Anda di halaman 1dari 106

ISSN: 2087-913X

JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA


Tahun III, Nomor 1, Januari 2016

Hyronimus Lado, dkk


Penggunaan Media Bungkus Rokok untuk Memahamkan Konsep Barisan dan Deret
melalui Pendekatan RME

Izza Nur Hayati, dkk


Berpikir Pseudo Siswa dalam Memecahkan Masalah PISA.

Rachmadania Akbarita, dkk


Interaksi Guru dan Siswa Kelas VII untuk Membantu Memahami Konsep Transformasi

Ani Afifah, dkk


Penerapan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Penalaran Matematika
Siswa

Hellda Evanty, dkk


Proses Berpikir Siswa dalam Menyelesaikan Permasalahan pada Materi Trigonometri

Eka Resti Wulan, dkk


Kesulitan Mahasiswa dalam Mengontruksi Bukti dan Scaffolding-nya

Alfiani Athma Putri Rosyadi


Pembelajaran Berbasis Portofolio pada Materi Fungsi Gama di Jurusan Pendidikan
Matematika Universitas Muhammadiyah Malang

Zainal Abidin dan Sikky El Walida


Pengembangan Model Interactive e-book Bidang Geometri Analitis untuk Membangan
Budaya Belajar Mandiri dan Kompetensi Mahasiswa Program Pendidikan Matematika

Muhammad Irfan
Pemanfaatan Gadget dalam Pembelajaran Matematika serta Pengaruhnya pada
Mahasiswa yang Mengalami Math-Anxiety di Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa
pada Matakuliah Persamaan Differensial

Warli
Problematika Masalah Pembuktian pada Matakuliah Struktur Aljabar

Epon Nur’aeni dan Ika Fitri Apriani


Analisis Proses Berpikir Aljabar Siswa Sekolah Dasar,Guru Sekolah Dasar, dan
Mahasiswa Calon Guru Sekolah Dasar pada Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

Lathiful Anwar
Bagaimana Membelajarkan Aljabar Linier

Gatot Muhsetyo
Mengembangkan Masalah Sederhana Mencari Luas Bangun Datar menjadi Masalah
Open-Ended Konseptual

Saiful Arif, dkk


Level Berpikir Probabilistik Siswa SMP dalam Mengonstruksi Konsep Peluang
Berdasarkan Teori APOS

JURNAL
Malang, ISSN:
PEMBELAJARAN Tahun III No.1 Hal. 1-102
Januari 2016 2087-913X
MATEMATIKA
ISSN: 2087-913X

JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA


Tahun III, Nomor 1, Januari 2016

Terbit dua kali setahun berisi tulisan ilmiah tentang pembelajaran matematika dalam bentuk: • temuan
penelitian • pengalaman praktis pembelajaran matematika • kajian kepustakaan • gagasan konseptual • klinik
matematika atau • rekreasi matematika

Ketua Penyunting
Erry Hidayanto

Wakil Ketua Penyunting


Edy Bambang Irawan

Penyunting Pelaksana
Indriati Nurul Hidayah
Tri Hapsari Utami
Abdul Qohar
Syaiful Hamzah Nasution

Mitra Bebestari
Rochmad (UNNES)
Imam Sujadi (UNS)
I Gusti Putu Suharta (UNDIKSA)
Gatot Muhsetyo (UM)
I Nengah Parta (UM)
Subanji (UM)

Alamat Penyunting dan Tata Usaha: Jurusan Matematika FMIPA UNIVERSITAS NEGERI MALANG.
JL. Semarang 5 Malang 65145 Gedung O7(Gedung Matematika). Telepon (0341) 552182 (langsung). Email:
jurnal.matematika.fmipa@um.ac.id. Fax. (0341) 552182. Harga langganan Rp. 25.000,00 per-eksemplar
ditambah ongkos kirim.
JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA diterbitkan oleh Jurusan Matematika Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang di bawah pembinaan Tim Pengembang Jurnal
Universitas Negeri Malang. Dekan: Markus Diantoro. Ketua Jurusan: Sudirman.
Penyunting menerima sumbangan tulisan yang belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain. Naskah
diketik di atas kertas HVS ukuran A4 spasi ganda sepanjang kurang lebih 20 halaman, dengan format seperti
tercantum pada Petunjuk bagi Penulis di bagian belakang jurnal ini. Naskah yang masuk dievaluasi dan
disunting untuk keseragaman format, istilah, dan tata cara lainnya.
JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Tahun III, Nomor 1, Januari 2016

Hyronimus Lado, Penggunaan Media Bungkus Rokok untuk Memahamkan Konsep Barisan dan 1–9
Gatot Muhsetyo, Deret Melalui Pendekatan RME
Sisworo

Izza Nur Hayati, Berpikir Pseudo Siswa dalam Memecahkan Masalah PISA. 10 – 15
Subanji, Abdul Qohar

Rachmadania Interaksi Guru dan Siswa Kelas VII untuk Membantu Memahami Konsep 16 – 21
Akbarita, Sri Mulyati, Transformasi.
Santi Irawati

Ani Afifah, I Nengah Penerapan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Penalaran 22 – 28
Parta, Tjang Daniel Matematika Siswa Kelas X SMK Kesehatan Al-Yasini Pasuruan
Chandra

Hellda Evanty Proses Berpikir Siswa dalam Menyelesaikan Permasalahan pada Materi 29 – 33
Ariefia, Abdur Trigonometri.
Rahman As’ari, Hery
Susanto

Eka Resti Wulan, Kesulitan Mahasiswa dalam Mengontruksi Bukti dan Scaffolding-nya 34 – 45
Subanji, Makbul
Muksar.

Alfiani Athma Putri Pembelajaran Berbasis Portofolio pada Materi Fungsi Gama di Jurusan 46 – 49
Rosyadi Pendidikan Matematika Universitas Muhammadiyah Malang

Zainal Abidin, Sikky Pengembangan Model Interactive e-book Bidang Geometri Analitis untuk 50 – 54
El Walida Membangan Budaya Belajar Mandiri dan Kompetensi Mahasiswa Program
Pendidikan Matematika

Muhammad Irfan Pemanfaatan Gadget dalam Pembelajaran Matematika serta Pengaruhnya pada 55 – 60
Mahasiswa yang Mengalami Math-Anxiety di Universitas Sarjanawiyata Taman
Siswa pada Matakuliah Persamaan Differensial

Warli Problematika Masalah Pembuktian pada Matakuliah Struktur Aljabar 61 – 68

Epon Nur’aeni, Ika Analisis Proses Berpikir Aljabar Siswa Sekolah Dasar, Guru Sekolah Dasar, 69 – 78
Fitri Apriani dan Mahasiswa Calon Guru Sekolah Dasar pada Pembelajaran Matematika di
Sekolah Dasar

Lathiful Anwar Bagaimana Membelajarkan Aljabar Linier 79 – 84

Gatot Muhsetyo Mengembangkan Masalah Sederhana Mencari Luas Bangun Datar menjadi 85 – 91
Masalah Open-Ended Konseptual

Saiful Arif, Subanji, Level Berpikir Probabilistik Siswa SMP dalam Mengonstruksi Konsep Peluang 92-102
Makbul Muksar Berdasarkan Teori APOS
PENGGUNAAN MEDIA BUNGKUS ROKOK
UNTUK MEMAHAMKAN KONSEP BARISAN DAN DERET
MELALUI PENDEKATAN RME

Hyronimus Lado1), Gatot Muhsetyo2), Sisworo3)


1)SMPN Satu Atap Ilewutung Kabupaten Lembata, 2,3)Pascasarjana Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang
herilengari@rocketmail.com

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan pembelajaran menggunakan media
bungkus rokok untuk memahamkan konsep barisan dan deret melalui pendekatan RME. Jenis penelitian
ini adalah penelitian tindakan kelas yang terdiri dari dua siklus. Subyek penelitian ini adalah 14 siswa
kelas IX SMPN Satu Atap Ilewutung, yang terdiri dari 6 laki-laki dan 8 perempuan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa usaha yang dilakukan guru telah tercapai pada siklus II. Langkah-langkah
pendekatan RME yang dapat memahamkan siswa pada materi barisan dan deret berbantuan media
bungkus rokok meliputi: apersepsi, mengelompokkan siswa, memberikan kesempatan kepada siswa untuk
membaca dan memahami masalah dalam LKS, menyelesaikan masalah dengan menyusun bungkus rokok,
memfasilitasi kegiatan membandingkan dan mendiskusikan jawaban melalui, mengadakan evaluasi, dan
menuliskan hasil diskusi. Persentase hasil tes secara klasikal yang mendapat skor minimal 60 adalah
71,43% pada siklus I dan 92,86% pada siklus II, persentase hasil observasi aktivitas guru dan siswa
berturut-turut pada siklus I adalah 73,22% dan 74,41%, dan pada siklus II secara berturut-turut adalah
83,03% dan 84,82%. Sedangkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap 3 (tiga) responden yaitu 1
siswa pada siklus I dan 2 siswa pada siklus II dinyatakan dapat memahami materi barisan dan deret.

Kata kunci: Media Pembelajaran, Pemahaman Konsep, Pendekatan RME, Barisan dan Deret

Matematika dianggap sebagai salah satu pembe- pada guru, dimana siswa hanya dilatih untuk me-
lajaran yang sulit dan membosankan bagi siswa, ka- lakukan perhitungan matematika dengan rumus yang
rena melibatkan banyak rumus. Menurut Wijaya tidak pernah diketahui dari mana asalnya. Murray
(2012) matematika sering dianggap siswa sebagai (2011:276) mengungkapkan bahwa berkurangnya
salah satu mata pelajaran yang sulit. Supriadi (2008) partisipasi siswa dalam pembelajaran matematika
menyatakan bahwa pelajaran matematika masih di- disebabkan oleh pembelajarannya yang tidak me-
anggap sebagai salah satu mata pelajaran yang sulit narik.
dan pada umumnya siswa mempunyai anggap-an Pembelajaran yang berpusat pada guru me-
bahwa matematika merupakan pelajaran yang tidak nyebabkan pemahaman siswa terhadap konsep-kon-
disenangi. Smith (2010) menyatakan bahwa hal-hal sep matematika lebih cepat dilupakan. Menurut
negatif muncul pada diri siswa ketika belajar ma- Prahmana (2010) belajar matematika siswa belum
tematika, berupa alasan cemas. Sehingga guru perlu bermakna, sehingga pengertian siswa tentang konsep
menyadari bahwa setiap murid tidak selamanya suka sangat lemah. Howard & Jones (2002) berpendapat
matematika. bahwa untuk meningkatkan pemahaman konsep
Banyak faktor yang menyebabkan siswa ber- siswa dalam pembelajaran matematika di kelas, ma-
anggapan matematika adalah pelajaran yang sulit ka guru perlu memilih strategi yang tepat. Brown, et
dan membosankan, dan salah satunya adalah cara al. (2008) menyatakan bahwa pemahaman siswa
mengajar guru yang belum sesuai. Menurut terhadap konsep matematika sangat rendah, karena
Darkasyi, dkk (2014), rendahnya hasil belajar itu dibutuhkan pendekatan yang tepat dalam proses
matematika bukan hanya disebabkan karena pembelajaran. Choppin (2011) berpendapat bahwa
matematika yang sulit, melainkan disebabkan oleh sangat diperlukan teori lokal dalam pembelajaran
beberapa faktor, yaitu siswa itu sendiri, guru, matematika, untuk meningkatkan pemahaman kon-
pendekatan pembelajaran, dan lingkungan belajar sep siswa. Darling, et al. (2009) berpendapat bahwa
yang saling berhubungan satu sama lain. Tilaar, et untuk meningkatkan partisipasi siswa maka, belajar
al. (2012) berpendapat bahwa prestasi belajar siswa harus berpusat pada siswa dan guru hanya sebagai
yang rendah disebabkan oleh sejumlah faktor yang fasilitator.
salah satunya adalah kompetensi guru yang tidak Berdasarkan pengalaman penulis sebagai sa-
memadai, dan hal ini merupakan masalah utama di lah satu staf pengajar di SMP Negeri Satu Atap
Kabupaten Lembata. Menurut Wijaya (2012), pem- Ilewutung, siswa kelas IX cenderung mengalami
belajaran matematika dalam kelas masih terpusat kesulitan ketika diberi masalah ataupun soal yang

1
2, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

berkaitan dengan pola, barisan, dan deret. Gambar 1 yang ada, hanya 1 siswa yang menjawab dengan
berikut ini merupakan soal tes, yang diberikan pada benar soal nomor 2. Sedangkan untuk soal nomor 1,
siswa di akhir Oktober 2014 lalu. Dari 14 siswa semua mereka tidak memahami arti kata selisih.

1) Tentukan suku pertama dan selisih setiap suku berurutan dari barisan berikut –
10, –8, –6, –4, –2, 0, ..., ....
2) Tentukanlah tiga bilangan berikutnya dan berikan alasanmu dari masing-masing
pola bilangan berikut ini!
a. 8, 16, 24, 32, ..., ..., ...
b. 1, 5, 25, 125, ... , ..., ...
c. 64, 32, 16, 8, ... , ..., ...

Gambar 1. Soal Tes

Upaya untuk menciptakan suasana belajar sikap positif anak dan pemahaman, serta aktivitas
bermakna yang dapat meningkatkan pemahaman dalam pembelajaran matematika. Mulbar (2012)
konsep matematika siswa, maka dibutuhkan suatu menyimpulkan bahwa dengan pendekatan RME,
model pembelajaran yang efektif dan sesuai tujuan siswa senang terhadap suasana pembelajaran di
pembelajaran yang telah ditetapkan. Choppin (2011) kelas dan dapat meningkatkan hasil belajar mate-
berpendapat bahwa pentingnya teori lokal dalam matika. Rosyadah, et al. (2013) menyimpulkan bah-
konteks tertentu yang menyebabkan pemahaman wa pendekatan RME membuat kelas menjadi efektif
siswa lebih meningkat, namun tidak terlepas dari dan melatih penalaran siswa.
teori-teori yang telah dikemukan seperti teori Bruner Pemahaman siswa yang baik terhadap suatu
yang menekankan pada konstruktivisme. Fujita and konsep matematika tertentu, perlu membutuhkan
Yamamoto (2011) berpendapat bahwa dalam pem- benda-benda konkrit atau manipulatif yang dapat
belajaran matematika dibutuhkan pendekatan yang membantu pemahamannya, sehingga nantinya ber-
real dengan kehidupan nyata siswa. Domite (2004) tahan lebih lama dalam ingatan mereka. Menurut
menyimpulkan bahwa dalam proses pembelajaran Subanji (2013) dalam pembelajaran matematika
guru perlu mengaitkan matematika dengan ke- sangat penting untuk menekankan media (peraga)
hidupan sehari-hari. Ling, et al. (2004) menyim- untuk mengembangkan pemahaman siswa. Asyhar
pulkan bahwa menghubungkan matematika dengan (2012:27) berpendapat bahwa, media memiliki peran
dunia nyata melalui masalah autentik, menyebabkan dan fungsi strategi yang secara langsung maupun tak
lingkungan belajar yang lebih baik. Matang and langsung dapat mempengaruhi motivasi, minat dan
Owens (2004) menyimpulkan bahwa belajar mate- atensi peserta didik dalam belajar serta mampu
matika lebih efektif dan bermakna jika dimulai dari memvisualisasikan materi abstrak yang diajarkan
lingkungan siswa sendiri (lingkungan sosial dan sehingga memudahkan peserta didik. Nunokawa
lingkungan alam). Beberapa model pembelajaran (2006) menyimpulkan bahwa dengan media gambar
yang dimaksud antara lain: 1) model pembelajaran memungkinkan seseorang untuk menemukan pola.
koperatif, 2) strategi REACT, 3) CTL (Contextual Liao & Shih (2013) dan Tengah (2011) menge-
Teaching and Learning), 4) pendekatan Realistic mukakan pendapat bahwa media sudoku dapat
Mathematics Education (RME), 5) PBL (Problem meningkatkan kreatifitas siswa dalam berpikir.
Based Learning). Pemanfaatan media bungkus rokok dalam
Realistic Mathematics Education (RME) pembelajaran di kelas nantinya, dimulai dengan: (1)
adalah salah satu pendekatan pembelajaran untuk guru memberikan masalah yang berkaitan dengan
menciptakan suasana belajar yang bermakna dan konsep barisan dan deret (level konteks), (2) pada
dapat meningkatkan pemahaman konsep matematika tahap berikut, dengan memanfaatkan bungkus-
siswa. Pendekatan pembelajaran ini dikembangkan bungkus rokok yang disusun sendiri oleh siswa
di Belanda oleh Institut Freudenthal berdasarkan sehingga membentuk pola seperti masalah yang
pandangan Hans Freudenthal yang menempatkan diberikan. Melalui pola yang terbentuk, siswa diha-
matematika sebagai suatu bentuk aktivitas manusia rapkan dapat menghitung banyaknya bungkus rokok
(mathematics as a human activity). Menurut Alam yang dibutuhkan pada pola yang telah ditentukan
(2012), pendekatan realistik mampu meningkatkan oleh guru dengan strateginya masing-masing (level
sikap positif siswa, sebab mereka dilatih untuk pemodelan). Memanfaatkan strategi yang dibuat
berdiskusi dan bertukar pikiran dan dapat siswa, kemudian mereka diarahkan untuk membuat
mengkomunikasikan hasil pemikiran dalam bentuk kesimpulan tentang konsep barisan dan deret, (3)
presentasi kelas. Tandililing (2010) menyimpulkan konsep yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya,
bahwa, pendekatan RME dapat mengembangkan selanjutnya digunakan untuk menyelesaikan masalah
Lado, dkk, Penggunaan Media Bungkus Rokok untuk Memahamkan Konsep Barisan dan Deret, 3

tentang barisan bilangan yang diberikan (level laksanaan pembelajaran (RPP), 2) lembar kerja sis-
formal), dan diharapkan siswa mempunyai penger- wa (LKS), 3) lembar tes, 4) lembar observasi aktivi-
tian yang kuat tentang konsep barisan dan deret. tas guru dan siswa, 5) lembar pedoman wawancara.
Rumusan masalah dalam penelitian ini ialah Perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian
bagaimana pembelajaran dengan pendekatan RME yang digunakan, terlebih dahulu divalidasi sebelum
menggunakan media bungkus rokok yang dapat digunakan dalam penelitian.
memahamkan konsep barisan dan deret?. Di setiap akhir siklus dilaksanakan tes untuk
mengetahui pemahaman siswa pada konsep barisan
METODE PENELITIAN dan deret aritmetika. Bentuk tes berupa soal uraian
yang terdiri dari 6 nomor. Hasil pekerjaan siswa
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas pada tes pemahaman konsep berdasarkan pedoman
model Kemmis & Mc Taggart (dalam Emzir, 2012) penskoran disajikan pada Tabel 1.
dengan subyek penelitiannya adalah 14 siswa kelas
IX SMPN Satu Atap Ilewutung, yang terdiri dari 6 Tabel 1. Pedoman Penskoran
laki-laki dan 8 perempuan. Penelitian ini terdiri dari Deskriptor Skor
dua siklus yang meliputi, perencanaan (planning),
tindakan (action), observasi (observation), dan re- Tidak menuliskan apa-apa 0
fleksi (reflection). Tahap tindakan dilaksanakan ber- Jawaban Salah 1
samaan dengan tahap observasi karena tindakan Jawabannya Kurang Sempurna 2
Jawabannya Sempurna 3
guru selama pembelajaran diamati.
Data yang dikumpulkan meliputi, data
validasi perangkat pembelajaran dan instrumen HASIL DAN PEMBAHASAN
penelitian, data keterlaksanaan pembelajaran, data
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus.
pemahaman konsep, dan data wawancara. Pengum-
Materi yang disampaikan ialah materi barisan dan
pulan data dilakukan dengan cara mengobservasi
deret aritmetika meliputi, pola bilangan, barisan arit-
tindakan guru dan respon siswa selama pem-
metika, dan deret aritmetika. Kegiatan siklus I yang
belajaran. Proses pengamatan dilakukan oleh 2
dilakukan pada tahap ini adalah melaksanakan
orang observer dengan mengisi lembar observasi
pembelajaran sesuai dengan RPP yang telah dibuat
aktivitas guru dan siswa. Di akhir siklus dilakukan
sebelumnya. Kegiatan ini direncanakan sebanyak 4
tes untuk mengukur pemahaman konsep siswa.
(empat) kali pertemuan. Berikut akan diuraikan sa-
Bentuk tes berupa soal uraian yang terdiri dari 6
lah satu contoh kegiatan pembelajaran di kelas.
nomor. Wawancara dilakukan pada akhir per-
Pertemuan pertama, kegiatan pendahuluan se-
temuan terhadap 14 siswa, untuk mengetahui ke-
bagai apersepsi untuk menggali pengetahuan awal
senangan mereka terhadap pembelajaran dengan
siswa tentang gambar berpola, guru meminta siswa
pendekatan RME. Selain untuk mengetahui kese-
untuk menunjukkan salah satu ubin sebagai susunan
nangan siswa, wawancara juga dilakukan terhadap 3
pertama. Setelah ditunjukkan siswa, guru kemudian
siswa yang nilainya rendah, terutama siswa yang
memberikan susunan ke-2, dan meminta seorang
paling banyak melakukan kesalahan konseptual
siswa yang lain untuk menentukan susunan ke-3
berdasarkan hasil tes.
disajikan pada Gambar 2.
Perangkat pembelajaran dan instrumen yang
digunakan selama penelitian meliputi: 1) rencana pe-

3 3 3 3 3

3 2 2 2 3

3 2 1 2 3

3 2 2 2 3

3 3 3 3 3

Gambar 2. Susunan Ubin


4, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Susunan 1 Susunan 2 Susunan 3

Gambar 3. Susunan Bata

Berikut beberapa pertanyaan guru: G : coba perhatikan ada berapa bata pada
- Berapa banyak ubin pada susunan ke-1, ke-2, susunan pertama?
dan ke-3? LH : Ada 1 pak
- Dapatkah kalian membuat susunan ke-4, ke-5, G : Ok, berikutnya! Ada berapa bata pada
dan seterusnya? susunan kedua?
- Adakah keteraturan yang terbentuk antara LH : 3 pak
susunan yang berdekatan? G : Nah jika pada susunan pertama terdapat 1
Pertanyaan terakhir sebenarnya bata, maka susunan kedua tinggal
memancing siswa agar dapat menemukan rumus ditambahkan berapa bata lagi?
atau formula untuk menyatakan banyaknya ubin LH : (diam)
pada susunan ke-n, namun siswa belum bisa G : Coba buat susunan pertama (setelah
menentukan rumus yang dibuat LH) lanjutkan dari susunan
diminta. Guru kemudian meminta siswa untuk pertama untuk membuat susunan kedua.
me-nempati kelompoknya masing-masing, dan Ditambahkan berapa bungkus rokok lagi?
mem-bagikan LKS. YT : 2 pak
Kegiatan inti diawali dengan memahami G : Iya, benar. Sehingga 3 itu dijabarkan
ma-salah. Pada tahap ini, guru meminta siswa menjadi 1+2.
untuk membaca dan memahami masalah yang LH : Oh iya pak
diberikan dalam LKS. Masalahnya berupa
gambar susunan bata, dan siswa diminta untuk Pada tahap ketiga membandingkan dan
menemukan satu formula yang berlaku untuk mendiskusikan jawaban, guru mempersilahkan
menentukan banyaknya bata pada setiap susunan perwakilan kelompok untuk mepresentasikan ha-
seperti salah satu gambar pada masalah 1 sil jawaban kelompoknya berdasarkan hasil un-
disajikan pada Gambar 3. dian. Satu kelompok diwakili oleh 2 orang,
Pada tahap kedua menyelesaikan dimana salah satu dari mereka akan menulis serta
masalah, guru memberikan kesempatan kepada menjelaskan hasilnya, dan yang lain mem-
siswa dalam kelompoknya masing-masing untuk praktekan penyusunan-nya. Saat presentasi
menyelesaikan masalah tersebut dengan bantuan kelompok 2 tidak ada pertanya-an yang muncul
media bungkus rokok yang telah mereka himpun. dari siswa, sehingga guru memberikan per-
Bungkus rokok tadi digunakan untuk tanyaan untuk mengundang siswa berpikir
memodelkan masalah yaitu menyusun bungkus mengapa 1+2+3+4 dapat dijabarkan menjadi
rokok menyerupai gambar yang diberikan. Disaat ½×4×5 dan menuntun siswa untuk mengetahui-
memodelkan masalah, siswa juga diminta untuk nya melalui tanya jawab.
melengkapi tabel yang dapat meng-arahkan Pada tahap keempat membuat kesimpulan,
mereka untuk menemukan formula yang guru mengarahkan siswa untuk membuat ke-
dimaksud. Tabel yang dimaksudkan tertuang simpulan dengan tanya jawab seperti masalah 1,
pada Tabel 2. dimana keteraturannya dapat diperoleh dengan
Pada mulanya siswa mengalami kesulitan melihat penambahan bata pada setiap susunan
menyelesaikannya. Guru (G) dan siswa kelom- misalnya, susunan ke-2 diperoleh dari 1 bata
pok 1 (nama inisial LH, YT, dan MVS) mela- pada susunan ke-1 tambah 2 bata. susunan ke-3
kukan diskusi sebagai berikut. diperoleh dari 3 bata pada susunan ke-2 tambah 3
LH : susunan keempatnya bagaimana pak? bata, dan seterusnya. .

Tabel 2. Bantuan untuk Menyelesaikan Masalah 1


Susunan ke ... Banyaknya Bata Penjabaran
1 1 1 ½×1×2
2 3 1+2 ½×...×...
3 6 ...+...+... ½×...×...
... ... ... ½×...×...
n ... ... ½×...×...
Lado, dkk, Penggunaan Media Bungkus Rokok untuk Memahamkan Konsep Barisan dan Deret, 5

Dengan demikian dapat diperoleh keteraturannya berdasarkan hasil tes pada siklus sebelumnya
yaitu 1, 1+2, 1+2+3, 1+2+3+4, … atau dapat yaitu, dalam satu kelompok terdiri dari siswa
dihitung dengan menggunakan rumus ½n(n+1). berkempuan tinggi, sedang, dan rendah.
Selanjutnya untuk susunan ke-1, susunan ke-2, ... Pelaksanaan tes untuk siklus II dilakukan
dapat dinyatakan dengan suku ke-1, suku ke-2, ... pada pertemuan ke-7. Berdasarkan hasil tes,
yang dilambangkan dengan U1, U2, U3, .., Un. peneliti kemuadian melakukan penelusuran
Pada kegiatan penutup guru memberikan terhadap ke-salahan-kesalahan konseptual yang
penekanan mengenai apa yang telah dipelajari dilakukan siswa. Ada beberapa kesalahan konsep
seperti masalah 1 yaitu, pola bilangan yang ter- yang masih dilakukan siswa: (a) seorang siswa
bentuk merupakan pola bilangan yang dikenal belum dapat membedakan barisan aritmetika dan
dengan segitiga. bukan barisan aritmetika, (b) siswa yang sama
Pelaksanaan tes pemahaman siswa masih keliru menentukan nilai a dan b dalam
terhadap konsep barisan dan deret dilakukan pada Un=a+(n-1)b walapun Ia mampu membuat
pertemuan keempat. Soal tes ini berbentuk uraian keteraturan dengan benar. Gambar 5 berikut
yang terdiri dari enam butir soal. Selanjutnya menunjukkan beberapa kesalahan konseptual
jawaban siswa diskor berdasarkan rubrik pen- yang dilakukan siswa saat menyelesaikan soal
skoran pemahaman konsep. tes.
Berdasarkan hasil tes, peneliti kemudian Pada penelitian ini umumnya setiap
melakukan penelusuran terhadap kesalahan- pertemu-an terbagi dalam tiga tahap, yaitu
kesalahan konseptual yang dilakukan siswa. Ada pendahuluan, inti, dan penutup. Tahap
beberapa hal yang perlu ditekankan dan menjadi pendahuluan merupakan tahap awal untuk
perhatian guru pada siklus berikutnya sebagai mempersiapkan siswa agar benar-benar ingin
berikut: (1) siswa kurang tepat dalam membuat belajar. Pada tahapan ini, guru mengkondisi-kan
keteraturan, (2) siswa belum dapat membedakan siswa untuk duduk sesuai dengan kelompoknya
barisan aritmetika dan bukan barisan aritmetika, masing-masing, menyampaikan tujuan
(3) siswa belum mampu menentukan nilai b pembelajaran agar siswa mengetahui arah yang
(beda) dalam suatu barisan bilangan, (4) siswa ingin dicapai dalam pembelajaran, dan apersepsi
belum memahami n yang dimaksudkan dalam melalui tanya jawab untuk menggali pengetahuan
Un=a+ b(n-1), (5) siswa belum dapat awal siswa ter-hadap materi yang akan dipelajari.
membedakan penggunaan rumus Un dan Sn, (6) Tahap inti dimulai dengan memahami
siswa belum mampu menentukan suku-suku yang masalah yang sebelumnya telah diberikan dalam
membentuk suatu barisan bilangan berdasarkan bentuk LKS yang berisi tentang permasalahan-
rumus suku ke-n, (7) siswa yang mampu permasalahan yang diharapkan dapat menuntun
menempatkan letak suku ke-n dalam suatu siswa untuk memahami materi barisan dan deret.
barisan bilangan, (8) siswa belum dapat membe- Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi LKS yang
dakan antara suku pertama, dan jumlah n suku dikemukakan oleh Prastowo (2011) bahwa, LKS
pertama. Gambar 4 menunjukkan be-berapa sebagai bahan ajar yang mempermudah peserta
kesalahan konseptual yang dilakukan siswa saat didik untuk memahami materi yang diberikan.
menyelesaikan soal tes. Langkah-langkahnya dibuat dalam bentuk tabel,
Pada siklus II, peneliti merencanakan yang diharapkan dapat menuntun siswa untuk
tindakan dalam 3 kali pertemuan, yaitu 2 menye-lesaikan masalah-masalah tersebut.
pertemuan sebagai pembelajaran dan 1 Dengan demi-kian, siswa membentuk
pertemuan sebagai tes akhir. Karena kembali pengetahuan mereka sendiri bersama dengan
menggunakan perangkat pem-belajaran yang kelompoknya secara aktif dengan bantuan LKS.
sama, maka tentunya akan ber-pengaruh terhadap Meskipun demikian, LKS tidak menuntun siswa
partisipasi siswa terutama siswa yang merasa secara mutlak. Sehingga perlu penjelasan lebih
mampu. Dengan demikian, guru me-lakukan lanjut dari guru, sebelum masalah-masalah
pemilihan kembali anggota kelompok tersebut diselesaikan.

Gambar 4. Kesalahan Konseptual yang dilakukan Siswa


6, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Gambar 5. Kesalahan Konseptual yang dilakukan Siswa

Tahapan selanjutnya adalah menyelesaikan media adalah alat bantu pembelajaran yang secara
masalah dengan cara memberikan kesempatan pada sengaja dan terencana disiapkan atau disediakan
siswa untuk berpikir dan menjawab permasalahan- untuk mempresentasekan dan/atau menjelaskan
permasalahan barisan dan deret yang terdapat dalam bahan pelajaran, serta digunakan siswa untuk terlibat
LKS. Sesuai dengan permasalahan yang dirancang langsung dengan pembelajaran matematika. Namun
dalam LKS, maka diharapkan alur berpikir siswa dalam proses pembelajaran, media sering digunakan
akan terarah. Pada tahapan ini, siswa diharapkan siswa untuk bermain disaat presentasi sedang
mampu menyelesaikan permasalahan yang diberikan berjalan.
berdasarkan apa yang diketahui. Ketika siswa meng- Tes dalam penelitian ini digunakan untuk
alami kesulitan dalam menyelesaikan masalah, maka memberikan informasi tentang konsep-konsep yang
siswa diberikan kesempatan untuk bertanya baik telah dipahami dan yang belum dipahami siswa. Tes
kepada teman sekelompok ataupun kepada guru. Hal tersebut dinamakan tes diagnostik sesuai dengan
ini didukung oleh pendapat Vigotsky (dalam pandangan Muslich (2010:106) bahwa tes diagnostik
Schunk, 2012) bahwa, pembelajaran berlangsung digunakan untuk mengetahui kesulitan belajar yang
ketika siswa bekerja dalam zone of proximal dihadapi peserta didik, termasuk kesalahan pe-
development (ZPD). mahaman konsep.
Setelah diskusi kelompok, kegiatan selanjut- Observasi aktivitas baik guru maupun siswa
nya adalah membandingkan dan mendiskusikan pada penelitian ini dilaksanakan pada saat pem-
jawaban, melalui presentasi hasil kerjanya di depan belajaran berlangsung. Hal ini sesuai dengan yang
kelas. Pada tahap ini, diberikan kesempatan kepada diungkap Kunandar (2013:118) bahwa pengamatan
perwakilan kelompok untuk mempresentasikan hasil atau observasi dilakukan untuk melihat sikap atau
kerja kelompoknya (soal yang dipresentasikan sesuai respon baik guru maupun siswa terhadap pem-
hasil undian). Hal ini diperlukan untuk dapat belajaran yang dilakukan. Hal senada diungkap
memupuk keberanian siswa dalam menyampaikan Muslich (2010:148) bahwa pengamatan dilakukan
pendapatnya. Langkah ini sangat diperlukan agar untuk melihat tingkah laku baik guru maupun siswa
siswa dapat menerima masukan dari orang lain, selama proses pembelajaran berlangsung. Aktivitas
selain itu menguji kemampuan siswa untuk mem- yang dilakukan siswa mengakibatkan terbentuknya
pertahankan pendapatnya jika menurut pendapat keterampilan dan pengetahuan yang mengarah pada
mereka benar. Dalam diskusi ini, memungkin-kan pemahaman konsep.
adanya pembenaran terhadap kesalahan yang Wawancara yang dilakukan pada penelitian
dilakukan oleh kelompok yang mempresentasikan. ini, selain untuk mengetahui kesenangan siswa
Jawaban yang salah, dikoreksi oleh kelompok lain terhadap pendekatan pembelajaran yang digunakan,
dengan cara bertanya atau memberi masukan. juga digunakan untuk mengetahui pemahaman siswa
Tahap yang terakhir adalah membuat kesim- terhadap konsep barisan dan deret yang dapat dilihat
pulan terhadap pembelajaran yang baru saja di- melaui hasil tes. Hal ini sesuai dengan pernyataan
lakukan. Guru perlu memastikan bahwa siswa me- Muslich (2010:60) bahwa wawancara sebagai alat
mahami materi yang baru saja dipelajari. Sebagai penilaian proses pembelajaran yang digunakan untuk
penutup, atas arahan dan bimbingan guru siswa memperoleh informasi dari peserta didik tentang
menuliskan hasil diskusinya sebagai simpulan akhir pendapat dan pandangannya terhadap kemampuan
pembelajaran. guru mengajar, bahan pelajaran yang diberikan oleh
Alasan pemilihan media bungkus rokok yang guru, alat bantu pembelajaran, kegiatan belajarnya,
digunakan dalam pembelajaran ini adalah, selain cara guru menilai, dan pemahamannya mengenai
mudah diperoleh di lingkungan sekitar siswa, juga bahan yang diajarkan guru. Untuk lebih jelas data
bertujuan untuk mempermudah siswa untuk mema- hasil penelitian pada siklus I dan siklus II secara
hami konsep barisan dan deret. Hal serupa senada kuantitatif, dirangkum dan disajikan pada Tabel 5.
dengan pendapat Muhsetyo, dkk (2010) bahwa,
Lado, dkk, Penggunaan Media Bungkus Rokok untuk Memahamkan Konsep Barisan dan Deret, 7

Tabel 5. Data Hasil Penelitian Siklus I dan Siklus II


Data Hasil
Instrumen Kriteria
Uraian Penelitian
Penelitian Pemahaman
Siklus I Siklus II
Lembar Persentase skor rata-rata hasil observasi aktivitas guru ≥ 80% 73,22% 83,03%
observasi Persentase skor rata-rata hasil observasi aktivitas siswa ≥ 80% 74,41% 84,82%
Tes Persentase klasikal yang memperoleh nilai ≥ 75 ≥ 75% 71,43% 92,86%
Wawancara Persentase siswa yang menyukai pembelajaran dengan ≥ 75% 100% 100%
pendekatan RME
Jumlah siswa yang dapat dinyatakan memahami konsep 2 dari 3 siswa 1 siswa 2 siswa
barisan dan deret

Selain hasil observasi, kedua observer juga tiap kelompok, 3) guru memberikan kesempatan ke-
memberikan beberapa catatan lapangan pada siklus I pada siswa untuk membaca dan memahami masalah
sebagai masukan untuk peneliti (guru) yaitu: a) guru dalam LKS yang telah diberikan sebelumnya, dan
kurang memperhatikan siswa yang tidak me-mahami bertanya bila belum dipahami, 4) siswa menyelesai-
masalah yang disajikan dalam LKS, se-hingga siswa kan masalah dengan menyusun bungkus rokok
banyak yang tidak berani mena-nyakan apabila menyerupai masalah yang diberikan, dan meleng-
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah, kapi tabel untuk menyelesaikan masalah barisan dan
b) guru tidak menegur siswa yang ber-gurau sendiri deret aritmetika dengan dibimbing guru, 5) guru
pada waktu siswa melakukan diskusi baik diskusi memfasilitasi kegiatan membandingkan dan mendis-
kelompok maupun saat presentasi kelompok, kusikan jawaban melalui presentasi kelompok de-
sehingga ada beberapa siswa yang tidak mengetahui ngan memberikan kesempatan kepada perwakilan
jawaban dari kelompok lain, c) guru kurang kelompok untuk mempresentasikan hasil kerja ke-
memperhatikan siswa yang tidak ikut serta dalam lompoknya berdasarkan hasil undian, 6) melalui
kegiatan memberikan tanggapan terhadap hasil kerja tanya jawab, guru bersama siswa mengadakan eva-
kelompok lain pada waktu presentasi, d) guru luasi melalui kegiatan membuat kesimpulan ter-
kurang memberi penegasan kepada siswa untuk hadap pembelajaran yang baru saja dilakukan, 7)
mencatat hal-hal penting, sehingga ketika siswa sebagai penutup, atas arahan dan bimbingan guru
ditanya kembali terlihat hanya diam. Sedangkan siswa menuliskan hasil diskusinya sebagai simpulan
pada siklus II, sudah menunjukkan perubahan yang akhir pembelajaran. Sedangkan persentase hasil tes
signifikan, namun masih ada beberapa cacatan secara klasikal yang men-dapat skor minimal 60
lapangan yang diberikan observer yaitu: a) ada siswa adalah 71,43% pada siklus I dan 92,86% pada siklus
yang kelihatan bosan meng-ulangi pembe-lajaran II, persentase hasil observasi aktivitas guru dan
yang sama, b) pada tahap ke-simpulan, guru sering siswa ber-turut-turut pada siklus I adalah 73,22%
menjawab pertanyaannya sendiri ketika siswa tidak dan 74,41%, dan pada siklus II secara berturut-turut
mampu untuk menjawab. adalah 83,03% dan 84,82%. Sedangkan hasil
Temuan lain yang menjadi kelemahan wawancara yang dilakukan terhadap 3 (tiga)
pembelajaran berdasarkan hasil evaluasi yaitu, guru responden yaitu 1 siswa pada siklus I dan 2 siswa
masih berperan sebagai pemberi informasi sehingga pada siklus II dinyatakan dapat memahami materi
terkesan kurang konstruktivistik. Adapun kelemahan barisan dan deret.
media yang digunakan yaitu, ukuran bungkus rokok Berdasarkan hasil penelitian dan temuan
yang bervariasi menyebabkan model susunan yang penelitian, dapat disarankan beberapa hal sebagai
dibuat siswa tidak sesuai dengan gambar pada ma- berikut: 1) pembelajaran barisan dan deret dengan
salah yang diberikan. bantuan media bungkus rokok, cukup membutuhkan
waktu yang lama pada tahap menyelesaikan masa-
SIMPULAN DAN SARAN lah. Sehingga pengelolaan waktu yang baik sangat
diharapkan terutama dalam mendesain rencana
Langkah-langkah pendekatan RME yang dapat pelaksanaan pembelajaran, perlu diberikan alokasi
memahamkan siswa pada materi barisan dan deret waktu yang lebih, 2) untuk peneliti selanjutnya agar
berbantuan media bungkus rokok meliputi: 1) memperhatikan peran guru yaitu, sebagai fasilitator
apersepsi, yaitu guru menggali pengetahuan awal bukan sebagai pemberi informasi. Sehingga di-
siswa tentang materi barisan dan deret aritmetika harapkan tidak mengulangi hal yang sama, 3) perlu
melakukan tanya jawab dengan siswa, 2) guru adanya keserasian antara jenis bungkus rokok yang
mengelompokkan siswa secara heterogen yang ter- akan digunakan. Sehingga diharapkan ketika siswa
diri dari 3-4 siswa berdasarkan kemampuan akade- membuat model, dapat sesuai dengan gambar pada
mik serta membagikan LKS dan media kepada se- masalah yang diberikan.
8, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

DAFTAR RUJUKAN

Alam, I., B. 2012. Peningkatkan Kemampuan Liao, Z., G., & Shih, J., Y. 2013. Between Sudoku
Pemahaman dan Komunikasi Matematika Rules and Labyrinthine Paths- a study on
Siswa SD melalui Pendekatan Realistic Design for Creative Sudoku Learning on
Mathematics Education (RME). Makalah Designs for Learning.Vol. 6/No. 1-2, 58-79.
dipresentasikan dalam Seminar Nasional Ling, S., Leung, C., K., I., and Wong, F., M., R.
Matematika dan Pendidikan Matematika 2004. Students’ Mathematics Performance In
FMIPA UNY, Yogyakarta 10 November Authentic Problems on Favilli, Franco (Eds.),
2012. Ethnomathematics and Mathematics
Asyhar, R. 2012. Kreatif Mengembangkan Media Education (2004, 81-86). Pisa:Università di
Pembelajaran. Jakarta: Referensi. Pisa.
Brown, M., Brown, P., & Bibby, T. 2008. “I would Matang, R., and Owens, K. 2004. Rich Transitions
rather die”: reasons given by 16-year-olds for From Indigenous Counting Systems To
not continuing their study of mathematics on English Arithmetic Strategies: Implications
Research in Mathematics Education. Vol. 10, For Mathematics Education In Papua New
No. 1, March 2008, 3-18. Guinea on Favilli, Franco (Eds.),
Choppin, J. 2011. The role of local theories: teacher Ethnomathematics and Mathematics
knowledge and its impact on engaging Education (2004, 107-118). Pisa:Università di
students with challenging tasks on Math Ed Pisa.
Res J DOI 10.1007/s13394-011-0001-8. Muhsetyo, G., dkk. 2010. Pembelajaran Matematika
Darkasyi, M., Johar, R., & Ahmad, A. 2014. SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Peningkatan Kemampuan Komunikasi Mulbar, U. 2012. Disain Pembelajaran Matematika
Matematis dan Motivasi Siswa dengan Realistik yang Melibatkan Metakognisi Siswa
Pembelajaran Pendekatan Quantum Learning pada Pokok Bahasan Aritmetika Sosial di
pada Siswa SMP Negeri 5 Lhokseumawe Sekolah Menengah Pertama dalam
dalam Jurnal Didaktik Matematika Vol. 1, AKSIOMA, Vol. 01 No. 01 Maret 2012, 73-
No. 1, April 2014, 21-34. 82.
Darling, L., Hammond & Richardson, N. 2009. Murray, S. 2011. Declining Participation in Post-
Research Review/Teacher Learning: What Compulsory Secondary School Mathematics:
Matters? on How Teachers Learn. February Students’ Views of and Solutions to the
2009, Vol. 66, No. 5, 46-53. Problem. Research in Mathematics Education.
Domite, S., C., M. 2004. Notes On Teacher 13(3): 269-285.
Education: An Ethnomathematical Muslich, M. 2010. Authentic Assessment: Penilaian
Perspective on Favilli, Franco (Eds.), Berbasis Kelas dan Kompetensi. Bandung:
Ethnomathematics and Mathematics Refika Aditama.
Education (2004, 17-27). Pisa:Università di Nunokawa, K. 2006. Using Drawings and
Pisa. Generating Information in Mathematical
Emzir, 2012. Metodologi Penelitian Pendidikan Problem Solving Processes on Eurasia
Kualitatif dan Kuantitatif. Bandung: Journal of Mathematics, Science and
Rajagrafindo Persada. Technology Education. Volume 2, Number 3,
Fujita, T., and Yamamoto, S. 2011. The December 2006, 34-54.
Development of Children’s Understanding of Prahmana, I., C., R. 2010. Permainan “Tepuk
Mathematical Patterns through Mathematical Bergilir” yang Berorientasi Konstruktivisme
Activities on Research in Mathematics dalam Pembelajaran Konsep KPK Siswa
Education. Vol. 13, No. 3, December 2011, Kelas IV A di SDN 21 Palembang dalam
249-267. Jurnal Pendidikan Matematika, Volume 4.
Howard, A., P., & Jones. 2002. A Dual-state Model No.2. Desember 2010, 61-69.
of Creative Cognition for Supporting Prastowo, A. 2011. Panduan Kreatif Membuat
Strategies that Foster Creativity in the on Bahan Ajar Inovatif. Jogjakarta: Diva Press
International Journal of Technology and Rosyadah, M., Deniyanti, P., S., & Meiliasari. 2013.
Design Education 12, 215-226. Develop Inductive Reasoning on Pattern
Kunandar. 2013. Penilaian Autentik (Penilaian Numbers with a Realistic Mathematics
Hasil Belajar Peserta Didik Berdasarkan Education Approach in the Ninth Grade
Kurikulum 2013). Jakarta: Rajagrafindo Students in MTs Al-Kenaniyah, Jakarta on
Persada. Proceeding The First South East Asia
Design/Development Research (SEA-DR)
Lado, dkk, Penggunaan Media Bungkus Rokok untuk Memahamkan Konsep Barisan dan Deret, 9

International Conference, April 2013, 269- Tandililing, E. 2010. Implementasi Realistic


278. Mathematics Education (RME) di Sekolah.
Schunk, H., D. 2012. Learning Theories an Online: http://www.pmri.or.id/ (diakses:
Educational Perspective (Edisi Keenam) Alih 23/04/2014).
Bahasa Hamdiah, dkk. Yogyakarta: Pustaka Tengah, A., K. 2011. Using Simplified Sudoku to
Pelajar. Promote and Improve Pattern Discovery
Smith, C. 2010. Choosing more mathematics: Skills Among School Children on Journal of
happiness through work? On Research in Mathematics Education at Teachers College.
Mathematics Education, Vol. 12, No. 2, Spring-Summer 2011, Vol. 2, 53-62.
September 2010, 99_115. Tilaar, R., A., H., Sutjipto & Handoyo, S., S. 2012.
Subanji. 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif Improving the quality of education in remote
dan Inovatif. Malang: Universitas Negeri areas: The case of the sra program in the
Malang. elementary schools of Kabupaten Lembata,
Supriadi. 2008. Penggunaan Kartun Matematika NTT on NEWSLETTER No. 33 Dec/2012.
dalam Pembelajaran Matematika. dalam Wijaya, A. 2012. Pendidikan Matematika Realistik
Jurnal Pendidikan Dasar, No.10 Oktober Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran
2008. Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.

.
BERPIKIR PSEUDO SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH PISA

Izza Nur Hayati1), Subanji2), Abdul Qohar3)


1,2,3)
Universitas Negeri Malang
izza.nrhyt@gmail.com

Abstrak: Penelitian kualitatif ini mendeskripsikan berpikir pseudo siswa dalam memecahkan masalah
PISA. Berpikir pseudo disimpulkan dari jawaban tertulis dan transkrip think aloud siswa yang selanjutnya
direduksi dan dianalisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadinya berpikir pseudo siswa dalam
memecahkan masalah PISA meliputi: 1) berpikir pseudo dalam memahami masalah disebabkan karena
siswa menyelesaikan masalah dengan proses berpikir secara spontan dimana siswa menerjemahkan kata-
kata atau kalimat yang terdapat pada masalah secara langsung tanpa memahami maknanya, 2) berpikir
pseudo dalam memilah dan mengaitkan informasi terjadi ketika siswa tidak mampu menentukan
informasi yang ia butuhkan untuk memecahkan masalah, 3) berpikir pseudo dalam memilih strategi
penyelesaian masalah terjadi ketika proses mengingat prosedur secara samar-samar yang kemudian
diterapkan pada masalah, dan 4) berpikir pseudo dalam mentransformasi masalah menjadi bentuk
matematika terjadi karena kurangnya pengetahuan awal yang dimiliki dan ketidaklengkapan substruktur
berpikir siswa.

