Anda di halaman 1dari 18

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Aromaterapi

1. Pengertian

Aromaterapi merupakan suatu metode menggunakan minyak atsiri untuk

meningkatkan kesehatan fisik dan juga mempengaruhi kesehatan emosi

seseorang. Minyak atsiri merupakan minyak alami yang diambil dari

tanaman aromatik. Minyak jenis ini dapat digunakan sebagai minyak pijat

(massage), inhalasi, produk untuk mandi, dan parfum. Minyak atsiri adalah

bahan berbau yang dihasilkan oleh bahan alam. Dalam bidang pengobatan,

aromaterapi digolongkan dalam terapi komplementer, yaitu terapi yang

dilakukan untuk melengkapi terapi konvensional (Koensoemardiyah, 2009).

2. Sejarah Aromaterapi

Manfaat terapeutik dari tanaman dan minyak esensialnya sudah digunakan

selama ribuan tahun oleh masyarakat kuno asli Amerika, Indian, Mesir dan

Cina. Setiap budaya mereka menggunakan minyak esensial sebagai agen

penyembuhan, obat, dan penghilang bau busuk. Selama ribuan tahun,

pengobatan tradisional Cina sudah menggunakan herbal dan minyak dari

tanaman dalam praktik Ayurveda (pengobatan tradisional Hindu). Dalam

mencegah pembusukan daging (mummifikasi) dilakukan dengan bantuan

beberapa minyak esensial, seperti dupa, kemenyan, kayu manis, cedar, dan

jintan saru. Selain itu, diketahui juga bahwa Cleopatra merayu Marcus

commit to user

7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

Antonius dengan bantuan parfum yang dibuatnya sendiri dari minyak

esensial (Tiran, 1996 dalam Tiainen, 2014).

Pengetahuan tentang aromaterapi diadopsi oleh masyarakat Jerman

segera setelah Latin (Roma). Sekitar tahun 100 Masehi, seorang dokter

Persia bernama Ibn Sina, yang juga dikenal dengan nama Avicenna,

menemukan sebuah cara menyuling minyak esensial dan ia menulis

beberapa buku tentang proses penyulingan tersebut. Alkitab Kristen juga

menyebutkan praktik aromaterapi dimana minyak esensial juga digunakan

oleh Mary Magdalen untuk mengolesi kaki Jesus dengan salep yang

beraroma. Selama pertengahan abad, herbal dan minyak esensial sering

digunakan (Tiainen, 2014).

Meskipun demikian, penggunaan aromaterapi yang sebenarnya untuk

pertama kali adalah pada awal abad 20 oleh dokter medis dan ahli kimia

Perancis yang bernama Rene-Maurice Gattefosse (1881-1950 Masehi). Pada

1936, ada sebuah ledakan di laboratoriumnya dan tidak sengaja tangannya

terbakar. Dengan gugup, ia mencari sesuatu yang ada di dekatnya untuk

menolong tangannya yang terbakar. Kebetulan yang ada di dekatnya adalah

sebuah botol berisi cairan. Tanpa pikir panjang cairan tersebut dituang ke

tangan yang terluka dan yang terjadi adalah luka tersebut cepat sembuh,

bahkan tanpa meninggalkan bekas. Ternyata cairan tersebut adalah minyak

lavender. Ia pun sangat terkesan dengan kemampuan positif penyembuhan

luka minyak levender sebagai antibakteri dan analgesik hingga meneliti

tentang khasiat minyak atsiri. Pada 1937, ia menerbitkan buku yang berisi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

penelitiannya tentang efek antimikroba dari minyak atsiri dan untuk pertama

kalinya ia menggunakan istilah aromaterapi (Tiainen, 2014;

Koensoemardiyah, 2009).

