Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fraktur merupakan istilah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik
yang bersifat total maupun sebagian (Helmi, 2012). Fraktur didefinisikan sebagai
patahan yang terjadi pada kontinuitas tulang (Apley & Solomon, 1995). Penyebab
terbanyak fraktur adalah kecelakaan, baik itu kecelakaan kerja, kecelakaan lalu
lintas dan sebagainya. Tetapi fraktur juga bisa terjadi akibat faktor lain seperti
proses degeneratif dan patologi (Depkes RI, 2005). Menurut Depkes RI 2011, dari
sekian banyak kasus fraktur di Indonesia, fraktur pada ekstremitas bawah akibat
kecelakaan memiliki prevalensi yang paling tinggi diantara fraktur lainnya yaitu
sekitar 46,2%. Dari 45.987 orang dengan kasus fraktur ekstremitas bawah akibat
kecelakaan, 19.629 orang mengalami fraktur pada tulang femur, 14.027 orang
mengalami fraktur cruris, 3.775 orang mengalami fraktur tibia, 970 orang
mengalami fraktur pada tulang-tulang kecil di kaki dan 336 orang mengalami
fraktur fibula. Penanganan terhadap fraktur dapat dengan pembedahan atau tanpa
pembedahan, meliputi imobilisasi, reduksi dan rehabilitasi. Seseorang yang
mengalami fraktur pasti merasanyakan nyeri yang hebat.
Nyeri merupakan pengalaman sensori emosional yang tidak
menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan aktual atau potensial (Tamsuri,
2006). Nyeri dapat diatasi dengan penatalaksanaan nyeri farmakologis dan non
farmakologis. Secara farmakologis dapat diatasi dengan menggunakan obat-
obatan analgetik misalnya, morphine sublimaze, stadol, demerol dan lain-lain.
Ada beberapa teknik non farmakologis yang dapat diterapkan dalam mengatasi
nyeri yaitu terapi musik, teknik pernafasan, aromaterapi, terapi musik audiovisual,
audionalgesia, akupuntur, transcutaneus electric nerve stimulations (TENS),
kompres dengan suhu dingin panas, sentuhan pijatan, murrotal dan hipnotis
(Tamsuri, 2012). Salah satu teknik non farmakologi untuk mengurangi nyeri
adalah dengan teknik distraksi. Teknik distraksi salah satunya teknik distraksi
terapi musik audiovisual yang merupakan salah satu teknik untuk mengurangi rasa

1
nyeri dengan cara memberikan atau mendengarkan musik bergambar. Musik
adalah seni yang mempengaruhi pusat fisik dan jaringan saraf. Musik juga
mempengaruhi sistem saraf simpatis atau sistem saraf automatis, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Beberapa jenis musik yang digunakan adalah
jazz, rock, klasik dan murottal Al-Qur’an (Potter & Perry, 2012).
Ketika fraktur terjadi pada anak, maka melihat karakteristik anak usia
sekolah (5-13 tahun) yang mulai mampu berfikir rasional tentang apa yang terjadi
pada dirinya dan sudah mulai mengungkapkan nyeri yang dirasakan secara verbal,
respon nyeri terhadap anak biasanya akan menangis keras atau bisa juga sampai
mengamuk karena kesakitan. Oleh karena belum diterapkannya terapi music
audiovisual dalam perawatan anak, maka dari itu penulis tertarik untuk
mengangkat makalah mengenai pengaruh terapi music audiovisual terhadap nyeri
pada anak dengan fraktur.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dasar teori fraktur ?
2. Bagaimana konsep dasar teori nyeri ?
3. Bagaimana konsep dasar teori terapi music audiovisual ?
4. Bagaimana pengaruh terapi musik audiovisual dalam menurunkan nyeri
pada pasien fraktur ?
5. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien anak dalam penerapan terapi
music audiovisual dalam menurunkan nyeri pasien anak dengan fraktur ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep dasar teori fraktur.
2. Untuk mengetahui konsep dasar teori nyeri.
3. Untuk mengetahui konsep dasar teori terapi music audiovisual.
4. Untuk mengetahui pengaruh terapi musik audiovisual dalam menurunkan
nyeri pada pasien fraktur .
5. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien anak dalam penerapan
terapi music audiovisual dalam menurunkan nyeri pasien anak dengan
fraktur.
BAB II TINJAUAN TEORI
TINJAUAN TEORI

A. FRAKTUR
1. Pengertian Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenal stress yang lebih
besar dari yang dapat diabsorsinya(Brunner & Suddarth. 2000).
Fraktur adalah terputusnya kontuinitas jaringan tulang yang dapat
disebabkan oleh dorongan langsung pada tulang, kondisi patologik,
kontraksi otot yang sangat kuat dan secara tiba-tiba atau dorongan secara
tidak langsung (Pengantar Ilmu Keperawatan anak, A.Azis Alimul
Hidayat. 2005. Hal 141).
2. Klasifikasi Tulang
a. Tulang panjang (Femur, Humerus, Tibia, dan Fibula )
Terdiri dari dua bagian batang dan bagian ujung tulang pipa ini bekerja
sebagai alat ungkit dari tubuh dan kemungkinan bergerak.
b. Tulang pendek (Carplas)
Bentuk tidak teratur, sebagian besar terbuat dari jaringan tulang jarang
karena diperkuat sifat yang ringan padat dan tipis.
c. Tulang ceper(Tulang Tengkorak)
Terdiri dari tulang padat dengan lapisan luar adalah tulang cacellous.
d. Tulang tidak beraturan vertebratae (sama dengan tulang pendek)
e. Tulang sesamoid
Tulang terkecil, terpendek sekitar tulang persendiaan dan didukung oleh
tendon dan jaringan faksial misalnya patella (cap lutut).
(Perawatan Medical Bedah Barbara C. Long 36)
3. Etiologi
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti
kecelakaan mobil, olahraga atau terjatuh. Secara garis besarnya, penyebab
fraktur dibagi tiga, yaitu :
a. Kekerasan atau trauma langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan, fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintas atau miring.
b. Kekerasan atau trauma tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang di tempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. Trauma ringan
Trauma karena tulang itu sendiri sudah rapuh (fraktur patologik).
4. Klasifikasi Fraktur
a) komplit atau tidak komplit
1) Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang .
2) Fraktur tidak komplit bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti:
a. Hairline fraktur (patah retak rambut).
b. Buckle fraktur atau Torus fraktur, bila terjadi lipatan dari
sesuatu korteks dari kompresi tulang spongiosa di bawahnya,
biasanya pada distal radius anak-anak.
c. Greenstick fraktur, mengenai satu korteks dengan anulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang anak.
b) Berdasarkan garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
1) Garis Patah Melintang : trauma angulasi atau langsung
2) Garis Patah Olik : trauma angulasi
3) Garis Patah Spiral : trauma rotasi
4) Fraktur Kompresi : trauma aksilla-fleksi pada tulang spongiosa
5) Fraktur Avulsi : trauma tarikan/traksi otot pada insersinya ditulang
misalnya fraktur patella.
c) Berdasarkan Jumlah Garis Patah
1) Fraktur Kominutif :Garis patah lebih dari satu dan saling
disebutdisebut pula fraktur bifokal
2) Fraktur Segmental : Garis patah lebih dari satu tetapi tidak
berhubungan
3) Fraktur Multiple : Garis patah lebih dari dari satu tetapi pada
tulang yang berlainan tempatnya fraktur femur, fraktur krusis, dan
fraktur tulang belakang.
d) Berdasarkan pergeseran anatomis fragmen tulang
1) Fraktur Undisplaced, garis patah komplit tetapi kedua fragmen
tidak bergeser , periosteumnya masih utuh
2) Fraktur Displaced, terjadi pergeseran fragmen–fragmen fraktur
a. Pergeseran searah dengan sumbu dan overlapping
b. Pergeseran yang membentuk sudut.
c. Pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauhi.
e) Berdasarkan jenisnya
1. Fraktur tertutup, bila tidak terdapat hubungan dengan antara
fragmen tulang dengan dunia luar.
2. Fraktur terbuka, bila terdapat hubungan antara fragmen tulang
dengan dunia luar akibat adanya perlukaan di kulit di bagi atas tiga
derajat yaitu:
a. Derajat 1
1. Luka < 1 cm
2. Kerusakan jaringan lunak sedikit , tak ada tanda luka remuk
3. Fraktur sederhana,transfersal, oblik, atau kominutif ringan
4. Kontaminasi minimal
b. Derajat II
1. Laserasi > 1 cm
2. Kerusakan jaringan lunak , tidak luas
3. Fraktur kominutif sedang
4. Kontaminasi sedang
c. Derajat 111
1. Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi
struktur kulit, otot, dan neurovaskuler serta kontaminasi
derajat tinggi.derajat terbagi atas :
2. Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat,
meskipun terdapat laserasi luas atau fraktur segmental
sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi
tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
3. Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang
terpapar atau kontaminasi pasif .
4. Luka pada pembuluh arteri / saraf yang harus diperbaiki
tanpa melihat kerusakan jaringan lunak.
5. (Arif Manjoer, dkk. 2000. Halaman 346-347)
5. Patofisiologis
Tulang bersifat rapuh , namun memiliki kekuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan, tetapi jika tulag terkena tekanan yang lebih besar
