Jeongguk bilang; dandelion itu tangguh. Mereka berguguran hanya untuk pergi jauh. Mereka
sanggup terbang sekian jauh, untuk menyemai kehidupan baru, tak jarang harus menjalani lika-liku
kehidupan yang kotor.
Jeongguk suka dandelion, entah kapan ia menyukai bunga berwarna putih yang bergerombol riuh.
Mungkin sejak kecil, atau mungkin baru saja karena Jeongguk baru suka ribut dengan Jimin
mengenai dandelion.
“Kau terlalu banyak membaca puisi,” Jimin mencibir ketika Jeongguk membahas dandelion itu lagi.
Hasil jepretannya beberapa hari lalu, ketika pulang ke kampung halaman dan menemukan rumpun
dandelion di pinggir lapangan.
“Kau terlalu banyak menonton bokep sampai tidak tahu semesta punya banyak arti,”
“Aku juga tidak mau,” Jimin mengulurkan tangan, hendak menggenggam tapi masih ada pasang
mata khalayak umum. “Nanti sering rindu, karena mungkin yang kau gauli hanya buku.”
Jeongguk suka menafsirkan; Jimin suka meledek. Entah sejak kapan perbedaan yang berujung
keributan itu menjadi suatu hal yang menarik. Hingga Jimin memutuskan untuk mengenyahkan
segala keterbatasan dan bilang cinta kepada Jeongguk.
Jeongguk suka dandelion; hampr semua yang disalurkan Jeongguk bercerita tentang dandelion. Atau
mungkin kisahnya bersama Jimin. Jeongguk anak seni, hobinya fotografi yang membuka jalan untuk
bertemu Jimin. Kala itu, Jimin hanyalah mahasiswa boardcasting. Kakak tingkat yang mengulang
kuliah, hingga dipertemukan dengan Jeongguk.
“Dandelion lagi?”
Jeongguk mengangguk. Wajahnya tampak puas dengan lukisan yang bau catnya masih menyengat.
Hanya ada mereka berdua. Dalam ruang Jeongguk, maka semua menjadi jelas. Sebagaimana
pasangan menjadi berkasih satu dengan yang lainnya. Jimin mengulurkan kecup ke pipi Jeongguk,
memperhatikan detail lukisan yang dibuat kekasihnya. Jimin tidak malu untuk sekedar bermanja,
atau menyenggol lebih jauh.
“Makanya, Gguk.” Lengan berpindah menggelung pinggang Jeongguk. “Ceritakan,”
Jeongguk tertawa kecil, netranya menyiratkan kenangan yang tengah diolah dalam memori.
Sebelum bersemu.
“Dahulu, waktu masih belum banyak mengerti. Aku diberikan bunga ini oleh Minggyu,”
menggantung. Menunggu ekspresi Jimin yang masih berubah. Minggyu teman kecil Jeongguk, yang
kadang menyulut kecemburuan.
“Bunga ini hanya ada di semak-semak dekat tanah lapang. Warnanya mirip permen kapas,
bentuknya halus. Waktu kuterima, masih lugu sekali reflek kujilat.”
Wajah Jeongguk mmerah, kelebat kisah memalukan masa kecil terucap begitu saja. Jimin tertawa,
keras hingga netranya menghilang menjadi lengkungan.
“Hush, Jimin.”
Mencoba menahan tawa, “aku tahu sekarang kau cinta mati dengan dandelion.”
Tawa Jimin pecah lagi. Membayangkan sebagaimana ekspresi kekasihnya menelan bunga dandelion
kala itu.
“Masuk akal, jadi sekarang aku punya alasan kenapa bisa cinta mati denganmu, Gguk.”
Ada boquet mawar diberikan. Ada satu kecupan untuk Jeongguk. Hari jadi dijalankan sebagaimana
mestinya, mereka sudah bersama sekian lama.
Hanya saja mereka tidak bisa merayakan seperti halnya yang lainnya, tidak mampu makan bersama
di luar tanpa harus berlagak layaknya teman. Tidak mampu memberi bunga dan kecupan yang saling
disematkan.
“Jimin,” Jeongguk merajuk lagi. Lelakinya hanya berdehem dengan pandangan tertuju pada gelas-
gelas kosong di atas meja. “Memikirkan apa?”
“Kita.”
Sunyi kemudian. “Aku ingin kita memiliki kehidupan yang lebih baik, Gguk.”
Ada nyeri di ulu hati. Ya, mereka harus bersembunyi. Menghindari segala macam makian yang
mungkin dilontarkan ketika ada yang mengetahui.
Lalu jeda kembali begitu lama. “Aku juga lelah, Jimin. Aku ingin pergi, begitu jauh di tempat mungkin
kita bisa diterima tanpa harus dihakimi.”
Pandangan Jimin penuh cinta, sama seperti pertama kali ketika Jeongguk menemukan diri berdegub
bingung di hadapan Jimin.
“Seperti dandelion.”
Jimin tidak membantah. Hatinya berdenyut sakit. Ia cinta mati, tapi bumi seolah berisi orang-orang
yang mampu menyumpahi. Begitu pula Jeongguk.
Dengan ciuman mereka menutup penatnya hari. Lalu keraguan-keraguan menghilang dan berganti
menjadi api birahi. Hari itu, sekali lagi apartemen Jeongguk menjadi saksi.
Sebagaimana Jimin menjadi anak seni yang melukis api birahi di kulit Jeongguk. Dan Jeongguk
menjadi persembahasan atas dunia yang tidak mampu menerimanya.
“Sudah?”
Jeongguk mengangguk antusias. Hari ini, Jimin mengajaknya mendaki. Mahasiswa pecinta alam,
katanya. Ada jadwal, dan Jimin tahu betul ada rumpun dandelion yang menghiasi lerengnya.
Mungkin akan menjadi kado untuk Jeongguk, hari jadinya sebulan lagi. Dan sulit menemukan
dandelion di tengah kota.
“Bawa kamera?”
Tidak. Mereka harus kembali berpura-pura layaknya kawan. Tapi Jeongguk antusias. Ingin banyak
menuliskan dandelion, ingin banyak melukiskan kisah-kisah tersembunyi di balik bunga yang ia sukai.
Perjalanan jauh, Jeongguk pernah mendaki sebelumnya. Agaknya tidak banyak yang menyadari
bahwa beberapa kali, Jimin menyelipkan genggaman dalam tangan Jeongguk. Atau sekedar
mengisyaratkan cinta dengan tatapan.
Jimin tidak bohong; ada banyak rumpun dandelion. Sebagian tertiup angin menjadi terbang. Melihat
raut wajah Jeongguk yang sumringah, menjadikan Jimin senang. Ada rasa berat hati ketika tidak
mampu melukiskan ekspresi, sedang beberapa netra teman memandangi.
Jeongguk melambai dengan bahagia. Jimin menatap rumpun dandelion, hatinya terbersit untuk
menghampiri. Menuai petik, dan meniupkan benih bersama Jeongguk yang sibuk memotret dan
kerjingat gembira.
Jimin bilang, dandelion itu rapuh, tapi Jeongguk akan bersikeras jika dandelion itu adalah tangguh.
Kali ini mungkin Jimin menerima, rasanya semua tiba-tiba terjadi dalam kejaban mata. Berputar-
putar dalam kepala, sedang Jimin mulai merasa mati rasa.
Jeongguk ada di sebelahnya, raut wajahnya sudah digantikan dengan tanngisan dan bibirnya
meracau. Jimin tidak bisa mendengar jelas, ia hanya sanggup mendengar dengung. Dan ada
dandelion yang mulai berguguran dalam genggamannya. Secepat itu semuanya berubah ketika
seekor ular dumung menggigit betisnya, ketika Jimin memetik dandelion untuk Jeongguk.
Dandelion itu dalam genggaman Jimin; luruh satu persatu bersama tangis Jeongguk yang tidak
mengenal apapun lagi.
Hati Jimin pecah, tapi bibirnya tidak kuasa berbicara apapun. Bisa menyebar dengan cepat,
sementara jarak sedang diusahakan menjadi lebih dekat.
“Jimin, jangan pergi ya.” Jeongguk tidak peduli, meraih tangan Jimin. Menangis dalam
genggamannya sementara gigitan telah menjadi biru. “Jimin janji kita pergi bersama setelah ini,”
Jeongguk hanya mengucap nama jimin berulang-ulang, menguatkan diri agar Jimin tidak pergi. Hati
Jimin pecah, hati Jeongguk porak porannya.
Sejahat itukah semesta tega memisahkan dengan jarak yang disebut mati?
Jimin tidak mampu mengucap apa-apa lagi, ada air mata luruh di sudut netranya ketika mendengar
Jeongguk menjadi tegar memeluk tubuhnya yang bereaksi. Jimin sayang Jeongguk, tapi jarak tidak
berarti apa-apa lagi ketika semuanya telah terhenti. Bahkan ucapan perpisahan yang tertahan di
netra Jimin, dan dandelion terakhir yang beterbangan ketika brankar Jimin diturunkan dari
ambulannya.
Jeongguk adalah dandelionnya, benih tegar yang berdiri ketika Jimin menghadapi mati. Dan Jimin
pun pergi, dengan dandelion dalam genggaman. Ia menjelma menjadi serpih-serpih yang terbang
jauh. Begitu jauh hingga Jeongguk tidak mampu menggapainya lagi.
.
.
Hari itu Jeongguk datang lagi, dengan bunga-bunga segar dan hati yang tidak pernah menjadi tegar.
Tidak, tidak semenjak Jimin pergi begitu mendadak. Ruang-ruang kosong yang ditinggalkan Jimin
rasanya seperti hukuman mati yang menyakitkan. Memori-memori yang terbersit menjadi hal-hal
yang membuat dada Jeongguk meraung sesak.
Yang mampu diingat adalah Jimin pernah berucap bahwa dandelion seperti berlari atas kerapuhan
dengan bertebangan sejauh mungkin. Dan Jimin sudah pergi; Jeongguk hanya ingin melarikan diri
dari kerapuhan semenjak Jimin pergi.
Jeongguk berharap begitu pula, ia hanya akan terbang sejauh dandelionnya. Ia akan menjadi benih,
sama seperti Jimin. Lalu membuka kehidupan baru dimana ia akan disemai kembali dengan bahagia.
Jeongguk menutup mata, ada sebersit samar senyum Jimin dalam ingatannya.