Anda di halaman 1dari 15

Sytesmic Lupus Erythematosus

Kelompok 3

Disusun oleh :

Ade Sant Ardana P27228016 186

Baiq Aida Saptiana P27228016 195

Gani Cahya Ramadhan P27228016 204

Ivana Qatrunnada P27228016 212

Lilis Metalia P27228016 214

Maghfira Dwi Anugerah P27228016 215

Nurul Tri Nur’aini P27228016 222


D-IV JURUSAN OKUPASI TERAPI Sabila Rahadatul Aisyi P27228016 228
POLITEKNIK KESEHATAN
Savira Ayu Adriani P27228016 229
KEMENKES SURAKARTA
2018
Daftar Isi

Ankylosing Spondylitis ........................................................................................................................


A. Definisi ...................................................................................................................................... 2
B. Epidemologi ............................................................................................................................. 3
C. Patofisiologi ............................................................................................................................. 3
D. Etiologi ...................................................................................................................................... 5
E. Gejala ......................................................................................................................................... 6
F. Diagnosis ................................................................................................................................... 8
G. Faktor Resiko ............................................................................................................................ 9
H. Prognosis ................................................................................................................................... 9
I. Intervensi Okupasi Terapi ....................................................................................................... 9
Sytesmic Lupus Erythematosus .........................................................................................................
A. Definisi ................................................................................................................................... 15
B. Epidemologi ........................................................................................................................... 15
C. Etipatologi ............................................................................................................................... 16
D. Faktor Resiko .......................................................................................................................... 17
E. Tanda dan Gejala.................................................................................................................... 18
F. Diagnosis dan Klasifikasi ..................................................................................................... 20
G. Prognosis ................................................................................................................................. 21
H. Intervensi Okupasi Terapi ..................................................................................................... 21

1
Systemic Lupus Erythematosus

A. Definisi
Sytesmic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun, dimana antibodi
abnormal berlebihan diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh pasien yang disfungsional
menyalahartikan sel-sel tubuh sebagai musuh, secara langsung atau tidak langsung
menyerang organ dan jaringan yang menyebabkan peradangan kronis. Semua organ dan
jaringan mungkin terkena SLE, biasanya kulit, persendian, dan ginjal. Pada kasus yang
serius, gagal ginjal akut dapat terjadi. Jika ada kerusakan pada sistem saraf pusat, bisa
mengakibatkan penyakit jiwa, epilepsi atau stroke.
Sebagian besar pasien SLE adalah wanita berusia antara 15 dan 30 tahun. Pasien
pria hanya memperhitungkan sepersepuluh dari jumlah total. SLE tidak menular atau
turun-temurun. Kadang-kadang, wanita hamil dengan SLE dapat melepaskan antibodi
pada janin melalui plasenta. Dalam kasus tersebut, bayi mungkin menunjukkan gejala
yang mirip dengan ruam kulit lupus, yang akan hilang setelah beberapa saat dalam
banyak kasus. Sejumlah kecil bayi mungkin menderita blok jantung kongenital, yang
menyebabkan denyut jantung lambat. Namun ini tidak berakibat fatal dan pengobatan
tidak perlu dilakukan. Hanya dalam kasus yang sangat jarang terjadi, bayi
mengembangkan blok jantung yang serius.
Jenis lainnya meliputi diskoid lupus eritematosus dan subakut lupus erythematosus
kulit, yang hanya mempengaruhi kulit dan umumnya dengan kondisi lebih ringan dari
SLE. Namun, mereka mungkin berkembang menjadi SLE.

B. Epidemologi
Jumlah orang dengan Lupus pada umumnya terus meningkat setiap tahunnya.
Yayasan Lupus Indonesia (YLI) menyatakan bahwa jumlah penderita Lupus di Indonesia
pada tahun 1998 sudah ada sebesar 586 jiwa. Jumlah ini meningkat menjadi 7.693 pada
tahun 2006 dan mencapai 10.314 jiwa pada tahun 2010. Menurut humas YLI Jawa
Timur, Gatot Bakti Sosiawan, jumlah penderita lupus di Jawa Timur yang sudah terdaftar

2
di YLI Jawa Timur hingga tahun 2010 sudah mencapai sekitar 500 orang dan selebihnya
ada yang belum terdaftar (Toro, 2010).
Lupus dikenal sebagai penyakit kaum wanita karena menyerang 90% wanita
berusia produktif (15-45 tahun) dan sisanya sebanyak 10% adalah laki-laki dan anak-anak
(“Awas, 90% Penderita Lupus Kaum Hawa,” 2011). Menurut Joewono Soeroso, dokter
pakar rematologi RSUD Dr. Soetomo Surabaya menyatakan bahwa produksi hormon
estrogen yang berlebihan pada wanita akan mempengaruhi sel-sel kekebalan tubuh
sehingga sel-sel kekebalan tubuh bertindak superaktif menyerang "benda asing" seperti
virus dan kuman juga sel-sel tubuh sendiri. Wanita sendiri akan terus memproduksi
hormon estrogen sampai ia menopause. Hal ini menyebabkan kemungkinan terkena
Lupus juga lebih besar (Nadhiroh, 2007).

C. Etipatologi
Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti namun diduga melibatkan
interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan.
Interaksi antara jenis kelamin, status hormonal, dan aksi. Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal
(HPA) mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam
mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel apoptosis dan
kompleks imun merupakan konstributor yang penting dalam perkembangan penyakit ini.
Hilangnya toleransi imun, meningkatknya beban antigenik, bantuan sel T yang
berlebihan, gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1 (Th1) ke
Th2 menyebabkan hiperaktifitas sel B dan memproduksi autoantibodi patogenik. Respon
imun yang terpapar faktor eksternal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet atau infeksi
virus dalam periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun.

3
D. Faktor Resiko
Terdapat banyak bukti bahwa patogenesis SLE bersifat multifaktoral seperti faktor
genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun.
1) Faktor genetik
Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan resiko
yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan terutama gen yang mengkode unsur-
unsur sistem imun. Diduga berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada
kompleks histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta
dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat komplemen
(yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen lain yang mulai ikut
berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin.
Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan
HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen 8 MHC
(Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik.
Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti
C2,C4, atau C1q.7-8 Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi
kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya
deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal membersihkan sel
apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.
2) Faktor lingkungan
Lingungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi ultra
violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan
hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV
menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang peranan
dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah sel DNA, serta mempengaruhi
sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan pada
inflamasi kulit.
Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa
perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang

4
terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga
memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya
yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu
peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus
rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan apoptosis.
3) Faktor Hormonal
Faktor lain yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor hormonal.
Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan beberapa penelitian menunjukkan
terdapat hubungan timbal balik antara kadar hormon estrogen dengan sistem imun.
Estrogen mengaktifasi sel B poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi
berlebihan pada pasien LES.13-14 Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk untuk
menjadi antigen nuklear (ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat antibodi terhadap
struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan fosfolipid. Autoantibodi terlibat
dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktifasi komplemen yang
mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal

E. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala SLE bervariasi di antara individu yang terkena, dan dapat
melibatkan banyak organ dan sistem, termasuk kulit, sendi, ginjal, paru-paru, system
saraf pusat, dan system pembentuk darah (hematopoietik). SLE adalah salah satu dari
sebagian besar kondisi yang disebabkan oleh gangguan autoimun yang terjadi ketika
system kekebalan tubuh menyerang jaringan dan organ tubuh sendiri.
1. Kelelahan, SLE mungkin pertama kali muncul sebagai kelelahan yang ekstrim,
perasaan ketidaknyamanan atau rasa sakit yang tidak jelas (malaise), demam,
kehilangan nafsu makan, dan penurunan berat badan.
2. Nyeri Sendi, Beberapa individu yang terkena juga mengalami nyeri sendi, biasanya
mempengaruhi sendi yang sama di kedua sisi tubuh, nyeri serta kelemahan otot.

5
3. Masalah kulit, masalah ini biasa terjadi pada SLE. Ciri khasnya adalah ruam merah
datar di pipi dan hidung, yang disebut "ruam kupu-kupu". Ruam yang umumnya tidak
sakit atau gatal, sering muncul atau menjadi lebih jelas saat terkena sinar matahari.
Masalah kulit lain yang mungkin terjadi pada SLE termasukendapankalsium di
bawahkulit (calcinosis), kerusakanpembuluhdarah (vaskulitis) di kulit, dan bintik-
bintik merah kecil yang disebut petechiae. Petechiae disebabkan oleh kekurangan
fragmensel yang terlibat dalam pembekuan (trombosit), yang menyebabkan
pendarahan di bawah kulit.

4. Gejala lain, Orang yang terkena mungkin juga memiliki rambut rontok (alopecia) dan
luka terbuka (ulserasi) di lapisan (mukosa) mulut, hidung, atau dialat kelamin.
Sekitar sepertiga dari orang-orang dengan SLE akan mengalami penyakit ginjal
(nephritis). Masalah jantung juga dapat terjadi pada SLE, termasuk radang selaput seperti
kantung di sekitar jantung (perikarditis) dan kelainan katup jantung, yang mengontrol
aliran darah di jantung. Penyakit jantung yang disebabkan oleh penumpukan lemak di
pembuluh darah (aterosklerosis), yang sangat umum terjadi pada populasi umum, bahkan

6
lebih sering terjadi pada orang dengan SLE. Karakteristik peradangan SLE juga dapat
merusak system saraf dan dapat menyebabkan sensasi abnormal serta kelemahan pada
ekstremitas (neuropatiperifer), kejang, stroke, kesulitan memproses belajar, dan
mengingat informasi (gangguan kognitif). Kecemasan dan depresi juga sering terjadi
pada penderita SLE.
Orang-orang dengan SLE memiliki episode dimana kondisi memburuk dan ada
saatnya ketika menjadi lebih baik. Secara keseluruhan, SLE secara bertahap memburuk
dari waktu ke waktu, dan kerusakan pada organ utama tubuh dapat mengancam jiwa.

F. Diagnosis dan Klasifikasi


Diagnosis dapat ditegakkan bila pada setiap saat terdapat 4 atau lebih dari 11
kriteria dibawah ini. Diagnosis didukung dengan pemeriksaan histopatologi pada ginjal
atau kulit.
Kriteria SLE menurut ARA (American College of Rheumatology)
Kriteria Manifestasi
Ruam pada muka (malar rash) Eritema, rata atau sedikit timbul diatas permukaan,
menyerupai bentuk kupu-kupu.
Ruam discoid (discoid rash) Ruam berbentuk benjolan yang timbul diatas
permukaan, dengan lapisan keratin kulit terlepas.
Fotosentivitas Ruam kulit sebagai akibat reaksi berlebihan
terhadap sinar matahari.
Ulserasi pada mulut/nasofaring Biasanya tidak terasa sakit.
Arthritis Arthritis mengenai 2 atau lebih sendi, bengkak, dan
terasa sakit.
Serositis Pleuritis atau perikarditis.
Kelainan ginjal Proteinuria persisten > 3+ (>0,5 gram/hari) atau ada
cast cellular (torak bergranula).
Kelainan neurologic Psikosis atau kejang-kejang.
Kelainan hematologik Anemia hemolitik dengan retikulosis; leukopenia,
limfopenia, trombositopenia.

7
Kelainan imunologik Sel SLE positif; anti ds-DNA (ds = double
stranded) dengan titer tinggi, anti Sm (anti-Smith)
positif.
Antibody antinuklear Titer ANA (anti nuclear antibody) meningkat.

G. Prognosis
Prognosis penyakit ini sangat tergantung pada organ mana yang terlibat. Apabila
mengenai organ vital, mortalitasnya sangat tinggi. Mortalitas pada pasien dengan SLE
telah menurun selama 20 tahun terakhir. Sebelum 1955, tingkat kelangsungan hidup
penderita pada 5 tahun pada SLE kurang dari 50%. Saat ini, tingkat kelangsungan hidup
penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup
penderita pada 15 tahun terakhir adalah sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup
penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai
dari 60-70%. Penurunan angka kematian yang berhubungan dengan SLE dapat dikaitkan
dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit SLE,
dan kemajuan dalam perawatan medis umum.

H. Intervensi Okupasi Terapi


Dalam intervensinya dibutuhkan kerjasama anatara Okupasi Terapis dan tenaga
kerja lain seperti Fisioterapi, Perawat dan Dokter. Okupasi Terapis akan membantu
pasien dengan kondisi SLE dengan mengembangkan dan / atau memperoleh kembali
keterampilan yang penting secara fungsional dan mandiri, serta well-being. Selain itu,
Okupasi Terapis membantu pasein dengan kondisi SLE dengan meningkatkan atau
mempertahankan kemampuan yang dimiliki untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti
di rumah, di tempat kerja dan di lingkungan masyarakat. Peran Okupasi terapi pada
penderita systemic lupus erythematosus yaitu:
- Joint Protection Technique, adalah serangkaian teknik yang digunakan untuk
mengurangi stres pada persendian (deformitas menurun). Teknik yang dapat
digunakan yaitu:

8
1) Menangani rasa sakit, hentikan aktivitas sebelum terjadinya rasa sakit.
Membatasi aktivitas yang menyebabkan rasa sakit. Serta dengan obat-obatan
yang dianjurkan dokter.
2) Seimbangkan kegiatan dan istirahat, rencanakan waktu istirahat selama kegiatan
yang lebih lama atau lebih sulit. Dengan istirahat 10 menit selama aktivitasakan
memiliki lebih banyak energi.
3) Ketika mulai merasakan nyeri pada sendi, berhentilah untuk menghilangkan rasa
sakit dan kelelahan yang berlebihan.Pertimbangkan aktivitas, lamanya waktu,
dan kesulitan sebelum memulai.
4) Positioning tubuh dalam melakukan aktivitas.
a) Postur – mengangkat

 Posisikan satu kaki lebih maju dari kaki satunya.


 Tekuk lutut, agar punggung tetap lurus.
 Jangan membengkokkan atau memelintir saat mengangkat.
 Hindari gerakan cepat dan menyentak.
 Jaga beban dekat dengan tubuh.
 Tempatkan beban yang lebih berat di suatu tempat yang mudah dicapai.
 Jika terlalu berat, meminta bantuan oranglain.
 Mengangkat yang efisien (gunakan kereta dorong dll).
 Angkat beban dengan simetris.

9
b) Postur – duduk

 Atur tinggi kursi sesuai dengan ketinggian area kerja.


 Jaga dagu.
 Pastikan bahu rileks, tidak tegang (bahu belakang, tulang rusuk dalam).
 Jika memungkinkan, pastikan area lumbar kursi mendukung lengkungan
alami tulang belakang.
 Kaki harus rata di lantai (menapak). Jangan meringkuk (memfleksikan)
jari-jari kaki.
 Ambil interval teratur (5 menit setiap jam) dan lakukan latihan
peregangan dan relaksasi.
c) Postur – tidur (berbaring) dalam posisi miring.

 Posisikan kaki ke depan dan lurus ke bawah untuk mempertahankan


posisi miring. Bantal harus ditempatkan di antara lutut.
 Pastikan tidak ada tekanan di bahu.
 Jenis kasur yang dianjurkan untuk penderita AS yaitu kasur ortopedi.
 Usahakan bantal tidak terlalu tinggi.

10
- Melakukan berbagai jenis latihan, yaitu:
 Latihan mobilitas  latihan dirancang untuk meningkatkan gerakan pada
persendian.
 Latihan fleksibilitas  membantu mempertahankan mobilitas di persendian.
o Mengurangi risiko cedera selama latihan.
o Membantu mengurangi nyeri setelah berolahraga.
 Latihan penguatan  menambah kekuatan otot.
o Membantu meningkatkan stabilitas sendi.
o Membantu mengurangi rasa sakit.
 Latihan pernapasan  dirancang untuk memaksimalkan ekspansi dada dan
volume paru-paru.
o Berlatih setiap hari.
o Latihan aerobik Latihan daya tahan yang bekerja untuk meningkatkan detak
jantung dan pernapasan.
o Meningkatkan kesehatan jantung.
o Tingkatkan kebugaran.
o Contoh: berjalan, berenang, bersepeda.
- Meningkatkan kemampuan performance saat melakukan aktivitas dengan
 Stress management
- Relaxation techniques
- Healthy lifestyle & environment
- Healthy thinking
- Behavioural strategies
 Modifikasi lingkungan
 Edukasi keluarga, memberi penjelasan mengenai penyakit SLE bagaimana
intervensi yang dapat dilakukan pada penyakit SLE.

11
 Alat bantu, misalnya: jar opener, long handle sponges, zipper hooks, long
handle duster.
Gambar Alat Fungsi
Grips Button Hook & Zipper Hooks
 Memberikan kemudahan untuk klien
yang memiliki keterbatasan dalam
kemampuan deksteriti dan
koordinasi.
 Dapat digunakan dengan satu
anggota tubuh.
 Pegangan yang lebih besar dan tebal
mempermudah saat dipegang
sehingga persendian tetap stabil.
Jar Opener
 Pembuka tutup terdapat berbagai
bentuk, ukuran serta penggunaan
yang bervariasi dari bentuk yang
paling sederhana, seperti non-slip,
multifungsi atau bahkan elektrik.
Adanya grip (pegangan) serta
stabilisasi memudahkan klien untuk
membuka hanya dengan satu tangan.
Dapat digunakan untuk membuka
tutup toples, kaleng bahkan menarik
pegangan pintu serta keran.
Long Handles Sponges
 Dapat digunakan dengan satu tangan
serta klien yang memiliki jangkauan
yang terbatas.
 Mudah menggosok badan dengan

12
satu tangan tanpa harus memegang
sabun.
 Dengan cara menyelipkan sabun
kecil di dalam spons tanpa harus
memegang sabun batangan yang
licin.
 Pegangan yang tahan lama dan
mudah digenggam.
Long Handle Duster
 Dirancang untuk membantu
mengurangi ketegangan pada
lengan, tangan, dan bahu.
 Memungkinkan klien yang
mengalami kesulitan menjangkau
atau meraih serta menggenggam.

13
Daftar Pustaka

Rindhi, D. W., & Suntoko, B. (2014). Hubungan Tingkat Aktifitas Penyakit Dan Kerusakan
Organ Pada Pasien Les Di Rsup Dr. Kariadi Semarang. Jurnal Kedokteran Diponegoro
Wahyuningsih, A., Surjaningrum, E. R., & Psych, M. A. (2013). Kesejahteraan Psikologis
pada Orang dengan Lupus (Odapus) Wanita Usia Dewasa Awal Berstatus
Menikah. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental.
Oktafany, D. N., & Natasha, D. (2017). Seorang Perempuan 21 Tahun dengan Autoimmune
Hemolytic Anemia (AIHA) dan Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Jurnal
Agromedicine, 43-48.
Lister Hill National Center for Biomedical Communications U.S. National Library of
Medicine National Institutes of Health Department of Health & Human Services : 2018
Assistive Equipmen Kitchen. Royal Brisbane and Women’s Hospital, Occupational Therapy.

14

Anda mungkin juga menyukai