Anda di halaman 1dari 12

Pendahuluan

Berbagai penelitian standar terapi trombolitik secara besar-besaran telah dipublikasikan untuk infark
miokard akut (IMA) dengan harapan memperoleh hasil optimal dalam reperfusi koroner maupun
stabilisasi koroner setelah iskemia. 1,2,3

Tahun 1980 adalah era berkembangnya metode pengobatan tersebut. Kemudian pada 1990 perhatian
lebih difokuskan pada paradigma baru sindrom koroner akut (SKA) yang mencakup infark miokard
dengan non ST elevasi (NSTEMI) dan angina pektoris tak stabil ( APTS). Sebelumnya hanya ditujukan
untuk IMA dan agal jantung (GJ)1,2,3. Troponin T/I masih merupakan “gold standard” untuk diagnosis
maupun penanganan SKA sebagaimana telah dilakukan di Eropa1,2,3

Konsep terapi baru untuk memperbaiki aliran darah koroner telah digunakan beberapa tahun terakhir.
Konsep terapi itu antara lain terapi trombolitik, antitrombotik, dan penghambat reseptor glikoprotein
IIb/IIIa yaitu “GP IIb/IIIa inhibitor”, meskipun pendekatan lama tidak ditinggalkan, misalnya oksigenasi
pasien, pemberian nitrogliserin (NTG), atau penghambat beta adrenergik 1,2,3

Definisi

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi klinis rasa tidak
enak didada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris tidak
stabil, infarct myocard acute (IMA) yang disertai elevasi segmen ST. Penderita dengan infark miokardium
tanpa elevasi ST. SKA ditetapkan sebagai manifestasi klinis penyakit arteri koroner. Penyakit jantung
koroner (PJK) merupakan manifestasi utama proses aterosklerosis.1,2,3

Yaitu suatu fase akut dari APTS yang disertai IMA gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI)
atau tanpa gelombang Q (IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis
akibat dari ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil (Vulnerable) 1,2,3

Sindrom ini menggambarkan suatu penyakit yang berat, dengan mortalitas tinggi. Mortalitas tidak
tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak) koroner, namun lebih sering ditemukan pada
penderita dengan plak kurang dari 50–70% yang tidak stabil, yakni fibrous cap ‘dinding (punggung) plak’
yang tipis dan mudah erosi atau ruptur1,2,3

Terminologi sindrom koroner akut berkembang selama 10 tahun terakhir dan telah digunakan secara
luas. Hal ini berkaitan dengan patofisiologi secara umum yang diketahui berhubungan dengan
kebanyakan kasus angina tidak stabil dan infark miokard.1 Angina tidak stabil, infark miokard tanpa
gelombang Q, dan infark miokard gelombang Q mempunyai substrat patogenik umum berupa lesi
aterosklerosis pada arteri koroner. 1,2,3
Istilah Sindrom Koroner Akut (SKA) banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian
kegawatan pada pembuluh darah koroner. SKA merupakan satu sindrom yang terdiri dari beberapa
penyakit koroner yaitu, angina tak stabil (unstable angina), infark miokard non-elevasi ST, infark miokard
dengan elevasi ST, maupun angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi koroner
perkutan. 1,2,3

Alasan rasional menyatukan semua penyakit itu dalam satu sindrom adalah karena mekanisme
patofisiologi yang sama. Semua disebabkan oleh terlepasnya plak yang merangsang terjadinya agregasi
trombosit dan trombosis, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan stenosis berta atau oklusi pada
arteri koroner dengan atau tanpa emboli. 1,2,3

Sedangkan letak perbedaan antara angina tak stabil, infark Non-elevasi ST dan dengan elevasi ST adalah
dari jenis trombus yang menyertainya. Angina tak stabil dengan trombus mural, Non-elevasi ST dengan
thrombus inkomplet/nonklusif, sedangkan pada elevasi ST adalah trobus komplet/oklusif. 1,2,3

Proses terjadinya trombus dimulai dengan gangguan pada salah satu dari Trias Virchow. Antara lain
akibat kelainan pada pembuluh darah, gangguan endotel, serta aliran darah terganggu. Selanjutnya
proses koagulasi berlangsung diawali dengan aterosklerosis, inflamasi, terjadi ruptur/fissura dan
akhirnya menimbulkan trombus yang akan menghambat pembuluh darah. Apabila pembuluh darah
tersumbat 100% maka terjadi infark miokard dengan elevasi ST segmen. Namun bila sumbatan tidak
total, tidak terjadi infark, hanya unstable angina atau infark jantung akut tanpa elevasi segmen ST. 1,2,3

Epidemiologi

The American Heart Association memperkirakan bahwa lebih dari 6 juta penduduk Amerika, menderita

penyakit jantung koroner (PJK) dan lebih dari 1 juta orang yang diperkirakan mengalami serangan infark

miokardium setiap tahun. Kejadiannya lebih sering pada pria dengan umur antara 45 sampai 65 tahun,
dan tidak ada perbedaan dengan wanita setelah umur 65 tahun.4–6 Penyakit jantung koroner juga
merupakan penyebab kematian utama (20%) penduduk Amerika. 1

Di Indonesia data lengkap PJK belum ada. Pada survei kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1992,
kematian akibat penyakit kardiovaskuler menempati urutan pertama (16%) untuk umur di atas 40
tahun. SKRT pada tahun 1995 di Pulau Jawa dan Pulau Bali didapatkan kematian akibat penyakit
kardiovaskuler tetap menempati urutan pertama dan persentasenya semakin meningkat (25%)
dibandingkan dengan SKRT tahun 1992. Di Makassar, didasari data yang dikumpulkan oleh Alkatiri7
diempat rumah sakit (RS) selama 5 tahun (1985 sampai 1989), ternyata penyakit kardiovaskuler
menempati urutan ke 5 sampai 6 dengan persentase berkisar antara 7,5 sampai 8,6%. PJK terus-
menerus menempati urutan pertama di antara jenis penyakit jantung lainnya. dan angka kesakitannya
berkisar antara 30 sampai 36,1%. 2,3

Patofisiologi SKA

Penyebab utama PJK adalah aterosklerosis, yang merupakan proses multifaktor. Kelainan ini sudah
mulai terjadi pada usia muda, yang diawali terbentuknya sel busa, kemudian pada usia antara 10 sampai
20 tahun berubah menjadi bercak perlemakan dan pada usia 40 sampai 50 tahun bercak perlemakan ini
selanjutnya dapat berkembang menjadi plak aterosklerotik yang dapat berkomplikasi menyulut
pembentukan trombus yang bermanifestasi klinis berupa infark miokardium maupun angina (nyeri
dada).2,3

Sebagai respon terhadap injury dinding pembuluh, terjadi agregasi platelet dan pelepasan isi granuler
yang me- nyebabkan agregasi platelet lebih lanjut, vasokonstriksi dan akhirnya pembentukan trombus. 3
Studi angioskopi telah membuktikan bahwa trombus penyebab angina tidak stabil adalah trombus putih
kaya platelet, berbeda dengan trombus merah kaya fibrin dan eritrosit yang lebih menonjol pada infark
miokard akut. 1,2,3

SKA dimulai dengan adanya ruptur plak arteri koroner, aktivasi kaskade pembekuan dan platelet,
pembentukan trombus, serta aliran darah koroner yang mendadak berkurang. Hal ini terjadi pada plak
koroner yang kaya lipid dengan fibrous cap yang tipis (vulnerable plaque). Ini disebut fase plaque
disruption ‘disrupsi plak’. Setelah plak mengalami ruptur maka tissue factor ‘faktor jaringan’ dikeluarkan
dan bersama faktor VIIa membentuk tissue factor VIIa complex mengaktifkan faktor X menjadi faktor Xa
sebagai penyebab terjadinya produksi trombin yang banyak. Adanya adesi platelet, aktivasi, dan
agregasi, menyebabkan pembentukan trombus arteri koroner. Ini disebut fase acute thrombosis
‘trombosis akut’ 1,2,3

Proses inflamasi yang melibatkan aktivasi makrofage dan sel T limfosit, proteinases, dan sitokin,
menyokong terjadinya ruptur plak serta trombosis tersebut 6. Sel inflamasi tersebut bertanggung jawab
terhadap destabilisasi plak melalui perubahan dalam antiadesif dan antikoagulan menjadi prokoagulan
sel endotelial, yang menghasilkan faktor jaringan dalam monosit sehingga menyebabkan ruptur plak.
1,2,3
Oleh karena itu, adanya leukositosis dan peningkatan kadar CRP merupakan petanda inflamasi pada
kejadian koroner akut (IMA) dan mempunyai nilai prognostic. Pada 15% pasien IMA didapatkan
kenaikan CRP meskipun troponin-T negatif 6. Haidari dan kawan-kawan meneliti hubungan antara serum
CRP dengan penyakit jantung koroner (PJK) secara angiografi terhadap 450 individu. Ternyata, secara
bermakna kadar CRP dengan PJK lebih tinggi daripada kontrol (2,14 mg/L dibanding 1,45 mg/L) dan
hubungan tersebut menandakan adanya proses inflamasi pada PJK . 1,2,3

Endotelium mempunyai peranan homeostasis vaskular yang memproduksi berbagai zat vasokonstriktor
maupun vasodilator lokal. Jika mengalami aterosklerosis maka segera terjadi disfungsi endotel (bahkan
sebelum terjadinya plak) 12. Disfungsi endotel ini dapat disebabkan meningkatnya inaktivasi nitrit oksid
(NO) oleh beberapa spesies oksigen reaktif, yakni xanthine oxidase, NADH/NADPH (nicotinamide
adenine dinucleotide phosphate oxidase), dan endothelial cell Nitric Oxide Synthase (eNOS). Oksigen
reaktif ini dianggap dapat terjadi pada hiperkolesterolemia, diabetes, aterosklerosis, perokok,
hipertensi, dan gagal jantung. Diduga masih ada beberapa enzim yang terlibat dalam produk radikal
pada dinding pembuluh darah, misalnya lipooxygenases dan P450-monooxygenases. Grindling dkk.
mengobservasi bahwa angiotensin II juga merupakan aktivator NADPH oxidase yang poten. Ia dapat
meningkatkan inflamasi dinding pembuluh darah melalui pengerahan makrofage yang menghasilkan
monocyte chemoattractan protein-1 dari dinding pembuluh darah sebagai aterogenesis yang esensial

Fase selanjutnya ialah terjadinya vasokonstriksi arteri koroner akibat disfungsi endotel ringan dekat lesi
atau respons terhadap lesi itu. Pada keadaan disfungsi endotel, faktor konstriktor lebih dominan (yakni
endotelin-1, tromboksan A2, dan prostaglandin H2) daripada faktor relaksator (yakni nitrit oksid dan
prostasiklin) 1,2,3

Seperti kita ketahui bahwa NO secara langsung menghambat proliferasi sel otot polos dan migrasi, adesi
leukosit ke endotel, serta agregasi platelet dan sebagai proatherogenic 1,2,3. Melalui efek melawan,
TXA2 juga menghambat agregasi platelet dan menurunkan kontraktilitas miokard, dilatasi koroner,
menekan fibrilasi ventrikel, dan luasnya infark 1,2,3

SKA yang diteliti secara angiografi 60—70% menunjukkan obstruksi plak aterosklerosis yang ringan
sampai dengan moderat, dan terjadi disrupsi plak karena beberapa hal, yakni tipis – tebalnya fibrous cap
yang menutupi inti lemak, adanya inflamasi pada kapsul, dan hemodinamik stress mekanik. 1,2,3

Adapun mulai terjadinya SKA, khususnya IMA, dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni
aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan), stress emosi, terkejut, udara dingin, waktu
dari suatu siklus harian (pagi hari), dan hari dari suatu mingguan (Senin). Keadaan-keadaan tersebut ada
hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi
debar jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran koroner juga meningkat. Dari
mekanisme inilah beta blocker mendapat tempat sebagai pencegahan dan terapi 1,2,3

