ISBN: 978-602-70422-0-9
Tim penyunting makalah:
1. Prof. Dr.rer.nat Widodo, M.S.
2. Sumaryanta, M. Pd.
3. Titik Sutanti, M.Ed.
4. Jakim Wiyoto, S. Si.
ii
Diterbitkan oleh:
PPPPTK Matematika
Jl. Kaliurang Km.6 Sambisari Condongcatur Depok Sleman
Daerah Istimewa Yogyakarta
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah yang telah memberikan kekuatan
sehingga prosiding SeNdiMat 2013 ini dapat diterbitkan. Prosiding ini merupakan
dokumentasi makalah yang telah dipresentasikan pada SeNdiMat 2013 yang
diselenggarakan pada tanggal 13 s.d 14 November 2014 di PPPPTK Matematika di
Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada SeNdiMat 2013 yang dibuka secara resmi oleh
Kepala BPSDMPK dan PMP, Prof. Dr. Syawal Gultom, M. Pd. ini dipresentasikan
188 judul makalah yang dalam 6 kategori makalah yaitu Evaluasi Pendidikan dan
Penilaian Pembelajaran Matematika, Inovasi Pembelajaran Matematika, Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK) dan Media dalam Pembelajaran Matematika,
Pembelajaran Matematika SD, SMP, atau SMA/SMK, Manajemen Sekolah dan
Supervisi Akademik, dan Matematika untuk Pendidik (Mathematics for Educator).
Selain itu dipresentasikan juga makalah dari para keynote speaker dan invited
speaker berikut ini.
Setelah melalui proses review dan revisi oleh pemakalah, dari 188 makalah yang
dipresentasikan terpilih 87 judul makalah yang diterbitkan dalam prosiding ini.
Semoga prosiding ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu matematika secara umum dan
lebih khusus kemajuan pendidikan matematika di Indonesia. Akhir kata kami
ucapkan terimakasih dan penghargaan kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi
terhadap terbitnya prosiding ini.
Yogyakarta, April 2014
v
Ucapan Terimakasih
DAFTAR ISI
Proses Berpikir Siswa SMK dalam Memecahkan Masalah Matematika Ditinjau dari
Kecerdasan Ganda
Oleh: Anton Sujarwo (SMK Negeri 5 Surabaya) 30-42
Peningkatan Hasil Belajar Matematika Materi Limit Fungsi melalui Metode Mind
Mapping pada Siswa Kelas XI IPS.3 SMA 1 Sragi Semester 2 Tahun 2012/2013
Oleh: Apriyanti Arifin (SMA 1 Sragi) 43-55
Implementasi Kriteria Persentil (P90, P95 Dan P99) untuk Analisis Kondisi Ekstrem di
Daerah Berpola Curah Hujan Monsunal dan Lokal di Indonesia
Oleh: Arief Suryantoro (Bidang Pemodelan Atmosfer, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-
LAPAN) 67-75
Penggunaan Media Jejaring Sosial dan Dampaknya: Studi Kasus di SMK Negeri 1
Kendal
Oleh: Arif Ediyanto (SMK 1 Kendal) 76-84
Bus Micruled (Budaya Sekolah melalui Constructivist Learning Design) dengan Point+
(Penugasan, Observasi, Interview, Note, Presentasi, Plus Penghargaan) sebagai Upaya
Meningkatkan Aktivitas dan Kemampuan Kreatif Matematis pada Materi Hitung
Keuangan Siswa Kelas XII PS SMK Negeri 1 Kendal
Oleh: Arif Ediyanto (SMK 1 Kendal) 85-94
vii
Penerapan Metode Think Pair Share (TPS) untuk Meningkatkan Keaktifan Siswa
dalam Menyelesaikan Masalah Statistika Siswa Kelas XII TKJ 1 di SMK Negeri 1
Klaten Tahun Ajaran 2013/2014
Oleh: Darno (SMK Negeri 1 Klaten) 114-120
Diklat Online: Salah Satu Upaya PPPPTK Matematika Meningkatkan PKB Guru
Oleh: Diana, S.Pd (SMP Negeri 1 Pampangan) 121-128
Telaah Bahan Ajar Matematika Kurikulum 2013 terhadap Literasi Matematika Siswa
SMP (Studi Kasus Implementasi Kurikulum 2013 Di SMPN 8 Tangerang)
Oleh: Fadiloes Bahar, S.Pd (SMP N 8 Tangerang) 205-215
Pramuka sebagai Salah Satu Pendekatan Tematik Intregatif dalam Kurikulum 2013
Oleh: Ratu Yuliana (Universitas Sriwijaya,Palembang, Sumatera Selatan) 472-481
Pemakaian Alat Peraga Garis Bilangan untuk Operasi Penjumlahan dan Inversnya
Oleh: Prof. Dr. Rusgianto H.S., M.Pd. (Jurusan Pendidikan Matematika FMIPS UNY,
Yogyakarta) 492-504
xi
Meningkatkan Motivasi Belajar Matematika Topik Grafik Fungsi Siswa Kelas VIII G
SMP N 1 Yogyakarta dengan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams
Achievement Divisions ( STAD)
Oleh: Sri Utami (SMP N 1 Yogyakarta) 572-580
Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar Matematika pada Siswa Kelas XA SMA Negeri
1 Tempel Tahun Ajaran 2013/2014 dengan Menggunakan Geogebra pada Topik
Grafik Fungsi Kuadrat
Oleh: Sumiyati (SMAN 1 Tempel, Sleman) 638-647
Eksplorasi Attributive Benda Semi Konkrit untuk Meningkatkan Minat Belajar Siswa
pada Pembelajaran Operasi Hitung
Oleh: Surastri, S.Pd.Si (MIN Yogyakarta) 692-707
xiii
Analisis Komentar Guru pada Sesi Refleksi Siklus Lesson Study Menggunakan
Reflection Rubric
Oleh: Titik Sutanti (PPPPTK Matematika) 735-744
Pengembangan Media Permainan Tac Tic Toe yang Efektif dan Praktis untuk
Membantu Siswa SD Negeri Susukan 01 Menghafal Fakta Dasar Perkalian
Oleh: Warsito (SD Negeri Susukan 01 Kec. Susukan Kab.Semarang) 781-789
Diklat Jarak Jauh Online Solusi Alternatif Peningkatan Kompetensi Guru Matematika
Oleh: Wenni Meliana,S.Pd (MTS Muhammadiyah 1 Banjarmasin) 800-808
xiv
Analisis Pemikiran Matematika dan Nilai Karakter pada Permainan Ligu (Permainan
Rakyat Daerah Indragiri Hilir Propinsi Riau)
1)
Oleh: Yenita Roza Syarifah Nur Siregar2) Titi Solfitri3) (Prodi Pdd Matematika FKIP
UNRI) 851-860
Self Regulation dalam Metakognisi Siswa sebagai Alat Bantu Pendidikan Karakter
pada Matematika Sekolah
Oleh: Zahra Chairani (STKIP PGRI Banjarmasin) 878-888
1
Abstrak. Memasuki tahun ajaran baru 2013/2014, sekolah-sekolah sudah ada yang
menerapkan kurikulum baru, yaitu kurikulum 2013 sebagai pengganti kurikulum 2006
(KTSP). Penerapan kurikulum 2013 ini dikarenakan adanya berbagai tantangan yang
dihadapi selama ini, salah satunya adalah masalah pendalaman dan perluasan materi
sehingga guru matematika dituntut secara profesional untuk menyiapkan dan
melaksanakan proses pembelajaran matematika yang sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai pada kurikulum 2013. Banyak cara yang bisa dilakukan guru untuk menciptakan
pembelajaran seperti ini, salah satunya adalah dengan menggunakan Lembar Kerja
Siswa (LKS) buatan guru yang menarik dan menggunakan metode serta pendekatan
yang bervariasi. Implementasi kurikulum 2013 adalah diterapkannya pendekatan
scientific dalam pembelajaran di setiap jenjang pendidikan. Pendekatan scientific atau
lebih umum dikatakan pendekatan ilmiah adalah suatu cara untuk mendapatkan
pengetahuan dengan prosedur yang didasarkan pada suatu metode ilmiah. Pendekatan
ilmiah ini dalam pembelajaran meliputi mengamati, menanya, menalar, mencoba, dan
membentuk jejaring. Oleh karena itu, tulisan ini membahas tentang mengembangkan
Lembar Kegiatan Siswa (LKS) berbasis pendekatan scientific pada pembelajaran
matematika.
1. Pendahuluan
Memasuki tahun ajaran baru 2013/2014, sekolah-sekolah sudah ada yang menerapkan
kurikulum baru, yaitu kurikulum 2013 sebagai pengganti kurikulum 2006 (KTSP).
Kurikulum 2013 merupakan penyempurnaan kurikulum 2004 dan kurikulum 2006 (KTSP)
yang mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu
(Kemendikbud, 2013:77). Kurikulum ini diberlakukan secara berangsur-angsur pada tahun
ajaran 2013/2014. Sehingga pada awal pemberlakuan kurikulum 2013 pada saat ini, di
sekolah-sekolah ada yang masih menggunakan kurikulum 2006 dan ada sekolah yang
menggunakan kurikulum 2013. Untuk tahun ajaran 2013/2014 ini kurikulum 2013
diimplementasikan di kelas 1, IV, VII, dan X lengkap dengan dokumen kurikulum yang
sudah disiapkan pemerintah salah satunya berupa buku guru dan buku siswa.
Penerapan kurikulum 2013 ini dikarenakan adanya berbagai tantangan yang dihadapi selama
ini, salah satunya adalah masalah pendalaman dan perluasan materi (Kemendikbud,
2013:74). Hal ini dapat dilihat dari kualitas pendidikan matematika di sekolah dasar dan
menengah di Indonesia masih jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara lain di dunia.
Dari hasil PISA menunjukkan bahwa prestasi murid indonesia masih berada pada peringkat
2
bawah. Dari 65 negara yang mengikuti PISA 2009, Indonesia mendapat rangking ke 61
untuk mata pelajaran Matematika (Stacey, 2010). Fauzan menambahkan (dalam Sembiring,
2010) bahwa salah satu permasalahan terbesar yang berkait dengan matematika modern ialah
penyajian matematika sebagai produk jadi, siap pakai, abstrak, dan diajarkan secara
mekanistik: guru mendiktekan rumus dan prosedur ke siswa. Fauzan mengamati di kelas
bahwa banyak murid menggunakan prosedur tanpa memahaminya, sehingga proses
pembelajaran yang terjadi masih berpusat pada guru yang hanya berupaya memindahkan
ilmu dari guru ke siswa yang menjadikan siswa tidak aktif.
Pembelajaran matematika yang aktif, inovatif, dan menyenangkan bagi siswa merupakan hal
yang perlu dilaksanakan dalam proses pembelajaran matematika. Banyak cara yang bisa
dilakukan guru untuk menciptakan pembelajaran di atas, antara lain dengan menggunakan
Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dibuat menarik oleh guru dan menggunakan metode serta
pendekatan yang bervariasi. Sejalan dengan diawalinya penerapan kurikulum 2013, istilah
pendekatan ilmiah, atau pendekatan saintifik, atau scientific aproach menjadi bahan
pembahasan yang menarik perhatian para pendidik. Penerapan pendekatan ini menjadi
tantangan guru melalui pengembangan aktivitas siswa yaitu mengamati, menanya, menalar,
dan membentuk jejaring.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin membahas tentang “Lembar Kerja Siswa
(LKS) berbasis Pendekatan Scientific”.
3
LKS merupakan stimulus atau bimbingan guru dalam pembelajran yang akan disajikan
secara tertulis sehingga dalam penulisannya perlu memperhatikan beberapa kriteria sebagai
salah satu cara untuk menarik perhatian siswa. Indrianto (dalam Aryani, 2009) mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan Lembar Kerja Siswa (LKS) adalah lembar kegiatan siswa
yang berisi pedoman bagi siswa untuk melakukan kegiatan yang mencerminkan
keterampilan proses, agar siswa memperoleh pengetahuan atau keterampilan yang perlu
dikuasainya.
Tujuan penggunaan LKS sebagai bahan ajar dalam proses belajar mengajar adalah sebagai
berikut.
a. Memberi pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang perlu dimiliki oleh peserta didik.
b. Mengecek tingkat pemahaman peserta didik terhadap materi yang telah disajikan.
c. Mengembangkan dan menerapkan materi pelajaran yang sulit disampaikan secara lisan.
Adapun manfaat yang diperoleh dengan penggunaan LKS sebagai bahan ajar adalah sebagai
berikut.
a. Mengaktifkan peserta didik dalam proses pembelajaran.
b. Membantu peserta didik dalam mengembangkan konsep.
c. Melatih peserta didik dalam menemukan dan mengembangkan keterampilam proses.
d. Sebagai pedoman guru dan peserta didik dalam mengembangkan keterampilan proses.
e. Membantu peserta didik memperoleh catatan tentang materi yang dipelajari melalui
kegiatan belajar.
f. Membantu peserta didik untuk menambah informasi tentang konsep yang dipelajari
melalui kegiatan belajar secara sistematis (Suyitno dalam Nopiyanti, 2010).
4
Dalam menyiapkan LKS dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut (Abadi,
Hartono, Junaedi, 2005 dalam Rakhmawati, 2006:26).
a. Analisis kurikulum
Analisis kurikulum dimaksudkan untuk menentukan materi-materi mana yang memerlukan
bahan ajar LKS. Materi dianalisis dengan cara melihat materi pokok dan pengalaman
belajar dari materi yang akan diajarkan, kemudian kompetensi yang harus dimiliki oleh
siswa.
d. Penulisan LKS
Penulisan LKS dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagi berikut.
dan jurnal hasil penelitian. Agar pemahaman siswa terhadap materi lebih kuat, maka
dapat saja dalam LKS ditunjukkan referensi yang digunakan agar siswa membaca lebih
jauh tentang materi itu. Tugas-tugas harus ditulis secara jelas guna mengurangi
pertanyaan dari siswa tentang hal-hal yang seharusnya dapat dilakukan siswa, misalnya
tentang tugas diskusi.
4. Struktur LKS
3. Pendekatan Scientific
Pada kurikulum 2013 ditekankan dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu
menggunakan pendekatan ilmiah (scientific appoach). Pendekatan scientific/ilmiah
merupakan suatu cara atau mekanisme untuk mendapatkan pengetahuan dengan prosedur
yang didasarkan pada suatu metode ilmiah. Ada juga yang mengartikan pendekatan ilmiah
sebagai mekanisme untuk memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada struktur logis.
Pendekatan ilmiah diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap,
keterampilan, dan pengetahuan peserta didik (Kemendikbud, 2013).
6
Pembelajaran dengan pendekatan ilmiah itu lebih efektif hasilnya dibandingkan dengan
pembelajaran tradisional. Hasil penelitian membuktikan bahwa pada pembelajaran
tradisional, retensi informasi dari guru sebesar 10 persen setelah lima belas menit dan
perolehan pemahaman kontekstual sebesar 25 persen. Pada pembelajaran dengan pendekatan
ilmiah, retensi informasi dari guru sebesar lebih dari 90 persen setelah dua hari dan
perolehan pemahaman kontekstual sebesar 50-70 persen (Kemendikbud, 2013).
Proses pembelajaran disebut ilmiah jika memenuhi kriteria seperti berikut ini (Kemendikbud,
2013).
1. Substansi atau materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat
dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-kira, khayalan,
legenda, atau dongeng semata.
2. Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-peserta didik terbebas
dari prasangka yang serta-merta, pemikiran subjektif, atau penalaran yang menyimpang
dari alur berpikir logis.
3. Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis, analistis, dan tepat
dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan masalah, dan mengaplikasikan
substansi atau materi pembelajaran.
4. Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotetik dalam melihat
perbedaan, kesamaan, dan tautan satu sama lain dari substansi atau materi pembelajaran.
5. Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami, menerapkan, dan
mengembangkan pola berpikir yang rasional dan objektif dalam merespon substansi atau
materi pembelajaran.
6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun menarik sistem
penyajiannya.
Pada jenjang SMP dan SMA atau yang sederajat proses pembelajaran pada kurikulum 2013
dilaksanakan menggunakan pendekatan ilmiah. Proses pembelajaran menyentuh tiga ranah,
yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam
pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah,
menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta untuk semua mata pelajaran. Dalam kenyataanya
karakter keilmuan dari setiap materi pelajaran tidak sama. Oleh karena itu pendekatan ilmiah
dalam pelajaran tertentu tidak sama persis dengan pelajaran tertentu lainnya. Dalam
pelajaran matematika, maka langkah-langkahnya dalam pendekatan ilmiah sebagai berikut:
Petunjuk :
Keliling Lingkaran = xd
Luas Lingkaran = x r2
1. Sebuah logo merk semen berbentuk lingkaran seperti gambar 1., buktikan bahwa luas
daerah yang bertuliskan “Padang Cement Indonesia” adalah (2x + 1) cm. Jika jari-jari
lingkaran putih = x cm dan jarak lingkaran yang bertuliskan “Padang Cement
Indonesia” ke lingkaran berwarna putih = 1 cm.
8
Gambar 1
BUKTI:
1. r lingkaran putih = x cm
Jarak lingkaran yang bertuliskan “Padang Cement Indonesia” ke lingkaran
berwarna putih = 1 cm, maka r logo = ………… = ………
(Karena …………………………………………………………………...)
2. Luas lingkaran yang bertuliskan “Padang Cement Indonesia”
= Luas logo – luas ….. (Karena …………….)
= ……. - ……
= …….
Jadi, Luas lingkaran yang bertuliskan “Padang Cement Indonesia”
Adalah…..
Gambar 2
a. Tentukan keliling roda tersebut!
b. Berapa banyak lintasan yang ditempuh jika roda berputar sebanyak 100 kali!
Jawab:
3. Hitunglah selisih keliling bibir sumur bagian luar dan dalam berikut jika di ketahui jari-
jari bibir sumur bagian luar 70 cm dan jari-jari bibir bagian dalam ¾ dari bibir bagian
luar!
9
Bukti :
Gambar 3
4. Tunjukkan bahwa panjang tali yang digunakan untuk mengikat 3 buah lingkaran berikut
adalah 3d + d!
Jawab:
Gambar 4
5. Kesimpulan
Lembar Kerja Siswa (LKS)/ Student Worksheet adalah lembaran-lembaran berisi tugas yang
harus dikerjakan oleh peserta didik. Pendekatan scientific/ilmiah merupakan suatu cara atau
mekanisme untuk mendapatkan pengetahuan dengan prosedur yang didasarkan pada suatu
metode ilmiah. Ada juga yang mengartikan pendekatan ilmiah sebagai mekanisme untuk
memperoleh pengetahuan yang didasarkan pada struktur logis. Pendekatan ilmiah (scientific
approach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya,
mencoba, mengolah, menyajikan, menyimpulkan, dan mencipta untuk semua mata pelajaran.
Daftar Pustaka
Aryani, Farida. 2009. Pengembangan LKS untuk Metode Penemuan Terbimbing pada Pembelajaran
Matematika Kelas VII di SMP Negeri 18 Palembang. Tesis. Palembang: program Pascasarjana
Universitas Sriwijaya
Depdiknas. 2008. Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta : Dirjen, didasmen, Direktorat Pembinaan
SMA
Kemendikbud. 2013. Konsep Pendekatan Scientific. Jakarta: Kemendikbud
Kemendikbud. 2013. Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta : Kemendikbud
Misdalina. 2009. Pengembangan Materi Integral Untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)
Menggunakan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) di Palembang.
JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA, VOLUME 3, NO. 1, JANUARI 2009
10
Nopiyanti. 2010. Pengembangan Lembar Kegiatan Siswa Berbasis Argumen untuk Melatih Siswa
Menyelesaikan Soal-soal Pembuktian Pada Mata Pelajaran Matematika di SMP Xaverius 1
Palembang. Tesis. Palembang: Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya
Sembiring, R. K. 2010. Pendidikan Matematika Realistik Perkembangan dan Tantangannya. Journal
on Mathematics Education (IndoMS-JME). July, 2010, Volume 1. http://jimsb.org/?page_id=152.
Diakses pada tanggal 04 Juni 2013
Stacey, Kaye. (2010). The PISA View of Mathematical Literacy in Indonesia. Journal on
Mathematics Education (IndoMS-JME). July, 2011, Volume 2. http://jimsb.org/?page_id=152.
Diakses pada tanggal 04 Juni 2013
11
Ambar Nurhayati
SMKN 3 Klaten, Jl. Merbabu No.11, Klaten; ambarudin_69@yahoo.com
Abstrak. Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar
matematika siswa kelas XI Perhotelan 1 SMK Negeri 3 Klaten tahun ajaran 2013/2014
melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) dengan
pendekatan Scientific. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas yang terdiri
dari dua siklus di mana setiap siklus meliputi perencanaan, implementasi tindakan,
observasi/monitoring, dan refleksi. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi lembar observasi pelaksanaan pembelajaran, lembar observasi keaktifan siswa
dalam belajar matematika, soal tes akhir siklus, catatan lapangan, dan dokumen
pembelajaran. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi
pelaksanaan pembelajaran, pemberian observasi keaktifan siswa dalam belajar
matematika, tes akhir siklus, penyusunan catatan lapangan, dan dokumentasi
pembelajaran. Berdasarkan hasil observasi keaktifan siswa dalam belajar matematika,
diketahui bahwa siklus I mencapai rata-rata 2,80 dan siklus II mencapai rata-rata 3,77
sehingga dari 36 siswa mengalami peningkatan keaktifan dalam belajar matematika
sebesar 34,64 % dari siklus I ke siklus II. Dari hasil pengamatan siklus I ke siklus II,
keaktifan siswa dalam belajar matematika mengalami kenaikan, maka penelitian kami
anggap cukup sampai siklus II. Meningkatnya keaktifan siswa dalam belajar
matematika diiringi oleh meningkatnya prestasi dalam belajar. Hasil tes akhir siklus
menunjukkan bahwa rata-rata hasil ulangan siswa pada siklus I adalah 7,35 dan siklus II
adalah 8,25 sehingga mengalami kenaikan sebesar 12,25%.
1. Pendahuluan
Dalam melaksanakan pembelajaran matematika seringkali terjadi siswa kurang aktif, kurang
berpartisipasi, tidak punya inisiatif dan kontribusi baik secara intelektual maupun secara
emosional. Guru, secara sadar atau tidak sadar, sering menerapkan pembelajaran yang hanya
berpusat pada guru. Di SMK Negeri 3 Klaten, guru matematika sudah menerapkan metode
diskusi kelompok yang tujuannya agar setiap siswa berperan aktif dalam pembelajaran.
Namun kenyataannya saat berdiskusi masih terdapat siswa yang hanya diam dan kurang
berpartisipasi. Beberapa siswa hanya sebagai pendengar dan pencatat sehingga apabila
12
ditanya tentang hasil diskusi, siswa tersebut tidak mengerti. Hal ini mengakibatkan prestasi
belajar matematika rendah. Hanya beberapa siswa yang mendapatkan nilai tinggi, tetapi
lebih banyak siswa yang mendapatkan nilai rendah.
Kondisi ini menantang guru untuk mencari alternatif pemecahannya. Alternatif yang bisa
diambil antara lain dengan mencari model pembelajaran dan pendekatan yang dapat
menempatkan siswa sebagai subjek didik. Pembelajaran yang dapat membuat setiap siswa
aktif, kreatif, sehingga diharapkan siswa mampu menguasai kompetensi dasar matematika
secara maksimal. Dalam rangka mencari model pembelajaran yang cocok untuk
mengaktifkan siswa tersebut maka penulis mencoba untuk menerapkan salah satu model
pembelajaran kooperatif yaitu model pembelajaran tipe Numbered Heads Together (NHT)
dan menerapkan pembelajaran dengan pendekatan scientific yang melibatkan siswa untuk
mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan.
Dengan ini diharapkan siswa lebih memahami konsep yang dipelajari karena siswa terlibat
langsung dalam menemukan konsep.
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana
penerapan pendekatan Scientific dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat
meningkatkan keaktifan siswa untuk memecahkan masalah matematika pada siswa kelas XI
Perhotelan SMKN 3 Klaten.
2. Kajian Pustaka
2.1 Aktivitas
Menurut Wina Sanjaya (2006:136), aktivitas adalah kegiatan yang dilakukan seseorang.
Keaktifan merupakan perubahan dari tidak melakukan apa-apa menjadi melakukan sesuatu.
Bentuk keaktifan diwujudkan dalam bentuk kegiatan: mendengarkan, berdiskusi,
memproduksi sesuatu, menyusun laporan, memecahkan masalah dan lain sebagainya.
Pembelajaran kooperatif menurut Richard I Arend yang dirangkum oleh Muslimin Ibrahim
dkk (2000: 6) mempunyai ciri-ciri: (1) Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif
untuk menuntaskan materi belajarnya, (2) Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki
kemampuan tinggi, sedang dan rendah, (3) Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal
dari ras, budaya, suku, dan jenis kelamin yang berbeda-beda, (4) Penghargaan lebih
berorientasi pada kelompok ketimbang individu.
Menurut Slavin (1996: 135) ada tiga karakteristik dalam pembelajaran kooperatif yaitu: (1)
Siswa bekerja dalam kelompok belajar yang kecil (4 – 6 anggota), (2) Siswa didorong untuk
saling membantu dalam mempelajari bahan yang bersifat akademik dalam melakukan tugas-
tugas kelompok, (3) Siswa diberi penghargaan atas prestasi kelompok.
Kelebihan pembelajaran kooperatif metode Numbered Heads Together menurut Hill & Hill
(dalam Arief, 2004: 28), antara lain: (1) meningkatkan prestasi siswa, (2) memperdalam
pemahaman siswa, (3) menyenangkan siswa dalam belajar, (4) mengembangkan sikap positif
siswa, (5) mengembangkan sikap kepemimpinan siswa, (6) mengembangkan rasa percaya
diri siswa, dan (7) mengembangkan rasa saling memiliki, (8) mengembangkan keterampilan
untuk masa depan
menerapkan, dan mengembangkan pola pikir yang rasional dan objektif dalam merespon
substansi atau materi pembelajaran; (6) Berbasis pada konsep, teori dan fakta empiris yang
dapat dipertanggungjawabkan; (7) Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana, jelas
dan menarik sistem penyajiannya.
Dalam lampiran IV Permendikbud RI nomor 81A tahun 2013 disebutkan bahwa langkah-
langkah proses pembelajaran terdiri atas lima pengalaman belajar pokok yaitu:
(1) mengamati, (2) menanya, (3) mengumpulkan informasi, (4) mengasosiasi,
(5) mengkomunikasikan.
Dengan pendekatan scientific, siswa diberi permasalahan autentik dan menantang sehingga
menimbulkan rasa ingin tahu dan mendorong siswa untuk secara bersama-sama mencari
pemecahannya. Barisan dan deret merupakan materi yang bisa disajikan dalam permasalahan
autentik dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Metode
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas XI Perhotelan SMK Negeri 3 Klaten pada semester
gasal tahun ajaran 2013/2014 yang terdiri dari 36 siswa. Sedangkan obyek penelitian adalah
keaktifan siswa dan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan
pendekatan scientific dalam pembelajaran matematika.
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Instrumen
pembelajaran berupa rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), skenario pembelajaran,
media pembelajaran, dan soal-soal, (2) lembar observasi aktivitas siswa dan guru dalam
pembelajaran metematika dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan
pendekatan scientific.. Selama kegiatan tindakan dilaksananan sekaligus observasi. Guru
sebagai peneliti sekaligus melakukan observasi untuk mengamati perubahan perilaku siswa.
Hasil-hasil observasi kemudian direfleksikan untuk merencanakan tindakan tahap
berikutnya. Langkah-langkah Penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: (1)
perencanaan, (2) Implementasi Tindakan, (3) Observasi/monitoring tindakan, (4) Refleksi.
Data aktivitas belajar siswa didapatkan dengan lembar observasi keaktifan siswa, data
tentang keterlaksanaan kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe
NHT dengan pendekatan scientific diperoleh dari lembar observasi proses kegiatan
pembelajaran, sedangkan data prestasi belajar siswa didapatkan dari hasil tes prestasi belajar
matematika. Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif untuk tiap siklus. Untuk
menentukan seberapa keaktifan siswa dalam pembelajaran, dapat dilihat dari hasil
observasi tentang kegiatan siswa dalam mendengarkan, berdiskusi, memproduksi
sesuatu, menyusun laporan, memecahkan masalah. Untuk mengukur keaktifan siswa tersebut
digunakan lembar observasi Skala Likert dengan lima pilihan (1) sangat kurang, (2) kurang,
(3) cukup baik, (4) baik, (5) sangat baik, dengan skor 1 sampai dengan 5. Jumlah skor yang
diperoleh dari observasi guru dan siswa dicari rerata kemudian ditentukan kategori sesuai
dengan tabel berikut.
15
Indikator keberhasilan penelitian tindakan ini adalah: (1) dapat dilaksanakan pembelajaran
matematika dengan model pembelajatan kooperatif tipe NHT dengan pendekatan scientific
di kelas XI Perhotelan SMKN 3 Klaten secara optimal sehingga semua komponen utama
model pembelajatan kooperatiftipe NHT dengan pendekatan scientific ini dapat dilaksanakan
sampai mencapai skor rerata aktifitas guru dan siswa sebelum dikenai tindakan dan sesudah
dikenai tindakan mengalami peningkatan; (2) adanya peningkatan keaktifan siswa dalam
menyampaikan pendapatnya saat diskusi kelompok dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan pendekatan scientific sehingga mencapai skor
rerata lebih besar atau sama dengan 3,00 atau kategori minimal tinggi. Sebagai tolok ukurnya
adalah perbandingan skor rerata keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika sebelum
dikenai tindakan dan sesudah dikenai tindakan mengalami peningkatan. Pada akhirnya
peningkatan keaktifan siswa akan berpengaruh pada peningkatan pencapaian standar
kompetensi yaitu peningkatan prestasi belajar siswa.
4. Pembahasan
Penelitian ini dilakukan pada semester gasal tahun ajaran 2013/2014, yaitu pada bulan
September sampai dengan Oktober. Penelitian ini dilakukan pada siswa kelas XI Perhotelan
1 SMK Negeri 3 Klaten di mana tempat penulis mengajar yang berjumlah 36 siswa.
Untuk mengatasi kekurang aktifan siswa dalam pembelajaran matematika, peneliti mencoba
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dengan
pendekatan scientific. Pada tanggal 1 Oktober 2013 penulis memulai melaksanakan
pengamatan terhadap proses pembelajaran di kelas XI Perhotelan 1. Dengan penerapan
pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan pendekatan scientific ini, diharapkan dapat
meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika.
Pada tahap implementasi tindakan, diterapkan pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan
pendekatan scientific. Adapun langkah-langkahnya adalah: Pada pembelajaran pertama
siklus I yang dilaksanakan hari selasa tanggal 1 Oktober 2013 siswa mempelajari materi
membedakan barisan bilangan aritmatika (BA) dan bukan barisan bilangan aritmatika,
menentukan suku ke-n dari suatu barisan aritmatika. Pada siklus I pertemuan pertama ini ada
dua indikator yaitu (1) siswa dapat membedakan barisan aritmatika dan (2) siswa dapat
menentukan nilai suku ke-n dari suatu barisan aritmatika.
Kegiatan pembelajaran pada umumnya berjalan sesuai rencana, tetapi ada beberapa hal yang
terjadi saat pelaksanaan yaitu: (1) siswa masih mengalami kebingungan ketika harus
berkelompok dan bingung apa yang harus dilakukan terhadap lembar kegiatan siswa yang
dibagikan oleh guru; (2) siswa hanya membaca lembar kegiatan siswa tetapi tidak segera
melaksanakan langkah-langkah sesuai lembar kegiatan siswa, namun ketika guru
membimbing siswa untuk melaksanakan langkah-langkah dalam LKS, siswa mulai
berdiskusi; (3) masih banyak siswa yang kurang fokus dalam diskusi kelompok,
membicarakan hal-hal di luar materi; (4) siswa yang disebutkan nomornya untuk melakukan
presentasi sepertinya enggan dan harus dipaksa; (5) siswa kurang siap dalam presentasi
sehingga hanya membaca hasil diskusi saja; (6) saat presentasi, siswa lain kurang
memperhatikan dan tidak memberi tanggapan, (7) karena pada awal kegiatan banyak siswa
mengalami kebingungan, maka banyak waktu yang terbuang sehingga kebanyakan siswa
tidak sempat mencatat hasil diskusi karena berakhirnya waktu pembelajaran; dan (8)
observer memberikan komentar-komentar tentang jalannya pembelajaran di akhir
pembelajaran.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa rata-rata keaktifan semua kelompok masih di bawah 3
sehingga dapat dikatakan semua kelompok masih kurang keaktifannya dalam mengikuti
pembelajaran matematika.
17
Pada pembelajaran siklus I pertemuan kedua diadakan pada hari Rabu, 2 Oktober 2013.
Materi yang dipelajari siswa adalah “menentukan suku tengah dan nilai variabel k pada
barisan aritmatika yang mengandung variabel k”. Kegiatan pembelajaran berjalan sesuai
dengan rencana, tetapi ada hal yang terjadi di kelas diantaranya: (1) ada 1 siswa ijin
wawancara di DUDI, ada 2 siswa yang tidak masuk karena sakit, ada satu siswa yang
meninggalkan pembelajaran sebelum pembelajaran berakhir karena dijemput orang tuanya
karena sesuatu hal, (2) kebanyakan siswa masih sulit dirangsang untuk
menemukan/mencipkakan sesuatu ide/gagasan, (3) siswa yang tadinya suka
mempertahankan pendapatnya sendiri sudah tampak mulai mau mendengarkan pendapat
teman, (4) kebanyakan siswa sudah lebih bisa membagi waktu sehingga sempat membuat
catatan hasil diskusi, (5) Siswa lebih tekun mengerjakan tugas dan menyelesaikan
permasalahan serta lebih teliti walau masih ada beberapa siswa yang mengeluh. Adapun
hasil observasi keaktifan siswa dapat dilihat pada tabel berikut.
Dari tabel di atas tampak bahwa siswa masih kurang dalam melakukan kegiatan yang
menghasilkan. Kebanyakan masih kurang gigih dalam menyelesaikan persoalan yang
menantang. Walaupun masih ada 3 kelompok yang keaktifannya kurang, sebenarnya ketiga
kelompok tersebut sudah mengalami peningkatan keaktifan dalam pembelajaran
dibandingkab dengan keaktifan pada pertemuan sebelumnya.
Pada tahap analisa dan refleksi telah dilakukan analisis terhadap hasil observasi dan
monitoring. Hasilnya adalah sebagai berikut: (1) Pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan
pendekatan scientific dapat dilanjutkan untuk siklus II dengan harapan dapat meningkat
keaktifan siswa dalam pembelajaran matematika, (2) Pembelajaran kooperatif tipe NHT
dengan pendekatan scientific memberi kesempatan kepada semua anggota kelompok untuk
berpikir bersama dan mengemukanan gagasan, (3) Dari hasil pengamatan, siswa mengalami
kebingungan dalam mengerjakan lembar kegiatan siswa dan kurang fokus dalam berdiskusi,
sehingga pada pertemuan berikutnya perlu diberi penjelasan secara mendetail tentang
skenario pembelajaran dan arahan agar lebih fokus dalam berdiskusi, (4) Dari data hasil
18
observasi keaktifan siswa, pada item tentang melakukan kegiatan yang menghasilkan
kebanyakan skornya masih kurang dari 3, ini berarti siswa masih perlu diberi motivasi untuk
melakukan kegiatan yang menghasilkan, (5) Perlunya koordinasi yang lebih intensif antara
peneliti dan observer sehingga observer mengerti apa yang perlu dan tidak perlu dilakukan.
Dari kekurangan-kekurangan pada siklus I diharapkan dapat diperbaiki pada siklus II,
sehingga proses pembelajaran akan lebih baik dan diharapkan akan lebih meningkatkan
aktivitas siswa. Dengan meningkatnya aktivitas siswa dalam pembelajaran diharapkan
prestasi belajar matematika siswa akan mengalami peningkatan.
Pada siklus II, tahap perencanaan telah dilaksanakan oleh peneliti dengan lebih baik.
Pembelajaran yang akan dilakukan ini direncanakan untukdapat memperbaiki pembelajaran
pada siklus I. Pada Tahap implementasi tindakan, pembelajaran pada pertemuan pertama
siklus II dilakukan pada tanggal 14 Oktober 2013. Pada pertemuan ini siswa mempelajari
materi“menentukan jumlah n suku pertama (Sn) dari deret aritmatika”. Kegiatan
pembelajaran sesuai dengan rencana namun ada beberapa hal yang terjadi dalam pelaksanaan
antara lain adalah sebagai berikut: (1) Ada 2 siswa yang ijin ke DUDI untuk wawancara, (2)
ada beberapa siswa yang kurang memperhatikan pendapat teman di dalam diskusi, (3) Siswa
dalam mempresentasikan hasil diskusi sudah kelihatan lebih berani tetapi kurang tepat dalam
menyimpulkan, (4) Dalam menyelesaikan persoalan masih ada siswa yang bertanya kepada
kelompok lain. Adapun hasil observasi keaktifan siswa dapat dilihat pada tabel berikut.
Dari tabel dapat dilihat bahwa sudah ada peningkatan dalam siswa mendengar penjelasan
teman dalam berdiskusi, namun dalam hal melakukan kegiatan yang menghasilkan dan
menyelesaikan persoalan yang menantang belum mengalami peningkatan yang signifikan.
Pada pembelajaran kedua siklus II dilaksanakan tanggal 29 Oktober 2013. Pada pertemuan
ini siswa mempelajari materi “Menentukan nilai suku ke-n jika diketahui jumlah n suku
pertama dari suatu deret aritmatika”. Kegiatan berjalan lancar sesuai dengan rencana namun
ada beberapa hal yang terjadi pada pelaksanaannya antara lain: (1) ada 1 siswa yang ijin
19
karena sakit (2) ada 1 siswa yang ijin karena mengikuti rapat pergantian pengurus OSIS, (3)
ada beberapa siswa yang mengerjakan lembar secara sendirian (4) Dalam mempresentasikan
hasil diskusi rata-rata sudah lebih baik, namun ada siswa yang masih terlihat grogi.
Dari lembar hasil observasi keaktifan siswa kelihatan bahwa masing-masing kelompok
sudah mengalami kenaikan skor dalam beberapa hal, namun dalam hal memutuskan sesuatu
dan melakukan kegiatan yang menghasilkan belum menunjukkan kenaikan yang signifikan.
Rata-rata skor masing-masing kelompok secara umum telah mengalami peningkatan yang
cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan keaktifan siswa dalam
pembelajaran matematika pada siklus II pertemuan kedua. Untuk lebih jelasnya, hal ini dapat
dilihat pada tabel berikut.
Pada tahap analisa dan refleksi telah dilakukan analisis terhadap hasil observasi dan
monitoring. Hasilnya adalah: (1) Pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan pendekatan
scientific dapat meningkatkan aktifitas siswa dalam pembelajaran matematika; (2) Siswa
dalam mempresentasikan hasil diskusi sudah lebih baik, dan siswa lain sudah lebih aktif
dalam memberikan tanggapan; dan (3) dalam hal meningkatkan kemampuan siswa dalam
menghasilkan sesuatu dan dalam mengerjakan soal yang menantang sudah mengalami
peningkatan tetapi belum signifikan sehingga masih perlu diberikan motivasi.
20
5.1 Kesimpulan
Dari pembahasan dapat disimpulkan bahwa: (1) Pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan
pendekatan scientific dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika;
(2) Berdasarkan hasil observasi keaktifan siswa dalam belajar matematika, diketahui bahwa
keaktifan siswa pada siklus I mencapai rata-rata 2,80 dan siklus II mencapai rata-rata 3,77
sehingga dari 36 siswa mengalami peningkatan keaktifan dalam belajar matematika sebesar
34,64%; (3) Pembelajaran kooperatif tipe NHT menuntut semua siswa untuk siap
mempresentasikan hasil diskusi sehingga harus benar-benar memahami materi. Pendekatan
scientific memberi kesempatan siswa untuk menemukan konsep dengan langkah-langkah
mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, mengkomunikasikan,
dengan demikian pembelajaran kooperatif tipe NHT dengan pendekatan scientific dapat
meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika.
5.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan adalah: (1) Penelitian tindakan kelas perlu direncanakan
dengan matang dan perlu diperhitungkan pembelajaran tidak efektif yang tidak terduga
sehingga penelitian dapat berjalan sesuai waktu yang telah direncanakan; (2) Agar guru lain
melaksanakan penelitian tindakan kelas ini lebih dari dua siklus sehingga dalam membuat
kesimpulan akan lebih tepat dengan melihat keajegan peningkatan pada masing-masing
siklus; (3) PTK ini dapat digunakan sebagai pijakan bagi guru untuk meningkatkan keaktifan
siswa dalam pembelajaran matematika; dan (4) Perlu dioptimalkan koordinasi dengan pihak-
pihak terkait agar guru termotifasi untuk melakukan penelitian tindakan kelas dalam rangka
melakukan pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB).
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 2006.Penelitian Tindakan Kelas. Bumi Aksara: Jakarta.
Kemdikbud, 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: Kemdikbud
Kemdikbud, 2013. Permendikbud no. 81A Tahun 2013 tentang Standar Proses. Jakarta: Kemdikbud
Mulyatiningsih, Endang. 2012. Metode Penelitian Terapan Bidang Pendidikan.
Muslimin , dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Program Pasca Sarjana Unesa: University Press.
Slavin E. Robert. 2008.Cooperative Learning: Tesis,Riset dan Praktik. Nusa Media: Bandung
Supardi. 2011. Strategi Menyusun Penelitian Tindakan Kelas. Andi Offset: Yogyakarta.
21
Anna Rachmawati, SP
SMP Muhammadiyah 8;Jl. Kenari Miliran UH II/302, Yogyakarta, anr_balirejo@yahoo.com
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keaktifan dalam proses belajar
matematika dengan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered-Head Together
(NHT) di kelas VIIIC SMP Muhammadiyah 8 Yogyakarta. Penelitian Tindakan Kelas
yang dilakukan terdiri dari 2 siklus dengan subjek penelitian adalah siswa kelas VIIIC
SMP Muhammadiyah 8 Yogyakarta tahun pelajaran 2013-2014. Penelitian dilaksanakan
mulai bulan Oktober 2013. Analisis data pada penelitian ini didasarkan pada refleksi
tiap siklus, tindakan peneliti merupakan instrumen penelitian karena peneliti bertindak
sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data, dan pelapor hasil peneliti. Data diambil
dengan menggunakan lembar observasi, angket, dokumentasi, wawancara. Analisis
didasarkan pada data hasil observasi dan data hasil angket menggunakan perhitungan
rata-rata pada aspek yang diamati. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran
matematika pada materi konsep relasi dan fungsi dengan menggunakan pendekatan
NHT (Number-Head Together), yang dilaksanakan dalam 2 siklus mengalami
peningkatan. Hal ini ditunjukkan dengan kenaikan keaktifan belajar siswa yaitu adanya
peningkatan hasil rata-rata persentase lembar observasi keaktifan belajar siswa untuk
tiap siklus, yaitu pada siklus I pertemuan 1 keaktifan siswa sebesar 63 % dan pertemuan
2 keaktifan siswa naik menjadi 71% masih termasuk kategori sedang. Untuk siklus II
Pertemuan pertama keaktifan siswa 75% dan pertemuan ke 2 naik menjadi 77% dan
termasuk kategori tinggi.
1. Pendahuluan
Pembelajaran matematika masih mengalami banyak kendala. Permasalahan yang sedang
dihadapi oleh peserta didik antara lain kurangnya keaktifan peserta didik dalam
pembelajaran, siswa kurang fokus dan kurang mendengarkan penjelasan yang diberikan guru
akibatnya siswa kurang memahami penjelasan yang diberikan guru. Kurangnya sikap
disiplin, beberapa siswa sering tidak menyelesaikan tugas atau pekerjaan rumah yang
diberikan guru. Kurangnya sikap kerjasama dalam kelompok, yang disebabkan karena siswa
memang kurang mampu dalam mengemukakan pendapatnya. Siswa kurang rasa percaya diri
dan kurang bisa bekerjasama dengan teman, sehingga siswa yang belum bisa menyelesaikan
tugas cenderung diam dan tidak mau bertanya kepada temannya.
22
Guru mencoba melakukan pembelajaran dengan diskusi dan tanya jawab, dan ternyata
peserta didik mulai bisa mengemukakan pendapat, namun keaktifannya masih kurang
karena peserta didik belum mempunyai inisiatif untuk berpendapat jika tidak ditunjuk. Untuk
itu peneliti akan mencoba melakukan pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif
tipe NHT (Numbered-Head Together) untuk meningkatkan keaktifan peserta didik. Dalam
pembelajaran NHT (Numbered-Head Together) siswa belajar berkelompok untuk
menyelesaikan masalah dan selanjutnya siswa akan mempresentasikan hasil diskusinya
dengan pemanggilan nomor anggota kelompok, sehingga semua siswa harus aktif untuk
mengerjakan dan bekerjasama dalam menyelesaikan soal.
Dari latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini yaitu
bagaimana penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered-Head Together)
dapat meningkatkan keaktifan belajar matematikan di SMP Muhammadiyah 8
Yogyakarta.
Pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered Heads Together) dikembangkan oleh Spencer
Kagan (1992). Teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan
ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu, teknik ini juga
mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerjasama mereka (Anita Lie, 2008:59).
Secara harfiah keaktifan berasal dari kata aktif yang berarti sibuk, giat (Kamus Besar Bahasa
Indonesia: 17). Aktif mendapat awalan ke- dan –an, sehingga menjadi keaktifan yang
mempunyai arti kegiatan atau kesibukan. Jadi, keaktifan belajar adalah kegiatan atau
kesibukan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah maupun di luar sekolah
yang menunjang keberhasilan belajar siswa. Keaktifan tersebut tidak hanya keaktifan
jasmani saja, melainkan juga keaktifan rohani. Menurut Sriyono, dkk (1992: 75) keaktifan
jasmani dan rohani yang dilakukan peserta didik dalam kegiatan belajar mengajar adalah
sebagai berikut:
a. Keaktifan indera; pendengaran, pengelihatan, peraba, dan sebagainya. Peserta didik harus
dirangsang agar dapat menggunakan alat inderanya sebaik mungkin. Mendikte dan
menyuruh mereka menulis sepanjang jam pelajaran akan menjemukan. Demikian pula
dengan menerangkan terus tanpa menulis sesuatu di papan tulis. Maka pergantian dari
membaca ke menulis, menulis ke menerangkan dan seterusnya akan lebih menarik dan
menyenangkan.
b. Keaktifan akal; akal peserta didik harus aktif atau diaktifkan untuk memecahkan masalah,
menimbang, menyusun pendapat dan mengambil keputusan.
c. Keaktifan ingatan; pada saat proses belajar mengajar peserta didik harus aktif menerima
bahan pelajaran yang disampaikan oleh guru, dan menyimpannya dalam otak. Kemudian
pada suatu saat ia siap dan mampu mengutarakan kembali.
d. Keaktifan emosi dalam hal ini peserta didik hendaklah senantiasa berusaha mencintai
pelajarannya, karena dengan mencintai pelajarannya akan menambah hasil belajar peserta
didik itu sendiri.
24
3. Metodologi Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan pada 19-31 Oktober
2013. Setting penelitian yang digunakan adalah kelas dan kelompok dalam kegiatan
pembelajaran matematika dengan pengelompokan siswa yang terdiri dari 4-5 siswa.
Pembagian kelompok dibentuk berdasarkan hasil tes sebelumnya. Kegiatan pembelajaran
matematika dilaksanakan di kelas VIII C SMP Muhammadiyah 8 Yogyakarta dengan
menggunakan pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered-Head Together).
Rancangan penelitian ini menggunakan model Clasroom Action Research spiral yang
dikembangkan oleh Kemmis dan McTaggart. Peneliti merencanakan penelitian ini minimal
dua siklus dengan setiap siklusnya meliputi komponen-komponen sebagai berikut:
perencanaan (planning), pelaksanaan (action), observasi (observation), dan refleksi
(reflection).
25
Analisa hasil observasi keaktifan siswa dilakukan dengan cara kuantitatif dan deskriptif,
dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Analisis data hasil observasi
Data hasil observasi dalam pembelajaran matematika yang berkaitan dengan aspek untuk
mengetahui peningkatan keaktifan belajar matematika disajikan dalam bentuk deskriptif.
2. Analisis data hasil angket
Data hasil angket aktivitas belajar siswa dianalisis dengan langkah-langkah sebagai
berikut:
a. Dihitung jumlah skor tiap-tiap butir pernyataan untuk masing-masing siswa.
b. Skor masing-masing siswa setiap aspek dikomulasikan dan dicari rata-ratanya.
c. Hasil rata-rata dipersentase dan dikualifikasikan untuk membuat kesimpulan
mengenai keaktifan siswa terhadap pembelajaran.
4. Pembahasan
Data hasil observasi dalam pembelajaran matematika yang berkaitan dengan aspek untuk
mengetahui peningkatan keaktifan belajar matematika disajikan dalam bentuk deskriptif
Pertemuan pertama siklus 1 dilaksanakan pada hari sabtu, tanggal 12 Oktober 2013 pukul
07.40 WIB. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yaitu tentang relasi dua himpunan.
Guru juga memberitahukan pada siswa bahwa pembelajaran pada hari ini menggunakan
pembelajaran kooperatif tipe NHT (Numbered-Head Together) yaitu suatu teknik belajar
kelompok dengan anggota 4-5 siswa. Terbentuk 4 kelompok dengan anggota masing-masing
kelompok adalah 4 orang.
Dari hasil pengamatan , terlihat ada beberapa kelompok yang sulit untuk berdiskusi bersama
dikarenakan dalam kelompok tersebut merupakan kelompok baru sehingga masing-masing
siswa masih merasa canggung. Hal tersebut disebabkan karena biasanya mereka selalu
duduk dengan teman sejenis, maka ketika berkelompok dalam kelompok yang heterogen,
siswa putri cenderung diam, sehingga hasil diskusi kurang berjalan baik. Pada tahap diskusi
guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama
mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban kepada siswa di kelas. Dari hasil pengamatan
ternyata masih ada berapa siswa yang masih ragu-ragu untuk menjawab, hal tersebut
menunjukkan bahwa jawaban yang mereka presentasikan bukan hasil diskusi kelompok, tapi
jawaban pribadi masing-masing. Siswa tidak menyadari bahwa jawaban dari salah satu siswa
merupakan nilai kelompok, sehingga siswa yang sudah bisa menyelesaikan soal merasa
dirugikan. Semangat untuk berkompetisi dalam kelompok masih kurang. Hasil perolehan
nilai kelompok Juara 1 adalah kelompok 1 berhasil mempresentasikan 2 soal dengan benar,
Juara 2 kelompok 2 berhasil mempresentasikan 1 soal dengan benar dan juara 3 kelompok 5
berhasil mempresentasikan 1 soal dengan benar
Pertemuan kedua siklus 1, dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 19 Oktober 2013. Pukul
07.40 WIB dengan materi banyak relasi dua himpunan dan korespondensi satu-satu. Dari
hasil pengamatan sudah terlihat bahwa proses diskusi dapat meningkat, bahkan siswa yang
lebih pandai menjadi tutor untuk teman yang lain. Siswa menyadari bahwa masing-masing
anggota kelompok akan memberikan pendapat berdasarkan panggilan nomor, sebagai wakil
kelompok maka setiap siswa berusaha keras agar bisa mengerjakan semua soal dengan baik.
Pada tahap pemanggilan nomor, guru menyebut satu nomor dan siswa dari tiap kelompok
dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban kepada siswa di
kelas. Dari hasil pengamatan, siswa sudah tidak ragu-ragu lagi untuk menjawab, hal tersebut
menunjukkan bahwa jawaban yang mereka presentasikan sudah merupakan hasil diskusi
kelompok. Namun ternyata siswa yang sudah mendapat kesempatan menjawab tidak
memperhatikan lagi dan ternyata siswa mulai menghafal pola guru dalam menunjuk siswa,
yaitu asas pemerataan. Hasil Perolehan nilai kelompok, Juara 1 kelompok 1 dengan
mempresentasikan 2 soal dengan benar, Juara 2 kelompok 2 dengan mempresentasikan 1
soal dengan benar, Juara 3 kelompok 5 dengan mempresentasikan 1 soal.
27
Refleksi dilaksanakan setelah tindakan pada siklus pertama selesai dilaksanakan untuk
mengetahui kelebihan, kekurangan serta kendala yang dialami selama pelaksanaan tindakan
pertama. Dari hasil pengamatan Pertemuan 1 , terlihat ada beberapa kelompok yang sulit
untuk berdiskusi bersama karena kelompok tersebut merupakan kelompok baru sehingga
masing-masing siswa masih merasa canggung. Di samping itu karena biasanya mereka selalu
duduk dengan teman sejenis, maka ketika berkelompok dalam kelompok heterogen siswa
putri cenderung diam, sehingga hasil diskusi kurang berjalan bagus.
Dari hasil pengamatan pertemuan kedua siklus 1, terlihat proses diskusi kelompok lebih
meningkat, siswa yang lebih pandai menjadi tutor untuk teman yang lain, karena masing-
masing anggota kelompok termotivasi agar dapat mengemukakan pendapat kelompok
ketika ada panggilan nomornya. Namun ternyata siswa yang sudah mendapat kesempatan
menjawab tidak memperhatikan lagi dan ternyata siswa mulai menghafal pola guru dalam
menunjuk siswa, yaitu asas pemerataan.
Oleh karena itu maka untuk siklus kedua harus dirancang soal yang agak banyak sehingga
pemanggilan nomor untuk presentasi hasil tidak lagi memperhatikan azas pemerataan, tetapi
memakai sistem kompetisi. Pembagian kelompok masih tetap menggunakan kelompok
sebelumnya.
Pertemuan pertama siklus kedua dilaksanakan hari Kamis tanggal 24 Oktober 2012 jam ke
3,4 pukul 08.20-09.40 WIB. Dari hasil pengamatan peneliti, terlihat proses diskusi semua
kelompok sudah berjalan dengan baik, bahkan setiap kelompok sudah terbentuk tutor teman
sebaya, sesuai dengan yang diharapkan. Hal tersebut disebabkan karena kelompok ini
memang sudah berkelompok untuk ketiga kalinya dan diharapkan sudah bisa menjadi tim
yang solid, sehingga teman yang pintar sudah tidak malu untuk membantu yang lain, dan
teman yang kurang sudah tidak takut untuk bertanya. Dalam tahap diskusi guru menyebut
satu nomor, siswa dari tiap kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan
menyiapkan jawaban kepada siswa di kelas. Kali ini guru menunjuk siswa yang
mengacungkan tangan pertama kali, sehingga siswa yang sudah maju tetap berkesempatan
untuk maju lagi. Hal positif yang bisa diambil dari cara ini yaitu semua siswa selalu
berkonsentrasi untuk bisa mengacungkan tangan paling cepat. Namun demikian masih ada
beberapa siswa yang masih cenderung diam misalnya Raja Sakura kelompok 3, Edo
kelompok 5. Hasil perolehan nilai kelompok, Juara 1 kelompok 1 dengan mempresentasikan
3 soal, Juara 2 kelompok 2 dengan mempresentasikan 2 soal, Juara 3 kelompok 5 dengan
mempresentasikan 1 soal.
Pertemuan kedua siklus kedua dilaksanakan hari Rabu tanggal 30 Oktober 2013 jam ke 5,6
pukul 10.00-11.20 WIB. Pembagian kelompok masih menggunakan kelompok sebelumnya.
Guru mengingatkan siswa agar mereka mengembangkan diskusi selama belajar kelompok
untuk menyelesaikan tugas. Dari hasil pengamatan sudah terlihat bahwa proses diskusi dapat
berjalan dengan sangat baik karena masing-masing siswa bersemangat untuk bisa
berkompetisi saat pembahasan dengan pemanggilan nomor kepala. Secara umum terlihat
siswa sudah bisa menyatu dalam kelompoknya masing-masing, karena siswa sudah
28
berkelompok untuk yang ke-empat kalinya. Ternyata siswa tersebut memang cenderung
diam tapi tetap aktif untuk mengerjakan meskipun tidak banyak bertanya.
Guru menyebut satu nomor masing-masing siswa dengan nomor sama dari tiap kelompok
berlomba mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban dari kelompok masing-masing,
sehingga siswa yang sudah maju tetap berkesempatan untuk maju lagi. Hal positif yang bisa
diambil semua siswa selalu berkonsentrasi untuk bisa mengacungkan tangan paling cepat.
Ternyata siswa yang pendiam juga bersemangat untuk berebut maju ke depan. Hasil
perolehan nilai kelompok Juara 1 kelompok 1 dengan menjawab 5 soal, Juara 2 kelompok 4
dengan mempresentasikan 4 soal, Juara 3 kelompok 5 dengan mempresentasikan 2 soal.
Dari pembelajaran pertemuan 1 dan 2 pada siklus kedua, diperoleh hasil bahwa proses
diskusi sudah berjalan dengan baik karena masing-masing siswa bersemangat untuk bisa
berkompetisi saat pembahasan dengan pemanggilan nomor kepala. Secara umum terlihat
siswa sudah bisa menyatu dalam kelompoknya masing-masing, karena siswa sudah
berkelompok untuk yang ke-empat kalinya. Ternyata siswa yang cenderung diam sudah ikut
aktif berkompetisi untuk menjawab.
Dari hasil pengolahan data tersebut terdapat beberapa aspek keaktifan belajar siswa yang
menonjol peningkatannya yaitu aspek mempresentasikan hasil diskusi kelompok dan aspek
merespon pertanyaan dan instruksi dari guru. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan
keaktifan siswa dalam belajar, siswa memperhatikan guru dan semakin meningkat dari 78%
menjadi 87%, siswa menulis setelah guru menerangkan meningkat dari 74% menjadi 85%.
29
Secara umum pada siklus 1 keaktifan belajar siswa semakin meningkat dari rata-rata yang
diperoleh dari 10 aspek keaktifan belajar siswa sebesar 63 % pada pertemuan 1 dan
meningkat menjadi 70,90 % pada pertemuan 2.
Berikut adalah data hasil observasi keaktifan belajar siswa Siklus 2
SIKLUS 2
NO ASPEK YANG DIAMATI
PERT 1(%) PERT 2(%)
1 Saya memperhatikan penjelasan guru 96,00 86,00
2 Saya fokus saat guru menerangkan 81,00 81,00
3 Saya menulis setelah guru menerangkan 77,00 67,00
4 Saya sering mengemukakan pendapat 79,00 68,00
5 Saya sering memberi alternative solusi 67,00 67,00
6 Saya bisa menyelesaikan soal 81,00 79,00
7 Saya bisa memahami penjelasan guru 61,00 79,00
8 Saya selalu mengerjakan tugas yang diberikan guru 83,00 86,00
9 Saya Selalu mengerjakan PR 61,00 80,00
10 Saya selalu mengumpulkan tugas tepat waktu 61,00 80,00
RATA-RATA 74,70 77,30
Dari hasil pengolahan data tersebut terlihat bahwa pemahaman siswa terhadap penjelasan
guru (item 7) sudah meningkat dari 61% menjadi 79%, akibatnya siswa sudah tidak tertarik
lagi untuk memperhatikan penjelasan guru (item 1) yaitu dari 96% menjadi 86%. Namun
secara umum keaktifan belajar siswa mengalami peningkatan, terlihat dari rata-rata
pertemuan 1 sebesar 74,70% dan pada pertemuan kedua 77%.
Salah satu indikator keberhasilan adalah jika dalam proses pembelajaran di akhir
pembelajaran dengan rata-rata aktivitas siswa sampai lebih dari atau sama dengan
75% maka dianggap berhasil dan siklus dapat dihentikan.
Hasil tes materi sebelumnya digunakan untuk pembentukan anggota kelompok. Sedangkan
hasil rata-rata tes belajar siswa pada akhir siklus I adalah 6,58 dan hasil rata-rata siklus II
adalah 7,73 mengalami peningkatan maka disimpulkan model pembelajaran yang digunakan
yaitu model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal
ini sesuai dengan indikator keberhasilan, jika prestasi belajar siswa nilai rata-rata tes
kelas minimal 75 diakhir pembelajaran maka dikatakan berhasil.
30
5.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, peneliti mempunyai beberapa saran sebagai
berikut:
a. Siswa kelas VIIIC SMP Muhammadiyah 8 Yogyakarta merasa senang dan
mendapatkan sesuatu yang baru setelah menerapakan pembelajaran NHT. Peneliti
menyarankan kepada guru untuk menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
NHT sebagai salah satu alternatif pembelajaran matematika agar siswa menjadi
lebih aktif dalam pembelajaran.
b. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT membutuhkan perencanaan
yang baik dan pengelolaan waktu yang tepat agar bisa berjalan dengan efektif.
6. Ucapan Terimakasih
Terima kasih kami ucapkan kepada PPPPTK matematika yang telah memberikan
kesempatan untuk menjadi peserta Diklat PKB, sehingga dapat menyelesaikan Penelitian
Tindakan kelas sekaligus menyelesaikan makalah in untuk dipresentasikan di Seminar
Nasional Pendidikan Matematika (SeNdiMat).
Daftar Pustaka
Muhammad Ali. 2010. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algensindo
Nana Sudjana. 2011. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar Baru Algensindo
Pramita Setiyo Rahayu. 2009. Pengembangan Media Pembelajaran Matematika Interaktif Untuk
Memfasilitasi Belajar Mandiri Pada Pokok Bahasan Luas dan Keliling bangun datar di Kelas
Bilingual SMP Tingkat VII. Yogyakarta : FMIPA. Universitas Negeri Yogyakarta
Slamento. 1995. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Slavin, Robert E. 2005. Cooperative Learning Theory Research and Practise. London : Allymand
Bacon.
31
Anton Sujarwo
SMK Negeri 5 Surabaya; antonsujarwo_smk@yahoo.co.id
1. Pendahuluan
Pemecahan masalah secara eksplisit menjadi tujuan pembelajaran matematika dan tertuang
dalam kurikulum. Alasan mengajarkan pemecahan masalah matematika, adalah: (1)
pemecahan masalah mengembangkan keterampilan kognitif secara umum, (2) pemecahan
32
masalah menumbuhkan kreatifitas, (3) pemecahan masalah merupakan bagian dari proses
aplikasi matematika, dan (4) pemecahan masalah memotivasi siswa untuk belajar
matematika (Pekhonen, 1997). Sehingga dapat dikatakan bahwa pembelajaran pemecahan
masalah merupakan salah satu cara untuk mendorong kreatifitas sebagai produk berpikir
siswa.
Pada saat memecahkan masalah matematika, setiap siswa kemungkinan mempunyai proses
berpikir yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena setiap siswa memiliki
jenis kecerdasan yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Chatib
(2009:12) bahwa setiap insan di dunia memiliki karakter dasar yaitu potensi, minat, dan
bakat yang berbeda-beda. Perbedaan ini mempengaruhi seseorang dalam memandang dan
memecahkan suatu masalah. Artinya kemampuan memecahkan masalah tergantung dari
kemampuan individu yang berhubungan dengan kecerdasan seseorang.
Gardner (2003), menyatakan bahwa setiap orang setidaknya memiliki delapan jenis
kecerdasan yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logika matematika, kecerdasan visual
spasial, kecerdasan musik, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan
intrapersonal dan kecerdasan naturalis, walaupun hanya beberapa kecerdasan yang dominan.
Dalam memecahkan masalah matematika yang membutuhkan pemahaman, analisis,
perhitungan, dan imajinasi yang tinggi sehingga peneliti menduga kecerdasan yang dominan
dalam hal ini adalah kecerdasan linguistik, logika matematika dan visual spasial. Oleh
karena itu, peneliti ingin mengetahui bagaimana proses berpikir siswa dalam memecahkan
masalah matematika berdasarkan kecerdasan dominan yang dimiliki oleh siswa tersebut,
tanpa mengesampingkan kecerdasan lainnya. Untuk itu pengungkapan proses berpikir siswa
dimulai ketika siswa melakukan pemecahan masalah pada saat memahami masalah,
membuat perencanaan, melaksanakan perencanaan sampai pada saat memeriksa kembali
hasil yang telah dilakukan.
Agar tidak terjadi kesalahan penafsiran, berikut ini definisi beberapa istilah yang terkait
dengan penelitian.
33
1. Proses berpikir adalah aktivitas kognisi yang terjadi di dalam mental atau pikiran
seseorang, tidak tampak, tetapi dapat disimpulkan melalui perilaku yang tampak ketika
melakukan pemecahan masalah.
2. Masalah matematika adalah soal matematika yang dihadapi oleh seseorang, namun
orang tersebut tidak segera menemukan jalan/cara menyelesaikannya.
3. Pemecahan masalah adalah suatu kegiatan baik mental maupun fisik yang dilakukan
seseorang untuk mencari jawaban dan penyelesaian suatu masalah.
4. Pemecahan masalah dalam penelitian ini mengacu pada langkah pemecahan masalah
Polya, yaitu: memahami masalah, membuat rencana pemecahan masalah,
melaksanakan rencana, dan memeriksa kembali hasil pekerjaan.
5. Kecerdasan ganda dalam penelitian ini adalah kecerdasan linguistik, kecerdasan logika
matematika, dan kecerdasan visual spasial.
6. Kecerdasan linguistik adalah kemampuan menggunakan bahasa untuk menyampaikan
pikiran dan memahami perkataan orang lain, baik secara lisan maupun tertulis.
7. Kecerdasan logika matematika adalah kemampuan untuk menggunakan angka, berpikir
logis dalam menganalisis kasus atau permasalahan dan melakukan perhitungan
matematis.
8. Kecerdasan visual spasial adalah kemampuan melihat dan mengamati dunia visual
spasial secara akurat, dan kemudian bertindak atas persepsi tersebut.
Setelah penelitian ini dilakukan, manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara
lain:
1. Penelitian tentang proses berpikir siswa SMK dengan kecerdasan linguistik, logika
matematika dan visual spasial dalam memecahkan masalah matematika ini,
diharapkan dapat melengkapi teori-teori yang telah ada mengenai proses berpikir
siswa dalam memecahkan masalah matematika.
2. Hasil kajian proses berpikir ini dapat dijadikan masukan para guru/praktisi untuk
mengembangkan model pembelajaran yang dapat mendorong siswa-siswa untuk
memecahkan masalah matematika.
3. Memberikan masukan bagi guru dan calon guru yang ingin meneliti lebih lanjut
terkait dengan proses berpikir siswa SMK dengan kecerdasan linguistik, logika
matematika dan visual spasial dalam memecahkan masalah matematika.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses berpikir siswa SMK dengan
kecerdasan linguistik, logika matematika, dan visual spasial dalam memecahkan masalah
matematika. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksploratif, sedangkan pendekatan
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini terdiri tiga orang siswa kelas
XI SMK yang masing-masing satu orang siswa mempunyai kecerdasan linguistik, logika
matematika, dan visual spasial. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam,
tes tertulis, dan think aloud. Wawancara dilakukan terhadap subjek penelitian untuk
mengeksplorasi proses berpikirnya dalam memecahkan masalah matematika. Dalam
34
pelaksanaan wawancara senantiasa berkembang sehingga tidak dapat dibuat prosedur baku
tentang langkah-langkah yang dilakukan.
Moleong (2009) mengatakan bahwa analisis data kualitatif dilakukuan dalam suatu proses,
berarti analisis data sudah dapat dilakukan sejak pengumpulan data di lapangan dan berakhir
pada waktu penyusunan laporan penelitian. Analisis data dalam penelitian ini diawali
dengan reduksi data. Mereduksi data dilakukan dengan membuat rangkuman inti,
menyederhanakan data baik yang diperoleh dari hasil wawancara, hasil think aloud dan
membuang data yang tidak diperlukan. Langkah kedua dengan cara menyajikan data hasil tes
pemecahan masalah, hasil pengucapan think aloud, dan wawancara kemudian dilakukan
pemeriksaan data untuk menentukan kekonsistenan informasi yang diberikan subjek
penelitian sehingga diperoleh data penelitian yang kredibel (triangulasi data). Setelah
penyajian data, langkah ketiga dilakukan dengan cara menarikan simpulan. Penarikan
kesimpulan didasarkan pada hasil pembahasan terhadap data yang terkumpul, baik yang
diperoleh dari hasil tes pemecahan masalah, hasil think aloud, maupun wawancara.
Selanjutnya penarikan kesimpulan dalam pembahasan data ini dimaksudkan untuk
merumuskan proses berpikir siswa SMK dengan kecerdasan linguistik, logika matematika,
dan visual spasial dalam memecahkan masalah matematika.
3. Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses berikir siswa SMK dengan kecerdasan
linguistik, logika matematika, dan visual spasial dalam memecahkan masalah matematika
adalah sebagai berikut.
Subjek dengan kecerdasan linguistik ketika memahami masalah proses berpikirnya mula-
mula membaca soal setidaknya dua kali. Melalui pembacaan yang demikian subjek dapat
mengungkapkan semua informasi yang tersedia (yang diketahui) dan apa yang ingin
didapatkan (ditanyakan) dari masalah yang dihadapi. Ide rencana pemecahan masalah subjek
ini berasal dari pengetahuan sebelumnya mengenai konsep tertentu atau strategi pemecahan
masalah yang mirip dengan masalah yang sedang dihadapi. Selanjutnya ia mengintegrasikan
konsep-konsep tertentu dan informasi relevan dari masalah tersebut untuk menghasilkan
suatu rencana pemecahan masalah yaitu perbandingan. Pada waktu melaksanakan rencana,
subjek ini menyatakan kembali semua informasi yang tersedia (yang diketahui) dan apa yang
ingin didapatkan (ditanyakan) dari masalah yang dihadapi. Kemudian subjek mulai
melaksanakan rencana sesuai dengan langkah-langkah pemecahan masalah yang telah
dibuatnya. Setelah melaksanakan rencana pemecahan masalah, subjek melakukan
pemeriksaan kembali pekerjaan yang telah dibuatnya. Ia tidak melakukan aktivitas menulis
atau corat-coret melainkan diam sambil memandang hasil pekerjaan yang telah dibuatnya.
Pengecekan yang telah dilakukan tidak dapat membetulkan kesalahan yang ada. Sehingga
solusi yang diperoleh tidak benar. Tetapi walaupun demikian, subjek ini yakin bahwa
jawaban yang dibuatnya benar.
35
Subjek dengan kecerdasan logika matematika, ketika memahami masalah proses berpikirnya
mula-mula membaca masalah tiga kali dan disertai membuat tabel. Hal ini dilakukan untuk
lebih memahami permasalahan yang dihadapi dan menghidari ada informasi yang terlewat
jika hanya dibaca sekali. Ide rencana pemecahan masalah subjek ini berasal dari pengetahuan
sebelumnya mengenai konsep tertentu atau strategi pemecahan masalah yang mirip dengan
masalah yang sedang dihadapi. Selanjutnya ia mengintegrasikan konsep-konsep tertentu dan
informasi relevan dari masalah tersebut untuk menghasilkan suatu rencana pemecahan
masalah yaitu perbandingan berbalik nilai. Langkah berikutnya, subjek dengan kecerdasan
logika matematika sebelum melaksanakan rencana yang telah dibuat, ia membuat tabel
terlebih dahulu terkait dengan permasalahan yang dihadapi. Kemudian subjek menjalankan
langkah-langkah pemecahan masalah sesuai rencana sampai diperoleh hasil yang benar.
Setelah melaksanakan rencana pemecahan masalah, subjek melakukan pemeriksaan kembali
pekerjaan yang telah dibuatnya. Pemeriksaan dilakukan dengan cara menelusuri setiap
langkah penyelesaian mulai dari perhitungan, perbandingan, dan sampai pada hasilnya.
Selanjutnya untuk meyakinkan hasil yang telah diperolehnya, ia menggunakan cara lain.
Hasil perhitungan dengan cara lain ia bandingkan dengan cara pertama dan ternyata sama.
Pada waktu memeriksa hasil pekerjaanya, subjek ini melakukan manipulasi pengetahuan
dalam struktur kognitifnya. Hal ini terlihat dari kemampuan subjek ini dalam mengubah
permasalahan yang dihadapi menjadi persamaan yang menggunakan simbol-simbol sebagai
representasi internal dalam struktur kognitifnya.
Subjek dengan kecerdasan visual spasial, pada saat memahami masalah proses berpikirnya
mula-mula membaca masalah beberapa kali. Hal ini dilakukan untuk menghindari ada
informasi yang terlewat jika hanya dibaca sekali dan untuk lebih memahami masalah. Ide
pemecahan masalah subjek ini berasal dari pengetahuan sebelumnya atau strategi pemecahan
masalah yang mirip dengan masalah yang dihadapinya sekarang. Selanjutnya ia
mengintegrasikan konsep-konsep tertentu dan informasi relevan dari masalah tersebut untuk
menghasilkan suatu rencana pemecahan masalah yaitu perbandingan berbalik nilai. Subjek
dengan kecerdasan visual spasial, sebelum melaksanakan rencana yang telah dibuat, ia
membuat gambar terlebih dahulu untuk memudahkan memecahkan masalah. Kemudian
subjek melakukan perhitungan dengan perbandingan berbalik nilai sesuai dengan rencana
sampai diperoleh hasil yang benar. Langkah selanjutnya, subjek melakukan pemeriksaan
terhadap pekerjaan yang telah dibuat dengan cara mengecek kembali setiap langkah yang
telah dibuatnya, kemudian ia melakukan perhitungan ulang sampai diperoleh jawaban yang
benar. Pada waktu memeriksa kembali hasil pekerjaanya, subjek ini sudah yakin bahwa hasil
pekerjaanya itu sudah benar.
Secara lengkap ringkasan proses berpikir siswa dengan kecerdasan linguistik, logika
matematika, dan visual spasial dalam memecahkan masalah matematika disajikan dalam
Tabel 1.
36
Tabel 1. Perbedaan Proses Berpikir Siswa SMK dengan Kecerdasan Linguistik, Logika Matematika,
dan Visual Spasial dalam Memecahkan Masalah Matematika.
Langkah Jenis Kecerdasan
Pemecahan
Masalah Polya Linguistik Logika Matematika Visual Spasial
Memahami 1) Mula-mula SA 1) Mula-mula SB 1) Mula-mula SC
Masalah membaca masalah membaca masalah membaca masalah
sebanyak dua kali. sebanyak tiga kali. beberapa kali.
2) Selanjutnya SA 2) Selanjutnya SB 2) Selanjutnya SC
mengaitkan informasi mengaitkan informasi mengungkapkan
tersebut dengan tersebut dengan kembali masalah
pengetahuan tentang pengetahuan tentang M1 dengan
perbandingan yang perbandingan yang bahasanya sendiri
terdapat dalam terdapat dalam dengan jelas,
struktur kognitifnya, struktur kognitifnya, kemudian
sehingga SA sehingga SB menyebutkan apa
mendapatkan mendapatkan yang diketahui dan
pemahaman tentang pemahaman tentang apa yang
masalah yang masalah yang ditanyakan dari
dihadapi. dihadapi. soal tersebut.
3) Kemudian SA 3) Kemudian SB 3) Setelah itu SC
mengungkapkan menyebutkan apa menghubungkan
kembali semua yang diketahui dan masalah yang
informasi yang apa yang ditanyakan dihadapi dengan
tersedia (yang dari soal tersebut. masalah mirip
diketahui) dan apa 4) Pengalaman dalam yang pernah
yang ingin kehidupan sehari-hari dijumpai
didapatkan atau pengetahuan sebelumnya
(ditanyakan). mengenai masalah mengenai
4) Pengalaman dalam perbandingan yang perbandingan
kehidupan sehari-hari pernah diselesaikan berbalik nilai
atau pengetahuan sebelumnya dalam struktur
mengenai masalah membantu SB dalam kognitifnya.
perbandingan yang memahami masalah, 4) Pengalaman yang
pernah diselesaikan sehingga SB dimiliki SC
sebelumnya mempunyai ide untuk membantunya
membantu SA dalam memecahkan masalah memahami
memahami masalah, yang dihadapinya. masalah yang
sehingga SA dihadapi, sehingga
mempunyai ide untuk dia memperoleh
memecahkan masalah ide untuk
yang dihadapinya. memecahkan
masalah tersebut.
Membuat 1) SA mula-mula 1) Mula-mula SB 1) Mula-mula SC
Rencana menghubungkan menghubungkan menggunakan
Pemecahan masalah yang masalah yang semua informasi
Masalah dihadapi dengan dihadapi dengan yang diperoleh
masalah mirip yang masalah mirip yang untuk menentukan
pernah dijumpai pernah dijumpai strategi yang tepat
sebelumnya. sebelumnya. dalam
2) Kemudian SA 2) Kemudian SB memecahkan
merencanakan merencanakan masalah yang
pemecahan masalah pemecahan masalah dihadapi.
dengan cara dengan cara 2) Selanjutnya SC
perbandingan sesuai perbandingan berbalik membuat rencana
37
4. Pembahasan
Polya (1973) menyatakan bahwa dalam memecahkan masalah, siswa harus memahami
masalah yang dihadapinya. Langkah-langkah berikutnya tidak dapat dilakukan kalau ia tidak
memahami masalah terlebih dahulu. Kesesuaian representasi internal subjek penelitian dapat
dilihat pada waktu menceritakan pemahamannya. SA, SB, dan SC dengan tepat
menyebutkan hal-hal yang diketahui dan yang ditanyakan dari masalah. Informasi yang
relevan kemudian direpresentasikan oleh subjek penelitian ke dalam simbol-simbol yang
sesuai.
Berdasarkan pengenalan bahwa masalah yang dihadapi sesuai dengan konsep tertentu dalam
matematika, subjek penelitian mengkonstruksi suatu strategi untuk memecahkan masalah
yang dihadapi. Mereka mengintegrasikan konsep-konsep tertentu (diantaranya perbandingan
39
berbalik nilai) dan informasi relevan dari masalah untuk menghasilkan suatu rencana
pemecahan masalah. Tindakan ini oleh Herskowits dan Wood disebut sebagai tindakan
mengkonstruksi.
Pada waktu menceritakan rencananya SB dan SC tidak melakukan kesalahan atau terlihat
ragu-ragu. Mereka yakin bahwa apa yang diucapkan sesuai. Keyakinan itu karena SB dan
SC mengingat informasi yang diperoleh dari pemahaman tentang masalah atau dari
representasi internal dalam struktur kognitif yang telah dibentuk sebelumnya. Satu hal yang
kurang adalah pada subjek dengan kecerdasan linguistik (SA), yaitu ia tidak menceritakan
strategi pemecahan masalah yang jelas. SA hanya menyebutkan perbandingan tanpa
mengetahui jenis perbandingan yang digunakan.
Selanjutnya, subjek dengan kecerdasan logika matematika (SB) dan visual spasial (SC)
melaksanakan rencana penyelesaian sesuai dengan langkah-langkah dalam perbandingan
berbalik nilai. Dia menjalankan langkah-langkah pemecahan masalah sesuai rencana. Setiap
langkah dapat dituliskan dengan lancar dan tidak terdapat kesalahan dalam setiap langkah
pemecahan masalah sampai diperoleh hasil yang benar. Yang membedakan antara SB dan
SC adalah pada saat akan melaksanakan rencana SB mengawali dengan membuat tabel
terkait dengan masalah yang dihadapinya. Kemudian dengan penalarannya, ia mengisi tabel
yang telah dibuat tadi dengan semua informasi yang ada di soal. Sedangkan untuk subjek
dengan kecerdasan visual spasial (SC), sebelum melaksanakan rencana yang telah dibuat, ia
membuat gambar terlebih dahulu untuk memudahkan menyelesaikan masalah. Dengan
penalarannya, ia membagi gambar tersebut menjadi bagian-bagian kecil sesuai dengan
informasi pada soal tersebut.
Menurut Polya (1973), ada dua cara memeriksa kembali (looking back) hasil penyelesaian
yang telah dikerjakan, yaitu: (1) menelusuri setiap langkah hasil penyelesaian yang telah
dikerjakan, dan (2) menggunakan cara lain untuk memvalidasi hasil yang diperoleh
menggunakan cara pertama. Menurut Hudoyo (2003) agar yakin terhadap kehadiran dan
kualitas suatu objek, maka harus melihat dan menyentuhnya. Persepsi melalui dua pengertian
berbeda dapat digunakan untuk memperoleh sebuah bukti. Jika memiliki lebih dari satu
cara/strategi yang dapat digunakan memecahkan masalah tersebut, maka sebaiknya
digunakan kedua cara tersebut untuk melihat dan meyakinkan apakah solusi yang diperoleh
pada cara pertama sudah benar atau tidak. Hal ini dilakukan oleh subjek dengan kecerdasan
logika matematika (SB), yaitu memeriksa kembali dengan menggunakan cara kedua. Hasil
yang diperoleh menggunakan cara kedua dibandingkan dengan hasil dengan hasil yang
40
diperoleh menggunakan cara pertama. Karena hasil yang diperoleh menggunakan dua cara
yang berbeda diperoleh solusi yang sama, maka subjek dengan kecerdasan logika
matematika (SB) yakin jawaban tersebut sudah benar. Keyakinan ini muncul karena ia
mengingat informasi yang diperoleh dari pemahamannya tentang masalah atau dari
representasi internal dalam struktur kognitif yang telah dibentuk sebelumnya.
Subjek dengan kecerdasan linguistik (SA) melakukan pemeriksaan kembali pekerjaan yang
telah dibuatnya. SA tidak melakukan aktivitas menulis atau corat-coret melainkan diam
sambil memandang hasil pekerjaan yang telah dibuatnya. Ketika ditanya bagaimana caramu
memeriksa hasil pekerjaan? SA menjawab: “Saya mengecek setiap langkah penyelesaian
mulai dari yang diketahui sampai hasil perkalian”. Pengecekan yang telah dilakukan tidak
dapat membetulkan kesalahan yang ada. Sehingga solusi yang diperoleh tidak benar. Tetapi
walaupun demikian, subjek ini yakin bahwa jawaban yang dibuatnya benar. Tidak nampak
adanya keraguan sedikitpun terhadap hasil yang diperolehnya. Hal ini menunjukkan bahwa
subjek dengan kecerdasan linguistik pada waktu memeriksa hasil pekerjaan tidak menyadari
adanya kesalahan dalam menerapkan konsep sesuai dengan ide pemecahan masalah yang ada
dalam pikirannya. Ketidaksesuaian konsep yang diterapkan dalam memecahkan masalah
karena ia tidak mampu menangkap semua informasi dari masalah yang dihadapi, sehingga
representasi internal dalam struktur kognisinya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Sedangkan untuk subjek dengan kecerdasan visual spasial, dia melakukan pemeriksaan
terhadap pekerjaan yang telah dibuat dengan cara mengecek kembali setiap langkah yang
telah dibuatnya. Subjek ini melakukan perhitungan kembali sebagaimana yang telah ia
lakukan sebelumnya. Pada waktu memeriksa kembali hasil pekerjaanya, subjek dengan
kecerdasan visual spasial tidak melakukan kesalahan atau terlihat ragu-ragu. Subjek ini
sudah yakin bahwa apa yang sudah dikerjakannya sudah sesuai dengan rencana yang telah
dibuat. Keyakinan ini karena ia mengingat informasi yang diperoleh dari pemahamannya
tentang masalah atau dari representasi internal dalam struktur kognitif yang telah dibentuk
sebelumnya.
5. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan, maka dapat ditarik beberapa
kesimpulan tentang proses berpikir siswa SMK dengan kecerdasan linguistik, logika
matematika, dan visual spasial dalam memecahkan masalah matematika sebagai berikut.
tertentu dan informasi relevan dari masalah tersebut untuk menghasilkan suatu
rencana pemecahan masalah yaitu perbandingan.
c) Kemudian subjek mulai melaksanakan rencana sesuai dengan langkah-langkah
pemecahan masalah yang telah dibuatnya. Setiap langkah dapat diungkapkan
dengan lancar tetapi terdapat kesalahan dalam menuliskan langkah pemecahan
masalah. Sekalipun sampai pada jawaban akhir tetapi dia tidak menemukan
jawaban yang benar.
d) Selanjutnya, subjek melakukan pemeriksaan kembali pekerjaan yang telah
dibuatnya. Ia tidak melakukan aktivitas menulis atau corat-coret melainkan diam
sambil memandang hasil pekerjaan yang telah dibuatnya. Pengecekan yang telah
dilakukan tidak dapat membetulkan kesalahan yang ada . Sehingga solusi yang
diperoleh tidak benar. Tetapi walaupun demikian, subjek ini yakin bahwa jawaban
yang dibuatnya benar. Tidak nampak adanya keraguan sedikitpun terhadap hasil
yang diperolehnya.
2. Subjek dengan kecerdasan logika matematika.
a) Subjek dengan kecerdasan logika matematika, ketika memahami masalah proses
berpikirnya mula-mula membaca masalah tiga kali. Subjek juga mengaitkan
informasi yang dibaca dengan yang ditanyakan dari masalah. Pengaitan itu
membantunya dalam menentukan mana informasi yang penting dan mana yang
tidak dalam struktur kognitifnya, sehingga membantunya menemukan ide
pemecahan masalah yang dihadapi .
b) Untuk mempermudah memecahkan masalah subjek membuat tabel. Kemudian
subjek memilah-milah mana informasi yang relevan dan mana yang tidak relevan
untuk memperoleh ide rencana pemecahan masalah. Ide rencana pemecahan
masalah subjek ini berasal dari pengetahuan sebelumnya mengenai konsep tertentu
atau strategi pemecahan masalah yang mirip dengan masalah yang sedang dihadapi.
Selanjutnya ia mengintegrasikan konsep-konsep tertentu dan informasi relevan dari
masalah tersebut untuk menghasilkan suatu rencana pemecahan masalah yaitu
perbandingan berbalik nilai.
c) Langkah berikutnya, subjek dengan kecerdasan logika matematika sebelum
melaksanakan rencana yang telah dibuat, ia membuat tabel terlebih dahulu terkait
dengan permasalahan yang dihadapi. Kemudian dengan penalarannya, ia mengisi
tabel yang telah dibuat tadi dengan semua informasi yang ada di soal. Subjek
dengan kecerdasan logika matematika menjalankan langkah-langkah pemecahan
masalah sesuai rencana. Setiap langkah dapat dituliskan dengan lancar dan tidak
terdapat kesalahan dalam setiap langkah pemecahan masalah sampai diperoleh hasil
yang benar.
d) Dalam hal memeriksa kembali hasil pekerjaan, subjek ini mula-mula menelusuri
setiap langkah pemecahan masalah mulai dari perhitungan, perbandingan, dan
sampai pada hasilnya. Selanjutnya untuk meyakinkan hasil yang telah diperolehnya,
ia menggunakan cara lain. Hasil perhitungan dengan cara lain ia bandingkan dengan
cara pertama dan ternyata sama. Pada waktu memeriksa hasil pekerjaanya, subjek
ini melakukan manipulasi pengetahuan dalam struktur kognitifnya. Hal ini terlihat
dari kemampuan subjek ini dalam mengubah permasalahan yang dihadapi menjadi
42
6. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, maka penulis memberikan beberapa saran kepada
guru/calon peneliti sebagai berikut.
Bila ada hambatan dalam memecahkan masalah, siswa dapat kembali ke tahap
sebelumnya. Ini berarti siswa melakukan proses siklik dari langkah-langkah Polya.
2. Berdasarkan hasil penelitian ini masih terbuka penelitian-penelitian lainnya. Salah satu
yang dapat dilakukan guru/calon peneliti adalah penelitian dengan rumusan masalah,
bagaimana mengembangkan model pembelajaran pemecahan masalah yang didasarkan
proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika. Model ini nantinya
diharapkan dapat digunakan dalam pembelajaran di kelas dan mendorong siswa-siswa
mampu memecahkan masalah.
Daftar Pustaka
Chatib, Munif. 2009. Sekolahnya Manusia Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia.
Bandung: Kaifa
Gardner, Howard. 2003. Multiple Intelligences. Batam Centre:Interaksara.
Hudojo, Herman. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan.
Moleong, Lexy. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Pekhonen, E. 1997. The State-of-Art in Mathematical Creativity. Diunduh dari
htpp://fiz.kharlsruhe.de/fiz/publication/zdm.
Polya, G. 1973. How to Solve It, A New Aspect of Mathematical Method. New Jersey: Princeton
University Press.
Wood, T., Williams & B. McNeal. 2006. Children‟s Mathematical Thinking in Different Classroom
Cultures. Journal for Research in Mathematics Education, XXXVII(3), 222-252.
44
Apriyanti Arifin
SMA 1 Sragi, Jl. Raya Bulakpelem Kec. Sragi Kab. Pekalongan,yantiarifin@ymail.com
1. Pendahuluan
Peningkatan mutu pendidikan di antaranya melalui perbaikan kegiatan belajar dan mengajar.
Proses belajar harus diupayakan secara maksimal. Hal ini harus dilakukan karena majunya
pendidikan membawa implikasi yang luas terhadap pemikiran manusia dalam berbagai
bidang sehingga setiap generasi muda harus belajar untuk menjadi manusia yang terdidik
sesuai dengan tuntutan jaman. Menurut Mudyharjo (2002), arti pendidikan ada dua yaitu
definisi pendidikan secara luas yaitu segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam
segala lingkungan dan sepanjang hidup. Pendidikan adalah segala situasi yang
mempengaruhi pertumbuhan individu. Pendidikan berlangsung seumur hidup dalam setiap
selama ada pengaruh lingkungan baik yang khusus diciptakan untuk pendidikan maupun
yang ada dengan sendirinya. Definisi pendidikan secara sempit adalah belajar di sekolah di
mana pengajaran yang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.
Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap siswa yang
diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan sesuai yang diharapkan.
Tolok ukur keberhasilan guru dalam mengajar ditandai dengan hasil belajar yang
memuaskan. Hasil belajar mengacu pada kriteria ketuntasan minimal (KKM). KKM mata
45
pelajaran matematika untuk materi Fungsi Komposisi dan Fungsi Invers pada kelas XI IPS
adalah 70. Tetapi kenyataanya ulangan harian yang diadakan di kelas XI IPS.3 ketuntasan
belajar pada materi tersebut baru mencapai 44,83% atau baru 13 siswa yang tuntas belajar
dari 29 siswa . Dapat dikatakan bahwa hasil belajar kelas tersebut masih rendah.
Hasil belajar pada materi Fungsi Komposisi dan Fungsi Invers yang telah diperoleh dari nilai
ulangan harian siswa kelas XI IPS.3 menunjukkan data sebagai berikut ini.
Dari data di atas, dapat diketahui bahwa rata-rata hasil belajar siswa masih rendah. Hal
tersebut apabila dibandingkan dengan KKM yaitu 70. Nilai tertinggi 85 baru dicapai oleh
seorang siswa dan nilai maksimum belum sesuai harapan, belum ada yang memperoleh nilai
dengan kategori sangat tinggi yaitu nilai 90-100. Untuk itu perlu dilakukan perencanaan
pembelajaran yan tepat agar hasil belajar siswa meningkat.
Salah satu cara untuk meningkatkan hasil belajar matematika materi Limit Fungsi di kelas
XI IPS.3, peneliti akan menggunakan metode mind mapping. Metode ini dipilih karena
melihat kondisi siswa di kelas XI IPS.3 yang kurang merespon pelajaran, malas mencatat,
dikawatirkan siswa tidak mampu menyerap materi pelajaran, akhirnya tidak mampu
mengingat konsep atau rumus-rumus. Penggunaan metode mind mapping ini diharapkan
cukup efektif untuk meningkatkan hasil belajar siswa karena dengan metode ini siswa dapat
membuat peta pemikiran/konsep mengenai materi yang dipelajari, sehingga diharapkan akan
mudah diingat apa yang telah dipelajari dengan menuangkan konsep dalam bentuk peta yang
menarik sesuai kreativitas siswa.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut:
(1)Apakah metode mindmapping dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada materi
limit fungsi siswa kelas XI IPS SMA 1 Sragi pada semester 2 tahun pelajaran 2012/2013?
(2)Apakah metode mind mapping dapat meningkatkan aktivitas dalam belajar matematika
pada materi limit fungsi siswa kelas XI IPS SMA 1 Sragi pada semester 2 tahun pelajaran
2012/2013? Tujuan penelitian adalah untuk: (1) meningkatkan hasil belajar siswa, (2)
meningkatkan aktivitas guru dalam pengelolaan pembelajaran, aktivitas dan respon siswa
dalam belajar.
46
2. Kajian Teori
2.1 Belajar
Menurut Djamarah dan Zain (2002:11) belajar adalah proses perubahan perilaku yang
menyangkut pengetahuan, keterampilan, maupun sikap, bakat, pengalaman dan latihan. Di
sisi lain menurut Slameto (1995: 2) belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan
sebagai hasil pengalaman sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Berdasarkan dua
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah bentuk perubahan tingkah laku
seseorang dari hasil pengalaman dan latihan.
Hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami
aktivitas belajar (Anni, 2004:4) . Hasil belajar merupakan perwujudan perilaku belajar yang
biasanya terlihat dalam perubahan, kebiasaan, keterampilan, sikap, pengamatan, dan
kemampuan. Keberhasilan seseorang di dalam mengikuti proses pembelajaran pada satu
jenjang pendidikan tertentu dapat dilihat dari hasil belajar itu sendiri. Menurut Sudjana
(2009:22-23) hasil belajar merupakan kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah
ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar juga merupakan suatu kompetensi atau
kecakapan yang dapat dicapai oleh peserta didik setelah melalui kegiatan pembelajaran yang
dirancang dan dilaksanakana oleh guru di suatu sekolah dan kelas tertentu.
Beberapa pendapat di atas mengambarkan bahwa hasil belajar merupakan proses perubahan
tingkah laku yang meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan yang merupakan hasil dari
aktivitas belajar. Hasil belajar juga diartikan sebagai tingkat penguasaan yang dicapai oleh
siswa dalam mengikuti proses pembelajaran sesuai dengan program pendidikan yang
ditetapkan.
47
Mind mapping mempunyai perbedaan dengan catatan biasa. Berikut ini disajikan perbedaan
antara catatan tradisional (catatan biasa) dengan catatan pemetaan pikiran (mind mapping).
Dari uraian tersebut, peta pikiran (mind mapping) adalah satu teknik mencatat yang
mengembangkan gaya belajar visual. Peta pikiran memadukan dan mengembangkan potensi
kerja otak yang terdapat di dalam diri seseorang. Dengan adanya keterlibatan kedua belahan
otak maka akan memudahkan seseorang untuk mengatur dan mengingat segala bentuk
informasi, baik secara tertulis maupun secara verbal. Adanya kombinasi warna, simbol,
bentuk dan sebagainya memudahkan otak dalam menyerap informasi yang diterima. Suasana
menyenangkan yang diperoleh siswa ketika berada di ruang kelas pada saat proses belajar
akan mempengaruhi penciptaan peta pikiran. Tugas guru dalam proses belajar adalah
menciptakan suasana yang dapat mendukung kondisi belajar siswa terutama dalam proses
pembuatan mind mapping.
3. Metode Penelitian
Keterangan :
= frekuensi aktivitas butir ke-i
= frekuensi siswa yang melakukan aktivitas butir ke-i
= total seluruh siswa yang melakukan aktivitas butir ke-i
= 1, 2, 3, 4, 5
Dengan kriteria sebagai berikut ini.
a. Siswa dikatakan aktif jika persentase keaktifan 75%
b. Siswa dikatakan tidak aktif jika persentase keaktifan 75%
belajar siswa ditunjukkan dengan memperhatikan nilai LKS, nilai mind mapping, dan
nilai tes siklus. Hasil belajar siswa diberikan dengan rumus:
Rumus untuk menghitung nilai respon siswa siswa adalah sebagai berikut:
Keterangan :
NRS SS = nilai respon siswa untuk jawaban sangat setuju
NRS S = nilai respon siswa untuk jawaban setuju
NRS TS = nilai respon siswa untuk jawaban tidak setuju
NRS STS = nilai respon siswa untuk jawaban sangat tidak setuju
Selanjutnya dicari persentase nilai respon siswa dari nilai respon siswa tiap jawaban dengan
rumus :
∑
51
Keterangan :
= persentase nilai respon siswa
∑ = total nilai respon siswa yang diperoleh dari NRS SS + NRS S + NRS TS + NRS
STS
= ∑ skor pilihan terbaik
4. Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diperoleh dari hasil tindakan siklus I dan siklus II. Hasil penelitian terdiri
dari hasil tes dan nontes. Hasil tes tindakan siklus I dan siklus II dengan mengambil data
52
hasil belajar matematika materi limit fungsi melalui metode mind mapping. Adapun hasil
nontes berupa observasi, angket, dan dokumentasi.
4.1. Hasil Penelitian Siklus I
Dari Tabel 4 di atas dapat dilihat bahwa jumlah skor pada siklus I mencapai 45 dan rata-
rataskor 3,0 sehingga aktivitas guru pada siklus I mencapai kriteria baik. Sedangkan pada
siklus II mencapai skor 56 dan rata-rata skor 3,7 sehingga aktivitas guru mencapai kriteria
sangat baik.
Dari Tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa pada siklus I rata-rata persentase aktivitas siswa
baru mencapai 67, 59 sehingga kriteria aktivitas siswa dikatakan tidak aktif. Sedangkan
pada siklus II aktivitas siswa mencapai 76,55 sehingga kriteria aktivitas siswa adalah aktif.
Data pada Tabel 6. menunjukkan bahwa siswa yang mencapai nilai sama atau lebih tinggi
dari kiteria ketuntasan minimal (KKM) 70 sejumlah 16 siswa atau baru mencapai 55,17%.
Hal ini menunjukkan bahwa proses pembelajaran pada siklus I belum mencapai tarjet
indikator kinerja yang diinginkan yaitu 80% siswa memperoleh nilai sama atau lebih tinggi
54
dari kriteria ketuntasan minimal (KKM). Sehingga perlu dilanjutkan pada siklus II.
Sedangkan pada siklus II siswa yang mencapai nilai sama atau lebih tinggi dari kiteria
ketuntasan minimal (KKM) 70 sejumlah 26 siswa atau sudah mencapai 89,66%. Hal ini
menunjukkan bahwa proses pembelajaran pada siklus II sudah mencapai tarjet indikator
kinerja yang diinginkan yaitu 80% siswa memperoleh nilai sama atau lebih tinggi dari
kriteria ketuntasan minimal (KKM).
Dari tabel 7 di atas dapat dilihat bahwa persentase dari seluruh butir pernyataan yang
termasuk dalam kategori sangat kuat atau kuat 50% maka respon siswa pada siklus I
dikatakan positif. Sedangkan pada siklus II dapat dilihat bahwa persentase dari seluruh butir
55
pernyataan yang termasuk dalam kategori sangat kuat atau kuat 50% maka respon siswa
pada siklus II dikatakan positif.
Selain dari angket siswa peneliti juga mengambil data respon siswa dari jurnal harian siswa.
Jurnal harian siswa diberikan setelah satu siklus selesai. Dari jurnal harian siswa siklus I
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan metode mind mapping diantaranya yaitu: (1)
pembelajaran menjadi lebih menarik, (2) mudah dipahami, (3) mudah dipelajari, (4) siswa
menjadi lebih kreatif, (5) mudah diingat, (6) mudah untuk belajar, (7) siswa setuju metode
mind mapping diterapkan pada pembelajaran berikutnya.
Secara keseluruhan bahwa proses penelitian telah dilakukan secara bertahap mulai dari siklus
I dan siklus II. Perkembangan yang dicapai telah menunjukkan hasil yang signifikan, dilihat
dari hasil belajar siswa dan aktivitas mengajar guru, aktivitas dan respon siswa. Keadaan
tersebut menunjukkan bahwa proses pembelajaran sudah terlihat lebih dinais dan ada usaha
untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terjadi, baik yang terkait dengan guru
maupun siswa.
Untuk aktivitas guru dalam mengelola pembelajaran terdapat perubahan yang cukup
signifikan dari kualitas pembelajaran yang mengalami perubahan dari kriteria baik menjadi
sangat baik berdasarkan pengamatan kolaborator. Demikian pula aktivitas siswa mengalami
perubahan yang sangat bagus dari kriteria tidak aktif menjadi aktif. Untuk hasil belajar siswa
juga mengalami peningkatan yang bagus, ketuntasan belajar dari 55,17% menjadi 89,66%.
Sedangkan untuk respon siswa pada siklus I dan II menunjukkan kriteria positif.
Dengan demikian, secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa proses pembelajaran yang
menggunakan metode mind mapping dapat meningkatkan hasil belajar matematika materi
limit fungsi pada siswa kelas XI IPS SMA 1 Sragi semester 2 tahun 2012/2013.
5. Penutup
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa: (1)
metode mind mapping dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada materi limit fungsi
siswa kelas XI IPS SMA 1 Sragi pada semester 2 tahun pelajaran 2012/2013, (2) metode
mind mapping dapat meningkatkan aktivitas dalam belajar matematika pada materi limit
fungsi siswa kelas XI IPS SMA 1 Sragi pada semester 2 tahun pelajaran 2012/2013.
5.2 Saran
Saran yang ingin disampaikan melalui penelitian ini adalah (1) hendaknya para guru terus
berimprovisasi untuk memperbaiki kemampuan mengajarnya dengan mencoba menerapkan
metode pembelajaran yang inovatif (2) para siswa hendaknya selalu memotivasi diri untuk
aktif dalam kegiatan belajar mengajar, (3) para peneliti hendaknya dapat melakukan
56
penelitian lebih lanjut menggunakan mind mapping atau metode-metode mengajar lain yang
lebih bervariasi untuk mencapai tujuan pembelajaran.
1. Dinas Provinsi Jawa Tengah, yang telah memberikan bantuan dana blockgrant action
research tahun 2013
2. Drs. H. Umaidi, M.Si., selaku Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Pekalongan
3. Dr. Iwan Junaedi, S.Si., M.Pd., selaku dosen pembimbing penelitian dari UNNES
4. Ircham Junaidi S,Pd.,M.Pd., selaku Kepala SMA 1 Sragi Kabupaten Pekalongan yang
telah memberikan ijin penelitian
5. Sobirin, S.Pd. M.Pd., yang telah memberikan dukungan dan sumbang saran pemikiran
6. Rustanto, S.Pd, yang telah membantu memberikan referensi pustaka mind mapping
Daftar Pustaka
Anni, Catharina Tri dkk. 2004. Psikologi Belajar. Semarang: UPT Unnes Press
Buzan, Toni. 2003. Use Both Sides of Your Brain. Yogyakarta: Ikon Teralitera
Buzan, Toni. 2012. Buku Pintar Mind Map. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Djamarah dan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Rineka Cipta
Islamiati, Ismi Nugrahi. 2008. Pembelajaran Matematika Menggunakan Metode Penemuan
Terbimbing Dalam Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD Untuk meningkatkan Prestasi
belajar Matematika Siswa. Skripsi: Tidak Diterbitkan
Makmun, A.S. 2007. Psikologi Kependidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Mudyharjo, Redja. 2002. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Nurvitasari, Ratna. 2008. Penerapan Metode Mind Mapping Dalam Model Cooperative Learning
Untuk Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa SMA. Skripsi: Tidak
Diterbitkan
Slameto. 1995. Belajar Dan Faktor – faktor Yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta
Subyantoro. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Sudjana. 2009. Penilaian hasil proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja
Sugeng. 2011. Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa kelas X.4 SMA 1 Sragi Semester
Genap tahun Pelajaran 2010/2011 Pada pokok Bahasan Perbandingan Dan Fungsi
Trigonometri Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Number Heads
Together (NHT). PTK: Tidak Diterbitkan
Suryabrata, Sumadi. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Raya Grafindo Persada
57
Abstrak. Penelitian tindakan kelas ini bertujuan mencari solusi terhadap rendahnya
aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika, kemampuan berfikir kritis dan
prestasi siswa. Model pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran kooperatif
problem posing. Subyek penelitian ini siswa-siswa kelas X Multimedia Sekolah
Menengah Kejuruan Negeri 3 Yogyakarta dengan jumlah siswa sebanyak 35 orang
siswa terdiri dari 19 orang laki-laki dan 16 orang perempuan. Sumber datanya berasal
dari hasil tes awal, lembar observasi, angket, wawancara, lembar kerja siswa pada
kelompok diskusi, catatan lapangan dan tes akhir. Pertemuan pertama digunakan untuk
pemahaman materi, pertemuan kedua siswa berlatih membuat dan menyelesaikan soal
yang dibuat oleh kelompok tersebut, pertemuan ketiga masing-masing kelompok
membuat, menyelesaikan soal dan mempresentasikannya. Hasil penelitian ini adalah
model pembelajaran kooperatif problem posing dapat meningkatkan aktivitas belajar
dan kemampuan berfikir kritis siswa kelas X Multimedia tahun pelajaran 2012/2013
dengan perincian sebagai berikut (1) Jumlah siswa yang telah melakukan aktivitas
belajar (mengajukan pertanyaan, menjawab pertanyaan, memberi saran dan
mengemukakan pendapat) mencapai 86,69%; (2) Kemampuan membuat dan
menyelesaikan soal dengan benar mencapai 92,0%; dan (3) Siswa yang mengalami
peningkatan hasil belajar mencapai 72,73 %.
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Penelitian ini dilakukan karena: (1) rendahnya ketuntasan belajar, (2) rendahnya aktivitas
belajar matematika dan (3) pembelajaran yang konvensional sehingga peserta didik menjadi
pasif, tidak kritis, mudah bosan dan malas mengikuti pembelajaran. Penelitian ini
menggunakan pembelajaran kooperatif problem posing. Model pembelajaran ini diharapkan
dapat meningkatkan aktivitas belajar dan kemampuan berpikir kritis yang pada akhirnya
meningkatkan prestasi belajar peserta didik. Penelitian ini dibatasi pada usaha untuk
meningkatkan aktivitas belajar matematika dan kemampuan berpikir kritis.
58
Menurut Ennis dan Costa (dalam Suryadi dan Herman, 2008: 20) berpikir kritis merupakan
suatu proses penggunaan kemampuan berpikir secara efektif yang dapat membantu
seseorang untuk membuat, mengevaluasi serta mengambil keputusan tentang apa yang
diyakini atau dilakukan. Dalam penelitian ini kemampuan berpikir peserta didik dibagi
dalam 3 aspek yaitu: (1) Mengklarifikasi masalah dengan indikator ( menggunakan informasi
yang diterima dalam menyusun pertanyaan atau pernyataan ). (2) Menilai informasi yang
berhubungan dengan masalah indikator dan menggunakan informasi yang berhubungan
untuk menyusun pertanyaan atau pernyataan dengan benar. (3) Menentukan solusi dan
membuat kesimpulan sesuai dengan indikator, menyusun operasi matematika yang
diperlukan, menyelesaikan pernyataan yang dibuatnya.
59
Problem posing adalah istilah dalam bahasa Inggris yaitu dari kata “problem” artinya
masalah, soal/persoalan dan kata “pose” yang artinya mengajukan (Echols , 1995: 439 dan
448). Setiawan (2004: 17) mengatakan pembentukan soal atau pembentukan masalah
mencakup dua kegiatan yaitu: (1) Pembentukan soal baru atau pembentukan soal dari situasi
atau dari pengalaman peserta didik; (2) Pembentukan soal dari soal yang sudah ada. Jadi
pembelajaran kooperatif problem posing adalah pembelajaran yang mewajibkan peserta
didik membuat soal atau pertanyaan berdasarkan informasi yang diberikan oleh pendidik dan
membuat solusi atau penyelesaiannya.
2. Metode Penelitian
2.1 Tempat dan Subyek Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMKN 3 Yogyakarta pada semester genap tahun pelajaran
2012/2013. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Maret – Mei 2013. Subyek tindakan
adalah peserta didik kelas X MM (Multimedia) tahun 2012/2013 yang berjumlah 35 orang
dengan 17 puteri dan 18 putera. Karakteristik peserta didik kelas MM adalah kurang aktif.
Penyusunan laporan
Seminar
60
Pada tahap pendahuluan peserta didik menerima pengarahan dari pendidik tentang tujuan
penelitian, langkah-langkah pembelajaran problem posing dan jadwal pelaksanaan. Tahap
penyampaian materi peserta didik dengan tanya jawab menerima materi, menyimak cara
61
pembuatan soal dan penyelesaiannya. Selanjutnya pada tahap kooperatif problem posing
peserta didik telah duduk dalam posisi diskusi kelompok. Peserta didik menerima arahan
pendidik tentang cara berdiskusi, penulisan hasil diskusi pada lembar kerja dan tanggung
jawab tiap anggota kelompok dalam partisipasi pembuatan soal dan penyelesaiannya. Tahap
kooperatif problem posing dilaksanakan pada pertemuan ke-2 dan ke-3 tiap siklus. Pada
pertemuan ke-2 sebagai latihan dan pada pertemuan ke-3 sebagai tes.
Evaluasi dilaksanakan pada tiap-tiap pertemuan, dengan menanggapi soal dan penyelesaian
yang dibuat peserta didik. Peserta didik mendengarkan pembahasan hasil diskusi oleh
pendidik supaya tidak melakukan kesalahan pada pembuatan soal dan penyelesaiannya pada
pertemuan berikutnya. Dalam tahap ini juga dilakukan dengan presentasi hasil diskusi
kelompok.
Pendidik menutup pertemuan dengan mengarahkan peserta didik membuat kesimpulan hasil
belajar pada pertemuan tersebut. Peserta didik menerima penjelasan tentang materi dan
pedoman peserta didik untuk pertemuan berikutnya.
Pada tahap observasi pendidik dan pengamat mengisi lembar observasi selama pembelajaran
berlangsung. Pengamat mengisi catatan lapangan untuk hal-hal penting yang terjadi yang
tidak termasuk pada lembar observasi. Tahap refleksi peserta didik diminta untuk mengisi
angket dan lembar wawancara kepada perwakilan peserta didik. Pendidik dan pengamat
menganalisis lembar observasi, lembar angket, lembar wawancara, dan lembar kerja peserta
didik (pada pertemuan ke-3). Hasil yang diperoleh pada kegiatan refleksi ini digunakan
untuk menyempurnakan tindakan pada siklus ke-2.
Data yang diperoleh ada 4 macam, yaitu : (1) Proses pembelajaran: aktivitas belajar,
kelancaran, suasana, dan hasil pembelajaran. (2) Pendapat peserta didik tentang aktivitas
belajar peserta didik, kelancaran pembelajaran, suasana pembelajaran dan hasil
pembelajaran. (3) Pendapat perwakilan peserta didik tentang pendidik dan peserta didik
dalam aktivitas belajar, kelancaran, suasana, dan hasil pembelajaran. (4) Kemampuan
berfikir kritis dari hasil diskusi pada lembar kerja peserta didik.
maka nilainya 1. Namun jika ada pernyataan atau kalimat yang kurang jelas namun masih
bisa dipahami maksudnya maka dinilai antara 7-9. Demikian juga jika aspek tersebut hanya
terpenuhi kurang dari 50% maka nilainya 2 - 4.
Tes akhir juga berbentuk pilihan ganda 20 soal dengan waktu 60 menit. Hasil tes akhir dan
tes awal digunakan untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar matematika peserta didik
setelah pembelajaran kooperatif problem posing. Materi tes akhir siklus tiap-tiap kelompok
diminta membuat 3 soal dan penyelesaiannya. Pada tes akhir siklus I terdiri dari: (1) dua
soal dan penyelesaian luas bangun ruang dan (2) satu soal dan penyelesainya volume
bangun ruang. Sedangkan pada tes akhir siklus II tiap-tiap kelompok diminta membuat (1)
dua soal dan penyelesaian jarak pada bangun ruang, dan (2) satu soal dan penyelesaian
sudut pada bangun ruang.
Penilaian terbagi dalam 3 aspek yaitu: (1) Mengklarifikasi masalah dengan indikator; (2)
Menilai informasi dan menggunakan untuk menyusun pertanyaan atau pernyataan dengan
benar; (3) Menyelesaikan pertanyaan yang dibuatnya. Skor maksimum masing-masing aspek
adalah 10, dengan pedoman penilaian sama dengan penilaian lembar kerja peserta didik.
Nilai masing-masing aspek dijumlah, dihitung rata-ratanya kemudian nyatakan dalam
persentase.
Pada awal pertemuan pendidik menyampaikan bahwa kelas XMM akan menjadi subyek
penelitian tindakan kelas, tujuan penelitian, pembelajaran yang digunakan, dan jadwal
penelitian tindakan kelas. Pada saat tes awal diikuti 33 peserta. Tes awal dilaksanakan dalam
waktu 60 menit. Hasil tes awal diperoleh rata-rata nilai 72,79 dengan nilai terendah 30
tertinggi 95 dengan simpangan baku 17, 02. Dengan KKM ( Kriteria Ketuntasan Minimal)
75, ternyata ada 20 peserta didik yang sudah tuntas atau memenuhi KKM.
97
92
86.69
87 84.54
Siklus I
82
77 Siklus II
72
67
Aktivitas Belajar Matematika
65
3.2.3.1 Siklus 1
3.2.3.2 Siklus 2
3.3 Pembahasan
Pelaksanaan penelitian tindakan kelas pada siklus I dapat dilaksanakan sesuai dengan
jadwal. Alokasi waktu tiap-tiap tahapnya belum ditepati yang mengakibatkan evaluasi pada
siklus I dilaksanakan pada pertemuan ke-2, sehingga presentasi pada pertemuan kedua hanya
2 kelompok saja. Pada pertemuan kedua juga terkendala dengan tidak adanya OHP sehingga
soal dan penyelesaian ditulis di papan tulis, namun aktivitas tanya jawab sudah berlangsung
dengan baik, bahkan kelompok yang belum presentasi menyampaikan bahwa sangat ingin
presentasi.
Pada pertemuan ke-3, disampaikan ke peserta didik bahwa mereka perlu menggunakan
waktu dengan baik. Pembagian peran tugas sangat diperlukan, juga perlu ada pencatat waktu
dari kelompok yang tidak presentasi, sehingga semua kelompok mendapatkan kesempatan
66
presentasi yang sama. Sebelum waktu presentasi habis, disampaikan sisa waktu ( 3 menit
sebelum berakhir).
Aktivitas belajar matematika pada siklus I sebesar 84,54 % . Peserta didik pada siklus I
sudah dapat membuat dan menyelesaikan soal dengan benar sebesar 91,2 % .
Penyempurnaan pada siklus II dan pengalaman di siklus I membuat pendidik dan peserta
didik lebih siap dan mampu mengelola waktu sehingga terlaksana sesuai dengan rencana.
Semua kelompok dapat menyelesaikan tes akhir siklus dan presentasi. Pendidik juga lebih
mampu mengelola waktu dan pembelajaran. Siswa lebih berani bertanya, menjawab,
berpendapat, cermat, dan kritis, bahkan situasi pembelajaran dapat berjalan dengan lancar
dan ceria.
Aktivitas belajar matematika pada siklus II sebesar 86,69%. Peserta didik pada siklus II
sudah dapat membuat dan menyelesaikan soal dengan benar sebesar 92,0 %. Hasil dari
siklus I dan II: Aktivitas belajar matematika pada siklus I sebesar 84,54 % dan pada siklus II
sebesar 86,69%. Pada kedua siklus aktivitas belajar sudah lebih dari 67% dan mengalami
peningkatan sebesar 2,15%
Peserta didik pada siklus I sudah dapat membuat dan menyelesaikan soal dengan benar
sebesar 91,2 % dan pada sikus II sebesar 92,0 %. Pada kedua siklus sudah melebihi 67%
dan mengalami peningkatan sebesar 0,8%.
Kemampuan berfikir kritis pada siklus I diperoleh rata-rata 91,72 % yang berarti termasuk
kriteria sangat tinggi (89% < x ≤ 100%) dan pada siklus II diperoleh rata-rata 83,69 % yang
berarti termasuk pada kriteria tinggi (79% < x ≤ 89%). Hal ini terjadi karena tingkat
kesulitan materi pada siklus II lebih tinggi daripada tingkat kesulitan pada siklus I.
Hasil tes setelah tindakan menunjukkan 72,73 % siswa mengalami peningkatan hasil belajar.
Pencapaian ini sudah melebihi 5,73 % dari indikator keberhasilan yaitu 67 %. Sedangkan
banyaknya peserta didik yang memenuhi kriteria ketuntasan minimal pada tes awal (sebelum
tindakan) sebanyak 20 orang dan pada tes setelah tindakan sebanyak 34 peserta didik.
Daftar Pustaka
Echols, John, M. dkk. 1995. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta. PT Gramedia.
Fety Herira Amansari. 2011. Upaya Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif Peserta
didik Kleas X Administrasi Perkantoran (AP) SMK Negeri 1 Depok pada Pembelajaran
Matematika dengan Metode Problem posing Tipe Presolution Posing. Yogyakarta. Universitas
Negeri Yogyakarta.
Hendra Surya. 2009. Menjadi Manusia Pembelajar. Jakarta: PT. Gramedia.
Ibrahim Muslimin, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya. Universitas Negeri Surabaya.
Roestiah. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Setiawan. 2004. Pembelajaran Trigonometri Berorientasi PAKEM di SMA.
http: //www.p3gmatyo.go.id/download/PPP/PPP04_ Trigonometri SMA. Pdf. (27 Maret 2006)
Suryadi, Didi & Tatang Herman. 2008. Eksplorasi Matematika Pembelajaran Pemecahan Masalah.
Jakarta: Karya Duta Wahana
68
Arief Suryantoro
Bidang Pemodelan Atmosfer, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer - LAPAN
Jalan Dr. Djundjunan No. 133, Bandung, 40173
email: ariefsurya61@gmail.com
Abstrak. Salah satu masalah krusial curah hujan ekstrem di suatu daerah adalah
penentuan dan perhitungan nilai ambang batas yang valid, tepat dan akurat. Kriteria
persentil (baik persentil ke-90, ke-95 maupun ke-99) diterapkan dalam penelitian ini
untuk memperoleh nilai ambang batas kondisi ekstrem hujan bulanan di wilayah Balai
Besar Padi (BB Padi) Sukamandi Subang (6,33 °LS; 107,65 °BT) dan di wilayah
Bandara Pattimura Ambon (3,70 °LS; 128,08 °BT) dalam pengamatan sekitar 30 tahun.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami karakteristik curah hujan
di Benua Maritim Indonesia pada umumnya, dan wilayah BB Padi Sukamandi Subang
dan Bandara Pattimura Ambon pada khususnya. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa nilai ambang batas ekstrem berdasar kriteria persentil 90 (P90) adalah paling
kecil (72,0 mm untuk wilayah BB Padi Sukamandi, terjadi pada bulan Juli; dan 160,0
mm untuk wilayah Bandara Pattimura, terjadi pada bulan November). Selanjutnya, nilai
ambang batas ekstrem paling besar adalah yang berdasar kriteria persentil 99 (P99),
yaitu pada nilai 486,0 mm (BB Padi Sukamandi Subang pada bulan Januari) dan 1519,0
mm (Bandara Pattimura Ambon pada bulan Agustus). Ambang batas kondisi ekstrem
hujan berdasar kriteria persentil 90 (P90) ini sudah dapat menggambarkan kondisi
ekstrem hujan di daerah yang ditinjau dalam penelitian.
Kata kunci. Kriteria, ekstrem, persentil 90 (P90), persentil 95 (P95), persentil 99 (P99)
Abstract. One of the crucial problems of extreme rainfall in an area is the determination
and calculation of threshold values valid, precise and accurate. Percentile criteria (both
90th percentile, to 95 or to 99) were used to obtain the threshold value of the monthly
rainfall extremes in the region of the Balai Besar Padi (BB Padi) Sukamandi Subang
(6.33 ° S ; 107.65 ° E) and Pattimura Airport in Ambon region (3.70 ° S ; 128.08 ° E) in
the observation of about 30 years. The purpose of this study is to investigate and
understand the characteristics of rainfall in the Indonesian Maritime Continent in
general, and the region BB Padi Sukamandi Subang and Pattimura Airport Ambon in
particular. The results obtained show that the extreme threshold values based on the 90th
percentile criterion (P90) is the smallest (72.0 mm for the BB Padi Sukamandi region,
occurred in July, and 160.0 mm for the region Pattimura Airport, occurred in
November). Furthermore, the threshold value of the greatest extreme is based criteria
percentile 99th (P99) , which is the value of 486.0 mm (BB Padi Sukamandi Subang in
January) and 1519.0 mm (Ambon Pattimura Airport in August) . Conditions of extreme
rainfall threshold criteria based on the 90th percentile (P90) has been able to describe the
condition of extreme rainfall in an area of interest in research.
Keywords. Criteria, the extremes, the 90th percentile, 95th percentile, 99th percentile
69
1. Pendahuluan
Setiap perubahan dalam probabilitas curah hujan ekstrem akan memiliki implikasi penting
untuk rekayasa, asuransi, perencanaan kota dan kegiatan lainnya yang menganggap bahwa
iklim telah stabil selama satu abad terakhir. Peningkatan curah hujan dapat menyebabkan
peningkatan frekuensi kejadian banjir, tanah longsor, erosi tanah, akumulasi lumpur di
bendungan, genangan dataran rendah dan daerah resapan akuifer karena tabel air naik.
Selanjutnya, ekstrem curah hujan memiliki dampak penting terhadap aspek-aspek utama dari
masyarakat, termasuk hasil panen, konsumsi daya dan produksi, serta kesehatan manusia.
Oleh karena itu, perubahan kejadian iklim ekstrem dan kemungkinan pengaruh mereka pada
masyarakat manusia menarik banyak perhatian para ahli hidrologi dan meteorologi dunia
(Mora et al., 2005). Dengan demikian, penentuan dan perhitungan curah hujan ekstrem yang
tepat dan akurat di suatu daerah merupakan hal yang penting.
Perubahan intensitas hujan lebat telah dilaporkan untuk berbagai daerah. Analisis data curah
hujan harian 1890-1980 di 55 stasiun Jepang ditemukan bahwa telah terjadi perubahan
intensitas curah hujan tertinggi, 2 atau 3 tertinggi curah hujan dalam beberapa dekade
terakhir (Iwashima dan Yamamoto, 1993). Kecenderungan meningkat pada peristiwa-
peristiwa curah hujan melebihi 50,8 mm (curah hujan 1 hari) juga terjadi di Amerika Serikat,
tetapi tidak di Uni Soviet dan Cina (Karl et al., 1995). Di sisi lain, tidak ditemukan
kecenderungan dalam nilai curah hujan lebih dari 40 mm (curah hujan 1 hari) di 17 stasiun di
tenggara Australia 1889-1985 (Yu dan Neil, 1991). Namun, dalam penelitian lainnya
dilaporkan bahwa curah hujan rata-rata tahunan di Australia Barat menurun selama periode
1911-1990, hujan deras meningkat, terutama pada musim semi dan musim panas (Yu dan
Neil, 1993). Selanjutnya, dari penyelidikan data curah hujan di 5 stasiun perwakilan di
Australia Timur 1910-1988 ditemukan adanya peningkatan curah hujan yang terutama
disebabkan hari hujan lebih banyak daripada intensitas curah hujan tinggi (Nicholls, N. and
Kariko, 1993). Di sisi lain, dalam konteks perubahan curah hujan ekstrem di lembah Sungai
Yangtze, hasil analisa distribusi spasial dan kecenderungan frekuensi ekstrem presipitasi
selama 1960-2003 menggunakan data curah hujan harian dari 147 stasiun di lembah Sungai
Yangtze dengan bantuan analisis kecenderungan Mann-Kendall dan Inverse Distance
Weighted (IDW) serta tampilannya dengan memanfaatkan paket ArcView juga menunjukkan
adanya perubahan (Zhang et al., 2005).
Bagaimana dengan kondisi curah hujan ekstrem di Indonesia pada umumnya, dan di daerah
Balai Besar Padi (BB Padi) Subang Jawa Barat dan daerah Bandara Pattimura Ambon
Maluku pada khususnya sampai saat ini belum terdapat informasi yang utuh, lengkap dan
terpadu secara spasial dan temporalnya. Hal ini menjadi salah satu alasan dilakukannya
penelitian ini. Daerah BB Padi Sukamandi Subang dan Bandara Pattimura Ambon masing-
masing dipilih sebagai representasi daerah di Indonesia yang memiliki pola utama curah
hujan monsunal dan pola utama curah hujan lokal. Kedua pola curah hujan (monsunal dan
lokal) ini dipilih karena secara umum ke dua pola ini memiliki karakter yang bertolak
belakang dalam hal waktu terjadinya akumulasi maksimum hujan di setiap tahunnya. Di
daerah yang memiliki pola utama curah hujan monsunal (misalnya wilayah BB Padi
70
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami karakteristik curah hujan di
Benua Maritim Indonesia (BMI) pada umumnya, dan wilayah BB Padi Sukamandi Subang
dan Bandara Pattimura Ambon pada khususnya (terutama bentuk/pola bulanan dan kondisi
ekstremnya) sehingga dapat lebih dikenali dan diantisipasi dampak kerugiannya jika di suatu
saat ke depan kondisi ekstrem hujan tersebut benar-benar terjadi.
Data utama yang digunakan adalah data curah hujan bulanan pada perioda Januari 1991
sampai Desember 2012 di daerah Balai Besar Padi (BB Padi) Sukamandi (6,33 °LS;
107,65 °BT) Subang Jawa Barat. Sumber data adalah BB Padi Sukamandi Subang Jawa
Barat. Data lainnya adalah data curah hujan bulanan pada perioda Januari 1976 sampai
Desember 2010 di daerah Bandara Pattimura Ambon (3,70 °LS; 128,08 °BT) Maluku.
Sumber data adalah Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Jakarta. Data
selanjutnya yang digunakan dalam penelitian ini adalah data Indian Ocean Dipole (IOD) dan
Oceanic Niño Index (ONI). Sumber data IOD adalah
http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod, yang diakses 24 Maret 2013. Sedang sumber
data ONI adalah http://www.nws.noaa.gov, yang diakses 28 Maret 2013.
Penentuan tipe utama curah hujan dilakukan dengan penelusuran akumulasi hujan tiap-tiap
bulannya selama perioda pengamatan (Januari 1991 – Desember 2012 untuk daerah BB Padi
Sukamandi Subang, dan Januari 1976 – Desember 2005 untuk daerah Bandara Patimura
Ambon). Jika akumulasi maksimum hujan di setiap tahunnya terjadi di bulan Desember,
Januari ataupun Februari (perioda DJF); dan akumulasi minimum hujan di setiap tahunnya
terjadi di bulan Juni, Juli ataupun Agustus (perioda JJA) maka dikategorikan sebagai daerah
berpola utama curah hujan monsunal. Sebaliknya, jika akumulasi maksimum hujan setiap
tahunnya terjadi pada perioda JJA dan akumulasi minimum hujan terjadi pada perioda DJF
maka dikategorikan sebagai daerah berpola utama curah hujan lokal.
Penentuan nilai ekstrem hujan mengacu pada kriteria persentil sebagaimana dilakukan dalam
Haylock dan Nicholls (2000). Perumusan baku untuk menghitung letak maupun nilai
persentil ke 90 (P90), persentil ke 95 (P95) dan persentil ke 99 (P99) adalah sebagai berikut,
Herhyanto dan Hamid, (2008).
71
i
nF
Pi = Bb + p 100 (1)
f Pi
p= (1.a)
dengan
Penentuan nilai outlier curah hujan mengacu pada hasil penelitian Juaeni, (2012) dengan
modifikasi nilai standar deviasi menjadi 5 kali. Dengan demikian nilai outlier curah hujan
menjadi sebesar nilai rata-rata ditambah nilai 5 kali standar deviasi.
Identifikasi kejadian ekstrem hujan di daerah yang dtinjau dalam penelitian ini (BB Padi
Sukamandi Subang dan Bandara Pattimura Ambon) dan keterkaitannya dengan fenomena
global IOD dan La-Niňa dilakukan dengan cara membandingkan kesesuaian waktu kejadian
ekstrem hujan dengan waktu kejadian IOD maupun La-Niňa.
3.1 Hasil
Pola bulanan curah hujan (mm) di daerah-daerah BB Padi Sukamandi Subang 1991 – 2012
dan daerah Bandara Pattimura Ambon 1976 – 2010, masing-masing disajikan dalam Gambar
1 dan Gambar 2. Nilai ambang ekstrem kriteria persentil 90, 95 dan 99 serta nilai outliernya
di daerah dan waktu pengamatan yang sama (BB Padi Sukamandi Subang 1991 – 2012 dan
Bandara Pattimura Ambon 1976 – 2010) masing-masing disajikan dalam Gambar 3 dan
Gambar 4. Selanjutnya, kejadian ekstrem curah hujan (mm) di BB Padi Sukamandi Subang
72
1991 – 2012 dan keterkaitannya dengan fenomena IOD disajikan dalam Gambar 5. Hal
serupa, namun untuk daerah Bandara Pattimura Ambon pada perioda 1976 – 2010 disajikan
dalam Gambar 6. Terakhir, kejadian ekstrem curah hujan (mm) di BB Padi Sukamandi
Subang 1991 – 2012 dan keterkaitannya dengan fenomena La Niňa disajikan dalam Gambar
7. Hal serupa, namun untuk daerah Bandara Pattimura Ambon pada perioda 1976 – 2010
disajikan dalam Gambar 8 berikut.
Pola bulanan curah hujan (mm) di BB Padi Sukamandi Subang (6,33 LS; 107,82 BT) 1998-2012 Pola bulanan hujan rata-rata total 1976-2010 (mm) Bandara Pattimura Ambon-dan rata-rata klimatologis 1981-2010
390 387
400
0 0
jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nop des jan feb mar apr mei jun jul ags sep okt nop des
Waktu waktu
Gambar 1 dan Gambar 2. Pola bulanan curah hujan (mm) di BB Padi Sukamandi Subang
1991 – 2012 (Gambar 1, kiri). Hal serupa tetapi untuk Bandara Patimura Ambon
1976 – 2010 (Gambar 2, kanan).
Pola rata-rata bulanan hujan in-situ, nilai ambang ekstrem kriteria persentil 90; 95 dan 99; dan nilai outliernya Pola bulanan curah hujan rata-rata total 1976-2010 (mm), kondisi ekstrem berdasar kriteria persentil 90, 95 dan 99
di BB Padi Sukamandi Subang (6,33 LS; 107,82 BT) 1991-2012 serta nilai outliernya di daerah Bandara Pattimura Ambon
rata-rata-1976-2010 outlier Persentil 90-(P90) Persentil 95-(P95) Persentil 99-(P99)
rata-rata-1991-2012 outlier Persentil 90-(P90) Persentil 95-(P95) Persentil 99-(P99)
3000
1200 2807
772 1997
curah hujan (mm)
800 2000
Curah Hujan (mm)
615 627
600
507 1500
Gambar 3 dan Gambar 4. Pola bulanan curah hujan (mm), nilai ambang ekstrem kriteria
persentil 90, 95 dan 99 serta nilai outliernya daerah BB Padi Sukamandi Subang 1991 –
2012 (Gambar 3, kiri). Hal serupa tetapi untuk Bandara Patimura Ambon
1976 – 2010 (Gambar 4, kanan).
Kejadian ekstrem curah hujan (mm) di BB Padi Sukamandi Subang (6,33 LS; 107,82 BT) dan keterkaitannya Kejadian ekstrem curah hujan (mm) di Bandara Pattimura Ambon (3,70 LS; 128,08 BT) dan keterkaitannya
dengan fenomena IOD selama 1998-2012 dengan fenomena IOD selama 1976-2010
IOD ekstrem-hujan-Ambon
IOD ekstrem-hujan
700 1.21 1.50 2500 1.30 1.26 1.22 1.50
Ekstrem Curah HUjan (mm) dan Indeks IOD
1.00 1.00
600 0.58 0.66 0.63
537 530 0.56
2000
0.50
0.50
500
435 452 0.00
0.00
368 1500
400 356 364 -0.50
333
293 279 -0.50 -0.50 -0.56 -0.58
290
300 -0.63 -0.81 -0.84 -1.00
-0.95
220 234 223 -0.62 -1.00 1000 -1.04 -1.12 -1.10
188
164 178 189 183 -1.35 -1.50
200 154 -1.54
130 133 125 -1.50
-1.44 -1.24 -1.82 -1.80 -1.80 -2.00
-1.56 500
100 -2.00
-1.89 -2.29 -2.50
-2.04 -2.42
0 -2.50 0 -3.00
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Gambar 5 dan Gambar 6. Kejadian ekstrem curah hujan (mm) di BB Padi Sukamandi
Subang 1991 – 2012 dan keterkaitannya dengan fenomena IOD(-) dan IOD (+),
(Gambar 5, kiri). Hal serupa tetapi untuk Bandara Patimura Ambon 1976 – 2010
(Gambar 6, kanan).
73
Kejadian ekstrem curah hujan (mm) di BB Padi Sukamandi Subang (6,33 LS; 107,82 BT) dan keterkaitannya Kejadian ekstrem curah hujan (mm) di Bandara Pattimura Ambon (3,70 LS; 128,08 BT) dan keterkaitannya
dengan fenomena El Nino dan La Nina selama 1998-2012 dengan fenomena El Nino dan La Nina selama 1976-2010
Nino 3.4 ekstrem-hujan-Ambon
Nino 3.4 ekstrem-hujan
2500 1.5
1.25 1.28
700 1.27 1.50 1.03
0.57 0.5
1474 mm;
500 452 0.50 (ags 88)
435
368 1500
0
400 356 364 0.00
333
290 293 279
300 -0.50 -0.5
234 1000
220 223 -0.61
188 189 -0.68 -0.68 -0.71 -0.68 -0.67
178 183 -0.73 (jun 84) -0.77
200 -0.80 164 154 -1.00 -0.87 -0.88 -1
130 133 125 -0.98 -0.96
-0.67 500 -1.09
100 -1.33 -1.50 -1.25 -1.25
-1.33;
-1.52 -1.45 -1.4 -1.5
-1.53 -1.57 (ags 88)
-1.64 -1.72 -1.58; -1.63;
0 -1.78 -2.00
0 (jan 08) (okt 10) -2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Gambar 7 dan Gambar 8. Kejadian ekstrem curah hujan (mm) di BB Padi Sukamandi
Subang 1991 – 2012 dan keterkaitannya dengan fenomena El-Niňo dan La Niňa
(Gambar 7, kiri). Hal serupa tetapi untuk Bandara Patimura Ambon 1976 – 2010
(Gambar 8, kanan).
3.2 Pembahasan
Dari Gambar 1 dan 2 dalam penelitian ini, puncak maksimum intensitas curah hujan bulanan
untuk daerah BB Padi Sukamandi Subang terjadi pada bulan Februari dengan nilai
akumulasi curah hujan sebesar 272 mm sedang intensitas curah hujan bulanan minimum
terjadi pada bulan Agustus dengan nilai akumulasi curah hujan sebesar 27 mm, (Gambar 1).
Dengan demikian, maka daerah BB Padi Sukamandi ini dikatakan memiliki tipe utama curah
hujan monsunal. Sebagaimana diketahui, pola curah hujan monsunal adalah salah satu pola
curah hujan yang terdapat di Indonesia yang memiliki puncak intensitas curah hujan bulanan
satu kali dalam satu tahun (uni moda) yang terjadi pada bulan-bulan Desember, Januari atau
Februari. Pada pola monsunal ini intensitas curah hujan bulanan minimum juga terjadi satu
kali dalam satu tahun yang terjadi pada bulan-bulan Juni, Juli atau Agustus. Hal serupa,
namun “seolah-olah seperti kontradiksi” puncak maksimum intensitas curah hujan bulanan
untuk daerah Bandara Pattimura Ambon Maluku terjadi pada bulan Juni dengan nilai
akumulasi curah hujan sebesar 568 mm sedang intensitas curah hujan bulanan minimum
terjadi pada bulan Nopember dengan nilai akumulasi curah hujan sebesar 78 mm, (Gambar
2). Dengan demikian, maka daerah Bandara Pattimura Ambon Maluku ini dikatakan
memiliki tipe utama curah hujan lokal. Hasil penelitian ini secara garis besar sesuai dengan
hasil penelitian (Aldrian dan Susanto, 2003). Dalam Aldrian dan Susanto (2003) secara
spasial ditunjukkan bahwa Benua Maritim Indonesia (BMI) ini memiliki tiga pola utama
curah hujan, yaitu monsunal (daerah A), equatorial (daerah B) dan lokal (daerah C) serta
spektra periodisitas di seluruh wilayah BMI ini yang menunjukkan adanya keberagaman
perioda curah hujan, mulai dari 0,25 tahun, 0,5 tahun, 1,0 tahun, 2,0 tahun, 4,0 tahun, 7,0
tahun, dan 10,0 tahun. Hal ini juga mengindikasikan bahwa berbagai fenomena alam
misalnya Madden Julian Oscillation (MJO), Monsun, Tropospheric Biennial Oscillation
(TBO) dan El-Nino Southern Oscillation (ENSO) saling bernteraksi (saling memperkuat di
suatu saat, dan saling memperlemah di lain saat) di wilayah BMI ini.
Dari Gambar 3 dan Gambar 4 di atas yang menunjukkan pola bulanan curah hujan (mm),
nilai ambang ekstrem kriteria persentil 90, 95 dan 99 serta nilai outliernya daerah BB Padi
74
Sukamandi Subang 1991 – 2012 (Gambar 3) dan daerah Bandara Pattimura Ambon (Gambar
4) terlihat bahwa secara garis besar pola utama curah hujan di daerah BB Padi Sukamandi
Subang adalah pola curah hujan monsunal dan pola utama curah hujan di daerah Bandara
Pattimura Ambon adalah pola curah hujan lokal. Selanjutnya, pola nilai ambang ekstrem
hujan berdasar kriteria persentil 90 (P90), persentil 95 (P95), persentil 99 (P99) maupun nilai
outlier curah hujan di kedua daerah yang ditinjau di atas terlihat memiliki pola yang serupa
dengan pola rata-rata bulanannya dalam rentang klimatologis (1981 – 2010) untuk daerah
Bandara Pattimura Ambon maupun dalam rentang yang lebih pendek (1991 – 2012) untuk
daerah BB Padi Sukamandi Subang. Nilai ambang batas ekstrem berdasar kriteria persentil
90 (P90) adalah paling kecil (72,0 mm untuk wilayah BB Padi Sukamandi, terjadi pada
bulan Juli; dan 160,0 mm untuk wilayah Bandara Pattimura, terjadi pada bulan Nopember).
Selanjutnya, nilai ambang batas ekstrem paling besar adalah yang berdasar kriteria persentil
99 (P99), yaitu pada nilai 486,0 mm (BB Padi Sukamandi Subang pada bulan Januari) dan
1519,0 mm (Bandara Pattimura Ambon pada bulan Agustus). Ambang batas kondisi ekstrem
hujan berdasar kriteria persentil 90 (P90) ini sudah dapat menggambarkan kondisi ekstrem
hujan di daerah yang ditinjau dalam penelitian. Ambang batas kondisi ekstrem hujan
berdasar kriteria persentil 90 (P90) ini sudah memiliki nilai perbandingan yang besar
(266,7% untuk wilayah BB Padi Sukamandi Subang; dan 231,9% untuk wilayah Bandara
Pattimura Ambon) terhadap nilai rata-rata hujan selama 30 tahun pengamatan, sehingga
sudah dapat menggambarkan kondisi hujan jauh di atas normal (lebih tepatnya sebagai
kondisi ekstrem hujan) di daerah yang ditinjau dalam penelitian ini. Sebagai keterangan
tambahan, sebagaimana diketahui Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
saat ini menggunakan acuan bahwa curah hujan di suatu wilayah di suatu saat yang memiliki
nilai perbandingan < 85% terhadap rata-rata 30 tahunnya dikategorikan sebagai keadaan di
bawah normal, hal serupa tetapi yang memiliki nilai perbandingan antara 85% sampai 115%
terhadap rata-rata 30 tahunnya dikategorikan sebagai keadaan normal, dan yang memiliki
nilai perbandingan > 115% terhadap rata-rata 30 tahunnya dikategorikan sebagai keadaan di
atas normal.
Dari Gambar 5 sampai Gambar 8 di atas secara umum dapat diungkapkan bahwa jumlah
waktu kejadian ekstrem hujan yang sama (bersesuaian) dengan waktu kejadian fenomena
global IOD (-) maupun La-Niňa di kedua daerah yang ditinjau dalam penelitian ini memiliki
nilai yang signifikan berbeda. Dalam rentang pengamatan Januari 1991 – Desember 2012
(264 bulan) di daerah BB Padi Sukamandi Subang ini terjadi 24 kali kejadian ekstrem hujan
berdasar kriteria lebih besar atau sama dengan persentil 90 (≥ P90). Di satu sisi, lima
kejadian (dari total 24) ekstrem hujan di daerah BB Padi Sukamandi Subang ini bersesuaian
dengan waktu kejadian fenomena global IOD (-) atau dalam persentase sebesar 20,83%
(Gambar 5). Di sisi lain, sepuluh kejadian (dari total 24) ekstrem hujan di daerah ini
bersesuaian dengan waktu kejadian fenomena global La-Niňa atau dalam persentase sebesar
41,67% (Gambar 7). Sedang untuk daerah Bandara Pattimura Ambon, rentang pengamatan
Januari 1976 – Desember 2010 (420 bulan) terjadi 49 kali kejadian ekstrem hujan juga
berdasar kriteria lebih besar atau sama dengan persentil 90 (≥ P90). Di satu sisi, 14 kejadian
(dari total 49) ekstrem hujan di daerah Bandara Pattimura Ambon ini bersesuaian dengan
waktu kejadian fenomena global IOD (-) atau dalam persentase sebesar 28,57% (Gambar 6).
75
Di sisi lain, dua puluh satu kejadian (dari total 49) ekstrem hujan di daerah ini bersesuaian
dengan waktu kejadian fenomena global La-Niňa atau dalam persentase sebesar 42,86%
(Gambar 8).
Sebagaimana diketahui, fenomena global Indian Ocean Dipole (IOD) merupakan fenomena
interaksi lautan-atmosfer di lautan Hindia yang dihitung berdasarkan perbedaan nilai
(selisih) antara anomali suhu muka laut di bagian barat samudera Hindia (10°LU-10°LS;
50°BT-70°BT) di perairan pantai timur Afrika, dan di bagian timur (0°LU-10°LS; 90°BT-
110°BT) samudera Hindia, di perairan sebelah barat Sumatera sebesar ± 0,5° C. Hasil
perhitungan perbedaan nilai (selisih) antara anomali suhu muka laut di bagian barat dan
sebelah timur samudera Hindia ini dikenal sebagai Dipole Mode Index (DMI) ataupun indek
IOD. Dalam kaitannya dengan pola curah hujan di Benua Maritim Indonesia (BMI), maka
DMI positif (atau IOD+) berhubungan dengan berkurangnya intensitas curah hujan di bagian
barat BMI. Sedang sebaliknya, DMI negatif (atau IOD-) berhubungan dengan bertambahnya
intensitas curah hujan di bagian barat BMI. Di sisi lain, episode hangat (warm) dan dingin
(cold) suhu muka laut Samudera Pasifik di daerah Nino 3.4 (5 °LU – 5 °LS; 120 °BB –
170 °BB) digunakan sebagai gambaran perilaku fenomena global El-Niño (jika dalam 5
bulan berturut-turut terjadi kenaikan suhu sebesar + 0,5 °C di luasan daerah 5 °LU – 5 °LS;
120 °BB – 170 °BB tersebut) dan La-Niña (jika dalam 5 bulan berturut-turut terjadi
penurunan suhu sebesar - 0,5 °C di luasan daerah 5 °LU – 5 °LS; 120 °BB – 170 °BB
tersebut), dan dinyatakan dalam nilai indeks oseanik Niño (Oceanic Niño Index ONI). Dalam
kaitannya dengan pola curah hujan di BMI, maka fenomena global El-Niño berhubungan
dengan berkurangnya intensitas curah hujan di sebagian besar wilayah BMI. Sedang
sebaliknya, fenomena global La-Niña berhubungan dengan bertambahnya intensitas curah
hujan di sebagian besar wilayah BMI.
(dari total 49) ekstrem hujan di daerah ini bersesuaian dengan waktu kejadian fenomena
global La-Niňa atau dalam persentase sebesar 42,86%. Kondisi ekstrem hujan dan
dampaknya pada aspek ketahanan pangan ataupun kebencanaan atmosferik di suatu daerah
merupakan topik penelitian lanjutan yang perlu dilakukan segera. Hal ini memang menjadi
perhatian pemakalah saat ini.
5. Ucapan Terimakasih
Diucapkan terimakasih kepada Drs. Afif Budiyono, M.T. dan Dr. Didi Satiadi atas masukan,
saran dan diskusi yang konstruktif dalam penelitian ini. Penelitian ini merupakan bagian dari
Sub Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang ada di
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer LAPAN Tahun anggaran 2013; dengan Peneliti Utama
Prof. Dr. Eddy Hermawan, M.Sc.
Daftar Pustaka
Aldrian, E. and R.D.Susanto, 2003, Identification of Three Dominant Rainfall Regions within
Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature, Int. Jour. of Climate, 23, 1435-
1452.
Haylock, M. and N. Nicholls, 2000, Trends in Extreme Rainfall Indices for an Updated High
Qualiity Data Set for Australia, 1910–1998, Int. J. Climatol., 20, 1533–1541.
Herrhyanto, N. dan Hamid, A.H.M., 2008, Statistika Dasar, Buku Materi Pokok PAMA3226, Penerbit
Universitas Terbuka, Jakarta, 2.1-2.42; 5.1-5.33.
Iwashima, T. and Yamamoto, R., 1993, A Statistical Analysis of the Extreme Events: Long term
Trend of Heavy Daily Precipitation, J. Meteorol. Soc. Japan, 71, 637–640.
Juaeni, I., 2012, Analisis Outlier Data Curah Hujan Berdasarkan Tropical Rainfall Measuring Mission
untuk Wilayah Jawa-Bali, Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara, vol.7 no.1, 18–26.
Karl, T.R., Knight, R.W., and Plummer, N., 1995, Trends in High-frequency Climate Variability in
the Twentieth Century, Nature, 377, 217–220.
Mora, R.D., C. Bouvier, L. Neppel, H. Niel, 2005, Regional Approach for the Estimation of Low-
Frequency of Low-Frequency Distribution of Daily Rainfall in the Languedoc-Roussillon
Region, France, Hydrol. Sci. J., 50, 2005, 17-29.
Nicholls, N. and Kariko, A., 1993, East Australian Rainfall Events: Interannual Variations, Trends,
and Relationships with the Southern Oscillation, J. Climate, 6, 1141–1152.
Yu, B. and Neil, T.D., 1991, Global Warming and Regional Rainfall: the Difference between Average
and High Intensity Rainfalls, Int. J. Climatol., 11, 653–661.
Yu, B. and Neil, T.D., 1993, Long-term Variations in Regional Rainfall in the South West of Western
Australia and the Difference between Average and High Intensity Rainfalls, Int. J. Climatol., 13,
77–88.
Zhang, Q., T. Jiang, M. Germmer, S. Becker, 2005, Precipitation, Temperature and Discharge
Analysis from 1951 to 2002 in the Yangtze River Basin, China, Hydrological Sciences Journal,
50, 65-80.
http://www.jamstec.go.jp/frsgc/research/d1/iod. Akses 24 Maret 2013
http://www.nws.noaa.gov. Akses 18 September 2013.
77
Arif Ediyanto
SMK 1 Kendal, Jl. Soekarno-Hatta KM 03 Kendal, arif_edyanto@yahoo.co.id
Abstrak. Jejaring sosial seperti facebook, twitter, dan linkedIn adalah fenomena dua
sisi mata uang logam bagi anak-anak sekolah. Jejaring sosial adalah suatu struktur sosial
yang dibentuk dari simpul-simpul yang dijalin dengan satu atau lebih tipe relasi spesifik
seperti nilai, visi,ide, teman, dan lain-lain. Karya tulis ini dimaksudkan untuk
memberikan gambaran mengenai: (1) pemanfaatan jejaring sosial bagi siswa kelas XII
PS SMK Negeri 1 Kendal, dan(2) hasil atau dampak penggunaan jejaring sosial bagi
siswa kelas XII PS SMK Negeri 1 Kendal.
Karya tulis ini merupakan studi kasus penggunaan jejaring sosial bagi siswa kelas XII
PS di SMK Negeri 1 Kendal di tahun 2013. Langkah yang dilakukan untuk studi kasus
ini adalah:(1) mendata dan mengamati semua akun jejaring sosial siswa baik facebook,
twitter, dan linkedIn, (2) menjalin komunikasi dan memberikan motivasi pada siswa
melalui akun jejaring sosial, (4) menyebar angket dan melakukan wawancara langsung
untuk memperoleh respon penggunaan jejaring sosial.
Dampak dari penggunaan jejaring sosial bagi siswa kelas XII PS SMK Negeri 1 Kendal
adalah:(1) terdata dan teramatinya jejaring sosial yang dimiliki siswa sehingga
penggunaan jejaring sosial ini dapat dimonitor setiap saat, (2) penggunaan jejaring
sosial ini dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya yaitu: dapat memiliki
banyak teman, dapat bertemu teman lama, berbagi informasi, tempat curhat (galau),
menyalurkan hobi menulis, sarana promosi, dan menghindari stress. Adapun dampak
negatifnya yaitu: berkurangnya waktu belajar, kurang peduli dengan sekitarnya,
mengurangi sosialisasi dengan lingkungan, menghamburkan uang dan pulsa,
menganggu kesehatan mata, kurangnya perhatian untuk keluarga, tersebarnya data
pribadi, mudah menemukan hal pornografi, rawan terjadinya perselisihan ataupun
kesalahpahaman (menyindir), ada penipuan, dan lupa beribadah.
Upaya mengatasi bahaya jejaring sosial: harus pandai mengatur waktu, kapan waktu
belajar dan kapan waktu bersenang-senang, menghargai orang lain, jangan menyindir
atau menjelekkan orang lain di jejaring sosial, harus mengetahui fungsi jejaring sosial
yang digunakan, dan membatasi membuka jejaring social sebisa mungkin.
1. Pendahuluan
Penetapan standar proses pendidikan merupakan kebijakan yang sangat penting dan strategis
untuk pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan. Salah satu upaya pemerintah
Indonesia untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan menyempurnakan
kurikulum di semua jenjang pendidikan. Salah satu substansi yang menjadi penekanan dalam
kurikulum adalah bagaimana menciptakan pembelajaran yang efektif. Menurut Mulyasa
(2004) pembelajaran yang efektif ditandai dengan adanya sikap yang menekankan pada
pembelajaran peserta didik secara efektif, anak termotivasi untuk belajar, dan melalui
kreatifitas guru, pembelajaran di kelas menjadi sebuah aktivitas yang menyenangkan.
78
Dalam dunia pendidikan modern sekarang ini, peran media juga sangat besar dalam
membantu membentuk karakter anak. Tayangan sinetron yang menampilkan sisi
materialistis sangat tidak mendidik generasi muda, tayangan kekerasan yang vulgar ditonton
tanpa batasan umur, dan perilaku pemimpin yang sangat jauh dari kata teladan. Aktivitas
terselubung yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah penggunaan jejaring sosial seperti
facebook, twitter, dan LinkedIn. Pemberitaan di media cetak dan elektronik tentang
penyalahgunaan situs jejaring sosial sering menjadi trending topic. Beberapa berita negatif
yang muncul di antaranya: kasus anak remaja laki-laki yang membawa kabur anak remaja
perempuan yang dikenal lewat situs jejaring sosial (facebook), situs jejaring sosial digunakan
sebagai ajang prostitusi, dan masih banyak lagi masalah-masalah yang ditimbulkan dari situs
jejaring sosial. Keadaan ini sungguh sangat ironis dengan tujuan utama situs jejaring sosial
itu dibuat, yakni untuk memperluas hubungan sosial, untuk kebutuhan konsumen atau
pemakai, menekankan pada sisi sosial atau eksternal, serta lebih diutamakan sisi
emosionalnya.
Penggunaan situs jejaring sosial ini di kalangan pelajar SMK Negeri 1 Kendal khususnya
kelas XII Perbankan Syariah tahun pelajaran 2012/2014 sudah sangat mengkhawatirkan.
Intensitas pengunaan situs jejaring sosial khususnya facebook dan twitter sangat tinggi tetapi
di sisi lain prestasi belajar peserta didik ini belum optimal. Hal ini kalau dibiarkan tentu
sangat berbahaya karena kelas XII juga akan menghadapi Ujian Nasional. Orang tua/wali
peserta didik yang sebagian besar petani dan nelayan juga kurang peka atau sadar teknologi
yang digunakan anaknya.
Proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) di SMK Negeri 1 Kendal hanya efektif antara jam
07.00-15.00 WIB atau (8 jam setiap hari) sedangkan sisanya (16 jam) peserta didik di rumah atau
lingkungannya. Jadi untuk menyiapkan peserta didik agar sukses di Ujian Nasional dan
karakternya, tugas guru tidak akan berhenti setelah keluar kelas. Guru dapat memantau aktivitas
siswa di luar KBM di antaranya adalah dengan melihat situs jejaring sosial yang dimiliki peserta
didik. Terkadang bahasa yang digunakan anak dan remaja di situs jejaring sosial tidak mengikuti
aturan ejaan dan tata bahasa. Hal ini bisa memicu kesalahpahaman dan terbentuknya karakter
yang kurang positif. Komunikasi dan kepedulian guru untuk memahami kondisi peserta didik
seperti ini sangat penting untuk menjalin proses humanisasi dalam pendidikan.
79
Di sisi lain, melalui situs jejaring sosial yang dimiliki peserta didik, guru dapat
memanfaatkan media ini sebagai media pembelajaran, memberikan motivasi yang
terstruktur, mengarahkan anak tentang etika berkomunikasi, dan pembentukan karakter
sehingga peserta didik lebih merasakan manfaatnya. Prinsip pokok yang harus diperhatikan
dalam penggunaan media dalam kegiatan belajar mengajar adalah bahwa media digunakan
dan diarahkan untuk mempermudah peserta didik belajar dalam upaya memahami materi
pelajaran. Dengan demikian, penggunaan media harus dipandang dari sudut kebutuhan
peserta didik (Sanjaya, 2008).
Budiningsih (2005) mengatakan bahwa proses belajar harus dimulai dan ditujukan untuk
kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri. Menghargai nilai-nilai kehidupan dan nilai-
nilai kemanusiaan adalah aspek penting dalam humanisasi pendidikan (pengajaran yang
beraliran humanistik). Nuansa belajar beraliran humanistik dalam pembelajaran matematika
di sekolah akan berakibat pada pembelajaran matematika tersebut dapat memberikan
dorongan hati kepada peserta didik, sehingga dapat menyentuh dan menumbuhkembangkan
nilai-nilai kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan mereka. Pendidikan humanistik
memandang proses belajar merupakan bagian dari mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Filosofi humanistik dalam proses pembelajaran yaitu memberikan kesempatan bagi peserta
didik untuk membangun sendiri realitas bagi dirinya dan menekankan pada kemampuan
peserta didik dalam domain kognitif, afektif, dan psikomotorik (Baharudin dan Wahyuni,
2008).
Rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah: (1) Bagaimanakah pemanfaatan jejaring
sosial bagi siswa kelas XII PS SMK Negeri 1 Kendal?, (2) Bagaimanakah hasil atau dampak
penggunaan jejaring sosial bagi siswa kelas XII PS SMK Negeri 1 Kendal?
2. Landasan Teori
Jejaring sosial atau jaringan sosial adalah suatu struktur sosial yang dibentuk dari simpul-
simpul (umumnya adalah individu atau organisasi) yang diikat dengan satu atau lebih tipe
relasi spesifik seperti nilai, visi, ide, teman, keturunan, dan lain sebagainya (Ridwan, 2008).
Jejaring sosial sebagai struktur sosial yang terdiri dari elemen-elemen individual atau
organisasi. Jejaring ini menunjukan jalan di mana mereka berhubungan karena kesamaan
sosialitas, mulai dari mereka yang dikenal sehari-hari sampai dengan keluarga. Istilah ini
diperkenalkan oleh profesor J.A. Barnes di tahun 1954.
Beberapa hal/istilah dari yang ada di halaman salah satu situs jejaring sosial yaitu facebook
adalah panggung depan (front stage) adalah semua hal yang ditampilkan pengguna facebook
di facebook. Setting terdiri dari profil yang ditampilkan juga meliputi aktivitas update status
dan unggah foto di facebook. Personal front yaitu meliputi foto profil di facebook yang bisa
mewakili citra dirinya. Panggung belakang (back stage) yaitu hal-hal yang disembunyikan
oleh pengguna facebook di facebook dan mystification yaitu meliputi bagaimana cara yang
dilakukan oleh pengguna facebook dalam memberi jarak pada jalinan pertemanan di
facebook.
80
Twitter adalah sebuah situs web yang dimiliki dan dioperasikan oleh Twitter Inc., yang
menawarkan jejaring sosial berupa mikroblog sehingga memungkinkan penggunanya untuk
mengirim dan membaca pesan yang disebut kicauan (tweets). Kicauan adalah teks tulisan
hingga 140 karakter yang ditampilkan pada halaman profil pengguna. Kicauan bisa dilihat
secara luar, namun pengirim dapat membatasi pengiriman pesan ke daftar teman-teman
mereka saja. Pengguna dapat melihat kicauan penulis lain yang dikenal dengan sebutan
pengikut ("follower"). Semua pengguna dapat mengirim dan menerima kicauan melalui situs
Twitter, aplikasi eksternal yang kompatibel (telepon seluler), atau dengan pesan singkat
(SMS) yang tersedia di negara-negara tertentu. Situs ini berbasis di San Bruno, California
dekat San Francisco, di mana situs ini pertama kali dibuat. Twitter juga memiliki server dan
kantor di San Antonio, Texas dan Boston, Massachusetts. Sejak dibentuk pada tahun 2006
oleh Jack Dorsey, Twitter telah mendapatkan popularitas di seluruh dunia dan saat ini
memiliki lebih dari 100 juta pengguna. Hal ini kadang-kadang digambarkan sebagai "SMS
dari internet". Twitter memiliki logo berupa seekor burung berwarna biru yang bernama
"Larry the "Bird", dinamai dari nama seorang mantan pemain basket NBA, Larry Bird.
Gambar 1. Contoh Form Isian Data Diri dan Data Situs Jejaring Siswa
(2) menjalin komunikasi dan memberikan motivasi pada siswa melalui akun jejaring sosial,
dan (3) menyebar angket dan melakukan wawancara langsung untuk memperoleh respon
penggunaan jejaring sosial. Menurut Sugiyono (2007) wawancara adalah kegiatan
81
percakapan dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu
pewawancara dan yang diwawancarai. Wawancara dilakukan secara verbal kepada 6 orang
siswa yang dianggap dapat memberikan informasi atau penjelasan hal-hal yang dipandang
perlu.
4. Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Menurut Potilima (2005) penelitian kualitatif
adalah penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti
transkripsi wawancara, catatan lapangan, gambar, foto rekaman video dan lain-lain.
Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu secara holistik. Penelitian dilakukan pada
bulan Januari-April 2013 dengan alasan peneliti yang mengajar di kelas XII PS ini ingin
menyukseskan program sukses ujian nasional baik dalam pengajaran di kelas maupun di luar
kelas dengan perlakuan khusus.
b. Subyek Penelitian
Subjek penelitian yaitu siswa kelas XII PS SMK Negeri 1 Kendal tahun pelajaran 2012/2013
dengan jumlah 36 siswa, terdiri atas 1 siswa laki-laki dan 35 siswa perempuan.
d. Analisis data
Analisis data dilakukan dengan triangulasi data yang membandingkan data yang diperoleh
dari hasil observasi, hasil wawancara, dan dokumentasi untuk mengecek keabsahan data.
Analisis data yang dilakukan yaitu analisis data deskriptif yaitu analisis daya yang digunakan
terhadap hasil observasi, angket, dan wawancara.
83
5. Pembahasan
a. Hasil Penelitian
Dampak dari penggunaan jejaring sosial bagi siswa kelas XII PS SMK Negeri 1 Kendal
adalah: terdata dan teramatinya jejaring sosial yang dimiliki siswa sehingga penggunaan
jejaring sosial ini dapat dimonitor setiap saat. Dari hasil penelitian diketahui bahwa 38 siswa
semuanya mempunyai facebook dan bergabung di groups Napeesya, 11 siswa mempunyai
twitter, dan 3 yang menggunakan linkedIn dengan rata-rata siswa menggunakan media
jejaring sosial 52 menit perhari.
Penggunaan jejaring sosial ini berdampak positif dan negatif. Dampak positifnya yaitu: (1)
dapat memiliki banyak teman dan dapat bertemu teman lama. Hal ini karena jejaring sosial
dapat digunakan memperluas jaringan pertemanan sehingga menjadi lebih mudah berteman
dengan orang lain di seluruh dunia, meski sebagian besar di antaranya belum pernah mereka
temui secara langsung. Hal ini bisa dilihat seperti contoh status Dya Silfia yang senang dapat
bertemu teman lamanya di SD yang sudah pindah ke Bandung, (2) berbagi informasi, dapat
belajar mengembangkan keterampilan teknis dan sosial yang sangat dibutuhkan di zaman
digital seperti sekarang ini. Mereka akan belajar bagaimana cara beradaptasi, bersosialisai
dengan publik dan mengelola jaringan pertemanan. Selain itu, (3) tempat curhat (galau), situs
jejaring sosial membuat orang menjadi lebih bersahabat, perhatian, dan empati, misalnya
memberi perhatian saat ada teman mereka yang ulang tahun, mengomentari foto, video dan
status teman mereka, menjaga hubungan persahabatan meski tidak dapat bertemu secara
fisik. Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa semua siswa pernah menulis status galau. (4)
menyalurkan hobi menulis, (5) sarana promosi, dengan pengguna yang banyak di seluruh
dunia, situs jejaring sosial bisa dijadikan media promosi atau sarana belajar bisnis bagi yang
ingin berbisnis dan (6) menghindari stress.
Adapun dampak negatifnya yaitu: (1) berkurangnya waktu belajar, banyak pelajar yang
mengunakan situs jejaring sosial pada saat pelajaran sedang berlangsung. Berkaitan dengan
hal ini, tentu saja secara otomatis berimbas pada penurunan prestasi akademik karena
dijumpai pelajar yang kecanduan situs jejaring sosial mengalami kesulitan dalam
84
memusatkan perhatian dan konsentrasinya dalam menerima pelajaran, belum lagi ditambah
berkurangnya waktu belajar karena digunakan untuk berlama-lama dalam laman ini. (2)
kurang peduli dengan sekitarnya dan mengurangi sosialisasi dengan lingkungan. Pada saat
seharusnya bisa berkumpul dengan keluarga setelah seharian beraktivitas, remaja justru
malah sibuk mengakses situs pertemanan. Mereka sibuk dengan dunianya sendiri. Sibuk
chatting atau sibuk memberi komentar sehingga waktu yang seharusnya untuk bercengkrama
dengan keluarga terlewatkan begitu saja. Selain itu, (3), menghamburkan uang dan pulsa, (4)
menganggu kesehatan mata, (5) tersebarnya data pribadi, (6) mudah menemukan hal
pornografi, (7) rawan terjadinya perselisihan ataupun kesalahpahaman (menyindir).
Contohnya adalah terjadi perselisihan di group Napeesya karena ada yang tidak kompak
dengan pentas seni sekolah, (8) ada penipuan, dan (9) lupa beribadah. Dampak negatif inilah
yang perlu diwaspadai karena sangat berbahaya untuk generasi bangsa. Seharusnya remaja
menggunakan media ini untuk mengembangkan diri dan mencari hal yang lebih kompetitif
untuk kemajuan pribadi, keluarga, dan bangsanya.
Upaya mengatasi bahaya jejaring sosial: harus pandai mengatur waktu, kapan waktu belajar
dan kapan waktu bersenang-senang, menghargai orang lain, jangan menyindir atau
menjelekkan orang lain di jejaring sosial, harus mengetahui fungsi jejaring sosial yang
digunakan, dan membatasi membuka jejaring sosial sebisa mungkin.
Secara umum kendala yang dihadapi dalam meneliti ini relatif kecil, namun demikian
beberapa kendala masih muncul, di antaranya: (1) peneliti tidak bisa setiap waktu on line
untuk memantau situs jejaring sosial yang dimiliki siswa, (2) membutuhkan waktu, tenaga,
dan biaya yang tidak sedikit, dan (3) terkadang siswa mengganti akun jejaring sosialnya.
1) Siswa kelas XII PS SMK Negeri 1 Kendal memanfaatkan jejaring sosial (facebook,
twitter, dan linkedIn) rata-rata 52 menit perhari.
2) Dampak positif dari penggunaan jejaring sosial bagi siswa kelas XII PS SMK Negeri 1
Kendal adalah: (1) dapat memiliki banyak teman dan dapat bertemu teman lama, (2)
berbagi informasi, (3) tempat curhat, (4) menyalurkan hobi menulis, (5) sarana promosi.
b. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah: (1) program pembelajaran di sekolah ke depan harus
diarahkan kepada pembelajaran abad 21 dan pemberdayaan pendidik secara optimal
sehingga memberikan kontribusi positif dalam pengelolaan pembelajaran yang multimakna,
(2) masyarakat lebih peduli dengan pendidikan. Hasil diskusi dengan beberapa orang
tua/wali siswa mendapat hasil yang sangat mengejutkan karena banyak orang tua/wali yang
menyerahkan sepenuhnya pendidikan di sekolah, (3) pengunaan jejaring sosial dibatasi
85
karena sudah sangat meresahkan dan menjadikan orang tidak kompetitif, (4) Guru
memberikan motivasi sukses yang mendidik, dan (5) penyelenggara sekolah aktif
berkomunikasi.
Daftar Pustaka
Assegaf, R.A. 2002. Kondisi dan Pemicu kekerasan dalam Pendidikan. Jurnal Penelitian Istiqro,
vol.2, no.1, 221-225.
Baharudin dan Wahyuni, 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ruzz Media.
Budiningsih, C. 2005. Belajar danPembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Hamid potilima. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Alfabeta
Mulyasa, E. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mulyasa, E. 2008. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Ridwan, M Nawawi. 2008. Analisis dan Perancangan Aplikasi Jejaring Sosial Penjualan Berbasis
Web. Skripsi: Tidak diterbitkan
Sanjaya, W. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Sugiyono. 2007. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV Alfabeta
86
Arif Ediyanto
SMK 1 Kendal, Jl. Soekarno-Hatta KM 03 Kendal, arif_edyanto@yahoo.co.id
Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas dan kemampuan
kreatif matematis siswa kelas XII PS SMK 1 Kendal tahun pelajaran 2012/2013 materi
hitung keuangan melalui penerapan BUS MICRULED dengan POINT+. Jenis
penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas. Teori yang digunakan adalah PTK
(Kemmis dan Taggart), kreatif matematis (Silver), dan constructivist learning design.
Hal yang diamati adalah aktivitas siswa dalam pembelajaran dan kemampuan kreatif
matematis. Pelaksanaan setiap siklus dalam penelitian ini terdiri dari empat tahapan
yaitu: perencanaan tindakan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Data diambil melalui
pengamatan, tes tulis, jurnal, dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan
analisis deskriptif komparatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
keaktifan siswa meningkat dengan kriteria minimal aktif 34% pada prasiklus, 56% pada
sikus I dan 64% pada siklus II. Kemampuan kreatif matematis tiap siklus juga
mengalami peningkatan. Hasil peneltian juga menunjukkan rata-rata tes pada prasiklus,
siklus I, dan siklus II berturut-turut adalah 66,27; 70,73; dan 75,67 atau mengalami
peningkatan, 6,73% siklus I dibanding prasiklus dan untuk siklus II sebesar 6,98%
dibanding siklus 1. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pembelajaran BUS
MICRULED dengan POINT+ dapat meningkatkan aktivitas dan kemampuan kreatif
matematis siswa kelas XII PS SMK 1 Kendal materi hitung keuangan.
1. Pendahuluan
Budaya Sekolah (BUS) yang dikembangkan di SMK Negeri 1 Kendal yaitu budaya 3S
(Senyum, Salam, Sapa) dan semboyan mutu PASTI (Profesional, Akhlak Mulia, Simpatik,
Tertib, dan Iman). Sayangnya budaya dan slogan tersebut belum sepenuhnya
diimplementasikan secara nyata di sekolah. Implementasi budaya ini yaitu berupa
penanaman nilai-nilai dalam pendidikan karakter. Salah satu contoh belum berhasilnya
penanaman nilai ini adalah perilaku siswa yang kurang bertangung jawab terhadap tugas atau
87
pekerjaan rumah yang diberikan oleh guru. Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan
juga didapati masih adanya anak yang mencontek saat ulangan harian/ujian semester.
Siswa Kelas XII Perbankan Syariah (PS) SMK Negeri 1 Kendal tahun pelajaran 2012/2013
merupakan angkatan kedua kompetensi keahlian PS dengan jumlah pendaftar kurang dari 50
calon siswa dari 36 siswa yang diterima saat kelas X. Untuk itu, diperlukan inovasi khusus
agar siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dan pembelajaran yang dilaksanakan mampu
memberikan dorongan hati, menyentuh, dan mengembangkan nilai-nilai
kehidupan/kemanusiaan bagi mereka sehingga nilai-nilai karakter tumbuh.
Berdasarkan pengalaman peneliti tahun sebelumnya, materi yang dianggap sulit yaitu hitung
keuangan dengan Standar Kompetensi (SK) 9: memecahkan masalah keuangan
menggunakan konsep matematika, dengan Kompetensi Dasar (KD): 9.1). Menyelesaikan
masalah bunga tunggal dan bunga majemuk dalam keuangan, 9.2). menyelesaikan masalah
rente dalam keuangan, dan 9.3). menyelesaikan masalah anuitas dalam sistem pinjaman.
Hasil rata-rata ulangan matematika kelas XII PS SMK Negeri 1 Kendal tahun pelajaran
2011/2012 menunjukkan bahwa materi hitung keuangan ini mempunyai nilai rata-rata paling
rendah yaitu 72. Salah satu faktor penyebabnya adalah kurangnya kegigihan guru dalam
mendesain proses pembelajaran yang bermakna sehingga potensi siswa belum
dikembangkan optimal. Peneliti yang juga Guru kelas XII tahun sebelumnya menggunakan
model pembelajaran Explicit Instruction. Hal ini mungkin karena siswa tidak diberi
kesempatan untuk berapresiasi dengan benda-benda yang ada di sekitarnya yang dapat
berfungsi sebagai sumber belajar (alam takambang jadi guru), sehingga siswa tidak mampu
merelevansikan pengetahuan yang diterima dengan kehidupan sehari-hari (Sanjaya, 2008).
Menindaklanjuti permasalahan di atas, salah satu konsep yang ditawarkan adalah konsep
pembelajaran matematika melalui Construktivist Learning Design (MICRULED). Siswa
membawa pengertian dan pengetahuan awal yang sudah dimilikinya ke dalam setiap proses
belajar yang harus ditambahkan, dimodifikasi, diperbaharui, direvisi, dan diubah oleh
informasi baru yang dijumpai dalam proses belajar (Gupta, 2008). Akibatnya peran guru
berubah dari pengajar menjadi fasilitator dengan model pembelajaran yang berpusat pada
siswa, tidak lagi berpusat pada guru (Arends, 2008). Hal ini karena proses belajar mengajar
(PBM) bersifat memandirikan siswa dalam mengeksplorasi rasa keingintahuannya dan
memecahkan masalah yang diberikan.
Guru harus dapat menjadi seorang desainer yang mengajarkan teori dan menerapkan teori
tersebut kepada siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Dari uraian latar belakang ini,
penulis tertarik untuk mengembangkan sebuah inovasi pembelajaran yang mengintegrasikan
budaya sekolah (BUS) melalui Construktivist Learning Design (MICRULED) dengan
POINT+ (Penugasan, Observasi, Interview, Note, Tampilan atau presentasi dan +
penghargaan) agar pembelajaran menjadi aktif, kemampuan kreatif matematis siswa
meningkat, efektif, dan menyenangkan. Rumusan masalah penelitian ini adalah: (1)
bagaimana perubahan tingkah laku (aktivitas) siswa kelas XI PS SMK Negeri 1 Kendal
dengan penerapan BUS MICRULED dengan POINT+ pada materi hitung keuangan? (2)
88
apakah terjadi peningkatan kemampuan kreatif matematis siswa kelas XI PS SMK Negeri 1
Kendal dengan penerapan BUS MICRULED dengan POINT+ pada materi hitung keuangan?
2. Landasan Teori
2.1. Budaya Sekolah
Budaya sekolah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang
menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah termasuk
stakeholders pendidikan, seperti cara melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau
kepercayaan dasar yang dianut oleh personil sekolah. Implementasi dari budaya ini adalah
penanaman nilai-nilai nasionalisme atau karakter yang dapat dilakukan secara eksplisit dan
sistematis, yaitu dengan knowing the good, reasoning the good, feeling the good, dan acting
the good (Megawangi, 2010).
Prinsip dasar yang mendasari filsafat konstruktivisme adalah semua pengetahuan dibangun
dan bukan dipersepsi langsung oleh indera (Muijs dan Reynolds 2008). Siswa membangun
pengetahuannya secara aktif dan tidak begitu saja menerimanya dari guru, karena belajar
adalah sebuah pencarian makna. Guru mendorong siswa untuk membangun makna dengan
menstrukturalisasikan berbagai gagasan dan eksplorasi, serta dapat menghubungkan
pengetahuan baru yang dibangun dari pengetahuan yang telah dimilikinya (Kenny dan Wirth
2009). Menurut Muijs dan Reynolds (2008) rancangan model pembelajaran konstruktivisme,
yaitu: (1) pendahuluan, yaitu guru mengukur pengetahuan siswa sebelumnya dan
menetapkan berbagai kegiatan, (2) eksplorasi, yaitu siswa mengerjakan kegiatan bersifat
eksploratif, melibatkan bahan-bahan riil dan memberikan kesempatan untuk kerja, (3)
refleksi, yaitu siswa diminta untuk memeriksa kembali, menganalisis, dan mendiskusikan
apa yang telah mereka kerjakan, baik dengan kelompok-kelompok lain atau dengan guru,
dan (4) aplikasi dan diskusi, yaitu guru meminta siswa untuk mendiskusikan berbagai
temuan dan menarik kesimpulan.
Kemampuan berpikir kreatif matematis yaitu suatu proses yang digunakan seseorang dalam
menjalin dan membangun ide-ide baru serta menerapkannya untuk menghasilkan sesuatu
yang baru. Menurut Silver (1997) untuk menilai berfikir kreatif ini digunakan The Torance
Tests of Creative Thinking (TICC) yang ditandai dengan tiga komponen, yaitu: fluency
(kefasihan), flexibility (fleksibel), novelty (pembaruan).
1. P (Penugasan) yaitu Guru memberikan tugas yang bermakna pada siswa untuk
mengeksplorasi lembar kerja dan CD pembelajaran dan menuliskan hasil eksplorasi di
kartu masalah. Selain itu, siswa diberikan tugas untuk menuliskan pengalaman
terbaiknya (best practice) dalam portofolio yang telah disediakan.
2. O (Observasi/pengamatan), siswa diminta melakukan observasi terhadap lingkungan
(fisik, sosial, dan budaya) yang merupakan sumber yang sarat dengan bahan belajar
siswa dengan prinsip alam takambang jadi guru.
3. I (Interview/wawancara), siswa diwawancara untuk mendapatkan informasi tentang
pembelajaran dan tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran yang telah dilakukan.
4. N (Note/pencatatan), siswa mencatat hasil diskusi dan presentasi dalam bentuk
catatan/rangkuman.
5. T (Tampilan/presentasi), siswa tampil di depan kelas untuk mempresentasikan hasil
diskusi yang telah dilakukan.
6. + (Plus) yaitu penghargaan yang diterima siswa seperti pujian, tepuk tangan, atau hadiah
secara finansial.
3. Metode Penelitian
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian dilakukan pada bulan
September-Oktober 2012 setelah siswa magang di industri dengan alasan peneliti lebih fokus
sehingga karya yang dihasilkan bisa lebih baik dan dibantu 1 orang observer. Rencana
pembelajaran yang dibuat untuk tiap siklus pada tahap persiapan dilakukan revisi berdasar
hasil refleksi siklus sebelumnya. Pada bulan November-Desember 2012 menganalisis data
dan menyusun laporan hasil penelitian.
Subjek penelitian yaitu siswa kelas XII PS SMK Negeri 1 Kendal tahun pelajaran 2012/2013
dengan jumlah 36 siswa, terdiri atas 1 siswa laki-laki dan 35 siswa perempuan.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik tes dan non tes dengan
instrumen seperti Tabel 1 sebagai berikut.
Analisis data dilakukan dengan triangulasi data yang membandingkan data yang diperoleh
dari hasil observasi, hasil wawancara, dan hasil belajar siswa untuk mengecek keabsahan
data. Analisis data yang dilakukan yaitu meliputi analisis data kuantitatif yaitu analisis yang
digunakan untuk membandingkan nilai ulangan harian dan kemampuan kreatif matematis
tiap siklus dan antar siklus yang digunakan untuk merefleksi kegiatan pada tiap-tiap siklus.
Selain itu, analisis data deskriptif yaitu analisis daya yang digunakan terhadap hasil
pengamatan perilaku siswa selama proses pembelajaran dengan menjumlahkan skor setiap
aspek yang diamati. Hasil analisis ini digunakan sebagai bahan masukan untuk merefleksi
pembelajaran yang telah dilakukan.
Penelitian ini menggunakan desain PTK yang dilaksanakan dalam wujud proses pengkajian
berdaur yang terdiri atas empat tahap pada setiap siklusnya yakni (1) perencanaan, (2)
pelaksanaan tindakan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi. Berdasarkan diskusi kolaboratif
antara peneliti dan guru mitra mata pelajaran matematika, maka prosedur tindakan
pembelajaran yang dilakukan adalah sebagai berikut.
(1) Peneliti berkolaborasi dengan guru mitra (observer) untuk melakukan refleksi tiap
siklus yang berjalan dan mencari solusinya bersama-sama.
(2) Secara kolaborasi peneliti meminta guru mitra untuk memverifikasi RPP, lembar kerja,
media pembelajaran, lembar pengamatan perilaku dan kemampuan kreatif matematis
siswa dan pedoman penskorannya.
(3) Pada pelaksanaan penerapan pembelajaran BUS MICRULED dengan POINT+ pada
materi hitung keuangan untuk membangun pengetahuan sendiri menggunakan
pengalaman yang telah dimilikinya.
(4) Pada pembelajaran berakhir guru selalu meminta siswa untuk mempelajari materi
pembelajaran untuk dibahas pada saat tatap muka berikutnya.
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan guru sebagai pusat pembelajaran atau teacher
centre, menggunakan metode ceramah dan latihan soal ternyata kurang menyenangkan bagi
siswa. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan ternyata siswa menjadi bosan terhadap
pelajaran matematika sehingga kurang memahami materi yang disampaikan. Hal ini sesuai
dengan penuturan salah satu siswa yang bernama Galuh yang menyatakan bahwa “menurut
pendapat saya, pembelajaran matematika yang dilakukan seperti di kelas X dulu walaupun
penjelasannya bagus tapi kurang menyenangkan”.
Hasil ulangan pada KD 1 yaitu menyelesaikan masalah bunga tunggal dan bunga majemuk
dalam keuangan tercermin dari rata-rata kemampuan kreatif matematis berdasarkan kriteria
91
yang mendapatkan skor ≥ 60 adalah 30,56% atau 11 siswa dan rata-rata hasil tes 66,27. Pada
kondisi awal ini pembelajaran menggunakan metode ceramah, penugasan dan tanya jawab.
Dengan metode tersebut ternyata siswa tidak terfasilitasi dalam penggunaan berbagai media
sebagai sumber belajar (alam takambang jadi guru) sebagai bekal untuk memecahkan
masalah yang ada.
Berdasarkan analisis data yang diperoleh dari hasil ulangan harian, lembar
observasi/pengamatan, dan wawancara diperoleh hasil sebagai berikut:
Pelaksanaan tindakan dilakukan sesuai skenario yang telah direncanakan dan pengamatan
yang dilakukan oleh 1 orang observer. Masalah yang didiskusikan adalah menghitung Nilai
Akhir (NA) Rente terbatas dengan studi kasus asuransi dan mendiskusikan rente kekal
dengan mengambil studi kasus tentang sumbangan seorang ketua partai yang
menyumbangkan dana abadi untuk partai yang dipimpinnya dan sumbangan untuk yayasan
sosial.
berarti kemampuan kreatif matematis siswa masih perlu ditingkatkan lagi dengan tugas-tugas
yang bermakna dan dengan teknik POINT+.
Hasil pengamatan berdasar lembar pengamatan perilaku siswa yang di dalamnya terdapat
nilai-nilai pendidikan karakter menunjukkan hasil yang cukup baik. Skor perilaku siswa
dengan kriteria minimal baik sebesar 77,78% atau 28 siswa. Hal ini berarti pembelajaran
berbasis masalah mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif, kreatif, dan mandiri sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis siswa (Depdiknas 2008).
4.2.4. Refleksi
Berdasarkan hasil observasi perilaku dan kemaampuan kreatif matematis siswa yang masih
belum memuaskan maka berdasar hasil diskusi dengan teman sejawat (observer) diambil
langkah dengan cara membuat kombinasi kelompok yang lebih heterogen agar
memungkinkan terjadinya tutor sebaya, pembuatan kartu masalah hasil eksplorasi secara
mandiri, dan pembuatan rangkuman hasil diskusi secara mandiri.
Berdasarkan analisis data yang diperoleh dari hasil ulangan harian, lembar
observasi/pengamatan, dan angket pada siklus II ini diperoleh hasil sebagai berikut:
Pelaksanaan tindakan dilakukan sesuai skenario dan dibantu 1 orang sebagai observer. Pada
tindakan ini, pembuatan kelompok lebih heterogen. Siswa yang memiliki pretasi di atas rata-
rata dalam siklus I dibedakan kelompoknya dengan siswa di bawah rata-rata, agar proses
tutor sebaya juga dapat terjadi.
Hasil pengamatan terhadap aktivitas atau perilaku siswa yang didalamnya terdapat
pengamatan nilai-nilai pendidikan karakter yaitu skor perilaku siswa dengan kriteria minimal
baik sebesar 78,95% atau 30 siswa. Hal ini berarti mendukung rumusan masalah bahwa
penerapan pembelajaran BUS MICRULED dengan POINT+ dapat mengubah perilaku siswa
ke arah yang lebih baik/positif dengan kriteria minimal baik dan persentase minimal 70%
siswa.
Data hasil belajar siswa menunjukkan adanya peningkatan tiap siklus dan antar siklus seperti
Tabel 2. berikut.
75,67
70,73
66,27 Series3,
Series2, %
% Peningka
Series1; Peningka tan, 6.98
% tan, 6.73
Peningka
tan; 0
Siklus 1 Siklus 2
Dari data di atas terlihat bahwa rata-rata hasil belajar tiap siklus dan antar siklus mengalami
peningkatan yaitu siklus 1 mengalami peningkatan sebesar 6,73% dibanding prasiklus dan
siklus 2 mengalami peningkatan sebesar 6,98% dibanding siklus 1. Hal ini berarti potensi
siswa dimanfaatkan secara baik oleh guru untuk membangun materinya sendiri.
94
4.3.4. Refleksi
Berdasarkan hasil observasi perilaku dan kemampuan kreatif matematis siswa sudah
memenuhi indikator keberhasilan dalam penelitian ini. Hasil belajar juga sudah memenuhi
kriteria yang ditetapkan maka berdasar refleksi ini dan diskusi dengan teman sejawat maka
penelitian tidak dilanjutkan pada siklus berikutnya.
5.2. Saran
1. Guru sebaiknya mengubah paradigma dalam pengajarannya yaitu dari pengajaran guru
yang berpusat pada guru menjadi pengajaran yang berpusat pada siswa.
2. Bagi Kepala Sekolah, hendaknya selalu memberi dukungan kepada guru dalam
melaksanakan inovasi pembelajaran. Kepala Sekolah juga memberi kesempatan kepada
guru untuk senantiasa meningkatkan kemampuan, mengembangkan profesinya baik
melalui pelatihan, penataran ataupun mengikuti kegiatan MGMP.
3. Bagi pengawas, pendampingan dan pemberian motivasi terprogram perlu dirancang
untuk meningkatkan minat guru dalam berkarya ilmiah dan meningkatkan
kompetensinya.
Daftar Pustaka
Arends, R. 2008. Learning to Teach: Belajar untuk Mengajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gupta, A. 2008. Constructivism and Peer Collaboration in Elementary Mathematics Education: The
Connection to Estimology. Eurasia Journal of Mathematics, vol. 4, no.4, 381-386.
Kenny dan Wirth. 2009. Implementing Participatory, Constructivist Learning Experiences Through
Best Practices in Live Interactive Performance. The Journal of Effective Teaching, vol. 9, no.1,
34-47.
Megawangi, dkk.2010. Membangun Karakter Melalui Brain-based Parenting (Pola Asuh Ramah
Otak). Depok: Indonesia Heritage Foundation.
Muijs dan Reynold. 2008. Effective Teaching: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
95
Sanjaya, W. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Silver, Edward. 1997. Fostering Creativity Through Instruction Rich in Mathematical Problem
Solving and Thinking in Problem Posing. The Journal of Electronic edition ISSN 1615-679X
.Vol. 29 no. 3.
96
PEMBELAJARAN METAKOGNITIF
BERBASIS SOFT SKILLS PADA MATERI
ARITMETIKA SOSIAL
Atma Murni
FKIP Universitas Riau, Kampus Bina Widya Simpang Baru Panam Pekanbaru,
murni_atma@yahoo.co.id
Abstract. This paper talked about application of the metacognitive learning based on
soft skills at the material of Social Arithmetics to enhance of Junior High School
students‟ abilities in solving mathematical problem (MPSA) in Pekanbaru city. This
learning trained a process of how to design, monitor, and evaluate the previous
knowledge to the students for being explored become an action in solving the math
problems which were accompanied with the students‟ soft skills such as religious,
confident, self regulation, responsibility, willingness, hard work, politeness, care,
appreciation, honesty, and cooperative. The learning process was done through five
steps. They were: (1) discussion at the beginning, (2) individual task, (3) group
disscusion, (4) group presentation, (5) reflection and conclusion. The pre-test‟s data and
the post-test‟s data were analyzed to know the enhancement of students‟ ability to solve
the problem at high-level schooland middle-level school. The level of enhancement
were calculated by normalized gain formula. Based on the Hake‟s category (1999), it
was obtained that the enhancement of students‟ ability to solve the problemat high-level
school can be included to the high level (14.29%), the middle level (57,14%), and the
low level (28,57%). Meanwhile, at middle-level school can be included to the high
level (9.09%), the middle level (57.58%), andthe low level (33.33%).
1. Pendahuluan
Pembelajaran matematika perlu menggunakan strategi, pendekatan dan metode yang tepat
sesuai perkembangan intelektual siswa (kognitif, psikomotor, dan afektif). Penekanan guru
pada proses pembelajaran matematika harus memperhatikan keseimbangan antara
melakukan (doing) dan berpikir (thinking). Guru harus dapat menumbuhkan kesadaran siswa
dalam melakukan aktivitas pembelajaran sehingga siswa tidak hanya memiliki keterampilan
melakukan sesuatu tetapi harus memahami mengapa aktivitas itu dilakukan dan apa
implikasinya. Sabandar (2010) menyatakan bahwa guru sebagai fasilitator harus siap dan
bertanggungjawab untuk menciptakan suasana atau situasi yang memungkinkan terjadinya
proses berpikir pada diri siswa. Guru tidak hanya memberikan penekanan pada pencapaian
tujuan kognitif tetapi juga harus memperhatikan dimensi proses kognitif, khususnya
pengetahuan metakognitif dan keterampilan metakognitif. Proses pembelajaran matematika
harus dapat melibatkan proses dan aktivitas berpikir siswa secara aktif dengan
mengembangkan perilaku metakognitif. Dalam pembelajaran matematika perlu
menghadirkan situasi dan masalah-masalah yang menantang namun menarik sehingga dapat
menimbulkan rasa ingin tahu sekaligus memicu siswa untuk mau berpikir (Sabandar, 2010).
Kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan pembelajaran matematika saat ini masih kurang
merangsang siswa berpikir, cenderung hanya mengacu pada satu buku teks dengan langkah-
langkah pembelajaran konvensional yaitu: menyajikan materi, memberikan contoh-contoh
soal, meminta siswa mengerjakan latihan yang terdapat pada buku teks, dan kemudian
membahas bersama siswa. Penekanan pembelajaran lebih pada mengingat dan melakukan
langkah yang rutin dan bersifat mekanistik sehingga kurang dapat mengembangkan
kemampuan berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematis. Akibatnya kemampuan
pemecahan masalah matematis siswa masih rendah.
Dari hasil observasi terhadap pelaksanaan pembelajaran pada beberapa kelas di beberapa
SMP di Kota Pekanbaru juga terlihat bahwa dalam pembelajaran matematika siswa lebih
dominan menyelesaikan soal rutin dari buku teks dan kurang memperoleh pengalaman
menyelesaikan soal non rutin yang dapat melatih kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa. Bila dikaitkan dengan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang dipersiapkan
guru, pada RPP juga belum tergambar adanya upaya untuk melatih kemampuan pemecahan
masalah matematis siswa, padahal kurikulum sangat menuntut agar kemampuan pemecahan
masalah matematis harus dilatihkan secara proporsional dalam pembelajaran matematika.
Pemecahan masalah matematis memberikan bekal mendasar pada siswa agar memiliki
kemampuan menyelesaikan berbagai bentuk masalah matematika mencakup masalah
tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah
dengan berbagai cara penyelesaian (Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006).
Berkaitan dengan kemampuan pemecahan masalah matematis, Charles et al. (Laurens, 2010)
menyebutkan tujuan dilatihkan kemampuan ini adalah untuk: (1) mengembangkan
keterampilan berpikir; (2) mengembangkan kemampuan menyeleksi dan menggunakan
strategi-strategi pemecahan masalah; (3) mengembangkan sikap dan keyakinan dalam
98
Metakognisi dapat diwujudkan dengan mengajukan pertanyaan pada diri sendiri sehingga
dapat mengetahui proses kognitif sendiri dan aktivitas kognitif yang dilakukan. Nur (2000)
mengemukakan secara operasional tentang keterampilan metakognitif yang dapat diajarkan
kepada siswa, seperti keterampilan untuk menilai pemahaman mereka sendiri, menghitung
berapa waktu yang mereka butuhkan untuk mempelajari sesuatu, memilih rencana yang
efektif untuk belajar atau memecahkan masalah, bagaimana cara memahami ketika ia tidak
memahami sesuatu dan bagaimana cara memperbaiki diri sendiri, kemampuan untuk
memprediksi apa yang cenderung akan terjadi atau mengatakan mana yang dapat diterima
oleh akal dan mana yang tidak.Mengembangkan proses metakognisi siswa berarti
membangun fondasi untuk belajar secara aktif. Guru sebagai perancang kegiatan
pembelajaran, mempunyai tanggung jawab dan banyak kesempatan untuk mengembangkan
metakognisi siswa. Pada kegiatan pembelajaran guru harus sering mengajukan pertanyaan
yang memancing aktivitas berpikir siswa dan mendorong siswa untuk dapat mengajukan
pertanyaan pada diri sendiri sehingga siswa dapat untuk mengetahui proses berpikirnya.
Menurut Mu‟addap (2010), soft skills bisa digolongkan kedalam dua kategori yaitu
intrapersonal dan interpersonal skill. Intrapersonal skill adalah keterampilan
seseorang dalam mengatur diri sendiri, sementara interpersonal skill adalah
keterampilan seseorang yang diperlukan dalam berhubungan dengan orang lain.
Intrapersonal skill sebaiknya dibenahi terlebih dahulu sebelum seseorang mulai
berhubungan dengan orang lain. Intrapersonal skill mencakup : (1) self awareness
(kesadaran diri), meliputi: (a) self confident (percaya diri), (b) self assessment
(penilaian diri), (c) trait & preference (berkarakter dan preferensi), dan (d) emotional
awareness (kesadaran emosional); (2) self skill (keterampilan diri), meliputi: (a)
improvement (kemajuan/perbaikan), (b) self control (kontrol diri), (c) trust (percaya),
(d) worthiness (kebernilaian), (e) time/source management (manajemen
waktu/sumber), (f) proactivity (proaktif), dan (g) conscience (hati nurani).
Interpersonal skill mencakup: (1) social awareness (kesadaran sosial), meliputi: (a)
political awareness (kesadaran politik), (b) developing others (mengembangkan
orang lain), (c) leveraging diversity (pengaruh yang berbeda), (d) service orientation
(berorientasi pada pelayanan), dan (e) emphaty (empati); (2) social skill
(keterampilan sosial), meliputi: (a) leadership (kepemimpinan), (b) influence
(pengaruh), (c) communication (komunikasi), (d) conflict management (manajemen
konflik), (d) cooperation (kooperatif), (e) team work (kerja kelompok), dan (f)
synergy (sinergi).
Memperhatikan kondisi di atas maka dipandang perlu bagi guru atau sekolah untuk
melakukan perbaikan dan pengembangan dalam proses pembelajaran matematika. Salah satu
strategi yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika adalah dengan meningkatkan
kesadaran siswa terhadap proses berpikir dan aktivitas belajarnya. Pembelajaran diawali
sajian masalah kontekstual dengan melibatkan soft skills siswa dalam rangka
mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematis. Pembelajaran yang diterapkan
dalam penelitian ini diberi nama pembelajaran metakognitif berbasis soft skills.
Pembelajaran ini menanamkan kesadaran kepada siswa suatu proses bagaimana merancang,
memonitor, dan mengevaluasi proses berpikir dan aktivitas yang dilakukan dalam
menyelesaikan masalah. Untuk menyelesaikan masalah, siswa perlu menghubungkan
100
pengetahuan yang lalu dan sekarang, menggunakan strategi pemecahan masalah yang tepat,
dan merefleksikan proses dan solusi yang diperoleh. Pada setiap aktivitas yang dilakukan
siswa dalam proses pembelajaran disisipkan pemberdayakan nilai-nilai soft skills
diantaranya: religius, percaya diri, mandiri, rasa ingin tahu, kerja keras, santun, saling
menghargai, jujur, dan kerjasama. Ketika membuka pelajaran, diberdayakan nilai-nilai soft
skills diantaranya: religius, percaya diri, santun, dan jujur. Ketika siswa bekerja secara
mandiri, diberdayakan nilai-nilai soft skills diantaranya: percaya diri, rasa ingin tahu,
tanggung jawab, mandiri, dan kerja keras. Ketika diskusi kelompok, diberdayakan nilai-nilai
soft skills diantaranya: percaya diri, kerjasama, mandiri, peduli, saling menghargai, berpikir
logis, santun, dan jujur. Ketika hasil diskusi kelompok dipresentasikan di depan kelas yang
bertujuan untuk sharing ide antar kelompok, nilai-nilai soft skills yang diberdayakan
diantaranya: mandiri, saling menghargai, percaya diri, tanggung jawab, dan santun.
2. Metode
Pembelajaran metakognitif berbasis soft skills (PMSS) yang diuraikan pada makalah ini
merupakan perlakuan (treatment) terhadap kelas eksperimen pada SMP level tinggi dan
level sedang di Kota Pekanbaru. Makalah ini menguraikan sebagian dari penelitian quasi
eksperimen yang dilakukan terhadap siswa SMP pada sekolah level tinggi dan level sedang
di Kota Pekanbaru dengan desain kelompok kontrol pretes-postes (Ruseffendi, 2005).
1. Pada awal pembelajaran siswa dihadapkan pada sebuah masalah kontekstual dan guru
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang memancing kesadaran metakognisi siswa.
Siswa difasilitasi untuk dapat menyatakan proses berpikirnya dalam memecahkan
masalah yang diberikan melalui jawaban yang diberikan baik secara lisan maupun tulisan,
sekaligus memberdayakan soft skills diantaranya: percaya diri dalam menjawab
pertanyaan yang diajukan guru, berkomunikasi secara efektif, sopan dan ramah.
2. Guru meminta siswa bekerja secara mandiri membahas bahan ajarnya berupa soal
pemecahan masalah, siswa difasilitasi untuk memberdayakan pengetahuan yang
dimilikinya, merancang pemecahan, mengontrol proses berpikir, dan mengevaluasi
aktivitas yang dilakukan. Untuk memecahkan masalah, siswa harus melalui fase-fase
(memahami, menyusun dan menyelesaikan rencana pemecahan, dan menafsirkan hasil
pemecahan masalah).Dalam hal ini soft skills yang diberdayakan diantaranya adalah
101
percaya diri, tanggung jawab, kerja keras, berpikir logis, kritis, mandiri, dan rasa ingin
tahu.
3. Siswa menyelesaikan soal pemecahan masalah sesuai dengan topik yang telah dibahas
pada diskusi awal secara individual. Guru berkeliling kelas dan memberikan feedback
metakognitif secara individual yang menuntun siswa mengoreksi sendiri kesalahan yang
dibuatnya. Situasi ini dapat memberdayakan soft skills siswa diantaranya percaya diri,
mandiri, tanggung jawab, santun, dan rasa ingin tahu.
4. Guru meminta siswa melakukan refleksi terhadap aktivitas yang telah dilakukan pada
tahap diskusi awal dan tahap kemandirian. Dalam hal ini dapat memberdayakan rasa
percaya diri dan jujur.
5. Pada bagian akhir dari uraian materi, apabila masih ada yang belum dipahami, maka
siswa menuliskan pertanyaan pada bahan ajar untuk kemudian mendiskusikannya dengan
sesama siswa dalam kelompok. Dalam hal ini dapat memberdayakan rasa percaya diri,
dan jujur.
