Bila aku jatuh cinta, gravitasi tidak lagi berkuasa menarikku ke bumi,
Bila aku jatuh cinta, hatiku digemakan simfoni spektrum pelangi,
Bila aku jatuh cinta, aku terjebak pada satu momen yang sama,
Bila kamu jatuh cinta, ayo terjatuh bersama
Aku mengenalmu. Kamu di mata orang lain sama seperti lelaki lainnya. Hanya seorang kawan
untuk mengisi hari-hari dengan canda tawa. Tidak ada yang spesial dari eksistensimu yang tak
kunjung jadi sorotan publik.
Bagiku, melihatmu tertawa membakar suatu rasa dalam relung jiwaku, membangkitkan ragaku
yang sepi selama ini. Aku kecanduan untuk berjumpa denganmu. Biar itu cuma berpapasan di
lorong, maupun kesempatan untuk obrolan singkat nan tak jelas yang sering kita lontarkan.
“Hei! Pagi-pagi kerjaannya melamun,” sapa gadis di sampingku. Entah siapa, aku tak peduli. “Eh,
aku dicuekin lagi. Ah, sebal!”
Ia menggerutu, kemudian berlalu. Hehe, begitu kebiasaanku. Tenggelam dalam fantasi, tak mau
diseret oleh siapa pun ke dunia nyata. Biar aku saja sendiri dan perasaan indah ini yang tinggal
bersama waktu.
Kamu mengenalku. Aku di matamu sama seperti gadis lainnya. Hanya seorang kawan untuk
mengisi hari-hari dengan canda tawa. Tidak ada yang spesial selain eksistensiku yang jadi sorotan
publik terkadang, karena sikapku yang nyentrik mungkin.
Bagiku, kamu masih jadi candu kuat. Entah kamu menyadarinya atau tidak.
“Eh, kamu ngapain sih merhatiin aku dari tadi?” tanyamu.
“Nggak papa. Memangnya nggak boleh?” tanyaku sewot.
“Nggak boleh, nanti naksir lho,” jawabmu sambil cengengesan.
“Idih, pede amat!” sahutku pura-pura jutek.
Aku mengharapkan suatu kisah antara kita berdua. Sebuah prosa kasih antara dua insan. Rasaku
ini tulus ibarat siklus air yang tak tahu berawal di mana dan tak akan mengenal akhir cerita.
Apakah kamu punya gelombang yang sama?
Sekolah ini jadi saksi betapa pengagum rahasiamu begitu memuja. Seperti kala siang yang cerah,
semasa mentari bersinar hangat. Konyol, saat aku menonton permainan sepak bolamu bersama
kawan lainnya.
“Ayo, semangat!” teriakku, tentu dalam hati.
Kamu memang bukan pemain terbaik di lapangan. Masa bodoh. Melihat rautmu cerah menyambut
mentari, mendengar tawamu lepas di udara, itulah yang membuatku menikmati pertandingan ini.
Olahraga yang, bahkan saat disiarkan di stasiun televisi terkenal dikala musim kejuaraannya pun,
tak kunjung membuatku tertarik.
“Serius banget sih nonton,” sapa sosok di sampingku. Dia duduk. Aku bergeming. Mataku masih
menyorot pribadi yang sama di tengah lapang.
Berkali dia mengomentari pertandingan. “Wah kipernya cacat!”, “Nggak bisa main tuh!”, atau
“Nah, main yang bener,”. Aku hanya sedikit memperhatikan saat ia mengomentarimu, “Dia nih
main kayak cuma numpang lari-lari,” dan sebagainya.
Pertandingan berakhir. Ocehan komentator dadakan di sebelahku juga usai. Aku bangkit.
“Lho, mau ke mana? Habis ini tim yang jago mau main lho.”
“Nggak peduli. Aku nggak suka bola,” jawabku datar, lalu berlari kecil. Si komentator dadakan itu
melongo.
—
Kamu mengharapkan suatu kisah antara kalian berdua. Sebuah prosa kasih antara dua insan.
Sorot matamu tulus, bagai pujangga merindukan rembulan di sela langit malam berbintang.
Ternyata gelombang kita tak satu frekuensi.
Aku jadi saksi betapa dekat dan serasi kehadiran kalian. Aku merasakan jiwaku terbakar, bukan
oleh api yang sama seperti biasa aku menatapmu. Seperti suatu siang yang membara, semasa
mentari membakar ubun-ubun. Konyol, aku memandang kalian, tersakiti, namun enggan
berpaling.
Hari ini hari ulang tahunmu, 16 Oktober. Aku menangis di bantalku lagi. Entah sembilu mana lagi
yang keji menyayat rasa hatiku. Di luar, malam meneteskan juga air kesedihannya. Dinginnya
hawa menyelimutiku dalam deru rintik hujan.
Itu hadiah biasa. Kemeja sederhana elegan putih sesuai kesukaanmu. Wajahmu tampak sangat
senang menerimanya. Senyum itu, yang biasa membakar jiwaku, tersungging bangga. Tentu saja.
Aku urung menyerahkan kue lapis buatan tanganku. Aku ragu rasanya akan kau suka. Daripada
aku merusak suasana, aku pergi ke sudut kolam ikan dan melempari kue lapis ke tengah riak air.
Hari ini hujan turun deras. Payung, aku punya sebenarnya. Tapi bocah-bocah nakal itu
menyembunyikannya di suatu tempat. Tentu aku tak tahu di mana. Ah, bagaimana aku pulang?
Tiba-tiba saja.
“Eh, jangan hujan-hujanan. Nanti kamu sakit!” serumu menahannya.
“Nggak papa. Cuma sampai depan kok. Nanti aku langsung naik angkot,” jawabnya cepat.
“Nih, aku bawa payung, kok,” katamu sambil menyodorkan sebentuk payung.
“Lha? Nanti kamu pulangnya gimana?” tanyanya khawatir.
“Maksudku, ayo bareng sampai depan,” katamu seraya menggandengnya ke gerbang depan.
Punggung kalian semakin menjauh. Namun, aku masih bisa mendengar tawa kalian di sela rintik
hujan. Aku menatap langit. Kelabu dan dingin.
Hari ini ulang tahunku, 22 Mei. Aku menangis di bantalku lagi. Kembali sembilu, entah yang mana
lagi, menyayat rasa hatiku. Di luar, langit tidak menangis untukku. Jangkrik pun sepertinya tak
tega untuk berdendang. Hanya sunyi dan udara dingin yang menusukku.
Cintaku tulus, ibarat siklus air yang tidak tahu mengawali di mana dan tak akan kenal akhir cerita.
Jika kata orang cinta itu indah, mengapa harus sesakit ini?
Harusnya hari ini aku berpesta, merayakan tujuh berlas tahun peziarahanku di dunia. Tapi ini?
Pesta macam mana ini? Pesta merayakan berbulan keakrabanmu dengan dia?
Tahu mengapa aku tertawa? Berbulan-bulan aku menyirami rasa sukaku hingga berbunga cinta.
Aku tak kunjung menjadi istimewa di mata jernihmu. Kuterima rasa ngilu saat aku berkali
memandang kalian berdua berbahagia bersama. Bahkan, aku harus terisak di malam ulang
tahunku sendiri, dengan yakin bahwa kalian sudah punya status khusus. Persis pagi ini, kulihat
kalian berangkat bersama ke sekolah.
Bayangkan betapa aku tidak lagi bisa merasakan perih. Hatiku hancur, ingin rasanya
kumuntahkan kepingannya hingga berceceran di lantai. Otakku berdenyut seakan ingin meloncat
dari ruang kranial kepalaku.
Gila, aku tidak waras lagi. Betapa jantungku ingin memutuskan diri dari pembuluh darahku begitu
kudengar tentang kalian.
Ini cerita sangat tidak waras. Aku benci dengan Penulis cerita ini. Hasratku ingin melompat dari
kertas ini, keluar dari cerita ini, dan mencabik-cabik Penulis cerita hidupku ini.
Aku masih sama. Aku ditakdirkan untuk tetap menjadi sama seperti awal cerita. Sudah kubilang,
cintaku tulus, seperti siklus air yang tak tahu berawal di mana dan tak akan mengenal akhir cerita.
Andai kamu tahu ceritaku, mungkin kamu akan menganggapku konyol. Kamu akan tertawa. Tawa
yang selalu membakar suatu rasa dalam relung jiwaku, membangkitkan ragaku yang sepi.
Biarkan aku patah hati. Aku hanya ingin tetap seperti ini. Mengagumi. Hingga nanti. Hingga hari
ketika kita akan bersama, atau akan benar-benar berpisah.
Cerpen Siklus Air merupakan cerita pendek karangan Keilen Laqueta, kamu dapat mengunjungi
halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya.