Anda di halaman 1dari 18

Analisis Implementasi Kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

Kesehatan Dalam Prospektif Otonomi Daerah

Makalah

Oleh:
Neno Fitriyani H,dr
NPM. 13420103

FAKULTAS PASCA SARJANA ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2014

BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang


Status kesehatan penduduk Indonesia selama 30 tahun pembangunan
kesehatan, mengalami kemajuan yang cukup berarti. Namun demikian, angka
kematian bayi dan angka kematian ibu masih jauh tertinggal jika dibandingkan
dengan status kesehatan penduduk negara-negara tetangga. Laporan World Health
Organization (WHO) tahun 2005 menunjukkan bahwa angka kematian bayi di
Indonesia masih 46 per 1.000 kelahiran hidup, sementara di Muangtai 29, Filipina 36,
Srilanka 18, dan Malaysia 11 per 1.000 KLH. 1
Berbagai studi menunjukkan bahwa rendahnya angka kematian bayi
berkorelasi kuat dengan kinerja sistem kesehatan, khususnya pendanaan kesehatan.
Kinerja sistem kesehatan Indonesia berada pada urutan ke-92, yang jauh lebih rendah
dari kinerja sistem kesehatan negara tetangga seperti Malaysia (urutan ke 49),
Muangtai (urutan ke 47) dan Filipina yang berada pada urutan ke 60 (WHO, 2000).2
Rendahnya kinerja sistem kesehatan kita sangat berkorelasi dengan rendahnya
belanja kesehatan yang hanya naik dari 2,9% Produk Domestik Bruto (PDB) di tahun
1999 menjadi 3,1% PDB di tahun 2003. Sementara di Cina belanja kesehatan naik
dari 4,9% PDB di tahun 1999 menjadi 5,6% PDB di tahun 2003, dan di India turun
sedikit dari 5,1% menjadi 4,8% PDB. Yang menarik adalah bahwa pada periode
tersebut, Pemerintah China membelanjakan antara 9,7% - 12,5% anggaran pemerintah
untuk kesehatan dan Filipina menghabiskan 4,9% - 7,1%, dan pemerintah Indonesia
hanya membelanjakan 3,8% - 5,1% anggaran pemerintah untuk kesehatan (WHO,
2006).3
Laporan WHO tahun 2006 menunjukkan bahwa kontribusi pemerintah, dari
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, untuk belanja kesehatan selama tahun 1999-

2003 berkisar antara 28,1% - 35,9% sementara kontribusi pemerintah Muangtai pada
kurn waktu yang sama berkisar antara 54,8% - 61,6% dari belanja kesehatan
rakyatnya. Di berbagai negara maju, pembiayaan kesehatan bersumber dana publik
mengambil porsi yang lebih besar. Di Inggris, Prancis, Australia, dan Taiwan
pembiayaan publik untuk pelayanan kesehatan mencapai lebih dari 80% dari biaya
kesehatan total. Di Indonesia sebaliknya, lebih dari 70% biaya kesehatan harus
ditanggung sendiri oleh tiap keluarga yang sangat bersifat regresif.1
Kesehatan merupakan urusan wajib pemerintah daerah yang dapat
dilaksanakan secara bersama dengan pemerintah dimana pemerintah daerah wajib
mengembangkan sistem jaminan sosial termasuk jaminan kesehatan. Dalam
Pedoman Penyusunan APBD TA. 2014 disebutkan bahwa penyediaan dana
penyelenggaraan jaminan kesehatan bagi PNSD yang dibebankan pada APBD
berpedoman pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS). Pemerintah daerah harus mengalokasikan
anggaran urusan kesehatan minimal 10% dari total belanja APBD diluar gaji. Atas
dasar hal tersebut pendanaan urusan kesehatan dapat bersumber dari APBN dan
APBD. Berdasarkan data tahun 2012, baru 11 provinsi yang mengalokasikan APBD
diatas 10% untuk kesehatan (Aceh, Babel, Banten, Jabar, Jateng, DIY, Jatim,
Gorontalo, Sulsel, Bali, DKI Jakarta). Dari data tersebut terlihat bahwa sebagian besar
provinsi di Indonesia belum mampu mengakomodir urusan kesehatan.3
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik menganalisis Implementasi
Kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Dalam Prospektif
Otonomi Daerah
I.2. Rumusan Masalah
Bagaimana Implemetasi Kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Kesehatan Dalam Prospektif Otonomi Daerah?
I.3. Landasan Teori
3