dari yang dapat diabsorbsinya maka akan terjadi fraktur. Meskipun tulang
yang patah tapi jaringan disekitarnya juga akan
terpengaruh,mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan
sendi, dislokasi sendi, rupture tendo, kerusakan saraf, dan kerusakan
pembuluh darah. Pada mulanya akan terjadi perdarahan disekitaran
patahan tulang yang disebabkan oleh terputusnya pembuluh darah. Reaksi
peradangan hebat timbul setelah fraktur.sel-sel darah putih dan sel mast
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut
fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Ditempat patah
terbentuk bekuan fibrin (hematoma fraktur). Osteoblast segera terangsang
dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut kalus. Bekuan fibrin secara
perlahan mengalami remondelling untuk membentuk tulang sejati. Tulang
sejati menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi.
Penyembuhan memerlukan waktu beberapa minggu hingga beberapa
bulan. (Corwin, j.E, 2000, dan Prince, A, S, dan Wilson M, L, I995)
6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik dari fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ekstremitas,krepitasi, pembengkakan local, dan
perubahan warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar
biasa).Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai
menyebabkan deformitas ekstremitas yang diketahui dengan
membandingkan dengan ekstremitas yang normal. Ekstremitas tak
dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya lah
ciderkarena kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat
fraktur.Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5
sampai 5 cm .
d. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.Tanda ini bisa
baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.
f. Krepitus dapat terdengar sewaktu tulang digerakkan akibat pergeseran
ujung-ujung patahan tulang satu sama lain .( Corwin J. E, 2000,Brunner
& suddarth, 2000.)
B. NYERI
1. Pengertian Nyeri
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik
ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang
mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang
pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association
for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional
yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Nyeri
adalah apa yang dikatakan oleh orang yang mengalami nyeri dan bila yang
mengalaminya mengatakan bahwa rasa itu ada. Definisi ini tidak berarti
bahwa anak harus mengatakan bila sakit. Nyeri dapat diekspresikan
melalui menangis, pengutaraan, atau isyarat perilaku (Mc Caffrey &
Beebe, 1989 dikutip dari Betz & Sowden, 2002).
2. Nyeri Pada Anak
Bayi tidak dapat berkomunikasi melalui verbal secara menyeluruh,
walaupun tingkah laku mereka menampilkan ekspresi wajah nyeri seperti:
menangis, wajah meringis, mata menyipit, dagu bergetar. Bayi secara
sempurna bergantung kepada tenaga medis untuk mengkaji nyeri dan
menginterpretasikan nyeri mereka (Marie, 2002).
Todler dan pra sekolah kurang dalam kemampuan kognitif untuk
menggunakan alat skore nyeri standard orang dewasa. Anak todler
biasanya dapat mengatakan hanya pada adanya nyeri atau tidak walaupun
beberapa diantaranya mampu melokalisasikan nyeri tersebut (Marie,
2002). Anak usia sekolah mampu mendeskripsikan nyeri mereka (Marie,
2002). Metode pelaporan sendiri dengan menggunakan skala tingkatan
intensitas nyeri secara numerik telah terbukti bermanfaat untuk anak usia
sekolah (Nelson, 1999).
3. Pengkajian Nyeri Pada Anak
Menurut potter & Perry (1993) nyeri tidak dapat diukur secara objektif
misalnya dengan X-Ray atau tes darah. Namun tipe nyeri yang muncul
dapat diramalkan berdasarkan tanda dan gejalanya. Kadang-kadang
perawat hanya bisa mengkaji nyeri dengan bertumpu pada ucapan dan
perilaku klien karena hanya klien yang mengetahui nyeri yang dialaminya.
Oleh sebab itu perawat harus mempercayai bahwa nyeri tersebut memang
ada.
Gambaran skala dari berat nyeri merupakan makna yang lebih objektif
yang dapat diukur. Gambaran skala nyeri tidak hanya berguna dalam
mengkaji beratnya nyeri, tetapi juga dalam mengevaluasi perubahan
kondisi klien (Potter & Perry, 1993).
Intensitas nyeri (skala nyeri) adalah gambaran tentang seberapa parah
nyeri dirasakan individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan
individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan
sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda (Tamsuri, 2007).
a) Face Pain Rating Scale
Menurut Wong dan Baker (1998) pengukuran skala nyeri untuk anak
usia pra sekolah dan sekolah, pengukuran skala nyeri menggunakan Face
Pain Rating Scale yaitu terdiri dari 6 wajah kartun mulai dari wajah yang
tersenyum untuk “tidak ada nyeri” hingga wajah yang menangis untuk
“nyeri berat”.

