan proses transformasi
kelembagaan berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 40 Tahun 2004 tentang
SJSN.
Ketiga, mendorong pemerintah dan DPR untuk menetapkan arah transformasi
program menuju pemenuhan hak konstitusi warganegara secara lengkap atas jaminan
sosial; yakni 5 (lima) program untuk pekerja dan 2 (dua) program (Jaminan Kesehatan
dan Jaminan Kematian) untuk penerima bantuan iuran.
Keempat, sehubungan telah disepakati 2 (dua) BPJS yaitu BPJS I (Jaminan
Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian) dan BPJS II (Jaminan
Hari Tua dan Jaminan Pensiun) dalam rapat Panja DPR dengan Pemerintah, tidak
menutup kemungkinan alternatif BPJS sebagai berikut :
1. BPJS Askes menyelenggarakan jaminan kesehatan untuk semua penduduk kecuali
anggota TNI/POLRI beserta keluarganya dan pekerja swasta.
2. BPJS Jamsostek menyelenggarkan jaminan kesehatan (JK) , jaminan kecelakaan
kerja (JKK), jaminan hari tua (JHT), jaminan pensiun (JP) dan jaminan kematian
(JKm). Untuk semua pekerja swasta (penerima upah dan bukan penerima upah).
3. BPJS Taspen menyelenggarakan JKK, JHT, JKm dan JP untuk PNS.
4. BPJS Asabri menyelenggarakan JHT, JKm, JP, JKK untuk anggota TNI/POLRI
beserta janda/duda dan anaknya. TNI/POLRI tetap menyelenggarakan
pemeliharaan kesehatan anggota TNI/POLRI beserta keluarganya.
Kelima, mengingatkan kembali pemerintah dan DPR untuk memuat ketentuan
pembentukan BPJS daerah dalam UU BPJS.
Keenam, transformasi kelembagaan dan program memerlukan pengkajian yang lebih
mendalam dengan memperhatikan masukan dari empat BPJS eksisting.

Rancangan UU BPJS yang digadang sebagai dasar bagi penyelenggara jaminan social
dalam kenyataannya harus menghadapi kendala dalam pengesahannya. Adapun beberapa
kendala yang dihadapi :

A. Pemerintah VS Dewan Perwakilan Rakyat

1. Sempat diusulkan bentuk BPJS adalah suatu badan yang tunggal, akan tetapi hal ini
ditolak pemerintah. Penolakan berdasarkan kesepakatan delapan kementerian,

Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI


10

pemerintah sudah menyampaikan penolakan resmi terhadap BPJS tunggal melalui


Daftar Inventaris Masalah (DIM) yang disampaikan.
2. Permasalahan kedua yang timbul adalah ketika kesekian kalinya pemerintah menolak
usulan DPR untuk membentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang
nirlaba., hal ini terjadi saat pemerintah dan DPR menyusun daftar investasi masalah
(DIM) RUU BPJS Pemerintah bersikukuh tidak mau memasukan kata "nirlaba" dalam
Rancangan Undang-Undang (RUU) BPJS. Namun, pemerintah meminta
pertimbangan itu diperingkas, yakni menjadi "untuk mewujudkan tujuan SJSN perlu
dibentuk BPJS". dengan alasan agar tidak bertentangan dengan UU SJSN. Usulan ini
ditolak oleh semua fraksi, kecuali fraksi Partai Demokrat. DPR khawatir, bila aspek
badan hukum nirlaba dihapus, BPJS nanti akan tetap menjadi Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) hingga akhirnya Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
akhirnya menyepakati pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
yang nirlaba. Hal itu tertuang dalam forum lobi antara Pemerintah dan DPR hari rabu,
15 Desember 2010.
3. Walaupun telah disepakati BPJS yang nirlaba, saat ini bentukan BPJS sendiri masih
belum ditentukan apakah akan berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau
wali amanat. Hal ini akan berkaitan erat dengan status 4 badan penyelenggara yang
ditetapkan dalam UU SJSN yang saat ini masih berstatus BUMN, yang artinya masih
bersifat profit oriented.

B. Penolakan Peleburan BPJS

Jamsostek Menolak Peleburan 4 BPJS

PT Jamsostek menolak untuk menyepakti peleburan empat lembaga jaminan sosial


jika nanti RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (RUU BPJS) disahkan. Hal ini
akan menjadi tantangan bagi pemerintah dan DPR apabila RUU BPJS disahkan.

Penolakan ini diungkapkan Kepala Divisi Jaminan dan Pemeliharaan Kesehatan


Jamsostek, Masud Muhammad dalam diskusi yang diselenggarakan Majalah Trust.
"Pertama, akan ada keraguan masyarakat dengan adanya BPJS yang baru. Yang kedua
adalah diskriminasi, bukan berarti harus sama. Kalau mau disamakan, jadi aneh dong,
masa yang iuran mau disamakan sama yang enggak iuran," ungkapnya. Menurutnya,
setiap kelompok harus mempunyai rancangan jaminan sosial, tapi bukan berarti
semuanya harus sama. Semuanya harus disesuaikan dengan karakteristik tiap
kelompok penduduk yang ada. Ini karena desain manfaat perlindungan jaminan sosial
tidak bisa setara.”

Dia juga melanjutkan bahwa Jamsostek yang berhubungan dengan pemberi kerja yang
jumlahnya banyak, berbeda dengan PT Askes yang hanya menerima anggaran dari
APBN. Oleh karenanya, penggabungan RUU BPJS hanya akan memusingkan
Jamsostek. "Kita berhubungan dengan banyak pemberi kerja yang jumlahnya ribuan,
ada yang nakal juga. Kalau digabung, kita pusing terutama direkturnya. Kalau
direktur pusing, jangankan mikir pelayanan, pasti banyak dari mereka yang hanya
mikirin dirinya sendiri," lanjut Masud.

Ancaman SPN terkait peleburan BPJS


Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
11

Selain itu, terdapat pula nada ancaman terkait peleburan ini, salah satunya datang dari
Serikat Pekerja Nasional (SPN). Serikat Pekerja Nasional (SPN) menolak rencana
peleburan 4 BPJS yang ada menjadi 2 BPJS. Jika rencana ini dipaksakan, SPN akan
menarik seluruh dana mereka di Jamsostek. SPN justru menyarankan pemerintah,
agar membentuk BPJS baru, yang menjalankan jaminan sosial bagi masyarakat
miskin dan pengangguran. Salah satu ancaman, yaitu penarikan dana Jamsostek dari
438 ribu anggota SPN yang pasti akan menimbulkan gejolak. Belum lagi SP lain yang
jadi peserta Jamsostek, juga melakukan hal sama sehingga dampaknya pada sistem
perekonomian Indonesia pasti merembet kemana-mana. Menanggapi niat SP untuk
menarik dananya dari Jamsostek, Dirut PT Jamsostek, Hotbonar Sinaga berujar, “Jika
pekerja benar-benar menarik dananya dari Jamsostek, akan berdampak bukan saja
perbankan, tetapi juga pada pasar modal. Goncangan yang timbul akan mengganggu
perekonomian Indonesia.” “Dana di kas Jamsostek sebesar Rp100 triliun, tertanam di
perbankan sekitar 30%, di saham 35%, di obligasi 40% dan di dana reksa 5%.
Bagaimana mungkin putaran dana sebesar itu, jika dirombak tiba-tiba tidak
menggoyahkan perekonomian? Janganlah utak-utik BPJS yang sudah berjalan baik
ini. Risiko besar, siapa tanggung?," ungkap Hotbonar.

Hasil Survei Forum Serikat Pekerja

Penolakan peleburan empat BUMN Asuransi juga terpotret dari hasil survei Forum
Serikat Pekerja (FPS) BUMN Bersatu terhadap pendapat publik terhadap BPJS.Survei
ini dilakukan secara nasional dari 30 Mei sampai 30 Juni 2011 dengan jumlah
responden sampel asal sebanyak 10.100 orang. Populasi survei ini diambil dari
seluruh masyarakat Indonesia yang punya hak mendapatkan sistem jaminan sosial
dari pemerintah, yaitu mereka yang sudah berumur 17 tahun atau lebih, atau sudah
menikah ketika survei dilakukan.

Hasilnya, 93,8 persen responden tidak


menginginkan keempat BUMN jaminan
sosial dilebur menjadi satu karena keempat
BUMN tersebut memberikan manfaat yang
berbeda-beda terhadap pesertanya.
Misalnya, banyak peserta Jamsostek yang
tidak memiliki jaminan pensiun atau
jaminan pengobatan ataupun fasilitas
mendapatkan kredit kepemilikan rumah,
dan kepesertaaan Jamsostek tidak bisa dijadikan jaminan mendapatkan pinjaman dari
Bank. Hal ini berbeda dengan Pegawai Negeri Sipil, Polisi, TNI, di mana manfaat
dari kepesertaannya di Askes, Taspen maupun Asabri lebih banyak manfaatnya bagi
kehidupan mereka pada saat memasuki masa tua, dan kepesertaan mereka di Taspen
dan Asabri sangat bank-able untuk mendapat pinjaman dari Bank.

Selain itu, sebanyak 95,9 persen responden menginginkan adanya jaminan


kesehatan gratis dan jaminan pendidikan gratis yang merupakan perintah UUD
1945 pasal 28H. Dengan demikian, sebaiknya sistem jaminan kesehatan dan
pendidikan gratis sebaiknya tidak di lakukan dengan sistem asuransi melalui BPJS,

Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI


12

tapi diurus langsung oleh pemerintah. Harapan masyarakat terhadap BPJS bukanlah
seperti lembaga asuransi, di mana masyarakat diharuskan membayarkan preminya.

C. Isu BPJS sarat kepentingan asing

Ada beberapa pendapat tentang keanehan dalam pembentukan UU BPJS, di mana


banyak peserta dari keempat BUMN yang meyelengarakan jaminan sosial tidak
pernah diajak bicara atau melibatkannya dalam proses penyusunan UU BPJS yang
akan berisi tentang peleburan keempat BUMN jaminan sosial, dan seakan akan hanya
pembentukan UU BPJS hanya dikuasai oleh beberapa organisasi serikat pekerja serta
sejumlah fraksi di DPR saja.

Kejanggalan dalam penyusunan draft


UU BPJS terlihat karena melibatkan
beberapa organisasi asing non-
government, yaitu GTZ dan FES, di
mana GTZ ikut aktif dalam
penyusunan draft UU BPJS dan FES
aktif untuk melakukan kampanye
dilakukan oleh organisasi serikat
buruh untuk pembentukan BPJS
melalui seminar dan aksi-aksi.

Selain itu, Asia Development Bank aktif ikut mengintervensi untuk tebentuknya UU
SJSN, di mana dalam undang undang SJSN diharuskannya pembentukan BPJS. Hal
tersebut terbukti dalam bantuan program ADB untuk BUMN, salah satu agendanya
adalah melakukan peleburan dari kempat BUMN yang menjalankan sistem jaminan
sosial selama ini sehingga terdapat dugaan bahwa UU SJSN dan pembentukan UU
BPJS banyak diintervensi oleh kepentingan asing.

Meski pengelolaan dana jaminan sosial bersifat nirlaba, yakni keuntangannya


dikembalikan kepada peserta, BPJS memiliki independensi dalam pengelolaan dana
tersebut. Dalam RUU BPJS pasal 8 (b) disebutkan bahwa BPJS berwenang untuk
“menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka
panjang dengan mempertimbang-kan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian,
keamanan dana dan hasil yang memadai.” Dengan demikian, BPJS berhak mengelola
dan mengembangkan dana tersebut pada berbagai kegiatan investasi yang dianggap
menguntungkan. Dana tersebut, seperti dana asuransi lainny, dapat diinvestasikan
pada berbagai portofolio investasi seperti saham, obligasi dan deposito perbankan.