Kata kunci: berpikir pseudo, pemecahan masalah, PISA

Salah satu tujuan mata pelajaran matematika dalam oleh siswa. Ada siswa yang memberikan jawaban
Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang SI benar dan ada pula siswa yang memberikan jawaban
Matapelajaran Matematika lingkup pendidikan dasar salah. Subanji (2011) memaparkan bahwa siswa
yaitu peserta didik memiliki kemampuan meme- yang memberikan jawaban benar dan mampu
cahkan masalah (Kementrian Pendidikan dan Ke- memberikan justifikasi terhadap jawaban yang ia
budayaan, 2011). Selain itu, pendekatan pemecahan berikan berarti jawaban tersebut “benar sungguhan”.
masalah merupakan fokus dalam pem-belajaran Siswa yang menunjukkan jawaban salah dan setelah
matematika (BNSP, 2006). Reys et al (dalam Zhu, refleksi tetap menghasilkan jawaban salah berarti
2007) berpendapat bahwa pemecahan masalah proses berpikir siswa tersebut memang “salah
merupakan dasar dari kegiatan matematika. Peme- sungguhan”. Selanjutnya, dipaparkan proses berpikir
cahan masalah juga dianggap sebagai jantung pseudo. Berpikir pseudo yaitu berpikir semu dimana
pembelajaran matematika karena keterampilan ter- jawaban benar belum tentu dihasilkan dari proses
sebut bukan hanya untuk mempelajari subjek tetapi berpikir yang benar dan jawaban salah juga belum
lebih menekankan pada perkembangan metode tentu dihasilkan dari proses berpikir yang salah. Ada
kemampuan berpikir (Pimta dkk, 2009). dua macam berpikir pseudo yaitu pseudo benardan
Ruggiero (dalam Subanji, 2011) menjelaskan pseudo salah. Apabila siswa yang memberikan
bahwa berpikir sebagai aktivitas mental yang jawaban benar tetapi tidak mampu memberikan
membantu dalam merumuskan atau memecahkan justifikasi terhadap jawabannya maka jawaban
masalah, membuat keputusan, atau memenuhi ke- tersebut merupakan “kebenaran semu” atau pseudo
inginan untuk memahami pencarian jawaban dari benar. Sebaliknya, apabila siswa memberikan
pembelajaran bermakna. Mayer (dalam Suharna, jawaban salah namun setelah melakukan refleksi
2013) memaparkan bahwa berpikir adalah aktivitas mampu memperbaiki jawabannya sehingga menjadi
kognitif dalam pikiran seseorang, tidak tampak tapi jawaban yang benar maka siswa tersebut mengalami
dapat disimpulkan berdasarkan perilaku yang tam- berpikir pseudo salah.
pak, melibatkan beberapa manipulasi pengeta-huan Vinner (1997) menjelaskan bahwa berpikir
dan aktivitas berpikir yang diarahkan untuk meng- pseudo merupakan suatu keadaan dimana siswa
hasilkan pemecahan masalah. Dengan kata lain, apa tidak menggunakan proses berpikir yang optimal
yang dipikirkan seseorang ketika memecahkan ma- untuk menyelesaikan suatu masalah. Siswa yang
salah dapat direkam dan dianalisis untuk mengalami berpikir pseudo merupakan siswa yang
menentukan proses kognitif yang terkait dengan tidak melakukan proses refleksi, memberikan respon
masalahnya. spontan tanpa menyadari apa yang dikerjakan, dan
Dalam proses pemecahan masalah tersebut, tidak menunjukkan adanya dorongan untuk me-
terdapat dua kemungkinan jawaban yang dihasilkan meriksa kebenaran jawaban. Pape (2004) men-

10
Hayati, dkk, Berpikir Pseudo Siswa dalam Memecahkan Masalah Pisa, 11

jelaskan siswa dengan proses berpikir Direct digunakan dalam kehidupan sehari-hari dan dalam
Translated Approach (DTA) merupakan siswa yang berbagai situasi (Stacey, 2011; Davidson et all,
memecahkan masalah dengan menerjemahkan kata- 2013; OECD, 2013). Literasi matematika dianalisis
kata dalam kalimat secara langsung tanpa me- dari tiga aspek yang saling terkait yaitu konten,
mahami maknanya. Meski menghasilkan jawaban proses, dan konteks. Materi yang diujikan dalam
benar, proses berpikir siswa yang termasuk dalam aspek konten terdiri dari perubahan dan hubungan
kategori DTA ini belum menggunakan proses berpi- (change and relationship), ruang dan bentuk (space
kir yang sesungguhnya. Dengan kata lain, siswa ka - and shape), kuantitas (quantity), serta ketidakpastian
tegori DTA menggunakan proses berpikir yang dan data (uncertainly and data). Salah satu materi
semu (pseudo). yang berhubungan dengan perubahan dan hubungan
Berpikir pseudo terjadi karena dalam meme- adalah proporsi.
cahkan masalah, siswa terpaksa mempelajari topik- NCTM (2000) menegaskan bahwa proporsi
topik dan memecahkan masalah-masalah tertentu merupakan salah satu ide mendasar dan harus diberi
tapi tidak melakukan kontrol terhadap yang ia tempat yang sesuai (prominent place) dalam
pikirkan (Vinner, 1997) sehingga siswa sering kurikulum matematika karena proporsi diperlukan
mengatur kembali informasi yang dimiliki, mem- siswa untuk memahami ide matematika yang
bangun kembali argumen, dan mencari konteks yang lainnya. Namun ternyata, menyelesaikan masalah
berbeda untuk memverifikasi ide-ide mereka proporsi termasuk sulit bagi siswa (Marpaung,
(Tripati, 2009). Oleh karena itu, berpikir pseudo 2000). Hal tersebut didukung oleh pernyataan guru
bukanlah dari proses berpikir siswa yang sebenar- matematika SMPN 4 Malang yang mengungkapkan
nya, melainkan berasal dari proses berpikir semu bahwa masih banyak siswa yang mengalami
atau samar yang terjadi ketika siswa belajar maupun kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang
ketika menyelesaikan masalah. Dalam penelitian ini, berhubungan dengan proporsi. Kesulitan ini di-
peneliti fokus pada berpikir pseudo salah. Berpikir sebabkan karena dalam menyelesaikan masalah
pseudo salah dan proses terjadinya perlu dikaji proporsi, siswa akan melibatkan kemampuan dalam
karena hal ini merugikan siswa dengan pemikiran pemahaman co-variation (perubahan nilai secara
bahwa meskipun awalnya siswa memberikan bersama-sama) dan komparasi multipel antar kuanti-
jawaban salah namun sebenarnya siswa tersebut tas serta kemampuan menyimpan dan memproses
mampu memberikan jawaban benar setelah refleksi. beberapa informasi (Keret, 1999). Selain itu, Lesh,
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan Post, dan Beher (dalam Lamm, 2009) berpendapat
di kelas IX, ditemukan siswa yang berpikir pseudo bahwa penyelesaian masalah proporsi bersangkutan
salah ketika memecahkan masalah. dengan perbandingan bertingkat dan juga terkait
Subanji (2011) memaparkan tiga karakteristik dengan penarikan kesimpulan dan prediksi.
yang menyebabkan terjadinya berpikir pseudo yaitu Kesulitan dalam mengahadapi masalah pro-
1) adanya ketidaksempurnaan pembentukan sub- porsi juga ditemukan pada penyelesaian soal PISA
struktur berpikir yang digunakan untuk meng- konten kategori perubahan dan hubungan (change
generalisasi penyelesaian, 2) tidak optimalnya and relationship). Soal PISA 2012 (OECD, 2013)
proses refleksi, dan 3) adanya kesadaran sampai dengan tema “Climbing Mount Fuji” yang termasuk
membenahi proses penyelesaian yang salah. Selain dalam konten kategori change and relationships dan
itu, Wibawa (2014) mengungkapkan bahwa terjadi- hanya 12% dari seluruh peserta yang memberikan
nya proses berpikir pseudo siswa dalam me- jawaban benar. Berdasarkan persentase kepandaian
mecahkan masalah limit fungsi disebabkan karena 1) dalam bidang matematika (OECD, 2013), lebih dari
diawali dengan kesalahan siswa dalam membuat 80% siswa Indonesia memiliki kepandaian yang
asumsi pada saat melakukan proses memahami masih jauh di bawah rata-rata sehingga Indonesia
masalah, dan 2) ketidaklengkapan substruktur ber- menyumbang nilai yang amat kecil dalam 12% itu.
pikir siswa dalam proses merencanakan cara Begitu pula dengan soal PISA 2012 (OECD, 2013)
penyelesaian. Karakteristik berpikir pseudo juga bertema “Walking” yang tersebut juga termasuk
ditemukan pada pemecahan masalah PISA. Masalah dalam konten kategori change and relationships
PISA yang dimaksud dalam penelitian ini merupa- dengan hasil sebanyak 36% jawaban benar untuk
kan masalah yang diadaptasi dari soal PISA. pertanyaan pertama dan 10% jawaban benar untuk
PISA merupakan suatu asesmen berskala jawaban kedua. Tak jauh berbeda dengan pertanyaan
internasional yang menilai kemampuan matematika pada tema “Climbing Mount Fuji”, Indonesia juga
dan sains siswa dengan tujuan untuk mengetahui menyumbang nilai yang amat kecil pada tema
literasi siswa usia 15 tahun dalam matematika, sains, “Walking”. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, sis-
dan membaca. Fokus dari PISA adalah literasi yang wa yang menjawab salah menggunakan prosedur
menekankan pada keterampilan dan kompetensi penyelesaian yang mirip di setiap konten kategori
siswa yang diperoleh dari sekolah dan dapat yang sama padahal seharusnya mereka meng-
12, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

gunakan multi-step procedure untuk menyelesai- pembahasan berpikir pseudo subjek penelitian yang
kannya (Davidson et all, 2013). peneliti temukan ketika memecahkan masalah PISA.
Mengingat begitu pentingnya kemampuan
pemecahan masalah proporsi serta melihat hasil Berpikir Pseudo dalam Memahami Masalah
soal-soal PISA konten kategori change and Dari pernyataan yang disampaikan ketika
relationships, penelitian ini juga menggunakan soal memecahkan masalah, subjek tidak memahami
PISA yang termasuk dalam konten kategori change masalah yang sedang dihadapinya sehingga meng-
and relationships. Dalam hal ini, peneliti mengguna- hasilkan jawaban salah. Subjek berpikir secara
kan masalah yang diambil dari soal PISA 2012 tema spontan dengan langsung menerjemahkan kata atau
“Selling Newspaper” yang terdiri dari tiga per- kalimat yang ada pada masalah tanpa memahami
tanyaan serta termasuk dalam konten kategori makna kata atau kalimat tersebut. Selain itu, subjek
change and relationships. Dalam memecahkan juga langsung mengalikan bilangan yang ada pada
masalah PISA, kemungkinan siswa mengalami masalah tanpa memahami makna dari bilangan
berpikir pseudo-salah. Selanjutnya, berpikir pseudo- tersebut.
salah dalam penelitian ini disebut sebagai berpikir Perilaku yang ditunjukkan ketiga subjek me-
pseudo. Penelitian tentang upaya peningkatan ke- nunjukkan bahwa kesalahan jawaban yang mereka
mampuan pemecahan masalah PISA telah dikaji hasilkan diawali dengan ketidakpahaman tentang
oleh banyak peneliti (Stacey, 2011; Johar, 2012; masalah yang diberikan. Menurut Wibawa (2014),
Kohar, 2014; Pribadi, 2014; Purnomo, 2014; Wijaya salah satu penyebab terjadinya proses berpikir
et all, 2014; Wijaya, 2015) namun kajian tersebut pseudo siswa dalam memecahkan masalah yaitu
belum sampai pada pengkajian proses berpikir diawali dengan kesalahan siswa dalam proses
pseudo salah siswa ketika memecahkan masalah memahami masalah. Kesalahan dalam proses
PISA. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk memahami masalah ini didukung oleh kemampuan
melakukan penelitian dengan judul “Berpikir Pseudo membaca yang kurang. Pape (2004), dalam
Siswa dalam Memecahkan Masalah PISA”. penelitiannya yang terkait dengan masalah dalam
bentuk soal cerita, mengungkapkan bahwa ke-
METODE PENELITIAN mampuan membaca merupakan suatu hal mendasar
yang harus dimiliki siswa dalam memecahkan
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif masalah. Dalam hal ini, siswa tidak bisa serta merta
yang dilakukan di kelas IX dengan 3 subjek menggunakan algoritma yang telah dipelajarinya
penelitian. Pemilihan subjek didasarkan pada ke- secara langsung pada masalah, akan tetapi siswa
mampuan komunikasi, tingkat kemampuan siswa, harus membaca masalah tersebut dengan teliti
dan kecenderungan mengalami berpikir pseudo. (Tripati, 2008).
Ketiga subjek tersebut yaitu S1 (siswa berkemampu- Ketika memecahkan masalah, subjek mener-
an rendah), S2 (siswa berkemampuan sedang), dan jemahkan kata-kata atau kalimat yang terdapat pada
S3 (siswa berkemampuan tinggi). Data yang masalah secara langsung tanpa memahami makna-
dikumpulkan dalam penelitian ini berupa hasil nya. Menurut Pape (2004), proses berpikir yang
berpikir pseudo siswa yang tercermin dari jawaban terjadi pada subjek tersebut berbentuk Direct
tertulis dan transkrip think aloud ketika refleksi, Translated Approach (DTA) sehingga proses ber-
rekaman ketika proses wawancara tak terstruktur, pikir yang digunakan masih semu. Lebih lanjut,
dan catatan lapangan selama penelitian. Setelah ketiga subjek melakukan proses mengingat prosedur
diperoleh data, peneliti menganalisis data yang telah secara samar-samar (fuzzy memory) yang kemudian
terkumpul dengan melakukan reduksi data, diterapkan pada masalah dan diperoleh penyelesai-
penyajian data yang berupa penggambaran berpikir annya. Menurut Vinner (1997), subjek tersebut
pseudo dari struktur berpikir siswa sebelum dan menunjukkan berpikir pseudo-analytical. Dari pro-
sesudah refleksi, dan disajikan dalam bentuk teks ses berpikirnya, subjek tidak benar-benar meng-
naratif, kemudian dilakukan penarikan kesimpulan. gunakan proses berpikirnya secara optimal. Subjek
menyelesaikan masalah dengan proses berpikir yang
HASIL DAN PEMBAHASAN spontan atau sekedar menebak tanpa memahami
masalah. Hal ini merupakan karakteristik seseorang
Pada penelitian ini, masalah diadaptasi dari berpikir semu (pseudo) karena bekerja secara
soal PISA 2012 tema “Selling Newspaper” yang spontan tanpa melihat kebermaknaan masalah (Pape,
terdiri dari tiga pertanyaan, jawaban pertanyaan 1 2004).
dan 2 berupa uraian dan pertanyaan 3 berupa pilihan Dari berpikir spontan ini, subjek meng-
jawaban (menggambar grafik berdasarkan informasi hasilkan jawaban yang salah dan tidak melakukan
yang diketahui). Berikut ini merupakan hasil dan refleksi terhadap apa yang dikerjakan. Setelah
mendapatkan jawaban, subjek merasa puas dan tidak
Hayati, dkk, Berpikir Pseudo Siswa dalam Memecahkan Masalah Pisa, 13

melakukan pengecekan kembali dari jawaban yang jawaban salah karena selama refleksi mereka tidak
dihasilkannya. Untuk mengetahui apakah subjek menggunakan pikiran secara optimal. Tidak opti-
benar-benar mengalami berpikir pseudo, subjek malnya proses refleksi merupakan salah satu ka-
diberikan kesempatan untuk melakukan refleksi. rakteristik penyebab terjadinya berpikir pseudo
Ketika diberi kesempatan refleksi pertama kali, (Subanji, 2011). Selanjutnya, apabila siswa mem-
subjek tidak memanfaat waktu refleksi dengan berikan jawaban salah tetapi setelah melakukan
maksimal sehingga terkesan “asal refleksi” tanpa refleksi siswa tersebut mampu memperbaiki ja-
benar-benar menggunakan pikirannya untuk me- wabannya sehingga menjadi jawaban yang benar
nyelesaikan masalah. Tidak optimalnya proses maka siswa tersebut sedang mengalami berpikir
refleksi merupakan salah satu penyebab terjadinya semu (pseudo).
berpikir pseudo (Subanji, 2011). Selanjutnya, subjek
diberikan waktu refleksi lagi dan mampu mem- Berpikir Pseudo dalam Memilih Strategi
perbaiki jawabannya sehingga menjadi jawaban Penyelesaian Masalah
yang benar. Ketika menyelesaikan masalah, seseorang
Berpikir Pseudo dalam Memilah dan Mengaitkan menghubungkan situasi-situasi pada masalah dengan
Informasi pengalaman atau pengetahuan sebelumnya yang
Hudgson dan Sullivan (dalam Nurman, 2008) siswa miliki (Wijaya et all, 2014). Dalam penelitian
mengungkap bahwa untuk memecahkan masalah, ini, subjek berusaha mengingat berbagai materi dan
seseorang harus memiliki kemampuan tertentu untuk soal-soal beserta prosedur penyelesaian yang pernah
melihat konsep matematika yang perlu dan cocok dihadapinya dan mencocokkannya dengan masalah
digunakan namun siswa terpaksa mempelajari topik- yang sedang dihadapi. Proses mengingat prosedur
topik dan memecahkan masalah-masalah tertentu tersebut terjadi secara samar-samar (fuzzy memory)
tapi tidak melakukan kontrol terhadap yang ia kemudian diterapkan pada masalah dan diperoleh
pikirkan. Oleh karena itu, siswa akan berpikir bahwa penyelesaiannya sehingga terjadi kesalahan jawaban
dalam memecahkan masalah yang ia terima ia hanya yang diberikan (Vinner, 1997).
perlu mengaitkan masalah itu dengan masalah Karena siswa terbiasa dengan latihan soal
serupa yang pernah didapatkannya (Vinner 1997). dengan prosedur penyelesaian yang sederhana,
Begitu pula pada penelitian ini. Subjek mengaitkan mereka menyelesaikan masalah PISA menggunakan
informasi-informasi yang sebenarnya tidak terkait. prosedur serupa dengan soal latihan yang pernah
Dalam hal ini, subjek mengaitkan informasi antara mereka dapatkan padahal mereka seharusnya
pertanyaan satu dengan pertanyaan lainnya atau menggunakan multi-step prosedur (OECD, 2013).
materi sebelumnya yang pernah mereka terima Oleh karena itu, mereka menghasilkan jawaban yang
meskipun sebenarnya tidak saling terkait. Siswa salah. Dari kegiatan ini, terlihat bahwa subjek meng-
mengaitkan pertanyaan-pertanyaan itu dengan gunakan prosedur yang dipilihnya untuk me-
pertanyaan yang dianggapnya serupa ketika me- nyelesaikan masalah tanpa terlebih dahulu me-
nyelesaikan latihan soal yang pernah didapatkannya. mikirkan apakah prosedur tersebut sudah benar
Menurut Subanji (2011), siswa yang proses ber- ataukah belum. Vinner (1997) mengungkapkan
pikirnya pseudo akan cenderung mengaitkan bahwa siswa yang memberikan respon spontan tanpa
masalah yang sedang ia hadapi dengan masalah menyadari apa yang dikerjakan merupakan siswa
serupa yang dianggapnya sama. Selain itu, perilaku yang sedang mengalami cara berpikir pseudo-
yang ditunjukkan ketiga subjek juga menunjukkan analytical. Dari berpikir spontan ini, subjek meng-
bahwa subjek melakukan kesalahan dalam memilah hasilkan jawaban yang salah dan tidak melakukan
data atau informasi pada masalah. Dalam hal ini, refleksi terhadap apa yang dikerjakan.
subjek tidak tepat dalam memilah informasi yang Ketika diberi kesempatan refleksi, subjek
dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah. Informasi tidak memanfaatkan waktu refleksi dengan
informasi yang digunakan subjek tidak cocok bila maksimal sehingga terkesan “asal refleksi” tanpa
digunakan untuk menyelesaikan masalah yang benar-benar menggunakan pikirannya secara optimal
diberikan. untuk menyelesaikan masalah. Selanjutnya, subjek
Karena melakukan kesalahan dalam memilah membaca masalah berulang kali hingga menyadari
informasi dan mengaitkan informasi yang sebenar- bahwa jawaban yang mereka berikan salah. Meski
nya tidak terkait, subjek menghasilkan jawaban awalnya menghasilkan jawaban salah, subjek
salah. Meski awalnya memberikan jawaban salah, mampu memperbaiki jawabannya sehingga menjadi
subjek dapat memperbaiki jawabannya sehingga jawaban benar setelah melakukan refleksi. Tidak
menjadi jawaban yang benar setelah diberikan optimalnya proses refleksi dan adanya kesadaran
kesempatan untuk melakukan refleksi. Ketika me- sampai membenahi proses penyelesaian yang salah
lakukan refleksi, subjek tidak langsung bisa mem- merupakan penyebab terjadinya berpikir pseudo
perbaiki jawabannya. Subjek masih memberikan (Subanji, 2011).
14, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Berpikir Pseudo dalam Mentransformasi jawabannya sehingga menjadi jawaban yang benar
Masalah menjadi Bentuk Matematika setelah refleksi. Berdasarkan proses berpikir terse-
Proses berpikir yang ditunjukkan ketiga but, ketiga subjek mengalami berpikir pseudo.
subjek menunjukkan bahwa subjek mengalami ke-
sulitan baik dalam menuliskan kondisi awal maupun SIMPULAN DAN SARAN
menentukan keputusan untuk jawaban yang di-
berikan. Mereka tidak begitu memahami cara Dalam memecahkan masalah PISA, siswa
menyajikan suatu informasi dalam bentuk grafik tidak berpikir secara optimal sehingga berpotensi
seperti pada masalah yang sedang mereka hadapi. untuk mengalami berpikir pseudo. Hasil penelitian
Ketika menghadapi pertanyaan dengan pilihan menunjukkan bahwa terjadinya berpikir pseudo
jawaban berupa grafik-grafik yang digunakan untuk siswa dalam memecahkan masalah PISA meliputi:
menggambarkan masalah yang sedang dihadapi, 1) berpikir pseudo dalam memahami masalah dise-
subjek langsung memilih grafik pada pilihan ja- babkan karena siswa menyelesaikan masalah dengan
waban. Penjelasan grafik diperoleh setelah me-milih proses berpikir yang spontan di mana siswa
grafik pada pilihan jawaban yang dianggapnya benar menerjemahkan kata-kata atau kalimat yang terdapat
tanpa mencoba menggambar grafik terlebih dahulu pada masalah secara langsung tanpa memahami
berdasarkan informasi yang diketahui pada masalah. maknanya, 2) berpikir pseudo dalam memilah dan
Dari pernyataan yang disampaikan, subjek tidak mengaitkan informasi terjadi ketika siswa tidak
memahami cara menggambar grafik berdasar-kan mampu menentukan informasi yang ia butuhkan
informasi yang diketahui sehingga subjek tidak untuk memecahkan masalah, 3) berpikir pseudo
mampu men-transformasi masalah menjadi bentuk dalam memilih strategi penyelesaian masalah terjadi
matematika. Hal ini terjadi karena kurangnya penge- ketika proses mengingat prosedur secara samar-
tahuan awal yang dimiliki. samar yang kemudian diterapkan pada masalah, dan
Selain itu, dari struktur berpikir yang 4) berpikir pseudo dalam mentransformasi masalah
dihasilkan subjek penelitian, terlihat masih banyak menjadi bentuk matematika terjadi karena kurang-
substruktur masalah yang tidak lengkap. Ketidak- nya pengetahuan awal yang dimiliki dan juga
sempurnaan pembentukan substruktur berpikir disebabkan oleh ketidaklengkapan substruktur ber-
tersebut digunakan untuk menggeneralisasi pikir.
penyelesaian sehingga menghasilkan jawaban yang Dari hasil penelitian ini, peneliti menyampai-
salah. Ketidaksempurnaan pembentukan substruktur kan beberapa saran sebagai berikut:
berpikir merupakan salah satu karakteristik yang a. Tenaga pendidik perlu memberikan waktu
menyebabkan terjadinya berpikir pseudo (Subanji, refleksi atau memberikan dorongan untuk refleksi
2011). Karena menghasilkan jawaban salah, subjek kepada siswa guna meminimalkan terjadinya
diberi kesempatan untuk melakukan refleksi. Ketika berpikir pseudo.
refleksi, subjek tidak langsung bisa memperbaiki b. Untuk instrumen penelitian terkait dengan proses
jawabannya. Subjek masih memberikan jawaban berpikir yang memuat penggambaran grafik, dia-
salah karena selama refleksi mereka tidak meng- gram, tabel, dan sebagainya sebaiknya meng-
gunakan pikiran secara optimal. Tidak optimalnya gunakan pertanyaan dengan jawaban uraian, bu-
proses refleksi merupakan salah satu karakteristik kan pilihan jawaban seperti pada penelitian ini.
penyebab terjadinya berpikir pseudo (Subanji, Hal ini bertujuan supaya lebih banyak mengeks-
2011). Meskipun awalnya memberikan jawaban plor proses berpikir sesuai dengan dialami siswa.
salah, ketiga subjek mampu memperbaiki

DAFTAR RUJUKAN

BSNP. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi SMP: Belajar dari PISA dan TIMSS.
Dasar. Matematika Sekolah Dasar. Jakarta: Yogyakarta: PPPPTK Matematika.
Badan Standar Nasional Pendidikan. Keret, Y. 1999. Change Process in Adult
Davidson, M., Boiron, M., Braga-Schich, C., & Proportional Reasoning: Student Teachers and
Burns, T. 2013. PISA 2012 Released Primary Mathematics Teachers, after
Mathematics Items. Perancis: OECD Exposure to Ratio and Proportion Study Unit.
Publishing. Proceeding of the 23rd International
Johar, R. 2012. Domain Soal PISA untuk Literasi Conference for the Psychology of
Matematika. Jurnal Peluang, 1 (1): 30-41. Mathematics Education, 1: 145-152.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2011. Kohar, A.W. & Zulkardi. 2014. Pengembangan Soal
Instrumen Penilaian Hasil Belajar Matematika Berbasis Literasi Matematika dengan
Hayati, dkk, Berpikir Pseudo Siswa dalam Memecahkan Masalah Pisa, 15

Menggunakan Kerangka PISA Tahun 2012. Mengatasinya dengan Scaffolding. Tesis tidak
Prosiding Konferensi Nasional Matematika diterbitkan. Malang: PPs UM.
XVII: 379 – 387. Purnomo, H. 2014. Hambatan Berpikir Siswa
Lamm, M., Pugalee, D.K. 2009. Elementary Sekolah Menengah Pertama dalam
Students’ Construction of Proportional Pemecahan Masalah Matematika PISA dan
Reasoning Problems: Using Writing to Pemberian Scaffolding. Tesis tidak
Generalize Conceptual Understanding in diterbitkan. Malang: PPs UM.
Mathematics. Proceedings of the 10th Stacey, K. 2011. The View of Mathematics Literacy
International Conference “Models in in Indonesia. Journal on Mathematics
Developing Mathematics Education”, 364- Education IndoMSJME, 2: 1-24.
367. Subanji. 2011. Teori Berpikir Pseudo Penalaran
Marpaung, Y. 2000. Trend Penelitian Matematika Kovariasional. Malang: UM Press.
Abad 21. Makalah disajikan pada Lokakarya Tripathi, P.N. 2009. Problem Solving in
Penulisan Ilmiah di Prodi Pendidikan Mathematics: A Tool for Cognitive
Matematika, Jurusan Pendidikan Matematika, Development. Proceeding of EpiSTEME
FMIPA UNY, Yogyakarta, 25 September. 3International Conference to Review
NCTM. 2000. Prinsiple and Standarts for School Research in Science, Technology, and
Mathematics. Reston: The National Council Mathematics Education, 16: 173.
of Teacher Mathematics, Inc. Vinner, S. 1997. The Pseudo-Conceptual and The
Nurman. 2008. Deskripsi Kemampuan Siswa SMP Pseudo-Analytical Thought Processes in
dalam Memecahkan Masalah Matematika Mathematics Learning. Educational Studies in
Openended Ditinjau dari Perbedaan Tingkat Mathematics, 34: 97-129.
Kemampuan Matematika Siswa. Tesis tidak Wibawa, K.A. 2014. Defragmenting Proses Berpikir
diterbitkan. Surabaya: PPs UNESA. melalui Pemetaan Kognitif untuk
OECD. 2013. PISA 2012 Assessment and Analytical Memperbaiki Berpikir Pseudo Siswa dalam
Framework: Mathematics, Reading, Memecahkan Masalah Limit Fungsi. Tesis
Science,Problem Solving and Financial tidak diterbitkan. Malang: PPs UM.
Literacy. Perancis: OECD Publishing. Wijaya, A., Heuvel-Panhuizen, M., Doorman, M.,
Pape, S.J. 2004. Middle School Children’s Problem Robitzsch, A. 2014. Difficulties in Solving
Solving Behaviour: A Cognitive Analysis Context-Based PISA Mathematics Task: An
from Reading Comprehension Perspective. Analysis of Students’ Errors. The
Journal for Reseacrh in Mathematics Mathematics Enthusiast, 16 (3): pp 555-584.
Education. 35(3): 187-219. Wijaya, A. 2015. Kesalahan Siswa dalam Memilah
Pimta, S., Tayruakham, S., & Nuangchalerm, P. Data Relevan pada Soal Matematika Berbasis
2009. Factors Influencing Mathematics Konteks. Prosiding Seminar Nasional
Problem-Solving Ability of Sixth Grade Matematika dan Pendidikan Matematika
Students. Journal of Social Sciences, 5(4): UMS: 461 – 469.
381-385. Zhu, Z. 2007. Gender Differences in Mathematical
Pribadi, A.P. 2014. Diagnosis Kesulitan Siswa Problem Solving Patterns: A Review of
dalam Menyelesaikan Masalah Geometri- Literature. International Education Journal,
PISA Melalui Pemetaan Kognitif dan Upaya 8(2): 187-203.
INTERAKSI GURU DAN SISWA KELAS VII
UNTUK MEMBANTU MEMAHAMI KONSEP TRANSFORMASI

Rachmadania Akbarita1), Sri Mulyati2), Santi Irawati3)


1,2,3)
Universitas Negeri Malang
dania.barita@gmail.com

Abstrak: Artikel ini merupakan hasil penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mendeskripsikan in-
teraksi guru dan siswa kelas VII untuk membantu memahami konsep transformasi. Subjek penelitian ada-
lah guru matematika kelas VII yang berpengalaman. Data dalam penelitian ini berupa deskripsi interaksi
yang dilakukan guru pada saat proses belajar mengajar serta kesesuaian interaksi tersebut dengan teori
scaffolding Anghileri. Data tersebut kemudian dianalisis dengan teknik deskriptif kualitatif. Hasil pene-
litian ini yaitu: (1) proses kognitif yang mendominasi adalah kegiatan eksplorasi, (2) proses sosial yang
menndominasi adalah collaborative, (2) fungsi verbal yang mendominasi adalah interrogative, (3) gestur
menulis terbukti efektif digunakan untuk membantu menjelaskan maksud materi-materi transformasi
kepada siswa.

Kata kunci: interaksi guru dan siswa, analisis interaksi, transformasi

Menurut teori konstruktivisme, belajar merupakan kemampuan untuk menyelesaikan masalah ditingkat
suatu proses mengonstruksi pengetahuan melalui yang lebih tinggi ketika bekerjasama dengan orang
pengalaman. Artinya pengetahuan bukanlah suatu lain atau orang dewasa, dalam hal ini yaitu guru dan
pemberian dari orang lain seperti guru, akan tetapi siswa lainnya. Bantuan orang lain agar siswa dapat
dari hasil proses mengonstruksi yang dilaku-kan mencapai ZPD disebut dengan scaffolding. Sehingga
setiap siswa. Driver and Bell (dalam Suyono & dapat dikatakan bahwa scaffolding merupakan suatu
Hariyanto, 2011: 106) mengemukakan karakteristik bimbingan yang diberikan seorang guru kepada
pembelajaran yang mengacu pada paradigma kons- siswanya dalam proses pembelajaran dengan per-
truktivisme sebagai berikut: (i) siswa tidak di- soalan-persoalan yang terfokus.
pandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan me- Wood dkk (dalam Anghileri, 2006) berpen-
miliki tujuan, (ii) belajar harus mempertimbangkan dapat bahwa scaffolding sebagai suatu proses di-
seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (iii) mana seorang siswa dibantu menuntaskan masalah
pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar, tertentu melampaui kapasitas perkembangannya me-
melainkan dikonstruksi secara personal, (iv) lalui bantuan dari seorang guru atau orang lain yang
pembelajaran bukanlah pengiriman pengetahu- an, memiliki kemampuan yang lebih dan secara per-
melainkan pengaturan situasi lingkungan belajar, lahan-lahan bantuan tersebut akan ditinggalkan
dan (v) kurikulum bukanlah sekedar hal yang ketika siswa tersebut telah dapat menyelesaikan
dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, permasalahan sendiri. Anghileri (2006) memaparkan
materi dan sumber. Dimyati (dalam Sagala, 2011: tiga tingkat dari praktik scaffolding yang merupakan
62) mengemukakan bahwa pembelajaran adalah ke- dukungan dalam pembelajaran matematika, yaitu (1)
giatan guru secara terprogram dalam desain ins- environmental provisions sebagai penataan ling-
truksional untuk membuat siswa belajar secara aktif kungan belajar yang memungkinkan berlangsung
yang menekankan siswa pada berbagai fakta. tanpa intervensi langsung dari guru, bantuan yang
Di lain pihak, Vygotsky (dalam Slavin, 2012: diberikan dengan menyiapkan lingkungan belajar di
17) menekankan pentingnya interaksi sosial dengan kelas sebelum bertatap muka dengan siswa; (2)
orang lain yang mempunyai pengetahuan lebih baik explaining, reviewing, and restructuring, sebagai
dan sistem yang secara kultural telah berkembang interaksi guru yang diarahkan untuk mendukung
dengan baik. Vygotsky percaya bahwa interaksi siswa belajar dengan melalui penjelasan, peninjauan,
sosial dengan orang lain memacu pengonstruksian dan restrukturisasi; dan (3) developing conceptual
ide-ide baru dan dapat meningkatkan perkembangan thinking, pengarahan siswa untuk mengembangkan
intelektual siswa. Menurut Vygotsky proses belajar konsep pemikirannya.
terjadi pada saat siswa berada dalam Zona Proximal Menurut Goos (dalam Irpan, 2013) ZPD
Develoment (ZPD). ZPD merupakan jarak antara sebagai kerangka untuk menganalisis pembelajaran
level kemampuan siswa untuk menyelesaikan suatu mempunyai tiga aspek yaitu: (1) interaksi siswa
masalah pada tingkatan kognitif tertentu dengan dengan guru, (2) interaksi siswa dengan siswa lain

16
Akbarita, dkk. Interaksi Guru dan Siswa Kelas VII untuk Membantu Memahami Konsep Transformasi, 17

yang lebih mampu, dan (3) interaksi konsep-konsep Setiap guru mempunyai hambatan yang
sehari-hari dan konsep ilmiah. Kualitas pembelajar- berbeda-beda dalam mewujudkan tujuan pembela-
an ditentukan oleh beberapa faktor, salah satunya jaran di kelas. Wawancara yang telah dilakukan pe-
adalah interaksi yang terjadi di dalam kelas. Oleh neliti pada salah satu guru matematika di SMP
karena itu, interaksi guru dan siswa sangat penting Negeri 9 Malang pada tanggal 17 Februari 2015,
dalam proses pembelajaran di kelas. Salah satu menyebutkan bahwa siswa kelas VII mempunyai
alasannya karena bermanfaat untuk siswa dalam kemampuan menyerap informasi yang beragam.
mengembangkan perilaku sosial dan tingkat pe- Walaupun dengan kemampuan yang beragam, hasil
mahamannya akan suatu materi pembelajaran ulangan siswa tergolong baik. Siswa SMP Negeri 9
(Bayazkurk & Kesner, 2005). Menurut Vygotsky termasuk siswa yang aktif pada saat proses belajar
(dalam Suyono & Hariyanto, 2011: 111) perkem- mengajar. Hal ini sejalan dengan Dukmak (2010)
bangan pembelajaran anak dipengaruhi banyak yang berpendapat bahwa interaksi kelas dipengaruhi
maupun sedikit oleh kebudayaannya, termasuk bu- oleh level prestasi siswa. Akan tetapi menurut guru
daya dari lingkungan sekolah. Sehingga interaksi mata pelajaran matematika, siswa belum dapat be-
sosial merupakan faktor penting dalam mendorong lajar secara mandiri. Oleh kerena itu guru mempu-
perkembangan kognitif seseorang. nyai strategi dan teknik yang baik untuk membantu
Menurut Sardiman (2011: 2) proses interaksi pemahaman siswa.
efektif yang dikembangkan guru mampu mem- Fakta lain yang didapat pada saat wawancara
berikan dan mengembangkan kegiatan belajar meng- adalah bahwa materi transformasi merupakan materi
ajar secara optimal. Guru sebagai mediator memiliki yang pada Kurikulum 2006 tidak diajarkan, akan
peran mendorong dan menjembatani siswa dalam tetapi muncul pada Kurikulum 2013. Dengan demi-
upaya membangun pengetahuannya. Bentuk-bentuk kian, guru belum dapat menentukan atau memasti-
interaksi yang terjadi dalam pembelajaran dapat kan bahwa interaksi yang biasanya digunakan dalam
berupa penjelasan, diskusi, pertanyaan, refleksi atau proses pembelajaran akan dapat membantu siswa
persetujuan yang digunakan dalam penyelesaian untuk memahami konsep transformasi. Oleh karena
masalah. Berkaitan dengan pem-belajaran di itu, interaksi antara guru dan siswa yang terjadi pada
sekolah, berbagai upaya dilakukan guru, agar siswa saat proses pembelajaran materi trans-formasi perlu
dapat dengan mudah memahami matematika. Hai & dianalisis lebih lanjut, apakah interaksi tersebut
Bee (2006) mengatakan dengan melakukan analisis dapat membantu siswa memahami konsep dan
proses interaksi, guru dapat: (1) mengetahui perasa- apakah interaksi yang terjadi mempunyai peran yang
an siswa, (2) memberikan pujian pada siswa, (3) me- penting pada saat pembelajaran.
ngembangkan ide siswa, (4) me-nanyakan beberapa Penelitian ini bertujuan untuk mendeskrip-
pertanyaan yang perlu untuk perbaikan pembelajaran sikan interaksi guru dan siswa agar dapat men-
selanjutnya, (5) memberi nasihat-nasihat, (6) meng- ciptakan pembelajaran yang efektif bagi siswa, se-
analisis pembicaraan siswa, dan (7) memberi sedikit hingga dapat membantu siswa memahami konsep
arahan atau memecahkan keheningan di dalam kelas. transformasi dengan baik. Secara khusus, penelitian
Yamin (2008:1) mengatakan bahwa guru ini akan mengamati interaksi yang terjadi berda-
profesional adalah orang yang terdidik dan terlatih sarkan tipe scaffolding yang dikemukakan oleh
dengan baik, serta memiliki pengalaman yang kaya Anghileri. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
di bidangnya. Maksud dari terdidik dan terlatih melakukan penelitian tentang “Interaksi Guru Dan
adalah bukan hanya memperoleh pendidikan formal Siswa Kelas VII Untuk Membantu Memahami
tetapi juga harus menguasai berbagai strategi atau Konsep Transformasi”.
teknik di dalam kegiatan belajar mengajar, salah
satunya adalah mampu mengelola interaksi belajar METODE PENELITIAN
mengajar. Analisis interaksi yang terjadi pada saat
pembelajaran digolongkan menjadi tiga dimensi Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 9
analisis, yakni: analisis proses kognitif, analisis Malang. Subjek penelitian adalah guru matematika
proses sosial, dan analisis fungsi bahasa. Selain yang paling berpengalaman diantara guru-guru
ketiga dimensi tersebut, terdapat suatu komunikasi matematika yang mengajar di kelas VII. Guru mate-
non verbal yang mengiringi terjadinya interaksi matika tersebut sudah berpengalaman mengajar
dalam pembelajaran. Jenis komunikasi itu dapat selama lebih dari 20 tahun. Kelas yang dijadikan pe-
berupa gerakan tangan yang muncul pada saat guru nelitian adalah kelas dengan siswa yang tergolong
memberi penjelasan kepada siswa. Gerakan tersebut aktif saat mengikuti kegiatan belajar mengajar, yaitu
sering kali merepresentasikan hal yang sedang kelas VII F. Data dalam penelitian berupa narasi dan
dipikirkan dan tidak diutarakan melalui verbal atau deskripsi interaksi yang dilakukan guru pada saat
ucapan (Goldin & Wagner, 2005). Gerakan anggota proses belajar mengajar, serta kesesuaian interaksi
tubuh seperti ini disebut dengan gestur. yang berlangsung dengan teori scaffolding yang
18, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor1, Januari 2016

dikemukakan oleh Anghileri. Data juga dilengkapi memahami konsep Transformasi. Proses kognitif
dengan deskripsi hasil wawancara terhadap guru yang terdapat dalam interaksi tersebut adalah
yang bertujuan untuk mengetahui alasan guru eksplorasi dan prosedural. Hal ini sejalan dengan
memunculkan tindakan berupa verbal dan non metode yang direncanakan oleh guru yaitu discovery
verbal saat terjadinya interaksi. Tindakan verbal learning. Discovery learning yaitu suatu kegiatan
yang diamati yaitu semua kalimat yang diucapkan belajar yang mengemukakan aktivitas siswa (Suyono
guru saat interaksi. Sedangkan tindakan non verbal & Hariyanto, 2011: 136). Menurut Wilhelm Wundt
yang diamati berupa gestur yang dimunculkan oleh (dalam Suyono & Hariyanto, 2011: 73) kognitif
guru untuk membantu siswa memahami konsep adalah sebuah proses aktif dan kreatif yang
transformasi. Terdapat tiga jenis gestur yang bertujuan membangun struktur melalui pengalaman-
diamati, yaitu gestur menunjuk, gestur representasi, pengalaman. Sedangkan Chin (dalam Smart &
dan gestur menulis. Instrumen penelitian adalah Marshall, 2012) berpendapat bahwa dengan mem-
lembar observasi kegiatan guru, lembar observasi berikan siswa kesempatan untuk mengekspresi-kan
interaksi guru dan siswa, lembar observasi ide-ide secara verbal dapat memberikan infor-masi
scaffolding guru, lembar observasi gestur guru, penting pada guru tentang penalaran dan pema-
pedoman wawancara guru, dan LKS yang sudah haman siswa untuk menginformasikan instruksi
disiapkan oleh guru matematika. Instrumen ini yang sesuai untuk mendukung pertumbuhan kognitif
ditunjang oleh alat rekam berupa video. siswa.
Penelitian dilaksanakan selama pembelajaran Dimensi 2: Proses Sosial. Hasil penelitian me-
dengan materi refleksi dan translasi, selama 3 kali nunjukkan adanya proses sosial yang muncul dalam
pertemuan berdasarkan RPP yang telah dibuat oleh interaksi guru dan siswa pada kelas VII untuk
guru. Data yang diperoleh kemudian dianalisis membantu memahami konsep Transformasi. Proses
melalui tahap mereduksi data, menyajikan data, sosial yang nampak adalah collaborative, tutoring,
menarik kesimpulan dan verifikasi. argumentative, dan domination. Guru berkolaborasi
dengan siswa dalam mendiskusikan jawaban dari
HASIL DAN PEMBAHASAN soal-soal yang ada di LKS yang selanjutnya
membuat kesimpulan dari soal-soal tersebut. Guru
Interaksi antara guru dan siswa yang terjadi juga memberikan bantuan apabila terdapat siswa
selama pembelajaran dapat membantu siswa kelas yang belum paham mengenai konsep yang diajarkan.
VII memahami konsep transformasi. Hal ini Dengan melihat kondisi siswa, guru memutuskan
dibuktikan dengan 75% siswa di kelas VII F men- cara untuk memberikan bantuan kepada siswa yang
capai KKM saat pemberian tes akhir yang dilakukan kesulitan. Guru dapat memberikan bantuan kepada
oleh guru. Analisis interaksi guru dan siswa dibagi siswa dengan cara melakukan percobaan di depan
menjadi tiga dimensi analisis menurut Kumpulainen kelas. Dan juga guru dapat memberikan informasi
& Wrag (2002: 36-39), yaitu: (1) proses kognitif, (2) yang dibutuhkan siswa dengan menggunakan
proses sosial, dan (3) fungsi bahasa. Gestur guru ilustrasi gambar. Pada saat itu guru terkesan
juga mengiringi terjadinya interaksi guru dan siswa. mendominasi percakapan. Ketika diskusi kelas, guru
Shein (2012) juga menyatakan bahwa gestur yang juga berusaha memfasilitasi siswa untuk menyam-
diperhatikan dalam memperbaiki kesalahan siswa paikan pendapatnya tentang materi yang disam-
adalah gestur menunjuk, representasi dan menulis. paikan oleh kelompok penyaji. Hal ini merupakan
Gestur yang dihasilkan guru hanya terbatas pada peran guru fasilitator. Karwati & Priansa (2014: 90)
gerakan tangan yang mengiringi penjelasan guru. berpendapat bahwa salah satu peran guru adalah
Pada penelitian ini diketahui bahwa ada ke-sesuaian fasilitator, artinya guru harus mampu memahami
pemberian scaffolding oleh guru dengan scaffolding kondisi yang dihadapi oleh setiap siswa dan mem-
yang dikemukakan oleh Anghileri level 2. bantu siswa kearah perkembangan potensi dan ke-
pribadian yang baik dan optimal.
Interaksi Guru dan Siswa Kelas VII dalam Dimensi 3: Fungsi Bahasa. Hasil penelitian
Membantu Siswa Memahami Konsep menunjukkan adanya fungsi verbal yang muncul
dari guru pada saat interaksi yang terjadi antara guru
Tindakan Verbal dan siswa. Akumulasi fungsi verbal yang muncul
Dimensi 1: Proses Kognitif. Hasil penelitian pada saat penelitian selama 3 kali pertemuan, dapat
menunjukkan proses kognitif terdapat pada interaksi dilihat pada Tabel 1.
dan siswa pada kelas VII untuk membantu
Akbarita, dkk. Interaksi Guru dan Siswa Kelas VII untuk Membantu Memahami Konsep Transformasi, 19

Tabel 1. Persentasi Akumulasi Fungsi Interaksi Guru


Fungsi Verbal Persentase (%) Deskripsi Kegiatan Tujuan Kegiatan
Intentional 4,52 Guru memberikan siswa dapat menemukan sendiri
pertanyaan yang konsep yang diajarkan.
mengungkapkan tindakan
atau pemikirannya.
Reproductional 19,94 Guru melakukan Keputusan final terhadap
pengulangan kesimpulan kesimpulan yang diperoleh dan
yang diutarakan oleh agar siswa tidak salah faham
kelompok penyaji. dalam memahami materi yang
diajarkan.
Interrogative 41,94 Guru mengajukan Guru dapat mengetahui tingkat
pertanyaan kepada siswa. pemahaman siswa dengan cara
melihat respon siswa menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang
guru berikan.
Expositional 2,77 Guru membantu siswa Siswa tidak merasa kesulitan
memahami materi memahami konsep awal tentang
translasi dengan cara translasi.
memperagakan
ilustrasinya dengan media
tempat sampah.
Heuristic 3,09 Siswa dapat menemukan siswa dengan percaya diri lebih
ide yang menjadi solusi memikirkan solusi dari ide yang
pertanyaan yang muncul. ditemukan.
Experiential 1,03 Guru memberikan Siswa lebih mudah memahami
contoh-contoh contoh konsep transformasi.
transformasi pada
kehidupan sehari-hari.
Affective 4,83 Perasaan guru yang dapat Memberikan motivasi lebih
muncul pada berbagai kepada siswa pada saat proses
aktivitas baik yang pembelajaran.
melibatkan interaksi
ataupun tidak.
Informative 11,71 guru memberikan Membantu siswa
informasi berupa konsep mengkonstruksi pemahamannya
kepada siswa.
Judgemental 1,23 Guru untuk memastikan Guru dapat mengevaluasi
keyakinan siswa terhadap pemahaman siswa yang muncul
jawaban dan tindakan dari solusi yang mereka buat.
yang mereka ambil.
Argumentational 0,00 -- --
Hypothetical 0,00 -- --
Compositional 1,03 Guru memberikan Guru dapat memantau
pembenaran kesimpulan perkembangan perkerjaan yang
sementara. siswa lakukan.
Organisational 2,67 Guru memberikan arahan Memudahkan siswa memahami
saat akan memulai arah pembelajaran yang
diskusi kelompok. direncanakan oleh guru.
External Thinking 3,70 Guru memberikan Siswa dapat termotivasi untuk
pertanyaan-pertanyaan memikirkan jawaban dari
pancingan kepada siswa. pertanyaan guru yang
sebelumnya tidak dipikirkan
oleh siswa.
Imaginative 1,03 guru membimbing siswa Memudahkan siswa memahami
berimajinasi tentang konsep.
proyektor di gedung
bioskop saat mencoba
menjelaskan contoh
dilatasi pada kehidupan
sehari-hari.
20, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor1, Januari 2016

Tindakan Non Verbal hasil jawabannya dan pada saat siswa kesulitan
Guru menggunakan gestur untuk memudah- meng-analisis hasil jawaban dari kelompok lain
kan siswa memahami konsep transformasi. Castellon sewaktu diskusi kelas. Sedangkan restructuring
& Noel (2006) menyatakan bahwa penjelasan guru terjadi saat siswa kesulitan memberikan atau
yang diiringi gestur akan jauh lebih baik jika mengambil kesimpulan dari kegiatan yang telah
dibandingkan penjelasan tanpa gestur. Gestur yang mereka lakukan. Pada umumnya siswa dapat me-
paling sering digunakan adalah gestur menulis. Hal mahami kesimpulannya, akan tetapi siswa tidak
ini dikarenakan guru lebih sering menggunakan dapat menuliskan kalimat matematikanya..
ilustrasi gambar pada saat kegiatan pembelajaran
berlangsung. Menurut Karwati & Priansa (2014: 84) SIMPULAN DAN SARAN
penggunaan contoh atau ilustrasi merupakan salah
satu komponen penting dalam keterampilan Berdasarkan paparan data, temuan penelitian,
menjelaskan (explaning skills) yang harus dimiliki dan pembahasan yang telah dijelaskan pada Bab IV
oleh seorang guru. Gestur kedua yang sering dan V, dapat diperoleh kesimpulan bahwa interaksi
digunakan adalah gestur menunjuk. Gestur ini yang guru lakukan dapat membantu siswa me-
muncul saat guru menunjuk ke salah satu objek yang mahami konsep transformasi. Hasil analisis terhadap
mempunyai peran dalam membangun pemahaman interaksi guru dan siswa yang terjadi dibagi atas tiga
siswanya. Biasanya guru menggunakan gestur dimensi analisis. Dimensi analisis yang pertama
menunjuk pada ilustrasi gambar yang telah ada, adalah proses kognitif. Interaksi ini didominasi oleh
guna memberikan penekanan terhadap salah satu kegiatan eksplorasi. Yang menuntut siswa untuk
bagian pada gambar tersebut. Guru juga meng- membangun pemahamannya berdasarkan penga-
gunakan gestur menunjuk untuk menunjuk siswa laman pengalamannya. Dimensi analisis yang kedua
pada saat sesi tanya jawab yang berguna untuk adalah proses sosial. Proses sosial yang men-
mengecek tingkat pemahaman siswa. Gestur re- dominasi adalah collaborative, yaitu guru bersama-
presentasi muncul hanya pada saat guru memberikan sama dengan siswa berkolaborasi dalam kegiatan
contoh-contoh transformasi di kehidupan sehari-hari. belajar mengajar. Dimensi analisis yang ketiga
adalah fungsi verbal. Fungsi verbal yang men-
Kegiatan Scaffolding Saat Siswa Kesulitan dominasi adalah interrogative, yaitu pertanyaan
Memahami Konsep yang diajukan guru terhadap siswa. Sehingga in-
Kesulitan-kesulitan yang dialami siswa terdiri teraksi guru dan siswa yang sesuai untuk membantu
dari kesulitan mamahami penjelasan guru, dan pemahaman siswa adalah dengan kegiatan eks-
kesulitan dalam mengingat konsep yang diperlukan plorasi, yaitu guru secara aktif mem-berikan
untuk mengerjakan soal-soal. Siswa secara aktif pertanyaan-pertanyaan pancingan yang akan mem-
bertanya kepada guru tentang hal yang tidak mereka bantu siswa membangun pemahamannya. Dengan
mengerti. Akan tetapi sebagian besar siswa tidak demikian akan tercipta pembelajaran yang kola-
mengerti tentang penjelasan guru yang meng- boratif. Kegiatan pembelajaran tersebut juga harus
akibatkan siswa tidak merespon pertanyaan dari disertai gestur yang dimunculkan oleh guru agar
guru. Hal ini sejalan dengan penelitian Gal & siswa lebih mudah memahami konsep trans-formasi.
Linchevski (2010) yang menyatakan siswa meng- Gestur menulis merupakan gestur yang lebih sering
alami kesulitan memahami konsep ditunjukkan dari muncul daripada jenis gestur yang lain pada saat
ekspresi siswa yang seperti tidak mendengarkan interaksi guru dan siswa. Sehingga gestur menulis
guru serta mudah bingung. Oleh sebab itu guru terbukti efektif digunakan untuk membantu
sebagai fasilitator mencoba membantu siswa menjelaskan kepada siswa mengenai maksud materi-
mengatasi kesulitannya dengan pemberian bantuan materi transformasi.
atau scaffolding. Berdasarkan temuan penelitian yang diperoleh
Kegiatan scaffolding guru yang teramati dari penelitian ini, dapat disarankan sebagai berikut:
adalah pada level 2 berdasarkan tahap proses (1) Guru sebaiknya memberikan apersepsi awal pada
scaffolding yang dikemukakan oleh Anghileri, yaitu setiap kegiatan pembelajaran. Apersepsi yang di-
expaining, reviewing, dan restructuring. Kesulitan maksud dapat berupa pre test, dan pertanyaan-
siswa yang dapat diatasi dengan explaining adalah pertanyaan pancingan yang berhubungan dengan
kesulitan siswa memahami materi yang diajarkan, materi yang akan diajaran; (2) Guru sebaiknya
kesulitan memahami gambar ilustrasi yang di- mengurangi bahasa komunikatif yang secara
berikan, dan kesulitan mengerjakan soal yang ada di konseptual kurang benar. Sehingga siswa dapat
LKS. Kesulitan siswa yang dapat diatasi dengan memahami konsep yang diajarkan secara benar.
reviewing adalah saat siswa kesulitan menganalisis
Akbarita, dkk. Interaksi Guru dan Siswa Kelas VII untuk Membantu Memahami Konsep Transformasi, 21

DAFTAR RUJUKAN

Anghileri, J. 2006. Scaffolding Pactices that Kerangka Kerja Asimilasi dan Akomodasi.
Enhance Mathematics Learning. Journal of Tesis tidak diterbitkan. Malang : Universitas
Mathematics Teacher Education. Negeri Malang.
Bayazkurk, D. & Kesner, J.E. 2005. Theacher-Child Karwati, E & Priansa, D.J. 2014. Manajemen Kelas:
Relationship in Turkish and United States Guru Profesional yang Inspiratif, Kreatif,
Schools: A Cross Cultural Study. Menyenangkan, dan Berprestasi. Bandung:
Internasional Educational Journal, 6, 547- Alfabeta.
554. Kumpulainen, K. & Wray D. 2002. Classroom
Castellon, V.C. & Noel, E. 2006. Teacher’s Speech Interactian and Social Learning. New York:
and Gesture as a Communicative and Routledge Falmer is an Imprint of the Taylor
Strategic Tool to Convey and Discuss & Francis Group.
Mathematical Concepts in a Bilingual Sardiman. 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar
Algebra Classroom. Makalah disajikan dalam Mengajar. Jakarta : Rajagrafindo Persada.
AERA, San Fransisco. Sagala, Syaiful. 2011. Konsep Dan Makna
Dukmak, S. 2010. Classroom Interaction in Regular Pembelajaran untuk Membantu Memecahkan
Special Education Middle Primary Problematika Belajar dan Mengajar.
Classrooms in the United Arab Emirates. Bandung: Alfabeta.
British Journal of Special Education. 37 (1), Shein, P. P. 2012. Supporting Mathematical
39– 49. Discussions with Discourse Practices and
Gal, H & Linchevski. 2010. To See or not to See: Learning Support.
Analyzing Difficulties in Geometry from the Slavin, R E. 2012. Educational Psycology : Theory
Perspective of Visual Perception.Journal Educ and Practice Tenth Edition. Boston: Pearson
Stud Math. 74:163–183. Smart, B. J & Marshall, C, J. 2012. Interactions
Goldin-Meadow, S. & Wagner. 2005. How Our Between Classroom Discourse, Teacher
Hands Help Us Learn. Trends in Cognitive Questioning, and Student Cognitive
Sciences Vol 9 No. Amsterdam: Elsevier. Engagement in Middle School Science.
Hai, S.K. & Bee L.S. 2006. Effectiveness of Journal of Science Teacher Education.
Interaction Analysis Feedback on The Verbal Suyono & Hariyanto. 2011. Belajar dan
Behaviour of Primary School Mathematics Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Teachers. Jurnal Pendidik dan Pendidikan, Yamin, M. 2008. Paradigma Pendidikan
21: 115 – 128. Konstruktivistik. Jakarta: Gaung Persada Press
Irpan, S. 2013. Proses Terjadinya Kesalahan dalam
Penalaran Proporsional Berdasarkan
.
PENERAPAN METODE PENEMUAN TERBIMBING UNTUK
MENINGKATKAN PENALARAN MATEMATIKA SISWA

Ani Afifah1), I Nengah Parta2), Tjang Daniel Chandra3)

Pendidikan Matematika Pascasarjana Universitas Negeri Malang1,2,3)


fifa.ani@gmail.com1

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pembelajaran dengan metode penemuan terbim-
bing yang dapat meningkatkan penalaran matematika siswa kelas X SMK Kesehatan Al-Yasini Pasuruan.
Penelitian ini dilakukan pada tahun ajaran 2014-2015. Prosedur penelitian ini mengacu pada model PTK
Kurt Lewin yang terdiri dari identifikasi masalah, perencanaan, Pelaksanaan dan observasi, serta Refleksi.
Instrumen yang digunakan terdiri dari hasil pengerjaan LKS, kuis, tes akhir, lembar observasi aktivitas
guru, dan lembar observasi aktivitas siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan
metode penemuan terbimbing dapat meningkatkan penalaran matematika siswa. Hal ini ditunjukkan dari
hasil observasi aktivitas guru dan siswa berada pada kategori baik. Selain itu, hasil kuis dan tes akhir juga
menjadi penentuan keberhasilan dalam penelitian ini. Hasil kuis pada siklus I secara klasikal mencapai
73,91% dan tes akhir siklus I mencapai 65,21%. Sedangkan pada siklus II hasil kuis secara klasikal
mencapai 85% dan tes akhir siklus II mencapai 80%. Hal ini berarti bahwa penelitian yang dilaksanakan
dikatakan berhasil sesuai dengan kriteria keberhasilan yang ditetapkan.