3. Fisiologi Aromaterapi

Rute olfaktorius dianggap lebih efektif karena komponen yang terkandung

dalam minyak disalurkan langsung ke sistem limbik melalui bulbus

olfaktorius. Jaringan olfaktorius berada di bagian saraf belakang dari rongga

hidung. Jaringan tersebut berwarna kekuning-kuningan dan lebih tipis dari

jaringan-jaringan sekitarnya. Zat kimia (bau) terlebih dahulu masuk ke silia

kemudian melalui mukus/lendir yang berisi protein khusus yang mampu

mengikat bau.

Menurut Trojan dan Langmeier (2004) dalam Tiainen (2014), mekanisme

penerimaan aroma adalah sebagai berikut:

Aroma masuk ke Pembentukan potensial aksi


epitelium

Bulbus olfaktorius Sel akson olfaktorius

Pembentukan retikulum
Hipotalamus
di amigdala

Korteks olfaktorius

Aroma tercium

Gambar 2.1. Fisiologi Penerimaan Aroma


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

Setelah aroma masuk ke epitelium, aroma disalurkan dari sel akson

olfaktorius menuju bulbus olfaktorius sehingga membentuk retikulum di

dalam amigdala. Kemudian disalurkan langsung ke hipotalamus,

memunculkan pesan-pesan yang harus disampaikan ke bagian otak dan

bagian tubuh, termasuk korteks olfaktorius sehingga membuat bau tercium.

Perlu diketahui bahwa molekul aroma dapat juga masuk melalui

tenggorokan sehingga menuju ke dalam aliran darah. Studi telah

membuktikan bahwa jejas minyak esensial telah terdeteksi di dalam darah,

urin, keringat, dan jaringan tubuh setelah terapi. Hal ini juga mempengaruhi

aspek kesejahteraan emosi (Walker et al., 2013 dan Tiainen, 2014).

Aromaterapi yang digunakan melalui cara inhalasi atau dihirup akan

masuk ke sistem limbik dimana nantinya akan diproses sehingga bau

minyak esensial dapat tercium. Sistem limbik merupakan satu set struktur

otak, termasuk hipocampus, amigdala, nukleus thalamic anterior, septum,

korteks limbik, dan forniks. Sistem limbik terletak di bagian tengah otak,

membungkus batang otak sehingga dibedakan dari pemetaan bagian otak

secara eksternal. Sistem limbik lebih bertanggung jawab pada berbagai

fungsi psikologis otak, termasuk emosi, perilaku, dan memori jangka

panjang (Ikatan Aromaterapi Indonesia (IKAI), 2012 dan Dewi IP, 2010).

Pada saat kita menghirup suatu aroma, komponen kimianya akan masuk

ke bulbus olfaktorius, kemudian ke sistem limbik pada otak. Limbik adalah

struktur bagian dalam dari otak yang berbentuk seperti cincin yang terletak

di bawah korteks serebral. Sistem limbik sebagai pusat nyeri, senang,


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

marah, takut, depresi, dan berbagai emosi lainnya. Sistem limbik menerima

semua informasi dari sistem pendengaran, sistem penglihatan, dan sistem

penciuman. Amigdala sebagai bagian dari sistem limbik bertanggung jawab

atas respon emosi terhadap aroma. Hipocampus bertanggung jawab sebagai

tempat dimana bahan kimia pada aromaterapi merangsang gudang-gudang

penyimpanan memori otak terhadap pengenalan bau (Buckle J dalam Dewi

IP, 2010). Menurut IKAI (2012), penerapan aromaterapi secara inhalasi

akan memperoleh dua efek penyembuhan sekaligus, yaitu penyembuhan

secara psikis melalui sistem limbik dan penyembuhan keluhan fisik melalui

endokrin dan sistem saraf.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

Alur reaksi aromaterapi secara inhalasi hingga ekskresi adalah sebagai

berikut:
Minyak esensial Inhalasi

Paru-paru Hidung

Jantung Aliran darah Otak

Hati, pankreas
Jaringan dan Pelepasan hormon dan
organ tubuh neurokimia
Organ reproduksi

Ekskresi Efek mental/


emosional

Kulit Ginjal Paru-paru

Kandung kemih

Gambar 2.2. Alur Reaksi Aromaterapi dalam Tubuh

Selain itu, menurut Koensoemardiyah (2009), apabila seseorang

menghirup uap, molekul-molekul uap itu akan dibawa oleh arus udara ke

silia-silia yang terdapat sel reseptor. Ketika molekul-molekul tersebut

menempel di silia, suatu pesan elektrokimia akan ditransmisikan melalui

saluran olfaktorius ke dalam sistem limbik. Hal ini akan merangsang

memori dan respon emosional. Hipotalamus berperan sebagai relay dan

regulator, memunculkan pesan-pesan yang harus disampaikan ke bagian lain

pada otak dan bagian tubuh. Kemudian, pesan yang diterima tersebut diubah

menjadi tindakan yang berupa pelepasan senyawa elektrokimia yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

menyebabkan euphoria, rileks, atau sedatif. Sistem limbik ini terutama

digunakan dalam ekspresi emosi.

4. Aromaterapi Selama Proses Persalinan

Penggunaan minyak esensial selama kehamilan dan persalinan adalah terapi

yang paling sering digunakan dalam asuhan maternitas, kemungkinan akibat

terapeutik yang tersembunyi dari minyak itu sendiri bersamaan dengan

aspek asuhan dari beberapa teknik yang digunakan dalam aromaterapi. Saat

persalinan, aromaterapi digunakan untuk meredakan stres, kecemasan, dan

nyeri. Kecemasan dan stres dapat meningkatkan persepsi wanita terhadap

nyeri atau bahkan memperpanjang proses persalinan hingga perlu

meningkatkan jumlah intervensi medis yang berbeda dan bersifat invasif.

Aromaterapi pada dasarnya ditawarkan oleh bidan, bukan dokter (Tillett &

Ames 2010 dalam Tiainen, 2014).

Minyak esensial yang dapat digunakan selama proses persalinan adalah

minyak dengan aroma rose/mawar, lavender, peppermint, lemon,

eucalyptus, bergamot, dan jasmine/melati. Minyak esensial dapat digunakan

melalui penguapan, hidroterapi, dan massage/pemijatan (KEMH, 2015).

Aromaterapi selama proses persalinan dapat dilakukan melalui beberapa

cara, yaitu:

a. Ingesti

Penggunaan minyak esensial dengan cara ingesti atau diminum dapat

dilakukan, namun haruslah diketahui betul sifat dan cara pemakaian dan

dosisnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

b. Topikal (Kulit)

Aromaterapi yang diberikan secara topikal dapat dilakukan dengan cara

massage atau pemijatan ke bagian tubuh (kepala, leher, punggung, perut,

kaki) atau seluruh tubuh, mandi/berendam, rendam kaki, dan kompres

dalam air panas atau dingin.

c. Inhalasi

Akses minyak atsiri melalui hidung (nasal passages) merupakan rute

yang jauh lebih cepat dibanding cara yang lain dalam mengatasi masalah

emosional, seperti stres dan depresi karena memiliki kontak langsung

dengan bagian-bagian otak yang bertugas merangsang terbentuknya efek

yang ditimbulkan oleh minyak atsiri. Pemberian aromaterapi secara

inhalasi atau melalui rute olfaktorius dapat dilakukan dengan berbagai

cara, di antaranya adalah dengan menghirup melalui botol semprot

(spray) atau botol roll on, menghirup melalui tisu, menghisap melalui

telapak tangan, dan penguapan (Koensoemardiyah, 2009 dan Walker et

al., 2013).

5. Aromaterapi Lavender

Contoh minyak esensial yang umum digunakan selama proses persalinan

salah satunya adalah lavender, yaitu untuk meringankan nyeri dan suasana

hati. Tanaman lavender memiliki nama latin Lavendula angustifolia. Istilah

lavender berasal dari kata lavandus, yang berarti membersihkan. Minyak ini

berbau manis, floral, sangat herbal, dan mempunyai tambahan bau seperti

balsam. Minyak lavender merupakan salah satu minyak yang paling aman
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

sekaligus memiliki daya antiseptik yang kuat, antivirus, dan antijamur

(Koensoemardiyah, 2009).