I.3.1. Sistem Jaminan Sosial Nasional


Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang
diselenggarakan oleh negara guna menjamin warganegaranya untuk memenuhi
kebutuhan hidup dasar yang layak, sebagaimana dalam deklarasi PBB tentang HAM
tahun 1948 dan konvensi ILO No.102 tahun 1952. Utamanya adalah sebuah bidang
dari kesejahteraan sosial yang memperhatikan perlindungan sosial, atau perlindungan
terhadap kondisi yang diketahui sosial, termasuk kemiskinan, usia lanjut, kecacatan,
pengangguran, keluarga dan anak-anak, dan lain-lain.4
BPJS merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
jaminan sosial di Indonesia menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 dan
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011. Sesuai Undang-undang Nomor 40 Tahun
2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, BPJS merupakan badan hukum
nirlaba.4
Berdasarkan

Undang-undang

Nomor

24

Tahun

2011,

BPJS

akan

menggantikan sejumlah lembaga jaminan sosial yang ada di Indonesia yaitu lembaga
asuransi jaminan kesehatan PT. Askes Indonesia menjadi BPJS Kesehatan dan
lembaga

jaminan

sosial

ketenaga

kerjaan PT.

Jamsostek menjadi BPJS

Ketenagakerjaan. Transformasi PT Askes dan PT Jamsostek menjadi BPJS dilakukan


secara bertahap. Pada awal 2014, PT Askes akan menjadi BPJS Kesehatan,
selanjutnya pada 2015 giliran PT Jamsostek menjadi BPJS Ketenagakerjaan. 5
Lembaga ini bertanggung jawab terhadap Presiden. BPJS berkantor pusat di
Jakarta, dan bisa memiliki kantor perwakilan di tingkat provinsi serta kantor cabang
di tingkat kabupaten kota.5
Setiap warga negara Indonesia dan warga asing yang sudah berdiam di
Indonesia selama minimal enam bulan wajib menjadi anggota BPJS. Ini sesuai pasal
4

14 UU BPJS. Setiap perusahaan wajib mendaftarkan pekerjanya sebagai anggota


BPJS. Sedangkan orang atau keluarga yang tidak bekerja pada perusahaan wajib
mendaftarkan diri dan anggota keluarganya pada BPJS. Setiap peserta BPJS akan
ditarik iuran yang besarnya ditentukan kemudian. Sedangkan bagi warga miskin,
iuran BPJS ditanggung pemerintah melalui program Bantuan Iuran.6
Menjadi peserta BPJS tidak hanya wajib bagi pekerja di sektor formal, namun
juga pekerja informal. Pekerja informal juga wajib menjadi anggota BPJS Kesehatan.
Para pekerja wajib mendaftarkan dirinya dan membayar iuran sesuai dengan tingkatan
manfaat yang diinginkan.6
Jaminan kesehatan secara universal diharapkan bisa dimulai secara bertahap
pada 2014 dan pada 2019, diharapkan seluruh warga Indonesia sudah memiliki
jaminan kesehatan tersebut. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi menyatakan BPJS
Kesehatan akan diupayakan untuk menanggung segala jenis penyakit namun dengan
melakukan upaya efisiensi.7
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa jaminan sosial
wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Seluruh
rakyat wajib menjadi peserta tanpa kecuali. Program jaminan sosial yang
diprioritaskan untuk mencakup seluruh penduduk terlebih dahulu adalah program
jaminan kesehatan. 5,6,7
Sistem Jaminan Sosial Nasional pada dasarnya merupakan program Negara
yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Implementasi program ini diharapkan bahwa seluruh rakyat
Indonesia dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal
yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menerita

sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut atau


pensiun.5,6,7
SJSN

diselenggarakan

dengan

prinsip

kegotongroyongan,

nirlaba,

keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas dan portabilitas dengan kepesertaan bersifat


wajib, dana amal dan hasil pengelolaan jaminan social dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta jaminan.
Untuk melaksanakan jaminan sosial sesuai undang-undang diperlukan badan
penyelenggara jaminan sosial yang harus dibentuk dengan Undang-Undang. Badan
Penyelenggaran Jaminan Sosial yang dimaksud adalah6
a. Perusahaan Perseroan (Persero) Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK)
b. Perusahaan Perseroan (Persero) Dana Tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri
(TASPEN)
c. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia (ASABRI)
d. Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES)

Untuk menyelenggarakan sistem Jaminan Sosial Nasional dibentuklah Dewan


Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dimana Dewan ini bertanggungjawab terhadap
presiden

yang

berfungsi

merumuskan

kebijakan

umum

dan

sinkronisasi

penyelenggaraan Sistem Jaminan Nasional. Dewan Jaminan Sosial bertugas:6


a. Melakukan kajian dan penelitian yang berkaitan dengan penyelenggaraan
jaminan sosial
b. Mengusulkan kebijkan investasi Dana Jaminan Sosial Nasional
c. Mengusulkan anggaran jaminan sosial bagi penerima bantuan iuran dan
tersedianya anggaran operasional kepada pemerintah.
Dewan jaminan sosial dalam hal ini berwenang melakukan monitoring dan
evaluasi penyelenggaraan jaminan sosial. Dalam menjalankan tugasnya DJSN
6

beranggotakan 15 (lima belas) orang, yang terdiri dari unsur pemerintah, tokoh
dan/atau ahli yang memahami bidang jaminan sosial, organisasi pemberi kerja dan
organisasi pekerja. Dalam melaksanakan tugasnya, DJSN dapat meminta masukan
dan bantuan tenaga ahli. Salah satu tugas wajib DJSN yaitu melakukan monitoring
dan evaluasi terhadap penyelenggaraan Jaminan Sosial setiap 6 (bulan) dan
melaporkan hasilnya kepada pihak terkait termasuk kepada BPJS.7
Kepesertaan dan Iuran dalam Jaminan Sosial Nasional dibebankan kepada
Pemerintah, Pemberi Kerja dan Individu. Pemberi Kerja secara bertahap wajib
mendaftarkan dirinya dan pekerjanya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial, sesuai dengan program Jaminan sosial yang diikuti. Pemerintah
secara bertahap mendaftarkan penerima bantuan iuran sebagai peserta kepada Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial. Penerima Bantuan Iuran yang dimaksud adalah fakir
miskin dan orang tidak mampu. 7
Dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 ini diatur penyelenggaraan
Sistem Jaminan Sosial Nasional yang meliputi jaminan kesehan, jaminan kecelakaan
kerja, jaminan pensiun, jaminan hari tua dan jaminan kematian bagi seluruh penduduk
melalui

iuran

wajib

peserta.

