Anda di halaman 1dari 29

Nan Gwaenchana || jimin

by littlevmin
* 1. Apakah Ini Mimpi?
* 2. Bukan Karena Benci
* 3. Jangan Seperti Nene
* 4. Jangan Menangis
* 5. Kau Boleh Menangis
* 6. Ada Yang Salah Pada Suaranya
* 7. Es Yang Mencair
* 8. Teror Dari Anti Fans
* 9. #ArmysWillProtectJimin
* 10. Yang Selalu Bersembunyi
* 11. Si Merah Yang Mengalir
* 13. Aku Pasti Kembali
* 14. Park Jimin
* 15. Kabar Dari Chicago
* 16. Jimin Pulang
* 17. Ketika Dunia Mengkhianati
Apakah Ini Mimpi? Commented [U1]:
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
| Nan Gwaenchana |
~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Apakah ini adalah mimpi? Kuharap iya.

~ [1] ~

Satu hal yang sampai detik ini Jimin syukuri dalam hidup
adalah dapat melihat lautan manusia di depannya yang
memegang lightstick yang menyala sambil menyerukan
sebuah fanchant.

"Kim Namjoon!Kim Seokjin!Min Yoongi!Jung


Hoseok!Park Jimin!Kim Taehyung!Jeon Jungkook! BTS!"

Mereka tiada lelah. Menyerukan namanya. Berteriak


untuknya. Bahkan ada yang menangis untuknya.

Tangan mereka yang ringkih tanpa lelah mengangkat


lightstick untuk melakukan fanchant hampir di setiap
penampilannya. Ada juga beberapa tangan yang
mengangkat tinggi-tinggi spanduk bertuliskan namanya,
dukungan untuknya, dan ungkapan rasa cinta mereka
padanya agar dapat dibaca olehnya ketika sedang
melakukan penampilan di atas panggung.

Sekali lagi, Jimin bersyukur memiliki mereka dan masih


dapat melihat mereka hingga detik ini
Anggap saja, mereka adalah vitamin bagi hidupnya.
ARMY---para penggemar Bangtan Boys---
orang-orang yang Jimin cintai.

"Uri Bang---"

"---Tan! Kamsahamnida!"

Dan tak ada hal yang lebih menyedihkan ketika akhirnya


Jimin bersama enam temannya pamit undur diri untuk
mengakhiri konser dan menyaksikan ekspresi sedih mereka
karena konser sudah berakhir yang menandakan mereka
harus berpisah.

Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Jimin tahu hal itu.

Tapi entah kenapa, setiap kali ia mengucapkan slogan


grupnya untuk mengakhiri konser, berpamitan dengan para
ARMY, dan melambaikan tangan untuk mereka, Jimin
selalu merasa takut.

Ya, takut.

Ia takut tidak bisa bertemu lagi dengan mereka---ARMY di


penampilan
berikutnya.

∆∆∆

"Bagaimana konsernya, Jimin?"


Seokjin bertanya pada Jimin setibanya mereka di
backstage, yang lalu dibalas dengan senyuman oleh lelaki
yang lebih muda.

"Menyenangkan," jawabnya singkat.

"Kau terlihat lelah. Ingin kuambilkan air minum?" tanya


Seokjin lagi.

"Tidak, terima kasih."

"Kau butuh sesuatu? Akan kuambilkan untukmu."

"Tidak, Hyung."

"Atau kau ingin---"

"Hyung, jangan perlakukan aku seperti anak kecil," ucapan


Jimin membuat Seokjin menelan kembali perkataannya.
"Perlakukan aku seperti biasa saja. Aku baik-baik saja."

"Lebih baik kau ambilkan air minum untukku, Hyung,"


tiba-tiba saja Taehyung masuk ke dalam percakapan,
membuat Seokjin dan Jimin menoleh padanya. "Aku haus."

"Aku kan menawarkan untuk Jimin, bukan untukmu,


Taehyung."

"Tetapi Jimin tidak membutuhkannya, Hyung, jadi lebih


baik untukku
saja."
"Sudah jelas dia pasti membutuhkannya."

"Dia bilang dia 'baik-baik saja', Hyung. Itu tandanya dia


baik-baik
saja."

Seokjin tak menyahut lagi setelah mendengar kalimat


terakhir yang diucapkan Taehyung. Ia baru saja sadar,
bahwa melayani ucapan Taehyung sama sekali tak
berguna, maka dari itu ia mengalah dan menuruti ucapan
lelaki yang lebih muda itu.

Ketika Seokjin pergi mengambil air minum untuk


Taehyung, netra Jimin dan Taehyung kemudian bertemu.
Hanya sedetik, karena pada detik berikutnya Taehyung
memalingkan pandangannya lalu pergi begitu saja
meninggalkan Jimin.

Jimin hanya memandang punggung Taehyung yang


semakin menjauh dengan pandangan sedih sebelum
akhirnya ia menundukkan kepala.

Dan hal yang paling sedih lainnya bagi Jimin adalah


melihat Taehyung yang menghindar darinya.

∆∆∆

Biasanya, usai konser dilaksanakan, para member Bangtan


Boys akan kembali naik ke panggung. Untuk sekedar
menengok saksi bisu atas penampilan hebat mereka di
hadapan para penggemar. Tentu saja, para penggemar
sudah pulang, hanya menyisakan bangku-bangku kosong
yang baru saja beberapa jam lalu dipenuhi oleh lautan
manusia yang memegang lightstick dan spanduk.

Kepala Jungkook celingukan. Bukan untuk melihat


pemandangan kosong di depannya. Melainkan karena ia
mencari keberadaan seseorang.

Seokjin dan Yoongi sedang melakukan talk-to-camera


pada kamera yang menyoroti wajahnya, biasalah mereka
sedang memberi konsumsi untuk para penggemar.
Namjoon dan Hoseok saling mengobrol sambil terus
berjalan menelusuri sepanjang panggung. Sementara
Taehyung dengan tingkah anehnya memainkan isi dari
confetti yang memberantaki lantai panggung. Kurang satu
orang.

Tidak ada Jimin di sana.

Lantas Jungkook memutar tubuh, menuruni kembali anak


tangga panggung menuju backstage.

Dan Taehyung adalah satu-satunya orang yang menyadari


kepergian lelaki yang lebih muda darinya itu, sebelum ia
menyadari pula kalau tak ada Park Jimin di sekitarnya.

∆∆∆

Jimin tahu ini konyol.

Satu jam yang lalu, ia baru saja bernyanyi di hadapan para


penggemarnya. Tersenyum dan tertawa menatap mereka.
Melambaikan tangan dengan penuh cinta. Dan
membagikan seluruh kebahagiaan pada para penggemar. Ia
terbang mengawang, menikmati segala penampilan yang ia
lakukan bersama teman-temannya. Meninggalkan sejenak
segala rasa sakit yang membelenggu dadanya.

Tetapi, kini, saat ini, di detik ini juga, ia kembali pada


kenyataan. Ia tak lagi terbang mengawang. Kakinya sudah
kembali berpijak di lantai, dan saat ini ia sedang berdiri di
anak tangga darurat paling atas. Ada sekitar 30 anak tangga
tepat di bawah kakinya. Selangkah lagi ia menggerakkan
kakinya ke depan, ia akan terjatuh. Terguling. Lalu
berakhir di bawah sana dengan seluruh luka di tubuhnya.

Tapi, memang itulah yang ia inginkan sekarang.

Sungguh, konyol.

Benar-benar konyol.

Jimin baru saja berbahagia satu jam yang lalu bersama para
penggemarnya di atas panggung. Tapi, kini, kebahagiaan
itu lenyap seketika. Tergantikan oleh rasa sakit yang
memang sejak awal sudah bersarang disana. Seharusnya ia
sadar, kalau semua yang ia lakukan dalam hidup hanyalah
kebahagiaan semu untuknya.

Nyatanya, ia tak pernah benar-benar bahagia.

Pun, di hadapan teman-temannya.


Ketika kakinya hendak melangkah maju, sebuah tangan
menahan lengannya dari belakang, serta merta menarik
tubuhnya untuk menjauh dari anak tangga.
"Apa yang kau lakukan?!"

Tangan Jungkook mencengkeram erat lengan Jimin,


diiringi oleh suara bentakan yang keluar dari bibirnya.
Jimin memberontak. Namun meskipun demikian, tangan
itu tetap berada di sana. Menggenggamnya.
Mencengkeramnya. Dengan penuh kekuatan.

"Lepaskan, Jungkook-ah."

"Jangan lakukan tindakan bodoh, hyung," suara Jungkook


menggema di telinganya. "Sayangi nyawamu, sebelum
yang jahat itu menggerogoti tubuhmu."

Lantas Jimin terpekur. Ia berhenti memberontak, seiring


dengan membuncahnya air mata yang tertahan di pelupuk
mata. Tubuhnya merosot ke bawah, dan sekejap kemudian
wajahnya tenggelam di balik kedua lututnya.

"Aku benci diriku sendiri," isaknya lirih.

Sementara Jungkook mencelos. Tangannya melepas lengan


Jimin yang melemas hingga terjatuh begitu saja di samping
tubuh lelaki itu. Pandangannya menembus pada kaca
jendela di samping, berusaha keras untuk menahan air
mata di pelupuk agar tidak mengalir karena mendengar
suara isakan dari bibir Jimin.

Tak jauh dari sana, di balik tembok yang memisahkan


mereka, Kim Taehyung berdiri bersandar. Bibir bawahnya
digigit kuat-kuat. Sementara matanya yang terpejam
mengalirkan segaris air mata yang tertahan di pelupuk
mata.

"Jimin-ah..."
Hatinya menangis.

Melihat kerapuhan seorang Park Jimin.

Lagi.

∆∆∆

Dulu, aku merasa ini adalah mimpi. Berdiri di hadapan


sejuta penggemar
yang menyaksikanku saat aku bernyanyi.

Dulu, aku merasa ini adalah mimpi. Mendapat cinta dari


jutaan penggemar
yang terus menerus mendukungku tanpa lelah.

Dulu, aku merasa ini adalah mimpi. Dikenali oleh banyak


orang, dan
mendengar namaku diteriaki oleh jutaan penggemar.

Dan kini, aku pun merasa ini adalah mimpi. Ketika aku
merasa tak bisa
lagi berdiri di hadapan mereka sambil mendengar suara
teriakan mereka
yangmenyebut namaku. Ya, mereka--para penggemar yang
kucintai dan
mencintaiku.
Hanya karena sesuatu yang kini bersarang di dalam
tubuhku.

Benarkah ini hanya mimpi? Kuharap adalah iya.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~
| Nan Gwaenchana |
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Bukan Karena Benci
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
| Nan Gwaenchana |
~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Aku begini bukan karena benar-benar membencimu.

~ [2] ~

"Kalian dari mana saja?"

Pertanyaan Namjoon ditujukan pada Jungkook dan Jimin


yang baru saja kembali ke backstage. Keduanya tidak
menjawab, hanya balas memandang Namjoon, juga
Yoongi, Seokjin, Hoseok, dan Taehyung yang berdiri di
belakang dengan pandangan tanpa ekspresi. Sampai ketika
pandangan Jungkook mengarah pada Jimin sambil
mengedikkan dagu, Namjoon bergerak maju mendekati
lelaki bertubuh pendek itu.

"Astaga, apa lagi yang kau lakukan, Jimin?" tanya


Namjoon khawatir setelah mengerti kode yang diberikan
oleh Jungkook.

Jimin tersenyum miris. "Tidak apa-apa, Hyung. Aku baik-


baik saja."

Di belakang sana, Taehyung mendengus mendengar Jimin


mengatakan 'aku baik-baik saja', entah untuk yang
keberapa kalinya pada hari ini.
"Di mana kau menemukannya, Jungkook?" Kali ini
Yoongi yang bertanya.Juga menatap dengan khawatir.

"Seperti biasa, masih di tempat yang sama."

"Oh,astaga! Berhentilah melakukan hal tak berguna seperti


itu, Park Jimin! Bagaimana kalau kau benar-benar--"

Namjoon tak melanjutkan kalimatnya. Sementara Jimin


hanya tersenyum miris mendengar kalimat yang diucapkan
leader grupnya itu.

"--mati?" tambah Jimin, melanjutkan ucapan Namjoon


yang terputus dengan tanda tanya pada kalimatnya.

Kembali, Jimin tersenyum miris ketika melihat Namjoon


malah menghela napas berat setelah sadar bahwa ia baru
saja salah berbicara.

"Tidak apa-apa, Hyung. Pada akhirnya semua makhluk


yang hidup akan mati, bukan? Aku pun juga akan seperti
itu."

"Bisakah kita mengganti topik pembicaraan?" celetuk


Taehyung. "Yang benar saja! Kita baru saja menyelesaikan
konser, apakah harus selalu topik seperti ini yang kita
bicarakan setelah konser selesai?"

Netra Jimin mengarah pada netra Taehyung yang


mengkilat marah. Seperti biasa, setelah sedetik tatapan
mereka bertemu, detik berikutnya lelaki yang lebih muda
itu mengalihkan pandangan lebih dulu. Miris. Membuat
Jimin ingin kembali menangis.

"Kau sudah minum berapa liter air hari ini?"

"Tak usah khawatirkan aku, Hyung. Aku benar-benar baik-


baik saja."

Taehyung kembali mendengus di tempatnya. "Huh, aku tak


tahan."

Kemudian tungkai kaki Taehyung melangkah melewati


Hoseok, Yoongi, Seokjin, Namjoon, terakhir Jimin dan
Jungkook untuk berlalu keluar ruangan.

"Kim Taehyung," suara serak Jimin menghentikan tungkai


kaki Taehyung di bingkai pintu.

"Sampai kapan kau akan terus menghindariku?"

Taehyung tidak berbalik. Netranya yang tadinya mengkilat


marah saat bertatapan dengan Jimin tergantikan oleh air
mata yang kini menghalangi pandangan matanya ketika
mendengar suara Jimin yang terdengar bergetar.
Oh, ia benar-benar bersyukur sedang berdiri membelakangi
para member saat ini.

Beberapa detik kemudian, Taehyung menjawab dengan


suara baritonnya,
"Sampai kau berhenti mengatakan 'baik-baik saja'."

Setelah itu, Taehyung benar-benar keluar dari ruangan.


Meninggalkan kesenyapan yang kini tersisa di dalam
ruangan, juga helaan napas berat yang masing-masing
dikeluarkan oleh beberapa orang di sana, kecuali Park
Jimin.

Keadaan masih senyap sampai akhirnya manajer mereka--


Kim Sejin—memasuki ruangan.

"Mobil sudah siap. Ayo, kita pulang ke dorm!"

∆∆∆

Beberapa bulan yang lalu, Jimin masih sekamar dengan


Taehyung. Mereka berdua berbagi ranjang bersama di
ranjang bertingkat. Taehyung di ranjang atas, dan Jimin di
ranjang bawah. Sementara Hoseok yang juga sekamar
dengan mereka tidur di single bed tak jauh dari mereka.

Hingga pada suatu hari, tiba-tiba saja Taehyung menarik


diri dari kamar dan melapor pada Namjoon.

"Hyung, aku ingin sekamar denganmu."

Ucapan itu cukup untuk membuat Jimin dan Hoseok


sebagai teman sekamar terkejut. Terlebih, Jimin, karena ia
sudah merasakan perubahan lelaki itu yang mulai
menghindar darinya pada hari-hari sebelumnya.

Ketika ditanyai alasan oleh Namjoon, lelaki yang lebih


muda hanya menjawab, bosan. Dan tak ada satu pun orang
yang berkutik saat Taehyung menjawab demikian. Bahkan
Namjoon sampai gelagapan sendiri ketika akhirnya ia
menganggukkan kepala sambil berkata, baiklah.
Sejak saat itulah, Jimin benar-benar merasa Taehyung
sedang menghindarinya.

Hingga saat ini.

∆∆∆

Jimin tidak bisa tidur.

Sedari tadi ia membolak-balik tubuhnya di atas ranjang.


Menghadap ke kanan. Menghadap ke kiri. Menghadap
langit-langit kamar. Tapi ia tak kunjung menemukan posisi
nyaman yang dapat membuatnya tertidur.

Di ranjang sebelah, Hoseok sudah tertidur dengan suara


dengkuran yang halus. Jimin hanya dapat memandang
lelaki itu dengan tatapan iri.

Sungguh, ia ingin tidur cepat malam ini.

Kemudian, ia mendengar suara pintu dibuka. Bukan pintu


kamarnya. Suara itu terdengar dari luar kamar. Pasti pintu
kamar di sebelah kamarnya yang terbuka. Kamar milik
Taehyung dan Namjoon.

Jimin menegakkan tubuh. Kakinya bergerak turun ke


lantai, lalu melangkah keluar kamar.

Persis seperti dugaannya, ia melihat Taehyung kini berdiri


di dalam dapur. Tangannya baru saja mengambil sebotol
obat dari dalam laci di atas kulkas. Sementara tangan
lainnya memegang segelas air.
Lelaki yang lebih muda itu minum obat tidur lagi.

"Kau tak bisa tidur lagi?"

Taehyung terlonjak kaget. Kepalanya berputar dengan


cepat dan saat itu juga tatapannya berubah datar ketika
bertemu pandang dengan Jimin.

Jimin berjalan mendekat, menghampiri Taehyung dan


berdiri di sebelahnya. Ia mengambil botol obat di tangan
Taehyung dan mengeluarkan tiga pil dari dalam sana.

“Aku juga tidak bisa tidur,” ucap Jimin sambil


memasukkan pil itu ke dalam mulut. Tanganya meraih
gelas di tangan Taehyung lalu meneguk sisa air yang baru
saja diminum oleh lelaki yang lebih muda darinya
itu.menelan ketiga pl itu bersamaan dengan air dengan
susah payah.

Sementara Taehyung hanya memandang tanpa ekspresi


lelaki yang berdiri di sebelahnya.

“Kau tahu, kita berdua memiliki insomnia yang sama.”


Jimin kembali berbicara setelah menelan pilnya. Tanganya
bergerak untuk menutup botol pil dan mengebalikan ke
tempat semula.

“Obrolan malam biasa kita lakukan di dalam kamar,


sampai kita berdua sama-sama lelah berceloteh hingga
akhirnya jatuh tertidur tanpa sadar,” Jimin lalu membalik
tubuhnya, berhadapan dengan Taehyung yang masih
berdiri menyamping. “Kupikir kau sudah bisa mengatasi
insomniamu makanya kau memilih tidak lagi sekamar
denganku, karena... yah, mungkin kau takut terggangu
olehku yang selalu mengajakmu mengobrol di malam
hari.”

“Tapi ternyata,”Jimin berhenti sejenak, menoleh sekilas


pada obat-obatan yang baru saja ia kembalikan pada
tempatnya. “Kau belum berubah. Kau masih saja
mengkonsumsi obat tidur itu. Lantas, kenapa kau pindah
kamar apabila kau masih mengalami insomnia?”

Taehyung tidak menjawab.

“Kau bisa kembali ke kamarku dan Hosoek hyung. Aku


akan menemanimu sampai kau jatuh tertidur. Mengobrol
denganku akan lebih baik daripada kau mengkonsumsi
obat-obatan seperti ini. Itu membahayakan kesehatanmu.”

“Lihat dirimu sendiri, Park Jimin.”

Akhirnya Taehyungberbicara. Membuat Jimin kembali


menoleh padanya.

“Lihat dirimu sendiri. Memangnya kau tidak melakukan


hal seperti yang kulakukan? Bahkan obat yang kau minum
jauh lebih banyak dan beragam dariku. Bukankah itu lebih
membahayakan kesehatanmu? Dan bicara soal kesehatan,
siapa yang lebih sehat di sini sekarang? Kau yakin tidak
salah berbicara?”
Jimin tertegun. Ia memalingkan pandangannya sejenak.
Pandangannya mendadak mengabur setelah mendengar
Taehyung berkata demikian.

“Itu berbeda Taehyung-ah. Jangan samakan itu dengan


obat tidur. Dan jangan ungkit soal siapa yang lebih sehat di
sini.”

“Beda ataupun bukan, tetap saja itu bernama obat-obatan


Park Jimin. Dan soal kesehatan itu, kau yang mulai duluan.
Bukan aku.”
Kemudian hening diantara mereka. Merasa tak ada hal lagi
yang perlu dibicarakan, Taehyung berbalik. Hendak
melangkah meninggalkan dapur untuk kembali menuju
kamarnya.

“Kim Taehyung,” lagi-lagi suara Jimin bergetar saat


menyebut nama itu. Sukses pula menghentikan langkah
Taehyung. Kali ini, mereka saling membelakangi.

“Apakah kau akan terus seperti ini?” tanya Jimin.


“Menghindariku?”

Tak ada jawaban dari Kim Taehyung.

“Kalau aku berhenti mengatakan ‘aku baik-baik saja’,


apakah kau tidak akan menghindariku lagi?” Jimin kembali
bertanya.

“Tidak mungkin. Nyatanya, kau akan selalu berkata


demikian.”
“Karena aku memang baik-baik saja, Kim Taehyung.”

“Berhentilah mengatakan kau ‘baik-baik saja’, Park


Jimin!” bentak Taehyung akhirnya. Ia membalik tubuh,
kembali berhadapab dengan Jimin yang rupanya juga
sudah berdiri menghadap ke arahnya. Dengan mata
berkaca-kaca.

“Memangnya kenapa? Apakah aku salah berbicara seperti


itu? Apakah salah seseorang yang sudah tak memiliki
harapan untuk hidup berkata bahwa dirinya baik-baik saja?
Apakah salah aku berkata seperti itu untuk menyemangati
diriku sendiri bahwa aku pasti baik-baik saja? bahwa
takkan ada hal buruk yang terjadi padaku nanti? Apakah
itu salah?”
Napas Jimin sampai terengah-engah saat berbicara,
sementara Taehyung malah tak berniat untuk menjawab.

“Jawab aku, Kim Taehyung. Apakah itu salah, hah?!”

Taehyung masih tidak menjawab.

Jimin mnyeka air matanya yang tanpa aba-aba mnengalir


begitu saja. “Aku benar-beanr baik-baik saja. ketika aku
melihat ARMY dan kalian---BangtanBoys, aku selalu
merasa baik-baik saja, Taehyung-ah.”

“Jangan bohongi dirimu sendiri, Park Jimin.” Kali ini


Taehyung berbicara, dengan suara datar. Berbeda dengan
lawan bicaranya yang sudah terisak. “Aku tak suka itu.”
“Lalu, apa yang harus kulakukan agar kau tak
menghindariku lagi?” Jimin memilih untuk melunak
sekarang. Lagipula ia merasa pusing setelah berbicara
dengan penuh emosi seperti tadi, rasanya ia sudah tidak
sanggup apabila membentak Taehyung lagi.

“Sudah kubilang sebelumnya, Jimin, berhentilah


mengatakan kau ‘baik-baik saja’,” jawab Taehyung
kemudian. Juga memutuskan untuk melunak.

“Apa yang kalian lakukan malam-malam begini?”

Taehyung dan jimin sama-sama menoleh ke sumber suara.


Kim Namjoon sudah berdiri di bingkai pintu kamar,
memandang ke arah mereka dengan wajah setengah
ngantuk.

“Bertengkar lagi?” tanya Namjoon.

Masih tidak ada jawaban dari Taehyung maupun Jimin.


“Ya Tuhan, apakah kalian ini tidak lelah? Ini sudah larut
malam! Semua orang di sini sudah tisur dan kalian
menggangu mereka! Tak bisakah kalian ini akur sejenak?”
“Aku sudah selesai berbicara kok, Hyung. Maaf
menggangu tidurmu,” ucap Taehyung.

Taehyung lalu berbalik, kembali melangkah tungkai


kakinya menuju kamar, mendekati Namjoon sampai
akhirnya ia mendengar suara ‘gedebuk’ di belakang.

“Park Jimin!”
Namjoon mendadak berlari melewati Taehyung, mendekati
Jimin yang juga mendadak ambruk di dalam dapur.

Berbeda dengan yang dilakukan Taehyung.

Langkah Taehyung mendadak terhenti, seiring dengan


napasnya yang tercekat di tenggorokan. Kepalanya tidak
menoleh, kakinya pun tak segera beranjak untuk
kembalimelangkah ke dapur. Meskipun ia tak melihatnya,
tapi ia tahu apa yang sedang terjadi di dapur. Ia tahu apa
yang baru saja terjadi pada Park Jimin.

Dan mendadak kejadian yang sama beberapa bulan lalu


terngiang dalam ingatannya.

Membuatnya merasa de javu.

Membuat tubuhnya mati rasa.

Membuat pandangannya mendadak mengabur oleh air


mata.

“Kim Taehyung, kenapa kau diam saja di sana?!” Bahkan


bentakan Namjoon tak bisa membuat Taehyung kembali
berpijak pada kenyataan. “Park Jimin pingsan! Cepat bantu
aku,bodoh!”

Percayalah, yang saat ini ingin Tehyung lakukan adalah


membenturkan kepalanya sendiri ke tembok hingga pecah,
hingga ia tak bisa merasakan sakit dan sedih yang sebesar
ini lagi saat dihadapkan kenyataan tentang apa yang
dialami Park Jimin.
Ya, Park Jimin, sahabatnya itu, lead vocalist serta lead
dancer Bangtan Boys itu. Lelaki dengan eyesmile
diwajahnya itu.

Dia... sakit.

∆∆∆
Kau hadir dihidupku dengan senyuman yang terhias di
seluruh wajahmu. Matamu, bibirmu, bahkan wajahmu
tersenyum saat pertama kali bertem denganku.

Bagaimana aku bisa membenci sosok malaikat sepertimu?

Bertemu denganmu adalah kebahagiaanku. Melihat


senyummu adalah penyemangatku. Bersama dengamu
adalah hal yang kuinginkan dan kubutuhkan.

Tapi, bagaimna bila nanti pada akhirnya kau pergi


meninggalkanku?

Aku memang menghindarimu dan tak ingin bertatap muka


dengamu. Aku memang tak ingin terikat dengamu lagi.
Bahkan sebisa mungkin aku menghindar untuk terlibat
percakapan dengamu. Tapi, percayalah, aku begini bukan
karena aku benar-benar membencimu

Aku hanya takk ingin merasa sakit yang berlebih ketika


nantinya kau pergi meninggalkanku dengan menyisakan
sejuta kenangan yang justru akan membuatku lebih sakit
saat mengingatnya.
Aku hanya tak bisa menerima kenyataan pahit tentang apa
yang terjadi pada tubuhmu.

Yang selalu kau katakan bahwa ‘kau baik-baik saja’.

Aku benci kau berpura-pura kuat dan sehat. Aku benci saat
kau mengatakan bahwa kau baik-baik saja.

Karena nyatanya, aku tahu bahwa kau tak pernah baik-


baik saja.

Dan aku benci itu.


Aku benci dirimu yang... sakit.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~
| Nan Gwaenchana |
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Jangan Seperti Nenek
~~~~~~~~~~~~~~~~~~
| Nan Gwaenchana |
~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Jangan seperti nenek yang pergi meninggalkanku.

~ [3] ~

Sebelumnya, Jimin juga pernah pingsan.

Sekali.

Tepat ketika konser jumpa penggemar Bangtan Boys pada


bulan November tahun lalu usai digelar di Gocheok Sky
Dome.

Peristiwa itu terjadi tepat di hadapan para member Bangtan


Boys. Menghentikan kebahagiaan mereka. Menghentikan
tawa canda mereka. Tanpa pertanda. Tanpa aba-aba.

Bahwa tubuh Jimin akan ambruk secara mendadak begitu


masuk ke backstage. Dengan Kim Taehyung yang berdiri
tepat di sebelahnya.

Lelaki itu pingsan. Untuk yang pertama kalinya.

Dan pada hari itulah, penyakit yang diderita oleh Jimin


sejak sebelum debut itu akhirnya terkuak.

∆∆∆
Taehyung berdiri bersandar di tembok, persis di sebelah
pintu kamar Jimin yang setengah terbuka. Karena terbuka
itulah, Taehyung masih dapat mendengar suara isak tangis
Jungkook dan Hoseok dari dalam sana.

Taehyung menoleh pada Yoongi ketika dilihatnya lelaki itu


keluar dari ruangan dengan wajah dan mata memerah.

"Kau tak ingin melihatnya?" tanya Yoongi pada Taehyung.

Taehyung memalingkan pandangan, lalu menggeleng.

"Apakah kau benar-benar membenci Jimin? Bahkan untuk


melihat keadaan Jimin yang tak sadarkan diri saja kau tak
mau?" bentak Yoongi.

"Yoongi Hyung," Namjoon menegur dari dalam ruangan.


Tampaknya suara bentakan Yoongi terdengar sampai
dalam kamar.

Yoongi hanya melirik Namjoon sekilas sebelum kembali


memusatkan pandangannya pada Taehyung.

"Aku sudah tak peduli lagi denganmu, Kim Taehyung. Kau


menghancurkan hatiku. Kukira kau adalah sahabat Jimin,
orang yang paling bisa mengerti
Jimin untuk saat ini. Tapi ternyata--"

Yoongi tak menyelesaikan kalimatnya. Ia sudah muak


dengan lelaki di hadapannya. Lantas ia melangkah menuju
kamarnya, lalu menutup pintu dengan keras.
Taehyung memejamkan mata setelah kepergian Yoongi.
Tangannya terkepal. Rahangnya mengeras, berusaha keras
mengontrol dadanya yang sudah bergemuruh sejak Jimin
pingsan beberapa menit lalu.

Beberapa menit lalu, ia masih tak beranjak ketika Namjoon


meminta bantuannya untuk mengangkat tubuh Jimin.
Sampai akhirnya Jungkook terbangun, lalu dengan sigap ia
berlari menghampiri tubuh Jimin yang ambruk di dapur.

Taehyung tak dapat melakukan apapun. Ia hanya


memandang tubuh Jimin yang kemudian diangkat oleh
Namjoon dan Jungkook menuju kamar, lalu Seokjin dan
Yoongi juga ikut terbangun dan langsung menghampiri
kamar Jimin. Di sana, Hoseok juga baru saja terbangun.

Keadaan di dorm mendadak panik. Namjoon menghubungi


Sejin—manajer mereka--lewat telepon untuk datang ke
dorm sekarang. Yoongi mengobrak-abrik isi laci yang
berisi obat-obatan di atas kulkas, mencari obat khusus
milik Jimin. Seokjin menyiapkan air hangat untuk
mengkompres tubuh Jimin. Jungkook dan Hoseok
menemani Jimin yang masih tak sadarkan diri di dalam
kamar, mereka berdua menangis. Sementara Taehyung
masih tak beranjak dari tempatnya. Bergeming di sana.

Sampai akhirnya Seokjin yang membawa sebaskom air


hangat di tangannya tak sengaja menyenggol Taehyung
dan air hangat itu tumpah sebagian, mengenai punggung
kaki Taehyung yang telanjang. Taehyung memekik.
Terkejut. Merasakan sensasi panas pada punggung
kakinya. Dan barulah setelah itu Taehyung tersadar, bahwa
Jimin baru saja pingsan... karena penyakitnya.

Dulu, saat usianya masih belia, Taehyung ingin sekali


hidup seperti di dalam drama. Yang selalu memiliki kisah
happy ending meskipun harus melewati banyak kesedihan
dalam hidupnya. Tapi, hari ini, setelah ia merasakan
sendiri salah satu kesedihan di dalam drama itu, Taehyung
menarik kembali perkataannya. Ia tak ingin hidup di dalam
drama. Ia hanya ingin hidup normal, bersama Jimin dan
juga member lain.

Namun nyatanya, hidup ini telah menjadi drama untuknya.

Jimin sakit. Seperti di dalam drama-drama sialan itu.

Jimin menderita kanker langka bernama Aphonia. Sel


kanker tersebut muncul dari pangkal tenggorokannya, dan
jika tidak segera diobati, sel kanker tersebut akan menjalar
ke bagian otak, menuntunnya menuju kematian. Jimin
telah didiagnosa mengidap penyakit ini sejak SMA. Sejak
sebelum debut Bangtan Boys.

Jimin memiliki mimpi menjadi seorang idol, bernyanyi di


hadapan para penggemar. Tapi, ia malah mendengar kabar
diagnosa itu sehari setelah ia dikabarkan oleh Bang PD-
nim bahwa ia akan debut bersama Bangtan Boys.

Harta paling berharga bagi Jimin adalah suaranya. Tapi, ia


malah diberi dua pilihan oleh dokter. Apakah menjalani
terapi penyembuhan yang akan membuatnya menjadi bisu
atau bertahan selama beberapa tahun namun ia masih bisa
memiliki suaranya.

Beberapa tahun lalu, Jimin senang akan pilihannya.

Ia berhasil debut bersama Bangtan Boys setelah melewati


masa trainee yang hanya setahun. Ia bernyanyi di hadapan
para penggemarnya, menyapa seluruh orang di dunia lewat
suara emasnya. Katanya, ia tak pernah merasa seyakin ini
dengan pilihannya.

Ya, ia memilih pilihan yang terakhir.

Bertahan dengan penyakitnya tanpa menjalani terapi


penyembuhan.

Dan ia bertahan. Memang, ia bertahan. Bahkan, hingga


saat ini.

Tapi, sel kanker tersebut kini sudah menjalar sampai pada


bagian otaknya.

∆∆∆

Jimin tak pernah memberitahu siapapun tentang


penyakitnya. Ia menutup rapat seluruh penderitaan yang
terjadi pada tubuhnya dari para member. Ia menahan rasa
sakit yang terjadi pada tubuhnya itu sendirian. Menutupi
semuanya dengan senyuman dan eyesmile pada wajahnya.
Dia adalah seorang penipu yang hebat.
Jimin adalah member yang paling jarang sakit. Jarang
mengeluh sakit pada member lain. Namun, pada hari itu,
pada hari kedua konser jumpa penggemar di Gocheok Sky
Dome usai digelar, untuk yang pertama kalinya setelah tiga
tahun mereka debut, Jimin pingsan. Membuat tawa para
member mendadak terhenti. Dengan tubuh terpaku.
Termasuk, Taehyung. Yang tak
bisa melakukan apapun ketika melihat tubuh Jimin yang
tiba-tiba saja ambruk.

Jimin tersadar setengah jam kemudian, dan seluruh orang


di sana terkejut mendengar apa yang terjadi pada Jimin.

"Soal penyakit ini, jangan beritahu Bang PD-nim, hyung,"


ucap Jimin lirih pada Sejin setelah ia menyelesaikan
ceritanya. Ia juga menoleh pada seluruh member yang
berdiri di sekitar tubuhnya yang berbaring dan
mengucapkan kalimat yang sama pada mereka. "Cukup
para member dan manajer hyung saja yang tahu hal ini,"
tambahnya.

"Kau sakit, Jimin. Bang PD-nim harus tahu agar kau


diberikan waktu istirahat," ucap Sejin waktu itu. Ia masih
merasa syok dengan penyakit yang diderita oleh salah satu
member grup yang digawanginya itu.

Anda mungkin juga menyukai