Minyak lavender memiliki kandungan antikecemasan, yaitu linalool

26,12%; borneol 1,21%; dan champene 0,06%. Selain itu, minyak lavender

juga berkhasiat sebagai antiseptik, hipotensif, antispasmodik, dan

merupakan minyak pertolongan pertama. Oleh sebab itu, lavender berguna

untuk meredakan nyeri kontraksi dan merupakan minyak yang sangat

membantu selama persalinan secara umum di seluruh dunia. Lavender tidak

boleh digunakan bersamaan dengan epidural karena lavender memiliki

kandungan hipotensif (Dewi IP, 2010 dan Walker et al., 2013).

6. Aromaterapi Jasmine

Minyak jasmine atau melati merupakan suatu tonik uteri yang telah

digunakan secara tradisional sebagai bantuan dalam persalinan. Melati

membantu memperkuat kontraksi, dan memiliki kandungan pereda nyeri

dan antispasmodik. Secara emosional, jasmine memiliki kualitas

memberikan energi dan memiliki beberapa kandungan antidepresan atau

antikecemasan yang cukup tinggi, di antaranya linalool 6,10% dan benzyl

acetate 15,78%. Linalool berfungsi untuk menurunkan kecemasan dan

relaksasi, sedangkan benzyl acetate merupakan zat yang berfungsi untuk

memberikan aroma harum pada bunga melati tersebut. Aromaterapi jasmine

tidak digunakan sebelum usia kehamilan cukup bulan (Koensoemardiyah,

2009 dan Dewi IP, 2010).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

B. Nyeri Persalinan

1. Pengertian

Nyeri merupakan pengalaman pribadi, subjektif, berbeda antara satu orang

dengan orang lain, dan dapat juga berbeda pada orang yang sama di waktu

berbeda (Reeder, 2014). Menurut Chang, Chen, & Huang (2006) dalam

Molter (2010), nyeri persalinan didefinisikan sebagai sebuah pengalaman

sensori dan emosional yang tidak menyenangkan dengan multidimensi,

memiliki faktor-faktor spesifik berdasarkan situasi, dan bervariasi pada

seorang wanita dengan wanita lainnya.

2. Faktor yang Mempengaruhi Respon Nyeri

Menurut Lowdermilk (2013), nyeri persalinan berbeda pada setiap wanita.

Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu:

a. Faktor Fisiologis

Berbagai faktor fisiologis dapat mempengaruhi intensitas nyeri yang

dialami wanita saat melahirkan. Wanita dengan riwayat dismenore dapat

mengalami rasa nyeri yang meningkat. Hal ini disebabkan oleh kadar

prostaglandin yang tinggi (Zwelling dkk, 2006). Selain itu, menurut

Blackburn (2007), kadar endorfin meningkat selama kehamilan dan

persalinan. Peningkatan kadar endorfin dapat meningkatkan ambang

nyeri dan membuat wanita dapat menahan rasa nyeri selama persalinan.

b. Budaya

Sistem kebudayaan dan kepercayaan agama menentukan bagaimana

mereka mempersepsikan, menginterpretasikan, merespon, dan mengatasi


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

nyeri mereka. Pemahaman terhadap kepercayaan, nilai-nilai, dan

berbagai kebudayaan akan mengurangi perbedaan budaya dan membantu

tenaga kesehatan untuk memberikan perawatan yang sesuai dan sensitif

terhadap kebudayaan dengan menggunakan tindakan pengurangan rasa

nyeri.

c. Kecemasan

Kecemasan dihubungkan dengan peningkatan rasa nyeri persalinan.

Sedikit rasa cemas pada wanita saat persalinan dianggap normal, namun

kecemasan berlebihan dan rasa takut akan menyebabkan sekresi

katekolamin tambahan yang meningkatkan rangsang dari panggul ke

otak karena penurunan aliran darah dan peningkatan tegangan otot. Hal

inilah yang dapat meningkatkan persepsi nyeri.

d. Pengalaman Sebelumnya

Paritas dapat mempengaruhi persepsi nyeri persalinan karena wanita

primipara biasanya mengalami persalinan yang lebih lama. Nyeri sensori

pada primipara seringkali lebih besar daripada multipara pada awal

persalinan (pembukaan kurang dari 5 cm) karena struktur reproduksi

yang tidak supel. Nyeri afektif biasanya meningkat pada primipara

selama kala satu persalinan, namun menurun pada wanita multipara.

e. Teori Pengontrolan Nyeri (Gate Control Theory)

Salah satu teori nyeri yang paling dapat diterima dan dipercaya adalah

Gate Control Theory yang diajukan oleh Melzack dan Wall (1965).

Menurut teori ini, sensasi nyeri akan berjalan sepanjang jalur saraf
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

sensori ke otak, namun hanya sejumlah sensasi atau pesan tertentu yang

dapat berjalan di jalur ini pada satu waktu. Teori pengontrolan nyeri ini

salah satunya membantu menjelaskan teknik mengurangi nyeri, di

antaranya adalah dengan teknik pengalih perhatian, seperti pijat, musik,

gambar, dan titik fokal yang akan mengurangi atau memblokir

sepenuhnya kapasitas jalur saraf untuk menghantarkan rasa nyeri.

Pengalih perhatian ini diperkirakan bekerja dengan menutup gerbang

hipotetik di medula spinalis sehingga mencegah sinyal nyeri untuk

mencapai otak. Dengan demikian, persepsi nyeri akan berkurang.

f. Kenyamanan

Meskipun banyak anggapan persalinan adalah hal yang menyakitkan,

terdapat pendapat lain bahwa wanita dapat merasakan kenyamanan dan

mengubah ketidaknyamanan atau nyeri saat melahirkan menjadi suatu

hasil yang menggembirakan. Keinginan dan kebutuhan yang terpenuhi

akan memberikan perasaan nyaman.

g. Dukungan

Telah diketahui manfaat dari adanya dukungan yang terus-menerus,

seperti pendamping persalinan, pengajar persalinan, anggota keluarga,

teman, perawat, dan pasangan. Wanita yang mendapat dukungan terus-

menerus sejak awal persalinan lebih jarang memakai obat-obatan

penghilang rasa sakit, lebih sering melahirkan secara spontan, dan lebih

jarang mengeluhkan ketidakpuasan mengenai proses persalinannya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

h. Lingkungan

Kualitas lingkungan dapat mempengaruhi persepsi terhadap nyeri.

Lingkungan termasuk orang di dalamnya dan ruang persalinan. Wanita

biasanya memilih untuk dirawat oleh tenaga kesehatan yang sudah

dikenal di lingkungan nyaman dan terasa seperti di rumah. Rangsangan

dari luar, seperti cahaya, suara, dan suhu harus dapat disesuaikan dengan

keinginan pasien. Lingkungan harus aman dan privat sehingga seorang

wanita bisa bebas menjadi diri sendiri saat mencoba berbagai hal untuk

meningkatkan kenyamannya.

C. Lama Persalinan Kala II

Kala dua persalinan dimulai ketika pembukaan serviks lengkap dan berakhir

dengan kelahiran bayi. Pembukaan serviks lengkap hanya dapat

dikonfirmasikan dengan pasti melalui pemeriksaan per vaginam. Namun,

pembukaan lengkap dapat diperkirakan dengan mengobservasi perubahan

perilaku klien, terutama berkaitan dengan paritas klien, kecepatan setiap

persalinan sebelumnya dan saat ini, serta perkiraan ukuran berat bayi baru lahir

(Reeder et al., 2014).

Meskipun terdapat beberapa perbedaan, rata-rata persalinan dapat

diperkirakan berdasarkan studi pada catatan beberapa ribu primipara dan

multipara. Rata-rata durasi persalinan pertama primipara adalah sekitar 14 jam,

yaitu 13 jam pada kala I, 5 menit hingga 1 jam pada kala II, dan 10 menit pada

kala III. Rata-rata persalinan multipara adalah 6 jam lebih pendek

dibandingkan persalinan pertama, yaitu 7 jam 20 menit pada kala I, 15-30


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

menit pada kala II, dan 10 menit pada kala III (Reeder et al., 2014).

Menurut Kemenkes RI (2013), kala II dimulai dari pembukaan lengkap

sampai bayi lahir, yaitu 2 jam pada primipara, 1 jam pada multipara. Selain itu,

menurut Mochtar (2012), lama kala II persalinan pada primipara 1 jam,

sedangkan multipara 30 menit. Berdasarkan kategori risiko klinis, kala dua

dianggap memanjang jika berlangsung lebih dari dua jam (O’Brien et al., 1991

dalam Reeder et al., 2014).

D. Fetal Outcome

Fetal outcome adalah hasil akhir dari terkait kondisi bayi yang dilahirkan dan

ditunjukkan dengan skor APGAR pada saat lahir dan 5 menit kemudian. Skor

APGAR menggunakan lima tanda vital untuk mengindikasikan perlunya

tindakan resusitasi, yaitu upaya pernapasan, frekuensi denyut jantung, warna

kulit, tonus otot, dan respon terhadap stimulus. Setiap tanda diberikan skor 2, 1

atau 0 dan dijumlahkan. Skor 8-10 mengindikasikan bayi berada dalam kondisi

baik, skor 4-7 merepresentasikan asfiksia ringan/sedang, dan skor 1-3

merepresentasikan asfiksia berat yang memerlukan resusitasi dengan segera

(Walker, 2013).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

Tabel 2.1. Skor Apgar

Skor
Tanda
0 1 2
Frekuensi Tidak ada Lambat (kurang Cepat (lebih dari
denyut jantung dari 100 kali per 100 kali per
menit) menit)

Upaya Tidak ada Lambat Menangis dengan


pernapasan Tidak teratur baik

Tonus otot Lemah Ekstremitas sedikit Aktif


fleksi

Iritabilitas Tidak ada Grimace Menangis, batuk


refleks respon (menyeringai)

Warna kulit Biru, pucat Tubuh berwarna Berwarna merah


merah muda muda seluruh
Ekstremitas tubuh
berwarna biru
Sumber: Tindall (1997) dalam Walker (2013)

E. Hubungan Antara Aromaterapi dan Nyeri, Lama Persalinan, dan Fetal

Outcome

Kecemasan dihubungkan dengan peningkatan rasa nyeri persalinan karena

menyebabkan sekresi katekolamin tambahan yang meningkatkan rangsang dari

panggul ke otak. Hal ini disebabkan oleh penurunan aliran darah dan

peningkatan tegangan otot. Selain itu, paritas juga dapat mempengaruhi

persepsi nyeri persalinan, terutama pada primipara. Nyeri sensori pada

primipara seringkali lebih besar daripada multipara karena struktur reproduksi

yang tidak supel. Wanita primipara biasanya mengalami persalinan yang lebih

lama (Koensoemardiyah, 2009 dan Dewi IP, 2010).

Aromaterapi yang masuk ke tubuh melalui rute olfaktorius disalurkan


commit to user
langsung dari bulbus olfaktorius ke sistem limbik yang mengatur kondisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

psikologis seseorang. Sistem limbik yang paling berperan yaitu hipocampus

dan amigdala. Hipocampus bertanggung jawab terhadap pengenalan bau yang

masuk ke dalam tubuh, sedangkan amigdala bertanggung jawab terhadap

respon emosi. Pesan dari sistem limbik tersebut disampaikan ke seluruh bagian

otak dan tubuh sehingga terjadi pelepasan hormon relaksasi yaitu endorfin dan

oksitosin. Pelepasan hormon relaksasi ini menghasilkan rasa tenang dan

memperbaiki suasana hati sehingga dapat menurunkan kecemasan dan stres

(Koensoemardiyah, 2009).

