Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

HUBUNGAN STRUKTURAL DAN FUNGSIONAL


PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

Disusun Oleh :

Kelompok 3 | Kelas X TKJ 2

Fajar Ridwan Wijaya


Handri Bagus Saputra
Jihan Khulaidah
Luqman Maulana Al-Muzaki
Moch. Reza Fahlevi
M. Rafli Sanjaya
Rizky Mutiara Vici
Saputra Wijaya
Septian Ananta

Mata Pelajaran : Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Guru Mata Pelajaran : Ibu Iin Apriatin, S. Pd

SMK ROSMA Karawang

Tahun Ajaran 2018/2019


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Taufik
dan Hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk
maupun isinya yang sangat sederhana, dengan judul “Hubungan Struktural dan Fungsional
Pemerintah Pusat dan Daerah” . Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca.
Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat penilaian pada Mata
Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi kami, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini
sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami
miliki sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Karawang, November 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................................. 2


Daftar Isi ........................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................................................... 4
1.2. Tujuan Penulisan ....................................................................................................... 5
1.3. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN
2.1.Definisi Otonomi Daerah dan Desentralisasi ............................................................. 6
2.2. Visi Otonomi Daerah ................................................................................................ 7
2.3. Perkembangan Otonomi Daerah dalam Undang Undang ......................................... 9
2.4. Prinsip – Prinsip Otonomi Daerah dalam UU No. 22 Tahun 1999 .......................... 13
2.5. Sejarah Otonomi Daerah ........................................................................................... 14
2.6. Perkembangan dalam Otonomi Daerah .................................................................... 17
2.7. Konsekuensi Otonomi Daerah .................................................................................. 18
2.8. Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah ............................................................. 19
2.9. Kesalahpahaman terhadap Otonomi Daerah ............................................................. 21
2.10. Dasar Hukum dan Landasan Teori Otonomi Daerah ............................................... 22
2.11. Pemeran Penting dalam Otonomi Daerah ............................................................... 24
2.12. Dampak Otonomi Daerah ....................................................................................... 26
2.13. Nilai, Dimensi, dan Prinsip Otonomi Daerah di Indonesia .................................... 26
2.14. Kedudukan dan Peran Pemerintah Pusat ................................................................. 28
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan ............................................................................................................... 33
3.2. Saran ......................................................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 34

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia para founding
fathers telah menjatuhkan pilihannya pada prinsip pemencaran kekuasaan dalam
penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Cita desentralisasi ini senantiasa menjadi bagian dalam praktek pemerintahan
Negara sejak berlakunya UUD 1945, terus memasuki era Konstitusi RIS, UUDS 1950
sampai pada era kembali ke UUD 1945 yang dikukuhkan lewat Dekrit Presiden 5 juli
1959.
Garis perkembangan sejarah tersebut membuktikan bahwa cita desentralisasi
senantiasa dipegang teguh oleh Negara Republik Indonesia, sekalipun dari satu
periode ke periode lainnya terlihat adanya perbedaan dalam intensitasnya.
Sebagai perwujudan dari cita desentralisasi tersebut, maka langkah-langkah
penting sudah dilakukan oleh pemerintah. Lahirnya berbagai peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah membuktikan bahwa
keinginan untuk mewujudkan cita-cita ini terus berlanjut. Sekalipun demikia,
kenyataan membuktikan bahwa cita tersebut masih jauh dalam realisasinya. Otonomi
daerah masih lebih sebagai harapan ketimbang sebagai kenyataan yang telah terjadi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Otonomi Daerah belumlah terwujud
sebagaimana yang diharapkan. Kita nampaknya baru menuju ke arah Otonomi Daerah
yang sebenarnya.
Beberapa faktor-faktor yang menetukan prospek otonomi daerah, diantaranya,
yaitu :
1. Faktor Pertama adalah faktor manusia sebagai subyek penggerak (faktor dinamis)
dalam peenyelenggaraan otonomi daerah. Faktor manusia ini haruslah baik, dalam
pengertian moral maupun kapasitasnya. Faktor ini mencakup unsur pemerintah
daerah yang terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD, aparatur daerah maupun
masyarakat daerah yang merupakan lingkungan tempat aktivitas pemerintahan
daerah tersebut.
2. Faktor kedua adalah faktor keuangan yang merupakan tulang punggung bagi
terselenggaranya aktivitas pemerintahan Daerah. Salah stu cirri daerah otonom
adalah terletak pada kemampuan self supportingnya / mandiri dalam bidang

4
keuangan. Karena itu, kemampuan keuangan ini akan sangat memberikan pengaruh
terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sumber keuangan daerah yang
asli, misalnya pajak dan retribusi daerah, hasilm perusahaan daerah dan dinas
daerah, serta hasil daerah lainnya yang sah, haruslah mampu memberikan
kontribusinya bagi keuangan daerah.
3. Faktor ketiga adalah faktor peralatan yang merupakan sarana pendukung bagi
terselenggaranya aktivitas pemerintahan daerah. Peralatan yang ada haruslah cukup
dari segi jumlahnya, memadai dari segi kualitasnya dan praktis dari segi
penggunaannya. Syarat-syarat peralatan semacam inilah yang akan sangat
berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
4. Faktor keempat adalah faktor organisasi dan manajemen. Tanpa kemampuan
organisasi dan manajemen yang memadai penyelenggaraan pemerintahan tidak
dapat dilakukan dengan baik, efisien, dan efektif.oleh sebab itu perhatian yang
sungguh-sunggguh terhadap masalah ini dituntut dari para penyelenggara
pemerintahan daerah.
Sejarah perkembangan Otonomi Daerah membuktikan bahwa keempat faktor
tersebut di atas masih jauh dari yang diharapkan. Karenanya Otonomi Daerah masih
menunjukkan sosoknya yang kurang menggembirakan.oleh sebab itu apabila kita
berkeinginan untuk merealisasi cita-cita Otonomi Daerah maka pembenahan dan
perhatian yang sungguh-sungguh perlu diberikan kepada empat faktor di atas.

1.2. Tujuan Penulisan


Dengan adanya otonomi daerah diharapkan daerah tingkat I maupun Tingkat
II mampu mengelola daerah nya sendiri. Untuk kepentingan rakyat dan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat secara sosial ekonomi yang merata.

1.3. Rumusan Masalah


Makalah ini di buat dengan rumusan masalah:
1. Apa itu Otonomi Daerah?
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
3. Apa dasar hukum dan Landasan teori Otonomi Daerah?
4. Apa salah satu yang paling berperan di dalam Otonomi Daerah?
5. Apa dampak yang di timbulkan oleh Otonomi Daerah?

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Definisi Otonomi Daerah dan Desentralisasi


Otonomi daerah berasal dari kata Nomos yang berarti hukum dan auto yang
berarti sendiri, jadi arti harfiah otonomi menetapkan hukum sendiri. Maksudnya hak
mengatur urusan rumah tangga (daerah) sendiri.
Otonomi daerah adalah sebuah tema besar yang berada dalam ranah
administrasi pemerintahan. Otonomi daerah berhubunga erat dengan dasar kedaulatan
rakyat atau kerakyatan. Konkretnya sebagai mana dikemukakan oleh Moh. Hatta
sebagai salah seorang pendiri negara adalah bahwa sebenarnya menurut dasar
kedaulatan rakyat itu, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada
pucuk pimpinan negeri, melainka juga pada tiap tempat d kota, di desa dan di daerah.
Tiap-tiap golongan persekutuan itu mempunyai Badan Perwakilan sendiri, seperti
Gemeenteraad, Provinciale Raad dan lain-lainnya. Dengan keadaan yang demikian
maka tiap-tiap bagian atau golongan rakyat mendapat autonomi (membuat dan
menjalankan peraturan sendiri) dan zelfbestuur (menjalankan peraturan-peraturan
yang dbuat oleh dewan yang lebih tinggi)
Berbagai defenisi tentang otonomi daerah telah banyak dikemukakan oleh
para pakar sebagai bahan perbandingan dan bahasan dalam upaya menemukan
pengertian yang mendasar tentang pelakasanaan otonomi daerah sebagai manifestasi
desentralisasi. Otonomi dalam arti sempit dapat diartikan sebagai “mandiri”.
Sedangkan dala makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”.
Dengan demikian otonomi daerah berarti kemandirian suatu daerah dalam
kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya
sendiri. Jika daerah sudah mampu mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat
dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari
luar.
Pemahaman lebih sederhana dalam arti dapat dicermati lebih konkret tentang
otonomi ini diantaranya adalah berdasarkan UU yang mengatur tentang otonomi
daerah tersebut. Secara umum pemahaman tentang mekanisme pemerintahan daerah
dalam negara kesatuan tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan sistem
pemeritahan demokrasi.

6
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) menunjukkan hal itu. Meskipun pada pelaksanaanya ada berbagai perbedaan
bahkan bisa saja bertentangan dengan mekanisme demokrasi itu sendiri sebagai
sistem pemerintahan yang arti harfiahnya bertumpuh pada rakyat. Akan tetapi, tetap
demokrasi tetap digandrungi dan menjadi ikon bagi sistem pemerintahan di semua
negara pada abad ini.
Sedangkan Desentralisasi sebagaimana didefinisikan oleh M. Turner dan D.
Hulme yaitu transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan
kepada publik dari seseorang atau agen pemerintah pusat kepada beberapa individu
atau agen lain yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Landasan yang
mendasari transfer ini adalah teritorial dan fungsional.
Kemudian Rondinelli mendefinisikan desentralisasi sebagai transfer tanggung
jawab dalam perencanaan, menajeman dan alokasi sumber-sumber dari pemerintahan
pusat dan agen-agennya kepada unit kementrian pemerintahan pusat, unit yang ada di
bawah level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional
atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemerintah dan
organisasi nirlaba.[7]

2.2. Visi Otonomi Daerah


Visi otonomi daerah itu dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup
interaksinya yang utama yaitu: politik, ekonomi, serta sosial dan budaya.
Di bidang politik karena otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi
dan demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai seuah proses untuk membuka ruang
bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis,
memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif
terhadap kepentingan masyarakat luas dan memelihara suatu mekanisme pengambilan
keputusan yang taat pada asas pertanggung-jawaban publik. Demokratisasi
pemerintahan juga berarti adanya transparansi kebijakan. Artinya untuk setiap
kebijakan yang diambil harus jelas siapa yang memprakarsai kebijakan itu, apa
tujuannya, berapa ongkos yang akan dipikul, siapa yang diuntungkan, apa resiko yang
harus ditanggung, da siapa yang harus bertanggung jawab jika kebijakan itu gagal.
Otonomi daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang
sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun sistem dan pla karier politikdan

7
administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan sistem manajemen pemerintahan
yang efektif.
Di bidang ekonomi, otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya
pelaksanaan kebijakanekonomi nasinal di daerah, dan di pihak lain terbukanya
peluangbagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk
mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya, dalam konteks ini,
otonomi daerah akan memungkinkan melahirkan berbagai prakarsa pemerintah daerah
untuk menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan
membangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerah.
Dengan demikian, otonomi daerah akan membawa masyarakat ke tingkat kesejahtraan
yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.
Di bidang sosial dan budaya, otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkim
demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama,
memelihara nilai-nilai lokal yang dipandang kondusif dalam menciptakan
kemampuan masyarakat untuk merespon dinamika kehidupan disekitarnya.
Berdasarkan visi ini, maka konsep dasar otonomi daerah yang kemudian
melandasi lahirnya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999, menerangkan
hal-hal berikut:
1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan
domestik kepada daerah kecuali untuk di bidang keuangan dan moneter, politik
luar negeri, peradilan, pertahanan, keagamaan, serta beberapa bidang kebijakan
pemerintahan yang bersifat strategis nasional, maka pada dasarnya semua bidang
pemerintahan yang lain dapat didesentralisasikan. Dalam konteks ini,
pemerintahan daerah tetap terbagi atas dua ruang lingkup, bukan tingkatan, yaitu
daerah kabupaten dan kota di beri status otonomi penuh dan propinsi diberi status
otonomi yang terbatas. Otonomi penuh berarti tidak adanya operasi pemerintahan
pusat di pemerintahan daerah kabupaten dan kota kecuali untuk bidang-bidang
yang dikecualikan tadi. Otonomi terbatas berarti adanya ruang yang tersedia bagi
pemerintah pusat untuk melakukan operasi di daerah propinsi. Karena sistem
otonomi tidak bertingkat (tidak ada hubungan hirarki antara pemerintahan
propinsi dengan kabupaten/kota), maka hubungan [ropinsi dan kabupateb bersifat
koordinatif, pembinaan dan pengawasan. Sebagai wakil pemerintah antara
kaupaten dan kota dalam wilayahnya, Gubernur juga, melakukan supervisi
terhadap pemerintah kabupaten/kota atas pelaksanaan berbagai kebijakan

8
pemerintah pusat, serta bertanggung-jawab mengawasi penyelenggaraan
pemerintah beradasarkan tonomi daerah di wilayahnya.
2. Penguatan peran DPRD sebagai representasi rakyat lokal dalam pemilihan dan
penetapan kepala daerah. Kewenangan DPRD dalam menilai keberhasilan atau
kegagalan kepemimpinan kepala daerah harus dipertegas. Pemberdayaan fungsi-
fungsi DPRD dalam bidang legislasi, representasi dan penyaluran aspirasi
masyarakat harus dilakukan. Untuk itu, optimalisasi hak-hak DPRD perlu
diwujudkan, seraya menambah alokasi anggaran untuk biaya opersinya. Hak
angket perlu dihidupkan, hak anisiatif perlu diaktifkan dan hak interpelasi perlu
didorong. Dengan demikian, produk legilasi akan dapat ditingkatkan dan
pengawasan politik terhadap jalannya pemerintahan bisa diwujudkan.
3. Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur demokrasi demi
menjamin tampilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi
dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula.
4. Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayana eksekutif melalui pembahanan
organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup
kewenangan yang telah didesentralisasikan, serta dengan beban tugas yang
dipikul, selaras dengan kondisi daerah, serta lebih responsif terhadap kebutuhan
daerah. Dalam kaitan ini juga diperlukan terbangunnya suatu sistem administrasi
dan pola karier kepegawaian daerah yang lebih sehat dan kompetitif.
5. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah serta pengaturan yang
lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian
pendapatan darisumber penerimaan yang berkait dengan kekayaan alam, pajak
dan retribusi, serta tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
6. Perwujudan desentralisasi fiskal dari pemerintah pusat yang bersifat alokasi
subsidi, pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian
keleluasaan kepada dearah untuk menetapkan priorotas pembangunan, serta
optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya
pembangunan yang ada.

2.3. Perkembangan Otonomi Daerah Dalam Undang-Undang


Bagaimana dipahami bahwa dalam tiap-tiap bentuk kebijakan yang diambil
oleh pemerintah, termasuk pembentukan perundang-undangan tentu menyratka waktu
dan tujuan yang ingin dicapai, demikian pula dengan kebijakan otonomi daerah.

9
Perkembangan otonomi daerah bergerak seperti pendulum sesuai dengan
perkembangan masyarakat baik yang berinteraksi secara internal maupun pada tatara
global. Tidak kurang dari 12 UU telah menjadi dasar pijakan bagi pengelolaan
pemerintah daerah semenjak kemerdekaan tahun 1945 sampai sekarang.
UU terakhir yang mengatur mengenai otonomi daerah adalah UU No. 32
tahun 2004 tentang pemerintah daerah. UU in sebenarnya juga dinilai banyak
kelemahan karena tertinggal dengan perkembangan masyarakat dan karenanya juga
sudah di sempurnakan secara terbatas. Untuk itu pun sudah dilakukan setidaknya 2
kali perubahan secara terbatas. Berbagai perubahan tersebut dilakukan dalam rangka
lebih memutakhirkan berbagai ketentuan sejalan dengan perkembangan sejalan yang
dimaksud.
Membandingkan dua Undang-undang yaitu UU No. 32 tahun 2004 dengan
UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di daerah keluar setelah
setelah terjadinya pemberontakan G. 30. S/PKI yang gagal, misalnya dan adanya
kehendak untuk melakukan pembangunan dalam segala bidang kehidupan. Tujuan
pemberian otonomi daerah tidak saja bersifat administratif tetapi juga politis. Dalam
pertimbangan (konsideren) UU tersebut dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
a. Dalam usaha membina kestabilan politik serta kesatua bangsa.
b. Untuk terciptanya hubungan yang serasi antara Pemerintahan Pusat dan
Pemerintahan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan.
c. Untuk melaksanakan otonomi yang nyata dan bertanggung-jawab yang dapat
menjamin perkembangan daerah.
Mengapa dilakukan perbandingan dengan UU No. 5 tahun 1974? Alasan
pertama bahwa UU itu berlaku paling lama sebagai dasar hukum pengelolaan
pemerintah daerah. Kedua, secara substansial ada materi yang kontras dari kedua UU
itu disebabkan oleh pola pemerintahan yang berbeda. Ketiga, bahwa di dalam
penyerahan pemerintah daerah terjadi pergeseran pola otonomi yang sangat mendasar
dari kedua UU tersebut, yaitu dari otonomi yang nyata dan bertanggung-jawab
menjadi otonomi yang seluas-luasnya.
Ketiga hal tersebut di atas didefinisikan sebagai tujuan diciptakannya otonomi
daerah atau desentralisasi. Sementara lahirnya UU. No. 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dimaksudkan sebagai akomodasi terhadap perubahan yang
terjadi. Perubahan itu terutama sekali di atas asumsi bahwa UU. No. 5 tahun1974
dinilai bersifat terlalu sentralistik, terlalu banyak mengandung muatan politis. Artinya

10
dinilai tidak sesuai dengan demokrasi yang berkembang di dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dngan terjadinya perubahan itu menghendaki
penyesuaiandengan keadaan dan perkembangan yang terjadi.
Di dalam dimensi perkembangan sejarah, secara konseptual sebenarnya dasar
dari permasalahan otonomi daerah ini pernah di tettapkan dalam Ketetapan MPR RI
No. IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Artinya
permasalahan otonomi daerah tidak semata diatur pada tingkatan UU tetapi lebih
tinggi lagi yaitu dalam Tap MPR. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah menurut
GBHN adalah sebagai berkut:
1. Melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh kelompok
Negara.
2. Membina kestabilan politik dan kesatuan bangsa, dan membina hubungan
yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara
Kesatuan Negara Indonesia (NKRI).
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang dapat menjamin perkembangan dan
pembangunan daerah.
4. Meningkatkan secara bertahap kemampuan aparatur daerah, terutama aparatur
pemerintah desa, dengan fasilitas dan sarana, sehingga benar-benar merupakan
alat yang berwibawa, kuat, efektif, efisien dan bersih, penuh ketaatan dan
kesetiaan pada negara dan pemerintah, walaupun menjalankan tugas di bidang
masing-masing dan hanya mengabdikan diri pada kepentingan negara dan rakyat.
Acuan di atas sebenarnya masih dapat dipandang relevan sampai sekarang
pada tidak terjadinya stagnasi pembangunan di daerah. Dalam hal ini, secara lebih
terinci sebenarnya pelaksanaan pemangunan di daerah itu mengandung elemen dasar
yang senantiasa dikembangkan yaitu:
1. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalh untuk memungkinkan daerah
yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna di alam menyelenggarakan pemerintahan
untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
2. Dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelayanan
pemangunanmemenuhi aspirasi-aspirasi masyarakat tersebut harus diciptakan
pemerintahan yang mempunyai legitimasi kuat di masyarakat.
3. Menghormati, menghargai dan menjunjung tinggiperbedaan antara daerah
yang satu dengan daerah yang lain.

11
4. Mengusahakan sejauh mungki adanya keseragaman dalam hal pengaturan
mengenai pemerintah daerah.
Adapun inti dari tujuan diberikannya otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggung-jawab sebagaimana yang disebutkan dalam UU No. 32 tahun 2004
adalah di dalam rangka idealisme untuk:
1. Menjunjung aspirasi perjuangan rakyat, yakni memperkokoh negara kesatuan
dan mempertinggi tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia yang sesungguhnya.
2. Pendemokrasian.
3. Meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di
daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap
masyarakat serta untuk menigkatkan pembinaan kestabilan politik dan kesatuan
bangsa.
UU yang dibuat tahun 2004 itu pun dinilai masih perlu disempurnakan. Geliat
dan kerinduan terhadap kehidupan demokratis melalui upaya demokratisasi dan
perubahan yang serba cepat menghendako akomodasi terhadap perubahan tersebut.
Hal ini dilakukan khususnya untuk menyempurnakan mekansme oemelihan kepala
daerah dengan akomodasi calon perseorangan di dalam pemilihan kepala daerah.
Diadakanlah perubahan secara terbatas atas UU tersebut. Bahkan perubahan yang
diberi klasifikasi “terbatas” tersebut, sebagaimana disampaikan dilaksanakan
sebanyak 2 kali.
Substansi otonomi daerah sebenarnya adalah tentang bagaimana secara
maksimal memberdayakan potensi yang ada di daerah dengan tujuan peningkatan
kesejahteraan rakyat di daerah yang bersangkutan. Sehubungan dengan permasalahan
ini, kiranya perlu dipahami bahwa yang dimaksud dengan pemerdayaan di sini adalah
di dalam kerangka pelaksanaan pemangunan dalam arti luas. Dalam hal ini, meliputi
segala aspek pembangunan, baik material maupun spiritual, lahiriah maupun batiniah.
Demikian pula, pembangunan daerah dimaksudkan adalah pembangunan yang
dilaksanakan di daerah-daerah baik pada tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten
dan atau kota dan tentunya pembangunan ini dikaitkan dengan kebijakan otonomi
daerah atau disentralisasi tidak semata di dalam mekanisme admnistrasi pemerintahan
tetapi menyangkut dan berkenaan dengan seluruh aspek kehidupan rakyat di daerah.
Secara teknis, pelaksanaan pembangunan daerah otonom ini tentu sepenuhnya
diserahkan kepada pemerintah daerah sebagai refleksi dari otonomi yang disampaikan
kepada daerah. Hal itu sesuai pula dengan adanya keinginan kuat dari daerah-daerah

12
yang memperoleh keleluasaan di dalam mengembangkan derah sesuai dengan potensi
yang terkandung di dalamnya. Pengembangan dengan benar-benar memerhatikan dan
bahkan dimulai dari ptensi yang secara riil ada di daerah, akan memajukan daerah
yang bersangkutan.
Di dalam hubungan ini, daerah otonom yand dipimpin oleh Kepala Daerah
tersebut diberikan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus
pembangunan daerah sesuai dengan aspras dan kehendak rakyat d daerahnya. Hal
demikian berarti bahwa sebenarnya otonomi daerah itu mempunyai maksud tertentu.
Sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 32 tahun 2004 maksud otonomi daerah itu
adalah:
1. Untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan. Untuk dapat melaksanakan tujuan tersebut kepada
daerah perlu diberikan wewenang-wewenang untuk melaksanakn berbagai urusan
pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya.
2. Di dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan
pembangunan, maka Undang-undang ini meletakkan titik berat otonomi kepada
daerah kabupaten/kota dengan pertimbangan bahwa daerah kabupaten dan
kotalah yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat, sehingga
diharapkan dapt lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat tersebut.
Atas dasar keterangan tersebut di atas, jelaslah bahwa kebijakan pemberian
otonomi daerah dimaksudkan pula agar pembangunan daerah dapat dilaksanakan
secar berkeadilan, sesuai dengan aspirasi dan kehendak masyarakat setempet, dengan
diupayakan dengan sunggu-sungguh oleh pemerintah daerah, dengan terus menggali
poteni daerahnya. Tentunya dilaksanakan tetap dalam koridor negara kesatuan
Republik Indinesia sebagai satu kedaulatan penuh. Otonomi daerah tidak boleh
merusak dan mendegradasi kualitas negara kesatuan.

2.4. Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah Dalam UU No. 22 Tahun 1999


Prinsip-prinsip pemberian itonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam
penyeleggaraan pemerintahan daerah sebagaimana terdapat dalam UU No. 22 Tahun
1999 adalah:

13
1. Penyelenggaraan otonomi daerah dlaksanakan dengan memperhatikan aspek
demorasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan
bertanggung-jawab.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah
kabupaten dan daerah kota, sedang pada daerah propinsi merupakan otonomi
yang terbatas.
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga
tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar-daerah.
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah
otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah
administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh
pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuahan, kawasan
perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan,
kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata dan
semacamnya berlaku ketentuan peratura daerah otonom.
6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenanga
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai Wakil
Pemerintah.
8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari
pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa
yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya
manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung-
jawabkan kepada yang menugaskan.

2.5. Sejarah Otonomi Daerah


Perjalanan bangsa Indonesia melalui berbagai sistem pemerintahan dan
dipimpin berbagai macam kepala pemerintahan serta munculnya masalah – masalah
baru dalam lingkungan pemerintah ataupun lingkungan masyarakat tentu sangat

14
membutuhkan tatanan hukum yang berbeda dari waktu ke waktu untuk mewujudkan
kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia.
Keberadaan kebijakan mengenai Pemerintahan Daerah bukan merupakan hal
yang final, statis dan tetap tetapi membutuhkan pembaruan – pembaruan untuk
mengatasi berbagai keadaan dan masalah baru yang muncul. Berikut ini adalah
sejarah perkembangan undang – undang yang menjadi pedoman mengenai otonomi
daerah :
1. UU No. 1 tahun 1945 mengatur Pemerintah Daerah yang membagi tiga jenis
daerah otonom yakni, keresidenan, kabupaten, dan kota.
2. UU No. 22 tahun 1948 mengatur susunan Pemerintah Daerah yang
demokratis, membagi dua jenis daerah otonom yakni, daerah otonom biasa dan
otonomi istimewa, dan tiga tingkatan daerah otonom yakni, provinsi, kab/ kota
dan desa.
3. UU No. 1 tahun 1957 mengatur tunggal yang berseragam untuk seluruh
Indonesia.
4. UU No. 18 tahun 1965 mengatur otonomi yang menganut sistem otonomi
yang riil dan seluas luasnya.
5. UU No.5 tahun 1974 mengatur pokok – pokok penyelenggaraan
pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah (prinsip yang
dipakai : otonomi yang nyata dan bertanggungjawab; merupakan pembaruan dari
otoda yang seluas – luasnya dapat menimbulkan pemikiran yang dapat
membahayakan keutuhan NKRI, dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan
pemberian otonomi).
6. UU No. 22 tahun 1999 mengatur tentang Pemerintahan Daerah (perubahan
mendasar pada format otoda dan substansi desentralisasi).
7. UU No. 25 tahun 1999 mengatur tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
8. UU No. 32 tahun 2004 mengatur Pemerintahan Daerah sebagai pengganti
UU No. 22 tahun 1999
9. UU No. 33 tahun 2004 mengatur Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah ( perubahan UU didasarkan pada berbagai UU yang
terkait di bidang politik dan keuangan negara antara lain: UU No. 12 tahun 2003
tentang Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD; UU No. 22 tahun 2003 tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD; UU No. 23 tahun 2003 tentang

15
Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden; UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan
Negara; UU No. 1 tahun 2004 tantang Perbendaharaan Negara; UU No. 15 tahun
2004 tentang Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan
Negara ).
Sedangkan perubahan yang mendasar dari pedoman Otonomi Daerah dari UU
No. 22 tahun 1999 digantikan oleh UU No. 32 tahun 2004 adalah sebagai berikut
1. Prinsip – Prinsip Otonomi Daerah dalam UU No. 22 tahun 1999
a. Demokrasi, keadilan, pemerataan, potensi dan keanekaragaman daerah.
b. Otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab.
c. Otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan
daerah kota.
d. Sesuai dengan konstitusi negara.
e. Kemandirian daerah otonom.
f. Meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah.
g. Asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi sebagai wilayah
administrasi.
h. Asas tugas perbantuan.
2. Prinsip – Prinsip Otonomi Daerah dalam UU No. 32 tahun 2004
a. Demokrasi, keadilan, pemerataan, keistimewaan dan kekhususan, serta potensi
dan keanekaragaman daerah.
b. Otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab.
Otonomi luas : daerah yang memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah
untuk memberi pelayanan, peningkata peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan
masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Otonomi nyata : penanganan urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan
tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk
tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Otonomi yang bertanggungjawab : dalam penyelenggaraan otonomi harus sejalan
dengan tujuan dan maksud pemberian otonom, yang pada dasarnya untuk
memberdayakan daerah, termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
c. Otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan
daerah kota.
d. Sesuai dengan konstitusi negara.
e. Kemandirian daerah otonom.

16
f. Meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah.
g. Asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi sebagai wilayah
administrasi.
h. Asas tugas perbantuan.

2.6. Permasalahan Dalam Otonomi Daerah Di Indonesia


Sejak diberlakukannya paket UU mengenai Otonomi Daerah, banyak orang
sering membicarakan aspek positifnya. Memang tidak disangkal lagi, bahwa otonomi
daerah membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk
mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem
pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku
pembangunan yang tidak begitu penting atau pinggiran. Pada masa lalu, pengerukan
potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-
alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses
pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan tersebut tampaknya banyak daerah
yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
Akan tetapi apakah di tengah-tengah optimisme itu tidak terbersit
kekhawatiran bahwa otonomi daerah juga akan menimbulkan beberapa persoalan
yang, jika tidak segera dicari pemecahannya, akan menyulitkan upaya daerah untuk
memajukan rakyatnya? Jika jawabannya tidak, tentu akan sangat naif. Mengapa?
Karena, tanpa disadari, beberapa dampak yang tidak menguntungkan bagi
pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada beberapa permasalahan yang
dikhawatirkan bila dibiarkan berkepanjangan akan berdampak sangat buruk pada
susunan ketatanegaraan Indonesia.
Masalah-masalah tersebut antara lain :
1. Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah
2. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum
mantap
3. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai
4. Kondisi SDM aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya
pelaksanaan otonomi daerah
5. Korupsi di Daerah
6. Adanya potensi munculnya konflik antar daerah

17
2.7. Konsekuesi Otonomi Daerah
Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar
dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai
pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam
ini sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan
melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah.
Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup
untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus
membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya
dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu
daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan
pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola
tradisional dalam pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan
pemungutan pajak dan retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat
gampang diterapkan karena kekuatan koersif yang dimiliki oleh institusi
pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam negara demokratis
modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan utama karena
ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat
wirausaha (enterpreneurship).
Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi di daerah itu salah? Tentu
tidak. Akan tetapi yang jadi persoalan sekarang adalah bahwa banyak pemerintah
daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya. Pemerintah
daerah telah kebablasan dalam meminta sumbangan dari rakyat. Buktinya adalah jika
menghitung berapa item pajak dan retribusi yang harus dibayar selaku warga daerah.
Jika diteliti, jumlahnya akan mencapai ratusan item.
Beberapa bulan lalu berkembang sinisme di kalangan warga DKI Jakarta,
bahwa setiap aktivitas yang mereka lakukan telah menjadi objek pungutan Pemda
DKI, sampai-sampai buang hajat pun harus membayar retribusi. Pemda Provinsi
Lampung juga bisa menjadi contoh unik ketika menerbitkan perda tentang pungutan
terhadap label sebuah produk. Logika yang dipakai adalah bahwa label tersebut
termasuk jenis papan reklame berjalan. Hal ini terlihat lucu. Karena tampaknya
Pemerintah setempat tidak bisa membedakan mana reklame, sebagai bentuk iklan, dan
mana label produk yang berfungsi sebagai identifikasi nama dan spesifikasi sebuah

18
produk. Kedua, jika perda tersebut diberlakukan (sepertinya kurang meyakinkan
apakah perda tersebut jadi diberlakukan atau tidak), akan timbul kesulitan besar dalam
penghitungan dan pemungutan retribusi.
Dengan dua contoh tersebut, penulis ingin mengatakan bahwa upaya
pemerintah daerah dalam menggali pendapatan daerah di era otonomi ini telah
melampaui batas-batas akal sehat. Di satu pihak sebagai warga negara kita harus ikut
berpartisipasi dalam proses kebijakan publik dengan menyumbangkan sebagian
kemampuan ekonomi yang kita miliki melalui pajak dan retribusi. Akan tetapi,
apakah setiap upaya pemerintah daerah dalam memungut pendapatan dari rakyatnya
hanya berdasarkan justifikasi semacam itu? Tidak adakah ukuran kepantasan, sejauh
mana pemerintah daerah dapat meminta sumbangan dari rakyatnya?
Bila dikaji secara matang, instensifikasi perolehan pendapatan yang cenderung
eksploitatif semacam itu justru akan banyak mendatangkan persoalan baru dalam
jangka panjang, dari pada manfaat ekonomis jangka pendek, bagi daerah. Persoalan
pertama adalah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat. Meskipun
satu item pajak atau retribusi yang dipungut dari rakyat hanya berkisar seratus rupiah,
akan tetapi jika dihitung secara agregat jumlah uang yang harus dikeluarkan rakyat
perbulan tidaklah kecil, terutama jika pembayar pajak atau retribusi adalah orang yang
tidak mempunyai penghasilan memadai. Persoalan kedua terletak pada adanya
kontradiksi dengan upaya pemerintah daerah dalam menggerakkan perekonomian di
daerah. Bukankah secara empiris tidak terbantahkan lagi bahwa banyaknya pungutan
hanya akan menambah biaya ekonomi yang ujung-ujungnya hanya akan merugikan
perkembangan ekonomi daerah setempat.

2.8. Otonomi Daerah Dan Pembangunan Daerah


Otonomi daerah adalah sebuah agenda nasional yang diharapkan dapat
mencegah terjadinya sentralisasi yang sebenarnya sudah menimpa bangsa Indonesia
selama periode orde baru.Sejak diberlakukannya Undang-undag tentang pemerintahan
daerah, yaitu UU no.22 tahun 1999 dan UU no.25 tahun 1999 diharapkan juga dapat
membawa perubahan yang signifikan bagi daerah yang juga nantinya akan membawa
kesejahteraan bagi bangsa ini sendiri.
Kebijaksanaan otonomi daerah melalui UU no.22 tahun 1999 memberikan
otonomi yang angat luas kepada daerah, khususnya Kabupaten dan Kota. Hal itu
ditempuh dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat di daerah; memberikan

19
peluang politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di Daerahpeningkatan
efisiensi pelayanan public di Daerah, peningkatan percepatan pembangunan Daerah,
dan pada akhirnya diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik.
Otonomi daerah diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan dan
perkembangan daerah selain juga menciptakan keseimbangan antar daerah hingga
terjadi perataan kesejahteraan dan tidak adanya daerah tertinggal ataupun sentralisasi.
Untuk menciptakan pembangunan daerah yang cepat dan meningkat maka perlu
adanya prasyarat terutama bagi penyelenggara daerah tersebut.
Yang diharapkan dari pemerintahan daerah tersebut adalah sejumlah berikut.
1. Fasilitas
Pemerintah daerah sebagai pelaksana daerah sebaiknya memenuhi
fasilitas kepada masyarakatnya terutama yang berkaitan dengan masalah
ekonomi,karena memang pada dasarnya pembangunan daerah dapat terjadi
karena bantuan ekonomi(keuangan).Jadi,jika pemerintah memudahkan fasilitas
maka pembangunan daerah bukanlah sesuatu yang susah pencapaiannya.
2. Pemerintah daerah harus kreatif
Kreatif yang dimaksud di sini adalah bagaiman cara mengalokasikan dana yang
bersumber dari Dana Alokasi Umum atau yang berasal dari PAD. Selain itu dapat
menciptakan keunggulan komparatif bagi daerahnya, sehingga pemilik modal
akan beramai-ramai menanamkam modal di daerah tersebut. Kreatifitas ini juga
berkaitan dengan kepiawaian pemerintah membuat program-program menarik
sehingga pemerintah pusat akan memberikan Dana Alokasi Khusus, sehingga
banyak dana yang di sedot dari Jakarta ke Daerah.
3. Pemerintah daerah menjamin kesinambungan usaha.
4. Politik lokal yang stabil.
5. Pemerintah harus komunikatif dgn LSM/NGO, terutama dalam bidang
perburuhan dan lingkungan hidup.
Namun sebenarnya yang penting bagi daerah adalah terciptnya
lapangan kerja, serta disertai kemampuan menghadapi laju inflasi dan keseimbangan
neraca perdagangan internasional. Penciptaan lapangan kerja akan berpengaruh pada
peningkatan daya beli dan kecenderungan untuk menabung, dengan meningkatnya
daya beli berarti penjualan atas barang dan jasa juga meningkat, artinya pajak
penjualan barang dan jasa juga meningkat sehingga Pendapatan Daerah dan Negara
juga meningkat. Semuanya akan di kembalikan pada masyarakat dalam bentuk proyek

20
atau bantuan atau sejumlah intensif yang lain, sehingga lambat laun kesejahteraan
masyarakat akan meningkat dan disitulah pembangunan daerah benar-benar
dijalankan.

2.9. Kesalahpahaman Terhadap Otonomi Daerah


Pembaruan kebijaksanaan otonomi daerah menurut Undang – Undang No. 25
tahun 1974 yang telah dipraktekan selama 25 tahun di indonesia kemudian berubah
menjadi Undang – Undang No. 22 tahun 1999 dan diperbarui kembali menjadi
Undang – Undang No. 32 tahun 2004 yang memberikan otonomi sangat luas kepada
daerah, khususnya kabupaten dan kota tentunya menimbulkan berbagai
kesalahpahaman yang muncul di kalangan masyarakat karena terbatasnya pemahaman
umum tentang pemerintahan daerah.
Dalam bukunya yang berjudul Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan,
Drs. H. Syaukani, HR, Prof. Dr. Afan Gaffar, MA, dan Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid,
MA menyatakan berbagai kesalahpahaman mengenai otonomi daerah yang muncul
dikalangan masyarakat diantaranya adalah :
1. Otonomi daerah dikaitkan semata – mata dengan uang. Pemahaman otonomi
daerah harus mencukupi sendiri segala kebutuhanya, terutama di bidang
keuangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa uang memang merupakan sesuatu yang
mutlak, namun yuang bukan satu – satunya alat dalam menggerakkan roda
pemerintahan. Kata kunci dari otonomi adalah “kewenangan”. Dengan
kewenangan uang dapat dicari dan dengan itu pula pemerintah harus mampu
menggunakan uang dengan bijaksana, tepat guna dan berorientasi kepada
kepentingan masyarakat.
2. Daerah belum siap dan belum mampu. Pembuatan kebijaksanaan otonomi
daerah menurut Undang – Undang No. 22 tahun 1999 dianggap tergesa- gesa
karena daerah tidak / belum siap dan tidak / belum mampu. Munculnya
pandangan seperti ini sebagai akibat dari munculnya kesalahpahaman yang
pertama karena selama ini daerah sangat bergantung pada pusat dalam bidang
keuangan, apalagi melihat kontribusi Pendapatan Asli Daerah terhadap APBD
rata – rata di bawah 15% untuk kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.
3. Dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggungjawabnya
untuk membantu dan membina daerah. Kekhawatiran yang muncul dari daerah –
daerah dengan adanya otonomi adalah pemerintah pusat melepaskan sepenuhnya

21
terhadap daerah, terutama di bidang keuangan. Padahal dalam Undang – Undang
No. 22 tahun 1999 menganut falsafah yang sudah sangat umum dikenal di
berbagai negara, yaitu setiap pemberian kewenangan dari Pemerintah Pusat
kepada daerah harus disertai dengan dana yang jelas dan cukup, apakah dalam
bentuk Dana Alokasi Umum atau Dana Alokasi Khusus serta bantuan keuangan
yang lainya dari pemerintah pusat pada daerah.
4. Dengan otonomi maka daerah dapat melakukan apa saja.Kesalahpahaman
adanya otonomi daerah berarti bebas melakukan apa saja tanpa terbatas. Padahal
otonomi yang diselenggarakan adalah dalam rangka memperkuat NKRI dan
pemerataan kesejahteraan di seluruh daerah, Daerah memang dapat melakukan
apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang –
undang yang berlaku secara nasional. Disamping itu kepentingan masyarakat
merupakan patokan yang paling utama dalam mengambil atau menentukan suatu
kebijaksanaan di daerah.
5. Otonomi daerah akan menciptakan raja – raja kecil di daerah dan
memindahkan korupsi di daerah. Otonomi daerah dapat memindahkan KKN
dengan menciptakan raja – raja kecil di daerah dapat terjadi apabila dilakukan
tanpa kontrol sama sekali dari masyarakat seperti yang telah dialami bangsa
Indonesia oleh pemerintahan Orde Baru ataupun Orde Lama. Sedangkan otonomi
daerah saat ini mendasarkan pada demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan
daerah, tidak ada lagi penguasa tunggal seperti pada masa lampau.

1.10. Dasar Hukum Dan Landasan Teori Otonomi Daerah


1. Dasar Hukum
Tidak hanya pengertian tentang otonomi daerah saja yang perlu kita
bahas.Namun ada dasar-dasar yang bisa menjadi landasan.Ada beberapa peraturan
dasar tentang pelaksanaan otonomi daerah,yaitu sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat 1 hingga ayat 7.
2. Undang-Undang No.32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pemerintahan
daerah.
3. Undang-Undang No.33 Tahun 2004 yang mengatur tentang sumber keuangan
negara.

22
Selain berbagai dasar hukum yang mengatur tentang otonomi daerah,saya juga
menulis apa saja yang menjadi tujuan pelaksana otonomi daerah,yaitu otonomi daerah
harus bertujuan untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat yang berada di
wilayah otonomi tersebut serta meningkatkan pula sumber daya yang di miliki oleh
daerah agar dapat bersain dengan daerah otonom lainnya.

2. Landasan Teori
Berikut ini ada beberapa yang menjadi landasan teori dalam otonomi daerah .
a. Asas Otonomi
Berikut ini ada beberapa asas otonomi daerah. Asas-asas tersebut sebagai
berikut:
1) Asas tertib penyelenggara negara
2) Asas Kepentingan umum
3) Asas Kepastian Hukum
4) Asas keterbukaan
5) Asas Profesionalitas
6) Asas efisiensi
7) Asas proporsionalitas
8) Asas efektifitas
9) Asas akuntabilitas

b. Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan
prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik
Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu
pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian
yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam
kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini
seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi
sekarang menyebabkan perubahan pardigma pemerintahan di Indonesia.
Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab,
kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dll) dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan

23
untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang
merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan
dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan
umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar
tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi
sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan
pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-
sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.
c. Sentralisasi
Sentralisasi dan desentralisasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara adalah
persoalan pembagian sumber daya dan wewenang. Pembahasan masalah ini sebelum
tahun 1980-an terbatas pada titik perimbangan sumber daya dan wewenang yang ada
pada pemerintah pusat dan pemerintahan di bawahnya. Dan tujuan “baik” dari
perimbangan ini adalah pelayanan negara terhadap masyarakat.
Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik yang
dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi merupakan jalan
yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan oleh
pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa banyak
akibat merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan
dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya desentralisasi
dikembangkan di Indonesia. Jiwa desentralisasi di Indonesia adalah “melepaskan diri
sebesarnya dari pusat” bukan “membagi tanggung jawab kesejahteraan daerah”.
Sentralisasi dan desentralisasi tidak boleh ditetapkan sebagai suatu proses satu
arah dengan tujuan pasti. Pertama- tama, kedua “sasi” itu adalah masalah
perimbangan. Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan selalu
merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain
proses politik yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah adalah
argumen mana yang terbaik bagi masyarakat.

2.11. Pemeran Penting Dalam Otonomi Daerah


Di dalam Otonomi daerah selalu identik dengan yang namanya Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah atau yang sering disebut APBd.Di sini saya akan
membahas sedikit mengenai APBD.

24
Keberhasilan otonomi daerah tidak lepas dari kemampuan bidang keuangan
yang merupakan salah satu indikator penting dalam menghadapi otonomi daerah.
Kedudukan faktor keuangan dalam penyelenggaraan suatu pemerintah sangat penting,
karena pemerintahan daerah tidak akan dapat melaksanan fungsinya dengan efektif
dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan pembangunan dan
keuangan inilah yang mrupakan salah satu dasar kriteria untukmengetahui secara
nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Suatu daerah otonom diharapkan mampu atau mandiri di dalam membiayai kegiatan
pemerintah daerahnya dengan tingkat ketergantungan kepada pemerintah pusat
mempunyai proposal yang lebih kecil dan Pendapatan Asli Daerah harus menjadi
bagian yang terbesar dalammemobilisasi dana penyelenggaraan pemerintah daerah.
Oleh karena itu,sudah sewajarnya apabila PAD dijadikan tolak ukur dalam
pelaksanaan otonomi daerah demi mewujudkan tingkat kemandirian dalam
menghadapi otonomi daerah.
Mardiasmo mendefinisikan anggaran sebagai pernyataan mengenai estimasi
kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam
ukuran finansial,sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk
mempersiapkan suatu anggaran.Mardiasmo mendefinisikan nya sebagai berikut
,anggaran publik merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan
dari suatu organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan belanja dan
aktifitasSecara singkat dapat dinyatakan bahwa anggaran publik merupakan suatu
rencana finansial yang menyatakan :
1) Berapa biaya atas rencana yang di buat(pengeluaran/belanja),dan
2) Berapa banyak dan bagaimana cara uang untuk mendanai rencana
tersebut(pendapatan)
Sedangkan menurut UU No.17 tahun 2003 tentang keuangan Negara
disebutkan bahwa APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang
disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.Lebih lanjut dijelaskan dalam PP
No.58 Tahun 2005 tentang Pengelolahan Keuangan Daerah disebutkan bahwa APBD
adlah rencana keuangan tahunan Pemerintah daerah yang di bahas dan disetujui
bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD,dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, dan keuangan pembangunan
sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya
pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal.

25
2.12. Dampak Otonomi Daerah
a. Dampak Positif
Dampak positif otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah maka
pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas
lokalyang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah
pusatmendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah
yangberada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak daripada
yangdidapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut
memungkinkanpemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun
program promosikebudayaan dan juga pariwisata.
b. Dampak Negatif
Dampak negatif dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagi oknum-
oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan Negara
dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang ada kebijakan-
kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara yang dapat
menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya, atau bahkan
daerah dengan Negara, seperti contoh pelaksanaan Undang-undang Anti Pornografi
ditingkat daerah. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi daerah maka
pemerintah pusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain
itu karena memang dengan sistem otonomi daerah membuat peranan pemerintah pusat
tidak begitu berarti.

2.13. Nilai, Dimensi, dan Prinsip Otonomi Daerah di Indonesia.


Otonomi daerah pada dasarnya adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang – undangan.
Terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan dalam Undang – Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berkenaan dengan pelaksanaan desentralisasi
dan otonomi daerah di Indonesia, antara lain :
a. Nilai Utaris, yang diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak
mempunyai kesatuan pemerintahan lain didalamnya yang bersifat negara
(eenheidstaat), yang berarti kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa, dan
Negara Republik Indonesia tidak akan terbagi diantara kesatuan –kesatuan
pemerintah.

26
b. Nilai Dasar Desentralisasi Teritorial, yang bersumber dari isi dan jiwa Pasal
18 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Berdasarkan
nilai ini, pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan politik desentralisasi dan
dekonsentrasi di bidang ketatanegaraan.
Berdasarkan dua nilai dasar tersebut, penyelenggaraan desentralisasi di
Indonesia bepusat pada pembentukan daerah – daerah otonom dan
penyerahan/pelimpahan sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat ke
pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sebagian kekuasaan dan
kewenangan tersebut. Dengan demikian, titik berat pelaksanaan otonomi daerah
adalah pada daerah kabupaten/kota dengan beberapa dasar pertimbangan sebagai
berikut :
1. Dimensi Politik, kabupaten/kota dipandang kurang mempunyai fanatisme
kedaerahan sehingga resiko gerakan gerakan separatisme dan peluang
berkembangnya aspirasi federalis relatif minim.
2. Dimensi Administratif, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat relatif dapat lebih efektif.
3. Kabupaten/kota adalah daerah “ujung tombak” pelaksanaan pembangunan
sehingga kabupaten/kota-lah yang lebih tahu kebutuhan dan potensi rakyat di
daerahnya.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, prinsip otonomi daerah yang dianut
adalah sebagai berikut :
a. Nyata, otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi
objektif di daerah
b. Bertanggungjawab, pemberian otonomi diselaraskan/diupayakan untuk
memperlancar pembangunan di seluruh pelosok tanah air.
c. Dinamis, pelaksanaan otonomi selalu menajdi sarana dan dorongan untuk
lebih baik dan lebih maju.
Selain itu, terdapat lima prinsip dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Berikut uraiannya :
1. Prinsip Kesatuan
Pelaksanaan otonomi daerah harus menunjang aspirasi perjuangan rakyat guna
memperkokoh negara kesatuan dan mempertinggi tingkat kesejahteraan
masyarakat lokal.

27
2. Prinsip Riil dan Tanggung Jawab
Pemberian otonomi daerah harus merupakan otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab bagi kepentingan seluruh warga daerah. Pemerintah daerah
berperan mengatur proses dinamika pemerintahan dan pembangunan di daerah.
3. Prinsip Penyebaran
Asas desentralisasi perlu dilaksanakan dengan asas dekonsentrasi. Caranya
dengan memberikan kemungkinan kepada masyarakat untuk kreatif dalam
membangun daerahnya.
4. Prinsip Keserasian
Pemberian otonomi kepada daerah mengutamakn aspek keserasian dan tujuan
disamping aspek pendemokrasian.
5. Prinsip Pemberdayaan
Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah utnuk meningkatkan daya guna
dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan di daerah, terutama dalam aspek
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat serta untuk meningkatkan
pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa.

2.14. Kedudukan dan Peran Pemerintah Pusat

Pemerintahan pusat adalah penyelenggara pemerintahan Negara Kesatuan


Republik Indonesia, yakni Presiden dengan dibantu seorang Wakil Presiden dan oleh
menteri- menteri negara. Atau dengan kata lain, pemerintahan pusat adalah
pemerintahan secara nasional yang berkedudukan di ibu kota Negara Republik
Indonesia. Pemerintahan pusat terdiri atas perangkat Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terdiri dari presiden dan para pembantu presiden, yaitu wakil presiden,
para menteri, dan lembaga-lembaga pemerintahan pusat. Berkaitan dengan
pelaksanaan otonomi daerah, kebijakan yang diambil dalam menyelenggarakan
pemerintahan digunakan asas desentralisasi, tugas pembantuan, dan dekonsentrasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada


pemerintah daerah untuk mengurus urusan yang ada di daerah. Menurut Undang-
undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, desentralisasi dimaknai
sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom

28
untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada


aparat pemerintah pusat yang ada di daerah untuk melaksanakan tugas pemerintah
pusat di daerah. dengan kata lain, dekonsentrasi adalah perpanjangan tangan
pemerintah pusat di daerah. Menurut Undang-undang nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, dekonsentrasi didefinisikan sebagai pelimpahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau
kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.

Tugas pembantuan (medebewind) merupakan penyertaan tugas-tugas atau


program-program Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Tingkat
I yang diberikan untuk turut dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kotamadya Daerah Tingkat II, dimana pelaksanaannya
dapat tercermin dari adanya konstribusi Pusat atau Propinsi dalam hal pembiayaan
pembangunan, maka besarnya konstribusi tersebut dapat digunakan untuk mengukur
besarnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat sentralistik. Menurut Undang-
undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Tugas Pembantuan
adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah
provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten kota
kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Menurut Ryaas Rasyid, tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah


menjaga ketertiban dalam kehidupan masyarakat sehingga setiap warga dapat
menjalani kehidupan secara tenang, tenteram dan damai. Secara umum fungsi
pemerintahan mencakup tiga fungsi pokok yang seharusnya dijalankan oleh
pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (H. Nurul Aini dalam
Haryanto dkk, 1997 : 36-37) :

1. Fungsi Layanan (Servicing Function). Fungsi pelayanan dilakukan dalam


rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dengan cara tidak diskriminatif dan
tidak memberatkan serta dengan kualitas yang sama. Dalam pelaksanaan fungsi
ini pemerintah tidak pilih kasih, melainkan semua orang memiliki hak sama, yaitu
hak untuk dilayaani, dihormati, diakui, diberi kesempatan (kepercayaan), dan
sebagainya.

29
2. Fungsi Pengaturan (Regulating Function). Fungsi ini memberikan penekanan
bahwa pengaturan tidak hanya kepada rakyat tetapi kepada pemerintah sendiri.
Artinya, dalam membuat kebijakan lebih dinamis yang mengatur kehidupan
masyarakat dan sekaligus meminimalkan intervensi negara dalam kehidupan
masyarakat. Jadi, fungsi pemerintah adalah mengatur dan memberikan
perlindungan kepada masyarakat dalam menjalankan hidupnya sebagai warga
negara.
3. Fungsi Pemberdayaan. Fungsi ini dijalankan pemerintah dalam rangka
pemberdayaan masyarakat. Masyarakat tahu, menyadari diri, dan mampu
memilih alternatif yang baik untuk mengatasi atau menyelesaikan persoalan yang
dihadapinya. Pemerintah dalam fungsi ini hanya sebagai fasilitator dan motivator
untuk membantu masyarakat menemukan jalan keluar dalam menghadapi setiap
persoalan hidup.
Fungsi pengaturan dilaksanakan pemerintah dengan membuat peraturan
perundang-undangan untuk mengatur hubungan manusia dalam masyarakat.
Pemerintah adalah pihak yang mampu menerapkan peraturan agar kehidupan dapat
berjalan secara baik dan dinamis. Ada enam fungsi pengaturan yang dimiliki
pemerintah sebagai berikut.
1. Menyediakan infrastruktur ekonomi. Pemerintah menyediakan institusi dasar
dan peraturan-peraturan yang diperlukan bagi berlangsungnya sistem ekonomi
modern, seperti perlindungan terhadap hak milik, hak ciipta, hak paten, dan
sebagainya.
2. Menyediakan barang dan jasa kolektif. Fungsi ini dijalankan pemerintah
karena masih terdapat beberapa public goods yang tersedia bagi umum, ternyata
masih sulit dijangkau oleh beberapa individu untuk memperolehnya.
3. Menjembatani konflik dalam masyarakat. Fungsi ini dijalankan untuk
meminimalkan konflik sehingga menjamin ketertiban dan stabilitas di
masyarakat.
4. Menjaga kompetisi. Peran pemerintah diperlukan untuk menjamin agar
kegiatan ekonomi dapat berlangsung dengan kompetisi yang sehat. Sebab tanpa
pengawasan pemerintah akan berakibat kompetisi dalam perdagangan tidak
terkontrol dan dapat merusak kompetisi tersebut.

30
5. Menjamin akses minimal setiap individu kepada barang dan jasa. Kehadiran
pemerintah diharapkan dapat memberikan bantuan kepada masyarakat miskin
melalui program-program khusus.
6. Menjaga stabilitas ekonomi. Melalui fungsi ini pemerintah dapat
mengeluarkan kebijakan moneter apabila terjadi sesuatu yang mengganggu
stabilitas ekonomi. Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-
undang ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan yang
menjadi urusan pemerintah pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, agama, serta norma
Kewenangan Pemerintah adalah hak dan kekuasaan Pemerintah untuk
menentukan atau mengambil kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintah.
Kewenangan Pemerintah mencakup kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan
bidang lain (UU No. 25 Tahun 2000, Pasal 2). Selain kewenangan tersebut,
pemerintah pusat memiliki kewenangan lain, yaitu sebagai berikut.
1. Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro.
2. Dana perimbangan keuangan.
3. Sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara.
4. Pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia.
5. Pendayagunaan sumber daya alam dan pemberdayaan sumber daya strategis.
6. Konservasi dan standarisasi nasional.
Ada beberapa tujuan diberikannya kewenangan kepada pemerintah pusat
dalam pelaksanaan otonomi daerah, meliputi tujuan umum, yaitu sebagai berikut.
1. Meningkatkan kesejahteraan rakyat.
2. Pemerataan dan keadilan.
3. Menciptakan demokratisasi.
4. Menghormati serta menghargai berbagai kearifan atau nilai-nilai lokal dan
nasional.
5. Memperhatikan potensi dan keanekaragaman bangsa, baik tingkat lokal
maupun nasional.
Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai adalah sebagai berikut.
1. Mempertahankan dan memelihara identitas dan integritas bangsa dan negara.
2. Menjamin kualitas pelayanan umum setara bagi semua warga negara.

31
3. Menjamin efisiensi pelayanan umum karena jenis pelayanan umum tersebut
berskala nasional.
4. Menjamin pengadaan teknologi keras dan lunak yang langka, canggih, mahal
dan berisiko tinggi serta sumber daya manusia yang berkualitas tinggi yang
sangat diperlukan oleh bangsa dan negara, seperti tenaga nuklir, teknologi satelit,
penerbangan antariksa, dan sebagainya.
5. Membuka ruang kebebasan bagi masyarakat, baik pada tingkat nasional
maupun lokal.
6. Menciptakan kreativitas dan inisiatif sesuai dengan kemampuan dan kondisi
daerahnya.
7. Memberi peluang kepada masyarakat untuk membangun dialog secara terbuka
dan transparan dalam mengurus dan mengatur rumah tangga sendiri.
Keinginan untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik melalui otonomi
daerah memang bukanlah hal yang mudah, masih banyak hal yang perlu diperhatikan
untuk dapat menciptakan otonomi daerah yang maksimal demi menciptakan
pemerintahan khususnya pemerintahan daerah yang lebih baik.

32
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Otonomi daerah adalah suatu keadaan yang memungkinkan daerah dapat
mengaktualisasikan segala potensi terbaik yang dimilikinya secara optimal. Dimana
untuk mewujudkan keadaan tersebut,berlaku proposisi bahwa pada dasarnya
segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk mengidentifikasikan,
merumuskan, dan memecahkannya. Kecuali untuk persoalan-persoalan yang memang
tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif keutuhan negara-
bangsa. Dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 telah pula ditetapkan ketetapan
MPR No.IV/MPR/2000 tentang Kebijakan dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah
yang antara lain merekomendasikan bahwa prinsip otonomi daerah itu harus
dilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian dan keprakarsaan dari
daerah-daerah otonom untuk menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harus terlebih
dulu menunggu petunjuk dan pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan, kebijakan
nasional otonomi daerah ini telah dikukuhkan pula dalam materi perubahan Pasal 18
UUD 1945.

3.2. Saran
Dengan adanya otonomi daerah ini, diharapkan bahwa pemerintah daerah agar
mampu memberdayakan daerahnya masing-masing yang dapat membawa
masyaraktnya menjadi masyarakat yang bertanggung-jawab dan mampu
melaksanakan pembangunan seacara mandiri. Tetapi ingat, bahwa masing-masing
pemerintah daerah diberikan keleluasaan untuk mengelolah daerahnya, bukan berarti
bahwa mereka diberi kemerdekaan penuh terhadap suatu daerah. Karena di negara
kita ini, merupakan negara yang menjujung tinggi nilai-nilai persatuan dan kesatuan
di bawah panji-panji Pancasila.
Jangan sampai kebijakan ini disalahgunakan dan menyebabkan timbulnya
otonom-otonom yang kapitalis sehingga memicu timbulnya pemberontakan-
pemberontakan disebabkan kepentingan pribadi.

33
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila.1, 2, 3 dan 4.Jakarta: YayasanCipta


Loka Caraka,1973
Arthur, Muhammad. 2012. Menggugah Peran Aktif Masyarakat dalam Otonomi Daerah.
Dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=4437, dikutip pada 27 Maret 2012
Azra, azyumardi.Pendidikan Kewargaan (Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia
dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidatatullah Jakarta, 2003
Budiarjo, Miriam.Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia, 1982
Diklat Teknis Penganggaran di Era Desentralisasi, kerjasama LAN – Depdagri.
DR. Kaloh J, 2007, Mencari Bentuk otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab
Kebutuhan Lokal Dan Tantangan Global, Jakarta : Rhineka Cipta.
http://bodohtapisemangat.blogspot.com/2015/03/makalah-otonomi-daerah.html
http://junaidialfatih.blogspot.com/2016/01/makalah-otonomi-daerahdisentralisasi.html
http://makalah2107.blogspot.com/2016/07/makalah-otonomi-daerah.html
http://menulis-makalah-.blogspot.com/2015/11/makalah-otonomi-daerah-pengertian.html
http://pendidikanku1408.blogspot.com/2017/05/makalah-otonomi-daerah.html
http://riantoivansky.blogspot.com/2012/11/makalah-otonomi-daerah.html
http://susisitisapaah.blogspot.com/2011/03/sejarah-perkembangan-otonomi-daerah-di.html
http://tugaskuliahunj.wordpress.com/2014/03/16/makalah-pkn-otonomi-daerah/
Id.m.wikipedia.org/wiki/otonomi_daerah
Istanto, sugeng.Beberapa Segi Hubungan Pemerintahan Pusat dan Daerah dalam Negara
Kesatuan Republk Indonesia. Yogyakarta: Karya Putera, 1971
Karim, Abdul Gaffar, 2003, Kompleksitas Otonomi Daerah di Indonesia, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Lubis, Rusdi. 2011. PEMBINAAN SDM UNTUK PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH.
http://www.harianhaluan.com/index.php?option=com_content&view=article&id=247
4:pembinaan-sdm-untuk-pelaksanaan-otonomi-daerah&catid=11:opini&Itemid=83,
dikutip pada 27 Maret 2012
Marzuki, M. Laica, 2007. “Hakikat Desentralisasi Dalam Sistem Ketatanegaraan RI – Jurnal
Konstitusi Vol. 4 Nomor 1 Maret 2007″, Jakarta : Sekretariat Jenderal &
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Masykur, Nur Rif’ah.Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah. Jakarta: Rajawali, 2001
Mursyid, Diyanto, modul pendidikan kewarganegaraan kelas IX semester gasal 2010/2011
34
Obatkafe.blogspot.com/2012/11/pengertian-dan-definisi-otonomi-daerah.html?m=1
Otonomidaerah.com/pengertian-otonomi-daerah.html
PPT OTODA Bahan ceramah Direktorat Jendral Otonomi Daerah pada KRA XXXVII
Lemhannas 2004.
Riwu Kaho, Josef, 1988, Prospek Otonomi Daerah di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Seminar Desentralisasi Pemerintahan “Inventarisasi Penyerahan Urusan Pemerintahan
Refleksi 10 tahun Otonomi Daerah, Ditjen Otda – Depdagri.
Siregar, Faris. 2011. Hambatan Pelaksanaan Otonomi Daerah. Dari
http://catatankuliahpraja.blogspot.com/2011/09/hambatan-pelaksanaan-otonomi-
daerah.html, dikutip pada 27 Maret 2012
Syaukani, dkk, 2009, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ubaedillah , A. dkk., Pendidikan Kewargaan (Civic Education), tp. p
Undang-Undang Otonomi Daerah Terbaru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, cet. I
Wahidin, Samsul.Pokok-pokok Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1984
Widjaja, HAW, 2004, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta : PT Grafindo Persada.

35

Anda mungkin juga menyukai