Menurut Siti Fadhilah, meskipun namanya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial,


isinya bukan tentang jaminan social, tetapi cara mengumpulkan dana masyarakat
secara paksa, termasuk dana APBN untuk masyarakat miskin. Dana dari 250 juta
rakyat Indonesia itu nanti disetor ke BPJS lalu dikuasakan ke segelintir orang yang
namanya wali amanah. Lembaga ini sangat independen, tidak boleh ada campur
tangan pemerintah. Nanti dana yang terkumpul ini akan digunakan untuk kepentingan
bisnis kelompok tertentu, termasuk perusahaan asing, yang sulit
dipertanggungjawabkan. Padahal, dana ini dikumpulkan dari seluruh rakyat. Apalagi
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
13

kalau 4 BUMN (ASABRI, TASPEN, JAMSOSTEK, ASKES) digabungkan, hal ini


menyangkut dana 190 triliun.

Oleh karena itu, wajarlah kalau UU SJSN dan RUU BPJS, sebagaimana halnya UU
lain, sarat dengan intervensi asing. Pembuatan UU tersebut merupakan bagian dari
paket reformasi jaminan sosial dan keuangan pemerintah yang digagas oleh ADB
pada tahun 2002 pada masa pemerintahan Megawati. Hal tersebut terungkap dalam
dokumen Asian Development Bank (ADB) tahun 2006 yang bertajuk, “Financial
Governance and Social Security Reform Program (FGSSR).” Dokumen tersebut
menerangkan, “Bantuan Teknis dari ADB telah disiapkan untuk membantu
mengembangkan SJSN yang sejalan dengan sejumlah kebijakan kunci dan prioritas
yang dibuat oleh tim penyusun dan lembaga lain.” Nilai pinjaman program FGSSR
ini sendiri sebesar US$ 250 juta atau Rp 2,25 triliun dengan kurs 9.000/US$.

Dalam kondisi tertentu, dana tersebut dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mem-
bail-out sektor finansial jika terjadi krisis. Pada krisis 2008, misalnya, Pemerintah
Indonesia pernah memerintahkan beberapa BUMN untuk melakukan buy-back
saham-saham di pasar modal untuk membantu mengangkat nilai IHSG yang melorot
tajam akibat penarikan modal besar-besaran oleh investor
asing.

Dengan demikian, pihak yang diuntungkan dengan


pemberlakukan UU tersebut adalah para investor dan
negara-negara yang pembiayaan anggarannya bergantung
pada sektor finansial. Inilah salah satu alasan mengapa
pihak asing berambisi untuk mengegolkan UU ini.

Di sisi lain, dengan alasan agar dana yang dihimpun dapat


dimanfaatkan dalam jangka panjang, pembayaran klaim
terhadap peserta asuransi, seperti pelayanan kesehatan,
santunan kepada para pensiunan akan bersifat minimalis,
bahkan yang lebih tragis, sebagaimana yang terjadi di
negara lain, perusahaan-perusahaan kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS,
dengan berbagai alasan, dapat meningkatkan klaim pembiayaan kepada BPJS.
Konsekuensinya, biaya iuran yang dikenakan BPJS kepada para peserta akan
ditingkatkan. Jika masih kurang, negara dipaksa untuk memberikan dana talangan.

D. Kesadaran Asuransi dan Polemik Berobat Gratis

Di lain pihak salah satu masalah utama reformasi kesehatan di Indonesia adalah
kesadaran berasuransi yang sangat rendah. Sebagai contoh, dari 32 juta pekerja di
Indonesia, hanya 8 juta pekerja yang ikut asuransi dan sisanya belum disentuh. Hal ini
juga merupakan salah satu masalah yang harus dicermati dan dipersiapkan solusinya.

Survei Forum Serikat Pekerja (FSP) sebanyak 95,9 persen dari 10.100 responden
menginginkan adanya jaminan kesehatan gratis dan jaminan pendidikan gratis
yang merupakan perintah UUD 1945 pasal 28H. Dengan demikian, sebaiknya sistem
jaminan kesehatan dan pendidikan gratis sebaiknya tidak di akukan dengan sistem
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
14

asuransi melalui BPJS, tapi diurus langsung oleh pemerintah. Harapan masyarakat
terhadap BPJS bukanlah seperti lembaga asuransi, di mana masyarakat diharuskan
membayarkan preminya.

Hal tersebut jelas menunjukkan bahwa sebagian masyarakat pada dasarnya tidak
memahami secara baik prinsip-prinsip asuransi dan cenderung untuk hidup nyaman
dengan slogan “gratis”. Padahal, saat ini tidak ada yang gratis, kalaupun ada yang
gratis tentu hanya slogan dengan mengorbankan anggaran yang lain. Pada akhirnya,
mutu dan pelayananlah yang akan dikorbankan.

Dalam perkembangan realisasi SJSN, kerapkali terdapat perbedaan konsep antara


pemerintah dan DPR. Hal ini perlu dianalisa dengan cermat dan seksama agar akar
permasalahan dapat ditemukan dengan benar dan tepat. Apakah perbedaan tersebut memang
dilatarbelakangi oleh perbedaan pinsip dasar mengenai pilihan sistem SJSN atau perbedaan
persepsi dalam pelaksanaan UU SJSN atau perbedaan dalam menentukan prioritas
pengembangan SJSN? Karena waktu 8 tahun sejak pengesahan UU no 20 tahun 2004 tentang
SJSN telah berlalu tanpa ada tindakan, dan saat ini kita masih berkutat dalam konsep. Sampai
kapan rakyat indonesia harus menunggu jaminan yang seyogyanya mereka dapatkan dari
negara mereka sendiri?

SOLUSI YANG DITAWARKAN

Jaminan Sosial, Tanggung Jawab Siapa??


Pelaksanaan cakupan universal jaminan sosial menghadapi tantangan yang berat,
tetapi bukan mustahil untuk dilaksanakan. Sejauh ini, berdasarkan data kementerian
kesehatan tahun 2010 dari 237,5 juta jiwa 49,22%/ 116,9 juta jiwa belum memiliki jaminan
sosial. Untuk mencapai cakupan universal jaminan kesehatan pada 2014, masih banyak
memiliki tantangan. Salah satu tantangan yang akan dihadapi adalah sumber dana yang
tentunya tidak sedikit untuk menyukseskan program jaminan sosial nasional. Banyak
spekulasi berkembang bahwa pemerintahlah yang harus menanggung semua biaya tersebut,
adapula pendapat bahwa pendanaan adalah tanggung jawab bersama seluruh rakyat
Indonesia, kecuali yang miskin dan tidak mampu karena pada dasarnya “tidak ada hak, tanpa
kewajiban”.

Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI


15

Sebelum kita melangkah lebih jauh, ada baiknya kita sedikit melakukan kalkulasi
terkait biaya yang akan dihabiskan apabila kita menginginkan jaminan sosial yang ideal.
Riset yang dilakukan Prof. Hasbullah (guru besar FKM UI) menunjukkan bahwa untuk
mewujudkan jaminan sosial yang cukup ideal setidaknya pemerintah harus memiliki
komitmen untuk membiayai premi asuransi sebesar Rp. 20.000 per orang setiap bulan.
Apabila kita perkirakan jumlah penduduk Indonesia 250 juta, jumlah dana yang akan
dihabiskan adalah 20.000 x 250 juta = 5 triliun dalam satu bulan yang artinya 60 triliun per
tahun.
Dari kalkulasi di atas, bila pemerintah berkewajiban membiayai seluruh jaminan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia maka sedikitnya 60 triliun per tahun wajib dialokasikan
pemerintah. Dana sebesar 60 triliun ini sebenarnya dapat ditanggung sepenuhnya oleh
pemerintah asalkan ada komitmen dan political will yang kuat. Alternatif lainnya adalah
menggunakan dana bantuan sosial yang selalu dialokasikan setiap tahunnya.
Bantuan sosial ini mencapai angka 60 triliun dan tersebar di berbagai lembaga dan
kementerian, antara lain Kementerian Pendidikan 31,2 triliun, Kemendagri 8,6 triliun,
Kemenkes, 3,7 triliun, Kemenag 6,8 triliun, Kementerian Sosial 2,1 triliun, Kementerian
Pekerjaan Umum 2,5 triliun, serta berbagai lembaga negara yang jumlah bantuannya
bervariasi. Hal ini sangat mungkin dilakukan. Akan tetapi, secara hukum alam, untuk
mendapatkan sesuatu kita harus mengorbankan yang lain. Hukum ini dapat pula terjadi bila
kita mengambil dana dari bantuan sosial tersebut karena bidang pendidikan, pembangunan
sarana prasarana untuk masyarakat, dan bidang lain juga masih dalam tahap berkembang dan
membutuhkan bantuan tersebut. Di lain pihak, jaminan pendidikan saat ini belum termasuk
dalam kelima hal yang akan dijamin dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional sehingga dapat
saja perubahan alokasi dana ini berdampak terhadap stagnasi pengembangan bidang-bidang
tersebut dan menjadi bumerang yang menimbulkan masalah baru.
Salah satu bentuk ketidaksanggupan pemerintah saat ini juga tercermin dari program
Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Jumlah peserta Jamkesmas melalui sistem
kuota berdasarkan kriteria kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 73 juta jiwa.,
sedangkan alokasi dana yang disiapkan pemerintah untuk Jamkesmas dan Jampersal hanya
6,3 triliun untuk tahun 2011. Ini berarti pemerintah hanya menyediakan anggaran Rp. 6000
per orang per bulan, jauh di bawah nilai ideal untuk jaminan sosial yang layak.
Melalui sistem jaminan sosial, permasalahan di atas dapat diatasi dengan iuran
asuransi yang bersifat gotong royong. Prinsip ini menjunjung tinggi yang kaya, sesuai
kemampuannya, membantu yang miskin, yang tua membantu yang muda sehingga semua
beban akan terasa lebih ringan. Prinsip gotong royong inilah yang akan diintegrasikan dalam
pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Semua rakyat Indonesia wajib menjadi
peserta jaminan sosial nasional dan membayar iuran yang nantinya secara kolektif menjadi
dana amanat. Pengecualian membayar iuran diperuntukkan bagi rakyat miskin dan tidak
mampu, mereka bukannya tidak dihitung iurannya, tetapi iuran mereka akan ditanggung oleh
negara. Berdasarkan data sebelumnya, penerima Jamkesmas 73 juta kita anggap sebagai
peserta yang iurannya dibayar pemerintah, maka pemerintah berkewajiban membayar iuran
minimal 16,8 triliun setiap tahun. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan nilai yang wajib
dikeluarkan pemerintah bila menanggung biaya seluruh rakyat Indonesia.

Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI


16

Pertanyaan dan pernyataan yang kerap muncul belakangan adalah “Di mana tanggung
jawab pemerintah dalam penyelenggaraan jaminan sosial? Bukankah pemerintah menjamin
rakyat dan sewajarnya membayar keseluruhan biaya jaminan sosial?” Iuran jaminan sosial ini
bertentangan dengan UUD 45!!” hingga terjadi penolakan diberbagai daerah dan demo oleh
beberapa pihak dengan latar belakang yang berbeda sehingga ada upaya untuk uji materi
pasal 17 UU SJSN yang berisi dan upaya penghilangan pasal tersebut. Adapun poin yang
tercantum dalam pasar 17 UU SJSN adalah sebagai berikut.
1. Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan
persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu.
2. Setiap pemberi kerja wajib memungut iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran
yang menjadi kewajibannya dan membayarkan iuran tersebut kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial secara berkala.
3. Besarnya iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan untuk
setiap jenis program secara berkala sesuai dengan perkembangan sosial, ekonomi
dan kebutuhan dasar hidup yang layak.
4. Iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar
oleh Pemerintah.
5. Pada tahap pertama, iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibayar oleh
Pemerintah untuk program jaminan kesehatan.
6. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.