DIAGNOSIS SKA

Berbagai cara telah digunakan untuk mengenali adanya PJK, mulai dari teknik non invasif seperti
elektrokardiografi (EKG) sampai pemeriksaan invasive seperti arteriografi koroner.8 Gambaran EKG
abnormal terdapat di penderita IMA dengan ditemukannya ketinggian (elevasi) segmen ST dan adanya
gelombang Q. Namun demikian, ketinggian (elevasi) segmen ST dapat juga ditemukan di perikarditis,
repolarisasi cepat yang normal, dan aneurisma ventrikel kiri.1,2,3,4

Rekaman listrik jantung merupakan langkah diagnosis awal yang membedakan kedua kelompok sindrom
koroner akut yang mempunyai pendekatan terapi berbeda. Jika terjadi peningkatan segmen ST, artinya
terjadi infark miokard yang merupakan indikasi untuk reperfusi segera. Pasien dengan peningkatan
segmen ST biasanya mempunyai oklusi koroner komplit pada angiografi, dan banyak dari pasien-pasien
ini akhirnya menjadi infark miokard gelombang Q, sedangkan pasien-pasien sindrom koroner akut tanpa
peningkatan segmen ST merepresentasikan suatu kelompok oklusi koroner trom-

botik subtotal atau intermiten, dan kebanyakan akan mengalami angina tidak stabil, dan berdasarkan
kenaikan enzim jantung (CK-MB) dapat menjadi infark miokard tanpa gelombang Q. 1,2,3,4

Berdasarkan terminologi baru sindrom koroner akut tanpa peningkatan segmen ST, diperlukan marker
biokimiawi troponin untuk pengelompokan lebih lanjut. Jika konsentrasi enzim jantung atau troponin
meningkat, artinya terjadi kerusakan sel yang irreversibel dan kelompok pasien ini dapat dianggap
mempunyai infark miokard sebagaimana definisi WHO. Pedoman American College of Cardiology /
American Heart Association (ACC/AHA) menggunakan terminologi infark miokard dengan peningkatan
segmen ST dan tanpa peningkatan segmen ST, menggantikan terminologi infark miokard gelombang Q
dan tanpa gelombang Q yang kurang bermanfaat dalam perencanaan penalaksanaan segera. 4

Kerusakan miokardium dikenali keberadaanya antara lain dengan menggunakan test enzim jantung,
seperti: kreatin-kinase (CK), kreatin-kinase MB (CKMB) dan laktat dehidrogenase (LDH).11,12 Berbagai
penelitian penggunaan test kadar serum Troponin T (cTnT) dalam mengenali kerusakan miokardium
akhir-akhir ini telah dipublikasikan.5

cTnT adalah struktur protein serabut otot serat melintang yang merupakan subunit troponin yang
penting, terdiri dari dua miofilamen. Yaitu filament tebal terdiri dari miosin, dan filamen tipis terdiri dari
aktin, tropomiosin dan troponin. Kompleks troponin yang terdiri atas: troponin T, troponin I, dan
troponin C. cTnT merupakan fragmen ikatan tropomiosin. cTnT ditemukan di otot jantung dan otot
skelet, kadar serum protein ini meningkat di penderita IMA segera setelah 3 sampai 4 jam mulai
serangan nyeri dada dan menetap sampai 1 sampai 2 minggu.5

Bila penderita yang tidak disertai perubahan EKG yang karakteristik ditemui cTnT positif, hal tersebut
merupakan risiko serius yang terjadi dan terkait koroner. Dengan demikian cTnT dapat digunakan
sebagai kriteria dalam menentukan keputusan terapi.5

Enzim jantung antara lain: CK dan CK-MB biasanya mulai meningkat 6 sampai 10 jam setelah kerusakan
sel miokardium. Puncaknya 14 sampai 36 jam dan kembali normal setelah 48 sampai 72 jam. Di samping
CK, CK-MB, aktivitas LDH muncul dan turun lebih lambat melampaui kadar normal dalam 36 sampai 48
jam setelah serangan IMA, yang mencapai puncaknya 4 sampai 7 hari dan kembali normal 8–14 hari
setelah infark.5

Pengidentifikasian penderita nyeri dada yang diduga IMA atau minor myocardial damage (MMD) masih
merupakan masalah sehari-hari. Perbedaan antara MMD dan sindroma non kardio juga masih
merupakan masalah yang tentunya berdampak pada siasat pengobatan untuk masing-masing penderita.

