OKTAVIANUS PONTIANUS
185139015
A. Pemeriksaan Fisik
1. Gambaran Umum
a. Keadaan umum. Keadaan baik atau buruknya klien.
1. Kesadaran klien : compos mentis, gelisah, apatis, sopor, coma, yang
bergantung pada keadaan klien.
2. Kesakitan, keadaan penyakit : akut, kronis, ringan, sedang, berat, dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
3. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan, baik fungsi maupun
bentuk.
b. Secara Sistemik, dari kepala sampai kaki. Harus memperhitungkan keadaan
proksimal serta bagian distal klien, terutama mengenai status neurovaskuler.
2. Keadaan Lokal.
a. Look (Inspeksi). Perhatikan apa yang akan dilihat, antara lain :
1. Sikatriks (jaringan parut, baik yang alami maupun buatan seperti bekas
operasi)
2. Fistula
3. Warna kemerahan atau kebiruan(livid) atau hiperpigmentasi
4. Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal)
5. Posisi dan bentuk ekstremitas(deformitas)
6. Posisi jalan (gait,waktu masuk ke kamar periksa)
b. Feel (palpasi). Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi klien diperbaiki
mulai dari posisi netral (posisi anatomi).
1. Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
2. Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau edema terutama di
sekitar persendian.
3. Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau
distal)
4. Tonus otot pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang terdapat di
permukaan atau melekat pada tulang.
c. Move (pergerakan terutama rentang gerak). Pemeriksaan dengan menggerakan
ekstremitas, kemudian mencatat apakah ada keluhan nyeri pada pergerakan.
Pergerakan yang dilihat adalah pergerakan aktif dan pasif.
3. Diagnosa preoperatif
a. Nyeri akut berhubungan denganagen cidera fisik (farktur)
b. Cemas berhubungan dengan proses operasi
Intervensi :
a. Nyeri akut berhubungan denganagen cidera fisik (farktur)
Tujuan : Nyeri pasien dapat berkurang
kriteria hasil :
1. Skala nyeri berkurang menjadi 4
2. Klien mampu mengontrol nyeri dengan tehnik nonfarmakologi
3. TTV dalam batas normal
Intervensi :
1. Kaji nyeri klien (P,Q,R,S,T)
2. Ajarkan tehnik nonfarmakologi /tehnik relaksasi(tarik nafas dalam)
3. Kolaborasi dengan dokter pemberian analgetik
4. Tingkatkan istirahat
Intervensi :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d produksi mucus
Tujuan : Jalan napas pasien efektif
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat bernapas dengan mudah
2. Tidak ada suara napas tambahan/suara napas bersih
3. RR dalam rentang normal
4. Tidak ada secret
Intervensi
1. Lakukan suction
2. Berikan terapi O2
3. Atur posisi pasien ekstensikan kepala pasien 30 derajat dari kaki/ miringkan
pasien
4. Ajarkan batuk efektif
Intervensi :
1. Buka jalan napas dengan manuver chin lift atau jaw trust
2. Pasang mayo
3. Lakukan suction pada mayo
4. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
5. Monitor RR (kedalaman, irama, frekuansi, suara napas)
Intervensi :
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan Obstruksi jalan napas :
Produksi mucus
Tujuan : Jalan napas pasien efektif
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat bernapas dengan mudah
2. Tidak ada suara napas tambahan/suara napas bersih
3. RR dalam rentang normal
4. Tidak ada secret
Intervensi :
1. Lakukan suction
2. Berikan terapi O2
3. Atur posisi pasien ekstensikan kepala pasien 30 derajat dari kaki/ miringkan
pasien
4. Ajarkan batuk efektif
B. Tujuan OREF
Tujuan dilakukan tindakan antara lain :
1. Untuk menghilangkan rasa nyeri.
2. Nyeri yang timbul pada fraktur bukan karena frakturnya sendiri, namun karena terluka
jaringan disekitar tulang yang patah tersebut.
3. Untuk menghasilkan dan mempertahankan posisi yang ideal dari fraktur.
4. Agar terjadi penyatuan tulang kembali
5. Biasanya tulang yang patah akan mulai menyatu dalam waktu 4 minggu dan akan
menyatu dengan sempurna dalam waktu 6 bulan. Namun terkadang terdapat gangguan
dalam penyatuan tulang, sehingga dibutuhkan graft tulang.
6. Untuk mengembalikan fungsi seperti semula
7. Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan mengecilnya otot dan kakunya sendi. Maka
dari itu diperlukan upaya mobilisasi secepat mungkin
C. Indikasi OREF
1. Fraktur terbuka grade II (Seperti grade I dengan memar kulit dan otot ) dan III (Luka
sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah, syaraf otot dan kulit )
2. Fraktur terbuka yang disertai hilangnya jaringan atau tulang yang parah.
3. Fraktur yang sangat kominutif ( remuk ) dan tidak stabil.
4. Fraktur yang disertai dengan kerusakan pembuluh darah dan saraf.
5. Fraktur pelvis yang tidak bisa diatasi dengan cara lain.
6. Fraktur yang terinfeksi di mana fiksasi internal mungkin tidak cocok. Misal : infeksi
pseudoartrosis ( sendi palsu ).
7. Non union yang memerlukan kompresi dan perpanjangan.
8. Kadang – kadang pada fraktur tungkai bawah diabetes melitus
E. Hal – hal yang Harus Diperhatikan pada Klien dengan Pemasangan Eksternal
Fiksasi
1. Persiapan psikologis
Penting sekali mempersiapkan pasien secara psikologis sebelum dipasang fiksator
eksternal Alat ini sangat mengerikan dan terlihat asing bagi pasien. Harus diyakinkan
bahwa ketidaknyamanan karena alat ini sangat ringan dan bahwa mobilisasi awal dapat
diantisipasi untuk menambah penerimaan alat ini, begitu juga keterlibatan pasien pada
perawatan terhadap perawatan fiksator ini.
2. Pemantauan terhadap kulit, darah, atau pembuluh saraf.
Setelah pemasangan fiksator eksternal , bagian tajam dari fiksator atau pin harus
ditutupi untuk mencegah adanya cedera akibat alat ini. Tiap tempat pemasangan pin
dikaji mengenai adanya kemerahan , keluarnya cairan, nyeri tekan, nyeri dan
longgarnya pin.Perawat harus waspada terhadap potensial masalah karena tekanan
terhadap alat ini terhadap kulit, saraf, atau pembuluh darah.
3. Pencegahan infeksi
Perawatan pin untuk mencegah infeksi lubang pin harus dilakukan secara rutin. Tidak
boleh ada kerak pada tempat penusukan pin, fiksator harus dijaga kebersihannya. Bila
pin atau klem mengalami pelonggaran , dokter harus diberitahu. Klem pada fiksator
eksternal tidak boleh diubah posisi dan ukurannya.
4. Latihan isometrik
Latihan isometrik dan aktif dianjurkan dalam batas kerusakan jaringan bisa menahan.
Bila bengkak sudah hilang, pasien dapat dimobilisasi sampai batas cedera di tempat
lain. Pembatasan pembebanan berat badan diberikan untuk meminimalkan pelonggaran
puin ketika terjadi tekanan antara interface pin dan tulang.
F. Patofisiologi
TraumaPatologi
, Patologi
Trauma,
Fraktur
Luka Terbuka
infeksi
G. Penatalaksanaan dan Perawatan OREF
1. Pencegahan Infeksi pada OREF
Merawat luka adalah untuk mencegah trauma pada kuit, membran mukosa atau
jaringan lain yang disebabkan oleh adanya trauma , fraktur, luka operasi yang dapat
merusak permukaan kulit.
Tujuan Melakukan Perawatan Luka
Tujuan untuk melakukan perawatan luka adalah :
a. Memberikan lingkungan yang memadai untuk penyembuhan luka.
b. Absorbsi drainase.
c. Menekan dan imobilisasi luka.
d. Mencegah jaringan epitel baru dari cedera mekanis.
e. Mencegah luka dari kontaminasi.
f. Memberikan rasa nyaman mental dan fisik pada pasien
2. Pencegahan Injury
a. Pencegahan Injury dengan Traksi
Traksi adalah Suatu pemasangan gaya tarikan pada bagian tubuh. Traksi digunakan
untuk meminimalkan spasme otot ; untuk mereduksi, mensejajarkan, dan
mengimobilisasi fraktur ; untuk mengurangi deformitas, dan untuk menambah
ruangan diantara kedua permukaan patahan tulang. Traksi harus diberikan dengan
arah dan besaran yang diinginka untuk mendapatkan efek terapeutik. (Smeltzer &
Bare, 2001 ).
1. Keuntungan pemakaian traksi
a. Menurunkan nyeri spasme
b. Mengoreksi dan mencegah deformitas
c. Mengimobilisasi sendi yang sakit
2. Kerugian pemakaian traksi
a. Perawatan RS lebih lama
b. Mobilisasi terbatas
c. Penggunaan alat-alat lebih banyak.
3. Prinsip Perawatan Traksi
a. Berikan tindakan kenyamanan ( contoh: sering ubah posisi, pijatan punggung )
dan aktivitas terapeutik
b. Berikan obat sesuai indikasi contoh analgesik relaksan otot.
c. Berikan pemanasan lokal sesuai indikasi.
d. Beri penguatan pada balutan awal/ pengganti sesuai dengan indikasi, gunakan
teknik aseptic dengan tepat.
e. Pertahankan linen klien tetap kering, bebas keriput.
f. Anjurkan klien menggunakan pakaian katun longgar.
g. Dorong klien untuk menggunakan manajemen stress, contoh: bimbingan
imajinasi, nafas dalam.
h. Kaji derajat imobilisasi yang dihasilkan
i. Identifikasi tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh:
edema, eritema.
4. Pencegahan Injury dengan Latihan aktif
5. Definisi ROM
Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk
mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan
menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa
otot dan tonus otot dan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan ataupun
untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal
6. Jenis ROM
a. ROM Pasif
Latihan ROM pasif adalah latihan ROM yang di lakukan pasien dengan
bantuan perawat setiap-setiap gerakan. Indikasi latihan fasif adalah pasien
semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak
mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri,
pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total (suratun,
dkk, 2008). Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-
otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif
misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
b. ROM Aktif
Latihan ROM aktif adalah Perawat memberikan motivasi, dan membimbing
klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan
rentang gerak sendi normal. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan
otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif
c. Pergerakan aktif adalah dimana seseorang yang bisa untuk melakukan latihan /
menggerakan anggota tubuh dengan kekuatannya sendiri tanpa dibantu oleh
orang lain.
7. Tujuan
a. Mencegah terjadinya kelumpuhan pada otot – otot.
b. Memprlancar predaran darah.
c. Mencegah terjadinya atrofi.
d. Untuk mendorong dan membantu agar pasien dapat menggunakan lagi anggota
gerak yang lumpuh.
H. Diagnosa Keperawatan
1. Pre operasi :
a. Nyeri b/d trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat fraktur ditandai
dengan mengeluh sakit, sulit bergerak, tampak meringis dan memegangi tubuh yang
cedera
b. Kecemasan b/d ancaman integritas biologis sekunder akibat operasi d/d mengeluh
takut operasi, takut dipasang alat, khawatir tangan dan kaki tidak berfungsi, tampak
gelisah dan murung , tachicardi.
2. Post operasi :
a. Resti infeksi b/d tempat masuknya organisme sekunder akibat adanya jalur invasif
(pin ).
b. Resiko cedera b/d terpasang alat berujung tajam
c. Hambatan mobilitas fisik b/d alat eksternal fiksasi
d. Gangguan citra tubuh b/d perubahan dalam penampilan sekunder akibat
pemasangan eksternal fiksasi
e. Resiko penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif b/d ketidaktahuan tentang
perawatan eksternal fiksasi
I. Intervensi Keperawatan
1. Pre operasi
a. Nyeri b/d trauma jaringan dan refleks spasme otot sekunder akibat fraktur ditandai
dengan mengeluh sakit, sulit bergerak, tampak meringis dan memegangi tubuh yang
cedera
Tujuan : Keluhan nyeri berkurang.
Rencana tindakan Rasionalisasi
a. Kaji tingkat nyeri dan intensitas. a. Mengetahui tingkat nyeri
b. b. Ajarkan teknik distraksi selama b. b. Mengurangi nyeri tanpa
nyeri akut tindakan invasif
c. c. Observasi vital sign c. c.Tingkat nyeri dapat diketahui
d. d. Kolaboratif pemberian obat dari vital sign.
analgesik dan kaji efektivitasnya. d. d. Mengatasi nyeri pasien dan
menyusun rencana selanjutnya
bila nyeri tidak bisa diatasi
dengan analgesik.
b. Kecemasan b/d ancaman integritas biologis sekunder akibat operasi d/d mengeluh
takut operasi, takut dipasang alat, khawatir tangan dan kaki tidak berfungsi, tampak
gelisah dan murung , tachicardi.
Tujuan : Kecemasan klien berkurang.
Rencana tindakan Rasionalisasi
a. Kaji tingkat ansietas a. a. Sebagai acuan membuat
b. b. Beri kenyamanan dan strategi tindakan.
ketentraman hati, perlihatkan rasa b. b. Agar pasien lebih tenang
empati. menghadapi operasi.
c. c. Bila ansietas berkurang , beri c. c. Bila keadaan klien lebih tenang
penjelasan tentang operasi , maka klien akan lebih mudah
pemasangan eksternal fiksasi, serta menerima penjelasan yang
persiapan yang harus dilakukan. diberikan.
2. Post operasi
a. Resti infeksi b/d tempat masuknya organisme sekunder akibat adanya jalur invasif
(pin).
Tujuan : Tidak terjadi infeksi
Rencana tindakan Rasionalisasi
a. a. Jaga kebersihan di daerah a. Mencegah kolonisasi kuman.
pemasangan eksternal fiksasi. b. b. Mencegah infeksi kuman
b. b. Lakukan perawatan luka secara melalui pin
aseptik di daerah pin. c. c. Menemukan tanda-tanda infeksi
cc. Observasi vital sign dan tanda- secara dini.
tanda infeksi sistemik maupun d. Untuk mencegah atau
lokal ( demam, nyeri, kemerahan, mengobati infeksi.
keluar cairan, pelonggaran pin )
d.d. Kolaboratif pemberian
antibiotika.
Amin H,2012. Aplikasi asuhan keperawatan nerdasarkan NANDA NOC NIC. Yogyakarta:
Media hardy
Brunner dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3. Jakarta :
EGC
Carpenito – Moyet, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Edisi 10, EGC<
Jakarta, 2007.
Lukman, & Ningsih, N. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskletal. Jakarta : Salemba Medika
M.A Henderson. 2000. Ilmu Bedah untuk Perawat. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica
Mansjoer, A. Dkk . 2000 . Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculopius
Muttaqin, Arif, Ns, S.Kep, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
Muskuloskeletal, EGC, Jakarta, 2008.
North American Nursing Diagnosis Association. 2001. Nursing Diagnosis : Definition and
Classification 2009-2011. NANDA International. Philadelphia.