Anda di halaman 1dari 168

KALKULUS DASAR

Untuk Sekolah Menengah Atas dan Awal Universitas


versi 1.0

𝑏 𝑏
𝑓 𝑏 𝑓 𝑎
𝑓 𝑥 ≅ 𝑓 𝑥 𝑑𝑥 + +
2 2
𝑎 𝑎

𝑓 𝑥 + Δ𝑥 − 𝑓 𝑥
𝑓′ 𝑥 = lim
Δ𝑥→0 Δ𝑥

𝑏
𝑑𝑦
𝑆= 1+ 𝑑𝑥
𝑑𝑥
𝑎
Paradoks Softbook Sunkar E. Gautama
Publisher 0
1
KALKULUS DASAR
Untuk Sekolah Menengah Atas dan Universitas
versi 1.0

Sunkar E. Gautama
© Paradoks Softbook Publisher
http://paradoks77.blogspot.com
For free

2
Judul buku : Kalkulus Dasar – Untuk Sekolah Menengah Atas dan Universitas
Edisi : 1.0
Penulis : Sunkar Eka Gautama
Tahun terbit : 2012

Penerbit online Paradoks Softbook Publisher


Kritik, saran, koreksi, dan pertanyaan:
http://paradoks77.blogspot.com
skaga_01@yahoo.co.id

Open source:

Buku ini ditujukan untuk disebarkan secara cuma-cuma demi dunia


pendidikan di Indonesia. Tiap orang berhak untuk mencetak atau
mengeditnya, bahkan diperbolehkan membuat buku non-komersial
baru berdasarkan buku ini dengan mencantumkan judul buku yang
menjadi platform, nama pengarang, dan penerbit online Paradoks
Softbook Publisher pada sampul buku Anda.
Dilarang keras mengomersialkan buku ini tanpa izin penerbit!

1
12

3
Kata Pengantar

Tidak terasa buku ke-dua saya yang berjudul Kalkulus Dasar ini kelar juga.
Menyelesaikan buku ini di sela-sela kuliah dan kerja ternyata cukup sulit. Namun
dilatarbelakangi semangat yang kuat melihat masih cukup minimnya buku-buku
kalkulus dasar yang ditulis berbasis konseptual, akhirnya dalam tempo lima bulan
buku ini bisa diselesaikan. Penyusunan buku berbasis konseptual ini dipilih karena
buku-buku berbasis ikhtisar jarang yang dapat mengantar pembaca mengenal
seluk-beluk materi dalam buku, mengapa ini begini dan mengapa itu begitu. Apalagi
jika bukunya buku matematika, jelaslah matematika akan tampak bagaikan
monster.
Atas terselesaikannya buku ini, penulis berterima kasih kepada segenap
materi-energi yang berkontribusi dalam pembuatan buku ini, khususnya kepada
orangtua penulis, MS Word, Cindy (atas bantuannya mengetikkan beberapa bagian
tulisan), serta saudara Aldytia, Ariansyah, Nur Hidayat, dan Akbar yang sudi
menemani ngopi dan ngobrol di bawah pohon tatkala penulis jenuh,
Alih-alih mengonversi buku ini ke format pdf, berdasarkan ilham yang
didapat penulis memutuskan tetap menggunakan format docx sehingga buku ini
benar-benar open source, boleh dikopi, disunting, dan dicetak semaunya. Hak cipta
adalah bagian tak terpisahkan dari suatu karya, tapi untuk buku saya, hak ciptanya
tidak dilindungi undang-undang – semata-mata untuk pendidikan di Indonesia.
Karena merupakan edisi perdana, penulis memohon maaf atas kesalahan-
kesalahan teknis maupun non-teknis pada buku ini – tolong tidak hanya dimaklumi,
tetapi juga dilaporkan oleh pembaca yang budiman demi kepentingan koreksi buku
ini pada revisi selanjutnya. Akhir kalimat, terima kasih telah menggunakan buku ini.
Salam hangat.

Makassar, Oktober 2012


Penulis

4
Daftar Isi

Kata Pengantar 4
Daftar Isi 5
Pendahuluan 7
1. Himpunan dan Fungsi 8
1.1. Himpunan dan Bilangan 8
1.2. Definisi Fungsi 13
1.3. Beberapa Jenis Fungsi 17
1.4. Operasi pada Fungsi 26
2. Limit 29
2.1. Definisi Limit 29
2.2. Limit Fungsi Aljabar 33
2.3. Teorema Limit 44
2.4. Limit Fungsi Trigonometri 45
2.5. Kontinyuitas Suatu Fungsi 47
3. Turunan 49
3.1. Turunan Fungsi di Suatu Titik 49
3.2. Turunan Fungsi Aljabar 56
3.3. Turunan Fungsi Trigonometri 60
3.4. Turunan Fungsi Komposit dan Aturan Rantai 62
3.5. Turunan Tingkat Tinggi (Orde Tinggi) 65
3.6. Turunan Fungsi Implisit 69
3.7. Turunan Fungsi Pangkat Irasional 69
3.8. Analisis Gradien dan Nilai Ekstrim 70
4. Integral 78
4.1. Integral sebagai Anti-Turunan 78
4.2. Notasi Integral 79

5
4.3. Integral sebagai Luas Daerah di Bawah Kurva 81
4.4. Beberapa Bentuk Integral 85
4.5. Metode Substitusi 88
4.6. Integral Parsial 95
4.7. Integral Fungsi Rasional 101
4.8. Integral Tentu 104
5. Turunan Parsial dan Turunan Berarah 115
5.1. Fungsi n Variabel 115
5.2. Turunan Parsial 117
5.3. Aturan Rantai Fungsi Implisit 119
5.4. Diferensial Total dan Hampiran 123
5.5. Gradien dan Turunan Berarah 126
6. Aplikasi Turunan dan Integral 129
6.1. Aplikasi Turunan 129
6.2. Aplikasi Integral 139
7. Deret Tak Hingga 147
7.1. Deret Tak Hingga 147
7.2. Deret Pangkat 153
7.3. Deret Taylor dan MacLaurin 154
7.4. Turunan dengan Bantuan Deret 155
8. Pengantar Persamaan Diferensial 157
8.1. Konsep Persamaan Diferensial 157
8.2. Persamaan Diferensial Linear Orde Satu 159
8.3. Persamaan Diferensial Linear Orde Dua 159
Daftar Pustaka 164

6
Pendahuluan

Kalkulus diferensial pertama kali dirumuskan oleh Leibniz dan Newton


secara terpisah. Sebelumnya, pada abad ke-19, seorang matematikawan Prancis
bernama Augustin-Louis Cauchy (1789 – 1857) merumuskan konsep limit yang
menjadi dasar dari kalkulus diferensial.
Kalkulus diferensial kemudian berkembang menjadi alat yang luar biasa
dalam pemecahan problem matematis yang sulit dinalarkan secara aritmatika.
Sebagai contoh sederhana, dengan integral kita dapat menghitung volume benda
yang merupakan rotasi dari fungsi dengan batas tertentu. Dengan kalkulus
diferensial sistem-sistem fisis dapat dimodelkan mulai dari momen inersia,
gerak benda yang kompleks, atmosfer bintang, hingga struktur jagat raya.
Belakangan ini, pemodelan matematis semakin rumit sehingga
penyelesaiannya harus dikerjakan dengan bantuan komputer yang kemudian
membuat cabang matematika baru, yakni metode numerik. Baik menggunakan
metode analitik maupun numerik, kalkulus merupakan salah satu senjata
utamanya.
Adapun tujuan yang diharapkan dapat tercapai dengan penyusunan buku
ini bagi pembaca antara lain adalah:
 Dengan penyusunan buku berbasis konseptual, diharapkan pembaca
mengetahui dan memahami konsep dan definisi limit, turunan, dan integral.
 Dapat menyelesaikan persoalan-persoalan matematis ataupun pemodelan
yang memerlukan bantuan kalkulus diferensial.
 Memiliki modal yang cukup mengenai dasar matematis kalkulus untuk
mempelajari ilmu matematika dan ilmu alam pada tingkat lanjut.
 Dapat menyelesaikan problem sehari-hari dengan lebih baik menggunakan
analogi kalkulus diferensial.

7
Bab 1 Himpunan dan Fungsi

1. HIMPUNAN DAN BILANGAN


Sebelum membahas lebih jauh mengenai fungsi, ada baiknya kita
mempelajari atau menyegarkan kembali ingatan kita mengenai himpunan dan
bilangan. Mengapa hal ini penting? Yang pertama, fungsi terlibat dengan
himpunan. Fungsi tidak lain adalah aturan pemetaan dari satu himpunan ke
himpunan yang lain. Yang kedua, buku ini adalah buku matematika, jadi jelas
saja isi dari himpunan-himpunan yang akan dibahas adalah bilangan. Jika Anda
mendapati himpunan yang dibahas dalam buku ini berisikan binatang, jangan
khawatir, Anda tidak sedang membaca buku zoologi, ini cuma sekadar pengantar
ke pemahaman matematisnya.

1.1. Definisi Himpunan


Dalam pengertian umum, himpunan tidak lain adalah kumpulan
objek-objek tertentu yang memiliki setidaknya satu kesamaan, yakni syarat
yang diperlukan untuk bisa dimasukkan dalam himpunan tadi. Misalkan
kambing, sapi, dan kerbau dapat dikategorikan sebagai hewan
memamahbiak sebab mereka memenuhi syarat untuk bisa dimasukkan
dalam kelompok hewan memamahbiak karena: mereka memang
memamahbiak. Hal terpenting dalam himpunan ialah tidak boleh ada dua
benda yang sama dimasukkan dua kali. Semua objek-objek dalam himpunan
haruslah berbeda karena jika tidak akan terjadi penggelembungan suara.
Namun dalam lain kasus, kita tidak perlu mempunyai syarat yang
jelas ataukah kita tidak perlu menjelaskan syarat suatu himpunan. Kita
katakan saja himpunan A berisikan tomat, tempe, daging sapi, dan es
campur. Kita cukup mendeklarasikan elemen-elemen suatu himpunan tanpa

8
menjelaskan syaratnya (meskipun ada syarat dibaliknya, misal barang-
barang yang ada di kulkas rumah saya).
Oke, dalam matematika himpunan disimbolkan dengan huruf kapital
semisal A, B, C, dan lain-lain. Objek-objek dalam himpunan (elemen-
elemennya) disimbolkan dengan huruf kecil. Untuk memerikan suatu
himpunan, elemen-elemennya dapat dituliskan dalam tanda kurung
kurawal.
= 12345
= 1357
Atau kita dapat menuliskan deskripsi (syarat) elemen dari suatu
himpunan.
= 1 5
= =2 −1
Simbol n masing-masing menyatakan bilangan asli
(1,2,3,…), bilangan bulat/integer (…,-1,0,1,2,…), bilangan rasional
= = , bilangan riil (rasional dan irasional), dan

bilangan kompleks (bilangan riil dan imajiner), sedangkan simbol dibaca


“elemen dari”. Himpunan juga dapat digambarkan dalam skema berupa area
tertutup yang merepresentasikan himpunan dan di dalamnya terdapat
elemen-elemen dari himpunan yang dimaksud.
Selain mendefinisikan elemen dari suatu himpunan, biasanya
terdapat hubungan antara dua atau lebih himpunan. Hubungan-hubungan
yang mungkin antara lain ialah:
1. Irisan/intersection ( )
Misalkan himpunan A berisikan hewan-hewan yang dapat terbang
sebagai berikut A = {merpati, elang, lalat, kelelawar} dan himpunan B
berisikan mamalia sebagai berikut B = {anjing, kuda, paus, kelelawar}.
Perhatikan bahwa kelelawar (atau kalelawar ya?) merupakan elemen
dari himpunan A dan B, dengan kata lain himpunan A dan B beririskan di

9
kelelawar, dinotasikan: l l = (dibaca: kelelawar sama
dengan A iris B).
2. Gabungan/union ( )
Misalkan siswa-siswi SMA Putus Harapan (sebut himpunan A) terbagi
menjadi dua jurusan, yakni IPA (himpunan B) dan IPS (himpunan C).
Artinya bila himpunan B digabung dengan himpunan C akan menjadi
himpunan A, dinotasikan: = (dibaca: A sama dengan B gabung
C).
3. Himpunan bagian/subset ( ) dan himpunan induk/superset ( )
Berkaitan dengan poin nomor 2, bagaimanakah jika SMA Putus Harapan
terbagi menjadi tiga jurusan yakni IPA, IPS, dan bahasa (sebut himpunan
D)? Tidak benar jika kita menuliskan = karena A juga berisikan
C, yang benar adalah = . Tetapi benar juga jika kita
mengatakan B adalah himpunan bagian (subset) dari A, dinotasikan:
(dibaca: B subset dari A). Ataukah dengan bahasa yang sedikit
berbeda kita dapat mengatakan A adalah himpunan induk (superset)
dari B, dinotasikan: (dibaca: A superset dari B).

1.2. Bilangan Riil (Real Number)


Dari penjelasan sebelumnya tentang himpunan, dapat kita tuliskan
. Sebelum bilangan riil dikonsepkan, orang dulunya
mengira semua panjang dapat dinyatakan dalam bilangan rasional, =

dengan . Tetapi setelah Pythagoras mengemukakan


teoremanya, diketahui bahwa panjang sisi miring segitiga siku-siku dengan
sisi-sisi yang berpenyiku sama dengan 1 ialah √ , yang mana tidak dapat
dinyatakan dalam bentuk rasional. Bilangan-bilangan yang tidak dapat
dibawa dalam bentuk rasional selanjutnya dinamakan bilangan irasional.
Ciri-ciri bilangan irasional ialah bila dituliskan dalam bentuk desimal
menghasilkan bilangan dengan angka di belakang koma tak hingga
panjangnya dan tidak memiliki suatu pola berulang yang tetap. Misalkan

10
bilangan = 3 14159265358979323846264 memiliki tak hingga angka
di belakang koma yang susunannya tidak memiliki pola. Tetapi bilangan
0.69230769230769230769… bukanlah bilangan irasional meskipun angka
di belakang komanya tak hingga panjangnya karena susunannya memiliki
pola berulang. Terbukti, 0.69230769230769230769… dapat diubah ke

dalam bentuk pecahan yakni .

Bilangan riil merupakan gabungan dari bilangan rasional dan


bilangan irasional. Bilangan riil didefinisikan sebagai semua [titik] bilangan
yang berada sepanjang garis datar (misal sumbu X).

1.3. Selang (Interval)


Ada tak hingga banyaknya bilangan riil, dan seringkali kita hanya
ingin meninjau bilangan-bilangan riil dalam selang tertentu saja. Suatu
selang biasanya dapat dinyatakan dalam ketaksamaan, semisal
yang berarti nilai-nilai x berada di antara a dan b. Selang seperti ini disebut
selang terbuka, dan biasa dinotasikan juga sebagai . Adapun selang
semacam berarti nilai-nilai x dari a hingga b. Selang seperti ini
disebut selang tertutup yang biasa juga dinotasikan sebagai . Jadi
dalam selang tertutup batasnya juga dimasukkan dalam himpunan,
sedangkan dalam selang terbuka tidak. Semua elemen yang mungkin dalam
bilangan real dapat dinotasikan sebagai − atau − .
Beberapa contoh selang yang mungkin ialah , , − ,
, − , dan . Cobalah Anda terjemahkan maksudnya.

1.4. Koordinat Kartesius


Dalam menggambarkan letak/koordinat suatu titik biasanya
digunakan suatu sistem koordinat. Mengingat nilai input dan hasil output
fungsi dapat dianggap sebagai koordinat, maka titik itu juga dapat
digambarkan dalam sistem koordinat. Salah satu yang paling umum
digunakan ialah koordinat kartesius. Dalam koordinat kartesius terdapat

11
sumbu-sumbu orientasi arah berupa garis riil yang lurus dan saling tegak
lurus (ortogonal) satu sama lain. Jika kita menggambarkan letak titik dalam
dua dimensi, maka hanya diperlukan dua sumbu (misal X dan Y) untuk
menunjukkan arah atas, bawah, kiri, dan kanan. Begitu pula bila ingin
menggambarkan letak titik dalam tiga dimensi, diperlukan tiga sumbu
orientasi (misal X, Y, dan Z).
Jika terdapat suatu titik A dalam koordinat kartesian dua dimensi,
proyeksi titik A ke sumbu X disebut sebagai nilai komponen x dari titik A
dan proyeksi titik A ke sumbu Y disebut sebagai nilai komponen y dari titik
A sehingga dapat dituliskan letak titik A sebagai . Untuk pemetaan
suatu fungsi, dengan meletakkan nilai-nilai input pada satu sumbu
(misalkan sumbu X) nilai-nilai output diletakkan pada sumbu lainnya
(sumbu Y), maka lokasi pasangan nilai (input-output) dapat diperoleh
dengan menghubungkan komponen x (input) dan komponen y (output)-nya.

Y Y
6
5
4 A = (4,3)
3
2 y = f(x)
1 X
-6 -5 -4 -3 -2 -1
-1 0 1 2 3 4 5 6
-2
-3
-4
X
B = (-2,-5) -5 0
-6

Gambar 1.1. Letak titik A = (4,3) dan B = (-2,-5) digambarkan dalam koordinat
kartesius 2D (kiri) dan fungsi f(x) yang direpsentasikan sebagai
kumpulan titik-titik digambarkan dalam koordinat kartesiuas (kanan).

12
2. DEFINISI FUNGSI
Pernahkah Anda masuk ke kebun binatang atau wahana hiburan?
Biasanya tiket masuknya bervariasi: orang dewasa Rp 100.000,00, di bawah 12
tahun Rp 50.000.00, dan balita gratis. Yeah, ini adalah salah satu bentuk fungsi!
Mungkin Anda juga pernah mendengar rumus kesetaraan massa-energi dari
Einstein, = , persamaan itu juga merupakan fungsi. Lalu apa bedanya
fungsi dan persamaan? Mari temukan penjelasannya di bawah ini.

2.1. Pemetaan
Pemetaan ialah proses menghubungkan suatu input terhadap
outputnya berdasarkan relasi/syarat/aturan. Jadi hal yang penting dalam
pemetaan adalah input, relasi, dan output. Biasanya kita telah memilki nilai-
nilai input yang jelas, juga telah memiliki relasi yang telah ditentukan.
Dengan memasukkan nilai-nilai input ke dalam mesin pemroses (relasi),
maka keluar nilai outputnya. Dengan begitu kita dapat menghubungkan
nilai-nilai input dengan nilai output yang dihasilkannya, inilah pemetaan!
Himpunan dari nilai-nilai input itu disebut daerah asal (domain), sedangkan
himpunan dari nilai-nilai output disebut daerah hasil (codomain).
Pemetaan dapat digambarkan melalui diagram yang mudah
dimengerti, mudah digambarkan di atas kertas, tetapi cukup menjengkelkan
jika harus digambarkan dengan MS Word. Misalkan pemetaan hewan-
hewan (sebagai input) terhadap makanannya (sebagai output). Jadi
relasinya adalah “memakan”.

13
A memakan
B
kuda •
• kelinci
macan tutul •
• rumput
kambing •
• kril
paus biru •
• ikan mas
ikan gabus •
• mi instan
kucing hutan • .rasa soto

Gambar 1.2. Diagram panah yang menggambarkan pemetaan dari A ke B.

Pada diagram di atas terlihat beberapa elemen dari daerah asal


terpetakan lebih dari satu nilai di daerah hasil (contohnya kucing hutan
terpetakan di kelinci dan ikan mas). Begitu pula beberapa elemen dari
daerah asal terpetakan pada nilai yang sama di daerah hasil (misalkan
macan tutul dan kucing hutan sama-sama terpetakan di kelinci). Ada pula
pemetaan di mana tiap elemen dari daerah asal tepat terpetakan pada satu
elemen di daerah hasil, menghasilkan pasangan-pasangan domain-
codomain. Pemetaan semacam ini disebut pemetaan satu-satu.

2.2. Definisi Fungsi


Telah dijelaskan bahwa komponen-komponen utama pemetaan
adalah input (domain), proses (relasi), dan output (codomain). Jika relasinya
berbentuk sedemikian rupa sehingga satu nilai input hanya memiliki satu
nilai output, maka relasi itu disebut fungsi (relasi adalah hipernim dari
fungsi). Meskipun demikian, tetap masih ada kerancuan mengenai definisi
ini jika diterapkan untuk bilangan. Untuk lebih jelas, perhatikan gambar di
bawah ini.

14
• • • • • • • •
• • • • • • • •
• • • • • • • •
• • • • • • • •

a b c d

Gambar 1.3. Macam-macam kemungkinan diagram panah.

Pada gambar di atas, diagram a dan c merupakan pemetaan fungsi,


karena tiap elemen dari daerah asal hanya terpetakan satu kali. Pada
diagram b ada satu titik dari daerah asal yang tidak terpetakan (nol kali) dan
pada diagram d ada satu titik yang terpetakan dua kali, sehingga relasinya
bukanlah fungsi.
Mungkin Anda telah paham tentang syarat fungsi. Berikut beberapa
contoh mana yang fungsi dan mana yang bukan fungsi. Cobalah Anda
temukan mengapa mereka disebut fungsi atau bukan fungsi.
Contoh fungsi:
1. = +1
2. =2 +3 −1
3. If round(x/2) – (x/2) = 0; genap
else; ganjil
Contoh yang bukan fungsi
1. = √25 −
2. =0

3. Yang guru ke kelompok A, pengusaha ke kelompok B


Sampai sejauh ini fungsi-fungsi yang dibahas hanyalah fungsi satu
variabel, atau dengan bahasa sehari-hari hanya ada satu faktor yang
menjadi syarat pemetaan. Untuk sementara hal ini dianggap cukup.
Meskipun demikian, fungsi banyak variabel tetap akan dibahas pada bab 5.

15
2.3. Fungsi Genap dan Fungsi Ganjil
Perhatikan grafik fungsi in , o , , dan di bawah ini.

Gambar 1.4. Fungsi genap dan fungsi ganjil.

Jika diperhatikan dengan baik, pada fungsi in dan berlaku


− =− (1.1)
Jika memenuhi definisi dari persamaan 1.1, fungsi tersebut
dikategorikan sebagai fungsi ganjil. Sekerang coba perhatikan fungsi o
dan , diperoleh
− = (1.2)
Jika memenuhi definisi dari persamaan 1.2, fungsi tersebut
dikategorikan sebagai fungsi genap. Pada fungsi genap jelas terlihat sumbu
Y berlaku sebagai cermin, atau kurva di daerah merupakan pencerminan
dari kurva di daerah . Dari definisi ini, buktikanlah pemangkatan dengan
bilangan genap dari semua fungsi riil merupakan fungsi genap, sedangkan
pemangkatan dengan bilangan ganjil tidak merubah kelas fungsinya.

16
3. BEBERAPA JENIS FUNGSI
Kita telah cukup banyak membahas mengenai fungsi. Berikutnya akan
diberikan beberapa jenis fungsi yang sering muncul dalam keseharian dan ujian
Anda.

3.1. Fungsi Polinom


Fungsi polinom ialah fungsi yang berbentuk
= 0 + + + +
Dengan n bilangan bulat non-negatif dan 0 adalah tetapan
riil.
Jika , dikatakan derajat atau orde polinom tersebut adalah n.
Jika n = 0, maka fungsi tersebut menjadi = 0 untuk semua nilai x.
Fungsi seperti itu disebut fungsi konstan.

3.2. Fungsi Rasional


Fungsi rasional ialah fungsi yang berbentuk pembagian dua fungsi
polinom, yaitu:
0+ + + +
=
0+ + + +
Dengan syarat penyebutnya tidak sama dengan nol untuk semua nilai
x (syarat perlu pembilang ).

3.3. Fungsi Irasional


Fungsi irasional adalah fungsi yang memuat tanda penarikan akar.
Contohnya = +√ −2 .

3.4. Fungsi Nilai Mutlak


Nilai mutlak didefinisikan sebagai
= ; bila
= − ; bila

17
Misalnya 7 = 7, = , dan −7 = − −7 = 7.
Dari definisi di atas terlihat bahwa untuk setiap bilangan riil berlaku
.
Salah satu cara mudah untuk membayangkan nilai mutlak ialah jarak
(suatu skalar, tidak memilki arah). adalah jarak x dari titik (0,0), begitu
pula − ialah jarak antara x dengan a. Dari definisi nilai mutlak ini,
didapati pula sifat nilai mutlak dalam suatu ketaksamaan yakni
; berarti – (1.3.a)
; berarti − (1.3.b)
Berikut ini ialah sifat-sifat nilai mutlak dalam operasi aljabar
1. =

2. | | =

3. + +

Contoh:
1. Selesaikanlah ketaksamaan −7 2!
Jawab:
Mengingat sifat nilai mutlak pada pers. 1.3.a, dapat diperluas menjadi
; berarti – , sehingga
− −7 2
Tambahkan masing-masing ruas dengan 7, diperoleh
9
Jadi himpunan penyelesaiannya ada dalam selang 5 9 .

2. Selesaikanlah ketaksamaan 4 − 8 12!


Jawab:
Mengingat sifat nilai mutlak pada pers. 1.3.b, dapat diperluas menjadi
; berarti − , sehingga
4 −8 −12 atau 4 − 8 12
Tambahkan masing-masing ruas dengan 8, diperoleh

18
4 −4 atau 4 2
sehingga −1 atau 5
Jadi himpunan penyelesaiannya ada dalam selang − 5 .

3. Selesaikanlah ketaksamaan 4 − 2!
Jawab:
− 4− 2
− − −2
Kalikan semua ruas dengan -1 (ingat jika ketaksamaan dikalikan dengan -1 maka
tandanya berbalik, seperti bila 2 4, maka −2 −4).
2 atau 6. Jadi himpunan penyelesaiannya berada dalam selang
26 .

Setelah mempelajari “operasi” nilai mutlak, sekarang kita akan


membahas fungsi nilai mutlak. Ingatlah kembali bahwa jika ada tanda nilai
mutlak, maka fungsi itu berubah sifatnya pada titik yang ditunjukkan oleh
subfungsi dalam tanda nilai mutlak itu. Misalkan =3−2 4 +2 ,
maka fungsi akan berubah sifat di titik 4 + 2 = atau = − 5. Jadi
fungsi nilai mutlak dapat kita pecah menjadi dua bagian, yakni:
−8 − 1 i − 5
={
8 +7 i − 5
Berikut grafiknya:

Gambar 1.5. Grafik fungsi nilai mutlak 𝑓 𝑥 = 3 − 2 4𝑥 + 2 .

19
Satu contoh lagi, misalkan = + − 3 . Terdapat dua tanda
mutlak, sehingga terdapat dua titik di mana akan berubah sifat. Kedua
titik itu ialah = dan −3= = 3. Perhatikan pada subfungsi dalam
tanda mutlak yang pertama, , untuk maka = − , sedangkan
untuk maka = . Cara yang serupa dikerjakan untuk tanda mutlak
yang ke-dua, − 3 , menghasilkan − 3 = − + 3 untuk 3, dan
−3 = − 3 untuk 3. Dengan demikian terdapat tiga selang yang
memuat “fungsi baru” yang berbeda yakni:
+ −3 i 3
={ − +3 i 3
− − +3 i

3.5. Fungsi Tangga


Fungsi tangga ialah fungsi bilangan bulat terbesar. Jadi, sebelum
membahas fungsi bilangan bulat terbesar, kita bahas terlebih dahulu
“operasi” bilangan bulat terbesar. Ibarat terdapat tangga yang terdiri dari
dua puluh anak tangga di rumah Anda. Dalam hal ketinggiannya, tangga itu
kita anggap sebagai suatu selang dalam garis riil dan ketinggian tiap-tiap
anak tangga itu berada pada nilai bilangan bulat. Jika Anda berada pada
anak tangga ke-tiga, dan melangkahkan kaki maju tetapi ketinggian langkah
kaki Anda hanya sepertiga anak tangga, Anda tidak akan naik ke mana-
mana, melainkan tetap di kedudukan semula. Meskipun Anda mengangkat
kaki setinggi setengah, 0,9, atau 0,9999… kali tinggi anak tangga Anda tetap
tidak akan naik. Hal yang analog (tidak persis) terjadi bila Anda turun
tangga. Meskipun Anda hanya melangkah turun 0,001 kali ketinggian anak
tangga saja, Anda pastilah akan turun satu anak tangga.
Dari penggambaran di atas, dapat kita simpulkan dalam operasi
bilangan bulat terbesar (disimbolkan sebagai ), hanya dikenal
bilangan-bilangan bulat/integer. Jika bukan bilangan bulat maka
akan bernilai sama dengan bilangan bulat terbesar yang lebih
kecil dari pada .

20
Contohnya kita ambil saja operasi pada konstanta. Bila = 2 2,
terdapat bilangan bulat …, -1,0,1,2 yang lebih kecil dari 2,2, jadi 2 2 = 2.
Dengan mudah kita ketahui 1 7 = 1, 3 5 = 3, −4 6 = −5 , dan
1 =1 .
Secara formal dapatlah kita tuliskan
= jika +1

Contoh:
1. Tentukanlah aturan fungsi tangga = −2 dalam selang −1 1
Jawab:
Menurut definisi bilangan bulat terbesar

−2 = jika −2 + 1, kalikan dengan − pada ketiga ruas diperoleh

− − .

Agar −1 1, pilih = −2 −1 1, sehingga


= −2 1 −2 = −2 = −2

= −1 −2 = −1 = −1

= − −2 = =

=1 −1 − −2 =1 =1

n = −1 −2 =2 =2
Jadi aturan fungsinya adalah
1
−2 1
2
1
−1
2
= 1

2
1
1 −1 −
2
{ 2 = −1

21
3.6. Fungsi Trigonometri
Fungsi trigonometri ialah fungsi yang memuat operasi-operasi
trigonometri seperti sinus, kosinus, dan tangen.

Gambar 1.6. Sudut dalam lingkaran dan segitiga menggambarkan hubungan


antara koordinat kartesius dan koordinat polar.

Fungsi trigonometri merupakan perkakas dalam mengonversi suatu


sistem koordinat kartesian ke dalam koordinat polar (dengan demikian
menggunakan basis fungsi lingkaran, + = ) atau sebaliknya. Dalam
“ruang” dua dimensi, koordinat kartesius menyatakan posisi suatu titik
dalam jarak proyeksi ke sumbu X (yakni x) dan jarak proyeksi ke sumbu Y
(yakni y) terhadap pusat koordinat, sedangkan dalam sistem koordinat bola,
posisi suatu titik dinyatakan dalam jarak terpendek titik dari pusat
koordinat (dalam ruang datar merupakan garis lurus) yakni r dan sudut
yang dibentuk antara sumbu referensi (biasanya X+) dengan r (yaitu θ).
Untuk memperoleh hubungan antara x, y, r, θ dan mengingat sifat
kesebangunan segitiga dibuatlah definisi,

in = = (1.4)

o = = (1.5)

n = = = (1.6)

Perhatikan segitiga siku-siku pada gambar 1.6, diperoleh in = ,

padahal o = . Mengingat jumlah sudut dalam segitiga planar ialah 18

sehingga =9 − maka diperoleh kesimpulan

22
in 9 − = o (1.7.a)
o 9 − = in (1.7.b)
Mengingat sifat periodesitas fungsi trigonometri, dipenuhi juga
hubungan
in 9 + = o (1.7.c)
o 9 + = in (1.7.d)
Hubungan penting yang lainnya ialah
in + o =1 (1.8)

Yang dapat dibuktikan sebagai + = = = .

Selain dinyatakan dalam satuan derajat, besar sudut juga dapat


dinyatakan dalam radian dan jam busur.
Jenis satuan sudut Sudut lingkaran penuh Keterangan
Derajat = =
Radian 2
=( )
36
Jam busur 1 =6 = 36
=

23
Gambar 1.7. Grafik fungsi sinus (atas, biru), cosinus (atas, merah), dan
tangen (bawah, biru)

Selain itu dikenal pula fungsi cosecan, secan, dan cotangen sebagai
pangkat negatif satu dari fungsi sinus, cosinus, dan tangen atau secara
matematis diperikan sebagai
= = (1.9)

= = (1.10)

o = = = (1.11)

Gambar 1.8. Grafik fungsi cosec (biru), sec (merah), dan cotangen (hijau) dalam
koordinat kartesian.

Ada pula yang disebut sinus hiperbolik, cosinus hiperbolik, dan


tangen hiperbolik. Perbedaannya ialah bila fungsi trigonometri berbasis
lingkaran, maka fungsi trigonometri hiperbolik berbasis hiperbola,
− = , di mana dalam kasus ini r juga merupakan jarak dari pusat ke
puncak hiperbola. Perhatikanlah gambar hiperbola − =4
dibandingkan dengan lingkaran + = 4 di bawah ini.

24
Gambar 1.9. Perbandingan gambar antara hiperbola (kiri) dan lingkaran (kanan)
dengan r = 2.

Dengan definisi yang hampir serupa dengan fungsi trigonometri


biasa, fungsi trigonometri hiperbolik didefinisikan sebagai:
in = (1.12)

o = (1.13)

n = = (1.14)

Gambar 1.10. Grafik fungsi sinh (biru), cosh (merah), dan tanh (hijau) dalam
koordinat kartesian.

25
4. OPERASI PADA FUNGSI
Tentunya fungsi yang dimaksud di sini adalah fungsi metematis.
Setidaknya terdapat dua macam operasi yang umum pada fungsi, yakni operasi
aljabar dan komposisi fungsi.

4.1. Operasi Aljabar


Fungsi-fungsi dapat saling dijumlahkan, dikurangkan, dikalikan, dan
dibagi untuk memperoleh fungsi baru. Misalkan fungsi = 3 + 4 dan
= 2 − 1, maka dapat kita peroleh fungsi-fungsi baru yang merupakan
hasil operasi aljabar dari kedua fungsi tadi.
1. Penjumlahan, misal = + = +
+ = 3 +4 + 2 −1 =5 +3
2. Pengurangan (selisih), misal = − = −
− = 3 +4 − 2 −1 = +5
3. Perkalian, misal = =
+ = 3 +4 2 −1 = 6 +5 −4

4. Pembagian (rasio), misal = =( )

3 +4
=
2 −1
Selain melakukan operasi aljabar antar dua fungsi atau lebih, kita
juga dapat menjumlahkan, mengurangkan, mengalikan, membagi,
memangkatkan, dan menarik akar suatu fungsi dengan suatu konstanta.
Tentu saja hal ini sangat mudah sehingga penjelasan lebih lanjut dirasa
tidak perlu.

4.2. Fungsi Komposisi


Fungsi komposisi adalah gabungan dua atau lebih fungsi. Agar bisa
dikomposisikan, fungsi-fungsi itu haruslah memiliki satu peubah yang sama
ataukah fungsi yang satu merupakan peubah dari fungsi yang lain. Ibarat
mesin pintal dan mesin tenun, serat diproses dalam mesin pintal menjadi

26
benang yang kemudian diproses lagi dalam mesin tenun sehingga menjadi
kain.
Sebelum memulai definisi matematikanya lebih lanjut, baiknya kita
simak dulu pemahaman berikut ini.
Nilai-nilai x (bahan mentah) ingin diproses dengan fungsi
= = + 1 untuk menghasilkan output-output y (bahan baku). Lalu
y akan diproses lagi dengan fungsi = = 2 + 3 untuk menghasilkan
output-output z (bahan jadi). Jika kita tidak ingin mempedulikan proses-
prosesnya satu demi satu, dapatlah diringkaskan keseluruhan proses itu
dari input x menghasilkan output z, yakni:
= =2 +3
= ( )=2 +1 +3= 2 +5
Kita perolehlah ringkasan proses-prosesnya menjadi satu proses dari bahan
mentah menjadi bahan jadi yaitu = ( )=2 + 5.
Dalam matematika, boleh jadi kita tidak memerlukan penamaan
berbeda untuk bahan mentah dan bahan baku, kita bisa menamakan
keduanya sebagai x. Contohnya lagi diketahui = + 4 dan

= − 2, maka:
2 2 8
( )= −2 +4= +
3 3 3
2 4 16
( )=( + 4) − 2 = + + 14
3 9 3
Notasi ( ) juga biasa dituliskan sebagai (dibaca
fungsi f komposisi g) dan notasi ( ) juga biasa dituliskan sebagai
. Jelas bahwa tidak mesti sama dengan .
Untuk komposisi tiga fungsi atau lebih aturan yang sama berlaku, juga

penulisan ( ( )) dapat ditulis .

27
4.3. Invers Suatu Fungsi
Jika dipenuhi suatu sifat
= (1.15.a)
atau
= (1.15.b)
Maka disebut sebagai fungsi invers dari . Langkah
pertama yang perlu dilakukan untuk mencari invers dari fungsi satu
variabel, semisal = ialah dengan mengubahnya menjadi = .
Setelah itu Anda cukup menukar variabel y menjadi variabel awal, yakni x.
Contohnya fungsi = =

2 −3=

= + =

Jadi diperoleh = . Jika kita tukar nama variabelnya, diperoleh

invers dari fungsi yakni = = . Berikut akan kita coba

membuktikan teorema pada persamaan 1.15.a dan 1.15.b dengan contoh.


1 1
= ( )= = =
3 +1 1
2( 2 )− 3 3 + − 3
1
3 (2 − 3) + 1 3 2 − 3
= ( )= = + =
1 2 2
2 (2 − 3)

28
Bab 2 Limit

1. DEFINISI LIMIT
Secara harfiah, limit berarti batas. Dalam matematika, limit dapat
dipandang sebagai batas, nilai yang mendekati (approach). Jika dikaitkan dalam
fungsi, limit fungsi di dapat dikata nilai fungsi untuk mendekati , sedekat
mungkin, tapi tidak pernah tepat di .
1.1. Interpretasi Grafik
Pengertian limit fungsi di suatu titik dapat dipahamai dengan
menggunakan grafik. Untuk lebih detilnya, perhatikan langkah-langkah
berikut.
Langkah 1
Tetapkan bilangan positif ε sehingga selisih antara dengan L kurang
dari ε, ditulis − atau − + . Ungkapan ini
digambarkan oleh sabuk horizontal dengan lebar ε (batas atas + dan
batas bawah − ) seperti pada Gambar 2.1.a.
Langkah 2
Pilihlah bilangan positif sehingga selisih antara x dengan a positif tetapi
kurang dari δ, ditulis − .
− menunjukkan bahwa .
− atau − + . Ungkapan ini digambarkan oleh sabuk
vertikal dengan lebar 2 (batas kanan + dan batas kiri − ) seperti
pada Gambar 2.1.b.
Langkah 3
Perpotongan antara sabuk horizontal dan sabuk vertikal yang diperoleh
pada kedua langkah di atas membentuk persegi panjang ABCD seperti
diperlihatkan pada Gambar 2.1.c.

29
Persegi panjang ABCD ini yang digunakan untuk menentukan ada
atau tidak adanya limit fungsi di sekitar = sebagai berikut
 Jika grafik fungsi yang berada dalam sabuk-vertikal juga berada
dalam persegi panjang , maka fungsi mempunyai limit L
untuk x mendekati a.
 Jika grafik fungsi yang berada dalam sabuk-vertikal tetapi tidak
berada dalam persegi panjang ABCD, maka fungsi tidak mempunyai
limit untuk x mendekati a.

𝑌 sabuk-horizontal 𝑌 sabuk-vertikal 𝑌

𝐿+𝜀 𝜀 𝐴
𝐿+𝜀 𝐵
𝐿 𝜀 𝜀
𝐿−𝜀 𝐿
𝜀
𝐿−𝜀
𝐶 𝐷
𝛿 𝛿 𝛿 𝛿
𝑂 𝑋 𝑂 𝑎 −𝛿𝑥 = 𝑎 𝑎+𝛿
𝑋 𝑂 𝑎 − 𝛿𝑥 = 𝑎 𝑎 + 𝛿
𝑋
(a) (b) (c)

Gambar 2.1. Grafik fungsi 𝑓 𝑥

Sebagai contoh, perhatikan Gambar 2.2.


1) Fungsi pada Gambar 2.2.a mempunyai limit L untuk x mendekati a.
Sebab fungsi yang berada dalam sabuk-vertikal dengan lebar δ juga
berada dalam persegi panjang ABCD.
2) Fungsi pada Gambar 2.2.b tidak mempunyai limit untuk x
mendekati a. Sebab ada sebagian fungsi yang berada dalam sabuk-
vertikal dengan lebar δ tidak berada dalam persegi panjang ABCD, yaitu
cabang fungsi yang berada di sebelah kanan garis = .

𝑌 𝑦=𝑓 𝑥 𝑥 𝑎 𝑌 𝑦=𝑓 𝑥 𝑥 𝑎

𝐿+𝜀 𝐴 𝐵 𝐴 𝐵
𝐿+𝜀
𝜀 𝜀
𝐿 𝐿
𝜀 𝜀
𝐿−𝜀 𝐿−𝜀
𝐶 𝐿 𝐷 𝐶 𝐿 𝐷
𝛿 𝛿 𝛿 𝛿
𝑎 − 𝛿𝑥 = 𝑎 𝑎 + 𝛿 𝑎−𝛿𝑥 = 𝑎 𝑎+𝛿
𝑂 𝑋 𝑂 𝑋
(a) lim𝑥→𝑎 𝑓 𝑥 = 𝐿 (b) lim𝑥→𝑎 𝑓 𝑥 tidak
aa
Gambar 2.2. Limit fungsi.

30
Definisi formal:
lim → = (2.1)
Berarti untuk setiap terdapat nilai sedemikian sehingga
− dan − .

Limit Kiri dan Limit Kanan


Telah kita ketahui nilai fungsi di = dapat didekati dari kiri
maupun dari kanan. Nilai limit untuk x menuju a dari arah kiri (x → a–
atau x < a) disebut limit kiri, sedangkan nilai limit untuk x menuju a
dari arah kanan (x → a atau x > a) disebut limit kanan. Suatu fungsi
+

dikatakan memiliki limit di = jika dan hanya jika memiliki limit kiri dan
limit kanan dan limit kirinya sama dengan limit kanannya.

Suatu fungsi 𝑓 𝑥 dikatakan memiliki limit di 𝑥 = 𝑎 jika


dan hanya jika
 lim𝑥→𝑎− 𝑓 𝑥 ada, yakni L–
 lim𝑥→𝑎+ 𝑓 𝑥 ada, yakni L+
 lim𝑥→𝑎− 𝑓 𝑥 = lim𝑥→𝑎+ 𝑓 𝑥 atau L– = L+

Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar di bawah ini:

𝑌 𝑌
𝑦=𝑓 𝑥 𝑥 𝑎 𝑦=𝑓 𝑥 𝑥 𝑎

𝐿 𝐿 𝐿 𝐿

𝑜 𝑥=𝑎
𝑋 𝑜 𝑥=𝑎
𝑋
(a) lim𝑥→𝑎 𝑓 𝑥 = 𝐿 , lim𝑥→𝑎+ 𝑓 𝑥 = (b) lim𝑥→𝑎 𝑓 𝑥 = 𝐿 ,
𝐿 , dan 𝐿 = 𝐿 lim𝑥→𝑎+ 𝑓 𝑥 = 𝐿 , dan 𝐿 𝐿

Gambar 2.3. Limit kiri dan limit kanan. Pada gambar (a) dikatakan fungsi
memiliki limit di x = a, sedangkan pada gambar (b) fungsi
tidak memiliki limit di x = a.

31
1.2. Pengamatan dari Penghitungan Nilai Fungsi
Pengertian limit fungsi di suatu titik dapat pula dipahami dengan
menghitung langsung nilai-nilai fungsi di sekitar titik yang ditinjau.
Misalkan fungsi = 2 + 3 ingin diketahui nilai fungsi dan limitnya di
= 2. Nilai fungsi di titik = 2 ialah 2 = 2 2 + 3 = 7.
Nah, bagaimana jika kita ingin mengetahui nilai untuk menuju
2? Maka dapat dihitung nilai-nilai fungsi di sekitar = 2.

1,8 1,9 1,99 1,999 →2,000← 2,001 2,01 2,1 2,2


6,6 6,8 6,98 6,998 ? 7,002 7,02 7,2 7,4

Dari tabel di atas dapat disimpulkan nilai semakin mendekati 7


bila mendekati 2. Dengan demikian dapat dituliskan
lim 2 + 3 = 7

Nah, sekarang kita coba cari nilai dan limit fungsi = di titik
0
= 2. Jika dihitung nilai fungsinya diperoleh 2 = = 0, suatu bentuk

yang tidak kita ketahui nilainya. Sekarang, kita coba menghitung nilai fungsi
di sekitar = 2.

1,8 1,9 1,99 1,999 →2,000← 2,001 2,01 2,1 2,2


3,8 3,9 3,99 3,999 ? 4,001 4,01 4,1 4,2

Ternyata diperoleh untuk x mendekati 2, akan mendekati 4. Jadi

dapat kita simpulkan lim → = 4.

32
2. Limit Fungsi Aljabar
2.1. Bentuk Tak Hingga dan Tak Tentu
Kita telah tahu bahwa nilai yang paling kecil dalam bilangan (dalam
hal ini bilangan positif) ialah bilangan yang mendekati nol. Lalu, berapakah
atau apakah bilangan yang memiliki nilai terbesar? Sayangnya tidak ada
bilangan seperti itu, karena setiap kita memilih bilangan yang sangat-sangat
besar sekalipun kita tetap akan menemukan bilangan yang lebih besar lagi.
Tak hingga adalah suatu entitas dalam matematika untuk
merepresentasikan nilai yang sangat besar. Penting untuk diingat karena
tak hingga (∞) hanyalah representasi dari bilangan yang sangat besar,
sehingga tak hingga (∞) bukanlah bilangan dalam artian yang sebenarnya.
Misalkan grafik dari = , maka untuk x menuju 0, y akan terus

membesar ke atas (untuk daerah kanan) dan ke bawah (untuk daerah kiri).
Nah, berapakah nilai y untuk = ? Jika kita melihat pola bahwa semakin
kecil nilai x (dengan mengabaikan tanda positif dan negatif) maka y akan
semakin besar, maka dapat disimpulkan untuk = maka = .

Gambar 2.4 Limit tak hingga dan limit fungsi di tak hingga.

Jika dinyatakan dalam bentuk limit, maka dapat dituliskan


lim →0+ =+

lim →0− =−

33
lim →0 | |= (2.2.a)

Tentunya persamaan 2.2.a di atas juga berlaku untuk | | dengan

sembarang bilangan real.

lim →0 | |= (2.2.b)

Berikutnya adalah bentuk tak tentu. Bentuk tak tentu adalah bentuk
0 0
matematis seperti 0. Untuk memastikan sifat tak tentu dari 0 mari simak

pemerian berikut.
= → =
0
= →0=
0
1 = →0=1
0
77 = → 0 = 77
0
Itulah yang dimaksudkan bahwa 0 adalah bentuk tak tentu, karena

hasilnya memungkinkan berapa saja. Bisa saja 0, 1, ½, -4, 77, 109, dan
0
sebagainya. Namun hal ini tidak berarti dalam suatu kasus bentuk 0

memiliki banyak hasil, tidak. Hasilnya hanya satu, hanya saja kita tidak
mungkin mengetahui hasilnya itu yang mana, kecuali jika kita mengetahui
polanya. Ingat pula perkalian suatu bilangan riil dengan bentuk tak tentu
menghasilkan bentuk tak tentu juga.

= =
0
Di mana a adalah sembarang bilangan riil. Jadi perkalian antara 0
0 0
dangan a menghasilkan 0. Tapi jangan salah, 0 di ruas kiri nilainya tidak
0 0
sama dengan 0 di ruas kanan (kecuali = ). Seandainya 0 di ruas kiri
0
nilainya sama dengan k, maka di ruas kanan nilainya adalah a k. Bingung?
0

Yang jelas karena membingungkan maka bentuk ini perlu dihindari.


Misalkan dalam pembuatan program, persamaan aljabar harus ditulis dalam

34
bentuk yang paling sederhana, untuk mencegah munculnya bentuk tak
tentu. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca pada bagian 2.2.
0
Selain 0, beberapa bentuk tak tentu lainnya yang umum dikenal ialah

− , , dan . Perhatikan persamaan 2.2.b.

lim = lim =
→0 →0

Dengan dan sembarang bilangan positif. Dengan mengurangkan


keduanya diperoleh

lim ( − ) = −
→0

Dapat kita saksikan bahwa bentuk − lazimnya menghasilkan

bentuk lim →0 ( − ) = lim →0 = bila , dan bila =

diperoleh lim →0 ( − ) = . Jadi masih tak tentu berapakah nilai − itu

kecuali kita mengetahui nilai a dan b.


Untuk bentuk jika kita menggunakan kembali asumsi di atas,

diperoleh

lim = =
→0 ⁄
Kembali didapatkan bahwa kita tak bisa menentukan berapakah nilai
itu selama kita tidak mengetahui nilai dan . Sekarang untuk bentuk

, dalam bentuk limit dapat dituliskan sebagai

lim ( )= =
→0

Diperoleh = padahal adalah sembarang bilangan positif


yang kita pilih (berlaku juga untuk bilangan negatif), lagi-lagi tak tentu.
Selain bentuk-bentuk tak tentu yang telah disebutkan di atas terdapat
beberapa lagi bentuk-bentuk tak tentu lain yang pada dasarnya berasal dari
bentuk tak tentu yang telah dijelaskan di atas.
Ngomong-ngomong, selain bentuk tak hingga dan tak tentu, terdapat
juga bentuk tak terdefinisi dalam matematika. Yang paling populer adalah

35
0
bentuk √ . Asumsikanlah √ = , sehingga = . Jelaslah k bukan
bilangan yang terdefinisi dalam matematika, karena semua bilangan real
(bahkan bilangan kompleks) jika dipangkatkan nol hasilnya pastilah satu.

2.2. Limit Fungsi Aljabar di Suatu Titik


Dalam menyelesaikan persoalan limit fungsi aljabar, biasanya dapat
diselesaikan dengan substitusi langsung. Misalkan lim → + 3, langsung
saja substitusikan nilai = 2 dalam = + 3 yang menghasilkan
2 = 2 + 3 = 7. Seperti yang dijelaskan pada subbab 1, untuk fungsi
kontinyu, bila → maka pastilah → .
Meskipun bentuk seperti ini lebih lazim, tapi sayangnya dalam ujian
sangat jarang ada soal yang bisa diselesaikan dengan mudah seperti ini.
Terdapat kasus-kasus di mana suatu fungsi nampak tidak kontinyu di suatu
0
titik karena substitusi nilai x pada titik itu menghasilkan = 0 atau

bentuk-bentuk tak tentu lainnya. Sialnya, yang seperti inilah yang sering
muncul dalam soal ujian Anda. Oleh karena itu diperlukan suatu metode
untuk mengetahui “pola lain” dari fungsi dengan metode aritmatika
atau manipulasi aljabar agar dapat mengidentifikasikan nilai pasti dari
bentuk tak tentu tadi (tentunya ini penting untuk meningkatkan nilai Anda
di kelas).
Metode yang dimaksudkan di atas adalah metode pemfaktoran.
Tentu saja ini kabar buruk bagi yang nilai aljabarnya merah. Oleh karena itu
di sini akan diberikan contoh-contoh yang sederhana.

Misalkan suatu fungsi = . Berapakah nilai 2 ? Jika kita

lakukan substitusi langsung diperoleh


2 −4
2 = =
2 −2
0
Ya, sebuah bentuk tak tentu. Karena menghasilkan bentuk tak tentu 0

untuk x = 2, dapat dipastikan bahwa sendiri mengandung bentuk tak


tentu jika x = 2. Jika kita teliti, penyebut − 2 menghasilkan 0 untuk x = 2,

36
maka kita dapat berasumsi terdapat perkalian nol juga pada pembilangnya.
Ternyata benar, jika kita faktorkan,
−4 +2 −2 −2
= = = +2
−2 −2 −2
Dengan menggunakan bantuan teorema limit diperoleh
−4 −2
lim = lim +2 lim
→ −2 → → −2
0
Jadi bentuk 0 yang terkandung dalam untuk x = 2 ialah

yang nilainya pastilah sama dengan satu. Dengan demikian bentuk

lim → dapat kita ubah menjadi lim → + 2 . Jika disubstitusikan x = 2

diperoleh lim → + 2 = 2 + 2 = 4.
Jadi intinya adalah bagaimana kita mengubah fungsi itu ke bentuk
lain dengan manipulasi aljabar agar hasil fungsi di titik yang dimaksud tidak
menghasilkan bentuk tak tentu.

Contoh:

1. Hitunglah lim → !

Jawab:
Substitusi secara langsung.

lim → = =1

2. Hitunglah lim →0 !

Jawab:
0
Jika disubstitusi secara langsung akan menghasilkan bentuk 0, oleh karena itu

lakukan pemfaktoran pada pembilang dan penyebutnya.

lim →0 = lim →0 = lim →0

0
=0 = −4

37
3. Hitunglah lim → !

Jawab:
Faktorkan pembilang dan penyebutnya.
( ) ( )
lim → = lim → = lim →

= = =1


4. Hitunglah lim → !

Jawab:
Ingat bentuk aljabar + − = − . Faktorkanlah penyebutnya.
√ √
lim → = lim → (√ ) √
= lim → √


lim → = =

5. Hitunglah lim → !

Jawab:
Faktorkanlah pembilangnya.

lim → = lim → = lim → +2

lim → =3+2=6

√ √
6. Hitunglah lim →0 !

Jawab:
Kalikan pembilang dan penyebutnya dengan faktor lawan pembilang.
√ √ √ √ √ √
lim →0 = lim →0 √ √

= lim →0 = lim →0
√ √ √ √

= lim →0 √ = =
√ √ √

38
2.3. Limit fungsi aljabar di tak hingga
Telah dibahas di atas mengenai limit fungsi di suatu titik. Yang kita
tulis → . Nah, bagaimana jika titik yang dimaksud adalah nilai x yang
sangat besar, atau yang paling besar yang mungkin ada? Itulah yang
dimaksud dengan limit fungsi di tak hingga. Disebut limit karena “titik” tak
hingga itu tidak benar-benar terdefinisi, tetapi dapat kita dekati dengan nilai
yang teramat besar. Selain untuk meramalkan nilai fungsi pada nilai yang
sangat besar (apakah terus naik atau turun ataukah malah konstan), limit
fungsi di tak hingga juga penting dalam analisis deret tak hingga.
Oke, agar lebih jelas, langsung saja kita tinjau dua contoh berikut.
Yang pertama adalah fungsi = − 2 . Jika kita sustitusi x dengan
suatu nilai yang semakin besar diperoleh yang semakin besar pula. Jadi
kita dapat berasumsi bahwa bila x menuju tak hingga maka juga
menuju tak hingga. Selain menggunakan substitusi langsung, dapat pula kita
amati saja bentuk fungsinya. Untuk nilai yang sangat besar, jelaslah
−2 . Dengan demikian untuk nilai x yang sangat besar (juga untuk
bilangan negatif karena [–a]2 = a2) diperoleh pendekatan yang
jelas bahwa naik sebanding dengan x2. Dengan demikian dapat
dituliskan
lim −2 =+

Nah, bagaimana dengan fungsi = ? Berapa untuk

→ ? Untuk memudahkan, fungsi di atas dapat kita ubah bentuknya


menjadi =2− . Perhatikan untuk maka akan semakin kecil

menuju nol. Dengan demikian untuk → maka → sehingga

diperoleh
2 −2 2
lim = lim 2 − =2− =2
→ →

39
Berikut grafiknya:

𝑥
Gambar 2.5 Grafik fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑥 − 2𝑥 dan 𝑓 𝑥 = .
𝑥

Jadi untuk x menuju tak hingga akan menuju 2. Bagaimana,


apakah Anda sudah terbayang triknya? Ya, triknya adalah membuat
penyebutnya mendekati satu dengan membagi pembilang dan penyebut
dengan variabel berpangkat tertinggi dari variabel pembilang. Oke, untuk
itu saya berikan satu contoh lagi.

Contoh:

1. Carilah nilai lim → !

Jawab:
Pangkat tertinggi dari variabel x pada penyebutnya adalah 3, maka bagilah
pembilang dan penyebut dengan .
5 2 2 2 2
+ − 5+ − 5+ −
lim = lim = =5
→ 8 → 1 8 1− +
− + 1− +

Jadi, lim → = 5.

2. Carilah nilai lim → !

Jawab:
40
Pangkat tertinggi dari variabel x pada penyebutnya adalah 4, maka bagilah
pembilang dan penyebut dengan .
6 1 1 6 1
− − − − − − 1
lim = lim = lim = lim =
→ 3 6 → 6 → 3− → 3
− 3−

Jadi, lim → = .

3. Carilah nilai lim → !

Jawab:
Pangkat tertinggi dari variabel x pada penyebutnya adalah 2, maka bagilah
pembilang dan penyebut dengan .
1 6
+ − + −
lim = lim = lim =
→ 4 12 → 1− + →
1− +

Jadi lim → = .

4. Carilah nilai lim → !

Jawab:
Serupa dengan contoh nomor 3,
lim =−

Jadi lim → =− .

5. Carilah nilai lim → !

Jawab:
3
2 +3 2+
lim = lim =
→ −4 → 4
1−

Jadi, lim → = 2,

41
Dari contoh-contoh di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa limit
fungsi aljabar yang berbentuk fungsi pembagi di tak hingga dapat memiliki
hasil:
a. Jika pangkat tertinggi variabel pembilang lebih besar daripada pangkat
tertinggi variabel penyebut, maka |lim → |= .
b. Jika pangkat tertinggi variabel pembilang lebih kecil daripada pangkat
tertinggi variabel penyebut, maka lim → = .
c. Jika pangkat tertinggi variabel pembilang sama dengan pangkat tertinggi
variabel penyebut, maka lim → = dengan .

2.4. Sifat Asimtotik Fungsi


Asimtot? Nama yang aneh… Apa sih asimtot itu? Untuk merangsang
pemikiran Anda, coba perhatikan lagi gambar 2.5, dan gambar di bawah ini.

Gambar 2.6 Asimtot tegak, datar, dan miring dari suatu fungsi merupakan representasi
dari limit tak hingga dan limit di tak hingga.

Perhatikanlah gambar 2.6.a, terlihat kurva = memiliki bentuk

nyaris lurus, yakni tegak pada x = 2 dan datar pada y = 1. Andaikan kita bisa
menggambarkan kurva tersebut dengan interval yang besar dan dilihat dari
jarak jauh maka akan teramati kurva = seperti tanda tambah. Garis x

= 2 disebut asimtot tegak dan garis y = 1 disebut asimtot datar pada kurva
= .

42
Sekarang perhatikan gambar 2.6.b, terlihat kurva = memiliki

bentuk nyaris lurus, yakni tegak pada x = 2 dan miring pada garis y = x. Garis
x = 2 disebut asimtot tegak dan garis y = x disebut asimtot miring pada

kurva = .

Jika ditilik lebih jauh, maka diperoleh kaitan bahwa asimtot tegak
tidak lain adalah manifestasi dari bentuk limit tak hingga yang bukan di
tak hingga dan asimtot datar adalah manifestasi dari bentuk limit di tak
hingga yang bukan tak hingga pada ketentuan pada bagian 2.3.b dan 2.3.c,
yakni bila pangkat tertinggi variabel pembilang lebih kecil atau sama
daripada pangkat tertinggi variabel penyebut. Adapun bila sesuai dengan
ketentuan 2.3.a, dengan syarat pangkat tertinggi variabel pembilang hanya
lebih tepat satu dibandingkan pangkat tertinggi variabel penyebut, akan
diperoleh asimtot miring.
Coba perhatikan fungsi = , untuk x = 2 diperoleh bentuk limit

tak hingga, inilah asimtot tegaknya. Untuk , −2 1 sehingga untuk x


menuju tak hingga lim → = = 1, inilah asimtot datarnya. Sekarang

untuk fungsi = , bila x = 2, diperoleh bentuk limit tak hingga, inilah

asimtot tegaknya. Bila , +8 dan −4 , sehingga untuk

, . Nah, garis y = x inilah asimtot miringnya. Patut diingat,

kurva akan “bergerak” semakin mendekati asimtot tetapi tidak akan


berpotongan dengan asimtotnya.

1
Asumsikan x = 109, maka =1 2 1. Jelas untuk x menuju tak hingga maka hasilnya
akan semakin dekat dengan 1.

43
3. Teorema Limit
Dari penjelasan sebelum-sebelumnya dapat disimpulkan beberapa
teorema-teorema limit. Berikut adalah beberapa teorema limit yang umum
dikenal.
1. Jika = (fungsi konstan), maka lim → = untuk sembarang
.
2. Jika = (fungsi identitas), maka lim → = untuk sembarang
.
3. a) lim → + = lim → + lim →

Dengan kata lain limit jumlah fungsi-fungsi sama dengan jumlah masing-
masing limit fungsi.
b) lim → − = lim → − lim →

Dengan kata lain limit selisih fungsi-fungsi sama dengan selisih masing-
masing limit fungsi.
4. lim → = lim →

Limit hasil kali suatu fungsi dengan konstanta sama dengan hasil kali
konstanta dengan limit fungsi itu.
5. a) lim → = lim → lim →

Limit hasil kali fungsi-fungsi sama dengan hasil kali masing-masing limit
fungsi.

b) lim → =

Limit hasil bagi fungsi-fungsi sama dengan hasil bagi masing-masing limit
fungsi.
6. a) lim → = lim →

Limit fungsi pangkat n sama dengan pangkat n dari limit fungsi itu.
b) lim → √ = √lim → ; untuk lim → untuk n genap.
Limit akar pangkat n dari suatu fungsi sama dengan akar pangkat n dari
limit fungsi itu, asalkan limit fungsinya tidak negatif untuk n genap.

44
4. Limit Fungsi Trigonometri
Pada bagian sebelumnya telah dipelajari cara menyelesaikan problem
limit fungsi aljabar. Nah, sekarang saatnya untuk mempelajari limit fungsi
trigonometri. Ada tiga bentuk yang sering muncul mengenai limit fungsi
trigonometri, yakni lim →0 in , lim →0 o , dan lim →0 n .

4.1. Limit Fungsi Sinus


Sebelumnya ingat kembali definisi dari sinus sudut pada segitiga
siku-siku, yakni sisi di depan sudut dibagi dengan sisi miring (hipotenusa).
Untuk memudahkan, perhatikan gambar di bawah ini.

Gambar 2.7 Sinus, cosinus, dan tangen dari sudut polar.

Ambillah garis yang menghubungkan pusat lingkaran ke sembarang


titik di keliling lingkaran (jari-jari) semisal OD dan OE yang membentuk
sudut tertentu terhadap sumbu X (garis OC). Lalu tariklah garis yang tegak
lurus OC menuju titik pada keliling lingkaran pada pertemuan garis jari-jari,
seperti garis AD dan BE. Untuk garis BE ̅̅̅̅ , diperoleh
̅̅̅̅ = in
Dan busur CE ̂ panjangnya tidak lain adalah
̂ =
dengan dalam satuan radian (untuk dalam derajat, panjang busur

lingkaran adalah 2 ). Perhatikan bahwa jika diambil hingga


0

45
menuju nol. Maka panjang garis BE akan makin mendekati panjang busur
CE, sehingga untuk dapat kita dekati .
in
in
Dengan demikian untuk limit menuju nol diperoleh
lim →0 in = (2.3)
Dari hasil ini dapat pula diperoleh

lim →0 = lim →0 = =1 (2.4)

4.2. Limit Fungsi Cosinus


Untuk fungsi cosinus, jika diperoleh panjang garis OB akan
mendekati panjang garis OC = OE, yakni r. Dengan demikian untuk
diperoleh:
̅̅̅̅
o = 1
̅̅̅̅
Dengan demikian limit o untuk menuju nol ialah
lim →0 o =1 (2.5)
Berdasarkan hasil ini dapat pula diperoleh

lim →0 = lim ( − ) = lim ( − )


→0 →0

lim →0 = lim →0 = (2.6)

4.3. Limit Fungsi Tangen


Seperti halnya limit fungsi sinus, mengingat definisi dari tangen
adalah sisi dekat dibagi dengan sisi miring, maka dangan pemilihan θ <<
diperoleh ̅̅̅̅ ̂ dan ̅̅̅̅ akan mendekati panjang jari-jari r. Dengan
demikian untuk limit menuju nol berlaku:
lim →0 n = (2.7)
Dari hasil ini kembali dapat pula diperoleh

lim →0 = lim →0 = =1 (2.8)

46
5. Kontinyuitas Suatu Fungsi
Dalam suatu selang tertentu, suatu fungsi dapat saja memiliki nilai untuk
setiap masukan nilai riil dalam selang. Namun ada kalanya pada satu atau lebih
titik dalam selang yang dipilih, fungsi itu tidak memiliki nilai (tak terdefinisi).
Untuk hal-hal semacam itu dikatakanlah ada fungsi yang kontinyu dan ada
fungsi yang tidak kontinyu.

5.1. Fungsi kontinyu


Sebelum berbicara mengenai fungsi kontinyu, baiknya kita terlebih
dahulu menelaah makna dari kontinyu. Kontinyu merupakan kata serapan
(adaptasi) yang berasal dari bahasa Inggris yakni continue yang berarti
sinambung, menerus. Jadi sesuatu yang kontinyu adalah sesuatu yang
sinambung, tidak terputus(diskrit). Dengan begitu dapatlah kita katakan
fungsi kontinyu adalah fungsi yang grafiknya terus bersinambung, tidak
terputus dalam selang tertentu. Sebenarnya ini adalah implikasi dari semua
= terpetakan oleh 2 yang berarti kontinyu dalam
selang . Jika kontinyu dalam selang − maka dikatakan
kontinyu di semua “tempat”.

5.2. Fungsi tidak kontinyu (diskontinyu)


Kebalikan dengan fungsi yang kontinyu, fungsi dikatakan tidak
kontinyu dalam suatu selang = bila satu atau lebih nilai x
tidak terpetakan oleh fungsi . Dalam definisi ini jelas bila
diskontinyu dalam selang maka juga tidak kontinyu dalam selang
− karena − 3.

2
Di sini digunakan fungsi satu variabel terhadap x, namun pemaknaan sesungguhnya berlaku untuk fungsi
terhadap variabel apapun.
3
Notasi dibaca A subset dari B, yang artinya semua elemen dari A juga merupakan elemen bagian
dari B.

47
5.3. Ketidakkontinyuan yang dapat dihapuskan
Apa itu ketidakkontinuan yang dapat dihapuskan? Suatu fungsi
dikatakan tidak kontinyu jika tidak terdefinisi setidaknya pada satu
titik dalam selang tertentu, misalkan di x = a dengan .
=
Tetapi bila memiliki limit di → , dengan kata lain limit kiri
sama dengan limit kanannya, maka ketidakkontinyuan fungsi di titik
= dikatakan dapat dihapuskan. Mengapa dapat dikatakan dihapuskan?
Untuk mudahnya perhatikan gambar fungsi diskontinyu dan fungsi
diskontinyu yang ketidakkontinyuannya dapat dihapuskan.

Gambar 2.8 Ketidakkontinyuan fungsi di suatu titik (x = 2)

Kurva = digambarkan dengan warna merah dan kurva

= digambarkan dengan warna biru. Kedua fungsi sama-sama

tidak kontinyu di titik =2 , tetapi pada fungsi =

ketidakkontinyuannya dapat dihapuskan karena memiliki nilai limit di titik

= 2. Perhatikan pula grafik = yang secara kasat mata terlihat

tidak terputus dalam selang yang diberikan.

48
Bab 3 Turunan

1. TURUNAN FUNGSI DI SUATU TITIK


Dari apa yang terlihat, turunan (derivatif) dapat dianggap sebagai suatu
operasi matematis yang menyatakan interpretasi nilai sebuah faktor dari faktor
lain yang berdimensi lebih besar (ordenya turun satu). Karena faktor yang
berdimensi kecil itu merupakan suatu ‘titik’ pada dimensi yang lebih besar,
maka turunan erat hubungannya dengan limit. Namun demikian, pemahaman di
atas hanyalah pernyataan berdasarkan hal-hal praktis yang nampak pada
operasi turunan. Secara formal, turunan dapat didefinisikan sebagai perubahan
nilai fungsi terhadap perubahan nilai input untuk selang yang sangat kecil
(menuju nol).
Misalkan suatu fungsi = yang terdefinisi pada selang tebuka I yang
memuat semua bilangan riil. Bila nilai x berubah dari x = x1 ke x = x2, maka nilai
fungsi juga akan berubah dari = ke = . Dengan demikian
perubahan nilai fungsi terhadap perubahan nilai x didefinisikan sebagai:
− −
=
− −
Jika dipilih nilai x2 yang mendekati x1, maka secara matematis
didefinisikan perbandingan ini ialah

lim
→ −
Asal limitnya ada.
Dengan substitusi = + , yang bila → mengakibatkan →
, maka turunan pertama fungsi f di titik = dapat dituliskan dalam bentuk:


+ −
= lim = lim
→0 →0

49
Jika limitnya ada, dikatakan fungsi f mempunyai turunan di = .
Sebaliknya jika limitnya tidak ada, dikatakan f tidak terturunkan di = ,

dimana disebut hasil bagi diferensial.

Turunan pertama suatu fungsi = dapat dinotasikan dengan notasi


d dy
dari Newton dan Lagrange yakni f ' ( x) , f (x) atau notasi Leibniz yakni .
dx dx
Sedangkan nilai turunan di suatu titik tertentu (misalnya di = ) dinotasikan
dy
dengan f ' (c) atau . Notasi d yang berseliweran itu merupakan singkatan
dx x c

dari kata derivative, yang berarti turunan.


Adapun teorema turunan, jika fungsi f mempunyai turunan di x  a , yaitu
f (a) , maka fungsi f kontinu di x  a , namun kebalikan teorema ini tidak

berlaku. Penjabaran yang lebih sederhana dari turunan akan diberikan dalam
pembahasan selanjutnya.

1.1. Interpretasi Dari Turunan


Turunan fungsi di suatu titik dapat diartikan sebagai gradien dari
suatu garis singgung pada kurva, kecepatan sesaat, percepatan dan lain
sebagainya. Turunan sebagai gradien garis sangat penting untuk dipahami
karena sebenarnya dari situlah konsep turunan berasal.

A. Turunan Sebagai Gradien Garis dalam Selang Titik


Masih ingat definisi gradien? Ya, secara sederhana gradien atau trend
dapat diterjemahkan sebagai kemiringan. Gradien garis (m) berarti skala
kemiringan dari suatu garis dalam selang tertentu (dari ke ) yang
diberikan dalam:

= = (3.1)

Mengingat = , dan mendefinisikan = + , persamaan 3.1


dapat kita tulis ulang menjadi

50
+ −
=

Untuk fungsi linear = + , tentunya memiliki gradien yang tetap di

semua selang sepanjang garis, karena nisbah akan selalu konstan

bagaimana pun pemilihan selang -nya. Perhatikan gradien garis dari


fungsi = + dengan sembarang pemilihan nilai , yaitu dan .
− + − + −
= = = =
− − −
Lihat? Berapa pun pemilihan nilai dan , gradien garis dari fungsi
linear selalu sama di setiap selang yang dipilih.
Lalu bagaimana dengan fungsi kuadrat, fungsi kubik, fungsi
trigonometri, dan fungsi-fungsi lainnya yang non-linear? Fungsi-fungsi
seperti itu membentuk suatu kurva sehingga jelas gradien (kemiringan)
setiap selang di sepanjang kurva tidaklah sama. Untuk itu, dibuatlah selang-
selang kecil dan dihitung gradien dari selang-selang kecil tersebut.
Mengingat gradien dari fungsi non-linear bisa saja berbeda di setiap selang
bahkan titik, maka mari kita membuat selang yang kecilnya bukan main,
seperti titik. Well, ini memang terdengar ekstrim, tetapi dengan konsep limit
pada bab sebelumnya, dapat kita hitung gradien garis untuk selang satu titik
Mengingat ukuran dari titik ialah nol, maka haruslah menuju nol.
Akhirnya, dapat kita tulis persamaan gradien dengan selang → yaitu:
+ −
= = lim
→0

Karena telah mereduksi persamaan garis menjadi “persamaan titik”,


gradien pada persamaaan 3.1 di atas disebut turunan. Turunan tidak hanya
bekerja dari dimensi satu ke dimensi nol, melainkan bekerja untuk
sembarang dimensi n menjadi dimensi n – 1.
Secara geometri, turunan fungsi f di titik x  c , dinotasikan sebagai
f ' (c) menyatakan gradien garis singgung m pada kurva y  f (x) di titik

(c, f (c)) , di mana garis singgung m tidak sejajar sumbu-y.

Gradien garis singgung g di titik c adalah

51
f f (c  x)  f (c)
m g  lim  lim
x 0 x x 0 x
Dan persamaan garis singgungnya dirumuskan dengan:
y  f ' (c)( x  c)  f (c)

Adapun garis normal, yaitu garis yang tegak lurus dengan garis
singgung melewati titik c dapat dicari persamaannya dengan mengingat
perkalian gradien garis yang tegak lurus sama dengan -1.
1
y ( x  c )  f (c )
f ' (c )

Contoh:

1. Suatu kurva dengan persamaan fungsi f ( x)  2 x  7 , carilah persamaan


2

garis singgung di titik x  2 !


Jawab:
Sebelumnya, periksa terlebih dahulu apakah kurva f (x) kontinu di titik
x=2.
f ( x)  2(2) 2  7  15
f ' ( x)  (2)2 x  4 x

f ' (2)  4(2)  8 , fungsi f memiliki turunan di titik 2, berarti f kontinu di

titik x  2 .
Persamaan garis singgungnya adalah:
y  f ' (c)( x  c)  f (c)
y  8( x  2)  15  y  8x  1

Adapun persamaan garis normalnya adalah:


1
y   x 1
8

52
B. Turunan Sebagai Kecepatan Sesaat dan Percepatan
Jika s(t ) suatu fungsi waktu dalam t, maka s' (t ) menyatakan kecepatan
sesaat dari perubahan s pada saat t, sedangkan s' ' (t ) menyatakan percepatan,
yaitu perubahan kecepatan v pada saat t. Jika s(t ) menyatakan jarak yang
ditempuh suatu benda pada suatu garis lurus, maka kecepatan saat t
dinyatakan dengan
s s(t  t )  s(t )
v(t )  s' (t )  lim  lim
t 0 t x 0 t
Sedangkan pada percepatan dapat dinyatakan dengan
v v(t  t )  v(t )
a(t )  v' (t )  s' ' (t )  lim  lim
t 0 t x  0 t

Contoh:
1. Gerak sebuah benda yang jatuh dari langit memenuhi persamaan
s  10t 2  8t  3 , dengan s dan t masing-masing dinyatakan dalam meter dan
detik Tentukanlah persamaan kecepatan benda, kecepatan benda pada saat
t  5 detik dan percepatannya!
Jawab:
Persamaan kecepatan benda adalah
s s(t  t )  s(t )
v(t )  s' (t )  lim  lim
t 0 t x 0 t
(10(t  t ) 2  8(t  t )  3)  (10(t ) 2  8t  3)
 lim
x 0 t
 10t  8

Kecepatan benda saat t  5 detik adalah:


v(5) 10(5)  8  58 m/s

Percepatan benda adalah:


v(t  t )  v(t )
a(t )  v' (t )  lim
x 0 t
(10(t  t )  8)  (10(t )  8)
 lim  10 m/s 2
x 0 t

53
2. Misalkan sebuah fungsi f ( x)  4 x  16 , carilah f ' (4) !
Jawab:
f (4  x)  f (4) (4(4  x)  16)  (4(4)  16)
f ' (3)  lim  lim
x 0 x x 0 x
4x
 lim 4
x 0 x

3. Suatu fungsi g ( x)  3x  6 x  8 , carilah turunan pertama dan nilai turunan


2

pertama untuk x  2
Jawab:
f (c  x)  f (c)
f ' (c)  lim
x 0 x
(3 (c  x) 2  6 (c  x)  8)  (3c 2  6c  8)
 lim
x 0 x
(3 c 2  6cx  3 (x) 2  6c  6x  8)  (3c 2  6c  8)
 lim
x 0 x
6cx  3 (x) 2  6x
 lim
x 0 x
 lim 6c  3x  6
x 0

 6c  6
f ' (2)  6(2)  6  18

4. Misalkan sebuah fungsi f ( x)  3x  5 , carilah f ' (2) dan f ' (c) !


2

Jawab:
f (3  x)  f (3) (3 (2  x) 2  5)  (3 (2) 2  5)
a) f ' (3)  lim  lim
x 0 x x 0 x
12x  3x 2
 lim  12
x 0 x
f (c  x)  f (c)
b) f ' (c)  lim
x 0 x

54
(3(c  x) 2  5)  (3c 2  5)
f ' (c)  lim
x 0 x
(3c 2  6cx  3(x) 2  5)  (3c 2  5)
f ' (c)  lim
x 0 x
f ' (c)  lim 6c  3x
x 0

f ' (c)  6c

f ' (2)  6(2)  12 , sama dengan hasil sebelumnya.

5. Carilah turunan fungsi = 2 +1 !


Jawab:


2 + +1 − 2 +1
= lim
→0


2 +2 +1 − 2 +1
= lim
→0


2 +2 +2 2 +2 +1 − 2 +1
= lim
→0


4 +8 +4 + 4 +4 +1 − 4 +4 +1
= lim
→0


8 +4 +4
= lim = lim 8 + 4 + 4
→0 →0

= 8 +4
Hasil yang sama diperoleh dengan mengubah bentuk menjadi 4 +4 +1


4 + +4 + +1 − 4 +4 +1
= lim
→0


4 +8 +4 +4 +4 +1 − 4 +4 +1
= lim
→0


8 +4 +4
= lim
→0

= 8 +4

55
2. TURUNAN FUNGSI ALJABAR
2.1. Turunan Fungsi Berbentuk a xn
Fungsi-fungsi aljabar pada dasarnya berbentuk f(x) = axn, dengan a
dan n suatu konstanta. Jika n = 0, maka fungsi itu akan tereduksi menjadi
f(x) = a, yang disebut sebagai fungsi konstan. Jika dan n = 1, fungsi f(x) akan
tereduksi menjadi f(x) = ax, yang disebut fungsi linear, dan fungsi linear
dengan a = 1 akan menjadi fungsi identitas, f(x) = x. (Keterangan: untuk
fungsi polinom, nilai n yang paling tinggi pada fungsi disebut orde suatu
fungsi, misalkan =3 + 8 − 6 memiliki orde 3. Semua fungsi
berorde satu disebut fungsi linear, termasuk fungsi konstan).
A. Turunan Fungsi Konstan
Diberikan fungsi f(x) = a. Turunan fungsi f(x) ialah


+ −
= lim
→0


+ −
= lim = lim
→0 →0

=1 (3.2)

B. Turunan Fungsi Linear


Turunan dari fungsi yang berbentuk f(x) = ax ialah:


+ −
= lim
→0


+ −
= lim
→0


+ −
= lim = lim
→0 →0

= (3.3)
Perhatikan fungsi f(x) = ax dapat kita urai menjadi = , di
mana = , yaitu fungsi konstan yang turunannya telah kita ketahui
dari pembahasan sebelumnya. Jadi didapatkan turunan dari perkalian
suatu skalar dengan suatu fungsi sama dengan perkalian suatu skalar
dengan turunan suatu fungsi: = . (3.4)

56
C. Turunan Fungsi axn
Turunan dari fungsi yang berbentuk f(x) = axn ialah:


+ −
= lim
→0


+ −
= lim
→0

Menggunakan deret binomial Newton


+ =
−1 −1 −2
+ + + + + +
2 3
Diperoleh:
−1
{ + + + + }−
′ 2
= lim
→0

−1
{ + + + + }
2
= lim
→0


−1
= lim { + + + + }
→0 2

= (3.5)

2.2. Turunan dari Penjumlahan, Pengurangan, Perkalian, dan Pembagian


Fungsi
Suatu fungsi dapat berupa penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan
pembagian dari dua atau lebih fungsi satu suku. Turunan dari fungsi-fungsi
itu akan kita temukan dalam penjabaran di bawah ini.
A. Turunan Jumlah dan Selisih Fungsi-Fungsi
Misalkan fungsi = +


+ −
= lim
→0


+ + + − +
= lim
→0


+ − + −
= lim + lim
→0 →0

57
′ ′ ′
= +
Dengan cara yang sama diperoleh turunan dari selisih fungsi
′ ′ ′
= − ialah = − . Jadi dapat dituliskan
′ ′ ′ ′
+ = + dan − = − . (3.6)

B. Turunan Perkalian Fungsi


Misalkan fungsi =


+ −
= lim
→0


+ + −
= lim
→0


+ + − + + + −
= lim
→0


+ − + −
= lim 2 + + 3
→0


+ −
= lim lim
→0 →0

+ −
+ lim + lim
→0 →0
′ ′ ′
= +
′ ′
Atau biasa dituliskan = + . (3.7)

C. Turunan Pembagian Fungsi


Turunan suatu pembagian fungsi dapat kita cari dari hasil yang telah
kita dapatkan dalam turunan perkalian fungsi, mangingat pembagian

adalah invers dari perkalian. Misalkan suatu fungsi = maka

= , sehingga diperoleh:
′ ′ ′
= +
′ ′ ′
= −
Dengan mensubstitusi nilai f(x) pada ruas kanan

′ ′ ′
= −

58
′ ′


=

′ ′


=

′ –
Atau biasa dituliskan ( ) = . (3.8)

Berikut diberikan rangkuman rumus-rumus sederhana untuk menghitung


turunan fungsi yang mudah dihafal dan digunakan sebagaimana yang telah
didapatkan sebelumnya.
1. Turunan fungsi konstan.
Jika f ( x)  c , c suatu konstanta, maka f ' ( x)  0 ; x  
2. Turunan fungsi identitas.
Jika f ( x)  x , maka f ' ( x)  1 ; x  
3. Turunan fungsi pangkat.
n 1 
Jika f ( x)  x , maka f ' ( x)  n.x ; n  Z ; x  0
n

4. Aturan jumlah.
Jika f dan g adalah fungsi-fungsi terdiferensialkan, maka
( f  g )' ( x)  f ' ( x)  g ' ( x)

5. Aturan selisih.
Jika f dan g adalah fungsi-fungsi terdiferensialkan, maka
( f  g )' ( x)  f ' ( x)  g ' ( x)

6. Aturan hasil kali


Jika f dan g adalah fungsi-fungsi terdiferensialkan, maka
( f  g )' ( x)  f ' ( x) g ( x)  f ( x) g ' ( x)

dy
Atau biasa dinyatakan u  v  u ' v  uv'
dx
7. Aturan hasil bagi.
Jika f dan g adalah fungsi-fungsi terdiferensialkan dengan g ( x)  0 , maka
'
f f ' ( x) g ( x)  f ( x) g ' ( x)
  ( x) 
g ( g ( x)) 2

59
u dy u ' v  uv'
Atau biasa dinyatakan 
v dx v2
8. Rumus turunan untuk fungsi trigonometri
Jika f ( x)  sin x , maka f ' ( x)  cos x
Jika f ( x)  cos x , maka f ' ( x)   sin x

Jika f ( x)  tan x , maka f ' ( x)  sec x


2

3. TURUNAN FUNGSI TRIGONOMETRI


3.1. Turunan Fungsi Sinus
Misalkan diketahui fungsi = in , turunan fungsi terhadap x
ialah:

= lim →0


= lim →0

Dengan mengingat kembali perubahan bentuk trigonometri,


in + = in o + o in , dapat kita lakukan substitusi:

= lim →0


= lim →0 , + o -


= in lim →0 + o lim →0

Dari teori limit yang telah diberikan pada bab 2, khususnya pada
bagian limit fungsi trigonometri telah dibuktikan

lim →0 = dan lim →0 =1

Dengan mensubstitusikan nilai di atas, terakhir diperoleh



= in + o 1
Jadi, dapat disimpulkan:
in = o (3.9)

60
3.2. Turunan Fungsi Cosinus
Misalkan diketahui fungsi = o , turunan fungsi terhadap
x ialah:

= lim →0


= lim →0

Dengan mengingat kembali perubahan bentuk trigonometri,


o + = o o − in in , dapat kita lakukan substitusi:

= lim →0


= lim →0 , − in -


= o lim →0 + in lim →0


= o − in 1
Jadi, dapat disimpulkan:
o = − in (3.10)

3.3. Turunan Fungsi Tangen


Misalkan diketahui fungsi = n , turunan fungsi terhadap
x ialah dengan mudah dicari berdasarkan aturan turunan fungsi pembagi,

mengingat n = .