Kata kunci: Penemuan terbimbing, Penalaran matematika

Matematika sering digunakan sebagai alat untuk peringkat ke-38 dari 49 negara dengan skor rata-rata
mencari solusi dari berbagai permasalahan. Matema- internasional 500 (Mullis, dkk, 2008). Kondisi yang
tika terdiri dari beberapa komponen diantaranya tidak jauh berbeda dengan hasil survei PISA
aksioma dan teorema. Matematika dapat dipandang (Programme for International Student Assessment)
sebagai cara bernalar, karena didalamnya memuat tahun 2012 bahwa Indonesia berada pada peringkat
pembuktian yang sahih atau valid, serta proses pena- ke-64 dari 65 negara dengan skor rata-rata 375
laran matematika yang sistematis (Juandi, 2008:1). (Balitbang, 2011). Hasil studi TIMSS dan PISA
Menurut Yosefa & Nurjanah (2013) bahwa matema- menunjukkan bahwa rendahnya kemampuan siswa
tika merupakan ilmu yang mempunyai ciri khusus, dalam menalar sudah dirasakan sebagai masalah
diantaranya penalaran. Kemampuan penalaran yang yang cukup pelik dalam pengajaran matematika di
tertuang dalam permendiknas No. 22 tahun 2006 sekolah. Siswa belum memiliki kemampuan untuk
tentang standar isi merupakan salah satu dari kompe- menyelesaikan soal yang dituntut untuk berfikir
tensi yang harus dimiliki oleh siswa. Penalaran me- lebih tinggi. Permasalahan ini muncul sudah cukup
rupakan suatu kegiatan, proses atau aktivitas berpikir lama dan sedikit terabaikan, karena kebanyakan guru
untuk membuat suatu pernyataan baru berdasarkan matematika dalam kegiatan pembelajaran berkon-
beberapa pernyataan yang kebenarannya telah di- sentrasi untuk mengejar nilai UN setinggi mungkin
buktikan atau diasumsikan. Melalui penalaran mate- (Bani, 2011). Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran
matika siswa dapat mengajukan dugaan, menyusun biasanya difokuskan untuk terampil menjawab soal
bukti, melakukan manipulasi terhadap permasalahan matematika, sehingga penguasaan dan penalaran
matematika dan membuat kesimpulan dengan benar siswa terabaikan.
dan tepat. Oleh karena itu, dalam pembelajaran ma- Peneliti melakukan observasi awal di SMK
tematika di sekolah diharapkan dapat mengem- Kesehatan Al-Yasini Pasuruan pada tahun ajaran
bangkan kemampuan penalaran matematika siswa 2013-2014.Observasi ini dilakukan di kelas X yang
yang tercermin dari hasil belajar matematika itu berjumlah 32 siswa. Guru SRZ adalah guru yang
sendiri. mengajar pada saat dilakukan observasi. Guru SRZ
Mencermati begitu pentingnya kemampuan mengajar dengan memberikan penjelasan singkat
penalaran pada pembelajaran matematika maka sis- mengenai materi yang ada di buku. Setelah itu, guru
wa dituntut untuk memiliki kemampuan ini. Namun, memberi kesempatan siswa bertanya jika ada pen-
Lithner (2012) menyatakan bahwa tingkat pengua- jelasan materi yang belum dipahami. Namun pada
saan siswa terhadap pelajaran matematika sangat saat observasi, siswa cenderung diam dan tidak
rendah. Hal ini ditunjukkan dari data dari TIMSS bertanya tentangbagian materi yang tidak dipahami.
(Trend in International Mathematics and Science Dalam hal ini siswa terlihat bingung dengan apa
Study) pada tahun 2011, Indonesia berada pada yang disampaikan guru.

22
Afifah,dkk. Penerapan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Penalaran Matematika Siswa, 23

Kegiatan selanjutnya, guru memberikan tugas 2012 & Jaarsvelda: 2010). Selain itu, Bani (2011)
yang ada di buku. Setelah siswa selesai mengerja- menjelaskan bahwa pembelajaran penemuan
kan, guru melakukan pembahasan secara klasikal terbimbing dapat meningkatkan penalaran mate-
mengenai cara penyelesaian dan jawaban dari tugas matika siswa yang lebih baik dibandingkan dengan
yang diberikan. Siswa yang duduk di depan lebih pembelajaran konvensional. Dengan demikian, dapat
memperhatikan dan mendengarkan penjelasan dari dikatakan bahwa penemuan ter-bimbing terkait
guru. Namun, siswa yang duduk di belakang cen- dengan penalaran.
derung sibuk dengan aktivitasnya sendiri seperti Beberapa hasil penelitian telah menunjukkan
terdapat beberapa siswa mengerjakan tugas yang bahwa metode penemuan terbimbing memberikan
belum terselesaikan dari guru lain. Setelah ditanya, dampak yang positif dalam pembelajaran mate-
siswa menyatakan bahwa pembelajaran yang matika. Penelitian yang dilakukan oleh Khasnis dan
dilakukan guru kurang menarik. Permasalahan ini Manjunath (2011) menunjukkan bahwa aktivitas
disebabkan metode yang digunakan oleh guru adalah belajar siswa menjadi lebih baik ketika guru
ceramah, drill, dan penugasan. Oleh karena itu, pada menerapkan metode pembelajaran penemuan ter-
pembelajaran ini siswa tampak kurang aktif dan guru bimbing daripada ketika guru menerapkan metode
masih mendominasi kegiatan di kelas. pembelajaran konvensional. Lebih lanjut, Udo
Disamping itu, pada saat guru memberikan (2010) menyatakan bahwa dengan metode pene-
pertanyaan mengenai materi yang dipelajari, siswa muan terbimbing memberikan pengalaman baru bagi
hanya dapat menjawab pertanyaan tersebut secara siswa dalam kegiatan belajar mengajar. Penemuan
bersama-sama. Tetapi apabila ditanya tentang ala- terbimbing sangat cocok digunakan dalam pem-
sannya dari jawaban tersebut secara peorangan, belajaran, karena metode tersebut menitikberatkan
siswa tidak dapat memberikan alasan dengan jelas. pada aktifitas siswa secara langsung untuk menemu-
Dalam hal ini guru SRZ menyatakan bahwa kegiatan kan sesuatu yang baru dalam kegiatan belajar me-
pembelajaran ini sering digunakan karena dianggap ngajar.
lebih efisien dan dapat menempuh materi sesuai Metode penemuan terbimbing dalam pene-
silabus yang ditentukan. Pembelajaran ini kurang litian ini diadaptasi pada Magnusson dan Palincsar
melibatkan peranan siswa dalam mengkonstruksi yang dilaksanakan dengan tahap-tahap yaitu ori-
penalarannya. Dari permasalahan yang telah dipa- entasi masalah, mengidentifikasi masalah, mengum-
parkan tersebut, perlu adanya upaya yang dapat pulkan dan mengolah data, mempresentasikan, dan
ditempuh untuk meningkatkan aktivitas belajar mengevaluasi data. Penalaran matematika siswa
siswa. Berdasarkan hasil observasi tersebut, pene- dalam penelitian ini akan diukur berdasarkan tahap
litian ini terfokus pada peningkatan kemampuan penemuan terbimbing. Indikator penalaran ma-
penalaran siswa dalam menyelesaikan masalah tematika yaitu menentukan informasi, membuat
matematika. strategi penyelesaian, dan membuat kesimpulan.
Dalam upaya meningkatkan kemampuan ma-
tematika seperti yang diharapkan, guru perlu METODE PENELITIAN
mengatur strategi penyampaian materi matematika
kepada siswa. Hal ini dilakukan untuk mem- Jenis penelitian yang digunakan adalah
persiapkan pedoman bagi guru dalam penyampaian Penelitian Tindakan Kelas Penelitian ini didasarkan
materi, sehingga diperoleh hasil pembelajaran ma- pada alasan permasalahan penelitian yaitu untuk
tematika yang optimal (Akanmu, dkk, 2013). Untuk memperbaiki pembelajaran di kelas. Permasalahan
melaksanakan pembelajaran ter-sebut, diperlukan yang muncul tersebut direfleksi dan dianalisis ber-
beberapa kecakapan guru untuk memilihkan suatu dasarkan teori yang menunjang, kemudian dila-
metode pembelajaran yang tepat yang dapat kukan tindakan untuk mengupayakan pening-katan
meningkatkan kemampuan penalaran matematika penalaran siswa dengan menggunakan metode
siswa. penemuan terbimbing.
Terdapat penelitian yang memaparkan Penelitian ini dilaksanakan di SMK Kesehatan
tentang pembelajaran yang dapat terkait dengan Al-Yasini. Sekolah ini terletak di Jln. Ponpes Al-
kemampuan penalaran, diantaranya penemuan ter- Yasini, Areng-areng Kec.Wonorejo Pasuruan.
bimbing. Adhar (2012) menjelaskan bahwa beberapa Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa kelas X
contoh permasalahan mengenai penalaran dalam Keperawatan. Adapun waktu pelaksanaannya pada
penemuan terbimbing berdasarkan tindakan yang semester genap tahun ajaran 2014/2015. Partisipan
diarahkan. Dalam pembelajaran penemuan terbim- penelitian ini dipilih berdasarkan pertimbangan hasil
bing, siswa memahami permasalahan ber-dasarkan identifikasi masalah yang dilakukan oleh peneliti.
proses penalaran. Dalam hal ini, proses penalaran Adapun Prosedur penelitian tindakan ini mengacu
mendukung pemahaman lebih bagi siswa dalam pada model penelitian tindakan kelas (PTK) yang
memahami materi yang mereka pelajari (Lithner: dikembangkan oleh kurt lewin (Elliot, 1991:70).
24, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Secara garis besar, prosedur tersebut berupa siklus diulang sampai kriteria yang ditetapkan dalam setiap
yang terdiri dari empat tahap, yaitu perencanaan, siklus tercapai. Data dan sumber data penelitian ini
pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Siklus akan disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Data dan Sumber data


Instrumen Data Sumber Data
Lembar Validasi perangkat pembelajaran dan instrumen Validator
validasi penelitian meliputi:
Lembar Pelaksanaan pembelajaran Observer
observasi
Lembar tes Skor hasil kuis dan tes khir siklus Partisipan penelitian

Pedoman Hasil wawancara dengan pasrtisipan penelitian Partisipan penelitian


wawancara

HASIL DAN PEMBAHASAN siklus I merupakan tes untuk mengukur penalaran


siswa. Penelitian ini dianggap tuntas jika perolehan
Hasil skor siswa minimal 75. Rata-rata skor kuis secara
Pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama 2 individu adalah 63,5. Hal ini berarti persentase
siklus, dimana setiap siklus terdiri dari empat per- secara klasikal adalah 72,2%. Sedangkan hasil rata-
temuan dan satu kali tes akhir. Selain itu, kuis rata tes akhir siklus I juga diperoleh sebanyak 16
dilaksanakan pada setiap akhir pertemuan. Selama dari 23 siswa yang mengikuti tes belum tuntas. Hasil
kegiatan pembelajaran berlangsung diadakan obser- tes akhir siklus I diperoleh persentase 73,6%. Data
vasi terhadap keterlaksanaan kegiatan guru dan hasil kuis dan tes akhir ini belum mencapai kriteria
siswa dalam pembelajaran. Hasil observasi aktivitas keberhasilan, dikarenakan belum memenuhi per-
guru dan siswa selama siklus I berlangsung dapat sentase penalaran matematika secara klasikal paling
dilihat pada Tabel 2. sedikit 75%. Berdasarkan data hasil observasi, kuis
dan tes akhir pada siklus I, penelitian ini belum
Tabel 2. Rekap Hasil Observasi Siklus I memenuhi kriteria keberhasilan. Oleh karena itu,
Jenis Kegiatan Rata-rata (𝑿𝒐 ) Kategori penelitian dilanjutkan pada siklus II. Sebelum
Aktivitas guru 3,27 Baik penelitian dilanjutkan pada siklus II, peneliti dan
Aktivitas siswa 3,12 Baik observer menganalisis kendala-kendala yang
dihadapi dalam pembelajaran pada siklus I. Adapun
Dari tabel di atas dapat dikatakan bahwa kendala-kendala yang dihadapi pada siklus I dan
aktivitas guru dalam melaksanakan pembelajaran rencana perbaikan pada siklus II dapat dilihat pada
dan aktivitas belajar siswa sudah mencapai kriteria Tabel 3.
keberhasilan yang ditentukan. Kuis dan tes akhir

Tabel 3. Kendala yang dihadapi pada Siklus 1 dan Rencana Perbaikan


No. Kendala yang dihadapi pada siklus I Rencana perbaikan
1 Apersepsi yang diberikan guru terlalu memakan Guru lebih memperhatikan alokasi waktu.
waktu.
2 Sebagian siswa masih kurang menguasai konsep Guru lebih memberikan penekanan pada penguasaan
dasar pengetahuan prasyarat konsep prasyarat dan syarat penting yang diperlukan.
3 Guru masih terlalu banyak memberikan arahan Memberikan kesempatan pada siswa untuk lebih mandiri
terutama pada saat siswa sudah mulai dengan mengikuti prosedur pada LKS dan
melakukan kegiatan mengoptimalkan kerja kelompok.
4 Siswa kurang berpikir matematis karena Guru memberikan penekanan pada pertisipasi aktif seluruh
kebiasaan belajar yang lama. Selain itu, siswa anggota kelompok
lebih cenderung menunggu penjelasan dari
guru.
5 Beberapa siswa masih terlihat malu dalam Memberikan penekanan pada partisipasi aktif siswa, dan
mempresentasikan hasil kelompoknya karena dorongan bagi siswa untuk lebih berani dalam
kurang terbiasa dalam menyampaikan ide dan menyampaikan ide atau gagasannya.
gagasan
6 Pada pelaksanaan kuis individual, tampak siswa Guru lebih maksimal dalam mengawasi pelaksanaan kuis
kurang tenang dan terjadi sedikit kegaduhan individual
Afifah,dkk. Penerapan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Penalaran Matematika Siswa, 25

Selanjutnya akan dilakukan kegiatan mem- selama siklus dua berlangsung dapat dilihat pada
perbaiki tindakan pembelajaran untuk siklus II Tabel 4 .
seperti pada Tabel 3. Berdasarkan hasil observasi

Tabel 4. Rekap Hasil Observasi Siklus II


Kegiatan Rata-rata (𝑽𝒐 ) Kategori
Aktivitas guru 3,48 Baik
Aktivitas siswa 3,30 Baik

Dari Tabel 4 tersebut dapat dikatakan bahwa Hal ini disebabkan sebelumnya siswa sedang
aktivitas guru dalam melaksanakan pembelajaran mengikuti kegiatan yayasan, sehingga beberapa
dan aktivitas belajar siswa sudah mencapai kriteria siswa masih berada di luar kelas. Dengan demikian
keberhasilan yang ditentukan. Hasil rata-rata skor mengakibatkan siswa yang berada dalam kelas
kuis secara individu adalah 73,5 siswa yang telah menganggap pembelajaran belum siap untuk
mendapatkan nilai minimal 75. Sedangkan Skor kuis dilaksanakan.
pada siklus II secara klasikal siswa yang telah Dalam hal membimbing, guru memberikan
mendapatkan nilai minimal 75mencapai persentase bantuan seperlunya pada kelompok siswa yang
83,2%. Sedangkan hasil rata-rata tes akhir siklus II mengalami kesulitan. guru tidak mengomunikasikan
secara klasikal mencapai presentase sebanyak 77%. pengetahuan secara langsung, tetapi membantu sis-
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa wa belajar dengan mencari kebenaran suatu infor-
berdasarkan semua data yang diperoleh pada siklus 2 masi dan pengetahuan mereka (Akanmu, 2013).
dari observasi aktivitas siswa, tes akhir siklus sudah Pada saat membantu siswa, guru tidak langsung
memenuhi kriteria keberhasilan, sehingga tidak memberikan jawaban tetapi mengajukan per-
perlu dilaksanakan siklus berikutnya. Kriteria tanyaaan pancingan yang mengarah pada solusi.
keberhasilan tindakan yang dimaksud adalah hasil Menurut Markaban (2006: 12-13) guru harus me-
analisis data observasi guru dan siswa minimal pada mancing berpikir siswa dengan pertanyaan-per-
kriteria baik, dan analisis meningkatnya penalaran tanyaan, sehingga dapat memungkinkan siswa untuk
siswa yaitu sedikitnya 75% dari banyak siswa dalam memahami dan mengkonstruksikan konsep-konsep
kelas mendapatkan skor kuis dan tes akhir siklus tertentu. Hal ini dapat memungkinkan siswa untuk
minimal 75. memahami dan mengkonstruksikan konsep-konsep
tertentu, membangun aturan-aturan serta belajar me-
Pembahasan nemukan sesuatu untuk memecahkan masalah.
Pada penelitian ini kegiatan pembelajaran Pada setiap pertemuan, guru memberikan
diawali dengan menyiapkan siswa sebelum memulai kesempatan kepada siswa untuk menyajikan hasil
pembelajaran. Hal ini dilakukan agar mempermudah diskusinya secara klasikal. Pada kegiatan ini, guru
dan menciptakan rasa nyaman dalam melaksanakan menunjuk secara acak perwakilan salah satu anggota
pembelajaran. Sesuai pendapat Orthon (1992: 78) kelompok untuk mempresentasikannya jawaban
bahwa siswa yang siap untuk belajar akan belajar yang ditemukan. Hal ini dilakukan agar setiap siswa
lebih banyak daripada siswa yang tidak siap. Setelah dalam kelompok lebih siap apabila ditunjuk.
siswa siap belajar, guru melakukan kegiatan dengan Sedangkan kelompok yang lain diberikan ke-
mengucapkan salam. Hal ini merupakan salah satu sempatan untuk bertanya dan memberikan tang-
rutinitas yang harus dilakukan guru sebelum gapan kepada kelompok yang presentasi. Kegiatan
memulai kegiatan pembelajaran. Pada kesempatan presentasi dapat membantu siswa agar berani
ini, siswa dan guru saling mendoakan dan diberikan mengungkapkan idenya dan menjelaskannya kepada
kemudahan dalam kegiatan belajar mengajar. teman yang lain, berani menerima kritik dan saran
Penyampaian tujuan pembelajaran dilakukan dari yang lain. Sesuai pendapat Supriono (2012:8)
oleh guru secara lisan. Hal ini dilakukan agar siswa yangmenyatakan bahwa siswa sering merasa gugup
dapat mengetahui arah pembelajaran yang ber- atau malu ketika diminta untuk presentasi di dalam
langsung, sehingga siswa akan termotivasi untuk kelas. Hal ini diakibatkan karena siswa belum
melaksanakan pembelajaran. Hal ini Sesuai dengan terbiasa melakukan kegiatan presentasi dalam
pendapat Uno (2008:34) bahwa penuangan tujuan pembelajaran.Dengan demikian, perlunya dilakukan
pembelajaran diberikan agar siswa dapat mengetahui tindakan dengan memperbaiki desain kegiatan
hasil yang akan dicapai dan mendapatkan hasil presentasi pada pertemuan berikutnya agar kelom-
belajar yang maksimal. Namun, pada pertemuan pok penyaji membacakan tiap poin dan langsung
pertama siklus I, ketika guru menyampaikan tujuan ditanggapi oleh kelompok yang lain.
pembelajaran siswa terlihat kurang memperhatikan.
26, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Guru mengapresiasi terhadap kelompok melihat masalah tersebut secara lebih rinci meliputi
penyaji dengan memberikan penghargaan berupa apa yang diketahui dan ditanyakan, data apa saja
tepuk tangan dan diikuti oleh kelompok lain. yang dimiliki, dan apa hubungan dari hal-hal yang
Penghargaan yang diberikan kelompok lain me- diketahui. c) Mengumpulkan dan mengolah data,
nimbulkan perasaan senang dan bangga pada diri guru meminta siswa mengumpulkan informasi yang
kelompok penyaji yang dapatmenimbulkan motivasi berkaitan dengan materi yang diperoleh dari
belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Eggen dan beberapa literatur. Selanjutnya, guru meminta siswa
Kauchak (2010: 88) bahwa kerja sama siswa dapat menuliskan jawaban sementara tersebut dalam ben-
menimbulkan motivasi dari dalam diri siswa.Setelah tuk tabel untuk menyusun strategi penyelesaian, d)
kegiatan presentasi selesai, guru memberikan Mempresentasikan, guru meminta salah satu
penguatan mengenai materi yang telah didiskusikan kelompok siswa untuk menyajikan hasil diskusinya
selama pembelajaran. Hal ini didukung pendapat melalui presentasi secara klasikal di depan kelas,
Ruseffendi (1988:258) yang mengatakan bahwa dan e) Mengevaluasi data, guru dan siswa melaku-
dalam proses belajar khususnya dalam tahap ini guru kan refleksi terhadap aktivitas dan hasil diskusi pada
harus tetap melaksanakan penguatan yang tujuannya pembelajaran tersebut. Guru memberi kesempatan
(1) meningkatkan perhatian siswa (2) membangkit- kepada siswa untuk menyimpulkan hasil diskusi
kan dan memelihara perhatian siswa (3) mengontrol yang telah dilakukan.
dan memodifikasi prilaku siswa yng kurang positif Penalaran matematika ditunjukkan dengan
serta mendorong prilaku siswa yang produktif. perolehan skor pada kuis dan tes akhir siklus.
Guru mengadakan evaluasi pada setiap akhir Berdasarkan hasil analisis rata-rata skor kuis dan tes
pembelajaran dengan memberikan soal kuis. Siswa akhir diperoleh bahwa presentase siswa tuntas
mengerjakan soal kuis secara individu. Hal ini belajar pada siklus II lebih tinggi dari pada
dilakukan untuk mengecek kemampuan penalaran presentase pada siklus I. Hasil kuis pada siklus I
matematika siswa. Sesuai dengan pendapat Slavin secara klasikal mencapai 73,91% dan tes akhir siklus
(2006: 243) menyatakan bahwa untuk meningkatkan I mencapai 65,21%. Sedangkan pada siklus II hasil
kemampuan memahami dan menyelesaikan soal, kuis secara klasikal mencapai 85% dan tes akhir
siswa memerlukan latihan yang harus dilakukan siklus II mencapai 80%. Sesuai dengan data tersebut,
secara mandiri. Ketika kuis dilaksanakan pada siklus maka pembelajaran yang dilakukan pada penelitian
I, tampak siswa kurang tenang dan terjadi sedikit ini dikatakan telah mencapai kriteria yang
kegaduhan. Hal ini diakibatkan oleh pengawasan ditetapkan. Dari uraian di atas menunjukkan bahwa
guru yang kurang maksimal. Guru hanya mengawasi pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing
dari meja guru yang berada di depan kelas. Sesuai dapat meningkatkan penalaran matematika siswa,
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Swaak dengan mempertimbangkan hasil aktivitas belajar
(2006:15) menyatakan bahwa lemahnya kontrol atau siswa dan penguasaan siswa terhadap bahan ajar.
pengawasan menjadi penyebab siswa melakukan Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas
pelanggaran. menggunakan pembelajaran metode penemuan
. terbimbing dapat dikemukakan rekomendasi sebagai
berikut: (1) Dalam memberikan bimbingan, guru
SIMPULAN DAN SARAN memancing berfikir siswa dengan pertanyaan-
pertanyaan, sehingga dapat memungkinkan siswa
Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh untuk memahami dan mengkonstruksi konsep-
kesimpulan bahwa pembelajaran menggunakan konsep tertentu. Kegiatan ini dapat membantu siswa
metode penemuan terbimbing dapat meningkatkan untuk menemukan pengetahuan baru pada penelitian
penalaran matematika siswa adalah a) Orientasi ini, (2) Pada kegiatan presentasi, kelompok penyaji
masalah, tahap ini guru meminta siswa untuk menyampaikan hasil temuannya, dan kelompok lain
memahami masalah pada lembar kerja kelompok sebagai pembanding diberikan kesempatan bertanya
yang telah diberikan. Masalah-masalah yang diberi- dan memberikan komentar. Kegiatan ini dapat
kan meliputi model matematika, menggambar grafik membantu siswa agar berani mengungkapkan idenya
pertidaksamaan, dan menentukan daerah penyelesai- dan menjelaskan pada teman yang lain, serta berani
an dari grafik pertidaksamaan, b) Mengidentifikasi menerima kritik dan saran
masalah, guru meminta memahami soal dengan cara

DAFTAR RUJUKAN

Adhar, E. 2012. Pembelajaran Matematika Dengan Meningkatkan Kemampuan Representasi dan


Metode Penemuan Terbimbing untuk Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP.
Afifah,dkk. Penerapan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Penalaran Matematika Siswa, 27

Jurnal Penelitian Pendidikan UPI, Vol. 13 No. Orthon Anthony. 1992. Learning Mathematics:
2. Issues, theory and Classroom Practice
Akanmu, M. Alex and Fajemidagba, M. Olubusuyi. (Second Edition). New York: Dotesios.
2013. Guided-discovery Learning Strategy Rasmussen, C. & Marrongelle, K. 2006. Pedagogical
and Senior School Students Performance in Content Tools: Integrating Student Reasoning
Mathematics in Ejigbo, Nigeria. Journal for and Mathematics in Instruction. Journal for
Reseach in Mathematics Education,Vol.4, Reseach in Mathematics Education. diakses
No.12. 27 Juni 2014. Vol. 35, 388-420.
Balitbang. (2011). Survei Internasional PISA. Ruseffendi. 1988. Pengantar Kepada Membantu
(Online). Guru Mengembangkan Kompetensi dalam
Bani, Asmar. 2011. Meningkatkan Kemampuan Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan
Pemahaman dan Penalaran Matematik Siswa CBSA. Bandung: Tarsito
Sekolah Menengah Pertama Melalui Shadiq, Fadjar. 2004.Pemecahan Masalah,
Pembelajaran Penemuan Terbimbing. Jurnal Penalaran,dan Komunikasi. Yogyakarta:
Edisi Khusus No. 1, UPI, Bandung Diklat Instruktur/Pengembang Matematika
Degeng, I. N. S. 1997. Strategi Pembelajaran SMA Jenjang Dasar.
Mengorganisasikan Isi dan Model Elaborasi. Slavin, R. E. 2006. Educational Psychology: Theory
Malang: IKIP Malang and Practice. USA.: Person Education inc.
Eggen, P. D & Kauchack, P. P. 2010. Strategies for Suherman, E. 2001. Strategi Pembelajaran
Teacher: Theaching Contens and Thinking Matematika Kontemporer: Common
Skill. Boston: Alyn & Bacon. Textbook (edisi revisi). Bandung: Universitas
Hudojo, Herman. 1988. Mengajar Belajar Pendidikan Indonesia.
Matematika. Jakarta: Dirjen Dikti Sumarmo. 2003. Daya dan Disposisi Matematik:
Jaarsvelda, Saskia,.et.al. 2010. Solving and Creating Apa, Mengapa, dan Bagaimana
Raven Progressive Matrices: Reasoning in Dikembangkan pada siswa Sekolah Dasar
Well-and Ill-Defined Problem Spaces. dan Menenah. Makalah disajikan pada
Creativity Research Journal, Vol. 22(3), 304– Seminar Sehari Jurusan Matematika ITB,
319. Oktober 2003.
Juandi, D. 2008. Kemampuan Penalaran Supriono. 2012. Pembelajaran Penemuan
Matematika Siswa Menggunakan Pendekatan Terbimbing dengan Alat Peraga untuk Materi
Contextual Teaching And Learning Di Kelas Volume dan Luas Tabung, Volume dan Luas
VIII SMP Negeri 6 Indralaya Utara. Jurnal Kerucut di Kelas IX SMPN 5 Lamongan.
Pendidikan Matematika. FPMIPA UPI Tesis tidak diterbitkan. Surabaya: PPS
Khasnis, B.Y. dan Manjunath, Aithal. 2011. Guided UNESA.
Discovery Method A Remedial Measure In Swaak, J. 2006. The Effects of Discovey Learning
Mathematics. International Referred Research and Expository Instruction on the Acquisition
Journal,July,2011. VOL-II*ISSUE 22. of Definitional and Intuitive Knowledge.
Lithner, Johan. 2012. Learning Mathematics By Journal of Computer Assisted Learning. Vol.
Creative or Imitative Reasoning. Journal of 20: 225-234. diakses 20 Mei 2014.
12th International Congress on Mathematical Udo, Mfon Effiong. 2010. Effect of Guided-
Education. 8 July–15 July, COEX, Seoul, Discovery, Student- Centred Demonstration
Korea. and the Expository Instructional Strategies on
Leo, Adhar, E. 2012.Pembelajaran Matematika Students’ Performance in Chemistry.
dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk International Journal Ethiopia. Vol. 4 (4).
Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Uno, H. B. 2008. Perencanaan Pembelajaran.
Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMP. Jakarta: Bumi Aksara.
Jurnal Penelitian Pendidikan, Vol. 13 No. 2. Yosefa, B. & Nurjanah, E. 2013. Pengaruh Metode
Markaban. 2006. Model Pembelajaran Matematika Pembelajaran QuantumTeaching dengan
dengan Metode Penemuan Terbimbing. Menggunakan Main Mapping Terhadap
Yogyakarta: Depdiknas. Kemampuan Penalaran Matematis Pada Siswa
Mullis, I., Martin, M.O. dan Foy, P. 2008. TIMSS SMP Kelas VIII. Jurnal Pengajaran MIPA
2007 International Mathematics Reports. Universitas Pasundan Bandung. Volume 18,
Chesnut Hills: Boston College. No. 2, Halaman 146-151.
28, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

PROSES BERPIKIR SISWA DALAM MENYELESAIKAN


PERMASALAHAN PADA MATERI TRIGONOMETRI

Hellda Evanty Ariefia1,2, Abdur Rahman As’ari1, Hery Susanto1

Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang


hellda_evantyariefia@yahoo.com

Abstract: This study aims to describe students’ thinking process in solving trigonometry problem based
on Polya’s four steps of problem solving and Mason, Burton and Stacey mathematical thinking ideas
(2010). Based on researcher’ observation and advice from subject teachers, four students, consists of 2
students of grade XI MIA 1 and 2 students of grade XI MIA 2 are selected to be the participants of this
study. In addition, the involved students must have good communication skills. The research indicates
that the following mathematical thinking processes specializing, generalizing, conjecturing and
convincing are present in each of problem solving phases. Although not all of these stages appear or
occur simultaneously in each of problem solving phase.

Keywords: thinking process, problem solving

Berpikir merupakan istilah yang sering didengar McGuinness (1999)mengatakan bahwa fokus
bahkan dipergunakan secara langsung oleh siswa. Di pada kemampuan berpikir sangatlah penting untuk
dalam kegiatan pembelajaran, siswa me-lakukan mendukung proses kognitif aktif yang membuat
aktivitas berpikir. Saragih (2008) menge-mukakan siswa belajar lebih baik karena siswa diberikan
bahwa aktivitas berpikir terjadi secara otomatis serta kesempatan untuk mengungkapkan proses berpikir-
menjadi bagian dalam setiap pembelajaran di kelas. nya, membuat proses berpikir siswa lebih eksplisit,
Dalam belajar matematika, siswa diarahkan untuk dan merefleksikan strategi yang dilakukan oleh sis-
berpikir secara matematis. Hal ini didukung oleh wa. Hal ini didukung oleh pernyataan Karadag
pernyataan Stacey (2007) serta Isoda dan Katagiri (2009) yang menyatakan bahwa siswa lebih baik
(2012) bahwa berpikir matematis merupakan tujuan fokus pada berpikir matematis dan pemahaman
penting dari pen-didikan dan sebagai aspek penting konsep daripada prosedur matematis.
dalam belajar matematika. Pengembangan professional dalam Bautista,
Berpikir merupakan proses kognitif yang Brizuela, Glennie, dan Caddle (2014) dan Mason
menghasilkan ide atau pengetahuan (Saragih, 2008). (2010) juga merekomendasikan untuk mengeks-
Kegiatan berpikir penting untuk dilakukan dan plorasi secara spesifik mengenai pemahaman siswa
dibiasakan pada siswa. Hal ini didukung dengan tentang konsep yang dimiliki dan merespon
pernyataan Schoenfeld (1992) yang menyatakan pemahaman siswa melalui instruksi. Hal ini berarti
belajar untuk berpikir berarti (a) mengembangkan bahwa proses berpikir sangat penting untuk diteliti.
sudut pandang matematis dimana menghargai proses Jika belajar tanpa disertai kemampuan berpikir
matematisasi dan abstraksi serta menerapkannya, matematis, maka kemampuan siswa hanya sampai
dan (b) mengembangkan kompetensi dengan meng- pada mengingat saja. Stacey (2007) menyatakan
gunakan perangkat yang bertujuan memahami bahwa berpikir matematis merupakan 1) tujuan pen-
struktur pemahaman matematika. ting dari pendidikan, 2) cara belajar matematika, dan
Seseorang yang terbiasa dengan aktivitas 3) sarana penting untuk mengajar matematika.
berpikir dapat terlihat dari tingkah laku atau aktivitas Berpikir matematis membantu 1) pemahaman pen-
yang dilakukannya. Widodo (2012) menyebutkan tingnya menggunakan pengetahuan dan keteram-
kemampuan berpikir dapat dilihat melalui proses pilan, dan 2) pencapaian kemampuan dan pe-
berpikir yang dikonstruksi dari pengamatan tingkah laksanaan belajar mandiri (Katagiri, 2004).
laku seseorang. Subanji (2007) menyebutkan bahwa Proses berpikir siswa dapat dilihat dari
proses berpikir adalah aktivitas mental yang di- penyelesaian masalah yang dilakukan oleh siswa.
gunakan untuk merumuskan dan menyelesaikan Polya (1973) menyatakan bahwa dalam penyelesaian
masalah, membuat keputusan serta memahami ma- masalah terdapat specializing dan generalizing. Dua
salah. Mason, Burton, dan Stacey (2010) me- proses yang disebutkan oleh Polya merupakan
nyatakan bahwa proses berpikir didasarkan pada 1) bagian dari komponen proses berpikir. Pernyataan
specializing (mengkhususkan), 2) generalizing Polya tersebut sejalan dengan teori berpikir yang
(mengeneralisasi), 3) conjecturing (menduga), dan diperkenalkan oleh Mason, dkk. Hal ini didukung
4) convincing (menyakinkan). oleh pernyataan Lin (2007) yang menyatakan bahwa
Ariefia, dkk, Proses Berpikir Siswa dalam Menyelesaian Permasalahan pada Materi Trigonometri, 29

teori berpikir Mason, dkk didasarkan pada pemikiran MIA 2 dengan kemampuan komunikasi yang baik
Polya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk me- agar siswa dapat mengemukakan ide-ide atau
neliti proses berpikir dalam menyelesaikan masalah pemikirannya.
dengan beberapa komponen yaitu: specializing Adapun beberapa instrumen yang digunakan
(mengkhususkan), conjecturing (men duga), gene- dalam penelitian, yaitu 1) peneliti bertindak sebagai
ralizing (menggeneralisasi), dan convincing (me- instrumen utama, yaitu merencanakan, me-
yakinkan). laksanakan, mengumpulkan data, menganalisis data,
Pemecahan masalah merupakan kegiatan yang dan melaporkan hasil temuan penelitian, 2) tes
melibatkan siswa dalam berbagai tindakan kognitif berupa tes subyektif terkait dengan trigonometri
yaitu menghubungkan pengetahuan dan pengalaman yang dikerjakan secara individu berdasarkan
sebelumnya untuk menghasilkan pengetahuan baru langkah-langkah penyelesaian masalah Polya yaitu
dalam menyelesaikan masalah (Lester dan Kehle a) memahami masalah, b) menyusun rencana, c)
dalam Yeo, 2009). Hudojo (2005) menyebutkan menjalankan rencana, dan d) memeriksa kembali.
suatu pertanyaan akan menjadi masalah jika tidak Prosedur pengumpulan data melalui metode
ada aturan atau hukum tertentu yang dapat dokumentasi, tes, dan wawancara. Teknik analisis
dipergunakan untuk menyelesaikannya atau mem- yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
peroleh jawaban. Masalah yang digunakan pada interaktif . Tahap reduksi data (data reduction),
penelitian ini terkait dengan materi trigonometri. adalah proses menyeleksi, menyederhanakan, mem-
Gür (2009) menyatakan bahwa trigonometri fokuskan semua data yang diperoleh dari awal
adalah salah satu mata pelajaran yang sulit untuk hingga akhir penelitian. Tahap penyajian data (data
dipahami siswa. Menurut Tuna (2013) trigonometri display) proses menyajikan data yang telah di-
adalah konsep penting untuk mem-perbaiki dan kumpulkan secara sistematis yang memberikan
meningkatkan kemampuan kognitif siswa dan ber- kemungkinan untuk dilakukan penarikan simpulan
peran besar dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan dan pengambilan tindakan. Tahap verifikasi (veri-
Orhun (2004) kreatifitas dan pemahaman dari dasar fying) adalah proses penarikan kesimpulan melalui
trigonometri penting pada pembentukan notasi dan pencermatan data-data terhadap hasil penafsiran dan
metode, sehingga perlu untuk menemu-kan triks evaluasi.
yang mudah untuk mempelajarinya. Berdasarkan Pada penelitian ini akan digunakan triangulasi
latar belakang masalah di atas, maka rumusan sumber data dimana peneliti akan mencari data
masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana dengan menggunakan berbagai sumber diluar data
proses berikir siswa dalam menyelesaikan permasa- pengamatan misalkan siswa lain atau guru.
lahan materi trigonometri melalui langkah-langkah
kerja Polya yang dikaitkan dengan teori proses HASIL DAN PEMBAHASAN
berpikir Mason, Burton dan Stacey?”.
Proses Dasar Berpikir yang dilalui Subjek
METODE PENELITIAN Penelitian pada Tahap Memahami Masalah
a. Specializing
Penelitian ini menekankan pada kegiatan Setiap subjek penelitian melakukan specializing.
mengumpulkan informasi dan mendeskripsikan S1, S2, S3 dan S4 membuat gambar untuk
proses berpikir subjek penelitian dalam me- menyesuaikan dengan informasi pada soal.
nyelesaikan permasalahan pada materi trigonometri. b. Generalizing
Proses ini dikaji berdasarkan proses yang dipaparkan Setiap subjek penelitian melakukan generalizing.
oleh Mason, dkk (2010) yaitu 1) Specializing, 2) Setiap subjek penelitian melakukan seleksi pada
Generalizing, 3) Conjecturing, dan 4) Convincing. setiap gambar yang dibuatnya untuk memperoleh
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa gambar yang sesuai dengan maksud soal.
data verbal, maka jenis penelitian yang paling sesuai c. Conjecturing
adalah penelitian kualitatif deskriptif (Musfiqon, Setiap subjek penelitian melakukan conjecturing.
2012). Setiap subjek penelitian memilih gambar yang
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa sesuai dengan informasi pada soal berdasarkan
SMA Negeri 10 Malang kelas XI semester genap sudut pandang masing-masing subjek.
tahun ajaran 2014/2015 yang telah menempuh d. Convincing
materi trigonometri khususnya aturan sinus dan Setiap subjek penelitian melakukan convincing,
cosinus. Pengambilan subjek penelitian berdasarkan meskipun diantaranya terdapat kesalahan dalam
hasil observasi peneliti serta rekomendasi guru pemilihan gambar yang dilakukan oleh S1, S2,
bidang studi matematika. Jumlah subjek penelitian dan S4. Namun, masing-masing subjek penelitian
adalah empat orang siswa perempuan yaitu dua mampu menjelaskan alasannya dalam memutus-
orang siswa kelas XI MIA 1 dan dua orang siswa XI
30, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

kan gambar segiempat yang digunakan pada d. Convincing


lembar kerjanya. Setiap subjek penelitian melakukan convincing,
meskipun diantaranya terdapat kesalahan yaitu
Proses Dasar Berpikir yang Dilalui Subjek S1 dan S2 salah menggunakan aturan untuk
Penelitian pada Tahap Menyusun Rencana menyelesaikan masalah. Namun, masing-masing
a. Specializing subjek penelitian mampu menjelaskan alasannya
Setiap subjek penelitian melakukan specializing. dalam menggunakan cara yang dipilih.
S2, S3, dan S4 merencanakan membuat garis
diagonal sebagai garis bantu. Proses Dasar Berpikir yang Dilalui Subjek
b. Generalizing Penelitian pada Tahap Memeriksa Kembali
Setiap subjek penelitian melakukan generalizing. a. Specializing
Setiap subjek penelitian menganggap penting Hanya S2 dan S3 yang melakukan specializing
dalam membuat garis diagonal AD dan BD. Garis dalam memeriksa kembali. Specializing yang
AD dan garis BD ditujukan untuk mempermudah dilakukan S2 menggunakan tiga cara berbeda
dalam menyelesaikan masalah. untuk mendapatkan nilai BD, yaitu rumus sin2 α+
c. Conjecturing cos2α = 1 dan aturan cosinus. Specializing yang
Setiap subjek penelitian melakukan conjecturing. dilakukan S3 adalah dengan mensubstitusikan
S1 merencanakan menggunakan aturan sinus apa yang diketahui dan yang tidak diketahui dari
untuk memperoleh panjang sisi AB. S2 meren- soal.
canakan menggunakan rumus Pythagoras untuk b. Generalizing
memperoleh panjang sisi BD dan menggunakan Hanya S2 dan S3 yang melakukan generalizing
aturan sinus untuk memperoleh panjang sisi AB. dalam memeriksa kembali. S2 menerapkan tiga
Berbeda dengan S3 dan S4 yang memilih untuk cara yang diperolehnya pada segitiga BCD. S3
menggunakan aturan cosinus untuk memperoleh menerapkan cara substitusi pada segitiga ABD.
panjang sisi BD dan menggunakan aturan sinus S2 hanya mencoba tiga cara tersebut dan
untuk memperoleh panjang sisi AB. mencocokkan hasilnya dengan perhitungan awal
d. Convincing yang dilakukannya. Demikian halnya dengan S3
Setiap subjek penelitian melakukan convincing, yang hanya melakukan substitusi ulang pada
meskipun diantaranya terdapat kesalahan dalam segitiga ABD.
pemilihan rencana, namun masing-masing subjek c. Conjecturing
penelitian mampu menjelaskan alasannya dalam Hanya S2 dan S3 yang melakukan conjecturing
memutuskan pemilihan rencananya. meskipun mereka mendapati bahwa alternatif
jawaban yang mereka peroleh tidak menunjukkan
Proses Dasar Berpikir yang dilalui Subjek jawaban yang sama dengan perhitungan awal,
Penelitian pada Tahap Menjalankan Rencana sehingga mereka menganggap jawaban mereka
a. Specializing salah.
Setiap subjek penelitian melakukan specializing. d. Convincing
S1 menggambar garis diagonal AD, sedangkan Hanya S1 dan S4 yang melakukan convincing
S2, S3, dan S4 menggambarkan garis diagonal dalam memeriksa kembali. Meskipun jawaban S1
BD. salah, tetapi S1 mampu menjelaskan alasannya
b. Generalizing terhadap jawaban yang diperolehnya.
S1, S3, dan S4 melakukan generalizing, hanya S2
yang tidak melalui tahap ini. S2 tidak Proses berpikir masing-masing subjek pene-
memisahkan segiempat yang diperolehnya men- litian berbeda satu sama lain, meskipun proses yang
jadi dua buah segitga baru. S1 melakukan gene- dilalui sama namun kegiatan atau aktivitas yang
ralizing dengan menggambarkan satu bagian dipilih berbeda. Berdasarkan hasil temuan, diketahui
segitiga saja yaitu segitiga ABD. S3 dan S4 bahwa:
melakukan generalizing dengan menggambarkan Subjek penelitian 1
segitiga BCD dan segitiga ABD. Pada alur penyelesaian masalah, tampak bah-
c. Conjecturing wa S1 melakukan empat proses dasar dalam berpi-
Setiap subjek penelitian melakukan conjecturing, kir. Hal ini mendukung pernyataan Mason, dkk
meskipun hanya S3 dan S4 yang memberikan (2010) bahwa dalam proses berpikir terdapat
cara benar. Namun dalam pelaksanaannya hanya specializing, generalizing, conjecturing dan convin-
S4 yang benar, S3 melakukan kesalahan dalam cing. Dalam memeriksa kembali, S1 hanya melalui
perhitungannya. Meskipun demikian, S1, S2, S3, tahap convincing.
dan S4 menjalankan rencana sesuai dengan Subjek penelitian 2
perencanaan masing-masing subjek penelitian.
Ariefia, dkk, Proses Berpikir Siswa dalam Menyelesaian Permasalahan pada Materi Trigonometri, 31

Pada alur penyelesaian masalah, tampak Subjek penelitian 4


bahwa S2 melakukan empat proses dasar dalam Pada alur penyelesaian masalah, tampak
berpikir. Sedangkan pada tahap menjalankan bahwa S4 melakukan empat proses dasar dalam
rencana, S2 hanya melakukan tiga proses dasar ber- berpikir. Hal ini mendukung pernyataan Mason, dkk
pikir. Meskipun demikian, hal ini mendukung (2010) bahwa dalam proses berpikir terdapat
pernyataan Mason, dkk (2010) bahwa dalam proses specializing, generalizing, conjecturing dan convin-
berpikir terdapat specializing, generalizing, conjec- cing. Dalam memeriksa kembali, S4 hanya melalui
turing dan convincing. tahap convincing.
Dalam memeriksa kembali, S2 hanya melalui
tahap specializing, generalizing dan conjecturing. SIMPULAN DAN SARAN
Hal ini mendukung pernyataan Polya (1973) bahwa
dalam penyelesaian masalah termuat specializing Dari hasil penelitian ditemukan bahwa proses
dan generalizing. berpikir berikut ini (specializing, generalizing,
Subjek penelitian 3 conjecturing, dan convincing) terdapat pada setiap
Pada alur penyelesaian masalah, tampak tahap penyelesaian masalah. Namun, tidak semua
bahwa S3 melakukan empat proses dasar dalam tahap muncul atau terjadi secara serempak pada
berpikir. Hal ini mendukung pernyataan Mason, dkk setiap tahap penyelesaian masalah. Pada tahap
(2010) bahwa dalam proses berpikir terdapat pelaksanaan, hanya terdapat satu siswa yang tidak
specializing, generalizing, conjecturing dan convin- melakukan proses berpikir generalizing. Pada tahap
cing. Dalam memeriksa kembali, S3 hanya melalui memeriksa kembali, hanya dua subjek yang melalui
tahap specializing, generalizing dan conjecturing. tiga dari empat proses berpikir matematis, yaitu
Hal ini mendukung pernyataan Polya (1973) bahwa specializing, generalizing dan convincing, sedang-
dalam penyelesaian masalah termuat specializing kan dua subjek lainnya hanya melaksanakan
dan generalizing. convincing.

DAFTAR RUJUKAN

Bautista, A., Brizuela, B. M., Glennie, C. R., & apec2007/ paper_pdf), diakses 25 November
Caddle, M. C. 2014. Mathematics Teachers 2014
Attending and Responding to Student’s Mason, J., Burton, L. & Stacey, K. 2010. Thinking
Thinking : Diverse Paths Across Diverse Mathematically Second Edition. England :
Assignments. The International Journal on Pearson Education Limited
Mathematics Education. Vol. 648, 1-28 Mason, J. 2010. Effective Questioning And
Byers, P. 2010. Investigating Trigonometric Responding In The Mathematics Classroom.
Representations in The Transition to College (Online),
Mathematics. College Quarterly. Spring. Vol. (http://xtec.cat/centres/a8005072/articles/effec
13, No. 2 tive_ questioning. pdf), diakses 10 Oktober
Gür, H. 2009. Trigonometry Learning. New 2014
Horizons in Education, Vol. 57, No. 1 McGregor, D. 2007. Developing Thinking;
Hudojo, H. 2005. Pengembangan Kurikulum Developing Learning : A Guide to Thinking
Pembelajaran Matematia. Malang : UM Press Skills in Education. New York : McGraw Hill
Karadag, Z. 2009. Analyzing Student’s Open University Press
Mathematical Thinking In Technology- McGuinness, C. 1999. From Thinking Skills To
supported Environments. (Online), Thinking Classrooms. Research Brief
(https://tspace.library.utoronto.ca/bit Department for Education and Employment.
stream/1807/19128/1/Karadag_Zekeriya_200 No. 115
911_PhD_thesis.pdf), diakses 16 Oktober Musfiqon, 2012. Metodologi Penelitian Pendidikan.
2014 Jakarta : Prestasi Pustaka
Katagiri, S. 2004. Mathematical Thinking and How Orhun, N. 2004. Student’s Mistakes And
to Teach It. Tokyo : CRICED, University of Misconceptions on Teaching of
Tsukuba Trigonometry. Journal of Curriculum Studies.
Lin, F. L. 2007. Designing Mathematics Vol. 32, No. 6, 797-820
Conjecturing Activities to Foster Thinking Polya, G. 1973. How To Solve It Second Edition.
and Constructing Actively. (Online), New Jersey : Princeton University Press
(http://cried.tsubasa.ac.jp/math/apec/ Saragih, S. 2008. Mengembangkan Keterampilan
Berfikir Matematika. Makalah disajikan
32, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

dalam Seminar Nasional Matematika dan Grafik Fungsi Kejadian Dinamika


Pendidikan Matematika, Jurusan Pendidikan Berkebalikan. Disertasi tidak diterbitkan.
Matematika FMIPA UNY, Jogyakarta, 28 Surabaya : PPS UNESA
Desember 2008 Tuna, A. 2013. A Conceptual Analysis of the
Schoenfeld, A. H. 1992. Learning to Think Knowledge of Prospective Mathematics
Mathematically: Problem Solving, Teachers about Degree and Radian. World
Metacognition, and Sense-making in Journal of Education. Vol. 3, No.4.
Mathematics. In D. Grouws (Ed.), Handbook Widodo, S. A. 2012. Proses Berpikir Mahasiswa
for Research on Mathematics Teaching and dalam Menyelesaikan Masalah Matematika
Learning (334-370). New York : MacMillan. Berdasarkan Dimensi Healer. Makalah
Stacey, K. 2007. What is Mathematical Thinking disajikan dalam Seminar Nasional
and Why is It Important ?. Australia : Matematika dan Pendidikan Matematika,
University of Melbourne. Journal of Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA
Mathematical, (Online),Vol. 24, No. 48, 341- UNY, Jogyakarta,10 November 2012
350, (http://www.criced.tsukuba.ac.jp/math Yeo, K. K. J. 2009. Secondary 2 Student’s
/apec/apec2007/paper_pdf/ Kaye Stacey.pdf), Difficulties in Solving Non-Routine
diakses 10 Oktober 2014 Problems. International Journal for
Subanji. 2007. Proses Berpikir Penalaran Mathematics Teaching and Learning, Vol. 10,
Kovariasional Pseudo dalam Mengonstruksi 1-30.
Ariefia, dkk, Proses Berpikir Siswa dalam Menyelesaian Permasalahan pada Materi Trigonometri, 33

KESULITAN MAHASISWA DALAM MENGONSTRUKSI BUKTI DAN


SCAFFOLDING-NYA

Eka Resti Wulan1), Subanji2), Makbul Muksar3)


1,2,3)
Pascasarjana Universitas Negeri Malang,
1)
STKIP PGRI Lumajang
ekaresti.wulan@gmail.com

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi kesulitan mahasiswa dalam mengonstruksi
bukti serta scaffolding-nya. Penelitian ini merupakan studi kasus pada dua kelompok mahasiswa S1
pendidikan matematika, masing-masing terdiri dua subjek. Kelompok I melakukan strategi sintaktik yang
sesuai dan sebaliknya pada kelompok II. Data diperoleh melalui tes berisi masalah konstruksi bukti di
aljabar abstrak dan wawancara berbasis tugas dengan stimulaled recall. Kesulitan mahasiswa yang
muncul dalam penelitian: (1) memahami dan menggunakan definisi dan teorema, (2) menetapkan teknik
pembuktian, (3) menentukan dan melaksanakan strategi, (4) menggunakan aturan inferensi, dan (5)
memeriksa bukti. Scaffolding dilakukan sesuai hirarki Anghileri yaitu level 2, berupa reviewing dan
restructuring, serta level 3.

Kata kunci: Kesulitan Mahasiswa, Konstruksi Bukti, Scaffolding

Bukti merupakan salah satu hal penting dalam Alcock dan Weber, 2005a, 2005b). Pada penemuan
matematika, karena bukti menjadi dasar dalam lainnya, mahasiswa dapat memahami dan mene-
aktivitas matematis (Stylianides & Stylianides, rapkan fakta matematis, seperti definisi dan teorema,
2009; Sirmaci, 2012; Hanna & Barbeau, 2010). yang diperlukan untuk membuktikan suatu per-
Kevalidan teorema dalam matematika dapat ditun- nyataan (Weber, 2001), tetapi mahasiswa masih
jukkan dengan adanya bukti (Buckle & Dunbar, gagal untuk membuktikan suatu pernyataan yang
2007; Resnik, 1992; CadwalladerOlsker, 2011). berkaitan dengan fakta matematis tersebut (Recio
Selanjutnya bukti dan penalaran berperan penting dan Godino, 2001). Mahasiswa juga mengalami be-
dalam pembelajaran matematika untuk menunjukkan berapa kesulitan yang dipengaruhi oleh penge-
kebenaran dari solusi masalah matematis (Varghese, tahuannya dalam menyusun strategi pembuktian
2009). Kemampuan mengonstruksi bukti bagi mate- sintaktik di dalam aljabar abstrak (Weber, 2001).
matikawan, guru matematika, dan mahasiswa mate- Kemudian tidak dijelaskan lebih mendalam dan
matika menjadi salah satu hal yang penting dan empiris mengenai bantuan apa yang dapat diberikan
sebagai penilaian performa mahasiswa dari beberapa agar kesulitan dapat dihindari (Selden & Selden,
subjek matematika lanjut, seperti aljabar abstrak dan 2007; Weber, 2001).
analisis riil (Weber, 2001; Weber 2004; Varghese, Proses mengonstruksi bukti dapat dipandang
2009). sebagai suatu proses problem solving matematis
Beberapa penelitian ditemukan bahwa banyak (Weber, 2001; Hanna dkk, 2010; Nunokawa, 2010).
mahasiswa S1 dan guru matematika yang masih Strategi problem solving, pengetahuan dan
mengalami kesulitan ketika mengonstruksi bukti, keterampilan individu berperan penting dalam mem-
seperti menghasilkan bukti yang valid dari suatu peroleh solusi pembuktian. (Weber, 2001; Selden &
pernyataan, kesulitan menghasilkan argumen deduk- Selden, 2007; Lee & Smith III, 2009; Hanna &
tif yang secara general berlaku pada semua kasus Barbeau, 2010). Scaffolding merupakan suatu usaha
yang dipenuhi pernyataan (Weber, 2004; Stylianides kooperatif seseorang yang lebih berpengetahuan
& Stylianides, 2008; Iannone & Inglis, 2011; dengan pebelajar dalam menyelesai-kan masalah,
Imamoglu & Bogrol, 2012; Selden & Selden 2013), kemudian menekankan bahwa pebelajar mampu
dan kesulitan lainnya yang berkaitan dengan definisi menyelesaikan sendiri tugasnya dengan memberikan
atau teorema, teknik serta strategi pembuktian suatu dukungan (Van Der Stuyf, 2002; Collins,
(Selden & Selden, 2007). Padahal guru dan calon Brown, & Newman dalam Bikmaz, dkk., 2010;
guru harus mampu menentukan apakah justifikasi Reiser, 2004). Dukungan ini memfasilitasi kemam-
dan bukti yang dikumpulkan oleh siswa dapat puan pebelajar untuk mem-bangun kembali penge-
diterima (Weber, 2008). Jika justifikasi dan bukti tahuan sebelumnya dan mem-peroleh informasi baru
yang diberikan siswa tidak dapat diterima, guru dan sehingga kesulitan problem solving dapat diatasi
calon guru diharapkan dapat memberikan umpan (Fernández dkk, 2001; Reiser, 2004). Dengan
balik kepada siswa (Recio dan Godino, 2001; adanya hubungan positif yang dikemukakan,
Petunjuk Pengerjaan:
Kerjakan soal berikut secara rinci dan jelas.
1. Misal 𝐺 adalah suatu grup siklik dengan generator 𝑎. Buktikan bahwa 𝐺 adalah abelian.
2. Misal 𝐺 grup hingga dan 𝑎 ∈ 𝐺. Buktikan bahwa order dari 𝑎 dan 𝑎 −1 sama.
3. Diberikan 𝜙 adalah homomorfisma dari grup 𝐺 ke grup 𝐺′, dan 𝐻 subgrup dari 𝐺.
Buktikan bahwa 𝜙(𝐻) adalah subgrup dari 𝐺′.

Gambar 1. Instrumen Soal Tes

scaffolding dapat dilakukan sebagai suatu alternatif Strategi sintaktik dilakukan ketika mengonstruksi
untuk mengatasi kesulitan maha-siswa dalam proses bukti dengan memanipulasi definisi yang diberikan
problem solving, khususnya dalam mengonstruksi dan fakta matematis yang ada secara logis dengan
bukti. Hirarki scaffolding dibagi ke dalam 3 level, aturan inferensi dalam sistem matematika (Weber,
yaitu level 1 Environmental Provisions, level 2 2004). Pada Gambar 1, instrumen tes berisi yaitu
Explaining, Reviewing, and Restructuring, dan level soal 1 merupakan tipe soal yang berkaitan dengan
3 Developing Conceptual Thinking (Anghileri, definisi dalam aljabar abstrak, soal 2 berkaitan
2006). Pada setiap level saling terkait enam karak- dengan definisi dan teorema dalam aljabar abstrak
teristik scaffolding, yaitu recruitment, reduction in serta berbagai teknik pembuktian dan strategi yang
degrees of freedom, direction maintenance, marking mengiringi, selanjutnya pada soal 3 berkaitan de-
critical features, frustration control, dan demons- ngan strategi yang digunakan dalam memilih
tration (Wood dkk. dalam Anghileri, 2006; definisi atau teorema yang ada. Pengumpulan data
Bransford, Brown, & Cocking, 2000). dilakukan melalui tes dan wawancara tak terstruktur
berbasis tugas, dengan stimulated recall, yaitu salah
METODE PENELITIAN satu metode pengumpulan data yang dapat
digunakan untuk menginvestigasi proses kognitif
Penelitian ini berjenis kualitatif studi kasus, dan pengambilan keputusan subjek dengan mem-
yaitu untuk mendalami apa saja kesulitan dalam perlihatkan rangkaian kejadian di dalam video atau
mengontruksi bukti beserta scaffolding yang dapat bentuk recall visual lainnya (Nguyen dkk, 2013;
dilakukan untuk mengatasinya. Bukti yang di- Fox-Turnbull, 2009).
gunakan dalam penelitian ini berkaitan teorema
dalam grup di aljabar abstrak. Penelitian ini dilak- HASIL DAN PEMBAHASAN
sanakan di Universitas Negeri Malang pada semester Pada semua kelompok subjek ditemukan be-berapa
genap tahun 2014/2015 pada mahasiswa S1 pen- kesulitan saat mengonstruksi bukti dari ma-salah
didikan matematika semester 6. Diperoleh empat pada tes yang diberikan. Kelompok I memiliki
subjek terpilih dengan dua kriteria. Pada kelompok I, kecenderungan melakukan strategi sintaktik yang
dua subjek dengan kode S1 dan S2, melakukan sesuai seperti pada Gambar 2. Sedangkan kelompok
strategi sintaktik yang sesuai. Sedangkan dua subjek II cenderung tidak melakukan strategi sintaktik yang
lainnya dengan kode S3 dan S4, pada kelompok II sesuai.
melakukan strategi sintaktik yang tidak sesuai.

Menunjukkan order 𝑎 sama dengan 𝑎 −1 dengan |𝑎−1 | = 𝑚,


dimana 𝑚 order dari 𝑎. Kemudian menerapkan korolari
order.

Gambar 2. Salah Satu Contoh Strategi Sintaktik yang Tepat

Menunjukkan order 𝑎 sama dengan 𝑎 −1 dengan


menganggap 𝑎 = 𝑎−1

Gambar 3. Salah Satu Contoh Strategi Sintaktik yang Tidak Tepat

34
Wulan, dkk, Kesulitan Mahasiswa dalam Mengonstruksi Bukti dan Scaffoldingnya, 35

Pada Gambar 3, subjek tidak dapat melakukan merupakan order dari 𝑎. 𝑎 dikali 𝑎−1 itu sama
strategi sintaktik yang tepat ketika menunjukkan dengan 𝑒 juga, nah untuk setiap anggota dari grup
order dari dua unsur di grup adalah sama. Berikut 𝑎, yang dipangkatkan bilangan, dimana itu
adalah pernyataan subjek saat wawancara. merupakan order, itu juga sama dengan 𝑒.
S3 : Saya tadi berpikir lagi, kalo order 𝑎 itu, Pada subjek kelompok II, dapat mengingat
bilangan positif terkecil. Grup hingga itu definisi atau teorema yang berkaitan dengan masalah
[banyaknya] anggotanya. Berarti saya harus tetapi tidak dapat menerapkannya. Salah satu
tahu banyaknya elemen dari 𝐺, supaya nanti contohnya adalah S3 dengan jawaban pada Gambar
bisa menentukan order dari 𝑎. Banyaknya 5. S3 menjelaskan apa yang dimaksud order dari
elemen dari 𝐺 𝑛 elemen, itu yang saya suatu elemen berdasarkan definisi dan juga korolari.
pikirkan ordernya [order dari 𝑎 dan 𝑎−1 ] Akan tetapi S3 bingung dan tidak dapat mengaitkan
bakal sama dengan 𝑛, berarti saya perlu definisi atau korolari dengan masalah. Kemudian
menuliskan dulu kalo 𝑎 = 𝑎−1 . tidak memikirkannya lebih mendalam agar dapat
digunakan.
Dengan membandingkan performa kedua
kelompok subjek dan juga penjelasan yang diberikan S3 : …Saya memikirkan order itu apa, oh ada
setiap subjek, diperoleh lima jenis kesulitan yang hubungannya sama grup siklik, banyaknya
muncul. elemen yang akan dibangun 𝑎. Kemudian ada
hubungannya juga ketika 𝑎𝑛 sama dengan
Memahami dan Menggunakan Definisi dan elemen identitas, 𝑛 itu loh order dari 𝑎 itu
Teorema sendiri…
Secara keseluruhan subjek kelompok I P : Nah untuk menuliskan ini (menunjuk tulisan
mengalami kesulitan berkaitan dengan memahami pada Gambar 5),, apa yang kamu pikirkan?
definisi dan teorema, subjek tidak mampu menyadari S3 : Kalo buat informasi yang ini, 𝑎𝑛 = 𝑒 dimana 𝑛
definisi atau teorema yang berguna serta berkaitan itu ordernya, yaitu bilangan bulat positif
dengan masalah. Hal ini sejalan dengan penelitian terkecil yang memenuhi, untuk bilangan
Weber (2001), bahwa mahasiswa S1 tidak mampu pangkat [positif yang] kurang dari 𝑛, tidak
melibatkan teorema atau definisi yang penting akan sama dengan 𝑒. Tapi saya malah makin
berkaitan dengan pernyataan. Salah satu contohnya bingung apa sih hubungannya dengan order.
S1 dapat memahami beberapa definisi yang mungkin Saya beralih ke grup hingga, perlu mengetahui
dapat digunakan. Akan tetapi ketika mengonstruksi grup hingga seperti apa, oo kalo grup hingga
bukti, pemahaman mengenai order suatu unsur ma- misalkan banyaknya 𝑛 elemen…
sih belum lengkap. Tidak ada penjelasan lebih lanjut
mengenai order yang sesuai korolari order ataupun Hal yang ditemukan ini juga sejalan dengan
definisi. Berikut cuplikan wawancara dan jawaban Weber (2001), bahwa mahasiswa hanya mampu
salah satu subjek pada Gambar 4. melibatkan teorema atau definisi dan tidak dapat
S1: 𝑎 itu anggota dari 𝐺 merupakan grup, melakukan tanggapan yang koheren atau masuk
pasti 𝑎 itu memiliki invers dan inversnya itu juga akal. Selden & Selden (2007) juga mendukung
anggota dari 𝐺, karena sifat grup. Dari sini saya bahwa mahasiswa S1 gagal dalam menggunakan
mikir dengan memperhatikan sifat-sifat grup. Kalau teorema yang relevan atau salah menginterpretasi isi
misalkan di grup, 𝑎 dikali 𝑎−1 sama dengan dari teorema.
identitas, identitas sama dengan 𝑎 𝑥 , dimana 𝑥 itu

Dijelaskan order 𝑎 merupakan eksponen 𝑥 dari suatu unsur


𝑎 sehingga 𝑎 𝑥 = 𝑒, tetapi tidak lengkap bahwa 𝑥 adalah
bilangan bulat positif terkecil

Gambar 4. Cuplikan Jawaban Kaitannya dengan Order Unsur

Dimaksudkan definisi order, banyaknya anggota 〈𝑎〉.

Korolari order secara simbolik


Gambar 5. Tulisan Subjek Kaitannya dengan Definisi dan Korolari Order
36, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Reviewing yang dilakukan berupa pertanyaan yang P : Supaya 𝑘 jadi anggota 𝜙(𝐻), apa yang harus
membuat subjek untuk menjelaskan dan dipenuhi 𝑘?
menjustifikasi apa yang dilakukannya berkaitan S1 : Jadi pemetaan dari ℎ, 𝜙(ℎ).
dengan definisi atau teorema. Pada restructuring P : Oke berarti isinya 𝜙(𝐻) apa aja?
pada subjek di kelompok I, peneliti menyediakan S1 : Ooh, 𝑘 yang seperti tadi, 𝑘 di 𝐺’, 𝑘 = 𝜙(ℎ),
kondisi masalah atau konteks yang lebih sederhana dengan ℎ nya di 𝐻.
berkaitan dengan definisi atau teorema dapat
diterapkan. Selain itu juga mendiskusikan suatu Salah satu contoh level 3 yang dilakukan
teorema atau definisi tertentu sehingga dapat peneliti adalah mengembangkan konsep yang
dikonstruksi kembali. Kemudian pada kelompok II, dimiliki subjek. Sesuai dengan deskripsi level 3
restructuring dilakukan dengan memberikan konteks Anghileri (2006), yaitu melakukan diskusi kon-
yang bermakna atau menyederhanakan masalah septual berkaitan dengan justifikasi teorema yang
berkaitan teorema atau definisi dapat diterapkan, dapat digunakan. Level 3 yang dilakukan peneliti
diperoleh, atau dilengkapi.. Sedangkan pada level 3 berkaitan dengan deskripsi Anghileri (2006) yaitu
sebagai kegiatan refleksif dengan mendiskusikan melakukan diskusi mengenai teorema lain yang
secara konseptual penerapan definisi atau teorema, tidak dapat digunakan, tetapi berkaitan dengan ma-
kemudian pembuktiannya atau juga teorema lain salah. Selain itu peneliti menanggapi pertanyaan S1
yang tidak dapat digunakan tetapi berkaitan dengan dan melakukan scaffolding level 3 untuk berkaitan
masalah. Scaffolding peneliti mewakili karakteristik dengan pembuktian teorema. Peneliti dan S1 men-
pada hirarki scaffolding oleh Anghileri (2006). diskusikan bagaimana membuktikan teorema peme-
Salah satu contoh reviewing yang dilakukan taan invers pada homomorfisma yang tampak ha-
adalah berupa interpretasi ungkapan mahasiswa silnya pada Gambar 6.
dengan bahasa peneliti dan meminta subjek men- P : Coba kaitannya tadi ℎ dengan ℎ−1 gimana?
jelaskan dan menjustifikasi apa yang dilakukan dan S1 : Kalo dikalikan, hasilnya sama dengan 𝑒.
dipikirkan tentang definisi atau teorema yang di- P : Oke berarti kaya gini kan? (menulis ℎ ∗ ℎ−1 =
gunakan sesuai Anghileri (2006). Salah satu contoh- 𝑒). Nah kalo misalkan kamu pakai fungsi 𝜙
nya adalah sebagai berikut. gimana?
P : Untuk yang no , apa saja teorema atau definisi S1 : 𝜙(ℎ ∗ ℎ−1 ) = 𝜙(𝑒)?
yang erat kaitannya dengan pernyataan yang P : Iya, jadi bagaimana kelanjutannya?
akan dibuktikan? (Reviewing) S1 : Kan bisa menggunakan homomorfisma,
S3 : Hmm definisi grup hingga dan order. 𝜙(ℎ)𝜙(ℎ−1 ) = 𝜙(𝑒).
P : Saya lihat kamu menuliskan sesuatu (menunjuk P : Ya, jadi (sambil menulis) 𝜙(𝑒) sendiri itu apa
kertas lain yang ditulis S3 tentang definisi dan sih?
korolari order), bisa kamu jelaskan apa S1 : 𝑒′ elemen identitas [di 𝐺’]
maksudnya ? P : Jadi kesimpulannya apa?
S3 : Ini definisi dari order, saya bisa menuliskan S1 : (berhenti sejenak)
definisinya, 𝑎𝑛 = 𝑒, jadi untuk setiap 𝑙 < 𝑛 P : Kalo 𝜙(ℎ) dikalikan sesuatu sama dengan 𝑒,
𝑎𝑙 ≠ 𝑒, 𝑙 itu elemen ℕ, 𝑛 itu order dari 𝑎. artinya apa?
Banyaknya anggota dari 〈𝑎〉. S1 : Hmm, jadi 𝜙(ℎ−1 ) itu invers 𝜙(ℎ), iya bener
gitu.
Selanjutnya salah satu contoh untuk re- P : Kalo teorema lainnya yang kamu inget apa
structuring pada S1 adalah memberikan gambaran saja?
atau konteks dimana definisi peta dari 𝐻 dapat S2 : Kanselasi, identitas sama invers itu unik, apa
diterapkan. Sesuai deskripsi restructuring menurut lagi ya. Banyak mbak, tapi nggak bener-bener
Anghileri (2006), yaitu menyediakan konteks ber- ingat satu-satu.
makna bagi mahasiswa. Berikut salah satu con-
tohnya yaitu ketika peneliti menggambarkan dia-
gram fungsi 𝜙 untuk soal 3.
P : Kalau saya punya 𝑘 disini (memberi tanda di
𝜙(𝐻)), dan ℎ di 𝐻. Berarti isinya 𝜙(𝐻) itu
apa?
S1 : 𝜙(𝐻) itu isinya 𝜙(ℎ) = 𝑘.
P : Sebelum dia jadi anggotanya 𝜙(𝐻), 𝑘 awalnya
apa? Gambar 6. Pembuktian Teorema saat Scaffolding
S1 : Anggota 𝐺’
Wulan, dkk, Kesulitan Mahasiswa dalam Mengonstruksi Bukti dan Scaffoldingnya, 37

Asumsi 𝑙 = 𝑚 + 𝑠 tidak jelas. Asumsi


tidak sesuai dengan teknik bukti
kontradiksi. Seharusnya asumsinya adalah
𝑙 < 𝑚 tetapi (𝑎 −1 )𝑙 = 𝑒.

Gambar 7. Cuplikan Teknik Bukti Tidak Langsung yang Dilakukan Subjek


Asumsi 𝑥 dan 𝑦 tidak jelas. 𝑦
didefinisikan dari 𝑎 sebagai generator.
Kemudian muncul ada 𝑥 ∈ 𝐺 dengan
pendefinisian yang sama.

Gambar 8. Cuplikan Teknik Bukti Tidak Langsung yang dilakukan Subjek

Menetapkan Teknik Pembuktian abelian itu 𝑥 sama 𝑦, tidak cuma 𝑦 tapi juga
Kesulitan yang dialami subjek kelompok I dan elemen lain yang ada di 𝐺.
II berkaitan dengan teknik pembuktian terdapat
perbedaan. Subjek kelompok I cenderung pada Temuan ini didukung oleh Weber (2001)
kesulitan berkaitan dengan bukti tidak langsung, bahwa mahasiswa S1 masih kurang menggunakan
sedangkan subjek kelompok II keseluruhan pengetahuan berkaitan dengan teknik pembuktian.
mengalami kesulitan berkaitan dengan bukti lang- Lebih mendalam menurut Selden & Selden (2007)
sung. Meskipun pada soal 3 semua subjek me- mengemukakan kesulitan mahasiswa S1 tidak
ngalami kesulitan pada teknik bukti langsungnya. mampu dalam membongkar struktur logika dari
Salah satu contoh seperti pada Gambar 7, dari pernyataan yang akan dibuktikan, seperti pernyataan
hasil jawaban S2 dan juga wawancara diperoleh yang mengabaikan beberapa kata-kata khusus dari
bahwa S2 menggunakan asumsi yang tidak sesuai seperti “untuk setiap”, “ada suatu”, atau “jika…
dengan teknik pembuktian yang dipilihnya, yaitu maka” kemudian tidak dapat membantu mahasiswa
kontradiksi. S2 tidak dapat menjelaskan bagaimana dalam memulai atau mengakhiri suatu konstruksi
struktur logika pernyataan yang akan dibuktikan. bukti dengan teknik bukti tertentu. Scaffolding yang
Hal ini didukung cuplikan pernyataan S2 sebagai dilakukan juga cenderung sama pada setiap
berikut. kelompok tetapi disesuaikan aspek kesulitannya.
S2 : …Misalnya ingin menunjukkan 𝑎 Reviewing dilakukan dengan meminta subjek
pangkat sesuatu tidak sama dengan 𝑒, untuk menjelaskan teknik pembuktian yang dilakukan dan
[pangkat] sesuatu yang kurang dari 𝑚, berarti saya juga langkah awal berkaitan dengan teknik buktinya.
ini disini pake kontradiksi. Saya asumsikan misalnya Salah satu contoh reviewing yang dilakukan adalah
itu 𝑙, 𝑙 = 𝑚 + 𝑠, berarti 𝑎𝑚+𝑠 = 𝑒.Untuk (𝑎−1 )𝑙 mencoba memberi pertanyaan mengenai bukti
−1 dengan kontradiksi. Peneliti meminta subjek
[sama dengan] (𝑎𝑙 ) . Nah ini terjadi kontradiksi menjelaskan teknik bukti apa yang digunakan,
bahwa [(𝑎−1 )𝑙 ] tidak sama dengan 𝑒, nanti kan kemudian meminta subjek menjelaskan bagaimana
ketemunya harusnya pangkat 𝑒 −1. pembuktian dengan menggunakan kontradiksi.
Selanjutnya contoh kesulitan yang berkaitan Scaffolding ini sesuai deskripsi reviewing menurut
dengan bukti langsung adalah dari jawaban S3 pada Anghileri (2006) yaitu meminta subjek untuk
Gambar 8 yang tidak mengasumsikan 𝑥 dan 𝑦 secara mengomunikasikan apa yang mereka lihat dan pi-
di awal dalam menunjukkan 𝐺 grup abelian. S3 kirkan serta menjelaskan dan menjustifikasi apa
menggunakan bukti langsung, tetapi S3 tidak mampu yang dilakukan.
menjelaskan langkah yang tepat dan sesuai dengan S1 : Yang kedua misalkan ambil sebarang 𝑥 (sambil
bukti langsung yang dilakukan, karena langkah yang nulis) dimana 𝑥 nya kurang dari 𝑛, terus 𝑥 itu
sesuai adalah dengan metode pick-a-point di 𝐺. anggota dari ℤ+ akan ditunjukkan (𝑎−1 )𝑥 itu
Metode pick-a-point yang sesuai adalah sebarang tidak sama dengan 𝑒. Andaikan (sambil
dua anggota di 𝐺, tetapi tidak dilakukan. Cuplikan menulis) (𝑎−1 )𝑥 = 𝑒. (bergumam)
pernyataan S3 adalah sebagai berikut. P : Disini kamu niatnya menggunakan bukti apa?
S3 : … 𝑦 elemen 𝐺 dari definisi yang generator 𝑎, (Reviewing)
saya punya 𝑦 = 𝑎𝑛 dimana 𝑛 ∈ ℤ. Berarti bisa S1 : Kontradiksi.
ngambil juga elemen 𝐺 bukan 𝑦, tapi 𝑥 juga P : Dengan menggunakan kontradiksi itu
elemen dari 𝐺… dari definisi itu oo berarti kalo bagaimana?
38, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

S1 : Saya niatnya ini kontradiksi maunya 𝑥 = 𝑛, bukti langsung setelah berhasil menggunakan bukti
padahal di awal 𝑥 diketahui kurang dari 𝑛 gitu. tidak langsung.
P : Kalau pake bukti langsung bagaimana? (Level
Restructuring yang dilakukan pada subjek 3)
kelompok I adalah melakukan pertanyaan timbal S4 : (mencoba berpikir dan tidak merespon
balik mengenai teknik bukti dengan kontradiksi dan pertanyaan peneliti)
metode choose-or-pick-a-point disesuaikan dengan P : Misal kamu tidak menggunakan kontradiksi
kesulitan yang muncul. Sedangkan pada kelompok II seperti ini, bukti yang langsung, 𝑝 maka 𝑞.
dilakukan dengan menyediakan masalah yang lebih S4 : Hmm, dibuktikan sama [ordernya]. (Diam
sederhana kemudian melakukan diskusi mengenai sambil berpikir) Jadi, punya ini order 𝑎 sama
langkah awal apa yang dilakukan sesuai teknik dengan 𝑛. Nanti akan ditunjukkan invers dari 𝑎
buktinya. Hal ini sesuai dengan restructuring juga memiliki order yang sama.
menurut Anghileri (2006), yaitu menyederhanakan P : Bagaimana menunjukkan kalau sama?
masalah dan mendiskusikan suatu makna/istilah S4 : Ordernya 𝑎−1 juga 𝑛.
yang berkaitan dengan teknik buktinya. Salah satu P : Nah apa artinya order 𝑎−1 juga 𝑛 itu apa?
contoh yang dilakukan adalah peneliti dengan Bagaimana dituliskan dalam notasi simbolik
mendiskusikan langkah dan asumsi yang sesuai seperti order dari 𝑎 sebelumnya?
metode pick-a-point untuk membuktikan 𝜙(𝐻) S4 : Ooo kaya gini (menuliskan secara simbolik
subgrup 𝐺’, sesuai dengan deskripsi restructuring dengan tepat).
menurut Anghileri (2006) yaitu mendiskusikan suatu
istilah/makna yang sesuai sehingga tidak terjadi Menentukan dan Melaksanakan Strategi
kesalahan. Kesulitan dalam menentukan dan melaksa-
P : Nah sekarang misal saya punya 𝐺 dan 𝐺’, nakan strategi pada setiap kelompok subjek terdapat
dipetakan dengan 𝜙 (menggambar diagram perbedaan. Kelompok I tidak dapat mengeksekusi
fungsi) Berarti 𝐻 subgrup 𝐺, berarti saya strategi yang dimiliki dan juga tidak dapat me-
gambar 𝐻 kan. Bagimana misal H ini dipetakan nentukan pilihan strategi mana yang paling efektif.
di 𝐺’? S3: 𝜙(𝐻) Sedangkan pada kelompok II diperoleh bahwa
P : Jadi kalau seperti itu, sub tujuanmu apa saja? strategi yang dimiliki tidak terlaksana, strategi yang
S3 : 𝜙(𝐻) tidak kosong, kemudian berarti untuk dilakukan tidak lengkap, tidak relevan, bahkan tidak
setiap 𝑥, 𝑦 ∈ 𝐻, 𝑥 ∗ 𝑦 −1 ∈ 𝜙(𝐻) juga. sesuai. Salah satu contoh yang muncul pada kelom-
P : Oke, coba kita lihat yang kamu lakukan. pok I adalah S2 menggunakan strategi membuktikan
S3 : Ambil di 𝐺, padahal seharusnya ambil di 𝜙(𝐻), subset untuk menunjukkan bahwa 𝜙(𝐻) subgroup
aah, waaaah, (mengetuk meja) dari 𝐺′.
P : Jadi seharusnya gimana coba diperbaiki. S2 mampu dalam menjelaskan strategi yang
Langkah apa yang perlu kamu lakukan? akan digunakan, tetapi tidak dapat mengeksekusinya
S3 : Untuk setiap 𝑥, 𝑦 ∈ 𝜙(𝐻), 𝑥 ∗ 𝑦 −1 ∈ 𝜙(𝐻) dengan baik. Langkah kerja yang disusun awalnya
juga … tidak terstruktur hingga akhirnya S2 merasa bingung
untuk menuliskannya, kemudian menggunakan di-
Selanjutnya level 3 untuk subjek kelompok I agram fungsi yang juga tidak sesuai untuk di-
yang dilakukan pertanyaan timbal balik mengenai gunakan. Berikut adalah pernyataan dari S2 ber-
apa yang dapat diasumsikan dari teknik bukti yang kaitan dengan strategi yang dilakukannya.
dipilih. Selanjutnya untuk subjek kelompok II, level
3 dengan melakukan diskusi berkaitan dengan S2 : Dari representasi ini, itu strategi saya.
penerapan teknik pembuktian lain. Hal ini sesuai Tujuannya itu supaya cepet terbukti itu dengan
dengan level 3 menurut karakteristik Anghileri sejelas mungkin. Tapi misalnya bukti dari
(2006) yaitu menciptakan diskusi konseptual sebagai diagram gini nggak baik. Jadi saya nggak tulis
kegiatan refleksif. Tujuannya agar subjek dapat itu di lembar jawaban, cuma untuk mengons-
mengembangkan strategi berkaitan dengan teknik truk pikiran saya. Jadi saya ambil sebarang
pembuktiannya. Contoh level 3 adalah dengan men- [unsur] yang ada di 𝜙(𝐻), akan ditunjukkan
diskusikan bagaimana apabila teknik bukti lain [unsur tersebut] di 𝐺′. Nah ini arti dari 𝜙(𝐻)
dilakukan. Peneliti dan S4 mendiskusikan penerapan subgrup dari 𝐺’. Nah saya akan nunjukin kalo
sebarang 𝜙(𝑚) [dengan 𝑚 di ada di 𝜙(𝐻).

Menunjukkan 𝜙(𝐻) subgrup 𝐺 dengan konsep


subset, simbol yang digunakan juga subset.
Gambar 9. Cuplikan Jawaban Membuktikan Subgrup dengan Konsep Subset
Wulan, dkk, Kesulitan Mahasiswa dalam Mengonstruksi Bukti dan Scaffoldingnya, 39

Memahami definisi subgrup, tetapi tidak


digunakan sebagai strategi membuktikan subgrup

Menggunakan strategi dengan konsep homomorfisma

Gambar 10. Cuplikan Jawaban Membuktikan Subgrup dengan Konsep Homomorfisma

Pada kelompok 2 contoh kesulitan muncul dengan strategi yang dipilih, yaitu dengan me-
ketika S4 menjelaskan langkah kerja yang dilakukan lakukan pertanyaan timbal balik atau menyediakan
untuk membuktikan subgrup, seperti yang sudah konteks pernyataan lain yang lebih khusus. Ke-
dituliskannya pada Gambar 10, S4 menggunakan mudian dilanjutkan dengan level 3 yaitu berdiskusi
konsep membuktikan 𝜙 fungsi baru yang dide- keefeektifan pilihan strategi yang dimiliki atau
finisikan 𝜙: 𝐻 → 𝜙(𝐻) adalah homomorfisma. langkah kerja lanjutan yang dilaksanakan sebagai
Langkah kerja yang dijelaskan untuk membuktikan perkembangan konsep yang dimiliki (Anghileri
homomorfisma sudah tepat. Hal tersebut tidak sesuai 2006).
untuk dilakukan. S4 juga tidak dapat memikirkan Salah satu contoh reviewing yang dilakukan
pendekatan lain untuk membuktikan subgrup. peneliti adalah pada S2 dengan menanyakan strategi
Berikut pernyataan S4 tentang strategi yang yang dapat digunakannya dalam membuktikan
dilakukannya. subgrup. Salah satu bentuk refleksi dan klarifikasi
S4 : Untuk langkahnya, saya ingin membuktikan mengenai langkah yang telah dilakukan S2. S2 dapat
dari suatu 𝜙 baru itu 𝜙 dari 𝐻 ke 𝜙(𝐻) menjawab dengan menggunakan definisi, peneliti
merupakan homomorfisma Pertama mencoba menggali informasi mengenai cara lain
membuktikan 𝜙 yang baru ini merupakan dengan menggunakan teorema. Diperoleh informasi
fungsi. Kemudian 𝜙 mengawetkan operasi. bahwa S2 hanya mampu menyebutkan teorema dan
tidak mampu mengingat isinya. S2 juga menjelaskan
Pada kelompok I scaffolding yang dilakukan bahwa langkah yang dilakukannya untuk membuk-
disesuaikan dengan kondisi subjek. Reviewing pada tikan subgroup tidak sesuai. Langkah-langkah
S1 dilakukan dengan menanyakan rencana dari reviewing sudah sesuai dengan deskripsi menurut
strategi yang tidak terlaksana sebelumnya, akan Anghileri (2006), yaitu menggali informasi agar
tetapi karena S1 mampu melakukan refleksi pada subjek mengemukakan apa yang dilakukannya untuk
akhirnya memilih strategi lain yang dieksekusi. membuktikan subgrup dan juga strategi apa saja
Berikutnya restructuring dengan menyederhanakan yang bisa digunakan kaitannya dengan teorema.
masalah sebagai jembatan untuk melaksanakan P : Bagaimana membuktikan grup? (Reviewing)
strategi pada masalah. Kemudian melakukan level 3 S2 : Ada empat. Tertutup, bersifat asosiatif, punya
berupa diskusi langkah lanjutan yang dapat di- invers, punya identitas... (bergumam)
lakukan sesuai dengan strateginya. Pada S2 P : Apakah pernah memikirkan teorema-teorema
reviewing dilakukan dengan menanyakan strategi membuktikan subgrup?
apa saja yang dapat digunakan untuk membuktikan S2 : Ada two-steps, one-step.
pernyataan. Sama seperti scaffolding pada S1, level 3 P : Apa yang kamu gunakan untuk membuktikan
yang dilakukan adalah mendiskusikan langkah kerja pada soal ini?
yang sesuai dengan strategi yang dipilih (Anghileri, S2 : Subset, nggak membuktikan subgrup.
2006). Sebenernya nggak usah, uda jelas kalo 𝜙(𝐻)
Berikutnya pada kelompok II reviewing pasti misalnya udah ada di sini [subset 𝐺′],
berkaitan dengan strategi yang dimiliki dengan me- kalo dari definisinya sudah [terpenuhi].
minta subjek menjelaskan bagaimana langkah kerja
dilakukan. Restructuring dilakukan dengan mem- Selanjutnya, salah satu contoh restructuring
berikan pernyataan yang lebih khusus dan ber- yang dilakukan pada S3 yaitu dengan memberikan
karakteristik sama dengan pernyataan, dimana pernyataan yang lebih khusus berkarakteristik sama.
strategi tertentu dapat digunakannya. Dilanjutkan Kemudian bagaimana strategi tertentu dapat diapli-
dengan restructuring langkah kerja yang sesuai kasikan dalam pernyataan tersebut. Hal ini sesuai
40, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

dengan deskripsi restructuring menurut Anghileri S3 : Ooh, iya, bisa, jadi kaya gini nanti. (menulis)
(2006) yaitu menyederhanakan masalah sesuai langsung ketemu 𝑒 −1 = 𝑒. Oiya, tapi ini kalo
dengan konteks bermakna bagi subjek. Peneliti dari yang pertama ini tetep bisa kan. Berarti
memberikan masalah tentang membuktikan order tinggal ini yang kedua.
𝑎−1 adalah 4, kemudian peneliti mengarahkan P : Iya, gimana yang kedua bisa nggak pake
kembali pada masalah membuktikan order 𝑎 dan pendekatan yang sama?
𝑎−1 sama. S3 : Berarti yang diketahui ini 𝑎𝑙 ≠ 𝑒, berarti
P : Bagaimana misal mau membuktikan ordernya −1
(bergumam sambil menulis) (𝑎−1 )𝑙 = (𝑎𝑙 ) ≠
𝑎−1 sama dengan 4? (Restructuring) 𝑒 −1 .
S3 : Hmm, menggunakan tadi kalau (𝑎−1 )4 = 𝑒,
lalu dipangkatkan 1,2,3 tidak sama dengan 𝑒. Menggunakan Aturan Inferensi
P : Sekarang kembali ke masalah, tujuanmu apa? Pada subjek kelompok I mengalami kesulitan
S3 : Membuktikan ordernya 𝑎 sama dengan 𝑎−1 . berkaitan dengan aturan inferensi, khususnya
Hmm, ditunjukkan ordernya 𝑎−1 itu 𝑚, kaitannya pada bukti tidak langsung. S2 tidak dapat
ordernya 𝑎… menggunakan negasi yang tepat untuk pernyataan
dengan bukti tidak langsung dan juga alasan
Contoh level 3 yang dilakukan adalah dengan penarikan kesimpulan yang dilakukan tidak logis. S2
mendiskusikan pelaksanaan langkah kerja yang akan menjelaskan bagaimana penarikan kesimpulan pada
dilakukan, yaitu menunjukkan (𝑎−1 )𝑚 = 𝑒 dan 𝑚 langkah kerja yang dilakukannya, kemudian menge-
adalah bilangan bulat positif terkecil yang meme- mukakan bahwa penarikan kesimpulan yang men-
nuhi. Hal ini dalam rangka menunjukkan order 𝑎−1 dasari adanya kontradiksi adalah fakta sebelumnya.
adalah 𝑚. Setelah S3 mampu melakukan langkah Sedangkan fakta sebelumnya tidak benar.
kerja yang sesuai, peneliti membuat koneksi dengan S2 : …Tapi berdasarkan fakta yang ada di
teorema lain yang dapat digunakan sebagai langkah sebelumnya berakibat terjadi kontradiksi.
alternatif, hal ini sesuai dengan deskripsi Anghileri Berarti asumsi saya salah bahwa (𝑎−1 )𝑙 = 𝑒.
(2006). Selain itu juga membantu untuk mengaitkan Artinya ini bisa saya katakan seperti ini
pada tujuan lain agar strategi yang sudah ada dapat (menunjuk) bahwa order dari 𝑎−1 sama dengan
digunakan. 𝑚. Karena order dari a itu sama dengan 𝑚 dan
S3 : Kalo gitu, bisa nunjukkan ini sama dengan order dari a invers itu sama dengan 𝑚. Berarti
elemen identitas (bergumam). Padahal yang saya bisa bilang order dari 𝑎 sama dengan
kita punya itu 𝑎𝑚 , jadi pake ini (bergumam.) order dari 𝑎−1 .
𝑎𝑚 = 𝑒, (𝑎−1 )𝑚 kan ini, iya [sama dengan] 𝑒. Pada subjek kelompok II mengalami kesulitan
Jadi kalo gitu, 𝑎𝑚 = 𝑒, kemudian ini kan berkaitan dengan aturan inferensi pada soal 2.
sebanyak 𝑚 dioperasikan pangkat 𝑚 berarti Aturan penarikan kesimpulan yang dilakukan S3
𝑎−1 dioperasikan sebanyak 𝑚. 𝑎 sebanyak 𝑚, tidak sesuai dengan kondisi masalah dan alasannya
terus ini [𝑎𝑎−1] kan sama dengan 𝑒. Berarti ini tidak logis. Sedangkan untuk S4 karena alasan yang
(𝑎−1 )𝑚 dioperasikan 𝑒, juga 𝑒, berarti udah diberikan tidak logis. Salah satu contoh adalah pada
ketemu (𝑎−1 )𝑚 = 𝑒. (Level 3) soal 2 pada jawaban S3 dengan simpulan 𝑎 = 𝑎−1
P : Oke, kira-kira apakah ada cara lain? Gimana tidak sesuai dengan kondisi yang diberikan masalah.
kalo sifat (𝑎−1 )𝑚 = (𝑎𝑚 )−1 digunakan Hal yang sama dilakukan saat S3 menyimpulkan
langsung? bahwa |𝑎| = |𝑎−1 | = 𝑛 dengan 𝑛 adalah order 𝐺.

Alasan yang mendasari langkah


(𝑒 ∙ 𝑎 𝑠 )−1 ≠ 𝑒 tidak sesuai
logika
Gambar 11. Penarikan Kesimpulan Tidak Logis

Tidak sesuai kondisi masalah


Tidak sesuai kondisi masalah, tidak logis

Gambar 12. Penarikan Kesimpulan yang Tidak Sesuai Kondisi Masalah


Wulan, dkk, Kesulitan Mahasiswa dalam Mengonstruksi Bukti dan Scaffoldingnya, 41

Tidak ada alasan yang logis dengan masalah Salah satu contoh restructuring yang
yang dapat menjamin bahwa penarikan kesimpulan dilakukan setelah S3 memberikan perbaikan adalah
tersebut benar. Berikut adalah pernyataan S3. merundingkan bentuk-bentuk aturan inferensi yang
S3 : …Saya sempet berpikir bakal sama nggak ya dilakukan. Hal ini sesuai dengan restructuring yang
elemen 𝑎 dengan inversnya, tapi di sini dideskripsikan Anghileri (2006), yaitu merunding-
langsung saja saya simpulkan kalo 𝑎 = 𝑎−1 , kan suatu makna yang sesuai dengan apa yang
ordernya seperti itu. Jadinya order 𝑎 sama dilakukan subjek. Dari hasil restructuring, S3
dengan order 𝑎−1 sama dengan 𝑛. Sehingga menjelaskan langkah-langkah untuk menyimpulkan
nanti ordernya itu sama, 𝑎 dan 𝑎−1 … Kalo 𝐺 order dari 𝑎 dan 𝑎−1 sama sudah sesuai logika.
terhitung punya 𝑛 elemen. Berarti kalo seperti P : Apakah penarikan kesimpulan yang kamu
itu bisa disimpulkan kalo ordernya 𝑎 sama lakukan ini sudah sesuai?
dengan order dari 𝑎−1 , yaitu 𝑛. S3 : Iya ini menunjukkan ordernya sama, oh jadi
udah bener nih saya misalkan ordernya 𝑎 sama
Dari beberapa temuan yang sudah dengan 𝑚. Nah berikutnya saya menunjukkan
dikemukakan, aturan inferensi yang dilakukan ordernya 𝑎−1 sama dengan 𝑚.
subjek tidak relevan dengan pernyataan atau aksi- P : Untuk langkah menunjukkan itu, setiap kamu
oma sebelumnya. Temuan ini sesuai dengan Weber menarik kesimpulan sudah sesuai?
(2001) bahwa dalam hal mengonstruksi bukti akan S3 : Kalo menurut saya sudah, karena memenuhi 2
banyak aturan inferensi yang dapat dilakukan tujuan [menunjukkan order], berarti ordernya
mahasiswa, tetapi banyak di antaranya tidak relevan. 𝑚.
Pada kelompok I reviewing dilakukan dengan
meminta subjek menuliskan simbol matematika dari Memeriksa Bukti
pernyataan yang akan dibuktikan. Kemudian Kaitannya dengan kesulitan memeriksa bukti,
restructuring dengan mendiskusikan bentuk logika subjek kelompok I yang mengalami adalah S1 yaitu
dari negasi pernyataan berupa implikasi dan kuantor ketika mengonstruksi bukti untuk soal bukti 3. S1
universal (Anghileri, 2006). Pada kelompok II, tidak dapat menilai kelengkapan bukti yang
reviewing dengan meminta subjek menjelaskan diberikan dan hanya memeriksa hasil akhirnya saja.
aturan penarikan kesimpulan yang dilakukan. P : Dari apa yang kamu lakukan ini, sudah cukup
Restructuring yang dilakukan peneliti adalah atau mungkin ada yang belum lengkap?
mendiskusikan kesesuaian logika berupa alasan yang S1 : Menurut saya sih cukup tapi disini ada
digunakan pada aturan inferensi (Anghileri, 2006). pernyataan yang saya beri tanda tanya ini
Contoh reviewing berkaitan dengan aturan inferensi artinya saya belum yakin apakah itu bener,
yaitu meminta subjek mengungkapkan secara sim- [apakah] boleh saya memberikan pernyataan
bolik dari pernyataan yang akan dibuktikan dan seperti ini.
mendalami lebih jauh pernyataan yang dihasilkan. P : Apakah kamu memeriksa hasil akhirmu itu
Hal ini sesuai dengan deskripsi reviewing menurut sudah sesuai dengan apa yang akan kamu buk-
Anghileri (2006), yaitu menggunakan pertanyaan tikan?
yang menyelidiki agar subjek dapat memahami S1 : Nggak tahu juga sesuai apa enggak, saya
pemikirannya sendiri. periksanya cuman hasil akhirnya saja.

P : Bagaimana misalkan kamu saya minta Selanjutnya untuk subjek kelompok II adalah
menuliskan, bentuk pernyataan yang akan S3 pada soal 1. S3 tidak dapat menilai kelengkapan
kamu buktikan itu berupa simbol dalam logika bukti yang diberikan dan juga kesesuaian langkah-
matematika. (Reviewing) langkah yang diberikan.
S2 : Kalo misalnya 𝑎𝑙 ... (sambil menulis) gini ya? P : Kemudian apakah rencana yang kamu lakukan
P : Apa bentuk pernyataan itu dalam logika ini sudah cukup untuk menyelesaikan masalah.
matematika? S3 : Menurut saya sudah cukup tapi nggak tau
S2 : Kalau boleh saya bilang ini p maka q. bener salahnya.
P : Coba kamu jelaskan kalau kamu pake jika p P : Apakah sudah sesuai nggak langkah-
maka q, bagaimana? langkahmu dengan keseluruhan tujuannya?
S2 : Jika setiap 𝑙 < 𝑚, maka 𝑎𝑙 tidak sama dengan S3 : Saya rasa sesuai.
𝑒.

Dengan beberapa pertimbangan,


menuliskan ∀𝑙 < 𝑚 ⇒ ∀(𝑎−1 )𝑙 ≠ 𝑒
Gambar 13 Tulisan Subjek Berupa Pernyataan Secara Simbolik
42, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Temuan ini didukung pernyataan Selden & mahasiswa tidak dapat menyadari definisi atau
Selden (2007) bahwa mahasiswa yang mampu teorema secara lengkap, sedangkan pada kelompok
memeriksa bukti, dapat memeriksa secara hati-hati II hanya mampu menyadari tetapi tidak dapat
tiap baris atau langkah dan memeriksa apakah setiap menerapkan ketika definisi atau teorema diperlukan.
pernyataan yang mengikuti pernyataan sebelumnya Kesulitan menetapkan teknik pembuktian pada
melalui langkah yang logis, dan ataukah ada langkah kelompok I cenderung pada asumsi yang dilakukan
yang terlewat. pada teknik bukti tidak langsung, sedangkan
Reviewing dilakukan dengan meminta subjek kelompok II pada asumsi bukti langsung. Kesulitan
membaca kembali dan menjelaskan apa saja yang menentukan dan melaksanakan strategi muncul pada
tertulis pada hasil konstruksinya dan bagian mana kelompok I karena ketidak mampuan melaksanakan
yang tidak tepat (Anghileri, 2006). Pada subjek stategi yang dimiliki dengan tepat, sedangkan
kelompok II dapat dilanjutkan pada level 3 yaitu kelompok II disebabkan tidak dapat menentukan
mendiskusikan bagian buktinya yang kurang leng- stategi mana yang sesuai dan juga melaksanakannya.
kap, dalam hal ini subjek sudah mampu melakukan Kesulitan-kesulitan tersebut dialami semua subjek.
perbaikan bukti yang dilakukan (Anghileri, 2006). Kemudian scaffolding dapat dilakukan mulai level 2
Contoh reviewing yang dilakukan berkaitan dengan reviewing dan restructuring, serta level 3. Kesulitan
kesulitan memeriksa bukti adalah dengan meminta menggunakan aturan inferensi muncul pada setiap
S3 membaca kembali dan menjelaskan apa saja yang kelompok disebabkan tidak menggunakan alasan
tertulis pada hasil konstruksinya, kemudian yang logis ketika menarik kesimpulan atau mela-
menjelaskan bagian mana yang tidak tepat. Hal ini kukan langkah tertentu, di samping itu juga terdapat
sesuai deskripsi dari reviewing yaitu untuk penarikan kesimpulan yang tidak sesuai dengan
merefleksi apa yang dilakukannya, peneliti meminta kondisi dari masalah. Selanjutnya kesulitan, meme-
S3 untuk menjelaskan dan mengklarifikasi apa yang riksa bukti muncul pada setiap kelompok disebabkan
dilakukan (Anghileri, 2006). tidak dapat menilai kelengkapan atau kesesuaian
Selanjutnya contoh level 3 yang dilakukan langkah-langkah yang diberikan. Scaffolding yang
yaitu diskusi mengenai apa yang diperoleh S3 setelah dilakukan pada dua kesulitan tersebut hanya
memeriksa keseluruhan buktinya dan juga alasan reviewing dan salah satu dari restructuring atau level
mengapa pada bagian buktinya yang kurang leng- 3. Keseluruhan scaffolding yang diberikan sudah
kap. Hal ini sesuai dengan deskripsi level 3 menurut sesuai dengan deskripsi level 2 dan level 3 menurut
Anghileri (2006), yaitu melakukan diskusi konsep- Anghileri (2006).
tual seperti alasan lanjutan apa yang di-lakukan pada Penelitian ini dapat dikembangkan berdasar-
reviewing. kan kelompok subjeknya atau diperluas pada subjek
P : Langkah yang kamu lakukan ini sudah kamu matematika lain. Selain itu soal yang berbeda dapat
periksa, apa yang kamu peroleh setelah digunakan, misalnya masalah yang hanya bisa
itu?(Level 3) diselesaikan dengan bukti tidak langsung. Hal ini
S3 : Berarti dari eemh, x dan y, misalkan dapat dilakukan dalam rangka memahami kesulitan
dioperasikan komutatif berarti ini [pangkatnya] mahasiswa dengan berbagai kondisi. Selain itu
juga berubah. Bukan 𝑎𝑛 , berarti ini penelitian dapat dilakukan lebih luas, misalkan
𝑚, (bergumam sambil menandai jawabannya) dikaitkan kegagalan metakognitif pada masing-
𝑦 ∗ 𝑥 (menulis dan bergumam) Hasilnya dari masing kesulitan yang muncul. Peneliti lain juga
langkah ini berarti ada yang kurang. dapat mendalami proses metakognitif yang terjadi
P : Kira-kira alasannya apa yang membuat kamu pada setiap kesulitan yang muncul. Dari hasil
yakin kalau itu tidak lengkap? penelitian diperoleh bahwa terdapat hambatan maha-
S3 : Ini (menunjuk jawaban 𝑎𝑛 ∗ 𝑎𝑚 = 𝑎𝑚 ∗ 𝑎𝑛 ), siswa dalam mengingat definisi atau teorema. De-
antara operasi komutatif gak bisa langsung. ngan demikian, dalam memberikan tes berupa ma-
salah mengonstruksi bukti juga lebih baik diberi
SIMPULAN DAN SARAN lampiran tambahan berisi definisi dan teorema yang
berkaitan dengan masalah (Weber, 2007). Untuk
Kesulitan mahasiswa dalam mengonstruksi meningkatkan keterampilannya mahasiswa dalam
bukti matematis yang muncul dalam penelitian ini mengonstruksi bukti, dapat diberi fasilitas optimal
dapat dikaitkan dengan hasil penelitian Weber misal memberikan masalah berupa pembuktian atau
(2001) dan Selden & Selden (2007). Kesulitan memvalidasi suatu bukti matematis (Alcock &
memahami dan menggunakan definisi dan teorema Weber, 2005a; 2005b).
pada subjek kelompok I muncul dikarenakan
Wulan, dkk, Kesulitan Mahasiswa dalam Mengonstruksi Bukti dan Scaffoldingnya, 43

DAFTAR RUJUKAN

Alcock, L. & Weber, K. 2005a. Proof Validation in Teaching Mathematics Students’ Proof
Real Analysis Inferring and Checking Evaluation Practices. 12th International
Warrants. Journal of Mathematical Behavior Congress on Mathematical Education (Topic
Vol 24, 125-134 Study Group 14) 8 COEX, Seoul, Korea
Alcock, L. & Weber, K. 2005b. Using Warranted Lee, Kosze & Smith III, John P. 2009. Cognitive and
Implications to Understand and Validate Linguistic Challenges in Understanding
Proofs. For the Learning of Mathematics Proving. Proceedings of the ICMI Study 19
25(1), 34–38. Conference: Proof and Proving in
Anghileri, Julia. 2006. Scaffolding Practices that Mathematics Education Volume 2, 21-26
Enhance Mathematics Learning. Journal of Nguyen, Nga Thanh, dkk. 2013. Video Stimulated-
Mathematics Teacher Education 2006. 33–52. Recall Interviews in Qualitative Research.
New York: Springer AARE Conference, Adelaide.
Bikmaz, Fatma H, dkk. 2010. Scaffolding Strategies Nunokawa, Kazuhiko. 2010. Proof, Mathematical
Applied by Student Teachers to Teach Problem-Solving, and Explanation in
Mathematics. Educational Research Mathematics Teaching. Explanation and
Association the International Journal of Proof in Mathematics, 223-236
Research in Teacher Education 1(Special Recio, Angle M. & Godino, Juan D. 2001.
Issue): 25-36. Ankara, Turki Institutional and Personal Meanings of
Buckle, Nigel & Dunbar, Iain. 2007. International Mathematical Proof. Educational Studies in
Baccalaureate: Mathematics – Higher Level Mathematics Vol 48, 83–99
(Core). Victoria: IBID Press Reiser, Brian J. 2004. Scaffolding Complex
Bransford, J., Brown, A., & Cocking, R. 2000. How Learning the Mechanisms of Structuring and
People Learn: Brain, Mind, and Experience & Problematizing Student Work. The Journal of
School. Washington, DC: National Academy The Learning Sciences,13(3),273–304.
Press. Resnik, Michael. 1992. Proof as a Source of Truth.
CadwalladerOlsker, Todd. 2011. What Do We Mean dalam Detlefsen, Michael. 1992. Proof and
by Mathematical Proof? Journal of Knowledge in Mathematics. London:
Humanistic Mathematics Vol 1, No 1 Routledge
Fernández, Manuel. Dkk. 2001. Re-conceptualizing Selden, Annie & Selden, John. 2007. Overcoming
“Scaffolding” and the Zone of Proximal Students’ Difficulties in Learning to
Development in the Context of Symmetrical Understand and Construct Proofs. Technical
Collaborative Learning. Journal of Classroom Report Tennessee Technological University:
Interaction Vol. 36, No. 2 Cookeville, TN 38505
Fox-Turnbull, W. 2009. Stimulated Recall Using Selden, Annie & Selden, John. 2013. Proof and
Autophotography – A Method for Problem Solving at University Level. The
Investigating Technology Education. Mathematics Enthusiast, ISSN 1551-3440,
Graduate Conference University of Wakaito, Vol. 10, Nos.1&2, pp.303-334
Hamilton. New Zealand: CSTER Sirmaci, Nur. 2012. Knowledge Level of
Hanna, Gila, dkk. 2010. Explanation and Proof in Undergraduate Students of Mathematics
Mathematics: Philosophical and Educational Teaching on Proof Methods. Global Advanced
Perspectives. New York: Springer Research Journal of Educational Research
Hanna, Gila & Barbeau, Ed. 2010. Proofs as Bearers and Review (ISSN: 2315-5132) Vol. 1(6), 118-
of Mathematical Knowledge. dalam 123
Explanation and Proof in Mathematics: Stylianides, Gabriel J. & Stylianides Andreas J.
Philosophical and Educational Perspectives, 2009. Proof Constructions and Evaluations.
85-99 Education Study Mathematics Vol 72: 237–
Iannone, Paola & Inglis, Mattew, 2011. 253
Undergarduate students’ Use of Deductive Stylianides, Gabriel J. & Stylianides Andreas J,
Arguments to Solve “Prove That…” Tasks. 2008. Enhancing Undergraduate Students’
Proceedings of the 7th Congress of the Understanding of Proof. 11th Conference on
European Society for Research in Research in Undergraduate Mathematics
Mathematics Education, 2012-2021, Rzeszów, Education. San Diego, California
Poland Weber, Keith. 2001. Student Difficulty in the
Imamoglu, Yesim & Bogrol, Aysenur Yontar. 2012. Constructing Proof: The Need for Strategic
An Investigation of Senior Mathematics and
44, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Knowledge. Educational Studies in Journal Research of Mathematics Education


Mathematics Vol 48: 101-119 Vol 39, 431-459
Weber, Keith. 2004. A Framework for Describing Van Der Stuyf, Rachel R. 2002. Scaffolding as a
the Processes that Undergraduates Use To Teaching Strategy. Adolescent Learning and
Construct Proofs. Proceedings of the 28th Development Section 0500A-Fall 2002
Conference of the International Group for the Varghese, Thomas. 2009. IUMPST: Secondary-level
Psychology of Mathematics Education, Vol 4, Student Teachers’ Conceptions of
425–432 Mathematical Proof. The Journal. Vol 1
Weber, Keith. 2008. How do Mathematicians (Content Knowledge).
Determine If an Argument is A Valid Proof?
Wulan, dkk, Kesulitan Mahasiswa dalam Mengonstruksi Bukti dan Scaffoldingnya, 45

PEMBELAJARAN BERBASIS PORTOFOLIO


PADA MATERI FUNGSI GAMMA DI JURUSAN PENDIDIKAN
MATEMATIKA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

Alfiani Athma Putri Rosyadi

Universitas Muhammadiyah Malang


Alfi_rosyadi@yahoo.com

Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pemahaman mahasiswa terhadap
fungsi gamma setelah menggunakan pembelajaran berbasis portofolio.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Data yang digunakan.Subjek penelitian ini adalah 39 mahasiswa
UMM semester V tahun ajaran 2014/2015 yang sedang menempuh matakuliah fungsi khusus. Instrumen
penelitian yang digunakan adalah tes akhir, penilaian portofolio dan wawancara terhadap tiga mahasiswa.
Untuk mengukur pemahaman mahasiswa terkait dengan materi fungsi gamma menggunakan hasil rata-
rata dari nilai tes dan penilaian portofolio.
Hasil dari penelitian ini adalah pemahaman mahasiswa pada materi fungsi Gamma setelah penerapan
pembelajaran berbasis portofolio termasuk dalam kategori baik. Saran untuk peneliti berikutnya adalah,
pembelajaran portofolio dapat dikombinasikan dengan metode lain sehingga memperoleh hasil yang lebih
maksimal. Selain itu dapat digunakan sebagai salah satu penilaian tugas akhir matakuliah sehingga
kemampuan mahasiswa dapat dituangkan secara utuh dan sistematis.

Keywords: Portofolio, Pemahaman, Fungsi Gamma.

Fungsi khusus merupakan salah satu mata-kuliah khusus itu sendiri merupakan jenjang paling tinggi
yang disajikan dalam kurikulum jurusan pendidikan pada kalkulus dari sajian kurikulum, hal ini berarti
matematika. Fungsi khusus itu diberikan pada maha- mahasiswa diharapkan sudah menguasai matakuliah
siswa semester V dengan beban 3 sks dan disajikan kalkulus I, II, dan III.
selama 3 × 50 menit setiap minggunya. Matakuliah Berdasarkan pengalaman peneliti dari tahun
prasyarat dari matakuliah tersebut adalah kalkulus 2011-2014 selama mengampu matakuliah fungsi
peubah banyak yang sudah ditempuh mahasiswa pa- khusus di Universitas Muhammadiyah Malang, ada
da semester IV. beberapa permasalahan yang dihadapi mahasiswa
Menurut Hudojo (2005:36) matematika itu antara lain: 1) Mahasiswa belum menguasai mata-
berkenaan dengan gagasan berstruktur yang hu- kuliah prasyarat, 2) Mahasiswa mengalami kesulitan
bungan-hubungannya diatur secara logis. Hal ini karena bersifat abstrak dan cenderung belajar teori,
berarti ada keterkaitan antar konsep dalam mate- 3) kurangnya buku ajar yang secara mendalam
matika itu sendiri dan terdapat juga hubungan antara membahas matakuliah ini dan 4) Mahasiswa ke-
materi yang satu dengan materi yang lain. sulitan dalam mengkaitkan antar materi yang satu
Matakuliah kalkulus dalam kurikulum jurusan dengan yang lain.
pendidikan matematika dibagi menjadi empat yaitu: Hasil belajar mahasiswa pada matakuliah
1) kalkulus I (kalkulus differensial), 2) kalkulus II fungsi khusus juga tergolong belum baik dengan
(Kalkulus Integral), 3) kalkulus III (kalkulus peubah tingkat pengulangan cukup tinggi, Skor rata-rata
banyak), dan 4) kalkulus IV (Fungsi khusus). mahasiswa dari tahun 2011-2013 dapat dilihat pada
Keempat matakuliah tersebut mempunyai keterkait- Tabel 1.
an yang erat, dan disajikan secara berjenjang. Fungsi

Tabel 1. Nilai Rata-rata Fungsi Khusus


No Tahun Skor rata-rata

1 2011 62
2 2012 60,1
3 2013 65,3

Untuk mengatasi permasalahan yang muncul, kumpulan dokumen atau surat-surat. Menurut Fajar
diperlukan solusi untuk mengatasinya. Portofolio (2004) portofolio sebagai model pembelajaran
berasal dari bahasa Inggris :”Portfolio” yang artinya adalah usaha yang dilakukan dosen agar mahasiswa
46, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

memiliki kemampuan untuk mengungkapkan dan 3. Meningkatkan keterampilan dalam meneliti.


mengekspresikan dirinya sebagai individu ataupun 4. Memperoleh pemahaman yang lebih baik.
kelompok. Kemampuan mahasiswa itu sendiri di- 5. Belajar bagaimana berpartisipasi dalam
peroleh dari pengalaman belajar sehingga memiliki menyelesaikan masalah.
kemampuan mengorganisir informasi yang ditemu- 6. Meningkatkan rasa percaya dirinya, karena
kan, membuat laporan, dan menuliskan apa yang ada merasa telah dapat memecahkan masalah.
dalam pikirannya, selanjutnya menuangkan dalam Portofolio sebagai proses pembelajaran di-
tugas-tugasnya. awali oleh issue/masalah yang memerlukan suatu
Pembelajaran berbasis portofolio pada pemecahan yang ditampilkan dengan kreativitas
matakuliah fungsi khusus diharapkan mahasiswa masing-masing dan berisikan karya terpilih dalam
dapat : 1) Berlatih memadukan antara konsep yang satu kelas dengan cara memilih, membahas, mencari
diperoleh dari dosen dengan referensi yang di- data, menganalisa dan mencari pemecahannya
perolehnya, 2) Mahasiswa diberi kesempatan men- terhadap suatu masalah yang dikaji
cari informasi di luar yang terkait dengan pem- Dengan demikian, peserta didik memiliki
belajaran yang dibahas di kelas, dan 3) Menyelesai- ketangguhan, kemandirian, dan jati diri yang di
kan permasalahan yang ada di dalam kelas dengan kembangkan melalui pembelajaran dan pelatihan
materi yang sudah dipelajarinya dari luar kelas. yang dilakukan secara bertahap dan berkesi-
Kemudian di akhir perkuliahan mahasiswa dapat nambungan
menuangkan semua idenya dalam sebuah draft
portofolio yang berisi semua ide yang terstruktur dan METODE PENELITIAN
dituliskan dalam tugas akhirnya.
Materi dalam matakuliah fungsi khusus itu sendiri Metode penelitian yang digunakan adalah
dibagi menjadi empat, yaitu: 1) fungsi Gamma, 2) penelitian deskriptif yaitu untuk mendeskripsikan
Fungsi Beta, 3) Fungsi Bessel, dan 4) Fungsi bagaimana pemahaman mahasiswa setelah meng-
Legendre. Dalam penelitian ini, difokuskan pada gunakan pembelajaran portofolio. Pemahaman
materi fungsi Gamma, yang di dalamnya terdapat mahasiswa dapat dilihat dari skor UAS mahasiswa
keterkaitan antara beberapa materi antara lain: yang diberikan di akhir perkuliahan. Subjek dalam
integral, turunan, eksponen, dan fungsi faktorial. penelitian ini adalah mahasiswa kelas VA angkatan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagai- 2012 yang berjumlah 39 Mahasiswa.
mana pemahaman mahasiswa terhadap fungsi Instrumen pengumpulan data dalam penelitian
gamma setelah menggunakan pembelajaran berbasis ini adalah : 1) Tes akhir yang bertujuan untuk me-
portofolio. Pemahaman mahasiswa dapat dilihat dari ngetahui pemahaman mahasiswa, 2) Rubrik penilai-
rata-rata skor tes dan rubrik penilaian portofolio. an portofolio untuk mengetahui sejauh mana
Portofolio berasal dari bahasa Inggris mahasiswa dapat membuat koneksi setiap konsep
Portfolio yang artinya dokumen atau surat-surat yang diperolehnya di dalam maupun di luar kelas,
(Fajar, 2005:47). Dapat juga di artikan sebagai dan 3) wawancara terhadap tiga mahasiswa (ber-
kumpulan kertas-kertas berharga dari suatu kemampuan rendah, sedang, dan tinggi) yang di-
pekerjaan tertentu. Pengertian portofolio di sini anggap dapat mewakili subjek penelitian dan dapat
adalah suatu kumpulan pekerjaan siswa dengan digunakan untuk mendapatkan informasi mendalam
maksud tertentu dan terpadu yang di seleksi menurut yang belum dapat diperoleh dari instrument tes dan
panduan-panduan yang ditentukan. Biasanya porto- rubrik penilaian.
folio merupakan karya terpilih dari seorang peserta
didik, tetapi dalam model pembelajaran ini setiap HASIL DAN PEMBAHASAN
portofolio berisi karya terpilih dari satu kelas secara
keseluruhan yang bekerja secara kooperatif memilih, Hasil Penelitian
membahas, mencari data, mengolah, menganalisa Penelitian ini dilakukan pada tahun 2014 pada
dan mencari pemecahan terhadap suatu masalah mahasiswa jurusan pendidikan matematika kelas
yang di kaji VA. Tes akhir diberikan setelah mahasiswa mem-
Dalam model Pembelajaran Berbasis Porto- pelajari materi fungsi Gamma. Fungsi Gamma itu
folio siswa dituntut untuk berpikir cerdas, kreatif, sendiri disajikan dalam empat kali pertemuan.
parsitipatif, prospektif dan bertanggung jawab. Se- Selama empat kali pertemuan tersebut, mahasiswa
cara rinci melalui model pembelajaran pembelajaran diberi kesempatan untuk membuat portofolio
berbasis portofolio diharapkan dapat: sebagai tugas akhirnya. Tes akhir ini sendiri
1. Memperoleh pengalaman yang lebih besar bertujuan untuk mengetahui ketercapaian kompe-
tentang masalah yang dikaji. tensi mahasiswa. Tes akhir disajikan setelah ma-
2. Belajar bagaimana cara yang lebih kooperatif hasiswa menyusun portofolio, hal ini bertujuan agar
dengan orang lain untuk memecahkan masalah.
Rosyadi, Pembelajaran Berbasis Portofolio pada Materi Fungsi Gamma, 47

mahasiswa mempunyai pemahaman dan bekal yang faktorial dan integral serta turunan. Sebagian
cukup terkait dengan materi fungsi Gamma. mahasiswa menyajikan keterkaitan antar materi
Tes akhir menggunakan model subyektif, dengan menggunakan peta konsep.
yang terdiri dari delapan soal. Tes akhir disajikan
dalam waktu 60 menit. Berdasarkan hasil tes akhir Pembahasan Penelitian
setelah menggunakan pembelajaran portofolio skor Penilaian dari hasil portofolio mahasiswa
tes mahasiswa berada di kisaran 50 – 100. Gambar 1 adalah mengacu pada karakteristik portofolio itu
menyajikan skor tes mahasiswa. sen-diri menurut Fajar (2004) antara lain: meru-
150 pakan karya mahasiswa yang berupa kemajuan dan
penyelesaian tugas secara kontinu, mengukur setiap
prestasi mahasiswa secara individu, merupakan su-
100 atu pendekatan kerjasama, mempunyai tujuan untuk
menilai diri sendiri, memperbaiki dan meng-upa-
50 yakan prestasi, dan adanya keterkaitan antara
penilaian dan pembelajaran.
Menurut Ausubel dalam Dahar (1996) pem-
0 belajaran bermakna adalah suatu proses pem-
belajaran apabila informasi baru dihubungkan
Gambar 1. Skor Tes Mahasiswa
dengan struktur pengertian yang sudah dimiliki
seseorang yang sedang dalam pembelajaran. Hal ini
berarti bahwa mahasiswa sudah dapat mempelajari
Dari Gambar 1, diperoleh bahwa skor rata-rata
materi fungsi gamma secara bermakna dengan
mahasiswa adalah 74. Dari 39 mahasiswa, hanya ada
mengkaitkan materi yang lain menggunakan peta
empat mahasiswa yang mendapatkan skor di bawah
konsep.
kriteria ketuntasan. Selain itu dapat dilihat bahwa
Peran dari dosen itu sendiri adalah sebagai
ada tiga mahasiswa yang mendapatkan skor mak-
fasilitator mahasiswa dalam melaksanakan pe-
simal yaitu 100.
kerjaannya. Selama penyusunan portofolio, dosen
Selain penilaian tes akhir, peneliti juga memberikan
dapat mengembangkan gaya mengajar yang me-
penilaian terhadap portofolio yang su-dah disusun
numbuhkan rasa ingin tahu yang tinggi dalam diri
oleh mahasiswa. Beberapa aspek yang dinilai dalam
mahasiswa. Sikap terbuka dan professional terus
penulisan portofolio dapat dilihat pada Tabel 2.
diupayakan setiap kali pertemuan di kelas, selama
proses penyusunan portofolio itu sendiri.
Tabel 2. Aspek penilaian portofolio
Pemahaman mahasiswa diperoleh dari rata-
No Aspek yang dinilai
rata antara skor tes dan skor portofolio, sehingga
1 Terdapat hasil karya mahasiswa berisi kemajuan
yang dilakukan secara terus menerus.
diperoleh skor 78,1 , termasuk dalam kategori baik.
2 Di dalamnya terdapat refleksi diri sendiri dan Adapun rentangan pengkategorian pemahaman
upaya untuk meningkatkan prestasi mahasiswa sebagai berikut
3 Adanya pengkaitan antara konsep dan materi
yang sedang dipelajari dengan yang diperoleh 100 ≤ 𝑆𝐴 ≤ 80 : Sangat Baik
sebelumnya 80 < 𝑆𝐴 ≤ 75 : Baik
75 < 𝑆𝐴 ≤ 70 : Cukup Baik
100 70 < 𝑆𝐴 ≤ 60 : Cukup
60 < 𝑆𝐴 ≤ 55 : Kurang
90 55 < 𝑆𝐴 ≤ 0 : Sangat kurang

80 Untuk memperoleh informasi yang mendalam


terkait dengan pemahaman mahasiswa pada materi
70 fungsi Gamma setelah menggunakan pembelajaran
Gambar 2. Skor penilaian portofolio berbasis portofolio, peneliti menggunakan teknik
wawancara terhadap tiga mahasiswa. Berikut adalah
Kemudian, hasil dari rubrik penilaian kutipan yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
portofolio mahasiswa pada materi fungsi Gamma mahasiswa A: “Dengan portofolio, saya jadi sering
diperoleh data seperti terlihat pada Gambar 2. cari informasi di internet bu. Misalnya mencari
Berdasarkan Gambar 2, diperoleh rata-rata skornya aplikasi fungsi Gamma yang di buku tidak ada.
adalah 82,2. Dari hasil penilaian portofolio, Selain itu catatan saya jadi rapi dan lengkap karena
mahasiswa dapat mengkaitkan antara konsep fungsi draftnya dikumpulkan di akhir perkuliahan”
gamma dengan konsep yang lain misalnya fungsi Kemudian, menurut mahasiswa B: “Karena saya
48, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

mengerjakan portofolionya tiga hari sebelum setelah penerapan pembelajaran berbasis portofolio
pengumpulan, jadinya saya tidak bisa maksimal termasuk dalam kategori baik. Hal ini diperoleh dari
dalam menuangkan ide”. Berikutnya mahasiswa C skor tes akhir dan penilaian portofolio.
mengungkapkan :”Saya malah ingin membuat Saran untuk peneliti berikutnya adalah,
portofolio pada matakuliah lain, biar saya pembelajaran portofolio dapat dikombinasikan
belajarnya lebih mudah” dengan metode lain sehingga memperoleh hasil yang
lebih maksimal. Selain itu dapat digunakan sebagai
SIMPULAN DAN SARAN salah satu penilaian tugas akhir matakuliah sehingga
kemampuan mahasiswa dapat dituangkan secara
Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh bahwa utuh dan sistematis.
pemahaman mahasiswa pada materi fungsi Gamma

DAFTAR RUJUKAN

Akker, J. van den. 1999. Principles and Methods of Publishing Company


Bell, F.H.(1978), Teaching and Learning Hudoyo. H., 2005, Matematika, Jakarta. Dep-
Mathematic In Secondary School. New dikbud Dirjen Dikti.
York: Wm.C. Brown Company Publisher. Sanjaya, Wina, 2008. Strategi Pembelajaran.
Dahar, R.W, 1996, Teori-teori Belajar. Jakarta: Jakarta: Prenada Media Group.
Erlangga. Tierney, J.Robert, 1991, Portfolio Assessment in
Fajar, Arnie, 2004, Portofolio dalam Pem- the Reading-Writing Classroom, United
belajaran IPS. Bandung: PT Remaja States of America: Christopher-Gordon
Rosdakarya. Publisher, Inc.
Hilbert, James and Carpenter P, Thomas. 1992.
Learning and Teaching With Under-
standing. New York: Macmillan.
Rosyadi, Pembelajaran Berbasis Portofolio pada Materi Fungsi Gamma, 49

PENGEMBANGAN MODEL INTERACTIVE E-BOOK BIDANG GEOMETRI


ANALITIS UNTUK MEMBANGUN BUDAYA BELAJAR MANDIRI DAN
KOMPETENSI MAHASISWA PROGRAM PENDIDIKAN MATEMATIKA

Zainal Abidin1) dan Sikky El Walida2)


,2)Program Studi Pendidikan Matematika, Universitas Islam Malang
zainal_abid @yahoo.co.id

Abstrak: Penelitian ini merupakan suatu usaha meningkatkan mutu perkuliahan khususnya dalam materi
Geometri Analitis di program studi Pendidikan Matematika. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan
model bahan perkuliahan Geometri Analitis dalam bentuk interactive electronic book (e-book) yang
dikembangkan supaya mahasiswa prodi Pendidikan Matematika terlatih untuk belajar secara mandiri
sehingga kompetensinya baik. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan (development
research) yang mencakup langkah-langkah sebagai berikut: 1) Studi Pendahuluan, yang meliputi meng-
identifikasi kebutuhan belajar dan mengidentifikasi karakteristik mahasiswa; 2) Perancangan dan
pengembangan produk, yang meliputi: (a) mengidentifikasi tujuan umum pembelajaran, (b) menganalisis
pembelajaran, (c) merumuskan tujuan khusus, (d) mengembangkan strategi pembelajaran interaktif, dan
(e) penyusunan perangkat interacive e-book. Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa secara umum
mahasiswa lebih tertarik perkuliahan geometri analitis yang menggunakan bahan ajar dalam bentuk
elektronik interaktif (interactive e-book) yang banyak melibatkan dirinya dalam pembelajaran. Dalam
penelitian ini mengembangkan produk berupa (1) interactive e-book Geometri Analitis, (2) panduan
dosen, dan (3) petunjuk mahasiswa, yang dirancang dan dikembangkan secara sistematis dengan
berpegang pada prinsip-prinsip pengembangan pembelajaran

Keywords: pengembangan, interactive e-book, geometri analitis

Geometri analitis merupakan matakuliah yang harus Pengembangan bahan ajar dalam bentuk
dipelajari oleh mahasiswa program studi pendidikan apapun termasuk dalam bentuk elektronik dimaksud-
matematika dan merupakan salah satu komponen kan untuk membantu orang belajar atau memudah-
penting dalam pembelajaran matematika yang harus kan peserta didik belajar. Oleh karena itu, aktivitas
dikuasai seorang calon guru matematika. Dalam pe- pengembangan harus didasarkan pada berbagai teori
laksanaan pembelajaran geometri analitis masih tentang orang yang belajar, orang yang mengajar,
banyak dilakukan secara konvensional yaitu dido- dan aktivitas belajar itu sendiri. Dengan kata lain,
minasi model ceramah dan latihan yang kurang pemahaman terhadap orang yang belajar, orang yang
terprogram. Pembelajaran yang demikian menjadi- mengajar, dan aktivitas belajar merupakan kondisi
kan mahasiswa kurang mandiri karena terlalu bagi setiap kegiatan pengembangan pembelajaran.
mengandalkan penjelasan dosen. Bahan ajar yang baik menyediakan perangkat yang
Untuk mengatasi kendala dalam pembelajar- memudahkan pengguna untuk melihat kemanfaatan
an yang konvensional, perlu dikembangkan model dan menggunakannya dalam praktek. Bahan ajar
bahan pembelajaran yang memperhatikan perbedaan digital dalam bentuk elekronik menyediakan peluang
kemampuan mahasiswa, mendukung pembelajaran untuk inovasi, meskipun hanya terhadap bagian-
perseorangan dan mandiri, dan yang dapat memu- bagian kecil dari bahan ajar tersebut.
dahkan belajar mahasiswa. Menurut Dick dan Carey Menurut Darmawan (2012), berkembangnya
(1990), bahan pembelajaran hendaknya merupakan ilmu, teknologi dan informasi membawa perubahan
bahan yang seluruhnya dapat dipelajari sendiri oleh dan paradigma baru pada learning material dan
peserta didik. Maksudnya, bahan tersebut dapat learning method. Produk dari teknologi dan infor-
memberikan kesempatan pada peserta didik untuk masi telah memberikan alternatif bahan ajar yang
mempelajari bahan tersebut tanpa bergantung pada dapat digunakan dan diakses peserta didik dalam
penjelasan guru atau dosen. Pembelajaran yang baik bentuk digital seperti e-book. Pembelajaran inter-
juga akan mengaktifkan pembelajar dalam aktif berbasis komputer mampu mengaktifkan
memberikan tanggapan, umpan balik dan juga men- peserta didik untuk belajar dengan motivasi yang
dorong mahasiswa untuk melakukan praktek-praktek tinggi karena ketertarikannya pada sistem multi-
dengan benar. media. Wena (2010) menguatkan bahwa pem-
belajaran yang dapat memanfaatkan bahan ajar
50, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

dengan media komputer akan membuat kegiatan jar, dan tidak membosankan, 3) akan dapat meng-
proses belajar menjadi menarik dan menantang bagi atasi kekurangan bahan rujukan dan sumber pem-
peserta didik. belajaran geometri analitis yang sengaja dirancang
Menurut Prastowo (2011), bahan ajar inter- secara sistematis dengan berpegang pada prinsip-
aktif merupakan bahan ajar kreatif, inovatif, dan prinsip pengembangan pembelajaran, 4) akan me-
adaptif terhadap perkembangan teknologi dan dapat mudahkan dosen dan mahasiswa dalam proses
membuat peserta didik senang dan nyaman sehingga pembelajaran karena bahan yang dikembangkan
pembelajaran menjadi efektif dan efesien. Menurut tersebut sudah merupakan bahan yang siap pakai, 5)
Hamid (2012), dalam pembelajaran memerlukan untuk mengembangkan potensi dan kemandirian
interaksi yang menyenangkan dan memberdayakan. mahasiswa, 6) merupakan bentuk bahan ajar yang
Menyenangkan dan memberdayakan tersebut dapat sangat efektif dan efisien di zaman sekarang ini, di
berjalan dengan cara memadukan prinsip pendidikan mana harga kertas sangat tinggi dan eranya yang
dan hiburan (edutainment), sehingga siswa atau serba elektornik atau digital.
mahasiswa merasa terhibur dan merasa tidak mudah
bosan belajar. Bentuk hiburan tersebut dapat berupa METODE PENELITIAN
benda, peralatan atau bentuk aktivitas yang men-
jadikan siswa atau mahasiswa merasa senang Penelitian ini merupakan jenis penelitian
melakukan aktivitas belajar. Munir (2013) menam- pengembangan (development research). Penelitian
bahkan, pembelajaran yang menggunakan teknologi pengembangan digunakan untuk mengembangkan
informasi dan komunikasi dapat mem-bantu pen- dan menguji produk tertentu (Sugiyono, 2013; Borg
didik dalam menyampaikan materi dan peserta didik dan Gall, 1989; Plomp, 1997). Dalam penelitian ini,
dalam memahami materi yang mempelajari. Dengan model pengembangan yang digunakan diadaptasi
bahan ajar berfasilitas multi-media termasuk e-book dan dimodifikasi dari model Plomp (1997) yang
interaktif, maka materi dapat dimodifikasi menjadi mencakup langkah-langkah (1) studi pendahuluan,
lebih menarik, proses pem-belajaran akan ber- (2) perancangan dan pengembangan produk, dan (3)
kembang dengan baik dan suasana belajar menjadi pengujian dan penilaian produk. Studi pendahuluan,
menyenangkan. meliputi kegiatan (1) mengidentifikasi kebutuhan
Dengan memperhatikan analisis permasalahan belajar mahasiswa dan karakteristik mahasiswa, dan
tersebut, maka dalam penelitian ini dikembangkan (2) mengidentifikasi kebutuhan dosen. Perancangan
bahan perkuliahan pada materi geometri analitis dan pengembangan produk, meliputi kegiatan: (1)
dalam bentuk interactive electronic book (e-book) mengidentifikasi tujuan umum pembelajaran, (2)
agar mahasiswa program studi pendidikan ma- melakukan analisis pembelajaran, (3) merumuskan
tematika terlatih belajar secara mandiri dan memiliki tujuan khusus, (4) mengembangkan strategi pem-
kompetensi yang lebih baik di bidang geometri belajaran interaktif, dan (5) menyusun perangkat
analitis. Melalui model bahan demikian, mahasiswa interacive e-book, yang meliputi: bahan pembe-
tidak hanya menjadi penerima yang pasif melainkan lajaran berupa interacive e-book, pedoman dosen,
juga menjadi penentu pembelajaran bagi dirinya dan petunjuk mahasiswa. Pada kajian ini hanya
sendiri. Pembelajaran yang demikian di-harapkan dilakukan pada tahap studi pendahuluan, peran-
akan memberikan motivasi yang lebih tinggi karena cangan dan pengembangan produk.
interactive e-book selalu dikaitkan dengan ke- Pada studi pendahuluan ini yang menjadi
senangan, permainan, dan kreativitas. subyek penelitian adalah mahasiswa program studi
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan Pendidikan Matematika Universitas Islam Malang
model intractive electronic book (e-book) bidang dan Universitas Wisnuwardhana Malang sebanyak
geometri analitis yang dapat meningkatkan ke- 132 orang. Pengumpulan data dalam penelitian ini
mandirian belajar dan kompetensi mahasiswa dilakukan dengan: (1) angket, (2) telaah pustaka,
program pendidikan matematika. Pada tahap ini, dan (3) dokumentasi. Teknik analisis data yang
penelitian bertujuan mengidentifikasi kondisi awal digunakan adalah teknik analisis kuantitatif dan
dan mengembangkan tiga perangkat bahan, yaitu (1) kualitatif. Analisis kuantitatif dengan statistik
Interactive e-book bidang geometri analitis, (2) deskriptif prosentase (Sugiyono, 2013). Sedangkan
Panduan Dosen, dan (3) Petunjuk mahasiswa. analisis kualitatif dalam model ini dengan meng-
Model interactive e-book bidang geometri gunakan model analisis interaktif tiga komponen
analitis ini penting untuk dikembangkan karena: 1) analisis yaitu reduksi data, sajian data, serta pe-
model interactive e-book bidang geometri analitis narikan kesimpulan dan verifikasi, aktivitasnya
menggunakan intranet atau internet yang berakibat dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses
pada perubahan budaya belajar mahasiswa, dari pengumpulan data sebagai suatu proses (Miles dan
yang klasikal ke individual/mandiri, 2) menjadi su- Huberman, 1986).
atu pembelajaran yang menarik, memudahkan bela-
Abidin dan Walida, Pengembangan Model Interactive e-Book Bidang Geometri Analitis, 51

HASIL DAN PEMBAHASAN mahasiswa sebagai objek belajar, tetapi sebagian


besar (75%) dosen menyatakan mendukung bila
Hasil Studi Pendahuluan bahan ajar mata geometri analitis disusun dengan
Kegiatan studi pendahuluan dilakukan untuk bentuk interactve e-book.
mengumpulkan data identifikasi kebutuhan maha- Dengan data seperti ini, berarti cukup alasan
siswa dan identifikasi karakteristik mahasiswa serta untuk dikembangkannya model interactive e-book
data identifikasi kebutuhan dosen. Data yang ter- geometri analitis. Meskipun kelihatannya ada ken-
kumpul dari kegiatan identifikasi kebutuhan dan dala sedikit pada mahasiswa yang kurang menguasai
identifikasi karakteristik mahasiswa serta data teknologi komputer, tapi ini dapat diatasi dengan
identifikasi kebutuhan dosen ini selanjutnya diguna- pengembangan e-book yang tidak terlalu rumit
kan sebagai dasar perancangan dan pengembangan pengoperasiannya.
produk. Memperhatikan hal ini, secara umum
Kebutuhan (need) adalah kesenjangan antara mahasiswa berpendapat, bahwa memang perlu
apa yang diharapkan dengan kondisi yang dikembangkan bahan pembelajaran interaktif yang
sebenarnya (Sanjaya, 2008). Identifikasi kebutuhan banyak melibatkan mereka dalam pembelajaran.
digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi Media yang paling menarik bagi mahasiswa adalah
masalah guna menentukan tindakan yang tepat. komputer dan internet. Hal ini dikuatkan oleh pen-
Dalam penelitian ini, identifikasi kebutuhan dilaku- dapat Rusman (2012), bahwa komputer dapat
kan untuk memperoleh informasi dari mahasiswa merangsang peserta didik untuk aktif dalam
tentang perkuliahan geometri analitis selama ini, pembelajaran dan internet disukai para peserta didik
apakah ada masalah, apa penyebabnya, apakah cara yang dapat dimanfaatkan secara positif sebagai alat
yang digunakan dosen selama ini disukai, dan pembelajaran. Tetapi dalam pelaksanaannya mereka
apakah jalan keluar penyediaan materi dalam bentuk masih sangat perlu kehadiran dosen, sehingga
interactive e-book merupakan sesuatu yang dibutuh- pembagian peran dosen dan materi menjadi jelas
kan, dan sebagainya. (Wena, 2010). Dengan memperhatikan studi
Berdasarkan hasil analisis angket kebutuhan pendahuluan tersebut, maka pengembangan produk
dan karakter mahasiswa menunjukkan bahwa interactive e-book ini cocok digunakan untuk
64,79% mahasiswa senang dengan matakuliah geo- mereka (mahasiswa).
metri analitis. Sekitar 69,01% mahasiswa ingin Hasil identifikasi karakteristik mahasiswa
mempelajari geometri analitis dengan sungguh- menunjukkan bahwa sikap, minat, dan motivasi
sungguh dan berusaha untuk meningkatkan hasil mahasiswa yang secara umum baik terhadap materi
belajar. Untuk meningkatkan kompetensinya, geometri analitis. Hal ini akan sangat menunjang
69,48% mahasiwa menginginkan model perkuliahan berhasilnya produk yang akan dikembangkan.
yang digunakan dosen sangat bervariasi sehingga Karakteristik yang dilihat dari sikap mahasiswa yang
mahasiwa tidak merasa bosan dalam pembelajaran. sangat mendukung dikembangkannya produk
Sedangkan 98,13% mahasiwa menginginkan model interactive e-book bidang geometri analitis akan
perkuliahan yang mendorong keterlibatan mahasiwa memudahkan dan membantu peneliti dalam me-
secara aktif dalam proses pembelajaran. Terdapat nyusun dan menerapkan produk pengembangan.
53,99% mahasiswa merasa senang jika perkuliahan
memanfaatkan teknologi informasi. Sebagian besar Hasil Perancangan Produk
(55,40%) mahasiswa menginginkan pembelajaran Hasil dari studi pendahuluan di atas
menggunakan media komputer dan internet. Jika digunakan dasar dalam melakukan perancangan
materi dalam perkuliahan geometri analitis ber- produk. Langkah yang dilakukan dalam perancangan
bentuk buku elektronik yang interaktif yang produk adalah: 1) menentukan tujuan umum pem-
memanfaatkan komputer dan/atau internet maka belajaran, 2) melakukan analisis materi pembela-
sebagian besar (52,58%) mahasiswa sangat men- jaran geometri analitis, 3) merumuskan tujuan
dukung, sebagian lagi (40,38%) mendukung, dan khusus pembelajaran geometri analitis, 4) me-
sebagian kecil (7,04%) kurang mendukung. Ketika ngembangkan strategi pembelajaran interaktif.
dikonfirmasi pada mereka yang kurang mendukung, Dalam menentukan tujuan umum pembela-
karena sebagian besar mereka ber-alasan kurang jaran, dirumuskan dari Satuan Acara Perkuliahan
menguasai teknologi informasi (TI), sehingga (SAP) dan hasil studi pendahuluan. Secara umum,
mereka khawatir tidak bisa mengikuti perkuliahan tujuan perkuliahan ini adalah mahasiswa memiliki
dengan baik. pemahaman yang memadai tentang geo-metri
Dari hasil angket kebutuhan dosen menunjuk- analitis.
kan bahwa sebagian besar (75%) dosen dalam Analisis materi pembelajaran merupakan pro-
pembelajaran geometri analitis masih sering men- ses penjabaran dari perilaku umum menuju ke
dominasi dalam pembelajaran dengan menempatkan prilaku khusus yang tersusun secara logis dan
52, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

sisitematis. Analisis materi pembelajaran ini analitis, (2) tujuan pembelajaran, (3) skenario
menghasilkan seperangkat prosedur yang diterapkan pembelajaran, dan (4) petunjuk penggunaan
dalam pembelajaran geometri analitis berupa interactive e-book. Menurut Dick & Carey (1990),
identifikasi langkah-langkah yang relevan bagi buku pedoman untuk pengajar berisi gambaran
penyelenggaraan tujuan dan kemampuan subordinat secara umum dari keseluruhan proses pembelajaran.
yang dibutuhkan oleh mahasiswa untuk mencapai Panduan hendaknya disajikan pada pengajar agar ia
tujuan. Analisis materi pembelajaran ini menghasil- memperoleh tinjauan yang luas tentang bahan dan
kan 6 topik pembelajaran, yaitu:1) Sistem koordinat, cara memasukkan bahan itu ke dalam urutan proses
2) Garis lurus, 3) Lingkaran, 4) Ellips, 5) Parabola, belajar siswa.
dan 6) Hiperbola. Petunjuk mahasiswa berisi arahan kepada
Dalam merumuskan tujuan khusus pem- mahasiswa cara menggunakan interactive e-book
belajaran geometri analitis dirinci dari tujuan umum dalam pembelajaran dan berisi: (1) belajar dengan e-
dan hasil analisis materi pembelajaran. Dalam setiap book, (2) jabaran pokok-pokok bahasan yang harus
tujuan dirumuskan menjadi beberapa tujuan khusus. dipelajari dan jabaran kemampuan yang didukung
Dalam mengembangkan strategi pembelajaran setelah selesai me-ngikuti program pembelajaran
interaktif dengan multimedia tidak menganggap dengan bahan pembelajaran geometri analitis
kehadiran dosen tidak penting, tetapi tetap penting. melalui interactive e-book, dan (3) petunjuk
Oleh karena itu pembelajaran dirancang dengan baik penggunaan interactive e-book. Hal ini sejalan
dengan tetap melibatkan kegiatan dosen dan dengan apa yang dikemukakan oleh Dick & Carey
mahasiswa (Wena, 2010). Strategi interaktif dipilih (1990), bahwa buku petunjuk berisi arahan
karena sesuai dengan produk yang dikembangkan pemakaian semua sumber yang terdapat dalam
yaitu interactive e-book. Pada pengembangan bahan itu. Selain itu, buku tersebut mencantumkan
strategi pembelajaran ini disusun langkah-langkah garis besar strategi pengajaran bagi mahasiswa, apa
pembelajaran mulai awal hingga akhir perkuliahan. yang harus mereka lakukan pertama kali, kedua,
ketiga, dan seterusnya.
Hasil Pengembangan Produk
Dengan memperhatikan hasil langkah-langkah SIMPULAN DAN SARAN
perancangan produk, selanjutnya dilakukan pengem-
bangan produk dengan melakukan proses penyu- Dalam penelitian pengembangan ini meliputi
sunan draf perangkat interactive e-book, yang tahap studi pendahuluan, perancangan dan pe-
meliputi: 1) bahan pembelajaran berupa interactive ngembangan produk. Pada studi pendahuluan
e-book, 2) panduan dosen, dan 3) petunjuk meliputi kegiatan mengidentifikasi kebutuhan dan
mahasiswa. karakteristik mahasiswa serta kebutuhan dosen.
Perangkat interactive e-book geometri Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa secara
analitis, berisi sejumlah subkomponen bahan yang umum mahasiswa lebih tertarik perkuliahan
dikemas dalam bentuk interactive e-book berformat geometri analitis yang menggunakan bahan ajar
EXE (aplication). E-book ini dikembangkan dengan dalam bentuk elektronik interaktif (interactive e-
program-program (software): (1) Ebook maker, yang book) yang banyak melibatkan dirinya dalam
menyediakan berbagai fitur untuk memenuhi setiap pembelajaran. Sebagian besar dosen menyatakan
kebutuhan penulis e-book, dan (2) Software quiz mendukung bila bahan ajar mata geometri analitis
maker, yang digunakan untuk membuat latihan disusun dengan bentuk interactive e-book. Peran-
interaktif. Selain disusun dengan sofware yang tepat, cangan dan pengembangan produk meliputi kegiatan
bahan dalam e-book ini ditata sedemikian rupa agar mengidentifikasi tujuan umum pembelajaran, me-
materi geometri analitis lebih mudah dikuasai oleh lakukan analisis pembelajaran, merumuskan tujuan
mahasiswa. Bahan tersebut dikemas dalam satu khusus, pengembangan strategi pembelajaran inter-
perangkat bahan dengan beberapa topik, yang aktif, dan penyusunan perangkat interactive e-book
masing-masing topik bahan meliputi: (1) Tujuan, (2) dalam bidang geometri analitis. Produk yang
Uraian materi, dan (3) Latihan interaktif. Dengan dihasilkan dalam penelitian ini berupa (1) interactive
dirumuskannya tujuan, arah pembelajaran menjadi e-book geometri analitis, (2) panduan dosen, dan (3)
jelas dan tidak menyimpang. Selanjutnya disusun petunjuk mahasiswa, yang dirancang dan dikem-
uraian materi yang cukup rinci, dan diakhiri dengan bangkan secara sistematis dengan berpegang pada
latihan interaktif berupa latihan yang bisa dikerjakan prinsip-prinsip pengembangan pembelajaran.
secara langsung oleh peserta didik saat itu juga. Berkaitan hasil kajian ini, peneliti/pengem-
Panduan dosen berisi arahan kepada dosen bang menyarankan beberapa hal yaitu: (1) untuk
pengampu matakuliah bagaimana menggunakan menimbulkan kreativitas mahasiswa dan dosen,
interactive e-book dalam pembelajaran, yang berisi model ini terbuka untuk dikembangkan oleh siapa
komponen: (1) kajian teoritis tentang geometri saja sepanjang apa yang dikembangkan tetap
Abidin dan Walida, Pengembangan Model Interactive e-Book Bidang Geometri Analitis, 53

bermuara pada pengembangan pembelajaran yang an karakteristik lingkungan sebagaimana yang di-
baik; dan (2) untuk pemanfaatan yang lebih luas ke gambarkan dalam penelitian ini.
perguruan tinggi lain harus memperhatikan kesama-

DAFTAR RUJUKAN

Borg, W.R. dan Gall, M.D. 1989. Educational Plomp, T. 1997. Educational & Training Systems
Research: An Introduction. London: Design: Introduction. Enschede: University
Longman, Inc. of Twente, Faculty of Educational
Darmawan, D. 2012. Inovasi Pendidikan: Science and Technology Enschede.
Pendekatan Praktik Teknologi Multimedia Prastowo, A. 2011. Panduan Kreatif Membuat
dan Pembelajaran Online. Bandung: PT Bahan Ajar Inovatif. Jogjakarta: DIVA Press.
Remaja Rosdakarya. Rusman. 2012. Belajar dan Pembelajaran Berbasis
Dick, W. & Carey, L. 1990. The Systematic Design Komputer (Mengembangkan Profesional
of Instruction. Glenview, Illinois London, Guru Abad 21). Bandung: Alfabeta.
England: Scat, Foresman & Company. Sanjaya, W. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem
Hamid, S.. 012. Mendesain Kegiatan Belajar- Pembelajaran. Jakarta: Kencana.
Mengajar Begitu Menghibur, Metode Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif,
Edutainment Menjadikan Siswa Kreatif dan Kualitatif dan R & D (Reasearch and
Nyaman di Kelas. Yogyakarta: Divapress. Development). Bandung: Alfabeta.
Miles, B.W dan Huberman, A. M. 1986. Qualitative Wena, M. 2010. Strategi Pembelajaran Inovatif
Data Analysis: A Sourcebook of New Kontemporer (Suatu Tinjauan Konseptual
Methods. Beverly Hills: Sage Publications. Operasional). Jakarta: Bumi Aksara.
Munir. 2013. Multimedia: Konsep dan Aplikasi
dalam Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
.
54, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

PEMANFAATAN GADGET DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA


SERTA PENGARUHNYA PADA MAHASISWA YANG MENGALAMI
MATH-ANXIETY DI UNIVERSITAS SARJANAWIYATA TAMANSISWA
PADA MATA KULIAH PERSAMAAN DIFERENSIAL

Muhammad Irfan

Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa


irvahn@gmail.com

Abstrak: Persamaan diferensial merupakan mata kuliah yang dapat dikategorkan ke dalam rumpun
matematika terapan, sehingga membutuhkan pemikiran tingkat tinggi. Hal ini memungkinkan mahasiswa
menjadi cemas ketika mempelajari persamaan diferensial. Mahasiswa yang memilki math-anxiety
berakibat terhadap kurangnya penguasaan materi sehingga nilainya pun kurang baik. Alternatif belajar
bagi mahasiswa yang mengalami kecemasan belajar persamaan diferensial adalah dengan menggunakan
gadget. Gadget saat ini telah berkembang dengan pesat. Pada tahun 2015, teknologi gadget sudah canggih
dan sudah setara dengan notebook. Hal ini yang mendasari bahwa gadget dapat dimanfaatkan untuk
pendidikan, dalam hal ini belajar persamaan diferensial.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Subjek penelitian
dipilih berdasarkan gabungan antara teknik purposive sampling. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah wawancara. Dalam penelitian ini jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara
semiterstruktur. Uji validasi data yang digunakan adalah uji triangulasi waktu.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa dengan tingkat kecemasan tinggi belum efektif dalam
memanfaatkan gadget sebagai media pembelajaran. Frekuensi penggunaannya masih rendah. Sedangkan
mahasiswa dengan tingkat kecemasan tinggi sudah efektif dalam memanfaatkan gadget sebagai media
pembelajaran. Frekuensi penggunaannya masih dalam kategori sedang

Keywords: gadget, persamaan diferensial, math-anxiety.

Persamaan diferensial merupakan mata kuliah yang Freedman (2012), math-anxiety dapat dibagi ke
masuk ke dalam rumpun terapan, sehingga mem- dalam empat kelompok, yaitu: mahasiswa memiliki
butuhkan pemikiran tingkat tinggi. Untuk mengam- math-anxiety tinggi, memiliki math-anxiety agak
bil mata kuliah persamaan diferensial, mahasiswa tinggi, memiliki math-anxiety sedang (rata-rata), dan
diwajibkan untuk mengambil mata kuliah kalkulus memiliki math-anxiety rendah. Mahasiswa yang
diferensial dan kalkulus integral sebagai mata kuliah memilki math-anxiety berakibat terhadap kurangnya
prasyarat. Agar mahasiswa dapat memahami penguasaan materi sehingga nilainya pun kurang
persamaan diferensial, mahasiswa harus memahami baik.
dahulu kalkulus diferensial dan kalkulus integral. Pradeep (2011), mendeskripsikan perfor-
Hal ini memungkinkan mahasiswa menjadi cemas mance dan avoidance matematika sebagai skema
ketika mempelajari persamaan diferensial. lingkaran yang diilustrasikan pada Gambar 1.
Kecemasan belajar matematika (math-anxiety)
sering dialami oleh mahasiswa baik saat belajar di
dalam kelas ataupun di luar kelas. Menurut

Gambar 1: Skema lingkaran math anxiety


Irfan, Pemanfaatan Gadget dalam Pembelajaran Matematika, 55

Di fase pertama, mahasiswa mengalami pe- dalam pembelajaran matematika serta pengaruhnya
ngalaman situasi buruk terhadap matematika dan pada mahasiswa yang mengalami math-anxiety di
kemudian mempunyai negative feelings terhadap Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa pada mata
matematika. Pada tahap selanjutnya, adalah avoid kuliah persamaan diferensial. Berdasarkan latar
mathematical situations kemudian diikuti oleh fase belakang masalah tersebut, terdapat pertanyaan
ketiga yaitu poor mathematical preparations dan penelitian sebagai berikut: (1) seberapa efektifkah
pada akhirnya ada di fase keempat yaitu poor pemanfaatan gadget dalam belajar persamaan di-
mathematical performance. ferensial bagi mahasiswa yang mengalami ke-
Pada Gambar 1, terdapat fase dimana maha- cemasan belajar tinggi, (2) seberapa efektifkah pe-
siswa menghindari matematika, dalam hal ini manfaatan gadget dalam belajar persamaan di-
persamaan diferensial. Akibatnya, mahasiswa mem- ferensial bagi mahasiswa yang mengalami kece-
punyai performance yang kurang baik pada mata masan belajar rendah. Berdasarkan rumusan masalah
kuliah persamaan diferensial. Mahasiswa yang tersebut, tujuan dari penelitian adalah sebagai
memiliki math-anxiety pada mata kuliah persamaan berikut: (1) mengetahui efektifitas pe-manfaatan
diferensial sangat mungkin terjadi. Hal ini dika- gadget dalam belajar persamaan diferensial bagi
renakan persamaan diferensial merupakan salah satu mahasiswa yang mengalami ke-cemasan belajar. (2)
mata kuliah yang membutuhkan pemikiran tingkat menganalisis perlakuan yang efektif terhadap ma-
tinggi dan pemahaman ilmu kalkulus yang baik. hasiswa yang mengalami kecemasan belajar per-
Mahasiswa yang mengalami math-anxiety mungkin samaan diferensial. (3) mengembangkan media
akan melakukan beberapa hal, diantaranya: (1) pembelajaran persamaan diferensial agar mahasiswa
bertanya kepada teman kelas/ kos; (2) browsing di lebih mudah memahami persamaan diferensial.
internet baik menggunakan komputer, laptop, atau-
pun gadget; (3) diam tidak melakukan usaha untuk Perkembangan Gadget
belajar persamaan diferensial. Pada era modern saat ini, gadget sudah tidak
Dosen mempunyai tugas pokok, yaitu asing bagi masyarakat terlebih di kalangan muda.
pengajaran, penelitian, dan pengabdian. Pada saat Perkembangan gadget dimulai pada tahun 1990-an,
mengajar, dosen hendaknya memperhatikan maha- generasi kedua atau 2-G di Amerika sudah meng-
siswa, apakah mahasiswa mempunyai kecemasan gunakan teknologi CDMA, sedangkan di Eropa
belajar atau tidak. Jika mayoritas mahasiswa menggunakan teknologi GSM. GSM menggunakan
mempunyai kecemasan belajar yang rendah, tentu frekuensi standar 900 Mhz dan frekuensi 1800 Mhz.
tidak terlalu menjadi masalah. Namun, jika sebaran Dengan frekuensi tersebut, GSM memiliki kapasitas
mahasiswa yang mengalami kecemasan merata, pelanggan yang lebih besar. Pada generasi 2-G
itulah yang menjadi permasalahan. Dosen harus me- penggunaan sinyal digital melengkapi telepon geng-
lakukan penelitian agar mengetahui seberapa besar gam dengan pesan suara, panggilan tunggu, dan
tingkat kecemasan belajar pada materi persamaan SMS. Penggunaan chip digital membuat telepon
diferensial, agar nantinya dapat menyampaikan seluler memiliki ukuran yang lebih kecil dan lebih
pembelajaran dengan tepat. ringan.
Alternatif belajar bagi mahasiswa yang Perkembangan gadget selanjutnya, tidak lepas
mengalami kecemasan belajar persamaan diferensial dari Steve Jobs yang meluncurkan inovasi bernama
adalah dengan menggunakan gadget. Gadget saat ini Ipad. Sebelum Ipad ada, blackberry dan windows
telah berkembang dengan pesat. Pada tahun 2015, phone sudah menguasai pasaran smartphone.
teknologi gadget sudah canggih dan sudah setara Namun semenjak tahun 2010 saat Ipad lahir,
dengan notebook. Menurut Wahyudi (2011), pe- perlahan-lahan blackberry dan windows phone mulai
netrasi mobile internet di Indonesia saat ini sebesar menurun. Setelah Apple meluncurkan produk Ipad-
57 persen. Dari segi jumlah populasi, data dari nya, selang beberapa saat samsung muncul menjadi
MarkPlus Insight mengatakan bahwa saat ini ada 29 pesaing dengan android-nya. Pada generasi ketiga
juta mobile internet user di Indonesia. Dengan atau disebut juga 3G memungkinkan operator
maraknya gadget baru yang berkembang dan jaringan untuk memberi jangkauan yang lebih luas
ditunjang pula oleh semakin terjangkaunya harga bagi para pengguna, termasuk akses internet. Dalam
paket mobile internet yang ditawarkan oleh operator 3G terdapat 3 standar untuk dunia telekomunikasi
seluler, angka ini meningkat sebesar hampir 100 yaitu Enhance Datarates for GSM Evolution
persen dari tahun sebelumnya yaitu 16 juta orang. (EDGE), Wideband-CDMA, dan CDMA 2000. Pada
Hal ini yang mendasari bahwa gadget dapat generasi ini mulai masuknya sistem operasi pada
dimanfaatkan untuk pendidikan, dalam hal ini ponsel sehingga membuat fitur ponsel semakin
belajar persamaan diferensial. lengkap bahkan mendekati fungsi PC (Personal
Berdasarkan uraian sebelumnya, penulis ingin Computer). Sistem operasi yang digunakan antara
melakukan penilitian tentang pemanfaatan gadget lain Symbian, Android dan Windows Mobile.
56, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Fourth Generation (4G) merupakan sistem akan sesuatu hal dan kehilangan percaya diri.
ponsel yang menawarkan pendekatan baru dan Menurut Stuart (dalam Hodge, 2002: 4) math
solusi infrastruktur yang mengintegrasikan teknologi anxiety muncul dari kurang percaya diri saat
tanpa kabel. Sistem 4G berdasarkan keaneka- menghadapi matematika. Ashcraft & Ridley (2005)
ragaman jaringan IP yang memungkinkan pengguna menyebutkan bahwa math anxiety merupakan
untuk menggunakan beragam sistem kapan saja dan halangan untuk prestasi matematika. Math anxiety
dimana saja. adalah keadaan psikologis yang timbul saat
mahasiswa mengalami kehilangan harga diri dalam
Pemanfaatan Gadget untuk Pendidikan menghadapi situasi matematika (Maxima, 2012: 4).
Teknologi telekomunikasi dan internet Sedangkan Richardson dan Suinn (dalam Aschraft
berkembang sangat pesat dan menjadi sektor yang dan Moore, 2009) menyebutkan bahwa math anxiety
berpengaruh di dunia. Perkembangan ini is a person’s negative affective reaction to situations
memungkinkan adanya terobosan baru dalam dunia involving numbers, math, and mathematics
pendidikan, yaitu dengan adanya mobile learning calculations, a feeling of tension and anxiety that
(m-learning). M-learning memungkinkan pem- interferes with the manipulation of numbers and the
belajar belajar tanpa batas karena dapat diakses di- solving of mathematical problems in a wide variety
manapun dan kapanpun. Namun di sisi lain, of ordinary life and academic situations.
perangkat m-learning memiliki keterbatasan yang Lang (dalam Krinzinger, 2009) menyatakan
diperlukan rancangan yang mampu mengatasi bahwa math anxiety adalah seperti phobia yang
kendala tersebut. Perkembangan teknologi pada saat mempengaruhi seseorang pada tiga tingkatan, yaitu:
ini telah sampai pada teknologi yang efektif dan (1) reaksi psikologis sebagai gejala munculnya math
efisien guna memenuhi kebutuhan konsumen, salah anxiety, (2) efek kognitif dari math anxiety, dan (3)
satunya adalah pendidikan. Para pelaku pendidikan menghindari pengolahan dan perhitungan tentang
telah banyak memanfaatkan perkembangan tek- angka. Menurut Ashcraft (2009), math anxiety
nologi untuk digunakan sebagai media pembe- didefinisikan sebagai perasaan tegang, ketidak-
lajaran. Teknologi internet adalah salah satu tek- berdayaan, disorganisasi mental, dan takut bila
nologi yang memungkinkan setiap orang dapat diperlukan untuk memanipulasi angka dan me-
melakukan pembelajaran secara mobile (tidak tetap) mecahkan masalah matematika. Levine (dalam
atau dapat disebut mobile learning (m-learning). Zakaria dan Nordin, 2007) mendeskripsikan math
Kombinasi antara telekomunikasi dengan teknologi anxiety as involving feelings of anxiety and tension
internet dapat memungkinkan pengembangan sistem that interfere with doing mathematical operations.
m-learning sebagai media pembelajaran. Math anxiety melibatkan perasaan cemas dan tegang
Saat ini teknologi m-learning memang masih yang dapat mengganggu saat melakukan operasi
dalam proses pengembangan, akan tetapi, teknologi matematika.
m-learning sebagai media pembelajaran merupakan Dregen dan Aiken (dalam Hellum dan
salah satu teknologi yang prospektif di masa depan. Alexander, 2010) mendefinisikan bahwa math
Istilah m-learning mengacu kepada penggunaan anxiety merupakan adanya sindrom yang diaki-
perangkat teknologi informasi genggam dan ber- batkan oleh respon emosional dari pelajaran ma-
gerak, seperti PDA hanphone, tablet dalam peng- tematika. Sheffield & Hunt (2007:19) menyebut-kan
ajaran dan pembelajaran. (Tamimuddin, 2007: 1). math anxiety is the feelings of anxiety that some
Ally (2009: 1) mengatakan bahwa m-learning individuals experience when facing mathematical
menggunakan teknologi wireless mobile untuk problems. Maksudnya, math anxiety merupakan
mengakses informasi dan belajar dimana saja dan perasaan cemas yang muncul dari pengalaman yang
kapan saja. Hal tersebut dapat diartikan bahwa tidak menyenangkan dalam pembelajaran matemati-
pembelajar dapat mengontrol sendiri apa yang akan ka. Haylock & Thangata (2007: 12) math anxiety
dipelajari dan dari mana tempat dia akan belajar. adalah suatu kondisi yang menghambat kemampuan
mahasiswa untuk mencapai potensi pengalaman
Kecemasan Matematika (Math-Anxiety) belajar dan penilaian matematika di kelas, atau
Kecemasan belajar matematika (math-anxiety) keduanya yang merupakan respon emosional dan
sering dialami oleh mahasiswa baik saat belajar di objek dari rasa takut.
dalam kelas ataupun di luar kelas. Hal ini berakibat Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan
terhadap kurangnya penguasaan materi sehingga bahwa math anxiety adalah keadaan psikologis yang
nilainya pun kurang baik. Menurut Tobias (dalam timbul ketika seseorang mengalami ketegangan,
Joseph dan Alyssa, 2011) math anxiety didefinisikan kehilangan percaya diri, dan kehilangan harga diri
sebagai perasaan tegang dan gelisah yang saat menghadapi situasi matematika. Dari definisi
mengganggu dalam pemecahan masalah dan para ahli dan kesimpulan tersebut, dapat diperoleh
akademik. Math anxiety dapat menyebabkan lupa indikator math anxiety sebagai berikut.
Irfan, Pemanfaatan Gadget dalam Pembelajaran Matematika, 57

a. Mahasiswa merasa takut ketika masuk kelas of knowledge that shapes and guides academic
matematika and/or practice disciplines. Dengan kata lain, pe-
b. Mahasiswa merasa khawatir saat akan maju ke nelitian kualitatif bermaksud memahami obyek-nya,
depan kelas. tetapi tidak untuk membuat generalisasi me-lainkan
c. Mahasiswa takut untuk bertanya. membuat ekstrapolasi atas makna di balik obyeknya
d. Mahasiswa merasa kesulitan saat belajar tersebut. Menurut Sugiyono (2011: 15) mengemu-
matematika. kakan bahwa metode kualitatif adalah metode pe-
e. Mahasiswa cenderung diam saat kelas nelitian yang berlandaskan pada filsafat post-
matematika. positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi
f. Mahasiswa merasa takut saat tes matematika. yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai
g. Mahasiswa mengalami disorganisasi mental. instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data
h. Mahasiswa khawatir tidak bisa mengimbangi dilakukan secara purposive, teknik pengumpulan
mahasiswa lainnya. dengan triangulasi, analisis data bersifat induktif,
dan hasil penelitian lebih menekan makna dari
Kecemasan dalam matematika dapat disebab- generalisasi.
kan oleh pengalaman buruk masa lalu yang Subjek penelitian dipilih berdasarkan ga-
berkaitan dengan pelajaran matematika. Kecemasan bungan antara teknik purposive sampling. Purposive
dalam aktivitas matematika berperan pada kegagalan sampling adalah teknik pengambilan sampel sumber
matematika. Seseorang yang memiliki kecemasan data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011:
matematika tinggi mungkin saja tidak mampu untuk 218-219). Pertimbangan tertentu ini misalnya orang
menyelesaikan masalah matematika. tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang kita
Elliot (dalam Kidd, 2003) menyatakan bahwa harapkan.
terdapat tiga tipe orang yang merasa cemas terhadap Menurut Ellen Freedman (2012) math anxiety
matematika, yaitu: (1) orang yang hafal matematika dapat dibagi menjadi 4 kelompok seperti ditunjuk-
tetapi mereka tidak bisa mengaplikasikan konsep kan pada Tabel 1.
yang diperoleh, (2) orang yang menghindari mate- Tabel 1. Kelompok berdasarkan math anxiety
matika, dan (3) orang yang merasa tidak kompeten Skor Kriteria
dalam bidang studi matematika. Sedangkan Wigfield 40 – 50 Memiliki math anxiety tinggi
dan Meece (dalam Sulastri, 2007) menyatakan 30 – 39 Math anxiety agak tinggi
bahwa kecemasan matematika memiliki dua 20 – 29 Math-anxiety sedang
komponen, yaitu: (1) math anxious, yaitu orang yang < 20 Math anxiety rendah
memiliki reaksi emosional negatif terhadap
matematika bahkan khawatir dan tidak menyukai- Pengelompokan tersebut berdasarkan kuo-
nya, (2) orang yang benar-benar tidak mampu pada sioner yang terdapat 10 pernyataan dengan nilai 1-5,
aktivitas matematika yang berturut-turut. nilai 1 jika tidak setuju, dan 5 jika setuju.
Reaksi-reaksi kecemasan dalam aktivitas ma- Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka
tematika berperan pada kegagalan matematika. peneliti mengelompokkan math-anxiety menjadi 4
Reaksi tersebut biasanya ditunjukkan dengan kelompok, yaitu: math-anxiety tinggi, math-
penghindaran terhadap aktivitas matematika. anxiety agak tinggi, math anxiety sedang, dan math-
Seseorang yang memiliki kecemasan tinggi mungkin anxiety rendah. Pada penelitian ini, peneliti memilih
saja tidak mampu untuk menyelesaikan per- subjek mahasiswa yang mempunyai kecemasan
masalahan matematika. tinggi dan mahasiswa dengan kecemasan rendah.

