Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
LEUKEMIA
Disusun oleh
EVAN FAISHAL MAHADINATA
1810029012
Pembimbing
dr.Dhini Karunia, Sp.A
TUTORIAL KLINIK
LEUKEMIA
Oleh :
Evan Faishal Mahadinata (1810029012)
Pembimbing
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial tentang “Bronkopneumonia”.
Tutorial ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu
Kesehatan Anak Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih kepada :
1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman.
2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman.
3. dr. Hendra, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
4. dr. Dhini Karunia, Sp. A, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan saran selama penulis menjalani co-assistance di Laboratorium
Ilmu Kesehatan Anak, terutama di divisi Respirologi.
5. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK
Universitas Mulawarman.
Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga
penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik ini.
Akhir kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagi penyusun sendiri dan para
pembaca.
Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
Saat ini dengan metode diagnosis yang lebih tepat, terapi yang efektif dan
perawatan suportif yang lebih baik, prognosis dari anak – anak dengan leukemia
telah meningkat secara bermakna. Kini lebih dari dua per tiga pasien dengan
Leukemia Limfoblasik Akut yang diberi pengobatan akan bebas gejala selama 5
tahun atau lebih, bahkan pada kebanyakan kasus, pasien – pasien tersebut akan
sembuh.
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 26 Desember 2018, di ruang Melati.
heteroanamnesa oleh ibu kandung pasien.
Thorax
Paru: Inspeksi : Tampak simetris, pergerakan simetris, retraksi
suprasternal (-)
Palpasi : Pelebaran ICS (-), gerakan napas simetris D=S
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing(-/-)
Jantung: Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS 5 midclavicularis S
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1S2 Tunggal Reguler. Murmur (-) Gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Distensi (-), turgor kulit baik, pelebaran vena (-)
Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)
Palpasi : Soepel, nyeri tekan (-), organomegali (-)
Ekstremitas
Ekstremitas superior : Akral hangat, edema (-/-), CRT <2 detik
Ekstremitas inferior : Akral hangat, edema (-/-). CRT <2 detik
Pemeriksaan Urinalisis
Pemeriksaan yang Hasil yang Nilai Normal
dilakukan didapat
Berat Jenis 1.015 1.003-1.030
Ketone - Negatif
Nitrit - Negatif
Leuko - Negatif
Hemoglobin - Negatif
Warna Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
pH 6,0 4,8-7,8
Protein - Negatif
Glukosa - Negatif
Bilirubin - Negatif
Urobilinogen - Negatif
Sel epitel + Sedikit
Leukosit 0-1 0-1
Eritrosit 0-1 0-1
Silinder - Negatif
Kristal - Negatif
Bakteri - Negatif
Jamur - Negatif
Lembar Follow Up
Ro Thorax : Ground
glass opacity pada kedua
paru DD efusi pleura dan
pneumonia
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Definisi
Leukemia adalah suatu penyakit keganasan sel darah putih yang berasal dari
sumsum tulang, disebabkan oleh beberapa faktor resiko selama kehamilan dan
pasca natal seperti kecacatan genetik, radiasi, infeksi dan paparan lainnya, ditandai
oleh adanya akumulasi proliferasi leukosit dan sel abnormal dalam sumsum tulang
dan darah, dapat menimbulkan komplikasi berupa sepsis, gangguan pembekuan
darah atau akibat kemoterapi, memiliki prognosis yang sulit ditentukan (Rudolph,
Hoffman, & Rudolph, 2018); (Parmono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, &
Abdulsalam, 2010).
3.2. Klasifikasi
Secara umum pembagian leukemia adalah akut, kronik dan kongenital.
Leukemia akut dan kronik pada awalnya dibedakan berdasarkan lama sakitnya
selama pemberian kemoterapi yang efektif, namun saat ini akut dan kronis
dibedakan berdasarkan jenis selnya dimana sel imatur ganas yang berproliferasi
mengarah pada leukemia akut dan bila terdapat lebih banyak sel matur maka
diklasifikasikan leukemia kronik, sedangkan kongenital bila leukemia didiagnosa
selama 4 minggu pertama setelah kelahiran (Kliegman, Bhermann, & Jenson,
2016).7
Pada anak – anak leukemia akut lebih sering terjadi dibandingkan kronik
dimana hanya sekitar 2%. Oleh karena itu, FAB mengklasifikasikan leukemia akut
berdasarkan morfologinya sebagai berikut (Kliegman, Bhermann, & Jenson, 2016)3
:
1. Leukemia Limfoblastik Akut
L1 : sel – sel limfoblas kecil dengan sitoplasma sempit, anak inti tidak tampak
dengan kromatin homogen
L2 : Limfoblas lebih besar dengan sitoplasma lebih luas, kromatin lebih kasar, satu
atau lebih anak inti
L3 : Limfoblas besar, sitoplasma basofilik dan bervakuol, anak inti banyak,
kromatin berbercak.
2. Leukemia Myeloid Akut
M0 : Diferensiasi minimal dari myeloid
M1 : Myeloblas berdiferensiasi buruk tanpa maturasi, dapat ditemukan Auer rods
M2 : Diferensiasi myeloblas dengan maturasi, lebih banyak ditemukan Auer rods
M3 : Sel promyelositik dengan hipergranuler dan penuh dengan Auer rods
M4 : Myelomonoblastik
M5 : Monoblastik
M6 : Eritroleukemik atau eritroblastik
M7 : Megakaryoblastik
Leukemia kronik sangat jarang terjadi pada anak – anak, meskipun begitu
leukemia kronik dibagi menjadi Leukemia Limfositik Kronik, yang insidensinya
pada orang dewasa berusia 60 – 80 tahun, dan Leukemia Myeloid Kronik dimana
berkisar 1 – 2% dari leukemia pada anak – anak.
3.3. Epidemiologi
Insidensi puncak leukemia pada anak adalah ketika berusia 2 – 6 tahun,
terutama sekitar usia 5 tahun dan lebih sering terjadi pada anak laki – laki daripada
anak perempuan. Umumnya leukemia pada anak – anak dengan keadaan kromosom
yang abnormal. Pada anak kembar, bila salah satu anak menderita leukemia maka
resiko dari kembarannya jauh lebih besar daripada anak pada umumnya yaitu lebih
dari 70% bila anak yang pertama terdiagnosa kurang dari 1 tahun dan merupakan
kembar monokorionik. LLA adalah bentuk leukemia yang paling lazim dijumpai
pada anak yaitu sekitar 85% dari seluruh leukemia pada anak, prevalensi menurun
ketika berusia lebih dari 10 tahun. Sedangkan AML hanya 17%, maka dapat
disimpulkan pada anak lebih sering terjadi leukemia akut yaitu 97% dari seluruh
leukemia pada anak dimana leukemia kronik hanya 3% (Kliegman, Bhermann, &
Jenson, 2016); (Parmono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam,
2010).5,6
3.4. Etiologi
Pada umumnya penyebab leukemia tidak dapat diketahui secara pasti, namun
terdapat beberapa faktor predisposisi yang diduga berkaitan dengan leukemia pada
anak termasuk genetik, lingkungan dan keadaan imunodefisiensi. Anak – anak
dengan cacat genetik seperti sindrom Down dan keadaan ketidakstabilan kromosom
lebih beresiko menderita leukemia. Paparan radiasi X-ray pada janin maupun anak
menunjukkan peningkatan insidensi LLA meskipun kasusnya sangat sedikit. Pada
beberapa negara berkembang terdapat hubungan antara anak yang terkena leukemia
dengan infeksi virus Epstein-Barr dimana terjadi mutasi dari sel progenitor limfoid.
Resiko memiliki keturunan leukemia pada ibu hamil ditentukan dari pola hidupnya
selama hamil seperti mengkonsumsi alkohol, obat terlarang maupun paparan
kimiawi lainnya (Kliegman, Bhermann, & Jenson, 2016); (Rudolph, Hoffman, &
Rudolph, 2018); (Parmono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam, 2010).
3.5. Patogenesis
Pada LLA komponen progenitor sel limfoid mengalami perubahan dan disregulasi
proliferasi dengan ekspansi klonal. Sel limfoid yang bertransformasi
menggambarkan ekspresi gen yang berubah yang terlibat dalam perkembangan
normal sel B dan sel T. Beberapa studi menunjukkan bahwa sel punca leukemik
ada pada jenis tertentu dari LLA.
LMA pada umumnya berkaita dengan fusi gen yang menyebabkan translokasi
kromosom. Banyak tranlokasi merupakan karakteristik beberapa subtipe leukemia
akut dan terkadang membantu memprediksi prognosis. Sel leukemik yang tidak lagi
mengalami siklus hidup sel yang normal. Kehilangan kemampuannya untuk
apoptosis dan memiliki waktu hidup yang lebih lama serta mengalami proliferasi
tanpa batas sehingga berkompetisi dengan sel hemapoetik yang normal, hasilnya
adalah akumulasi sel abnormal dengan defek kualitatif. Penyebab utama morbiditas
dan mortalitas adalah defisiensi sel hematopoetik yang normal dibandingkan
dengan sel yang ganas.
Keluhan lain berupa manifestasi dari infiltrasi leukosit ke organ berupa nyeri
pada tulang yang hebat, arthralgia, limfadenopati, nyeri abdomen dan sindrom
meningeal (sakit kepala, mual, muntah, penglihatan kabur dan diplopia) (Kliegman,
Bhermann, & Jenson, 2016); (Rudolph, Hoffman, & Rudolph, 2018).,5
1. Pemeriksaan hematologis
Pada leukemia hasil pemeriksaan didapatkan anemia, dapat pula terjadi
trombositopenia dan neutropenia, namun pada LMK trombosit cenderung
meningkat meskipun bisa normal atau menurun. Jumlah leukosit adalah hasil yang
paling bermakna pada leukemia dimana terjadi peningkatan massif hingga lebih
dari 200.000/mm3 pada keadaan tertentu seperti LMA yang telah mengalami DIC
dan leukostasis. Biasanya jumlah leukosit berkisar antara 10.000 – 50.000/mm3
pada LLA dan CML, pada AML tanpa DIC biasanya dapat sampai diatas
100.000/mm3. Untuk mengetahui keadaan DIC pada kasus AML juga perlu
dilakukan tes waktu perdarahan dan waktu pembekuan.
4. Pungsi lumbal
Cairan serebrospinal juga perlu diperiksa karena sistem saraf pusat
merupakan tempat persembunyian penyakit ekstramedular. Hasilnya dapat
menunjukkan bahwa tekanan cairan spinal meningkat dan mengandung sel
leukemia.
5. Radiologis
Pemeriksaan sinar X mungkin diperlukan untuk memperlihatkan adanya lesi
osteolitik dan massa di mediastinum anterior yang disebabkan pembesaran thymus
dan/atau kelenjar getah bening mediastinum yang khas untuk LLA-T.
3.8. Diagnosis
Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai
untuk menegakkan diagnosis leukemia. Untuk diagnosis pasti harus dilakukan
aspirasi sumsum tulang, dan dapat dilengkapi dengan pemeriksaan pemeriksaan
penunjang yang telah disebutkan sebelumnya. Anemia dan trombositopenia sering
tampak pada sebagian besar pasien. Sel leukemia sering tidak tampak pada darah
perifer dalam pemeriksaan laboratorium rutin, meskipun terlihat, sel leukemia
tersebut sering dilaporkan sebagai limfosit atipikal. Bila hasil analisis darah perifer
mengarah kepada leukemia, maka pemeriksaan sumsum tulang harus dilakukan
dengan tepat untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan LCS dapat menentukan
derajat LLA. Bila ditemukan peningkatan limfoblas pada LCS maka disebut
leukemia meningeal. Ini menunjukkan derajat yang berat dan memerlukan terapi
SSP dan sistemik. Dengan ditemukannya leukemia SSP, jumlah leukosit >
50.000/mm3, massa mediastinum serta jumlah sel blas total >1000/mm3 setelah 1
minggu terapi, maka pasien disebut LLA dengan resiko tinggi (Kliegman,
Bhermann, & Jenson, 2016); (Parmono, Sutaryo, Ugrasena, Windiastuti, &
Abdulsalam, 2010).
Diagnosis LMA dapat diawali sebagai prolonged preleukemia, yaitu
kekurangan produksi sel darah yang normal sehingga terjadi anemia refrakter,
neutropenia dan trombositopenia. Pemeriksaan sumsum tulang tidak menunjukkan
leukemia tetapi ada perubahan morfologis yang jelas, biasanya hiperseluler, kadang
hiposeluler yang akan menjadi leukemia akut. Kondisi ini sering mengarah pada
sindrom mielodiplastik dan mempunyai klasifikasi FAB sendiri (Parmono, Sutaryo,
Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam, 2010).
3.10. Tatalaksana
Terapi leukemia limfositik akut dibagi menjadi beberapa fase , diantaranya
ialah :
1. Fase remisi induksi
2. Fase intensif
3. Terapi susunan saraf pusat
4. Rumatan
Pada fase induksi remisi, tujuannya ialah untuk eradikasi sel leukemik dari
sumsum tulang untuk mencapai remisi komplit yaitu saat sel leukemia tidak lagi
tampak secara morfologis. Terapi LLA dengan 3 macam obat : vinkristin setiap
minggu, kortikosteroid (dexamethasone, prednisone) dan L-asparginase. Hasilnya
98% penderita akan mengalami remisi komplit. Pasien dengan resiko tinggi juga
diberikan daunomycin setiap minggu (Rudolph, Hoffman, & Rudolph, 2018);
(Kliegman, Bhermann, & Jenson, 2016).
Fase intensif dilakukan setelah mencapai remisi komplit dimana sel blas <
5% pada pemeriksaan sumsum tulang, trombosit > 100.000/mm3, Hb > 12 g/dl
tanpa transfusi, leukosit >3000/mm3 dan pemeriksaan LCS normal. Tujuan pada
fase ini ialah menghancurkan sisa limfoblas dengan cepat sebelum timbul resisten
hingga pasien mencapai kondisi sembuh. Fase induksi remisi dan intensif dilakukan
sampai 4 minggu (Rudolph, Hoffman, & Rudolph, 2018); (Kliegman, Bhermann,
& Jenson, 2016).
Pada rumatan pasien diberikan merkaptopurin per hari dan metotreksat per
minggu secara parenteral selama 2 sampai 2,5 tahun (Rudolph, Hoffman, &
Rudolph, 2018).
Pada LMK imatinib mesylate dilaporkan efektif digunakan pada 70% pasien
dewasa, sedangkan pada anak digunakan hydroxyurea yang dapat menurunkan
leukosit secara bertahap sementara menunggu respons imatinib. Mengingat bahaya
dari krisis blas, transplantasi sumsum tulang adalah satu – satunya pengobatan yang
dapat meradikasi sel leukemia (Rudolph, Hoffman, & Rudolph, 2018); (Kliegman,
Bhermann, & Jenson, 2016).
3.11. Komplikasi
Pada anak – anak dengan leukemia yang mendapatkan kemoterapi, sel yang
lisis dalam jumlah besar akan menyebabkan hiperurisemia, hyperkalemia dan
hiperfosfatemia ysang dapat menjadi nefropati, atau gagal ginjal juga bisa karena
infiltrasi langsung dari leukemia. Myelosupresif dan imunosupresif yang
disebabkan baik oleh penyakit maupun kemoterapinya menyebabkan anak – anak
rentan terhadap infeksi hingga sepsis. Trombositopenia akibat leukemia atau
terapinya akan bermanifestasi sebagai perdarahan pada kulit dan mukosa.
Gangguan koagulasi yang lebih jauh menimbulkan disseminated intravascular
coagulopathy. Pengobatan sistemik maupun sistem saraf pusat dapat menyebabkan
leukoensefalopati, mikroangiopati, kejang maupun gangguan intelektual pada
beberapa anak (Kliegman, Bhermann, & Jenson, 2016).
Hiperleukositosis merupakan keadaan dimana jumlah leukosit darah tepi
lebih dari 100.000/mm3. Ini ditemukan pada 9 – 13% dari LLA, 5 – 22% dari LMA
dan pada hampir semua anak dengan LMK fase kronik. Tindakan antisipasi dimulai
saat jumlah leukosit 50.000/mm3 dengan peningkatan dosis kemoterapi yang
perlahan dan pemberian hidroksiurea pada LMA dan dexamethasone pada LLA.
Untuk mengatasinya diperlukan tindakan yang segera (emergency oncology) karena
komplikasinya yang mengancam jiwa, antara lain3 :
1. Sindroma leukostasis
Penggumpalan sel blas pada arteri kecil yang membentuk agregat/trombi
terutama pada otak dan paru – paru, lebih sering pada LMA karena ukuran
mieloblas lebih besar dari limfoblas dan sifatnya yang lebih kaku. Leukostasis di
otak menunjukkan tanda neurologis mulai dari pusing hingga peningkatan tekanan
intracranial. Leukostasis di paru menimbulkan dyspnea, hipoksia dan gagal nafas.
Pemberian leukoferesis dapat menurunkan jumlah leukosit dengan cepat diikuti
dengan hidroksiurea (50-100 mg/kgBB). Oksigen adekuat dan koreksi jumlah
trombosit serta faktor pembekuan juga perlu dilakukan (Parmono, Sutaryo,
Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam, 2010).
3.12. Prognosis
Penderita leukemia digolongkan menjadi resiko tinggi dan biasa berdasarkan
faktor prognostic yang telah ditetapkan. Prognosis LLA semakin baik bila
responsive terhadap pengobatan dimana dalam pengobatan 1 minggu sel blas sudah
tidak tampak pada darah tepi dan sumsum tulang. Faktor lain yang mempengaruhi
peningkatan prognosis LLA adalah jumlah leukosit awal < 50.000/mm3, usia
diantara 1 – 15 tahun, leukemia sel pre-B, jenis kelamin perempuan dan LLA
hyperploid (>50 kromosom). Faktor prognostic yang memperburuk prognosis pada
LMA ialah jumlah leukosit yang tinggi, sebanding dengan ukuran splenomegaly,
adanya koagulopati, induksi remisi yang lambat, usia < 2 tahun dan > 4 tahun dan
leukemia monoblastik (Rudolph, Hoffman, & Rudolph, 2018); (Parmono, Sutaryo,
Ugrasena, Windiastuti, & Abdulsalam, 2010).
BAB 4
PEMBAHASAN
4.1 Anamnesis
Teori Kasus
Perjalanan Leukemia LLA dan LMA Pasien datang dengan keluhan
tidak spesifik dan berjalan singkat dari perdarahan gusi yang sudah
anamnesis dapat ditemukan berlangsung selama 2 hari. Demam
- Anoreksia dirasakan pada pasien, demam naik
- Kelelahan turun, muntah – muntah sejak 2 hari,
- Gelisah BAB bisa tiap 2 hari.
- Demam hilang timbul
- Nyeri tulang sendi
- Riwayat ISPA
- Pucat
- Fatigue
- Memar
- Mimisan
- Perdarahan
5.1 Kesimpulan
Secara umum diagnosis dari pasien suspek leukemia sudah sesuai dengan apa
yang ada di teori. Leukemia adalah suatu penyakit keganasan sel darah putih yang
berasal dari sumsum tulang yang ditandai dengan akumulasi proliferasi leukosit dan
sel abnormal dalam sumsum tulang dan darah. Penyebabnya tidak diketahui secara
pasti namun faktor resiko seperti genetic, lingkungan, radiasi, infeksi dan keadaan
imunosupresi memiliki hubungan dengan angka kesakitan leukemia. Leukemia
pada anak 97% adalah akut dimana 85% ialah LLA dan 17% LMA, sementara
leukemia kronik hanya 2% pada anak. Faktor tersebut akan mencetuskan modifikasi
nucleus DNA sehingga terbentuk clone yang abnormal dan terjadi kelainan
proliferasi, sitogenetik, morfologi dan diferensiasi. Manifestasi klinis yang timbul
berupa akibat dari kegagalan sumsum tulang dan infiltrasi leukosit ke organ
sehingga dapat ditemukan organomegali. Gejala sering tidak spesifik dan hanya
berupa demam. Untuk membantu menegakkan diagnosis perlu beberapa
pemeriksaan penunjang dengan peningkatan jumlah leukosit, tampak sel leukemia
pada darah tepi, sumsum tulang dan LCS, dan pemeriksaan sitogenetik. Diagnosis
pasti leukemia ditegakkan melalui aspirasi sumsum tulang yang akan
memperlihatkan keadaan yang hiperseluler dengan sel blas leukemik lebih dari
30%.
Parmono, B., Sutaryo, Ugrasena, I., Windiastuti, E., & Abdulsalam, M. (2010).
Buku Ajar Hematologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.
Rudolph, M. R., Hoffman, J., & Rudolph, C. (2018). Rudolph's Pediatrics. USA:
McGraw-Hill.