Patofisiologi Faringitis
Patofisiologi Faringitis
Definisi :
Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan oleh virus atau
bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring eksudat dan
hiperemis, demam, pembesaran limfonodi leher dan malaise.(Vincent,2004)
11.2. Anatomi :
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,
yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai
dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi servikal ke-6.
Ke atas faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan
dengan laring di bawah berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah
berhubungan esofagus.panjang dinding posterior faring pada orang dewasa
kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang
terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir,
fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal.
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung.
Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak atas silia
dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini
berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh udara yang
diisap. Palut ini mengandungenzim Lyzozyme yang penting untuk proteksi.
II.3. Etiologi
Faringitis disebabkan oleh bakteri
1. Group A beta-hemolytic streptococci (GABHS) 15% kasus faringitis.
• Gambaran klinis berupa: demam lebih dari 101.5°F, tonsillopharyngeal
eritem dan eksudasi, pembengkakan limfonodi leher, sakit kepala, muntah
pada anak-anak, petechiae palatal, biasa terjadi pada cuaca dingin.
• Suatu ruam scarlatiniform juga dihubungkan dengan infeksi GABHS ruam
kemerahan pada ekstremitas dan lidah memerah (strawberry tongue)
2. Group C, G, F Streptococci ( 10%), mungkin secara klinis tidak bisa
dibedakan dari infeksi GABHS, namun Streptococcus jenis ini tidak
menyebabkan sequelae immunologic. Streptococci grup C dan G telah
dilaporkan sebagai penyebab radang selaput otak (meningitis), endocarditis,
dan empyema subdural.
• Arcanobacterium Chlamydia pneumoniae (5%), gejala mirip dengan M
pneumoniae. Faringitis biasanya mendahului terjadinya peradangan pada
paru.
• Corynebacterium diphtheriae
• Bakteri yang jarang namun dapat dijumpai pada faringitis yaitu Borrelia
species, Francisella tularensis, Yersinia species, and Corynebacterium
ulcerans.
• ( Corynebacterium) haemolyticus ( 5%) banyak terjadi pada dewasa
muda,gejalanya mirip dengan infeksi GABHS, berupa ruam scarlatiniform.
Pasien sering mengeluh batuk.
• Mycoplasma pneumoniae, pada dewasa muda dengan headache, faringitis,
and nfeksi pernafasan bawah. Kira-kira 75% pasien disertai batuk.
3. Viral pharyngitis
o Adenovirus (5%):.
o Herpes simplex (< 5%):
o Coxsackieviruses A and B (< 5%):
o Epstein-Barr virus (EBV):
o CMV.
o HIV-1:
4. Penyebab lain
o Candida sp. Pada pasien-pasien dengan riwayat pengbatan penekan sistem
imun. Banyak terjadi pada anak dengan gambaran plak putih pada orofaring.
o Udara kering, alergi (postnasal tetes), trauma kimia, merokok, neoplasia
(Kazzi, et.al.,2006).
II.4. Patofisiologi
Pada infeksi faringitis, virus atau bakteri secara langsung menginvasi mucosa
pada rongga tenggorokan, menyebabkan suatu respon inflamasi lokal.
berbeda halnya dengan virus, seperti rhinovirus,dapat mengiritasi mukosa
rongga tenggorokan.
Streptococcal infeksi/peradangan ditandai oleh pelepasan dan invasi toksin
ekstra seluler lokal dan proteases (Kazzi, et.al.,2006) .
II.6. Diagnosis
Diagnosis biasanya dibuat tanpa kesulitan, terutama bila terdapat tanda dan
gejala yang mengarah ke faringitis. Biakan tenggorokan membantu dalam
menentukan organisme penyebab faringitis, dan untuk membedakan
faringitis karena bakteri atau virus.(Hilger,1994))
Pemeriksaan Laboratorium
Kultur tenggorok : merupakan suatu metode yang dilakukan untuk
menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri
GABHS. Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan swab dilakukan
pada daerah tonsil dan dinding faring posterior. Spesimen diinokulasi pada
agar darah dan ditanami disk antibiotik.
Kriteria standar untuk penegakan diagnosis infeksi GABHS adalah persentase
sensitifitas mencapai 90-99 %. Kultur tenggorok sangat penting bagi
penderita yang lebih dari 10 hari.
II.7. Penatalaksanaan
Apabila penyebabnya diduga infeksi firus, pasien cukup diberikan analgetik
dan tablet isap saja. Antibiotika diberikan untuk faringitis yang disebabkan
oleh bakteri Gram positif disamping analgetika dan kumur dengan air hangat.
Penisilin dapat diberikan untuk penyebab bakteri GABHS, karena penisilin
lebih kemanjurannya telah terbukti, spektrum sempit,aman dan murah
harganya. Dapat diberikan secara sistemik dengan dosis 250 mg, 2 atau 3
kali sehari untuk anak-anak, dan 250 mg 4 kali sehari atau 500 mg 2 kali
sehari selama 10 hari. Apabila pasien alergi dengan penisilin, dapat diganti
dengan eritromisin. (Alan,at.al.,2001).
II.8. Komplikasi
Komplikasi infeksi GABHS dapat berupa demam reumatik, dan abses
peritonsiler. Abses peritonsiler terjadi
• Komplikasi umum faringitis terutama tampak pada faringitis karena bakteri
yaitu : sinusitis, otitis media, epiglotitis, mastoiditis, dan pneumonia.
Kekambuhan biasanya terjadi pada pasaien dengan pengobatan yang tidak
tuntas pada pengobatan dengan antibiotik, atau adanya paparan baru.
• Demam rheumatic akut(3-5 minggu setelah infeksi), poststreptococcal
glomerulonephritis, dan toxic shock syndrome, peritonsiler abses,
• Komplikasi infeks mononukleus meliputi: ruptur lien, hepatitis, Guillain
Barré syndrome, encephalitis, anemia hemolitik, myocarditis, B-cell
lymphoma, dan karsinoma nasofaring (Kazzi,at.al.,2006)
II.9. Prognosis
• Sebagian besar faringitis dapat sembuh spontan dalam 10 hari, tnamun
sangat penting untuk mewaspadai terjadinya komplikasi pada faringitis
(Kazzi,at.al.,2006).
DAFTAR PUSTAKA
Epidemiologi
Faringitis dapat terjadi pada semua umur dan tidak dipengaruhi jenis kelamin2,
dengan frekuensi yang lebih tinggi terjadi pada populasi anak-anak3. Faringitis
akut jarang ditemukan pada usia di bawah 1 tahun. Insidensinya meningkat dan
mencapai puncaknya pada usia 4-7 tahun, tetapi tetap berlanjut sepanjang akhir
masa anak-anak dan kehidupan dewasa4. Kematian yang diakibatkan faringitis
jarang, tetapi dapat terjadi sebagai hasil dari komplikasi penyakit ini3.
Faringitis akut baik disertai demam atau tidak, pada umumnya disebabkan
oleh virus4,5,6, seperti Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenzavirus,
Coksakievirus, Coronavirus, Echovirus, Epstein-Bar virus (mononukleosis) dan
Cytomegalovirus2,5. Dari golongan bakteri seperti streptokokus beta hemolitikus
kelompok A, merupakan kelompok bakteri yang sering ditemukan4,6, sedangkan
jenis bakteri yang lain seperti Neisseria gonorrhoeae, Corynobacterium
diphtheriae, Chlamydia pneumonia, grup C dan G streptokokus2,3.
Penyebab faringitis yang lain seperti Candida albicans (Monilia) sering
didapatkan pada bayi dan orang dewasa yang dalam keadaan lemah atau
terimunosupresi3,7. Hal-hal seperti udara kering, rokok, neoplasia, intubasi
endotrakeal, alergi, dan luka akibat zat kimia dapat juga menyebabkan
faringitis2,3.
Patofisiologi
Penularan terjadi melalui droplet. Kuman menginfiltrasi lapisan epitel,
kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial bereaksi, terjadi
pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear6. Pada
stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi yang meningkat.
Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian cendrung
menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi,
pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna
kuning, putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak
bahwa folikel limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau
terletak lebih ke lateral, menjadi meradang dan membengkak5.
Terapi
Terapi faringitis virus adalah aspirin atau asetaminofen, cairan dan istirahat
baring. Komplikasi seperti sinusitis atau pneumonia biasanya disebabkan oleh
invasi bakteri karena adanya nekrosis epitel yang disebabkan oleh virus.
Antibiotika dicadangkan untuk komplikasi ini7.
Faringitis streptokokus paling baik diobati dengan pemberian penisilin oral
(200.000-250.000 unit penisilin G,3-4 kali sehari, selama 10 hari). Pemberian
obat ini biasanya akan menghasilkan respon klinis yang cepat dengan terjadinya
suhu badan dalam waktu 24 jam. Eritromisin atau klindamisin merupakan obat
lain dengan hasil memuaskan, jika penderita alergi terhadap penisilin4,6.
Dengan tambahan untuk mencukupi terapi antibiotik terhadap pasien-pasien
yang menderita faringitis, tanpa menghiraukan etiologinya, seharusnya diberikan
antipiretik untuk mengatasi nyeri atau demam. Obat yang dianjurkan seperti
ibuprofen atau asetaminofen2.
Jika penderita menderita nyeri tenggorokan yang sangat hebat, selain terapi
obat, pemberian kompres panas atau dingin pada leher dapat membantu
meringankan nyeri. Berkumur-kumur dengan larutan garam hangat dapat pula
memberikan sedikit keringanan gejala terhadap nyeri tenggorokan, dan hal ini
dapat disarankan pada anak-anak yang lebih besar untuk dapat bekerja sama4.
Seorang anak dengan infeksi streptokokus tidak akan menularkan lagi kepada
orang-orang lain dalam beberapa jam setelah mendapatkan pengobatan
antibiotik. Sementara itu anak-anak dengan infeksi virus akan tetap dapat
menularkan selama beberapa hari4.
SIMULASI KASUS
Kasus
Seorang anak Tira (8 tahun, berat badan 25 kg) pelajar SD kelas 2, alamat Jl.
Kamboja No. 19 Banjarmasin, datang diantar ibunya ke poliklinik jam 10.00 pagi
dengan keluhan batuk. Pasien sudah 5 hari batuk, sebelumnya tidak berdahak,
sekarang menjadi berdahak kental berwarna kekuningan. Hidung tersumbat bila
malam ketika berbaring, sehinggga susah tidur, dan bila bangun pagi
tenggorokan terasa nyeri. Tadinya nyeri hilang bila diberi minum air hangat di
pagi hari, sekarang nyerinya menetap, terutama bila menelan makanan/minuman.
Kalau pagi, nyeri tenggorokannya terasa sekali. Badan mulai panas sejak
kemaren, dan tadi malam demamnya tinggi, sampai 390C diukur dengan
termometer di rumah. Sudah diberi kompres alkohol, minum banyak dan syrup
Novalgin, tapi panasnya hanya turun sebentar. Tanda vital TD = 100/70 mmHg,
nadi = 90 kali/menit, respirasi = 28 kali dan suhu 39OC. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan, hiperemi dan edem konka. Pada faring hiperemi mukosa, ada
sputum kental kuning, tidak ada membran putih. Pembesaran kelenjar limfe
submandibularis dengan nyeri tekan ringan. Thoraks, abdomen dan akstremitas
dalam batas normal.
Diagnosis : Faringitis dengan infeksi sekunder
Tujuan Pengobatan
Tujuan pengobatan untuk mengeliminasi infeksi serta mengurangi atau
menghilangkan gejala demam dan nyeri menelan. Meningkatkan daya tahan
tubuh anak dan mencegah komplikasi yang mungkin terjadi.
Daftar Kelompok Obat Beserta Jenisnya yang Berkhasiat
N0. Kelompok Obat Nama Obat
1 Antibiotik Amoksisillin, Eritromisin
2 Analgetik, antipiretik Asetaminofen, Ibuprofen
Farmakodinamik
Ibuprofen merupakan turunan asam propionat yang berkhasiat sebagai
antiinflamasi, analgetik, dan antipiretik11. Efek antiinflamasi dan analgetiknya
melalui mekanisme pengurangan sintesis prostaglandin1.
Efek ibuprofen terhadap saluran cerna lebih ringan dibandingkan aspirin,
indometasin atau naproksen. Efek lainnya yang jarang seperti eritema kulit, sakit
kepala, trombositopenia, dan ambliopia toksik yang reversibel12.
Interaksi Obat
Penggunaan ibuprofen bersama-sama dengan salah satu obat seperti
hidralazin, kaptopril, atau beta-blocker dapat mengurangi khasiat dari obat-obat
tersebut. Sedangkan penggunaan bersama dengan obat furosemid atau tiazid
dapat meningkatkan efek diuresis dari kedua obat tersebut1.
Pengendalian Obat
DAFTAR PUSTAKA
1. Aung, K. Pharyngitis, Viral. eMedicine.Com 2005; (online),
(http://www.emedicine.Com/med/topic.1812.htm. diakses 2 Mei 2005).
2. Simon, HK. Pediatrics, Pharyngitis. eMedicine.Com 2005; (online),
(http://www.emedicine.Com/emerg/topic.395.htm. diakses 30 april 2005).
3. Kazzi, AA. Pharyngitis. eMedicine.Com 2005; (online),
(http://www.emedicine.Com/emerg/topic.419.htm. diakses 30 april 2005).
4. Berhman, E. Richard dan Victor C.V.1992. Sistem pernafasan: Infeksi-infeksi
Saluran Nafas Bagian Atas dalam: Nelson Ilmu Penyakit Anak Bagian 2. EGC.
Jakarta; 297-98.
5. Adam, Goerge L.1997. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring dalam:
Boeis Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. EGC. Jakarta; 328-29.
6. Mansjoer, A (ed). 1999. Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok:
Tenggorok dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. FK UI. Jakarta; 118.
7. Eugen B.K, D. Thaher R.C, dan Bruce W.P. 1993. Sakit Tenggorokan.
Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok. EGC, Jakarta;297-98
8. Katzung BG. 1995. Obat dengan Indikasi Khusus dalam: Farmakologi Dasar
dan Klinik Edisi 3. EGC. Jakarta; 675-78.
9. Setiabudy, R.1995. Antimikroba Lain dalam Ganiswarna, S (ed). 1995.
Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Bagian Farmakologi FK UI. Jakarta;675-78.
10. Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2000. Obat yang Digunakan
untuk Pengobatan Infeksi. Dalam: Informatorium Obat nasional Indonesia 2000
(IONI). Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan makanan;199-230.
11. Departemen kesehatan Republik Indonesia. 2000. Obat yang Digunakan
untuk Pengobatan Penyakit Otot Skelet dan Sendi. Dalam: Informatorium Obat
nasional Indonesia 2000 (IONI). Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat
dan makanan; 354-76.
12. Wilmana P.F. 1995. Analgesik-Antipiretik, Analgesik Anti-inflamasi
Nonsteroid dan Obat Pirai dalam Ganiswarna, S (ed). 1995. Farmakologi dan
Terapi Edisi 4. Bagian Farmakologi FK UI. Jakarta;675-78.