Budi Brahmantyo
Sebelum delapan tahun yang lalu, Gorontalo hanyalah sebuah kabupaten di Provinsi
Sulawesi Utara. Namanya mungkin hanya dikenal beberapa gelintir orang Indonesia. Namun
setelah terpisah dari Provinsi Sulawesi Utara menjadi provinsi tersendiri, nama Gorontalo
mulai banyak dikenal, khususnya ketika produksi jagung menjadi andalan komoditas utama
provinsi muda ini. Jika berkunjung ke Gorontalo, di mana-mana akan terlihat hamparan
kebun jagung yang luas.
Secara geografis, Provinsi Gorontalo berada pada bagian paling barat dari provinsi
induk kira-kira antara 0°20’ – 1°3’ LU dan 121°10’ – 123°2’ BT. Wilayah ini umumnya
merupakan pegunungan dan menyisakan hanya sedikit dataran, yaitu terutama di bagian
tengah antara Paguyaman dan sekitar Danau Limboto, dan di pesisir selatan Pohuwato.
Seperti umumnya wilayah Indonesia, iklimnya dipengaruhi iklim tropis basah. Pada musim
kemarau atau disebut sebagai musim Barat, suhu bisa mencapai 33°C, tetapi bisa turun
hingga 20°C pada musim Timur dengan curah hujan tinggi.
Secara fisiografis, yaitu pembagian zona bentang alam yang merupakan representasi
batuan dan struktur geologinya, Gorontalo dapat dibedakan ke dalam empat zona fisiografis
utama, yaitu Zona Pegunungan Utara Telongkabila-Boliohuto, Zona Dataran Interior
Paguyaman-Limboto, Zona Pegunungan Selatan Bone-Tilamuta-Modello, dan Zona Dataran
Pantai Pohuwato.
Sejak itu, proses-proses tektonik telah mengangkat laut ini menjadi lebih dangkal
yang akhirnya surut. Setelah menjadi dataran, cekungan ini menjadi danau yang luas. Tetapi
kembali terjadi proses pendangkalan hingga sekarang dan hanya menyisakan Danau Limboto
kira-kira seluas 56 km² dengan kedalaman 2,5 m yang merupakan kedalaman terdangkal dari
seluruh danau di Indonesia (Lehmusluoto dan Machbub, 1997). Proses-proses tektonik
pengangkatan daratan yang memang aktif di Indonesia Timur menyebabkan drainase
menjadi lebih baik. Air danaupun berproses menyurut dan sekarang ditambah dengan
proses sedimentasi dari perbukitan di sekilingnya yang mempercepat proses pendangkalan
Danau Limboto.
Zona terakhir adalah zona yang relatif terbatas di Dataran Pantai Pohuwato. Dataran
yang terbentang dari Marisa di timur hingga Torosiaje dan perbatasan dengan Provinsi
Sulawesi Tengah di barat, merupakan aluvial pantai yang sebagain besar tadinya merupakan
daerah rawa dan zona pasang-surut. Hingga sekarang, di bagian selatan, masih didapati
rawa-rawa bakau (mangrove) yang luas, yang sebenarnya merupakan rumah bagi burung
endemis Wallacea, burung maleo.
Dari zona fisiografis di atas, dapat dikatakan bahwa morfologi Gorontalo umumnya
merupakan daerah pegunungan yang berrelief terjal, kecuali di Dataran Interior dan Dataran
Aluvial Pantai. Batas-batas pegunungan terbentang hingga pantai. Pantai-pantai yang ada,
baik di utara ke Laut Sulawesi, maupun di selatan ke Teluk Tomini, hanyalah pantai-pantai
sempit atau berbatu-batu. Relief yang terjal memang sangat rawan terhadap longsor
ataupun jatuhan batu. Erosi pun akan menjadi sangat peka jika lingkungan hutan pada
lereng terjal berubah. Tetapi kondisi alam tersebut, dengan masih kecilnya pengaruh
kerusakan lingkungan, menciptakan pemandangan yang mempesona, seperti contohnya
sebuah teluk yang masih asri di sepanjang perjalanan dari Kwandang ke Atinggola di
Kabupaten Gorontalo Utara.
Gempa Bumi
Gempa bumi 7,7 skala Richter yang terjadi pada tanggal 17 November 2008 yang
fokus gempanya di Laut Sulawesi dengan kedalaman hanya 10 km harus menjadi perhatian.
Walaupun gempa bumi tersebut mempunyai besaran yang menurut USGS 7,3 M tetapi tidak
menimbulkan kerugian dan korban besar, namun sejarah kegempaan di Gorontalo
sebelumnya menunjukkan terjadinya gempa bumi yang berpotensi merusak. Tahun 1941
Gorontalo pernah diguncang gempa dengan skala intensitas VIII MMI (merubuhkan rumah),
diikuti pada 18 April 1990 dengan besaran 6,2 M dan 20 November 1991 dengan besaran 7,2
M.
Jika kita amati peta episenter gempa bumi yang terrekam di sekitar Gorontalo, akan
kita dapati betapa rapatnya fokus-fokus gempa bumi, baik gempa dangkal, menengah, atau
dalam. Dari peta itu, sedikitnya dapat disimpulkan bahwa gempa-gempa dangkal umumnya
terkonsentrasi di utara Gorontalo di Laut Sulawesi, gempa menengah di bagian lengan
Sulawesi di daratan Gorontalo, dan gempa dalam berada di Teluk Tomini.
Sampai sekarang para pakar belum dapat meramal dengan akurat tempat dan waktu
munculnya gempa bumi, sehingga upaya yang paling baik adalah dengan melakukan mitigasi
bencana. Mitigasi adalah usaha meningkatkan ketahanan masyarakat dalam menghadapi
bencana jika bencana yang umumnya bersifat mendadak datang secara tiba-tiba. Usaha itu
dapat berupa struktural, yaitu dengan membuat bangunan-bangunan tahan gempa atau tata
ruang yang akrab terhadap bencana, maupun non-struktural, yaitu memberi pengetahuan
dan keterampilan kepada masyarakat bagaimana mempersiapkan dan tanggap darurat
terhadap bencana sehingga resiko bencana dapat diperkecil.
Di balik itu semua, dalam kondisi tektonik aman, aktivitas proses-proses kebumian
berjalan secara menyenangkan. Melalui patahan-patahan itu pula, air panas dapat keluar
dan dimanfaatkan untuk rekreasi atau terapi air hangat, seperti terdapat di Lombongo yang
sayangnya tutup akibat banjir bandang di bulan November 2007. Di Pentadio, Limboto, yang
dikembangkan menjadi resort, taman rekreasi air panas mempunyai suhu terukur di
termometer batang saat EGI V menunjukkan kisaran 64° – 78°C. Sangat panas untuk suatu
mata air panas yang jauh dari lingkungan gunung api aktif. Bahkan menurut penjaga pos
Suaka Marga Satwa Nantu, kubangan tempat babirusa berkumpul pun merupakan rembasan
air hangat yang mengandung belerang. Para babirusa memerlukan air belerang sebagai
penawar racun bagi buah pangi yang merupakan makanan utamanya.
Begitulah sekilas kondisi geologi Gorontalo. Di satu sisi menimbulkan harapan akan
cadangan sumber daya bumi yang melimpah, di sisi lain menimbulkan ancaman. Di dalam
salah satu prinsip tentang keselamatan kerja disebutkan bahwa kita harus bertindak
berdasarkan batasan-batasan disain dan lingkungan, termasuk disain dan lingkungan alam.
Menghadapi kondisi alam memang diperlukan kearifan. Dulo ito momongu lipu – mari kita
membangun daerah – dengan arif dan bijaksana.