Pengujian yang digunakan saat ini dengan mengukur enzim jantung seperti yang disebut di atas, pada
sejumlah kasus masih membuat diagnosis yang tidak jelas. Penderita masuk RS (Gawat darurat) dengan
nyeri dada kadang sudah disertai dengan komplikasi, sehingga awal kerusakan miokardium tidak
diketahui. Gabungan petanda IMA misalnya CK-MB dan Troponin T adalah yang paling efektif bila awal
kerusakan miokardium tidak diketahui.4

Menurut American Collage of Cardiology (ACC) kriteria untuk IMA ialah terdapat peningkatan nilai enzim
jantung (CK-MB) atau troponin I atau Troponin T dengan gejala dan adanya perubahan EKG yang diduga
iskemia. Kriteria World Health Organization (WHO) diagnosis IMA dapat ditentukan antara lain dengan:
2 dari 3 kriteria yang harus dipenuhi, yaitu riwayat nyeri dada dan penjalarannya yang berkepanjangan
(lebih dari 30 menit), perubahan EKG, serta peningkatan aktivitas enzim jantung. 5

Sesuai dengan cara mendiagnosis IMA, ada 3 komponen yang harus ditemukan, yakni: (1) Sakit dada,
berupa APTS; (2) Perubahan EKG, berupa gambaran STEMI/NSTEMI dengan atau tanpa gelombang Q
patologik; (3) Peningkatan enzim jantung (paling sedikit 1,5 kali nilai batas atas normal), terutana CKMB
dan troponin-T /I, dimana troponin lebih spesifik untuk nekrosis miokard. Nilai normal troponin ialah
0,1–0,2 ng/dl, dan dianggap positif bila > 0,2 ng/dl. 4
Troponin T/I mulai meningkatkan kadarnya pada 3 jam dari permulaan sakit dada IMA dan menetap 7–
10 hari setelah IMA 18. Troponin T/I mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tinggi sebagai petanda
kerusakan sel miokard dan prognosis. Di Eropa sudah menjadi pedoman untuk diagnosis maupun terapi
agresif sampai dengan intervensi 1,20. Penelitian PRISM juga menggunakan standar troponin-T/I pada
pasien SKA risiko tinggi yang dicoba dengan tirofiban (GPIIb/IIIa-I) 4

Pada sakit dada, apakah ruptur plak akan menyebabkan tanpa gejala, APTS, NSTEMI/STEMI, atau mati
(jantung) mendadak tergantung pada: dalamnya ruptur, miliu trombolitik, dan sirkulasi kolateral. 1,2,5

APTS dan NSTEMI adalah akibat oklusi total, sementara pembuluh koroner dengan reperfusi spontan,
sedangkan STEMI akibat dari oklusi trombotik yang menetap 4. Sebanyak 30–40% SKA terjadi tanpa
gejala yang dapat disadari pasien bahwa ia mempunyai penyakit jantung iskemik ( PJI ) 1,2,3,4

Menifestasi klinik disrupsi plak tergantung pada derajat, lokasi, lamanya iskemi miokard, dan cepatnya
pembentukan trombi serta vasokonstriksi sekitar plak 1,2,3,4

Penanganan SKA

Oklusi total yang terjadi lebih dari 4–6 jam pada arteri koroner akan menyebabkan nekrosis miokard
yang irreversibel, dengan gambaran Q-MCI Namun, dengan terapi reperfusi yang cepat dan adekuat
dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas 1,5,6

Dalam menangani SKA dapat dibagi menjadi:

1. Fase sebelum masuk rumah sakit (prehospital stage), yang kemungkinan tanpa komplikasi atau
sudah ada komplikasi, harus diperhatikan dengan seksama.

2. Fase masuk rumah sakit (hospital stage) yang dimulai di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan
tujuan terapi untuk: pencegahan terjadinya IMA, pembatasan luasnya infark, dan pemeliharaan fungsi
jantung (miokard). 1,5,6

Kemudian dilanjutkan perawatan di ruang intensif kardiovaskular (RIK), dengan lebih lanjut
memperhatikan sasaran terapi berupa: (1) pencapaian secara komplit dan cepat reperfusi aliran darah
daerah infark; dan (2) menurunkan risiko berulannya IMA dengan berbagai terapi medikamentosa 1,5,6

Sebelum menindaklanjuti pengobatan SKA, Braunwald membagi klasifikasi APTS menjadi :

1. Berat – ringannya SKA

o Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan nyeri pada waktu
istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per hari.

o Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan pada waktu istirahat.

o Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.


2. Klinis

o Klas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti anemia, infeksi, demam,
hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia karena gagal napas.

o Kelas B: Primer.

o Klas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA).

3. Intensitas terapi

o Belum pernah diobati.

o Dengan anti angina (penghambat beta adrenergik, nitrat, dan antagonis kalsium )

o Antiangina dan nitrogliserin intravena.

Tahap Awal dan Cepat Pengobatan Pasien SKA

1. Oksigenasi

Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan oksigen pada miokard yang
mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien stabil
dengan level oksigen 2–3 liter/menit secara kanul hidung. 1,5,6

2. Nitrogliserin (NTG)

Digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3 – 0,6 mg ), atau
aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip intravena
5–10 ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg.
Manfaatnya ialah memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di
miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding ventrikel; dilatasi
arteri koroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta menghambat agregasi platelet (masih
menjadi pertanyaan). 1,5,6

3. Morphine

Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan; mengurangi rasa sakit akibat
iskemia; meningkatkan venous capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi
menurun dan tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban miokard
berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2 – 4 mg intravena sambil memperhatikan efek samping
mual, bradikardi, dan depresi pernapasan 1,5,6

4. Aspirin
Harus diberikan kepada semua pasien SKA jika tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial) .
Efeknya ialah menghambat siklooksigenase –1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan-
A2. Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial 1,5,6

Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan bahwa Aspirin menurunkan
mortalitas sebanyak 19%, sedangkan “The Antiplatelet Trialists Colaboration” melaporkan adanya
penurunan kejadian vaskular IMA risiko tinggi dari 14% menjadi 10% dan nonfatal IMA sebesar 30%
1,5,6

Dosis yang dianjurkan ialah 160–325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik “chewable” dari pada
tablet, terutama pada stadium awal. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada pasien yang
mual atau muntah. Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah pemberian GPIIb/IIIa-I atau UFH
(unfractioned heparin). Ternyata efektif dalam menurunkan kematian, infark miokard, dan berulangnya
angina pectoris 1,5,6

5. Antitrombolitik lain: Clopidogrel, Ticlopidine

Derivat tinopiridin ini menghambat agregasi platelet, memperpanjang waktu perdarahan, dan
menurunkan viskositas darah dengan cara menghambat aksi ADP (adenosine diphosphate) pada
reseptor platelet., sehingga menurunkan kejadian iskemi.

Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46% kematian vaskular dan nonfatal infark miokard. Dapat
dikombinasi dengan Aspirin untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang telah
mengalami implantasi stent koroner. Pada pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya
trombosis, tetapi dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) bersama
Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil yang baik dengan menurunnya risiko
trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%, dan menurunnya komplikasi perdarahan dari 10–16%
menjadi 0,2–5,5%21. Namun, perlu diamati efek samping netropenia dan trombositopenia (meskipun
jarang) sampai dengan dapat terjadi purpura trombotik trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung
sel darah lengkap pada minggu II – III. 1,5,6

Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan Aspirin, namun tidak ada
korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin,
meskipun tidak terlepas dari adanya risiko perdarahan. Didapatkan setiap 1.000 pasien SKA yang
diberikan Clopidogrel, 6 orang membutuhkan tranfusi darah. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral, cepat
diabsorbsi dan mulai beraksi sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah pemberian obat dan 40–
60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari . 1,5,6

Penelitian CAPRIE (Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic Events ) menyimpulkan bahwa
Clopidogrel secara bermakna lebih efektif daripada ASA untuk pencegahan kejadian iskemi pembuluh
darah (IMA, stroke) pada aterosklerosis (Product Monograph New Plavix). 1,5,6

Penanganan SKA Lebih Lanjut

1. Heparin
Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat baru yang lebih aman (tanpa efek
samping trombositopenia) dan lebih mudah pemantauannya (tanpa aPTT). Heparin mempunyai efek
menghambat tidak langsung pada pembentukan trombin, namun dapat merangsang aktivasi platelet.
Dosis UFH yang dianjurkan terakhir (1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12 ug/kg/jam
maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam untuk pasien dengan berat badan < 70 kg
1,5,6

2. Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH)

Diberikan pada APTS atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai kelebihan dibanding dengan
UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama; high bioavailability; dose – independent clearance;
mempunyai tahanan yang tinggi untuk menghambat aktivasi platelet; tidak mengaktivasi platelet;
menurunkan faktor von Willebrand; kejadian trombositopenia sangat rendah; tidak perlu pemantauan
aPTT ; rasio antifaktor Xa / IIa lebih tinggi; lebih banyak menghambat alur faktor jaringan; dan lebih
besar efek hambatan dalam pembentukan trombi dan aktivitasnya 1,5,6

Termasuk dalam preparat ini ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis Fraxiparin untuk APTS
dan NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama Aspirin (maksimum 325 mg) kemudian 85 iu antiXa/kg
subkutan selama 6 hari : 2 x tiap 12 jam (Technical Brochure of Fraxiparin . Sanofi – Synthelabo).

3. Warfarin

Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa pengobatan jangka panjang dapat
memperoleh efek antikoagulan secara dini. Tak ada perbedaan antara pemberian Warfarin plus Aspirin
dengan Aspirin saja (CHAMP Study, CARS Trial) sehingga tak dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin
dengan Asparin 1,5,6

4. Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I)

Obat ini perlu diberikan pada NSTEMI SKA dengan risiko tinggi, terutama hubungannya dengan
intervensi koroner perkutan (IKP). Pada STEMI , bila diberikan bersama trombolitik akan meningkatkan
efek reperfusi (studi GUSTO V dan ASSENT-3). GUSTO V membandingkan Reteplase dengan Reteplase
dan Abciximab (GPIIb/IIIa-I) pada IMA, sedangkan ASSENT–3 membandingkan antara Tenecteplase
kombinasi dengan Enoxaparin atau Abciximab dengan Tenecteplase kombinasi UFH pada IMA , yang
ternyata tak ada perbedaan pada mortalitas 1,5,6,7

Efek GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup kuat terhadap semua tipe
stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan serotonin 17. Ada 3 perparat, yaitu Abciximab, Tirofiban,
dan Eptifibatide yang diberikan secara intravena. Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban,
dan Ximilofiban. GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan kejadian koroner dengan segera, namun
pemberian peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat meningkatkan mortalitas 1,5,6,7

Secara invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin 3,22 dan dapat digunakan untuk mengurangi akibat
disrupsi plak pada tindakan IKP1,25,26. Banyak penelitian besar telah dilakukan, baik GPIIb/IIIa-I sendiri
maupun kombinasi dengan Aspirin, Heparin, maupun pada saat tindakan angioplasti dengan hasil cukup
baik. Namun, tetap perlu diamati komplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet
(trombositopenia) meskipun ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia berat bila jumlah platelet
< 50.000 ml 1,5,6,7

Dasgupta dkk. (2000) meneliti efek trombositopenia yang terjadi pada Abciximab tetapi tidak terjadi
pada Eptifibatide atau Tirofiban dengan sebab yang belum jelas. Diduga karena Abciximab
menyebabkan respons antibodi yang merangsang kombinasi platelet meningkat dan menyokong
terjadinya trombositopenia 1,5,6,7

Penelitian TARGET menunjukkan superioritas Abciximab dibanding Agrastat dan tidak ada perbedaan
antara intergillin dengan derivat yang lain. Penelitian ESPRIT memprogram untuk persiapan IKP, ternyata
hanya nenguntungkan pada grup APTS 1,5,6,7

5. Direct Trombin Inhibitors

Hirudin, yaitu suatu antikoagulan yang berisi 65 asam amino polipeptida yang mengikat langsung
trombin. GUSTO IIb telah mencoba terapi terhadap 12.142 pasien APTS/NSTEMI dan STEMI, namun
tidak menunjukan perbedaan yang bermakna terhadap mortalitas 1,5,6,7

6. Trombolitik

Dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch block (LBBB) baru, dapat menurunkan mortalitas
dalam waktu pendek sebesar 18% 29, namun tidak menguntungkan bagi kasus APTS dan NSTEMI 3.
Walaupun tissue plasminogen activator (t-PA) kombinasi dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah
superior dari Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai aliran normal pada daerah infark selama 90
menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru yang diharapkan dapat memperbaiki patensi arteri koroner dan
mortalitas ialah Reteplase (r-PA) dan Tenecteplase (TNK-t-PA), karena mempunyai waktu paruh lebih
panjang daripada t-PA. Namun, ada 2 penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-PA,
namun ternyata tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama saja 1,5,6,7

7. Obat-obat Lain 1,5,6,7

Penghambat Beta Andrenergik

Efeknya ialah menurunkan frekuensi debar jantung sehingga menyebabkan waktu diastolik lebih lama;
menurunkan kontraktilitas miokard dan beban jantung; menghambat stimulasi katekolamin; serta
menurunkan pemakaian oksigen miokard.

Obat ini baik untuk APTS / NSTEMI dan dapat menurunkan luasnya infark, reinfark, serta mortalitas.
Tetapi ingat kontraindikasinya, seperti bradikardi, blok AV, asma bronkial, atau edema paru akut .

Antagonis Kalsium

Intercep Study tidak melihat penurunan mortalitas dengan obat tersebut 4, namun dapat digunakan
pada APTS/NSTEMI jika ada kontraindikasi penghambat Beta adrenergik. Diltiazem jangan diberikan
pada disfungsi ventrikel kiri dan atau gagal jantung kongestif (GJK) 1,5,6,7
Penghambat Enzim Konversi Angiotensin 1,5,6,7

Boleh diberikan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi 75 tahun), sebab risiko
kematian cukup tinggi dengan trombolitik 1,5,6,7

Kesimpulan

SKA ialah suatu kejadian koroner dengan mortalitas tinggi, perlu penanganan cepat, cermat , dan tepat,
baik diagnostik maupun terapi noninvasif serta invasif.

Obat – obat baru telah banyak ditemukan dengan efektivitas lebih baik, namun perlu pemahaman
indikasi, kontra indikasi, dan efek samping obat, dengan pemantauan yang seksama agar tak terjadi hal-
hal yang merugikan pasien, seperti adanya trombositopenia, perdarahan maupun ulkus lambung.

Pertimbangan biaya memang perlu diperhatikan, meski pertimbangan manfaat sama efektifnya
terhadap terapi maupun tindakan, namun yang lebih menguntungkan dan aman bagi pasien juga
menjadi pemikiran para dokter.

DAFTAR PUSTAKA

1) Harrisons, Prinsiples of Internal Medicine, 17th ed, Philadelphia, McGraw Hill, 2000, 1387–97.

2) Andra. Sindrom Koroner Akut:Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif?. Majalah Farmacia Edisi
Agustus 2006 , Halaman: 54

3) Sunarya Soerianata, William Sanjaya. Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut dengan


Revaskularisasi Non Bedah. Cermin Dunia Kedokteran No. 143, 2004

4) R.A. Nawawi, Fitriani, B. Rusli, Hardjoeno. NILAI TROPONIN T (cTnT) PENDERITA SINDROM
KORONER AKUT (SKA). Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3,
Juli 2006: 123-126

5) THOMASH. LEE, M.D.,ANDLEEGOLDMAN, M.D., M.P.H. EVALUATION OF THE PATIENT WITH


ACUTE CHEST PAIN. New England Medical Journal. 2000

6) Raymond J. Gibbons, M.D., and Valentin Fuster, M.D., Ph.D. Therapy for Patients with Acute
Coronary Syndromes —New Opportunities. New England Medical Journal. april 6, 2006

7) Kyuhyun Wang, M.D., Richard W. Asinger, M.D., and Henry J.L. Marriott, M.D. ST-Segment
Elevation in Conditions Other Than Acute Myocardial Infarction. New England Medical Journal. 2003

Anda mungkin juga menyukai