Program-program

jaminan

sosial

tersebut

diselenggarakan oleh beberapa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Badan


Penyelenggara ini merupakan transformasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
yang sekarang telah berjalan dan dimungkinkan membentuk badan penyelenggara
baru sesuai dengan dinamika perkembangan jaminan sosial.7
I.3.2. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kes)
Pembentukan BPJS menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan
7

dari Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional yang mengamanatkan pembentukan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial dan transformasi kelembagaan PT Askes (Persero), PT
Jamsostek (Persero), PT TASPEN (Persero) dan PT ASABRI (Persero) menjadi
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 8
Transformasi tersebut diikuti adanya pengalihan peserta, program, aset dan
liabilitas, pegawai serta hak dan kewajiban. Undnag-Undang ini membentuk 2 (dua)
BPJS yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan
menyelenggarakan

program

jaminan

kesehatan

dan

BPJS

Ketenagakerjaan

menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan


pensiun dan jaminan kematian. Terbentuknyadua BPJS ini diharapkan secara bertahap
akan memperluas jangkauan kepesertaan progam jaminan sosial.8
BPJS mempunyai tugas sesuai Undang-Undang yaitu:8
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Melakukan dan/atau menerima pendaftaran Peserta


Memungut dan mengumpulkan Iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja
Menerima bantuan Iuran dari Pemerintah
Mengelola dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta
Mengumpulkan dan mengelola data peserta program Jaminan Sosial
Membayarkan Manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan

ketentuan program Jaminan Sosial


g. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan Program Jaminan Sosial
kepada peserta dan masyarakat
Dalam melaksanakan kewenangannya, BPJS berhak untuk memperoleh dana
operasinal untuk penyelenggaraan program yang bersumber dari Dana Jaminan Sosial
dan/atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program Jaminan Sosial
dari DJSN setiap 6 (enam) bulan.8,9,10

BPJS memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan tugasnya dalam


bentuk laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit
oleh akuntan publik kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN. Pelaksanaan
BPJS di bawah pengawasan lembaga eksternal dan internal. Pengawasan internal
BPJS dilakukan oleh Dewan Pengawas dan satuan pengawas internal. Pengawasan
eksternal BPJS dilakukan oleh DJSN dan lembaga pengawas independen. DJSN
melakukan monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program Jaminan Sosial.
Lembaga pengawas independen adalah Otoritas Jasa Keuangan. 8,9,10

I.3.3 Sistem Kesehatan Nasional 8,9,10


Sistem kesehatan merupakan jaringan penyedia pelayanan kesehatan
(supplyside) dan orang-orang yang menggunakan pelayanan tersebut (demand-side) di
setiap wilayah, serta negara dan organisasi yang melahirkan sumber daya tersebut,
dalam bentuk manusia maupun material. Sistem kesehatan juga bisa mencakup sektor
pertanian dan sektor pendidikan yaitu universitas dan lembaga pendidikan lain, pusat
penelitian, perusahaan konstruksi, serta organisasi yang memproduksi teknologi
spesifik seperti produk farmasi, alat dan suku cadang.
Definisi sistem kesehatan dari WHO yaitu seluruh kegiatan yang dilakukan
dengan tujuan untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan, maka yang tercakup di
dalamnya adalah pelayanan kesehatan formal dan non-formal seperti pengobatan
tradisional, pengobatan alternatif, dan pengobatan tanpa resep. Selain itu, ada juga
aktivitas kesehatan masyarakat berupa promosi kesehatan dan pencegahan penyakit,
peningkatan keamanan lingkungan dan jalan raya, dan pendidikan yang berhubungan
dengan kesehatan.
9

Sistem Kesehatan menurut WHO adalah semua kegiatan yang tujuan


utamanya

untuk

meningkatkan,

mengembalikan

dan

memelihara

kesehatan

(WHO,2009). Tujuan utama sistem kesehatan ada tiga,yaitu:


a. Peningkatan status kesehatan
b. Perlindungan resiko terhadap biaya kesehatan:universalcoverage
c. Kepuasan publik
Fungsi dalam sistem dapat digambarkan sebagai berikut; Berdasarkan
konsep WHO tahun 2000:

1.
2.

