PEMBIMBING :
KOMBES POL dr. Dasril Nizam, SpPD-KGEH
PENYUSUN :
Nourma Kusuma Winawan (1102013214)
1.2.ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis di Ruang Parkit I pada hari Senin, tanggal 18 Desember
2017, pukul 10.00 WIB.
a. Keluhan Utama
Sesak nafas sejak kurang lebih 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
b. Keluhan Tambahan
Pusing berputar sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit (+), Mual (-), muntah (-), ,
keringat malam (-), batuk (-), demam (-). BAB dan BAK normal.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan utama sesak nafas sejak 3 hari sebelum masuk rumah
sakit. Pasien mengaku sesak nafas yang dirasakan memberat saat berjalan dan beraktivitas.
Sesak nafas dirasakan berkurang saat pasien dalam keadaan berbaring dengan letak bantal
tinggi. Pasien mengeluh dada kiri terasa berat untuk bernapas. Pasien merasakan pusing
berputar, keluhan ini muncul bersamaan dengan keluhan sesak nafas. Pasien saat ini sudah
mengonsumsi obat OAT selama 15 hari. Tidak terdapat keluhan demam maupun batuk.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi, diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung, asma serta
keganasan disangkal.
1.3.PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan : Senin, 18 Desember 2017
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Berat Badan : 55 Kg
Tinggi Badan : 155 cm
Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Denyut nadi : 80x/menit
Laju nafas : 21x/menit
Temperatur : 36.80C
Status Generalisata
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), pupil isokor, Ø
3mm/3mm, refleks cahaya langsung +/+ dan tidak langsung +/+
Leher : Pembesaran KGB (-/-), trakea di tengah
Thorax (Pulmo)
Inspeksi : Pernafasan statis dan dinamis, retraksi (-), bentuk dada normal.
Palpasi : Fremitus normal
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Ves kiri > Ves kanan , Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba
Perkusi : Batas kanan: ICS IV linea parasternalis dextra
Batas kiri: ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung S1 dan S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar, lesi (-), massa (-)
Palpasi : Supel, massa (-), nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani di seluruh kuadaran, shifting dullness (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
2. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Rontgen Thorax (13/12/2017)
3. RESUME
Pasien datang dengan keluhan utama sesak nafas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien mengaku sesak nafas yang dirasakan memberat saat berjalan dan beraktivitas. Sesak nafas
dirasakan berkurang saat pasien dalam keadaan berbaring dengan letak bantal tinggi. Pasien
mengeluh dada kiri terasa berat untuk bernapas. Pasien merasakan pusing berputar, keluhan ini
muncul bersamaan dengan keluhan sesak nafas. Pasien saat ini sudah mengonsumsi obat OAT
selama 15 hari. Tidak terdapat keluhan demam maupun batuk.
Pada pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit sedang. Pada pemeriksaan auskultas thoraks
didapatkan suara vesikuler pada dada kiri lebih terdengar dengan jelas dibandingkan kanan, pada
pemriksaan fisik lainnya tidak ditemukan adanya kelainan. Pada pemeriksaan penunjang foto
toraks, terlihat adanya cairan pada bagian basal paru kanan, diafragma kanan terselubung, serta
jantung membesar. Pada hasil laboratorium, ditemukan LED 23 mm/jam dan hitung jenis leukosit
batang 0%, segmen 74%, limfosit 16%, monosit 9%. SGOT 46.0 U/L, SGPT 56.6 U/L. Pada
pemeriksaan analisa pleura ditemukan warna kuning, kejernihan keruh, ada bekuan, kimia protein
5.9 g/dl, glukosa 80 mg/dl, dan rivalta +.
4. FOLLOW UP
Senin, 18 Desember 2017
S : sesak (+), dada kiri memberat saat bernafas (+), pusing berputar
(+) demam (-), batuk (-)
O : Tekanan darah : 120/80 mmHg
Denyut nadi : 80x/menit
Laju nafas : 21x/menit
Temperatur : 36.8°C
Thorax:
Inspeksi : pernafasan statis dan dinamis, retraksi (-), bentuk
dada normal.
Palpasi : Fremitus normal
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Thorax:
Inspeksi : pernafasan statis dan dinamis, retraksi (-), bentuk
dada normal.
Palpasi : Fremitus normal
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
5. DIAGNOSIS
Efusi Pleura Eksudat
TB Paru
BPPV
6. TATALAKSANA
18/12/2017
O2 3 liter/menit
Betahistin 3xI
Flunarizin 3xI
ISDN 3xI
PDAC 3xI
Methycobalt 3xI
RHZE 450/300/1000/1000 1xI
B6 2xI
Curcuma 1XI
19/12/2017
Betahistin 3xI
Flunarizin 3xI
ISDN 3xI
PDAC 3xI
Methycobalt 3xI
RHZE 450/300/1000/1000 1xI
B6 2xI
Curcuma 1xI
20/12/2017
Betahistin 3xI
Flunarizin 3xI
ISDN 3xI
PDAC 3xI
Methycobalt 3xI
Tramadol 3xI
RHZE 450/300/1000/1000 1Xi
B6 2xI
Curcuma 1xI
7. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad function : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi penumpukan cairan melebihi normal di
dalam cavum pleura di antara pleura parietalis dan visceralis dapat berupa transudate atau cairan
eksudat.1 Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling sering dengan
etiologi yang bermacam-maam mulai dari kardiopulmunoer, inflamasi, hingga keganasan yang
harus segera dievaluasi dan diterapi.2
2.2. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, 1,5 juta kasus efusi pleura terjadi tiap tahunnya. Sementara pada
populasi dunia diperkirakan tiap 1 juta orang, 3000 orang terdiagnosis efusi pleura. WHO
memperkirakan bahwa 20% penduduk kota di dunia pernah menghirup udara kotor akibat emisi
kendaraan bermotor, sehingga banyak penduduk yang berisiko tinggi penyakit paru dan saluran
pernafasan seperti efusi pleura. Secara keseluruhann, insidensi efusi pleura sama antara pria dan
wanita.2
1. Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab lainnya adalah
perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior. Patogenesisnya adalah akibat
terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi
peningkatan filtrasi pada pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan kapiler
pulmonal akan menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan aliran getah
bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongga pleura dan paru-paru
meningkat. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada dapat juga
menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak sulit menerangkan adalah kenapa
efusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi kanan. Terapi ditujukan pada payah jantungnya.
Bila kelainan jantungnya teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera
menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila penderita amat sesak.
2. Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura dibandingkan dengan
tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat.
Pengobatan adalah dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi
pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.
3. Hidrothoraks hepatik
Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui lubang kecil yang ada
pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya cukup besar
untuk menimbulkan dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak dapat mengontrol
asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan yang dapat dilakukan
adalah pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous shunt, torakotomi) dengan
perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau torakotomi pipa dengan suntikan agen yang
menyebakan skelorasis.
4. Meig’s Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita dengan tumor
ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan sindrom serupa : tumor ovarium
kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat rendah tanpa adanya
metastasis. Asites timbul karena sekresi cairan yang banyak oleh tumornya dimana efusi
pleuranya terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura melalui porus di diafragma.
Klinisnya merupakan penyakit kronis.
5. Dialisis Peritoneal
Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi unilateral ataupun
bilateral. Perpindahan cairan dialisa dari rongga peritoneal ke rongga pleura terjadi melalui
celah diafragma. Hal ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura dengan cairan
dialisa. 3
2. Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang
berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab
dapat merupakan bakteri aerob maupun anaerob (Streptococcus paeumonie,
Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes,
Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika
ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari
rongga pleura.
3. Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus, Kriptococcus, dll. Efusi
timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.
4. Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui focus
subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat juga secara hematogen dan
menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya
focus subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada
didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks dan jarang yang
masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat badan,
dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.
5. Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru, mammae,
kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral dengan ukuran jantung yang
tidak membesar. Keluhan yang paling banyak ditemukan adalah sesak dan nyeri dada.
Gejala lain adalah akumulasi cairannya kembali dengan cepat walaupun dilakukan
torakosintesis berkali-kali. Patofisiologi terjadinya efusi ini diduga karena :
Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi kebocoran kapiler.
Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura, bronkhopulmonary,
hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan aliran balik sirkulasi.
Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif intra pleural,
sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang ditemukan berupa eksudat dan
kadar glukosa dalam cairan pleura tersebut mungkin menurun jika beban tumor dalam
cairan pleura cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui pemeriksaan sitologik cairan pleura
dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan jarum (needle biopsy).
6. Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri, abses paru atau
bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada
beberapa penderita cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus
efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage kadang
diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut Light, terdapat 4
indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan efusi parapneumonik:
Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura
Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada nilai pH bakteri
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik yang
mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.
Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler
pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau kuboidal
dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis eksudativa yang paling
sering adalah karena mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai pleuritis eksudativa
tuberkulosa .Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai transudatif atau eksudatif.4
2.7. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika paru
terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa penuh dalam dada
atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak, berupa nyeri dada pleuritik atau
nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan
nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak
keringat, batuk, banyak riak. Berat badan menurun pada neoplasma, ascites pada sirosis
hepatis. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan
cairan pleural yang signifikan.
b. Pemeriksaan Fisik.
Inspeksi. Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih cembung
Palpasi. Gerakan dada yang tertinggal dan penurunan fremitus vocal atau taktil pada
sisi yang sakit
Perkusi. Redup pada perkusi
Auskultasi. Penurunan bunyi napas
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi atelektasis
kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas bronkus. Nyeri dada pada
pleuritis : Simptom yang dominan adalah sakit yang tiba-tiba seperti ditikam dan diperberat
oleh bernafas dalam atau batuk. Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri dihasilkan dari pleura
parietalis yang inflamasi dan mendapat persarafan dari nervus intercostal. Nyeri biasanya
dirasakan pada tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi bisa menjalar ke daerah lain :
1. Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G. Nervuis
intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan abdomen.
2. Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus menyebabkan
nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan
akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus
melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk
permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas
garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler melemah
dengan ronki. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.5
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Rontgen Toraks
Permukaan cairan yang terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan
seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi daripada bagian medial.
Cairan dalam pleura kadang-kadang menumpuk mengelilingi lobus paru dan terlihat
dalam foto sebagai bayangan konsolidasi parenkim lobus. Hal lain yang ditemukan
adalah terdorongnya mediastinum pada sisi yang berlawanan dengan cairan. Gambaran
foto toraks juga menggambarkan asal mula terjadinya efusi pleura. Rontgen toraks
biasanya merupakan langkah pertama yang dilakukan untuk mendiagnosis efusi pleura.
2.8. TATALAKSANA
1. Terapi penyakit dasarnya (Antibiotika).
2. Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic).
3. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi juga dapat
dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakkan diatas
bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan pada penderita dalam posisi
tidur terlentang.
b. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di daerah sedikit
medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di bawah batas suara sonor dan
redup.
c. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan jarum berukuran
besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya disebabkan karena penusukan
jarum terlampaui rendah sehingga mengenai diafragma atau terlalu dalam sehingga
mengenai jaringan paru, atau jarum tidak mencapai rongga pleura oleh karena jaringan
subkutis atau pleura parietalis tebal.
d. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi.
Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari pada satu kali aspirasi sekaligus yang
dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut. Edema paru dapat
terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme sebenarnya belum
diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra pleura yang tinggi dapat
menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas kapiler yang abnormal.
Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar secara mendadak menimbulkan reflex
vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan hipotensi.. Komplikasi
torakosintesis adalah: pneumotoraks, hemotoraks, emboli udara, dan laserasi pleura
viseralis.
4. Pemasangan WSD.
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks dihubungkan dengan
WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat dan aman. Pemasangan WSD
dilakukan sebagai berikut:
a. Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9 linea aksilaris
media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikuralis.
b. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar kurang lebih 2
cm sampai subkutis.
c. dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
d. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai mendapatkan pleura
parietalis.
e. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian trokar ditarik.
Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks.
f. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat dengan kasa dan
plester.
g. Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang dihubungkan
dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang diletakkan dibawah permukaan
air sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari luar tidak dapat masuk ke dalam rongga pleura.
Gambar 7. Pemasangan jarum WSD
h. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada selang,
kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang. Untuk memastikan
dilakukan foto toraks.
i. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan paru telah
mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.
5. Pleurodesis.
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan penanganan
terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan adalah sitostatika seperti tiotepa,
bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil, adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi
dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg) diberikan selang
waktu 7-10 hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika berhasil,
akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura, sehingga mencegah
penimbunan kembali cairan dalam rongga tersebut.
Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang dan paru dalam
keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam 3050 ml larutan garam faal, kemudian
dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui selang toraks, ditambah dengan larutan garam faal
1030 ml larutan garam faal untuk membilas selang, serta 10 ml lidokain 2% untuk mengurangi
rasa nyeri yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik diberikan 11,5 jam sebelum pemberian
tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang toraks diklem selama 6 jam dan
posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin merata di seluruh bagian rongga pleura.
Apabila dalam waktu 24 jam -48 jam cairan tidak keluar, selang toraks dapat dicabut. Komplikasi
tindakan pleurodesis adalah sedikit sekali dan biasanya berupa nyeri pleuritik atau demam. 7
2.9. PROGNOSIS
Prognosis efusi pleura bervariasi tergantung pada penyakit yang mendasari.Morbiditas dan
mortalitas pada pasien efusi pleura berhubungan langsung dengan etiologi, stadium penyakit, dan
hasil pemeriksaan biokimia cairan pleura.Pasien dengan efusi pleura maligna biasanya memiliki
prognosis yang buruk.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton & Hall. 2012. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran disi 12. EGC. Jakarta.
Penyalit Dalam, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru (Pulmonologi), Semarang, Undip
143,172-184.
4. Halim H. Penyakit-penyakit Pleura, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
5. Rasyid A. Abses Paru, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing;
2009. h. 223-2328.
6. Rahayu AUD, Baharaini, Asriyani S. Abses Paru. Thesis. Fakultas Kedokteran Universitas