𝑏 𝑏
𝑓 𝑏 𝑓 𝑎
𝑓 𝑥 ≅ 𝑓 𝑥 𝑑𝑥 + +
2 2
𝑎 𝑎
𝑓 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑓 𝑥
𝑓′ 𝑥 = lim
Δ𝑥→0 Δ𝑥
𝑏
𝑑𝑦
𝑆= 1+ 𝑑𝑥
𝑑𝑥
𝑎
Paradoks Softbook Sunkar E. Gautama
Publisher 0
1
KALKULUS DASAR
Untuk Sekolah Menengah Atas dan Universitas
versi 1.0
Sunkar E. Gautama
© Paradoks Softbook Publisher
http://paradoks77.blogspot.com
For free
2
Judul buku : Kalkulus Dasar – Untuk Sekolah Menengah Atas dan Universitas
Edisi : 1.0
Penulis : Sunkar Eka Gautama
Tahun terbit : 2012
Open source:
1
12
3
Kata Pengantar
Tidak terasa buku ke-dua saya yang berjudul Kalkulus Dasar ini kelar juga.
Menyelesaikan buku ini di sela-sela kuliah dan kerja ternyata cukup sulit. Namun
dilatarbelakangi semangat yang kuat melihat masih cukup minimnya buku-buku
kalkulus dasar yang ditulis berbasis konseptual, akhirnya dalam tempo lima bulan
buku ini bisa diselesaikan. Penyusunan buku berbasis konseptual ini dipilih karena
buku-buku berbasis ikhtisar jarang yang dapat mengantar pembaca mengenal
seluk-beluk materi dalam buku, mengapa ini begini dan mengapa itu begitu. Apalagi
jika bukunya buku matematika, jelaslah matematika akan tampak bagaikan
monster.
Atas terselesaikannya buku ini, penulis berterima kasih kepada segenap
materi-energi yang berkontribusi dalam pembuatan buku ini, khususnya kepada
orangtua penulis, MS Word, Cindy (atas bantuannya mengetikkan beberapa bagian
tulisan), serta saudara Aldytia, Ariansyah, Nur Hidayat, dan Akbar yang sudi
menemani ngopi dan ngobrol di bawah pohon tatkala penulis jenuh,
Alih-alih mengonversi buku ini ke format pdf, berdasarkan ilham yang
didapat penulis memutuskan tetap menggunakan format docx sehingga buku ini
benar-benar open source, boleh dikopi, disunting, dan dicetak semaunya. Hak cipta
adalah bagian tak terpisahkan dari suatu karya, tapi untuk buku saya, hak ciptanya
tidak dilindungi undang-undang – semata-mata untuk pendidikan di Indonesia.
Karena merupakan edisi perdana, penulis memohon maaf atas kesalahan-
kesalahan teknis maupun non-teknis pada buku ini – tolong tidak hanya dimaklumi,
tetapi juga dilaporkan oleh pembaca yang budiman demi kepentingan koreksi buku
ini pada revisi selanjutnya. Akhir kalimat, terima kasih telah menggunakan buku ini.
Salam hangat.
4
Daftar Isi
Kata Pengantar 4
Daftar Isi 5
Pendahuluan 7
1. Himpunan dan Fungsi 8
1.1. Himpunan dan Bilangan 8
1.2. Definisi Fungsi 13
1.3. Beberapa Jenis Fungsi 17
1.4. Operasi pada Fungsi 26
2. Limit 29
2.1. Definisi Limit 29
2.2. Limit Fungsi Aljabar 33
2.3. Teorema Limit 44
2.4. Limit Fungsi Trigonometri 45
2.5. Kontinyuitas Suatu Fungsi 47
3. Turunan 49
3.1. Turunan Fungsi di Suatu Titik 49
3.2. Turunan Fungsi Aljabar 56
3.3. Turunan Fungsi Trigonometri 60
3.4. Turunan Fungsi Komposit dan Aturan Rantai 62
3.5. Turunan Tingkat Tinggi (Orde Tinggi) 65
3.6. Turunan Fungsi Implisit 69
3.7. Turunan Fungsi Pangkat Irasional 69
3.8. Analisis Gradien dan Nilai Ekstrim 70
4. Integral 78
4.1. Integral sebagai Anti-Turunan 78
4.2. Notasi Integral 79
5
4.3. Integral sebagai Luas Daerah di Bawah Kurva 81
4.4. Beberapa Bentuk Integral 85
4.5. Metode Substitusi 88
4.6. Integral Parsial 95
4.7. Integral Fungsi Rasional 101
4.8. Integral Tentu 104
5. Turunan Parsial dan Turunan Berarah 115
5.1. Fungsi n Variabel 115
5.2. Turunan Parsial 117
5.3. Aturan Rantai Fungsi Implisit 119
5.4. Diferensial Total dan Hampiran 123
5.5. Gradien dan Turunan Berarah 126
6. Aplikasi Turunan dan Integral 129
6.1. Aplikasi Turunan 129
6.2. Aplikasi Integral 139
7. Deret Tak Hingga 147
7.1. Deret Tak Hingga 147
7.2. Deret Pangkat 153
7.3. Deret Taylor dan MacLaurin 154
7.4. Turunan dengan Bantuan Deret 155
8. Pengantar Persamaan Diferensial 157
8.1. Konsep Persamaan Diferensial 157
8.2. Persamaan Diferensial Linear Orde Satu 159
8.3. Persamaan Diferensial Linear Orde Dua 159
Daftar Pustaka 164
6
Pendahuluan
7
Bab 1 Himpunan dan Fungsi
8
menjelaskan syaratnya (meskipun ada syarat dibaliknya, misal barang-
barang yang ada di kulkas rumah saya).
Oke, dalam matematika himpunan disimbolkan dengan huruf kapital
semisal A, B, C, dan lain-lain. Objek-objek dalam himpunan (elemen-
elemennya) disimbolkan dengan huruf kecil. Untuk memerikan suatu
himpunan, elemen-elemennya dapat dituliskan dalam tanda kurung
kurawal.
= 12345
= 1357
Atau kita dapat menuliskan deskripsi (syarat) elemen dari suatu
himpunan.
= 1 5
= =2 −1
Simbol n masing-masing menyatakan bilangan asli
(1,2,3,…), bilangan bulat/integer (…,-1,0,1,2,…), bilangan rasional
= = , bilangan riil (rasional dan irasional), dan
9
kelelawar, dinotasikan: l l = (dibaca: kelelawar sama
dengan A iris B).
2. Gabungan/union ( )
Misalkan siswa-siswi SMA Putus Harapan (sebut himpunan A) terbagi
menjadi dua jurusan, yakni IPA (himpunan B) dan IPS (himpunan C).
Artinya bila himpunan B digabung dengan himpunan C akan menjadi
himpunan A, dinotasikan: = (dibaca: A sama dengan B gabung
C).
3. Himpunan bagian/subset ( ) dan himpunan induk/superset ( )
Berkaitan dengan poin nomor 2, bagaimanakah jika SMA Putus Harapan
terbagi menjadi tiga jurusan yakni IPA, IPS, dan bahasa (sebut himpunan
D)? Tidak benar jika kita menuliskan = karena A juga berisikan
C, yang benar adalah = . Tetapi benar juga jika kita
mengatakan B adalah himpunan bagian (subset) dari A, dinotasikan:
(dibaca: B subset dari A). Ataukah dengan bahasa yang sedikit
berbeda kita dapat mengatakan A adalah himpunan induk (superset)
dari B, dinotasikan: (dibaca: A superset dari B).
10
bilangan = 3 14159265358979323846264 memiliki tak hingga angka
di belakang koma yang susunannya tidak memiliki pola. Tetapi bilangan
0.69230769230769230769… bukanlah bilangan irasional meskipun angka
di belakang komanya tak hingga panjangnya karena susunannya memiliki
pola berulang. Terbukti, 0.69230769230769230769… dapat diubah ke
11
sumbu-sumbu orientasi arah berupa garis riil yang lurus dan saling tegak
lurus (ortogonal) satu sama lain. Jika kita menggambarkan letak titik dalam
dua dimensi, maka hanya diperlukan dua sumbu (misal X dan Y) untuk
menunjukkan arah atas, bawah, kiri, dan kanan. Begitu pula bila ingin
menggambarkan letak titik dalam tiga dimensi, diperlukan tiga sumbu
orientasi (misal X, Y, dan Z).
Jika terdapat suatu titik A dalam koordinat kartesian dua dimensi,
proyeksi titik A ke sumbu X disebut sebagai nilai komponen x dari titik A
dan proyeksi titik A ke sumbu Y disebut sebagai nilai komponen y dari titik
A sehingga dapat dituliskan letak titik A sebagai . Untuk pemetaan
suatu fungsi, dengan meletakkan nilai-nilai input pada satu sumbu
(misalkan sumbu X) nilai-nilai output diletakkan pada sumbu lainnya
(sumbu Y), maka lokasi pasangan nilai (input-output) dapat diperoleh
dengan menghubungkan komponen x (input) dan komponen y (output)-nya.
Y Y
6
5
4 A = (4,3)
3
2 y = f(x)
1 X
-6 -5 -4 -3 -2 -1
-1 0 1 2 3 4 5 6
-2
-3
-4
X
B = (-2,-5) -5 0
-6
Gambar 1.1. Letak titik A = (4,3) dan B = (-2,-5) digambarkan dalam koordinat
kartesius 2D (kiri) dan fungsi f(x) yang direpsentasikan sebagai
kumpulan titik-titik digambarkan dalam koordinat kartesiuas (kanan).
12
2. DEFINISI FUNGSI
Pernahkah Anda masuk ke kebun binatang atau wahana hiburan?
Biasanya tiket masuknya bervariasi: orang dewasa Rp 100.000,00, di bawah 12
tahun Rp 50.000.00, dan balita gratis. Yeah, ini adalah salah satu bentuk fungsi!
Mungkin Anda juga pernah mendengar rumus kesetaraan massa-energi dari
Einstein, = , persamaan itu juga merupakan fungsi. Lalu apa bedanya
fungsi dan persamaan? Mari temukan penjelasannya di bawah ini.
2.1. Pemetaan
Pemetaan ialah proses menghubungkan suatu input terhadap
outputnya berdasarkan relasi/syarat/aturan. Jadi hal yang penting dalam
pemetaan adalah input, relasi, dan output. Biasanya kita telah memilki nilai-
nilai input yang jelas, juga telah memiliki relasi yang telah ditentukan.
Dengan memasukkan nilai-nilai input ke dalam mesin pemroses (relasi),
maka keluar nilai outputnya. Dengan begitu kita dapat menghubungkan
nilai-nilai input dengan nilai output yang dihasilkannya, inilah pemetaan!
Himpunan dari nilai-nilai input itu disebut daerah asal (domain), sedangkan
himpunan dari nilai-nilai output disebut daerah hasil (codomain).
Pemetaan dapat digambarkan melalui diagram yang mudah
dimengerti, mudah digambarkan di atas kertas, tetapi cukup menjengkelkan
jika harus digambarkan dengan MS Word. Misalkan pemetaan hewan-
hewan (sebagai input) terhadap makanannya (sebagai output). Jadi
relasinya adalah “memakan”.
13
A memakan
B
kuda •
• kelinci
macan tutul •
• rumput
kambing •
• kril
paus biru •
• ikan mas
ikan gabus •
• mi instan
kucing hutan • .rasa soto
14
• • • • • • • •
• • • • • • • •
• • • • • • • •
• • • • • • • •
a b c d
15
2.3. Fungsi Genap dan Fungsi Ganjil
Perhatikan grafik fungsi in , o , , dan di bawah ini.
16
3. BEBERAPA JENIS FUNGSI
Kita telah cukup banyak membahas mengenai fungsi. Berikutnya akan
diberikan beberapa jenis fungsi yang sering muncul dalam keseharian dan ujian
Anda.
17
Misalnya 7 = 7, = , dan −7 = − −7 = 7.
Dari definisi di atas terlihat bahwa untuk setiap bilangan riil berlaku
.
Salah satu cara mudah untuk membayangkan nilai mutlak ialah jarak
(suatu skalar, tidak memilki arah). adalah jarak x dari titik (0,0), begitu
pula − ialah jarak antara x dengan a. Dari definisi nilai mutlak ini,
didapati pula sifat nilai mutlak dalam suatu ketaksamaan yakni
; berarti – (1.3.a)
; berarti − (1.3.b)
Berikut ini ialah sifat-sifat nilai mutlak dalam operasi aljabar
1. =
2. | | =
3. + +
Contoh:
1. Selesaikanlah ketaksamaan −7 2!
Jawab:
Mengingat sifat nilai mutlak pada pers. 1.3.a, dapat diperluas menjadi
; berarti – , sehingga
− −7 2
Tambahkan masing-masing ruas dengan 7, diperoleh
9
Jadi himpunan penyelesaiannya ada dalam selang 5 9 .
18
4 −4 atau 4 2
sehingga −1 atau 5
Jadi himpunan penyelesaiannya ada dalam selang − 5 .
3. Selesaikanlah ketaksamaan 4 − 2!
Jawab:
− 4− 2
− − −2
Kalikan semua ruas dengan -1 (ingat jika ketaksamaan dikalikan dengan -1 maka
tandanya berbalik, seperti bila 2 4, maka −2 −4).
2 atau 6. Jadi himpunan penyelesaiannya berada dalam selang
26 .
19
Satu contoh lagi, misalkan = + − 3 . Terdapat dua tanda
mutlak, sehingga terdapat dua titik di mana akan berubah sifat. Kedua
titik itu ialah = dan −3= = 3. Perhatikan pada subfungsi dalam
tanda mutlak yang pertama, , untuk maka = − , sedangkan
untuk maka = . Cara yang serupa dikerjakan untuk tanda mutlak
yang ke-dua, − 3 , menghasilkan − 3 = − + 3 untuk 3, dan
−3 = − 3 untuk 3. Dengan demikian terdapat tiga selang yang
memuat “fungsi baru” yang berbeda yakni:
+ −3 i 3
={ − +3 i 3
− − +3 i
20
Contohnya kita ambil saja operasi pada konstanta. Bila = 2 2,
terdapat bilangan bulat …, -1,0,1,2 yang lebih kecil dari 2,2, jadi 2 2 = 2.
Dengan mudah kita ketahui 1 7 = 1, 3 5 = 3, −4 6 = −5 , dan
1 =1 .
Secara formal dapatlah kita tuliskan
= jika +1
Contoh:
1. Tentukanlah aturan fungsi tangga = −2 dalam selang −1 1
Jawab:
Menurut definisi bilangan bulat terbesar
− − .
= −1 −2 = −1 = −1
= − −2 = =
=1 −1 − −2 =1 =1
n = −1 −2 =2 =2
Jadi aturan fungsinya adalah
1
−2 1
2
1
−1
2
= 1
−
2
1
1 −1 −
2
{ 2 = −1
21
3.6. Fungsi Trigonometri
Fungsi trigonometri ialah fungsi yang memuat operasi-operasi
trigonometri seperti sinus, kosinus, dan tangen.
in = = (1.4)
o = = (1.5)
n = = = (1.6)
22
in 9 − = o (1.7.a)
o 9 − = in (1.7.b)
Mengingat sifat periodesitas fungsi trigonometri, dipenuhi juga
hubungan
in 9 + = o (1.7.c)
o 9 + = in (1.7.d)
Hubungan penting yang lainnya ialah
in + o =1 (1.8)
23
Gambar 1.7. Grafik fungsi sinus (atas, biru), cosinus (atas, merah), dan
tangen (bawah, biru)
Selain itu dikenal pula fungsi cosecan, secan, dan cotangen sebagai
pangkat negatif satu dari fungsi sinus, cosinus, dan tangen atau secara
matematis diperikan sebagai
= = (1.9)
= = (1.10)
o = = = (1.11)
Gambar 1.8. Grafik fungsi cosec (biru), sec (merah), dan cotangen (hijau) dalam
koordinat kartesian.
24
Gambar 1.9. Perbandingan gambar antara hiperbola (kiri) dan lingkaran (kanan)
dengan r = 2.
o = (1.13)
n = = (1.14)
Gambar 1.10. Grafik fungsi sinh (biru), cosh (merah), dan tanh (hijau) dalam
koordinat kartesian.
25
4. OPERASI PADA FUNGSI
Tentunya fungsi yang dimaksud di sini adalah fungsi metematis.
Setidaknya terdapat dua macam operasi yang umum pada fungsi, yakni operasi
aljabar dan komposisi fungsi.
3 +4
=
2 −1
Selain melakukan operasi aljabar antar dua fungsi atau lebih, kita
juga dapat menjumlahkan, mengurangkan, mengalikan, membagi,
memangkatkan, dan menarik akar suatu fungsi dengan suatu konstanta.
Tentu saja hal ini sangat mudah sehingga penjelasan lebih lanjut dirasa
tidak perlu.
26
benang yang kemudian diproses lagi dalam mesin tenun sehingga menjadi
kain.
Sebelum memulai definisi matematikanya lebih lanjut, baiknya kita
simak dulu pemahaman berikut ini.
Nilai-nilai x (bahan mentah) ingin diproses dengan fungsi
= = + 1 untuk menghasilkan output-output y (bahan baku). Lalu
y akan diproses lagi dengan fungsi = = 2 + 3 untuk menghasilkan
output-output z (bahan jadi). Jika kita tidak ingin mempedulikan proses-
prosesnya satu demi satu, dapatlah diringkaskan keseluruhan proses itu
dari input x menghasilkan output z, yakni:
= =2 +3
= ( )=2 +1 +3= 2 +5
Kita perolehlah ringkasan proses-prosesnya menjadi satu proses dari bahan
mentah menjadi bahan jadi yaitu = ( )=2 + 5.
Dalam matematika, boleh jadi kita tidak memerlukan penamaan
berbeda untuk bahan mentah dan bahan baku, kita bisa menamakan
keduanya sebagai x. Contohnya lagi diketahui = + 4 dan
= − 2, maka:
2 2 8
( )= −2 +4= +
3 3 3
2 4 16
( )=( + 4) − 2 = + + 14
3 9 3
Notasi ( ) juga biasa dituliskan sebagai (dibaca
fungsi f komposisi g) dan notasi ( ) juga biasa dituliskan sebagai
. Jelas bahwa tidak mesti sama dengan .
Untuk komposisi tiga fungsi atau lebih aturan yang sama berlaku, juga
27
4.3. Invers Suatu Fungsi
Jika dipenuhi suatu sifat
= (1.15.a)
atau
= (1.15.b)
Maka disebut sebagai fungsi invers dari . Langkah
pertama yang perlu dilakukan untuk mencari invers dari fungsi satu
variabel, semisal = ialah dengan mengubahnya menjadi = .
Setelah itu Anda cukup menukar variabel y menjadi variabel awal, yakni x.
Contohnya fungsi = =
2 −3=
= + =
28
Bab 2 Limit
1. DEFINISI LIMIT
Secara harfiah, limit berarti batas. Dalam matematika, limit dapat
dipandang sebagai batas, nilai yang mendekati (approach). Jika dikaitkan dalam
fungsi, limit fungsi di dapat dikata nilai fungsi untuk mendekati , sedekat
mungkin, tapi tidak pernah tepat di .
1.1. Interpretasi Grafik
Pengertian limit fungsi di suatu titik dapat dipahamai dengan
menggunakan grafik. Untuk lebih detilnya, perhatikan langkah-langkah
berikut.
Langkah 1
Tetapkan bilangan positif ε sehingga selisih antara dengan L kurang
dari ε, ditulis − atau − + . Ungkapan ini
digambarkan oleh sabuk horizontal dengan lebar ε (batas atas + dan
batas bawah − ) seperti pada Gambar 2.1.a.
Langkah 2
Pilihlah bilangan positif sehingga selisih antara x dengan a positif tetapi
kurang dari δ, ditulis − .
− menunjukkan bahwa .
− atau − + . Ungkapan ini digambarkan oleh sabuk
vertikal dengan lebar 2 (batas kanan + dan batas kiri − ) seperti
pada Gambar 2.1.b.
Langkah 3
Perpotongan antara sabuk horizontal dan sabuk vertikal yang diperoleh
pada kedua langkah di atas membentuk persegi panjang ABCD seperti
diperlihatkan pada Gambar 2.1.c.
29
Persegi panjang ABCD ini yang digunakan untuk menentukan ada
atau tidak adanya limit fungsi di sekitar = sebagai berikut
Jika grafik fungsi yang berada dalam sabuk-vertikal juga berada
dalam persegi panjang , maka fungsi mempunyai limit L
untuk x mendekati a.
Jika grafik fungsi yang berada dalam sabuk-vertikal tetapi tidak
berada dalam persegi panjang ABCD, maka fungsi tidak mempunyai
limit untuk x mendekati a.
𝑌 sabuk-horizontal 𝑌 sabuk-vertikal 𝑌
𝐿+𝜀 𝜀 𝐴
𝐿+𝜀 𝐵
𝐿 𝜀 𝜀
𝐿−𝜀 𝐿
𝜀
𝐿−𝜀
𝐶 𝐷
𝛿 𝛿 𝛿 𝛿
𝑂 𝑋 𝑂 𝑎 −𝛿𝑥 = 𝑎 𝑎+𝛿
𝑋 𝑂 𝑎 − 𝛿𝑥 = 𝑎 𝑎 + 𝛿
𝑋
(a) (b) (c)
𝑌 𝑦=𝑓 𝑥 𝑥 𝑎 𝑌 𝑦=𝑓 𝑥 𝑥 𝑎
𝐿+𝜀 𝐴 𝐵 𝐴 𝐵
𝐿+𝜀
𝜀 𝜀
𝐿 𝐿
𝜀 𝜀
𝐿−𝜀 𝐿−𝜀
𝐶 𝐿 𝐷 𝐶 𝐿 𝐷
𝛿 𝛿 𝛿 𝛿
𝑎 − 𝛿𝑥 = 𝑎 𝑎 + 𝛿 𝑎−𝛿𝑥 = 𝑎 𝑎+𝛿
𝑂 𝑋 𝑂 𝑋
(a) lim𝑥→𝑎 𝑓 𝑥 = 𝐿 (b) lim𝑥→𝑎 𝑓 𝑥 tidak
aa
Gambar 2.2. Limit fungsi.
30
Definisi formal:
lim → = (2.1)
Berarti untuk setiap terdapat nilai sedemikian sehingga
− dan − .
dikatakan memiliki limit di = jika dan hanya jika memiliki limit kiri dan
limit kanan dan limit kirinya sama dengan limit kanannya.
𝑌 𝑌
𝑦=𝑓 𝑥 𝑥 𝑎 𝑦=𝑓 𝑥 𝑥 𝑎
𝐿 𝐿 𝐿 𝐿
𝑜 𝑥=𝑎
𝑋 𝑜 𝑥=𝑎
𝑋
(a) lim𝑥→𝑎 𝑓 𝑥 = 𝐿 , lim𝑥→𝑎+ 𝑓 𝑥 = (b) lim𝑥→𝑎 𝑓 𝑥 = 𝐿 ,
𝐿 , dan 𝐿 = 𝐿 lim𝑥→𝑎+ 𝑓 𝑥 = 𝐿 , dan 𝐿 𝐿
Gambar 2.3. Limit kiri dan limit kanan. Pada gambar (a) dikatakan fungsi
memiliki limit di x = a, sedangkan pada gambar (b) fungsi
tidak memiliki limit di x = a.
31
1.2. Pengamatan dari Penghitungan Nilai Fungsi
Pengertian limit fungsi di suatu titik dapat pula dipahami dengan
menghitung langsung nilai-nilai fungsi di sekitar titik yang ditinjau.
Misalkan fungsi = 2 + 3 ingin diketahui nilai fungsi dan limitnya di
= 2. Nilai fungsi di titik = 2 ialah 2 = 2 2 + 3 = 7.
Nah, bagaimana jika kita ingin mengetahui nilai untuk menuju
2? Maka dapat dihitung nilai-nilai fungsi di sekitar = 2.
Nah, sekarang kita coba cari nilai dan limit fungsi = di titik
0
= 2. Jika dihitung nilai fungsinya diperoleh 2 = = 0, suatu bentuk
yang tidak kita ketahui nilainya. Sekarang, kita coba menghitung nilai fungsi
di sekitar = 2.
32
2. Limit Fungsi Aljabar
2.1. Bentuk Tak Hingga dan Tak Tentu
Kita telah tahu bahwa nilai yang paling kecil dalam bilangan (dalam
hal ini bilangan positif) ialah bilangan yang mendekati nol. Lalu, berapakah
atau apakah bilangan yang memiliki nilai terbesar? Sayangnya tidak ada
bilangan seperti itu, karena setiap kita memilih bilangan yang sangat-sangat
besar sekalipun kita tetap akan menemukan bilangan yang lebih besar lagi.
Tak hingga adalah suatu entitas dalam matematika untuk
merepresentasikan nilai yang sangat besar. Penting untuk diingat karena
tak hingga (∞) hanyalah representasi dari bilangan yang sangat besar,
sehingga tak hingga (∞) bukanlah bilangan dalam artian yang sebenarnya.
Misalkan grafik dari = , maka untuk x menuju 0, y akan terus
membesar ke atas (untuk daerah kanan) dan ke bawah (untuk daerah kiri).
Nah, berapakah nilai y untuk = ? Jika kita melihat pola bahwa semakin
kecil nilai x (dengan mengabaikan tanda positif dan negatif) maka y akan
semakin besar, maka dapat disimpulkan untuk = maka = .
Gambar 2.4 Limit tak hingga dan limit fungsi di tak hingga.
lim →0− =−
33
lim →0 | |= (2.2.a)
lim →0 | |= (2.2.b)
Berikutnya adalah bentuk tak tentu. Bentuk tak tentu adalah bentuk
0 0
matematis seperti 0. Untuk memastikan sifat tak tentu dari 0 mari simak
pemerian berikut.
= → =
0
= →0=
0
1 = →0=1
0
77 = → 0 = 77
0
Itulah yang dimaksudkan bahwa 0 adalah bentuk tak tentu, karena
hasilnya memungkinkan berapa saja. Bisa saja 0, 1, ½, -4, 77, 109, dan
0
sebagainya. Namun hal ini tidak berarti dalam suatu kasus bentuk 0
memiliki banyak hasil, tidak. Hasilnya hanya satu, hanya saja kita tidak
mungkin mengetahui hasilnya itu yang mana, kecuali jika kita mengetahui
polanya. Ingat pula perkalian suatu bilangan riil dengan bentuk tak tentu
menghasilkan bentuk tak tentu juga.
= =
0
Di mana a adalah sembarang bilangan riil. Jadi perkalian antara 0
0 0
dangan a menghasilkan 0. Tapi jangan salah, 0 di ruas kiri nilainya tidak
0 0
sama dengan 0 di ruas kanan (kecuali = ). Seandainya 0 di ruas kiri
0
nilainya sama dengan k, maka di ruas kanan nilainya adalah a k. Bingung?
0
34
bentuk yang paling sederhana, untuk mencegah munculnya bentuk tak
tentu. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca pada bagian 2.2.
0
Selain 0, beberapa bentuk tak tentu lainnya yang umum dikenal ialah
lim = lim =
→0 →0
lim ( − ) = −
→0
diperoleh
⁄
lim = =
→0 ⁄
Kembali didapatkan bahwa kita tak bisa menentukan berapakah nilai
itu selama kita tidak mengetahui nilai dan . Sekarang untuk bentuk
lim ( )= =
→0
35
0
bentuk √ . Asumsikanlah √ = , sehingga = . Jelaslah k bukan
bilangan yang terdefinisi dalam matematika, karena semua bilangan real
(bahkan bilangan kompleks) jika dipangkatkan nol hasilnya pastilah satu.
bentuk-bentuk tak tentu lainnya. Sialnya, yang seperti inilah yang sering
muncul dalam soal ujian Anda. Oleh karena itu diperlukan suatu metode
untuk mengetahui “pola lain” dari fungsi dengan metode aritmatika
atau manipulasi aljabar agar dapat mengidentifikasikan nilai pasti dari
bentuk tak tentu tadi (tentunya ini penting untuk meningkatkan nilai Anda
di kelas).
Metode yang dimaksudkan di atas adalah metode pemfaktoran.
Tentu saja ini kabar buruk bagi yang nilai aljabarnya merah. Oleh karena itu
di sini akan diberikan contoh-contoh yang sederhana.
36
maka kita dapat berasumsi terdapat perkalian nol juga pada pembilangnya.
Ternyata benar, jika kita faktorkan,
−4 +2 −2 −2
= = = +2
−2 −2 −2
Dengan menggunakan bantuan teorema limit diperoleh
−4 −2
lim = lim +2 lim
→ −2 → → −2
0
Jadi bentuk 0 yang terkandung dalam untuk x = 2 ialah
diperoleh lim → + 2 = 2 + 2 = 4.
Jadi intinya adalah bagaimana kita mengubah fungsi itu ke bentuk
lain dengan manipulasi aljabar agar hasil fungsi di titik yang dimaksud tidak
menghasilkan bentuk tak tentu.
Contoh:
1. Hitunglah lim → !
Jawab:
Substitusi secara langsung.
lim → = =1
2. Hitunglah lim →0 !
Jawab:
0
Jika disubstitusi secara langsung akan menghasilkan bentuk 0, oleh karena itu
0
=0 = −4
37
3. Hitunglah lim → !
Jawab:
Faktorkan pembilang dan penyebutnya.
( ) ( )
lim → = lim → = lim →
= = =1
√
4. Hitunglah lim → !
Jawab:
Ingat bentuk aljabar + − = − . Faktorkanlah penyebutnya.
√ √
lim → = lim → (√ ) √
= lim → √
√
lim → = =
√
5. Hitunglah lim → !
Jawab:
Faktorkanlah pembilangnya.
lim → =3+2=6
√ √
6. Hitunglah lim →0 !
Jawab:
Kalikan pembilang dan penyebutnya dengan faktor lawan pembilang.
√ √ √ √ √ √
lim →0 = lim →0 √ √
= lim →0 = lim →0
√ √ √ √
= lim →0 √ = =
√ √ √
38
2.3. Limit fungsi aljabar di tak hingga
Telah dibahas di atas mengenai limit fungsi di suatu titik. Yang kita
tulis → . Nah, bagaimana jika titik yang dimaksud adalah nilai x yang
sangat besar, atau yang paling besar yang mungkin ada? Itulah yang
dimaksud dengan limit fungsi di tak hingga. Disebut limit karena “titik” tak
hingga itu tidak benar-benar terdefinisi, tetapi dapat kita dekati dengan nilai
yang teramat besar. Selain untuk meramalkan nilai fungsi pada nilai yang
sangat besar (apakah terus naik atau turun ataukah malah konstan), limit
fungsi di tak hingga juga penting dalam analisis deret tak hingga.
Oke, agar lebih jelas, langsung saja kita tinjau dua contoh berikut.
Yang pertama adalah fungsi = − 2 . Jika kita sustitusi x dengan
suatu nilai yang semakin besar diperoleh yang semakin besar pula. Jadi
kita dapat berasumsi bahwa bila x menuju tak hingga maka juga
menuju tak hingga. Selain menggunakan substitusi langsung, dapat pula kita
amati saja bentuk fungsinya. Untuk nilai yang sangat besar, jelaslah
−2 . Dengan demikian untuk nilai x yang sangat besar (juga untuk
bilangan negatif karena [–a]2 = a2) diperoleh pendekatan yang
jelas bahwa naik sebanding dengan x2. Dengan demikian dapat
dituliskan
lim −2 =+
→
diperoleh
2 −2 2
lim = lim 2 − =2− =2
→ →
39
Berikut grafiknya:
𝑥
Gambar 2.5 Grafik fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑥 − 2𝑥 dan 𝑓 𝑥 = .
𝑥
Contoh:
Jawab:
Pangkat tertinggi dari variabel x pada penyebutnya adalah 3, maka bagilah
pembilang dan penyebut dengan .
5 2 2 2 2
+ − 5+ − 5+ −
lim = lim = =5
→ 8 → 1 8 1− +
− + 1− +
Jadi, lim → = 5.
Jawab:
40
Pangkat tertinggi dari variabel x pada penyebutnya adalah 4, maka bagilah
pembilang dan penyebut dengan .
6 1 1 6 1
− − − − − − 1
lim = lim = lim = lim =
→ 3 6 → 6 → 3− → 3
− 3−
Jadi, lim → = .
Jawab:
Pangkat tertinggi dari variabel x pada penyebutnya adalah 2, maka bagilah
pembilang dan penyebut dengan .
1 6
+ − + −
lim = lim = lim =
→ 4 12 → 1− + →
1− +
Jadi lim → = .
Jawab:
Serupa dengan contoh nomor 3,
lim =−
→
Jadi lim → =− .
Jawab:
3
2 +3 2+
lim = lim =
→ −4 → 4
1−
Jadi, lim → = 2,
41
Dari contoh-contoh di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa limit
fungsi aljabar yang berbentuk fungsi pembagi di tak hingga dapat memiliki
hasil:
a. Jika pangkat tertinggi variabel pembilang lebih besar daripada pangkat
tertinggi variabel penyebut, maka |lim → |= .
b. Jika pangkat tertinggi variabel pembilang lebih kecil daripada pangkat
tertinggi variabel penyebut, maka lim → = .
c. Jika pangkat tertinggi variabel pembilang sama dengan pangkat tertinggi
variabel penyebut, maka lim → = dengan .
Gambar 2.6 Asimtot tegak, datar, dan miring dari suatu fungsi merupakan representasi
dari limit tak hingga dan limit di tak hingga.
nyaris lurus, yakni tegak pada x = 2 dan datar pada y = 1. Andaikan kita bisa
menggambarkan kurva tersebut dengan interval yang besar dan dilihat dari
jarak jauh maka akan teramati kurva = seperti tanda tambah. Garis x
= 2 disebut asimtot tegak dan garis y = 1 disebut asimtot datar pada kurva
= .
42
Sekarang perhatikan gambar 2.6.b, terlihat kurva = memiliki
bentuk nyaris lurus, yakni tegak pada x = 2 dan miring pada garis y = x. Garis
x = 2 disebut asimtot tegak dan garis y = x disebut asimtot miring pada
kurva = .
Jika ditilik lebih jauh, maka diperoleh kaitan bahwa asimtot tegak
tidak lain adalah manifestasi dari bentuk limit tak hingga yang bukan di
tak hingga dan asimtot datar adalah manifestasi dari bentuk limit di tak
hingga yang bukan tak hingga pada ketentuan pada bagian 2.3.b dan 2.3.c,
yakni bila pangkat tertinggi variabel pembilang lebih kecil atau sama
daripada pangkat tertinggi variabel penyebut. Adapun bila sesuai dengan
ketentuan 2.3.a, dengan syarat pangkat tertinggi variabel pembilang hanya
lebih tepat satu dibandingkan pangkat tertinggi variabel penyebut, akan
diperoleh asimtot miring.
Coba perhatikan fungsi = , untuk x = 2 diperoleh bentuk limit
1
Asumsikan x = 109, maka =1 2 1. Jelas untuk x menuju tak hingga maka hasilnya
akan semakin dekat dengan 1.
43
3. Teorema Limit
Dari penjelasan sebelum-sebelumnya dapat disimpulkan beberapa
teorema-teorema limit. Berikut adalah beberapa teorema limit yang umum
dikenal.
1. Jika = (fungsi konstan), maka lim → = untuk sembarang
.
2. Jika = (fungsi identitas), maka lim → = untuk sembarang
.
3. a) lim → + = lim → + lim →
Dengan kata lain limit jumlah fungsi-fungsi sama dengan jumlah masing-
masing limit fungsi.
b) lim → − = lim → − lim →
Dengan kata lain limit selisih fungsi-fungsi sama dengan selisih masing-
masing limit fungsi.
4. lim → = lim →
Limit hasil kali suatu fungsi dengan konstanta sama dengan hasil kali
konstanta dengan limit fungsi itu.
5. a) lim → = lim → lim →
Limit hasil kali fungsi-fungsi sama dengan hasil kali masing-masing limit
fungsi.
→
b) lim → =
→
Limit hasil bagi fungsi-fungsi sama dengan hasil bagi masing-masing limit
fungsi.
6. a) lim → = lim →
Limit fungsi pangkat n sama dengan pangkat n dari limit fungsi itu.
b) lim → √ = √lim → ; untuk lim → untuk n genap.
Limit akar pangkat n dari suatu fungsi sama dengan akar pangkat n dari
limit fungsi itu, asalkan limit fungsinya tidak negatif untuk n genap.
44
4. Limit Fungsi Trigonometri
Pada bagian sebelumnya telah dipelajari cara menyelesaikan problem
limit fungsi aljabar. Nah, sekarang saatnya untuk mempelajari limit fungsi
trigonometri. Ada tiga bentuk yang sering muncul mengenai limit fungsi
trigonometri, yakni lim →0 in , lim →0 o , dan lim →0 n .
45
menuju nol. Maka panjang garis BE akan makin mendekati panjang busur
CE, sehingga untuk dapat kita dekati .
in
in
Dengan demikian untuk limit menuju nol diperoleh
lim →0 in = (2.3)
Dari hasil ini dapat pula diperoleh
46
5. Kontinyuitas Suatu Fungsi
Dalam suatu selang tertentu, suatu fungsi dapat saja memiliki nilai untuk
setiap masukan nilai riil dalam selang. Namun ada kalanya pada satu atau lebih
titik dalam selang yang dipilih, fungsi itu tidak memiliki nilai (tak terdefinisi).
Untuk hal-hal semacam itu dikatakanlah ada fungsi yang kontinyu dan ada
fungsi yang tidak kontinyu.
2
Di sini digunakan fungsi satu variabel terhadap x, namun pemaknaan sesungguhnya berlaku untuk fungsi
terhadap variabel apapun.
3
Notasi dibaca A subset dari B, yang artinya semua elemen dari A juga merupakan elemen bagian
dari B.
47
5.3. Ketidakkontinyuan yang dapat dihapuskan
Apa itu ketidakkontinuan yang dapat dihapuskan? Suatu fungsi
dikatakan tidak kontinyu jika tidak terdefinisi setidaknya pada satu
titik dalam selang tertentu, misalkan di x = a dengan .
=
Tetapi bila memiliki limit di → , dengan kata lain limit kiri
sama dengan limit kanannya, maka ketidakkontinyuan fungsi di titik
= dikatakan dapat dihapuskan. Mengapa dapat dikatakan dihapuskan?
Untuk mudahnya perhatikan gambar fungsi diskontinyu dan fungsi
diskontinyu yang ketidakkontinyuannya dapat dihapuskan.
48
Bab 3 Turunan
′
+ −
= lim = lim
→0 →0
49
Jika limitnya ada, dikatakan fungsi f mempunyai turunan di = .
Sebaliknya jika limitnya tidak ada, dikatakan f tidak terturunkan di = ,
berlaku. Penjabaran yang lebih sederhana dari turunan akan diberikan dalam
pembahasan selanjutnya.
= = (3.1)
50
+ −
=
51
f f (c x) f (c)
m g lim lim
x 0 x x 0 x
Dan persamaan garis singgungnya dirumuskan dengan:
y f ' (c)( x c) f (c)
Adapun garis normal, yaitu garis yang tegak lurus dengan garis
singgung melewati titik c dapat dicari persamaannya dengan mengingat
perkalian gradien garis yang tegak lurus sama dengan -1.
1
y ( x c ) f (c )
f ' (c )
Contoh:
titik x 2 .
Persamaan garis singgungnya adalah:
y f ' (c)( x c) f (c)
y 8( x 2) 15 y 8x 1
52
B. Turunan Sebagai Kecepatan Sesaat dan Percepatan
Jika s(t ) suatu fungsi waktu dalam t, maka s' (t ) menyatakan kecepatan
sesaat dari perubahan s pada saat t, sedangkan s' ' (t ) menyatakan percepatan,
yaitu perubahan kecepatan v pada saat t. Jika s(t ) menyatakan jarak yang
ditempuh suatu benda pada suatu garis lurus, maka kecepatan saat t
dinyatakan dengan
s s(t t ) s(t )
v(t ) s' (t ) lim lim
t 0 t x 0 t
Sedangkan pada percepatan dapat dinyatakan dengan
v v(t t ) v(t )
a(t ) v' (t ) s' ' (t ) lim lim
t 0 t x 0 t
Contoh:
1. Gerak sebuah benda yang jatuh dari langit memenuhi persamaan
s 10t 2 8t 3 , dengan s dan t masing-masing dinyatakan dalam meter dan
detik Tentukanlah persamaan kecepatan benda, kecepatan benda pada saat
t 5 detik dan percepatannya!
Jawab:
Persamaan kecepatan benda adalah
s s(t t ) s(t )
v(t ) s' (t ) lim lim
t 0 t x 0 t
(10(t t ) 2 8(t t ) 3) (10(t ) 2 8t 3)
lim
x 0 t
10t 8
53
2. Misalkan sebuah fungsi f ( x) 4 x 16 , carilah f ' (4) !
Jawab:
f (4 x) f (4) (4(4 x) 16) (4(4) 16)
f ' (3) lim lim
x 0 x x 0 x
4x
lim 4
x 0 x
pertama untuk x 2
Jawab:
f (c x) f (c)
f ' (c) lim
x 0 x
(3 (c x) 2 6 (c x) 8) (3c 2 6c 8)
lim
x 0 x
(3 c 2 6cx 3 (x) 2 6c 6x 8) (3c 2 6c 8)
lim
x 0 x
6cx 3 (x) 2 6x
lim
x 0 x
lim 6c 3x 6
x 0
6c 6
f ' (2) 6(2) 6 18
Jawab:
f (3 x) f (3) (3 (2 x) 2 5) (3 (2) 2 5)
a) f ' (3) lim lim
x 0 x x 0 x
12x 3x 2
lim 12
x 0 x
f (c x) f (c)
b) f ' (c) lim
x 0 x
54
(3(c x) 2 5) (3c 2 5)
f ' (c) lim
x 0 x
(3c 2 6cx 3(x) 2 5) (3c 2 5)
f ' (c) lim
x 0 x
f ' (c) lim 6c 3x
x 0
f ' (c) 6c
′
2 + +1 − 2 +1
= lim
→0
′
2 +2 +1 − 2 +1
= lim
→0
′
2 +2 +2 2 +2 +1 − 2 +1
= lim
→0
′
4 +8 +4 + 4 +4 +1 − 4 +4 +1
= lim
→0
′
8 +4 +4
= lim = lim 8 + 4 + 4
→0 →0
′
= 8 +4
Hasil yang sama diperoleh dengan mengubah bentuk menjadi 4 +4 +1
′
4 + +4 + +1 − 4 +4 +1
= lim
→0
′
4 +8 +4 +4 +4 +1 − 4 +4 +1
= lim
→0
′
8 +4 +4
= lim
→0
′
= 8 +4
55
2. TURUNAN FUNGSI ALJABAR
2.1. Turunan Fungsi Berbentuk a xn
Fungsi-fungsi aljabar pada dasarnya berbentuk f(x) = axn, dengan a
dan n suatu konstanta. Jika n = 0, maka fungsi itu akan tereduksi menjadi
f(x) = a, yang disebut sebagai fungsi konstan. Jika dan n = 1, fungsi f(x) akan
tereduksi menjadi f(x) = ax, yang disebut fungsi linear, dan fungsi linear
dengan a = 1 akan menjadi fungsi identitas, f(x) = x. (Keterangan: untuk
fungsi polinom, nilai n yang paling tinggi pada fungsi disebut orde suatu
fungsi, misalkan =3 + 8 − 6 memiliki orde 3. Semua fungsi
berorde satu disebut fungsi linear, termasuk fungsi konstan).
A. Turunan Fungsi Konstan
Diberikan fungsi f(x) = a. Turunan fungsi f(x) ialah
′
+ −
= lim
→0
′
+ −
= lim = lim
→0 →0
′
=1 (3.2)
′
+ −
= lim
→0
′
+ −
= lim
→0
′
+ −
= lim = lim
→0 →0
′
= (3.3)
Perhatikan fungsi f(x) = ax dapat kita urai menjadi = , di
mana = , yaitu fungsi konstan yang turunannya telah kita ketahui
dari pembahasan sebelumnya. Jadi didapatkan turunan dari perkalian
suatu skalar dengan suatu fungsi sama dengan perkalian suatu skalar
dengan turunan suatu fungsi: = . (3.4)
56
C. Turunan Fungsi axn
Turunan dari fungsi yang berbentuk f(x) = axn ialah:
′
+ −
= lim
→0
′
+ −
= lim
→0
−1
{ + + + + }
2
= lim
→0
′
−1
= lim { + + + + }
→0 2
′
= (3.5)
′
+ −
= lim
→0
′
+ + + − +
= lim
→0
′
+ − + −
= lim + lim
→0 →0
57
′ ′ ′
= +
Dengan cara yang sama diperoleh turunan dari selisih fungsi
′ ′ ′
= − ialah = − . Jadi dapat dituliskan
′ ′ ′ ′
+ = + dan − = − . (3.6)
′
+ −
= lim
→0
′
+ + −
= lim
→0
′
+ + − + + + −
= lim
→0
′
+ − + −
= lim 2 + + 3
→0
′
+ −
= lim lim
→0 →0
+ −
+ lim + lim
→0 →0
′ ′ ′
= +
′ ′
Atau biasa dituliskan = + . (3.7)
= , sehingga diperoleh:
′ ′ ′
= +
′ ′ ′
= −
Dengan mensubstitusi nilai f(x) pada ruas kanan
′ ′ ′
= −
58
′ ′
′
−
=
′ ′
′
−
=
′ –
Atau biasa dituliskan ( ) = . (3.8)
4. Aturan jumlah.
Jika f dan g adalah fungsi-fungsi terdiferensialkan, maka
( f g )' ( x) f ' ( x) g ' ( x)
5. Aturan selisih.
Jika f dan g adalah fungsi-fungsi terdiferensialkan, maka
( f g )' ( x) f ' ( x) g ' ( x)
dy
Atau biasa dinyatakan u v u ' v uv'
dx
7. Aturan hasil bagi.
Jika f dan g adalah fungsi-fungsi terdiferensialkan dengan g ( x) 0 , maka
'
f f ' ( x) g ( x) f ( x) g ' ( x)
( x)
g ( g ( x)) 2
59
u dy u ' v uv'
Atau biasa dinyatakan
v dx v2
8. Rumus turunan untuk fungsi trigonometri
Jika f ( x) sin x , maka f ' ( x) cos x
Jika f ( x) cos x , maka f ' ( x) sin x
′
= lim →0
′
= lim →0 , + o -
′
= in lim →0 + o lim →0
Dari teori limit yang telah diberikan pada bab 2, khususnya pada
bagian limit fungsi trigonometri telah dibuktikan
60
3.2. Turunan Fungsi Cosinus
Misalkan diketahui fungsi = o , turunan fungsi terhadap
x ialah:
′
= lim →0
′
= lim →0
′
= lim →0 , − in -
′
= o lim →0 + in lim →0
′
= o − in 1
Jadi, dapat disimpulkan:
o = − in (3.10)
mengingat n = .
′
=
′
=
′
=
′
= =
n = (3.11)
61
4. TURUNAN FUNGSI KOMPOSIT DAN ATURAN RANTAI
Misalkan fungsi f terturunkan di x dan fungsi g terturunkan di f (x)
= lim →0 = lim →0
= lim →0 lim →0 =
Atau untuk fungsi komposit yang terdiri dari beberapa sub fungsi, aturan
rantai dapat diperpanjang lagi.
= (3.12.b)
62
Contoh:
1. Tentukan turunan fungsi = 8 −4
Jawab:
Misalkan 8 − 4 = , sehingga = dan =2 −4
8 −4 = 2 −4 = 8 2 −4 = 8 2 −4 8 −4
8 −4 =8 8 −4 2 −4
Tips:
𝑛
Untuk fungsi berbentuk 𝑓 𝑥 = 𝑢 𝑥 maka turunan fungsi 𝑓 𝑥 terhadap x ialah
𝑛
𝑓 𝑥 =𝑛 𝑢 𝑥 𝑢′ 𝑥 .
a. y 6x 2 9x 3
2x 1
b. y
3x 2
c. y 2 cos x x 3
d. y 6 cos 5 2 x
Jawab:
a. y 6 x 2 9 x 3 , maka y' 12 x 9
b. Misalkan u 2 x 1 dan v 3x 2
u ' v uv'
y'
v2
2(3x 2) (2 x 1)3
y'
(3x 2) 2
1
y'
(3x 2) 2
63
c. y 2 cos x x 3
d. = o 5−2
Anggap = 5 − 2 , sehingga = −2
′
= = = −6 in −2 = 12 in
′
= 12 in 5 − 2
− = =2
− = 2 (− ) = −√
64
5. TURUNAN TINGKAT TINGGI (ORDE TINGGI)
Turunan suatu fungsi, yang juga merupakan suatu fungsi masih dapat
diturunkan lagi asalkan memenuhi syarat-syarat turunan, yaitu masih memiliki
faktor yang akan diturunkan. Turunan kedua fungsi f didefinisikan sebagai
turunan dari fungsi turunan pertama, dan seterusnya.
d2y
Turunan kedua fungsi f dinotasikan dengan y ' ' ; ; f ' ' ( x) atau D x y .
2
2
dx
dny
Atau turunan ke-n fungsi f dinotasikan dengan y ( n ) ; ; f ( n ) ( x) atau D x y ..
n
n
dx
Secara umum turunan ke-n didefinisikan sebagai:
f ( n1) ( x h) f ( n1) ( x)
f ( n ) ( x) lim
h 0 h
Misalkan untuk fungsi f ( x) 2 x , maka
4
f ' ( x) 8 x 3
f ' ' ( x) 24 x 2
f ' ' ' ( x) 48x
f iv ( x) 48
Pada bagian terdahulu telah dibahas mengenai turunan fungsi komposisi,
antara lain yang berbentuk perkalian fungsi = . Bila fungsi
seperti ini diturunkan sekali, menghasilkan bentuk
′ ′
= = +
′
Jika diturunkan sekali lagi terhadap x, menghasilkan turunan ke-
dua yang berbentuk
′′ ′ ′ ′ ′′ ′ ′ ′ ′ ′′
= + = + + +
′′ ′′ ′ ′
= +2 + (3.13)
Jika diteruskan ke turunan ke-tiga, pola yang sama memberikan
′′′ ′′ ′ ′ ′′
= +2 + dan diperoleh
′′′ ′′′ ′′ ′ ′′
= +3 +3 + (3.14)
Apakah pola ini mengingatkan Anda pada sesuatu?
....
65
Bukan, Anda tidak melupakan cucian Anda, yang saya maksud adalah, ya!
Deret binomial Newton! Jika telah lupa, di sini diingatkan sekali lagi deret
binomial Newton adalah deret ekspansi dari bentuk + .
+ = + + + + (3.15)
Jika n bilangan bulat positif, kita dapat mengingat koefisien tiap suku
menggunakan segitiga Pascal yang telah diajarkan saat SMP.
1
1 1
1 2 1
1 3 3 1
1 4 6 4 1
... dan seterusnya.
Tentu saja karena orde dari turunan selalu bilangan bulat, maka dengan
mudah kita dapat mengingat koefisien-koefisiennya dari segitiga Pascal. Metode
turunan tingkat tinggi ini disebut aturan Leibniz.
− −
= + − + − + (3.16)
Misalkan kita disuruh pak guru mencari turunan ke-lima dari fungsi
= in . Jika kita terapkan aturan Leibniz dengan menamakan = in
dan, = diperoleh
′ ′′′ ′′ ′′ ′′′ ′
= +5 +1 +1 +5 +
= o + 5 in 2 +1 − o 2 + + +
in = o +1 in − 2 o
Catatan:
𝑓 𝑥 → 𝑓 ′ 𝑥 → 𝑓 ′′ 𝑥 → 𝑓 𝑥 →
𝑓 𝑖𝑣 𝑥
in 𝑥 → o 𝑥 → − in 𝑥 → − o 𝑥 → in 𝑥
66
Contoh:
1. Gerak rotasi suatu roda memenuhi persamaan 5t 2 4t 3 , dengan dan
t masing-masing dinyatakan dalam radian dan detik. Tentukanlah persamaan
kecepatan sudut roda dan percepatan sudutnya!
Jawab:
Persamaan kecepatan benda adalah
(t t ) (t )
(t ) s' (t ) lim lim
t 0 t x 0 t
(5(t t ) 2 4(t t ) 3) (5(t ) 2 4t 3)
lim
x 0 t
5t 4 rad s -1
Percepatan sudut roda adalah:
(t t ) (t )
(t ) ' (t ) lim
x 0 t
(5(t t ) 4) (5(t ) 4)
lim
x 0 t
5 rad s -2
f ' ( x) 24 x 3 9 x 2 1
3 o = in 3 +9 o 3
3 o =3 in + 27 o
Tips:
Agar tidak bingung, pilih v(x) yang habis jika terus diturunkan, misal 3x sudah
menjadi nol pada turunan ke-dua. Berbeda dengan cos x yang tak bisa habis
berapa kali pun diturunkan.
68
6. TURUNAN FUNGSI IMPLISIT
Suatu fungsi yang dinyatakan dalam bentuk y f (x) , maka fungsi ini
selalu dapat dinyatakan dalam bentuk F ( x, y) yakni f ( x) y 0 . Sebaliknya
tidak semua fungsi yang dinyatakan dalam bentuk F ( x, y) dapat diubah ke
implisit diperoleh:
dy
qy q 1 px p 1
dx
69
dy p x p 1 p x p 1 p x p 1
dx q y q 1 q ( x p / q ) q 1 q x p p / q
dy p p 1 p p / q p p / q 1
x x n.x n1
dx q q
Dari penurunan rumus diatas didapatkan bahwa
n 1
Jika y x , maka y' n.x , dengan n bilangan real.
n
Contoh:
1. Suatu fungsi dirumuskan =6 + − 3 , tentukanlah turunan
pertama fungsi f !
Jawab:
′
2 1
= ( )6 +( ) − 3
3 2
′
1 1
=4 + = 4√ +
2 2√
70
8.1. Nilai Ekstrim dan Titik Belok
Analisis langsung dari gradien adalah mengetahui kecenderungan
kurva naik atau turun. Jika kurva (atau suatu selang pada kurva) naik, maka
jelaslah gradien pada daerah itu positif, sedangkan jika kurva turun maka
gradiennya pastilah negatif.
Gambar 3.1.
71
titik itu disebut juga titik minimum. Jika titik stasioner itu bukan nilai
maksimal atau minimal pada daerah lokal, maka titik stasioner itu disebut
titik belok. Bagaimana cara membedakan titik maksimum, titik minimum
dan titik belok? Caranya adalah dengan mengamati gradien lokal di sebelah
kiri dan kanan titik stasioner. Mudahnya adalah dengan memperhatikan
gambar berikut:
72
di atas, oleh karena itu sebaiknya mengamati definisi-definisi di atas dalam
bentuk bagan (chart).
𝑓′ 𝑥
monoton naik
𝑓′ 𝑥
Turunan pertama di Kiri naik kanan turun e
monoton turun k
suatu titik. titik maksimum s
t
r
e
𝑓′ 𝑥 = Kiri turun kanan naik m
u
stasioner titik minimum m
73
Gambar 3.3. Grafik fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑥 − 4𝑥 .
= → = √
Jadi titik stasionernya ada dua (karena fungsinya orde tiga), yakni
√ √ √ √ √
= .−√ / − 4 .−√ / = −√ +√ = = =
√ √ √
74
a. Selang −√ atau −√4 3 , monoton naik.
.−√ /, maka titik stasioner itu adalah titik balik maksimum, meskipun
√
−√4 3 .
Nah, sekarang kita akan membahas kecekungan kurva. Kurva yang
berbentuk parabola dan sejenisnya tentunya memiliki bentuk cekung.
Berikut definisi kecekungan kurva secara formal.
′
a. Jika = naik dalam selang I, maka grafik fungsi dikatakan
cekung ke atas dalam selang I.
′
b. Jika = turun dalam selang I, maka grafik fungsi dikatakan
cekung ke bawah dalam selang I.
Oke, sebenarnya pemahamannya cukup sederhana, jika grafik
melengkung ke atas pada selang tertentu, maka ia cekung ke atas.
Sebaliknya jika melengkung ke bawah, maka ia cekung ke bawah.
Perhatikan lagi gambar 3.2, pada gambar (a) kurva monoton (dari selang
= − ) cekung ke atas, sedangkan pada gambar (b) cekung ke
bawah. Terlihat jelas untuk kurva yang monoton cekung ke atas
75
parabolanya menghadap ke atas, sedangkan kurva yang monoton cekung ke
bawah parabolanya menghadap ke bawah. Untuk kurva yang memiliki lebih
dari satu titik stasioner tentu saja memungkinkan memiliki kecekungan
yang berubah-ubah pada selang tertentu. Misalkan untuk fungsi
= − 4 (lihat gambar 3.3), kurvanya cekung ke bawah dalam selang
− dan cekung ke atas dalam selang .
Nah, jika dikaitkan dengan diferensial mengingat kecekungan adalah
perubahan kemiringan, maka kecekungan dapat dinyatakan dalam
n n= = (3.17.a)
Berikut ini adalah contoh grafik intensitas spesifik dari radiasi benda
hitam pada suhu tertentu berdasarkan model Planck yakni
2𝜋 𝑐 1
𝑓 𝑥 =𝐼 𝜆 =
𝜆 p 𝑐 𝜆𝑘𝑇 − 1
Sumbu X merupakan panjang gelombang dan sumbu Y menyatakan
intensitas spesifik tiap-tiap panjang gelombang.
77
Bab 4 Integral
Ingatlah untuk suatu proses balik (invers), urutan algoritma juga dibalik.
′
Dengan menerapkan algoritma ke-2 pada semestinya diperoleh . Kita
coba:
0
Integral f’(x) terhadap x = + −0 =4 +3 −
8 .
Ternyata diperoleh hasil yang sedikit berbeda, suku terakhir , yakni
′
-10, tidak muncul pada integral dari . Mengapa? Perhatikan lagi saat
diturunkan terhadap x, suku ke-empat yang merupakan konstanta (tidak
′
memiliki variabel x) terturunkan menjadi nol, dengan demikian, saat
78
diintegralkan suku ke-empat tidak muncul kembali. Coba perhatikan beberapa
fungsi polinom di bawah ini!
=4 +3 −8
=4 +3 − 8 − 14
=4 +3 −8 +
Jika ketiga fungsi di atas diturunkan, hasilnya akan sama dengan turunan
′
dari fungsi =4 +3 − 8 − 1 , yakni =4 +3 − 8 . Untuk
mengetahui fungsi mana yang dimaksud sebagai fungsi yang terturun sebagai
perlu diketahui suatu nilai dan hasil pemetaan nilai itu dari fungsi . Jika
tidak, maka kita tak dapat mengetahui fungsi yang menurunkan karena kita
tak dapat mengetahui konstanta apa yang terturunkan menjadi nol. Jadi kita tulis
saja integral dari 4 +3 − 8 − 1 terhadap x ialah 4 +3 − 8 + , di
mana C merupakan suatu konstanta riil. Integral seperti ini disebut integral tak
tentu.
Jadi, bentuk seperti ∫ 1 =∫ sekalipun hasilnya belum tentu sama
dengan u, jadi kita tuliskan ∫ = + .
2. NOTASI INTEGRAL
Integral merupakan lawan (invers) dari turunan, sehingga notasinya pun
dibuat sedemikian sehingga menjadi lawan dari notasi integral. Jika pada turunan
diberikan notasi berbentuk pembagi, semisal d/dx, maka notasi integral
berbentuk pengali, semisal dx.
79
hanya dengan menuliskan sudah cukup bagi kita untuk mengetahui
bahwa yang dimaksud ialah integral dari terhadap x.
Keuntungan matematis dari penulisan notasi turunan dan integral
seperti itu dapat Anda saksikan pada contoh dibawah ini:
“Integral terhadap x dari turunan terhadap x dari fungsi ialah fungsi
itu sendiri”.
( ) = =
o = in +
in =− o +
80
Contoh:
1. Carilah ∫ 4 + 12 + 9 !
Jawab:
Dengan menggunakan algoritma pada bab 4 bagian 1, diperoleh:
∫4 + 12 + 9 = 4( ) + 12 ( )+9 +
∫4 + 12 + 9 = +6 +9 +
2. Carilah ∫ 4 + 12 + 9 2 +3 !
Jawab:
Perhatikan bahwa nilai pengintegrasi(integran)-nya ialah 2 + 3, jadi kita harus
mengintegralkan fungsi =4 + 12 + 9 terhadap 2 + 3, bukan terhadap
atau yang lain.
∫4 + 12 + 9 2 +3 = ∫ 2 +3 2 +3 = 2 +3 +
3. Carilah ∫ + + !
Jawab:
Perhatikan integrannya ialah a, karena x saling bebas dengan a (x bukan fungsi
dari a dan sebaliknya a bukan fungsi dari x) maka x dapat dianggap sebagai
konstanta.
∫ + + = + + +
81
2 = 2 1 + 2 2 + +2 3 + +2 4 + +2 5 = 3
0
82
Hasil fungsi nilai Luas segmen ke-I
Derah x Nilai tengah x (xi)
tengah x (yi)
0,75 – 1,25 1,00 2,00 1,00
1,25 – 1,75 1,50 3,25 1,625
1,75 – 2,25 2,00 5,00 2,50
2,25 – 2,75 2,50 7,25 3,625
2,75 – 3,25 3,00 10,0 5,00
Jumlah 13,75
+ 1 = 1 + 1 + 2 + 1 + 3 + 1 = 17
= = − = −
Dengan =∫ .
Jadi integral tentu terhadap dari hingga merupakan jumlah
dari luas segmen-segmen segi empat dengan lebar segmen → dan tinggi
hasil fungsi dari nilai tengah lebarnya dari = hingga = .
Dengan bahasa komputasi, dapat dibuat algoritma integral tentu seperti
di bawah ini:
a. Deklarasikan rentang x dan inkremen
Misal: =
83
Maksudnya ialah matriks baris (barisan bilangan) dengan batas bawah = 1,
inkremen = 0,0001, dan batas atas = 3.
b. Deklarasikan fungsi =
= +
Maksudnya y adalah matriks baris (barisan bilangan) yang nilainya yi = xi2 + 1.
c. Hitung luas segmen dengan rumus =
=
d. Jumlahkan semua Li.
Luas = sum(L)
Hmmm… kira-kira seperti itu. Inkremen dapat diperkecil hingga menuju
nol.
Nah, sekarang kita coba menghitung luas daerah dibawah kurva dengan
metode analitik yakni dengan menggunakan rumus yang telah diperoleh.
3 1 3 1
= +1 =0 + + 1 =. + 3 + / − ( + 1 + ) = 12 − = 1
3 3 2 2 2
Penting!
Jangan melanjutkan mengerjakan soal-soal integral sebelum memahami definisi
dan makna matematis dari konsep integral dengan baik..
Hal penting lainnya dari kemiripan konsep antara sumasi sigma dan
integral (sebagai luas daerah di bawah kurva) ialah kita dapat persamaan diskret
(operasi sumasi) ke persamaan kontinyu (operasi integral) dan sebaliknya. Tentu
saja pengubahan ini hanya menghasilkan suatu pendekatan, namun biasanya
sangat baik untuk sekedar perkiraan.
84
Coba perhatikan lagi gambar 4.1 yang menggambarkan grafik dan
diagram/histogram dari fungsi = 2 . Nilai ∫ 2 merupakan luas daerah
di bawah kurva dari = hingga = 5 , sedangkan jika kita jumlah
menggunakan sumasi sigma, maka batasnya adalah dari = − 5 hingga = 5 5,
ada tambahan setengah segi empat paling kiri dan setengah segi empat paling
kanan. Jadi, agar dapat menyetarakannya dengan integral, kita harus membuang
bagian-bagian itu yang besarnya 5 1 dikali dengan ketinggian segi empat,
yakni dan 5 sehingga bersisa
0
∑ 0 − −
∫ ≅∑ − − (4.1.a)
atau
∑ ≅∫ + + (4.1.b)
85
1. Sifat komutatif
∫ + =∫ +∫
2. Sifat asosiatif terhadap perkalian skalar
∫ = ∫ ; dengan k suatu skalar
Sedangkan yang perlu diperhatikan,
∫ ∫
= lim → (1 + ) (4.3)
( ) (4.4)
0
diperoleh
= lim → (1 + ) = 1+ + + + (4.5)
(1 + ) = 1 + + + + (4.6)
Karena n>>, maka (nx)2 – nx dapat dianggap sama dengan (nx)2, begitu
pula (nx)3 – 3(nx)2 + 2nx ≈ (nx)3. Akhirnya didapatkan bentuk
= lim → (1 + ) = 1+ + + + + (4.7)
= +1+ + + + (4.8)
86
Misalkan kita pilih persamaan awal y = ex, sehingga dy/dx = ex. Jadi
diperoleh persamaan diferensial
= (4.10)
∫ =∫ (4.11.a)
∫ = (4.11.b)
∫ = ln (4.12)
∫ = + −1 (4.14)
∫ = ln + −1 (4.15)
∫ = + (4.16)
∫ = + (4.17)
∫ in = o + (4.18)
∫ o = − in + (4.19)
∫ = n + (4.20)
∫ n = + (4.21)
∫ =− o + (4.22)
∫ o =− + (4.23)
∫ n = −ln o + (4.24)
∫ o = ln in + (4.25)
∫ = ln + n + (4.26)
∫ = − ln + o + (4.27)
87
∫√ = in ( )+ (4.28)
∫ = ( )+ (4.29)
√
∫ = n ( )+ (4.30)
5. METODE SUBSTITUSI
Untuk memudahkan pekerjaan integral-mengintegralkan, kita dapat
melakukan metode substitusi. Tercermin dari namanya, metode substitusi ialah
metode dengan menukar suatu suku/bagian dengan suku lain dan setelah itu
dilakukan substitusi balik. Berikut beberapa metode substitusi yang dikenal.
∫ =∫ (4.31)
0
Contohnya ∫ +5 dapat kita substitusi nilai +5=
0
sehingga integral tadi menjadi berbentuk ∫ . Ingat = +5
= +
Jika kita hanya melihat susunan seperti pada aturan 4.31 di atas,
tentukan terlebih dahulu
0
= +5
= +5
88
0
=
′
Diperoleh = 2 sehingga:
∫ =∫ + =∫ = +
Contoh
1. Carilah ∫ Tips:
Jawab: Untuk semua bentuk 𝑓 𝑥 = 𝑢
Misalkan = 7 + 9, =7 atau = dengan 𝑢 = 𝑎𝑥 + 𝑏, hasil
2. Carilah ∫ 4 − 11
Jawab:
Tips:
Untuk fungsi berbentuk seperti di atas dengan polinom dalam kurung berderajat satu,
integralnya dapat dilakukan dengan cara biasa (pangkat di tambah satu lalu koefisien
dibagi dengan pangkat di tambah satu) kemudian menmambahkan turunan dalamnya
sebagai pembagi.
3. Carilah ∫ !
Jawab:
89
Perhatikan bahwa = . Ingat bentuk baku∫ = n + .
∫ =∫ = n + = n +
4. Carilah ∫ 4 − 11
Jawab:
5. Carilah ∫ !
Jawab:
Misalkan = − 4 + 8, =2 −4 atau =
∫ =∫ =∫ = ln + = ln −4 +8 +
6. Buktikanlah bahwa ∫ = + !
Jawab:
Pilih suatu nilai k sehingga a = ek, dimana e bilangan natural sehingga bentuk
integral menjadi:
∫
Substitusi u = kx, du = k dx atau dx = du/k.
∫ = +
∫ = + = +
90
5.2. Substitusi Integran
Substitusi variabel pengintegrasi (integran) dapat digunakan untuk
mempermudah mencari hasil integral dari suatu fungsi. Agar lebih jelas,
baiknya kita memulai dengan contoh, misalnya ∫ in .
∫ in = ∫ in in
Mengingat in + o = 1,
∫ in =∫ 1− o in
∫ in = ∫ in +∫ o in
Di sini kita substitusi variabel pengintegrasinya, yakni in
menjadi − o , mengingat∫ in =− o + . Atau secara lebih
detail
Catatan:
o = − in − o = in
Anggap o 𝑥 = 𝑢,
Oke? Mari kita lanjutkan!
maka
∫ in = ∫ in −∫ o o
∫ o 𝑥𝑑 o 𝑥 =
∫ in = o − o +
∫ 𝑢 𝑑𝑢 = 𝑢 + 𝐶
Jadi lebih mudah kan?
Penting untuk dicatat metode ini sebaiknya tidak digunakan jika hasil
pemecahan menghasilkan suku dengan pangkat yang sama (misal
∫ in = − ∫ in o ). Jelasnya akan dibahas pada bagian contoh.
lingkaran, contohnya ∫ + .
91
Pertama-tama, ingatlah relasi antara x dan y dalam dalil Pythagoras
dan trigonometri yakni = n dan =√ + . Nah, sekarang
mulailah substitusi, = n sehingga = .
∫ + =∫
∫ = ∫ = ∫ o
Selanjutnya diperoleh
∫ + = in +
∫ + = +
√
∫√ = in ( )+ (4.32)
∫√ =− o ( )+ (4.33)
92
Oke, kita akan membuktikannya di sini. Untuk memudahkan
pemahaman, ganti nama variabelnya menjadi
∫√ =∫ −
∫ − o − in =∫ 1− o − in
Mengingat relasi trigonometri in + o = , maka
−∫ in in = −∫ =− +
∫√ =− o ( )+
∫ = n ( )+ (4.34)
∫ =∫ =∫
∫ =∫ = ∫ = +
∫ = n ( )+
93
Contoh
1. Carilah ∫ √ !
Jawab:
Bentuk integral di atas terlihat rumit, namun jika kita merubah integrannya akan
menjadi sangat mudah. Seperti penjelasan sebelumnya in dapat kita ubah
menjadi − o . Karena a dan b independen (saling bebas) terhadap variabel
integran, a dan b dapat kita keluarkan dari operasi integral.
− ∫ + −2 o o
Substitusi = + −2 o , sehingga = −2 o atau
o =− .
∫ = 2 +
Jadi, ∫ √ = √ + −2 o +
3. Carilah ∫ !
Jawab:
Suku x2 memiliki koefisien 9, sehingga kita ubah bentuk fungsinya terlebih
dahulu.
1 1 1
=
25 + 9 9 25 9 +
94
6. INTEGRAL PARSIAL
Beberapa bentuk integral tak dapat diselesaikan dengan metode
substitusi biasa. Untuk itu dapat digunakan metode substitusi ganda atau yang
lebih dikenal sebagai pengintegralan parsial.
Ingat kembali bentuk turunan dari perkalian fungsi:
= +
=∫ +∫
=∫ +∫
Akhirnya diperoleh
∫ = −∫ (4.35)
Dan untuk integral tentu
∫ = −∫ (4.36)
Jadi pengintegralan parsial membolehkan kita menukar masalah ∫
menjadi ∫ . Keberhasilan metode ini tergantung pada pemilihan u dan dv
yang tepat. Jadi jika dengan satu pemilihan tidak berhasil, cobalah menukar nilai
u dan dv, atau mencoba kombinasi lainnya.
Contoh:
1. Carilah integral dari sin2 x terhadap x!
Jawab:
∫ in = ∫ in in dapat kita pecah dalam bentuk u dv dimana u = sin x
dan dv = sin x dx. Dengan demikian diperoleh du = cos x dx dan v = -cos x.
∫ in = in − o −∫− o o
∫ in = − in o +∫ o
Tambahkan kedua ruas dengan ∫ in sehingga menjadi:
∫ in + ∫ in = − in o +∫ o + ∫ in
95
Mengingat sifat integral yang distributif terhadap penjumlahan, ∫ +
=∫ +∫ dan sifat trigonometri sin2 x + cos2 x = 1,
diperoleh
2 ∫ in = − in o + ∫ in + o
∫ in = − in o + ∫1
∫ in = − in o +
Petunjuk:
𝑑𝑢
Ingatlah jika 𝑢 = 𝑎𝑥 + 𝑏𝑥 + 𝑐, maka 𝑑𝑥 = 2𝑎 + 𝑏 atau 𝑑𝑢 = 2𝑎 + 𝑏 𝑑𝑥.
2. Hitunglah nilai ∫ ln !
Jawab:
Pilih = ln dan = , sehingga = dan = .
∫ = −∫
∫ ln = ln − ∫ = ln − +
3. Carilah ∫
Jawab:
Untuk mengintegralkan bentuk ini, diperlukan sedikit manipulasi aljabar sebagai
berikut:
∫ =∫
96
∫ =∫
∫ = −∫ = − ln +
4. Selesaikanlah ∫ !
Jawab:
∫ =∫
Pilih = sehingga = n dan = sehingga
=∫ = n . Diperoleh
∫ = n −∫ n
= n −∫ −1
= n −∫ +∫
= n −∫ +∫
= n −∫ +∫
= n −∫ +∫
∫ = n + ln + n +
5. Hitunglah nilai ∫ in !
Jawab:
Pilih = in dan = , sehingga = o dan = .
∫ = −∫
97
∫ in = in − ∫ o (i)
Eh, ternyata masih tidak bisa diselesaikan. Coba parsialkan lagi suku kedua ruas
kanan. Pilih = o dan = , sehingga = − in dan = .
∫ o = o +∫ in (ii)
substitusi (ii) ke (i)
∫ in = in − o −∫ in
∫ in = in − o +
6. Sudah dari dulu Acok ingin menyatakan cintanya kepada Rina. Suatu ketika ia
membulatkan tekadnya menembak Rina, Rina malah memberikan soal dan
mengatakan jika Acok berhasil menjawabnya dengan benar maka ia akan
menerima Acok sebagai kekasihnya. Berikut soal yang diberikan Rina kepada
Acok:
√4 −
Cobalah untuk memecahkan soal di atas dan beritahukanlah jawabannya pada
Acok agar dia bisa diterima.
Jawab:
Substitusi = 2 in sehingga =2 o
∫ =∫
√ √
=∫
√
=∫
=∫ = ∫
=− o +
√
mengingat in = , maka o = √1 − in sehingga o = = .
98
Jadi kita telah menyelesaikan soalnya. Satu-satunya permasalahan yang tersisa
adalah bagaimana cara memberitahukan jawabannya kepada Acok.
ln = ln ln −1 ln −2 ln 1 = ln
∑ ln ∫ ln + +
∑ ln ln − − ln 1 − 1 + +
∑ ln ln − +1+ = ( + ) ln − +1
99
Akhirnya diperoleh
1
ln ( + ) ln − +1
2
=2 → = in 2
=4 → =− o 2
=4 → =− in 2
′′′
= → = o 2
Jadi, ∫ 2 o 2 = in 2 − − o 2 + (− in 2 ) +
100
7. INTEGRAL FUNGSI RASIONAL
Fungsi rasional ialah fungsi yang merupakan hasil bagi dua fungsi
polinom. Adapun fungsi rasional sejati ialah fungsi rasional yang derajat
pembilangnya lebih kecil daripada derajat penyebutnya. Semua fungsi rasional
sejati dapat diintegralkan, dan untuk fungsi rasional yang lebih kompleks akan
lebih mudah jika dipecah menjadi sejumlah pecahan-pecahan yang lebih
sederhana. Pemecahan ini biasa disebut dekomposisi.
= 3− =
101
3 −1 7 5 8 5
= +
+2 −3 +2 −3
Dengan mudah dapat kita integralkan
3 −1 7 1 8 1
= +
+2 −3 5 +2 5 −3
3 −1 7 8
= ln + 2 + ln −3 +
+2 −3 5 5
= +
−3 −3 −3
Setelah kedua ruas dikalikan −3 diperoleh
= −3 +
Misalkan kita mensubstitusi nilai x = 3, diperoleh B = 3. Dan jika
mensubstitusi x = 0 diperoleh 0 = -3A + B atau A = 1. Dengan demikian
fungsi berubah bentuk menjadi
1 3
= +
−3 −3
Sehingga
1 3
= +
−3 −3 −3
3
= ln −3 − +
−3 −3
102
Contoh:
Carilah ∫ !
Jawab:
Bentuk fungsi di atas mengandung tiga faktor penyebut, satu berbeda sedangkan
yang kedua dan yang ketiga identik (faktor berulang). Dengan demikian, bentuk
dekomposisinya dapat kita gabungkan antara bentuk faktor linear tunggal dan
faktor linear berulang yaitu:
= + +
∫ =∫ −∫ +∫
∫ = 4 ln + 3 − ln −1 + +
= +
+ +1= , sehingga A = 2
1 = 2 + , sehingga C = -1
103
4 = 4+ − 1 5, sehingga B = 1
Akhirnya dapat kita peroleh integralnya
∫ =∫ +∫
=∫ +∫ −∫
= ln 4 + 1 + ln +1 − n +
= + +
∫ =∫ +∫ +∫
=∫ −∫ + 3∫ − 5∫
= ln + 3 − ln +2 + n + +
√ √
8. INTEGRAL TENTU
Sebelumnya, kita telah membahas mengenai integrasi fungsi matematis
yang hasilnya memberikan suatu konstanta tidak diketahui. Telah disinggung
juga konstanta itu hanya dapat diketahui, atau dieliminir jika daerah asal fungsi
diketahui, semisal . Beberapa definisi dan teorema dalam integral tentu
ialah sebagai berikut.
1. Jika suatu fungsi terdefinisi pada maka lim →0 ∑ = jika
dan hanya jika untuk setiap bilangan positif terdapat bilangan positif
104
sehingga untuk setiap partisi = 0 pada dengan
‖ ‖ , berlaku ∑ − .
2. Jika fungsi yang terdefinisi pada dan lim →0 ∑ ada, maka
limit tersebut dinamakan integral tentu (integral Riemann) fungsi pada
. Selanjutnya dikatakan integrable pada dan integralnya ditulis
∫ = − (4.38)
Beberapa aplikasi integral tentu antara lain untuk menghitung panjang
kuva, luas daerah di bawah kurva, dan volum benda putar.
Gambar 4.2. Luas daerah yang dibatasi dua kurva (yang diraster)
dapat ditentukan dengan integral.
105
Luas daerah yang dibatasi kurva , , garis = , dan =
(daerah yang diraster) jelas adalah luas daerah dibawah kurva pada
selang dikurangi luas daerah dibawah kurva pada selang ,
sehingga:
= =∫ −∫ =∫ − (4.39)
Bagaimana dengan luas daerah yang dibatasi kurva = dan
= dalam selang ? Prinsipnya sama saja, bedanya Cuma
mempertukarkan variabel bebas dan variabel terikat pada fungsi dan
integrannya sehingga
= =∫ −∫ =∫ − (4.40)
Mudah bukan?
Contoh
1. Hitunglah luas daerah yang dibatasi kurva =3 +1 dan = − 8!
Jawab:
Mula-mula tentukan dulu titik potong antara =3 +1 dan
= − 8, yaitu titik yang termuat dalam maupun .
= → 3 +1 = −8
Diperoleh persamaan 2 +1 +8= atau bila disederhanakan menjadi
+ 5 + 4 = , yang akar-akarnya = 1 dan = 4. Dengan demikian, batas
integrasinya ialah = 1 dan = 4.
= − = 3 +1 − −8
5 464 41 141
= +5 +4 =0 + +4 1 = − = n
3 2 6 6 2
106
Perhatikan bentuk daerahnya, ada yang di atas garis x = 0 dan ada yang di bawah
garis x = 0. Dengan demikian, kita tidak bisa menghitung luas dengan
mengintegralkannya terhadap x, tetapi harus diintegralkan terhadap y. Kita ubah
fungsi-fungsi di atas menjadi fungsi x terhadap y, = menghasilkan
= 3 + 4 dan = .
3 +4 1 3 125
= . − / = 0 +4 − 1 = n
4 4 4 2 3 24
3. Hitunglah luas daerah yang dibatasi kurva = in dan sumbu-X dalam selang
!
Jawab:
Luas daerah yang dibatasi kurva:
= in = − o 0
0
∫0 in = ∫0 in +∫ in +∫ in +∫ in
Diperoleh hasil
− o 0 + − o + − o + − o =1+1+1+1 = 4
Jadi, luas area yang dibatasi kurva = in dan sumbu-X dalam selang =
4.
107
8.2. Volume Benda Putar
Integral dapat juga digunakan untuk menghitung volum dari benda
putar seperti kerucut, tabung, dan bangun lain yang lebih rumit, selama
masih berupakan benda putar. Prinsipnya ialah dengan membagi benda
putar tadi menjadi segmen-segmen kecil lalu dijumlahkan. Berdasarkan
bentuk segmennya, terdapat dua metode untuk menghitung volume benda
putar yaitu metode irisan tabung (pembelahan secara melintang, sering
juga disebut metode cincin) dan metode kulit tabung (pembelahan secara
radial).
Pertama kita akan membahas metode cincin, untuk itu perhatikan
gambar berikut.
sehingga bentuk segmen akan semakin mendekati tabung (jejari alas dan
tutupnya sama).
108
Menggunakan definisi volum tabung ialah luas lingkaran dikali
dengan tingginya diperoleh elemen volum tiap segmen
=
Jumlahan Riemann untuk volum seluruh bangun ialah
∑ =∑
Jika → , maka volum bangun itu ialah
= lim →0 ∑
= ∫ (4.41)
Dengan cara yang sama, jika kurva diputar terhadap sumbu Y, maka
volum benda putar yang terbentuk ialah
= ∫ (4.42)
Berikutnya ialah metode kulit tabung. Prinsipnya ialah bangun
dibelah secara radial sehingga terbentuk pipa-pipa dengan ketebalan ,
jejari , dan tinggi = . Perhatikan gambar pipa di bawah ini.
109
=2 ( ) −
dengan ̅ = i − =( ) dan = − .
kecil pula nilai sehingga bentuk segmen akan semakin mendekati pipa
(ketinggian pada bagian dalam dan luarnya sama).
Menggunakan definisi volum pipa seperti pada persamaan 4.43
diperoleh volum tiap segmen
=2
Jumlahan Riemann untuk volum seluruh bangun ialah
∑ =∑ 2
Jika → , maka volum bangun itu ialah
= 2 lim →0 ∑
=2 ∫ (4.44)
Untuk pemutaran terhadap sumbu Y juga serupa, akhirnya akan
diperoleh
=2 ∫ (4.45)
110
saja nilai yang diperoleh dengan persamaan 5.46 merupakan nilai yang
eksak, tapi bagaimana jika kurvanya tidak lurus, melainkan melengkung
kesana-kemari? Seperti biasa, kita akan memotong kurva dalam segmen-
segmen kecil sehingga teorema Pythagoras bisa diterapkan pada segmen-
segmen tadi karena dalam selang yang sangat kecil, segmen kurva dapat
dipandang sebagai garis lurus.
Δs
Δy Δr
Δx
Δx
+ −
lim = lim + lim . /
→0 →0 →0
( ) = 1+( )
111
Akhirnya diperoleh panjang kurva = dengan batas ialah
= 1+( )
( ) = ( ) +( )
= ∫ √( ) + ( ) (4.49)
= ∫ √( ) [( ) + ( ) ]
= ∫ √1 + ( ) (4.50)
= ∫ √1 + ( ) (4.51)
112
Tentunya untuk kurva yang meliuk-liuk jejari tabungnya tidak seragam,
tetapi dengan memilih yang sangat kecil maka kesalahan juga dapat
dibuat sangat kecil. Dengan menggunakan analogi luas selimut tabung,
diperoleh:
l m n=2 i− i l m n
l m n=2
Dimana =√ + (ingat seragam). Dengan mengingat
pembahasan pada bagian 8.3 mengenai panjang kurva, maka diperoleh
luas selimut tiap segmen adalah
2 √ + =2 1+
=2 ∫ √1 + ( ) (4.52)
Problem:
113
Problem:
Painter’s Paradox
Seandainya Terompet Toricelli itu eksis, maka terompet itu hanya bisa
menampung cat sebanyak π satuan volume, padahal panjang(dalam)-nya tak
hingga! Kira-kira jika tetes-tetes cat dituang ke dalam terompet dengan
kelajuan v, kapan ia sampai ke dasar? Kapan terompet akan penuh —
mengingat kedalaman Terompet Toricelli tak hingga? Tapi bagaimanapun
kita bisa pastikan terompet akan penuh mengingat volumenya berhingga.
Berikutnya lagi adalah, Terompet Toricelli hanya mampu menampung
cat sebanyak π satuan volume, tetapi karana luasnya tak hingga, apakah kita
perlu tak hingga banyaknya cat untuk mengecat permukaannya?
Cobalah menjelaskannya!
114
Turunan Parsial dan Turunan
Bab 5
Berarah
1. Fungsi n Variabel
Sebelumnya kita telah mempelajari turunan dan integral dari fungsi satu
variabel, yakni = , = , dan sebagainya. Nyatanya, dalam kehidupan
banyak pula permasalahan tidak hanya melibatkan satu variabel, melainkan
lebih. Fungsi yang melibatkan dua variabel disebut fungsi dua variabel, fungsi
yang melibatkan tiga variabel disebut fungsi tiga variabel, dan seterusnya.
Biasanya fungsi yang memuat lebih dari dua variabel sudah dapat dikatakan
fungsi banyak variabel.
Seperti halnya fungsi satu variabel, penulisan fungsi dapat diperjelas
dengan menuliskan variabel-variabelnya dalam kurung, misal V merupakan
fungsi dari x, y, dan z, dapat dituliskan = atau . Secara umum
dapat dituliskan fungsi n variabel sebagai
= (5.1)
Contoh fungsi banyak variabel misalnya fungsi gelombang yakni
= in −
Atau misalkan tabung yang direbahkan di bidang datar lalu diisi air, maka
fungsi volum terhadap jejari tabung (r), panjang tabung (l), dan ketinggian air (t)
ialah
−
2 − 2( o ) −
= + − in ( o )
2
Dan beragam fungsi lainnya lagi. Jika digambarkan dalam grafik, fungsi
satu variabel dapat digambarkan dalam dua dimensi, yakni satu sumbu untuk
variabel dan satu sumbu untuk hasil fungsi. Untuk fungsi dua variabel butuh
ruang tiga dimensi untuk menggambarkannya, yakni dua sumbu untuk variabel
dan satu sumbu untuk hasil fungsi. Demikian seterusnya fungsi n variabel hanya
115
dapat digambarkan dalam n + 1 dimensi. Namun demikian gambar grafik tiga
dimensi dapat diproyeksikan agar dapat digambarkan di atas kertas.
Contoh:
1. Gambarkan grafik fungsi = = − 2 + 3!
Jawab:
Jika x = 0 dan z = 0, = 1 5
Jika y = 0 dan z = 0, = −3
Jika x = 0 dan y = 0, = 3
Grafiknya dalam proyeksi
2 Y
2
X
116
2. Turunan Parsial
2.1. Definisi Turunan Parsial
Dari pembahasan pada subbab 1, diketahui fungsi dua variabel,
misalkan memiliki dua variabel. Lalu apa makna dari turunannya?
bagaimana cara kita menurunkannya? Tentunya karena memiliki dua
variabel, ada dua kemungkinan turunannya yakni terhadap x dan terhadap
y. Turunan parsial fungsi f terhadap x di setiap titik (x,y) dinotasikan dengan
didefinisikan sebagai:
= lim →0 (5.2)
Apabila limitnya ada. Dengan cara yang sama turunan parsial fungsi f
terhadap y di setiap titik (x,y) dinotasikan dengan didefinisikan sebagai:
= lim →0 (5.3)
Apabila limitnya ada. Selain notasi di atas, beberapa notasi yang sering
digunakan untuk menyatakan turunan parsial misal untuk =
antara lain
= = = =
= = = =
117
variabel) dapat dikenakan hal yang sama. Andaikan diberikan fungsi n
variabel dari x1, x2, x3, …, xn dengan persamaan
=
Bila turunan-turunan parsialnya ada, turunan-turunan parsialnya
diberikan oleh
= = = = (5.4)
= = =
= = ( )=
= = ( )=
118
= = { ( )} =
dan seterusnya…
Proses demikian tidak lain merupakan proses menurunkan fungsi
secara parsial berturut-turut terhadap variabel-variabel yang dimaksud.
= + (5.5)
= + (5.6)
Aturan rantai jenis pertama ini berlaku pula untuk z fungsi lebih dari
dua variabel.
119
= yang juga memiliki turunan parsial pertama di (r,t), maka
= dapat didiferensialkan secara parsial terhadap r dan t yang
diberikan oleh
= + (5.7)
= + (5.8)
=− (5.10)
=− (5.11)
Contoh:
1. Diketahui = + − , dengan = , = , dan = . Tentukanlah
sebagai fungsi t!
Jawab:
Setelah dicari, diperoleh:
120
=2 − , = +2 , = +2
= 1, =2 , =3
= + +
= 2 − 1 + +2 2 + +2 3
= 2 − + 2 +4 + 3 −6
=4
2. Jarak antara dua titik di bidang datar 2 dimensi ( ) diberikan oleh rumus
Pythagoras, = + , sehingga elemen garis dalam koordinat kartesian
mengambil bentuk = + . Carilah persamaan elemen garis dalam
koordinat polar!
Jawab:
Jika dilakukan transformasi koordinat kartesian (x,y) ke dalam koordinat polar
(r,θ), diperoleh kaitan:
= o
= in
Dengan menggunakan aturan rantai I
= + = 2( ) +( ) 3 + 2( ) +( ) 3
= 2( ) +( ) 3 + 2( ) +( ) 3
121
3. Diketahui = ln √ + , dengan = dan = . Tentukanlah dan !
Jawab:
= , = , = , dan =−
= +
= +
diperoleh:
+
= + =
+ + +
−
= + − =
+ + +
Jawab:
Pandang sebagai .
2 + in −
=− =
− in −
− o −
=− =
− in −
122
Kasus:
= + (5.12)
Sekarang kita akan berbicara tentang perubahan nilai fungsi (misal untuk
fungsi dua peubah) bila variabel x dan y mengalami perubahan masing-masing
sebesar dan . Dengan demikian, perubahan nilai u yang bersesuaian
dengan perubahan nilai dan tadi ialah
= 0 0 = 0 + 0 + − 0 0 (5.13)
Nah, di sini akan ditunjukkan hubungan antara perubahan nilai fungsi
dengan diferensial total fungsi itu. Bila dan cukup kecil, maka dipenuhi
hubungan
+ + + ≅ + + + (5.14.a)
123
Hal ini dengan mudah dibuktikan kebenarannya bila kita menggunakan
fungsi polinomial, semisal = + . Mengingat untuk +
+ . Persamaan 5.14.a di atas dapat kita ubah bentuknya menjadi
+ + − ≅ + − + + −
≅ +
≅ + (5.14.b)
= −2 + 3, sehingga
+ = 6 2 − 3 1 + −2 2 3 + 3 2
− 3
Diperoleh bahwa merupakan hampiran yang cukup baik untuk .
Camkanlah sekali lagi perhitungan hampiran ini hanya berguna untuk
perubahan nilai yang kecil. Semakin besar perubahannya, semakin besar pula
galat yang diperoleh.
124
Contoh:
1. Seandainya Anda perlu mengetahui nilai √4 5 dan √26 , tetapi Anda lupa
membawa kalkulator (atau mungkin tidak tahu cara menggunakan kalkulator
ilmiah). Bagaimanakah cara untuk mendapatkan hampiran nilai √4 5 dan √26?
Jawab:
= atau = .
√
= 5 =
√
Jadi √4 5 √4 + = 2 125
Dengan cara yang serupa diperoleh
√26 √25 + √
1 = 51
ekspansi binomial √ + .
( )( )
+ = + + +
2. Acok ditugaskan oleh guru matematikanya membuat balok dari karton dengan
ukuran panjang 20 cm, lebar 15 cm, dan tinggi 10 cm. Jika penggaris yang
digunakan Acok untuk mengukur memiliki nilai skala terkecil 1 mm, hitunglah
volume balok yang dibuat Acok dan kesalahan terbesar yang mungkin. Jangan
lupa laporkan pada pak satpam penulisan ilmiah dari hasil pengukuran Anda.
Jawab:
125
Volume balok dapat dinyatakan dalam fungsi tiga variabel = . Dengan
demikian, volume balok (tanpa galat) adalah = 2 15 1 =3 m .
Kesalahan pengukuran volume terjadi karena kesalahan pengukuran panjang,
lebar, dan tinggi, yakni lebih kurang setengah dari nilai skala terkecil
5 mm. Kesalahan pengukuran maksimumnya ialah:
+ + = + +
15 1 5 + 2 1 5 + 2 15 5 = 32 5 m
Kesalahan relatifnya ialah = 1 8 . Dengan demikian, dapat kita
000
Problem:
Ketidakpastian pengukuran
126
Demikian pula dengan fungsi tiga variabel, misalkan adalah
fungsi tiga variabel dari , , dan , dan mempunyai turunan-turunan
parsial , , dan , maka gradien yang
dinyatakan dengan = grad didefinisikan sebagai berikut
= + +
Dimana = <1,0,0>, = <0,1,0>, dan = <0,0,1> masing-masing
menyatakan vektor satuan yang searah sumbu , sumbu , dan sumbu .
Dengan notasi diferensial
= + +
Gradien menjadi
=
= + + (5.15)
Contoh:
1. Jika = + , hitunglah gradien di titik (-1,2)
Jawab:
Dari = + , diperoleh:
= + = +
Menurut definisi gradien di sembarang titik diberikan oleh
= 6 +6 + 3 +4
Sehingga gradien di titik (-1,2) diberikan oleh
− = − + + − + − = −
127
=
= + +
= +
Misalkan , dan adalah fungsi tiga variabel dari , dan , dan
mempunyai turunan parsial , dan . Misalkan
pula titik di , dan = + + adalah sebuah vektor
satuan. Maka turunan berarah di titik dalam arah vektor
ditulis didefinisikan oleh
=
= + + + +
= + +
128
Bab 6 Aplikasi Turunan dan Integral
1. Aplikasi Turunan
Beberapa contoh aplikasi turunan ialah untuk menghitung kecepatan dan
percepatan sesaat, limit fungsi yang menghasilkan bentuk tak tentu, masalah-
masalah ekstremum dan lain-lain.
Gambar 6.1.
129
lintasan itu ditentukan oleh = + − . Masalah ini dapat
divisualisasikan melalui gambar berikut ini.
Pertambahan waktu
𝑡
𝑡 𝑡+ 𝑡
Gambar 6.2.
Kecepatan
Kecepatan rata-rata gerak benda P dalam interval waktu detik ditentukan
oleh
+ −
=
= (6.1)
130
pada waktu t detik disebut laju dan laju dideefinisikan sebagai nilai mutlak
kecepatan. Jadi,
p = =| |
interval itu.
1. Jika = untuk , maka naik pada interval
Arti fisis dari naik adalah benda bergerak dengan bergerak dengan
nilai panjang lintasan s yang semakin bertambah.
2. Jika = untuk , maka turun pada interval
Arti fisis dari turun adalah benda bergerak dengan bergerak dengan
nilai panjang lintasan s yang semakin berkurang.
3. Jika = = untuk , maka stasioner pada interval
Arti fisis dari stasioner adalah benda tidak bergerak atau diam
sesaat.
Percepatan
Misalkan bahwa kecepatan gerak dari sebuah benda juga merupakan
fungsi waktu atau berubah terhadap . Laju perubahan kecepatan
terhadap waktu disebut percepatan dari gerak benda tersebut. Percepatan
pada waktu detik biasanya dilambangkan dengan dengan satuan
m/detik2. Dengan demikian, hubungan antara percepatan dengan kecepatan
dan percepatan dengan panjang lintasan dapat ditentukan sebagai berikut.
131
= = ( )= (6.2)
Arti fisis naik adalah benda bergerak dengan nilai kecepatan yang
semakin bertambah atau benda bergerak dipercepat.
2. Jika = untuk , maka turun dalam interval
Arti fisis naik adalah benda bergerak dengan nilai kecepatan yang
semakin berkurang atau benda bergerak diperlambat.
3. Jika = − untuk , maka stasioner dalam interval
Arti fisis naik adalah benda bergerak dengan nilai kecepatan yang
tetap atau benda bergerak tidak dipercepat maupun diperlambat.
Selanjutnya, tingkah laku laju benda dapat ditentukan dengan
mengamati tanda-tanda dari dan secara bersamaan sebagai berikut.
1. Jika dan bertanda sama ( dan atau dan ), maka
laju benda naik atau bertambah.
2. Jika dan berlainan tanda ( dan atau dan ),
maka laju benda turun atau berkurang.
132
1.2. Aturan l’Hopital
Turunan fungsi di suatu titik dapat diartikan sebagai gradien dari
suatu garis singgung pada kurva, kecepatan sesaat, percepatan dan lain
sebagainya. Turunan sebagai gradien garis sangat penting untuk dipahami
karena sebenarnya dari situlah konsep turunan berasal.
Di dalam kajian tentang limit, berlaku sebuah teorema yang
mengatakan sebagai berikut.
→
=
→
= .
sebagai berikut.
Misalkan dan fungsi-fungsi yang mempunyai limit di seitar
= .
133
Cara menghitung bentuk tak-tentu dari limit fungsi, yaitu dengan
menggunakan teknik perhitungan manipulasi aljabar. Misalnya:
+ + +
lim = lim = =
→ − →
− −
134
Teorema L’Hôpital:
Misalkan 𝑓 𝑥 dan 𝑔 𝑥 adalah fungsi-fungsi yang diferensiabel pada setiap titik
dalam interval terbuka 𝐼.
𝑓 𝑥
Jika 𝑔 𝑥 untuk setiap 𝑥 𝑎 pada 𝐼 dan jika lim𝑥→𝑎 mempunyai bentuk
𝑔 𝑥
tak-tentu atau pada 𝑥 = 𝑎, maka
𝑓 𝑥 𝑓 𝑥
lim = lim
𝑥→𝑎 𝑔 𝑥 𝑥→𝑎 𝑔 𝑥
𝑓 𝑥
Dengan catatan bahwa lim𝑥→𝑎 ada.
𝑔 𝑥
𝑓 𝑥
Dalam hal lim𝑥→𝑎 masih mempunyai bentuk tak-tentu, maka proses
𝑔 𝑥
𝑓 𝑥
perhitungan diteruskan dengan menggunakan turunan kedua lim𝑥→𝑎 =
𝑔 𝑥
𝑓 𝑥
lim𝑥→𝑎 , . . . , demikian seterusnya sehingga diperoleh nilai limitnya.
𝑔 𝑥
Contoh:
Hitunglah limit-limit fungsi berikut ini.
a. lim →
sin
b. lim →
c. lim →
Jawab:
lim → = lim → = =
sin
b. Bentuk lim → merupakan bentuk tak-tentu pada =
sin cos
lim = lim = =
→ →
135
1.3. Masalah Ekstremum Fungsi
Telah dibahas pada bab 3 mengenai ekstremum suatu fungsi. Titik
stasioner suatu fungsi = terdapat pada nilai x yang memenuhi
′
=
Juga telah dibahas bahwa titik stasioner itu dapat berupa titik
maksimum, titik minimum, atau sekadar titik belok. Menggunakan uji
turunan ke-dua yang juga telah dibahas pada bab 3 diketahui
′′
1. Bila , maka titik stasioner itu merupakan nilai minimum.
′′
2. Bila , maka titik stasioner itu merupakan nilai maksimum.
′′
3. Bila = , maka titik stasioner itu bukan niai ekstrim.
Berikutnya kita akan membahas nilai ekstrim suatu fungsi, yakni
nilai maksimum atau nilai minimum suatu fungsi dalam selang lokal. Jika
memiliki titik stasioner dalam suatu selang, maka pastilah titik
stasioner itu merupakan nilai ekstrim (maksimum atau minimum). Adapun
bila tidak memiliki titik stasioner, dapat saja memiliki nilai
ekstrim dalam selang tertutup. Misalkan = 2 + 3 merupakan fungsi
linear sehingga tidak punya titik stasioner. Tetapi bila kita memilih suatu
selang tertutup 2 5 , maka kita dapatkan nilai maksimum fungsi dalam
selang 2 5 ialah 5 = 13 dan titik minimumnya ialah 2 = 7. Jadi dapat
dikatakan 2 dan 5 ialah titik-titik kritis (minimum dan maksimum) dari
fungsi . Jadi bila merupakan nilai ekstrim dalam interval I, maka
adalah titik kritisnya. Dengan demikian terdapat tiga kemungkinan titik-titik
kritis itu yakni:
1. Titik ujung dari selang I.
′
2. Titik stasioner dari , di mana =
3. Titik singular dari , di mana tidak ada.
Dalam subbab ini akan ditunjukkan bagaimana menemukan nilai
ekstrim (maksimum dan minimum) dan titik-titik kritis (titik yang
memetakan nilai ektrim) suatu fungsi yang biasa (atau mungkin terkadang)
muncul dalam kehidupan sehari-hari.
136
Contoh, misalkan Pak Alejandro ingin memasang pagar kawat
sepanjang 150 m berbentuk seperti pada gambar. Agar luas total daerah
yang dipagari maksimum, tentukanlah panjang dan lebar kawat.
x
Syarat yang diberikan dalam permasalahan ini adalah panjang total
kawat, yakni 2 + 3 = 15 m atau =5 − . Yang ingin dimaksimalkan
di sini adalah luas daerah yang dipagari, sehingga kita harus mancari fungsi
dari luas yang tidak lain adalah:
2 2
= = (5 − )=5 −
3 3
′
Untuk memaksimalkan luas, x haruslah memenuhi = = .
5 − = ; = 37 5
= = 937 5 m .
Contoh:
1. Jumlah dua bilangan sama dengan 40. Tentukanlah hasil kali bilangan itu yang
terbesar.
Jawab:
Misalkan bilangan-bilangan itu x dan y, sehingga + = 4 atau =4 −
Misalkan hasil kali kedua bilangan itu u, maka = 4 − =4 −
dengan 4 . Nilai x maksimal jika =
4 −2 = atau =2
′′
Karena 2 = − (negatif), maka menurut uji turunan ke-dua nilai ekstrim ini
ialah nilai maksimum. Akhirnya diperoleh = =4 2 −2 =4 .
137
2. Sehelai karton berbentuk persegi dengan
panjang rusuk 9 cm. Pada keempat sudutnya
akan digunting persegi yang berukuran sama
sehingga membentuk sebuah jaring-jaring.
Selanjutnya karton tersebut dilipat sedemikian
rupa sehingga menghasilkan balok tanpa tutup
seperti pada gambar. Tentukanlah volume
kotak yang paling besar yang dapat dibuat.
Jawab:
Jika jaring-jaring itu dilipat, akan menghasilkan persegi panjang dangan panjang
dan lebar − 2 dan tinggi , sehingga volume kotak dapat diberikan dalam
persamaan
= −2 −2 =4 − 36 + 81
langsung menyubstitusikan nilai-nilai ekstri tadi atau kita dapat melakukan uji
turunan ke-dua.
′′
= 24 − 72
′′ ′′
Diperoleh untuk = , = −36 dan untuk = = 36. Dari teorema
sebelumnya diketahui ekstrim maksimum memiliki nilai turunan ke-dua < 0 pada
titik itu dan ekstrim minimum memiliki nilai turunan ke-dua > 0 pada titik itu.
Dengan demikian diperoleh nilai x yang dimaksud adalah = , dan volumenya
( ) = 54 m
138
2. Aplikasi Integral
Integral memiliki banyak aplikasi di berbagai bidang. Selain untuk
menentukan panjang kurva, luas daerah, dan volum benda putar seperti yang
telah dibahas sebelumnya, integral juga digunakan untuk menentukan pusat
massa benda, menghitung momen inersia, pemodelan pertumbuhan populasi,
dan banyak lagi. Berikut beberapa masalah-masalah fisika yang memerlukan
operasi integral.
+ = =
139
Jika kita mengambil suatu titik di mana gaya internalnya nol,
diperoleh
= =
∑ 1
= =
∑
Akhirnya diperoleh
X
Gambar 6.3. Bangun ruang yang tersusun dari empat kubus.
140
r1(x,y,z) = (2,2,2)
kubus ke-dua (tengah)
r2(x,y,z) = (2,6,2)
kubus ke-tiga (depan)
r3(x,y,z) = (6,6,2)
kubus ke-empat (atas)
r4(x,y,z) = (2,6,6)
Karena semua kubus kecil memiliki massa yang sama, m, maka pusat
massanya, R ialah:
∑ 2 +2 +6 +2
= = =3
∑ + + +
∑ 2 +6 +6 +6
= = =5
∑ + + +
∑ 2 +2 +2 +6
= = =3
∑ + + +
Akhirnya diperoleh R = (3,5,3).
Contoh tadi adalah untuk benda yang bisa didekati dengan metode
diskret. Bagaimana dengan pelat berbentuk segitiga siku-siku?
Gambar 6.4.
141
1
=
1
=
0
1
= =
0 0
= 0 1 =
3 0
3
bentuk
1
=
0
142
Ingatlah yang merupakan massa luasan segitiga bukanlah
melainkan − , sehingga:
1
= (1 − ) =
0 6
Pada akhirnya pusat massanya ialah
2 1
=( )
3 3
= =
143
putar setipis mungkin hingga tiap irisan memiliki ketebalan sebesar titik.
Dengan demikian diperoleh segmen-segmen dengan massa tiap segmen
sama, yakni dm (disebut juga elemen massa) dan jarak dari sumbu putar .
Gambar 6.5.
= ∫0 = | =
0
144
Gambar 6.6.
Contoh:
1. Carilah momen inersia cakram bermassa M dan jari-jari R yang diputar pada
sumbu tegak lurus penampangnya melalui pusat cakram.
Jawab:
Bayangan cakram dibelah menjadi cincin-cincin konsentris (sepusat) dangan
ketebalan seragam dr dan jarak dari pusatnya ri. Anggap sumbu putar itu adalah
sumbu Z, massa cakram ialah
= =
Sekarang bayangkan cincin-cincin itu dibentangkan seperti pita, maka luas tiap
segmen ialah panjang kali lebarnya yakni = 2 . Dengan demikian
elemen massanya
= = 2
= ∫0 = ∫0 2 = | =
0
Catatan:
Mengapa elemen luas cincin bisa dimodelkan dengan pita persegi panjang ialah karena
lebar cincin yang sangat kecil, sehingga bisa diluruskan. Jika tetap digunakan rumus luas
segmen lingkaran diperoleh
= −
Mengingat = + , maka diperoleh − = + − =2 + .
Karena dr sangat kecil, maka 2 + ≅2 , sehingga elemen luasnya 2 ,
hasil yang sama dengan sebelumnya.
145
Problem:
Sebuah bola pejal (tidak berongga) homogen mempunyai massa M dan jari-
jari R. Carilah momen inersia bola terhadap sumbu yang melalui pusat bola,
misal sumbu Z.
(Jawab: 𝐼 = 𝑀𝑅 )
𝐼 ′ = 𝐼𝑍 + 𝑀𝑙
Buktikanlah kebenaran teorema ini dan cari pula momen inersia bola pejal
di atas bila sumbu putarnya digeser sejauh 𝑙 = 𝑅 dari pusat bola.
146
Bab 7 Deret Tak Hingga
1
= ( )
2
0
147
Yang penting untuk diketahui ialah apakah x memiliki limit nilai tertentu
(konvergen) ataukah nilainya menjadi tak hingga akibat penjumlahan suku yang
tak hingga jumlahnya (divergen). Untuk itu, dapat dilakukan beberapa uji antara
lain uji deret geometri, uji limit, uji jumlah terbatas, uji integral, uji deret orde p,
dan uji hasil bagi mutlak.
= − = (7.3)
konvergen.
Nah, sekarang kita coba uji kekonvergenan deret x menggunakan uji
deret geometri. Dengan mudah ditentukan nilai a = 1 dan r = 1/2, sehingga
untuk = diperoleh
1
= =2
1
1−2
148
Dari hasil ini dapat diperoleh ketentuan kekonvergenan dari deret
geometri ialah
Jika 1, maka ∑ konvergen
Jika 1, maka ∑ divergen
149
yang lebih mudah diuji kekonvergenannya. Untuk itu membuktikan suatu
deret konvergen mesti dipilih deret konvergen pembanding yang memiliki
jumlahan yang lebih besar untuk membuktikan deret yang diuji konvergen.
Sebaliknya untuk membuktikan deret yang dijuji divergen mestilah dipilih
deret divergen pembanding yang jumlahannya lebih kecil. Jadi patut dicatat
uji jumlah terbatas digunakan hanya untuk membuktikan suatu deret ialah
konvergen atau divergen, tetapi suatu deret yang belum terbukti
konvergen/divergen belum tentu divergen/konvergen. Contoh yang paling
umum dalam pengujian model ini ialah deret harmonik.
1 1 1 1
=1+ + + + =
2 3 4
150
1.4. Uji Integral
Uji integral menggunakan kaitan antara sumasi sigma dan integral
pada dasarnya ialah serupa (meskipun tak persis sama). Berikut ialah
ketentuan uji integral.
Misalkan suatu fungsi kontinu, positif, dan tidak naik pada selang
1 dan = untuk semua n bilangan bulat positif, maka deret tak
hingga ∑ konvergen jika dan hanya jika ∫ konvergen.
Dengan kata lain bila luas daerah dibawah kurva = dalam selang
1+ berhingga, maka deret itu konvergen. Sebaliknya bila luas daerah
dibawah kurva tak hingga, maka deret itu divergen.
Contoh dari deret ∑ dapat diperoleh ∫ =
deret ∑ konvergen.
=∑ ( ) (7.4)
Jadi deret harmonik tidak lain ialah 1 yang mana nilainya tak
hingga. Deret orde-p lainnya yang terkenal ialah deret Basel, tak lain ialah
2 . Menurut teorema ini
Apabila 1, maka deret-p adalah deret divergen.
Apabila 1, maka deret-p adalah deret konvergen.
Seperti halnya uji deret geometri, uji deret-p juga dapat digunakan
dalam uji jumlah terbatas.
151
Contoh:
Jawab:
Deret di atas dapat kita pecah menjadi jumlahan dari dua deret yaitu
∑ =∑ +∑
deret harmonik yang divergen. Jadi dengan menggunakan uji jumlah terbatas
4
lebih lanjut baca di: http://paradoks77.blogspot.com/2011/12/matematika-gila-infiniy-series-
paradox.html.
152
1.6. Uji Hasil Bagi Mutlak
Uji hasil bagi mutlak serupa tapi tak sama dengan uji deret geometri,
keduanya sama-sama menguji rasio suatu deret, namun uji hasil bagi
mutlak ini lebih general. Menurut teorema ini, misalkan ∑ 0 suatu deret
yang suku-sukunya tidak nol, dan misalkan
+
lim → = (7.5)
2. Deret Pangkat
Sebelumnya kita telah menyinggung tentang deret geometri yang
berbentuk ∑ 0 , jika deretnya tak hingga dengan r meupakan rasio dari
deret. Bila rasio itu tidak berbentuk bilangan, melainkan suatu variabel, maka
deret tadi dapat dinyatakan dalam
∑ 0 − (7.6.a)
Jika dipilih a = q = 0, dapat dituliskan
∑ 0 (7.6.b)
Deret seperti itu disebut juga deret pangkat (power series). Semua fungsi
dapat dinyatakan dalam deret pangkat, yakni
= −
0
153
3. Deret Taylor dan Mac Laurin
Deret Taylor ialah deret pangkat yang berbentuk
∑ 0 − (7.7)
= + − + − + − + (7.8)
Deret Mac Laurin tidak lain ialah deret Taylor dengan a = 0. Dengan
demikian dapat dituliskan formulasi deret Mac Laurin.
0 0
= + + + + (7.9)
=∑ 0 =1+ + + + + (7.10)
+
in =∑ 0 = − + − + (7.11)
o =∑ 0 =1− + − + (7.12)
+
in =∑ 0 = + + + + (7.13)
o =∑ 0 =1+ + + + (7.14)
Deret Taylor dan Mac Laurin merupakan alat yang sangat penting dalam
bidang komputasional, karena umumnya dalam problem-problem tertentu
tidaklah perlu mengetahui bagaimana bentuk fungsi akhirnya, melainkan
berapa nilai akhirnya. Tentunya dengan script/algoritma yang sama, beragam
nilai awal bisa dimasukkan untuk memperoleh nilai akhir yang ingin diketahui,
jadi jelas bentuk fungsi akhirnya (biasa disebut solusi khusus) menjadi tidak
penting.
Nah, lalu apa perbedaan penggunaan antara deret Taylor dan deret Mac
Laurin? Pada dasarnya deret Mac Laurin adalah bentuk reduksi dari deret
Taylor dan memang tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali deret Taylor
lebih teliti dibanding deret Mac Laurin (jika dilakukan pemotongan suku) dan
deret MacLaurin lebih sederhana sehingga lebih mudah dihitung. Perbedaan
154
ketelitian ini karena pada deret Taylor, nilai suatu fungsi di titik tertentu dapat
didekati dari sembarang titik, sedangkan pada deret MacLaurin nilai fungsi
pada satu titik selalu didekati dari nol.
Misalnya kita ingin menghitung nilai in 26 . Telah diketahui secara
pasti in 25 = √2. Jadi kita dapat mencari nilai in 26 menggunakan
= = − + − +
=1− + − +
=− + − + +
+ +
=− + − + + =∑ 0
Contoh:
1. Nyatakanlah fungsi = dalam bentuk deret dan cari pula turunan fungsi
155
1−
=
1−
0
Problem:
156
Bab 8 Pengantar Persamaan
Diferensial
157
Maka kedua solusi yang mungkin itu dapat kita gabungkan menjadi
= in + o . Jika solusi sebenarnya dari suatu problem hanya
memuat suku sinus saja, maka C2 sama dengan nol, begitu pula sebaliknya. Jadi
′′
solusi dari PD + = ialah fungsi yang berbentuk = in +
o .
Kemudian bila kita mengambil fungsi = in , yang turunan ke-
′′
duanya ialah = in , maka diperoleh hubungan:
′′
− =
Seperti pada contoh sebelumnya, PD ini juga terpenuhi untuk = o ,
′′
sehingga solusi dari PD − = ialah = in + o .
Persamaan diferensial orde satu sebenarnya dapat dengan mudah
diperoleh solusinya, antara lain yang memiliki bentuk seperti ini:
− =
∫4 = ∫ in + 2
= − o +
Hore!!! Kita dapat deh solusinya. Solusi seperti itu dinamakan solusi
umum, karena menyisakan suatu konstanta (C) yang tidak kita ketahui nilainya.
Bila kita telah mengetahui syarat-syarat batas dari problemnya, misalkan
syarat awal = , maka dapat diketahui konstanta integrasinya,
= − o + atau =
khususnya.
158
2. Persamaan Diferensial Linear Orde Satu
Telah disebutkan sebelumnya bahwa orde suatu persamaan diferensial
merupakan turunan tertinggi yang dimuat dalam persamaan diferensial itu.
Secara umum, PD linier berbentuk
′
+ + + + + = (8.1)
Dengan demikian PD linear orde satu dapat kita tuliskan sebagai
+ = (8.2)
Akhirnya kita peroleh formulasi untuk solusi dari PD linier orde satu
= ∫ {∫( ∫ ) } (8.3)
159
+ + = + + =
+ + =
+ + = (8.6)
Agar ruas kiri menjadi nol, maka + + haruslah bernilai nol.
Dengan demikian perlu dicari akar-akar (pembuat nol) dari persamaan
+ + . Persamaan ini disebut juga persamaan bantu. Telah kita tahu
bahwa persamaan kuadrat dapat memiliki dua akar berbeda, dapat juga hanya
memiliki satu akar (akar-akarnya kembar), atau dua akar yang saling kompleks.
Jika akar-akar dari persamaan bantu tadi kita namakan r1 dan r2, maka solusi
umum dari PD homogen orde-2 memiliki tiga macam penyelesaian yakni:
1. Jika persamaan bantu memiliki dua akar rill berlainan, maka solusi
umumnya = + .
2. Jika persamaan bantu memiliki akar kembar, maka solusi umumnya
= + .
3. Jika persamaan bantu memiliki akar-akar kompleks yang saling konjugat,
= maka solusi umumnya = o + in .
Sekarang bagaimana bila persamaan diferensialnya tidak homogen
′′ ′
? Misalkan − −2 = + 3 − 2 . Pertama-tama kita cari
′′ ′
terlebih dahulu solusi homogennya, yakni solusi dari − − 2 = . Kita
peroleh persamaan bantu − − 2 = , sehingga = 2 dan = −1. Dengan
begitu diperoleh solusi homogennya,
= +
Untuk solusi non-homogennya, bentuknya bergantung pada . Untuk
lebih jelasnya, perhatikan beberapa bentuk yang mungkin.
1. Jika = + + + 0 , gunakan = + + + 0.
2. Jika = , gunakan = .
3. Jika = o + in , gunakan = o + in .
4. Jika memuat bentuk yang merupakan solusi homogen dari PD, kalikan
penyelesaian yang digunakan dengan x atau suatu pangkat dari x.
160
Berdasarkan kriteria di atas, maka dapat kita pilih solusi non-
′ ′′
homgennya, = + + , dengan demikian =2 + dan =2 .
Substitusikan solusi non-homogen ini ke dalam persamaan homogen
menghasilkan
2 − 2 + −2 + + = +3 −2
Kumpulkan suku-suku dengan variabel x yang berpangkat sama,
−2 + −2 − 2 + 2 −2 − = +3 −2
Dengan menyamakan koefisien dari n 1 diperoleh
−2 = 1 → =−
−2 − 2 = 3 → = −1
2 −2 − = −2 → =1
Akhirnya diperoleh =− − + 1. Solusi akhir (masih berupa
′′ ′
solusi umum) dari PD − −2 = + 3 − 2 ialah:
1
= + = + − − +1
2
Contoh:
Jawab:
PD di atas dapat diselesaikan dengan mengintegralkan secara langsung
= 1+
∫ =∫
ln = ln + +
=
Mengingat sifat logaritma, = dan sebagai suatu konstanta C, maka
solusi dari PD di atas ialah = .
161
Dengan membagi kedua ruas dengan dx, PD di atas dapat kita ubah menjadi
∫ ∫
= = = =
Solusi PD linear orde-1, = ∫ {∫( ∫ ) }
= ∫ 8 = ∫8 = 2 +
Akhirnya diperoleh =2 + .
′′ ′
3. Carilah solusi dari PD homogen −8 + 16 = !
Jawab:
Persamaan bantunya ialah − 8 + 16 = atau −4 −4 = sehingga
memiliki dua akar kembar, yakni = = 4. Solusinya ialah
= +
′′ ′
4. Carilah solusi dari PD non-homogen −7 +1 =6 !
Jawab:
Persamaan bantunya ialah − 7 + 1 yang akar-akarnya berbeda, yakni
= 2 dan = 5. Solusi homogennya
= +
Perhatikan bahwa mengandung suku yang merupakan solusi homogen
, sehingga berdasarkan aturan yang ke-empat, kita modifikasi dengan
menggunakan pengali x.
=
Substitusikan ke dalam persamaan diferensial
−7 +1 =6
25 +1 −8 5 + + 12 =6
Yang ekivalen dengan 3 =6
′′ ′
Jadi diperoleh = 2. Solusi akhir dari PD −7 +1 =6 ialah
= + = + +2
162
163
DAFTAR PUSTAKA
Purwanto, H., Indriani, G., dan Dayanti, E., Kalkulus, penerbit Ercontara Rajawali,
Jakarta, 2005
Redaksi Kawan Pustaka, Rangkuman Rumus Matematika, Fisika dan Kimia SMA,
penerbit PT Kawan Pustaka, Jakarta, 2005
Sukino, Matematika untuk SMA kelas XII jilid 3A, penerbit Erlangga, Jakarta, 2007
164
165
166
Kalkulus Dasar
Sunkar E. Gautama
Paradoks Softbook
167 Publisher