Anda di halaman 1dari 21

86

BAB IV

PAPARAN DATA DAN PEMBAHASAN

A. Setting Sosial Pondok Pesantren Panggung Tulungagunng


1. Sejarah Singkat Pondok Pesantren Panggung Tulungagung

Pondok pesantren Panggung terletak di Jalan Diponegoro, 400 meter

selatan alun-alun kota Tulungagung. Tepatnya berlokasi di kelurahan

Karangwaru kecamatan kota kabupaten Tulungagung. Pondok ini berawal

dari sebuah langgar pampang kecil. Meskipun kecil, langgar tersebut

menjadi pusat aktivitas, mulai dari sholat berjama’ah, tadarus, dan tahlil.

Dari kegiatan itulah lama-kelamaan jama’ah menjadi semakin membludak.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1954 langgar yang belum

mempunyai nama itu diberi julukan langgar panggung oleh masyarakat

sekitar. Dinamakan panggung karena langgar tersebut berbentuk

panggung/pampang.

Langgar Panggung didirikan oleh H. Ali kemudian dikelola oleh Kyai

Ibrahim bersama Mbah Kasdi, Mbah Kemis, dan Mbah Muntahar. Proses

pembangunan berlangsung ketika Kyai Asrori Ibrahim (putra Kyai Ibrahim)

sedang menuntut ilmu di Pondok Mojosari Nganjuk selama 20 tahun.

Sekitar tahun 1958 Kyai Asrori Ibrahim lulus dari Pondok Mojosari

Nganjuk. Sepulang dari Nganjuk, beliau bersama sepuluh temannya dari

Magelang membantu Kyai Ibrahim mengajar di langgar. Kesepuluh teman

tersebut diantaranya : Mahfudz, Bun Hari, dan M. Jamil. Sejak itulah lahir
87

Pondok Pesantren Panggung Tulungagung. Disamping itu, dari segi

pembanguna beliau banyak dibantu oleh H. Abdulloh Syaekhon (Kauman),

H. Abdurrohman (Kampung Dalem), H. Mashuri (Gedangsewu), H.

Makhrus Isnain (Karangwaru)

Adapun Tujuan atau hal yang melatar belakangi didirikannya Pondok

Pesantren Panggung adalah:

a. untuk menampung anak-anak sekitar pondok dan dari daerah lain

guna mendapatkan pendidikan agama dan ketrampilan.


b. untuk mencetak baik anak-anak disekitar pondok dan diluar pondok

untuk menjadi pemimpin masyarakat dimana mereka berdomisili

kelak.
c. untuk mengurangi buta huruf yang ada di sekitar pondok.

Berdasarkan tujuan tersebut, didirikanlah lembaga pendidikan agama

tingkat ibtida’iyah. Berdirinya madrasah tersebut ternyata mampu menarik

minat warga. Banyak santri yang berdatangan, baik dari dalam maupun luar

kota Tulungagung. Akibat terus bertambahnya santri maka gedung madrasah

tersebut cukup untuk menampung seluruh santri. Santri yang sudah tamat

ibtidaiyah secara otomatis membutuhkan kelas yang baru yaitu tingkat

tsanawiyah. Maka didirikanlah Madrasah Tsanawiyah pada tahun 1964.

Pondok Pesantren Panggung Tulungagung sebagaimana pondok-

pondok pesantren pada umumnya, makin lama-makin terus berkembang dan

mengalami kemajuan terlebih setelah KH. M. Syafi’I Abdurrahman ( adik

ipar KH. Asrori Ibrahim ) ikut terjun langsung dalam menangani Pondok
88

Pesantren Panggung ini, terbukti pada tahun 1967 berdirilah Madrasah

Aliyah.

Keadaan terus berjalan dan mengalami perubahan dari tahun ketahun,

murid yang membanjiri Pondok Pesantren Panggung Tulungagung tidak

mungkin lagi dibendung, oleh karena itu setiap dua tahun sekali diadakan

pembangunan guna meningkatkan kualitas pendidikan santri di Pondok

Pesantren Panggung ini. Karena dipandang sangat perlu maka pada tanggal

17 pebruari 1992 didirikanlah sebuah yayasan yang menaungi Pondok

Pesantren Panggung, yaitu Yayasan Raden Ja’far Shodiq. Untuk menjawab

kebutuhan masyarakat Yayasan Raden Ja’far Shodiq mempunyai beberapa

lembaga yang berada dibawahnya yaitu :

1. Pondok Pesantren Panggung Putra.

2. Pondok Pesantren Panggung Putri.

3. Madrasah Tarbiyatul Ulum ( Malam ).

4. Madrasah Roudlotus Sholihah ( Sore ).

5. Play Group (PG), Taman Kanak-Kanak ( TK ), Sekolah

Dasar Islam ( SDI) Al-Munawwar.

6. Avissina Group ( Sholawat ).

7. Madrasah Tsanawiyah Al-Ma’arif.

8. Madrasah Aliyah Al-Ma’arif.

9. Lembaga Pendidikan Luar Sekolah ( Wajar Dikdas Dan Paket C).1

Informasi mengenai keterlibatan tokoh-tokoh perempuan dalam proses

pendirian Pondok Pesantren Panggung Tulungagung sangat terbatas.


1
Diolah dari Buku pedoman dan Perijinan Santri
89

Misalnya, sejarah pondok yang tertulis di Buku Pedoman dan Perizinan

Santri baik di Pondok Pusantren Panggung Putra maupun di Pondok

Pesantren Panggung Putri hanya menyebutkan peran tokoh laki-laki (Kyai).2

2. Struktur Sosial Pesantren


Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, Pondok Pesantren

Penggung Tulungagung terbagi ke dalam dua komplek bangunan.

Pondok Pesantren Panggung Putra dan Pondok Pesantren Panggung

Putri. Pondok Pesantren Panggung Putra berlokasi di Jl. Diponegoro 149-

153 Tulungagung. Adapun Pondok Pesantren Panggung Putri terletak di

Jl. A. Yani Barat Gg. I Tulungagung.


Keduanya berada dibawah Yayasan Raden Ja’far Shodiq. Dimana

masing-masing lembaga di bawah Yayasan Raden Ja’far Shodiq memiliki

ketua masing-masing. Setiap ketua, berhak untuk menentukan kebijakan

terkait lembaga yang dikelolanya. Berikut ini bagan struktur

kepengurusan Yayasan Raden Ja’far Shodiq Pondok Pesantren Panggung

Tulungagung.

Bagan 1.1
Stuktur kepengurusan Yayasan Raden Ja’far Shodiq Pondok Pesantren

Panggung Tulungagung.

PENGURUS YRJS

2
DEWAN
Baik dalam buku pedoman dan perizinan santriMASYAYIKH
maupun dari hasil wawancara tidak banyak
memaparkan peran tokoh perempuan/istri kyai dalam pendirian Pondok Pesantren Panggung
Tulungagung.

DEWAN DEWAN
PEMBIMBING KEPALA PPP ASATIDZ

SEKRETARIS SEKSI-SEKSI
SANTRI BENDAHARA
90

Sebagai sebuah lembaga pendidikan, Pondok Pesantren Panggung

juga memiliki sarana dan prasarana penunjang proses belajar mengajar.

Terdapat 16 asrama sebagai pondokan santri. Asrama tersebut terdiri dari;

ruang yang masing-masing ruang dihuni oleh 20 orang santri untuk

kamar yang berukuran besar dan 7 anak untuk kamar yang berukuran

kecil, satu ruang kantor pondok dan kantor madrasah sekaligus ruang

pengurus/ustadz untuk proses administrasi dan sebagainya. Disamping

itu, pondok pesantren panggung juga memiliki sebuah masjid yang

berfungsi sebagai tempat sholat berjamaah dan kegiatan ibadah lainnya

yang bersifat edukatif.

Untuk proses belajar mengajar santri, pndok pesantren Panggung

memiliki 14 ruang belajar dengan kapasitas tampung 40 orang santri.

Masing-masing ruang dilengkapi dengan sebuah papan tulis, meja ustadz

dan meja belajar santri. Dari 14 ruang belajar masing-masing telah

dilengkapi dengan meja-kursi. Untuk keperluan kebersihan santri,

tersedia 7 buah kamar mandi dan WC, tempat wudhu. Adapun untuk

keperluan masak memasak, disediakan sebuah dapur.

Selain sarana dan prasarana tersebut di atas, pondok pesantren

Panggung memiliki sebuah koperasi yang menyediakan kitab-kitab

kuning dan alat tulis. Koperasi tersebut juga menyediakan keperluan

sehari-hari yang mana keberadaannya juga masih dikelola oleh Madrasah


91

Aliyah, Madrasah Tsanawiyah dan pondok sendiri. Berikut tabel sebaran

santri Pondok Pesantren Panggung Tulungagung.


Tabel 1.1
Jumlah Santri di Pondok Pesantren Panggung Tulungagung
Berdasarkan Jenis Kelamin 2014-2015

No. Asrama Laki-laki Perempuan Ketua Asrama


1. Ampel 20 - Muhammad Ali
2. Bonang 18 - M. Wildan Pamungkas
3. Calijaga 18 - Tri Sugeng H.
4. Drajad 14 - Ilham Ainur Rosyad
5. Giri 21 - M. Thoriq Sahala A
6. Fatahillah 13 - N. Agung Hamami
7. Kudus 16 - Fahmi Muhammad
8 Putri - 71 Lailatun Nafi’ah
Jumlah 191

Berbeda dengan Pondok Pesantren Panggung Putra, Pondok

Pesantren Panggung Putri tidak memiliki asrama. Santri putri menempati

sepuluh kamar yang telah disediakan. Masing-masing kamar diisi oleh

tujuh sampai delapan orang santri dengan satu koordinator kamar.

Adapun pembagian kamar diserahkan kepada pengurus.3


Sebagian besar santri di Pondok Pesantren Panggung Tulungagug

adalah pelajar dan mahasiswa. Oleh karena itu untuk masalah pakaian

mulai dari pukul enam pagi sampai pukul empat sore santri diijinkan

untuk berpakaian sesuai dengan ketentuan sekolah masing-masing.

Setelah pukul lima sore seluruh santri wajib mengenakan busana muslim.

Santri putra wajib memakai sarung sedangkan santri putri wajib memakai

rok panjang/sarung. Selain seragam sekolah santri putri tidak boleh

memakai celana di area pondok.

3
Wawancara tanggal 2 April 2015
92

Ada perbedaan yang mencolok mengenai peraturan penggunaan

telepon genggam (HP). Jika para santri putra secara leluasa dapat

menggunkakan HP, santri putri hanya dapat menggunakan alat

komunikasi tersebut pada jam-jam tertentu.


Akses pendidikan antara santri putra dan putri tidak banyak

berbeda. Madrasah-madrasah yang berada di bawah Yayasan Ja’far

Shodiq dapat dimanfaatkan baik oleh santri putra maupun putri. Pada

masing-masing madrasah tersebut, santri putra dan putri dapat

berkompetisi secara lebih sportif. Hal ini karena antara santri putra dan

putri belajar secara bersama-sama dan salingg berinteraksi dalam kelas

yang sama. Namun, ada beberapa kitab tambahan yang hanya dipelajari

oleh santri putri saja. Ada juga kitab yang hanya dipelajari oleh santri

putra saja. Dimana mereka mempelajari kitab tersebut secara terpisah

(antara laki-laki dan perempuan).


Terkait dengan tenaga pengajar, sebagian besar merupakan alumni

dari lulusan Pondok Pesantren Panggung. Ada juga yang berasal dari

pondok lain di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sehingga dengan

tenaga pengajar yang berkualitas tinggi tersebut diharapkan santri yang

dihasilkan benar-benar erkualitas, berdedikasi dan loyalitas tinggi serta

penuh tanggung jawab. Tenaga pengajar tersebut diantaranya:


1. H.M Fathurrahman pada pelajaran Fiqih
2. H.M Fatulloh, M.Ag pada pelajaran Fiqih/Tauhid
3. H.M Nurul Huda, SP.MA pada pelajaran hadist
4. Ahmad Fahrudin, S.Pd.I pada pelajaran akhlak
5. Burhanuddin, S.Pd.I pada pelajaran hadist
Adapun peran nyai adalah mengawal santri yang hendak

menghafalkan al qur’an. Sedangkan keseluruhan tenaga pengajar di


93

Madrasah Tarbiyatul Ulum adalah laki-laki. Nyai hanya mengajar di

pondok puteri.

B. Agen Sosialisasi Gender di Pesantren


1. Pimpinan Pesantren
Pimpinan pesantren, dalam hal ini kyai dan nyai memiliki kapasitas

untuk melakukan perubahan dan atau sebaliknya penguatan terhadap

bangunan gender di pesantren. Mereka memberikan penyadaran terhadap

santri untuk memperkuat ajaran agama. Dalam konteks sosialisasi nilai-

nilai kesetaraan, kyai dan nyai telah menguatkan komitmen mereka

memalalui pembuatan dan penetapan tujuan pesantren yang menggiring

perilaku sosial santri. Peraturan-peraturan ditetapkan untuk meregulasi

dan membuat seluruh aktivitas santri terarah pada tindakan sang aktor.
Mereka menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi seluruh

keputusan terkait dengan peraturan yang dirujuk oleh santri. Intervensi

ini dilakukan melalui keputusan akhir dari seluruh rangkaian

pengambilan keputusan yang sudah ditetapkan oleh pengurus. Keputusan

rapat yang diambil oleh pengurus baru akan memiliki kekuatan hukum

jika telah mendapatkan restu dari kyai dan nyai untuk untuk selanjutnya

diimplementasikan dan disosialisasikan kepada para santri.


Sebagaimana telah dijelaskan di muka, kyai merupakan elemen

paling esensial dalam sebuah pesantren. Posisi mereka bukan hanya

sebagai pemimpin, kyai juga sebagai guru dan model bagi perilaku para

santri dan elemen sosial lainnya di pesantren. Para kyai menjalin ikatan

emosional dengan santri mereka dalam kehidupan sehari-hari. Ini

merupakan jalan untuk memberikan ruang bagi proses duplikasi yang


94

efektif atas tindakan, peran dan kepribadian kyai dalam sosialisasi gender

bagi santri.
Bagi seorang kyai, pesantren dapat diibaratkan sebagai kerajaan

kecil dimana kyai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan

kewenangan (power and authority) dalam kehidupan dan lingkungan

pesantren. Tidak seorang santri pun atau orang lain yang dapat melawan

kekuasaan kyai (dalam lingkungan pesantrennya) kecuali kyai lain yang

lebih besar pengaruhnya. Para santri selalu berharap dan berfikir bahwa

kyai yang dianutnya merupakan orang yang percaya penuh kepada

dirinya sendiri (self-confident), baik dalam soal-soal pengetahuan Islam,

maupun dalam bidang kekuasaan dan manajemen pesantren.


Dalam penelitian ini sesuai dengan struktur organisasi pesantren,

kyai mengambil peran sebagai masyayih. Sebagaian besar usianya lebih

muda jika dibandingkan dengan nyai Hj. Nurun Nasikah. Meski lebih

muda, pesona para kyai tidak berkurang sedikitpun. Mereka tetap

mempunyai posisi yang sentral dalam pesantren.


Dalam proses sosialisasi gender di Pondok Pesantren Panggung

Tulungagung, kyai memiliki otoritas dan pengaruh yang sangat kuat.

Bahkan kiprah kyai terdahulu dapat dengan mudah diakses melalui

sejarah pondok. Misalnya pada sejarah pendirian pondok, dengan jelas

kita dapat menemukan siapa saja kyai yang terlibat di dalamnya. Terlebih

saat ini, kyai lebih memiliki akses untuk berinteraksi dengan para santri.

Baik santri putra maupun putri.


Kyai di Pondok Pesantren Panggung Tulunggung berkesempatan

menjadi tenaga pengajar di Madrasah Tarbiyatul Ulum. Inilah yang


95

menjadi salah satu faktor penyebab kuatnya pengaruh kyai di pesantren

khususnya bagi para santri. Ketika pengasuh Pondok Pesantren Panggung

yang terdahulu (kyai) masih hidup. Ia juga berkesempaan untuk aktif

berinteraksi dengan santri melalui Madrasah Tarbiyatul Ulum.


Hingga saat ini Pengasuh Pondok Pesantren Panggung

Tulungagung adalah seorang perempuan. Nyai Hj. Nurun Nasikah istri

dari almarhum kyai H. Asrosi Ibrahim. Ia adalah satu-satunya perempuan

yang saat ini menduduki posisi vital dalam struktur organisasi di Pondok

Pesantren Panggung Tulungagung.


Meskipun demikian, nyai Hj. Nurun Nasikah tidak banyak

menunjukkan kontribusi aktif dalam perkembangangan Pondok

Pesantren Panggung Tulunggung. Ia tidak banyak menjalankan peran-

peran publik khususnya dalam kaitannya dengan pengajaran. Segala

uruasan terkait dengan perkembangan pesantren ditangani oleh putra-

putranya. Sejak awal, ia lebih tertarik menjalankan peran pengasuhan

dalam keluarga. Ia lebih memilih menjadi seorang ibu yang mencurahkan

sebagian besar waktunya untuk mengurus buah hati. Pada akhirnya

interaksi dengan santri cenderung terbatas. Menurutnya, mengurus rumah

adalah kodrat perempuan. Perempuan baru boleh melakukan aktifitas

non-domestik ketika mendapatkan izin dari suami.4


Selain mengurus buah hati, nyai Hj. Nurun Nasikah juga

disibukkan dengan mengelola toko yang masih satu bangunan dengan

kediamannya. Toko itu menjual kitab serta kebutuhan sehari-hari santri.

Kiprah nyai Hj. Nurun Nasikah dalam pengelolaan toko tidak tanggung-

4
Wawancara tanggal 5 April 2015
96

tanggung. Terkait masalah pengadaan barang dagang misalnya, ia

langsung turun tangan sendiri. Ia tidak segan untuk pergi ke Surabaya,

membeli keperluan untuk tokonya. Namun sejak beberapa waktu terakhir

karena alasan usia, ia tidak lagi mengambil stok dagangan dari Surabaya.

Meskipun demikian ia tetap telaten mengurus tokonya.5


Sedangkan nyai muda (merujuk pada istri dari para masyayih)

memiliki keterlibatan yang jauh lebih banyak jika dibanding dengan Nyai

Hj. Nurun Nasikah. Para nyai muda melakukan peran-peran publik

dengan mengabdikan diri di pesantren sebagai pengajar kitab di Pondok

Pesantren Panggung Putri. Para nyai muda juga mengawal hafalan

Qur’an dari santri hafizhah. Peran publik yang dilakukan oleh para nyai

muda tidaklah jauh lebih banyak dari para suami mereka (kyai). Peran

publik mereka hanya pada kalangan santri putri saja.

Kesenjangan antara akses antara nyai dan kyai di Pondok

Pesantren Panggung Tulungagung tidak dianggap sebagai sebuah masalah.

Tidak hanya nyai, nyai, dan pengurus, bahkan para santri pun menganggap

hal tersebut sebagai sebuah kewajaran.6

Disisi lain, sebagai suami dalam sebuah keluarga, kyai berperan

dan bertanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan keluarga. Walaupun

tidak menonjol sebagai objek yang teramati, upaya kyai untuk memenuhi

kebutuhan keluarga bisa terlihat dan bisa di contoh oleh santri. Sifat

paternalistik dan wiraswasta tertanam pada diri kyai dan keluarganya

5
Wawancara tanggal 5 April 2015
6
Wawancara tanggal 10 April 2015
97

sehingga seorang kyai tidak pernah menggantungkan kehidupannya pada

pesantren, tetapi justru menghidupkan pesantren. Peran yang dimiliki kyai

dalam keluarga menjadi model bagi para santri yang menyaksikan secara

langsung keharmonisan keluarga kyai. Pada contoh ini fungsi dan peran

suami istri tertata rapi dalam kehidupan keluarga. Begitupula

tanggungjawab masing-masing anggota keluarga berjalan dengan baik.

Santri juga belajar dari apa yang diajarkan secara nyata oleh kyai dan nyai

melalui perilakunya sebagai suami dan istri. Santri menyaksikan langsung

kehidupan si tokoh yang menjadi teladan dan model dalam cita-cita

mereka karena kelak mereka akan mengadopsi kehidupan yang mereka

lihat di pesantren.

3. Pengurus Pondok

Selain daripada kyai dan nyai, pemilik otoritas yang turut berperan

dalam proses sosialisasi gender di Pondok Pesantren Panggung

Tulungagung adalah pengurus pondok. Baik pengurus Pondok Pesantren

Panggung Putra maupun Pengurus Pondok Pesantren Panggung Putri,

mereka berperan sebagai pelaksana serta pengawal kebijakan yang telah

di syahkan. Selain dari pada itu mereka menjadi model terdekat bagi para

santri. Intensitas interaksi mereka dengan para santri jauh lebih banyak

jika dibanding dengan kyai dan nyai.

Jika para kyai dan nyai tinggal di ndalem, maka para pengurus

pondok tinggal di dekat asrama santri. Pengurus Pondok Pesantren


98

Panggung Putra bertempat di sebuah bangunan berbentuk panggung

dengan lantai kayu. Terletak di sisi sebelah selatan, menghadap lorong

menuju pintu keluar. Hal ini tentu akan memudahkan untuk memantau

santri ataupun para tamu yang hendak keluar dan masuk Pondok

Pesantren Panggung Putra Tulungagung.

Berbeda dengan kantor pengurus Pondok Pesantren Panggung

Putra Tulungagung yang merupakan bangunan tersendiri. Kantor

pengurus Pondok Pesantren Panggung Putri ukurannya jauh lebih kecil,

berupa sebuah kamar sejajar dengan kamar para santri. Sebagaimana

telah dijelaskan sebelumnya, Pondok Pesantren Panggung Putri tidak

memiliki asrama. Para santri putri tinggal pada kamar-kamar yang telah

di sediakan.

Para penguruslah yang mengajukan rancangan tata-tertib yang

selanjutnya harus ditaati oleh para santri. Dalam pembuatan peraturan,

pada kenyataannya jenis kelamin menjadi salah satu faktor yang tidak

luput dari perhatian. Hal ini dapat dilihat dari produk tata-tertib yang

berbeda antara Pondok Pesantren Panggung Putra dan Pondok Pesantren

Panggung Putri Tulungagung.

Menurut penuturan salah satu pengurus Pondok Pesantren

Panggung Putri Tulungagung. Santri putri harus mendapatkan

pengawalan yang jauh lebih ketat jika dibandingkan dengan santri putra.

Menurutnya perempuan harus menjaga diri dari fitnah. Sehingga harus


99

berhati-hati dalam segala hal. Salah satu bentuk kehati-hatian adalah

bahwa santri putri dilarang menggunakan celana di area pondok. Mereka

wajib menggunakan rok panjang. Yang mana dengan rok panjang santri

putri akan dapat lebih berhati-hati dalam melangkah. Lagi, santri putri

tidak leluasa dalam menggunakan telepon pribadi (HP). Para santri putri

harus mengumpulkan HP antara pukul 06.00-16.00. alasannya tidak lain

adalah untuk menjaga para santri agar mereka dapat lebih fokus pada saat

belajar di pondok.7

Terkait masalah relasi antara laki-laki dan perempuan, mereka

sepakat bahwa Allah menetapkan perbedaan antara laki-laki dan

perempuan. Perbedaan ini merupakan isyarat bahwa Allah

memperlakukan laki-laki dan perempuan secara berbeda dalam beberapa

hal. Sebagaimana dikemukaan oleh seorang responden berikut:

Setara bukan berarti sama, laki-laki dan perempuan tidak bisa


disamakan. Dan tidaklah harus disamakan antara satu dengan
lainnya kerena mereka memang berbeda. Misalnya dalam hal aurat,
perbedaan kewajiban shalat jumat seta menstruasi yang hanya
terjadi pada perempuan.8

C. Metode dan Media Sosialisasi Gender di Pesantren


1. Metode Sosialisasi Gender di Pesantren
1.1 Metode Keteladhanan

Pada agen mensosialisasikan wacana gender dimulai dengan

aktivitas mereka (baik sebagai kyai ataupun nyai). Kyai menjadi contoh

7
Wawancara tanggal 10 April 2015
8
Wawancara tanggal 01 April 2015
100

dan figur yang paling dekat yang harus diiru oleh para santri laki-laki.

Mereka juga menjadi figur dan harapan bagi para santri putri, bahwa

suatu saat akan mendapatkan pendamping seperi atau mendekati figur

kyai.

Peran yang dimainkan kyai merupakan merupakan bagian dari

sosialisasi gender yang efekif bagi persepsi santri, baik laki-laki maupun

perempuan. Mereka belajar dari apa yang dijalankan oleh kyai, baik di

dalam maupun di luar pesantren. Model seperi ini yang terlihat secara

langsung oleh santri putra dan putri.

Sebagai suami dalam sebuah keluarga, kyai berperan dalam

keluarga dan bertanggungjawab aatas pemenuhan kebutuhan keluarga.

Walaupun tidak menonjol sebagai objek yang teramati, upaya kyai untuk

memenuhi kebutuhan keluarga bisa terlihar dan dicontoh oleh para santri.

Peran yang dimainkan oleh kyai dalam keluaraga menjadi model bagi

para santri yang menyaksikan secara langsung keharmonisan keluarga

kyai. Pada contoh ini, fungsi dan peran suami istri ertata rapi dalam

kehidupan rumah tangga. Begitu pula tanggungjawab masing-masing

anggota keluarga berjalan dengan baik.

Hal inilah yang menjadi sumber belajar pertama dan utama bagi

para santri. Merka menyaksikan langsung kehidupan tokoh yang

menjadi teladan dan model dalam cita-cita mereka karena kelak mereka

akan mengadopsi kehidupan yang mereka li hat di pesantren.


101

1.2 Metode Ceramah

Selain menggunakan metode keteladahanan, kyai dan nyai

membangun konstruksi gender di Pondok Pesantren Panggung

Tulungagung melalui metode ceramah. Dibandingkan dengan nyai, kyai

lebih banyak memanfaatkan metode ini. Hal ini dikarenakan akses kyai

dalam proses pengajaran maupun pengajian bagi para santri jauh lebih

banyak daripada nyai. Sebagaimana telah dijelaskan di muka. Kyai

memiliki kesempatan untuk mengajar baik santri putra ataupun santri

putri. Sedangkan nyai hanya mendapat kesempatan mengajar khusus

untuk para santri putri, itupun dengan porsi yang sangat terbatas.

Ceramah merupakan salah satu bentuk metode pendidikan satu

bentuk metode pendidikan konvensional yang bersifat satu arah. Dalam

hal ini, penceramah diasumsikan sebagai sumber pengetahuan yang

memiliki otoritas intelektual dan moral yang tinggi, sedangkan pihak

penerima informasi cenderung bersifat pasif.

Metode ini dianggap sebagai metode yang praktis sehingga dipakai

oleh hampir semua bidang pengajaran. Pembelajaran dengan

menggunakan metode ceramah seringkali dimuai dengan pembacaan teks

dalam bahasa arab (kitab kuning) yang akan dijadikan sebagai bahan

ceramah. Setelah membaca teks tersebut, sang guru (kyai) kemudian

menterjemahkannya dan memberikan penjelasan terkait teks.


102

Dalam proses sosialisasi gender, metode ceramah diharapkan

mampu memberikan keyakinan serta memudahkan bagi para santri untuk

menangkap secara utuh apa yang disampaikan oleh guru (kyai). Variasi

model ceramah yang ada memungkinkan bagi guru untuk mengambil

posisi duduk ataupun berdiri.

Metode ini sangat bergantung pada kecenderungan (interest) dari

seorang guru (kyai). Tidak jarang, seorang kyai secara konsisten

menjelaskan secara utuh untuk mendukung peran gender tradisional.

Demikian metode ceramah kurang begitu memberikan porsi yang lebih

luas kepada para santri untuk berekspresi dan mngemukakan pendapat

karena metode ini berpusat kepada kyai. Oleh karena itu, dalam proses

pembelajaran atau pengajian di Pondok Pesantren Panggung

Tulungagung, tidak mutlak hanya menggunakan metode ceramah.

Biasanya metode ini dipadukan dengan diskusi/ tanya jawab. Hal ini

tidak lain bertujuan untuk menciptkan suasana yang lebih demokratis.

2. Media Sosialisasi Gender di Pesantren

Berdasarkan dua metode yang digunakan dalam proses sosialisasi

gender di Pondok Pesantren Panggung Tulungagung maka setidaknya

ada dua media atau alat yang digunakan dalam proses sosialisasi gender

di Pondok Pesantren Panggung Tulungagung.

2.1 Human tool (manusia)


103

Manusia yang dimaksud dalam hal ini adalah tubuh para agen

sosialisasi gender lengkap beserta paradigma pemikirannya. Sedari awal

telah dipaparkan bahwa gender adalah atribut yang lahir dalam

masyarakat. Ia diamati kemudian diinternalisasi menjadi sebuah

bangunan gender. Dalam hal ini berarti, gender tidak dapat dipisahkan

sama sekali dengan manusia. Karena yang teramati adalah perilaku

manusia, sebagai perwujudan dari apa yang diyakini. Keduanya

merupakan sebuah kesatuan.

Dalam islam, Nabi Muhammad SAW mendapat gelar sebagai suri

tauladhan yang baik. Adapun dalam cakupan yang lebih kecil, dalam

pesantren kyai dan nyai menjadi teladhan para santri. Santri akan

menjadikan keduanya model dalam kehidupan sehari-hari. Jika seorang

kyai ataupun nyai ingin mempertegas ataupun mensosialisasikan nilai

baru mereka cukup mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Aktivitas yang kemudian teramati oleh santri inilah yang selanjutnya

mempengaruhi pola pemikiran dan perilaku para santri. Sehingga sadar

atau tidak, santri telah mengikuti apa yang telah diyakini dan dilakukan

oleh sang Kyai ataupaun Nyai.

2.2 Peraturan

Aspek lain dalam sistem pendidikan yang tidak secara langsung

menyangkut praktik pengajaran adalah berbagai peraturan yang mengatur

kedisiplinan dan perilaku santri selama berada di lingkungan pesantren.


104

Peraturan tersebut menyangkut peraturan perilaku santri beserta sangsi-

sangsi yang berlaku apabila mereka melanggarnya.

Peraturan adalah alat pendisiplin bagi para santri. Di dalamnya

memuat kewajiaban dan larangan bagi para santri. Melalui peraturan

identitas gender disosialisasikan dan dibangun. Pembedaan antara santri

laki-laki dan perempuan juga nampak pada perbedaan peraturan.

Misalnya dalam penggunaan alat komunikasi. Santri di Pondok Pesantren

Panggung Putra boleh menggunakan alat komunikasi sepanjang hari

sedangkan untuk santri di Pnondok Pesantren Panggung Putri, hanya

boleh menggunakan alat komunikasi pada jam-jam tertentu. Hal ini

berdasarkan anggapan bahawa perempuan harus lebih menjaga diri dan

harus lebih berhati-hati.9

D. Kendala dalam Proses Sosialisasi Gender di Pondok Pesantren Panggung

Tulunggaung
Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, sosialisasi gender di

Pondok Pesantren Panggung berlangsung melalui dua orientasi yang berbeda.

Pertama normativitas peran gender. Yakni orientasi dengan mempertahankan

keyakinan dan nilai-nilai gender yang telah lama dikenal, diberlakukan dan

dengan sendirinya dianggap benar dalam lingkungan pesantren pada

khususnya dan masyarakat Islam pada umumnya. Nilai-nilai tersebut

mencakup pembagian kerja tradisional dimana perempuan diidentikkan

dengan dunia domestik sementara laki-laki, sebagai pemimpin dan mewakili

9
Wawancara tanggal 10 April 2015
105

arena publik. Di sisi lain terjadi kontekstualisasi peran gender, orientasi ini

memperkenalkan wacana baru mengenai gender dalam Islam. Penekanannya

terletak pada pembagian peran yang lebih fleksibel dengan berdasar pada

kesetaraan antara laki-laki dan perempuan.


Namun pada kenyataannya, proses normativitas peran gender ternyata

menjadi arus utama dalam sosialisasi gender di Pondok Pesantren Panggung

Tulungagung. Terdapat beberapa aspek yang mengindikasikan hal tersebut.

Pertama, sebagian besar kyai dan nyai memiliki peran besar dalam proses ini,

khususnya kyai. Normativitas peran gender tradisional merupakan orientasi

umum dalam lingkungan pesantren dan dapat dikatakan mewakili diskursus

gender yang resmi dan mapan dalam lingkungan pesantren. Sikap mereka

barangkali mewakili sikap pesantren secara umum yang tetap

mempertahankan tradisis lama mengenai relasi antara laki-laki dan

perempuan di pesantren. Kedua, normativitas peran gender di pesantren

didukung oleh sejumlah peraturan yang berlaku. Peraturan-peraturan tersebut

baik langsung atau tidak telah mendukung dominasi muatan normativitas

peran gender sebagai arus utama diskursus gender di lingkungan pesantren.


Selain daripada dominasi normativitas, strong model dalam sosialisasi

gender di Pondok Pesantren Panggung Tulungagung juga mendapatkan peran

dominan. Maksudnya adalah model sosialisasi gender yang berlangsung di

Pondok Pesantren Panggung Tulungagung bersifat top-down atau satu arah.

Strong model dalam sosialisasi gender mengasumsikan bahwa dalam

lingkungan sosialisasi terdapat wacana gender tertentu yang telah mapan dan

diterima secara luas. Wacana tersebut terus-menerus disosialisasikan untuk


106

membentuk perilaku, tindakan dan identitas gender berdasarkan preferensi

tertentu yang telah diterima. Identitas gender terutama terbentuk melalui

proses sosial yang berlangsung lama dan terjadi secara berulang-ulang.

Individu dipahami sebagai subjek pasif sehingga dapat dibentuk dan

diciptakan melalui indoktrinasi oleh para agen utama sosialisasi gender.


Berdasarkan pandangan tersebut, diasumsikan bahwa pesantren adalah

struktur sosial yang memiliki berbagai elemen dan mengemban suatu

diskursus gender tertentu yang telah mapan. Salah satu proses penting dalam

sosialisasi gender menurut model ini adalah pengajaran dengan pendekatan

pedagogi dimana seorang pengajar dalam hal ini kyai ataupun nyai,

memegang peran sentral sebagai pembentuk alam berpikir dan perilaku santri.

Tata-tertib bersama visi dan misi pesantren adalah salah satu sistem referensi

yang menentukan arah pembentukan identitas gender santri.

Anda mungkin juga menyukai