HASIL DAN PEMBAHASAN


METODE PENELITIAN
Pemanfaatan gadget dalam belajar persamaan
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian diferensial bagi mahasiswa yang mengalami
kualitatif dengan metode studi kasus. Metode yang kecemasan belajar rendah di Universitas Sarjana
digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus wiyata Tamansiswa masih sebatas mencari bahan
dimana peneliti berusaha untuk mengetahui seberapa materi persamaan diferensial serta latihan-latihan
besar pemanfaatan gadget pada mahasiswa yang soal dan pembahasan. Mahasiswa merasa perlu
mengalami kecemasan belajar persamaan diferen- untuk mencari referensi lain di luar buku wajib yang
sial. disarankan oleh dosen. Masih sedikitnya materi dan
Penelitian kualitatif bermaksud menggali media pembelajaran persamaan diferensial membuat
makna perilaku yang berada di balik tindakan manu- mahasiswa hanya dapat mengakses materi dan la-
sia. Menurut Powers & Knapp (dalam Joy Higgs, tihan soal. Mahasiswa mempunyai harapan bahwa
2009: 5) A systematic process of investigation, the ada aplikasi/ media pembelajaran yang dapat
general purpose of which is to contribute to the body diinstall di smartphone sehingga dapat diakses
58, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

dimana saja dan kapan saja. Selama ini, gadget SIMPULAN DAN SARAN
digunakan untuk men-download materi dan soal-
pembahasan persamaan diferensial sehingga mema- Pemanfaatan gadget dalam belajar persamaan
kan kuota internet, akibatnya biaya mem-bengkak. diferensial bagi mahasiswa yang mengalami ke-
Frekuensi mahasiswa memanfaatkan gadget sudah cemasan belajar rendah sudah efektif, walaupun
kedalam kategori sedang. Mahasiswa memanfaatkan mahasiswa masih sebatas mencari bahan materi
gadget untuk belajar persamaan diferensial rata-rata persamaan diferensial serta latihan-latihan soal dan
7 kali seminggu. Jika ada tugas dari dosen, bisa pembahasan. Masih sedikitnya materi dan media
mencapai 10 kali dalam seminggu. pembelajaran persamaan diferensial membuat ma-
Sedangkan pemanfaatan gadget dalam belajar hasiswa hanya dapat mengakses materi dan latihan
persamaan diferensial bagi mahasiswa yang soal. Mahasiswa mempunyai harapan bahwa ada
mengalami kecemasan belajar tinggi di Universitas aplikasi/ media pembelajaran yang dapat diinstall di
Sarjanawiyata Tamansiswa belum banyak me- smartphone sehingga dapat diakses dimana saja dan
manfaatkan gadget yang mereka punya. Mahasiswa kapan saja. Frekuensi mahasiswa memanfaatkan
yang memiliki kecemasan belajar persamaan di- gadget sudah kedalam kategori sedang. Mahasiswa
ferensial tinggi merasa bingung saat memanfaat-kan memanfaatkan gadget untuk belajar persamaan
gadget sebagai media belajar persamaan diferensial. diferensial rata-rata 7 kali seminggu. Jika ada tugas
Mahasiswa setelah mendapatkan materi atau latihan dari dosen, bisa mencapai 10 kali dalam seminggu.
soal dan pembahasan masih merasa perlu penjelasan Sedangkan pemanfaatan gadget dalam belajar
langsung dari orang lain. Materi serta latihan soal persamaan diferensial bagi mahasiswa yang meng-
dan pembahasan yang diakses cenderung tidak alami kecemasan belajar tinggi belum efektif.
secara rinci ditulis. Sehingga mengakibatkan maha- Mahasiswa belum banyak memanfaatkan gadget
siswa belum memahami apa yang ia baca. Efeknya yang mereka punya. Mahasiswa yang memiliki
adalah, mahasiswa cenderung malas untuk mencari kecemasan belajar persamaan diferensial tinggi
materi persamaan diferensial via gadget. Frekuensi merasa bingung saat memanfaatkan gadget sebagai
mahasiswa memanfaatkan gadget sudah kedalam media belajar persamaan diferensial. Mahasiswa
kategori sangat rendah. Mahasiswa memanfaatkan cenderung malas untuk mencari materi persamaan
gadget untuk belajar persamaan diferensial rata-rata diferensial via gadget. Frekuensi mahasiswa
1 kali seminggu. Jika ada tugas dari dosen, bisa memanfaatkan gadget sudah kedalam kategori sa-
mencapai 3 kali dalam seminggu. Mahasiswa ngat rendah. Mahasiswa memanfaatkan gadget
memilih bertanya langsung ke teman daripada untuk belajar persamaan diferensial rata-rata 1 kali
memanfaatkan gadget atau bertanya ke dosen yang seminggu. Jika ada tugas dari dosen, bisa mencapai
bersangkutan. 3 kali dalam seminggu. Mahasiswa memilih ber-
tanya langsung ke teman daripada memanfaatkan
gadget atau bertanya ke dosen yang bersangkutan.

DAFTAR RUJUKAN

Ashcraft, Mark H. dan Ridley, Kelly S.. 2005. Math Hodge, James E., 2002. Desertasi: The Effect of
Anxiety and Its Cognitive Concequences: A Math Anxiety, Math Self-Efficacy, and
tutorial review. In J. Cambell(Ed.), Handbook Computer-Assisted Intruction On The Ability
of Mathematical Cognition (pp. 315-327). of Undergraduate Nursing Students to
New York: Psychology Press. Calculate Drug Dosages. West Virginia
Ashcraft dan Moore. 2009. Mathematics Anxiety and University.
the Affective Drop in Performance. Journal of Joseph dan Gonzales, Alyssa. 2011. How do
Psychoeducational Assesment. Vol. 3 No. 27. Students’ Mastery and Performance Goals
Hal: 197-205. Relate to Math Anxiety? Eurasia Journal of
Freedman, Ellen. 2012. Anxtest. [Online]. Tersedia: Mathematics, Science and Technology
http://www.mathpower.com/anxtest.htm [5 Education. Vol. 7 No. 4 Hal: 227-242.
Maret 2012]. Kidd, J. 2003. The Effect of Relational Teaching and
Haylock, D. dan Thangata. 2007. Key Concept in Attitudes on Mathematics Anxiety. [Online].
Teaching Primary Mathematics. London: Tersedia: http://lib.nesu.edu/theses. [13
Sage Publications Ltd. September 2010].
Higgs, Joy dkk. 2009. Writing Qualitative Research Krinzinger. 2009. Math Anxiety and Math Ability in
on Practice. Rotherdam: Sense Publisher. Early Primary School Years. Journal of
Irfan, Pemanfaatan Gadget dalam Pembelajaran Matematika, 59

Psycho Educational Assesment. Vol. 3. No. We Do About It? MSOR Connections


27. Hal 206-225. November 2006-January 2007. Vol. 6. No. 4.
Maxima J. Acelajado. 2012. The Impact of Using Sulastri, S. 2007. Penerapan Model Pembelajaran
Technology on Student’s Achievement, Quantum Teaching untuk Mengurangi
Attitude, and Anxiety in Mathematics. Kecemasan Matematika Siswa pada Topik
[Online]. Tersedia: www. [12 Juli 2012] Bangun Datar. Skripsi. FPMIPA UPI: Tidak
Mohamed Ally. 2009. Mobile Learning Diterbitkan.
Transforming the Delivery of Education and Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan.
Training. Athabasca University: AU Press. Bandung: Afabeta
Muhammad Tamimuddin. 2007. Artikel: Mengenal Wahyudi, Reza. 2011. Naik 13 Juta, Pengguna
Mobile Learning. P4TK Matematika. Internet Indonesia 55 Juta Orang. [Online:
Pradeep, Reshmi. 2011. A Study of Mathematics http://tekno.kompas.com/read/2011/10/28/165
Anxiety Amongst Primary Pre-service 34635/Naik.13.Juta..Pengguna.Internet.Indone
Teachers enlolled in a Dutch Teacher sia.55.Juta.Orang diakses tanggal 22 April
Training Program. Amsterdam: Universiteit 2014 11:53].
Van Amsterdam [Online]. Tersedia: Zakaria, E, & Nordin, N. M. (2007). The Effects of
www.science.uva.nl/onderwijs/thesis/centraal/ Mathematics Anxiety on Matriculation
files/f485290306.pdf [9 Juni 2012]. Students as Related to Motivation and
Sheffield, D. dan Hunt, T. 2006. How does Anxiety
Influence Maths Performance and What Can Achievement. Eurasia Journal of
Mathematics, Science & Technology
Education, 2008, 4(1), 27-30.
60, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

PROBLEMATIKA MASALAH PEMBUKTIAN


PADA MATAKULIAH STRUKTUR ALJABAR

Warli

Prodi Pendidikan Matematika UNIROW Tuban


warli66@gmail.com

Abstract: The purpose of this research was to describe the student’s problematics in proving
theorems/statements on Algebraic Stuctures courses. The research subjects were taken from the students
of Department of Mathematics Education, UNIROW Tuban who were following college of Algebraic
Structures. The research method was qualitative explorative study. Based on the analysis results, it was
obtained conclusion that the students of Department of Mathematics Education, UNIROW Tuban easily
understand the main part, hypotheses, and conclusion of a statement/theorem but very weak to find
connection of the main part into the hypotheses part, so that it was not obtained the logical truth from the
evidentiary conclusion.

Keywords: theorems, connection, reasoning, proof, and problem solving.

Matakuliah Struktur Aljabar merupakan salah satu secara deduktif. Penalaran dan berpikir logis
matakuliah rumpun Aljabar pada Kurikulum Prodi menjadi modal dasar untuk dapat menyelesaikan
Pendidikan Matematika UNIROW Tuban. Pada masalah pembuktian. Polya (1973) mengatakan
matakuliah Struktur Aljabar lebih menekankan pada bahwa tujuan masalah membuktikan adalah untuk
struktur matematika, sehingga masalah pembuktian menunjukkan secara jelas bahwa sebuah pernyataan
merupakan objek yang menjadi pemecahan masalah. dinyatakan benar atau tidak. Hal ini untuk menjawab
Masalah dalam matematika menurut Polya (1973) pertanyaan: apakah pernyataan ini benar atau salah?
terbagi menjadi dua, yaitu: masalah menentukan dan Sejalan dengan hal tersebut Rav (dalam Hanna,
masalah pembuktian. Lebih lanjut Polya mengatakan 2001) mengatakan bahwa bukti adalah cara ahli
bahwa masalah menemukan lebih sesuai di mate- matematika untuk menampilkan alat matematika
matika dasar, sedangkan masalah membuktikan le- untuk memecahkan masalah dan untuk membe-
bih sesuai di matematika lanjut. Artinya bahwa narkan bahwa penyelesaian yang diusulkan dari
masalah pembuktian sudah sesuai apabila diberikan masalah tersebut memang penyelesaiannya. Ini
pada mahasiswa. Di samping itu Standar NCTM berarti bahwa bukti dapat membantu memahami
(Norton, 2006) telah mengemas kecenderungan di makna dari teorema yang dibuktikan: untuk melihat
seluruh dunia memberikan keunggulan lima standar tidak hanya pernyataan itu benar, tapi juga mengapa
proses: pemecahan masalah, penalaran dan bukti, itu benar. Menurut Lovell (1970) konsep pem-
koneksi, komunikasi, dan representasi. Dalam buktian dalam matematika sangat penting.
NCTM (2009) dijelaskan bahwa penalaran dan bukti Cadwallader Olsker (2011) juga menegaskan bahwa
matematika memberikan cara kuat untuk mengem- bukti adalah dasar matematika, kita tidak tahu
bangkan dan mengekspresikan wawasan berbagai apakah proposisi matematika adalah benar atau salah
fenomena. Prinsip dan Standar NCTM mere- sampai telah terbukti (atau yang dibuktikan) itu.
komendasikan bahwa penalaran dan bukti meru- Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, jelas
pakan bagian kurikulum matematika di semua bahwa pembuktian dalam matematika adalah
tingkatan. Penalaran dan pembuktian bertujuan agar penting untuk menunjukkan bahwa sebuah per-
siswa dapat: a) mengenali penalaran dan pembuktian nyataan itu benar atau tidak.
sebagai aspek fundamental matematika; membuat Menurut Hanna (2001) masalah pembuktian
dan menyelidiki dugaan-dugaan matematika; b) tidak hanya berfungsi untuk menunjukkan sebuah
mengembangkan dan mengevaluasi argumen pernyataan matematika itu benar atau salah, tetapi
matematika dan bukti-bukti; c) memilih dan meng- memiliki makna yang lebih luas, misal: verifikasi,
gunakan berbagai jenis penalaran dan metode pem- konfirmasi, sistematisasi, inquiri, komunikasi, dan
buktian (Hanna, 2001). Ini menunjukkan bahwa eksplorasi. Untuk itu masalah pembuktian dapat
pembuktian menjadi bagian peting dalam pembe- memberikan wawasan pola berpikir yang tinggi bagi
lajaran matematika. peserta didik, sehingga kelak peserta didik dapat
Sebagai ilmu deduktif kebenaran matematika mengatasi segala permasalahan hidup dengan baik.
tidak cukup hanya dilihat dari fakta atau contoh, Lebih lanjut Hanna (2001) menjelaskan fungsi
tetapi kebenaran matematika harus bisa dibuktikan pembuktian dan membuktikan matematika antara
Warli, Problematika Masalah Pembuktian pada Matakuliah Struktur Aljabar, 61

lain: a) Verifikasi (berkaitan dengan kebenaran (2006) yaitu untuk melihat matematika dalam situasi
pernyataan); b) Penjelasan (memberikan wawasan yang dihadapi, merencanakan, menyelidiki, dugaan,
tentang mengapa itu benar); c) Sistematisasi membenarkan, berpikir kritis, dan generalisasi untuk
(organisasi berbagai hasil menjadi sistem aksioma menggunakan teknologi dalam memecahkan
deduktif, konsep dan teorema utama); d) Penemuan masalah. Pada bidang Aljabar, Van De Walle
(penemuan atau penemuan hasil baru); e) Komu- (Gagnon & Maccini, 2001) menjelaskan bahwa
nikasi (transmisi pengetahuan matematika); f) penalaran aljabar melibatkan membantu siswa
Membangun sebuah teori empiris; g) Eksplorasi untuk: (a) mengenal, memper-pan-jang, atau
makna dari definisi atau konsekuensi dari suatu menyamaratakan pola-pola, dan (b) meng-
asumsi; dan h) penggabungan fakta yang terbaik komunikasikan pola atau hubungan gene-ralisasi
menjadi sebuah kerangka kerja baru dan kemudian melalui simbolisme aljabar (persamaan, variabel,
melihatnya dari perspektif yang fres/segar. dan fungsi).
Berkembangnya ilmu matematika banyak Pada umumnya masalah “membuktikan”
berawal dari kemampuan seseorang dalam menye- meliputi bagian hipotesis dan simpulan (konklusi).
lesaiakan masalah membuktikan. Sebuah pernyataan Polya (1973) menjelaskan bahwa jika masalah yang
dalam matematika baru diyakini benar, apabila telah dibuktikan adalah masalah matematika dari jenis
dibuktikan secara logis. Hasil penelitian Martin & biasa, masalah tersebut bagian utamanya adalah
Harel (1989) terhadap guru-guru menjelaskan bahwa hipotesis dan kesimpulan dari teorema/pernyataan
lebih dari 60% menerima argumen deduktif yang yang harus dibuktikan atau disangkal. Lebih lanjut
benar sebagai bukti matematika yang valid. Masalah Polya (1973) menjelaskan bahwa jika ingin me-
membuktikan merupakan masalah yang dipandang mecahkan masalah pembuktian, maka harus me-
sulit dibanding masalah menentukan. Heinze (2004) ngetahui, dan tahu secara tepat, bagian utamanya,
menjelaskan bahwa dalam dekade terakhir beberapa hipotesis, dan kesimpulan.
studi empiris yang dilakukan memberikan gambaran Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat
tentang kompetensi matematika siswa di berbagai disimpulkan bahwa masalah membuktikan
negara. Di samping itu studi seperti TIMSS dan merupakan masalah yang sangat penting dan
PISA yang menunjukkan bahwa di sebagian besar memiliki peran atau fungsi yang fundamental dalam
negara prestasi siswa relatif kurang baik pada item matematika. Namun demikian masalah membukti-
pembuktian. kan juga merupakan masalah yang sulit bagi peserta
Pemecahan masalah dalam masalah mem- didik. Hal ini juga didukung oleh pengalaman
buktikan, lebih menekankan pada berpikir logis, penulis selama lebih dari 5 tahun mengampu
sehingga penalaran memiliki peran penting. matakuliah Struktur Aljabar, mahasiswa mengalami
CadwalladerOlsker (2011) menjelaskan bahwa se- kesulitan ketika dihadapkan dengan masalah
buah bukti teorema matematika adalah urutan membuktikan. Berbagai contoh sudah penulis
langkah-langkah yang mengarah pada kesimpulan berikan, namun demikian setiap masalah pembuk-
yang diinginkan. Aturan yang harus diikuti oleh tian diberikan, mahasiswa selalu menumukan masa-
suatu urutan langkah-langkah yang dibuat secara lah baru. Tidak lebih dari 20% mahasiswa yang
eksplisit ketika logika diformalkan pada awal abad mampu menyelesaikan masalah membuktikan de-
ini, dan tidak berubah hingga sekarang. Menurut ngan baik.
Heinze (2004) penalaran, bukti dan argumentasi di Permasalahannya adalah peran penting masa-
kelas matematika merupakan masalah penting dalam lah pembuktian kurang bisa diikuti dengan baik oleh
penelitian pendidikan matematika. Sejalan dengan mahasiswa di tempat penulis mengajar. Mahasiswa
hal tersebut NCTM (2009) menyebutkan kemam- selalu menemui masalah ketika dihadapkan pada
puan penalaran adalah penting untuk memahami masalah pembuktian. Hal ini dapat ditunjukkan pada
matematika. Dengan mengembangkan ide-ide, matakuliah Struktur Aljabar yang diampu oleh
mengeksplorasi fenomena, membenarkan hasil, dan penulis, hasil tes mahasiswa sangat kurang memu-
menggunakan dugaan matematika di semua konten askan. Sebagai refleksi, banyak faktor yang menye-
dan di semua tingkatan kelas, siswa harus mengakui babkan mahasiswa kurang berhasil dalam meng-
dan berharap bahwa matematika masuk akal. hadapi masalah pembuktian, misal: Pertama, penulis
Mariotti (2006) juga menegaskan bahwa pembuktian (sebagai dosen) belum menemukan metode meng-
jelas memiliki tujuan validasi mengkonfirmasikan ajar yang cocok dalam pembelajaran pada mata-
kebenaran sebuah pernyataan dengan memeriksa kuliah Struktur Aljabar, sehingga mahasiswa sulit
kebenaran logis dari argumen matematika. Namun memahami. Kedua, mahasiswa memiliki kemam-
demikian, pada saat yang sama, bukti harus memiliki puan rendah dalam masalah pembuktian. Sebagai
kontribusi yang lebih luas, yaitu untuk meng- langkah awal penulis perlu mengetahui profil pro-
konstruksi pengetahuan. Alasan untuk berpikir pena- blematika mahasiswa dalam menyelesaikan masalah
laran dan bekerja secara matematis, menurut Norton pembuktian pada matakuliah Struktur Aljabar.
62, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Untuk itu pertanyaan penelitian ini adalah ba- 3. Misal G grup dan N subgrup dari G, dan a, b 
gaimana profil problematik mahasiswa dalam me- G. Buktikan jika a  Nb atau b  Na, maka Na =
nyelesaikan masalah pem-buktian pada matakuliah Nb!
Struktur Aljabar. Secara garis besar penelitian ini Pedoman wawancara berfungsi untuk meng-
bertujuan untuk mendeskripsikan problematika eksplorasi tentang problematik mahasiswa dalam
mahasiswa dalam menyelesaikan masalah menyelesaikan masalah membuktikan. Pertanyaan-
pembuktian pada matakuliah Struktur Aljabar. pertanyaan inti yang digunakan merujuk kepada
saran yang diusulkan Polya tahun 1973. Polya
METODE PENELITIAN (1973) memberikan beberapa pertanyaan yang
berguna dan saran mengenai bagian-bagian yang
Penelitian ini mengungkap tentang proble- sesuai, misal: Apa hipotesisnya? Apa kesimpulan-
matik masalah membutikan pada matakuliah nya? Pisahkan bagian-bagian dari hipotesis.
Struktur Aljabar. Untuk memperoleh deskripsi Temukan koneksi antara hipotesis dan kesimpulan.
problematik pembuktian, langkah pertama subjek Lihatlah kesimpulan! Dan cobalah untuk memi-
diberi tes pemecahan masalah membuktian, se- kirkan teorema /pernyataan serupa yang memiliki
lanjutnya untuk menggali problematika dilakukan hipotesis atau kesimpulan yang serupa. Bisakah
eksplorasi dengan wawancara berbasis tugas (the memperoleh beberapa hal yang bisa digunakan dari
task-based interview) kepada subjek penelitian. hipotesis? Bisakah menemukan hipotesis lain yang
Untuk itu, jenis penelitian adalah eksplorasi yang lebih mudah untuk memperoleh kesimpulan? Bisa-
bersifat kualitatif. Subjek penelitian diambil kah mengubah hipotesis, atau kesimpulan, atau
mahasiswa yang mengambil matakuliah Struktur keduanya jika perlu, sehingga hipotesis baru dan
Aljabar, yaitu mahasiswa angkatan 2010, Prodi kesimpulan baru lebih berkaitan satu sama lain?
Pendidikan Matematika UNIROW Tuban. Subjek Apakah menggunakan hipotesis seluruhnya?
penelitian dipilih dengan mempertimbangkan pres- Beberapa pertanyaan tersebut selanjutnya dalam
tasi akademik dan kemampuan meng-komuni- penelitian ini penulis jadikan sebagai pedoman
kasikan jawaban baik secara lisan maupun tulisan. wawancara untuk mengeksplorasi tentang
Berdasarkan hasil berbagai pertimbangan, penulis problematik masalah “membuktikan”. Se-lanjutnya
memilih 5 subjek penelitian yang di-eksplorasi data dianalisis secara kualitatif. Moleong (2008)
untuk mengetahui problematika masalah pembuk- mengemukakan enam tahap analisis data kualitatif,
tian, yaitu: SA, MU, RS, LM, dan SN. yaitu: (1) menelaah seluruh data, (2) mereduksi data,
Instrumen utama adalah peneliti sendiri, dan (3) menyusun dalam satuan-satuan, (4) mengkate-
istrumen pendukung adalah tes pemecahan masalah gorisasikan data, (5) mengkoding, dan (6) meme-
membuktikan dan pedoman wawancara. Tes pe- riksa data.
mecahan masalah membuktikan dikonstruk untuk
membuktikan sebuah pernyataan/teorema. Untuk HASIL DAN PEMBAHASAN
mengkonstruk masalah membuktian menurut Lovell
(1970) tes dikonstruk melibatkan aspek bukti beri- Analisis data mengacu pada pedoman wawan-
kut: generalisasi, simbol, asumsi, dan metode cara yang merujuk pada pertanyaan yang diajukan
pembuktian. Sebuah generalisasi dalam matematika oleh Polya. Berdasarkan hasil analisis dapat penulis
adalah pernyataan bahwa sifat itu berlaku untuk deskripsikan sebagai berikut.
setiap anggota pada kelompok tertentu. Dengan A. Pemahaman Mahasiswa terhadap Hipotesis
demikian, setiap generalisasi adalah hipotesis, dan dan Konklusi dari Penyataan/Teorema
dalam skema bukti membuat hipotesis dan penalaran Apabila pernyataan dalam matematika ber-
mereka adalah penting. Jika peserta didik bentuk p  q, maka p disebut hipotesis dan q
mengkonstruk bukti, mereka harus memiliki kesa- disebut konklusi. Analisis terhadap masalah pem-
daran tentang aturan inferensi dan metode pem- buktian 1: Misal (G, ) dan (G*, ) adalah grup dan
buktian.  : G  G* merupakan isomorfisme. Buktikan jika
Tes pemecahan masalah membuktikan meli- G grup abelian, maka G* juga grup abelian!
puti topik-topik: Subgrup, Subgrup normal, dan Pemahaman mahasiswa terhadap hipotesis dan
Homomorfisme. Instrumen tes tersebut adalah konklusi tidak semua secara eksplisit tertulis pada
sebagai berikut. lembar jawaban, sehingga untuk mengetahui hal
1. Misal (G, ) dan (G*, ) adalah grup dan tersebut penulis melakukan wawancara/klarifikasi.
 : G  G* merupakan isomorfisme. Buktikan Berdasarkan hasil klarifikasi data pada lembar
jika G grup abelian, maka G* juga grup abelian! jawaban diperoleh bahwa pemahaman mahasiswa
2. Buktikan, Jika K dan H adalah subgrup normal terhadap hipotesis dan konklusi dari pernyataan
G, maka KH juga merupakan subgrup normal G ! cenderung baik. Berikut petikan wawancara dengan
SA.
Warli, Problematika Masalah Pembuktian pada Matakuliah Struktur Aljabar, 63

baik. Akibat pemahaman yang demikian subjek


P Coba perhatikan masalah 1, sebutkan tidak menggunakan hipotesis umum tersebut untuk
hipotesisnya! menunjang pembuktian.
SA G nya grup abelian
P Bisa Anda sebutkan secara lengkap B. Pemahaman Konsep pada Hipotesis dan
SA ee.....! (diam) G dan G* grup, terus  nya Konklusi
isomorfisme, ya Pak!
Pemahaman mahasiswa terhadap konsep pada
P Kemudian coba sebutkan konklusinya!
SA Harus ditunjukan G* nya abelian hipotesis dan konklusi cenderung baik, tetapi untuk
P Apanya yang abelian? konsep yang tidak terkait langsung, misal sudah
SA Maksudnya G* grup abelian lama (semester sebelumnya atau waktu di SMA)
cenderung kurang baik. Setiap menggunakan konsep
Subjek SA agak ragu ketika menyebutkan yang diberikan semester sebelumnya, penulis harus
hipotesis masalah 1. Hipotesis pada masalah 1 mengingatkan kembali (apersepsi). Pemahaman
memang ada yang umum dan khusus, sehingga SA mahasiswa terhadap konsep pada hipotesis dan
ragu, apakah (G, ) dan (G*, ) adalah grup dan  : konklusi, tidak bisa dilihat secara langsung pada
G  G* isomorfisme merupakan hipotesis? lembar jawaban. Oleh karena itu, penulis melakukan
Demikian juga ketika dihadapkan dengan masalah 3, wawancara sebagai klarifikasi terhadap pemahaman
SA cenderung ragu untuk menyebutkan hipotesis mahasiswa. Berikut petikan wawancara dengan SA.
masalah tersebut. Ini artinya bahwa apabila tipe
masalah yang diberikan seperti masalah 1 dan 3, P Coba perhatikan lagi masalah 1,  : G 
maka beberapa subjek ada yang menganggap bahwa G* isomorfisme, pengertian isomorfime itu
apa?
hipotesisnya hanyalah yang berhubungan langsung SA  homomorfisme, satu satu dan onto
dengan konklusi. Akibat pemahaman yang demikian P  : G  G* homomorfisme artinya apa?
subjek tidak menggunakan hipotesis umum tersebut SA Itu...! Untuk setiap a dan b anggota G
untuk menunjang pembuktian. Kejadian ini berlaku  ab sama dengan  a dan  b.
berdasarkan hasil wawancara dan data pada lembar [(ab) = (a)(b)]
jawaban juga cenderung terjadi pada 4 subjek yang P  satu satu, itu apa pengertiannya?
lain. Hasil wawancara tersebut didukung oleh SA ee.....! (diam) Untuk setiap anggota G
beberapa jawaban/tulisan subjek, berikut salah satu dipasangkan dengan tepat satu anggota G*
tulisan mahasiswa yang menunjukkan pemahaman P Anda yakin? Apa itu bukan pengertian
terhadap hipotesis dari konklusi. Lihat Gambar 1. fungsi  : G  G*?
Merujuk pada beberapa fakta tersebut dapat SA mm...! iya ya..? (diam) lupa..!
dikatakan bahwa pemahaman mahasiswa terhadap P  onto, itu apa?
hipotesis dan konklusi dari pernyataan cenderung SA  fungsi pada
baik. Namun pemahaman terhadap beberapa
hipotesis yang bersifat umum cenderung kurang

Gambar 1. Lembar Jawaban Masalah 1 dari SA

Gambar 2. Lembar Jawaban Masalah 1 dari RS


64, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

P Pengertiannya apa? P Dua himpunan Na, Nb disebut sama, jika


SA mm...! (diam) ini..., fungsi yang Na merupakan himpunan bagian dari Nb,
kodomainnya sama dengan rangenya. dan Nb himpunan bagian dari Na. [Na =
P Bisa Anda ungkapkan dengan pengertian Nb  Na  Nb dan Nb  Na]. Pengertian
lain? Na himpunan bagian Nb itu apa?
SA mm...!? (diam) ada..., tapi lupa RS mm...! (diam) kalo dibuat diagram venn Na
P Kalo G grup abelian, pengertiannya apa? ada di dalam dan Nb yang diluar, Pak
SA Oh...! itu, ... untuk setiap a dan b anggota P Definisinya gimana?
G nanti berlaku ab = ba. RS Oh... mungkin kalo x anggota Na maka x
juga anggota Nb, ya Pak.
Petikan wawancara ini menunjukkan bahwa
pemahaman mahasiswa terhadap konsep yang se- Petikan wawancara ini menunjukkan bahwa
dang dipelajari cenderung baik, tetapi pemahaman mahasiswa cenderung ”lupa” terhadap konsep dua
mahasiswa terhadap konsep sebelumnya cenderung himpunan sama, sehingga mereka kesulitan mem-
kurang baik. Hal ini juga terlihat jelas, ketika penulis buktikan Na = Nb. Ini menjadi kendala serius, ketika
melakukan klarifikasi terhadap konsep hipotesis dan mahasiswa pemahaman konsep hipotesis baik, tetapi
konklusi pada masalah 2, pemahaman mahasiswa konsep yang mendukung hipotesis kurang baik,
cenderung baik. Pada masalah 3, pemahaman maha- sehingga koneksi pada konklusi akat terhabat
siswa khususnya konsep dua himpunan sama cen- (kesulitan).
derung lupa. Berikut salah satu petikan wawancara
dengan RS. C. Koneksi antara Hipotesis dan Konklusi.
Untuk mengetahui koneksi antara hipotesis
P Coba perhatikan masalah 3, untuk dan konklusi, penulis melakukan analisis terhadap
menunjukkan bahwa Na = Nb, apa yang jawaban subjek. Pada masalah 1, jawaban subjek
akan Anda lakukan? cenderung tidak menggunakan hipotesis sebagai
RS Ditunjunjukkan himpunan Na sama dengan dasar untuk membuktikan konklusi. Namun demi-
himpunan Nb.
kian, subjek menggunakan beberapa konsep yang
P Terus bagaimana menunjukkannya? Atau
begini, pengertian Na = Nb itu apa?
sebenarnya tidak muncul pada hipotesis. Salah satu
RS Himpunan Na sama dengan Nb, Pak jawaban subjek disajikan pada Gambar 3 dan
P Pengertian dua himpunan sama, itu apa? Gambar 4.
RS Apa maksudnya, Pak! Saya.... definisinya
ya...Pak. emm...(diam)

Gambar 3. Lembar Jawaban Masalah 1 dari RS

Gambar 4. Lembar Jawaban Masalah 1 dari SA

Jawaban pada Gambar 2, menunjukkan subjek Gambar 1, subjek tidak menggunakan sebagian hi-
tidak menggunakan hipotesis dalam membuktikan potesis karena pemahaman konsep pada hipotesis
konklusi. Mencermati petikan wawancara AS pada kurang baik. Misal, pada pembuktian masalah 1
bagian pemahaman hipotesis dan konklusi serta sebenarnya langkah awal bisa menggunakan konsep
Warli, Problematika Masalah Pembuktian pada Matakuliah Struktur Aljabar, 65

 : G  G* onto, subjek SA sudah menuliskan pada subgrup normal G! Hipotesis pada masalah tersebut
lembar jawaban (lihat Gambar 1). Karena tidak adalah K dan H adalah subgrup normal G dan
mengetahui pengertian  : G  G* onto, maka tidak konklusi KH juga merupakan subgrup normal G.
menggunakan  : G  G* onto untuk dikoneksikan Subjek cenderung sulit untuk menemukan koneksi
dengan konklusi. Hal serupa juga terjadi pada antara hipotesis dan konklusi. Hasil wawancara
sebagian besar subjek penelitian. Hal ini berarti menunjukkan bahwa subjek memahami konsep
bahwa subjek masih sangat rendah dalam subgrup normal. Ada beberapa subjek yang mencoba
menemukan koneksi antara hipotesis dan konklusi. untuk mengungkapkan masalah tersebut dengan
Hal ini salah satunya disebabkan oleh tidak me- ungkapan yang berbeda tetapi memiliki makna
ngetahui (lupa) terhadap sebagian konsep yang ada sama, namun menghasilkan ungkapan yang salah
pada hipotesis. (perhatikan Gambar 3). Ini mengkibatkan pembuk-
Masalah 2: Buktikan, Jika K dan H adalah tian menjadi salah.
subgrup normal G, maka KH juga merupakan

Gambar 5. Jawaban Masalah 2: RS

Beberapa data juga menunjukkan bahwa aikan sehingga menjadi salah. Perhatikan jawaban
subjek ketika kesulitan menemukan koneksi antara salah satu subjek seperti yang terlihat pada Gambar
hipotesis dan konklusi, kemudian mengubah sebuah 6. Juga perhatikan bagaimana simpulan jawaban
pernyataan yang sebenarnya sudah benar disesu- subjek membuat konklusi seperti pada Gambar 7.

Gambar 6. Lembar Jawaban Masalah 1 dari RS

Gambar 7. Jawaban Masalah 2: MU

Pada masalah 3 ditemukan serupa dengan konklusi. Hal ini mengakibatkan jawaban menjadi
masalah 1. Subjek tidak menggunakan konsep yang salah. Berikut salah satu jawaban subjek terhadap
ada hipotesis untuk menemukan koneksi terhadap masalah 3.
66, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Gambar 8. Jawaban Masalah 2: LM

Berdasarkan hasil wawancara dengan LM, kasinya. Koneksi seperti membangun pemaham-an
meraka lupa pengertian dua himpunan sama. Hal ini konseptual matematika berdasarkan keterkaitan
terlihat pada Gambar 5. Jawaban tidak menggunakan seluruh konsep sebelumnya dalam topik yang
konsep himpunan Na = Nb, hal ini sejalan dengan terpisah. Menurut Hanna (2001) pemecahan masalah
hasil wawancara dengan RS. Pada Gambar 5, LM merupakan menemukan koneksi antara data
menggunakan f onto dan f satu-satu, padahal kedua (hipotesis) dan yang ditanyakan (konklusi), dan yang
konsep tersebut bukan hipotesis dari masalah 3. satu ini harus menggunakan apa yang disebut
Temuan ini mendukung temuan masalah 1, bahwa 'silogisme heuristik', semacam penalaran yang
subjek cenderung salah menemukan koneksi antara menggunakan deduksi, bukti induktif dan statistik.
hipotesis ke konklusi, karena tidak memahami (lupa)
konsep yang ada pada hipotesis. Hal ini PENUTUP
mengakibatkan proses pembuktian menjadi tidak
logis, sehingga kebenarannya tidak rasional. Masalah “membuktikan” merupakan masalah
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, penting untuk dikembangkan dalam pembelajaran
penulis mempunyai simpulan bahwa subjek sangat khususnya untuk matematika lanjut, karena di
rendah kemampuan menemukan koneksi antara samping untuk mengetahui kebenaran pernyataan
hipotesis dan konklusi. Simpulan ini sejalan dengan matematika secara logis, juga untuk mengkonstruk
penelitian (Warli, 2011) tentang pembuktian pengetahuan peserta didik dalam memahami konsep
validitas argumen, mahasiswa kesulitan dalam matematika. Namun demikian di sisi lain, kemam-
membuktikan validitas argument salah satunya puan peserta didik masih sangat rendah dalam
adalah menemukan gagasan menyusun rencana menyelesaikan masalah “membuktikan”. Berdasar-
pembuktian validitas argumen; hal ini ditunjukkan kan hasil analisis diperoleh simpulan problematik
dengan beberapa jawaban yang tidak/kurang terarah, mahasiswa dalam menyelesaikan masalah “mem-
karena ide rencana pembuktian belum akurat, buktikan” adalah sebagai berikut. a) Pemahaman
sehingga diperoleh jawaban yang salah. mahasiswa terhadap hipotesis dan konklusi pada
Kemampuan mengkoneksikan antara hipotesis masalah “membuktikan” cenderung baik; artinya
dan konklusi merupakan bagian penting masalah mahasiswa bisa menyebutkan hipotesis dan konklusi
membuktikan, karena untuk menunjukkan kebenaran dari masalah “membuktikan” dengan baik. Pema-
konklusi harus berdasarkan hipotesis yang ada. haman mahasiswa terhadap hipotesis yang bersifat
Apabila peserta didik sudah menemukan koneksi umum cenderung kurang baik, ini ditunjukkan
antara hipotesis dan konklusi, maka bisa dipastikan dengan keraguan dalam menyebutkan hipotesis
pernyataan dapat dibuktikan. Dalam NCTM (2009) masalah “membuktikan” yang memuat hipotesis
dijelaskan topik pada matematika saling memper- umum. b) Pemahaman konsep-konsep yang ada pada
kuat dalam hal pengembangan konsep dan mem- hipotesis maupun konklusi cukup baik. Hal ini
bentuk dasar untuk menemukan konsep lanjutan ditunjukkan dengan kemampuan mahasiswa untuk
yang lebih luas dalam matematika maupun apli-
Warli, Problematika Masalah Pembuktian pada Matakuliah Struktur Aljabar, 67

menyebutkan definisi atau teorema yang terkait Penyebabnya sangat kompleks, di antaranya: 1)
dengan hipotesis dan konklusi. Namun demikian, tidak mampu mengoptimalkan hipotesis yang ada
pemahaman konsep mahasiswa kurang baik, khu- (termasuk hipotesis umum) untuk menemukan
susnya konsep-konsep pada hipotesis yang tidak koneksi dengan konklusi. 2) sering mengubah se-
terkait langsung dengan materi pembelajaran, misal: buah pernyataan menjadi ungkapan yang berbeda,
konsep yang pernah diberikan sebelumnya. c) Ke- tetapi menghasilkan pernyataan yang salah, sehingga
mampuan menemukan koneksi antara hipotesis dan ketika digunakan dalam menemukan koneksi men-
konklusi merupakan bagian yang sangat esensial jadi tidak rasional. 3) pemahaman konsep yang ada
dalam menyelesaikan masalah “membuktikan”. Ke- pada hipotesis kurang baik, mengakibatkan pe-
mampuan mahasiswa untuk menemukan koneksi manfaatan hipotesis untuk dikoneksikan dengan
antara hipotesis dan konklusi sangat rendah. konklusi tidak bisa dilakukan secara maksimal.

DAFTAR RUJUKAN

CadwalladerOlsker , Todd. 2011. What Do We math.unipa.it/PMEbook.MariottiNew.pdf.


Mean by Mathematical Proof? Journal of Diakses tanggal 19 Pebruari 2013.
Humanistic Mathematics. Vol 1, No 1, Martin, W. Gary & Harel, Guershon. 1989. Proof
January 2011. Pp 33 – 60. Frames of Preservice Elementary Teachers.
Gagnon, J. Calvin & Maccini, Paula. 2001. Journal for Research in Mathematics
Preparing Students with Disabilities for Education. Vol. 20, No. 1 (Jan., 1989), pp. 41-
Algebra. TEACHING Exceptional Children, 51.
Vol. 34, No. 1, pp. 8-15. http://www. Moleong, J. Lexy. 2008. Metodologi Penelitian
knpdarchives.org. Diakses tanggal 19 Pebruari Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
2013. Offset.
Hanna, Gila. 2001. Proof, Explanation and NCTM. 2009. Guiding Principles for Mathematics
Exploration: an Overview. Educational Curriculum and Assessment.
Studies in Mathematics. Kluwer Academic http://www.nctm.org. Diakses tanggal 19
Publishers. Printed in the Netherlands 44: 5– Pebruari 2013.
23, 2001. Norton, Stephen. 2006. Pedagogies for the
Heinze, Aiso. 2004. The Proving Process in Engagement of Girls in the Learning of
Mathematics Classroom (Method and Proportional Reasoning through Technology
Results of a Video Study). Proceedings of the Practice. Mathematics Education Research
28th Conference of the International Group Journal. 2006, Vol. 18, No. 3, 69–99
for the Psychology of Mathematics Education, Polya, G. 1973. How to Solve It. Second Edition.
2004 Vol 3 pp 41–48 Princeton, New Jersey: Princeton University
Lovell, Kenneth. 1970. The Development of the Press.
Concept of Mathematical Proof in Abler Warli. 2011. Improving Students’ Creativity in The
Pupils. In Rosskopf, Myron F; Steffe, Leslie Proving the Validity of Argument Through
P; Taback, Stanley (Edt) Piagetian Cognitive- Learning Strategy ”What’s Another Way”.
Development Research and Mathematical Proceeding International Seminar and The
Education. Proceedings of a conference Fourth National Conference on Mathematics
conducted at Columbia University, NCTM Education 2011. Yogyakarta State University.
Virginia. pp 66 – 80. July 21-23 2011. pp 737-748.
Mariotti, M. Alessandra. 2006. Poof and Proving in
Mathematics Education. http://www.
68, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

ANALISIS PROSES BERPIKIR ALJABAR


SISWA SEKOLAH DASAR, GURU SEKOLAH DASAR,
DAN MAHASISWA CALON GURU SEKOLAH DASAR
PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR

Epon Nur’aeni L.1) dan Ika Fitri Apriani2)


1,2,PGSD UPI Kampus Tasikmalaya
1eponalamsyah@yahoo.com, 2apriani@live.com

Abstract: This article presents the results of research about algebra thinking that purpose for knowing
and analyzing the way of algebra thinking of elementary school student, teacher, and candidate of
elementary school teacher. Especially for elementary school student, the research wants to know how the
students of elementary school think about pre-algebra. The results of this research are: (1) the most
students of elementary school answer the question by using counting operation without using equation
first, (2) the most teachers of elementary school answer the question by using equation but it has not been
perfect because it has not completely used problem solving approach, (3) some of questions which are
tested to the second and sixth semester students of university refeal that the most students of university
are able to finish the questions by algebra thinking that is by finishing the equation but it has not
completely usd problem solving approach

Keywords: algebra thinking, math study.

Salah satu bidang studi yang penting di sekolah pada aljabar yang kata-katanya sulit dimengerti
dasar adalah matematika. Dalam Kurikulum Tingkat maknanya.
Satuan Pendidikan (Depdiknas, 2006: 109), “mate- Pentingnya guru mengetahui proses berpikir
matika merupakan ilmu universal yang mendasari siswa dalam memahami materi matematika di-
perkembangan teknologi modern, mem-punyai peran kemukakan oleh Freudenthal (Susanto, 2009) bahwa
penting dalam berbagai disiplin dan memajukan salah satu penyebab kesulitan siswa belajar ma-
daya pikir manusia”.Matematika merupakan salah tematika adalah karena matematika yang disajikan
satu bidang studi yang diujikan pada Ujian Nasional, kepada siswa tidak lebih hanya sebagai produk
baik di tingkat SD, SMP, maupun SMA. Hal ini berpikir daripada proses berpikir. Kesulitan belajar
menunjukkan bahwa matematika merupakan mata siswa dapat terjadi jika guru hanya memandang
pelajaran dasar yang penting sehingga dijadikan keberhasilan belajar siswa dilihat dari perolehan
prasyarat untuk menentukan kelulusan pada jenjang nilai akhirnya saja tanpa melihat lebih jauh
sekolah. bagaimana sebenarnya proses berpikir siswa dalam
Kusaeri (Faruq dan Handayani, 2012), me- memahami pelajaran dan menyelesaikan masalah
nyatakan bahwa aljabar merupakan cabang mate- yang diberikan kepadanya.
matika yang sangat penting dalam membentuk Menurut Van De Walle (2008: 1), berpikir
karakter matematika anak karena dengan aljabar aljabar atau logika aljabar salah satunya melakukan
anak dilatih berpikir numerik, kritis, kreatif, bernalar generalisasi dari pengalaman dengan bilangan dan
dan berpikir abstrak. Dengan aljabar pula, anak perhitungan, memformalisasi ide-ide dengan peng-
dikenalkan bilangan, variabel dan berbagai simbol gunaan sistem simbol yang berguna, dan meng-
matematika yang familier dalam kehidupan sehari- eksplorasi konsep-konsep dari pola dan fungsi.
hari. Berbeda dengan topik yang hanya sedikit hu-
Aljabar adalah cabang matematika yang bungannya dengan dunia nyata, berpikir aljabar bisa
mempelajari struktur, hubungan, dan kuantitas. ditemukan di seluruh area matematika dan cukup
Pemahaman konsep aljabar merupakan hal yang penting untuk membuat matematika berguna dalam
dianggap penting. Menurut Max Sobel dan Maletsky kehidupan sehari-hari.
(2003), bagian penting dalam kurikulum aljabar Sedangkan menurut Usiskin, 1988 (van Ame-
berpusat pada menyelesaikan bermacam-macam rom, 2002:5) menyatakan bahwa terdapat beberapa
persamaan. karakteristik berpikir aljabar yaitu: generalisasi dari
Di tingkat sekolah dasar, aplikasi aljabar akan bidang aritmetika, menggunakan prosedural
membantu anak dalam mengerjakan soal-soal cerita. problem solving, dan menggunakan pemodelan.
Banyak anak yang menyenangi soal aritmatika dari
Nur’aeni & Apriani, Analisis Proses Berpikir Aljabar Siswa Sekolah Dasar, 69

Kaput menjelaskan lima bentuk logika aljabar matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsir-
(Van De Walle, 2008: 2) adalah : 1). Generalisasi kan solusinya (Depdiknas, 2006: 4).
dari aritmatika dan pola yang ada di matematika, 2). Untuk memecahkan suatu pertanyaan yang
Penggunaan simbol yang cukup bermanfaat, dikategorikan sebagai “masalah” diperlukan langkah
3). Pembelajaran tentang struktur sistem bilangan, langkah tertentu. Terdapat empat langkah/fase
4). Pembelajaran tentang pola dan fungsi, dan 5). pemecahan masalah menurut Polya, yaitu: 1)
Proses pemodelan matematis, yang menyatukan memahami masalahnya, Pemecah masalah harus
keempat ide di atas. mengetahui apa yang diketahui dan apa yang
Pada proses pembelajaran aljabar maka diha- ditanyakan, 2) merencanakan cara penyelesaian, 3).
rapkan siswa dapat dicirikan dalam empat tingkat memecahkan masalah sesuai dengan rencana, dan 4)
pemikiran aljabar: 1). Level 1 : prestructural, 2). melakukan pengecekan kembali terhadap semua
Level 2 : unistructural, 3). Level 3 : multistruc-tural, langkah yang telah dikerjakan.
dan 4). Level 4 : relasional. Max Sobel dan Maletsky (2003: 78) men-
Standar aljabar menekankan hubungan antara jelaskan ada banyak daftar strategi pemecahan
jumlah, termasuk fungsi, cara mewakili hubungan masalah tersedia dalam literatur. Diantara banyak
matematika, dan analisis perubahan. Hubungan strategi yang dapat ditemukan di buku teks, antara
fungsional dapat dinyatakan dengan menggunakan lain: 1) temukan jawaban dengan cara coba-coba, 2)
notasi simbolis, yang memungkinkan ide-ide ma- gunakan alat peraga, model, atau sketsa, 3) temukan
tematika yang kompleks untuk diungkapkan secara pola, 4) peragakan persoalan, 5) buat daftar, tabel,
ringkas dan perubahan yang akan dianalisis secara atau bagan, 6) bekerja secara mundur, 7) mulai
efisien. Dengan melihat aljabar sebagai untaian dengan menduga, 8) selesaikan persoalan serupa
dalam kurikulum, guru dapat membantu siswa yang lebih sederhana, dan 9) kaitkan persoalan yang
membangun pemahaman dan pengalaman sebagai baru dengan persoalan yang telah dikenal
dasar persiapan untuk mempelajari aljabar.
Menurut NCTM tahun 2000 (Sudrajat, 2008) Dengan menggunakan langkah-langkah dan
tentang indikator berpikir aljabar, ide aljabar harus strategi pemecahan masalah yang dikemukakan
muncul dan dimiliki oleh siswa dalam: 1) Polya tersebut, siswa diharapkan mendapatkan
mengidentifikasi atau membangun pola numerik dan kemudahan dalam menyelsaikan persoalan mate-
geometris, 2) menggambarkan pola secara verbal matika. Jika hal tersebut berhasil dengan baik, maka
dan mewakili mereka dengan tabel atau simbol, 3) akan mengurangi pandangan bahwa belajar aljabar
mencari dan menerapkan hubungan antara berbagai itu sulit.
jumlah untuk membuat prediksi, 4) membuat dan Aljabar merupakan bagian tersendiri dari
menjelaskan generalisasi yang tampaknya selalu kurikulum dan terkait semua area matematika.
bekerja dalam situasi tertentu, 5) menggunakan Pengembangan bentuk pemikiran harus dimulai
grafik untuk menggambarkan pola dan membuat sejak awal sekolah agar dapat belajar berpikir
prediksi, 6) nomor mengeksplorasi properti, dan 7) produktif dengan ide-ide matematika yang bagus
menggunakan notasi diciptakan, simbol standar, dan sehingga dapat berpikir secara matematis.Namun
variabel untuk mengungkapkan pola, generalisasi, seringkali siswa mengalami kesulitan dalam meng-
atau situasi. aplikasikan matematika (khususnya yang paling
Salah satu ciri dalam berpikir aljabar adalah mendasar yaitu aljabar).
dengan menggunakan pendekatan problem solving. Cara berpikir aljabar atau algebraic
Pemecahanmasalah adalah suatu usaha yang di- thinking harus dimulai sejak dini. Bahkan sejak
lakukan seseorang untuk menyelesaikan masalah kelas 1 SD pun harus sudah mengenal dan
dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan mengembangkan cara berpikir aljabar. Adapun
dan pemahaman yang telah dimilikinya. Untuk me- beberapa bentuk contoh soal aljabar yang disajikan
ningkatkan pemecahan masalah perlu dikembangkan di dalam buku sekolah dasar disajikan dalam
keterampilan memahami masalah, membuat model Gambar 1, Gambar 2, Gambar 3,

Gambar 1 Soal aljabar kelas I

79
70, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Gambar 2 Soal aljabar kelas II

Gambar 3 Soal aljabar kelas III

Gambar 4 Soal aljabar kelas IV

Gambar 5 Soal aljabar kelas V


Nur’aeni & Apriani, Analisis Proses Berpikir Aljabar Siswa Sekolah Dasar, 71

Gambar 6 Soal aljabar kelas VI

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa siswa kelas V dan VI SD Purbaratu 1, guru SD


banyak murid merasa kesulitan menyelesaikan Purbaratu 1 dan mahasiswa semester 2 dan semester
sebuah persamaan dalam aljabar karena mereka 6 Universitas Pendidikan Indonesia Kampus
tidak tahu bagaimana menemukan langkah-langkah Tasikmalaya Jurusan S1 PGSD. Instrumen
yang diperlukan untuk menyelesaikannya.Bagi siswa dari penelitian ini berupa soal yang dapat
pada jenjang pendidikan dasar, pemahaman terhadap mengungkap proses berpikir aljabar. Berdasarkan
fakta yang berupa simbol masih belum sepenuhnya hasil tes tersebut dapat diidentifikasi kesulitan siswa
bisa dipahami karena bersifat abstrak. Keabstrakan berupa kesalahan-kesalahan siswa dalam menjawab
fakta, konsep, dan prinsip tersebut membuat siswa soal yang berkaitan dengan konsep dan
mengalami kesulitan dalam pengalihannya pada prinsip.Teknik pengumpulan data yang digunakan
konteks lain yang membicarakan objek matematika adalah melalui instrumen tes berupa soal, observasi
non aljabar tetapi sebenarnya membutuhkan fakta, partisipatif, studi dokumentasi dan gabungan
konsep, dan prinsip aljabar. ketiganya atau trianggulasi.
Oleh karena itu, artikel ini akan memaparkan
proses berpikir aljabar siswa sekolah dasar, guru HASIL DAN PEMBAHASAN
sekolah dasar, dan mahasiswa calon guru sekolah
dasar di Kecamatan Purbaratu Kota Tasikmalaya Untuk mengetahui proses berpikir aljabar
siswa, guru, dan mahasiswa calon guru sekolah
METODE PENELITIAN dasar, maka peneliti memberikan tes dalam bentuk
soal aljabar. Berdasarkan hasil jawaban siswa, maka
Metode penelitian yang digunakan dalam diperoleh beberapa tipe jawaban yang muncul,
penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Subjek dari disajikan pada Gambar 7, Gambar 8, dan Gambar 9.
penelitian ini adalah

Gambar 7 Jawaban tipe A (Kelas V)

Gambar 8 Jawaban tipe B (Kelas V)

79
72, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Gambar 9 Jawaban tipe C(Kelas VI)

Berdasarkan hasil jawaban siswa pada Gam- Berbeda halnya dengan hasil jawaban tipe B,
bar 7 dan Gambar 9 tersebut menunjukkan bahwa siswa kelas V pada Gambar 8, setidaknya siswa
proses berpikir siswa tidak menggunakan berpikir tersebut memiliki gambaran dari soal cerita yang
aljabar yang ditandai dengan menyelesaikan suatu diaplikasikan ke dalam bentuk:
persamaan. Proses berpikir siswa yaitu siswa ter- _ x 5 = 75
lebih dahulu mencari hasil bagi dari 75 dibagi 5 dan Hasil jawaban C ini merupakan pengambilan ge-
hasilnya kemudian dikalikan dengan 4 sehingga neralisasi dengan menggunakan simbol.
didapat 60. Pada dasarnya jawaban tersebut juga Proses berpikir numeric ini juga tidak hanya
memang tidaklah salah namun generalisasi yang terjadi di kalangan siswa sekolah dasar, tapi guru
digunakan oleh sebagian besar siswa adalah secara pun ternyata ada yang berpikir yang sama. Hal ini
numerik. dapat dilihat pada hasil jawaban guru berikut ini:

Gambar 10 Jawaban guru tipe A

Pada Gambar 10 ini, hasil jawaban menun- persamaan terlebih dahulu. Hal ini terjadi karena
jukkan bahwa guru masih menggunakan pola arit- kebiasaan seorang guru yang sering menggunakan
metika dan tidak menggunakan bentuk pola tersebut agar lebih mudah dimengerti.