1.
2.
3.

a. Input Fungsi sistem kesehatan meliputi:


i. Kepemimpinan dan Tata Kelola (Stewardship/governance)
ii. Pembiayaan (Financing)
b. Proses Fungsi sistem kesehatan meliputi:
i. Menciptakan sumber daya (Creating resource):
Manajemen sumber daya manusia
Manajemen farmasi dan peralatan kesehatan
ii. Pembiayaan
c. Outputs (hasil) fungsi sistem kesehatan meliputi:
i. Penyediaan pelayanan (Delivering services):
Pengadaan layanan (service provision),
Sistem informasi,
Pemberdayaan masyarakat (community empowerment)
d. Outcomes (keluaran) kriteria kinerja sistem kesehatan (health system
performance) meliputi:
i. Equity (pemerataan;keadilan)
ii. Access (akses)
iii. Quality (kualitas)
iv. Efficiency (efisiensi)
v. Sustainability (keberlanjutan)
e. Impact (dampak)
i. Status kesehatan
ii. Proteksi terhadap biaya kesehatan
iii. Kepuasan.

Berdasar konsep WHO tahun 2009 blok-blok bangunan sistem kesehatan (The
building blocks of the health system): tujuan dan atribut-atribut. Blok-blok sistem
terdiri dari:
a. Penyediaan pelayanan (Service delivery)
b. Tenaga kesehatan (Health workforce)
10

c. Informasi (Information)
d. Produk-produk kedokteran, vaksin, dan teknologi (Medical products, vaccines
and technologies)
e. Pembiayaan (Financing)
f. Kepemimpinan/Tata Kelola (Leadership/governance)
Blok-blok sistem tadi memberikan cakupanakses (accesscoverage) dan
Jaminan kualitas (quality safety) untuk tujuan secara umum, yaitu:
a. Meningkatkan status kesehatan (level dan pemerataan)
b. Ketanggapan (Responsiveness)
c. Proteksi terhadap risiko sosial dan keuangan (Social and financial risk
protection)
d. Meningkatkan efisiensi (Improved eficiency).
I.3.4. Pemerintah daerah (PEMDA)11-17
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 menyebutkan
bahwa konsep Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Untuk menyelenggarakan dan mengimplementasikan konsep otonomi daerah
dalam pemerintahan, maka menurut Pasal 2 ayat 2 bahwa pemerintahan daerah
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan. Yang dimaksud dengan asas otonomi dan tugas pembantuan itu
adalah bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan
secara langsung oleh pemerintahan daerah itu sendiri dan dapat pula penugasan oleh
pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan desa atau penugasan dari
pemerintahan kabupaten/kota ke desa.
Pemerintahan daerah provinsi bisa langsung memberikan penugasan terhadap
pemerintahan kabupaten/kota atau penugasan pemerintahan kabupaten /kota ke desa,
penugasan yang dimaksud ini tentu bukan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
11

politik sehingga seorang bupati atau walikota bisa dijatukan gubernur, karena jelas
bahwa UU Nomor 32 tahun 2004 ini memberikan kedaulatan sepenuhnya kepada
rakyat untuk menilai, memilih atau memberhentikan kepala daerah sesuai dengan
mekanisme perundang-undangan yang berlaku. Proses peralihan dari sistem
dekonsentrasi ke sistem desentralisasi disebut pemerintah daerah dengan otonomi.
Otonomi adalah penyerahan urusan pemerintah kepada pemerintah daerah
yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan
otonomi adalah mencapai efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada
masyarakat(Widjaja, 2009:21-22).

