Dewasa ini sistem pendidikan Nasional menghadapi berbagai tantangan yang cukup
besar dan mendasar, terutama dalam konteks pembangunan masyarakat, negara
dan bangsa. Pada era globalisasi ini, tantangan itu dirasakan sehubungan dengan
keadaan dan permasalahan di berbagai bidang kehidupan yang secara langsung
memiliki kaitan dengan sistem pendidikan nasional. Tantangan ini bersumber dari
dua faktor yang saling berpengaruh, baik dari faktor luaran (ekstern) maupun faktor
dalam (intern).
Tantangan besar dalam pendidikan nasional paling tidak meliputi tiga hal,
yaitu: Pertama, sebagai akibat krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat
mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah
dicapai; Kedua, untuk mengantisipasi era globalisasi, dunia pendidikan dituntut
untuk mempersiapkan SDM yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar
kerja global; Ketiga, sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah, sistem
pendidikan nasional dituntut untuk melakukan perubahan dan penyesuaian sehingga
dapat mewujudkan proses pendidikan yang demokratis, memperhatikan
keberagaman, serta mendorong partisipasi masyarakat.
Pendidikan memang bukan merupakan suatu bidang kehidupan yang terpisah dari
bidang-bidang kehidupan lainnya. Pendidikan sering dianggap sebagai faktor
terpengaruh dari masalah-masalah terjadi dalam lingkungan strategis sehingga
pendidikan sering menerima akibat buruk dari perubahan tersebut. Kebijakan
pendidikan yang akan ditetapkan setidak-tidaknya harus mampu mengantisipasi
berbagai tantangan dan permasalahan yang terjadi dalam lingkungan strategis,
bahkan pendidikan harus mampu menjadikan dirinya sebagai faktor yang dapat
menggerakan atau mengarahkan perubahan dalam lingkungan tersebut.
Oleh karenanya, kebijakan pendidikan
diarahkan pada perwujudan sistem
pendidikan yang bermutu dan dapat
dijangkau oleh semua anggota
masyarakat agar semua warga negara
memperoleh kesempatan yang sama
untuk menikmati hasil-hasil pendidikan.
Dengan demikian, prinsip keadilan dalam
pendidikan merupakan hal yang sangat
penting, karena berkaitan dengan
pemerataan, keterjangkauan, bahkan
mutunya. Oleh sebab itu, keadilan dalam
pendidikan menjadi konsep paling
mendasar dari kebijakan pendidikan di
tanah air. Persoalannya adalah, apakah
yang menjadi harapan kita akan dunia
pendidikan di Indonesia itu telah benar-
benar mewujud pada masa pemerintahan
SBY-MJK sekarang ini?
Di pojok timur laut pulau jawa bertengger sebuah pulau sempit memanjang yang
secara sepintas berbentuk seperti belati. Pulau itu terbilang kecil, panjangnya hanya
sekitar 160 km dan bagian terlebarnya mencapai 40 km. Dari daratan jawa pulau itu
dipisahkan oleh sebuah selat dangkal kira-kira 4 km lebarnya di sebelah barat yang
semakin melebar di bagian selatannya hingga menjadi sekitar 55 km. Secara
teritorial Pulau Madura masih taermasuk dalam wilayah Propinsi Jawa Timur. Yang
terbagi menjadi 4 kabupaten yakni, Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan
Sumenep. Jumlah penduduk Pulau Madura sampai tahuan 2004 terbilang 3.536.362
jiwa, sekitar 9,67% dari jumlah penduduk Provinsi Jawa Timur 36.548.648 , yang
tarbagi atas: Bangkalan 892.987 jiwa, Sampang 847.361 jiwa, Pamekasan 750.295
jiwa, dan Sumenep 1.045.719 jiwa.
Dari pribahasa Madura “ Buppa, Babbu’, Guruh, Ratoh” terkandung makna: Bapak
dan Ibu sebagai figure kecil dalam lingkup keluarga dan berada di posisi utama yang
sangat dihormati bagi individu (manusia) Madura. Sedangkan dalam konteks sosial,
figur utama sebagai panutan yang sangat dihormati adalah Kyai. Bagi orang
Madura Kyai adalah guru yang mendidik dan mengajarkan pengetahuan agama
yang memberikan tuntunan dan pedoman dalam menjalani kehidupan dunia dan
akhirat. Setelah kiayi barulah Pemerntah, yakni Pejabat, Birokrasi Negara. Uraian
Tersebut sedikit Memberikan gambaran terhadap bagaimana wajah dari pendidikan
di Madura:
Mulanya hanyalah niat dan keinginan, namun bukan berarti tanpa langkah dan
kesungguhan. Kabinet Mahasiswa Universitas Trunojoyo, dan saat ini dilanjutkan
oleh Himpunan mahasiswa jurusan sosiologi universitas Trunojoyo dalam
perjalanannya membangun atmosfer intelektual, pada akhirnya dengan
kesungguhan hati, memantapkan niat dan keinginan tersebut untuk merealisasikan
Program Penulisan Buku sebagai salah satu bentuk kepedulian kita akan
pembangunan madura di masa mendatang.
Program Penulisan Buku ini sendiri pada awalnya digagas oleh Kabinet Mahasiswa
dan saat ini dilanjutkan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Sosiologi Universitas
Trunojoyo sebagai sebuah misi yaitu membangun atmosfer intelektual di bumi
Universitas Trunojoyo dan Madura pada umumnya, dimana Penulisan Buku ini
sebagai jendela terdekat bagi para mahasiswa untuk mengetahui dimensi-dimensi
baru dari tekhnologi dan peradaban masyarakat dunia. Juga atas realisasi ini
membawa peluang dan potensi yang cukup besar dalam upaya meningkatkan
kualitas generasi muda sebagai generasi yang nantinya akan memegang tonggak
estafet kepemimpinan bangsa Indonesia. Langkah ini memang awal, tapi kami
berupaya membangun satu patok keyakinan bahwa sekecil apapun langkah itu,
setidaknya kami berani berjalan selangkah untuk memulai.
Sejarah suku Madura
Dikisahkan bahwa ada suatu negara yang bernama Mendangkamulan dengan seorang Raja yang
bernama Sangyangtunggal beliau mempunyai anak gadis bernama Bendoro Gung. Yang pada suatu hari
hamil dan diketahui Ayahnya. Raja amat marah karena kehamilan putri kesayangannya tidak bisa masuk
akal akhirnya dia menyuruh sang Patih yang bernama Pranggulang untuk membunuh anaknya itu. Karena
tidak tega melihat putrid Bendoro ging maka ia tidak membunuh anak Raja itu melainkan
mengasingkannya ke tepi laut sambil berucap perkgilah ke “Madu Oro” (waktu itu hanya sebuah dua bukit
di tengah laut yang kemudian sekarang tempat tersebut disebut gunung Geger di Bangkalan dan bukit yang
kedua adalah gunung Pajudan Sumenep) dan patih yang baik hati itu tidak kembali ke Istana dengan tujuan
takut di bunuh oleh raja karena telah melalaikan tugasnya dia juga merubah namanya dengan Ki Poleng
serta melepas pakaian kebangsawanannya dan di ganti dengan kain tenun (kain sederhana yang kemudian
menjadi ciri khas orang Madura). Putri raja yang hamil yang malang merasa perutnya sakit dan segera ia
memanggil Ki Poleng dengan cara mengepakkan kakinya kebumi sebanyak tiga kali sesuai petunjuknya
dulu. Tidak lama kemudian Ki Poleng datang dan mengatakan bahwa Bendoro Gung akan melahirkan
anak Akhirnya putra tersebut yang diberi nama Raden Segoro (artinya laut, sebab dia lahir ditengah
laut)[1]
Maka dapat disimpulkan bahwa istilah Madura berasal dari akar kata Madu Oro yang merupakan
lontaran dari patih yang bijaksana dalam menyimbolkan dua bukit ditengah lautan. Sedangkan asal usul
penduduk pulau Madura merupakan anak cucu dari Raden Segoro dari ibu Bendoro Gung.
2. Sistem Pendidikan Suku Madura
Dalam hal Ilmu Pengetahuaan, anak - anak suku Madura sudah semenjak kecil
disuruh untuk mencari ilmu dan mengaji Al-Quran, agar mereka bisa mendapatkan
pembelajaran mengenai etika, bahkan di Madura bagi orang – orang yang tidak sopan dalam
hidup bermasyarakat entah remaja ataupun orang tua, bisa dikatakan orang yang tidak
mengenal tak battonna langgar kata - kata ini bisa di artikan orang yang tidak pernah belajar
etika karena tidak pernah pergi mengaji. Mungkin mereka kurang sopan karena belum
pernah pergi ke institusi pendidikan yang di Madura di kenal dengan Langgar atau surau yang
digunakan sebagai tempat belajar
Melemahnya kwalitas pendidikan masyarakat Madura disini tidak terlepas dari
pengaruh sistem pendidikan nasional yang selama ini kita kembangkan, di mana, sistem
pendidikan nasioal jauh dari akar budaya dan jauh lingkungan anak didik. Pada gilirannya,
anak didik sebagai generasi yang diharapkan menjadi suri tauladan didaerahnya, terasing dari
lingkungan masyarakatnya sendiri. Pendidikan yang tidak berlandaskan kebudayaan akan
menghasilkan generasi yang tercerabut dari kehidupan masyarakatnya sendiri. Anak didik
pandai di negeri orang, tetapi bodoh di negeri sendiri.
Realitas tersebut merupakan implikasi dari perubahan sistem pendidikan kita yang
hanya mengandalkan pada silabus yang mengarah pada satu sistem pendidikan dan tidak
berlandaskan pada kebudayaan, dan hal itu akan menghasilkan anak didik yang mekanik
seperti mesin serta manusia-manusia yang orentasi pemikirannya pada kerja, bukan
pengetahuan. Dengan kata lain, sistem pendidikan kita memberi kesan bahwa kesuksesan
sebuah proses pendidikan hanya terletak pada satu instrumen teknis-operasional yakni
kurikulum. Lembaga pendidikan yang tidak mengacu pada kurikulum yang telah ditetapkan
oleh pusat (mendiknas) maka proses pendidikan yang dijalankan akan mengalami kegagalan.
Sehingga masyarakat Madura yang beragam dan agamis serta lebih mengedepankan nilai-
nilai kebudayaan disulap menjadi masyarakat yang lupa pada akar budayanya. Tak jarang
orang Madura yang tidak tahu bahasa Madura. Tidak sedikit putra-putri Madura yang tidak
mengerti kebudayaan Madura. Bahkan ada yang merasa asing dengan tanah kelahirannya
sendiri.
Dari itu, sistem pendidikan yang hanya bergantung pada satu instrumen tersebut, atau
lebih tepatnya disebut dengan sistem pendidikan individual itu, tidak akan mampu
mencerdaskan dan mengangkat derajat masyarakat Madura khususnya dan bangsa secara
menyeluruh. Hal tersebut, yang menjadi faktor utama adalah karena sistem pendidikan yang
dihasilkan selama ini hanya berangkat dari konsep segelintir orang yang cendrung meniru
pola pikir dari barat bukan dari hasil pengamatan dan penelitian terhada budaya, terutama di
Madura.
Perempuan dan laki-kali pada dasarnya satu kesatuan yang tak terpisahkan dari sebuah wilayah yang
namanya masyarakat. Tidak ada masyarakat perempuan dan tidak ada mayarakat laki-kali. Sebab
bila tidak ada perempuan maka tidak akan ada masyarakat. Demikian pula bila tidak ada laki-laki
juga tidak akan ada masyarakat. Jadi keduanya merupakan sesuatu yang inklusif dan merupakan
bagian integral dari masyarakat.
Namun ketika dihadapkan wilayah kekuasaan, persoalan ini jadi pelik dan terkesan telah terjadi
eksploitasi bahwa perempuan “tidak pantas” mendapat peran lebih di lingkungan masyarakat.
Budaya patriarki yang kemudian disebut-sebut sebagai dasar terbangunnya stuktur dominasi dan
sub ordinasi yang mengharuskan suatu hirarki dimana laki-laki dan pandangan laki-laki menjadi
suatu norma.
Dalam konteks Indonesia, fenomena RA Kartini merupakan awal gerakan perempuan yang
menentang patriarki, kemudian disusul nama-nama tokoh perempuan lain mulai terbaca, baik dalam
perjuangan kemerdekaan, agama, akademisi dan ahli, aktivis, olahraga, pejabat tinggi, pengusaha
dan profesional, politik, sastra dan penulis dan lainnya. Sehingga permasalahan ketimpangan gender
bukanlah menyoal tentang ketertindasan perempuan oleh patriarki (laki-laki) saja, akan tetapi lebih
pada penindasan antara kasta yang satu dengan kasta yang lain.
Terbentuknya adat dan kerpibadian orang Madura banyak dipengaruhi satu kondisi karakteristik
geografis Pulau Madura. Satu prinsip yang menjadi fenomena orang Madura, ialah dikenal sebagai
orang yang mampu mengambil dan menarik manfaat yang dilakukan dari hasil budi orang lain, tanpa
mengorbankan kepribadiannya sendiri. Demikian pula orang Madura pada umumnya menghargai
dan menjunjung tinggi rasa solidaritas kepada orang lain. Sikap hidup semacam ini, menjadikan
orang-orang Madura diluar Madura mudah dikenal, supel serta menunjukkan sikap toleran terhadap
sesama
Sebagai suku yang hidup di kepualauan, orang Madura dijaman dulu kurang mendapat kesempatan
untuk berinteraksi dengan dunia luar. Mereka sangat berhati-hati, dan akibatnya sesuatu yang
datang dari luar merupakan ancaman bagi dirinya. Meskipun pada dasarnya mereka konservatif,
yakni berusaha memelihara dan menjamin nilai-nilai yang mengakar dalam dirinya. Tapi dalam segi
yang lain, orang Madura menunjukkan naluri yang kuat untuk menjamin dan bertahan kelangsungan
hidup, karena mereka didorong untuk menerima dan memanfaatkan nilai-nilai yang terserap dari
luar. Hal ini dapat digambarkan dalam pandangan hidup Madura yang disampaikan melalui
ungkapan-ungkapan berupa saloka, pantun, lagu dan lain-lain, seperti contoh:
Religi: Abhantal omba’ asapo’ angen, (Berbantal ombak berselimut angin). Abhantal syahadat asapo’
iman (Berbantal syahadat berselimut iman).
Tata Krama: Oreng andi’ tatakrama reya akantha pesse singgapun, ekabalanjha’a e dimma bhai paju.
(Orang yang punya budi pekerti yang baik itu seperti uang (emas) singapara, dibelanjakan di mana
saja pasti laku). Ta’tao Judanagara, (Tidak mengenal Judanegara)
Persahabatan: //Bila cempa palotan/ Bila kanca taretan (Setiap beras cempa itu ketan
Tidak Boleh Sakiti Orang Lain. //Mon ba’na etobi’ sake’ ja’ nobi’an oreng laen (Kalau kamu dicubit
merasa sakit jangan mencubit orang lain)
Baik Hati. Pote atena (Putih hatinya), Oreng jhujhur mate ngonjur (Orang jujur kalau mati kakinya
lurus), Oreng jujur bakal pojur, (Orang jujur bakal mujur)
Etos Kerja. //Sapa atane bakal atana’/Sapa adhaghang bhakal adhaghing//.(Siapa rajin bertani akan
menanak nasi/ Siapa berdagang akan berdaging (tubuhnya padat dan sehat)
Rajin Belajar: //Perreng odi’ ronto bhiruna/Parse jhenno rang-rang tombu/Oreng odhi’ neko
koduna/Nyare elmo pataronggu//. (Daun bambu hijau runtuh/Bibit kelapa jarang tumbuh/Orang
hidup itu seharusnya/Mencari ilmu dengan sungguh).
Jadi usaha belajar bagi anak (perempuan) Madura itu sudah dikenalkan sejak dini. Namun demikian
ketika disejajarkan dengan sebuah wilayah yang lebih luas lagi, posisi perempuan Madura kerap
dihadang oleh persoalan adat dan lingkungan, bahwa kodrat menempati posisi yang paling berarti,
dibanding tuntutan kondisi perempuran sendiri.
Meski demikian, adat bukan berarti menjadi sumbu utama membatasi gerak perempuan di Madura.
Pada sisi lain, justru adat sendiri yang sebenarnya memberi keleluasaan luas bagi perempuan,
contoh; dalam hal membangun etok kerja, solidaritas, penghargaan dan perawatan diri. Bahkan
dalam pemahaman kearifan lokal, penanaman ilmu bagi perempuan Madura sebenarnya dapat
porsi cukup, seperti wajib belajar (mengaji), membuat ketarmpilan dan bahkan sebagai perancang
strategi dalam perang jaman kerajaan masa lalu.
Memang diakui pada jaman pengetatan tradisi masa lalu, simbolitas perempuan Madura
menempati posisi yang paling diagungkan. Pada posisi seperti itu perempuan Madura diumpamakan
seperti bunga melati, yang hidup dalam rimbunan daun hijau, dan berfungsi untuk menyerbakkan
aroma wangi bagi keluarganya.
Karena cukup menjadi simbol kebanggaan dan penjaga marbatat keluarga dan lingkungan,
perempuan Madura cukup mengurus rumah saja. “jha’ gitenggi asakola, ada’ gunana, dagghi’ abali
ka dapor keya”, (tidak penting sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya bekerja di dapur juga)
Dalam sebuah penelitian yang dilakukan, Darmaningtyas, (tidak dipublikasikan, 2002), Angka
Partisipasi Murni (APM) untuk pendidikan dasar (terutama SLTP) di Madura sangat rendah. Di
Sampang, misalnya, APM untuk tingkat SD rata-rata di atas 90%, tapi untuk tingkat SLTP rata-rata
masih di bawah 50%. Di Kabupaten Sumenep APM untuk SLTP mencapai 68,87%. Di banding
kabupaten lain Sumenep APMnya memang tertinggi.
Pertanyaannya, dalam angka-angka diatas, seberapa besar APM perempuan? Bisa dipastikan bahwa
APM perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Sayangnya sampai saat ini belum pihak yang
memiliki data yang akurat. Tetapi pada realitasnya — terutama di pedesaan — masih banyak
terdapat yang putus sekolah atau tidak bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Menarik membaca hasil penelitian Darmaningtyas tentang harapan orang tua di Madura terhadap
anak-anaknya berdasarkan jenis kelamin. Harapan terhadap perempuan, meski ia disekolahkan,
tetap bersifat domistifikasi peran, sementara harapan terhadap laki-laki lebih didorong ke peran-
peran public atau peran di Harapan orang tua terhadap masa depan anak sesuai dengan jenis kelamin
Laki-Laki Perempuan
Penerus perjuangan untuk mengembangkan Menjadi orang yang berakhlak dan berprilaku
masyarakat baik
Setelah 13 tahun dari hasil penelitian tersebut adakah hak-hak perempuan dan pengembangan
pendidikan masih saja melingkar di pusaran tradisi masyarakat. Tapi yang pasti, harapan penguatan dan
konstribusi tokoh agama, pemerintah, bahkan organisasi perempuan menjadi tumpuan utama, bukan
hanya “cerdas” dalam tataran wacana semata, sehingga untuk memerangi perempuan putus sekolah,
budaya kawin muda dan meningkatkan APM perempuan dalam dunia pendidikan benar-benar terukur
seperti yang diharapkan.