Baru
kemarin petang dia dan rombongan sekolah pulang berlibur merayakan kelulusan di
Pulau Tomia, hari ini dia harus mempersiapkan diri untuk menerima pinangan dari
La Ode Une.
La Ode Une adalah salah satu orang terpandang di Desa Waha, Kecamatan Wangi-
wangi, Wakatobi. Pewaris tunggal salah satu kerajaan pertanian terbesar di salah
satu kabupaten yang terletak di Provinsi Sulawesi Tenggara itu. Usianya dua puluh
tujuh tahun, dan dia salah satu donatur tetap sekolah menengah swasta tempat
Ratna bersekolah.
Ratna, putri kedua La Baharawi dan Wa Asa, belum genap delapan belas tahun.
Baru lulus Sekolah Menengah Kejuruan tahun ini. Merupakan kebanggan bagi Wa
Asa bahwa putrinyalah yang dipilih La Ode Une untuk mendampinginya sebagai istri
penguasa tunggal puluhan hektar ladang ubi kayu di Wangi-wangi. Harapan Wa Asa
melambung. Semenjak suaminya meninggal, dia dan Surdani, putra sulungnya,
hanya bekerja sebagai buruh tani di salah satu petak ladang milik keluarga La Ode
Une.
Mendengar berita tentang pinangan tersebut, tidak bisa tidak Anabila Obi mendadak
diserang panas dingin. Perutnya bergejolak, seolah ada timah panas di dalamnya.
Anabila Obi dan Ratna memang sudah berpacaran sejak awal kelas satu. Anabila
Obi adalah kakak kelas Ratna sekaligus Wakil Ketua OSIS. Anabila Obi langsung
terpikat dengan lesung pipit di kedua pipi Ratna sejak masa orientasi sekolah. Dia
berjanji kepada Ratna, musim panen tahun depan akan datang ke rumah Ratna
untuk melamarnya.
***
Siang itu Wa Asa berdiri tegak sambil mengayun-ayunkan sebatang bambu yang di
ujungnya diikatkan plastik warna-warni di antara batang-batang padi. Sebentar lagi
panen. Biasanya burung-burung mengganggu bulir-bulir padi yang sudah masak.
Tubuh mungilnya hilir-mudik di antara tanaman padi yang ia tanam di ladang
belakang rumah. Sesuai dengan cirinya sebagai padi ladang, padi-padi itu butuh
waktu enam bulan untuk tumbuh, berbuah, dan siap panen tanpa sekali pun
mendapatkan pupuk atau pestisida. Jika hama menyerang, Wa Asa akan membuat
ramuan khusus warisan turun-temurun dari nenek moyang berupa daun-daunan
kemudian dibacakan doa dan mantra. Lalu Wa Asa akan menggebahkan ramuan
tersebut di sudut-sudut ladang.
Ladang di sepanjang jalan menuju Desa Waha terbilang subur. Bisa dilihat dari
gemuknya tanaman keladi yang tumbuh di tepi-tepi jalan. Dari sekitar lima ratus
meter persegi ladang di belakang pondoknya, dalam satu kali panen Wa Asa bisa
mendapat tujuh sampai sembilan karung, masing-masing berisi lima puluh kilogram
gabah. Gabah disimpan di rumah dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan
makan keluarga sampai musim panen berikutnya, dan sebagian kecil disisihkan
untuk bibit. Jika ada lebih, kelebihan itu bisa dijual.
Mendengar celoteh dua gadis kecilnya di ruang tengah, ia merasa yakin bahwa
ajalnya masih jauh. Memikirkan hal ini, terkadang ia dipenuhi perasaan marah
kepada La Baharawi. Bagaimana mungkin orang dengan semangat hidup yang
tinggi seperti dia bisa mati secepat itu?
Wa Asa bergabung dengan anak-anak setelah menyiapkan bekal yang akan dia
bawa untuk Surdani. "Sudah, makan dulu yang kenyang, ibu mau ngantar nasi untuk
Kak Sur. Nanti kalau Kak Ratna pulang, kasih tahu supaya jaga burung di ladang
belakang ya."
"Gimana mau kenyang, Bu. Makan cuma sama garam," celetuk Nurmala.
"Sabar dulu ya, nanti kalau ladang Kak Sur panen ibu belikan telur asin kesukaan
Mala."
"Sama belikan sepatu baru ya, Bu. Sepatu bekas Kak Des kelonggaran. Kalau Mala
lari sepatunya suka lepas."
Tak lama kemudian Ratna pulang. Setelah berganti baju dan makan siang, dia
bersiap untuk mengusir burung di ladang belakang.
Selain bertani, La Baharawi juga sering melaut. Perahu La Baharawi diterjang badai
subuh itu. Untung, posisi perahu tidak terlalu jauh dengan bibir pantai. La Baharawi
ditemukan dalam keadaan pingsan dan tubuh memar-memar terdampar di pasir
pantai. Warga langsung melarikannya ke rumah sakit. Hasil pemeriksaan
mengatakan, beberapa tulang rusuk La Baharawi ada yang patah dan harus segera
dioperasi. Tak ada pilihan lain, Wa Asa terpaksa menjual tanahnya kepada untuk
biaya operasi. Namun, takdir berkata lain. Tak hanya kehilangan tanah pusaka
warisan keluarga, Wa Asa juga harus kehilangan suaminya.
Hari kelulusan Ratna pun tiba. Meski tidak termasuk dalam tiga besar nilai tertinggi,
nilai Ratna tidak juga bisa dibilang buruk. Sesampai di rumah, dengan dikerubungi
kedua adiknya, Ratna memecahkan celengan dari tanah liat berbentuk kucing. Koin-
koin bergemerincing tumpah ke lantai bercampur dengan uang kertas yang digulung.
Tabungan Ratna dari mulai awal masuk Sekolah Menengah Kejuruan. Uang-uang
yang ia sisihkan dari upah yang ia dapat dari membantu panen atau menyiangi
rumput di ladang-ladang tetangga. Ratna membagi dua uang dari tabungannya,
separuh untuk ibunya dan separuh lagi untuk biaya dia ikut piknik ke Pulau Tomia.