I.3.5. Implemetasi Kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Dalam


Prospektif Otonomi Daerah
Implemetasi Kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan
Dalam Prospektif Otonomi Daerah berperan dalam sosialisasi, kebijakan dan fasilitasi
berupa:
a. Melaksanakan kegiatan bimbingan, pemantauan dan fasilitasi dalam program JKN/
BPJS Kesehatan dimana terdapat kewajiban menyediakan sarana & prasarana PPK
yang memadai (jumlah tempat tidur, SDM dan Alat)
b. Kewenangan validasi data kepesertaan
c. Menyediakan Anggaran untuk pendampingan atau Subsidi / peran daerah
d. Menyiapkan regulasi tentang penggunaan dana anggaran BPJS bagi PPK dibawah
Pemda.
I.4. Metodologi Penelitian
I.4.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian dasar (basic research) dan termasuk
dalam penelitian jenis deskriptif. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan menganalisis implemetasi kebijakan badan penyelenggara jaminan
12

sosial kesehatan dalam prospektif otonomi daerah yang berpedoman pada UndangUndang mengenai Pemerintahan Daerah yang berlaku saat ini, yaitu UU No. 32
Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004dan UU No. 24 tahun 2011.
I.4.2. Analisis Data
Sumber data penelitian yang digunakan sebagaimana lazimnya peneliti, yaitu:
Data Primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat yang berkaitan dengan penelitian.
Data sekunder, merupakan data-data penunjang seperti peraturan perundangan
mengenai otonomi daerah, desentralisasi, dan BPJS. Langkah-langkah dalam
menganalisis data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Berupa: melukiskan
variabel,

mengidentifikasi

teori

secara

sistematis,

penemuan

pustaka,

dan

menganalisis dokumen yang meliputi informasi yang berkaitan dengan fokus


penelitian. semua data yang didapat dilakukan analisis secara kualitatif.

BAB II
PEMBAHASAN

Implementasi Kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan


Dalam Prospektif Otonomi Daerah: Melaksanakan kegiatan bimbingan, pemantauan
dan fasilitasi dalam program JKN/ BPJS Kesehatan dimana terdapat kewajiban
menyediakan sarana & prasarana PPK yang memadai (jumlah tempat tidur, SDM dan
Alat). Dasar Hukum berupa Perpres no 32/2014 tentang Pengelolaan & Pemanfaatan
Dana Kapitasi JKN pada FKTP milik PEMDA. Permenkes RI no 19/2014 tentang
Penggunaan Dana Kapitasi & Dukungan Operasional pada FKTP milik Pemda. SE
Mendagri no 900/2280/SJ tanggal 5 Mei 2014
13

tentang Petunjuk Tehnis

Penganggaran, Pelaksanaan & Penatausahaan, serta Pertanggungjawaban Dana


Kapitasi JKN pada FKTP milik PEMDA.11,12
Langkah langkah yang perlu dilakukan berupa: Penetapan Bendahara Dana
Kapitasi JKN pada FKTP melalui Keputusan Kepala Daerah. Pembukaan Rekening
Dana Kapitasi JKN oleh Bendahara selanjutnya ditetapkan oleh Kepala Daerah dan
merupakan bagian dari rekening Bendahara Umum Daerah. Pemanfaatan besaran
Dana Kapitasi digunakan langsung untuk pelayanan kesehatan peserta JKN. 11,12
Pemerintah sendiri mengakui bahwa pelaksanaan BPJS masih belum dapat
dioptimalkan. Dikarenakan pelaksanaan BPJS memang harus bertahap, jika pada
tahun 2011 baru dibentuk regulasinya melalui UU No.24 Tahun 2011, kemudian
setahun berselang pada 2012 dibentuk peraturan pelaksanaannya yaitu melalui
Peraturan Pemerintah (PP) No.101 Tahun 2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran
(PBI) dan Peraturan Presiden (Perpres) No.12 Tahun 2013 Tentang Jaminan
Kesehatan (Jamkes). Selanjutnya pemerintah pada tahun 2013 akan mengoptimalkan
pada bidang pembangunan struktur dan infrastruktur diseluruh Indonesia mulai dari
pusat, daerah hingga ke Kabupaten/Kota. kebutuhan tempat tidur di puskesmas plus,
rumah sakit rujukan, tenaga dokter dan lainnya. Untuk memperluas kemampuan
pelayanan, Kementerian Kesehatan (Kemkes) sendiri akan diberikan anggaran
tambahan sebesar Rp 1 triliun pada anggaran tahun 2013. 13
Program Jaminan Kesehatan Nasional yang telah berlangsung kurang lebih 3
bulan ini melibatkan berbagai elemen yang ada di masyarakat maupun pemerintahan.
BPJS kesehatan sebagai penyelenggara JKN tentunya sebagai pihak yang paling
dominan.Di samping itu ada Kemenkes dimana sebagai pihak yang dalam hal ini
pembuat kebijakan Program JKN. Akan tetapi, ada satu pihak lagi yang tidak kalah
perannya dalam pelaksanaan program JKN ini, yaitu Pemda (Pemerintah Daerah),

14

yang terdiri dari semua aspek pemerintah daerah dari Gubernur sampai ke Kepala
Desa/Lurah.14
Pertama, peran dalam sosialisasi, Pemerintah Daerah (Pemda) bertindak
sebagai pelaku sosialisasi pelaksanaan JKN adalah ujung tombak dari pelayanan
kepemerintahan yang terbawah yang berhubungan langsung dengan masyarakat
sehingga mereka lah yang bisa mensosialisasikan program JKN ini kepada
masyarakat

banyak.

Di

samping

itu,

seperti

Gubernur, Anggota

DPRD,

Bupati/Walikota, Camat, Kepala Desa/ Lurah dapat memberikan contoh kepada


warganya dengan ikut terlebih dahulu menjadi peserta JKN. Dengan demikian
masyarakat akan terpicu untuk menjadi peserta JKN karena melihat sosok
pemimpinnya sudah menjadi peserta JKN juga. Sosialisasi agar peserta JKN terutama
peserta PBI dan Jamkesda mengetahui bahwa Peserta memegang kartu JKN,
Mengetahui Manfaat kartu JKN, Menggunakan sesuai dengan kebutuhan medis.15,17,18
Kedua, peran dalam hal pembuatan kebijakan. Peran ini dapat terbentuk
dengan dibuatnya kebijakan atau regulasi tentang pengaturan kepesertaan, integrasi
Jamkesda ke dalam JKN misalnya dalam suatu Pergub, Perda atau Perwal. Di
samping itu juga pengaturan mengenai Jamkesda, dimana diharapkan nantinya
Jamkesda dapat berintegrasi ke dalam JKN.Akan tetapi, untuk sementara pihak
Pemda masih disarankan untuk tetap mengelola Jamkesdanya, dimana dapat tetap
memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin dan tidak mampu yang belum
tercover oleh JKN.Dengan demikian diharapkan semua masyarakat miskin dan tidak
mampu dapat dijamin kesehatannya.Hal ini menunjukkan harus adanya kerjasama
antara pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam pelaksanaan Program JKN
ini. 15,17,18
Ketiga, peran dalam penyediaan sarana dan prasarana kesehatan. Program
Jaminan Kesehatan Nasional tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa adanya
ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan yang baik. Oleh sebab itu diperlukan
15

peran dari Pemda untuk menyediakan sarana dan prasarana, seperti Puskesmas, RS
Pratama, RS rujukan, apotek dan lain-lain. Di samping itu Pemda juga perlu
menyediakan tenaga kesehatan yang cukup untuk wilayahnya, misalnya ketersediaan
akan dokter, perawat, bidan dan lain-lain. 15,17,18
Peran PEMDA memastikan kecukupan anggaran untuk penyelenggaraan
layanan kesehatan berupa: Dana kapitasi dimanfaatkan seluruhnya untuk jasa
pelayanan kesehatan dan dukungan operasional pelayanan kesehatan. Dalam hal
pendapatan dana kapitasi tidak digunakan seluruhnya pada tahun anggaran berkenaan
dana kapitasi tersebut digunakan untuk tahun anggaran berikutnya. Jasa pelayanan
kesehatan ditetapkan sekurang-kurangnya 60% dari total penerimaan dana kapitasi
JKN, meliputi jasa pelayanan kesehatan perorangan yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan dan tenaga non kesehatan. Dukungan biaya operasional pelayanan
kesehatan meliputi biaya obat,alat kesehatan,bahanmedis habis pakai,danndukungan
biaya operasional pelayanan kesehatan lainnya. 15,17,18
BAB III
PENUTUP
III.1. Simpulan
a. Tugas dan Fungsi Kesehatan termasuk bidang yang diotonomikan
b. Pemerintah dan Pemda memiliki Kewajiban sesuai kewenangan yang diatur
dengan UUdan PP ( dalam hal program jaminan kesehatan bagi masyarakat)
Dinas Kesehatan Prov/Kab/Kota : Melaksanakan kegiatan bimbingan,
pemantauan dan fasilitasi dalam program BPJS

III.2. Saran
III.2.1. Bagi Pihak Pemerintah, BPJS dan Pemda berkoordinasi dalam hal:
1. Menyiapkan regulasi tentang penggunaan dana anggaran BPJS bagi PPK
dibawah Pemda.
2. Kewajiban menyediakan sarana &prasarana PPK yangmemadai ( jumlah
tempat tidur, SDM dan Alat)
16

3. Menyediakan Anggaran untuk pendampingan atau Subsidi / peran daerah

Daftar Pustaka
1. WHO, The World Health Report 2005. Make Every Mother and Child Count.
Geneva,2005
2. WHO, The World Health Report 2000. Health Systems, Improving Performance.
Geneva,2000
3. WHO, The World Health Report 2006. Working Together for Health.
www.who.int.
4. Ghufron. A. Peran Pemerintah Daerah dalam Mengembangkan Sistem Jaminan
Sosial Nasional. Makalah disajikan dalam Munas ke-3 PAMJAKI. Jakarta 29-31
Agustus 2006
5. Salim, Zafrullah. Makalah Workshop SJSN, Juni 06
6. Thabrany, H. Makna Fasilitas Kesehatan. Makalah disajikan dalam Diskusi
Majelis Pelayanan Kesehatan, Ditjen Yanmed, Depkes, Jakarta 2003.
7. PT Askes. Laporan Askes kepada Rapat Kerja Dewan Jaminan Sosial Nasional,
Jakarta 16 Mei 2007
8. PT Askes. Laporan Penyelengaraan Program Askeskin 2006. Jakarta, 2007
9. Ali Gufron, dkk. Laporan Studi PJKMM- Program Magister Kesehatan FKUGMBadan Litbangkes, Web Depkes.go.id. 2006
10. Oka Mahendra. Dirjen Hukum dan Perundang-undangan. Penjelasan dan Arti
Keputuasn MK yang disampaikan dalam Loka Karya SJSN di Jakarta, Maret 2006
11. Adi, W(Ed.). 2005.Otonomi Daerah dan Optimalisasi Sumber Daya Ekonomi,
Jakarta:Pusat Penenlitian Ekonomi-LIPI
17

12. Kaelan,(Ed.).2007.Pendidikan
Yogyakarta:Paradigma.

Kewarganegaraan

Untuk

Perguruan

Tinggi.

13. Kuncoro (2004).Otonomi dan Pembaguan Daerah;Reformasi,Perencanaan,Strategi


dan peluang, Jakarta: Penerbit Erlangga
14. Mardiasmo. 2002. Otonomi Daerah Sebagai Upaya Memperkokoh Basis
Perekonomian Daerah. Ekonomi Rakyat. Jilid 4, No.3, (online).
15. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
16. Undang-undang No 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
17. Kemenkes. 2013, Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia
18. Marthias T, 2013, Modul Pelatihan Jarak Jauh Equity dalam Kebijakan Sistem
Kesehatan, PKMK FK UGM

18

Anda mungkin juga menyukai