=


=


=

= =

Jadi, dapat disimpulkan:

n = (3.11)

61
4. TURUNAN FUNGSI KOMPOSIT DAN ATURAN RANTAI
Misalkan fungsi f terturunkan di x dan fungsi g terturunkan di f (x)

maka fungsi komposisi ( g  f ) dapat diturunkan di x, sehingga


Jika y( x)  ( g  f )( x) , maka
y' ( x)  ( g  f )' ( x)  g ( f ( x))'  g ' ( f ( x))( f ' ( x))
Rumus di atas disebut aturan rantai yang dapat dituliskan dengan singkat
sebagai:
= (3.12.a)

Pembuktian sederhana untuk teorema ini ialah misalkan fungsi y


merupakan fungsi dari u, = , sedangkan u sendiri merupakan fungsi dari
x, = yang keduanya terdefinisi dalam interval I demikian sehingga
= + −
= + − = ( + )−
Jadi dalam bentuk diferensial

= lim →0 = lim →0

Mengingat = , maka dengan → otomatis → sehingga

= lim →0 lim →0 =

Atau untuk fungsi komposit yang terdiri dari beberapa sub fungsi, aturan
rantai dapat diperpanjang lagi.

= (3.12.b)

62
Contoh:
1. Tentukan turunan fungsi = 8 −4
Jawab:
Misalkan 8 − 4 = , sehingga = dan =2 −4

8 −4 = 2 −4 = 8 2 −4 = 8 2 −4 8 −4

8 −4 =8 8 −4 2 −4

Tips:
𝑛
Untuk fungsi berbentuk 𝑓 𝑥 = 𝑢 𝑥 maka turunan fungsi 𝑓 𝑥 terhadap x ialah
𝑛
𝑓 𝑥 =𝑛 𝑢 𝑥 𝑢′ 𝑥 .

2. Tentukan turunan fungsi berikut ini!

a. y  6x 2  9x  3
2x  1
b. y 
3x  2
c. y  2 cos x  x 3

d. y  6 cos 5  2 x 
Jawab:

a. y  6 x 2  9 x  3 , maka y'  12 x  9
b. Misalkan u  2 x  1 dan v  3x  2
u ' v  uv'
y' 
v2
2(3x  2)  (2 x  1)3
y' 
(3x  2) 2
1
y' 
(3x  2) 2

63
c. y  2 cos x  x 3

sehingga y'  2( sin x)  (3) x  2 sin x  3x 2


2

d. = o 5−2

Anggap = 5 − 2 , sehingga = −2


= = = −6 in −2 = 12 in

= 12 in 5 − 2

3. Tentukanlah turunan dari fungsi lingkaran, =√ − terhadap !


Jawab:

− = =2

− = 2 (− ) = −√

Dengan kata lain =−

Jika diambil bagian positifnya saja dan a = 5, grafiknya menggunakan Matlab


ialah sebagai berikut:

64
5. TURUNAN TINGKAT TINGGI (ORDE TINGGI)
Turunan suatu fungsi, yang juga merupakan suatu fungsi masih dapat
diturunkan lagi asalkan memenuhi syarat-syarat turunan, yaitu masih memiliki
faktor yang akan diturunkan. Turunan kedua fungsi f didefinisikan sebagai
turunan dari fungsi turunan pertama, dan seterusnya.
d2y
Turunan kedua fungsi f dinotasikan dengan y ' ' ; ; f ' ' ( x) atau D x y .
2
2
dx
dny
Atau turunan ke-n fungsi f dinotasikan dengan y ( n ) ; ; f ( n ) ( x) atau D x y ..
n
n
dx
Secara umum turunan ke-n didefinisikan sebagai:
f ( n1) ( x  h)  f ( n1) ( x)
f ( n ) ( x)  lim
h 0 h
Misalkan untuk fungsi f ( x)  2 x , maka
4

f ' ( x)  8 x 3

f ' ' ( x)  24 x 2
f ' ' ' ( x)  48x

f iv ( x)  48
Pada bagian terdahulu telah dibahas mengenai turunan fungsi komposisi,
antara lain yang berbentuk perkalian fungsi = . Bila fungsi
seperti ini diturunkan sekali, menghasilkan bentuk
′ ′
= = +

Jika diturunkan sekali lagi terhadap x, menghasilkan turunan ke-
dua yang berbentuk
′′ ′ ′ ′ ′′ ′ ′ ′ ′ ′′
= + = + + +
′′ ′′ ′ ′
= +2 + (3.13)
Jika diteruskan ke turunan ke-tiga, pola yang sama memberikan
′′′ ′′ ′ ′ ′′
= +2 + dan diperoleh
′′′ ′′′ ′′ ′ ′′
= +3 +3 + (3.14)
Apakah pola ini mengingatkan Anda pada sesuatu?
....

65
Bukan, Anda tidak melupakan cucian Anda, yang saya maksud adalah, ya!
Deret binomial Newton! Jika telah lupa, di sini diingatkan sekali lagi deret
binomial Newton adalah deret ekspansi dari bentuk + .

+ = + + + + (3.15)

Jika n bilangan bulat positif, kita dapat mengingat koefisien tiap suku
menggunakan segitiga Pascal yang telah diajarkan saat SMP.
1
1 1
1 2 1
1 3 3 1
1 4 6 4 1
... dan seterusnya.
Tentu saja karena orde dari turunan selalu bilangan bulat, maka dengan
mudah kita dapat mengingat koefisien-koefisiennya dari segitiga Pascal. Metode
turunan tingkat tinggi ini disebut aturan Leibniz.
− −
= + − + − + (3.16)

Misalkan kita disuruh pak guru mencari turunan ke-lima dari fungsi
= in . Jika kita terapkan aturan Leibniz dengan menamakan = in
dan, = diperoleh
′ ′′′ ′′ ′′ ′′′ ′
= +5 +1 +1 +5 +

Ingatlah turunan ke-tiga, ke-empat, dan seterusnya dari = adalah nol,


dan turunan fungsi sinus dan cosinus akan berulang setiap empat orde (dengan
kata lain turunan ke-empat, ke-delapan, dst dari in ialah in ), maka
didapatkan

= o + 5 in 2 +1 − o 2 + + +

in = o +1 in − 2 o

Catatan:
𝑓 𝑥 → 𝑓 ′ 𝑥 → 𝑓 ′′ 𝑥 → 𝑓 𝑥 →
𝑓 𝑖𝑣 𝑥
in 𝑥 → o 𝑥 → − in 𝑥 → − o 𝑥 → in 𝑥
66
Contoh:
1. Gerak rotasi suatu roda memenuhi persamaan   5t 2  4t  3 , dengan  dan
t masing-masing dinyatakan dalam radian dan detik. Tentukanlah persamaan
kecepatan sudut roda dan percepatan sudutnya!
Jawab:
Persamaan kecepatan benda adalah
  (t  t )   (t )
 (t )  s' (t )  lim  lim
t 0 t x 0 t
(5(t  t ) 2  4(t  t )  3)  (5(t ) 2  4t  3)
 lim
x 0 t
 5t  4 rad s -1
Percepatan sudut roda adalah:
 (t  t )   (t )
 (t )   ' (t )  lim
x 0 t
(5(t  t )  4)  (5(t )  4)
 lim
x 0 t
 5 rad s -2

2. Tentukan turunan pertama, kedua dan ketiga dari fungsi


f ( x)  6 x 4  3 x 3  x  8 !
Jawab:
f ( x)  6 x 4  3 x 3  x  8

f ' ( x)  24 x 3  9 x 2  1

f ' ' ( x)  72 x 2  18x


f ' ' ' ( x)  144 x  18

3. Tentukan turunan ke-dua, ke-tiga dan ke-empat dari = in dan


= o !
Jawab:
a) f(x) = sin x b) f(x) = cos x
67
f’(x) = cos x f’(x) = -sin x
f’’(x) = -sin x f’’(x) = -cos x
f’’’(x) = -cos x f’’’(x) = sin x
fiv(x) = sin x fiv(x) = cos x
Dibuktikan bahwa tiap empat orde turunan, fungsi sin x dan cos x akan
kembali ke bentuk awalnya.

4. Carilah turunan ke-sembilan dari =3 o !


Jawab:
Namakan = o dan, = 3 . Turunan orde yang lebih tinggi dari satu
dari v pastilah nol, sehingga menyisakan:

3 o = in 3 +9 o 3

3 o =3 in + 27 o

Tips:
Agar tidak bingung, pilih v(x) yang habis jika terus diturunkan, misal 3x sudah
menjadi nol pada turunan ke-dua. Berbeda dengan cos x yang tak bisa habis
berapa kali pun diturunkan.

68
6. TURUNAN FUNGSI IMPLISIT
Suatu fungsi yang dinyatakan dalam bentuk y  f (x) , maka fungsi ini
selalu dapat dinyatakan dalam bentuk F ( x, y) yakni f ( x)  y  0 . Sebaliknya
tidak semua fungsi yang dinyatakan dalam bentuk F ( x, y) dapat diubah ke

dalam bentuk y  f (x) , misal 4x 2  x  y  0 .


Fungsi yang dinyatakan dalam bentuk y  f (x) disebut fungsi eksplisit,
sedangkan fungsi yang dinyatakan dalam bentuk F ( x, y) disebut fungsi implisit.
Fungsi eksplisit merupakan bagian dari grafik fungsi implisitnya.
Dalam mendiferensialkan fungsi implisit, setiap suku diturunkan
terhadap x. Contoh pada persamaan x 2  y 2  9 , turunan pertamanya adalah:
d 2 d d
(x )  ( y 2 )  (9)
dx dx dx
dy
2x  2 y 0
dx
dy x
 ;y0
dx y

7. TURUNAN FUNGSI PANGKAT RASIONAL


Sudah dibuktikan sebelumnya pada uraian yang lalu bahwa untuk n
bilangan bulat sembarang berlaku:
n 1
Jika y  x , maka y'  n.x , dengan n bilangan bulat.
n

Sekarang akan diperluas untuk n berupa bilangan rasional sembarang.

Karena n rasional, maka n dapat dituliskan sebagai p , dengan p dan q


q
p
bilangan bulat dan q>0. Jika y  x n  x , maka y  x , dan dengan turunan
q q p

implisit diperoleh:
dy
qy q 1  px p 1
dx

69
dy p x p 1 p x p 1 p x p 1
  
dx q y q 1 q ( x p / q ) q 1 q x p  p / q
dy p p 1 p  p / q p p / q 1
 x  x  n.x n1
dx q q
Dari penurunan rumus diatas didapatkan bahwa
n 1
Jika y  x , maka y'  n.x , dengan n bilangan real.
n

Contoh:
1. Suatu fungsi dirumuskan =6 + − 3 , tentukanlah turunan
pertama fungsi f !
Jawab:

Berdasarkan teorema tadi maka dapat digunakan rumus = .


2 1
= ( )6 +( ) − 3
3 2

1 1
=4 + = 4√ +
2 2√

8. Analisis Gradien dan Nilai Ekstrim


Telah dibahas pada subbab 1 bahwa turunan pertama suatu fungsi adalah
interpretasi langsung dari gradien fungsi itu. Jika Anda sudah lupa dengan
definisi gradien, di sini diingatkan kembali bahwa gradien adalah kemiringan
garis dalam suatu selang atau titik tertentu. Pada fungsi konstan dan fungsi linier
gradien garisnya konstan di sepanjang garis, sedangkan pada kurva dengan
persamaan orde dua atau lebih memiliki gradien yang berubah-ubah pada setiap
titik. Jadi jika perubahan gradien terjadi di setiap titik, maka gradien suatu titik
sama saja dengan gradien garis singgung garis pada titik tadi. Pada subbab ini
akan dijelaskan bagaimana mengetahui sifat-sifat (properties) dari grafik
menggunakan turunan.

70
8.1. Nilai Ekstrim dan Titik Belok
Analisis langsung dari gradien adalah mengetahui kecenderungan
kurva naik atau turun. Jika kurva (atau suatu selang pada kurva) naik, maka
jelaslah gradien pada daerah itu positif, sedangkan jika kurva turun maka
gradiennya pastilah negatif.

Gambar 3.1.

Perhatikan gambar di atas (jika tidak keberatan). Mengingat = ,

maka bila (naik) maka . Sebaliknya bila (turun) maka


. Pada selang ab diperoleh yang menurun (m < 0), pada titik 0
= (m = 0), dan pada selang cd diperoleh yang menanjak (m > 0).
Jadi dengan mengetahui turunan pertama suatu fungsi (yang tidak lain
gradien garis) dapat diketahui kemonotonan selang kurva itu naik, turun,
atau tidak naik maupun turun (datar).

a. Jika maka (monoton naik)

b. Jika = maka = (tetap/stasioner)

c. Jika maka (monoton turun)
Titik di mana gradien garis singgungnya sama dengan nol disebut titik
titik stasioner. Jika titik stasioner ini mempunyai nilai maksimal (dalam
daerah lokal), maka titik itu disebut juga titik maksimum. Sebaliknya jika
titik stasionernya mempunyai nilai minimal (dalam daerah lokal), maka

71
titik itu disebut juga titik minimum. Jika titik stasioner itu bukan nilai
maksimal atau minimal pada daerah lokal, maka titik stasioner itu disebut
titik belok. Bagaimana cara membedakan titik maksimum, titik minimum
dan titik belok? Caranya adalah dengan mengamati gradien lokal di sebelah
kiri dan kanan titik stasioner. Mudahnya adalah dengan memperhatikan
gambar berikut:

Gambar 3.2. Titik minimum, titik masimum, dan titik belok.

Jelas bukan? Pada gambar titik stasionernya berada pada x = 0, tapi


definisi ini berlaku di mana pun letak titik stasioner. Jika dikalimatkan
definisinya kira-kira seperti ini:
a. Jika daerah lokal di sebelah kiri titik stasioner monoton turun dan di
sebelah kanannya monoton naik, maka titik stasioner itu adalah titik
minimum.
b. Jika daerah lokal di sebelah kiri titik stasioner monoton naik dan di
sebelah kanannya monoton turun, maka titik stasioner itu adalah titik
maksimum.
c. Jika daerah lokal di sebelah kiri titik stasioner monoton naik dan di
sebelah kanannya monoton naik, atau daerah lokal di sebelah kiri titik
stasioner monoton turun dan di sebelah kanannya monoton turun maka
titik stasioner itu adalah titik belok.
Titik maksimum dan titik minimum disebut juga ekstremum atau
titik balik karena merupakan titik dengan nilai tertinggi atau terendah pada
daerah/selang lokal. Mungkin cukup pusing untuk mengingat istilah istilah

72
di atas, oleh karena itu sebaiknya mengamati definisi-definisi di atas dalam
bentuk bagan (chart).

𝑓′ 𝑥
monoton naik

𝑓′ 𝑥
Turunan pertama di Kiri naik kanan turun e
monoton turun k
suatu titik. titik maksimum s
t
r
e
𝑓′ 𝑥 = Kiri turun kanan naik m
u
stasioner titik minimum m

Kiri turun kanan turun


atau kiri naik kanan naik
titik belok

8.2. Interval Naik, Interval Turun, dan Kecekungan


Pada bagian 8.1. selalu disebutkan “selang lokal” atau “daerah lokal”,
apa sih maksudnya? Mengapa harus secara lokal, tidak secara keseluruhan?
Pertanyaan di atas akan dijawab pada bagian ini. Pada dasarnya tidak ada
kewajiban bagi semua kurva untuk hanya memiliki satu titik stasioner.
Lebih detail, fungsi orde dua (pangkat tertinggi dari variabelnya adalah
dua) memiliki satu titik stasioner, fungsi orde tiga memiliki dua titik
stasioner, fungsi orde empat memiliki tiga titik stasioner, dan seterusnya.
Ya, tentu saja fungsi linear (orde nol dan satu) tidak memiliki titik stasioner.
Nah, oleh karena suatu kurva bisa saja memiliki lebih dari satu titik
stasioner, makanya dalam penjelasan sebelumnya diberikan embel-embel
selang lokal atau daerah lokal.

73
Gambar 3.3. Grafik fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑥 − 4𝑥 .

Misalkan fungsi = −4 memiliki persamaan gradien


= =3 − 4. Ingat pada titik stasioner gradiennya adalah nol,
dengan demikian dengan mudah kita peroleh absis dari titik stasionernya
ialah:
3 −4=

= → = √

Jadi titik stasionernya ada dua (karena fungsinya orde tiga), yakni

pada = −√ dan = √ . Untuk mencari koordinat lengkapnya,

masukkan saja nilai-nilai x itu ke dalam , diperoleh:

√ √ √ √ √
= .−√ / − 4 .−√ / = −√ +√ = = =
√ √ √

Dengan cara yang serupa diperoleh =− . Dengan demikian


koordinat titik stasioner dari fungsi = − 4 adalah .−√ / dan


.√ − /. Jadi terdapat tiga interval pada kurva fungsi yakni:


74
a. Selang −√ atau −√4 3 , monoton naik.

b. Selang −√ √ atau −√4 3 √4 3 , monoton turun.

c. Selang √ atau √4 3 , monoton naik.

Dengan demikian, jika kita mempertanyakan status titik stasioner di

.−√ /, maka titik stasioner itu adalah titik balik maksimum, meskipun

di sebelah kanan titik = −√ tidak monoton turun, melainkan naik lagi di

titik = √ , tetapi turunnya gradien pada daerah lokal −√4 3 √4 3

sudah cukup untuk menjadikan titik .−√ / sebagai titik balik


maksimum dalam selang − √4 3 . Hal yang serupa berlaku pada titik

.√ − / yang merupakan titik balik minimum dalam selang


−√4 3 .
Nah, sekarang kita akan membahas kecekungan kurva. Kurva yang
berbentuk parabola dan sejenisnya tentunya memiliki bentuk cekung.
Berikut definisi kecekungan kurva secara formal.

a. Jika = naik dalam selang I, maka grafik fungsi dikatakan
cekung ke atas dalam selang I.

b. Jika = turun dalam selang I, maka grafik fungsi dikatakan
cekung ke bawah dalam selang I.
Oke, sebenarnya pemahamannya cukup sederhana, jika grafik
melengkung ke atas pada selang tertentu, maka ia cekung ke atas.
Sebaliknya jika melengkung ke bawah, maka ia cekung ke bawah.
Perhatikan lagi gambar 3.2, pada gambar (a) kurva monoton (dari selang
= − ) cekung ke atas, sedangkan pada gambar (b) cekung ke
bawah. Terlihat jelas untuk kurva yang monoton cekung ke atas

75
parabolanya menghadap ke atas, sedangkan kurva yang monoton cekung ke
bawah parabolanya menghadap ke bawah. Untuk kurva yang memiliki lebih
dari satu titik stasioner tentu saja memungkinkan memiliki kecekungan
yang berubah-ubah pada selang tertentu. Misalkan untuk fungsi
= − 4 (lihat gambar 3.3), kurvanya cekung ke bawah dalam selang
− dan cekung ke atas dalam selang .
Nah, jika dikaitkan dengan diferensial mengingat kecekungan adalah
perubahan kemiringan, maka kecekungan dapat dinyatakan dalam

n n= = (3.17.a)

Padahal kemiringan/gradien, m, adalah perubahan ketinggian

Berarti kecekungan adalah turunan ke-dua dari fungsi = .


′′
n n= = (3.17.b)
′′ ′′
Jadi jika bernilai positif, maka cekung ke atas, jika
′′
bernilai negatif, maka cekung ke bawah, sedangkan jika = ,
maka linear.
Satu hal lagi yang melibatkan kecekungan suatu grafik fungsi, yaitu
untuk menganalisis titik stasioner yang merupakan titik balik (ekstremum)
dan yang merupakan titik belok. Misalkan titik stasioner suatu fungsi
berada pada = . Ternyata diperoleh hubungan sebagai berikut.
a. Jika kecekungan fungsi di tidak berubah di (tetap
cekung ke atas, [+]), maka titik stasioner a adalah titik balik minimum.
b. Jika kecekungan fungsi di tidak berubah di (tetap
cekung ke bawah, [-]), maka titik stasioner a adalah titik balik
maksimum.
c. Jika kecekungan fungsi di mengalami perubahan (dari
cekung ke atas menjadi cekung ke bawah atau sebaliknya) di ,
maka titik stasioner a adalah titik belok.
Cobalah Anda selidiki bahwa bila memiliki titik stasioner di =
′′
, maka = .
76
Analisis

Analisis Grafik Fungsi f dan Grafik Fungsi Turunannya

Berikut ini adalah contoh grafik intensitas spesifik dari radiasi benda
hitam pada suhu tertentu berdasarkan model Planck yakni
2𝜋 𝑐 1
𝑓 𝑥 =𝐼 𝜆 =
𝜆 p 𝑐 𝜆𝑘𝑇 − 1
Sumbu X merupakan panjang gelombang dan sumbu Y menyatakan
intensitas spesifik tiap-tiap panjang gelombang.

Sedangkan di bawah ini merupakan grafik dari fungsi 𝑓 𝑥 .

Analisislah hubungan antara grafik suatu fungsi dan grafik turunannya


serta turunkanlah persamaan gradiennya.

77
Bab 4 Integral

1. INTEGRAL SEBAGAI ANTI-TURUNAN


Jika merupakan turunan dari dari , maka merupakan
integral dari . Misalkan fungsi =4 +3 − 8 − 1 , turunan dari
ialah

= 12 +6 −8
Jika kita gunakan algoritma untuk mencari turunan dari suatu fungsi
polinom (xn):
a. Untuk setiap suku, pangkat dari variabel yang diturunkan dikalikan dengan
konstantanya.
b. Untuk setiap suku, pangkat dari variabel dikurangi satu.

Jadi, untuk mengintegralkan suatu fungsi polinom, kita harus membalik


algoritmanya menjadi:
a. Untuk setiap suku, pangkat dari variabel yang diintegralkan ditambah satu.
b. Untuk setiap suku, pangkat dari variabel (yang telah ditambah satu) menjadi
pembagi dari konstantanya.

Ingatlah untuk suatu proses balik (invers), urutan algoritma juga dibalik.

Dengan menerapkan algoritma ke-2 pada semestinya diperoleh . Kita
coba:
0
Integral f’(x) terhadap x = + −0 =4 +3 −

8 .
Ternyata diperoleh hasil yang sedikit berbeda, suku terakhir , yakni

-10, tidak muncul pada integral dari . Mengapa? Perhatikan lagi saat
diturunkan terhadap x, suku ke-empat yang merupakan konstanta (tidak

memiliki variabel x) terturunkan menjadi nol, dengan demikian, saat

78
diintegralkan suku ke-empat tidak muncul kembali. Coba perhatikan beberapa
fungsi polinom di bawah ini!
=4 +3 −8
=4 +3 − 8 − 14
=4 +3 −8 +

Jika ketiga fungsi di atas diturunkan, hasilnya akan sama dengan turunan

dari fungsi =4 +3 − 8 − 1 , yakni =4 +3 − 8 . Untuk
mengetahui fungsi mana yang dimaksud sebagai fungsi yang terturun sebagai
perlu diketahui suatu nilai dan hasil pemetaan nilai itu dari fungsi . Jika
tidak, maka kita tak dapat mengetahui fungsi yang menurunkan karena kita
tak dapat mengetahui konstanta apa yang terturunkan menjadi nol. Jadi kita tulis
saja integral dari 4 +3 − 8 − 1 terhadap x ialah 4 +3 − 8 + , di
mana C merupakan suatu konstanta riil. Integral seperti ini disebut integral tak
tentu.
Jadi, bentuk seperti ∫ 1 =∫ sekalipun hasilnya belum tentu sama
dengan u, jadi kita tuliskan ∫ = + .

2. NOTASI INTEGRAL
Integral merupakan lawan (invers) dari turunan, sehingga notasinya pun
dibuat sedemikian sehingga menjadi lawan dari notasi integral. Jika pada turunan
diberikan notasi berbentuk pembagi, semisal d/dx, maka notasi integral
berbentuk pengali, semisal dx.

Notasi turunan fungsi x: atau

Notasi integral fungsi x: ∫ atau ∫


Ya, Anda akan melihat notasi khusus pada operasi integral berupa simbol
S (dari kata sum, penjumlahan) yang digayakan seperti halnya penambahan
simbol “d” pada operasi turunan. Itu adalah notasi baku dari integral, meskipun

79
hanya dengan menuliskan sudah cukup bagi kita untuk mengetahui
bahwa yang dimaksud ialah integral dari terhadap x.
Keuntungan matematis dari penulisan notasi turunan dan integral
seperti itu dapat Anda saksikan pada contoh dibawah ini:
“Integral terhadap x dari turunan terhadap x dari fungsi ialah fungsi
itu sendiri”.

( ) = =

Lihat? Anda cukup mengalikan notasi dx dengan notasi 1/dx sehingga


menjadi 1. Perhatikan lagi contoh yang kedua.
3
= =3
2
=3
3
= 3 = +
2
Jadi notasi turunan dan integral seperti itu memudahkan pemahaman
dan penulisan persamaan. Untuk keperluan praktis, integral dari fungsi juga
lazim dituliskan , namun penulisan ini sebaiknya dihindari kecuali memang
diberikan keterangan untuk itu.
Tidak hanya untuk fungsi polinom, untuk semua fungsi matematis juga
berlaku hal yang sama, sesuai dengan teorema fundamental kalkulus.
Jika suatu fungsi terintegralkan di suatu titik menjadi , maka
turunan dari ialah .
Misalkan turunan dari fungsi in ialah o , dengan demikian

o = in +

Turunan dari fungsi o ialah – in , dengan demikian

in =− o +

80
Contoh:
1. Carilah ∫ 4 + 12 + 9 !
Jawab:
Dengan menggunakan algoritma pada bab 4 bagian 1, diperoleh:

∫4 + 12 + 9 = 4( ) + 12 ( )+9 +

∫4 + 12 + 9 = +6 +9 +

2. Carilah ∫ 4 + 12 + 9 2 +3 !
Jawab:
Perhatikan bahwa nilai pengintegrasi(integran)-nya ialah 2 + 3, jadi kita harus
mengintegralkan fungsi =4 + 12 + 9 terhadap 2 + 3, bukan terhadap
atau yang lain.

∫4 + 12 + 9 2 +3 = ∫ 2 +3 2 +3 = 2 +3 +

3. Carilah ∫ + + !
Jawab:
Perhatikan integrannya ialah a, karena x saling bebas dengan a (x bukan fungsi
dari a dan sebaliknya a bukan fungsi dari x) maka x dapat dianggap sebagai
konstanta.

∫ + + = + + +

3. INTEGRAL SEBAGAI LUAS DAERAH DI BAWAH KURVA


Masih ingat tentang operator sumasi sigma (Σ)? Ya, sumasi sigma
dipergunakan untuk menghitung jumlah diskret dari hasil suatu fungsi. Misalkan
∑ 2 , merupakan jumlah dari hasil pemetaan fungsi = 2 untuk daerah
asal dari n = 0 hingga n = 5. Penting untuk diingat daerah asal dari sumasi sigma
hanyalah bilangan bulat.

81
2 = 2 1 + 2 2 + +2 3 + +2 4 + +2 5 = 3
0

Perhatikan lagi bahwa sumasi sigma dari fungsi merupakan jumlah


dari segmen-segmen segi empat dengan lebar satu satuan dan panjang sama
dengan hasil fungsi dari nilai tengah segmen segi empat itu. Perhatikan gambar di
bawah ini untuk lebih jelasnya.

Gambar 4.1. Grafik 𝑓 𝑥 = 2𝑥

Jadi operator sumasi sigma dapat digunakan untuk menghitung luas di


bawah kurva dengan batas-batas yang ditentukan. Tentu saja untuk fungsi
non-linear, hasil luasan yang diperoleh hanyalah pendekatan. Bagaimana agar
luasan yang diperoleh bisa sedekat mungkin dengan aslinya? Jawabannya ialah
dengan memperkecil lebar segmen-segmen yang dibuat (kita sebut ). Misalkan
luas daerah di bawah kurva = + 1 dari x = 1 hingga x = 3. Kita akan ambil
= 5, sehingga diperoleh empat segmen-segmen segi empat sebagai berikut:

82
Hasil fungsi nilai Luas segmen ke-I
Derah x Nilai tengah x (xi)
tengah x (yi)
0,75 – 1,25 1,00 2,00 1,00
1,25 – 1,75 1,50 3,25 1,625
1,75 – 2,25 2,00 5,00 2,50
2,25 – 2,75 2,50 7,25 3,625
2,75 – 3,25 3,00 10,0 5,00
Jumlah 13,75

Jadi diperoleh luas daerah di bawah kurva = + 1 dengan


= 5 ialah 13,75 satuan luas. Metode penghitungan luas dengan segmen-
segmen segi empat seperti ini disebut penjumlahan Riemann. Bandingkan jika
diambil = 1, diperoleh

+ 1 = 1 + 1 + 2 + 1 + 3 + 1 = 17

Ternyata hasilnya berbeda cukup jauh, tentulah hasil yang diperoleh


dengan = 5 lebih akurat, tapi itupun masih berupa pendekatan. Bagaimana
cara untuk memperoleh hasil yang eksak? Untuk memperoleh hasil yang eksak
sekecil mungkin hingga mendekati nol. Ternyata hal ini bersesuaian dengan
definisi integral tentu.

= = − = −

Dengan =∫ .
Jadi integral tentu terhadap dari hingga merupakan jumlah
dari luas segmen-segmen segi empat dengan lebar segmen → dan tinggi
hasil fungsi dari nilai tengah lebarnya dari = hingga = .
Dengan bahasa komputasi, dapat dibuat algoritma integral tentu seperti
di bawah ini:
a. Deklarasikan rentang x dan inkremen
Misal: =

83
Maksudnya ialah matriks baris (barisan bilangan) dengan batas bawah = 1,
inkremen = 0,0001, dan batas atas = 3.
b. Deklarasikan fungsi =
= +
Maksudnya y adalah matriks baris (barisan bilangan) yang nilainya yi = xi2 + 1.
c. Hitung luas segmen dengan rumus =
=
d. Jumlahkan semua Li.
Luas = sum(L)
Hmmm… kira-kira seperti itu. Inkremen dapat diperkecil hingga menuju
nol.
Nah, sekarang kita coba menghitung luas daerah dibawah kurva dengan
metode analitik yakni dengan menggunakan rumus yang telah diperoleh.

3 1 3 1
= +1 =0 + + 1 =. + 3 + / − ( + 1 + ) = 12 − = 1
3 3 2 2 2

Perhatikan bahwa konstanta C menjadi lenyap, itulah yang menyebabkan


integral ini disebut integral tentu. Diperoleh juga luas daerah dibawah kurva
= + 1 dari x = 1 hingga x = 3. Ini adalah hasil yang eksak, bukan sekedar
pendekatan.

Penting!
Jangan melanjutkan mengerjakan soal-soal integral sebelum memahami definisi
dan makna matematis dari konsep integral dengan baik..

Hal penting lainnya dari kemiripan konsep antara sumasi sigma dan
integral (sebagai luas daerah di bawah kurva) ialah kita dapat persamaan diskret
(operasi sumasi) ke persamaan kontinyu (operasi integral) dan sebaliknya. Tentu
saja pengubahan ini hanya menghasilkan suatu pendekatan, namun biasanya
sangat baik untuk sekedar perkiraan.

84
Coba perhatikan lagi gambar 4.1 yang menggambarkan grafik dan
diagram/histogram dari fungsi = 2 . Nilai ∫ 2 merupakan luas daerah
di bawah kurva dari = hingga = 5 , sedangkan jika kita jumlah
menggunakan sumasi sigma, maka batasnya adalah dari = − 5 hingga = 5 5,
ada tambahan setengah segi empat paling kiri dan setengah segi empat paling
kanan. Jadi, agar dapat menyetarakannya dengan integral, kita harus membuang
bagian-bagian itu yang besarnya 5 1 dikali dengan ketinggian segi empat,
yakni dan 5 sehingga bersisa
0
∑ 0 − −

Dengan demikian kita dapat menyetarakan operasi integral dan sumasi


sigma dalam pendekatan

∫ ≅∑ − − (4.1.a)

atau

∑ ≅∫ + + (4.1.b)

Patut untuk diingat relasi ini hanyalah suatu pendekatan (aproksimasi)


saja, namun untuk persamaan linear, nilainya memang benar-benar sama. Silakan
pembaca membuktikan bahwa relasi di atas benar-benar sama hanya untuk
persamaan yang linear.

4. BEBERAPA BENTUK INTEGRAL


Berikut ini beberapa bentuk integral yang lazim disertai penjabarannya,
silakan disimak.

4.1. Integral Fungsi Polinom


Seperti yang sudah disinggung pada bagian sebelumya, integral fungsi
polinom dapat didefinisikan sebagai berikut:
∫ = + (4.2)

Operasi integral juga memenuhi sifat-sifat sebagai berikut

85
1. Sifat komutatif
∫ + =∫ +∫
2. Sifat asosiatif terhadap perkalian skalar
∫ = ∫ ; dengan k suatu skalar
Sedangkan yang perlu diperhatikan,

∫ ∫

4.2. Integral Bentuk ex dan 1/x


Dari definisi bilangan natural,

= lim → (1 + ) (4.3)

Dapat kita ekspansikan dengan deret binomial Newton


+ = + + + + =

( ) (4.4)
0

diperoleh

= lim → (1 + ) = 1+ + + + (4.5)

dengan menjamin n>> (menuju tak hingga),

(1 + ) = 1 + + + + (4.6)

Karena n>>, maka (nx)2 – nx dapat dianggap sama dengan (nx)2, begitu
pula (nx)3 – 3(nx)2 + 2nx ≈ (nx)3. Akhirnya didapatkan bentuk

= lim → (1 + ) = 1+ + + + + (4.7)

Dengan bentuk deret di atas, dengan mudah dapat kita tentukan


turunan dari ex yakni:

= +1+ + + + (4.8)

Whoiila, ternyata diperoleh turunan dari ex adalah ex juga. Dengan


demikian diperoleh
∫ = + (4.9)

86
Misalkan kita pilih persamaan awal y = ex, sehingga dy/dx = ex. Jadi
diperoleh persamaan diferensial
= (4.10)

∫ =∫ (4.11.a)

∫ = (4.11.b)

Lihat kembali persamaan awal kita y = ex, dengan demikian x = ln y.


Substitusi nilai x ini ke dalam persamaan (4.11.b) menghasilkan

∫ = ln (4.12)

4.3. Bentuk-bentuk Integral Baku


Dalam berbagai problem matematis, biasanya terdapat berbagai
bentuk integral fungsi. Berikut beberapa di antaranya.
∫ = + (4.13)

∫ = + −1 (4.14)

∫ = ln + −1 (4.15)

∫ = + (4.16)

∫ = + (4.17)

∫ in = o + (4.18)
∫ o = − in + (4.19)
∫ = n + (4.20)
∫ n = + (4.21)
∫ =− o + (4.22)
∫ o =− + (4.23)
∫ n = −ln o + (4.24)
∫ o = ln in + (4.25)
∫ = ln + n + (4.26)
∫ = − ln + o + (4.27)

87
∫√ = in ( )+ (4.28)

∫ = ( )+ (4.29)

∫ = n ( )+ (4.30)

Beberapa pembuktian dan/atau pembahasan tentang bentuk-bentuk


di atas akan diberikan pada bagian-bagian selanjutnya.

5. METODE SUBSTITUSI
Untuk memudahkan pekerjaan integral-mengintegralkan, kita dapat
melakukan metode substitusi. Tercermin dari namanya, metode substitusi ialah
metode dengan menukar suatu suku/bagian dengan suku lain dan setelah itu
dilakukan substitusi balik. Berikut beberapa metode substitusi yang dikenal.

5.1. Substitusi Suku yang Diintegralkan


Misalkan suatu fungsi = , maka integral dari fungsi

∫ =∫ (4.31)
0
Contohnya ∫ +5 dapat kita substitusi nilai +5=
0
sehingga integral tadi menjadi berbentuk ∫ . Ingat = +5

sehingga = 2 atau =2 atau = . Substitusikan nilai dx

dalam integral sehingga fungsi u dapat diintegralkan.


0 0 0
∫ =∫ ( )= ∫

= +

Substitusi balik nilai = + 5 menjadi


0
∫ +5 = +5 +

Jika kita hanya melihat susunan seperti pada aturan 4.31 di atas,
tentukan terlebih dahulu
0
= +5
= +5
88
0
=

Diperoleh = 2 sehingga:

∫ =∫ + =∫ = +

Dengan substitusi balik fungsi h(x), didapatkan


0
∫ +5 = +5 +

Contoh

1. Carilah ∫ Tips:
Jawab: Untuk semua bentuk 𝑓 𝑥 = 𝑢
Misalkan = 7 + 9, =7 atau = dengan 𝑢 = 𝑎𝑥 + 𝑏, hasil

∫ =∫ = ln + integralnya pastilah berbentuk

Substitusi kembali nilai u, 𝑓 𝑥 = 𝑢′ 𝑙𝑛 𝑢 + 𝐶. Nilai u’ ini

∫ = ln 7 + 9 + biasa disebut turunan dalam.

2. Carilah ∫ 4 − 11
Jawab:

Misalkan = 4 − 11, =4 atau =


+
∫ 4 − 11 =∫ = +

Tips:
Untuk fungsi berbentuk seperti di atas dengan polinom dalam kurung berderajat satu,
integralnya dapat dilakukan dengan cara biasa (pangkat di tambah satu lalu koefisien
dibagi dengan pangkat di tambah satu) kemudian menmambahkan turunan dalamnya
sebagai pembagi.

3. Carilah ∫ !

Jawab:
89
Perhatikan bahwa = . Ingat bentuk baku∫ = n + .

Misalkan u = x2, du = 2x dx, sehingga

∫ =∫ = n + = n +

4. Carilah ∫ 4 − 11
Jawab:

Misalkan = 4 − 11, =8 atau =


+ +
∫ 4 − 11 =∫ = + = +

Bagaimana jika ∫ 4 − 11 ? Bisakah diselesaikan dengan substitusi?

5. Carilah ∫ !

Jawab:
Misalkan = − 4 + 8, =2 −4 atau =

∫ =∫ =∫ = ln + = ln −4 +8 +

6. Buktikanlah bahwa ∫ = + !

Jawab:
Pilih suatu nilai k sehingga a = ek, dimana e bilangan natural sehingga bentuk
integral menjadi:

Substitusi u = kx, du = k dx atau dx = du/k.

∫ = +

Ingatlah kembali a = ek, dengan demikian k = ln a. Substitusikan nilai k dan


substitusi balik nilai u sehingga diperoleh hasil akhir

∫ = + = +

90
5.2. Substitusi Integran
Substitusi variabel pengintegrasi (integran) dapat digunakan untuk
mempermudah mencari hasil integral dari suatu fungsi. Agar lebih jelas,
baiknya kita memulai dengan contoh, misalnya ∫ in .
∫ in = ∫ in in
Mengingat in + o = 1,
∫ in =∫ 1− o in
∫ in = ∫ in +∫ o in
Di sini kita substitusi variabel pengintegrasinya, yakni in
menjadi − o , mengingat∫ in =− o + . Atau secara lebih
detail
Catatan:
o = − in − o = in
Anggap o 𝑥 = 𝑢,
Oke? Mari kita lanjutkan!
maka
∫ in = ∫ in −∫ o o
∫ o 𝑥𝑑 o 𝑥 =
∫ in = o − o +
∫ 𝑢 𝑑𝑢 = 𝑢 + 𝐶
Jadi lebih mudah kan?
Penting untuk dicatat metode ini sebaiknya tidak digunakan jika hasil
pemecahan menghasilkan suku dengan pangkat yang sama (misal
∫ in = − ∫ in o ). Jelasnya akan dibahas pada bagian contoh.

5.3. Substitusi dengan Bantuan Trigonometri


Terkadang, suatu fungsi teramat sulit bahkan mustahil dikerjakan
dengan cara-cara substitusi yang telah diberikan sebelumnya. Eits… jangan
menyerah dulu, kemungkinan fungsi itu dapat diintegralkan dengan
bantuan trigonometri. Fungsi yang dapat diintegralkan dengan substitusi
trigonometri biasanya ialah fungsi-fungsi yang mengandung persamaan

lingkaran, contohnya ∫ + .

91
Pertama-tama, ingatlah relasi antara x dan y dalam dalil Pythagoras
dan trigonometri yakni = n dan =√ + . Nah, sekarang
mulailah substitusi, = n sehingga = .

∫ + =∫

Ingatlah bahwa in + o = 1. Jika kedua ruas dibagi dengan


o menghasilkan n +1= (Ingat lagi bahwa = ).

Dengan demikian n + = sehingga:

∫ = ∫ = ∫ o

Selanjutnya diperoleh

∫ + = in +

Lakukan substitusi balik in = = , akhirnya diperoleh:


∫ + = +

Bagaimana? Cukup mudah kan?


Yang penting di sini ialah jika kita melakukan substitusi dengan
menggunakan trigonometri dan dalil Pythagoras, maka kita harus
melakukan substitusi balik dengan perangkat dan ketentuan yang sama.

Bagaimana jika yang ditanya ialah ∫ + ? Melihat kesesuaian

dengan hasil sebelumnya, dapat dipastikan hasilnya ialah + .


Cobalah Anda mencari langkah-langkah matematisnya sebagai latihan.


Beberapa bentuk integral dengan substitusi trigonometri yang sudah
baku antara lain sebagai berikut.
A. Bentuk arcus sinus dan arcus cosinus
Bentuk integral yang memuat arcus sinus dan arcus cosinus adalah
yang berbentuk sebagai berikut:

∫√ = in ( )+ (4.32)

∫√ =− o ( )+ (4.33)

92
Oke, kita akan membuktikannya di sini. Untuk memudahkan
pemahaman, ganti nama variabelnya menjadi

∫√ =∫ −

Ingatlah hubungan trigonometri pada segitiga siku-siku, untuk bentuk


arcus cosinus, lakukan substitusi = o , sehingga =
− in .

∫ − o − in =∫ 1− o − in
Mengingat relasi trigonometri in + o = , maka

−∫ in in = −∫ =− +

Substitusi balik = o sehingga diperoleh

∫√ =− o ( )+

Untuk pembuktian arcus sinus, untuk memudahkan pemahaman ganti


variabelnya menjadi ∫ dan lakukan substitusi = in .

Langkah selanjutnya ditinggalkan sebagai latihan.

B. Bentuk arcus tangen


Bentuk integral yang memuat arcus tangen adalah yang berbentuk
sebagai berikut:

∫ = n ( )+ (4.34)

Untuk membuktikannya, lakukan substitusi = n , sehingga


= .

∫ =∫ =∫

Mengingat relasi trigonometri n +1=

∫ =∫ = ∫ = +

Lakukan substitusi balik = n ( ).

∫ = n ( )+

93
Contoh

1. Carilah ∫ √ !
Jawab:
Bentuk integral di atas terlihat rumit, namun jika kita merubah integrannya akan
menjadi sangat mudah. Seperti penjelasan sebelumnya in dapat kita ubah
menjadi − o . Karena a dan b independen (saling bebas) terhadap variabel
integran, a dan b dapat kita keluarkan dari operasi integral.
− ∫ + −2 o o
Substitusi = + −2 o , sehingga = −2 o atau
o =− .

∫ = 2 +

Jadi, ∫ √ = √ + −2 o +

2. Carilah ∫ √ dalam bentuk arcus sinus dan arcus cosinus!


Jawab:
Perhatikan bentuk integralnya, diperoleh = √9 = 3 , sehingga
1
= in ( ) +
√9 − 3
1
=− o ( )+
√9 − 3

3. Carilah ∫ !
Jawab:
Suku x2 memiliki koefisien 9, sehingga kita ubah bentuk fungsinya terlebih
dahulu.
1 1 1
=
25 + 9 9 25 9 +

akhirnya diperoleh =√ = sehingga:


1 3 3
= n( )+
25 + 9 45 5

94
6. INTEGRAL PARSIAL
Beberapa bentuk integral tak dapat diselesaikan dengan metode
substitusi biasa. Untuk itu dapat digunakan metode substitusi ganda atau yang
lebih dikenal sebagai pengintegralan parsial.
Ingat kembali bentuk turunan dari perkalian fungsi:
= +

Lakukan pengintegralan terhadap x di kedua ruas.

=∫ +∫

=∫ +∫
Akhirnya diperoleh
∫ = −∫ (4.35)
Dan untuk integral tentu

∫ = −∫ (4.36)
Jadi pengintegralan parsial membolehkan kita menukar masalah ∫
menjadi ∫ . Keberhasilan metode ini tergantung pada pemilihan u dan dv
yang tepat. Jadi jika dengan satu pemilihan tidak berhasil, cobalah menukar nilai
u dan dv, atau mencoba kombinasi lainnya.

Contoh:
1. Carilah integral dari sin2 x terhadap x!
Jawab:
∫ in = ∫ in in dapat kita pecah dalam bentuk u dv dimana u = sin x
dan dv = sin x dx. Dengan demikian diperoleh du = cos x dx dan v = -cos x.
∫ in = in − o −∫− o o
∫ in = − in o +∫ o
Tambahkan kedua ruas dengan ∫ in sehingga menjadi:
∫ in + ∫ in = − in o +∫ o + ∫ in

95
Mengingat sifat integral yang distributif terhadap penjumlahan, ∫ +
=∫ +∫ dan sifat trigonometri sin2 x + cos2 x = 1,
diperoleh
2 ∫ in = − in o + ∫ in + o

∫ in = − in o + ∫1

∫ in = − in o +

Petunjuk:
𝑑𝑢
Ingatlah jika 𝑢 = 𝑎𝑥 + 𝑏𝑥 + 𝑐, maka 𝑑𝑥 = 2𝑎 + 𝑏 atau 𝑑𝑢 = 2𝑎 + 𝑏 𝑑𝑥.

Jika 𝑑𝑢 = 2𝑎 + 𝑏 𝑑𝑥, maka ∫ 𝑑𝑢 = ∫ 2𝑎 + 𝑏 𝑑𝑥 atau 𝑢 = 𝑎𝑥 + 𝑏𝑥 + 𝐶.


Anda perlu berlatih melakukannya dengan cepat.

Sekarang coba kita gunakan substitusi integran.


∫ in = − ∫ in o = − in o +
Wah, ternyata hasilnya berbeda. Jadi sebaiknya kita tidak menggunakan
substitusi integran jika dihasilkan bentuk trigonometri dengan pangkat yang
sama.

2. Hitunglah nilai ∫ ln !
Jawab:
Pilih = ln dan = , sehingga = dan = .

∫ = −∫

∫ ln = ln − ∫ = ln − +

3. Carilah ∫
Jawab:
Untuk mengintegralkan bentuk ini, diperlukan sedikit manipulasi aljabar sebagai
berikut:

∫ =∫

96
∫ =∫

Pilih = + n sehingga =− o + , lalu lakukan


substitusi

∫ = −∫ = − ln +

Substitusi balik nilai u,


∫ = − ln + n +

4. Selesaikanlah ∫ !
Jawab:
∫ =∫
Pilih = sehingga = n dan = sehingga
=∫ = n . Diperoleh
∫ = n −∫ n
= n −∫ −1
= n −∫ +∫

= n −∫ +∫

= n −∫ +∫

= n −∫ +∫

Gunakan substitusi integran, diperoleh n + = + n ,


sehingga:
∫ = n −∫ + ln + n +
2∫ = n + ln + n +

∫ = n + ln + n +

5. Hitunglah nilai ∫ in !
Jawab:
Pilih = in dan = , sehingga = o dan = .
∫ = −∫

97
∫ in = in − ∫ o (i)
Eh, ternyata masih tidak bisa diselesaikan. Coba parsialkan lagi suku kedua ruas
kanan. Pilih = o dan = , sehingga = − in dan = .
∫ o = o +∫ in (ii)
substitusi (ii) ke (i)
∫ in = in − o −∫ in

∫ in = in − o +

6. Sudah dari dulu Acok ingin menyatakan cintanya kepada Rina. Suatu ketika ia
membulatkan tekadnya menembak Rina, Rina malah memberikan soal dan
mengatakan jika Acok berhasil menjawabnya dengan benar maka ia akan
menerima Acok sebagai kekasihnya. Berikut soal yang diberikan Rina kepada
Acok:

√4 −
Cobalah untuk memecahkan soal di atas dan beritahukanlah jawabannya pada
Acok agar dia bisa diterima.
Jawab:
Substitusi = 2 in sehingga =2 o

∫ =∫
√ √

=∫

=∫

=∫ = ∫

=− o +

mengingat in = , maka o = √1 − in sehingga o = = .

Lakukan substitusi balik diperoleh


√1 − 4
=− +
√4 − 2

98
Jadi kita telah menyelesaikan soalnya. Satu-satunya permasalahan yang tersisa
adalah bagaimana cara memberitahukan jawabannya kepada Acok.

7. Dalam pemrograman, pemodelan populasi, dan fisika statistik sering muncul


persamaan yang memuat bentuk faktorial. Permasalahannya faktorial dari suatu
bilangan sangatlah besar, lebih besar daripada . Oleh karenanya,
biasanya nilai-nilai itu dinyatakan dalam logaritmanya. Dengan menggunakan
bantuan relasi sumasi sigma dan integral pada bagian sebelumnya, carilah
pendekatan nilai ln yang tidak memuat operasi faktorial.
Jawab:
Berdasarkan aturan logaritma, ln = ln ln ln .
Mengingat definisi faktorial = −1 −2 1, maka diperoleh

ln = ln ln −1 ln −2 ln 1 = ln

Jika digambarkan dalam grafik, diperoleh hasil sebagai berikut:

Kita gunakan relasi sumasi dan integral, diperoleh

∑ ln ∫ ln + +

Dengan menggunakan integral parsial, diperoleh ∫ ln = ln − + ,


sehingga:

∑ ln ln − − ln 1 − 1 + +

∑ ln ln − +1+ = ( + ) ln − +1

99
Akhirnya diperoleh
1
ln ( + ) ln − +1
2

Contoh soal nomor 4 dan 5 menunjukkan beberapa bentuk fungsi tidak


selesai diintegralkan jika diparsialkan sekali. Dalam kasus ∫ in , butuh
dua tahap. Nah, bagaimana jika fungsi tadi memerlukan lebih dari dua tahap?
Apakah ada cara yang lebih mudah daripada mengintegralkannya secara parsial?
Sepengetahuan saya ada beberapa cara lain, seperti ekspansi deret, namun kita
belum akan membahas integral dengan ekspansi deret. Jadi untuk sementara,
kita tetap akan mengerjakan integral dari fungsi-fungsi yang "bandel" itu dengan
metode parsial. Meskipun demikian, ada model penyelesaian yang lebih praktis
untuk fungsi yang membutuhkan tahap pengintegralan parsial lebih dari sekali.
∫ = − + − (4.37)
Di mana u dan v merupakan fungsi dari x dengan u' turunan pertama dari
u, u'' turunan kedua dari u, dan seterusnya serta =∫ , =∫ dan
seterusnya. Misalkan ∫ 2 o 2 , ambil =2 dan = o 2 , diperoleh.

=2 → = in 2

=4 → =− o 2

=4 → =− in 2
′′′
= → = o 2

Jadi, ∫ 2 o 2 = in 2 − − o 2 + (− in 2 ) +

Bagaimana? Meskipun sebenarnya tidak mempermudah operasi


matematisnya, tetapi proses pengintegralan menjadi singkat, praktis, dan tidak
membuat kita menjadi bingung.

100
7. INTEGRAL FUNGSI RASIONAL
Fungsi rasional ialah fungsi yang merupakan hasil bagi dua fungsi
polinom. Adapun fungsi rasional sejati ialah fungsi rasional yang derajat
pembilangnya lebih kecil daripada derajat penyebutnya. Semua fungsi rasional
sejati dapat diintegralkan, dan untuk fungsi rasional yang lebih kompleks akan
lebih mudah jika dipecah menjadi sejumlah pecahan-pecahan yang lebih
sederhana. Pemecahan ini biasa disebut dekomposisi.

7.1. Kasus untuk Faktor Linear yang Berlainan


Contoh, menentukan ∫ . Mula-mula kita faktorkan terlebih

dahulu fungsinya menjadi:


3 −1 3 −1
=
− −6 +2 −3
Perhatikan penyebutnya merupakan dua faktor yang berbeda. Untuk
faktor linear yang berlainan kita dekomposisikan dalam bentuk
3 −1
= +
+2 −3 +2 −3
Nah, permasalahannya ialah mencari nilai A dan B yang sesuai.
Dengan mengalikan kedua ruas dengan +2 − 3 diperoleh
3 −1= −3 + +2
3 −1= −3 + +2
3 −1= + + 2 −3
Perhatikan ruas kiri dan kanan yang mengandung variabel x dan
yang tidak, lalu persamakan. Diperoleh
+ =3 + =3 = 3−
2 − 3 = −1
Cari nilai A dan B
2 −3 3− = −1 =

= 3− =

Akhirnya diperoleh bentuk lengkap dekomposisi

101
3 −1 7 5 8 5
= +
+2 −3 +2 −3
Dengan mudah dapat kita integralkan
3 −1 7 1 8 1
= +
+2 −3 5 +2 5 −3
3 −1 7 8
= ln + 2 + ln −3 +
+2 −3 5 5

7.2. Kasus untuk Faktor Linear yang Berulang


Kasus untuk faktor linear yang berulang, misalnya = ,

jika difaktorkan akan menjadi = yang memiliki faktor

berulang. Dekomposisi dari fungsi rasional seperti itu berbentuk

= +
−3 −3 −3
Setelah kedua ruas dikalikan −3 diperoleh
= −3 +
Misalkan kita mensubstitusi nilai x = 3, diperoleh B = 3. Dan jika
mensubstitusi x = 0 diperoleh 0 = -3A + B atau A = 1. Dengan demikian
fungsi berubah bentuk menjadi
1 3
= +
−3 −3
Sehingga
1 3
= +
−3 −3 −3
3
= ln −3 − +
−3 −3

102
Contoh:

Carilah ∫ !

Jawab:
Bentuk fungsi di atas mengandung tiga faktor penyebut, satu berbeda sedangkan
yang kedua dan yang ketiga identik (faktor berulang). Dengan demikian, bentuk
dekomposisinya dapat kita gabungkan antara bentuk faktor linear tunggal dan
faktor linear berulang yaitu:

= + +

Setelah bentuk pecahannya dihilangkan diperoleh


3 − 8 + 13 = −1 + +3 −1 + +3
Jika kita substitusikan nilai x = 1, x = -3, dan x = 0 didapatkan
8 = 4C, sehingga C = 2.
64 = 16A, sehingga A = 4
13 = A – 3B + 3C, sehingga B = -1

∫ =∫ −∫ +∫

∫ = 4 ln + 3 − ln −1 + +

7.3. Kasus untuk Faktor Kuadrat Tunggal

Kasus untuk faktor kuadrat tunggal, misalnya = .

Perhatikan faktor kuadrat + 1. Dekomposisi fungsi ini berbentuk

= +

Setelah pecahannya dihilangkan akan berbentuk


6 −3 +1= +1 + + 4 +1
Jika kita substitusikan nilai x = -¼, x = 0, dan x = 1 menghasilkan

+ +1= , sehingga A = 2

1 = 2 + , sehingga C = -1

103
4 = 4+ − 1 5, sehingga B = 1
Akhirnya dapat kita peroleh integralnya

∫ =∫ +∫

=∫ +∫ −∫

= ln 4 + 1 + ln +1 − n +

7.4. Kasus untuk Faktor Kuadrat yang Berulang

Kasus untuk faktor kuadrat berulang, misalnya = .

Perhatikan ada faktor kuadrat yang berulang di situ, yakni +2 +


2 . Dekomposisi yang cocok ialah

= + +

Jika dicari dengan benar, akan didapatkan nilai A = 1, B = -1, C = 3, D


= -5 dan E = 0. Integralnya ialah:

∫ =∫ +∫ +∫

=∫ −∫ + 3∫ − 5∫

= ln + 3 − ln +2 + n + +
√ √

8. INTEGRAL TENTU
Sebelumnya, kita telah membahas mengenai integrasi fungsi matematis
yang hasilnya memberikan suatu konstanta tidak diketahui. Telah disinggung
juga konstanta itu hanya dapat diketahui, atau dieliminir jika daerah asal fungsi
diketahui, semisal . Beberapa definisi dan teorema dalam integral tentu
ialah sebagai berikut.
1. Jika suatu fungsi terdefinisi pada maka lim →0 ∑ = jika
dan hanya jika untuk setiap bilangan positif terdapat bilangan positif

104
sehingga untuk setiap partisi = 0 pada dengan
‖ ‖ , berlaku ∑ − .
2. Jika fungsi yang terdefinisi pada dan lim →0 ∑ ada, maka
limit tersebut dinamakan integral tentu (integral Riemann) fungsi pada
. Selanjutnya dikatakan integrable pada dan integralnya ditulis

∫ . Jadi ∫ = lim‖ ‖→0 ∑ .

3. Jika integrable pada , maka dipenuhi hubungan ∫ =

−∫ . Dan jika = maka ∫ =∫ = .


Perlu diketahui juga teorema fundamental kalkulus yaitu:
Jika integrable pada dan suatu anti-turunan dari pada

( = untuk setiap ), maka

∫ = − (4.38)
Beberapa aplikasi integral tentu antara lain untuk menghitung panjang
kuva, luas daerah di bawah kurva, dan volum benda putar.

8.1. Luas Daerah yang dibatasi Kurva


Pada definisi integral sebelumnya telah disinggung integral tentu

∫ sebagai luas daerah yang dibatasi oleh kurva , sumbu X,


garis = dan = . Oleh karena itu pada subbab 8.1. ini hanya akan
diperinci untuk daerah yang dibatasi dua kurva dan luas daerah untuk
fungsi = . Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut ini.

Gambar 4.2. Luas daerah yang dibatasi dua kurva (yang diraster)
dapat ditentukan dengan integral.

105
Luas daerah yang dibatasi kurva , , garis = , dan =
(daerah yang diraster) jelas adalah luas daerah dibawah kurva pada
selang dikurangi luas daerah dibawah kurva pada selang ,
sehingga:

= =∫ −∫ =∫ − (4.39)
Bagaimana dengan luas daerah yang dibatasi kurva = dan
= dalam selang ? Prinsipnya sama saja, bedanya Cuma
mempertukarkan variabel bebas dan variabel terikat pada fungsi dan
integrannya sehingga

= =∫ −∫ =∫ − (4.40)
Mudah bukan?

Contoh
1. Hitunglah luas daerah yang dibatasi kurva =3 +1 dan = − 8!
Jawab:
Mula-mula tentukan dulu titik potong antara =3 +1 dan
= − 8, yaitu titik yang termuat dalam maupun .
= → 3 +1 = −8
Diperoleh persamaan 2 +1 +8= atau bila disederhanakan menjadi
+ 5 + 4 = , yang akar-akarnya = 1 dan = 4. Dengan demikian, batas
integrasinya ialah = 1 dan = 4.

= − = 3 +1 − −8

5 464 41 141
= +5 +4 =0 + +4 1 = − = n
3 2 6 6 2

2. Hitunglah luas daerah yang dibatasi kurva = 4 dan 4 − 3 = 4!


Jawab:
Gambar dari kurvanya ialah sebagai berikut:

106
Perhatikan bentuk daerahnya, ada yang di atas garis x = 0 dan ada yang di bawah
garis x = 0. Dengan demikian, kita tidak bisa menghitung luas dengan
mengintegralkannya terhadap x, tetapi harus diintegralkan terhadap y. Kita ubah
fungsi-fungsi di atas menjadi fungsi x terhadap y, = menghasilkan

= 3 + 4 dan = .

Cari titik potong:


3 +4
= → −3 −4=
4 4
Akar-akar persamaan di atas ialah = −1 dan = 4.
Luas daerahnya ialah

3 +4 1 3 125
= . − / = 0 +4 − 1 = n
4 4 4 2 3 24

3. Hitunglah luas daerah yang dibatasi kurva = in dan sumbu-X dalam selang
!
Jawab:
Luas daerah yang dibatasi kurva:

= in = − o 0
0

Jika kita langsung mensubstitusikan batas-batasnya diperoleh:


= − o 2 − − o = −1 + 1 =
Lho, masa sih luasnya nol? Nah, ini dia perkara dalam menghitung hasil integral
fungsi trigonometri (carilah penjelasannya!). Untuk itu perlu diakali dengan
mengingat sifat linear dari integral

∫0 in = ∫0 in +∫ in +∫ in +∫ in

Diperoleh hasil
− o 0 + − o + − o + − o =1+1+1+1 = 4
Jadi, luas area yang dibatasi kurva = in dan sumbu-X dalam selang =
4.

107
8.2. Volume Benda Putar
Integral dapat juga digunakan untuk menghitung volum dari benda
putar seperti kerucut, tabung, dan bangun lain yang lebih rumit, selama
masih berupakan benda putar. Prinsipnya ialah dengan membagi benda
putar tadi menjadi segmen-segmen kecil lalu dijumlahkan. Berdasarkan
bentuk segmennya, terdapat dua metode untuk menghitung volume benda
putar yaitu metode irisan tabung (pembelahan secara melintang, sering
juga disebut metode cincin) dan metode kulit tabung (pembelahan secara
radial).
Pertama kita akan membahas metode cincin, untuk itu perhatikan
gambar berikut.

Gambar 4.3. Menentukan volume benta putar dengan metode cincin.

Jika kurva = diputar terhadap sumbu X akan menghasilkan


suatu bangun ruang menyerupai tabung. Dengan membagi selang
menjadi n segmen yang berjarak sama, yakni , diperoleh irisan-irisan
tabung dengan ketebalan dan jejari lingkaran alas , dengan

= . Makin banyak jumlah irisan (n>>) makin kecil pula nilai

sehingga bentuk segmen akan semakin mendekati tabung (jejari alas dan
tutupnya sama).

108
Menggunakan definisi volum tabung ialah luas lingkaran dikali
dengan tingginya diperoleh elemen volum tiap segmen
=
Jumlahan Riemann untuk volum seluruh bangun ialah
∑ =∑
Jika → , maka volum bangun itu ialah
= lim →0 ∑

= ∫ (4.41)
Dengan cara yang sama, jika kurva diputar terhadap sumbu Y, maka
volum benda putar yang terbentuk ialah

= ∫ (4.42)
Berikutnya ialah metode kulit tabung. Prinsipnya ialah bangun
dibelah secara radial sehingga terbentuk pipa-pipa dengan ketebalan ,
jejari , dan tinggi = . Perhatikan gambar pipa di bawah ini.

Gambar 4.4. Menentukan volume benta putar dengan metode kulit


tabung.

Volum pipa ialah


= − = −
= + −

109
=2 ( ) −

Rumusan ini dapat ditulis menjadi


=2 ̅ (4.43)

dengan ̅ = i − =( ) dan = − .

Dengan membagi selang menjadi n segmen yang berjarak


sama, yakni , diperoleh pipa-pipa dengan ketebalan dan jejari rata-

rata , dengan = . Makin banyak jumlah irisan (n>>) makin

kecil pula nilai sehingga bentuk segmen akan semakin mendekati pipa
(ketinggian pada bagian dalam dan luarnya sama).
Menggunakan definisi volum pipa seperti pada persamaan 4.43
diperoleh volum tiap segmen
=2
Jumlahan Riemann untuk volum seluruh bangun ialah
∑ =∑ 2
Jika → , maka volum bangun itu ialah
= 2 lim →0 ∑

=2 ∫ (4.44)
Untuk pemutaran terhadap sumbu Y juga serupa, akhirnya akan
diperoleh

=2 ∫ (4.45)

8.3. Panjang Kurva


Bagaimana cara menghitung panjang kurva? Caranya didasari
dengan teorema yang sangat klasik, teorema Pythagoras. Dalam “ruang”
dua dimensi, rumus Pythagoras mendefinisikan panjang garis lurus yang
menghubungkan dua titik.
= + (5.46)
di mana r ialah panjang garis lurus, x panjang selisih komponen sumbu X,
dan y panjang selisih komponen sumbu Y. Jika garisnya garis lurus, tentu

110
saja nilai yang diperoleh dengan persamaan 5.46 merupakan nilai yang
eksak, tapi bagaimana jika kurvanya tidak lurus, melainkan melengkung
kesana-kemari? Seperti biasa, kita akan memotong kurva dalam segmen-
segmen kecil sehingga teorema Pythagoras bisa diterapkan pada segmen-
segmen tadi karena dalam selang yang sangat kecil, segmen kurva dapat
dipandang sebagai garis lurus.

Δs
Δy Δr

Δx
Δx

Gambar 4.5. Panjang kurva dihitung menggunakan dalil Pythagoras.

Panjang setiap segmen ialah


≅ = + (4.47)
Makin kecil segmen, maka akan makin mendekati . Jika
diambil = dan seragam, maka = − = + −
. Bila disubstitusikan dalam persamaan 4.47 menghasilkan
= + + −
+ −
= +. /

Jika dilakukan pembelahan hingga → , akan menghasilkan limit


yang menjadikan suku ke-dua ruas kanan sebagai turunan terhadap

+ −
lim = lim + lim . /
→0 →0 →0

Akibat dari limit ini, nilai menjadi sama dengan sehingga

( ) = 1+( )

111
Akhirnya diperoleh panjang kurva = dengan batas ialah

= 1+( )

Dari persamaan 4,47 dapat diturunkan bentuk diferensialnya yakni:


= + (4.48)
Persamaan 4.48 disebut juga kuadrat elemen garis. Dalam bentuk
lain persamaan 4.48 dapat ditulis sebagai

( ) = ( ) +( )

= ∫ √( ) + ( ) (4.49)

Jika persamaan kurvanya adalah = dengan batas , suku

di ruas kanan persamaan 4.49 dikalikan dengan , diperoleh

= ∫ √( ) [( ) + ( ) ]

= ∫ √1 + ( ) (4.50)

Diperoleh hasil yang sama dengan sebelumnya. Sebaliknya, jika


persamaan kurvanya adalah = dengan batas , suku di ruas

kanan persamaan 4.49 dikalikan dengan , diperoleh

= ∫ √1 + ( ) (4.51)

8.4. Luas Selimut Benda Putar


Kita telah mengenal benda putar dan juga mengetahui cara
menghitung panjang kurva. Berbekal rumus-rumus yang telah diperoleh,
dapat dihitung luas selimut dari benda putar.
Pertama-tama bayangkanlah Anda mengiris-iris benda putar tegak
lurus sumbu putar (Misalkan benda putar berdasarkan sumbu X) dengan
ketebalan yang seragam, yakni . Dengan demikian, diperoleh tabung-
tabung pipih dengan tinggi , lebar dan jejari sekitar = .

112
Tentunya untuk kurva yang meliuk-liuk jejari tabungnya tidak seragam,
tetapi dengan memilih yang sangat kecil maka kesalahan juga dapat
dibuat sangat kecil. Dengan menggunakan analogi luas selimut tabung,
diperoleh:
l m n=2 i− i l m n
l m n=2
Dimana =√ + (ingat seragam). Dengan mengingat
pembahasan pada bagian 8.3 mengenai panjang kurva, maka diperoleh
luas selimut tiap segmen adalah

2 √ + =2 1+

Dengan demikian sehingga luas total selimut benda putar untuk


= hingga = adalah

=2 ∫ √1 + ( ) (4.52)

Problem:

Menghitung Luas Permukaan dan Volume Kerucut Terpancung

Carilah luas permukaan dan volume dari kerucut terpancung seperti


gambar di bawah ini.

Tinggi benda 𝑡 = 8 cm, jari-jari lingkaran alas 𝑅 = 1 cm dan jari jari


lingkaran tutup 𝑅 = 6 cm.

113
Problem:

Toricelli’s Trumpet dan Painter’s Paradox

Toricelli’s Trumpet atau Gabriel’s Horn adalah bentuk geometri yang


dibentuk dengan memutar kurva y = 1/x dengan batas x = 1 hingga x menuju
tak hingga.
1
𝑦= 𝑥= 1
𝑥
Hasil pemutaran itu akan membentuk permukaan dua dimensi dalam
dimensi tiga. Dengan menggunakan kalkulus, dapat diperoleh volume dan
luas permukaan dari terompet Toricelli.
𝑏
𝑉=𝜋 𝑦 𝑑𝑥
𝑎
𝑏
1 1𝑏 1
𝑉=𝜋 𝑑𝑥 = 𝜋 [− ] = 𝜋 (1 − )
𝑥 𝑥 𝑏
𝑏
𝑑𝑦
𝐴 = 2𝜋 𝑦 1+( ) 𝑑𝑥
𝑎 𝑑𝑥
1
𝑏 √1 + 𝑏
𝑥 √1
𝐴 = 2𝜋 𝑑𝑥 2𝜋 𝑑𝑥 = 2𝜋 ln 𝑏
𝑥 𝑥
Nah, jika diambil nilai b  ∞, diperoleh volume dan luas permukaan
dari Terompet Toricelli
1
𝑉 = lim 𝜋 (1 − ) = 𝜋 1 − = 𝜋
𝑏→ 𝑏
𝐴 lim 2𝜋 ln 𝑏 =
𝑏→
Ternyata diperoleh volume dari Terompet Toricelli berhingga, yakni π,
tetapi luas permukaannya tak hingga. Lho, kok bisa?

Painter’s Paradox
Seandainya Terompet Toricelli itu eksis, maka terompet itu hanya bisa
menampung cat sebanyak π satuan volume, padahal panjang(dalam)-nya tak
hingga! Kira-kira jika tetes-tetes cat dituang ke dalam terompet dengan
kelajuan v, kapan ia sampai ke dasar? Kapan terompet akan penuh —
mengingat kedalaman Terompet Toricelli tak hingga? Tapi bagaimanapun
kita bisa pastikan terompet akan penuh mengingat volumenya berhingga.
Berikutnya lagi adalah, Terompet Toricelli hanya mampu menampung
cat sebanyak π satuan volume, tetapi karana luasnya tak hingga, apakah kita
perlu tak hingga banyaknya cat untuk mengecat permukaannya?
Cobalah menjelaskannya!

114
Turunan Parsial dan Turunan
Bab 5
Berarah

1. Fungsi n Variabel
Sebelumnya kita telah mempelajari turunan dan integral dari fungsi satu
variabel, yakni = , = , dan sebagainya. Nyatanya, dalam kehidupan
banyak pula permasalahan tidak hanya melibatkan satu variabel, melainkan
lebih. Fungsi yang melibatkan dua variabel disebut fungsi dua variabel, fungsi
yang melibatkan tiga variabel disebut fungsi tiga variabel, dan seterusnya.
Biasanya fungsi yang memuat lebih dari dua variabel sudah dapat dikatakan
fungsi banyak variabel.
Seperti halnya fungsi satu variabel, penulisan fungsi dapat diperjelas
dengan menuliskan variabel-variabelnya dalam kurung, misal V merupakan
fungsi dari x, y, dan z, dapat dituliskan = atau . Secara umum
dapat dituliskan fungsi n variabel sebagai
= (5.1)
Contoh fungsi banyak variabel misalnya fungsi gelombang yakni
= in −
Atau misalkan tabung yang direbahkan di bidang datar lalu diisi air, maka
fungsi volum terhadap jejari tabung (r), panjang tabung (l), dan ketinggian air (t)
ialah

2 − 2( o ) −
= + − in ( o )
2
Dan beragam fungsi lainnya lagi. Jika digambarkan dalam grafik, fungsi
satu variabel dapat digambarkan dalam dua dimensi, yakni satu sumbu untuk
variabel dan satu sumbu untuk hasil fungsi. Untuk fungsi dua variabel butuh
ruang tiga dimensi untuk menggambarkannya, yakni dua sumbu untuk variabel
dan satu sumbu untuk hasil fungsi. Demikian seterusnya fungsi n variabel hanya

115
dapat digambarkan dalam n + 1 dimensi. Namun demikian gambar grafik tiga
dimensi dapat diproyeksikan agar dapat digambarkan di atas kertas.

Contoh:
1. Gambarkan grafik fungsi = = − 2 + 3!
Jawab:
Jika x = 0 dan z = 0, = 1 5
Jika y = 0 dan z = 0, = −3
Jika x = 0 dan y = 0, = 3
Grafiknya dalam proyeksi

2. Gambarkanlah grafik dari fungsi = √4 − −


Jawab:
Fungsi = √4 − − tidak lain adalah persamaan [permukaan] bola
berjejari 2, + + = 4, sehingga grafiknya seperti berikut ini.

2 Y
2
X

116
2. Turunan Parsial
2.1. Definisi Turunan Parsial
Dari pembahasan pada subbab 1, diketahui fungsi dua variabel,
misalkan memiliki dua variabel. Lalu apa makna dari turunannya?
bagaimana cara kita menurunkannya? Tentunya karena memiliki dua
variabel, ada dua kemungkinan turunannya yakni terhadap x dan terhadap
y. Turunan parsial fungsi f terhadap x di setiap titik (x,y) dinotasikan dengan
didefinisikan sebagai:

= lim →0 (5.2)

Apabila limitnya ada. Dengan cara yang sama turunan parsial fungsi f
terhadap y di setiap titik (x,y) dinotasikan dengan didefinisikan sebagai:

= lim →0 (5.3)

Apabila limitnya ada. Selain notasi di atas, beberapa notasi yang sering
digunakan untuk menyatakan turunan parsial misal untuk =
antara lain

= = = =

= = = =

Dalam ilmu matematika biasanya lebih banyak digunakan notasi


dan yang lebih ringkas, sedangkan dalam fisika dan ilmu

terapan lain lebih banyak digunakan notasi Leibniz atau yang

penulisannya lebih ribet (sebaiknya tidak digunakan jika tinta pulpen


hampir habis) tetapi maknanya lebih kentara apalagi jika sudah berkaitan
dengan persamaan diferensial yang rumitnya bikin pusing.

2.2. Turunan Parsial n Variabel


Telah diberikan penjelasan pada bagian 2.1. mengenai turunan parsial
pada fungsi dua variabel. Tentunya untuk fungsi lebih dari dua variabel (n

117
variabel) dapat dikenakan hal yang sama. Andaikan diberikan fungsi n
variabel dari x1, x2, x3, …, xn dengan persamaan
=
Bila turunan-turunan parsialnya ada, turunan-turunan parsialnya
diberikan oleh

= = = = (5.4)

Jadi, untuk fungsi tiga variabel dari x, y, z, yang persamaan fungsinya


diberikan oleh
=
Maka turunan-turunan parsialnya adalah

= = =

Untuk menghitung fungsi turunan parsialnya dapat digunakan metode


yang telah dibahas pada bagian 2.1. Misalkan turunan parsial terhadap x
yakni , maka variabel y dan z dianggap sebagai konstanta. Demikian pula
dan dapat diperoleh dengan cara serupa.

2.3. Turunan Parsial Orde Tinggi


Seperti halnya turunan fungsi satu variabel, turunan parsial fungsi n
variabel juga dapat diturunkan beberapa kali (turunan orde tinggi).
Misalkan fungsi = dapat diturunkan parsial terhadap x, y, dan z,
maka dan merupakan turunan parsial orde pertama. Bila dan
masih dapat diturunkan lagi (terhadap variabel yang sama atau
berbeda), semisal atau , maka dan disebut turunan parsial
orde dua.

= = ( )=

= = ( )=

118
= = { ( )} =

dan seterusnya…
Proses demikian tidak lain merupakan proses menurunkan fungsi
secara parsial berturut-turut terhadap variabel-variabel yang dimaksud.

3. Aturan Rantai Fungsi Implisit


3.1. Aturan Rantai I
Kita telah membahas aturan rantai pada bab 3, yakni pada bagian
turunan fungsi komposisi satu variabel. Jika fungsi z merupakan fungsi dua

variabel, = yang mempunyai turunan parsial dan , di mana x

dan y sendiri dapat dinyatakan sebagai fungsi satu variabel = dan


= maka = dapat didiferensialkan terhadap t, yang diberikan
oleh

= + (5.5)

Mengingat x dan y sama-sama merupakan fungsi dari t, maka biasanya


aturan rantai ini dapat dituliskan menjadi

= + (5.6)

Aturan rantai jenis pertama ini berlaku pula untuk z fungsi lebih dari
dua variabel.

3.2. Aturan Rantai II


Pada bagian 3.1. telah dielaskan aturan rantai bila sub-fungsi dari
fungsi n-variabel (dalam kasus sebelumnya ialah fungsi x(t) dan y(t))
merupakan fungsi satu variabel. Bagaimana bila sub-fungsinya juga
memiliki lebih dari satu variabel? Andaikan fungsi fungsi z merupakan

fungsi dua variabel, = mempunyai turunan parsial dan , di

mana x dan y sendiri merupakan fungsi dua variabel = dan

119
= yang juga memiliki turunan parsial pertama di (r,t), maka
= dapat didiferensialkan secara parsial terhadap r dan t yang
diberikan oleh

= + (5.7)

= + (5.8)

Rumus aturan rantai ke-dua di atas juga dapat dikembangkan untuk


fungsi n variabel, di mana masing-masing variabel bebasnya (sub-fungsi)
juga merupakan fungsi m variabel.

3.3. Aturan Rantai pada Fungsi Implisit


Telah dibahas pada bab 3, fungsi implisit merupakan fungsi yang tidak
dapat dinyatakan dalam bentuk = dan di sini akan diperjelas. Dari
bentuknya, fungsi implisit satu variabel (misal y fungsi dari x) dapat
dipandang sebagai fungsi dua variabel dalam bentuk = . Ambillah
fungsi implisit + = 4 , dapat kita bentuk = sebagai
+ − 4 = . Dengan demikian dapat digunakan aturan rantai jenis
pertama
0
+ = (5.9)

Mengingat = 1, maka dihasilkan rumus:

=− (5.10)

Atau bila dianggap x fungsi dari y dihasilkan rumus:

=− (5.11)

Contoh:
1. Diketahui = + − , dengan = , = , dan = . Tentukanlah
sebagai fungsi t!

Jawab:
Setelah dicari, diperoleh:

120
=2 − , = +2 , = +2

= 1, =2 , =3

Dengan menerapkan aturan rantai pertama dihasilkan

= + +

= 2 − 1 + +2 2 + +2 3
= 2 − + 2 +4 + 3 −6
=4

2. Jarak antara dua titik di bidang datar 2 dimensi ( ) diberikan oleh rumus
Pythagoras, = + , sehingga elemen garis dalam koordinat kartesian
mengambil bentuk = + . Carilah persamaan elemen garis dalam
koordinat polar!
Jawab:
Jika dilakukan transformasi koordinat kartesian (x,y) ke dalam koordinat polar
(r,θ), diperoleh kaitan:
= o
= in
Dengan menggunakan aturan rantai I

= + = 2( ) +( ) 3 + 2( ) +( ) 3

= 2( ) +( ) 3 + 2( ) +( ) 3

Dengan mudah didapatkan nilai = o , =− in , = in , =

o . Bila disubstitusi pada persamaan di atas diperoleh


= o + in + in + o
Mengingat relasi trigonometri o + in = 1, maka elemen garis dalam
koordinat polar dua dimensi ialah
= +

121
3. Diketahui = ln √ + , dengan = dan = . Tentukanlah dan !

Jawab:

Diperoleh = dan = , serta

= , = , = , dan =−

Mengingat aturan rantai II

= +

= +

diperoleh:
+
= + =
+ + +

= + − =
+ + +

4. Misalkan fungsi = − o − = mendefinisikan z secara

implisit sebagai fungsi x dan y. Tentukanlah dan !

Jawab:
Pandang sebagai .
2 + in −
=− =
− in −
− o −
=− =
− in −

122
Kasus:

Mencari Lokasi Harta Karun


Pada suatu hari, Ambo menemukan amplop berisi kertas tua di lemari
peninggalan kakeknya. Ternyata kertas itu berisikan petunjuk mengenai
harta karun! Tetapi pada kertas itu hanya tertera deretan angka sebagai
berikut.

Setelah meneliti sejenak, Ambo menemukan di bagian dalam amplop tertulis


simbol-simbol aneh bin nggak jelas seperti berikut:
𝑢 = 𝜕𝑥 𝑦 + 2𝑥 𝑢 𝑑𝑥 2=7
Tolong bantulah Ambo memecahkan misteri ini untuk menemukan lokasi
harta karun. Ia mungkin akan membagi hartanya denganmu!

4. Diferensial Total dan Hampiran


Andaikan = adalah fungsi yang dapat dideferensialkan di ,
dan andaikan pula dx dan dy adalah variabel yang menyatakan perubahan nilai
variabel bebas x dan y. Diferensial total dari variabel terikat u ditulis du
didefinisikan sebagai

= + (5.12)

Sekarang kita akan berbicara tentang perubahan nilai fungsi (misal untuk
fungsi dua peubah) bila variabel x dan y mengalami perubahan masing-masing
sebesar dan . Dengan demikian, perubahan nilai u yang bersesuaian
dengan perubahan nilai dan tadi ialah
= 0 0 = 0 + 0 + − 0 0 (5.13)
Nah, di sini akan ditunjukkan hubungan antara perubahan nilai fungsi
dengan diferensial total fungsi itu. Bila dan cukup kecil, maka dipenuhi
hubungan
+ + + ≅ + + + (5.14.a)

123
Hal ini dengan mudah dibuktikan kebenarannya bila kita menggunakan
fungsi polinomial, semisal = + . Mengingat untuk +
+ . Persamaan 5.14.a di atas dapat kita ubah bentuknya menjadi
+ + − ≅ + − + + −

≅ +

≅ + (5.14.b)

Dapat disaksikan bahwa perubahan nilai fungsi bisa didekati


menggunakan diferensial total selama perubahan nilai variabel-variabel
bebasnya (dalam hal ini dan ) cukup kecil, sehingga dapat didekati dengan
dx dan dy (Ingatlah kembali definisi turunan, yaitu perubahan nilai fungsi dalam
selang → ).
0 0 0 0
0 0 +

Seandainya dan cukup kecil, maka nilai ini dapat menggantikan


dan dengan hasil yang cukup mendekati.
Untuk memahami diferensial total sebagai hampiran lebih jauh, mari
perhatikan contoh berikut. Misalkan = =2 − + 3 . Hitunglah
dan dz bila berubah dari (2,3) ke (2,01, 3,02).
= 0 + 0 + − 0 0 = 2 13 2 − 23
= 2 2 1 − 2 1 3 2 +3 3 2 − 2 2 − 2 3 +3 3
=− 3 8 2

Jika kita turunkan z secara parsial diperoleh =6 − dan

= −2 + 3, sehingga

+ = 6 2 − 3 1 + −2 2 3 + 3 2

− 3
Diperoleh bahwa merupakan hampiran yang cukup baik untuk .
Camkanlah sekali lagi perhitungan hampiran ini hanya berguna untuk
perubahan nilai yang kecil. Semakin besar perubahannya, semakin besar pula
galat yang diperoleh.

124
Contoh:
1. Seandainya Anda perlu mengetahui nilai √4 5 dan √26 , tetapi Anda lupa
membawa kalkulator (atau mungkin tidak tahu cara menggunakan kalkulator
ilmiah). Bagaimanakah cara untuk mendapatkan hampiran nilai √4 5 dan √26?
Jawab:

Kita dapat menuliskan persamaannya sebagai =√ = . Bila dipandang x


berubah dari 4 ke 4,5 (dx = 0,5) maka y berubah dari √4 ke √4 + (4 dan 25
kita pilih sebagai x0 karena telah diketahui dengan pasti akarnya).

= atau = .

= 5 =

Jadi √4 5 √4 + = 2 125
Dengan cara yang serupa diperoleh

√26 √25 + √
1 = 51

Jika dibandingkan dengan nilai yang diperoleh dari kalkulator, √4 5 = 2 1213


dan √26 = 5 99 .
Perhatikan rumus hampiran √ + merupakan dua suku pertama dari

ekspansi binomial √ + .
( )( )
+ = + + +

Well, banyak jalan menuju Roma…

2. Acok ditugaskan oleh guru matematikanya membuat balok dari karton dengan
ukuran panjang 20 cm, lebar 15 cm, dan tinggi 10 cm. Jika penggaris yang
digunakan Acok untuk mengukur memiliki nilai skala terkecil 1 mm, hitunglah
volume balok yang dibuat Acok dan kesalahan terbesar yang mungkin. Jangan
lupa laporkan pada pak satpam penulisan ilmiah dari hasil pengukuran Anda.
Jawab:

125
Volume balok dapat dinyatakan dalam fungsi tiga variabel = . Dengan
demikian, volume balok (tanpa galat) adalah = 2 15 1 =3 m .
Kesalahan pengukuran volume terjadi karena kesalahan pengukuran panjang,
lebar, dan tinggi, yakni lebih kurang setengah dari nilai skala terkecil
5 mm. Kesalahan pengukuran maksimumnya ialah:

+ + = + +

15 1 5 + 2 1 5 + 2 15 5 = 32 5 m
Kesalahan relatifnya ialah = 1 8 . Dengan demikian, dapat kita
000

laporkan pada pak satpam volume balok tadi ialah = 3 32 5 m .

Problem:

Ketidakpastian pengukuran

Hitung ketidakpastian maksimum hambatan total dari dua resistor yang


disusun paralel, di mana 𝑅 = 1 Ω dan 𝑅 = 2 Ω, dengan toleransi kedua
resistor masing-masing 5%.
Petunjuk:
Rumus hambatan total untuk rangkaian resistor yang disusun paralel adalah
=𝑅 +𝑅 + +𝑅
𝑅 𝑛

5. Gradien dan Turunan Berarah


5.1. Gradien
Misalkan adalah fungsi dua variabel dan , dan mempunyai
turunan-turunan parsial dan , maka gradien yang
dinyatakan dengan = grad (baca: del ) didefinisikan sebagai
berikut
= +
Dimana = <1,0> dan = <0,1> masing-masing menyatakan vektor
satuan yang searah sumbu dan sumbu .

126
Demikian pula dengan fungsi tiga variabel, misalkan adalah
fungsi tiga variabel dari , , dan , dan mempunyai turunan-turunan
parsial , , dan , maka gradien yang
dinyatakan dengan = grad didefinisikan sebagai berikut
= + +
Dimana = <1,0,0>, = <0,1,0>, dan = <0,0,1> masing-masing
menyatakan vektor satuan yang searah sumbu , sumbu , dan sumbu .
Dengan notasi diferensial

= + +

Gradien menjadi
=

= + + (5.15)

Contoh:
1. Jika = + , hitunglah gradien di titik (-1,2)
Jawab:
Dari = + , diperoleh:
= + = +
Menurut definisi gradien di sembarang titik diberikan oleh
= 6 +6 + 3 +4
Sehingga gradien di titik (-1,2) diberikan oleh
− = − + + − + − = −

5.2. Turunan Berarah


Misalkan dan adalah fungsi dua variabel dari dan , dan
mempunyai turunan parsial dan . Misalkan pula
titik di , dan = + adalah sebuah vektor satuan. Maka turunan
berarah di titik dalam arah vektor ditulis
didefinisikan oleh

127
=
= + +
= +
Misalkan , dan adalah fungsi tiga variabel dari , dan , dan
mempunyai turunan parsial , dan . Misalkan
pula titik di , dan = + + adalah sebuah vektor
satuan. Maka turunan berarah di titik dalam arah vektor
ditulis didefinisikan oleh
=
= + + + +
= + +

128
Bab 6 Aplikasi Turunan dan Integral

1. Aplikasi Turunan
Beberapa contoh aplikasi turunan ialah untuk menghitung kecepatan dan
percepatan sesaat, limit fungsi yang menghasilkan bentuk tak tentu, masalah-
masalah ekstremum dan lain-lain.

1.1. Kecepatan dan Percepatan Sesaat


Misalkan bahwa benda bergerak sepanjang lintasan yang
berbentuk garis lurus. Gerak benda demikian disebut sebagai gerak lurus.
Ketika detik, benda menempuh panjang lintasan (juga disebut jarak)
meter terhadap titik asal . Panjang lintasan dapat dinyatakan dalam
fungsi waktu sebagai = , seperti diperlihatkan pada gambar di
bawah ini.

Titik acuan detik


=

Gambar 6.1.

Penting untuk diketahui bahwa meskipun benda bergerak sepanjang


lintasan garis lurus tetapi = tidaklah harus berbentuk linear.
Misalkan pada waktu t detik, benda P berada pada . Setelah
detik kemudian, yaitu pada + detik, benda P berada pada + .
Dengan adanya pertambahan waktu sebesar akan mengakibatkan
pertambahan panjang lintasan sebesar , dan pertambahan panjang

129
lintasan itu ditentukan oleh = + − . Masalah ini dapat
divisualisasikan melalui gambar berikut ini.

Pertambahan panjang lintasan


= + −

Pertambahan waktu
𝑡
𝑡 𝑡+ 𝑡

Gambar 6.2.

Kecepatan
Kecepatan rata-rata gerak benda P dalam interval waktu detik ditentukan
oleh
+ −
=

Kecepatan sesaat gerak benda P pada waktu t detik diperoleh dari


proses pelimitan kecepatan rata-rata ketika mendekati nilai nol.
Dengan demikian, kecepatan sesaat itu ditentukan dengan proses
limit sebagai
+ −
lim = lim = =
→ →

Kecepatan gerak dari suatu benda biasanya dilambangkan dengan


dalam satuan m/detik, sehingga hubungan antara panjang lintasan dan
kecepatan dapat dituliskan sebagai berikut.

= (6.1)

Hubungan di atas menunjukkan bahwa kecepatan gerak dari sebuah


benda merupakan turunan pertama dari panjang lintasan terhadap
waktu . Dengan perkataan lain, kecepatan sesaat adalah laju perubahan
panjang lintasan terhadap waktu . Besar atau nilai skalar dari kecepatan

130
pada waktu t detik disebut laju dan laju dideefinisikan sebagai nilai mutlak
kecepatan. Jadi,

p = =| |

Berdasarkan teorema fungsi naik, fungsi turun, dan fungsi stasioner,


tingkah laku lintasan (bertambah, berkurang, atau tetap) dapat diamati
dengan memeriksa tanda-tanda dari (positif, negatif, atau nol) dalam
suatu interval waktu tertentu. Hubungan tingkah laku s dengan dapat
diungkapkan sebagai berikut.
Misalkan panjang lintasan sebagai fungsi waktu ditentukan oleh

= dalam interval waktu t dan = ada untuk setiap nilai dalam

interval itu.
1. Jika = untuk , maka naik pada interval

Arti fisis dari naik adalah benda bergerak dengan bergerak dengan
nilai panjang lintasan s yang semakin bertambah.
2. Jika = untuk , maka turun pada interval

Arti fisis dari turun adalah benda bergerak dengan bergerak dengan
nilai panjang lintasan s yang semakin berkurang.
3. Jika = = untuk , maka stasioner pada interval

Arti fisis dari stasioner adalah benda tidak bergerak atau diam
sesaat.

Percepatan
Misalkan bahwa kecepatan gerak dari sebuah benda juga merupakan
fungsi waktu atau berubah terhadap . Laju perubahan kecepatan
terhadap waktu disebut percepatan dari gerak benda tersebut. Percepatan
pada waktu detik biasanya dilambangkan dengan dengan satuan
m/detik2. Dengan demikian, hubungan antara percepatan dengan kecepatan
dan percepatan dengan panjang lintasan dapat ditentukan sebagai berikut.

131
= = ( )= (6.2)

Hubungan di atas menunjukkan bahwa percepatan gerak benda


merupakan turunan pertama dari kecepatan terhadap waktu atau
turunan kedua dari panjang lintasan terhadap waktu t.
Dengan menggunakan pemikiran yang sama seperti halnya dalam
hubungan tingkah laku dengan , hubungan tingkah laku kecepatan
dengan percepatan dapat diungkapkan sebagai berikut.
Misalkan kecepatan sebagai fungsi waktu ditentukan oleh

= dalam interval waktu dan = ada untuk setiap nilai

dalam interval itu.


1. Jika = untuk , maka naik dalam interval

Arti fisis naik adalah benda bergerak dengan nilai kecepatan yang
semakin bertambah atau benda bergerak dipercepat.
2. Jika = untuk , maka turun dalam interval

Arti fisis naik adalah benda bergerak dengan nilai kecepatan yang
semakin berkurang atau benda bergerak diperlambat.
3. Jika = − untuk , maka stasioner dalam interval

Arti fisis naik adalah benda bergerak dengan nilai kecepatan yang
tetap atau benda bergerak tidak dipercepat maupun diperlambat.
Selanjutnya, tingkah laku laju benda dapat ditentukan dengan
mengamati tanda-tanda dari dan secara bersamaan sebagai berikut.
1. Jika dan bertanda sama ( dan atau dan ), maka
laju benda naik atau bertambah.
2. Jika dan berlainan tanda ( dan atau dan ),
maka laju benda turun atau berkurang.

132
1.2. Aturan l’Hopital
Turunan fungsi di suatu titik dapat diartikan sebagai gradien dari
suatu garis singgung pada kurva, kecepatan sesaat, percepatan dan lain
sebagainya. Turunan sebagai gradien garis sangat penting untuk dipahami
karena sebenarnya dari situlah konsep turunan berasal.
Di dalam kajian tentang limit, berlaku sebuah teorema yang
mengatakan sebagai berikut.

Jika lim → = dan lim → = , maka lim → =


=

Dengan catatan bahwa lim → =


Teorema tersebut menjadi tidak berlaku apabila lim → = dan
lim → = atau
lim → = dan lim → =
lim →
Jika lim → = dan lim → = , maka bentuk lim →

disebut bentuk tak-tentu pada = . Sedangkan jika lim → =


lim →
dan lim → = , maka lim disebut bentuk tak-tentu pada

= .

Dengan demikian, bentuk tak-tentu dan dapat didefinisikan

sebagai berikut.
Misalkan dan fungsi-fungsi yang mempunyai limit di seitar
= .

 Jika lim → = dan lim → = , maka bentuk lim →

dinamakan bentuk tak-tentu pada = .

 Jika lim → = dan lim → = , maka bentuk lim →

dinamakan bentuk tak-tentu pada = .

133
Cara menghitung bentuk tak-tentu dari limit fungsi, yaitu dengan
menggunakan teknik perhitungan manipulasi aljabar. Misalnya:

 Limit fungsi aljabar yang berbentuk , teknis perhitungannya dengan

menggunakan metode pemfaktoran.


Contoh:
− − +
lim = lim = lim + = + =
→ − → − →

 Limit fungsi trigonometri yang berbentuk , teknis perhitungannya

dengan menggunakan manipulasi aljabar dan bantuan rumus.


Contoh:
sin sin sin
lim = lim = lim = =
→ → →

 Limit fungsi aljabar yang berbentuk , teknis perhitungannya dengan

menggunakan pembagian pangkat tertinggi dari penyebut.


Contoh:

+ + +
lim = lim = =
→ − →
− −

Dalam subbab ini akan diperkenalkan teknik lain untuk menghitung


limit fungsi yang berbentuk tak tentu menggunakan bantuan turunan yang
dikenal sebagai Teorema L’Hôpital. Teorema ini pertama kali
diperkenalkan oleh seorang ahli matematika dari Perancis yang bernama
Guillaume Francois L’Hôpital (1661-1707).

134
Teorema L’Hôpital:
Misalkan 𝑓 𝑥 dan 𝑔 𝑥 adalah fungsi-fungsi yang diferensiabel pada setiap titik
dalam interval terbuka 𝐼.
𝑓 𝑥
Jika 𝑔 𝑥 untuk setiap 𝑥 𝑎 pada 𝐼 dan jika lim𝑥→𝑎 mempunyai bentuk
𝑔 𝑥
tak-tentu atau pada 𝑥 = 𝑎, maka
𝑓 𝑥 𝑓 𝑥
lim = lim
𝑥→𝑎 𝑔 𝑥 𝑥→𝑎 𝑔 𝑥
𝑓 𝑥
Dengan catatan bahwa lim𝑥→𝑎 ada.
𝑔 𝑥
𝑓 𝑥
Dalam hal lim𝑥→𝑎 masih mempunyai bentuk tak-tentu, maka proses
𝑔 𝑥
𝑓 𝑥
perhitungan diteruskan dengan menggunakan turunan kedua lim𝑥→𝑎 =
𝑔 𝑥
𝑓 𝑥
lim𝑥→𝑎 , . . . , demikian seterusnya sehingga diperoleh nilai limitnya.
𝑔 𝑥

Contoh:
Hitunglah limit-limit fungsi berikut ini.

a. lim →

sin
b. lim →

c. lim →

Jawab:

a. Bentuk lim → merupakan bentuk tak-tentu pada =

lim → = lim → = =
sin
b. Bentuk lim → merupakan bentuk tak-tentu pada =
sin cos
lim = lim = =
→ →

c. Bentuk lim → merupakan bentuk tak-tentu pada mendekati


+
lim = lim =
→ − →

135
1.3. Masalah Ekstremum Fungsi
Telah dibahas pada bab 3 mengenai ekstremum suatu fungsi. Titik
stasioner suatu fungsi = terdapat pada nilai x yang memenuhi

=
Juga telah dibahas bahwa titik stasioner itu dapat berupa titik
maksimum, titik minimum, atau sekadar titik belok. Menggunakan uji
turunan ke-dua yang juga telah dibahas pada bab 3 diketahui
′′
1. Bila , maka titik stasioner itu merupakan nilai minimum.
′′
2. Bila , maka titik stasioner itu merupakan nilai maksimum.
′′
3. Bila = , maka titik stasioner itu bukan niai ekstrim.
Berikutnya kita akan membahas nilai ekstrim suatu fungsi, yakni
nilai maksimum atau nilai minimum suatu fungsi dalam selang lokal. Jika
memiliki titik stasioner dalam suatu selang, maka pastilah titik
stasioner itu merupakan nilai ekstrim (maksimum atau minimum). Adapun
bila tidak memiliki titik stasioner, dapat saja memiliki nilai
ekstrim dalam selang tertutup. Misalkan = 2 + 3 merupakan fungsi
linear sehingga tidak punya titik stasioner. Tetapi bila kita memilih suatu
selang tertutup 2 5 , maka kita dapatkan nilai maksimum fungsi dalam
selang 2 5 ialah 5 = 13 dan titik minimumnya ialah 2 = 7. Jadi dapat
dikatakan 2 dan 5 ialah titik-titik kritis (minimum dan maksimum) dari
fungsi . Jadi bila merupakan nilai ekstrim dalam interval I, maka
adalah titik kritisnya. Dengan demikian terdapat tiga kemungkinan titik-titik
kritis itu yakni:
1. Titik ujung dari selang I.

2. Titik stasioner dari , di mana =
3. Titik singular dari , di mana tidak ada.
Dalam subbab ini akan ditunjukkan bagaimana menemukan nilai
ekstrim (maksimum dan minimum) dan titik-titik kritis (titik yang
memetakan nilai ektrim) suatu fungsi yang biasa (atau mungkin terkadang)
muncul dalam kehidupan sehari-hari.

136
Contoh, misalkan Pak Alejandro ingin memasang pagar kawat
sepanjang 150 m berbentuk seperti pada gambar. Agar luas total daerah
yang dipagari maksimum, tentukanlah panjang dan lebar kawat.

x
Syarat yang diberikan dalam permasalahan ini adalah panjang total
kawat, yakni 2 + 3 = 15 m atau =5 − . Yang ingin dimaksimalkan

di sini adalah luas daerah yang dipagari, sehingga kita harus mancari fungsi
dari luas yang tidak lain adalah:
2 2
= = (5 − )=5 −
3 3

Untuk memaksimalkan luas, x haruslah memenuhi = = .

5 − = ; = 37 5

Dan diperoleh pula =5 − 37 5 = 25 . Luas maksimumnya

= = 937 5 m .

Contoh:
1. Jumlah dua bilangan sama dengan 40. Tentukanlah hasil kali bilangan itu yang
terbesar.
Jawab:
Misalkan bilangan-bilangan itu x dan y, sehingga + = 4 atau =4 −
Misalkan hasil kali kedua bilangan itu u, maka = 4 − =4 −
dengan 4 . Nilai x maksimal jika =
4 −2 = atau =2
′′
Karena 2 = − (negatif), maka menurut uji turunan ke-dua nilai ekstrim ini
ialah nilai maksimum. Akhirnya diperoleh = =4 2 −2 =4 .

137
2. Sehelai karton berbentuk persegi dengan
panjang rusuk 9 cm. Pada keempat sudutnya
akan digunting persegi yang berukuran sama
sehingga membentuk sebuah jaring-jaring.
Selanjutnya karton tersebut dilipat sedemikian
rupa sehingga menghasilkan balok tanpa tutup
seperti pada gambar. Tentukanlah volume
kotak yang paling besar yang dapat dibuat.
Jawab:
Jika jaring-jaring itu dilipat, akan menghasilkan persegi panjang dangan panjang
dan lebar − 2 dan tinggi , sehingga volume kotak dapat diberikan dalam
persamaan
= −2 −2 =4 − 36 + 81

Dengan nilai x yang memenuhi berada dalam selang * + . Syarat untuk

memaksimalkan atau meminimalkan V ialah mencari nilai x yang memenuhi



= .
12 − 72 + 81 =
− 24 + 27 =
3 2 −4 2 −9 =
Jadi diperoleh nilai ekstrim = dan = yang keduanya terletak dalam selang

* +. Untuk mengetahui mana yang memberikan nilai maksimum, kita dapat

langsung menyubstitusikan nilai-nilai ekstri tadi atau kita dapat melakukan uji
turunan ke-dua.
′′
= 24 − 72
′′ ′′
Diperoleh untuk = , = −36 dan untuk = = 36. Dari teorema

sebelumnya diketahui ekstrim maksimum memiliki nilai turunan ke-dua < 0 pada
titik itu dan ekstrim minimum memiliki nilai turunan ke-dua > 0 pada titik itu.
Dengan demikian diperoleh nilai x yang dimaksud adalah = , dan volumenya

( ) = 54 m

138
2. Aplikasi Integral
Integral memiliki banyak aplikasi di berbagai bidang. Selain untuk
menentukan panjang kurva, luas daerah, dan volum benda putar seperti yang
telah dibahas sebelumnya, integral juga digunakan untuk menentukan pusat
massa benda, menghitung momen inersia, pemodelan pertumbuhan populasi,
dan banyak lagi. Berikut beberapa masalah-masalah fisika yang memerlukan
operasi integral.

2.1. Menentukan Pusat Massa Benda


Turunan fungsi di suatu titik dapat diartikan sebagai gradien dari
suatu garis singgung pada kurva, kecepatan sesaat, percepatan dan lain
sebagainya. Turunan sebagai gradien garis sangat penting untuk dipahami
karena sebenarnya dari situlah konsep turunan berasal.
Interaksi antar materi seringkali merupakan interaksi banyak titik
materi. Pada sistem banyak titik, selain terdapat gaya eksternal (Fe) juga
terdapat gaya internal (Fij) antar titik-titik dalam benda. Untuk itu
diperkenalkan pusat massa, di mana gaya aksi yang diberikan ke setiap titik
materi dipandang sama dengan gaya aksi yang diberikan pada pusat massa
suatu sistem materi tunggal. Contoh sederhananya saat kita melempar bola
ke atas, sebenarnya semua titik pada materi mendapatkan gaya aksi yang
besarnya kita sebut Fi. Namun akan lebih sederhana jika kita menganggap
bola itu sebagai satu titik materi saja, yakni pada pusat massanya.
Pusat massa suatu benda ialah titik di mana gaya internal pada
sistem massa sama dengan nol. Untuk benda simetris yang homogen, letak
pusat massa tentulah berada tepat di tengah-tengah benda. Lalu, bagaimana
untuk benda yang tidak simetris?
Ambillah persamaan gaya yang bekerja pada sistem banyak titik

+ = =

139
Jika kita mengambil suatu titik di mana gaya internalnya nol,
diperoleh

= =

Titik itu haruslah mewakili keseluruhan sistem secara makroskopis,


sehingga notasi sumasi di ruas kiri menjadi lenyap. Titik itulah yang kita
sebut sebagai pusat massa, yang berjarak R dari sembarang pemilihan
kerangka acuan.

∑ 1
= =

Akhirnya diperoleh

Di sini akan dibahas cara menentukan pusat massa benda homogen.


Pendekatannya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu diskret dan kontinu.
Misal untuk gambar di bawah ini.

X
Gambar 6.3. Bangun ruang yang tersusun dari empat kubus.

Jika kubus-kubus kecil penyusunnya memiliki rusuk 4 cm dan massa


m, di manakah letak pusat massa benda itu? Kita akan menghitungnya
bagian-demi bagian dan parameter demi parameter (x, y, z).
kubus pertama (paling kiri)

140
r1(x,y,z) = (2,2,2)
kubus ke-dua (tengah)
r2(x,y,z) = (2,6,2)
kubus ke-tiga (depan)
r3(x,y,z) = (6,6,2)
kubus ke-empat (atas)
r4(x,y,z) = (2,6,6)
Karena semua kubus kecil memiliki massa yang sama, m, maka pusat
massanya, R ialah:
∑ 2 +2 +6 +2
= = =3
∑ + + +
∑ 2 +6 +6 +6
= = =5
∑ + + +
∑ 2 +2 +2 +6
= = =3
∑ + + +
Akhirnya diperoleh R = (3,5,3).
Contoh tadi adalah untuk benda yang bisa didekati dengan metode
diskret. Bagaimana dengan pelat berbentuk segitiga siku-siku?

Gambar 6.4.

Untuk benda semacam ini kita dapat memecahnya menjadi segmen-


segmen kecil lalu dijumlahkan (jumlahan Riemann). Berbicara tentang
penjumlahan Riemann artinya kita akan bersinggungan dengan integral.
Dalam bentuk integral, persamaan pusat massa dapat dituliskan

141
1
=

Di mana dm ialah elemen massa, atau massa dari tiap-tiap segmen. Di


sini kita mendefinisikan massa jenis σ (massa per satuan luas), yakni = .

Karena luas segitiga di atas ialah ½ a.b, maka:


2
= → =
2
Mengingat segitiga siku-siku dapat kita nyatakan dalam persamaan
garis y(x) = mx = bx/a, diperoleh luas tiap segmen yang berbentuk segi
empat (dA) tidak lain adalah dx × y(x) sehingga elemen massa
= =
Sekarang kita sudah bisa memulai menghitung pusat massa segitiga.
1
=
0

1
=
0

1
= =
0 0

= 0 1 =
3 0
3

Substitusi kembali = , akhirnya diperoleh


2
=
3
Akhirnya ketemu juga, tapi itu baru absisnya, belum ordinatnya. Cara
mencari Ry serupa, hanya saja Anda harus mengubah fungsinya menjadi
x(y) = ay/b. Perhatikan bahwa panjang segmen bukanlah x(y), melainkan

− = (1 − ), lalu integrasikan terhadap y, nanti akan diperoleh

bentuk
1
=
0

142
Ingatlah yang merupakan massa luasan segitiga bukanlah
melainkan − , sehingga:
1
= (1 − ) =
0 6
Pada akhirnya pusat massanya ialah
2 1
=( )
3 3

2.2. Menentukan Momen Inersia Benda


Momen inersia atau momen kelembaman (I) merupakan besran fisis
yang menunjukkan kecenderungan benda untuk berputar. Momen inersia
analog dengan massa pada gerak translasi. Benda dengan momen inersia
kecil berarti benda itu mudah diputar, sebaliknya momen inersia besar
berarti benda itu sulit diputar (memerlukan gaya yang lebih besar untuk
mulai berputar). Mengingat ini buku matematika, maka penjelasan fisis
mengenai momen inersia tidak akan dibahas secara rinci di sini, dengan
demikian langsung saja dinyatakan momen inersia suatu partikel titik pada
suatu sumbu putar ialah:
=
Dengan m massa partikel dan r jarak partikel ke sumbu putar.
Jelaslah momen inersia benda bergantung terhadap massa dan jaraknya
terhadap sumbu putar. Tidak hanya itu, momen inersia merupakan tinjauan
setiap partikel dan jaraknya, sehingga untuk benda makroskopik (terdiri
dari banyak partikel), besarnya momen inersia dinyatakan dalam

= =

Jadi momen inersia juga bergantung pada bentuk geometri benda.


Misalkan sebuah batang homogen dengan panjang L dan massa M akan
diputar dengan poros di ujung batang, berapakah momen inersianya?
Ingatlah bahwa tiap titik pada batang memiliki jarak yang berbeda
terhadap sumbu putar. Oleh karena itu kita iris-iris batang sejajar sumbu

143
putar setipis mungkin hingga tiap irisan memiliki ketebalan sebesar titik.
Dengan demikian diperoleh segmen-segmen dengan massa tiap segmen
sama, yakni dm (disebut juga elemen massa) dan jarak dari sumbu putar .

Gambar 6.5.

Mengingat jarak ke sumbu putar hanya bergantung terhadap sumbu


X, maka elemen sumbu Y dan Z dapat diabaikan sehingga dapat digunakan
definisi massa per satuan panjang, .
= n =
= ∫0
Substitusi nilai dm dengan agar dapat diintegralkan.

= ∫0 = | =
0

Substitusi balik nilai = , sehingga diperoleh = .

Jadi telah kita dapatkan momen inersia batang homogen yang


diputar pada ujungnya. Bagaimana jika batang diputar dengan sumbu
melalui tengah batang? Caranya serupa, hanya bila pada kasus sumbu di
ujung batang kita integralkan dari x = 0 ke x = L, maka bila sumbu di tengah
batang kita integralkan dari x = -L/2 ke x = L/2.
1 1 1
= = | = 2 − .− /3 =
3 3 8 8 12

Substitusikan lagi = , diperoleh = .

144
Gambar 6.6.

Contoh:
1. Carilah momen inersia cakram bermassa M dan jari-jari R yang diputar pada
sumbu tegak lurus penampangnya melalui pusat cakram.
Jawab:
Bayangan cakram dibelah menjadi cincin-cincin konsentris (sepusat) dangan
ketebalan seragam dr dan jarak dari pusatnya ri. Anggap sumbu putar itu adalah
sumbu Z, massa cakram ialah
= =
Sekarang bayangkan cincin-cincin itu dibentangkan seperti pita, maka luas tiap
segmen ialah panjang kali lebarnya yakni = 2 . Dengan demikian
elemen massanya
= = 2

= ∫0 = ∫0 2 = | =
0

Substitusi balik = , diperoleh = .

Catatan:
Mengapa elemen luas cincin bisa dimodelkan dengan pita persegi panjang ialah karena
lebar cincin yang sangat kecil, sehingga bisa diluruskan. Jika tetap digunakan rumus luas
segmen lingkaran diperoleh
= −
Mengingat = + , maka diperoleh − = + − =2 + .
Karena dr sangat kecil, maka 2 + ≅2 , sehingga elemen luasnya 2 ,
hasil yang sama dengan sebelumnya.

145
Problem:

Momen Inersia Bola Pejal Homogen

Sebuah bola pejal (tidak berongga) homogen mempunyai massa M dan jari-
jari R. Carilah momen inersia bola terhadap sumbu yang melalui pusat bola,
misal sumbu Z.

Tips: Bola dapat dibelah-belah tegak lurus sumbu Z menjadi pelat-pelat


dengan ketebalan menuju nol dan jejari 𝑦 = √𝑅 − 𝑧 . Z
Momen inersia pelat homogen ialah
y
𝐼𝑍 = 𝑀𝑅 sehingga momen inersia
z R
elemen pelat 𝑑𝐼𝑍 = 𝑦 𝑑𝑚. Y

(Jawab: 𝐼 = 𝑀𝑅 )

Teorema Sumbu Sejajar

Teorema sumbu sejajar menyatakan:


“Momen inersia benda tegar terhadap sumbu yang sejajar dengan sumbu
yang melalui pusat massa benda tegar adalah senilai dengan momen inersia
terhadap sumbu yang melalui pusat massanya ditambah hasil kali antara
massa benda dengan kuadrat jarak dari kedua sumbu sejajar itu (l)”.

𝐼 ′ = 𝐼𝑍 + 𝑀𝑙

Buktikanlah kebenaran teorema ini dan cari pula momen inersia bola pejal
di atas bila sumbu putarnya digeser sejauh 𝑙 = 𝑅 dari pusat bola.

146
Bab 7 Deret Tak Hingga

1. Deret Tak Hingga


Sebelumnya perlu diberikan ulang definisi deret ialah jumlahan suku-
suku dengan pola(fungsi) tertentu. Jika suku ke-n dari deret dinyatakan dalam
un, maka jumlahan dari deret itu adalah:
=∑ 0 ∑ (7.1)
Bentuk mana yang digunakan tergantung bagaimana suku dihitung,
apakah dimulai dari nol ataukah dari satu. Tidak ada ketentuan mana yang lebih
benar meskipun secara formal biasanya penghitungan dimulai dari suku
pertama. Tetapi Anda tidak boleh terlalu terobsesi dengan ketentuan seperti itu,
karena dalam beberapa bahasa pemrograman (seperti C++) melakukan
penghitungan mulai dari suku ke-0. Lagipula, keduanya tidak memiliki
perbedaan yang berarti.
Fungsi dari dapat berbentuk apa saja. Yang paling sederhana ialah
fungsi = + (dengan a dan b konstanta) yang disebut deret aritmatika
dan fungsi = (dengan a dan r konstanta) yang disebut deret geometri.
Nah, sekarang saatnya kita beralih ke deret tak hingga. Misalkan suatu
bola ping-pong dijatuhkan dari ketinggian 1 meter dan terus memantul
setengah dari ketinggian sebelumnya. Panjang lintasan yang ditempuh oleh bola
ping-pong tadi dapat dituliskan dalam deret
1 1 1 1 1
=1+ + + + + +
2 4 8 16 2
dengan n = 0, 1, 2, 3, .... Untuk meringkas penulisan, deret di atas dapat
dituliskan dalam bentuk notasi sumasi,

1
= ( )
2
0

147
Yang penting untuk diketahui ialah apakah x memiliki limit nilai tertentu
(konvergen) ataukah nilainya menjadi tak hingga akibat penjumlahan suku yang
tak hingga jumlahnya (divergen). Untuk itu, dapat dilakukan beberapa uji antara
lain uji deret geometri, uji limit, uji jumlah terbatas, uji integral, uji deret orde p,
dan uji hasil bagi mutlak.

1.1. Uji Deret Geometri


Untuk deret di atas misalnya, merupakan deret geometri yang
berbentuk
= + + + + + =∑ 0 (7.2)
dengan a suatu konstanta, r rasio, n pangkat dari rasio yang
berkaitan dengan suku dari deret tersebut, dan S m ialah jumlah dari deret
sebanyak m suku atau hingga suku ke-m–1 (dikurangi satu karena
penghitungan suku dimulai dari satu, sedangkan penghitungan rasio
dumulai dari 0). Jumlahan dari deret Sm dapat dicari dengan langkah
sebagai berikut.
− = + + + + + − + + +
+ +
1− = −
Sehingga diperoleh jumlahan deret geometri ialah

= − = (7.3)

Perhatikan bila 1 maka lim → = sehingga →


untuk → , dengan kata lain divergen. Sebaliknya bila 1 maka
lim → = sehingga = untuk → , dengan kata lain

konvergen.
Nah, sekarang kita coba uji kekonvergenan deret x menggunakan uji
deret geometri. Dengan mudah ditentukan nilai a = 1 dan r = 1/2, sehingga
untuk = diperoleh
1
= =2
1
1−2

148
Dari hasil ini dapat diperoleh ketentuan kekonvergenan dari deret
geometri ialah
 Jika 1, maka ∑ konvergen
 Jika 1, maka ∑ divergen

1.2. Uji Limit


Uji limit dapat digunakan untuk deret tak hingga yang dapat
diselesaikan dengan metode limit yakni:
 Jika ∑ konvergen, maka lim → = .
 Jika lim → , maka ∑ divergen.

Misalkan ∑ . Dengan melakukan uji limit diperoleh


2
−2 1− 1
lim = lim = lim =
→ → 3 + → 1 3
3+

Dengan demikian ∑ merupakan deret divergen.

Penting untuk dicamkan bahwa "jika ∑ konvergen, maka


lim → = " tidak berarti "Jika lim → = , maka ∑
konvergen". Artinya meskipun lim → = bisa saja deret itu divergen,
tetapi suatu deret hanya mungkin konvergen jika lim → = . Dengan
demikian uji limit hanya sah untuk membuktikan suatu deret adalah
divergen dan tak dapat digunakan untuk menyatakan suatu deret adaah
konvergen.

1.3. Uji Jumlah Terbatas


Uji deret geometri dan uji limit merupakan beberapa pengujian yang
dapat dilakukan untuk mengetahui kekonvergenan suatu deret yang tidak
begitu rumit (rumit dalam artian tertentu). Beberapa deret tidak dapat diuji
dengan dua metode sebelumnya, namun tetap dapat kita ketahui
kekonvergenannya dengan uji jumlah terbatas. Uji jumlah terbatas ialah
pembandingan jumlahan suatu deret yang ingin diuji dengan deret lain

149
yang lebih mudah diuji kekonvergenannya. Untuk itu membuktikan suatu
deret konvergen mesti dipilih deret konvergen pembanding yang memiliki
jumlahan yang lebih besar untuk membuktikan deret yang diuji konvergen.
Sebaliknya untuk membuktikan deret yang dijuji divergen mestilah dipilih
deret divergen pembanding yang jumlahannya lebih kecil. Jadi patut dicatat
uji jumlah terbatas digunakan hanya untuk membuktikan suatu deret ialah
konvergen atau divergen, tetapi suatu deret yang belum terbukti
konvergen/divergen belum tentu divergen/konvergen. Contoh yang paling
umum dalam pengujian model ini ialah deret harmonik.

1 1 1 1
=1+ + + + =
2 3 4

Jelas bahwa deret harmonik bukanlah deret geometri (tidak


memiliki rasio yang tetap) sehingga tidak dapat diuji dengan uji deret
konvergen. Jika dilakukan uji limit, meskipun sekilas terlihat bahwa nilai
lim → = , tetapi jika diuji maka nilai ∑ tidak memiliki limit di
sembarang titik (lihat kembali ketentuan uji limit). Jadi sampai di sini masih
ada keraguan apakah deret harmonik konvergen atau divergen. Nah,
sekarang mari kita lakukan uji jumlah terbatas.
Dipilih deret pembanding =1+ + + + + yang jelas

merupakan deret divergen. Jika deret Z ini dikembangkan, dapat berbentuk

seperti = 1+ +( + )+( + + + )+( + + )+ . Sekarang

mari kita persamakan


1 1 1 1 1 1 1 1
=1+ + + + + + + +
2 3 4 5 6 7 8 9
1 1 1 1 1 1 1 1
1+ + + + + + + + +
2 4 4 8 8 8 8 16
Jelas bahwa deret harmonik (S) memiliki jumlahan yang lebih besar
daripada deret Z. Mengingat Z sendiri divergen, maka jelaslah S juga
divergen.

150
1.4. Uji Integral
Uji integral menggunakan kaitan antara sumasi sigma dan integral
pada dasarnya ialah serupa (meskipun tak persis sama). Berikut ialah
ketentuan uji integral.

Misalkan suatu fungsi kontinu, positif, dan tidak naik pada selang
1 dan = untuk semua n bilangan bulat positif, maka deret tak
hingga ∑ konvergen jika dan hanya jika ∫ konvergen.
Dengan kata lain bila luas daerah dibawah kurva = dalam selang
1+ berhingga, maka deret itu konvergen. Sebaliknya bila luas daerah
dibawah kurva tak hingga, maka deret itu divergen.
Contoh dari deret ∑ dapat diperoleh ∫ =

− + . Luasannya ialah − − − = , berhingga, sehingga

deret ∑ konvergen.

1.5. Uji Deret Orde-p


Uji deret orde-p (atau dikenal juga dengan deret zeta Riemann)
merupakan generalisasi dari deret harmonik. Deret zeta Riemann
berbentuk

=∑ ( ) (7.4)

Jadi deret harmonik tidak lain ialah 1 yang mana nilainya tak
hingga. Deret orde-p lainnya yang terkenal ialah deret Basel, tak lain ialah
2 . Menurut teorema ini
 Apabila 1, maka deret-p adalah deret divergen.
 Apabila 1, maka deret-p adalah deret konvergen.
Seperti halnya uji deret geometri, uji deret-p juga dapat digunakan
dalam uji jumlah terbatas.

151
Contoh:

1. Periksalah apakah deret ∑ konvergen atau divergen!

Jawab:
Deret di atas dapat kita pecah menjadi jumlahan dari dua deret yaitu

∑ =∑ +∑

Perhatikan bahwa 2 ∑ + 5∑ ∑ , padahal ∑ merupakan

deret harmonik yang divergen. Jadi dengan menggunakan uji jumlah terbatas

dan uji deret orde-p, jelas bahwa ∑ juga divergen.

2. Periksalah apakah deret ∑ konvergen atau divergen!


Jawab:
Menggunakan uji integral, gunakan metode substitusi dengan = dan
= .
∫ = − +1 +

Dengan menggunakan dalil l’Hopital diperoleh lim → = lim → = .

Diperoleh luasan daerah di bawah kurva

− − + + = , berhingga, sehingga deret ∑ konvergen.

3. Tentukanlah apakah deret ∑ 0 −1 konvergen atau divergen!


Jawab:
= 0 + + + + + = 1−1+1−1+ + −1
Jika diperhatikan, deret di atas merupakan deret berganti tanda, yang besar
mutlaknya sama (yakni 1). Deret yang berbentuk seperti ini biasa disebut deret
flip-flop. Jika suku-suku dalam deret tadi dijumlahkan, maka akan ada dua
kemungkinan yakni = jika n = ganjil atau = 1 jika n = genap.
Tetapi semenjak = , maka kita tak tahu n itu genap atau ganjil. Setidaknya
dari dua kemungkinan yang ada cukup untuk memastikan deret tersebut
konvergen4.

4
lebih lanjut baca di: http://paradoks77.blogspot.com/2011/12/matematika-gila-infiniy-series-
paradox.html.

152
1.6. Uji Hasil Bagi Mutlak
Uji hasil bagi mutlak serupa tapi tak sama dengan uji deret geometri,
keduanya sama-sama menguji rasio suatu deret, namun uji hasil bagi
mutlak ini lebih general. Menurut teorema ini, misalkan ∑ 0 suatu deret
yang suku-sukunya tidak nol, dan misalkan
+
lim → = (7.5)

 Jika 1, maka deret konvergen


 Jika 1, maka deret divergen
 Jika = 1, maka pengujian tidak dapat memberikan kepastian

2. Deret Pangkat
Sebelumnya kita telah menyinggung tentang deret geometri yang
berbentuk ∑ 0 , jika deretnya tak hingga dengan r meupakan rasio dari
deret. Bila rasio itu tidak berbentuk bilangan, melainkan suatu variabel, maka
deret tadi dapat dinyatakan dalam
∑ 0 − (7.6.a)
Jika dipilih a = q = 0, dapat dituliskan
∑ 0 (7.6.b)
Deret seperti itu disebut juga deret pangkat (power series). Semua fungsi
dapat dinyatakan dalam deret pangkat, yakni

= −
0

Ekspansi ke dalam bentuk deret ini dapat menggunakan deret Taylor-


Mac Laurin, deret Fourier (untuk fungsi periodik), dan deret Laurent (untuk
fungsi kompleks). Selanjutnya kita hanya akan membahas deret Taylor dan Mac
Laurin secara lebih mendalam pada subbab 3.

153
3. Deret Taylor dan Mac Laurin
Deret Taylor ialah deret pangkat yang berbentuk

∑ 0 − (7.7)

dengan adalah turunan ke-n dari . Atau jika dituliskan bentuk


panjangnya

= + − + − + − + (7.8)

Deret Mac Laurin tidak lain ialah deret Taylor dengan a = 0. Dengan
demikian dapat dituliskan formulasi deret Mac Laurin.
0 0
= + + + + (7.9)

Berikut beberapa deret Mac Laurin fungsi-fungsi yang sering digunakan.

=∑ 0 =1+ + + + + (7.10)
+
in =∑ 0 = − + − + (7.11)

o =∑ 0 =1− + − + (7.12)
+
in =∑ 0 = + + + + (7.13)

o =∑ 0 =1+ + + + (7.14)

Deret Taylor dan Mac Laurin merupakan alat yang sangat penting dalam
bidang komputasional, karena umumnya dalam problem-problem tertentu
tidaklah perlu mengetahui bagaimana bentuk fungsi akhirnya, melainkan
berapa nilai akhirnya. Tentunya dengan script/algoritma yang sama, beragam
nilai awal bisa dimasukkan untuk memperoleh nilai akhir yang ingin diketahui,
jadi jelas bentuk fungsi akhirnya (biasa disebut solusi khusus) menjadi tidak
penting.
Nah, lalu apa perbedaan penggunaan antara deret Taylor dan deret Mac
Laurin? Pada dasarnya deret Mac Laurin adalah bentuk reduksi dari deret
Taylor dan memang tidak ada perbedaan yang signifikan kecuali deret Taylor
lebih teliti dibanding deret Mac Laurin (jika dilakukan pemotongan suku) dan
deret MacLaurin lebih sederhana sehingga lebih mudah dihitung. Perbedaan

154
ketelitian ini karena pada deret Taylor, nilai suatu fungsi di titik tertentu dapat
didekati dari sembarang titik, sedangkan pada deret MacLaurin nilai fungsi
pada satu titik selalu didekati dari nol.
Misalnya kita ingin menghitung nilai in 26 . Telah diketahui secara
pasti in 25 = √2. Jadi kita dapat mencari nilai in 26 menggunakan

deret Taylor dengan titik awal pendekatan, = 25 dan pemotongan hingga


empat suku misalnya, hasilnya akan lebih akurat dibanding menggunakan deret
Mac Laurin dengan pemotongan suku yang sama

4. Turunan dengan Bantuan Deret


Misalkan suatu fungsi = ingin dicari turunannya, maka kita

dapat mengembangkan in dalam bentuk deret sehingga:

= = − + − +

=1− + − +

=− + − + +
+ +
=− + − + + =∑ 0

Cukup mudah kan?

Contoh:

1. Nyatakanlah fungsi = dalam bentuk deret dan cari pula turunan fungsi

(juga dalam bentuk deret)!


Jawab:
1= 1+ + + + + − + + + +
1= 1− 1+ + + + + +
1−
= 1+ + + + +
1−

155
1−
=
1−
0

Adapun turunannya dapat menggunakan turunan fungsi pembagi, namun di sini


akan dicari dalam bentuk deret.
=1+ + + + +
Dengan amat mudah diperoleh

=1+2 +3 +4 + + −1 =∑ 0 +1

Problem:

Kejanggalan Deret Binomial Newton

Jika fungsi 𝑓 𝑥 = 𝑥 diubah menjadi deret tak hingga menggunakan metode


binomial Newton diperoleh
1−𝑥 = 1 + −1 1 −𝑥 + 1 −𝑥 +
1−𝑥 =1+𝑥+𝑥 +𝑥 +
Jika kita substitusi nilai x = 0,5, diperoleh hasil yang sesuai
1 1 1
1− 5 = 2= 1+ + + +
2 4 8
Tetapi bila disubstitusikan nilai x = 5, diperoleh hasil yang jauh berbeda,
1−5 = − 25 , sedangkan 1 + 5 + 5 + 5 + = . Manakah yang
benar? Mengapa hal ini bisa terjadi?

156
Bab 8 Pengantar Persamaan
Diferensial

1. Konsep Persamaan Diferensial


Saat kita ingin mempelajari persamaan diferensial (PD), pastinya kita
harus sudah memahami kalkulus diferensial. Di sini akan saya mulai dengan

fungsi = . Turunan fungsi y terhadap x ialah = . Dengan
demikian kita memperoleh hubungan

− =
Whoiila!! Ini adalah contoh dari persamaan diferensial. Persamaan di
atas bernilai benar bila = . Mengingat hanya fungsi berbentuk
eksponensiallah yang turunannya sama dengan fungsi awalnya, maka kita dapat
yakin = merupakan solusi tunggal dari PD

− = .
Sekarang bila kita menggunakan fungsi = in , maka turunan
′′
pertamanya = o dan turunan keduanya, =− in . Dari
fungsi awal dan turunan ke-duanya, dapat diperoleh hubungan
′′
+ =
Ini juga contoh dari persamaan diferensial orde dua (orde menandakan
turunan tertinggi yang terdapat dalam PD). Jadi PD di atas benar jika
= in , dengan demikian = in merupakan salah satu solusi
dari PD tadi. Kok salah satu? Ya karena terdapat solusi lain yang mungkin, yakni
= o . Turunan ke-dua dari = o ialah
′′
=− o yang bila di substitusikan juga memenuhi PD
′′
+ = . Jadi PD itu memiliki dua solusi. Mengingat sifat linear operasi
diferensial terhadap penjumlahan dan pengurangan,
+ + + = + + +

157
Maka kedua solusi yang mungkin itu dapat kita gabungkan menjadi
= in + o . Jika solusi sebenarnya dari suatu problem hanya
memuat suku sinus saja, maka C2 sama dengan nol, begitu pula sebaliknya. Jadi
′′
solusi dari PD + = ialah fungsi yang berbentuk = in +
o .
Kemudian bila kita mengambil fungsi = in , yang turunan ke-
′′
duanya ialah = in , maka diperoleh hubungan:
′′
− =
Seperti pada contoh sebelumnya, PD ini juga terpenuhi untuk = o ,
′′
sehingga solusi dari PD − = ialah = in + o .
Persamaan diferensial orde satu sebenarnya dapat dengan mudah
diperoleh solusinya, antara lain yang memiliki bentuk seperti ini:

− =

Di mana a suatu konstanta. Dengan mudah diperoleh ∫ =∫ atau


y = ax. Dengan pembuktiaan terbalik (seperti metode sebelum-sebelumnya), ini
terjadi karena jika y = ax maka y’ = a, sehingga y’ – a = 0.
Sekarang yang agak lebih rumit, kita akan cari solusi dari PD

4 − in =2 .
4 = in + 2

∫4 = ∫ in + 2

= − o +

Hore!!! Kita dapat deh solusinya. Solusi seperti itu dinamakan solusi
umum, karena menyisakan suatu konstanta (C) yang tidak kita ketahui nilainya.
Bila kita telah mengetahui syarat-syarat batas dari problemnya, misalkan
syarat awal = , maka dapat diketahui konstanta integrasinya,
= − o + atau =

Dengan demikian diperoleh fungsi = − o + 1 sebagai solusi

khususnya.

158
2. Persamaan Diferensial Linear Orde Satu
Telah disebutkan sebelumnya bahwa orde suatu persamaan diferensial
merupakan turunan tertinggi yang dimuat dalam persamaan diferensial itu.
Secara umum, PD linier berbentuk

+ + + + + = (8.1)
Dengan demikian PD linear orde satu dapat kita tuliskan sebagai

+ = (8.2)

Jika kedua ruas dikalikan dengan ∫ , sehingga


∫ + ∫ = ∫

Perhatikan bahwa ruas kiri merupakan turunan dari ∫ sehingga


( ∫ )= ∫

Akhirnya kita peroleh formulasi untuk solusi dari PD linier orde satu
= ∫ {∫( ∫ ) } (8.3)

3. Persamaan Diferensial Linear Orde Dua


Persamaan diferensial linear orde dua dapat kita golongkan menjadi PD
linear orde-2 homogen dan PD linear orde dua tak homogen. Disebut homogen
bila nilai = dan disebut tidak homogen bila .
′′ ′
+ + = (8.4)
′′ ′
+ + = (8.5)
Terlebih dahulu akan kita bahas mengenai PD homogen orde-2. Untuk
menyelesaikan PD homogen orde dua digunakan persamaan bantu. PD
homogen orde-2 dapat kita tuliskan kembali dalam bentuk
+ + =
Seperti halnya yang telah dijelaskan pada subbab 8.1, bila turunan suatu
fungsi dikurangkan dengan fungsinya sama dengan nol, maka fungsi itu pastilah
berbentuk eksponensial. Jadi, di sini kita berasumsi y berbentuk .

159
+ + = + + =
+ + =
+ + = (8.6)
Agar ruas kiri menjadi nol, maka + + haruslah bernilai nol.
Dengan demikian perlu dicari akar-akar (pembuat nol) dari persamaan
+ + . Persamaan ini disebut juga persamaan bantu. Telah kita tahu
bahwa persamaan kuadrat dapat memiliki dua akar berbeda, dapat juga hanya
memiliki satu akar (akar-akarnya kembar), atau dua akar yang saling kompleks.
Jika akar-akar dari persamaan bantu tadi kita namakan r1 dan r2, maka solusi
umum dari PD homogen orde-2 memiliki tiga macam penyelesaian yakni:
1. Jika persamaan bantu memiliki dua akar rill berlainan, maka solusi
umumnya = + .
2. Jika persamaan bantu memiliki akar kembar, maka solusi umumnya
= + .
3. Jika persamaan bantu memiliki akar-akar kompleks yang saling konjugat,
= maka solusi umumnya = o + in .
Sekarang bagaimana bila persamaan diferensialnya tidak homogen
′′ ′
? Misalkan − −2 = + 3 − 2 . Pertama-tama kita cari
′′ ′
terlebih dahulu solusi homogennya, yakni solusi dari − − 2 = . Kita
peroleh persamaan bantu − − 2 = , sehingga = 2 dan = −1. Dengan
begitu diperoleh solusi homogennya,
= +
Untuk solusi non-homogennya, bentuknya bergantung pada . Untuk
lebih jelasnya, perhatikan beberapa bentuk yang mungkin.
1. Jika = + + + 0 , gunakan = + + + 0.

2. Jika = , gunakan = .
3. Jika = o + in , gunakan = o + in .
4. Jika memuat bentuk yang merupakan solusi homogen dari PD, kalikan
penyelesaian yang digunakan dengan x atau suatu pangkat dari x.

160
Berdasarkan kriteria di atas, maka dapat kita pilih solusi non-
′ ′′
homgennya, = + + , dengan demikian =2 + dan =2 .
Substitusikan solusi non-homogen ini ke dalam persamaan homogen
menghasilkan
2 − 2 + −2 + + = +3 −2
Kumpulkan suku-suku dengan variabel x yang berpangkat sama,
−2 + −2 − 2 + 2 −2 − = +3 −2
Dengan menyamakan koefisien dari n 1 diperoleh
−2 = 1 → =−

−2 − 2 = 3 → = −1
2 −2 − = −2 → =1
Akhirnya diperoleh =− − + 1. Solusi akhir (masih berupa
′′ ′
solusi umum) dari PD − −2 = + 3 − 2 ialah:
1
= + = + − − +1
2

Contoh:

1. Carilah solusi dari persamaan diferensial = + !

Jawab:
PD di atas dapat diselesaikan dengan mengintegralkan secara langsung

= 1+

∫ =∫

ln = ln + +
=
Mengingat sifat logaritma, = dan sebagai suatu konstanta C, maka
solusi dari PD di atas ialah = .

2. Carilah solusi dari persamaan diferensial 2 −4 + = !


Jawab:

161
Dengan membagi kedua ruas dengan dx, PD di atas dapat kita ubah menjadi

+2 =8 atau + = 8 yang merupakan PD linear orde-1. Dengan

demikian dapat kita tentukan = dan =8 .

∫ ∫
= = = =
Solusi PD linear orde-1, = ∫ {∫( ∫ ) }
= ∫ 8 = ∫8 = 2 +

Akhirnya diperoleh =2 + .

′′ ′
3. Carilah solusi dari PD homogen −8 + 16 = !
Jawab:
Persamaan bantunya ialah − 8 + 16 = atau −4 −4 = sehingga
memiliki dua akar kembar, yakni = = 4. Solusinya ialah
= +

′′ ′
4. Carilah solusi dari PD non-homogen −7 +1 =6 !
Jawab:
Persamaan bantunya ialah − 7 + 1 yang akar-akarnya berbeda, yakni
= 2 dan = 5. Solusi homogennya
= +
Perhatikan bahwa mengandung suku yang merupakan solusi homogen
, sehingga berdasarkan aturan yang ke-empat, kita modifikasi dengan
menggunakan pengali x.
=
Substitusikan ke dalam persamaan diferensial
−7 +1 =6
25 +1 −8 5 + + 12 =6
Yang ekivalen dengan 3 =6
′′ ′
Jadi diperoleh = 2. Solusi akhir dari PD −7 +1 =6 ialah
= + = + +2

162
163
DAFTAR PUSTAKA

Bondan, Alit, Kalkulus Lanjut, penerbit Graha Media, Yogyakarta, 2007

Prayudi, Kalkulus Lanjut Fungsi Banyak Variabel & Penerapannya, penerbit


Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009

Purwanto, H., Indriani, G., dan Dayanti, E., Kalkulus, penerbit Ercontara Rajawali,
Jakarta, 2005

Redaksi Kawan Pustaka, Rangkuman Rumus Matematika, Fisika dan Kimia SMA,
penerbit PT Kawan Pustaka, Jakarta, 2005

Sukino, Matematika untuk SMA kelas XII jilid 3A, penerbit Erlangga, Jakarta, 2007

Team Dosen Matematika Unhas, Matematika Dasar I, penerbit Jurusan


Matematika FMIPA UNHAS, Makassar, 2009

______, Matematika Dasar II, penerbit Jurusan Matematika FMIPA UNHAS,


Makassar, 2009

Thobirin, Kalkulus Integral [online]

Wirodikromo, Sartono, Matematika untuk SMA kelas XI jilid 4, penerbit Erlangga,


Jakarta, 2007

Kredit Pengolah Gambar:


Graphsight Junior v.1.0
MATLAB r2009b
MS Paint version 6.1

164
165
166
Kalkulus Dasar
Sunkar E. Gautama
Paradoks Softbook
167 Publisher

Anda mungkin juga menyukai