6. Guru meminta siswa dalam kelompok kecil yang heterogen 4-5 orang untuk
mendiskusikan materi yang belum dipahami pada kegiatan mandiri dengan
memberdayakan rasa percaya diri, tanggung jawab, peduli, saling menghargai, santun,
dan kerjasama.
7. Guru meminta perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya di
depan kelas sehingga terjadi diskusi antar kelompok untuk melakukan sharing ide. Ketika
kegiatan ini berlangsung siswa diharapkan dapat berkomunikasi dengan baik yaitu:
berbicara jujur, menggunakan bahasa yang efektif dan efisien, lapang dada dan tidak
mudah emosi, berinisiatif sebagai pembuka diskusi kelompok, berbahasa yang baik,
ramah dan sopan.
8. Pada tahap penyimpulan siswa menulis, merangkum, dan menyimpulkan sendiri segala
aktivitas yang telah dilakukan selama pembelajaran berlangsung, sementara guru meramu
kesimpulan serta membimbing siswa dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan
metakognitif yang menuntun siswa melakukan refleksi terhadap proses dan hasil yang
diperoleh. Dalam hal ini dapat memberdayakan soft skills diantaranya: percaya diri, rasa
ingin tahu, saling menghargai, santun, dan mandiri.
9. Pada tahap akhir guru memberikan soal-soal latihan untuk dikerjakan di rumah dan
menugaskan siswa menulis jurnal yang dapat mendeskripsikan pengalaman yang
dialaminya selama mengikuti pembelajaran matematika. Aktivitas ini dapat
menmberdayakan soft skills diantaranya: percaya diri dan jujur.
Penerapan PMSS bertujuan untuk mengetahui peningkatan KPMM siswa kelas VII-2 SMP N
13 Pekanbaru (dari sekolah level tinggi) dan siswa kelas VII-1 SMP N 10 Pekanbaru (dari
sekolah level sedang). Data yang diperoleh dari hasil pretes dan postes dianalisis untuk
mengetahui besarnya peningkatan KPMM siswa.
102
Besar peningkatan dihitung dengan rumus gain ternomalisasi (normalized gain), yaitu:
Siswa diminta mencermati dan membahas LKS secara individual. Guru sebagai fasilitator.
mengajukan pertanyaan-pertanyaan metakognitif yang merangsang proses berpikir siswa.
Diskusi awal pada LKS-1 s.d. LKS-8 menuntut siswa menemukan rumus berturut-turut
rumus: untung; rugi; persentase untung; persentase rugi; diskon; bruto, tara, dan neto; bunga
tabungan; dan pajak.
103
b. Tahap Kemandirian
Siswa secara individual menyelesaikan soal sebagai penerapan rumus yang ditemukan pada
diskusi awal. Guru sebagai fasilitator mengajukan pertanyaan-pertanyaan metakognitif dan
mengarahkan siswa dalam menyelesaikan soal. Guru juga meminta siswa mempersiapkan
pertanyaan-pertanyaan yang perlu didiskusikan dalam kelompok.
Siswa mendiskusikan hasil pembahasan materi yang telah dilakukan pada tahap
diskusi awal dan tahap kemandirian. Guru memfasilitasi siswa dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan metakognitif yang menantang proses berpikir siswa.
104
Perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok dan guru sebagai fasilitator.
Siswa lainnya diminta memeperhatikan dan memberikan tanggapan terhadap materi yang
dipresentasikan.
Siswa menulis, merangkum, dan menyimpulkan sendiri segala aktivitas yang telah dilakukan
selama pembelajaran berlangsung, sementara guru meramu kesimpulan serta membimbing
siswa dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan metakognitif yang menuntun siswa
melakukan refleksi terhadap proses dan hasil yang diperoleh.
Data prestes, postes dan N-Gain KPMM siswa kelas VII-2 SMP N 13 Pekanbaru dan SMP N
10 Pekanbaru dapat dilihat berturut-turut pada Tabel 2 dan Tabel 3 berikut.
105
Tabel 2. Data Pretes, Postes, dan N-Gain KPMM Siswa Kelas VII-2 SMP N 13 Pekanbaru
No Postes Pretes N- No Postes Pretes N- No Postes Pretes N-
Gain Gain Gain
1 104 28 1,000 13 49 31 0,247 25 32 10 0,234
2 104 25 1,000 14 52 10 0,447 26 52 15 0,416
3 104 28 1,000 15 44 16 0,318 27 42 36 0,088
4 84 28 0,737 16 67 10 0,606 28 56 6 0,510
5 104 28 1,000 17 45 13 0,352 29 58 8 0,521
6 49 26 0,295 18 55 31 0,329 30 59 0 0,567
7 64 26 0,487 19 62 36 0,382 31 58 8 0,521
8 80 36 0,647 20 55 8 0,490 32 64 10 0,574
9 46 23 0,284 21 60 18 0,488 33 61 0 0,587
10 52 25 0,342 22 55 8 0,490 34 39 36 0,044
11 63 31 0,438 23 31 8 0,240 35 35 5 0,303
12 54 8 0,479 24 46 6 0,408
Berdasarkan klasifikasi N-Gain yang ditetapkan Hake (1999), dari Tabel 2 di atas
peningkatan KPMM siswa sekolah level tinggi berada pada kategori tinggi sebanyak 5 orang
(14,29%), kategori sedang sebanyak 20 orang (57,14%), dan kategori rendah sebanyak 10
orang (28,57%).
Sementara itu dari Tabel 3 terlihat peningkatan KPMM siswa sekolah level sedang berada
pada kategori tinggi sebanyak 3 orang (9,09%), kategori sedang sebanyak 19 orang
(57,58%), dan kategori rendah sebanyak 11 orang (33,33%). Berarti peningkatan KPMM
siswa level tinggi dan siswa level sedang dominan berada pada kategori sedang.
Tabel 3. Data Pretes, Postes, dan N-Gain KPMM Siswa Kelas VII-1 SMP N10 Pekanbaru
No Postes Pretes N- No Postes Pretes N- No Postes Pretes N-
Gain Gain Gain
1 52 10 0,447 12 72 15 0,640 23 44 15 0,326
2 44 16 0,318 13 31 16 0,170 24 49 8 0,427
3 67 10 0,606 14 52 10 0,447 25 57 15 0,427
4 78 13 0,718 15 69 10 0,628 26 44 21 0,227
5 44 25 0,241 16 34 21 0,157 27 64 15 0,551
6 72 5 0,667 17 44 15 0,326 28 42 21 0,253
7 50 13 0,407 18 24 10 0,149 29 41 26 0,192
8 78 19 0,694 19 78 15 0,708 30 34 18 0,186
9 62 13 0,538 20 44 10 0,362 31 39 20 0,226
10 72 15 0,640 21 84 5 0,798 32 34 21 0,157
11 69 39 0,462 22 49 20 0,345 33 44 0 0,423
106
1. Peningkatan KPMM siswa sekolah level tinggi dan sekolah level sedang dominan berada
pada kategori sedang.
2. PMSS merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan KPMM
siswa baik pada sekolah level tinggi maupun sekolah level sedang.
4.2.Saran
PMSS dapat dijadikan salah satu model pembelajaran untuk menigkatkan KPMM siswa.
Daftar Pustaka
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). (2006). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
Matematika SMP/MTs. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Biryukov, P. (2003). Metacognitive Aspect of Solving Combinatorics Problems. [Online].
Tersedia:http://www.cimt.pymouth.ac.uk/journal/biryukov.pdf [27 Oktober 2009]
Eizenberg, M.M & Zaslavsky,O. (2003). Cooperative Problem Solving in Combinatorics: the Inter-
Relations between Control Processes and Successful Solutions”. Journal of Mathematical
Behavior. [Online] Vol 22, 15 halaman.
Tersedia:http://lingkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/s073231230300049x [30 November 2009]
Hake, R. R. (1999). Analizing Change/Gain Scores. [Online]. Tersedia:
http://www.physics.indiana.edu/-sdi/AnalyzingChange-Gain.pdf [7 Mei 2011]
Ibraheem, A et al.(2009). Proportional Reasoning and Polya‟s Problem Solving in Pre-Algebra
Mathematics. Mathematics Teaching-Research Journal Online. [Online] Vol 3, 25 halaman.
Tersedia:http://www.hostoscuny.edu/departement/math/mtrj/archives/vol 3/issue 3/Proportional
Reasoning Polya [20 November 2009]
Laurens, T. (2010). Penjenjangan Metakognisi Siswa. Disertasi Doktor pada PPS Unesa.Surabaya:
tidak diterbitkan.
Mu‟addab, H. (2010). Pengertian Soft Skill dan Hard Skill. [Online]. Tersedia:
http://hafismuaddab.wordpress.com/2010/02/13/pengertian-soft-skill-dan-hard-skill/ [8 April
2011]
Nur, M. (2000). Strategi-strategi Belajar. Surabaya: Pusat Studi Matematika dan IPA Sekolah.
Sabandar, J. (2010). “Thinking Classroom dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah”, dalam
T.Hidayat. et al. (ed). Teori, Paradigma, Prinsip dan Pendekatan Pembelajaran MIPA dalam
Konteks Indonesia. Bandung: FPMIPA UPI.
Schulz, B. (2008). The Importance of Soft Skills: Education beyond Academic Knowledge. Journal of
Language and Communication, Juni 2008. [Online]. Tersedia:
107
http://www.freeebookspdf.net/The-importance-of-soft-skills-education-beyond-academic-
knowledge. [5 Februari 2013]
Yimer, A. dan Ellerton, N.F. (2006). Cognitive and Metacognitive Aspects of Mathematical Problem
Solving: An Emerging Model. [Online]. Tersedia:
http://www.merga.net.au/documents/RP672006.pdf [18 Oktober 2009]
108
Kata Kunci : pembelajaran keliling bangun datar, standar National Council of Teachers
Mathematics (NCTM), setting kooperatif.
1. Pendahuluan
Tujuan belajar geometri menurut Freudental adalah untuk memahami tentang ruang,
membantu siswa menghadirkan perasaan mengagumi terciptanya alam semesta, siswa-siswa
harus belajar untuk tahu, mengeksplorasi, agar bisa hidup, bernafas dan bergerak lebih baik.
Mendukung pendapat tersebut, Kennedy & Tipps (1994:387) menyatakan bahwa dengan
pembelajaran geometri siswa mampu mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan
mendukung banyak topik lain dalam matematika.
Dengan belajar geometri siswa dapat mengembangkan imajinasi dan khayalan menjadi
berpikir logis sehingga siswa memiliki keterampilan salah satunya yaitu merancang suatu
bangun datar maupun ruang. Dalam mengembangkan keterampilan siswa untuk merancang
bangun-bangun tersebut, siswa harus memahami tentang konsep panjang, lebar, keliling,
maupun luas. Pemahaman tentang konsep-konsep tersebut bermanfaat dalam kehidupan
sehari-hari maupun untuk pengembangan tindak lanjut. Namun kenyataannya, banyak siswa
109
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan guru kelas III SD Negeri 8
Karangharjo Kecamatan Glenmore Banyuwangi pada awal tahun 2012, diketahui bahwa
siswa merasakan kesulitan memahami dan menerapkan materi keliling bangun datar yang
merupakan sub bagian dari geometri. Selain itu juga diketahui, banyak siswa keliru dalam
memaknai definisi keliling melalui gambar. Hal ini dapat dimengerti karena pembelajaran
keliling bangun datar di SD ini cenderung berorientasi pada guru dan pelaksanaannya juga
cenderung dilaksanakan secara klasikal, sehingga kurang menumbuhkembangkan
kemampuan berpikir siswa.
Berdasarkan hasil pengamatan juga diketahui bahwa penggunaan media dan alat peraga
sangat jarang dilakukan oleh guru atau apabila dilakukan, porsinya sangat sedikit. Biasanya
guru yang memperagakan di depan kelas sedangkan siswa memperhatikan dari tempat
duduknya masing-masing, kemudian dilanjutkan guru dengan memberikan contoh-contoh
dan latihan-latihan. Sementara siswa hanya mendengar, memperhatikan, mencatat, dan
mengerjakan latihan-latihan yang diberikan oleh guru. Meskipun dalam menyelesaikan
latihan tersebut ada beberapa siswa yang dapat menggunakan aturan-aturan yang telah
diberikan, namun hal itu bersifat sementara. Siswa akan cepat lupa pada pengetahuan yang
telah diperolehnya karena siswa tidak mengerti apa makna dan manfaat pengetahuan tersebut
bagi kehidupannya.
Guna mendukung hasil pengamatan di atas, penulis melakukan wawancara dengan guru
kelas atas (kelas 4-6). Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa, dalam proses
pembelajaran keliling bangun datar di kelas 4, guru seringkali harus mengajarkan materi
keliling bangun datar yang seharusnya dipelajari siswa di kelas 3. Menurut pendapat guru
kelas atas tersebut, banyak siswa lupa tentang materi keliling bangun datar yang dipelajari
sebelumnya sehingga guru kelas atas harus mengajarkannya kembali.
2. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif. Digunakan pendekatan kualitatif
karena dalam penelitian ini menggunakan sumber data langsung berupa data aktivitas guru
110
dan siswa kelas III SDN 8 Karangharjo Kecamatan Glenmore Banyuwangi selama proses
pembelajaran berlangsung dan hasil wawancara dengan siswa. Peneliti terlibat langsung
dalam proses penelitian dari awal sampai berakhirnya penelitian. Keterlibatan yang
dimaksud mulai dari menyusun perangkat pembelajaran sampai pada pelaporan. Desain
penelitian dapat ditinjau dan disempurnakan selama penelitian berlangsung disesuaikan
dengan kenyataan di lapangan. Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
analisis data kualitatif dan kuantitatif. Data ini dianalisis dengan langkah-langkah sebagai
berikut: (1) mereduksi data, (2) menyajikan data, dan (3) meyimpulkan data.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Dipilihnya jenis
penelitian tindakan kelas dalam penelitian ini adalah karena tujuan penelitian ini sesuai
dengan karakteristik PTK, yaitu ingin memperbaiki kualitas proses pembelajaran keliling
bangun datar menurut standar NCTM dengan setting kooperatif. Penelitian ini berangkat dari
permasalahan yang terjadi pada pembelajaran keliling bangun datar, dalam melaksanakan
penelitian peneliti berkolaborasi dengan guru kelas baik pada saat pelaksanaan tindakan
maupun melakukan refleksi setiap akhir tindakan. PTK sangat memperhatikan proses
pembelajaran disamping hasil belajarnya, hal ini sesuai dengan proses penelitian dengan
pendekatan kualitatif yang akan dilaksanakan.
Model penelitian tindakan kelas yang digunakan adalah model Kemmis dan Mc. Taggart.
Penelitian dilaksanakan dalam empat tahap penelitian, yaitu: perencanaan tindakan,
pelaksanaan tindakan, observasi tindakan dan serta refleksi yang berlangsung dalam siklus
atau kegiatan berulang. Siklus berikutnya dilakukan apabila siklus yang baru dilaksanakan
dianggap tidak berhasil sesuai kriteria keberhasilan yang ditetapkan. Perencanaan siklus
berikutnya memperhatikan hasil refleksi siklus sebelumnya. Prosedur pengumpulan data
dalam penelitian ini berupa validasi perangkat penelitian, pengamatan (observasi) aktivitas
siswa dan aktivitas guru, wawancara, dan serta tes hasil belajar siswa. Perangkat penelitian
yang digunakan adalah lembar validasi, lembar observasi, format wawancara, instrument tes,
rencana pembelajaran, dan serta lembar kerja siswa.
3. Hasil Penelitian
Data penelitian menunjukkan bahwa: dari hasil observasi pembelajaran pada siklus I dan II
sudah terlaksana sesuai rencana pembelajaran. Hal ini dapat dilihat bahwa untuk pertemuan
pertama rata-rata proses pembelajaran yang diketahui melalui analisis aktivitas guru dan
siswa pada siklus I sebesar 94.55% dengan kategori sangat baik dan pada siklus II sebesar
98.87% dengan kategori sangat baik. Pada pembelajaran siklus II telah terlaksana dengan
baik dan memenuhi kriteria keberhasilan yang ditetapkan pada penelitian ini.
Dari pembelajaran itu pula diketahui rata-rata nilai siswa mengalami peningkatan, pada rata-
rata nilai tes hasil belajar siklus I sebesar 71.72% dengan kategori baik, dan kemudian rata-
rata nilai pada tes akhir siklus II mengalami peningkatan menjadi 85.689% dengan kategori
sangat baik, sedangkan pada nilai tes akhir siklus I dan II dapat diketahui bahwa ketuntasan
belajar mengalami peningkatan, sebanyak 72,41% siswa telah mencapai skor ≥ 65 dengan
111
kategori baik pada siklus I dan meningkat menjadi 96.55% dengan kategori sangat baik pada
siklus II, hal ini melebihi kriteria keberhasilan yaitu 80%. Selain itu, rata-rata nilai proses
pembelajaran mengalami peningkatan, pada siklus I sebesar 94.55% dengan kategori sangat
baik meningkat pada siklus II menjadi 98.87% dengan kategori sangat baik. Hal ini
mengindikasikan bahwa pembelajaran menurut standar NCTM dengan setting kooperatif
memungkinkan untuk dijadikan sebagai salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat
membantu siswa memahami materi.
4. Pembahasan
Materi pembelajaran pada penelitian ini adalah keliling bangun datar, dengan fokus
pembelajaran pada siklus 1 yaitu untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep
keliling bangun datar, sedangkan fokus pembelajaran pada siklus 2 yaitu mengacu pada
siklus I, akan tetapi lebih ditekan pada kemahiran prosedural dan algoritma melalui soal
cerita.
Pada fokus pembelajaran pada siklus 1, siswa diberi tugas melalui LKS 1 yang terdiri dari
kegiatan 1 dan 2. Sedangkan pada fokus pembelajaran pada siklus 2, peneliti memberikan
tugas melalui LKS 2. Pemberian tugas melalui LKS 1 dan 2 bertujuan agar siswa memahami
materi yang dipelajari. Dalam menyelesaikan LKS ini, siswa juga menggunakan benda-
benda berbentuk persegi maupun persegi panjang yang ada di sekitar kelas.
Pada pelaksanaan proses pembelajaran di atas ditemukan bahwa pada umumnya pemahaman
siswa terhadap materi sangat baik. Hal ini pada dasarnya bergantung pada desain
pembelajaran yang diterapkan. Desain pembelajaran di atas, dirancang berdasarkan teori
konstruktivisme.
Temuan penelitian selanjutnya adalah dalam belajar, apabila siswa mendapatkan kesulitan
mereka sangat terbantu dengan adanya bantuan dari anggota kelompok lain dan adanya
wacana yang diberikan oleh guru serta wacana yang didapatkan dari diskusi kelas.
Berdasarkan hasil catatan lapangan diketahui siswa dengan tingkat kemampuan tinggi
memberikan bantuan kepada anggota kelompok dengan kemampuan lebih rendah. Hal ini
sesuai dengan pendapat Slavin (1995:42) bahwa tanggung jawab individual akan
membangkitkan kerjasama siswa terutama antar siswa yang berkemampuan tinggi dengan
siswa yang berkemampuan rendah.
Temuan penelitian selanjutnya yaitu siswa sangat antusias dan aktif dalam belajar keliling
bangun datar dengan memanfaatkan benda-benda di sekitar kelas untuk menyelesaikan soal.
Keantusiasan dan keaktivan tersebut terjadi karena disebabkan oleh berbagai faktor. Salah
satunya berdasarkan hasil wawancara, diketahui siswa sangat antusias dan aktif karena
pembelajaran dilakukan dengan bermain. Istilah bermain, merujuk pada anggapan siswa
yang menyatakan bahwa dengan memanfaatkan benda-benda di sekitar kelas, siswa diajak
untuk bermain.
112
Temuan penelitian selanjutnya adalah adanya perbedaan pendapat dalam kelompok, bisa
mendorong terjadinya diskusi antar siswa. Dalam proses pembelajarannya, para siswa
berdiskusi tentang materi keliling bangun datar. Pada saat diskusi terjadi proses saling
memahami ide yang dimiliki masing-masing anggota setiap kelompok dengan ide yang akan
dipelajari. Temuan penelitian selanjutnya adalah siswa mampu menemukan konsep keliling
bangun datar melalui kegiatan mengukur benda-benda di sekitar kelas, kegiatan menentukan
panjang maupun lebar sisinya jika diketahui kelilingnya, serta ditunjukkan pula dari
kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita (tugas). Selain itu pula didukung adanya
wacana, lingkungan dan analisis yang dilakukan oleh guru. Berdasarkan proses pembelajaran
yang telah dilakukan, tampak empat komponen dari NCTM telah dilakukan.
Selanjutnya, ditemukan pula bahwa pada kegiatan I LKS I yang bertujuan untuk menemukan
rumus keliling persegi dan persegi panjang, banyak membutuhkan waktu sehingga kegiatan
pembelajaran cenderung molor dari yang direncanakan. Hal ini disebabkan karena siswanya
yang aktif melakukan kegiatan menemukan dan guru lebih banyak sebagai fasilitator dan
motivator bagi siswa.
Dalam penelitian ini ditemukan pula pada soal cerita, siswa yang tidak memahami redaksi
pertanyaan maka akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal. Saat menyelesaikan
soal yang bersifat open-ended tampak antusiasme siswa menurun. Upaya yang dilakukan
guru pada tahap ini adalah menciptakan wacana dan lingkungan yang mendukung pada
siswa. Selain itu, pada soal c ini ditemukan pula bahwa siswa belum terbiasa dengan soal
open-ended. Di sisi lain, soal yang berbentuk open-ended ini mampu mengkonstruksi
pemahaman siswa dalam memahami soal. Hal ini dapat dipahami, karena pada soal-soal
yang open-ended tersebut siswa diharuskan mampu melihat arti (makna) yang tersembunyi
pada pertanyaan terbuka tersebut.
Pada akhirnya untuk mengatasi temuan terakhir dalam penelitian ini yaitu pada umumnya
siswa yang berkemampuan rendah maupun siswa yang bersikap acuh tak acuh semakin
termotivasi, jika dalam belajar terdapat hadiah. Guru harus melakukan upaya-upaya yang
mampu meningkatkan kemampuan siswa. Berdasarkan hasil pengamatan oleh pengamat I
menyatakan bahwa sikap cuek, acuh tak acuh tersebut terjadi karena kurangnya perhatian
danpenghargaan bagi siswa yang berkemampuan kurang.
sebesar 71.72, dan kemudian hasil tes akhir siklus II rata-rata nilai tes akhir mengalami
peningkatan menjadi 85,69.
Beberapa saran yang dapat disampaikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah hendaknya
mengatur waktu dengan efektif dan memberikan bimbingan kepada siswa secara efektif
sehingga kreativitas siswa tetap ada.
6. Ucapan Terimakasih
Ucapan terima kasih saya ucapkan kepada:
a. Allah Tuhan Yang Maha Esa;
b. Ayahanda Drs. Fatechur Rachman dan Ibunda Mahsunah serta Bapak Mertua Sugiyono
dan Ibu Mertua Siti Lailiyah yang telah membesarkan, mendidik, membimbing dan
mengarahkan saya sehingga menjadi anak yang berbakti dan taat kepada ajaran agama;
c. Istriku tercinta, Lia Ristina, S.E., atas untaian dzikir dan do‟a yang telah mengiringi
langkahku selama menuntut ilmu, dukungan, pengorbanan, serta curahan kasih sayang
yang telah diberikan selama ini;
d. Anakku tercinta, Khasyah Baraka Falah Maulana, atas senyum dan tangismu sampai
ayah bisa menyelesaikan makalah ini;
e. Kakak-kakakku, Anik Hanif Agustiana, S.Pd, Bachtiar Trah Utomo, A.Md, Dian
Fatmawatri, A.Md, Serta Adik-adikku tercinta, Riska Fibriana dan Lerra Rachma N. S
atas dukungan dan motivasi yang telah diberikan selama ini;
f. Rekan-rekan guru SDN 8 Karangharjo yang selalu mendukung langkahku untuk maju
dan maju; dan masih banyak lagi yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima
kasih atas bantuan dan dukungannya selama ini.
Daftar Pustaka
Arikunto, S. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.
Depdikbud. 1999. Penelitian Tindakan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah,
Direktorat
Pendidikan Menengah. Depdiknas, 2005. Pedoman Penulisan Buku Pelajaran Matematika. Jakarta:
Depdiknas.
Depdiknas, 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Mata Pelajaran Matematika untuk
SD/MI. Jakarta: Depdiknas
Hudojo, Herman. 2005. Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Malang: Universitas Negeri
Malang (UM Press)
Hudojo, Herman, dkk. 2006. Koleksi Materi Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Malang:
Universitas Negeri Malang
114
Krulik, S., Rudnick, J., & Milou, E. 2003. Teaching Mathematics in Middle SchooI. Boiston:Allyn and
Bacon Merrilyn, Goos. 2004, Learning Mathematics In a Classroom Community Of Inquiry,
New York, JRME.
Mulyasa, 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT Rosdakarya
NCTM, 1991. Professional Standard for Teaching Mathematics. Reston, virginia: The National
Council of Teachers of Mathematics, Inc.
NCTM, 2000. Principles and Standards for School Mathematics. Reston, Virginia : The National
Council of Teachers of Mathematics, Inc
NCTM, 2003. Mathematics Assessment: A Practical Hand Book for Grade 3 – 5. Reston,Virginia:
The National Council of Teachers of Mathematics, Inc.New York:Cassel
Slavin. Robert. 1994. Educational Psychology: Theory and Practice. Fourth Edition. Massachusetts:
Allyn and Baccon Publishers.
Van de Walle, J.A.. 1990. Elementary School Mathematics: Teaching Developmentally. New York:
Longman.
Wiriaatmadja, R. 2007. Metode Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
115
Darno
Guru SMK Negeri 1 Klaten, darnoklaten@yahoo.com
Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan keaktifan siswa kelas XII
TKJ 1 SMK Negeri 1 Klaten tahun ajaran 2013/2014 dalam pembelajaran statistika.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan secara
kolaboratif bersama guru teman sejawat sebagai observer terhadap sejumlah 35 siswa di
kelas XII TKJ 1. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri lembar
observasi terhadap pelaksanaan pembelajaran, angket keaktifan siswa, lembar observasi
keaktifan siswa, catatan lapangan dan dokumen pembelajaran. Adapun teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini adalah observasi pelaksanaan pembelajaran,
pemberian angket keaktifan siswa dalam pembelajaran statistika, tes akhir siklus,
penyusunan catatan lapangan, dan dokumentasi pembelajaran.
Think Pair Share (TPS) adalah strategi diskusi kooperatif yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk berpikir, berkelompok dan berbagi dalam rangka
meningkatkan kualitas pembelajaran. Siswa menjadi lebih aktif terlibat dalam
memikirkan konsep yang disajikan dalam pembelajaran diikuti dengan menguatnya
dampak pengiring yakni meningkatnya kemampuan siswa dalam menyelesaikan
masalah statistika dari rata-rata 66,86 di kondisi awal menjadi rata-rata 79,43 di akhir
siklus I dan menjadi rata-rata 91,29 di akhir siklus II.
1. Pendahuluan
matematika yang terkesan konvensional dan sulit untuk dipahami siswa. Sebagai seorang
pendidik diharapkan guru mampu menghilangkan atau paling tidak meminimalisir
ketidakberdayaan tersebut. Supaya anak menjadi lebih berdaya setidaknya ada tiga strategi
pemberdayaan, yaitu siswa mengeksplorasi kemampuan dirinya sendiri, siswa berkolaborasi
dengan temannya sendiri, dan pemberdayaan oleh guru.
Munculnya sebuah fenomena mendasar yang berkembang saat ini di dunia pendidikan dan
pengajaran kita; tidak ada satupun strategi pembelajaran yang tepat untuk membelajarkan
suatu materi ajar tertentu. Dari munculnya fenomena tersebut diikuti dengan berkembangnya
berbagai ragam metode dan strategi pembelajaran. Banyaknya metode dan strategi
pembelajaran memberikan nuansa yang berbeda dalam proses pembelajaran. Seiring dengan
hal itu semua guru mata pelajaran (matematika khususnya) hendaknya mengenal dan
memahami berbagai strategi dan pendekatan dalam membelajarkan siswanya, sehingga
siswa bisa memahami pelajaran dengan lebih baik.
Tujuan utama memberdayakan siswa adalah memberikan keleluasaan kepada siswa untuk
berkembang, mengeksplorasi diri dengan menumbuhkan keaktifan siswa dalam proses
pembelajaran. Untuk mengeksplorasi kemampuan diri tidak setiap siswa dapat
melakukannya. Sulitnya keterbatasan siswa dalam mengeksplorasi kemampuan diri dapat di
atasi dengan mengelaborasikan dengan teman sekelas. Elaborasi inipun kadang sulit untuk
dilaksanakan, karena kendala komunikasi atau perbedaan cara pandang yang susah untuk
dipadukan. Untuk keperluan inilah peran guru sangat diperlukan dalam eksplorasi maupun
elaborasi dengan berbagai pendekatan dan strategi pembelajaran.
Keaktifan dari akar kata aktif yang bersifat gerak (Poerwodarminto, 1984: 547), kegiatan
yang dilakukan seseorang (Wina Sanjaya, 2006: 136). Keaktifan siswa merupakan gerakan
atau aktivitas siswa dalam keikutsertaannya dalam proses pembelajaran. Bentuk keaktifan
siswa dapat berbentuk mendengarkan, memperhatikan, bertanya, memberikan pendapat,
memberikan respon, berdiskusi, mengerjakan tugas, mengikuti semua skenario pembelajaran
yang dirancang oleh guru.
TPS merupakan strategi pembelajaran yang dikembangkan pertama kali oleh Profesor Frank
Lyman dari Universitas of Maryland (Trianto,2007: 61). Strategi ini memperkenalkan
gagasan tentang waktu; „tunggu atau berpikir‟ (wait or think time) pada elemen interaksi
pembelajaran kooperatif. TPS merupakan strategi pembelajaran yang memberikan waktu
117
lebih banyak kepada siswa untuk memikirkan secara mendalam tentang apa yang telah
dijelaskkan atau dialami (berpikir, menjawab dan saling bantu satu sama lain).
TPS mempunyai prosedur yang ditetapkan secara eksplisit untuk memberi siswa waktu lebih
untuk berpikir, menjawab dan saling membantu satu sama lain. Langkah-langkah Think Pair
Share menurut Trianto: 1) berfikir (Thinking) guru mengajukan suatu permasalahan yang
dikaitkan dengan materi ajar, dan meminta siswa untuk menggunakan waktu beberapa menit
untuk berfikir untuk menemukan jawabannya. 2) berpasangan (Pairing) guru meminta siswa
berpasangan untuk mendiskusikan penyelesaian yang telah mereka dapatkan. 3) Berbagi
(Sharing), guru meminta berbagi dengan seluruh pasangan untuk membicarakan
penyelesaian yang telah mereka dapatkan. Langkah-langkah Think Pair Share menurut
Miftahul Huda sebagai berikut.
Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok. Setiap kelompok terdiri atas 4 anggota/siswa.
Guru memberikan tugas pada setiap siswa.
Tiap-tiap anggota memikirkan dan mengerjakan tugas tersebut secara individual terlebih
dahulu.
Tiap-tiap kelompok membentuk anggota-anggotanya secara berpasangan. Setiap
pasangan mendiskusikan tugas yang telah dikerjakan secara individual.
Kedua pasangan lalu bergabung kembali dalam kelompoknya masing-masing untuk
menshare hasil diskusinya.
Penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Suyanta dengan judul; “Peningkatan Prestasi
Belajar Matematika Menggunakan Metode Think Pair Share pada kompetensi dasar Matriks
Kelas X PS2 SMK Negeri 1 Klaten Kabupaten Klaten Semester 2 Tahun Diklat 2010/2011”
memberikan kesimpulan, bahwa nilai terendah naik 45% dari 42 pada kondisi awal menjadi
77 pada kondisi akhir (siklus 2), nilai tertinggi naik 16% dari 80 kondisi awal menjadi 100
pada kondisi akhir (siklus 2). Ketuntasan naik 79,5% dari 20,5% kondisi awal menjadi
100% pada kondisi akhir (siklus 2).
Dalam penelitian ini dengan TPS mampu meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran
statistika siswa kelas XII TKJ 1 SMK Negeri 1 Klaten tahun ajaran 2013/2014. Apabila
keaktifan siswa meningkat sangat dimungkinkan kemampuan siswa untuk menyelesaikan
statistika (matematika) juga akan meningkat. Yang pada akhirnya prestasi siswa akan lebih
baik.
2. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action
research). Subjek penelitian yang diambil siswa kelas XII TKJ 1 SMK Negeri 1 Klaten
tahun ajaran 2013/2014, sebanyak 35 siswa 12 diantaranya laki-laki. Objek penelitian ini
adalah keaktifan siswa kelas XII TKJ 1 tahun ajaran 2013/2014 dengan tindakan strategi
Think Pair Share.
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian model Kemmis dan Taggart dalam [1]
yang dilaksanakan dengan dua siklus di mana setiap siklus melalui empat tahapan, yakni; (1)
tahap perencanaan, (2) tahap pelaksanaan, (3) tahap observasi dan evaluasi, (4) tahap
refleksi.
Metode dan instrumen pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian tindakan ini
dapat dilihat pada tabel berikut.
Data keaktifan siswa diperoleh dengan mengamati kegiatan siswa saat pembelajaran oleh
penulis dan guru observer. Kriteria keaktifan siswa dapat dilihat pada rentang kualitas
sebagai berikut;
Data kemampuan siswa menyelesaikan masalah matematika diperoleh dengan cara tes
tertulis pada setiap akhir siklus kemudian dianalisis untuk mendeskripsikan nilai terendah,
nilai tertinggi, nilai rata-rata, dan ketercapaian ketuntasan.
119
Penelitian tindakan kelas ini terlaksana secara terjadwal sesuai dengan jadwal pembelajaran
matematika, sehingga tidak mengurangi hak siswa untuk belajar. Penelitian ini dilaksanakan
dua siklus, yang masing-masing siklus terlaksana dalam dua tahap.
Dari siklus I diketahui bahwa keaktifan siswa meningkat dari keaktifan level 59 menjadi
keaktifan level 70. Meningkatnya level keaktifan diikuti dengan meningkatnya kemampuan
siswa dalam menyelesaikan masalah statistika sebagai dampak pengiringnya. Kenaikan
dampak pengiring kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah statistika yakni dari
rata-rata 66,86 di kondisi awal menjadi rata-rata 79,43 di akhir siklus I, dari
ketuntasan 25, 71 % di kondisi awal menjadi 80% di akhir siklus I.
Dari siklus II diketahui bahwa keaktifan siswa meningkat dari keaktifan level 70 (baik)
menjadi keaktifan level 75 (sangat baik). Meningkatnya level keaktifan di siklus II masih
tergolong keaktifan yang baik dan diikuti dengan meningkatnya kemampuan siswa dalam
menyelesaikan masalah matematika. Kenaikan kemampuan siswa dalam menyelesaikan
masalah statistika yakni dari rata-rata 79,43 di kondisi akhir siklus I menjadi rata-rata
87,29 di akhir siklus II, dengan ketuntasan 80% di kondisi akhir siklus I menjadi
94,29% di akhir siklus II
Dari tabel di atas terlihat adanya penurunan nilai terendah yang tidak konsisten. Hal ini
disebabkan adanya indikasi beberapa siswa „bina lingkungan‟ yaitu siswa yang tidak
memenuhi kriteria minimal sebagai siswa SMK tetapi diterima atas dasar rekomendasi
pejabat sebagai bentuk pembinaan lingkungan. Setelah dilaksanakan penelusuran objek
(siswa) didapatkan informasi bahwa dari beberapa siswa yang tidak konsisten tersebut terjadi
penyimpangan keaktifan. Hal-hal yang menyebabkan penyimpangan antara lain remidi
dilaksanakan berulangkali tetap saja belum menunjukkan perbaikan, diberikan tugas secara
individu tidak pernah dikumpulkan. Kalaupun tugas dikumpulkan harus teman satu kelas
yang membantu untuk mengerjakan dan mengumpulkannya.
120
3.2. Pembahasan
Tujuan utama penelitian tindakan ini adalah untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam
proses pembelajaran matematika pada siswa kelas XII TKJ 1 SMK negeri 1 Klaten tahun
ajaran 2013/2014. Aktivitas siswa kelas XII TKJ 1 SMK Negeri 1 Klaten yang semula
tampak pasif, setelah diterapkan strategi pembelajaran Think Pair Share (berpikir,
berkelompok, berbagi) siswa menjadi lebih aktif dan dinamis. Strategi ini sangat membantu
guru dalam mengajar dan meningkatkan peran dan keaktifan siswa dalam kegiatan belajar
mengajar di sekolah. Siswa dituntut aktif dalam pembelajaran matematika baik secara fisik
maupun psikis.
Setelah dilaksanakan pembelajaran menggunakan strategi Think Pair Share, maka aktivitas
dan kreativitas siswa dalam pembelajaran matematika meningkat. Hal ini dikarenakan siswa
merasa lebih tertarik dan senang diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan
berpikirnya. Siswa yang mempunyai kemampuan lebih bisa memperdalam pengetahuannya
dengan cara berbagi membantu teman yang kurang paham, sehingga tujuan pembelajaran
akan tercapai secara bersama-sama. Siswa yang paham mau membantu temannya yang
kurang paham, sebaliknya siswa yang kurang paham berusaha untuk paham dengan
bertanya kepada temannya yang lebih paham. Dengan cara seperti itu diharapkan tidak ada
siswa yang merasa paling pinter atau paling bodoh.
Penelitian ini berhenti dalam dua siklus, karena pada siklus II indikator keberhasilan telah
terpenuhi. Siklus pembelajaran berikutnya tidak dilanjutkan karena seorang siswa yang
belum mencapai indikator terindikasi siswa bina lingkungan. Setelah dilaksanakan remidiasi
pembelajaran secara berulang-ulang tidak menunjukkan perbaikan yang berarti juga. Apabila
penelitian ini dilanjutkan ke siklus berikutnya dikhawatirkan menyebabkan kejenuhan dalam
pembelajaran bagi siswa lainnya yang lebih banyak.
Tujuan sela dari penelitian tindakan ini adalah meningkatnya kemampuan siswa dalam
menyelesaikan persoalan matematika khususnya berkaitan dengan materi statistika. Dari tes
siklus I, ketuntasan individu dalam pembelajaran materi ukuran pemusatan belum dipenuhi
oleh semua siswa. Dari 35 siswa di kelas XII TKJ 1, masih ada 6 siswa yang belum tuntas
memenuhi kriteria ketuntasan minimum 77. Dari tes siklus II, ketuntasan individu dalam
pembelajaran materi ukuran penyebaran (kuartil) belum juga dipenuhi oleh semua siswa.
Dari 35 siswa di kelas XII TKJ 1, masih ada 1 siswa yang belum tuntas memenuhi kriteria
ketuntasan minimum 77.
121
4.2. Saran
Untuk perbaikan sistem pendidikan tidaklah cukup dibebankan kepada guru secara mutlak,
mohon kepada semua pihak yang terkait dengan pendidikan melaksanakan penjaminan
proses secara benar, sehingga pemetaan kemampuan siswa menjadi lebih proporsional.
Ketidaktercapaian dari beberapa indikator, menunjukkan adanya penjaminan proses yang
tidak berjalan dengan baik disetiap tahap.
Tulisan penelitian ini merupakan sisi sempit yang bisa kami lihat, ke depan masih banyak
lorong luas yang belum terperhatikan. Untuk ini mohon penelitian demi penelitian kita kaji
untuk bisa mendukung perbaikan berkelanjutan.
Daftar Pustaka
Arikunto Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktik., Jakarta : Rineka
Cipta.
Darno. 2003. Kumpulan Modul Pembelajaran Matematika. Klaten: Doremi Offset.
Hamruni. 2011. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta : Insan Madani.
Huda Miftahul. 2013. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ibrahim M. 1984. Dkk, Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : Unesa Uneversity Press.
Mahmoud Kaddoura. 2013. Think Pair Share: A teaching Learning Strategy to Enhance Studets‟
Critical Thingking, Educational Research Quarterly, Jun.
Poerwodarminto. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta, Depdiknas. (1984)
Sanjaya Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta,
Kencana Prenada Media Group.
Suyanta. 2011. Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Menggunakan Metode Think Pair Share
pada Kompetensi Dasar Matrik Kelas X PS2 SMK Negeri 1 Klaten Semester 2 Tahun Diklat
2010/2011. Dinas Pendidikan Kabupaten Klaten.
Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik (Konsep,
Landasan Teori-Praktis dan Implementasinya). Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher.
122
1. Pendahuluan
Pemerintah terus berupaya keras untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.
Keberhasilan pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia seorang guru.
Michael G. Fullan yang dikutip oleh Suyanto dan Djihad Hisyam (2000) (dalam Sudrajat,
Akhmat, 2012) mengemukakan bahwa “educational change depends on what teachers do
and think…”. Pendapat tersebut mengisyaratkan bahwa perubahan dan pembaharuan sistem
pendidikan sangat bergantung pada “what teachers do and think “. Atau dengan kata lain
bergantung pada penguasaan kompetensi guru.
Karena peningkatan kompetensi guru merupakan hak setiap guru dan pengembangan
keprofesian berkelanjutan telah mulai diberlakukan maka pemerintah berkewajiban untuk
menyediakan program-program yang berkaitan dengan peningkatan kompetensi guru.
123
c. Meningkatkan komitmen guru dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai
tenaga profesional.
d. Menumbuhkan rasa cinta dan bangga sebagai penyandang profesi guru.
e. Meningkatkan citra, harkat, dan martabat profesi guru di masyarakat.
f. Menunjang pengembangan karir guru. (Kemdikbud, 2012)
Sementara menurut Idris Apandi (2013), manfaat dari PKB adalah sebagai berikut.
a. Bagi peserta didik
Peserta didik memperoleh jaminan pelayanan dan pengalaman belajar yang efektif;
b. Bagi guru
Guru dapat memenuhi standar dan mengembangkan kompetensinya, sehingga mampu
menghadapi perubahan internal dan memenuhi kebutuhan belajar peserta didik untuk
menghadapi kehidupannya di masa datang.
c. Bagi sekolah/ Madrasah
Sekolah/madrasah mampu memberikan layanan pendidikan yang berkualitas kepada
peserta didik.
d. Bagi orang tua/ masyarakat
Orang tua/ masyarakat memperoleh jaminan bahwa anak mereka mendapatkan layanan
pendidikan yang berkualitas dan pengalaman belajar yang efektif.
e. Bagi pemerintah
Memberikan jaminan kepada masyarakat tentang layanan pendidikan yang berkualitas
dan profesional.
4. Diklat Online
Diklat Online merupakan salah satu bentuk diklat jarak jauh yang berbasis web, yang
merupakan jenis penerapan dari e-learning. Menurut Bambang Warsita (2011:4), diklat jarak
jauh adalah suatu model pembelajaran yang membebaskan peserta diklat untuk dapat belajar
tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Proses pembelajaran dilakukan dengan perantara media
pembelajaran yang saat ini sebagian besar dalam bentuk pemanfaatan TIK yang dirancang
secara khusus. Sedangkan menurut Rusman (dalam Rusman, Dedi K., dan Cepi R., 2011:56),
Sistem e-learning merupakan bentuk penerapan teknologi informasi yang ditujukan untuk
mempermudah proses pembelajaran yang dikemas dalam bentuk konten digital dan
pelaksanaannya membutuhkan sarana komputer yang terkoneksi dengan internet. Dari kedua
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa diklat online adalah suatu model pembelajaran
yang membebaskan peserta diklat untuk dapat belajar tanpa terikat oleh ruang dan waktu dan
pelaksanaannya membutuhkan sarana komputer yang terkoneksi dengan internet.
Sedangkan menurut Rusman, Dedi K., dan Cepi R. (2011), kelebihan Pembelajaran Berbasis
Web (e-learning) adalah:
1. Memungkinkan setiap orang di mana pun, kapan pun, untuk mempelajari apa pun.
2. Pembelajar dapat belajar sesuai dengan karakteristik dan langkah-langkah dirinya
sendiri karena pembelajaran berbasis web membuat pembelajaran menjadi bersifat
individual.
3. Kemampuan untuk membuat tautan (link), sehingga pembelajar dapat mengakses
informasi dari berbagai sumber, baik di dalam maupun luar lingkungan belajar.
127
4. Sangat potensial sebagai sumber belajar bagi pembelajar yang tidak memiliki cukup
waktu belajar.
5. Dapat mendorong pembelajar untuk lebih aktif dan mandiri di dalam belajar.
6. Menyediakan sumber belajar tambahan yang dapat digunakan untuk memperkaya
materi pembelajaran.
7. Menyediakan mesin pencari yang dapat digunakan untuk mencari informasi yang
mereka butuhkan.
8. Isi dari materi pelajaran dapat di update dengan mudah.
Kemudian menurut Rusman, Dedi K., dan Cepi R. (2011), kekurangan Pembelajaran
Berbasis Web (e-learning) adalah:
1. Keberhasilan pembelajaran berbasis web bergantung pada kemandirian dan motivasi
pembelajar.
2. Akses untuk mengikuti pembelajaran dengan menggunakan web seringkali menjadi
masalah bagi pembelajar.
3. Pembelajar dapat cepat merasa bosan dan jenuh jika mereka tidak dapat mengakses
informasi, dikarenakan tidak terdapatnya peralatan yang memadai dan bandwith yang
cukup
4. Dibutuhkannya panduan bagi pembelajar untuk mencari informasi yang relevan, karena
informasi yang terdapat di dalam web sangat beragam
5. Dengan menggunakan pembelajaran berbasis web, pembelajar terkadang merasa
terisolasi, terutama jika terdapat keterbatasan dalam fasilitas komunikasi.
Dengan mengikuti diklat online, seorang guru telah melakukan salah satu program dari PKB
guru yaitu pengembangan diri. PKB sendiri tidak bisa dipisahkan dari peningkatan
kompetensi guru yang merupakan salah satu tujuan khusus dari PKB itu sendiri. Kompetensi
guru sangatlah penting. Seorang guru dituntut untuk selalu memelihara, meningkatkan, dan
memperluas pengetahuan dan keterampilannya untuk melaksanakan proses pembelajaran
secara profesional. Pembelajaran yang berkualitas diharapkan mampu meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap peserta didik (Kemdikbud, 2012).
Struktur program diklat online disusun sedemikian rupa sehingga kompetensi guru pun dapat
ditingkatkan. Misalnya materi internet, sosialisasi kurikulum, pemanfaatan office dalam
pembelajaran matematika, dan karya tulis ilmiah, sangat terasa manfaatnya untuk
pengembangan kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional seorang guru. Sedangkan
128
materi geogebra, pemanfaatan alat peraga matematika, dan matematika rekreasi sangat
bermanfaat untuk seorang guru dalam usaha untuk membuat proses pembelajaran lebih
menarik.
Program diklat online akan dapat meningkatkan kompetensi kepribadian dan kompetensi
sosial karena dalam program diklat online, peserta dituntut untuk aktif dalam forum diskusi
yang merupakan salah satu komponen penilaian.
Jadi dapat dikatakan bahwa jika seorang guru mengikuti diklat online dengan serius maka
akan dapat meningkatkan keempat jenis kompetensi guru yang merupakan salah satu tujuan
khusus dari program PKB guru dan sekaligus melakukan proses pengembangan diri yang
merupakan salah satu program dari PKB guru.
Daftar Pustaka
Apandi, Idris. 2013. PKG, PKB, dan Peningkatan Kompetensi Kepribadian Guru. Dari
http://www.lpmpjabar.go.id/?q=node/281. Diakses tanggal 8 November 2013.
Rusman, Deni K., dan Cepi R. 2011. Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Kemdikbud. 2012. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan. Jakarta: Pusbangprodik.
---------------. 2013a. Panduan Diklat Online Pola 15 Hari Angkatan III. Yogyakarta: PPPPTK
Matematika.
---------------. 2013b. Pedoman Diklat Bidang TK dan PLB Melalui Jaringan Online dan
Pembimbingan KTI Melalui Jaringan Online. Bandung: PPPPTK TK dan PLB.
Munir. 2008. Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung: Alfabeta.
Oetomo, B.S. 2002. e-Education; Konsep, Teknologi dan Aplikasi Internet Pendidikan. Yogyakarta:
Andi.
Permenpan dan RB. 2009. Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Jakarta: Sekretariat
Negara.
PPPPTK Matematika. 2012. Profil. Dari http://p4tkmatematika.org/profil-tahun-2012/. Diakses
tanggal 3 November 2013.
129
Sudrajat, Akhmad. 2012. Kompetensi Guru dan Peran Kepala Sekolah. Dari
gurupintar.ut.ac.id/home/168-kompetensi-guru-dan-peran-kepala-sekolah.pdf. Diakses
tanggal 7 November 2013
Warsita, Bambang. 2011. Pendidikan Jarak Jauh. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
130
Abstrak.Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk membuat siswa lebih
menyenangi pelajaran matematika serta untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan
“Apakah penggunaan permainan kartu dominik (domino matematika atau domino
matematik) dapat meningkatkan hasil belajar materi Bilangan Berpangkat dan Bentuk
Akar kelas IX UPTD SMPN 18 Tangerang?”. Penelitian ini dilakukan di kelas IX.6
dengan subyek 40 siswa dan terdiri dari tiga siklus dengan masing-masing dua
pertemuan setiap siklusnya. Metode yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas
yang berfokus pada perbaikan proses dan kegiatan pembelajaran. Instrumen yang
digunakan adalah lembar pengamatan, lembar kerja siswa, tes tertulis dan angket.
Analisis data menunjukkan bahwa 70% siswa menyatakan bahwa penggunaan
permainan kartu dominik dalam pembelajaran matematika sangat menarik. Siswa-siswa
sangat antusias selama proses pembelajaran. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
peningkatan nilai rata-rata pembelajaran siklus kedua dibandingkan dengan siklus
pertama sebesar 1,12 atau 26,29%, dan peningkatan antara nilai rata-rata siklus ketiga
dan siklus kedua sebesar 1,67 atau 31,04%. Dapat disimpulkan bahwa dengan
penggunaan permainan kartu dominik dapat meningkatkan hasil belajar materi bilangan
berpangkat dan bentuk akar di kelas IX UPTD SMPN 18 Tangerang.
1. Pendahuluan
Di UPTD SMPN 18 Tangerang, hasil belajar matematika siswa masih jauh dari yang
diharapkan, baik oleh guru, siswa maupun orang tua siswa. Hal ini dapat dilihat dari nilai-
nilai hasil belajar matematika siswa. Arsip Kurikulum UPTD SMPN 18 Tangerang mencatat
bahwa nilai rata-rata ulangan harian siswa untuk pelajaran matematika pada tahun pelajaran
2010/2011 adalah 57,01, nilai rata-rata ulangan tengah semester 59,24 (Tangerang,
Perangkat Kerja Kurikulum, 2011). Pada tahun pelajaran 2011/2012, nilai rata-rata ulangan
harian matematika adalah 59,97 dan nilai rata-rata ulangan tengah semesternya 60,05.
(Tangerang, Perangkat Kerja Kurikulum, 2012). Ini adalah pencapaian prestasi matematika
yang masih rendah.
Rendahnya hasil belajar matematika di UPTD SMPN 18 Tangerang ini disebabkan karena
proses pembelajaran sering diberikan secara klasikal melalui metode ceramah dan jarang
menerapkan metode lain yang sesuai dengan materi yang diajarkan, akibatnya siswa kurang
131
berminat, tidak tertarik dan bahkan merasa bosan sehingga tidak ada motivasi dari dalam
dirinya untuk berusaha memahami apa yang diajarkan oleh guru. Siswa mengikuti
pembelajaran matematika hanya sekedar rutinitas untuk mengisi daftar absensi, mencari
nilai tanpa diiringi kesadaran untuk menambah wawasan maupun keterampilan matematika.
Menurut Ismail (Ismail, 2002), dibutuhkan tujuh komponen utama dalam pembelajaran
berbasis Contextual Teaching and Learning yaitu constructivism, questioning, inquiry,
learning community, modeling , authentic assessment and joyful learning. Jadi salah satu
faktor yang juga sangat mendukung keberhasilan dalam belajar matematika adalah
terciptanya lingkungan atau suasana belajar yang nyaman agar siswa mengalami
kegembiraan belajar. (Meier, 2004) “Kegembiraan” bukan berarti menciptakan suasana ribut
dan hura-hura. Kegembiraan di sini berarti bangkitnya minat, adanya keterlibatan penuh,
dan terciptanya makna, pemahaman dan nilai yang membahagiakan pada diri siswa. Siswa
tidak akan mengalami pengalaman belajar yang menjemukan, monoton, mengerutkan dahi
dan pikiran serta menyiutkan nyali karena merasa dipaksa mengikuti pelajaran matematika.
Sebaliknya siswa mengalami kegembiraan melahirkan sesuatu yang baru dalam proses
belajar sehingga dapat diharapkan meningkatnya hasil belajar matematika.
Permasalahan yang muncul selanjutnya adalah bagaimana caranya agar guru dapat membuat
suasana kelas menjadi hidup (lightening the learning climate) untuk mendukung proses
belajar matematika yang menyenangkan. Guru sebagai fasilitator harus selalu merasa
tergugah untuk terus berkreasi sehingga dapat memberikan kegiatan-kegiatan belajar yang
menarik bagi siswa. Untuk itu guru dapat menggunakan berbagai bahan ajar dari berbagai
sumber yang tentunya didukung oleh penggunaan media yang tepat yang dapat menarik
minat siswa, merangsang rasa ingin tahu serta menimbulkan respon balik yang positif dan
mampu mengembangkan kemampuan belajar siswa.
Khusus dalam pembelajaran materi “Bilangan Berpangkat dan Bentuk Akar”, sebagian
besar siswa di UPTD SMPN 18 Tangerangbelum memahami konsep bilangan berpangkat
dan bentuk akar, sifat-sifat bilangan berpangkat, arti pangkat positif dan pangkat negatif,
operasi bilangan berpangkat dan bentuk akar, juga siswa-siswa masih kesulitan dan banyak
melakukan kesalahan dalam menyelesaikan soal-soal yang berkaitan dengan materi tersebut.
Materi bilangan berpangkat dan bentuk akar merupakan salah satu materi yang penting
dalam kurikulum SMP dan merupakan materi prasyarat dalam mempelajari beberapa materi
matematika di sekolah menengah, karena itu penguasaan materi tersebut bagi siswa menjadi
suatu keharusan.
2. Kajian Pustaka
Permainan bukanlah tujuan pembelajaran itu sendiri, melainkan sekedar media pembelajaran
untuk mencapai tujuan yaitu meningkatkan hasil belajar siswa. Sehubungan dengan inilah
maka peneliti menggunakan permainan kartu domino matematika atau kartu domino
matematik yang selanjutnya disebut kartu dominik sebagai media untuk membantu siswa
agar dapat lebih memahami materi bilangan berpangkat dan bentuk akar di kelas IX UPTD
SMPN 18 Tangerang.
Kartu dominik dibuat dari kertas manila, kertas karton atau kertas buffalo dengan ukuran
5 cm 8 cm, dan masing-masing sudah diberi garis tengah seperti kartu domino. Untuk
membuat satu set (seperangkat) kartu dominik kita harus menentukan materi
pembelajarannya lebih dulu. Jumlah kartu dominik untuk setiap satu set ini bervariasi,
jumlah kartu bisa 16 lembar, 25 lembar, 36 lembar , atau sejumlah fungsi yang akan
dibedakan.
Dalam penelitian ini, materi pembelajarannya adalah “Bilangan Berpangkat dan Bentuk
Akar” (kelas IX semester II) dengan standar kompetensi “Memahami sifat-sifat bilangan
berpangkat dan bentuk akar serta penggunaannya dalam pemecahan masalah sederhana”.
Selanjutnya semua bilangan berpangkat di kolom sebelah kiri dapasangkan dengan nilai-nilai
pada kolom sebelah kanan:
Masing-masing pasangan nilai tersebut kita tuliskan ke dalam kartu-kartu yang sudah kita
siapkan. Perhatikan contoh berikut.
3. Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan di UPTD SMPN 18 Tangerang pada awal semester genap tahun
pelajaran 2012/2013 yaitu minggu ketiga bulan Januari 2013 sampai dengan minggu
keempat bulan Februari 2013. Penelitian ini difokuskan pada materi “Bilangan Berpangkat
dan Bentuk Akar” dengan Kompetensi Dasar “Memahami sifat-sifat bilangan berpangkat
dan bentuk akar serta penggunaannya dalam pemecahan masalah sederhana” .
Pelaksanaannya dalam 3 siklus di mana setiap siklus terdiri dari 2 sampai 3 kali tatap muka,
alokasi waktu 16 jam pelajaran (8 kali pertemuan). Subyek penelitian adalah siswa kelas
IX.6 yang berjumlah 40 orang.
Metode yang digunakan adalah metode penelitian tindakan (action research) yang bertujuan
pada perbaikan proses dan hasil akhir pembelajaran.(Nazir, 2005). Guru berperan sebagai
peneliti dengan dibantu oleh rekan-rekan guru matematika di UPTD SMPN 18 Tangerang
yang bertindak sebagai observer.Pengumpulan data dilakukan pada kondisi yang alamiah
(natural setting), yaitu pada saat proses pembelajaran berlangsung sesuai jadwal yang sudah
ada pada kegiatan pembelajaran di UPTD SMPN 18 Tangerang.
134
Perencanaan
Langkah-langkah yang dilakukan pada tahap perencanaan adalah:
1. Peneliti menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), lembar kerja siswa
(LKS), lembar pengamatan proses pembelajaran, instrumen tes hasil belajar, angket
respon siswa serta menyiapkan media pembelajaran yaitu beberapa set(perangkat)
kartu dominik sesuai dengan kompetensi dasar yang akan dicapai.
2. Mengadakan diskusi dengan guru-guru mata pelajaran matematika di sekolah dan di
forum MGMP.
3. Sebagai tindak lanjut hasil diskusi, peneliti mengadakan perbaikan RPP, LKS dan
instrumen lainnya.
Pelaksanaan
Pengumpulan Data
Untuk mengetahui efektivitas penelitian tindakan kelas ini, peneliti menggunakan alat-alat
pemantauan dan evaluasi yang terinci sehingga dapat digunakan sebagai alat ukur
keberhasilan. Instrumen yang digunakan adalah lembar pengamatan untuk pengambilan data
proses pembelajaran, angket/kuesioneruntuk mengukur sikap siswa terhadap pembelajaran
matematika dengan penggunaan kartu dominik serta menggunakan tes untuk mengetahui
kemampuan siswa. Selain itu, peneliti juga menggunakan catatan observer pada saat
tindakan refleksi sebagai umpan balik setiap siklus pelaksanaan penelitian ini.
Analisis hasil belajar siswa merupakan analisis proses yang dilakukan dengan menentukan
nilai rata-rata kelas. Nilai rata-rata kelas pada tes akhir siklus pertama dibandingkan dengan
135
pada siklus kedua, demikian pula nilai rata-rata kelas pada tes akhir siklus kedua
dibandingkan dengan pada siklus ketiga. Indikator keberhasilan penilaian hasil belajar siswa
adalah peningkatan nilai rata-rata kelas yang dicapai siswa pada siklus berikutnya
dibandingkan dengan siklus sebelumnya. Refleksi dilakukan pada setiap akhir pembelajaran.
Dari hasil refleksi, peneliti dapat mengetahui apakan penggunaan permainan kartu dominik
dapat meningkatkan hasil belajar siswa.
Sebelum penelitian, semua siswa kelas IX.6 sudah diajarkan cara memainkan kartu dominik,
termasuk cara membuatnya, bahkan diawali dengan bermain kartu domino yang sebenarnya.
Sebagian siswa merasa tertarik dengan permainan ini.
Siklus pertama terdiri dari dua pertemuan. Siswa duduk menurut kelompok yang sudah
diatur sebelumnya. Pada awal pembelajaran pertemuan pertama, guru menyampaikan tujuan
pembelajaran, yaitu mengidentifikasi sifat-sifat bilangan berpangkat dan bentuk akar. Guru
mengingatkan kembali tentang materi prasyarat yaitu bilangan bulat, bilangan berpangkat
dan nilai akar kuadrat beberapa bilangan, kemudian dengan tanya jawab membimbing siswa
dalam memahami materi “mengidentifikasi sifat-sifat bilangan berpangkat dan bentuk akar”.
Masing-masing kelompok diberi seperangkat kartu dominik yang berisi materi dan soal-soal
tentang sifat-sifat bilangan berpangkat dan bentuk akar yang berbeda-beda untuk setiap
kelompok. Siswa membahas materi atau soal-soal yang ada di dalam kartu-kartu dominik
tersebut secara berkelompok. Setelah semua anggota kelompok memahami materi atau soal-
soal yang ada di dalam kartu-kartu mereka, maka kelompok tersebut langsung memainkan
kartu dominiknya. Kelompok yang selesai lebih dulu, kemudian mempresentasikan hasil
permainan dan jawaban soal-soal yang ada dalam kartu dominiknya. Kelompok yang selesai
lebih dulu diberi kesempatan untuk mempresentasikan hasil permainannya dan harus
menjelaskan soal-soal yang terdapat dalam kartu dominik kelompoknya di depan kelas.
Kelompok terbaik yang cepat dan benar dalam presentasi mendapatkan rewards.
Pada pembelajaran pertemuan kedua, siswa diingatkan kembali, diberikan soal-soal dan
berlatih tentang sifat-sifat bilangan berpangkat dan bentuk akar. Skenario pembelajaran
pertemuan kedua hampir sama dengan pertemuan pertama. Pada akhir pembelajaran, siswa
diberikan tes.
Pelaksanaan
Pembelajaran siklus pertama dilaksanakan sesuai dengan RPP yang telah dipersiapkan. Guru
telah menguasai materi dengan baik. Pada proses pembelajaran, guru didampingi dua atau
tiga orang guru lain sebagai observer. Siswa agak mengalami kesulitan pada waktu
penanaman konsep tentang bilangan berpangkat bulat negatif dan bilangan berpangkat nol.
136
Contoh soal yang diberikan telah sesuai dengan konsep yang diajarkan. Sebagian besar siswa
melakukan permainan kartu dominik dengan antusias, bahkan kadang-kadang melebihi batas
waktu yang diberikan. Meskipun masih ada beberapa siswa yang masih belum memahami
konsep materi yang sedang dipelajari. Siswa melakukan presentasi soal-soal yang terdapat
di dalam kartu dominik kelompoknya. Siswa dibimbing guru menyimpulkan materi
pembelajaran dan kemudian diberikan tes.
Selama pelaksanaan proses pembelajaran berlangsung, observer melakukan
observasi/pengamatan aktivitas siswa. Hasil pengamatan dicatat pada lembar observasi
siswa. Selain itu juga dilakukan pengamatan terhadap guru model atau peneliti yang
mengajar. Adapun hasil pengamatan aktivitas siswa terhadap 4 aspek (A: antusias, B: kerja
sama dalam kelompok, C: menghargai pendapat teman dan D: memecahkan masalah) selama
proses pembelajaran pertemuan pertama dan kedua dihitung nilai rata-ratanya. Nilai rata-rata
kelas untuk pengamatan siswa pada siklus pertama adalah 6,57.
Refleksi
Pada awal pelaksanaan pembelajaran siklus pertama, guru menyampaikan materi dan
membimbing siswa sudah cukup bagus, namun meskipun sudah dipersiapkan sebelumnya,
masih ada beberapa siswa yang agak canggung dengan kehadiran guru lain (observer) di
kelasnya. Siswa sudah langsung berkelompok, namun tidak semua siswa terlibat aktif selama
proses pembelajaran, masih ada yang berdiam diri dan tidak mau bertanya atau menjawab
pertanyaan. Guru harus memotivasi agar setiap siswa berpartisipasi dalam kelompoknya
serta setiap kelompok berkompetisi dengan kelompok lain.
Ketika tiba saat melakukan permainan, keadaan kelas agak sedikit gaduh, banyak siswa yang
terlihat penasaran dengan permainan kartu dominik yang akan mereka mainkan. Ada
beberapa kelompok yang sudah aktif langsung mmbahas soal bersama-sama kemudian
memainkan kartunya dengan antusias, namun ada beberapa siswa ingin langsung bermain
kartu tanpa ikut membahas soal-soalnya. Permainan kartu berlangsung sedikit melebihi
waktu yang ditentukan, akibatnya hanya ada satu kelompok yang sempat mempresentasikan
jawaban soal-soal di dalam kartu dominik kelompoknya. Guru harus membimbing dan
mengarahkan siswa dalam memahami materi soal-soal sesuai dengan tujuan pembelajaran
yang akan dicapai. Guru juga harus selalu mengingatkan siswa agar pada saat mengerjakan
tes bersifat individual. Adapun data nilai akhir tes siklus I menunjukkan nilai rata-rata kelas
sebesar 4,26.
Pembelajaran siklus kedua terdiri dari 3 pertemuan dan dilaksanakan sesuai Rencana RPP
yang telah dipersiapkan sesuai dengan kompetensi dasar “melakukan operasi aljabar yang
melibatkan bilangan berpangkat bulat dan bentuk akar”. Proses pembelajaran hampir sama
dengan pelaksanaan pembelajaran pada siklus pertama. Penggunaan permainan kartu
dominik dimaksudkan untuk membantu siswa memahami semua materi pembelajaran yang
sedang dipelajari.
137
Pelaksanaan
Pelaksanaan pembelajaran siklus kedua sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan
dalam RPP. Pada pembelajaran siklus kedua ini, guru mempertahankan konsep bilangan
berpangkat bulat dan bentuk akar. Dengan tanya jawab, siswa dibimbing guru dalam
melakukan operasi aljabar yang melibatkan bilangan berpangkat bulat positif, negatif , nol
dan bentuk akar.Agar siswa tidak terlalu lama memainkan kartu dominik dalam kelompok,
guru membimbing setiap kelompok dalam membahas soal-soal yang terdapat di dalam kartu
tersebut dan mempresentasikannya ke depan kelas. Satu orang siswa anggota kelompok
menjelaskan di papan tulis, sementara beberapa teman kelompoknya bermain di meja bagian
depan kelas sambil mencocokkan kartunya dengan jawaban soal yang sedang
dipresentasikan. Pada waktu dilakukan pengamatan proses pembelajaran siklus kedua ini,
ada beberapa siswa yang bertanya jawab dengan guru kolaborator tentang soal-soal dalam
kartu dominiknya.Dari data hasil pengamatan proses belajar, diperoleh nilai rata-rata
pengamatan siklus kedua sebesar 6,95.
Refleksi
Pada pembelajaran siklus kedua, penyampaian materi pembelajaran lebih jelas dan dapat
mempertegas konsep dengan contoh soal yang sesuai. Bahkan ada dua kelompok yang dapat
mengerjakan soal dengan cepat. Guru selalu memantau semua aktivitas siswa sehingga pada
saat ada beberapa siswa yang kurang tertib dalam bermain kartu dominik kelompoknya,
dapat segera di atasi. Pada pembelajaran siklus kedua ini lebih banyak siswa yang maju ke
depan kelas untuk mempresentasikan hasil pembahasan soal-soal dalam kelompok sambil
bermain kartu dominiknya. Kerja sama dalam kelompok lebih terlihat dalam membahas soal-
soal, mempresentasikan dan memainkan kartu dominiknya di depan kelas. Namun masih ada
beberapa siswa yang hanya mencatat jawaban soal-soal dari temannya tanpa ikut mencari
penyelesaiannya. Yang cukup menarik dan sedikit gaduh adalah bahwa pada saat satu
kelompok maju melakukan permainan kartu dominik di meja bagian depan kelas bersamaan
dengan presentasi jawabannya di papan tulis, hampir semua siswa bergerombol mendekati
meja tersebut dan berebut untuk saling membantu temannya yang sedang bermain. Hal ini
justru menyenangkan untuk siswa dan dengan bimbingan guru, siswa-siswa tetap bisa
menjelaskan dan bertanya jawab tentang soal-soal tersebut, baik antara guru dengan siswa
maupun antara siwa dengan siswa.
Data hasil belajar siswa pada pembelajaran siklus kedua menunjukkan nilai rata-rata sebesar
5,38.
138
Pembelajaran siklus ketiga dilaksanakan dengan tujuan agar siswa dapat menyelesaikan
masalah yang berkaitan dengan materi pembelajaran yang sudah dipelajari pada
pembelajaran siklus pertama dan kedua. Kompetensi dasar yang akan dicapai adalah
“memecahkan masalah sederhana yang berkaitan dengan bilangan berpangkat dan bentuk
akar”. Guru selalu mengarahkan siswa agar bermain sambil belajar, artinya tidak hanya asyik
bermain kartu dominiknya tetapi dapat menjawab soal-soal di dalamnya serta dapat
memahami materi bilangan berpangkat dan bentuk akar.
Pada akhir siklus, selain tes, siswa juga diberikan angket untuk menilai respon siswa
terhadap penggunaan permainan kartu dominik dalam pembelajaran matematika.
Pelaksanaan
Pada proses pembelajaran siklus ketiga ini guru tetap mempertahankan konsep pemahaman
siswa tentang bilangan berpangkat dan bentuk akar. Permainan kartu dominik dilakukan
lebih dulu, beberapa siswa mempresentasikannya, baru kemudian guru memberikan contoh
soal tentang pemecahan masalah sederhana yang berkaitan dengan bilangan berpangkat dan
bentuk akar. Beberapa contoh soal yang diberikan guru sengaja dibuat dengan jawaban
seperti yang telah dipresentasikan oleh siswa. Dengan metode tanya jawab, siswa
mengerjakan soal-soal pemecahan masalah yang lainnya. Nilai rata-rata pengamatan proses
pembelajaran siklus ketiga adalah 7,10.
Refleksi
Pada proses pembelajaran siklus ketiga ini, siswa sudah terbiasa dengan suasana
pembelajaran berkelompok dan bermain kartu dominik. Pembelajaran berlangsung lebih
nyaman. Guru telah mampu memotivasi siswa untuk ikut berpartisipasi dalam membahas
soal-soal dan memainkan kartu dominik kelompok. Hasil belajar siswa pada pembelajaran
siklus terakhir ini juga mengalami peningkatan dibandingkan dengan hasil belajar siswa dua
siklus sebelumnya yaitu dengan nilai rata-rata sebesar 7,05.
4.2 Pembahasan
Penilaian Proses
Pada saat pelaksanaan proses pembelajaran setiap siklus berlangsung, peneliti dan observer
menggunakan instrumen “Lembar Pengamatan Proses Pembelajaran” untuk melakukan
pengamatan pada semua siswa terhadap empat aspek yaitu sikap antusias, kerja sama dalam
kelompok, menghargai pendapat teman dan memecahkan masalah. Setelah dilakukan
analisis dengan menentukan nilai rata-rata pengamatan semua aspek untuk setiap siswa dan
nilai rata-rata pengamatan kelasnya, diperoleh data hasil pengamatan proses pembelajaran
sebagai berikut :
139
- Nilai rata-rata kelas untuk pengamatan proses pembelajaran siklus pertama adalah
6,57
- Nilai rata-rata kelas pada siklus kedua adalah 6,95
- Nilai rata-rata kelas pada siklus ketiga sebesar 7,10
Indikator keberhasilan penilaian proses dilihat dari adanya peningkatan nilai rata-rata
pengamatan kelas pada pembelajaran siklus berikutnya dibandingkan dengan nilai rata-rata
siklus sebelumnya. Dengan demikian terlihat adanya peningkatan proses pembelajaran dari
pembelajaran siklus pertama, pembelajaran siklus kedua dan siklus ketiga. Jadi dengan
penggunaan permainan kartu dominik pada pembelajaran matematika dapat meningkatkan
proses pembelajaran siswa pada materi bilangan berpangkat dan bentuk akar.
Dari penilaian hasil belajar setiap siklus, diperoleh nilai rata-rata kelas seperti pada tabel
berikut ini.
Dari data tersebut dapat dihitung bahwa nilai rata-rata kelas hasil belajar siswa pada siklus
pertama dan kedua terdapat selisih sebesar 5,38 – 4,26 = 1,12 atau sama dengan 26,29%.
Sedangkan selisih antara nilai rata-rata kelas hasil belajar siswa pada siklus kedua dan ketiga
adalah 7,05 – 5,38 = 1,67 atau sebesar 31,04%. Terjadi peningkatan hasil belajar siswa
untuk materi bilangan berpangkat dan bentuk akar jika pembelajaran dilakukan dengan
penggunaan permainan kartu dominik.
Respon Siswa
Selain penilaian proses dan penilaian hasil belajar, siswa juga diberikan angket/kuesioner
untuk merespon penggunaan permainan kartu dominik dalam pembelajaran matematika. Hal
ini dimaksudkan untuk mengukur sikap atau pendapat siswa tentang penggunaan permainan
kartu dominik dalam pembelajaran matematika karena siswa sebagai subyek yang merasakan
secara langsung efek kegiatan tersebut. Angket ini diberikan kepada siswa untuk menjaring
data yang berkaitan dengan beberapa aspek tentang penggunaan permainan kartu dominik
dalam pembelajaran matematika yaitu menarik, mudah, lebih baik dari media lain dan
diteruskan. Pilihan jawaban menggunakan skala Likert dengan menyediakan lima pilihan
jawaban yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Tahu (TT), Tidak Setuju (TS), dan
Sangat Tidak Setuju (STS).
140
Pada tabel di atas terlihat bahwa 70% siswa menyatakan sangat setuju bahwa penggunaan
permainan kartu dominik dalam pembelajaran matematika sangat menarik, mudah, lebih
baik dibandingkan dengan media lain dan diteruskan. Siswa yang menyatakan setuju
sebanyak 24,38% , sedangkan 5,63% menyatakan tidak setuju. Tidak ada siswa yang
menyatakan tidak berpendapat (tidak tahu) dan juga tidak ada siswa yang menyatakan sangat
tidak setuju. Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa penggunaan permainan kartu
dominik dalam pembelajaran matematika mendapat respon sangat baik (positif) dari siswa,
sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan permainan kartu dominik sangat efektif dalam
pembelajaran matematika materi bilangan berpangkat dan bentuk akar.
Daftar Pustaka
Ismail. (2002). Model-model Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah
Departeman Pendidikan Nasional.
Meier, D. (2004). The Accelerated Learning Hand Book. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Nazir, Moh. (2005). Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia.
PPPPTK Matematika. (2005). Petunjuk Peraga SD disampaikan pada Diklat Guru Inti Matematika
SMP LPMP Propinsi Banten. Tidak Diterbitkan.
UPTD SMPN 18 Tangerang. (2012). Perangkat Kerja Kurikulum. Tidak Diterbitkan.
UPTD SMPN 18 Tangerang. (2011). Perangkat Kerja Kurikulum. Tidak Diterbitkan.
141
Kata Kunci: Pembelajaran Matematika Realistik, Selendang Toh Watu, Luas Daerah
Persegi Panjang.
1. Pendahuluan
Studi TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) 2011 menyatakan
bahwa prestasi belajar matematika siswa Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara
di dunia. Dalam bidang matematika, siswa Indonesia memperoleh skor 386 dengan rata-rata
seharusnya 500 dan berada pada urutan 38 dari 42 negara. Fakta lain dari hasil studi ini
menunjukkan bahwa siswa Indonesia hanya mampu menyelesaikan soal pada level
menengah. Ini mengindikasikan bahwa pendidikan matematika di Indonesia hanya mampu
sampai pada kecakapan teknis saja dan belum mampu sampai pada proses bernalar.
Hasil observasi lapangan terkait proses pembelajaran matematika di SD mitra PPL (Praktik
Pengalaman Lapangan) PGSD FKIP Universitas Muria Kudus menunjukkan bahwa 75%
pembelajaran matematikanya masih menggunakan pola teacher centered di mana diajarkan
konsep rumus, diberikan contoh soal dan latihan soal. Selain itu dalam mengajar guru
cenderung terfokus pada materi yang diajarkan tanpa mengaitkan dengan realitas, budaya
142
dan lingkungan sekitar siswa. Pola pembelajaran seperti ini mengakibatkan siswa menghafal
rumus, memasukkan apa yang diketahui dalam soal ke dalam rumus kemudian menghitung
hasilnya saja, sedangkan proses pemahaman konsep, penalaran dan pemecahan masalah
matematika kurang berkembang dengan baik. Pemanfaatan potensi lokal Kabupaten Kudus
sebagai sumber dan media belajar dalam pembelajaran matematika SD juga masih kurang
maksimal dilakukan, hal ini juga merupakan salah satu faktor penyebab kekurangpekaan
siswa terhadap budaya lokal di Kabupaten Kudus. Seperti pada saat penulis melakukan tanya
jawab dengan siswa di kelas III SD 1 Purworejo Kudus tentang pakaian adat Kudus, siswa
hanya mampu menyebutkan bentuk pakaian adat tersebut. Akan tetapi ketika ditanyakan
tentang nama bagian dari pakaian adat tersebut siswa terlihat masih kebingungan. Seperti
bagian penutup kepala: caping kalo, baju atasan: baju kurung bludru, baju bawahan: jarit
lasem dan selendang toh watu. Pertanyaan kemudian berlanjut ke bagian selendang dan
banyaknya kain yang dibutuhkan untuk membuat selendang. Dari pertanyaan ini siswa hanya
mampu menyebutkan bentuk selendang dan belum mampu mendeskripskan bahwa
banyaknya kain yang dibutuhkan untuk membuat selendang merupakan konsep luas daerah
dari suatu benda dalam hal ini selendang toh watu.
Menurut Piaget dalam (Ibrahim dan Suparni, 2012:79) Siswa SD berada pada fase
operasional konkret. Berdasarkan fase ini, pembelajaran matematika di SD hendaknya
berangkat dari sesuatu yang konkret, nyata, dekat dengan kehidupan dan lingkungan siswa.
Freudenthal (1991) menyatakan bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan harus
dikaitkan dengan realitas. Dari teori ini dapat ditarik kesimpulan bahwa konstruksi
pengetahuan matematis siswa akan lebih mudah apabila berangkat dari pengalaman dan
pengetahuan serta kegiatan, kebiasaan, budaya yang sering muncul dan dilakukan di
lingkungan atau daerah tempat tinggalnya. Model pembelajaran yang sesuai dengan filosofi
di atas adalah model pendidikan matematika realistik (PMR).
Berangkat dari permasalahan di atas penulis merancang sebuah desain pembelajaran
matematika realistik berbasis keunggulan lokal Kudus di mana secara spesifik dalam hal ini
konteks yang digunakan adalah selendang toh watu agar mampu memberikan iklim
pembelajaran yang kondusif dalam rangka peningkatan pemahaman konsep, daya nalar dan
kecintaan siswa terhadap potensi budaya yang ada di Kabupaten Kudus.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan desain pembelajaran matematika
realistik berkonteks selendang toh watu dan untuk mengetahui keefektifannya dalam
pembelajaran matematika pada materi luas daerah persegi panjang.
2. Kajian Pustaka
Pembelajaran Matematika di SD
Usia siswa SD berkisar 6 atau 7 tahun sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget mereka
berada pada fase operasional konkret. Dari usia perkembangan kognitif ini siswa SD masih
terikat dengan objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca indra (Heruman, 2012:1).
Matematika yang abstrak dapat diajarkan kepada siswa SD melalui perbuatan dan
pengertian. Penemuan kembali menjadi bagian penting dalam pembelajaran matematika di
143
SD. Meskipun penemuan tersebut sederhana dan bukan hal baru bagi orang yang telah
mengetahui sebelumnya, tetapi bagi siswa SD penemuan tersebut merupakan suatu hal yang
baru. Proses penemuan ini terkait dengan pengalaman belajar siswa sebelumnya dengan
konsep yang diajarkan (Heruman, 2012:4). Proses penemuan kemudian dilanjutkan dengan
konstruksi pengetahuan yang dilakukan sendiri oleh siswa. Sedangkan guru berperan sebagai
fasilitator dan pembimbing
Ruang lingkup mata pelajaran matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi: (1)
bilangan, (2) Geometri dan pengukuran serta (3) pengolahan data (Dokumen KTSP, 2006).
Materi luas daerah persegi panjang dalam kurikulum masuk ke dalam ruang lingkup
geometri dan pengukuran.
Adapun standar kompetensi dan kompetensi dasarnya disajikan dalam tabel 1 berikut.
Freudenthal (1991) menyebutkan bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan harus
dikaitkan denga realitas. Pendidikan harus mengarahkan siswa dalam penggunaan berbagai
situasi dan kesempatan untuk menemukan kembali matematika dengan cara mereka sendiri.
De Lange dalam (Hadi, 2005) menyatakan dalam proses penemuan kembali konsep harus
dikembangkan melalui penjelajahan berbagai persoalan „dunia riil‟. Van den Heuvel-
Panhuizen dalam (Wijaya, 2012:20) menyebutkan realitas dalam PMR tidak sekedar
menunjukkan suatu koneksi dengan dunia nyata (real world) tetapi lebih mengacu pada
situasi yang bisa dibayangkan (imagineable) oleh siswa. Kebermaknaan konsep matematika
merupakan konsep utama dari pendidikan matematika realistik. Di dalam pendidikan
matematika realistik proses belajar berperan penting. Gravemeijer (dalam Hadi, 2005)
menyatakan rute belajar (learning route), di mana siswa dapat menemukan hasil berdasarkan
usaha mereka sendiri harus dipetakan.
144
Asmani (2012:29) menyatakan keunggulan lokal adalah segala sesuatu yang menjadi ciri
khas kedaerahan yang mencakup aspek ekonomi, budaya, teknologi, informasi, komunikasi
dan ekologi. Keunggulan lokal harus dikembangkan dari potensi daerah. Potensi daerah
merupakan potensi sumber daya spesifik yang dimiliki oleh suatu daerah. Pendidikan
berbasis keunggulan lokal adalah pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dalam
aspek ekonomi, budaya, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, serta, ekologi yang
semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi siswa.
Selendang toh watu merupakan salah satu atribut yang digunakan dalam pakaian adat Kudus.
Gambar selendang toh watu dalam suatu pementasan budaya tari kretek disajikan dalam
gambar 1 berikut.
Gambar 1. Pementasan Budaya Tari Kretek dengan menggunakan Pakaian Adat Kudus
145
3. Metode Penelitian
Tahapan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode design research. Langkah proses penelitian design
research seperti halnya pada proses perancangan pendidikan (educational design), yaitu
analisis, perancangan, evaluasi dan revisi yang merupakan proses siklikal yang berakhir pada
keseimbangan antara teori ideal dengan praktiknya.Menurut Gravemeijer & Cobb (2006)
tahapan pelaksanaan design research adalah: 1) preparing for the experiment (persiapan
penelitian), 2) design experiment (pelaksanaan desain eksperimen), dan 3) retrospective
analysis (analisis data yang diperoleh dari tahap sebelumnya).
Subjek dalam penelitian ini adalah 13 siswa kelas III SD 1 Purworejo Kudus. Siswa berada
pada usia 8-9 tahun, mereka telah belajar tentang bentuk – bentuk bangun datar di kelas I dan
II dan mulai mengenal luas daerah bangun datar di kelas III.
Beberapa hal yang dilakukan dalam tahapan ini adalah diskusi dengan guru mitra yang sudah
berpengalaman dalam: (1) merumuskan tujuan pembelajaran, (2) merancang dan
menyiapkan desain pembelajaran matematika realistik berkonteks selendang toh watu pada
materi luas daerah persegi panjang, desain pembelajaran tertuang dalam perangkat
pembelajaran: silabus, RPP, lembar kegiatan siswa (LKS), media pembelajaran, alat peraga
146
dan bahan ajar, (3) merencanakan kegiatan/aktivitas belajar siswa dan pengelolaan
pembelajaran guru. Dari kegiatan – kegiatan ini kemudian dirumuskan lintasan belajar atau
HLT terkait materi luas daerah persegi panjang dengan menggunakan model PMR
berkonteks selendang toh watu.
Adapun HLT dalam pembelajaran matematika materi luas daerah persegi panjang dengan
menggunakan model PMR berkonteks selendang toh watu disajikan pada tabel 2 berikut.
Dalam tahapan ini kegiatan pembelajaran yang dirumuskan pada tahap sebelumnya
diujicobakan ke lapangan. Dalam penelitian ini design experiment di kelas III SD 1
Purworejo dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan. Peneliti dibantu oleh tim peneliti, guru
kelas dan mahasiswa. Dalam tahapan ini guru kelas yang merupakan mitra dalam penelitian
berperan mengamati pengelolaan pembelajaran serta memberikan kontribusi dalam
pengisian angket respon. Tim peneliti mengamati aktivitas belajar siswa, sedangkan
beberapa mahasiswa mendokumentsikan kegiatan pembelajaran. Adapun tahapan
pembelajarannya sebagai berikut.
a. Penggunaan konteks masalah realistik dalam hal ini digunakan selendang toh watu
b. Penggunaan model untuk matematisasi progresif
Pada tahap ini peneliti menggunakan alat peraga luas daerah persegi panjang dan
lembar kegiatan siswa (LKS) penemuan konsep luas daerah persegi panjang.
c. Pemanfaatan hasil konstruksi siswa
Pada tahap ini siswa mengonstruksi peraga yang diberikan untuk mendapatkan konsep
luas daerah persegi panjang. Hasil kerja dan konstruksi siswa selanjutnya digunakan
untuk landasan pengembangan konsep matematika.
d. Pengembangan interaktivitas dan karakter
Dari kegiatan ini terjadi interaksi sosial antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru,
dan siswa dengan anggota kelompok yang lain. Interaksi sosial dalam pembelajaran ini
berperan membentuk karakter siswa yang mau menghargai pendapat orang lain dan
bersikap demokratis. Tuntutan mempresentasikan gagasan penemuan konsep luas
daerah persegi panjang dalam diskusi berkembang menjadi suatu bentuk kesadaran dan
tanggung jawab dalam mengomunikasikan gagasan kepada lingkungan.
e. Pengaitan antar konsep matematika
Dalam proses penemuan konsep luas daerah persegi panjang, beberapa konsep
matematika yang saling terkait antara lain: konsep geometri, luas persegi dan operasi
hitung perkalian.
Proses matematisasi yang dikonstruksi oleh siswa melalui penggunaan model digambarkan
dalam iceberg penemuan konsep luas daerah persegi panjang berikut.
148
Pada tahap ini peneliti dan guru melakukan analisis retrospektif yang bertujuan untuk
merefleksi dan menganalisis proses pembelajaran yang telah dilaksananakan dan juga
membandingkan antara HLT dan desain pembelajaran yang telah dibuat dengan kenyataan
yang terjadi pada saat pembelajaran. Secara keseluruhan proses pembelajaran terlaksana
dengan baik. Adapun Hasil dan temuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1)
aktivitas belajar siswa dalam menemukan konsep luas daerah persegi panjang tergolong
dalam kategori baik dengan rata-rata skor aktivitas belajar 3,48; 2) pengelolaan pembelajaran
guru menggunakan model PMR berkonteks selendang toh watu pada materi luas daerah
persegi panjang dalam kategori baik dengan rata-rataskor 4,5; 3) respon siswa terhadap
pembelajaran juga baik dengan rata-rataskor 4,2. Sebagian besar siswa mengaku senang
dengan pembelajaran matematika seperti ini, mereka mengaku lebih menarik karena ada
kegiatan menempel dan menghitung banyaknya persegi satuan, selain itu mereka menjadi
lebih mengenal budaya dan atribut pakaian adat Kudus, 4) respon guru terhadap proses
pembelajaran juga sangat baik dengan rata-rata skor 4,8. Guru merasa senang dan
mendapatkan wawasan baru dengan proses pembelajaran matematika realistik berkonteks
selendang toh watu.
Berikut ini disajikan beberapa temuan terkait aktivitas siswa dalam menemukan konsep luas
daerah persegi panjang.
1. Kegiatan Pengamatan bentuk dan bagian – bagian selendang toh watu
Gambar 2. Kegiatan Pengamatan terhadap bentuk dan bagian Selendang Toh Watu
149
Putri yang duduk di depan ketika ditanyakan selendang toh watu berbentuk apa, dia sudah
bisa menjawab persegi panjang, akan tetapi Putri kebingungan ketika ditanyakan unsur-
unsurnya (panjang dan lebar). Akhirnya Faisal yang dapat menjawab bagian yang panjang
dinamakan panjang, sedangkan bagian yang pendek dinamakan lebar.
2. Konsep luas
Siswa mengalami sedikit kesulitan ketika dipancing untuk menyebutkan konsep luas
selendang toh watu, namun setelah diberikan pertanyaan-pertanyaan menuntun akhirnya
Naila mampu menjawab bahwa luas selendang tersebut adalah permukaannya, kemudian
siswa ditanyakan permukaannya terbuat dari apa? Serentak mereka menjawab kain.
Akhirnya sampailah mereka pada konsep luas, di mana luas permukaan selendang adalah
banyaknya kain yang dibutuhkan untuk membuat selendang tersebut.
3. Penemuan konsep luas daerah persegi panjang dengan bantuan peraga dan LKS
Pada aktivitas ini setiap kelompok berusaha menemukan konsep luas daerah persegi panjang
dengan bantuan peraga dan LKS. Guru berperan sebagai pembimbing dan fasilitator. Berikut
disajikan hasil pekerjaan LKS penemuan konsep milik beberapa kelompok siswa.
Hasil pekerjaan siswa menunjukkan siswa sudah mampu menunjukkan berapa banyak
persegi satuan yang menunjukkan panjang, dan berapa banyak persegi satuan yang
menunjukkan lebar dan sampai pada perhitungan luas persegi panjang yang ditunjukkan oleh
banyaknya persegi satuan yang ada di dalamnya.
Simpulan
Diperoleh desain pembelajaran matematika realistik berkonteks selendang toh watu yang
efektif digunakan dalam pembelajaran matematika materi luas daerah persegi panjang.
Selendang toh watu dapat menjadi masalah realistik dalam pembelajaran matematika materi
luas daerah persegi panjang.
Pelaksanaan pembelajaran matematika realistik berkonteks selendang toh watu berjalan
dengan lancar, efektif, respon siswa dan guru baik. Selain itu proses pembelajaran dapat
menumbuhkan kecintaan siswa terhadap budaya lokal dalam hal ini pakaian adat Kudus
Saran
Guru, peneliti dan para pemerhati pendidikan hendaknya mulai berpikir kreatif dalam
memaksimalkan pemberdayaan potensi lokal daerahnya sebagai sumber belajar dan media
dalam pembelajaran matematika SD dalam rangka penanaman konsep yang lebih matang
dan penumbuhan kecintaan generasi bangsa terhadap budaya dan potensi lokal daerah-
daerah di Indonesia.
151
Daftar Pustaka
Asmani, J. 2012. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal. Yogyakarta : DIVA Press.
Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam KTSP mata pelajaran
matematika Sekolah Dasar/Madrasah Ibtiaiyah. Jakarta : Depdiknas.
Freudenthal. 1991. Revisiting Mathematics Education. Dordrecht: Kluwer Academic Publisher.
Gravemeijer & Cobb. 2006. “Design Research from a Learning Perspective, dalam Educational
Design Research. New York : Routledge.
Hadi, S. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Impleentasinya. Banjarmasin: Tulip.
Heruman. 2012. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya.
Ibrahim & Suparni. 2012. Pembelajaran Matematika Teori dan Aplikasinya. Yogyakarta: SUKA-Press
UIN Sunan Kalijaga.
Suherman, E. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA, Universitas
Pendidikan Indonesia.
Sumardyono. 2004. Karakteristik Matematika dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Matematika.
Yogyakarta : Dirjen Dikdasmen P3G Matematika
The International Association for the Evaluation of Educational Achievement. 2011. Progress in
Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS).The International Association
for the Evaluation of Educational Achievement Washington DC: Department of Education.
Tersedia di http://timss.bc.edu/. Diunduh 17 Februari 2012.
Wijaya. 2012. Pendidikan Matematika Realistik suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran
Matematika. Yogyakarta: Graha Ilmu.
152
Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui penerapan pendekatan RME berbasis
media visual dapat meningkatkan proses dan hasil belajar siswa dalam kegiatan
pembelajaran. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah, apakah penerapan
pendekatan RME berbasis media visual dapat meningkatkan proses dan hasil belajar
siswa dalam kegiatan pembelajaran. Jenis penelitian merupakan PTK yang telah
dilaksanakan dalam tiga siklus, setiap siklus terdiri dari empat tahap, yaitu
perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Instrumen Penelitian terdiri
dari lembar observasi guru dan siswa serta lembar tes tertulis dalam bentuk essay. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa melalui pendekatan RME berbasis media visual dapat
meningkatkan proses dan hasil belajar siswa yang ditandai dengan nilai rata-rata dan
ketuntasan belajar klasikal setiap siklus mengalami kenaikan khususnya materi pecahan,
dan dapat mengetahui kendala serta solusi dalam penggunaan RME. Simpulan
penelitian ini adalah penerapan pendekatan RME berbasis media visual dapat
meningkatkan proses dan hasil belajar siswa dalam kegiatan pembelajaran matematika.
Kata Kunci. RME, Media Visual, Proses dan Hasil Belajar, Matematika SD.
1. Pendahuluan
Masalah umum pembelajaran matematika yang banyak terjadi adalah rendahnya minat
belajar matematika. Menurut kebanyakan siswa sekolah dasar, pembelajaran matematika
adalah pembelajaran yang sulit. Matematika terasa sulit karena kebanyakan guru
mengajarkannya dengan materi dan metode yang tidak menarik di mana guru menerangkan
atau 'teacher telling' sementara murid mencatat. Sistem evaluasi yang digunakan juga hanya
mengejar hasil namun mengabaikan proses. Masalah lain yang juga memiliki dampak
signifikan terhadap proses pembelajaran matematika adalah tidak digunakannya media
sebagai sarana untuk memudahkan anak belajar secara optimal, sehingga pembelajaran
menjadi kurang bermakna bagi siswa.
Salah satu media yang dapat digunakan untuk membantu proses belajar mengajar dan bisa
memotivasi siswa sehingga siswa bisa menjadi lebih aktif adalah media visual. Media
153
berbasis visual (image atau perumpamaan) memegang peranan yang sangat penting dalam
proses belajar. Media visual dapat memperlancar pemahaman (melalui elaborasi struktur dan
organisasi) dan memperkuat ingatan. Media visual dapat pula menumbuhkan minat dan
dapat memberikan hubungan antara isi materi pelajaran dengan dunia nyata. Contoh media
visual tersebut antara lain film, slide, foto, transparansi, lukisan, gambar dan berbagai bentuk
bahan yang dicetak seperti media grafis, dan sebagainya (Sanjaya, 2008: 85).
Implikasi dari permasalahan di atas, dan dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman
siswa terhadap matematika, serta meminimalkan anggapan-anggapan negatif terhadap
matematika, berbagai upaya dilakukan dalam proses pembelajaran matematika. Upaya yang
dilakukan tersebut menekankan pada kreativitas siswa untuk mengembangkan potensi secara
maksimal. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu melalui Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
dengan menerapkan pendekatan RME pada pembelajaran matematika.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
2. Landasan Teori
1. Pembelajaran Matematika
Matematika berasal dari bahasa latin Manthein atau Mathenein yang berarti mempelajari.
Kata matematika juga erat hubungannya dengan kata Sansekerta, Medha atau Widya yang
artinya kepandaian, ketahuan atau intelegensia, Nasution (dalam Subariah, 2006: 1 ).
2. Pengertian Kreativitas
Menurut Ratri (2006: 4 dalam http://www.wordpress.com), kreativitas mempunyai beberapa
arti, antara lain: (a) Kreativitas adalah aktifitas kognitif yang menghasilkan cara-cara baru
155
dalam memecahkan suatu masalah; (b) Kreativitas adalah potensi seseorang menghasilkan
karya atau ide yang orisinil; (c) Kreativitas adalah kemampuan seseorang menciptakan
sesuatu yang baru dan berbeda baik berupa hasil yang dapat dinilai maupun berupa ide; (d)
Kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk menghasilkan komposisi, produk atau
gagasan apa saja yang pada dasarnya baru dan sebelumnya tidak dikenal pembuatnya.
3. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research), Penelitian
ini dilaksanakan di kelas V SD Negeri 09 Kotapadang Kabupaten Rejang Lebong, tepatnya
di desa Kotapadang Baru. Siswa kelas V ini berjumlah 15 orang, yang terdiri dari 7 orang
siswa laki-laki dan 8 orang siswa perempuan. Waktu pelaksanaannya yaitu dimulai pada
bulan Februari – Maret 2013, yaitu dengan menerapkan pendekatan RME berbasis media
visual pada mata pelajaran matematika.
B. Prosedur Penelitian
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini akan dilaksanakan dengan 3 siklus, setiap siklus
memiliki 4 tahap yaitu Planning (perencanaan), action (tindakan), observation (pengamatan)
dan reflection (refleksi), (Arikunto 2007: 2), dengan bagan sebagai berikut:
C. Instrumen penelitian
1. Observasi
Observasi yang dilakukan ini menggunakan instrumen yang terstruktur dan siap
dipakai, sehingga pengamat hanya tinggal melingkari atau membubuhkan tanda ceklis
(√) pada tempat yang disediakan.
2. Wawancara
Wawancara adalah bentuk komunikasi langsung antara peneliti dan responden. Menurut
Hopkins (dalam Yuli, 2008:8) wawancara adalah suatu cara untuk mengetahui situasi
tertentu di dalam kelas dilihat dari sudut pandang yang lain.
3. Dokumentasi
Dalam penelitian ini komponen-komponen yang diambil untuk melaksanakan
pembelajaran yaitu: koleksi dan analisis buku teks, kurikulum, dan pedoman
pelaksanaannya, rencana pelaksanaan pembelajaran, dan catatan tentang siswa kelas V
SDN 09 Kotapadang.
4. Tes
Lembar tes tertulis ini berupa pos test, yaitu tes yang diberikan setelah proses
pembelajaran berlangsung.
N = Jumlah siswa
(Sudjana, 2004)
b. Persentase ketuntasan belajar secara klasikal menggunakan rumus :
NS (2)
Ketuntasan belajar klasikal KB = x 100%
N
Keterangan KB = Persentase ketuntasan belajar klasikal
NS = Jumlah siswa yang mencapai nilai ≥ 7
N = Jumlah seluruh siswa
(Depdiknas, 2006)
2. Data observasi
Data observasi yang diperoleh digunakan untuk merefleksi tindakan yang telah dilakukan
dan diolah secara statistik dengan menghitung:
(Sudjana, 2004)
159
4. Pembahasan
Dari hasil penelitian yang telah dilaksanakan sebanyak tiga siklus, dapat kita lihat
peningkatan proses pembelajaran dari siklus I ke siklus II dan siklus III. Nilai rata-rata
observasi aktifitas guru pada siklus I adalah 29 dengan kategori cukup. Pada siklus I ini guru
belum bisa mengontrol suasana kelas dan masih belum bisa memanfaatkan waktu secara
optimal, begitu juga dengan siswa. Pada siklus ini siswa masih banyak yang belum kreatif
mengerjakan tugas yang telah diberkan, hal ini dikarenakan kurangnya motivasi dari guru.
Nilai rata-rata observasi kreativitas siswa pada siklus I ini hanya mencapai 19 dengan
kategori cukup. Hasil belajar siswa pada siklus I ini rata-rata kelasnya hanya 5,73 dengan
ketuntasan belajar klasikal 33,34%.
Pada siklus II rata-rata skor observasi guru meningkat menjadi 36 dengan kategori baik.
Guru juga sudah merancang skenario pembelajaran untuk mengatasi permasalahan dalam
proses pembelajaran yang ada pada siklus I. Guru merancang pembelajaran agar siswa lebih
termotivasi untuk kreatif mengerjakan tugas yang diberikan dengan batas waktu tertentu.
Rata-rata observasi kreativitas siswa juga meningkat menjadi 24 dengan kategori baik. Nilai
rata-rata hasil belajar siswa pada siklus II ini juga meningkat menjadi 6,8 dengan ketuntasan
belajar klasikal 66,67%, akan tetapi belum mencapai indikator ketuntasan belajar yang telah
ditetapkan.
Pada siklus III rata-rata skor observasi aktifitas guru meningkat dari siklus-siklus
sebelumnya yaitu 40 dengan kategori baik. Rata-rata observasi kreativitas siswa juga
meningkat menjadi 27 dengan kategori baik. Peningkatan aktfitas guru dan kreativitas siswa
ini seiring dengan meningkatnya nilai rata-rata hasil belajar siswa pada siklus III dengan
nilai 8,2 dan ketuntasan belajar klasikal mencapai 93,3%. Pada siklus III ini hasil belajar
dan ketuntasan belajar siswa sudah mencapai indikator yang telah ditetapkan. Hal ini
dikarenakan kelemahan dalam proses pembelajaran pada siklus II seperti siswa yang masih
belum berani ataupun malu untuk maju mengerjakan tugas yang diberikan, dimotivasi
dengan memberikan penguatan, baik berupa penguatan Verbal (dengan menggunakan kata-
kata seperti: “bagus sekali”, “betul sekali”, “pintar”, “hebat” dan lain-lain), maupun
dengan menggunakan penguatan nonverbal (seperti “acungan jempol”, “tepuk tangan”), serta
penguatan berupa hadiah-hadiah kecil seperti memberikan potongan buah yang telah
disiapkan. Guru juga lebih memperhatikan siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar
dan memberikan bimbingan bagi siswa tersebut.
Dari analisis hasil belajar siklus I, hasil belajar siklus II, hasil belajar siklus III dan rata-rata
nilai Lembar Kerja Siswa (LKS) siklus I dan siklus II diperoleh persentase ketuntasan belajar
sebesar klasikal 86,67% dengan nilai rata-rata kelas sebesar 7,22. Peningkatan nilai rata-rata
160
kelas dan persentase ketuntasan belajar klasikal siswa kelas V SD Negeri 09 Kotapadang ini,
seiring dengan meningkatnya proses pembelajaran yang terjadi baik peningkatan aktivitas
pembelajaran pada guru maupun peningkatan kreativitas pada siswa. Peningkatan hasil
pembelajaran yang terjadi tersebut karena pada proses pembelajaran di siklus II mengacu
pada refleksi proses pembelajaran di siklus I, kemudian proses pembelajaran pada siklus III
mengacu pada refleksi pada siklus II. Kelemahan dan kekurangan pembelajaran yang
ditemui pada siklus I diperbaiki pada proses pembelajaran siklus II, dan kelemahan serta
kekurangan pada siklus II diperbaiki pada siklus III. Pembelajaran yang dilakukan mengacu
pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telah dirancang. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika yang dilaksanakan dengan Pendekatan
RME berbasis media visual dapat meningkatkan kreativitas siswa.
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan hasil pembahasan dapat diambil kesimpulan umum bahwa
penerapan pendekatan RME berbasis media visual dapat meningkatkan proses dan hasil
pembelajaran matematika pada siswa kelas V SD Negeri 09 Kotapadang Kabupaten Rejang
Lebong, khususnya pada pokok bahasan pecahan.
2. Saran
Daftar Pustaka
PENGARUH PEMBELAJARAN
MATEMATIKA DENGAN STRATEGI REACT
TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN
PEMAHAMAN, DAN PENALARAN
MATEMATIS SISWA SMP
Ena Suhena Praja
Prodi. Pendidikan Matematika - FKIP – Unswagati, Jln. Perjuangan no.01 – Cirebon,
suhenaena@yahoo.co.id
1. Pendahuluan
Matematika merupakan ilmu dasar yang penting untuk dipelajari karena matematika
mempunyai banyak kegunaan, tetapi matematika bersifat deduktif dan abstrak sehingga
menyulitkan banyak orang untuk memahaminya, termasuk para siswa. Oleh karena itu
diperlukan adanya upaya-upaya membantu siswa dalam mempelajari matematika. Upaya
untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap matematika antara lain adalah dengan
163
Salah satu upaya konkrit yang perlu terus dilakukan adalah peningkatan kualitas dalam
pembelajaran matematika, karena pembelajaran matematika terutama di SMP masih
dirasakan mempunyai masalah. Salah satu masalahnya adalah hasil belajar matematika siswa
masih rendah bila dibandingkan dengan pelajaran lain yang ada dalam UAN. Hal ini sesuai
dengan hasil wawancara peneliti dengan guru-guru matematika SMP, ternyata masih banyak
siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar matematika terutama ketika memecahkan
soal-soal yang berbentuk cerita (masalah). Hasil belajar siswa pada umumnya masih lebih
rendah bila dibandingkan dengan Nilai Ujian Akhir Sekolah yang diperolehnya ketika di
Sekolah Dasar. Rendahnya hasil belajar siswa dalam matematika sekolah disebabkan oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah model penyajian materi.
Model penyajian materi dalam pembelajaran matematika merupakan faktor yang menarik
untuk dikaji dan diteliti, karena ternyata di lapangan secara umum penyajian materinya
masih lebih banyak dalam bentuk memberikan informasi, sedikit tanya-jawab, dan
pemberian tugas dengan soal-soal yang telah diubah dalam bahasa dan simbol matematika
yang jauh dari realita kehidupan sehari-hari, serta kurang memberikan kesempatan pada
siswa untuk mengembangkan daya nalarnya. Ketika di kelas guru biasanya aktif sendiri
sedangkan siswa pasif. Pembelajaran Matematika seperti ini selanjutnya disebut
Pembelajaran Konvensional (PKv). Untuk mengatasi keadaan tersebut tampaknya tindakan
yang perlu dilakukan terutama pada penyajian materi matematika yang lebih banyak
difokuskan pada masalah-masalah kontekstual, yaitu soal-soal yang menghadirkan
lingkungan yang real dalam kehidupan sehari-hari siswa. Pembelajaran sebaiknya lebih
berpusat pada siswa dan guru tidak bertindak sebagai nara sumber yang dominan.
Berdasarkan pada uraian tentang masalah konteks seperti dikemukakan di atas, menurut
Crawford (2001) pendekatan pembelajaran matematika yang menggunakan masalah-masalah
kontekstual, dapat meningkatkan kemampuan pemahaman terhadap konsep-konsep
matematika dan keterampilan matematik lainnya, serta dapat meningkatkan kinerja siswa
adalah pembelajaran dengan menggunakan strategi REACT (Relating, Experiencing,
Applying, Cooperating, dan Transferring). Pembelajaran matematika seperti ini selanjutnya
kita sebut Pembelajaran Matematika dengan Strategi REACT yang disingkat PSR. Melalui
pembelajaran ini diharapkan kemampuan pemahaman, dan penalaran matematis siswa dapat
meningkat secara signifikan.
164
2. Rumusan Masalah
Hal utama yang ingin diungkap dan dicari jawabannya dirumuskan adalah sebagai berikut:
3. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan mengungkap pengaruh
pembelajaran matematika dengan menggunakan strategi REACT terhadap peningkatan
kemampuan pemahaman, dan penalaran matematis siswa SMP, dan perbedaannya bila
dibandingkan dengan Pembelajaran Matematika Konvensional. Baik ditinjau dari
kemampuan matematis secara keseluruhan maupun masing-masing, berdasarkan pendekatan
pembelajaran, Kemampuan Matematika Awal (KMA), dan Level Sekolah.
4. Hipotesis
Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah, dan tujuan penelitian, maka
disusunlah hipotesis yang akan diuji, yaitu:
1) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan matematis secara keseluruhan, antara siswa
yang belajarnya melalui PSR dengan: (a) siswa PKv, (b) siswa PKv berdasarkan KMA,
(c) siswa PKv, berdasarkan level sekolah, (d) dengan siswa PKv, berdasarkan level
sekolah, dan KMA.
2) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan pemahaman, dan penalaran matematis
pada tiap kemampuan antara siswa yang belajarnya melalui PSR dengan: (a) siswa PKv,
(b) siswa PKv berdasarkan KMA, (c) siswa PKv berdasarkan level sekolah, (c) siswa
PKv berdasarkan level sekolah, dan KMA.
5. Kajian Pustaka
1. Pendekatan Pembelajaran Kontekstual dengan Strategi REACT
Pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara
materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Tim Dirjen Dikdasmen dalam
Sukestiyarno, 2003). Hal ini sesuai pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)
seperti dikemukakan Johnson (Setiawan dan Sitompul, 2007: 67) bahwa:
165
(1) Relating
Relating adalah pembelajaran yang dimulai dengan cara mengaitkan konsep-konsep baru
yang akan dipelajari dengan konsep-konsep yang telah diajarkan (Crawford, 2001: 3).
Untuk lebih jelasnya, misalkan siswa akan mempelajari tentang luas permukaan balok, maka
guru dapat memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan luas daerah dari
unsur-unsur yang membentuk balok yang bisa berbentuk persegi atau persegipanjang
(misalnya ruangan kelas). Kemudian mengarah pada pertanyaan luas permukaan balok.
(2) Experiencing
Siswa dalam membangun suatu konsep yang baru dipelajarinya, akan didasarkan pada
pengalaman-pengalaman yang terjadi di dalam kelas. Seperti dikatakan Crawford (2001: 5),
Strategi experiencing dapat membantu siswa untuk membangun konsep baru
dengan cara mengkonsentrasikan pengalaman-pengalaman yang terjadi di dalam
kelas melalui eksplorasi, pencarian, dan penemuan. Pengalaman ini bisa
mencakup penggunaan manipulasi, pemecahan masalah, dan aktivitas di
laboratorium.
Manipulasi, dapat membantu siswa membangun konsep abstrak secara jelas. Problem
Solving, dengan memberikan persoalan berbentuk masalah, dapat mengajari siswa
keterampilan memecahkan masalah, berpikir analisis, berkomunikasi dan berinteraksi
dengan kelompok. Sedangkan kegiatan labolatorium, melalui kegiatan ini siswa dapat
bekerja dalam kelompok untuk mendapatkan data dengan cara pengukuran, menganalisis
data, membuat prediksi dan kesimpulan.
(3) Aplying
Aplikasi ini merupakan aspek yang cukup penting, karena seseorang yang sudah dapat
mengaplikasikan suatu konsep matematika berarti ia sudah dapat memahami konsep
tersebut secara mendalam. Seperti yang dikatakan oleh Crawford (2001: 8),
Strategi applying, merupakan suatu strategi pembelajaran dengan cara
penggunaan konsep. Siswa dapat menggunakan konsep ketika mereka terlibat
dalam aktivitas problem solving atau kegiatan-kegiatan matematika lainnya. Guru
166
juga dapat memberi motivasi bagi pemahaman konsep dengan pemberian tugas
yang realistis dan relevan.
(4) Cooperating
Kerjasama antar siswa merupakan suatu hal yang penting dalam pembelajaran matematika,
karena melalui kerjasama siswa akan dapat berdiskusi, saling berbagi, dan merespon dengan
sesama temannya. Seperti dikatakan oleh Crawford (2001: 11),
(5) Transferring
Peran guru dalam pembelajaran kontekstual, menciptakan pengalaman belajar mereka yang
memfokuskan pemahaman daripada mengingat. Siswa yang belajar dengan pemahaman juga
dapat belajar untuk mentransfer pengetahuan. Menurut Crawford (2001: 13),
1) Relating, berarti setelah membawa siswa dalam situasi belajar selanjutnya guru
mengkondisikan siswa agar mampu mengkaitkan konsep-konsep baru yang akan
dipelajari dengan konsep-konsep yang telah dipelajarinya, dengan cara memberikan
permasalahan yang sesuai dengan materi yang sedang dipelajari.
2) Experiencing, pada saat pembelajaran berlangsung guru harus menciptakan situasi yang
dapat membantu siswa untuk membangun konsep baru dengan cara mengkonsentrasikan
pengalaman-pengalaman yang terjadi di dalam kelas melalui eksplorasi, pencarian, dan
penemuan. Pengalaman ini bisa mencakup penggunaan manipulasi, pemecahan
masalah, dan aktivitas di labolatorium.
3) Applying, untuk mengecek apakah siswa sudah memahami betul tentang konsep yang
diajarkan, guru dapat memberikan persoalan-persoalan yang menuntut siswa agar
mampu menggunakan konsep-konsep yang telah dipelajarinya. Guru juga dapat memberi
motivasi untuk memperdalam pemahaman konsep melalui pemberian tugas yang
realistis dan relevan.
4) Cooperating, untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dalam kegiatan Relating,
Experiencing, Applying, dan Transferring dapat dilaksanakan melalui kerjasama antar
siswa, karena melalui kerjasama siswa akan dapat berdiskusi, saling berbagi, dan
merespon dengan sesama temannya.
167
5) Transferring, pada tahap ini siswa harus mampu mengunakan pengetahuan yang baru
diperolehnya dalam menghadapi konteks atau situasi baru yang diberikan oleh guru.
Skemp (Sumarmo, 1987: 24) mengatakan bahwa terdapat dua jenis pemahaman, yaitu (a)
pemahaman instrumental diartikan sebagai pemahaman konsep yang masih saling terpisah
antara satu konsep dengan konsep lainnya dan baru mampu menerapkan konsep tersebut
pada perhitungan rutin/sederhana, atau mengerjakan sesuatu secara algoritmis, dan (b)
Pemahaman relasional, adalah kemampuan mengkaitkan beberapa konsep yang saling
berhubungan. Pengertian ini mengandung makna bahwa selain seseorang memahami
sejumlah konsep yang telah dipelajarinya, ia juga dapat memahami hubungan antar konsep-
konsep yang saling terkait.
Pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap konsep matematika dapat dilihat dari
kemampuan siswa dalam,
1. Mendefinisikan konsep secara verbal dan tulisan.
2. Mengidentifikasi dan membuat contoh dan bukan contoh.
3. Menggunakan model, diagram dan simbol untuk merepresentasikan suatu konsep.
4. Mengubah suatu bentuk representasi kebentuk lainnya.
5. Mengenal berbagai makna dan interpretasi konsep.
6. Mengidentifikasi sifat-sifat suatu konsep dan mengenal syarat yang menentukan konsep.
7. Membandingkan dan membedakan konsep-konsep. (NCTM, 1989: 223).
2) Penalaran Matematis
Penalaran (reasoning) didefinisikan sebagai proses berpikir yang dilakukan dengan suatu
cara untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan bersifat umum dapat ditarik dari kasus-kasus
yang bersifat individual. Tetapi dapat juga sebaliknya, dari hal yang bersifat umum menjadi
kasus yang bersifat individual (Suherman dan Winataputra, 1993: 222). Kedua jenis
penalaran ini disebut penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif menurut
Keedy (1963: 67), “When a person makes observations and on the basis of his observations
reaches conclusions, ...”, sedangkan penalaran deduktif , “… proceeds from assumptions,
rather then experience”.
Kemampuan penalaran matematis yang dikaji dalam penelitian ini adalah penalaran induktif,
dengan titik berat pengkajian pada aspek penalaran logis, dan analogi induktif. Penalaran
logis menurut Kennedy (Hudoyo, 2003) adalah sebagai kemampuan mengidentifikasi atau
menambahkan argumentasi logis yang diperlukan dalam menyelesaikan soal, sedangkan
168
penalaran logis yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam
memberikan alasan logis yang diperlukan untuk menyelasaikan soal. Shurter dan Pierce
(Sumarmo, 1987) menyatakan bahwa penalaran analogi adalah penalaran dari suatu hal
tertentu kepada suatu hal lain yang serupa kemudian disimpulkan.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen, dengan desain kelompok kontrol pretes-
postes dari Ruseffendi (2003a: 45)
A O X O
A O O
Dengan :
A = Pemilihan subyek (sampel) penelitian dilakukan secara purposif berdasarkan kelas.
X = Perlakuan yaitu pembelajaran dengan strategi REACT.
O = Pretes = Postes kemampuan matematis
Sampel penelitiannya adalah siswa kelas VII SMP dipilih empat kelas secara purposif. Siswa
yang dijadikan sampel penelitian untuk setiap kelas adalah 34 orang, dua kelas dari sekolah
yang berlevel baik dan dua kelas lagi berasal dari sekolah berlevel sedang. Masing-masing
satu kelas sebagai kelas eksperimen dan satu kelas lagi sebagai kelas kontrol.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua set soal yang telah divalidasi,
yaitu untuk tes pertama, dan tes kedua. Soal tes digunakan untuk mengukur peningkatan
kemampuan pemahaman, dan penalaran matematis siswa.
G. Analisis Data
Untuk menjawab hipotesis dan rumusan masalah, menggunakan uji normalitas, uji
homogenitas, uji Independen Sampel Tes, ANOVA, Q-Q Plot. Penghitungan menggunakan
bantuan program SPSS dengan taraf signifikansi yang digunakan adalah 5%. Penentuan
KMA diperoleh dari skor rata-rata tiga kali tes. KMA siswa ini diklasifikasikan menjadi tiga
kategori, yaitu KMA siswa yang termasuk kategori tinggi (skor 75 – 100), sedang (skor 55 –
75), dan kategori rendah (skor 0 – 54).
Data pada Tabel 1 diuji dengan uji normalitas dan homogenitas, selanjutnya diuji dengan uji
perbedaan dua rata-rata dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Hasil Analisis Uji perbedaan Dua Rata-Rata Rerata Skor Gain Kemampuan
Matematis Secara Keseluruhan ( α = 5% )
HASIL
BERDASARKAN INTERPRETASI
Uji Perbedaan dan Sig(2-tailed)
Pendekatan PSR t = 9,31 dan Sig.= 0,00
Terdapat Perbedaan
dengan PKv
Nilai t masing-masing KMA Tinggi = 2,15 Pada KMA Tinggi tidak ada
Pendekatan dan
KMA Sedang = 8,31; KMA Rendah = 5,36 perbedaan. Pada KMA Sedang
KMA Siswa
Nilai Sig. masing-masing 0,06 dan 0,00 dan Rendah ada perbedaan
Pendekatan dan Pada Level Baik Nilai t = 7,05 dan Sig.= 0,00 Pada sekolah level baik dan
Level Sekolah Level Sedang nilai t = 6,77 dan Sig. = 0,00 sedang terdapat perbedaan
Pada sekolah level Baik KMA
Pada Sekolah Level Baik KMA Tinggi t =1,79
Tinggi tidak ada perbedaan.
KMA Sedang t = 6,93 KMA Rendah t = 3,53
Pada KMA Sedang dan
Pendekatan, Masing-masing nilai Sig. 0,12, 0,00, dan 0,00
Rendah ada perbedaan
Level, dan KMA
Pada Sekolah Level Sedang KMA Tinggi t = - Pada sekolah level Sedang
Siswa
KMA Sedang t = 6,25 KMA Rendah t = 4,71 KMA Tinggi tidak dapat
Nilai Sig.-nya masing-masing tidak ada, 0,00 ditentukan.Pada KMA Sedang
dan 0,00 dan Rendah ada perbedaan
Data pada Tabel 3 diuji dengan uji normalitas dan homogenitas, selanjutnya diuji dengan uji
perbedaan dua rata-rata dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
170
Tabel 4. Hasil Analisis Uji perbedaan Dua Rata-Rata Pemahaman Matematis (α = 5%)
HASIL
BERDASARKAN INTERPRETASI
( Uji t ) dan Sig(2-tailed)
Pendekatan PSR t = 5,21 dan Sig.= 0,00
Terdapat Perbedaan
dengan PKv
Pada KMA Tinggi dan
Nilai t masing-masing KMA Tinggi = 2,83
Pendekatan dan Sedang ada perbedaan. Pada
KMA Sedang = 6,92; KMA Rendah = 1,35
KMA Siswa KMA Rendah tidak ada
Nilai Sig. masing-masing 0,03; 0,00; dan 0,18
perbedaan
Pendekatan dan Pada Level Baik Nilai t = 5,69 dan Sig.= 0,00 Pada sekolah level baik dan
Level Sekolah Level Sedang nilai t = 2,07 dan Sig. = 0,04 sedang terdapat perbedaan
Pada sekolah level Baik
Pada Sekolah Level Baik KMA Tinggi t =3,08
KMA Tinggi dan sedang
KMA Sedang t = 7,08; KMA Rendah t = 1,55
ada perbedaan. Pada KMA
Masing-masing nilai Sig. 0,02, 0,00, dan 0,14
Rendah tidak ada perbedaan
Pendekatan, Level, Pada sekolah level Sedang
Pada Sekolah Level Sedang
dan KMA Siswa KMA Tinggi tidak dapat
KMA Tinggi t = -
ditentukan. Pada KMA
KMA Sedang t = 2,61 KMA Rendah t = 0,85
Sedang ada perbedaan, dan
Nilai Sig.-nya masing-masing tidak ada, 0,02
pada KMA Rendah tidak
dan 0,40
ada perbedaan
Data pada Tabel 5 diuji dengan uji normalitas dan homogenitas, selanjutnya di uji dengan uji
perbedaan dua rata-ratam dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 6 berikut.
171
Tabel 6. Hasil Analisis Uji perbedaan Dua Rata-Rata Kemampuan Penalaran (α = 5%)
HASIL
BERDASARKAN INTERPRETASI
Uji Perbedaan dan Sig(2-tailed)
Pendekatan PSR t = 7,91 dan Sig.= 0,00
Terdapat Perbedaan
dan PKv
Nilai t masing-masing KMA Tinggi = 1,82 Pada KMA Tinggi tidak ada
Pendekatan dan
KMA Sedang = 4,81; KMA Rendah = 5,98 perbedaan. Pada KMA Sedang
KMA Siswa
Nilai Sig. masing-masing 0,11; 0,00; dan 0,00 dan Rendah ada perbedaan
Pendekatandan Pada Level Baik Nilai t = 7,37 dan Sig.= 0,00 Pada sekolah level baik dan
Level Sekolah Level Sedang nilai t = 4,03 dan Sig. = 0,00 sedang terdapat perbedaan
Pada sekolah level Baik KMA
Pada Sekolah Level Baik KMA Tinggi t =1,47
Tinggi tidak ada perbedaan.
KMA Sedang t = 4,97; KMA Rendah t = 6,08
Pada KMA Sedang dan
Masing-masing nilai Sig. 0,19, 0,00, dan 0,00
Rendah ada perbedaan
Pendekatan,
Pada sekolah level Sedang
Level, dan KMA Pada Sekolah Level Sedang
KMA Tinggi tidak dapat
Siswa KMA Tinggi t = -
ditentukan. Pada KMA
KMA Sedang t = 1,32 KMA Rendah t = 3,59
Sedang tidak ada perbedaan
Nilai Sig.-nya masing-masing tidak ada, 0,20
dan KMA Rendah ada
dan 0,00
perbedaan
I. Kesimpulan
Berdasarkan analisis hasil penelitian seperti yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya,
diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut.
Secara umum bila dilihat berdasarkan rerata gain, kemampuan pemahaman dan penalaran
matematis siswa PSR lebih baik daripada siswa PKv.
J. Saran
Bagi guru, bila guru akan mengajar dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan
pemahaman, dan penalaran matematis dalam satu kesatuan yang komprehensif, maka
pembelajaran dengan strategi REACT dapat dijadikan salah satu alternatif dalam
pembelajaran. Agar implementasinya dapat mencapai hasil yang memuaskan, dalam
penerapannya guru perlu memperhatikan: (a) bahan ajar untuk siswa harus relevan dan tepat,
selanjutnya bahan ajar tersebut harus dirancang secara khusus sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai, sehingga terjadi proses belajar pada siswa yang mampu mengoptimalkan
173
peningkatan kemampuan pemahaman, dan penalaran matematis, (b) pada waktu siswa
sedang berusaha memecahkan persoalan yang dihadapinya, guru jangan terlalu cepat
memberikan jawaban, tetapi berusaha memberikan arahan dengan pertanyaan-pertanyaan
berikutnya yang mengarah pada penyelesaian persoalan, dan (c) perlu penguasaan yang
memadai baik secara teoritik maupun aplikatif, tentang pendekatan pembelajaran dengan
strategi REACT ini.
Daftar Pustaka
Crawford. 2001. Teching Contextuallly. Texas: CCI Publishing, Inc.
Hudoyo, H. 2003. Pembelajaran Matematika Menurut Pandangan Konstruktivistik. Makalah
Seminar Nasional, tanggal 27-28 Maret 2003. PPS IKIP Malang. Malang: Tidak Diterbitkan.
Keedy, M.L. 1963. A Modern Introduction to Basic Mathematics. USA: Addison-Wesley Publishing
Company, Inc.
Kusumah, Y.S. 2005. Peranan Matematika dalam Pengembangan Teknologi Informasi dan
Komunikasi: Studi Tentang Penerapan Model Pembelajaran Interaktif Tipe Permainan untuk
meningkatkan Pemahaman Matematik dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA. Prosiding
Seminar Nasional Matematika, 20 Agustus 2005. Bandung: UPI.
NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. USA: The National Council of
Teachers of Mathematics, Inc.
NCTM. 1989. Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics. USA: The National
Council of Teachers of Mathematics, Inc.
Ruseffendi, E.T. 2006. Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam
Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Sabandar, J. 2001. Aspek Kontekstual dalam Soal Matematika dalam Soal Realistic Mathematics
Education. Makalah Disampaikan pada Seminar Realistic Mathematics Education, tanggal 4
April 2001. UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.
Setiawan, I. dan Sitompul, I. 2007. Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan Belajar
Mengajar Mengasyikan dan Bermakna. Bandung: Mizan Learning Center.
Skemp, R.R. 1975. The Psychology of Learning Mathematics. England: Penguin Books.
Sobel, M.A. dan Maletsky, E.M. 2001. Teaching Mathematics. USA: Pearson Education
Limited.
Suherman, E. dan Winataputra, U. 1993. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Sukestiyarno. 2003. Operasional Penerapan CTL (Contextual Teaching and Learning) dalam Bidang
Matematika di Sekolah Sesuai Tuntutan KBK. Makalah Seminar Nasional, tanggal 27-28 Maret
2003. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta: Tidak Diterbitkan.
Sumarmo, U. 2003. Pembelajaran Keterampilan Membaca Matematika pada Siswa Sekolah
Menengah. Makalah Seminar Nasional , tanggal 25-26 Agustus 2003. FPMIPA-UPI. Bandung:
Tidak Diterbitkan.
Zulkardi. 2001. Realistic Mathematics Education (RME): Teori, Contoh Pembelajaran dan Taman
Belajar di Internet. Makalah Disampaikan pada Seminar Realistic Mathematics Education,
tanggal 4 April 2001. UPI. Bandung: Tidak Diterbitkan.
174
Endah Setyarini
SMA Negeri 1 Wates,Kulon Progo, Yogyakarta; endah090871@gmail.com
Abstrak. Masalah kepercayaan diri (self confidence) merupakan masalah yang umum
bagi semua siswa ketika menghadapi pelajaran matematika. Namun demikian, guru
harus mengusahakan berbagai cara untuk dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka
ketika belajar matematika. Harapannya dengan meningkatnya rasa percaya diri, akan
semakin memotivasi diri siswa untuk terus belajar dan pada muaranya meningkatkan
prestasi belajar. Ada banyak pilihan metode pembelajaran matematika yang dapat
dipilih guru, salah satunya adalah metode kooperatif. Model pembelajaran kooperatif
TAI (Team Assisted Instruction) sudah cukup lama dikenal dan banyak dimanfaatkan
dalam pembelajaran. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah Model TAI dapat
meningkatkan rasa percaya diri siswa dalam belajar, khususnya belajar matematika?
Pada paper ini, penulis mengkaji secara teoritis tentang indikator dari tipe TAI yang
dapat meningkatkan kepercayaan diri siswa.
1. Pendahuluan
Masa remaja dimulai umur 12 tahun dan berakhir pada umur 18 tahun (Santrock, 2003 : 26),
sehingga masa remaja dialami seseorang ketika duduk dibangku SMP dan SMA atau SMK.
Seseorang yang memasuki masa remaja banyak menghadapi persoalan, tantangan hidup, dan
mencari jati dirinya. Persoalan-persoalan yang dihadapi remaja, antara lain persoalan dalam
keluarga, dalam masyarakat, maupun dalam sekolah. Salah satu persoalan yang dihadapi
remaja di sekolah, yaitu mata pelajaran matematika. Sebagian besar remaja menganggap
ilmu eksak menjadi momok bagi mereka terutama matematika. Sebagian besar siswa SMA
merasa takut dan kurang percaya diri apabila menghadapi pembelajaran matematika
sehingga prestasi belajar matematika masih kurang memuaskan. Hal tersebut dibuktikan
dengan kurangnya keberanian siswa dalam mempresentasikan jawaban di hadapan teman-
teman satu kelas karena kurangnya keyakinan atas kemampuan diri sendiri. Tidak sedikit
dari siswa merasa cemas apabila jawaban tersebut salah.
Tujuan mata pelajaran matematika dalam pendidikan formal diatur dalam Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 di lampiran 3. Salah satu tujuan tersebut adalah
agar peserta didik memiliki kemampuan menghargai kegunaan matematika dalam
kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari
matematika serta sikap percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006:146).
175
Berdasarkan tujuan pembelajaran tersebut rasa percaya diri merupakan salah satu aspek
afektif yang perlu ditumbuhkan dalam pembelajaran matematika
Percaya diri (kepercayaan diri) merupakan salah satu faktor penting agar siswa berhasil
dalam mempelajari matematika. Seseorang yang memiliki rasa percaya diri tinggi akan
selalu berusaha mengembangkan kemampuannya. Kepercayaan diri mampu menimbulkan
sikap optimis dan pantang putus asa dalam meraih sesuatu. Dengan kepercayaan diri yang
tinggi seorang siswa akan lebih menghargai dan bertanggung jawab terhadap pekerjaannya
sendiri. Selain itu seseorang yang mempunyai kepercayaan diri tinggi akan lebih mudah
menyampaikan pendapat dan berkomunikasi dengan yang lain dari pada seseorang yang
memiliki kepercayaan diri yang rendah. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Huri Suhendri (2012) bahwa kepercayaan diri berpengaruh positif terhadap
hasil belajar siswa. Oleh sebab itu rasa percaya diri siswa harus ditingkatkan.
Siswa-siswa di Indonesia memiliki rasa percaya diri yang tergolong rendah. Berdasarkan
hasil penelitian Trend in Mathematics and Science Study (TIMSS) (2012: 338) yang
menyatakan bahwa dalam skala internasional hanya 14% siswa yang memiliki kepercayaan
diri tinggi terkait kemampuan matematikanya. Sedangkan 45% siswa termasuk dalam
kategori sedang, dan 41% sisanya termasuk dalam kategori rendah. Hal serupa juga terjadi
pada siswa di Indonesia. Hanya 3% siswa yang memiliki kepercayaan diri tinggi dalam
matematika, sedangkan 52% termasuk dalam kategori siswa dengan kepercayaan diri sedang
dan 45% termasuk dalam kategori siswa dengan kepercayaan diri.
Kepercayaan diri siswa perlu ditingkatkan. Upaya peningkatan kepercayaan diri perlu
dilakukan dari berbagai pihak, antara lain oleh siswa dan guru. Beberapa siswa menganggap
matematika merupakan pelajaran yang sulit dan mereka lemah dalam hal tersebut. Sifat
seperti itu harus diminimalisir karena dapat menyebabkan siswa mudah putus asa dan kurang
percaya diri dalam memecahkan masalah matematika. Pembentukan rasa percaya diri tidak
lepas dari metode pembelajaran yang digunakan oleh guru ketika belajar di sekolah. Guru,
pada umumnya menggunakan metode pembelajaran yang cenderung berpusat pada guru.
Siswa menganggap guru merupakan satu-satunya sumber belajar yang utama. Setiap
pembelajaran matematika berlangsung, guru menjelaskan terlebih dahulu materi yang akan
dipelajari, kemudian guru memberikan contoh soal-soal di papan tulis. siswa mencatat apa
yang ditulis guru di papan tulis, selanjutnya siswa diminta guru mengerjakan soal-soal yang
berkaitan dengan materi yang sedang dipelajari. Akibatnya siswa tidak mempunyai
kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pembelajaran.
Metode pembelajaran yang berlangsung seperti itu cenderung membuat siswa menghafal
rumus-rumus yang diberikan oleh guru, siswa kurang berinteraksi dengan lingkungan
sekitar, misalnya dengan guru dan siswa yang lain. Siswa cenderung bosan selama mengikuti
pembelajaran matematika. Metode pembelajaran seperti itu membuat tumbuhnya rasa
percaya diri siswa masih kurang karena siswa kurang diberi kesempatan dalam
mengekspresikan dirinya ketika belajar. Siswa cenderung kurang yakin atas penyelesaian
soal yang telah dibuat dan siswa kurang percaya diri ketika menuliskan jawaban soal di
papan tulis. Metode pembelajaran yang digunakan oleh guru kadang kurang sesuai.
176
Oleh karena itu metode pembelajaran yang berpusat pada siswa diharapkan dapat
meningkatkan kepercayaan diri dan prestasi belajar siswa, salah satunya menggunakan
pembelajaran kooperatif tipe Team Accelerated Instruction (TAI).
2. Kepercayaan Diri
Remaja membutuhkan percaya diri dalam hidupnya. Kepercayaan diri merupakan sifat
pendukung dalam kemajuan bagi seseorang, salah satunya dalam prestasi. Menurut Jean
Yoder dan William Proctor dalam Nur Ghufron dan Rini S (2010 : 34), “self-confidence is
the active, effective expression of inner feeling of self-worth, self esteem and self-
understanding”. Uraian ini dapat diasumsikan bahwa kepercayaan diri adalah aktif, ekpresi
efektif dari perasaan dari harga diri, konsep diri dan pemahaman diri. Kepercayaan diri
didukung dengan menghargai diri sendiri, penghargaan dari orang lain, dan pemahaman
tentang diri sendiri.
Willis dalam Nur Ghufron dan Rini S (2010 : 34). mengatakan bahwa kepercayaan diri
adalah keyakinan bahwa seeorang mampu menanggulangi suatu masalah dengan situasi
terbaik dan dapat memberikan sesuatu yang menyenangkan bagi orang lain. Dengan
kepercayaan diri, seseorang apabila menghadapi masalah dapat terselesaikan dengan baik
apabila mempunyai rasa percaya diri serta dapat memberikan sesuatu yang berharga bagi
orang lain.
Anthony berpendapat bahwa kepercayaan diri merupakan sikap pada diri seseorang yang
dapat menerima kenyataan, dapat mengembangkan kesadaran diri, berfikir positif, memiliki
kemandirian, dan mempunyai kemampuan untuk memiliki serta mencapai segala sesuatu
yang diinginkan (Nur Ghufron dan Rini S, 2010 : 34). Kepercayaan diri seseorang
memberikan peluang bagi seseorang tersebut untuk mengembangkan diri untuk mencapai
segala sesuatu yang diinginkan.
Kepercayaan diri adalah keyakinan untuk melakukan sesuatu pada diri subjek sebagai
karakteristik pribadi yang di dalamnya terdapat keyakinan akan kemampuan diri, optimis
objektif, bertanggung jawab, rasional, dan realistis (Nur Ghufron dan Rini S, 2010 : 35).
Dalam mendukung prestasi siswa, diperlukan rasa percaya diri agar siswa dapat
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh dirinya sehingga prestasi dapat dicapai
sesuai dengan keinginan siswa tersebut.
177
Dari beberapa definisi di atas, kepercayaan diri adalah percaya pada kemampuan diri sendiri,
optimis, bertanggungjawab, dan tidak terpengaruh oleh orang lain agar dapat mengatasi atau
menghadapi masalah-masalah yang sedang dihadapi dalam kondisi yang sesuai.
Lauster (Nur Ghufron dan Rini S, 2010 : 34) menyatakan bahwa aspek-aspek kepercayaan
diri adalah sebagai berikut.
a. Keyakinan kemampuan diri
Sikap positif seseorang tentang dirinya merupakan keyakinan kemampuan diri.
Seseorang benar-benar mampu dengan akan apa yang dilakukannya.
b. Optimis
Sikap positif yang ada pada seseorang, selalu berpandangan positif dalam menghadapi
segala hal tentang kemampuan dan dirinya.
c. Objektif
Seseorang yang memandang sesuatu atau permasalahan bukan menurut dirinya sendiri,
akan tetapi sesuai kebenaran yang semestinya.
d. Bertanggung jawab
Segala sesuatu yang ditanggung seseorang yang telah menjadi konsekuensinya
merupakan tanggung jawab seseorang terhadap sesuatu hal.
e. Rasional dan realistis
Rasional dan realistis ialah pemikiran yang digunakan untuk menganalisis sesuatu hal,
suatu kejadian, dan suatu masalah di mana pemikiran tersebut dapat diterima oleh akal
dan sesuai dengan kenyataan.
a. Konsep diri
Calhaoun dan Acocella mendefinisikan konsep diri ialah gambaran mental diri
seseorang (Nur Ghufron dan Rini S, 2010 : 13). Hurlock sependapat dengan Calhaoun
dan Acocella, bahwa konsep diri merupakan gambaran seseorang mengenai diri sendiri
yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional asparatif,
dan prestasi yang mereka capai. Anthony menyatakan bahwa kepercayaan diri diawali
dengan perkembangan konsep diri yang diperoleh dalam pergaulan seseorang dalam
suatu kelompok. Konsep diri dihasilkan dari interaksi yang terjadi (Nur Ghufron dan
Rini S, 2010 : 37).
b. Harga diri
Lerner dan Spanier berpendapat tingkat penilaian yang positif atau negatif yang
dihubungkan dengan konsep diri seseorang merupakan pengertian dari harga diri (Nur
Ghufron dan Rini S, 2010 : 39-40). Harga diri yang positif dibentuk dari konsep diri
yang positif. Harga diri seseorang akan mempengaruhi tingkat kepercayaan dirinya.
c. Pengalaman
Pengalaman dapat menjadi faktor muncul serta menurunnya rasa percaya diri seseorang.
Pengalaman masa lalu menjadi sangat berharga apabila dapat dijadikan untuk
mengembangkan diri.
178
d. Pendidikan
Kepercayaan diri seseorang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Seseorang yang
mempunyai pendidikan tinggi akan memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih tinggi
dibandingkan seseorang yang mempunyai tingkat pendidikan yang rendah.
3. Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh siswa
dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah
dirumuskan. Menurut Sunal dan Hans dalam Isjoni (2009:15) mengemukakan bahwa
pembelajaran kooperatif merupakan suatu cara pendekatan atau serangkaian strategi yang
khusus dirancang untuk memberi dorongan kepada siswa agar bekerja sama selama proses
pembelajaran. Selanjutnya Stahl dalam Isjoni (2009: 15) menyatakan pembelajaran
kooperatif dapat meningkatkan belajar siswa lebih baik dan meningkatkan sikap saling
tolong-menolong dalam perilaku sosial. Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran
yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam
memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. Anita Lie (2007: 29)
mengungkapkan bahwa model pembelajaran cooperative learning tidak sama dengan
sekedar belajar dalam kelompok. Ada lima unsur dasar pembelajaran cooperative learning
yangmembedakannya dengan pembagian kelompok yang dilakukan asal-asalan. Pelaksanaan
model pembelajaran kooperatif dengan benar akan menunjukkan pendidik mengelola kelas
lebih efektif. Johnson (Anita Lie,2007: 30) mengemukakan dalam model pembelajaran
kooperatif ada lima unsur yaitu: saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan,
tatap muka, komunikasi antar anggota, dan evaluasi proses kelompok. Cooperative learning
menurut Slavin (2005: 4-8) merujuk pada berbagai macam model pembelajaran di mana para
siswa bekerja sama dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari berbagai tingkat
prestasi, jenis kelamin, dan latar belakang etnik yang berbeda untuk saling membantu satu
sama lain dalam mempelajari materi pelajaran. Dalam kelas kooperatif, para siswa
diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan, dan berargumentasi untuk
mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam
pemahaman masing-masing. Cooperative learning lebih dari sekedar belajar kelompok
karena dalam model pembelajaran ini harus ada struktur dorongan dan tugas yang bersifat
kooperatif sehingga memungkinkan terjadi interaksi secara terbuka danhubungan-hubungan
yang bersifat interdependensi efektif antara anggota kelompok.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang menempatkan
siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang anggotanya bersifat heterogen, terdiri dari
siswa dengan prestasi tinggi, sedang, dan rendah, perempuan dan laki-laki dengan latar
belakang etnik yang berbeda untuk saling membantu dan bekerja sama mempelajari materi
pelajaran agar belajar semua anggota maksimal. Terdapat beberapa tipe pembelajaran
kooperatif, antara lain: jigsaw, think-pair-share, Numbered Head Together, Group
Investigation, Two Stay Two Stray, Make a match, Listening team, Inside-Outside Circle,
Team accelerated Intruction dan sebagainya
179
Pembelajaran kooperatif tipe TAI ini dikembangkan oleh Slavin. Tipe ini mengkombinasikan
keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual. Tipe ini dirancang untuk
mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Oleh karena itu kegiatan
pembelajarannya lebih banyak digunakan untuk pemecahan masalah, ciri khas Pembelajaran
kooperatif tipe TAI adalah pembelajaran di mana setiap siswa secara individual belajar
materi pembelajaran yang sudah disiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke
kelompok-kelompok yang sudah dibentuk untuk didiskusikan dan saling dibahas oleh
anggota kelompok, dan semua anggota kelompok bertanggung jawab atas keseluruhan
jawaban sebagia tanggung jawab bersama.
Matematika TAI di prakarsai sebagai usaha merancang sebuah bentuk pengajaran individual
yang bisa menyelasaikan masalah-masalah yang membuat metode pengajaran individual
menjadi tidak efektif. Dengan membuat para siswa bekerja dalam tim-tim pembelajaran
kooperatif dan mengemban tanggung jawab mengelola memeriksa secara rutin, saling
membantu satu sama lain dalam menghadapi masalah, dan saling memberi dorongan untuk
maju, maka guru dapat membebaskan diri dari memberikan pengajaran langsung kepada
sekelompok kecil yang homogen yang berasal dari tim-tim yang heterogen. Fokus
pengajarannya artinya adalah pada konsep-konsep yang ada di balik algoritma yang
dipelajari oleh siswa dalam kegiatan individual, pengaturan seperti ini memberikan
kesempatan melakukan pengajaran langsung yang tidak terdapat dalam hampir semua
metode-metode pengajaran individual.
Sebagai tambahan terhadap penyelasaian masalah manajemen dan motivasi dalam program-
program pengajaran individual, TAI dirancang untuk memperoleh manfaat yang sangat besar
dari potensi sosialisai yang terdapat dalam pembelajaran kooperatif. Kajian-kajian
sebelumnya mengenai kemampuan kelompok dalam metode-metode pembelajaran
kooperatif secara konsisten telah menemukan sejumlah pengaruh positif dari metode-metode
ini terhadap keluaran yang diperoleh seperti pada hubungan ras dan sikap terhadap para
siswa yang dicatat secara akademik. Cukup beralasan apabila kita mengharapkan munculnya
perolehan keluaran yang serupa dalm metode-metode yang mengkombinasikan pembelajaran
kooperatif dengan pembelajaran individual.
TAI dirancang untuk menyelesaikan masalah-masalah teoritis dan praktis dari sistem
pengajaran individual, yaitu :
a. Dapat meminimalisir keterlibatan guru dalam pemeriksaan dan pengelolaan rutin
b. Guru setidaknya akan menghabiskan separuh waktunya untuk mengajar kelompok-
kelompok kecil
c. Operasional program tersebut akan sedemikian sederhananya sehingga para siswa
dikelas tiga ke atas dapat melakukannya .
d. Para siswa akan termotifasi untuk mempelajari mater-materi yang diberikan dengan
cepat dan akurat, dan tidak akan bisa berbuat curang atau menemukan jalan pintas
e. Tersedianya banyak cara pengecekan pengusaan supaya para siswa jarang
menghabiskan waktu nmempelajari kembali materi yang sudah mereka kuasai atau
menghadapi kesulitan serius yang membutuhkan bantuan guru. Pada pos pengecekan
penguasaan, dapat tersedia kegiatan-kegiatan pengajaran alternatif dan tes-tes yang
paralel
f. Para siswa akan dapat melakukan pengecekan satu sama lain, sekalipun bila siswa
mengecek kemampuannya ada dibawah siswa yang dicek dalam rangkaian pengajaran,
dan prosedur pengecekan akan cukup sederhana dan tidak terganggu si pengecek
181
g. Programnya mudah dipelajari baik oleh guru maupun siswa, tidak mahal, fleksibel, dan
tidak membutuhkan guru tambahan ataupun tim guru
h. Dengan membuat para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kooperatif, dengan
status yang sejajar, program ini akan membangun kondisi untuk terbentuknya sikap-
sikap positif terhadap siswa-siswa main stream yang cacat secara akademik dan diantara
para siswa dari latar belakang yang ras atau etnik yang berbeda.
Astuti Waluyati (2009), penelitiannya berjudul “Metode pembelajaran kooperatif tipe TAI
pada pokok bahasan aljabar kelas VII di SMP Negeri 4 Gamping Sleman Yogyakarta”. (tesis
Universitas Negeri Yogyakarta : 2009). Hasil pelitiannya menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan yang signifikan antara rata-rata hasil belajar kelas kooperatif tipe TAI (66,30) dan
hasil belajar pada kelas konvensional (59,39), dengan t = 3,187 dengan p = 0,002. Dengan
demikian, metode kooperatif tipe TAI lebih unggul dibandingkan dengan metode
konvensional dalam pembelajaran matematika pada pokok bahasan aljabar pada kelas VII
SMP.
Atik Maharani (2010), penelitiannya berjudul “Peningkatan Kepercayaan diri dan Prestasi
Belajar Siswa SMK Menggunakan Model Pembelajaran Tipe Team Accelerated
Instruction(TAI)” Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa ada peningkatan kepercayaan diri siswa dalam
pembelajaran matematika yang ditunjukkan dengan kenaikan skor rata-rata tes pada kategori
183
tinggi dan ada peningkatan prestasi belajar siswa yaitu hasil belajar jangka pendek yang
ditunjukkan dengan kenaikan skor rata-rata tes di atas KKM.
6. Kesimpulan
Kepercayaan diri merupakan salah satu faktor berprestasi dalam belajar terutama
matematika, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Dengan percaya diri, siswa tidak takut
mengungkapkan pendapatnya serta tidak ragu dalam menyelesaikan persoalan yang
dihadapi. Semakin tinggi rasa percaya diri semakin tinggi pula prestasi belajar siswa.
Model pembelajaran kooperatif memiliki beberapa tipe, salah satu tipe model pembelajaran
kooperatif yang dapat membangun kepercayaan diri siswa dan mendorong partisipasi mereka
dalam kelas adalah model pembelajaran kooperatif tipe Team Assisted Individualization atau
Team Accelerated Instruction (TAI).
Daftar Pustaka
Anita Lie. (2007). Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo
Astuti Waluyati. 2009. Metode pembelajaran kooperatif tipe TAI pada pokok bahasan aljabar kelas
VII di SMP Negeri 4 Gamping Sleman Yogyakarta. Tesis tidak diterbitkan. Universitas Negeri
Yogyakarta.
Atit Indriyani. 2013. Efektivitas model Pembelajaran Tipe Teams Assisted Individual dan Think Pair
Share Ditinjau dari Sikap Percaya Diri Peserta didik pada Materi Limit Fungsi Kelas XI IPA
SMA Kota Kediri Tahun Pelajaran 2010/2011, Universitas Sebelas Maret Surakarta.(2011).
Tesis di ambil dari http://eprints.uns.ac.id/8119/1/218550811201103581.pdf pada tanggal 29
Oktober 2013
Atik Maharani. 2010. Peningkatan Kepercayaan diri dan Prestasi Belajar Siswa SMK Menggunakan
Model Pembelajaran Tipe Team Accelerated Instruction(TAI) , Laporan PTK tidak diterbitkan.
Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia tentang Standar Isi
untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Mengengah. Jakarta: Depdiknas.
Herman Hudojo. 1988. Mengajar belajar matematika. Jakarta : Depdikbud.
Huri Suhendri. 2012. Pengaruh Kecerdasan Matematis-Logis, RasaPercaya Diri, Dan Kemandirian
Belajar Terhadap Hasil Belajar Matematika. Makalah Seminar Nasional Matematika dan
Pendidikan Matematika FMIPA UNY Yogyakarta, 10 November 2012.
Isjoni. 2009. Pembelajaraan Kooperatif. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Ghufron dan Rini, S. 2010. Teori-Teori Psikologi. Yogyakarta : Ar-ruzz Media.
Santrock. 2003. Adolescence. Jakarta : Erlangga.
Slavin, E Robert. 2009. Cooperative Learning (teori, riset, dan praktik). Bandung : Nusa Media.
Slavin. 2009. Langkah-langkah Model Pembelajaran Koopeatif Tipe TAI.
(http://p4tkmatematika.org/downloads/ppp/PPP_Pembelajaran_Kooperatif.pdf/. Diakses 29
Oktober 2013.
Sony Irianto dan Ahmad. 2009. Jurnal Ilmiah Pendidikan, Vol. I, No. 2 “Pengembangan Perangkat
Penilaian Konsep Dasar Matematika SD Berorientasi Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI”.
diambil dari http://jurnal.ump.ac.id/_berkas/jurnal/14.pdf. Diakses pada tanggal 29 Oktober
2013.
Stahl. 1994. Ciri-ciri Model Pembelajaran Kooperatif. http://choiroe.blogspot.com/2010/0 4/model-
pembelajaran-tai.html.Diakses 29 Oktober 2013.
TIMSS. 2007. International Mathematics Report: findings from IEA’s Trend in International
Mathematics and Sience study the Fourth and Eight Grades. Boston:TIMSS and PIRLS
International Mathematics Study Center.
184
Eva Susanti
Universitas Tamansiswa, Jl. Tamansiswa No. 261, Palembang; romeo_evss@yahoo.co.id
Abstrak. Media pembelajaran adalah sebuah alat yang berfungsi dan digunakan untuk
menyampaikan pesan pembelajaran. Perkembangan teknologi informasi telah
mempengaruhi penggunaan berbagai jenis media, sebagai alat bantu dalam proses
pembelajaran. Berdasarkan hal tersebut dikembangkan media pembelajaran matematika
berbasis Information and Communication Technology (ICT) untuk meningkatkan minat
dan motivasi siswa dalam belajar. Web merupakan salah satu fasilitas internet bersifat
multimedia karena merupakan kombinasi dari teks, foto, grafika, audio, animasi dan
video. Sebagai media yang diharapkan akan menjadi bagian dari suatu proses
pembelajaran di sekolah, internet harus mampu memberikan dukungan bagi
terselenggaranya proses komunikasi interaktif antara pengajar dengan pembelajar
sebagaimana yang dipersyaratkan dalam suatu kegiatan pembelajaran. Untuk hasil yang
optimal pembelajaran harus menyenangkan dan merangsang imajinasi serta kreativitas
siswa. Penggunaan website sebagai multimedia sangat membantu untuk meningkatkan
hasil belajar. Teknologi informasi dengan teknologi audio visual menghasilkan fitur-
fitur baru yang dapat dimanfaatkan dalam pendidikan. Pembelajaran berbasis
multimedia ini dapat menyajikan materi pelajaran yang lebih menarik, tidak monoton,
dan memudahkan penyampaian.
1. Pendahuluan
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi atau Information and Communication
Technology (ICT) saat ini tumbuh sangat cepat sejalan dengan perkembangan teknologi
komunikasi. Hal ini dimanfaatkan oleh semua orang sesuai dengan kebutuhan masing-
masing, tidak terkecuali dalam dunia pendidikan. Dalam dunia pendidikan, tenaga pengajar
seperti dosen dan guru dituntut mampu untuk memanfaatkan ICT dalam pembelajaran, guna
meningkatkan pembelajaran agar lebih efektif dan efisien. Sesuai dengan pernyataan
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru menyebutkan bahwa penguasaan teknologi informasi dan komunikasi
menjadi salah satu unsur kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional yang harus
dimiliki guru. (Tamimuddin, 2011). Untuk itu para pengajar mulai berusaha membiasakan
diri untuk menggunakan peralatan seperti komputer dan internet dalam pembelajaran di
kelas, dengan berbagai program pembelajaran yang dapat dikembangkan.
Beberapa sekolah sudah melengkapi fasilitas internet. Karena sekarang ini, pembelajaran di
sekolah sudah mulai disesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi. Dimulai dari
185
sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, bahkan sampai perguruan
tinggi, sesuai dengan kebutuhan dalam pembelajaran masing-masing. Semuanya bertujuan
untuk memberikan kemudahan dan kesempatan yang lebih luas bagi pembelajar dalam
belajar. Bagi sekolah-sekolah yang sudah memiliki fasilitas internet, seharusnya sudah
berusaha untuk melakukan berbagai upaya perbaikan pada alat-alat dan perlengkapan
pendidikan yang digunakan. Mulai menggunakan berbagai jenis media yang disesuaikan
dengan pembelajaran.
World Wide Web (WWW) atau Web merupakan sumber daya internet yang sangat populer
dan dapat digunakan untuk memperoleh informasi. Web yang menggunakan protokol yang
disebut Hyper Text Transfer Protocol (HTTP) yang berjalan pada Internet Protocol
(TCP/IP). Adapun dokumen Web ditulis dalam format Hyper Text Makup Language
(HTML), dokumen ini diletakkan dalam Web server (server yang melayani permintaan
dalam Web) dan diakses oleh klien (pengakses informasi) melalui perangkat lunak yang
disebut Web Browser, seringkali disingkat sebagai browser saja. (Uno : 2010) Permana
(2011) mengatakan bahwa Website merupakan suatu bentuk media yang dapat dimanfaatkan
oleh siapapun pengguna internet dalam menyampaikan informasi. Apakah itu informasi
pribadi, hobi, diskusi, bisnis, berita, pendidikan atau segala macam bentuk informasi
lainnya, semua dapat disampaikan melalui Website.
Web support merupakan situs Web yang ditujukan untuk mendukung suatu informasi.
Dengan memberikan detail dari informasi yang didukung tersebut dengan harapan agar si
pencari informasi dapat terbantu dengan apa yang kita "tuangkan" kedalam situs Web
tersebut. Dengan demikian pengguna Web bisa memenuhi kebutuhannya akan informasi.
Sebagai media yang diharapkan akan menjadi bagian dari suatu proses pembelajaran di
sekolah, internet harus mampu memberi dukungan bagi terselenggaranya proses komunikasi
interaktif antara pengajar dengan pembelajar sebagaimana yang dipersyaratkan dalam suatu
kegiatan pembelajaran.
merangsang siswa untuk belajar. Asosiasi Pendidikan Nasional memiliki pengertian berbeda,
media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audiovisual serta
peralatannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat
digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang
pikiran, perasaan, perhatian, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga
proses belajar terjadi. (Sadiman, 2012)
Secara umum, media merupakan alat untuk menyampaikan informasi atau pesan dari suatu
tempat ke tempat lain. Media digunakan dalam proses komunikasi, termasuk kegiatan belajar
mengajar. Menurut I Wayan Santyasa (2007: 3), proses pembelajaran mengandung lima
komponen komunikasi, yakni guru (komunikator), bahan pembelajaran, media pembelajaran,
siswa (komunikan), dan tujuan pembelajaran. Jadi, media pembelajaran adalah segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan (bahan pembelajaran), sehingga
dapat merangsang perhatian, minat, pikiran, dan perasaan siswa dalam kegiatan belajar untuk
mencapai tujuan belajar. Dapat dikatakan bahwa bentuk komunikasi tidak akan berjalan
tanpa bantuan sarana untuk menyampaikan pesan.
Dari keseluruhan pengertian di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa substansi media
pembelajaran adalah:
1. Bentuk saluran, yang digunakan untuk menyalurkan pesan, informasi atau bahan
pelajaran kepada penerima pesan atau pembelajar.
2. Berbagai jenis komponen dalam lingkungan pembelajar yang dapat merangsang
pembelajar untuk belajar.
3. Bentuk alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang pembelajar untuk
belajar.
4. Bentuk-bentuk komunikasi yang dapat merangsang pembelajar untuk belajar, baik cetak
maupun audio, visual, audio-visual.
Tujuan media pembelajaran sebagai alat bantu pembelajaran adalah sebagai berikut:
1. Mempermudah proses pembelajaran di kelas.
2. Meningkatkan efisiensi proses pembelajaran.
3. Menjaga relevansi antara materi pelajaran dengan tujuan belajar.
4. Membantu konsentrasi pembelajar dalam proses pembelajaran.
Manfaat media pembelajaran sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran adalah sebagai
berikut:
1. Pengajaran lebih menarik perhatian pembelajar sehingga dapat menumbuhkan motivasi
belajar.
2. Bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya, sehingga dapat lebih dipahami pembelajar,
serta memungkinkan pembelajar menguasasi pengajaran dengan baik.
3. Metode pembelajaran bervariasi, tidak semata-mata hanya komunikasi verbal melalui
penuturan kata-kata lisan pengajar, pembelajar tidak bosan, dan pengajar tidak kehabisan
tenaga.
187
4. Pembelajaran lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengar
penjelasan dari pengajar saja, tetapi juga aktifitas lain yang dilakukan seperti mengamati,
melakukan, mendemonstrasikan, dan lain-lain. (Sudjana, 1991)
Pesan berupa isi ajaran dan didikan yang ada dalam kurikulum dituangkan oleh guru atau
sumber lain ke dalam simbol-simbol komunikasi, baik simbol verbal (kata-kata lisan atau
pun tertulis) maupun simbol-simbol non verbal atau visual. Proses penuangan pesan ke
dalam simbol-simbol komunikasi itu disebut encoding. Selanjutnya penerima pesan (bisa
siswa, peserta latihan ataupun guru dan pelatihnya sendiri) menafsirkan simbol-simbol
komunikasi tersebut sehingga diperoleh pesan. Proses penafsiran simbol-simbol komunikasi
yang mengandung pesan-pesan tersebut disebut decoding.
Adakalanya penafsiran tersebut berhasil, adakalanya tidak. Penafsiran yang gagal atau
kurang berhasil berarti kegagalan atau kekurangberhasilan dalam memahami apa yan
gdidengan, dibaca, atau dilihat dan diamatinya.
Ada beberapa faktor yang menjadi penghambat atau penghalang proses komunikasi. Kita
kenal adanya hambatan psikologi, seperti minat, sikap, pendapat, kepercayaaan, intelegensi,
pengetahuan, dan hambatan fisik seperti kelelahan, sakit, keterbatasan daya indera dan cacat
tubuh. Siswa yang senang terhadap mata pelajaran, topik serta gurunya tentu lain hasil
belajarnya dibandingkan dengan yang benci atau tak menyukai semua itu.
Dua jenis hambatan lain adalah hambatan kultural seperti perbedaan adat istiadat, norma-
norma sosial, kepercayaan dan nilai nilai panutan, dan hambatan lingkungan yaitu hambatan
yang ditimbulkan situasi dan kondisi keadaan sekitar. Proses belajar yang nyaman tentu
akan berbeda dengan proses yang dilakukan di kelas yang bising, panas dan berjubel.
Perbedaan adat istiadat, norma sosial dan kepercayaan kadang-kadang bisa menjadi sumber
salah paham. Karena adanya berbagai jenis hambatan tersebut baik dalam diri guru maupun
siswa, baik sewaktu mengencode atau mendecodenya, proses komunikasi belajar mengajar
sering kaili berlangsung secara tidak efektif dan efisien.
Maka pendidikan sebagai salah satu sumber belajar yang dapat menyalurkan pesan sehingga
membantu mengatasi hal tersebut. Perbedaan gaya belajar, minat intelegensi, keterbatasan
188
daya indera, cacat tubuh atau hambatan jarak geografis, jarak waktu dan lain-lain dapat
dibantu di atasi dengan pemanfaatan media pendidikan. (Sadiman, 2012)
Pembelajaran berbasis ICT adalah pembelajaran yang salah satunya memanfaatkan internet
sebagai media. Pembelajaran yang memanfaaatkan media disebut juga sebagai pembelajaran
jarak jauh. Suatu pembelajaran jarak jauh berbasis web antara lain harus memiliki unsur
lsebagai berikut:
1. Pusat kegiatan siswa: sebagai suatu community web based distance learning harus
mampu menjadikan sarana ini sebagai tempat kegiatan siswa, di mana siswa dapat
menambah kemampuan, membaca materi pembelajaran, mencari informasi, dan
sebagainya.
2. Interaksi dalam grup: para siswa dapat berinteraksi satu sama lain untuk mendiskusikan
materi-materi yang diberikan guru. Guru dapat hadir dalam grup ini untuk memberikan
sedikit ulasan tentang materi yang diberikan.
3. Sistem administrasi mahasiswa: di mana para siswa dapat melihat informasi mengenai
status siswa, prestasi siswa, dan sebagainya
189
4. Pendalaman materi dan ujian: biasanya guru sering mengadakan kuis singkat dan tugas
yang bertujuan utnuk pendalaman dari apa yang telah diajarkan serta melakukan tes pada
akhir masa belajar. Hal ini juga harus dapat diantisipasi oleh web based distance
learning.
5. Perpustakaan digital: pada bagian ini, terdapat berbagia informasi kepustakaan, tidak
terbatas pada buku, tetapi juga pada kepustakaan digital seperti suara, gambar, dan
sebagainya. Bagian ini besifat sebagai penunjang dan berbentuk database.
6. Materi online di luar materi belajar: untuk menunjang pembelajaran, diperlukan juga
bahan bacaan dari web lainya. Karenanya pada bagian ini, guru dan siswa dapat langsung
terlibat untuk memberikan bahan lainnya untuk dipublikasikan kepada siswa lainnya
melalui web. (Uno, 2010)
Maka, dapat dikatakan bahwa pembelajaran matematika berbasis ICT menggunakan internet
merupakan pembelajaran jarak jauh yang interaktif, yang menjadikan interaksi sebagai faktor
penting sebagai sarana penunjang aktivitas pembelajaran.
5. Website Support
World Wide Web (WWW) atau Web merupakan sumber daya internet yang sangat populer
dan dapat digunakan untuk memperoleh informasi. Web yang menggunakan protokol yang
disebut Hyper Text Transfer Protocol (HTTP) yang berjalan pada TCP/IP (internet
Protocol). Adapun dokumen Web ditulis dalam format Hyper Text Makup Language
(HTML), dokumen ini diletakkan dalam Web server (server yang melayani permintaan
dalam Web) dan diakses oleh klien (pengakses informasi) melalui perangkat lunak yang
disebut Web Browser, seringkali disingkat sebagai browser saja. (Uno : 2010) Browser yang
sering digunakan pada umumnya seperti internet Explorer, Mozila Firefox.
Permana (2011) mengatakan bahwa Website merupakan suatu bentuk media yang dapat
dimanfaatkan oleh siapapun pengguna internet dalam menyampaikan informasi. Apakah itu
informasi pribadi, hobi, diskusi, bisnis, berita, pendidikan atau segala macam bentuk
informasi lainnya, semua dapat disampaikan melalui Website. Sebagai suatu bentuk media
informasi, pentingnya Website sedikitnya dapat diamati berdasarkan atas dua hal, yaitu target
pasar dan berdasarkan popularitas kata "Website" itu sendiri.
Web support merupakan situs Web yang ditujukan untuk mendukung suatu informasi.
Dengan memberikan detail dari informasi yang didukung tersebut dengan harapan agar si
pencari informasi dapat terbantu dengan apa yang kita "tuangkan" ke dalam situs Web
tersebut. Dengan demikian pengguna Web bisa memenuhi kebutuhannya akan informasi.
190
Selain itu pemanfaatan internet sebagai media pembelajaran dalam setting pembelajaran di
sekolah, perlu dipersiapkan fasilitas dan sumber daya manusia, yaitu:
1. Kesiapan pengajar
2. Kesiapan pembelajar
Pembelajar harus dipersiapkan sedini mungkin untuk dapat mengikuti proses
pembeljaaran berbasis internet. Pembelajar harus terlebih dahulu dikenalkan dengan
hardware dan software komputer yang akan digunakan dalam proses pembelajran.
Selain itu, pengajar juga harus mengenal betul karakteristik pembelajarannya.
3. Kebutuhan hardware dan software
Dalam pemanfaatan internet di sekolah harus tersedia sejumlah komputer yang dapat
mengkases internet. Cara yang paling efektif dan efisien untuk menghubungkan
sejumlah komputer ke internet adalah dengan membangun jaringan lokal (LAN).
4. Bentuk pemanfaatan
Ada tiga bentuk pembelajaran melalui internet yang layak dipertimbangkan sebagai
dasar pengembangan sistem pembelajaran dengan mendayagunakan internet yaitu :
a. Web course
Pengggunaan internet untuk keperluan pembelajaran, di mana seluruh bahan
belajar, diskusi, konsultasi, penugasan, latihan dan ujian sepenuhnya disampaikan
melalui internet. Pembelajar dan pengajar sepenuhnya terpisah, namun hubungan
atau komunikasi antara pembelajar dengan pengajar bisa dilakukan setiap saat.
Bentuk web course ini tidak memerlukan adanya kegiatan tatap mukabaik untuk
keperluan pembelajar maupun evaluasi dan ujian, karena semua proses
pembelajaran sepenuhnya dilakukan melalui fasilitas internet.
Dari bahasan di atas, Website dapat dimanfaatkan sebagai forum diskusi antara peserta
pembelajaran yaitu pengajar dan pembelajar. Dalam forum tersebut pengajar dapat
menentukan topik-topik untuk didiskusikan dan pembelajar dapat membuat topik-topik
sendiri. Pengajar dapat memberikan tugas melalui sistem e-learning dan pembelajar dapat
mengumpulkan tugas dengan cara meng-up load file pekerjaan untuk dinilai.
192
Daftar Pustaka
I Wayan Santyasa. (2007). Landasan Konseptual Media Pembelajaran. disajikan dalam Workshop
Media Pembelajaran bagi Guru-Guru SMA Negeri Banjar Angkan pada tanggal 10 Januari 2007
di Banjar Angkan Klungkung
Sadiman, A. S. (2012). Media Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sanaky, A. H. (2009). Media Pembelajaran. Yogyakarta: Safiria Insani Press.
Sudjana, N. R. (1991). Media Pembelajaran (Penggunaan dan Pemuatan). Bandung: CV. Sinar Baru.
Tamimuddin, M. (2011). Pemanfaatan Internet untuk Media Pencari dan Publikasi Konten
Pembelajaran Matematika di SD/SMP. Yogyakarta: Kemendiknas.
Uno, D. H. (2010). Teknologi Komunikasi dan Informasi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
193
MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN
KOMUNIKASI DAN PEMECAHAN MASALAH
MATEMATIKA SISWA SMP MELALUI
PENERAPAN MODEL PENEMUAN
TERBIMBING MENGGUNAKAN TUGAS
BENTUK SUPERITEM
Evi Hulukati1), Syamsu Qamar Badu2), Novianita Achmad2)
1)
Universitas Negeri Gorontalo, Jl. Jendral Sudirman Nomor 6 , Gorontalo; eviemega@yahoo.com
2)
Universitas Negeri gorontalo, Jl. Jendral Sudirman Nomor 6 , Gorontalo;syamsu@yahoo.com
3)
Universitas Negeri gorontalo, Jl. Jendral Sudirman Nomor 6 , Gorontalo;
usmanita2000@yahoo.com
Abstrak. Penelitian ini berdasarkan pada pembelajaran yang dilaksanakan selama ini
kurang dapat mengembangkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah
matematika siswa, akibatnya banyak siswa yang memahami materi yang diajarkan
hanya pada saat dijelaskan oleh guru. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan
penelitian yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan komunikasi dan
pemecahan masalah matematika siswa SMP melalui penerapan model penemuan
terbimbing menggunakan tugas bentuk superitem. Metode penelitian ini pada dasarnya
merupakan developmental research, melalui siklus olah pikir dan kajian tindakan
pembelajaran berdasarkan data empirik di lapangan. Hasil dari penelitian ini berupa
bahan ajar, rencana pelaksanaan pembelajaran, lembar kegiatan siswa, tes kemampuan
komunikasi dan pemecahan masalah matematika, serta analisis efektifitas dari uji coba
terbatas terhadap pengembangan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah
matematika siswa. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran yang
dihasilkan dapat mengembangkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah
matematika siswa. Capaian skor kemampuan komunikasi matematika yang diperoleh
siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran penemuan terbimbing yaitu
sebesar 73.65%. Sementara itu capaian siswa yang memperoleh pembelajaran
konvensional yaitu sebesar 66.03%. Sedangkan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran penemuan terbimbing
yaitu sebesar 78.85 %, dan untuk siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional
rata-rata skor yang diperoleh siswa adalah 65.69 %.
1. Pendahuluan
Guru sebagai fasilitator, organisator, dan motivator pelaksana proses pembelajaran
matematika, harus dapat memilih model pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan
karakteritik matematika sehingga memungkinkan tumbuhnya kemampuan komunikasi dan
kemampuan pemecahan masalah matematika pada siswa. Sebagai fasilitator, guru
menyiapkan perangkat pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk menemukan sendiri
konsep, prinsip, dan prosedur melalui serangkaian aktifitas pembelajaran. Sebagai
194
organisator, guru harus mampu mengelola jalannya proses pembelajaran termasuk cara-cara
mengintervensi untuk mengarahkan siswa dalam memahami konsep, prinsip, dan prosedur.
Sebagai motivator guru memberikan motivasi kepada siswa yang kurang aktif di dalam
proses pembelajaran. Dengan demikian peranan pendekatan pembelajaran yang dipilih oleh
guru sangat strategis dalam menanamkan konsep-konsep matematika.
Rendahnya hasil belajar matematika disebabkan oleh beberapa faktor antara lain
pembelajaran yang lebih menekankan pada pencapaian target, bukan pemahaman siswa
terhadap konsep-konsep matematika, serta aktivitas pembelajaran di kelas yang lebih
mengaktifkan guru sementara siswa pasif. Akibatnya, anak cenderung menerima apa
adanya, tidak memiliki sikap kritis. Untuk dapat lebih mengaktifkan siswa perlu
membiasakan anak untuk bekomunikasi dalam setiap kegiatan belajarnya.
Masalah lain yang berhubungan dengan pembelajaran matematika adalah kepedulian guru
dalam memahami kemampuan komunikasi matematika siswa, hal ini terlihat dalam
pengelolaan pembelajaran yang kurang mendukung perkembangan kompetensi tersebut.
Secara umum kemampuan komunikasi matematika memegang peranan penting dalam diri
setiap siswa. Dalam proses belajar mengajar matematika, ketika suatu persoalan dilemparkan
kepada siswa, maka siswa harus dapat mengenali, memahami, menganalisis, memecahkan
serta dapat menggunakan argumennya dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Model pembelajaran yang selama ini diterapkan kurang dapat mengembangkan kemampuan
komunikasi siswa, akibatnya banyak siswa yang memahami materi yang diajarkan hanya
pada saat dijelaskan oleh guru. Setelah itu siswa kembali lupa akan konsep-konsep yang
telah diajarkan. Pembelajaran matematika di sekolah yang ada selama ini, guru cenderung
pada pencapaian ketuntasan materi yang akan diajarkan dalam target waktu yang tersedia.
Kondisi ini menggambarkan guru seakan tidak peduli dengan hal-hal mendasar yang justru
sangat mempengaruhi siswa dalam memperoleh pengetahuan yang diajarkan kepadanya.
Proses pembelajaran yang muncul adalah pembelajaran yang berorientasi pada terselesainya
materi ajar bukan pada pembelajaran yang menitik beratkan pada upaya untuk meningkatkan
kompetensi siswa. Dengan kondisi pembelajaran seperti yang diungkapkan di atas, bukan
suatu hal yang mengejutkan jika hasil belajar matematika pun rendah.
akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Menurut Bigg dan Collis Tugas bentuk
superitem dibuat berdasarkan tahapan SOLO siswa. Siswa mengerjakan soal sederhana
kemudian meningkat pada tugas yang lebih kompleks. Proses ini dapat mengoptimalkan
penerapan kemampuan komunikasi dan kemampuan pemecahan matematis serta
mempercepat pemahaman siswa terhadap suatu konsep, yang akhirnya akan berpengaruh
positif pada hasil belajar siswa.
2. Tinjauan Pustaka
2.1. Pemecahan Masalah Dalam Pembelajaran Matematika
Polya (1985) mengartikan pemecahan masalah sebagai suatu usaha untuk mencari jalan
keluar dari kesulitan guna mencapai tujuan yang tidak begitu mudah untuk dicapai.
Sementara Dahar (1989) mengatakan bahwa kegiatan pemecahan masalah itu sendiri
merupakan keinginan manusia dalam menerapkan konsep-konsep dan aturan-aturan yang
diperoleh sebelumnya. Sedangkan National Council of Suvervisor of Mathematics (Branca,
1980) mengatakan bahwa pembelajaran untuk memecahkan masalah adalah alasan prinsip
untuk pengajaran matematika. Pemecahan masalah adalah proses untuk mengaplikasikan
pengetahuan yang diperoleh sebelumnya kepada situasi yang baru atau tidak biasa.
Memecahkan soal cerita adalah satu bentuk dari pemecahan masalah , tapi siswa juga harus
mengenal dan akrab dengan soal-soal rutin.
Ruseffendi ((1991) mengatakan bahwa pemecahan masalah adalah pendekatan yang bersifat
umum yang lebih mengutamakan kepada proses dari pada hasilnya (out put). Jadi aspek
proses merupakan aspek yang utama dalam pembelajaran pemecahan masalah, bukannya
aspek produk, sebagaimana dijumpai pada pembelajaran konvensional (tradisional)
Pengertian proses dalam hal ini menurut Sabandar (2001) terkandung makna bahwa ketika
siswa belajar matematika ada proses reinvention (menemukan kembali). Artinya, prosedur,
algoritma, dan aturan yang harus dipelajari tidaklah disediakan dan diajarkan oleh guru dan
siswa siap menampungnya, tetapi siswa harus menemukannya
matematika. Kekurangmampuan siswa dalam hal ini merupakan sumber dari kesalahan
dalam memecahkan masalah matematika.
Untuk memecahkan masalah matematika diperlukan langkah langkah konkrit yang tepat
sehingga diperoleh jawaban yang benar. Beberapa pandangan dari langkah-langkah
pemecahan masalah diajukan oleh beberapa ahli secara terstruktur sehingga memungkinkan
kita menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan benar. Witting & Williams (1984)
mengemukakan langkah-langkah pemecahan masalah secara garis besar adalah (1)
merumuskan permasalahan, (2) pengolahan dan penyelesaian masalah, dan (3) mengevaluasi
penyelesaian masalah.
Dari berbagai tahapan pemecahan masalah yang dikemukakan di atas, pada hakekatnya tidak
terdapat perbedaan yang berarti. Pada dasarnya semua tahapan pemecahan masalah yang
diuraikan di atas memuat tahapan-tahapan pokok seperti yang dikemukakan oleh Polya.
Sulivan dan Mousley (1996) mengemukakan bahwa komunikasi matematik tidak hanya
sekedar menyatakan idea melalui tulisan tetapi lebih luas lagi, yaitu kemampuan siswa dalam
hal menyatakan, menjelaskan menggambarkan, mendengar, menanyakan dan bekerja sama.
Sementara itu NCTM (1989) mengemukakan bahwa komunikasi matematik adalah
kemampuan siswa dalam hal: (1) membaca dan menulis matematika dan menafsirkan makna
dan idea dari tulisan itu, (2) mengungkapkan dan menjelaskan pemikiran mereka tentang
idea matematika dan hubungannya, (3) merumuskan defenisi matematika dan membuat
generalisasi yang ditemui melalui investigasi, (4) menuliskan sajian matematika dengan
pengertian, (5) menggunakan kosakata/bahasa, notasi struktur secara matematika untuk
menyajikan idea menggambarkan hubungan, dan pembuatan model, (6) memahami,
menafsirkan dan menilai idea yang disajikan secara lisan, dalam tulisan atau dalam bentuk
visual, (7) mengamati dan membuat dugaan, merumuskan pertanyaan, mengumpulkan dan
menilai informasi, dan (8) menghasilkan dan menyajikan argumen yang meyakinkan.
Greenes dan Schulman (1996) mengatakan bahwa komunikasi matematik merupakan (1)
kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan strategi, (2) modal keberhasilan
197
bagi siswa terhadap pendekatan dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi
matematika, (3) wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk
memperoleh informasi, berbagi pikiran dan penemuan curah pendapat, menilai dan
mempertajam idea untuk meyakinkan yang lain. Bahkan Within dan Within (2000)
menyebutkan pengembangan kemampuan personal siswa mengenai talking dan writing
merupakan tujuan yang sangat penting dalam memasuki abad ke-21.
Biggs dan Collis melakukan studi tentang struktur hasil belajar dengan tes yang disusun
dalam bentuk superitem. Biggs dan Collis dalam temuannya mengemukakan bahwa pada
tiap tahap atau level kognitif terdapat struktur respon yang sama dan makin meningkat dari
yang sederhana sampai yang abstrak. Struktur tersebut dinamakan Taksonomi SOLO
(Structure of the Observed Learning Outcome). Berdasarkan kualitas model respon anak,
tahap SOLO anak diklasifikasikan pada empat tahap atau level yaitu unistruktural,
multistruktural, relasional, dan abstrak.
Deskripsi dari masing-masing tahap dalam siklus belajar tersebut adalah sebagai berikut:
a. Prestuktural yang ciri-cirinya adalah menolak untuk memberi jawaban, menjawab secara
tepat atas dasar pengamatan dan emosi tanpa dasar yang logis dan mengulang
pertanyaan.
b. Unistruktural yang ciri-cirinya adalah menarik kesimpulan hanya berdasarkan satu data
yang cocok secara konkrit.
c. Multistruktural yang cirri-cirinya adalah dapat menarik kesimpulan berdasarkan dua data
atau lebih atau konsep yang cocok, berdiri sendiri atau terpisah.
198
d. Relasional yang ciri-cirinya adalah dapat berpikir secara induktif, dapat menarik
kesimpulan berdasarkan data atau konsep yang cocok serta melihat dan mengadakan
hubungan - hubungan antara data atau konsep tersebut.
e. Abstrak diperluas yang ciri-cirinya dapat berpikir secara induktif dan-deduktif, dapat
mengadakan atau melihat hubungan-hubungan, membuat hipotesis, menarik kesimpulan
dan menerapkannya pada situasi lain.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pengembangan yaitu pengembangan perangkat
pembelajaran dan juga merupakan penelitian deskriptif. Penelitian dilaksanakan pada siswa
kelas delapan (VIII) SMP di Kabupaten Gorontalo, yang mengikuti pelajaran Matematika
untuk materi Dalil Phytagoras semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014.
Model yang digunakan untuk mengembangkan perangkat pembelajaran dalam penelitian ini
adalah model penemuan terbimbing menggunakan tugas bentuk superitem. Sedangkan
rancangan uji coba yang digunakan adalah metode eksperimen. Adapun desainnya adalah
menggunakan desain eksperimen faktorial 2 x 2 dengan variabel bebas adalah model
pembelajaran penemuan terbimbing, sedangkan variabel terikat adalah kemampuan
komunikasi matematik dan kemampuan pemecahan masalah matematika.
Hasil pre-test dan post-test dibandingkan untuk menentukan seberapa jauh perbedaannya
sebelum diberi perlakuan dan sesudah diberi perlakuan.
Variabel utama dalam penelitian ini yaitu: (1) kualitas perangkat pembelajaran yang
dikembangkan yang dilihat dari kualitas RPP, Buku ajar siswa, LKS, dan tes Kemampuan
komunikasi dan pemecahan masalah mate,atika siswa ; (2) Implementasi perangkat
pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran penemuan terbimbing pada
pelajaran matematika yang ditinjau dari aspek: keterlaksanaan rencana pelaksanaan
pembelajaran dan aktivitas siswa. (3) efektifitas perangkat pembelajaran dengan model
penemuan terbimbing terhadap perkembangan kemampuan komunikasi dan pemecahan
masalah matematika siswa.
masalah matematika digunakan persamaan analisis korelasi product moment dari Pearson
dan menganalisis reliabilitas butir soal perangkat tes digunakan uji statistik dengan rumus
Alpha Cronbach.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: (1) teknik observasi; (2) tes
kemampuan komunikas dan pemecahan masalah matematika;. Data yang terkumpul
dianalisis dengan menggunakan teknik analisis statistika deskriptif dan inferensial, yaitu
mendekripsikan tentang keterlaksanaan RPP, kegiatan siswa selama proses pembelajaran dan
efektifitasnya terhadap perkembangan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah
matematika. Data hasil tes kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika
pada ujicoba awal dan akhir digunakan untuk melihat pengaruh positif model penemuan
terbimbing terhadap pengembangan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah
matematik siswa dengan menggunakan analisis Anafa.
4. Hasil Penelitian
4.1. Kualitas Hasil Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model Penemuan
Terbimbing Menggunakan Tugas Superitem
LKS yang dikembangkan divalidasi oleh pakar/ahli. Aspek yang divalidasi meliputi format,
isi, dan bahasa. Berdasarkan hasil penilaian kelayakan LKS seperti menunjukkan rata-rata
skor penilaian yang diberikan validator masing-masing berkategori cukup baik dan baik. Hal
ini menunjukkan bahwa LKS yang dikembangkan dapat digunakan pada siswa SMP kelas
VIII. Namun terdapat saran perbaikan beberapa soal yang belum mampu mengukur
ketercapaian tujuan pembelajaran dalam RPP.
Validator memberikan validasi terhadap tes kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah
matematika dua kategori yaitu validitas isi serta bahasa dan penulisan soal. Jumlah soal yang
divalidasi ada 10 soal yang telah valid dari perhitungan menggunakan uji korelasi produk
momen Pearson. Hasil validasi kelayakan tes kemampuan komunikasi dan pemecahan
masalah matematika dari validator menunjukkan validasi untuk komponen validitas isi
terdapat 8 soal sudah valid dan 2 soal cukup valid untuk penilaian validator 1, dan untuk
validator 2 terdapat 8 soal sudah valid dan 2 soal yang cukup valid. Untuk komponen bahasa
dan penulisan soal, hasil penilaian validator 1 adalah 8 soal dengan kategori sangat dapat
dipahami, dan 2 soal dengan kategori dapat dipahami. Sedangkan untuk hasil validasi oleh
validator 2 terdapat 9 soal dengan kategori sangat dapat dipahami dan 1 soal dengan kategori
dapat dipahami.
Banyak soal kemampuan pemecahan masalah matematika yang divalidasi ada 10 soal yang
telah valid dari perhitungan menggunakan uji korelasi produk momen Pearson. Hasil validasi
kelayakan tes kemampuan pemecaan masalah matematika yang terdiri dari 10 soal
menunjukkan validasi untuk komponen validitas isi terdapat 8 soal sudah valid dan 2 soal
cukup valid untuk penilaian validator 1, dan untuk validator 2 terdapat 8 soal sudah valid dan
2 soal yang cukup valid. Untuk komponen bahasa dan penulisan soal, hasil penilaian validator
1 adalah 8 soal dengan kategori sangat dapat dipahami, dan 2 soal dengan kategori dapat
dipahami. Sedangkan untuk hasil validasi oleh validator 2 terdapat 8 soal dengan kategori
sangat dapat dipahami dan 2 soal dengan kategori dapat dipahami.
Dalam pengelolaan pembelajaran pada ujicoba terlihat, bahwa semua fase pengelolaan
pembelajaran yang dilakukan oleh guru rata-rata dalam kategori sangat baik. Dengan
demikian secara kuantitatif, dapat dikatakan tidak ada pengaruh negatif dari keterlaksanaan
RPP dalam model penemuan terbimbing.
202
Sesuai hasil analisis tersebut di atas menunjukkan bahwa guru dan siswa terjadi interaksi
dalam proses pembelajaran. Hal ini juga dapat dikatakan bahwa guru tidak menjadi sumber
pengetahuan tetapi lebih bersifat sebagai fasilitator, sedangkan siswa lebih banyak
menemukan sendiri hasil belajarnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Kemp (1994: 140)
bahwa interaksi antara guru dengan siswa dan antara siswa dengan siswa terjadi melalui
tanya jawab, diskusi, kegiatan pengamatan dalam kelompok, menyelesaikan tugas kelompok,
dan melaporkannya.
Hal ini didukung juga pendapat Isjoni bahwa ciri-ciri dari pembelajaran kooperatif adalah:
(1) setiap anggota memiliki peran, (2) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa,
(3) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman
sekelompoknya, (4) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan
interpersonal kelompok, dan (5) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.
Selain persentase aktivitas guru dan siswa, juga diperoleh hasil perhitungan reliabilitas
instrumen aktivitas guru dan siswa adalah baik.
Secara umum hasil yang diperoleh melalui penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan
model penemuan terbimbing dalam pembelajaran matematika dapat mememberikan
pengaruh positif terhadap pengembangan kemampuan komunikasi matematik siswa. Hal ini
didasarkan pada perbedaan rata-rata skor tes akhir antara kelas eksperimen dan kelas kontrol
yang memberikan perbedaan yang signifikan. Bahkan setelah diuji secara statistik kualitas
pebedaan sangat signifikan.
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa skor kemampuan komunikasi untuk kelas
eksperimen atau kelas yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing belum
mencapai skor ideal yang diharapkan yaitu 75%. Akan tetapi skor yang diperoleh sudah
dapat digolongkan pada capaian yang cukup tinggi yaitu sebesar 29.47 atau 73.65%.
Sementara itu capaian skor kemampuan komunikasi matematik siswa yang memperoleh
pembelajaran konvensional masih tergolong rendah yaitu sebesar 23.43 atau 66.03% dari
skor ideal. Perbedaan kedua rata-rata tersebut setelah diuji secara statistik, perbedaannya
signifikan di mana dapat dikatakan bahwa kualitas kemampuan komunikasi matematik siswa
yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing lebih baik dibandingkan dengan
capaian siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. Hasil uji ini mengindikasikan
bahwa langkah-langkah pembelajaran penemuan terbimbing kurang memberikan kontribusi
yang terhadap pengembangan komunikasi matematik siswa.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa model pembelajaran penemuan terbimbing lebih
menitik beratkan pada upaya untuk mengaktifkan siswa membangun pengetahuan dalam
pikirannya. Pengetahuan yang tersebut selanjutnya dikomunikasikan dalam bentuk-bentuk
lisan maupun tulisan yang dapat diketahui melalui jawaban yang diberikan kepada masalah
yang diberikan kepada mereka. Dengan capaian skor seperti dikemukakan pada kelas
eksperimen di atas maka dapat dikatakan bahwa intisari pembelajaran penemuan terbimbing
yakni siswa tidak menerima informasi dengan pasif, melainkan justru dengan aktif
mengkonstruk suatu interpretasi dari informasi dan kemudian membuat kesimpulan telah
menjadi kenyataan pada pembelajaran yang dilakukan. Dalam hal ini . (Osborne & Wittrock,
1985). Mengatakan bahwa otak bukanlah suatu 'blank slate' yang dengan pasif belajar dan
mencatat informasi yang datang.
Salah satu temuan penelitian ini adalah bahwa penerapan pembelajaran penemuan
terbimbing memberikan pengaruh positip terhadap pengembangan kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji yang telah dilakukan terhadap
hipotesis yang menerima bahwa kualitas kemampuan pemecahan masalah matematika siswa
yang memperoleh pembelajaran penemuan terbimbing lebih baik dibandingkan dengan siswa
yang memperoleh pembelajaran konvensional. Bahkan rata-rata skor kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa pada kelas eksperimen atau kelas yang memperoleh
pembelajaran penemuan terbimbing melebihi skor ideal yang diharapkan yaitu 102,5 atau
sebesar 78.85 % dari skor ideal. Sedangkan untuk kelas kontrol yang memperoleh
pembelajaran konvensional rata-rata skor yang diperoleh siswa adalah mencapai 85.39 atau
204
65.69 % dari skor ideal. Perbedaan ini sangat signifikan dan mengindikasikan kepada kita
bahwa langkah-langkah pembelajaran penemuan terbimbing memberikan efek yang penting
dalam setiap pengembangan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
Berdasarkan penelitian ini pula dapat diketahui pola-pola berpikir siswa yang tercermin pada
jawaban mereka terhadap masalah yang diberikan. Demikian juga cara siswa memahami
masalah dan memecahkan masalah matematika yang diberikan dapat terlihat dari hasil
jawaban yang diberikan yaitu pada umumnya mereka memiliki kemampuan atau skor yang
cukup tinggi dalam aspek ini.
Hasil penelitian yang dikemukakan di atas ternyata sejalan dengan beberapa penelitian
sejenis seperti penelitian eksperimen tentang hubungan antara kemampuan pemecahan
masalah matematika dengan cara mengorganisasikan pengetahuan dasar yang dimiliki oleh
siswa yang dilakukan oleh Lawson dan Chinnappan (2000). Penelitian ini menyimpulkan
bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kemampuan pemecahan masalah
geometri dengan pemahaman matematika dasar. Kelompok HA mempunyai kemampuan
yang lebih tinggi dalam memahami fakta dasar ilmu geometri dan teorema dalam geometri
dari pada kelompok LA. Namun demikian, kedua kelompok tidak berbeda secara signifikan
dalam hal mengenal bentuk-bentuk geometri.
Hasil penelitian di atas identik dengan penelitian yang dilakukan oleh Boaler (Wilson, 2001)
yang melakukan penelitian terhadap dua kelas dalam pembelajaran matematika dengan
pendekatan berbeda. Dalam penelitianyan ini, Boaler menemukan bahwa kelas yang
diajarkan dengan pendekatan tradisional lebih mengalami kesulitan ketika menghadapi
persoalan matematika non rutin. Sementara pada kedua kelas yang diteliti keduanya tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam menyelesaikan soal-soal rutin. Disamping itu
kelas yang diajarkan dengan pengajaran tradisonal memandang matematika sebagai aturan
yang ketat, berdasarkan ingatan dan membosankan. Sedangkan untuk kelas yang diberi
pengajaran kontekstual menunjukkan kemampuan berpikir yang luwes, kebijaksanaan dan
kemampuan mencoba pendekatan yang berbeda dalam menyelesaikan masalah matematika
serta menyatakan bahwa matematika adalah sesuatu yang menarik.
5. Simpulan
Berdasarkan temuan-temuan di atas dapat disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran yang
telah dihasilkan dengan menerapkan model pembelajaran penemuan terbimbing
menggunakan tugas bentuk superitem reliable dan valid serta efektif dilaksanakan untuk
mengembangkan kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matmatika siswa SMP
kelas VIII.
205
Daftar Pustaka
Andre T. (1989). Problem Solving And Education. In G.D. Phye &T Andre (Eds), Cognitive
Classroom Learning: Understanding, Thinking, and Problem Solving (pp.169-204). Orlando :
Academic Press.
Dahar, RW, (1989). Konstruktivisme dalam Mengajar dan Belajar. Orasi Pengukuhan Jabatan Guru
Besar pada FPMIPA IKIP Bandung
Depdiknas .2006. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika. Jakarta : Pusata Kurikulum
Djamarah, S.B. dan Zain, A. 1996. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta
Hudoyo, H. (1996) Mengajar Belajar Matematika. Jakarta : Depdikbud Dirjen DIKTI P2LPTK.
Maesaroh,Siti.2007. Meningkatkan Kemampuan Penalaran Matematis Siswa SMA Melalui
Pembelajaran Penemuan Terbimbing dengan Menggunakan Tugas Bentuk Superitem. Bandung :
UPI (tidak diterbitkan).
Polya, G. (1985). How to Solve it. An new Aspect of Mathematical Method, Second Edition, New
Jersey : Princeton University Press.
Ruseffendi,ET.(1998). Statistika Dasar untuk Penelitian Pendidikan. IKIP Bandung Press Sumarmo.
U. dkk. (2002) Alternatif Pembelajaran Matematika dalam Menerapkan Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Makalah pada Seminar Tingkat nasional FPMIPA UPI Bandung; tidak diterbitkan
Thiagarajan, S., Semmel, D.S. & Sammel, M. J. Sivasailam. (1974). Instructional Development for
Training Teacher of Exceptional Children a Sourcebook. Minnepolis. Indiana University.
Mirriam (2000) Using Communication to Develop Students’ Mathematical Literacy. Mathematics
teaching in The Midle School. Irginia. NCTM
206
1. Pendahuluan
Pendidikan merupakan suatu hal yang fundamental bagi kemajuan bangsa. Maju dan
mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Peran
pendidikan sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang cerdas, damai, terbuka, dan
demokratis. Dengan kata lain, kualitas pendidikan berimplikasi secara tidak langsung
terhadap tingkat kesejahteraan manusia tidak terkecuali kualitas pelaksanaan proses belajar
matematika. Matematika menjadi salah satu mata pelajaran yang ada di setiap jenjang
pendidikan dasar, menengah maupun perguruan tinggi. Peranan matematika sangat penting
dalam menunjang pembangunan di bidang pendidikan. Bagi siswa penguasaan matematika
akan menjadi sarana yang ampuh sebagai penunjang mempelajari mata pelajaran yang lain.
207
Matematika juga membentuk kemampuan berfikir logis, kritis, kreatif, serta dinamis,
sehingga manusia mampu menemukan dan menentukan ide-ide baru yang berguna.
Kurikulum dalam suatu sistem pendidikan menjadi komponen yang sangat penting.
Dikatakan demikian karena kurikulum merupakan penuntun dalam proses belajar mengajar
(PBM) di sekolah. Oleh karena itu kurikulum selalu dinamis dan senantiasa dipengaruhi oleh
perubahan-perubahan dalam faktor-faktor yang mendasarinya. Tujuan pendidikan dapat
berubah secara fundamental bila suatu negara yang dijajah menjadi negara yang merdeka,
sehingga dengan sendirinya kurikulum pun harus mengalami perubahan yang menyeluruh.
Kurikulum dapat pula mengalami perubahan bila terdapat pendirian baru mengenai proses
belajar mengajar, sehingga timbul berbagai bentuk kurikulum. Perubahan dalam masyarakat
dan eksplosi ilmu pengetahuan mengharuskan adanya perubahan kurikulum. Perubahan-
perubahan itu menyebabkan kurikulum yang berlaku tidak lagi relevan, dan ancaman serupa
ini akan senantiasa dihadapi setiap kurikulum, sehingga pemerintah pusat dalam hal ini
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyusun satu kurikulum baru yaitu Kurikulum
2013.
Inti dari Kurikulum 2013 adalah ada pada upaya penyederhanaan, dan tematik-integratif.
Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap di dalam menghadapi masa
depan. Karena itu kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan
dengan titik berat pada upaya untuk mendorong siswa agar mampu lebih baik dalam
melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan (mempresentasikan) apa
yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima materi pembelajaran. Adapun
obyek yang menjadi pembelajaran dalam penataan dan penyempurnaan Kurikulum 2013
menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan budaya. Melalui pendekatan itu
diharapkan siswa kita memiliki kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan jauh lebih
baik. Mereka akan lebih kreatif, inovatif, dan lebih produktif, sehingga nantinya mereka bisa
sukses dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan di zamannya untuk memasuki
masa depan yang lebih baik.
Kurikulum 2013 akan berjalan dengan baik apabila didukung oleh berbagai pihak yang
berkepentingan dalam melaksanakan pendidikan di sekolah, terutama guru sebagai garda
terdepan yang akan menimplementasikan kurikulum tersebut di sekolah. Sedikitnya ada dua
faktor besar dalam keberhasilan Kurikulum 2013. Faktor pertama yaitu kesesuaian
kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) dengan kurikulum dan buku teks.
Kedua, faktor pendukung yang terdiri dari tiga unsur; (i) ketersediaan buku sebagai bahan
ajar dan sumber belajar yang mengintegrasikan standar pembentuk kurikulum; (ii) penguatan
peran pemerintah daam pembinaan dan pengawasan; dan (iii) penguatan manajemen dan
budaya sekolah. Faktor pendukung ketersediaan buku sebagai bahan ajar dan sumber belajar
yang menginterasikan standar pembentuk kurikulum merupakan faktor yang berhubungan
langsung dengan siswa. Bahan ajar yang sesuai dengan perkembangan siswa dapat
berimplikasi pada proses pembelajaran yang berkualitas dan mampu mendukung
terlaksananya Kurikulum 2013 dengan baik. Namun sebaliknya, jika bahan ajar tidak mampu
mengakomodasi perkembangan siswa sesuai dengan tingkat kemampuannya maka yang
208
terjadi adalah ketidakmampuan siswa dalam memahami bahan ajarnya dan secara tidak
langsung akan menghambat proses pembelajaran yang secara otomatis pelaksanaan
kurikulum akan terkendala dengan permasalahan tersebut.
Untuk mengantisipasi keadaan yang demikian, perlu adanya kajian yang mendalam terhadap
bahan ajar yang akan disampaikan dalam Kurikulum 2013. Kajian terhadap bahan ajar ini
sangat penting dilakukan, terutama pada mata pelajaran matematika di tingkat Sekolah
Menengah Pertama (SMP). Sebagai salah satu sekolah yang ditunjuk untuk melaksanakan
Kurikulum 2013, SMP N 8 Tangerang berusaha melaksanakan kurikulum tersebut dengan
baik. Namun dari hasil kajian yang dilakukan penulis, setelah beberapa bulan melakukan
pembelajaran dengan menggunakan Kurikulun 2013, ada kendala yang mengakibatkan
pembelajaran matematika tidak dapat berjalan dengan baik, terutama dari bahan ajarnya
yang berupa buku teks matematika. untuk itu penulis mencoba menelaah isi dari bahan ajar
tersebut dengan membandingkan terhadap kemampuan siswa dalam memahami bahan ajar
yang diberikan. Loveridge menyatakan sebagai berikut: “Pelajaran dalam kelas sangat
bergantung pada buku teks. Dalam keadaan guru tidak sepenuhnya memenuhi syarat, maka
buku teks merupakan pembimbing dan penunjang dalam mengajar. Bagi siswa, buku teks
bertugas sebagai dasar untuk belajar sistematis, untuk memperteguh, mengulang, dan untuk
mengikuti pelajaran lanjutan.”
2. Kajian Pustaka
Bahan ajar adalah seperangkat materi pembelajaran (teaching material) yang disusun secara
sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam
kegiatan pembelajaran. Pada dasarnya berisi tentang pengetahuan, nilai, sikap, tindakan, dan
keterampilan yang berisi pesan, informasi, dan ilustrasi berupa fakta, konsep, prinsip, dan
proses yang terkait dengan pokok bahasan tertentu yang diarahkan untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Dengan bahan ajar memungkinkan siswa mempelajari suatu kompetensi atau
KD secara runtut dan sistematis sehingga secara akumulatif mampu menguasai semua
kompetensi secara utuh dan terpadu. Bahan ajar yang baik memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri
bahan ajar yang baik antara lain adalah:
ajar yang disusun hendaknya sesuai dengan kebutuhan siswa, yaitu sesuai dengan tingkat
berpikir, minat, latar sosial budaya di mana siswa itu berada.
d. Memiliki bahasa dan tingkat keterbacaan yang baik
Bahasa adalah sarana penyampaian dan penyajian bahan ajar, seperti kosakata,
kalimat, paragraf, dan wacana. Keterbacaan berkaitan dengan tingkat kemudahan bahasa
bagi siswa.
e. Penyajian format dan fisik bahan ajar yang menarik
Meliputi ukuran buku, jenis kertas, cetakan, ukuran huruf,warna, dan ilustrasi,
yang membuat siswa menyenangi buku yang dikemas dengan baik dan akhirnya
juga meminati untuk membacanya.
Berdasarkan jenisnya, bahan ajar dibagi menjadi beberapa bagian, antara lain:
a. Bahan ajar visual, yaitu bahan ajar yang penggunaannya dengan indra pengelihatan.
Terdiri atas bahan cetak (printed) seperti antara lain handout, buku, modul, lembar kerja
siswa, brosur, leaflet, wallchart, foto/gambar, dan non cetak (non printed), seperti
model/maket.
b. Bahan ajar audio, yaitu bahan ajar yang penggunaanya menggunakan indra
pendengaran, yaitu ditangkap dalam bentuk suara. Contohnya seperti kaset, radio,
piringan hitam, dan compact disk audio
c. Bahan ajar audio visual, yaitu bahan ajar yang dapat ditangkap dengan indra
pendengaran dan indra pengelihatan. Contohnya seperti video compact disk, film.
d. Bahan ajar multimedia interaktif (interactive teaching material) seperti CAI (Computer
Assisted Instruction), compact disk (CD) multimedia pembelajaran interaktif, dan bahan
ajar berbasis web (web based learning materials).
Bahan ajar matematika Kurikulum 2013 yang disiapkan oleh pemerintah dalam hal ini
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) adalah bahan ajar berbentuk visual
yaitu bahan ajar yang penggunaannya menggunakan indra pengelihatan. Bahan ajar tersebut
berbentuk buku teks, yang terdiri dari buku teks pegangan guru dan buku teks untuk
pegangan siswa.
Secara sederhana, literasi berarti kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara.
Dalam konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek
teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Kirsch dan
Jungeblut dalam buku Literacy: Profile of America’s Young Adult mendefinisikan literasi
kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau
cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi
masyarakat. Lebih jauh, seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami
sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman
bacaannya.Apabila literasi dihubungkan dengan mata pelajaran matematika, maka muncul
suatu defenisi tentang literasi matematika. Definisi literasi matematika menurut draft
assessment framework PISA 2012:
210
Literasi matematika merupakan sebuah proses yang bertumbuh pada saat seseorang belajar
matematika. Seorang anak yang berpartisipasi dalam pendidikan matematika sekolah akan
menumbuhkembangkan kemampuan literasi matematikanya. Ini berarti bahwa proses
pendidikan matematika sekolah, seperti kegiatan belajar-mengajar di kelas, harus dipandang
sebagai suatu perjalanan. Siswa-siswi dan guru harus bersama-sama sadar bahwa literasi
matematika bukan merupakan tujuan akhir. Tetapi, justru siswa-siswi dan guru sebagai
pelaku utama proses pendidikan perlu memandang literasi matematika sebagai sebuah upaya
bersama guna meningkatkan kompetensi-kompetensi di atas secara berkelanjutan. Ini berarti
bahwa proses peningkatan literasi matematika secara berkelanjutan itu adalah tujuan utama
kita belajar matematika.
Kata „telaah‟ berarti penyelidikan, kajian, pemeriksaan, penelitian. Menelaah bahan ajar
matematika adalah kegiatan penyelidikan, pengkajian, pemeriksaan dan penelitian terhadap
bahan ajar matematika yang berisikan sumber pelajaran berbentuk buku teks sesuai dengan
standar dan kualifikasi yang relevan. Telaah bahan ajar matematika diperlukan untuk melihat
isi dari materi yang akan diajarkan kepada siswa, sehingga siswa mampu memahami bahan
ajar tersebut. Buku teks yang baik harus memenuhi kriteria-kriteria yang telah ditetapkan
seperti yang diungkapkan oleh Greene dan Petty dalam Tarigan (1986:86) yaitu “sudut
pandang (point of view), kejelasan konsep, relevan dengan kurikulum, menarik minat,
menumbuhkan motivasi, menstimuli aktivitas siswa,ilustratif, komunikatif, menunjang mata
pelajaran lain, menghargai perbedaan individu”.
3. Metodologi Kajian
3.2. Metodologi
Telaah atau kajian ini menggunakan metode survey dengan pendekatan kuantitatif. Metode
survey dilakukan untuk melihat adanya pengaruh bahan ajar yang diberikan kepada siswa
SMP terhadap kemampuan literasi matematikanya. Populasi dari pengkajian ini adalah siswa
kelas VII tahun pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 413 orang (sumber : TU SMPN 8
Tangerang). Memperhatikan populasi yang ada lebih dari 100 orang, maka untuk
menentukan jumlah responden dalam penelitian ini menggunakan sampel secara acak
(random sampling). Sedangkan teknik pengambilan sampel menggunakan rumus dari Taro
Yamane atau Slovin (Riduwan, 2005 : 65) sebagai berikut :
(1)
Di mana : n = Jumlah
N = Jumlah populasi
d2 = Presisi (ditetapkan 10% dengan tingkat kepercayaan 95%)
( )
80,51 = 81 responden
(2)
Di mana: ni = banyak sampel menurut jenis kelamin
n = banyak sampel seluruhnya
Ni = banyak populasi menurut jenis kelamin
N = banyak populasi seluruhnya
Dengan rumus di atas, maka diperoleh banyak sampel untuk laki-laki dan perempuan pada
siswa kelas VII adalah sebagai berikut :
212
Intsrumen merupakan alat bantu untuk mencari nilai kebenaran dari sebuah penelitian atau
kajian yang dilakukan. Dalam penelaahan bahan ajar matematika terhadap literasi
matematika siswa SMP, instrumen yang digunakan ada dua model, yaitu instrumen test
kemampuan matematika dan instrumen kuesioner dalam bentuk penilaian siswa terhadap
bahan ajar yang berupa buku teks. Test kemampuan matematika bertujuan untuk melihat
kemampuan siswa SMP dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan
literasi matematika. Sedangkan kuesioner dalam bentuk penilaian siswa terhadap bahan ajar
matematika berupa buku teks bertujuan untuk melihat sejauh mana siswa SMP dapat
menyukai, memahami dan mampu mempelajari buku tersebut. Skala yang digunakan dalam
kuesioner penilaian siswa terhadap buku ajar adalah skala Likert.
Test literasi yang diberikan kepada 81 siswa diambil dari soal-soal yang pernah diberikan
pada survey PISA maupun TIMMS . Jumlah test sebanyak 20 item dengan model soal 14
pilihan Ganda dan 6 soal isian. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Hasil Test Literasi Matematika
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Percent
20 1 1.2 1.2 1.2
30 5 6.2 6.2 7.4
35 7 8.6 8.6 16.0
Valid 38 2 2.5 2.5 18.5
40 7 8.6 8.6 27.2
43 1 1.2 1.2 28.4
45 9 11.1 11.1 39.5
213
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent
Percent
50 10 12.3 12.3 51.9
53 3 3.7 3.7 55.6
55 14 17.3 17.3 72.8
58 2 2.5 2.5 75.3
60 13 16.0 16.0 91.4
63 2 2.5 2.5 93.8
65 3 3.7 3.7 97.5
80 1 1.2 1.2 98.8
83 1 1.2 1.2 100.0
Total 81 100.0 100.0
Pada tabel di atas siswa yang mendapat nilai 80 ke atas hanya dua orang, sedangkan siswa
yang mampu menyelesaikan soal 10 ke atas sebanyak 49 orang. Jika hasil tersebut
dikonversi ke dalam data deskriftif, hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Kuisioner yang diberikan kepada siswa merupakan salah satu cara untuk melihat apakah
bahan ajar yang berupa buku teks dapat memberikan inspirasi untuk meningkatkan
kemampuan siswa dalam berpikir matematika. Oleh karenanya siswa diminta untuk
memberikan tanggapan atau penilaiannya terhadap buku teks matematika Kurikulum 2013.
Untuk menarik kesimpulan dari penilaian tersebut digunakan skala Likert dengan jumlah
siswa sebanyak 81 orang serta 20 item pernyataan. Hasilnya sebagai berikut.
Median = 60 (3 x 20 item)
Kuartil I = 40 (2 x 20 item)
Kuartil III = 80 (4 x 20 item)
Karena jumlah skor keseluruhan hasil penilaian siswa terhadap bahan ajar matemtika
kurikulum adalah 4306 dan nilai tersebut berada diantara kuartil I dan median (lihat gambar
1), maka dapat dikatakan bahwa bahan ajar matematika Kurikulum 2013 yang berupa buku
teks pegangan untuk siswatersebut dinilai kurang baik.
4.2. Pembahasan
Hasil kajian menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa SMPN 8 Tangerang masih
jauh dari yang diharapkan , sehingga daya nalarnya tidak mampu untuk memahami buku
teks matematika Kurikulum 2013 yang dalam tanggapan atau penilaiannya kurang begitu
baik.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan bahan ajar matematika Kurikulum 2013 yang
berupa buku teks pegangan siswa kurang baik. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah :
215
Buku teks matematika terlalu tebal dibandingkan dengan buku teks mata pelajaran lainnya,
sehingga akibat buku yang terlalu tebal mengakibatkan siswa kurang perhatian untuk
membaca ataupun memahami buku tersebut.
Materi yang terdapat dalam buku teks terlalu banyak dan sangat menyita waktu dalam proses
pembelajaran. Dapat dibayangkan dengan waktu 5 jam/minggu, guru dan siswa diharapkan
mampu menyelesaikan 10 bab dengan menggunakan pendekatan scientific-nya. Dibeberapa
halaman ada materi yang mirip dengan pelajaran kelas 10 SMA . Hal tersebut dapat lihat
pada halaman 106 - 117, buku teks SMP dengan materi “perpangkatan bilangan bulat”
bandingkan dengan buku teks SMA kelas 10 materi “pangkat bulat negatif” halaman 8 - 16.
Begitupun dari bentuk soal dengan materi yang sama, pada buku teks SMP halaman 124
dengan buku teks SMA halaman 16 - 17. Sisi lain yang dapat diambil permasalahnnya
adalah bentuk soal yang diberikan sebagian besar mengacu pada model soal olimpiade
matematika, dan sistimatika penulisan pada buku teks matematika yang kurang teratur juga
mengakibatkan buku ini sangat sulit untuk dipahami oleh siswa.
Selain faktor - faktor di atas yang mengakibatkan buku teks matematika pegangan siswa
Kurikulum 2013 kurang baik, ada faktor lain yang menjadi pendukung yang mengakibatkan
buku tesk tersebut kurang menjadi perhatian siswa. faktor-faktor tersebut adalah : (1) Jumlah
siswa dalam satu kelas terlalu banyak (satu kelas diisi oleh 41-42 siswa), (2) Siswa belum
terbiasa dengan Kurikulum 2013, (3) pendistribusian buku yang tidak merata dan (4) Daya
nalar atau literasi matematika siswa tidak mampu memahami materi yang terdapat dalam
buku teks matematika Kurikulum 2013.
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan dapat disimpulkan beberapa hal antara lain:
a. Literasi matamatika siswa SMPN 8 Tangerang Masih di bawah standar
b. Bahan ajar matematika Kurikulum 2013 yang berupa buku teks kurang baik bagi siswa
yang leterasi matematikanya masih dibawah standar
c. Kurang baiknya buku teks disebabkan oleh (1) terlalu tebal menurut ukuran siswa SMP,
(2) Materi terlalu banyak dengan soal yang sedikit, (3) Sebagian materi mirip dengan
materi kelas 10 SMA termasuk model soalnya, (4) Banyak soal pada buku teks yang
mengacu pada model soal olimpiade matematika, (5) Sistematika penulisan yang kurang
teratur
216
Daftar Pustaka
Riduwan. 2005. Belajar Mudah Penelitian Untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung :
Alfa Beta.
Sri W dan Rumiati. 2011. Instrumen Penilaian Hasil Belajar MatematikaSMP: Belajar Dari PISA
dan TIMSS.Yogyakarta: PPPPTK Matematika.
Bustang B. 2011. Memahami Literasi Matematika (A Lesson from PISA), Artikel, Internet.
________ . 2012. Telaah Buku teks, Buku Teks dan Bahan Ajar, Artikel, Internet.
________ . 2013. Teknik Pengukuran Skala. Jakarta. Universitas Gunadarma.
________ . 2013. Materi Pelatihan Guru, Implementasi Kurikulum 2013 Matematika SMP/MTs.
Jakarta : Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
217
KEEFEKTIFAN PEMBELAJARAN
MATEMATIKA DENGAN OPTIMALISASI
PEMANFAATAN LINGKUNGAN DAN ALAT
PERAGA MANIPULATIF SEBAGAI SUMBER
BELAJAR TERHADAP PENGEMBANGAN
KREATIVITAS SISWA
Abstrak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan pembelajaran
matematika yang sesuai dengan standar proses berbasis pemanfaatan lingkungan dan
alat peraga manipulatif sebagai sumber belajar terhadap pengembangan kreativitas
siswa. Penelitian dilaksanakan di SDN 2 Karangmangu. Permasalahan dalam penelitian
ini sebagai berikut (1) bagaimanakah kualitas proses pembelajaran dengan optimalisasi
pemanfaatan lingkungan dan alat peraga manipulatif?; (2) bagaimanakah keefektifan
pembelajaran matematika dengan optimalisasi pemanfaataan lingkungan dan alat peraga
manipulatif terhadap pengembangan kreativitas siswa? Penelitian ini termasuk
penelitian eksperimen sebagai bagian dalam payung Research and Development yang
terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan pembelajaran, pengamatan, dan refleksi.
Adapun hasil penelitian ini adalah (1) kualitas proses pembelajaran dalam kategori baik,
ditunjukkan dengan rata-rata aktivitas siswa 3,28; rata-rata motivasi belajar siswa
79,40%; hasil belajar siswa dengan rata-rata kelas 71,55 dan ketuntasan belajar 75,76%;
rata-rata respon siswa menyenangi pembelajaran 86%; dan rata-rata kesan guru sangat
setuju 86,67%; (2) pembelajaran matematika dengan pemanfaataan lingkungan dan alat
peraga manipulatif efektif terhadap pengembangan kreativitas siswa, ditunjukkan
dengan rata-rata kreativitas siswa 3,14, hasil tes kreativitas siswa meningkat dari rata-
rata awal 63,09 dengan ketuntasan kelas 66,67% menjadi rata-rata akhir 73,48 dengan
ketuntasan kelas 75,76%. Pembelajaran matematika dengan optimalisasi pemanfaataan
lingkungan dan alat peraga manipulatif dapat meningkatkan kualitas proses
pembelajaran serta mengembangkan kreativitas siswa.
1. Pendahuluan
Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari Sekolah Dasar
(SD) untuk membekali siswa dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis,
dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Kompetensi tersebut diperlukan agar siswa
dapat memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk
bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Sedangkan dalam Permendiknas No. 41 Tahun 2007 tentang standar proses dengan
menekankan kegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi dalam setiap pelaksanaan
218
Pendidikan pada umumnya banyak mengasah otak kiri. Ketidakseimbangan kedua fungsi
otak tersebut berdampak kepada proses pendidikan yaitu menguatnya aspek kognitif tetapi
berkurangnya perasaan. Perasaan merupakan komponen dalam kemampuan berpikir kreatif
(kreativitas) yang sangat penting.Masalahnya adalah menguatnya aspek kognitif tanpa
disertai dengan meningkatnya kemampuan berpikir kreatif tidak cukup untuk berkompetisi
di era global, karena tantangan dalam hidup ini tidak cukup diselesaikan dengan kemampuan
kognitif saja, melainkan diperlukan pemikiran yang kreatif. Oleh karena itu, dalam
pendidikan perlu keseimbangan antara pengembangan berpikir kreatif yang merupakan
dominasi otak kanan, dan kemampuan kognitif adalah fungsi otak kiri [3]. Agar aktivitas
pembelajaran di kelas dapat mengembangkan kreativitas siswa maka diperlukan
pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum dan standar proses, efektif, serta disesuaikan
dengan karakteristik siswa dan mata pelajaran. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam
proses pembelajaran adalah penggunaan sumber belajar.
Berdasarkan penelitian dari berbagai ahli pendidikan diantaranya Levie, Dale, dan Baugh
dalam [1] pemerolehan hasil belajar lebih tinggi apabila belajar dilakukan dengan
menggunakan indra ganda. Penggunaan indra ganda ini dapat dilakukan melalui pengalaman
langsung di lingkungan dan memanfaatkan media pembelajaran berupa alat peraga
manipulatif sebagai sumber belajar. Apalagi jika ditinjau dari tahapan berfikir siswa SD
menurut Jean Piaget masih berada dalam tahap operasional konkret sehingga membutuhkan
alat peraga yang mampu menjelaskan konsep matematika yang abstrak [2].
Sejalan dengan hal tersebut, Penelitian Suydam dan Higgins dalam [4] juga menunjukkan
bahwa pengajaran yang menggunakan manipulatif material (benda yang dapat diotak-atik)
cenderung menghasilkan prestasi yang lebih baik daripada pengajaran yang tidak
menggunakan material.
219
2. Metodologi Penelitian
Metode penelitian ini adalah eksperimen sebagai bagian dalam payung Research and
Development yang menekankan pada keefektifan pembelajaran berbasis pemanfaatan
lingkungan dan alat peraga manipulatif sebagai sumber belajar berdasarkan standar proses
dalam Permendiknas No. 41 Tahun 2007, yaitu dengan menggunakan RPP, LAS, LTS,
disertai setting lingkungan dan menggunakan alat peraga manipulatif terhadap
pengembangan kreativitas siswa.
Penelitian ini terdiri dari persiapan dan pelaksanaan. Persiapan dilakukan sebelum
pelaksanaan penelitian. Pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa tahap yaitu: (1) tahap
perencanaan, (2) tahap pelaksanaan pembelajaran, (3) tahap pengamatan, dan (4) tahap
refleksi. Secara garis besar tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
2.1. Persiapan
a. Pengamatan awal dilakukan melalui pengamatan langsung terhadap jalannya proses
pembelajaran matematika di kelas V SDN 2 Karangmangu, Kecamatan Sarang,
Kabupaten Rembang.
b. Diperoleh daftar identitas siswa.
c. Pembuatan perangkat pembelajaran yang meliputi: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP), Model Pelaksanaan Pembelajaran (MPP), kisi-kisi soal tes, Lembar Aktivitas
Siswa (LAS), Lembar Tugas Siswa (LTS), Kartu Masalah (KM), Alat Peraga
Manipulatif (APM), dan setting lingkungan.
d. Pembuatan instrumen penilaian hasil belajar siswa.
e. Pembuatan instrumen penilaian kemampuan kreativitas siswa.
f. Pembuatan lembar pengamatan aktivitas siswa, aktivitas guru, dan kreativitas siswa.
g. Pembuatan angket motivasi siswa, respon siswa, dan kesan guru terhadap proses
pembelajaran.
2.2. Pelaksanaan
a. Perencanaan
1) RPP materi pokok volume kubus dan balok disusun dengan mengacu pada standar
proses dalam Permendiknas No. 41 Tahun 2007.
2) Lembar Aktivitas Siswa (LAS) dipersiapkan.
3) Lembar Tugas Siswa (LTS), Kartu Masalah (KM), dan PR dipersiapkan.
4) Soal tes hasil belajar dan tes kemampuan berpikir kreatif siswa dipersiapkan.
5) Lembar pengamatan aktivitas siswa, aktivitas guru, dan kreativitas siswa
dipersiapkan.
6) Pembelajaran dirancang dengan membentuk kelompok belajar yang terdiri dari 4-5
siswa dengan setting lingkungan pembelajaran yang aktif dan menyenangkan.
220
b. Pelaksanaan Pembelajaran
1) Pembelajaran dilakukan oleh peneliti yang berperan sebagai guru dengan diamati
oleh 2-3 observer.
2) Kesepakatan belajar dibuat bersama siswa.
3) Siswa dikelompokkan menjadi 7 kelompok, masing-masing kelompok terdiri dari
4-5 siswa dengan penamaan setiap kelompok menggunakan nama ikan.
4) Pembelajaran dilaksanakan pada setiap pertemuan sesuai dengan yang tertulis
dalam RPP dan diamati oleh 2-3 observer.
c. Pengamatan
1) Jalannya pembelajaran dan semua temuan yang ada pada waktu proses belajar
mengajar berlangsung diamati dan dicatat.
2) Aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran berlangsung dinilai dengan
menggunakan instrumen lembar pengamatan aktivitas siswa dan guru.
3) Kreativitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung dinilai dengan
menggunakan instrumen lembar pengamatan kreativitas siswa.
4) Kualitas hasil pembelajaran baik dari tes hasil belajar, aktivitas, maupun kreativitas
siswa dibandingkan.
d. Refleksi
Setelah melakukan kegiatan pembelajaran, dilakukan refleksi temuan-temuan yang terjadi
antara lain:
1) Aspek aktivitas siswa
Selama pembelajaran berlangsung, pada pertemuan ke-1 hanya siswa tertentu saja yang aktif,
sedangkan siswa yang lain cenderung masih malu-malu dalam bertanya maupun
menyampaikan pendapat atau gagasan. Pada pertemuan ke-2 dan ke-3, keaktifan siswa
cenderung meningkat, siswa yang semula masih malu untuk bertanya atau menyampaikan
pendapat menjadi lebih berani. Pada pertemuan ke-4, siswa lebih aktif dalam berdiskusi
kelompok, berani bertanya dan menyatakan pendapat, keaktifan siswa dalam mengikuti
proses pembelajaran meningkat dari pada pertemuan-pertemuan sebelumnya.
aktif berdiskusi dan berlaku tutor sebaya di mana siswa yang pandai dapat membantu teman
dalam satu kelompok yang belum paham dalam menyelesaikan lembar aktivitas siswa
maupun kartu masalah. Dengan adanya diskusi yang aktif ini diharapkan dapat
menumbuhkan keberanian siswa dalam mengemukakan pendapat dan gagasan, serta dapat
menemukan hal-hal baru dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Hasil diskusi
tersebut selanjutnya dipresentasikan ke depan kelas dan ditanggapi oleh kelompok lainnya.
Pertemuan Pertemua
Pertemuan ke-3 Pertemuan ke-4
ke-1 n ke-2
Pengamat Pengamat Pengamat Pengamat
1 2 1 2 1 2 3 1 2 3
3,3 3,4 3,4 3,3 3,3 3,4 3,3 3,3
Rata-rata 3,33 3,03
6 2 5 3 9 8 6 0
Kategori Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Pertemua
Pertemuan ke-1 Pertemuan ke-3 Pertemuan ke-4
n ke-2
Pengamat Pengamat Pengamat Pengamat
1 2 1 2 1 2 3 1 2 3
Rata- 3,0 3,2 3,4 3,2 3,5 3,6 3,5 3,4
2,83 3,3
rata 7 3 3 3 7 0 0 0
Kategori Baik Cukup Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Banyak Persentase
Kategori
Siswa (%)
24 72,73 Baik
9 27,27 Cukup Baik
0 0,00 Kurang Baik
0 0,00 Tidak Baik
5) Respon Siswa
Berdasarkan angket diperoleh persentase respon siswa dalam pelaksanaan proses
pembelajaran dengan pemanfaatan lingkungan dan alat peraga manipulatif dalam kategori
baik sebanyak 81,82% dan kategori cukup baik sebanyak 18,18%. Adapun uraian persentase
respon siswa tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.
6) Kesan Guru
Berdasarkan angket kesan guru yang diberikan setelah pembelajaran kepada Kepala SDN 2
Karangmangu, guru kelas V, dan guru kelas II, diperoleh bahwa kesan guru dalam
pembelajaran positif (86,7% berkesan baik) terhadap penerapan pembelajaran matematika
dengan pemanfaatan lingkungan dan alat peraga maipulatif. Guru merasa senang mengetahui
adanya pembelajaran matematika dengan pemanfaatan lingkungan dan alat peraga
manipulatif sebagai sumber belajar karena pembelajaran matematika menjadi lebih mudah
untuk diajarkan, menarik, dan menyenangkan. Tetapi ada sedikit kendala yaitu
membutuhkan kreativitas guru dalam menerapkannya. Perangkat yang digunakan juga
membantu guru dalam menyiapkan pembelajaran sehingga lebih terarah dalam mengajar.
Sehingga perangkat ini perlu dikembangkan untuk materi yang lain.
3.2. Pembahasan
3.2.1. Ketercapaian Pelaksanaan Proses Pembelajaran
Pembelajaran dengan pemanfaatan lingkungan dan alat peraga manipulatif sebagai sumber
belajar dilaksanakan sebanyak empat kali pertemuan (8 jam pelajaran). Tiap jam pelajaran
memiliki alokasi waktu 35 menit.Ketercapaian pelaksanaan perangkat pembelajaran ditinjau
dari aktivitas guru dan aktivitas siswa pada saat proses pembelajaran. Pengamatan aktivitas
guru dan aktivitas siswa pada setiap pertemuan dilakukan oleh dua atau tiga orang observer
berdasarkan lembar pengamatan.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab kurang tercapainya proses pembelajaran yang
diharapkan, yaitu sebagai berikut.
Selain beberapa penyebab kurang tercapainya proses pembelajaran yang diharapkan, ada
beberapa kelebihan dari penerapan pembelajaran matematika dengan pemanfaatan
lingkungan maupun alat peraga manipulatif sebagai berikut.
(1) Penerapan pembelajaran dengan pemanfaatan lingkungan dan alat peraga manipulatif
memacu siswa lebih aktif. Hal ini terlihat dari hampir setiap pertemuan siswa aktif
melakukan proses pembelajarandibandingkan sebelum penelitian yang hanya siswa
tertentu saja yang aktif.
(2) Kreativitas siswa terdeskripsikan dari pertemuan pertama dan kedua, yaitu hasil
pekerjaan siswa tentang membuat model kubus dan balok. Siswa bekerja dalam
kelompok membuat model kubus dan balokdengan warna yang beragam. Dari segi
225
ukuran, siswa membuat dengan ukuran yang berbeda, sehingga dapat saling mengukur
volume masing-masing. Selain itu, mereka juga membawa benda-benda yang mereka
jumpai dalam kehidupan sehari-hari yang berbentuk kubus dan balok, kemudian diukur
volumenya. Masing-masing siswa dapat menyebutkan benda-benda dalam kehidupan
sehari-hari yang berbentuk kubus dan balok, misalnya bak mandi, almari, kulkas, kardus
makanan, kemasan kosmetik, dan lain-lain, serta mereka dapat menentukan volumenya.
Kegiatan eksplorasi ditunjukkan dengan selalu memberikan kesempatan kepada siswa untuk
aktif mencoba, mencari informasi yang diperlukan seputar materi, menggunakan beragam
pendekatan kontekstual, menggunakan APM dan lingkungan sebagai sumber belajar,
memfasilitasi terjadinya interaksi antarsiswa terutama dengan kegiatan kelompok, serta
antara siswa dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar lainnya.
Adapun kegiatan konfirmasi meliputi pemberian umpan balik positif dan penguatan dalam
bentuk lisan; pemberian bintang kepada siswa yang aktif serta hadiah atas keberhasilan
siswa; refleksi di akhir materi; serta pemberian bantuan kepada siswa yang merasa kesulitan
dalam memperlajari materi. Kegiatan-kegiatan tersebut digambarkan pada setiap RPP yang
disusun.
4.1. Kesimpulan
1. Kualitas proses pembelajaran matematika dengan pemanfaatan lingkungan dan alat
peraga manipulatif sebagai sumber belajar pada materi pokok volume kubus dan balok
adalah baik yang ditinjau dari beberapa indikator berikut: rata-rata aktivitas siswa
mencapai 3,28; rata-rata motivasi belajar siswa mencapai 79,40%; hasil belajar siswa
dengan rata-rata kelas mencapai 71,55 dan ketuntasan kelas mencapai 75,76%; rata-rata
respon siswa menyenangi pembelajaran yang dilakukan mencapai86%; dan rata-rata
kesan guru sangat setuju dengan proses pembelajaran yang dilaksanakan mencapai
86,67%.
226
4.2. Saran
Dari pembahasan dan simpulan di atas, beberapa saran yang dapat direkomendasikan adalah
sebagai berikut.
Daftar Pustaka
1. Pendahuluan
Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika yang
mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak
tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan
memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat
model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya.
matematika melalui pemecahan masalah, (2) memecahkan masalah yang muncul dalam
kontek matematika dan kontek lain.
Berdasarkan pengamatan peneliti di SMK Negeri 3 khususnya di kelas XI Tata Boga 3 SMK
Negeri 3 Magelang dijumpai bahwa kemampuan siswa dalam hal memecahkan masalah soal
matematika amat rendah. Dari ulangan-ulangan harian/formatif yang telah dilakukan
peneliti, sebagian besar siswa kesulitan/kurang bisa menyelesaikan soal-soal uraian terutama
soal yang berbentuk soal cerita pemecahan masalah. Rendahnya kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah matematika menurut pengamatan peneliti dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, salah satunya disebabkan oleh proses pembelajaran di kelas yang tidak
efektif, penggunaaan pendekatan maupun model pembelajaran yang tidak pas dan tidak
membantu siswa dalam keterampilan memecahkan masalah.
Dalam proses pembelajaran, guru aktif menyampaikan informasi sedangkan peserta didik
pasif mendengarkan dan memperhatikan, kesempatan peserta didik untuk melakukan refleksi
dan negoisasi melalui interaksi antarpeserta didik dan peserta didik dengan guru kurang
berkembang, peserta didik tidak mendapat kesempatan untuk mengembangkan ide-ide
kreatif dan menemukan berbagai alternatif pemecahan masalah, tetapi mereka akan selalu
bergantung pada guru, tidak terbiasa melihat dan menemukan alternatif lain yang mungkin
lebih efektif dalam menyelasaikan masalah, pada akhirnya dalam diri peserta didik hanya
mempunyai kemampuan manghafal saja semua konsep dan prinsip tanpa memahami
maknanya dan tidak mampu menerapakannya dalam suatu kondisi yang sesuai dalam
kehidupan sehari-hari .
Salah satu solusi untuk mengatasi rendahnya kemampuan pemecahan masalah adalah dengan
perbaikan model pembelajaran. Ada banyak pilihan model pembelajaran yang berbasis pada
peningkatan kemampuan pemecahan masalah, salah satunya yang akan peneliti terapkan
adalah model pembelajaran matematika Creative Problem Solving (CPS).
Pengertian belajar menurut Fontana (Suherman, 2003:7) adalah ”proses perubahan tingkah
laku individu yang relatif tetap sebagai hasil dari pengalaman”, sedangkan pembelajaran
merupakan upaya penataan lingkungan yang memberi nuansa agar program belajar tumbuh
dan berkembang secara optimal. Dengan demikian proses belajar bersifat internal dan unik
dalam diri individu siswa, sedang proses pembelajaran bersifat eksternal yang sengaja
direncanakan dan bersifat rekayasa perilaku. Menurut Woodham (2008:41), tujuan
pembelajaran matematika di kelas adalah untuk mampu memecahkan masalah, serta siswa
dapat mengembangkan kemampuan mereka untuk berpikir secara matematis.
229
Menurut Karen (2004: 1), model Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu model
pembelajaran yang berpusat pada keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan
penguatan kreativitas. Ketika dihadapkan dengan situasi pertanyaan, siswa dapat melakukan
keterampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya.
Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah
memperluas proses berpikir. CPS merupakan representasi dimensi-dimensi proses yang
alami, bukan suatu usaha yang dipaksakan. CPS merupakan pendekatan yang dinamis, siswa
menjadi lebih terampil sebab siswa mempunyai prosedur internal yang lebih tersusun dari
awal.
Ada banyak kegiatan yang melibatkan kreativitas dalam pemecahan masalah seperti riset
dokumen, pengamatan terhadap lingkungan sekitar, kegiatan yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan, dan penulisan yang kreatif. Dengan CPS, siswa dapat memilih dan
mengembangkan ide dan pemikirannya. Berbeda dengan hafalan yang sedikit menggunakan
pemikiran, CPS memperluas proses berpikir.
Menurut Osborn (Miftahul, 2013: 298-299), hampir semua upaya pemecahan masalah selalu
melibatkan keenam karakter yaitu : Objective Finding, Fact Finding, Problem Finding, Idea
Finding, Solution Finding, dan Acceptance Finding. Menurut Miftahul ( 2013:299), kriteria
Creative Problem Solving model Osborn-Panes mempunyai sintak proses CPS pembelajaran
sebagai berikut: (1) langkah 1: Objective Finding. Siswa dibagi ke dalam kelompok-
kelompok. Siswa mendiskusikan situasi permasalahan yang diajukan guru dan mem-
brainstorming sejumlah tujuan atau sasaran yang bisa digunakan. (2) Langkah 2: Fact
230
Finding. Siswa mem-brainstorming semua fakta yang mungkin berkaitan dengan sasaran
tersebut. Guru mendaftar setiap perspektif yang dihasilkan oleh siswa (3) Langkah 3:
Problem Finding. Salah satu aspek terpenting dari kreativitas adalah mendefinisikan kembali
perihal/rumusan masalah agar siswa lebih dekat dengan masalah sehingga
memungkinkannya untuk menemukan solusi yang jelas. Salah satu teknik yang bisa
digunakan adalah mem-brainstorming beragam cara yang mungkin dilakukan untuk semakin
memperjelas masalah. (4) Langkah 4: Idea Finding. Pada langkah ini, gagasan-gagasan
siswa didaftar agar bisa melihat kemungkinan menjadi solusi atas situasi permasalahan.
Setiap usaha siswa diapresiasi sedemikian rupa dengan penulisan setiap gagasan, tidak
peduli seberapa relevan gagasan tersebut menjadi solusi. Setelah gagasan terkumpul, siswa
mendiskusikan untuk menyortir mana gagasan yang potensial sebagai solusi yang sekiranya
bisa dijadikan pertimbangan solusi lebih lanjut. (5) Langkah 5: Solution Finding. Pada tahap
ini, gagasan-gagasan yang memiliki potensi terbesar dievaluasi bersama. Salah satu caranya
adalah dengan mem-brainstorming kriteria-kriteria yang dapat menentukan seperti apa solusi
yang terbaik itu seharusnya. Kriteria ini dievaluasi hingga menghasilkan penilaian final atas
gagasan yang pantas menjadi solusi atas permasalahan yang dihadapi. (6) Langkah 6:
Acceptance Finding. Pada tahap ini siswa mulai mempertimbangkan isu-isu nyata dengan
cara berpikir yang sudah mulai berubah. Siswa diharapkan sudah memiliki cara baru
menyelesaikan berbagai masalah secara kreatif.
Menurut Dahar (1989:138) pemecahan masalah merupakan suatu kegiatan manusia yang
menggabungkan konsep-konsep dan aturan-aturan yang telah diperoleh sebelumnya dan
tidak sebagai suatu keterampilan generik. Ketika seseorang telah mampu menyelesaikan
masalah, maka ia telah memiliki kemampuan baru, dan kemampuan ini dapat digunakan
untuk menyelesaikan masalah-masalah yang relevan. Semakin banyak masalah yang dapat
diselesaikan oleh seseorang, maka ia akan semakin banyak memiliki kemampuan yang dapat
membantunya menjalani kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, kemampuan memecahkan
masalah perlu terus dilatih sehingga mampu menjalani kehidupan yang penuh dengan
kompleksitas permasalahan.
George Polya dalam Suherman (2003:99) menyatakan bahwa secara garis besar strategi
pemecahan masalah mengacu pada empat tahap pemecahan masalah, yaitu (1) memahami
masalah: memahami hal-hal yang diketahui dalam masalah tersebut, memahami apa yang
menjadi tujuan/apa yang ditanyakan, (2) membuat rencana untuk menyelesaikan masalah:
mengidentifikasi mengidentifikasi konsep-konsep/rumus-rumus apa saja yang dibutuhkan
231
dan merancang strategi berkaitan dengan pemecahan masalah tersebut, (3) melaksanakan
penyelesaian soal: mencoba menyelesaian soal/masalah sesuai dengan strategi yang
dirancang, (4) mengecek kembali: mengecek hasil/jawaban pemecahan masalah, apakah
hasil yang diperoleh sudah sesuai dengan ketentuan dan tidak terjadi kontradiksi dengan
fakta-fakta yang diketahui.
2. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Tindakan yang
dilakukan adalah menerapkan pembelajaran matematika model CPS berbantuan CD
pembelajaran sebagai upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa kelas XI
Tata Boga 3 SMK Negeri 3 Magelang tahun ajaran 2013/2014. Subjek penelitian adalah
seluruh siswa kelas XI Tata Boga 2 SMK Negeri 3 Magelang sebanyak 35 orang.
Pengambilan data dalam penelitian ini dilaksanakan di kelas XI Tata Boga 2 SMK Negeri 3
Magelang pada bulan Oktober 2013. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan
setting kelas, yaitu tindakan dilakukan selama proses pembelajaran berlangsung di dalam
kelas. Dalam melakukan pengamatan selama tindakan dilakukan, peneliti dibantu seorang
rekan guru matematika SMK Negeri 3 Magelang. Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) model spiral yang dikembangkan oleh
Kemmis dan Taggart. Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan dalam 4 tahap dalam setiap
siklus, yaitu tahap perencanaan (plan), tahap tindakan (act), tahap pengamatan (observe),
dan tahap refleksi (reflect) (Hopkins, 2011: 92).
Secara garis besar, tahap-tahap pelaksanaan siklus II sama dengan siklus I. Namun,
perencanaan tindakan pada siklus II didasarkan pada hasil refleksi pelaksanaan siklus I.
Apabila hasil siklus II belum menunjukkan keberhasilan penelitian, yaitu meningkatnya
kemampuan memecahkan masalah siswa dari siklus I ke siklus II, maka masih perlu
dilakukan perbaikan yaitu dengan melaksanakan siklus III. Apabila hasil siklus III juga
belum menunjukkan keberhasilan penelitian, maka dilaksanakan perbaikan pada siklus IV,
dan seterusnya. Metode dan instrumen pengumpulan data yang dipergunakan dalam
penelitian ini ditunjukkan oleh tabel di bawah ini.
mean ideal (Mi) dan standart deviasi ideal (Sdi). Rata-rata kelas ( ̅ ) dari skor siswa
kemudian dikategorikan menurut pedoman sebagai berikut.
Indikator untuk keberhasilan penelitian ini adalah apabila rata-rata kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa minimal pada kategori baik.
a. Guru memberi tugas untuk mendiskusikan soal di LK 1 dan membantu dan memancing
siswa untuk mengungkapkan ide-ide/gagasan.
233
a. Siswa berdiskusi untuk mengevaluasi berbagai gagasan ide-ide dan memilih strategi
yang tepat serta menerapkan strategi sampai akhirnya mendapatkan solusi pemecahan
masalah dan menafsirkan solusi pemecahan masalah.
b. Guru memberikan bimbingan/scaffolding kepada siswa dalam diskusi kelompok yang
belum berjalan sesuai yang diharapkan.
c. Guru menyuruh siswa untuk mengecek kembali solusi yang berhasil ditemukan.
d. Masing-masing kelompok menuliskan hasil diskusinya dan mempresentasikan hasil
diskusi di depan kelas.
e. Siswa dalam kelompok lain menanggapi dan mengajukan pertanyaan dan masukan
dalam diskusi kelas.
f. Guru membimbing siswa mengkonfirmasi, mengevaluasi/memberi umpan balik
terhadap proses pembelajaran dan cara/langkah pemecahan masalah
Dari tes kemampuan pemecahan masalah matematika yang dilakukan pada akhir siklus I
diketahui skor yang diperoleh siswa bervariasi dengan skor tertinggi 72 dan skor terendah
50. Rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada siklus I sebesar
62,7. Secara kualitatif rata-rata skor pada siklus I ini tergolong dalam kriteria baik. Dengan
melihat skor kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada siklus I, diperoleh
presentase kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dalam setiap kategorinya
disajikan pada tabel berikut.
Sangat Sangat
Kurang baik Cukup baik Baik
kurang baik baaik
Banyak
0 0 10 25 0
Siswa
Persentase 0% 0% 29% 71% 0%
Secara klasikal skor kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada siklus I baru
mencapai 71% dengan kategori minimal baik. Kemampuan pemecahan masalah matematika
siswa pada siklus I belum mencapai hasil yang diharapkan. Berdasarkan refleksi yang
peneliti lakukan bersama observer selama pembelajaran pada siklus I ditemukan
kekurangan-kekurangan pada pelaksanaan tindakan siklus I sebagai berikut.
234
Siklus II dilaksanakan berdasarkan penyempurnaan tindakan pada siklus I. Dari pos tes
kemampuan pemecahan masalah matematika yang dilaksanakan pada akhir siklus II
diperoleh skor kemampuan pemecahan masalah matematika siswa bervariasi dengan skor
tertinggi adalah 94 dan skor terendah adalah 50. Rata-rata skor kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa pada siklus II sebesar 73,5. Secara kualitatif rata-rata skor pada
siklus I ini tergolong dalam kriteria baik. Secara kuantitatif rata-rata skor kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa pada siklus II mengalami peningkatan dari siklus I
yaitu dari 62,7 menjadi 73,5.
Dengan melihat skor kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada siklus I,
diperoleh presentase kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dalam setiap
kategorinya disajikan pada tabel berikut.
Hasil skor kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada siklus II mencapai 77%
dengan predikat baik dan sangat baik. Secara klasikal kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa pada siklus II sudah lebih dari 75% pada kategori minimal baik, ini berarti
sudah memenuhi kriteria ketuntasan belajar yang ditetapkan.
3.2. Pembahasan
Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada
keterampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan kreativitas. Ketika
dihadapkan dengan situasi pertanyaan, siswa dapat melakukan keterampilan memecahkan
masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara
menghafal tanpa dipikir, keterampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir.
CPS merupakan representasi dimensi-dimensi proses yang alami, bukan suatu usaha yang
dipaksakan. CPS merupakan pendekatan yang dinamis, siswa menjadi lebih trampil sebab
siswa mempunyai prosedur internal yang lebih tersusun dari awal.
Pelaksanaan pembelajaran pada setiap siklus dengan menerapkan model pembelajaran CPS
berlangsung dengan baik. Walaupun pada awal siklus I mengalami beberapa kendala, yaitu
siswa kurang aktif dalam diskusi maupun dalam mengungkapkan gagasan dan kurang
bersemangat untuk mempresentasikan hasil diskusi serta memberi tanggapan terhadap hasil
presentasi kelompok lain. Hal ini terjadi karena model pembelajaran yang diterapkan dirasa
masih baru bagi siswa maupun bagi guru. Siswa belum terbiasa untuk melakukan
brainstorming/memunculkan gagasan-gagasan dalam pembelajaran. Pelaksanaan
pembelajaran dengan model CPS dalam siklus II sudah tidak mengalami kendala yang
berarti.
Pada tahap memahami dan menemukan (Objective finding, Fact finding dan Problem
finding) siswa lebih aktif dan berani untuk menggungkapkan gagasan dalam kelompoknya
sehingga siswa lebih terbiasa dalam memahami dan menemukan suatu masalah yang masih
samar. Hal ini berdampak pada peningkatan kemampuan siswa dalam memahami masalah.
Demikian pula pada tahap menghasilan ide-ide (Idea finding) siswa lebih aktif
menggungkapkan dan memberikan masukan ide- ide dan rancangan strategi berupa pola-
pola model matematika untuk mendapatkan alternatif-alternatif solusi. Sehingga siswa
menjadi lebih trampil merancang ide-ide strategi untuk penyelesaian masalah, yang ini
memberi kontribusi terhadap peningkatan kemampuan siswa dalam membuat rencana untuk
menyelesaikan masalah.
Pada tahap menemukan solusi (Solution Finding dan Acceptance finding) siswa lebih aktif
berdiskusi memilih dan menerapkan strategi yang tepat dan akhirnya mendapatkan solusi
pemecahan masalah dan menafsirkan solusi, siswa lebih berani mempresentasikan hasil
diskusinya serta lebih aktif menanggapi dan mengajukan pertanyaan kepada siswa/kelompok
yang mempresentasikan hasil diskusinya. Hal ini berdampak terhadap peningkatan
kemampuan siswa dalam hal mencoba melaksanakan strategi untuk mendapatkan
penyelesaian masalah dan juga kemampuan dalam hal mengecek kembali hasil/jawaban
236
pemecahan masalah, apakah hasil yang diperoleh sudah sesuai dengan ketentuan dan tidak
terjadi kontradiksi dengan fakta-fakta yang diketahui.
Pelaksanaan pembelajaran matematika model CPS selama pelaksanaan tindakan pada setiap
siklus ternyata siswa menjadi lebih aktif, lebih berani dan terbiasa mengungkapkan
ide/gagasan dalam menemukan masalah, strategi-strategi pemecahan masalah dan mampu
mengembangkan suatu rencana/strategi untuk menemukan solusi pemecahan masalah, serta
mampu mengecek kembali solusi yang diperoleh. Dengan demikian kemampuan siswa
dalam memecahkan masalah matematika mengalami peningkatan.
Hal ini tampak dari hasil observasi terhadap aktivitas siswa dan aktivitas guru selama
pelaksanaan pembelajaran pada siklus I dan II yang mengalami peningkatan. Rata-rata skor
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa mengalami peningkatan dari siklus I
sebesar 62,7 (dalam kategori baik) menjadi 73,5 (dalam kategori baik )pada siklus II. Secara
klasikal skor kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang memperoleh predikat
minimal baik, pada siklus I baru mencapai 71%, dan pada siklus II meningkat menjadi 77% .
4.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti mengajukan saran-saran :
a. bagi rekan guru terutama guru mata pelajaran matematika untuk mencoba menerapkan
model pembelajaran CPS .
b. bagi peneliti untuk melakukan penelitian yang berbasis model CPS untuk meningkatkan
kemampuan-kemampuan matematika lainnya yang harus dikuasai siswa yang belum
sempat peneliti teliti.
c. Bagi peneliti untuk melakukan penelitian dengan modifikasi maupun kolaborasi model
CPS dengan model pembelajaran kreatif lain yang dapat lebih meningkatkan
kemampuan-kemampuan matematika siswa.
237
Daftar Pustaka
Arikunto, S., Suhardjono , dan Supardi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : PT Bumi Aksara:
Arikunto, S. 2008. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT Bumi Aksara:
Arends, R.2008. Learning to Teach, 7th edn. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Dahar, R.W. 1989. Teori- Teori Belajar . Jakarta : Erlangga.
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.
Hopkins, D. 2011. A Teacher’s Guide to Classroom Research,4th edn. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hudojo,H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Jendral Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.
Hudojo,H. 2003.Pengembangan Kurikulum Dan Pembelajaran Matematika. Malang: Universitas
Negeri Malang.
Karen L, Pepkins. 2004. Creative Problem Solving in Math. http:// www.uh.edu . Diambil pada 30
September 2013.
Lei, A. 2008. Cooperative Learning. Jakarta : PT Grasindo Widiasarana Indonesia.
Miftahul. 2013. Model-Model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta : Pustaka Pelajar .
Mulyasa,E. 2008. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
NCTM. 2000. Overview of Principles and standard for School Mathematics.
http://www.standard.nctm.org. Diambil pada 30 September 2013
Oemar,Hamalik,2009.Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Sinar Grafika Offset.
Slavin, Robert, E. 2008. Cooperative Learning. Teori, Riset dan Praktek. Bandung : Nusa Media.
Sudjana, N. 2009. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Sinar baru algensindo.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.
Bandung : Alfabeta.
Suherman, E. et al. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung.: FPMIPA
Pendidkan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia.
Utami Munandar. 2009 . Pengembangan Kreativitas Anak berbakat. Jakarta : Rineka Cipta.
Woodham, L . 2008. Mathematical Thinking With Lower-Attaining Pupils. Mathematics Teaching
208-May 2008. 41-45.
238
Abstrak. Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Singaraja pada siswa kelas
X7 tahun pelajaran 2012/2013, dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematika bagi siswa melalui penerapan strategi
pembelajaran heuristik dengan metode bekerja mundur. Data dalam penelitian ini
dikumpulkan melalui metode tes dengan instrumen yang dipergunakan adalah tes
pemecahan masalah matematika yang berbentuk esai. Data yang terkumpul dalam
penelitian ini selanjutnya dianalisis dengan statistik deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa. Pada siklus I rata-rata kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa adalah sebesar 49,57 dan berdasarkan kriteria penggolongan
termasuk kategori cukup baik, sedangkan pada siklus II rata-rata kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa meningkat menjadi 68,70 dengan kategori
baik. Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa penerapan
strategi pembelajaran heuristik dengan metode bekerja mundur dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematika.
1. Pendahuluan
Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting
karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaian, siswa dimungkinkan memperoleh
pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk
diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa kegiatan pemecahan masalah dalam proses pembelajaran matematika
belum dijadikan sebagai kegiatan utama. Padahal di negara-negara maju seperti Amerika
Serikat dan Jepang kegiatan tersebut dapat dikatakan merupakan inti dari kegiatan
pembelajaran matematika di sekolah (Suherman, 2003).
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pendidik untuk meningkatkan kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa. Namun sampai saat ini kemampuan pemecahan masalah
matematika masih rendah. Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika juga
terjadi di SMA Negeri 1 Singaraja, sebagai salah satu indikatornya adalah hasil belajar
239
matematika kelas X7 pada aspek pemecahan masalah. Nilai rata-rata ulangan tengah
semester I tahun pelajaran 2012/2013 pada aspek kemampuan pemecahan masalah yaitu
sebesar 54,3 dan ketuntasan belajar sebesar 56%. Nilai ini masih di bawah KKM dan
ketuntasan belajar matematika yang ditetapkan di kelas X7 yaitu sebesar 60,0 dan 85%
(Arsip SMA Negeri 1 Singaraja). Setelah diidentifikasi faktor-faktor penyebabnya adalah: 1)
Siswa menganggap permasalahan matematika adalah permasalahan yang kompleks sehingga
kurangnya rasa percaya diri siswa dalam kegiatan pembelajaran matematika. Hal ini dapat
diamati dari sikap siswa yang masih tampak takut atau ragu-ragu saat menjawab pertanyaan
guru, kurang tegas dalam mengemukakan pendapat, dan kurang mampu untuk
mengendalikan perasaannya; 2) Dalam menyelesaikan soal yang diberikan guru, siswa
jarang diberikan kesempatan untuk mempresentasikan dan memberikan argumentasi secara
lisan tentang bagaimana siswa memperoleh jawaban seperti itu. Hal ini memungkinkan
siswa yang belum memahami konsep akan semakin tenggelam dalam ketidaktahuannya;
3) Pada pelaksanaan pembelajaran matematika di kelas, guru memberikan konsep-konsep
yang terkait dengan materi kepada siswa tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan konsep-konsep tersebut melalui contoh-contoh soal. Akibatnya pelaksanaan
pembelajaran matematika di kelas masih didominasi oleh guru sebagai sumber informasi;
4) Dalam menyelesaikan permasalahan matematika siswa dituntut untuk mengikuti langkah
demi langkah secara seragam atau reguler tanpa memberikan petunjuk praktis yang dapat
digunakan untuk mengubah pemecahan masalah yang kompleks menjadi lebih sederhana.
Salah satu strategi pembelajaran yang dapat diterapkan untuk mengatasi permasalahan-
permasalahan tersebut di atas adalah strategi pembelajaran heuristik. Strategi heuristik
diartikan oleh Wilson dan Cole (dalam Candiasa, 2002: 55) sebagai akal dalam bekerja atau
petunjuk praktis yang dapat membantu memperpendek jalur penyelesaian masalah sehingga
dengan strategi heuristik penyelesaian masalah yang komplek dalam pembelajaran
matematika menjadi lebih sederhana. Vaughan dan Hogg (dalam Candiasa, 2002: 55)
menyatakan bahwa heuristik adalah cara pintar secara kognitif yang menyiapkan secara
matang cara pengambilan keputusan yang akurat kepada semua individu setiap saat. Akal
atau cara pintas secara kognitif untuk membuat tebakan dari mana harus memulai dan
kemana harus melompat agar langkah pemecahan masalah menjadi lebih pendek. Strategi
pembelajaran heuristik dipandang sebagai alat kognitif, strategi alat kognitif informal atau
petunjuk praktis yang dapat digunakan untuk mengubah pemecahan masalah yang kompleks
menjadi operasi pengambilan keputusan yang sederhana yang nantinya akan meningkatkan
kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika. Hal ini akan mendorong
kemampuan pemecahan masalah, kreativitas, motivasi dan inovasi berpikir matematika
siswa secara bermakna dan bervariasi yang nantinya akan berpengaruh pada hasil belajar
siswa. Untuk lebih menunjang keberhasilan dari strategi pembelajaran ini, maka dalam
kegiatan pembelajaran digunakan suatu metode yang sejalan dengan strategi pembelajaran
heuristik, metode yang digunakan adalah bekerja mundur. Woolfolk (dalam Candiasa,
2002:60) mengatakan bahwa metode bekerja mundur (working back) adalah metode
pemecahan masalah yang dimulai dari tujuan akhir dan selanjutnya bekerja mundur ke
tujuan-tujuan sebelumnya yang belum terpecahkan. Dalam situasi ini tujuan akhir berusaha
dicapai pertama kali, bila benar-benar bisa tercapai tanpa meninggalkan masalah maka
240
proses pemecahan masalah selesai. Soal-soal yang diberikan melibatkan suatu rangkaian
operasi di mana hasil akhir dari operasi tersebut sudah diketahui dan yang ditanyakan adalah
kondisi awal dari soal tersebut. Perhatikan contoh berikut ini.
Ada beberapa orang menaiki bis, penumpang turun pada pemberhentian pertama, dan 7
orang naik. Pada pemberhentian kedua orang turun dan 5 orang naik. Jika sekarang ada 25
penumpang, ada berapa penumpang yang menaiki bis pertama kali.
Penyelesaian:
Langkah 1: Memahami masalah. Beberapa orang yang naik bis. Pada pemberhentian I
penumpang turun nya dan naik 7 orang. Pada pemberhentian II penumpang turun nya dan
naik 5 orang. Sekarang penumpangnya sebanyak 25 orang. Ditanyakan banyaknya
penumpang mula-mula.
Langkah 2: Strategi yang digunakan adalah bekerja mundur, karena diketahui jumlah
penumpang terakhir dan yang ditanyakan banyaknya penumpang mula-mula.
Penumpang terakhir 25 orang, berarti pada pemberhentian kedua sebelum penumpang naik 5
orang, penumpangnya 20 orang.
Sebelum turun di pemberhentian kedua banyaknya penumpang dapat dicari sebagai berikut:
4 unit 20
5 unit 25
Yang diarsir yang turun.
Sebelum turun di
pemberhentian ke 2
penumpang sebanyak 25
Penumpang pertama 27 orang turun menjadi 18, kemudian naik 7 orang menjadi 25. Pada
pemberhentian kedua turun nya menjadi 20 karena ada yang naik 5 orang menjadi 25
sebagai penumpang terakhir. Sehingga benar bahwa penumpang pertama 27 orang.
Strategi pembelajaran heuristik dengan metode bekerja mundur merupakan bagian dari
belajar konstruktivis yang melatih siswa aktif terlebih dahulu mencari pengetahuan sesuai
dengan cara berpikirnya, berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta
pengetahuan yang menyertainya kemudian menemukan permasalahan-permasalahan yang
sulit mereka pahami untuk didiskusikan dengan teman maupun dengan guru.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian
ini yaitu apakah penerapan strategi pembelajaran heuristik dengan metode bekerja mundur
dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika bagi siswa kelas X7 SMA
Negeri 1 Singaraja? Sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkapkan apakah
penerapan strategi pembelajaran heuristik dengan metode bekerja mundur dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika bagi siswa kelas X7 SMA
Negeri 1 Singaraja. Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut: 1) Siswa dapat mengalami langsung belajar dengan suasana yang lebih kondusif dan
menggairahkan yang dapat memacu semangatnya untuk aktif dan kreatif menuju
kemampuan pemecahan hasil belajar yang lebih baik, 2) Guru yang terlibat dalam penelitian
ini akan memperoleh pengalaman baru terutama yang berkaitan dengan upaya peningkatan
kemampuannya dalam merencanakan dan menerapkan strategi pembelajaran matematika
heusristik, dan 3) Bagi sekolah hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan untuk peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMA
tempat penelitian ini dilaksanakan
2. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas (classroom action
research). Subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas X7 semester I SMA Negeri 1
Singaraja tahun pelajaran 2012/2013 sebanyak 37 orang, yang terdiri dari 20 siswa
perempuan dan 17 siswa laki-laki. Objek dari penelitian ini adalah kemampuan pemecahan
masalah matematika bagi siswa, dengan tindakan strategi pembelajaran heuristik dengan
metode bekerja mundur.
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian model Kemmis dan Taggart (dalam
Suharsimi Arikunto, 2006 : 93) yang dilaksanakan dalam dua siklus, setiap siklusnya terdiri
dari empat tahapan yaitu: (1) tahap perencanaan, (2) tahap pelaksanaan tindakan, (3) tahap
observasi dan evaluasi, serta (4) tahap refleksi.
Metode dan instrumen pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini
ditunjukkan oleh Tabel 1 di bawah ini.
242
Indikator untuk menentukan keberhasilan penelitian ini adalah apabila rata-rata kemampuan
pemecahan masalah matematika siswa setidaknya tergolong baik.
Dari tes kemampuan pemecahan masalah matematika yang dilakukan pada akhir siklus I
diketahui skor yang diperoleh siswa bervariasi dengan skor tertinggi sebesar 82 dan skor
terendah 26. Rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada siklus
ini sebesar 49,57, dan secara kualitatif rata-rata skor yang diperoleh siswa pada siklus ini
tergolong dalam kriteria cukup baik. Karena hasil pada siklus I belum memenuhi kriteria
keberhasilan penelitian sehingga dipandang perlu melaksanakan siklus II.
243
Dengan melihat skor kemampuan pemecahan masalah matematika pada siklus I, peneliti
menggolongkan siswa berdasarkan kriteria penggolongan kemampuan pemecahan masalah
matematika, menentukan banyaknya siswa pada masing-masing kriteria, dan persentase
mengenai kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada siklus I dapat disajikan
pada tabel 3 berikut ini.
Sangat kurang
Kurang baik Cukup baik Baik Sangat baik
baik
Banyak siswa 0 10 20 5 2
Persentase 0% 27% 54,1% 13,5% 5,4%
Berdasarkan analisis data pada siklus I kemampuan pemecahan masalah matematika yang
diharapkan belum tercapai karena beberapa kekurangan pada pelaksanaan tindakan siklus I.
Kekurangan-kekurangan yang teridentifikasi pada pelaksanaan tindakan siklus I adalah
sebagai berikut: 1) Siswa terlihat masih kaku, tegang, dan kurang santai mengikuti proses
pembelajaran. Ini disebabkan siswa belum terbiasa dengan penerapan strategi pembelajaran
dengan metode bekerja mundur dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini tentunya menyebabkan
siswa merasakan sesuatu yang baru dalam lingkungan belajarnya, 2) Kerja sama
antarkelompok belum dilakukan dengan optimal, beberapa anggota kelompok masih bekerja
secara sendiri-sendiri tanpa berdiskusi dengan teman sekelompoknya dalam memahami
contoh-contoh soal yang diberikan dalam LKS dan kurangnya keinginan siswa untuk
mencari informasi dan mengumpulkan informasi materi yang akan dipelajari, 3) Dalam
mengerjakan soal-soal pada LKS beberapa siswa masih menggunakan cara algoritmis
sehingga memerlukan banyak waktu dan ada beberapa siswa melakukan kesalahan pada
langkah-langkah dalam mengerjakan soal tersebut. Dalam kegiatan presentasi kelompok,
keaktifan siswa masih rendah, hal ini terlihat dari jumlah siswa yang mau memberikan
pendapat dalam diskusi ataupun jumlah siswa yang mau mengerjakan pertanyaan masih
sangat minim dan cenderung siswa yang sama, dan 4) Sebagian besar siswa belum terbiasa
menemukan konsep-konsep sendiri melalui contoh-contoh soal yang diberikan. Siswa masih
mengalami kesulitan dalam membuat simpulan yang sistematis dan sesuai dengan yang
diharapkan.
Siklus II ini dilaksanakan berdasarkan penyempurnaan tindakan pada siklus I. Dari tes
kemampuan pemecahan masalah matematika yang dilakukan pada akhir siklus II diketahui
skor yang diperoleh siswa bervariasi dengan skor tetinggi sebesar 86 dan skor terendah
adalah 42. Rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematika pada siklus II sebesar
68,70. Secara kuantitatif rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematika pada
siklus II mengalami peningkatan dari siklus I yaitu dari 49,57 menjadi 68,70. Secara
kualitatif menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika pada siklus II
mengalami peningkatan dari siklus I yaitu dari kriteria cukup baik menjadi baik. Jika
dibandingkan dengan kriteria yang ditetapkan pada penelitian ini maka secara klasikal
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada siklus II sudah memenuhi kriteria
yang ditetapkan.
Dengan melihat skor kemampuan pemecahan masalah matematika siklus II, peneliti
menggolongkan siswa berdasarkan kriteria penggolongan pemecahan masalah matematika,
menentukan banyaknya siswa pada masing-masing kriteria, dan persentase mengenai
kemampuan pemecahan masalah matematika siklus II dapat disajikan pada tabel 4 berikut.
Sangat
Kurang baik Cukup baik Baik Sangat baik
kurang baik
Banyak siswa 0 0 7 16 14
Persentase 0% 0% 18,9% 43,2% 37,8%
3.2 Pembahasan
Heuristik adalah cara pintas secara kognitif yang menyiapkan secara matang cara
pengambilan keputusan yang akurat kepada semua individu setiap saat. Akal atau cara pintas
secara kognitif digunakan untuk melakukan tebakan dari mana harus memulai dan ke mana
harus melompat agar langkah pemecahan masalah menjadi lebih pendek, sehingga akan
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, melatih siswa untuk mengembangkan
ide-idenya dalam memecahkan masalah. Siswa tidak hanya sebagai penerima informasi dari
guru melainkan siswalah yang berusaha menemukan konsep tersebut melalui pengetahuan
yang dimiliki dengan tuntunan dari guru. Strategi pembelajaran heuristik akan membiasakan
245
siswa untuk berpikir kreatif dan inovatif serta memungkinkan siswa untuk menyampaikan
gagasan berdasarkan konsep yang dipelajari. Strategi ini juga akan membantu siswa untuk
meningkatkan aktivitas dan kreativitas belajar matematika siswa dalam proses pembelajaran
sehingga siswa tidak merasa bosan belajar matematika.
Dalam strategi pembelajaran heuristik dengan metode bekerja mundur siswa akan mampu
mengambil keputusan, mempertimbangkan alternatif pemecahan masalah, melakukan
perencanaan, dan memprediksi dari pemecahan suatu masalah dengan tepat, maka pada diri
siswa akan tumbuh rasa bangga yang secara tidak langsung akan meningkatkan motivasi
siswa dalam belajar matematika.
4. Penutup
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, maka kesimpulan dalam penelitian ini
adalah strategi pembelajaran heuristik dengan metode bekerja mundur mampu meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematika bagi siswa kelas X7 SMA Negeri 1 Singaraja
baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Pada siklus I rata-rata skor kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa sebesar 49,57 secara kualitatif tergolong kriteria cukup baik. Pada
siklus II diperoleh rata-rata skor kemampuan pemecahan masalah matematika siswa sebesar
68,70 tergolong kriteria baik.
Saran yang diajukan peneliti sesuai dengan hasil penelitian ini adalah 1) Kepada guru-guru
mata pelajaran matematika untuk mencoba menggunakan strategi pembelajaran heuristik
dengan pendekatan bekerja mundur, 2) Bagi peneliti lain agar mau meneliti bagian-bagian
yang belum sempat peneliti teliti, dan 3) Bagi peneliti yang lain penulis harapkan untuk
meneliti masalah yang sama sebagai koreksi terhadap penelitian yang telah dilakukan.
246
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : PT Rineka
Cipta.
Candiasa. I Made. 2002. Pengaruh Strategi Pembelajaran dan Gaya Kognitif Terhadap Kemampuan
Memprogram Komputer. Disertasi (tidak diterbitkan). PPs. UNJ.
Capper. 1984. Mathematical Problem Solving Research Review and Instructional Implication.
Research into Practice Digest I & II
Hudojo. Herman. 1998. Mengajar, Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Suherman, Eman. dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Sutawijaya. 1998. Pemecahan Soal dalam Pembelajaran Matematika. Makalah Disampaikan Dalam
Seminar Nasional Upaya-Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika Dalam
Menghadapi Era Globalisasi 4 April 1998. Malang
Suryanto. 1998. Pembentukan Soal Dalam Pembelajaran Matematika. Makalah Disampaikan Dalam
Seminar Nasional Upaya-Upaya Meningkatkan Peran Pendidikan Matematika Dalam
Menghadapi Era Globalisasi tanggal 4 April 1998. Malang. PPs IKIP Malang.
Suryadi, dkk. 1999. Current Situation on Mathematics and Science Education in Bandung. Bandung :
JICA-IMSTEP.
247
Abstrak. Konteks merupakan situasi dan kondisi dari suatu lingkungan yang
berhubungan dengan suatu kejadian proses belajar mengajar secara nyata. Penggunaan
konteks yang diambil dari kehidupan sehari-hari dapat memberi makna dan membangun
proses pembelajaran sehingga mengarah pada pemberdayaan potensi siswa. Bagi siswa
pembelajaran matematika menjadi menyenangkan, karena konteks secara langsung
mengarahkan siswa untuk mengetahui manfaat pembelajaran matematika dalam
kehidupan. Dalam makalah ini, disajikan konteks kalender Masehi yang bisa
digunakan pada pembelajaran matematika. Contohnya: himpunan bilangan bulat,
bilangan ganjil dan genap, penjumlahan bilangan, satuan waktu, kelipatan 7, KPK dan
FPB, aljabar, permainan angka, barisan dan deret aritmatika, Matriks (baris, kolom
,ordo, determinan matriks).
1. Pendahuluan
Standar hubungan mengenal dan menerapkan matematika pada bidang lain dibuat oleh
National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) tahun 2000, mempunyai dua arah
berbeda. Pertama, standar berkenaan dengan hubungan di dalam dan antar-ide matematika.
Kedua, matematika harus dihubungkan dengan dunia nyata dan mata pelajaran yang lain.
Siswa sedapat mungkin melihat bahwa matematika memegang peran penting dalam seni,
sains dan ilmu-ilmu sosial (Van de Welle, 2008: 5). Searah dengan hal itu, tujuan
pembelajaran matematika SMP/MTs dalam Permendiknas No 22 tahun 2006 tentang Standar
Isi di antaranya adalah memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami
masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model, dan menafsirkan solusi yang
diperoleh.
Kelulusan siswa Indonesia pada pelajaran matematika dapat dikategorikan baik dan hal
tersebut terlihat dari hasil ujian nasional (UN). Akan tetapi lain halnya dengan nilai PISA
tahun 2009 Indonesia berada peringkat 61 dari 65 negara peserta (OECD dalam Magelep,
Navel O: 2012). TIMSS mendapat peringkat 36 dari 49 negara pada tahun 2007. Hal ini
terjadi karena soal-soal yang diterapkan di Indonesia lebih banyak ke abstrak dan kurang
menyentuh pada soal pemecahan masalah serta melupakan soal bersifat konteks. Siswa
kurang terbiasa membaca soal dan memodelkannya sehingga untuk soal cerita sering
mengalami kesulitan. (Zainab, 2012 : 2).
248
Pembelajaran di sekolah sebaiknya yang mengkaitkan antara materi yang dipelajari dengan
kehidupan nyata siswa sehari-hari. Baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat
maupun warga negara dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut bagi
kehidupannya (Komalasari, 2010: 7). Pembiasaan siswa dalam masalah bersifat konteks
nyata memberikan makna pada isi, semakin mampu siswa mengkaitkan pelajaran-pelajaran
akademis mereka dengan konteks semakin banyak makna yang akan mereka dapatkan dari
pelajaran tersebut. Serta mampu mengerti makna dari pengetahuan dan keterampilam akan
menuntut pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan (Rosalin, 2008 : 43).
Pada makalah ini akan disajikan beberapa bagian kalender masehi sebagai sumbangsih
konteks dalam pembelajaran matematika.
2. Kajian pustaka
2.1 Konteks
Konteks (context) adalah kemeriahan lingkungan tempat belajar mengajar (Rosalin, 2008:
42). Menurut Zulkardi dan Ilma (2006) konteks dapat diartikan sebagai situasi atau
fenomena/kejadian alam yang berkaitan dengan konsep matematika yang sedang dipelajari.
Jadi konteks adalah cara pandang terhadap situasi dan kondisi suatu lingkungan yang
berkaitan dengan konsep matematika yang sedang dipelajari. Konteks memiliki ciri-ciri
antara lain:
a. Mudah dibayangkan oleh siswa baik situasi dan kondisinya
b. Berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa
c. Menggunakan proses pemecahan masalah
d. Dimulai dengan informal (nyata) ke formal (abstrak) dengan menggunakan
matematisasi atau pemodelan.
Keterkaitan konteks dalam pembelajaran matematika menurut Rosalin (2008: 73) dapat
dilihat dari gambar berikut:
Menurut Treffers dan Goffre (dalam Erman, S, 2003: 129), masalah kontekstual dalam
kurikulum realistic berguna untuk mengisi sejumlah fungsi, yaitu:
a. Pembentukan konsep: dalam fase pertama pembelajaran, para siswa diperkirakan untuk
masuk ke dalam matematika secara alamiah dan termotivasi.
b. Pembentukan model: masalah-masalah kontekstual memasukkan fondasi siswa untuk
belajar operasi, prosedur, notasi, aturan dan mereka mengerjakan ini dalam kaitannya
dengan model-model lain yang kegunaannya sebagai pendorong penting dalam berfikir.
c. Keterterapan: masalah kontekstual yang menggunakan „reality‟ sebagai sumber dan
domain untuk terapan.
d. Praktek dan latihan dari kemampuan spesifik dalam situasi nyata.
Suatu konteks sebaiknya tidak memuat secara eksplisit semua informasi yang relevan dengan
masalah (Freudental dalam Wijaya, 2012), tetapi sebaiknya informasi yang ada disusun.
Beberapa hal yang bisa digunakan untuk mengembangkan konteks untuk pembelajaran suatu
konsep matematika menurut Wijaya (2012: 39-40) adalah:
a. Konteks menarik perhatian siswa dan mampu membangkitkan motivasi siswa untuk
belajar matematika. (De Lange, 1987)
b. Aspek terapan suatu konsep: situasi pada konsep matematika yang sering diterapkan
atau ditemukan dan selanjutnya dijadikan sebagai kerangka utama konteks yang akan
digunakan untuk membangun konsep yang bersangkutan
c. Konteks tidak melibatkan suatu “emosi”: konteks yang berkaitan dengan kehidupan
pribadi yang sensitif
d. Memperhatikan pengetahuan awal yang dimiliki oleh siswa.
e. Konteks tidak memihak gender (jenis kelamin)
Konteks yang digunakan dalam pembahasan makalah ini adalah kalender masehi.
250
Gagne (1970) dalam Sadiman, Arief S, dkk (2012) menyatakan media adalah berbagai jenis
komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya untuk belajar. Briggs (1970)
berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan peran serta
merangsang siswa untuk belajar. Assosiasi pendidikan nasional mengemukakan media
sebagai bentuk komunikasi baik tercetak maupun audio visual serta peralatannya (Sadiman,
Arief S, dkk, 2012: 7). Segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari
pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian siswa
sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi.
Erat kaitannya dengan hal tersebut, media kalender bisa dijadikan konteks pembelajaran,
merujuk fungsi konteks dalam matematika menurut Zulkardi dan Ilma (2006) pada level
kedua, konteks berperan sebagai alat untuk mengorganisasi dan menstruktur dan
menyelesaikan suatu masalah realistis. Puspita (2011: 79) dalam padri (2013) menyatakan
kalender bisa digunakan untuk media permainan matematika.
Guru dapat memotivasi siswa untuk mencoba bagaimana mencari jumlah bilangan-bilangan
dalam setiap susunan angka tanpa menjumlahkan semua bilangan pada kalender, dengan
melalui penemuan secara aljabar (Sobel, Max.A dan Evan Mal sky, 2010: 144).
Penggunaan benda kongkret (local materials) seperti kalender bekas dalam pembelajaran
matematika memungkinkan untuk terjadinya proses investasi ke arah berpikir kreatif dan
251
pemecahan masalah matematika siswa, mengingat kalender mudah untuk diperoleh di sekitar
siswa (Wahidin, 2011: 11).
Barisan bilangan pada kalender tersusun menurut baris dan kolom. Untuk bulan Januari,
Maret, Mei, Juli, Agustus, Oktober dan Desember bilangan-bilangan pada kalender berupa
bilangan asli dari 1 sampai 31. Untuk bulan April, Juni, September, dan November berupa
bilangan asli dari 1 sampai 30. Bulan Februari berupa bilangan 1 sampai 28 (pada tahun
kabisat sampai 29) (Ismadi, Janu. 2008 : 38). Penataan bilangan secara diagonal merupakan
bilangan ganjil atau genap, contoh: 1, 9, 17, 25 dan 6, 12, 18, 24, 30.
Dikaitkan dengan himpunan pada kalender berupa: himpunan bilangan asli kurang dari 31,
himpunan bilangan ganjil kurang dari 31, himpunan bilangan genap kurang dari 31,
himpunan bulan terdiri dari 30 hari, himpunan bulan berawalan huruf J, dan lain-lain.
Melalui kalender siswa dapat memgetahui satuan waktu hari, minggu, bulan, dan tahun. 1
minggu= 7 hari, 1 bulan = 30 hari = 7 minggu, 1 tahun = 356 hari = 53 minggu.
252
Adi belajar matematika setiap dua hari dan Ida belajar matematika setiap tiga hari. Jika pada
tanggal 2 November 2013 mereka belajar bersama matematika, maka kapan lagi
mereka untuk kedua kalinya akan belajar matematika secara
bersamaan? Untuk memecahkan soal ini, kita contreng pada
tanggal:
Jadi tanggal 8 November 2013 mereka akan belajar secara bersamaan lagi.
Sedangkan untuk FPB dari 24 dan 18 misalnya, kita hanya perlu mencontreng masing-
masing faktor dari 24 dan 18. Tanggal berapa yang mendapat dua contrengan untuk pertama
kali, itulah FPB nya (Wahidin, 2011 : 9 -10).
c. Permainan angka
Berikut ini adalah beberapa contoh kalender bulan Oktober 2012, yang dapat digunakan
sebagai latihan penjumlahan dan perkalian.
1) Untuk bilangan yang membentuk persegi atau persegipanjang, pasangan bilangan pada
setiap pojok secara diagonal memberikan jumlah yang sama, misal: pilih empat angka
yang saling berdekatan, kemudian jumlahkan dua angka yang saling bersilangan,
sebagai contohnya adalah: 2 + 10 dan 3 + 9 , maka hasil kedua penjumlahannya adalah
sama yaitu 12.
253
2) Pada susunan bilangan yang membentuk persegi 3 × 3, jumlah dua bilangan yang
membentuk tanda tambah (+) adalah sama. Contoh:
Bilangan pada setiap kolom merupakan barisan aritmetika dengan beda 7, contoh 4, 11, 18,
25 dan 6, 13, 20, 27, sehingga kita bisa memperluas masalahnya kepada pertanyaan:
“tentukan bilangan pada baris ke-100 untuk hari Rabu” ataupun “bilangan 2013 berada pada
hari apa?”
Jumlah bilangan pada setiap kolom dengan banyaknya baris sama adalah berselisih 4 dari
kolom sebelumnya.
254
e. Aljabar
1) Hasil penjumlahan sembilan bilangan yang tersusun dalam 3 kolom dan 3 baris adalah
9×bilangan yang di tengah. Pemodelan matematika jumlah bilangan-bilangan ini adalah
9k (Van De Walle, John A. 2010).
1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14
15 16 17 18 19 20 21
22 23 24 25 26 27 28
29 30 31
4 5 6
11 12 13
18 19 20
3k 3k 3k
(Ismadi, Janu. 2008 : 46)
255
f. Matriks
Pada keteraturan susunan bilangan kalender polanya jika dipotong membentuk matriks.
Determinan setiap matriks berordo 2 × 2 adalah -7
Daftar Pustaka
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi
untuk Satuan Pendidikasn Dasar & Menengah. Jakarta : Depdiknas.
Erman, S. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung : UPI
Ismadi, Janu. 2008. Rahasia di Balik Bilangan ?. Jakarta : Nobel Edumedia.
Iswati. 2012. Matematika Asyik & Menyenangkan. Diakses pada tanggal 22 september 2013 dari:
http://sdalirsyad02pwt.sch.id/bermain-matematika-dengan-media-kalender/
Komalasari, Kokom. 2010. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung : PT.Reflika
Aditama
Magelep, Navel O dkk. 2012. Pengembangan Soal Matematika pada Kompetensi Proses Koneksi dan
Refleksi PISA. Journal Edukasi Matematika , 4(7), 451.
Padri, Maizal dkk. 2013. Meningkatkan Kemampuan Penjumlahan melalui Media Kalender bagi
Anak Kesulitan Belajar. Jurnal ilmiah pendidikan khusus, Volum 2. No 3 September 2013 .
Diakses pada tanggal 22 september 2013 dari : http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu .
Rosalin, E. 2008. Gagasan Merancang Pembelajaran Kontekstual. Bandung : PT. Karsa Mandiri
Persada.
Sadiman. Arief S dkk. 2012. Media Pendidikan Pengertian Pengembangan dan Pemanfaatannya.
Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.
Van De Walle, John A. 2008. Matematika Sekolah Dasar & Mengengah: Pengembangan Pengajaran
Jilid. Jakarta : Erlangga.
Wahidin. 2011. Kreatif Membelajarkan Matematika dengan Permainan Benda Kongkret. Modul
pelatihan pembelajaran matematika SD. Tanggerang.
256
Hedi Budiman
Universitas Suryakancana Cianjur; hbudiman2011@gmail.com
Abstrak. Kurikulum yang menjadi instrumen utama dalam pendidikan tidak bisa
bersifat statis. Perkembangan pengetahuan dan teknologi di era globalosasi ini,
mendorong pembaharuan dan restrukturisasi kurikulum untuk meningkatkan kualitas
dan standar pendidikan. Kegagalan reformasi pendidikan di beberapa negara tidak
begitu saja mengabaikan perubahan yang signifikan untuk menyesuaikan dengan
perkembangan jaman. Membangun konsensus untuk menetapkan standar kurikulum
pendidikan suatu negara pasti ditanggapi beragam melalui perdebatan nasional,
termasuk perdebatan dari para guru yang menjadi titik sentral transformasi pengetahuan
kepada peserta didik. Para ahli pendidikan di negara maju memprediksi pada abad
mendatang, dengan kemajuan teknologi dan kehidupan yang makin kompleks, perlu
dipersiapkannya kurikulum, pembelajaran dan keterampilan untuk peserta didik yang
inovatif yang menempatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sebagai
perangkat yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Kreativitas matematik,
berpikir kritis matematik, problem solving, komunikasi matematik, dan literasi
matematik merupakan sebagian dari kemampuan matematik peserta didik yang akan
menjadi fokus pada rancangan kurikulum pembelajaran matematika abad 21.
1. Pendahuluan
Kurikulum telah berkembang dan dianggap semakin penting serta digunakan secara
universal di era globalisasi. Kurikulum merujuk pada keseluruhan struktur ide dan kegiatan,
yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik dan
untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan. Kurikulum juga merupakan pengalaman
belajar siswa, sejauh mereka mengekspresikannya dalam tujuan dan sasaran, rencana dan
desain pembelajaran dan implementasinya dalam lingkungan sekolah. Meskipun dianggap
retorika tetapi kenyataan sudah teruji bahwa nasib bangsa dibentuk dalam ruang kelas
melalui pendidikan. Telah diakui juga bahwa pendidikan adalah unsur penting untuk
pengembangan individu, masyarakat dan bangsa. Kontribusi utama pendidikan bagi individu
merupakan hal mendasar, nilai-nilai, pengetahuan yang memadai, dan keterampilan penting.
Semua hal tersebut dibentuk melalui sistem pendidikan yang sehat yang intinya ada di
kurikulum.
Kurikulum adalah komponen penting pada proses pendidikan, yang membahas peserta didik
seperti apa yang harus belajar, apa yang dapat dilakukan, mengapa, bagaimana, dan seberapa
baik. Di masa lalu, kurikulum dirancang hanya dari sudut pandang fungsi transmisi budaya
dengan strukturnya yang mencerminkan wilayah pengetahuan saja. Mengingat kompleksitas
dunia saat ini yang selalu berubah, maka pengembangan kurikulum sangat diperlukan tidak
258
hanya sebagai rencana studi saja. Menurut Oliva (1992, 7), (a) perubahan kurikulum
merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan karena sangat diperlukan; (b) pengembangan
kurikulum merupakan kegiatan yang tidak akan pernah berakhir; (c) pengembangan
kurikulum harus bertitik tolak dari kurikulum yang ada. Kurikulum dirancang untuk
mengembangkan keberhasilan peserta didik, individu yang percaya diri dan kreatif dan
warga negara yang aktif dan informatif. Semua sektor akan bekerja sama untuk memastikan
kurikulum terbaik yang memfasilitasi peserta didik untuk berkembang. Salah satu hal yang
penting dalam pengembangan kurikulum adalah perlunya diterapkan pendekatan
pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum tersebut.
Setiap negara memiliki identitas budaya sendiri, sistem nilai dan konten pendidikan yang
dianggap berharga, bahkan tak tergantikan. Perancangan kurikulum nasional sebuah negara
selalu berkaitan dengan identitas budaya tersebut. Seperti pernyataan Lundgren (2006, 2),
bahwa kurikulum nasional pada intinya adalah alat reproduksi sosial dan budaya, dan dengan
demikian tidak dapat keluar dari konteks nasional yang diterapkan. Konten budaya ini
ditransfer ke generasi berikutnya melalui pendidikan dan nilai-nilai budaya yang
menentukan kurikulum. Negara-negara maju berupaya membuat kurikulum pendidikan yang
terbaik untuk warganya. Di abad 21 atau abad milenium baru ini, mulai 1 Januari 2001
sampai 31 Desember 2100, ditandai dengan makin kompleksnya kehidupan dan adanya
dominasi penggunaan teknologi tinggi. Aktivitas kehidupan dalam lingkungan teknologi dan
lingkupan media, yang ditandai dengan: 1) akses informasi yang mudah dan banyak, 2)
perangkat teknologi cepat berubah, dan 3) kemampuan untuk berkolaborasi dan membuat
kontribusi individu pada keadaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Masyarakat yang
efektif di abad 21 adalah orang-orang yang mampu menunjukkan berbagai keterampilan
berpikir fungsional dan kritis terkait dengan informasi, media dan teknologi.
Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) memainkan peran sentral dalam pengembangan
ekonomi dan masyarakat modern. Hal ini memiliki implikasi yang mendalam untuk
pendidikan, baik karena TIK dapat memfasilitasi bentuk-bentuk baru pembelajaran dan
karena telah menjadi penting bagi para peserta didik untuk menguasai TIK dalam persiapan
untuk kehidupan dewasa. Karenanya pendidikan menghadapi tantangan baru untuk
memberikan informasi berkaitan dengan keterampilan yang dibutuhkan dalam masyarakat
informasi. Sistem pendidikan harus menyesuaikan dengan perubahan ini, menekankan
informasi dan keterampilan teknologi, daripada yang berbasis produksi [10]. Pendidikan
harus memberikan kehidupan dan keterampilan yang diperlukan untuk berfungsi optimal dan
dinamis yang fokus pada penyelenggaraan pendidikan yang terbaik. Pendidikan juga dituntut
untuk dapat mempersiapkan peserta didik untuk berkembang dalam lingkungan ini secara
produktif yang memberikan dorongan untuk lebih inovasi, kreativitas, dan adaptasi terhadap
perubahan.
2. Kajian Literatur
Menghadapi abad millennium ini, beberapa negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa,
Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), Jepang, Skotlandia,
Australia, Finlandia, Irlandia Utara sudah menetapkan rancangan kurikulum pendidikan
menghadapi abad 21 yang akan sangat didominasi teknologi komputer yang makin maju.
Masing-masing negara di dunia melakukan pengembangan kurikulum pendidikannya dalam
rangka mengantisipasi perubahan global yang terjadi dengan semakin kompleksnya
kehidupan dan kuatnya persaingan antar individu dan antar negara.
Negara Amerika Serikat merancang kurikulumnya dengan nama The Partnership for 21st
Century Skills, yang mendeskripsikan keterampilan, pengetahuan dan keahlian peserta didik
yang harus dikuasai untuk mencapai keberhasilan dalam pekerjaan dan kehidupan. Kerangka
kurikulum ini merupakan perpaduan antara pengetahuan yang dimiliki, keterampilan khusus,
keahlian dan kemahiran. Dalam melaksanakan kerangka kurikulum ini, proses harus
terencana dan sistematis serta diperlukan penilaian kurikulum dan pengajaran,
pengembangan profesional dan lingkungan belajar yang lebih terlibat dalam proses belajar.
Untuk mengembangkan keterampilan peserta didik, diperlukan peningkatan pengetahuan dan
pemahaman mata pelajaran akademis yang inti. Peserta didik yang dapat berpikir kritis,
berkomunikasi dan berkolaborasi dengan lingkungannya secara efektif menandakan
keberhasilan dalam membangun pengetahuan mata pelajaran inti dan membangun potensi
untuk berhasil dalam kehidupan selanjutnya.
Dari kerangka kurikulum di atas, hasil yang ingin dicapai pada Learning and Innovation
Skills yaitu (1) Kreativitas dan Inovasi, (2) Berpikir Kritis dan Problem Solving, dan (3)
Komunikasi dan Kolaborasi. Untuk Information, Media and Technology Skills yaitu (1)
Literasi Informasi yaitu mengakses informasi secara efisien dan efektif, mengevaluasi
informasi kritis dan menguasai dan menggunakan informasi secara akurat dan kreatif untuk
isu atau masalah yang dihadapi; (2) Media Literasi yaitu memahami bagaimana pesan media
dibangun, untuk tujuan apa dan menggunakan alat-alat yang karakteristik dan konvensi; (3)
Literasi ICT yaitu menggunakan teknologi digital, alat komunikasi dan/atau jaringan tepat
untuk mengakses, mengelola, mengintegrasikan, mengevaluasi, dan menciptakan informasi
dalam rangka mengembangkan pengetahuan.
Pada kurikulum matematika, beberapa keterampilan yang diharapkan tercapai pada setiap
peserta didik adalah seperti pada Tabel 1 di bawah ini:
digital, dan sebagian besar kegiatan yang berkaitan dengan komunikasi peer-to-peer dan
konstruksi pengetahuan dimediasi oleh teknologi tersebut. Generasi milenium ini dianggap
mahir dengan komputer, kreatif dengan teknologi, sangat terampil dalam multitasking di
dunia dengan kemudahan koneksinya. Generasi milenium ini akan berdampak pada
penerapan kurikulum yang sesuai. Wacana dari manfaat pendidikan dengan penggunaan TIK
harus dilihat dalam domain seperti kerja tim, kreativitas, pemecahan masalah dan sejenisnya.
Hasil penelitian selama ini berkaitan dengan penggunaan TIK sebagai media pembelajaran
cukup positif pengaruhnya kepada peserta didik.
2.1.3 Australia
Implementasi kurikulum baru di bidang matematika dilakukan pada tahun 2011. Struktur
kurikulum baru ini terdiri atas bilangan dan aljabar, geometri dan pengukuran, statistik dan
probabilitas, serta empat buah profisiensi yang harus dibentuk pada peserta didik yaitu
kelancaran (fluency), pemahaman (understanding), penalaran (reasoning) dan pemecahan
masalah (problem solving), seperti yang dijelaskan oleh Kilpatrick, Swafford & Findell [1].
Pemecahan masalah digambarkan sebagai kemampuan untuk membuat pilihan, menafsirkan,
merumuskan, model dan menyelidiki situasi masalah, dan mengkomunikasikan penyelesaian
secara efektif [4]. Harapan terhadap pemecahan masalah ini akan dijabarkan untuk
mendukung pengajaran dan penilaian untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran yang
efektif.
Pada abad 21, kapasitas Australia untuk memberikan kualitas kehidupan yang tinggi, akan
tergantung pada kemampuan untuk bersaing di ekonomi global bidang pengetahuan dan
inovasi. Pendidikan melengkapi peserta didik dengan pengetahuan, pemahaman,
keterampilan dan nilai-nilai yang bermanfaat untuk menghadapi tantangan di abad
mendatang dengan keyakinan. Globalisasi dan teknologi mengubah tuntutan yang lebih besar
pada pendidikan dan pengembangan keterampilan di Australia. Untuk memaksimalkan
peluang untuk lebih sehat, produktif dan berjangka bermanfaat, peserta didik harus didorong
tidak hanya untuk menyelesaikan pendidikan sekolah menengah, tetapi juga untuk
263
Dampak dari kemajuan yang pesat dan berkelanjutan pada teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) dapat mengubah cara orang dalam saling berbagi, menggunakan,
mengembangkan dan memproses teknologi dan informasi. Dalam era digital ini, peserta
didik perlu menjadi sangat terampil dalam menggunakan TIK. Sementara sekolah-sekolah
yang sudah menerapkan teknologi ini dalam pembelajaran, perlu meningkatkan efektivitas
secara signifikan untuk dekade berikutnya.
Hasil penelitian OECD menunjukkan (a) hampir semua peserta didik usia 15 tahun di
negara-negara OECD memiliki pengalaman menggunakan komputer, tetapi lamanya waktu
peserta didik menggunakan komputer sangat berbeda antarnegara tersebut; (b) akses ke
komputer di rumah dan di sekolah telah meningkat dan sebagian besar peserta didik sekarang
memiliki akses ke komputer di rumah dan sekolah. Namun, peserta didik yang tidak
memiliki akses komputer di rumah umumnya berasal dari latar belakang sosial ekonomi
rendah, terutama di negara-negara di mana keseluruhan akses ke komputer rumah relatif
264
rendah; (c) kesenjangan antarnegara sangat besar dalam hal sarana komputer untuk belajar di
rumah; (d) jumlah komputer per peserta didik di sekolah telah meningkat, tetapi tetap sangat
tidak merata di seluruh negara, dan di beberapa negara mayoritas kepala sekolah percaya
bahwa kekurangan komputer menghambat pengajaran [5]. Penggunaan komputer ini tidak
terlepas dari perkembangan teknologi yang ada di negara-negara tersebut.
Pada pembelajaran di abad 21, peserta didik membutuhkan akses ke perangkat digital dan
sumber daya media yang akan membantu dalam mengeksplorasi, memahami, dan
mengekspresikan diri. Pendidik perlu akses ke media dan sumber daya untuk berbagi
pengetahuan dan penerapannya dengan pendidik lain, berinteraksi dengan para ahli di
bidangnya, dan terhubung dengan peserta didiknya, orangtua dan masyarakat. Orang yang
bekerja dibidang administrasi perlu akses ke media dan sumber daya yang sama untuk
mengelola kompleksitas pengelolaan pendidikan untuk memberikan informasi yang lengkap.
Infrastruktur perlu dirancang dengan fleksibilitas tinggi agar dapat memfasilitasi
komunikasi.
Agar peserta didik memperoleh keterampilan di abad ke-21, sistem pendidikan harus
menciptakan lingkungan belajar bagi peserta didik dan pendidik yang mencerminkan orang
yang berkinerja tinggi, organisasi berbasis pengetahuan. Sistem pendidikan ini dapat
memotivasi setiap orang untuk berkontribusi, dapat memenuhi standar tinggi dan model
strategi yang efektif. Sistem ini menumbuhkan budaya berbagi pengetahuan dan kolaborasi,
melibatkan orang dalam tantangan yang menarik, menantang peserta didik untuk mengenali
dan memecahkan masalah, memberi mereka kesempatan untuk belajar dan berkembang, dan
memberikan penghargaan untuk sebuah solusi kreatif. Juga memberikan dukungan kepada
peserta didik dengan alat-alat teknologi yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang optimal.
Penggunaan TIK tidak hanya membuat tuntutan baru pada sekolah untuk mencapai hasil
yang diinginkan, tetapi juga menawarkan alat baru yang penting dalam proses pendidikan.
Para pembuat kebijakan dan pendidik mengintegrasikan teknologi ke sekolah-sekolah
dengan tujuan utama meningkatkan pengajaran dan pembelajaran dalam mata pelajaran dan
juga dengan tujuan meningkatkan motivasi bagi peserta didik dan guru. Penggunaan TIK
yang efektif di sekolah dapat berdampak positif langsung pada lingkungan belajar sekolah,
misalnya dengan: menciptakan interaksi yang lebih dinamis antara peserta didik dan guru,
meningkatkan kolaborasi dan kerja tim dalam pemecahan masalah, merangsang kreativitas
bagi peserta didik dan guru, dan membantu peserta didik untuk mengontrol dan memonitor
belajar mereka sendiri [5].
265
harus dimanfaatkan secara efektif. Teknologi informasi dan komunikasi akan digunakan
untuk mendukung proses belajar peserta didik. Kemampuan yang diharapkan dari kurikulum
ini yaitu untuk keterampilan pembelajaran dan inovasi (Magner et al, 2011). Beberapa
program komputer yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika, di antaranya:
1) Statistik dan Probabilitas : SPSS, Minitab, SAS, Lisrel, Amos, dan lain-lain
2) Pengukuran dan Geometri
Untuk dimensi dua (2D): Geogebra, Cabri II, GSP, Carmetal, Cinderella, Euklides,
Autograph, dan lain-lain
Untuk dimensi tiga (3D): Archimedes Geo3D, Cabri 3D, GeoGebra (versi 5.0 Beta),
Geometria, GeomSpace, GeomView, GEUP 3D, Sterizium, Yenka 3D Shapes,
Autograph, dan lain-lain
3) Berhitung dan Aljabar: Mapel, CAS, Derive, Autograph, Octave, Math Mechanixs, dan
lain-lain.
Temuan PISA menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara kinerja peserta didik dan
pendekatan pembelajaran, seperti motivasi mereka untuk belajar, keyakinan terhadap
kemampuan sendiri dan strategi belajarnya. Pendekatan pembelajaran tidak hanya terkait
dengan kesuksesan tetapi juga dapat dilihat sebagai hasil pendidikan itu sendiri, misalnya
setelah peserta didik menyelesaikan pendidikan di sekolah, mereka harus mengatur cara
belajarnya sendiri. Untuk melakukan ini, peserta didik harus mampu menetapkan tujuan,
tekun, dapat memantau proses belajarnya, menyesuaikan strategi belajar yang diperlukan dan
dapat mengatasi kesulitan dalam belajar. Peserta didik yang lulus sekolah dengan berbekal
pemahaman untuk mengatur tujuan pembelajarannya akan lebih siap untuk menjadi
pembelajar seumur hidup yang sukses. Hasil PISA juga memperlihatkan bahwa ada variasi
yang besar dalam karakteristik antara peserta didik di setiap sekolah. Relatif sedikit sekolah
yang berhasil dalam menerapkan pendekatan pembelajaran yang konsisten kepada para
peserta didiknya. Hal ini menunjukkan pentingnya sekolah dan guru untuk terlibat secara
konstruktif dengan heterogenitas kemampuan peserta didik dan karakteristik yang
dimilikinya.
3. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal yang penting:
a. Kurikulum pendidikan tidaklah bersifat statis. Perubahan kurikulum pendidikan
dilakukan menyesuaikan dengan perkembangan jaman, karena pembentukan peserta
didik dalam proses pendidikan akan menentukan kekuatan dan persaingan terhadap
negara lain di masa depan.
b. Negara-negara maju berupaya melakukan perubahan kurikulum pendidikan
mengantisipasi perkembangan teknologi yang begitu pesat. Salah satu hal yang
mendorong perubahan ini adalah bahwa penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi dapat meningkatkan potensi kognitif dan afektif peserta didik.
c. Kurikulum pembelajaran matematika pada abad milenium baru berupaya untuk
memadukan teknologi yang berkembang dengan materi bahan ajar. Beberapa aplikasi
268
program komputer semakin berkembang yang memudahkan bagi pendidik dan peserta
didik menggunakannya dalam proses pembelajaran di kelas.
d. Negara-negara maju mengembangkan kurikulum pembelajaran matematika konsisten
pada pokok bahasan tertentu dari mulai sekolah dasar (elementary) sampai SMA
(secondary), sehingga output yang dihasilkan dari setiap peserta didik setelah
menyelesaikan pendidikannya di tingkat SMA mudah diukur tingkat ketercapaiannya.
Daftar Pustaka
Kilpatrick, J., Swafford, J., & Findell, B. Adding it Up: How Children Learn Mathematics.
Washington, DC: National Research Council. (2001).
Lundgren, U. P.. The Need for a Reorientation of Curriculum Theory. Paper presented at IAACS, The
Second World Curriculum Studies Conference: Curriculum as an International Conversation.
Tampere, Finland. (2006).
Magner, J., T., Bishop, J., Varshavsky, T. The Partnership for 21st Century Skills. [Online]. Tersedia:
http://www. p21.org. (2011).
National Curriculum Board (NCB). Shape of The Australian Curriculum: Mathematics. Barton, ACT:
NCB. (2009)
OECD. Are Students Ready for a Technology-Rich World? What PISA Studies Tell Us. Programme for
International Student Assessment. (2005).
OECD. Learning in the 21st Century: Research, Innovation and Policy. [Online]. Tersedia:
http://www.oecd.org. (2008).
Oliva, Peter F. Developing The Curriculum. New York : Harper Collins Publisher. (1992).
Ramey, K. Use Of Technology In The Classroom and Its Benefit. [Online]. Tersedia:
http://www.useoftechnology.com. (2012).
Ramey, K. Future Of Technology In Education. [Online]. Tersedia: http://www.
useoftechnology.com. (2012).
Robin, B.R. Digital Storytelling: A Powerful Technology Tool for the 21st Century Classroom. The
College of Education and Human Ecology, The Ohio State University. (2011).
Skilbeck, M. School Based Curriculum Development & Teacher Education Mimograph. OECD.
(1984).
UNESCO. Glossary of Curriculum Terminology. UNESCO International Bireu of Education. (2013).
United States Naval Observatory (USNO). The 21st Century and the 3rd Millennium When Did They
Begin?. [Online]. Tersedia: http://aa.usno.navy.mil/faq/docs/millennium.php. (2011).
269
Heru Waseso
SD Muhammadiyah Sapen, Jl. Bimokurdo No. 33, Yogyakarta, heruspn@gmail.com
Abstrak. Siswa slow learner (lambat belajar) adalah sekelompok siswa di sekolah yang
perkembangan belajarnya lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan rata-rata
siswa seusianya. Pada umumnya siswa slow learner mempunyai kemampuan
kecerdasan di bawah rata-rata. Saat ini banyak permainan tradisional yang semakin
lama semakin menghilang berganti dengan permainan yang lebih modern namun tidak
mendidik. Salah satu permainan tradisional yang memiliki manfaat dan dapat di
gunakan sebagai media pembelajaran matematika pada siswa slow learner adalah
permainan congklak. Melalui media permainan congklak diyakini akan meningkatkan
sedikit demi sedikit keterampilan berhitung siswa slow learner.
1. Pendahuluan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan
khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang
memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan
pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Siswa lambat belajar (slow learner) adalah siswa yang mengalami hambatan atau
keterlambatan dalam perkembangan mental (fungsi intelektual di bawah teman-teman
seusianya) disertai ketidakmampuan/kekurangmampuan untuk belajar dan untuk
menyesuaikan diri sedemikian rupa sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus.
Oleh sebab itu siswa lambat belajar dapat digolongkan peserta didik yang berkebutuhan
khusus, yang membutuhkan lebih banyak waktu, lebih banyak pengulangan dan harus
seringkali berkonsultasi dengan guru agar mencapai kesuksesan. Yusuf (2005:58)
mengemukakan bahwa “Anak yang prestasi belajarnya rendah tetapi IQ nya sedikit di bawah
rata-rata disebut anak yang lamban belajar atau slow learner”. Siswa yang lambat belajar
(slow learner) adalah sekelompok siswa di sekolah yang perkembangan belajarnya lebih
lambat dibandingkan dengan perkembangan rata-rata teman seusianya. Pada umumnya
mereka ini mempunyai kemampuan kecerdasan dibawah rata-rata. Siswa yang lambat belajar
tersebut sering dikenal sebagai anak yang “sub normal, mentally relarted” seperti yang
270
dijelaskan dalam “Dictionary of Psychology”: slow learner a non technical variously applied
to children who are some what mentally retarted or are developing at a slower that normal
rate (Ernest R. Hillgrad,1962).
Siswa lambat belajar berbeda dengan siswa yang prestasi belajarnya rendah (under
achiever). Siswa lambat belajar perkembangan atau prestasi belajarnya lebih rendah dari
rata-rata karena mempunyai kemampuan kecerdasan yang lebih rendah dari rata-rata.
Sedangkan siswa yang berprestasi rendah (under achiever) prestasi belajarnya lebih rendah
dari rata-rata, tetapi kemampuan kecerdasannya normal atau mungkin lebih tinggi.
Dalam pembelajaran seorang guru dapat melakukan bermacam tindakan yang dapat
mengembangkan fungsi fisik, sensomotorik, daya khayal, bina diri, sosialisasi, dan
pengembangan intelektual siswa lambat belajar. Oleh sebab itu siswa lambat belajar harus
mendapatkan pendidikan dan penanganan khusus agar dapat berkembang dan mandiri.
Teori kecerdasan berasumsi bahwa kecerdasan bukanlah suatu unsur yang beraspek tunggal,
melainkan terdiri dari berbagai unsur atau kemampuan yang bersifat khusus (general
ability dan special ability). Kemampuan umum dimaksud adalah rangkuman dari berbagai
kemampuan pada bidang tertentu, sedangkan kemampuan khusus adalah kemampuan yang
dimiliki pada bidang-bidang tertentu, seperti kemampuan berhitung, bahasa, pengamatan
ruang, dan lain-lain (Efendi, 2009: 96).
Pelajaran matematika atau berhitung untuk sebagian siswa lambat belajar dianggap pelajaran
yang sulit dan menakutkan. Matematika menjadi sulit karena mungkin siswa tersebut belum
siap atau ada faktor lain yang berkaitan dengan cara guru matematika mengajar atau ada
271
masalah intrinsik dalam diri siswa, misalnya ada gangguan konsentrasi, gangguan persepsi
dan lain-lain. Selain itu, sudah menjadi sifat ilmu matematika bahwa di dalam proses
keterampilan matematika atau berhitung itu membutuhkan kemampuan kognitif untuk
berpikir logis dan analitis, “...sehingga bagi yang bermasalah dalam kemampaun kognitifnya
akan mengalami masalah ketika belajar matematika atau berhitung” (Runtukahu, 1996: 86).
Sebuah proses pembelajaran guru bukanlah satu-satunya yang dapat dijadikan narasumber.
Sebab salah satu peran guru adalah dalam proses belajar adalah sebagai fasilitator dan
mediator. Konsekuensinya sebagai seorang mediator, guru hendaknya memiliki pengetahuan
yang cukup luas tentang media pendidikan karena merupakan alat komunikasi untuk lebih
mengefektifkan proses belajar mengajar. Gagne dalam Rachmad (2009) mengartikan,
“Media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsangnya
untuk belajar”. Fungsi utama dari media adalah untuk membantu terbentuknya persepsi
secara benar.
Pemanfaatan media permainan congklak sebagai salah satu media dalam pendidikan telah
menjadi hal yang jarang pada saat ini. Peranan congklak dalam kegiatan pembelajaran
matematika memberikan peranan yang cukup besar sebagai salah satu faktor eksternal yang
mampu mempengaruhi hasil belajar siswa. Pembelajaran dengan media belajar congklak
dapat diberikan kepada semua siswa dengan berbagai macam perbedaan dan kebutuhan,
terutama pada siswa lambat belajar.
Pelajaran matematika atau berhitung untuk sebagian siswa lambat belajar dianggap pelajaran
yang sulit dan menakutkan. Matematika menjadi sulit karena mungkin siswa tersebut belum
siap atau ada faktor lain yang berkaitan dengan cara guru matematika mengajar atau ada
masalah intrinsik dalam diri siswa, misalnya ada gangguan konsentrasi, gangguan persepsi
dan lain-lain. Selain itu, sudah menjadi sifat ilmu matematika bahwa di dalam proses
keterampilan matematika atau berhitung itu membutuhkan kemampuan kognitif untuk
berpikir logis dan analitis, “...sehingga bagi yang bermasalah dalam kemampaun kognitifnya
akan mengalami masalah ketika belajar matematika atau berhitung” (Runtukahu, 1996: 86).
Keterampilan matematika atau berhitung tetap harus dipelajari oleh setiap siswa agar
menjadi bekal hidupnya di masa depan, sebab tidak bisa dipungkiri bahwa hampir dalam
setiap kehidupan manusia membutuhkan kemampuan berhitung. Melalui keterampilan
berhitung diharapkan siswa mampu memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan
nyata yang membutuhkan keterampilan matematika atau berhitung.
272
Bagi siswa lambat belajar, mereka juga perlu belajar berhitung. Namun tentunya pelajaran
berhitung yang disampaikan kepada siswa lambat belajar berbeda dengan pelajaran
matematika atau berhitung pada umumnya. Materi pelajaran berhitung bagi siswa lambat
belajar harus lebih kongkrit dan sesuai dengan kebutuhannya. Jika sesuai dengan hal itu
maka mereka pun dapat mengikuti pelajaran berhitung dengan baik.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya meskipun siswa lambat belajar
mengalami hambatan dalam berhitung akan tetapi siswa lambat belajar juga masih
mempunyai potensi dalam berhitung yang bisa dikembangkan dengan menggunakan
permainan congklak
Dari definisi yang dikemukakan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat elemen
yang sangat penting yang menjelaskan pengertian tentang belajar yaitu: (a) belajar
merupakan suatu perubahan dalam tingkah laku, di mana perubahan itu dapat mengarah
kepada tingkah laku yang baik, tetapi juga ada kemungkinan mengarah kepada tingkah laku
yang lebih buruk, (b) belajar merupakan suatu perubahan yang terjadi melalui latihan atau
pengalaman, dalam arti perubahan-perubahan yang disebabkan oleh pertumbuhan atau
kematangan tidak dianggap sebagai hasil belajar, seperti perubahan-perubahan yang terjadi
pada diri seorang bayi.
Kata pembelajaran dipakai sebagai padanan kata dari kata Bahasa Inggris yaitu instruction.
Kata instruction mempunyai pengertian yang lebih luas dari pada pengajaran. Jika kata
pengajaran di dalam konteks guru dan siswa di ruang kelas (formal), pembelajaran atau
instruction mencakup pula kegiatan belajar mengajar yang tidak dihadiri guru secara fisik.
Oleh karena dalam instruction yang ditekankan adalah proses belajar, maka usaha-usaha
yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam
diri siswa kita sebut pembelajaran (Sadiman, 1989: 7).
Proses pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru
sebagai pemegang peranan utama. Proses pembelajaran banyak berakar pada berbagai
pandangan dan konsep. Oleh karena itu, perwujudan proses dapat terjadi dalam berbagai
model. Bruce Joice dan Marshal Weil mengelompokkan kedalam empat hal yang berkaitan
dengan proses pembelajaran yaitu: (a) proses informasi, (b) perkembangan pribadi, (c)
interaksi sosial, dan (d) modifikasi tingkah laku (Moh. Uzer Usman, 1995: 1).
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa media dan proses pembelajaran adalah
satu kesatuan yang dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dalam proses pembelajaran.
273
Untuk menciptakan proses pembelajaran yang baik dan tidak membosankan, guru dan siswa
harus bersama-sama aktif. Keaktifan tersebut dapat diwujudkan dengan menggunakan media
atau alat peraga. Media atau alat peraga yang digunakan dengan efektif dan efisien dalam
proses pembelajaran dapat mengurangi verbalisme siswa dalam memahami materi pelajaran
yang diberikan oleh guru.
Media pembelajaran sangat penting pada proses pembelajaran. Guru berperan penting dalam
memanfaatkan media dan sumber belajar tersebut (Dimyati, 2009: 36). Keterlibatan siswa
dalam proses pembelajaran merupakan hal yang penting, bukan sekedar keinginan untuk
berprestasi. Ketika siswa merasa senang dalam proses pembelajaran maka selanjutnya
kegiatan pembelajaran akan berjalan lancar dan sesuai yang diharapkan.
Untuk siswa lambat belajar, media pembelajaran yang sesuai adalah yang berhubungan
dengan permainan. Freun berpendapat bahwa bermain merupakan cara seeorang untuk
membebaskan diri dari berbagai tekanan yang kompleks dan merugikan. Melalui kegiatan
bermain perasaan menjadi lega, bebas dan berarti. Mengingat pentingnya bermain untuk
siswa lambat belajar, dewasa ini aktivitas bermain dikembangkan menjadi play
therapy. Terapi permainan yang diperuntukan bagi siswa lambat belajar bukan sembarang
permainan tetapi harus sesuai kondisi fisik dan psikisnya.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika memilih format belajar pada siswa. Dr.
Coolie Verner membedakan tiga elemen dalam proses pendidikan yang mempunyai fungsi
berbeda, yaitu: (1) metode, yaitu suatu pengorganisasian peserta untuk tujuan pendidikan, (2)
teknik, yaitu bermacam cara dimana tugas-tugas belajar diatur untuk memfasilitasi
belajar, (3) alat, yaitu segala sesuatu atau kondisi yang didayagunakan untuk meningkatkan
teknik dan membuat belajar lebih terarah (Zainudin Arif,1986: 43,44).
Teknik dalam permainan congklak sangatlah mudah untuk dilakukan atau bisa dibilang tidak
rumit sehingga mudah untuk meningkatkan ketrampilan berhitung. Melihat siswa lambat
belajar adalah siswa yang tidak suka dengan keribetan dan congklak ini sangat mudah untuk
dimainkan, maka diyakini congklak bisa mengembangkan ketrampilan berhitung siswa
lambat belajar.
274
Permainan congkak merupakan permainan yang dimainkan oleh dua orang. Alat yang
digunakan terbuat dari kayu atau plastik berbentuk mirip perahu dengan panjang sekitar 75
cm dan lebar 15 cm. Pada kedua ujungnya terdapat lubang yang disebut induk. Diantara
keduanya terdapat lubang yang lebih kecil dan induknya berdiameter kira-kira 5 cm. Setiap
deret berjumlah 7 lubang. Pada setiap lubang kecil tersebut diisi dengan biji congklak yang
biasa menggunakan kerang atau biji-bijian sebanyak 7 buah. Alat permainan congklak bisa
dilihat pada gambar berikut,
Permainan congklak dilakukan oleh dua orang pemain. Cara bermain congklak dimulai
dengan mementukan pemain yang berjalan terlebih dahulu. Pemain pertama mengambil biji
congklak yang ada di lubang bagian sisinya kemudian bergerak searah jarum jam
mengisikan biji congklak tersebut satu per satu ke lubang yang dilalui termasuk lubang
induk milik pemain pertama kecuali lubang induk milik lawan (pemain kedua), jika biji
congklak terakhir jatuh di lubang yang terdapat biji congklak lain maka biji congklak
tersebut diambil lagi untuk diteruskan mengisi lubang-lubang selanjutnya. Begitu seterusnya
sampai biji congklak terakhir jatuh kelubang yang kosong. Jika biji congklak terakhir itu
jatuh di lumbung sendiri, maka pemain bebas untuk memilih lubang berisi biji congklak
untuk melanjutkan permainannya. Jika biji congklak terakhir tadi jatuh pada lubang yang
kosong maka giliran pemain lawan yang melakukan permainan. Permainan ini berakhir jika
biji congklak yang terdapat pada lubang yang kecil telah habis dikumpulkan. Pemenangnya
adalah pemain yang paling banyak mengumpulkan biji congklak ke lubang induk miliknya.
Siswa lambat belajar akan medapatkan manfaat dengan adanya permainan congklak.
Permainan congklak secara tidak langsung dapat menyumbang kegiatan jasmani adaptif
mereka, yaitu melatih motorik halus mereka. Ketika siswa lambat belajar memindahkan
biji congklak dari satu lubang ke lubang lain, maka mereka melatih motorik halus mereka.
Ketika siswa bermain congklak dengan senang, sistem limbiknya akan terbuka, konsep
matematikanya akan terbangun. Pembangunan konsep ini sangat penting untuk
meningkatkan ketrampilan matematika, karena matematika bukanlah sekedar hafalan saja.
Permainan congklak dapat digunakan siswa untuk memahami konsep bilangan dan
meningkatkan ketrampilan matematika. Pertama, ketika awal permainan siswa menghitung
biji congklak yang jumlahnya 49, bisa dengan cara 1 + 1 + 1 + ... + 1 = 49 atau 7 + 7 + ... + 7
275
= 49, hal ini dapat diartikan siswa belajar penjumlahan. Kedua, ketika siswa memasukkan
biji congklak ke dalam 7 lubang, bisa dengan cara 49 – 1 – 1 – 1 – ... – 1 = 0 atau 49 – 7 – 7
– ... – 7 = 0, hal ini dapat diartikan siswa belajar pengurangan. Ketiga, ketika siswa
menjumlahkan 7 + 7 + ... + 7 = 49, maka siswa akan belajar perkalian, karena penjumlahan
secara berulang adalah bentuk panjang dari perkalian, sehingga dapat ditulis bentuk
perkaliannya 7×7=49. Keempat, ketika siswa mengurangkan 49 – 7 – 7 – ... – 7 = 0, maka
siswa akan belajar pembagian, karena pengurangan secara berulang adalah bentuk panjang
dari pembagian, jumlah biji congklak yang mula-mula 49 dikurangi 7 sampai habis, sehingga
dapat ditulis bentuk pembagiannya 49:7=7. Ketika siswa sebagai pemain pertama mengawali
permainan, siswa akan mengambil 7 biji congklak dan memasukkan ke lubang berikutnya
termasuk lubang induk miliknya, maka siswa belajar pengurangan berulang yang merupakan
bentuk panjang dari pembagian. Sampai pada biji congklak ke-7 dimasukkan, siswa belajar
menjumlahkan 1 dengan jumlah biji congklak yang ada pada lubang tersebut, dan
seterusnya. Melalui congklak, siswa dapat belajar tentang konsep penjumlahan,
pengurangan, perkalian bahkan pembagian.
Siswa bukan hanya belajar berhitung tapi juga mengasah kemampuan logika dan ketrampilan
matematikanya. Siswa belajar mengestimasi dan menyusun strategi untuk memenangkan
permainan dengan memikirkan pilihan agar mengisi sebanyak-banyaknya lubang besar
miliknya. Siswa memperhitungkan mana jalan yang paling menguntungkan baginya. Saat
memilih lubang mana yang akan diambil, siswa belajar mengambil keputusan dan
menanggung resiko atas keputusannya.
Permainan congklak juga memiliki manfaat lain yaitu melatih kesabaran, meningkatkan
ketelitian, belajar menyelesaikan masalah, dan membentuk karakter mulia lainnya. Dalam
hal melatih kesabaran, pemain khususnya yang tidak sedang bermain/melangkah harus
bersabar menunggu lawannya melakukan kesalahan sehingga tiba gilirannya, pemain yang
sedang bermain juga harus bersabar memasukkan satu per satu biji congklak ke dalam
lubang. Meningkatkan ketelitian, pemain yang sedang bermain harus teliti dalam
memasukkan biji congklak satu per satu dalam lubang, sedangkan pemain yang sedang tidak
bermain/melangkah juga harus teliti mengawasi/memastikan biji congklak di masukkan satu
per satu dalam lubang jangan sampai lawan melakukan kecurangan. Belajar menyelesaikan
masalah, saat bermain bukan hanya yang baik-baik saja kadang ada siswa yang curang.
Karena ada yang curanglah, maka siswa belajar mempertahankan haknya dengan cara
komunikasi yang baik. Dengan congklak siswa juga belajar saling menghormati, berlapang
dada menerima kekalahan, rendah hati dan merasakan perasaan kecewa (empati) kepada
yang kalah.
permainan congklak. Congklak mudah didapat, relatif murah, terjangkau dan mudah
dimainkan tetapi mempunyai manfaat cukup besar dalam membantu siswa lambat belajar
dalam proses pembelajaran matematika khususnya dalam melatih kemampuan berhitung.
Media pembelajaran menggunakan permainan congklak diyakini akan meningkatkan sedikit
demi sedikit keterampilan berhitung siswa slow learner.
Untuk guru: (1) Sebaiknya guru mengetahui terlebih dahulu siswa lambat belajar yang diajar
termasuk dalam tahap belajar apa, sehingga dengan begitu akan mudah bagi guru
memberikan pembelajaran dan teknik yang sesuai dengan perkembangan belajar
anak; (2) Guru harus menggunakan media untuk mendukung pembelajaran, karena
perkembangan siswa lambat belajar yang sulit untuk membayangkan dan memikirkan hal-
hal yang abstrak sehingga dengan adanya media akan membantu mereka untuk
berilustrasi; (3) Guru diharapkan dapat ikut serta melestarikan permainan congklak sebagai
permainan asli Indonesia sekaligus dapat menggunakannya sebagai media pembelajaran
untuk meningkatkan ketrampilan berhitung pada siswa slow learner.
Daftar Pustaka
Dimyati dan Mujiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Efendi, M. 2009. Pengantar Anak Berkelainan. Jakarta: Bumi Askara.
Purwanto, M. Ngalim.1997. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Runtukahu, T. 1996. Pembelajaran Matematika Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Depdikbud Dirjen
Dikti: Jakarta.
Sadiman, S, dkk. 2007. Media Pendidikan ( Pengertian, Pengembangan, danPemanfaatan).Jakarta:
PT. Raja GrafindoPersada.
Sukayati. 2003. Media Pembelajaran Matematika SD (Materi Pelatihan Instruktur Matematika SD).
PPPG Matematika.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan
Penjelasannya, Jakarta: Cemerlang, 2003
Usman, Moh. Uzer. 1993. Upaya Optimalisasi Kegiatan Belajar Mengajar Bahan Kajian PKG,
MGBS, MGMP. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Yusuf, S. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000.
Zainudin, Arif. 1986. Andragogi. Bandung: Angkasa.
277
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN
PROBLEM POSING TIPE WITHIN SOLUTION
POSING UNTUK MENINGKATKAN KEAKTIFAN
BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VIII
SMP NEGERI 1 AMPELGADING
KABUPATEN MALANG
Hidayah Susatri
Kata Kunci : problem posing tipe within solution posing, straight line equation, active
in learning mathematics
1. Pendahuluan
Berdasarkan pengalaman penulis selama mengajar di SMP Negeri 1 Ampelgading,
Kabupaten Malang, menunjukkan bahwa siswa-siswa di sekolah ini kurang aktif dalam
belajar matematika. Siswa cenderung pasif sehingga terkesan hanya guru yang berperan aktif
dalam belajar. Aktivitas siswa kurang didayagunakan sehingga sebagian besar siswa hanya
datang, duduk, dan mendengarkan, seolah-olah siap menampung semua yang diberikan guru
tanpa ada upaya untuk lebih aktif menggali pengetahuannya secara lebih mandiri.
Pembelajaran matematika yang diterapkan rata-rata masih berpusat pada guru, sehingga
siswa nampak pasif dan tidak bergairah karena mereka tidak terlibat langsung dalam
aktivitas belajar. Ketidakaktifan siswa dapat disebabkan karena motode pembelajaran yang
278
kurang tepat serta adanya latar belakang yang berbeda-beda dari setiap siswa, sehingga perlu
di terapkan motode pembelajaran yang dapat meningkatkan keaktifan belajar siswa di SMP
Negeri 1 Ampelgading, kabupaten Malang.
Kondisi seperti ini, membuat peneliti termotivasi dan merasa tertantang untuk memperbaiki
dan mencari solusi dari permasalahan tersebut. Peneliti mencoba menerapkan pendekatan
pembelajaran dengan pendekatan Problem Posing tipe Within Solution Posing. Dengan
pembelajaran Problem Posing tipe Within Solution Posing, peneliti ingin mendapatkan
diskripsi peningkatan keaktifan belajar siswa.
Menurut Dimyati dan Mujiono (2009:51) dalam pembelajaran matematika, Problem Posing
menempati posisi yang strategis karena dengan membuat soal, secara tidak langsung dapat
diketahui tentang pemahaman siswa terhadap materi yang berkaitan, siswa harus menguasai
materi dan urutan penyelesaian soal secara lengkap dan jelas dalam kegiatan pembelajaran
maupun kegiatan belajar, siswa dituntut untuk selalu aktif memproses dan mengolah
perolehan belajarnya. Untuk dapat memproses dan mengolah perolehan belajar tersebut,
siswa dituntut untuk aktif secar fisik, intelektual, dan emosional. Untuk dapat aktif, siswa
tidak langsung diberi informasi dengan ceramah atau memperhatikan demonstrasi guru,
melainkan harus berpartisipasi dalam kegiatan belajar salah satunya dengan melibatkan
siswa untuk membuat soal.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif jenis Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
Wiyono (2007:72) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif merupakan metode penelitian
yang menekankan perspektif obyek penelitian dalam memperoleh temuan tentang obyek
penelitian. Wiyono (2007:96) menyatakan bahwa Penelitian Tindakan merupakan bentuk
penelitian yang tidak hanya ditujukan untuk memperoleh pengetahuan tapi sekaligus
melakukan tindakan untuk memperbaiki atau meningkatkan situasi yang ada.
Tahap-tahap penelitian dimulai dari tahap perencanaan, tahap tindakan, tahap observasi, dan
yang terakhir tahap refleksi. Tahap perencanaan merupakan tahapan yang pertama kali harus
dilakukan sebelum pelaksanaan tindakan. Tahap ini meliputi proses penyusunan instrumen
pembelajaran. Di samping itu, pada tahap ini juga terlebih dahulu direncanakan hal-hal
terkait dengan kehadiran peneliti, subjek penelitian, waktu dan tempat penelitian.
279
Perangkat pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), lembar Problem Posing, soal tes awal dan soal tes akhir. RPP disusun
berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang telah ditetapkan. Berikut ini
standar kompetensi (SK), kompetensi dasar (KD).
280
Standar Kompetensi 1. Memahami bentuk aljabar, relasi, fungsi, dan persamaan garis lurus.
1.6 Menentukan gradien, persamaan dan grafik garis lurus
Kompetensi Dasar
1. Menggambar grafik persamaan garis lurus
10. Menentukan persamaan garis lurus yang melalui satu titik dengan
gradien tertentu.
11. Menentukan persamaan garis yang saling sejajar dan tegak lurus
Instrumen penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu lembar observasi dan lembar
validasi. Lembar observasi merupakan alat untuk mendeskripsikan apa yang terjadi selama
penelitian yang meliputi aktivitas-aktivitas yang berlangsung serta orang-orang yang terlibat
dalam aktivitas tersebut. Lembar Observasi yang digunakan meliputi lembar observasi
aktivitas guru, lembar observasi aktivitas siswa, serta lembar observasi untuk melihat
keaktifan belajar siswa. Sedangkan lembar validasi merupakan alat yang digunakan untuk
mengukur keabsahan dari perangkat pembelajaran. Perangkat pembelajaran yang dimaksud
yaitu rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), lembar Problem Posing, soal tes awal dan
tes akhir.
Pada tahap ini, peneliti melaksanakan apa yang telah di rencanakan sebelumnya. Peneliti ada
di kelas dan bertindak sebagai pelaksana penelitian serta menganalisis data yang diperoleh.
Kegiatan yang dilakukan peneliti adalah mengimplementasikan teori dan teknik
pembelajaran seperti yang telah direncanakan serta mengamati hasilnya. Dalam hal ini
peneliti berperan sebagai pengajar serta pengamat. Adapun yang diamati yaitu aktivitas yang
terjadi di kelas baik aktivitas siswa maupun aktivitas peneliti sendiri.
281
Pada tahap ini dilakukan pengamatan (observasi) terhadap segala yang terjadi selama
pelaksanaan penelitian. Observasi dilakukan untuk mengumpulkan data yang meliputi data
kualitatif dan data kuantitaif. Data kualitatif diperoleh dari observasi terhadap aktivitas siswa
sedangkan data kuantitaif diperoleh dari hasil tes. Observasi dilakukan oleh pengamat dalam
hal ini adalah peneliti sendiri dan dua orang teman sejawat yakni guru matematika di SMP
Negeri 1 Ampelgading, kabupaten Malang. Kualifikasi seorang pengamat pada penelitian ini
adalah lulusan pendidikan matematika.
Tahap refleksi merupakan tahap akhir dari Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang berfungsi
untuk mengetahui keberhasilan penelitian. Pada tahap ini, data yang diperoleh dianalisis
untuk memperoleh suatu kesimpulan akhir apakah pelaksanaan pembelajaran sudah dapat
menyelesaikan permasalahan yang dialami siswa. Untuk melaksanakan tahap refleksi ini,
peneliti dibantu oleh pengamat lain agar kesimpulan yang diperoleh benar-benar akurat dan
dapat dipertanggungjawabkan. Keempat tahap tersebut dilakukan dalam satu siklus.
Selanjutnya, jika siklus I gagal maka diulang lagi pada siklus II dan seterusnya.
Teknik pengumpulan data terdiri dari (1) experiencing (pengamatan dan catatan lapangan)
dimana peneliti melakukan observasi terhadap tindakan yang dilakukan, mengamati hasil
yang dicapai selama penelitian dilaksanakan, untuk mendapat hasil yang tepat diperlukan
kegiatan catatan lapangan secara cermat.
(2) enquiring (menanyakan) dimana peneliti melakukan pencarian informasi baik secara
lisan maupun tertulis. Pencarian informasi secara lisan yaitu dengan melakukan wawancara
secara langsung terhadap siswa dan guru yang bersangkutan. Enquiring ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana pengalaman belajar siswa yang berkaitan dengan keaktifan
belajarnya.
Sedangkan teknik yang digunakan untuk menganalisis data disesuaikan dengan data yang
telah terkumpul. Data hasil observasi, dokumentasi foto dan catatan lapangan dilakukan
dengan analisis kualitatif. Tahapan analisis data tersebut adalah sebagai berikut:
a. Reduksi data
Data yang diperoleh dari lapangan dirangkum secara teliti dan cermat.
b. Penyajian data
Data yang sudah direduksi, disajikan dalam bentuk uraian singkat atau bagan.
c. Penarikan kesimpulan
Tahap terakhir yakni menarik kesimpulan.
282
3. Hasil
3.1. Siklus I
Pada setiap siklus terdapat empat tahap, sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada siklus I diperoleh informasi sebagai
berikut.
Rencana yang dilakukan meliputi waktu pembelajaran dan materi yang akan diajarkan.
Waktu pelaksanaan pembelajaran ini, direncanakan setelah selesai menyusun semua
instrumen yang dibutuhkan. Instrumen penelitian yang disusun meliputi penyusunan
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), lembar Problem Posing, soal tes awal dan akhir,
lembar observasi kegiatan pembelajaran guru dan kegiatan pembelajaran siswa, serta lembar
validasi.
Selanjutnya semua instrumen divalidasi. Lembar validasi terdiri dari lembar validasi RPP,
LKS, lembar Problem Posing, soal pretes, soal tes, lembar observasi keaktifan belajar siswa
serta lembar observasi kegiatan pembelajaran guru dan siswa. Setelah divalidasi, ada
beberapa instrumen yang perlu diperbaiki yaitu soal pretes harus diperhatikan banyaknya
soal dengan waktu pengerjaan, untuk soal tes nomor 1 sebaiknya gambar grafik lebih
diperbesar supaya jelas.
Siklus I dilaksanakan dalam tiga kali pertemuan. Sebelum memasuki pertemuan I dilakukan
pra pertemuan 1 yang dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 17 Oktober 2012. Pertemuan I
dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 19 Oktober 2012. Pertemuan II dilaksanakan pada hari
Rabu, tanggal 24 Oktober 2012. Sedangkan pertemuan III dilaksanakan pada hari Jumat,
tanggal 26 Oktober 2012. Setiap pertemuan berlangsung selama 2 x 40 menit.
Hasil observasi terdiri dari hasil observasi kegiatan pembelajaran siswa dan hasil observasi
kegiatan pembelajaran guru. Hasil observasi kegiatan pembelajaran siswa yang dilakukan
oleh tiga pengamat diperoleh persentase rata-rata 85,5%. Ini menunjukkan bahwa kegiatan
pembelajaran siswa berlangsung baik.
Hasil observasi kegiatan pembelajaran guru yang dilakukan oleh tiga pengamat diperoleh
persentase rata-rata sekitar 88,87%. Ini menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran guru
sudah baik.
Hasil observasi terhadap keaktifan belajar siswa menunjukkan bahwa persentase banyaknya
siswa yang aktif belajar adalah 61,77% pada pertemuan I dan 67,65% pada pertemuan II. Ini
berarti keaktifan belajar siswa meningkat dari pertemuan I ke pertemuan II.
283
Berdasarkan persentase banyaknya siswa yang aktif pada pertemuan I adalah 61,77% dan
pada pertemuan II 67,65%, menunjukkan ada peningkatan keaktifan belajar siswa, tetapi
belum memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh peneliti yaitu 80%.
Selain itu, hasil catatan lapangan oleh peneliti dan pengamat memberikan informasi bahwa
secara umum siswa masih belum bisa menyesuaikan dengan pembelajaran Problem Posing.
Siswa mengalami kesulitan dalam membuat soal karena merasa ragu dan khawatir tidak
dapat menyelesaikan soal yang telah dibuat. Selain itu, siswa belum terbiasa
persentasi/mengomunikasikan hasil pekerjaannya sehingga ketika ada teman presentasi,
siswa lain masih enggan menanggapi dan mengajukan pertanyaan. Diperoleh juga informasi
bahwa dalam kerja kelompok, siswa belum bisa bekejasama dengan baik dan terjadi
dominasi oleh anggota kelompok. Hasil wawancara dengan tiga siswa memberikan informasi
bahwa siswa senang dengan pembelajaran Problem Posing karena siswa memperoleh
pengalaman dalam membuat soal.
3.2 Siklus II
Berdasarkan refleksi pada siklus I maka perlu dilakukan pembelajaran siklus II. Tahap-tahap
yang dilakukan pada dasarnya sama seperti tahapan pada siklus I. Perbedaan pada siklus II
ini yaitu ada beberapa perbaikan pada tahap pelaksanaan (acting), dimana terdapat beberapa
tindakan yang perlu ditambahkan pada kegiatan pembelajaran.
Pada tahap ini dilakukan perbaikan pada Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar
Kerja Siswa (LKS), serta lembar Problem Posing. Peneliti melakukan koordinasi dengan
guru matematika kelas VIII-A dan kemudian dikonsultasikan dengan dosen pembimbing.
Selain itu, pada tahap ini juga disusun soal tes dan kemudian divalidasi oleh validator.
Selanjutnya, peneliti melaksanakan penelitian pada iklus II.
284
Siklus II dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Pertemuan I dilaksanakan pada hari Rabu
tanggal 31 Oktober 2012. Pertemuan II dilaksanakan pada hari Jumat tanggal 2 November
2012. Sedangkan Setiap pertemuan berlangsung selama 2×40 menit. Subjek penelitian
adalah siswa kelas VIII-A SMP Negeri 1 Ampelgading Tahun Pelajaran 2012/2013. Jumlah
siswa di kelas ini adalah 34 siswa yang terdiri dari 4 siswa laki-laki dan 30 siswa perempuan.
Kegiatan pembelajaran dilakukan oleh peneliti sendiri dengan dibantu oleh guru matematika
di SMP Negeri 1 Ampelgading.
Hasil observasi kegiatan pembelajaran siswa yang dilakukan oleh tiga pengamat diperoleh
persentase rata-rata 88,09%. Ini menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran siswa
berlangsung baik.
Hasil observasi kegiatan pembelajaran guru yang dilakukan oleh tiga pengamat diperoleh
persentase rata-rata sekitar 92,3%. Ini menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran guru
berlangsung sangat baik.
Hasil observasi terhadap keaktifan belajar siswa menunjukkan bahwa persentase banyaknya
siswa yang aktif belajar adalah 85,29%. Ini berarti bahwa keaktifan belajar siswa meningkat
sebesar 26,47% dari siklus I ke siklus II.
Berdasarkan persentase banyaknya siswa yang aktif pada siklus II, menunjukkan ada
peningkatan keaktifan belajar siswa. Analisis data keaktifan belajar siswa dapat dilihat pada
tabel berikut:
Hasil catatan lapangan oleh peneliti dan pengamat memberikan informasi bahwa secara
umum siswa sudah bisa menyesuaikan dengan pembelajaran Problem Posing dan mulai
terbiasa membuat soal meskipun masih ada yang merasa ragu tidak dapat menyelesaikan
soal. Selain itu, kemampuan siswa untuk presentasi ke depan sudah mengalami peningkatan
baik dari segi performance maupun penataan kalimat dalam menyampaikan hasil kerja
285
kelompoknya. Dari segi belajar kelompok, siswa bisa bekejasama dengan baik dan dominasi
oleh anggota kelompok berkurang.
Hasil wawancara dengan tiga siswa memberikan informasi bahwa siswa senang dengan
pembelajaran Problem Posing karena siswa memperoleh pengalaman dalam membuat soal
akan tetapi jika diterapkan terus-menerus akan menimbulkan kebosanan.
Berdasarkan analisis data pada siklus II diperoleh informasi bahwa kriteria keaktifan belajar
siswa telah tercapai.
4. Pembahasan
Berdasarkan analisis data yang diperoleh baik dari hasil observasi, dokumentasi, catatan
lapangan, data keaktifan siswa serta data nilai siswa, pada siklus I masih terdapat kelemahan-
kelemahan selama proses pembelajaran sehingga kriteria dalam penelitian belum tercapai.
Kelemahan-kelemahan tersebut adalah sebagai berikut: (1) banyak siswa yang belum bisa
menyesuaikan dengan belajar kelompok sehingga terjadi dominasi kelompok oleh siswa
yang pandai, hal ini menyebabkan anggota kelompok lain menjadi tidak aktif dalam
kelompoknya; (2) rasa kebersamaan dan kerjasama antaranggota kelompok kurang, hal ini
dapat terjadi karena siswa merasa tidak ada beban tanggung jawab terhadap kelompoknya;
(3) pada saat presentasi, anggota kelompok belum berani menawarkan diri sebagai
perwakilan kelompok untuk maju ke depan karena merasa malu dan ragu. Selain itu,
sebagian siswa yang presentasi kurang bisa menyampaikan pendapat dengan baik dan lancar.
Sementara siswa dari kelompok lain tidak menanggapi dan enggan bertanya.
Berdasarkan kelemahan seperti yang disebutkan pada point (1) dan (2) di atas, Hasibuan dan
Moedjiono (2002:24) menyatakan beberapa aspek yang harus diperhatikan selama siswa
belajar kelompok yaitu:
1. Untuk menghindari terjadinya dominasi dalam kelompok, tiap anggota harus tahu persis
apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya sehingga dapat diperoleh
hasil yang baik.
2. Dalam kerja kelompok ada tugas yang harus diselesaikan bersama sehingga perlu
dilakukan pembagian kerja. Salah satu persyaratan utama bagi terjadinya kerjasama
adalah komunikasi yang efektif, perlu ada interaksi antaranggota kelompok.
3. Pembagian tugas yang jelas, komunikasi yang efektif, akan berpengaruh terhadap
suasana kerja, dan pada gilirannya suasana kerja ini akan mempengaruhi proses
penyelesaian tugas.
Sesuai pendapat di atas, kelemahan pada point (1) dan (2) dapat terjadi karena siswa belum
mengerti bagaimana cara menempatkan diri dalam kelompoknya dan belum memahami
ketiga aspek tersebut. Sedangkan kelemahan pada point (3) yaitu saat presentasi, dapat
terjadi karena siswa belum terbiasa presentasi sehingga merasa kurang percaya diri untuk
menampilkan hasil kerja kelompoknya.
286
Keaktifan belajar siswa selama pembelajaran dengan pendekatan Problem Posing pada
siklus I masih kurang. Siswa belum terbiasa belajar mandiri dan tergantung pada guru. Hal
ini dapat dilihat pada catatan lapangan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya. Padahal
kemandirian dalam belajar harus diciptakan oleh seorang guru. Hal ini sesuai dengan
pendapat Holstein (1990: 9) yang menyatakan: “berlangsungnya pembelajaran yang jelas
harus memperlihatkan bahwa pengajar berusaha untuk mengembangkan belajar mandiri”.
Namun, bukan berarti seorang guru harus lepas tangan dan tidak memfasilitasi belajar siswa,
melainkan tetap berperan aktif untuk mengarahkan dan membimbing siswa.
Dalam penelitian ini, fasilitas yang diberikan ke siswa adalah Lembar Kerja Siswa (LKS)
yang dapat mengarahkan siswa untuk memahami materi Persamaan Garis Lurus, lembar
Problem Posing yang dapat memperkuat penguasaan materi Persamaan Garis Lurus, serta
pembelajaran kelompok yang dapat mengorganisasikan siswa untuk belajar lebih intensif
dalam kelompoknya. Menurut Holstein (1990:9), “dalam hal belajar kelompok, bantuan
dapat diberikan oleh guru melalui siswa lain.”
Kurang aktifnya siswa selama pembelajaran pada siklus I tersebut dapat diatasi dengan
adanya perbaikan pembelajaran pada siklus II yaitu dengan menerapkan sistem point bagi
siswa yang aktif belajar dalam kelompoknya seperti yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya. Dengan demikian, diperoleh peningkatan keaktifan dari siklus I ke sikus 2. Hal
ini sesuai dengan penelitian oleh Suroso (2005) yang menyimpulkan bahwa pembelajaran
dengan pendekatan Problem Posing dapat membuat siswa aktif dalam belajar.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini, maka dikemukakan saran-
saran sebagai berikut.
287
Daftar Pustaka
Dimyati & Mudjiono. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.(2006)
Hasibuan & Moedjiono. 2002. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Remaja Rosdakarya.
Holstein, Hermann. Murid Belajar Mandiri. Bandung: Remaja Karya CV.(1990)
Suharta, I.G.P. Pengembangan Strategi Problem Posing Dalam Pembelajaran Kalkulus Untuk
Memperbaiki Kesalahan Konsepsi. Jurnal matematika tahun. VI. No. 2: 91-98.(2000)
Suryosubroto. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.(2009)
Wiyono, Bambang Budi. Metodologi Penelitian (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan Action
Research). Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang.(2007)
Suroso, Timbul. Pendekatan Problem Posing dalam Pembelajaran Aturan Sinus dan Cosinus pada
Kelas X SMA Laboratorium Universitas Negeri Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang:
Universitas Negeri Malang.(2005)
288
Abstrak. Pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini, yaitu apa konteks, dan
apa dampak dari konteks tersebut bagi siswa dalam proses pembentukan makna dari
perkalian dua pecahan dan pengetahuan tentang bagaimana proses mencari hasil
perkalian dua pecahan. Pendekatan pembelajaran yang dipergunakan dalam merancang
proses pembelajaran pecahan adalah pendekatan matematika realistik. Rancangan
pembelajaran dibuat untuk siswa kelas V SD. Jenis penelitian ini adalah penelitian
pengembangan yang dikembangkan oleh Gravemeijer dan Cobb. Konteks yang
dipergunakan untuk mengenalkan makna dari perkalian dua pecahan dan mencari hasil
perkalian dua pecahan, adalah (1) membandingkan hasil pembagian roti untuk sejumlah
siswa dalam dua atau lebih kelompok, (2) menganalisa jawaban siswa terhadap suatu
permasalahan, (3) menentukan berapa bagian suatu arsiran dengan menggunakan
representasi perkalian, dan (4) menggambarkan representasi perkalian dua pecahan.
Dampak hasil eksplorasi dan penyelesaian siswa terhadap pembentukan makna dan
bagaimana mencari perkalian dua pecahan, adalah (1) masalah yang dibuat peneliti
dapat dimanfaatkan guru memunculkan konsep pembagian pecahan dengan bilangan
bulat, cara mencari hasil pembagiannya, makna dari perkalian dua pecahan, dan cara
menentukan hasil perkalian dua pecahan, dan (2) adanya kesulitan yang masih dialami
siswa untuk menyatakan besarnya suatu potongan ke dalam bentuk perkalian dua
pecahan, dan menggambarkan besarnya suatu potongan untuk merepresentasikan
perkalian dua pecahan.
1. Pendahuluan
Penelitian ini dilakukan dalam tiga siklus. Hal-hal yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah hal-hal yang dilakukan dan diperoleh peneliti pada siklus kedua. Dari siklus pertama,
peneliti memperoleh kesimpulan bahwa (1) peneliti perlu membuat lagi aktivitas/masalah
yang dapat dipergunakan oleh siswa sebagai jembatan untuk membawa siswa sampai pada
pengetahuan formal tentang makna dari mengalikan dua pecahan dari model yang sudah
dibangun siswa; (2) siswa sudah dapat mencapai pengetahuan formal tentang bagaimana
prosedur mengalikan dua pecahan; dan (3) siswa sudah dapat membangun model untuk
makna perkalian dua pecahan dan mencari hasil perkalian dua pecahan dari masalah 2 di hari
pertama.
Menurut Lamon (2001, dalam Ayunika, 2012), pembangunan pemahaman makna dari
pecahan dalam proses pembelajaran adalah sesuatu proses yang kompleks karena pecahan
289
memiliki banyak interpretasi, yaitu pecahan sebagai (1) bagian dari keseluruhan, (2) hasil
pengukuran, (3) operator, (4) quotient, dan (5) rasio. Karena itu, suatu hal yang wajar jika
siswa juga akan mengalami kesulitan memahami makna dari perkalian dua pecahan. Oleh
sebab itu, peneliti ingin sekali mencoba membantu mengatasi kesulitan siswa untuk
membentuk pemahaman tentang makna perkalian dari dua pecahan dan bagaimana
menentukan hasil perkalian dua pecahan dengan merancang beberapa masalah yang perlu
diselesaikan oleh siswa. Harapannya, adanya beberapa masalah tersebut dapat membantu
siswa untuk membangun pengetahuan formal matematika tentang makna dari perkalian dua
pecahan, dan mencari hasil perkalian dua pecahan.
Menurut Widjaja (2013), masalah kontekstual berpotensi untuk melibatkan dan memotivasi
siswa, tetapi juga akan menimbulkan tantangan bagi siswa. Menurut Widjaja (2013) pula,
masalah-masalah kontekstual tidak dengan sendirinya akan menciptakan suatu pembelajaran
yang bermakna bagi siswa, tetapi diperlukan guru yang mampu mengikutsertakan siswa
dalam menginterpretasikan masalah agar siswa dapat mengeksplorasi ide-ide kunci yang
bersifat matematis yang ada di dalam masalah kontekstual tersebut.
Pertanyaan yang akan dicoba untuk dijawab dalam penelitian ini, yaitu apa konteks, dan apa
dampak dari konteks tersebut bagi siswa dalam proses pembentukan makna dari perkalian
dua pecahan dan pengetahuan tentang bagaimana proses mencari hasil perkalian dua
pecahan.
Ada empat prinsip utama di dalam PMR (Julie, H., 2013), yaitu:
3. Penelitian Pengembangan
Menurut Gravemeijer dan Cobb (dalam Akker, Gravemeijer, McKeney, dan Nieveen, 2006)
ada 3 fase dalam penelitian pengembangan, yaitu
a. Fase pertama: persiapan uji coba desain.
b. Fase Kedua: uji coba desain.
c. Fase ketiga : analisis retrospektif.
290
4. Metode Penelitian
Pada siklus kedua, ada sepuluh siswa yang terlibat yang berasal dari kelas V suatu SD swasta
di Yogyakarta. Pendekatan yang dipergunakan untuk mengembangkan materi belajar siswa
maupun petunjuk kegiatan guru dalam penelitian ini adalah pendekatan matematika realistik.
Jenis penelitian yang dipergunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah penelitian
pengembangan (design research) yang dikembangkan oleh Koeno Gravemeijer dan Paul
Cobb. Analisa data dilakukan terhadap data video dan data tertulis dari hasil kerja siswa
selama pembelajaran berlangsung. Proses pengambilan gambar dilakukan selama proses
pembelajaran berlangsung. Langkah-langkah yang dilakukan oleh peneliti pada siklus kedua
mengikuti fase-fase dalam penelitian pengembangan yang dikembangkan oleh Koeno
Gravemeijer dan Paul Cobb (dalam Akker, Gravemeijer, McKeney, dan Nieveen, 2006).
5. Hasil Penelitian
Setelah siswa mengalami proses pembelajaran berdasarkan desain pembelajaran yang dibuat
peneliti, peneliti berharap bahwa siswa dapat (1) mengenal makna perkalian dua pecahan,
dan (2) menentukan hasil perkalian dua pecahan.
Sebelum siswa mengalami proses pembelajaran yang dirancang oleh peneliti, siswa sudah
mempelajari tentang pecahan di kelas IV, yaitu (1) makna pecahan, (2) mengurutkan
pecahan, (3) menyederhanakan pecahan, dan (4) menjumlahkan dan mengurangkan pecahan.
Berikut ini disajikan bahan belajar siswa yang dikembangkan untuk siklus kedua:
1. Kemarin siang pada saat istirahat sekolah, Pak Guru melihat ada dua kelompok anak-anak
yang sedang berbagi roti. Kelompok pertama terdiri dari 2 siswa yang sedang berbagi
sepotong roti. Kelompok kedua terdiri dari 4 siswa yang sedang berbagi 2 potong roti.
Menurut kalian, apakah bagian yang diperoleh masing-masing siswa di kelompok
pertama dan kedua sama besar?
2. Kemarin siang pada saat istirahat sekolah, Pak Guru melihat juga ada dua kelompok
anak-anak yang lain lagi sedang berbagi roti. Kelompok pertama terdiri dari 2 siswa yang
sedang berbagi sepotong roti. Kelompok kedua terdiri dari 3 siswa yang sedang berbagi 2
potong roti. Menurut kalian, apakah bagian yang diperoleh masing-masing siswa di
kelompok pertama dan kedua sama besar?
3. Pada setiap soal dalam masalah ketiga, ada dua kelompok yang sedang berbagi roti.
Banyak anggota dan roti tiap kelompok berbeda. Siswa diminta memilih ia akan menjadi
anggota kelompok pertama atau kedua dan alasan mengapa ia menentukan pilihannya
tersebut.
a. Kelompok pertama ada 4 orang berbagi 2 roti, sedangkan kelompok kedua ada 6 orang
berbagi 2 roti.
b. Kelompok pertama ada 4 orang berbagi 2 roti, sedangkan kelompok kedua ada 6 orang
berbagi 3 roti.
291
c. Kelompok pertama ada 3 orang berbagi 2 roti, sedangkan kelompok kedua ada 4 orang
berbagi 3 roti.
d. Kelompok pertama ada 4 orang berbagi 1 roti, sedangkan kelompok kedua ada 5 orang
berbagi 2 roti.
1. Pak Hongki membagi satu kue untuk teman-temannya dengan cara berikut:
1. Masalah ini diinspirasi masalah yang ada dalam buku Young Mathematicians at Work:
Constructing Fractions, Decimal, and Percents: hari ini siswa kelas empat SD Mekarsari
akan melakukan pengamatan di beberapa objek seni dan budaya di Yogya.
292
Ketika siswa kembali dari kegiatan pengamatan, para siswa mulai berpendapat bahwa roti
yang dibagikan kepada tiap kelompok tidak adil, karena beberapa anak mendapat bagian
yang lebih banyak daripada siswa yang lain. Apakah tiap siswa mendapat bagian yang
sama?
1. Masalah ini diinspirasi masalah yang ada dalam buku Young Mathematicians at Work:
Constructing Fractions, Decimal, and Percents: Bu Niken memberikan soal berikut
kepada para siswanya. Bulan berada di kelmpok yang terdiri dari 5 orang. Kelompoknya
mendapat 3 roti. Berapa bagian roti yang diperoleh Bulan? Gambar di bawah ini adalah
jawaban dari empat orang siswa Bu Niken. Apakah jawaban keempat siswa Bu Niken
benar? Apakah jawaban keempat siswa Bu Niken menghasilkan pecahan senilai?
Dapatkah kalian menunjukkannya?
293
1. 2.
Evaluasi
Pertemuan keenam diisi dengan kegiatan evaluasi. Berikut adalah soal-soal yang diberikan
kepada siswa dalam proses evaluasi:
1. Bu Vivi membuat satu loyang kue lapis. Bu Vivi akan membagi kue tersebut kepada 8
orang tetangga, yaitu Bu Dina, Bu Suci, Bu Mekar, Bu Bulan, Bu Sinar, Bu Bintang, Bu
Rosna, dan Bu Rini.Bu Vivi memotong kue lapis untuk para tetangganya dengan cara
berikut:
Berapa bagian yang diperoleh setiap tetangga Bu Vivi? Apakah Bu Dina dan Bu Rini
mendapatkan bagian yang sama?
294
2. Hari ini, siswa kelas 4 SD Karya akan melakukan pengamatan di beberapa objek seni dan
budaya di Yogya. Para siswa dibekali roti oleh SD Karya. Pada saat pembagian roti,
kelompok 1 dan 2 mendapat 10 roti, sedangkan kelompok 3 dan 4 mendapatkan 7 roti.
Siswa diminta untuk membagikan roti-roti yang diperolehnya sehingga tiap siswa dalam
kelompoknya mendapatkan bagian yang sama. Berikut adalah tujuan, banyak siswa, dan
banyak roti tiap kelompok.
Apakah bagian roti yang diperoleh siswa di kelompok 1 dan 2 sama besar dengan yang
diperoleh siswa di kelompok 3 dan 4?
3. Mbah Joyo memiliki dua anak, yaitu Pak Jono, dan Pak Jino. Ketika Mbah Joyo
meninggal dunia, ia mewariskan sebidang tanah berbentuk persegi panjang seluas 10.000
meter persegi. Mbah Joyo menuliskan pembagian tanah yang diwariskannya sebagai
berikut: Pak Jono dan Pak Jino masing-masing mendapatkan bagian.
Pak Jono memiliki 4 orang anak, yaitu Bulan, Bintang, Sinar, dan Surya. Bagian tanah
Pak Jono dibagikan secara rata kepada Bulan, Bintang, Sinar, dan Surya.
a. Gambarkan bagian tanah yang diperoleh Bulan, Bintang, Sinar, dan Surya!
b. Berapa bagian tanah yang diperoleh Bulan, Bintang, Sinar, dan Surya?
c. Berapa luas tanah yang diperoleh Bulan, Bintang, Sinar, dan Surya?
Pak Jino memiliki 2 orang anak, yaitu, Wawan, dan Niki. Bagian tanah Pak Jino
dibagikan secara rata kepada Wawan, dan Niki.
Hasil belajar siswa dipergunakan untuk melihat dampak yang ditimbulkan oleh desain
pembelajaran ini terhadap pembentukan makna dari perkalian dua pecahan danprosedur
mencari hasil perkalian dua pecahan dalam diri para siswa. Karena hal yang terpenting untuk
disajikan dalam penyajian hasil penelitian pengembangan, bukan hanya produk yang
dikembangkan tetapi dampak dari produk yang dibuat terhadap proses berpikir siswa.
Karena tujuan dari penelitian pengembangan, seperti yang diutarakan Koeno (dalam Akker,
Gravemeijer, McKeney, dan Nieveen, 2006) adalah untuk mengembangkan teori
pembelajaran lokal.
Tabel 1. Hasil capaian dari belajar siswa untuk pertemuan pertama sampai dengan
pertemuan kelima dan evaluasi
6. Kesimpulan
Ada beberapa konteks yang dapat dipergunakan untuk mengenalkan makna dari perkalian
dua pecahan dan mencari hasil perkalian dua pecahan, yaitu (1) membandingkan hasil
pembagian roti untuk sejumlah siswa dalam dua atau lebih kelompok, (2) menganalisa
jawaban siswa terhadap suatu permasalahan, (3) menentukan berapa bagian suatu arsiran
dengan menggunakan representasi perkalian, dan (4) menggambarkan representasi perkalian
dua pecahan.
298
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan sebagai dampak terhadap proses pembentukan
makna perkalian dua pecahan dan menentukan bagaimana proses mengalikan dua pecahan
dari proses pembelajaran yang dirancang oleh peneliti ditinjau dari hasil eksplorasi dan
penyelesaian siswa:
a. Adanya alat peraga roti dari kertas lipat warna dapat membuat siswa menghubungkan
masalah pembagian roti dengan konsep membagi panjang suatu benda, dan membagi
suatu luasan persegi panjang.
b. Adanya soal 3 dan 4 masalah 3 hari pertama dapat dimanfaatkan oleh guru untuk
memunculkan konsep pembagian pecahan dengan bilangan bulat dan cara mencari hasil
pembagiannya, yaitu , dan .
c. Adanya masalah 1 hari kedua membuat siswa dapat memunculkan makna perkalian dua
pecahan dan cara menentukan hasil perkalian dua pecahan, yaitu bagian dari sebagai
makna dari , dan menemukan bahwa . Temuan siswa ini, diperkuat
dengan adanya masalah 2 hari 2. Dari masalah tersebut, siswa dapat menemukan makna
dari dari sebagai , dan menemukan hasil perkalian .
d. Siswa masih mengalami kesulitan untuk menyatakan besarnya suatu potongan ke dalam
bentuk perkalian dua pecahan, dan menggambarkan besarnya suatu potongan untuk
merepresentasikan perkalian dua pecahan. Dengan kata lain, siswa masih kesulitan
untuk memahami representasi dari makna perkalian dua pecahan, dan
merepresentasikan makna dari perkalian dua pecahan. Untuk itu, siswa masih perlu
diberi kesempatan lagi untuk mengeksplorasi beberapa masalah yang dapat membuat
siswa memahami representasi dari makna perkalian dua pecahan, dan
merepresentasikan makna dari perkalian dua pecahan.
Daftar Pustaka
Akker, J. v. D., Gravemeijer, K., McKenney, S., & Nieveen, N. (2006). Introduction educational
design research. In J. v. D. Akker, K. Gravemeijer, S. McKenney, & N. Nieveen (Eds.),
Educational Design Research. New York: Routledge Taylor and Francis Group.
Ayunika, El. P. S., Juniati, D., & Maesuri, S. P. (2012). Early fractions learning of 3 rd grade students
in SD Laboratorium Unesa. Journal Mathematics Education, 3, 17-28.
Fosnot, C. T. and Dolk, M. (2002). Young mathematicians at work: Constructing fractions, decimal,
and percents. Portsmouth: Heinemann.
Gravemeijer, K. P. E. (1994). Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht: Freudenthal
Institute.
Gravemeijer, K. P. E. (1991). An instruction-theoretical reflection on the use of manipulatives. In L.
Steefland (Ed.), Realistic mathematics education in primary school (pp. 57-76). Utrecht: CD-β
Press.
Julie, H., Suwarsono, St., Juniati, D. (2013). Bahan belajar siswa untuk siklus kedua pengembangan
pembelajaran pecahan di kelas V Sekolah Dasar dengan pendekatan matematika realistik.
Dalam Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.
299
Abstrak. GeoGebra merupakan salah satu software matematika dinamis yang sangat
membantu pembelajaran matematika. GeoGebra bisa digunakan untuk membuat file-
file yang dapat dieksplorasi siswa dan juga file untuk menjelaskan suatu materi
matematika. Pada makalah ini akan dibahas mengenai salah satu alternatif
pembelajaran GeoGebra. Pendidik yang belum pernah menggunakan GeoGebra
ataupun yang sudah pernah menggunakan GeoGebra diharapkan lebih memahaminya.
Alternatif pembelajaran yang akan dibahas dalam makalah ini berdasarkan kajian
teoritis dan pengalaman penulis menjadi fasilitator diklat pada materi Pemanfaatan
GeoGebra di PPPPTK Matematika. Pada pembelajaran ini disajikan salah satu contoh
cara mengkonstruksi bangun datar tertentu, kemudian peserta diminta mengkonstruksi
bangun datar tersebut dengan cara (konstruksi) yang berbeda. Selanjutnya peserta
diberi masalah mengenai objek persegi panjang dinamis yang berada di bawah grafik
fungsi kuadrat di atas sumbu-x. Persegi panjang tersebut apabila digeser, suatu saat
akan mempunyai luas maksimum. Peserta diminta untuk mengkonstruksi objek tersebut
pada GeoGebra. Alur pembelajaran ini diharapkan dapat membuat peserta menjadi
kreatif dalam membuat suatu objek dengan konstruksi yang berbeda-beda, sehingga
nantinya peserta tidak akan kesulitan apabila ingin membuat konstruksi objek-objek
lain yang membutuhkan pemikiran kreatif. Hasil dari pembelajaran ini di antaranya
berupa bangun datar tertentu dengan konstruksi yang berbeda-beda, serta objek persegi
panjang dinamis dengan berbagai konstruksi yang dibuat oleh peserta.
1. Pendahuluan
Pada Kurikulum 2013 dijelaskan bahwa pembelajaran dilakukan dengan menggunakan
pendekatan scientific, yaitu mengamati, menanya, menganalisa dan menyimpulkan. Untuk
mendukung hal tersebut guru dapat menggunakan media pembelajaran, diantaranya adalah
media pembelajaran matematika berbantuan komputer. Salah satu software yang mendukung
pembuatan media pembelajaran matematika tersebut adalah GeoGebra.
Dengan demikian guru perlu mendapatkan bekal pengetahuan dan keterampilan dalam
menggunakan GeoGebra untuk membuat media pembelajaran matematika. Salah satu cara
yang dapat ditempuh adalah dengan mengikutkan guru pada kegiatan diklat. Bagaimanakah
cara membelajarkan GeoGebra kepada peserta diklat? Permasalahan yang dihadapi peserta
diklat ketika belajar GeoGebra, di antaranya adalah belum mengetahui apa itu GeoGebra
(bagi pemula/yg belum tahu), apa saja fasilitas yang ada di GeoGebra, bagaimana
menggunakan fasilitas tersebut, bagaimana membuat objek-objek matematika sesuai
301
2. GeoGebra
Program komputer yang dirancang dan dikembangkan untuk pembelajaran matematika
sudah banyak, di antaranya Maple, Geometry‟s Sketchpad, Microsoft Mathematics,
WinGeom, GeoGebra, dan lain-lain. GeoGebra merupakan salah satu program komputer
yang dirancang secara khusus untuk pembelajaran geometri dan aljabar. Program ini dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap konsep yang telah dipelajari
maupun sebagai sarana untuk mengenalkan atau mengonstruksi konsep baru.
GeoGebra pertama kali dikembangkan oleh Markus Hohenwarter pada 2001 dalam disertasi
masternya pada Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Komputer di Universitas
Salzburg Austria. GeoGebra merupakan perangkat lunak open source yang telah digunakan
secara luas, diterjemahkan lebih dari 25 bahasa, dan telah mendapatkan beberapa
penghargaan internasional di Eropa dan Jerman sebagai software pendidikan. Nama
GeoGebra merupakan kependekan dari geometry (geometri) dan algebra (aljabar), tetapi
program ini tidak hanya mendukung untuk kedua topik tersebut, tapi juga mendukung
banyak topik matematika diluar keduanya.
Menurut Hohenwarter dan Fuchs (2004), GeoGebra adalah software serba guna untuk
pembelajaran matematika di sekolah menengah. Dalam pembelajaran matematika, GeoGebra
dapat dimanfaatkan sebagai berikut.
Tampilan (antar muka) dari area kerja GeoGebra terdiri atas Menu bar, Construction Tool,
Algebra View, Graphics View, dan Input bar.
a. Menu bar, yang terletak di bagian atas digunakan untuk mengelola dan pengaturan file.
Menu terdiri dari File, Edit, Options, Tool, Window, dan Help.
b. Construction Tool, yang terletak pada baris kedua, tool untuk menggambar,
mengkonstruksi, mengukur, dan memanipulasi objek. Pada setiap kategori yang ada di
construction tool terdapat beberapa tool lain yang tersembunyi. Untuk menampilkannya
dengan mengklik tanda panah kecil di bagian kanan bawah setiap kotak tool tersebut.
c. Algebra View (tampilan aljabar), yang terletak di jendela kiri untuk menampilkan dan
mengedit semua kreasi objek dan fungsi.
d. Graphics View (tampilan grafik), yang terletak di jendela kanan untuk menampilkan
konstruksi objek dan grafik fungsi.
e. Input bar, terletak pada bagian bawah, berfungsi untuk memberikan perintah masukan
(instruksi matematika) dengan teks/tulisan.
303
Selain fasilitas di atas, GeoGebra juga menyediakan beberapa fasilitas lain yang dapat
ditampilkan melalui menu bar View, di antaranya adalah CAS (Computer Algebra System)
yang digunakan untuk melakukan perhitungan aljabar dan Spreadsheet berupa lembar kerja
berbentuk baris dan kolom untuk pengelolaan angka.
3. Teori Pembelajaran
3.1 Pembelajaran Orang Dewasa
Dalam bukunya yang berjudul Pemimpin Adiluhung: genealogi kepemimpinan kontemporer,
Berliana Kartakusumah mengemukakan bahwa, “Knowles mendefinisikan Andragogi
sebagai seni dan ilmu dalam membantu warga belajar orang dewasa untuk belajar”. Setelah
melihat hasil eksperimen banyak pendidik yang menerapkan konsep andragogi pada
pendidikan anak-anak dan menemukan bahwa dalam situasi-situasi tertentu memberikan
hasil yang lebih baik, Knowles melihat bahwa andragogi sebenarnya merupakan model
asumsi yang lain mengenai pembelajaran yang dapat digunakan di samping model asumsi
pedagogi.
Pembelajaran orang dewasa tidak cukup hanya dengan memberi tambahan pengetahuan saja,
namun harus dibekali dengan rasa percaya diri sehingga apa yang akan dilakukan dapat
dijalankan dengan baik. Dalam pendidikan orang dewasa yang terpenting adalah apa yang
dipelajari peserta. Artinya, hasil akhirnya adalah apa yang diperoleh orang dewasa dari suatu
pembelajaran/pelatihan.
Suherman mengemukakan bahwa Tutor Sebaya adalah siswa yang pandai memberikan
bantuan belajar kepada siswa yang kurang pandai. Bantuan tersebut dapat dilakukan teman-
teman di luar sekolah. Mengingat bahwa siswa merupakan elemen pokok dalam pengajaran,
yang pada akhirnya dapat mengubah tingkah laku sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu,
maka siswa harus dijadikan sumber pertimbangan di dalam pemilihan sumber pengajaran.
4. Berpikir Kreatif
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berpikir adalah menggunakan akal budi
untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu; sedangkan kreatif adalah memiliki daya
cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan. Jadi berpikir kreatif adalah kemampuan
akal untuk mempertimbangkan atau memutuskan dalam menciptakan atau membuat sesuatu.
Berpikir kreatif adalah sebuah kebiasaan dari pikiran yang dilatih dengan memperhatikan
intuisi, menghidupkan imajinasi, mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan baru,
membuka sudut pandang dan membangkitkan ide-ide. Menurut Elaine Johnson (2009),
berpikir kreatif membutuhkan ketekunan, disiplin diri, dan perhatian penuh, meliputi
aktivitas mental seperti: (a) mengajukan pertanyaan, (b) mempertimbangkan informasi baru
dan tidak lazim dengan pikiran terbuka, (c) membangun keterkaitan, khususnya di antara
hal-hal yang berbeda, (d) menghubung-hubungkan berbagai hal dengan bebas, (e)
menerapkan imajinasi pada setiap situasi untuk menghasilkan hal baru dan berbeda, (f)
mendengarkan intuisi.
5. Pembelajaran GeoGebra
Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk membuat pembelajaran Aktif dan Kreatif. Di
antara cara yang dapat dilakukan adalah dengan pembelajaran “Tutor Sebaya”, dimana pada
alur pembelajaran ini melibatkan peserta yang telah memahami materi/pandai untuk
membantu teman-temannya yang kurang mampu/belum memahami materi. Hal ini
diharapkan akan memotivasi peserta berlomba-lomba untuk menunjukkan kemampuannya
di hadapan peserta yang lain.
Secara umum, tujuan pembelajaran GeoGebra adalah berusaha mengaktifkan peserta dalam
pembelajaran serta menjadikan peserta kreatif dalam belajar GeoGebra. Dalam
pembelajaran, kreativitas peserta dapat terjadi dengan cara peserta terlibat aktif secara
mental dan juga terlibat secara fisik. Potensi yang dimiliki peserta dikembangkan melalui
berbagai faktor, salah satunya dengan menciptakan kondisi pembelajaran yang kondusif,
memberi kesempatan kepada peserta untuk berpikir dan praktek. Dalam hal ini peserta diberi
kesempatan untuk memikirkan konstruksi objek matematika, selanjutnya diberi kesempatan
untuk mempraktekkan konstruksi tersebut di GeoGebra.
Dengan mempertimbangkan berbagai hal yang telah dikemukakan di atas, maka dibuat alur
pembelajaran sebagai berikut.
e. Peserta diberi tugas untuk membuat segitiga samasisi dengan konstruksi yang berbeda
dari contoh yang telah diberikan fasilitator.
f. Peserta yang telah selesai membuat segitiga samasisi dengan konstruksi yang berbeda
diminta maju ke depan kelas untuk sharing dengan peserta yang lain. Berikut beberapa
hasil konstruksi segitiga samasisi dari peserta.
306
g. Selanjutnya peserta diberi tugas untuk membuat persegi panjang. Peserta yang telah
selesai membuat persegi panjang dengan konstruksi yang berbeda diminta maju ke
depan kelas untuk sharing dengan peserta yang lain. Berikut beberapa hasil konstruksi
persegi panjang dari peserta.
h. Peserta diberi permasalahan mengenai “persegi panjang yang berada di bawah grafik
fungsi kudarat seperti terlihat pada gambar 5. persegi panjang tersebut 2 titik sudutnya
selalu menempel pada grafik fungsi kuadrat dan dua titik yang lain selalu menempel
pada sumbu x”.
307
Apabila peserta dalam waktu relatif lama masih mengalami kesulitan, fasilitator dapat
membantu dengan memberikan pertanyaan pancingan atau beberapa kaidah yang
digunakan dalam membuat kontruksi objek tersebut. Selanjutnya peserta yang telah
menemukan kontruksi persegi panjang tersebut diminta maju ke depan untuk sharing
dengan teman-temannya. Berikut beberapa konstruksi yang dihasilkan peserta.
Gambar 6. Beberapa hasil konstruksi persegi panjang di bawah kurva dari peserta
Dengan alur pembelajaran yang fasilitator terapkan seperti di atas ternyata menampakkan
hasil tumbuhnya kreativitas dari peserta diklat. Hal ini terlihat dari konstruksi objek-objek
yang dihasilkan oleh peserta. Adanya konstruksi yang berbeda-beda dari peserta
(sebagaimana terlihat pada Gambar 3, Gambar 4, dan Gambar 6) menunjukkan bahwa
peserta sudah menerapkan pengetahuan yang dimiliki tentang matematika „digabungkan‟
308
dengan pengetahuan yang baru di dapat mengenai GeoGebra sehingga menghasilkan objek
matematika sesuai yang diharapkan. Dari pengamatan penulis, secara umum peserta yang
pernah menggunakan maupun yang belum pernah menggunakan GeoGebra dapat mengikuti
pembelajaran dengan baik. Hasil konstruksi objek dari peserta memperlihatkan bahwa,
peserta yang belum pernah/pemula menggunakan GeoGebra (hal ini dikemukakan sendiri
oleh peserta yang bersangkutan), konstruksi objeknya relatif lebih sederhana dibandingkan
dengan peserta yang sudah pernah menggunakan GeoGebra.
6. Kesimpulan
a. Beberapa hal penting dalam alur pembelajaran GeoGebra ini adalah:
1) Peserta diberi pengenalan awal software GeoGebra.
2) Peserta diajak berpikir mengkonstruksi suatu objek.
3) Peserta diberi kesempatan untuk mencoba berpikir dan praktek mengkonstruksi
objek.
4) Peserta diberi permasalahan dengan objek yang lebih komplek dari sebelumnya.
Untuk membuat objek tersebut dimungkinkan dengan konstruksi yang berbeda-beda.
5) Peserta diberi kesempatan untuk sharing dengan peserta yang lain, sedang peserta
lainnya bertanya atau menanggapi.
b. Alur pembelajaran yang diterapkan di atas ternyata menampakkan hasil tumbuhnya
kreativitas dari peserta diklat. Hal ini terlihat dari konstruksi objek-objek yang
dihasilkan oleh peserta.
c. Kelemahan dari alur pembelajaran ini, membutuhkan waktu yang lebih lama.
Daftar Pustaka
Hohenwarter, M. & Fuchs, K. (2004). Combination Of Dynamic Geometry, Algebra,And Calculus In
The Software System Geogebra. Tersedia:
http://www.geogebra.org/publications/pecs_2004.pdf .[ Diakses:19 Oktober 2013]
Stols, Gerrit. (2009). Geogebra In 10 Lessons. Tersedia:
http://www.geogebra.org/workshop/en/GerritStols-GeoGebra-in10Lessons.pdf. [Diakses: 19
Oktober 2013]
http://www.geogebra.org/publications/pecs_2004.pdf, [Diakses: Oktober 2013]
Mahmudi, Ali. (2010). Membelajarkan Geometri Dengan Program Geogebra. Tersedia:
http://eprints.uny.ac.id/10483/1/P6-Ali%20M.pdf. [Diakses:19 Oktober 2013]
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, FIP UPI. (2007). Ilmu dan aplikasi pendidikan. PT Imperial
Bhakti Utama (INTIMA), Bandung.
Erman, Suherman.Dkk. (2001).Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung.
Elaine Johnson. (2009). Contextual Teching &Learning, Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar
Mengasyikkan dan Bermakna. Cetakan ke-8. Bandung:Mizan Learning Center.
Berliana Kartakusumah. (2006). Pemimpin adiluhung: genealogi kepemimpinan kontemporer.
Cetakan I. Jakarta: Teraju, PT Mizan Publika.
309
Abstrak. Penelitian mengenai identifikasi curah hujan ekstrim berdasarkan data curah
hujan bulanan periode 1901-2011 yang dibagi dalam tiga periode yaitu 1901-1037,
1938-1974, 1975-2011. Dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik curah hujan
Malang. Dengan menganalisis data curah hujan bulanan dapat diketahui pola curah
hujan. Sedangkan untuk mengetahui curah hujan ekstrim, menggunakan metoda POT.
Hasil yang diperoleh, Malang mempunyai pola curah hujan monsunal. Dan musim
kemarau terjadi pada bulan Juli, Agustus dan September, sedangkan untuk musim
basah Desember, Januari dan Februari. Selanjutnya distribusi frekuensi curah hujan
periode 1901-1937, memiliki frekuensi tertinggi sebanyak 164 kali untuk intensitas
curah hujan antara (0-69) mm, dan 68 kali untuk intensitas curah hujan (140-209) mm.
Kemudian untuk periode 1938-1974, diperoleh frekuensi tertinggi sebanyak 169 kali
untuk intensitas curah hujan antara (0-75) mm, sedangkan intensitas curah hujan antara
(228-303) mm memiliki frekuensi sebanyak 71 kali. Selanjutnya periode 1978-2011
memiliki intensitas curah hujan yang sering terjadi antara (0-70) mm muncul sebanyak
171 kali dan intensitas curah hujan antara (213-183) mm memiliki frekuensi 71 kali.
Sedangkan untuk curah hujan ekstrim paling banyak terjadi pada bulan Juli tahun 1908,
1916, 1939, 1950, 1955, 1957, 1968, dan 1989. Kejadian ekstrim yg paling sedikit
terjadi yaitu pada bulan November 1912 dan bulan Desember 1961.
Kata kunci: Curah hujan, distribusi frekuensi, Peaks Over Threshold (POT).
Abstract. The identification research of extreme rainfall based on monthly data from
1901-2011 periods is divided into three parts, 1901-1037 , 1938-1974, and 1975-2011
with the main aim is to see and to know the characteristics of rainfall in Malang. The
average ofmonthly rainfall data will be analyzed to found it‟s patterns. While to found
the extreme rainfall will be using the POT method. The Results shown that patterns of
rainfall in Malang has a monsoonal rainfall patterns. The dry season occurs in July ,
August and September , while for the wet season in December, January and
February.The frequency distribution of rainfall in period 1901-1937 has a highest
frequency with number 164 times, and the intensity between (0-69) mm. while the 68
times frequency found for the rainfall intensity around (140-209) mm. For the period
1938-1974 has the highest frequency of 169 times for intensity between (0-75) mm.The
intensity of rainfall between (228-303) mm has a frequency of 71 times. The period of
1978-2011 has rainfall intensity often between 0-70 mm and comes with frequency 171
times, and for rainfall between (213-183) mm has a frequency of 71 times. The most
extreme rainfall occurred in July of 1908, 1916 , 1939, 1950, 1955, 1957, 1968,
and1989. The least extreme events occurred in the month of November 1912 and
December 1961.
1. Pendahuluan
Iklim adalah unsur geografis yang paling penting dalam mempengaruhi kehidupan manusia.
Parameter iklim yang paling berpengaruh di Indonesia adalah curah hujan. Unsur iklim
seperti curah hujan disamping menjadi sumber daya alam yang amat dibutuhkan, juga dapat
menjadi sumber bencana. Tingginya curah hujan di wilayah Indonesia menyebabkan wilayah
ini rentan terhadap bencana banjir. Dampak perubahan cuaca dan iklim ekstrim merupakan
bagian permasalahan yang paling serius bagi kehidupan masyarakat di dunia (WMO, 2009).
Kejadian ekstrim akan lebih sering terjadi, lebih luas atau meningkat intensitasnya pada abad
ke-21 (IPCC, 2007). Berbagai masalah timbul akibat iklim dan cuaca ekstrim mulai dari
wabah penyakit, gangguan kesehatan, nelayan yang tidak berani melaut akibat ombak tinggi
sampai petani yang gagal panen dan kerawanan sosial lainnya. Sebagai negara kepulauan,
Indonesia
Perubahan iklim merupakan perubahan pola dan intensitas parameter iklim pada
periode waktu yang dapat dibandingkan (di Indonesia umumnya terhadap rata-rata
30 tahun). Perubahan iklim dapat berupa perubahan dalam kondisi cuaca rata-rata
atau perubahan dalam distribusi kejadian cuaca terhadap kondisi rata-ratanya.
Sebagai contoh, lebih sering atau berkurangnya kejadian cuaca ekstrim, berubahnya
pola musim dan peningkatan luasan daerah rawan kekeringan.
Peristiwa ekstrim akan ditentukan oleh penyimpangan dari nilai rata-rata dengan
frekuensi kejadiannya rendah (Dankers, R and R. Hiederer, 2008). Untuk menentukan
nilai ekstrim dengan menggunakan metoda POT (Peaks Over Threshold). Nilai threshold
adalah ambang batas dalam menentukan nilai ekstrim. Nilai-nilai yang berada di atas
threshold merupakan nilai ekstrim. Menurut (Coles, S, 2001) yang menjelaskan bahwa
penentuan nilai threshold kecil maka akan menyebabkan parameter yang bias dan bila terlalu
tinggi maka jumlah observasi semakin sedikit dan dan varian akan tinggi (Wulan Sari Y.D
dan Sutikno, 2003).
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui munculnya curah hujan ekstrim menurut
suatu kriteria tertentu berdasarkan data pengamatan
Untuk menentukan curah hujan ekstrim digunakan metoda POT (Peaks Over Threshold)
dengan ketentuan :
Kriteria Statistik POT :
Ekstrem (↑) = Mean + 2 StdDev……(Fowler and Kilsby,2003)
350
300 1901-1937
1938-1974
250 1975-2011
Ch (mm)
200
150
100
50
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sept Okt Nov Des
Waktu (bulan)
Gambar 1. Perubahan Pola curah hujan bulanan periode 1901-2011 Kota Malang
Selanjutnya untuk frekuensi curah hujan di kota Malang seperti yang tersaji pada gambar 2,
untuk periode curah hujan 1901-1937. Pada periode ini intensitas curah hujan antara (0-69)
mm/bulan memiliki frekuensi sebanyak 164 kali, sedangkan untuk intensitas curah hujan
antara (140-209) terjadi sebanyak 68 kali.
312
180
164
160
140
1901-1937
120
Frekuensi 100
80
68
60
40
20
0
69
9
39
20
27
34
41
48
55
62
69
0-
-1
0-
0-
0-
0-
0-
0-
0-
0-
70
14
21
28
35
42
49
56
63
Ch (m m )
Berikutnya gambar 3, yaitu periode 2: 1938-1974 memiliki frekuensi curah hujan sebanyak
169 kali untuk intensitas curah hujan pada interval (0-75) mm/bulan. Kemudian untuk
intensitas curah hujan antara (228-303) mm/bulan mempunyai frekuensi sebanyak 71 kali.
Intensitas curah hujan pada periode 1 lebih kecil dari pada intensitas curah hujan periode 2.
180
169
160
1938-1974
140
120
Frekuensi
100
80
71
60
40
20
0
75
9
51
22
30
37
45
53
60
68
75
0-
-1
2-
8-
4-
0-
6-
2-
8-
4-
76
15
22
30
38
45
53
60
68
Ch (mm)
Selanjutnya dari gambar 4 yang memperlihatkan kondisi curah hujan pada periode 3: 1975-
2011. Pada periode ini intensitas curah hujan yang sering muncul adalah intensitas curah
hujan pada interval (0-70) mm/bulan sebanyak 171 kali. Sedangkan untuk intensitas curah
hujan antara (213-283) mm/bulan hanya memiliki frekuensi sebanyak 58 kali. Dari ke tiga
periode yakni periode 1: 1901-1937, periode 2: 1938-1974 dan periode 1975-2011, intensitas
curah hujan yang sering antara (0-70) mm/bulan . Total curah hujan pertahun selama kurun
313
waktu 37 tahun paling tinggi terjadi pada periode 2: 1938-1974 yaitu sebesar 3749
mm/tahun. Sedangkan untuk periode1: 1901-1937, total curah hujan per tahun sebesar 2626
mm/tahun. Untuk periode 3: 1975-2011 total intensitas curah hujan pertahun sebesar 3361
mm/tahun.
180
171
160
1975-2011
140
120
Frekuensi
100
80
60 58
40
20
0
70
9
41
21
28
35
42
49
56
63
70
0-
-1
2-
3-
4-
5-
6-
1-
8-
9-
71
14
21
28
35
42
49
56
63
Ch (mm)
Analisis selanjutnya untuk menentukan peluang curah hujan dilakukan dengan menghitung
frekuensi tiap klas kemudian dibagi dengan frekuensi total hasilnya seperti yang tersaji pada
gambar 5. Peluang curah hujan untuk periode 1: 1901-1937 memiliki peluang curah hujan
untuk intensitas curah hujan antara (228-303) mm/bulan sebesar 14.35%, sedangkan untuk
periode 2: 1938-1974 mempunyai peluang sebesar 16.21 % pada intensitas curah hujan yang
sama demikian juga untuk periode 3: 1975-2011 mempunyai peluang curah hujan sebesar
13.39 %. Jadi periode 2 memili peluang paling tinggi pada intensitas curah hujan (228-303)
mm/bulan. Kemudian untuk intensitas curah hujan antara (0-75) mm/bulan semua periode
yang terdiri dari periode 1, periode 2 dan periode 3 mempunyai peluang curah hujan sekitar
38 %
45
40 1901-1937
35 1938-1974
Peluang (%)
30 1975-2011
25
20
15
10
5
0
75
9
51
22
30
37
45
53
60
68
75
0-
-1
2-
8-
4-
0-
6-
2-
8-
4-
76
15
22
30
38
45
53
60
68
Intensitas Ch(mm)
Fokus penelitian dari tahun 1901-2011, yang di bagi dalam 3 periode, setiap periode
terdiri dari 37 tahun. Menurut Meehl (2000) perubahan iklim dapat diidentifikasi
dengan membandingkan kurva distribusi peluang seperti diperlihatkan pada Gambar 5
dan gambar 6, sehingga diketahui perubahan (antar kurun waktu 37 tahun) pada nilai
rata-rata (mean) atau standar deviasi, atau keduanya. Berdasarkan pengertian ini,
perubahan yang terjadi dalam kurun 37 tahun itu sendiri disebut sebagai variabilitas
iklim. Dari gambar 6, yang memperlihatkan nilai rata-rata (mean) dan standar deviasi
yang telah berubah dan berfluktuasi.
180
160 m ean 161 156
150
140 stdev
100
80
60
40
20
0
1901-1937 1938-1974 1975-2011
Periode(tahun)
Selanjutnya masalah penentuan nilai ekstrim dengan menggunakan metode POT (Peak Over
Threhold). Kejadian ekstrim merupakan hal yang perlu untuk diteliti, terutama untuk bidang
climatology, hydrology, economics, insurance dan finance (Coles, S, 2001). Penelitian untuk
bidang tersebut digunakan dalam menentukan probabilitas (maksimum dan minimum) level.
Selama periode penelitian tahun 1901-2011 diperoleh kejadian ekstrim yang sering terjadi
pada bulan April, Juni, Juli dan Oktober.
315
700
Ch (mm)
406 397
400 371
300
200
100
0
01
09
17
25
33
41
49
57
65
73
81
89
97
05
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
20
Waktu(tahun)
Gambar 7. Curah hujan ekstrim bulan April periode 1901-2011 di Kota Malang.
Gambar 7 yang menjelaskan kejadian curah hujan ekstrim pada bulan April sebanyak 4 kali
dengan ambang batas (threshold) 371 mm/bulan. Terjadi pada tahun 1962 dengan nilai
sebesar 586 mm/bulan, kemudian tahun 1984 dengan nilai 513 mm, berikutnya tahun 1993
dengan nilai sebesar 406 mm/bulan dan pada tahun 2007 dengan nilai 397 mm/bulan. Pada
bulan Juni juga terjadi ekstrim curah hujan dengan ambang batas 200 mm/bulan. Ekstrim
terjadi pada tahun 1909 dengan nilai 334 mm/bulan, tahun 1986 sebesar 282 mm/bulan,
kemudian tahun 1995 dengan nilai ekstrim 241 mm/bulan dan tahun 1998 dengan nilai 242
mm/bulan seperti yang tersaji pada gambar 8.
Gambar 8. Curah hujan ekstrim bulan Juni periode 1901-2011 di Kota Malang
Kemudian pada bulan Juli terjadi ekstrim sebanyak 7 kali yaitu pada tahun 1908, 1939, 1950,
1955, 1957, 1968 dan tahun 1989. pada bulan Juli ini mempunyai nilai threshold (ambang
batas) sebesar 120 mm/bulan. Pada thahun 1908 terjadi curah hujan ekstrim sebesar 154
mm/bulan seprti yang terlihat pada gambar 8. Kemudian juga terjadi pada 1939 dengan nilai
316
curah hujan ekstrim sebesar 194 mm/bulan. Tahun 1950 curah hujan ekstrim terjadi pada
intensitas curah hujan sebesar 146 mm/bulan..
250
Jul
Ekstr-Jul 194
200 181
154 163
152
Ch (mm)
150 146
137
120
100
50
0
01
09
17
25
33
41
49
57
65
73
81
89
97
05
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
20
Waktu(tahun)
Gambar 8. Curah hujan ekstrim bulan Juli periode 1901-2011 di Kota Malang
Berikutnya tahun 1955 nilai curah hujan ekstrim sebesar 152 mm/bulan. Dan tahun 1957
sebesar 181 mm/bulan. Kemudian pada gambar 8 ini juga tampak kejadian curah hujan
ekstrim pada tahun 1968 dengan intensitas curah hujan ekstrim sebesar 137 mm/bulan dan
tahun 1989 dngan nilai 163 mm/bulan. Selanjutnya pada bulan Oktober kejadian curah hujan
ekstrim terjadi sebanyak 4 kali, seperti yang terlihat pada gambar 9 berikut ini:
600
Okt
500 Ekstr-Okt 484
420
400
Ch (mm)
346
300 313
262
200
100
0
01
09
17
25
33
41
49
57
65
73
81
89
97
05
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
19
20
Waktu(tahun)
Gambar 9. Curah hujan ekstrim bulan Oktober periode 1901-2011 di Kota Malang
Pada bulan Oktober selama periode penelitian terjadi curah hujan ekstrim sebanyak 4 kali.
Dengan ambang batas (threshold) 262 mm/bulan. Pada tahun 1916 nilai curah hujan ekstrim
sebesar 420 mm/bulan. Kemudian tahun 1964 sebesar 346 mm/bulan. Sedangkan tahun 1983
317
curah hujan ekstrim terjadi pada nilai 484 mm/bulan. Kemudian tahun 1998 terjadi curah
hujan ekstrim sebesar 313 mm/bulan.
4. Kesimpulan
Dari hasil pengolahan data curah hujan bulanan di Kota Malang diperoleh hasil bahwa
musim kemarau lebih panjang dari pada musim basah. Pada musim kemarau (Juli, Agustus,
September) intensitas curah hujan semakin kecil dan musim basah (Desember, Januari,
Februari) intensitas curah hujan semakin tinggi. Kemudian untuk frekuensi curah hujan
maksimum terjadi pada periode 1975-2011.
Dengan menggunakan metoda Peaks Over Threshold (POT) diperoleh curah hujan ekstrim
di Kota Malang yang melampau threshold pada periode 1901-2011. Kemudian curah hujan
ekstrim paling banyak terjadi pada bulan Juli di tahun 1908, 1916, 1939, 1950, 1955, 1957,
1968, dan 1989. Pada bulan Oktober sebanyak 4 kali, tahun 1916, 1964, 1983 dan 1998.
Bulan Juni sebanyak 4 kali, pada tahun 1909, 1986, 1995 dan 1998, kemudian April 4 kali
yaitu tahun 1962, 1984, 1993 dan 2007.
Daftar Pustaka.
Dankers, R. and R. Hiederer, 2008. “Extreme Temperatures and Precipitation in Europe: Analysis of
a High-Resolution Climate Change
Scenario”, JRC Scientific and Technical Reports, EUR 23291 EN – 2008, (2008): 1-82.
Coles, S., 2001, An Introduction to Statistical Modeling of Ekstreme Value, London: Springer-Verlag.
Fowler, H.J. and Kilsby, C.G., 2003. A Regional Frequency Analysis of United Kingdom Extreme
Rainfall from 1961 to 2000”. International Journal of Climatology, 11, (2003): 1313-1334.
IPCC. 2007. Climate Change 2007 “The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to
the Fourth Assessment Report of the Intergovermental Panel on Climate Change[Solomon,S.,
D. Qin, M.
Manning, Z. Chen, M. Maquis, K.B. Averyt, M. Tignor and H.L. Miller (eds.)] . Cambridge
University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, Ny, USA.
Wulan Sari, Y.D dan Sutikno, 2013. Estimasi Parameter Gereneralized Pareto Distribution Pada
Kasus Identifikasi Perubahan Iklim di Sentra
Produksi Padi Jawa Timur. Jurnal Sains dan Seni Pomits Vol 2. No2, (2013) 2337-3520 (2301-928X
Print).
WMO, 2009. Guidelines an Analysis of extreme in a change climate in support of informed decisions
for adaptation. Publications Board. Geneva 2, Swizerland
318
Khasanan
SMP N 1 Ngadirejo, Demangan Ngadirejo, Temanggung; nnndesit@gmail.com
Kata Kunci: CL-STAR, cooperative learning, Score Target, KKM, hasil belajar
1. Pendahuluan
Lahirrnya Permendikbud No 81 A Tahun 2013, tentang implementasi Kurikulum 2013
berimplikasi terhadap pengelolaan kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru.
Pembelajaran yang selama ini didasarkan pada standar proses (Permen No 41 Tahun 2007)
harus diselaraskan dengan tuntutan impelementasi kurikulum Tahun 2013. Penyesuaian
tersebut antara lain meliputi filosofi pembelajaran, prinsip pembelajaran, pendekatan
pembelajaran, dan penilaian pembelajaran.
Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman
nyata (Trianto, 2010).
Proses pembelajaran terdiri atas lima pengalaman belajar pokok yaitu: mengamati, menanya,
mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan.
2. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran di mana siswa belajar dan
bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-5 orang
dengan struktur kelompok heterogen (Slavin dalam Isjoni, 2012). Dalam pembelajaran
kooperatif terdapat saling ketergantungan positif di antara siswa untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Setiap siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk sukses. Aktivitas
belajar berpusat pada siswa dalam bentuk diskusi, mengerjakan tugas bersama, saling
membantu dan saling mendukung dalam memecahkan masalah. Melalui interaksi belajar
yang efektif siswa lebih termotivasi, percaya diri, mampu menggunakan strategi berpikir
kritis tingkat tinggi, serta mampu membangun hubungan interpersonal. Model pembelajaran
kooperatif memungkinkan semua siswa dapat menguasai materi pada tingkat penguasaan
yang relatif sama atau sejajar.
Karateristik pembelajaran kooperatif adalah: (a) adanya tujuan kelompok dan setiap anggota
kelompok memiliki hak yang sama untuk memimpin belajar kelompoknya, (b) tanggung
jawab belajar pada individu, oleh sebab itu penilaian ditujukan disamping kelompok juga
individu, (c) kesempatan yang sama untuk berhasil, karena terjadi saling bantu-membantu
dan memberikan kontribusi antar anggota kelompok, (d) persaingan antar kelompok
ditujukan untuk menumbuhkan motivasi dan kerja sama, (e) adanya tugas-tugas khusus, (f)
adanya penyesuaian individu (Slavin, 2005).
Senada dengan karakteristik tersebut, Bennet (dalam Isjoni, 2012:60) mengemukakan ciri-
ciri pembelajaran kooperatif sebagai berikut: (1) positive interdependence (terdapat saling
ketergantungan yang positif di antara anggota kelompok) , (2) interaction face to face
(interaksi langsung antara siswa tanpa perantara), (3) adanya tanggung jawab pribadi
320
mengenai materi pelajaran dalam anggota kelompok, (4) membuthkan keluwesan (5)
meningkatkan keterampilan bekerjasama dalam memecahkan masalah.
Orlich (dalam Iru, 2012:55) menyebutkan lima karakteristik pembelajaran kooperatif yaitu:
(1) menggunakan kelompok kecil tiga atau empat orang siswa, (2) berfokus pada
penyelesaian tugas-tugas, (3) terjadi kerjasama dan interaksi kelompok (4) tanggung jawab
pribadi untuk belajar, (5) mendukung kerja kelompok.
Model pembelajaran kooperatif mendorong dan memberi kesempatan kepada siswa untuk
trampil berkomunikasi. Artinya, siswa didorong untuk mampu menyatakan pendapat atau
idenya dengan jelas, mendengarkan orang lain dan menanggapinya dengan tepat, meminta
feedback serta mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan baik. Siswa juga mampu
membangun dan menjaga kepercayaan, terbuka untuk menerima dan memberi pendapat serta
ide-idenya, bersedia berbagi informasi dan sumber, dan bersedia memberi dukungan pada
orang lain dengan tulus.
Model pembelajaran kooperatif ini akan dapat terlaksana dengan baik jika dapat
ditumbuhkan suasana belajar yang memungkinkan diantara siswa serta antara siswa dan guru
merasa bebas mengeluarkan pendapat dan idenya, serta bebas dalam mengkaji serta
mengeksplorasi topik-topik penting dalam pembelajaran. Guru dapat mengajukan berbagai
pertanyaan atau permasalahan yang harus dipecahkan di dalam kelompok melalui
pengembangan lembar kerja, atau melalui permasalahan kontekstual yang disajikan sebelum
pembelajaran kooperatif dimulai. Siswa berupaya untuk berpikir keras dan saling
mendiskusikan di dalam kelompok. Kemudian siswa lain dapat mengejar pendapat mereka
tentang ide-idenya dari berbagai perspektif. Guru juga mendorong siswa untuk mampu
mendemonstrasikan pemahamannya tentang pokok-pokok permasalahan yang dikaji menurut
cara kelompok. Dalam hal ini guru harus mampu memfasilitasi dalam menciptakan kondisi
yang menantang, mendorong inisiatif siswa untuk mengembangkan kreatifitas individu dan
kelompok dalam menggali pengetahuan dan sikap melalui pembelajaran.
321
Cooperative Learning with Score Target adalah pembelajaran model kooperatif yang
didesain sedemikian rupa siswa secara kelompok maupun individu menentukan skor target
(sasaran) dalam pembelajaran. CL-STAR merupakan modifikasi pembelajaran kooperatif
tipe Student Teams-Achievment Divisions (STAD) dengan mengambil empat komponen dari
lima komponen utamanya yaitu kerja tim, kuis, presentasi kelas, dan penghargaan team
(Slavin, 2005). Skor perbaikan individual yang merupakan komponen kelima dari STAD
digantikan dengan skor target. Skor target merupakan bentuk tanggung jawab masing masing
anggota kelompok dalam mewujudkan tujuan-tujuan individu maupun tujuan-tujuan
kelompok. Skor target juga dimaksudkan sebagai ajang penilaian diri oleh siswa dalam
kegiatan kelompok. Target tersebut meliputi dua aspek yaitu pengetahuan dan sikap.
Melalui penentuan target siswa tidak saja bisa berlatih untuk jujur pada diri sendiri,
mengakui kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dalam rangka mencapai tujuan-tujuan
sebagaimana di tuliskan guru dalam rencana pembelajaran. Siswa juga bisa berlatih
bertanggung jawab terhadap target-target yang telah dicanangkan. Sebab target-target
individu siswa akan diakumulasi menjadi target-target kelompok. Jika siswa berhasil dalam
mencapai target maka ia telah berkontribusi positif dalam mencapai target kelompok,
sehingga memperoleh hak penghargaan yang diberikan oleh kelompoknya. Sebaliknya jika
seorang siswa gagal mencapai target individu siswa tersebut telah gagal menyumbangkan
peran positifnya dalam mensukseskan tercapainya target kelompok. Kegagalan ini tidak
hanya berdampak pada hilangnya hak seorang siswa memperoleh penghargaan oleh
kelompoknya tetapi juga mendorong siswa tersebut mengusulkan kepada kelompoknya
untuk merencanakan upaya remedial melalui kegiatan tutor sebaya di luar pembelajaran.
Dalam aspek sikap, siswa menentukan sendiri target-target sikap yang akan dikembangkan
dalam aktifitas-aktifitas individu dan kelompok selama pembelajaran. Target-target sikap ini
dimaksudkan sebagai suatu sikap minimal yang akan ditunjukkan siswa dalam kegiatan-
kegiatan kelompok maupun individual. Karena itu, target-target sikap maupun target
penguasaan pengetahuan yang dituliskan oleh siswa harus selaras dengan rencana
pembelajaran yang dikembangkan oleh guru. Maka tujuan-tujuan pembelajaran yang
dikembangkan guru dalam RPP perlu dikomunikasikan kepada siswa.
Melalui tujuan yang dikomunikasikan diawal pembelajaran, siswa juga akan mengetahui
kegiatan penilaian yang akan dikembangkan oleh guru. Hal ini membuka kesempatan bagi
siswa untuk melakukan antisipasi secara positif bagi berlangsungnya pelaksanaan
pembelajaran, karena siswa telah memperoleh informasi tentang teknik dan jenis penilaian
yang akan dilakukan guru selama pembelajaran. Target sikap ini difungsikan sebagai pemicu
munculnya motivasi siswa agar terlibat secara aktif dalam kegiatan pembelajaran.
Melalui penentuan target, siswa akan fokus pada tujuan yang akan dicapai. Semua kegiatan
pembelajaran yang melibatkan individu atau kelompok dalam mengamati, menanya,
mengumpulkan dan mengasosiasi, dan mengkomunikasikan informasi diarahkan pada target
322
yang telah ditentukan oleh siswa. Hal ini sesuai dengan pendapat Anderson (2010) bahwa
target atau tujuan akan membantu kita memfokuskan perhatian dan tindakan. Melalui tujuan
(target) kegiatan perencanaan, penentuan strategi, menginventarisir kekuatan dan kelemahan,
pengumpulan sarana, pelaksanaan dan evaluasinya bisa disusun.
Skor target dimaksudkan agar setiap anggota team fokus pada tujuan yang hendak dicapai
dalam menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk
mencapai tujuan bersama lainnya (Suherman,2003:260). Skor target juga merupakan salah
satu tujuan atau sasaran yang akan mengarahkan masing-masing individu kelompok untuk
mencapai performance terbaiknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Jansen (2008:136) bahwa
sasaran terbaik adalah sasaran yang dihasilkan oleh siswa sendiri. Demikian juga agar team
meraih keberhasilan, dibutuhkan orang-orang yang bertindak dengan tujuan dan target,
mampu menetapkan fokus, dan produktif (Maxwell, 2012). Pendapat serupa juga
dikemukakan oleh Quayyid (2005:127) bahwa kesuksesan dalam berbagai bentuk dan
tingkatannya, dipusatkan pada dua hal, yaitu tujuan (target) dan sarana (cara). Dengan
redaksi berbeda Sibermen (2006:207) menyebutkan bahwa belajar yang timbul dari
keinginan sendiri acapkali lebih mendalam dan lebih permanen ketimbang belajar yang
diarahkan oleh guru.
Target yang ditetapkan oleh individu harus spesifik, terukur, bisa dilakukan, nyata, dan
didasarkan pada waktu (Jackman,2006). Tujuan yang spesifik mengandung pengertian
bahwa tujuan atau target individual siswa atau kelompok harus jelas, tertulis dan
diberitahukan kepada anggota kelompok lainnya. Hal ini dimaksudkan agar tujuan individu
dalam kelompok menjadi penopang untuk mencapai tujuan kelompok dalam kegiatan
pembelajaran kooperatif.
Pra Pembelajaran:
Tahap Pembelajaran
Katagori sikap kurang, cukup, baik, dan sangat baik mengandung pengertian sebagai
berikut: (1) kurang jika siswa memenuhi paling banyak 1 kriteria sikap, (2) cukup jika
325
siswa memenuhi 2 kriteria sikap, (3) baik jika siswa memenuhi 3 kriteria sikap, (4) sangat
baik jika siswa memenuhi 4 kriteria sikap.
Pada aspek pengetahuan, kriteria pengetahuan baik jika siswa telah mencapai atau
melampaui kriteria ketuntasan minimal (KKM) mata pelajaran matematika yaitu 7,5.
Dari hasil pengamatan terhadap 32 siswa yang terlibat dalam kegiatan kelompok pada siklus
I diperoleh informasi bahwa 24 siswa teridentifikasi memiliki percaya diri kategori cukup
yaitu terlibat dalam aktivitas kelompok, 6 siswa telah menunjukkan sikap percaya diri
kategori baik yaitu tidak saja terlibat aktif dalam aktivitas kelompoknya tetapi juga percaya
diri dalam mengemukakan gagasan, berargumentasi, dan mengkomunikasikan gagasan pada
siswa lain, 2 siswa bahkan mampu melakukan presentsi di depan kelas. Namun demikian,
75% siswa masih belum dikatakan memiliki rasa percaya diri yang baik. Menurut hasil
refleksi, penyebab dari besarnya siswa yang belum memiliki rasa percaya diri adalah materi
yang belum benar-benar dipahami oleh masing-masing anggota kelompok. Dalam aspek
tanggung jawab, 2 siswa teridentifikasi belum mampu menyelesaikan tugas dalam kelompok
dan belum mampu memenuhi target yang telah ditentukan. Selebihnya 30 siswa telah
menunjukkan tanggung jawab dengan kategori baik atau sangat baik dalam menyelesaikan
tugas kelompok. Pada aspek kerjasama, 1 siswa teridentifikasi memiliki kategori kurang
karena belum mau terlibat secara aktif dalam menyelesiakan tugas kelompok, 4 siswa telah
terlibat dalam penyelesaian tugas tetapi belum bisa menyelesaikan semua tugas yang
disepakati oleh kelompok, 27 siswa memiliki kategori bekerjasama baik atau sangat baik
karena telah secara aktif bekerjasama dalam menyelesiakan tugas kelompok, berbagi
gagasan dalam menyelesaikan tugas kelompok dan berperan dalam mencapai target
kelompok .
Bila dibandingkan siklus I, II, dan III terjadi peningkatan jumlah siswa pada aspek sikap
percaya diri dengan kategori sangat baik yaitu dari 6,25% pada siklus I menjadi 12,50% pada
siklus II, dan 25% pada siklus III. Sebaliknya terjadi penurunan jumlah siswa yang memiliki
sikap percaya diri kategori cukup dari 75%, 62,5%, dan 53,13%. Peningkatan juga terjadi
pada sikap tanggung jawab pada kategori sangat baik yaitu dari 37.5%, 43,75%, dan pada
siklus III prosentase menjadi 46,88%. Meskipun jumlah siswa dengan kategori baik
mengalami penurunan prosentase dari 56,25%, 53,13%, dan 50,00%. Hal ini disebabkan
karena beberapa siswa yang memiliki kategori baik pada sisklus sebelumnya berhasil
memperoleh kategori sangat baik pada siklus berikutnya. Pada aspek sikap bekerjasama
jumlah siswa dengan kategori cukup relative konstan pada dua siklus terakhir yaitu berawal
dari 12,50% pada siklus awal menjadi 9,38% pada siklus II dan III. dari pada kategori baik
atau sangat baik yaitu meningkat sebanyak 1 siswa.
326
Pada akhir siklus, tercatat 96,875% siswa bertanggung jawab terhadap tugas individu dan
kelompok, 90,625% siswa bekerjasa sama dalam menyelesaikan permasalahan kelompok,
dan 50% siswa mengalami peningkatan sikap percaya diri sejak dari siklus 1 ke siklus 2, dan
dari siklus 2 ke siklus 3.
Pada aspek pengetahuan, tejadi peningkatan jumlah siswa yang mencapai atau melampaui
nilai KKM ; siklus 1 ada 26 siswa; siklus 2 ada 28 siswa; dan siklus 3 ada 28 siswa. Dengan
kata lain dari hasil tes dua siklus yang terakhir 87,5% siswa berada pada skor di atas KKM.
Bagi guru yang akan menerapkan CL-STAR disarankan untuk mengembangkan instrumen
penilaian autentik terutama ranah keterampilan, sehingga kegiatan pembelajaran bisa lebih
berkualitas dan selaras dengan permendikbud no 81A Tahun 2013.
Daftar Pustaka
Anderson & Krathwohl et al. 2010. Kerangka Landasan Untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan
Asesmen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Azwar. S. 2011. Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Iru, L. 2012. Pendekatan, Strategi, dan Model-model Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Presindo.
Isjoni. 2012. Pembelajaran Kooperatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Jackman, A. 2006. How to Get Thinks Done. Jakarta: Erlangga
Jansen, E. 2008. Brain-Based Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Lie, A. 2005. Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo
Maxwell, J.C. 2012. The 17 Essential Qualities of A Team Player. Surabaya: MIC
Qu‟ayyid, I.H. 2005. 10 Kebiasaan Manusia Sukses Tanpa Batas. Jakarta: Maghfiroh.
Silberman, M.L. 2006. Active Learning; 101 Cara Siswa Belajar Aktif. Bandung: Nusamedia.
Slavin, R.E. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: PSMS Unesa
Triyanto. 2010. Mendesain Model-model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Yulaelawati, E. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Pakar Raya
327
PENGEMBANGAN PERANGKAT
PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI
PENDEKATAN KONTEKSTUAL DENGAN
STRATEGI REACT PADA MATERI DIMENSI
TIGA UNTUK MENINGKATKAN
KOMUNIKASI MATEMATIS MAHASISWA
Laelasari, M. Pd
FKIP Unswagati, Jl. Perjuangan No 1, Cirebon; laelasari78@yahoo.co.id
Abstrak. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan yang bertujuan untuk; (1)
Menghasilkan perangkat pembelajaran matematika melalui pendekatan kontekstual
dengan strategi REACT pada materi Dimensi Tiga terhadap peningkatan komunikasi
matematis mahasiswa yang valid, (2) Mengetahui apakah pembelajaran matematika
melalui pendekatan kontekstual dengan strategi REACT pada materi Dimensi Tiga
terhadap peningkatan komunikasi matematis mahasiswa efektif. Perangkat
pembelajaran yang dikembangkan adalah: Satuan Acara Perkuliahan, Buku Ajar,
Lembar Kerja Mahasiswa (LKM), CD Pembelajaran, Tes Komunikasi Matematis, dan
Lembar Pengamatan Keterampilan Proses. Jenis penelitian pengembangan modifikasi
model 4-D dengan tahap Define, Design, dan Develop, (Desseminate ditiadakan). Uji
coba penelitian ini dilakukan di FKIP Unswagati Cirebon, sampel penelitian kelas J
dan H mahasiswa semester II Program Studi Pendidikan Matematika tahun akademik
2009/2010. Hasil penelitian diperoleh (1) Perangkat pembelajaran berupa Satuan
Acara Perkuliahan (SAP), Buku Ajar, Lembar Kerja Mahasiswa (LKM), CD
Pembelajaran dinyatakan valid oleh validator; (2) Tercapainya KKM dengan nilai
ketuntasan klasikal 65 dan ketuntasan individu 75%; (3) Keterampilan proses
berpengaruh positif terhadap kemampuan komunikasi matematis; (4) Rata-rata
kemampuan komunikasi matematis kelas eksperimen lebih baik daripada kelas kontrol.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran matematika
melalui pendekatan kontekstual dengan strategi REACT pada materi Dimensi Tiga
untuk meningkatkan komunikasi matematis mahasiswa valid dan efektif.
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Model penyajian materi dalam pembelajaran matematika merupakan salah satu faktor yang
menarik untuk dikaji dan diteliti, karena di lapangan secara umum penyajian materinya
masih menggunakan pendekatan konvensional, yaitu banyak ceramah, sedikit tanya-jawab,
dan pemberian tugas. Pembelajaran matematika konvensional ini masih menekankan pada
latihan mengerjakan soal, prosedural, serta banyak menggunakan rumus dan algoritma
328
sehingga mahasiswa lebih banyak dilatih mengerjakan soal-soal rutin. Keadaan ini akan
membuat belajar mahasiswa menjadi kurang bermakna. Bila mahasiswa diberi soal yang
berbeda dengan soal latihan maka mahasiswa banyak membuat kesalahan, karena kurang
terbiasa memecahkan masalah yang terdapat di sekeliling mereka. Hal itu menyebabkan
banyak mahasiswa yang menganggap bahwa matematika terutama materi Dimensi Tiga
merupakan mata kuliah yang membosankan, sulit dipahami dan kurang menarik. Hal ini
terjadi karena kurangnya contoh yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari mereka,
sehingga kurang disenangi mahasiswa.
Berdasarkan hasil pengamatan, mahasiswa masih banyak yang melakukan kesalahan dalam
menyelesaikan sola-soal tes yang berkaitan dengan Dimensi Tiga. Mahasiswa belum bisa
secara baik menuangkan ide untuk menyelesaikan soal menggambar irisan dari sebuah
dimensi tiga maupun menentukan jarak dari suatu titik pada bidang. Perangkat pembelajaran
belum digunakan secara maksimal, mahasiswa mendapatkan materi dari apa yang
disampaikan oleh dosen di kelas pada saat kegiatan belajar mengajar. Mahasiswa tidak
mendapatkan buku ajar maupun lembar kerja, mahasiswa mendapatkan materi dari buku-
buku pelajaran SMA yang berkaitan dengan materi Dimensi Tiga.
Mahasiwa yang masuk di Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unswagati Cirebon
mempunyai latar belakang pendidikan yang berbeda, baik dari SMA, maupun SMK. Hal ini
menjadikan suatu tantangan bagi seorang dosen di Program Studi Pendidikan Matematika
329
untuk lebih meningkatkan strategi dalam kegiatan perkuliahan, agar mendapatkan hasil yang
maksimal.
Salah satu strategi yang berlandaskan pendekatan kontekstual adalah pembelajaran dengan
menggunakan strategi REACT. Ada lima unsur dalam strategi REACT yang masing-masing
merupakan singkatan (akronim) R dari Relating (menghubungkan/mengaitkan), E dari
Experiencing (mengalami), A dari Applying (menerapkan), C dari Cooperating (bekerja
sama) dan T dari Transfering (mentransfer). Strategi ini terfokus pada pengajaran dan
pembelajaran dalam konteks suatu prinsip fundamental dalam konstruktivisme.
2. Kajian Teori
Perangkat pembelajaran merupakan sejumlah bahan, alat, media, petunjuk dan pedoman
yang akan digunakan dalam proses pembelajaran. Dari uraian tersebut dapat dikemukakan
bahwa perangkat pembelajaran adalah sekumpulan media atau sarana yang digunakan oleh
dosen dan mahasiswa dalam proses pembelajaran di kelas atau serangkaian perangkat
pembelajaran yang harus dipersiapkan seorang dosen dalam menghadapi pembelajaran di
kelas.
Perangkat pembelajaran yang dikembangkan berupa Satuan Acara Perkuliahan (SAP), Buku
Ajar untuk mahasiswa, Lembar Kerja Mahasiswa (LKM), CD Pembelajaran, Lembar
Pengamatan Keterampilan Proses, dan Tes Komunikasi Matematis yang sesuai dengan
sintaks pembelajaran melalui pendekatan kontekstual dengan strategi REACT.
Pendekatan kontekstual atau Contextual Teaching Learning (CTL) menurut Crawford (2001:
2) merupakan suatu pendekatan yang melibatkan mahasiswa secara penuh dalam proses
pembelajaran. Mahasiswa didorong untuk berkreativitas mempelajari materi mata kuliah
sesuai dengan topik yang akan dipelajarinya. Belajar dalam konteks CTL bukan hanya
sekedar mendengarkan dan mencatat, tetapi merupakan proses pengalaman secara langsung.
331
Strategi REACT merupakan suatu strategi pembelajaran kontekstual yang pertama kali
dikembangkan di Amerika Serikat.Strategi REACT ini dikembangkan dengan mengacu pada
paham konstruktivisme karena pembelajaran dengan menggunakan strategi ini menuntut
mahasiswa untuk terlibat dalam bebagai aktivitas yang terus-menerus, berpikir dan
menjelaskan penalaran mereka, mengetahui berbagai hubungan antara tema-tema dan
konsep-konsep.
a. Experiencing(mengalami)
Menyusun pengetahuan baru dengan berbagai pengalaman yang tersusun rapi dan terus
menerus yang terjadi dalam kelas, inilah yang disebut dengan mengalami (Crawford 2001:
5). Pengalaman-pengalaman yang terus-menerus di dalam kelas dapat berupa penggunaan
manipulatif, dan aktivitas-aktivitas mahasiswa lainnya dalam menyelesaikan soal.
b. Applying (mengaplikasikan)
Crawford (2001: 11), kooperatif adalah belajar dalam konteks sharing, merespon, dan
berkomunikasi dengan mahasiswa lainnya.
332
d. Transfering (mentransfer)
Hudojo (1998:102) menjelaskan bahwa transfer belajar berkenaan dengan adanya konsep
dan teorema matematika yang telah diorganisasikan di dalam pikiran sehingga adanya
konsep dan teorema ini dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Evans (1998:1) menambahkan pula bahwa transfer pembelajaran pada umumnya mengacu
kepada penggunaan ide-ide dan pengetahuan yang dipelajari dalam suatu konteks yang lain.
Menurut Crawford (2001: 14) mentransfer adalah penggunaan pengetahuan dalam konteks
baru atau situasi baru, mahasiswa yang belajar dengan pemahaman juga dapat mentransfer
pengetahuan.
NCTM 2000 (Odafe 2002: 486) mengemukakan bahwa komunikasi adalah satu bagian
penting dari pendidikan matematika dan matematika, komunikasi merupakan suatu cara
untuk membagikan gagasan-gagasan dan menjelaskan pemahaman. Menurut Baroody (1993:
118) paling sedikit ada dua alasan penting yang menjadikan komunikasi dalam pembelajaran
matematika perlu menjadi fokus perhatian, yaitu: (1) matematika sebagai bahasa:
matematika bukan hanya sebagai alat bantu berpikir, alat untuk menemukan pola, atau
menyelesaikan masalah, tetapi juga matematika sebagai alat bantu yang baik untuk
mengkomunikasikan macam-macam ide sehingga jelas, tepat, dan ringkas, dan (2)
pembelajaran matematika sebagai aktivitas sosial: interaksi antar siswa, komunikasi
mahasiswa dengan dosen dalam pembelajaran matematika merupakan bagian yang cukup
penting untuk mengembangkan potensi mahasiswa.
Menurut Soetardjo (1998: 2) proses atau keterampilan proses atau metode ilmiah yaitu
merupakan bagian studi sains, dengan kata lain termasuk materi bidang studi yang harus
dipelajari mahasiswa. Proses didefinisikan sebagai perangkat keterampilan kompleks yang
digunakan ilmuwan dalam melakukan penyelidikan ilmiah. Keterampilan proses dapat
diartikan sebagai wawasan pengembangan keterampilan–keterampilan intelektual, sosial dan
fisik yang bersumber dari kemampuan-kemampuan mendasar yang prinsipnya telah ada
dalam diri mahasiswa.
333
3. Metode Penelitian
Populasi pada kegiatan penelitian ini adalah Mahasiswa semester II Program Studi
Pendidikan Matematika FKIP Unswagati Cirebon, dengan teknik cluster sampling terpilih
mahasiswa semester II kelas H sebagai kelas eksperimen dan mahasiswa semester II kelas J
sebagai kelas kontrol. Untuk melaksanakan uji coba instrumen dilakukan pada mahasiswa
semester IV kelas C. Rancangan uji coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian eksperimen, dengan variabel independen adalah keaktifan dan keterampilan
proses, variabel dependen adalah komunikasi matematis. Rancangan uji coba dapat dilihat
pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Rancangan Uji Coba
Kelompok Pretes Perlakuan Postes
Eksperimen O1 X1 O2
Kontrol O1 X2 O2
Arikunto (2002: 79)
Keterangan :
O1 = Pretes pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
O2 = Postes pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
X1 = Pembelajaran menggunakan pendekatan kontekstual dengan pengembang-an
perangkat pembelajaran
X2 = Pembelajaran menggunakan pendekatan konvensional
Cara yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu, melalui tes komunikasi matematis
dengan memberikan pretes dan postes untuk kelas kontrol maupun eksperimen, dan
pengamatan keterampilan proses mahasiswa pada kelas eksperimen.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada penelitian, dapat disimpulkan bahwa:
a. Menurut penilaian para ahli, pengembangan perangkat pembelajaran melalui
pendekatan kontekstual dengan strategi REACT pada materi Dimensi Tiga sudah baik
dan valid;
b. Ketuntasan belajar mencapai 75%, hal ini menunjukkan kenaikan hasil prestasi belajar
mata kuliah Kapita Selekta Matematika;
c. Keterampilan proses mahasiswa dalam pembelajaran melalui pendekatan kontekstual
dengan menurut strategi REACT pada materi Dimensi Tiga sangat berpengaruh positif
terhadap kemampuan komunikasi matematis;
d. Terdapat perbedaan kemampuan komunikasi matematis antara mahasiswa kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol melalui pendekatan kontekstual dengan strategi
REACT pada materi Dimensi Tiga.
Daftar Pustaka
Baroody, A. J. 1993. Problem Solving, Reasoning, and Communicating. New York: Mc. Milan.
Crawford. 2001. Teaching Mathematics Contextuallly. Texas: CCI Publishing, Inc.
Evans, J. Building Bridges: Reflections on the Problem of Transfer of Learning in Mathematics.
Journal Educational Research and Review. 39/1: 23–44.
Hudojo, H. 1998. Mengajar Belajar Matematika. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jendral Pendidikan Tinggi. Jakarta.
Odafe, V. U. 2002. Teaching and Learning Mathematics: Student Reflection Adds a New Dimension.
Journal Educational Research and Review. 19/1:486-490.
Soetardjo, 1998.Proses Belajar Mengajar dengan Metode Keterampilan Proses. SIC. Surabaya.
Triantoro. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka.
337
Mardiah Nuntung 1)
1)
SMA Negeri 5 Palu, Jl.RE Martadinata –Palu; mardiahnuntung@yahoo.co.id
Abstrak. Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif pendekatan kualitatif
bertujuan memperoleh deskripsi karakteristik tahapan berpikir kreatif siswa dalam
pemecahan masalah dimensi tiga berdasarkan tingkat Kemampuan Awal. Instrumen
peneliti sendiri dipandu tugas pemecahan masalah matematika kreatif, tes Kemampuan
awal, dan pedoman wawancara. Pengumpulan data dengan wawancara berbasis tugas.
Subjek penelitian siswa kelas XI IPA SMAN 8 Makassar terdiri dari 1 orang yang
berkemampuan awal tinggi (ST) dan 1 orang yang berkemampuan awal rendah (SR).
Hasil penelitian karakteristik tahapan berpikir kreatif: 1) ST: a) Mensintesis ide:
mencari koherensi, b) Membangun Ide berdasarkan: bangun ruang yang mirip.
Produktif secara konseptual; c) Rencana Penerapan Ide: dengan cara prosedural,
berpikir koseptual, mengatasi kesulitan; d) Penerapan Ide: memenuhi aspek: kefasihan,
kelancaran, dan kebaruan, memperbaiki kesalahan, berpikir kreatif; 2) Karakteristik
SR: a) Mensintesis ide: mencari koherensi, , b) Membangun Ide berdasarkan:bangun
ruang yang mirip. Tidak produktif secara konseptual; c) Rencana Penerapan Ide:
dengan cara procedural dan tidak mampu mengatasinya d) Penerapan Ide: memenuhi
aspek: kefasihan, kelancaran; 3) perbedaan ST dan SR: (1) dalam membangun dan
merencanakan penerapan ide, ST berpikir secara konseptual, SR berpikir prosedural;
ST produktif, SR kurang produktif; (2) penerapan ide, ST memenuhi aspek kelancaran,
kefasihan, dan kebaruan, SR hanya memenuhi aspek kelancaran dan kefasihan.
Kata Kunci. Karakteristik, tahapan berpikir kreatif, mensintesis ide, membangun ide,
merencanakan penerapan ide, penerapan ide
1. Pendahuluan
Salah satu tujuan pembelajaran matematika dalam kurikulum adalah mengembangkan
aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi dan penemuan, dengan mengembangkan
pemikiran divergen, orisinal, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan serta mencoba-
coba.
Awalnya para ahli meyakini bahwa kemampuan berpikir kreatif hanya dimiliki oleh orang-
orang berbakat. Namun, sejalan dengan berkembangnya pengetahuan, beberapa ahli
mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir kreatif dapat dibentuk melalui latihan secara
terus menerus dan berkesinambungan. (Fisher, 1990) menyatakan terdapat miskonsepsi yang
meyakini bahwa kreativitas membutuhkan IQ tingkat tinggi. Selanjutnya (Kitano, 1992)
menyatakan bahwa ada orang berinteligensi tinggi tetapi tidak kreatif tetapi ada orang kreatif
tidak memerlukan kecerdasan tinggi. Perubahan paradigma tersebut di atas memotivasi
Anderson & Kathwohl (Alimuddin,2009) untuk merevisi taksonomi Bloom pada aspek
338
kognitif menjadi dua dimensi, yaitu: (1) dimensi proses kognitif, dan (2) dimensi
pengetahuan. Aspek-aspek dari dimensi kognitif yang mereka kemukakan adalah: (1)
mengingat (remember); (2) memahami (understand); (3) menerapkan (apply); (4)
menganalisa (analyze), dan (5) kreativitas (create). Salah satu konsekuensi dari revisi
taksonomi Bloom ini adalah adanya keharusan untuk mengembangkan dan mengevaluasi
kemampuan kreativitas siswa sebagai salah satu tujuan instruksional.
Pemerintah menetapkan unsur kritis dan kreatif dalam tujuan pendidikan nasional sebagai
tanda bahwa tujuan yang lain belumlah cukup sebagai bekal menghadapi tantangan
kehidupan. Meskipun pemerintah menganggap unsur kreatif sangat penting untuk
ditumbuhkembangkan pada siswa sedini mungkin, namun kenyataan menunjukkan, sekolah
maupun perguruan tinggi belum mampu mencetak lulusan yang kreatif. Hal ini terjadi bukan
saja di Indonesia tetapi juga di negara-negara lain. Krisis kreativitas bukan hanya dialami
oleh siswa, namun merambah kepada mahasiswa dan guru. Hal ini dikemukakan oleh
Slameto (2003) bahwa:
Rendahnya kreativitas ini tidak hanya pada guru-guru lulusan SPG saja tetapi juga pada
mahasiswa di perguruan tinggi. Hal ini diakui kebenarannya oleh guru besar UGM M.S.A.
Sastroamidjojo dalam keprihatinannya akan menurunnya kreativitas manusia.
Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif atau kreativitas perlu dilakukan upaya
secara terus menerus dan berkelanjutan. Hal ini secara eksplisit dinyatakan oleh (Soedjadi,
2000). Dengan mempelajari metematika, siswa diharapkan dapat bernalar dan berpikir secara
logis, analitis, kritis, dan kreatif. Untuk menumbuh kembangkan kemampuan berpikir
individu melalui matematika dibutuhkan masalah matematika. Suatu soal matematika atau
kondisi matematika merupakan masalah bagi individu, jika: soal atau kondisi tersebut tidak
pernah dijumpai oleh individu sebelumnya (soal non rutin). Menurut Polya (Siswono, 2007),
dalam upaya penyelesaian masalah matematika, individu akan melakukan langkah-langkah
sebagai berikut: 1. memahami masalah meliputi: 2. merencanakan penyelesaian, 3.
melakukan Rencana Penyelesaian, dan mengimplementasikan strategi, 4. melihat kembali
pekerjaan yang telah dilakukan. Salah satu materi di SMA yang membutuhkan kemampuan
tersebut adalah dimensi tiga.
Peneliti mempunyai kewajiban moral untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa
salah satunya dengan melakukan penelitian yang berjudul “ Karakteristik Tahapan Berpikir
Kreatif Siswa Dalam Pemecahan Masalah Dimensi tiga Berdasarkan Tingkat kemampuan
awal”
2. Tinjauan Pustaka
1. Karakteristik Berpikir
Karakteristik adalah suatu sifat yang khas, yang melekat pada suatu objek.
2. Berpikir Kreatif dan Kreativitas
Kreativitas adalah suatu kondisi, sikap, atau keadaan yang sangat khusus sifatnya dan hampir
tidak mungkin dirumuskan secara tuntas. Rhodes (Siswono, 2007) merangkum lebih dari
empat puluh pengertian kreativitas dan menyimpulkannya dalam “Four P’s of Creativity,
Person, Process, Press, and Product”. Definisi kreativitas yang menekankan pada produk,
339
Definisi yang menekankan pada proses, antara lain: Kreativitas berdasar acuan proses
dikemukakan oleh J.P. Guildford dan E. Paul Torrance (Gowan, 1979) menekankan
kreativitas merupakan kecakapan mental dalam memanipulasi informasi sebagai pemahaman
proses kreatif.
Berdasarkan pendapat para ahli, sebagaimana telah disebutkan di atas, disimpulkan bahwa
definisi berpikir kreatif dalam matematika diadopsi dari definisi berpikir kreatif dan
kreativitas secara umum. Sedangkan, produk meliputi: kefasihan, kelancaran, dan kebaruan
Menurut Polya (Krulik dan Rudnik , 1995), pemecahan masalah matematika terdiri dari 4
(empat) langkah, yaitu: 1. memahami masalah meliputi: 2. merencanakan penyelesaian, 3.
melakukan Rencana Penyelesaian, dan mengimplementasikan strategi, 4. melihat kembali
pekerjaan yang telah dilakukan.
3. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini berusaha menggali karakteristik tahapan berpikir kreatif siswa dalam
pemecahan masalah dimensi tiga berdasarkan tingkat kemampuan awal. Menurut Moleong
(2006), penelitian semacam ini tergolong penelitian eksploratif dengan pendekatan kualitatif.
2. Subjek Penelitian
Siswa.Kelas XI IPA SMA Negeri 8 Makassar, Pemilihan didasari pertimbangan siswa: (1)
telah memahami lingkungan sekolahnya, (2) belum berkosentrasi menghadapai ujian
nasional, (3) sudah memasuki level berpikir operasi formal.
3. Instrumen Penelitian
Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri yang dipandu dengan instrumen
lembar tugas memecahkan masalah matematika, tes kemampuan awal, dan pedoman
wawancara.
4. Pengembangan Instrumen
b. Pedoman Wawancara
Langkah-langkah pemecahan masalah matematika tidak semua nampak dalam tulisan
siswa.Untuk mengungkap pemikiran siswa yang tidak terungkap pada pekerjaannya, maka
dilakukan wawancara.
Proses pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan interview berbasis tugas.
Proses analisis data dimulai sejak pengumpulan data sampai ldengan langkah-langkah
sebagai berikut: (1) Menelaah seluruh data dari berbagai sumber,(2) Mengadakan reduksi
dengan membuat rangkuman,(3) Menyusun dalam satuan-satuan,selanjutnya
dikategorisasikan dengan membuat coding, (4) Mengadakan pemeriksaan keabsahan data.
(5) Memaparkan data,(6) Penafsiran data / kesimpulan, (7) Analisis hal-hal yang menarik.
Pada langkah ini akan dianalisis prilaku siswa yang menyimpang dari tujuan penelitian,
berdasarkan data sebagaimana telah didapatkan pada langkah 4.
341
SR mengenal masalah yang diberikan dengan cara mencari koherensi dengan soal-soal yang
pernah dijumpai sebelumnya berdasarkan pengalaman belajarnya SR menghafal rumus-
rumus volume berbagai jenis bangun ruang.
1. Simpulan
1) Mensintesis ide:
Mengenal masalah dengan cara mencari koherensi dengan soal-soal yang pernah dijumpai
sebelumnya berdasarkan pengalaman belajarnya.
2) Membangun Ide:
Dalam membangun ide prosedural (ide coba-coba), ST mempertimbangkan: bentuk bangun
ruang, rumus bangun ruang, unsur-unsur bangun ruang yang mirip dengan bangun ruang
yang secara eksplisit dinyatakan dalam soal, serta berdasar pada jawaban soal yang telah
ditemukan sebelumnnya. ST sangat produktif dalam memproduksi ide-ide, mapun
memikirkan solusi yang berbeda. Dalam membangun ide, ST telah berpikir secara
konseptual.
343
4) Penerapan Ide:
Jawaban yang dikemukakan ST semuanya benar dan memenuhi aspek kreativitas, yaitu:
kefasihan, kelancaran, dan kebaruan. Dalam mengimplementasikan ide, ST cenderung
melibatkan berpikir kreatif dalam aspek afektif, yaitu merasa tertantang, dan merasa yakin.
2) Membangun Ide:
Dalam membangun ide, SR mempertimbangkan: bentuk bangun ruang, rumus bangun ruang,
unsur-unsur bangun ruang yang mirip dengan bangun ruang yang secara eksplisit dinyatakan
dalam soal. SR tidak produktif dalam memproduksi ide-ide/strategi, dalam memikirkan
solusi yang berbeda. Dalam membangun ide, SR cenderung berpikir prosedural
4) Penerapan Ide:
Jawaban yang dikemukakan SR semuanya benar dan memenuhi aspek kreativitas, yaitu:
kefasihan,dan kelancaran.
2. Saran
Daftar Pustaka
Margiyati
SMP Muhammadiyah 9 Yogyakarta, Karangkajen Mg III/1039, Yogyakarta; margiyati1@yahoo.com
Kata kunci. Prestasi Belajar, Model Belajar STAD, Luas dan Volum Bangun Ruang
Sisi Lengkung
1. Pendahuluan
Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta mempunyai target target rata-rata hasil UN sebesar 7,5.
Namun hasil try out yang sudah dilakukan di tingkat SMP dan SMA di Yogyakarta nilai
rata-ratanya masih di bawah 7. Berdasarkan data dari pelaksanaan try out, nilai rata-rata
ujicoba UN siswa SMP di Yogya baru 6,54 pada try out tahap pertama. Nilai rata-rata itu
bahkan turun pada try out tahap kedua hanya 6,1 saja.
Dari hasil pertanyaan guru di kelas VIII yang berjumlah 108 siswa mengatakan bahwa yang
suka pelajaran matematika ada 18 orang atau 16,7 %, maka untuk meningkatkan prestasi
belajar siswa guru melakukan penelitian apakah pembelajaran dengan model pembelajaran
STAD dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Dari permasalahan di atas peneliti dapat
merumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana dan apakah penerapan metode
346
2. Kajian Teori
Menurut pengertian psikologis belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan
tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut nyata untuk semua tingkah laku.
Prestasi adalah hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan baik secara
individu maupun secara kelompok (Djamarah, 1994:19). Sedang menurut Mas‟ud Hasan
Abdul Dahar dalam Djamarah (1994,21) bahwa prestasi adalah apa yang diciptakan,hasil
pekerjaan yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja. Menurut
Nurkencana (1986:62) mengemukakan bahwa prestasi belajar adalah hasil yang dicapai atau
diperoleh anak berupa nilai mata pelajaran. Ditambahkan bahwa prestasi belajar merupakan
hasil yang mengakibatkan perubahan dalam individu sebagai hasil dari aktivitas dalam
belajar. Menengok dari pengertian prestasi dan belajar dapat peneliti mengambil kesimpulan
definisi prestasi belajar adalah hasil atau taraf yang dicapai siswa setelah mengikuti proses
belajar mengajar dalam waktu tertentu baik perubahan sikap keterampilan, tingkah laku,
pengetahuan dan kemudian akan diukur, kemudian diwujudkan dengan angka atau
pernyataan. Faktor yang ikut menentukan tingkat keberhasilan belajar peserta didik di
sekolah adalah faktor pendekatan belajar(approach of learning), yakni jenis upaya belajar
peserta didik yang meliputi strategi dan metode yang digunakan peserta didik dalam
mengikuti kegiatan pembelajaran (Muhibin syah,2008:139).Dalam hal ini peneliti
mengambil pendekatan belajar dengan menggunakan model pembelajaran STAD untuk
meningkatkan prestasi belajar siswa.
Dalam pembelajaran kooperatif STAD ada lima pokok menu utama yaitu, presentasi kelas
yang dilakukan oleh guru, tim , kuis, skor dan rekognisi tim. Langkah-langkah metode
pembelajaran kooperatif tipe STAD ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1)Siswa dibagi
dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor, 2) penugasan
diberikan kepada setiap siswa berdasarkan nomornya terhadap tugas yang berangkai, 3) jika
perlu, guru bisa menyuruh kerjasama antar kelompok, siswa disuruh keluar dari
kelompoknya dan bergabung bersama beberapa siswa bernomor sama dari kelompok lain.
Dalam kesempatan ini, siswa dengan tugas yang sama bisa saling membantu atau
347
mencocokkan hasil kerjasama mereka, 4) laporan hasil kelompok dan tanggapan dari
kelompok yang lain, dan 5) kesimpulan.
3. Metodelogi Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian tindakan kelas (PTK), yang dilakukan di kelas dan diberi
perlakuan dengan model pembelajaran STAD.
Waktu penelitian kurang lebih 12 minggu yang dimulai dari bulan April 2012, dan bertempat
di SMP Muhammadiyah 9 Yogyakarta.
Desain penelitian yang digunakan adalah siklus spiral atau siklus berulang yang terdiri atas
(1) perencanaan, (2) tindakan, (3) pemantauan (observasi), dan (4) refleksi.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif dan komparatif. Hasil
observasi dan angket siswa diolah dan dianalisis secara deskriptif komparatif yaitu
membandingkan nilai antar siklus maupun indikator dalam penelitian. Observasi dengan
analisis deskriptif ini berdasarkan hasil observasi dan refleksi tiap siklus.
348
4.2 Siklus 1
Guru menjelaskan materi tentang luas prisma yang disampaikan dengan menggunakan
model prisma dari berbagai macam bentuk yang sudah disediakan, siswa mengamati
peragaan oleh guru tentang bentuk-bentuk prisma. Kemudian siswa dibagi lembar kerja
siswa untuk menentukan rumus luas prisma dengan alas persegi panjang.
Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok, masing masing kelompok terdiri dari 4 sampai 5
orang untuk menemukan luas prisma. Terlihat saat berdiskusi masing-masing kelompok
berusaha untuk menemukan luas prisma dengan menggunakan jaring-jaring prisma, namun
demikian masih ada beberapa siswa yang asik mengobrol sendiri atau dengan teman
kelompok lain berkomunikasi yang menyimpang dari masalah yang sedang dibahas.
Pada siklus pertama ini tingkat partisisipasi dalam pembelajaran siswa cukup baik dan
respon siswa terhadap mata pelajaran cukup baik. Aktivitas siswa saat mengikuti penjelasan
dari guru cukup merespon yang ditandai dengan keaktifan siswa saat diskusi kelompok
dalam menemukan rumus luas prisma. Kerja sama antar siswa dalam satu kelompok sangat
bagus walau ada beberapa siswa yang masih diam saja karena latar belakang materi prasarat
siswa dalam materi tersebut masih sedikit dan beberapa siswa yang malah asik dengan siswa
yang lain dalam kelompok yang berbeda. Kerja sama antar kelompok rata-rata sudah bagus
ditandai dengan saling memberikan informasi yang benar.
Pada saat guru memberikan kuis yang harus dikerjakan secara mandiri, masing-masing
siswa mengerjakan dengan tekun dan berusaha untuk bisa mengerjakan secara mandiri. Guru
selalu mengingatkan masing-masing siswa untuk mengerjakan secara mandiri, tanpa
bekerjasama dengan temannya.
349
Dari hasil di atas terlihat baru ada 50% yang tuntas dan 50% tidak tuntas dengan nilai rata-
rata 64,71 dan nilai rata-rata poin siswa sebesar 24,56. Rata-rata nilai masih di bawah standar
nilai ketuntasan yang berarti masih banyak siswa yang nilainya di bawah rata-rata.
Sedangkan rata-rata poin sudah berada pada rata-rata 24,56 yang berarti banyak siswa yang
sudah mengalami kenaikan nilai bila dibandingkan dengan nilai awal yang diberikan oleh
guru.
4.3 Siklus 2
Dalam siklus yang ke dua ini siswa dengan bimbingan guru menemukan konsep volum
prisma dan limas. Dalam hal ini guru dengan menggunakan model kubus dan balok
menanamkan konsep dengan mengingat kembali volum kubus atau balok. Dengan
menggunakan model balok siswa ditanamkan tentang konsep volum. Dan dari konsep volum
pada balok diterapkan konsep volum dalam prisma. Balok dan kubus termasuk prisma maka
dengan konsep volum balok atau kubus siswa memahami konsep volum prisma.
Untuk menanamkan konsep volum limas dilakukan dengan pendekatan volum kubus yang
dibagi enam sama besar. Dengan metode tanya jawab, guru menggunakan model kubus yang
dibagi enam untuk menanamkan konsep volum limas. Dengan uraian yang ditulis di papan
tulis oleh guru, siswa dengan pelan-pelan memahami konsep volum limas segiempat
beraturan. Dari konsep tersebut guru memberikan informasi kepada siswa untuk menyelidiki
apakah limas segi yang lain mempunyai volum yang sama dengan limas segi empat tersebut.
Dalam siklus yang kedua ini pengamatan dalam proses pembelajaran masih tetap sama
dengan siklus yang pertama yaitu tentang motivasi belajar, aktivitas siswa, kerja kelompok
dan kerja mandiri. Dari data yang didapat dari pedoman pengamatan terjadi peningkatan
proses pembelajaran yang dilakukan di kelas dan tingkat keaktifan siswa dalam proses
pembelajaran, keaktifan belajar di kelas, peningkatan keaktifan siswa saat berdiskusi
kelompok, komunikasi siswa serta belajar mandiri siswa. Diharapkan dengan adanya
peningkatan dari proses belajar mengajar maka dimungkinkan prestasi belajar siswa
meningkat.
Dari tabel di atas terlihat dari 34 siswa, yang tuntas dalam pembelajaran lebih banyak
dibandingkan dengan yang belum tuntas. Hal ini menunjukkan ada peningkatan
prestasi belajar. Rata-rata sudah di atas nilai ketuntasan minimal siswa yaitu 71,26
dengan nilai ketuntasan minimal 65, sedangkan rata-rata poin 25,15. Hal ini
menunjukkan rata-rata poin yang bagus.
Dari hasil siklus pertama dan kedua dapat dari komponen motivasi belajar, aktifitas siswa,
kelompok kerja serta kemandirian siswa dapat ditampilkan dalam tabel berikut ini.
Dari tabel di atas terlihat motivasi belajar siswa dalam proses pembelajaran matematika
berkategori baik, aktifitas belajar siswa mempunyai kategori baik, kelompok kerja siswa
masuk dalam kategori baik, dan kemandirian siswa termasuk dalam kategori baik juga baik
dari siklus pertama ataupun dalam siklus ke dua.
Dan hasil ketuntasan belajar siswa dapat disajikan dalam tabel berikut ini.
Prosentase
No Ketuntasan Siklus 1 Siklus 2
Kenaikkan
1 Tuntas 17 siswa 25 siswa 47,06 %
2 Tidak tuntas 17 siswa 9 siswa -47,06 %
3 Rata-rata Nilai 64,71 71,26 10,12 %
4 Rata-rata Poin 24,56 25,15 14,61 %
Dari tabel dapat dibaca bahwa siklus pertama ke siklus ke dua jumlah siswa yang tuntas
meningkat 47.06 %. Nilai rata-rata dari siklus pertama ke siklus ke dua meningkat dan rata-
rata point yang diperoleh siswa meningkat, yang berarti keaktifan siswa dalam mengerjakan
soal meningkat dari siklus pertama ke siklus kedua. Dari tabel di atas dapat disajikan dalam
bentuk diagram batang sebagi berikut.
351
Dari gambar di atas terlihat bahwa prestasi belajar siswa dari siklus pertama ke siklus
berikutnya mengalami kenaikan yang cukup berarti. Masih ada beberapa siswa dalam siklus
kedua ini yang belum tuntas. Namun rata-rata nilai dari siklus pertama ke siklus ke dua
sudah mengalami kenaikan.
Tabel berikut ini adalah hasil rata-rata nilai dari pra siklus, siklus pertama dan siklus kedua.
Tabel hasil nilai siswa antar siklus dapat disajikan dalam diagram garis sebagai berikut.
72
70
68
66 Series1
64
62
60
Siklus 1 Siklus 2
Dalam tabel di atas terlihat bahwa dari pra siklus ke siklus pertama dan dari siklus pertama
ke siklus yang kedua ada peningkatan prestasi belajar siswa. Ini menunjukkan bahwa ada
peningkatan motivasi belajar, keaktifan siswa dalam kerja keompok serta kemandirian siswa
dalam belajar sehingga prestasi belajar siswa meningkat. Nilai awal dan nilai siklus pertama
352
dengan rata-rata masing-masing 47,65 dan 64,71 mengalami kenaikan nilai yang cukup
berarti yaitu 35,80 % dan dari siklus pertama ke siklus kedua dengan rata-rata masing-
masing 64,71 ke 71,26 mengalami kenaikkan sebesar 10,22 %. Walau hanya 10,22 persen
nilai kenaikan dari siklus pertama ke siklus kedua namun sudah cukup membanggakan bagi
guru bila dibandingkan nilai rata-rata pra siklus.
5.1 Simpulan
Jadi dengan penelitian yang dilakukan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
5.2 Saran
Daftar Pustaka
Kyricou, Chris. 2011. Effective Teaching Theory and Practice. Bandung: Nusamedia
Trihendradi, C. 2010. Step By Step SPSS 18, Yogyakarta: Andi
Daryanto. 2010. Belajar dan mengajar. Yogyakarta: Yarama Widya
Daryanto dan Rahardjo. Model Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta: Gava Media
Donald Ary /Furchan, 2011. Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kirkpatrick, Donald L. 1996. Evaluating Training Programs The Flour Levels. San Fransisco: Berett-
Koeler Publishers
Syah, Muhibbin . 2011. Psikologi Belajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Purwanto, 2011. Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Riyanto, 2010. Metodologi Penelitian. Surabaya: SIC
Rusman, dkk, 2011. Pembelajaran Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jakarta: Rajawali
Pers
Ronin mason dan Frank Rennie. 2009. Elearning. Yogyakarta: Baca
353
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman guru
terhadap kurikulum 2013 dan kemampuan mereka dalam mengimplementasikannya.
Teknik pengambilan sampel adalah dengan survey sampling. Sebanyak 16 guru dari 26
guru sebagai responden. Sebanyak 99% mengatakan belum memahami dengan baik.
Uraian materi pada buku guru sangat sempit hanya memuat langkah-langkah
pembelajaran. Dalam buku guru dan siswa untuk SMP, terlalu banyak alternatif
penyelesaian soal. Hampir semua guru telah merancang RPP namun mereka kesulitan
mengaplikasikannya dalam poses pembelajaran karena guru belum terampil
menggunakan IT, rombongan belajar terlalu besar, siswa belum terbiasa belajar mandiri.
Para guru mengalami kesulitan dalam merancang instrumen penilaian berdasarkan
rambu-rambu kurikulum 2013. Keunggulan kurikulum 2013 yaitu memiliki pendekatan
scientific yang membangkitkan minat dan motivasi siswa. Kurikulum ini menekankan
pada kemampuan sikap dan keterampilan. Kurikulum 2013 dikatakan lebih baik dari
kurikulum sebelumnya karena pembelajaran dalam kurikulum ini menekankan pada
aspek sikap dan keterampilan serta siswa lebih aktif dan mandiri dalam belajar.
Disimpulkan bahwa belum semua guru mempunyai persepsi yang positif terhadap
implementasi kurikulum 2013, implementasi kurikulum 2013 masih terlalu dini, guru
belum dipersiapkan secara matang untuk memiliki persepsi yang sama tentang
kurikulum 2013. Kemampuan guru dalam memanfaatkan IT dalam pembelajaran masih
rendah. Buku guru dan siswa perlu direvisi.
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dalam dunia pendidikan mengubah atau merevisi suatu kurikulum merupakan hal yang
wajar bahkan disarankan. Perubahan kurikulum dapat dilakukan setelah kurikulum tersebut
diimplementasikan dalam jangka waktu tertentu yang merupakan konsekuensi dari
perubahan sosial budaya, politik, ekonomi dan perkembangan iptek. Kurikulum 2013
merupakan kurikulum hasil perubahan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
2006. Sebagaimana perubahan kurikulum dari suatu periode ke periode yang lain, perbedaan
antara kurikulum yang baru dan yang sebelumnya terletak pada pokok dari tujuan pedidikan
dan pendekatan dalam pencapain tujuan tersebut.
Menjadi hal yang biasa pula, ketika suatu kurikulum diubah akan mendatangkan kontroversi
dari semua pihak seperti, guru, dosen, para ahli, dan pemerhati pendidikan. Semua persepsi
dan kritikan harus dianggap sebagai suatu masukan dalam upaya pembenahan dan perbaikan
355
kurikulum yang baru. Begitu pula terjadi dalam implementasi kurikulum 2013. Kebijakan
pemerintah memilih beberapa sekolah untuk implementasi secara terbatas kurikulum 2013
membuat sekolah-sekolah yang diberi kepercayaan ini seharusnya lebih siap karena akan
menjadi tolok ukur bagi sekolah lain. Untuk itu kepada para guru yang
mengimplementasikan kurikulum 2013 perlu ditingkatkan kemampuannya dalam memahami
dokumen kurikulum dan pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam kurikulum 2013.
Para guru harus dilatih agar memiliki persepi dan pemahaman yang sama tentang dokumen
kurikulum dan pendekatan-pendekatan dalam kurikuum 2013. Bahkan lebih baik lagi apabila
dalam pelatihan menggunakan pendekatan pembelajaran yang digunakan dalam kurikulum
2013. Pelatihan seperti ini harus dirancang dengan baik dan dilaksanakan dengan penuh
kesungguhan dan berkesinambungan. Hal ini akan sangat membantu guru mengembangkan
profesionalismenya dalam mengimplementasikan kurikulum 2013.
Guru yang menjadi ujung tombak implementasi kurikulum harusnya mempunyai persepsi
positif bahwa perbaikan kurikulum sebagai perbaikan mutu pendidikan. Guru yang
mengolah, meramu kembali kurikulum dari pusat untuk disajikan di kelasnya. Karena guru
juga merupakan barisan pengembang kurikulum yang terdepan maka guru pulalah yang
selalu melakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap kurikulum.Guru akan mendukung
implementasi kurikulum 2013 apabila mereka memahami kurikulum secara rasional dan
pratikal. Mereka memahami dengan baik semua dokumen kurikulum yang ada dan strategi-
strategi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan daripada kurikulum tersebut.
Namun fakta menunjukkan bahwa para guru hanya dilatih dalam kurun waktu tiga atau
empat hari. Pada umumnya mereka tidak memahami dengan baik apa yang disampaikan
oleh para instruktur. Sehingga mereka mengalami banyak kesulitan dan kendala dalam
implementasi kurikulum 2013. Untuk itu, peneliti ingin mengkaji secara mendalam
bagaimana pengetahuan dan pemahaman guru di Kota Kupang Provinsi NTT tentang
kurikulum 2013 dan implementasinya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka pertanyaan penelitian
adalah bagaimana pengetahuan dan kemampuan guru dalam mengimplementasikan
kurikulum 2013?
2. Tinjuan pustaka
Pengertian kurikulum diberikan dalam dua pandangan yaitu dalam pandangan klasik dan
dalam pandangan modern. Dalam pandangan klasik, kurikulum diartikan sebagai rencana
pelajaran di suatu sekolah. George A. Beauchamp [3] mengemukakan bahwa:“ A Curriculun
is a written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for the
education of pupils during their enrollment in given school”. Dalam pandangan modern,
pengertian kurikulum dianggap sebagai suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi
dalam proses pendidikan, seperti dikemukakan oleh Caswel dan Campbell [3] yang
mengatakan bahwa kurikulum … to be composed of all the experiences children have under
the guidance of teachers. Dipertegas lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll [3] yang
mengatakan bahwa: “…the curriculum has changed from content of courses study and list of
subject and courses to all experiences which are offered to learners under the auspices or
direction of schoo”.
Sukmadinata [2] menegaskan terdapat 3 konsep penting dalam kurikulum yaitu:
(1) kurikulum sebagai substansi; (2) kurikulum sebagai sistem; (3) kurikulum sebagai bidang
studi. Sebagai substansi, kurikulum dipandang sebagai suatu rencana kegiatan pembelajaran
di sekolah atau sebagai suatu perangkat tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Kurikulum
sebagai sistem berarti kurikulum merupakan bagian dari sistem persekolahan, sistem
pendidikan, bahkan sistem masyarakat. Sedangkan kurikulum sebagai bidang studi
mengandung arti bahwa kurikulum merupakan bidang kajian.
Dari beberapa pengertian kurikulum di atas, dapat dikatakan kurikulum merupakan
seperangkat rencana pendidikan yang memuat jenis, ruang lingkup, urutan isi, dan bahan
pelajaran, serta pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
Terdapat tiga pandangan tentang kurikulum yaitu intended curriculum, implemented
curuiculum, dan attained curiculum [1]. Yang dimaksud dengan intended curiculum adalah
dokumen tertulis berupa standar isi, silabus, RPP, dan buku teks untuk setiap jenjang
pendidikan. Dalam dunia pendidikan Indonesia, dua jenis intended curriculum yaitu
kurikulum nasional dan kurikulum lokal. Kurikulum nasional ditetapkan oleh Kemendiknas
sedangkan kurikulum lokal ditetapkan oleh daerah berdasarkan kondisi dan kebutuhanya.
Implemented curiculum merupakan kurikulum yang terjadi di dalam kelas. Kurikulum ini
menggambarkan kondisi nyata dalam kelas yang berkaitan dengan materi apa yang diajarkan
dan metode apa yang digunakan. Sedangkan attained curiculum adalah kurikulum yang
memuat hasil belajar peserta didik. Hasil belajar peserta didik mencakup tiga pilar utama
yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam melakukan penilaian belajar digunakan tes,
observasi, tugas baik individu maupun kelompok, dan bentuk lain yang dipandang sesuai
dengan kompetensi yang mau dicapai dan tingkat perkembangan peserta didik.
357
3. Metode Penelitian
Berdasarkan hasil pengisian angket dan wawancara, terdapat 43,75% guru yang merasa
belum siap untuk mengimplementasikan kurikulum 2013 karena pemahaman mereka masih
sangat terbatas. Terdapat 68,75% guru yang mengatakan belum memahami secara
keseluruhan kurikulum 2013. Mereka juga belum memiliki buku panduan implementasi
kurikulum 2103 sehingga pada umumnya mereka mengimpelementasikannya sejauh
pemahaman mereka. Mereka belum melakukan evaluasi apa yang mereka lakukan benar atau
salah. Keterbatasan pemahaman ini membuat sebagian guru (18,75%)memiliki persepsi yang
negatif terhadap kurikulum 2013.
b. Analisis buku guru dan buku siswa
Pada umumnya semua guru telah menganalisis baik buku guru maupun buku siswa.
Kedalaman materi pada kedua buku baik untuk SD maupun SMP masih dangkal. Hal ini
didasari bahwa penekanan utama dalam pembelajaran matematika pada kemampuan
kognitif. Seseorang akan terampil menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari
apabila dia memahami konsep matematika dengan baik. Karena memahami konsep
matematika membutuhkan pemikiran (kemampuan kognitif). Sebesar 56,25% guru yang
359
berpendapat bahwa perlu pembahasan yang lebih mendalam tentang konsep matematika.
Sehingga guru dan siswa harus mencari referensi lain karena banyak soal dalam LKS tidak
dibahas dalam buku-buku tersebut.
Urutan materi dalam buku tidak beraturan. Pada buku untuk kelas IV SD tentang pecahan
diberikan contoh menggunakan diagram venn, sementara materi diagram ven belum
diajarkan. Pada buku guru SD hanya dipaparkan langkah-langkah pembelajaran. Uraian
materi sangat sedikit. Begitupun untuk buku siswa tidak banyak soal-soal latihan. Padahal
siswa membutuhkan banyak latihan untuk memahami suatu konsep. Sebanyak 3 orang guru
kelas 1 SD mengatakan bahwa materi dalam buku sudah bagus apabila yang ditekankan
dalam pembelajaran adalah sikap dan keterampilan (karakter). Namun ini agak sulit
diterapkan untuk kelas-kelas tinggi, bahkan kelas 4 SD. Hal ini disebabkan karena di kelas
tinggi pembentukan karakter tidak menjadi prioritas utama tetapi perlu dipertimbangkan juga
aspek pengetahuannya. Berikut ini, pendapat salah satu guru SD berkaitan dengan analisis
buku:
Dalam buku guru dan siswa terdapat beberapa kesalahan. Kesalahan meliputi kesalahan
konsep dan kesalahan pengetikan. Hal ini pasti membingungkan siswa dan guru. Apalagi
bagi guru yang berlatar belakang bukan pendidikan matematika. Karena di beberapa SMP,
yang mengajar matematika bukan guru yang berlatar belakang pendidikan matematika
bahkan ada kepala desa yang berlatar belakang SMA mengajar matematika. Karena
keterbatasan pengetahuan, mereka cenderung beranggapan bahwa buku yang diterbitkan
oleh kementerian pendidikan pasti selalu benar.
Buku-buku ini tidak bisa dikatakan sebagai referensi utama karena guru dan siswa harus
mencari lagi referensi lain yang membahas materi secara mendalam. Penguraian konsep-
konsep dasar belum mendalam. Setiap contoh soal memiliki alternatif penyelesaian yang
terlalu banyak. Hal ini membuat siswa dan guru tidak kreatif dan kritis. Sebaiknya pada buku
siswa diberikan satu alternatif penyelesaian sehingga siswa kreatif dan kritis menemukan
alternatif penyelesaian yang lain. Sedangkan pada buku guru diberikan banyak alternatif
penyelesaian agar menjadi panduan untuk mereka dalam memotivasi siswa dalam
membangun berpikir kritis dan kreatif. Beberapa alternatif penyelesaian membingungkan
dan tidak sesuai dengan masalah.
c. Merancang RPP
Semua guru telah merancang RPP menggunakan pendekatan scientific. Terdapat 75% guru
yang mengalami kesulitan karena harus merancang RPP setiap hari untuk satu pembelajaran
360
dan ini sangat menyita waktu. Semua aspek pada pendekatan scientific harus dicantumkan
pada setiap pembelajaran kegiatan inti. Sebanyak 68,75% guru mengalami kesulitan
merancang deskripsi kegiatan guru dan siswa berdasarkan pendekatan scientific. Mereka
masih kesulitan mengatur waktu merancang RPP dan mempersiapkan media. Para guru
menyusun RPP tidak berdasarkan silabus karena sampai saat penelitian ini dilakukan silabus
belum diberikan. Sebanyak 87,6% guru juga mengalami kesulitan dalam menerapkan RPP
karena siswa belum terbiasa belajar mandiri dan kurang mampunya guru menggunakan IT.
d. Merancang Penilaian
Sebanyak 81,25% mengakui bahwa asesmen authentic sangat bermakna bagi guru untuk
menentukan cara-cara terbaik siswa dapat memiliki sikap, keterampilan dan pengetahuan
yang optimal. Penilaian ini mendorong siswa untuk melakukan tugas secara mandiri
sehingga bermakna bagi perkembangan pribadinya. Namun penilaian sikap belum dapat
dilaksanakan dengan baik karena tidak ada indikator yang jelas dan bagaimana
mengasesnya.
Semua responden guru SD masih mengalami kesulitan membuat daftar nilai karena rubrik
penilaian berbeda-beda. Penilaian proses sulit dilakukan karena rombongan belajar yang
cukup besar mengakibatkan guru tidak dapat melakukan penilaian secara individu. Mereka
belum tahu bagaimana mengevaluasi siswa. Apakah mengevaluasi berdasarkan tema atau
berdasarkan fokus pelajaran? Sementara sudah harus melakukan evaluasi pada mid tes. Pada
mid tes para guru menggunakan evaluasi berdasarkan kurikulum KTSP. Hal ini dapat dilihat
dalam persepsi seorang guru SD berikut ini.
Para guru SD mengakui apabila penekanan kompetensi pada sikap dan keterampilan maka
kurikulum ini sangat menarik. Siswa dilatih untuk merancang media sederhana, berdiskusi
dalam kelompok dan melaporkan hasil diskusi. Kegiatan-kegiatan ini akan memupuk dan
meningkatkan sikap toleransi, kerjasama, mendengar dan menghargai pendapat orang lain,
menghormati orang lain, dan juga kreatif dalam membuat media. Namun pada umumnya
guru mengalami kesulitan untuk menentukan indikator-indikator dari setiap aspek yang
dinilai.
Sebanyak 87,5% guru berpendapat bahwa pendekatan dalam Kurikulum 2013 memiliki
keunggulan yaitu siswa lebih aktif, suasana kelas lebih menyenangkan, siswa lebih mandiri
dalam belajar dan terbentuk karakter siswa. Kurikulum ini lebih menekankan aspek sikap
dan keterampilan sedangkan aspek pengetahuan sepertinya diabaikan. Namun dalam
361
melaksanakan penilaian belum ada indikator yang jelas untuk mengukur aspek-aspek sikap
dan keterampilan. Penilaian proses menjadi perhatian utama bukan penilaian akhir.
Menggunakan pendekatan ilmiah yang diharapkan membuat anak berpikir ilmiah. Terdapat
43,75% guru SD mengatakan bahwa pembelajaran pada kurikulum ini terkesan hanya
menyentil indikator dari beberapa mata pelajaran yang hanya di atas permukaan.
Sebagian besar guru SD mengatakan bahwa Kurikulum 2013 tidak terfokus dan
mengharuskan guru menyusun jadwal setiap minggu. Mereka mengalami kesulitan untuk
memahami kurikulum 2013 apalagi mengimplementasikan. Selain itu buku panduan
implementasi kurikulum 2013 belum diberikan sehingga mereka mengimplementasikan
kurikulum 2013 sejauh pemahaman mereka. Bagi sebagian besar guru (56,25%) berpendapat
bahwa pendekatan scientific dalam kurikulum 2013 menyenangkan siswa karena
menekankan pada aspek sikap dan keterampilan sedangkan aspek pengetahuan sangat
sedikit.
Sebanyak 87,5% guru mengatakan bahwa mereka akan berusaha belajar dan berdiskusi
untuk memahami Kurikulum 2013 sehingga pada tahun 2014 mereka siap
mengimplementasikan dan menjadi pioner untuk sekolah yang lain. Sedangkan 2 orang guru
memiliki rasa pesimis untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 di tahun 2014. Mereka
beranggapan bahwa KTSP memiliki lebih banyak keunggulan daripada Kurikulum 2013.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bagian hasil dan pembahasan dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1) Belum semua guru mempunyai persepsi yang positif terhadap implementasi kurikulum
2013.
2) Implementasi kurikulum 2013 masih terlalu dini karena beberapa perangkat
pembelajaran belum ada.
3) Guru belum dipersiapkan secara matang untuk memiliki persepsi yang sama tentang
kurikulum 2013.
4) Keterbatasan guru memahami kurikulum membuat mereka masih kesulitan untuk
mengimplementasikannya.
5) Rendahnya kemampuan guru dalam memanfaatkan IT dalam pembelajaran.
6) Buku guru dan siswa belum dapat dijadikan sebagai referensi utama.
5.2 Saran
Berkaitan dengan hasil penelitian ini, maka penulis memberikan beberapa saran sebagai
berikut:
1) Memberikan pelatihan yang konsisten dan berkelanjutan tentang kurikulum 2013 dan
implementasinya. Para guru diikutsertakan dalam pelatihan dalam kurun waktu yang
lama sehingga mereka memiliki pemahaman yang baik dan pada akhirnya mampu
mengimplementasikan secara tepat.
362
Daftar Pustaka
Depdiknas. 2007. Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan, Puskur
N. S., Sukmadinata. 1999. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Akhmad, Sudrajat. 2008 Pengertian Kurikulum. [Online]. Tersedia: http://akhmadsudrajat.
wordpress.com/2008/07/08/pengertian-kurikulum/
363
1. Pendahuluan
Tahun ajaran 2013 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mulai
mengimplementasikan kurikulum 2013. Dalam Kurikulum 2013 pendekatan pembelajaran
yang digunakan di antaranya pendekatan saintifik (pendekatan ilmiah). Dalam pendekatan
tersebut pembelajaran melalui aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar,
mempresentasikan, dan mencipta [4]. Meskipun dalam Kurikulum 2013 pendekatan
pembelajaran setiap mata pelajaran termasuk matematika di antaranya menggunakan
pendekatan saintifik. Pendekatan PMRI tentunya tetap dapat digunakan dalam pembelajaran
matematika.
Berbicara tentang pendekatan PMRI, pendekatan ini sudah mulai banyak digunakan dalam
desain dan atau pengembangan pembelajaran matematika di Indonesia. Pendekatan PMRI
merupakan suatu inovasi pembelajaran matematika yang telah dilaksanakan sejak tahun
2001 di Indonesia dan saat ini telah tersebar di 23 provinsi [8]. Dalam berbagai penelitian
desain dan atau pengembangan pembelajaran matematika oleh guru menggunakan
pendekatan PMRI dapat membentuk pengalaman dan pengetahuan siswa dalam menemukan
kembali konsep matematika. Sehubungan dengan itu, pengetahuan dan pemahaman tentang
pendekatan PMRI juga menjadi sangat penting bagi setiap guru matematika. Pembelajaran
matematika dalam kurikulum 2013 di antaranya dimulai dari pengamatan permasalahan
konkret, kemudian ke semi konkret, dan akhirnya abstraksi permasalahan [5]. Aktivitas ini
mirip dengan pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan PMRI.
364
Pendekatan Saintifik
No. Aspek Pendekatan PMRI
(Pendekatan Ilmiah)
Melibatkan penalaran
Melibatkan penalaran induktif-deduktif. Contoh:
1 Penalaran
induktif-deduktif. adanya matematisasi
horizontal-vertikal
Dari tabel di atas terlihat bahwa pendekatan PMRI sejalan dengan pendekatan saintifik
karena pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI atau saintifik dapat dimulai
dengan pemberian konteks atau situasi real bagi siswa (bisa masalah konteks, soal-soal
kontekstual, atau fenomena-fenomena yang mengandung konsep matematika dan nyata
terhadap kehidupan siswa). Pemberian konteks tersebut sangat memungkinkan siswa untuk
dapat melakukan penalaran. Aktivitas mengamati, menanya, mencoba, menalar,
mempresentasikan, dan mencipta pun akan dapat muncul. Menurut Zulkardi [7] dari konteks
atau situasi real bagi siswa diharapkan siswa dapat menemukan berbagai model,
strategi/solusi penyelesaian, atau memunculkan matematisai horizontal dan vertikalnya.
Menurut Wijaya [6] proses generalisasi dari penyelesaian masalah konkret, menuju ke semi
konkret, dan akhirnya abstraksi yang mereka peroleh diharapkan membentuk pengalaman
365
dan pengetahuan mereka sendiri terhadap konsep matematika. Sedangkan beda kedua
pendekatan tersebut adalah pendekatan PMRI dirancang khusus untuk mata pelajaran
matematika, sedangkan pendekatan saintifik dirancang untuk semua mata pelajaran.
2. Pembahasan
Filsafat dalam pendekatan PMRI adalah Matematika sebagai kegiatan manusia (Freudenthal,
1991). Menurut Freudenthal [7], siswa tidak seharusnya diperlakukan sebagai penerima
pasif, melainkan bahwa pembelajaran harus membimbing siswa ke arah menggunakan
kesempatan untuk menemukan kembali konsep matematika. Freudenthal mengenalkan
istilah guided reinvention sebagai proses yang dilakukan siswa secara aktif untuk
menemukan kembali suatu konsep matematika dengan bimbingan guru [6].
Freudenthal 1991 menempatkan matematika sekolah sebagai suatu aktivitas yang disebut
matematisasi. Matematisasi ialah proses mematematikakan suatu fenomena [6]. De Lange
1987 mendefinisikan matematisasi sebagai pengorganisasian kegiatan dalam menemukan
keteraturan (regularities), hubungan (relations), dan struktur (structures) dengan
menggunakan pengetahuan dan keterampilan awal. De Lange membagi proses matematisasi
menjadi dua, yaitu matematika horizontal dan vertikal. Matematisasi horizontal berkaitan
dengan proses generalisasi. Generalisasi berkaitan dengan pencarian pola dan hubungan.
Proses matematisasi horizontal diawali dengan pengidentifikasian konsep matematika
berdasarkan keteraturan (regularities) dan hubungan (relations) yang ditemukan melalui
visualisasi dan skematisasi masalah. Sedangkan matematisasi vertikal merupakan bentuk
proses formalisasi; melibatkan permodelan, skematisasi, simbolisasi, dan pendefinisian.
Model matematika yang diperoleh pada matematisasi horizontal menjadi landasan dalam
pengembangan konsep matematika yang lebih formal [6].
Menurut Gravemeijer 1994: 21 [7] “matematisasi horizontal sebagai suatu proses yang
bertolak dari kehidupan nyata ke dunia simbol”. Proses ini dapat disebut proses informal.
Dalam matematisasi horizontal, siswa mulai mencoba menguraikan masalah-masalah
kontekstual dengan bahasa dan simbol yang dibuat sendiri oleh siswa, kemudian
menyelesaikan soal tersebut. Dalam proses ini kemungkinan setiap siswa menggunakan cara
yang berbeda dengan siswa lain. Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses
membawa model, strategi, atau cara penyelesaian yang berbeda tersebut ke simbol formal
Matematika. Gravemeijer, 1994: 93 [1] menggambarkan matematisasi horizontal dan
vertikal sebagai proses penemuan kembali (reinvention process).
366
Menyelesaikan
Menggambarkan
Masalah Kontekstual
Berdasarkan ada tidaknya proses matematisasi, menurut Trefers 1991 [1] pendekatan
pembelajaran matematika dibedakan menjadi:
1. Mekanistik
Mekanistik merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan
pada latihan dan penghafalan rumus. Proses matematisasi horizontal dan matematisasi
vertikal tidak tampak.
2. Strukturalistik
Strukturalistik merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan
pada matematisasi vertikal dan cenderung mengabaikan matematisasi horizontal.
3. Empiristik
Empiristik merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan
pada matematisasi horizontal dan cenderung mengabaikan matematisasi vertikal.
4. Realistik
Realistik merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang menekankan pada
matematisasi horizontal dan vertikal.
Matematisasi
Pendekatan
Horizontal Vertikal
Mekanistik
Strukturalistik
Empiristik
Realistik
Keterangan:
Tanda ( ) menunjukkan komponen matematisasi yang banyak diperhatikan. Tanda ( )
menunjukkan komponen matematisasi yang kurang atau tidak diperhatikan.
367
Dalam PMRI permasalahan realistik digunakan sebagai pondasi dalam membangun konsep
Matematika, sedangkan dalam pembelajaran mekanistik permasalahan realistik ditempatkan
sebagai bentuk aplikasi suatu konsep matematika [6].
Prinsip pada pendekatan PMRI dikemukakan oleh Gravemeijer 1994 [3] ada tiga, yaitu:
Prinsip PMRI yang pertama adalah menemukan kembali secara terbimbing konsep
matematika melalui matematisasi secara progresif. Di sini siswa harus diberi kesempatan
untuk mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan.
Penemuan kembali konsep matematika dapat dilakukan dengan pemberian konteks atau
situasi real bagi siswa (bisa masalah konteks, soal-soal kontekstual, atau fenomena-
fenomena yang mengandung konsep matematika dan nyata terhadap kehidupan siswa) dan
design/development bahan ajar untuk siswa yang banyak melibatkan kontribusi siswa
sehingga siswa dapat membangun sendiri konsep matematika yang sedang dipelajarinya.
Pada prinsip ini, model yang dibangun berfungsi sebagai jembatan antara pengetahuan
informal dan formal dalam matematika. Siswa diberi kebebasan membangun dan
mengembangkan sendiri model penyelasaian masalah kontekstual yang diberikan. Hal
tersebut tentunya mengarah pada munculnya berbagai macam model oleh siswa. Dengan
generalisasi dan matematisasi, model-model tersebut diharapkan menjadi model dalam
formal matematika.
Karakteristik PMRI berhubungan erat dengan tiga tingkat berpikir oleh Van Hile [7]:
1. Siswa dapat memanipulasi suatu karakteristik yang dikenal dari pola yang diketahuinya;
2. Siswa dapat memanipulasi keterkaitan dari suatu karakteristik tersebut;
3. Siswa mulai memanipulasi karakteristik intrinsik suatu hubungan-hubungan.
368
Menurut Zulkardi [7] Kombinasi dari tiga tingkat berpikir Van Hile, Didactical
Phenomenologi oleh Freudenthal, dan Progressive Mathematization oleh Treffer
menghasilkan lima karakteristik PMRI:
1. Menggunakan konteks atau ekplorasi phenomenologis;
2. Menggunakan model;
3. Adanya kreasi dan konstribusi siswa;
4. Interaktivitas;
5. Keterkaitan dengan berbagai topik matematika.
Dalam PMRI, titik awal pembelajaran matematika harus berdasarkan kepada pengalaman
nyata siswa dan yang memungkinkan siswa terlibat dalam situasi kontekstual [7]. Masalah
yang dapat dibayangkan (imagineable) atau nyata (real) dalam pikiran siswa [6]. Ini berarti
instruksi tidak harus dimulai dengan simbol/bentuk formal.
Abstraksi dan
Formalisasi
Dalam matematika, konteks dapat diartikan dengan situasi atau fenomena/kejadian alam
yang terkait dengan konsep Matematika yang sedang dipelajari. Menurut de Lange [2]
masalah konteks atau situasi dalam pendekatan PMRI dibedakan menjadi empat macam,
yaitu:
369
1. Personal siswa
Situasi yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa, baik di rumah dengan
keluarga, dengan teman sekelas, dengan teman sepermainan, dan dengan
kesenangannya.
2. Sekolah/akademik
Situasi yang berkaitan dengan kehidupan akademik di sekolah, di kelas, dan kegiatan-
kegiatan yang terkait dengan proses pembelajaran.
3. Masyarakat/publik
Situasi yang terkait dengan kehidupan dan aktivitas masyarakat sekitar tempat tinggal
siswa tersebut.
4. Saintifik/Matematik
Situasi yang berkaitan dengan fenomena dan subtansi secara sintifik atau yang berkaitan
dengan matematika.
Menurut de Lange [2] soal-soal kontekstual dalam PMRI dikelompokkan menjadi tiga
bagian yaitu:
1. Tidak ada konteks sama sekali. Soal langsung dalam bentuk formal matematika. Misal,
tentukan akar-akar dari 6 .
2. Konteks Dress-up (kamuflase)
Soal diubah dalam bentuk cerita sehingga soal terasa memiliki konteks. Misal, 2 pensil
dan 1 buku sama dengan 3 satuan, 1 pensil dan 3 buku sama dengan 4 satuan. Berapa
satuankah harga pensil dan buku?.
3. Konteks yang relevan dengan konsep matematika
Soal benar-benar memiliki konteks yang relevan dengan konsep matematika yang
sedang dipelajari. Misal, tentukan banyak jabat tangan dari lima orang?, ini sesuai
dengan konsep kombinasi.
Menurut [10] model merujuk pada model situasional (model dari suatu situasi yang familiar
dengan siswa) dan model matematika yang dikembangkan oleh siswa sendiri. Empat tingkat
model pembelajaran dan mengajar dalam PMRI:
1. Tingkat Situasional. Penggunaan situasi atau konteks real bagi siswa;
2. Tingkat Referensial atau model of (model dari situasi). Model yang mengacu pada
situasi atau konteks. Siswa membuat model untuk menggambarkan situasi atau konteks;
3. Tingkat General/umum atau model for (model untuk penyelesaian masalah). Siswa fokus
pada model dan strategi/solusi matematika. Siswa mencari strategi/solusi secara
matematis atau siswa melakukan generalisasi terhadap sekumpulan model dan
strategi/solusi yang didapat;
4. Tingkat Formal. Siswa bekerja dengan prosedur konvensional, menggunakan
notasi/simbol, dan representasi matematis.
370
Keempat tingkat model dalam PMRI juga dapat digambarkan dalam ice berg di bawah ini.
Sebagai contoh dari Gravemeijer 1994 [7], pada tingkat pertama siswa disuruh membagikan
permen. Tingkat kedua siswa disuruh menyajikan pembagian permen tersebut dalam bentuk
tertulis dan pembagian dimodelkan dengan pensil dan buku. Tingkat ketiga siswa ke arah
strategi dari sudut pandang matematika. Siswa hanya berurusan dengan angka-angka tanpa
memikirkan situasi. Tingkat keempat terdiri dari algoritma yang ditulis standar. Contoh ini
menunjukkan bagaimana model dikembangkan sendiri oleh siswa yang berfungsi untuk
menjembatani kesenjangan antara pengetahuan informal dan formal.
371
Siswa harus diminta membuat hal-hal konkret. Dengan membuat “produksi bebas”, atau
siswa dipaksa merefleksikan proses belajar mereka. Menurut Streefland 1991 [7], siswa
menunjukkan inisiatif yang lebih besar ketika mereka didorong untuk membangun dan
menghasilkan solusi mereka sendiri.
4. Interaktivitas
Interaksi antar siswa dan antara siswa dan guru merupakan bagian penting dalam proses
instruksional PMRI. Eksplisit negosiasi, intervensi, diskusi, kerjasama, dan evaluasi
merupakan elemen penting dalam proses pembelajaran konstruktif di mana metode informal
siswa digunakan sebagai kendaraan mencapai metode formal. Dalam instruksi interaktif,
siswa terlibat menjelaskan, membenarkan, setuju, tidak setuju, mempertanyakan alternatif
atau refleksi. Inilah bagian dari kegiatan yang dapat mengaktifkan siswa untuk kurang
tergantung pada guru untuk memberi tahu mereka apakah meraka salah atau benar. Di sini
juga para siswa menemukan kesempatan untuk menggunakan dan mengembangkan
kepercayaan matematika.
Dalam PMRI, integrasi topik matematika sangat penting. Hal ini sering disebut pendekatan
holistik, yang menggabungkan aplikasi (animasi), dan menyiratkan bahwa topik belajar tidak
harus ditangani dengan entitas yang terpisah dan berbeda. Sebaliknya jalinan berbagai topik
belajar matematika dimanfaatkan dalam memecahkan masalah kehidupan nyata. Kelima
karakteristik PMRI digunakan sebagai pedoman dalam merancang bahan/materi kurikulum.
3.1. Kesimpulan
7. Pembelajaran matematika yang memenuhi lima karakteristik dan tiga prinsip PMRI
dikatakan sebagai pembelajaran dengan pendekatan PMRI.
3.2. Saran
1. Guru matematika hendaknya mengetahui dan memahami tentang pendekatan PMRI.
2. Guru matematika hendaknya menggunakan pendekatan PMRI dalam melaksanakan
kurikulum 2013.
3. Desain atau pengembangan materi atau bahan ajar pembelajaran matematika
hendaknya menggunakan pendekatan PMRI.
4. Desain atau pengembangan materi atau bahan ajar pembelajaran matematika
menggunakan pendekatan PMRI hendaknya membimbing siswa menemukan
kembali atau memahami suatu konsep matematika.
Daftar Pustaka
Maya Saftari
STMIK Atma Luhur, Pangkalpinang; mayasaftari@yahoo.co.id
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Sekarang ini, jika kita mendengar kata teknologi, yang terbayang di benak kita adalah benda-
benda seperti komputer, handphone, televisi, laptop, VCD Player, pesawat dan lain
sebagainya. Kata teknologi selalu memiliki berbagai penafsisran, mulai dari sekedar piranti
keras hingga cara yang sistematis dalam menyelesaikan masalah. Kata ini berasal dari
bahasa Yunani technologia. Techne artinya kemampuan dan logia artinya ungkapan.
Teknologi mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam
berkomunikasi dengan masyarakat. Perkembangan teknologi dapat mempengaruhi
perkembangan pengetahuan. Pengetahuan yang berkembang akan sangat mempengaruhi pola
pikir manusia. Teknologi juga mempunyai peranan penting dalam dunia pendidikan.
Teknologi dan media yang disesuaikan dan dirancang secara khusus bisa memberikan
kontribusi bagi pengajaran yang efektif dari seluruh siswa dan bisa membantu mereka
meraih potensi tertinggi mereka, terlepas dari kemampuan bawaan mereka itu [9].
Seperti yang tergambar dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 pasal 3 dijelaskan bahwa
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
374
Hal ini tergambar jelas dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Bab IV pasal 19
ayat 1 dan 3, yaitu proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan
kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta
didik. Setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan
proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran
untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Hal ini kemudian
dituangkan dalam setiap mata pelajaran pada tiap satuan pendidikan melalui kurikulum
termasuk mata pelajaran matematika [6].
Pada penelitian sebelumnya, Paradesa, R. (2010) telah melakukan pengembangan bahan ajar
dengan menggunakan macromedia flash dan maple. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
bahan ajar tersebut memiliki efek potensial jika digunakan dalam proses pembelajaran
terhadap hasil belajar. Penelitian oleh Win Afgani, M. (2008) telah melakukan
pengembangan media pembelajaran dengan menggunakan Macromedia Flash 8.0 dalam
media website pada materi program linier, hasil yang didapatkan bahwa sikap siswa tertarik
dengan pembelajaran tersebut sehingga diperoleh hasil belajar siswa yang baik. Sejalan
dengan penelitian tersebut, dapat dikatakan bahwa media pembelajaran multimedia yang
interaktif, mampu menarik minat siswa untuk belajar mandiri agar bisa meningkatkan hasil
belajarnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang dapat dirumuskan adalah bagaimana
memanfaatkan media pembelajaran multimedia CD interaktif untuk meningkatkan hasil
belajar siswa?
Tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan gambaran tentang pemanfaatan media
pembelajaran multimedia CD interaktif untuk meningkatkan hasil belajar siswa
375
Istilah media sering dikaitkan atau dipergantikan dengan kata “teknologi”. Menurut Arsyad
(2011), media berasal dari bahasa Latin medius yang secara harfiah berarti “tengah”,
“perantara” atau “pengantar”. Media sebagai bentuk dan saluran yang digunakan untuk
menyampaikan pesan atau informasi. Seringkali kata media pendidikan digunakan secara
bergantian dengan istilah alat bantu atau media komunikasi. Sementara Gagne dan Briggs
(1975) secara implisit mengatakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik
digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri dari antara lain buku,
tape recorder, kaset, video kamera, dan komputer. Dengan kata lain, media adalah
komponen sumber belajar atau wahana fisik yang mengandung materi instruksional di
lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar [1].
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah media komunikasi
pengajaran yang dapat digunakan untuk menyampaikan informasi kepada siswa sehingga
memungkinkan siswa dapat menerima pengetahuan dan dapat merangsang siswa untuk
belajar.
Menurut Smaldino, Deborah dan James (2011), teknologi sebagai media berperan banyak
untuk belajar. Jika pengajaranya berpusat pada guru, teknologi dan media digunakan untuk
mendukung penyajian pengajaran. Di sisi lain, apabila pengajaran berpusat pada siswa, para
siswa merupakan pengguna utama teknologi dan media. Penggunaan teknologi sebagi media
yang umum yaitu untuk dukungan tambahan selama pengajaran yang berpusat pada guru.
Pemanfaatan kegiatan yang berpusat pada siswa memungkinkan para guru menggunakan
waktu mereka untuk memeriksa dan memperbaiki masalah siswa, berkonsultasi dengan para
siswa secara individual, dan mengajar secara satu per satu. Berapa banyak waktu yang bisa
dimanfaatkan guru dalam kegiatan tersebut akan bergantung pada tingkat peran pengajaran
yang diberikan pada teknologi sebagai media. Memang dalam keadaan tertentu,
keseluruhan tugas pengajaran bisa dipasrahkan ke teknologi sebagai media. Tentunya ini
bukan berarti bahwa teknologi pengajaran bisa atau sebaiknya menggantikan guru, tetapi
lebih kepada teknologi sebagai media yang bisa membantu para guru menjadi pengelola
kreatif dari pengalaman belajar, ketimbang sekadar sebagai pembagi informasi.
Media pembelajaran menurut Kemp dan Dayton, dapat memenuhi tiga fungsi utama apabila
media itu digunakan untuk perorangan, kelompok, atau kelompok besar, yaitu 1) memotivasi
minat atau tindakan; 2) menyajikan informasi; dan 3) memberi instruksi. Untuk memenuhi
fungsi motivasi, media dapat direalisasikan dengan teknik drama atau hiburan. Untuk tujuan
informasi, isi dan bentuk penyajian bersifat amat umum, berfungsi sebagai pengantar atau
teknik motivasi [2].
Secara umum manfaat media pembelajaran adalah dapat memperlancar interaksi antara guru
dengan siswa. Beberapa manfaat yang diungkapkan oleh para ahli, dijelaskan dari beberapa
sumber sebagai berikut:
Pertama, menurut Kemp dan Dayton. Mereka mengidentifikasikan beberapa manfaat media
dalam pembelajaran yaitu [2]:
(1) Dapat menyeragamkan penyampaian materi,
(2) Dapat membuat pembelajaran menjadi lebih jelas dan menarik,
(3) Dapat menjadikan proses pembelajaran menjadi lebih interaktif,
(4) Dapat mengefisiensi dalam waktu dan tenaga,
(5) Dapat meningkatkan kualitas hasil belajar siswa.
Kedua, menurut Sudjana dan Rivai (2011) mengemukakan manfaat media pembelajaran
dalam proses belajar siswa, yaitu:
(1) Pembelajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga menumbuhkan motivasi
belajar,
(2) Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat lebih dipahami oleh
siswa dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pembelajaran,
(3) Metode pengajaran menjadi lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal,
(4) Siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab selain mendengarkan
uraian guru, siswa juga mengamati, melakukan, memerankan, dan melakukan aktivitas
lain.
(7) Memberikan pengalaman yang tidak mudah diperoleh dengan cara lain dan membantu
efisiensi dan keragaman yang lebih banyak dalam belajar.
Dari ketiga pendapat di atas dapat disimpulkan beberapa manfaat praktis dari penggunaan
media pembelajaran adalah sebagai berikut:
(1) Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan informasi,
(2) Media pembelajaran dapat meningkatkan dan mengarahkan perhatian anak sehingga
menimbulkan motivasi belajar,
(3) Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan indera, ruang, dan waktu, dan
(4) Media pembelajaran dapat memberikan kesamaan pengalaman kepada siswa tentang
peristiwa-peristiwa di lingkungan mereka.
Multimedia adalah media presentasi dengan menggunakan teks, audio dan visual sekaligus.
Multimedia presentasi digunakan untuk menjelaskan materi-materi yang sifatnya teoritis [7].
Pengertian multi media sering dikacaukan dengan pengertian multi image. Multi media
merupakan suatu sistem penyempaian dengan menggunakan berbagai jenis bahan belajar
yang membentuk suatu unit atau paket. Contohnya suatu modul belajar yang terdiri atas
bahan cetak, bahan audio, dan bahan audiovisual. Sedangkan multi image merupakan
gabungan dari beberapa jenis proyeksi visual yang digabungkan lagi dengan komponen
audio yang kuat, sehingga dapat diselenggarakan pertunjukan besar yang cocok untuk
penyajian di suatu auditorium yang luas [7].
Multimedia interaktif adalah suatu multimedia yang dilengkapi dengan alat pengontrol yang
dapat dioperasikan oleh pengguna sehingga pengguna dapat memilih apa yang dikehendaki
untuk proses selanjutnya. Contohnya adalah multimedia pembelajaran interaktif, aplikasi
game, dan lain-lain [1].
a. Model Drills: Model drills dalam pembelajaran berbasis komputer pada dasarnya
merupakan salah satu strategi pembelajaran yang bertujuan memberikan pengalaman
378
belajar yang lebih kongkret melalui penciptaan tiruan-tiruan bentuk pengalaman yang
mendekati suasana sebenarnya.
Karakteristik terpenting dalam multimedia interaktif ini adalah bahwa siswa tidak hanya
memperhatikan media atau objek saja, melainkan juga dituntut untuk berinteraksi selama
mengikuti proses pembelajaran [7].
Multimedia CD interaktif adalah multimedia interaktif yang dikemas dalam bentuk CD yang
di dalamnya terdapat materi pelajaran yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran.
Dengan CD interaktif seorang siswa dapat lebih aktif mempelajari materi dan menumbuhkan
kemandirian belajar, guru hanya mengamati, dan mereviu penguasaan materi oleh siswa.
Cara seperti ini membuat siswa lebih termotivasi untuk belajar, terlebih kemasan program
CD interaktif dengan multimedia menarik perhatian dan membuat pesan pembelajaran lebih
lengkap dan jelas [7].
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa CD interaktif sangat bermanfaat dalam hal
penguasaan materi pelajaran, karena dengan CD interaktif siswa dapat belajar mandiri dan
dapat mengulang kembali materi pelajaran yang masih belum dikuasai oleh siswa. Siswa
379
juga bisa belajar di mana saja tanpa harus berhadapan langsung dengan guru dan siswa
menjadi termotivasi untuk belajar dan meningkatkan hasil belajar.
5. Hasil Belajar
Menurut Winkel (1991: 36) belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang
berlangsung dalam suatu interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-
perubahan dalam pengetahuan, pengalaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan ini
relatif konstan dan berbekas.
Hasil belajar adalah hasil yang dicapai setelah melalui pembelajaran. Jika dikaitkan dengan
proses belajar mengajar, maka mempunyai arti hasil yang dicapai siswa setelah melakukan
aktivitas belajar [15].
Dalam kegiatan aktivitas pembelajaran siswa yang memanfaatkan teknologi multimedia
interaktif dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini sudah tergambar dari beberapa
penelitian yang sudah dilakukan oleh Paradesa (2010) dengan penelitian pengembangan
bahan ajar dengan menggunakan macromedia flash dan maple. Hasil tersebut menunjukkan
bahwa bahan ajar tersebut memiliki efek potensial jika digunakan dalam proses
pembelajaran terhadap hasil belajar.
Penelitian oleh Win Afgani (2007) tentang penelitian pengembangan media pembelajaran
dengan menggunakan Macromedia Flash 8.0 dalam media website pada materi program
linier diperoleh hasil bahwa sikap siswa tertarik dengan pembelajaran tersebut sehingga
diperoleh hasil belajar siswa yang baik.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa pemanfaatan media pembelajaran dapat
meningkatkan hasil belajar. Hal ini disebabkan oleh sikap siswa yang tertarik dan
termotivasi dengan proses pembelajaran yang menyenangkan dan tidak membosankan.
Apalagi dikemas dalam media pembelajaran CD multimedia interaktif.
7.1 Kesimpulan
7.2 Saran
Saran penulis adalah perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pemanfaatan media
pembelajaran bukan hanya dilihat dari meningkatnya hasil belajar tetapi dilihat dari segi
aspek yang lain
Daftar Pustaka
[1] Ariani, N. dan Dany Haryanto. Pembelajaran Multi Media di Sekolah: Pedoman Pembelajaran
Inspiratif, Konstruktif dan Prospektif. Jakarta: Prestasi Pusaka. (2010)
[2] Arsyad, Azhar. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajagrafindo Persada. (2011)
[3] Hamalik, Oemar. Media Pendidikan. Bandung: Citra Aditya Bakti. (2008)
[4] Izham, D. CD Interaktif Matematika Matrik. Tersedia http://blog.jasamultimedia.com/cd-
interaktif-matematika-matrik/. Diakses tanggal 30 Januari 2014. (2012)
[5] Paradesa, R., Zulkardi, dan Darmawijoyo. Bahan Ajar Kalkulus 2 Menggunakan Macromedia
Flash dan Maple di STKIP PGRI Lubuk Linggau, Jurnal Pendidikan Matematika, 4, 95-109.
(2010)
[6] Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Bab IV pasal 19 ayat 1 dan 3
[7] Riyana, C. Media Pembelajaran. Jakarta. (2012)
[8] Rusman, Deni Kurniawan, dan Cepi Riyana. Pembelajaran Berbasis teknologi Informasi dan
Komunikasi. Jakarta: Rajawali Pers. (2011)
[9] Seels, Barbara B. dan Rita C. Richey. Teknologi Pembelajaran : Definisi dan Kawasannya.
Washington, DC: Association for Educational Communications and Technology. (1994)
[10] Smaldino, S.E, Deborah, L.L dan James, D.R. Instructional Technology and Media for Learning.
Jakarta: Kencana. (2011)
[11] Sudjana, N. dan Ahmad Rivai. Media Pengajaran ( Penggunaan dan Pembuatan). Bandung:
Sinar Baru Algesindo. (2011)
[12] Suhartanto. Pengaruh Penggunaan Media Pembelajaran CD Interaktif Terhadap Peningkatan
Hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV di SD Negeri 1 Somogede. Tersedia
http://repository.library.uksw.edu/bitstream/handle/123456789/2219/T1_292010614_BAB%20II
.pdf?sequence=3. Diakses tanggal 30 Januari 2014. (2012)
[13] Undang-Undang no. 20 tahun 2003 pasal 3
[14] Win Afgani, M., Darmawijoyo, dan Purwoko. Pengembangan Media Website Pembelajaran
Materi Program Linier untuk Siswa Sekolah Menengah Atas. Jurnal Pendidikan Matematika,
45-59. (2008)
[15] Winkel, W., S. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia. (1991)
382
Abstrak. Karakter keingintahuan dan hasil belajar peserta didik tergolong rendah.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk mengetahui
peningkatan karakter keingintahuan dan hasil belajar peserta didik melalui penerapan
pembelajaran TPS. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis
penelitian tindakan kelas. Subjek penelitian adalah peserta didik kelas VIIA SMP N 10
Semarang. Pelaksanaan penelitian ini dimulai dengan observasi terhadap karakter
keingintahuan dan hasil belajar dilanjutkan dengan penelitian tindakan kelas yang
terdiri dari dua siklus. Setiap siklus terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan
tindakan, observasi, serta analisis dan refleksi. Teknik pengumpulan data menggunakan
tes dan lembar observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar dan
keingintahuan peserta didik dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan. Hasil tes
siklus pertama diperoleh nilai tertinggi 93, nilai terendah 40. Nilai rata-rata kelas 63,7,
peserta didik yang mendapat nilai minimal 70 sebesar 41,9%. Hasil tes siklus kedua
diperoleh nilai tertinggi 93, nilai terendah 60. Nilai rata-rata kelas 74,4, peserta didik
yang mendapat nilai minimal 70 sebesar 83,9%. Adapun karakter keingintahuan mulai
berkembang dan membudaya dari 41,9% menjadi 67,7%. Dari hasil penelitian
disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif TPS dapat
meningkatkan hasil belajar dan karakter keingintahuan peserta didik kelas VIIA SMP N
10 Semarang.
1. Pendahuluan
Situasi di SMP Negeri 10 Semarang khususnya pada kelas VIIA. Karakter keingintahuan
peserta didik dalam belajar tergolong rendah. Dari hasil pengamatan diketahui bahwa
karakter keingintahuan peserta didik pada kategori mulai berkembang dan membudaya
jumlahnya di bawah 20%. Hal ini dapat diamati ketika peserta didik enggan untuk bertanya
kepada guru atau teman tentang materi pelajaran matematika. Peserta didik juga hanya
mengandalkan pembelajaran yang dilakukan di kelas, tidak berupaya mencari sumber belajar
tentang konsep/masalah yang dipelajari/dijumpai. Peserta didik juga cenderung tidak aktif
dalam mencari informasi yang berkaitan dengan pelajaran, hanya menunggu penjelasan dari
guru. Di samping itu, peserta didik di kelas VIIA juga memiliki hasil belajar yang kurang
383
memuaskan. Rata-rata ulangan siswa pada dalam 3 tahun terakhir materi persamaan dan
pertidaksamaan linier satu variabel di bawah 70. Chatarina (2006: 5) menyebutkan bahwa
hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami
aktivitas belajar.
Adapun untuk mengatasi masalah di kelas VIIA berkaitan dengan karakter keingintahuan
yang kurang dan rendahnya hasil belajar peserta didik akan digunakan model pembelajaran
Think Pairs Share (TPS). Menurut Agus Suprijono (2011: 40) bahwa model pembelajaran
Think Pairs Share termasuk pembelajaran kooperatif. Think Pairs Share adalah merupakan
jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi peserta
didik.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah karakter keingintahuan dan hasil
belajar peserta didik kelas VIIA SMP N 10 Semarang tahun pelajaran 2012/2013 pada materi
Persamaan dan Pertidaksamaan Linier Satu Variabel dapat ditingkatkan melalui model
pembelajaran TPS?
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan karakter keingintahuan dan hasil
belajar peserta didik pada materi Persamaan dan Pertidaksamaan Linier Satu Variabel
melalui penerapan pembelajaran TPS di kelas VIIA SMP N 10 Semarang.
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peserta didik, guru dan sekolah
antara lain dapat meningkat keingintahuan dan hasil belajar matematisnya, membantu guru
untuk menyelesaikan masalah-masalah pembelajaran dan meningkatkan kualitas
pembelajaran dengan memanfaatkan fasilitas yang ada.
Pembelajaran adalah proses, cara, perbuatan mempelajari (Agus Suprijono, 2011: 13). Di
sini guru berupaya mengorganisir lingkungan terjadi pembelajaran. Guru menyediakan
fasilitas belajar bagi peserta didiknya untuk mempelajarinya. Subjek pembelajaran adalah
peserta didik, pembelajaran berpusat pada peserta didik. Sehingga guru hanya sebagai
pembimbing atau pengarah saja.
384
Tabel 1. Nilai karakter yang perlu ditanamkan melalui mata pelajaran matematika di SMP
No Nilai Karakter
1. Religius
2. Kejujuran
3. Kecerdasan
4. Ketangguhan
5. Kepedulian
6. Demokratis
7. Berpikir logis, kritis, kreatif dan inovatif
8. Kerja keras
9. Keingintahuan
10. Kemandirian
11. Percaya diri
385
Nilai-nilai karakter nomor 1 sampai dengan 6 adalah nilai-nilai karakter pokok yang
ditanamkan melalui semua mata pelajaran di SMP, sedang nilai karakter nomor 7 sampai
dengan 11 merupakan nilai karakter utama yang ditanamkan melalui mata pelajaran
matematika SMP. (Modul Matematika Silabus dan RPP, LPMP, 2011). Indikator nilai
karakter keingintahuan dalam Modul Matematika Silabus dan RPP, LPMP, 2011, ada 4
yaitu:
1. BT : Belum Terlihat, yaitu apabila peserta didik belum memperlihatkan awal perilaku
yang dinyatakan dalam indicator,
2. MT : Mulai Terlihat, yaitu apabila peserta didik sudah meulai memperlihatkan adanya
awal perilaku yang dinyatakan dalam indikator tetapi belum konsisten,
3. MB : Mulai Berkembang, yaitu apabila peserta didik sudah memperlihatkan berbagai
perilaku yang dinyatakan dalam indikator mulai konsisten,
4. MK : Membudaya, apabila peserta didik terus menerus memperlihatkan perilaku yang
dinyatakan dalam indikator secara konsisten.
(Direktorat Pembinaan SMP, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Muh Abul Khodir (2011) dalam mengembangkan model
Think Pair Share (TPS) dalam pembelajaran matematika di kelas IV SDN Plumbungan
Gabus Kabupaten Pati merupakan model pembelajaran yang efektif, berpusat pada peserta
didik, keterampilan proses dan aktivitas peserta didik berpengaruh kuat terhadap hasil
belajar. Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar model Think Pair Share
(TPS) dengan model konvensional, dan terdapat perbedaan hasil belajar antara kelompok
atas, tengah dan bawah, hasil belajar dan keaktifan serta keterampilan proses peserta didik
mencapai ketuntasan belajar.
Penelitian yang dilakukan oleh Tri Subaktiningsih (2007) dalam upaya meningkatkan hasil
belajar pada pokok bahasan persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel melalui
implementasi model pembelajaran cooperative learning tipe STAD di kelas VIIA SMPN 1
Mojebo Kudus, memberikan hasil bahwa menggunakan model pembelajaran cooperative
learning tipe STAD dapat meningkatkan keaktifan dan hasil belajar peserta didik pada
materi persamaan dan pertidaksamaan linier satu variabel.
386
Berdasarkan pada landasan teori dan kajian empiris hasil penelitian di atas, dapat disusun
kerangka berpikir sebagai berikut. Menurut data hasil ulangan harian tentang materi
persamaan linier satu variabel pada tiga tahun terakhir, nilai rata-ratanya baru mencapai 62.
Dan dari hasil refleksi awal keingintahuan peserta didik kelas VIIA dalam belajar pada
tingkat mulai berkembang dan membudaya kurang dari 20%. Untuk mengatasi permasalahan
yang diuraikan tersebut perlu adanya suatu penelitian yang menerapkan suatu strategi
pembelajaran tertentu yang dapat meningkatkan keingintahuan dan kemampuan peserta didik
dalam menyelesaikan soal tentang persamaan linier satu variabel.
Melalui berbagai kegiatan dengan model pembelajaran TPS dalam mempelajari konsep
matematika yang dihantarkan dengan penggunaan alat peraga kartu variabel dan kartu
bilangan diharapkan peserta didik terlibat secara aktif.
Untuk meningkatkan keingintahuan peserta didik, pada setiap pertemuan disajikan soal yang
menuntut keingintahuan terhadap materi, disajikan di Lembar Aktivitas Peserta Didik. Hal
ini diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar dan keingintahuan peserta didik. Agar
keingintahuan matematis peserta didik muncul, disusun juga rencana pembelajaran yang
didesain seoperasional mungkin sehingga guru dapat melaksanakannya secara efektif dan
efisien. Termasuk dalam rancangan adalah lembar observasi terhadap pembelajaran
matematika, aktivitas peserta didik, pemahaman konsep, dan keingintahuan peserta didik.
Dengan adanya alat ukur ini, maka peneliti dapat melakukan refleksi, untuk melakukan
revisi atau penyempurnaan baik rancangan pembelajaran, alat peraga, pelaksanaan
pembelajarannya, maupun alat ukurnya sendiri, untuk peningkatan kualitas pembelajaran
pada tahap atau pertemuan berikutnya.
2.7 Hipotesis
Berdasarkan kerangka berpikir di atas hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut: Apabila
dalam pembelajaran matematika pada materi persamaan linier satu variabel menerapkan
model pembelajaran TPS, maka keingintahuan dan hasil belajar peserta didik dapat
ditingkatkan.
3. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan di SMP N 10 Semarang pada bulan September sampai
dengan Nopember Tahun 2012.
387
Subjek penelitian adalah peserta didik kelas VIIA SMP N 10 Semarang Tahun Pelajaran
2012/2013 sebanyak 35 peserta didik. Jumlah laki-laki sebanyak 18 anak, sedangkan
perempuan sebanyak 17 anak.
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus yang masing masing siklus terdiri dari 4 tahap
yaitu: perencanaan, pelaksanaan, observasi dan evaluasi, refleksi.
Teknik tes dilakukan untuk mengukur tingkat penguasaan materi pelajaran dan kemampuan
kreativitas matematis. Adapun teknik non tes adalah observasi dan catatan lapangan
Analisis data dilakukan selama dan setelah pengumpulan data. Data penelitian yang
terkumpul dianalisis melalui langkah mereduksi data, menyajikan data, menarik kesimpulan
serta verifikasi.
Berdasarkan refleksi awal peserta didik di kelas VII SMP Negeri 10 Semarang, rata-rata
hasil belajar sebelum penelitian ini dilakukan untuk materi persamaan linier satu variabel
pada tiga tahun terakhir adalah 62 dan keingintahuan peserta didik kelas VIIA pada kategori
mulai berkembang dan membudaya kurang dari 20%. Penelitian ini dikatakan berhasil
apabila rata-rata hasil belajar peserta didik pada kompetensi dasar persamaan linier satu
variabel minimal 70, peserta didik yang memperoleh hasil belajar minimal 70 mencapai
lebih dari atau sama dengan 70%, dan keingintahuan peserta didik pada kategori berkembang
dan membudaya mencapai lebih dari atau sama dengan 50%.
Siklus 1 untuk Kelas VIIA dilaksanakan dalam tiga kali pertemuan 2 jam pelajaran
(3 2 40 menit) pada tanggal 24, 27 September 2012, 1 Oktober 2012 dan diikuti oleh 35
peserta didik dengan rencana pembelajaran yang telah disusun. Kegiatan yang dilakukan
adalah pendahuluan yang berisi antara lain menyiapkan kondisi peserta didik untuk
mengikuti pembelajaran, menyampaikan tujuan pembelajaran, model pembelajaran dan
apersepsi dengan mencongak tentang operasi bilangan bulat. Guru memberikan penguatan
yang positif kepada peserta didik yang menjawab dengan benar. Dari hasil pengamatan guru
belum memberikan penghargaan kepada peserta didik yang menjawab benar.
388
Kegiatan inti pembelajaran dimulai dengan kegiatan eksplorasi, yaitu guru membagi materi
dan Lembar Aktivitas Peserta Didik (LAPD) kepada peserta didik untuk dipelajari, guru
sebagai fasilitator menjelaskan yang kurang dipahami. Dari pengamatan diperoleh bahwa
peserta didik masih malu dan kurang percaya diri dalam memberikan penjelasan ketika
ditanya oleh guru.
Pada kegiatan elaborasi guru membagi kelas menjadi kelompok kecil, masing-masing
kelompok beranggotakan 2 orang atau berpasangan, pasangan ditentukan oleh peserta didik
sendiri. Karena jumlah peserta didik 35 orang, maka ada satu kelompok yang jumlah
anggotanya 3 orang. Kelompok yang berjumlah 2 orang beranggotakan peserta didik dengan
jenis kelamin yang sama. Sedangkan kelompok yang berjumlah 3 orang terdiri dari 2 anak
laki-laki dan 1 anak perempuan. Peserta didik dengan pasangannya dalam kelompok
mendiskusikan soal aktivitas dan latihan pada LAPD. Guru menunjuk beberapa kelompok
untuk mempresentasikan hasil pekerjaannya di chart yang telah disediakan. Kelompok yang
anggotanya laki-laki kurang serius dan sering bercanda dalam mengerjakan LAPD.
Sedangkan kelompok yang anggotanya 3 anak terlihat lebih serius dalam mengerjakan
LAPD.
Pada kegiatan konfirmasi, guru memberikan kesempatan kepada kelompok yang akan
menanggapi/bertanya tentang materi yang belum diketahui. Berdasarkan observasi hanya
satu peserta didik yang bertanya tentang materi yang belum dikuasai. Setelah dirasa peserta
didik semuanya memahami materi, peserta didik disuruh mengerjakan soal pos test pada
LAPD secara individu. Dari hasil pengamatan, guru memberikan waktu pos test terlalu
singkat sehingga banyak peserta didik yang belum selesai menjawab pos test.
Pada kegiatan akhir, guru mengecek kembali pemahaman peserta didik mengenai materi
yang disampaikan. Guru bersama peserta didik membuat kesimpulan tentang materi yang
telah dipelajari. Dari hasil observasi, peserta didik masih bingung dalam membuat
kesimpulan. Guru lebih dominan dalam membuat kesimpulan.
Hasil observasi aktivitas guru pada pertemuan 1 sebesar 65% atau dalam kategori baik. Hasil
observasi aktivitas peserta didik tentang karakter kategori keingintahuan mulai berkembang
dan membudaya sebesar 32,26%. Hasil tes siklus pertama yang dilaksanakan pada tanggal 4
Oktober 2012, diperoleh nilai tertinggi 93, nilai terendah 40, Nilai rata-rata kelas 63,66.
Peserta didik yang mendapatkan nilai minimal 70 sebesar 41,9%.
Berdasarkan hasil pada siklus I tersebut maka pada siklus ini belum dapat dikatakan berhasil,
karena hasil yang dicapai masih kurang dari indikator yang telah ditetapkan yaitu rata-rata
hasil belajar peserta didik pada kompetensi dasar persamaan linier satu variabel minimal 70,
peserta didik yang memperoleh hasil belajar minimal 70 mencapai lebih dari atau sama
dengan 70%, dan karakter keingintahuan peserta didik pada kategori berkembang dan
membudaya mencapai lebih dari atau sama dengan 50%. Oleh karena itu, diputuskan untuk
dilanjutkan pada siklus kedua.
389
Berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh guru dan observer terdapat beberapa kelemahan
dan kelebihan dalam kegiatan pembelajaran siklus I. Adapun kelemahan siklus I antara lain:
pembentukan kelompok yang dibebaskan cenderung kurang efektif, penyajian presentasi
peserta didik menggunakan chart kurang menarik, pertanyaan pada postes membutuhkan
waktu terlalu lama, peserta didik yang aktif kurang diberi penghargaan. Sedangkan kelebihan
siklus I antara lain: peserta didik berani mengemukakan pendapatnya dalam kelompok,
peserta didik berusaha menguasai materi untuk persiapan presentasi, menumbuhkan
keingintahuan yang lebih besar terhadap pelajaran matematika.
Siklus 2 untuk Kelas VIIA dilaksanakan dalam tiga kali pertemuan 2 jam pelajaran (3 x 2 x
40 menit) pada tanggal 8, 11 dan 15 Oktober 2012 dan diikuti oleh 35 peserta didik dengan
rencana pembelajaran yang telah disusun.
Kegiatan yang dilakukan pada siklus 2 adalah kegiatan pendahuluan antara lain guru
menyiapkan kondisi peserta didik untuk mengikuti pembelajaran, menyampaikan tujuan
pembelajaran dan model pembelajaran. Apersepsi dengan mencongak tentang operasi
bilangan bulat. Dalam menjawab operasi bilangan bulat dengan mencongak terdapat 25 dari
35 peserta didik yang dapat menjawab dengan benar. Peserta didik yang menanyakan
kegunaan materi yang dijelaskan dalam kehidupan sehari-hari sebanyak 6 anak.
Pada kegiatan inti pembelajaran dimulai dengan kegiatan eksplorasi. Guru membagi kelas
menjadi kelompok kecil, masing-masing kelompok beranggotakan 2 orang atau berpasangan.
Pasangan tiap kelompok ditentukan oleh guru berdasarkan kemampuan akademik. Satu
orang adalah peserta didik yang memiliki kemampuan akademik tinggi dan pasangannya
adalah peserta didik yang memiliki kemampuan akademik rendah. Pada kegiatan elaborasi
peserta didik dalam kelompok mengerjakan soal latihan yang terdapat dalam LAPD. Guru
menunjuk 5 kelompok untuk mempresentasikan hasil pekerjaannya di OHP yang telah
disediakan. Peserta didik lebih antusias dalam melihat presentasi temannya. Dalam
presentasi peserta didik diberikan kesempatan untuk menanggapi atau bertanya tentang
materi yang belum dipahami. Dalam hal ini peserta didik terlihat lebih percaya diri dalam
menyampaikan pertanyaan jika ada sesuatu yang belum dipahami.
Pada kegiatan konfirmasi guru menjelaskan kembali materi yang kebanyakan peserta didik
belum jelas. Peserta didik dipersilahkan menanyakan kembali tentang materi yang masih
belum jelas. Guru dengan tanya jawab menanyakan kembali kejelasan materi. Setelah itu
peserta didik mengerjakan soal pos tes yang terdapat dalam LAPD secara individual. Guru
bersama peserta didik melakukan koreksi.
Pada kegiatan akhir, guru memberikan umpan balik dan refleksi terhadap materi yang
disampaikan. Peserta didik dengan bimbingan guru membuat kesimpulan tentang materi
yang telah dipelajari.
Hasil observasi aktivitas guru pada siklus 2 sebesar 85% atau dalam kategori sangat baik.
Hasil observasi aktivitas peserta didik tentang karakter kategori keingintahuan mulai
390
berkembang dan membudaya sebesar 67,74%. Hasil tes siklus kedua yang dilaksanakan pada
tanggal 18 Oktober 2012 diperoleh nilai tertinggi 93, nilai terendah 60, Nilai rata-rata kelas
83,9. Peserta didik yang mendapatkan nilai minimal 70 ada 83,9%. Dengan demikian
indikator keberhasilan penelitian telah tercapai.
4.3 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan pada bagian 4.1 dan 4.2 tentang hasil
penelitian, maka selanjutnya akan dibahas masing-masing dari hasil penelitian tersebut.
Peserta didik masih malu dan kurang percaya diri dalam memberikan penjelasan ketika
ditanya oleh guru karena jarang sekali peserta didik diberikan kesempatan untuk menjawab
secara langsung pertanyaan berupa lisan dari guru. Keaktifan dari peserta didik jug berkaitan
dengan kurangnya perhatian dan motivasi. Karena dalam pembelajaran guru di kelas kurang
maksimal dalam memperhatikan setiap peserta didik. Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009:
42) “prinsip-prinsip belajar berkaitan dengan perhatian dan motivasi, keaktifan, keterlibatan
langsung/berpengalaman, pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan, serta perbedaan
individual.”
Peserta didik yang aktif dalam kelompoknya dan mampu bekerja sama sangat sedikit. Belum
seluruh peserta didik aktif dan dapat bekerja sama disebabkan kelompok yang dibentuk oleh
peserta didik sendiri hanya berdasar pertemanan. Kecenderungan anak laki-laki berkelompok
dengan anak laki-laki demikian pula anak-anak perempuan berkelompok dengan anak
perempuan. Kelompok anak laki-laki lebih banyak bermain dan bersenda gurau dari pada
berdiskusi. Kelompok anak perempuan lebih bertanggung jawab dengan serius mengerjakan
LAPD. Selain itu terdapat beberapa kelompok yang pasif karena kemampuan matematisnya
rendah semua. Sedangkan kelompok yang beranggotakan 3 anak, terlihat lebih serius dalam
mengerjakan tugas. Hal ini dikarenakan terdapat peserta didik perempuan. Peserta didik
perempuan memiliki kemampuan akademis yang bagus sehingga dapat membantu kedua
temannya dalam menyelesaikan tugas.
Hasil belajar peserta didik rata-rata kelas VIIA pada siklus pertama adalah 63,66 dan yang
mendapat nilai 70 atau lebih ada sebesar 41,9%. Hal ini disebabkan oleh belum terbiasanya
peserta didik untuk bekerja secara kelompok. Presentasi kelompok yang kurang menarik dan
juga pemilihan kelompok yang tidak tepat.
391
Pada siklus kedua telah terjadi perbaikan dibanding dengan siklus yang pertama. Peserta
didik yang menjawab benar pada saat mencongak sebanyak 25 anak. Peserta didik terlihat
berebut dalam menjawab pertanyaan. Peserta didik menguasai dan terampil dalam
menghitung. Peserta didik yang menanyakan kegunaan materi yang dijelaskan dalam
kehidupan sehari-hari sebanyak 6 anak. Hal ini dikarenakan peserta didik mempunyai
pertanyaan yang serupa dengan peserta didik yang lain. Merasa cukup terwakili oleh 6
peserta didik yang bertanya tentang kegunaan materi.
Peserta didik yang memohon ulang penjelasan guru pada saat guru menjelaskan materi
sebanyak 12 anak. Peserta didik sudah tidak malu dan memiliki keingintahuan terhadap
pemahaman materi. Pada saat beberapa kelompok melakukan presentasi di OHP, peserta
didik lebih antusias dalam melihat presentasi temannya. Peserta didik tertarik dengan
penyampaian materi dan memiliki keingintahuan yang tinggi.
Aktivitas guru pada siklus 2 dalam kategori sangat baik. Hal ini dikarenakan guru selalu
berusaha dan mempersiapkan mengajar dengan baik. Senantiasa menerima saran dan kritik
dari observer. Aktivitas peserta didik karakter keingintahuan mulai berkembang sebanyak 15
anak dan membudaya sebanyak 6 anak. Persentase karakter keingintahuan mulai
berkembang dan membudaya sebesar 67,74%.
Hasil tes siklus kedua diperoleh nilai tertinggi 93, nilai terendah 60, Nilai rata-rata kelas
83,9. Peserta didik yang mendapatkan nilai minimal 70 ada 83,9%. Dengan demikian
indikator keberhasilan penelitian telah tercapai. Berdasarkan hasil pada siklus tersebut maka
pada siklus ini sudah bisa dikatakan berhasil, karena hasil yang dicapai sudah memenuhi
indikator yang telah ditetapkan. Oleh karena itu diputuskan penelitian dihentikan. Berikut
ini adalah hasil tes, baik tes hasil belajar atau karakter keingintahuan dalam gambar 1 dan 2.
100 93 93
90 83.9
80 74.4
70 63.7
60
60
50 41.9 SIKLUS I
40
40
SIKLUS II
30
20
10
0
NILAI NILAI PERSENTASE RATA-RATA
MAKSIMUM MINIMUM NILAI ≥70 HASIL BELAJAR
50% 48%
40%
32% Pra Siklus
30%
Siklus I
19%
20% Siklus II
14%
10%
10%
2%
0%
Mulai Berkembang Membudaya
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
1. Sebagai tindak lanjut dari penelitian ini perlu ada penelitian lanjutan mengenai
penggunaan model pembelajaran lain pada materi persamaan linier satu variabel yang
sesuai dengan usia peserta didik kelas VII dalam upaya mengadakan model pembelajaran
yang bervariasi, menyenangkan, dan dapat memberi ruang bagi peserta didik untuk
mengeksplorasi kemampuannya.
2. Berdasarkan hasil penelitian ini guru kelas VII sebaiknya pada saat pembelajaran
matematika dapat menggunakan bantuan alat peraga sehingga dapat menuntun peserta
didik dalam mengkonstruk pemahamannya.
393
Daftar Pustaka
IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN
MATEMATIKA HIJAU DENGAN PENDEKATAN
PROBLEM BASED LEARNING (PBL) GUNA
MENGEMBANGKAN SIKAP CINTA
LINGKUNGAN PADA SISWA SMAN 1
KEUMALA
Muzakkir, M. Ed
SMAN 1 KEUMALA; jakir6882@gmail.com
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan sikap cinta lingkungan pada
siswa SMAN 1 Keumala Kabupaten Pidie provinsi Aceh melalui pembelajaran
Matematika Hijau dengan pendekatan PBL, serta untuk mendapatkan umpan balik dari
siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Pembelajaran Matematika Hijau
adalah salah satu cara pembelajaran Matematika yang menjadikan isu – isu lingkungan
sebagai media utama dalam pembelajaran. Kegiatan penelitian ini berbentuk penelitian
tindakan kelas (classroom action research). Tindakan dilaksanakan dalam 2 siklus
dengan subjek penelitian adalah siswa kelas XI IPA 2 SMAN 1 Keumala. Kegiatan
pada setiap siklus meliputi perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan lembar observasi pelaksanaan
pembelajaran, dan angket sikap cinta lingkungan. Pendekatan yang digunakan dalam
pembelajaran ini adalah Problem Based Learning (PBL) dan dilakukan pada materi
peluang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa melalui kegiatan pembelajaran
matematika Hijau dengan Pendekatan PBL pada materi peluang respons siswa terhadap
kegiatan pembelajaran yang dilakukan menunjukkan bahwa respons siswa senang dan
model ini dapat diteruskan untuk kegiatan pembelajaran selanjutnya dengan
pengelolaan yang lebih optimal. Rasa cinta lingkungan di kalangan siswa pun semakin
bertambah, di mana siswa merasa semakin peduli dengan lingkungannya. Hal ini dapat
dilihat dari peningkatan nilai persentase jumlah siswa yang bersikap positif dari siklus I
(55 %) ke siklus ke II (70 %). Siswa makin menyadari bahwa matematika ternyata
sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari para siswa.
Kata kunci: Pembelajaran Matematika Hijau , Problem Based Learning (PBL), Sikap
cinta lingkungan.
1. Pendahuluan
Banjir merupakan bencana yang kerap terjadi di Indonesia tidak terkecuali kecamatan
Keumala yang berada tepat di kaki gugusan bukit barisan yang hampir banjir melanda
pemukiman penduduk, pada tahun 2011 yang lalu daerah ini baru saja mengalami bencana
besar yaitu banjir bandang kiriman dari perbukitan Tangse. Banjir pada umumnya
disebabkan oleh meluapnya air sungai ke lingkungan sekitarnya sebagai akibat curah hujan
395
yang tinggi. Bencana banjir ditimbulkan dan diperparah oleh perilaku manusia, yang kurang
memperhatikan lingkungan sebagai tempat tinggalnya. Menurut Kristianto (2010) penyebab
terjadinya banjir adalah penebangan hutan (pohon) secara liar tanpa disertai reboisasi
(penanaman kembali); alih fungsi lahan sehingga berkurangnya lahan atau daerah resapan
air; pendangkalan sungai akibat sampah maupun lumpur dan penyempitan sungai oleh
manusia; pembuatan saluran air dan tanggul waduk yang tidak memenuhi syarat dan kurang
baik; air laut, sungai, atau danau yang meluap dan menggenangi daratan. Upaya penanganan
banjir pada umumnya lebih terfokus pada saat banjir berlangsung, sementara upaya
penanggulangannya masih lebih banyak pada tataran diskusi. Upaya peningkatan
pengetahuan dan pemahaman, sikap, dan perilaku terhadap pencegahan bencana banjir
sebenarnya dapat dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan dan pelatihan ini
dapat dilakukan pada seluruh lapisan masyarakat termasuk siswa sekolah baik SD, SMP,
maupun SMA.
Penanaman konsep terkait dengan pelestarian dan pemanfaatan lingkungan perlu ditanamkan
kepada para siswa sejak dini, peserta didik harus memahami bahwa manusia adalah agen
penentu bagai lingkungan sekitarnya. Konsep lingkungan akan mudah diterapkan dalam proses
belajar mengajar jika siswa diajak untuk mengaitakan alam sekitarnya dengan pengajaran yang
berlaku sebagaimana yang diharapkan dalam model pembelajaran Contextual Teaching and
Learning (CTL), di mana peserta didik dihadapkan pada sistem pembelajaran faktual di
sekitarnya (Elaine. 2007). Berkaitan dengan pembelajaran matematika, CTL kemudian lebih
dikhususkan lagi dalam Pembelajaran Matematika Realistik (PMR), dalam pengajaran dengan
Pendekatan PMR siswa akan dihadapakan dengan permasalahan-permasalah yang dihadapi
sehari-hari kemudian pada tahap akhir siswa akan mendapatkan penyelesaian dari permasalahn
tersebut. Sepanjang pengetahuan dan berdasarkan pengalaman peneliti, pembelajaran
Matematika di sekolah saat ini menunjukkan bahwa tidak ada keterkaitan antara proses belajar
mengajar matematika dengan pemeliharaan lingkungan, sehingga sikap peserta didik terhadap
lingkungan sangatlah negatif. sekolah belum sepenuhnya terintegrasi dengan konsep
pelestarian lingkungan sehingga belum sepenuhnya mampu mengembangkan sikap ramah
lingkungan pada siswa. Berdasarkan analisis situasi yang dilakukan peneliti di SMAN 1
Keumala terkait dengan sikap cinta lingkungan pada peserta didik masih berada pada tahapan
sangat memprihatinkan. Melihat kondisi tersebut, peneliti tertarik untuk mengungkap dan
menemukan cara untuk menyampaikan materi yang diajarkan agar siswa dapat mengingat
konsep tersebut lebih lama di benaknya. Selain itu, siswa juga memiliki sikap cinta lingkungan
yang sangat diperlukan bagi pembangunan berkelanjutan di masa mendatang.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengungkap pembelajaran
Matematika Hijau dalam rangka mengembangkan sikap cinta lingkungan pada peserta didik
SMAN 1 Keumala. Adapun pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran ini adalah
Problem Based Learning (PBL). Mengingat adanya berbagai keterbatasan, penelitian
difokuskan pada salah satu pokok bahasan yang sangat berhubungan dengan kehidupan sehari-
hari para siswa yakni Peluang. Berdasarkan uraian di atas, masalah yang diajukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimanakah mengembangkan sikap cinta
lingkungan pada siswa SMAN 1 Keumala? (2) Bagaimanakah respons siswa terhadap kegiatan
pembelajaran yang dilakukan?
396
2. Tinjauan Kepustakaan
Real World
Dalam tahapan pembelajaran PBL, pada tahap pemberian masalah, siswa mengamati suatu
fenomena yang diperagakan oleh guru. Guru melatihkan keterampilan mengamati dan
keterampilan mengajukan pertanyaan pada siswa. Pada tahap kedua yaitu tahap menuliskan
apa yang diketahui, berdasarkan data awal yang diperoleh, siswa akan melakukan
serangkaian kegiatan ilmiah untuk ditafsirkan konsep apa yang berhubungan dengan masalah
tersebut sesuai dengan pemahaman yang telah diketahui sebelumnya. Guru dalam hal ini
melatihkan keterampilan menafsirkan pengamatan. Pada tahap ketiga yaitu tahap menuliskan
inti permasalahan, pemahaman konsep yang sebelumnya telah diketahui siswa diterapkan
dalam rangka menulis masalah utama pada fenomena yang telah diamatinya. Guru melatih
keterampilan menerapkan konsep pada siswa. Pada tahap keempat yaitu tahap menuliskan
cara pemecahan masalah, serangkaian konsep dikumpulkan dalam kegiatan kelompok
untuk memecahkan masalah kemudian dirumuskan beberapa alternatif pemecahan
masalahnya. Guru melatih keterampilan menerapkan konsep. Pada tahap selanjutnya yaitu
tahap menuliskan tindakan kerja yang akan dilakukan, serangkaian tindakan kerja yang akan
dilakukan kemudian dituliskan secara berurutan dalam lembar kerja siswa. Siswa
menggunakan alat dan bahan untuk memperoleh data dalam rangka menyelesaikan masalah
dengan prosedur yang telah dirancang sebelumnya. Setiap pengambilan data diamati dengan
teliti untuk mengurangi paralaks. Guru melatih keterampilan merencanakan penelitian,
keterampilan menggunakan alat dan bahan, serta keterampilan mengamati pada siswa. Pada
tahapan terakhir yaitu tahap menuliskan hasil kegiatan, setelah diperoleh data, siswa akan
membuat grafik dalam mengkomunikasikan hasil penelitiannya dan memperoleh keteraturan
data yang selanjutnya bisa digunakan untuk meramal data yang akan diperoleh pada
pengambilan data selanjutnya. Guru melatih keterampilan meramalkan dan keterampilan
berkomunikasi pada siswa. Masalah tersebut adalah masalah yang memenuhi konteks dunia
nyata baik yang ada di dalam buku teks maupun dari sumber lain seperti peristiwa yang
terjadi di lingkungan sekitar, peristiwa dalam keluarga atau masyarakat untuk belajar tentang
berpikir dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan
konsep yang esensial dari materi pelajaran.
3. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan Pendekatan Penelitian Tindakana Kelas (PTK). Pada hakikatnya
PTK terdiri dari beberapa siklus. Oleh karena itu data tentang perkembangan sikap cinta
lingkungan pada siswa yang diperoleh melalui instrumen penelitian yang berbentuk angket
398
yang menggunakan skala likert 4 mata, di samping itu penelitian ini juga menggunakan
lembaran observasi, di mana proses pengamatan berlangsung selama pelaksanaan kegiatan
berlangsung di setiap siklus. Untuk mengetahui respon siswa terhadap pelaksanaan model
Pembelajaran Matematika Hijau peneliti juga menyediakan lembaran respon siswa terhadap
pelaksanaan pembelajaran. Setiap siklus terdiri dari empat tahapan sebagaimana pendapat
Kemmis dan Mc Taggart di mana siklus dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengamatan
dan refleksi.
Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1 SMAN 1 Keumala yang
berjumlah 30 siswa. Proses analisis data dilakukan dengan melihat data yang diperoleh pada
instrumen penelitian. Siswa dikatakan merespon positif jika persentase siswa yang setuju (S)
dan sangat setuju (SS) untuk pernyataan positif dan jawaban Tidak Setuju (TS) dan Sangat
Tidak Setuju (STS) untuk pernyataan negatif lebih besar daripada persentase tidak setuju
(TS) dan sangat tidak setuju (STS) untuk penyataan positif dan jawaban Tidak Setuju (TS)
dan Sangat Tidak Setuju (TST) untuk pernyataan negatif. Respon siswa dan pengamatan
akan dijadikan sebagai bahan refleksi pada setiap siklus.
4.1 Hasil pengamatan, respon dan sikap siswa pada siklus pertama
Pada tahapan perencanaan peneliti memulai dengan membuat perancangan pengajaran yang
sesuai dengan metode dan materi yang akan digunakan seperti merancang RPP, LKS, serta
instrumen yang akan digunakan selama proses belajar mengajar berlangsung. Pada tahapan
kedua yaitu tahapan pelaksanaan, peneliti melakukan semua perencanaan yang telah di
rencanakan pada tahapan perencanaan dengan mengikuti alur yang telah digambarkan dalam
RPP selama proses belajar mengajar berlangsung. Proses berikutnya adalah pengamatan.
Hasil pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung menunjukkan kegiatan
pembelajaran masih didominasi oleh guru, di mana permasalahan tentang isu-isu lingkungan
masih banyak bersumber dari guru, di samping itu siswa masih belum terbiasa dengan model
pembelajaran yang coba diterapkan. Hasil respon siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran
dengan Pembelajaran Matematika Hijau pada siklus pertama menunjukkan bahwa 40%
siswa menunjukkan respon senang, 40% menunjukkan respon tidak senang, dan 20% tidak
memberikan respon. Untuk hasil sikap rasa cinta lingkungan pada siklus pertama ini terlihat
sikap posistif sudah mendominasi siswa di mana 55% siswa memiliki sikap positif terhadap
cinta lingkungan, namun masih ada 45% siswa yang masih memiliki sikap negatif terhadap
sikap cinta lingkungan.
Pada tahapan akhir dari siklus pertama ini peneliti melakukan refleksi. Hasil refleksi pada
siklus pertama ini adalah siswa masih belum terbiasa dengan model yang digunakan guru
dan siswa masih sangat miskin dengan kasus-kasus lingkungan hidup sehingga susah untuk
399
meningkatkan keaktifan siswa. Berdasarkan hasil refleksi tersebut peneliti meminta siswa
untuk lebih memperkaya diri dengan isu-isu lingkungan hidup sehingga memudahkan proses
pembelajaran pada siklus berikutnya, peneliti juga harus menerangkan kembali pada awal
pertemuan pada siklus berikutnya tentang maksud dari Pembelajaran Matematika Hijau,
sehingga diharapkan siswa tidak merasa aneh dengan pembelajaran yang dijalankan guru.
4.2 Hasil pengamatan, respon dan sikap siswa pada siklus kedua
Sama halnya dengan siklus pertama, pada siklus kedua ini peneliti juga memulai dengan
membuat perancangan di mana perancangan dalam siklus kedua ini memberi tumpuan pada
rekomendasi dari hasil refleksi pada siklus pertama. Pada siklus kedua ini peneliti kembali
memulai pelajaran dengan menjelaskan model yang akan digunakan selama proses belajar
mengajar berlangsung dan bagaimana yang dimaksud dengan Pembelajaran Matematika
Hijau, selebihnya pelaksanaan pada siklus kedua ini sama dengan pada siklus pertama.
Selama proes belajar mengajar berlangsung pada siklus kedua banyak perubahan yang
terjadi, antara lain permasalahan sebagai dasar pembelajaran dengan pendekatan PBL
muncul dari pengalaman siswa sendiri sehingga guru hanya mengarahkan contoh-contoh isu
yang lebih mengarah dengan topik peluang yang sedang dipelajari, siswa mulai antusias
dengan model yang diterapkan. Sebanyak 60% siswa aktif selama proses belajar mengajar
berlangsung, sehingga prinsip PMR bisa diterapkan sepenuhnya pada siklus kedua, di mana
guru hanya berfungsi sebagai pembimbing selama proses diskusi berlangsung. Dari lembaran
respon siswa ditunjukkan bahwa 80 % siswa merasa senang dengan Pembelajaran
Matematika Hijau sedang sisanya 20% masih merasa tidak senang dengan model yang coba
diterapkan guru. Hasil instrumen sikap cinta lingkungan menunjukkan pada siklus kedua
70% siswa memiliki sikap positif terhadap rasa cinta lingkungan, dan 30 % masi
menunjukkan sikap negatif.
Pada tahap kahir siklus kedua dilakukan refleksi di mana terdapat peningkatan keaktifan dan
sikap siswa terhadap lingkungan selama proses belajar mengajar matemtika dengan metode
Pembelajaran Matematika Hijau. Berdasarkan hasil pada siklus kedua, sikap cinta
lingkungan bisa dikembangkan dengan Pembelajaran Matematika Hijau. Hal ini sesuai
dengan pendapat (Kana Hidayati, dkk 2008) menyataan bahwa dengan mengaitkan isu
lingkungan dalam pembelajaran matematika maka akan mengembangkan sikap cinta
lingkungan di kalangan siswa.
5. Kesimpulan
Pengembangan sikap cinta lingkungan di kalangan siswa selama proses belajar melalui
model Pembelajaran Matematika Hijau mengalami peningkatan, dengan demikian dapat
dikatakan bahwa sikap cinta lingkungan siswa bisa dikembangkan melaui pembelajaran di
sekolah tidak semestinya dengan pelajaran khusus lingkungan hidup. Sehingga diharapkan
pembelajaran berbasis isu lingkungan bisa diterapkan pada semua tingkatan satuan
pendidikan dan semua mata pelajaran. Tujuan akhirnya adalah memunculkan sikap siswa
yang ramah dan peduli ligkungan hidup yang merupakan asset utama untuk kehidupan di
masa yang akan dating.
400
Daftar Pustaka
Kristianto , Arief. 2010. Seri Tanggap Bencana Alam banjir. Bandung: Angkasa
Taufiq, M., Inovasi Pendidikan melalui Problem Based Learning, Jakarta, Prenada Media Group.
Peter L. Schwartz, 2001. Problem Based Learning: case Studies, experience and practice. Kogan.
Allsopp, D. H, Kyger, M. M, dan Lovin, L. D. 2007. Teaching Mathematics Meaningfully : solution
for reaching struggling learners. Paul. H. Brookes Publishing. London
Armanto, D. 2002. Teaching multiplication and division realistically in Indonesian primary
schools: Aprototype of local instruction theory. Doctoral dissertation. The Netherlands,
Enschede: University of Twente.
De Lange, J. 1987. Mathematics Insight and Meaning. Utrecht: OW & CO.
Furner. J.M dan Kumar. D. D. 2007. The mathematics and science integration argument : a stand for
teacher education. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education. 3(3).
185 – 189.
Gravemeijer, K & Doorman, M. 1999. Context Problem In Realistic Mathematics Education: a
Calculus course as an Example. Educational Studies in Mathematics. Netherlands. Kluwer
Academic Publishers. 111-129
Gravemeijer, K. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Ultrecht: Freudenthal Institute.
Hadi, S. 2003. PMR: Menjadikan Pelajaran Matematik Lebih Bermakna Bagi Pelajar. Makalah
disampaikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematik “Perubahandi Paradigma dari
Paradigma Mengajar ke Paradigma Belajar,”Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 27 –
28.
Hayley B. 2004. Realistic mathematics education: Eliciting alternative mathematical conceptions of
learners. African Journal of Research in SMT Education. 8(1):53-64
Sembiring, R.K. Hadi, S & Dolk, M. (2008). Reforming Mathematics Learning in Indonesian
Classrooms. ZDM Mathematics Education. 40:927–939.
Smart. A. M. 2009. Introducing Angles in Grade Four:A Realistic Approach Based on the van Hiele
Model. Canadian Journal for New Scholars in Education. 2(1):1-20
Soedjadi. 2001 . Pembelajaran Matematika berjiwa RME (Suatu Pemikiran Rintisan Ke Arah
Upaya Baru). Makalah disajikan pada Seminar Nasional Realistics Mathematic Education
(RME) di UNESA Surabaya, Juni 2001.
Streefland, L. 1991. Realistic Mathematics Education In Primary School. Utreecht: Center for
Science and Mathematics Education, Netherlands.
Tuan.A. L. 2006. Applying Realistic Mathematics Education in Vietnam:Teaching middle school
geometry. Universität Potsdam Institut für Mathematik. Belanda. Tesis doctor. Tidak
dipublikasikan.
Wubbles, T. Korthagen, T & Broekman, H. (1997). Preparing Teachers For Realistics Mathematics
Education. Educational Studies in Mathematics. Kluwer Academic Publishers. Netherlands.
32: 1–28.
Zulkardi. 2002a. Developing a Learning Enviroment on Reaistic Mathematics Education for
Indonesia Studet Teachers. Thesis. University of Twente. Nederland
Swan, J. A. & Stapp, W.B. 1979. Enviroment education: strategic toward a more liveable future.
New York. John Wiley & Sons
Yusuf, M. 2000. Pendidikan Kependudukan & Etika Lingkungan. Yogyakarta. Lembaga Study dan
Inovasi Pendidikan.
401
Abstrak. Tulisan ini didasarkan pada fakta bahwa prestasi peserta didik Indonesia
dalam ajang International Mathematical Olympiad (IMO) sampai dengan tahun 2013
masih memprihatinkan. Hal ini berdasarkan fakta bahwa selama 25 kali keikutsertaan
dalam IMO, Indonesia hanya satu kali meraih medali emas, 8 medali perak, 31 medali
perunggu, dan 28 honourable mention (HM). Hal ini diperburuk dengan banyaknya
sekolah yang belum mengadakan pembinaan olimpiade matematika secara rutin dan
terprogram. Oleh karena itu, tujuan penulisan ini adalah: (1) memberi bekal kepada
peserta didik agar sukses dalam belajar olimpiade matematika, dan (2) memberi cara
alternatif bagi guru pembina tentang pembinaan terhadap olimpade matematika dengan
menggunakan metode diskusi kelompok kecil di SMA. Pada tulisan ini akan dibahas
bagaimana caranya agar peserta didik sukses belajar olimpiade matematika dan
bagaimana bentuk pembinaan guru pembina olimpade matematika. Dalam belajar
olimpiade matematika, peserta didik akan menemui soal-soal yang sulit dan tidak rutin,
maka guru pembina bisa menggunakan metode diskusi kelompok kecil agar peserta
didik tidak berpikir sendirian dan dapat bertukar pikiran dalam mengatasi setiap
permasalahan olimpiade matematika. Dengan terjadinya diskusi antara pembina dan
peserta didik serta antar peserta didik akan saling memperkaya ilmu dan akan saling
belajar. Penulis berpendapat bahwa dengan menggunakan metode diskusi kelompok
kecil maka akan terjadi peningkatan hasil belajar peserta didik pada olimpiade
matematika di SMA.
1. Pendahuluan
Dalam Peraturan Pemerintah No. 74 tahun 2009 tentang Guru, bahwa guru harus memiliki
kompetensi pedagogik yang salah satunya adalah kemampuan guru dalam pengembangan
peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. (Setneg RI,
2009). Dalam Permendiknas No. 39 tahun 2008 tentang Pembinaan Kesiswaan, antara lain
disebutkan bahwa pembinaan kesiswaan dilaksanakan melalui kegiatan ekstra kurikuler dan
kokurikuler. Pembinaan kesiswaan dapat berupa pembinaan prestasi akademik, seni,
dan/atau olahraga sesuai bakat dan minat, antar lain: a) mengadakan lomba mata
pelajaran/program keahlian, b) menyelenggarakan kegiatan ilmiah, c) membentuk klub
sains, seni dan olahraga. (Depdiknas, 2008a). Kegiatan ekstra kurikuler adalah kegiatan
pendidikan di luar mata pelajaran dan pelayanan konseling untuk membantu pengembangan
402
peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan
yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang
berkemampuan dan berkewenangan di sekolah/madrasah. (Depdiknas, 2006:13). Potensi
peserta didik yang perlu dikembangkan oleh sekolah antara lain membina peserta didik pada
kegiatan ekstra kurikuler, seperti klub sains olimpiade matematika.
Indonesia pertama kali mengikuti IMO pada tahun 1988 di Canberra, Australia. Prestasi
peserta didik Indonesia dalam ajang IMO sampai dengan tahun 2013 masih memprihatinkan.
Hal ini berdasarkan fakta bahwa selama 25 kali keikutsertaan dalam IMO, Indonesia hanya
satu kali meraih medali emas, 8 medali perak, 31 medali perunggu, dan 28 honourable
mention (HM) yaitu memperoleh nilai penuh untuk paling sedikit satu soal.
(http://www.imo-official.org/results.aspx, 2013). Kelemahan peserta Indonesia adalah
tidak mampu mengemukakan jawaban secara baik (sistematis, argumentatif, jelas), sekalipun
mereka dapat menemukan jawabannya. (Susanto, 2011).
Pada umumnya soal-soal OSN bidang Matematika SMA mengukur secara langsung tiga
aspek berikut: pemecahan masalah (problem solving), penalaran (reasoning), dan
komunikasi tertulis. Wajar bila soal-soal olimpiade matematika memiliki tingkat kesulitan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan soal-soal rutin dan soal-soal Ujian Nasional (UN).
Akibatnya, bukan hanya peserta didik yang mengalami kesulitan untuk menjawab soal
olimpiade matematika, tetapi guru pembinanya juga kadang-kadang mengalami kesulitan.
Hal ini diperburuk dengan banyaknya sekolah yang belum mengadakan pembinaan
olimpiade matematika secara rutin dan terprogram. Biasanya satu atau dua minggu
menjelang seleksi tingkat kabupaten baru diadakan pembinaan ala kadarnya. Bahkan yang
lebih parah lagi, sekolah tidak mengadakan pembinaan olimpiade matematika, sementara
pesera didik disuruh belajar sendiri. Akibatnya peluang menang bagi peserta didik dari
sekolah tersebut sangat kecil.
Sudah merupakan hal umum, bahwa suatu sekolah dianggap bermutu yang salah satu
indikatornya adalah keberhasilan peserta didiknya menjuarai berbagai lomba (termasuk
seleksi olimpiade matematika), baik di tingkat propinsi, nasional, bahkan internasional.
Keberhasilan peserta didik dalam menjuarai seleksi olimpiade matematika tentunya tidak
semudah membalik telapak tangan. Perlu perjuangan keras dan tekun dari guru pembina
dalam melatihnya, utamanya dari peserta didik, baik belajar memecahkan masalah
matematika di rumah maupun dalam latihan rutin di luar jam sekolah.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka diambil rumusan masalah sebagai berikut.
(1) Bagaimana caranya agar peserta didik sukses belajar olimpiade matematika?, (2)
Bagaimana bentuk pembinaan dari guru pembina terhadap olimpade matematika dengan
menggunakan metode diskusi kelompok kecil di SMA?
Sesuai dengan rumusan masalah, tulisan ini memiliki tujuan sebagai berikut.
(1) memberi bekal kepada peserta didik agar sukses dalam belajar olimpiade matematika,
dan (2) memberi cara alternatif bagi guru pembina tentang pembinaan terhadap olimpade
matematika dengan menggunakan metode diskusi kelompok kecil di SMA.
Tulisan ini diharapkan dapat bermanfaat terutama bagi: (1) peserta didik, agar sukses dalam
belajar olimpiade matematika, dan (2) guru pembina, agar mengetahui cara alternatif
403
2. Kajian Pustaka
Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional (pada waktu itu) secara rutin mulai
menyelenggarakan Olimpiade Sains Nasional (OSN) untuk jenjang SMA (sejak 2002) serta
untuk jenjang SD dan SMP (sejak 2003). (Wiworo, 2012). Olimpiade matematika jenjang
SMA meliputi: a) OSN bidang matematika yang diselenggarakan mulai dari tingkat sekolah
sampai dengan tingkat nasional, dan b) olimpiade matematika tingkat internasional:
International Mathematical Olympiad (IMO), Asian Pacific Mathematics Olympiad (APMO)
dan Southeast Asian Mathematics Olympiad (SEAMO).
Hamid Muhammad mengatakan bahwa Olimpiade Sains Nasional (OSN) adalah salah satu
bentuk wahana bagi peserta didik dan guru untuk mengaktualisasikan diri dalam mencintai
dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai wujud dari pencapaian prestasi
belajar mengajar di kelas. OSN juga sekaligus adalah wahana yang memadai bagi para
peserta didik dan guru untuk menumbuhkembangkan semangat berkompetisi dan tradisi
berprestasi baik di tingkat nasional maupun internasional sebagai cerminan dari jaminan
mutu proses pembangunan pendidikan yang selama ini dijalankan. (Kemdikbud, 2012:ii-iii)
Materi pokok OSN Matematika SMA (Kusnandi, 2012) seperti diuraikan di bawah ini.
a) Aljabar, meliputi: sistem bilangan real, ketaksamaan, sukubanyak, fungsi, sistem
koordinat bidang, barisan dan deret, persamaan dan sistem persamaan.
b) Geometri, meliputi: hubungan antara garis dan titik, hubungan antara garis dan garis,
bangun-bangun bidang datar, kesebangunan dan kongruen, segitiga, segiempat,
segibanyak beraturan, lingkaran, sifat-sifat segitiga, dalil Menelaus, dalil Ceva, dalil
Stewart, relasi lingkaran dengan titik, relasi lingkaran dengan garis, relasi lingkaran
dengan segitiga, relasi lingkaran dengan segiempat, relasi lingkaran dengan lingkaran,
garis-garis yang melalui satu titik (konkuren), titik-titik yang segaris (kolinier),
trigonometri, bangun-bangun ruang sederhana, garis istimewa (garis berat, garis bagi,
404
Metode diskusi adalah metode pembelajaran yang menghadapkan siswa pada suatu
permasalahan. Tujuan utama metode ini adalah untuk memecahkan suatu permasalahan,
menjawab pertanyaan, menambah dan memahami pengetahuan siswa, serta untuk membuat
suatu keputusan (Killen, 1998). Diskusi lebih bersifat bertukar pengalaman untuk
menentukan keputusan tertentu secara bersama-sama.
Pada metode diskusi bahan atau materi pembelajaran tidak diorganisir sebelumnya serta
tidak disajikan secara langsung kepada siswa, materi pembelajaran ditemukan dan
diorganisir oleh siswa sendiri, karena tujuan utama metode ini bukan hanya sekadar hasil
belajar, tetapi yang lebih penting adalah proses belajar. Terdapat bermacam-macam jenis
diskusi yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran, antara lain: a) diskusi kelas
(diskusi kelompok), b) diskusi kelompok kecil, c) simposium, dan d) diskusi panel. Diskusi
kelompok kecil dilakukan dengan membagi siswa dalam kelompok-kelompok. Jumlah
anggota kelompok antara 3-5 orang. Ada beberapa kelebihan metode diskusi, manakala
diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar, yaitu : (1) dapat merangsang siswa untuk lebih
kreatif, khususnya dalam memberikan gagasan dan ide-ide, (2) dapat melatih untuk
membiasakan diri bertukar pikiran dalam mengatasi setiap permasalahan, (3) dapat melatih
siswa untuk dapat mengemukakan pendapat atau gagasan secara verbal dan dapat
menghargai pendapat orang lain. (Depdiknas, 2008:18-22).
Berdasarkan uraian di atas, karena metode diskusi mempunyai banyak kelebihan, maka
dalam pembinaan olimpiade matematika dipilih menggunakan metode diskusi kelompok
kecil. Selain itu, dengan menggunakan metode diskusi kelompok kecil maka peserta didik
tidak berpikir sendirian dan dapat bertukar pikiran dalam mengatasi setiap permasalahan
olimpiade matematika. Wiworo (2004) juga menyatakan bahwa usahakan dalam pembinaan
terjadi diskusi antara siswa dan pembina mengenai materi yang sedang dibahas. Dengan
terjadinya diskusi sangat dimungkinkan antara pembina dan peserta pembinaan akan saling
memperkaya ilmu dan akan saling belajar. Oleh sebab itu, penulis berpendapat bahwa
dengan menggunakan metode diskusi kelompok kecil maka akan terjadi peningkatan hasil
belajar pada lomba matematika.
405
3. Pembahasan
Karena soal-soal OSN bidang Matematika SMA mengukur tiga aspek: pemecahan masalah
(problem solving), penalaran (reasoning), dan komunikasi tertulis, maka diperlukan strategi
tertentu untuk menyelesaikannya. Menurut Polya (dalam Setya Budhi, 2004:2) ada 4 langkah
yang perlu dilakukan dalam menyelesaikan soal, yaitu: (1) memahami soal yang ada, (2)
menyusun suatu strategi, (3) melakukan strategi yang telah dipilih, dan (4) melihat kembali
pekerjaan yang telah dilakukan. Selanjutnya, kalau perlu menyusun strategi baru yang lebih
baik atau menuliskan jawaban dengan lebih baik. Oleh karena itu, agar peserta didik sukses
dalam belajar olimpade matematika, maka diperlukan kiat-kiat khusus dalam belajar
olimpiade matematika.
a) Memahami konsep
Memahami konsep artinya mengerti makna setiap kata dalam soal. Bahkan seringkali
ditemui sebuah soal dalam pokok bahasan tertentu menuntut pemahaman konsep pada pokok
bahasan lainnya.
Peserta didik harus memiliki ketekunan, motivasi yang kuat, dan hati yang gembira dalam
mengerjakan soal olimpiade matematika. Walaupun menghadapi soal yang sulit, cara yang
baik adalah lakukan apa saja yang bisa kita kerjakan dngan hati gembira dan jangan cepat
menyerah.
Keberanian untuk mencoba dengan tanpa takut berbuat kesalahan merupakan langkah awal
keberhasilan menyelesaikan soal olimpiade. Kesalahan dapat diminimalisasi dengan
memahami setiap langkah yang dilakukan. Pada umumnya siswa tidak dapat menyelesaikan
suatu soal disebabkan kesulitan dalam memulai mengerjakan soal yang dihadapinya.
Kesulitan ini dapat di atasi dengan mengamati dengan seksama apa yang diberikan dan atau
apa yang ditanyakan dalam soal.
Dasar dari berpikir kreatif adalah menghubung-hubungkan antara yang diketahui dengan
yang ditanyakan. (Kusnandi, 2012), Sembiring (2002:43-48)
Peserta didik harus aktif bertanya ke guru matematika atau guru pembina dan harus mau
mencari materi olimpiade dari berbagai sumber belajar (buku-buku olimpiade matematika,
406
Transfer of learning yaitu kemampuan untuk mengembangkan hal-hal yang pernah dipelajari
untuk menghadapi situasi yang baru yang belum pernah dihadapi sebelumnya.
h) Mau belajar secara sungguh-sunguh dan diiringi dengan do’a yang ikhlas
Peribahasa Arab yang terkenal sampai ke ujung dunia dan patut kita tiru berbunyi ”man
jadda wajada” artinya siapa bersungguh-sungguh dia akan berhasil. Oleh karena itu, peserta
didik yang mau belajar secara sungguh-sunguh dengan diiringi dengan do‟a yang ikhlas
mudah-mudahan akan memetik keberhasilan menjadi juara olimpiade matematika.
Pada awal tahun pelajaran, Kepala Sekolah biasanya membuat Surat Keputusan (SK)
Pembagian Tugas, yang diantaranya meliputi kegiatan ekstrakurikuler Olimpiade
Matematika atau OSN bidang Matematika. Pembina olimpiade matematika sebaiknya guru
dengan kualifikasi ijazah minimal S1 pendidikan matematika atau matematika murni dan
berpengalaman mengajar matematika. minimal 5 tahun. Bila memungkinkan, sangatlah ideal
bila pembina olimpiade matematika diambil dari guru atau dosen matematika yang berijazah
minimal S2 pendidikan matematika atau matematika murni dan berpengalaman mengajar
matematika minimal 3 tahun.
Ada tiga tahap kegiatan yang harus dibuat oleh pembina olimpiade matematika, yaitu: 1)
membuat rencana kegiatan, 2) melaksanaan kegiatan, dan 3) membuat laporan kegiatan.
Berikuti ini contoh isi rencana kegiatan olimpiade matematika di SMA.
1) Jenis kegiatan : Olimpiade Matematika
2) Program kegiatan : (buatlah program semesternya)
3) Waktu kegiatan : (misalnya, setiap Sabtu, pukul 15.00 – 17.00)
4) Sasaran : Peserta didik kelas X dan XI
5) Rangkaian kegiatan : (berisi rincian kegiatan pembinaan pada setiap pertemuan)
6) Tempat kegiatan : Ruang Kelas X2
7) Peralatan yang digunakan : Buku-buku olimpiade matematika, buku-buku referensi
matematika, makalah/artikel dan kumpulan soal
matematika SMA
8) Pelaksana kegiatan : a. Pelaksana utama: Pembina Olimpiade Matematika
b. Pendamping : Guru matematika yang ditunjuk
9) Pengorganisasian kegiatan : Untuk seleksi olimpiade matematika tingkat sekolah
dapat dibentuk kepanitiaan tersendiri.
407
Sedangkan contoh isi pelaksanaan kegiatan olimpiade matematika di SMA dapat dibuat
seperti di bawah ini.
Guru pembina membawa buku-buku olimpiade matematika, modul pembinaan OSN bidang
Matematika, dan Daftar Hadir Peserta. Buat kelompok diskusi masing-masing
beranggotakan 3-5 orang. Guru pembina membuat peringkat nilai peserta berdasarkan hasil
dari rekrutmen peserta. Pembagian kelompok didasarkan pada prinsip keadilan dan
heterogin, baik dari segi kemampuan belajar maupun jenis kelamin. Misalnya, setiap
kelompok terdapat 2-3 anak pintar yang mempunyai nilai rata-rata di buku Laporan
Pendidikan SMP 85 dan nilai matematika UN SMP 8,5, serta pembagian jenis kelamin
diusahakan merata. Hal ini dilakukan agar setiap kelompok diskusi bisa ‟hidup‟ dan
seimbang. Dalam melaksanakan pembinaan latihan, setiap pertemuan direncanakan
memerlukan waktu 2 jam penuh.
408
Pada kegiatan ini, guru pembina: (a) mengecek kehadiran peserta didik, (b) menanyakan
hasil PR yang telah dibuat oleh peserta dan membahas soal-soal yang tidak bisa dijawab oleh
peserta didik, (c) memberikan motivasi dan apersepsi, dan (d) membuat kelompok-
kelompok diskusi kecil yang terdiri dari 3-5 orang.
Akhir dari proses pembelajaran dengan menggunakan metode diskusi kelompok kecil
hendaklah dilakuan hal-hal sebagai berikut:
i) Bersama-sama dengan peserta didik membuat kesimpulan.
ii) Mereview jalannya diskusi dengan meminta pendapat dari seluruh peserta sebagai
umpan balik untuk perbaikan selanjutnya.
iii) Guru pembina memberikan soal-soal untuk tugas PR.
Keterangan:
= nilai akhir RT = nilai rata-rata tugas/PR
RH = nilai rata-rata ulangan harian US = nilai ulangan seleksi tingkat sekolah
409
Seleksi tingkat provinsi dilakukan melalui tes tertulis sebanyak 20 soal isian singkat dan 5
soal uraian. Materi soal berupa masalah-masalah (problem solving) tingkat menengah. Soal
seleksi tingkat provinsi dibuat oleh panitia pusat dan dibuat sama untuk seluruh Indonesia.
Hal ini disebabkan untuk menjaring calon peserta OSN menggunakan sistem passing grade,
yaitu juara I untuk setiap provinsi (berapapun nilainya) akan langsung diundang mengikuti
OSN. Sedangkan peringkat II dan seterusnya untuk masing-masing provinsi, nilainya akan
diranking secara nasional dan akan diambil sekitar 50 siswa terbaik dari hasil ranking
nasional tersebut.
Seleksi OSN bidang studi matematika SMA tingkat nasional diadakan setiap bulan
September. Tes dilaksanakan dalam dua hari dengan rincian kegiatan sebagai berikut:
a. Hari I, setiap peserta menyelesaikan 4 soal uraian dalam waktu 180 menit
b. Hari II, setiap peserta menyelesaikan 4 soal uraian dalam waktu 180 menit
Materi soal untuk OSN berupa problem solving tingkat lanjut. Nilai maksimal untuk
setiap soal adalah 7 (disesuaikan dengan sistem penilaian di IMO). (Wiworo, 2009:8-9).
i) Evaluasi
Sebagai pertanggung jawaban terhadap sekolah, guru pembina wajib membuat laporan
kegiatan olimpiade matematika yang isinya meliputi: 1) jenis kegiatan, 2) waktu kegiatan, 3)
sasaran kegiatan, 4) tahap- tahap kegiatan, 5) hasil evaluasi: termasuk di dalamnya evaluasi
hasil dan proses kegiatan, 6) faktor penunjang dan pendukung, dan 7) rekomendasi. Laporan
kegiatan ini disampaikan kepada kepala sekolah dan pemangku kepentingan lainnya
(misalnya: pengawas pembina atau ketua komite sekolah).
410
1. Peserta didik agar sukses dalam belajar olimpade matematika, maka diperlukan kiat-kiat
khusus dalam belajar olimpiade matematika, yaitu: (1) memahami konsep, (2) memiliki
ketekunan, motivasi yang kuat, dan hati gembira, (3) memiliki keberanian untuk
mencoba, (4) berpikir secara kreatif, (5) aktif bertanya ke guru matematika atau guru
pembina dan mau mencari materi olimpiade dari berbagai sumber belajar, (6)
mempunyai kemampuan untuk transfer of learning (transfer belajar), (7) dapat berpikir
dan bekerja secara matematis (thinking and working mathematically), dan (8) mau
belajar secara sungguh-sunguh dan diiringi dengan do‟a yang ikhlas.
2. Bagi pembina olimpiade matematika, ada tiga tahap kegiatan yang harus dibuat, yaitu: (1)
membuat rencana kegiatan, (2) melaksanaan kegiatan, dan (3) membuat laporan kegiatan.
Dalam belajar olimpiade matematika, peserta didik akan menemui soal-soal yang sulit
dan tidak rutin, maka guru pembina bisa menggunakan metode diskusi kelompok kecil
agar peserta didik tidak berpikir sendirian dan dapat bertukar pikiran dalam mengatasi
setiap permasalahan olimpiade matematika. Dengan terjadinya diskusi antara pembina
dan peserta didik akan saling memperkaya ilmu dan akan saling belajar. Penulis
berpendapat bahwa dengan menggunakan metode diskusi kelompok kecil maka akan
terjadi peningkatan hasil belajar peserta didik pada olimpiade matematika di SMA.
1. Bagi peserta didik, diharapkan agar sukses dalam belajar olimpade matematika, maka
diperlukan kiat-kiat khusus dalam belajar olimpiade matematika di atas.
2. Bagi guru pembina olimpiade matematika, diharapkan melaksanakan tiga tahap kegiatan,
yaitu: (1) membuat rencana kegiatan, (2) melaksanaan kegiatan, dan (3) membuat laporan
kegiatan. Di samping itu, guru pembina diharapkan dapat menggunakan metode diskusi
kelompok kecil sebagai metode alternatif dalam pembinaan olimpiade matematika di SMA.
Daftar Pustaka
Depdiknas. 2006. Model Pengembangan Diri SD/MI/SDLB - SMP/MTs/SMPLB – SMA/MA/SMALB/
SMK. Jakarta: Puskur Balitbang.
. 2008a. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 39 Tahun 2008 tentang Pembinaan
Kesiswaan.
. 2008b. Strategi Pembelajaran dan Pemilihannya. Jakarta: Dit. Tendik Ditjen PMPTK.
Kemdikbud. 2012. Panduan Umum Olimpiade Sains Nasional XI SD, SMP, SMA, PKLK Dikdas, dan
PKLK Dikmen, dan Guru. Jakarta: Ditjen Dikmen.
Kusnandi. 2012. Pembinaan Olimpiade Matematika untuk Guru SMA/MA di Kabupaten Sungai Liat
Provinsi Bangka Belitung (online).
Setneg RI. 2009. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 74 tahun 2009 tentang Guru.
Sembiring, Suah. 2002. Olimpiade Matematika untuk SMU. Bandung: Yrama Widya.
Setya Budhi, Wono. 2004. Langkah Awal Menuju ke Olimpiade Matematika. Jakarta: Ricardo.
411
Taufik, Nur Isnaini. 2002. Membina Lomba Cepat Tepat di Sekolah. Majalah Suara Guru, 6 (LII),
40-41.
Wiworo. 2004. Metode Pembinaan untuk Menghadapi Olimpiade Matematika SMP. Buletin LIMAS.
Yogyakarta: PPPPTK Matematika.
. 2009. OSN Matematika SMA. Yogyakarta: PPPPTK Matematika.
. 2012. Seri Menjadi Juara Olimpiade Matematika (I). Tersedia dalam
http://olimpiade.p4tkmatematika.org/?p=43 (online).
www.imo-official.org/results.aspx. 2013. Results - International Mathematical Olympiad (online).
412
1. Pendahuluan
Menurut pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP), perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran,
materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar dan penilaian hasil belajar. Dengan demikian
setelah silabus dibuat, maka guru harus menjabarkannya secara lebih teknis ke dalam RPP.
Silabus dan RPP harus sejalan. Pada Permendiknas nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar
Proses dimuat komponen dan prinsip penyusunan RPP. Oleh karena itu pembuatan RPP
harus sesuai dengan Standar Proses itu.
413
Dalam pelaksanaannya, pengembangan silabus dan RPP dapat dilakukan oleh guru secara
mandiri atau berkelompok dalam sebuah sekolah atau beberapa sekolah, kelompok
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan Dinas Pendidikan. Berdasarkan temuan di
sekolah, ternyata: (1) banyak guru yang hanya mengcopy/menyalin silabus dari Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan mengcopy/menyalin RPP dari guru lain atau
mengunduh dari internet, (2) pengelolaan pengajaran oleh guru tidak terencana dengan baik,
dan (3) proses pembelajaran bersifat konvensional dan dan berpusat pada guru, (4) terkesan
guru hanya menggugurkan kewajiban, dan (5) guru kurang kreatif dan kurang inovatif.
Dari masalah di atas, salah satunya berakibat pada rendahnya nilai matematika peserta didik,
terutama nilai raport. Karena di SD nilai UASBN tidak berpengaruh pada kelulusan, maka
peneliti menganggap nilai peserta didik masih murni. Sebagai contoh, pada tahun pelajaran
2007/2008 nilai rata-rata UASBN Matematika SD di Kabupaten Ogan Komering Ulu hanya
sebesar 5,72, sedangkan pada tahun pelajaran 2008/2009 naik sedikit menjadi 5,85 yang
masuk dalam kategori cukup. (Depdiknas, 2009:121). Kondisi tersebut sangat
memprihatinkan sehingga perlu dicari jalan keluarnya. Keberhasilan kegiatan pembelajaran
tergantung dari beberapa hal, antara lain keadaan siswa, kemampuan guru dalam mengajar,
sarana dan prasarana, dan sebagainya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
kemampuan guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran sangat bervariasi,
kompetensinya belum merata, dan kualifikasi pendidikannya pun beraneka ragam. Dalam
melaksanakan kurikulum guru masih sering mengalami kesulitan karena kurangnya
pengetahuan guru tentang kurikulum itu sendiri serta karena beratnya beban tugas lain selain
mengajar. Untuk melaksanakan kurikulum, guru harus membuat perencanaan yang meliputi:
program tahunan, program semester, dan RPP.
Agar guru dapat menyusun RPP dan melaksanakannya di kelas, maka guru dituntut memiliki
kemampuan untuk itu. Pengembangan keprofesionalan guru perlu dilakukan dalam bentuk
peningkatan kemampuan mereka dalam bidang pengelolaan proses pembelajaran,
pemanfaatan sumber belajar yang dapat dilakukan melalui pendidikan profesi, pelatihan,
workshop, seminar, kegiatan ilmiah, MGMP, dan supervisi. Pada penelitian ini, penulis
mengadakan observasi kelas dan pertemuan individual terhadap guru-guru binaan
matematika. Peneliti dan guru bersama-sama, bersepakat untuk menetapkan struktur, proses
percakapan terhadap masalah yang dihadapi guru, terutama dalam menyusun RPP dan
implementasinya di kelas. Oleh karena itu, penulis berkeyakinan bahwa dengan mengadakan
supervisi individual dengan pendekatan kolaboratif terhadap guru matematika pada SMA
binaan di Baturaja dapat meningkatkan kemampuan guru matematika dalam menyusun RPP
dan implementasinya di kelas, sehingga kualitas pendidikan menjadi meningkat.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka diambil rumusan masalah sebagai berikut:
”Bagaimanakah cara meningkatkan kemampuan guru matematika dalam menyusun RPP dan
implementasinya di kelas melalui supervisi individual pendekatan kolaboratif pada SMA
binaan di Baturaja?” Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan guru matematika dalam menyusun RPP dan implementasinya di
kelas melalui supervisi individual pendekatan kolaboratif pada SMA binaan di Baturaja.
414
2. Kajian Pustaka
Kemampuan guru adalah seperangkat pengetahuan guru meliputi administrasi pendidikan
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi
profesional dalam rangka melaksanakan proses pembelajaran di kelas/sekolahnya.
(Depdiknas, 2007a).
Supervisi adalah kegiatan profesional yang dilakukan oleh pengawas sekolah dalam rangka
membantu kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan lainnya guna meningkatkan mutu
dan efektifitas penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran. (Kemdikbud, 2012:4).
Supervisi individual adalah pelaksanaan supervisi yang diberikan kepada guru tertentu yang
mempunyai masalah khusus dan bersifat perorangan. (Depdiknas, 2008:22-23). Supervisi
individual yang dipakai meliputi: observasi kelas dan pertemuan individual.
Pendekatan kolaboratif adalah cara pendekatan yang memadukan cara pendekatan direktif
(langsung) dan non-direktif (tidak langsung) menjadi pendekatan baru. Pada pendekatan ini
baik supervisor maupun guru bersama-sama, bersepakat untuk menetapkan struktur, proses
percakapan terhadap masalah yang dihadapi guru. Perilaku supervisor adalah sebagai
berikut: menyajikan, menjelaskan, mendengarkan, memecahkan masalah, dan negosiasi.
(Sahertian dalam Kemdikbud, 2012:13-14).
3. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan metode deskriptif, menggunakan
teknik persentase untuk melihat peningkatan yang terjadi dari siklus ke siklus. Subjek
penelitian tindakan sekolah (PTS) ini adalah guru matematika pada SMA binaan yang
berjumlah 6 orang. Tempat penelitian di SMA Negeri 3 OKU, SMA Negeri 5 OKU, dan
SMA Sentosa Bhakti Baturaja. Penelitian ini berlangsung selama tiga bulan, yaitu bulan Juli
s.d. September 2012.
Dengan metode ini peneliti berupaya menjelaskan data yang peneliti kumpulkan melalui
komunikasi langsung atau wawancara, pengamatan, dan diskusi yang berupa persentase
atau angka-angka. Analisis data dilakukan sejak awal, artinya analisis data dilakukan tahap
demi tahap atau siklus demi siklus.
415
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara, observasi, dan diskusi.
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini sebagai berikut.
a) membuat rangkuman/simpulan,
b) melakukan penilaian atau refleksi,
c) memberikan umpan balik terhadap proses hasil belajar,
d) memberi tugas PR, dan
e) menyampaikan rencana pembelajaran berikutnya.
Rata-rata indikator pencapaian hasil guru mengimplementasikan RPP di kelas
(Sumber: Buku Kerja Pengawas Sekolah)
Untuk menganalisis ketercapaian indikator pencapaian hasil, baik dari segi pembuatan
komponen RPP maupun dari segi implementasi RPP di kelas, yang dikonversikan ke dalam
bentuk data kualitatif digunakan ketentuan seperti pada tabel 3 berikut.
Peneliti mengharapkan rata-rata indikator pencapaian hasil guru membuat semua komponen
RPP ≥ 86%. Begitu juga peneliti mengharapkan rata-rata indikator pencapaian hasil guru
menerapkan RPP dalam proses pembelajaran ≥ 86%.
Peneliti yang juga sebagai pengawas akademik matematika di SMA Negeri 3 OKU, SMA
Negeri 5 OKU, dan SMA Sentosa Bhakti Baturaja telah melakukan wawancara dan
pengamatan terhadap 6 orang guru sebagai subjek penelitian pada minggu keempat Juli
2012.Hasil wawancara dan pengamatan dapat dilihat pada tabel 4.
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata indikator pencapaian hasil guru membuat semua
komponen RPP hanya sebesar 80,30%. Ini berarti target rata-rata indikator pencapaian hasil
guru membuat semua komponen RPP sebesar 86 % belum tercapai. Sedangkan rata-rata
indikator pencapaian hasil guru mengimplementasikan RPP di kelas hanya sebesar 75,55%.
417
Ini berarti target rata-rata indikator pencapaian hasil guru mengimplementasikan RPP di
kelas sebesar 86% belum tercapai.
Siklus 1
a. Perencanaan
b. Pelaksanaan
Tahap ini dilaksanakan pada minggu kedua Agustus 2012. Peneliti melaksanakan
tindakan yang berikut ini.
a) Mengisi instrumen wawancara terhadap guru.
b) Mengadakan pengamatan terhadap RPP yang telah dibuat guru
c) Menjelaskan kepada guru tentang menyusun RPP yang lengkap.
d) Memberi kesempatan kepada guru untuk mengemukakan kesulitan atau hambatan
dalam menyusun RPP, dan memberikan jalan keluarnya.
e) Melakukan revisi atau perbaikan terhadap RPP yang yang dibuat guru.
f) Memberikan bimbingan melalui supervisi individual pendekatan kolaboratif
dalam pengembangan RPP yang lengkap.
g) Mengisi instrumen penilaian RPP buatan guru.
h) Membuat rekapitulasi hasil penyusunan RPP buatan.
c. Pengamatan
Pada siklus I ini, dari hasil pengamatan terhadap RPP buatan guru, ternyata semua guru (6
orang) yang diteliti sudah membuat RPP. Ada 4 orang yang RPP-nya mengandung
komponen RPP yang lengkap.
Pada pertemuan berikutnya, peneliti dan guru yang ditunjuk sebagai supervisor mengadakan
supervisi kegiatan pembelajaran untuk mengamati terhadap penerapan RPP pada proses
pembelajaran di kelas, diawali dengan:(1) memberikan keterangan singkat tentang maksud
kunjungan kelas, (2) duduk di bagian belakang dan memperhatikan, (3) sesekali berjalan
mengelilingi kelas dan melihat apa yang dikerjakan siswa, (4) mencatat dan mengamati
proses pembelajaran, di mana peneliti berkolaborasi dengan guru lain sebagai supervisor,
dan (5) memberikan kesan dan pesan pada akhir pembelajaran di kelas.
418
Pada siklus I ini, dari hasil pengamatan terhadap RPP buatan guru dan implementasinya
di kelas didapat hasil seperti pada tabel 5 berikut ini.
Dari siklus I ini, didapat rata-rata indikator pencapaian hasil guru membuat semua
komponen RPP hanya sebesar 84,09%. Ini berarti target rata-rata indikator pencapaian
hasil guru membuat semua komponen RPP sebesar 86% belum tercapai. Sedangkan rata-
rata indikator pencapaian hasil guru menerapkan RPP dalam proses pembelajaran hanya
sebesar 76,78%. Ini berarti target rata-rata indikator pencapaian hasil guru menerapkan
RPP dalam proses pembelajaran sebesar 86% belum tercapai.
Secara umum yang direncanakan guru dalam RPP belum sepenuhnya dilaksanakan di
kelas.
Melihat dari refleksi hasil pengamatan terhadap RPP buatan guru dan penerapan RPP
dalam proses pembelajaran di kelas, maka peneliti:
a) membuat analisis menyeluruh pada data yang ada untuk menafsirkan hasil
pengamatan,
b) mengidentifikasi perilaku pembelajaran yang positif, yang harus dipelihara dan
perilaku negatif yang harus diubah, agar dapat menyelesaikan /menanggulangi
masalah,
c) menunjukkan data yang telah dianalisis pada guru yang diobservasi,
d) memberikan umpan balik sedemikian rupa sehingga guru dapat memahami temuan,
mengubah perilaku yang teridentifikasi dan mempraktekkan panduan yang
419
Siklus II
a. Perencanaan
b. Pelaksanaan
Tahap ini dilaksanakan pada minggu ketiga Agustus 2012. Peneliti melaksanakan
tindakan yang berikut ini.
a) Mengadakan pengamatan terhadap RPP yang telah dibuat guru
b) Memberi kesempatan kepada guru untuk mengemukakan kesulitan atau hambatan
dalam menyusun RPP, dan memberikan jalan keluarnya.
c) Melakukan revisi atau perbaikan terhadap RPP yang yang dibuat guru.
d) Memberikan bimbingan melalui supervisi individual pendekatan kolaboratif
dalam pengembangan RPP yang lengkap.
e) Mengisi instrumen penilaian RPP buatan guru.
f) Membuat rekapitulasi hasil penyusunan RPP buatan.
c. Pengamatan
Pada siklus II ini, dari hasil pengamatan terhadap RPP buatan guru, ternyata semua guru
(6 orang) yang diteliti sudah membuat RPP. Semua guru RPP-nya sudah mengandung
komponen RPP yang lengkap. Pada pertemuan berikutnya, peneliti dan guru yang
ditunjuk sebagai supervisor mengadakan supervisi kegiatan pembelajaran untuk
mengamati terhadap penerapan RPP pada proses pembelajaran di kelas.
Pada siklus II ini, dari hasil pengamatan terhadap RPP buatan guru dan implementasinya
di kelas didapat hasil seperti pada tabel 6 berikut ini.
Dari tabel 6 didapat rata-rata indikator pencapaian hasil guru membuat semua komponen
RPP sebesar 91, 19%. Ini berarti target rata-rata indikator pencapaian hasil guru
membuat semua komponen RPP sebesar 86% sudah tercapai. Sedangkan rata-rata
indikator pencapaian hasil guru mengimplementasikan RPP di kelas sebesar 88,47%. Ini
berarti target rata-rata indikator pencapaian hasil guru mengimplementasikan RPP di
kelas sebesar 86% sudah tercapai.
Secara umum yang direncanakan guru dalam RPP sudah sepenuhnya dilaksanakan di
kelas. Hasil refleksi dari pelaksanaan pembelajaran di kelas sebagai berikut:
b) Pada pelaksanakan kegiatan inti pembelajaran, ternyata guru sudah ada yang
melakukan kegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi, dan hasilnya cukup baik.
Melihat dari refleksi hasil pengamatan terhadap RPP buatan guru dan penerapan RPP
dalam proses pembelajaran di kelas, maka peneliti:
a) membuat analisis yang menyeluruh/komprehensif pada data yang ada untuk
menafsirkan hasil pengamatannya,
b) mengidentifikasi perilaku pembelajaran yang positif, yang harus dipelihara dan
perilaku negatif yang harus diubah, agar dapat menyelesaikan /menanggulangi
masalah,
c) menunjukkan data yang telah dianalisis pada guru yang diobservasi, dan
d) memberikan umpan balik sedemikian rupa sehingga guru dapat memahami
temuan, mengubah perilaku yang teridentifikasi dan mempraktekkan panduan yang
diberikan,
e) memberikan bimbingan melalui supervisi individual pendekatan kolaboratif
dalam mempersiapkan RPP pada pertemuan yang akan datang.
4.2 Pembahasan
Berdasarkan dari hasil pengamatan terhadap RPP buatan guru, ternyata terjadi kenaikan yang
signifikan dari kondisi awal, siklus I, dan siklus II yang dapat dilihat dari tabel 7.
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap guru dari segi implementasi RPP di kelas, ternyata
terjadi kenaikan yang signifikan dari kondisi awal, siklus I, dan siklus II yang dapat dilihat
dari tabel 8.
100
90
80
% Kemampuan Guru Matematika
70
60
Kondisi Awal
50
Siklus I
40
30 Siklus II
20
10
0
Kategori 1 Kategori 2
Keterangan:
Kategori 1 = Nilai rata-rata indikator pencapaian hasil guru membuat
semua komponen RPP.
Kategori 2 = Nilai rata-rata indikator pencapaian hasil guru mengimplemen-
tasikan RPP di kelas.
423
Dari hasil penelitian di atas diperoleh temuan bahwa: (1) perencanakan guru dalam RPP
sebagian besar sudah dilaksanakan di kelas, (2) pembagian kelompok belum didasarkan
pada prinsip keadilan dan heterogin, baik dari segi kemampuan belajar maupun jenis
kelamin, (3) apersepsi sebelum menerangkan materi baru kurang berkaitan dengan materi
baru, (4) kurang adanya motivasi terhadap siswa, (5) pengorganisasian kelas masih kurang.
1. Berdasarkan analisa peneliti dari segi pembuatan komponen RPP didapat rata-rata
indikator pencapaian hasil pada siklus II sebesar 91,19%, Ini berarti target rata-rata
indikator pencapaian hasil sebesar 86 % guru membuat semua komponen RPP sudah
tercapai. Selain itu, dari segi implementasi RPP di kelas didapat rata-rata indikator
pencapaian hasil pada siklus II sebesar 88,47%. Ini berarti target rata-rata indikator
pencapaian hasil sebesar 86% guru mengimplementasikan RPP di kelas sudah tercapai.
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka disarankan: (1) pengawas
sekolah agar menggunakan supervisi individual dengan pendekatan kolaboratif dalam
pembinaan guru matemátika dan pembinaan terhadap guru mata pelajaran yang lain, (2)
guru matematika agar dapat menggunakan penelitian ini untuk meningkatkan
kemampuannya dalam menyusun RPP dan implementasinya di kelas, dan (3) kepala sekolah
agar dapat menggunakannya sebagai masukan untuk bahan pembinaan terhadap guru.
Daftar Pustaka
Depdiknas. 2007a. Permendiknas RI No. 16 Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru.
_______. 2007b. Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses.
_______. 2008. Metode dan Teknik Supervisi. Jakarta: Dit. Tendik Ditjend. PMPTK.
_______. 2009. Potret Hasil Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional Tahun Pelajaran
2008/2009.Jakarta: Dit. Pembinaan TK dan SD.
Kemdikbud. 2012. Supervisi Akademik. Jakarta: Pusbangtendik Badan PSDMP dan PMP.
Sujana, Rahmat, Lestari dkk. 2011. Buku Kerja Pengawas Sekolah. Jakarta: Pusbangtendik Badan
PSDMP dan PMP Kemdikbud.
Supinah. 2008. Penyusunan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Matematika SD
dalam Rangka Pengembangan KTSP. Yogyakarta: PPPPTK Matematika.
424
PEMBELAJARAN MATEMATIKA
BERBANTUAN ALAT PERAGA TRIGON-NR
UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR
DAN RESPON SISWA
PADA MATERI TRIGONOMETRI KELAS X
DI SMA N 1 JATIBARANG
Nur Rokhman
SMAN 1 Jatibarang, Brebes; n03rmath@yahoo.co.id
Abstrak. Penelitian bertujuan meningkatkan hasil belajar dan respon siswa berbantuan
alat peraga Trigon-NR di kelas X.2. Pengumpulan data melalui tes, lembar observasi
dan angket. Analisis data menggunakan deskriptif komparatif. Diperoleh hasil
penelitian terhadap hasil belajar dengan rerata tiap siklus sebesar 65,45; 70,84; dan
78.45. Ketuntasan belajar tiap siklus sebesar 54,84%; 74,19%; dan 90,32%. Respon
siswa pada kategori tinggi dengan rerata tiap siklus sebesar 60,90%; 72,03%; dan
79.85%. Pembelajaran berbatuan alat peraga Trigon-NR merupakan strategi
pembelajaran baru yang tepat, efektif dan efisien.
Kata Kunci. Alat peraga Trigon-NR, Hasil belajar, Respon siswa, Trigonometri
1. Pendahuluan
Pemahaman peserta didik yang kurang sempurna terhadap konsep-konsep dasar matematika
pada akhirnya akan menghambat pendalaman dan penguasaan materi selanjutnya.
Pembelajaran matematika selama ini kurang menekankan pada melatih siswa mengkontruksi
pengetahuan sendiri dan berpikir kreatif (Khabibah.S, 2005). Pada pembelajaran matematika
kekinian ada lima perubahan yang harus dilakukan, yaitu: a. Peran siswa harus diubah, dari
penerima yang pasif menjadi pelaku yang aktif. b. Peran guru harus berubah, dari pengajar
yang aktif menjadi fasilitator. c. Kondisi belajar harus berubah dari situasi yang tegang
menjadi situasi yang sedapat mungkin menyenangkan. d. Suasana yang santun, terbuka dan
komunikatif dapat menimbulkan suasana belajar yang menyenangkan. e. Karena matematika
itu abstrak namun penting dan sangat berguna dalam kehidupan nyata, siswa harus dapat
melihat makna matematika dalam pembelajaran (Marpaung. Y, 2004). Siswa akan tertarik
untuk mempelajari materi trigonometri karena dia melihat apa yang dipelajari itu nanti dapat
membantunya mengatasi masalah hidupnya.
Salah satu kesulitan yang paling banyak dialami peserta didik pada matematika adalah pada
materi trigonometri dengan kompetensi dasar untuk menentukan nilai perbandingan dan
grafik fungsi trigonometri beserta fungsi inversnya. Dibuktikan dengan diperolehnya nilai
rata-rata hasil ulangan sebesar 47,8. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik belum
menguasai kompetensi tersebut.
425
Untuk itu perlu upaya konkret untuk mencari strategi pembelajaran yang banyak memberi
kesempatan peserta didik untuk mendalami materi dan mendorong berfikir kreatif.
Pembelajaran matematika yang akan dirancang dalam penelitian ini adalah pembelajaran
dengan berbantuan alat peraga sebagai hasil inovasi yang diberi nama Trigon-NR.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah yaitu: apakah
pembelajaran matematika berbantuan alat peraga trigon-NR dapat meningkatkan hasil
belajar dan bagaimanakah respon peserta didik terhadap pembelajaran matematika
berbantuan alat peraga Trigon-NR. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan
hasil belajar matematika melalui pembelajaran berbantuan alat peraga Trigon-NR dan
mengetahui respon peserta didik terhadap pembelajaran berbantuan alat peraga Trigon-NR.
2. Tinjauan Pustaka
Model pembelajaran mengikuti kaidah pedagogik secara umum, yaitu pembelajaran diawali
dari konkret ke abstrak, dari sederhana ke kompleks, dan dari mudah ke sulit, dengan
menggunakan berbagai sumber belajar. Belajar akan bermakna bagi siswa apabila mereka
aktif dengan berbagai cara untuk mengkonstruksi atau membangun sendiri pengetahuannya.
Dengan demikian, suatu rumus, konsep, atau prinsip dalam matematika, seyogyanya
ditemukan kembali oleh si pebelajar di bawah bimbingan guru. Pembelajaran yang
mengkondisikan siswa untuk menemukan kembali membuat mereka terbiasa melakukan
penyelidikan dan menemukan sesuatu (Depdiknas, 2005).
Pendekatan keterampilan proses pada hakikatnya adalah suatu pengelolaan kegiatan belajar-
mengajar yang berfokus pada pelibatan siswa secara aktif dan kreatif dalam proses
pemerolehan hasil belajar. Dalam pembelajaran matematikapun, pendekatan keterampilan
proses ini sangat cocok digunakan. Struktur matematika yang berpola deduktif kadang-
kadang memerlukan proses kreatif yang induktif. Untuk sampai pada suatu kesimpulan,
kadang-kadang dapat digunakan pengamatan, pengukuran, intuisi, imajinasi, penerkaan,
observasi, induksi bahkan mungkin dengan mencoba-coba. Pemikiran yang demikian
bukanlah kontradiksi, karena banyak objek matematika yang dikembangkan secara intuitif
atau induktif.
426
Pendekatan keterampilan proses akan efektif jika sesuai dengan kesiapan intelektual. Oleh
karena itu, pendekatan keterampilan proses harus tersusun menurut urutan yang logis sesuai
dengan tingkat kemampuan dan pengalaman peserta didik. Misalnya sebelum melaksanakan
penelitian, peserta didik terlebih dahulu harus mengobservasi atau mengamati dan membuat
hipotesis. Alasannya tentulah sederhana, yaitu agar peserta didik dapat menciptakan kembali
konsep-konsep yang ada dalam pikiran dan mampu mengorganisasikannya. Dengan
demikian, keberhasilan anak dalam belajar matematika menggunakan pendekatan
keterampilan proses adalah suatu perubahan tingkah laku dari seorang anak yang belum
paham terhadap permasalahan matematika yang sedang dipelajari sehingga menjadi paham
dan mengerti permasalahannya.
1) siswa terlibat langsung dengan objek nyata sehingga dapat mempermudah pemahaman
siswa terhadap materi pelajaran,
2) siswa menemukan sendiri konsep-konsep yang dipelajari,
3) melatih siswa untuk berpikir lebih kritis,
4) melatih siswa untuk bertanya dan terlibat lebih aktif dalam pembelajaran,
5) mendorong siswa untuk menemukan konsep-konsep baru,
6) memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar menggunakan metode ilmiah.
Media diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan untuk proses komunikasi dengan
siswa agar siswa belajar. Komunikasi dan siswa yang belajar (learners) merupakan dua
aspek yang pokok. Alat peraga sebagai media atau pelengkap yang digunakan untuk
membantu guru mengajar (Aderson. R.H, 1987). Media atau alat peraga sebagai alat bantu
pembelajaran matematika untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Lebih
khusus alat peraga adalah benda-benda konkret yang merupakan model dari ide-ide
matematika dan benda konkret untuk penerapan matematika (Tim Instruktur PKG, 1988).
Media atau alat peraga pembelajaran adalah alat-alat yang digunakan guru dalam
pembelajaran untuk membantu memperjelas materi pelajaran dan mencegah terjadinya
verbalisme pada diri siswa. Pembelajaran yang menggunakan banyak verbalisme akan
membosankan siswa; sebaliknya pembelajaran akan lebih menarik bila siswa gembira belajar
atau senang karena mereka merasa tertarik dan mengerti apa yang dipelajarinya (Usman. M.
U, 2002). Segala sesuatu yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong proses-proses belajar
dapat dikategorikan sebagai media (Priyono. A, 2002).
Alat peraga matematika adalah sebuah atau seperangkat benda kongkret yang dibuat,
dirancang, dihimpun atau disusun secara sengaja, yang digunakan untuk membantu
menanamkan atau mengembangkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam matematika.
Sementara Briggs (Sugiarto dan I. Hidayah, 2005) mengatakan bahwa media pengajaran
meliputi objek (benda nyata), model, suara langsung, rekaman radio, pembelajaran
terprogram, televisi, dan slide. Secara garis besar media pembelajaran dapat diidentifikasikan
427
sebagai berikut (a) media objek fisik (model, alat peraga), (b) media grafis/ visual (poster,
chart, kartu dll), (c) media proyeksi, (d) media audio, (d) media audio-visual.
Tujuan pemanfaatan media adalah untuk menciptakan komunikasi yang baik diantara guru
dan siswa. Prinsip pemanfaatan media adalah “ the right aid at the right time in the right
place in the right manner”, merupakan kunci pemanfaatan media yang dapat meningkatkan
kualitas komunikasi guru–siswa yang pada akhirnya meningkatkan efektivitas pembelajaran.
Sebaliknya pemanfaatan yang kurang tepat sering kali mengganggu komunikasi dan
mengurangi efektivitas pembelajaran. Pemanfaatan media di kelas untuk meningkatkan mutu
komunikasi guru-siswa sehingga proses pembelajaran berjalan sesuai yang diharapkan
(efektif).
Alat peraga dapat menanamkan konsep dasar dengan benar, konkret, dan realistis
(Ruseffendi, 2009). Pembelajaran matematika dengan menggunakan alat peraga selain akan
membuat siswa mudah memahami materi yang dipelajari, juga akan meningkatkan kadar
aktivitas siswa, pembelajaran menjadi aktif dan menyenangkan. Dalam model Learning
Revolution (Dryden, G. and J. Vos, 1999) dikatakan bahwa bagi kebanyakan orang, belajar
akan sangat efektif jika dilakukan dalam suasana yang menyenangkan sehingga informasi
yang kompleks sekalipun dapat diserap dan diingat dengan mudah jika siswa benar-benar
terlibat dalam proses pembelajaran. Pembelajaran dengan memanfaatkan media/alat peraga
hendaknya memperhatikan syarat umum suatu alat peraga, yakni (a) tahan lama, (b) bentuk
dan warna menarik, (c) dapat menyajikan dan memperjelas konsep, (d) ukuran sesuai dengan
kondisi fisik siswa, (e) visibel, (f) tidak membahayakan siswa, (g) mudah disimpan saat tidak
digunakan, (h) perlunya unsur interaktif agar pembelajaran menjadi bermakna.
Agar pemanfaatan atau penggunaan media/alat peraga dalam pembelajaran efektif, maka
strategi pemberdayaannya harus memperhatikan kesesuaian media/ alat peraga dengan:
428
1) Tujuan pembelajaran,
2) materi pelajaran,
3) strategi pembelajaran (metode, pendekatan),
4) kondisi: waktu, ruang kelas, banyak siswa,
5) kebutuhan siswa.
Perlu diingat bahwa tidak selalu pembelajaran dengan memanfaatkan media/alat peraga
memberikan hasil yang lebik cepat, lebih meningkat, lebih menarik, dan sebagainya.
Kadang-kadang justru sebaliknya dan bahkan ada kemungkinan menyebabkan kegagalan
siswa dalam pembelajaran. Kegagalan didalam pemanfaatan alat peraga nampak pada
generalisasi konsep abstrak dari representasi hal konkret tidak tercapai, alat yang digunakan
sekedar sajian tidak bermakna dan tidak menunjang konsep, disajikan pada saat yang tidak
tepat, memboroskan waktu, digunakan pada siswa yang sebenarnya tidak membutuhkan,
tidak menarik bahkan mempersulit pemahaman konsep.
1) Penggaris
2) Jangka (paser)
3) Busur derajat 360°
4) Pulpen atau pensil.
5) Pisau / cutter.
6) Sedotan minuman atau isi ballpoint bekas.
7) Kardus bekas atau triplek.
8) Jarum pentul atau paku kecil.
9) Kawat rem sepeda bekas.
1) Ambil kertas milimeterblok ukuran 40×60 dan tempelkan pada selembar triplek atau
kardus.
2) Buatlah garis mendatar di tengah kertas milimeterblok tersebut. Garis mendatar ini
selanjutnya merupakan sumbu-x.
3) Kemudian buatlah titik-titik pada garis tadi dan berilah angka dari 0 sampai 360.
4) Pada titik 0, 90, 180, dan 360 buatlah garis tegak lurus. Garis tegak lurus yang melalui
titik 0 dan 360 selanjutnya merupakan sumbu-y.
5) Kemudian pasanglah busur derajat yang berukuran 360° menyinggung pada titik 0 dan
titik 360.
6) Pasanglah sedotan minuman pada pusat busur derajat yang berukuran 360° dimana
panjang sedotan minuman sama dengan diameter busur derajat tadi.
7) Kemudian talikan benang pada kedua ujung sedotan tadi sehingga kedua benang
digerakkan selalu sejajar.
429
8) Tulislah angka 1 dan angka 1 pada garis sumbu-y tepat pada kedua ujung sedotan
minuman tadi, kemudian tulislah angka lainnya dari 2 sampai -2 yaitu 2, 3 , 2 ,
2 1 1 1 1
3 ,1, 3, 2, 3 , ,0 di atas sumbu-x dan di bawah sumbu-x bertanda
3 2 2 3 2
negatip sesuai dengan ukuran.
9) Masukan kawat dalam potongan sedotan minuman atau potongan isi pulpen bekas.
Potongan sedotan minuman ini selanjutnya sebagai engsel untuk menggerakkan kawat.
10) Selanjutnya pasanglah potongan sedotan minuman yang telah berisi kawat tadi dengan
kuat pada titik- titik yang telah ditentukan.
(a) Untuk grafik fungsi sinus dan cosecan pada titik (90,1) dan (270,-1)
(b) Untuk grafik fungsi cosinus dan secan pada titik (0,1), (180,-1) dan (360,1)
(c) Untuk grafik fungsi tangen pada titik (0,0), (180,0) dan (360,0)
(d) Untuk grafik fungsi cotangen pada titik (90,0), dan (270,0)
Contoh produk alat peraga Trigon-NR dapat dilihat seperti gambar 1 dibawah ini.
Berikut ini disajikan contoh penggunaan alat peraga trigon-NR untuk menentukan nilai
perbandingan trigonometri sudut 30°.
1) Putarlah sedotan membentuk sudut 30° sehingga kedua benang akan ikut berputar dan
selalu sejajar.
430
2) Melalui titik 30 pada sumbu x tarik garis tegak lurus dengan benang kemudian lihat
1 1
nilai pada sumbu y dan diperoleh angka , ini berarti sin 30° = .
2 2
1
3) Dengan cara sama pada titik 150 akan diperoleh nilai perbandingan trigonometri
2
juga, ini berarti sin 30° dan sin 150° merupakan sudut yang saling berrelasi.
4) Lakukan pula untuk mencari nilai perbandingan trigonometri sudut-sudut lainnya seperti
cosinus , tangen , cotangen , secan, dan cosecan.
1) Menentukan grafik fungsi Sinus, cosinus , tangen dapat ditentukan dari kawat-kawat tadi
melalui titik-titik yang diperoleh dari setiap perbandingan sudut-sudutnya.
2) Menentukan grafik fungsi cotangen , secan, dan cosecan dapat ditentukan dengan cara
membalik kawat tadi melalui engsel-engselnya.
4. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Lokasi penelitian di SMA Negeri 1
Jatibarang Kabupaten Brebes Provinsi Jawa Tengah di Jl. Raya Karanglo-Tegalwulung
Jatibarang 52261. Subyek yang diteliti adalah siswa kelas X.2 SMA Negeri 1 Jatibarang
berjumlah 39 siswa yang terdiri dari 26 perempuan dan 13 laki-laki. Teknik dan alat
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode tes dan metode
pengamatan (observasi). Validasi data dalam penelitian ini menggunakan metode triangulasi.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik diskriptif untuk data
kuantitatif yaitu hasil belajar siswa dan analisis kualitatif untuk data kualitatif yang berupa
hasil pengamatan pada keaktifan siswa dan respon siswa dalam pembelajaran. Prosedur
penelitian ini dirancang sebanyak 3 siklus dengan rincian siklus 1 sebanyak 3 kali
pertemuan, siklus 2 sebanyak 2 kali pertemuan dan siklus 3 sebanyak 2 kali pertemuan.
Prosedur pelaksanaan penelitian disusun dalam bentuk siklus penelitian dengan tahapan
setiap siklus terdiri atas perencanaan (planning), pelaksanaan (acting), pengamatan
(observing), dan refleksi (reflecting).
Dari tabel 1, terlihat bahwa diperoleh peningkatan hasil belajar dengan nilai rata-rata pada
siklus 1 sebesar 64,45; siklus 2 sebesar 70,84; dan siklus 3 sebesar 78,45. Sedangkan siswa
yang telah tuntas belajar dari siklus 1 sampai siklus 3 terjadi fluktuasi naik dari 54,84%
menjadi 90,32% . Adapun deskripsi dari peningkatan nilai terendah, nilai tertinggi, nilai rata-
rata dan ketuntasan belajar klasikal disajikan dalam diagram batang seperti pada gambar 2.
100
80
Nilai Terendah
60
Nilai tertinggi
40 Nilai rata-rata
Tuntas Belajar
20
0
Siklus 1 Siklus 2 Siklus 3
Gambar 2. Deskripsi dari peningkatan nilai terendah, nilai tertinggi dan nilai rata-rata
Sedangkan hasil pengolahan data respon siswa dalam pembelajaran seperti pada tabel 1
terjadi peningkatan yang sangat signifikan pada kategori tinggi dengan perolehan prosentase
pada siklus 1 sebesar 39,68 %; siklus 2 sebesar 51,28 %; dan siklus 3 sebesar 77,49 %.
Adapun deskripsi dari peningkatan respon siswa dalam pembelajaran disajikan dalam
diagram batang seperti pada gambar 3.
80
70
60
50
40
Respon Siswa
30
20
10
0
Siklus 1 Siklus 2 Siklus 3
Daftar Pustaka
Aderson, R.H.1987. Pemilihan dan Pengembangan Media untuk Pembelajaran. cetakan pertama (Seri
Pustaka Teknologi Pendidikan Nomor 9). Jakarta: Pusat antar universitas di Universitas Terbuka
bekerjasama dengan CV. Rajawali
Depdiknas. 2005. Pedoman Penilaian Buku Pelajaran Matematika untuk SMP dan SMA. Jakarta:
Pusat Perbukuan Depdiknas
Dryden, G. and J. Vos.1999. The Learning Revolution (To change the way the world learns). The
learning web. Hal 23-25
Emilia, O. 1998. Peran Multimedia dalam Peningkatan Eksakta. Makalah disampaikan pada
Semiloka dan Pelatihan Alat Bantu Ajar. Yogyakarta: Pusat Sumber Belajar LP3 UGM
Khabibah,S. 2005.Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Open-Ended untuk
Meningkatkan Kreativitas Siswa Sekolah Dasar. Disertasi. Surabaya: Program Pascasarjana
UNESA
Marpaung, Y.2004. Reformasi Pendidikan Matematika di Sekolah Dasar. Penerbit Yayasan BP Basis
No. 07-08
Nurhadi..2004. Kurikulum 2004 (Pertanyaan dan Jawaban). Jakarta: Penerbit PT. Gramedia
Widiasana Indonesia.
Priyono, A.2002. Media Pembelajaran di Sekolah. Makalah disampaikan pada Workshop Pemantapan
Classroom-based Action Research Guru-guru SLTP se Jawa Tengah. Semarang
Ruseffendi.1989. Dasar-Dasar Matematika Modern dan Komputer untuk Guru. Bandung: Tarsito.
Sugiarto dan I. Hidayah. Handout Workshop Pendidikan Matematika I, Jurusan Matematika Unnes.
Semarang (2005)
Tim Instruktur PKG.1988. Alat Peraga/Praktik Matematika. Kumpulan Hasil PKG Jawa Tengah
Semarang
Usman, M. U.2002. Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
433
PENGEMBANGAN PERANGKAT
PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS
ALAT PERAGA DAN KURIKULUM 2013 UNTUK
PESERTA DIDIK SMP KELAS VIII
DI PROVINSI GORONTALO
Prof. Dr. Nurhayati Abbas, M.Pd1), Drs. Perry Zakaria, M.Pd2)
1)
Univeristas Negeri Gorontalo, Jl. Jenderal Sudirman, No 6 Kota Gorontalo;
Nurhayati_abbas@yahoo.co.id
2)
Univeristas Negeri Gorontalo, Jl. Jenderal Sudirman, No 6 Kota
Gorontalo;perryzakaria@yahoo.co.id
Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sebagian besar guru belum terbiasa
menanamkan konsep Geometri dengan menggunakan alat peraga. Padahal, pengajaran
melalui alat peraga akan mampu membuat peserta didik menemukan konsep maupun
rumus-rumus matematika. Hal ini sejalan dengan implementasi Kurikulum 2013 yang
menitikberatkan pengajaran dengan menggunakan pendekatan saintifik yaitu suatu
pendekatan pengajaran yang dimulai dengan mengamati, menanya, mengumpulkan
informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan. Salah satu faktor penyebabnya
adalah belum tersedianya perangkat pembelajaran contoh matematika berbasis alat
peraga sehingga guru terlihat kurang kreatif dalam mengelola pembelajaran. Akibatnya
penguasaan peserta didik terhadap konsep-konsep Geometri bermasalah. Karena itu,
perlu dirancang perangkat pembelajaran contoh Geometri berbasis alat peraga dan
Kurikulum 2013. Metode perancangan mengacu pada pendapat Thiagarajan, Semmel,
dan Semmel yaitu pendefinisian, perancangan, dan pengembangan. Perangkat
pembelajaran yang dirancang yaitu: silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP),
bahan ajar, dan lembar kerja praktikum. Perancangan perangkat pembelajaran ini
melibatkan guru matematika SMP dan dosen pendidikan matematika.Keterlibatan guru
dimulai dari merancang hingga memvalidasi hasil rancangan. Draft hasil validasi ahli
ini diujicobakan pada peserta didik Kelas VIII SMP Negeri 10 Kota Gorontalo. Hasil
penelitian diperoleh silabus, RPP, dan lembar kerja praktikum (LKP) berbasis
Kurikulum 2013 untuk konsep Lingkaran, serta bahan ajar Geometri berbasis alat
peraga yang siap diseminasikan pada beberapa sekolah untuk melihat keunggulan
perangkat tersebut.
1. Pendahuluan
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang mampu memberikan bekal bagi
peserta didik dalam memecahkan masalah, baik masalah yang terkait dengan matematika itu
sendiri maupun masalah dalam kehidupan sehari-hari. Proses berpikir logis dan kritis yang
diberikan matematika, akan dapat dimanfaatkan peserta didik dalam memecahkan masalah
yang dihadapi. Untuk, peserta didik perlu mempelajari dan menguasai matematika sampai
batas-batas tertentu sesuai jenjang satuan pendidikan yang sedang dijalani.
434
Penguasaan matematika ini tidak lepas dari peran guru dalam menghadirkan suasana
pembelajaran yang mampu membangkitkan aktifitas dan kreativitas peserta didik dalam
belajar. Para peserta didik diberikan porsi terbanyak untuk saling berinteraksi dengan guru
dan sesama teman dalam menemukan konsep matematika, sementara guru bertindak sebagai
motivator dan mediator. Proses pembelajaran seperti ini akan terjadi apabila guru mampu
menggunakan berbagai strategi/pendekatan/model/metode pembelajaran, alat bantu maupun
alat peraga dalam menanamkan konsep matematika.
Untuk itulah maka peran guru harus maksimal dalam membimbing peserta didik belajar
matematika. Artinya, guru perlu mendalami berbagai cara mengajar yang mampu
membangkitkan minat, motivasi, dan aktivitas belajar peserta didik. Salah satu cara yang
dapat diterapkan guru adalah memanfaatkan alat peraga dalam pembelajaran.
Menurut Pusat Bahasa Depdiknas, (2007: 28), alat peraga adalah alat bantu untuk mendidik
atau mengajar, supaya apa yang diajarkan mudah dimengerti peserta didik. Heruman (2007:
3) mengungkapkan bahwa alat peraga dapat digunakan untuk membantu kemampuan pola
pikir peserta didik pada pembelajaran konsep dasar. Dari pendapat di atas menunjukkan
bahwa pembelajaran dengan menggunakan alat peraga akan mampu membantu peserta didik
menguasai konsep/materi yang dipelajari.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar para guru matematika
dalam menanamkan konsep matematika terutama konsep-konsep yang terkait dengan
Geometri belum maksimal. Sebagian besar guru belum terbiasa menggunakan alat peraga
dalam menanamkan konsep. Kebanyakan guru lebih senang menggambar di papan tulis dan
memberitahukan kepada peserta didik formula-formula yang terkait dengan materi yang
dipelajari. Pengajaran seperti ini bertentangan dengan Kurikulum 2013 yaitu pengajaran
dengan pendekatan saintifik (scientific approach). Menurut Permendikbud 81A tahun 2013
halaman 35 metode saintifik dilakukan dengan dengan langkah-langkah: (1) mengamati, (2)
menanya, (3) mengumpulkan informasi, (4) mengasosiasi, dan (5) mengkomunikasikan.
Pembelajaran dengan melibatkan peserta didik akan mampu membuat peserta didik ingat
lebih lama terhadap konsep yang dipelajari.
Banyak faktor yang menjadi penyebab guru kurang kreatif dan inovatif dalam pembelajaran.
Salah satu diantaranya adalah belum tersedianya perangkat pembelajaran contoh yang
berbasis pemanfaatan alat peraga dalam menanamkan konsep yang dapat diadopsi guru
dalam mengembangkan pembelajaran, kurangnya pelatihan guru dalam melaksanakan
pembelajaran dengan memanfaatkan alat peraga, dan belum tersedianya alat peraga
matematika. Untuk membantu guru dalam menanamkan konsep matematika yang terkait
dengan Geometri seperti Lingkaran di sekolah lanjutan pertama maka perlu dikembangkan
perangkat pembelajaran contoh berbasis alat peragadan Kurikulum 2013 dalam penanaman
konsep.
435
2. Tinjauan Pustaka
Alat peraga menurut Pusat Bahasa Depdiknas (2007: 28) adalah alat bantu untuk mendidik
atau mengajar supaya apa yang diajarkan mudah dimengerti peserta didik. Asyhar (2012: 12)
mendefinisikan alat peraga sebagai media yang memiliki ciri dan/atau bentuk dari konsep
materi ajar yang dipergunakan untuk memperagakan materi tersebut sehingga materi
pembelajaran lebih mudah dipahami oleh peserta didik. Dari kedua pendapat di atas
menunjukkan bahwa alat peraga merupakan alat bantu mengajar yang mampu membantu
peserta didik menguasai materi yang disajikan.
Penggunaan alat peraga dalam pembelajaran mampu membantu peserta didik dalam
menguasai konsep yang diajarkan guru. Hal ini sesuai pendapat Asyhar (2012: 11) bahwa
alat peraga pengajaran adalah alat atau bahan yang digunakan oleh pebelajar untuk: (1)
membantu pembelajar dalam meningkatkan keterampilan dan pengetahuan pembelajar; (2)
mengilustrasikan dan memantapkan pesan dan informasi; dan (3) menghilangkan ketegangan
dan hambatan dan rasa malas peserta didik. Heruman (2007: 3) mengatakan bahwa alat
peraga dapat digunakan untuk membantu kemampuan pola pikir peserta didik pada
pembelajaran konsep dasar. Jadi, pengajaran dengan alat peraga akan mampu membantu
menghilangkan ketegangan, hambatan, dan rasa malas peserta didik dalam mempelajari
matematika, karena mereka dilibatkan dalam proses pembelajaran tersebut.
Perangkat menurut Pusat Bahasa Depdiknas (2007: 855) diartikan sebagai alat perlengkapan.
Ibrahim (dalam Trianto, 2010: 96) mendefinisikan perangkat pembelajaran adalah sejumlah
bahan, alat, media, petunjuk dan pedoman yang akan digunakan dalam proses pembelajaran.
Jadi perangkat pembelajaran dapat diartikan sebagai alat perlengkapan yang digunakan guru
dalam proses pembelajaran berupa bahan, alat, media, petunjuk dan pedoman. Bahan
pembelajaran misalnya, silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), bahan ajar,
sedangkan alat pembelajaran misalnya lembar-lembar kerja peserta didik.
Silabus menurut Mulyasa (2010: 190) adalah rencana pembelajaran pada suatu dan atau
kelompok mata pelajaran/tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi
dasar, materi pokok, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi untuk
penilaian, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar yang dikembangkan oleh setiap
satuan pendidikan. Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No 65
Tahun 2013 (2013: 5) menyatakan Silabus merupakan acuan penyusunan kerangka
pembelajaran untuk setiap bahan kajian mata pelajaran. Jadi, silabus merupakan rencana
pembelajaran untuk satu kelompok bahan kajian. Untuk mengembangkan silabus, Sanjaya
(2009: 169) menyarankan agar memperhatikan hal-hal berikut: (1) ilmiah, (2) relevan, (3)
436
sistematis, (4) konsisten, (5) memadai, (6) aktual dan kontekstual, (7) fleksibel, dan (8)
menyeluruh.
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) menurut Sanjaya (2009: 173) adalah program
perencanaan yang disusun sebagai pedoman pelaksanaan pembelajaran untuk setiap kegiatan
pembelajaran dan dikembangkan berdasarkan silabus. Muhlish (2007: 45) mendefinisikan
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) adalah rancangan pembelajaran mata pelajaran per
unit yang akan diterapkan guru dalam pembelajaran di kelas. Dari kedua pendapat di atas
dapat dikatakan bahwa RPP merupana rancangan pembelajaran yang disusun guru untuk
kegiatan per satu pertemuan yang berfungsi membantu dan mengarahkan guru dalam
mengelola pembelajaran.
Dalam merancang dan mengembangkan RPP, guru diberi kebebasan untuk mengubah,
memodifikasi, dan menyesuaikan silabus dengan kondisi sekolah dan daerah, serta dengan
karakteristik peserta didik (Mulyasa, 2010: 212). Namun Sanjaya (2009: 173) menyarankan
minimal 5 (lima) komponen yang harus ada dalam RPP yaitu: (1) komponen tujuan, (2)
materi pembelajaran, (3) metode, (4) media dan sumberpembelajaran, serta (5) komponen
evaluasi.
(b) Identitas mata pelajaran atau tema/subtema; (c) Kelas/semester; (d) Materi pokok; (e)
Alokasi waktu; (f) Tujuan pembelajaran; (g) Kompetensi dasar dan indikator pencapaian
kompetensi; (h) Materi pembelajaran, (i) Metode pembelajaran, (j) Media pembelajaran, (k)
Sumber belajar, (l) Langkah-langkah pembelajaran, dan (m)Penilaian hasil pembelajaran.
Berdasarkan pendapat di atas maka sistematika rancangan RPP dalam penelitian ini mengacu
pada Permen Dikbud No 65 Tahun 2013 dengan sedikit modifikasi. Sistematika RRP
dimaksud adalah: identitas sekolah, identitas mata pelajaran, kelas/semester, materi pokok,
pertemuan, alokasi waktu, kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, Indikator Pencapaian
Kompetensi, Tujuan Pembelajaran, materi pembelajaran, metode pembelajaran, media
pembelajaran, sumber belajar, langkah-langkah pembelajaran yang memuat pendekatan
saintifik dan alat peraga, dan penilaian hasil pembelajaran yang memuat instrumen penilaian
proses dan hasil belajar.
b. Bahan Ajar
Bahan ajar menurut Amri dan Ahmadi (2010: 159) dan Rahayu (2009: 9) adalah segala
bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam melaksanakan
kegiatan belajar mengajar di kelas. Prastowo (2011: 17) mengatakan bahan ajar dapat berupa
informasi, alat dan teks yang diperlukan guru atau instruktur untuk perencanaan dan
penelaahan implementasi pembelajaran. Depdiknas (2008 :6 ) menjelaskan bahwa bahan ajar
adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam
melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Bahan yang dimaksud bisa berupa bahan tertulis
maupun bahan tidak tertulis. Bahan ajar atau teaching-material, terdiri atas dua kata yaitu
teaching atau mengajar dan material atau bahan. Bahan ajar merupakan informasi, alat dan
teks yang diperlukan guru/instruktur untuk perencanaan dan penelaahan implementasi
pembelajaran. Bukoting (2013: 12) mendefinisikan bahan ajar sebagai seperangkat susunan
bahan/materi yang berhasil dikumpulkan dari berbagai sumber belajar dan disusun secara
sistematis baik tertulis maupun tidak yang dapat digunakan dan membantu guru/instruktur
dalam pelaksanaan proses pembelajaran di kelas.Dari pendapat-pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa bahan ajar merupakan bahan-bahan atau materi atau informasi atau alat
atau teks yang dapat membantu guru dan peserta didik dalam melaksanakan proses
pembelajaran.
Ada berbagai bentuk/jenis bahan ajar. Amridan Ahmadi (2010: 161) membagi jenis bahan
ajar atas: (a) Bahan ajar pandang (visual) terdiriatasbahan ajar cetak (printed) seperti hand
out, buku, modul, lembar kerja peserta didik, brosur, leaflet,Wallchart, foto gambar dan non
cetak (nonprinted), seperti model/maket. (b) Bahan ajar dengar (audio) sepertikaset, radio,
piringan hitam, dancompact disk audio. (c) Bahan ajar pandang dengar (audio visual)
sepertivideo compact disk, film, dan (d) Bahan ajar multimedia interaktif (interactive
teaching material) seperti CAI (computer AssistedInstruction), Compact disk (CD)
multimedia pembelajaran interaktif, dan bahan ajar berbasi web (web based learning
materials). Berdasarkan pengertian ini, maka bahan ajar yang disusun dalam penelitian ini
adalah bahan ajar padang (visual) yang berbentuk buku dan lembar kerja peserta didik.
438
Untuk menyusun dan mengembangkan bahan ajar, Rahayu (2009; 26) menyarankan agar: (1)
mengidentifikasi aspek-aspek yang terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi
dasar, (2) mengidentifikasi jenis-jenis bahan ajar, dan (3) memilih jenis bahan yang sesuai
atau relevan dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Pendapat senada oleh Amri
(2010; 163) bahwa tahapan bahan ajar, adalah: (1) mengidentifikasiaspek-aspek yang
terdapat dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar yang menjadi acuan atau rujukan
pemilihan bahan ajar, (2) mengidentifikasi jenis-jenis materi bahan ajar, (3) memilih bahan
ajar yang sesuai atau relevan dengan standar kompetensi yang telah teridentifikasi, (4)
memilih sumber bahan ajar.
Dari pendapat di atas, tahapan penyusunan dan perangcangan bahan ajar dilakukan dengan
mengidentifikasi aspek-aspek yang ada dalam Kurikulum 2013 yaitu Kompetensi Inti dan
Kompetensi Dasar, menetapkan bentuk bahan ajar yang akan disusun, memilih dan memilah
sumber bahan belajar. Sistematika bahan ajar disusun berdasarkan pendapat Purwanto dan
Panen yang dimodifikasi. Menurut Pannen dan Purwanto (2005: 2), bahwa komponen utama
yang perlu ada dalam setiap bahan ajar adalah tinjauan mata kuliah, pendahuluan setiap bab,
penyajian setiap bab, penutup setiap bab, daftar pustaka dan senarai. Lebih lanjut (Pannen
dan Purwanto, 2005: 22 – 26) menguraikan sistematika bahan ajar yaitu: pada tinjauan mata
kuliah berisi uraian tentang deskripsi singkat mata kuliah, kegunaan mata kuliah, tujuan
instruksional umum, susunan (urutan) bahan ajar, dan petunjuk bagi mahasiswa. Pada setiap
bab berisi: pendahuluan, penyajian, dan penutup. Pada pendahuluanmengurai tentang:
deskripsi singkat atau gambaran umum tentang cakupan bab, relevansi antara bab dengan
pengetahuan atau pengalaman yang telah dimiliki mahapeserta didik, dan tujuan
instruksional khusus; penyajian yang meliputi: uraian materi dan contoh, latihan, dan
rangkuman; dan penutup memuat tes formatif, umpan balik, tindak lanjut, dan kunci
jawaban tes formatif.
Berdasarkan pemikiran di atas, sistematika penulisan bahan ajar dalam penelitian ini adalah
modifikasi dari pendapat Purwanto dan Panen sebagai berikut.Bab I Pendahuluan terdiri atas
deskripsi singkat; relevansi; kompetensi dasar dan pengalaman belajar; indikator pencapaian
kompetensi; dan peta konsep. Setiap bab materi terdiri atas deskripsi singkat materi,
relevansi, tujuan pembelajaran, peta konsep; peta tugas; tujuan pembelajaran; uraian materi;
rangkuman; dan cek penguasaan (latihan). Bab penutup memuat tes evaluasi formatif.
3. Metode Penelitian
Mengacu pada kajian teoretis dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan, maka langkah
awal penelitian ini adalah menyusun ”perangkat pembelajaran contoh” berbasis alat peraga
dan Kurikulum 2013. Dengan demikian penelitian ini adalah penelitian pengembangan.
Pengembangan perangkat pembelajaran mengacu pada pendapat Thiagarajan, Semmel, dan
Semmel (dalam Abbas, 2008: 18) terdiri atas empat tahap yang di kenal dengan sebutan
four-D Model (Model 4-D), yaitu tahap pendefisien (define), perancangan (design),
pengembangan (develop), dan penyebaran (dessiminate).
439
Kegiatan pada tahap ini adalah menetapkan deskripsi pembelajaran yang idanggap ideal,
sehingga kegiatannya difokuskan pada mengidentifikasi masalah di lapangan berkaitan
dengan proses dan dampak pembelajaran matematika yang dilakukan guru selama ini,
menganalisis kurikulum, menganalisis karakter peserta didik, materipelajaran yang akan
dikembangkan, metode/model/pendekatan yang sesuai dengan materi matematika, yang
diakhiri dengan merancang tujuan pembelajaran.
Tahap ini merupakan tahap perancangan perangkat pembelajaran (silabus, RPP, LKP)
untukkonsep LingkaranberbasisalatperagadanKurikulum 2013 sertabahan ajar
Geometriberbasisalatperaga. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah pemilihan
format, pemilihan media,penyusunan perangkat pembelajaran.
Tujuan tahap ini adalah menghasilkan draft perangkat pembelajaran. Karena itu kegiatan
tahap ini adalah validasi ahli yang dilakukandosen pendidikan Matematika dan Guru
Matematika, dan validasi empirik melalui uji coba terbatasdalam 1 (satu) kelas.
Hasil telaah terhadap, kurikulum, peserta didik, media pembelajaran yang digunakan,
karakteristik materi, dan teori belajar serta kegiatan perancangan perangkat pembelajaran
berbasis alat peraga dan Kurikulum 2013 oleh tim peneliti, guru, dan validator disajikan
sebagai berikut.
Susunan Kompetensi Dasar (KD) yang berkenaan dengan konsep Geometri untuk kelas VIII
SMP/MTs semester genap seperti Tabel 1.
Tabel 1. Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) Matematika SMP/MTs
Kelas VIII Semester Genap yang mengarah pada Konsep Lingkaran
Kompetensi Inti Kompetensi Dasar
1. Menghargai dan 1. Menghargai dan menghayati ajaran agama yang
dianutnya.
menghayati ajaran agama
yang dianutnya.
440
a. Konsep Geometri terdiri atas: (1) Lingkaran yang terbagi atas: (a) Unsur-unsur dan
Bagian-bagian Lingkaran, (b) Keliling dan Luas Lingkaran, dan (c) Hubungan Sudut
Pusat, Panjang Busur, dan Luas Juring, (2) bangun-bangunruangterdiriatas: (a) kubus, (b)
balok, (c) prisma, dan (d) limas.
b. Diperoleh perangkat pembelajaran (Silabus, RPP, lembar kerja praktikum) untuk konsep
Lingkaran berbasis alat peraga dan Kurikulum 2013 untuk Kelas VIIISMP/MTs.
c. Susunan bahan ajar adalah: Bab I.Pendahuluan, Bab II.Lingkaran, terdiriatas: Unsur-
unsur dan Bagian-bagian Lingkaran, Keliling dan Luas Lingkaran, danHubungan Sudut
Pusat, Panjang Busur, dan Luas Juring, Bab III. Bangun-bangunruangterdiriatas: kubus,
balok, prisma, danlimas, danBab IV. Penutup
441
4.2 Pembahasan
Penelitian ini dilaksanakan berdasarkan temuan di lapangan bahwa peserta didik cenderung
pasif selama proses pembelajaran konsep-konsep Geometri berlangsung sehingga berakibat
pada penguasaan mereka terhadap matematika masih belum menggembirakan. Salah satu
penyebabnya adalah belum tersedianya perangkat pembelajaran contoh berbasis alat peraga,
dan pengajaran guru yang berorientasi pada pemberian materi bukan pada penemuan konsep
oleh peserta didik dengan bantuan guru. Guru terbiasa memberitahuan definisi suatu konsep
dan rumur-rumus yang akan digunakan.
Pengajaran berbasis alat peraga akan mampu membuat peserta didik tertarik dan ambil
bagian selama proses pembelajaran berlangsung. Pengajaran seperti inilah yang diinginkan
Kurikulum 2013. Proses pengajaran guru diarahkan pada pengajaran dengan pendekatan
saintifik (scientific approach), yaitu pengajaran yang di dalamnya memuat kegiatan peserta
didik dalam mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan
mengkomunikasikan konsep atau informasi yang sedang dipelajari. Karena itu perlu
dikembangkan perangkat pembelajaran matematika konsep Geometri berbasis alat peraga
dan bernuansa Kurikulum 2013 untuk SMP Kelas VIII Semester Genap yang diharapkan
akan mampu mengaktifkan peserta didik selama proses pembelajaran berlangsung dan
membangkitkan kreativitas dan keinovatifan guru merancang dan mengelola pembelajaran
yang berpusat pada peserta didik (student’s center).
Selanjutnya hasil perbaikan validasi ahli ini diujicobakan pada 1 (satu) kelas peserta didik
kelas VIII-1 SMP Negeri 10 Kota Gorontalo. Kegiatan ujicoba terbatas dilakukan selama 6
(enam) pertemuan. Hasil ujicoba digunakan untuk memperoleh informasi tentang
keterbacaan bahan ajar dan lembar kerja praktikum (LKP) yang bersentuhan langsung
442
dengan peserta didik, serta penerimaan mereka terhadap pola pengajaran guru yang berbeda.
Hasil ujicoba memperlihatkan bahwa bahan penelitian yang digunakan mudah dimengerti
peserta didik baik isi maupun petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya. Demikian pula,
respon peserta didik terhadap pola pengajaran yang dilakukan guru dengan menggunakan
bahan penelitian ini positif. Mereka merasa senang dan berharap agar kegaiatan
pembelajaran akan berlangsung seperti ini untuk seterusnya.
Berdasarkan hasil validasi ahli dan ujicoba terbatas maka dapat dikatakan bahwa perangkat
pembelajaran matematika berbasis alat peraga dan bernuansa Kurikulum 2013 dapat
dijadikan contoh bagi guru dan dapat diadopsi guru dalam meningkatkan Pengembangan
Keprofesian Berkelanjutan guru melalui pengajaran yang berpusat pada peserta didik, dan
perancangan konsep matematika lainnya.
1. Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) berbasis alat peraga dan
pengajaran dengan pendekatan saintifik sesuai Kurikulum 2013 untuk konsep Lingkaran
untuk peserta didik kelas VIII SMP/MTs.
2. Lembar kerja praktikum (LKP).
3. Bahan ajar konsep Geometri yang berbasis alat peraga.
4. Instrumen penilaian proses dan formatif.
5.2 Saran
Mengacu pada proses dan temuan penelitian, maka disarankan hal-hal berikut.
1. Perlu dilakukan penyebaran perangkat pembelajaran yang dihasilkan agar bisa dilihat
kelebihan perangkat tersebut dibandingkan dngan perangkat pembelajarn matematika
lainnya, sekaligus untuk mendapatkan masukan bagi penyempurnan perangkat yang
dikembangkan.
2. Perlu dikembangkan lanjut perangkat pembelajaran untuk konsep yang terkait dengan
Kompetensi Dasar (KD) 3.9 yaitu Menentukan luas permukaan dan volume kubus, balok,
prisma, dan limas; KD 3.11 yaitu Menaksir dan menghitung luas permukaan dan volume
bangun ruang yang tidak beraturan dengan menerapkan geometri dasarnya; agar
diperoleh perangkat pembelajaran utuh untuk konsep Geometri.
3. Perlu dilakukan bimbingan dan latihan riil secara intensif kepada para guru dalam
merancang perangkat pembelajaran bernuansa Kuriulum 2013 agar mereka menjadi
terbiasa, kreatif, dan inovavtif dalam mengelola pembelajaran matematika.
4. Para guru perlu dibantu biaya pendanaan kegiatan perancangan pengembangan perangkat
pembelajaran melalui dana yang tersedia di sekolah maupun di Dinas Pendidikan.
443
Daftar Pustaka
Abbas, Nurhayati., Sumarno Ismail, dan Titi Pautina. 2008. Penerapan Model- model Pembelajaran
dalam Meningkatkan Kreativitas dan Kompetensi Guru Mengelola Pembelajaran dan
Kompetensi Siswa Kelas X SMA. Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun Pertama.
Gorontalo: Lemlit Universitas Negeri Gorontalo.
Amri, Sofan dan Khoiru Ahmadi. 2010. Konstruksi Pengembangan Pembelajaran. Surabaya: Prestasi
Pustaka Publisher
Asyhar, Rayandra. 2012. Kreatif Mengembangakan Media Pembelajaran. Jakarta:
Bukoting, Patrina. 2013. Pengembangan Bahan Ajar Matematika Materi Lingkaran Untuk Kelas VIII
SMP Semester Genap di Kota Gorontalo. Tesis. Tidak Dipublikasikan. Gorontalo: PPs
Universitas Negeri Gorontalo.
Depdiknas 2008. Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Heruman. 2007. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Muhlish, Mansur. 2007. KTSP, Dasar Pemahaman dan Pengembangan. Jakarta: Bumi Aksara
Mulyasa, 2010. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, suatu Panduan Praktis. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses
Pendidikan Dasar dan Menengah.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No 81A Tahun 2013 tentang Implementasi
Kurikulum.
Prastowo, Andi 2011. Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Jogjakarta: Diva Press.
Pannen, Paulina dan Purwanto. 2005. Penulisan Bahan Ajar. Jakarta: PAU–PPAI Universitas terbuka.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Rahayu, Yuni. 2009. Modul Pengembangan Perangkat Pembelajaran Depdiknas Surabaya: UNESA.
Sanjaya, Wina. 2009. Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktik Pengembangan. Jakarta:
Kencana Prenada.
Trianto, 2010.Mendesain Model PembelajaranInovatifProgresif. Jakarta: KencanaPrenada Media
Grup.
444
Puji Lestari
STKIP GARUT, Jl. Pahlawan 32 Sukagalih Kab. Garut 44151;neng_nji@yahoo.com
Abstrak. Kurikulum 2013 telah mulai diberlakukan pada beberapa sekolah diwilayah
Indonesia. SMK sebagai salah satu jenjang tingkat satuan pendidikan tidak luput
sebagai sasaran implementasi kurikulum 2013 ini. Pada awal implementasi kurikulum
2013, beberapa hal penting yang terjadi di lapangan terkait pelaksanaannya mulai
banyak bermunculan, baik dari segi positif maupun negatif. Kesiapan para guru sebagai
implementator menjadi fokus utama dalam penelitian ini. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif dengan instrumen berupa kuesioner serta wawancara terbatas
dengan pengambilan sampel secara purposive sampling di Kota Bandung dan
Kabupaten Garut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketidaksiapan guru-guru
SMK sebagai implementator, kandungan materi matematika, serta program keahlian
yang berbeda-beda pada masing-masing rumpun baik Teknik maupun Non Teknik
menjadi kendala utama dalam implementasi kurikulum 2013 di SMK.
Kata Kunci. SMK rumpun Teknik, SMK rumpun non Teknik, Kurikulum 2013
1. Pendahuluan
Kurikulum adalah alat atau sarana untuk mencapai tujuan pendidikan melalui proses
pengajaran. Menurut UU RI No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1
ayat 19, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi,
tambahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dalam pandangan klasik,
kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran di suatu sekolah dan materi apa yang harus
ditempuh di sekolah.
teratasi dengan baik maka implementasi kurikulum 2013 juga akan semakin mengarah pada
target tujuan.
Dalam implementasi kurikulum 2013 yang telah berjalan saat ini, beberapa kendala mulai
banyak ditemui di lapangan, diantaranya dari segi ketidaksiapan guru sebagai implementator
di kelas. Ketidaksiapan tersebut mencakup bagaimana kompetensi guru yang ditunjuk
menjadi guru sasaran dalam implementasi kurikulum 2013. Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, kompetensi adalah
seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan
dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Terdapat 4
macam kompetensi utama yang harus dikuasai oleh guru yaitu kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional. Semua kompetensi
utama tersebut jelas sekali sangat berperan dalam keberhasilan seorang guru menjalankan
profesinya.
Sebagai bagian dari kompetensi utama, kompetensi profesionalitas guru menjadi sorotan
penting terutama bagi guru sasaran sebagai implementator di lapangan. Namun dengan
masih adanya para guru sasaran yang memiliki rasa tidak siap terhadap dokumen kurikulum
2013 jelas akan menjadi kendala tercapainya keberhasilan kurikulum 2013. Untuk
mengantisipasi hal ini pemerintah telah berusaha memberikan pelatihan-pelatihan yang
bersifat kontinu kepada para guru baik guru inti maupun guru sasaran. Namun sampai sejauh
ini pelatihan tersebut dirasa masih belum cukup untuk mampu memberikan bekal serta
pengetahuan yang mumpuni kepada para guru. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini
dilakukan dengan tujuan untuk meninjau kesiapan para guru terutama guru SMK dalam hal
ini bagaimana kompetensi profesional mereka terhadap kurikulum 2013. Guru SMK menjadi
pilihan utama dalam penelitian ini berdasarkan asumsi bahwa penyamaan materi matematika
antara SMA maupun SMK dalam kurikulum 2013 ini akan menjadi sebuah tantangan baru
bagi SMK. Bagaimanapun juga peran dari guru sebagai pendidik akan sangat mempengaruhi
keberhasilan implementasi kurikulum 2013 ini. Selain itu apabila seorang guru tidak punya
sikap profesional maka murid yang di didik akan sulit untuk tumbuh dan berkembang
dengan baik. Dengan demikian kompetensi profesional guru sebagai pelaksana menjadi
sorotan utama dalam makalah ini.
2. Metodologi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan instrumen berupa kuesioner serta
wawancara terbatas terhadap 7 orang guru SMKN baik pada rumpun teknik maupun non-
teknik. Adapun pengambilan sampel sekolah tidak secara acak, namun berdasarkan
pertimbangan tertentu (purposive sampling). Pertimbangan tersebut berdasarkan
keterbatasan lokasi sekolah untuk daerah kota Bandung, serta keterbatasan SMKN yang
mengimplementasikan kurikulum 2013 di kabupaten Garut. Untuk kota Bandung, dari 14
SMKN yang telah mengimplementasikan kurikulum 2013, hanya 3 SMKN yang dipilih
sebagai sampel yaitu 2 SMKN rumpun teknik dan 1 SMKN rumpun non teknik. Sedangkan
untuk kabupaten Garut, karena SMKN yang yang ditunjuk oleh Dinas Pendidikan Kabupaten
446
3. Hasil
Untuk mengetahui bagaimana kompetensi profesional guru dalam implementasi kurikulum
2013, maka pernyataan dalam angket memuat tiga aspek, yaitu aspek data guru, aspek
kompetensi guru, serta aspek implementasi di kelas. Ketiga aspek ini diharapkan dapat
mewakili kompetensi profesionalitas guru. Berikut merupakan paparan secara deskriptif
mengenai hasil angket serta wawancara singkat hasil dari penelitian.
Aspek data guru terbagi menjadi dua indikator, yaitu pengalaman mengajar di sekolah dan
status guru dalam implementasi kurikulum 2013. Dan sebagai permulaan, dalam angket
dikemukakan pertanyaan mengenai data guru terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui kriteria guru yang dijadikan guru inti ataupun guru sasaran dalam implementasi
kurikulum 2013. Untuk indikator yang pertama yaitu pengalaman mengajar di sekolah,
berikut paparannya:
1. Guru sasaran ataupun guru inti yaitu guru dengan pengalaman mengajar selama 5-10
tahun yaitu sebanyak 57,14%;
2. Guru dengan pengalaman mengajar >10 tahun sebanyak 28,57%, dan
3. Guru sasaran dengan pengalaman mengajar <5 tahun yaitu 14,29%.
Aspek kompetensi guru, yang menjadi indikator adalah memahami dokumen kurikulum
2013. Indikator ini selanjutnya dapat berkembang kembali menjadi beberapa pernyataan.
Secara umum guru yang telah memahami dengan baik dokumen kurikulum 2013 hanya
sebesar 57,14%. Nilai ini mengindikasikan bahwa dari keseluruhan guru yang menjadi
subjek hanya setengahnya yang baru memahami dokumen secara keseluruhan. Informasi
mengenai dokumen kurikulum 2013 umumnya diperoleh melalui pelatihan implementasi
kurikulum 2013. Namun ada beberapa temuan dan menjadi catatan dalam pelaksanaan
pelatihan ini, diantaranya:
1. Tidak semua guru mengikuti pelatihan, artinya masih ada guru sasaran yang tidak
mengikuti pelatihan sama sekali namun tetap diberi wewenang untuk mengajar di kelas
447
Untuk dapat memahami dokumen kurikulum 2013, juga ditinjau mengenai pertanyaan terkait
kepemilikan buku guru, dan hasilnya menunjukkan bahwa umumnya guru sudah memiliki
walaupun dalam format softcopy (terkecuali guru inti sudah memiliki buku copy-nya).
Selanjutnya pertanyaan dikembangkan menjadi bagaimana para guru memahami isi dari
buku guru tersebut, dan sebanyak 85,71% guru menjawab masih belum memahami dengan
baik, dikarenakan materi terlalu banyak. Artinya para guru SMK baru memahami sebagian
kandungan materi dalam buku, dan para guru merasa permasalahan dalam buku terlalu rumit
terutama bagi siswa SMK.
Dari beberapa jawaban yang dikemukakan oleh para guru SMK terkait dokumen kurikulum
2013, ada beberapa hal yang menjadi kesulitan para guru dalam memahami dokumen,
diantaranya:
1. Kandungan materi SMK yang menjadi setara dengan SMA menyebabkan para guru
SMK terutama rumpun non Teknik perlu waktu untuk memahami kembali materi yang
selama ini tidak ada di SMK.
2. Ada beberapa istilah yang digunakan dalam buku dirasa sulit dimengerti oleh para guru
SMK.
3. Ada beberapa sub materi, serta latihan soal yang tidak bertingkat sehingga sulit untuk
diaplikasikan. Selain itu materi dalam buku dirasa tidak memenuhi empat prinsip yang
mendasari penyajian urutan materi dalam kurikulum yaitu dari hal yang sederhana
menuju hal yang lebih kompleks, pelajaran prasyarat, secara keseluruhan, kronologis
atau kejadian.
Selanjutnya dikembangkan pertanyaan kepada para guru SMK terkait analisis kesesuaian
antara buku guru dan buku ajar siswa, sebanyak 71,42% guru telah melakukannya karena
merupakan menganalisa kesesuaian buku merupakan bagian dalam pelatihan implementasi
kurikulum 2013 bagi para guru sasaran. Para guru menjelaskan bahwa antara buku guru dan
448
buku siswa sudah sesuai namun masih banyak yang harus diperbaiki, di samping itu juga ada
guru yang meminta modul penyetaraan lagi agar disesuaikan dengan kondisi siswa.
Untuk meninjau kompetensi guru terhadap pemahaman dokumen kurikulum 2013, diajukan
pertanyaan terkait pendekatan pembelajaran yang terdapat dalam kurikulum 2013.
Pendekatan pembelajaran yang dimaksud adalah pendekatan scientific dengan 5 tahapan.
Umumnya para guru SMK sudah mengetahui terkecuali bagi guru yang belum mengikuti
pelatihan kurikulum 2013. Selanjutnya untuk model-model pembelajaran, umumnya seluruh
guru sasaran sudah mengetahui model-model tersebut seperti Project Based Learning,
Problem Based Learning, Discovery Learning dsb. Begitu pula dengan konsep penilaian,
umumnya para guru sudah mengetahui mengenai konsep penilaian yang terdapat pada
kurikulum 2013. Selanjutnya mengenai RPP serta pemanfaatan media dalam pembelajaran,
umumnya para guru juga sudah mengetahui. Artinya paradigma perubahan pola pikir dari
kurikulum terdahulu ke Kurikulum 2013, para guru sasaran secara umum sudah
mengetahuinya. Namun bagaimana implementasi kurikulum 2013 di kelas selanjutnya akan
dibahas.
Kesulitan yang dihadapi oleh guru SMK rumpun Teknik dan non Teknik ternyata berbeda.
Bagi para guru SMK rumpun Teknik, tahapan yang dianggap sulit adalah mulai dari tahapan
2 hingga tahapan 5. Tahapan dua yaitu bagaimana memancing siswa untuk bertanya
dianggap sulit dikarenakan kemampuan siswa SMK yang heterogen, sehingga dalam hal
pemahaman konsep dasar serta mengubah paradigma berpikir siswa itu memakan waktu
banyak.
Sedangkan untuk guru SMK rumpun non-Teknik mereka merasa kesulitan pelaksanaan
tahapan scientific mulai dari tahap 1. Untuk tahapan mengamati fakta, guru merasa kesulitan
dikarenakan para guru belum sepenuhnya mengetahui fakta-fakta dalam kehidupan sehari-
hari yang terkait langsung dengan konsep-konsep matematika, terutama konsep-konsep
matematika yang selama ini tidak pelajari oleh siswa SMK non-Teknik, sehingga dalam
tahap ini guru merasa kesulitan. Penyebab lainnya adalah guru kesulitan mengaitkan fakta
dilapangan terutama yang terkait dengan masing-masing program keahlian siswa SMK
rumpun non-Teknik yang dapat memancing siswa untuk bertanya dan bernalar, karena
449
aplikasi materi matematika untuk SMK rumpun non-Teknik sangat terbatas sekali. Intinya
tidak semua materi matematika aplikatif dengan program keahlian siswa. Selain itu sangat
sulit untuk menggali keingintauan siswa karena siswa sudah terbiasa dengan pembelajaran
metode ceramah, sehingga pada langkah ke-2 untuk mengajarkan konsep menjadi sangat
lambat dan jelas berpengaruh pada waktu pembelajaran yang juga terbatas. Akibatnya target
sasaran waktu untuk tiap bab menjadi tidak tepat. Begitu pula pada tahap menyimpulkan dan
mengkomunikasikan, siswa SMK masih belum mampu menyimpulkan dengan baik dan
ketika proses mengkomunikasikan hasil diskusinya, penjelasan siswa masih belum bisa
dimengerti oleh temannya yang lainnya.
Untuk aplikasi model-model pembelajaran yang sudah diketahui, umumnya para guru belum
menggunakan model tersebut dengan alasan karakteristik siswa, kondisi kelas serta kajian
materi yang sedang dibahas. Kesulitan utama yang mereka hadapi adalah bagaimana
membuat permasalahan yang sesuai dengan karakteristik siswa pada masing-masing program
keahlian. Selain itu juga input siswa SMK sendiri menjadi penghambat para guru, serta daya
serap siswa pada masing-masing program keahlian yang berbeda.
Untuk konsep penilaian, para guru mengapresiasi dengan sangat baik bahkan sudah
menerapkannya. Para guru sudah melakukan penilaian secara komprehensif. Sedangkan
untuk RPP serta pemanfaatan media pembelajaran, pada umumnya mereka sudah membuat
RPP namun sulit sekali mengaplikasikan RPP yang ideal dengan pelaksanaannya di kelas,
sehingga seringkali pembelajaran yang dilaksanakan di kelas tidak sesuai dengan RPP,
karena semuanya bergantung pada kondisi kelas serta materi yang diajarkan. Berbeda
dengan pemanfaatan media pembelajaran, karena masing-masing sekolah memiliki sarana
teknologi yang berbeda, maka jelas saja pemanfataannya bergantung pada sarana yang
tersedia. Untuk beberapa sekolah, pemanfaatan media berupa powerpoint sudah bisa
diaplikasikan dengan baik, sedangkan bagi sekolah yang sarana medianya terbatas masih
belum dapat memanfaatkan secara maksimal.
Selain yang termasuk ketiga aspek diatas, dalam angket juga dilontarkan pertanyaan terkait
materi pelajaran matematika untuk SMK baik rumpun Teknik dan non-Teknik, ada beberapa
temuan hasil dari wawancara:
1. Perubahan kandungan materi matematika dari KTSP yang disesuaikan dengan rumpun
di SMK menjadi 12 bab yang sifatnya pembelajaran terputus, menjadi kesulitan utama
dalam implementasi di kelas. Untuk SMK rumpun non-Teknik, para guru kesulitan
dalam mengejar bab yang menjadi target, sementara siswa pun sulit memahami dengan
cepat materi-materi tersebut. Namun hal serupa juga diungkapkan oleh guru SMK
rumpun Teknik. Terutama karena kualitas input siswa yang berbeda di setiap program
keahlian menjadi kendala utama dalam penyamarataan pemahaman konsep dasar.
2. Permasalahan yang ada di buku dirasa rumit bagi siswa SMK serta kurang aplikatif
dalam mendukung mata pelajaran produktif mereka. Sehingga para guru SMK merasa
kesulitan dalam mengaitkan materi dengan program keahlian siswa.
3. Untuk masalah konten, para guru juga menyatakan bahwa materi dalam tiap bab tidak
jelas batasannya terutama untuk materi yang nantinya diulang kembali pada jenjang
450
berikutnya, hal ini juga menjadi masalah karena selama ini siswa SMK terbiasa belajar
tuntas.
4. Adanya penghilangan materi-materi dasar yang esensial dan sangat aplikatif sekali
terhadap program keahlian di SMK seperti materi perbandingan serta aproksimasi,
menjadi salah satu bukti bahwa matematika sebagai mata pelajaran adaptif di SMK
yang seharusnya merupakan penunjang bagi mata pelajaran produktif sudah tidak sesuai
dengan tujuan pembelajaran matematika di SMK.
1. Pemilihan guru sasaran sudah tepat berdasarkan pengalaman mengajar serta kualifikasi
pendidikan.
2. Pembekalan pemahaman guru SMK mengenai kurikulum 2013 yang diselenggarakan
melalui pelatihan masih dirasa belum cukup untuk memberikan pemahaman secara
komprehensif, sehingga dirasa perlu ada pelatihan terus menerus yang berkelanjutan
dengan materi pelatihan yang memang fokus terhadap materi pelajaran serta gambaran
aplikatifnya terhadap program keahlian di SMK.
3. Kandungan materi merupakan faktor utama kesulitan guru-guru SMK dalam
mengimplementasikan kurikulum 2013 di kelas, karena selain para guru harus mampu
mengaitkan materi-materi dalam pelajaran matematika dengan program keahlian yang
berbeda-beda, mereka juga dituntut untuk dapat mencapai target materi yang harus
terpenuhi. Hal ini merupakan suatu tantangan tersendiri mengingat kemampuan siswa
untuk masing-masing program keahlian adalah berbeda.
1. Untuk kandungan materi matematika, penyamarataan antara SMA dan SMK merupakan
suatu persoalan baru walaupun jika kita menilik dari segi tujuan kurikulum 2013 itu
diantaranya kompetensi yang ingin diharapkan adalah kompetensi yang berimbang
antara sikap, pengetahuan, dan keterampilan disamping cara pembelajarannya yang
holistik dan menyenangkan. Namun tujuan ini berlaku umum sedangkan jika menilik
dari tujuan serta fungsi dari mata pelajaran matematika di SMK yaitu sebagai mata
pelajaran adaptif yang berfungsi untuk mendukung mata pelajaran produktif, hal ini
menjadi sesuatu yang tidak relevan. Sebaiknya kandungan materi matematika di SMK
dirancang sesuai dengan kebutuhan siswa agar mereka dapat berkembang secara
optimal dan dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Untuk mencapai
kompetensi tersebut, materi-materi dalam kurikulum matematika dipilih dengan
memperhatikan struktur keilmuan, tingkat kedalaman materi, serta sifat esensial materi
dan keterpakaiannya dalam dunia kerja yang akan dimasuki oleh siswa kelak serta
dalam kehidupan sehari-hari.
451
2. Adanya batasan yang jelas mengenai materi matematika terutama untuk materi-materi
yang diulang kembali pada jenjang berikutnya, karena pembelajaran yang terputus-
putus akan sangat membingungkan terutama siswa SMK yang selama ini terbiasa
belajar secara tuntas.
3. Karena tuntutan kompetensi guru dalam kurikulum 2013 ini adalah guru yang mampu
memanfaatkan teknologi sebagai media pembelajaran, maka ada baiknya sarana serta
prasarana teknologi sebagai media pembelajaran perlu ditingkatkan.
5. Ucapan Terimakasih
Penulis mengucapkan terimakasih banyak kepada Prof. Tatang Herman sebagai dosen yang
telah banyak memberikan masukan dalam penyusunan makalah ini, serta kepada para guru
SMKN di Bandung maupun di kabupaten Garut yang telah bersedia berpartisipasi dalam
penelitian.
Daftar Pustaka
Hasan, H.S. Evaluasi Kurikulum. Bandung: Kerjasama SPs UPI & Rosdakarya. (2009)
Lestari, P. Peningkatan Kemampuan Pemahaman serta Koneksi Matematis Siswa SMK melalui
Pembelajaran Kontekstual. Tesis UPI: Tidak dipublikasikan. (2009).
Nuh, M. Materi Pelatihan Guru: Implementasi Kurikulum 2013 SMA Matematika. Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu
Pendidikan: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2013).
Sunendar, T. Kerangka dan Satuan Kurikulum 2013. Tersedia: www.lpmpjabar.go.id [24 september
2013].
452
OPEN-ENDED PROBLEMS
BERBASIS KURIKULUM 2013
1. Pendahuluan
Becker dan Shimada (2007:v) menerangkan bahwa antara tahun 1971 dan 1976 para ahli
pendidikan matematika Jepang melakukan serangkaian penelitian dan dari penelitian-
penelitian itu menunjukkan bahwa penggunaan open-ended problems ternyata mengandung
potensi yang sangat besar untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika, maka
selanjutnya dilakukan sintesis terhadap semua hasil penelitian di atas sehingga dapat dikenal
secara luas oleh masyarakat pendidikan matematika internasional
Open-ended problems merupakan masalah terbuka (non rutin) dan salah satu acuan dalam
mengonstruksinya (Sawada dalam Becker dan Shimada, 2007: 28) yaitu menyajikan
453
permasalahan melalui situasi fisik yang nyata di mana konsep-konsep matematika dapat
diamati dan dikaji siswa.
Tujuan dari pembelajaran open-ended problems menurut Nohda (dalam Suherman dkk,
2001:114) ialah untuk membantu mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematis
siswa melalui penyelesaian masalah secara simultan. Dengan kata lain, kegiatan kreatif dan
pola pikir matematis siswa harus dikembangkan semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki setiap siswa. Hal yang dapat digarisbawahi adalah perlunya
memberi kesempatan siswa untuk berpikir dengan bebas sesuai dengan minat dan
kemampuannya. Aktivitas kelas yang penuh dengan ide-ide matematika ini pada gilirannya
akan memacu kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hadi dan Mulyatiningsih (2009), tentang hasil
identifikasi pertanyaan yang terdapat pada kuesioner PISA untuk siswa, ditemukan delapan
faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa. Faktor-faktor tersebut sebagian besar
termasuk pada kelompok fasilitas pendukung belajar, dan yang paling berpengaruh terhadap
prestasi belajar (yang akan tergambar pada hasil PISA) yaitu kemampuan membaca, dana
bantuan sponsor, dan jumlah komputer untuk semua, serta fasilitas pendidikan dan komputer
yang terhubung ke internet. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa alat multimedia
mempunyai pengaruh yang penting dalam meningkatkan prestasi belajar siswa.
Sehubungan dengan hal pentingnya peran multimedia tersebut, saat ini pemerintah telah
merancang dengan baik Kurikulum 2013 yang berusaha menggiatkan peran multimedia
dalam proses pembelajaran (Kemdikbud, 2013:12-13).
Pada makalah ini, penulis akan membahas open-ended problems berbasis Kurikulum 2013,
dengan poin utama memakai konteks dunia nyata, yang sesuai juga dengan acuan pembuatan
open-ended problems, dan menggunakan alat multimedia, yang dalam kajian ini
menggunakan video pembelajaran. Dari pembahasan ini, diharapkan dapat menjadi bahan
dalam mengembangkan pembelajaran dalam Kurikulum 2013 serta diharapkan dengan
penerapannya dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, sehingga dapat turut
menyukseskan pelaksanaan Kurikulum 2013 dalam meningkatkan kualitas pembelajaran
terutama dalam penggunaan konteks dunia nyata dan alat teknologi informasi dan
komunikasi.
454
2. Kajian Teori
Hal ini senada dengan pendapat Shimada (dalam Becker dan Shimana, 2007:1) yang
menjelaskan bahwa open-ended problems atau masalah terbuka adalah masalah yang
diformulasikan memiliki multijawaban yang benar disebut juga masalah tak lengkap. Contoh
penerapan open-ended problems dalam kegiatan pembelajaran adalah ketika dalam
pembelajaran tersebut meminta siswa untuk mengembangkan metode, cara, atau pendekatan
yang berbeda dalam menjawab permasalahan yang diberikan dan bukan berorientasi pada
jawaban (hasil) akhir. Siswa dihadapkan dengan open-ended problems tujuan utamanya
bukan untuk mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada cara bagaimana sampai
pada suatu jawaban. Dengan demikian bukanlah hanya ada satu pendekatan atau metode
dalam mendapatkan jawaban namun beberapa atau banyak. Sifat “keterbukaan” dari problem
itu dikatakan hilang apabila guru hanya mengajukan satu alternatif cara dalam menjawab
permasalahan.
Tujuan dari pemberian Open-ended problems menurut Nohda (dalam Suherman dkk,
2001:114) ialah untuk membantu mengembangkan kegiatan kreatif dan pola pikir matematis
siswa melalui penyelesaian masalah secara simultan. Dengan kata lain, kegiatan kreatif dan
pola pikir matematis siswa harus dikembangkan semaksimal mungkin sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki setiap siswa. Hal yang dapat digarisbawahi adalah perlunya
memberi kesempatan siswa untuk berpikir dengan bebas sesuai dengan minat dan
kemampuannya. Aktivitas kelas yang penuh dengan ide-ide matematika ini pada gilirannya
akan memacu kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa.
Dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pemberian open-ended problems ini adalah agar
kemampuan berpikir matematika siswa dapat berkembang secara maksimal dan pada saat
yang sama kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap siswa terkomunikasikan melalui proses
pembelajaran. Inilah yang menjadi pokok pikiran pembelajaran dengan Open-ended
problems, yaitu pembelajaran yang membangun kegiatan interaktif antara matematika dan
siswa sehingga mendorong siswa untuk menjawab permasalahan melalui berbagai strategi.
455
Yang dimaksud kegiatan siswa harus terbuka adalah kegiatan pembelajaran harus
mengakomodasi kesempatan siswa untuk melakukan segala sesuatu secara bebas sesuai
kehendak mereka.
Dalam penggunaan problem, kegiatan matematik juga dapat dipandang sebagai operasi
kongkrit benda yang dapat ditemukan melalui sifat-sifat inheren. Analogi dan inferensi
terkandung dalam situasi lain misalnya dari jumlah benda yang lebih besar. Jika proses
penyelesaian suatu problem mengundang prosedur dan proses diverifikasi dan
generalisasi, kegiatan matematika dalam pemecahan masalah seperti ini dikatakan
terbuka.
Kegiatan siswa dan kegiatan matematik dikatakan terbuka secara simultan dalam
pembelajaran, jika kebutuhan dan berpikir matematik siswa terperhatikan guru melalui
456
Jika guru tidak memahami permintaan siswa, ia harus sabar dan menyadari secara
positif misalnya dengan cara menyuruh siswa mengemukakannya kembali dengan
tenang. Pada dasarnya, pemberian open-ended problems bertujuan utuk mengangkat
kegiatan kreatif siswa dan berpikir matematika secara simultan. Oleh karena itu hal
yang perlu diperhatikan adalah kebebasan siswa untuk berpikir dalam membuat progres
pemecahan sesuai dengan kemampuan, sikap, dan minatnya sehingga pada akhirnya
akan membentuk intelegensi matematika siswa.
Menurut Manfaat (2010:72) kemasan itu penting. Jadi dalam mengonstruksi dan menyajikan
masalah open-ended juga harus dibuat semenarik mungkin sehingga menimbulkan semangat
dan ketertarikan siswa untuk membaca dan menyelesaikannya.
457
Menurut Becker dan Shimada (2007:1), soal atau masalah yang diformulasikan memiliki
banyak jawaban benar disebut masalah tak lengkap (incomplete) atau masalah terbuka (open-
ended). Pada masalah open-ended, siswa dibiarkan untuk mengalami masalah dengan angka-
angka yang tidak beraturan, angka-angka yang banyak, informasi yang tidak lengkap atau
mempunyai solusi-solusi ganda, masing-masing dengan konsekuensi-konsekuensi yang
berbeda. Jadi jenis soal yang digunakan dalam pembelajaran melalui pendekatan open-ended
ini adalah masalah yang bukan rutin dan bersifat terbuka.
Menurut Becker dan Shimada (2007:35), kegiatan siswa dalam pembelajaran dengan
pendekatan open-ended dan dalam menyelesaikan open-ended problems ini dapat dievaluasi
dengan menggunakan beberapa kriteria berikut.
1. Kemahiran (fluency)
Kriteria ini dimaksudkan untuk mengetahui berapa banyak solusi yang dapat dibuat oleh
setiap siswa. Hal ini dapat menunjukkan kemampuan siswa dalam menggunakan
beberapa metode penyelesaian.
2. Fleksibilitas (flexibility)
Kriteria ini dimaksudkan untuk mengetahui berapa banyak ide matematika ditemukan
oleh siswa.
3. Keaslian (originality)
Kriteria ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat keaslian gagasan siswa dalam
memberikan jawaban yang benar.
Untuk menilai hasil kerja Open-ended problem salah satu caranya adalah dengan
menentukan skor dari jawaban siswa melalui rubrik. Rubrik ini merupakan skala penilaian
yang digunakan untuk menilai jawaban siswa dalam soal-soal open-ended. Banyak jenis
rubrik berbeda yang digunakan oleh individu dan sekolah. Berikut rubrik penilaian yang
dapat digunakan untuk menilai hasil kerja open-ended problems.
458
Pada tahun 2013 ini, kurikulum mengalami berbagai perubahan dalam perumusannya dari
kurikulum sebelumnya. Berikut penyempurnaan pola pikir dari kurikulum sebelumnya
menuju Kurikulum 2013.
Berdasarkan tabel 2 di atas, maka pada kajian ini penulis akan berorientasi pada poin nomor
5 dan nomor 9, yaitu memakai konteks dunia nyata dan menggunakan alat multimedia yang
dalam kajian ini menggunakan video pembelajaran.
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, pada Kurikulum 2013 salah satu poin penting
dalam pola pikirnya adalah memakai konteks dunia nyata dan menggunakan alat multimedia
dalam pembelajarannya. Telah disampaikan juga sebelumnya bahwa penggunaan konteks
dunia nyata cocok dengan acuan mengkonstruksi pembelajaran dengan open-ended
problems, dan dengan penggunaan multimedia dalam pembelajaran dapat meningkatkan
hasil belajarnya.
Penggunaan konteks dunia nyata ini tidak sekedar menunjukkan adanya suatu koneksi
dengan dunia nyata tetapi lebih mengacu kepada penggunaan suatu situasi yang bisa
dibayangkan oleh siswa (Wijaya, A., 2012:20). Penggunaan konteks, menurut Treffers
(dalam Wijaya, A., 2012:21), adalah sebagai titik awal dalam pembelajaran matematika.
Melalui penggunaan konteks, siswa dilibatkan secara aktif untuk melakukan kegiatan
eksplorasi permasalahan. Hasil eksplorasi siswa tidak hanya bertujuan untuk menemukan
jawaban akhir dari permasalahan yang diberikan (open-ended problems), tetapi juga
diarahkan untuk mengembangkan berbagai strategi penyelesaian masalah yang bisa
digunakan. Penggunaan konteks di awal pembelajaran adalah untuk meningkatkan motivasi
dan ketertarikan siswa dalam belajar matematika (Kaiser dalam De Lange dalam Wijaya,
2012).
460
Video efektif untuk menyampaikan informasi dan pendidikan. Warsito, B (2008: 33)
mengatakan bahwa media video mempunyai potensi meningkatkan pengetahuan,
menumbuhkan keinginan motivasi untuk memperoleh informasi lanjut, meningkatkan
kemampuan berbahasa, meningkatkan kreativitas/imajinasi, meningkatkatkan berpikir kritis,
serta dapat memicu minat baca.
Menurut Munadi, Y (2008:127) video dapat diulangi bila perlu untuk menambah kejelasan,
sehingga pada proses pembelajaran, semua peserta didik dapat belajar melalui video. Video
pembelajaran kaya informasi dan lugas karena dapat sampai kehadapan siswa secara
langsung. Video menambah suatu dimensi baru terhadap pelajaran, proses pembelajaran juga
menjadi lebih bervariasi (Daryanto, 2010:90).
Sebagai contoh, kita akan mengajar pada kelas X semester 2 tentang fungsi kuadrat.
Kemudian kita meminta siswa untuk menganalisis suatu video, lalu menyelidiki, dan pada
akhirnya dapat menyimpulkan hasilnya sesuai kemampuan.
Berikut ini contoh kasus penggunaan konteks dan video pembelajaran tersebut, dengan
menggunakan tipe soal end product are open.
Saksikanlah video berikut. (akan disajikan video seorang anak bermain ayunan seperti
tergambar pada screenshot video di bawah ini).
Pada video tersebut, ada anak-anak yang sedang bermain ayunan. Coba kamu buat sketsa
gerakan dari ayunan pada video tersebut.
a. Menyerupai gambar apakah sketsamu itu?
b. Bagaimana dengan pergerakan grafiknya?
c. Dimana letak sumbu semetri grafik?
d. Titik puncak pada grafik merupakan suatu titik balik. Bagaimana letak titik puncak
grafik tersebut?
e. Perhatikan fungsi-fungsi berikut ini.
1) y 3x 2 3x 6 3) y 2 x 2 5x 3 5) y 4 3x x 2
2) y 4 x x 2 4) y 5 4 x x 2 6) y x 2 2 x 3
a) Selidikilah fungsi-fungsi nomor berapa yang memiliki sifat sama dengan grafik
hasil sketsamu?
b) Dari hasil penyelidikan tersebut, bagaimana kita menyatakan bentuk umum dari
fungsi-fungsi yang mempunyai sifat sama dengan grafik?
c) Lalu, apakah bentuk umum dari fungsi-fungsi tersebut dapat kita pakai untuk
menyatakan bentuk umum dari grafik seperti sketsa pergerakan ayunan yang
telah kamu buat?
d) Buatlah kesimpulanmu.
Dari contoh ini, berarti kita telah memakai konteks dunia nyata, dengan menampilkan anak-
anak yang sedang bermain, sekaligus menggunakan alat multimedia yaitu video
pembelajaran.
a. Dalam proses pembelajaran dengan open-ended problems, siswa diberikan masalah lalu
mereka mengembangkan metoda, cara, atau pendekatan yang berbeda-beda dalam upaya
memperoleh jawaban benar.
b. Open-ended problems memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran matematika karena tujuan dari pemberian open-ended problems adalah
agar kemampuan berpikir matematika siswa dapat berkembang secara maksimal dan
pada saat yang sama kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap siswa terkomunikasikan.
c. Acuan dalam mengkonstruksi open-ended problems, diantaranya adalah menyajikan
permasalahan melalui situasi fisik yang nyata di mana konsep-konsep matematika dapat
diamati dan dikaji siswa.
462
Daftar Pustaka
Becker, Jerry P dan Shigeru Shimada. 2007. The Open Ended Approach: A New Proposal for
Teaching Mathematics. The United States of America: The National Council of Teachers of
Mathematics Inc.
Daryanto. 2010. Media Pembelajaran. Yogyakarta: Gava Media.
Giordano, Timothy. 2006. SRA Mathematics Scoring Open-Ended Items.
http://www.state.nj.us/education/assessment/hs/sra/scoring.pdf. Diakses pada 16 Desember
2013
Hadi, Samsul dan Endang Mulyatiningsih. 2009. Model Trend Prestasi Siswa Berdasarkan Data
PISA Tahun 2000, 2003, dan 2006. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Kemdikbud. 2013. Rasional Kurikulum 2013. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Manfaat, Budi. 2010. Membumikan Matematika, dari Kampus ke Kampung. Cirebon: Eduvision
Publishing.
Munadi, Yudhi. 2008. Media Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada
OECD. 2010. PISA 2009 Results:What Students Know and Can Do, Student Performance in
Reading, Mathematics and Science (Volume I).
http://www.oecd.org/pisa/pisaproducts/48852548.pdf. Diakses tanggal 8 November 2013.
Suherman, Erman, dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.
Tim Pengembang Ilmu Pendidikan. 2007. Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Bagian 3, Pendidikan
Disiplin Ilmu. Bandung: Imperial Bhakti Utama.
Warsito, Bambang. 2008. Teknologi Pembelajaran Landasan dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Wijaya, Ariyadi. 2012. Pendidikan Matematika Realistik, Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran
Matematika.Yogyakarta: Graha Ilmu.
Zubaidah. 2010. The Implementation Of Mathematics Teaching With Open-Ended Approach To Uin
Suska Riau Mathematics Student's Ability Of Mathematical Creative Thinking. Dalam Mashadi,
Syamsudhuha, MDH Gamal dan M. Imran (Editor) Proceedings of the International Seminar on
Mathematics and Its Usage in Other Areas. Tersedia http://repository.unri.ac.id/bitstream/
123456789/466/1/zubaidah1.PDF. Diakses tanggal 8 November 2013.
463
1. Pendahuluan
Pendidikan akan terlaksana dengan baik, sangat membutuhkan guru yang profesional.
Menurut Slameto (2002), dalam mengajar yang dipentingkan adanya partisipasi antara guru
dan peserta didik. Melalui proses pembelajaran yang dilaksanakan akan menemukan
perbedaan secara individual, perbedaan itu berupa kecakapan potensial yang meliputi
kecepatan, ketepatan dan kemudahan dalam menerima pelajaran. Perbedaan individual ini
harus disikapi oleh guru dengan bijaksana, artinya sebagai seorang guru harus
mengupayakan semaksimal mungkin agar setiap peserta didik dapat mencapai tujuan belajar
meski dengan perbedaan yang ada.
Menurut (Dimyati, 1999), pembelajaran secara individual menitikberatkan pada bantuan dan
bimbingan belajar kepada masing-masing individu. Peserta didik dapat belajar sesuai dengan
464
Pembelajaran yang digunakan di Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unsri mata
kuliah Evaluasi Pembelajaran adalah pembelajaran klasikal. Kelemahan pembelajaran
klasikal memaksa semua peserta didik mempelajari bahan yang sama menurut kecepatan
yang sama. Peserta didik dengan kemampuan belajar lebih tinggi akan menunggu peserta
didik lain, sehingga mereka sulit mengeksplorasi kemampuan dirinya dan akhirnya
kemampuan belajar individual tidak optimal. Agar kemampuan belajar peserta didik menjadi
maksimal dapat dilakukan dengan memberikan materi dan serangkaian tugas dengan
menggunakan modul sehingga peserta didik dapat belajar secara mandiri di rumah. Atas
dasar itulah modul ini dikembangkan dengan menggunakan teori belajar konstruktivisme
yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran. Salah satu alternatif teori belajar yang dapat
digunakan adalah konstruktivisme dimana peserta didik mengonstruk sendiri
pengetahuannya didalam pikirannya baik secara individu maupun bersama teman (diskusi).
Konstruktivisme adalah salah satu aliran filsafat yang mempunyai pandangan bahwa
pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi atau bentukkan diri kita sendiri,
sehingga akan mampu membangun serta meningkatkan pengetahuan peserta didik.
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Indaryanti (2008) dengan judul
“Pengembangan Modul Pembelajaran Individual dalam mata pelajaran Matematika di kelas
XI SMA Negeri I Palembang” dikatakan bahwa pembelajaran dengan modul memiliki
potensial efek dilihat dari ketercapaian indikator.
Dari penelitian sebelumnya, terlihat bahwa belum ada yang meneliti tentang pengembangan
modul evaluasi pembelajaran dan menggunakan teori belajar konstruktivisme. Berdasarkan
uraian diatas maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian pengembangan dengan
judul penelitian “Pengembangan Modul Evaluasi Pembelajaran menggunakan Teori Belajar
Konstruktivisme di Program Studi P. Matematika FKIP Unsri”.
Tujuan dalam penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui karakteristik modul evaluasi
pembelajaran menggunakan teori belajar konstruktivisme yang valid dan praktis; (2) untuk
mengetahui efek potensial modul evaluasi pembelajaran menggunakan teori belajar
konstruktivisme yang dikembangkan bagi peserta didik semester 5 program studi P.
Matematika FKIP Unsri.
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Modul
Modul adalah suatu proses pembelajaran mengenai suatu satuan bahasan tertentu yang
disusun secara sistematis, operasional dan terarah untuk digunakan oleh peserta didik,
disertai dengan pedoman penggunaannya untuk guru (Sudrajat, 2008). Menurut Nasution
(2011), modul adalah suatu kesatuan yang bulat dan lengkap yang terdiri atas serangkaian
kegiatan belajar yang dapat memberikan hasil belajar yang efektif, untuk mencapai tujuan
465
yang dirumuskan secara jelas dan spesifik. Menurut Russel dalam Ruseffendi (2006), modul
berarti suatu paket pengajaran yang memuat suatu unit konsep bahan pengajaran yang dapat
dipelajari sendiri (self instructional). Definisi lain tentang modul adalah satu unit
pembelajaran individu yang memiliki tema terpadu, mempersiapkan peserta didik dengan
informasi yang diperlukan untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan tertentu, dan
menyediakan materi pelajaran sebagai suatu komponen dari sejumlah kurikulum, Dick &
Carey (1978).
Dari semua uraian diatas dapat disimpulkan bahwa modul adalah suatu unit yang terdiri atas
serangkaian kegiatan belajar yang disusun secara sistematis untuk membantu peserta didik
mencapai tujuan yang telah dirumuskan dengan hasil yang efektif, atau secara singkat dapat
dikatakan bahwa modul merupakan paket kurikulum yang disediakan untuk peserta didik
belajar mandiri. Pembelajaran dengan modul adalah pembelajaran yang menggunakan
modul. Modul yang sederhana sekalipun hendaknya membuat pernyataan tertulis bagi
peserta didik yang membuat peserta didik belajar tentang materi tersebut dan cara menguji
peserta didik, Dick & Carey (1978). Artinya setiap modul sekurang-kurangnya mengandung
materi pelajaran, soal latihan dan uji kemampuan.
2.2 Evaluasi
Dalam evaluasi selalu mengandung proses. Proses evaluasi harus tepat terhadap tipe
tujuan yang biasanya dinyatakan dalam bahasa perilaku. Dikarenakan tidak semua
perilaku dapat dinyatakan dengan alat evaluasi yang sama, maka evaluasi menjadi salah
satu hal yang sulit dan menantang, yang harus disadari oleh para guru. Menurut Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 57 ayat (1), evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara
nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggaran pendidikan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan, di antaranya terhadap peserta didik, lembaga, dan program
pendidikan.
Beberapa tingkah laku yang sering muncul serta menjadi perhatian para guru adalah
tingkah laku yang dapat dikelompokkan menjadi tiga ranah, yaitu pengetahuan
intelektual (cognitives), keterampilan (skills) yang menghasilkan tindakan, dan bentuk
lain adalah values dan attitudes atau yang dikategorikan ke dalam affective domain.
Evaluasi harus dilakukan secara sistematis dan kontinu agar dapat menggambarkan
kemampuan para siswa yang dievaluasi. Kesalahan utama yang sering terjadi diantara
para guru adalah bahwa evaluasi hanya dilakukan pada saat-saat tertentu, seperti pada
akhir unit, pertengahan, dan akhir suatu program pengajaran. Akibat yang terjadi adalah
minimnya informasi tentang para siswa sehingga menyebabkan banyaknya perlakuan
prediksi guru menjadi bias dalam menentukan posisi mereka dalam kegiatan kelasnya.
Dalam pengembangan instruksional, evaluasi hendaknya dilakukan semaksimal mungkin
dalam suatu kegiatan. Ini dianjurkan karena untuk mendapatkan informasi yang banyak
tentang kegiatan siswa di kelas dan kemudian digunakan untuk menilai tingkat
keterlaksanaan program seperti yang direncanakan.
466
3. Metode Penelitian
3.1 Metode
Metode dalam penelitian ini adalah metode development/design research (Akker, J.v.d.
1999). Penelitian pengembangan ini adalah jenis penelitian yang ditujukan untuk
menghasilkan modul evaluasi pembelajaran menggunakan teori belajar konstruktivisme
yang valid dan praktis. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap preliminary
yaitu persiapan dan tahap formative evaluation (Tessmer, 1993) yang meliputi self
evaluation, prototyping (expert reviews dan one-to-one, dan small group), serta field test.
Expert Review
One-to-one
Berdasarkan metode dan prosedur penelitian di atas, maka teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini untuk masing-masing tahapan adalah.
a. Tahap Preliminary
Dokumen
Dokumen yang digunakan dalam hal ini adalah kurikulum yang sesuai dengan mata
kuliah evaluasi pembelajaran. Kemudian peneliti mendesain draf modul yang meliputi
467
materi dan soal latihan. Maka pada tahap ini diperoleh draf prototipe pertama yang
berupa modul evaluasi pembelajaran berdasarkan pendekatan konstruktivisme.
1) Self Evaluation
Dokumen
Dokumen yang digunakan dalam hal ini adalah peneliti mengevaluasi modul yang
meliputi materi dan soal latihan yang didasarkan pada isi, konstruk, dan bahasa. Maka
pada tahap ini diperoleh prototipe pertama yang berupa modul evaluasi pembelajaran
berdasarkan pendekatan konstruktivisme.
2) Expert Review
Walk Through
Walk through dilakukan dengan pakar, kemudian pakar memberikan saran atau
masukan tentang kejelasan modul, kesesuaian konteks yang digunakan. Prosedur yang
digunakan antara lain:
(a) Mula-mula peneliti memberikan hasil dari pembuatan prototipe modul evaluasi
pembelajaran kepada pakar (prototipe pertama).
(b) Pakar mengevaluasi semua modul tersebut, kemudian memberikan saran-saran
perbaikan dengan bantuan instrumen.
(c) Peneliti melakukan perbaikan terhadap modul tersebut, dengan mempertimbangkan
semua komentar dan saran dari pakar.
3) One-to-One
Walk Through
Walk through dilakukan dengan peserta didik, kemudian peserta didik memberikan
saran atau masukan tentang kejelasan modul. Prosedur yang digunakan antara lain:
(a) Mula-mula peneliti memberikan hasil dari pembuatan prototipe modul evaluasi
pembelajaran kepada peserta didik (prototipe pertama).
(b) Peserta didik memberikan saran-saran perbaikan dari sudut pandang peserta didik.
(c) Peneliti melakukan perbaikan terhadap modul tersebut, dengan mempertimbangkan
semua komentar dan saran dari peserta didik.
468
Dokumen
Dokumen yang digunakan pada one to one evaluation berupa lembar komentar/saran
peserta didik dan lembar jawaban peserta didik untuk modul prototipe pertama. Analisis
dilakukan terhadap lembar komentar/saran peserta didik dan lembar jawaban peserta
didik program studi Matematika FKIP Palembang yang terdiri dari tiga orang peserta
didik dengan kemampuan matematika tinggi, sedang, dan rendah untuk melihat
kevalidan modul yang dibuat oleh peneliti yang meliputi keterjelasan dan
kebermaknaan modul.
4) Small Group
Dokumen
Dokumen yang digunakan adalah dokumen berupa lembar komentar/saran peserta didik
dan lembar jawaban peserta didik untuk modul kedua. Analisis dilakukan terhadap
lembar komentar/saran peserta didik dan lembar jawaban peserta didik program studi
Matematika FKIP Palembang yang bukan merupakan subjek penelitian yang terdiri dari
6 peserta didik dengan kemampuan matematika tinggi (2 peserta didik), sedang (2
peserta didik), dan rendah (2 peserta didik). Analisis dokumen pada small group ini
untuk melihat kepraktisan modul evaluasi pembelajaran yang berupa mudah dipakai
atau digunakan.
Sebelum soal diujicobakan di field test, peneliti melakukan uji coba soal prototipe kedua
pada peserta didik Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unsri Kampus
Palembang non subjek penelitian yang berjumlah 36 peserta didik.
5) Field Test
Tes
Tes formatif pada modul evaluasi pembelajaran prototipe ketiga digunakan untuk
memperoleh data tentang efek potensial terhadap modul yang dikembangkan. Tes terdiri
dari tes formatif pada setiap bagian pada modul.
Kriteria keberhasilan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah dihasilkannya produk
modul evaluasi pembelajaran yang valid dan praktis, dapat dilaksanakan dan diterapkan.
Kevalidan dari modul evaluasi pembelajaran yang didapat berdasarkan hasil validasi
dari pakar (expert review) dan one to one yang didapat dari semua saran, komentar, dan
masukan pada tahapan formative evaluation, yang dikonsultasikan dengan pakar (ahli),
dan analisis butir soal (validitas butir soal) pada tes formatif.
Kepraktisan modul dilihat dari hasil pengamatan pada uji coba small group, yang
diberikan kepada kelompok kecil peserta didik, yang terdiri dari 6 orang peserta didik.
Kepraktisan berarti mudah dipakai oleh pengguna, dan dapat diberikan serta digunakan
469
oleh semua peserta didik. Dalam penelitian ini, modul dinyatakan praktis, jika
terkategori dengan baik sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, yaitu.
(a) Sesuai dengan alur pikiran peserta didik.
(b) Konteks yang diberikan peserta didik mengetahui.
(c) Mudah dibaca, dan tidak menimbulkan penafsiran yang beragam.
Efek potensial modul evaluasi pembelajaran akan dilihat dari hasil tes soal-soal formatif
yang diberikan pada field test.
4.1 Hasil
Penelitian dibagi menjadi tiga tahapan yaitu tahapan persiapan, tahapan pelaksanaan, dan
tahapan pengolahan data.
Preliminary Study
Pada tahap persiapan ini, terdapat beberapa hal yang dilakukan oleh peneliti yaitu a)
melakukan persiapan tempat penelitian untuk menentukan permasalahan dalam penelitian, b)
menentukan subjek penelitian, c) membuat perangkat pembelajaran yang diperlukan, seperti
silabus, serta membuat perangkat pembelajaran yang diperlukan selama penelitian, yaitu
modul berbasis teori belajar konstruktivisme, serta soal tes.
Berdasarkan hasil rapat Program Studi, peneliti mengajar di program studi Pendidikan
Matematika S1 Kampus Indralaya dan Palembang. Kelas yang akan dijadikan subjek
penelitian yaitu Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unsri Kampus Indralaya.
Peneliti juga menyiapkan silabus, peneliti juga meminta masukan dari tim pengajar tempat
penelitian tentang silabus yang telah dibuat, Sebelum melakukan pendesainan materi ajar,
peneliti terlebih dahulu menentukan materinya serta kompetensi dasar yang akan digunakan
dalam penelitian ini. Modul yang dikembangkan pada mata kuliah evaluasi pembelajaran
yang diajarkan pada peserta didik semester 5. Pada tahap pendesainan modul evaluasi
pembelajaran yang dilakukan peneliti adalah dihasilkannya draf modul yang mengacu pada
teori belajar konstruktivisme.
470
Formative Evaluation
Self Evaluation
Tahap ini mengevaluasi meliputi analisis kurikulum, desain silabus, modul evaluasi
pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivisme dan dihasilkan prototipe I.
Expert Review
Pada tahap ini validitas modul evaluasi pembelajaran dikonsultasikan dan diperiksa
berdasarkan konten, konstruk, dan bahasa oleh pakar pendidikan. Selain itu, peneliti
meminta pendapat dari beberapa teman sejawat sebagai validator di bidang pendidikan.
Berdasarkan komentar dan saran dari pakar dan teman sejawat tersebut, maka diambil
langkah tindakan revisi sebagai berikut.
1. Modul dirancang sudah sesuai dengan konten materi evaluasi.
2. Harus sesuai dengan kelengkapan modul.
3. Modul ditambahkan materi yang belum ada dengan modul lain yaitu tentang PISA dan
TIMSS.
One-to-One
Desain modul evaluasi pembelajaran diuji coba pada tiga orang peserta didik secara satu per
satu (one-to-one). Setiap bagian dari modul tersebut divalidasi untuk mengetahui kejelasan
dan kesalahan-kesalahan yang mendasar.
Pada tahap ini peneliti menyampaikan maksud ujicoba modul kepada peserta didik, bahwa
ujicoba tidak semata-mata untuk melihat kemampuan mereka dalam memahami maksud
bahasa modul, atau apakah ada yang tidak dimengerti atau jelas oleh peserta didik secara
satu persatu. Kesulitan dan kekurangan yang terjadi selama proses pelaksanaan uji coba one-
to-one dijadikan sebagai masukan untuk merevisi modul. Beberapa kesalahan yang ada
setelah dicobakan pada tahap ini di antaranya adalah adanya kesalahan pengetikan, urutan
pertanyaan yang kurang tepat, kekurangan-kekurangan yang ada selama tahap ini kemudian
diperbaiki, dan dihasilkan prototipe II.
Modul pada prototipe kedua yang merupakan hasil revisi dari expert review dan one- to- one
diujicobakan pada small group yang terdiri dari 6 orang peserta didik prodi matematika
kampus Palembang, yang mengikuti mata kuliah evaluasi pembelajaran. Peserta didik
diminta untuk mengerjakan semua modul dan soal pada akhir setiap bagian dalam modul
kemudian peserta didik diminta untuk memberikan saran dan komentar terhadap materi dan
soal pada bagian tes formatif.
Fokus analisis pada tahap ini adalah bagaimana implementasi dari modul yang telah direvisi
pada tahap sebelumnya pada saat diujicobakan pada kelompok kecil, apakah hasil revisi
471
modul dari tahap sebelumnya memberikan masukan terhadap tingkat pemahaman peserta
didik terhadap modul, ataukah hasil revisi justru membuat peserta didik semakin sulit
memahami maksud modul tersebut, dan dihasilkan prototipe III.
Modul evaluasi pembelajaran pada prototipe ketiga ini diujicobakan pada subjek penelitian
yaitu peserta didik Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Unsri yang mengikuti mata
kuliah evaluasi pembelajaran Kampus Indralaya. Dalam pembelajaran menggunakan modul
yang telah dikembangkan terdiri dari 9 bagian modul.
4.2 Pembahasan
Pada pembelajaran peserta didik diberi kesempatan untuk menggunakan pengetahuan yang
telah didapatkan sebelumnya untuk mengungkapkan pendapatnya. Cara peserta didik
menentukan penyelesaian masalah yang dimuat pada modul, terlihat bahwa peserta didik
diberikan kebebasan untuk memberikan pendapatnya berdasarkan pengetahuan yang dimiliki
sebelumnya. Hal ini sesuai dengan karakteristik teori konstruktivisme yaitu pengetahuan
tidak dapat dipindahkan dari dosen ke peserta didik, kecuali hanya dengan keaktifan peserta
didik sendiri untuk menalar.
Pada saat peserta didik melaksanakan diskusi kelompok, dosen mengamati kegiatan yang
dilakukan peserta didik, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan peserta didik yang muncul
saat mengerjakan modul. Peserta didik aktif mengonstruksi terus menerus, sehingga selalu
terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan
konsep ilmiah. Dosen sekedar membantu memberikan saran agar proses konstruksi peserta
didik berjalan mulus.
Dari modul yang telah dihasilkan, di akhir pertemuan ke 14, peserta didik mampu
merancang RPP, LKS, butir soal, dan rubrik soal untuk diujicobakan pada teman sejawat dan
kelompok kecil untuk mengetahui kemampuan peserta didik dalam memanfaatkan 9 modul
yang telah dikembangkan.
472
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
1. Melalui modul yang telah dikembangkan diharapkan bagi peserta didik dapat lebih
berani dalam membuat instrumen penelitian dan disesuai dengan langkah pengembangan
instrumen penelitian di lapangan.
2. Bagi pengajar mata kuliah evaluasi pembelajaran dapat menggunakan modul yang telah
dikembangkan.
Daftar Pustaka
Akker J.v.d., Principle and Methodes of Development Research in J.v.d Akker, R Branch, K
Gustalfon, N Nieveen ang Tj Plomp (Ed), Design Methodology and Development Research.
Dordrecht, Kluwer. (1999)
Dick W., and Carey L. The Systematic Design of Instructional Third Edition, Florida: Harper Collins
Publishers. (1978)
Dimyati. Belajar dan pembelajaran, Departemen Pendidikan dan kebudayaan bekerja sama dengan
Rineka Cipta, Jakarta. (1999)
Indaryanti. Pengembangan Modul Pembelajaran Individual dalam mata pelajaran Matematika di
Kelas XI IPA SMA Negeri I Palembang, Tesis (tidak publikasi). PPS Unsri: Universitas
Sriwijaya. (2008)
Mularsih H. Pembelajaran Individual dengan menggunakan Modul, Akademika, Jurnal Pendidikan
Universitas Taruma Negara, 9, 53-63 (2007)
Nasution. Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Jakarta: Bumi Aksara. (2001)
Sudrajat. Pembelajaran dengan Modul, http:// akhmad sudrajat. Wordpress. Com/2008/01/12/model
pembelajaran-2/ diakses tanggal 1 Maret 2012. (2008)
Slameto. Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rin eka Cipta (2002).
Tessmer, Martin. Planning and Conducting – Formative Evaluations. London, Philadelphia: Kogan
Page. (1993)
Zulkardi. Developing a learning environment on Realistic Mathematics Education for Indonesian
student teachers. Doctoral dissertation. Enschede: University of Twente. (2002).
473
1. Pendahuluan
Pada kurikulum KTSP pembelajaran tematik hanya diterapkan pada kelas I sampai dengan
kelas III dan tidak semua pengajar menerapkan hal yang demikian, sedangkan kelas IV
sampai dengan kelas VI masih menggunakan pendekatan mata pelajaran. Inti dari Kurikulum
2013, adalah ada pada upaya penyederhanaan, dan tematik-integratif. Titik berat pada
kurikulum 2013 bertujuan untuk mendorong peserta didik atau siswa, mampu untuk lebih
baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan
(mempresentasikan), apa yang telah mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima
materi pembelajaran. Adapun obyek yang menjadi pembelajaran dalam penataan dan
penyempurnaan kurikulum 2013 menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan
budaya. Melalui pendekatan itu diharapkan siswa kita memiliki kompetensi sikap,
ketrampilan, serta pengetahuan yang jauh lebih baik.
Pemilihan strategi pembelajaran pada dasarnya merupakan salah satu hal penting yang harus
dipahami oleh setiap guru, mengingat proses pembelajaran merupakan proses komunikasi
multiarah baik antar siswa, guru, kepala sekolah, staf, dan lingkungan sekitar sekolah. Dalam
474
pendidikan perlu sekali nilai-nilai luhur agama, kebangsaan, dan budaya untuk menjadikan
manusia yang dapat menempatkan dirinya sebagai sosok personal dan di salah satu sisinya
lagi mememiliki kecakapan sosial. Siswa diarahkan untuk memiliki kompetensi sikap,
ketrampilan, dan pengetahuan jauh lebih baik. Tujuan lainnya, agar siswa/peserta didik tidak
menjadi sosok yang asal menerima atau belajar untuk hafal. Ia diaharapkan lebih kreatif,
inovatif, dan lebih produktif. Konsep menjadi diri sendiri dengan mengembangkan aspek
kognitif, apektif, dan psikomotorik pada diri mereka dapat lebih digali. Diharapkan nantinya
siswa/peserta didi mampu menghadapi berbagai persoalan dan tantangan di zamannya.
Tentunya hal ini dengan acuan mampu berkancah pada tantangan global yang berakar pada
lokaliras. Dalam sistem tematik integratif ini, indikator mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial akan muncul di kelas IV, V, dan VI SD. Untuk mata
pelajaran IPA dan IPS di SD tidak diajarkan secara terpisah, tetapi indikatornya dibuat
muncul atau diperjelas sejak kelas IV SD.
Hal lain yang menjadi catatan adalah Kurikulum 2013 tersebut bisa disebut kurikulum
minimal. Di lapangan, guru serta sekolah mempunyai keleluasaan untuk mengembangkan
atau memperkaya materi. Dengan kata lain, Kurikulum 2013 menuntut guru untuk lebih bisa
mengembangkan cara pembelajaran yang asyik dan menyenangkan. Proses ini mungkin
tidak akan serta merta berubah dalam diri guru yang selama ini biasa "mencekoki" siswa
dengan penjelasan-penjelasan gaya satu arah. Oleh karena itu, sebagai pendidik, keinginan
untuk membangun karakter peserta didik dan keinginan untuk menjadikan peserta didik
memiliki pengetahuan dan wawasan keilmuan yang luas sangat dilematis dan ketika peserta
didik memasuki tingkat akhir, dihadapkan pada persiapan Ujian Nasional, hampir seluruh
energi dihabiskan dalam mempersiapkan ujian nasional dan tidak ada lagi waktu untuk
membentuk dan mengembangkan sikap atau karakter. Siapapun pendidik dan dalam jenjang
pendidikan apapun, tidak ada satupun yang menginginkan anak-anaknya gagal dalam Ujian
Nasional. Kalau sampai gagal, akan menjadi prestasi buruk bagi guru dan sekolah.
Kegiatan ekstrakurikuler menjadi wadah yang tepat dalam pembentukan dan pengembangan
karakter. Meskipun sebenarnya beberapa kurikulum telah mempersiapkan peserta didik
untuk memiliki karakter yang dipersyaratkan dalam tujuan pendidikan nasional. Pendidikan
Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan serta Pendidikan Seni dan Olahraga merupakan
beberapa kurikulum yang menghendaki peserta didik memiliki kompetensi spiritual,
kompetensi personal, kompetensi sosial dan kompetensi emosional secara seimbang.
Kompetensi-kompetensi tersebut merupakan dimensi pembentukan karakter memalui
pembelajaran secara tematik intregratif.
2. Pengertian Kurikulum
Menurut UU No. 20 Tahun 2003: Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pengertian ini juga tidak jauh berbeda dengan pendapat beberapa ahli diantaranya menurut
Kerr, J. F (1968): Kurikulum adalah semua pembelajaran yang dirancang dan dilaksanakan
475
secara individu ataupun secara kelompok, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Menurut
Inlow (1966): Kurikulum adalah usaha menyeluruh yang dirancang oleh pihak sekolah untuk
membimbing murid memperoleh hasil pembelajaran yang sudah ditentukan. Sehingga dari
beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah suatu program
pendidikan yang di rencanakan, di programkan, dan di rancang sedemikian rupa secara
sistematis yang berisi bahan ajar serta pengalaman belajar sehingga dalam program
pendidikan memiliki arah dan tujuan yang akan di capai dan dari hasil yang di capai kita
dapat merevisi ulang dan mengembangkan program pendidikan untuk memperoleh hasil
yang lebih baik dari sebelumnya sehingga suatu kurikulum pembelajaran dapat di katakan
selalu berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan pendidikan.
3. Kepramukaan
Kegiatan pendidikan kepramukaan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan spiritual
dan intelektual, keterampilan, dan ketahanan diri yang dilaksanakan melalui metode belajar
interaktif dan progresif. Kegiatan pendidikan kepramukaan dilaksanakan dengan
menggunakan sistem among. Sistem among merupakan proses pendidikan kepramukaan
yang membentuk peserta didik agar berjiwa merdeka, disiplin, dan mandiri dalam hubungan
timbal balik antarmanusia. Sistem among dilaksanakan dengan menerapkan prinsip
kepemimpinan: a. di depan menjadi teladan; b. di tengah membangun kemauan; dan c. di
belakang mendorong dan memberikan motivasi kemandirian. Gerakan Pramuka, merupakan
sala satu kegiatan ekstrakurikuler yang memiliki visi, misi, arah, tujan dan strategi yang
jelas. Jenis kegiatan pengembangan pada setiap satuan sekolah mulai dari pendidikan dasar
sampai pendidikan tinggi jelas tertuang dalam Prinsip Dasar Kepramukaan dan Metode
Kepramukaan. Gerakan Pramuka mendidik kaum muda Indonesia dengan Prinsip Dasar
Kepramukaan dan Metode Kepramukaan yang pelaksanaannya diserasikan dengan keadaan,
kepentingan dan perkembangan bangsa dan masyarakat Indonesia agar menjadi manusia
Indonesia yang lebih baik, dan anggota masyarakat Indonesia yang berguna bagi
pembangunan bangsa dan negara.
Gerakan Pramuka sendiri bertujuan mendidik anak-anak dan pemuda Indonesia dengan
prinsip-Prinsip Dasar dan Metode Kepramukaan yang pelaksanaannya disesuaikan dengan
keadaan, kepentingan dan perkembangan bangsa dan masyarakat Indonesia dengan tujuan
agar; anggotanya menjadi manusia yang berkepribadian dan berwatak luhur serta tinggi
mental, moral, budi pekerti dan kuat keyakinan beragamanya; anggotanya menjadi manusia
yang tinggi kecerdasan dan keterampilannya; anggotanya menjadi manusia yang kuat dan
sehat fisiknya; anggotanya menjadi manusia yang menjadi warga negara Indonesia yang
berjiwa Pancasila, setia dan patuh kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia; sehingga
menjadi angota masyarakat yang baik dan berguna, yang sanggup dan mampu
menyelanggarakan pembangunan bangsa dan negara. Tujuan tersebut merupakan cita-cita
Gerakan Pramuka.
Anak dapat mengkonstruksi pengetahuannya dengan baik, jika ia diberi peluang untuk dapat
aktif berinteraksi dalam pembelajaran, baik dengan guru, teman sebaya, media pengajaran,
lingkungan sosial, dan sebagainya. Dengan belajar secara aktif, anak dapat mengolah bahan
belajar, dan bertanya secara aktif, serta mencerna bahan dengan kritis, sehingga mampu
memecahkan permasalahan, membuat kesimpulan dan bahkan merumuskan suatu rumusan
menggunakan kata-kata sendiri. Peran guru sebagai fasilitator, dan motivator sangat penting
bagi keberhasilan anak dalam mengkonstruksi pengetahuannya, dan guru bukanlah sebagai
pentransfer ilmu pengetahuan semata.
Kemampuan berpikir menurut Taksonomi Bloom diatur ke dalam enam tingkatan, yaitu dari
yang terendah (knowledge) hingga yang tertinggi (evaluation). Tujuan ranah kognitif
berhubungan dengan ingatan atau pengenalan terhadap pengetahuan dan informasi serta
pengembangan keterampilan intelektual.
1. Evaluasi (Evaluation)
2. Sintesis (Synthesis)
3. Analisis (Analysis)
4. Aplikasi (Application)
5. Pemahaman (Comprehension)
6. Pengetahuan (Knowledge)
A. Standar Kompetensi
Matematika
B. Kegiatan Pembelajaran
Dengan menggunakan pola smaphore maka, guru dapat memberikan contoh pola sudut-sudut
yang ada.
a. Dengan menggabungkan beberapa kompetensi dasar dan indikator serta isi mata
pelajaran akan terjadi penghematan, karena tumpang tindih materi dapat dikurangi
bahkan dihilangkan,
b. Siswa mampu melihat hubungan-hubungan yang bermakna sebab isi/materi
pembelajaran lebih berperan sebagai sarana atau alat, bukan tujuan akhir,
c. Pembelajaran menjadi utuh sehingga siswa akan mendapat pengertian mengenai proses
dan materi yang tidak terpecah-pecah.
d. Dengan adanya pemaduan antar mata pelajaran maka penguasaan konsep akan semakin
baik dan meningkat,
Keuntungan pembelajaran tematik bagi guru antara lain adalah sebagai berikut:
Keuntungan pembelajaran tematik bagi siswa antara lain adalah sebagai berikut:
a. Bisa lebih memfokuskan diri pada proses belajar, daripada hasil belajar.
b. Menghilangkan batas semu antar bagian-bagian kurikulum dan menyediakan
pendekatan proses belajar yang integratif.
c. Menyediakan kurikulum yang berpusat pada siswa – yang dikaitkan dengan minat,
kebutuhan, dan kecerdasan; mereka didorong untuk membuat keputusan sendiri dan
bertanggung jawab pada keberhasilan belajar.
d. Merangsang penemuan dan penyelidikan mandiri di dalam dan di luar kelas.
e. Membantu siswa membangun hubungan antara konsep dan ide, sehingga meningkatkan
apresiasi dan pemahaman.
dengan berbagai kegiatan yang positif, akan tetapi telah meningkat menjadi kewajiban setiap
warga negara untuk mengimplementasikannya.
Jika kita resapi dan kita maknai secara mendalam selama ini selalu terpikirkan dalam otak
kiri para siswa adalah bagaimana dirinya mencapai nilai mata pelajaran IPA, Matematika,
Bahasa Inggris dan mata pelajarannya lainnya bisa tinggi dan memuaskan sehingga kegiatan-
kegiatan ekstra kurikuler yang melatih otak kanan terabaikan dan terkesan tidak dipedulikan,
oleh karena itu perlu keseimbangan antara otak kiri dan otak kanan. Kebijakan Pemerintah
menjadikan kegiatan kepramukaan sebagai kegiatan wajib ekstrakurikuler di sekolah adalah
kebijakan yang tepat dan langkah awal yang baik dalam menciptakan generasi muda yang
unggul dan memiliki kepribadian dan watak yang luhur. Tinggal sekarang, langkah apa yang
mesti disiapkan dan dilakukan oleh Gerakan Pramuka terhadap kebijakan pemerintah
tersebut sehingga peran yang diberikan dapat dilaksanakan dengan baik.
Tidak hanya itu metode kepramukaan merupakan salah cara belajar interaktif progresif
melalui:
a. Pengamalan Kode Kehormatan Pramuka.
b. Belajar sambil melakukan.
c. Sistem beregu.
d. Kegiatan yang menantang dan menarik serta
e. mengandung pendidikan yang sesuai dengan perkembangan rohani dan jasmani
anggota muda.
f. Kegiatan di alam terbuka.
g. Kemitraan dengan anggota dewasa dalam setiap kegiatan.
h. Sistem satuan terpisah untuk putra dan untuk putri.
i. Sistem tanda kecakapan
481
Sistem tanda kecakapan sebagai cara pemberian penghargaan kepada siswa atas prestasinya.
Dengan demikian siswa akan termotivasi untuk berbuat yang lebih baik dan sebagai motivasi
bagi yang belum mendapatkan prestasi.
Manfaat pembelajaran tematik sendiri dimana pembelajaran tematik lebih menekankan pada
keterlibatan siswa dalam proses belajar secara aktif dalam proses pembelajaran, sehingga
siswa dapat memperoleh pengalaman langsung dan terlatih untuk dapat menemukan sendiri
berbagai pengetahuan yang dipelajarinya. Melalui pengalaman langsung siswa akan
memahami konsep-konsep yang mereka pelajari dan menghubungkannya dengan konsep lain
yang telah dipahaminya.
Implementasi model pembelajaran tematik ini memerlukan adanya dedikasi yang tinggi dari
pihak guru. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya dalam melaksanakan model
pembelajaran ini yaitu sangat membutuhkan adanya kreativitas guru. Kreativitas guru yang
diperlukan, di antaranya (a) kreatif dalam memilih tema dan topik yang harus dikaitkan
dengan kebutuhan perkembangan dan minat peserta didik, dalam hal ini terkait dengan
kreatif dalam memilih bahan ajar yang relevan dengan tema dan topik tersebut, (b) kreatif
482
dalam membuat variasi keterpaduan baik intra maupun antarbidang studi, (c) kreatif dalam
mengelola kelas, dan (d) kreativitas dalam menciptakan aktivitas belajar yang bermakna
sehingga dapat menumbuhkembangkan kecerdasan majemuk peserta didik.
Gerakan Pramuka, merupakan salah satu kegiatan ekstrakurikuler yang memiliki visi, misi,
arah, tujan dan strategi yang jelas. Jenis kegiatan pengembangan pada setiap satuan sekolah
mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi jelas tertuang dalam Prinsip Dasar
Kepramukaan dan Metode Kepramukaan. Gerakan Pramuka mendidik kaum muda Indonesia
dengan Prinsip Dasar Kepramukaan dan Metode Kepramukaan yang pelaksanaannya
diserasikan dengan keadaan, kepentingan dan perkembangan bangsa dan masyarakat
Indonesia agar menjadi manusia Indonesia yang lebih baik, dan anggota masyarakat
Indonesia yang berguna bagi pembangunan bangsa dan negara, bahkan dalam kondisi saat
ini Metode Kepramukaan dianggap cocok sebagai media pembelajaran di sekolah dan sesuai
dengan kurikulum 2013. Sehingga kegiatan pramuka dapat dikatakan sebagai salah satu
pendekatan yang mengandung tematik intregatif.
Daftar Pustaka
Anggadiredja, Jana. T dkk. 2011. Kursus Pembina Pramuka Mahir Tingkat Dasar. Jakarta: Kwartir
Nasional-Gerakan Pramuka.
Anggadiredja, Jana. T. Dkk. 2011. Syarat Kecakapan Umum; Siaga. Jakarta: Kwartir Nasional-
Gerakan Pramuka.
Asagaf, Lubna. Dkk. 2013. Keluargaku. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebdayaan.
Mursitho, Joko. Dkk. 2011. Sistem Pendidikan & Pelatihan Gerakan Pramuka. Jakarta: Kwartir
Nasional-Gerakan Pramuka.
Sahlan, Asmaun & Prastyo, Angga Teguh. 2012. Desain Pembelajaran Berbasis Pendidikan
Karakter. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Uno, Hamzah. B & Mohamad, Nurdin. 2011. Belajar dengan Pendekatan PAILKEM: Pembelajaran
Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, Menarik. Jakarta: Bumi Aksara.
483
Kata Kunci. lesson study, model kooperatif, kemandirian belajar, prestasi belajar
1. Pendahuluan
Persamaan Diferensial merupakan salah satu mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh
setiap mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika FKIP UMS di semester V dengan bobot 3
SKS. Mata kuliah ini tidak berdiri sendiri. Kalkulus I, Kalkulus II, Kalkulus Lanjut, Matlab
dan Metode Numerik merupakan mata kuliah-mata kuliah lain yang berhubungan dengan
Persamaan Diferensial. Mata kuliah Persamaan Diferensial lebih bersifat aplikatif atau
terapan sehingga setelah memahami konsep materi yang ada, mahasiswa diharapkan mampu
untuk menerapkan konsep tersebut dalam suatu kasus atau permasalahan secara mandiri.
Berdasarkan pengalaman mengajar peneliti pada mata kuliah Persamaan Diferensial pada
tahun akademik 2011-2012 , mahasiswa yang mengikuti perkuliahan Persamaan Diferensial
pada umumnya masih banyak yang sekedar mendengarkan penjelasan dosen, bersikap pasif
dan hanya sekedar menunggu apa yang disampaikan oleh dosen sehingga tingkat
484
kemandirian belajarnya masih rendah Dampaknya adalah prestasi belajar mahasiswa yang
diraih pun juga masih kurang (Nilai ANUMS 2011-2012).
Rendahnya kemandirian dan prestasi belajar mahasiswa pada mata kuliah Persamaan
Diferensial juga dijumpai di kelas V-A Semester Gasal 2012-2013. Hal ini ditunjukkan oleh
indikator-indikator yang dijumpai pada observasi pendahuluan: terdapat 45 % mahasiswa
memiliki etos kerja yang tinggi, 37,5 % mahasiswa memiliki kepercayaan diri yang kuat,
25% mahasiswa berani mengambil resiko, 40% memiliki rasa tanggung jawab dan hanya
5 % mahasiswa yang mampu mengatasi masalah. Sedangkan untuk prestasi belajar, 25 %
mahasiswa mendapatkan nilai lebih dari 63.
Selain model pembelajaran yang digunakan oleh dosen, Subadi [5] menyatakan Lesson Study
merupakan alternatif untuk memperbaiki mindset dosen dalam proses perkuliahan. Menurut
Lewis [3] ide yang terkandung di dalam Lesson Study sebenarnya singkat dan sederhana,
yakni jika seorang guru/dosen ingin meningkatkan pembelajaran, salah satu cara yang paling
jelas adalah melakukan kolaborasi dengan guru/dosen lain untuk merancang, mengamati dan
melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang dilakukan.
Wiliam Cerbin and Bryan Kopp [7] menyatakan bahwa melalui Lesson Study guru dapat
saling berkolaborasi mengatasi permasalahan di kelas guna mencapai tujuan pembelajaran.
Sedangkan Nurhasanah [1] menyimpulkan dalam kegiatan Lesson Study, keaktifan
mahasiswa pada proses pembelajaran mata kuliah Perencanaan dan Pengembangan Program
Pengajaran Matematika dengan pendekatan konstruktivisme dan latar belakang kooperatif
terlihat dominan muncul pada kegiatan kelompok.
Rumusan masalah dalam penelitian ini: 1. Apakah ada peningkatan kemandirian belajar
mahasiswa pada mata kuliah Persamaan Diferensial di kelas VA Prodi Pendidikan
Matematika FKIP UMS Tahun 2012/2013 melalui implementasi Lesson Study dengan
Cooperatif Learning yang berbantuan Lembar Kerja Mahasiswa?. 2. Apakah ada
peningkatan prestasi belajar mahasiswa pada mata kuliah Persamaan Diferensial di kelas
VA Prodi Pendidikan Matematika FKIP UMS Tahun 2012/2013 melalui implementasi
Lesson Study dengan Cooperatif Learning yang berbantuan Lembar Kerja Mahasiswa?
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemandirian dan prestasi belajar
mahasiswa. Secara khusus bertujuan untuk: 1) meningkatkan kemandirian belajar mahasiswa
485
pada mata kuliah Persamaan Diferensial di kelas VA Prodi Pendidikan Matematika FKIP
UMS Tahun 2012/2013 melalui implementasi Lesson Study dengan Cooperatif Learning
yang berbantuan Lembar Kerja Mahasiswa. 2) meningkatkan prestasi belajar mahasiswa
pada mata kuliah Persamaan Diferensial di kelas VA Prodi Pendidikan Matematika FKIP
UMS Tahun 2012/2013 melalui implementasi Lesson Study dengan Cooperatif Learning
yang berbantuan Lembar Kerja Mahasiswa.
2. Metode Penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif dengan desain penelitian tindakan
kelas (Lesson Study Berbasis PTK). Penelitian dilaksanakan dalam 4 siklus, di mana setiap
siklusnya melalui 3 tahapan, yaitu plan – do – see
Penelitian dilaksanakan di Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UMS pada semester
Gasal 2012/2013, dengan subyek penerima tindakan mahasiswa kelas VA yang berjumlah 40
mahasiswa. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, catatan lapangan,
tes dan dokumentasi. Observasi ini dilaksanakan dengan pengamatan langsung terhadap
tindak mengajar dosen dan tindak belajar mahasiswa terutama yang berhubungan dengan
kemandirian. Catatan lapangan digunakan untuk mencatat temuan-temuan dalam
pembelajaran yang tidak tercantum dalam pedoman observasi. Tes digunakan untuk
mengetahui prestasi belajar mahasiswa. Sedangkan dokumentasi untuk merekam segala
proses pembelajaran. Instrumen yang digunakan berupa pedoman observasi, Lembar
Catatan Lapangan dan soal tes prestasi. Keabsahan data diperoleh dengan triangulasi sumber
dan metode.
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, dilakukan dengan metode alur yang
terdiri dari reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan atau verifikasi.
Siklus I dimulai dengan diskusi plan / perencanaan siklus I yang dilaksanakan oleh peneliti
bersama rekan sejawat di ruang dosen Pendidikan Matematika FKIP UMS pada tanggal 10
Oktober 2012. Pada tahap ini didiskusikan perangkat pembelajaran yang akan digunakan
pada saat Do, yang meliputi: Rencana Mutu Perkuliahan (RMP) beserta lampiran-
lampirannya ( materi tentang PD Non Eksak, media, instrumen penilaian dan lembar Kerja
Mahasiswa) ; Pedoman observasi yang akan digunakan ( untuk dosen dan mahasiswa ); serta
lembar catatan lapangan.
Do siklus I dilaksanakan pada hari Jumat, 12 Oktober 2012 pukul 09.15 – 11.45 WIB di
ruang C2.2. Pemberi tindakan adalah peneliti sebagai dosen model, sedangkan penerima
tindakan adalah 39 mahasiswa kelas VA. Peneliti dibantu oleh 5 orang dosen yang bertindak
sebagai observer.
486
Setelah do,langsung dilanjutkan dengan tahap see / refleksi. Beberapa hal yang diperoleh
dari hasil diskusi refleksi pada siklus ini adalah: pembelajaran sudah dilaksanakan sesuai
dengan rencana. Strategi Group investigasi telah dilaksanakan oleh dosen secara runtut.
Untuk tindak belajar mahasiswa yang berkaitan dengan kemandirian dan prestasi belajar,
pada siklus I ini kemandirian dan prestasi belajar sudah mengalami peningkatan
dibandingkan sebelum tindakan. Namun demikian, masih dijumpai beberapa kekurangan,
yaitu : 1) Ketika ada perwakilan kelompok yang presentasi, kelompok lain masih banyak
yang tidak memperhatikan, masih melanjutkan diskusi sendiri-sendiri. 2) RMP belum
dilampirkan dalam pedoman observasi. 3) Penilaian afektif mahasiswa belum dilaksanakan.
4) Saat diskusi berlangsung, masih banyak anggota kelompok yang diam saja.
Diskusi plan/perencanaan Lesson Study siklus II dilaksanakan oleh peneliti pada tanggal 12
Oktober 2012. Pada tahap ini dibahas persiapan untuk open lesson II yang akan dilaksanakan
tanggal 19 Oktober 2012 dengan memperhatikan rencana perbaikan pada siklus I.
Do siklus II dilaksanakan pada hari Jumat, 19 Oktober 2012 pukul 09.15 – 11.45 WIB di
ruang C2.2. Pada siklus II ini jumlah mahasiswa yang hadir ada 40 mahasiswa. Peneliti
dibantu oleh 4 orang dosen yang bertindak sebagai observer. Materi ajar pada tindakan siklus
kedua ini adalah menentukan penyelesaian umum PD Linear Tingkat Satu.
Tahap refleksi siklus II dilaksanakan setelah do siklus II berakhir. Beberapa hal yang
diperoleh dari hasil diskusi refleksi pada siklus II ini adalah: pembelajaran sudah
dilaksanakan sesuai dengan rencana. Strategi STAD dengan metode Discovery Learning
telah dilaksanakan oleh dosen secara runtut, pengorganisasian waktu sudah baik. Rencana
perbaikan pada siklus I untuk siklus II sudah dilaksanakan. Tindak belajar mahasiswa sudah
lebih baik. Mahasiswa sudah terlihat aktif dan bersemangat dalam mengikuti pembelajaran.
Hal-hal yang masih perlu mendapat perbaikan untuk tindak belajar mahasiswa adalah: 1)
Pada pertemuan keenam ini mahasiswa terlihat kurang mempersiapkan diri dalam hal materi.
2) Ketika proses diskusi berlangsung masih ada kelompok yang bermasalah. Kelompok VI
bermasalah dengan penguasaan materi, sedangkan kelompok VII terpecah menjadi 2
kelompok diskusi. 3) Pada saat presentasi, masih tetap ada yang tidak memperhatikan. 4)
Pada saat mengerjakan kuis individu, masih ada beberapa mahasiswa yang melakukan
kerjasama. 5) Penghargaan kelompok belum dapat diberikan pada siklus II dikarenakan
terkendala masalah waktu.
Diskusi plan/perencanaan Lesson Study siklus III dilaksanakan pada tanggal 14 November
2012 dengan memperhatikan rencana perbaikan pada siklus II.
Tindakan siklus III dilaksanakan pada hari Jumat, 16 November 2012 mulai pukul 09.15 –
11.45 WIB di ruang C2.2 dengan materi ajar Mencari Solusi Kedua dari Solusi Pertama
yang Diketahui.
Tahap refleksi siklus III dilaksanakan setelah do siklus III. Beberapa hal yang diperoleh dari
hasil diskusi refleksi pada siklus III ini di antaranya adalah: pembelajaran sudah
dilaksanakan sesuai dengan rencana. Strategi STAD dengan metode Discovery Learning
telah dilaksanakan oleh dosen secara runtut. Rencana perbaikan pada siklus II untuk siklus
III sudah dilaksanakan.
Dilihat dari kenaikan masing-masing indikator, kemandirian belajar mahasiswa pada siklus
III lebih baik apabila dibandingkan siklus II. Sedang prestasi belajar mahasiswa untuk
siklus III mulai mengalami peningkatan dibandingkan siklus II, namun masih tetap di bawah
siklus I. Hal-hal yang masih perlu mendapat perbaikan untuk tindak belajar mahasiswa
adalah: 1) Pada pertemuan ke-8 ini mahasiswa masih terlihat kurang mempersiapkan materi
pertemuan Selain itu mahasiswa juga masih terkendala dalam penguasaan materi prasyarat
yaitu derivatif dan integral sehingga hasil tes prestasinya belum bisa optimal. 2) Mahasiswa
yang bersedia melakukan presentasi masih sedikit. 3) Pada saat ada mahasiswa yang
melakukan presentasi di depan kelas, masih ada mahasiswa yang tidak memperhatikan,
meskipun sudah ada tambahan aspek penilaian afektif menghargai kelompok . 4) Ketika
mengerjakan soal evaluasi, masih ada mahasiswa yang mencontek pekerjaan teman.
5)Mahasiswa kurang diberikan waktu untuk mencatat point-point materi di dalam bahan
tayangan. 6) Materi yang disampaikan belum ada yang dikaitkan dengan kehidupan nyata
sehari-hari.
Sehubungan dengan kekurangan-kekurangan yang ditemukan pada siklus III tersebut, perlu
adanya perbaikan tindakan pada siklus IV.
Tindakan siklus IV dilaksanakan pada hari Jumat, 23 November 2012 mulai pukul 09.15 –
11.45 WIB di ruang C2.2 dengan 40 mahasiswa kelas VA yang hadir . Peneliti dibantu oleh
4 orang dosen yang bertindak sebagai observer. Materi ajar pada tindakan siklus kedua ini
adalah menentukan penyelesaian umum PD Linear Tingkat Tinggi Homogen dengan
Koefisien Konstan.
Tahap refleksi siklus IV dilaksanakan langsung setelah do siklus IV selesai. Beberapa hal
yang diperoleh dari hasil diskusi refleksi pada siklus IV ini di antaranya adalah: rencana-
488
rencana perbaikan tindak mengajar dosen sudah dilaksanakan dengan baik. Tindak belajar
mahasiswa yang berkaitan dengan kemandirian mengalami peningkatan yang sangat
menggembirakan, sudah memenuhi indikator yang mau diraih sehingga siklus penelitian
tidak perlu dilanjutkan lagi.
Data hasil penelitian mengenai kemandirian dan prestasi belajar matematika secara ringkas
dapat dilihat pada gambar berikut.
Memiliki kepercayaan
diri yang kuat : mau
menjawab pertanyaan
Berani mengambil
resiko : mengajukan
ide / gagasan
Memiliki rasa
tanggung jawab, ada
kemauan untuk
melakukan kewajiban
Gambar 1. Peningkatan Kemandirian Belajar
Berdasarkan gambar 1. ada peningkatan kemandirian belajar belajar mahasiswa yang dapat
dilihat dari peningkatan masing-masing indikator. Banyaknya mahasiswa yang memiliki
etos kerja yang tinggi, ditunjukkan oleh sikap ulet dan semangat tinggi dalam mengikuti
perkuliahan mengalami peningkatan sejak siklus I sampai dengan siklus IV. Sikap ulet dan
semangat tinggi ini terlihat pada saat mahasiswa menyelesaikan Lembar Kerja Mahasiswa
(LKM) yang diberikan oleh dosen dengan berdiskusi kelompok. Sebelum tindakan penelitian
dilaksanakan, mahasiswa hanya diminta mengerjakan soal-soal latihan yang ada di buku
secara individual, tidak berkelompok. Setelah diberikan tindakan dengan adanya diskusi
kelompok menggunakan media Lembar Kerja Mahasiswa, mahasiswa terlihat lebih
bersemangat dan antusias untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang diberikan. Hal ini
disebabkan karena di dalam LKM, mahasiswa diberikan panduan atau langkah-langkah
dalam menyelesaikan permasalahan Persamaan Diferensial. Selain itu, dengan adanya proses
diskusi kelompok membuat mahasiswa menjadi lebih aktif dan bersemangat sehingga etos
kerja yang dimiliki mahasiswa menjadi semakin meningkat.
Banyaknya mahasiswa yang memiliki kepercayaan diri yang kuat, ditunjukkan dengan mau
menjawab pertanyaan, mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Jika sebelum
tindakan, yang mau menjawab pertanyaan dosen hanya mahasiswa-mahasiswa tertentu saja,
setelah tindakan, semua mahasiswa terlihat percaya diri dalam menjawab pertanyaan-
pertanyaan dosen. Proses pembelajaran kooperatif yang dilaksanakan selama empat
pertemuan mampu mendorong mahasiswa untuk memiliki kepercayaan diri yang kuat. Di
489
dalam proses diskusi kelompok, mahasiswa terbiasa bertanya dan menjawab pertanyaan
sesama anggota kelompok, sehingga pada saat dosen memberikan pertanyaan kepada
mahasiswa, mahasiswa menjadi terbiasa untuk menjawab pertanyaan yang ada.
Banyaknya mahasiswa yang berani mengambil resiko, yang ditunjukkan dengan mau
mengajukan ide/gagasan dalam penelitian ini juga mengalami peningkatan yang sangat
besar. Sebelum tindakan dilaksanakan, mahasiswa cenderung takut untuk menyampaikan
ide/gagasannya. Namun pada siklus ke-empat, semua mahasiswa sudah bersedia mengajukan
ide/gagasan. Hal ini tidak terlepas dari tindakan mengajar yang dilaksanakan dosen, yang
senantiasa memberikan motivasi kepada mahasiswa.
Salah satu indikator kemandirian belajar mahasiswa yang hampir meningkat seratus persen
(92,5%) adalah indikator mampu mengatasi masalah yang ditunjukkan dengan mau
mempresentasikan hasil di depan kelas. Sebelum tindakan dilaksanakan, hanya mahasiswa
tertentu saja yang bersedia melakukan presentasi di depan kelas, namun setelah tindakan
siklus keempat, semua mahasiswa bersedia untuk mempresentasikan hasil diskusi
kelompoknya masing-masing. Pada siklus keempat, setelah dosen memberikan penghargaan
kepada kelompok yang memperoleh rata-rata nilai peningkatan tertinggi, dosen juga
mengumumkan kepada mahasiswa akan memberikan reward berupa tambahan nilai bagi
kelompok yang aktif dalam mengikuti pembelajaran sehingga pada saat tindakan siklus
terakhir, suasana perkuliahan menjadi sangat hidup, mahasiswa saling berebut untuk
mempresentasikan hasil diskusinya.
Peningkatan jumlah mahasiswa yang mampu mengatasi masalah ini tidak terlepas dari
adanya penggunaan model pembelajaran kooperatif pada tiap siklus / putaran. Model
pembelajaran kooperatif yang dilaksanakan mampu melatih mahasiswa untuk berbicara di
hadapan teman – temannya dan aktif dalam setiap tahap pembelajaran. Oleh karena itu,
mahasiswa menjadi berani untuk melakukan presentasi di depan kelas, di hadapan teman-
temannya seperti biasa.
Tindak belajar yang telah dijelaskan di atas, secara umum pada setiap siklusnya mengalami
perubahan menuju ke arah yang lebih baik. Hal ini tidak terlepas dari penerapan model
pembelajaran kooperatif yang digunakan. Dalam pembelajaran kooperatif, siswa bekerja
sama dalam kelompok-kelompok, saling membantu sesama anggota dan bertanggungjawab
490
atas tugas-tugas yang diberikan dalam kelompok sehingga dapat berdampak pada hasil
belajar siswa (dalam penelitian ini kemandirian dan prestasi mahasiswa).
Pernyataan tersebut didukung oleh Ibrahim dkk [2] yang menyatakan bahwa pembelajaran
kooperatif dapat memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok
atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik. Siswa kelompok atas dapat
menjadi tutor bagi siswa kelompok bawah, siswa kelompok bawah dapat memperoleh
bantuan khusus dari teman sebaya yang memiliki orientasi dan bahasa yang sama.
Salah satu kesimpulan dari penelitian Subadi, Khotimah & Sutarni [6]: model
pembelajaran aktif inovatif kreatif efektif dan menyenangkan adalah “model pembelajaran
berbasis kolaboratif dan kooperatif". Apabila dilihat pada siklus terakhir ada peningkatan
kemandirian belajar yang sangat signifikan setelah Dosen menawarkan reward guna lebih
memotivasi mahasiswa. Hasil ini didukung oleh penelitian Chokshi dalam Subadi [6]
yang memberikan kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran perlu adanya
motivator dan visi yang jelas sehingga permasalahan yang bersumber dari siswa yaitu
kurangnya motivasi dalam belajar harus segera dicarikan solusinya agar tercipta
pembelajaran yang menyenangkan.
Untuk data prestasi belajar mahasiswa yang diperoleh selama tindakan dilaksanakan dapat
dilihat pada gambar berikut.
Siklus II
Siklus III
Dari gambar2. dapat dilihat prestasi belajar mahasiswa pada siklus I mengalami
peningkatan, siklus II mengalami penurunan, siklus III dan IV kembali mengalami
peningkatan namun masih tetap di bawah peningkatan siklus I. Berdasarkan hasil analisis
jawaban soal tes mahasiswa pada siklus II, III dan IV, ternyata kesalahan utama yang
dilakukan mahasiswa bukan terletak pada konsep materi Persamaan Diferensial, tetapi lebih
banyak pada kesalahan materi prasyarat, yaitu tentang menghitung integral dan derivatif
fungsi. Namun demikian, meskipun masih di bawah siklus I, tetap sudah melampaui
indikator yang ditetapkan. Karena keterbatasan waktu penelitian maka penelitian ini hanya
sampai pada siklus IV saja, tidak berlanjut pada siklus berikutnya.
491
Adanya peningkatan kemandirian dan prestasi belajar mahasiswa pada mata kuliah
Persamaan Diferensial di kelas VA Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UMS juga
tidak terlepas dari pelaksanaan Lesson Study yang sudah diterapkan. Tahap-tahap plan, do,
see yang dilaksanakan bersama-sama antara dosen model sebagai peneliti dengan rekan
sejawat sebagai critical friend di dalam Lesson Study dapat dijadikan acuan untuk
memperbaiki kekurangan-kekurangan yang muncul pada setiap siklus tindakan yang
dilaksanakan.
Hasil ini didukung oleh hasil penelitian William Cerbin and Bryan Kopp [7] yang
menyatakan bahwa melalui lesson study guru dapat saling berkolaborasi mengatasi
permasalahan di kelas guna mencapai tujuan pembelajaran. Nurhasanah [1] dalam
penelitiannya menyimpulkan bahwa dalam kegiatan Lesson Study, keaktifan mahasiswa
dengan pendekatan konstruktivisme dan latar belakang kooperatif terlihat dominan muncul
pada kegiatan kelompok.
1. Bagi mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Persamaan Diferensial hendaknya tidak
melupakan mata kuliah prasyaratnya, yakni Kalkulus I dan Kalkulus II sehingga dapat
meraih nilai yang optimal.
2. Mahasiswa hendaknya lebih memiliki motivasi belajar dari dalam yang tinggi.
3. Dapat dilaksanakan penelitian lanjutan untuk mengatasi masalah rendahnya
kemampuan prasyarat mahasiswa dalam mengikuti mata kuliah Persamaan Diferensial.
492
5. Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Dikti yang telah memberikan dana hibah
Lesson Studi kepada PMIPA Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Surakarta dan kepada pihak Universitas melalui Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat yang telah mendanai pelaksanaan penelitian ini sampai
selesai.
Daftar Pustaka
Nurhasanah, F. Membangun Keaktifan Mahasiswa pada Proses Pembelajaran Mata Kuliah
Perencanaan dan Pengembangan Program Pembelajaran Matematika Melalui Konstruktivisme
dalam Kegiatan lesson Study. Infinity Vol 1. No. 1 Hal 62-78. STKIP. Bandung.(2012)
Ibrahim, Muslimin dkk. Pembelajaran Kooperatif. University Press. Surabaya. (2002)
Lewis, Catherine C. Lesson Study: A Handbook of Teacher-Led Instructional Change. Philadelphia,
PA: Research for Better School, Inc. (2002)
Lie, Anita. Cooperatif Learning. Grasindo. Jakarta (2005)
Subadi. T. Pengembangan Model Pembinaan Guru Melalui Pendekatan Lesson Study (Makalah).
UMS. Surakarta.(2010)
Subadi. T ., .Khotimah, Rita P, Sutarni, Sri. Pengembangan Model Peningkatan Kualitas Guru
Melalui Pelatihan Lesson Study Bagi Guru SD Se-Karesidenan Surakarta (Laporan Penelitian di
Publikasikan di Perpustakaan Pusat UMS). (2009).
William Cerbin and Bryan Kopp.. Lesson Study as a Model for Building Pedogogical Knowledge
and Improving Teaching. In International Journal of Teaching and Learning in Higher
Education. 18 (3), 150-257. ISSN 1812-9129. (2006).
493
Abstrak. Alat peraga garis bilangan merupakan alat peraga yang dibuat dari mistar
kayu dengan ukuran dua macam, yaitu untuk klasikal sepanjang 1 m sampai dengan 1,2
m, sedangkan untuk kerja kelompok atau belajar individual cukup menggunakan ukuran
40 cm sampai dengan 60 cm. Pada mistar tersebut terdapat paku-paku tanpa kepala
dengan jarak antara dua paku berdekatan sama, dengan skala bilangan bulat positip di
sebelah kanan, dan bilangan bulat negatip disebelah kiri skala 0. Dalam makalah ini
akan diuraikan bagaimana siswa belajar melakukan operasi penjumlahan dua bilangan
bulat positip, dua bilangan bulat positip dan negatip, dan dua bilangan bulat negatip
menggunakan alat peraga garis bilangan. Selanjutnya siswa belajar melakukan operasi
pengurangan sebagai operasi inverse penjumlahan dua bilangan bulat positip, dua
bilangan bulat positip dan negatip, dan dua bilangan bulat negatip menggunakan alat
peraga garis bilangan. Diawali siswa belajar menggunakan garis bilangan sebagai alat
peraga konkrit menuju abstraksi melakukan operasi penjumlahan dan inversenya,
melalui kaidah-kaidah penalaran yang benar
1 Pendahuluan
Dalam pembelajaran bilangan bulat, utamanya operasi penjumlahan dan inversnya biasanya
guru menggunakan alat peraga garis bilangan. Alat Peraga garis bilangan sendiri merupakan
alat peraga yang dibuat dari mistar kayu dengan ukuran dua macam, yaitu untuk klasikal
sepanjang 1 m sampai dengan 1,2 m, sedangkan untuk kerja kelompok atau belajar
individual cukup menggunakan ukuran 40 cm sampai dengan 60 cm.
Agar supaya mistar dari kayu tadi dapat berdiri tegak, maka diberi papan sepanjang mistar
seperti tampak pada gambar. Pada mistar diberi skala dengan menempatkan paku (yang
telah dihilangkan kepalanya) atau kawat sedemikian sehingga jarak antara dua paku yang
berdekatan sama, dan pada setiap paku diberi angka (perkiraan angka 0 ditengah) negatip
untuk arah kekiri dan positip untuk arah kekanan.
Untuk membedakan letak bilangan-bilangan positip dan bilangan negatip, maka garis
bilangan dapat diberi warna yang berbeda. Misal pada gambar bilangan positip digunakan
warna merah, sedangkan bilangan negatip menggunakan warna putih. Sebagai pelengkap
alat peraga garis bilangan dapat digunakan katak mainan atau bola dari kayu yang diberi
lobang melalui pusatnya.
Ada dua macam bagian alat peraga sebagai pelengkap alat peraga garis bilangan, yaitu:
Bola kayu kecil diberi lubang melalui pusat bola kayu, lubang tersebut digunakan untuk
menempatkan bola-bola tadi pada paku garis bilangan.
Pada gambar berkut tampak bahwa garis bilangan dengan beberapa bola pada paku
garis bilangan.
-13 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
-
0
Dari kiri ke kanan berturut turut bola-bola hitam kecil menunjukkan bilangan-bilangan:
-8, -4, 0, 5 dan 10. Bilangan-bilangan tersebut dihitung dari skala 0, untuk kekiri
bilangan yang ditunjukkan adalah bilangan negatip, sedangkan untuk kekanan bilangan
yang ditunjukkan adalah bilangan positip.
Anak panah dari karton sebagai pelengkap yang lain, dengan masing-masing berwarna
merah atau putih, tetapi tidak keduanya, panjang karton menunjukkan besar bilangan
yang diwakili, dengan tambahan kaki untuk meletakkan karton tersebut pada garis
bilangan.
-13 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
-
0
Pada gambar tampak bahwa karton anak panah dari kiri ke kanan berturut-turut
menunjukkan bilangan -3, -5, 4 dan 4.
Pada operasi penjumlahan bilangan bulat, dapat dikenalkan melalui 3 tahap, yaitu: 1.
Penjumlahan dua bilangan bulat positip, 2. Penjumlahan dua bilangan yang berbeda tanda
satu positip dan yang lain negatip, 3. Penjumlahan dua bilangan negatip.
Kedua, digambarkan bilangan 3 pada garis bilangan menggunakan anak panah dari
karton.
-13 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
-
0
Ketiga, digambarkan bilangan 4 pada garis bilangan menggunakan anak panah dari
karton, dengan menempatkan awal bilangan 4 pada ujung anak panah bilangan 3.
-13 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
-
0
Keempat, tempatkan anak panah yang sesuai dengan pangkal skala 0 dan ujung anak
panah berimpit dengan anak panah bilangan 4. Pada gambar tampak bahwa karton anak
panah yang dibutuhkan adalah anak panah bilangan 7.
-13 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
-
0
Gambar tidak jelas, untuk itu anak panah bilangan 7 digunakan yang memiliki kaki
agak panjang, sehingga tidak menutup anak panah bilangan 3 dan anak panah bilangan
4
-13 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
-
0
Kelima, kesimpulan 3 + 4 = 7.
496
2. Penjumlahan dua bilangan bulat yang satu positip dan yang lain negatip.
Untuk penjumlahan dua bilangan yang satu positip dan yang lain negatip, ada dua
kemungkinan, yaitu:
Contoh:
-13 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
-
0
Ketiga, digambarkan bilangan 2 pada garis bilangan menggunakan anak panah dari
karton, dengan menempatkan awal bilangan 2 pada ujung anak panah bilangan -5.
-13 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
-
0
Gambar tidak jelas karena terjadi penumpukan gambar, untuk itu bilangan yang
ditambahkan dan hasilnya kita gunakan kaki-kakinya yang lebih tinggi dari
bilangan awal yang ditambah. Sehingga tampak seperti gambar berikut.
-13 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
-
0
Keempat, tempatkan anak panah yang sesuai dengan pangkal skala 0 dan ujung
anak panah berimpit dengan anak panah bilangan 2. Pada gambar tampak bahwa
karton anak panah yang dibutuhkan adalah anak panah bilangan -3.
-13 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
-
0
Ketiga, digambarkan bilangan 9 pada garis bilangan menggunakan anak panah dari
karton, dengan menempatkan awal bilangan 9 pada ujung anak panah bilangan -5.
-13 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
-
0
Supaya tidak menumpuk anak panah bilnagn 9 dipilih dengan kaki lebih tinggi dari
anak panah bilangan -5.
Keempat, tempatkan anak panah yang sesuai dengan pangkal skala 0 dan ujung
anak panah memiliki kedudukan sama dengan ujung anak panah bilangan 9.
-13 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
-
0
Kelima, kesimpulan -5 + 9 = 4.
Untuk penjumlahan dua bilangan bulat keduanya negatip, mirip dengan penjumlahan
dua bilangan bulat positip, hanya saja arah anak panah bilangan keduanya kekiri.
Demikian pula hasilnya juga arah anak panah kekiri:
Contoh:
Kedua, digambarkan bilangan -5 pada garis bilangan menggunakan anak panah dari
karton.
-13 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
-
0
Ketiga, digambarkan bilangan -7 pada garis bilangan menggunakan anak panah dari
karton, dengan menempatkan awal bilangan -7 pada ujung anak panah bilangan -5.
-13 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
-
0
Keempat, tempatkan anak panah yang sesuai dengan pangkal skala 0 dan ujung anak
panah memiliki kedudukan sama dengan ujung anak panah bilangan -7.
-13 -12 -11 -10 -9 -8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
-
0
Catatan.
Penggambaran garis bilangan setelah siswa sudah memahami operasi penjumlahan dua
bilangan bulat dapat dilakukan langkah menuju idealisasi, alas garis bilangan tidak
perlu digambar, demikian pula ketebalaan kayu garis bilangan. Hal tersebut dilakukan
agar siswa dapat menggambar sendiri di buku tulisnya menggunakan mistar atau
penggaris segitiga. Demikian pula anak panah, cukup digambarkan dengan ruas garis
lengkung berarah.
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
3). Penjumlahan dua bilangan bulat, satu positip dan yang lain negatip, misal positip 4
dan -7. -3
-7
4
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pada gambar permasalahan 2 dan 3 akan lebih bagus lagi, jika anak panah yang
menunjukkan operasi dua bilangan dengan anak panah hasil operasi dua bilangan
dipisahkan dalam artian hasil operasi diletakkan di bawah, sehingga permasalahan No. 2
dan 3 berturut-turut gambarnya menjadi:
-7 4
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
-3
Beberapa buku pengurangan bilangan bulat oleh bilangan bulat yang lain menggunakan
alat peraga garis bilangan secara langsung. Misal buku Matematika BSE.
Dewi Nuharini dan Tri Wahyuni (2008: 12), meminta siswa membandingkan antara
pengerjaan hitung 4 – 3 dengan 4 + (-3) menggunakan gambar yang sama, yaitu:
1). Pengerjaan hitung 4 – 3 dan 4 + (-3) dinyatakan dalam gambar yang sama yaitu:
-3
4
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5
1
500
2). Demikian pula pengerjaan hitung -5 – (-2) dengan -5 + 2, dinyatakan dalam gambar
yang sama: 2
-5
-5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5
-3
a–b=c a=b+c
Menggunakan ekuivalensi antara kalimat pertama dengan kalimat kedua, garis bilangan
dapat kita gunakan untuk menanamkan konsep pengurangan sebagai berikut:
Pengurangan suatu bilangan bulat positip oleh bilangan bulat positip digunakan cara
sebagai berikut:
Contoh:
5 – 7 = m 5 = 7 + m atau 7 + m = 5
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ketiga, digambarkan bilangan 5 pada garis bilangan menggunakan anak panah dengan
pangkal skala 0.
7
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
5
501
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pengurangan suatu bilangan bulat positip oleh bilangan bulat negatip digunakan cara
sebagai berikut:
Contoh:
3 – (-4) = m 3 = -4 + m atau -4 + m = 3
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
3
Ketiga, digambarkan bilangan -4 pada garis bilangan menggunakan anak panah dengan
pangkal skala 0.
-4
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
3
502
7
3
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pengurangan suatu bilangan bulat negatip oleh bilangan bulat positip digunakan cara
sebagai berikut:
Contoh:
-6 – 5 = m -6 = 5 + m atau 5 + m = -6
Kedua, digambarkan anak panah bilangan 5 dengan pada skala 0 pada garis bilangan
awal 5
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ketiga, digambarkan bilangan -6 pada garis bilangan menggunakan anak panah dengan
pangkal skala 0.
5
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
-6
503
Keempat, untuk memperoleh 5 + m = -6, maka digambar anak panah dengan pangkal
merupakan ujung anak panah bilangan 5 dan ujung anak panah pada skala -6.
-11
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
-6
Anak panah tersebut menunjukkan bilangan -11.
3
Kelima, kesimpulan m = -11 atau -6 - 5 = - 11.
Pengurangan suatu bilangan bulat negatip oleh bilangan bulat negatip digunakan cara
sebagai berikut:
Contoh:
-3 – (-8) = m -3 = -8 + m atau -8 + m = -3
Kedua, digambarkan anak panah bilangan -8 dengan awal pada skala 0 pada garis
bilangan. -8
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Ketiga, digambarkan bilangan -3 pada garis bilangan menggunakan anak panah dengan
pangkal skala 0.
-8
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
-3
504
Keempat, untuk memperoleh -8 + m = -3, maka digambar anak panah dengan pangkal
merupakan ujung anak panah bilangan -8 dan ujung anak panah pada skala -3.
-8
5
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
5 -3
3 Pembahasan
Pemakaian alat peraga dalam pembelajaran Matematika harus benar-benar dapat
menjembatani siswa dalam belajar Matematika. Sebagai misal alat peraga garis bilangan di
atas dapat digunakan untuk siswa dalam belajar operasi penjumlahan, tetapi tidak dapat
digunakan siswa dalam belajar operasi pengurangan bilangan bulat. Apabila dipaksakan,
sebagai misal siswa diminta membandingkan hasil 4 + ( -3) dengan 4 – 3, memang hasilnya
sama, tetapi kalau kita konsisten dengan kesepakatan dari awal bahwa anak panah kekanan
sebagai wakil bilangan bulat positip dan anak panah kekiri mewakili bilangan bulat negatip,
maka 4 – 3 tidak dapat dijelaskan menggunakan garis bilangan. Hal itu seperti termuat dalam
buku yang ditulis oleh Neo Han Leong (2007: 8): “Rule of Addition and Substraction of
Intergers. Subtracting a negative integers is the same as adding a positive integer.” For
example 5 – ( -2) = 5 + 2 = 7.
(a – b) + b = c + b atau a = c + b,
Demikian pula Ganderton dan McLeod (1996: 164) menuliskan soal berbentuk:
505
“Write binary operations two represent the movements shown by arrows on the number
lines below:
2 4
-8 -7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Answer:
or
Memang ada aturan yang menyatakan bahwa pengurangan suatu bilangan oleh c, ekuivalen
dengan penambahan oleh inverse dari c.
Bukti kebenaran dapat dilakukan dengan menambahkan kedua ruas dengan c, sehingga:
(a – c) + c = {a + ( -c)} + c.
dst., meskipun hasilnya kedua ruas menjadi sama yaitu a, yang jelas proses ini sulit dipelajari
siswa menggunakan garis bilangan.
Dalam pemakaian alat peraga dalam pembelajaran matematika kita harus konsisten dengan
kesepakatan-kesepakatan yang dimunculkan sejak awal, demikian seperti sifat dari
Matematika itu sendiri. Dari beberapa buku yang pernah dibaca dan dipelajari penulis,
pengurangan menggunakan garis bilangan menggunakan langkah mundur, jelas hal itu tidak
mungkin apabila sebagai pelengkap digunakan mainan katak atau kelinci. Kejadian yang
terkait dengan langkah katak atau kelinci adalah masalah kontekstual, tetapi tidak realistik.
Daftar Pustaka
Dewi Nuharini dan Tri Wahyuni (2008). Matematika Konsep dan Aplikasinya untuk Klas VII SMP
dan MTs. .Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Neo Han Leong. (2007). Effective Guide ton Secondary 1 Special/Express Mathematics 2nd Edition
Based on 2007 MOE Syllabus. Singapore: Pwearson Education Soutrh Asia Pte Ltd.
Canderton/McLeod. (1996). Mathematics for Australian Schools Year 8 Third Edition. South
Melbourne: MacMillan
506
ETHNOMATHEMATICS SASAK
(EKSPLORASI GEOMETRI TENUN SUKU
SASAK SUKARARA)
Sabilirrosyad
Mahasiswa Pascasarjana/S2 UNESA; sabil.menge@gmail.com
Abstract. This paper aims to explore the examples of mathematical ideas which exist in
motives produced by weavers in Sukarara. Although, it is still in the form of the
dialogue and preliminary observations, revealed the principles of geometry such as
translation, reflection, rotation and enlargement. These principles are often used in the
patterns in making songket motifs in Sukarara village, Central Lombok. Weaving by
most of the mothers of the households in this Sukarara indirectly applying the principles
of geometry, even if they are not yet familiar with geometric concepts taught in school,
but they can apply them in the form of beautiful and high-value motifs. It is important
for us to learn and teach the students to be used as sources in contextual learning.
1 Pendahuluan
Sejak dulu, hubungan kehidupan manusia dengan penggunaan matematika tidak dapat
dipisahkan. Hal ini terlihat dari berbagai kelompok budaya yang berbeda telah menggunakan
pengetahuan matematika yang berbeda satu dengan lainnya (Walle, 2006: 104). Diantara
penggunaan ilmu matematika dalam kehidupan manusia ialah digunakan dalam kesenian,
pertanian, bentuk bangunan, pembuatan kalendar, ukiran, perhiasan dan lain sebagainya.
Matematika merupakan bagian dari budaya dan sejarah (Fathani, 2009: 87).
Tenun merupakan salah satu seni budaya kain tradisional Indonesia yang diproduksi di
berbagai wilayah di seluruh Nusantara (Jawa, Sumatra, Aceh, Sulawaisi, NTT, Bali, dan
termasuk pulau Lombok, NTB). Tenun memiliki makna, nilai sejarah dan teknik yang tinggi
baik dari segi warna, motif, jenis bahan dan benang yang digunakan disetiap daerah memiliki
ciri khas tersendiri, termasuk tenun yang dihasilkan oleh suku Sasak di desa Sukarara
kabupaten Lombok Tengah.
Bertenun oleh suku Sasak di desa Sukarara merupakan budaya turun-temurun sejak dahulu
kala. Dengan cara tradisional dan masih menggunakan alat tenun yang bukan mesin, para
perempuan di desa Sukarara menghasilkan tenun yang berbeda dan memiiki ciri khas
tersendiri. Kekhasannya terlihat dari motif yang dihasilkan pada umumnya berpola cerah
dengan corak-corak yeng bebeda pula. Perbedaan motif ini biasa terjadi dikarenakan motif-
motif tersebut mempunyai makna, maksudnya bukan hanya sebuah gambar akan tetapi
mengandung makna tertentu.
Bila diamati, motif-motif tenun songket yang dihasilkan oleh suku Sasak desa Sukarara
mengandung sifat-sifat keteraturan atau berpola. Sentuhan-sentuhan motif dengan
menggunakan prinsip geometris secara tidak langsung memberi warna tersendiri dari motif
yang dihasilkan oleh perempuan suku Sasak di Sukarara. Jenis kain tenun yang dihasilkan
508
yaitu kain tenun ikat dan kain tenun songket. Perbedaan tenun songket dengan tenun ikat
adalah pada kain tenun songket hasil kain motifnya timbul sedangkan kain tenun ikat tidak
timbul. Dalam makalah ini akan dieksplorasi motif jenis kain songket dan ikat (Himmawan,
P., Adib, A., & Wijayanti, A., 2013).
Menurut Nor Maizan Abdul Aziz, Rokiah Embong, Zubaidah Abd Wahab & Hamidah
Maidinsah (2012) dimungkinkan untuk dilakukannya studi ethnomathematics pada aktivitas
bertenun. Aktivitas bertenun, dibalik pengetahuan budaya yang melingkupinya, dipandang
memiliki karakteristik-karakteristik matematika. Pengungkapannya melalui
ethnomathematics diyakini akan menunjukkan adanya keterhubungan antara matematika
dengan budaya, juga sebaliknya. Keterhubungannya terlihat dari aktivitas matematika yang
dilakukan oleh para penenun. Aktivitas matematika ini muncul secara alami, melalui
pengetahuan dan pandangan masyarakat Sasak sendiri tanpa melalui pendidikan atau
pelatihan formal. Dengan kata lain, secara tidak sadar kelompok masyarakat (suku Sasak)
yang tidak mengenyam pendidikan mampu menggunakan konsep-konsep matematika dalam
mendesain dan menghasilkan suatu karya seni. Sehingga dapatlah dikaji penggunaan konsep
matematika dalam menghasilkan tenun dan hal ini sejalan dengan pendapat
Marcia Ascher and Robert Ascher (1997) bahwa “Ethnomathematics is the study of
mathematical ideas of nonliterate peoples” (Powell & Frankenstein, 1997: 25).
Makalah ini berdasarkan observasi dan tanya jawab. Tanya jawab dilakukan untuk
mengetahui penggunaan konsep matematika dalam menghasilkan tenun dan mencoba
mengeksplorasi motif-motif yang dihasilkan dan mengaitkannya dengan asas geometris,
seperti transformasi, simetri dan keseimbangan. Tentu saja pemakalah memiliki keterbatasan
terhadap penafsiran hal-hal yang ditemukan, selain jangkauan pengamatan yang terbatas
pada motif tertentu. Dengan demikian analisis yang pemakalah lakukan tidak dapat
dikatakan berlaku secara umum untuk semua motif tenun songket suku Sasak di desa
Sukarara Kabupaten Lombok Tengah.
2 Pembahasan
2.1 Seni Tenun Songket suku Sasak Sukarara
Secara geografis desa Sukarara terletak pada Kecamatan Jonggat yang memiliki luas wilayah
± 7,55 Km2 (Monografi Desa Sukarara, 2001) dari luas Kecamatan Jonggat dan memiliki
batas administratif wilayah : i) Bagian Utara: Desa Batutulis dan Nyerot; ii) Bagian Selatan:
Desa Batujai, Desa Ungga; iii) Bagian Timur: Desa Puyung; iv) Bagian Barat: Desa Labulia
dan Kab. Lombok Barat. Secara administratif Desa Sukarara terbagi atas 10 (Sepuluh) dusun
( Andriani, 2012).
Kebanyakan pengrajin kain tenun suku Sasak di desa Sukarara adalah perempuan. Setiap
perempuan di Desa Sukarara ini diwajibkan untuk belajar menenun, bahkan sejak masih usia
anak-anak para orang tua mereka telah mewariskan keterampilan tersebut. Para ibu
mewariskan brire, salah satu alat untuk menenun kepada anak perempuannya. Mereka
mengajarkan kepada anak-anak perempuan motif awal atau motif dasar yang sangat
sederhana. Hal ini dilakukan agar anak mereka lebih mudah memahami cara menenun yang
baik dan benar untuk mendapatkan kualitas hasil tenunan yang baik nantinya.
509
Simetri merupakan salah satu prinsip dalam geometri. Mengenai prinsip simetri, Farancis D.
K. Ching (1996) mengemukakan bahwa kondisi simetri ditemukan ketika terdapat sumbu
atau pusat dalam struktur bentuk yang ditampilkan. Sama seperti sebuah garis, sumbu juga
dibuat dari dua buah titik. Prinsip simetri adalah menciptakan komposisi seimbang dari pola
bentuk yang hampir sama terhadap suatu garis sumbu atau suatu pusat yang sama (Indrawati,
2011: 18). Contoh penggunaan prinsip simetri pada ornament bisa ditemukan dalam
ornament bangunan Islam seperti hiasan/ukiran dindingnya, pintu, lantai, pagar, karpet,
kubah masjid dan fornitur (Marchis, 2009; Abas, 2001: 53).
Simetri adalah salah satu prinsip yang digunakan dalam proses tenun (Gilsdorf, 2008).
Tenun melibatkan visualisasi geometris. Para penenun mengekspresikan visualisasi melalui
tindakan dan bahan. Hal ini membutuhkan penciptaan dan konsepsi pola, dan mengetahui
teknik dan warna apa yang akan digunakan dalam proses menenun sehingga pola akan
muncul. Kemungkinan besar, para penenun sendiri, terutama yang generasi yang lebih tua,
tidak menyadari bahwa mereka menggunakan prinsip geometris atau mengaplikasikan
konsep matematika dalam perancangan dan menenun motif songket dihasilkan (Gerdes,
2011: 10; Aziz., N.M.A., Embong, R Wahab, Z. A & Maidinsah, H., 2010: 713).
Proses pembuatan songket dimulai dengan menggambar motif di atas kertas. Untuk
mendapatkan bentuk motif yang dikehendaki, motif yang telah digambar ke atas kertas
graf akan mewakili motif yang akan dihasilkan pada kain songket. Hasil kajian oleh
510
Nurbaya Binti Abdullah (2005) yang dilakukan pada penenun Songket Terenggan
disimpulkan bahwa, terdapat dua kaedah yang diterapkan untuk menghasilkan motif pada
kain songket yaitu;
1. Kaedah Pengulangan
Motif akan digambar pada satu kertas untuk mewakili bagian tertentu daripada kain
yang hendak ditenun dengan perbandingan skala tertentu. Teknik tersebut diulangi
sehingga motif tersebut memenuhi ruang kain yang ditenun serta membentuk corak
pada kain songket.
Motif digambarkan pada satu kertas yang mewakili satu helai kain yang hendak ditenun
serta menggunakan skala tertentu.
Kedua kaedah tersebut menunjukkan penggunaan konsep geometri dalam songket, yang
menunjukkan satu petak kertas yang digambarkan dalam pembentukkan motif mewakili
jumlah benang yang digunakan dalam proses penenunan. Gambar motif pada kertas graf
kemudian ditenun pada kain yang akan dibuat.
Umumnya proses menenun dilakukan oleh suku Sasak di desa Sukarara dengan 9 (Sembilan)
langkah sebagai berikut : (1) Pelintingan. Tahap ini adalah tahap awal dalam proses produksi
kain tenun, pada tahap ini dilakukan pengeraian benang dari kelos-kelos aslinya; (2)
Pembuatan pola. Setelah proses pengetengan, benang yang masih dalam bentuk gulungan
diurai dalam bingkai kayu (plankan). Plankan tersebut di beri gambar sesuai dengan motif
yang diinginkan; (3). Pengikatan benang. Pada tahap ini, perajin biasanya mengikatnya
dengan menggunakan tali raffia; (4) Pencelupan warna (nyelup), Setelah benang diikat, tahap
selanjutnya adalah tahap pencelupan warna pada benang katun ; (5) Penjemuran, setelah
benang diwarnai kemudian dilakukan tahap penjemuran di bawah sinar matahari; (6) Mbuka
adalah tahap membuka atau melepas ikatan pada benang stelah benang dijemur dan
dikeringkan; (7). Ngesisih. Ngesisih adalah tahap kegiatan menggulung kembali benang-
benang sehabis diwarna, dijemur, dan di batil dalam kletek yang akan disekir; (8). Nyeker.
Nyekir adalah proses yang sama seperti menyiapkan pola yang akan ditenun nantinya ; (9).
Menenun, menenun adalah kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan kegiatan
lanjutan dari tahap kegiatan sebelumnya, tahap ini merupakan tahap terakhir dari
keseluruhan tahapan yang begitu panjang.
511
Beberapa dokumen hasil observasi alat dan proses menenun di desa Sukarara.
Dari proses menenun yang dilakukan oleh suku sasak Sukarara, konsep geometris apa yang
bisa ditemukan?. Karena tidak semua proses menenun tersebut, menggunakan konsep-
konsep matematika. Berdasarkan observasi dan wawancara langsung terdapat 4 aktivitas
dalam proses menenun yang menggunakan konsep matematis.
1. Transformasi
a) Transformasi objek real ke dalam motif songket
b) Penerapan konsep geometri
c) Transformasi
d) Skala
2. Pengukuran dan estimasi
3. Ketepatan
4. Kesamaan
Sesuai pendapat D'Ambrosio & Ascher (1994) tenun melibatkan visualisasi geometris. Para
penenun mengekspresikan visualisasi melalui tindakan dan bahan. Keseimbangan
penempatan ragam hias pada tenun songket memerlukan kesetimbangan simetris. Seorang
penenun harus mengetahui model keseimbangan simetris dalam motif tenun.
Kesimetrisannya akan terlihat jika penempatan motif hiasan sama secara berulang-ulang
secara penuh pada bidang kain. Jadi secara tidak langsung prinsip simetri transformasi
adalah salah satu teknik digunakan dalam proses tenun. Ide-ide matematika ini muncul
secara alami, melalui pengetahuan dan pandangan msayarakat Sasak sendiri tanpa melalui
pendidikan atau pelatihan formal.
512
2.3 Sifat simetris pada motif kain tenun suku Sasak desa Sukarara.
Jenis motif yang yang dihasilkan oleh pengrajin tenun Sukarara diantaranya motif ayam,
motif bunga, motif kembang empat dan banyak motif lainnya. Selain itu ada motif dengan
ornamen garis simetris, segi empat, tumbuhan, burung, binatang, zig zag, dan yang lainnya.
Motif tersusun secara berderet kadang selang-seling. Kombinasi aneka warna benang dan
isian motif di seluruh bidang kain. Umumnya kain tenun buatan Sukarara ini disebut
“Subahnala”. Kata “Subahnala” dimaknai sebagai keindahan yang luar biasa.
Dari beberapa jenis motif tersebut ada bebrapa motif yang menggunakan prinsip simetris.
Pada bagian ini akan di eksplorasi beberapa motif kain tenun Sasak yang menerapkan
konsep simetris.
Jika diperhatikan, tenun dengan motif usap, cakar emas, umbak, dan kebang komak.
Ditemukan beberapa hal dari prinsip simetri dan pengulangan yang secara sengaja maupun
tidak sengaja tampak pada detail motif tenun tersebut. Untuk mencari prinsip simetri dan
pengulangan pada seluruh kain, pertama-tama harus dilakukan adalah mengambil salah satu
detail yang dianggap mendominasi keseluruhan motif. Misalnya motif usap. Detail tersebut
berupa sebuah motif belahketupat yang memiliki beberapa bagian yang lebih detail sebagai
penyusunnya, yang terdiri dari sebuah garis tepi berwarna keemasan sebagai pembentuk
513
belahketupat. Dengan demikian, motif usap menggunakan salah satu bentuk dasar berupa
belahketupat sebagai detail yang mendominasi.
Dalam proses menenun, pada prinsipnya menyatukan benang yang membujur disebut lungsi,
dengan benang yang melintang yang disebut pakan. Andaikan garis melintang tersebut
diibaratkan sumbu x dan sumbu y. Maka sumbu x dan y pada motif usap tersebut membagi
sebuah detail belah ketupat menjadi empat bagian. Kedua sumbu bertemu di sebuah titik
pusat, di mana pada titik pusat tersebut terdapat sebuah motif belahketupat kecil yang masif.
Setiap bagian dari keempat bagian belahketupat memiliki bagian penyusun lebih rinci yang
sama, yaitu dua buah detail yang berorientasi diagonal.
Gambar 9. Bagian-bagian pada motif belah ketupat dan gambar 12. Pengulangan
bentuk belahketupat di sepanjang sumbu x dan sumbu y secara sejajar.
Berdasarkan pengamatan ini terdapat prinsip simetri dalam sebuah detail belahketupat
dengan keberadaan sumbu yang membagi belahketupat menjadi empat bagian yang sama,
keseimbangan. Dengan demikian, dalam setiap detail belahketupat akan terjadi sebuah
keteraturan motif. Suatu detail belahketupat akan diulang dan ditempatkan sejajar di
sepanjang sumbu x dan sejajar sepanjang sumbu y hingga akhirnya memenuhi keseluruhan
motif kain.
Pada umumnya motif utama dalam pembuatan tenun akan diselesaikan terlebih dahulu, baru
kemudian mengisi bagian-bagian yang kosong di antara motif utama. Motif pengisi ini
dikelilingi oleh empat buah detail belahketupat. Pada setiap motif pengisi akan terdapat 3
buah bagian detail penyusun yaitu, detail garis diagonal, detail belahketupat pusat yang sama
persis dengan detail belahketupat pusat pada motif belahketupat utama, serta detail segitiga.
Bila ditarik pada sumbu x dan y nya pun maka akan muncul 4 bagian yang sama. Dengan
demikian, prinsip simetri juga digunakan pada motif pengisi.
Hal yang menarik di sini adalah ketika motif pengisi sudah ditempatkan di tengah 4
belahketupat maka detail garis diagonal pada motif pengisi akan terhubung dua belahketupat
utama yang terletak pada posisi diagonal, yaitu belahketupat pusat dari motif belahketupat
utama yang terletak dalam posisi diagonal akan pengertian lain, tidak hanya sebagai detail
bagian dari motif belahketupat utama yang orientasinya diagonal, tetapi juga sebagai
pembentuk sumbu diagonal yang dapat ditarik di sepanjang motif kain.
Gambar. 11. Ketepatan garis horizontal dan pertikal membagi belah ketupat.
Hal lain yang juga pemakalah anggap menarik dari motif pengisi pada batik motif usap ini
adalah ketika kita mencoba memusatkan pandangan pada motif pengisi dalam jarak yang
lebih jauh, lama kelamaan bentuk motif belahketupat utama menjadi kabur dan menghilang,
seakan-akan motif utama dari batik adalah motif susunan benangnya. Hal ini menurut saya
terjadi karena dipengaruhi oleh bagian-bagian yang menyusun detail motif pengisi lebih
masif. Contohnya detail belahketupat kecil dipenuhi warna kemasan, belahketupat pusatnya
pun diisi oleh warna kemasan walaupun tidak penuh.
Setelah mencoba mempelajari dan mengamati motif usap pada tenun di Sukarara, dapat
disimpulkan beberapa prinsip geometri yang digunakan dalam pembuatan motifnya.
Terdapat banyak sumbu diagonal yang muncul dari analisis terhadap kesimetrisan dan
pengulangan detail pada keseluruhan motif kain. Hal tersebut dapat tergambarkan melalui
dominasi sumbu–sumbu diagonal sebagai sumbu utama simetri, dan adanya kesimetrisan
yang ditimbulkan oleh sumbu x dan sumbu y. Garis-garis diagonal tersebut merupakan hasil
penarikan garis lurus terhadap posisi antar detail-detail motif.
515
3 Kesimpulan
Aspek matematis dalam aktivitas tenun suku Sasak di Sukarara tampak dalam keterampilan,
ketelitian, ketekunan di dalam menciptakan karya yang dikerjakan dengan mengambil
sebagian waktunya dari ke hari, berminggu-minggu bahkan berbulan bulan dalam
menghasilkan suatu karya yang indah dan mempesona. Baik dalam kompisisi jalur, garis,
bentuk motif dengan warna dan keserasian dari seluruh komponen-komponennya melahirkan
bentuk estetika yang tinggi. Tentu saja keindahan tersebut menguak sedikit pola geometri
yang digunakan. Untuk dapat membuktikan keindahan tenun melalui prinsip geometris
selain prinsip simetris diperlukan studi lebih mendalam mengenai topik tersebut. Selain itu
juga, perlu dikembangkan pembelajaran berbasis ethnomathematics (aktivitas tenun) pada
materi geometri untuk memperkaya khazanah konsep geometri pada siswa juga
mengenalkan budaya lokal sebagai sumber pembelajaran.
Daftar Pustaka
Abas, S. J. 2001. Islamic Geometrical Patterns For The Teaching of Mathematics of Symmetry.
Symmetry: Culture and Science, Vol. 12 Nos. 1-2: 53-65.
Andriani, D. 2012. Strategi Pengembangan Kapasitas Pengrajin Tenun Di Desa Sukarara, Lombok
Tengah, NTB. [Online]. Tersedia di http://bpsdparekraf.org/articles313-Pengrajin-Desa-
Sukarara,-Lombok-Tengah---Ntb-html. Akses tanggal 13 Oktober 2013.
Aziz, N.M. A., Embong, R., Wahab, Z. A. W., & Maidinsah, H. 2012. Konsepsi Pensyarah Matematik
UiTM ke Atas Corak Tenunan Songket: Satu Kajian Kes. Menemui Matematik (Discovering
Mathematics) Vol. 34 No. 1: 113 – 120.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek media
kebudayaan. 1983. Album Tenun tradisional : Aceh, Sumatera Barat Sulawesi Selatan & Nusa
tenggara barat.
D‟Ambrosio & Acher., 1994. Ethnomathematics: A dialogue: For the Learning of Mathematics, 14
(2), 36-43.
D‟Ambrosio, U. 2007. Peace, Social Justice And Ethnomathematics. The Montana Mathematics
Enthusiast, Monograph 1, pp.25-34.
D‟Ambrosio. 2010. An Ethnomathematics View of space Occupation and Urban Cultur. Presented at
the ICEm4 / Fourth International Conference on Ethnomathematics, Towson, Maryland, USA,
Juli 25-30 2010. Journal of Mathematics & Culture ICEM 4 Focus Issue.
Fathani, A. H. 2009. Matematika: hakikat & Logika. Ar-Ruzz Media Group. Yogyakarta.
Fracis.,D. R. Chim, 1996. Arsitektur: Bentuk, Ruang, dan Susunannya. Jakarta. Erlangga.
Gerdes, P. 2011. African Basketry: Interweaving Art and Mathematics in Mozambique. Bridges.
Mathematics, Music, Art, Architecture, Culture: 9-16.
Gilsdorf, T. E.2008. Ethnomathematics of the Inkas. Encyclopedia of the History of science,
Teknology, and Medicine in Non-Western Cultures Springer-Verlag Berlin Heidelberg. New
York. http://www.etnomatematica.org. Diakses 15 Oktober 2013.
Himmawan, P., Adib, A., & Wijayanti, A. 2013. Perancangan Design Kemasan Kain Tenun Slamet
Riady Lombok. Skripsi S1. UNS
Maran, R. R. 2007. Manusia dan Kebudayaan: Dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. PT. Rineka
Cipta: Jakarta.
Marcis, I. 2009. Symmetry and Interculturality. Acta Didactica Napocensia, Vol. 2, Sept: 57-61.
Nurbaya, abdullah. 2005. Geometri dalam Songket Terenggan. Tesis. Program Matematik dengan
Ekonomi. Sekolah Saint dan Teknologi Universitas Malaysia Sabah.
Powell., A. B., & Frankenstein, M. 1997. Ethnomathematics.
Challenging Eurocentrism in Mathematics Education.State University of New York Press
516
Soedjadi, R., Prof. 2007. Masalah Kontekstual Sebagai Batu Sendi Matematika Sekolah. Pusat Sains
dan Matematika Sekolah. Universitas Negeri Surabaya.
Sumardyono, 2004. Karakteristik Matematika dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran
Matematika. Yogyakarta: Depdiknas.
Walle, J. A. V. 2006. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah. Erlangga: Jakarta.
517
1. Pendahuluan
Dari hasil pengamatan peneliti ditemukan beberapa permasalahan, antara lain: rendahnya
kemampuan siswa dalam hal penalaran, komunikasi, dan rendahnya kemampuan siswa
dalam prosedur pemecahan masalah yang berkaitan dengan penerapan kehidupan sehari-hari.
Hal ini nampak sering ditemuinya kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan soal
cerita yang berhubungan dengan persamaan kuadrat dan pembuatan grafik fungsi. Siswa
kurang mampu memberikan alasan induktif dan deduktif . Siswa kurang mampu menyatakan
gagasan matematika secara lisan, tertulis atau mendemontrasikannya. Siswa kurang mampu
memahami masalah, memilih strategi penyelesaian masalah. Dengan demikian siswa
kesulitan dalam menyelesaikan penerapan konsep matematika terhadap kehidupan sehari-
518
hari, karena siswa kesulitan mengubah soal cerita ke dalam bahasa matematika. Hal ini
diduga karena (1) kesalahan guru dalam proses pembelajaran, (2) kurangnya perhatian siswa
terhadap tugas PR (3) kurangnya variasi guru dalam memberikan tugas kepada siswa dalam
mengkaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari secara nyata.
Dari dasar pemikiran tersebut, maka dibuatlah suatu model pembelajaran yang dinamakan
dengan metode “Kolaborasi Antara Penemuan terbimbing dan Permainan Simulasi
Matematika Berbantuan Alat Peraga Grafik Magnet Geser (GMG) dan Geogebra”. Metode
pembelajaran dirancang dengan tahapan penemuan terbimbing melalui media LKS dan
permainan simulasi matematika yang dikolaborasikan dengan menggunakan alat peraga
(GMG) sebagai media pembelajaran. Pemilihan penggunaan metode ini sebagai salah satu
cara untuk memberikan pemahaman kepada siswa sekaligus merangsang siswa untuk
termotivasi belajar matematika. Hal ini mengingat media LKS dan permainan simulasi
matematika yang dirancang menggunakan tahapan pembelajaran secara kontruktivisme.
Pemilihan penggunaan metode ini atas pertimbangan: (a) merupakan media yang menarik
dan mudah digunakan oleh siswa dalam pemahaan konsep matematika, (b) memiliki
kesederhanaan alat yang dipergunakan maupun tata caranya, (c) dilakukan dalam suasana
belajar kelompok, sehingga terjadi proses transformasi nilai secara optimal. Selain itu
metode ini memberikan kesempatan dan pengalaman kepada siswa untuk meningkatkan
kemampuannya sehingga siswa: (a) berani mengeluarkan pendapat, bertanya, mendengarkan
pendapat orang lain serta belajar bernalar atau berargumentasi, (b) menghargai matematika,
(c) mempunyai keyakinan akan kemampuan matematikanya, (d) mampu dalam memecahkan
masalah, dan (e) mampu menggunakan matematika sebagai alat berkomunikasi.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pokok bahasan Persamaan Kuadrat dan Fungsi
Kuadrat sebagai materi penelitian. Materi ini dipilih karena pengalaman peneliti menemukan
sebagian besar siswa kelas X kesulitan dalam menerapkan dalam kehidupan sehari-hari
berkaitan dengan persamaan kuadrat. Selain itu siswa kelas XII IPA merasa kesulitan
membuat sketsa grafik fungsi kuadrat dalam menentukan luas daerah dan volume benda
putar pada pokok bahasan Integral, sehingga peneliti menciptakan alat peraga grafik geser
magnet dan komputer program geogebra sebagai media pembelajaran.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penelitian difokuskan sebagai
berikut,
519
2. Kajian Pustaka
Metode ini merupakan upaya dalam penanaman konsep matematika melalui penemuan
terbimbing dan permainan simulasi matematika, alat peraga grafik magnet geser, dan
geogebra sebagai media dalam pembelajaran. Proses kegiatan diawali dengan pemahaman
konsep melalui penemuan terbimbing dengan media LKS dan permainan simulasi
matematika dalam rangka memeran sertakan unsur-unsur konsep dan problem matematika
yang didiskusikan, seperangkat alat perlengkapan serta cara atau aturan bermain yang
ditetapkan melalui tahapan-tahapan metode konstruktivisme. Untuk bahan kajian lebih
lanjut menggunakan Geogebra sebagai program aplikasi matematika untuk menambah
wahana pembelajaran matematika
2.2 Alat dan Aturan Permainan Simulasi Matemátika dengan Alat Peraga
Grafik Magnet Geser dan Geogebra
2. Peserta permainan simulasi matematika ialah mereka yang terlibat dalam permainan.
1. Persiapan bermain
a. Menyediakan alat permainan
Pada waktu akan melaksanakan permainan guru (fasilitator) menyediakan alat-alat
permainan simulasi: dadu, tanda pemain, beberan materi simulasi dari kertas karton (untuk
siklus I), LCD dan laptop yang berisi materi simulasi berupa pesan konsep dalam program
power point, alat peraga grafik geser magnet (Siklus II), dan kartu problem.
b. Mengucapkan salam
c. Berdo‟a
d. Aturan permainan
Permainan selesai setelah sampai pada kolom stop atau menurut waktu yang ada
Jika berada pada urutan kolom kosong, pemain yang bersangkutan dapat disuruh:
bernyanyi, bercerita tokoh matematika, menjawab soal teka-teki matematika
Jika pada kolom siapa bisa, semua berhak menjawab, memberi nasehat dan anjuran
2. Pelaksanaan Permainan
Permainan dimulai dari kolom start, dilanjutkan dengan kolom 1, dadu dilempar dan angka
yang muncul menunjukkan kelompok yang berhak menjawab pertama kali, setelah tuntas
didiskusikan, guru menyimpulkan dan memberi penekanan kebenarannya, kemudian
dilanjutkan pada kolom berikutnya sesuai dengan langkah pertama, begitu seterusnya sampai
pada kolom stop.
Grafik geser magnet adalah alat peraga yang terbuat dari seng sebagai bidang koordinat yang
dan plastik tebal yang tertempel dengan magnet sehingga mudah digeser yang menjelaskan
tentang pembuatan grafik fungsi kuadrat dengan konsep transformasi.
Peneliti menggunakan jenis portofolio evaluasi. Portofolio evaluasi berisi semua hasil
catatan yang diperlukan oleh guru untuk mengevaluasi siswa dan berisi lebih dari hasil karya
terbaik siswa. Portofolio tersebut berisi bukti-buki yang diperlukan untuk mengevaluasi
proses dan hasil belajar siswa. Dalam portofolio penilaian dapat ditambahkan hasil tes atau
hasil strategi penilaian lain untuk dimasukkan dalam evaluasi akhir.
Pada akhir semester atau akhir penyusunan portofolio, siswa diminta untuk mengubah suatu
portofolio proses menjadi portofolio hasil kerja (dengan memilih karya terbaik dan
membuang karya yang kurang memuaskan) sehingga pada gilirannya portofolio tersebut
dapat dijadikan portofolio penilaian dengan menambahkan kelengkapan lainnya termasuk
hasil refleksi siswa. Selanjutnya alat yang digunakan untuk menilai portofolio siswa adalah
skala penilaian yang terdapat dalam rubrik.
Adapun langkah atau tahap yang harus dilalui dalam mengimplementasikan asesmen
portofolio dalam penelitian ini adalah:
a. Tahap Persiapan :
1. Mengidentifikasi atau menetapkan tujuan pembelajaran yang akan diakses dengan
asesmen portofolio
522
3. Metodologi Penelitian
Desain penelitian ini Peneitian Tindakan Kelas (PTK) yang mengacu kepada model Kemmis
dan Tagart (1998) yang terdiri dari 4 (empat) komponen yaitu perencanaan, tindakan,
pengamatan, dan refleksi. Penelitian ini dilaksanakan di kelas XA SMA Negeri 1 Singkep
Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau yang berjumlah 41 siswa pada semester I tahun
ajaran 2011/2012.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini mencakup:
Dokumen portofolio dari semua siswa dalam satu kelas subjek penelitian. Dokumen
portofolio yang dimaksud meliputi hasil dari LKS, tugas diskusi kelompok, tugas
pekerjaan rumah, tugas kelompok, jurnal belajar (refleksi diri) dan hasil tes ulangan
harian yang sudah dinilai dan diperbaiki oleh siswa.
Hasil observasi, angket, dan catatan lapangan yang berkaitan dengan aktivitas belajar
dan kemandirian belajar siswa berkenaan dengan penerapan pembelajaran
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan selama dan setelah pengumpulan data. Analisis
data yang bersifat kualitatif dianalisis secara kualitatif dengan model alir (flow model)
Milles dan Huberman (1992:18) yang meliputi tahap (a) mereduksi data, (b) menyajikan
data, dan (c) menarik kesimpulan dan verifikasi.
523
Kriteria keberhasilan tindakan meliputi dua indikator yaitu indikator keberhasilan proses
belajar dan indikator keberhasilan hasil belajar. Indikator keberhasilan proses belajar
ditentukan dengan menggunakan lembar observasi. Hal ini terbukti dengan tidak
dijumpainya problem yang serius pada dalam menerapkan metode ini yang berkenanaan
dengan kegiatan pembelajaran dan tugas-tugas matematika yang diberikan kepada siswa.
Tabel 1 Skor rata-rata bukti belajar dalam dokumen portofolio siklus I dan siklus II
Pada siklus I skor rata-rata pada tugas PR dan tugas kelompok adalah 2.56 dan 2.19, skor
rata-rata ini sangat rendah hal ini disebabkan antara lain; (1) banyak siswa yang tidak
mengumpulkan tugas, hal ini dikarenakan siswa kurang bertanggung jawab pada tugas yang
diberikan, (2) Siswa kesulitan dalam mengerjakan tugas yang diberikan karena kurang
memahami konsep melalui permainan simulasi melalui beberan. Namun pada siklus II skor
rata-rata tugas PR dan tugas kelompok meningkat berturut-turut menjadi 3.44 dan 4.05.
524
Demikian juga skor rata-rata tes formatif pada siklus I sebesar 3.29 meningkat 3.51 pada
siklus II. Berdasarkan tabel 1 melalui metode ini terjadi peningkatan hasil belajar. Hal ini
dapat dilihat dari peningkatan skor rata-rata tes formatif pada siklus I sebesar 3.29 menjadi
3.51 pada siklus II.
Data presentase keberhasilan kemandirian belajar siswa pada siklus I dan siklus II
ditunjukkan pada Tabel 2 berikut:
Berdasarkan Tabel 2 tersebut terlihat bahwa prosentase kemandirian siswa pada siklus I
berturut-turut 70.24%, 72.20%, dan 75.12%. Pada siklus II kemandirian belajar siswa
meningkat dengan prosentase keberhasilan berturut-turut 78.05%, 79.02%, dan 80.48%.
Dengan demikian rata-rata prosentase kemandirian belajar pada siklus I adalah 75.52% dan
rata-rata prosentase kemandirian belajar pada siklus II meningkat menjadi 79.18%.
Data keberhasilan aktivitas belajar siswa pada siklus I dan II ditunjukkan pada tabel 3.
Tabel 3 Prosentase Keberhasilan Aktivitas Belajar Siswa pada Siklus I dan siklus II
Prosentase Keberhasilan Aktivitas Belajar Siswa
Siklus I Siklus II
1 2 3 1 2 3
Nilai 45.37 51.71 57.07 67.32 69.76 76.10
Huruf D D C C C B
Berdasarkan Tabel 3 terjadi kenaikan aktivitas belajar siswa dari siklus I ke siklus II.
Prosentase keberhasilan aktivitas belajar pada siklus I berturut-turut 45.37%, 51.71%, dan
57.07%. Pada siklus II prosentase keberhasilan aktivitas belajar meningkat berturut-turut
67.32%, 69.76% ,dan 76.10%. Dengan demikian rata-rata prosentase aktivitas belajar siswa
pada siklus I 51.38% meningkat pada siklus II menjadi 71.06%
Data nilai akhir portofolio pada siklus I dan siklus II ditunjukkan pada tabel 4
525
Dari tabel 4 tentang nilali akhir portofolio dapat memperlihatkan pemahaman matematika
siswa meningkat dari siklus I ke siklus II.
Respon siswa terhadap penerapan permainan simulasi matematika dengan alat peraga grafik
geser magnet dan berbantuan computer pada pembelajaran matematika khususnya materi
memgambar grafik fungsi kuadrat dari angket. Sedangkan angket disebarkan kepada seluruh
siswa kelas XA yang berjumlah 41 siswa sebagai sumber data. Berdasarkan hasil analisis
data respon siswa terhadap penerapan permaian simulasi matematika dan alat peraga grafik
magnet geser dengan berbantuan komputer, maka metode ini efektif untuk dilaksanakan di
kelas sebagai model pembelajaran matematika di kelas., karena lebih dari 80% pertanyaan
yang diajukan dalam angket, direspon positif (sangat setuju, dan setuju) oleh lebih dari 60%
dari jumlah seluruh siswa.
5. Penutup
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan beberapa hasil temuan dalam penelitian ini dan pembahasan yang telah
diuraikan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Negeri 1 Singkep dalam merefleksikan apa yang telah dipelajari. Hal ini terbukti dengan
terjadinya peningkatan skor rata-rata refleksi diri dari siklus I 3.00 meningkat menjadi
3.74
4. Penerapan melalui kolaborasi penemuan terbimbing dengan permainan simulasi
matematika dan asesmen otentik prtofolio pada pembelajaran matematika dapat
meningkatkan dan melatih kemandirian siswa kelas XA SMA Negeri 1 Singkep dalam
menyelesaikan tugas-tugas. Hal ini terbukti dengan terjadinya peningkatan pada skor
kemandirian belajar siswa pada siklus I ke siklus II.
5. Berdasarkan hasil analisis data respon siswa, menunjukkan bahwa Penerapan kolaborasi
penemuan terbimbing dengan permainan simulasi matematika berbantuan alat peraga
GMG dan geogebra efektif untuk konsep persamaan kuadrat dan fungsi kuadrat, karena
lebih dari 80% dari 20 pertanyaan dalam angket direspon positif (sangat setuju dan
setuju) oleh lebih dari 60% dari jumlah seluruh siswa.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan hambatan yang ditemukan dalam penelitian, maka
disarankan hal-hal berikut:
1. Perlunya peningkatan komunikasi antara guru, siswa dan orang tua dalam mengevaluasi
proses dan hasil pembelajaran.
2. Bagi rekan rekan guru untuk selalu bertukar pikiran tentang pengalaman yang diperoleh
sehingga dapat menciptakan rancangan model pembelajaran yang dapat meningkatkan
mutu pembelajaran
Daftar Pustaka
Kemmis MC & Taggart. R. 1988. The Action research Planner. Victoria: Deakin University Prees
Milles, M.B. & Huberman, A.M. 1992. Analisa Data Kualitatif. Terjemahan oleh Tjejep Rohedi.
Jakarta : Universitas Indonesia Prees.
Nurhadi & Senduk, Agus Gerrad. 2007. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KTSP.
Malang: Universitas Negeri Malang.
527
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan pemahaman siswa
kelas XII-IPA5 (Kelas Akselerasi) di SMA Negeri 1 Sedayu Tahun Ajaran 2013/2014
dalam pembelajaran transformasi geometri melalui program GeoGebra. Penelitian ini
merupakan penelitian tindakan kelas yang dilakukan terhadap 20 siswa kelas XII-IPA5
pada bulan Oktober 2013 dalam 3 siklus. Hasil analisis deskriptif mengungkapkan
bahwa model pembelajaran menggunakan program GeoGebra dapat meningkatkan
motivasi siswa dalam proses pembelajaran transformasi geometri (70 % pada awal
siklus I; 81% pada akhir siklus I, 83% pada akhir siklus II dan 85% pada akhir siklus
III). Penerapan program GeoGebra juga dapat meningkatkan pemahaman siswa (95 %
pada siklus I, 98 % pada siklus II dan 95 % pada siklus III). Kesimpulan dari penelitian
ini adalah penerapan program GeoGebra dapat meningkatkan motivasi dan pemahaman
siswa kelas XII-IPA5 di SMA Negeri 1 Sedayu dalam materi transformasi geometri
tahun ajaran 2013/2014. Penerapan program GeoGebra dapat digunakan sebagai salah
satu alternatif upaya peningkatan motivasi dalam pembelajaran matematika, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan prestasi siswa pelajaran matematika, khususnya materi
transformasi geometri.
1 Pendahuluan
Hasil belajar siswa kelas XII-IPA SMA Nageri 1 Sedayu relatif rendah. Hal itu dapat dilihat
dari hasil ulangan akhir semester maupun hasil ujian nasional dari tahun ke tahun berkisar
6,7. Demikian pula dengan prestasi siswa dalam materi transformasi geometri kurang
memuaskan. Begitu mendengar istilah „geometri‟ siswa cenderung membayangkan suatu
materi yang sangat sulit, penuh dengan gambar-gambar yang susah untuk dipahami. Hal ini
membuat siswa menjadi kurang bergairah atau kurang bersemangat dalam belajar geometri
apalagi transformasi.
Siswa SMA Negeri 1 Sedayu khususnya kelas XII cenderung lebih mementingkan hasil
daripada proses. Mereka hanya mengandalkan hasil akhir, sehingga cenderung menyukai
cara cepat untuk menyelesaikan soal. Hal itu akan mempengaruhi perilaku mereka dalam
proses pembelajaran. Mereka lebih mengandalkan penyelesaian soal-soal ujian nasional,
528
Bertitik tolak dari pembatasan masalah di atas dan agar penelitian lebih terarah maka
peneliti memformulasikan pokok-pokok permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan program GeoGebra dapat meningkatkan motivasi siswa kelas XII-
IPA5 di SMA Negeri 1 Sedayu Tahun Ajaran 2013/2014 dalam pembelajaran
transformasi geometri?
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi dan pemahaman siswa kelas XII-IPA5
di SMA Negeri 1 Sedayu Tahun Ajaran 2013/2014 dalam pembelajaran transformasi
geometri melalui program GeoGebra.
Penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memberikan kesimpulan yang bermanfaat.
Adapun manfaat yang diharapkan adalah:
529
1. Bagi Siswa:
2 Tinjauan Pustaka
Robbin (2001) mendefinisikan motivasi sebagai kesediaan untuk mengeluarkan tingkat
upaya yang tinggi untuk mencapai suatu tujuan. Motivasi merupakan dorongan yang timbul
pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan
tujuan tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III). Berdasarkan beberapa definisi di
atas, pada intinya motivasi merupakan kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu. Dalam kegiatan belajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan
daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan, menjamin kelangsungan dan
memberikan arah kegiatan belajar, sehingga diharapkan tujuan dapat tercapai. Dalam
kegiatan belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai
motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melakukan aktivitas belajar.
530
Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru untuk menumbuhkan motivasi belajar
siswa. Menurut Nasution dalam (Muchlisin Riadi, 2013) cara membangkitkan motivasi
belajar antara lain: (1) Memberi angka, banyak siswa belajar untuk mencapai angka yang
baik, sehingga yang dikejar itu adalah angka atau nilai. Oleh karena itu langkah yang dapat
ditempuh guru adalah bagaimana cara memberi angka yang dapat dikaitkan dengan nilai-
nilai yang terkandung dalam setiap pengetahuan; (2) Memberi hadiah, hadiah dapat
membangkitkan motivasi belajar seseorang jika ia memiliki harapan untuk memperolehnya,
misalnya: seorang siswa ingin mendapat beasiswa, maka ia akan giat melakukan kegiatan
belajar; (3) Hasrat untuk belajar, hasil belajar akan lebih baik apabila seorang siswa memiliki
hasrat atau tekad untuk mempelajari sesuatu; (4) Mengetahui hasil, dengan mengetahui hasil
belajar yang selama ini dikerjakan, seorang siswa akan menunjukan motivasi siswa untuk
belajar lebih giat, karena hasil belajar merupakan feedback (umpan balik) bagi siswa untuk
mengetahui kemampuan dalam belajar; (5) Memberikan pujian, pujian merupakan motivasi
yang baik; (6) Menumbuhkan minat belajar, siswa akan merasa senang dan aman dalam
belajar apabila disertai dengan minat belajar yang tinggi; (7) Suasana yang menyenangkan,
siswa akan merasa aman dan senang dalam belajar apabila disertai denga suasana yang
menyenangkan.
Pemahaman adalah konsepsi yang bisa dicerna oleh peserta didik sehingga mereka mengerti
apa yang dimaksudkan, mampu menemukan cara untuk mengungkapkan konsepsi tersebut,
serta dapat mengeksplorasi kemungkinan yang terkait.
Pemahaman konsep sangat penting, karena dengan penguasaan konsep akan memudahkan
siswa dalam mempelajari matematika. Pada setiap pembelajaran diusahakan lebih
ditekankan pada penguasaan konsep agar siswa memiliki bekal dasar yang baik untuk
mencapai kemampuan dasar yang lain seperti penalaran, komunikasi, koneksi dan
pemecahan masalah.
Nama GeoGebra berasal dari istilah geometry dan algebra, artinya analisis dari sisi geometri
dan aljabar. GeoGebra adalah software komputer yang dikembangkan oleh Markus
Hohenwarter untuk pendidikan matematika. Sesuai namanya, GeoGebra dapat digunakan
untuk belajar (visualisasi, komputasi, ekplorasi dan eksperimen) dan mengajar materi
geometri, aljabar, dan kalkulus (Sahid, 2013). Hal paling sederhana yang dapat dilakukan
dengan GeoGebra adalah menggambar titik, ruas garis, vektor, garis, poligon, irisan kerucut,
dan kurva dua dimensi. Program GeoGebra sangat membantu kita yang ingin mempelajari
konstruksi geometri. Dengan GeoGebra kita bisa membuat konstruksi berbagai bangun
geometri (dua dimensi) beserta hubungan antara mereka. Pada program GeoGebra tersedia
menu menggambar, mulai dari menggambar garis sampai menggambar konflik antara
lingkaran dan garis. Walaupun terlihat sederhana karena banyaknya menu yang disediakan,
tetapi untuk mengonstruksi gambar ternyata tidak sederhana karena kita masih harus berpikir
berbagai macam konsep geometri.
531
Program GeoGebra diharapkan dapat membantu siswa untuk memudahkan dalam belajar
matematika khususnya transformasi geometri. Dengan demikian diharapkan dapat
meningkatkan motivasi dan pemahaman siswa.
Transformasi geometri merupakan materi kelas XII IPA meliputi translasi, refleksi, rotasi
dan dilatasi (Kuntarti, 2006). Transformasi geometri sangat penting dipelajari terutama
sebagai bekal dalam pembelajaran matematika selanjutnya maupun dalam kehidupan sehari-
hari. Translasi banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, misalnya memindahkan barang
dari satu tempat ke tempat lain tanpa mengubah posisi barang, dunia transportasi dan
seterusnya. Pengembangan motif batik merupakan salah satu terapan translasi dan refleksi.
Rotasi sangat bermanfaat dalam kehidupan nyata, misalnya roda kendaraan, pembangunan
gedung menggunakan alat berat dengan prinsip rotasi. Dilatasi sering digunakan untuk
memperbesar ataupun memperkecil gambar suatu obyek, foto dan lain-lain (Kuntarti, 2006).
3 Metodologi Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dalam penelitian
ini, peneliti berkolaborasi dengan siswa, peserta PPG dan guru mata pelajaran matematika
yang lain (teman sejawat). Sedangkan peneliti terlibat langsung dalam penelitian. Adapun
tindakan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penerapan program GeoGebra sebagai
upaya meningkatkan motivasi dan pemahaman siswa kelas XII-IPA5 SMA Negeri 1 Sedayu
Tahun Pelajaran 2013/2014 dan telah dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 di kelas XII
IPA5 SMA Negeri 1 Sedayu Bantul.
Penelitian tindakan ini menggunakan metode spiral dari Kemmis dan Taggart yang
dikembangkan oleh Stephen Kemmis dan Robin Mc. Taggart (Sukardi, 2004) yang terdiri
dari beberapa siklus yang masing-masing siklus menggunakan 4 (empat) komponen tindakan
yaitu perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi dalam suatu spiral yang saling terkait.
Subjek penelitian adalah siswa kelas XII IPA5 SMA Negeri 1 Sedayu Bantul tahun pelajaran
2013/2014. Teknik pengumpulan data menggunakan lembar angket untuk siswa dan lembar
observasi untuk siswa dan guru dan diakhiri dengan tes. Instrumen penelitian berupa angket
yang disusun bersama beberapa rekan guru kolaborator yang tergabung dalam kelompok
MGMP Sekolah. Instrumen penelitian terdiri dari angket motivasi siswa dalam proses
pembelajaran, lembar observasi aktivitas siswa dalam proses pembelajaran, dan lembar
pengamatan aktivitas guru. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif untuk
menggambarkan motivasi siswa, pemahaman siswa, aktivitas siswa maupun guru.
Hasil analisis deskriptif skor motivasi siswa dalam proses pembelajaran adalah 70 %
(tinggi) pada pra tindakan, 81 % (sangat tinggi) pada akhir siklus I, 83 % (sangat tinggi)
pada akhir siklus II dan 85 % (sangat tinggi) di akhir siklus III.
532
Ringkasan hasil skor motivasi siswa tampak seperti diagram berikut ini.
Tindakan dihentikan setelah siklus III yang dirasa sudah cukup signifikan untuk dikatakan
meningkat. Adapun tingkat pemahaman siswa 95 % pada siklus I, 98 % pada siklus II dan
95 % pada akhir siklus III.
4.2 Pembahasan
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penelitian ini adalah penerapan program GeoGebra dapat meningkatkan
motivasi dan pemahaman siswa kelas XII-IPA5 di SMA Negeri 1 Sedayu dalam materi
transformasi geometri tahun ajaran 2013/2014. Penerapan program GeoGebra dapat
digunakan sebagai salah satu alternatif upaya peningkatan motivasi dalam pembelajaran
matematika, sehingga diharapkan dapat meningkatkan prestasi siswa pelajaran matematika,
khususnya materi transformasi geometri.
5.2 Saran
6 Ucapan Terimakasih
Terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Bapak Sumardyono, M.Pd. dkk
selaku nara sumber Diklat In On In PKB PPPPTK Matematika atas segala bimbingannya
sehingga kami dapat membuat Penelitian Tindakan Kelas ini.
Daftar Pustaka
Kuntari. (2006). Matematika SMA dan MA Kelas XII Semester 1 Program IPA. Jakarta: Esis.
Muchlisin Riadi. (2013).Motivasi Belajar..24 September 2013 pukul 13:50.
Sahid. (2013). Aktivitas Belajar Persamaan Lingkaran dan Garis Singgungnya dengan Software
GeoGebra. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/10 GeoGebra4Lingkaran.pdf Tanggal 24
September 2013 pukul 15:56.
Robbins, S.P. (2001). Organizational behavior (9th.ed). Upper Saddle River, NJ: Prentice-Hall Inc.
Sardiman A.M. (2010). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Th.Sumini. (2010). Penelitian Tindakan Kelas. Jurnal Historia vol 24 No 1 April 2010.
http://www.usd.ac.id/lembaga/lppm/f1l3/Jurnal%20
Historia%20Vitae/vol24no1april2010/PENELITIAN%20TINDAKAN%20KELAS%20Th%20sum
ini.pdf. Tanggal 25 September 2013 pukul 15.05.
Tim Penyusun. (2001). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
535
Abstract. This study aims to develop learning media polyhedron using Macromedia Flash 8
and see the effectiveness in improving mathematics achievement. The method which is use in
developing learning equipment is modification of Plomp‟s model Learning media validated
by 5 experts and their effectiveness used in the eighth grade students of SMPN 2 Cirebon in
academic year 2012. The results obtain validation of the equipment developed by five experts
and obtained an average overall with maximum score 4 are 3.71 for interactive learning
media and 3,61 for test achievement mathematics. This result of the study is defined as “very
good”, hence it can be concluded that this learning equipment is valid. Then the media on
learning the test result showed that the use of a medium of learning mathematics with
Macromedia Flash 8 is more effective than learning that do not use the medium of learning
mathematics with Macromedia Flash 8 in improving students mathematics achievement.
1 Pendahuluan
Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi telah mendorong terjadinya banyak
perubahan, termasuk dalam bidang pendidikan yang melahirkan konsep e-learning. Dengan
e-learning, pembelajaran matematika menjadi lebih efektif dan efisien untuk mencapai daya
matematika (mathematical power) yang meliputi kecakapan dalam belajar berkomunikasi,
belajar untuk bernalar, belajar untuk memecahkan masalah, belajar untuk mengaitkan ide,
pembentukan sifat positif terhadap matematikaMenurut Uno sebagaimana dikutip oleh
Pratiwi (2010) menyimpulkan bahwa hasil studi yang dilakukan oleh Amerika sangat
mendukung dikembangkannya e-learning, yakni menyatakan bahwa computer based
learning sangat efektif untuk memungkinkan 30% pendidikan lebih baik, 40% waktu lebih
singkat, dan 30% biaya lebih murah. E-learning memungkinkan siswa untuk aktif dan
kreatif. E-learning memberikan para siswa, guru, dan pengelola pendidikan untuk
mengambil banyak manfaat, di antaranya fleksibilitas program dan bahan pembelajaran
dapat dibuat lebih menarik dan berkesan. Integrasi teknologi informasi dan komunikasi pada
pendidikan akan meningkatkan kualitas pembelajaran matematika. Dampak positif yang
akan dihasilkan dari terintegrasinya teknologi informasi dan komunikasi pada pendidikan
adalah mendorong percepatan computer literacy (Jawa: melek komputer) pada masyarakat
Indonesia.
Pembelajaran dengan Computer Assisted Intruction (CAI) atau juga dikenal dengan
“Pembelajaran dengan Berbantuan Komputer” dalam penelitian ini melalui pemanfaatan
aplikasi Macromedia Flash 8. Macromedia Flash adalah sebuah program animasi yang telah
banyak digunakan para animator untuk menghasilkan animasi yang professional. Di antara
program animasi yang ada, Macromedia Flash merupakan program yang paling fleksibel
dalam pembuatan animasi. Seperti animasi interaktif, game, company profile, presentasi,
film dan tampilan animasi lainnya.
SMPN 2 Cirebon termasuk sekolah berstandar nasional yang memiliki sarana dan prasarana
TIK yang memadai. Akan tetapi masih banyak guru yang belum optimal dalam
memanfaatkan TIK sebagai media pembelajaran. Hal ini dikarenakan masih banyak guru
yang belum menguasai TIK khususnya komputer dan internet. Atas dasar latar belakang
537
tersebut perlu dilakukan studi pengembangan suatu media pembelajaran tentang materi
bangun ruang sisi datar. Lengkap dengan isi bahan ajar, latihan interaktif, dengan software
Macromedia Flash 8 yang dikemas dalam bentuk Compact Disc yang berfungsi membantu
proses pembelajaran yang sesuai dengan tujuan kompetensi yang telah ditentukan.
2 Metode
Penelitian ini merupakan pengembangan media pembelajaran matematika. Media
pembelajaran ini dikembangkan menggunakan model pengembangan Plomp (Rochmad,
2009:55) yang telah dimodifikasi dan dengan software Macromedia flash 8.
Model pengembangan yang dikemukakan oleh Plomp terdiri dari lima tahap, yaitu: (1) tahap
investigasi awal; (2) tahap perancangan; (3) tahap realisasi/konstruksi; (4) tahap tes,
evaluasi, dan revisi; dan (5) tahap implementasi. Modifikasi yang dilakukan adalah
penyederhanaan model lima tahap menjadi empat tahap, yaitu (1) tahap investigasi awal; (2)
tahap perancangan; (3) tahap realisasi/konstruksi; dan (4) tahap tes, evaluasi, dan revisi.
Tahap implementasi tidak dilakukan secara eksplisit tetapi terpadu dalam pelaksanaan
penelitian, yaitu pada saat melakukan uji coba lapangan perangkat pembelajaran di lingkup
yang menjadi subjek penelitian. Implementasi dalam lingkup yang lebih luas tidak dilakukan
dalam penelitian ini, karena keterbatasan situasi dan kondisi pelaksanaan penelitian.
Tahap investigasi awal terfokus pada pengumpulan dan analisis informasi, mendefinisikan
masalah dan merencanakan kegiatan selanjutnya. Kegiatan pada tahap ini adalah : (1)
mengidentifikasi informasi, (2) analisis informasi, (3) mengkaji teori-teori, (4)
mendefinisikan atau membatasi masalah, dan (5) merencanakan kegiatan lanjutan. Tahap
perancangan bertujuan untuk memperoleh rancangan awal dari media pembelajaran yang
akan dikembangkan. Desain media interaktif terdiri atas merancang halaman depan media
interaktif, tampilan instruksi, menu utama, materi interaktif, latihan interaktif, silabus, ice
breaking, daftar pustaka dan author. Selain itu juga akan disusun lembar validasi, angket
sikap siswa terhadap matematika, dan lembar pengamatan keterampilan proses siswa. Tahap
konstruksi bertujuan untuk menghasilkan produk pengembangan berdasarkan desain yang
telah dirancang. Tahap konstruksi merupakan lanjutan dari kegiatan tahap perancangan. Pada
tahap ini peneliti membuat dan mengembangkan media interaktif dengan software
Macromedia Flash 8. Pada tahap tes, evaluasi dan revisi ini dilakukan dua kegiatan utama,
yaitu (a) kegiatan validasi; (b) kegiatan uji coba lapangan.
Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam
kegiatan penelitian. Sesuai dengan jenis penelitian yang dilakukan dan sesuai dengan pe-
rangkat pembelajaran yang dikembangkan, maka instrumen penelitian yang digunakan
sebagai alat pengumpul data dalam penelitian ini meliputi: (1) Lembar Penilaian Validator
Terhadap Media Pembelajaran dan Instrumen Penelitian, (2) Lembar Observasi
Keterampilan Proses Siswa, dan (3) Lembar Angket Respon Siswa Terhadap Pelaksanaan
Pembelajaran.
538
Data yang diperlukan dalam penelitian ini diperoleh dari dua sumber yaitu dari siswa dan
dari pengamat. Data yang berasal dari siswa dikumpulkan dengan dua macam cara, yaitu
memberikan tes kepada siswa dan meminta jawaban tertulis kepada siswa atas pertanyaan
dalam angket yang diberikan kepada mereka.
Penelitian ini dilaksanakan dengan mengambil dua kelas, satu sebagai kelas uji coba dan
kelas lainnya sebagai kelas kontrol. Pada kelas uji coba diberikan perlakuan khusus yaitu
pembelajaran dengan menggunakan media interaktif berupa CD Interaktif menggunakan
aplikasi Macromedia Flash 8 yang telah dikembangkan, sedangkan kelas kontrol diberikan
perlakuan yang sudah direncanakan pada awal tahun ajaran yaitu pembelajaran dengan
menggunakan perangkat yang sudah disiapkan guru mata pelajaran matematika di kelas
kontrol. Berdasarkan informasi dari guru, kelas kontrol menggunakan metode ekspositori.
Pada tahap tes, evaluasi dan revisi terdiri atas dua kegiatan yang dilakukan secara berturut-
turut, yaitu: (a) penilaian ahli, dipergunakan untuk merevisi draf I menjadi draf II dan (b) uji
coba perangkat pembelajaran, dipergunakan untuk merevisi draf II menjadi draf final.
Penilaian ahli meliputi validasi terhadap perangkat pembelajaran yang dikembangkan pada
tahap perancangan dan tahap konstruksi. Validasi dilakukan oleh 5 orang yang berkompeten
untuk menilai kelayakan perangkat pembelajaran. Revisi dilakukan berdasarkan saran dan
masukan dari validator. Hasil dari revisi ini menghasilkan draf II.
Hasil penilaian validator secara umum terhadap perangkat pembelajaran akan diuraikan
sebagai berikut: a) Pada umumnya validator memberikan penilaian sangat baik pada CD
Interaktif dan dapat digunakan dengan sedikit revisi. masukan hanya perlu dibuat soal yang
interaktif dan menu ice breaking masih error. b) Secara umum tes hasil belajar siswa dinilai
sangat baik dengan sedikit revisi. Masukan hanya seputar tanda baca saja sehingga dapat
dilakukan dengan cepat.
Hasil penilaian secara umum oleh validator terhadap perangkat pembelajaran yang
dikembangkan dapat dilihat pada Tabel 1.
Sebelum tes hasil belajar dipakai untuk mengambil data, dilakukan uji coba tes terlebih
dahulu. Berdasarkan data hasil uji coba ini dilakukan uji validitas, reliabilitas, tingkat
kesukaran dan daya beda soal untuk mengetahui kelayakan soal. Adapun hasil uji coba tes
hasil belajar dapat dilihat pada Tabel 2.
Sebelum uji coba perangkat, dilakukan analisis normalitas dengan menggunakan SPSS 17
pada kelas uji coba dan kelas kontrol dengan mengambil nilai matematika UAS semester 1
tahun pelajaran 2011/2012 untuk memperlihatkan bahwa data sampel berasal dari populasi
yang berdistribusi normal . Untuk uji normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov Test.
Output hasil perhitungan uji normalitas dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Uji Normalitas
Sebelum dilakukan uji T test dilakukan uji kesamaan varian (homogenitas) dengan F Test
(Levene’s Test), artinya jika varian sama maka uji T menggunakan Equal Variance Assumed
(diasumsikan varian sama) dan jika varian berbeda menggunakan Equal Variance Not
Assumed (diasumsikan varian berbeda). Perhitungan homogenitas mengambil nilai
matematika UAS semester 1 tahun pelajaran 2011/2012.
Hipotesis:
H0 : Kelas sampel berasal dari populasi homogen
H1 : Kelas sampel tidak berasal dari populasi homogeny
Berdasarkan Tabel 4. diatas, diperoleh nilai signifikan sebesar 0.680. Terlihat bahwa nilai
signifikan pada kedua kelas tersebut adalah > 5% = 0,05, maka H0 diterima. Hal ini berarti
kedua kelas berasal dari populasi yang homogen. Sehingga uji T menggunakan equal
variance assumed (diasumsikan kedua varian sama).
Dari nilai hasil belajar kelas uji coba dan kelas kontrol dilakukan uji banding dengan
menggunakan Independent Sample Test pada program SPSS 17. Dari hasil output pada Tabel
5 diperoleh nilai sig. pada kolom Levene’s Test for Equality of Variances adalah 0,094 > 5%
artinya diterima yaitu varian sama. Selanjutnya dipilih Equal Variances Assumed dan
diperoleh nilai Sig. (2-tailed) 0,027 = 2,7 % < 5%, maka Ho ditolak. Hal ini berarti kedua
541
sampel mempunyai nilai rata-rata ketuntasan yang berbeda. Untuk uji banding dalam
menentukan kelas yang mempunyai nilai rata-rata lebih tinggi digunakan asumsi data Group
Statistics pada Tabel 6. Data pada Group Statistics menunjukan bahwa nilai rata-rata pada
kelas uji coba adalah 77,80 sedangkan kelas kontrol adalah 73,98. Hal ini berarti kelas uji
coba mempunyai nilai rata-rata tes hasil belajar lebih tinggi dari pada kelas kontrol.
Group Statistics
Uji peningkatan hasil belajar siswa berdasarkan nilai hasil pretes dan postes kelas
eksperimen dilakukan uji Normalitas Gain (g) untuk mengetahui kriteria peningkatan hasil
belajar siswa. Rumus yang digunakan untuk melakukan uji Normalitas Gain (g) adalah
sebagai berikut :
( )
( )
Hasil perolehan Normalitas Gain (g) siswa secara umum dapat dilihat pada Tabel 7
berikut ini.
542
Berdasarkan Tabel 7, dapat diketahui bahwa peningkatan hasil belajar siswa pada kelas
eksperimen dengan tingkat peningkatan rendah 0%, sedang 73,91%, dan tinggi 26,9 %.
Sedangkan rata-rata klasikal nilai Normalitas Gain (g) dapat ditentukan berdasarkan rata-rata
nilai hasil belajar matematika siswa yang diukur dari hasil pretes dan postes. Dari hasil
eksperimen diperoleh data sebagai berikut.
( )
Jadi secara rata-rata klasikal diperoleh nilai Normalitas Gain (g) sebesar 58,76..% atau 0,58 ,
yang berarti tafsiran peningkatan hasil belajar yang terjadi termasuk kategori sedang.
4 Simpulan
Pembelajaran matematika menggunakan media Interaktif dengan aplikasi Macromedia Flash
8 pada materi bangun ruang kelas VIII valid dan efektif dapat menggunakan model
pengembangan Plomp yang meliputi tahap investigasi awal, tahap perancangan, tahap
konstruksi dan tahap tes, evaluasi dan revisi. Hasil pengembangan perangkat pembelajaran
berupa media Interaktif dan tes hasil belajar. Perangkat yang dikembangkan dinyatakan
valid, dengan rata-rata skor 3,61 untuk tes hasil belajar dan 3,71 untuk media Interaktif.
Penilaian tersebut berdasarkan penilaian para ahli.
Group Statistics menunjukan bahwa nilai rata-rata pada kelas uji coba adalah 77,80
sedangkan kelas kontrol adalah 73,98. Hal ini berarti kelas uji coba mempunyai nilai rata-
rata tes hasil belajar lebih tinggi dari pada kelas kontrol.
Uji peningkatan kemampuan berpikir kreatif di kelas uji coba perangkat berdasarkan nilai
pretes dan postes, hasil uji peningkatan disimpulkan bahwa pembelajaran dengan bantuan
CD Interaktif berhasil memberikan peningkatan hasil belajar dengan rata-rata Normalisasi
Gain sebesar 0,58 yang berarti tafsiran peningkatan hasil belajar termasuk dalam kategori
sedang.
Daftar Pustaka
Murtiyasa Budi, Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Untuk Meningkatkan Kualitas
Pembelajaran Matematika. physicsmaster.orgfree.com/.../TIK_inEduMath.pdf
Diakses pada tanggal 10 Oktober 2013.
Peraturan Menteri Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana.
Rochmad. 2009. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Beracuan Konstruktivisme yang
Melibatkan Penggunaan Pola Pikir Induktif-Deduktif (Model PMBK-ID) untuk Siswa
SMP/Mts. Disertasi. Surabaya : Universitas Negeri Surabaya.
Pratiwi. 2010. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Dengan Pendekatan Inkuiri
Berbantuan Aplikasi Visual Math Untuk Meningkatkan High Order Thinking (HOT) Siswa
Pada Materi Fungsi Dan Grafik Kelas X SMK. Tesis. Semarang : Universitas Negeri
Semarang.
Suyono. 2012. Peranan TIK dalam Proses Pembelajaran. Prosiding. Yogyakarta : Universitas Ahmad
Dahlan.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Waluya, et all. 2012. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Humanistik Berbasis
Konstruktivisme Berbatuan CD Pembelajaran Materi Sudut dalam Ruang Kelas X. Unnes
Journal of Research Mathematics Education.
544
1 Pendahuluan
Literasi matematika dalam Programme for International Student Assessment (PISA)
bertujuan untuk mengetahui kemampuan literasi matematika siswa yang berusia 15 tahun.
Siswa dikatakan memiliki literasi matematika jika siswa mampu merumuskan, menerapkan,
dan menginterpretasikan matematika dalam berbagai konteks yang mencakup penalaran
matematis dan menggunakan konsep matematika, prosedur, fakta, dan alat untuk
menggambarkan, menjelaskan, dan memprediksi fenomena dalam kehidupan sehari-hari
(OECD, 2010).
Dalam soal matematika PISA, ada tiga komponen utama yang terdapat dalam soal tersebut
yaitu konten, konteks, dan kompetensi. Komponen konten merupakan materi yang dipelajari
di sekolah. Konteks merupakan situasi yang tergambar dalam suatu permasalahan kehidupan
sehari-hari. Adapun kompetensi merupakan kemampuan siswa dalam merumuskan
(formulate), menggunakan (employ), dan menafsirkan (interpret) matematika untuk
memecahkan masalah.
Ketiga komponen tersebut tidak ditemukan secara terintegrasi dalam soal-soal yang terdapat
di buku seperti dalam Buku Sekolah Elektronik (BSE). Di dalam BSE, soal-soal yang
digunakan masih menanyakan hal-hal yang bersifat abstrak, formula, dan model soalnya jauh
dari model soal PISA. Soal-soal yang diberikan kepada siswa adalah soal-soal yang
dieksepresikan dalam bahasa dan simbol matematika yang diatur dalam konteks yang jauh
dari kehidupan sehari-hari. Sehingga dapat dikatakan bahwa soal-soal yang sering
545
digunakan sekarang ini tidak mampu menjembatani kemampuan siswa dalam menyelesaikan
soal-soal PISA. Hal tersebut mengakibatkan bahwa kemampuan siswa dalam menyelesaikan
soal PISA tergolong dalam kategori rendah karena tidak terbiasa menyelesaikan soal-soal
matematika model PISA pada pembelajaran.
Oleh karena itu, selain melakukan pembelajaran matematika yang bermakna bagi kehidupan
siswa, seorang guru juga dituntut untuk mampu mendesain dan mengembangkan sendiri soal
matematika yang digunakan pada tahap evaluasi pembelajaran, seperti soal matematika
model PISA.
Siswa dikatakan memiliki literasi matematika jika siswa mampu merumuskan, menerapkan,
dan menginterpretasikan matematika dalam berbagai konteks yang mencakup penalaran
matematis dan menggunakan konsep matematika, prosedur, fakta, dan alat untuk
menggambarkan, menjelaskan, dan memprediksi fenomena dalam kehidupan sehari-hari. Hal
ini dijelaskan dalam framework PISA 2012 seperti berikut.
Semua kompetensi yang dimiliki siswa untuk memiliki literasi matematika tersebut sering
juga disebut sebagai matematisasi (mathematization). Matematisasi menurut De Lange
(1987) didefinisikan sebagai pengorganisasian kegiatan dalam menemukan keteraturan
(regularities), hubungan (relations), dan struktur (structures) dengan menggunakan
pengetahuan dan keterampilan awal. PISA menggunakan soal-soal yang berbasis dunia nyata
sehingga siswa membutuhkan proses matematisasi untuk menyelesaikan permasalah dunia
nyata secara matematika.
Ada tiga komponen yang perlu diperhatikan dalam pengembangan soal matematika
model PISA, yaitu (1) konten, (2) konteks, dan (3) kompetensi. Konten merupakan
materi yang dipelajari di sekolah, seperti change and relationships (aljabar), space and
shape (geometri), quantity (bilangan), dan uncertainty and data (peluang dan statistik).
Konteks merupakan situasi yang tergambar dalam suatu permasalahan kehidupan sehari-hari,
seperti konteks pribadi (berhubungan langsung dengan kegiatan pribadi siswa sehari-hari),
546
pekerjaan (berkaitan dengan kehidupan siswa di sekolah dan atau tempat lingkungan siswa
bekerja), umum (berkaitan dengan penggunaan pengetahuan matematika dalam kehidupan
bermasyarakat baik umer, nasional, maupun global dalam kehidupan sehari-hari), dan
keilmuan (berkaitan dengan kegiatan ilmiah yang lebih bersifat abstrak dan menuntut
pemahaman dan penguasaan teori dalam melakukan pemecahan matematika). Adapun
kompetensi merupakan kemampuan siswa dalam merumuskan (formulate), menggunakan
(employ), dan menafsirkan (interpret) matematika untuk memecahkan masalah, seperti
reproduksi, koneksi, dan refleksi.
Adapun bentuk soal dalam PISA dikategorikan menjadi lima bentuk (Shiel, dkk, 2007)
yaitu:
a. Traditional multiple-choice items. Pada soal bentuk ini, siswa disuruh untuk memilih
salah satu dari beberapa umericive jawaban, misalnya memilih A, B, C, D, atau E.
b. Complex multiple-choise items. Pada soal bentuk ini, siswa disuruh untuk memilih salah
satu dari beberapa umericive jawaban, misalnya memilih benar atau salah dalam suatu
statemen, memilih ya atau tidak dalam menentukan kebenaran statemen.
c. Closed-constructed response items. Pada soal bentuk ini, siswa disuruh untuk menulis
jawaban dalam bentuk umeric atau dalam bentuk yang lain, dan hanya satu jawaban
yang benar misalnya mengisi titik-titik dengan jawaban saja tanpa menulis cara
bagaimana menyelesaikan permasalahan tersebut.
d. Short-response items. Pada soal bentuk ini, siswa disuruh untuk menulis jawaban
singkat, dan memiliki kemungkinan jawaban yang benar.
e. Open-constructed response items. Pada soal bentuk ini, siswa disuruh untuk
memberikan respon terhadap permasalahan dengan cara menulis dengan caranya
bagaimana menemukan jawaban tersebut. Biasanya bentuk soal seperti ini memiliki
kemungkinan jawaban benar yang beragam.
a. Analisis
Pada tahap ini guru melakukan analisis terhadap konten matematika, soal matematika PISA,
dan siswa. Analisis konten matematika bertujuan untuk mengetahui pada materi apa soal itu
akan dikembangkan dan bagaimana karakterisrik dari materi tersebut,selanjutnya analisis
soal matematika PISA bertujuan untuk mengetahui bagaimana model soal matematika dalam
PISA terkait dengan materi yang sudah ditentukan. Sedangkan analisis siswa bertujuan untuk
mengetahui sejauhmana kemampuan siswa dalam matematika (tinggi, sedang, maupun
rendah).
547
b. Desain
Pada tahap ini guru mendesain soal matematika yang akan dikembangkan. Adapun
karakteristik soal yang akan didesain adalah menggunakan karakteristik soal matematika
pada PISA baik itu dari sisi konten, konstruk, dan bahasa, seperti pada tabel 1 berikut ini.
c. Evaluasi
Pada tahap ini guru melakukan evaluasi dengan tujuan untuk mengetahui sejauhmana
kepraktisan, validitas, dan efek potensial soal yang telah didesain. Pada tahap ini digunakan
tipe formative evaluation. Ada lima tahapan yang dilakukan dalam formative evaluation
seperti gambar 1 berikut:
548
Expert Review
Pada tahap ini guru minta komentar dan saran dari Ahli PISA mengenai soal yang sudah
dievaluasi sendiri tersebut. Ahli akan menilai, mengevaluasi, dan memvalidasi soal
tersebut sehingga dapat diketahui kekuatan dan kelemahan baik itu dari sisi konten,
konstruk, maupun bahasa dari soal tersebut. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui
sejauhmana tingkat validitas soal. Adapun beberapa Ahli PISA yang bisa dimintai
pendapat dan sarannya oleh guru adalah Prof. Jan de Lange (Universitas Utrecht,
Belanda), Prof. Kaye Stacey (Universitas Melbourne, Australia), Prof. Dr. Zulkardi,
M.I.Komp., M.Sc. (Universitas Sriwijaya), Dr. Ratu Ilma Indra Putri, M.Si.
(Universitas Sriwijaya), Prof. Dr. Sutarto Hadi, M.Si., M.Sc. (Universitas Lambung
Mangkurat), Prof. Dr. M. Salman A.N. (Institut Teknologi Bandung), Prof. Dr.rer.nat
Widodo, M.S. (Universitas Gajah Mada), Prof. Dr. Ipung Yuwono, M.S., M.Sc.
(Universitas Negeri Malang). Komentar dan saran Ahli bisa disajikan dalam format
seperti tabel 2 berikut ini:
One to One
Pada tahap ini guru mengujicobakan soal ke beberapa siswa secara terpisah antara siswa
yang satu dengan siswa yang lainnya dengan tujuan untuk mengetahui apakah soal yang
sudah didesain praktis bagi siswa, baik itu dalam pemaknaan soal, maupun penggunaan
bahasa yang digunakan dalam soal tersebut. Pemilihan siswa sesuai harus
mempertimbangkan keberagaman tingkat kemampuan siswa, yaitu harus ada yang
mewakili siswa berkemampuan rendah, sedang, maupun tinggi. Tahap ini dilakukan
secara paralel dengan tahap expert review sehingga hasil revisi dari tahap ini dan expert
review digunakan untuk merevisi soal yang sudah didesain dan hasil revisinya
diujicobakan kembali pada tahap berikutnya.
549
Small Group
Pada tahap ini guru mengujicobakan soal yang sudah direvisi ke beberapa siswa yang
memiliki kemampuan rendah, sedang, dan tinggi secara bersamaan. Siswa yang sudah
dipilih akan menjawab dan memberikan pendapat mengenai soal tersebut. Beberapa
pendapat siswa tersebut dipertimbangkan untuk dijadikan acuan untuk merevisi soal
tersebut. Soal yang sudah direvisi akan diujicobakan pada tahap berikutnya.
Field Test
Pada tahap ini guru mengujicobakan soal kepada siswa dalam jumlah yang lebih banyak
dengan tujuan untuk mengetahui apakah soal yang sudah didesain memiliki efek
potensial atau tidak. Soal yang telah diujicobakan pada field test haruslah soal yang
telah memenuhi kriteria kualitas. Tiga kriteria kualitas menurut Akker (1999) dan
Plomp (2007) adalah: validitas, kepraktisan dan efektivitas (memiliki efek potensial).
Suatu soal yang memiliki validitas yang baik jika soal-soal tersebut mampu mengukur
kemampuan matematis siswa. Kepraktisan berarti soal yang telah dikembangkan mudah
digunakan oleh siswa.
550
Sumber: http://smpsatapgembong.files.wordpress.com/2009/08/lomba-egrang.jpg
Gambar di atas adalah gambar tiga anak yaitu Hendra, Sofyan, dan Roni sedang bermain
Egrang di lokasi perkemahan. Jarak (s) adalah jarak langkah anak menggunakan egrang
secara berurutan, dimana diberikan rumus dimana:
Pertanyaan:
Jarak satu langkah Roni adalah dua kali jarak satu langkah Sofyan, dimana satu langkah
Sofyan jaraknya 0,2 meter. Jika Roni melangkahkan kaki sebanyak 52 langkah, tentukan
kecepatan Roni dalam meter per menit jika waktu yang dibutuhkan selama 2 menit untuk
sampai ke garis finish!
Soal ini termasuk konten change and relationships, konteks pribadi, dan kompetensi
koneksi. Konteks yang digunakan dalam soal ini termasuk konteks pribadi karena konteks ini
berhubungan langsung dengan kegiatan pribadi siswa, yaitu berupa permainan egrang.
Selanjutnya, soal ini termasuk kompetensi koneksi karena siswa diminta untuk dapat
membuat keterkaitan antara beberapa gagasan berupa mengaitkan jarak Roni dengan Sofyan,
kemudian mengaitkannya dengan kecepatan yang ditempuh oleh Roni.
Berikut ini adalah motif batik kotak-kotak yang berwarna putih dan hitam.
Pertanyaan:
Jika motif batik ke-9 memiliki kotak hitam sebanyak 105 kotak, tentukan berapa banyak
kotak putih yang terdapat pada motif tersebut!
Soal ini termasuk konten change and relationship, konteks sosial, dan kompetensi koneksi.
Soal ini termasuk kategori konteks sosial karena konteks ini termasuk masalah yang ada
dalam kehidupan bermasyarakat yang sifatnya nasional yaitu batik merupakan warisan
budaya Indonesia. Selanjutnya, soal ini termasuk kompetensi koneksi karena siswa diminta
untuk dapat membuat keterkaitan antara beberapa motif batik yang sudah ada dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut.
Jawaban siswa:
Jawaban M. Glenn Adhitya
Di bawah ini adalah grafik yang menunjukkan hubungan antara volume air dan tinggi air di
dalam suatu wadah.
553
Pertanyaan:
Soal ini termasuk konten change and relationship, konteks keilmuan, dan kompetensi
koneksi. Soal ini termasuk kategori konteks keilmuan karena konteks ini berkaitan dengan
kegiatan ilmiah yang menuntut pemahaman dan penguasaan teori (koordinat cartesius)
dalam melakukan penyelesaian permasalahan tersebut. Selanjutnya, soal ini termasuk
kompetensi koneksi karena siswa diharapkan dapat membuat keterkaitan antara tinggi air
dan volume air dalam suatu wadah.
5 Kesimpulan
Mengembangkan soal matematika model PISA merupakan suatu aktivitas yang bagus bagi
guru dalam rangka membiasakan diri untuk mendesain dan mengembangkan soal-soal yang
karakteristiknya tidak jauh beda dengan soal-soal yang digunakan dalam studi internasional
seperti PISA. Hal ini juga penting bagi siswa, dimana siswa akan merasa terbiasa
menyelesaikan soal yang terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa.
Adapun tahapan dalam pengembangan soal matematika model PISA ini digunakan tahapan
yang diperkenalkan oleh Akker, dkk yaitu analisis, desain, dan evaluasi. Pada tahap evaluasi
digunakan evaluasi formatif dari Tessmer yaitu self evaluation, expert review, one to one,
small group, dan field test.
554
Daftar Pustaka
Akker J., Nieveen, N., & McKenney, S. Design research from a curriculum perspective. Pada Akker
J., Gravemeijer, K., McKenney, S. & Nieveen, N. (eds). Educational Design Research (hal. 67-
90). London: Routledge. (2006).
Akker J. Principles and methods of development research. Pada Akker J., R.Branch, K. Gustafson,
Nieven, dan T. Plomp (eds). Design Approaches and Tools in Education and Training (hal. 1-
14). Dortrech: Kluwer Academic Publishers. (1999).
De Lange, J. Mathematics, Insight, and Meaning (Doctoral dissertation). Utrecht: OW & OC, Utrecht
University. (1987).
OECD. PISA 2012 Mathematics Framework, diakses dari
http://www.oecd.org/dataoecd/8/38/46961598.pdf pada 26 Maret 2012. (2010).
Plomp, T. Educational design research: an introduction. Pada Akker J., Bannan, B., Kelly, A.E.,
Neveen, N., Plomp, T. (eds). An Introduction to Educational Design Research. (hal. 9-35).
Netherlands. SLO. (2007).
Shiel, G., Perkins, R., Close, S., & Oldham, E.. PISA Mathematics: a teacher's guide, diakses dari
http://www.sdpi.ie/inspectorate/insp_pisa_maths_teach_guide.pdf pada 25 Maret 2012. (2007).
Tessmer, Martin. Planning and Conducting Formative Evaluation. Philadelphia: Kogan Page. (1993).
Zulkardi. Formative Evaluation:What, Why, When, and How, diakses dari
http://www.reocities.com/zulkardi/books.html pada18 September 2012. (2006).
555
Abstrak. Luas bangun datar adalah bagian yang amat penting pada pembelajaran
mengenai geometri datar. Umumnya, guru atausiswa selalu berpikir rumus apabila
ingin menentukan luas suatu bangun datar. Penggunaan rumus dalam menentukan luas
bangun datar adalah suatu hal yang dibenarkan, bahkan menentukan rumus luas suatu
bangun dapat dijadikan sebuah tujuan pembelajaran. Namun penggunaan rumus akan
cepat menemui kendala jika bangun-bangun yang akan ditentukan luasnya merupakan
bangun yang tidak beraturan atau bangun tersebut tidak diketahui panjang sisi-sisinya.
Oleh karena itu, perlu suatu strategi atau cara lain dalam menentukan luas suatu
bangun datar. Cara yang dimaksud adalah dengan memanfaatkan determinan. Istilah
determinan disini adalah determinan yang selama ini kita kenal baik di matriks mapun
terkait dengan vektor. Dengan memanfaatkan determinan maka penghitungan luas
bangun datar dalam berbagai bentuk dapat ditentukan dan bahkan dapat dilakukan
secara lebih cepat.
Kata kunci: bangun datar, luas, determinan
1. Latar Belakang
Sampai saat ini guru sangat akrab dengan rumus-rumus untuk menghitung luas suatu bangun
datar yang tidak memiliki sisi lengkung.Misalnya luas suatu segitiga, persegi panjang,
jajargenjang, segiempat sebarang, trapesium, bahkan segi-n baik beraturan maupun tidak
beraturan. Strategi untuk menghitung luaspun telah banyak digunakan. Diantaranya
membagi-bagi menjadi bentuk segitiga. Umumnya, seseorang akan lebih senang dan merasa
mudah melakukan suatu hitungan dengan kuantitas yang sesuai dengan rumus.
Perhatikan gambar di bawah ini.
Pembaca mungkin hanya memerlukan waktu 5 detik untuk menghitung luas segitiga pada
Gambar 1.a dan memerlukan waktu yang lebih lama untuk menghitung luas segitiga pada
Gambar 1.b. Pada Gambar 1.c pembaca menemukan problem yang berbeda dengan kedua
gambar sebelumnya. Bahkan diperlukan waktu yang lebih lama untuk menentukan cara
menghitung luasnya secara cepat. Namun ada sementara rumus yang digunakan orang
(umumnya di bimbingan belajar) untuk menentukan luas segitiga seperti Gambar 1.c secara
cepat yang mirip determinan. Gambaran rumus tersebut sebagai berikut.
Luas segitiga pada Gambar 1.c diperoleh dari
26 39
-13 -13
65 -39
26 39 -338
-507
-845 507
-1014 + 2535
+
-2366 2704
Jelas sekali bahwa cara perhitungan pada Bagan 1 sangat mempercepat perolehan hasil
penghitungan luas segitiga pada Gambar 1.c. Suatu hal yang sangat disayangkan, mereka
menggunakan cara tersebut tetapi tidak mengetahui darimana asalnya. Cara tersebut
dianggap tidak ada kaitan dengan konsep matematika lain. Ditambah lagi dengan tidak
adanya penjelasan dari guru di kelas tentang cara tersebut. Terkait persoalan di atas, berikut
ini akan dibahas interpretasi determinandalam hubungannya dengan luas suatu bangun datar
2. Identifikasi Masalah
Berbasis pada latar belakang yang dikemukakan diatas, maka permasalahan yang ada dapat
diidentifikasikan sebagai berikut.
1. Guru dan siswa melakukan perhitungan determinan tetapi tidak dikaitkan dengan konsep
lain dalam matematika
2. Umumnya guru dan siswa menggunakan rumus tunggal dalam menentukan luas suatu
bangun datar
3. Ada beberapa orang yang menggunakan cara cepat untuk menentukan luas bangun datar
menggunakan cara seperti menentukan determinan tetapi tidak menjelaskan bagaimana
mendapatkan cara tersebut
557
3. Rumusan Masalah
Didasarkan pada identifikasi masalah diperoleh suatu rumusan masalah. Rumusan
masalahnya adalah:
Bagaimana memanfaatkan determinan untuk menentukan luas bangun datar?
4. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut :
1. Memberikan pemahaman bagi guru dan siswa tentang keterkaitan determinan dengan luas
bangun datar
2. Sebagai bahan referensi pengetahuan mengenai determinan
3. Membiasakan sikap kritis dalam mempelajari matematika
4. Membiasakan untuk selalu menemukan bukti dari suatu rumusan matematis
5. Pembahasan
Kalau dilihat dari sejarahnya, konsep mengenai determinan dan matriks telah ada sejak
ratusan tahun sebelum masehi. Bangsa Babylonia telah memperkenalkannya sejak 300 SM.
Di China sejak 200 SM telah dikenalkan metode yang lebih dekat dengan metode matriks
dari bangsa Babylonia untuk menyelesaikan masalah yang sekarang dinamakan “sistem
persamaan linier”, walaupun pada waktu itu belum dikenal apa itu persamaan dan variabel.
Metode tersebut sekarang lebih dikenal dengan metode eliminasi Gauss.
Sementara itu Girolamo Cardano menemukan aturan untuk menyelesaikan sistem dengan
dua persamaan linear dan menyebutnya dengan regula de modo. Esensi dari yang disajikan
oleh Cardano sebenarnya adalah aturan Cramer yang sering kita gunakan.Gagasan mengenai
determinan sebenarnya mulai muncul pada tahun 1683 oleh matematikawan Jepang bernama
Takakazu Seki Kowa. Dia menulis method of solving the dissimulated problem yang
didalamnya memuat metode matriks seperti yang dikenalkan di China. Meskipun dia tidak
menyebutkan kata “determinan” tetapi dia mengenalkan dengan sebutan “faktor penentu”
disertai metode umum dalam hitungannya. Dengan menggunakan “faktor penentu“ ini, dia
dapat menentukan determinan „matriks‟ 2x2, 3x3, 4x4 dan 5x5 serta menerapkannya untuk
sistem persamaan tetapi bukan sistem persamaan linear. Pada tahun 1750 Gabriel Cramer
matematikawan dari Swiss menyajikan rumus berbasis pada determinan untuk
menyelesaikan sistem persamaan linear, yang lebih dikenal dengan „Aturan-Cramer‟. Istilah
„determinan‟ sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Carl Fredrich Gauss matematikawan
dari Jerman pada tahun 1800. Dia menggunakan istilah itu untuk menandai sifat bentuk
kuadratik pada operasi matriks. Konsep determinan yang dia maksud berbeda dengan yang
ada sekarang. Sementara itu simbol “| |” untuk menyatakan determinan diperkenalkan
pertama kali oleh Arthur Cayley pada tahun 1841. Dia juga mempelajari transformasi linear,
penjumlahan matriks, perkalian matriks, perkalian dengan skalar serta invers matriks.
558
Baru pada tahun 1890 Karl Weierstrass memperkenalkan definisi aksiomatik dari
determinan.Suatu hal yang menarik, ternyata definisi determinan yang diungkapkan dari
berbagai matematikawan adalah sama dalam arti, sekali kita menemukan fungsi sehingga
aksioma-aksioma determinan terpenuhi maka kita tidak akan menemukan fungsi lain. Atau
dengan kata lain jika kita menemukan fungsi lain yang memenuhi aksioma-aksioma
determinan maka fungsi itu pasti sama dengan fungsi yang tadi.
Gambar 2. Vektor di R2
Perhatikan pada Gambar 2. Jelas bahwa luas daerah jajargenjang sebut saja
adalah
= | v | h di mana h = | u | sin β
Dengan demikian
= | v | | u | sin β
= | v |2 | u |2 (1–cos2 β)
= (| v |2 | u |2 )–(| v |2 | u |cos2 β)
= (| v |2 | u |2 )–( v . u )2
= ( v12 v22 )( u12 u22 ) – (u1v1 u2 v2 ) 2
= u12v12 u12v22 + u22v12 u22v22 – (u12 v12 u22 v22 2u1v1u2 v2 )
= (u1v2 u2 v1 ) 2 (1)
Selanjutnya perhatikan vektor u dan v yang disajikan dalam bentuk matriks berikut.
u v1
A 1
u 2 v2
Berapa nilai ( )? Kita sudah sangat akrab dengan determinan matriks , yaitu
( ) u1v2 u2 v1 (2)
Oleh karena (1) dan (2) maka diperoleh
= (u1v2 u2 v1 ) 2
2
= (det(A))
= |det(A)| (3)
Khusus untuk diperoleh
( ) (4)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa menghitung luas jajargenjang yang dibentuk oleh dua
vektor sama saja dengan menghitung nilai mutlak determinan koordinat vektor
pembentuknya (seperti pada penjelasan di atas). Secara khusus luas segitiga dapat ditentukan
hanya dengan memandang vektor pembentuknya. Perhatikan bahwa memandang vektor
pembentuk sama dengan memandang koordinat titik sudutnya. Karena sebarang poligon
(segi banyak) dapat dijadikan sebagai gabungan beberapa segitiga maka luas poligon pun
dapat ditentukan melalui koordinat titik sudutnya.
39 78
A
52 26
Karena luas segitiga (L) tersebut sama dengan setengah luas jajargenjang (ingat (4)) maka
= ½ |det(A)|
39 78
= ½ |det |
52 26
= ½ |(39.(-26) – 78.52)|
= ½ |-5.070|
= 2535
Dengan mengunakan cara tersebut, jelas bahwa menentukan luas segitiga tidak harus
menentukan panjang sisi dan tingginya, tetapi hanya melalui titik koordinatnya.
(𝑎 𝑏)
(𝑐 𝑑)
(𝑒 𝑓)
| . /|
=
( )( ) ( )( )
=
=
| (( ) ( ))|
= (5)
( ) ( )
Sementara itu apabila kita melakukan perhitungan seperti pada Bagan 1 maka diperoleh hasil
sebagai berikut.
561
a b
c d
e f
𝑐𝑏 a b 𝑎𝑑
𝑒𝑑 𝑐𝑓
𝑎𝑓
+ 𝑒𝑏 +
𝑐𝑏 𝑒𝑑 𝑎𝑓 𝑎𝑑 𝑐𝑓 𝑒𝑏
( ) ( ) (6)
Perhatikan bahwa (5) dan (6) adalah bentuk yang sama. Kembali pada Gambar 1.c di awal,
perhitungan untuk menentukan luas segitiga dengan menggunakan (6) adalah
Jadi perhitungan cepat yang dilakukan beberapa orang dalam menentukan luas segitiga
sebenarnya hanyalah memanfaatkan konsep yang ada di determinan (interpretasi geometrik
dari determinan). Selanjutnya perhatikan poligon berikut
Untuk menentukan luasnya, poligon tersebut dapat dibagi menjadi beberapa segitiga sebagai
berikut
562
8 4
9 1
36 6 -2
2 1
6 8
5 4
-4 -18
8 4
5 6
32 8
______ +
20 +
______
75
24
LUAS = 0,5 (75-74)
= 25,5
Jadi interpretasi geometrik determinan dapat dimanfaatkan untuk menentukan luas poligon
hanya dengan memperhatikan koordinat-koordinat titik sudutnya seperti pada contoh di atas.
6.1 Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa luas daerah dapat dipandang sebagai
interpretasi geometrik suatu determinan. Hasil ini dapat dimanfaatkan untuk menentukan
luas bangun datar berbentuk poligon tanpa harus mengetahui panjang sisi-sisinya terlebih
dahulu. Selain itu rumus cepat yang sering digunakan orang untuk menentukan luas suatu
bangun datar (umunya segitiga sebagai contoh) ternyata juga berasal dari interpretasi
geometrik determinan seperti yang telah dijelaskan bagian sebelumnya. Pada akhirnya
penting bagi kita untuk mengetahui keterkaitan antar konsep dalam matematika sehingga
pembelajaran suatu konsep tidak saling asing dengan konsep lainnya.
6.2 Saran
Pembalajaran matematika yang menarik menjadi suatu keniscayaan dalam kegiatan belajar
mengajar di sekolah. Oleh karena itu guru harus selalu berupaya menambah pengetahuan
atau referensi berkaitann dengan materi maupun proses pembelajaran agar pembelajaran
(khususnya matematika) menarik. Disamping itu guru juga harus membiasakan diri untuk
bersikap kritis terhadap permasalahan atau hal-hal yang berkaitan dengan matematika.
Sebagai contoh sederhana, guru harus mampu membuktikan kebenaran suatu rumus cepat
yang digunakan oleh para pengajar di lembaga bimbingan belajar. Paling tidak, guru harus
mampu memberikan penjelasan terhadap rumus cepat yang digunakan.
Daftar Pustaka
Bill Jacob. 1990. Linear Algebra , New York : W.H. Freeman and Company
Luke Hodgkin, (2005), A History of mathematics, Oxford University Press
http://www.math.unt.edu (diakses tanggal 12 Oktober 2013)
563
Abstrak. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap peserta didik kelas VII SMP Negeri 1
Tenggarang kurang lebih dalam lima tahun terakhir, adalah lemahnya peserta didik
dalam operasi hitung dasar khususnya pada operasi perkalian dan pembagian. Rata-rata
12 % peserta didik dari masing-masing kelas yang dapat menjawab benar soal-soal yang
terkait dengan perkalian dan pembagian bilangan bulat. Menjadi keprihatinan semua
pihak terhadap kondisi riil peserta didik yang demikian, utamanya guru matematika
yang memiliki kondisi dan situasi yang sama, karena kemampuan hitung dasar
khususnya operasi perkalian dan pembagian pada bilangan bulat adalah merupakan
kemampuan prasyarat peserta didik dalam belajar matematika pada pendidikan dasar
lanjutan , khususnya di bangku SMP. Apakah dengan menggunakan Media Papan Mesir
Klasik dalam menyelesaikan perkalian dan pembagian bilangan bulat dapat
meningkatkan kecakapan peserta didik dalam menyelesaikan perkalian dan pembagian
pada bilangan bulat. Berdasarkan pengalaman dalam tiga tahun terakhir, bahwa dengan
penggunaan Papan Mesir Klasik pada operasi perkalian dan pembagian di kelas VII
SMP Negeri 1 Tenggarang dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Penggunaan Papan
Mesir Klasik dapat meningkatkan kecakapan peserta didik dalam menyelesaikan
perkalian bilangan bulat, 2) Penggunaan Papan Mesir Klasik dapat meningkatkan
kecakapan peserta didik dalam menyelesaikan pembagian bilangan bulat, 3)
Penggunaan Papan Mesir Klasik dapat membangun kreatifitas berpikir peserta didik, 4)
Penggunaan Papan Mesir Klasik dapat membantu kesiapan kemampuan prasyarat
peserta didik untuk belajar pada pendidikan dasar tingkat lanjut.
1. Pendahuluan
Berdasarkan pengamatan yang penulis lakukan selama mengajar mata pelajaran matematika
pada peserta didik di SMP Negeri 1 Tenggarang adalah lemahnya peserta didik dalam
operasional hitung dasar khususnya pada operasional perkalian dan pembagian. Mereka
selalu kesulitan dalam menyelesaikan materi matematika yang berkaitan dengan operasional
perkalian dan pembagian. Rata-rata mereka memerlukan waktu yang relatif lama dalam
menyelesaikannya, dan itupun banyak yang tidak yakin akan kebenaran hasilnya. Di kelas
VII SMP Negeri 1 Tenggarang kurang lebih dalam lima tahun terakhir, rata-rata 12 %
peserta didik dari masing-masing kelas yang dapat menjawab benar soal-soal yang terkait
dengan perkalian dan pembagian bilangan bulat.
564
Melalui identifikasi permasalahan, terdapat beberapa alasan mengapa banyak peserta didik
yang kesulitan dalam menyelesaikan soal-soal yang terkait dengan perkalian dan pembagian
bilangan bulat, diantaranya:
1) Tidak dikuasainya konsep perkalian dan pembagian bilangan bulat yang baik dan benar
oleh peserta didik
2) Tradisi klasik bawaan secara turun temurun dari kelas sebelumnya dalam pengerjaan
perkalian dua bilangan bulat dengan metode bersusun
3) Tradisi klasik bawaan secara turun temurun dari kelas sebelumnya dalam pengerjaan
pembagian dua bilangan bulat dengan metode porogapit
4) Kurang baiknya buku teks (buku pegangan peserta didik) yang selama ini beredar dan
menjadi buku sumber utama, karena dalam buku-buku tersebut tidak terdapat literatur
ataupun pembahasan yang menampilkan cara menyelesaikan pembagian dan perkalian
bilangan bulat dengan cara-cara lain yang membangun kreatifitas peserta didik
5) Peserta didik belum pernah mendapatkan metode pengerjaan lain, untuk menyelesaikan
perkalian dan pembagian bilangan bulat selain dari dua metode tersebut yaitu bersusun
dan porogapit, baik dari guru di sekolah sebelumnya atau dari lingkungan sekitarnya.
Kemampuan hitung dasar khususnya operasional perkalian dan pembagian pada bilangan
bulat adalah merupakan kemampuan prasyarat peserta didik dalam belajar matematika pada
pendidikan lanjut , khususnya di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Karena
pentingnya pengetahuan prasyarat peserta didik, itulah sebabnya Ausubel menyatakan
sebagaimana dalam Fadjar Shadiq (2012:9), bahwa proses pembelajaran di kelas-kelas
matematika adalah suatu pembelajaran yang bermakna (meaningful learning), yaitu proses
pembelajaran dimana pengetahuan atau pengalaman baru dapat terkait dengan pengetahuan
lama (pengetahuan prasyarat) yang sudah dikuasai siswa. Artinya faktor yang sangat penting
menurut Ausubel adalah pengetahuan lama tempat pengetahuan baru akan menyesuaikan.
Sebagai rancangan pemecahan masalah dari kondisi riil peserta didik di kelas VII SMP
Negeri 1 Tenggarang adalah: Apakah dengan menggunakan media Papan Mesir Klasik
dalam menyelesaikan perkalian dan pembagian bilangan bulat dapat meningkatkan
kecakapan peserta didik dalam menyelesaikan perkalian dan pembagian pada bilangan bulat.
Tujuan dari kegiatan mengenalkan media Papan Mesir Klasik dalam menyelesaikan
perkalian dan pembagian bilangan bulat di kelas VII SMP Negeri 1 Tenggarang adalah:
Manfaat yang diharapkan dari kegiatan pembelajaran dengan mengenalkan media Papan
Mesir Klasik dalam menyelesaikan perkalian dan pembagian bilangan bulat ini adalah:
1) Peserta didik memiliki cara alternatif dalam menyelesaikan perkalian dan pembagian
pada bilangan bulat
2) Peserta didik dapat mengembangkan kreatifitas berpikir dalam menyelesaikan
perkalian dan pembagian bilangan bulat
565
2. Pembahasan
Sebagai solusi dari kondisi riil yang ada, maka pembuatan media pembelajaran yaitu Papan
Mesir Klasik diharapkan dapat membantu peserta didik dalam menyelesaikan operasi
perkalian dan pembagian pada bilangan bulat. Teori-teori yang melandasi pembuatan media
Papan Mesir Klasik sebagai berikut.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antara proses pembelajaran dan media
pembelajaran adalah ibarat dua sisi mata uang, dimana keduanya saling mendukung, tidak
dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Artinya proses pembelajaran akan berhasil dengan
baik jika didukung oleh media pembelajaran yang tepat guna dan tepat sasaran.
Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa buku pegangan peserta didik (buku teks), dalam hal
ini buku paket matematika belum dapat memberikan apa yang dibutuhkan peserta didik.
Buku paket (buku teks) tersebut hanya mengacu pada target kurikulum semata, tidak banyak
memberikan informasi luas, misalnya contoh kasus pada operasi perkalian dan pembagian
bilangan bulat pada tingkat pendidikan dasar (SD) hanya mengacu pada penggiringan cara
tunggal, yaitu cara bersusun pada perkalian dan cara porogapit pada pembagian. Dengan
demikian tidak akan pernah mereka dapatkan metode atau cara lain dalam menyelesaikan
perkalian atau pembagian bilangan bulat yang mungkin lebih mudah dan menarik, kalau
hanya mengandalkan belajar dari kegiatan tatap muka di kelas.
Untuk itu pola belajar mandiri perlu dikembangkan dan dibudayakan pada setiap peserta
didik, karena sesungguhnya guru adalah bukan satu-satunya sumber belajar, akan tetapi
sumber belajar bisa didapatkan antara lain melalui pemberdayaan lingkungan, perpustakaan,
566
media internet, dan lain sebagainya. Menurut Martinis Yamin; dkk (2008:19) belajar mandiri
memiliki manfaat yang banyak terhadap kemampuan kognisi, afeksi, dan psikomotorik
siswa, manfaat tersebut antara lain: memupuk tanggungjawab, meningkatkan ketrampilan,
memecahkan masalah, mengambil keputusan, berfikir kreatif, berfikir kritis, percaya diri
yang kuat, dan menjadi guru bagi dirinya sendiri
Dengan demikian guru perlu mengembangkan belajar mandiri pada setiap peserta didiknya,
karena dengan pola belajar mandiri selain dapat menutup kekurangan yang belum peserta
didik dapatkan dari guru melalui kegiatan tatap muka di kelas, belajar mandiri akan
menjadikan peserta didik lebih bertanggung jawab akan tugas dan kewajibannya, berpikir
kritis, kreatif, terampil memecahkan masalah, serta memiliki sikap percaya diri lebih kuat.
Menurut Elf McBride (2004:2) salah satu aturan matematika yang paling penting adalah “
Semakin mudah metode yang anda gunakan untuk menyelesaikan soal, maka semakin cepat
anda akan menyelesaikan soal itu dengan sedikit peluang untuk membuat kesalahan “. Ini
merupakan sebuah aturan yang curang, tapi aturan sebenarnya sama saja. Semakin rumit
metode yang anda gunakan, semakin lama waktu yang anda habiskan untuk menyelesaikan
suatu soal dan semakin besar peluang membuat kesalahan. Orang-orang yang menggunakan
metode yang lebih baik akan lebih cepat memperoleh jawaban dan lebih sedikit membuat
kesalahan, sedangkan orang-orang yang menggunakan metode yang lebih jelek akan lebih
lambat dalam memperoleh jawaban dan lebih banyak membuat kesalahan. Ini tidak banyak
berhubungan dengan kecerdasan atau mempunyai “otak matematis”.
Dari uraian Elf McBride di atas dapat disimpulkan bahwa perlunya metode pembelajaran
yang lebih mudah dan ramah diterima peserta didik, sehingga akan membantu peserta didik
dalam menyelesaikan permasalahan (soal) dengan cepat, tepat dan akurat.
Setelah mempelajari teori multiple intelligences yang digagas oleh Gardner, sangat
menggugah kesadaran penulis (guru) bahwa setiap peserta didik punya potensi untuk cerdas,
artinya tidak ada istilah anak bodoh. Sebagaimana Yohanes Surya (Talk Show Kick Andy:
2011) bahwa sebenarnya tidak ada anak bodoh, yang ada hanya karena belum mendapatkan
seorang guru yang baik. Menurut Munif Chatib (2009:75) kecerdasan seseorang dapat
dilihat dari banyak dimensi, tidak hanya kecerdasan verbal (berbahasa) atau kecerdasan
logika. Kecerdasan lebih dititikberatkan pada proses untuk mencapai kondisi akhir terbaik.
Menyimak dari uraian tersebut bahwa setiap peserta didik pada hakikatnya mempunyai
potensi untuk cerdas, tidak ada anak bodoh. Peran gurulah yang harus lebih maksimal, baik
dalam kapasitasnya sebagai partner belajar,fasilitator, dan motivator.
Tabel 1. Penggandaan 1
1 52
× 2 104
× 4 208
× 8 416
Jumlah
14 728
bertanda ×
6 ( )
Dari contoh di atas jika memilih 14 sebagai multiplikan dan 52 sebagai pengalinya, maka
uraian perkalian tersebut dapat disusun sebagai berikut.
Tabel 2. Penggandaan 2
1 14
2 28
× 4 56
8 112
× 16 224
× 32 448
Jumlah
52 728
bertanda ×
568
6 ( 6 )
Pembagian yang dilakukan oleh bangsa Mesir dapat dijelaskan sebagai proses perkalian yang
dibalikkan, dimana pembaginya digunakan secara berulang untuk memperoleh hasil baginya.
Sebagai contoh untuk membagi 85 oleh 5, sebuah bilangan digunakan sehingga .
Ini diperoleh dengan cara menggandakan 5 hingga jumlah 85 dicapai, langkah-langkahnya
dapat ditunjukkan sebagai berikut.
Tabel 3. Penggandaan 3
× 1 5
2 10
4 20
8 40
× 16 80
Jumlah
17 85
bertanda ×
Dalam pembagian bilangan bulat, tidak selalu sesederhana sebagaimana contoh di atas.
Adakalanya memerlukan keterlibatan pecahan-pecahan dalam penyelesaiannya. Sebagai
contoh misalnya untuk membagi 48 oleh 9.
Tabel 4. Penggandaan 4
× 1 9
2 18
× 4 36
× 3
Jumlah
48
bertanda ×
Dengan memperhatikan tanda cros “×” dan jumlah pada kolom paling kanan yaitu
6 , maka hasil baginya adalah jumlah dari bilangan yang berkorespondensi
dengan bilangan tersebut, yaitu .
569
Proses adopsi yang dilakukan adalah dengan penyesuaian, mengingat dalam operasional
pembagian yang melibatkan pecahan-pecahan, matematikawan Mesir hanya mengenal
pecahan satuan. Sebagaimana ditulis Wahyudin (2011:1.15), bahwa praktek perhitungan
yang dilakukan matematikawan Mesir atas penggunaan pecahan adalah menggunakan apa
yang disebut sebagai pecahan satuan, yaitu pecahan-pecahan dengan bentuk , dimana
adalah bilangan Asli.
Pada penyelesaian pembagian bilangan bulat setelah proses adopsi dan penyesuaian adalah
didapat dari sisa hasil jumlah pengulangannya (penggandaan multiplikannya) sebagai
pembilang, dan pembagi sebagai penyebutnya. Artinya hasil akhir dari pembagian dua
bilangan bulat tersebut skemanya sebagai berikut:
Jika diketahui p dan q adalah bilangan bulat, dimana p > q; dan q ≠ 0, maka q membagi p
didefinisikan sebagai:
, (1)
dimana:
, yaitu didapat dari jumlah penggandaan multiplikan yang sesuai dalam hal
ini q sebagai multiplikannya.
, dengan ketentuan;
, jika q merupakan faktor dari p
, jika q bukan merupakan faktor dari p, dan adalah sisa hasil jumlah pengulangannya,
di mana
Penciptaan karya inovasi pembelajaran terhadap peningkatan kecakapan peserta didik dalam
menyelesaikan perkalian dan pembagian bilangan bulat ini disebut sebagai Papan Mesir
Klasik.
Adapun alat dan bahan yang digunakan untuk membuat Papan Mesir Klasik tersebut adalah:
570
1) Papan triplek white board atau papan polos dengan kapur tulis dengan ukuran
6
2) Spidol board maker atau kapur tulis
3) Penghapus
1) Bagan soal: adalah tempat menulis permasalahan (soal) yang akan diselesaikan baik
perkalian atau pembagian bilangan bulat
2) Bagan Multiplikan: adalah penentuan bilangan yang akan dikalikan (digandakan)
3) Bagan tanda cros “ x “ : adalah untuk penentuan bilangan hasil penggandaan yang
sesuai
4) Bagan penggandaan bilangan dengan aturan , untuk ;
6) Bagan berpikir: adalah tempat atau daerah untuk membuat konsep jumlah bilangan
hasil penggandaan yang sesuai
7) Bagan jumlah tahapan penggandaan yang sesuai
8) Bagan jumlah penggandaan multiplikan yang sesuai
9) Bagan sisa untuk operasional pembagian
10) Bagan hasil: adalah bagan hasil akhir dari operasi perkalian atau pembagian dua
bilangan bulat, sesuai dengan permasalahan
3.2 Keunggulan dan Aplikasi Praktek Pembelajaran
Keunggulan dari metode Papan Mesir Klasik ini adalah peserta didik tidak memerlukan
operasi baru, sebagaimana Wahyudin (2011:1.14) bahwa prosedur pembagian Mesir
memiliki keuntungan pedagogis karena tidak membutuhkan operasi yang baru. Peserta didik
hanya perlu menetapkan sendiri mana diantara dua bilangan pada operasi perkalian maupun
pembagian tersebut sebagai multiplikannya yaitu bilangan yang dikalikan (digandakan).
Praktek pembelajaran dari penggunaan Papan Mesir Klasik adalah 10 menit pada awal
kegiatan pendahuluan untuk setiap kegiatan tatap muka (TM), dan diproyeksikan berhasil
tuntas dalam 5 kali tatap muka.
Persentase peserta didik kelas VII SMP Negeri 1 Tenggarang yang dapat menjawab benar
perkalian dan pembagian bilangan bulat pada setiap triwulan pertama di awal tahun pelajaran
berjalan antara yang menggunakan media Papan Mesir Klasik dengan yang tidak
menggunakan media dalam tiga tahun terakhir sebagaimana tabel berikut;
Untuk guru yang pembelajarannya lebih terbiasa dengan penggunaan media komputer di
kelas, dapat membuat Papan Mesir Klasik dengan menggunakan format Microsoft Exel,
dimana proses penjumlahan dan penggandaan berulangnya dapat juga diprogramkan,
sehingga akan lebih menarik dan interaktif. Atau dapat juga dikembangkan melalui format
Microsoft Powerpoint, tergantung pada kreatifitas guru masing-masing.
572
4. Kesimpulan
Berdasarkan pengalaman dalam tiga tahun terakhir, bahwa dengan penggunaan Papan Mesir
Klasik pada operasi perkalian dan pembagian di kelas VII SMP Negeri 1 Tenggarang dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1) Penggunaan Papan Mesir Klasik dapat meningkatkan kecakapan peserta didik dalam
menyelesaikan perkalian bilangan bulat,
2) Penggunaan Papan Mesir Klasik dapat meningkatkan kecakapan peserta didik dalam
menyelesaikan pembagian bilangan bulat,
3) Penggunaan Papan Mesir Klasik dapat membangun kreatifitas berpikir peserta didik,
4) Penggunaan Papan Mesir Klasik dapat membantu kesiapan kemampuan prasyarat
peserta didik untuk belajar pada pendidikan dasar tingkat lanjut.
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara
Buchori. 2005. Jenius Matematika Untuk SMP Kelas VII. Semarang: Aneka Ilmu
Chatib, Munif. 2009. Sekolahnya Manusia. Bandung: Kaifa
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. 2006. Model Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar. 2013. Pedoman Lomba Inovasi Pembelajaran Bagi Guru SMP
Tahun 2013. Jakarta: Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan
Hobri. 2007. Penelitian Tindakan Kelas Untuk Guru dan Praktisi. Jember: UPTD Balai
Pengembangan Pendidikan
Muhsetyo, Gatot. 2007. Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas Terbuka
McBride, Elf. 2004. MQ Merangsang Kejeniusan Matematika Anak. Jakarta: Prestasi Pustaka
Nuharini, Dewi. 2008. Matematika Konsep dan Aplikasinya 1. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional
Sukino. 2005.Matematika Untuk SMP Kelas VII. Jakarta: Erlangga
Siswono, Eko. 2003. Membangun Kompetensi Matematika 2. Surabaya: Esis
Suhardjono. 2011. Pertanyaan dan Jawaban di sekitar Penelitian Tindakan Kelas dan Penelitian
Tindakan Sekolah. Malang: Cakrawala Indonesia
Wahyudin. 2011. Sejarah dan Filsafat Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka
Wahyudin. 2004. Ensiklopedi Matematika Untuk SLTP. Jakarta: CV. Tarity Samudra Berlian
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. 2003. Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Yamin,Martinis;dkk. 2008. Taktik Mengembangkan Kemampuan Individual Siswa. Jakarta: Gaung
Persada Press
573
1. Pendahuluan
Pelajaran matematika dipandang sebagai materi yang sulit oleh sebagian besar siswa. Hal
ini mengakibatkan siswa kurang tertarik dan kurang termotivasi dalam pembelajaran
matematika. Siswa kurang termotivasi , cenderung pasif dan kurang dapat mengemukakan
pendapatnya.. Salah satu penyebabnya karena guru lebih sering menggunakan metode
konvensional yang membuat siswa terjebak dalam rutinitas, banyak menghafal, motivasi
belajar siswa rendah, jarang menggunakan model pembelajaran yang membuat siswa aktif
berfikir, dan penyampaian pembelajaran kurang bervariasi sehingga pembelajaran menjadi
membosankan bagi siswa.
SMP N 1 Yogyakarta terdiri dari 24 kelas, kelas VII, kelas VIII, dan kelas IX masing-
masing 8 kelas. Kelas VIII G merupakan salah satu kelas yang siswanya kurang termotivasi,
jika diminta maju kedepan kelas hanya beberapa orang saja yang berani , dan siswanya
hanya itu itu saja, siswa kurang termotivasi dan kurang aktif dalam mengikuti proses
pembelajaran. Selain itu pembelajaran hanya berpusat pada guru. Guru mendominasi pada
setiap proses pembelajaran berlangsung, guru hanya memberikan konsep-konsep dan cara
mengerjakan soal-soal. Sementara siswa hanya mendengarkan penjelasan dari guru dan
mengerjakan soal sesuai langkah-langkah yang diberikan guru. Siswa tidak diberi
kesempatan untuk menggali potensi yang ada pada diri siswa, sehingga siswa cenderung
pasif. Proses pembelajaran seharusnya berlangsung alamiah dalam berbagai kegiatan, siswa
574
bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Berdasarkan
pengamatan awal di kelas VIII G, terlihat masih rendahnya motivasi belajar siswa dan
kurangnya peran aktif siswa dalam proses pembelajaran karena guru belum menerapkan
metode pembelajaran yang bervariasi, pembelajaran yang berlangsung kurang bermakna
bagi siswa sehingga pembelajaran yang dilaksanakan tidak memotivasi siswa untuk belajar.
Mencermati hal di atas, diperlukan perbaikan proses pembelajaran di kelas. Perbaikan itu
diantaranya dengan mengimplementasikan model pembelajaran yang dapat meningkatkan
motivasi belajar siswa. Salah satu model yang memungkinkan dapat meningkatkan motivasi
belajar siswa adalah model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement
Divisions) sehingga sesama anggota kelompok saling membantu atau saling menjelaskan
untuk menguasai materi melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anggota kelompok.
Dengan demikian siswa saling mengemukakan pendapatnya sekaligus juga menerima
pendapat dari teman sekelompoknya untuk menyelesaikan tugas yang diberikan guru. Disini
terjadi interaksi antara siswa dengan siswa. Melalui model pembelajaran kooperatif tipe
STAD ini diharapkan siswa merasa termotivasi untuk belajar matematika khususnya grafik
fungsi dan lebih memahami konsep materi sehingga prestasinya ikut meningkat.
Penelitian ini dalam rangka meningkatkan motivasi belajar matematika siswa kelas VIII G
SMP N 1 Yogyakarta dibatasi pada materi KD 1.4 dan 1.5 materi Fungsi.
2.1 Motivasi
Motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang dapat menjadikan siswa menjadi
aktif. Motivasi dapat menjadi aktif jika kebutuhan untuk mencapai tujuan sangat diperlukan.
Motivasi belajar akan muncul jika siswa sendiri turut terlibat dalam proses pembelajaran.
Dalam hal ini motivasi akan menjadi sumber energi terbesar pada diri siswa dalam
menumbuhkan minat belajar. Ada dua jenis motivasi yaitu motivasi intrinsik dan motivasi
ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak
perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk
melakukan sesuatu tanpa pamrih apapun. Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif
dan berfungsinya karena adanya rangsangan dari luar. (Sardiman , 2012 : 89-90)
Menurut Ngalim purwanto (2011 : 70-71) bahwa setiap motif itu bertalian erat dengan suatu
tujuan dan cita-cita. Makin berharga tujuan itu bagi yang bersangkutan makin kuat pula
motifnya, sehingga motif itu sangat berguna bagi tindakan atau perbuatan seseorang.
575
Menurut Sardiman (2012: 83) motivasi yang ada pada setiap individu memiliki ciri-ciri: a)
tekun menghadapi tugas, b) ulet menghadapi kesulitan, c) menunjukkan minat terhadap
bernacam-macam masalah, d) Dapat mempertahankan pendapatnya, e) Tidak mudah
melepaskan hal yang diyakini, dan f) Senang mencari dan memecahkan masalah soal- soal.
Menurut Oemar Hamalik (2012 : 173-174 ) motivasi mengandung 3 unsur yang saling
berkaitan sebagai berikut: (1) motivasi dimulai dari adanya perubahan energi dalam pribadi;
(2) motivasi ditandai dengan timbulnya perasaan ;3) motivasi ditandai oleh reaksi-reaksi
untuk mencapai tujuan. Menurut Sardiman (2012: 39), seseorang akan berhasil dalam
belajar, kalau pada dirinya sendiri ada keinginan untuk belajar. Keinginan atau dorongan
untuk belajar inilah yang disebut sebagai motivasi.
Berdasarkan definisi diatas pengertian motivasi adalah suatu kondisi psikologi manusia yang
mendorong untuk memenuhi kebutuhan untuk mencapai tujuan. Tanpa ada motivasi dari diri
sendiri, proses belajar akan kurang berhasil. Dengan demikian motivasi merupakan hal yang
penting karena memiliki pengaruh dalam upaya peningkatan proses dan hasil pembelajaran
yang dilaksanakan. Oleh karena itu, motivasi harus selalu dijaga dan ditingkatkan.
Student Teams Achievement Divisions (STAD) adalah salah satu model pembelajaran
kooperatif. Model STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dari universitas John Hopkins.
Menurut Sugiyanto (2010 : 40 ) model STAD (Student Teams Achievement Divisions)
dipandang sebagai model pembelajaran yang paling sederhana dan paling langsung dari
model pembelajaran kooperatif. Dalam model pembelajaran kooperatif tipe STAD siswa
dikelompokkan secara heterogen kemudian siswa yang pandai menjelaskan anggota lain
sampai mengerti. Adapun langkah-langkah pembelajarannya sebagai berikut:
3. Metodologi
Penelitian ini merupakan jenis penelitian tindakan kelas dalam upaya memperbaiki proses
pembelajaran dikelas dalam penelitian ditekankan adanya peningkatan motivasi belajar.
Guru mengidentifikasi masalah-masalah pembelajaran matematika di kelas VIII G. Peneliti
berperan sebagai perencana, pengumpul data, dan pelapor hasil penelitian. Peneliti
menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), menyiapkan Lembar Kerja Siswa
(LKS), insrumen penelitian, pelaksana rancangan pembelajaran sekaligus sebagai observer
dengan dibantu guru lain.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 diawali dengan membuat RPP tentang
materi yang akan diajarkan, membuat Lembar Kerja Siswa, Menyusun Lembar Observasi,
yang terdiri dari lembar observasi guru, lembar observasi kegiatan siswa. Sebelum
pelaksanaan tindakan dilakukan, diberikan angket motivasi awal yang diisi siswa, dengan
tujuan untuk mengetahui motivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas. Tahap
tindakan merupakan kegiatan berulang yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan tindakan
dan pengamatan, serta kegiatan refleksi.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah pengamatan untuk mengamati siswa
dalam hal ketekunan menghadapi tugas, ulet menghadapi kesulitan, menunjukkan minat
terhadap bermacam-macam masalah, dapat mempertahankan pendapat, tidak mudah
melepaskan hal yang diyakini, dan senang mencari dan memecahkan soal-soal sebagai
indikator meningkatnya motivasi belajar. Catatan lapangan memuat informasi tentang apa
yang didengar, dilihat, dan dilakukan siswa atau guru dalam rangka memotivasi siswa
selama proses pembelajaran berlangsung. Wawancara dilaksanakan melalui percakapan
antara guru dan observer dengan siswa, sehingga dari wawancara ini dapat mengetahui
pendapat siswa terhadap model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Pendapat siswa yang
ingin diketahui mencakup perasaan terhadap proses belajar dan tentang pembelajaran
matematika yang dilaksanakan. Dokumentasi digunakan untuk mengambil data tentang
kegiatan diskusi dan presentasi kelompok, kegiatan guru meliputi penjelasan atau
pendampingan pada saat diskusi berlangsung.
Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif yang
dikembangkan oleh Suharsimi Arikunto (2009 : 18) yaitu dengan mengkategorikan aspek
yang diamati sesuai dengan kategori yang telah ditentukan untuk membuat simpulan
mengenai motivasi belajar siswa, sebagai berikut:
Dalam penelitian ini motivasi belajar siswa dikatakan meningkat jika nilai rata-rata motivasi
siswa lebih besar atau sama dengan 75 %.
Dari hasil penelitian di atas dapat dilihat bahwa setiap indikator masuk dalam kategori
sedang, kecuali ulet menghadapi kesulitan dan senang mencari dan memecahkan soal-soal
masuk dalam kategori tinggi, tetapi secara keseluruhan rata-rata motivasi awal siswa adalah
74, 18 % termasuk dalam kategori sedang. Untuk itu diperlukan tindakan agar motivasi
belajar siswa dapat meningkat. Tindakan-tindakan yang dilakukan dapat dilihat dari tiap
siklus I dan siklus II.
Pelaksanaan tindakan pada siklus I dilaksanakan pada kompetensi dasar 1.4 menentukan
nilai fungsi dan menentukan bentuk fungsi. Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini
adalah peneliti melaksanakan tindakan sesuai RPP yang telah disusun. Observasi dilakukan
melalui lembar observesi dan catatan lapangan. Pada KD menentukan nilai fungsi siswa
melakukan diskusi secara berkelompok untuk menentukan nilai fungsi dengan mengisi
lembar kerja siswa. Setiap kelompok diskusi memiliki dengan kemampuan matematika yang
heterogen. Tiap-tiap kelompok siswa diminta menentukan nilai fungsi dari suatu fungsi yang
telah ditentukan. Kemudian guru meminta beberapa kelompok mempresentasikan hasil
diskusinya. Semula tidak ada respon dari siswa ketika guru mempersilahkan kelompok yang
bersedia mempresentasikan hasil diskusi. Karena beberapa saat menunggu belum ada
kelompok yang maju, maka guru mengundi kelompok yang akan maju kedepan kelas,
terpilihlah kelompok III yang akhirnya mempresentasikan hasil diskusi dengan kaku dan
malu-malu. Setelah presentasi selesai siswa mengerjakan soal evaluasi secara mandiri dan
hasilnya dikumpulkan.
Pada pertemuan berikutnya siswa berdiskusi kelompok lagi untuk mendiskusikan tentang
menemukan bentuk fungsi dari data yang diketahui. Ada beberapa kelompok yang
diskusinya berjalan lancar, karena dalam kelompoknya ternyata ada yang sudah paham cara
menentukan bentuk fungsi, sehingga dapat membantu dalam proses diskusi. Tetapi ada
beberapa kelompok yang kebingungan bagaimana cara menentukan bentuk fungsi. Mereka
hanya membolak-balik LKS karena tidak paham cara mengerjakannya. Ada yang berinisiatif
membuka buku pegangan siswa, dan berusaha mencari cara untuk menentukan bentuk
579
fungsi. Akhirnya karena masih belum paham, siswa bertanya pada guru untuk meminta
penjelasan. Kegiatan selanjutnya adalah presentasi hasil diskusi. Kali ini ada siswa yang
bersedia maju tanpa diminta. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran telah berjalan baik,
dilihat dari aktifitas guru dalam mengajar maupun aktifitas siswa dalam belajar. Kegiatan
dilanjutkan dengan evaluasi individu dan pengisian angket motivasi siswa untuk siklus I,
diperoleh hasil sebagai berikut :
Diperoleh nilai rata-rata motivasi adalah 78, 15 %. Ada peningkatan motivasi pada siklus I
dibandingkan dengan sebelum tindakan. Tetapi dari tindakan yang telah dilaksanakan pada
siklus I masih banyak kekurangan.
1) Perbaikan rencana pembelajaran dengan mengatur alokasi waktu lebih rinci, agar
pelaksanaan diskusi lebih efektif.
2) Peneliti memberikan dorongan kepada siswa agar berperan aktif dalam diskusi
kelompok, sehingga tugas dapat selesai tepat waktu
3) Peneliti memberikan motivasi agar siswa tidak takut untuk mengeluarkan pendapat, dan
berani bertanya kepada teman sekelompok yang lebih mengerti sebelum bertanya
kepada guru.
Setelah pembelajaran pada siklus I selesai, guru dan pengamat melakukan wawancara
dengan siswa. Hasilnya Kegiatan pembelajaran lebih menyenangkan karena biasanya guru
hanya berceramah dan menjelaskan materi, siswa menyukai pembelajaran secara
berkelompok, mereka bisa bertanya pada teman satu kelompok yang lebih mengerti dan
lebih bersemangat karena dapat mengerjakan lembar kerja bersama-sama.
Tindakan direncanakan untuk materi pada KD menggambar sketsa grafik fungsi sederhana
pada koordinat cartesius. Kegiatan inti berjalan lancar karena sebelumnya siswa sudah
belajar tentang menghitung nilai fungsi dan guru melakukan perbaikan-perbaikan
pembelajaran dengan melakukan hal-hal yang disebutkan di atas. Diskusi diarahkan agar
siswa dapat menggambar grafik setelah menentukan pasangan berurutannya.Ternyata masih
ada siswa yang keliru dalam menggambar grafik karena dalam meletakan bilangan-bilangan
pada koordinat cartesius ukurannya tidak sama. Guru menawarkan kelompok mana yang
akan mempresentasikan hasil diskusi, kali ini presentasi berjalan lancar, siswa mulai berani
tampil didepan kelas tanpa diminta oleh guru, kelompok yang lain menyimak presentasi
yang disajikan oleh kelompok lain dan beberapa siswa mulai menanggapi hasil presentasi
kelompok penyaji. Selama kegiatan pembelajaran berlangsung, guru memberi peluang
kepada siswa yang pasif dengan cara meminta siswa untuk mengeluarkan pendapatnya
sehingga mereka akhirnya terlibat dalam diskusi kelompok. Guru juga memberikan pujian
kepada siswa yang berani mengemukakan pendapatnya. Interaksi antara guru dan siswa atau
siswa dengan teman sekelompok menunjukkan minat siswa dalam kegiatan pembelajaran
Pembelajaran diakhiri dengan penarikan kesimpulan tentang cara menggambar grafik fungsi
dengan bimbingan guru. Kegiatan setelah presentasi, siswa mengerjakan soal evaluasi
individu dan dikumpulkan.
Setelah pembelajaran selesai siswa kembali diminta mengisi angket motivasi siklus II,
dengan hasil sebagai berikut :
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan di kelas VIII G SMP
Negeri 1 Yogyakarta maka diperoleh kesimpulan bahwa pelaksanaan pembelajaran
matematika topik grafik dan fungsi dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD
(Student Teams Achievement Divisions), motivasi belajar siswa mengalami peningkatan
dibandingkan dengan pembelajaran konvensional karena dalam pembelajaran dengan model
STAD (Student Teams Achievement Divisions) siswa dapat saling menjelaskan materi
sampai semua siswa paham dan mengerti.
5.2 Saran
Bagi peneliti yang lain yang ingin menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe STAD
(Student Teams Achievement Divisions) dapat dipadukan dengan model pembelajaran yang
lain misalnya model pembelajaran kooperatif TGT (Teams Games Tournament) sehingga
dengan kompetisi dapat mendorong motivasi siswa semakin tinggi.
6. Ucapan Terimakasih
Terima kasih kepada PPPPTK Matematika dan seluruh Widyaiswara yang telah memberi
kesempatan bagi kami peserta diklat PKB IN On IN untuk dapat melaksanakan Penelitian
Tindakan kelas dan memfasilitasi untuk dapat mengikuti seminar Nasional.
Daftar Pustaka
Oemar Hamalik. 2012. Psikologi Belajar Mengajar. Jakarta : Sinar Baru Algensindo
Materi Pelatihan Terintegrasi, Departemen pendidikan Nasional, 2004
Ngalim Purwanto. 2011. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya
Sardiman . 2011. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta : Rajawali Pers
Sugiyanto. 2010. Model- model Pembelajaran Inovatif, Surakarta : Yuma Pustaka
Suharsimi Arikunto.2009. Dasar- dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara
582
Abstrak. Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui penggunaan LKS terstruktur dalam
meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa kelas VIII A SMP Negeri 1
Brang Ene pada materi lingkaran tahun pelajaran 2012/2013. Penelitian ini dilaksanakan
di SMP Negeri 1 Brang Ene Kabupaten Sumbawa Barat pada siswa kelas VIII A tahun
pelajaran 2012/2013 yang terdiri dari 21 orang siswa. Penelitian ini adalah Penelitian
Tindakan Kelas pada dua kompetensi dasar yang terbagi menjadi dua Siklus. Dari
masing-masing siklus diperoleh data berupa dan hasil evaluasi yang dianalisis secara
kuantitatif. Data-data tersebut dikumpulkan dan dikelola dengan indikator yang
digunakan, apabila 80% dari seluruh siswa telah memperoleh nilai 70 maka
hipotesis diterima. Dari hasil pengolahan data diperoleh persentase ketuntasan belajar
pada siklus I sebesar 76,19 % dan siklus II sebesar 90,47%. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan penggunaan LKS terstruktur pada
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw materi lingkaran dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis matematis siswa kelas VIIIA SMP Negeri 1 Brang Ene Kabupaten
Sumbawa Barat Tahun Pelajaran 2012/2013.
Keywords: critical thinking skills, cooperative learning jigsaw, and LKS structured
1. Pendahuluan
Matematika sebagai salah satu ilmu dasar, dewasa ini telah berkembang amat pesat, baik
materi maupun kegunaannya. Ada banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar
matematika di kelas. Salah satunya adalah lemahnya kemampuan berpikir siswa.
Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan oleh siswa mengingat bahwa dewasa ini ilmu
pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat dan memungkinkan siapa saja bisa
memperolah informasi secara cepat. Jika para siswa tidak dibekali dengan kemampuan
berpikir kritis maka mereka tidak akan mampu mengolah, menilai, dan mengambil informasi
yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan tersebut. Menurut Rosnawati (2012)
menyatakan bahwa berpikir kritis merupakan suatu karakteristik yang bermanfaat dalam
pembelajaran di sekolah pada tiap jenjangnya. Latihan rutin yang dilakukan siswa akan
berdampak pada efisiensi dan otomatisasi keterampilan berpikir yang telah dimiliki siswa.
583
Berdasarkan laporan hasil Ujian Nasional siswa SMP/MTs tahun 2011/2012, daya serap
untuk masing-masing standar kompetensi lulusan di Kabupaten Sumbawa Barat adalah
sebagai berikut:
Tabel 1. Persentase Penguasaan Materi Soal Matematika (SKL) Ujian Nasional SMP/MTs
Tahun Pelajaran 2011/2012
Berdasarkan Tabel 1.1 di atas, pada tingkat kabupaten tampak bahwa SKL 3 merupakan
SKL yang terendah daya serapnya (75,79%). Fakta rendahnya daya serap UN pada materi
lingkaran diduga disebabkan oleh lemahnya kemampuan berpikir siswa.
Penyelesaian dalam masalah ini terletak pada pemilihan model pembelajaran yang tepat.
Sebagai guru yang mengajar matematika, penulis merasa terpanggil untuk mencoba model
pembelajaran yang diduga lebih tepat untuk materi lingkaran dan diduga memiliki dampak
positif terhadap kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Pendekatan yang diperkirakan
baik untuk diterapkan pada pembelajaran matematika dan merangsang munculnya
kemampuan berpikir kritis matematis siswa adalah pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
Penggunaan Lembar Kerja Siswa (LKS) terstruktur oleh guru sangat membantu di dalam
melaksanakan pembelajaran karena pada LKS terstruktur ini terdapat soal-soal yang dapat
langsung dikerjakan. Penggunaan LKS terstruktur menuntut keaktifan siswa dimana LKS
dapat membuat siswa belajar menurut kemampuannya, sehingga timbul kepercayaan pada
diri sendiri dan dapat menarik minat dan motivasi siswa. Penggunaan LKS terstruktur ini
juga dapat mengefisiensikan waktu, selain itu juga dapat memaksimalkan pemahaman dalam
upaya pembentukan kemampuan dasar sesuai indikator pencapaian hasil belajar yang harus
ditempuh. Sehingga dengan penggunaan LKS terstruktur pada pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw diduga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini difokuskan pada masalah “Apakah
penggunaan LKS terstruktur pada pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan
584
kemampuan berpikir kritis matematis siswa materi lingkaran kelas VIII SMPN 1 Brang Ene
Kabupaten Sumbawa Barat tahun pelajaran 2012/2013”. Dalam mengatasi masalah tersebut,
penulis mencoba melakukan penelitian tindakan kelas. Penelitian ini bersifat kolaboratif
dengan melibatkan guru lain sebagai tim kolaborasi observer di kelas VIIIA SMPN 1 Brang
Ene. Metode ini digunakan karena masalah dan tujuan penelitian menuntut tindakan
kolaborasi sehingga penelitian ini diduga cocok untuk memecahkan masalah karena dapat
meningkatkan pembelajaran di kelas.
Dari fokus tersebut dapat dirumuskan bahwa tujuan penelitian ini adalah untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa dengan menggunakan LKS
terstruktur pada pembelajaran kooperatif tipe jigsaw materi lingkaran kelas VIII SMPN 1
Brang Ene Kabupaten Sumbawa Barat tahun pelajaran 2012/2013.
2. Kajian Teori
LKS terstruktur adalah lembar kerja yang dirancang untuk membimbing siswa dalam suatu
program kerja pelajaran dengan sedikit bantuan guru untuk mencapai sasaran yang dituju
dalam pembelajaran tersebut. LKS terstruktur dilengkapi dengan petunjuk dan pengarahan
tetapi tidak dapat menggantikan peranan guru. Artinya, secara keseluruhan guru masih
memegang peranan dalam pelaksanaan dan perencaan mengajar yang sudah dipersiapkan
sebelumnya yaitu menyangkut kegiatan utama seperti memberi rangsangan, bimbingan,
pengarahan serta dorongan.
Pembelajaran koopertif tipe jigsaw adalah pembelajaran melalui penggunaan kelompok kecil
siswa yang bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan
pembelajaran dan mendapatkan pengalaman belajar yang maksimal, baik pengalaman
individu maupun pengalaman kelompok. Pada pembelajaran tipe Jigsaw ini setiap siswa
menjadi anggota dari dua kelompok, yaitu anggota kelompok asal dan anggota kelompok
585
ahli. Anggota kelompok asal yang terdiri dari 4-5 siswa yang setiap anggotanya diberi nomor
kepala 1-5. Nomor kepala yang sama pada kelompok asal berkumpul pada suatu kelompok
yang disebut kelompok ahli. Hubungan antara kelompok asal dan kelompok ahli
digambarkan pada bagan dibawah ini:
Kelompok Asal
A B A B A B A B
A A B B C C D D
Kelompok Ahli
Bagan 1. Ilustrasi Kelompok Jigsaw
Para anggota dari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik anggota sama dalam
kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masing-masing
anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut.
Setelah pembahasan selesai, kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan
mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat
pertemuan dikelompok ahli.
Pembelajaran kooperatif tipe jigsaw ini memiliki sintaks pembelajaran sebagaimana terlihat
pada tabel berikut ini:
Fase 4
Membimbing Saat grup ahli terbentuk, Guru membimbing grup-grup tersebut mengelola
kelompok bekerja arah pembahasan grup tersebut hingga mereka dapat menjadi ahli dalam
dan belajar tugas yang mereka bahas. Setelah dianggap masing-masing siswa ahli
dalam tugas yang dibahasnya, Guru meminta setiap siswa kembali
berkumpul dengan kelompok jigsawnya masing-masing.
Fase 5
Evaluasi Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang dipelajari dalam bentuk
kuis maupun tes akhir atau presentasi hasil diskusi masing-masing kelompok.
Fase 6
Memberikan Guru mencari cara-cara untuk menghargai, baik upaya maupun hasil belajar
penghargaan individu dan kelompok.
Setiap model pembelajaran sewajarnya memiliki kelebihan seperti halnya kekurangan yang
dihadapi saat mengimplementasikannya, berikut adalah kelebihan dari model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw ini, diantaranya dapat diinventarisir sebagai berikut:
2) Memerlukan sumber bahan ajar yang relatif lebih banyak dari pengajaran biasa.
3) Pembagian kelompok yang kurang fleksibel, karena harus merupakan kelipatan tertentu
yang terkadang tidak dapat terpenuhi secara tepat oleh jumlah siswa di kelas.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 872), “Berpikir adalah menggunakan akal
budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu”. Berpikir dapat diartikan sebagai
kegiatan akal budi atau kegiatan mental untuk mempertimbangkan, memahami,
merencanakan, memutuskan, memecahkan masalah, dan menilai tindakan.
Pendapat Splitier (dalam Mayadiana, 2009: 11) mengungkapkan bahwa kemampuan berpikir
kritis adalah kemampuan bertanggung jawab yang memudahkan pengelolaan yang baik. Hal
ini dikarenakan berpikir kritis didasarkan pada suatu kriteria. Mengenai orang berpikir kritis
merupakan individu yang berpikir, bertindak secara normatif, dan siap bernalar tentang
kualitas dari apa yang mereka lihat, dengar, atau yang mereka pikirkan.Pendapat lain
mendefinisikan berpikir kritis sebagai proses kompleks yang melibatkan penerimaan dan
penguasaan data, analisis data, evaluasi data, dan mempertimbangkan aspek kualitatif dan
kuantitatif, serta membuat seleksi atau membuat keputusan berdasarkan hasil evaluasi
(Gerhand dalam Mayadiana, 2009: 11).
Menurut Ennis (dalam Mayadiana, 2009: 13-16), indikator berpikir kritis dikelompokkan
dalam lima kemampuan berpikir, yaitu (1) memberikan penjelasan sederhana (Elementary
clarification); (2) membangun keterampilan dasar (Basic Support); (3) membuat inferensi
(Inference); (4) membuat penjelasan lebih lanjut (Advanced Clarification); dan (5) mengatur
strategi dan taktik (Strategies and tactics).
3. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kuantitatif. Pendekatan
kuantitatif dilakukan dengan alasan untuk memperoleh data dari evaluasi hasil kemampuan
berpikir kritis matematis siswa.
Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Desain penelitian yang digunakan ini
mengacu pada model Kemmis dan Mc Taggrat yang terdiri 4 komponen yaitu: perencanaan,
tindakan, pengamatan dan refleksi, yang ditunjukkan pada bagan berikut ini:
588
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes untuk mengetahui kemampuan
berpikir kritis matematis pada materi lingkaran pada siswa-siswi kelas VIIIA SMPN 1 Brang
Ene. Instrumen ini menggunakan alat evaluasi berupa tes, hasil tes inilah yang digunakan
sebagai data utama analisis. Tes yang digunakan berupa tes tertulis berbentuk essay untuk tes
kemampuan berpikir kritis matematis siswa. Tes essay sengaja dipilih untuk mengetahui
proses penyelesaian yang dikerjakan siswa dan bagaimana kemampuan siswa sesungguhnya
melalui uraian jawaban yang diberikannya.
Seorang siswa dianggap tuntas apabila siswa tersebut mendapat nilai minimal 70. dan
mencapai 80 % pada untuk tiap-tiap kompetensi dasar. Sebagai indikator dalam penelitian
ini adalah jika siswa yang mendapat nilai 70 lebih besar atau sama dengan 80% pada tes
yang diberikan pada tiap siklus maka belajar dinyatakan tuntas, artinya penggunaan LKS
terstruktur pada pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis matematis siswa materi lingkaran kelas VIII SMPN 1 Brang Ene Kabupaten
Sumbawa Barat tahun pelajaran 2012/2013. Selanjutnya, jika siswa yang mendapat nilai
70 lebih kecil dari 80% maka akan dilakukan perbaikan dan pengujian pada siklus
berikutnya hingga mencapai ketuntasan belajar.
Hasil data kuantitatif dianalisis secara deskriptif yang meliputi mean, nilai tertinggi, dan nilai
terendah dari setiap siklus yang dilakukan. Sedangkan analisa data hasil kemampuan berpikir
kritis matematis siswa akan dianalisis dengan mencari ketuntasan belajar klasikal. Analisis
secara deskriptif digunakan untuk mencari kekurangan-kekurangan yang terjadi selama
proses pembelajaran pada masing-masing siklus. Untuk data hasil kemampuan berpikir kritis
matematis siswa dianalisis dengan mencari ketentuan belajar baik ketuntasan klasikal
maupun individual. Tuntas secara klasikal maksudnya apabila tercapai persentase ketuntasan
80%, sedangkan tuntas secara individual maksudnya apabila siswa mencapai nilai 70.
Pelaksanaan tindakan pada pembelajaran yang telah direncanakan 2 (dua) kali pertemuan
selama 3 x 40 menit dan 2 x 40 menit dilanjutkan dengan evaluasi 40 menit. Adapun
tindakan yang dilaksanakan adalah sebagai berikut:
a) Guru memberikan apersepsi dan motivasi tiap awal pertemuan serta mengingatkan akan
hal-hal yang berkaitan dengan materi yang akan diajarkan.
589
b) Guru memberikan pertanyaan kepada siswa di kelas untuk mengetahui pengetahuan awal
siswa mengenai unsur dan bagian-bagian lingkaran dengan menghubungkan dalam
kehidupan sehari-hari dan membimbing siswa untuk menyimpulkannya.
c) Siswa mendiskusikan hasil yang mereka buat secara bergantian di depan kelas,
menjelaskan, memberikan contoh soal beserta penyelesaiannya, dan siswa yang lain
memberikan tanggapannya.
d) Siswa menyelesaikan LKS terstruktur yang diberikan oleh guru, dan mengerjakan di
papan tulis. Dan guru memberikan bimbingan jika siswa menemukan kesulitan.
e) Guru membimbing siswa menyimpulkan materi yang telah didapat pada akhir pertemuan.
f) Pada pertemuan selanjutnya dilakukan evaluasi untuk mengetahui kemampuan berpikir
kritis matematis siswa.
Hasil evaluasi pada Siklus I menunjukkan bahwa persentase siswa yang mendapat nilai
maksimal 70 adalah 76,19 % kurang dari 80 % yang terdiri dari 16 orang siswa. Ini berarti
bahwa indikator penelitian belum mencapai ketuntasan belajar. Hasil evalusi ini juga
menunjukkan bahwa terdapat 5 (lima) siswa yang hanya mampu menyerap materi 43 %, 57
%, 64 %, 64 %, dan 64 %. Sehingga sebelum lanjut ke siklus berikutnya dilakukan upaya
perbaikan terlebih dahulu dengan melakukan bimbingan secara individual atau secara khusus
kepada siswa yang mendapatkan nilai kurang dari 70.
Berdasarkan hasil evalusi siswa pada siklus I yang belum mencapai ketuntasan, maka akan
dilakukan perbaikan-perbaikan. Baik strategi pembelajaran yang perlu dimodifikasi maupun
melalui bentuk-bentuk soal-soal latihan yang dikerjakan oleh siswa. Mengenai
ketidaktuntasan siswa pada siklus I ditemukan adanya beberapa faktor diantaranya adalah
kelemahan siswa dalam memahami soal yang bervariasi serta kurangnya media
pembelajaran khususnya buku pegangan siswa.
Berdasarkan hasil evalusi dan observasi terhadap tindakan diberikan pada Siklus I, maka
diberikan tindakan pada Siklus II dalam rangka penyempurnaan dan perbaikan pembelajaran
pada menghitung keliling dan luas lingkaran, antara lain:
a) Pada pemberian apersepsi guru mengingatkan kembali materi prasyarat yang harus
dipersiapkan di dalam menyelesaikan soal-soal terkait dengan menghitung keliling dan
luas lingkaran.
b) Memperbanyak diskusi di dalam menyelesaikan soal-soal latihan khususnya yang
berhubungan dengan soal hitungan.
c) Bagi siswa yang dianggap lemah akan dilakukan upaya bimbingan dalam menghadapi
kesulitan belajar.
Hasil evaluasi pada siklus II menunjukkan bahwa persentase siswa yang mendapat nilai
maksimal 70 adalah 90,47 % lebih besar dari 80 % yang terdiri dari 19 orang. Ini berarti
bahwa indikator penelitian telah menunjukkan tercapainya ketuntasan belajar. Namun
demikian, masih terdapat 2 (dua) siswa yang hanya mampu menyerap 60 % dan 63 %. Maka
siswa tersebut perlu mendapatkan bimbingan secara individual atau memberikan soal untuk
dikerjakan sebagai latihan sehingga siswa tersebut benar-benar tuntas dalam belajar.
Pada tahapan ini peneliti melakukan konsultasi dengan observer atas tindakan yang telah
diberikan kepada siswa, dengan membandingkan hasil evaluasi pada siklus I. Berdasarkan
hasil observasi dan evaluasi Siklus II, guru lebih maksimal lagi untuk membimbing siswa
yang membutuhkan bimbingan pada saat mengerjakan LKS terstruktur.
Berdasarkan tabel 4 di atas, diketahui bahwa terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis
matematis siswa. Ini terlihat dengan jelas pada tabel bahwa nilai rata-rata pada Siklus I dan
II mengalami peningkatan yaitu Siklus I sebanyak 77,53 dan Siklus II sebanyak 82,06.
Kemudian nilai terendah siswa juga mengalami peningkatan pada tiap-tiap siklus. Siklus I
nilai terendahnya 43 dan Siklus II nilai terendahnya 60.
Untuk lebih jelasnya, gambaran peningkatan kemampuan berpikir kritis matematis siswa
tersebut terlihat pada Bagan 2 berikut ini.
Proses pembelajaran dalam penelitian ini telah dilaksanakan secara bertahap dari siklus I
sampai dengan siklus II. Dengan penggunaan LKS terstruktur pada pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw, maka siswa lebih aktif dalam mengerjakan soal yang diberikan guru. Dan hasil
evaluasi kemampuan berpikir kritis matematis siswa mengalami peningkatan, karena melalui
penggunaan LKS terstruktur siswa akan termotivasi untuk menemukan sendiri konsep
matematika dan siswa diberikan bimbingan. Selain itu, siswa juga dilatih untuk berpikir
lebih terstruktur atau sistematis.
Pembelajaran pada siklus I terlihat bahwa presentase ketuntasan pembelajaran siswa yang
mendapatkan nilai 70 adalah 76,19 %, hal ini berarti indikator penelitian yang mensyaratkan
80 % belum tercapai. Sesuai dengan komentar observer pada siklus I mengatakan bahwa
“pemanfaatan waktu diusahakan supaya efektif dan efisien agar tujuan pembelajaran dapat
tercapai, siswa harus selalu dibimbing dalam mengerjakan tugas/latihan/LKS pada saat
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw agar tercipta suasana belajar mengajar yang baik”.
Data hasil observasi mulai dari siklus I sampai dengan siklus II guru dan siswa telah
melakukan tindakan sesuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran. Hal ini terlihat dari
adanya peningkatan tingkat ketuntasan dari masing-masing siklus. Sebab dalam
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw menggunakan LKS terstruktur siswa dituntut untuk
selalu aktif dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
Adapun hambatan yang dialami dalam penelitian pada saat pembelajaran menggunakan LKS
terstruktur adalah kurangnya sarana penunjang praktik untuk setiap siswa sehingga harus
antri dalam mencoba melaksanakan langkah-langkah kegiatan sesuai petunjuk dalam LKS
terstruktur akibatnya terkadang melewati waktu yang ditetapkan.
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa penggunaan LKS terstruktur pada pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis siswa, dengan presentase
ketuntasan belajar siswa pada setiap siklus adalah 76,19 % pada siklus I dan 90,47% pada
siklus II. Hasil ini menunjukkan adanya peningkatan dan tercapainya ketuntasan belajar yang
diharapkan.
592
5.2 Saran-saran
Daftar Pustaka
Afgani, D. J. (2011). Materi Pokok Analisis Kurikulum Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka.
Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, S. (2011). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
BSNP. (2012). Hasil Analisis Data UN Tahun Pelajaran 2011/2012 (Perangkat Lunak Komputer).
Jakarta: Pusat Penilaian Pendidikan.
Ghufron, A., & Sutama. (2011). Materi Pokok Evaluasi Pembelajaran Matematika. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Learning, B. (2010). Lembar Kerja Siswa (LKS) Terstruktur. Diambil 25 September 2012, dari situs
World Wide Web http://matematikablendedlearning.blogspot.com/ 2010/11/lembar-kerja-
siswa-lks-terstruktur.html
Mayadiana, S. D. (2009). Suatu Alternatif Pembelajaran Kemampuan Berpikir Kritis Matematika.
Jakarta: Cakrawala Maha Karya.
Rosnawati, R. (2012). Berpikir Kritis melalui Pembelajaran Matematika untuk mendukung
Pembentukan Karakter Siswa. Diambil 16 April 2013, dari situs World Wide Web
staff.uny.ac.id/..../ makalah_an_Rosnawati_UNY_29_Juni_2012_apload.pdf.
Ruseffendi, H. E. T. (2010). Materi Pokok Perkembangan Pendidikan Matematika. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Sutawidjaja, A., & Afgani, D. J. (2011). Materi Pokok Pembelajaran Matematika. Jakarta:
Universitas Terbuka.
Syaiful, H. F. (2010). Model Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning). Diambil 18 Oktober
2012, dari situs World Wide Web http://syaifulhijrah.blogspot.com/ 2010/04/model-
pembelajaran-kooperatif. html
Tim Penyusun. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
593
Abstrak. Penelitian ini bertuuan untuk meningkatkan aktivitas dan kemampuan siswa
dalam menyelesaikan perkalian dan pemfaktoran bentuk alajabar siswa kelas VIIIC
SMP Negeri 11 Bulukumba. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang
dilaksanakan dalam dua siklus dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Alat
pengumpulan data untuk mengetahui hasil belajar siswa berupa tes dalam bentuk tugas
individu sedangkan alat pengumpulan data aktivitas siswa berupa lembar observasi dan
disertai catatan kejadian yang terjadi selama pembelajaran untuk melengkapi data. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa aktifitas siswa Kelas VIIIC SMP Negeri 11 Bulukumba
dalam menyelesaikan perkalian dan pemfaktoran bentuk aljabar dengan menggunakan
ubin aljabar mengalami peningkatan dari 58,83% (kategori sedang) di siklus satu
menjadi 79,35% (kategori tinggi) di siklus dua. Kemampuan siswa Kelas VIIIC SMP
Negeri 11 Bulukumba dalam menyelesaikan perkalian dan pemfaktoran bentuk aljabar
dengan menggunakan ubin aljabar mengalami peningkatan dari 81,50 di siklus satu
menjadi 93,25 di siklus dua.
1. Pendahuluan
Matematika sampai saat ini masih dirasakan siswa sebagai mata pelajaran yang sulit,
menakutkan dan membosankan. Rata-rata nilai akhir semester mata pelajaran matematika
sering menduduki peringkat terbawah diantara mata pelajaran yang lain. Hal ini juga
diperkuat dengan jawaban sebagian besar siswa ketika diberi pertanyaan mata pelajaran apa
yang disukai mereka, hanya sedikit sekali siswa yang menyukai mata pelajaran matematika.
Konsep-konsep materi mata pelajaran matematika yang selalu berkaitan dengan rumus-
rumus dan perhitungan membuat siswa merasa pusing terlebih lagi saat mempelajari aljabar.
Ini disebabkan karena kemampuan dasar berhitung utamanya pada bilangan bulat yang
kurang dikuasai dengan baik oleh siswa, yang salah satunya adalah operasi perkalian.
594
Siswa kelas VIIIC SMP Negeri 11 Bulukumba tidak lepas dari masalah tersebut. Hal Ini
terlihat dari tugas yang diberikan pada operasi hitung bentuk aljabar sebelumnya yang
diselesaikan dengan menggunakan sifat distributif , siswa kelas VIIIC SMP Negeri 11
Bulukumba mendapatkan rata-rata nilai 69 yang berada jauh dibawah nilai KKM yaitu 76
dan merupakan rata-rata kelas terendah diantara tiga kelas lainnya. Keadaan tersebut juga
ditunjukkan pada saat proses pembelajaran, dimana hanya beberapa siswa yang terlihat
antusias baik itu saat guru menjelaskan, saat guru memberikan soal ataupun saat mereka
bekerja dalam kelompoknya.
Masalah di atas menjadi perhatian besar bagi guru untuk mencari jalan keluar. Sebelumnya,
guru telah menerapkan proses pembelajaran secara langsung dikombinasikan dengan bekerja
berkelompok. Namun kenyataannya masih banyak siswa yang hanya mengandalkan teman
kelompoknya terutama siswa yang kemampuannya berada di bawah rata-rata. Dalam
kelompok, hanya satu atau dua orang saja yang aktif, lainnya hanya sebagai pendengar
bahkan ada yang hanya menyalin catatan dari temannya tanpa mau tahu bagaimana cara
mendapatkannya. Ini dikarenakan siswa yang aktif adalah yang betul-betul menguasai
perkalian, sedangkan yang kemampuannya lambat atau dibawah rata-rata lebih senang untuk
menjadi pendengar. Keadaan ini sangat bertentangan dengan keseharian siswa kelas VIIIC
yang termasuk kategori siswa “aktif”. Aktif disini yang dimaksud adalah diluar
pembelajaran, siswa kelas VIIIC termasuk siswa yang senang bicara tetapi pada saat belajar
matematika yang terjadi justru sebaliknya. Siswa langsung terdiam jika diberi pertanyaan
atau soal dari guru juga ketika siswa diberi kesempatan bertanya.
Kegiatan guru dalam mengajarkan matematika juga mungkin dianggap kurang menggali
kreatifitas siswa. Pembelajaran di kelas hampir selalu dilaksanakan dengan urutan sajian: (1)
diajarkan teori/definisi/teorema melalui pemberitahuan, (2) diberikan dan dibahas contoh-
contoh, kemudian (3) diberikan latihan soal. Di samping itu, guru cenderung mengajarkan
matematika secara simbolis/abstrak yang bertentangan dengan perkembangan kognitif
peserta didik dan kurang memanfaatkan alat peraga dan lingkungan peserta didik sebagai
sumber belajar. Hal ini disadari oleh guru sehingga dalam mempelajari perkalian dan
pemfaktoran bentuk aljabar diupayakan untuk menggunakan alat peraga berupa ubin aljabar.
Penggunaan ubin aljabar ini diharapkan dapat memudahkan siswa dalam memahami operasi
perkalian dan pemfaktoran bentuk aljabar baik itu siswa yang kurang lancar dalam
melakukan operasi perkalian terlebih lagi siswa yang telah faham dan lancar dalam operasi
perkalian.
Agar penelitian lebih jelas dan terarah maka masalah dalam penelitian dibatasi untuk hal-hal
berikut:
1. Subyek penelitian adalah Siswa Kelas VIIIC SMP Negeri 11 Bulukumba Tahun
Pelajaran 2013/2014.
2. Materi yang disampaikan adalah perkalian bentuk aljabar suku satu dengan suku dua
dan pemfaktoran bentuk aljabar ax² + bx + c , dengan a ≥ 1; b > 1; c > 1
3. Aktivitas yang diteliti adalah aktivitas belajar matematika
4. Kemampuan siswa yang dimaksud adalah hasil belajar siswa dalam menyelesaikan
perkalian bentuk aljabar suku satu dengan suku dua dan pemfaktoran bentuk aljabar
ax² + bx + c , dengan a ≥ 1; b > 1; c > 1
2. Bagi siswa: Untuk meningkatkan keaktivan siswa dalam kegiatan pembelajaran serta
melatih daya imaginasi siswa yang dapat bermanfaat untuk pembelajarannya di masa
datang.
3. Bagi guru: hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan,
khususnya bagi guru Matematika SMP untuk semaksimal mungkin menggunakan alat
peraga dalam pembelajaran untuk meningkatkan aktivitas dan kemampuan siswa
sehingga dapat meningkatkan hasil belajarnya dalam matematika, sehingga
bermanfaat untuk perbaikan dan peningkatan mutu mengajarnya.
4. Bagi sekolah : sebagai bahan informasi untuk dapat menggunakan alat peraga pada
mata pelajaran lain sehingga dapat mempermudah dalam proses pembelajaran.
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Belajar
Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya. Tetapi tidak semua perubahan yang terjadi pada
seseorang merupakan perubahan dalam arti belajar. Perubahan dalam belajar mempunyai
ciri-ciri antara lain, terjadi secara sadar, bersifat kontinu dan fungsional, bersifat positif dan
aktif, bertujuan atau berarah, dan mencakup seluruh aspek tingkah laku [7]. Hal senada juga
diungkapkan oleh Abdullah [1] yang berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses untuk
mencapai perubahan tingkah laku dalam bentuk sikap, pengetahuan dan keterampilan yang
dimilikinya. Selanjutnya Morgan (dalam [9]) menyebutkan bahwa suatu kegiatan dikatakan
belajar apabila memiliki tiga ciri yaitu: (1) adanya perubahan tingkah laku; (2) perubahan
yang terjadi karena latihan dan pengalaman bukan karena pertumbuhan; (3) perubahan
tersebut harus bersifat permanen dan tetap ada untuk waktu yang cukup lama.
Sehubungan dengan pendapat di atas disimpulkan bahwa belajar adalah perubahan tingkah
laku pada diri seseorang melalui suatu proses tertentu yang berbentuk sikap, pengetahuan
dan keterampilan yang dimilikinya. Perubahan yang dimaksud disini adalah perubahan yang
positif yaitu adanya peningkatan yang dicapai akibat pengetahuan yang diperolehnya.
Hasil belajar merupakan suatu ukuran berhasil atau tidaknya seorang siswa dalam proses
belajar mengajar. Hasil belajar tidak akan pernah dihasilkan selama seseorang tidak
melakukan kegiatan belajar. Kenyataan menunjukkan bahwa untuk mendapatkan hasil
belajar yang baik tidak semudah yang dibayangkan tetapi harus didukung oleh sebuah
kemauan dan minat dalam belajar serta program pengajaran yang baik. Soedijarto (dalam
[5]) menyatakan bahwa hasil belajar adalah tingkat penguasaan yang dicapai oleh pelajar
dalam mengikuti program belajar mengajar sesuai dengan tujuan pendidikan. Dapat
disimpulkan bahwa hasil belajar adalah tingkat keberhasilan dalam menguasai bahan
597
pelajaran setelah memperoleh pengalaman dalam kurun waktu tertentu yang akan
diperlihatkan melalui skor yang diperoleh dalam tes hasil belajar.
Aktivitas belajar adalah seluruh aktivitas siswa dalam proses belajar, mulai dari kegiatan
fisik sampai kegiatan psikis [4]. Kegiatan fisik berupa keterampilan-keterampilan dasar
sedangkan kegiatan psikis berupa keterampilan terintegrasi. Keterampilan dasar yaitu
mengobservasi, mengklasifikasi, memprediksi, mengukur, menyimpulkan dan
mengkomunikasikan. Sedangkan keterampilan terintegrasi terdiri dari mengidentifikasi
variabel, membuat tabulasi data, menyajikan data dalam bentuk grafik, menggambarkan
hubungan antar variabel, mengumpulkan dan mengolah data, menganalisis penelitian,
menyusun hipotesis, mendefinisikan variabel secara operasional, merancang penelitian dan
melaksanakan eksperimen.
2.4 Alat Peraga
Alat peraga adalah alat (benda) yang digunakan untuk memperagakan fakta, konsep, prinsip,
atau prosedur tertentu agar tampak lebih nyata atau konkrit [10]. Adapun maksud
penggunaan alat peraga dalam pelajaran Matematika ialah: (1). Mempermudah penanaman
konsep Matematika.(2). Memberikan pengalaman yang efektif bagi peserta didik. (3).
Memotivasi peserta didik untuk menyukai pelajaran Matematika.(4). Memberikan
kesempatan bagi peseta didik yang mempunyai kemampuan berfikir lebih lambat untuk
menyelesaikan tugas dengan berhasil.(5). Memperkaya program pelajaran bagi peserta didik
yang lebih pandai. (6). Mempermudah abstraksi dan efisiensi waktu. (7). Menunjang
kegiatan Matematika di luar sekolah.
Ubin aljabar dinamai berdasarkan luas suatu persegi atau persegi panjang. Luas suatu persegi
panjang merupakan hasil kali dari panjang dan lebarnya. Ubin dapat dilihat pada gambar
berikut:
Perkalian suku satu dengan suku dua dapat dimodelkan sebagai suatu persegipanjang yang
dibentuk dengan menggunakan ubin aljabar. Demikian pula dengan pemfaktoran bentuk
aljabar.
598
3. Kerangka Berpikir
Siswa kelas VIIIC SMP Negeri 11 Bulukumba mendapatkan rata-rata nilai 69 yang berada
jauh dibawah nilai KKM yaitu 76 dan merupakan rata-rata kelas terendah diantara tiga kelas
lainnya. Aktivitas belajar matematika kelas VIIIC juga termasuk sangat rendah. Dibutuhkan
suatu alat peraga yang dapat meningkatkan aktivitas belajar matematika yang pada akhirnya
dapat membantu siswa memahami perkalian dan pemfaktoran bentuk aljabar. Untuk
meningkatkan aktivitas belajar matematika ini digunakan model belajar berpasangan yang
akan membutuhkan alat peraga yang cukup banyak selain itu kelompok pasangan yang
terjadi akan lumayan banyak. Namun hal tersebut dimaksudkan agar setiap siswa dapat
melakukan kegiatan pembelajaran menggunakan alat peraga ubin aljabar secara merata,
termasuk siswa yang kurang mampu dalam perkalian tidak akan bergantung sepenuhnya
kepada teman kelompoknya yang lebih mampu. Dalam pelaksanaan pembelajaran senantiasa
diberikan variasi soal agar siswa lebih bersemangat dan meningkatkan aktivitas belajar dan
pada akhirnya kemampuan menyelesaikan soal perkalian dan pemfaktoran yang ditandai
dengan hasil belajar juga meningkat.
4. Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan ubin aljabar dapat meningkatkan aktivitas siswa Kelas VIIIC SMP
Negeri 11 Bulukumba dalam menyelesaikan perkalian dan pemfaktoran bentuk aljabar
2. Menggunakan ubin aljabar dapat meningkatkan kemampuan siswa Kelas VIIIC SMP
Negeri 11 Bulukumba dalam menyelesaikan perkalian dan pemfaktoran bentuk
aljabar?
6 Subyek Penelitian
Subyek penelitian adalah siswa kelas VIIIC SMP Negeri 11 Bulukumba Tahun Pelajaran
2013/2014 sebanyak 31 orang siswa terdiri dari 13 orang laki-laki dan 18 orang perempuan.
7 Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah siswa kelas VIIIC SMP Negeri 11 Bulukumba tahun
pelajaran 2013/2014. Data diperoleh dari :
a. Hasil Belajar siswa kelas VIIIC pada operasi perkalian dan pemfaktoran bentuk
aljabar.
599
b. Lembar observasi aktivitas siswa kelas VIIIC selama kegiatan pembelajaran operasi
perkalian dan pemfaktoran bentuk aljabar.
Data hasil tes belajar yang dianalisis menggunakan analisis kuantitatif. Untuk keperluan ini
digunakan analisis deskriptif yaitu skor rata-rata dan persentase, nilai minimum, dan
maksimum yang siswa peroleh serta ketuntasan setiap siklus dan persentasenya. Data
aktivitas siswa diperoleh dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh kolaborator, dianalisis
kualititatif dengan menggunakan skor total aspek, skor setiap indikator, rata-rata dan
persentasenya. Adapun untuk keperluan analisis kualitatif akan digunakan kategorisasi
dengan skala lima berdasarkan teknik kategorisasi standar yang diterapkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional [10] yaitu:
0 % - 34 % dikategorikan sangat rendah
35 % - 54 % dikategorikan rendah
55 % - 64 % dikategorikan sedang
65 % - 84 % dikategorikan tinggi
85% - 100% dikategorikan sangat tinggi
9. Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua siklus yang masing masing siklus terdiri dari beberapa
tahap yaitu: perencanaan, pelaksanaan, observasi dan evaluasi serta refleksi dari siklus I ke
siklus II. Siklus satu dilaksanakan pada tanggal 21 September 2013, 25 September 2013 dan
tes tanggal 27 September 2013. Siklus dua dilaksanakan tanggal 28 September 2013, 2
Oktober 2013 dan tes tanggal 4 Oktober 2013.
600
Dari tabel 1 diatas terlihat bahwa hasil belajar siswa dari prasiklus ke siklus satu selanjutnya
ke siklus dua mengalami peningkatan rata-rata dari prasiklus yaitu 69 menjadi 81,50 di
siklus satu dan meningkat menjadi 93,25 di siklus dua. Hasil ini menunjukkan hasil yang
berada di atas KKM yaitu 76. Demikian pula dengan banyaknya siswa yang tuntas dari 10
orang saat prasiklus menjadi 20 orang setelah siklus satu dan 31 orang di siklus dua, atau
mengalami peningkatan dari 32,26% menjadi 64,52% di siklus satu dan akhirnya 100% di
siklus dua. Aktivitas siswa dikelas salah satunya dapat dilihat pada gambar 2 berikut :
Materi pertemuan pertama siklus satu adalah perkalian bentuk aljabar. Pada hari tersebut
seorang siswa tidak hadir karena sakit, sehingga jumlah siswa adalah 30 orang. Sebelumnya
disampaikan bahwa kegiatan akan dilakukan bersama dengan teman sebangku, terlihat siswa
penasaran dan 2 orang bertanya akan tujuan dibagikannya potongan-potongan kertas bekas
kalender yang dibuat guru. Setelah diberitahu bahwa pembelajaran hari ini adalah bermain
sambil belajar, nampak 15 siswa yang terlihat senang dan gembira. Bahkan seluruhnya
tampak serius memperhatikan penjelasan guru tentang bagaimana cara menggunakan ubin
aljabar. Saat membaca LKS dan mengikuti kegiatan, tampak seorang siswa hanya terlihat
melamun saja tanpa menyentuh ubin aljabar. Saat ditanyakan alasannya ternyata siswa
tersebut cekcok dengan teman sebangkunya karena sama-sama ingin mencoba untuk pertama
kalinya. Dari 30 siswa terdapat 24 orang siswa yang dapat memecahkan masalah berupa
menentukan perkalian bentuk aljabar yang diberikan. Pada pertemuan kedua soal perkalian
yang diberikan adalah perkalian aljabar suku dua dengan suku dua. Terlihat peningkatan
aktivitas dibandingkan dengan pertemuan pertama. Namun saat guru menanyakan materi
sebelumnya terlihat hanya 7 siswa yang mengangkat tangannya, ini mungkin disebabkan
karena masih besarnya rasa malu dan tidak percaya diri siswa. Pada tabel terlihat
peningkatan aktivitas siswa dari pertemuan pertama ke pertemuan kedua di siklus satu terjadi
di semua aspek kemampuan. Dari kelima aspek kemampuan tersebut, aspek visual
menunjukkan rata-rata yang paling tinggi sebesar 98,89% sedangkan kemampuan lisan
menunjukkan rata-rata yang paling rendah yaitu 11,97%. Ini menunjukkan bahwa alat peraga
ubin aljabar betul-betul “dinikmati” oleh siswa. Namun kemampuan lisan siswa masih belum
mengalami peningkatan yang signifikan. Secara umum rata-rata aktivitas siswa pada siklus
satu adalah 58,83% atau berada pada kategori sedang.
Materi siklus dua adalah pemfaktoran bentuk aljabar. Pada pertemuan pertama di siklus ini,
ditemukan siswa yang salah dalam meletakkan ubin aljabar. Walaupun terbentuk
persegipanjang, tetapi ada ubin yang letaknya tidak bersesuaian, sehingga faktor bentuk
602
aljabar yang didapatkan tidak sesuai. Tetapi karena siswa sudah mulai terbiasa berdiskusi
dan tukar pikiran, akhirnya pada pertemuan kedua hal tersebut tidak ditemukan lagi. Dari
siklus dua terlihat bahwa kemampuan visual dan kemampuan menulis siswa mencapai
100%. Namunpun demikian aspek kemampuan lisan tetap menempati rata-rata yang paling
rendah diantara lima aspek kemampuan yang diharapkan dan juga termasuk kategori rendah.
Hal ini disebabkan karena siswa masih memiliki rasa malu dan takut salah dikarenakan
masih banyak diantara mereka yang kesulitan dalam menyusun kata-kata secara baik dan
benar. Secara keseluruhan aktivitas siswa mengalami peningkatan dari 58,83% (kategori
sedang) di siklus satu menjadi 79,35% (kategori tinggi) di siklus dua.
11. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa :
1. Aktivitas siswa Kelas VIIIC SMP Negeri 11 Bulukumba dalam menyelesaikan
perkalian dan pemfaktoran bentuk aljabar dengan menggunakan ubin aljabar mengalami
peningkatan dari 58,83% (kategori sedang) di siklus satu menjadi 79,35% (kategori
tinggi) di siklus dua.
2. Kemampuan siswa Kelas VIIIC SMP Negeri 11 Bulukumba dalam menyelesaikan
perkalian dan pemfaktoran bentuk aljabar dengan menggunakan ubin aljabar mengalami
peningkatan dari 81,50 di siklus satu menjadi 93,25 di siklus dua.
Daftar Pustaka
Abdullah A.E., Pokok-Pokok Layanan Bimbingan Belajar. Ujung Pandang: FIP IKIP Ujung Pandang.
(1989)
Abdurrahman M., Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. (1999)
Haling A., Belajar dan Pembelajaran. Makassar: Badan Penerbit UNM. (2007)
Hamzah., Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Pemberian Tugas dengan Umpan Balik
pada Siswa Kelas II SLTP Negeri 2 Kabupaten Polmas. Makassar: Skripsi FMIPA UNM.
(2002)
Masnaini., Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Pemberian Kuis dengan Mencongkak di
Awal Setiap Pertemuan pada Siswa Kelas V SDN 353 Patalagunga. Makassar: Skripsi FMIPA
UNM. (2003)
Mustaan., Implementasi Berbasis Kontekstual dalam Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa
Kelas V SD Negeri Parang Tambung 1 Makassar . Makassar: Skripsi FMIPA UNM. (2005)
Slameto., Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempegaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. (2010)
Sukman., Penerapan Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP) Untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Matematika pada Siswa Kelas VIII 2 SMP Negeri 2 Gangking.
Bulukumba: Laporan PTK. (2006)
Sulistyaningsih N., Peningkatan Kreativitas Matematika dan Karakter Jupe Melalui Model
Pembelajaran Kooperatif Berbasis EIS-GQM pada Peserta Didik Kelas VIIC SMPN 32
Semarang. Semarang: Laporan PTK. (2012)
Umar R., Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Melalui Pendekatan Kontekstual di Luar
Kelas pada Siswa Kelas X 2 SMA Negeri 2 Bulukumba. Bulukumba: Laporan Penelitian. (2008)
603
Abstrak. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya kemampuan siswa SMA Negeri
1 Pundong dalam memecahkan masalah matematika. Berdasarkan tes awal tampak
bahwa sebagian besar siswa mempunyai kemampuan yang rendah. Berdasarkan hasil
tersebut maka penulis terdorong untuk mengadakan penelitian. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui apakah dengan pendekatan Problem Based Learning dapat
meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika dan ingin
mengetahui bagaimana pendekatan ini dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah matematika. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sd
November 2013 di kelas X-1 SMA Negeri 1 Pundong. Jenis penelitian ini adalah
penelitian tindakan kelas dengan tiga siklus, setiap siklus terdiri dari: perencanaan,
pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan
dokumentasi, observasi, dan tes tertulis. Analisis data dilakukan dengan
membandingkan hasil pada kondisi awal, hasil siklus I, hasil siklus II, dan hasil siklus
III. Pada kondisi awal nilai rata-rata kemampuan siswa dalam memecahkan masalah
matematika sebesar 4,42, pada siklus I rata-ratanya 5,29, pada siklus II rata-ratanya
5,96, dan pada siklus III rata-ratanya 7,25. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pendekatan Problem Based Learning dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah matematika.
1. Pendahuluan
Mulai tahun ajaran 2013/2014 pemerintah telah menerapkan kurikulum 2013 secara bertahap
selain membatasi sekolah sasaran, juga tidak diterapkan ke semua jenjang kelas. Untuk
Sekolah Dasar diterapkan pada kelas 1 dan kelas 4, untuk Sekolah Menengah Pertama pada
kelas 7, dan untuk Sekolah Menengah Atas pada kelas X. Menurut rencana pada tahun
pelajaran 2013/2014 pemerintah akan menerapkan kurikulum 2013 secara menyeluruh di
setiap jenjang sekolah, baik Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah
Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan.
Sebagian besar siswa SMA Negeri 1 Pundong masih menganggap matematika adalah mata
pelajaran yang menakutkan, Syarien dalam Asmin (2003:2) mengistilahkan dengan
matematika phobia atau fenomena ketakutan anak pada matematika. Siswa menganggap
matematika adalah mata pelajaran yang sulit, sehingga kurang motivasi dan keinginan untuk
mempelajari matematika.
604
Kondisi ini dipengaruhi juga oleh cara guru matematika dalam pembelajaran di kelas
menggunakan langkah-langkah linier dalam memecahkan masalah matematika sehingga
membuat sebagian besar siswa hanya menghafalkan langkah-langkah yang diberikan oleh
guru, sehingga jika siswa diberikan soal pemecahan masalah yang melibatkan beberapa
langkah yang tidak pernah dicontohkan guru, siswa kesulitan menemukan langkah-langkah
kreatif untuk memecahkan masalah tersebut.
Berdasarkan teori pembelajaran yang dikemukakan oleh Gagne dalam Suherman (2001:83),
bahwa keterampilan intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan
masalah, namun selama ini pembelajaran matematika terkesan kurang menyentuh kepada
substansi pemecahan masalah, kebanyakan mengajarkan prosedur atau langkah mengerjakan
soal bahkan siswa cenderung menghafalkan konsep-konsep matematika.
Agar dapat menyentuh kepada substansi pemecahan masalah, guru harus menggunakan
metode pembelajaran yang lain. Salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan
adalah Problem Based Learning. Dengan model pembelajaran Problem Based Learning
dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar efektif dan kreatif, di mana siswa dapat
membangun sendiri pengetahuannya, menemukan pengetahuan dan keterampilannya sendiri
melalui proses bertanya, kerja kelompok, dan belajar dari model yang sebenarnya.
Hasil observasi proses belajar mengajar di kelas X di SMA Negeri 1 Pundong dan diskusi
dengan guru mata pelajaran Matematika terindikasi beberapa permasalahan dalam proses
belajar menganjar, diantaranya:
a) Kemampuan siswa, khususnya dalam pemecahan masalah matematika masih
memerlukan perhatian khusus. Hal ini ditunjukkan dengan nilai matematika hasil ujian
nasional siswa yang masuk SMA Negeri 1 Pundong tergolong rendah jika dibandingkan
dengan rata-rata di kabupaten Bantul.
b) Motivasi siswa untuk menyelesaikan soal pemecahan masalah masih kurang. Ketika
guru mengajar di kelas tidak semua siswa antusias mengikuti pembelajaran dan
mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan. Hal ini dikarenakan metode pembelajaran
yang digunakan guru kurang bervariasi dan cenderung ceramah.
c) Siswa lebih berorientasi untuk memecahkan soal-soal yang dapat diselesaikan dengan
prosedur rutin dan kurang memperhatikan bahwa kompetensi yang dituntut adalah
kemampuan dalam pemecahan masalah. Hal ini ditunjukkan ketika guru memberikan
contoh menyelesaikan soal dengan cara yang mendetail, siswa cenderung menginginkan
cara yang lebih praktis.
Sebagian dari permasalahan yang dihadapi peserta didik di atas memerlukan penanganan
secara cepat dan inovatif tentu oleh guru sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran di
kelas. Oleh karena itu, terdapat indikasi bahwa kesenjangan yang terjadi disebabkan karena
implementasi pendekatan pembelajaran yang belum mendukung secara maksimal
kesempatan siswa untuk berlatih memecahkan masalah.
605
2. Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dalam penelitian
ini, peneliti berkolaborasi dengan guru matematika yang lain, sedangkan yang dimaksud
dengan partisipatif adalah peneliti terlibat langsung dalam penelitian. Adapun tindakan yang
direncanakan dalam penelitian ini adalah penerapan pendekatan Problem Based Learning
untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika di kelas X-
1 SMA Negeri 1 Pundong tahun ajaran 2013/2014.
Penelitian ini dilaksanakan di kelas X-1 SMA Negeri 1 Pundong pada semester gasal tahun
ajaran 2013/2014 yaitu pada bulan Oktober sampai November tahun 2013. Subjek penelitian
adalah siswa kelas X-1 SMA Negeri 1 Pundong dengan banyak siswa 24 orang 5 orang laki-
laki dan 19 orang perempuan.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan setting kelas, yaitu tindakan dilakukan
selama proses pembelajaran berlangsung di dalam kelas. Dalam melakukan pengamatan
selama tindakan dilakukan, peneliti dibantu seorang rekan guru matematika SMA Negeri 1
Pundong.
Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa siklus. Sebelum masuk siklus I dilaksanakan tes
awal. Dalam setiap siklus terdapat empat tahapan kegiatan, diantaranya: 1) perencanaan, 2)
Pelaksanaan, 3) Pengamatan (observasi), dan Refleksi. Secara garis besar, tahap-tahap
pelaksanaan siklus II sama dengan siklus I. Banyaknya siklus dalam penelitian ini tidak
ditentukan tergantung hasil refleksi pada setiap siklus dan berhenti ketika sudah mulai
nampak peningkatan hasilnya.
Dalam penelitian tindakan kelas ini dalam pengumpulan data digunakan berbagai tehnik
antara lain :
1. Tes Tertulis
Tes tertulis disini digunakan untuk mengumpulkan data siswa berkenaan hasil pengusaan
materi sistem persamaan linear yang dikuasai siswa , setelah siswa mengikuti suatu proses
perlakuan yang dilakukan oleh peneliti, sehingga didapatkan hasil yang akurat dan dapat
menggambarkan secara jelas kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika
tersebut. Penyekoran dilakukan dengan pedoman penyekoran holistik yaitu untuk mengukur
kecakapan siswa dalam memecahkan masalah matematika. Kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah matematika diuraikan menjadi 4 item yaitu: memahami masalah,
merumuskan pemecahan masalah, melaksanakan pemecahan masalah, dan mengambil
606
kesimpulan. Untuk itu peneliti membuat rubrik soal yang memuat 4 item tersebut sebagai
pedoman penyekoran. Setiap item diuraikan menjadi tiga pilihan jawaban bertingkat dari 0
sampai 2.
2. Lembar observasi
Untuk mengontrol kegiatan guru apakah sudah sesuai dengan pembelajaran dengan
pendekatan Problem Based Learning, digunakan lembar observasi.
3. Catatan lapangan
Catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami dan dipikirkan dalam rangka
pengumpulan data. Dalam hal ini catatan lapangan digunakan untuk mencatat kejadian
penting yang muncul pada saat proses pembelajaran matematika berlangsung yang belum
terdapat pada pedoman observasi.
4. Dokumentasi
Dokumentasi dalam penelitian ini berupa RPP pada kegiatan pembelajaran dengan
pendekatan problem based learning . Dokumentasi ini digunakan untuk memperoleh data
sekolah, nama siswa, dan foto proses tindakan kelas. Adapun teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
Hasil analisis tes awal setelah dibandingkan dengan kriteria di atas dapat disajikan dalam
tabel berikut:
Berdasarkan data yang diperoleh, pada tahap prasiklus, menunjukkan bahwa kemampuan
siswa dalam memecahkan masalah matematika masih kurang. Keadaan ini dapat
digambarkan secara rinci dari empat tahap pemecahan masalah matematika sebagai berikut:
a. Memahami masalah
Pada tahap ini banyaknya siswa yang masuk kategori sedang adalah 3 orang, sedangkan
yang masuk kategori baik sebanyak 21 orang. Pada tahap memahami masalah dapat
dikategorikan baik.
Pada tahap ini banyaknya siswa yang masuk kategori kurang adalah 1 orang, untuk kategori
sedang sebanyak 13 orang, sedangkan yang masuk kategori baik sebanyak 10 orang. Pada
tahap memahami masalah dapat dikategorikan sedang.
Pada tahap ini banyaknya siswa yang masuk kategori kurang adalah 4 orang, untuk kategori
sedang sebanyak 12 orang, sedangkan yang masuk kategori baik sebanyak 8 orang. Pada
tahap memahami masalah dapat dikategorikan sedang.
d. Pengambilan kesimpulan
Pada tahap ini banyaknya siswa yang masuk kategori kurang adalah 17 orang, untuk kategori
sedang sebanyak 6 orang, sedangkan yang masuk kategori baik sebanyak 1 orang. Pada
tahap memahami masalah dapat dikategorikan kurang.
e. Pemecahan masalah
Secara umum kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika yang masuk
kategori kurang adalah 3 orang, untuk kategori sedang sebanyak 14 orang, sedangkan yang
608
masuk kategori baik sebanyak 7 orang. Pada tahap memahami masalah dapat dikategorikan
sedang.
Berdasarkan evaluasi yang dilaksanakan setelah dikoreksi didapatkan hasil yang disajikan
pada tabel sebagai berikut.
Dari hasil analisis didapatkan bahwa kemampuan siswa dalam memecahkan masalah
matematika mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahapan sebelum siklus I.
Keadaan ini dapat digambarkan secara rinci dari empat tahap pemecahan masalah
matematika sebagai berikut:
a. Memahami masalah
Pada tahap ini semua siswa yang berjumlah 24 masuk kategori baik.
b. Merencanakan pemecahan masalah
Pada tahap ini banyaknya siswa yang masuk kategori kurang adalah 2 orang, untuk kategori
sedang sebanyak 4 orang, sedangkan yang masuk kategori baik sebanyak 18 orang. Pada
tahap memahami masalah dapat dikategorikan baik.
c. Melaksanakan pemecahan masalah
Pada tahap ini banyaknya siswa yang masuk kategori kurang adalah 3 orang, untuk kategori
sedang sebanyak 9 orang, sedangkan yang masuk kategori baik sebanyak 12 orang. Pada
tahap memahami masalah dapat dikategorikan sedang.
d. Mengambil kesimpulan
Pada tahap ini banyaknya siswa yang masuk kategori kurang adalah 12 orang, untuk kategori
sedang sebanyak 9 orang, sedangkan yang masuk kategori baik sebanyak 3 orang. Pada
tahap memahami masalah dapat dikategorikan sedang.
e. Pemecahan masalah
Secara umum kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika yang masuk
kategori kurang adalah 1 orang, untuk kategori sedang sebanyak 7 orang, sedangkan yang
masuk kategori baik sebanyak 16 orang. Pada tahap memahami masalah dapat dikategorikan
baik.
Jika dibandingkan dengan tahap prasiklus pada siklus I mengalami peningkatan kemampuan
memecahkan masalah matematika, dengan hasil sebagai berikut:
609
Berdasarkan evaluasi yang dilaksanakan setelah dikoreksi didapatkan hasil yang disajikan
pada tabel sebagai berikut:
a. Memahami masalah
Pada tahap ini banyaknya siswa yang masuk kategori sedang adalah 1 orang, sedangkan
yang masuk kategori baik sebanyak 23 orang. Pada tahap memahami masalah dapat
dikategorikan baik.
Pada tahap ini banyaknya siswa yang masuk kategori kurang adalah 1 orang, untuk kategori
sedang sebanyak 9 orang, sedangkan yang masuk kategori baik sebanyak 14 orang. Pada
tahap memahami masalah dapat dikategorikan baik.
Pada tahap ini banyaknya siswa yang masuk kategori kurang adalah 2 orang, untuk kategori
sedang sebanyak 8 orang, sedangkan yang masuk kategori baik sebanyak 14 orang. Pada
tahap memahami masalah dapat dikategorikan sedang.
610
d. Mengambil kesimpulan
Pada tahap ini banyaknya siswa yang masuk kategori kurang adalah 2 orang, untuk kategori
sedang sebanyak 12 orang, sedangkan yang masuk kategori baik sebanyak 10 orang. Pada
tahap memahami masalah dapat dikategorikan sedang.
e. Pemecahan masalah
Secara umum kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika yang masuk
kategori kurang adalah 1 orang, untuk kategori sedang sebanyak 2 orang, sedangkan yang
masuk kategori baik sebanyak 21 orang. Pada tahap memahami masalah dapat dikategorikan
baik.
Jika dibandingkan dengan tahap siklus I pada siklus II mengalami peningkatan kemampuan
memecahkan masalah matematika, dengan hasil sebagai berikut:
Berdasarkan evaluasi yang dilaksanakan setelah dikoreksi didapatkan hasil yang disajikan
pada tabel sebagai berikut:
Dari hasil analisis didapatkan bahwa kemampuan siswa dalam memecahkan masalah
matematika mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahapan sebelum siklus III.
Keadaan ini dapat digambarkan secara rinci dari empat tahap pemecahan masalah
matematika sebagai berikut:
611
a. Memahami masalah
Pada tahap ini banyaknya siswa yang masuk kategori sedang adalah 1 orang, sedangkan
yang masuk kategori baik sebanyak 23 orang. Pada tahap memahami masalah dapat
dikategorikan baik.
b. Merencanakan pemecahan masalah
Pada tahap ini banyaknya siswa yang masuk kategori sedang sebanyak 2 orang, sedangkan
yang masuk kategori baik sebanyak 22 orang. Pada tahap memahami masalah dapat
dikategorikan baik.
c. Melaksanakan pemecahan masalah
Pada tahap ini banyaknya siswa yang masuk kategori kurang adalah 1 orang, untuk kategori
sedang sebanyak 2 orang, sedangkan yang masuk kategori baik sebanyak 21 orang. Pada
tahap memahami masalah dapat dikategorikan baik.
d. Mengambil kesimpulan
Pada tahap ini banyaknya siswa yang masuk kategori kurang adalah 2 orang, untuk kategori
sedang sebanyak 1 orang, sedangkan yang masuk kategori baik sebanyak 21 orang. Pada
tahap memahami masalah dapat dikategorikan baik.
e. Pemecahan masalah matematika
Secara umum kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika yang masuk
kategori kurang adalah 1 orang, untuk kategori sedang sebanyak 1 orang, sedangkan yang
masuk kategori baik sebanyak 22 orang. Pada tahap memahami masalah dapat dikategorikan
baik.
Jika dibandingkan dengan tahap siklus II pada siklus III mengalami peningkatan kemampuan
memecahkan masalah matematika, dengan hasil sebagai berikut.
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, data yang diperoleh dari prasiklus hingga siklus
III, diperoleh kesimpulan bahwa :
a. Pembelajaran dengan pendekatan Problem Based Learning terhadap siswa X-1 di SMA
Negeri 1 Pundong dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah
matematika.
b. Dengan pendekatan Problem Based Learning siswa terlibat aktif dalam pemecahan
masalah, termotivasi, mampu berfikir kreatif, dan dapat membangun pengetahuan secara
mandiri sehingga dapat meningkatkan kemampuannya dalam memecahkan masalah
matematika.
4.2. Saran
Berdasarkan pemaparan data, temuan penelitian, dan pembahasan maka dapat dikemukakan
beberapa saran sebagai berikut.
a. Guru dapat menggunakan pendekatan Problem Based Learning dalam Pembelajaran
matematika khususnya pada materi pelajaran sistem persamaan linear guna untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika.
b. Guru diharapkan dapat menciptakan suatu variasi pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan Problem Based Learning guna menghindari kejenuhan siswa dalam belajar
dengan demikian diharapkan hasil prestasi belajar siswa akan meningkat.
Daftar Pustaka
Asmin. (2003). Implentasi Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) dan kendala yang muncul di
lapangan. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 44, 1-15.
Depdiknas. (2007). Kajian Kebijakan Kurikulum Mata Pelajaran Matematika. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional, Badan Penelitian dan Pengembangan, Pusat Kurikulum.
Djemari Mardapi. (2008). Teknik Penyusunan Instrumen Tes dan Non Tes. Yogyakarta: Mitra
Cendikia Offset.
Ebel, R.L., & Frisbie, D.A. (1986). Essenstial of educational measurement (4th). New Jersey: Prentice-
Hall, Inc.
Gorman, R.M. (1974). The psychology of classroom learning: an inductive approach. Columbus,
Ohio: Meril Publisjing Company.
Gunawan, Hendra dkk. 2006. Kemampuan Matematika Siswa Usia 15 Tahun di Indonesia. Puspendik.
Murtiyasa, Budi. 2001. Strategi Pengembangan Pembelajaran Matematika Pada Abad XXI. Makalah
disampaikan pada diskusi dosen-dosen Jurusan Pend. Matematika FKIP UMS pada tanggal 12
Desember 2001.
Gunawan, Hendra dkk. 2006. Kemampuan Matematika Siswa Usia 15 Tahun di Indonesia. Puspendik.
Shadiq, Fajar. 2004. Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Makalah disajikan dalam
diklat instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang Dasar di PPPG Matematika Yogyakarta.
Suherman, dkk (2001). Common Textbook: Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.
Bandung: Jica-Universitas Indonesia (UPI)
613
Sukardi
SMA Negeri 1 Polanharjo, Klaten, sukardimatematika@yahoo.com
1. Pendahuluan
Selama peneliti mengajar di SMA Negeri 1 Polanharjo, kelas XII Program IPS semester
gasal tentang matriks, terutama tentang perkalian matriks dengan matriks, banyak siswa yang
mengalami kesulitan dan mudah lupa. Menurut pengamatan penulis, ketika pembelajaran
matriks siswa kurang bersemangat dan tidak aktif. Beberapa sebab tidak aktif barangkali
disebabkan oleh materinya yang abstrak, keadaan kelas yang kecil, letaknya di dekat jalan
atau kurangnya variasi dalam pembelajaran sehingga murid merasa bosan. Setelah
diidentifikasi ternyata ada beberapa yang bisa diubah oleh penulis antara lain pembelajaran
dengan menggunakan alat peraga dan dengan menggunakan metode pembelajarannya yang
sesuai.
Pada penelitian ini dibatasi pada penelitian tentang keaktifan siswa dalam pembelajaran
matriks saja dengan menggunakan alat peraga kartu matriks melalui model pembelajaran
Two Stay Two Stray (TSTS).
Rumusan masalah adalah apakah aktifitas siswa kelas XII IPS di SMA Negeri 1 Polanharjo
dalam pembelajaran matriks melalui penerapan model pembelajaran Two Stay Two Stray
(TSTS) dengan menggunakan alat peraga kartu matriks dapat meningkat.
614
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran matriks
dan agar pembelajaran matriks dengan menggunakan alat peraga matriks melalui model
pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS) menjadi menarik bagi siswa.
2 Tinjauan Pustaka
2.1 Kajian Teori
Keaktifan siswa
Aktif menurut kamus ilmiah popular diartikan sebagai giat: selalu/bersif gerak. Sedangkan
menurut Wina Sanjaya (2006:136), Aktifitas adalah kegiatan yg dilakukan
seseorang.Keaktifan merupakan perubahan dari tidak melakukan apa-apa menjadi
melakukan sesuatu. Bentuk keaktifan diwujudkan dalam bentuk kegiatan: mendengarkan,
memperhatikan, bertanya, memberikan pendapat, memberikan tanggapan, berdiskusi,
menyusun laporan, memecahkan masalah dan lain sebagainya.
Model pembelajaran Two Stay Two Stray (dua tinggal dua tamu) yang dikembangkan oleh
Spencer Kagan (Siti Amminah, 2010) merupakan teknik pembelajaran yang memberi
kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok
lainnya. Hal ini dilakukan dengan cara saling mengunjungi atau bertamu antar kelompok
untuk berbagi informasi. Hal ini didasari pada kenyataan pengalaman peneliti bahwa
penyampaian pengetahuan atau informasi yang disampaikan oleh teman sebaya akan lebih
mudah diterima dan si penyampai akan lebih mengerti lagi dan mudah untuk ingat tentang
apa yang ia sampaikan pada kelompok lain.
Kartu ini dibuat dari kerta tebal yang berisikan contoh matriks dalam kehidupan sehari-hari
untuk menunjukkan jenis matriks, penjumlahan dua matriks, perkalian matriks dengan
bilangan riil dan perkalian dua matriks. Ada dua jenis kartu matriks yaitu kartu berbentuk
tabel/daftar dan kartu berbentuk matriks.
Contoh kartu berbentuk daftar/tabel untuk alat peraga perkalian matriks dengan matrika sbb:
Alur berfikir dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti bagan berikut :
3. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) dengan menggunakan pendekatan
kualitatif yang didukung dengan data kuantitatif. Dalam pelaksanaan peneliti mengajak satu
orang teman sejawat yaitu guru matematika yang juga mengajar di kelas XII IPS untuk
bersama-sama menyusun perencanaan dalam pelaksanaan pembelajaran sebagai pengamat
dan dalam pelaporan sebagai bahan pertimbangan. Penelitian dilakukan mulai bulan
September 2013 sampai dengan November 2013 di SMA Negeri 1 Polanharjo, Kabupaten
Klaten. Penelitian menggunakan model Kemmis dan McTargert (Suhardi : 2009) seperti
yang ditunjukkan pada gambar berikut :
Subjek penelitian siswa SMA Negeri 1 Polanharjo kelas XII Program IPS yang terdiri dari 4
kelas sedangkan sebagai sampel menggunakan siswa Kelas XII IPS-1. Pengumpulkan data
menggunakan terknik observasi, questioner, catatan lapangan dan dokumentasi.
Dokumentasi dalam penelitian ini berupa RPP pada kegiatan pembelajaran dengan
penerapan permainan kartu matriks, buku-buku seperti buku pribadi, buku presensi dll.
Dokumentasi ini digunakan untuk memperoleh data sekolah, nama siswa, dan foto proses
tindakan kelas.Data dianalisis sejak pelaksanaan pembelajaran, dan akan dikembangkan pada
siklus pertama, apabila peningkatan belum terjadi atau kurang meyakinkan maka akan
ditingkatkan pada siklus kedua. Analisis data yang dilakukan untuk menguji perencanaan,
pelaksanaan dan monitoring penelitian dan refleksi penelitian.
Penelitian ini dinyatakan berhasil apabila keaktifan siswa mencapai 66% yang dilihat dari
hasil observasi selama pembelajaran matriks melalui penerapan model pembelajaran Two
Stay Two Stray (TSTS) dengan menggunakan alat peraga kartu pada siswa kelas XII IPS di
SMA Negeri 1 Polanharjo tahun ajaran 2013/2014.
Pada tahap prasiklus, yang dilaksanakan pada hari Jumat, tanggal 11 Oktober 2013 di kelas
XII IPS1dengan materi pelajaran tentang (1) Pengertian matriks, (2) Jenis-jenis matriks, (3)
Ordo matriks, (4) Transpose matriks dan (5) Kesamaan matriks. Pelaksanaan pembelajaran
dilakukan seperti rencana program pembelajaran yaitu seperti yang biasa dilakukan oleh
peneliti. Pelaksanaan dapat digambarkan seperti gambar berikut.
Hasilnya terlihat pada gambar bahwa pelaksanaan pembelajaran hampir semua siswa diam
dan tampak bagus, tetapi ketika dievaluasi hasil belajarnya masih rendah, ketika diamati oleh
observer, diperoleh data bahwa keaktifan siswa hanya tercapai 46%, membuktikan bahwa
keaktifan siswa masih rendah, maka perlu ditindaklanjuti pada Siklus I.
618
Sebelumnya peneliti bersama anggota peneliti menyusun rencana program pembelajaran dan
rencana pelaksanaannya. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada hari Sabtu, 12 Oktober 2013
Jam ke-3 dan ke-4 di kelas XII IPS-1. Pelaksanaan pembelajaran dapat diuraikan sebagai
berikut:
Tahap I, guru menyampaikan salam dan membuka pelajaran dengan menghitung siswa
berjumlah 24 siswa berarti masuk semua, kemudian menanyakan beberapa hal tentang
pelajaran lampauyang merupakan tugas rumah sambil memeriksa pekerjaan siswa dan
sekaligus sebagai prasyarat dalam pelajaran hari ini,baru kemudian guru menyampaikan
cakupan materi yang akan dipelajari pada hari ini beserta tujuannya.
Tahap II, guru membahas materi pada buku halaman 27 tentang penjumlahan dan
pengurangan matriks beserta perkalian matriks dengan bilangan riil.
Tahap III, guru membagikan beberapa kartu pada emam siswa di enam tempat dan
sekaligus siswa diminta membentuk kelompok yang masing-masing paling banyak terdiri
dari 4 siswa. Guru menyampaikan beberapa tugas.
Tahap IV, sambil setiap kelompok membuat laporan,guru memerintahkan agar dua orang
dari tiap-tiap kelompok memisahkan diri dari kelompoknya untuk berkunjung ke
kelompok lain agar menanyakan kesulitan di kelompoknya kepada kelompok baru
tersebut dan anggota baru pada kelompok tersebut menaggapinya.Setelah dirasa cukup
tamu diminta kembali ke kelompoknya lagi untuk menyampaikan hasil tanggapan di
kelompok lain tersebut.
Tahap V, tiap kelompok membuat laporan dan menyampaikan hasil diskusi sedang
kelompok lain menanggapinya lalu guru menyimpulkan dan memberikan beberapa
pertanyaan yang mengarah pada kesimpulan perkalian matriks dengan bilangan riil.
Tahap VI, guru memberikan tugas kelompok untuk menyelesaikan soal-soal tentang
operasi matriks yang mengarah pada sifat-sifat penjumlahan, pengurangan dan perkalian
matriks dengan bilangan riil.
Tahap VII, sambil membuat laporan, guru memerintahkan agar dua orang dari tiap-tiap
kelompok memisahkan diri dari kelompoknya untuk berkunjung ke kelompok lain untuk
menanyakan kesulitan yang ada pada kelompoknya. Kesulitan tersebut dibahas pada
kelompok baru. Setelah dirasa cukup siswa tamu diminta kembali ke kelompoknya
kembali.
Tahap VIII, tiap kelompok membuat laporan dan menyampaikan hasil diskusinya sedang
kelompok lain menanggapinya lalu guru memberikan beberapa pertanyaan yang
mengarah pada kesimpulan dan sifat-sifat penjumlahan, pengurangan matriks dan
perkalian matriks dengan bilangan riil.
Tahap IX guru menyampaikan beberapa pertanyaan yang mengarah pada pencapaian
tujuan pembelajaran pada hari ini.
Tahap X, guru memberikan tugas.
619
Pada tahap Siklus I, diperoleh gambar 3.2. tampak bahwa para siswa asyik bekerja,
berdiskusi pada kelompoknya. Data keaktifan siswa ada kenaikan dari data prasiklus yang
hanya mencapai 46% menurut kategori rendah, dengan menggunakan alat peraga kartu dapat
naik menjadi 66% dengan kategori tinggi. Hal ini 66% merupakan batas minimal kategori
tinggi. Peneliti mempunyai beberapa catatan bahwa pemimpin kelompok belum ditentukan
dan ada kelompok pasif tapi ada kelompok yang terlalu aktif maka merupakan catatan agar
dalam diskusi kelompok pada siklus kedua tiap dibentuk dengan seorang yang aktif ditunjuk
sebagai ketua kelompok yang tugasnya memimpin jalannya diskusi kelompok. Berhubung
masih 66% maka pada siklus pertama ini perlu dilakukan peningkatan pada siklus kedua.
Pelajaran berikutnya pada hari Jumat, 18 Oktober 2013 tetapi karena pada hari itu ada
kegiatan sekolah, maka pelaksanaan penelitian dilakukan pada pertemuan berikutnya yaitu
hari Sabtu, 19 Oktober 2013 Jam ke 3 dan 4 di kelas XII IPS-1. Pelaksanaan pembelajaran
dapat diuraikan sebagai berikut:
Tahap V, setelah dirasa diskusi cukup guru memerintahkan agar dua orang dari tiap-tiap
kelompok memisahkan diri dari kelompoknya untuk berkunjung ke kelompok lain agar
menyampaikan hasil diskusi dan kesulitan yang dialami kelompoknya ke kelompok lain
dan kelompok lain memberikan tanggapan. Setelah dirasa cukup siswa diminta kembali
ke kelompoknya kembali.
Tahap VI, guru menunjuk tiap kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi pada nomor
tertentu secara lisan dan kelompok lain diminta memberikan tanggapan.
Tahap VII, guru memimpin diskusi dengan memberikan beberapa pertanyaan yang
mengarah pada kesimpulan perkalian matriks dengan matriks beserta sifat-sifatnya.
Tahap VIII, guru menyampaikan beberapa pertanyaan yang mengarah pada pencapaian
tujuan pembelajaran pada hari ini.
Tahap IX, guru memberikan tugas.
Pada analisis hasil observasi dalam Pembelajaran Siklus II diper oleh data bahwa
keaktifan siswa ada kenaikan dari data prasiklus yang hanya mencapai 46% menurut
kategori rendah dengan menggunakan alat peraga kartu matriks melalui penerapan model
Pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS) pada siklus pertama dapat naik menjadi 66%
dengan kategori tinggi, sedangkan pada siklus kedua ada kenaikan lagi menjadi 78% dengan
kategori tinggi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa keaktifan siswa dengan menggunakan
model pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS) dan menggunakan alat peraga kartu
matriks dapat meningkat.
Guru dapat menggunakan model Pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS) dengan alat
peraga kartu matriks dalam Pembelajaran matematika khususnya pelajaran matriks guna
untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam pembelajaran.
Guru diharapkan dapat menciptakan suatu variasi pembelajaran seperti menggabungkan
pembelajaran dengan menggunakan alat peraga dengan menggunakan metode
pembelajaran tertentu agar siswa dalam belajar tidak merasa jenuh, sehingga siswa aktif
dalam belajar dan diharapkan hasil prestasi siswa akan meningkat..
Guru disarankan memanfaatkan alat peraga matematika pada pembelajaran matematika.
Daftar Pustaka
Kemmis dan Teggart. 1988. The Action Research Planner. Deakin Univercity.
Poerwadarminta.1984, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdiknas.
Sanjaya, Wina. 2006, Stategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Siti Amminah. 2010. http://siti--amminah.blogspot.com/ diakses tanggal 28 Oktober 2013
Suhardi. 2009. Langkah-Langkah PTK Menurut Kemmis dan McTaggart.
http://suhadinet.wordpress.com/2009/06/08/langkah-langkah-ptk-menurut-kemmis-dan-
mctaggart/ diakses tanggal 18 September 2013
622
1. Pendahuluan
Matematika termasuk hasil kebudayaan manusia yang berumur paling tua. Walaupun
demikian, tidak ada definisi yang pasti untuk mendeskripsikan matematika. Setiap pakar
matematika akan mendeskripsikan matematika menurut cara pandang masing-masing namun
memiliki beberapa komponen dan prinsip dasar yang sama. Mengutip Hale (2003: 3)
matematika didefinisikan sebagai berikut.
“mathematics as the field that is concerned with three major activities: logical structure,
the application of logic to discovering theorems about numbers, space, patterns, and other
related structures, and the application of these theorems to other fields.” (matematika
sebagai bidang yang utamanya memuat tiga aktivitas: struktur logis, penerapan logika untuk
menemukan teorema mengenai bilangan, ruang, pola, dan struktur lain yang sesuai, serta
penerapan teorema-teorema tersebut dalam bidang lainnya)
Karena pentingnya pembuktian dalam pemahaman matematika maka di sekolah pun aspek
pembuktian harus mendapat perhatian serius. Dengan matematika diharapkan siswa
memiliki pola pikir yang logis, sistematis, dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan belajar
matematika, siswa tidak lagi belajar secara dogmatis, seperti ditegaskan Max Dehn:
“Mathematics is the only instructional material that can be presented in an entirely
undogmatic way.” (matematika adalah satu-satunya bahan pengajaran yang dapat
disampaikan dalam cara yang sepenuhnya tanpa dogma) (Woodard, 1995).
623
Dalam kerangka ini, penulis mengkaji seberapa penting dan bagaimana posisi pembuktian
PWWs dalam pembelajaran matematika.
“proofs without words are generally pictures or diagrams that help the reader see why a
particular mathematical statement is true, and also to see how one could begin to go about
proving it true.” (PWWs secara umum berupa gambar atau diagram yang membantu
pembaca untuk melihat mengapa sebuah pernyataan matematika benar, dan juga untuk
melihat bagaimana seseorang dapat memulai untuk membuktikan bahwa pernyataan tersebut
benar) (Nelsen: 1994)
Jelas dari definisi di atas PWWs bukanlah dimaksudkan sebagai bukti (dalam pengertian
formal) tetapi memberi pola dan arah bagaimana membuktikannya. Hal ini diperjelas lagi
oleh Huang, Peng, & Hsu, bahwa PWWs bukan bukti sesungguhnya tetapi merupakan
gambar atau diagram yang membantu siswa untuk melihat mengapa sebuah pernyataan itu
benar dan juga untuk melihat bagaimana memulai untuk membuktikannya; satu atau dua
persamaan dapat muncul untuk mengarahkan siswa dalam proses ini. Penekanannya jelas
pada penyediaan petunjuk visual kepada siswa untuk menstimulasi pemikiran matematis.
(Huang, Peng, & Hsu: 2003)
Penggunaan gambar dalam menelaah bukti matematika, sesungguhnya bukan merupakan hal
baru. Para matematikawan jaman kuno, terbiasa menggunakan diagram atau cara visual
untuk menelaah matematika. Beberapa naskah kuno memuat gambar atau diagram, misalnya
Zhou Bi Suan Jing (sekitar 200 SM), Lilavati karya Bhaskara, al-Muhtasyar Fi Hisab al-jabr
wa al-Muqabala karya al-Khwarismi, atau buku Element karya Euclid.
Pada Oktober 1973, Martin Gardner dalam kolom “Mathematical Games” pada berkala
Scientific American mendiskusikan PWWs dengan istilah “look-see” diagram. Namun
624
penggunaan gambar atau diagram dalam rangka pembuktian mulai mendapat perhatian
serius, saat muncul istilah PWWs atau Proof Without Words dalam terbitan Mathematics
Magazine sekitar tahun 1975 lewat karya Rufus Isaacs, “Two Mathematical Papers Without
Words”. Penerbitan berikutnya yang memuat PWWs dalam the College Mathematics
Journal sekitar 10 tahun kemudian.
Roger Nelsen tahun 1987 menerbitkan sebuah paper terkait PWWs dengan judul “The
Harmonic Mean-Geometric MeanArithmetic Mean-Root Mean Square Inequality”. Hingga
ia menulis dan mereview berbagai PWWs hingga menjadi dua buku yang diterbitkan oleh
the Mathematical Association of America (MAA) dengan judul Proofs Without Words:
Exercise in Visual Thinking dan Proofs Without Words II: Exercise in Visual Thinking
(Alsina & Nelsen: 2010, Miller: 2012).
Oleh karena matematika saat ini dan umumnya dipandang sebagai sistem formal, maka
kebanyakan definisi bukti di dalam matematika termasuk ke dalam bukti formal, yang
bersifat deduktif dan memuat penalaran logis secara aksiomatis.
“A formal proof is a proof in which every logical inference has been checked
all the way back to the fundamental axioms of mathematics.” (Bukti formal
adalah sebuah bukti di mana setiap penarikan kesimpulan yang logis diperiksa
kebenarannya dengan berdasar pada aksioma-aksioma dasar dalam
matematika) (Hales, 2008).
Namun ada pula yang mendefinisikan bukti di dalam matematika secara lebih samar,
misalnya oleh Eric Gosset berikut. “A proof is the demonstration of validity of some precise
mathematical statement. The demonstration should contain sufficient detail to convince the
intended audience of its validity.” (sebuah bukti adalah demonstrasi keabsahan beberapa
pernyataan matematika yang tepat. Demonstrasi tersebut harus memuat detil yang cukup
untuk meyakinkan pembaca atas keabsahannya) (Eric Gosset, dalam Discrete Mathematics
With Proof, 2009, John Wiley and Sons). Tampak bahwa dalam definisi yang terakhir
sebuah bukti diterima bila “meyakinkan”, tidak ada indikasi bahwa aksioma, dalil bahkan
logika diperlukan dalam pembuktian.
Definisi yang lebih moderat diberikan oleh Larry J. Gerstein dalam Introduction to
Mathematical Structures and Proofs (1996, Springer Publishing) sebagai berikut. “A proof is
625
a chain of statements leading, implicitly or explicitly from the axioms to a statement under
consideration compelling us to declare that that statement, too, is true.” (Sebuah bukti
adalah rantai pernyataan yang mengarahkan, implisit maupun eksplisit dari aksioma-aksioma
kepada sebuah pernyataan dalam rangka untuk memaksa kita menyatakan bahwa pernyataan
tersebut juga benar). Jadi, kebanyakan definisi bukti di dalam matematika bersifat formal,
menghendaki keterkaitan deduktif aksiomatif dengan logika sebagai perangkainya. Namun
demikian, terdapat pula beberapa pengertian bukti di dalam matematika yang lebih bersifat
samar namun tetap berprinsip pada aspek meyakinkan (convincing).
Dalam perkembangan matematika modern, bahkan terdapat berbagai bentuk atau cara
pembuktian yang tidak bersifat formal dan aljabar, misalnya pembuktian dengan program
komputer. Pembuktian semacam ini masih menjadi perdebatan di kalangan matematikawan.
Selain PWWs tidak memuat rangkaian pernyataan yang diturunkan dari premis dan aksioma
atau teorema yang telah dibuktikan secara deduktif, PWWs juga gagal menyatakan
generalisasi. Menurut pandangan kebanyakan matematikawan, gambar tidaklah menyatakan
suatu generalisasi, sebuah gambar tetaplah sebuah kasus. “Essentially, a picture can only
represent a special case. So even if that picture appears to be convincing, it has no
systematic way of eliminating doubt about the general case. For this reason, many
mathematicians do not consider PWWs to be true proofs.” (pada dasarnya, gambar hanya
dapat merepresentasikan sebuah kasus kasus. Jadi walaupun gambar tersebut untuk
meyakinkan, namun tidak memuat cara yang sistematis untuk menghapus keraguan akan
kasus umumnya. Karena alasan ini, banyak matematikawan tidak menganggap PWWs
sebagai bukti yang benar) (Miller, 2012).
Namun dengan berbagai filsafat matematika yang berkembang, maka terdapat beberapa
pandangan lain terhadap kedudukan PWWs dalam matematika. Miller setelah membahas
pengertian tentang bukti (proof) berdasarkan filsafat formalisme dan platonisme sampai pada
kesimpulan berikut ini.
menentukan kriteria yang memenuhi dan mana yang tidak bahkan menentukan
kriteria itu sendiri. Bagaimanapun, baik dianggap bukti maupun tidak, PWWs
merupakan alat yang bernilai dalam matematika, lebih-lebih dalam pembelajaran)
(Miller, 2012).
Lynn Arthur Steen, co-editor dari berkala Mathematics Magazine saat PWWs mulai
diterbitkan menyatakan pentingnya kedudukan PWWs sebagai bukti di dalam pembelajaran
matematika.
For most people, visual memory is more powerful than linear memory of steps in
a proof. Morever, the various relationships embedded on a good diagram
represent real mathematics awaiting recognition and verbalization. So as a device
to help students learn and remember mathematics, proofs without words are often
more accurate than (mis-remembered) proofs with words. (Bagi kebanyakan
orang, ingatan visual lebih berdaya dibanding ingatan linear akan langah-langkah
dalam sebuah pembuktian. Lebih lagi, berbagai hubungan yang
merepresentasikan matematika sesungguhnya yang termuat di dalam gambar yang
baik menunggu untuk ditemukan dan diverbalkan. Jadi, sebagai sarana untuk
membantu siswa belajar dan mengingat (konsep) matematika, PWWs lebih akurat
dibanding bukti dengan kata-kata yang salah diingat) (Miller, 2012).
4. Macam PWWs
Dari penelusuran literatur yang ada, PWWs dapat diklasifikasikan ke dalam dua jenis:
PWWs tanpa simbol (pada gambar) dan PWWs dengan simbol (pada gambar).
Contoh PWWs tanpa simbol.
1
123+…+n= n(n 1)
2
627
1
x 1
1
1
Di lain pihak, dapat pula diklasifikasikan ke dalam 2 jenis: PWWs tanpa tahapan gambar dan
PWWs dengan tahapan gambar.
Berikut dua PWWs berbeda untuk pembuktian Aturan Kosinus: c2 = a2 b2 – 2ab cos
Contoh PWWs tanpa tahapan gambar.
a a
Selain yang telah dinyatakan di atas, berdasarkan perkembangan teknologi sekarang ini,
dapat pula dibedakan PWWs non-dinamis dan PWWs dinamis. PWWs dinamis adalah
PWWs yang direpresentasikan dalam program komputer semisal Powerpoint, Flash, GSP
atau Geogebra sehingga dapat lebih dinamis.
Walaupun demikian, banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa masih kesulitan
dalam melihat bukti dan menganggap pembuktian sebagai pekerjaan yang sulit, tidak
diperlukan, dan tidak berguna. Kebanyakan mereka memandang fakta empiris sebagai bukti
dan lebih banyak menggunakan argumentasi empiris daripada argumentasi deduktif. Bahkan
Fischbein menyatakan bahwa kemungkinan siswa juga tidak dapat membedakan antara
argumentasi empiris dan argumentasi deduktif. (Nardi & Ionane: 12).
Studi Healy & Hoyles tahun 2000 (dalam Nardi & Ianone: 2006) menemukan bahwa
kebanyakan siswa lemah dalam hal mengkonstruksi bukti, dan mereka lebih menggunakan
argumentasi empiris serta penjelasannya jarang menggunakan aljabar atau formalisme.
Dalam kerangka di atas, kedudukan PWWs dapat menjadi jembatan bagi siswa
mengkonstruksi bukti deduktif atau bukti formal, khususnya siswa SMP dan siswa SMA.
629
Tampak bahwa kumpulan bulatan yang berwarna gelap mewakili bentuk deret bilangan asli:
Sn 1 2 3 …. (n – 2) (n – 1) n .
Pada tahap ini, siswa harus (dilatih) memiliki kemampuan generalisasi. Alih-alih melihat
suku terbesar 6, siswa seharusnya melihatnya sebagai suku sebarang n.
Oleh karena dalam PWWs terdapat dua kumpulan bulatan yang sama banyak dan berpola
sama, maka ini menunjukkan terdapat 2 deret yang sama.
Sn 1 2 3 …. (n – 2) (n – 1) n
(direpresentasikan dengan pola bulatan berwarna gelap)
Sn 1 2 3 …. (n – 2) (n – 1) n
(direpresentasikan dengan pola bulatan putih)
Selanjutnya, tampak pada PWWs bahwa gabungan kedua kumpulan bulatan tersebut
membentuk sebuah persegipanjang dengan panjang n 1 dan lebar n. Bagaimana ini dapat
dinyatakan dalam bentuk aljabar?
Siswa seharusnya melihat bahwa kedua deret dijumlahkan dengan ururtan yang
berkebalikan. Oleh karena itu, salah satu deret dapat dibalik urutannya.
Sn 1 2 3 …. (n – 2) (n – 1) n
Sn n (n – 1) (n – 2) …. 3 2 1
Karena pada PWWs ada gabungan membentuk persegipanjang maka kedua deret tersebut
dijumlahkan sebagai berikut.
Sn 1 2 3 …. (n – 2) (n – 1) n
Sn n (n – 1) (n – 2) …. 3 2 1
---------------------------------------------------------------------
2.Sn (n 1) (n 1) (n 1) …. (n 1) (n 1) (n 1)
di mana suku (n 1) ada sebanyak n buah.
Terakhir, Alsina & Nelsen (2010) menegaskan bahwa PWWs memiliki peran penting dalam
proses pembelajaran, “We believe there is a role for PWWs in mathematics classrooms from
elementary schools to universities. The ability to visualize is essential for success in
mathematics, and George Pólya’s “Draw a figure. . . ” is classic pedagogical advice.”
(Kami percaya ada peran bagi PWWs dalam kelas matematika dari sekolah dasar hingga
universitas. Kemampuan visualisasi merupakan hal esensial untuk sukses dalam matematika,
dan teknik “Lukis sebuah gambar..” dari Georg Polya merupakan anjuran pedagogis yang
klasik)
6. Kesimpulan
Dari kajian literatur di atas, tampak bahwa PWWs memiliki peran dalam proses
pembelajaran matematika. Kesulitan siswa dalam mengkonstruksi bukti formal dapat
dijembatani dengan penggunaan PWWs. Ada beberapa jenis PWWs yang dapat
dimanfaatkan dalam pembelajaran, mulai dari PWWs yang tanpa simbol yang cukup sulit
hingga PWWs dengan simbol dan memuat tahapan gambar atau dinamis. Selain itu,
penggunaan PWWs akan mengundang rasa ingin tahu dan melatih siswa berpikir secara
visual.
Daftar Pustaka
Alsina, Claudi & Nelsen, Roger B. 2010. An Invitation to Proofs Without Words. European Journal
Of Pure And Applied Mathematics. Vol. 3, No. 1, 2010, 118-127. ISSN 1307-5543 –
www.ejpam.com
Bogomolny, Alexander. 2013. Proofs Without Words: Exercises In Visual Thinking - Introduction
From Interactive Mathematics Miscellany And Puzzles. dalam
http://www.cut-the-knot.org/books/pww/intro.shtml (diakses 8 November 2013)
Hale, Margie. 2003. Essentials of Mathematics, Introduction to theory, proof, and the professional
culture. Washington, D.D.: the mathematical association of america
Huang, Kuo-Chung; Peng, Yuan-Feng & Hsu, Wen-Lung. 2003. Some Examples of Dynamic Proofs
without Words in PowerPoint. Proceeding ATCM 2003.
Nardi, Elena & Ianone, Paola. 2006. How to Prove It: A brief guide for teaching Proof to Year 1
mathematics undergraduates. Norwich (UK): HEA-MSOR.
Nelsen, Roger B. 1994. Proofs Without Words: Exercises in Visual Thinking. Mathematical
Association of America.
Robin L. Miller. 2012. On Proofs Without Words. dalam
http://www.whitman.edu/mathematics/SeniorProjectArchive/2012/Miller.pdf. (diakses 8
November 2013)
Thomas C. Hales. 2008. Formal Proof. Notices of the AMS. Volume 55, Number 11.
Unal, Husan. 2009. Two geo-arithmetic representations of n3: sum of hex numbers. dalam
http://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ859753.pdf (diakses 8 November 2013)
Woodard, Mark. 1995. Mathematical Quotations-D. dalam
http://math.furman.edu/~mwoodard/ascquotd.html (diakses Januari 2014).
631
PENDEKATAN KUALITATIF
DALAM PENILAIAN PEMBELAJARAN
MATEMATIKA
PADA KURIKULUM 2013
Sumaryanta
PPPPTK Matematika, Jl. Kaliurang Km. 6, Yogyakarta
mary_anta@yahoo.com
1. Pendahuluan
1.1. LatarBelakang
Reformasi menuju pendidikan matematika yang lebih bermakna saat ini menjadi arah baru
pendidikan matematika di Indonesia. Semakin disadari bahwa mata pelajaran matematika
diajarkan sejak pendidikan dasar sampai pendidikan lanjut tidak lepas dari pemahaman
bahwa matematika memiliki potensi besar mendukung pengembangan pribadi anak. Arti
penting ini telah diterima secara nyata hampir semua pihak, bahkan matematika menempati
posisi vital dalamsistem pendidikan. Secara kuantitas, alokasi waktu pelajaran matematika
setiap jenjang selalu cukup besar.Ruang yang tersedia ini diharapkan dapat lebih
dimanfaatkan untuk menggali dan memberdayakan potensi pelajaran matematika dalam
memberikan manfaat bagi siswa.
Pembaharuan sistem pendidikan di Indonesia saat ini sedang dilakukan melalui penerapan
Kurikulum 2013. Kurikulum 2013 dikembangkan dengan landasan filosofis yang
memberikan dasar bagi pengembangan seluruh potensi peserta didik menjadi manusia
Indonesia berkualitas yang tercantum dalam tujuan pendidikan nasional. Kurikulum 2013
632
1.2. RumusanMasalah
Pendidikan matematika di Indonesia saat ini disadari semakin penting kontribusinya pada
pengembangan pribadi siswa. Pembelajaran matematika yang hanya berorientasi penguasaan
materi matematika an sich, mulai diarahkan pada pencapaian esensi pendidikan yaitu
keutuhan pengembangan pribadi siswa. Potensialitas pembelajaran matematika harus lebih
digali dan diberdayakan melalui integrasi berbagai aspek, meliputi: soft skills, life skills,
religiusitas, moralitas, kepribadian, budi pekerti, dan lain-lain (Sumaryanta, 2009: 1).
Perubahan orientasi pembelajaran matematika ini perlu didukung sistem penilaian yang
tepat. Tanpa penyesuaian sistem penilaian, perluasan dimensi sasaran pembelajaran
matematika tersebut sangat sulit diwujudkan.
Pembaharuan sistem penilaian juga perlu berpijak pada pemikiran bahwa pendidikan
matematika seharusnya tidak hanya berorientasi pada pengetahuan dasar dan kemampuan
menampilkan ketrampilan matematis yang terbatas, tetapi lebih difokuskan pada
633
pengembangan penguasaan konsep dan kecakapan yang dapat digunakan untuk memecahkan
masalah-masalah yang tidak rutin. Di samping itu isi penilaian seharusnya tidak dibatasi
sekedar aspek yang mudah diukur, tetapi harus menghasilkan informasi yang lebih beragam.
Hasil tunggal tidak lagi sesuai karena penilaian juga harus menghasilkan informasi tentang
proses berpikir siswa dibalik hasil yang ditunjukkan (Van den Heuvel-Panhuizen, 1996: 99).
Penilaian pada pendidikan matematika seharusnya juga tidak sekedar memberi informasi
tentang the pupil’s degree of information and skill (Marks, J.M.,dkk., 1975: 348-
349).Pendidikanmatematika memerlukan sistem penilaian yang mampu menjangkau
keseluruhan dinamika proses pembelajaran. Penilaian pendidikan matematika seharusnya
mampu memberikan informasi: 1) apa yang diketahui siswa, dipemahami, dan yang
dilakukan, 2) bagaimana siswa (sedang) belajar, 3) kesulitan-kesuitanbelajar, apresiasi siswa
terhadap belajar dan berprestasi, serta 4) harus menyiapkan mekanisme komunikasi guru dan
siswa. Dengan demikian guru memperoleh umpan balik tentang mengajarnya, dan siswa
memperoleh umpan balik tentang belajarnya(Howard Tanner and Sonia Jones, 2000: 199).
Sampai saat ini paradigma kuantitatif mempengaruhi sebagian besar dimensi penilaian
pendidikan, termasuk pendidikan matematika. Paradigma kuantitatif yang banyak
berhubungan dengan kuantifikasi atribut sangat mewarnai, bahkan mendominasi, penilaian
pendidikan matematika. Karakteristik matematika yang banyak berkaitan dengan angka,
walaupun tidak sepenuhnya,membuat pengaruh paradigma kuantitatif dalam penilaian
menjadi tidak tercegah. Tingkat keberhasilan guru mengajar dan siswa belajar direduksi
sebatas angka-angka. Angka yang diafiliasikan sebagai hasil belajar matematika diposisikan
sebagai standar yang dipersepsikan kaya makna. Padahal sesungguhnya banyak sisi lain
pembelajaran matematika yang membutuhkan mekanisme baru untuk mengetahuinya dengan
lebih dalam.
Pengukuran merupakan hal esensial dalam penilaian dengan paradigma kuantitatif, termasuk
dalam penilaian pendidikan matematika. Pengukuran menurut Hopkins dan Antes (1979,
dalam Purwanto, 2009: 2) adalah pemberian angka pada atribut dari objek, orang atau
634
kejadian yang dilakukan untuk menunjukkan perbedaan dalam jumlah. Sedangkan menurut
Djemari Mardhapi (2008: 2), pengukuran pada dasarnya merupakan kegiatan penentuan
angka bagi suatu objek secara sistematis. Konsep pengukuran ini menjadi salah satu
representasi bagaimana dominasi paradigma kuantitatif dalam penilaian pendidikan
matematika. Walaupun pendekatan kuantitatif mengandung banyak keuntungan, tetapi
pendekatan ini mengandung keterbatasan yang rawan (Sumadi Suryabrata, 1998: 18-19).
Keterbatasan utamanya adalah kalau hasil kuantifikasi ini tidak mencerminkan keadaan yang
sebenarnya. Data kuantitatif yang diperoleh lalu diolah, dianalisis, dan disimpulkan. Jika
data tidak mencerminkan kondisi sebenarnya, maka hasil analisis dan kesimpulan tidak akan
sesuai dengan keadaan sebenarnya, dan seberapa besar penyimpangan itu tidak dapat
dideteksi.Konsep pengukuran juga cenderung mereduksi penilaian sebagai kegiatan sebatas
penskoran. Padahal menilai pada pendidikan matematika tidaklah sama dengan menskor.
Domain belajar matematika terlalu luas dan komplek jika hanya mengandalkan penggalian
dan penyajian hasil penilaian dengan angka-angka yang miskin makna.
instrumen utama (human instrument). Peneliti bertindak sebagai alat, pelaku, sekaligus
pengolah dan penafsir data.
Paradigma kualitatif di atas memberi tawaran pendekatan baru dalam penilaian pendidikan
matematika. Adopsi pendekatan ini dalam penilaian pendidikan matematika menjanjikan
pemerolehan informasi lebih komprehensif. Pendekatan kualitatif merekomendasikan
pembaharuan fokus dan sasaran penilaian. Pengukuran bukan satu-satunya sumber penilaian
karena penilaian tidak hanya berorientasi aspek-aspek yang “measurable”, tetapi menyasar
domain lain, seperti dinamika proses belajar, minat dan motivasi belajar, kebiasaan dan
perilaku belajar, bahkan menyangkut perkembangan pribadi siswa. Pendekatan kualitatif
juga mendorong sistem pelaporan hasil belajar matematika yang lebih komunikatif. Laporan
hasil belajar matematika tidak hanya didominasi angka-angka yang miskin makna, tetapi
disampaikan secara naratif sehingga dapat diketahui bagaimana situasi yang lebih nyata
dibalik angka-angka tersebut.
dengan siswa akan mendorong mereka merefleksi apa yang telah mereka pelajari, bagaimana
pemahaman mereka, kesulitan yang dihadapi, dan mengidentifikasi aspek mana yang penting
untuk dinilai (Tanner, H.dan Jones, S., 2000: 202).Dengan menganalisis jawaban siswa maka
guru akan dapat menemukan apa dan bagaimana permasalahan siswa sehingga guru juga
dapat menentukan pemberian bantuan (scaffolding).
Wawancara juga perlu dilakukan dalam penilaian pendidikan matematika. Wawancara dapat
melengkapi data hasil pengamatan selama pembelajaran dan tanya-jawab dengan siswa
(Robert E. Reys, dkk., 1998: 54). Data yang diperoleh dari pengamatan merupakan hasil
persepsi guru. Guru menafsirkannya berdasarkan latar belakang pengalaman yang dimiliki
sehingga mungkin persepsi itu tidak sesuai kenyataan. Ada kemungkinan persepsi guru
berbeda dengan yang dirasakan dan dipersepsikan siswa. Komunikasi langsung melalui
wawancara juga penting dilakukan untuk memperoleh informasi tentang pandangan, gagasan
dan perasaan siswa tentang pembelajaran matematika. Mengamati kegiatan dan kelakuan
orang saja tidak dapat mengungkapkan apa yang diamati atau dirasakan orang lain. Dengan
wawancara ini guru dapat memasuki dunia pikiran dan perasaan siswa. Meskipun guru
mungkin tidak memiliki waktu mewawancarai seluruh siswa,bahkan untuk satu minggu
sekali, apalagi setiap hari, tetapi melakukan wawancara pada sebagian siswa tetap penting
diupayakan.
Beragamnya teknik penilaian yang dapat digunakan tidak berarti tes tidak boleh digunakan
lagi. Sesuai dengan karakteristik dasar matematika, tes tetap menjadi salah satu cara
pengumpulan data belajar matematika siswa. Namun jika tes digunakan, kualitas tes
seharusnya tidak sekedar dilihat dari objektivitas dalam penskoran, tetapi lebih difokuskan
perhatian pada konten dari tes tersebut (De Lange, 1987a, dalam Van den Heuvel-Panhuizen,
1996: 115). Isi tes harus diarahkan pada penggalian informasi yang bervariasi dan
berorientasi tingkat berpikir yang lebih tinggi dari siswa. Tes penilaian hasil belajar yang
hanya berorientasi keobjektifan akan terjebak pada penggalian infomasi yang miskin.
Spektrum domain belajar matematika yang luas membutuhkan tes yang lebih terbuka dan
memberi kesempatan lebih luas bagi siswa menunjukkan bagian-bagian kompetensi
matematis yang sudah dan belum dikuasai.
Penggunaan berbagai teknik penilaian di atas menempatkan posisi guru sangat vital.Guru
merupakan pusat kegiatan penilaian sekaligus bertindak sebagai instrumen penilaian (human
instrument). Guru bertindak sebagai perancang penilaian, menentukan sumber-sumber data,
mengolah data, menganalisis data, menafsirkan data dan mengambil kesimpulan dari semua
proses yang telah dijalani. Jika kembali pada paradigma kuantitatif, peran dominan guru ini
dianggap merupakan ancaman terhadap objektivitas penilaian. Namun, dalam perpektif
kualitatif, subjektivitas bukanlah kelemahan, melainkan potensi yang jika dapat
dimanfaatkan secara optimal memungkinkan pemerolehan data lebih komprehensif dan
bermakna. Peran langsung guru dalam penilaian diharapkan dapat menutup lubang data yang
tidak dapat dihasilkan dengan pengukuran. Tentu saja, guru harus senantiasa meningkatkan
kemampuan dan ketajaman dalam melakukan penilaian. Guru harus mampu memilih dan
637
meramu berbagai teknik penilaian sesuai dengan aspek belajar matematika yang akan dinilai.
Hal ini membutuhkan kreativitas dan kejelian guru dalam mengambil keputusan.
Dengan pendekatan kualitatif, penilaianjuga tidak harus terjebak selalu menggunakan cara-
cara dan pendekatan formal. Seperti orang tua melakukan penilaian terhadap anaknya,
penilaian dilakukan secara informal, simulatan, dan berkesinambungan. Orang tua tidak
menggunakan pendekatan formal, tetapi dengan cara yang langsung dan spontan. Faktanya,
cara dan pendekatan tersebut terbukti sangat mempengaruhi cara anak bereaksi dan
mengadaptasikannya dalam kehidupan. Selama ini cara dan gaya penilaian tersebut
terkesampingkan karena berbagai alasan. Tetapi, bukti nyata efektifitasnya dalam
mendukung perkembangan anak secara utuh perlu menjadi perhatian dan inspirasi
implementasinya dalam pembelajaran matematika bermakna.
6. Kesimpulan
6.1. Kurikulum 2013 membawa perubahan paradigma pendidikan matematika menuju
terwujudnya pembelajaran matematika yang lebih bermakna. Sistem penilaian yang
merupakan bagian integral pendidikan matematika mutlak disesuaikan agar
pembaharuan pendidikan matematika tersebut benar-benar dapat memberikan hasil
yang lebih baik. Paradigma kualitatif merupakan alternatif pendekatan baru penilaian
pendidikan matematika yang dapat melengkapi sistem penilaian yang selama ini
cenderung didominasi paradigma kuantitatif. Penerapan pendekatan kualitatif dalam
pendidikan matematika memberikan peluang bagi pemerolehan informasi proses dan
hasil belajar matematika siswa yang lebih utuh dan mendalam.
Daftar Pustaka
Djemari Mardhapi. 2008. Teknik penyusunan instrumen tes dan nontes. Jogyakarta: Mitra Cendikia
Offset.
Marks, J. M. dkk. 1975. Teashing Elementary school mathematics for understanding. United States of
America: McGraw-Hill, Inc.
Mercer. 1989. Teaching students with learning problems. United States of America: Merrill
Publishing Company.
Purwanto. 2009. Evaluasi hasil belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Riedesel, A.C., Schwartz, J.E. & Clements, D.H. 1996. Teaching elementary school mathematics.
United States of America: Allyn & Bacon.
Robert E. Reys, dkk. 1998. Helping children learn mathematics. United States of America: Allyn &
Bacon.
Sumadi Suryabrata, 1998. Pengembangan alat ukur psikologis. Yogyakarta: Andi Offset.
Sumaryanta. 2009. Pembelajaran terintegrasi: Menjadikan pendidikan matematika lebih bermakna.
Makalah disampaikan pada seminar nasional pembelajaran matematika sekolah di jurdik
Pendidikan Matematika FMIPAUniversitas Negeri Yogyakarta, 6 Desember 2009.
Tanner, H. & Jones, S. 2000. Becoming a successful teacher of mathematics. New York:
RoutledgeFalmer.
Van den Heuvel-Panhuizen. 1996. Assessment and realistic mathematics education. Utrecht:
Technipress, Culemborg.
639
UPAYA MENINGKATKAN
MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA PADA
SISWA KELAS XA SMA NEGERI 1 TEMPEL
TAHUN AJARAN 2013/2014
DENGAN MENGGUNAKAN GEOGEBRA PADA
TOPIK GRAFIK FUNGSI KUADRAT
Sumiyati
SMAN 1 TEMPEL, Banjarharjo Pondokrejo Tempel, Sleman;sumiyaticici87@gmail.com
1. Pendahuluan
Penelitian ini dilaksanakan karena kemampuan dasar menggambar grafik fungsi sebagian
besar siswa kelas X SMA N 1 Tempel rendah. Salah satu indikator yang menunjukkan hal
iniadalah hasil pretes yang dilakukan pada awal semester. Contoh, pada soal “Gambarlah
letak titik A(-3,5) pada diagram kartesius.” , hanya ada 3 dari 32 orang siswa yang dapat
menjawab dengan benar. Selama ini pembelajaran menggambar grafik fungsi kuadrat
disajikan secara konvensional. Hanya menggunakan alat bantu penggaris, spidol, dan
penghapus. Selain membutuhkan waktu lama, pembelajaran jadi monoton dan tidak menarik.
Berawal dari kondisi tersebut dibutuhkan suatu strategi pembelajaran yang sesuai sehingga
dapat membuat siswa bersemangat belajar matematika. Atau pembelajaran matematika yang
memberikan porsi siswa yang lebih banyak dari guru, bahkan siswa harus dominan dalam
kegiatan pembelajaran, bahkan pembelajaran yang menyenangkan sehingga akan menjadi
kegiatan yang bermakna bagi siswa, dan diharapkan dapat meningkatkan motivasi siswa
dalam belajar matematika.
640
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah yaitu bagaimanakah Geogabra
dalam meningkatkan motivasi belajar matematika siswa kelas XA SMA N 1 Tempel tahun
ajaran 2013/2014.
2. Kajian Pustaka
Motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak dalam diri siswa yang menimbulkan
kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah
pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subyek belajar itu dapat
tercapai (Sardiman, 2010: 75). Dengan demikian dalam belajar, prestasi siswa akan lebih
baik bila siswa memiliki dorongan motivasi orang tua untuk berhasil lebih besar dalam diri
siswa itu. Sebab ada kecenderungan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan tinggi
mungkin akan gagal berprestasi karena kurang adanya motivasi.
Motivasi merupakan salah satu unsur penting dalam belajar. Motivasi berhubungan dengan
arah perilaku, kekuatan respon(usaha), ketahanan perilaku , atau berapa lama seseorang itu
terus menerus berperilaku menurut cara tertentu. Motivasi belajar merupakan daya
penggerak psikis dari dalam diri seseorang untuk dapat melakukan kegiatan belajar dan
menambah keterampilan dan pengalaman. Motivasi tumbuh didorong oleh kebutuhan (need)
seseorang. Prinsip-prinsip motivasi adalah memberi penguatan, sokongan dan arahan pada
perilaku yang erat kaitannya dengan prinsip-prinsip dalam belajar yang telah ditemui oleh
para ahli ilmu belajar. Jenis motivasi dalam belajar dibagi menjadi dua, yaitu motivasi
ekstrinsik dan motivasi instrinsik. Motivasi ekstrinsik merupakan kegiatan belajar yang
tumbuh dari dorongan dan kebutuhan seseorang tidak secara mutlak berhubungan dengan
kegiatan belajarnya sendiri. Motivasi instrinsik merupakan kegiatan belajar dimulai dan
diteruskan, berdasarkan penghayatan suatu kebutuhan dan dorongan yang secara mutlak
berkaitan dengan aktifitas belajar.
Menurut Sardiman A.M. (2010: 83) motivasi yang ada pada diri setiap orang itu memiliki
ciri-ciri (1)Tekun menghadapi tugas,(2)Ulet menghadapi kesulitan, (3)Menunjukkan minat
terhadap bermacam-macam masalah,(4)Dapat mempertahankan pendapatnya,(5)Tidak
mudah melepaskan hal yang diyakini itu,dan (6)Senang mencari dan memecahkan masalah.
GeoGebra merupakan program komputer yang dinamis, dapat digunakan sebagai media
pembelajaran matematika termasuk materi grafik fungsi kuadrat. Ljubica Dikovic dalam
artikel yang berjudul Applications GeoGebra into Teaching Some Topics of Mathematics at
641
theCollege Level, yang ditkutip Yulia Tri Widyaningrum (2012:976) menuliskan bahwa
GeoGebra diciptakan untuk membantu siswa memperoleh pemahaman matematika yang
lebih baik, siswa dapat memanipulasi variabel dengan mudah yaitu hanya dengan menarik
bebas obyek-obyek di bidang gambar atau dengan menggunakan slider.Siswa dapat
menghasilkan gambar yang berbeda dengan mengubah koefisien variabelpada persamaan
grafik fungsinya dan mengetahui apa pengaruhnya terhadap grafiknya.
Menurut Moch.Fatkoer Rohman (2012:3) geogebra dapat di gunakan untuk(1)Media
pembelajaran matematika, (2)Alat bantu membuat bahan ajar matematika, dan
(3)Menyelesaikan soal matematika.
Di dalam GeoGebra , siswa dapat melihat bentuk gambar grafik fungsi kuadrat secara jelas,
benar dan teliti, siswa juga dapat memanipulasi grafik fungsi kuadrat tersebut dengan
mengubah koefisien dan konstanta persamaan fungsi kuadrat. Siswa sendiri dapat melihat
dan mengeksplorasi grafik fungsi kuadrat dengan bantuan GeoGebra. Jika siswa dapat
memahami materi grafik fungsi kuadrat maka siswa diharapkan mampu menggambar sketsa
grafik fungsi kuadrat tersebut.
3. Metode
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XA SMA N I Tempel tahun ajaran 2013/2014.
Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:(1) Peneliti sendiri,(2) Lembar
observasi pembelajaran adalah lembar observasi aktifitas siswa dan guru digunakan sebagai
pedoman untuk melakukan observasi/ pengamatan guna memperoleh data yang diinginkan,
(3) Lembar angket motivasi belajar digunakan untuk mengetahui peningkatan motivasi
belajar siswa terhadap materi yang dipelajari,(4)Pedoman wawancara siswa untuk
menunjang data peningkatan motivasi siswa, dan (5) dokumentasi, untuk mendapatkan
gambaran secara visualisasi mengenai aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung.
Refleksi dilakukan dengan cara mendiskusikan masalah dalam kelas penelitan dan
ditentukan setelah adanya implementasi. Dengan demikian kegiatan yang dilakukan dalam
tahap ini adalah mengumpulkan hasil yang diperoleh padapengamatan aktifitas siswa selama
pembelajaran matematika dengan media program geogebra, serta hal-hal yang terjadi selama
pembelajaran, kemudian melakukan analisis untuk mengetahui kekurangan maupun
kelemahan yang dilakukan. Hasil analisis siklus I diperbaiki pada siklus II sehingga
pembelajaran siklus II diharapkan lebih baik daripada siklus I.
Data hasil penelitian, dianalisis secara deskriptif untuk tiap siklus. Hal ini bermanfaat untuk
rencana perbaikan pembelajaran pada siklus berikutnya.Untuk menentukan keberhasilan
penerapan media program geogebraini digunakan skala Likert dengan lima pilihan (1) sangat
kurang baik, (2) kurang baik, (3) Cukup baik, (4) baik, (5) sangat baik, dengan skor 1 sampai
dengan 5. Jumlah skor yang diperoleh dari observasi guru dan siswa dicari reratanya
kemudian ditentukan kategorinya sesuai dengan tabel 1 di bawah ini.
642
Untuk menentukan seberapa motivasi siswa dalam pembelajaran, yang kita perhatikan hasil
pengisian angket motivasi siswa. Adapun angket yang perlu diisi oleh siswa adalah sebagai
berikut.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013selama dua siklus. Prosedur penelitian
dilaksanakan dengan melakukan pembelajaran menggunakan software geogebra.
643
Siklus Pertama
Pelaksanaan siklus pertama dilakukan selama 2 pertemuan, yaitu hari Rabu, tanggal 23
Oktober 2013 selama 2 jam pelajaran dan Jumat, 25 Oktober 2013 selama 1 jam pelajaran
(sesuai dengan jadwal pelajaran SMA N 1 Tempel).
Pertemuan-1
Pembelajaran pada pertemuan ini berjalan lancar.Hampir semua siswa aktif mengerjakan
soal, hanya beberapa peserta didik yang kurang aktif(Habib, Hendrik, Bagas, dan Hangga).
Beberapa kendala/kesulitan yang dihadapi peserta didik diantaranya adalah :(1)Beberapa
peserta didik lupa tidak membawa alat menggambar (pensil, penghapus, dan
penggaris),(2)Belum dapat menggambar sumbu koordinat dengan benar(skala tidak
konsisten panjangnya),(3)Kesulitan menghitung nilai f(x) untuk nilai x bilangan
negatif.(4)Tidak yakin menentukan letak titik tertentu dalam sistem koordinat
kartesius.(5)Melukis grafik fungsi kuadrat dengan garis patah-patah sehingga ujung parabola
lancip dan grafik tidak streamline.
Pertemuan-2
Siklus kedua
Pelaksanaan siklus ini dilakukan selama 2 pertemuan yaitu hari Selasa, tanggal 29 Oktober
2013 selama 2 jam pelajaran dan Rabu, 29 Oktober 2013 selama 2 jam pelajaran pula.
Pertemuanke-1
Pembelajaran pada pertemuan ini berdasarkan RPP yang mirip dengan pertemuan ke-1
tetapi cara penyelesaian soalnya berbeda. Pada pertemuan ini dibahas contoh soal yang
berbeda pula agar peserta didik mempunyai pengalaman belajar yang lebih banyak.
644
Pertemuan ke-2
Pertemuan
No Aspek yang diamati Keterangan
1 2
penjelasan
4. Siswa mencatat apa yang Pertemuan 1 : tidak semua
dijelaskan oleh guru 3 4 siswa mencatat penjelasan
guru
5. Siswa aktif mengerjakan di
4 4
dalam kelompoknya
6. Siswa berani
mempresentasikan atau
4 4
menanyakan hasil
pekerjaan kelompok
7. Siswa aktif mengerjakan
4 4
soal secara mandiri
8. Siswa berani bertanya
kepada guru tentang hasil 4 4
pekerjaannya
9. Berani mempresentasikan
4 4
hasil pekerjaannya
10. Siswa senang ketika
4 4
mendapatkan reward
b. Guru
1. Guru menjelaskan materi 4 4
2. Guru membagi menjadi 8
4 4
kelompok
3. Guru menjelaskan aturan
4 4
permainan
4. Guru mengecek hasil
pekerjaan siswa secara
berkelompok dan 4 4
menyimpulkan hasil
pekerjaan tersebut
5. Guru memberi kesempatan
siswa untuk
mempresentasikan hasil 4 4
pekerjaan kelompok ke
papan tulis
6. Guru memberikan soal
4 4
untuk latihan
7. Guru memberikan soal
yang sama strateginya 4 4
dengan soal latihan
8. Guru mengawasi siswa
4 4
mengerjakan soal
9. Guru memberi kesempatan
siswa untuk mengerjakan 4 4
di depan
10. Guru memberikan reward
4 4
kepada siswa yang
646
Pertemuan
No Aspek yang diamati Keterangan
1 2
mengerjakan didepan
dengan benar.
11. Guru menyimpulkan hasil
4 4
pekerjaan siswa
3 Penutup
1. Guru memberikan PR 3 4
2. Guru menutup pelajaran 4 4
Jumlah Skor 103 106
Rerata 3,96 4,08
Kategori Sangat
Baik baik
Dari hasil observasi yang dilakukan oleh observer disini guru dan siswa dari pertemuan
pertama dan pertemuan kedua sudah mengalami peningkatan signifikan.Pada pertemuan
pertama hasilnya masih sama dengan pertemuan ke-2 Siklus I tapi pada pertemuan kedua
kegiatan pembelajaran sudah mencapai 4,08 dengan kategori Sangat Baik.
4.2 Pembahasan
Hasil dari pengamatan pada setiap pertemuan dari siklus I dan siklus II yang dilaksanakan,
skor hasil pengamatan mengalami peningkatan seperti terlihat pada tabel berikut.
Dari perbandingan skor hasil observasi di atas dapat dilihat bahwa aktivitas guru dan siswa
meningkat dari pertemuan-1 siklus pertama sampai pertemuan kedua siklus kedua sampai
pada kategori sangat baik. Itu artinya penelitian ini sudah mencapai skor indikator
keberhasilan, dan siklus dihentikan.
Untuk aspek motivasi belajar siswa dari siklus I dan siklus II perbandingan hasilnya dapat
dilihat pada diagram berikut.
Keterangan gambar :
A = Tekun menghadapi tugas
B = Ulet menghadapi kesulitan
C = Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah
D = Dapat mempertahankan pendapatnya
E = Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu
F = Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal
Dari diagram di atas tampak bahwa motivasi belajar matematika siswa meningkat hingga
pada akhir siklus II mencapai indikator keberhasilan yaitu 86 dalam kategori Tinggi. Sampai
pada tahap ini berarti Penelitian Tindakan Kelas pembelajaran fungsi kuadrat dengan
program geogebra ini berhasil meningkatkan motivasi belajar siswa kelas XA SMA N I
TEMPEL tahun ajaran 2013/2014.
Daftar Pustaka
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan motivasi belajar matematika siswa
kelas XII TKR 8 SMK Ma‟arif 1 Wates dengan metode cooperative learning think pair
share. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom Action Research).
Subjek dalam Penelitian adalah siswa SMK kelas XII Teknik Kendaraan Ringan(TKR) 8
SMK Ma‟arif 1 Wates kulon Progo sebanyak 28 orang. Metode yang digunakan untuk
pengumpulan data pada penelitian ini adalah observasi, angket, tes dan dokumentasi. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif dengan metode cooperative
learning think pair share, ada peningkatkan motivasi belajar siswa pada siswa kelas XII
TKR 8 SMK Ma‟arif 1 Wates Kulon Progo, yaitu dari skor 3,39 dengan kategori baik
menjadi skor 4,00 dengan kategori sangat baik. Motivasi belajar yang diambil dari 15 aspek
yang diteliti dengan menggunakan angket, terdapat peningkatan yaitu dari skor 3,47
menjadi 3,61 dengan kategori sama-sama baik. Belajar dengan menggunakan model think
pair share dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada siswa kelas XII TKR 8
SMK Ma‟arif 1 Wates Kulon Progo, yaitu dari 5,14 menjadi 7,05.
1. Pendahuluan
Matematika merupakan salah satu ilmu yang harus dipelajari di setiap jenjang pendidikan.
Objek matematika bersifat abstrak. Sifat objek matematika yang abstrak pada umumnya
dapat membuat materi matematika sulit ditangkap dan dipahami, oleh karena itu siswa
menjadi kurang menyenangi pelajaran matematika. Banyak siswa yang tidak senang dan
tidak semangat untuk mempelajari matematika, selain karena sifatnya abstrak, matematika
adalah pelajaran yang dianggap sangat sulit dan menjemukan. Menurunnya semangat belajar
dapat juga disebabkan karena kurang tepat dalam memilih metode yang digunakan oleh
guru.
Di SMK Ma‟arif 1 Wates, guru matematika sudah menerapkan metode diskusi kelompok
yang tujuannya agar setiap siswa mau menyampaikan pendapatnya dan hasil belajarnya
dapat merata. Namun kenyataannya hasil dalam diskusi kelompok tersebut, yang menguasai
materi hanya satu dua orang saja, yang lain sebagai pendengar dan pencatat dan apabila
ditanya guru tentang hasil diskusinya, siswa tersebut tidak tahu apa-apa. Kelompok tersebut
belum dapat menyatukan persepsi hasil diskusi kepada seluruh anggota kelompok. Hal ini
berimbas pada hasil belajar siswa, beberapa siswa dapat mendapatkan nilai yang tinggi,
tetapi lebih banyak siswa yang nilai matematikanya sangat rendah. Hal ini dapat dilihat dari
650
nilai matematika pada laporan hasil belajar saat kenaikan kelas, beberapa siswa mendapatkan
nilai 7,00 tetapi banyak siswa yang mendapatkan nilai antara 5,00 – 6,90. Padahal di tempat
Dunia Usaha atau Dunia Industri mengharapkan calon pekerjanya memiliki nilai matematika
lebih atau sama dengan 7,50. Keadaan seperti ini yang menjadi keprihatinan guru, sehingga
guru harus melakukan berbagai metode untuk memecahkan masalah tersebut. Salah satu
metode yang akan diterapkan untuk memecahkan masalah tersebut adalah model
pembelajaran yang dapat menempatkan siswa sebagai subjek didik yaitu pembelajaran yang
dapat membuat setiap siswa aktif, kreatif, sehingga siswa akan termotivasi untuk
mempelajari matematika dan diharapkan siswa mampu menguasai kompetensi dasar
matematika secara maksimal yang akhirnya akan mendapatkan nilai yang maksimal pula.
Model pembelajaran tersebut adalah Cooperative Learning Think Pair Share.
Menurut Sardiman A.M. (2010: 83) motivasi yang ada pada diri setiap orang itu memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
a. Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus menerus dalam waktu yang lama, tidak
pernah berhenti sebelum selesai)
b. Ulet menghadapi kesulitan ( tidak lekas putus asa ). Tidak memerlukan dorongan dari
luar untuk berprestasi sebaik mungkin ( tidak cepat puas dengan prestasi yang
dicapainya).
c. Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah.
d. Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu)
e. Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu.
f. Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.
Apabila seseorang memiliki ciri-ciri seperti di atas, berarti orang itu selalu memiliki motivasi
yang cukup kuat. Ciri-ciri itulah yang akan diperhatikan dalam penelitian ini.
Pendekatan dalam pembelajaran kooperatif telah dikembangkan oleh Spencer Kagen dkk
dalam Muslimin Ibrahim dkk (2000: 25). Meskipun memiliki banyak persamaan dengan
pendekatan yang lain namun pendekatan ini memberi penekanan pada penggunaan struktur
tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur yang
dikembangkan oleh Kagen ini dimaksudkan sebagai alternatif terhadap struktur kelas
tradisional, seperti resitasi, dimana guru mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas dan
siswa memberikan jawaban setelah mengangkat tangan dan ditunjuk. Salah satu struktur
yang dikembangkan adalah Think Pair Share, yang dapat digunakan oleh guru untuk
mengajarkan isi akademik atau untuk mengecek pemahaman siswa terhadap isi tertentu.
Think Pair Share adalah suatu pendekatan yang dikembangkan untuk melibatkan lebih
banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran yang mengecek
pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Think-pair-share (berbagi ide untuk
saling membantu ), strategi ini tumbuh dari penelitian pembelajaran kooperatif dan waktu
tunggu yang dikembangkan oleh Frank Lyman dkk dari Universitas Maryland tahun 1985
Model ini merupakan cara efektif ntuk mengubah pola diskusi di dalam kelas. Model ini
menantang asumsi bahwa seluruh resitasi dan diskusi perlu dilakukan di dalam seting
651
seluruh kelompok. Model ini memiliki prosedur yang ditetapkan secara eksplisit memberi
waktu siswa lebih banyak untuk berpikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain.
Sekarang guru menginginkan siswa memikirkan secara lebih mendalam tentang apa yang
telah dijelaskan atau dialami.
Penelitian ini menggunakan model think-pair-share sebagai gantinya tanya jawab seluruh
kelas dengan 3 tahapan sebagai berikut :
Tahap 1: Thinking (berfikir). Guru mengajukan pertanyaan atau isu yang berhubungan
dengan pelajaran, kemudian siswa diminta untuk memikirkan pertanyaan atau isu
tersebut secara mandiri untuk beberapa saat.
Tahap 2: Pairing. Guru meminta siswa berpasangan dengan siswa yang lain untuk
mendiskusikan apa yang telah dipikirkannya pada tahap pertama. Interaksi pada
tahap ini diharapkan dapat berbagi jawaban jika telah diajukan pertanyaan atau
berbagai ide jika suatu persoalan khusus telah diidentifikasi, Biasanya guru
memberi waktu 4 – 5 menit untuk perpasangan.
Tahap 3: Sharing. Pada tahap akhir ini, guru meminta kepada pasangan untuk membagi
dengan seluruh kelas tentang apa yang telah mereka bicarakan. Ini efektif
dilakukan dengan cara bergiliran pasangan demi pasangan dan dilanjutkan sampai
sekitar seperempat pasangan telah mendapat kesempatan untuk melaporkan
Keunggulan model ini adalah optimalisasi partisipasi siswa dalam pembelajaran sehingga
dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar matematika. Apabila siswa sudah
termotivasi dalam pemelajaran, diharapkan setiap persoalan matematika dapat diselesaikan
dengan diskusi kelompok model Think Pair Share .
2. Metode Penelitian
Subjek penelitian adalah siswa kelas XII TKR 8 SMK Ma‟arif 1 Wates Kulon Progo pada
semester genap tahun pelajaran 2011/2012. Agar setiap siswa dapat ikut aktif maka banyak
anggota kelompok dikurangi, yang biasanya diskusi dengan banyak anggota kelompok 5
siswa, dengan model pembelajaran Cooperative Learning Think Pair Share ini adalah
berpasangan dan kemudian bergabung dengan pasangan yang lain sehingga satu kelompok
terdiri dari 4 siswa.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : (1) Instrumen pembelajaran
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Skenario Pembelajaran, Media Pembelajaran,
Soal-soal. (2). Lembar observasi digunakan sebagai pedoman untuk melakukan observasi/
pengamatan guna memperoleh data yang diinginkan. Lembar observasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah lembar observasi aktifitas siswa dan guru dalam pembelajaran
metematika dengan model Cooperative Learning Think Pair Share. (3) Angket Motivasi
belajar siswa, digunakan untuk mengetahui peningkatan motivasi belajar siswa terhadap
materi yang dipelajari.
652
Refleksi dilakukan dengan cara mendiskusikan masalah dalam kelas penelitan dan
ditentukan setelah adanya implementasi. Dengan demikian kegiatan yang dilakukan dalam
tahap ini adalah mengumpulkan hasil yang diperoleh pada monitoring aktifitas siswa selama
pembelajaran matematika dengan model Cooperative Learning Think Pair Share serta hal-
hal yang terjadi selama pembelajaran, kemudian melakukan analisis untuk mengetahui
kekurangan maupun kelemahan yang dilakukan. Hasil analisis siklus I diperbaiki pada siklus
II sehingga pembelajaran siklus II diharapkan lebih baik daripada siklus I.
Data hasil penelitian, dianalisis secara deskriptif untuk tiap siklus. Untuk menentukan
keberhasilan penerapan model Cooperative Learning Think Pair Share ini digunakan skala
Likert dengan lima pilihan (1) sangat kurang baik, (2) kurang baik, (3) Cukup baik, (4) baik,
(5) sangat baik, dengan skor 1 sampai dengan 5. Jumlah skor yang diperoleh dari observasi
guru dan siswa dicari rerata kemudian ditentukan kategori sesuai dengan tabel 1 di bawah
ini.
4. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada semester genap tahun pelajaran 2011/2012, yaitu pada bulan
Januari sampai dengan bulan Maret 2012. Adapun yang menjadi subjek penelitian adalah
siswa kelas XII TKR 8 yang terdiri dari 28 siswa dengan latar belakang sosial ekonomi
orang tua menengah ke bawah dan tingkat pendidikan orang tua tidak tinggi, dengan mata
pencaharian orang tua yang kebanyakan buruh tani.
Penelitian dilaksanakan mulai Januari 2012 dengan mengamati dan mengobservasi motivasi
siswa dalam mengikuti pelajaran matematika pada siswa kelas XII TKR 8 SMK Ma‟arif 1
653
Wates Kulon Progo. Dari pengamatan sekilas menunjukkan bahwa motivasi siswa dalam
mempelajari matematika masih kurang, kemudian tanggal 15 Januari 2012 diamati lebih
detail dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif yang diyakini dapat
meningkatkan motivasi siswa dalam mempelajari matematika dengan aktif, kreatif, melatih
kerjasama dan memupuk rasa percaya diri siswa.
Siklus I
Pada tahap ini diidentifikasi yang ada, kenyataan menunjukkan bahwa motivasi siswa untuk
mengikuti pelajaran matematika pada kelas XII TKR 8 SMK Ma‟arif 1 Wates masih sangat
kurang. Hal ini terlihat dari sikap anak yang lemas, diam, dan mereka hanya akan membuka
buku matematika setelah disuruh oleh guru. Pada penelitian ini mempelajari Standar
Kompetensi ”Menggunakan Konsep Statistika dalam Pemecahan Masalah”. Ada tiga
kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Tetapi dalam penelitian ini hanya
melaksanakan kompetensi dasar yang kedua dan yang ketiga yaitu: ”Menentukan ukuran
pemusatan data” dan ”Menentukan ukuran penyebaran data”.
Pada pembelajaran pertama siklus I, tanggal 28 Januari 2012 siswa mempelajari kompetensi
dasar ”Menentukan ukuran pemusatan data”. Kompetensi ini ada tiga indikator yaitu (1)
Menentukan mean atau rata-rata dari data tunggal maupun berkelompok, (2) Menentukan
median dari data tunggal maupun berkelompok, (3) Menentukan modus dari data tunggal
maupun berkelompok.
Kegiatan belajar mengajar berjalan sesuai dengan rencana namun ada beberapa hal yang
terjadi saat pelaksanaan yaitu : (1) Terdapat 3 siswa yang tidak berangkat sekolah karena ijin
sakit, sehingga yang semula direncanakan menjadi 7 kelompok berubah menjadi enam
kelompok dan yang kelompok ke enam terdiri dari 5 siswa sedang yang lain terdiri dari 4
siswa, (2) Pada pembentukan kelompok yang sudah dipersiapkan oleh guru, siswa terlihat
canggung dalam berdiskusi karena mungkin tidak biasanya dengan kelompok tersebut, (3)
Saat diberi tugas oleh guru untuk memikirkan sendiri cara pemecahan masalah atau soal
yang dihadapi, terdapat lebih dari 70% siswa diam dan tidak melakukan apa-apa. (4) Saat
diperintah guru untuk diskusi dengan teman, mereka langsung melakukannya, tetapi masih
banyak yang belum fokus pada persoalan yang harus segera dipecahkan. Terlihat seperti
menunggu hasil pekerjaan orang lain, (5) Saat dibentuk kelompok yang terdiri dari empat
siswa, mereka langsung bergerombol dan terlihat langsung diskusi, tetapi dari enam
kelompok yang ada, yang diskusinya lancar baru dua kelompok, empat kelompok yang lain
masih belum nampak diskusi dengan baik, karena terlihat ada beberapa siswa dari kelompok-
kelompok tersebut yang hanya bekerja sendiri, ada yang cuek-cuek saja, ada yang ngobrol
tanpa arah, (6) Setelah dibimbing oleh guru dalam diskusi dan dibimbing dalam pemecahan
masalah, setiap kelompok nampak asyik berdiskusi, (7) Saat diberi kesempatan
mempresentasikan pekerjaannya di depan kelas, kebanyakan tidak mau sehingga dengan
654
motivasi dari guru, ada yang mau ke depan untuk mempresentasikan pekerjaannya, (8) Saat
siswa presentasi yang pertama, tidak dapat menyampaikan dengan kata-kata, tetapi ada yang
mengerjakan pekerjaannya dengan sempurna, dan dengan bimbingan guru, beberapa siswa
dapat menyampaikan hasil diskusinya dengan lancar.
Pada pembelajaran kedua siklus I diadakan pada tanggal 4 Februari 2012. Kegiatan belajar
mengajar berjalan sesuai dengan rencana tetapi ada beberapa hal yang terjadi di kelas yaitu :
(1) ada empat siswa yang tidak dapat masuk sekolah pada hari ini karena sakit, yang dua
siswa adalah siswa yang tidak masuk di pertemuan sebelumnya, yang dua siswa lagi adalah
yang datang di pertemuan sebelumnya sehingga ada dua kelompok yang berkurang anggota
kelompoknya tetapi terdapat satu siswa yang belum mendapatkan kelompok di pertemuan
sebelumnya sehingga oleh guru, siswa tersebut dimasukkan kedalam kelompok yang
anggotanya tidak dapat masuk sekolah, sehingga tetap terdapat 6 kelompok. (2) Saat diberi
soal oleh guru dan disuruh memikirkan cara penyelesaiannya, terdapat 60% siswa belum
langsung fokus pada permasalahan, masih santai-santai saja. (3) Saat berdiskusi dengan
teman, mereka langsung asyik berdiskusi walaupun masih ada beberapa siswa yang cuek-
cuek saja. (4)Saat presentasi di depan kelas baru dua kelompok yang dapat menyampaikan
dengan lancar, kelompok yang lain belum sesuai dengan yang diinginkan. Nilai ulangan
matematika setelah sikllus I dapat dilihat pada gambar berikut.
Dari grafik di atas terlihat dengan jelas bahwa nilai terendah 1,5 yang mana nilai tersebut
sangat rendah, sehingga guru harus berupaya untuk membimbing siswa dengan keadaan
seperti tersebut untuk dapat menyesuaikan dengan teman di kelasnya. Rata-rata nilainya 5,14
berarti masih kurang, sehingga perlu ditingkatkan lagi. Nilai tertinggi 8,5 juga dapat
dikatakan masih kurang karena menurut nilai ideal yang tertinggi adalah 10. Dari hasil
pelaksanaan penelitian pada siklus I yang belum baik digunakan sebagai tolok ukur untuk
melakukan tindakan pada siklus II
Pada tahap ini telah dilakukan analisis terhadap data-data hasil observasi dan monitoring.
Hasilnya adalah sebagai berikut
655
a). Pembelajaran dengan model Cooperative Learning Think Pair Share dapat dilanjutkan
untuk siklus II dengan harapan dengan model tersebut dapat meningkatkan motivasi
belajar siswa dalam pelajaran matematika.
b). Pembelajaran dengan model Cooperative Learning Think Pair Share ada harapan untuk
dapat membuat siswa berpikir aktif dan kreatif.
c).Pembelajaran dengan model Cooperative Learning Think Pair Share, semua siswa
mendapat kesempatan untuk memikirkan cara penyelesaian masalah soal matematika,
sehingga yang mula-mula siswa diam, menjadi mau berbicara karena mempunyai
tanggungjawab untuk menyampaikan pendapatnya.
d).Masih ditemukan kekurangan-kekurangan baik aktifitas siswa maupun guru yang harus
segera diperbaiki. Kekompakan dalam diskusi kelompok masih kurang, mereka
kebanyakan mengerjakan soal sendiri-sendiri dan mempunyai pendapat sendiri-sendiri
yang akhirnya dalam kelompok tersebut dengan masalah yang sama tetapi pendapat yang
berbeda. Ada juga yang belum peduli dengan kelompoknya, yang penting dirinya bisa,
sehingga pengetahuan mereka belum merata. Beberapa siswa tidak mau
mempresentasikan pendapatnya di depan kelas karena grogi. Seperti yang dialami oleh
kelompok VI, dua orang mendapat nilai delapan(8) sedangkan yang lain mendapat nilai 2.
Hal ini adalah masalah utama yang harus diperbaiki dalam siklus II.
e).Pada pengisian angket terdapat siswa yang ngisinya pada kolom 3 semua yang artinya
tidak berpendapat, dan masih banyak yang skornya kurang dari 3 dengan kategori kurang.
Siklus II
Pada pembelajaran pertama siklus II, tanggal 18 Februari 2012 siswa mempelajari Standar
Kompetensi ”Menggunakan Konsep Statistika dalam Pemecahan Masalah”. Dalam
penelitian ini melaksanakan kompetensi dasar yang ketiga yaitu : ” Menentukan ukuran
penyebaran data”. Dari kompetensi dasar yang ketiga ada tiga indikator yaitu (1)
Menentukan Jangkauan dari data tunggal maupun berkelompok, (2) Menentukan simpangan
kuartil dari data tunggal maupun berkelompok, (3) Menentukan simpangan rata-rata dari
data tunggal maupun berkelompok, (4) Menentukan simpangan baku data tunggal.
Untuk siklus II pertemuan pertama terfokus pada kompetensi dasar yang ketiga yang terdiri
dari empat indikator namun hanya pada data tunggal. Kegiatan belajar mengajar berjalan
sesuai dengan rencana namun ada beberapa hal yang terjadi saat pelaksanaan yaitu : (1)
Terdapat 2 siswa yang tidak berangkat sekolah karena ijin ada keperluan keluarga dan 1
siswa ijin sakit, sehingga yang semula direncanakan menjadi 7 kelompok menjadi enam
kelompok seperti pada siklus I dan yang kelompok ke enam terdiri dari 5 siswa sedang yang
lain terdiri dari 4 siswa, (2) Saat diberi tugas oleh guru untuk memikirkan sendiri cara
pemecahan masalah atau soal yang dihadapi, terdapat lebih dari 30% siswa diam dan tidak
melakukan apa-apa. Mereka hanya melihat soal yang dihadapi dan tidak segera dikerjakan,
(3) Saat diperintah guru untuk diskusi dengan teman, mereka langsung melakukannya,
masing-masing kelompok asyik berdiskusi, (4) dari enam kelompok sudah ada empat
kelompok yang memperiapkan untuk mempresentasikan pekerjaannya di depan kelas, (5)
Dari dua kelompok yang belum lancar diskusinya, setelah dibimbing oleh guru dalam diskusi
656
dan dibimbing dalam pemecahan masalah, menjadi nampak asyik berdiskusi, (6) Saat diberi
kesempatan mempresentasikan pekerjaannya di depan kelas, tiga kelompok berebut untuk
lebih dahulu ke depan untuk mempresentasikan pekerjaannya, sehingga guru mengaturnya,
(7) Saat siswa presentasi, beberapa siswa dari kelompok lain menanggapinya, ini sudah
sesuai dengan yang diharapkan oleh peneliti. Hasil observasi siswa dapat dilihat pada tabel
berikut.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa ada 3 kelompok yang motivasinya sangat bagus yaitu
kelompok II, V dan VI, dan tiga kelompok yang lain juga sudah terlihat baik. Ini
menunjukkan bahwa motivasi belajar matematika dapat dikatakan naik secara signifikan.
Dari hasil ini nampaknya peneliti tidak perlu menanbah untuk melakukan tindakan pada
pertemuan kedua, walaupun sebelumnya merencanakan pada siklus II ini akan dilakukan dua
kali pertemuan. Karena motivasi siswa sudah mencapai skor 4,00. Angka ini adalah angka
istimewa yang tidak dikira bahwa akan mendapatkan skor yang pas. Selanjutnya guru
mempersiapkan lembar soal dan angket motivasi yang akan digunakan untuk pertemuan
berikutnya. Pada siklus II ini observer mengisi lembar aktifitas guru yang digunakan untuk
melihat bahwa guru sudah melaksanakan tugas sesuai rencana ataukah belum. Lembar
observasi ini diisi bersamaan dengan mengisi lembar observasi kegiatan siswa pada tanggal
18 Februari 2012.
Setelah siklus II dilakukan dan dianggap cukup, pertemuan berikutnya adalah pemberian
soal secara individu dan pengisian angket motivasi belajar matematika. Hasil pengisian
angket siswa terlihat bahwa motivasi belajar siswa ada kenaikan yang signifikan jika
dibanding dengan siklus I, tetapi masih terdapat empat siswa yang masih dibawah skor 3
atau tergolong cukup. Hasil pekerjaan siswa dapat dilihat pada grafik berikut.
657
Series2;
Series2;
Tertinggi
Rata-
; 9.75
rata;
7.05 Series2;
Terendah
; 5.00
Dari grafik di atas terlihat dengan jelas bahwa nilai terendah 5,00 yang mana nilai tersebut
belum memenuhi KKM, namun dapat dikatakan bahwa sudah ada kenaikan nilai dibanding
pada siklus I. Rata-rata nilainya 7,05 berarti tergolong cukup baik, namun perlu ditingkatkan
lagi. Nilai tertinggi 9,75 dapat dikatakan sudah sangat baik walaupun menurut nilai ideal
yang tertinggi adalah 10.
Proses perolehan dan analisa data seperti yang telah ditulis di depan. Yaitu dengan
perencanaan secara matang yang dituangkan melalui rencana tindakan, kemudian
implementasi tindakan, yaitu dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
melaksanakan kegiatan yang sudah direncanakan yang berupa pembelajaran kooperatif atau
cooperative learning think pair share, dilanjutkan dengan observasi selama kegiatan
berlangsung dan diakhiri dengan evaluasi dan refleksi. Pada penelitian ini siklus yang
digunakan hanya dua kali, mengingat waktu yang sangat terbatas dan sudah diperoleh hasil
yang memuaskan dan tidak meragukan lagi. Dari dua siklus tersebut sudah dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran dengan metode cooperative learning think pair share
merupakan salah satu upaya peningkatan motivasi siswa dalam pelajaran pada siswa kelas
XII TKR 8 SMK Ma‟arif 1 Wates Kulon Progo.
Hasil yang diperoleh pada penelitian tindakan kelas dengan tindakan pembelajaran
kooperatif atau cooperative learning think pair share adalah adanya peningkatan motivasi
siswa dalam pelajaran matematika yang dilihat dari ciri-cirinya yaitu dari skor 3,19 pada
pertemuan 1, pada pertemuan 2 mencapai skor 3,58 atau rata-rata pada siklus I dengan skor
3,39 dengan kategori baik menjadi skor 4,00 pada siklus II dengan kategori sangat baik.
Hasil observasi kegiatan belajar siswa dapat dilihat pada grafik berikut.
658
4,10
4,00 4,00
3,90
3,80
3,70
3,60
3,50
3,40 3,39
3,30
3,20
3,10
3,00
Siklus I Siklus II
Selain dilihat dari hasil observasi, motivasi belajar siswa juga diambilkan dari 15 aspek yang
ditulis pada angket motivasi. Dari 15 aspek tersebut mengambil kalimat yang positif
sehingga semakin besar nilainya semakin tinggi pula tingkat motivasi belajar siswa. Aspek
yang dinilai diambil dari angket motivasi siswa dapat dilihat pada diagram berikut.
4,80 4,87
5,00
4,50
Siklus I
4,00 3,47 3,61
3,50 2,73 Siklus II
3,00 2,33
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
Rata-rata Tertinggi Terendah
Selain motivasi belajar, yang diteliti dalam pelaksanaan tindakan ini adalah peningkatan
hasil evaluasi dan dapat dilihat dari grafik berikut.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif atau cooperative
learning think pair share dapat meningkatkan motivasi siswa dan dapat meningkatkan hasil
belajar siswa.
5. Kesimpulan
a. Dalam pembelajaran kooperatif dengan metode cooperative learning think pair share,
ada peningkatkan motivasi belajar siswa yang dilihat dari hasil observasi saat diskusi
kelompok pada siswa kelas XII TKR 8 SMK Ma‟arif 1 Wates Kulon Progo, yaitu dari
skor 3,19 dengan kategori baik pada pertemuan 1, selanjutnya skor 3,58 dengan kategori
baik pada pertemuan kedua menjadi skor 4,00 dengan kategori sangat baik pada
pertemuan ketiga. Belajar kooperatif atau cooperative learning think pair share dapat
meningkatkan motivasi belajar matematika yang diambil dari hasil angket motivasi yaitu
dari rerata 3,47 menjadi 3,61
b. Belajar dengan cooperative learning think pair share dapat meningkatkan hasil belajar
matematika pada siswa kelas XII TKR 8 SMK Ma‟arif 1 Wates Kulon Progo, yaitu dari
rerata 5,14 menjadi 7,05.
Daftar Pustaka
Muchlas samani. 1996.Naskah untuk Penyegaran dan Pelatihan Penelitian bagi Guru Pembina KIR
pada SMU. IKIP Surabaya.
Muslimin Ibrahim. 2000. Pembelajaran Kooperatif, University Press. Surabaya.
Sardiman A.M. 2010. Interaksi dan motivasi belajar mengajar. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
660
Sumiyati
SMK Ma’arif 1 Wates Kulon Progo, Jln Puntodewo, Gadingan Wates Kulon Progo, email:
sumiyati1967@yahoo.com
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui manakah yang lebih efektif antara
model pembelajaran Project based learning dan model pembelajaran ekspositori
terhadap peningkatan motivasi belajar siswa dan keterampilan memecahkan masalah
matematika. Penelitian ini merupakan penelitian eksperiman semu (quasi experiment)
dengan desain Nonequivalent Control Group Design. Variabel bebas berupa model
pembelajaran Project Based Learning (PjBL), sedang variabel terikatnya motivasi
belajar siswa dan keterampilan memecahkan masalah matematika. Populasi adalah
seluruh siswa SMK ma‟arif 1 Wates Kulon Progo. Pengambilan sampel menggunakan
uji homogenitas dan dilanjutkan dengan teknik purposive sampling, diperoleh kelas XII
TKJ 2 sebagai kelas eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran project
based learning dan XII TKJ 1 sebagai kelas kontrol dengan menggunakan pembelajaran
ekspositori. Pengumpulan data menggunakan angket motivasi, lembar observasi
keterampilan siswa dan soal matematika. Teknik analisa data yang digunakan adalah
statistik inferensial yaitu uji beda rata-rata dengan menggunakan statistik uji t. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa 1). model pembelajaran project based learning tidak
lebih efektif dalam meningkatkan motivasi belajar siswa dibanding model ekspositori
yang ditunjukkan dengan hasil uji t yang menerima H0 dan menolak Ha dengan taraf
signifikansi 0,124 > α (0,05). 2). model pembelajaran project based learning lebih
efektif dalam meningkatkan keterampilan siswa dalam memecahkan masalah
matematika dibanding model ekspositori yang ditunjukkan oleh hasil uji t yang menolak
H0 dan menerima Ha dengan taraf signifikansi 0.047 <α (0,05).
1. Pendahuluan
Kurikulum 2013 adalah kurikulum baru yang bertujuan untuk memperbaiki kurikulum
sebelumnya yaitu kurikulun tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan kurikulum 2004. Pada
kurikulum 2013 ini menggunakan pendekatan Scientific yaitu pendekatan pembelajaran yang
melalui tahap-tahap mengamati, menanya, menalar, mencoba dan selanjutnya melakukan
jejaring. Penilaian yang diharuskan pada kurikulum ini adalah penilaian autentic yaitu
penilaian yang meliputi penilaian sikap, pengetahuan dan keterampilan.
Learning dan Discovery Learning. Model-model pembelajaran tersebut yang dianggap tepat
dan sesuai dengan pendekatan scientific.
SMK Ma‟arif 1 Wates adalah salah satu sekolah swasta yang sudah dipercaya untuk
mengikuti kurikulum 2013 atau dengan kata lain turut menjadi pilot project pelaksanaan
kurikulum 2013. Guru matematika di SMK Ma‟arif 1 Wates sudah menerapkan metode
diskusi kelompok dengan tujuan agar setiap siswa mau menyampaikan pendapatnya dan
hasil belajarnya dapat merata. Namun kenyataannya hasil dalam diskusi kelompok tersebut,
yang menguasai materi hanya satu dua orang saja, yang lain sebagai pendengar dan pencatat
dan apabila ditanya guru tentang hasil diskusinya, siswa tersebut tidak tahu apa-apa.
Kelompok tersebut belum dapat menyatukan persepsi hasil diskusi kepada seluruh anggota
kelompok. Bahkan beberapa siswa terlihat belum mandiri dalam melakukan/ mengikuti
pembelajaran. Hal ini berimbas pada hasil belajar siswa, beberapa siswa dapat mendapatkan
nilai yang tinggi, tetapi lebih banyak siswa yang nilai matematikanya sangat rendah. Hal ini
dapat dilihat dari nilai matematika pada laporan hasil belajar saat kenaikan kelas, beberapa
siswa mendapatkan nilai 8,0 tetapi banyak siswa yang mendapatkan nilai antara 5,00 – 6,90,
sehingga guru harus menambah remidi terhadap siswa yang nilainya kurang dari kriteria
ketuntasan minimal (KKM). Ini dimungkinkan, jika guru tidak segera melakukan tindakan
yang dapat meningkatkan kualitas belajar siswa, maka hasil Ujian Nasional bisa kurang dari
yang diharapkan. Padahal di tempat Dunia Usaha atau Dunia Industri mengharapkan calon
pekerjanya memiliki nilai Ujian Nasional Matematika lebih atau sama dengan 7,50. Keadaan
seperti ini yang menjadi keprihatinan guru, sehingga guru harus melakukan berbagai metode
untuk memecahkan masalah tersebut.
Penerapan model pembelajaran Project Based Learning baru dilakukan khusus kepada siswa
yang sudah langsung mengikuti kurikulum 2013 atau dalam hal ini baru dilaksanakan di
kelas X saja. Bagaimana jika model tersebut diuji cobakan kepada kelas XII?
2. Kajian Teori
a. Motivasi
Menurut Sardiman A.M. (2010: 83) motivasi yang ada pada diri setiap orang itu memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :
1) Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus menerus dalam waktu yang lama, tidak
pernah berhenti sebelum selesai)
2) Ulet menghadapi kesulitan ( tidak lekas putus asa ). Tidak memerlukan dorongan dari
luar untuk berprestasi sebaik mungkin (tidak cepat puas dengan prestasi yang
dicapainya).
3) Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah.
4) Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu)
5) Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini.
6) Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal.
662
b. Keterampilan Kooperatif
Menurut Linda Lundgren dalam buku: Cooperative Learning in the science Classroom yang
diterjemahkan oleh Muchlas Samani (1996), keterampilan kooperatif memiliki tingkat-
tingkat yaitu tingkat awal, tingkat menengah dan tingkat mahir. Dalam setiap tingkat
terdapat beberapa keterampilan yang perlu dimiliki siswa agar dapat melaksanakan
pembelajaran kooperatif secara baik. Dari tiga tingkat keterampilan kooperatif tersebut
adalah:
1. Keterampilan Kooperatif Tingkat Awal terdiri dari:
a. Menggunakan kesepakatan
b. Menghargai kontribusi
c. Menggunakan suara pelan
d. Mengambil giliran dan berbagi tugas
e. Berada dalam kelompok
f. Berada dalam tugas
g. Mendorong partisipasi
h. Mengundang orang lain untuk berbicara
i. Menyelesaikan tugas tepat pada waktunya
j. Menyebutkan nama dan memandang pembicara
k. Mengatasi gangguan
l. Menolong tanpa memberikan jawaban
m. Menghormati perbedaan individu
2. Keterampilan Kooperatif tingkat menengah terdiri dari:
a. Menunjukkan penghargaan dan simpati
b. Menggunakan pesan ”saya”
c. Mengungkapkan ketidaksetujuan dengan cara yang dapat diterima
d. Mendengarkan dengan aktif
e. Bertanya
f. Membuat ringkasan
g. Menafsirkan
h. Mengatur dan mengorganisir
i. Memeriksa ketepatan
j. Menerima tanggung jawab
k. Menggunakan kesabaran
l. Tetap tenang/mengurangi ketegangan
3. Keterampilan Kooperatif Tingkat Mahir terdiri dari:
a. Mengelaborasi
b. Memeriksa secara cermat
c. Menanyakan kebenaran
d. Menganjurkan suatu posisi
e. Menetapkan tujuan
f. Berkompromi
g. Menghadapi masalah-masalah khusus
663
Dalam penelitian ini, karena siswa yang diteliti adalah siswa SMK swasta yang belum
terbiasa dengan tanggung jawab masing-masing individu, maka yang diteliti adalah
keterampilan tingkat awal. Keterampilan awal yang diteliti meliputi :
1) Menggunakan Kesepakatan yaitu seberapa banyak siswa yang memiliki kesamaan
pendapat dalam kelompok sehingga anggota kelompok akan merasa bahwa pendapatnya
berharga dan penting. Apabila seluruh anggota kelompok berpendapat sama
2) Menghargai kontribusi yaitu memperhatikan atau mengenal apa yang dikatakan atau
dikerjakan anggota kelompok yang lain walaupun kenyataannya dapat saja berupa kritik
terhadap idenya.
3) Mengambil giliran dan berbagi tugas yaitu siswa dapat menggantikan seseorang yang
mengemban tugas tertentu dan mengambil tanggung jawab tertentu dalam kelompok
agar pekerjaan berjalan lebih efektif sehingga pada kelompok tersebut akan tumbuh rasa
sebagai anggota tim kerja untuk mencapai tujuan yang sama.
4) Berada dalam tugas yaitu meneruskan tugas yang menjadi tanggungjawabnya karena
kegiatan akan terselesaikan dalam waktunya dengan ketelitian lebih baik dan kreatif
sehingga kelompok akan lebih bangga terhadap peningkatan efektifitas dalam
mempersiapkan tugas-tugas yang diemban.
5) Mendorong partisipasi yaitu mendorong semua anggota kelompok untuk memberikan
kontribusi terhadap tugas kelompok. Jika satu atau dua orang tidak berpartisipasi atau
hanya memberikan sedikit kontribusi, maka hasil dari kelompok tersebut tidak akan
terselesaikan pada waktunya atau hasilnya kurang orisinil atau kurang imajinatif.
6) Menyelesaikan tugas tepat pada waktunya yaitu sesuai dengan waktu yang
direncanakan sehingga anggota kelompok akan merasa berpretasi dan memiliki
semangat tim, apabila setiap anggata kelompok menyelesaikan tugas dan
mengerjakannya dengan baik.
7) Menghormati perbedaan individu yaitu bersikap menghormati terhadap budaya yang
unik, pengalaman hidup serta suku bangsa/ras dari semua siswa sehingga permusuhan
dapat dihindari dan kehormatan kelompok dapat ditumbuhkan serta masing-masing
individu dapat meningkatkan rasa kebaikan dan toleransi.
3. Metode Penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas XII SMK Ma‟arif 1 Wates tahun ajaran
2013/2014. Sampel dalam penelitian ini kelas XII TKJ 2 sebagai kelas eksperimen dan kelas
XII TKJ 1 sebagai kelas kontrol. Hasil uji normalitas antara kelas eksperimen dan kelas
kontrol menunjukkan bahwa kedua kelas tersebut berdistribusi normal dengan sig > 0,05.
Penelitian ini merupakan penelitian quasi exsperiment. Penelitian ini melibatkan dua kelas,
yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kedua kelas tersebut diupayakan memiliki
motivasi dan keterampilan menyelesaikan masalah matematika yang setara. Masing-masing
mendapat proses yang berbeda dalam belajar, tetapi materi yang diberikan sama. Desain
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain kelompok kontrol non
ekuivalen (Nonequivalent Control Group Design). Sugiyono (2012: 116).
E O1 X O2
K O3 O4
O = pre-test/ post-test
X = perlakuan terhadap kelas eksperimen
Sebelum menerapkan pembelajaran kelas eksperimen dan kelas kontrol terlebih dahulu
diadakan pretest atau mengambil nilai sebelumnya. Dari skor nilai yang diperoleh dilakukan
uji kesamaan dua varian (homogenitas), dan uji kesamaan rata-rata untuk mengetahui
kemampuan awal sampel. Kemudian pada kelas eksperimen diterapkan pembelajaran dengan
model project based learning, sedangkan kelas kontrol diterapkan model pembelajaran
ekspositori atau sama seperti metode ceramah yang terpusat pada guru sebagai pemberi
informasi. Setelah proses belajar mengajar selesai, dilakukan postes pada kedua kelas
sampel, dihitung skor normal peningkatan, yaitu skor postes dikurangi skor pretes dari kelas
yang dikenai tindakan dikurangi skor postes dikurangi pretes dari kelas kontrol (O2 – O1) –
(O4 – O4)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran project based learning,
sedang variabel terikat dalam penelitian ini adalah motivasi siswa dalam pelajaran
matematika dan hasil observasi keterampilan siswa dalam pemecahan masalah.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari: (1) Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP), Skenario Pembelajaran, Media Pembelajaran, Soal-soal, (2). Lembar
observasi digunakan sebagai pedoman untuk melakukan observasi/pengamatan guna
memperoleh data yang diinginkan. Lembar observasi yang digunakan dalam penelitian ini
adalah lembar observasi keterampilan siswa dalam pembelajaran metematika dengan model
project based learning. (3) Angket Motivasi belajar siswa, digunakan untuk mengetahui
peningkatan motivasi belajar siswa terhadap materi yang dipelajari.
665
Untuk mengisi angket di atas, menggunakan skala likert yaitu siswa memberi tanda centang
(√) pada angka 1, 2, 3, 4, atau 5 yang artinya : sangat tidak setuju, 2: tidak setuju, 3: tidak
berpendapat, 4: setuju dan 5: sangat setuju. Kalimat dalam angket tersebut diambilkan
kalimat yang positif sehingga semakin besar angka yang dicentang, berarti semakin baik
motivasi belajar siswa. Dari hasil angket siswa dicari reratanya dan kriteria hasil angket
dapat dikategorikan seperti tabel berikut:
666
Penelitian dilaksanakan mulai tanggal 1 Oktober sampai dengan 30 Oktober 2013. Penelitian
ini digunakan untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran Project Based Learning
dalam pembelajaran matematika terhadap peningkatan motivasi belajar matematika dan
keterampilan memecahkan masalah matematika pada kompetensi Dasar ”Ukuran Pemusatan
Data”.
Sebelum penelitian, dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas dari kedua kelas dengan
menggunakan program SPSS 18 for window, yang hasilnya sebagai berikut.
Tabel 3. Hasil Uji Normalitas kelas Eksperimen(XII TKJ 2) dan Kelas Kontrol (XII TKJ 2)
a
Kelas Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
Eksperimen Statistic df Sig. Statistic df Sig.
*
7,50 ,211 5 ,200 ,965 5 ,844
Dari hasil uji normalitas di atas menunjukkan signifikansi > 0,05 yang artinya kedua
kelas berdistribusi normal. Selanjutnya dilakukan uji kesamaan varian atau uji
homogenitas terhadap kedua kelas tersebut, yang hasilnya sebagai berikut.
Tabel 4. Hasil uji Homogenitas kelas Eksperimen(XII TKJ 2) dan Kelas Kontrol (XII
TKJ 1)
,041 3 22 ,989
Dari hasil uji homogenitas di atas, menunjukkan nilai signifikansi 0,989 > α (0,05), dengan
demikian kedua kelas dikatakan memiliki varian yang sama atau homogen. Setelah kedua
kelas dinyatakan berdistribusi normal dan memiliki varian yang sama, maka kedua kelas
tersebut dapat digunakan sebagai kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Penelitian ini memerlukan waktu empat minggu untuk memperoleh data yang dibutuhkan
yang diambil mulai tanggal 1 oktober 2013. Pada tanggal tersebut dilakukan pengambilan
data tentang motivasi belajar dengan pengisian angket motivasi. Angket motivasi belajar
disebarkan kepada kelas XII TKJ 1 dan XII TKJ 2 yang hasilnya sebagai berikut.
Kelas
Statistik
Eksperimen Kontrol
Mean 3,68 3,78
Maksimum 4,40 4,50
Minimum 2,90 3,30
Stándar Deviasi 0,39 0,29
Varian 0,15 0,08
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa skor rerata motivasi siswa untuk kelas eksperimen
lebih rendah dibanding rerata motivasi kelas kontrol. Diharapkan jika dilakukan
pembelajaran model project based learning kepada kelas eksperimen, akan lebih tinggi
dibanding kelas dengan pembelajaran ekspositori.
Tindakan dimulai pada tanggal 12 Oktober 2013 pada kelas eksperimen yaitu pembelajaran
dengan menggunakan model Project Based Learning yang terfokus pada kompetensi dasar
“Ukuran Pemusatan Data” untuk data tunggal. Tahap pertama, guru menyampaikan
materi pembelajaran yang akan dibahas, lalu menyampaikan model pembelajaran
yang direncanakan. Tahap berikutnya guru membetuk enam kelompok yang masing-
masing terdiri dari 5 siswa karena kelas tersebut terdiri dari 30 siswa. Dalam
pembentukan kelompok tersebut, guru sudah memilih kelompok heterogen yang
668
dilihat dari hasil nilai ulangan sebelumnya dan dibuat ranking. Selain dilihat dari
ranking nilai, juga diratakan antara banyak laki-laki dan perempuan.
Sebelum siswa mencari data, di kelas dibimbing guru untuk membuat perencanaan.
Disarankan pula pada proses dan pelaporannya selalu ditulis kapan, di mana, dan bahan apa
saja yang dibutuhkan. Setelah perencanaan selesai dalam waktu 15 menit, kemudian siswa
melakukan pengambilan data sesuai dengan yang ditugaskan oleh guru.
Pada tanggal 23 Oktober 2013, pelaksanaan pembelajaran pada kelas kontrol (XII TKJ 1)
dengan metode ekspositori. Pada kelas ini diberikan materi statistika dengan ceramah, dan
penugasan. Saat penugasan, kelas dibagi menjadi 6 kelompok untuk mengerjakan soal
tentang ukuran pemusatan data. Observer meneliti keterampilan mereka saat berdiskusi.
Pada tanggal 23 Oktober 2013 ini juga dilakukan penelitian untuk kelas eksperimen dalam
pembelajaran dengan model Project Based Learning pada kompetensi dasar “ Ukuran
pemusatan data” dari distribusi frekuensi data berkelompok. Namun datanya didapat dari
hasil pengukuran panjang dari 100 lembar daun yang masing-masing kelompok berbeda
daunnya. Hasil observasi keterampilan siswa menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan
yaitu 4,26 seperti tampak pada tabel berikut.
Selanjutnya diselidiki tentang hasil ulangan siswa dengan diberikan soal yang sama antara
kelas eksperimen dan kelas kontrol. hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5: Nilai Ulangan Siswa dari Kelas Eksperimen(XII TKJ 2) dan Kelas
Kontrol (XII TKJ 1)
Rata-rata Nilai Ulangan Kelas
Kelas Eksperimen Kontrol
Nilai Awal 7,44 7,47
Nilai Akhir 8,32 7,28
669
Dari data di atas menunjukkan bahwa peningkatan nilai matematika yang terjadi antara kelas
eksperimen dan kelas kontrol adalah (8,32 – 7,44 ) – (7,28 – 7,47) = 0,88 – (- 0,19) = 1,07
dan jika dikonversikan kedalam persen menjadi 10,7 %. Dengan demikian ada perbedaan
peningkatan nilai siswa bagi kelas yang dikenai tindakan dengan pembelajaran model
Project Baset Learning dengan pembelajaran ekspositori sebesar 10,7%. Hal ini perlu
dilakukan uji t yang dapat menunjukkan perbedaan efektifitas model pembelajaran Project
based learning dengan model ekspositori yang dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 6.Hasil Uji t dari Kelas Eksperimen(XII TKJ 2) dan Kelas Kontrol (XII
TKJ 1)
Sig t Hipotesis Kesimpulan
Keterampilan 0,047 2,615 Tolak H0 PjBL lebih efektif
Motivasi 0,124 -1.584 Terima H0 PjBLtidak lebih efektif
Nilai Ulangan 0,001 3,556 Tolak H0 PjBL lebih efektif
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa hasil uji t terhadap keterampilan siswa yang diambil
dari penilaian observer saat pelaksanaan pembelajaran, menunjukkan nilai p< 0,05, sehingga
tolak H0 dan terima Ha atau dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran project based
learning lebih efektif dalam meningkatkan keterampilan siswa untuk memecahkan masalah
matematika dibanding pembelajaran dengan model ekspositori.
Dari tabel tersebut dapat dilihat pula bahwa hasil uji t terhadap motivasi siswa yang diambil
dari pengisian angket oleh siswa, menunjukkan p> 0,05, sehingga terima H0 dan tolak Ha
atau dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran project based learning tidak lebih efektif
dalam meningkatkan motivasi siswa pada pembelajaran matematika dibanding pembelajaran
dengan model ekspositori. Hal ini dimungkinkan siswa tidak menyukai model pembelajaran
ini karena model ini memerlukan pemikiran yang kreatif, kerjasama, dan tanggung jawab
yang tinggi, sehingga tidak diminati oleh banyak siswa.
Data pada tabel 6 di atas juga menunjukkan bahwa dari hasil uji t terhadap hasil ulangan
matematika yang diambil dari hasil pekerjaan siswa memiliki signifikansi 0,001 yang kurang
dari nilai α (0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran project based
learning lebih efektif dalam meningkatkan prestasi belajar siswa dibanding pembelajaran
dengan model ekspositori.
2. Model pembelajaran Project Based Learning lebih efektif dari pembelajaran ekspositori
untuk meningkatkan keterampilan siswa dalam pemecahan masalah matematika, hal ini
ditunjukkan oleh hasil uji t dengan nilai signifikansi 0,047 yang kurang dari nilai α
(0,05).
Selain dua kesimpulan di atas, dilakukan juga analisis hasil ulangan setelah dikenai tindakan
dan ternyata ada perbedaan peningkatan nilai pada kelas yang mendapatkan pembelajaran
dengan model Project Based Learning dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran
dengan model ekspositori. Dengan deskriptif statistik dari nilai rata-rata kelas eksperimen
sebelum dikenai tindakan adalah 7,44 dan setelah dikenai tindakan 8,32 sedangkan kelas
kontrol dengan soal yang sama, tidak ada peningkatan bahkan ada penurunan dari nilai rata-
rata awal 7,47 dan nilai rata-rata akhir 7,28. Hal ini juga ditunjukkan oleh hasil uji t yang
menolak H0 dan menerima Ha dengan signifikansi 0,001 < α(0,05). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa model pembelajaran Project Based Learning yang dilakukan pada SMK
Ma‟arif 1 Wates lebih efektif dalam meningkatkan keterampilan siswa memecahkan masalah
matematika, dapat meningkatkan prestasi atau nilai matematika, namun tidak meningkatkan
motivasi belajar matematika.
Saran
Dengan hasil penelitian di atas, maka direkomendasikan khususnya kepada guru SMK
Ma‟arif 1 Wates untuk menggunakan model pembelajaran Project Based Learning dalam
pembelajaran matematika walaupun belum dapat meningkatkan motivasi siswa dalam
mengikuti model tersebut, karena ternyata dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam
memecahkan masalah matematika dan dapat meningkatkan prestasi belajar. Hal itu
dimungkinkan karena siswa belum terbiasa dengan tanggung jawab yang tinggi sehingga
model pembelajaran Project Based Learning dianggap berat. Jika hal ini dibiasakan sejak
dini, maka diharapkan dapat meningkatkan keterampilan, motivasi dan imbasnya ke prestasi
siswa, sehingga keberhasilan pembelajaran nampak dari berbagai segi.
Daftar Pustaka
Muchlas samani. 1996, Memperkenalkan Keterampilan Kooperatif. Naskah untuk Penyegaran dan
Pelatihan Penelitian bagi Guru Pembina KIR pada SMU, IKIP Surabaya.
Muslimin Ibrahim. 2000. Pembelajaran Kooperatif, University Press, Surabaya.
Riduwan. 2008. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula. Alfabeta:
Bandung
Sardiman A.M. 2010.Interaksi dan motivasi belajar mengajar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Slavin, R.E.1996. Cooperative Learning. Bandung : Nusa Media
Sugiyono.2012. Metode Penelitian Pendidikan. Alfabeta: Bandung
671
Supartini
SMK N 1 Temon , Jl. Glagah, Kalidengen, Temon; vellaedi@yahoo.com
1. Pendahuluan
SMK N 1 Temon adalah Sekolah Menengah Kejuruan yang mempersiapkan peserta didik
terutama agar siap bekerja. Bekal yang diberikan adalah siswa dibekali ketrampilan yang
diberikan di sekolah dan juga di dunia usaha. Praktek di dunia usaha ini sering di sebut
Praktek kerja Industri (Prakerin). Program Studi Nautika Kapal Penangkap Ikan (NKPI) dan
Teknika Kapal Penangkal Ikan (TKPI), siswa akan praktek kerja indutri di kapal – kapal
penangkap ikan yang ada di pelabuhan - pelabuhan yang ada di Indonesia. Daerah yang
digunakan adalah Sorong, Bali, Pati, Cilacap. Waktu yang digunakan untuk praktek kerja
indrustri adalah 6 bulan sampai 8 bulan bahkan ada yang sampai 16 bulan.
672
Waktu praktek kerja insdustri yang cukup lama dan siswa tidak pernah bertemu dengan
buku, alat tulis bahkan informasi yang tertutup karena mereka di laut. Hal itu menyebabkan
siswa kurang motivasi belajar terutama dalam pembelajaran matematika. Siswa yang pulang
setelah praktek kerja industri banyak yang belum masuk ke sekolah karena mereka sudah
mendapatkan uang dari praktek industri tersebut. Banyak juga siswa yang masuk sekolah
tetapi ketika jam pelajaran mereka lebih banyak tidur dan tidak memperhatikan guru.
Apalagi ketika ikut pembelajaran matematika siswa kurang motivasi untuk mengikutinya.
Mereka lebih banyak diam dan tidak tahu dengan apa yang disampaikan oleh guru.
Hal yang menyebabkan kurangnya motivasi siswa dalam mengikuti kegiatan belajar
mengajar juga karena faktor dari guru. Model pembelajaran yang digunakan guru tidak
variasi. Untuk itu guru harus bisa menggunakan metode atau model yang tepat agar motivasi
belajar matematika setelah praktek kerja indrustri bisa meningkat. Salah satu metode yang
akan diterapkan untuk memecahkan masalah tersebut adalah model pembelajaran yang dapat
menempatkan siswa sebagai subyek didik yaitu pembelajaran yang dapat membuat setiap
siswa aktif, kreatif, dan merasa senang sehingga siswa akan termotivasi untuk mempelajari
matematika yaitu Model pembelajaran tersebut adalah model Quantum Learning. Model
Quantum Learning adalah model pembelajaran dimana guru harus bisa masuk kedunia siswa
dan siswa dibawa kedunia kita yaitu dunia belajar yang menyenangkan, sehingga siswa
termotivasi untuk mengikuti pembelajaran matematika.
Untuk meningkatkan motivasi belajar siswa dengan Model Quantum Learning Pasca
Prakerin, maka untuk menghindari meluasnya permasalahan dalam penelitian ini, maka
masalah yang dikaji dibatasi pada hal – hal berikut : 1) Penelitian difokuskan untuk
meningkatkan motivasi belajar matematika siswa pasca praktek kerja industri dengan
menggunakan metode Quantum Learning model TANDUR. 2) Materi yang diajarkan di
batasi pada materi penyajian data dan ukuran pemusatan data. 3) Penelitian dilaksanakan
pada semester ganjil tahun ajaran 2013 / 2014 kelas XII TKPI 1 SMK N 1 Temon. Berdasar
latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan permasalahan adalah sebagai berikut:
Bagaimana meningkatkan motivasi belajar matematika pasca praktek kerja industri dengan
model Quantum Learning pada siswa kelas XII TKPI 1 SMK N 1 Temon Kulon Progo.
Sedangkan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : Meningkatkan motivasi
belajar matematika pasca praktek kerja industri dengan model Quantum Learning pada siswa
kelas XII TKPI 1 SMK N 1 Temon Kulon Progo.
2. Tinjauan Teori
2.1 Motivasi
Menurut Sardiman A.M. (2010: 83) motivasi yang ada pada diri setiap orang itu memiliki
ciri-ciri sebagai berikut :1) Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus menerus dalam
waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai). 2) Ulet menghadapi kesulitan
(tidak lekas putus asa). Tidak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi sebaik
mungkin ( tidak cepat puas dengan prestasi yang dicapainya). 3) Menunjukkan minat
673
Praktek Kerja Industri ((Prakerin) adalah bagian dari pendidikan sistem ganda (PSG) sebagai
program bersama antara SMK dan Industri yang dilaksanakan di dunia usaha, industri.
Dalam Kurikulum SMK (Dikmenjur, 2008) disebutkan: Prakerin adalah pola
penyelenggaraan diklat yang dikelola bersama-sama antara SMK dengan industri/asosiasi
profesi sebagai institusi pasangan (IP), mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan hingga
evaluasi dan sertifikasi yang merupakan satu kesatuan program dengan menggunakan
berbagai bentuk alternatif pelaksanaan , seperti day release, block release, dan sebagainya.
3. Metode
Jenis Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan kelas ini
menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung dengan data kuantitatif. Penelitian ini
dilakukan pada bulan September sampai bulan November 2013 tahun ajaran 2013 / 2014 di
SMK N 1 Temon Kulon Progo. Dalam penelitian ini berjenis penelitian tindakan kelas akan
menggunakan desain PTK model Kemmis dan Mc Taggart yaitu dengan siklus I dan siklus
II. Penelitian Siklus I dan II menggunakan model pembelajaran Quantum Learning dalam
pembelajaran matematika. Langkah – langkah yang dilakukan antara lain: perencanaan,
tindakan, pengamatan dan Refleksi. Sedangkan teknik yang digunakan pada penelitian ini
adalah: observasi, angket observasi, dan metode wawancara. Dalam penelitian ini instrumen
yang digunakan terdiri dari : (1) Instrumen pembelajaran Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP), Skenario Pembelajaran, Media Pembelajaran, dan Soal – soal. (2) Lembar observasi
digunakan sebagai pedoman untuk melakukan observasi/pengamatan guna memperoleh data
yang diinginkan. Lembar observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar
observasi siswa dan guru dalam pembelajaran metematika dengan model Quantum Learning.
(3) Angket Motivasi belajar siswa, digunakan untuk mengetahui peningkatan motivasi
belajar siswa terhadap materi yang dipelajari. (4) Instrumen pedoman wawancara.
Data hasil penelitian akan dianalisis secara deskriptif untuk tiap siklus. Hal ini bermanfaat
untuk rencana perbaikan pembelajaran pada siklus berikutnya. Analisis yang dilakukan
adalah:
siswa, catatan lapangan dianalisis secara deskriptif untuk setiap siklus. Untuk menentukan
keberhasilan penerapan model Quantum Learning ini digunakan skala Likert dengan lima
pilihan (1) sangat kurang baik, (2) kurang baik, (3) Cukup baik, (4) baik, (5) sangat baik,
dengan skor 1 sampai dengan 5. Jumlah skor yang diperoleh dari observasi guru dan siswa
dicari rerata kemudian ditentukan kategori sesuai dengan tabel 1 di bawah ini.
c) Jumlah hasil skor yang diperoleh kemudian dikualifikasi untuk menentukan seberapa
besar respon siswa dalam mengikuti proses pembelajaran. Berikut table kualifikasi hasil
persentase skor angket.
Siklus I
Perencanaan
Pada tahap ini yang dilakukan adalah menyusun pembelajaran baik kegiatannya maupun
perangkat pembelajarannya (Rencana Program Pelaksanaan Pembelajaran, materi, strategi,
angket motivasi, lembar observasi siswa, lembar observasi guru dan pedoman wawancara).
Tindakan
Untuk Siklus I pertemuan pertama terfokus pada kompetensi dasar yang kedua yang terdiri
dari dua indikator dengan materi menyajikan data dalam bentuk diagram baru dalam taraf
membuat diagram saja. Hal – hal yang terjadi selama kegiatan pertama siklus I: Pada
Kegiatan awal: Pelajaran matematika di kelas XII TKPI 1 dimulai pukul 07.10 – 09.10 WIB
yang berlangsung selama 3 x 40 menit. Langkah pertama guru memberikan apersepsi dan
menyampaikan tujuan yang akan dicapai serta memberikan motivasi tentang pentingnya
pelajaran hari ini. Dalam hal ini guru diskusi mengenai hal – hal yang berhubungan dengan
diagram yang sering dilihat disekitar siswa.
Kegiatan Inti: siswa diminta untuk mempelajari literatur pada diktat tentang materi
menyajikan data dalam bentuk tabel dan diagram (dengan diiringi musik). Siswa terlihat
serius pada waktu mempelajari diktat. Setelah selesai maka guru bersama siswa
mendiskusikan tentang cara membuat tabel dan membuat dalam bentuk diagram. Siswa
dibagi menjadi 5 kelompok dan guru menjelaskan langkah – langkah yang harus dilakukan.
Guru memberikan tugas ke masing – masing kelompok untuk mencari data banyaknya
sepeda motor pada setiap tempat parkir sekolah yang sudah ditentukan seperti yang sudah
dibuat di lembar kegiatan dengan waktu 15 menit. Setelah selesai mencari data diluar siswa
kembali ke ruang kelas dan mengerjakan tugas membuat tabel kemudian membuat diagram
dari data yang diperolehnya. Guru berkeliling, siswa menanyakan hasil kerja kelompoknya
pada guru, kemudian guru memberi kesimpulan pada jawaban siswa dikelompok itu. Setiap
kelompok diwakili oleh siswa untuk mempresentasikan hasilnya, setelah selesai
mempresentasikan diberi tepuk tangan dan diberi reward coklat. Setelah semua selesai
presentasi semua tugas kelompok dikumpulkan dan guru membahas bersama – sama dengan
menampilkan hasil setiap kelompok dan mengambil kesimpulan bersama – sama, kemudian
bertepuk tangan bersama. Guru memberikan tugas yang sama dengan soal yang diberikan
kelompok. Siswa diberi soal latihan melakukan pendataan tentang hobi siswa. Siswa
mengerjakan tugas yang diberikan dangan data yang ada di kelas . Namun karena waktu
sudah habis sehingga pekerjaan siswa dijadikan pekerjaan rumah. Kegiatan Penutup, guru
menutup pelajaran dengan menyampaikan bahwa soal atau tugas yang dikerjakan supaya
dikerjakan dirumah dan menjadi pekerjaan rumah. Setelah itu guru menutup dengan salam.
Pada pertemuan kedua siklus I, tanggal 5 oktober 2013. Untuk pertemuan kedua ini
indikator sama dengan pertemuan pertama namun materinya terfokus pada mencari data dari
diagram yang sudah ada. Beberapa hal yang terjadi pada pertemuan kedua ini adalah:
Kegiatan Awal, pelajaran matematika untuk kelas XII TKPI 1 pada sabtu dimulai pada
pukul 10.25 – 11.55 selama 2 x 45 menit. Guru mulai pelajaran dengan menanyakan PR
676
kemarin. Siswa diminta mengumpulkan PR yang telah dikerjakan. Guru meminta salah satu
siswa untuk mempresentasikan hasil pekerjaannya. Salah satu siswa mempresentasikan PR
pada pertemuan sebelumnya. Guru memberi reward pada siswa yang telah
mempresentasikan PR nya. Dari hasil pekerjaan siswa maka di tarik suatu kesimpulan secara
bersama – sama. Setelah itu guru menjelaskan materi yang akan dipelajari hari ini yaitu
mengenai diagram yang sudah ada yaitu diagram lingkaran dan dicarai nilai masing – masing
komponen atau kegiatan. Selain itu guru juga memberikan motivasi tentang pentingnya
materi hari ini untuk sehari – hari. Guru juga memberi kesempatan siswa untuk bertanya
tentang materi membuat diagram.
Kegiatan Inti, guru memberikan soal tentang diagram yang sudah tau serta diketahui
beberapa unsur atau nilai dalam diagram tersebut. Siswa dan guru mendiskusikan tentang
cara membaca diagram dan menghitung nilai jika diberikan suatu diagram, atau
menyelesaikan soal tersebut. Setelah selesai dan tidak ada pertanyaan untuk hal tersebut
maka guru membentuk menjadi 5 kelompok. Siswa mulai bergabung dengan kelompoknya
dan mulai mengerjakan soal yang diberikan dengan diiringi musik. Siswa aktif
mendiskusikan tugas yang diberikan oleh guru di kelompoknya. Guru berjalan berkeliling
melihat hasil diskusi kelompok dan membantu siswa yang mengalami kesulitan. Siswa
menanyakan hasil pekerjaan kelompoknya kepada guru, dan guru memberikan jawaban atau
kesimpulan dari kelompok tersebut. Kelompok yang sudah selesai diminta untuk melakukan
presentasi dengan diwakili oleh salah satu siswa, kemudian memberikan kesempatan juga ke
kelompok lain yang mempunyai langkah yang berbeda untuk mempresentasikan di depan.
Guru memberi reward kepada siswa yang presentasi. Siswa kembali ke tempat duduknya dan
diberi latihan soal dengan model yang dikerjakan secara individu. Hasil pekerjaan siswa
dikumpulkan, dan dua orang siswa mempresentasikan hasil pekerjaannya. Guru memberikan
reward. Guru menanyakan siapa yang masih belum jelas dan menjelaskan kembali mengenai
soal yang telah dikerjakan sebagai konfirmasi akhir. Menyimpulkan bersama – sama dari
hasil yang diperoleh pada hari ini. Setelah itu tepuk tangan bersama – sama sebagai rasa
gembira karena semua siswa sudah paham dan jelas dengan materi hari ini. Kegiatan
Penutup, guru memberikan tugas supaya belajar karena untuk pertemuan selanjutnya hari
selasa adalah perbaikan Ulangan Harian.
Pengamatan
Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh observer pada waktu kegiatan belajar
matematika dengan model Quantum Learning tipe TANDUR juga dapat dilihat dalam tabel
berikut.
Tabel 3. Perbadingan Hasil Pengamatan pada Pertemuan Pertama dan Kedua pada Siklus I
Pertemuan Skor Rerata Kategori
Pertemuan 1 85 3,27 Baik
Pertemuan 2 101 3,88 Baik
Refleksi
Berdasarkan data hasil observasi di atas, guru bersama observer pada siklus I melakukan
evaluasi terhadap pembelajaran. Secara umum pembelajaran sudah sesuai dengan Rencana
677
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang telan disusun. Meskipun demikian terdapat beberapa
permasalahan yang muncul pada saat pembelajaran pada siklus I. Permasalahan tersebut
antara lain: a) Masih ada siswa yang kurang bersemangat (melamun, bicara sendiri, tidak
fokus, pandangan keluar kelas) dalam mengikuti kegiatan belajar pada siklus I; b) Guru
dalam menyampaikan tujuan pembelajaran tidak spesifik atau kurang jelas; c) Kekompakan
dalam diskusi kelompok masih kurang karena siswa kebanyakan mengerjakan soal sendiri-
sendiri dan mempunyai pendapat sendiri-sendiri, sehingga waktunya mengerjakan lama; d)
Ada siswa yang belum peduli dengan kelompoknya, yang penting dirinya bisa, sehingga
pengetahuan mereka belum merata; e) Masih ada siswa yang malas untuk berpikir dalam
kelompoknya dan apalagi mereka tidak peduli dengan tugas yang diberikan oleh guru untuk
tugas kelompok; f) Beberapa siswa tidak mau mempresentasikan pendapatnya di depan kelas
karena grogi, kurang percaya diri atau malas, meskipun pada pertemuan kedua siswa sudah
mulai muncul keberanian atau percaya diri untuk presentasi; g) Waktu habis sebelum semua
rencana pembelajaran terlaksana pada pertemuan I, namun pertemuan II waktu sudah sesuai
dengan yang direncanakan.
Siklus II
Perencanaan
Pada tahap ini peneliti sudah mempersiapkan pembelajaran yang akan dilakukan
untuk memperbaiki dari tindakan pada siklus I yang dianggap masih kurang.
Tindakan
Pada pertemuan pertama ini khusus indikator menghitung mean, median dan modus untuk
data tunggal adalah data – data yang sederhana saja. Pada pertemuan pertama siklus II ini
hal–hal yang terjadi adalah: Kegiatan Awal, pelajaran matematika kelas XII TKPI 1 pada
hari jum‟at tanggal 11 Oktober 2013 ini dimulai pukul 07.10 – 09.10 selama 3 x 40 menit,
guru memberikan tujuan pembelajaran hari ini, serta memberikan tanya jawab mengenai
pemanfaatan pemusatan data dalam kehidupan sehari hari. Kegiatan Inti, siswa diminta
mempelajari diktat mengenai ukuran pemusatan data sambil diiringi musik.
Setelah siswa sudah selesai mempelajari diktat maka guru mulai menjelaskan dengan
mendata jenis musik yang disukai. Guru meminta siswa mencari mean, median, modus.
Guru mendiskusikan cara mencari mean, median, modus bersama siswa, setelah tidak ada
pertanyaan maka guru membagi kelas menjadi 5 kelompok. Siswa bergabung dalam
kelompoknya, kemudian guru membagi lembar kerja. Siswa mencari data di dalam kelas
dengan wawancara. Guru memberi penegasan bahwa setiap anggota kelompok harus
berperan aktif agar pada saat mengerjakan tugas individu tidak mengalami kesulitan. Guru
berkeliling sambil mengecek pekerjaan kelompok, serta menjelaskan hal – hal yang belum
jelas.
Kelompok 1 selesai paling cepat dan diberi reward tepuk tangan dan diminta
mempresentasikan hasil diskusi di papan tulis. Kelompok lain yang sudah menyelesaikan
678
Pada pertemuan 2 siklus II, dilaksanakan tanggal 12 Oktober 2013 Standar Kompetensi,
Kompetensi dasar serta indikatornya sama dengan pertemuan pertama. Pada pertemuan
kedua ini khusus indikator menghitung mean, median dan modus untuk data tunggal adalah
data pada tabel serta menyelesaikan soal dalam bentuk soal cerita. Adapun hal – hal yang
terjadi adalah: Kegiatan awal, pelajaran matematika Kelas XII TKPI 1 hari Sabtu tanggal 12
Oktober 2013 adalah.dimulai pukul 10.25 WIB selama 2 x 45 menit. Guru mulai dengan
menjelaskan tujuan pembelajaran hari ini. Guru memberi tanya jawab mengenai materi pada
pertemuan sebelumnya, sebagai motivasi siswa. Kegiatan Inti, guru memberi kasus dengan
memberikan data dengan frekuensi tertentu. Siswa diminta menentukan mean, median,
modus dengan tanya jawab saat menyelesaikan soal. Guru memberikan contoh soal dengan
model yang lain dan dibahas bersama – sama. Siswa mencatat materi yang dijelaskan guru
dengan diiringi alunan musik. Guru membagi kelas dalam 5 kelompok. Siswa bergabung
dalam kelompoknya, kemudian diberi lembar kerja. Siswa mendiskusikan pekerjaan secara
aktif di kelompoknya. Guru berkeliling mengecek hasil pekerjaan siswa sambil berkeliling
membantu kelompok yang mengalami kesulitan. Setelah semua selesai beberapa anak
mempresentasikan hasil pekerjaannya. Guru mengklarifikasi jawaban siswa. Kelompok yang
presentasi diberi tepuk tangan dan diberi hadiah permen. Siswa kembali ke tempat masing
masing. Guru membagi soal ke setiap siswa untuk dikerjakan secara individu. Siswa
mengerjakan secara individu. Salah satu siswa yang selesai dengan cepat mendapatkan
hadiah coklat. Setelah semua selesai maka hasil pekerjaan siswa dikumpulkan pekerjaannya.
Guru memberikan kesempatan siswa untuk presentasi. Dari sini banyak siswa yang akan
presentasi tapi dipilih siswa yang memang belum pernah maju presentasi. Dari hasil
presentasi salah satu siswa, guru dan siswa membuat kesimpulan hasil pekerjaan siswa.
Siswa yang presentasi mendapatkan permen. Guru memberikan kesempatan siswa untuk
679
bertanya tentang materi hari ini. Pada kegiatan penutup guru dan siswa menyimpulkan hasil
pelajaran hari ini. Reward dengan applause dan permen kepada seluruh kelas, karena hasil
yang didapat hari ini. Guru menutup pelajaran dengan salam.
Pengamatan
Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh observer pada waktu kegiatan belajar
matematika dengan model Quantum Learning tipe TANDUR juga dapat dilihat dalam tabel
berikut:
Tabel 4. Perbadingan hasil Pengamatan pada Pertemuan Pertama dan Kedua pada Siklus I
Pertemuan Skor Rerata Kategori
Pertemuan 1 103 3,98 Baik
Pertemuan 2 105 4,08 Sangat Baik
Refleksi
Setelah pembelajaran dengan model Quantum Learning tipe TANDUR pada Siklus II
berakhir, maka peneliti melakukan evaluasi terhadap pelaksanaannya, berdasarkan data
observasi kegiatan pembelajaran dengan model Quantum Learning tipe TANDUR, data
angket motivasi siswa serta data hasil wawancara maka dapat disimpulkan bahwa : (1)
kegiatan pembelajaran sudah berjalan sesuai dengan rencana dan mengahasilkan prosentase
4,08 dengan kategori sangat baik. (2) Motivasi belajar matematika sudah meningkat secara
signifikan dengan presentase rata – rata 87,4% dengan kategori tinggi. (3) Siswa sangat
senang dengan pembelajaran matematika yang menyenangkan sehingga mereka tidak merasa
tegang dan santai dalam menerima pelajaran dan materi bisa diterima dan dipahami.
4.2 Pembahasan
Hasil yang diperoleh pada penelitian tindakan kelas dengan tindakan pembelajaran model
Quantum Learning tipe TANDUR adalah adanya peningkatan kegiatan belajar siswa yang
dilihat dari ciri-cirinya yaitu, pada pertemuan 1 skor 3,27 dan pada pertemuan 2 mencapai
skor 3,88 atau rata – rata pada siklus I dengan skor 3,57 dengan kategori baik menjadi skor
rata – rata 4,02 dengan kategori sangat baik pada siklus II dengan kategori sangat baik yaitu
dari pertemuan pertama skor 3,96 dan pertemuan kedua skor 4,08.
Pada kegiatan pembelajaran di siklus I masih ada siswa yang belum konsentrasi mengikuti
pelajaran (melamun), tidur, dan pada saat mengerjakan tugas kelompok masih ada siswa
yang belum aktif ikut mengerjakan tugas kelompok, bahkan untuk mempresentasikan hasil
pekerjaan mereka masih sulit atau tidak ada keberanian. Namun pada kegiatan pembelajaran
di siklus II siswa sudah mulai konsentrasi mengikuti pelajaran, tidak ada yang tidur, serta
semua siswa sudah aktif di kelompoknya untuk ikut mengerjakan soal sehingga ketika
mereka mengerjakan tugas mandiri mereka tidak mengalami kesulitan. Selain itu siswa juga
sudah berani untuk mempresentasikan hasilnya, bahkan mereka berebut atau banyak yang
tunjuk jari ketika mereka diminta untuk mempresentasikan hasilnya. Hal ini menunjukkan
680
bahwa siswa sudah menyenangi kegiatan pembelajaran ini dan ingin menunjukkan bahwa
mereka bisa dan mampu mengerjakan soal yang diberikan oleh guru.
Selain itu dari cara siswa berbicara dan duduk juga dapat dilihat pada proses pengamatan
pada siklus I siswa posisi duduk pada waktu mendengarkan atau mengerjakan soal siswa
masih menempelkan kepala di meja atau duduk dengan menyandarkan badannya di kursi.
Namun pada siklus II siswa sudah banyak perubahan. Siswa duduk dengan kepala tegak dan
posisi badan condong kedepan, jadi tidak bersandar di kursi. Hal ini juga menandakan bahwa
senang mengikuti pelajaran ini, atau tertarik mengikuti kegiatan pelajaran ini.
Dari hasil pengamatan dapat disimpukan bahwa motivasi siswa sudah mengalami
peningkatan dari sebelum dilakukan model pembelajaran Quantum Learning, kemudian
dilakukan siklus I dan dilanjutkan siklus II. Selain dari pengamatan motivasi siswa juga
dapat dilihat dari data hasil observasi kegiatan belajar siswa. Berdasarkan hasil observasi
yang dilakukan oleh obsesver data tersebut dapat dilihat pada grafik berikut.
5 4.08
3.96 3.88
4 3.27
Siklus I
3
Siklus II
2
1
Pertemuan 1 Pertemuan 2
Selain dilihat dari hasil observasi, motivasi belajar siswa juga diambilkan dari 6 indikator
yang ditulis pada angket motivasi. Dari 6 indikator tersebut mengambil kalimat yang positif
sehingga semakin besar nilainya semakin tinggi pula tingkat motivasi belajar siswa.
Indikator yang dinilai diambil dari angket motivasi siswa. Hasilnya dapat dilihat pada
diagram berikut.
Selain angket motivasi, data juga diambil berdasarkan hasil wawancara dengan siswa setelah
pelaksanaan siklus I dan siklus II. Diperoleh data bahwa mayoritas siswa senang dengan
pelajaran matematika karena matematika ternyata pelajaran yang tidak sulit serta tidak
membosankan. Sebagian mengatakan bahwa mulai menyenangi pelajaran matematika karena
sebelum Praktek Kerja Industri mereka sudah tidak suka matematika apalagi setelah Prakerin
mereka lebih tidak suka lagi karena semua materi terlupakan, tetapi dengan pembelajaran
yang menyenangkan dan tidak membosankan ini mereka menjadi menyenangi pelajaran
matematika. Sebagan siswa juga senang jika pembelajaran dilaksanakan dengan cara yang
tidak membosankan dan menyenangkan sehingga mereka mudah memahami materi yang
diberikan.
Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran model Quantum Learning tipe
TANDUR dapat meningkatkan motivasi belajar siswa pasca Praktek Kerja Industri. Hal itu
dapat diukur dari hasil observasi dan angket selama tindakan berlangsung.
2.1 Kesimpulan
Berdasarkan diskripsi data dan pembahasan pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan
hal–hal sebagai berikut:
a. Adanya peningkatan kegiatan belajar siswa yang dilihat dari ciri-cirinya yaitu dari skor
3,27 pada pertemuan 1, pada pertemuan 2 mencapai skor 3,88 atau rata-rata pada siklus I
dengan skor 3,57 dengan kategori baik menjadi skor rata – rata 4,02 pada siklus II
dengan kategori sangat baik yaitu dari pertemuan pertama 3,96 dan pertemuan kedua
4,08.
b. Motivasi belajar matematika siswa kelas XII TKPI 1 SMK N 1 Temon Pasca Prakerin
dengan pembelajaran model Quantum Learning tipe TANDUR mengalami peningkatan
motivasi belajar sebesar 19,5% yaitu siklus I dengan persentase 67,9% kategori sedang
dan siklus II dengan persentase 87,4% kategori tinggi.
c. Model Pembelajaran dengan Quantum Learning meningkatkan motivasi belajar siswa
hal ini bisa dilihat sebelum dilaksanakan model Pembelajaran dengan Quantum Learning
siswa banyak yang diam dan tidak ikut aktif mengerjakan tugas dikelompok, namun
setelah dilaksanakan model pembelajaran dengan Quantum Learning siswa sudah aktif
dan semangat dalam mengikuti palajaran. Keceriaan setelah model pembelajaran
Quantum Learning terlihat ketika mengikuti pelajaran, apalagi ketika mengerjakan soal
dan benar serta diberi reward
682
2.2 Saran
Setelah melakukan penelitian tindakan kelas ini, maka beberapa saran yang disampaikan
adalah:
a. Guru hendaknya melakukan variasi metode atau model dalam pembelajaran untuk
meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga prestasi siswa pun meningkat.
b. Hasil PTK ini dapat digunakan untuk pijakan guru meningkatkan motivasi belajar siswa,
dan menjadi motivasi untuk mengembangkan kreatifitas dengan upaya - upaya yang lain.
c. Perlunya pihak - pihak yang terkait untuk selalu memberi motivasi kepada guru untuk
mengembangkan diri melalui penelitian tindakan kelas.
Daftar Pustaka
Suramanto
SMP Negeri 2 Yogyakarta, ermanto_2@yahoo.co.id
1. Pendahuluan
Berdasarkan observasi awal melalui pengamatan penulis sebagai guru matematika di kelas
VIII B SMP Negeri 2 Yogyakarta, sebagian besar siswa di kelas tersebut merasa sangat
kesulitan apabila menghadapi soal pemecahan masalah. Hal ini dapat dilihat dari tanggapan
siswa apabila guru memberikan soal pemecahan masalah seperti acuh tak acuh, tidak lekas
memulai mengerjakan, menunggu teman mengerjakan dulu, kalau disuruh mengerjakan di
depan kelas hanya sebagian kecil yang mau, dan apabila diberikan PR hasil pekerjaan
mereka sama karena sebagian besar hanya menyontek dan bahkan ada hasil pekerjaanya
684
asal-asalan. Demikian pula nilai yang diperoleh dari ulangan harian yang berbentuk soal
pemecahan masalah rata-rata selalu rendah.
Pemecahan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam pembelajaran matematika.
Menurut Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (SI) Mata Pelajaran, salah
satu tujuan Mata Pelajaran matematika SMP adalah agar siswa mampu memecahkan
masalah matematika yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model
matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh (Depdiknas,
2006).
Problem based learning (PBL) bermaksud untuk memberikan ruang gerak berpikir yang
bebas kepada siswa untuk mencari konsep dan penyelesaian masalah yang terkait dengan
materi yang diajarkan guru di sekolah. Karena pada dasarnya mata pelajaran matematika
bertujuan agar siswa memahami konsep matematika dan keterkaitannya. Berbagai
pengembangan pembelajaran berbasis masalah telah menunjukkkan ciri-ciri sebagai berikut.
(a) Autentik. Yaitu masalah harus lebih berakar pada kehidupan dunia nyata siswa dari
pada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu.
(b) Jelas. Yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah
baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan penyelesaian siswa.
(c) Mudah dipahami. Yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa.
(d) Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Yaitu masalah yang disusun dan
dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh
685
materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang
tersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan.
(e) Bermanfaat. Yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan haruslah bermanfaat,
baik siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai pembuat masalah.
Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan kemampuan
berpikir memecahkan masalah siswa, serta membangkitkan motivasi belajar siswa.
2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin
Meskipun pembelajaran berbasis masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran
tertentu, masalah yang dipilih harus benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa
meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.
3) Penyelidikan autentik
Siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap
masalah nyata. Mereka harus menganalisis dan mendefinisikan masalah,
mengembangkan hipotesis dan membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis
informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat inferensi dan merumuskan
kesimpulan.
4) Menghasilkan produk/karya dan memamerkannya
Pembelajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu
dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili
bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat berupa transkip
debat, laporan, model fisik, video atau program komputer (Ibrahim & Nur, 2000:5-7
dalam Nurhadi, 2003:56)
Pembelajaran berbasis masalah yang peneliti gunakan terdiri dari lima tahapan utama
yang yang dimulai dengan guru memperkenalkan siswa dengan suatu situasi masalah
dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Dalam pembelajaran ini
perhatian pembelajaran tidak hanya pada perolehan pengetahuan deklaratif tetapi
perolehan pengetahuan prosedural. Oleh karena itu, untuk mengetahui hasil belajar siswa
tidak cukup hanya dilakukan dengan tes. Penilaian dan evaluasi yang sesuai dengan
pembelajaran berbasis masalah adalah menilai pekerjaan yang dihasilkan oleh siswa
sebagai hasil penyelidikan mereka. Hasil belajar akan lebih baik dan tertanam dalam diri
siswa melalui suatu proses pembelajaran yang dilakukan sendiri oleh siswa.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa pada materi sistem persamaan linear
dalam dua variabel dengan menerapkan model pembelajaran Problem Based Learning.
Lokasi dan subyek penelitian adalah siswa kelas VII B SMP Negeri 2 Yogyakarta, semester
1 tahun ajaran 2013/2014 yang terdiri dari 32 siswa.
Penelitian ini mencakup empat langkah yaitu 1) perencanaan (planing) , 2) tindakan (acting),
3) pengamatan (observing), dan 4) refleksi (reflecting).
Dalam pengumpulan data digunakan berbagai teknik antara lain :
686
3. Tes Tertulis
Tes tertulis digunakan untuk mengumpulkan data siswa berkenaan hasil pengusaan materi
sistem persamaan linear yang dikuasai siswa, setelah siswa mengikuti proses perlakuan
yang dilakukan oleh peneliti, sehingga didapatkan hasil yang akurat dan dapat
menggambarkan secara jelas kemampuan siswa dalam memecahkan masalah matematika
tersebut. Penyekoran dilakukan dengan pedoman penyekoran holistik yaitu mengukur
kecakapan siswa dalam memecahkan masalah matematika. Kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah matematika diuraikan menjadi 4 item yaitu: memahami masalah,
merumuskan pemecahan masalah, melaksanakan pemecahan masalah, dan mengambil
kesimpulan. Untuk itu peneliti membuat rubrik soal yang memuat 4 item tersebut sebagai
pedoman penyekoran. Setiap item diuraikan menjadi tiga pilihan jawaban bertingkat dari 0
sampai 2.
4. Lembar observasi
Untuk mengontrol kegiatan guru apakah sudah sesuai dengan pendekatan Problem Based
Learning, digunakan lembar observasi.
3. Catatan lapangan
Catatan tertulis tentang apa yang didengar, dilihat, dialami dan dipikirkan dalam rangka
pengumpulan data. Dalam hal ini catatan lapangan digunakan untuk mencatat kejadian
penting yang muncul pada saat proses pembelajaran matematika berlangsung yang belum
terdapat pada pedoman observasi.
4. Dokumentasi
Dokumentasi dalam penelitian ini berupa data sekolah, nama siswa, dan foto kegiatan
pembelajaran.
Subyek penelitian 32 siswa maka jumlah skor minimal adalah 0 32 = 0 dan jumlah skor
maksimal adalah 32 2 = 64.
687
1
Mi = (64 0) 32
2
1
Sbi = (64 0) 10,06
6
Berdasarkan kriteria penafsiran di atas digunakan kriteria penafsiran sebagai berikut.
3.1.1 Perencanaan
1) Menyiapkan perangkat pembelajaran seperti RPP
2) Menyiapkan Lembar Kerja Siswa (LKS) 1, 2, 3
3) Menyusun dan menyiapkan soal-soal pemecahan masalah dan kuncinya
4) Menyusun dan menyiapkan lembar observasi.
3.1.4 Refleksi
Secara garis besar, pelaksanaan siklus pertama berlangsung cukup baik, karena kegiatan ini
merupakan hal yang baru bagi guru. Kegiatan siklus I perlu diulang, karena berdasarkan
hasil evaluasi nilai rata-rata kelas sudah terpenuhi yaitu sebesar 40,2 dengan kategori baik
dan untuk masing-masing aspek skor rata-rata yang diperoleh : (a) kemampuan memahami
masalah dari 55 (baik), (b) kemampuan merumuskan masalah dari 43 (baik) (c) kemampuan
menyelesaikan masalah dari 35 (sedang) (d) kemampuan menyimpulkan masalah dari 27
(sedang) tetapi untuk persentase banyak siswa yang memperoleh kategori baik baru
mencapai 38% atau sebanyak 12 anak dari 32 anak. Agar kemampuan siswa dalam
memecahkan masalah, bekerjasama dengan kelompok dapat ditumbuhkembangkan dan dan
persentase skor kemampuan pemecahan masalah siswa yang memperoleh kategori baik
dapat lebih ditingkatkan, maka upaya perbaikan pada siklus berikutnya seperti hal di bawah
ini.
1) Guru lebih memotivasi siswa untuk mengungkapkan gagasan secara lisan dengan
memberikan pertanyaan-pertanyaan pada saat berlangsungnya pembelajaran.
2) Untuk meningkatkan pemahaman siswa guru membuat kartu masalah untuk diskusi
sehingga mampu mengeksplorasi pemahaman siswa pada materi yang disampaikan.
Serta siswa lebih kreatif dalam memecahkan masalah matematika yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari.
3) Tetap menggunakan model pembelajaran yang sama dalam KBM.
3.2.1 Perencanaan
1) Menyiapkan perangkat pembelajaran seperti RPP dengan berdasar pada siklus 1
2) Menyiapkan Lembar Kerja Siswa (LKS) 3, 4, dan 6
3) Menyusun dan menyiapkan soal-soal pemecahan masalah dan kuncinya
4) menyusun dan menyiapkan lembar observasi.
Dalam kegiatan pada siklus kedua didapatkan hasil refleksi sebagai berikut.
3.2 Pembahasan
Hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan dengan menerapkan problem based learning
pada materi sistem persamaan linear dalam dua variabel dapat meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah matematika. Dari refleksi pengamatan siklus I dan siklus II
menunjukkan bahwa pengelolaan pembelajaran berbasis masalah pada materi sistem
persamaan linear dua variabel sudah mengalami peningkatan. Hal ini didasarkan pada hasil
pengamatan terhadap kinerja guru dalam pengelolaan pembelajaran mengalami peningkatan
siklus pertama ke siklus kedua dan semua tahapan dalam pembelajaran berbasis masalah
sudah dilaksanakan guru dengan baik.
Hasil evaluasi tes kemampuan pemecahan masalah mengalami peningkatan dari siklus I dan
siklus II. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa ditunjukkan
dengan rata-rata skor tes siswa mengalami peningkatan dari 40,2 (sedang) pada siklus I
menjadi 52,75 (baik) pada siklus II dan skor rata-rata tiap aspek kemampuan pemecahan
masalah matematika terhadap skor maksimal tiap aspek kemampuan pemecahan masalah
matematika ada kenaikan dari siklus I ke siklus II, yaitu: (a) kemampuan memahami masalah
dari 55 (baik) pada siklus I menjadi 63 (baik) pada siklus II, (b) kemampuan merumuskan
masalah dari 43 (baik) pada siklus I menjadi 57 (baik) pada siklus II, (c) kemampuan
menyelesaikan masalah dari 35 (sedang) pada siklus I menjadi 48 (baik) pada siklus II, (d)
kemampuan menyimpulkan masalah dari 27 (sedang) pada siklus I menjadi 42 ( sedang)
pada siklus II.
Demikian pula untuk persentase banyak siswa yang memperoleh kategori baik 38% pada
siklus 1 atau atau sebanyak 12 anak dari 32 anak menjadi 84% pada siklus II atau sebanyak
27 anak dari 32 anak
4.1 Kesimpulan
Berdasar analisis dan hasil pembahasan, kesimpulan dalam penelitian ini adalah :
1. Penerapan model pembelajaran problem based learning dapat meningkatkan
kemampuan pemecahan masalah siswa kelas VIII B SMP Negeri 2 Yogyakarta;
2. Hasil skor rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas VIII B
SMP Negeri 2 Yogyakarta tahun ajaran 2013/2014 pada siklus I sebesar 40,2 dan pada
siklus II menjadi 52,75 atau naik sebesar 31,2%;
3. Persentase siswa yang memperoleh skor rata-rata kategori baik pada siklus I adalah 38%
dan siklus II sebesar 84 %.
4. 2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini peneliti menyarankan sebagai berikut ;
1. Bagi rekan guru terutama guru matematika untuk mencoba menerapkan model
pembelajaran Problem Based Learning
2. Bagi peneliti untuk melakukan penelitian dengan menerapkan Problem Based Learning
untuk meningkatkan kemampuan-kemampuan matematika lainya yang harus dikuasai
siswa yang belum sempat diteliti.
Daftar Pustaka
Abbas, Nurhayati. 2000. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Beroriantasi Model
Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Instruction). Program Studi Pendidikan
Matematika Pasca Sarjana.UNESA.
Arikunto, Suharsimi.1997. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Baedhowi. 2007. Kebijakan Pengembangan Kurikulum. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah lampiran 3 Standar Kompetensi dasar Tingkat
SMA, MA, SMALB, SMK dan MAK. Jakarta: Ditjen Dikdasmen.
Erman Suherman, dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Kontemporer. Bandung: JICA, UPI.
692
Hudoyo, Herman. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Mohamad Nur. 2005. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah
Unesa.
Nurhadi. 2003. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) Dan
Penerapannya Dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang.
Ratna Wilis Dahar. (2006). Teori-teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:Erlangga.
Robert E Slavin. (2005). Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Bandung:Nusa Media.
693
Surastri, S.Pd.Si
MIN Yogyakarta 2; roisabiq@yahoo.com
Kata kunci: Eksplorasi Attributive Benda Semi Konkrit, Minat Belajar Siswa,
Pembelajaran Operasi Hitung Matematika
1. Pendahuluan
Masih banyak siswa tingkat sekolah dasar yang kesulitan untuk mengikuti pembelajaran
matematika, khususnya pada materi operasi hitung; penjumlahan, pengurangan, pembagian,
dan perkalian. Siswa kurang memahami konsep-konsep dasar secara benar dan memiliki
masalah dalam pemahaman konsep-konsep lanjutan. Pembelajaran matematika di sekolah
pada umumnya menggunakan objek bersifat abstrak. Objek abstrak tersebut diusahakan agar
mudah dipahami oleh siswa, salah satunya adalah dengan menggunakan benda-benda semi
konkrit untuk menggambarkan atau mewakili objek abstrak tersebut.
Pemahaman terhadap matematika menuntut keaktifan dan kreativitas yang tinggi dari siswa
sebagai pihak yang belajar dan guru sebagai fasilitator belajar, agar tidak menimbulkan
masalah dalam kegiatan belajar mengajar. Masalah yang sering muncul dalam proses
pembelajaran adalah antusiasme siswa dalam belajar rendah, kurang bersemangat, dan
cenderung tidak aktif. Oleh sebab itu, variasi strategi pembelajaran dan penggunaan media
yang relevan oleh guru sangat diperlukan untuk memperoleh hasil belajar yang memuaskan.
Salah satu strategi yang diterapkan dalam pembelajaran operasi hitung adalah melalui
694
pendekatan eksplorasi atribut benda semi konkrit. Harapannya dapat meningkatkan minat
belajar siswa yang ditandai dengan adanya peningkatan keaktifan siswa dalam kegiatan
belajar mengajar. Melalui kegiatan eksplorasi attributive benda semi konkrit siswa diarahkan
untuk memahami secara utuh dan tidak abstrak dalam melakukan operasi hitung dengan
visualisasi benda-benda semi konkrit yang persis sebagaimana bentuk asli dari benda
konkrit.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka perlu dilakukan sebuah penelitian yang dapat
dideskripsikan secara ilmiah apakah penerapan eksplorasi attributive benda semi konkrit
pada pembelajaran operasi hitung dapat meningkatkan minat belajar siswa tingkat sekolah
dasar.
Penelitian ini dibatasi pada penelitian mengenai eksplorasi attributive benda semi konkrit
pada pembelajaran operasi hitung yaitu materi penjumlahan dan pengurangan untuk siswa
kelas 1 MIN Yogyakarta 2.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, maka dapat di rumuskan sebagai
berikut: Apakah pendekatan eksplorasi attributive benda semi konkrit pada pembelajaran
operasi hitung dapat meningkatkan minat belajar siswa kelas 1 MIN Yogyakarta 2?
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pendekatan eksplorasi attributive
benda semi konkrit pada pembelajaran operasi hitung dapat meningkatkan minat belajar
siswa kelas 1 MIN Yogyakarta 2?
2. Kerangka Teoritis
1.5 Attributive
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, attributive atau atribut dalam bahasa Indonesia
adalah tanda kelengkapan (berupa baret, lencana, dsb) atau sifat yang menjadi ciri khas
(suatu benda atau orang). Sedangkan dalam Advanced English Indonesia Dictionary
"attributive" adalah yang berhubungan dengan kata sifat; kata benda yang berfungsi sebagai
kata sifat yang mendahului dan menerangkan kata benda.
Ichdar Domu (1993) menyebutkan bahwa suatu objek mempunyai ciri-ciri berupa atribut-
atribut yang dimilikinya. Atribut-atribut suatu objek dapat dibedakan dalam ukuran, warna,
bentuk, dan hubungannya. Pasangan atribut akan membentuk konsep tentang suatu objek
atau gejala alam di dalam pikiran.
Berdasarkan uraian di atas bahwa atribut dari suatu objek benda dapat berupa gambar atau
model dari benda konkrit yang bisa digambarkan sebagai simbol yang menjelaskan tentang
konsep-konsep yang abstrak. Oleh karena itu agar anak lebih mudah mempelajari suatu
konsep maka digunakan simbol, karena simbolisasi mampu menjamin adanya komunikasi
dan mampu memberikan keterangan untuk membentuk suatu konsep baru (Ichdar
Domu,1993).
Dalam memahami suatu simbol, seorang anak dituntut untuk melakukan dua aktifitas yaitu
aktifitas fisik dan aktifitas mental. Aktifitas fisik berkaitan dengan proses ia melihat simbol,
sedangkan aktifitas mental berkaitan dengan proses menterjemahkan simbol yang ia lihat.
Leslie P. Steffe (1995) dalam Ichdar Domu (1993) mengatakan:
’’The child should begin to see that the symbolism enables him to
perform mentally an operation which would be rather inconvenient to
perform in actuality’’.
Ungkapan ini menggambarkan bahwa seorang anak mengalami hambatan untuk melakukan
aktifitas mental dikarenakan simbol yang ia lihat tidak dapat diterjemahkan ke dalam benda
konkrit. Dengan demikian penggunaan simbol khususnya dalam matematika menuntut
paling sedikit dua kemampuan, yaitu kemampuan melihat (mengenal secara visual) simbol-
simbol tersebut dan kemampuan menterjemahkan simbol tersebut ke dalam arti matematika.
Oleh karena itu, penggunaan simbol ditujukan agar objek yang dimakud dapat dilihat
dengan singkat, tepat, dan dimengerti.
696
Berdasarkan uraian di atas atribut atau simbol yang dimaksudkan dalam penelitian ini
berkenaan dengan gambar benda konkrit ke model semi konkrit dalam membantu
pembelajaran matematika untuk materi operasi dasar penjumlahan dan pengurangan.
Menurut Lisnawaty S., dkk ( 1993) bahwa pengajaran matematika dapat berhasil jika
dimulai dari operasi konkrit dilanjutkan ke operasi semi konkrit kemudian ke semi abstrak
dan terakhir ke operasi abstrak. Misalnya anak didik dapat mengerti 5. Dalam operasi konkrit
agar pengertian 5 tertanam maka dapat dilakukan dengan cara mengambil kelereng atau
benda lain. Anak disuruh menghitung satu kelereng, dua kelereng, dan seterusnya hingga
anak mengerti bahwa satu, satu kelereng, dua, dua kelereng, tiga, tiga kelereng dan
seterusnya. Setelah anak memahami dan mengerti kemudian dilanjutkan ke semi konkrit
yaitu berupa gambar dan lambang bilangan.
Pada tahap semi abstrak mulai tidak memerlukan benda-benda konkrit atau gambar, cukup
menggunakan tanda hitung atau turus. Misalnya menghitung telur ayam sebanyak 7 butir.
Sementara itu, pada tahap abstrak anak sudah tidak perlu menggunakan bantuan alat-alat
konkrit.
Belajar matematika dengan tahapan seperti di atas menurut Piaget (1980) termasuk dalam
tahap Praoperasional yaitu usia 2-6 tahun, karena anak sudah dapat melakukan tingkat
permulaan, anak dapat melihat pandangan orang lain atau dapat melakukan tindakan atas
operasi. Akan tetapi pada tahap ini tidak menutup kemungkinan dipengaruhi oleh tahap-
tahap sebelumnya, sesuai dengan Teori Piaget bahwa terdapat keterkaitan antara umur dan
tahap-tahap, yang berarti anak bergerak melewati tahap-tahap tertentu sebelum mencapai
tahap berikutnya. Perkembangan matematika juga berjalan melalui tahap-tahap dalam dalam
periode tertentu sehingga pada setiap tahap terbentuk sedikit pengetahuan lalu membangun
skema sehingga mengakibatkan perubahan struktural mental.
Menurut Piaget (1964) dalam Slamet Suyanto (2005) bahwa anak secara aktif mengonstruksi
pengetahuan dengan cara berinteraksi dengan lingkungan sekelilingnya. Berdasarkan hasil
interaksinya anak mengembangkan skema, yaitu memori atau gambaran anak tentang
sesuatu. Ada dua ciri tipe skema yaitu figuratif dan operatif. Skema figuratif adalah skema
tentang ciri benda, seperti bentuk, warna dan tekstur yang secara langsung dapat dilihat atau
diraba bendanya. Sedangkan skema operatif adalah skema tentang hal-hal yang tidak dapat
dilihat langsung dari bendanya, tetapi harus dilakukan dengan proses berfikir.
Berdasarkan uraian di atas maka anak usia sekolah dasar sudah mulai mampu mengenal
benda-benda konkrit dan semi konkrit sejak dini bahkan sebelum usia sekolah sudah
mengerti tentang banyak dan sedikitnya benda-benda tersebut, serta dapat mengenali
perubahan dalam banyaknya benda.
Menurut Sri Rumini, dkk (1995), belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh
individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang relatif menetap, baik yang
diamati maupun yang tidak dapat diamati secara langsung, yang terjadi sebagai suatu hasil
latihan atau pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan.
Pembelajaran di kelas menjadi lebih efektif bila diperhatikan perbedaan individu dan faktor-
faktor yang mempengaruhi belajar, pemberian lingkungan belajar yang kondusif akan sangat
membantu tercapainya proses pembelajaran. Penggunaan alat belajar dalam hal ini media
pembelajaran yang lengkap dan tepat akan memperlancar penerimaan bahan pelajaran yang
diberikan pada siswa. Pengkaitan proses pembelajaran dengan kejadian di sekitar siswa akan
memberikan pengalaman belajar yang lebih bermakna dan berguna bagi siswa dalam
membantu mengenali gejala-gejala alam dan memecahkan persoalan hidup sehari-hari.
Matematika memiliki ciri-ciri penting yaitu (1) memiliki objek kejadian yang abstrak dan (2)
berpola pikir deduktif dan konsisten (Depdikbud, 1993). Oleh karena itu, untuk mempelajari
matematika memerlukan kemampuan belajar abstrak, yaitu belajar yang menggunakan cara
698
berfikir abstrak guna memperoleh pemahaman dan pemecahan masalah yang tidak nyata
sehingga hal ini diperlukan kemampuan berfikir yang kuat serta penguasaan atas konsep,
prinsip, dan generalisasi (Muhibbin Syah, 1995). Sifat dari matematika yang abstrak sering
menimbulkan kesulitan belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat J. Wullur (1971) dalam Tim
MKPBM. (2001), bahwa berhitung (matematika) mengandung beberapa aspek kesukaran
dan yang penting dalam berhitung adalah kesanggupan mengabstraksi.
Dalam matematika operasi diartikan sebagai “pengerjaan”. Pada dasarnya operasi hitung
mencakup 4 pengerjaan dasar yaitu penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian
(ST Negoro dan B Harahap, 1998).
Hubungan antara penjumlahan dan pengurangan menurut ST Negoro dan B Harahap (1998),
yaitu pengurangan diartikan sebagai pengerjaan mencari suku yang tidak diketahui. Apabila
kita mengetahui jumlah dan salah satu suku dari penjumlahan itu, maka mencari suku yang
lain dilakukan dengan pengurangan. Contoh: 2 + … = 3 sama dengan artinya 3 – 2 = ….
Gerlach dan Ely seperti yang dikutip oleh Azhar Arsyad (2002) menyatakan bahwa media
adalah manusia, materi atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu
memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap. Dalam pengertian ini guru, buku teks,
dan lingkungan sekolah merupakan media. Secara umum media diartikan sebagai segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga
dapat merangsang pikiran, perasaan, dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa
sehingga proses pembelajaran dapat terjadi (Arief S. Sadiman, Rahardjo, Anung Haryono
dan Rahardjito, 2002).
Azhar Arsyad (2002) mengemukakan ciri–ciri umum yang terkandung dalam pengertian
media, yaitu:
699
a) Media pendidikan memiliki pengertian fisik yang dewasa ini dikenal sebagai hardware
(perangkat keras) yaitu sesuatu benda yang dapat dilihat, didengar atau diraba dalam
pancaindera.
b) Media pendidikan memiliki pengertian non-fisik yang dikenal sebagai software
(perangkat lunak), yaitu kandungan pesan yang terdapat dalam perangkat keras yang
merupakan isi yang ingin disampaikan pada siswa.
c) Penekanan media pendidikan terdapat pada visual dan audio.
d) Media pendidikan memiliki pengertian alat bantu pada proses belajar baik di dalam
maupun di luar kelas.
e) Media pendidikan digunakan dalam rangka komunikasi dan interaksi guru dan siswa
dalam proses pembelajaran.
f) Media pendidikan dapat digunakan secara masal, kelompok besar dan kelompok kecil
atau perorangan.
g) Sikap, perbuatan, organisasi, strategi, dan manajemen yang berhubungan dengan
penerapan suatu ilmu.
Menurut Kemp dan Dayton seperti yang dikutip oleh Ahzar Arsyad (2002), beberapa
dampak positif dari penggunaan media dalam pembelajaran di kelas, antara lain:
a) Penyampaian pelajaran menjadi lebih baku.
b) Pembelajaran menjadi lebih menarik.
c) Pembelajaran menjadi lebih interaktif.
d) Lama waktu pembelajaran dapat dipersingkat.
e) Kualitas hasil belajar dapat ditingkatkan apabila integrasi kata dan gambar sebagai media
pembelajaran dapat mengkomunikasikan elemen-elemen pengetahuan yang
diorganisasikan dengan baik, spesifik, dan jelas.
f) Pembelajaran dapat diberikan kapan dan dimana saja yang diinginkan.
g) Sikap positif siswa terhadap apa yang mereka pelajari dan terhadap proses belajar dapat
ditingkatkan.
Harjanto (1997) mengemukakan manfaat media pembelajaran secara umum, yaitu :
a) Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistis.
b) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indra.
c) Menggunakan media pembelajaran secara tepat dan bervariasi dapat mengatasi sikap
pasif siswa.
Dari uraian di atas ternyata dalam dunia pendidikan, komputer memiliki peran yang besar
untuk meningkatkan kualitas pembelajaran matematika. Banyak hal abstrak yang sulit
dipikirkan oleh anak dapat dipresentasikan melalui simulasi komputer. Hal ini akan lebih
mempermudah jalan pikiran anak dalam memahami konsep matematika. Pengembangan
proses pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan menggunakan komputer. Komputer
dapat digunakan dalam penanaman dan penguatan konsep, membuat pemodelan matematika,
dan menyusun strategi dalam memecahkan masalah.
Dalam penelitian ini, media eksplorasi yang akan digunakan adalah aplikasi Microsoft
Power Point. Aplikasi Microsoft Power Point berfungsi untuk membantu user dalam
700
menyajikan presentasi. Dengan fasilitas, animation, suatu slide dapat dimodifikasi dengan
menarik. Begitu juga dengan adanya fasilitas: Font Picture, Sound dan Effect dapat dipakai
untuk membuat suatu slide yang bagus.
Menurut WS Winkel (1989) minat dapat diartikan sebagai kecendrungan subyek yang
menetap, untuk dapat merasa tertarik pada suatu bidang atau pokok bahasan tertentu dan
merasa senang untuk mempelajari materi itu. Sejalan dengan itu menurut Tien Kartini (2007)
siswa yang memiliki minat terhadap obyek tertentu cenderung untuk memberikan perhatian
yang lebih besar terhadap obyek tersebut. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan
suatu hubungan dengan sengaja antara diri sendiri dengan keadaan luar diri. Semakin kuat
atau dekat hubungan itu, maka semakin besar minat yang ditampilkannya. Suatu minat dapat
diekspresikan melalui pernyataan yang menunjukkan bahwa seseorang lebih menyukai suatu
hal daripada yang lain.
Berdasarkan pengertian minat di atas, maka minat siswa dalam pembelajaran adalah
ketertarikan siswa pada materi pembelajaran yang menarik perhatian dan diekspresikan
dengan rasa senang untuk mempelajari materi yang disampaikan oleh guru.
2 Metodologi Penelitian
Penelitian ini berdasarkan kriteria eksplanasi termasuk jenis penelitian eksploratif. Menurut
Singarimbun dan Sofian Efendi (1985: 3) menjelaskan penelitian eksploratif adalah sebagai
berikut:
Model pengembangan menurut Azhar Arsyad (2002) adalah model pengembangan yang
dirumuskan dalam penelitian pengembangan ini berdasarkan model pengembangan
ASSURE (Analyze learner characteristics, State objective, Select or modify media, Utilize,
Require learner response, and Evaluate)
Prosedur penelitian dengan model pengembangan ASSURE ini melalui beberapa tahap
yaitu:
1. Analyze learner characteristics yaitu menganalisa karakteristik umum kelompok
sasaran, apakah anak usia dini, anak sekolah dasar, sekolah lanjutan, perguruan tinggi
atau yang lainnya. Selain itu juga menganalisa karakteristik khusus yang meliputi usia,
jenis kelamin, pendidikan, pengetahuan, ketrampilan, latar belakang budaya sosial,
perilaku awal anak dan karakteristik awal anak.
2. State objective yaitu menyatakan atau merumuskan tujuan pengajaran, yaitu perilaku
atau kemampuan baru yang diharapkan dapat dimiliki dan kuasai oleh anak seperti;
pengetahuan, keterampilan atau sikap setelah proses belajar mengajar selesai. Tujuan ini
akan mempengaruhi pemilihan media dan urut-urutan penyajian dan kegiatan belajar.
3. Select or modify media yaitu memilih, memodifikasi atau merancang dan
mengembangkan materi dan media yang tepat. Apabila materi dan media pengajaran
telah tersedia dan siap dipakai maka akan dapat mencapai tujuan, materi dan media
dengan menghemat waktu, tenaga dan biaya. Materi dan media juga perlu diperhatikan
karena akan mampu membangkitkan minat anak didik, memiliki ketepatan informasi,
memiliki kualitas yang baik, memberikan anak kesempatan untuk berpartisipasi, serta
telah terbukti efektif. Jika materi dan media yang ada tidak cocok dengan tujuan atau
tidak sesuai dengan sasaran partisipan, materi dan media dapat dimodifikasi. Jika tidak
memungkinkan untuk memodifikasi barulah merancang dan mengembangkan materi
dan media yang baru.
4. Utilize yaitu menggunakan media dan materi yang telah disusun. Setelah memilih
materi dan media yang tepat, diperlukan persiapan bagaimana dan berapa banyak waktu
untuk menggunakannya. Disamping praktek dan latihan menggunakannya dan
persiapan ruangannya.
5. Require learner response yaitu meminta tanggapan dari siswa. Dalam tahap ini peneliti
dengan bantuan guru mendorong anak didik untuk memberikan respon dan umpan balik
mengenai kefektifan proses belajar mengajar sehingga, anak didik akan menampakan
partisipasi yang lebih besar.
6. Evaluate yaitu mengevaluasi proses belajar. Tujuan utama evaluasi disini adalah untuk
mengetahui tingkat pencapaian anak mengenai tujuan pengajaran, keefektifan media,
pendekatan dan guru sendiri.
702
Menurut Suharsimi Arikunto (1990), subjek penelitian merupakan benda, hal atau orang,
tempat data untuk variabel penelitian melekat dan yang dipermasalahkan. Subjek dalam
penelitian eksplorasi dan pengembangan ini adalah siswa kelas 1B Madrasah Ibtidaiyah
Negeri Yogyakarta 2.
Penelitian dilaksanakan selama semester 1 pada bulan Oktober Tahun Pelajaran 2011/2012.
Lokasi pelaksanaan penelitian di laboratorium komputer MIN Yogyakarta 2.
1. Observasi
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi yang
dilakukan bertujuan untuk memperoleh informasi secara langsung, yang dilakukan dengan
cara mengadakan pengamatan secara teliti dan pencatatan secara sistematis (Sudjana,
1989:84).
Adapun observasi yang dilakukan adalah pendataan informasi yang berkaitan dengan minat
belajar siswa dalam pembelajaran seperti; sikap atau perilaku siswa yang menunjukan rasa
suka, senang dan bersemangat dan selalu menunjukan rasa penasaran untuk terus mencoba
media yang digunakan.
2. Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk mendapatkan data kelengkapan program maupun proses
pembelajaran yang dilakukan di laboratorium komputer. Dalam penelitian ini menggunakan
dokumentasi rekaman video camera untuk mengamati keaktifan siswa dalam pembelajaran.
703
Instrumen adalah suatu alat ukur yang digunakan sebagai alat pengumpulan data. Sesuai
dengan teknik pengumpulan data yang digunakan, maka instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pedoman penilaian minat belajar siswa serta instrument lain berupa
gambar-gambar benda semi konkrit, komputer, LCD, kamera digital dan materi
pembelajaran dan soal-soal operasi hitung.
Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif dengan pengolahan data secara
kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif pengolahan data dilakukan melalui analisis hasil
observasi, wawancara dan dokumentasi sesuai dengan instrumen yang digunakan. Secara
kuantitatif analisis data dilakukan melalui pengolahan data dari hasil tes, pengukuran dan
penilaian atau evaluasi.
Tahap-tahap eksplorasi:
a. Tahap Persiapan:
1) Perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian hingga metode penelitian yang
digunakan. Pada tahapan ini dilakukan seperti lazimnya pembuatan karya ilmiah yang
dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
2) Menyiapkan alat dan bahan penunjang seperti: buku program animasi power point,
buku paket matematika kelas 1, dan hardware serta software
b. Tahap perancangan media pembelajaran
1) Perancangan dan pembuatan program animasi dengan menggunakan program
microsoft power point.
Pembuatan media diawali dengan pembuatan petunjuk atau menu belajar yang di
ditampilkan kepada siswa. Untuk membantu pemahaman siswa disertai dengan
aplikasi suara yang menjelaskan tulisan yang ada pada media. Adapun ilustrasi
gambar sebagai berikut:
704
2) Pembuatan materi dan soal operasi hitung yang akan ditunjukkan kepada siswa.
Adapun materi soal pertama berhubugan dengan “membilang” ilustrasi salah satu
gambar membilang sebagai berikut:
Materi soal ke-empat berhubungan dengan “mengurang” ilustrasi salah satu gambar
pengurangan sebagai berikut:
Media pembelajaran yang telah dibuat diuji coba guru untuk mengetahui relevansi isi materi
dan tujuan pembelajaran. Pada uji coba media ini siswa di hadapkan pada komputer yang
telah disiapkan medianya, setiap komputer digunakan oleh 2-3 siswa. Masing-masing siswa
diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi materi dan soal operasi hitung.
Pada tahap ini siswa diberikan kesempatan untuk melakukan ekplorasi attribut benda semi
konkrit yang diaplikasikan pada pembelajaran operasi hitung penjumlahan dan pengurangan.
Pemahaman konsep operasi hitung untuk kelas 1 dilakukan dalam 2 kali pertemuan dalam
satu semester.
706
d. Tahap Evaluasi
Tahap evaluasi dilakukan dengan tindakan observasi untuk mengetahui dampak positif
penerapan eksplorasi attributive benda semi konkrit melalui media komputer. Dalam
penelitian ini observasi yang dilakukan adalah pendataan informasi yang berkaitan dengan
minat siswa dalam pembelajaran seperti; sikap atau perilaku dan keaktifan siswa yang
menunjukan rasa suka, senang dan bersemangat dan selalu menunjukan rasa penasaran untuk
terus mencoba media yang digunakan.
b. Lembar observasi
Untuk membantu dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan lembar angket
observasi yang terdiri dari beberapa pertanyaan evaluasi berkaitan dengan sikap siswa
setelah mengikuti proses kegiatan belajar mengajar. Adapun lembar observasi di uraikan
dalam lampiran.
Hasil penerapan eksplorasi attributive benda semi konkrit pada pembelajaran operasi hitung
memberikan dampak positif. Berdasarkan data observasi terjadi peningkatan minat belajar
siswa, dan siswa yang menyatakan tertarik atau suka, senang dan bersemangat dengan
pendekatan pembelajaran ini dijelaskan dalam tabel dibawah ini:
1. Tahap Pengamatan
Pada tahap pengamatan peneliti melakukan evaluasi terhadap siswa bahwa; ada
peningkatan aktivitas belajar siswa, ketertarikan, interaksi siswa, kerjasama, berdiskusi
dalam kelompok.
2. Tahap Penilaian
Peningkatan minat belajar siswa, dan siswa yang menyatakan 82,9%
tertarik atau suka, senang dan bersemangat:
Tidak tertarik, membosankan, tidak paham, lainnya: 17,1%
3.2 Pembahasan
memahami konsep matematika dengan menggunakan benda semi konkrit yang diaplikasikan
kedalam media pembelajaran komputer. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan tingkat
keberhasilan penerapan proses eksplorasi dapat diterapkan untuk siswa kelas 1 tingkat
Sekolah Dasar /Madrasah Ibtidaiyah.
3. Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan penerapan pembelajaran melalui pendekatan eksplorasi
attributive benda semi konkrit pada pembelajaran operasi hitung siswa kelas satu MIN
Yogyakarta 2 memberikan hasil yang positif. Berdasarkan data observasi terjadi peningkatan
minat belajar siswa, siswa yang menyatakan tertarik atau suka, senang dan bersemangat
dengan pendekatan pembelajaran ini ada 82,9% sementara 17,1% menyatakan sebaliknya.
Sehingga, disimpulkan bahwa tanggapan siswa terhadap media ini sangat baik dan minat
anak-anak dalam belajar matematika lebih meningkat.
Daftar Pustaka
Arief S., Sadiman, 2002. Media Pendidikan: Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Asim. 2000. Penelitian Pengembangan. Makalah. Disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya
Sistematika Penelitian Pengembangan. Malang: FIP UNM.
Azhar Arsyad. 2002. Media Pembelajaran. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Depdikbud, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
_____ 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
_____ 1989. Advanced English Indonesia Dictionary. Jakarta: Modern English Press.
Depdiknas. 2002. Acuan Menu Pembelajaran Pada Pendidikan Anak Usia Dini (Menu Pembelajaran
Generik). Jakarta: Depdiknas.
Firmanawaty Sutan. 2003. Mahir Matematika Melalui Permainan. Jakarta: Puspa Swara.
Harjanto. 1997. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Ichdar Domu. 1993. Kemampuan Matematika Siswa SMP Negeri di Kabupaten
Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Tesis. IKIP Jakarta.
Lisnawaty S., Poltak M., dan Domi C.M. 1993. Metode Mengajar Matematika 1. Jakarta: Rineka
Cipta.
Masri Singarimbun dan Sofian Efendi. 1985. Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta.
Muhibbin Syah. 2004. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. Bandung:
Rosdakarya.
Nana Sudjana dan Ahmad Rivai. 2002. Media Pembelajaran. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
708
Negoro, S.T. dan B. Harahap. 1998. Ensiklopedia Matematika. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Slamet Suyanto. 2005. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta: Depdiknas.
Sri Andayani. 2003. Pengantar Ilmu Komputer. Petunjuk Praktikum.
Yogyakarta: FMIPA UNY.
Sri Anitah. 2004. Model-Model Penelitian Pengembangan Bidang Pendidikan dan
Pembelajaran. Makalah. Disampaikan dalam Seminar Lokakarya Nasional Metodologi
Penelitian Pengembangan. Yogyakarta: FIP dan PSTP Program Pascasarjana UNY.
Sri Rumini, dkk. 1995. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: FIP UNY.
Suharsimi Arikunto. 1990. Prosedur Penelitian, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Tim MKPBM. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-UPI.
Winkel. 1991. Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Grasindo.
WS Winkel. 1989. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Tien Kartini. 2007. Penggunaan Metode Role Playing Untuk Meningkatkan Minat Siswa dalam
Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di Kelas V SDN Cileunyi I Kabupaten Bandung.
Bandung: Jurnal Pendidikan Dasar Nomor:8.
709
Abstrak. Salah satu model yang dapat dijadikan alternatif dalam pemilihan model
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik perkembangan siswa dan sesuai dengan
materi pembelajaran adalah model pembelajaran Snowball Throwing. Dalam
pembelajaran Snowball Throwing, bola salju merupakan kertas yang berisi pertanyaan
yang dibuat oleh siswa kemudian dilempar kepada temannya sendiri untuk dijawab.
Pada paper ini akan dikaji pemanfaatan model pembelajaran snowball throwing dalam
pembelajaran matematika di SD, khususnya pada topik pecahan yang merupakan salah
satu topik yang sulit dipahami oleh siswa SD. Dikaji pula penerapannya jika dipadukan
dengan pembelajaran tutor sebaya (peer teaching) yang sesuai.
Kata kunci: Snowball throwing, aktivitas, pemecahan masalah
1. Pendahuluan
Model pembelajaran merupakan salah satu komponen yang menentukan keberhasilan
pembelajaran. Model pembelajaran memberikan arahan proses pembelajaran yang
disesuaikan dengan beberapa aspek psikologis siswa serta aspek materi pelajaran yang sesuai
dengan model pembelajaran itu sendiri. Manfaat model pembelajaran bagi guru yaitu: (1)
memudahkan pelaksanaan tugas pembelajaran; (2) sebagai alat untuk mendorong aktivitas
siswa; (3) memudahkan untuk melakukan analisa terhadap perilaku siswa; (4) memudahkan
untuk menyusun bahan pertimbangan dasar dalam merencanakan Penelitian Tindakan Kelas
dalam rangka memperbaiki atau menyempurnakan kualitas pembelajaran. Siswa
mendapatkan kesempatan yang lebih luas untuk berperan aktif dalam kegiatan pembelajaran;
memudahkan untuk memahami materi pembelajaran; mendorong semangat belajar serta
ketertarikan mengikuti pembelajaran secara penuh; dapat melihat atau membaca kemampuan
pribadi di kelompoknya secara objektif.
Sulitnya pemahaman siswa terhadap materi pecahan terjadi karena kurangnya guru dalam
penanaman konsep pecahan sehingga berdampak pada kelesuan siswa dan akhirnya
menimbulkan pemikiran bahwa matematika itu sulit. Sebagai contoh, lebih kecil dari .
Padahal jika dilihat bilangan 3 lebih besar dari bilangan 2. Dengan hal tersebut siswa
memerlukan penjelasan lebih lanjut agar tidak terjadi kerancuan antara bilangan bulat dan
pecahan.
Kenyataan pada sekolah jenjang lebih tinggi, banyak dijumpai keluhan guru terhadap
penguasaan materi pecahan oleh siswanya dan selanjutnya memberikan pernyataan bahwa
710
pembelajaran materi pecahan pada jenjang sekolah di bawahnya belum tuntas. Artinya,
masih banyak dijumpai masalah dalam penguasaan konsep pecahan oleh siswa.
Siswa sering mendapatkan kendala dalam mengoperasikan pecahan, hal ini terlihat ketika
mengerjakan soal-soal matematika yang menyangkut dengan operasi pecahan. Artinya,
sebagian besar siswa masih lemah dalam menguasai konsep menghitung bilangan pecah,
sebagai dasar untuk mencapai prestasi belajar matematika yang memadai. Berdasarkan
penelitian Suyitno Hadi (dalam Erni Maidiah,1988:86) tentang kemampuan siswa sekolah
dasar dalam mengerjakan operasi pecahan dan hubungannya dalam penguasaan konsep
pecahan, ditemukan bahwa “kemampuan siswa Sekolah Dasar dalam mengerjakan operasi
hitung pada pecahan masih rendah”.
Satu alternatif yang dapat digunakan dalam penyelesaian masalah dengan memberikan
peluang kepada siswa untuk berinovasi, berkreasi dalam proses pembelajaran adalah dengan
model pembelajaran kooperatif tipe snowball throwing. Model kooperatif tipe snowball
throwing mengemas pembelajaran dalam bentuk kelompok-kelompok kecil yang diberikan
tugas untuk menyelesaikan masalah pecahan. Model snowball throwing kemudian dipadukan
dengan tutor sebaya (peer teaching) agar tercipta suasana belajar dan bantuan siswa terhadap
siswa lain dalam pembelajaran sehingga didapat manfaat yang besar dalam proses
pemahaman terhadap pecahan.
Snowball throwing adalah suatu metode pembelajaran yang diawali dengan pembentukan
kelompok yang diwakili ketua kelompok untuk mendapat tugas dari guru kemudian masing-
masing siswa membuat pertanyaan yang dibentuk seperti bola (kertas pertanyaan) lalu
dilempar ke siswa lain yang masing-masing siswa menjawab pertanyaan dari bola yang
diperoleh (Arahman, 2010: 3).
Pada model pembelajaran Snowball Throwing melatih siswa untuk lebih tanggap menerima
pesan dari orang lain, dan menyampaikan pesan tersebut kepada temannya dalam satu
kelompok. Lemparan pertanyaan tidak menggunakan tongkat seperti model pembelajaran
Talking Stik akan tetapi menggunakan kertas berisi pertanyaan yang diremas menjadi sebuah
bola kertas lalu dilempar-lemparkan kepada siswa lain. Siswa yang mendapat bola kertas lalu
membuka dan menjawab pertanyaannya.
Menurut Surya dikutip (Soeprodjo dkk., 2008:295), metode tutor sebaya merupakan metode
yang dilakukan dengan cara memperdayakan kemampuan siswa yang memiliki daya serap
tinggi, siswa tersebut mengajarkan materi atau latihan kepada teman-temannya yang belum
paham. Pemakaian tutor dari teman mereka memungkinkan siswa tidak merasa enggan untuk
bertanya, dengan adanya tutor dapat memberikan keringanan pada guru dalam memberikan
contoh soal atau latihan. Peran guru adalah mengawasi kelancaran pelaksanaan metode ini
dengan memberi pengarahan dan lain-lain. Dalam memilih tutor sebaya hendaknya
diperhatikan segi kemampuan dalam penguasaan materi dan kemampuan dalam membantu
orang lain.
712
Dengan penciptaan suasana belajar yang menyenangkan bagi siswa, materi pelajaran akan
mudah diserap dan dipahami oleh siswa. Dengan demikian kebermaknaan pembelajaran
akan lebih mudah tercapai sehingga akan tertanam pada siswa tersebut. Jika hal ini
dipadukan dengan memasukkan pendekatan tutor sebaya, diharapkan siswa akan lebih
leluasa menyampaikan permasalahan juga ide-idenya. Karena siswa tidak merasa sungkan
menyampaikannya kepada teman yang bertindak sebagai tutor dalam kelompoknya. Siswa
akan lebih terbuka jika menyampaikannya kepada temannya dibanding dengan
menyampaikannya kepada guru. Dalam hal ini guru bertindak sebagai nara sumber utama.
Guru bertugas memberikan bantuan kepada kelompok yang mengalami kesulitan yang
disampaikan melalui siswa sebagai tutor.
(1) Guru menyampaikan materi yang akan disajikan, dan Kompetensi Dasar yang
ingin dicapai.
(2) Guru membentuk siswa berkelompok, lalu memanggil masing-masing ketua
kelompok untuk memberikan penjelasan tentang materi pecahan.
(3) Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masing-masing,
kemudian menjelaskan materi yang disampaikan oleh guru kepada temannya.
(4) Kemudian masing-masing siswa diberikan satu lembar kertas kerja, untuk
menuliskan satu pertanyaan apa saja yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok.
(5) Kemudian kertas yang berisi pertanyaan tersebut dibuat seperti bola dan dilempar
dari satu siswa ke siswa yang lain selama ± 15 menit.
(6) Setelah siswa dapat satu bola/satu pertanyaan diberikan kesempatan kepada siswa
untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk bola tersebut
secara bergantian.
(7) Evaluasi.
(8) Penutup.
Implementasi pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan Snowball Throwing yang
dipadukan dengan metode tutor sebaya sebagai berikut:
1) Guru menyampaikan materi yang akan disajikan, dan Kompetensi Dasar yang ingin
dicapai.
713
2) Menentukan siswa yang akan dijadikan tutor bagi siswa lain. Siswa yang dipilih
merupakan siswa yang telah memahami materi pecahan. Siswa tersebut bertanggung
jawab terhadap pemahaman materi oleh siswa lain dalam kelompoknya.
3) Membentuk kelompok kecil dimana dalam setiap kelompok tersebut terdapat siswa
yang akan bertindak sebagai tutor dari langkah pada poin 2.
4) Guru memberi penjelasan cara dan aturan bermain Snowball Throwing kepada
siswa.
5) Siswa membuat soal pecahan dalam selembar kertas yang akan dikerjakan oleh
siswa lain. Kemudian kertas tersebut diremas sehingga menyerupai bola.
6) Tutor memulai melemparkan bola kertas tersebut secara acak kepada salah satu
siswa dalam kelompoknya.
7) Siswa yang mendapatkan bola kertas melemparkannya ke siswa yang lain, boleh
secara acak atau secara sengaja.
8) Siswa yang mendapatkan bola kertas dari temannya melemparkannya kembali ke
siswa lainnya.
9) Siswa ketiga/siswa terakhir, berkewajiban untuk mengerjakan soal yang ada dalam
kertas tersebut. Dalam hal ini setiap anggota kelompok hanya akan menerima 1
(satu) bola kertas.
10) Siswa lain mengikuti cara yang dilakukan oleh tutor sehingga seluruh siswa dalam
kelompok mendapatkan soal dalam bola kertas.
11) Apabila semua anggota kelompok telah selesai melemparkan bola kertasnya
dilanjutkan mengerjakan soal.
12) Kegiatan selanjutnya adalah pembahasan soal yang telah dikerjakan dalam
kelompok tersebut. Jika dalam pembahasan terdapat masalah/soal tidak dapat
didiskusikan di kelompoknya, maka tutor meminta penjelasan/menanyakan kepada
guru.
4.2 Contoh Pembelajaran dengan Model Snowball Throwing dan Peer Teaching
Adapun contoh pelaksanaan pembelajaran dengan model snowball throwing yang dipadukan
dengan pendekatan tutor sebaya (Peer Teaching) dapat tergambar pada uraian berikut:
Langkah pertama yang harus dilakukan guru adalah menentukan siswa yang akan bertugas
sebagai tutor. Penentuannya didasarkan pada tingkat penguasaan materi oleh siswa yang
terpilih tersebut.
Jika siswa yang bertindak sebagai tutor telah terpilih dan kelompok kecil telah terbentuk,
maka masing-masing kelompok melakukan aktivitas sesuai dengan petunjuk guru. Masing-
masing anggota kelompok membuat 5 butir soal pecahan dan menyiapkan jawaban pada
kertas lain yang akan digunakan dalam pembahasan pada akhir kegiatan kelompok. Sehingga
dalam 1 (satu) kelompok kecil akan menghasilkan soal sejumlah 5 butir soal dikalikan
jumlah anggota. Jika dalam kelompok tersebut mempunyai 6 anggota kelompok, maka
terdapat 30 soal pecahan dalam tiap-tiap kelompok. Bobot soal yang tersusun akan sangat
beragam sesuai dengan potensi dan tingkat pemahaman siswa.
714
Melalui kegiatan penyusunan soal, siswa akan berpikir dan memformulasikan soal pecahan
berikut dengan jawaban soal. Dalam hal ini secara tidak sadar siswa telah mengeksplorasi
dirinya untuk berpikir kritis dan berusaha menemukan penyelesaiannya (jawaban soal).
Ketika soal telah terjawab semua, tutor bertugas memandu pembahasan dalam kelompoknya.
Tutor memberikan bantuan jika terdapat anggota kelompok yang memerlukan dan apabila
tutor menemui kesulitan dapat meminta bantuan penjelasan kepada guru. Dari hasil
penjelasan tersebut dapat dibahas dalam kelompoknya sampai anggota kelompok dapat
memahami materi pembahasan.
Kegiatan evaluasi dilakukan guru terhadap seluruh siswa (siswa masih berada pada
kelompoknya). Hasil evaluasi tersebut dapat mengetahui tingkat penguasaan materi pecahan
oleh masing-masing kelompok yang selanjutnya tutor bersama dengan anggota kelompoknya
akan membahas ulang jika dalam kelompoknya belum bisa mencapai tingkat pemahaman
yang ditentukan oleh guru.
G
a
Lemparan 1 Tutor
F
E A
Gambar 1
C
Penjelasan:
Lemparan pertama dilakukan oleh siswa A (tutor) kepada siswa C, kemudian siswa
C melemparkan bola kertas kepada D dan siswa D melemparkan kepada siswa E.
Lemparan ketiga jatuh pada siswa E, maka siswa E mengerjakan soal yang terdapat
dalam bola kertas tersebut.
715
Siswa lain melakukan seperti siswa A, C, D dan E. Apabila seluruh bola kertas telah
dilempar dan semua anggota kelompok mendapatkan bola kertas dari teman lain,
kegiatan selanjutnya adalah mengerjakan soal.
Pembahasan dilakukan dalam kelompok dipandu oleh siswa yang bertugas sebagai
tutor. Dalam hal pembahasan ini tutor tersebut bertanggung jawab terhadap
penyelesaian soal dalam kelompoknya.
Adapun kelebihan bimbingan tutor sebaya menurut Suryono dan Amin (dalam Djamarah,
2006:35) adalah sebagai berikut.
1. Adanya suasana hubungan yang lebih akrab dan dekat antara siswa yang dibantu
dengan siswa sebagai tutor yang membantu.
2. Bagi tutor sendiri kegiatan merupakan pengayaan dan menambah motivasi belajar.
3. Bersifat efisien, artinya bisa lebih banyak yang dibantu.
4. Dapat meningkatkan rasa tanggung jawab akan kepercayaan.
a. Sangat bergantung pada kemampuan siswa dalam memahami materi sehingga apa
yang dikuasai siswa hanya sedikit. Dilihat dari soal yang dibuat siswa biasanya
hanya seputar materi yang sudah dijelaskan atau seperti contoh soal yang telah
diberikan.
b. Ketua kelompok jika tidak mampu menjelaskan dengan baik tentu menjadi
penghambat bagi anggota lain untuk memahami materi.
c. Tidak ada kuis individu maupun penghargaan kelompok sehingga siswa saat
berkelompok kurang termotivasi untuk bekerja sama.
d. Memerlukan waktu yang panjang.
e. Murid yang nakal cenderung untuk berbuat onar.
f. Kelas sering kali gaduh karena kelompok dibuat oleh murid.
Adapun kelemahan bimbingan tutor sebaya menurut Suryono dan Amin (dalam Djamarah,
2006:35) adalah sebagai berikut.
a. Siswa yang dipilih sebagai tutor sebaya dan berprestasi baik belum tentu mempunyai
hubungan baik dengan siswa yang dibantu.
b. Siswa yang dipilih sebagai tutor sebaya belum tentu bisa menyampaikan materi
dengan baik.
Guna meminimalisir kelemahan yang terdapat pada kedua model tersebut dapat ditempuh
cara berikut:
1. Guru lebih aktif melayani dan mengkondisikan siswa ketika diskusi kelompok
berlangsung sehingga siswa tidak berbuat menyimpang dari kegiatan yang
seharusnya dikerjakan.
2. Memberikan reward kepada kelompok yang dapat mencapai nilai tertinggi.
3. Memberikan bantuan terhadap tutor dalam memberikan bantuan kepada siswa lain
dalam kelompoknya.
7. Kesimpulan
Pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode kooperatif tipe snowball throwing
yang dipadukan dengan pendekatan tutor sebaya dapat dijadikan alternatif dalam mencapai
tujuan pembelajaran. Dengan suasana belajar yang menyenangkan dan diikuti dengan
bantuan dari siswa lain dalam kelompok, akan memicu semangat siswa lain dalam
pemecahan masalah pecahan sehingga pembelajaran akan berjalan efektif. Dan penerapan
cara ini tidak menutup kemungkinan dapat diterapkan pada materi lain yang relevan.
717
Daftar pustaka
Anif, S. 2012. Profesi Guru Antara Konsep, Implementasi, dan Pola Pembinaan. FKIP Universitas
Muhammadiyah Surakarta. Surakarta
Arjanggi Ruseno & Suprihatin Titin, 2010, Metode Pembelajaran Tutor Teman Sebaya Meningkatkan
Hasil Belajar Berdasar Regulasi Diri, Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 14, No. 2,
Desember 2010: 91-97
Isjoni, H. 2009. Pembelajaran Kooperatif: Meningkatkan Kecerdasan Komunikasi Antar Peserta
Didik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta
Kuliah Gratis, “Kesulitan Belajar Siswa SD pada Materi Pecahan”, 2009,
http://kuliahgratis.net/kesulitan-belajar-siswa-sd-pada-materi-pecahan/#chitika_close_button
diakses tanggal 30 Oktober 2013
Lie, Anita. 2002. Pembelajaran Kooperatif. Grasindo. Jakarta
Maidiyah, E. 1999. Efektivitas Pembelajaran kooperatif Pada Topik Pecahan di Sekolah Dasar
(Doctoral dissertation, Tesis).
Robert, E. Slavin. 1980: 315-342."Cooperative learning." Review of Educational Research 50.2
Suherman, E. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.Bandung: JICA IMSTEP
Universitas Pendidikan Indonesia.
Suprijono, A. 2009. Cooperative learning: teori & aplikasi PAIKEM. Pustaka Pelajar.
Whitman, N. A., & Fife, J. D. 1988. Peer Teaching: To Teach Is To Learn Twice. ASHE-ERIC Higher
Education Report No. 4, 1988. ASHE-ERIC Higher Education Reports, The George Washington
University, One Dupont Circle, Suite 630, Dept. RC, Washington, DC 20036-1183.
Wu, H. 1999. Some remarks on the teaching of fractions in elementary school. Retrieved
electronically from http://math. berkeley. edu/~ wu/fractions2. pdf diakses tanggal 9 November
2013
718
1. Pendahuluan
Pendidikan atau mendidik tidak hanya sebatas mentransfer ilmu saja, namun yang lebih
utama adalah dapat mengubah atau membentuk karakter dan watak seseorang agar menjadi
lebih baik dalam tataran etika, estetika, maupun perilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah mencanangkan
penerapan pendidikan karakter untuk semua tingkat pendidikan. Jika karakter sudah
terbentuk sejak usia dini, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang.
Pendidikan karakter diharapkan dapat membangun kepribadian bangsa.
719
Pendidikan karakter sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut
para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat
menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika
anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20%
sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Hal ini menunjukkan bahwa 80%
kecerdasan siswa bisa dibentuk pada masa pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar
(sekolah dasar).
Menurut Piaget (NCTM, 1989) usia siswa sekolah dasar (7-12 tahun) merupakan masa
operasional kongkrit, dimana pada masa ini siswa belajar dengan menggunakan hal-hal yang
kongkrit. Hal ini sesuai dengan azas pembelajaran matematika realistik Indonesia yang
menyatakan bahwa matematika harus dikaitkan dengan realita dan aktivitas manusia sehari-
hari. Aktivitas manusia sehari-hari sangat erat kaitannya dengan budaya yang berkembang di
lingkungan masyarakat setempat. Budaya diartikan sebagai keseluruhan sistem berpikir,
nilai, moral, norma, dankeyakinan (belief) yang merupakan hasil dari interaksi manusia
dengan sesama dan lingkungan alam sehingga menghasilkan sistem sosial, sistem ekonomi,
sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya.
Salah satu budaya yang berkembang di masyarakat dan sangat dekat dengan siswa adalah
permainan (rakyat). Permainan rakyat adalah suatu tradisi masyarakat yang turun menurun
yang dilakukan di sela-sela aktifitas rutin manusia. Biasanya permainan rakyat menggunakan
alat-alat yang masih sederhana yang mudah diperoleh dan ada di sekitar masyarakat
setempat, sehingga permainan rakyat dapat diintegrasikan dalam pembelajaran matematika
realistik. Hal ini bertujuan agar pembelajaran matematika dapat lebih menarik bagi siswa
sekolah dasar karena sesuai dengan tingkat perkembangan siswa yang masih suka bermain.
Pembelajaran matematika realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah pembelajaran
matematika yang dilaksanakan di kelas dengan menempatkan realita dan pengalaman siswa
720
2 Tinjauan Teoritis
2.1 Permainan Setatak
Permainan rakyat Riau adalah permainan rakyat yang terdapat di Propinsi Riau yang
dipengaruhi oleh budaya melayu. Permainan rakyat sudah lama redup karena anak-anak
beralih pada permainan elektronik yang lebih canggih. Namun, sebenarnya banyak makna
mulia yang bisa tergali di balik permainan rakyat. Menurut Alif (2010) seluruh permainan
rakyat di Indonesia memiliki kesamaan yakni pengenalan diri, alam, dan Tuhan. Hal ini
menandakan rakyat Indonesia merupakan satu keturunan dan juga punya hak yang sama.
Salah satu permainan rakyat yang terdapat di Propinsi Riau adalah permainan setatak.
Permainan setatak dimainkan oleh anak-anak sebagai hiburan dengan jumlah pemain 2-4
orang. Permainan setatak dulunya dikenal dengan permainan „dore‟ atau permainan „jengket‟
karena permainan ini dilakukan dengan berjingkat-jingkat. Tidak ada data yang pasti tentang
asal muasal permainan setatak namun diperkirakan muncul sejak tahun 1930an dan sangat
popular di tahun 1950an.
Permainan setatak menggunakan arena permainan yang digambarkan diatas tanah atau di
lantai. Setiap pemain harus menggunakan „gundu‟ atau „ucak‟yang dilemparkan ke arena
permainan untuk menandakan tahapan (ronde) yang telah dilalui pemain dan untuk
menentukan petak mana yang tidak boleh diinjak. Berdasarkan bentuk arena, permainan
setatak dibedakan menjadi empat macam, yaitu setatak rok, setatak lengser, setatak mesjid,
dan setatak gunung. Arena permainansetatak rok layaknya gambar anak perempuan yang
menggunakan rok. Oleh karena itu, permainansetatak rok hanya dimainkan anak perempuan
saja. Arena permainan setatak lengser berbentuk persegi panjang yang terdiri dari delapan
persegi didalamnya. Di dalam satu persegi terdapat beberapa angka sesuai dengan nominal
pecahan mata uang yang berlaku. Pemain yang mendapatkan jumlah terbanyak berdasarkan
lemparan ucak adalah pemenang dalam permainan setatak lengser. Arena permainan setatak
mesjiddan setatak gununghampir sama, yang membedakannya adalah pada bagian puncak.
Bagian puncak pada arena setatak mesjid berbentuk setengah lingkaran yang menyerupai
kubah mesjid, sedangkan bagian puncak pada arena setatak gunung berbentuk segitiga.
721
5 2 3
7 4 9
1 4
M 5
1 2
6
700 S 600
500
800
900
7
100 Le Le
0
mp mp
Gambar 1. Arena permainan setatak rok (kiri) dan setatak lengser (kanan)
6
6
5 7
4 1
5 7
3
3
9 2
9 2
8 8
Gambar 2. Arena permainan setatak mesjid (kiri) dan setatak gunung (kanan)
Keempat jenis permainan setatak dimainkan dengan cara yang hampir sama kecuali pada
setatak lengser. Perbedaan mendasar adalah cara menggunakan ucak yang dilengserkan
722
dengan menggunakan kaki dan terdapat perhitungan nilai berdasarkan angka-angka yang ada
pada petak 8. Secara umum, langkah-langkah bermain setatak adalah sebagai berikut:
Pemain melewati arena mulai dari petak 1 sampai ke petak 9 (pada setatak lengser
hanya sampai petak 7) dan kembali ke petak 1.
Pemain melewati setiap petak dengan jara berjingkat atau meloncat dengan sebelah
kaki, sementara kaki ataupun tangan tidak boleh menyentuh garis pada setiap petak.
Kecuali petak 9, pemain boleh berhenti sejenak dengan menurunkan kedua kakinya.
Pada ronde pertama, ucak diletakkan di petak 1, pada ronde kedua pada petak 2, dan
seterusnya.
Pemain tidak boleh menginjak petak yang terdapat ucak, baik ucak sendiri maupun
ucaklawan. Pemain harus melompat untuk melewati petak tersebut.
Pada akhir satu ronde, pemain mencari bintang dengan cara berdiri dibawah petak 1
dengan membelakangi arena permainan dan melemparkan ucakke arah arena
permainan. Petak tempat jatuhnya ucak ditandai gambar bintang dengan
menggunakan ucak.
Petak yang memiliki bintang boleh diinjak dengan dua kaki oleh pemilik bintang
tapi harus dilompati oleh lawan.
Dalam pendidikan matematika realistik, dunia nyata (real world) digunakan sebagai titik
awal untuk mengembangkan ide dan konsep matematika. De Lange (1996) mendefenisikan
dunia nyata sebagai sesuatu yang kongkrit yang disampaikan kepada siswa melalui aplikasi
matematika. Proses pengembangan konsep dan ide matematika yang dimulai dari dunia
nyata disebut “matematisasi konsep”. Treffers (dalam Darhim, 2004) membedakan
matematisasi ke dalam dunia macam, yaitu matematisasi horizontal dan vertikal.
Gravemeijer (1994) mendefenisikan matematisasi horizontal sebagai kegiatan mengubah
masalah kontekstual ke dalam masalah matematika, sedangkan matematisasi vertikal adalah
proses formulasi masalah ke dalam beragam penyelesaian matematika dengan menggunakan
sejumlah aturan yang sesuai.
bagaimana caranya membantu agar proses konstruksi dalam pikiran siswa dapat berlangsung
(Marpaung, 2001).
Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk darihasil
internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagailandasan
untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atassejumlah nilai,
moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, danhormat kepada orang
lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkankarakter masyarakat dan karakter
bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakterbangsa hanya dapat dilakukan melalui
pengembangan karakter individu seseorang.Akan tetapi, karena manusia hidup dalam
lingkungan sosial dan budaya tertentu, makapengembangan karakter individu hanya dapat
dilakukan dalam lingkungansosial dan budaya yang bersangkutan.
Menurut Suyanto pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang
melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Dengan
pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan
menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi adalah bekal penting dalam mempersiapkan
anak menyongsong masa depan, karena akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala
macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
3 Metode Penelitian
Penelitian yang dilakukanmerupakanpenelitianpengembangan yang merupakan lanjutan dari
penelitian sebelumnya. Sesuai dengan prinsip penelitian pengembangan, kegiatan dimulai
dengan analisis kebutuhan (need analysis), dilanjutkan dengan tahapan perancangan produk,
uji coba rancangan, revisi rancangan, dan pembuatan produk akhir. Penelitian ini dilakukan
di laboratorium pembelajaran matematika Program Studi Pendidikan Matematika FKIP
Universitas Riau. Uji coba hasil rancangan dilakukan disekolah dasar di kota Pekanbaru
dengan berbagai tingkatan kemampuan siswa dalam pembelajaran matematika.
Untuk setiap KD, bahan ajar dimulai dengan memaparkan masalah yang berkaitan
dengan permainan setatak (the use of contexts).
Siswa diminta untuk memikirkan konsep matematika yang terkandung di dalam
masalah serta mengaitkannya dengan materi yang terdapat pada mata pelajaran
lain(the intertwinment of various learning strands).
Siswa mengamati, menalar, dan berdiskusi untuk mengerjakan bahan ajar (the
interactive character of teaching process).
Siswa menggunakan model matematika yang terdapat pada bahan ajar untuk
menyelesaikan masalah (the use of models).
Secara individu, siswa mengerjakan evaluasi yang terdapat pada bahan ajar (the use
of student’s own production and contructions).
725
Bahan ajar kemudian diujicobakankepada siswa kelas 1, 2, dan 3 SD Negeri 117 Pekanbaru.
Pemilihan lokasi ujicoba karena SD Negeri 117 terletak di pinggir kota Pekanbaru (15-20 km
dari pusat kota). Ujicoba dilaksanakan di luar jam pelajaran, karena SD Negeri 117
Pekanbaru belum menerapkan kurikulum 2013. Dari hasil ujicoba ditemukan bahwa masih
ada 3-5 siswa yang tidak mengetahui permainan setatak sehingga membuat siswa kesulitan
memahami masalah yang menggunakan permainan setatak sebagai konteks. Bahkan ada satu
orang guru (wali kelas 3) yang tidak mengetahui permainan setatak. Setelah ditelusuri
ternyata guru tersebut bukan merupakan penduduk asli Riau. Dalam memahami konsep
matematika, siswa tidak menemukan kesulitan berarti karena bahan ajar disusun secara
sistematis sehingga jika siswa mengikuti langkah-langkah yang terdapat dalam bahan ajar,
maka siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.
Bahan ajar tidak memuat asal usul permainan dan cara bermain, sehingga masih ada
siswa dan guru (khususnya yang berasal dari luar Riau) yang kebingungan dalam
menggunakan bahan ajar.
Beberapa gambar kartun yang digunakan pada bahan ajar tidak mencerminkan
karakter rakyat Riau, walaupun gambar tersebut sangat dekat dengan siswa.
Terdapat beberapa istilah pada bahan ajar yang belum sesuai dengan tingkat
pemikiran siswa sekolah dasar.
Lay outdan pewarnaan bahan ajar masih belum optimal.
Selanjutnya peneliti merevisi bahan ajar dengan berfokus kepada permasalahan serta
masukan dari guru dan siswa. Namun, karena keterbatasan waktu dan biaya, bahan ajar yang
telah direvisi tidak diujicobakan lagi di sekolah.
Dari temuan penelitian dapat disarankan kepada para guru di sekolah dasar untuk
mengintegrasikan permainan setatak dalam pembelajaran matematika. Pengintegrasian
permainan setatak melalui pembelajaran matematika realisistik akan membuat materi lebih
726
mudah untuk dipelajari siswa karena dikaitkan dengan hal-hal yang nyata. Pengintegrasian
permainan setatak dalam pembelajaran juga dapat melestarikan permainan rakyat Riau dari
kepunahan secara bertahap.
Daftar Pustaka
1. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Kehidupan di abad XXI yang ditandai dengan adanya peningkatan pada ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni budaya serta perubahan masyarakat pada tataran lokal, nasional, regional,
dan global di masa depan berdampak pada aneka kemajuan dan perubahan yang akan
melahirkan tantangan internal dan eksternal di bidang pendidikan. Dunia pendidikan selalu
mengarahkan proses pendidikan mengikuti arus tantangan dan kebutuhan zaman.
Matematika sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah memiliki peran yang penting dalam
pengembangan kemampuan siswa. Oleh karena itu, proses pembelajaran diupayakan
memfasilitasi siswa dalam menghadapi tantangan dan kebutuhan zaman. Berdasarkan
728
Standar Proses yang merupakan kriteria mengenai pelaksanaan pembelajaran pada satuan
pendidikan untuk mencapai Standar Kompetensi Lulusan proses pembelajaran pada satuan
pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik
serta psikologis peserta didik. Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan
pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan. Sesuai dengan
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) dan Standar Isi (SI) maka prinsip pembelajaran yang
digunakan adalah:
1. dari peserta didik diberi tahu menuju peserta didik mencari tahu;
2. dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber
belajar;
3. dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan
ilmiah;
4. dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis kompetensi;
5. dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu;
6. dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran dengan
jawaban yang kebenarannya multi dimensi;
7. dari pembelajaran verbalisme menuju keterampilan aplikatif;
8. peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan
keterampilan mental (softskills);
9. pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik
sebagai pembelajar sepanjang hayat;
10. pembelajaran yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing ngarso
sung tulodo), membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan
mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri
handayani);
11. pembelajaran yang berlangsung di rumah, di sekolah, dan di masyarakat;
12. pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja
adalah siswa, dan di mana saja adalah kelas;
13. pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas pembelajaran; dan
14. pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta didik.
SKL memberikan kerangka konseptual tentang sasaran pembelajaran yang harus dicapai.
Standar Isi memberikan kerangka konseptual tentang kegiatan belajar dan pembelajaran
yang diturunkan dari tingkat kompetensi dan ruang lingkup materi.
Pada kurikulum 2013, mengamanatkan esensi pendekatan ilmiah dimana pendekatan ilmiah
diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan sikap, keterampilan, dan
pengetahuan peserta didik. Saran kepada guru untuk menerapkan pendekatan ilmiah dalam
proses pembelajaran dilakukan secara eksplisit, yaitu didukung oleh penataan muatan
kompetensi dasar jelas benang merahnya pada domain sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Penerapan pendekatan ilmiah dalam proses pembelajaran matematika tujuannya untuk
mengantarkan para siswa menjadi insan yang kreatif dan eksis pada abad 21. Penerapan
pendekatan ilmiah dalam proses pembelajaran matematika di SMP/MTs sangat dianjurkan
karena dengan penerapan tersebut pembelajaran menjadi berpusat pada siswa dan
kemampuan yang dimiliki siswa benar-benar diberdayakan. Peran guru sebagai fasilitator
dan memberikan konfirmasi-konfirmasi yang diperlukan untuk memantapkan perolehan
sikap, pengetahuan, atau keterampilan matematika dari proses belajar.
Standar Proses mengatakan bahwa untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik
terpadu (tematik antarmata pelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran), perlu
diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/penelitian (discovery/inquiry learning).
Untuk mendorong kemampuan peserta didik menghasilkan karya kontekstual, baik
individual maupun kelompok maka sangat disarankan menggunakan pendekatan
pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based
learning).
Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning /PjBL) adalah metode pembelajaran
yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai media. Peserta didik melakukan eksplorasi,
penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil
belajar. PjBL merupakan metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal
dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya
dalam beraktivitas secara nyata. PjBL dirancang untuk digunakan pada permasalahan
komplek yang diperlukan peserta didik dalam melakukan insvestigasi dan memahaminya.
Melalui PjBL, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun (a
guiding question) dan membimbing peserta didik dalam sebuah proyek kolaboratif yang
mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pada saat pertanyaan
terjawab, secara langsung peserta didik dapat melihat berbagai elemen utama sekaligus
berbagai prinsip dalam sebuah disiplin yang sedang dikajinya. PjBL merupakan investigasi
mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha
peserta didik. Mengingat bahwa masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang
berbeda, maka Pembelajaran Berbasis Proyek memberikan kesempatan kepada para peserta
didik untuk menggali konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna
bagi dirinya, dan melakukan eksperimen secara kolaboratif. PjBL merupakan investigasi
mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha
730
b. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, maka dapat dibuat rumusan
masalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah model PjBL dalam pembelajaran matematika?
2. Bagaimanakah efektivitas pembelajaran matematika dengan model PjBL?
c. Tujuan
2. Pembahasan
Penelitian ini adalah penelitian pengembangan, yang digunakan untuk menghasilkan produk
tertentu dan menguji keefektifan produk tersebut. Adapun yang dikembangkan dalam
penelitian ini adalah model pembelajaran Project Based Learning (PjBL). PjBL
dikembangkan dengan tahapan analisis, desain, pengembangan, implementasi, dan evaluasi.
Pengembangan model pembelajaran PjBL untuk pembelajaran matematika khususnya untuk
kelas VII SMP dilakukan dengan mengikuti model pengembangan sistem ADDIE melalui
modifikasi dari peneliti.
a. Analysis (Analisis)
Analisis dilakukan terhadap aspek-aspek yang berkaitan dengan pengembangan model
pembelajaran meliputi:
1) Analisis kurikulum matematika kelas VII SMP yang meliputi analisis Kompetensi Inti-
Kompetensi Dasar (KI-KD).
2) Analisis materi yang sesuai untuk dilakukan pembelajaran matematika dengan model
PjBL untuk pembelajaran matematika khususnya untuk kelas VII SMP
3) Analisis daya dukung sekolah, baik kemampuan guru, kemampuan siswa, sarana, dan
prasarana sekolah yang memungkinkan untuk dilakukannya model pembelajaran PjBL
untuk pembelajaran matematika khususnya untuk kelas VII SMP.
b. Design (Perancangan)
Setelah tahap analisis, selanjutnya dirancang model pembelajaran PjBL untuk
pembelajaran matematika khususnya untuk kelas VII SMP, yang meliputi:
731
1) Penyusunan RPP
2) Penyusunan materi ajar sesuai KI-KD
3) Penyusunan LKS
4) Penyusunan Lembar Penilaian Siswa
Model pembelajaran PjBL yang dikembangkan adalah untuk pembelajaran pada KI-1, KI-2,
KI-3, KD-3.5 serta KI-4, KD-4.1 pada kelas VII.
c. Development (Pengembangan)
Tahap pengembangan meliputi tahap pembuatan atau penyusunan model pembelajaran
sesuai dengan hasil perancangan. Tahap pengembangan meliputi:
b) Peran guru pada proses pembelajaran sudah ada perencanaan, desain, dan
strategi pembelajaran, serta mengumpulkan tugas yang diberikan kepada
siswa. Sedangkan butir pernyataan mencari keunikan siswa dalam
menyelesaikan proyek dan menilai siswa belum nampak, dengan skor
6 .
c) Peran siswa nampak pada menggunakan kemampuan bertanya dan berpikir,
melakukan riset sederhana, mempelajari ide dan konsep baru, melakukan
kegiatan belajar sendiri, dengan skor
d) Karakteristik PjBL nampak pada adanya permasalahan atau tantangan yang
diajukan kepada peserta didik dan adanya situasi pembelajaran yang toleran
terhadap kesalahan dan perubahan. Untuk karakteristik lainnya belum
nampak dengan skor . Pengembangan Tahap IV Model PjBL sesuai
dengan masukan dari pertemuan pembelajaran ke-2 dianggap sebagai hasil
pengembangan tahap V.
5) Hasil pengembangan tahap V, selanjutnya diimplementasikan di kelas pada pertemuan
ke-3, yang dilaksanakan pada tanggal 11 Oktober 2013.
Hasil observasi pada pertemuan ke-3 ini sebagai berikut.
a) Pada pelaksanaan proses pembelajaran, dengan intrumen yang ada nampak skor
mencapai
b) Peran guru dengan intrumen yang ada nampak skor mencapai
c) Peran siswa dengan intrumen yang ada nampak skor mencapai 100 %
d) Karakteristik PjBL dengan intrumen yang ada nampak skor mencapai 10
6) Pengembangan Tahap V Model PjBL sesuai dengan masukan dari pertemuan
pembelajaran ke-3 dianggap sebagai Hasil Pengembangan Tahap VI
7) Hasil Pengembangan Tahap VI, selanjutnya diimplementasikan di kelas pada pertemuan
ke-4, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Oktober 2013 dimana Hasil observasi pada
pertemuan ke-4 ini merupakan lanjutan dari hasil observasi pertemuan ke-3, hasilnya
seperti berikut ini.
b. Mencari informasi 4 4 4 4 4 4 4
c. Mengelola waktu 4 4 4 4 4 4 4
d. Mengumpulkan data 4 4 4 4 4 4 4
733
Skor Kelompok
No Komponen
1 2 3 4 5 6 7
e. Penulisan laporan 4 3 4 4 3 3 4
b. Mempertimbangkan tahap 4 4 4 4 4 4 4
pengetahuan
c. Mempertimbangkan tahap 4 4 4 4 4 4 4
pemahaman
d. Mempertimbangkan tahap 4 4 4 4 4 4 4
keterampilan
(Penyempurnaan dari
pertemuan ke-3)
Dari hasil tersebut, lebih dari 75% siswa bersikap sangat baik. Selain itu hasil angket
penilaian diri untuk siswa, mengatakan bahwa dengan adanya PjBL siswa merasa
senang (85%), pengalaman belajar kelompok (35,48%), pengalaman melakukan
presentasi (54,84%), dan mendapatkan pengalaman tambahan terkait pola (9,7%).
Namun demikian, juga terdapat beberapa komentar negatif terkait penugasan dengan
proyek, yaitu siswa merasa capek dalam membuat tugas proyek (6,1%).
8) Pengembangan Tahap VI Model PjBL sesuai dengan masukan dari pertemuan
pembelajaran ke-4 dianggap sebagai Hasil Pengembangan Tahap VII.
9) Selanjutnya model tahap VII ini akan dinilaikan kepada pakar (dalam hal ini akan
dinilaikan kepada widyaiswara PPPPTK Matematika, yang memahami tentang PjBL
dan kurikulum 2013), sehingga menjadi model akhir dari tahapan penelitian ini yaitu
Tahap VIII.
Hasil dari pelaksanaan PjBL di sekolah menunjukkan hasil lebih dari 75% siswa bersikap
baik dan lebih dari 75% siswa berhasil melaksanakan tugas dengan baik. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa pelaksanaan PjBL adalah efektif.
Daftar Pustaka
Cruickshank, D.R., Jenkins, D.B., & Metcalf, K.K (2006). The act of teaching, 4th Edition, NY: Mc
Graw Hill
http://www.glencoe.com/sec/teachingtoday/subject/project_based.phtml
Kemdikbub. (2013). Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta: BPSDMPK dan
PMP
Permendikbud No. 81A/2013 Implementasi Kurikulum, Lampiran IV. Pedoman Umum Pembelajaran
Soewandi, Slamet dkk. 2005. Perspektif Pembelajaran di Berbagai Bidang. Yogyakarta: USD
Sukarjo. 2006. Kumpulan Materi Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Jurusan Teknologi
Pembelajaran Progam Pascasarjanan Universitas Negeri Yogyakarta
736
Titik Sutanti
1)
PPPPTK Matematika,Jl. Kaliurang Km. 6,Sleman;ust_titik@yahoo.com
Kata Kunci. Lesson study, comments analysis, reflection rubric, pedagogical content
knowledge, analysis skill
1. Pendahuluan
TIMSS video study pada tahun 1994 melaporkan perbedaan pembelajaran di tiga Negara
yaitu U.S, Jerman, dan Jepang seperti yang dikutip di dalam buku The Teaching Gap (Stigler,
J., danJ. Hiebert, 1999). Pembelajaran di Jepang menekankan pada student’s thinking dan
pemecahan masalah (problem solving), serta metode penyelesaian masalah yang tidak
tunggal. Siswa di Jepang, menghabiskan lebih banyak waktu untuk menyelesaiakan masalah
yang menantang dan mendiskusikan konsep matematika untuk melatih ketrampilan berpikir
mereka. Prestasi belajar matematika siswa Jepang lebih tinggi dari kedua negara tadi. Apa
yang ada di balik kesuksesan pembelajaran di Jepang?
Pendidik di Jepang memiliki system yang mendukung perbaikan proses belajar mengajar
secara bertahap dan berkesinambungan. Sistem tersebut meliputi tujuan pembelajaran yang
jelas untuk siswa, kurikulum yang digunakan, dukungan dari lembaga, dan kerja keras guru
737
itu sendiri untuk selalu membuat perbaikan dari pembelajaran yang mereka lakukan. Jepang
memberi tanggung jawab pada guru untuk perbaikan pembelajaran di kelas. Kounaikenshuu
adalah istilah yang menggambarkan proses peningkatan profesionalisme guru secara
berkelanjutan berbasis sekolah. Salah satu komponen dalam Kounaikenshuu adalah lesson
study.
Lesson study adalah terjemahan dari istilah jugyokenkyu yang terdiri atas jugyo yang berarti
lesson (pembelajaran) dan kenkyu yang berarti study/research (pegkajian). Sehingga lesson
study diartikan sebagai study atau pengkajian atau penilaian terhadap praktek belajar
mengajar. Secara lebih jelas, lesson study didefinisikan sebagai peningkatan keprofesian
berkelanjutan secara kolaboratif di mana guru-guru secara sistematis menilai praktik
mengajar mereka dengan tujuan untuk perbaikan ke arah yang lebih efektif dan berdampak
pada pembelajaran siswa. Siklus lesson study terdiri atas PLAN, DO, dan SEE (reflection).
Guru secara kolaboratif merencanakan pembelajaran bersama-sama, selanjutnya
mempraktekkannya di kelas yang diamati oleh guru-guru lain. Hasil pengamatan tersebut
kemudian didiskusikan pada sesi refleksi sebagai dasar perbaikan pembelajaran di masa yang
akan datang. Siklus lesson study digambarkan oleh Chikamori et al.(2013) sebagai berikut.
Konsep lesson study tersebut kemudian dikenalkan ke Indonesia melalu berbagai program
kerjasama pemerintah Jepang dan Indonesia sejak tahun 1998. Pada tahun 2004/2005
melalui program IMSTEP, Indonesia mulai mengimplementasikan lesson study berbasis
sekolah dan kelompok kerja (MGMP). Lesson study kemudian menjadi strategi peningkatan
profesionalisme guru yang diterapkan dalam program-program pemerintah seperti
BERMUTU (Better Education Through Reformed Management and Universal Teacher
Upgrading) dan Program Induksi Guru Pemula (PIGP).
738
Dari tahapan-tahapan dalam lesson study, tahap SEE atau refleksi merupakan tahap di mana
para guru sejawat yang mengamati jalannya proses pembelajaran pada tahapan DO,
menyampaikan komentarnya dan sarannya berdasarkan hasil pengamatan. Pada tahapan ini
pula akan muncul penilaian tentang kelebihan dan kekurangan proses pembelajaran serta
saran-saran perbaikan bagi proses pembelajaran selanjutnya yang kemudian dibawa pada
proses PLAN untuk siklus berikutya. Dengan logika di atas, maka dapat dikatakan bahwa
improvement atau perbaikan proses pembelajaran dirumuskan melalui diskusi dan refleksi
pada tahap SEE/refleksi, dan apa yang menjadi dasar penyempurnaan pembelajaran adalah
komentar dan saran dari observer dan peserta diskusi dan refleksi pada tahap SEE.
Chikamori et al. (2013) melakukan penelitian pada 3 siklus lesson study yang dilakukan oleh
guru Biologi Afika Selatan. Hasilnya menunjukkan adanya perbaikan pembelajarannya pada
siklus selanjutnya dan perbaikan yang terjadi merefleksikan komentar dan saran pada tahap
refleksi siklus sebelumnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melihat lebih jauh terhadap apa
yang terjadi pada siklus lesson study di Indonesia, utamanya komentar dan saran yang guru-
guru berikan pada tahap refleksi: apa yang menjadi fokus dan bagaimana kualitas komentar
tersebut. Dengan mengetahui fokus dan kualitas komentar pada tahap refleksi siklus lesson
study, diharapkan dapat diketahui pada bagian mana guru di Indonesia masih memerlukan
peningkatan kompetensi, serta dapat diketahui pula kualitas dari lesson study itu sendiri.
2. Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan mengambil sampel 2 video siklus lesson study yang meliputi
tahap DO dan SEE yang dilakukan di 2 sekolah di kabupaten Bantul provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta. Video yang pertama dilakukan di sekolah I dengan materi IPA. Tahap
refleksi dihadiri oleh guru observer, kepala sekolah, pihak dinas pendidikan, dan ahli dari
JICA (Japan International Cooperation Agency). Video kedua adalah video lesson study
yang dilakukan di sekolah II dengan materi IPS. Tahap refleksi dihadiri oleh guru di sekolah
tersebut dan kepala sekolah. Keduanya adalah lesson study berbasis sekolah.
Kedua video tersebut kemudian ditranskrip dan ditranslate ke dalam Bahasa Inggris karena
pada saat penelitian dilakukan, penulis bekerja sama dengan professor dan guru-guru dari
Jepang, Rwanda, Fiji, Samoa, dan Indonesia untuk membantu melakukan pengkodean
komentar. Tahap selanjutnya adalah melakukan segmentasi dari komentar-komentar yang
masuk pada tahap refleksi. Hanya komentar yang berkaitan dengan proses pembelajaran
yang digunakan pada penelitian ini. Komentar berisi ucapan terima kasih atau yang tidak
terkait langsung dengan pembelajaran diabaikan. Setelah melakukan segmentasi sehingga
masing-masing segmen berisi komentar dengan isi tunggal, dilakukan pengkodean untuk
menentukan kategori dan level dari komentar-komentar yang diberikan. Pengkodean tersebut
menggunakan rubrik/manual yang dikembangkan oleh Ono et al., dan dapat diunduh melalui
tautan http://www.naruto-u.ac.jp/facultystaff/onoy/coding.html.
Manual tersebut disusun untuk melakukan pengkodean atas kategori dan level komentar
yang terjadi pada siklus lesson study. Pengkodean tersebut terdiri atas 5 kategori yaitu:
739
Masing-masing kategori terdiri atas 3 atau 4 level. Adapun level komentar tersebut sebagai
berikut.
1. Level satu adalah komentar yang hanya berupa deskripsi, komentar sekilas, tanpa
komentar reflektif.
2. Level dua adalah komentar yang disertai penjelasan, alasan, atau sebab-sebab yang
rasional.
3. Level tiga adalah komentar yang bermakna, mengandung saran yang nyata dan
action oriented.
4. Level empat adalah komentar yang terkait pada good practices, tujuan kurikulum
secara global, dan teori-teori pembelajaran.
Pengkodean dilakukan oleh 8 orang, termasuk penulis dan dosen pembimbing. Pengkodean
dilakukan oleh masing-masing orang secara terpisah. Setelah itu, hasil pengkodean masing-
masing didiskusikan bersama hingga mendapatkan hasil koding final.
Sesi refleksi pada siklus lesson study di sekolah I dilakukan segera setelah pelaksanaan DO
selesai. Komentator yang hadir pada sesi refleksi di sekolah I adalah guru, kepala sekolah,
unsur dinas pendidikan, dan ahli dari JICA. Persentase komentar yang muncul dari masing-
masing komentator tersaji dalam diagram pada Gambar 2.
Dari grafik pada gambar 2, tampak bahwa 43% komentar berasal dari guru, disusul 24% dari
ahli dari Jepang yang hadir sebagai nara sumber, 19% dari kepala sekolah, dan 14% dari
unsur dinas pendidikan. Persentase komentar terbanyak berasal dari guru, ini menunjukkan
bahwa lesson study di Indonesia sudah merupakan aktivitas oleh guru dan dari guru untuk
740
meningkatkan kualitas pembelajaran mereka. Kepala sekolah dan unsur dinas pendidikan
juga memberikan komentarnya terkait pembelajaran. Hal ini menunjukkan adanya dukungan
dari institusi atas peningkatan kualitas pembelajaran dan profesionalisme guru.
Hasil dari pengkodean komentar berdasarkan kategori dan levelnya tersaji dalam tabel 1 dan
grafik pada gambar 3 berikut.
Tabel 1. Kategori dan level komentar pada sesi refleksi siklus lesson study di sekolah I
C Level 3
D 25% 65%
5%
B
5%
741
Gambar 3. Kategori dan Level Komentar pada Sesi Refleksi Siklus Lesson study
di Sekolah I
25% 25%
20%
15%
20%
10%
Percentage
15%
10%
0% 5%
10% 5%
5%
5%
5% 0%
0% Leve…
0% 0% Leve…
0% Leve…
A
B
C Leve…
D
Category E
Berdasarkan kategorisasi, diperoleh hasil bahwa fokus komentar pada sesi refleksi terbanyak
ada pada kategori A (35%), E (30%), dan C (25%), sedikit komentar pada kategori B (5%)
dan D (5%). Sedangkan level komentar paling banyak berada pada level 3 (65%), level 2
(25%) dan level 1 (10%). Ini menunjukkan bahwa kelompok lesson study ini memberikan
komentar yang bermakna, mengandung saran yang nyata dan action oriented. Meskipun
demikian, masih terdapat pula komentar pada level 1 (10%) yang hanya berisi deskripsi dari
apa yang dilihatnya.
Pada penelitian yang dilakukan Chikamori et al. terhadap komentar sesi refleksi
pembelajaran Biologi oleh guru-guru Afrika Selatan, diperoleh hasil bahwa komentar dengan
level tinggi (level 3 & 4) berasal dari narasumber. Penulis kemudian melihat lebih jauh
komentar dari masing-masing komentator di sekolah I ini. Hasilnya disajikan dalam diagram
pada gambar 5.
Dari grafik pada gambar 5 terlihat bahwa guru-guru di Indonesia memberikan komentarnya
pada level 2 dan 3, demikian juga narasumber yaitu ahli dari JICA. Hal ini mengindikasikan
bahwa guru memberikan komentar yang diikuti saran perbaikan bagi pembelajaran
selanjutnya, dengan kata lain guru sejawat berkontribusi pada perbaikan pembelajaran yang
akan datang.
742
Komentar Guru
50% 22%
11% 22%
11%
22%
11%
Level 2
0%
A B Level 4
C D E
Video lesson study di sekolah II adalah video pada sesi DO dan SEE untuk pembelajaran
IPS. Di sekolah ini pelaksanaan sesi refleksi juga dilakukan segera setelah proses
pembelajaran atau tahap DO selesai. Komentator pada sesi refleksi adalah guru dan kepala
sekolah di sekolah tersebut dengan rincian 93% komentar berasal dari guru dan sisanya 7%
komentar berasal dari kepala sekolah. Bisa dikatakan bahwa komentar didominasi oleh guru.
Dari kategorisasi komentar diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 2 Kategori dan level komentar pada sesi refleksi siklus lesson study di sekolah II
Gambar 6. Diagram kategori dan level komentar pada sesi refleksi siklus lesson study
di sekolah II
10%
4%
5% 0%
0% 0%
0% Level 1
0% Level 2
0%
Level 3
A
B Level 4
C
D
E
Hasil pengkodean komentar di sekolah II menunjukkan bahwa fokus komentar ada pada
kategori A (29%), kategori C (30%), dan kategori E (30%). Komentar berada pada level 1
(37%), level 2 (26%), dan level 3 (37%). Karena persentase komentar kepala sekolah yang
sangat kecil, bisa kita asumsikan bahwa komentar guru adalah seperti diagram tersebut.
3.3 Pembahasan
menunjukkan ketiga ranah tersebut merupakan hal yang dianggap paling penting oleh guru-
guru kita dalam pembelajaran di kelas.
Dari kedua sekolah tersebut, sangat sedikit komentar yang berada pada kategori B, yaitu
perilaku guru, dan kategori D yaitu ketercapaian tujuan pembelajaran maupun tujuan
kurikulum. Sedikitnya komentar pada kategori B disebabkan guru segan untuk memberikan
komentar yang berkaitan langsung dengan guru model (guru yang menyampaikan
pembelajaran). Bagaimana dengan kategori D? Kategori A, B, C, dan E, adalah kategori
yang dapat diamati secara langsung menggunakan indera kita. Sedangkan kategori D
memerlukan analisis lebih lanjut dari hasil pengamatan yang dilakukan untuk dapat
menyimpulkan ketercapaian tujuan pembelajaran maupun tujuan kurikulum. Sedikitnya
komentar yang mengarah ke sana menunjukkan perlunya peningkatan kemampuan dan
keterampilan analisis guru-guru di Indonesia supaya dapat menarik kesimpulan dari fakta-
fakta yang ditemukan pada saat pengamatan. Selain itu peningkatan teachers’ pedagogical
content knowledge juga diperlukan supaya guru dapat menarik benang merah dari proses
pembelajaran yang berlangsung dengan pencapaian tujuan dari materi yang diberikan.
Melihat level komentar yang diberikan, di sekolah I, komentar guru berada pada level 2 dan
3, artinya komentar telah memiliki alasan dan disertai saran yang jelas, nyata, dan action
oriented. Sementara itu di sekolah II, masih cukup banyak guru yang memberikan komentar
pada level 1, yang artinya hanya berisi deskripsi dari apa yang dilihatnya tanpa memberikan
alasan ataupun saran yang membangun. Perbedaan level ini mungkin disebabkan oleh
perbedaan mata pelajaran yang disampaikan, sekolah I menyampaikan mata pelajaran IPA
dan sekolah II menyampaikan mata pelajaran IPS. Untuk perbedaan level pada masing-
masing mata pelajaran masih memerlukan penelitian lanjutan, apakah mata pelajaran
mempengaruhi kategori dan level komentar pada sesi refleksi. Sementara itu, sejalan dengan
kurangnya komentar pada kategori D, rendahnya level komentar juga disebabkan oleh
kemampuan mengolah apa yang dilihat dan menganalisisnya menjadi komentar yang lebih
bermakna. Oleh karena itu, peningkatan kemampuan dan keterampilan analisis guru menjadi
salah satu rekomendasi dari hasil penelitian ini.
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa guru-guru di Indonesia telah
menjadikan lesson study sebagai aktivitas dari guru, oleh guru, dan untuk guru. Peningkatan
profesionalisme yang diinginkan guru berfokus pada penggunaan strategi pembelajaran yang
sesuai di kelas, pengelolaan kelas dengan memperhatikan pengalaman belajar dan interaksi
siswa, serta pemanfaatan media yang sesuai dengan materi pembelajaran. Ketercapaian
745
tujuan pembelajaran dari setiap proses pembelajaran masih belum menjadi fokus perhatian
guru, padahal hal ini sangat penting untuk dilakukan karena proses pembelajaran yang
dilakukan sejatinya adalah untuk mencapai kompetensi yang diharapkan dalam tujuan
pembelajaran.
Dilihat dari level komentar yang berada pada level 2, dan 3, menunjukkan guru di Indonesia
menginginkan perbaikan pada proses pembelajaran selanjutnya dengan memberikan alasan
dari komentarnya dan saran-saran yang membangun. Akan tetapi masih adanya komentar
pada level 1 menunjukkan masih perlunya kemampuan analisis guru terhadap fakta-fakta
yang ia temukan pada saat pengamatan. Melakukan siklus lesson study secara rutin dan
mengukur kualitas komentar pada seksi refleksi disarankan untuk dapat meningkatkan
keterampilan analisis guru maupun untuk peningkatan kualitas pembelajaran dan lesson
study itu sendiri. Melakukan re-teaching atau mengajarkannya kembali setelah mendapat
saran dan masukan dari observer juga disarankan supaya dapat terlihat dampak dari
komentar dan saran pada sesi refleksi siklus lesson study sebelumnya, seperti diungkapkan
Yoshida dalam Lewis dan Hurd (2011).
Daftar Pustaka
Chikamori, K., Y. Ono, and J. Rogan. 2013. “A lesson study approach to improving a biology lesson”.
African Journal of Research in Mathematics, Science and Technology Education, Vol 17, No.1
Fernandez, C., and Yoshida, M. 2004. Lesson study: A Japanese Approach to Improving Mathematics
Teaching and Learning. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.
Lewis, C., and J. Hurd. 2011. Lesson study Step by Step: How Teacher Learning Communities
Improve Instruction. US: Greenwood Publishing Group, Inc.
Ono, Y., Chikamori. K., Ozawa, H., Kita, M. 2005. “How Collaborative Planning and Reflection of
Lessons Changed Science Lesson by a South African Teacher: A Case Study of Biology”. Paper
presented at International Council on Education for Teaching, Pretoria, South Africa
Ono, Y., K. Chikamori, and J.M. Rogan. 2012. Manual for the Coding of Post-Lesson Reflection
Discussion. Diunduh dari http://www.naruto-u.ac.jp/facultystaff/onoy/
Ono, Y., K. Chikamori, and J.M. Morgan. “Measuring Levels of Reflection during Lesson study
Discussion Sessions. Submitted to Journal Education for Teaching on August 2012
Ono, Y., 2011. “A Closer look at Post Lesson Conference: What do teacher reflect on?”. Paper
presented at National Seminar on Lesson study at Malang State University. Malang, Indonesia
Stigler, J., and J. Hiebert. 1999. The Teaching Gap. Ney York: Free Press.
_____. 2011. Lesson study in Indonesia. JICA & Ministry of National Education of Republic of
Indonesia
……. . (2006). Guidelines for Lesson study. Naruto University of Education, International
Cooperation Initiative by MEXT Japan
746
Dra. Tumisah
SMKN 1 Pandak; Kadekrowo, Gilangharjo, Pandak, Bantul, Yogyakarta;
e mail : dratumisah@yahoo.com
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi dan prestasi belajar
matematika dengan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered-Head Together
(NHT). Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas dengan subjek penelitian
kelas X THP1 SMKN N 1 Pandak, Bantul, Yogyakarta. Penelitian ini terdiri dari dua
siklus tindakan. Siklus 1 dengan kompetensi dasar Barisan dan Deret Aritmetika, dan
siklus 2 dengan kompetensi dasar Barisan dan Deret Geometri. Data partisipasi belajar
siswa diperoleh dari hasil observasi partisipasi siswa oleh pengamat. Data hasil belajar
siswa diperoleh dari tes tertulis, data yang diperoleh dianalisis dengan analisis diskriptif.
Hasil penelitian ini menunjukkan peningkatan persentase partisipasi belajar siswa yaitu
66,06% pada kondisi awal menjadi 76,41% pada siklus 1, dan pada siklus 2 menjadi
81,8%, berarti ada peningkatan sebesar 10,35% antara kondisi awal dengan siklus 1, dan
antara siklus 1 serta siklus 2 terdapat peningkatan sebesar 5,39%. Prestasi siswa juga
meningkat yaitu nilai rata-rata 2,96 pada kondisi awal menjadi 6,41pada siklus 1, dan
pada siklus 2 menjadi 7,64 berarti ada peningkatan sebesar 3,44 antara kondisi awal
dengan siklus 1, dan antara siklus 1 serta siklus 2 terdapat peningkatan sebesar 1,23.
1. Pendahuluan
Pembelajaran matematika yang ada di sekolah diharapkan menjadi suatu kegiatan yang
menyenangkan bagi siswa. Namun, berdasarkan pengamatan pada tahun pelajaran
2009/2010 semester 1 di SMK N 1 Pandak diketahui bahwa partisipasi siswa dalam
pembelajaran matematika masih kurang. Hal tersebut tampak dari masih banyak (> 60%)
siswa merasa jenuh pada saat pembelajaran matematika berlangsung, beberapa siswa tidak
memperhatikan penjelasan guru terutama siswa yang duduk di bangku belakang, beberapa
siswa masih tampak enggan bertanya, siswa masih kurang percaya diri jika harus menjawab
pertanyaan yang diajukan guru atau untuk maju ke depan kelas sehingga guru harus
menunjuk siswa sebagai upaya mengaktifkan siswa. Siswa cenderung melakukan aktivitas
lain yang lebih menarik perhatian siswa, misalkan mengobrol dengan temannya. Guru
tampak lebih dominan di depan kelas menjelaskan materi pelajaran. Kebanyakan siswa
747
hanya mendengarkan penjelasan guru, mencatat apa yang telah dituliskan guru di papan tulis
dan siswa yang ribut langsung mendapatkan teguran dan peringatan dari guru.
Berdasarkan pengalaman peneliti, kemampuan siswa kelas X THP1 masih rendah dalam
menyelesaikan soal matematika. Hasil belajar siswa belum mencapai target yang diinginkan,
hal ini terlihat dari rata-rata nilai ulangan harian matematika kelas X THP1 adalah 5,97
(dilihat dari dokumen daftar nilai ulangan harian matematika kelas X THP1). Mengingat
kenyataan di atas, diperlukan pendekatan yang dapat membekali siswa dengan suatu
kemampuan untuk berfikir secara aktif, kritis, dan kreatif dalam proses pembelajaran
matematika.
Pembelajaran matematika tidak hanya bergantung pada guru melainkan siswa juga harus ikut
berpartisipasi aktif dalam pembelajaran matematika. Menurut Uzer Usman (2002:74) siswa
adalah subyek utama dalam belajar. Oleh karena itu siswa harus aktif dalam pembelajaran
matematika. Siswa harus mempunyai motivasi, kritis, dan kreatif dalam pembelajaran
matematika, sehingga pembelajaran berlangsung secara efektif. Siswa tidak hanya duduk
mendengarkan ceramah dari guru matematika ataupun mencatat apa yang ada di papan tulis,
tetapi siswa berusaha mencoba menemukan penyelesaian masalah sendiri dengan bimbingan
dari guru. Pembelajaran matematika akan berpusat pada siswa (student centered) sehingga
siswa akan terbiasa untuk aktif berpartisipasi dalam pembelajaran matematika di kelas.
Pemilihan model pembelajaran oleh guru harus memperhatikan faktor siswa sebagai subyek
belajar. Pada dasarnya siswa satu berbeda dengan siswa yang lainnya, baik dalam hal
kemampuan maupun cara belajarnya. Perbedaan itu menyebabkan adanya kebutuhan yang
berbeda dari setiap anak. Dalam pembelajaran klasikal, perbedaan individu jarang mendapat
perhatian. Semua siswa dalam satu kelas dianggap mempunyai kebutuhan, kemampuan yang
sama sehingga diperlakukan dengan cara yang sama pula. Perbedaan individu itu perlu
mendapat perhatian. Hal itu bukan berarti bahwa pembelajaran diubah menjadi pembelajaran
individual melainkan diperlukan sebuah alternatif pembelajaran yang memungkinkan
terpenuhinya kemampuan individual siswa. Dalam hal ini dibutuhkan variasi penggunaan
kelompok besar (kelas) dan kelompok kecil. Salah satu model pembelajaran yang dapat
diterapkan adalah model pembelajaran kooperatif tipe Numbered-Head Together (NHT).
748
NHT merupakan model pembelajaran kooperatif yang dikembangkan oleh Spacer Kagan.
Jumlah anggota kelompok terdiri dari 4 sampai 5 siswa dengan kemampuan heterogen.
Menurut Spacer Kagan dalam www.mpbl.edu.my/math/pedagogi/NHT%Seminar%JPNS.pdf
model pembelajaran kooperatif tipe NHT terdiri dari 4 langkah utama yaitu: penomoran,
guru mengajukan permasalahan, berpikir bersama (diskusi kelompok), guru menunjuk siswa
untuk memresentasikan hasil diskusi dengan cara guru menyebutkan salah satu nomor
anggota kelompok tertentu secara acak, dan pada akhir pembelajaran siswa diberi kuis.
Melalui pembelajaran kooperatif tipe NHT, siswa dapat bekerja sama dengan teman lain
dalam menyelesaikan masalah matematika sehingga akan lebih mudah dalam menyelesaikan
masalah tersebut walaupun masalah itu sulit. Teknik-teknik dalam pembelajaran kooperatif
tipe NHT sangat sesuai diaplikasikan dalam kelas X THP1 SMK N 1 Pandak karena siswa
kelas X THP1 memiliki kemampuan akademik yang beraneka ragam. Dengan pembelajaran
kooperatif tipe NHT, siswa akan mempunyai kebebasan untuk bertindak, berdiskusi, dan
saling memberikan informasi untuk memahami suatu konsep matematika. Siswa bekerja
sama antaranggota kelompok dalam usaha memecahkan masalah.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut.
a. Bagaimana partisipasi belajar siswa kelas X THP1 dalam proses pembelajaran
matematika dengan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered-Head Together
(NHT) di SMK N 1 Pandak tahun pelejaraan 2009/2010 semester 2?
3. Tujuan
Berdasarkan permasalahan di atas tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Meningkatkan partisipasi siswa kelas X THP1 dalam proses pembelajaran
matematika dengan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered-Head Together
(NHT) di SMK N 1 Pandak tahun pelejaraan 2009/2010 semester 2.
b. Meningkatkan prestasi belajar matematika pada siswa kelas X THP1 dengan model
pembelajaran kooperatif tipe Numbered-Head Together (NHT) di SMK N 1 Pandak
tahun pelejaraan 2009/2010 semester 2.
4. Metode penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan
secara partisipatif.
Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas X THP1 SMK N 1 Pandak. Sedangkan obyek
penelitiannya adalah keseluruhan proses pada penerapan model pembelajaran kooperatif tipe
NHT di SMK N 1 Pandak.
Penelitian ini dilaksanakan di SMK N 1 Pandak. Bantul Yogyakarta pada siswa kelas X
THP1 semester genap Tahun Ajaran 2009/2010, dan dilaksanakan pada bulan April 2010
sampai dengan bulan Juni 2010.
Aspek partisipasi belajar siswa meliputi partisipasi siswa dalam pembelajaran dengan model
pembelajaran kooperatif tipe NHT. Aspek ini diperoleh dengan pengisian lembar observasi
partisipasi siswa oleh pengamat.
Meliputi pemahaman tentang deret Aritmetika dan Geometri, diperoleh dari hasil tes tertulis
750
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui pengisian lembar observasi
partisipasi siswa oleh pengamat, dokumentasi, dan tes.
4.6.1. Observasi
Tes yang diberikan kepada siswa meliputi: tes kemampuan awal, kuis, tes pada akhir siklus
1, tes pada akhir siklus 2, dan seterusnya. Diberikan tes sebanyak siklus.
Prosedur penelitian tindakan kelas ini terdiri dari 2 siklus. Kegiatan awal dilakukan untuk
mengetahui permasalahan yang ada yaitu dengan melakukan observasi partisipasi siswa dan
pretes. Berdasarkan hasil pretes kemudian ditetapkan tindakan pembelajaran dengan model
pembelajaran tipe Numbered-Head Together (NHT). Secara lebih rinci rancangan penelitian
tindakan kelas ini dijabarkan sebagai berikut
Kegiatan pelaksanaan tindakan siklus 1 ini meliputi: (1) Pembuatan RPP, lembar
informasi, dan LKS tentang materi yang akan diajarkan yaitu yaitu barisan dan deret
dengan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered-Head Together (NHT), (2)
Persiapan lembar observasi partisipasi siswa, (3) Persiapan kuis dan soal tes untuk
siswa yaitu tes kemampuan awal (pretes), tes yang akan diberikan pada akhir siklus 1
dan akhir siklus 2, (4) Pembentukan kelompok.
Tahapan kegiatan pembelajaran pada siklus 2 mengikuti tahapan kegiatan pembelajaran pada
siklus pertama. Dalam hal ini, rencana tindakan siklus 2 disusun berdasarkan hasil refleksi
pada siklus 1. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada siklus 2 dimaksudkan sebagai
penyempurnaan atau perbaikan terhadap pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe
Numbered-HeadTogether (NHT) pada siklus 1.
751
Data yang diperoleh dalam penelitian ini berupa data hasil observasi partisipasi siswa dalam
proses pembelajaran, tes hasil belajar, dan foto selama penelitian berlangsung.
Dalam pedoman observasi partisipasi siswa, aspek yang diobservasi meliputi 10 aspek
partisipasi. Data observasi yang diperoleh dihitung kemudian dipersentase. Adapun
perhitungan persentase tiap aspek sebagai berikut:
jumlah skor
Persentase tiap aspek (x) 100%
banyaknya kelompok skor maksimum
Dengan demikian dapat diketahui sejauh mana peningkatan partisipasi siswa yang dicapai
dalam pembelajaran. Hasil analisis data observasi kemudian disajikan secara deskriptif.
a. Tiap jawaban benar diberi skor 10, benar tidak sempurna (sebagian) skor menurut norma
penilaian, jawaban salah skor 0.
b. Nilai akhir siswa diperoleh dengan rumus :
Nilai akhir =
c. Mengategorikan nilai akhir ke dalam tingkatan:
> 40% = sangat rendah/tidak baik
40%-55% = Rendah/kurang baik
56%-75% = Cukup tinggi/ cukup baik
76% - 100% = Tinggi/baik.
752
Gambaran perkembangan pencapaian partisipasi belajar siswa selama siklus 1 dan 2 secara
terinci setiap siklusnya seperti tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2 .Rata-rata hasil observasi partisipasi siswa pada kondisi awal, siklus 1, dan siklus 2
Siklus Kondisi
No Siklus 1 Siklus 2
Aspek Awal
1 Bertanya kepada guru jika ada hal yang
belum jelas 64,3%(B) 75%(SB) 78,6%(SB)
Keterangan:
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa partisipasi belajar siswa secara umum
mengalami peningkatan 10,35% dari kondisi awal ke kondisi siklus 1, dan dari siklus 1 ke
siklus 2 naik 5,39%.
Dari tabel 2 dapat ditampilkan persentase partisipasi belajar siswa pada kondisi awal dan
setiap siklusnya sebagai diagram batang dibawah ini .
100
50
0
Awal Siklus 1 Siklus 2
Keterangan gambar
Sumbu mendatar : Diskripsi kondisi awal, implementasi siklus 1 dan siklus 2
Sumbu tegak : persentase partisipasi belajar siswa
Berdasarkan analisa hasil evaluasi dari kondisi awal, siklus 1 dan siklus 2 dapat dilihat pada
tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Analisa hasil evaluasi belajar siswa pada kondisi awal, siklus 1 dan siklus 2
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa ada peningkatan prestasi dengan model
pembelajaran kooperatif tipe Numbered-HeadTogether (NHT). Hal ini terlihat pada nilai
tertinggi yang dicapai siswa pada kondisi awal 5,5, siklus 1 sebesar 9,7 dan siklus 2
mencapai nilai 10 ini berarti ada kenaikan 4,2 antara kondisi awal dan siklus 1, sedangkan
antara siklus 1 dan siklus 2 ada kenaikan 0,3. Nilai terendah juga mengalami kenaikan yaitu
2,5 antara kondisi awal dan siklus 1, sedangkan antara siklus 1 dan siklus 2 ada kenaikan 1,0.
Selain itu nilai rata-rata juga mengalami kenaikan 3,45 antara kondisi awal dan siklus 1,
antara siklus 1 dan 2 naik 1,23.
Dari 35 siswa pada kondisi awal terdapat 28 siswa dengan nilai tidak baik, 7 siswa dengan
nilai kurang baik, tidak ada siswa yang nilainya cukup baik apalagi baik. Kondisi siklus 1
dari 35 siswa terdapat 1 siswa dengan nilai tidak baik, 6 siswa dengan nilai kurang baik, 22
siswa dengan nilai cukup baik, dan 6 siswa dengan nilai baik. Sedangkan pada siklus 2, dari
35 siswa tidak ada siswa yang nilainya tidak baik, 1 siswa nilainya kurang baik, 15 siswa
nilainya cukup baik, dan 19 siswa nilainya baik. Peningkatan hasil belajar ini disebabkan
selama pembelajaran siswa merasa senang, sehingga waktu terasa cepat. Selain itu mereka
merasa nyaman dan saling kerjasama dalam diskusi kelompok masing-masing.
6.2 Saran
Berdasarkan temuan-temuan selama penelitian dapat disampaikan saran-saran :
6.1. Guru harus menguasai kelas dan dapat membangkitkan partisipasi belajar siswa
dalam pembelajaran serta membuat suasana yang menyenangkan sehingga dalam
KBM suasananya sejuk damai dan indah.
6.2. Pihak sekolah perlu memberikan dorongan atau vasilitas kepada para guru untuk
melakukan penelitia tindakan kelas sehingga meningkatkan profesi keguruan.
Daftar Pustaka
Usman, Moh. Uzer. 2002. Menjadi Guru Profesional . Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
www.mpbl.edu.my/math/pedagogi/NHT%Seminar%JPNS.pdf
756
Tuti Ambaryati
SMA N 1 Banguntapan,Banguntapan Bantul;qtutambar@gmail.com.
Abstrak. Penelitian ini bertujuan meningkatkan hasil belajar materi peluang siswa
kelas XI IPS 1 SMA N 1 Banguntapan Bantul Yogyakarta dengan menggunakan
metode pembelajaran kooperatif tipe team accelerated instruction (TAI). Subjek
penelitian adalah siswa kelas XI IPS1 SMA N 1 Banguntapan sebanyak 25 siswa.
Penelitian terlaksana dalam 2 siklus, siklus pertama terdiri dari 1 pertemuan dan siklus
kedua terdiri atas 2 pertemuan. Data diperoleh dari lembar observasi, hasil postes tiap
siklus, catatan lapangan, hasil wawancara dengan siswa, wawancara dengan guru, dan
dokumentasi berupa foto kegiatan. Analisis data dilakukan dengan reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan
model pembelajaran team accelerated instruction, hasil belajar mengalami peningkatan.
Nilai rerata ulangan harian materi sebelumnya adalah 62. Hasil postes pada siklus 1
terjadi kenaikan, nilai reratanya 76, namun ada kelompok yang lancar kegiatannya, ada
pula kelompok yang macet karena masing masing anggota pasif dan kurang
bersemangat. Siklus 2 berjalan lancar yang terdiri atas 2 pertemuan berjalan lancar
dengan hasil rerata postes sebesar 80. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
penggunaan model TAI dapat meningkatkan hasil belajar materi peluang siswa kelas XI
IPS1 SMA N 1 Banguntapan Bantul.
.
1. Pendahuluan
SMA 1 Banguntapan termasuk sekolah yang berada pada daerah perbatasan antara
Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman dan Kodya Yogyakarta. Oleh karena itu Nilai UN
SMP calon siswa pada saat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) berada pada level di
bawah sekolah favorit tiga Kabupaten dan Kota tersebut. Demikian juga nilai matematika
berada pada kisaran 5,00 sampai dengan 8,50 (daftar nilai UN SMP peserta didik baru tahun
2012/2013 SMA N 1 Banguntapan).
Kemampuan awal siswa yang rendah pada materi matematika dan ketakutan siswa bahwa
pelajaran matematika itu sulit menyebabkan rendahnya prestasi belajar matematika. Hal itu
juga disebabkan oleh malasnya siswa dalam hal menghitung. Cara guru mengajar yang
757
kurang bervariasi juga banyak dikeluhkan siswa. Metode yang digunakan kebanyakan
ceramah sehingga siswa cenderung pasif, jarang muncul pertanyaan dari siswa, berorientasi
pada satu jawaban benar dan terlalu konsentrasi pada latihan soal.
Siswa kelas XI IPS memilih jurusan IPS karena takut pelajaran Matematika. Hal itu
menyebabkan kurangnya percaya diri siswa tersebut dalam memahami dan menguasai materi
pada pelajaran matematika. Pada materi peluang, yang memerlukan pemahaman konsep
yang cukup tinggi, siswa kesulitan dalam proses pembelajarannya.
Penelitian ini dibatasi untuk memecahkan masalah rendahnya hasil belajar materi
matematika khususnya peluang pada siswa kelas XI IPS 1 SMA N 1 Banguntapan Bantul
dengan menerapkan model pembelajaran TAI semester ganjil tahun pelajaran 2013/2014.
Masalah ini yang akan diperbaiki karena merupakan masalah yang dominan dan mendesak
pada siswa kelas XI IPS 1 SMA N 1 Banguntapan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar materi peluang siswa XI
IPS 1 SMA N 1 Banguntapan melalui model pembelajaran kooperatif tipe team accelerated
instruction (TAI).
2. Kajian Pustaka
Model belajar team accelerated instruction dikembangkan oleh Slavin. Tipe ini
mengombinasikan keunggulan pembelajaran kooperatif dan pembelajaran individual. Tipe
ini dirancang untuk mengatasi kesulitan belajar siswa secara individual. Oleh karena itu
kegiatan pembelajarannya lebih banyak digunakan untuk pemecahan masalah. Ciri khas tipe
TAI ini adalah setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah
dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk
didiskusikan dan saling dibahas oleh anggota kelompok, dan semua anggota kelompok
bertanggung jawab atas keseluruhan.
Terjemahan bebas dari TAI adalah bantuan individual dalam kelompok (bidak) dengan
karakteristik bahwa tanggung jawab belajar adalah pada siswa (Driver,1980). Oleh karena itu
siswa harus membangun pengetahuan dan tidak menerima bentuk jadi dari guru. Pola
komunikasi guru adalah negoisasi dan bukan imposisi-intruksi.
Langkah langkah pembelajaran di kelas menurut Slavin (1985) adalah: (1) buat kelompok
heterogen dan berikan bahan ajar berupa modul, (2) siswa belajar dalam kelompok dengan
saling membantu antaranggota kelompok secara individual, saling tukar jawaban, saling
758
berbagi sehingga terjadi diskusi, (3) penghargaan kelompok dan refleksi serta tes formatif.
Adapun tahap-tahap dalam metode Team Accelerated Instruction (TAI) ini adalah sebagai
berikut:
a. Penyajian kelas
Posisi duduk siswa melingkar pada kelompoknya masing-masing.
b. Kelompok (team)
Kelompok dibuat beragam, berdasarkan kemampuan akademik, jenis kelamin, ras dan etnik,
yang tediri dari 4-5 orang pada setiap kelompoknya.
d.Tes
Tes yang dilakukan berupa pretes dan postes. Pretes dilakukan untuk dapat melihat
kemampuan awal siswa sebelum materi diberikan oleh guru. Postes diberikan setelah
menyelesaikan beberapa sub pokok bahasan, atau pada akhir materi yang telah diajarkan.
Pada saat tes, siswa mengerjakan secara individu tanpa bantuan rekan kelompok.
3. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK) atau disebut juga
cassroom action research (CAR). Penelitian Tindakan kelas adalah penelitian yang
dilakukan oleh guru, bekerja sama dengan peneliti atau dilakukan guru sendiri di sekolah
tempat mengajar dengan penekanan pada penyempurnaan/ peningkatan proses dan praktik
pembelajaran. Menurut Suharsimi Arikunto, penelitian tindakan kelas adalah suatu
pendekatan untuk memperbaiki pendidikan melalui perubahan.
Penelitian tindakan kelas melalui empat tahapan yaitu: perencanaan, pelaksanaan, observasi
dan refleksi. Empat langkah utama yang saling berkaitan itu dalam penelitian tindakan kelas
759
sering disebut dengan istilah satu siklus. Apabila ada hambatan pada keberhasilan dari
tindakan pada siklus pertama maka selanjutnya menentukan rancangan siklus kedua. Jika
hasil siklus kedua belum maksimal maka dilanjutkan dengan siklus ketiga. Siklus dihentikan
jika pembelajaran di kelas dengan model pembelajran team accelerated instruction sudah
kondusif.
Teknik pengumpulan data adalah dengan teknik observasi, teknik wawancara, teknik tes dan
teknik dokumentasi. Analisis data yang digunakan adalah analisis data deskriptif kualitatif
yang didukung oleh analisis data kuantitatif. Data yang diperoleh dari penelitian berupa data
hasil observasi tentang proses pembelajaran, hasil tes, dan cacatan lapangan. Data tambahan
sebagai bahan pertimbangan diperoleh dengan dokumentasi dan wawancara tidak terstruktur
dengan siswa.
Penjelasan siklus 1
Perencanaan: Pembagian kelompok yang anggotanya ditentukan dari kemampuan yang
heterogen pada satu kelompok. Kriteria kemampuan didasarkan pada hasil nilai ulangan
harian materi sebelumnya yaitu Statistika. Nilai diurutkan dari kecil ke besar kemudian satu
demi satu siswa siswa tersebut dibagi kedalam 5 kelompok sehingga setiap kelompok
mempunyai anggota yang kemampuannya berbeda. Pembuatan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) dan lembar kerja siswa (LKS), kunci jawaban LKS, kisi-kisi soal
pretes,soal postes, pedoman wawancara.
Pelaksanaan: Pembelajaran dilaksanakan hari kamis tanggal 3 oktober 2013 jam ke 1 dan 2
yaitu dari jam 07.00 WIB sampai dengan jam 08.30 WIB. Siswa XI IPS1 masuk semua.
Materi yang dipelajari adalah kaidah pencacahan yang berisi aturan pengisian tempat,
diagram pohon, tabel silang, pasangan terurut, kaidah penjumlahan dan kaidah perkalian.
Observer memberikan ceklis pada lembar observasi dan membuat catatan lapangan hal hal
penting yang tidak ada pada lembar observasi. Pada akhir pelajaran siswa mengerjakan soal
postes
Dari hasil wawancara dengan siswa, beberapa siswa mengatakan senang dengan model
pembelajaran ini karena merasa tidak tegang dan lebih paham tentang materi pelajarannya
dengan diskusi bersama teman sekelompoknya. Beberapa siswa mengatakan ingin diberi
kebebasan memilih sendiri teman dalam kelompoknya. Siswa bernama Alifia minta model
pembelajarannya sering diganti supaya menyenangkan.
Refleksi: Hasil nilai dari postes reratanya adalah 76 yang berarti sudah ada peningkatan dari
hasil sebelumnya 62. Tetapi dalam pelaksanaannya masih terjadi kendala dan hambatan
sehingga perlu perbaikan. Supaya siklus 2 berjalan lancar, perlu penggantian komposisi
anggota kelompok sehingga tidak ada kelompok yang terhambat diskusinya. Supaya adil
tidak hanya kelompok yang terhambat diskusinya yang mengalami pergantian anggota, tetapi
semua kelompok diubah dengan memperhitungkan kemampuan siswa pada saat diskusi pada
760
siklus 1. Catatan dari observer juga penting untuk menentukan anggota kelompok yang
baru.
Penjelasan siklus 2
Perencanaan: RPP, LKS, Lembar observasi, daftar anggota kelompok yang baru.
Pelaksanaan Pertemuan 1 adalah hari Rabu tanggal 9 Oktober 2013 jam pelajaran ke-5 dan 6
yaitu dari pukul 10.15 WIB sampai dengan pukul 11.45 WIB. Materi pelajarannya adalah
faktorial dan permutasi dengan unsur sama. Ada 2 siswa yang tidak masuk karena sakit.
Hasil Observasi pertemuan 1: Situasi kelas secara umum kelihatan lebih lancar dan nyaman,
hal itu ditunjukkan dengan sikap anak-anak yang serius mengerjakan LKS. Tidak ada siswa
yang terlihat mengantuk. Guru juga jarang dimintai bantuan oleh masing masing kelompok.
Pada saat awal pelaksanaan diskusi, masih ada siswa yang kadang kadang berdiri untuk
menemui teman dalam kelompok yang lama. Walaupun secara umum lancar ternyata masih
ada siswa yang diam saja dan melirik jawaban teman di dekatnya kemudian menuliskan pada
buku tulisnya tanpa bertanya. Dua kelompok yang hanya terdiri 4 siswa, karena 1 anggota
sakit, justru lancar dalam mengerjakan LKS.
Pelaksanaan Pertemuan 2 pada hari Kamis tanggal 10 Oktober 2013 jam ke 1 dan 2 yaitu
pukul 07.00 WIB sampai 08.30 WIB dengan materi Permutasi dengan unsur beda dan
Permutasi siklis. Semua siswa XI IPS1 masuk sekolah dan tidak ada yang terlambat. Posisi
kelompok seperti pertemuan sebelumnya karena sudah cukup kondusif.
Hasil Observasi Pertemuan 2: Secara umum situasi kelas lebih lancar dari pertemuan
sebelumnya. Hal itu terlihat dengan seriusnya siswa mengerjakan LKS. Guru berpesan pada
masing masing kelompok untuk mau bertanya pada teman sekelompoknya kalau belum
mengerti tentang materi yang dipelajari. Pada saat awal pelajaran ada siswa yang akan
mengobrol tapi dicegah oleh teman sekelompoknya. Ada siswa yang merasa agak ngantuk
juga diperbolehkan oleh guru untuk cuci muka terlebih dahulu. Buku-buku literatur juga
banyak terdapat di meja masing masing kelompok sehingga kalau ada kesulitan dapat
membuka buku-buku tersebut untuk menjawab soal soal pada LKS.
Pada saat siswa mengerjakan soal postes, siswa tidak terlihat susah tapi dengan riang
mengerjakan 5 soal yang disediakan, walaupun tidak boleh membuka buku atau mencontek
buku catatan. Pada saat pelajaran berakhir siswa mengembalikan posisi meja dan kursi
seperti semula
Refleksi
Secara umum pelaksanaan siklus 2 sudah lancar dan kondusif. Hasil postes juga mengalami
kenaikan yaitu dengan rerata 80. Menurut catatan lapangan observer hal itu salah satunya
karena siswa siap dengan buku-buku literatur yang disiapkan oleh siswa sendiri dari rumah
atau meminjam dari perpustakaan. Menurut wawancara dengan siswa, hal itu karena mereka
senang dengan berkelompok dan lebih santai serta tidak tegang. Mendengarkan dan
menonton guru tiap hari ternyata membuat siswa tidak nyaman dan bosan.
Alasan lain dari siswa adalah karena ternyata lebih nyaman diterangkan oleh teman sebaya
daripada oleh guru. Kalau dengan teman tidak ada perasaan takut tapi lebih santai dan
dengan bahasa mereka sendiri sehingga lebih cepat mengerti tentang materi yang sedang
dipelajari.
Guru juga mengatakan lebih mengenal masing-masing karakter siswa dengan berkeliling
mengawasi jalannya diskusi. Hal itu menyebabkan makin akrabnya hubungan antara guru
dan siswa, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan pada diri siswa bahwa dia pasti
mampu memahami dan menguasai materi matematika khususnya materi peluang.
Karena situasi kelas dengan penggunaan metode TAI (team accelerated instruction) sudah
kondusif dan hasil postes yang mengalami kenaikan yang signifikan maka setelah siklus II
selesai, ditetapkan untuk menghentikan siklus penelitian dengan alasan indikator
keberhasilan telah dicapai.
Pembahasan
Siswa SMA N 1 Banguntapan khususnya jurusan IPS memiliki anggapan bahwa pelajaran
Matematika itu sulit dan membingungkan. Para siswa tersebut merasa takut dan tidak
percaya diri menghadapi masalah hitung menghitung. Pada saat memilih jurusan, mereka
memilih jurusan IPS dengan harapan tidak lagi bertemu dengan pelajaran matematika. Hal
itu masih ditambah dengan metode mengajar guru yang konvensional yaitu metode ceramah
yang menyebabkan siswa bosan, mengantuk, dan tersiksa. Dari wawancara dengan beberapa
siswa, ada yang mengatakan bahwa pelajaran matematika menjadi momok yang
menakutkan.
Konsep peluang merupakan materi pada pelajaran matematika di kelas XI IPS yang
memerlukan pemahaman yang tinggi ditambah keterampilan menghitung yang memadai.
Oleh karena itu dibutuhkan cara-cara tertentu supaya siswa tertarik untuk belajar materi
peluang dan pelajaran matematika pada umumnya. Salah satunya adalah dengan mengubah
metode mengajar guru, yaitu dengan metode pembelajaran kooperatif tipe team accelerated
instruktion (TAI).
762
Hasil yang diperoleh pada penelitian tindakan kelas dengan metoda pembelajaran kooperatif
team accelerated instruction (TAI) adalah adanya peningkatan hasil belajar materi
matematika khususnya materi peluang yang dapat dilihat dari ciri-cirinya yaitu dari rerata
nilai awal 62 meningkat pada siklus 1 dengan nilai rerata postes 76 dan pada siklus 2 dengan
nilai rerata postes 80.
80
70
60
50
76 80
40
62
30
20
10
0
rerata awal rerata siklus 1 rerata siklus2
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran kooperatif team accelerated
instruction (TAI) dapat meningkatkan hasil belajar materi peluang pada siswa kelas XI IPS 1
SMA N 1 Banguntapan Bantul Yogyakarta.
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan model pembelajaran team accelerated
instruction, hasil belajar lebih tinggi dari hasil belajar siswa yang diajarkan dengan model
pembelajaran konvensional. Nilai rerata ulangan harian materi sebelumnya adalah 62. Hasil
Postes pada siklus 1 terjadi kenaikan, nilai reratanya 76 walaupun terjadi hambatan dan
kendala pada saat pelaksanaan. Kelompok yang terbentuk berdasarkan kemampuan yang
heterogen yang pembagian kelompoknya berdasarkan nilai ulangan harian sebelumnya,
ternyata tidak lancar pada saat diskusi pada masing masing kelompok. Ada kelompok yang
lancar sekali kegiatannya, ada kelompok yang terhambat karena masing masing anggota
pasif dan kurang bersemangat.
764
Pada siklus 2 anggota masing masing kelompok diubah sesuai dengan saran observer dan
sesuai catatan lapangan. Siklus 2 yang terdiri dua pertemuan berjalan lancar dengan hasil
rerata postes sebesar 80. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan model
TAI dapat meningkatkan hasil belajar materi peluang siswa kelas XI IPS1 SMA N 1
Banguntapan Bantul.
Siswa merasa senang dengan model belajar yang bervariasi antara lain dengan TAI. Hal itu
disebabkan siswa dapat berinteraksi dengan teman dalam kelompoknya sehingga lebih
nyaman mempelajari materi matematika. Diskusi dengan teman sebaya menyebabkan tidak
ada rasa takut dan dengan bahasa antarteman dapat lebih cepat mengerti dan paham tentang
materi yang sedang dipelajari.
Saran
Guru sebaiknya selalu melakukan variasi metode pembelajarannya supaya siswa senang dan
tidak bosan dengan pelajaran Matematika. Hal itu dapat meningkatkan hasil belajar siswa
pada materi pelajaran Matematika.
Hasil PTK ini dapat menjadi motivasi bagi guru untuk lebih meningkatkan kompetensi
pendidik sehingga muncul ide ide baru yang lebih bervariasi.
Perlunya pihak - pihak yang terkait untuk selalu memberi dorongan dan dukungan kepada
guru untuk mengembangkan diri melalui penelitian tindakan kelas
Daftar Pustaka
Slavin, R. E. 1995.Cooperative Learning, Theory Research, and Practice. Massachusetts: Allyn and
Bacon
Sugiyanto, 2010. Model – model Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Yuma Pustaka
Nana Sudjana. 1997. CBSA dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo
Sardiman, 2010. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers
Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990
Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003
765
Tutik Saptiningsih
Pengawas Sekolah Dasar Kabupaten Bantul
Email: ttsaptiningsih@ymail.com
Abstrak. Peraturan Menteri Nomor 16 tahun 2007 mengamanatkan bahwa Guru harus
memiliki kompetensi melakukan PTK. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
kompetensi melakukan PTK para guru masih rendah. Permasalahan ini dapat diatasi
pengawas melalui bimbingan supervisi akademik dengan menggunakan lembar kerja
(LK). Kegiatan bimbingan dilakukan selama dua siklus dan setiap siklus melalui empat
tahap kegiatan yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Kegiatan
bimbingan dilakukan dengan pemberian lembar kerja (LK) kepada guru pada setiap
kali pertemuan yang telah direncanakan. Lembar Kerja yang dibagi sejumlah 5,
diawali LK 1 berupa judul penelitian, LK 2 pendahuluan, LK 3 kajian teori, LK 4
meteodologi, LK 5 kerangka dan penyusunan proposal. Indikator keberhasilan dari
bimbingan ini adalah 80% peserta mampu menyusun proposal PTK dengan baik.
Teknik analisis data yang digunakan adalah dengan menggunakan analisis diskripsi
kualitatif. Hasil bimbingan selama 2 siklus menghasilkan: peningkatan pemahaman
konsep PTK. sebesar 3,3, Peningkatan kemampuan membuat judul PTK dan
peningkatan kemampuan menyusun Proposal PTK sebesar 80 %. Berdasarkan hasil
bimbingan dapat disimpulkan bahwa supervisi akademik melalui lembar kerja dapat
meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun proposal PTK.
Kata Kunci : Penelitian Tindakan Kelas, Proposal PTK, supervisi akademik , lembar
kerja
1. Pendahuluan
Peraturan Menteri Nomor 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru mengamanatkan bahwa guru harus memiliki kompetensi melakukan
Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Kompetensi melakukan Penelitian Tindakan Kelas wajib
dimiliki oleh guru, sebab: (1) melakukan PTK berarti melakukan kegiatan peningkatan mutu
pembelajaran yang dilakukan guru dalam kelasnya; (2) melakukan PTK merupakan wujud
nyata guru dalam melaksanakan pengembangan profesinya; (3) melakukan PTK merupakan
bukti kemampuan guru sebagai peneliti teruji; (4) melakukan PTK merupakan bukti adanya
kompetensi pedagogik dan kompetensi profesionalisme guru; (5) melakukan PTK dapat
menjadi sarana guru untuk dapat naik pangkat ke jenjang di atasnya.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa kompetensi melakukan PTK para guru masih
rendah. Berdasarkan hasil kepengawasan di daerah SD binaan diperoleh data dari 60 guru
766
yang tersebar di 7 SD binaan baru terdapat 5 orang guru yang terbukti mampu melakukan
PTK. Kondisi ini menandakan bahwa 83,3 % guru binaan belum mampu melakukan PTK.
Berbagai kegiatan dapat dilakukan pengawas sekolah untuk meningkatkan kompetensi guru
menyusun PTK. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pengawas sekolah adalah
memberikan bimbingan penyusunan pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas melalui
bimbingan supervisi akademik dengan menggunakan lembar kerja. Digunakannya tindakan
ini karena penggunaan lembar kerja memiliki beberapa kelebihan, yaitu: (1) lembar kerja
dapat memandu para guru dalam melakukan tahapan menyusun proposal; (2) dengan lembar
kerja, guru lebih mudah memahami tahapan membuat proposal; (3) melalui lembar kerja
peneliti mudah mengetahui kelemahan dan kemampuan guru; (4) melalui lembar kerja
peneliti lebih mudah memberikan bimbingan yang tepat sesuai dengan kesulitan yang
dihadapi guru; (5) dengan lembar kerja peneliti dapat memahami bagian kesulitan yang
dirasakan guru.
Berdasarkan hasil permasalahan yang dipaparkan di atas maka rumusan penelitian ini adalah:
(1) bagaimana upaya meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun proposal PTK
melalui supervisi akademik dengan lembar kerja?; (2) apakah supervisi akademik dengan
lembar kerja dapat meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun Proposal PTK?
Tujuan penelitian tindakan ini adalah untuk mengetahui keefektifan supervisi akademik
dengan lembar kerja dalam meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun proposal PTK.
Lebih khusus lagi penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) proses pelaksanaan
supervisi akademik dengan lembar kerja sebagai tindakan untuk meningkatkan kemampuan
guru dalam menyusun proposal PTK; (2) kemampuan guru-guru dalam membuat proposal
PTK setelah guru mengikuti proses supervisi akademik dengan lembar kerja.
2. Kajian Pustaka
Menurut Kemmis (1988), penelitian tindakan adalah suatu bentuk penelitian refleksi diri
yang dilakukan oleh para partisipan dalam situasi-situasi sosial (termasuk pendidikan) untuk
memperbaiki praktik yang dilakukan sendiri. Dalam bidang pendidikan, khususnya dalam
praktik pembelajaran, penelitian tindakan berkembang menjadi Penelitian Tindakan Kelas
(PTK) atau Classroom Action Research (CAR).
PTK adalah penelitian tindakan yang dilaksanakan di dalam kelas ketika pembelajaran
berlangsung. PTK dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas
767
pembelajaran. PTK berfokus pada kelas atau pada proses pembelajaran yang terjadi di dalam
kelas. PTK juga bertujuan untuk meningkatkan kegiatan nyata guru dalam pengembangan
profesinya.
Penyusunan proposal atau usulan penelitian merupakan langkah awal yang harus dilakukan
peneliti sebelum memulai kegiatan PTK. Proposal PTK adalah gambaran terperinci tentang
proses yang akan dilakukan peneliti (guru) untuk memecahkan masalah dalam pelaksanaan
tugas (pembelajaran).
Supervisi Akademik
Supervisi akademik dengan lembar kerja artinya memberikan layanan kepada guru dengan
menggunakan lembar kerja. Lembar kerja merupakan lembaran berisi perintah kerja yang
harus diisi dengan tujuan tertentu. Di dalam lembar kerja berisi tahapan-tahapan kerja untuk
memahami sesuatu. Lembar kerja merupakan petunjuk kerja agar dapat melakukan atau
menghasilkan sesuatu. Pengertian tersebut mengacu pada pengertian lembar kegiatan siswa
(student worksheet) (Panduan Pengembangan Bahan Ajar, 2010:12).
3. Metodologi Penelitian
Subyek penelitian dari penelitian ini adalah guru-guru binaan Kecamatan Jetis sejumlah 10
orang terdiri dari 3 guru laki-laki dan tujuh perempuan dari perwakilan setiap SD Binaan.
Penelitian ini berlangsung di SD 1 Sumberagung. Waktu penelitian berlangsung selama dua
768
bulan mulai dari tahap persiapan (penyusunan proposal termasuk instrumen penelitian,
pelaksanaan penelitian, dan pelaporan).
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan penelitian
tindakan sekolah dengan menggunakan dua siklus. Setiap siklus terdiri atas empat tahap
yaitu plan, action, observasi dan refleksi. Teknik analisa data yang digunakan adalah
menggunakan teknik analisis data diskriptif.
Siklus 1
Pada tahap “perencanaan”, peneliti melakukan kegiatan perencanaan sebagai berikut: (1)
membuat jadwal kegiatan supervisi akademik; (2) membuat lembar kerja untuk bimbingan
peserta; (3) membuat handout untuk peserta; (4) menyusun kisi-kisi soal untuk pre test dan
post test; (5) menyusun soal pre test dan post test; (6) menetapkan indikator keberhasilan
penelitian; (7) menetapkan aspek penilaian proposal; (8) menyiapkan instrumen penelitian
berupa angket dan pedoman observasi; (9) membuat rubrik penilaian; (10) menyiapkan
media pelatihan.
Pada tahap “pelaksanaan”, peneliti melaksanakan penelitian sesuai jadwal yang telah
disusun. Kegiatan bimbingan supervisi akademik dilakukan selama 6 kali pertemuan. Dalam
setiap pertemuan, peneliti membagi lembar kerja untuk membimbing guru agar mampu
menyusun proposal PTK. Lembar kerja yang dibagi adalah sebagai berikut.
Teknik pembimbingan supervisi akademik dengan lembar kerja dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1. pertemuan pertama peneliti melakukan: (1) pre tes; 2) pemaparan dan penjelasan
konsep PTK; (2) penjelasan judul; (3) pengisian lembar kerja 1.
769
3. pertemuan ketiga peneliti melakukan: (1) presentasi Bab 1; (2) penjelasan Kajian
Teori; (3) pemberian lembar kerja ke-3.
5. pertemuan kelima peneliti melakukan: (1) presentasi Bab 3; (2) pemaparan kerangka
proposal; (3) pemberian lembar kerja ke-5.
6. pertemuan keenam peneliti melakukan; (1) pengumpulan proposal; (2) post test; (3)
refleksi peserta.
Pada tahap “observasi”, peneliti melakukan obsevasi terhadap: (1) produk lembar kerja
peserta; (2) partisipasi peserta mengikuti bimbingan; (3) hasil pre tes dan post test; (4)
produk proposal; (5) observasi terhadap hasil angket. Observasi dilakukan oleh peneliti
beserta teman kolaborator. Observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan bimbingan
supervisi akademik maupun sesudah bimbingan supervisi akademik.
Pada tahap “refleksi”, peneliti membandingkan hasil penelitian dengan indikator penelitian
yang ditetapkan. Aspek yang direfleksi berupa hasil pre test, post test, hasil lembar kerja,
produk proposal, hasil angket maupun hasil pedoman observasi. Indikator keberhasilan
dalam penelitian ini adalah: (1) 75% peserta mampu mampu memahami konsep PTK
ditandai dengan nilai post test rata rata 80 dan minimal perolehan nilai 80; (2) 75% peserta
mampu merumuskan judul penelitian dengan baik sesuai kriteria perumusan judul PTK; (3)
80% peserta mampu menyusun proposal PTK dengan kategori baik (nilai proposal 75).
Hasil refleksi pada siklus 1 menunjukkan bahwa belum semua indikator keberhasilan peneliti
tercapai. Data yang mendukung belum tercapainya siklus 1 adalah baru lima puluh persen
peserta yang mengumpulkan proposal dengan nilai yang belum baik di bawah 75. Peneliti
memutuskan untuk melanjukkan ke siklus ke-2 dengan tujuan agar semua indikator
keberhasilan peneliti tercapai
Siklus 2
Pada siklus ke-2 dilaksanakan dengan tahapan yang sama dengan siklus 1. Pada tahap
perencanaan, peneliti membuat jadwal pendampingan individual, membuat jadwal supervisi
akademik lanjutan, menyiapkan bahan refleksi hasil lembar kerja peserta, dan menentukan
tambahan tim ahli. Tindakan pendampingan individual dan pembentukan tim ahli dilakukan
untuk meningkatkan layanan bantuan dan meningkatkan motivasi peserta. Pelaksanaan
penelitan dilakukan sesuai rencana dengan cara peneliti mendampingi secara individual
sesuai tingkat dan bentuk kesulitannya. Fokus utama tindakan pendampingan dan bimbingan
adalah agar peserta mampu menyelesaikan dan memperbaiki produk proposal dari siklus 1.
Observasi pada siklus ke-2 juga difokuskan pada mengobservasi produk proposal peserta.
770
Kegiatan siklus ke-2 diakhiri dengan presentasi proposal beberapa peserta dan pengumpulan
proposal. Dari hasil refleksi pada siklus ke-2 menunjukkan bahwa hasil penelitian sudah
sesuai dengan semua indikator yang diharapkan peneliti, sehingga peneliti memutuskan
mengakhiri penelitian.
4. Hasil Penelitian
Berdasarkan pengamatan judul-judul PTK yang dibuat peserta, pada siklus 1, baru ada lima
guru mampu merumuskan judul PTK, pada siklus ke-2 semua guru mampu merumuskan
judul penelitian. Berdasarkan pengamatan dan penilaian terhadap produk proposal PTK,
diperoleh hasil bahwa pada siklus pertama hanya lima guru yang mengumpulkan proposal.
Selanjutnya pada siklus ke-2 sembilan guru mampu menyusun proposal PTK.
5. Pembahasan
Tindakan bimbingan supervisi akademik dengan lembar kerja pengawas kepada guru SD
binaan dapat meningkatkan kompetensi guru dalam menyusun proposal PTK. Indikator yang
menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam menyusun proposal PTK meningkat, dapat
dilihat dari hasil produk lembar kerja para guru dalam menyusun proposal PTK melalui dua
siklus yang dilakukan peneliti.
Lembar kerja sebanyak lima yang diberikan kepada guru pada siklus 1 mendapatkan hasil
berupa adanya kemampuan guru dalam hal: (a) merumuskan judul penelitian PTK (lembar
kerja 1); (b) mengidentifikasi masalah pembelajaran, merumuskan masalah, menentukan
alternatif tindakan dan kemampuan merumuskan tujuan, dan manfaat penelitian (lembar
kerja 2); (c) menetapkan kajian teori dan merumuskan hipotesis penelitian (lembar kerja 3);
(d) menetapkan metodologi penelitian (lembar kerja 4); (e) menyusun proposal PTK (lembar
kerja 5).
Kemampuan guru seperti yang dicapai pada siklus pertama tersebut secara keseluruhan
belum optimal dan masih perlu ditingkatkan. Hal ini dikarenakan produk lembar kerja
peserta dari berbagai lembar kerja masih terdapat catatan kesalahan yang dilakukan guru.
Kesalahan yang dijumpai guru dalam perumusan judul penelitian (lembar kerja 1) adalah
masih terlalu luasnya bidang masalah kajian yang diangkat dan belum merupakan masalah
yang spesifik.
771
Kesalahan yang dijumpai guru dalam menyelesaikan lembar kerja kedua yaitu dalam
merumuskan latar belakang masalah. Pemaparan latar belakang masalah belum semua
peserta menunjukkan keruntutan, kelogisan dan mengungkap data permasalahan.
Kesulitan umum yang dijumpai guru dalam mengisi produk lembar kerja ke 3 yaitu dalam
menyelesaikan kajian teori yang relevan dengan permasalahan dan tindakan yang dilakukan.
Dalam menyelesaikan lembar kerja ke-3 ini peran peneliti sangatlah besar dan menentukan
jangan sampai peserta lengah, malas dan putus di tengah jalan. Dari data siklus pertama
menunjukkan bahwa belum semua guru mampu menyelesaikan kajian teori dengan benar.
Secara umum kajian teori yang ditulis peserta belum menukik dan mendalam.
Untuk menyelesaikan lembar kerja ke-4, secara umum peserta tidak mengalami kesulitan.
Setelah peserta menyelesaikan 4 lembar kerja, peneliti mengajak peserta untuk mengenal
proposal PTK. Melalui lembar kerja ke-5, peneliti mengenalkan kerangka proposal PTK.
Proposal PTK pada dasarnya adalah kegiatan menyatukan, mengumpulkan dari lembar kerja
1 sampai dengan 4 dalam bentuk tulisan yang padu dengan bentuk susunan yang telah
ditentukan. Dengan diisinya lembar kerja kelima maka produknya berupa proposal PTK.
Dengan demikian guru yang mampu mengisi dan menyelesaikan lembar kerja kelima ini
menunjukkan bahwa guru memiliki kemampuan menyusun proposal PTK.
Siklus kedua dilakukan peneliti untuk memaksimalkan produk proposal PTK dengan
memperbaiki produk-produk yang belum tepat dan masih perlu diperbaiki berdasarkan
refleksi dan masukan dari peneliti/pengawas. Perbaikan kepada masing-masing peserta
dilakukan melalui pendampingan individual dengan jadwal pendampingan yang telah
ditentukan. Selain dengan pendampingan peneliti, para guru diperkenankan juga untuk minta
bimbingan kepada tim kolaborator yang telah ditunjuk pengawas. Tindakan siklus kedua
berupa refleksi produk siklus 1, pendampingan individual dan diakhiri dengan presentasi
beberapa peserta menunjukkan hasil produk proposal PTK jauh lebih baik.
Pada siklus kedua menunjukkan bahwa ada perbedaan hasil yang lebih baik dalam
perumusan judul, perumusan latar belakang, kelengkapan kajian teori. Dengan demikian
adanya siklus kedua semakin meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun proposal
PTK. Peran serta peneliti dalam memberikan dorongan, penjelasan dan pendampingan
dengan bantuan lembar kerja kepada guru selama proses bimbingan supervisi akademik
memberi dampak yang sangat besar sehingga, membuat guru bersemangat dalam menyusun
proposal PTK.
6. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh hasil bahwa para guru mampu
merumuskan judul penelitian sesuai ketentuan. Di sisi lain bimbingan supervisi akademik
dengan lembar kerja dapat membimbing guru setahap demi setahap menyelesaikan proposal
PTK. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa supervisi akademik melalui lembar kerja
dapat meningkatkan kemampuan guru dalam menyusun proposal PTK.
772
7. Saran
Daftar Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 2001. Dasar-dasar Supervisi. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan
UNY.
Arikunto, Suharsimi. 2004. Dasar-Dasar Supervisi. Jakarta: Rineka Cipta.
Beebe, Steven A., Mottet, David Roach K. Training and Development Enhancing Communication and
Leadership Skills. United States of America: Pearson Edication. (2004)
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pedoman Kerja Pelaksanaan Supervisi: Jakarta.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1994)
[Goldstein, Irwin L., J. Kevin Ford. Training in Organizations Needs Assessment, Development, and
Evaluastion. Canada: Wadsworth. Fourth Edition. (2001)
Hariwung, A.J. Supervisi Pendidikan. Jakarta: Direktorat Pendidikan dan Kebudayaan. (1989)
Nurtain. Supervisi Pengajaran: Teori dan Praktek. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
(1989)
Sahertian, Piet A. 2000. Konsep-konsep Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber
Daya Manusia. Jakarta. Rineka Cipta.
Spetopo, Hendiyat. Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan. Jakarta. Bina Aksara. (1982)
Suharjono. Pertanyaan dan Jawaban di Sekitar Penelitian Tindakan Kelas dan Tindakan Sekolah.
Malang: Lembaga Cakrawala Indonesia dan LP3 UM. (2009)
773
Wardani, IGAK dan Kuswaya Wihardit. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta. Universitas Terbuka.
(2008)
Wexley, Kenneth N., Lanthan Gary P. Developing and Training Human Resources in Organizations,
New York: Haper Collins Publishers. Second Edition. (1991)
774
Abstrak. Komunikasi adalah suatu proses antardua orang atau lebih untuk melakukan
pertukaran ide/informasi. Dalam proses perkuliahan khususnya perkuliahan matematika,
komunikasi dapat terwujud antarpeserta didik, maupun antara peserta didik dengan
guru/dosen. Agar tujuan pembelajaran dapat tercapai, peserta didik maupun pengajar
harus memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Dalam hal ini kemampuan
komunikasi yang dimaksud adalah kemampuan komunikasi untuk menyampaikan
ide/gagasan matematika atau kemampuan komunikasi matematis. Oleh karena itu,
pendidik/dosen harus mengetahui kemampuan komunikasi matematis peserta didiknya
sehingga mampu mengarahkan peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Fokus penelitian ini adalah pada profil kemampuan komunikasi matematis mahasiswa
Pendidikan Matematika secara tertulis pada mata kuliah Geometri Bidang. Untuk
mengumpulkan data mengenai kemampuan komunikasi matematis secara tertulis,
peneliti melakukan pengamatan dan tes tertulis kepada mahasiwa. Selanjutnya, data
dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa dengan
kemampuan akademik tinggi menguasai dua indikator kemampuan komunikasi
matematis tertulis. Sedangkan mahasiswa dengan kemampuan akademik sedang dan
rendah hanya mampu menguasai satu indikator kemampuan komunikasi matematis
tertulis..
1. Pendahuluan
Geometri Bidang merupakan salah satu mata kuliah yang wajib ditempuh oleh mahasiswa S1
Pendidikan Matematika. Dalam mata kuliah ini, mahasiswa dituntut untuk nantinya
memahami konsep-konsep dan teorema-teorema mengenai Geometri Euclides Bidang.
Mahasiswa Pendidikan Matematika sebagai calon guru matematika tidak hanya dituntut
untuk dapat menguasai materi-materi tersebut dengan baik. Mahasiswa juga dituntut untuk
dapat menyampaikan atau mengomunikasikan apa yang mereka ketahui terkait materi
tersebut kepada orang lain, sehingga orang lain memahami pesan yang disampaikan dengan
baik.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti ketika mengajar mata kuliah Geometri
Bidang tahun ajaran 2012/2013, peneliti mendapati bahwa mahasiswa mengalami kesulitan
775
dalam mengungkapkan ide/gagasan terkait dengan materi baik lisan terutama dalam bentuk
tertulis. Hal ini tampak ketika mahasiswa diberi kesempatan untuk menuliskan strategi
penyelesaian suatu masalah baik di papan tulis maupun di lembar jawaban. Dalam
menyampaikan gagasan, mahasiswa terkesan tidak dapat mengorganisasikan gagasan
tersebut secara sistematis.
2. Komunikasi
Rogers dan D. Lawrence Kincaid dalam Hafied Cangara (2000) menyatakan bahwa
komunikasi adalah suatu proses antara dua orang atau lebih untuk melakukan pertukaran
informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian
yang mendalam. Lasswell menyatakan bahwa cara yang terbaik untuk menerangkan proses
komunikasi adalah menjawab pertanyaan “Who says in which channel to whom with what
effect” (Siapa mengatakan apa melalui saluran apa kepada siapa dengan efek apa) (Efendi,
2003). Menurut Lasswell (dalam Efendi, 2003) unsur-unsur proses komunikasi adalah
komunikator, pesan, media, penerima, dan efek.
a. Komunikator (sumber)
Semua peristiwa komunikasi akan melibatkan sumber sebagai pembuat atau pengirim
informasi. Sumber bisa terdiri dari satu orang, tetapi bisa juga dalam bentuk kelompok.
b. Pesan
Pesan adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima. Pesan dapat
disampaikan dengan cara tatap muka atau melalui media komunikasi.
c. Media
Media adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada
penerima.
d. Penerima
Penerima adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. Jika suatu
pesan tidak diterima oleh penerima akan menimbulkan berbagai macam masalah yang
seringkali menuntut perubahan, apakah pada sumber, pesan atau media.
e. Efek
Pengaruh atau efek adalah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan
oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan.
776
Menurut Skemp (1979), salah satu fungsi simbol adalah sebagai alat komunikasi. Menurut
Wahyudin (2008) komunikasi adalah bagian esensial dari matematika dan pendidikan
matematika. Dalam pembelajaran, proses komunikasi membantu peserta didik dan guru
dalam membangun makna untuk gagasan-gagasan matematika.
Dalam pembelajaran, guru dan siswa harus mampu menyampaikan gagasan baik secara lisan
maupun tertulis. Penelitian ini hanya berfokus pada kemampuan komunikasi matematika
peserta didik (mahasiswa) secara tertulis, sehingga indikator-indikator kemampuan
komunikasi matematis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. menggambarkan situasi masalah dengan menggunakan kata-kata, simbol, gambar, tabel
atau bagan,
b. menyajikan gagasan atau penyelesaian masalah dengan menggunakan kata-kata, simbol,
gambar, tabel atau bagan, dan
c. menggunakan simbol matematika dengan tepat.
777
4. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil kemampuan komunikasi matematis tertulis
mahasiswa Pendidikan Matematika pada mata kuliah Geometri Bidang. Berdasarkan tujuan
tersebut penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek dalam penelitian ini
adalah tiga mahasiswa Pendidikan Matematika yang mengikuti mata kuliah Geometri
Bidang tahun ajaran 2013/2014 dan yang mengalami hambatan dalam komunikasi matematis
secara tertulis. Tiga mahasiswa tersebut terdiri dari satu mahasiswa dengan kemampuan
matematika tinggi, satu mahasiswa dengan kemampuan matematika sedang, dan satu
mahasiswa dengan kemampuan matematika rendah.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data mengenai kemampuan komunikasi
tertulis mahasiswa Pendidikan Matematika pada mata kuliah Geometri Bidang. Untuk
mengumpulkan data tersebut, peneliti melakukan observasi yang dilaksanakan pada saat
perkuliahan Geometri Bidang berlangsung dan juga melakukan dokumentasi terhadap
pekerjaan siswa yang meliputi hasil ujian, tugas, maupun kuis.
Berdasarkan dokumentasi hasil kuis dan hasil ujian sisipan mahasiswa pada materi
kekongruenan segitiga pada mata kuliah Geometri Bidang, diperoleh data-data mengenai
kemampuan komunikasi matematis mahasiswa tersebut. Pada soal kuis, mahasiswa diminta
untuk membuktikan pernyataan-pernyataan berkaitan dengan kekongruenan segitiga. Dua
pernyataan yang diminta untuk dibuktikan pada kuis adalah sebagai berikut:
a. Mahasiswa A
Untuk soal no 1, mahasiswa A mampu menggambarkan situasi masalah dengan
menggunakan simbol dan menyajikan penyelesaian masalah (pembuktian) dengan
menggunakan simbol-simbol dengan tepat. Pada soal nomor 2, mahasiswa A
menggambarkan situasi masalah dengan menggunakan simbol namun gambaran yang
dibuat tidak sesuai dengan kondisi yang diketahui. Hal ini terjadi karena mahasiswa salah
menafsirkan kalimat pada soal.
b. Mahasiswa B
Pada soal no 1, mahasiswa B mampu menggambarkan situasi masalah dan menyajikan
penyelesaian masalah dengan menggunakan simbol, namun penyelesaian yang dibuat
tidak tepat. Pada sal no 2, mahasiswa B menggambarkan situasi masalah dengan
menggunakan kata-kata dan menyajikan penyelesaian masalah dengan menggunakan
simbol. Pada soal ini penyelesaian yang dibuat mahasiswa B juga tidak tepat. Pada soal
no 1 dan 2, mahasiswa B menggunakan simbol matematika dengan tidak tepat.
Ketidaktepatan penggunaan simbol terjadi ketika mahasiswa menyatakan dua buah
segitiga yang kongruen dengan menggunakan tanda “”.
c. Mahasiswa C
Pada soal no 1, mahasiswa C mampu menggambarkan situasi masalah dan menyajikan
penyelesaian masalah dengan menggunakan simbol, namun penyelesaian yang dibuat
tidak tepat. Pada soal no 2, mahasiswa C menggambarkan situasi masalah dengan
menggunakan kata-kata dan menyajikan penyelesaian masalah dengan menggunakan
simbol. Pada soal ini penyelesaian yang dibuat mahasiswa C juga tidak tepat
779
Selanjutnya, pada soal ujian sisipan, mahasiswa juga diminta untuk membuktikan
pernyataan-pernyataan berkaitan dengan kekongruenan segitiga, namun dengan situasi yang
lebih kompleks. Soal ujian sisipan yang diberikan adalah sebagai berikut.
Berikut merupakan data mengenai kemampuan komunikasi matematis yang tampak dari
hasil ujian sisipan dari mahasiswa A, B, dan C.
a. Mahasiswa A
Untuk soal no. 1, 3, 4, dan 5, mahasiswa A mampu menggambarkan situasi masalah
dengan menggunakan simbol dan gambar yang tepat dan mampu menyajikan
780
Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa mahasiswa C (mahasiswa dengan kemampuan
rendah) hanya menguasai satu indikator kemampun komunikasi tertulis yaitu
menggambarkan situasi masalah dengan menggunakan simbol dan gambar. Namun gambar
yang diberikan masih belum tepat. Walaupun mahasiswa tersebut mampu menggambarkan
situasi masalah namun terdapat kemungkinan bahwa mahasiswa ini tidak benar-benar
memahami kalimat yang dituliskan sehingga penyelesaian yang dibuat tidak tepat. Dalam
781
6. Penutup
Dari data dan analisis sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:
a. Kemampuan komunikasi matematis tertulis yang tampak dari mahasiswa dengan prestasi
akademik yang tinggi yaitu kemampuan menggambarkan situasi masalah dengan
menggunakan kata-kata, simbol, dan gamba, dan kemampuan menggunakan simbol
matematika dengan tepat.
b. Kemampuan komunikasi matematis tertulis yang tampak dari mahasiswa dengan prestasi
akademik yang sedang yaitu kemampuan menggambarkan situasi masalah dengan
menggunakan simbol, kata-kata dan gambar. Dalam menyajikan penyelesaian masalah,
mahasiswa memiliki hambatan dalam menyajikan penyelesaian masalah dengan
sistematis dan dalam menggunakan simbol matematika yang tepat.
c. Kemampuan komunikasi matematis tertulis yang tampak dari mahasiswa dengan prestasi
akademik yang rendah yaitu kemampuan menggambarkan situasi masalah dengan
menggunakan simbol, dan kata-kata. Dalam menggambarkan situasi masalah, mahasiswa
ini memiliki hambatan dalam menggambarkan situasi masalah dengan menggunakan
gambar. Mahasiswa ini juga memiliki hambatan dalam menyajikan penyelesaian masalah
dengan menggunakan simbol. Penyelesaian disajikan tidak dengan sistematis serta
terdapat kesalahan dalam penggunaan simbol.
Daftar Pustaka
Cangara, Hafied. 2006. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Effendy. 2003. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
NCTM (National Council of Teacher of Mathematics). 1989. Curriculum and Evaluation Standards
for School Mathematics. Reston, VA : NCTM
NCTM (National Council of Teacher of Mathematics). 1991. Professional for Teaching Mathematics.
Reston, VA : NCTM
Ontario Ministry of Education. 2005. The Ontario Curriculum, Grades 1 to 8: Mathematics. Toronto,
ON: Queens‟ Printer for Ontario.
Wahyudin. 2008. Pembelajaran dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: CV. Ipa Abong.
Wina Sanjaya. 2006. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media.
782
Warsito
SD Negeri Susukan 01 Kec. Susukan Kab.Semarang , email: paksitowisanggeni@yahoo.com
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan media permainan pelangi tac
tic toe yang efektif dan praktis untuk membantu siswa menghafal fakta dasar perkalian.
Penelitian ini dilatarbelakangi masih banyak siswa SD yang tidak hafal fakta dasar
perkalian sehingga menghambat pencapaian kompetensi-kompetensi matematika
selanjutnya. Metode pengembangan media pembelajaran ini menggunakan metode
langkah-langkah penelitian dan pengembangan (Research and Development) yang
dikembangkan oleh Borg and Gall dan disederhanakan oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional (2008), terdiri dari 5 tahapan utama,
yaitu: 1. melakukan analisis produk yang akan dikembangkan, 2. mengembangkan
produk awal, 3. validasi ahli dan revisi, 4. uji coba lapangan skala kecil dan revisi
produk, dan 5. uji coba lapangan skala besar dan produk akhir. Karena keterbatasan
biaya, penelitian ini hanya sampai pada langkah ke-4 dengan subyek uji coba penelitian
sejumlah 30 siswa. Jenis instrumen yang digunakan adalah angket, lembar catatan
saran, serta kamera photo digital. Hasil penelitian menunjukkan telah berhasil
mengembangkan media permainan pelangi tac tic toe yang dapat digunakan siswa untuk
bermain sambil belajar. Validasi pada aspek keefektifan dan kepraktisan media pada
kriteria baik, sehingga media yang dikembangkan ini diharapkan mampu meningkatkan
prestasi siswa pada mata pelajaran matematika pada umumnya.
Kata Kunci: Penelitian pengembangan, tac tic toe, fakta dasar perkalian.
1. Pendahuluan
Amanat kurikulum 2006 (KTSP) menyatakan salah satu standar kompetensi matematika di
sekolah dasar kelas 2 adalah melakukan perkalian dan pembagian bilangan sampai dua
angka dan kompetensi dasarnya “melakukan perkalian yang hasilnya bilangan dua angka”.
Dari amanat kurikulum tersebut maka siswa diharapkan mampu menyelesaikan
permasalahan operasi perkalian dan dapat menggunakannya dalam pemecahan masalah tidak
hanya sampai pemahaman konsep tetapi sampai tingkat keterampilan konsep. Namun
kenyataannya, banyak siswa SD yang tidak hafal perkalian fakta dasar, padahal
kemampuan menguasai fakta dasar perkalian sangat penting sebagai prasyarat pembelajaran
matematika selanjutnya.
783
Amanat dari standar proses pembelajaran dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2013 Tentang Standar Proses Pendidikan
Dasar dan Menengah salah satunya adalah bahwa proses pembelajaran pada satuan
pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup
bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan
fisik serta psikologis peserta didik. Untuk itu setiap satuan pendidikan melakukan
perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses
pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan.
Karakteristik proses pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik kompetensi.
Pembelajaran tematik terpadu di SD/MI/SDLB/Paket A disesuaikan dengan tingkat
perkembangan peserta didik.
Proses pembelajaran matematika di SD Negeri Susukan 01 selama ini selama ini kurang
memperhatikan karakteristik siswa dan amanat kurikulum yang berlaku. Salah satunya
disebabkan kurangnya media pembelajaran yang menunjang, sehingga keberhasilan
pembelajaran kurang maksimal dan pembinaan karakter belum tercapai sesuai harapan.
Saat ini media dan alat peraga matematika di SD Negeri Susukan 01 sudah ada berupa KIT
Matematika paket dari pemerintah. Namun alat peraga yang secara spesifik berguna dalam
menunjang pembinaan keterampilan menghafal fakta dasar perkalian belum tersedia karena
hanya berupa tabel perkalian. Selain itu, pemanfaatan alat peraga dan media tersebut juga
belum optimal. Proses pembelajaran matematika di SD negeri Susukan 01 selama ini sering
hanya sampai pada pemahaman konsep dan sedikit sekali pembinaan keterampilan
matematika, juga kurang memperhatikan karakteristik siswa dan amanat kurikulum yang
berlaku. Salah satunya karena kurangnya media pembelajaran yang menunjang, sehingga
keberhasilan pembelajaran kurang maksimal dan pembinaan karakter belum tercapai sesuai
harapan. Dari uraian di atas, dirumuskan masalah “Untuk membantu siswa Sekolah Dasar
menghafal fakta dasar perkalian, bagaimanakah media permainan pelangi tac tic toe fakta
dasar perkalian yang efektif dan praktis?”
2. Metode Penelitian
2.1 Metode Pengembangan
Pengembangan media pembelajaran ini menggunakan langkah-langkah model penelitian dan
pengembangan (Research and Development) yang dikembangkan oleh Borg and Gall dan
disederhanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional
(2008). Model tersebut terdiri dari 5 tahapan utama, yaitu: 1.melakukan analisis produk yang
akan dikembangkan, 2. mengembangkan produk awal, 3. validasi ahli dan revisi, 4. ujicoba
lapangan skala kecil dan revisi produk, dan 5. ujicoba lapangan skala besar dan produk akhir.
784
2.2 Instrumen
Instrumen untuk pengembangan media ini menggunakan angket, lembar observasi, lembar
validasi dan saran. Angket untuk siswa digunakan untuk mengetahui sejauh mana tingkat
kepraktisan media yang dikembangkan, sedangkan angket untuk validator digunakan untuk
mengetahui segi efektivitas dan kepraktisan media yang dikembangkan dengan
menggunakan skala Likerts. Lembar saran digunakan untuk keperluan revisi baik desain
maupun aturan permainannya.
3. Hasil Penelitian
3.1 Produk yang Dikembangkan
Media pembelajaran matematika yang dikembangkan bernama “Tac Tic Toe Pelangi Fakta
Dasar Perkalian”. Media ini diharapkan akan bermanfaat untuk membantu siswa menghafal
fakta dasar perkalian
Berikut adalah ilustrasi desain awal alat peraga “Tac Tic Toe Pelangi Fakta Dasar
Perkalian”
785
Dari desain awal tersebut peneliti berkolaborasi dengan teman sejawat dan juga
berkonsultasi dengan pembimbing yang akhirnya dari desain awal tersebut mengalami revisi
terutama desain petak permainan yang semula 5 x 5 petak satuan diubah menjadi 6 x 6 petak
satuan.
Pada tanggal 5 Oktober 2013 dibuat produk awal seperti yang tampak pada gambar 3.1 dan
3.2 di bawah ini.
3.1 Produk awal 3.2 Produk awal 3.3 Kegiatan 3.4 Kegiatan 3.5 Produk
Validasi Ujicoba Akhir
Gambar 3 . Alur Kegiatan Pengembangan
Selanjutnya dilakukan serangkaian diskusi dan tanggal 24 Oktober 2013 alat peraga
divalidasi oleh tim yang terdiri dari 10 validator seperti terlihat pada gambar 3.3. Hasil
validasi dari aspek keefektifan dan kepraktisan media adalah sangat baik tetapi ada beberapa
saran terkait dengan ukuran media dan kejelasan aturan permainan.
Langkah selanjutnya, peneliti merevisi aturan permainan dan sebagian alat yang digunakan
tetapi belum sempat merevisi papan permainannya. Peneliti melakukan mengujicobakan
media permainan kepada siswa (gambar 3.4) pada tanggal 2 November 2013. Dari kegiatan
validasi dan uji coba skala kecil, akhirnya papan permainan yang semula berukuran 60 × 60
786
cm2 diubah menjadi 37 × 42 cm2 dan pada papan juga dituliskan tentang alat lain yang
harus digunakan seperti terlihat pada gambar (3.5).
4. Pembahasan
4.1 Wujud Media
Adapun wujud akhir media setelah mempertimbangkan hasil validasi serta saran-saran dari
validator terlihat pada gambar dan penjelasannya sebagai berikut.
Fakta dasar perkalian adalah perkalian antardua bilangan satu angka atau lebih khusus adalah
perkalian antara 2 bilangan asli di bawah sepuluh. Adapun permainan tac tic toe adalah
model permainan kompetisi satu lawan satu yang menggunakan petak-petak permainan
dimana indikator pemenangnya adalah pemain yang dapat menguasai 3 petak berurutan
baik secara horisontal, vertikal, maupun diagonal (Pujiati, 2004: 48). Sebagai gambaran kami
tuangkan dalam contoh sebagai berikut.
787
x o x x
o x o x
o
o
Pemain dengan koin simbol o dinyatakan menang
karena menguasai 3 petak vertikal
Gambar 4 : contoh posisi akhir permainan tac tic toe
Istilah pelangi ini digunakan untuk membedakan tingkat-tingkatan (level) perkalian fakta
dasar yang dirancang menjadi tiga level dari level I sampai dengan level III. Setiap level
menggunakan penanda nama warna sehingga digunakan istilah pelangi agar menarik minat
siswa untuk bermain sambil belajar menghapal fakta dasar perkalian. Level pertama
dinamakan level merah, level II dinamakan level kuning dan level III dinamakan level hijau.
Karakteristik pada level merah apalah perkalian yang melibatkan angka 1, 2, 3, 4, 5, 6. Dan
level kuning melibatkan angka 1, 2, 3, 7, 8, 9 sedangkan level hijau melibatkan angka 4, 5, 6,
7, 8, 9.
Permainan dilakukan 2 orang (kompetisi satu lawan satu) dan tiap pemain menggunakan
koin/ benda penanda hanya sebanyak 5 biji misal pemain I menggunakan warna putih, dan
pemain II menggunakan warna merah.
Dari serangkaian proses pengembangan telah mengalami revisi baik dari desain awal,
aturan–aturan penggunaan, bahan maupun ukuran misalkan dari bahan yang semula
direncanakan menggunakan media papan dan cat, diubah menggunakan stiker yang ditempel
di papan triplek dengan alasan lebih praktis menarik dan higienis, papan permainan yang
semula berukuran 60 × 60 cm2 diubah menjadi ukuran 40 × 40 cm2 petak permainan yang
dalam rancangan awal terdiri dari 5 × 5 petak satuan diubah menjadi 6 × 6 petak satuan,
selain itu juga ukuran dadu juga mengalami perubahan yang semula berukuran 1×1×1 cm3
diubah menjadi 2×2×2cm3. Koin penanda yang semula jumlahnya tidak dibatasi diubah
menjadi hanya 5 koin untuk setiap pemain. Sedangkan hasil validasi seperti tertuang pada
tabel di berikut ini.
No Pernyataan
No Nama Validator Jumlah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Eko S.S.Pd 3 3 2 3 3 1 2 1 3 3 24
2 Drs Aqam 4 4 3 3 3 3 4 3 3 4 34
3 Drs Suyanto 4 4 3 4 4 4 4 3 4 4 38
4 Yono.S.Pd 4 4 3 4 4 3 4 4 3 4 37
5 Budiati ,S Pd. 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 38
6 Hartono S.Pd 4 4 3 4 4 3 3 4 4 3 36
7 Rofiudin S.Pd 3 4 3 4 4 3 3 3 3 4 34
8 Zuhriyah S.pd. 4 3 3 3 4 4 3 4 3 4 35
9 Kusnul S.Pd 4 4 3 4 4 3 3 4 4 4 37
10 Rahayu,S.Pd 4 4 2 4 4 2 4 2 4 4 34
Jumlah 38 38 28 37 38 29 34 32 35 38 347
Rata-rata 3,8 3,8 2,8 3,7 3,8 2,9 3,4 3,2 3,5 3,8 3,47
Persentasi (%) 95 95 70 93 95 73 85 80 88 95 86,8
789
Nomor Pernyataan
No Nama Validator Jumlah
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Eko S. S.Pd 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 29
2 Drs Aqwam 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 32
3 Drs Suyanto 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 39
4 Yono.S.Pd 3 3 3 4 4 3 4 4 3 3 34
5 Budiyati,S.Pd 4 3 3 4 4 3 4 4 4 3 36
6 Hartono,S.Pd 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 38
7 Rofiudin,S.Pd 3 4 4 4 3 3 3 4 3 3 34
8 Zuhriyah,S.Pd 3 4 3 3 4 3 4 3 3 4 34
9 Kusnul,S.Pd 4 4 3 4 3 4 4 4 4 3 37
10 Rahayu,S.Pd 4 4 3 4 4 3 4 4 4 4 38
Jumlah 36 37 30 37 36 32 37 37 35 34 351
Rata-rata 3,6 3,7 3 3,7 3,6 3,2 3,7 3,7 3,5 3,4 3,51
Persentasi (%) 90 93 75 93 90 80 93 93 88 85 87,8
Keterangan
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa hasil penilaian dari tim validasi tentang
keefektifan memperoleh nilai rata-rata akhir 3,47 yang setelah dikonversi ke persen menjadi
86,8 % termasuk kategori sangat baik sedangkan pada aspek kepraktisan memperoleh nilai
rata-rata akhir 3,51 setelah dikonversi dalam bentuk persen menjadi 87,8% termasuk
kategori sangat baik.
5. Kesimpulan
Penelitian ini telah berhasil mengembangkan produk media permainan pelangi tac tic toe
fakta dasar perkalian walaupun belum sampai produk masal (skala besar) yang diharapkan
dapat membantu guru khususnya guru Sekolah Dasar dalam rangka memfasilitasi siswa
bermain sambil belajar. Aspek yang diharapkan dapat dioptimalkan adalah untuk
meningkatkan keterampilan konsep perkalian sehingga sampai hafal fakta dasar perkalian.
Hal ini karena dengan suasana bermain sambil belajar akan membawa dampak positif baik
dari segi pembinaan karakter siswa maupun menstimulus pengembangan kognisi pada siswa.
Dengan permainan ini kualitas hafalan siswa tentang fakta dasar perkalian dapat meningkat.
790
karena kompetensi tersebut sering menjadi kompetensi prasyarat untuk mencapai kompetensi
lainnya. Media ini juga sangat memungkinkan untuk digunakan oleh siswa di luar kelas dan
di luar jam pelajaran, bahkan juga dapat menjadi salah satu alternatif permainan di rumah
bersama teman , keluarga atau kerabat lainnya maupun orang tua.
6. Ucapan Terimakasih
Dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu kegiatan penelitian pengembangan ini terutama kepada:
1. Widyaiswara PPPPTK Matematika Yogyakarta
2. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Semarang
3. Kapala UPTD Pendidikan Kecamatan Susukan Kabupaten Semarang
4. Para Pengawas SD di Kecamatan Susukan
5. Para Guru Pemandu Mata Pelajaran di Kecamatan Susukan
6. Kepala Sekolah dan dewan guru di Gugus Sekolah Bambang Wisanggeni Kecamatan
Susukan
7. Kepala Sekolah ,guru dan karyawan SD Negeri Susukan 01
8. Para Siswa SD Negeri Susukan 01
9. Pengrajin stiker “Via Grafika “ Susukan
10. Berbagai fihak yang tidak dapat peneliti sebutkan
Daftar Pustaka
Depdiknas 2013 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 65
Tahun Standar proses Pendidikan. Jakarta :Depdiknas
Pujiati. 2004. Alat peraga matematika . Yogyakarta : PPPG Matematika
Pusbanglitbang. 2008. Pedoman Penelitian dan Pengembangan . Jakarta :Depdiknas
Rosseffendi. 1993:115-16. .http://mjafareffendi.wordpress.com/2012/03/13/teori-belajar-matematika-
menurut-23-ahli/diakses pada tanggal 28 September 2013 pukul 10.15
Sukayati. 2009. Penggembangan Media Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: PPPPTK
Matematika
791
1. Pendahuluan
Dalam rangka mempersiapkan lulusan pendidikan memasuki era globalisasi yang penuh
tantangan dan ketidakpastian, diperlukan pendidikan yang dirancang berdasarkan kebutuhan
nyata di lapangan. Untuk kepentingan tersebut, pemerintah melakukan penataan kurikulum.
Kurikulum 2013 merupakan tindak lanjut dari kurikulum berbasis kompetensi.
Kunci sukses yang menentukan keberhasilan implementasi kurikulum 2013 salah satunya
adalah kreativitas guru, karena guru merupakan faktor penting yang besar pengaruhnya,
bahkan sangat menentukan berhasil tidaknya peserta didik dalam belajar. Tugas guru tidak
hanya menyampaikan informasi kepada peserta didik, tetapi harus kreatif memberikan
layanan dan kemudahan belajar (facilitate learning) kepada peserta didik, agar mereka dapat
belajar dalam suasana yang menyenangkan, gembira, penuh semangat, tidak cemas, dan
berani mengemukakan pendapat secara terbuka.
Menurut Rusman (2010:19), “Guru adalah seorang pendidik, pembimbing, pelatih dan
pengembang kurikulum yang dapat menciptakan kondisi dan suasana belajar yang kondusif,
yaitu suasana belajar yang menyenangkan, menarik, memberi rasa aman, memberi ruang
pada siswa untuk berfikir aktif, kreatif dan inovatif dalam mengeksplorasi dan
792
mengelaborasi kemampuannya. Hal ini juga sesuai dengan UU RI No. 14 tahun 2005, Pasal
yaitu guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan
menengah.
Kompetensi yang harus dikuasai peserta didik perlu dinyatakan sedemikian rupa agar dapat
dinilai, sebagai wujud hasil belajar yang mengacu pada pengalaman langsung. Menurut
Burke dalam Mulyasa (2013:66), beberapa aspek atau ranah yang terkandung dalam konsep
kompetensi dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Pengetahuan (knowledge) yaitu kesadaran dalam bidang kognitif, misalnya seorang guru
mengetahui cara melakukan identifikasi kebutuhan belajar, dan bagaimana melakukan
pembelajaran terhadap peserta didik sesuai dengan kebutuhannya.
2. Pemahaman (understanding) yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki oleh
individu. Misalnya seorang guru yang akan melaksanakan pembelajaran harus memiliki
pemahaman yang baik tentang karakteristik dan kondisi peserta didik, agar dapat
melaksanakan pembelajaran secara afektif dan efisien.
3. Kemampuan (skill) adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu untuk melakukan tugas
atau pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Misalnya kemampuan guru dalam memilih
dan membuat alat peraga sederhana untuk memberi kemudahan belajar kepada peserta
didik.
4. Nilai (value) adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini dan secara psikologis
telah menyatu dalam diri seseorang. Misalnya standar perilaku guru dalam pembelajaran
(kejujuran, keterbukaan, demokratis, dan lain-lain).
5. Sikap (attitude) yaitu perasaan (senang-tidak senang, suka-tidak suka) atau reaksi
terhadap suatu rangsangan yang datang dari luar. Misalnya reaksi terhadap krisis
ekonomi, perasaan terhadap kenaikan upah/gaji, dan sebagainya.
6. Minat (interest) adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan.
Misalnya minat untuk mempelajari atau melakukan sesuatu.
agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, mengajukan pertanyaan-pertanyaan
dan mencari jawabannya sendiri, serta menghubungkan penemuan yang lain,
membandingkan apa yang ditemukannya dengan yang ditemukan peserta didik lainnya. Dari
pendapat di atas maka pendekatan inkuiri ini dapat menjawab permasalahan di atas karena
siswa mengembangkan kreatifitasnya dan kemampuan matematisnya sendiri, sehingga dapat
lebih memahami permasalahan atau pengetahuan yang diberikan.
Di dalam proses pembelajaran, setiap siswa atau peserta didik selalu diarahkan agar menjadi
peserta didik yang mandiri. Untuk menjadi mandiri, seseorang harus belajar sehingga dapat
dicapai suatu kemandirian belajar. Keadaan mandiri akan muncul bila seseorang belajar, dan
sebaliknya, kemandirian tidak akan muncul dengan sendirinya bila seseorang tidak mau
belajar.
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis ingin membahas tentang “desain pembelajaran
matematika menggunakan metode inkuiri untuk melatih kemandirian belajar siswa ”.
2. Pembelajaran Matematika
Pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori
belajar. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, di mana mengajar dilakukan
oleh guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik sebagai
pembelajar (Sagala, 2008:61).
diperlukan. Hal ini bertujuan agar dapat membekali seseorang untuk mengikuti atau
memahami materi-materi pelajaran secara menyeluruh.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika adalah proses
belajar mengajar matematika yang menekankan pada pemecahan masalah, di mana proses
kerja matematika ini dilalui secara berurut yang melalui tahap observasi, menebak, menguji
hipotesis, mencari analogi, dan akhirnya merumuskan teorema-teorema.
3. Metode Inkuiri
Inkuiri berasal dari kata to incuire yang berarti ikut serta, atau terlibat, dalam mengajukan
pertanyaan-pertayaan, mencari informasi, dan melakukan penyelidikan. Kata inkuiri sering
juga dinamakan heuriskin yang berasal dari bahasa Yunani, yang memiliki arti saya
menemukan. Menurut Trianto (2007:135), inquiry yang dalam bahasa indonesia adalah
inkuiri berarti pertanyaan, pemeriksaan atau penyelidikan. Inkuiri sebagai suatu proses
umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi.
Piaget (dalam Mulyasa, 2005:108) menyatakan bahwa inquiry merupakan teknik yang
mempersiapkan peserta didik pada situasi untuk melakukan eksperimen sendiri secara luas
agar melihat apa yang terjadi, ingin melakukan sesuatu, mengajukan pertanyaan-pertanyaan
dan mencari jawabannya sendiri, serta menghubungkan penemuan yang lain,
membandingkan apa yang ditemukannya dengan yang ditemukan peserta didik lainnya.
Kondisi umum yang merupakan syarat timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa adalah:
1. Aspek sosial di kelas dan suasana terbuka yang mengajak siswa berdiskusi,
2. Inkuiri berfokus pada hipotesis,
3. Penggunaan fakta sebagai evidensi (informasi, fakta).
Menurut Sanjaya (2006:197) Ada beberapa hal yang menjadi karakteristik utama dalam
metode pembelajaran inkuiri, yaitu:
a. Metode inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan
menemukan. Dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya berperan sebagai penerima
pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka berperan untuk
menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri.
b. Seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan
jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat
menumbuhkan sikap percaya diri (self belief). Dengan demikian, metode pembelajaran
inkuiri menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar akan tetapi sebagai fasilitator
dan motivator belajar siswa.
Seperti yang dapat disimak dari penjelasan di atas, maka metode inkuiri merupakan bentuk
dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada siswa (student centered approach)
yang memiliki perbedaan dengan metode konvensional.
Langkah-langkah yang perlu diikuti dalam pembelajaran inkuiri adalah sebagai berikut:
1. Orientasi
Pada tahap ini guru melakukan langkah untuk membina suasana atau iklim pembelajaran
yang kondusif. Hal yang dilakukan dalam tahap orientasi ini adalah:
a. Menjelaskan topik, tujuan, dan hasil belajar yang diharapkan akan dicapai oleh
siswa
b. Menjelaskan pokok-poko kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa untuk mencapai
tujuan. Pada tahap ini dijelaskan langkah-langkah inkuiri serta tujuan setiap langkah,
mulai dari langkah merumuskan masalah sampai dengan merumuskan kesimpulan
c. Menjelaskan pentingnya topik dan kegiatan belajar. Hal ini dilakukan dalam rangka
memberikan motivasi belajar siswa.
2. Merumuskan masalah
Merumuskan masalah merupakan langkah membawa siswa pada suatu persoalan yang
mengandung teka-teki. Persoalan yang disajikan adalah persoalan yang menantang siswa
untuk memecahkan teka-teki itu. Teka-teki dalam rumusan masalah tentu adan
jawabannya, dan siswa didorong untuk mencari jawaban yang tepat. Proses mencari
jawaban itulah yang sangat penting dalam pembelajaran inkuiri, oleh karena itu melalui
proses tersebut siswa akan memperoleh pengalaman yang sangat berharga sebagai upaya
mengembangkan mental melalui proses berpikir.
3. Merumuskan Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu permasalahan yang dikaji. Sebagai
jawaban sementara, hipotesis perlu diuji kebenarannya. Salah satu cara yang dapat
dilakukan guru untuk mengembangkan kemampuan menebak (berhipotesis) pada setiap
anak adalah dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang dapat mendorong siswa
untuk dapat merumuskan jawaban dari suatu permasalahan yang dikaji.
4. Mengumpulkan data
Mengumpulkan data adalah aktivitas menjaring informasi yang dibutuhkan untuk
menguji hipotesis yang diajukan. Dalam pembelajaran inkuiri, mengumpulkan data
merupakan proses mental yang sangat penting dalam pengembangan intelektual. Proses
pengumpulan data bukan hanya memerlukan motivasi yang kuat dalam belajar, akan
tetapi juga membutuhkan ketekunan dan kemampuan menggunakan potensi berpikirnya.
5. Menguji hipotesis
Menguji hipotesis adalah menentukan jawaban yang dianggap diterima sesuai dengan
data atau informasi yang diperoleh berdasarkan pengumpulan data. Menguji hipotesis
juga berarti mengembangkan kemampuan berpikir rasional. Artinya, kebenaran jawaban
yang diberikan bukan hanyan berdasarkan argumentasi, akan tetapi harus didukung oleh
data yang ditemukan dan dapat dipertanggungjawabkan.
6. Merumuskan kesimpulan
Merumuskan kesimpulan adalah proses mendeskripsikan temuan yang diperoleh
berdasarkan hasil pengujian hipotesis. Untuk mencapai kesimpulan yang akurat
797
sebaiknya guru mampu menunjukkan pada siswa data mana yang relevan.
(Sanjaya,2006)
4. Kemandirian Belajar
Di dalam proses pembelajaran setiap siswa atau peserta didik selalu diarahkan agar menjadi
peserta didik yang mandiri. Untuk menjadi mandiri, seseorang harus belajar sehingga dapat
dicapai suatu kemandirian belajar. Keadaan mandiri akan muncul bila seseorang belajar, dan
sebaliknya kemandirian tidak akan muncul dengan sendirinya bila seseorang tidak mau
belajar. Terlebih lagi kemandirian dalam belajar tidak akan muncul apabila siswa tidak
dibekali dengan ilmu yang cukup.
Kemandirian belajar merupakan aspek penting bagi peserta didik untuk sukses dalam belajar.
Hal ini dijelaskan oleh Zumbrunn, Tadlock & Roberts (2011) bahwa kemandirian belajar
adalah suatu proses yang dapat membantu peserta didik dalam mengatur pikiran, tingkah
laku, dan emosi untuk mencapai kesuksesan dalam belajar. Sumarmo (2010) mengemukakan
tiga karakteristik kemandirian belajar, yaitu merancang tujuan, memilih stategi, dan
memantau proses kognitif dan afektif yang berlangsung ketika seseorang menyelesaikan
suatu tugas akademik.
798
Sejalan dengan hal itu, Zimmerman (1989) juga mengemukakan bahwa secara umum,
peserta didik dapat dideskripsikan sebagai peserta didik yang mandiri dilihat dari bagaimana
partisipasi aktif mereka dalam mengarahkan proses-proses metakognitif, motivasi dan
tingkah laku pada saat proses pembelajaran. Kemampuan metakognitif diartikan oleh
Maryani (2010) sebagai kesadaran berpikir tentang apa yang diketahui dan apa yang tidak
diketahui. Dalam konteks pembelajaran, peserta didik mengetahui bagaimana untuk belajar,
mengetahui kemampuan dan modalitas belajar yang dimiliki, dan mengetahui strategi belajar
terbaik untuk belajar efektif. Lebih lanjut Maryani (2010) menjelaskan 3 strategi
kemandirian belajar yang dapat dikembangkan untuk meraih kesuksesan belajar peserta
didik, yaitu :
(1) Tahap proses sadar belajar, meliputi proses untuk menetapkan tujuan belajar,
mempertimbangkan sumber belajar yang dapat diakses, mempertimbangkan tingkat
motivasi belajar, menentukan tingkat kesulitan belajar.
(2) Tahap merencanakan belajar, meliputi proses memperkirakan waktu yang dibutuhkan
untuk menyelesaikan tugas belajar, merencanakan waktu belajar dalam bentuk jadwal
serta menentukan skala prioritas dalam belajar, mengorganisasikan materi pelajaran,
mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk belajar dengan menggunakan berbagai
strategi belajar (outlining, mind mapping, speed reading, dan strategi belajar lainnya).
(3) Tahap monitoring dan refleksi belajar, meliputi proses merefleksikan proses belajar,
memantau proses belajar melalui pertanyaan dan tes diri (self-testing, seperti
mengajukan pertanyaan, apakah materi ini bermakna dan bermanfaat bagi saya?,
bagaimana pengetahuan pada materi ini dapat saya kuasai?, mengapa saya mudah/sukar
menguasai materi ini?), dan menjaga konsentrasi dan motivasi tinggi dalam belajar.
Berdasarkan uraian di atas, maka kemandirian belajar matematika adalah suatu proses yang
dapat membantu mahasiswa dalam mengatur pikiran, tingkah laku, dan emosi untuk
mencapai kesuksesan dalam belajar matematika yang dapat diindikasikan dengan hal-hal
sebagai berikut: 1) menetapkan tujuan belajar, 2) mendiagnosa kebutuhan belajar, 3)
memanfaatkan dan mencari sumber yang relevan, 5) memilih dan menetapkan strategi
belajar yang tepat, dan 6) mengevaluasi proses dan hasil belajar.
Jadi, kemandirian belajar (self-direction in learning) dapat diartikan sebagai sifat dan sikap
serta kemampuan yang dimiliki siswa untuk melakukan kegiatan belajar secara sendirian
maupun dengan bantuan orang lain berdasarkan motivasinya sendiri untuk menguasai suatu
kompetensi tertentu sehingga dapat digunakannya untuk memecahkan masalah yang
dijumpainya di dunia nyata.
antaranya adalah melakukan obervasi, menebak, menguji hipotesis, mencari analogi hingga
merumuskan teorema.
Metode inkuiri merupakan metode yang tepat untuk diterapkan dalam setiap materi
pembelajaran matematika. Antara metode inkuiri dengan pola pembelajaran matematika
terdapat hubungan yang berkesinambungan. Inkuiri sendiri bermakna keikutsertaan
seseorang dalam bertanya, meneliti, menemukan dan memahami seluruh informasi yang
diperlukan. Hal ini senada dengan pola desain pembelajaran matematika yang terorganisir
secara berkesinambungan mulai dari melakukan observasi hingga merumuskan teorema.
Desain pembelajaran matematika dengan metode inkuiri ini menekankan siswa sebagai
subjek belajar bukan sebagai objek belajar. Pembelajaran sendiri mempunyai makna,
terdapat kegiatan belajar mengajar, di mana siswa sebagai subjek yang belajar dan guru
sebagai fasilitator dan motivator bagi siswa.
Metode inkuiri ini sangat tepat untuk melatih kemandirian belajar siswa. Tahap pertama
yang harus dilakukan, siswa harus dibekali dengan sejumlah informasi baik yang berasal dari
diri sendiri, teman sejawat, guru, maupun dari lingkungan belajarnya. Informasi yang
diperoleh siswa tersebut akan melatih siswa untuk belajar aktif, kreatif dan kontinu dengan
pola yang terstruktur, sistematis dan berkesinambungan. Hal ini akan melatih kemandirian
belajar siswa, sehingga siswa mampu memecahkan masalah matematika khususnya dan
pelajaran lain pada umumnya.
Ketika seseorang siswa sudah mampu mendesain sendiri pola pembelajarannya dengan
metode yang tepat yaitu metode inkuiri, maka dengan sendirinya siswa tersebut mampu
memecahkan persoalan pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajarnya dan kebutuhan
hidupnya. Pada akhirnya hal ini akan berguna bagi dirinya sendiri dan lingkungan
sekitarnya.
6. Kesimpulan
a. Guru harus mampu mendesain sendiri pembelajaran matematika dengan metode
pembelajaran yang dapat membelajarkan siswa, menjadikan siswa sebagai subjek
bukan lagi sebagai objek.
b. Metode inkuiri menekankan siswa belajar sendiri dalam mencari, memahami, dan
menemukan informasi yang diperlukan.
c. Pembelajaran dengan metode inkuiri diharapkan menjadikan siswa memiliki
kemandirian dalam belajar sehingga mereka dapat merumuskan sendiri
penemuannya dengan penuh percaya diri.
800
Daftar Pustaka
Maryani, I. Blended-Metacognition Learning Sebagai Alternatif Teknologi Pembelajaran di
Perguruan Tinggi. Terrsedia : http://eprints.umk.ac.id/10420807_-_Ika_Maryani.pdf. Diakses
tanggal : 20 Desember 2013. (2010)
Mulyasa, E. Menjadi Guru Profesional (Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan).
Bandung: Remaja Rosdakarya. (2005)
Mulyasa, E. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: Remaja Rosdakarya.
(2013)
Permendiknas. Undang-Undang Guru dan Dosen (UU RI No. 14 Th. 2005). Jakarta: Sinar Grafika.
(2008)
Rusman. Model-model Pembelajaran. Edisi Revisi. Bandung: PT Raja Grafindo Persada. (2010)
Sabri, Ahmad. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Quantum Teaching. (2007)
Sagala, Syaiful. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung : Alfabeta. (2008)
Sanjaya, Wina. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Bandung: Kencana.
(2006)
Sumarmo, U. Kemandirian Belajar : Apa, mengapa dan bagaimana dikembangkan pada peserta
didik. Tersedia : http://math.sps.upi.edu/?p=61. Diakses tanggal 15 Oktober 2013. (2010)
Trianto. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Surabaya: Prestasi
Pustaka. (2007)
Uno, Hamzah B. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan
Efektif. Jakarta : Bumi Aksara. (2007)
Zimmerman, B. J. Becoming a Self Regulated Learner : An overview. Tersedia :
http://commonsenseatheism.com/wp-content/uploads/2011/02/Zimmerman-Becoming-a-self-
regulated-learner.pdf. Diakses tanggal 1 November 2013. (2002)
Zumbrunn, S., Tadlock, J., & Roberts, E. D. Encouraging Self-Regulated Learning in the Classroom :
A review of the literature. Tersedia:
http://merc.soe.vcu.edu/Reports/Self%20Regulated%20Learning.pdf. Diakses tanggal : 28
September 2013. (2011)
801
Wenni Meliana,S.Pd
MTs Muhammadiyah 1 Banjarmasin, Jalan S.Parman No.221 Banjarmasin, KalSel;
wennichess@gmail.com
1. Pendahuluan
Amanat UU RI No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 bahwa
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Guru berperan besar dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional. Di tangan gurulah beban
dan tanggung jawab terbesar demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidik merupakan
tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran,
menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan
tinggi. Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang
kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Tugas utama seorang guru adalah mendidik,
802
mengajar, membimbing, mengarahkan dan juga melatih, menilai, serta mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan formal di jenjang anak usia dini, pendidikan dasar, dan menengah.
Seorang guru yang ideal harus terdidik dengan baik (well-educated), terlatih dengan baik
(well-trained), mendapat penghargaan yang baik (well-paid), terlindungi dengan baik (well-
protected) dan harus terkelola dengan baik (well-managed).
Permasalahan yang dihadapi guru antara lain 1) kualifikasi akademik yang belum memadai;
2) kompetensi yang masih di bawah standar; 3) distribusi yang tidak merata; 4) mayoritas
berstatus non-PNS; 5) banyak yang berstatus guru tidak tetap (mengajar secara paruh
waktu); 6) ketidaksesuaian latar belakang pendidikan dan keahlian dengan tugas mengajar
yang diampu; 7) rendahnya kesejahteraan, perlindungan & penghargaan; 8) belum
berkembangnya organisasi profesi.
2. Kompetensi Guru
Menurut Kepmendiknas No.045/U/2002, kompetensi diartikan sebagai seperangkat tindakan
cerdas dan penuh tanggung jawab dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan
tertentu. Dalam Panduan Sertifikasi, kompetensi guru merupakan kebulatan penguasaan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang ditampilkan melalui unjuk kerja.
Pasal 28 ayat 3 Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 yang diubah menjadi PP No.32
Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan ada empat kompetensi yang
harus dimiliki sebagai agen pembelajaran meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Berikut Standar Kompetensi
Guru Mata Pelajaran di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, dan SMK/MAK
a. Kompetensi Pedagogik
Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spritual, sosial,
kultural,emosional, dan intelektual.
Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan mata pelajaran yang diampu.
Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik.
Memanfaatkan TIK untuk kepentingan pembelajaran
Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan
berbagai potensi yang dimiliki.
Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.
803
Untuk meningkatkan kompetensi dilakukan melalui sertifikasi guru: melalui jalur penilaian
portofolio dan jalur pendidikan profesi. Juga dilakukan melalui continuous professional
development, seperti: pendidikan dan latihan guru mata pelajaran dan fasilitator, pemberian
bantuan dan pemberdayaan KKG dan MGMP.
Tujuan khusus: Meningkatkan kompetensi guru untuk mencapai standar kompetensi yang
ditetapkan dalam peraturan perundangan yang berlaku; Memutakhirkan kompetensi guru
untuk memenuhi kebutuhan guru dalam perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
untuk memfasilitasi proses pembelajaran peserta didik; Meningkatkan komitmen guru
dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya sebagai tenaga professional; Menumbuhkan
rasa cinta dan bangga sebagai penyandang profesi guru; Meningkatkan citra, harkat, dan
martabat profesi guru di masyarakat; Menunjang pengembangan karir guru.
Jenis-jenis pengembangan diri yaitu diklat fungsional dan kegiatan kolektif guru. Kegiatan
fungsional adalah kegiatan guru dalam mengikuti pendidikan atau latihan yang bertujuan
untuk meningkatkan keprofesian guru yang bersangkutan dalam kurun waktu tertentu.Ada
pendidikan dan pelatihan tradisional atau tatap muka, ada juga pendidikan dan pelatihan
jarak jauh online. Bentuknya yaitu kursus, pelatihan, penataran, dan lain-lain. Dengan syarat:
mendapat perintah Kepala Sekolah atau instansi yang lain, atau atas kehendak sendiri yang
diijinkan oleh atasan.
Diklat jarak jauh (DJJ) online memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan diklat
tradisional atau tatap muka di antaranya biaya murah, fleksibel dari segi waktu, fokus pada
individu guru, mendorong guru melek IT. Penyelenggaraan DJJ diharapkan menjadi kegiatan
yang efektif dan efisien dalam rangka memperluas jangkauan sasaran diklat dengan
meminimalisir kendala jarak, ruang, dan waktu, serta kegiatannya dapat dilakukan di luar
jam tugas. Pelaksanaan DJJ bagi guru dapat dilakukan tanpa menggangu tugas mengajar,
pembelajarannya dengan sistem mandiri dan tutorial.
805
a. Diklat Jarak Jauh (DJJ) Matematika Pusdiklat Teknis Keagamaan Balitbang dan
Diklat Departemen Agama
Paradigma baru kediklatan yang dicanangkan oleh Kepala Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama pada akhir tahun 2008, salah satunya adalah penyelenggaraan Diklat
Jarak Jauh (DJJ). Adapun tujuan DJJ matematika ini yaitu:
1. Meningkatkan pengetahuan dan penguasaan materi-materi substansi serta wawasan
tugas guru mata pelajaran Matematika pada Madrasah Tsanawiyah.
2. Meningkatkan dan memelihara sikap mental, etika, dan moral para guru Matematika
MTs serta berupaya meningkatkan kepribadian, komitmen, dan sikap keteladanan guru.
3. Meningkatkan kreatifitas dan kemandirian guru mata pelajaran Matematika MTs untuk
meningkatkan kompetensi guru.
4. Mendorong guru mata pelajaran Matematika MTs dalam memanfaatkan TIK sebagai
sumber dan media pembelajaran.
Prinsip pembelajaran DJJ tidak terbatas ruang dan waktu, dilakukan dengan belajar mandiri
sesuai panduan, tutorial dilaksanakan dengan sedikit tatap muka, dan dilengkapi tutorial
jarak jauh melalui chatting, telepon, dan lain-lain. Penyelenggaraan DJJ Guru Mata
Pelajaran Matematika MTs dilaksanakan mulai 29 Oktober 2010 sampai 06 Desember 2010
disetarakan dengan 100 jam diklat reguler, serta difasilitasi dengan tutorial tatap muka
minimal 3 kali. Bobot kurikulum Materi Pembelajaran DJJ Tingkat dasar meliputi 10%
kelompok dasar, 80% kelompok inti, dan 10% kelompok penunjang.
Materi DJJ bagi Guru Mata PelajaranMatematika pada Madrasah Tsanawiyah berjenjang
Tingkat Dasar di lingkunganDepartemen Agama dituangkan dalam struktur program pada
Tabel 1 berikut.
Evaluasi yang dilakukan peserta diklat yaitu tes mandiri dan ujian akhir. Pada diklat yang
dilakukan secara online peserta mengakses www.djj.pusdiklatteknis.depag.go.id.
Hasil nyata setelah DJJ ini antara lain peserta bisa komputer, bisa mengirim tugas melalui
email, menngunduh (download) materi, serta adanya grup facebook dari seluruh peserta DJJ.
806
PENYETARAAN
NO MATA DIKLAT JAM DIKLAT
(TEORI DAN PRAKTEK)
A. KELOMPOK DASAR
1. Kebijakan Diklat Pegawai di lingkungan Departemen 3
Agama
2. Kebijakan Pembinaan Madrasah 3
3. Pembinaan Mental Pegawai Departemen Agama 2
4. UUD Negara RI Tahun 1945 2
B. KELOMPOK INTI
1. Konsep Dasar Pengembangan Kurikulum Tingkat 6
Satuan Pendidikan (KTSP)
2. Pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan 8
Pembelajaran (RPP) sesuai Standar Isi
3. Model-Model Pembelajaran 8
4. Pemanfaatan Media dan Sumber Pembelajaran 8
5. Pembelajaran Terpadu 6
6. Pendalaman Materi Aspek Bilangan 10
7. Pendalaman Materi Matematika Aspek Aljabar 10
8. Pendalaman Materi Matematika Aspek Geometri dan 10
Pengukuran
9. Penilaian Berbasis Kelas 8
10. Pengembangan Diri dan Pembiasaan 6
C. KELOMPOK PENUNJANG
1. Penugasan Kajian Pustaka 10
JUMLAH PENYETARAAN JAM DIKLAT 100
Peserta mengakses materi yang disediakan secara online ( berupa teks dan video).
Mendownload modul yang berformat PDF untuk dipelajari secara offline.
Pada materi tertentu, peserta mengerjakan aktivitas yang telah ditentukan. Hasil
aktivitas diupload ke forum untuk ditanggapi atau didiskusikan.
Disediakan forum diskusi online untuk mewadahi interaksi antar peserta maupun
dengan fasilitator.
807
Peserta mengerjakan dan mengirimkan tugas melalui menu yang telah disediakan,
terdiri dari tugas perorangan dan tugas yang dilakukan secara kelompok.
Untuk menguji kemampuan peserta terhadap materi, peserta wajib mengikuti tes online
(Pre Tes dan Pos Tes). Dilakukan pada jadwal yang telah ditentukan.
Hasil nyata dari bimtek online GeoGebra antara lain peserta mampu melakukan instalasi
GeoGebra, membuat gambar dasar, membuat konstruksi geometri, menggambar grafik
dengan variabel dinamis, membuat permodelan lintasan air mancur dan angrybird, mencari
dan mendownload media GeoGebra di geogebratube.org, serta melakukan aplikasi
GeoGebra di kelas.
Tujuan Diklat Singkat Online Pola 15 Hari Angkatan I dan II beberapa hal berikut.
Materi JP
1. Pengenalan Sistem E-Training 3
2. Internet 3
3. GeoGebra 14
4. Pemanfaatan Alat Peraga Matematika 1 5
5. Pemanfaatan Alat Peraga Matematika 2 5
6. Matematika Rekreasi 5
7. Sosialisasi Kurikulum 3
8. Pemanfaatan Office untuk Pembelajaran 5
Matematika
9. Karya Tulis Ilmiah (Teori) 5
10. Karya Tulis Ilmiah (Praktek) 5
11. Refleksi dan Evaluasi 3
12. Program Tindak Lanjut 2
13. Pretes – Postes 2
JUMLAH 60
Hasil nyata dari diklat ini antara lain peserta mengenal sistem E-Training, mempunyai akun
kompasiana, membuat video dan mengunggah video di youtube, memanfaatkan alat peraga
matematika, memanfaatkan MS office untuk pembelajaran matematika, dan membuat karya
tulis ilmiah.
Penyelenggaraan Diklat Jarak Jauh online merupakan kegiatan yang efektif dan efisien
dalam rangka memperluas jangkauan sasaran diklat dengan meminimalisir kendala jarak
ruang dan waktu, serta kegiatannya dilakukan di luar jam tugas tanpa mengganggu tugas
mengajar menjadi solusi alternatif peningkatan kompetensi guru matematika.
Jangkauan sasaran diklat yang sangat luas, jumlah sasaran yang lebih banyak, efisien dari
segi biaya, fleksibel dari segi waktu menjadikan terobosan diklat jarak jauh online sebagai
favorit di era millenium ini dan tidak mustahil menjadi primadona di masa-masa mendatang.
Dengan semakin banyaknya guru yang bisa mengikuti diklat, semakin banyak penguasaan
pengetahuan, semakin bagus sikap yang ditampilkan melalui unjuk kerja, dan semakin
mumpuni keterampilan yang dimiliki oleh guru. Ini memudahkan pencapaian tujuan
Pendidikan Nasional yang sangat mulia dan agung.
Kualitas peserta diklat haruslah memenuhi persyaratan dan memiliki kemauan yang
sungguh-sungguh. Ciri-ciri orang berkualitas (profesional) adalah mempunyai skill tinggi,
809
wawasan luas, motivasi tinggi, disiplin tinggi, serta landasannya Imtaq dan akhlak. Ada lima
langkah manusia berkualitas yaitu sadar siapa dirinya, harus merebut kesempatan, harus
bekerja keras, harus memiliki semangat bersaing, dan mengembangkan kualitas dan
produktivitas.
Daftar Pustaka
Prof.Dr.rer.nat Widodo,M.S. 2012. Peningkatan Kompetensi Guru Matematika Dengan E-Training.
Makalah yang disampaikan pada Seminar Nasional dan Lokakarya PMRI,29 September 2012,
Unlam Banjarmasin.
H.A.Suprapto. 2013. Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan. Makalah yang disampaikan pada
Pelatihan Narasumber UKG, 17 Juni 2013, Diknas Kota Banjarmasin.
Permenpan RB Nomor 16 tahun 2009, tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Pedoman kegiatan Pengembangan Keprofesian berkelanjutan(PKB) dan angka kreditnya,2010,Buku 4
Pembinaan dan pengembangan profesi guru, Jakarta.
M.Gorky Sembiring. 2008. Mengungkap Rahasia dan Tips Manjur Menjadi Guru Sejati.
Yogyakarta:Best Publisher.
Panduan Diklat Online PPPPTK Matematika. 2013.
Panduan Bimtek GeoGebra PPPPTK Matematika.2013.
Drs. Asip, M.E. 2013.Penerapan Model Instruksional Bates DalamPengembanganDiklatJarakJauh
Online. Balai Diklat Keagamaan Jakarta.
Moh.Juanda,M.Ed. Pelaksanaan Diklat Jarak Jauh Model Pembelajaran Kooperatif Studi Kasus Di
Balai Diklat Keagamaan Jakarta. bdkjakarta.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=898
Modul diklat Jarak Jauh Balai Diklat Keagamaan Banjarmasin. 2013.
Drs.H.Noor Tajuddin. 2010. Kebijakan Diklat PNS Di lingkungan Departemen Agama. Makalah yang
disampaikan pada Diklat Jarak Jauh Matematika.
810
Abstrak. Tujuan kurikulum 2013 adalah untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar
memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif,
kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia. Oleh karena itu, guru dituntut untuk mampu
mendesain pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa agar materi mudah
dimengerti atau dipahami dan kemampuan tersebut pun bisa muncul. Desain
pembelajaran berbentuk rangkaian prosedur sebagai suatu sistem untuk pengembangan
program pendidikan dan pelatihan dengan konsisten dan teruji. Salah satu desain
pembelajaran yang sesuai dengan hal tersebut adalah dengan menggunakan PMRI.
PMRI adalah suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika
yang dimulai dari hal yang real sehingga siswa dapat terlibat langsung dalam proses
pembelajaran secara bermakna. Peran guru hanya sebagai pembimbing dan fasilitator
bagi siswa dalam rekonstruksi ide dan konsep matematika. Pembelajaran berbasis PMRI
akan menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa karena dari awal siswa
sudah diajak untuk berpikir. PMRI tidak hanya bermanfaat untuk mengembangkan
kemampuan penalaran matematika, namun juga bisa mengembangkan kreativitas dan
kemampuan komunikasi siswa.
1. Pendahuluan
Kurikulum 2013 dapat dipandang sebagai sebuah kendaraan, karenanya banyak hal yang
bisa dibawa untuk dilakukan perubahan. Kurikulum 2013 dirancang dengan karakteristik
sebagai berikut.
1. Mengembangkan keseimbangan antara pengembangan sikap spiritual dan sosial, rasa
ingin tahu, kreativitas, kerja sama dengan kemampuan intelektual dan psikomotorik.
2. Sekolah merupakan bagian dari masyarakat yang memberikan pengalaman belajar
terencana di mana peserta didik menerapkan apa yang dipelajari di sekolah ke
masyarakat dan memanfaatkan masyarakat sebagai sumber belajar.
3. Mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan serta menerapkannya dalam
berbagai situasi di sekolah dan masyarakat.
4. Memberi waktu yang cukup leluasa untuk mengembangkan berbagai sikap,
pengetahuan, dan keterampilan.
5. Kompetensi dinyatakan dalam bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut
dalam kompetensi dasar mata pelajaran.
6. Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing elements) kompetensi
dasar, di mana semua kompetensi dasar dan proses pembelajaran dikembangkan untuk
mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam kompetensi inti.
811
Menurut NCTM, prinsip pembelajaran dalam matematika adalah para siswa harus belajar
matematika dengan pemahaman, secara aktif membangun pengetahuan baru dari
pengalaman dan pengetahuan sebelumnya[12]. Prinsip pembelajaran ini sesuai dengan
pendekatan PMRI. Dalam pendekatan ini, dimulai dengan siswa diberikan masalah realistik
sehingga siswa dapat mulai berpikir dan bekerja yang nantinya mereka akan bisa bernalar
dengan materi yang diberikan karena nyata bagi mereka. Oleh kerana itu, mereka akan
mendapatkan pengetahuan baru dari apa yang telah dipelajari dan belajar pun menjadi
bermakna.
Hal ini juga sesuai dengan Peraturan Pemerintah RI No. 19/2005, Pasal 19 yaitu “proses
pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,
menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta
memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan
bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologi peserta didik” [1]. Dari peraturan
tersebut, guru sangat berperan aktif dalam menciptakan suatu pembelajaran yang dapat
memberikan inspirasi kepada siswa sehingga termotivasi dalam belajar.
Pembelajaran menaruh perhatian pada “bagaimana membelajarkan siswa”, dan bukan pada
“apa yang dipelajari siswa”. Pembelajaran yang akan direncanakan memerlukan berbagai
teori untuk merancangnya agar rencana pembelajaran yang disusun benar-benar dapat
memenuhi harapan dan tujuan pembelajaran. Sebagai suatu sistem, proses belajar saling
berkaitan dan bekerja sama untuk mencapai tujuan yang ingin dicapainya. Tujuan sistem
pada mata pelajaran tertentu adalah untuk menimbulkan belajar (learning) yang komponen-
komponen belajarnya meliputi anak didik (siswa), pendidik, instruktur, guru, materi
pembelajaran, dan lingkungan pembelajaran. Agar proses pembelajaran mata pelajaran
tertentu ini dapat terlaksana dengan baik, maka salah satu yang perlu dibenahi adalah
perbaikan kualitas tenaga pengajarnya. Dengan pebaikan ini, guru paling tidak dapat
mengorganisasikan pembelajaran dengan jalan menggunakan teori-teori belajar, serta desain
812
pembelajaran yang dapat menimbulkan minat dan memotivasi anak didik dalam belajar mata
pelajaran tersebut.[11]
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin membahas tentang ―Desain Pembelajaran
Berbasis PMRI untuk Menumbuhkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kreatif
Siswa‖.
2. Desain Pembelajaran
Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih
dipentingkan daripada hasil. Oleh karena itu, perlu adanya perancangan (desain)
pembelajaran yang matang.
Pengajar adalah salah satu faktor eksternal belajar. [4] Peran pengajar dalam paradigma
pembelajaran sangat beragam. Ia tidak hanya menjadi penyaji, tetapi ia adalah komunikator
yang harus menyampaikan materi ajar sesuai kaidah komunikasi. Ia memilih media yang
tepat bagi materi sekaligus cocok untuk peserta didik. Ia juga menjadi penilai serta
pengembang kegiatan belajar mengajar di kelas. Yang lebih menonjol lagi yaitu ia harus
merancang seluruh kegiatan belajar dan pembelajaran, bukan lagi menyusun persiapan
mengajar. Paradigma tersebut dapat diilustrasikan pada gambar berikut.
Perencanaan adalah suatu cara yang memuaskan untuk membuat suatu kegiatan dapat
berjalan dengan baik, disertai dengan berbagai langkah antisipatif guna memperkecil
kesenjangan yang terjadi sehingga kegiatan tersebut mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Perancangan (desain) harus dipersiapkan dengan matang agar apa yang menjadi tujuan dapat
tercapai sesuai keinginan. [11]
Gentry mengemukakan bahwa desain adalah suatu proses yang merumuskan dan
menentukan tujuan pembelajaran, strategi, teknik, dan media agar tujuan umum tercapai.
Desain pembelajaran adalah kisi-kisi dari penerapan teori belajar dan pembelajaran untuk
memfasilitasi proses belajar seseorang [4]. Suatu desain pembelajaran jika akan diterapkan
memerlukan beberapa aspek yang mendukung pelaksanaan penerapan tersebut. Di antaranya
adalah penerimaan organisasi atau lembaga, pengelolaan kegiatan terkait desain
pembelajaran, serta pelaksanaan yang intensif dari prosedur analisis kebutuhan. Desain
pembelajaran membantu proses belajar seseorang, di mana proses belajar itu sendiri
memiliki tahapan segera dan jangka panjang. Desain pembelajaran haruslah sistematis, dan
menerapkan pendekatan sistem agar berhasil meningkatkan mutu kinerja seseorang.
Berpikir kritis adalah suatu kecakapan nalar secara teratur, kecakapan sistematis dalam
menilai, memecahkan masalah, menarik keputusan, memberikan keyakinan, menganalisis
asumsi dan pencarian ilmiah. Langkah-langkah berpikir kritis adalah sebagai berikut.
1. Penentuan isu, masalah, rencana atau kegiatan pokok yang akan dikaji. Pokok yang akan
dikaji perlu ditentukan dan dirumuskan dengan jelas sebab akan menjadi fokus kajian.
2. Sudut pandang. Dari sudut pandang mana pokok kajian tersebut akan dikaji.
3. Alasan pemilihan pokok kajian. Setiap pemilihan pokok kajian pelu memiliki alasan
yang kuat. Alasan-alasan tersebut akan menjelaskan pentingnya pokok kajian.
4. Perumusan asumsi. Asumsi adalah ide atau pemikiran-pemikiran dasar yang dijadikan
pegangan dalam mengkaji suatu pokok kajian. Asumsi-asumsi tersebut menentukan arah
dari kajian.
5. Penggunaan bahasa yang jelas. Bahasa merupakan alat berpikir. Penggunaan bahasa
yang jelas dalam merumuskan, dan mengkaji masalah akan meningkatkan kemampuan
berpikir.
6. Dukungan fakta-kenyataan. Pendapat atau pandangan yang kuat adalah yang didukung
oleh kenyataan.
814
7. Kesimpulan yang diharapkan. Kesimpulan merupakan hasil akhir dari suati kajian.
Rumusan kesimpulan hendaknya didasari oleh logika berpikir, alasan, dan fakta-fakta
nyata.
8. Implikasi dari kesimpulan. Implikasi ini terkait dengan beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam penerapan hasil, saran, dan pemecahan masalah maupun mengatasi
hambatan dan dampak-dampak negatif. [8]
Proses berpikir kreatif berbeda dengan berpikir kritis yang menekankan pada nilai-nilai,
sedangkan pada berpikir kritis ditekankan pada kriteria. Berpikir kreatif terjadi apabila
secara intensional seseorang menghasilkan suatu produk baru atau ketika dia melaksanakan
suatu tugas. “Berpikir kreatif adalah kegiatan mental yang memupuk ide-ide asli dan
pemahaman-pemahaman baru” [6]. Berpikir kreatif ini, akan sangat membantu peserta didik
dalam mengembangkan kemampuannya untuk berpikir sehingga mendapatkan suatu
pemahaman baru yang kreatif. Dalam hal ini, peserta didik cenderung tidak akan menjadi
pasif untuk berpikir.
Berpikir kreatif adalah berpikir yang konduksif terhadap keputusan, dituntut oleh konteks,
self transcending dan sensitif terhadap kriteria. Suatu konteks yang baik akan menumbuhkan
kemampuan seseorang untuk berpikir kreatif [10]. Oleh karena itu, dalam suatu
pembelajaran diperlukan suatu metode atau strategi pengajar agar peserta didik mampu
mengembangkan kemampuan berpikirnya. Untuk itu, pengajar harus bisa memberikan
motivasi dalam belajar kepada peserta didik sehingga mereka dapat memulai untuk berpikir
kritis dan kreatif.
k. Antara guru dengaan siswa terjadi komunikasi yang akrab dan menyenangkan, sehingga
siswa mampu dan berani mengungkapkan pendapatnya sesuai dengan tingkat
berpikirnya. [3]
Orang berpikir selalu ingin tahu, ingin mencoba-coba, berpetualang suka bermain-main serta
intuitif. Di dalam penyelesaian kreatif tahapan yang harus dilalui adalah sebagai berikut.
a. Persiapan; mendefinisikan masalah, tujuan dan tantangan.
b. Inkubasi; mencerna fakta dan mengolahnya dalam pikiran.
c. Iluminasi; mendesak gagasan bermunculan ke permukaan.
d. Vertifikasi; memutuskan apakah solusinya benar-benar memecahkan masalah.
e. Aplikasi; mengambil langkah menindaklanjuti solusi. [5]
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis dan kreatif
adalah suatu proses penggunaan kemampuan berpikir secara efektif yang dapat membantu
seseorang untuk membuat, mengevaluasi, serta mengambil keputusan tentang apa yang
diyakini atau dilakukan untuk menemukan solusi masalah secara mudah dan fleksibel yang
mencakup aspek-aspek kelancaran, keluwesan, keaslian, elaborasi, dan sensitivitas. Dalam
hal ini, pengajar dituntut untuk merancang pembelajaran yang sesuai dengan kondisi anak
agar termotivasi untuk belajar. Salah satu rancangan pembelajaran tersebut adalah dengan
menggunakan pendekatan PMRI.
4. Pendekatan PMRI
Dalam PMR, dunia nyata (real world) digunakan sebagai titik awal untuk pengembangan ide
dan konsep matematika [2]. PMRI atau RME adalah teori pembelajaran yang bertitik tolak
dari hal-hal yang “real” atau pernah dialami siswa, menekankan keterampilan proses “doing
mathematics”, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga
mereka dapat menemukan sendiri (student inventing) sebagai kebalikan dari (teaching
telling) dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik
secara individu maupun kelompok. Pada pendekatan ini peran guru tak lebih dari seorang
fasilitator, moderator atau evaluator. Sementara peran siswa lebih banyak dan aktif untuk
berpikir, mengkomunikasikan argumentasinya, menjustifikasi jawaban mereka, serta melatih
nuansa demokrasi dengan menghargai strategi atau pendapat teman lain. [14]
Dunia nyata adalah segala sesuatu di luar matematika, seperti mata pelajaran lain selain
matematika, atau kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita. De Lange (1996)
mendefinisikan dunia nyata sebagai suatu dunia nyata yang kongkret, yang disampaikan
kepada siswa melalui aplikasi matematika. Begitulah cara memahami proses belajar
matematika yang terjadi pada siswa, yaitu terjadi pada situasi nyata.
816
Dalam PMR, matematika dipandang sebagai aktivitas insani (human activity), sehingga
kegiatan pembelajaran menggunakan konteks real dan menghargai gagasan-gagasan siswa.
Berdasarkan pandangan matematika sebagai aktivitas manusia, dikembangkan empat prinsip
dasar PMR, yakni:
1. penemuan kembali secara terbimbing (guided-reinvention);
2. proses matematisasi progresif (progressive mathematizing);
3. penggunaan fenomena didaktik (didactical phenomenology) sebagaimana yang digagas
Freudenthal; dan
4. pengembangan model oleh siswa sendiri (self-developed model). [7]
Treffers [13] merumuskan lima karakteristik Pendidikan Matematika Realistik (PMR), yaitu
sebagai berikut.
a. Penggunaan konteks
Konteks atau permasalahan realistik digunakan sebagai titik awal pembelajaran
matematika. Konteks tidak harus berupa masalah dunia nyata namun bisa dalam bentuk
permainan, penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan
bisa dibayangkan dalam pikiran siswa. Melalui penggunaan konteks, siswa dilibatkan
secara aktif untuk melakukan kegiatan eksplorasi permasalahan. Hasil eksplorasi siswa
tidak hanya bertujuan untuk menemukan jawaban akhir dari permasalahan yang
diberikan, tetapi juga diarahkan untuk mengembangkan berbagai strategi penyelesaian
masalah yang bisa digunakan. Manfaat lain penggunaan konteks di awal pembelajaran
untuk meningkatkan motivasi dan ketertarikan siswa dalam belajar matematika.
Pembelajaran yang langsung diawali dengan penggunaan matematika formal cenderung
akan menimbulkan kecemasan matematika (mathematics anxiety).
Hal yang perlu dipahami dari kata “model” adalah bahwa “model” tidak merujuk pada
alat peraga. “Model” merupakan suatu alat “vertikal” dalam matematika yang tidak bisa
dilepaskan dari proses matematisasi (yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi
817
vertikal) karena model merupakan tahapan proses transisi level informal menuju level
matematika formal. Secara umum ada dua macam model dalam pendidikan matematika
realistik, yaitu model of dan model for.
d. Interaktivitas
Proses belajar seseorang bukan hanya suatu proses individu melainkan juga secara
bersamaan merupakan suatu proses sosial. Proses belajar siswa akan menjadi lebih
singkat dan bermakna ketika siswa saling mengkomunikasikan hasil kerja dan gagasan
mereka.
e. Keterkaitan
Pendidikan matematika realistik menempatkan keterkaitan (intertwinement) agar konsep
matematika sebagai hal yang harus dipertimbangkan dalam proses pembelajaran.
Melalui keterkaitan ini, satu pembelajaran matematika diharapkan bisa mengenalkan dan
membangun lebih dari satu konsep matematika secara bersamaan (walau ada konsep
yang dominan).
Untuk mendesain suatu model pembelajaran berdasarkan teori PMRI, model tersebut harus
merepresentasikan karakteristik PMRI baik pada tujuan, materi, metode, dan evaluasi
(Zulkardi, 2002; 2004).
1. Tujuan. Dalam mendesain tujuan haruslah melingkupi tiga level tujuan dalam RME;
lower level, middle level and high level. Jika pada level awal lebih difokuskan pada
ranah kognitif, maka dua tujuan terakhir menekankan pada ranah afektif dan
psikomotorik seperti kemampuan berargumentasi, berkomunikasi, justifikasi dan
pembentukan sikap kritis siswa.
2. Materi. Desain suatu open material atau materi terbuka yang disituasikan dalam realitas,
berangkat dari konteks yang berarti; yang membutuhkan; keterkaitan garis pelajaran
terhadap unit atau topik lain yang real secara original seperti pecahan dan persentase;
dan alat dalam bentuk model atau gambar, diagram dan atau simbolyang dihasilkan pada
saat proses pembelajaran. Setiap konteks biasanya terdiri dari rangkaian soal-soal yang
menggiring siswa kepenemuan konsep matematika suatu topik.
3. Aktivitas. Atur aktivitas siswa sehingga mereka dapat berinteraksi sesamanya, diskusi,
negosiasi, dan kolaborasi. Pada situasi ini, mereka mempunyai kesempatan untuk
818
bekerja, berpikir dan berkomunikasi tentang matematika. Peranan guru hanya sebatas
fasilitator atau pembimbing, moderator dan evaluator.
4. Evaluasi. Materi evaluasi biasanya dibuat dalam bentuk open-ended questions yang
memancing siswa untuk menjawab secara bebas dan menggunakan beragam strategi atau
beragan jawaban atau free productions. Evaluasi harus mencakup formatif atau saat
pembelajaran berlangsung dan sumatif, akhir unit atau topik. [14]
Desain di atas sangat penting diperhatikan dalam merancang pembelajaran berbasis PMRI.
Menurut De Lange (1995), pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi
aspek-aspek berikut.
a. Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang real bagi siswa sesuai
dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam
pelajaran secara bermakna;
b. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin
dicapai dalam pelajaran tersebut;
c. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal
terhadap persoalan/masalah yang diajukan;
d. Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan
terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif
penyelesaian yang lain; dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh
atau terhadap hasil pelajaran. [2]
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran berbasis PMRI akan
menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa karena dari awal siswa sudah
diajak untuk berpikir. Berpikir dalam hal ini, berpikir yang real yaitu suatu kejadian yang
819
memang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, siswa pun dapat berpikir kritis
dan selanjutnya kreatif dalam menyelesaikan pemodelan matematika dan pemecahan
masalah.
Sebagai contoh untuk mendesain pembelajaran garis dan sudut berbasis PMRI menggunakan
konteks pagar bambu untuk mencari kedudukan garis yang terlihat pada iceberg berikut ini.
6. Kesimpulan
Desain adalah suatu proses yang merumuskan dan menentukan tujuan pembelajaran, strategi,
teknik, dan media agar tujuan umum tercapai. Desain pembelajaran adalah kisi-kisi dari
penerapan teori belajar dan pembelajaran untuk memfasilitasi proses belajar seseorang.
PMRI atau RME adalah teori pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang “real” atau
pernah dialami siswa, menekankan keterampilan proses “doing mathematics”, berdiskusi dan
berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan
sendiri (student inventing) sebagai kebalikan dari (teaching telling) dan pada akhirnya
menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun
kelompok. Pembelajaran berbasis PMRI akan menumbuhkan kemampuan berpikir kritis dan
kreatif siswa karena dari awal siswa sudah diajak untuk berpikir. Berpikir dalam hal ini,
berpikir yang real yaitu suatu kejadian yang memang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, siswa pun dapat berpikir kritis dan selanjutnya kreatif dalam menyelesaikan
pemodelan matematika dan pemecahan masalah.
820
Daftar Pustaka
1. Latar Belakang
Guru memiliki peran yang sangat sentral di dalam pembelajaran peserta didik, dimana
secara profesional guru bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran
yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil belajar. Di samping itu, peran penting
lainnya terkait dengan adanya tuntutan peserta didik kepada guru agar peserta didik
secara aktif mampu mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Sebagai salah satu komponen pendidikan yang paling menentukan dalam sistem
pendidikan secara keseluruhan, guru harus mendapat perhatian sentral, pertama dan utama.
Guru selalu terkait dengan komponen manapun dalam sistem pendidikan sehingga
822
senantiasa menjadi sorotan strategis ketika berbicara tentang masalah pendidikan. Hal ini
sejalan dengan pendapat Mulyasa (2008:35) bahwa guru merupakan komponen yang
paling berpengaruh terhadap terciptanya proses dan hasil pendidikan yang berkualitas. Lebih
lanjut dinyatakan bahwa upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan tidak akan memberikan sumbangan yang signifikan tanpa didukung
oleh guru yang berkualitas dan professional. Kondisi ini menunjukkan bahwa guru
mempunyai peran yang sangat strategis dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan
nasional, khususnya penyelenggaraan pendidikan formal. Guru juga sangat menentukan
keberhasilan peserta didik, terutama dalam kaitannya dengan pembelajaran.
Keberhasilan guru dalam melaksanakan pembelajaran ditentukan oleh kompetensi dan
komitmen yang dimiliki guru dan kemampuan yang dimiliki peserta didik.
Tanggung jawab guru terhadap mutu pendidikan telah berubah secara drastis seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni pada abad pengetahuan di era
globalisasi ini. Sebagaimana ditunjukkan oleh Campbell et.al (2004:14-45), bahwa guru
bertanggung jawab untuk menjaga standar kualitas pembelajaran yang tinggi dan
meningkatkan prestasi siswa. Studi terbaru yang dilakukan oleh Colbert,et.al (2008:146),
Meister (2010:894) dan Opfer dan Pedder (2011:448-450) menggambarkan bahwa prestasi
peserta didik sangat berkorelasi dengan kualitas guru. Dampak yang pasti dari kualitas guru
terhadap belajar dan prestasi peserta didik ditunjukkan oleh John Hattie (2003:1-3) dalam
salah satu risetnya, Teachers Make a Difference What is the Research Evidence menemukan
bahwa peran guru merupakan faktor penentu kedua setelah peserta didik dalam variasi
pencapaian prestasi siswa. Pengaruh peserta didik sebesar 50%, guru sekitar 30%,
kemudian faktor lainnya masing-masing adalah lingkungan rumah (sekitar 5-10%),
sekolah (5-10%), teman sebaya (5-10%).
Hasil Uji Kompetensi Awal (UKA) dan Uji Kompetensi Guru (UKG) yang masih rendah
menunjukkan bahwa kinerja guru belum sepenuhnya ditopang oleh tingkat penguasaan
kompetensi profesional dan pedagogik yang memadai dan berimplikasi pada rendahnya
kinerja guru (work performance). Rendahnya kompetensi guru tersebut disebabkan oleh
beberapa faktor. Pertama, pembinaan di sekolah. Guru-guru mungkin tidak atau kurang
823
mengajar, identitas, fase pembangunan dan budaya sosial politik yang lebih luas. Tujuan,
desain dan proses dari PKB perlu memperhatikan hal-hal ini jika ingin mendapatkan hasil
yang efektif.
2. Kajian Literatur
Bubb dan Earley (2007:4) mendefinisikan pengembangan guru dan tenaga kependidikan
dalam konteks sekolah sebagai proses yang mencakup pengalaman belajar formal dan
informal yang memungkinkan semua staf di sekolah, individu dan lainnya untuk berpikir
tentang dirinya, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan serta cara memperbaiki belajar
siswa dan untuk mendapatkan hasil lebih baik. Sebaiknya terdapat keberimbangan prestasi
antara individu, kelompok, sekolah dan kebutuhan nasional; mendorong komitmen untuk
pertumbuhan profesional dan personal serta meningkatkan kegembiraan, kepercayaan diri,
kepuasan terhadap jabatan dan antusiasme untuk bekerja dengan siswa dan kolega.
Sementara itu, definisi PKB menurut Day (2004:219) menjelaskan bahwa pengembangan
keprofesian guru sebagai upaya pengembangan yang terdiri dari seluruh pengalaman belajar
yang dialami dan aktivitas-aktivitas sadar yang direncanakan dan dimaksudkan secara
langsung maupun tidak langsung untuk memberi manfaat pada individu, kelompok, atau
sekolah, serta berkontribusi pada kualitas pendidikan di ruang kelas. Dengan demikian,
pengembangan keprofesian mencakup segala aktivitas yang memenuhi baik kebutuhan
individual guru maupun kebutuhan institusional sekolah. Guru, sekolah, dan peserta didik
mendapatkan manfaat dari proses pengembangan keprofesian tersebut. PKB juga merupakan
serangkaian aktivitas reflektif yang dirancang untuk meningkatkan atribut, pengetahuan,
pemahaman, dan keterampilan seorang individu. PKB mendukung pemenuhan kebutuhan
para individu tersebut dan meningkatkan praktik profesional mereka. Senada dengan
pendapat itu, Guskey (2000:176) menambahkan bahwa pengembangan keprofesian guru
merupakan upaya untuk membekali guru dengan pengetahuan dan keterampilan yang dapat
mengarahkan guru itu untuk mengubah kualitas praktek pembelajaran yang dilakukan.
Kedua pengertian tersebut secara eksplisit menyebutkan bahwa pengembangan keprofesian
guru seharusnya tidak sekedar membekali pengetahuan dan keterampilan kepada guru pada
tataran teoritis semata, tetapi program itu harus mampu mendorong guru-guru yang terlibat
dalam program pengembangan keprofesian untuk mengubah praktek pembelajaran yang
dilakukan menjadi lebih baik dan bermakna bagi peserta didik.
Grundy dan Robison dalam Day (2004:22) mengidentifikasi keterkaitan tujuan PKB dengan
guru, yaitu perhatian, pertumbuhan dan pembaruan. Perhatian melalui pengenalan
pengetahuan atau ketrampilan baru dalam catatan guru. Pertumbuhan adalah pengembangan
keahlian ke tingkat yang lebih tinggi, sedangkan pembaruan dicapai melalui transformasi
dan perubahan pengetahuan dan praktik. Selanjutnya Craft (2000:9-10) menjelaskan
berbagai alasan untuk melaksanaakan pengembangan keprofesian guru, di antaranya
untuk, (1) meningkatkan keterampilan kerja guru secara individual; (2) memperluas
pengalaman guru untuk keperluan perkembangan karir atau promosi; (3) mengembangkan
pengetahuan dan pemahaman professional guru secara individual; (4) meningkatkan
pendidikan pribadi atau pendidikan umum seorang individu; (5) membuat guru merasa
dihargai; (6) meningkatkan rasa puas terhadap pekerjaan; (7) meningkatkan pandangan
826
positif mengenai pekerjaan; (8) memungkinkan guru mengantisipasi dan bersiap untuk
menghadapi perubahan; (8) mengklarifikasi keseluruhan kebijakan sekolah atau pemerintah.
Pada Pedoman Pengelolaan PKB (Kemendiknas, 2010:1) disebutkan bahwa tujuan utama
dari pengembangan profesional guru melalui PKB adalah peningkatan pembelajaran siswa.
Program PKB guru diarahkan untuk dapat memperkecil jarak antara pengetahuan,
keterampilan, kompetensi sosial dan kepribadian yang mereka miliki sekarang dengan
apa yang menjadi tuntutan ke depan berkaitan dengan profesinya. Selanjutnya disebutkan
bahwa tujuan umum PKB yang dicanangkan oleh pemerintah melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan adalah untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan di
sekolah/madrasah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Sedangkan tujuan khusus
PKB di Indonesia adalah (1) memfasiltasi guru untuk mencapai standar kompetensi profesi
yang telah ditetapkan; (2) memfasilitasi guru untuk terus memutakhirkan kompetensi yang
mereka miliki sekarang dengan apa yang menjadi tuntutan ke depan berkaitan dengan
profesinya; (3) memotivasi guru-guru untuk tetap memiliki komitmen melaksanakan tugas
pokok dan fungsinya sebagai tenaga profesional; serta (4) mengangkat citra, harkat, martabat
profesi guru, rasa hormat dan kebanggaan kepada penyandang profesi guru.
bagi guru. Makna mandiri (self-directed) bukan berarti guru belajar secara sendiri dan
melakukan pengembangan keprofesian tanpa bantan dari guru lain sebagai kolega, dukungan
sumber daya, maupun peran sekolah.
Uraian pendapat di atas menunjukkan bahwa model dan bentuk aktivitas dalam
pengembangan keprofesionalan guru sangat beragam. Setiap pendekatan yang digunakan
memiliki tujuan bagaimana pengembangan keprofesionalan dapat meningkatkan
pertumbuhan kemampuan professional pribadi guru. Pengembangan keprofesionalan mandiri
merupakan pendekatan yang cocok bagi guru, karena sesuai dengan prinsip-prinsip
pembelajaran orang dewasa (adult learning). Pada model mandiri, guru tidak terbatas hanya
memilih aktivitas yang secara langsung terkait dengan kebutuhan kelas maupun kinerja
profesinya. Guru bertindak sebagai perancang (designer) dalam pengembangan profesional
mandiri. Sebagai perancang, guru dapat merencanakan pengembangan keprofesionalannya
yang menjadi keinginannya untuk diwujudkan secara nyata.
Model evaluasi merupakan model desain evaluasi yang dikembangkan oleh ahli-ahli evaluasi
yang biasanya dinamakan sama dengan pembuatnya atau tahap evaluasinya. Selanjutnya, ada
juga ahli evaluasi yang mengklasifikan evaluasi sesuai dengan misi yang dibawakan serta
kepentingan maupun paham yang dianutnya dan disebut sebagai pendekatan. Dalam
829
kaitannya dengan kerangka evaluasi program PKB guru di sekolah, berikut dilakukan kajian
terhadap model evaluasi CIPP dan model Guskey.
Model evaluasi CIPP diambil dari proses kegiatan evaluasi yang terdiri atas Context, Input,
Proces, dan Product. Sasaran evaluasi meliputi Context, Input, Process and Product, yang
tidak lain adalah komponen dari proses penyusunan sebuah program. Model CIPP
memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah sistem. Selanjutnya Madaus, Scriven &
Stufflebeam (1993:118) menyatakan bahwa pendekatan CIPP berpandangan bahwa yang
terpenting dari suatu evaluasi adalah bukan membuktikan, tetapi untuk memperbaiki
program. Evaluasi model CIPP dapat diterapkan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan,
manajemen, perusahaan dan sebagainya serta dalam berbagai jenjang baik itu proyek,
program ataupun institusi.
Worthen & Sanders (1973:129) mengemukaan bahwa seluruh tahap model evaluasi CIPP
mengandung kegiatan penggambaran, pemerolehan, dan penyediaan informasi. Evaluasi
konteks (Context) adalah bagian dari evaluasi yang memuat kegiatan pengumpulan informasi
untuk menentukan tujuan, mendefinisikan lingkungan yang relevan, dan mengidentifikasi
kebutuhan. Orientasi utama evaluasi konteks adalah mengidentifikasi kekuatan dan
kelemahan suatu objek seperti institusi, program, atau target populasi dan memberikan arah
perbaikan. Lebih lanjut Fernandes (1984:7) menjelaskan bahwa evaluasi input adalah
menyediakan informasi tentang bagaimana tujuan akan dicapai. Informasi yang disajikan
adalah data-data spesifik dan pertimbangan-pertimbangan untuk mengukur syarat anggaran,
waktu, staf, administrasi pendidikan, dan strategi. Lebih jauh Stufflebeam & Shinkfield
(1985:173) menjelaskan bahwa orientasi utama evaluasi input adalah menentukan cara-cara
bagaimana mencapai tujuan program. Tahap ketiga, yaitu evaluasi proses yang dilakukan
selama kegiatan pendidikan, meliputi implementasi, deskripsi, faktor-faktor pendukung dan
penghambat program. Kegiatan evaluasi proses tersebut dilakukan dengan cara memantau
(monitor) terhadap pelaksanan program baik yang tersembunyi maupun yang dinyatakan
secara jelas. Sedangkan evaluasi produk memusatkan perhatian pada hasil (outcome)
program. Tujuan evaluasi produk tersebut adalah untuk menentukan keberhasilan tingkat
pencapaian outcome dengan menghubungkan konteks, input dan proses, serta
menginterpretasikan baik dan buruknya.
3. Pembahasan
Evaluasi program model CIPP dan model Guskey memiliki persamaan dan juga perbedaan.
Persamaannya terletak pada cakupan evaluasi. Kedua model evaluasi tersebut sama-sama
memiliki cakupan yang cukup lengkap/komprehensif sehingga mampu menghasilkan
informasi yang cukup lengkap sebagai dasar pembuatan keputusan, penyusunan kebijakan
maupun penyusunan program-program berikutnya. Masing-masing model mempunyai empat
sampai lima cakupan evaluasi.
Perbedaan antara kedua model tersebut terletak pada isi cakupan evaluasi. Lingkup/cakupan
evaluasi model CIPP memiliki cakupan yang lebih luas dibandingkan model Guskey, yaitu
meliputi konteks, input, proses dan produk. Level pertama pada model Guskey adalah
evaluasi reaksi (reaction evaluation) esensinya sama dengan aspek proses pada model CIPP,
sedangkan ketiga level yang lain sebetulnya merupakan merupakan bagian dari produk
menurut model CIPP. Istilah evaluasi produk pada model CIPP dalam bidang program
pelatihan (training program) diperluas makna cakupannya oleh konsep model Guskey. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa model Guskey merupakan model yang dapat melengkapi
dan memperluas model CIPP.
Evaluasi program model CIPP adalah kerangka kerja (framework) yang komprehensif untuk
evaluasi formatif dan evaluasi sumatif dari suatu proyek, program, personalia, institusi,
produk, dan beberapa sistem lainnya. Evaluasi program model ini dapat digunakan untuk
program pelatihan dan program pendidikan, karena sifatnya yang komprehensif, luwes, dan
dapat mengevaluasi program yang sedang berjalan atau proses dan setelah program
dilaksanakan.
Modifikasi dan kombinasi dapat dilakukan pada evaluasi konteks, evaluasi input, evaluasi
proses, maupun evaluasi produk, tergantung pada variabel-variabel dalam suatu penelitian.
Komponen-komponen kunci dari evaluasi program model CIPP 2003 dan hubungan
kausalitas dalam program dapat diuraikan dari sumber utama adalah nilai inti (core value)
yang dapat diterapkan oleh para evaluator dan klien. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai
(goals) dapat diperoleh pada evaluasi konteks, sedangkan untuk mencapai tujuan program
yang sudah ditetapkan dapat disusun suatu perencanaan (plans) yang berdasar pada evaluasi
input, selanjutnya untuk melaksanakan perencanaan dilakukan proses/aksi (actions) yang
831
dapat dimonitor pada evaluasi proses, serta umpan balik (feedback) untuk mengetahui hasil
apakah program sudah mencapai tujuan atau belum dapat diketahui dari outcome pada tahap
evaluasi produk.
Asumsi yang melandasi pemikiran untuk menggunakan model evaluasi CIPP (Context,
Input, Process, Product) dari Stuflebeam dan pengintegrasian model Guskey tersebut bahwa:
pertama, penerapan model CIPP dalam evaluasi program pengembangan keprofesian
berkelanjutan (PKB) guru dapat mendukung dan memiliki banyak pilihan dalam menentukan
konteks dan input dalam merancang program pengembangan keprofesian berkelanjutan guru.
Ditinjau dari aspek konteks program PKB guru banyak sekali faktor yang dapat membentuk
aspek konteks, seperti kebutuhan belajar guru dan hasil belajar peserta didik (analysis
content), kebutuhan sekolah (analysis context). Sedangkan aspek input, seperti dukungan
sarana dan prasarana dari sekolah, ketersediaan sumber daya, dukungan masyarakat dan
komunitas guru terhadap program belajar profesional guru. Aspek proses terkait dengan
aktivitas pengembangan keprofesian guru, meliputi semua pilihan aktivitas guru dalam
mengembangkan profesinya yang dilakukan secara individu maupun bersama komunitasnya,
baik di internal dan eksternal sekolah. Pada aspek produk terkait dengan dampak program
pengembangan keprofesian guru terhadap terciptanya sekolah sebagai organisasi pembelajar
(learning organization), termasuk evaluasi terhadap efektivitas, keberlanjutan, dan
transportabilitas pengembangan keprofesian berkelanjutan guru. Kedua, mengingat model
evaluasi Guskey merupakan model evaluasi pengembangan keprofesian guru melalui
pelatihan (training). Ketiga, hasil kajian teoritis dan empiris terhadap paradigma program
PKB guru menunjukkan bahwa dalam implementasinya mengikuti kerangka kerja
pendekatan sistem dengan komponen-komponen meliputi 1) perencanaan program
pengembangan keprofesian; 2) implementasi program pengembangan keprofesian; (3)
dukungan sumber daya sekolah terhadap pengembangan keprofesian guru; serta 4)
pemantauan dan evaluasi program pengembangan kepofesian.
832
Pengembangan model evaluasi PKB guru berbasis sekolah mengacu pada konsepsi
pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) menurut Day (2004:219) yang menyatakan,
bahwa pengembangan keprofesian merupakan upaya pengembangan guru yang terdiri dari
seluruh pengalaman belajar profesional yang dialami dan aktivitas-aktivitas sadar yang
direncanakan. Adapun aktivitas dan pengalaman belajar ini dimaksudkan secara langsung
maupun tidak langsung untuk memberi manfaat pada individu, kelompok, atau sekolah,
serta berkontribusi pada kualitas pendidikan di ruang kelas. Dengan demikian,
pengembangan keprofesian mencakup segala aktivitas untuk memenuhi baik kebutuhan
individual guru maupun kebutuhan institusional sekolah. Guru, sekolah, dan peserta didik
mendapatkan manfaat dari proses pengembangan keprofesian tersebut. Dengan demikian,
kerangka kerja evaluasi program pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) guru
berbasis sekolah ini dilakukan untuk mengetahui keefektifan implementasi program tersebut
dilihat dari aspek konteks, input, proses, dan produk. Oleh karena itu, dapat dikembangkan
kerangka kerja evaluasi program PKB guru berbasis sekolah sebagaimana di sajikan pada
Gambar 1.
Kajian di atas, senada dengan Guskey (2000:74) yang mengusulkan model evaluasi yang
didasarkan pada premis bahwa kualitas pengembangan keprofesian berkelanjutan guru
dipengaruhi oleh faktor konten, konteks, dan faktor proses. Faktor konten meliputi
pengetahuan dan keterampilan untuk dikembangkan serta tingkat perubahan yang diperlukan
untuk memberlakukan pengetahuan dan keterampilan baru . Faktor Konteks meliputi: siapa,
kapan, dimana, dan mengapa pengembangan keprofesian dilakukan. Sedangkan faktor
833
Modifikasi dari model Guskey dan CIPP untuk evaluasi program PKB guru berbasis sekolah
dilakukan dengan mengambil karakteristik kegiatan PKB yang bervariasi bentuk dan
jenisnya (formal, non formal, informal) dan hasil PKB yang diperoleh dari 5 (lima) tahapan
evaluasi Guskey. Karakteristik kegiatan proyek membentuk sebuah lingkaran luar sekitar
hasil, yang menunjukkan pentingnya konteks dalam memahami hasil PKB. Hasil yang
termuat dalam membran permeabel, menunjukkan umpan balik (feed back) yang terjadi
antara karakteristik kegiatan dan hasil. Modifikasi model evaluasi ini dapat memungkinkan
kita melakukan ekplanasi yang lebih komprehensif untuk memahami program
pengembangan keprofesian berkelanjutan (PKB) guru di sekolah. Di samping itu, modifikasi
model ini dapat menyoroti pentingnya pemahaman konten, konteks, dan proses dalam rangka
untuk menginterpretasikan hasil PKB agar lebih komprehensif.
Daftar Pustaka
Avalos, B. Teacher professional development in Teaching and Teacher Education. Teaching and
Teacher Education, 27, 10-20. (2011).
Bubb, S., & Earley, P. Leading and managing continuing professional development. London: Sage.
(2007).
Craft, A. Continuing professional development. London: Routledge Falmer. (2000).
Day, C. dan Sachs, J. International handbook on the continuing professional development of
teachers. England: Open University Press. (2004).
E. Mulyasa. Standar kompetensi dan sertifikasi guru, Cetakan ketiga. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya Offset. (2008).
Guskey, T.R. Evaluating professional development. California: Corwin Press. (2000).
Hattie, J. Teachers Make a Difference What is The Research Evidence?. Makalah pada University of
Auckland, Australian Council for Education Research. (2003).
Kementerian Pendidikan Nasional. Pedoman pengelolaan pengembangan keprofesionalan
berkelanjutan, Buku 1. Jakarta. (2010a).
834
Abstrak. Potensi siswa berbakat matematika perlu dioptimalkan melalui wadah klub
matematika dan sains di sekolah. Model pembinaan olimpiade matematika di SMP
Negeri 8 Yogyakarta dibagi menjadi empat tahapan, yaitu tahapan pengidentifikasian
potensi, tahapan pembinaan dasar, tahapan pembinaan lanjut, dan tahapan pembinaan
menghadapi olimpiade matematika SMA. Materi matematika yang dipelajari adalah
dasar pemecahan masalah, teori bilangan, aljabar, geometri, dan kombinatorika. Soal
yang diberikan mempunyai karakteristik non rutin, problematik, menuntut penalaran,
memuat adanya keterkaitan, menuntut kemampuan komunikasi.
2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah yang dapat dimunculkan
adalah “Bagaimana model pembinaan olimpiade matematika di sekolah yang dapat
mengoptimalkan potensi siswa berbakat matematika?”
3 Dasar Kajian
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, model pembinaan siswa berbakat matematika
yang sudah dilakukan di SMPN 8 Yogyakarta perlu diketahui para kepala sekolah, guru,
pengawas, dan pihak terkait untuk dapat dijadikan sebagai salah satu referensi model
pengoptimalan siswa berbakat matematika di Indonesia.
Tim Olimpiade Sains SMPN 8 Yogyakarta mengembangkan visi, misi, filosofi, prinsip,
motto, slogan dan nilai-nilai perjuangan BMW, sebagai berikut (Wiworo, 2013):
Visi BMW:
WE ARE THE INNOVATOR.....WE ARE THE TRENDSETTER.....and last but not
least.....WE ARE THE BEST !!!
Misi BMW:
Menjadikan matematika dan sains sebagai mata pelajaran yang menyenangkan dan
digemari siswa-siswi SMPN 8 Yogyakarta
Menggairahkan pembelajaran matematika dan sains di SMPN 8 Yogyakarta
sehingga menjadi semakin berkualitas
Mendidik siswa-siswi SMPN 8 Yogyakarta untuk memperdalam dan memahami
konsep-konsep matematika dan sains secara baik dan benar
Mendidik siswa-siswi SMPN 8 Yogyakarta untuk dapat berpikir kritis, kreatif,
logis, rasional, mempunyai budaya ilmiah dan mampu memecahkan masalah
Mendidik, membimbing dan mengantarkan siswa-siswi SMPN 8 Yogyakarta untuk
meraih prestasi puncak dalam berbagai kompetisi matematika dan sains di tingkat
lokal, regional, nasional dan internasional
Filosofi BMW:
Satu tujuan…..satu hati…..bersama-sama kita adalah.....BMW…..
837
Motto BMW:
Jujur + Disiplin + Kerja Keras + Pantang Menyerah + Selalu Berdoa akan menghasilkan
IMPOSSIBLE IS NOTHING
Prinsip BMW:
Belajar keras adalah keseharian kami…..Bermain gila-gilaan adalah hobi
kami…..Meraih prestasi tertinggi adalah tradisi kami…..
Nilai-nilai Perjuangan BMW:
BMW adalah………kebersamaan, tolong menolong, persahabatan, tradisi, kerja keras,
semangat, motivasi, determinasi, ketangguhan mental, keyakinan diri, pantang
menyerah, perjuangan, mental juara, kehormatan, harga diri, kreativitas, inovasi, rintisan
masa depan.Pada akhirnya.....BMW adalah…..JUARA!!!
Slogan BMW:
Menang Lomba Pangkal Kaya.....Menang Lomba Gadget Tambah.....
Tim Pembina dari Tim Olimpiade Sains SMPN 8 adalah sebagai berikut:
Penanggung Jawab:
Kepala SMPN 8 Yogyakarta
Konsultan Tim:
Muhammad Nur Choiron
Koordinator Tim:
Sudarmana
Pembina:
Wiworo (Matematika, Astronomi, Komputer)
Faiz Al Makki, Nanang Sahid Wahyudi (Matematika)
Sudarmana, Indriastuti (Biologi)
E. Emma Widyaningsih, Ike Noviyanti, Sudaryanto, Sunarti (Fisika)
Sutarto, Tama Enar Widianto, Sriani Indriastuti, H. Siti Mudjijanti (IPS)
Pembinaan kelas VII dan VIII menghadapi Olimpiade Sains Nasional Matematika SMP
Tahapan identifikasi potensi (Juli – Agustus)
Tahapan pembinaan dasar (September – Desember)
Tahapan pembinaan lanjut (Januari – April)
Pembinaan kelas IX menghadapi Olimpiade Sains Nasional Matematika SMA
Tahapan pembinaan pengembangan (Agustus – April)
838
Pembinaan olimpiade matematika dimulai dengan proses seleksi gabungan (bersama dengan
fisika, biologi, dan IPS) untuk menjaring potensi-potensi yang ada di kelas VII dan VIII.
Hasil seleksi ini ditambah dengan beberapa siswa peserta pembinaan tahun sebelumnya
selanjutnya mengikuti pembinaan selama sekitar 8 bulan. Sejak pertama kali ikut pembinaan,
para siswa selalu dimotivasi dan diberikan gambaran tentang hal-hal positif yang akan
diperoleh kelak jika berprestasi di olimpiade. Dengan demikian siswa sejak awal tahu
manfaat ikut pembinaan di sekolah, sekaligus mereka juga tahu bahwa sukses tidak diraih
dengan cara instan, melainkan melalui proses panjang, perlu pengorbanan, dengan kerja
keras dan perlu mental juara yang tangguh. Sejak awal, siswa juga diwajibkan mengikuti
berbagai kompetisi matematika dan sains yang diadakan di Yogyakarta dan sekitarnya. Ini
untuk melatih semangat berkompetisi dan pembentukan mental juara sehingga pada saatnya
nanti mereka sudah mempunyai mental juara yang tangguh dan siap meneruskan prestasi
kakak-kakak kelasnya (Wiworo, 2007).
Materi pertama di awal pembinaan adalah melatihkan problem solving skills. Hal ini untuk
memberi dasar dan wawasan cara berpikir matematika yang nantinya akan selalu digunakan
siswa-siswa tersebut jika mengikuti olimpiade. Materi selanjutnya adalah dasar teori
bilangan.Ini untuk memberi kesempatan supaya peserta pembinaan yang masih duduk di
kelas VII tidak mengalami kesulitan untuk bersaing dengan yang kelas VIII. Dengan dasar
teori yang sudah pernah dipelajari di SD, siswa kelas VII dapat mengikuti dengan lancar.
Lain halnya kalau yang dilatihkan adalah aljabar terlebih dahulu, tentunya siswa kelas VIII
akan lebih diuntungkan daripada kelas VII. Pemberian materi problem solving skills di awal
pembinaan ternyata sangat bermanfaat karena siswa dapat berkreasi dalam menyelesaikan
suatu permasalahan. Bahkan kadang-kadang jawaban mereka di dalam tes, tugas ataupun
simulasi sangat di luar dugaan. Setelah dasar teori bilangan, materi pembinaan selanjutnya
adalah aljabar, geometri, dan dasar-dasar kombinatorika.
Cara pembelajaran yang dilakukan adalah dengan membebaskan para siswa untuk menjawab
setiap masalah matematika dengan cara apapun asal masih logis, rasional dan sesuai dengan
konsep-konsep matematika yang benar. Selain itu para siswa juga dibiasakan untuk selalu
berdiskusi dengan teman-temannya dalam menjawab soal-soal latihan.Untuk masalah
penilaian tes, tugas dan simulasi, mengacu ke standar penilaian yang digunakan di IMO yaitu
dengan memberikan nilai untuk tiap soal maksimal 7. Ini juga untuk membiasakan para
siswa dalam menghadapi olimpiade yang sebenarnya. Proses dan cara menjawab untuk
setiap soal soal benar-benar diperhatikan karena sangat bermanfaat untuk melatih siswa
berkomunikasi dalam matematika.
Untuk referensi, selain berbagai macam soal dari OSN SD dan OSN SMP tahun-tahun
sebelumnya, juga ditambah dengan soal-soal IMSO dan berbagai macam soal kompetisi
matematika dari berbagai negara (Singapura, Kanada, Amerika Serikat, Rusia, Rumania,
India, Australia, Afrika Selatan, dan lain-lain). Untuk buku-buku pendukung, digunakan
buku-buku dari Singapura, India, China, Australia, Hongkong, Kanada, Amerika Serikat,
negara-negara Eropa Timur, Inggris, Jerman dan sebagainya.
839
Satu terobosan baru dalam tiga tahun terakhir ini adalah para peserta pembinaan matematika
di SMPN 8 diwajibkan untuk mengerjakan dan mengirimkan solusi dari soal yang terdapat
pada jurnal internasional Crux Mathematicorum with Mathematical Mayhem, Journal of
Mathematical Problem Solving for Secondary and Undergraduate Student dari Kanada. Para
siswa ini ditargetkan sebelum lulus dari SMPN 8, minimal satu kali full solution mereka
harus sudah pernah dimuat. Sampai saat ini sudah lebih dari 10 kali full solution dan lebih
dari 40 solusi dari siswa-siswa SMPN 8 pernah diterima dan dimuat di jurnal tersebut. Hal
ini selain untuk mengembangkan kemampuan berbahasa Inggris, khususnya tertulis, dari
anak-anak, juga dapat dianggap sebagai salah satu Standar Kompetensi Lulusan untuk
SMPN 8 Yogyakarta. Selanjutnya pada tahun ini, untuk pembinaan matematika juga sudah
mulai dilakukan pembinaan online melalui grup BMW MATH SMPN 8 di jejaring sosial
Facebook (Wiworo, 2013).
Problem solving dasar, meliputi tahapan problem solving dan strategi problem solving
Teori bilangan dasar, meliputi sistem bilangan, kelipatan dan pembagi, faktorisasi
prima, Teorema Fundamental Aritmetika, KPK dan FPB, divisor problems, dan number
sense.
Aljabar, meliputi bentuk aljabar, ekspansi dan pemfaktoran, persamaan linear, sistem
persamaan linear, persamaan kuadrat, dasar-dasar ketaksamaan, fungsi, persamaan garis
lurus, eksponen dan logaritma, dan dasar-dasar barisan dan deret bilangan.
Geometri, meliputi titik, garis, dan bidang, sudut, luas dan keliling, segitiga siku-siku
dan Teorema Pythagoras, kekongruenan dan kesebangunan, garis-garis pada segitiga,
segiempat, polygon, ketaksamaan geometri, lingkaran, bangun ruang sisi datar, bangun
ruang sisi lengkung, dan geometri analitik.
Kombinatorika, meliputi dasar-dasar mencacah, teknik dasar mencacah, permutasi dan
kombinasi, kombinasi lanjut, dasar-dasar probabilitas, teknik dasar probabilitas, Segitiga
Pascal, Teorema Binomial, dan masalah distribusi.
Materi pembinaan kelas IX adalah:
Problem solving lanjut, meliputi strategi problem solving lanjut dan teknik pembuktian
(bukti langsung dan bukti dengan kontradiksi).
Teori bilangan lanjut, meliputi dasar-dasar modular arithmetic, kongruensi linear, dan
Persamaan Diophantine.
Aljabar lanjut, meliputi pembagian polynomial, akar-akar polynomial, Teorema
Fundamental Aljabar, Teorema Vieta, barisan dan deret bilangan lanjut, Arithmetic
Mean, Geometric Mean, Harmonic Mean, Quadratic Mean, bentuk akar, piecewise
defined functions, dan dasar-dasar persamaan fungsional.
Geometri lanjut, meliputi strategi problem solving dalam geometri, transformasi
geometri, segiempat tali busur, dan trigonometri.
Kombinatorika lanjut, meliputi prinsip inklusi – eksklusi, The Pigeonhole Principle,
induksi matematika, dan combinatorial identities.
840
Berikut ini contoh-contoh soal yang digunakan untuk tahap identifikasi potensi di Tim
Olimpiade Matematika SMPN 8.
1. Liga bola basket BMW diikuti oleh total 20 tim, dan dibagi ke dalam 4 divisi dengan
masing-masing divisi terdiri dari 5 tim basket. Sesuai dengan aturan pada Liga BMW,
setiap tim bertanding melawan tim dalam divisi yang sama masing-masing 3 kali, dan
bertanding melawan tim dalam divisi berbeda masing-masing 2 kali. Berapa total
banyak pertandingan dalam satu musim Liga BMW? Berikan alasanmu!
2. Kalkulator BMW hanya mempunyai dua buah tombol, yaitu , - dan , -. Jika kamu
memencet salah satu tombol, maka kalkulator tersebut secara otomatis akan langsung
menampilkan hasil perhitungannya pada layar. Sebagai contoh, jika kalkulator BMW
mula-mula menampilkan angka “9” dan kemudian kamu memencet tombol , -, maka
pada layar akan muncul hasil “10”. Selanjutnya jika kamu memencet tombol , -,
maka pada layar akan muncul hasil “20”. Apabila pada layar dimulai dengan tampilan
angka “1”, paling sedikit berapa kali kamu harus memencet tombol pada kalkulator
tersebut untuk memperoleh hasil “2014”? Berikan alasanmu!
1. Jika urutan angka-angka pada bilangan 5885 dibalik, bilangan yang dihasilkan tetap
sama, yaitu 5885. Bilangan yang mempunyai sifat demikian tadi disebut bilangan
841
palindrome. Berapa banyak bilangan bulat antara 0 dan 2013 yang merupakan bilangan
palindrome?
2. Provinsi BMW mempunyai enam kota. Setiap pasangan dua kota selalu terhubung
dengan jalur kereta api atau rute pesawat terbang. Jelaskan mengapa pasti terdapat tiga
kota di Provinsi BMW sedemikian hingga seluruh tiga kota tersebut saling terhubung
dengan jenis transportasi yang sama.
Berikut ini contoh soal untuk tugas pekerjaan rumah pada tahapan pembinaan dasar. Soal
diberikan kepada siswa dengan menggunakan bahasa Inggris.
1. The difference between the squares of two natural numbers is prime. Show that the sum
of the two natural numbers is also prime.
2. Find the sum of the perfect square divisors of the smallest integer with exactly 6 perfect
square divisors.
2. Show that if a transversal cuts two lines such that the same-side interior angles are
supplementary, then the two lines are parallel.
Berikut ini contoh soal pada tahapan pembinaan pengembangan. Soal diberikan kepada
siswa dengan menggunakan bahasa Inggris.
1. Prove that if a, b, c, and d are four consecutive terms in a geometric sequence, then
( ) ( ) ( ) ( )
842
Berikut ini adalah contoh komunikasi tertulis dari siswa berupa langkah-langkah jawaban
mereka terhadap soal yang diujikan.
Gambar 3. Contoh solusi pada jurnal Crux Mathematicorum with Mathematical Mayhem
Beberapa pendapat mantan siswa peserta pembinaan berikut ini memberi gambaran
perubahan cara berpikir dan cara pandang mereka terhadap matematika (Wiworo, 2011).
“Beberapa hal dari problem solving yang saya dapatkan dan terapkan
1. Berpikir sistematis (PS mengajarkan kita bagaimana menemukan solusi secara runtut,
disertai bukti dan fakta, sehingga kita terlatih menyimpulkan sesuatu sesuai dengan bukti
yang ada.)
2. Komunikasi (PS tidak hanya bagaimana kita memecahkan masalah, namun bagaimana
cara kita mengkomunikasikan pemecahan masalah kita pada orang lain. Kemampuan
komunikasi ini sangat berguna ketika di dunia nyata kita harus mengungkapkan opini
terhadap sesuatu. Komunikasi ini juga yang membuat saya terlatih percaya diri.)
Jadi, PS telah mengubah cara pandang dan cara berpikir ilmiah saya.”
(Nurvirta Monarizqa, SMPN 8 Yogyakarta – SMAN 1 Yogyakarta – Jurusan Teknologi
Informasi, Fakultas Teknik UGM)
“Dasar dari matematika adalah problem solving, yang menjadi senjata utama di semua lini
ilmu dan nafas setiap aktivitas berpikir. Saya merasakan itu beberapa saat setelahnya. Saya
menjadi terbiasa berpikir dari banyak sudut pandang dan terbiasa menganalisis masalah
dari tiap elemen masalah yang lebih kecil. Mengenal problem solving membuat saya tidak
lagi takut jika menemui masalah baru dalam hal apapun. “
(Alimatun Nashira – SMPN 8 Yogyakarta – SMAN 1 Yogyakarta – Program Studi Teknik
Kimia, Fakultas Teknologi Industri ITB)
Prestasi Tim Olimpiade Sains SMPN 8 dari 2003 sampai dengan 2013 adalah [1]:
Olimpiade Sains Tingkat Internasional
2 medali perak, 8 medali perunggu
Juara 2 kota sebanyak 19 kali (6 matematika SMP, 4 matematika SMA, 3 fisika
SMP, 5 biologi SMP, 1 astronomi SMA)
Juara 3 kota sebanyak 18 kali (8 matematika SMP, 3 matematika SMA, 3 fisika
SMP, 4 biologi SMP)
Lomba matematika dan sains lokal, regional dan nasional non olimpiade
Juara 1 sebanyak 40 kali
Kesimpulan:
2. Kegiatan pengoptimalan potensi siswa yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur
dapat mengembangkan kemampuan bernalar, memecahkan masalah, dan komunikasi
matematika dari siswa
Saran:
Daftar Pustaka
Canadian Mathematical Society. 2011. Jurnal Crux Mathematicorum with Mathematical Mayhem
Volume 36 Nomor 4.
Wiworo. 2013. Profil Bocah MIPA Wolu Tim Olimpiade Sains SMPN 8 Yogyakarta 2003 - 2013.
Yogyakarta: SMPN 8 Yogyakarta.
Wiworo. 2007. Menciptakan Petarung Sejati & Membentuk Mental Juara Yang Tangguh (Refleksi 4
Tahun Perjalanan Tim Olimpiade Sains SMPN 8 Yogyakarta), Jurnal Mahkota Matematika
Nomor 6, Universitas Negeri Malang.
Wiworo. 2011. Pengoptimalan Potensi dan Pembentukan Karakter Siswa Berbakat Melalui Klub
Matematika dan Sains di Sekolah (Refleksi 8 Tahun Perjalanan Tim Olimpiade Sains SMP
Negeri 8 Yogyakarta, 2003 – 2011), disampaikan pada Talkshow Lomba Matematika Nasional
2011, Jurusan Matematika, FMIPA, UGM.
846
Wiworo
PPPPTK Matematika, Jl. Kaliurang Km. 6, Sleman; percussionline@yahoo.com
Abstrak. Kombinatorika merupakan salah satu materi yang selalu diujikan dalam
olimpiade matematika. Pemahaman materi kombinatorika tidak cukup hanya dengan
memahami rumus permutasi dan kombinasi saja. Diperlukan penguasaan teknik dasar
mencacah untuk dapat memahani materi kombinatorika dengan baik. Teknik dasar
mencacah yang sering digunakan untuk memecahkan masalah kombinatorika adalah
bagi kasus, complementary counting, constructive counting, dan correcting for
overcounting. Dengan penguasaan teknik-teknik tersebut, permasalahan kombinatorika
dari yang sederhana sampai dengan yang kompleks dapat diselesaikan.
2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, rumusan masalah yang diajukan adalah
“Bagaimana teknik dasar mencacah untuk memahami materi kombinatorika menghadapi
olimpiade matematika?”
3 Dasar Kajian
Untuk membelajarkan materi kombinatorika, khususnya dalam menghadapi olimpiade
matematika, guru harus mengetahui teknik-teknik dasar mencacah (counting). Tidak cukup
hanya dengan menggunakan aturan penjumlahan, aturan perkalian, rumus permutasi, dan
rumus kombinasi. Teknik-teknik dasar mencacah yang sering digunakan dalam
847
Soal:
Suku BMWlandia yang tinggal di Pulau BMW hanya mempunyai alfabet sebanyak 5 huruf
saja. Setiap kata pada Bahasa BMWlandia paling banyak hanya terdiri dari 3 huruf. Berapa
banyak kata yang dapat dibentuk pada Bahasa BMWlandia? (sebuah kata dapat
menggunakan suatu huruf lebih dari sekali)
Solusi:
Kasus 1: kata yang terdiri dari 1 huruf
Terdapat 5 kata yang terdiri dari 1 huruf saja karena masing-masing dari 5 huruf yang
ada sudah dapat membentuk kata 1 huruf.
Kasus 2: kata yang terdiri dari 2 huruf
Untuk membentuk kata yang terdiri dari 2 huruf, kita mempunyai 5 pilihan untuk huruf
pertama dan 5 pilihan untuk huruf kedua. Sehingga terdapat kata yang
terdiri dari 2 huruf yang mungkin dibentuk.
Kasus 3: kata yang terdiri dari 3 huruf
Untuk membentuk kata yang terdiri dari 3 huruf, kita mempunyai 5 pilihan untuk huruf
pertama, 5 pilihan untuk huruf kedua, dan 5 pilihan untuk huruf ketiga. Sehingga
terdapat kata yang terdiri dari 3 huruf yang mungkin dibentuk.
Untuk mencacah total banyak kata yang dapat dibentuk pada Bahasa BMWlandia, kita
jumlahkan banyak kata yang dapat dibentuk pada masing-masing kasus. Sehingga terdapat
kata pada Bahasa BMWlandia.
848
1. Gambar berikut ini menunjukkan peta suatu jaringan jalan yang menghubungkan kota ,
, , dan . Berapa jalan berbeda untuk bepergian dari kota ke kota jika kita hanya
diperbolehkan berjalan sesuai dengan arah tanda panah (dari kiri ke kanan)? Sebagai
contoh jalur yang diperbolehkan adalah atau , tidak boleh .
2. Berapa banyak pasangan bilangan bulat positif ( ) yang menjadi penyelesaian dari
?
Perhatikan soal berikut ini sebagai ide dasar dalam memahami teknik complementary
counting.
Soal:
Berapa banyak bilangan 3 angka yang bukan kelipatan 7?
Solusi:
Daripada mencacah langsung banyaknya bilangan 3 angka yang bukan kelipatan 7, akan jauh
lebih mudah jika terlebih dahulu mencacah yang tidak kita inginkan, yaitu mencacah
banyaknya bilangan 3 angka kelipatan 7. Dari hasil penghitungan, bilangan 3 angka
kelipatan 7 terkecil adalah , sedangkan bilangan 3 angka kelipatan 7 terbesar
adalah . Sehingga akan diperoleh bilangan 3 angka
849
kelipatan 7. Banyaknya bilangan 3 angka adalah 900 bilangan (dari 100 sampai 999).
Dengan demikian terdapat bilangan 3 angka yang bukan kelipatan 7.
Soal:
Berapa banyak bilangan tujuh angka yang dapat dibentuk dengan syarat dua angka
bersebelahan tidak boleh sama?
Solusi:
Bilangan tersebut akan dikonstruksi dari kiri ke kanan. Untuk posisi angka pertama terdapat
9 pilihan (karena angka pertama tidak boleh 0). Posisi angka kedua terdapat 9 pilihan (semua
angka kecuali angka yang sudah digunakan pada posisi angka pertama). Secara analog,
untuk setiap posisi angka berikutnya, terdapat 9 pilihan angka (angka 0 sampai dengan 9
asalkan tidak sama dengan angka pada posisi sebelumnya). Sehingga terdapat 9 pilihan
angka untuk masing-masing posisi. Dengan demikian terdapat 6 bilangan tujuh
angka yang dapat dibentuk dengan syarat dua angka bersebelahan tidak boleh sama.
Soal:
Berapa banyak susunan berbeda yang dapat dibentuk dari huruf-huruf pada kata ?
850
Solusi:
Perhatikan bahwa terdapat dua huruf yang sama. Untuk mempermudah anggap saja dua
huruf tersebut berbeda, namakan dan . Sehingga terdapat susunan dan
. Dengan menghilangkan indeksnya, dipunyai kata dan , yang
sebenarnya identik. Dalam situasi ini telah terjadi kelebihan pencacahan atau overcounting,
yang harus segera dikoreksi. Perhatikan susunan lengkap dari huruf-huruf , , , berikut:
Pada tabel tersebut, banyaknya susunan untuk adalah dua kali banyak susunan untuk
. Ini disebabkan dan dapat menempati posisinya dalam cara. Kelebihan
pencacahan (overcounting) pada susunan harus dikoreksi (correcting) dengan cara
membaginya dengan . Dengan demikian banyak susunan berbeda yang dapat dibentuk dari
huruf-huruf pada kata adalah . Dalam hal ini, adalah overcounting,
sedangkan adalah correctingnya.
5 Kesimpulan
Pembelajaran dasar materi kombinatorika untuk menghadapi olimpiade matematika tidak
cukup dengan hanya membelajarkan materi aturan perkalian, aturan penjumlahan, rumus
permutasi dan rumus kombinasi saja. Pembelajaran dasar materi kombinatorika memerlukan
pemahaman teknik dasar mencacah yang terdiri dari bagi kasus (casework), complementary
counting, constructive counting, dan correcting for overcounting. Pemahaman teknik dasar
mencacah dapat mengembangkan kemampuan bernalar, memecahkan masalah, dan
komunikasi matematika.
851
Daftar Pustaka
Marcus, Daniel A. 2002. Combinatorics: A Problem Oriented Approach, Washington, DC: the
Mathematical Association of America.
Meng, Koh Khee dan Tay Eng Guan. 2002. Counting, Singapore: World Scientific Co. Pte. Ltd.
Patrick, David. 2006. The Art of Problem Solving: Introduction to Counting and Probability, Alpine,
CA: AoPS Inc.
Santos, David A. 2004. Junior Problem Seminar, free copy ebook.
Santos, David A. 2007. Elementary Probability, free copy ebook.
Zeitz, Paul. 2007. The Art and Craft of Problem Solving, Hoboken, NJ: John Wiley & Sons Inc.
852
Abstrak: Permainan Ligu adalah permainan rakyat yang dimainkan pengisi waktu
senggang disore hari oleh remaja laki-laki di perkampungan Indragiri Hilir, Propinsi
Riau. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi pemikiran matematika dan nilai
karakter yang dapat diambil pada permainan sehingga dapat diintegrasikan dalam
pembelajaran matematika. Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data melalui
kajian literatur. Hasil kajian di elaborasi ke lokasi asal permainan untuk mempelajari
langkah-langkah permainan. Dari kajian literatur dan observasi lapangan ditemukan
bahwa permainan Ligu menggunakan tongkat bambu yang dikenal dengan bilah dan
beberapa buah ligu yang terbuat dari tempurung kelapa yang dibentuk dalam berbagai
bentuk bangun datar seperti segitiga, jajar genjang, layang-layang dan bentuk simetris
lainnya. Hasil kajian menunjukkan bahwa dalam melakukan permainan Ligu
membutuhkan beberapa ketrampilan matematika dan pemain juga dituntut untuk
memiliki karakter tertentu. Ketrampilan matematika yang diperlukan adalah pengenalan
bangun geometri, simetri, estimasi jarak, membilang. Karakter yang diperlukan dalam
permainan ini adalah kejujuran, keuletan, kekompakan atau kerjasama dan disiplin. Dari
temuan diatas permainan Ligu dapat digunakan sebagai bagian dalam pembelajaran
matematika SD. Permainan ini dapat digunakan untuk pengenalan konsep geometri dan
juga melatihkan beberapa karakter dalam pembelajaran matematika.
Abstract: Ligu is a tradional game played by male teenagers in the leisure time at the
village of Tembilahan, Riau province. This study is to identify mathematical thinking
and character values that can be taken from the game, so that it can be integrated in the
mathematics‟ class. Research conducted by collecting data by means of a literature
study. The findings is elaborated at the original location of game to learn the steps of
playing the game. From the literature and field observations found that Ligu is played
by using pointed bamboo pole and variation of Ligu made from coconut shells in
formed of different shapes like triangle, parallelogram, a kite and other simetris shape
like a heart shape. The results showed that in the Ligu game do requires some
mathematical skills and the players also claimed of a certain character. Mathematical
competence required for this game are the geometry, concept of symmetry, an
estimated distance. Desired character in the game is honesty, perseverance, solidarity,
cooperation and discipline. It concluded that Ligu can be used as mathematical game
for introducing geometrical concept and certain character at Elementary School.
1. Pendahuluan
LIGU adalah permainan rakyat yang terdapat di Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir.
Permainan ini juga ditemukan di daerah Kampar dengan nama Singki. Ligu dimainkan
sebagai olah raga rakyat pengisi waktu senggang di sore hari. Permainan ini biasanya
memerlukan waktu lebih kurang 3 jam dan dilakukan bersama-sama. Permainan ini tidak
berhubungan dengan adat istiadat, dan tidak pula mengenal tabu ataupun pantang pemali di
dalam melaksanakannya.
Sebagai permainan rakya, Ligu dapat dimainkan oleh semua lapisan masyarakat tanpa
memandang kondisi keluarga apakah mereka berasal dari kaum bangsawan ataupun rakyat
biasa. Daerah Indragiri Hilir sejak dulu terkenal dengan sebutan daerah kelapa. Sebagai
daerah penghasil kelapa, sebagian besar masyarakat bekerja sebagai pekerja kopra. Kelapa
dikeringkan menjadi kelapa jemur ataupun kelapa salai untuk dijadikan minyak goreng.
Tempurung kelapa dilepaskan dari dagingnya sehingga banyak tempurung kelapa berserakan
di lokasi pengeringan kelapa. Ketersediaan tempurung kelapa inilah yang dimanfaatkan oleh
remaja untuk bermain Ligu. Menurut keterangan yang diperoleh, permainan ini sudah
lama tumbuh di masyarakat, namun demikian tidak didapatkan informasi kapan waktu
sebenarnya permainan ligu muncul di Tembilahan dan dari mana asalnya. Permainan itu
tumbuh sejak dulu dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Pada saat sekarang permainan ini mulai ditinggalkan karena banyaknya permainan berbasis
teknologi yang lebih menarik perhatian anak-anak. Mengingat kondisi ini penulis mencoba
menggunakan melakukan analisis pemikiran matematika dalam permainan ini sehingga
dapat di integrasikan kedalam pembelajaran matematika. Dalam pembelajaran matematika
permainan dapat digunakan untuk mempelajari fakta, ketrampilan dan konsep untuk
mencapai tujuan kognitiv. Melalui permainan ini diharapkan juga dapat dilatihan nilai
karakter yang terkandung dalam permainan.
2. Metoda Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian kualitatif untuk menggali informasi secara
langsung dari pihak-pihak terkait. Pada tahap awal dilakukan kajian literatur untuk
mendapatkan informasi tentang permainan Ligu. Kemudian dilakukan interview dengan
masyarakat setempat untuk mendapatkan informasi detail tentang permainan Ligu yang
dilanjutkan dengan mempelajari cara bermain Ligu. Tahapan berikutnya adalah melakukan
analisis terhadap permainan Ligu untuk menemukan pemikiran matematika dan nilai-nilai
karakter yang terkandung di dalamnya. Pada tahap ini dilakukan analisis terhadap
kandungan pemikiran matematika dan nilai karakter dalam permainan rakyat yang sudah
dikumpulkan melalui kajian literatur dan interview dengan narasumber dilapangan. Analisis
dilakukan terhadap perlengkapan permainan, cara menggunakan alat permainan dan langkah
permainan. Kandungan pemikiran matematika dalam permainan dikelompokkan dalam dua
bidang kajian matematika yaitu Aritmatika (Bilangan) dan Geometri dan Pengukuran.
Pengelompokan ini dilakukan sesuai dengan topik yang dibahas pada pelajaran matematika
854
SD. Kandungan nilai karakter bangsa akan dikelompokkan menurut indikator karakter
bangsa yang diamanahkan pada kurikulum pendidikan.
3.1.2. Bilah.
Bilah yang terbuat dari bambu yang diraut bagus sepanjang lebih kurang 50 cm. Bilah ini
akan digunakan sebagai tongkat pemukul tempurung ligu yang dimainkan. Ujung bilah ini
ada yang berbentuk bengkok, tumpul, dan ada pula yang rencong sesuai dengan kehendak si
pemainnya.
a. Konsep Geometri
Ligu yang terbuat dari tempurung kelapa diraut untuk dibentuk menjadi berbagai bentuk
bidang datar seperti wajik , bunga, daun dan sebagainya. Hal ini memperlihatkan bahwa
permainan ini mengandung konsep geometri dengan membentuk berbagai macam bangun
geometri.
b. Konsep Simetri
Dalam membuat bentuk ligu yang diinginkan, pemain harus memperhatikan kesimetrian
bentuk ligu, dengan cara apabila ligu dibagi berdasarkan sumbu simetrinya, akan diperoleh
dua bagian yang kongruen. Hal ini penting agar ligu dapat berdiri kuat dan seimbang ketika
ditancapkan ke dalam tanah.
Ligu dibuat dari bahan sederhana dengan bentuk yang berbeda-beda. Untuk menghasikan
berbagai bentuk ini tentu saja memerlukan kreatifitas anak. Untuk menghasilkan Ligu yang
rapi dan menarik ank perlu trampil dalam mengolahnya.
Pembuatan ligu yang simetris menunjukkan adanya sifat cerdas dan teliti dalam menyusun
strategi bermain, karena ligu yang simetris dapat berdiri kuat dan seimbang di dalam tanah.
3.2.1. Lapangan.
Pada lapangan bermain, tempurung ligu yang akan dimainkan dipasang dengan cara
ditancapkan ke tanah bagian yang runcingnya. Ligu dipasang berjejer seperti dalam gambari
berikut:
3.2.2. Bilah.
Bilah digunakan untuk memukul dan melemparkan tempurung ligu serta untuk memangkah
(menjatuhkan) tempurung ligu lawan. Bilah digunakan dengan memakai kedua belah
tangan. Satu tangan menahan pangkal bilah yang sebelah atas, dan sebelah lagi menampar
pertengahan bilah. Ujung bilah yang menghadap ke tanah menyentuh tempurung ligu,
mencuat, dan mengarahkan tempurung ligu agar memangkah tempurung ligu lawan.
3.2.3. Ligu.
Pemain yang kalah memasang ligu di tanah secara tertancap berderet dengan milik teman
seregunya. Pemain yang menang melentingkan ligunya dengan bilah, supaya mengenai ligu
lawannya yang tertancap satu persatu.
Dari cara memainkan ligu ditemukan penggunaan konsep Sudut. Pemain melentingkan
ligunya dengan bilah sambil memperkirakan sudut yang harus dibentuk antara Bilah dan
Ligu sehingga Ligu yang akan dipukul dapat mengenai Ligu lawan bermain yang tertancap
di tanah.
Nilai karakter yang ditemukan dalam memainkan ligu adalah cerdas. Diperlukan pemikiran
yang cerdas untuk memperkirakan sudut pemukulan Ligu, ini merupakan bagian dalam
menyusun strategi permainan.
Pemikiran matematika yang digunakan dalam pemilihan tim adalah konsep Himpunan.
Sistem Pemilihan kawan seregu diambil berdasarkan kesamaan hasil pelambungan yang
diperoleh, Jadi dari proses itu akan ada dua regu yang terbentuk. Dalam hal ini “Himpunan
adalah Regu “ dan “ Anggota Himpunan adalah hasil pelambungannya.” Misalkan ada 8
orang anak laki-laki (Ari, Budi, Carli, Deni, Eko, Faris, Guntur dan Hari) yang akan bermain
Ligu, mereka akan dibagi menjadi dua regu dan ternyata dari 1 kali Pelambungan diperoleh
hasil Telungkup untuk Budi, Carli, Eko dan Hari sedangkan yang lainya memiliki Ligu
telentang maka:
Himpunan A ( Regu A ) = * +
Himpunan B ( Regu B ) = * +
Pemain akan menghitungnya dari hasil tiap kali pelambungan sampai jumlahnya sama-sama
4.
Nilai karakter adil diperlukan dalam penentuan regu bermain ini. Membagi jumlah pemain
sama banyak tiap regunya menggambarkan bentuk kesetaraan di dalam perbedaan yang ada,
berarti disini tidak ada yang mendominasi. Tidak ada yang merasa dicurangi, tidak ada
diskriminasi . Kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi rasa keadilan dengan
mendapatkan hak dan perlakuan yang sama.
3.3.2. Undian
Setelah anggota regu ditentukan, maka langkah berikutnya adalah menentukan regu yang
memulai permainan. Penentuan ini dilakukan dengan melakukan undian dengan
melambungkan satu Ligu dari masing-masing regu yang dilakukan oleh ketua regu. Regu
yang Ligunya telungkup dinyatakan kalah, dan yang telentang dinyatakan menang. Jika
terjadi persamaan, maka diulang beberapa kali sampai ada yang kalah, dan ada pula yang
menang.
Peluang adalah konsep matematika yang digunakan pada proses undian. Kemungkinan
kejadian tentang regu mana yang menjadi pemenang merupakan proses mencari peluang
dalam matematika. Jadi kemungkinan yang dapat terjadi bila dua tempurung dilempar
bersamaan dapat dilihat dari tabel berikut:
Tempurung Ketua A
Telentang Telungkup
Tempurung Telentang Telentang, Telungkup,
Ketua B telentang telentang
Telungkup Telentang, Telungkup,
telungkup telungkup
Tabel 1. Peluang dalam Undian permainan
Jadi, dari 2 buah tempurung yang dilambungkan, ada 4 kemungkinan yang terjadi :
P ( Telentang, Telentang ) :
Berarti tidak ada yang menang atau kalah, maka harus diulang lagi
859
Demokratis merupakan salah satu nilai karakter yang dapat dilatihkan melalui permainan ini.
Masing-masing regu menunjuk satu orang perwakilan untuk diundi dalam menentukan Regu
mana yang akan menahan (kalah) atau yang menaik (menang). menunjukkan bahwa
didalamnya terjadi kesepakatan dan permusyawarahan diantara anggota untuk memilih
seorang ketua atau pemimpin dimana semuanya memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat.
3.3.3. Menahan
Regu yang kalah dalam undian disebut regu menahan. Ligu masing-masing anggota regu
menahan ditancap segera berbanjar di arena dengan sejajar. Ligu disusun dengan jarak antara
satu dengan yang lainnya kira-kira selangkah.
Nilai karakter cermat sangat diperlukan pada tahapan permainan ini. Pemain yang menahan
(kalah), menyusun ligunya dengan jarak satu sama lain adalah “selangkah”. Hal ini
mengajarkan pemain agar bersikap teliti dan hati-hati supaya tidak melanggar dari aturan
yang telah dibuat. Nilai karakter lainnya adalah mandiri. Regu yang menahan menancapkan
masing-masing ligunya ke dalam arena, menggambarkan bahwa setiap pemain tidak
tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugasnya.
Regu yang menang dalam undian disebut penaik, atau pembawa. Regu membawa ini
menjalankan ligunya dengan lentingan bilah, supaya ligunya dapat mengenai ligu lawannya
yang sudah disusun berjejer di tanah dengan jarak selangkah. Jika Ligu penaik mengenai
ligu lawan tetapi ligu lawan tidak tumbang maka harus diulang. Jika pemukulan mengenai
860
salah satu dari ligu lawan maka pemukulan dianggap sah. Ketika memukul, pembawa harus
menyebutkan sebanyak Ligu si pemain. Contohnya, jika lawan 5 orang, sebutkan : “Cabang
buah lima”. Jika Ligu yang kena adalah yang ke-3, maka penaik harus meloncat 3 kali dari
garis permulaan memukul. Setiap Ligu jatuh, maka bilah diletakkan sebagai garis start yang
baru. Mulai lagi memukul dari garis langkah ke-3; dan berucap lagi seperti semula, dengan
menyebut sebanyak Ligu pemain: “Cabang buah kelima”.
Implikasi (Logika) merupakan konsep matematika yang digunakan pada tahap ini. Banyak
loncatan yang dilakukan pemain sesuai dengan cabang buah ligu yang dipukul merupakan
Proses penarikan kalimat implikasi pada logika. Contoh “Jika terkena buah ketiga maka
penaik meloncat 3 kali dari garis permulaan.” . Disamping implikasi, ketrampilan
menghitung juga dapat dilatihkan pada tahap ini. Pada saat Penaik meloncat, Penaik
meloncat sambil menghitung berapa banyak loncatan yang telah dilakukan. Contoh banyak
loncatan 3 dilakukan sambil menghitung 3 loncatan, satu, dua, tiga.
Nilai pertama adalah jujur. Pada saat meloncat, pemain meloncatkan kakinya sesuai dengan
cabang buah ligu yang berhasil dijatuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa pemain menjadikan
dirinya sebagai orang yang dapat dipercaya dalam melakukan suatu tindakan. Nilai kedua
adalah mandiri. Setiap pemain melakukan pemukulan dan loncatan menunjukkan bahwa
pemain tidak tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugasnya.
Penentuan pemenang dilakukan dengan melihat yang lebih dulu mencapai garis terakhir.
Bila penaik sudah sampai pada garis terakhir terlebih dahulu dari lawannya, dialah yang
menang.
Kepatuhan terhadap aturan-aturan sosial dapat dilatihkan pada tahap akhir permainan ini.
Setiap regu dapat menjadi regu yang membawa ataupun yang menahan sesuai dengan hasil
861
permainannya. Pemain yang kalah dihukum dengan cara memangkah (memukul) Ligunya
hingga pecah. Hal ini dilakukan sesuai kesepakatan sebelum permainan dimulai. Hal ini
menunjukkan bahwa setiap pemain harus taat terhadap aturan-aturan yang telah disepakati
bersama
Daftar Pustaka
PEMAHAMAN MAHASISWA
TENTANG PERSAMAAN DIFERENSIAL BIASA
Yunika Lestarianingsih1)
1)
Universitas PGRI Palembang,Palembang ;yunika1106@gmail.com
Kata Kunci. Persamaan Diferensial biasa orde satu, teori APOS, fungsi ekponen dan
logaritma
1 Pendahuluan
Persamaan diferensial seringkali muncul dalam model matematika yang mencoba
menggambarkan keadaan kehidupan nyata, seperti dalam perhitungan kecepatan dan
percepatan dan laju pertambahan populasi. Menurut Finizio & Ladas (1988:1) persamaan
diferensial adalah persamaan yang memuat satu (atau beberapa) fungsi yang takdiketahui.
Istilah persamaan diferensial diperkenalkan oleh Leibniz pada tahun 1676.
Sejalan dengan pendapat Finizio & Ladas (1988:1) tersebut Mallet (2008) juga
menambahkan bahwa persamaan diferensial memfokuskan pada teknik algoritma untuk
menentukan solusi dari beberapa tipe spesifik persamaan diferensial. Oleh karena itu,
persamaan diferensial banyak dijumpai dalam matematika terapan, dan menjadi mata kuliah
wajib pada perguruan tinggi MIPA dan teknik.
untuk merencanakan suatu pembelajaran persamaan diferensial yang baik, maka hal yang
paling esensial adalah dengan mengetahui konsepsi mahasiswa tentang elemen-elemen
matematika yang dapat membangun persamaan diferensial.
Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Valcarce & Diaz (2013)
terhadap mahasiswa yang mengambil mata kuliah persamaan diferensial dapat diperoleh
bahwa kemampuan pemahaman konsep mahasiswa tentang turunan suatu fungsi masih
lemah. Padahal konsep turunan fungsi merupakan elemen dasar dari persamaan diferensial.
Karena itu, untuk memahami konsep persamaan diferensial, mahasiswa diharapkan
mempunyai konstruksi skema yang jelas tentang konsep turunan suatu fungsi.
Konsep turunan suatu fungsi dapat dikonstruksi dengan menggunakan teori APOS. Menurut
Dubinsky & McDonald (2001) teori APOS dapat digunakan secara langsung oleh peneliti
untuk membandingkan keberhasilan dan kegagalan mahasiswa dalam kontruksi mental yang
telah terbentuk untuk mengetahui suatu konsep matematika. Hal ini dapat terjadi karena
menurut Asiala et. al (Helma & Yerizon, 2012) Teori APOS mengasumsikan bahwa
pengetahuan matematika yang dimiliki oleh seseorang merupakan hasil interaksi dengan
orang lain dan hasil konstruksi-konstruksi mental orang tersebut dalam memahami ide-ide
matematika.
Banyak kajian yang telah dilakukan oleh para peneliti untuk menganalisis pemahaman
konsep matematika berdasarkan teori APOS. Antara lain yaitu: Dubinsky, et al (1995) yang
mengeksplorasi pemahaman mahasiswa tentang konsep limit, Weber (2002) yang
menganalisis pemahaman konsep mahasiwa tentang fungsi eksponensial dan logaritma,
Stewart & Thomas (2009) yang menganalisis pemahaman konsep mahasiswa pada mata
kuliah aljabar linier, dan Tossavainen (2009) yang menganalisis tentang konsep persamaan
linier.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan kajian terhadap pemahaman
mahasiswa tentang persamaan diferensial biasa berdasarkan teori APOS. Topik persamaan
diferensial yang dibahas disini adalah konsep dasar dari persamaan diferensial biasa, yaitu
bagaimana membentuk suatu persamaan diferensial biasa dari persamaan primitif yang
diketahui dan menyelesaikan persamaan diferensial biasa orde satu dengan menggunakan
metode pemisahan peubah.
Kajian ini bertujuan untuk melihat bagaimana kemampuan pemahaman konsep mahasiswa
tentang persamaan diferensial berdasarkan teori APOS. Sehingga, berdasarkan hasil kajian
ini, diperoleh suatu langkah yang dapat diambil oleh dosen untuk meningkatkan proses
pembelajaran pada mata kuliah persamaan diferensial.
864
2 Tinjauan Pustaka
APOS adalah singkatan dari Action (Aksi) – Process (Proses) – Object (Objek) dan Schema
(Skema). Teori APOS dikemukakan oleh Ed Dubinsky pada tahun 1991 dalam tulisannya
yang berjudul “Reflective Abstraction in Advanced Mathematical Thinking.” Teori APOS
dikembangkan dari teori perkembangan intelektual Piaget, yaitu kemampuan untuk berpikir
abstrak. Dubinsky & McDonald (1991) menyebutkan bahwa menurut ia dan koleganya
berpikir abstrak adalah suatu konstruksi mental tentang objek dan aksi mental terhadap objek
tersebut.
Dubinsky & McDonald (2001) berpendapat bahwa pemahaman terhadap suatu konsep
matematika merupakan hasil konstruksi atau rekonstruksi terhadap objek-objek matematika.
Konstruksi atau rekonstruksi tersebut dilakukan melalui aktivitas berupa aksi-aksi
matematika, proses-proses, objek-objek yang diorganisasikan dalam suatu skema untuk
memecahkan suatu permasalahan.
Kajian pemahaman konsep dasar persamaan diferensial sebagai aksi dan proses, dapat dilihat
dari definisi APOS yang dikemukakan Asiala et. al (Helma & Yerizon, 2012), yaitu sebagai
berikut :
Aksi adalah suatu transformasi yang diterima oleh individu sebagai hal yang eksternal.
Transformasi dilakukan dengan bereaksi terhadap petunjuk-petunjuk eksternal yang
memberikan rincian yang tepat mengenai langkah-langkah apa saja yang harus diambil.
Misalkan diajukan suatu persoalan “Tentukanlah persamaan diferensial dari primitif:
(1)
Aksi mahasiswa terhadap soal tersebut adalah dengan mencoba menurunkan persamaan
tersebut. Mahasiswa yang aksi pemahaman tentang konsep dasar turunannya rendah hanya
bisa menyelesaikan turunan dari suatu fungsi. Mahasiswa seperti ini, akan tidak bisa berbuat
banyak ketika dihadapkan pada turunan dari perkalian dua fungsi.
Ketika suatu aksi dilakukan secara berulang dan dilakukan refleksi atas aksi itu, maka aksi
tersebut diinteriosasikan menjadi proses, yaitu konstruksi internal dibuat dengan melakukan
aksi yang sama, tetapi sekarang tidak diarahkan oleh stimulus dari luar. Individu yang sudah
mengkonstruksi konsep proses dapat menguraikan atau bahkan membalikkan langkah-
langkah dari transformasi tanpa benar-benar melakukannya. Berbeda dengan aksi, proses
dirasakan oleh individu sebagai hal yang internal dan di bawah kontrol individu tersebut.
Misalkan, pada persamaan (1). Dalam menginteriosasikan penentuan persamaan diferensial
865
tersebut, siswa tidak melakukan aksi, tetapi melakukannya dalam imajinasi dan dapat
menjelaskan proses penentuan persamaan diferensial. Bahkan mereka juga bisa
membayangkan pembalikkan proses, yaitu untuk menentukan penyelesaian persamaan
diferensial, maka dapat digunakan pengintegralan.
Ketika individu berefleksi pada operasi yang diterapkan pada proses tertentu, dan benar-
benar dapat menngkonstruksi transformasi itu, maka proses telah dienkapsulisasikan menjadi
objek. Dalam hal ini, enkapsulisasi proses dari penentuan persamaan diferensial dari primitif
pada persamaan (1) diindikasikan ketika mahasiswa mampu menunjukkan bahwa persamaan
diferensial yang akan dibentuk merupakan persamaan diferensial dengan karakteristik
tertentu. Mahasiswa yang telah mengenkapsulisasikan persamaan diferensial sebagai objek,
dapat menjelaskan bahwa cara untuk menentukan persamaan diferensial adalah dengan
menurunkan persamaan primitif sebanyak jumlah konstanta sembarang yang ada, dan
menghilangkan konstanta sembarang dengan menggunakan turunan yang telah didapatkan.
Sekali dikonstruksi, objek dan proses dapat diinterkoneksi dengan berbagai cara. Proses dan
objek dihubungkan dengan fakta bahwa proses bertindak pada objek. Kumpulan dari aksi,
proses, objek lainnya yang terhubung secara padu dan diorganisasi secara terstruktur dalam
pikiran individu disebut skema. Skema dari seorang individu adalah keseluruhan
pengetahuan yang ia hubungkan secara sadar dan tidak sadar dengan konsep matematika
tertentu.
Selanjutnya dalam pikiran mahasiswa akan terbangun struktur pengetahuan tentang konsep
persamaan diferensial biasa yang merupakan jalinan antara aksi, proses dan objek konsep
persamaan diferensial. Sehingga dalam penyelesaian persamaan diferensial nantinya
diperlukan skema turunan dan skema integral.
Kemampuan pemahaman konsep merupakan kemampuan pertama yang harus tercapai dalam
tujuan pembelajaran matematika. Menurut Nizarwati (2009), dalam memahami konsep
matematika diperlukan kamampuan generalisasi serta abstraksi yang cukup tinggi. Hal inilah
yang mengakibatkan penguasaan mahasiswa terhadap konsep-konsep matematika masih
lemah.
Adapun indikator permahaman konsep yang dijelaskan oleh Depdiknas (Kesumawati, 2008)
antara lain yaitu : (1) menyatakan ulang sebuah konsep, (2) mengklasifikasi objek-objek
menurut sifat-sifat tertentu (sesuai dengan konsepnya), (3) memberikan contoh dan non-
contoh dari konsep, (4) menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis,
(5) mengembangkan syarat perlu atau syarat cukup suatu konsep, (6) menggunakan,
866
memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi tertentu, (7) mengaplikasikan konsep atau
algoritma pemecahan masalah.
3 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian adalah mahasiswa
semester 5B Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Universitas PGRI Palembang
Tahun Akademik 2013/2014 yang berjumlah 32 orang. Data diperoleh dengan mengadakan
tes dan wawancara kepada subjek penelitian.
(1)
(2)
Untuk soal no. 1 sebagian besar mahasiswa menjawab bahwa secara prosedur untuk
membentuk persamaan diferensial adalah dengan menurunkan persamaan primitifnya.
Sehingga mereka langsung menurunkan persamaan primitif tersebut. Akan tetapi hanya
beberapa mahasiswa yang dapat mengetahui bahwa persamaan primitif tersebut merupakan
hasil perkalian dari dua fungsi, yaitu MM, TW dan AH. Jadi untuk mendapatkan turunan
dari persamaan primitif tersebut mahasiswa harus menguasai pemahaman konsep turunan
dari perkalian dua fungsi. Berikut ini jawaban yang benar
diketahui persamaan primitif :
ditanya : bagaimanakah bentuk persamaan diferesial dari primitif tersebut.
penyelesaian : untuk membentuk suatu persamaan diferensial, persamaan primitif harus
diturunkan sebanyak jumlah konstanta sembarang yang ada. Karena pada persamaan primitif
hanya ada satu konstanta sembarang yaitu A, maka persamaan primitif tersebut diturunkan
sebanyak satu kali yaitu :
,
867
( )
( ( ) ( ))
( ) ( ) ( ) ( )
( )
sehingga didapatkan nilai A yaitu :
,
( ) ( )
jika nilai A disubstitusikan pada persamaan (1), maka diperoleh :
( )
( )
Dengan demikian diperoleh persamaan diferensial biasa orde satu yaitu :
( )
Karena banyak mahasiswa yang melakukan tahap prosedur dengan hanya menurunkan
persamaan primitif, tanpa memperhatikan bagaimana bentuk persamaan yang akan
diturunkan, maka pemahaman mahasiswa tentang persamaan diferensial berada pada tahap
aksi.
Indikator dari kemampuan pemahaman konsep pada permasalahan pertama ini yang tidak
dapat dikuasai dengan benar oleh sebagian besar mahasiswa ada tiga yaitu : (1) mahasiswa
kurang mampu dalam mengklarifikasikan objek menurut sifat-sifat tertentu sesuai dengan
konsep, (2) mahasiswa kurang mampu dalam menggunakan, memanfaatkan dan memilih
prosedur tertentu, dan (3) mahasiswa kurang mampu mengaplikasikan konsep/algoritma ke
pemecahan matematika.
Selanjutnya, untuk soal yang kedua, sebagian besar mahasiswa juga hanya mengetahui
prosedur dari langkah untuk menyelesaikan persamaan diferensial. Prosedurnya adalah
dengan mengintegralkan persamaan diferensial sehingga diperoleh suatu persamaan solusi.
Akan tetapi untuk memahami konsep penyelesaian persamaan diferensial lebih lanjut
mahasiswa seharusnya mengetahui terlebih dahulu bentuk umum dari persamaaan diferensial
dan mengetahui metode mana yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persamaan
tersebut. Karena itu banyak mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesaikan
persamaan pada soal kedua. Pemahaman mahasiswa yang hanya sampai pada tahap prosedur
ini, menunjukkan bahwa pemahaman mahasiswa tentang konsep persamaan diferensial
hanya berada pada tahap aksi.
Seperti yang dijelaskan pada soal pertama, kelemahan pemahaman konsep mahasiswa
tentang persamaan diferensial biasa ini terlihat dari beberapa indikator yang tidak bisa
dikuasai dengan benar oleh mahasiswa. Banyaknya mahasiswa yang tidak bisa menjawab
soal kedua ini, mengindikasikan bahwa konsep tentang metode pemisahan peubah yang
digunakan dalam menyelesaikan persamaan diferensial biasa orde satu tidak dapat difahami
dengan baik oleh mahasiswa. Hal ini juga terlihat dari respon mahasiswa yang tampak
bingung dalam menyelesaikan soal, dan dari sebagian besar jawaban yang diberikan banyak
yang tidak bisa memisahkan antara variabel x dan y.
Pada tahap ini, pemahaman mahasiswa sudah berada pada tahap proses. Mahasiswa yang
pemahamannya berada pada tahap ini hanya ada satu orang yaitu : MM. Pemahaman MM
bahkan sudah pada tahap objek, karena dia berhasil menuliskan dengan benar cara
menyelesaikan persamaan diferensial, yaitu dengan menggunakan metode pemisahan
peubah.
Selanjutnya, dua indikator terakhir dari kemampuan pemahaman konsep berhasil dikuasai
oleh MM. MM mampu untuk menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur tertentu
dengan jalan menyelesaikan soal dengan langkah-langkah yang tepat, dan MM juga mampu
mengaplikasikan konsep/algoritma ke pemecahan matematika. Oleh karena itu, MM berhasil
menjawab soal kedua dengan tepat, sehingga MM mampu memahami persamaan diferensial
sebagai skema, skema turunan dan integral juga telah dikuasai dengan baik oleh MM.
869
2. Kemampuan pemahaman konsep yang masih lemah ini, sebagian besar disebabkan
oleh pembelajaran persamaan diferensial yang hanya terpaku pada rumus dan prosedur
penyelesaian, bukan pada pemahaman konseptual.
Oleh karena itu, melihat dari hasil kajian yang didapatkan, penulis merasa perlu untuk
menyampaikan beberapa saran sebagai berikut :
2. Mahasiswa : dapat dijadikan bahan acuan bagi mahasiswa untuk merefleksi diri
tentang kemampuan pemahaman konsep mereka.
3. Peneliti lain : perlu diadakan penelitian lebih lanjut, agar pemahaman konsep
mahasiswa tentang persamaan diferensial tidak sebatas pada tahap aksi, tetapi bisa
sampai pada tahap proses, objek dan skema.
Daftar Pustaka
Czocher J.A., Tague, J., & Baker, G. 2013. Coherence from Calculus to Diferential Equations.
Tersedia :
http://pzacad.pitzer.edu/~dbachman/RUME_XVI_Linked_Schedule/rume16_submission_94.pdf.
Diakses tanggal : 12 Juni 2013.
Dubinsky E. 1991. Reflective Abstraction in Advanced Mathematical Thinking. Tersedia :
http://www.math.kent.edu/~edd/RAMT.pdf. Diakses tanggal : 20 Mei 2013.
Dubinsky E., et al. 1995. Understanding the Limit Concept: Beginning with a Coordinated Process
Schema. Tersedia : http://homepages.ohiodominican.edu/~cottrilj/concept-limit.pdf.
Dubinsky E., & McDonald, M.A. 2001. APOS: A Constructivist Theory of Learning in
Undergraduate Mathematics Education Research. Tersedia :
http://www.math.kent.edu/~edd/ICMIPaper.pdf. Diakses tanggal : 20 Mei 2013.
Finizio N., & Ladas G. 1988. Persamaan Diferensial Biasa dengan Penerapan Modern. Jakarta :
Erlangga. (terjemahan oleh Widiarti Sontoso).
Helma & Yerizon. 2012. Peningkatan Pemahaman dan Penalaran Matematis Mahasiswa Calon Guru
dengan Konstruksi Mental APOS. Tersedia :
http://pustaka.unp.ac.id/abstrak/helma_2012.pdf.
Kesumawati N. 2008. Pemahaman Konsep Matematik dalam Pembelajaran Matematika. Tersedia :
http://eprints.uny.ac.id/6928/1/P-18%20Pendidikan(Nila%20K).pdf. Diakses tanggal : 8 Juni
2013.
870
Little C., & McLeman, C. 2002. Improved Computer Software For The Teaching of Ordinary
Differential Equations : the odetoolkit in the classroom setting. Tersedia
http://www.math.uoc.gr/~ictm2/Proceedings/pap255.pdf. Diakses tanggal : 2 Juni 2013.
Mallet D. 2008. Constructive Development of The Solutions of Linear Equations in Introductory
Ordinary Differential Equation. Tersedia :
http://www.academia.edu/205279/Constructive_development_of_the_solutions_of_linear_equati
ons_in_introductory_ordinary_differential_equation. Diakses tanggal : 11 Juni 2013.
Nizarwati. 2009. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berorientasi Konstruktivisme untuk
Mengajarkan Konsep Perbandingan Trigonometri Siswa Kelas X SMA. Tersedia :
http://eprints.unsri.ac.id/823/1/5_Nizarwati_57-72.pdf . Diakses tanggal : 14 Juni 2013.
Stewart S., & Thomas, M. 2009. Linear Algebra Snapshots through APOS and Embodied, Symbolic
and Formal Words of Mathematical Thinking. Tersedia :
http://www.merga.net.au/documents/Stewart_RP09.pdf
Tossavainen T. 2009. Who Can Solve 2x=1? – An Analysis of Cognitive Load Related to Learning
Linear Equation Solving. Tersedia :
http://www.math.umt.edu/tmme/vol6no3/Tossavainen_article9_vol6no3_pp435_448.pdf
Diakses tanggal : 2 Juni 2013.
Valcare M.C., & Diaz, J.P. 2013. Initial Diagnostic Assessment to Support Learning. Tersedia :
http://cerme8.metu.edu.tr/wgpapers/WG14/WG14_Codes_Valcarce.pdf. Diakses tanggal : 10
Juni 2013.
Weber K. 2002. Students’ Understanding of Exponential and Logarithmic Functions. Tersedia :
http://www.math.uoc.gr/~ictm2/Proceedings/pap145.pdf . Diakses tanggal : 11 Juni 2013.
871
1 Pendahuluan
Paradigma pembelajaran modern pada era sekarang adalah pembelajaran yang berpusat pada
siswa. Paradigma pembelajaran ini menjadikan siswa sebagai pusat dan subyek proses
pembelajaran. Hal ini bertolak belakang dengan paradigma pembelajaran tradisional yang
menjadikan guru sebagai pusat proses pembelajaran dan siswa sebagai objek pembelajaran.
Dengan paradigma modern ini perlu adanya inovasi pada proses pembelajaran. Sehingga
proses pembelajaran dapat berjalan dinamis. Pembelajaran inovatif di SD merupakan solusi
untuk mengatasi kesalahan pemahaman konsep dan menciptakan proses pembelajaran yang
lebih bermakna. Demikian pula melalui pembelajaran inovatif di SD ini dapat menjadikan
proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan menyenangkan. Sehingga potensi yang
dimiliki siswa dapat berkembang optimal. Salah satu upaya melaksanakan inovasi
872
Alat peraga permainan Balap katak dalam makalah ini digunakan pada pembelajaran operasi
bilangan bulat. Melalui pembelajaran ini pemahaman konsep penjumlahan dan pengurangan
bilangan bulat dapat ditemukan sendiri pada saat siswa melakukan permainan. Sehingga
dengan pembelajaran ini siswa juga dapat menerapkan konsep penjumlahan dan
pengurangan bilangan bulat secara nyata. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar pendidikan
matematika realistik (PMR) yang dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal
yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan
harus dikaitkan dengan realitas.
2 Pembahasan
Mata pelajaran matematika di sekolah dasar bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut :
Memperhatikan tujuan mata pelajaran matematika di atas maka penggunaan alat peraga yang
berupa permainan sangatlah diperlukan. Penggunaan alat peraga yang berupa permainan
873
Pada kurikulum matematika di SD dibagi atas tiga konsep yaitu penanaman konsep,
pemahaman konsep dan pembinaan keterampilan. Dengan penggunaan alat peraga
permainan Balap Katak siswa diharapkan dapat menguasai tiga konsep sekaligus, yakni pada
saat membuat lapangan balapan yang berupa urutan bilangan bulat mengenal dan
memahami konsep bilangan bulat, dan saat melakukan permainan Balap Katak siswa mulai
berlatih keterampilan penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat.
100 98 98 97 96 95 94 93 92 91 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
90 89 88 87 86 85 84 83 82 81 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90
80 79 78 77 76 75 74 73 72 71 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80
70 69 68 67 66 65 64 63 62 61 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
60 59 58 57 56 56 54 53 52 51 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
50 49 48 47 46 45 44 43 42 41 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
40 39 38 37 36 35 34 33 32 31 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
30 29 28 27 26 25 24 23 22 21 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
20 19 18 17 16 15 14 13 12 11 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sedangkan pada kartu tanda bilangan dan kartu tanda operasi masing-masing dibuat
sebanyak 20 buah. Ukuran kartu tanda bilangan dan kartu tanda operasi sama dengan
ukurang kartu bilangan. Contoh kartu tanda bilangan dan karti tanda operasi tampak pada
gambar 3 di bawah ini.
Penyajian program pembelajaran operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat ini
menggunakan waktu 2 kali pertemuan. Pertemuan pertama 3 × 40 menit (120 menit).
Pertemuan kedua 2 x 40 menit (80 menit). Adapun penyajian proses pembelajarannya
sebagai berikut.
1. Kegiatan Awal
Kegiatan awal dilakukan dengan alokasi waktu 40 menit, kegiatan ini meliputi
1. Posisi katak pada angka 6, siswa mendapatkan kartu operasi + dan kartu tanda (-) serta
kartu bilangan 3. Maka katak balik kanan sekali kemudian melompat 3 langkah, ternyata
876
berada di angka 3. Maka siswa menuliskan bentuk operasi dalam lembar kerja 6 + (-3) =
3. Selanjutnya contoh tersebut tampak pada gambar 5.
1 Gambar 2.
Persentase +
komentar dari
masing-masing
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Dengan menggunakan alat peraga Balap Katak yang yang dikemas dalam bentuk
permainan siswa merasa senang sehingga, secara tidak terasa medapatkan stimulus
untuk melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat secara
berulang-ulang. Dengan praktik secara berulang-ulang, maka pemahaman konsep
akan mudah dikusasai.
3. Kegiatan Akhir
3 Penutup
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil kegiatan pembelajaran operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan
bulat dengan permainan Balap Katak dapat disimpulkan bahwa:
1. Dengan menggunakan alat peraga Balap Katak siswa dapat menguasai tiga konsep
sekaligus. Penanaman konsep, pemahaman konsep dan pembinaan keterampilan.
2. Pada saat siswa mengamati lapangan Balap Katak siswa melakukan penanaman konsep
dan pemahaman konp bilangan bulat. Sementara itu pada saat menjalankan katak siswa
berlatih keterampilan melakukan penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat
3. Dengan menggunakan alat peraga permainan Balap Katak maka proses pembelajaran
menjadi lebih bermakna. Hal ini dikarenakan siswa merasa bahwa kegiatan proses
pembelajaran sesuai dengan kebutuhannya.
4. Proses pembelajaran dengan alat peraga permainan Balap Katak menjadikan motivasi
siswa untuk belajar menjadi tinggi. Hal ini dikarenakan siswa belajar dalam kondisi
senang.
5. Melalui permainan Balap Katak ini pemahamandapat menjembatani siswa dari yang
abstrak menjadi konkrit.
3.2 Saran
878
Daftar Pustaka
Heruman. 2007. Model Pembelajaran Matematika Di Sekolah Dasar. PT Remaja Rosda Karya.
Bandung
Rahmat, Cece. 2002. Evaluasi Pengajaran. CV Maulana. Bandung
Rumani,S. 1989. Permainan Anak-Anak Dari Jawa. Intan Pariwara. Surakarta
Suproyono, Agus. 2009. Cooperative Learning Teori Dan Aplikasi Paikem. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta
Sumantri, Mulyani.2001. Strategi Belajar Mengajar. CV Maulana; Bandung
Suyitno, Amin. 2000. Pembelajaran Matematika Di SD. UNNES. Semarang
__________, 2006. Pedoman Penilaian Hasil Belajar Sekolah Dasar. Depdiknas.Jakarta
__________, 2006. Pedoman Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Dasar.
Depdiknas.Jakarta
879
1. Pendahuluan
Dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah, Samani (2011) menyatakan bahwa dalam dunia
pendidikan banyak dijumpai berbagai kasus perilaku negative, misalnya bertindak curang
baik berupa tindakan mencontek, mencontoh pekerjaan orang lain, pencurian dan kebocoran
soal-soal UN, plagiat, pemalsuan tandatangan kehadiran, dan lain-lain.Proses pedagogik
dalam pembentukan watak ini menekankan pada pengkoreksian perilaku negatif yang
kemudian diarahkan pada pola pikir anak untuk menuju pada perilaku yang lebih baik atau
perilaku positif melalui berbagai kegiatan dan fasilitas yang ditumbuhkan dari pola pikirnya
sendiri, di sekolah dan lingkunganya. Apapun yang dilakukan siswa, tidak akan terlepas dari
proses kognisinya sehingga hasil kognisinya menghasilkan sikap atau perilaku baik positif
ataupun perilaku negatif . Salah satu cara untuk melakukan kontrol dan monitoring proses
berpikir siswa adalah melaksanakan self regulation sebagai keterampilan metakognisinya.
880
Hasil penelitian juga dinyatakan oleh White & Fredericson (2005) yang menyatakan bahwa
skill self regulation metakognisi diperlukan dalam kegiatan belajar. Sedangkan menurut De
Soete, Roeyers dan Clercq (2003) regulasi metakognisi dapat dilatihkan. Pengembangan
pendidikan karakterdisekolah adalah mengarahkan dan mendorong perilaku negatif kearah
perilaku positif. Secara sederhana dapat digambarkan pada ilustrasi berikut
Oleh karena itu tujuan penulisan ini adalah memberikan idea atau gagasan bagaimana self
regulation dalam metakognisi siswa dapat membantu mengembangkan sikap dan perilaku
yang lebih baik dan menjadi habituasi pada pembelajaran khususnya yang terkait dengan
aktivitas tugas-tugas atau pemecahan masalah matematika. Uraian selanjutnya penulis lebih
cenderung membatasi peranan self regulation dalam metakognisi siswa melalui aktivitas
dan tugas-tugas penyelesaian masalah dalam pembelajaran matematika untuk membantu
pembentukan watak yang dapat dibentuk dan difasilitasi dari pengalaman belajar serta
menguraikan prosesnya untuk melakukan koreksi pola pikir negatif kearah penguatan
pola pikir positif , meskipun secara holistik perubahan yang diharapkan tidak terlepas dari
aspek-aspek lainnya.
Proses metakognisi mencakup dua komponen, yaitu pengetahuan dan kesadaran siswa
dalam melakukan kontrol diri, dan kontrol proses berpikirnya atau aktivitas kognisi
(Flavell, J.H: 1976). Pusat dari pengetahuan dan kontrol-diri adalah komitmen, sikap, dan
perhatian. Sedangkan elemen dari pengetahuan dalam melakukan kontrol diri dan kontrol
proses berpikirnya adalah pengetahuan dan kesadaran pentingnya melakukan kontrol
pelaksanaan aktivitas berpikir siswa yang terlihat dari perilakunya. Dalam pembelajaran
matematika sekolah, siswa mendapat pengalaman belajar yang selalu terkait dengan tugas-
881
tugas matematika dan penyelesaian masalah matematika. Sehingga pengalaman belajar ini
dapat digunakan sebagai penunjang untuk melakukan aktivitas metakognisi.
2. Pengertian Metakognisi
Pengertian metakognisi untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh John Flavell dari
Universitas Stanford pada sekitar tahun 1975. Ia menggunakan istilah metakognisi untuk
menyatakan pengertian dari pernyataan berikut. “One’s knowledge concerning one’s
cognitive processes and product or anything related to them (…) [and] refers , among other
things, to the active monitoring and consequent regulation and orchestration of these
processes (…), usually in the service of some concrete goal or objective” (Flavell, 1976:
.232).
Pengertian dari pernyataan Flavell ini adalah, bahwa metakognisi merupakan pengetahuan
siswa tentang proses kognisi, produk atau apapun yang berhubungan dengan proses
berpikirnya, antara lain untuk pemantauan aktif dan konsekuensi regulasi dan
menyatukannya dalam proses kognisi untuk mencapai tujuan kognisi. Definisi ini
menekankan peranan fungsi eksekutif dari metakognisi dalam mengawasi dan memantau
ketercapaian proses kognisi. Proses eksekutif merupakan pertanggungjawaban dari proses
langsung implementasi dan monitoring untuk mencapai tujuan dari informasi dan aksi yang
dipilih selama melakukan tugas spesifik proses kognitif.
Menurut Wellman (1985) metakognisi adalah suatu bentuk kognisi, yaitu suatu proses
berpikir yang tertinggi yang melibatkan kontrol secara aktif dalam kegiatan kognisi. Secara
singkat metakognisi dapat didefinisikan sebagai berpikir tentang berpikir atau “ person’s
cognition about cognition”. Solso (2008), secara umum menyatakan bahwa metakognisi
merupakan bagian dari kemampuan monitor diri terhadap pengetahuan pribadi (self –
knowledge- monitoring). Selanjutnya Solso menjelaskan bahwa metakognisi memiliki
dampak pada pengawasan dan pengendalian proses-proses pengambilan informasi dan
proses-proses inferensi yang berlangsung dalam system memori. Sedangkan monitoring
mengacu pada cara kita mengevaluasi apa yang telah kita ketahui atau yang tidak kita
ketahui.
Self regulation merupakan bentuk aktivitas kognisi yang dapat digunakan untuk
pengambilan keputusan dalam suatu proses kegiatan, dan merupakan refleksi untuk
perbaikan kegiatan atau pada saat proses belajar maupun pada saat menyelesaikan masalah.
Self regulasi memfokuskan kemampuannya sendiri untuk melakukan kontrol dan monitor
proses belajar tanpa adanya stimulus ekternal dan menjaga semua tindakan yang dilakukan
agar tidak menyimpang dari tujuan.
Brown (1987) membagi metakognisi dalam dua komponen. Komponen pertama berkaitan
dengan pengetahuan tentang kognisi (knowledge of cognition), yang melibatkan refleksi dari
aktivitas dan kemampuan kognisi, yang meliputi kesadaran siswa terhadap kemampuan
kognisinya pada waktu melakukan aktivitas tertentu. Komponen yang kedua berkaitan
dengan pengaturan diri sendiri (self regulation), yang digunakan selama akivitas, proses
belajar, mengerjakan tugas atau proses pemecahan masalah. Pengetahuan tentang kognisi
adalah sekumpulan informasi yang digunakan siswa pada waktu berpikir, hal ini terjadi
pada waktu melakukan refleksi proses kognisinya. Sedangkan pengaturan kognisi terdiri dari
aktivitas yang digunakan siswa untuk mengatur dan mengawasi (keep track) kegiatan yang
dilakukan . Proses ini termasuk perencanaan (planning), dalam hal ini memilih strategi,atau
trial and eror; monitoring, yang termasuk merevisi langkah,atau memilih strategi lain,dan
evaluasi,yang termasuk mengecek atau merefleksi dalam penyelesaian.
Aktivitas metakognisi siswa adalah sesuatu yang unik. Sukar untuk mengasses aktivitas
tersebut dengan menggunakan pensil dan kertas (Pintrich, Wolter and Baxter in press).
Karena tujuan dari aktivitas metakognisi ini berbeda dengan perspektif yang dapat dilihat
dari jawaban yang konkret. Oleh karena itu aktivitas metakognisi akan lebih baik di
assessment dalam konteks aktivitas kelas dan diskusi melalui berbagai strategi. (Lorin D
Anderrson, David R Krathwohl,Peter W Airasian, …et al, 2001. P. 50- 65).
Hal ini dapat dirancang antara lain dengan mengajak siswa untuk belajar tentang berpikirnya,
dan menghubungkannya dengan tiga aspek dari pengetahuan metakognisi ( pengetahuan
faktual, pengetahuan konseptual dan pengetahuan prosedural) pada setiap tahap pemecahan
masalah. Siswa dapat diminta untuk menentukan strategi yang dapat digunakan untuk
883
Aktivitas self regulation pada waktu siswa menyelesaikan masalah dapat dikembangkan
sesuai dengan tahapan yang harus dilalui siswa dalam melakukan pemecahan masalah. Oleh
karena wujud dari self regulation sebagai salah satu aktivitas metakognisi adalah munculnya
kesadaran tentang apa yang diketahui siswa (pengetahuan metakognisi), apa yang dilakukan
siswa (keterampilan metakognisi ) dan bagaimana mengkontrol keadaan kognisinya, maka
aktivitas tersebut dapat dilakukan dengan melatih atau melakukan pembiasaan tentang apa
yang diketahui, apa yang dilakukan dan bagaimana melakukan kontrol setiap aktivitas
tersebut.
Apa yang diketahui siswa , akan terkait dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya, yaitu
pengetahuan faktual, konseptual dan prosedural. Sedangkan apa yang dilakukan siswa akan
terkait dengan kesadaran siswa dalam memilih langkah atau strategi yang digunakannya
untuk memecahkan masalah, dan dalam melakssanakan strategi tersebut siswa harus
melakukan kontrol proses kognisinya agar tidak menyimpang dari tujuan . Skema berikut
memrepresentasikan self regulation dan komponen pengetahuan metakognisi yang terkait
dengan tahapan kegiatan (pemecahan masalah).
berpikir secara hirarkhis. Taccasu Project adalah singkatan dari The Teaching and
Accreditation of Core Competencies at School and University Project. Dalam menjalankan
program-programnya, proyek ini dibiayai oleh komite yang menjalin kerjasama antara
sekolah dan universitas oleh Team Project Taccassu yang dipimpin oleh MS. Louisa Li
sebagai Direktur Proyek yang berkedudukan di Universitas Hongkong.
(1) Karakter yang bersumber dari olah hati, antara lain beriman dan bertakwa, bersyukur,
jujur, amanah, adil, tertib, sabar, disiplin, taat aturan, bertanggungjawab, berempati,
punya rasa iba, berani mengambil risiko, pantang menyerah, menghargai lingkungan,
rela berkorban dan berjiwa patriotic.
(2) Karakter yang bersumber dari olah pikir, antara lain cerdas, kritis, kreatif, inovatif,
analitis, ingin tahu, intelektual, produktif, berorientasi iptek dan reflektif.
(3) Karakter yang bersumber dari olahraga kinestetika, antara lain bersih dan sehat, sportif,
tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinative, kompetitif, ceria,
dan gigih.
(4) Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain kemanusiaan, saling
menghargai, saling menghargai, mengasihi, gotong royong, kebersamaan, ramah,
perduli, hormt, toleran, nasionalis, mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air,
bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras dan beretos
kerja.
Nilai-nilai yang harus diajarkan di sekolah menurut Lickona (1992),mengacu pada 2 (dua)
prinsip.
menghadapi masa depan. Trilling dan Fadel (2009) menyatakan bahwa salah satu dari
keterampilan dimasa depan adalah kecakapan berpikir yang meliputi berpikir kritis dan
pemecahan masalah, komunikasi dan kolaborasi, serta kereativitas dan inovasi.
Robert Gagne menyatakan bahwa objek belajar matematika terdiri dari objek belajar
langsung dan objek belajar tidak langsung. Objek belajar langung terdiri dari Fakta, Konsep,
Prinsip dan Keterampilan. Sedangkan objek belajar tidak langsung terdiri dari berpikir logis,
kemampuan memecahkan masalah, sikap positif terhadap matematika, ketekunan , ketelitian
dan lain-lain. Objek belajar tidak langsung diharapkan diberikan dalam pembelajaran secara
tidak langsung tetapi bersama dengan objek belajar langsung. Secara sederhana , dapat
dimaknai bahwa objek belajar tidak langsung adalah objek belajar yang berkaitan dengan
karakter dan nilai-nilai perilaku siswa selama belajar matematika.
Dari uraian di atas, penulis menyimpulkan, bahwa perubahan perilaku negatif menjadi positif
dalam berbagai kegiatan sehari-hari, sangat dipengaruhi oleh kesadaran siswa dalam
melakukan self regulation selama pelaksanaan komponen metakognisi (merencanakan,
melaksanakan dan mengevaluasi). Pembiasaan self regulation yang dilakukan saat siswa
melakukan pemecahan masalah matematikadapat menjadi alat bantu untuk mengintervensi
nilai-nilai karakter yang diharapkan pada pendidikan karakter dalam matematika sekolah.
5.2 Saran
Untuk keberhasilan implementasi self regulation metakognisi ini maka disarankan kepada
guru matematika khsususnya dan guru matapelajaran lain pada umumnya untuk
887
Daftar Pustaka
Anderson,O.W. & Krathwohl, D.R. 2001. A Taxonomy for Learning Teaching, and Assessing (A
Revision of Blooms Taxonomy of Educational Objectives), Addision Wesley, Longman, New
York.
Blakey, E. & Spence, S. 1990. Developing Metacognition, Clearinghouse on Information Resources
Syracusa, New York.
Dawson, Th & Fucher, K 2008, Metacognition and Learning Adulthood, Contemporary Education
Psychology, 11, 233-236.
Desoete, A. 2001. Off-line Metacognition in Children with Mathematics Learning Disabilities,
Disertation, Universiteit Gent.
De Soete, A. Roeyers. A& Clercq, A.D (2003) . Can off line Metacognition Enhance Mathematical
Problem Solving. Journal of Educational Psichology. 95, 188-200.
Flavell, J.H. 1976. Metacognition and Cognitive Monitoring, A New Area of Cognitive
Developmental Inquiry, American Psychologist, 34, pp.906-911.
Gama, C. 2004. Integrating Metacognition Instruction in Interactive Learning Environment,
University of Sussex, http://www. Integrating Metacognition, diakses 15 September, 2006.
Heru Astikasari Setyo Murti , Metacognition and dan Theory of Mind (TOM) Jurnal Psikologi
Pitutur Vol I no.2 Juni 2011
Hunter,M (2004), Enhanching Teaching, MacMillan College Publication, Co, New York.
Kesuma , dkk. 2011. Pendidikan Karakter . Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. PT. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Kayashima. M. & Inaba Akiko.2007. “The Model of Metakognitive Skill and How To Facilitte
Development of The Skill”. Proceeding Vol 9 Conference of Artificiale Intelegence in
Education at Sidney. Faculty of Arts and Education. Tamagawa University. Japan: p (3-4).
Kelly, R.T. 2006. Teaching Problem Solving, Journal of Research in Mathematics Education, NCTM
,Reston,VA.
Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character, New York: Bantam Book.
Miller, M. (2005). Teaching and Learning in Affectif Domain. In M.Orey (Ed), Emerging
Perspectives on Learning, Teaching dan Technology. Retrieved <insert date>, from
http://projects.coe.uga.edu/epltt
Polya,G. (1973). How To Solve it, Second Edition, Princeton University Press, Princeton, New
Jersey.p.6-25
Ormrod, E,J,. 2008. Edisi ke-6. Psikologi Pendidikan.Membantu Siswa Tumbuh dan Berkembang
jilid 1. University of Northern Colorado (Emirita) University of New Hampshire. Jakarta:
Erlangga . p.284-369
Schraw, Gregory dan Brooks, David W. (2008) “Helping Students Self-Regulate in Chemistry
Courses: Improving the Will and the Skill” Tersedia pada:
http://www.dwb.unl.edu/dwb/default.html. Diakses pada 26 Juli 2008.
Taccasu Project. (2008) “Metacognition” Tersedia pada:
http://www.hku.hk/cepc/taccasu/ref/metacognition.html Diakses pada 10 September 2008.