Gambar 11 Jawaban guru tipe B

Gambar 11 menunjukkan bahwa guru lebih soal aljabar ke dalam bentuk persamaan, menggan-
memahami soal tersebut merupakan soal aljabar se- tikan sesuatu yang ditanyakan dengan menggunakan
hingga guru tersebut langsung mengaplikasikan variabel A.
Nur’aeni & Apriani, Analisis Proses Berpikir Aljabar Siswa Sekolah Dasar, 73

Gambar 12 Jawaban guru tipe C

Hasil jawaban guru tipe C ini hampir sama dengan menggunakan persamaan juga disertai
dengan hasil jawaban guru tipe B, hanya perbe- dengan langkah-langkah pemecahan masalah meski-
daannya terletak pada tipe jawaban C ini lebih pun kurang lengkap.
lengkap karena disamping menyelesaikan masalah Adapun beberapa tipe jawaban mahasiswa
calon guru sekolah dasar adalah sebagai berikut:

Gambar 13 Jawaban mahasiswa semester 2

Jawaban mahasiswa semester 2 ini lebih Proses berpikir aljabar yang menggunakan
menggunakan generalisasi numerik yang meng- pemecahan masalah pada sebagian kecil mahasiswa
gunakan perhitungan aritmetika. semester 2 belum muncul.

Gambar 14 Jawaban mahasiswa semester 2 dan semester 6


Sebagian besar mahasiswa semester 2 dan Adapun bentuk soal dan hasil jawaban no 2
semester 6 menjawab soal nomor 1 dengan yang diberikan kepada siswa sekolah dasar, guru
menggunakan persamaan tanpa menggunakan pen- sekolah dasar, dan mahasiswa calon guru sekolah
dekatan pemecahan masalah secara lengkap. dasar adalah sebagai berikut:

Gambar 15 Jawaban siswa no 2 tipe 1

79
74, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Berdasarkan gambar 15, sebagian besar siswa dalam langkah-langkah pemecahan masalah me-
mencari jawaban dengan cara mencoba-coba. Se- nurut Polya. Namun cara pengerjaan soal tersebut
telah mencoba-coba, siswa mengecek kembali hasil belum sepenuhnya menggunakan pendekatan pe-
jawaban yang diperolehnya. Mencoba-coba (trial mecahan masalah.
and error) dan mengecek kembali termasuk ke

Gambar 16 Jawaban siswa no 2 tipe 2

Berdasarkan gambar 16, sebagian kecil siswa dalam menjawab persamaan tersebut belum sem-
menjawab soal tersebut dengan menggunakan purna sesuai dengan prinsip matematika.
persamaan. Siswa menjawab soal dengan cara meng- Proses berpikir pre aljabar pada siswa tidak
ganti suatu yang ditanyakan dengan menggunakan sepenuhnya mendekati jawaban yang benar. Proses
simbol. Siswa mencoba memahami masalah tersebut berpikir pre aljabar yang mengalami learning
dengan menggunakan simbol. Penggunaan simbol obstacle juga disajikan pada gambar berikut:
ini menggunakan berpikir aljabarnamun cara siswa

Gambar 17 Jawaban siswa no 2 tipe 3

Berdasarkan Gambar 17, cara penyelesaian 5 x 600.000 = 3.000.000


soal no 2 hampir sama dengan cara penyelesaian 3.000.000 : 1.000 = 3000
sebelumnya yakni siswa menjawab soal dengan 3.000 : 2 = 1.500
mencoba-coba. Namun siswa belum sepenuhnya Setelah melakukan pengecekan, siswa pun
memahami soal tersebut sehingga hasilnya pun merasa bahwa hasil jawabannya tepat. Hasil jawaban
belum tepat. Siswa mengira setelah bilangan tersebut siswa yang kurangtepat diakibatkan oleh kurangnya
dikalikan 5, hasilnya dibagi dulu oleh 1000 dan pemahaman terhadap soal cerita. Oleh karena itu,
setelah menemukan jawaban dibagi oleh 1000, memahami masalah memang sangatlah penting
kemudian dibagi juga oleh 2 sehingga akhirnnya karena merupakan langkah dasar dalam melakukan
didapat jawaban 1500. pemecahan masalah.
Cara penyelesaian soal no 2 adalah siswa Adapun beberapa tipe jawaban no.2 yang
menerka bahwa bilangan yang dimaksud adalah dikerjakan oleh guru adalah sebagai berikut:
600.000. kemudian siswa mengecek jawaban, jadi
akan didapat:

Gambar 18 Jawaban guru no 2 tipe 1


Nur’aeni & Apriani, Analisis Proses Berpikir Aljabar Siswa Sekolah Dasar, 75

Strategi yang digunakan berdasarkan gambar jika aku dikalikan 5 dan hasilnya ditambah oleh
18 adalah bekerja mundur. Strategi ini merupakan hasil bagi 1000:2, maka diperoleh 1500 sama halnya
salah satu strategi dalam pemecahan masalah. Hasil dengan pernyataan 1500 dikurangi oleh hasil bagi
akhir dari soal di atas merupakan dasar dalam 1000:2 dan hasilnya dibagi oleh 5 maka didapat
menjawab soal. Jadi, ketika ditemukan pernyataan jawaban 200.

Gambar 19 Jawaban guru no 2 tipe 2

Berdasarkan Gambar 19, jawaban guru tipe 2 memahami soal aljabar dengan menyelesaikan soal
ini menggunakan langkah pemecahan masalah menggunakan persamaan.
berdasarkan Polya. Hal ini ditandai dengan harus Sebagian besar mahasiswa calon guru sekolah
mengetahui apa yang ditanyakan dan apa yang dasar pun menyelesaikan soal no 2 dengan
diketahui. Sebagian besar juga, guru sudah menggunakan persamaan sebagai berikut:

Gambar 20 Jawaban mahasiswa sem 2

Hasil jawaban mahasiswa semester 2 ini tepat. Persamaan yang dilakukan tidak menggu-
diperoleh dengan menggunakan persamaan terlebih nakan langkah-langkah pemecahan masalah yakni
dahulu. Persamaan yang dilakukan oleh mahasiswa memahami masalah terlebih dahulu. Kendala yang
semester 2 ini tampak kurang lengkap, disamping itu ditemui diakibatkan oleh kurangnya pemahaman
terdapat kendala dalammenyelesaikan persamaan masalah.
tersebut sehingga hasil akhir yang didapat kurang

79
76, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA, TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Gambar 21 Jawaban mahasiswa sem 6

Gambar 21 menunjukkan bahwa pada dasar- aljabar. Oleh karena itu pendekatan pemecahan
nya sebagian besar mahasiswa semester 6 mampu masalah itu sangat penting karena di dalam pen-
menyelesaikan soal aljabar namun dalam proses dekatan pemecahan masalah ini terdapat langkah
penyelesaian dengan menggunakan pendekatan pe- terakhir yaitu melakukan pengecekan kembali
mecahan masalah masih belum lengkap. terhadap semua langkah yang telah dikerjakan.
Berdasarkan hasil analisis dari hasil beberapa Sebagaimana yang dikemukakan oleh Polya
jawaban siswa, guru dan mahasiswa sekolah dasar (Suherman, dkk, 2003) sebagai berikut. (1) Mema-
menunjukkkan bahwa mereka sudah memahami arti hami masalah; (2) Membuat rencana untuk me-
tanda “sama dengan”. Van de Wall (2008: 2) men- nyelesaikan masalah; (3) Melaksanakan rencana
jelaskan tentunya, siswa sudah diberitahu di tingkat yang dibuat pada langkah kedua ; (4) Memeriksa
dasar bahwa tanda tersebut berarti “sama dengan” ulang jawaban yang diperoleh. Dengan pendekatan
dan siswa diberitahu bahwa ekspresi dari kedua sisi pemecahan masalah ini, siswa diharapkan berfikir
harus sama. Berpikir aljabar atau logika aljabar salah kreatif dan berfikir kritis.
satunya adalah melakukan generalisasi dari
pengalaman dengan bilangan dan perhitungan SIMPULAN
Di tingkat sekolah dasar , soal-soal yang
ditemukan pada pembelajaran matematika lebih Adapun hasil dari penelitian ini adalah: 1). sebagian
sering menggunakan titik-titik sebagai pengganti besar siswa sekolah dasar menjawab soal dengan
variabel. Misalnya pada soal 30 + … = 72. Siswa menggunakan operasi hitung tanpa menggunakan
memandang tanda titik-titik ini merupakan nilai persamaan terlebih dahulu, 2). sebagian besar guru
yang tidak diketahui dan banyak siswa yang sekolah dasar menjawab soal dengan menggunakan
memang kurang memahami dengan makna tersebut, persamaan tetapi masih belum sempurna karena
khususnya untuk siswa di kelas rendah. Padahal belum sepenuhnya memakai pendekatan pemecahan
titik-titik tersebut sebagai awal pengenalan variabel, masalah, dan 3)dari beberapa soal yang diujikan
bukan pengganti jawaban. kepada mahasiswa semester dua dan semester enam
Hal ini senada dengan pernyataan Wahyudin menyatakan bahwa sebagian besar mahasiswa
(2013: 469) bahwa ketika anak-anak pertama kali mampu menyelesaikan soal tersebut dengan berpikir
belajar menggunakan simbol untuk kesamaan, maka aljabar yakni dengan menyelesaikan persamaan
itu berada dalam konteks aritmetika. Sebenarnya tetapi belum sepenuhnya memakai pendekatan
setiap mereka melihat symbol tersebut maka symbol pemecahan masalah.
itu digunakan bersama dengan suatu operasi yang Generalisasi yang digunakan oleh sebagian
diminta untuk mereka lakukan. Mereka melihat 5 + besar siswa adalah secara numerik, sedangkan
6 = ? dan mereka menjawabnya dengan menghitung sebagian kecil siswa menggunakan variabel.
“jawabnnya”. Karena efek pengkondisian dari Berdasarkan hasil penelitian tersebut, berpikir
penggunaan berulang symbol ini, maka ketika aljabar sangatlah penting dimiliki oleh siswa dimulai
mereka sampai pada studi yang lebih formal tentang sejak awal sekolah agar dapat belajar berpikir
aljabar mereka akan temukan kesulitan-kesulitan. produktif dengan ide-ide matematika yang bagus
Proses berpikir aljabar mahasiswa dan guru sehingga dapat berpikir secara matematis. Dalam
sekolah dasar sudah cukup baik. Hal ini dunia sekarang ini, guru harus memiliki pemahaman
dimungkinkan karena mereka sudah berpengalaman yang kuat tentang aljabar. Oleh karena itu, guru
dalam menyelesaikan soal-soal aljabar ketika SMP hendaknya memiliki strategi khusus dengan meng-
dan SMA. Namun masih ada siswa dan guru yang gunakan pendekatan pemecahan masalah untuk
menyelesaikan soal dengan menggunakan membantu siswa menyelesaikan soal-soal dalam
persamaan aljabar secara keliru. Hal ini disebabkan bentuk aljabar.
karena kurang ketelitian dalam mengerjakan soal
Nur’aeni & Apriani, Analisis Proses Berpikir Aljabar Siswa Sekolah Dasar, 77

DAFTAR RUJUKAN

Depdiknas. 2006 . Kurikulum – 2006 Peraturan Suatini, Lili. 2012. Pemahaman


Menteri Pendidikan Republik Indonesia AritmatikaDan Hasil Belajar Aljabar Siswa S
Nomor 22 Tentang Standar Isi untuk Satuan MU. [Online]. Tersedia:
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: http://diah10310227.wordpress.com/
Media Makmur MajuMandiri. Suherman, Erman, dkk. 2003. Strategi
Faruq dan Handayani. 2012. Pembelajaran Pola Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Yang Digunakan Untuk Transisi Dari Bandung : Universitas Pendidikan Indonesia.
Aritmatika Ke Aljabar.[Online]. Van De Walle. 2008. Elementary and Middle School
Tersedia:http://achemadfaroeqs.wordpress.co Mathematics, Sixth Edition. Terjemahan
m/2012/11/08/pembelajaran-pola-yang- Suyono. Jakarta: Erlangga.
digunakan-untuk-transisi-dari-aritmatika-ke- Wahyudin. 2013. Matematika Dasar Pengetahuan
aljabar/ Bermuatan Pedagogis. Bandung: Mandiri.
Kieran, Carolyn. 2004. Para Pendidik Matematika. Wahyudin & Sudrajat. 2008. Referensi Matematika
Tersedia: Dalam Kehidupan Manusia 1. Jakarta : CV.
:http://math.nie.edu.sg/ame/matheduc/tme/tme Ipa Abong
V8_1/Carolyn%20Kieran.pdf. Diakses 10
April 2011.

79
BAGAIMANA MEMBELAJARKAN ALJABAR LINIER
Lathiful Anwar

Jurusan Matematika Universitas Negeri Malang


lathiful.anwar.fmipa@um.ac.id

Abstrak: Dalam tulisan ini, kami menyajikan suatu ulasan tentang desain dan implementasi dari
pengembangan perkuliahan aljabar linier. Desain aktivitas perkuliahan yang dirancang dalam
pembelajaran aljabar linier elementer meliputi aktivitas visualisasi, eksplorasi, inkuiri, hipotesa dan
konjektur, serta berpikir deduktif. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi selama proses belajar dan
pembelajaran aljabar linier juga dielaborasi pada tulisan ini

Keywords: desain aktivitas perkuliahan, aljabar linier, visualisasi, eksplorasi, inkuiri, deduktif.

Aljabar linier, terkait dengan sistem abstrak yang meliputi visualisasi konsep dan proses, representasi
disebut ruang vektor dan lebih dari satu selesaian dan pembentukan dimensi dan abstraksi.
dari sistem persamaan linier, merupakan cabang dari Visualisasi bisa menjadi metode alternatif dan
aljbar modern. Harel (1989) me-njelaskan bahwa sumber yang kuat bagi siswa dalam berkerja dengan
aljabar linier terkait dengan strktur aljabar yang matematika, sebuah sumber yang bisa membuka
menggambarkan berbagai konsep dan sistem dengan jalan menuju pada cara berpikir yang berbeda-beda
berbagai macam sifat-sifat. Aljabar linier merupakan tentang matematika dibandingkan berpikir secara
matakuliah inti untuk mahasiswa karena luasnya tradisional (linguistik dan logika proporsional) dan
aplikasi baik dalam sains maupun sosial. Karena manipulasi simbol. Siswa membutuhkan sebuah
topik-topik dalam aljabar linier sangat penting gambaran konsep dalam rangka untuk menguasai
bahkan siswa SMA disarankan menguasai materi ini konsep, bukan hanya definisi konsep itu sendiri.
dengan sangat baik (Begle, 1970). Dalam rangka kepraktisan dalam penerapannya,
Aljabar linier umumnya diterima sebagai aljabar linier merupakan matakuliah penting untuk
matakuliah yang sulit oleh mahasiswa. Alasan pengembangan kognisi siswa baik geometri maupun
utamanya adalah karena aljabar linier merupakan aljbarnya.
perpaduan pemahaman antara abstrak dan konkret Berdasarkan uraian di atas, dosen sebagai
dibandingkan dengan yang dijumpai dimatakuliah fasilitator belajar perlu memahami kondisi yang
kalkulus. Staib (1969) menyatakan bahwa penerapan dapat memberikan kesempatan seluas‐luasnya untuk
dari aljabar linier pada masalah real tidak dapat mengembangkan potensi yang dimiliki
segamblang dalam kasus-kasus kalkulus. Ber- mahasiswa dan merancang suatu desain pem-
dasarkan hasil survey, Robert dan Robinet (1994) belajaran yang memenuhi ragam kebutuhan belajar
menunjukkan bahwa kritikan utama dari siswa menurut karakteristik matakuliah aljabar linier yang
terkait aljabar linier fokus pada pemahaman yang akan dibelajarkan dan latar individu mahasiswa
bersifat formal, terlalu banyaknya definisi-definisi secara sinergis.
baru dan ketiadaan hubungan antara pengetahuan
matematika yang sudah mereka miliki (Dorier, PEMBAHASAN
1994).
Dari hasil pemetaan penelitian terkait aljabar Kesulitan dalam Aljabar Linier
linier menunjukkan bahwa hal yang paling utama Beberapa alasan terkait kesulitan-kesulitan
dalam agenda penelitian adalah tentang metode yang dihadapi siswa tidak terbatas untuk konten
pembelajarannya (Dorier, 1994; Harel, 1989). aljabar linear, tetapi hasil transisi dari dasar ke
Sangat dimungkinkan dalam pembelajaran meng- matematika yang lebih canggih. Perubahan dari
gunakan model-model geometri dan aljabar dari dasar hingga pemikiran matematika tingkat lanjut
konsep-konsep abstrak dalam aljabar linier. Harel melibatkan transisi yang signifikan: dari meng-
(1989) menyarankan bahwa peningkatan yang gambarkan ke mendefinisikan, dari meyakinkan ke
progresif dalam abstarksi/generalisasi: dari geometri membuktikan secara logis berdasarkan definisi ter-
ke R2, R3, dan kemudian Rn dan pada akhirnya pada sebut. Transisi ini memerlukan rekonstruksi kognitif
ruang vector secara formal (Harel, 1989). Ber- yang dipandang selama mahasiswa berjuang dengan
dasarkan pengalaman mengajarnya, fase pertama abstraksi formal di tahun pertama universitas. Hal
yang sangat fundamental adalah pemberian ini merupakan transisi dari koherensi matematika
representasi visual. Secara umum ada tiga fase, dasar untuk konsekuensi dari matematika canggih,

78
Anwar, Bagaimana Membelajarkan Aljabar Linier, 79

berdasarkan entitas abstrak yang secara individu memainkan peran yang sangat penting dalam
harus dibangun melalui pemikiran deduktif dari pengembangan mental representasi, dalam me-
definisi formal. (Tall, 1991, ms. 20). nyelesaikan berbagai fungsi kognitif (penghitungan
Entitas-entitas abstrak dalam kasus linear dll), seperti dalam pengembangan pengetahuan.
aljabar adalah struktur-struktur yang mewakili
konsep dan sistem dengan berbagai sifat-sifatnya. Metakognisi dalam Pemecahan Masalah
Asumsi-asumsi yang dibuat eksplisit dan semua Dalam kaitannya dengan pemecahan masalah,
pernyataan dibenarkan oleh referensi untuk definisi Kramarski dan Mevarech (2003: 284) berpendapat
dan fakta-fakta yang sudah terbukti. Matematika di bahwa pengetahuan tentang proses pemecahan
level SMA tidak berurusan dengan sistems abstrak masalah, dan kemampuan untuk mengontrol dan
dan karena itu di tahun pertama mahasiswa tidak mengatur proses pemecahan masalah merupakan
cukup berpengalaman untuk bekerja dengan pengetahuan metakognitif secara umum.
pengertian abstrak dan teori berbasis bukti (Harel, Metakognisi berarti apa yang kita ketahui tentang
1989). apa yang diketahui (Halpern, 1984: 15). Metakognisi
Perbedaan lain antara matematika SMA dan merupakan refleksi terhadap pikiran, berfikir ter-
Universitas adalah bagaimana pengetahuan baru hadap pikirannya sendiri (Janssens & de Klein,
dibangun. Dalam konteks matematika canggih, 2005: 73). Menurut Flavell (1985: 104), disebut
generalisasi memainkan peran penting dalam metakognisi karena makna intinya adalah "cognition
perluasan jaringan konseptual. Harel & Tall (1991) about cognition" atau berfikir terhadap proses
membedakan tiga jenis generalisasi; ekspansi, berfikirnya sendiri. Metakognisi mencakup penge-
rekonstruksi dan generalisasi disjungtif. Untuk tahuan dan aktivitas kognitif yang menjadikan
membuat generalisasi ekspansi, subjek memperluas aktivitas kognitif itu sebagai objeknya. Metakognisi
penerapan macam skema yang ada sementara di berarti pengetahuan seseorang tentang proses
generalisasi rekonstruksi skema yang ada telah kognitif dirinya sendiri dan hal-hal yang ber-
dibangun kembali untuk memperluas jangkauan hubungan dengannya, seperti pengetahuan tentang
penerapan. Hal ini terlihat dalam perbedaan dengan informasi dan data yang relevan. Flavell me-
gagasan generalisasi disjungtif, mana skema baru, ngemukakan konsep tentang kemampuan meta-
skema yang tidak terhubung dibangun untuk kognitif sebagai pengetahuan metakognitif (meta-
mengakomodir konsep baru. Dalam konteks aljabar cognitive knowledge) dan pengalaman metakognitif
linear, sebagai contoh, generalisasi berturut-turut (metacognitive experience). Menurut Schoenfeld
dari penjumlahan vektor dan perkalian skalar dari R2 (1992: 347), pengetahuan seseorang tentang proses
ke R3 ke Rn dapat dilihat sebagai generalisasi yang berfikirnya sendiri termasuk dalam pengetahuan
luas bagi siswa, karena melibatkan "penerapan metakognitif.
teknik yang sama untuk setiap koordinat dalam Selanjutnya, Schoenfeld mengemukakan
sistem lebih luas berturut-turut " (Harel & Tall, konsep metakognisi Flavell dalam pengertian yang
1991, ms. 39). bersifat fungsional, yaitu: 1) pengetahuan deklaratif
Kesulitan lainnya dalam membelajarkan al- seseorang tentang proses kognitifnya, 2) prosedur
jabar linier adalah karena siswa bekerja dengan ber- pengaturan diri sendiri, mencakup monitoring dan
bagai macam istilah, representasi objek aljabar pengambilan keputusan langsung, dan 3) keyakinan
(semiotic registers of representation), cara pandang dan kesungguhan serta pengaruhnya terhadap unjuk
dan pengaturan objek linier aljabar yang di- kerjanya. Proses pengaturan diri mencakup a)
representasikan. Mahasiswa harus membedakan memahami hakikat masalah sebelum mengusahakan
berbagai macam representasi objek tersebut, tetapi solusinya, b) merencanakan pemecahannya, c)
mereka juga butuh menerjemahkannya dari satu tipe memantau atau memonitor apakah proses berjalan
representasi ke yang lainnya, belum lagi ke- dengan baik sehingga solusi dapat tercapai, dan d)
bingungan mahasiswa terkait perbedaan representasi mengalokasikan data informasi atau memutuskan
objek tersebut. Kemampuan-kemampuan tersebut apa yang sebaiknya dikerjakan selagi berusaha
terkait dengan pemahaman umum tentang memecahkan masalah tersebut.
fleksibilitas kognisi.
D'Amor (2000) mendefinisikan semiotic Eksplorasi Matematika dan Inkuiri
representasi sebagai produk yang dibuat dengan Cifarelli dan Cai (2004) mengemukakan
menggunakan tanda-tanda yang memiliki sistem eksplorasi matematika menunjukkan pada suatu
representasi dengan makna dan fungsi masing-ma- aktivitas yang berkaitan dengan penggunaan strategi
sing. Semiotic representasi dibutuhkan dalam ak- formal dan tidak formal untuk mencari suatu solusi
tivitas matematika karena objek-objeknya tidak bisa masalah. Eksplorasi matematika merupakan bentuk
diterima secara langsung dan harus direpre- khusus dari kegiatan pemecahan masalah.
sentasikan. Lebih jauh, semiotic representasi

79
80, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Kegiatan eksplorasi matematika, menuntut pertanyaan-pertanyaan yang membimbing mereka


siswa untuk melakukan semacam percobaan untuk penyelidikan lebih lanjut.
berbagai cara baik formal maupun tidak formal (cara Pembelajaran inkuiri terbimbing diterapkan
siswa sendiri) untuk menemukan jawaban. Aktivitas agar para siswa bebas mengembangkan konsep yang
ini memerlukan kegiatan berpikir atau penalaran mereka pelajari. Mereka diberi kesempatan untuk
mulai dari mengajukan pertanyaan, membuat dugaan memecahkan masalah yang mereka hadapi secara
(conjecture) dan membuktikannya. Sebenarnya, berkelompok, di dalam kelas mereka diajarkan
langkah-langkah kegiatan eksplorasi matematika berinteraksi sosial denga kawan sebayanya untuk
tidaklah jauh berbeda dengan kegiatan investigasi saling bertukar informasi antar kelompok.
akan tetapi kegiatan eksplorasi lebih terbuka dari Inkuiri terbimbing (guided inquiry) masih
investigasi dan lebih divergen. Oleh karena itu, memegang peranan guru dalam memilih topik atau
tahapan pembelajaran yang dilakukan memiliki bahasan, pertanyaan dan menyediakan materi, akan
kesamaan dengan investigasi, sementara yang tetapi siswa diharuskan untuk mendesain atau
membedakannya adalah konstruk dari soal atau merancang penyelidikan, menganalisa hasil, dan
permasalahannya. sampai pada kesimpulan.
Menurut Schmidt (2003) seperti dikutip Inkuiri terbimbing menuntut siswa untuk me-
Ibrahim, inkuiri berasal dari bahasa inggris inquiry ngembangkan langkah kerja (prosedur) dalam
yang dapat diartikan sebagai proses bertanya dan memecahkan masalah yang telah diberikan oleh
mencari tahu jawaban terhadap pertanyaan ilmiah guru melalui LKS jenis challenge activity. Menurut
yang diajukannya. Pertanyaan ilmiah adalah Bonnstetter inkuiri terbimbing masih memegang
pertanyaan yang dapat menguraikan pada kegiatan peranan guru dalam memilih topik/bahasan, per-
penyelidikan terhadap objek pertanyaan. tanyaan dan menyediakan materi, akan tetapi siswa
Inkuiri berasal dari bahasa Inggris "inquiry", diharuskan untuk mendesain atau merancang
yang secara harfiah berarti penyelidikan. Carin dan penyelidikan, menganalisa, dan sampai kepada
Sund (1975) mengemukakan bahwa "inquiry is the kesimpulan.
process of investigating a problem". Menurut
Collette & Chlapepetta (1994) inquiry is the process Aktivitas Pembelajaran Aljabar Linier
of finding out by searching for knowledge and Berdasarkan kajian literatur di atas, akan
understanding. Menurut Gulo (2002) inkuiri berarti menjadi suatu perkuliahan yang menarik apabila
suatu rangkaian kegiatan belajar yang melibatkan dosen berhasil melibatkan mahasiswa sebagai
seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan me- peserta-peserta yang aktif dalam proses belajar
nyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis, sebagai upaya untuk mendorong mereka
sehingga mereka dapat merumuskan sendiri membangun atau mengkonstruksi pengetahuan
penemuannya dengan penuh percaya diri. mereka.
Berdasarkan uraian di atas, proses pem- Dalam proses mengkonstruksi pengetahuan-
belajaran inkuiri haruslah melibatkan dengan nya, mahasiswa akan difasilitasi oleh dosen melalui
kegiatan-kegiatan meliputi mengajukan pertanyaan serangkaian aktivitas pembelajaran yang mendukung
yang ilmiah, merumuskan pertanyaan yang relevan, proses konstruksi tersebut. Rangkaian aktivitas
merencanakan observasi, penyelidikan atau inves- pembelajaran dialami oleh mahasiswa meliputi: (a)
tigasi dengan melaksanakan percobaan atau pengamatan visual (visualisasi) (b) melakukan
eksperimen dengan menggunakan alat untuk mem- eksplorasi, (c) melakukan inkuiri, (d) mengajukan
peroleh data, menganalisis dan menginterpretasi data hipotesis dan konjektur, dan (e) berpikir deduktif.
serta membuat prediksi dan mengkomunikasikan Untuk dapat memberikan gambaran tentang
hasilnya serta menerapkan dalam kehidupan sehari- desain aktivitas pembelajaran aljabar linier, berikut
hari. akan diberikan suatu ilustrasi aktivitas pembelajaran
Salah satu metode inkuiri adalah inkuiri ter- pada topik Sistem Persamaan linier.
bimbing. Dalam inkuiri terbimbing (guided inquiry)
guru menyediakan materi atau bahan dan 1. Pengamatan Visualisasi
permasalahan untuk penyelidikan. Siswa me- Sebagai Starting point aktivitas pembelajaran,
rencanakan prosedurnya sendiri untuk memecahkan mahasiswa diberikan suatu fenomena terkait dengan
masalah. Guru memfasilitasi penyelidikan dan sistem persamaan dan visualisasi geometrinya,
mendorong siswa mengungkapkan atau membuat berikut ilustrasi fenomenanya:
Anwar, Bagaimana Membelajarkan Aljabar Linier, 81

Gambar 1. Fenomena yang diamati siswa

Mahasiswa diberikan beberapa permasalahan terkait 3. Inkuiri


sistem persamaan linier serta diminta mengamati Selanjutnya pada aktivitas inkuiri, mahasiswa
visualisasi/grafik yang mewakili persamaan- akan melakukan penyelidikan lebih dalam terkait
persamaan dalam sistem tersebut. Dosen meminta masalah yang dihadapi dengan mengumpulkan
mahasiswa mengamati hal menarik perhatiannya, informasi yang relevan untuk kemudian di analisis
baik dalam perspektif aljabar maupun grafik dan diasosiasi sehingga dapat dijadikan dasar untuk
(geometri). menjawab pertanyaan yang dimunculkan. Bentuk
aktivitas analisis dan asosiasinya berupa aktivitas
2. Eksplorasi mencari penyelesaian atau solusi dari sistem
Berdasarkan hasil aktivitas mengamati persamaan linier. Melalui pengajuan pertanyaan
fenomena berupa visualisasi/representasi geometris, (inkuiri terbimbing) siswa akan melihat hubungan
mahasiswa diminta mempertanyakan hal-hal yang antara prosedur eliminasi yang mereka kenal di
menarik perhatiannya untuk dikaji atau dieksplor SMA dan operasi baris elementer. Selanjutnya
lebih detail. Pertanyaan-pertanyaan ataupun fokus- mahasiswa dikenalkan ide/konsep tentang matrik
fokus amatan masing-masing mahasiswa bisa koefisien dan mencoba mengaitkannya dengan
bermacam-macam bergantung ketertarikan dari perilaku/metode eliminasi yg sudah mereka kenal
masing-masing mahasiswa. Secara umum, dugaan semasa SMA. Gagasan tentang matriks koefisien
fenomena-fenomena/pertanyaan-pertanyaan yang yang telah berbentuk matriks eselon baris tereduksi
mungkin teramati/diajukan mahasiswa, diantaranya: merupakan data yang cukup baik bagi mahasiswa
Kapan sebuah sistem persamaan linear mempunyai untuk menganalisa setiap menyelesaikan sistem
solusi?, Apakah semua sistem persamaan mem- persamaan linear yang dicoba, dan tidak semata-
punyai solusi?, Kapan sebuah sistem persamaan mata mengetahui solusi dari berbagai macam sistem
linear mempunyai solusi tunggal? Atau bahkan tak persamaan linear yang beragam kondisinya.
hingga banyaknya?, Kapan sebuah sistem persamaan
linear tak mempunyai solusi?, dan Jika sebuah 4. Mengajukan Hipotesa dan Konjektur
sistem persamaan linear mempunyai solusi tak Produk dari aktivitas inkuiri yang dilakukan
berhingga, bagaimana bentuk umum solusinya? Jika oleh mahasiswa masih berupa jawaban sementara
dinyatakan dalam bentuk parameter, berapa banyak (hipotesa) terhadap pertanyaan yang dikemukakan.
parameter yang ada? Sebagai sebuah hipotesa, tentunya harus dilakukan
Pada dugaan-dugaan tersebut, kemudian pengujian secara matematis untuk dapat diterima
mahasiswa dihadapkan pada permasalahan dengan sebagai sebuah kebenaran. Kegiatan menguji
berbagai kondisi yang diamati (a) banyaknya hipotesa dapat pula dilakukan dengan cara menebak
persamaan sama dengan banyaknya variabel, tetapi atau menduga. Beberapa hipotesa yang mungkin
ada tiga kemungkinan dari solusi sistem persamaan diajukan mahasiswa adalah sebagai berikut (Anton,
linear tersebut yaitu solusi tunggal, solusi tak hingga 2005):
dan tidak mempunyai solusi. Begitu pula pada 1. Sistem persamaan linear dengan banyaknya
permasalahan (b) banyaknya pesamaan lebih banyak persamaan sama dengan banyaknya variabel
dari banyaknya variabel memunculkan tiga selalu mempunyai jawab tunggal.
kemungkinan dari solusi sistem persamaan linear 2. Sistem persamaan linear dengan banyaknya
yaitu solusi tunggal, solusi tak hingga dan tidak persamaan lebih sedikit dari banyaknya variabel
mempunyai solusi. Tetapi berbeda dengan masalah selalu mempunyai jawab tak berhingga
(c) banyaknya persamaan lebih sedikit dari 3. Sistem persamaan linear Ax=b yang tidak
banyaknya variabel, hanya memunculkan dua mempunyai solusi apabila banyaknya baris
kemungkinan jawaban yaitu mempunyai solusi tak yang tidak nol pada matriks A tidak sama
hingga atau tak mempunyai jawab. dengan banyaknya baris yang tidak nol pada

79
82, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

matriks [A|b] pada matriks eselon baris umum. Sebenarnya teorema yang berkaitan dengan
tereduksi. masalah dia atas adalah sebagai berikut:
4. Sistem persamaan linear Ax= b mempunyai
solusi apabila banyaknya baris yang tidak nol Teorema 1
pada matriks A sama dengan banyaknya baris
yang tidak nol pada matriks [A|b] pada matriks Sebuah sistem persamaan linear homogen Ax=0
eselon baris tereduksi. dengan jumlah varibel yang tidak diketahui lebih
5. Apabila sistem persamaan linear mempunyai banyak dari jumlah persamaan mempunyai banyak
solusi, maka banyaknya parameter adalah selesaian tak hingga.(Anton, 2005)
banyaknya kolom dikurangi banyaknya baris
yang tidak nol pada matriks eselon baris
tereduksi SIMPULAN

Dugaan atau hipotesa yang dikembangkan Siapa yang tahu tentang bagaimana
membelajarkan aljabar linear? kita mungkin semua
dari suatu proses pengamatan fenomena, eksplorasi,
dan dilanjutkan percobaan (induktif) akan menjadi tahu, namun tidak satupun dari kita mendesainnya
dengan baik. Kita semua tahu dalam arti bahwa kita
kesimpulan umum atau konjektur. Untuk dapat
semua memiliki ide luarbiasa tentang apa yang akan
menjadi teorema, konjektur tersebut perlu
dibuktikan secara formal matematika. Dalam kita lakukan untuk membelajaraknnya. Tapi kita
semua perlu untuk memahami lebih baik tentang
pembuktian formal matematika, proses berpikir
bagaimana sesungguhnya pebelajar belajar, dan
deduktif menjadi peran yang sangat sentral.
mengenali bahwa konten, metode dan konteks yang
sesuai akan berbeda dalam pengaturan yang berbeda.
5. Berpikir Deduktif Tidak ada satu cara yang paling tepat untuk
Kesimpulan-kesimpulan/konjektur-konjektur membelajarkannya, dan kemungkinan akan ada
yang diperoleh selama proses eksplorasi, inkuiri, masalah yang tidak pernah dapat pasti diselesaikan.
tentang system yang mempunyai selesain dan tidak Penulis berharap bahwasanya tulisan ini akan
punya selesain bisa dikenalkan definisi formal memberikan alternatif atau sumbang pemikiran
(istilah) seperti system persamaan linier konsisten terkait desain pembelajarn aljabar linier yang
dan tak konsisten, selesaian trivial dan non-trivial, mampu melibatkan mahasiswa sebagai peserta ‐
dst. Dengan menerapkan cara berpikir deduktif, peserta yang aktif dalam proses belajar sebagai
maka kebenaran dari konjektur itu dibuktikan. Dan upaya untuk mendorong mereka membangun atau
sifat yang telah dibuktikan itu akan berlaku secara mengkonstruksi pengetahuan mereka.

DAFTAR RUJUKAN

Anton, Howard & Rorres, Chris. 2005. Elementary D'Amor B. 2000. Conceptualisation, registers of
Linear Algebra (Ninth Edition). New York: semiotic representation and noetic in
John Willey & Sons.Begle, E. G. 1970. mathematical education. 22A, 3, 247-276.
Mathematics Education: NSSE 69th Dorier, J. -L. 1994. The Teaching of Linear Algebra
Yearbook. University of Chicago Press. in First Year of French Science University.
Begle, E. G. 1970. Mathematics Education: NSSE Proceedings of the 18th Conference of the
69th Yearbook. University of Chicago Press. International Group for the Psychology of
Carin, A. A. & Sund, R.B. (1975). Developing Mathematics Education, Lisbonne 14, 137-
Question Techniques: A Self-Concept 144.
Approach. Columbus, OH: Charles E. Merrill. Flavell, J. H. 1985. Cognitive development (2nd ed.).
Cifarelli, V. V. and Cai, J. 2004. A Framework for Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Examining Mathematical Exploration of Gulo, W. 2002. Strategi Belajar-Mengajar. Jakarta:
Problem Solvers. Gramedia Widiaswara.
Colburn, Alan. 2000. An Inquiry Primer. Science Halpern, D. F. 1984. Thought and knowledge: An
Scope. introduction to critical thinking. Hillsdale, NJ:
Colleette, A. and E. Chiappetta. 1994. Science Lawrence Erlabaum.
instruction in the middle and secondary Harel, G. 1989. Learning and Teaching Linear
schools. 3rd ed. Columbus, OH.: Charles E. Algebra: Difficulties and an Alternative
Merrill. Approach to Visualizing Concepts and
Anwar, Bagaimana Membelajarkan Aljabar Linier, 83

Processes. Focus Learn. Probl. Math. 11(2), for The Psychology of Mathematics
139-148. MATHDI 1993f.02005. Education, 14, 137-144, Lisbonne.
Ibrahim, M. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Staib, J. H. 1969. An Introduction to Matrices and
Surabaya: Universitas Inpres Surabaya Linear Transformations. California: Addison -
University Press. Wesley Pub. Comp. Inc.
Janssen. J., Erkens, G., Kirschner, P. A., & Schoenfeld, A. H. 1992. Learning to think
Kanselaar, G. 2010. Task-related and social mathematically: Problem solving,
regulation during online collaborative metacognition, and sense making in
learning. Metacognition and Learning. mathematics. In D. A. Grows (Ed.),
Doi:10.1007/s11409-010-9061-5. Handbook of research on mathematics
Kramarski, B., & Mevarech, Z. R. 2003. Enhancing teaching and learning (pp. 334-370). New
mathematical reasoning in the classroom: The York: Macmillan.
effect of cooperative learning and Tall, D. 1991. Advanced Mathematical Thinking.
metacognitive training. American Educational Dordrecht: Kluwer.
Research Journal, 40, 281-310. Veenman, M. J. V., Van Hout-Wolters, B., &
Robert, A., Robinet, J., & Rogalski, M. 1994. The Afflerbach, P. 2006. Metacognition and
Teaching of liniear algebra in first year of Learning: Conceptual and Methodological
French science university. Proceedings of the Considerations. Metacognition & Learning, 1,
18 th Conference of The International Group 3-14.

79
84, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

MENGEMBANGKAN MASALAH SEDERHANA MENCARI LUAS BANGUN


DATAR MENJADI MASALAH OPEN-ENDED KONSEPTUAL

Gatot Muhsetyo

Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang


gatot.muhsetyo.fmipa@um.ac.id

Abstrak: Tujuan penulisan artikel adalah untuk memaparkan pengalaman nyata pembelajaran dalam
mengembangkan masalah sederhana mencari luas bangun menjadi masalah open-ended menuntut berfikir
dan bernalar matematis. Sasaran pembelajaran adalah 27 orang guru matematika SD di Kota Malang
yang berijazah sarjana tidak linier, dan sedang mengambil program S-1 PGSD di Universitas Terbuka.
Pembelajaran dilaksanakan pada bulan Nopember 2014 selama 100 menit. Satu minggu sebelum
pembelajaran, mereka diminta membuat rangkuman satu halaman tentang materi pengukuran luas dari
bahan ajar yang tersedia. Proses pembelajaran menunjukkan bahwa mereka belum mempunyai kepekaan
dalam kreativitas mencari luas. Mereka cenderung menggunakan cara yang lazim digunakan, dari
bangun-bangun datar yang diposisikan “baik”. Setelah pembelajaran mereka merasa memperoleh
pengetahuan “baru” dalam pembelajaran menghitung luas bangun datar di SD

Keywords: bangun datar, luas, open-ended, kreatif

Open-ended adalah strategi menyelesaikan masalah selesaian (multiple methods of solution), atau (e)
matematika yang dikemas dalam pem-belajaran gabungan dari multiple solutions dan multiple
matematika sekolah, dan dikembangkan pertama methods of solution. Soal atau pertanyaan yang
kali di Jepang sejak ratusan tahun lalu. Ciri khas dari digunakan disebut “open problem”, lawan dari
strategi open-ended adalah (a) pemberian masalah, “closed problem”. Close problem adalah masalah
(b) wujud masalah adalah soal atau per-tanyaan, (c) yang mempunyai selesaian tunggal, atau cara me-
mempunyai banyak jawaban atau selesaian (multiple nyelesaikan tunggal (Pehkonen, 1995). Diagram ter-
solutions), atau (d) mempunyai banyak cara men- struktur dari open-ended problem menurut
jawab memperoleh jawaban atau Takahashi, A (2006) disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Terstruktur dari Open Ended Problem

Kwon, dkk (2006) menyatakan bahwa penu- menyatakan bahwa penggunaan strategi open-ended
gasan open-ended dapat menumbuhkan berfikir mempunyai dampak positif untuk meningkatkan
matematika yang kreatif, ditandai dengan kefasihan kemampuan matematika siswa. Berdasarkan Kepu-
(fluency), fleksibilitas, dan originalitas. Viseau dan tusan Menteri Pendidikan Republik Indonesia No.
Oliveira (2012) menunjukkan bahwa strategi open- 16 Tahun 2007, dua dari lima standar kompetensi
ended mendorong komunikasi kelas, dan memicu guru adalah (a) menguasai matematika untuk men-
adanya diskusi antar individu. Al-Absi, M. (2012) dukung bahan pembelajaran matematika sekolah,
dan (b) mengimplentasikan dan mempraktekkan bangun datar khas pembentuknya, (2) bagian dari
pembelajaran matematika sekolah secara profesional satu atau lebih bangun datar lain yang melingkupi.
(Kemendikbud, 2007). Kompetensi professional Luas bangun datar dapat dicari dengan (1)
guru matematika, menurut Arends, R.I., dan Kitcher menjumlahkan luas dari masing-masing bangun
Ann (2010) adalah kemampuan melaksanakan “best datar yang membentuknya, (2) mengurangkan luas
practices”, praktek pembelajaran yang bermutu di bangun datar yang melingkupi dengan jumlah luas
dalam kelas, yang dapat membantu siswa belajar bangun datar di bagian luarnya. Meskipun cukup
cara-cara mendasar dalam menyelesaikan masalah. mudah memilah atau memisahkan suatu bangun
Strategi open-ended dalam pembelajaran ma- datar menjadi bagian-bagian, namun masih
tematika di Indonesia cenderung tidak open-ended, diperlukan kecermatan agar tidak terjadi kesalahan
yaitu strategi penyelesaian masalah yang menuntut yang disebabkan oleh tidak terbentuknya bangun
jawaban tunggal dan cara memperoleh jawaban datar yang dimaksud. Demikian pula, mencari
tunggal. Untuk mampu melaksanakan strategi open- bangun yang sesuai dan melingkupi (memuat)
ended dalam pembelajaran matematika, guru perlu bangun yang diketahui, memerlukan kemampuan
arahan yang jelas sehingga tidak menyimpang dari melihat keseluruhan (gestalt) terhadap bagian
kriteria atau pedoman baku yang ada. Agar lebih
terampil, guru perlu masukan, melalui pemberian PEMBAHASAN
tugas membaca dari sumber-sumber yang relevan,
sehingga kemauan (penasaran) mereka untuk Pembelajaran dimulai dengan apersepsi, yaitu
mencari dan mencoba sendiri tumbuh dengan baik, mengingatkan kembali tentang bahan ajar
serta terdorong untuk bertukar pikiran dengan guru sebelumnya, aturan mencari luas bangun-bangun
lain. datar khas. Bangun-bangun datar khas yang
Strategi open-ended dalam pembelajaran dimaksud adalah persegi panjang (L = p x l), persegi
matematika di Jepang merupakan tuntutan 1
kurikulum dengan empat arahan yaitu (a) memberi (L = s x s), segitiga (L = 2 a x t), jajar genjang (L = a
permasalahan kepada siswa berupa suatu soal, dan x t), belah ketupat (L = d x d, L = s x t), dan
1
meminta mereka menanyakan hal-hal yang belum trapezium (L = (a + b) x t). Kemudian satu soal
2
jelas dari soal yang mereka baca, (b) mengerjakan tentang luas bangun datar ditampilkan di papan
soal secara perseorangan, untuk memberi kesem- putih.
patan kepada siswa agar secara mandiri mampu Carilah luas bangun datar pada Gambar 2
mengembangkan potensi, (c) mendiskusikan kelas dengan paling sedikit dua cara, dan jelaskan cara
hasil mengerjakan soal, dipimpin oleh guru, untuk yang digunakan.
memberi kesempatan mengkomunikasikan pena-
laran, memahami dan menghargai pekerjaan siswa
lain, dan membuka wawasan kreatif untuk me- A F
nanggapi pekerjaan siswa lain, dan (d) mem- 3 cm
verifikasi jawaban yang masih belum benar, mencari
jawaban yang relatif memiliki kelebihan (mudah,
sederhana, cepat), dan (e) memperluas (extending)
D 3 cm E
masalah yang ada, dengan bahasan yang lebih
menuntut pemikiran dan penalaran. 3 cm
Persoalan mencari luas bangun datar meliputi
dua situasi, yaitu (1) membagi, memilah, atau
memisahkan bangun datar menjadi banyak bangun B 2 cm C
datar lain. Masing-masing bagian bangun datar
diusahakan merupakan bangun datar yang sudah Gambar 2. Bangun Data
dikenal cara menghitung luasnya. Bangun-bangun
datar yang sudah dikenal rumus luasnya adalah Semua mahasiswa dapat menjawab dengan benar.
bangun-bangun datar yang khas, yaitu persegi, Mereka menjelaskan dua cara yang digunakan se-
persegi panjang, segitiga, jajar genjang, belah ke- perti pada Gambar 3.
tupat, layang-layang, dan trapezium. Luas bangun
datar merupakan (1) gabungan luas dari bangun-

85
86, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Gambar 3. Beberapa Cara Menentukan Luas Bangun Datar

Hampir semua dari 27 mahasiswa mempunyai Mahasiswa mengalami kesulitasn dalam


dua jawaban di atas, dan hanya 2 orang yang men- mencari luas masing-masing trapesium. Ketika me-
coba menjawab lebih dari dua jawaban. reka ditanya, mereka mengatakan bahwa mereka
Setelah mahasiswa mampu menjawab soal sulit memutuskan garis sejajar dan tinggi trapesium
dengan benar, dan puas atas keberhasilan mereka, karena (a) gambarnya “terbalik, alasnya di atas”, dan
maka langkah berikutnya adalah menantang mereka (b) gambarnya “tegak, berarti tidak mempunyai alas
untuk mencarai cara yang lain. Sebagian besar dan tidak mempunyai garis tinggi”. Setelah ia
mahasiswa, lebih dari separuh dari mereka, nampak diberitahu bahwa alas dan tinggi dari bangun datar
kebingungan karena mereka belum terbiasa untuk trapesium tidak ditentukan oleh posisi gambar tra-
menjawab soal dengan sebanyak-banyaknya cara pesium yang “mendatar” dan alas trapesium tidak
yang dapat mereka temukan, Untuk lebih mem- terkait dengan letaknya yang “di bawah”. Mereka
fokuskan pemikiran mahasiswa, seorang mahasiswa menyadari kesalahan yang dibuat, dan berhasil
yang dipandang mampu, diminta untuk mau menghitung dengan benar luas bangun datar yang
mengerjakan di depan kelas. Bantuan hasil (product dicari, yaitu:
help) diberikan kepadanya, untuk membuat garis 1 1
L = LADEF + LADCB = 2(3 + 5).3 + 2(3 + 6).2 = 12 + 9
bantu sehingga terbentuk dua bagian bangun
L = 21
trapesium. Pada awalnya ia mengalami kesulitan,
Agar mereka memperoleh pengetahuan yang
tetapi setelah diminta memperhatikan titik D, maka
lengkap tentang luas bangun datar yang dibentuk
ia dengan cepat membuat garis lurus yang
oleh gabungan luas bangun datar segitiga, mereka
menghubungkan titik A dan titik D, sehingga
diminta memikirkan cara lain menghitung luas
terbentuk dua daerah trapesium, yaitu trapesium
bangun dengan menggunakan gabungan luas bangun
ADEF dan trapesium ADCB, lihat Gambar 4.
segitiga, dan/atau gabungan luas bangun segitiga dan
luas bangun bukan segitiga. Mereka mengalami
kesulitan dalam menentukan garis tinggi segitiga
karena garis tinggi segitiga “tidak tergambar”, dan
hanya dibayangkan. Beberapa cara memisahkan
menjadi bagian-bagian luas daerah yang melibatkan
segitiga seperti ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 4.
Muhsetyo. Mengembangkan Masalah Sederhana Mencari Luas Bangun Datar, 87

Gambar 5.

Kemudian mereka diminta menghitung


Agar pemahaman mereka tentang luas LABCDEF menggunakan LJ + LII + LIII . Hasil
bangun datar lebih mendalam, mereka juga perlu perhitungan yang mereka lakukan adalah:
diajak mengalami keadaan yang menyesatkan,
artinya mengatakan bisa menjawab dengan benar, LABCDEF = LJ + LII + LIII
tetapi pada akhirnya diketahui bahwa jawaban 1 1 1
= ( 2 x 5 x 6) + (2 x 2 x 3) + (2 x 3 x 3)
mereka salah. Prinsip utama yang perlu 1 1
dikembangkan adalah bagaimana mereka dapat = 15 + 3 + 42 = 222
mencari letak “ kesalahan “ tentang keadaan khusus
1
ini. Mereka diminta menggunakan gabungan dari LABCDEF = 222
luas bangun datar yang ditunjukkan oleh Gambar 6.

A F Mereka salah dalam menginterpretasikan


3 cm bangun ABDF sebagai segitiga. Kesalahan
III interpretasi ini disebabkan oleh anggapan mereka
II bahwa BDF adalah garis lurus. Berkali-kali mereka
mencoba menghitung ulang, tetapi hasilnya tetap
1
D 3 cm E saja, tidak berubah, yaitu L = 222 . Tentu tidak
mungkin bangun datar yang sama mempunyai luas
3 cm
I yang berbeda karena perbedaan cara mencari jumlah
luas bagian. Ketika ditanya tentang alasannya,
B 2 cm C mereka semua tidak bisa menjawab, mereka
kesulitan untuk bisa melihat dengan teliti atau
Gambar 6. cermat keadaan bagian III. Bantuan diberikan
kepada mahasiswa melalui pertanyaan “ apakah
Semua mahasiswa menyetujui bahwa luas bangun ABDF merupakan bangun segitiga ? “. Pada
bangun datar ABCDEF dapat dicari sebagai jumlah awalnya mereka menganggukkan kepala tanda
luas daerah I, daerah II, dan daerah III: setuju. Pertanyaan berikutnya untuk membimbing
LABCDEF = LJ + LII + LIII mereka adalah “ apakah garis BDF merupakan garis
lurus? “. Mereka kemudian memperhatikan gambar
88, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

dengan lebih cermat, dan pada akhirnya bisa maka titik E tidak terletak pada garis BC, artinya
menyatakan bahwa garis BDF bukan garis lurus, titik-titik B, E, dan C tidak segaris
tetapi garis patah, gabungan dua garis lurus BD dan Setelah memperoleh penjelasan tentang
garis lurus DF yang mana titik-titik B, D, dan F perbandingan sisi-sisi dari dua segitiga yang
tidak segaris. Dengan demikian bangun ABDF sebangun di atas, mahasiswa diminta mengamati
bukan bangun segitiga tetapu bangun segiempat. ulang bangun ABDF. Ternyata mereka masih juga
Mereka tidak bisa menyebutkan alasan mengapa merasa sulit untuk menyebutkan alasan (antara lain
titik-titik B, D, dan F tidak segaris, atau menye- karena gambarnya “terbalik”). Nampaknya diper-
butkan alasan bahwa bangun ABDF bukan bangun lukan penegasan agar tidak salah pemahaman mere-
segitiga. Tidaklah mudah memberi alasan logis ka tentang penggunaan prinsip perbandingan dalam
bahwa bangun segitiga yang terbentuk bukanlah kesebangunan. Mereka tidak tahu bahwa untuk
seperti gambar. Mereka diberi penjelasan tentang memperoleh alasan bahwa titik-titik B, D, dan F
kesebangunan (similarity) segitiga. tidak segaris, perlu dibuat garis (bantu) DE yang
sejajar FA.
C A F
3 cm
III
II
D E E
D 3 cm E
3 cm
I
A B
B 2 cm C
Segitiga ABC sebangun dengan segitiga DEC
karena ukuran sudut-sudut yang bersesuaian sama BE 3 1 DE 2
= = dan =
BA 6 2 FA 5
m ( ∠ A) = m ( ∠ D) = 900 BE DE
m ( ∠ B) = m ( ∠ E) 
BA FA
m ( ∠ C) = m ( ∠ C)

Akibatnya perbandingan sisi-sisi yang bersesuaian


dari segitiga ABC dan segitiga DEF adalah sama, maka titik-titik B, D, dan F adalah tidak segaris
yaitu: Titik-titik B, D, dan F tidak segaris, maka
bangun ABDF bukan segitiga, tetapi segiempat,
CD CE DE
= = sehingga luas ABDF tidak boleh dicari sebagai luas
CA CB AB segitiga BFA, dan boleh dicari dengan menggunakan
Dari proses menggambar segitiga ABC dan gabungan luas segitiga BDE dan trapesium EDFA.
segitiga DEC, yaitu dimulai dengan membuat
segitiga ABC siku-siku di A, dilanjutkan
menentukan titik D pada sisi AC, kemudian mem-
buat garis lurus dari D yang sejajar AB dan memo-
tong BC di E, dapat ditentukan bahwa titik-titik A,
D, dan C adalah segaris, serta titik-titik B, E, dan C
adalah juga segaris. Sebaliknya, jika titik D pada sisi
AC dari segitiga ABC , dan titik E memenuhi
hubungan :

CD CE DE
= =
CA CB AB
maka titik E terletak pada garis BC. Jika titik D pada
sisi AC dari segitiga ABC , dan titik E tidak L = LI + LII + LIII + LIV
memenuhi hubungan : 1 1 1
= ( x 2 x 3) + ( x 3 x 3) + { (2 + 5) x 3} +
2 2 2
1
CD CE DE CD CE DE (2 x 3 x 2)
= = , yaitu   = 3 + 4,5 + 10,5 + 3 = 21
CA CB AB CA CB AB
Muhsetyo. Mengembangkan Masalah Sederhana Mencari Luas Bangun Datar, 89

Mahasiswa juga dimintai pendapat tentang menggunakan luas gabungan bangun datar.
1 Tantangan ini mendapatkan tanggapan yang baik,
tambahan luas 1 , atau pendapat tentang situasi
2
karena mereka bersemangat untuk mencarinya,
gambar jika garis BD diteruskan, dan jika BF
tetapi nampak mereka kurang terlatih untuk
langsung dihubungkan. Mereka pada umumnya
mengamati sesuatu secara keseluruhan, dan dilan-
ragu-ragu untuk menjawab, sehingga perlu bantuan
jutkan melihat bagian-bagian. Seorang mahasiswa
bimbingan untuk menjawabnya. Dengan meminta
ditunjuk untuk maju kedepan papan putih (white
seorang mahasiswa membuat garis lurus dari B ke
board), kemudian ia diminta menggambar ulang
D, dan “langsung” diteruskan ke F. maka mereka
bangun datar yang dicari luasnya.
segera tahu bahwa garis yang dibuat memotong garis
AF di suatu titik yang terletak di sebelah kiri F.
misalnya di titik G.

Ketika ia diminta melengkapi gambar sehi-


ngga menjadi gambar “utuh” , maka ia mulai menya-
dari bahwa ada “gambar besar utuh” yang berupa
Karena BDG segaris, segitiga BDE sebangun bangun persegi panjang ABGF, yaitu :
dengan segitiga BGE, dan DE = CB = 2 , maka:

BE DE BA x DE 6 x 2
= sehingga GA= = =4
BA GA BE 3

dan GF = 1
LABCDEF = LI + LII + LIII + LIV = 3 + 6 + 9 + 3 = 21

Sekarang, jika B langsung dihubungkan de-


ngan F, maka posisi gambar menjadi:

Ukuran persegi panjang ABGF adalah


panjang 6 cm dan lebar 5 cm, sehingga luas
ABCDEF dapat dicari sebagai berikut:
LABCDEF = LABGF – LCGED
= (6 x 5) – (3 x3) = 30 – 9 = 21
LABCDEF = 21.

SIMPULAN

Hasil praktek pembelajaran ini menunjukkan


bahwa strategi open-ended mempunyai pengaruh
yang positif terhadap peserya didik, para guru SD
Mahasiswa pada akhirnya tahu bahwa tam- yang kuliah lagi untuk memperoleh kelayakan S-1
1
bahan luas 12 berasal dari tambahan daerah yang PGSD. Pengaruh positif yang muncul adalah (a)
diarsir (diwarna, diblok), yang diperoleh jika titik B wawasan mereka menjadi lebih luas dan mendalam,
langsung dihubungkan dengan titik F. Mereka (b) kapabilitas dalam berfikir tingkat tinggi me-
nampak puas dengan penjelasan tentang asal ningkat, mereka menjadi lebih kreatif, lebih kritis
tambahan luas. dalam member tanggapan, lebih fleksibel dalam
Pada akhir kegiatan pembelajaran, mahasiswa berpendapat dan menerima pendapat, serta (c)
ditantang untuk mencari satu cara lain yang tidak komunikasi antar mereka menjadi lebih intensif.
90, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Berdasarkan hasil best practice yang positif hanya di dalam matematika, tetapi juga di dalam
ini, maka direkomendasikan agar open-ended menjalani kehidupan sehari-hari. Open-ended di-
disosialisasikan dan diimpementasikan secara massif pandang sebagai “good lesson” (Becker, J.P., &
(besar-besaran) agar para guru mempunyai bekal Shimada, S. , 1997). Inprasitha, M. (2006) menyata-
dan potensi untuk sesegera memungkin membina kan bahwa pendekatan open-ended diletakkan
peserta didik mempunyai kemampuan dan ke- sebagai kerangka kerja dalam mengembangkan
cerdasan berfikir dan bekerja tingkat tinggi, tidak keprofesionalan guru matematika.

DAFTAR RUJUKAN

Al-Absi, M. 2012. The Effect Of Open-Ended Tasks Approach. Asia Pacific Education Review,
As An Assesment Tool on Fourth Grader’s 2006, Vol.7, No. 1, 51-61.
Mathematics Achievement, And Assesing Maitree, I. 2006. Open-Ended Approach and
Student’s Perspective About It. Jourdan Teacher Education. Tsukuba Journal of
Journal Of Educational Sciences Vol. 9, No. Educational Study in Mathematics, Vol. 25,
3, 345-351. 2006.
Arends, R.I. and Kitcher, A. 2010. Teaching for Miyakawa, T. 2006. A Study of “Good”
Student Learning. New York: Routledge. Mathematics Teaching in Japan. Tokyo:
Becker, J.P. and Shimada, S. 1997.The Open-Ended APEC Specialists Meeting
Approach: A New Proposal for Teaching Pehkonen, E. 1995. Using Open-Ended Problem in
Mathematics. Reston, VA: NCTM. Mathematics, Zentral Blast Fur Didaktik der
Inprasitha, M. 2006. Open-Ended Approach and Mathematik, 27(2), 67-71
Teacher Education. Tsukuba Journal of Takahashi, A. 2006. Characteristic of Japanese
Educational Study in Mathematics. Vol, 25. Mathematics Lessons. Tokyo: APEC
Kemendikbud. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan International Conference on Innovative
Nasional Republik Indonesia Nomor 16 Teaching Mathematics Through Lesson
Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Study.
Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta: Viseau, F. and Oliveira, I.B. 2012. Open-Ended
Kemendikbud. Tasks In The Promotion of Classroom
Kwon, O.N., Park, J.S., and Park, J.H. 2006. Communication in Mathematics. International
Cltivating Divergent Thingking in Journal of Elementary Education, 2012, 4(2),
Mathematics Through An Open-Ended 287-300.
Muhsetyo. Mengembangkan Masalah Sederhana Mencari Luas Bangun Datar, 91

LEVEL BERPIKIR PROBABILISTIK SISWA SMP


DALAM MENGONSTRUKSI KONSEP PELUANG
BERDASARKAN TEORI APOS

Saiful Arif 1), Subanji 2) , Makbul Muksar 3)

SMP Negeri 13 Malang 1), Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang 2,3)
Email: saifularifmat@gmail.com

Abstract: This study aims to describe the thinking process of junior high school students at the
probabilistic thinking level (LBP) in constructing the probability concept based on the APOS theory. This
study is a descriptive-qualitative research. Data were collected through a written test and depth interview.
The results showed that in constructing the probability concept, students tend to use the initial scheme
ratios or fractions. Students in pre subjective LBP, subjective, informal quantitative, and one student in
numerical LBP can construct concept well as capable of organizing actions, processes, and objects in a
new scheme on the probability concept. Students in transitional LBP and one student in numerical LBP
failed to construct a concept because it can not make sense of probability as the ratio a part of the whole.

Keywords: thinking process, constructing the probability concept, probabilistic thinking level, APOS
theory.

Slavin (2006) mengungkapkan bahwa dalam pa- Proses berpikir siswa telah banyak dikaji oleh para
radigma konstruktivisme, para ahli menge-mukakan peneliti (Subanji, 2007; Sujiati, 2011; Ngilawajan,
prinsip penting dalam pembelajaran adalah ketika 2013; Farida, 2010; Romiyati , 2010). Subanji
individu secara aktif mengonstruksikan penge- (2007) meneliti tentang proses berpikir penalaran
tahuannya. Slavin juga membahas dua teori per- kovariasional pseudo tetapi belum mengkaji
kembangan utama dalam pandangan konstruk- bagaimana proses berpikir siswa ketika mengons-
tivisme, yaitu teori perkembangan kognitif yang truksi konsep. Sujiati (2011) mengkaji proses
dicetuskan oleh Piaget dan teori perkembangan berpikir siswa dalam pemecahan masalah dengan
sosial dari Vygotsky. Perbedaan kedua teori tersebut pemberian scaffolding, tetapi masih terbatas pada
terletak pada penekanan proses konstruksi dan peran konsep geometri bangun datar. Sedangkan
individu. Piaget menekankan bahwa pengetahuan Ngilawajan (2013) memfokuskan penelitiannya pada
dan keterampilan dalam berpikir diperoleh melalui proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah
peran aktif individu dalam mengonstruksi struktur matematika ditinjau dari gaya kognitif, Farida
kognitif berdasarkan tahapan perkembangannya. (2010) lebih menekankan pada proses berpikir kritis
Vygotsky (1978) lebih melihat pada peran ling- melalui penyelesaian masalah, sedangkan Romiyati
kungan sosial sebagai pembentuk struktur kognitif (2010) meneliti tentang proses berpikir dalam
dan bahasa seseorang. mengkonstruksi bukti ditinjau dari teori pemrosesan
Konsep-konsep matematika yang sedang informasi.
dikonstruksi oleh siswa merupakan ide-ide yang Terkait dengan proses berpikir siswa dalam
belum sempurna. Gagne (dalam Suherman, dkk, mengonstruksi konsep matematika juga telah banyak
2001:30) memberi arti konsep adalah ide abstrak dikaji oleh para peneliti (Asiala, dkk, 1997;
yang memungkinkan kita dapat mengelompokkan Dubinsky dan McDonald, 2000; Maharaj, 2010;
objek ke dalam contoh dan bukan contoh. Terkait Mulyono, 2010; Suryadi, 2011). Dubinsky dan
dengan itu, (Brodie, 2010; Van de Walle, 2010) McDonald (2000) mengemukakan bahwa dalam
berpendapat bahwa dalam mengonstruksi ide-ide mengonstruksi (membangun) sebuah konsep, siswa
baru, siswa mengomunikasikan dan mengaitkan memiliki kecenderungan menggunakan actions (ak-
antara ide atau konsep yang satu dengan lainnya. si), processes (proses), dan objects (objek). Selan-
Siswa menguji ide-ide tersebut dengan berbagai jutnya ketiganya diorganisasikan dalam sebuah
strategi dan cara serta mencocokkan dengan ke- scemas (skema) untuk memecahkan masalah mate-
nyataan yang ada di luar. matika. Teori ini dikenal dengan teori Actions,
Aktivitas mental yang disebutkan di atas Processes, Objects, dan Scemas (APOS).
sangat erat kaitannya dengan proses berpikir siswa.
Empat tahap teori APOS meliputi: (1) aksi risiko dipercaya terkait erat dan dipengaruhi oleh
yaitu suatu transformasi yang merupakan reaksi dari probabilitas, misalnya dalam pasar keuangan,
stimulus yang berasal dari luar, (2) proses yaitu rencana reaksi bencana alam, kemungkinan orang
pembentukan model di dalam internal ketika siswa diet terkena penyakit jantung, kemungkinan orang
merefleksikan apa yang telah dilakukan didalam aksi meninggal dalam kecelakaan pesawat, dan (5)
tersebut, (3) ketika siswa merefleksikan penerapan probabilitas adalah hal yang menarik bagi setiap
operasi-operasi menjadi proses yang terpisah-pisah, orang dan layak untuk dipelajari.
ia menjadi sadar untuk menggabungkan proses- Masalah probabilitas (probabilistic situation)
proses tersebut dan membungkusnya menjadi suatu adalah masalah yang memuat unsur ketidakpastian
konstruk yang baru, maka proses-proses tersebut (uncertainaty). Pertentangan antara teori peluang
menjadi suatu Objek, (4) skema untuk konsep yang digunakan dengan intuisi siswa seringkali
matematika merupakan kumpulan sebuah aksi, menjadikan miskonsepsi dalam menyelesaikan
proses, objek, dan skema yang saling terkait dalam masalah peluang. Beberapa penelitian menunjukkan
kerangka pikiran individu dan digunakan untuk bahwa miskonsepsi disebabkan karena konsep
menyelesaikan masalah yang melibatkan konsep peluang yang diajarkan selama ini cenderung
tersebut. menggunakan pendekatan formal-deduktif (Jun,
Salah satu bidang kajian matematika yang 2000:13; Jun dan Pereira-Mendoza, 2002:2). Di-
sering diteliti oleh para peneliti adalah proses samping itu miskonsepsi siswa bisa terjadi karena
berpikir probabilistik. Pentingnya konsep peluang sifat subjektif siswa yang dipengaruhi oleh pers-
dalam dunia modern saat ini dijelaskan oleh pektif budaya, bahasa, keyakinan, dan pengalaman
(Borovcnik & Kapadia, 2010:42; Van de Walle sebelumnya (Amir dan Williams ,1999; Chater, dkk,
2010:456) dengan memaparkan 5 alasan kuat, yaitu: 2006; Sharma, 2012).
(1) miskonsepsi tentang probabilitas mempengaruhi Hasil observasi yang dilakukan pada siswa
seseorang dalam mengambil keputusan terhadap kelas VIII-E SMP Negeri 13 Malang menunjukkan
masalah dan situasi penting, seperti tes medis, bahwa siswa mengalami miskonsepsi dalam menen-
putusan juri, investasi, penilaian/asesmen, (2) tukan ruang sampel, dan menentukan nilai peluang
probabilitas adalah penting untuk memahami suatu kejadian acak. Salah satu bentuk miskonsepsi
prosedur penafsiran statistik, misalnya prediksi/ siswa adalah ketika dihadapakan pada masalah
ramalan cuaca (3) probabilitas menawarkan alat menentukan banyak anggota ruang sampel
untuk pemodelan dan penciptaan dalam dunia nyata, percobaan melempar satu dadu dan satu mata uang,
misalnya dalam fisika, proses rancangan pesawat siswa menjawab 8.
ruang angkasa, jalan layang, drainase, (4) konsep

Kesalahan konstruksi yang dilakukan siswa 6


merah dan 10 kelereng biru, siswa menjawab .
adalah dengan menjumlahkan 6 + 2 = 8, padahal 10
seharusnya 6 × 2 = 12. Kesalahan konstruksi yang dilakukan siswa karena
Kesalahan lain terjadi ketika siswa diberikan belum bisa memaknai peluang sebagai perbandingan
masalah menentukan peluang terambil kelereng antara banyak anggota kejadian yang diharapkan
merah dari suatu kantong yang berisi 6 kelereng muncul dan banyak anggota seluruh kejadian (ruang
sampel).

Kesalahan ini dimungkinkan karena siswa solusi siswa yang berbeda-beda dapat dipakai untuk
hanya mengerjakan soal tersebut berdasar prosedur mengetahui proses berpikir siswa dalam mengons-
atau rumus yang sudah dipelajari. truksi konsep probabilitas. Penelitian Smith, dkk ini
Upaya untuk mendalami proses berpikir mendeskripsikan tentang: (1) cara siswa meman-
probabilistik siswa telah dilakukan oleh Smith, dkk faatkan pengetahuan sebelumnya yang relevan mi-
(2007). Mereka meneliti bagaimana strategi dan salnya perbandingan, proporsi, pecahan, pecahan
representasi yang digunakan siswa dalam menjawab desimal, atau persen untuk menyelesaikan tugas, (2)
masalah peluang yang diberikan. Untuk selanjutnya beragam ide-ide, metode, cara berpikir siswa yang

92
Arif, dkk, Level Berpikir Probabilistik Siswa SMP, 93

berbeda saling terkait dalam menanggapi masalah (LBP) dan wawancara mendalam, kemudian diana-
probabiltas. lisis menggunakan indikator LBP yang dikem-
Untuk mendeskripsikan proses berpikir siswa bangkan oleh Jones, dkk (1997,1999) dan Sujadi
dalam merespon masalah probabilitas (probabilistic (2008).
thinking), Jones, dkk. (1997,1999) membagi menjadi LBP tersebut meliputi: (1) LBP pra subyektif
4 level/tingkatan dalam sebuah kerangka kerja. ditandai siswa belum mampu menggunakan
Level 1 berkaitan dengan berpikir subjektif. Level 2 kesadaran berpikir, bersifat intuitif, serta terfokus
merupakan masa transisi antara berpikir subjektif pada aspek-aspek yang tidak relevan, (2) LBP
dan kuantitatif (naive quantitative). Level 3 subyektif ditandai pemikiran siswa secara terus
berkaitan dengan berpikir kuantitatif informal. Level menerus terikat pada alasan subyektif , (3) LBP
4 menggunakan pemikiran secara numerik. Sujadi transisional ditandai siswa seringkali naif atau
(2008) merekonstruksi 4 level tersebut menjadi berubah-ubah pemikiran ketika mengkuantifikasi
menjadi 5 level dengan menambahkan satu level lagi peluang, (4) LBP kuantitatif informal ditandai siswa
yaitu level berpikir probabilistik pra subjektif. sudah dapat menggunakan strategi generatif dalam
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendaftar ruang sampel eksperimen dua tahap,
mendeskripsikan bagaimana proses berpikir siswa mampu mengkuantifikasi peluang kejadian dan
SMP pada Level Berpikir Probabilistik (LBP) dalam membandingkan peluang dua kejadian, dan (5) LBP
mengonstruksi konsep peluang berdasarkan teori numerik ditandai siswa mampu membuat hubungan
APOS. yang tepat tentang ruang sampel dan peluangnya,
serta dapat menggunakan ukuran secara numerik
METODE PENELITIAN untuk mendeskripsikan peluang suatu kejadian.
Subjek penelitian ditetapkan sebanyak 6 (enam)
Jenis penelitian ini adalah “deskriptif orang siswa berdasarkan LBP yang terdiri dari 2
kualitatif”. Penelitian ini akan mendeskripsikan orang yang mewakili LBP Numerik dan LBP
bagaimanakah proses berpikir siswa SMP pada level lainnya diwakili masing-masing 1 orang.
berpikir probabilistik dalam mengonstruksi konsep
peluang berdasarkan teori APOS. Subjek penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN
ini adalah siswa kelas VII-H SMP Negeri 13 Malang
semester ganjil tahun 2013/2014 yang belum Hasil tes tertulis terkait level berpikir pro-
mempunyai pengetahuan formal tentang konsep babilistik pada setiap Subjek dapat dirangkum
peluang. Penetapan subjek penelitian dilakukan seperti ditunjukkan pada Tabel 1.
berdasarkan hasil tes level berpikir probabilistik

Tabel 1: Hasil Tes Level Berpikir Probabilistik


Konstruksi;
Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3 Subjek 4 Subjek 5 Subjek 6
Pertanyaan
Ruang Sampel Spinner 1: Warna biru. Merah dan Biru dan Kedua warna Merah dan
Amati kedua Spinner Warna biru. Alasan: biru. Alasan: merah. merah dan Biru. Alasan:
yang diberikan!. Warna Spinner 2: Warna biru Spinner 1 Alasan: biru. Alasan: Hanya ada
apa saja yang dapat warna merah. selalu lebih banyak Spinner 1 tiga Di Spinner 1 warna merah
ditunjuk oleh jarum Alasan: memberikan warna merah, bagian merah dan 2 dan biru
ketika berhenti Karena saat kemenangan sedangkan dan 1 bagian terdapat dalam setiap
berputar? diputar Spinner 2 biru, warna merah Spinner
spinner 1 lebih banyak sedangkan dan biru
berhenti di warna biru Spinner 2 tiga
warna biru, bagian biru
dan spinner 2 dan 1 bagian
berhenti di merah
warna merah
Peluang Suatu Warna biru. Warna biru. Paling Warna merah. Warna merah. Merah.
Kejadian Acak Alasan: Alasan: warna mungkin Alasan: Alasan: 34 Alasan: 3
4
Pada Spinner 1, warna Spinner 1 saat biru walaupun warna merah. Dalam 4
apa yang paling diputar sedikit pasti Alasan: bagian hanya dari Spinner 1 dari Spinner 1
mungkin memberikan berhenti di menang Spinner 1 satu bagian berwarna berwarna
kesempatan pemain warna biru banyak warna warna biru merah merah lebih
untuk menang? merah banyak dari
1
dibanding biru 4 bagian
yang
berwarna biru
Membandingkan Spinner 1. Spinner no 1. Pada Spinner Spinner 2. Spinner 2. Spinner 2.
Peluang Alasan: Alasan: sudah 2. Alasan: Alasan: Alasan: 34 Alasan:
Jika kamu adalah urutan pasti Spinner Spinner 2 Dalam 4 Spinner 2
94, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

pemain yang bermain no 1 menang banyak warna bagian hanya dari Spinner 2 warna biru 3
4
memegang koin biru, pertama biru daripada 1 bagian berwarna biru
Spinner mana yang spinner 1 merah warna merah bagian lebih
paling mungkin banyak dari
1
memberikanmu 4 berwarna
kesempatan untuk merah
menang?

Berdasarkan hasil tes tertulis dan hasil wa- Subjek 1 (S1) memilih menggunakan per-
wancara terkait konstruksi konsep peluang, maka bandingan bagian terhadap keseluruhan. Bagian
dapat diuraikan proses berpikir siswa pada setiap yang dipilih merupakan peristiwa yang tidak terjadi
Level Berpikir Probabilistik (LBP) dalam mengons- (kelereng merah). Proses berpikir S1 dapat dirang-
truksi konsep peluang berdasarkan teori APOS kum seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
sebagai berikut:

Gambar 1. Alur berpikir S1 dalam mengonstruksi konsep peluang berdasarkan Teori APOS

Subjek 2 (S2) memilih menggunakan per- kantong. Proses berpikir S2 dapat dirangkum seperti
bandingan bagian terhadap bagian lain pada setiap ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Alur berpikir S2 dalam mengonstruksi konsep peluang berdasarkan Teori APOS

Subjek 3 (S3) memilih menggunakan per- S1 dapat dirangkum seperti ditunjukkan pada
bandingan bagian terhadap bagian. Proses berpikir Gambar 3.
Arif, dkk, Level Berpikir Probabilistik Siswa SMP, 95

Gambar 3. Alur Berpikir S3 dalam Mengkonstruksi Konsep Peluang berdasarkan Teori APOS
Catatan: garis putus-putus menunjukkan adanya kesalahan konstruksi.
Subjek 4 (S4) memilih menggunakan perban- kantong. Proses berpikir S4 dapat dirangkum seperti
dingan bagian terhadap bagian lain pada setiap ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Alur Berpikir S4 dalam Mengkonstruksi Konsep Peluang berdasarkan teori APOS

Subjek 5 (S5) memilih menggunakan perban- kantong. Proses berpikir S5 dapat dirangkum seperti
dingan bagian terhadap bagian yang lain pada setiap ditunjukkan pada Gambar 5.
96, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Gambar 5. Alur Berpikir S5 dalam Mengkonstruksi Konsep Peluang berdasarkan Teori APOS
Catatan: garis putus-putus menunjukkan ada kesalahan konstruksi

Subjek 6 (S6) memilih menggunakan perban- Proses berpikir S6 dapat dirangkum seperti ditun-
dingan bagian terhadap keseluruhan pada setiap jukkan pada Gambar 6.
kantong, menggunakan skema awal “Pecahan”.

Gambar 6. Alur Berpikir S6 dalam Mengkonstruksi Konsep Peluang berdasarkan Teori APOS

PEMBAHASAN Hal ini sejalan dengan pendapat Van de Walle


Level Berpikir Probabilistik Siswa SMP dalam (2010), yang mengemukakan bahwa meskipun pe-
Mengonstruksi Konsep Peluang Berdasarkan luang suatu peristiwa adalah rasio (perbandingan)
Teori APOS bagian terhadap keseluruhan, tetapi kemungkinan
Dalam mengonstruksi konsep peluang, ada terjadinya peristiwa bisa juga ditinjau dari rasio ba-
dua macam cara yang digunakan oleh subjek nyak cara suatu peristiwa terjadi terhadap banyak
penelitian. S1, S2, S3, S4, dan S5 menggunakan cara peristiwa itu tidak terjadi. Dengan kata lain
perbandingan, sedangkan S5 menggunakan pecahan. rasio suatu bagian terhadap bagian lain dalam ruang
Arif, dkk, Level Berpikir Probabilistik Siswa SMP, 97

sampel yang sama. Nilai peluang diukur dengan sesuai dengan pendapat Van de Walle (2010) yang
bilangan antara 0 dan 1, sehingga ada hubungan menyebut peluang sebagai rasio suatu bagian
alami antara ide-ide dalam peluang dan pecahan. terhadap keseluruhan.
Disamping itu siswa tidak langsung mem-
Level Berpikir Probabilistik Pra Subjektif Siswa bandingkan pada setiap kantong, tetapi menyatukan
SMP dalam Mengonstruksi Konsep Peluang dengan proses mengurutkan. Pada Aksi 1 mem-
Berdasarkan Teori APOS bandingkan banyak kelereng merah pada setiap
Siswa pada LBP Pra Subjektif memulai tahap kantong langsung dilanjutkan dengan mengurutkan
Aksi dengan menggunakan perbandingan bagian mulai dari yang terkecil. Kemudian pada Aksi 2
terhadap keseluruhan. Hal yang menarik adalah membandingkan total kelereng dan mengurutkannya
siswa tidak memilih bagian yang diharapkan terjadi juga mulai dari yang terkecil. Ini yang disebut siswa
(kelereng putih), tetapi memilih bagian yang melakukan interiorisasi dari Aksi ke Proses.
peristiwanya tidak terjadi (kelereng merah). Ini

Gambar 7. Hasil Pekerjaan S1 pada Masalah Kantong Kelereng terkait Aksi dan Proses

Tahap proses berikutnya siswa mengurutkan (2010) menyebut siswa ini memaknai peluang
peluang terkecil terambilnya kelereng merah dengan sebagai rasio antara banyak kejadian terjadi dan
membandingkan bagian terbanyak kelereng merah banyak kejadian tidak terjadi.
dan bagian terbanyak total kelereng. Dalam hal ini Interiorisasi terjadi ketika Aksi tersebut
siswa mengeliminasi 2 kantong (A dan C) yang diwujudkan dengan Proses 1 menetapkan kantong
memiliki peluang terbesar terambil kelereng merah. yang memiliki sedikit kelereng merah. Dilanjutkan
Proses berpikir siswa dengan mengeliminasi ini lagi Proses 2 mengurutkan peluang terbesar terambil
mirip hasil penelitian Smith, dkk (2007) yang kelereng putih dari masing-masing kantong. Pada
mengatakan bahwa untuk menemukan peluang Proses 2 ini siswa mempertimbangkan banyak
terbesar suatu kejadian siswa bisa melakukan kelereng putih pada kantong yang memiliki kelereng
eliminasi kejadian-kejadian yang memiliki peluang merah paling sedikit.
lebih kecil terlebih dahulu sehingga diperoleh sisa P : Sebenarnya yang kamu bandingkan bilangan-
kejadian yang memiliki peluang terbesar. bilang apa dalam kantong-kantong itu?
Dari sisa kantong yang ada siswa membentuk S2 : Karena kantong A memiliki banyak kelereng
Objek dengan memutuskan bahwa kantong B merah dan sedangkan kelereng putihnya
memiliki peluang terbesar terambil kelereng putih. sedikit dong.
Enkapsulasi terjadi di sini ketika siswa berhasil P : Jadi apakah kantong A memiliki peluang
merangkum proses-proses tersebut menjadi suatu terbesar terambilnya kelereng putih?
objek. Sejumlah Aksi, Proses, dan Objek tersebut S2 : Tidak
diorganisasi menjadi suatu Skema yaitu “Skema P : Coba jelaskan dengan tulisan apa yang kamu
Peluang”. pikirkan ketika mengamati kantong A!,
mengapa jawabannya tidak mungkin A?
Level Berpikir Probabilistik Subjektif Siswa S2 : (Siswa menulis)
SMP dalam Mengonstruksi Konsep Peluang
Berdasarkan Teori APOS
Siswa pada LBP Subjektif memulai tahap Aksi
dengan menggunakan perbandingan suatu bagian
terhadap bagian lain pada setiap kantong. Hal yang
menarik adalah siswa pada LBP ini juga mem-
fokuskan perhatiannya pada bagian yang tidak
diharapkan terjadi (kelereng merah). Van de Walle
98, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Enkapsulasi terjadi ketika siswa berhasil me- Level Berpikir Probabilistik Kuantitif Informal
rangkum proses-proses tersebut menjadi suatu Objek Siswa SMP dalam Mengonstruksi Konsep
yaitu kantong B yang memiliki peluang terbesar Peluang Berdasarkan Teori APOS
terambil kelereng putih. Sejumlah Aksi, Proses, dan Siswa pada LBP Kuantitatif Informal
Objek tersebut diorganisasi menjadi suatu Skema memulai tahap Aksi dengan menggunakan perban-
baru yaitu “Skema Peluang”. dingan bagian terhadap bagian lain pada setiap
kantong. Terdapat 2 tahap Aksi yang dilakukan
Level Berpikir Probabilistik Transisional Siswa siswa yaitu: (1) membandingkan banyak kelereng
SMP dalam Mengonstruksi Konsep Peluang merah dan putih, dan (2) membandingkan total
Berdasarkan Teori APOS kelereng.
Siswa pada LBP Transisional memulai tahap Kedua Aksi ini diinteriorisasi menjadi Proses
Aksi dengan menggunakan perbandingan bagian mengurutkan peluang terambil kelereng putih pada
terhadap bagian. Siswa melakukan 3 tahap Aksi setiap kantong. Hal yang menarik adalah siswa pada
yaitu: (1) membandingkan banyak kelereng putih LBP ini menggunakan Proses tambahan dengan
dari tiga kantong, (2) membandingkan banyak membayangkan melakukan pengambilan kelereng
kelereng merah dari tiga kantong, dan (3) secara bersamaan dari setiap kantong. Dienes (1971)
membandingkan totol kelereng dari tiga kantong. menyebut Proses ini sebagai representation (repre-
Aktivitas Aksi ini kemudian diinteriorisasi sentasi) konsep yang diwujudkan dalam bentuk
menjadi Proses-Proses terkait masing-masing Aksi gambar, image atau kata-kata. Proses ini ternyata
tersebut yaitu Proses mengurutkan banyak kelereng membantu siswa dalam memprediksi kantong mana
putih, banyak kelereng merah, dan total kelereng yang kelerengnya habis terlebih dahulu. Menurut
dari tiga kantong. Kesalahan konstruksi terjadi pada Stacey (2006) yang dilakukan siswa dalam proses
saat enkapsulasi dari Proses menjadi Objek. Siswa berpikir tersebut disebut menduga (conjecturing).
mengonstruksi Objek berupa kantong C memiliki
peluang terbesar terambilnya kelereng putih.
Kesalahan konstruksi ini disebabkan karena proses
berpikir siswa saat itu hanya melihat kantong C yang
memiliki banyak kelereng putih, tanpa memban-
dingkan dengan banyaknya kelereng merah atau
total kelereng pada setiap kantong.
Hasil Pekerjaan S4 pada masalah kantong
P : Jadi kelereng merahnya dibandingkan kelereng terkait Proses
dengan? Enkapsulasi terjadi ketika siswa berhasil
S3 : Kelereng merah pada kantong B, kantong C, merangkum Proses-Proses tersebut menjadi suatu
dan kantong A. Objek yaitu kantong B yang memiliki peluang terbe-
P : Setelah itu membandingkan? sar terambil kelereng putih. Sejumlah Aksi, Proses,
S3 : Kelereng putih pada kantong A, kantong B, dan Objek tersebut diorganisasi menjadi suatu
dan kantong C. skema baru yaitu “Skema Peluang”.
P : Ada lagi?
S3 : Total kelereng pada kantong A, kantong B, Level Berpikir Probabilistik Numerik Siswa SMP
dan kantong C. dalam Mengonstruksi Konsep Peluang
P : Berarti kalau diurutkan ketiga kantong yang Berdasarkan Teori APOS
mulai dari yang terbesar bisa kamu Terdapat dua temuan proses berpikir siswa
sebutkan? pada LBP Numerik dalam mengonstruksi konsep
S3 : Kantong C, kantong A, dan kantong B. peluang. Siswa pertama dapat mengonstruksi konsep
secara numerik dan memperlihatkan skema yang
Akibatnya sejumlah Aksi, Proses, dan Objek kokoh, sedangkan siswa kedua mengalami miskon-
tersebut diorganisasi menjadi suatu Skema baru juga sepsi konsep. Ini berarti siswa pada LBP Numerik
salah. Ini berarti terjadi miskonsepsi konsep peluang bisa jadi gagal dalam mengonstruksi konsep. Seperti
pada siswa pada LBP Transisional. Dalam hal ini pendapat Suryadi (2010), yang mengemukakan bah-
menurut Van de Walle (2010) siswa belum bisa wa seseorang yang memiliki pemahaman lebih men-
memaknai peluang sebagai rasio suatu bagian dalam tentang suatu konsep, mungkin akan me-
terhadap bagian lain, atau rasio bagian terhadap lakukan aksi yang lebih baik atau bisa juga terjadi
keseluruhan. Dilihat dari proses berpikirnya miskon- bahwa fokus perhatiannya keluar dari konsep yang
sepsi siswa ini terjadi karena adanya kesalahan diberikan sehingga aksi yang diharapkan tidak ter-
dalam menggeneralisasikan (generalising) informa- jadi.
si-informasi yang sudah diperoleh (Stacey, 2006).
Arif, dkk, Level Berpikir Probabilistik Siswa SMP, 99

Siswa pada LBP Numerik (S6) memulai Sejumlah Proses-Proses tersebut kemudian
tahap Aksi dengan menggunakan perbandingan dienkapsulasi (dirangkum) menjadi sebuah Objek
bagian terhadap keseluruhan pada setiap kantong. yaitu kantong B memiliki peluang terbesar terambil
Dalam membandingkan siswa ini menggunakan kelereng putih. Sejumlah Aksi, Proses, dan Objek
skema awal “Pecahan”. Interiorisasi terjadi ketika tersebut diorganisasi menjadi suatu Skema baru yaitu
siswa merespon Aksi dengan serangkaian Proses- “Skema Peluang”.
Proses yaitu: (1) menyederhanakan pecahan, (2) Proses berpikir siswa menggunakan pecahan
membandingkan pecahan-pecahan yang dihasilkan, dalam menanggapi masalah peluang juga ditemukan
(3) membandingkan banyak kelereng merah sebagai oleh Smith, dkk (2007) dalam penelitiannya.
faktor penentu peristiwa tidak terjadi. Menurut Pertama-tama siswa menentukan pecahan masing-
Stacey (2006), proses ini bertujuan untuk masing kantong kemudian mengurutkan pecahan-
meyakinkan (convincing), dan (4) mengurutkan pecahan tersebut dan menetapkan pecahan mana
peluang terambil kelereng putih dari masing-masing yang terbesar . Pecahan terbesar ini tidak lain
kantong. merupakan peluang terbesar dari kejadian yang
diminta.
P : Dengan menggunakan konsep pecahan Siswa pada LBP Numerik (S5) memulai tahap
dapatkah kamu menuliskan apa yang Aksi dengan menggunakan perbandingan bagian
diketahui pada setiap kantong? terhadap bagian yang lain pada setiap kantong.
S6 : Kantong A kelereng berwarna merah 15/20 Interiorisasi terjadi ketika siswa merespon Aksi
sama dengan 3/4 bagian. Kelereng warna dengan searangkaian Proses-Proses yaitu: (1)
putih 5/20 sama dengan ¼ bagian. Kantong menyederhanakan perbandingan kelereng merah dan
B kelereng warna merah 8/15 sama dengan putih , (2) menentukan selisih bilangan-bilangan
2/3 bagian. Kelereng putih 4/12 sama perbandingan yang dihasilkan, (3) merepresen-
dengan 1/3 bagian. Kantong C merah 24/30 tasikan perbandingan dengan gambar, dan (4)
sama dengan 4/5 bagian. Putih 6/30 sama mengurutkan peluang terambil kelereng putih dari
dengan 1/5 bagian. masing-masing kantong.

Hasil Pekerjaan S5 pada masalah kantong salah. Ini berarti terjadi miskonsepsi konsep peluang
kelereng terkait Proses selisih pada siswa kedua pada LBP Numerik (S5)..
Kesalahan konstruksi mulai terjadi pada
bagian proses menentukan selisih bilangan-bilangan SIMPULAN
perbandingan. Pada kasus masalah peluang yang
diberikan seolah-olah konstruksi siswa sudah benar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam
Akan tetapi ketika diberikan masalah peluang lagi mengonstruksi konsep peluang berdasarkan teori
yang memiliki selisih sama diperlihatkan bahwa APOS, proses berpikir siswa pada LBP cenderung
konstruksi yang dibuat siswa salah. Jadi penggunaan menggunakan skema awal yaitu: (1) rasio
proses selisih dalam mengonstruksi bersifat kasu- /perbandingan, atau (2) pecahan. Terkait cara mem-
alistik. Smith, dkk (2007) dan Van de Walle (2010) bandingkan ada dua kecenderungan yang digunakan
mengungkapkan bahwa menetapkan peluang ter- siswa yaitu: (1) membandingkan suatu bagian de-
besar dengan melihat selisih terkecil antara dua ngan bagian yang lain dalam suatu ruang sampel,
kuantitas yang dibandingkan adalah tidak benar. dan (2) membandingkan bagian dengan keseluruhan
Dalam merangkum (enkapsulasi) sejumlah (ruang sampel). Siswa pada LBP pra subjektif,
Proses menjadi Objek tidak serta merta langsung subjektif, kuantitatif informal, dan satu orang siswa
terjadi. Siswa juga mengaitkan Proses selisih dan pada LBP numerik dapat mengonstruksi konsep
representasi gambar dengan Aksi lain yaitu dengan baik karena: (1) dapat melakukan aksi dan
mengamati total kelereng. Kesalahan konstruksi itu proses untuk membangun objek, (2) mampu
mengakibatkan sejumlah Aksi, proses, dan objek menginterkoneksikan aksi dan proses untuk mem-
yang diorganisasi menjadi suatu Skema baru juga bangun objek (3) mampu mengaitkan skema awal
100, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

yang dimiliki dengan objek yang baru saja dibangun, proses berpikir siswa ini masih terbatas, untuk itu
dan (4) mampu mengorganisasikan aksi, proses, dan perlu adanya penelitian yang lebih mendalam dan
objek dalam suatu skema baru tentang konsep banyak lagi terhadap objek-objek matematika lain
peluang. Meskipun demikian ada dua siswa yang berdasarkan teori APOS, (2) dalam pembelajaran
gagal dalam mengonstruksi konsep yaitu: (1) siswa peluang guru perlu mempertimbangkan level ber-
pada LBP transisional gagal mengonstruksi konsep pikir probabilistik siswa sebagai dasar untuk mem-
karena belum bisa memaknai peluang sebagai perbaiki miskonsepsi peluang, (3) sebelum pembe-
perbandingan bagian terhadap keseluruhan, dan (2) lajaran konsep peluang, guru perlu memastikan kon-
siswa pada LBP numerik gagal mengonstruksi sep awal yang terkait yaitu, rasio (perbandingan),
konsep karena mengalami miskonsepsi dalam mem- pecahan, proporsi, dan penalaran pro-porsional
bandingkan peluang dengan menggunakan proses sudah dikuasai oleh siswa dengan baik, dan (4) perlu
selisih. adanya scaffolding dalam pembelajaran peluang,
Berdasarkan hasil penelitian ini maka peneliti sehingga dapat membantu siswa memahami konsep
menyampaikan saran sebagai berikut: (1) penelitian peluang secara lebih baik.

DAFTAR RUJUKAN

Amir, G. S., dan Williams, J. S. 1999. Cultural Jones, G. A. dan Tarr, J. E., 1997. A framework for
Influences on Children’s Probabilistik assessing middle school students’ thinking in
Thinking. The Journal of Mathematical conditional probability and independence.
Behavior, 18(1), 85-107. (Online) Mathematics Education Research Journal,
(http://www.bsrlm.org.uk/IPs/ip13- 9(1): 39-59.
3/BSRLM-IP-13-3-8.pdf., diakses pada 13 Jones, G. A., Langrall, C. W., Thornton, C. A., &
Januari 2014). Mogill, A. T. 1999. Students’ probabilistic
Asiala, M, dkk. 1996. A framework for research and thinking in instruction. Journal for Research
curriculum development in undergraduate in Mathematics Education, 487-519.
mathematics education. Research in collegiate Jun, L. 2000. Chinese students’ understanding of
mathematics education, 2(3), 1-32. probability. Disertasi diterbitkan. Nanyang:
Borovcnik, M., dan Kapadia, R. 2010. Research and School of Science Nanyang Technological
developments in probability education University.
internationally. In Proceedings of the British Jun, L., dan Pereira-Mendoza, L. 2002.
Congress for Mathematics Education (41-48). Misconceptions in probability. Dalam
Brodie, K. 2010. Teaching Mathematical Reasoning Proceedings of the sixth international
in Secondary School Classrooms .New York: conference on teaching statistics, Developing
Springer, London : Dordrecht Heidelberg. a statistically literate society. Vol. 20: 2007.
Chater, N., Tenenbaum, J. B., & Yuille, A. 2006. Maharaj, A. 2010. An APOS Analysis of Students'
Probabilistic models of cognition: Conceptual Understanding of the Concept of a Limit of a
foundations. Trends in cognitive sciences, Function. Pythagoras, (71), 41-52.
10(7): 287-291. Mulyono. 2010. Proses Berpikir Mahasiswa dalam
Dienes, Z. P. 1971. Building Up Mathematics Mengkontruksi Konsep Matematika.
(Fourth Ed). London: Hutchinson Educational Prosiding Seminar Nasional Sains dan
Ltd. Teknologi (hal. 1-8). Semarang: Fakultas
Dubinsky, E., dan Mcdonald, M. A. 2000. APOS: A Teknik Universitas Wahid Hasyim
constructivist theory of learning in Ngilawajan, D.A. 2013. Proses Berpikir Siswa SMA
undergraduate mathematics education dalam Memecahkan Masalah Matematika
research. The teaching and learning of Materi Turunan Ditinjau Dari Gaya Kognitif
mathematics at university level: An ICMI Field Independent dan Field Dependent.
study: 275-282. Jurnal Pedagogia, Vol. 2 (1), Februari 2013:
Farida, N. 2010. Proses Berpikir Kritis Mahasiswa 71-83
melalui Perkuliahan Penyelesaian Masalah Graham A. Jones (Ed.), Exploring probability in
Program Linear. Tesis tidak diterbitkan. school: Challenges for teaching and learning
Malang: Program Pascasarjana UM. (hal. 182—201). Netherlands: Kluwer
Hudojo, H. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Academic Publishers.
Pembelajaran Matematika. Malang: Romiyati, A. 2010. Proses Berpikir Mahasiswa
Universitas Negeri Malang. dalam Mengkonstruksi Bukti dengan Induksi
Matematika di IAIN Mataram ditinjau dari
Arif, dkk, Level Berpikir Probabilistik Siswa SMP, 101

Teori Pemrosesan Informasi. Tesis, Tesis Suherman, H. E, dkk. 2001. Strategi Pembelajaran
tidak diterbitkan. Malang: Program Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-
Pascasarjana UM. UPI.
Sharma, S. 2012. Cultural Influences in Probabilistic Sujadi, I. 2008. Rekonstruksi Tingkat-Tingkat
Thinking. Journal of Mathematics Research, Berpikir Probabilistik Siswa Sekolah
4(5): 63. Menengah Pertama. Prosiding Seminar
Slavin, R.E. 2006. Educational Psycology Theory Nasional Matematika Dan Pendidikan
and Practice (Eight Edition). Boston: Allin Matematika, 187-208 (Online)
and Bacon. (http://eprints.uny.ac.id/id/eprint/6925 ,
Smith, M. S., Bill, V., & Hughes, E. K. 2007. diakses 30 Desember 2012)
Thinking Through a Lesson: Successfully Sujiati, Anik. 2011. Proses Berpikir Siswa dalam
Implementing High-Level Tasks. Pemecahan Masalah dengan Pemberian
Mathematics Teaching in the Middle School, Scaffolding. Tesis tidak diterbitkan. Malang:
14(3): 132-138. Program Pascasarjana UM.
Stacey, K. 2006. What is Mathematical Thinking Suryadi, Didi. 2011. Membangun Budaya Baru
and Why is it Important. Progress report of dalam Berpikir Matematika. Bandung: UPI.
the APEC project: Collaborative Studies on Vygotsky, L.S. 1978, Mind in Society: The
Innovations for Teaching and Learning Developmental of Higher Psychological
Mathematics in Different Cultures (II)–Lesson Processes, Editor Michael Cole, Vera John-
Study focusing on Mathematical Thinking. Steiner, Silvia. London: Harvard University
1(1): 39. Press.
Subanji, 2007. Proses Berpikir Penalaran Van de Walle, dkk. 2010. Elementary and Middle
Kovariasional Pseudo Dalam Mengkonstruksi School Mathematics: Teaching
Grafik Kejadian Dinamikan Berkebalikan. Developmentally (7th ed). Boston: Pearson
Disertasi tidak dipublikasikan, Surabaya: Education, Inc.
Program Pascasarjana UNESA.
102, JURNAL PEMBELAJARAN MATEMATIKA TAHUN III, Nomor 1, Januari 2016

Petunjuk Bagi Penulis

1. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia, belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain, diketik
dengan spasi rangkap pada kertas A4, panjang 10 – 20 halaman dan diserahkan paling lambat 2 bulan
sebelum penerbitan dalam bentuk ketikan di atas kertas A4 sebanyak 2 eksemplar dan pada file, diketik
dengan menggunakan pengolah kata MS Word. Naskah yang masuk dievaluasi oleh Penyunting Ahli
atau Pakar.
2. Artikel yang dimuat dalam artikel ini meliputi tulisan tentang pembelajaran matematika baik SD, SMP,
SMA, maupun perguruan tinggi dalam bentuk: • temuan penelitian • pembelajaran matematika •
pengalaman pratis • kajian kepustakaan • gagasan konseptual • klinik matematika atau • rekreasi
matematika.
3. Semua karangan ditulis dalam bentuk esai, disertai judul sub bab (heading) masing-masing bagian,
kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa judul sub bab. Peringkat judul sub bab dinyatakan
dengan jenis huruf yang berbeda (semua huruf dicetak tebal/bold, jika diketik dengan komputer), cetak
miring, dan letaknya pada tepi kiri halaman, dan bukan dengan angka, sebagai berikut.
PERINGKAT 1 (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI)
Peringkat 2 (Huruf Besar-Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri)
Peringkat 3 (Huruf Besar-Kecil, Tebal-Miring, Rata Tepi Kiri)
4. Sistematika artikel hasil telaah adalah: judul, nama penulis (tanpa gelar akademik), abstrak (maksimum
200 kata), kata kunci, pendahuluan (tanpa judul sub bab) yang berisi latar belakang dan tujuan atau
ruang lingkup tulisan, bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub bagian), penutup atau
simpulan, dan daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).
5. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul, nama penulis (tanpa gelar akademik), abstrak
(maksimum 200 kata), kata kunci, pendahuluan (tanpa judul sub bab) yang berisi latar belakang, sedikit
tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian, metode penelitian, hasil dan pembahasan, simpulan dan saran,
dan daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk).
6. Daftar rujukan disajikan mengikuti tatacara seperti contoh berikut dan diurutkan secara alfabetis dan
kronologis.
Sutawidjaja, A. 2005. Matematika, XI (2) hal. 137 – 150. Malang: Jurusan Matematika FMIPA UM.
Kahfi, M.S. 1991. Geometri Transformasi 1. Malang: Proyek OPF IKIP MALANG. 1991.
7. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang
diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi)
atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah.
8. Contoh naskah cetak dibaca oleh penulis.
9. Tatacara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan
Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, dan Laporan Penelitian (Universitas Negeri
Malang, 2010). Naskah diketik dengan memperhatikan aturan tentang penggunaan tanda baca dan ejaan
yang dimuat dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (Depdikbud, 1987).
10. Semua naskah ditelaah secara anonim oleh mitra bestari (reviewer) yang ditunjuk oleh penyunting
menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan (revisi)
naskah atas dasar rekomendasi/saran dari mitra bestari atau penyunting. Kepastian pemuatan atau
penolakan naskah akan diberitahukan secara tertulis atau lewat e-mail.
11. Pemeriksaan dan penyuntingan cetak-coba dikerjakan oleh penyunting dan/atau dengan melibatkan
penulis. Artikel yang sudah dalam bentuk cetak-coba dapat dibatalkan pemuatannya oleh penyunting
jika diketahui bermasalah.
12. Segala sesuatu yang menyangkut perijinan pengutipan atau penggunaan software komputer untuk
pembuatan naskah atau ihwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel,
berikut konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggungjawab penulis artikel
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai