Anda di halaman 1dari 14

ORIF (OPEN REDUKSI INTERNAL FIKSASI)

A. Definisi
ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi) adalah sebuah prosedur bedah
medis, yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk mengatur
tulang, seperti yang diperlukan untuk beberapa patah tulang, fiksasi internal
mengacu pada fiksasi sekrup dan piring untuk mengaktifkan atau
memfasilitasi penyembuhan. (Brunner&Suddart, 2003)
ORIF adalah suatu tindakan untuk melihat fraktur langsung dengan
tehnik pembedahan yang mencakup di dalamnya pemasangan pen, skrup,
logam atau protesa untuk memobilisasi fraktur selama penyembuhan.
(Depkes,1995)

B. Tujuan
Ada beberapa tujuan dilakukannya ORIF (Open Reduksi Fiksasi Internal),
antara lain:
1. Memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan dan stabilitas.
2. Mengurangi nyeri.
3. Klien dapat melakukan ADL dengan bantuan yang minimal dan dalam
lingkup keterbatasan klien.
4. Sirkulasi yang adekuat dipertahankan pada ekstremitas yang terkena
5. Tidak ada kerusakan kulit
(T.M.Marrelli, 2007)

C. Indikasi / Kontraindikasi
Indikasi ORIF (Open Reduksi Fiksasi Internal) meliputi :
1. Fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila ditangani dengan
metode terapi lain, terbukti tidak memberi hasil yang memuaskan.
2. Fraktur leher femoralis, fraktur lengan bawah distal, dan fraktur intra-
artikular disertai pergeseran.
3. Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan signifikan pada
struktur otot tendon.
Kontraindikasi ORIF (Open Reduksi Fiksasi Internal) meliputi :
1. Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implan
2. Jaringan lunak diatasnya berkualitas buruk
3. Terdapat infeksi
4. Adanya fraktur comminuted yang parah yang menghambat rekonstruksi.
(Barbara J. Gruendemann dan Billie Fernsebner, 2005)

D. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan menurut Muttaqin (2008) ada 2 yaitu :
1. Penatalaksanaan konservatif
a) Proteksi adalah proteksi fraktur terutama untuk mencegah trauma
lebih lanjut dengan cara memberikan sling (mitela) pada anggota
gerak atas atau tongkat pada anggota gerak bawah.
b) Imobilisasi dengan bidai eksterna. Imobilisasi pada fraktur dengan
bidai eksterna hanya memberikan imobilisasi. Biasanya
menggunakan Gips atau dengan macam-macam bidai dari plastik
atau metal.
c) Reduksi tertutup dengan menggunakan manipulasi dan imobilisasi
eksterna yang menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan
manipulasi dilakukan dengan pembiusan umum dan lokal.
d) Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi. Tindakan
ini mempunyai tujuan utama, yaitu beberapa reduksi yang bertahap
dan imobilisasi.
2. Penatalaksanaan pembedahan

Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) atau Reduksi terbuka

dengan Fiksasi Internal akan mengimobilisasi fraktur dengan melakukan

pembedahan untuk memasukan paku, sekrup atau pen kedalam tempat

fraktur untuk memfiksasi bagian-bagian tulang pada fraktur secara


bersamaan. Fiksasi internal sering digunakan untuk merawat fraktur pada

tulang pinggul yang sering terjadi pada orang tua.

Metode Fiksasi Internal

Terdapat 5 metode fiksasi internal yang digunakan, antara lain:

1. Pemasangan kawat antartuang


Biasanya digunakan untuk fraktur yang relatif stabil, terlokalisasi dan
tidak bergeser pada kranium. Kawat kurang bermanfaat pada fraktur parah
tak stabil karena kemampuan tulang berputar mengelilingi kawat, sehingga
fiksasi yang dihasilkan kurang kuat.
2. Lag screw
Menghasilkan fiksasi dengan mengikatkan dua tulang bertumpuk satu
sama lain. Dibuat lubang-lubang ditulang bagian dalam dan luar untuk
menyamai garis tengah luar dan dalam sekrup. Teknik yang menggunakan
lag screw kadang-kadag disebut sebagai kompresi antarfragmen tulang.
Karena metode ini juga dapat menyebabkan rotasi tulang, biasanya
digunakan lebih dari satu sekrup untuk menghasilkan fiksasi tulang yang
adekuat. Lag screw biasanya digunakan pada fraktur bagian tengan wajah
dan mandibula serta dapat digunakan bersama dengan lempeng mini dan
lempeng rekonstruktif
3. Lempeng mini dan sekrup
Digunakan terutama untuk cedera wajah bagian tengah dan atas. Metode
ini menghasilkan stabilitas tiga dimensi yaitu tidak terjadi rotasi tulang.
Lempeng mini (miniplate) difiksasi diujung-ujungnya untuk menstabilkan
secara relatif segmen-segmen tulang dengan sekrup mini dan segmen-
segmen tulang dijangkarkan kebagian tengah lempeng juga dengan sekrup
mini
4. Lempeng kompresi
Karena lebih kuat dari lempeng mini, maka lempeng ini serring digunakan
untuk fratur mandibula. Lempeng ini menghasilkan kompresi di tempat
fraktur.
5. Lempeng konstruksi
Lempeng yang dirancang khusus dan dapat dilekuk serta menyerupai
bentuk mandibula. Lempeng ini sering digunakan bersama dengan
lempeng mini. Lag screw dan lempeng kompresi.
(Barbara J. Gruendemann dan Billi Fernsebner,2005)

Keuntungan ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) yaitu :

1. Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.


2. Ketelitian reposisi fragmen-fragmen fraktur.
3. Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf di sekitarnya.
4. Stabilitas fiksasi yang cukup memadai dapat dicapai
5. Perawatan di RS yang relatif singkat pada kasus tanpa komplikasi.
6. Potensi untuk mempertahankan fungsi sendi yang mendekati normal serta
kekuatan otot selama perawatan fraktur.

Kerugian ORIF (Open Reduction and Internal Fixation) yaitu :

1. Setiap anastesi dan operasi mempunyai resiko komplikasi bahkan


kematian akibat dari tindakan tersebut.
2. Penanganan operatif memperbesar kemungkinan infeksi dibandingkan
pemasangan gips atau traksi.
3. Penggunaan stabilisasi logam interna memungkinkan kegagalan alat itu
sendiri.
4. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak, dan
struktur yang sebelumnya tak mengalami cedera mungkin akan terpotong
atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi.

E. Perawatan Post Operatif


Dilakukan utnuk meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan pada bagian
yang sakit. Dapat dilakukan dengan cara:
1. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi.
2. Meninggikan bagian yang sakit untuk meminimalkan pembengkak.
3. Mengontrol kecemasan dan nyeri (biasanya orang yang tingkat
kecemasannya tinggi, akan merespon nyeri dengan berlebihan)
4. Latihan otot
Pergerakan harus tetap dilakukan selama masa imobilisasi tulang,
tujuannya agar otot tidak kaku dan terhindar dari pengecilan massa otot
akibat latihan yang kurang.
5. Memotivasi klien untuk melakukan aktivitas secara bertahap dan
menyarankan keluarga untuk selalu memberikan dukungan kepada klien

F. Diagnosa Keperawatan Perioperatif


Pra-operatif :
1. Nyeri akut berhubungan dengan fraktur, masalah ortopedik,
pembengkakan atau inflamasi.
2. Ansietas berhubungan dengan diagnosis dan rencana pembedahan
Post-operatif
1. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tindakan anestesi, kelemahan
dan penurunan sirkulasi
3. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif dan pembedahan
4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tindakan pembedahan

G. Rencana Asuhan Keperawatan


Pre operasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan fraktur, masalah ortopedik,
pembengkakan atau inflamasi.
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ..... x24 jam
diharapkan nyeri klien berkurang
Kriteria hasil :
 Mampu mengontrol nyeri
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri
 Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
 Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
 Tanda vital dalam rentang normal (TD : 120/80 mmHg, Nadi : 80-100
x/menit, RR : 18-20 x/menit dan Term : 36,5ºC-37,5ºC)
Intervensi :
 Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
 Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
 Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri pasien
 Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik (relaksasi, latihan napas
dalam, sentuhan terapeutik dan distraksi)
 Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian analgetik untuk
mengurangi nyeri
2. Ansietas b/d diagnosis dan rencana pembedahan
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama .... x 24 jam
diharapakan cemas klien terkontrol
Kriteria hasil :
 Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas
 Mengidentifikasi, mengungkapkan dan menunjukkan tehnik untuk
mengontol cemas
 Vital sign dalam batas normal (TD : 120/80 mmHg, Nadi : 80-100
x/menit, RR : 18-20 x/menit dan Term : 36,5ºC-37,5ºC)
 Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan tingkat aktivitas
menunjukkan berkurangnya kecemasan
Intervensi :
 Kaji tanda-tanda vital
 Ajarkan kepada klien teknik relaksasi untuk dilakukan sekurang-
kurangnya setiap 4 jam ketika terjaga, untuk memperbaiki
keseimbangan fisik dan psikologis.
 Jelaskan semua prosedur tindakan yang akan dilakukan yang
bertujuan untuk mengurangi tingkat kecemasan klien
 Dengarkan dengan penuh perhatian setiap keluh kesah klien
 Identifikasi tingkat kecemasan
 Bila memungkinkan, libatkan klien dan anggota keluarga dalam
mengambil keputusan tentang perawatan untuk membangun
kepercayaan diri klien dan menumbuhkan rasa percaya.

Post operasi

1. Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik


Tujuan : Dalam waktu .... x 24 jam setelah diberi tindakan nyeri
klien berkurang / terkontrol
Kriteria Hasil :
 Skala nyeri 0-1 (dari 0-10)
 TTV dalam btas normal : TD : 120/80 mmHg, Nadi : 80-100 x/menit,
RR : 18-20 x/menit dan Term : 36,5ºC-37,5ºC
 Wajah tidak tampak meringis
 Klien tampak rileks

Intervensi

 Lakukan pengkajian secara komprehensif tentang nyeri meliputi


lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas,, intensitas nyeri dan
faktor presipitaasi
 Observasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan (misalnya
meringis) terutama ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara
efektif
 Minta klien untuk menggunakan sebuah skla 1 sampai 10 untuk
menjelaskan tingkat nyerinya (dengan nilai 10 menandakan tingkat
nyeri paling berat)
 Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik (relaksasi, latihan napas
dalam, sentuhan terapeutik dan distraksi)
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tindakan anestesi, kelemahan
dan penurunan sirkulasi
Tujuan : Dalam waktu ..... x 24 jam setelah diberi tindakan klien dapat
melakukan aktivitas tanpa adanya komplikasi
Kriteria Hasil :
 Klien mampu melakukan aktivitasnya secara mandiri
 Klien menyatakan rasa puas dengan setiap tingkat aktivitas baru yang
dapat dicapai
 TD, N, RR dan T tetap dalam batas normal selama aktivitas
Intervensi
 Diskusikan dengan klien tentang perlunya beraktivitas
 Instruksikan dan bantu klien untuk beraktivitas diselingi istirahat
 Identifikasi aktivitas-aktivitas klien yang diinginkan dan sangat berarti
baginya
 Identifikasi dan minimalkan faktor-faktor yang dapat menurunkan
toleransi latihan klien
 Ajarkan kepada klien cara menghemat energi ketika melakukan
aktivitas sehari-hari. Misalnya duduk di kursi ketika berpakaian,
memakai baju ringan yang mudah digunakan.
 Evaluasi perkembangan kemampuan klien melakukan aktivitas
3. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif dan pembedahan
Tujuan : Dalam waktu .... x 24 jam setelah diberi tindakan diharapkan
klien tidak mengalami infeksi
Kriteria Hasil :
 Tidak terjadi tanda-tanda infeksi (kalor, dolor, rubor, tumor dan fungsi
laesea)
 Suhu dan nadi dalam batas normal (suhu : 36,5ºC-37,5ºC. Nadi : 80-
100 x/menit)
Intervensi

 Tinjau ulang kondisi dasar / faktor risiko yang ada sebelumnya. Catat
waktu pecah ketuban
 Kaji tanda adanya infeksi (kalor, rubor, tumor, dolor, fungsi lasea)
 Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptik
 Anjurkan klien dan keluarga untuk mencuci tangan sebelum/sesudah
menyentuh luka
 Pantau peningkatan suhu, nadi dan pemeriksaan laboratorium
 Anjurkan intake nutrisi yang cukup
 Kolaborasi penggunaan antibiotik sesuai indikasi
4. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tindakan pembedahan
Tujuan : Dalam waktu .... x 24 jam setelah diberi tindakan diharapkan
integritas kulit dan proteksi jaringan membaik
Kriteria Hasil :
 Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
 Kulit tetap lembab dan bersih
Intervensi
 Berikan perhatian dan perawatan pada kulit
 Lakukan latihan gerak pasif
 Lindungi kulit yang sehat dari kemungkinanan maserasi
 Anjurkan untuk menjaga kelembaban kulit
 Anjurkan untuk tetap menjaga kebersihan kulit

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologi
a) Sinar Rontgen
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3
dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit. Hal yang harus
dibaca pada x-ray adalah bayangan jaringan lunak, tipis tebalnya
korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga
rotasi, trobukulasi ada tidaknya rare fraction, sela sendi serta
bentuknya arsitektur sendi.
b) Tomografi
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik
khususnya seperti tomografi yang menggambarkan tidak satu
struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi.
Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana
tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
c) Myelografi
Menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di
ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
d) Computed Tomografi-Scanning
Menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana
didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
2. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboraorium yang diperrluakan amtar lain

pemeikssaan Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap

penyembuhan tulang, Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang

dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang,

Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5),

Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada

tahap penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995)


I. Pathway

Trauma langsung, trauma tidak langsung

Jaringan tidak kuat atau tidak dapat menahan


kekuatan dari luar

FRAKTUR

Perubahan letak fragmen Kehilangan fungsi kerusakan


kerusakan bagian-bagian lunak jaringan saraf

Keterbatasan gerak

Imobilitas Tindakan

Sirkulasi perifer berkurang

Iskemik
Konservatif Operatif Prosedur
pembedahan

Nekrosis
Gips,Traksi, OREF, ORIF jaringan Luka
J. Gambar
K. Daftar Pustaka

Gruendemann, Barbara J. dan Billie Fernsebner. 2005. Keperawatan


Perioperatif. Jakarta : EGC
Marrelli, T.M. 2007. Buku saku Dokemtasi Keperawatan. Jakarta : EGC
Nurjannah Intansari. 2010. Proses Keperawatan NANDA, NOC &NIC.
Yogyakarta : Moca Media
Taylor, Cynthia M. Taylor. 2002. Diagnosa keperawatan dengan Rencana
Asuhan. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai