Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Metode perawatan luka berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Hal ini ditandai dengan munculnya bahan-bahan perawatan luka modern
yang telah dirancang sesuai dengan karakteristik luka, sehingga proses penyembuhan
luka maksimal. Di Indonesia, penerapan metode perawatan luka modern masih minim.
Pelayanan kesehatan cenderung menggunakan metode perawatan luka konvensional
Instalasi Rawat Inap (IRNA) RSUD TUGUREJO di Semarang merupakan ruang
rawat yang terdiri dari kelas VIP, kelas 1, 2 dan kelas 3. Ruang rawat inap untuk
perawatan bedah terdapat di Ruang Amarilis dan Anggrek. Tindakan yang sering
dilakukan di ruang rawat inap adalah dengan perawatan luka baik perawatan luka steril
post operasi maupun perawatan luka kronik seperti luka diabetik.
Luka merupakan suatu bentuk kerusakan jaringan pada kulit yang disebabkan kontak dengan
sumber panas (seperti bahan kimia, air panas, api, radiasi, dan listrik), hasil tindakan medis,
maupun perubahan kondisi fisiologis. Luka menyebabkan gangguan pada fungsi dan struktur
anatomi tubuh (Morris and Malt, 1990). Luka akut merupakan cedera jaringan yang dapat pulih
kembali seperti keadaan normal dengan bekas luka yang minimal dalam rentang waktu 8-12
minggu. Penyebab utama dari luka akut adalah cedera mekanikal karena faktor eksternal,
dimana terjadi kontak antara kulit dengan permukaan yang keras atau tajam, luka tembak, dan
luka pasca operasi. Penyebab lain luka akut adalah luka bakar dan cedera kimiawi, seperti
terpapar sinar radiasi, tersengat listrik, terkena cairan kimia yang besifat korosif, serta terkena
sumber panas. Sementara luka kronik merupakan luka dengan proses pemulihan yang lambat,
dengan waktu penyembuhan lebih dari 12 minggu dan terkadang dapat menyebabkan
kecacatan. Ketika terjadi luka yang bersifat kronik, neutrofil dilepaskan dan secara signifikan
meningkatkan ezim kolagenase yang bertnggung jawab terhadap destruksi dari matriks
penghubung jaringan.3 Salah satu penyebab terjadinya luka kronik adalah kegagalan pemulihan
karena kondisi fisiologis (seperti diabetes melitus (DM) dan kanker), infeksi terus-menerus, dan
rendahnya tindakan pengobatan yang diberikan (Baxter, 1990)
Penyembuhan luka merupakan suatu proses yang kompleks karena adanya kegiatan
bioseluler dan biokimia yang terjadi secara berkesinambungan. Penggabungan respon vaskuler,
aktivitas seluler, dan terbentuknya senyawa kimia sebagai substansi mediator di daerah luka
merupakan komponen yang saling terkait pada proses penyembuhan luka. Ketika terjadi luka,

1
tubuh memiliki mekanisme untuk mengembalikan komponenkomponen jaringan yang rusak
dengan membentuk struktur baru dan fungsional (Ferreira, Tuma, Carvalho, & Kamamoto,
2006) Proses penyembuhan luka tidak hanya terbatas pada proses regenerasi yang bersifat
lokal, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor endogen, seperti umur, nutrisi, imunologi, pemakaian
obat-obatan, dan kondisi metabolik. Proses penyembuhan luka dibagi ke dalam lima tahap,
meliputi tahap homeostasis, inflamasi, migrasi, proliferasi, dan maturasi (Diegelmann and
Evans, 2004).
Berdasarkan pengamantan yang dilakukan di IRNA, beberapa perawat di ruang rawat
inap kelas 3 kurang tepat dalam melakukan teknik perawatan luka dengan menggunakan
betadine dan SOP tentng perawatan luka menggunakan SOP tahun 2014, sehingga
kurangnya pengetahuan perawat tentang perawatan luka guna menjadi dasar bagi
perawat untuk melaksanakan tindakan perawatan luka.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
- Mengetahui tentang pelaksanaan prosedur perawatan luka yang dilakukan di
Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam Kelas 3

2. Tujuan Khusus
- Mengetahui standar operasional prosedur (SOP) yang sudah ada di rumah
sakit
- Membandingkan SOP perawatan luka yang ada di rumah sakit dengan yang
SOP yang ada saat ini
- Memberikan masukan terkait inovasi terbaru terkait perawatan luka modern

C. Manfaat
1. Bagi mahasiswa
- Memenuhi tugas pada mata kuliah Kebutuhan Dasar Profesi.
- Membandingkan dan menambah wawasan mengenai prosedur perawatan luka
(wond care) yang dilakukan di rumah sakit dan yang didapatkan mahasiswa.

2. Bagi rumah sakit


- Kegiatan panel expert ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk pihak
rumah sakit agar dapat segera menetapkan SOP perawatan luka yang terbaru

2
dan menjadi acuan bersama petugas kesehatan dirumah sakit dalam
meningkatkan pelayanan kepada pasien.

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Anatomi Fisiologi Kulit


Kulit merupakan sistem organ tubuh yang paling luas. Kulit membangun sebuah
barrier yang memisahkan organ-organ internal dengan lingkungan luar, dan turut
berpartisipasi dalam banyak fungsi tubuh yang vital. Kulit bersambung dengan membran
mukosa pada ostium eksterna sistem digestivus, respiratorius dan urogenital. Kulit
berfungsi untuk menjaga jaringan internal dari trauma, bahaya radiasi sinar ultraviolet,
temperatur yang ekstrim, toksin dan bakteri.
Secara mikroskopis, kulit terdiri dari 3 lapisan yaitu epidermis, dermis dan lemak
subkutan.
1. Epidermis
Merupakan bagian terluar kulit, terbagi menjadi 2 lapisan utama yaitu lapisan
sel-sel tidak berinti yang bertanduk (stratum korneum atau lapisan tanduk) dan lapisan
dalam yaitu stratum malphigi. Stratum malphigi ini merupakan asal sel-sel permukaan
bertanduk setelah mengalami proses diferensiasi. Stratum malphigi dibagi menjadi
lapisan sel basal (stratum germinativum), stratum spinosum dan stratum granulosum.
Secara berurutan 5 lapisan epidermis mulai dari bawah sampai keatas yaitu stratum
basale (germinativum), stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lucidum dan
stratum corneum. Ketebalan lapisan epidermis bervariasi tergantung tipe kulit.
3
Keratinisasi, maturasi dan migrasi pada sel kulit, dimulai pada lapisan kulit yang
paling dalam yaitu stratum basale. Sel ini dikatakan sebagai keratinocit (sel kulit yang
immatur), berperan dalam merubah bentuk lapisan sel pada lapisan granular ke dalam
lapisan sel yang sudah mati. Stratum basale merupakan asal mula untuk diperlukan
sebagai regenerasi pada epidermis.
Dalam proses keratinocyt ini diproduksi sejumlah filaments (tonofilament)
atau tonofibril yang dibuat dari suatu protein yang disebut keratin dan keratohyalin
granule. Keratinocyt ditandai dengan akumulasi pada keratin yany disebut dengan
keratinisasi. Pada epidermis terdapat melanocytes yang membuat melanin dan
memberikan warna pada kulit. Fungsi lapisan epidermis adalah melindungi dari
masuknya bakteri, toksin, untuk keseimbangan cairan secara berlebihan.

2. Dermis
Matriks kulit mengandung pembuluh-pembuluh darah dan saraf yang menyokong dan
memberi nutrisi pada epidermis yang sedang tumbuh (Price dan Wilson, 1995).
Lapisan dermis terdiri dari 2 lapisan yaitu papillaris dan retikularis. Lapisan papillaris
dermis berada langsung di bawah epidermis, tersusun terutama dari sel-sel fibroblast
yang dapat menghasilkan salah satu bentuk kolagen, yaitu suatu komponen dari
jaringan ikat. Lapisan retikularis terletak di bawah lapisan papillaris dan juga
memproduksi kolagen serta berkas-berkas serabut elastik. Dermis juga tersusun dari
pembuluh darah serta limfe, serabut saraf, kelenjar keringat serta sebasea dan akar
rambut. Dermis sering disebut sebagai ”kulit sejati” . Lapisan dermis lebih tebal
daripada lapisan epidermis. Fungsi dermis secara keseluruhan adalah untuk
keseimbangan cairan melalui pengaturan aliran darah kulit, termoregulasi melalui
pengontrolan aliran darah kulit dan juga sebagai faktor pertumbuhan dan perbaikan
dermal.
3. Lapisan Subkutaneus
Jaringan subkutan adalah merupakan lapisan lemak dan jaringan ikat yang banyak
terdapat pembuluh darah dan saraf. Pada lapisan ini penting untuk pengaturan
tempertur pada kulit. Lapisan ini dibuat dari kelompok jaringan adiposa (sel lemak)
yang dipisahkan ole sel fibrous septa. Sebagai bantalan jaringan yang lebih dalam dan
pada lapisan ini berfungsi sebagai pelindung tubuh terhadap dingin serta tempat
penyimpanan bahan bakar. Makan yang berlebih akan meningkatkan penimbunan
4
lemak di bawah kulit. Jaringan subkutan dan jumlah lemak yang tertimbun merupakan
faktor penting dalam pengaturan suhu tubuh.

B. Luka
1. Definisi Luka
Luka adalah rusaknya struktur dan fungsi anatomis kulit normal akibat
proses patalogis yang berasal dari internal dan eksternal dan mengenai organ
tertentu (Lazarus,et al., 1994 dalam Potter & Perry, 2006). Luka adalah kerusakan
kontinyuitas kulit, mukosa membran dan tulang atau organ tubuh yang lain.
Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul seperti hilangnya seluruh atau sebagian
fungsi organ, respon stress simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi
bakteri, dan kematian sel (Kozier, 1995).

2. Fisiologi Penyembuhan Luka


Proses dasar biokimia dan selular yang sama terjadi dalam penyembuhan
semua cedera jaringan lunak, baik luka ulseratif kronik, seperti dekubitus dan ulkus
tungkai; luka traumatis, misalnya laserasi, abrasi, dan luka bakar; atau luka akibat
tindakan bedah. Proses fisiologis penyembuhan luka dapat dibagi ke dalam 4 fase
utama :
1. I Respons inflamasi akut terhadap cedera: mencakup hemostasis, pelepasan histamin
dan mediator lain dari sel-sel. yang rusak, dan migrasi sel darah putih (leukosit
polimorfonuklear dan makrofag) ke tempat yang rusak tersebut.
2. II Fase destruktif., Pembersihan jaringan yang mati dan yang mengalami devitalisasi
oleh leukosit polimorfonuklear dan makrofag.
3. III Fase proliferatif: Yaitu pada saat pembuluh darah baru, yang diperkuat oleh
jaringan ikat, menginfiltrasi luka.
4. IV Fase maturasi: Mencakup re-epitelisasi, konstraksi luka dan reorganisasi jaringan
ikat.
Peristiwa seluler dan biokimia utama di dalam setiap fase dijelaskan secara lebih
terinci pada, yang memperjelas implikasi praktis untuk penatalaksanaan luka pada setiap
tingkat. Dalam kenyataannya, fase-fase penyembuhan tersebut saling tumpang-tindih dan
durasi dari setiap fase serta waktu untuk penyembuhan yang sempuma bergantung pada
beberapa faktor, termasuk ukuran dan tempat luka, kondisi fisiologis umum pasien, dan

5
adanya bantuan ataupun intervensi dari luar yang ditujukan dalam rangka mendukung
penyembuhan.

Table 2.1 Fisiologi penyembuhan luka dan implikasinya penatalaksanaan luka


Fase dan ringkasan prosesDurasi fase Implikasi utuk penatalaksanaan luka
fisiologis
Respons Inflamasi Akut 0-3 hari Fase ini merupakan bagian yang
Terhadap Cedera esensial dari proses penyembuhan dan
Hemostasis vasokonstriksi tidak ada upaya yang dapat
sementara dari pembuluh darah menghentikan proses ini, kecuali jika
yang rusak terjadi pada saat proses ini terjadi pada kompartemen
sumbatan trombosit dibentuk tertutup di mana struktur-struktur
dan diperkuat juga oleh serabut penting mungkin tertekan (mis, luka
fibrin untuk membentuk sebuah bakar pada leher). Meski demikian, jika
bekuan. hal tersebut diperpanjang oleh adanya
Respons jaringan yang rusak : jaringan yang mengalami devitalisasi
jaringan yang rusak dan sel mast secara terus menerus, adanya benda
melepaskan histamin dan asing, pengelupasan jaringan yang luas,
mediator lain, sehingga trauma kambuhan, atau oleh
menyebabkan vasodilatasi dari penggunaan yang tidak bijaksana
pembuluh darah sekeliling yang preparat topikal untuk luka, seperti
masih utuh serta meningkatnya antiseptik, antibiotik, atau krim asam,
penyediaan darah ke daerah sehingga penyembuhan diperlambat
tersebut, sehingga menjadi dan kekuatan regangan luka menjadi
merah dan hangat. Permeabilitas tetap rendah. Sejumlah besar sel
kapiler-kapiler darah meningkat tertarik ke tempat tersebut untuk
dan cairan yang kaya akan bersaing mendapatkan gizi yang
protein mengalir ke dalam tersedia. Inflamasi yang terlalu banyak
spasium interstisial, dapat menyebabkan granulasi yang
menyebabkan edema lokal dan berlebihan pada Fase III dan dapat
mungkin hilangnya fungsi di menyebabkan jaringan parut
atas sendi tersebut. Leukosit hipertrofik. Ketidaknyamanan karena
polimorfonuklear (polimorf) edema dan denyutan pada tempat luka
dan makrofag mengadakan juga menjadi berkepanjangan.
migrasi ke luar dari kapiler dan
masuk ke dalam daerah yang
rusak sebagai reaksi terhadap
agens kemotaktik yang dipacu
oleh adanya cedera.
Fase Destruktif Polimorf dan makrofag mudah
Pembersihan terhadap jaringan dipengaruhi oleh turunnya suhu pada
mati yang mengalami tempat luka, sebagaimana yang dapat
devitalisasi dan bakteri oleh terjadi bilamana sebuah luka yang

6
polimorf dan makrofag. basah dibiarkan tetap terbuka, pada
Polimorf menelan dan daat aktivitas mereka dapat turun
menghancurkan bakteri. Tingkat sampai nol. Aktivitas mereka dapat
aktivitas polimorf yang tinggi juga dihambat oleh agens kimia,
hidupnya singkat saja dan hipoksia, dan juga perluasan limbah
penyembuhan dapat berjalan metabolik yang disebabkan karena
terus tanpa keberadaan sel buruknya perfusi jaringan.
tersebut. Meski demikian,
penyembuhan berhenti bila
makrofag mengalami deaktivasi.
Sel-sel tersebut tidak hanya
mampu menghancurkan bakteri
dan mengeluarkan jaringan yang
mengalami divitalisasi serta
fibrin yang berlebihan, tetapi
juga mampu merangsang
pembentukkan fibroblas, yang
melakukan sintesa struktur
protein kolagen dan
menghasilkan sebuah faktor
yang dapat merangsang
angiogenesis (Fase III).
Fase Proliferatif 3-24 hari Gelung kapiler baru jumlahnya sangat
Fibroblas meletakkan substansi banyak dan rapuh serta mudah sekali
dasar dan serabut-serabut rusak karena penanganan yang kasar,
kolagen serta pembuluh darah mis, menarik balutan yang melekat.
baru mulai menginfiltrasi luka. Vitamin C penting untuk sintesis
Begitu kolagen diletakkan, kolagen. Tanpa vitamin C, sintesis
maka terjadi peningkatan yang kolagen berhenti, kapiler darah baru
cepat pada kekuatan regangan rusak dan mengalami perdarahan, serta
luka. Kapiler-kapiler dibentuk penyambuhan luka terhenti. Faktor
oleh endotelial, suatu proses sistemik lain yang dapat memperlambat
yang disebut angiogenesis. penyembuhan pada stadium ini
Bekuan fibrin yang dihasilkan termasuk defisiensi besi,
pada Fase I dikeluarkan begitu hipoproteinemia, serta hipoksia. Fase
kapiler baru menyediakan enzim proliferatif terus berlangsung secara
yang diperlukan. Tand-tanda lebih lambat seiring dengan
inflamasi mulai berkurang. bertambahnya usia.
Jaringan yang dibentuk dari
gelung kapiler baru, yang
menopang kolagen dan
sunbstansi dasar, disbeut
jaringan granulasi karena

7
penampakannya yang granuler.
Warnanya merah terang.
Fase maturasi 24-365 hari Luka masih sangat rentan terhadap
Epitelialisasi, kontraksi dan trauma mekanis (hanya 50% kekuatan
reorganisasi jaringan ikat : regangan normal dari kulit diperoleh
Dalam setiap cedera yang kembali dalam tiga bulan pertama).
mengakibatkan hilangnya kulit, Epitelialisasi terjadi sampai tiga kali
sel epitel pada pinggir luka dan lebih cepat di lingkungan yang lembab
dari sisa-sisa folikel rambut, (di bawah balutan oklusif atau balutan
serta glandula sebasea dan semipermeabel) daripada di
glandula sudorifera, membelah lingkungan yang kering. Kontraksi
dan mulai bermigrasi di atas luka biasanya membantu, yakni
jaringan granula baru. Karena menurunkan daerah permukaan luka
jaringan tersebut hanya dapat dan meninggalkan jaringan parut yang
bergerak di atas jaringan yang relatif kecil, tetapi kontraksi berlanjut
hidup, maka mereka lewat di dengan buruk pada daerah tertentu,
bawah eskar atau dermis yang seperti di atas tibia, dan dapat
mengering. Apabila jaringan menyebabkan distorsi penampilan pada
tersebut bertemu dengan sel-sel cedera wajah. Kadang, jaringan fibrosa
epitel lain yang juga mengalami pada dermis menjadi sangat hipertrofi,
migrasi, maka mitosis berhenti, kemerahan, dan menonjol, yang pada
akibat inhibibisi kontak. kasus ekstrim menyebabkan jaringan
Kontraksi luka disebabkan parut keloid tidak sedap dipandang.
karena miofibroblas kontraktil
yang membantu menyatukan
tepi-tepi luka. Terdapat suatu
penurunan progresif dalam
vaskularitas jaringan parut, yang
berubah dalam penampilannya
dari merah kehitaman menjadi
putih. Serabut-serabut kolagen
mengadakan reorganisasi dan
kekuatan regangan luka
meningkat.

C. Perawatan Luka
1. Pengertian Perawatan Luka
Perawatan luka adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk merawat luka
agar dapat mencegah terjadinya trauma (injuri) pada kulit membran mukosa atau
jaringan lain, fraktur, luka operasi yang dapat merusak permukaan kulit. Serangkaian
kegiatan itu meliputi pembersihan luka, memasang balutan, mengganti

8
balutan, pengisian (packing) luka, memfiksasi balutan, tindakan pemberian
rasa nyaman yang meliputi membersihkan kulit dan daerah drainase, irigasi,
pembuangan drainase, pemasangan perban (Briant, 2007).
2. Bahan-bahan pada Perawatan Luka
Perawatan luka menggunakan berbagai bahan perawatan antara lain balutan, larutan
pembersih, larutan antiseptik, balutan sekunder dan semprotan perekat.
3. Pembalut luka
Pembalutan luka bertujuan untuk mengabsorsi eksudat dan melindungi luka dari
kontaminasi eksogen. Penggunaan balutan juga harus disesuaikan dengan karakteristik
luka. Jenis-jenis balutan antara lain :
a) Balutan kering
Luka-luka dengan kulit yang masih utuh atau tepi kulit yang dipertautkan
mempunyai permukaan yang kering sehingga balutan tidak akan melekat, maka
pada keadaan seperti ini paling sering digunakan kasa dengan jala-jala yang lebar,
kasa ini akan melindungi luka dan memungkinkan sirkulasi udara yang baik
melalui balutan. Dengan demikian uap lembab dari kulit dapat menguap dan
balutan tetap kering (Schrock, 1995).
b) Balutan basah kering
Balutan kasa terbuat dari tenunan dan serat non tenunan, rayon, poliester, atau
kombinasi dari serat lainnya. Kasa dari kapas digunakan sebagai pembalut
pertama dan kedua, kasa tersedia sebagai pembalut luka, spons, pembalut
melingkar dan kaus kaki. Berbagai produk tenunan ada yang kasar dan berlubang,
tergantung pada benangnya. Kasa berlubang yang baik sering digunakan untuk
membungkus, seperti balutan basah lembab normal salin. Kasa katun kasar,
seperti balutan basah lembab normal salin, digunakan untuk debridemen non
selektif (mengangkat debris atau jaringan yang mati).
c) Balutan modern
Kemajuan ilmu pengetahuan dalam perawatan luka telah mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Hal ini tidak terlepas dari dukungan perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu tersebut dapat dilihat
dari banyaknya inovasi terbaru dalam perkembangan produk bahan pembalut
luka modern. Bahan pembalut luka modern adalah produk pembalut hasil
teknologi tinggi yang mampu mengontrol kelembapan disekitar luka. Bahan balutan
luka modern ini di disesuaikan dengan jenis luka dan eksudat yang menyertainya.
Jenis-jenis balutan luka yang mampu mempertahankan kelembaban antara lain

9
(Briant, 2007) :
1) Alginat
Alginat banyak terkandung dalam rumput laut cokelat dan kualitasnya
bervariasi. Polisakarida ini digunakan untuk bahan regenerasi pembuluh
darah, kulit, tulang rawan, ikatan sendi dan sebagainya. Apabila
pembalut luka dari alginat kontak dengan luka, maka akan terjadi
infeksi dengan eksudat, menghasilkan suatu jel natrium alginat. Jel ini
bersifat hidrofilik, dapat ditembus oleh oksigen tapi tidak oleh bakteri dan
dapat mempercepat pertumbuhan jaringan baru. Selain itu bahan yang
berasal dari alginat memiliki daya absorpsi tinggi, dapat menutup luka,
menjaga keseimbangan lembab disekitar luka, mudah digunakan,
bersifat elastis. antibakteri, dan nontoksik.
Alginat adalah balutan primer dan membutuhkan balutan sekunder seperti
film semi-permiabel, foam sebagai penutup. Hal ini disebabkan karena balutan
ini menyerap eksudat, memberi kelembaban, dan melindungi kulit di sekitarnya
agar tidak mudah rusak. Untuk memperoleh hasil yang optimal balutan ini
harus diganti sekali sehari. Balutan ini dindikasi untuk luka superfisial dengan
eksudat sedang sampai banyak dan untuk luka dalam dengan eksudat
sedang sampai banyak sedangkan kontraindikasinya adalah tidak dinjurkan
untuk membalut luka pada luka bakar derajat III.
2) Hidrogel
Hidrogel tersedia dalam bentuk lembaran (seperti serat kasa, atau jel) yang
tidak berperekat yang mengandung polimer hidrofil berikatan silang yang
dapat menyerap air dalam volume yang cukup besar tanpa merusak
kekompakkan atau struktur bahan. Jel akan memberi rasa sejuk dan dingin
pada luka, yang akan meningkatkan rasa nyaman pasien. Jel diletakkan
langsung diatas permukaan luka, dan biasanya dibalut dengan balutan
sekunder (foam atau kasa) untuk mempertahankan kelembaban sesuai level
yang dibutuhkan untuk mendukung penyembuhan luka. Indikasi balutan ini
adalah digunakan pada jenis luka dengan cairan yang sedikit sedangkan
kontraindikasinya adalah luka yang banyak mengeluarkan cairan
3) Foam Silikon Lunak
Balutan jenis ini menggunakan bahan silikon yang direkatkan, pada
permukaan yang kontak dengan luka. Silikon membantu mencegah balutan

10
foam melekat pada permukaan luka atau sekitar kulit pada pinggir luka.
Hasilnya menghindarkan luka dari trauma akibat balutan saat mengganti
balutan, dan membantu proses penyembuhan. Balutan luka silikon lunak
ini dirancang untuk luka dengan drainase dan luas.
4) Hidrokoloid
Balutan hidrokoloid bersifat ”water-loving” dirancang elastis dan merekat
yang mengandung jell seperti pektin atau gelatin dan bahan-bahan absorben atau
penyerap lainnya. Balutan hidrokoloid bersifat semipermiabel,
semipoliuretan padat mengandung partikel hidroaktif yang akan mengembang
atau membentuk jel karena menyerap cairan luka. Bila dikenakan pada
luka, drainase dari luka berinteraksi dengan komponen-komponen dari
balutan untuk membentuk seperti jel yang menciptakan lingkungan yang
lembab yang dapat merangsang pertumbuhan jaringan sel untuk
penyembuhan luka. Balutan hidrokoloid ada dalam bermacam bentuk,
ukuran, dan ketebalan. Balutan hidrokoloid digunakan pada luka dengan
jumlah drainase sedikit atau sedang. Balutan jenis ini biasanya diganti satu kali
selama 5-7 hari, tergantung pada metode aplikasinya, lokasi luka, derajat
paparan kerutan-kerutan dan potongan-potongan, dan inkontinensia.
Balutan ini diindikasi kan pada luka pada kaki, luka bernanah, sedangkan
kontraindikasi balutan ini adalah tidak digunakan pada luka yang terinfeksi.
5) Hidrofiber
Hidrofiber merupakan balutan yang sangat lunak dan bukan tenunan atau
balutan pita yang terbuat dari serat sodium carboxymethylcellusole,
beberapa bahan penyerap sama dengan yang digunakan pada balutan
hidrokoloid. Komponen-komponen balutan akan berinteraksi dengan drainase
dari luka untuk membentuk jel yang lunak yang sangat mudah dieliminasi
dari permukaan luka. Hidrofiber digunakan pada luka dengan drainase yang
sedang atau banyak, dan luka yang dalam dan membutuhkan balutan sekunder.
Hidrofiber dapat juga digunakan pada luka yang kering sepanjang
kelembaban balutan tetap dipertahankan (dengan menambahkan larutan
normal salin). Balutan hidrofiber dapat dipakai selama 7 hari, tergantung
pada jumlah drainase pada luka (Briant,2007).
6) Larutan pembersih
Proses pembersihan luka terdiri dari memilih cairan yang tepat untuk
membersihkan luka dan menggunakan cara-cara mekanik yang tepat untuk

11
memasukkan cairan tersebut tanpa menimbulkan cedera pada jaringan
luka (AHPCR, 1994). Tujuan pembersih luka adalah untuk
menegeluarkan debris organik maupun anorganik sebelum menggunakan
balutan untuk mempertahankan lingkungan yang optimum pada tempat luka
untuk proses penyembuhan. Adanya debris yang terus menerus, termasuk
benda asing, jaringan lunak yang mengalami devitalisasi, krusta, dan jaringan
nekrotik dapat memperlambat penyembuhan dan menjadi fokus infeksi.
Membersihkan luka dengan lembut tetapi mantap akan membuang kontaminan
yang mungkin akan menjadi sumber infeksi. Menurut pedoman AHCPR 1994,
cairan pembersih yang dianjurkan adalah Sodium klorida. Normal salin aman
digunakan pada kondisi apapun (Lilley&Aucker, 1999). Sodium klorida atau
natrium klorida tersusun atas Na dan Cl yang sama seperti plasma. Larutan
ini tidak mempengaruhi sel darah merah (Henderson, 1992). Sodium klorida
tersedia dalam beberapa konsentrasi, yang paling sering adalah sodium
klorida 0,90 %. Ini adalah konsentrasi normal dari sodium klorida dan
untuk alasan ini Sodium Klorida disebut juga salin normal (Lilley&
Aucker, 1999). Normal salin merupakan larutan isotonis yang aman untuk
tubuh, tidak iritan, melindungi granulasi jaringan dari kondisi kering,
menjaga kelembapan disekitar luka, membantu luka menjalani proses
penyembuhan serta mudah didapat dan harga relatif lebih murah (Bryant,
2007).
7) Agen topikal
Agen topikal terdiri dari antiseptik dan antibakteri. Antiseptik adalah bahan-
kimia yang dioleskan pada kulit atau jaringan yang hidup untuk menghambat
dan membunuh mikroorganisme (baik yang bersifat sementara maupun yang
tinggal menetap pada luka) dengan demikian akan mengurangi jumlah total
bakteri yang ada pada luka. Pada perawatan luka modern, pemakaian antiseptik
yang diperkenalkan oleh Lister, seperti povidone-iodine, hypoclorite, asam
asetat tidak digunakan lagi pada luka-luka terbuka dan luka bersih seperti
luka bedah (akut) dan luka-luka kronik. Pemakaian povidone iodine hanya
digunakan pada luka-luka akut maupun kronik yang dapat menunjukkan
kesembuhan (healable wound), luka yang mengalami infeksi. Povidone
iodine juga digunakan untuk mensterilkan alat dan permukaan kulit yang utuh
yang akan dioperasi. Sehingga, untuk mencegah kerusakan jaringan baru
pada luka, WHO menyarankan agar tidak lagi menggunakan antiseptik

12
pada luka bersih, tetapi menggunakan normal salin sebagai agen
pembersih (WHO, 2010). Agen topikal golongan antibiotik yang sering
digunakan adalah bacitracin, silver sulfadiazine, neomysin, polymyxin.
Pemberian antibakteri diindikasikan pada luka yang memiliki tanda-tanda
infeksi (Moon, 2003).
8) Balutan sekunder (Secondary dressing)
Balutan sekunder adalah bahan perawatan luka yang memberikan efek
terapi atau berfungsi melindungi, megamankan dan menutupi balutan primer.
Jenis-jenis balutan sekunder antara lain:
a. Pita perekat (adhesive tape)
Beberapa pita perekat yang sering digunakan dalam perawatan luka
antara lain (Knottenbelt, 2003) :
1. Plester cokelat terdiri dari bahan tenunan katun sewarna kulit
dengan perekat Zinc oksida berpori dengan daya lekat kuat namun
tidak sakit saat dilepas. Plester ini diindikasikan untuk plester
serbaguna, retensi bantalan penutup luka, fiksasi infus.
2. Plester luka Non Woven, terbuat dari bahan akrilik yang hipoalergenik.
Kertas pelindung terbuat dari silikon bergaris dan memiliki crack back,
yang memudahkan pemakaian (teknik asepsis), mengikuti lekuk tubuh,
perlindungan menyeluruh untuk mencegah kontaminasi. Plester ini
memiliki daya lekat optimal (tidak terlalu lengkat dikulit namun tidak
mudah lepas). Plester ini diindikasikan untuk retensi bantalan penutup
luka, fiksasi infus. Contoh : Biopore, Hipavix.
b. Balutan Perekat (Adhesive Dressing)
Contohnya : Perekat Alginat, perekat hidrokoloid, transparent film.
c. Perban
Contohnya: Balutan tubular, balutan kompresi tinggi.
9) Semprotan perekat
Semprotan perekat merupakaan cara lain untuk mempertahankan
balutan agar tetap pada tempatnya. Beberapa lapis kasa diletakkan
langsung pada luka, kemudian balutan dipenuhi dengan semprotan
perekat, dan setelah mengering, kelebihan kasa digunting. Jenis ini
disemprotkan langsung pada luka yang akan segera mengering dan
memberikan perlindungan yang baik (Morrison, 2004).

13
D. Ulkus Diabetik
1. Definisi Ulkus
Ulkus adalah rusaknya barier kulit sampai ke seluruh lapisan (full thickness)
dari dermis. Pengertian ulkus kaki diabetik termasuk nekrosis atau gangren. Gangren
diabetikum adalah kematian jaringan yang disebabkan oleh penyumbatan pembuluh
darah (ischemic necrosis) karena adanya mikroemboli aterotrombosis akibat
penyakit vaskular perifir oklusi yang menyertai penderita diabetes sebagai
komplikasi menahun dari diabetes itu sendiri. Ulkus kaki diabetik dapat diikuti oleh
invasi bakteri sehingga terjadi infeksi dan pembusukan, dapat terjadi di setiap
bagian tubuh terutama di bagian distal tungkai bawah (Gibbons dkk.,1995 ;
Rutherford dkk., 1995 ; Cavanagh dkk., 1999).
2. Jenis - Jenis Ulkus Kaki Diabetik
Ulkus kaki diabetik dibedakan atas 2 kelompok yaitu : (Edmon, 2006)
a) Ulkus neuropatik
Kaki teraba hangat dan perfusi masih baik dengan pulsasi masih teraba, keringat
berkurang, kulit kering dan retak.
b) Ulkus neuroiskemik
Kaki teraba lebih dingin, tidak teraba pulsasi, kulit tipis, halus dan tanpa rambut,
ada atrofi jaringan subkutan, klaudikasio intermiten dan rest pain mungkin tidak
ada karena neuropati
3. Etiologi Ulkus Diabetik
14
Proses terjadinya kaki diabetik diawali oleh angiopati, neuropati, dan infeksi.
Neuropati menyebabkan gangguan sensorik yang menghilangkan atau menurunkan
sensasi nyeri kaki, sehingga ulkus dapat terjadi tanpa terasa. Gangguan motorik
menyebabkan atrofi otot tungkai sehingga mengubah titik tumpu yang menyebabkan
ulserasi kaki. Angiopati akan mengganggu aliran darah ke kaki; penderita dapat
merasa nyeri tungkai sesudah berjalan dalam jarak tertentu. Infeksi sering merupakan
komplikasi akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati.Ulkus diabetik bisa
menjadi gangren kaki diabetik.Penyebab gangren pada penderita DM adalah bakteri
anaerob, yang tersering Clostridium. Bakteri ini akan menghasilkan gas, yang disebut
gas gangren. Identifikasi faktor risiko penting, biasanya diabetes lebih dari 10 tahun,
laki-laki, kontrol gula darah buruk, ada komplikasi kardiovaskular, retina, dan ginjal.
Hal-hal yang meningkatkan risiko antara lain neuropati perifer dengan hilangnya
sensasi protektif, perubahan biomekanik, peningkatan tekanan pada kaki, penyakit
vaskular perifer (penurunan pulsasi arteri dorsalis pedis), riwayat ulkus atau amputasi
serta kelainan kuku berat. Luka timbul spontan atau karena trauma, misalnya
kemasukan pasir, tertusuk duri, lecet akibat sepatu atau sandal sempit dan bahan yang
keras. Luka terbuka menimbulkan bau dari gas gangren, dapat mengakibatkan infeksi
tulang (osteomielitis).
4. Patofisiologi Ulkus Diabetik
Ulkus kaki diabetes disebabkan tiga faktor yang sering disebut trias, yaitu: iskemi,
neuropati, dan infeksi. Kadar glukosa darah tidak terkendali akan menyebabkan
komplikasikronik neuropati perifer berupa neuropati sensorik, motorik, dan autonom.
a. Neuropati sensorik biasanya cukup berat hingga menghilangkan sensasi proteksi
yang berakibat rentan terhadap trauma fisik dan termal, sehingga meningkatkan
risiko ulkus kaki. Sensasi propriosepsi yaitu sensasi posisi kaki juga hilang.
b. Neuropati motorik mempengaruhi semua otot, mengakibatkan penonjolan
abnormal tulang, arsitektur normal kaki berubah, deformitas khas seperti hammer
toe dan hallux rigidus. Deformitas kaki menimbulkan terbatasnya mobilitas,
sehingga dapat meningkatkan tekanan plantar kaki dan mudah terjadi ulkus.
c. Neuropati autonom ditandai dengan kulit kering, tidak berkeringat, dan
peningkatan pengisian kapiler sekunder akibat pintasan arteriovenosus kulit. Hal
ini mencetuskan timbulnya fisura, kerak kulit, sehingga kaki rentan terhadap
trauma minimal. Hal tersebut juga dapat karena penimbunan sorbitol dan fruktosa

15
yang mengakibatkan akson menghilang, kecepatan induksi menurun, parestesia,
serta menurunnya refleks otot dan atrofi otot.
Penderita diabetes juga menderita kelainan vaskular berupa iskemi. Hal ini
disebabkan proses makroangiopati dan menurunnya sirkulasi jaringan yang ditandai
oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi arteri dorsalis pedis, arteri tibialis, dan
arteri poplitea; menyebabkan kaki menjadi atrofi, dingin, dan kuku menebal.
Selanjutnya terjadi nekrosis jaringan, sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai
dari ujung kaki atau tungkai.
Kelainan neurovaskular pada penderita diabetes diperberat dengan aterosklerosis.
Aterosklerosis merupakan kondisi arteri menebal dan menyempit karena penumpukan
lemak di dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otot-
otot kaki karena berkurangnya suplai darah, kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam
jangka lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan berkembang menjadi
ulkus kaki diabetes. Proses angiopati pada penderita DM berupa penyempitan dan
penyumbatan pembuluh darah perifer tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi
jaringan bagiandistal tungkai berkurang.
DM yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan tunika intima (hiperplasia
membran basalis arteri) pembuluh darah besar dan kapiler, sehingga aliran darah
jaringan tepi ke kaki terganggu dan nekrosisyang mengakibatkan ulkus diabetikum.
Peningkatan HbA1C menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen
oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan sirkulasi dan kekurangan
oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang selanjutnya menjadi ulkus.
Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya reaktivitas trombosit meningkatkan
agregasi eritrosit, sehingga sirkulasi darah melambat dan memudahkan terbentuknya
trombus (gumpalan darah) pada dinding pembuluh darah yang akan mengganggu
aliran darah ke ujung kaki.

16
5. Klasifikasi dan Derajat Ulkus Diabetik

17
Klasifikasi Wagner-Meggit dikembangkan pada tahun 1970-an, digunakan secara luas
untuk mengklasifikasi lesi pada kaki diabetes.
Tabel . Klasifikasi kaki diabetes berdasarkan WagnerMeggit
Derajat 0 Simptom pada kaki seperti nyeri
Derajat 1 Ulkus superfisial
Derajat 2 Ulkus dalam
Derajat 3 Ulkus sampai mengenai tulang
Derajat 4 Gangren telapak kaki
Derajat 5 Gangren seluruh kaki

Klasifikasi Wagner-Meggit dianjurkan oleh International Working Group on


Diabetic Foot (IWGDF) dan dapat diterima semua pihak agar memudahkan
perbandingan hasil-hasil penelitian. Dengan klasifikasi ini akan dapat ditentukan
kelainan yang dominan, vaskular, infeksi, atau neuropatik dengan ankle brachial
index (ABI), filament test, nerve conduction study, electromyography (EMG),
autonomic testing, sehingga pengelolaan lebih baik. Ulkus gangren dengan critical
limb ischemia lebih memerlukan evaluasi dan perbaikan keadaan vaskularnya.
Sebaliknya jika faktor infeksi menonjol, antibiotik harus adekuat. Sekiranya faktor
mekanik yang dominan, harus diutamakan koreksi untuk mengurangi tekanan plantar.

E. Perawatan Luka Modern


Metode perawatan luka yang berkembang saat ini adalah menggunakan prinsip
moisture balance, yang disebutkan lebih efektif dibandingkan metode konvensional.
Perawatan luka menggunakan prinsip moisture balance ini dikenal sebagai metode
modern dressing. Selama ini, ada anggapan bahwa suatu luka akan cepat sembuh jika
luka tersebut telah mengering. Namun faktanya, lingkungan luka yang kelembapannya
seimbang memfasilitasi pertumbuhan sel dan proliferasi kolagen dalam matriks
nonseluler yang sehat. Pada luka akut, moisture balance memfasilitasi aksi faktor
pertumbuhan, cytokines, dan chemokines yang mempromosi pertumbuhan sel dan
menstabilkan matriks jaringan luka. Jadi, luka harus dijaga kelembapannya. Lingkungan

18
yang terlalu lembap dapat menyebabkan maserasi tepi luka, sedangkan kondisi kurang
lembap menyebabkan kematian sel, tidak terjadi perpindahan epitel dan jaringan matriks.
Perawatan luka modern harus tetap memperhatikan tiga tahap, yakni mencuci luka,
membuang jaringan mati, dan memilih balutan. Mencuci luka bertujuan menurunkan
jumlah bakteri dan membersihkan sisa balutan lama, debridement jaringan nekrotik atau
membuang jaringan dan sel mati dari permukaan luka. Perawatan luka konvensional
harus sering mengganti kain kasa pembalut luka, sedangkan perawatan luka modern
memiliki prinsip menjaga kelembapan luka dengan menggunakan bahan seperti hydrogel.
Hydrogel berfungsi menciptakan lingkungan luka tetap lembap, melunakkan serta
menghancurkan jaringan nekrotik tanpa merusak jaringan sehat, yang kemudian terserap
ke dalam struktur gel dan terbuang bersama pembalut (debridemen autolitik alami).
Balutan dapat diaplikasikan selama tiga sampai lima hari, sehingga tidak sering
menimbulkan trauma dan nyeri pada saat penggantian balutan.

BAB III
PEMBAHASAN

1. SOP Perawatan Luka ( Bersih dan Kotor)


a. Persiapan alat
Alat steril
1) Bak instrument steril yang berisi : 1 buah pinset cirurgis, 2 buah pinset anatomi,
gunting angkat jahitan, kassa atau kapas, kapas lidi, kassa deppers, dan gunting
nekrotomi.
2) Sarung tangan steril pada tempatnya dan sarung tangan bersih
19
3) Cucing
4) Masker
5) Korentang dan tempatnya
Alat tidak steril
1) Bengkok (nirbeken)
2) Perlak
3) Gunting
4) Plester
5) Kantong sampah atau plastik
Bahan
1) Alkohol 70%
2) Betadin
3) Cairan : NaCl 0,9% /betadine/alcohol/air steril
4) Obat topical

b. Persiapan pasien dan lingkungan


c. Prosedur pelaksanaan
1) Cuci tangan
2) Pakai sarung tangan bersih
3) Letakkan peralatan pada posisi yang ergonomis (bak instrument dibuka, cairan
dituangkan ke dalam cucing)
4) Kenakan masker muka
5) Pasang perlak dan pengalas
6) Buka balutan lama (balutan atas) menggunakan pinset (teknik menggulung) dan
buang ke tempat sampah medis
7) Lepas sarung tangan dan pakai sarung tangan steril
 Pada luka kering (teknik balutan kering)
1) Bersihkan luka dengan cairan (NaCl/betadine/alcohol/air steril)
2) Gunakan swab yang terpisah untuk setiap ruangan
3) Bersihkan are luka secara sirkular dari area yang kurang terkontaminasi ke area
yang terkontaminasi ( dari dalam keluar)
4) Akhiri dengan mengusap dengan menggunakan kassa kering (satu arah)
5) Memasang balutan kering steril pada area luka
6) Pasang kassa lapisan kedua atau sesuai kebutuhan
20
7) Fiksasi dengan plester
 Pada luka basah (teknik balutan basah)
1) Bersihkan luka dengan cairan (NaCl/betadine/alcohol/air steril), bila perlu
gunakan cairan perhidrol (H2O2) untuk luka yang sangat kotor kemudian bilas
dengan larutan NaCl
2) Bila ada jaringan nekrosis lakukan nekrotomi
3) Bersihkan are luka secara sirkular dari area yang kurang terkontaminasi ke area
yang terkontaminasi ( dari dalam keluar)
4) Memasang balutan basah steril pada area luka
5) Pasang kassa kassa berserat halus dan lembab pada area luka mengunakan NaCl
6) Jika luka cukup dalam masukan kassa lembab dengan hati-hati kedalam luka
menggunakan pinset sampai semua permukaan luka dapat kontak dengan kassa
yang lembab
7) Pasang kassa steril kering diatas kassa basah sesuai kebutuhan
8) Fiksasi dengan plester atau balutan sesuai kondisi luka
9) Setelah selesai rapikan peralatan yang telah dipakai letakan dibengkok dan buang
kekantong sampah medis
10) Lepas sarung tangan dan buang kesampah medis
11) Atur posisi pasien senyaman mungkin
12) Cuci tangan

d. Evaluasi
1) Kaji respon pasien setelah dilakukan perawatan luka dan pembalutan
2) Kondisi luka selama perawatan luka (adanya tanda-tanda infeksi, timbulnya
granulasi, adanya nekrosis, dan lain-lain)

e. Dokumentasi
1) Catat karakteristik luka, jenis drainase yang muncul, jenis balutan yang
digunakan, dan toleransi pasien.
2) Catat jadwal penggantian balutan dan obat topical pada status pasien
(Hidayati, 2014)

2. Pembahasan
21
Berdasarkan data hasil observasi dan wawancara yang dilakukan selama 2 minggu di
Rumah Sakit K.R.M.T Wongsonegoro Kota Semarang khususnya diruang rawat inap
penyakit dalam kelas 3 (Nakula 2 dan 3) didapatkan bahwa perawat diruangan, dalam
melakukan pelayanan tindakan perawatan luka sudah cukup baik namun kurang sesuai
dengan standar prosedur tentang perawatan luka. Hal ini didukung dengan SOP
perawatan luka diruangan tersebut yang belum tersedia dan belum disosialisasikan serta
kurangnya ketersedian SDM diruangan yang sudah terlatih dan ahli dalam melakukan
perawatan luka khususnya penangan ulkus diabetik, mengingat jika perawatan luka yang
dilakukan kurang sesuai dengan prosedur, dapat memperlambat bahkan memperburuk
kondisi luka pasien, memperpanjang waktu rawat, dan menambah beban biaya yang harus
dikeluarkan pasien.

3. Jurnal Terkait Perawatan Luka Modern


Menurut Kartika, W. Ronald (2015) perawatan luka telah mengalami perkembangan
sangat pesat terutama dalam dua dekade terakhir, ditunjang dengan kemajuan teknologi
kesehatan. Di samping itu, isu terkini manajemen perawatan luka berkaitan dengan
perubahan profil pasien yang makin sering disertai dengan kondisi penyakit degeneratif
dan kelainan metabolik. Kondisi tersebut biasanya memerlukan perawatan yang tepat
agar proses penyembuhan bisa optimal. Metode perawatan luka yang berkembang saat ini
adalah menggunakan prinsip moisture balance, yang disebutkan lebih efektif
dibandingkan metode konvensional. Perawatan luka menggunakan prinsip moisture
balance ini dikenal sebagai metode modern dressing.
Dari hasil pengamatan diruang rawat inap penyakit dalam kelas 3, beberapa perawat
diruangan kurang tepat dalam melakukan teknik perawatan luka pada pasien yang
memiliki luka diabetes, perawatan luka dilakukan sama untuk semua stadium dan warna
dasar luka, termasuk pemilihan balutan luka. Berdasarkan jurnal Septiyanti dkk (2013),
terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan dengan sikap perawat tentang perawatan
luka diabetes menggunakan teknik moist wound healing.

22
BAB IV
PENUTUP

a. Kesimpulan
Perawatan luka merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk merawat luka
dengan tujuan meningkatkan reepitelisasi jaringan baru dan mengembalikan fungsi
fisiologis kulit yang rusak. Moist wound healing merupakan metode perawatan luka
terkini yang efektif menyembuhkan luka. Perawat dituntut untuk mempunyai
pengetahuan dan keterampilan yang adekuat terkait dengan proses perawatan luka agar
klien segera memperoleh kembali kesehatan dan kehidupan mandiri secara optimal
mengingat jika perawatan luka yang dilakukan tidak benar dan tidak sesuai prosedur,

23
dapat memperlambat bahkan memperburuk kondisi luka pasien, memperpanjang waktu
rawat, dan menambah beban biaya yang harus dikeluarkan pasien.

b. Saran
Mengingat teknik perawatan luka harus dilakukan dengan benar, maka sangat diperlukan
standar opersional prosedur (SOP) terkait perawatan luka terbaru yang ditetapkan oleh
pihak rumah sakit untuk diterapkan di setiap ruang perawatan khususnya ruang rawat inap
penyakit dalam kelas 3 (Nakula 2 dan 3) serta pelatihan kepada perawat ruangan dalam
melakukan perawatan luka untuk meningkatkan mutu pelayanan kepada pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Hidayati, Ratna, dkk. 2014. Praktik Laboratorium Keperawatan. Jilid 2. Erlangga; Jakarta
Gibbons , G.W., Marcaccio, E.J., Habershaw , G.M. 1995. Management of diabetic foot. In
: Callow, A.D., Ernst, C.B., editors.Vascular surgery : theory and practice.
Connecticut : Appleton and Lange. p.167-79.
Edmonds, M.E. 2006. ABC of wound healing. BMJ, 18: 407-10
Kartika, W. Ronald. 2015. Perawatan Luka Kronis dengan Modern Dressing. Jakarta : CDK
230 vol. 42 no 7 http://www.kalbemed.com/Portals/6/22_230Teknik-
Perawatan%20Luka%20Kronis%20dengan%20Modern%20Dressing.pdf diakses : 22
Oktober 2017
24
Septiyanti, Maria, dkk. 2013. Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Sikap Perawat
Tentang Perawatan Luka Diabetes Menggunakan Teknik Moist Wound Healing.
http://jom.unri.ac.id/index.php/JOMPSIK/article/viewFile/3481/3377 diakses : 22
Oktober 2017

25

Anda mungkin juga menyukai