Anda di halaman 1dari 4

ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA DI ERA

REFORMASI INDONESIA
Oleh : Rachmat Bahmim Safiri,S.H.,M.Si

Widyaiswara Ahli Muda Badan Diklat Provinsi Kep Bangka Belitung

Potensi Disintegrasi

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dan memiliki keanekaragaman suku, agama, ras,
budaya, dan etnis, yang apabila disalahgunakan berpotensi menjadi pemicu masalah disintegrasi
nasional. Disintegrasi bermakna hilangnya keutuhan atau persatuan.

Bhinneka tunggal Ika merupakan istilah yang menggambarkan kondisi bangsa Indonesia yang
berbeda-beda tetapi tetap satu. Semangat persatuan dan kesatuan bangsa secara menyeluruh dan
utuh ini lah kunci melemahkan potensi konflik.

Indonesia saat ini sebagaimana sering digambarkan di media massa sedang dalam kondisi krisis
persatuan dan kesatuan dimana beberapa golongan dan individu lebih mementingkan kepentingan
pribadi dan kelompoknya daripada kepentingan umum maupun kepentingan masyarakat banyak
sehingga dapat berakibat menyebabkan timbulnya disintegrasi bangsa.

Sejak pertengahan 1997 terjadi krisis moneter yang disertai krisis ekonomi dan politik di Indonesia yang
membawa dampak positif maupun negatif terhadap masa depan politik Indonesia. Aspek positif dari
krisis tersebut adalah timbulnya gelombang tuntutan reformasi total khususnya di bidang politik,
ekonomi, dan hukum. Mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 telah memberikan kesempatan
emas bagi rakyat dan bangsa Indonesia untuk menata kembali sistem politik, ekonomi, dan hukum ke
arah yang lebih sehat, adil, dan demokratis. Kekhawatiran yang luas, baik di kalangan masyarakat,
intelektual, maupun kalangan pemerintah. Kekhawatiran itu tidak hanya bersumber dari tuntutan
pemisahan diri sebagian rakyat, tetapi juga lantaran maraknya kerusuhan sosial di beberapa kota besar
dan kecil akhir-akhir ini.

Konsep integrasi biasanya menunjuk pada upaya penyatuan berbagai kelompok masyarakat yang
berbeda-beda secara sosial, budaya, maupun politik ke dalam satu kesatuan wilayah untuk
membangun kesetiaan yang lebih besar dan bersifat nasional. Integrasi dipandang sebagai usaha
meniadakan kesetiaan curang dan ikatan-ikatan sempit dalam rangka membangun kesetiaan dan
ikatan yang lebih luas ke arah pembentukan identitas sosio-kultural dan politik yang bersifat nasional.
Selain itu, istilah integrasi sering juga dipergunakan untuk menunjuk pada upaya membangun suatu
otoritas atau kewenangan nasional; penyatuan pemerintah dengan yang diperintah; konsensus tentang
nilai-nilai kolektif; dan soal kesadaran setiap anggota masyarakat untuk memperkokoh ikatan di antara
mereka.

Nasionalisme yang melambangkan jati diri bangsa Indonesisa yang selama ini demikian kukuh, kini
mulai memperlihatkan keruntuhan. Asas persamaan digerogoti oleh ketidakadilan pengalokasian
kekayaan yang tak berimbang antara pusat dan daerah selama ini. Realitas kultural masyarakat,
terutama di tingkat lokal, misalnya kasus kerusuhan Ambon (yang merupakan “kelanjutan” dari
kerusuhan Ketapang dan Kupang), mencerminkan dengan jelas bahwa masalah integrasi yang tengah
dihadapi Indonesia tidak semata-mata integrasi yang bersifat vertikal, melainkan juga integrasi
horizontal.

Akibat manipulasi terus-menerus yang dilakukan oleh negara, kerusuhan 13-15 Mei 1998 berkembang
menjadi kerusuhan berbau rasial (anti Cina). Di Ambon dan Maluku pada umumnya, konflik dipertajam
oleh isu yang lebih sensitif lagi, yaitu agama Islam dan agama Kristen yang tumpang tindih dengan soal
kesenjangan sosial ekonomi antara penduduk asli dan para pendatang. Sementara di Sambas,
Kalimantan Barat, konflik etnis Madura dengan Melayu serta Dayak tumpang tindih dengan soal
kesenjangan sosial ekonomi diantara kedua kelompok etnik tersebut.

Pembelahan masyarakat secara kultural adalah realitas obyektif bangsa Indonesia yang tidak mungkin
ditiadakan. Ironisnya, upaya “peniadaan” sekat-sekat primordial itulah yang selalu diupayakan selama
sekitar 30 tahun Orde Baru melalui berbagai kebijakan yang sangat sentralistik, seragam, dan
memarjinalkan kontribusi faktor lokal. Oleh karena itu, integrasi dan stabilitas yang dicapai oleh rezim
Orde Baru sesungguhnya adalah integrasi dan stabilitas semu yang diraih melalui strategi kooptasi
atas elite lokal, represi terhadap aspirasi alternatif dari masyarakat, dan pemberian ganjaran ekonomi
serta kekuasaan bagi mereka yang mendukung tetap tegaknya otoritarianisme. Akibatnya, ketika
negara tak sanggup lagi membiayai dan mempertahankan otoritarianisme politik, maka harmoni dan
integrasi semu Orde Baru secara berangsur-angsur runtuh pula. Indonesia akan disintegrasi atau tidak
akan menimbulkan pro dan kontra tergantung dari sudut pandang yang digunakan.

Reformasi sudah berjalan bertahun-tahun. Ada yang berpendapat, bahkan rakyat kecil sudah mulai
menilai bahwa kehidupan di masa Orde Baru lebih baik dibandingkan dengan saat ini. Pandapat rakyat
tersebut terjadi karena hanya dilihat dari sudut pandang harga kebutuhan pokok sehari-hari dan itu
tidak salah karena hanya satu hal tersebut yang ada dibenak mereka. Kemudian ada kelompok
masyarakat yang selalu menuntut kebebasan, dan oleh kelompok yang lain dikatakan sudah
kebablasan. Kemudian timbul kembali pertanyaan apa itu reformasi? Yang jelas bangsa Indonesia
semua menginginkan kehidupan yang lebih baik melalui reformasi setelah hidup di era Orde Baru.

Konflik bermunculan

Runtuhnya rezim Orde Baru segera diikuti dengan munculnya konflik kekerasan di berbagai wilayah
Indonesia, baik dalam dimensi vertikal maupun horizontal yang seakan menemukan momentumnya
pada saat bangunan kebangsaan sedang goyah. Stabilitas nasional yang menjadi jargon selama lebih
dari 30 tahun justru menemukan antitesisnya ketika kemarahan dan kebencian berakumulasi menjadi
amuk massa. Penyebab timbulnya konflik sangat kompleks dan kadang telah memiliki akar-akar
sejarah yang panjang. Konflik horizontal dan vertikal pasca Orde Baru menjadi catatan sejarah hitam
negeri ini. Ribuan nyawa anak negeri terenggut dan destruksi massa yang ditimbulkan oleh konflik-
konflik tersebut telah memberi pelajaran berharga bahwa negeri yang selalu membanggakan
kemajemukan ini ternyata masih teramat rapuh. Integrasi lebih merupakan sebuah jargon politik
ketimbang kenyataan.
Mencermati perkembangan kasus Tolikara 17 Juli adalah hal yang menarik. Tidak saja melihatnya
sebagai persoalan hukum yang perlu diusut dan ditindak. Melainkan ada beraneka perspektif seputar
persoalan menyeruak ke permukaan dengan respon meluas itu yang bernuansa politis, ekonomi, dan
SARA. Dimana kasus ini sebenarnya mengantarkan kita pada pemahaman bahwa ada proses
sebelumnya yang melatar belakangi dan akan berujung pada target tertentu. Terutama dalam
memahami kedudukan saudara kita kaum muslimin Tolikara yang menjadi korban saat menunaikan
ibadah sholat Idul Fitri dalam peta pusaran persoalan Papua. Isu Papua merupakan isu yang mendunia.
Peristiwa pelanggaran HAM yang dilakukan anggota TNI, kerusuhan pekerja PT Freeport, peperangan
antar suku, bahkan sentimen agama sering mewarnai Papua. Tak ayal perhatian dunia tertuju kepada
Papua. Mengingat Papua, bumi yang kaya sumber daya alam, sementara sumber daya manusia masih
di bawah rata-rata. Kemiskinan dan keterbelakangan kerap menerpa penduduk Papua. Terutama
penduduk asli di Papua.

Internasionalisasi isu Papua bahkan sudah lama terjadi. Isu Papua merdeka pernah dijadikan pidato
calon Perdana Mentri Papua New Guinea (PNG) yaitu Powes Parkop. Ketika Pidato, Powes berjanji
akan mendukung perjuangan Free West Papua. Bahwa dalam kampanye untuk pemilihan Perdana
Mentri di PNG tahun 2012, ia berjanji lebih berfokus pada masalah-masalah yang dihadapi bangsa
Melanesia (termasuk di Papua Barat). Ia meminta kepada seluruh lapisan masyarakat untuk
mendukung semua perjuangan OPM yang ada di seluruh kepulauan Pasific. Powes juga hadir di
Canberra, Australia 28 Pebruari 2012 dalam acara peluncuran Kaukus Parlemen se-Asia Pasifik
(IPWP) untuk mendukung gerakan separatis Papua. Jika diamati secara mendalam maka upaya
disintegrasi Papua adalah peristiwa penting diantaranya. Sebuah peristiwa dengan beberapa hal yang
melingkupinya. Pertama, runtutan sejarah Papua. Kedua, tokoh, organisasi dalam negeri maupun luar
negeri yang mendukung disintegrasi. Ketiga, motif ekonomi-politik. Keempat, sentimen keagamaan.

Sikap Pemerintah

Cara tepat untuk mengukur seberapa kadar persoalan Tolikara adalah dengan melihat sikap
pemerintah terhadap kasus ini. Belakangan nampaknya baik Jokowi, JK, BIN, Kapolri maupun
Panglima TNI mengeluarkan statement atau instruksi bernada sama yakni pentingnya membangun
komunikasi antar agama terutama umat islam agar tidak terpancing maupun terprovokasi dengan
kasus tersebut.

Dengan memberikan kepercayaan sepenuhnya terhadap penegak hukum untuk mengusut dan
menindaknya. Kapolri sudah menyampaikan terdapat 37 orang yang diduga terlibat. Bahkan Budi
Waseso sampaikan bahwa perdamaian antara kedua belah pihak menjadi ujung penyelesaiannya.
Sekalipun sebelumnya BIN melalui kepalanya Sutiyoso mensinyalir adanya dugaan campur tangan
asing dimana jauh hari sebelumnya pada tanggal 11 Juli sudah diberitahukan kemungkinan terjadinya
kasus tersebut. Himbauan tidak terpancing atau terprovokasi tersebut diikuti pula oleh permohonan
maaf dari PGI (Persatuan Gereja Indonesia) yang merasa tidak merestui edaran pelarangan ibadah
sholat Idul Fitri dari GIDI berafiliasi dengan Israel itu. Didukung pula nada yang sama dari MUI untuk
tidak terpancing. Alhasil semuanya sepakat bahwa penting menjaga kerukunan antar umat beragama
namun menyisakan pertanyaan besar bagaimana dan seberapa jauh adanya dugaan kepentingan
asing berada di balik kasus tersebut sebagaimana yang disinggung oleh Kepala BIN.

Bangka Belitung

Sebagai daerah yang berkembang tentunya mempunyai peluang untuk berusaha dalam berbagai mata
pencaharian tidak tertutup kemungkinan terjadinya gesekan sosial, budaya ekonomi antara pendatang
dengan pribumi, pendatang dengan pendatang yang tidak bisa menempatkan dirinya “dimana bumi
dipijak disitu langit dijunjung”. kondisi kehidupan masyarakat banyak bergelut di mata pencaharian
timah yang dikenal dengan TI (Tambang Inkonvensional ), sudah kesekian kali konflik terjadi baik
mengakibatkan korban harta, nyawa dan luka-luka, pertikaian demi pertikaian selalu muncul tanpa henti
hanya berhenti sesaat walaupun prosentasenya belum tinggi tapi harus diwaspadai, selain itu konflik
internal dan ekternal agama juga mulai mencuat.
Catatan konflik antara lain :

Madura vs Flores Madura vs Pribumi Flores vs Pribumi Selapan vs Pribumi

Ahmadiyah vs
Sumsel vs Pribumi Bugis vs Selapan Buton vs KIP
Masyarakat

LDII vs Masyarakat Konghucu vs Taoisme Pribumi vs Pribumi Jawa vs Pribumi

Dengan demikian bangsa ini sudah mendekati kesimpulan bahwa disintegrasi memiliki makna yang
hampir sama dengan kata separatism, tapi separatisme lebih ditujukan kepada gerakan
pemberontakan suatu wilayah untuk melepaskan diri dari kesatuan sebuah Negara. Disintegrasi harus
dicegah mulai dari sekarang, misalnya dengan dimulai dari diri sendiri, melakukan penanganan yang
cepat atas potensi disintegrasi, tetapi tidak gegabah dan bersikap adil.

Referensi :

 http://www.kompasiana.com/asepmarsel/potensi-disintegrasi
 http://www.arrahmah.com/rubrik/tolikara-simpul-disintegrasi

Anda mungkin juga menyukai