Penurunan kecemasan ini ditandai dengan penurunan hormon kortisol dan

menyebabkan penurunan persepsi nyeri. Ketika hormon kortisol mengalami

penurunan, maka akan mengakibatkan sintesis HSP (Heat shock protein) 70

meningkat. Peningkatan HSP 70 menimbulkan energi ATP (Adenosina

Trifosfat) diubah menjadi ADP (Adenosina Difosfat) dan menambah tenaga

untuk dapat meningkatkan kontraksi otot rahim. Kontraksi otot rahim yang

baik akan memperlancar kemajuan persalinan sehingga dapat memperpendek

lama persalinan. Dengan demikian, persalinan pun dapat berjalan dengan

normal tanpa komplikasi. Persalinan yang berjalan dengan lancar dapat

memperbaiki fetal outcome atau bayi yang dilahirkan dalam kondisi baik.

Kondisi bayi yang baik ditandai dengan skor APGAR yang tinggi dan tidak

mengalami asfiksia atau trauma lahir karena persalinan yang berlangsung lama,

seperti chepal hematome dan caput sucedaneum (Soetrisno, 2012).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

F. Kerangka Pemikiran
Ibu Bersalin

Aromaterapi Lavender Aromaterapi Jasmine Tanpa Aromaterapi


Jasmine
Zat antikecemasan: Zat antikecemasan: Peningkatan katekolamin
 Linalool 26,12%; Borneol  Linalool 6,10%
1,21%; Champene 0,06%  Benzyl acetate15,78%
Peningkatan stres/
kecemasan
Inhalasi
Peningkatan hormon kortisol
Aroma masuk ke hidung
Penurunan sintesis
Bulbus olfaktorius Heat Shock Protein

Sistem limbik: Penurunan kontraksi


 Hipocampus (pengenalan bau) otot rahim
 Amigdala (respon emosi)

Pesan disampaikan ke
otak & tubuh Faktor yang
mempengaruhi nyeri:
 Hormon persalinan
Pelepasan hormon relaksasi
(endorfin & oksitosin)  Budaya
 Kecemasan
Nyeri kala I fase  Pengalaman
Penurunan kecemasan aktif sebelumnya
 Gate control theory
 Kenyamanan
Penurunan hormon kortisol Penurunan Peningkatan  Dukungan
 Lingkungan
Peningkatan sintesis
Heat Shock Protein Lama persalinan kala II:
 Durasi lebih pendek
Peningkatan kontraksi  Partus lama
otot rahim

Fetal outcome baik Fetal outcome kurang baik


(skor APGAR & kondisi Fetal outcome (asfiksia, cephal hematome,
bayi baik) caput succedaneum)

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran


Keterangan:

: Variabel bebas : Variabel luar


commit to user
: Variabel terikat : Tidak diteliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

G. Hipotesis

a. Terdapat pengaruh pemberian aromaterapi lavender terhadap nyeri kala I

fase aktif, lama persalinan kala II, dan fetal outcome.

b. Terdapat pengaruh pemberian aromaterapi jasmine terhadap nyeri kala I

fase aktif, lama persalinan kala II, dan fetal outcome.

c. Terdapat pengaruh tanpa pemberian aromaterapi terhadap nyeri kala I fase

aktif, lama persalinan kala II, dan fetal outcome.

d. Terdapat perbedaan nyeri kala I fase aktif, lama persalinan kala II, dan fetal

outcome antara kelompok asuhan kebidanan sesuai standar dengan deep

breathing yang ditambah dengan aromaterapi lavender, aromaterapi

jasmine, dan tanpa aromaterapi.

e. Aromaterapi lavender paling berpengaruh terhadap nyeri kala I fase aktif,

lama persalinan kala II, dan fetal outcome.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai