Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN

ORIF & OREF

OKTAVIANUS PONTIANUS
185139015

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA
JAKARTA
2019
ORIF (OPEN REDUCTION INTERNAL FIXATION)
A. Pengertian
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) adalah suatu bentuk pembedahan dengan
pemasangan internal fiksasi pada tulang yang mengalami fraktur.
ORIF (Open Reduksi Internal Fiksasi),open reduksi merupakan suatu tindakan
pembedahan untuk memanipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah / fraktur sedapat
mungkin kembali seperti letak asalnya.Internal fiksasi biasanya melibatkan penggunaan
plat, sekrup, paku maupun suatu intramedulary (IM) untuk mempertahan kan fragmen
tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
ORIF (Open Reduction Internal Fixation) Merupakan tindakan pembedahan dengan
melakukan insisi pada derah fraktur, kemudian melakukan implant pins, screw, wires,
rods, plates dan protesa pada tulang yang patah
B. Tujuan tindakan operasi
Tujuan dari operasi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap
menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.
1. Imobilisasi sampai tahap remodeling
2. Melihat secara langsung area fraktur
3. mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak mengalami
pergeseran.
C. Indikasi
1. Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
2. Fraktur dengan gangguan neurovaskuler
3. Fraktur Kominutif
4. Fraktur Pelvis
5. Fraktur terbuka
6. Trauma vaskuler
7. Fraktur shaft humeri bilateral
8. Floating elbow injury
9. Fraktur patologis
10. Reduksi tertutup yang sukar dipertahankan
11. Trauma multiple
12. Fraktur terbuka derajatI II
D. Kontra indikasi
1. Pasien dengan penurunan kesadaran
2. Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan tulang
3. Pasien yang mengalami kelemahan (malaise)
E. Komplikasi
Pada kasus ini jarang sekali terjadi komplikasi karena incisi relatif kecil dan fiksasi
cenderung aman. Komplikasi akn terjadi bila ada penyakit penyerta dan gangguan pada
proses penyambungan tulang.
F. Pengkajian keperawatan
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Pada kasus fraktur, klien biasanya merasa
takut akan mengalami kecacatan pada dirinya. Oleh karena itu, klien harus menjalani
penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu juga,
dilakukan pengkajian yang meliputi kebiasaan hidup klien, seperti penggunaan obat
steroid yang dapat mengganggu metabolism kalsium, pengonsumsian alcohol yang
dapat mengganggu keseimbangan klien, dan apakah klien melakukan olah raga atau
tidak.
2. Pola nutrisi dan metabolism. Klien fraktur harus mengknsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari harinya, seperti kalsium, zat besi, protein, vitamin C, dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang.
3. Pola eliminasi. Urine dikaji frekwensi, kepekatan, warna, bau, dan jumlahnya. Feses
dikaji frekuensi, konsistensi, warna dan bau. Pada kedua pola ini juga dikaji adanya
kesulitan atau tidak.
4. Pola tidur dan istirahat. Semua klien fraktur biasanya merasa nyeri, geraknya terbatas,
sehingga dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Pengkajian juga
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, kesulitan tidur,
dan penggunaan obat tidur.
5. Pola aktifitas. Hal yang perlu dikaji adalah bentuk aktifitas klien terutama pekerjaan
klien, karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur.
6. Pola hubungan dan peran. Klien akan mengalami kehilangan peran dalam keluarga dan
masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
7. Pola persepsi dan konsep diri. Dampak yang timbul adalah ketakutan akan kecacatan
akibat fraktur, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas secara
optimal, dan gangguan citra diri.
8. Pola sensori dan kognitif. Pada klien fraktur, daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedangkan pada indera yang lain dan kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga timbul rasa nyeri akibat fraktur.
9. Pola reproduksi seksual. Klien tidak dapat melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap, mengalami keterbatasan gerak, serta merasa nyeri. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak dan lama perkawinan.
10. Pola penanggulangan stress. Timbul rasa cemas akan keadaan dirinya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien dapat tidak efektif.
11. Pola tata nilai dan keyakinan. Klien fraktur tidak dapat melakukan ibadah dengan
baik, hal ini disebabkan oleh rasa nyeri dan keterbatasan gerak klien.

A. Pemeriksaan Fisik
1. Gambaran Umum
a. Keadaan umum. Keadaan baik atau buruknya klien.
1. Kesadaran klien : compos mentis, gelisah, apatis, sopor, coma, yang
bergantung pada keadaan klien.
2. Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronis, ringan, sedang, berat, dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
3. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan, baik fungsi maupun
bentuk.
b. Secara Sistemik, dari kepala sampai kaki. Harus memperhitungkan keadaan
proksimal serta bagian distal klien, terutama mengenai status neurovaskuler.

2. Keadaan Lokal.
a. Look (Inspeksi). Perhatikan apa yang akan dilihat, antara lain :
1. Sikatriks (jaringan parut, baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi)
2. Fistula
3. Warna kemerahan atau kebiruan(livid) atau hiperpigmentasi
4. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal)
5. Posisi dan bentuk ekstremitas(deformitas)
6. Posisi jalan (gait,waktu masuk ke kamar periksa)
b. Feel (palpasi). Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi klien diperbaiki
mulai dari posisi netral (posisi anatomi).
1. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
2. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau edema terutama di
sekitar persendian.
3. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau
distal)
4. Tonus otot pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang.
c. Move (pergerakan terutama rentang gerak). Pemeriksaan dengan menggerakan
ekstremitas, kemudian mencatat apakah ada keluhan nyeri pada pergerakan.
Pergerakan yang dilihat adalah pergerakan aktif dan pasif.

G. Persiapan dan prosedur di ruang operasi


1. Inform concent
Surat persetujuan kepada pasien dan keluarga mengenai pemeriksaan sebelum operasi,
alasan, tujuan, keuntungan, kerugian tindakan operasi
2. Diit
Pasien dipuasakan selama 8 jam sebelum operasi
3. Persiapan kebersihan kulit
Untuk membebaskan daerah operasi dari mikroorganisme, persiapan yang dilakukan
adalah pencukuran rambut pada daerah perut , daerah sekitar anus dan alat reproduksi.
4. Terapi pharmacologic
Narkotik dihindari karena dapat menghilangkan tanda dan gejala, antibiotik untuk
menanggulangi infeksi
5. Pengecekan status
Mengecek status pasien sudah tepat dilakukan operasi orif, dengan menyesuaikan
diagnosanya. Apabila sudah tepat diagnosanya maka segera diantar ke ruang operasi
untuk dilakukan operasi
6. Persiapan alat dan ruangan
a. Alat tidak steril : Lampu operasi, Cuter unit, Meja operasi, Suction, Hepafik,
Gunting
b. Alat Steril : Duk besar 3, Baju operasi 4, Selang suction steril, Selang cuter
Steril,side 2/0, palain 2/0,berbagai macam ukuran jarum.
H. Tehnik pembedahan dan alat
1. Persiapan:
a. Alat-alat disiapkan
b. Pasien dipindahkan dari brancard ke meja operasi
c. Klien dipasang bedside monitor
d. Instrumentator dan operator mencuci tangan secara steril lalu mengenakan jas
operasi dan sarung tangan.
2. Pelaksanaan operasi
a. Klien diintubasi dengan ET sebelumnya dilakukan general anestesi
b. Klin diposisikan telentang dengan kepala sedikit ekstensi
c. Dalam stadium anastesi dilakukan disinfektan menggunakan betadine,kemudian
diblilas menggunakan alkohol 70 %
d. Dipasang linen (doek steril), difiksasi dengan doek klem, selanjutnya
ditutup/dipasang doek lubang besar(mempersempit area yang akan dioperasi).
e. Melakukan insisi dengan pisau bedah ± 10 cm,secara horizontal dari lapisan
kulit,lemak, otot.
f. Melakukan pemegangan tulang menggunakan reduction,kemudian
memposisikannya pada posisi semula,kemudian memasang plate pada tlang sambil
memegang dengan retractor dan melakukan pengeburan, memasang plate dan screw
sebanyak 7 dengan obeng.
g. Control perdarahan  perdarahan disuction atau dep dengan kassa,dan memakai
cuter.
h. Memposisikan tulang dengan keadaan semula,mengukur panjang plate dan screw
i. Kemudian tulang di bor dan diukur kedalaman bor dengan alat penduga
j. Memasang plate dan screw pada tulang yang telag dibor
k. Mencuci dengan NaCl, dan memastikan tidak ada lagi perdarahan.
l. Melakukan hecting dengan polisorb 2-0, pada sevi menggunakan safil 2-0 dan pada
bagian kulit menggunakan byosin 4-0
m. Menutup luka dengan sufra tulle, kasa dan diplester.
n. Daerah area operasi dibersihkan dengan Nacl 0,9%, dan handuk basah.
o. Operasi selesai, mengobservasi A, B, C, ET dilepaskan
p. Klien dipindahkan ke brancard dan pindahkan keruang recovery.
 boar :1  satu set perlengkapan ET : 1 set.
 redaction : 2  gunting jaringan :2
 retractor : 2  gunting benang :1
 lastpat :2  pingset sirurgis :2
 arteri klem panjang :2  pingset anatomis : 2
 arteri klem kecil/pendek : 2/2  mangkok(kom) :2
 nakulder : 1  quret :1
 duk klem : 1  jarum traumatik maupun atraumatik :
 kobra :2 1
 kassa kecil : 20  couter :1
 duk steril :3  suction :1
 plate :1  benang : polysorb 2-0, biopsin 4-
 screw :6 0
 penduga :1  penduga : 1

3. Diagnosa preoperatif
a. Nyeri akut berhubungan denganagen cidera fisik (farktur)
b. Cemas berhubungan dengan proses operasi

Intervensi :
a. Nyeri akut berhubungan denganagen cidera fisik (farktur)
Tujuan : Nyeri pasien dapat berkurang
kriteria hasil :
1. Skala nyeri berkurang menjadi 4
2. Klien mampu mengontrol nyeri dengan tehnik nonfarmakologi
3. TTV dalam batas normal
Intervensi :
1. Kaji nyeri klien (P,Q,R,S,T)
2. Ajarkan tehnik nonfarmakologi /tehnik relaksasi(tarik nafas dalam)
3. Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik
4. Tingkatkan istirahat

b. Cemas berhubungan dengan proses operasi


Tujuan : Cemas pasien dapat teratasi
kriteria hasil :
1. Kontak mata baik
2. Pasien terlihat tenang
3. Pasien tidak gelisah
4. TD normal
5. Pasien dapat mengungkapkan keluhannya
Intervensi :
1. Kaji faktor penyebab kecemasan pasien.
2. Berikan dukungan kepada pasien.
3. Jelaskan prosedur operasi
4. Observasi reaksi nonverbal pasien.
5. Temani pasien dan dengarkan keluhan pasien
6. Tunjukkan sikap empati kepada pasien

4. Diagnosa inta operasi


a. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d produksi mucus
b. Gangguan pertukaran gas b/d efek anastesi ( spasme broncus )
c. Resiko infeksi b/d prosedur invasif (pembedahan)

Intervensi :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d produksi mucus
Tujuan : Jalan napas pasien efektif
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat bernapas dengan mudah
2. Tidak ada suara napas tambahan/suara napas bersih
3. RR dalam rentang normal
4. Tidak ada secret
Intervensi
1. Lakukan suction
2. Berikan terapi O2
3. Atur posisi pasien ekstensikan kepala pasien 30 derajat dari kaki/ miringkan
pasien
4. Ajarkan batuk efektif

b. Gangguan pertukaran gas b/d efek anastesi ( spasme broncus )


Tujuan : Tidak terjadi ganguan pertukaran gas
Kriteria Hasil :
1. Tidak ada sianosis
2. Kesadaran composmentis
3. Suara napas bersih
4. TTV dalam rentang normal
5. Sputum dapat keluar dengan mudah
6. Saturasi o2 dalam rentang normal

Intervensi :
1. Buka jalan napas dengan manuver chin lift atau jaw trust
2. Pasang mayo
3. Lakukan suction pada mayo
4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
5. Monitor RR (kedalaman, irama, frekuansi, suara napas)

c. Resiko infeksi b/d prosedur invasif (pembedahan)


Tujuan : Resiko infeksi dapat teratasi
Kriteria Hasil :
1. TTV dalam rentang normal
2. Tidak ada tanda-tanda infeksi
3. Luka bersih
4. Perdarahan < 500 ml
Intervensi :
1. Monitor TTV
2. Monitor tanda-tanda infeksi.
3. pertahankan teknik aseptic selama proses pembedahan.
4. Lakukan pencucian tangan sebelum dan sedudah bertemu pasien
5. Observasi pelaksanaan pembedahan dengan menggunakan teknik steril.
6. Monitor keadaan luka
7. Tutup rapat luka dengan jahitan yang rapi.
8. Jaga luka agar tidak terkontaminasi dari lingkungan

5. Diagnosa post operasi


a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan Obstruksi jalan napas :
Produksi mucus
b. Resiko cidera (Injury) berhubungan dengan Efek anastesi

Intervensi :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan Obstruksi jalan napas :
Produksi mucus
Tujuan : Jalan napas pasien efektif
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat bernapas dengan mudah
2. Tidak ada suara napas tambahan/suara napas bersih
3. RR dalam rentang normal
4. Tidak ada secret
Intervensi :
1. Lakukan suction
2. Berikan terapi O2
3. Atur posisi pasien ekstensikan kepala pasien 30 derajat dari kaki/ miringkan
pasien
4. Ajarkan batuk efektif

b. Resiko cidera (Injury) berhubungan dengan Efek anastesi


Tujuan : Resiko cidera dapat teratasi
Kriteria Hasil :
1. Tidak ada lagi efek dari obat anastesi
2. Pasien mengungkapkan rasa nyaman.
3. Kesadaran composmentis
Intervensi :
1. Sediakan lingkungan yang aman bagi pasien
2. Temani pasien agar tidak jatuh
3. Pasang side rail tempat tidur
4. Anjurkan keluarga untuk menemani pasien nanti saat di bangsal
5. Mengontrol lingkungan dari kebisingan.

OREF (OPEN REDUCTION EXTERNAL FIXATION)


A. Pengertian
OREF adalah reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal di mana prinsipnya tulang
ditransfiksasikan di atas dan di bawah fraktur , sekrup atau kawat ditransfiksi di bagian
proksimal dan distal kemudian dihubungkan satu sama lain dengan suatu batang lain.
Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak . Alat ini memberikan dukungan yang stabil untuk fraktur kominutif ( hancur atau
remuk ) . Pin yang telah terpasang dijaga agar tetap terjaga posisinya , kemudian dikaitkan
pada kerangkanya. Fiksasi ini memberikan rasa nyaman bagi pasien yang mengalami
kerusakan fragmen tulang.

B. Tujuan OREF
Tujuan dilakukan tindakan antara lain :
1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
2. Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka
jaringan disekitar tulang yang patah tersebut.
3. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
4. Agar terjadi penyatuan tulang kembali
5. Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan
menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun terkadang terdapat gangguan
dalam penyatuan tulang, sehingga dibutuhkan graft tulang.
6. Untuk mengembalikan fungsi seperti semula
7. Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan kakunya sendi. Maka
dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin

C. Indikasi OREF
1. Fraktur terbuka grade II (Seperti grade I dengan memar kulit dan otot ) dan III (Luka
sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah, syaraf otot dan kulit )
2. Fraktur terbuka yang disertai hilangnya jaringan atau tulang yang parah.
3. Fraktur yang sangat kominutif ( remuk ) dan tidak stabil.
4. Fraktur yang disertai dengan kerusakan pembuluh darah dan saraf.
5. Fraktur pelvis yang tidak bisa diatasi dengan cara lain.
6. Fraktur yang terinfeksi di mana fiksasi internal mungkin tidak cocok. Misal : infeksi
pseudoartrosis ( sendi palsu ).
7. Non union yang memerlukan kompresi dan perpanjangan.
8. Kadang – kadang pada fraktur tungkai bawah diabetes melitus

D. Keuntungan dan Komplikasi OREF


Keuntungan eksternal fiksasi adalah :
1. Fiksator ini memberikan kenyamanan bagi pasien , mobilisasi awal dan latihan awal
untuk sendi di sekitarnya sehingga komplikasi karena imobilisasi dapat diminimalkan
2. Sedangkan komplikasinya adalah :.
a. Infeksi di tempat pen ( osteomyelitis ).
b. Kekakuan pembuluh darah dan saraf.
c. Kerusakan periostium yang parah sehingga terjadi delayed union atau non union .
d. Emboli lemak.
e. Overdistraksi fragmen.

E. Hal – hal yang Harus Diperhatikan pada Klien dengan Pemasangan Eksternal
Fiksasi
1. Persiapan psikologis
Penting sekali mempersiapkan pasien secara psikologis sebelum dipasang fiksator
eksternal Alat ini sangat mengerikan dan terlihat asing bagi pasien. Harus diyakinkan
bahwa ketidaknyamanan karena alat ini sangat ringan dan bahwa mobilisasi awal dapat
diantisipasi untuk menambah penerimaan alat ini, begitu juga keterlibatan pasien pada
perawatan terhadap perawatan fiksator ini.
2. Pemantauan terhadap kulit, darah, atau pembuluh saraf.
Setelah pemasangan fiksator eksternal , bagian tajam dari fiksator atau pin harus
ditutupi untuk mencegah adanya cedera akibat alat ini. Tiap tempat pemasangan pin
dikaji mengenai adanya kemerahan , keluarnya cairan, nyeri tekan, nyeri dan
longgarnya pin.Perawat harus waspada terhadap potensial masalah karena tekanan
terhadap alat ini terhadap kulit, saraf, atau pembuluh darah.
3. Pencegahan infeksi
Perawatan pin untuk mencegah infeksi lubang pin harus dilakukan secara rutin. Tidak
boleh ada kerak pada tempat penusukan pin, fiksator harus dijaga kebersihannya. Bila
pin atau klem mengalami pelonggaran , dokter harus diberitahu. Klem pada fiksator
eksternal tidak boleh diubah posisi dan ukurannya.
4. Latihan isometrik
Latihan isometrik dan aktif dianjurkan dalam batas kerusakan jaringan bisa menahan.
Bila bengkak sudah hilang, pasien dapat dimobilisasi sampai batas cedera di tempat
lain. Pembatasan pembebanan berat badan diberikan untuk meminimalkan pelonggaran
puin ketika terjadi tekanan antara interface pin dan tulang.
F. Patofisiologi
TraumaPatologi
, Patologi
Trauma,

Fraktur

Luka Terbuka

Kehilangan integritas OREF, pembedahan Kehilangan cairan


tulang

Terputusnya immobilisasi Syok hipovolemik


Kerusakan rongga jaringan lunak
neuromuskular
Dipasang infus dan
transfusi
Deficit perawatan
Kerusakan mobilitas diri
fisik
Saluran invasif

Kerusakan Nyeri akut


integritas kulit
Resiko tinggi

infeksi
G. Penatalaksanaan dan Perawatan OREF
1. Pencegahan Infeksi pada OREF
Merawat luka adalah untuk mencegah trauma pada kuit, membran mukosa atau
jaringan lain yang disebabkan oleh adanya trauma , fraktur, luka operasi yang dapat
merusak permukaan kulit.
Tujuan Melakukan Perawatan Luka
Tujuan untuk melakukan perawatan luka adalah :
a. Memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka.
b. Absorbsi drainase.
c. Menekan dan imobilisasi luka.
d. Mencegah jaringan epitel baru dari cedera mekanis.
e. Mencegah luka dari kontaminasi.
f. Memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien
2. Pencegahan Injury
a. Pencegahan Injury dengan Traksi
Traksi adalah Suatu pemasangan gaya tarikan pada bagian tubuh. Traksi digunakan
untuk meminimalkan spasme otot ; untuk mereduksi, mensejajarkan, dan
mengimobilisasi fraktur ; untuk mengurangi deformitas, dan untuk menambah
ruangan diantara kedua permukaan patahan tulang. Traksi harus diberikan dengan
arah dan besaran yang diinginka untuk mendapatkan efek terapeutik. (Smeltzer &
Bare, 2001 ).
1. Keuntungan pemakaian traksi
a. Menurunkan nyeri spasme
b. Mengoreksi dan mencegah deformitas
c. Mengimobilisasi sendi yang sakit
2. Kerugian pemakaian traksi
a. Perawatan RS lebih lama
b. Mobilisasi terbatas
c. Penggunaan alat-alat lebih banyak.
3. Prinsip Perawatan Traksi
a. Berikan tindakan kenyamanan ( contoh: sering ubah posisi, pijatan punggung )
dan aktivitas terapeutik
b. Berikan obat sesuai indikasi contoh analgesik relaksan otot.
c. Berikan pemanasan lokal sesuai indikasi.
d. Beri penguatan pada balutan awal/ pengganti sesuai dengan indikasi, gunakan
teknik aseptic dengan tepat.
e. Pertahankan linen klien tetap kering, bebas keriput.
f. Anjurkan klien menggunakan pakaian katun longgar.
g. Dorong klien untuk menggunakan manajemen stress, contoh: bimbingan
imajinasi, nafas dalam.
h. Kaji derajat imobilisasi yang dihasilkan
i. Identifikasi tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh:
edema, eritema.
4. Pencegahan Injury dengan Latihan aktif
5. Definisi ROM
Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk
mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan
menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa
otot dan tonus otot dan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan ataupun
untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal
6. Jenis ROM
a. ROM Pasif
Latihan ROM pasif adalah latihan ROM yang di lakukan pasien dengan
bantuan perawat setiap-setiap gerakan. Indikasi latihan fasif adalah pasien
semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak
mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri,
pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total (suratun,
dkk, 2008). Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-
otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif
misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
b. ROM Aktif
Latihan ROM aktif adalah Perawat memberikan motivasi, dan membimbing
klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan
rentang gerak sendi normal. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan
otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif
c. Pergerakan aktif adalah dimana seseorang yang bisa untuk melakukan latihan /
menggerakan anggota tubuh dengan kekuatannya sendiri tanpa dibantu oleh
orang lain.
7. Tujuan
a. Mencegah terjadinya kelumpuhan pada otot – otot.
b. Memprlancar predaran darah.
c. Mencegah terjadinya atrofi.
d. Untuk mendorong dan membantu agar pasien dapat menggunakan lagi anggota
gerak yang lumpuh.

H. Diagnosa Keperawatan
1. Pre operasi :
a. Nyeri b/d trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat fraktur ditandai
dengan mengeluh sakit, sulit bergerak, tampak meringis dan memegangi tubuh yang
cedera
b. Kecemasan b/d ancaman integritas biologis sekunder akibat operasi d/d mengeluh
takut operasi, takut dipasang alat, khawatir tangan dan kaki tidak berfungsi, tampak
gelisah dan murung , tachicardi.
2. Post operasi :
a. Resti infeksi b/d tempat masuknya organisme sekunder akibat adanya jalur invasif
(pin ).
b. Resiko cedera b/d terpasang alat berujung tajam
c. Hambatan mobilitas fisik b/d alat eksternal fiksasi
d. Gangguan citra tubuh b/d perubahan dalam penampilan sekunder akibat
pemasangan eksternal fiksasi
e. Resiko penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif b/d ketidaktahuan tentang
perawatan eksternal fiksasi

I. Intervensi Keperawatan
1. Pre operasi
a. Nyeri b/d trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat fraktur ditandai
dengan mengeluh sakit, sulit bergerak, tampak meringis dan memegangi tubuh yang
cedera
Tujuan : Keluhan nyeri berkurang.
Rencana tindakan Rasionalisasi
a. Kaji tingkat nyeri dan intensitas. a. Mengetahui tingkat nyeri
b. b. Ajarkan teknik distraksi selama b. b. Mengurangi nyeri tanpa
nyeri akut tindakan invasif
c. c. Observasi vital sign c. c.Tingkat nyeri dapat diketahui
d. d. Kolaboratif pemberian obat dari vital sign.
analgesik dan kaji efektivitasnya. d. d. Mengatasi nyeri pasien dan
menyusun rencana selanjutnya
bila nyeri tidak bisa diatasi
dengan analgesik.

b. Kecemasan b/d ancaman integritas biologis sekunder akibat operasi d/d mengeluh
takut operasi, takut dipasang alat, khawatir tangan dan kaki tidak berfungsi, tampak
gelisah dan murung , tachicardi.
Tujuan : Kecemasan klien berkurang.
Rencana tindakan Rasionalisasi
a. Kaji tingkat ansietas a. a. Sebagai acuan membuat
b. b. Beri kenyamanan dan strategi tindakan.
ketentraman hati, perlihatkan rasa b. b. Agar pasien lebih tenang
empati. menghadapi operasi.
c. c. Bila ansietas berkurang , beri c. c. Bila keadaan klien lebih tenang
penjelasan tentang operasi , maka klien akan lebih mudah
pemasangan eksternal fiksasi, serta menerima penjelasan yang
persiapan yang harus dilakukan. diberikan.

2. Post operasi
a. Resti infeksi b/d tempat masuknya organisme sekunder akibat adanya jalur invasif
(pin).
Tujuan : Tidak terjadi infeksi
Rencana tindakan Rasionalisasi
a. a. Jaga kebersihan di daerah a. Mencegah kolonisasi kuman.
pemasangan eksternal fiksasi. b. b. Mencegah infeksi kuman
b. b. Lakukan perawatan luka secara melalui pin
aseptik di daerah pin. c. c. Menemukan tanda-tanda infeksi
cc. Observasi vital sign dan tanda- secara dini.
tanda infeksi sistemik maupun d. Untuk mencegah atau
lokal ( demam, nyeri, kemerahan, mengobati infeksi.
keluar cairan, pelonggaran pin )
d.d. Kolaboratif pemberian
antibiotika.

b. Resiko cedera b/d terpasang alat berujung tajam


Tujuan : Tidak terjadi cedera /trauma akibat alat yang dipasang.

Rencana tindakan Rasionalisasi


a. Tutup ujung-ujung pin a. Mencegah cedera akibat
atau fiksator yang tajam alat yang tajam
b. Beri penjelasan pada klien b. Agar pasien
agar berhati – hati dengan mengantisipasi gerakan
alat yang terpasang untuk mencegah cedera.

c. Hambatan mobilitas fisik b/d alat eksternal fiksasi


Tujuan : Klien mampu memperlihatkan kemampuan mobilitas.

Rencana Tindakan Rasionalisasi


a. Latih bagian tubuh yang a. a. Mencegah terjadinya atrofi
sehat dengan latihan ROM disuse .
b. Bila bengkak pada daerah b. b. Membantu meningkatkan
pemasangan eksternal kekuatan
fiksasi sudah berkurang, c. c. Mempercepat kemampuan
latih pasien untuk latihan klien untuk mandiri serta
isometrik di daerah meningkatkan rasa percaya diri
tersebut. klien.
c. Latih pasien menggunakan
alat bantu jalan

d. Gangguan citra tubuh b/d perubahan dalam penampilan sekunder akibat


pemasangan eksternal fiksasi
Tujuan : Klien mempunyai gambaran diri yang positif

Rencana Tindakan Rasionalisasi


a. Dorong individu untuk a. Dapat mengidentifikasi
mengekspresikan pikiran, gambaran klien tentang
perasaan, pandangan dirinya.
tentang dirinya. b. Membantu meningkatkan
b. Ungkapkan aspek positif rasa percaya diri klien.
dari klien. c. Merngurangi kecemasan,
c. Libatkan orang-orang meningkatkan rasa percaya
terdekat untuk : diri dan adaptasi terhadap
- berbagi perasaan keadaan sekarang,serta
dan ketakutan dengan memperoleh citra diri yang
klien positif.
- mengidentifikasi aspek
positif klien dan cara
mengungkapkannya
- menerima perubahan
fisik dan emosional
klien.

e. Resiko penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif b/d ketidaktahuan tentang


perawatan eksternal fiksasi
Tujuan : Klien dapat menunjukkan prilaku yang mendukung penatalaksanaan
program terapi.

Rencana tindakan Rasionalisasi


a. Berikan pengertian bahwa a. Agar secara psikologis klien
OREF memerlukan masa terbiasa dengan alat yang
penyembuhan yang relatif terpasang di bagian
lama ( 6-8 bulan ). tubuhnya
b. Jelaskan tahap – tahap b. Klien mempunyai gambaran
tindakan yang mungkin umum tindakan yang akan
akan dilakukan pada klien. dilakukan sehingga klien
c. Jelaskan pada klien dan menjadi lebih kooperatif.
keluarga tentang perawatan c. Menjamin kesinambungan
eksternal fiksasi di rumah.. program pengobatan .
Dorong keluarga untuk
memantau keefektifan
program terapi.
DAFTAR PUSTAKA

Amin H,2012. Aplikasi asuhan keperawatan nerdasarkan NANDA NOC NIC. Yogyakarta:
Media hardy

Anonim. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Fraktur. From:


http://copyaskep.wordpress.com/2010/11/04/asuhan-keperawatan-klien-dengan-
fraktur/.Minggu 7 september 2014 : 10.00

Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3. Jakarta :
EGC

Carpenito – Moyet, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Edisi 10, EGC<
Jakarta, 2007.

Lukman, & Ningsih, N. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskletal. Jakarta : Salemba Medika

M.A Henderson. 2000. Ilmu Bedah untuk Perawat. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica
Mansjoer, A. Dkk . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculopius

Muttaqin, Arif, Ns, S.Kep, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Muskuloskeletal, EGC, Jakarta, 2008.

North American Nursing Diagnosis Association. 2001. Nursing Diagnosis : Definition and
Classification 2009-2011. NANDA International. Philadelphia.

Smeltzer, G. Bare, Keperawatan Medikal – Bedah Brunner & Suddarth, Edisi 8,


EGC,Jakarta, 2002.

Anda mungkin juga menyukai