Salah satu tanggapan terkait pertanyaan dan pernyataan tersebut muncul dari Prof.
Hasbullah. Menurut beliau jika pemohon dalam Uji Materi tersebut mendalilkan
bahwa “iuran wajib bertentangan dengan UUD’45”, pajak juga harus dinyatakan
bertentangan dengan UUD‟45. Begitu juga dengan PT Jamsostek dan PT Askes yang sudah
beroperasi lebih dari 40 tahun. Tahun lalu, hanya sekitar 7,5 juta penduduk Indonesia yang
menyampaikan SPT Tahunan, atau membayar pajak sehingga dapat dipastikan bahwa
menyediakan jaminan kesehatan dan hari tua bagi semua penduduk melalui pembayaran
pajak saja, negara tidak akan mampu. Sekitar 90% penduduk saat ini yang tidak membayar
pajak akan menerima belas kasih dari 10% penduduk yang membayar pajak. Pada gilirannya,
penduduk yang membayar pajak akan merasa berat terus-menerus menanggung semua
penduduk lain yang tidak membayar pajak.
Kalau kita telaah lebih lanjut lagi, kalaupun semua ditanggung pemerintah tentu yang
akan digunakan adalah APBN. APBN ini sendiri merupakan dana yang bersumber dari pajak
yang juga dibayarkan oleh rakyat sehingga tidak menutup kemungkinan apabila pemerintah
saat ini merasa tidak sanggup dapat terjadi opsi kenaikan pajak. Padahal, secara prinsip pajak
umum dan iuran jaminan sosial terdapat perbedaan, di mana pajak umum digunakan untuk
pelayanan umum seperti membangun sekolah, membangun jalan, membangun sarana ibadah,
dll. Iuran sendiri diperuntukkan untuk manfaat yang didapat dari program jaminan sosial.
Walaupun demikian, beberapa negara di Eropa Barat yang menyatukan pajak umum dan
iuran tersebut. Hal ini dapat dilakukan, tetapi jumlah pajak yang harus dibayarkan mencapai
50% gaji atau upah.
Hal tersebut tentu berbeda dengan sistem yang dianut di Indonesia dan Aamerika
yang mengupayakan pajak yang rendah. Oleh karena itu, perlu adanya iuran dari peserta
jaminan sosial nasional. Lagipula, iuran ini sifatnya dana amanat dan nirlaba sehingga semua
dana yang terkumpul beserta keuntungannya adalah milik rakyat dan dikembalikan kepada
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
17

rakyat melalui pengembangan layanan jaminan sosial, perbaikan sistem, serta peningkatan
sarana dan prasarana.
Tidak menutup kemungkinan di kemudian hari, negara menjadi mapan di berbagai
sektor dan pemerintah memiliki APBN yang lebih banyak yang dapat digunakan untuk
membayar iuran rakyat miskin dan tidak mampu serta mampu menyubsidi, bahkan
menanggung iuran bagi masyarakat yang mampu. Akan tetapi, berdasarkan uraian di atas,
Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) berpendapat bahwa iuran dengan
prinsip gotong royong ini merupakan langkah yang paling rasional yang dapat dipilih “saat
ini” dan dalam pandangan kami UU SJSN terkhusus pasal 17 tidak memiliki pertentangan
ataupun melanggar UUD 45.

Kita Perlu BPJS, Kita Juga Perlu Dewan Pengawas BPJS


Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, terjadi pro dan kontra terkait tanggung
jawab pembiayaan jaminan sosial. Hal ini juga menimbulkan argumentasi bahwa pemerintah
telah lalai dengan memberikan tanggung jawab pelaksanaan SJSN kepada pihak ketiga, yaitu
BPJS. Seharusnya pemerintah menangani langsung pengelolaannya.
Hal tersebut harus kita cermati sebagai upaya perluasan wawasan. Bahwa pada
dasarnya pembentukan BPJS ini merupakan amanat undang undang. BPJS memiliki prinsip:
a. Nirlaba;
b. Keterbukaan;
c. Kehati-hatian;
d. Akuntabilitas;
e. Portabilitas;
f. Dana amanat; dan
g. Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan
program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta.
Dengan adanya BPJS ini, diharapkan tidak terjadi upaya intervensi dari pihak yang
mencoba mengambil keuntungan dari iuran peserta SJSN, baik dari pihak asing maupun
dalam negeri. BPJS ini juga bertujuan untuk menghilangkan perilaku korupsi yang kerap kita
temui kasusnya di lingkungan pejabat pemerintahan, DPR, maupun daerah. Hal senada
disampaikan juga oleh peneliti ICW yang beranggapan dengan adanya BPJS diharapkan
perilaku korupsi tidak terjadi.

Salah satu lagkah konkret yang harus dilakukan dan telah disepakati oleh DPR dan
pemerintah adalah pembentukan dewan pengawas. Hingga saat ini telah disepakati unsur
Tripartit masuk dalam dewan pengawas. Unsur Tripartit dalam Dewan Pengawas BPJS
bertindak selaku pengawas atau mengawasi jalannya program jaminan sosial secara nasional.

Menurut anggota DJSN dari kalangan ahli Jaminan Sosial, Prof Dr Bambang
Purwoko SE, MA, penyelenggaraan jaminan sosial dengan program yang dibiayai oleh
peserta-pengusaha/pemberi kerja dan pekerja, tentunya punya wadah tersendiri untuk
menyampaikan aspirasinya. Pekerja punya wadah serikat pekerja seperti misalnya Serikat
Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), sedangkan Pengusaha/Pemberi Kerja punya wadah seperti
misalnya Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Selain itu, pasti ada juga pihak
Pemerintah. Jadi, unsur Tripartit dalam konteks ini terkait untuk pengawasan atau mengawasi
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
18

atas jalannya program. Ini berbeda dengan penyelenggaraan jaminan sosial yang programnya
berbentuk bantuan sosial dan pendanaannya berasal dari APBN, dimana tidak diperlukan
adanya unsur Tripartit.

Permasalahan yang ada terkait ketetapan mengenai jumlah personil Dewan Pengawas
BPJS, di mana pemerintah memiliki pandangan berbeda dengan DPR. Pemerintah
menginginkan jumlahnya lima orang, sementara DPR menilai jumlah tersebut masih kurang.
Dalam hal ini, DPR melakukan komparasi dengan jumlah anggota Dewan Jaminan Sosial
Nasional (DJSN) yang mencapai 15 orang yakni lima orang dari unsur Pemerintah, tiga tokoh
Jaminan Sosial, tiga ahli Jaminan Sosial, dua orang dari Organisasi Pemberi Kerja, dan dua
lagi dari Organisasi Pekerja, sedangkan anggota DJSN sendiri berpendapat bahwa untuk
jumlah personil di Dewan Pengawas BPJS yang lingkupnya lebih kecil dibandingkan dengan
DJSN, sembilan orang sudah cukup. Tiga orang dari unsur Pemerintah, dua orang dari unsur
Serikat Pekerja, dua orang dari unsur Pemberi Kerja, dan satu orang dari kalangan ahli
Jaminan Sosial, serta seorang lagi sebagai Ketua, yang biasanya dari unsur Pemerintah.

Kami dari Ikatan senat mahasiswa kedokteran Indonesia (ISMKI) mendesak


pemerintah dan DPR untuk segera mengundangkan RUU BPJS selambat lambatnya oktober
2011. Mengingat pentingnya jaminan sosial dilaksanakan sesegera mungkin. Amanat pasal
52 UU SJSN juga menunjukkan bahwa semua ketentuan yang mengatur mengenai Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan
dengan undang-undang ini paling lambat 5 (lima) tahun sejak undang-undang ini
diundangkan. Saat ini telah 2 tahun berlalu sejak batas waktu yang ditentukan. Apapun hasil
yang diundangkan tentu dalam pelaksanaannya akan membutuhkan waktu lagi. Oleh karena
itu, bila terjadi deadlock lagi dipastikan periode 2014-2019 RUU BPJS baru akan dibahas
kembali. Tentu hal ini merupakan pelanggaran dalam bentuk menunda hak yang harus
didapatkan rakyat, yaitu realisasi UU SJSN. Kami berkesimpulan langkah terbaik adalah
mengundangkannya dalam periode ini diikuti hal terpenting selanjutnya, yaitu follow up
berupa monitoring dan evaluasi.

Kami dari ISMKI juga berpendapat bahwa perdebatan yang terlalu berkepanjangan
mengenai jumlah personil tak terlalu substansial dilakukan oleh Panja DPR RUU BPJS dan
wakil dari Pemerintah karena pada dasarnya, tidak ada aturan khusus untuk menentukan
jumlah ini dan hanya berdasarkan kesepakatan. Hal yang kami inginkan dengan adanya
dewan pengawas BPJS ini adalah kepastian tidak adanya campur tangan pihak asing dalam
penyelenggaraan BPJS, seperti yang ditakutkan akhir akhir ini. Selain itu, kami
menginginkan adanya konsep dan rencana teknis monitoring evaluasi berkala yang jelas dan
terbuka terhadap BPJS.

Peleburan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) bukanlah Keharusan

Pada dasarnya, tidak ada peraturan yang mengharuskan 4 BPJS yang ada untuk
dilebur jadi 2 BPJS. Peleburan atau transformasi BUMN hanya dapat dilakukan antar
BUMN, seperti yang diatur dalam UU BUMN pasal 63 ayat 1. Kemudian, peleburan,
pengambilalihan atau pemisahan BUMN wajib memperhatikan kepentingan persero,
karyawan perseroan, dan kreditor. Salah satu poin dalam pasal 5 yaitu “Dalam hal diperlukan
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
19

baru dengan Undang-Undang” sehingga peleburan BPJS yang ada saat ini bukanlah
merupakan keharusan. Akan tetapi, berdasarkan rapat kerja pemerintah dan DPR akhirnya
sepakat akan 4 BUMN menjadi 2 BPJS.

Salah satu alasan terbesar mengapa diharapkan adanya badan tunggal adalah teori
efisiensi. Menurut teori ini, merger dapat meningkatkan efisiensi karena akan menjadikan sinergi
yang secara sederhana diartikan sebagai 2+2=5, yaitu konsep dalam ilmu ekonomi yang
mengatakan gabungan faktor-faktor yang komplementer akan menghasilkan hasil yang berlipat
ganda. Di samping itu, akan didapatkan keadilan dalam segi hak dan kewajiban.

Di lain pihak, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan untuk melakukan
transformasi atau peleburan BPJS. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Terdapat perbedaan dalam hal sumber dana dari keempat BUMN yang akan menjadi
BPJS. Jamsostek memiliki sumber dana dari iuran dari pekerja sebesar 2 % dan 3,7 %
dibayar oleh perusahaan aatu pemberi kerja, sedangkan Askes, Asabri, dan Taspen
memiliki sumber dana dari subsidi APBN. Hal ini memicu tendensi penolakan karena
aset yang dimiliki Jamsostek yang tanpa bantuan pemerintah apabila dilebur
menimbulkan ketidakadilan karena aset dari badan yang lain ada subsidi pemerintah.
2. Dalam hal pelayanan, terdapat perbedaan dari keempat BUMN ini. Sebagai contoh,
askes hanya melayani Jaminan Kesehatan (JPK) saja sedangkan Jamsostek
menyelenggarkan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), Jaminan Kecelakaan Kerja
(JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Kematian (JK).
3. Dalam peleburan perusahaan, dikhawatirkan akan terjadi likuidasi sehingga terjadi
pemberhentian tenaga kerja besar-besaran.
4. Peleburan BPJS dalam hal kepesertaan, pelayanan, pendanaan, sistem, dan tenaga
kerja tentu akan memerlukan pemikiran, biaya, dan waktu yang lama. Tidaklah
mustahil apabila kita menunggu peleburan ini rampung terjadi penundaan
pelaksanaan SJSN.
Menanggapi hal tersebut, Ikatan senat mahasiswa kedokteran Indonesia (ISMKI) memiliki
pandangan, yaitu
1. Saat ini telah ada PT Danareksa sebagai fasilitator dalam transformasi. Walaupun
demikian, pemerintah dan DPR harus melakukan riset ilmiah terkait dampak positif
dan dampak negatif peleburan BPJS ini mengingat Danareksa hanyalah fasilitator
bukan penentu kebijakan sehingga keputusan untuk melebur atau mempertahankan 4
BPJS ini memiliki landasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Walaupun di
kemudian hari terjadi peleburan, pemerintah dan DPR wajib memaparkan analisis
ilmiah peleburan yang ada. Dengan begitu, tercipta keselarasan antara teknis dan
konsep.
2. Mengingat belum adanya riset ilmiah seperti yang diungkapkan di atas, kami masih
berpendapat bahwa saat ini jalan terbaik adalah mempertahankan empat BPJS yang ada
diiringi peningkatan kualitas dan penambahan BPJS baru yang mencover rakyat miskin
dan tidak mampu. Hal tersebut dilakukan dengan catatan pemerintah dan DPR menjamin
bahwa tidak terjadi diskriminasi pelayanan antarpeserta yang mengikuti BPJS. Menurut
kami, tujuan dari universal coverage adalah kesetaraan dalam hal iuran dan pelayanan.

Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI


20

PERNYATAAN SIKAP

Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) menyatakan bahwa:

Pertama, mendesak pemerintah dan DPR untuk segera mengundangkan RUU BPJS
selambat-lambatnya Oktober 2011.

Kedua, rancangan iuran jaminan sosial sekarang yang menganut prinsip gotong royong
merupakan langkah paling rasional yang dapat dipilih “saat ini” dan dalam pandangan kami
UU SJSN terkhusus pasal 17 tidak memiliki pertentangan ataupun melanggar UUD 45.

Ketiga, mendesak pemerintah dan DPR malaksanakan pertemuan secara efektif dan tidak
memperdebatkan hal yang tidak substansial terlalu berkepanjangan. Sebagai contoh,
perdebatan mengenai jumlah personil dewan pengawas BPJS. Perdebatan yang
berkepanjangan dapat menghabiskan waktu dan akhirnya berujung pada penundaan
pengesahan RUU BPJS harus dihindari.

Keempat, mendesak pemerintah dan DPR harus melakukan riset ilmiah terkait dampak
positif dan negatif peleburan BPJS mengingat PT Danareksa hanyalah fasilitator bukan
penentu kebijakan sehingga keputusan untuk melebur atau mempertahankan 4 BPJS ini
memiliki landasan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Hasil riset juga wajib
dipaparkan ke publik guna pencerdasan bangsa.

Kelima, mengingat belum adanya riset ilmiah, seperti yang diungkapkan di atas, kami masih
berpendapat bahwa saat ini jalan terbaik adalah mempertahankan empat BPJS yang ada diiringi
peningkatan kualitas dan penambahan BPJS baru yang mencover rakyat miskin dan tidak mampu.
dengan catatan pemerintah dan DPR menjamin bahwa tidak terjadi diskriminasi pelayanan antar
peserta BPJS.

Keenam, apabila hasil riset menunjukkan bahwa langkah terbaik adalah peleburan keempat
BPJS, pemerintah dan DPR wajib memaparkan konsep dan teknis peleburan yang akan
dilakukan. Pemerintah juga harus menjamin tidak ada PHK tenaga kerja dari keempat BUMN
tersebut.

Ketujuh, pemerintah dan DPR harus menghilangkan hal-hal berbau politis dan konflik
kepentingan dalam pengesahan RUU BPJS.

Kedelapan, pemerintah dan DPR melalui dewan pengawas BPJS wajib memastikan tidak ada
adanya campur tangan pihak asing dalam penyelenggaraan BPJS, seperti yang ditakutkan
akhir akhir ini.

Kesembilan, menginginkan adanya konsep dan rencana teknis monitoring evaluasi secara
berkala yang jelas dan terbuka terhadap BPJS.

Kesepuluh, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan edukasi kepada
seluruh masyarakat Indonesia mengenai sistem jaminan sosial nasional sehingga tumbuh
pemahaman akan urgensi SJSN, prinsip asuransi, perbedaan pajak dengan asuransi,

Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI


21

perbedaan SJSN dengan berobat gratis/jamkesmas, dan menghilangkan spekulasi jelek


terhadap SJSN, serta hal lain yang dianggap penting.

Kesebelas, di kemudian hari pemerintah dan DPR harus memasukkan jaminan pendidikan
ke dalam UU SJSN melalui amandemen UU SJSN.

Kedua belas, pemerintah harus meningkatkan anggaran untuk belanja fungsi kesehatan
karena hal ini menunjang untuk kinerja sistem kesehatan.

Indonesia, Agustus 2011


Atas Nama Mahasiswa Kedokteran Indonesia,
Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI

Kord. KASTRAT Nasional ISMKI 2011


dto
Franz Sinatra Yoga

Sekretaris Jenderal ISMKI 2011


dto
Zairullah Mighfaza

*kajian dilakukan sebelum FMB dan disesuaikan dengan keadaan terbaru dengan isu SJSN.
*Mendekati dan sesudah FMB Nas Kastrat ISMKI di FK Unpad, terjadi beberapa perubahan
substansi dalam kajian yang tertuang dalam artikel-artikel berikut. Hal ini dipengaruhi
kesepakatn pemerintah dan DPR dalam membahas BPJS.

SJSN, Apakah Engkau Semu??

Sebenarnya terlalu lama negeri ini terlena,


dari pejabat-pejabatnya hingga rakyatnya,
termasuk mahasiswa mahasiswa yang
sangat kita banggakan. sistem di internal
mahasiswa kedokteran sendiri pun masih
terbilang belum bagus. Lantas bagaimana
kita akan merubah bangsa ini?? Saya rasa
semua harus berjalan beriringan (hal ini
juga seiring dgn pertanyaan seorang rekan
di ISMKI mengenai kesiapan kita kelak).
Jangan sampai kita yang saat ini berjuang
malah ingkar di kemudian hari, hanya
karena sistem harus dilawan dengan sistem, bukan hanya dengan kebanggaan "mahasiswa
telah menggulirkan presiden tahun 98". Kami sangat setuju dengan kawan-kawan FK Unpad
bahwa gerakan kita tidak berhenti sebagai gerakan kritisi, tapi bersifat solutif aplikatif.
Kondisi negara ini tidak hanya memikirkan SJSN, tetapi tetap SJSN harus diprioritaskan.
Sesungguhnya dengan keadaan kita sekarang, kita harus menciptakan desakan pada
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
22

pemerintah agar pemerintah membuka mata. Desakan apa yang akan direspon pemerintah?
Desakan yang tersistem. berangkat dari kalangan bawah, dari kesadaran rakyat-mahasiswa.
Wakil-wakil rakyat di daerah wakil-wakil rakyat di DPR RI, dokter, profesi lain, dll.
Mahasiswa harus membuka mata semuanya tentang pentingnya SJSN ini. Kalau tidak,
walaupun ada solusi yang kita tawarkan itu hanyalah angin lalu karena SJSN tak pernah jadi
prioritas. Saya sangat berharap semua gerakan serentak. Saat ini institusi bergerak, wilayah
bergerak, nasional bergerak, tetapi sekali lagi, sembari membuat gerak menjadi gerakan.
Pembangunan sistem masih menjadi salah satu kendala kita. tapi selama kemauan masih ada,
jalan pasti akan tercipta kawan!! Kita tidak usah menunggu bertahun tahun, mari berusaha
dari sekarang. Urusan masa depan Allah yang menentukan. Jika Allah menginginkan, tahun
ini SJSN dapat terealisasi. Jika apa? Jika masih ada orang-orang yang selalu
memperjuangkannya walaupun dalam keadaan sulit, kita harus terus berjuang. Saya bangga
dengan teman-teman mahasiswa sekalian. Salam hangat!! Semangat berkarya membangun
bangsa!

Mahasiswa Kedokteran Dukung Pengesahan RUU BPJS


oleh: Tim kajian FMB (9 orang luar biasa) dan dilengkapi oleh Franz Sinatra Yoga
(Koordinator Kajian Strategis Nasional Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia)

Pada tanggal 21-23 Oktober 2011, bertempat di kota Bandung mahasiswa kedokteran yang
diwakili oleh 80 delegasi dari 18 fakultas kedokteran di seluruh Indonesia berkumpul untuk
mendiskusikan tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Dalam diskusi yang juga menghadirkan beberapa pakar, regulator, dan praktisi jaminan
sosial, forum ini berpendapat bahwa ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian
khusus dalam UU SJSN, yaitu:

1. Terkait dengan UU SJSN. Beberapa pasal UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN masih
belum memiliki rincian dan penjelasan yang jelas, di antaranya:
• Pasal 13 ayat 2 Keppres tentang pentahapan pendaftaran pemberi kerja dan pekerjanya
sebagai peserta jaminan sosial
• Pasal 14 ayat 2 PP tentang indikator batasan fakir miskin dan orang tidak mampu
• Pasal 17 ayat 5 bagi fakir miskin dibayar tahap pertama, bagaimana tahap selanjutnya?
• Pasal 17 ayat 6 PP iuran
• Pasal 21 ayat 4 Keppres untuk masa berlaku kepesertaan jaminan kesehatan
• Pasal 22 ayat 3 Keppres tentang kegiatan-kegiatan yang dimaksud
• Pasal 23 ayat 1 perjelas definisi swasta
• Pasal 23 ayat 5 Keppres tentang kompensasi dan kelas standar
• Pasal 24 ayat 1 standarisasi pembiayaan pelayanan kesehatan
• Pasal 25 peraturan perundang-undangan tentang daftar obat dan fasilitas habis pakai
• Pasal 26 Keppres tentang jenis pelayanan yang tidak dijamin
• Pasal 27 ayat 1
• Pasal 28 ayat 2 Keppres tentang tambahan pekerja yang memiliki anggota keluarga
lebih dari 5 orang

Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI


23

2. Sosialisasi SJSN yang belum maksimal. Sosialisasi merupakan langkah penting dalam
menyukseskan SJSN. Akan tetapi, pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab
masih terlihat enggan melakukan tindakan pencerdasan terhadap masyarakat sehingga isu
SJSN ini hanya popular di segelintir orang. Di tingkat mahasiswa pun, hanya mahasiswa
Fakultas kedokteran dan Fakultas Kesehatan Masyarakat yang peduli.
Belum lagi, saat ini terjadi propaganda besar-besaran dari oknum yang kontra terhadap
SJSN. Pada akhirnya, hal tersebut mempengaruhi pandangan masyarakat karena didoktrin
“SJSN adalah titipan asing”, “SJSN memeras rakyat”, “SJSN melanggar konstitusi”,
“SJSN menciptakan peluang korupsi baru”. Sayangnya, hal ini tidak pernah ditanggapi
pemerintah dengan serius melalui sebuah upaya edukasi ataupun klarifikasi kepada
masyarakat. Padahal, tanpa dukungan rakyat, suatu program yang baik tidak akan
mencapai visinya.

3. Pengesahan RUU BPJS yang belum terlaksana hingga saat ini. Ada banyak hal yang
menyebabkan RUU BPJS ini “macet” dan menuai kritik, antara lain:
 Status BPJS
Ketidakjelasan status BPJS (independen atau lembaga pemerintah), hubungannya
dengan presiden atau pemerintah (garis komando atau garis koordinasi), dan
kedudukan BPJS dalam negara.
 Akuntabilitas
Penyampaian transparansi pengelolaan dana dari BPJS kepada masyarakat
dikhawatirkan tidak berjalan dengan baik.
 Pidana/Sanksi
Hukuman yang terlalu berat untuk peserta yang menunggak iuran seperti yang
tercantum dalam RUU BPJS.
 Perbedaan pandangan.
Banyak terdapat perbedaan pandangan antara pemerintah dan DPR yang akhirnya
menyebabkan deadlock di setiap rapat, bahkan memasuki periode sidang keempat pun
masih terlihat alotnya perdebatan yang terjadi antara pemerintah dan Panja BPJS
(DPR), baik dalam hal transformasi BPJS, tahapan tahapan transformasi, jumlah
anggota dewan pengawas BPJS, dan sebagainya.
 Political will
Salah satu masalah penting dalam hal menyukseskan SJSN adalah tidak adanya
“political will” pemerintah untuk menyukseskan SJSN secepat mungkin. Hal ini
menyebabkan kendala berarti dalam proses pembahasan DIM, dan pembahasan di
rapat kerja karena perwakilan pemerintah kerap kali tidak datang, terkadang datang,
tetapi hanya dari beberapa kementrian saja.

Mengingat macetnya pembahasan RUU BPJS yang akan berdampak pada realisasi SJSN
dan dengan landasan konstitusi UUD 1945 pasal 28H (3), yaitu “jaminan sosial adalah hak
setiap warga negara” dan pasal 34 (2), yaitu “negara mengembangkan sistem jaminan sosial
bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu”, serta
berdasarkan UU SJSN No. 40 Tahun 2004, kami Mahasiswa Kedokteran seluruh
Indonesia menuntut:
1. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan RUU BPJS paling
lambat tanggal 28 Oktober 2011
2. BPJS I yang berupa jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan
kematian, terselenggara selambat-lambatnya pada tahun 2014 sebelum
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
24

berakhirnya masa kepemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono


Jika tuntutan tersebut tidak terlaksana, kami Mahasiswa Kedokteran Indonesia
siap melakukan aksi atas nama Rakyat Indonesia.

Di samping itu, kami mengusulkan kepada stakeholder, terutama pemerintah untuk


melakukan sosialisasi SJSN ke masyarakat secara masif lewat media massa. Contohnya,
dengan membuat headline di koran berskala nasional yang berisi tentang SJSN, urgensi dan
hak–hak yang seharusnya masyarakat dapatkan egera meratifikasi RUU BPJS agar agar dapat
membuat dan mengesahkan peraturan–peraturan tambahan yang telah dirancang DJSN dan
atau pemerintah sebagaimana tertera dalam UU no 40 tahun 2004 tentang SJSN.

Para mahasiswa kedokteran juga membahas tantangan ke depan yang akan dihadapi
pemerintah, salah satunya terkait kekhawatiran rakyat mengenai “praktik korupsi” di
kalangan BPJS sehingga mahasiswa meminta adanya transparansi BPJS dengan
mempublikasikan laporan keuangan secara berkala. Mahasiswa juga meminta peninjauan
kembali terhadap sanksi yang diberikan kepada peserta penunggak iuran karena dinilai terlalu
berat.

Mahasiswa Kedokteran: SJSN Itu Jaminan


Sosial, Bukan Asuransi Komersial
oleh: KASTRAT Nas ISMKI 2011
(Franz, Hadi, Rossy, Agra, Roro, Nora)

Pada tanggal 21-23 Oktober 2011, bertempat di kota Bandung, Jawa Barat, sekitar 80
delegasi mahasiswa dari 18 Fakultas Kedokteran di Indonesia mengadakan pertemuan yang
dinamakan "Forum Mahasiswa Berbicara Kajian Strategis Ikatan Senat Mahasiswa
Kedokteran Indonesia" (FMB Kastrat ISMKI).

Forum ini diselenggarakan untuk mendiskusikan beberapa hal terkait undang-undang tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dengan beberapa stakeholder. Stakeholder
tersebut, di antaranya adalah Ridwan
Monoarfa (Dewan Jaminan Sosial Nasional),
Usman Sumantri (Kementerian Kesehatan
RI), Hasbullah Thabrany (Guru Besar UI),
Ledia Hanifa (Pansus RUU BPJS dari Fraksi
PKS), dan Wahyu Idrawati (Kemenakertrans
RI), serta Mas‟ud Muhammad (PT jamsostek)
dan Moh. Yani (PT Askes).

Dalam acara ini, mahasiswa sempat


memperdebatkan dan mempertanyakan
essensi dari SJSN. Apakah SJSN adalah
jaminan sosial nasional? Karena berdasarkan
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
25

konsepnya terdapat praktik asuransi. Lantas apakah ini tak beda dengan asuransi nasional?

Menanggapi hal tersebut, salah satu pakar jaminan sosial, yaitu Prof. Hasbullah Thabrany
mengungkapkan bahwa makna jaminan sosial itu luas. Kata jaminan di Indonesia punya
banyak makna. Wajar kalau banyak perbedaan persepsi, kemudian istilah sosial, ada 2 makna
paham sosialis dan makna “miskin”. Ini kekeliruan, tugas kita menjelaskan bahwa jaminan
sosial adalah kolektif bersama untuk memenuhi kebutuhan sosial, berupa sistem
kegotongroyongan. Pemerintah tidak bisa dibebankan sepenuhnya, kita juga turut
berkontribusi karena saat ini negara masih belum mampu untuk menanggung beban ini
seluruhnya.

Apabila kita tilik ulang mengenai kata jaminan, dalam persepsi rakyat adalah tanggung jawab
pemerintah, yang artinya dari pemerintah, oleh pemerintah, dan untuk rakyat. Hal ini identik
dengan slogan “GRATIS” yang marak beredar (berobat gratis, dll). Apakah benar-benar
gratis? Ternyata tidak, dalam praktik berobat gratis memang rakyat gratis untuk berobat,
tetapi tetap saja ada dana yang digunakan dari APBN atau APBD. Kerapkali terjadi
pembengkakan dalam penggunaannya dan alokasi dana yang tersedia habis, alhasil bukan
tidak mungkin yang terjadi adalah penurunan mutu pelayanan kesehatan. Rakyatlah yang
dirugikan.

Lalu, dari manakah sumber dana APBD/APBN yang digunakan pemerintah? Ternyata, dari
APBN yang angkanya mencapai lebih dari 1000 triliun yang menjadi sumber dana utama,
bukanlah sumber daya alam, seperti PT. Freeport, bukan pula cukai rokok sebesar 60 Triliun,
tetapi pajak penghasilan sebesar 600 triliun. Selanjutnya, pajak ini akan diolah pemerintah
untuk dikembalikan manfaatnya kepada masyarakat melalui pembangunan, pelayanan,
bantuan sosial, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya dana pemerintah adalah
dana rakyat (dari rakyat, oleh pemerintah, dan untuk rakyat. Lalu, kenapa tidak pernah ada
protes terhadap pajak yang kita bayarkan selama ini? Padahal, konsep ini yang sama dengan
SJSN yang akan diusung.

Salah satu penyebabnya kembali lagi kepada persepsi masyarakat dan doktrin eksternal yang
menanamkan bahwa SJSN adalah bentuk lepas tangannya pemerintah. Ternyata, ini tidak
benar. Rakyat tidak pernah protes masalah pajak walaupun konsepnya memiliki kesamaan
dengan SJSN karena merasa bahwa pajak adalah kewajiban, bukan iuran. Padahal,
sebenarnya pajak juga iuran walaupun ada beberapa negara di Eropa Barat yang menyatukan
pajak umum dan iuran tersebut. Hal ini sebenarnya dapat dilakukan, tetapi jumlah pajak yang
harus dibayarkan mencapai 50% gaji atau upah. Ada pula negara yang memisahkan antara
pajak umum dan iuran ini dengan alasan terdapat perbedaan prinsip di mana pajak umum
digunakan untuk pelayanan umum, seperti membangun sekolah, membangun jalan,
membangun sarana ibadah, dll. Iuran sendiri diperuntukkan untuk manfaat yang didapat dari
program jaminan sosial. Jenis kedua adalah jenis yang akan diterapkan di Indonesia.

Apakah isu bahwa SJSN memeras rakyat benar? Jelas sekali tidak benar. Analoginya, bila
terdapat dua kelompok, ada kelompok kaya dan kelompok miskin. Ketika diwajibkan
membayar iuran atau pajak, kelompok manakah yang akan merasa diperas? Tentu kelompok
miskin bukan. Lantas apakah kelompok miskin tetap dipaksa membayar pajak? Tidak.
Pemerintahlah yang bertanggung jawab membayar iuran bagi fakir miskin dan tidak mampu.
Jadi, tidak ada yang akan diperas. Bagi kelompok yang kaya, iuran tidak akan dipukul rata
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
26

jumlah iurannya, tetapi berdasarkan persen penghasilan. Jadi, di sinilah konsep “adil” itu
berjalan.

Kenyataan yang ada, apabila RUU BPJS tidak disahkan dan SJSN tidak dilaksanakan maka
“pemerintah telah mengabaikan konstitusi, mengabaikan hak rakyat, dan membiarkan rakyat
hidup tanpa jaminan”. Berdasarkan konstitusi, pemerintah wajib mengembangkan jaminan
sosial dan dalam konsep SJSN, pemerintah tidak lepas tangan. Jelas di sini masih banyak
permasalahan karena perbedaan dalam mendefinisikan jaminan dan asuransi.

Mengacu dari hasil diskusi yang terjadi di forum ini, kami menyimpulkan bahwa SJSN jelas
adalah jaminan (sosial) bukan asuransi (komersial). Pascaforum ini, kami berharap agar
pemerintah dapat melakukan sosialisasi yang luas dan menyeluruh kepada seluruh pihak agar
masyarakat tidak dibingungkan dengan konsepsi dan tujuan jaminan sosial, baik secara
umum maupun yang dimaksud dalam UU SJSN.

Kami berharap agar RUU BPJS segera disahkan sehingga SJSN bisa segera
diimplementasikan. Kami juga menyadari bahwa buatan manusia tidak ada yang sempurna
dan dapat memuaskan semua pihak, tapi itu bisa kita perbaiki setelah dijalankan.

PUBLIKASI YANG DIBUAT OLEH DELEGASI

Sebuah pencerdasan: Apa Itu Sistem


Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ?
“Tidak ada keadilan sosial tanpa jaminan sosial.”

Sebuah negara bisa dibilang kuat dan


mandiri tidak hanya dilihat dari sisi
militer, ekonomi, dan perkembangan
infrastruktur negara itu sendiri. Salah
satu faktor penentu kuat/tidak,
mandiri/tidak sebuah negara dapat
dilihat dari sistem jaminan sosial
(social security) yang berlaku di
negara tersebut. Negara-negara
maju, seperti Inggris, Jerman,
Australia, dan banyak negara maju
lainnya menerapkan jaminan sosial saat pendapatan per kapita negara tersebut masih jauh
dari pendapatan per kapita Indonesia sekarang.

Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD
1945 Pasal 27 ayat 2. Secara universal, jaminan sosial dijamin oleh Pasal 22 dan 25 Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB (1948), di mana Indonesia ikut menandatanganinya.
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
27

Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang, seperti terbaca
pada Perubahan UUD 45 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem
Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat….”. Maka dari itu dibentuk sistem jaminan sosial yang
dikenal sebagai SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional).

APA ITU SJSN?


SJSN adalah Sistem Jaminan Sosial Nasional. Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan
program negara yang bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat. Dalam mewujudkan tujuan Sistem Jaminan Sosial Nasional perlu
dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum dengan prinsip nirlaba guna
mengelola dana amanat yang dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan
untuk sebesar-besar kepentingan peserta (Rakyat).

Program jaminan sosial ini meliputi jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan
hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Dalam Pelaksanaan Sistem Jaminan Sosial
Nasional menganut prinsip sebagai berikut:
1. Asuransi
2. Kegotongroyongan
3. Nirlaba
4. Keterbukaan
5. Keberhati-hatian
6. Akuntabilitas dan probabilitas
7. Kepesertaan bersifat wajib
8. Dana amanat
9. Hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan
program dan untuk sebesar besar kepentingan peserta

Dalam pelaksanaan SJSN, dibutuhkan badan penyelenggara yaitu BPJS (Badan


Penyelenggara Jaminan Sosial) seperti yang tertera pada pasal satu ayat ke-6 UU No. 40
Tahun 2004 (UU SJSN) yang berbunyi, “Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan
hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial”.

Selama ini, badan yang menangani asuransi seperti kesehatan, jaminan kecelakaan kerja,
jaminan hari tua, dsb ditangani oleh 4 BUMN (badan usaha milik negara) yaitu:
 Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)
 Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asusransi Pegawai Negeri (Taspen)
 Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(Asabri)
 Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (Askes).
Ke-4 badan tersebut akan dilebur menjadi 2 badan BPJS, yaitu BPJS I dan BPJS II. BPJS I
akan mengurusi jaminan kesehatan (Askes), dan BPJS 2 (Jamsostek, Taspen, dan Asabri)
akan mengurusi jaminan ketenagakerjaan. [@ahooong]

Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI


28

URGENSI SJSN
Pernahkan terbayang olehmu jika suatu hari nanti
seluruh rakyat Indonesia dapat ikut merasakan makna
dari kata sejahtera? Pernahkah kamu berpmimpi jika
suatu hari nanti “keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia” bisa benar-benar terwujud? Pernahkah
terlintas di benakmu suatu hari nanti seluruh rakyat
Indonesia tidak lagi bergantung pada pemerintah dan
ikut bersama-sama dengan pemerintah membangun
Indonesia?

Negeri kita ini aneh. Banyak orang rela dikatain miskin


asalkan bisa mendapatkan banyak kompensasi.
Contohnya, Jamkesmas yang dulu kita kenal dengan
Askeskin. Kita harusnya heran kok banyak orang kaya
yang masih mau ikut-ikutan daftar. Apa kata dunia jika
kita sebagai pemegang kekuasaan (re: ingat kita negara
demokrasi) hanya bisa meminta-minta?
Sejak berlakunya UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional, tak sedikit orang yang tidak menyetujui adanya pasal yang
mengatakan bahwa warga negara yang mampu akan wajib membayar iuran demi
keberlangsungan SJSN ini. Padahal, jika mau berlelah-lelah sebentar saja untuk mencari info
tentang social security di negara lain, negara lain yang biasa kita sebut hebat itu juga
memasang tarif tinggi untuk rakyatnya demi tercapainya keadilan sosial yang mereka
inginkan. Jika kita meminta lebih pantaskah jika kita enggan untuk memberi lebih pula?

Kita memang patut meneladani negara lain yang sudah sukses menerapkan social security,
tapi kita juga tidak bisa membandingkannya secara apple to apple. Prinsip gotong royong
yang diusung oleh SJSN dirasakan pantas untuk diterapkan pada negara kita yang masih
“berkembang”. Kita tidak mau kan hidup di negara kapitalis dimana yang kaya tambah kaya
dan yang miskin tetap miskin?

Lalu, pernah terpikirkah jika tiba-tiba ada anggota keluarga kita yang sakit keras seperti
kanker dan membutuhkan biaya pengobatan sangat banyak? Biaya cuci darah rata-rata Rp
750.000. Biaya kemoterapi bisa di atas 5 juta, belum lagi kalo butuh kemoterapi yang
advanced bisa habis 10 juta untuk sekali kemoterapi. Belum biaya untuk konsultasi dengan
dokter, rawat inap/jalan di rumah sakit. Kalo begini bukan mustahil kan banyak rakyat yang
jadi sadikin? Sakit dikit jadi miskin.

Sekarang coba kita ingat-ingat berita yang datang dari rakyat miskin. Adanya pasien yang
meninggal di rumah sakit karena panjangnya proses administrasi untuk orang miskin atau
tidak terbelinya obat bukan lagi berita baru kan untuk kita? Harus berapa banyak lagi pasien-
pasien terlantar yang akhirnya meninggal dunia? Namun, jangan sampai pula demi
terwujudnya pelayanan kesehatan murah kita jadi menurunkan kualitas dari pelayanan itu
sendiri.

Bagaimana dengan kita? Calon-calon dokter? Apa manfaat SJSN untuk masa depan kita
nanti?
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
29

Jelas banyak. Menurut Ketua Umum IDI, dr. Prijo Sidipratomo, pelaksanaan SJSN akan ikut
memperbaiki sistem kesehatan yang sudah ada dan ikut menyelesaikan berbagai
permasalahan di bidang kesehatan. Salah satunya adalah pemerataan tenaga kesehatan. Biaya
kesehatan yang mahal bisa ditekan dengan diterapkannya prinsip-prinsip pada SJSN sehingga
tak ada lagi pasien yang tidak terlayani karena mahalnya biaya pengobatan. Jumlah dokter di
Indonesia sebenarnya banyak, tapi penyebarannya belum merata. SJSN diharapkan dapat
mendorong terwujudnya pemerataan ini. Begitu juga dengan sistem dokter rujukan. Selama
ini masyarakat cenderung langsung menemui dokter spesialis tanpa rujukan dari dokter
umum terlebih dahulu. Padahal, 70% penyakit dapat ditangani dengan pelayanan primer,
seperti puskesmas dan dokter keluarga.

Begitu banyak manfaat dan harapan rakyat dengan adanya SJSN ini. Kita sebagai rakyat
Indonesia meminta perlindungan dari negara dengan ikut berpartisipasi dalam pencapaian
keadilan sosial yang kita idam-idamkan. Mari kita sebagai mahasiswa kedokteran ikut
berperan aktif dalam mengikuti dan menjalankan Sistem Jaminan Sosial Nasional ini! Jangan
sampai Pancasila, kebanggaan kita semua hanya menjadi ideologi yang tidak terwujud dalam
realita! [@sriwulanrp]

NEWS UPDATE
Tanggal 28 Oktober 2011 kemarin adalah hari penting bagi seluruh „pejuang‟ SJSN yang
tersebar di seluruh Indonesia. Bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda, RUU BPJS
(Rancangan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) akhirnya disahkan
menjadi undang-undang. Dengan disahkannya RUU BPJS ini, semangat rakyat akan
penggapaian keadilan sosial di Indonesia semakin membara.

Sebelumnya, mari kita ingat-ingat lagi bagaimana


panjangnya proses pengesahan RUU BPJS ini! Pada
tanggal 19 Oktober 2004, UU No. 40 tahun 2004
tentang SJSN disahkan. Pada pasal 52 ayat 2
disebutkan bahwa UU BPJS semestinya sudah
disahkan selambat-lambatnya 5 tahun setelah UU
SJSN disahkan (red: 2009). Namun pada praktiknya,
RUU BPJS baru dapat disahkan pada tahun 2011
setelah pembahasan selama 1 tahun dengan desakan
dari berbagai pihak yang menganggap pemerintah
terlalu lama menunda-nunda pengesahan RUU BPJS
ini.

Telah disepakati bahwa BPJS I yang mengurusi


jaminan kesehatan diselenggarakan oleh Askes akan
mulai beroperasi pada tanggal 1 Januari 2014.
Sementara BPJS II (Jamsostek, Taspen, dan Asabri)
yang mengurusi jaminan ketenagakerjaan mulai
dibentuk badan hukum publik pada 1 Januari 2014 dan
beroperasi selambat-lambatnya 1 Juli 2015. Untuk soal anggaran, telah disepakati bahwa
anggaran untuk jaminan kesehatan sebesar 5 triliyun, sedangkan anggaran untuk
ketenagakerjaan belum disepakati. Askes dan Jamsostek sendiri menyatakan siap untuk
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
30

bertransformasi dari BUMN menjadi badan hukum publik. Selain itu, akan dilakukan
pengawasan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional yang terdiri dari dua elemen dari unsur
pemerintah, dua elemen dari unsur pengusaha, dua elemen dari unsur pekerja, dan satu
elemen dari unsur masyarakat.

Disahkannya RUU BPJS menjadi undang-undang jangan menjadikan perjuangan kita ikut
surut bahkan berhenti dalam memperjuangkan keadilan sosial. Justru, di sini lah awal mula
perjuangan yang sesungguhnya. Banyak hal krusial yang harus selalu diperhatikan. Jangan
sampai pelaksanaan UU BPJS ini molor seperti UU SJSN, mengingat transformasi BPJS
sendiri tidaklah muda! Dibutuhkan keseriusan dari pemerintah, BPJS itu sendiri, serta
keaktifan masyarakat dalam mengikuti proses berjalannya SJSN ini.
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” tidak diciptakan oleh pemerintah, melainkan
oleh rakyat itu sendiri. [@sriwulanrp]

Artikel ini dibuat sebagai amanat atas keikutsertaan delegasi FK Unsri pada acara tahunan
Dept. Kajian Strategis ISMKI, Forum Mahasiswa Berbicara Nasional 2011 di Bandung,
23-25 Oktober 2011 yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran UNPAD. [31/10/2011]

Delegasi:
Franz Sinatra Yoga (PDU Reg 08) ● Rahman Setiawan (PDU Reg 08) ● Abdurrahman Hadi
(PDU Reg 09) ● Fadel Fikri (PDU Reg 10) ● Ria Nur Rachmawaty (PDU Reg 10) ●
Sriwulan Rosalinda Putri (PDU Reg 10) ● Khumaisiyah (PDU Reg 11) ● Lianita (PDU Reg
11) ● Mentari Indah Sari (PDU Reg 11)

Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI


31

Meskipun Draft UU BPJS belum ada, Mahasiswa


Kedokteran Mulai Mengkaji RPerPres untuk BPJS
oleh: KastratNas ISMKI 2011
Undang-undang Sistem Jaminan Sosial kini telah ditemani oleh Undang-undang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Walaupun demikian, draft undang-undang BPJS
ini belum ada, pada dasarnya memang diberikan tenggat waktu satu bulan untuk diundangkan
semenjak penyetujuan bersama antara Pemerintah dan DPR.
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945, rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama antara DPR dan
Presiden, tetapi tidak disahkan oleh Presiden, maka dalam waktu 30 hari semenjak rancangan
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi Undang-
Undang dan wajib diundangkan. Ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 tersebut, kemudian dijabarkan dalam Pasal 38 Undang-
Undang P3. Pengesahan rancangan undang-undang tersebut dilakukan oleh Presiden dengan
membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari. Jadi, apabila Presiden
diam, Presiden dianggap telah menyetujui rancangan undang-undang tersebut.
Hal ini berbeda dengan yang dianut Amerika, apabila Presiden sampai dengan tanggal 31
Desember tidak melakukan apa-apa (diam) terhadap rancangan undang-undang yang telah
disetujui oleh parlemen, maka Presiden dianggap memveto (menolak) rancangan undang-
undang tersebut. Berbeda dengan Indonesia, apabila Presiden tidak menandatangani
rancangan undang-undang sampai dengan 30 hari, maka Presiden dianggap menyetujui
rancangan undang-undang tersebut.
Jadi, para pejuang Jaminan Sosial (SJSN) dapat tenang mendapati isu tidak adanya draft UU
BPJS walaupun RUU BPJS telah disetujui. RUU BPJS tetap akan di undangkan dan akan di
convert dari goresan tinta printer menjadi kenyataan di Indonesia Raya pada tahun 2014-
2015.
Mengingat waktu dan energi akan terbuang percuma apabila kita berdiam diri menanti Draft
UU BPJS. Lebih baik kita bergiat memulai kajian mengenai Rancangan Peraturan Presiden
RI tentang BPJS karena permasalahan teknis diatur melalui RPP. Jangan sampai ada
penyusupan pasal. Jangan sampai RPerPres ini molor mengingat banyak RPerPres dari
berbagai UU konon belum disahkan! Jangan sampai RPerPres ini pembuatan dan
pengundangannya "MACET" seperti RUU BPJS! Agar janji-janji saat rapat dapat kita tagih
dan direalisasikan. Jangan sampai JAMINAN untuk rakyat kembali tertunda.
Mari mengkaji bersama agar secepatnya pula kita lebih paham dan dapat mengambil peran
untuk pengawalan Rancangan Peraturan Presiden UU BPJS agar advokasi yang selalu kita
kumandangkan sebagai gerakan kita juga berjalan lancar dan hasilnya signifikan!
Sebelum diakhiri, saya ingin menutip kata-kata Prof. Dr. R. Soeharso,
"Right or wrong is my Country, lebih-lebih kalau kita tahu, Negara kita dalam keadaan
bobrok, maka justru itu pula kita wajib memperbaikinya."

Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI


32

Itulah yang tergambar saat ini, Indonesia penuh hujatan. Kita butuh para pejuang dengan
nasionalisme tinggi dan patriotisme karena Cerminan seorang nasionalis dan patriot:
berpikir bukan untuk menghujat!, tapi berpikir untuk memperbaiki keadaan, terus
berjuang para aktivis jaminan sosial, terutama dari kalangan Mahasiswa FK.
Jadilah Patriot-Patriot Indonesia!! Karena Perjuangan Belum Berakhir!! dan Tidak Akan
Pernah Berakhir!!

NB:
(untuk Draft Rancangan PP UU BPJS sudah dapat satu, yaitu tentang Jaminan Kesehatan,
jaminan yang lain tentang tenaga kerja dikonfirmasi oleh Kemenakertrans telah dibuat-tapi
saya juga belum dapat- akan dicari secepatnya-berikut link Draft RPP tentang Jaminan
Kesehatan Draft Rancangan Peraturan Presiden tentang Jaminan Kesehatan )

Alhamdulillah sore ini saya mendapatkan draft RPerpres JK; RPP JKm, JHT, dan JP; RPP
JKK; dan RPP PBI.. berikut linknya.. Klik Download Draft

Update terakhir:

Pada tanggal 25 November 2011 RUU BPJS telah diundangkan menjadi UU No. 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau lebih dikenal dengan UU BPJS. Satu
lagi pendelegasian regulasi UU SJSN telah dihasilkan dan bangsa Indonesia menunggu
delegasi regulasi UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN)
lainnya untuk diundangkan, sehingga implementasi UU SJSN dapat segera terwujud.

UU BPJS dirumuskan dalam 18 bab dan 71 pasal. Pengaturan turunan UU BPJS sebanyak 20
peraturan, terdiri dari 8 Peraturan Pemerintah, 8 Peraturan Presiden, 1 Keputusan Presiden, 1
Peraturan Dewan Pengawas, 1 Peraturan BPJS dan 1 Peraturan Direksi.

Naskah resmi UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang
telah ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256 telah kami dapatkan pada
tanggal 7 desember 2011.

Untuk download naskah bias kunjungi http://franzsinatrayoga.blogspot.com/2011/12/naskah-


uu-nomor-24-tahun-2011-tentang.html sedangkan untuk download draft RperPres kunjungi
http://franzsinatrayoga.blogspot.com/2011/11/meskipun-draft-uu-bpjs-belum-ada.html

Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI


33

PENUTUP
Franz Sinatra Yoga*

Suatu ketika, Saya dibuat “galau” oleh dua orang dosen saya, seorang Professor bidang
Obstetri Ginekologi, Prof. dr. Usman Said, Sp.OG(K) dan seorang Profesor di bidang
kedokteran okupasi yaitu Prof. dr. Tan Malaka, Sp.Ok, Dr.PH

Prof.Usman saat ceramah jum'at mengecam kami untuk malu kepada burung pipit kecil yang
terlentang. kenapa? Saat itu burung elang lewat dan melihat burung pipit yang mengangkat
kedua kakinya ke atas dalam posisi terlentang dengan herang sang Elang bertanya, dan
terjadilah dialog singkat:
Elang : Hei, Pit!! Kenapa kau seperti itu?
Pipit : Aku dengar langit akan runtuh karena itu aku mengangkat kakiku untuk
menahannya.
Elang : Wah, kalau langit rubuh, mungkin kakiku yang besar ini tidak bisa menahannya
apalagi dengan kaki kecilmu pit.
Pipit : (Si Pipit pun menjawab dengan tulus) biarlah tidak apa kalaupun tidak bisa,
paling tidak aku berkontribusi walaupun kecil, saya telah berkontribusi untuk
menahan langit ini untuk tidak runtuh.

Selanjutnya, cerita Prof. Tan Malaka,


Ada suatu kasus di mana ada suara bising dari mesin yang bisa mengganggu fungsi
pendengaran seseorang (perlu diketahui nilai ambang batas kebisingan itu berbeda beda.
misal pada lingkungan sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, perumahan, nilainya 55dB, ada
pula waktu pajanan yang diperbolehkan). Lalu, bagaimana yang kamu lakukan???

Sebagian besar pasti berpikir untuk memroteksi orang yang bekerja dengan cara
menyuruhnya memakai penutup telinga. dan Prof Tan bilang, jangan cepat bilang TUTUP
KUPING!! lalu dilanjutkan, mungkin itu bisa memroteksi, tapi apa mungkin kalau dia kerja 8
jam dia tutup telinga terus, sama saja dengan orang tuli. Coba kalian dibuat seperti itu!
*Jeglek*kami tertohok. Langkah real yang bisa diambil adalah memodifikasi mesinnya
bagaimana agar suaranya tidak terlalu bising. Lalu, bagaimana caranya?? kita kan dokter
bukan orang mesin. Oleh karena itu, kita harus kerja lintas sektoral, cari engineer, mereka
yang buat mesin seperti itu. Jadi, mereka juga punya tanggung jawab atas mesin yang
mereka buat. kalau sudah selesai. Semua beres bukan.

Dari kedua kisah yang dituturkan di atas, menjadi obat hati bagi saya dan kawan-kawan yang
kerapkali ragu akan gerakan yang kita lakukan, Apakah gerakan kita dapat merubah keadaan?
Dapat menggoyangkan kebijakan? Dapat menciptakan kesejahteraan?

Jawabannya…. secara tidak langsung, dan kadangkala langsung adalah YA!!! kita bisa
melakukannya. Terbukti, setelah FMB begitu banyak respon positif terhadap gerakan kita
mengenai SJSN diantaranya datang dari:

Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI


34

 Publik : TERNYATA CALON PENERUS BANGSA DENGAN SEMANGAT BOEDI OETOMO DAN
SUMPAH PEMUDA SANGAT EMPATI TENTANG PEMBANGUNAN KESEHATAN DAN SDM
BANGSA INDONESIA.
 drg. Usman Sumantri (Kepala Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan): Saya merasakan
sendiri bahwa mahasiswa ini tidak hanya asal bicara seperti para petinggi dan para ahli
(katanya) di negara ini, mereka sudah baca dan cukup memahami SJSN utk bertanya
dengan baik. Perlu sosialisasi di lingkungan kampus. Salam
 drs. Ridwan Monoarfa (Dewan Jaminan Sosial): Mahasiswa sekarang sedang
mempopulerkan isu jaminan sosial! Tidak seperti era saya masih mahasiswa tidak
tersentuh isu Jaminan Sosial. Salam!
 Kastrat dapat email balasan dari Prof.hasbullah Thabrany tentang RperPres JK. Beliau juga
berpesan:
Ass .WW
sesuai janji saya yang telat, bersama ini saya kirimkan draft Rperpres Jaminan Kesehatan
yang sejak tahun lalu ditunda untuk menunggu keputusan BPJS. Dalam waktu dekat akan
ada pembahasan lagi. Namun, isunya akan di sekitar yang ada di dalam Rperpres ini.
Mohon pelajari. Saya berharap kawan2 ISMKI bisa mempelajari, bersama-sama kita
dorong isi yang baik untuk menjamin kelak dokter mendapat penghasilan yang memadai.
Jadi, harus kita bahas bersama rumusan kecukupan dana, besaran pembayaran, dll.Kita
bisa diskusi sekitar pertengahan Nopember.
Salam
 Melalui pantauan email dan milis yang kastrat ikuti, diskusi tentang partisipasi mahasiswa
kedokteran dikalangan stakeholder juga cukup baik, Alhamdulillah apa yang kita lakukan
di tanggapi dan dilanjutkan oleh para stakeholder.

Ini Bukti Bahwa PERJUANGAN KITA TIDAK SIA-SIA…


Mengutip kata-kata drs. Monoarfa kepada saya,
“Pemerintah juga bakal mikir kalau kalian (mahasiswa
kedokteran) bersikap seperti ini”.

Dan kata-kata si burung pipit, “Tidak apa kalaupun


tidak bisa, paling tidak aku berkontribusi walaupun
kecil. Berkontribusi untuk menahan langit ini untuk
tidak runtuh”.

Terima kasih untuk satu tahun yang diberikan


kepada kami. KASTRATNAS ISMKI 2011.
SEMOGA BERKENAN
SEMOGA membawa PERBAIKAN
SEMOGA terjadi PENCERDASAN
SEMOGA ada PERUBAHAN
KONTRIBUSI ini kami peruntukkan
Bagi MAHASISWA KEDOKTERAN dan RAKYAT INDONESIA
*Koord. Kastrat Nasional ISMKI -franz.sinatra@yahoo.com- 085769382203

Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI


35

Franz Sinatra Yoga (@Franz_S_Yoga /fb: franz sinatra yoga)


Saat ini saya masih mengenyam pendidikan dokter di universitas sriwijaya dan tercatat sebagai
mahasiswa angkatan 2008. Saya bercita-cita untuk menjadi ahli bedah thorax-kardiovaskular
(Sp.BTKV) dan juga seorang yang ahli dalam bidang public health. Saya ingin menggabungkan
kedua bidang ini dikemudian hari demi mewujudkan sebuah visi jangka panjang melalui misi-
misi holistik dan komprehensif. Salah satu bentuk misinya seperti yang kerap dilakukan kastrat,
memperjuangkan kebijakan yang merupakan mata air sistem
kesehatan Indonesia.

Saya juga seorang yang tak bosan berusaha untuk menjadi


pelajar yang baik, karena belajar ibarat rasa haus yang
merupakan kebutuhan. “belajar” selalu menjadi bagian dalam
hidup saya karena dengan menjadi pelajar yang baik, niscaya
kita menjadi pengajar(orang yang mampu berbagi) yang baik
dikemudian hari. Menginjak tahun ke 20 sejak 1 oktober 1990
saya dilahirkan di takengon-aceh tengah, saya mendapat
pelajaran berharga untuk kesekian kalinya, yaitu memimpin
sebuah bidang unik bernama “Kastrat ISMKI” atau lebih akrab
dipanggil KastratNas. Kesempatan langka yang mempertemukan saya dengan banyak sejawat
mahasiswa yang kritis dan sayapun belajar banyak dari mereka, terlebih dari rekan
seperjuangan KastratNas yang sungguh luar biasa. Bergabung dengan KastratNas menjadi salah
satu pondasi hidup saya. Sebuah momentum yang saya syukuri karena dengan ini saya lebih
memahami “kontribusi” dalam arti sesungguhnya. Keyakinan saya, bangsa ini masih butuh
sentuhan mahasiswa kedokteran untuk menjadi lebih baik dan saya percaya apa yang kita
lakukan selama ini bukanlah pergerakan yang sia-sia. Sebuah kehormatan bagi saya menjadi
bagian dari gerakan ini. franz.sinatra@yahoo.com

Maria Rossyani
Nama saya Rossy, mahasiswi FKUI angkatan 2009. Saya
tergabung dengan ISMKI karena kebetulan jadi delegasi Forum
Mahasiswa Bicara di UnAir dan waktu itu kemudian “ditemukan”
oleh bang Franz dan jadi bagian dari Kastrat Nasional.
Pengalaman di KastratNas buat saya sangat berbeda dengan di
institusi. Menjadi bagian dari KastratNas bisa membuat
seseorang paham betul konsep dan esensi kastrat dan kegiatan-
kegiatan yang terkait terutama dalam pergerakan mahasiswa. Tidak ketinggalan juga, tergabung
dalam KastratNas berarti bertemu dan berkenalan dengan banyak sekali mahasiswa kritis
dengan idealisme dan nasionalisme yang patut diacungi jempol, sesuatu yang harus disyukuri!
Namun bagi saya yang paling rewarding, di KastratNas terbuka kesempatan untuk betul-betul
mengadvokasikan isu tertentu hingga ke stakeholders yang memegang peranan kunci dan
mendapat kepuasan karena buah pikiran kita bisa tersampaikan. 
Agra Dhira Narendraputra
Saya adalah seorang pria kelahiran Jogja, 20 November 1991 dan berkuliah di Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya, angkatan 2009. Berkuliah di Malang, ngekos sendiri, jauh
dari keluarga dan teman-teman SMA awalnya merangsang saya untuk mencari pelampiasan
dengan cara berorganisasi. Pertama-tama buat ngisi waktu luang dan akhirnya saya
kecemplung di Kastrat. Bisa dibilang Kastrat adalah turning point di dalam perjalanan hidup
saya. Dari seorang Agra yang apatis-egois-anti politik, jadi seorang Agra yang kritis dan dituntut
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI
36

untuk memikirkan orang banyak, memikirkan Indonesia. Sampai pada


suatu saat saya menyadari bahwa saya telah dilahirkan di
Kastrat.Selain di Kastrat BEM FKUB, saya juga aktif melayani di
Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) FKUB, sebagai anggota
Lembaga Kesehatan Mahasiswa (Lakesma) FKUB dan Lembaga Studi
Ilmiah Mahasiswa (LSIM) FKUB serta sedikit-banyak berkecimpung di
Ikatan Alumni SMA Taruna Nusantara (IKASTARA) Cabang Malang.
Tiga tahun menjadi kastraters membuat saya bercita-cita menjadi
stakeholderkebijakan kesehatan di Indonesia. Motto saya (saat nulis
biodata ini): “Hidup berorientasi visi, menjadi terang dan garam.”
Salah satu tokoh yang saya kagumi, Dr. J Leimena, pernah berkata:
“Politik bukanlah alat kekuasaan, namun merupakan etika untuk melayani.” Disela berbagai
aktivitas saya sebagai mahasiswa dan aktivis, saya menyempatkan diri menikmati hobi saya:
FB-an, nonton TV (dengan produktif), dan jelajah alam. Saya dapat dihubungi di
081915445469, 27c86125, atau agradisini@gmail.com. Bagi yang mau menengok kamar kos
saya di Jalan Kesumba 2B Malang saya dengan senang hati akan menyambut, tapi nggak janji
menjamu. Hehe..

Semua bisa meng-kaji, semua bisa meng-advokasi, semua bisa mem-propaganda. Namun, hanya
sedikit yang masih memiliki harta mahasiswa yang paling berharga, yaitu idealisme. NKRI harga
matinya, Pancasila yang jadi kepribadiannya, Bhinneka Tunggal Ika yang jadi jiwanya.

Nora Ramkita
Perkenalkan, saya Nora Ramkita. Sekarang sedang menyandang gelar “mahasiswi” di
Universitas Lampung 2009. Awalnya, rutinitas saya sebagai seorang mahasiswi yang belajar
membuat saya sedikit “jengah”. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengikuti salah satu
lembaga kemahasiwaan di kampus, BEM. Yak, sejak saat itu, saya mulai banyak belajar, dan
mencoba memahami hakikat dari organisasi yang saya ikuti.
Sampai pada saatnya, saya mengenal suatu wadah yang ternyata
kini begitu saya cintai. ISMKI !!! Pemikiran saya yang “cenderung
out of the box” bagi kebanyakan orang tidak membuat saya
berkecil hati. Justru dari sanalah, saya banyak belajar dengan
orang- orang luar biasa di ISMKI. Yang saya dapatkan adalah
bahwa tidak selalu pemikiran kebanyakan orang adalah sesuatu
yang benar. Perlu pemikiran yang matang dan pengambilan
keputusan yang tegas, serta hati yang jernih untuk menentukan
pilihan. Apa wadahnya? Kastrad ISMKI (Kajian Strategis) adalah pilihan yang tepat.

Dari sinilah saya belajar banyak hal, membuka pemikiran saya bahwa perjuangan kita dalam
profesi apa pun harus disertai dengan keoptimalan diri dalam melaksanakannya. Ini sebenarnya
terinspirasi dari cerita keanggotaan Kastrad Nasional ISMKI 2010-2011. Keanggotaan Kastrad
Nasional ISMKI pada awalnya berjumlah 10 orang, dan saat ini yang aktif berjumlah 6 orang.
Bukan soal kuantitas dari sebuah tim yang jadi persoalan, melainkan persoalan sebuah
komitmen yang sebenarnya masih bisa kita perbaiki. Saya masih punya harapan dan keyakinan
yang besar kepada generasi penerus untuk dapat berkarya dengan lebih baik lagi ke depannya.

Try not to become a man of success but try to be a useful human being. ~ Einstein
Teruslah memberi manfaat Kastrat Nasional ISMKI, sesungguhnya mahasiswa kedokteran
Indonesia punya suara dan ISMKI punya power yang luar biasa besar untuk menggerakkan
perubahan bangsa ke arah yang lebih baik !!!

Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI


37

Abdurrahman Hadi
Dialah seorang mahasiswa kedokteran kelahiran Muara Rupit, 25 oktober
20 tahun yang lalu, kerap dipangil Hadi oleh teman –temannya. Bermimpi
untuk menjadi dewan pembuat kebijakan kesehatan, karena merasa gerah
dengan miskinnya orang kesehatan yang berkecimpung di lembaga
pembuat kebijakan Indonesia. Saat ini beralamatkan di Jalan Musi Raya
Timur No 415, Palembang. Dapat dihubungi di 085273337000 atau
hadi.abdurrahman@yahoo.com. Dialah penulis prosa yang ada di hadapan
anda. Dialah saya.

Telah satu tahun saya melewati kepengurusan ISMKI sebagai staf kastrat,
dengan tugas pertama membahas RUU dan tugas terakhir lagi-lagi RUU.
Satu tahun ini kami menjadi sangat dekat dengan Senayan, tempat para wakil rakyat Indonesia
bekerja. Masih membekas dalam ingatan, tugas pertama kala itu yaitu membahas RUU PDRTK,
yang sekarang entah apa namanya karena selalu berubah dan tak kunjung dijadikan undang-
undang. Rancangan undang undang ini mengatur agar warga negara merokok pada tempatnya,
dan menekan merajalelanya promosi rokok, tapi apa daya kami melawan kekuatan uang yang
mahakuasa. Tugas satu tahun ini berakhir di Bandung dalam sebuah Forum Mahasiswa
Berbicara. Forum ini membahas SJSN tepatnya RUU BPJS, sebuah sistem yang dapat menjadikan
indonesia menjadi adil sesuai Pancasila ke lima yaitu “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia”. Satu tahun telah berkumpul dengan orang – orang yang luar biasa. Berkumpul
untuk bergerak bersama demi kesehatan bangsa yang lebih baik dengan penuh loyalitas .
Semoga perjuangan ini tidak sia-sia dan berlanjut di kepengurusan selanjutnya. We cannot
always build the future for our youth, but we can build our youth for the future. Hidup
mahasiswa!!

Rr. Anggraeni Indah Ekiyanti


Saya adalah seorang mahasiswi Fakultas Kedokteran Jurusan
kedokteran umum Universitas Muhammadiyah Surakarta Angkatan
2010. Perempuan yang biasa di panggil dengan sebutan “roro” ini
hanya mahasiswa biasa yang begitu mencintai “dunia organisasi”. Roro
berasal dari keluarga yang luar biasa dengan orang tua yang penuh
dengan kasih sayang dan begitu peduli dengan pendidikan dan adik-
adik yang berprestasi. Abah yang disiplin dan penuh tanggungjawab
selalu melatihnya menjadi seorang wanita yang mandiri dan tertib
dalam segala hal, termasuk agama, hidup dan pendidikan. Sedangkan
Umi selalu mengingatkan tentang kodrat sebagai wanita, yakni
kelembutan.

Perempuan tinggi pencinta warna biru dan sangat menyukai makanan pedas ini berkecimpung
di ISMKI karena rasa penasaran yang memuncak. Akhirnya Roro menggali informasi melalui
internet ataupun kesana kemari bercerewet ria mengintrogasi kakak angkatan hehe. Dengan
informasi yang cukup dan tekad yang bulat perempuan yang hobi masak ini mendaftar online,
dengan pilihan “Pengurus Harian Nasional Kastrat”. Akhirnya setelah lolos dari seleksi yang
ketat, tepat pada tanggal 4 Desember 2010 resmi dilantik menjadi PHN Kastrat. Selama 1 tahun
mengemban amanah dibidang kastrat banyak suka cita yang dihadapi. Tapi semua itu menjadi
sebuah pengalaman dan guru yang berharga. Sebuah hal yang luar biasa, dan motivasi yang kuat
agar kedepannya bisa berkomitmen lebih dan lebih baik lagi. Kita di masa depan adalah bagian
penting bangsa. Dengan modal keilmuan dan integritas yang kita cari sekarang. Tetaplah
menjadi seorang yang disiplin agama, disiplin ilmu, dan disiplin hidup HIDUP MAHASISWA
INDONESIA ! HIDUP !!
Kajian SJSN- Kastrat Nasional ISMKI

Anda mungkin juga menyukai