b) Word Grapic Rating Scale


Menggunakan deskripsi kata untuk menggambarkan intensitas
nyeri, biasanya dipakai untuk anak 4-17 tahun (Testler & Other, 1993;
Van Cleve & Savendra, 1993 dikutip dari Wong & Whaleys, 1996).
Dengan ketetuan skor sebagai berikut :
0 : tidak ada nyeri
1 : nyeri ringan
2 : nyeri sedang
3: cukup nyeri
4: nyeri hebat
5 : nyeri tak tertahankan
c) Skala intensitas nyeri numerik

C. AUDIO VISUAL
1. Pengertian Media Audio Visual
Media audio visual adalah merupakan media perantara atau
penggunaan materi dan penyerapan melalui pandangan dan pendengaran
sehingga membangun kondisi yang dapat memeproleh keterampilan,
pengetahuan, dan sikap. Audiovisual yang digemari oleh anak-anak adalah
kartun atau gambar bergerak, merupakan media yang sangat menarik bagi
anak-anak yang memiliki daya imajinasi tinggi. Audio visual dapat
memudahkan anak untuk medapatkan pembelajaran dengan basis
menyenangkan. Anak juga dapat mengeksplorasi perasaan, emosi, dan
daya ingat melalui audio visual, audio visual juga dapat membantu
perawat dalam melaksanakan prosedur infus dan injeksi, memudahkan
perawat dalam mendistraksi agar anak kooperatif dalam pelaksanaan
prosedur terapi (Taufik, 2007).
2. Manfaat Audio Visual
a. Mempermudah dalam penyampaian informasi
b. Menarik minat anak untuk menonton video
c. Sebagai media untuk distraksi anak sehingga membantu dalam
mengurangi nyeri
3. Langkah-Langkah Pemberian Terapi Audio Visual
a. Pertama dilakukan pengkajian nyeri dan anak diminta untuk
menyebutkan video atau katun kesukaan untuk di tonton
b. Kemudian sebelum dilakukan penerapan terapi dengan media audio
visual terhadap anak, terlebih dahulu dilakukan pengkajian nyeri untuk
mengetahui skala nyeri yang dirasakan pasien.
c. Dilakukan penerapan pemberian terapi audio visual selama 20 menit.
d. Setelah itu dilakukan pengkajian nyeri kembali untuk mengetahui
skala nyeri setelah pemberian terapi audio visual

4. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memberikan Terapi Audio


Visual Terhadap Anak
a. Pilih media audio visual sesuai dengan yang disukai anak
b. Libatkan orangtua dalam mengawasi dalam pemberian terapi audio
visual
c. Beri posisi nyaman terhadap anak untuk mendukung pemberian terapi
audio visual

D. PENGARUH TERAPI AUDIO VISUAL UNTUK MENURUNKAN


NYERI PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR
Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenal stress yang lebih besar
dari yang dapat diabsorsinya (Brunner & Suddarth. 2000). Sehingga hal
tersebut dapat menyebabkan timbulnya nyeri, nyeri merupakan pengalaman
perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan
aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.
Nyeri adalah apa yang dikatakan oleh orang yang mengalami nyeri dan bila
yang mengalaminya mengatakan bahwa rasa itu ada. Definisi ini tidak berarti
bahwa anak harus mengatakan bila sakit. Nyeri dapat diekspresikan melalui
menangis, pengutaraan, atau isyarat perilaku (Mc Caffrey & Beebe, 1989
dikutip dari Betz & Sowden, 2002).
Pada usia anak sekolah yang sudah bisa menyebutkan rentang nyeri
yang dirasakan, maka dapat dikaji nyeri dengan menggunakan skala tingkatan
nyeri. Sehingga perawat dapat mengetahui seberapa berat nyeri yang
dirasakan pasien. Dan dapat membantu dalam memberikan terapi non-
farmakologis yang dapat diperoleh pasien. Terapi non-farmakologis yang
dapat diberikan untuk mengurangi nyeri salah satunya dengan menggunakan
media audio visual.
Media audio visual adalah merupakan media perantara atau
penggunaan materi dan penyerapan melalui pandangan dan pendengaran
sehingga membangun kondisi yang dapat memeproleh keterampilan,
pengetahuan, dan sikap. Audiovisual yang digemari oleh anak-anak adalah
kartun atau gambar bergerak, merupakan media yang sangat menarik bagi
anak-anak yang memiliki daya imajinasi tinggi. Audio visual dapat
memudahkan anak untuk medapatkan pembelajaran dengan basis
menyenangkan. Anak juga dapat mengeksplorasi perasaan, emosi, dan daya
ingat melalui audio visual, audio visual juga dapat membantu perawat dalam
melaksanakan prosedur infus dan injeksi, memudahkan perawat dalam
mendistraksi agar anak kooperatif dalam pelaksanaan prosedur terapi (Taufik,
2007). Teknik distraksi merupakan salah satu usaha untuk melepaskon
hormon endorfin. Endorfin merupakan opiate endogen yang dapat
menyebabkan transmisi nyeri tidak sampai ke otak sehingga persepsi nyeri
tidak dirasakan (Potter and perry, 2006). Dengan demikian diharapkan nyeri
pada anak dengan fraktur dapat berkurang setelah melihat video yang
ditayangkan.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kustiningsih
pada tahun 2014 yang menyebutkan hasil penelitian didapatkan rata-rata nyeri
responden sebelum intervensi musik audio visual adalah 7,29 sedangkan rata-
rata nyeri setelah intervensi musik 2,74. Uji statistik menunjukkan ada
perbedaan signifikan nyeri sebelum intervensi dan setelah intervensi terapi
musik audio visual (p value= 0,000) >0,05, artinya terapi musik audio visual
berpengaruh signifikan dalam menurunkan nyeri anak usia sekolah pasca
bedah. Fakta ini menunjukkan bahwa terapi musik audio visual efektif dalam
menurunkan nyeri anak pasca bedah. Nyeri pasca bedah merupakan reaksi
kompleks pada jaringan yang terbuka, dimana proses insisi kulit dapat
menstimulasi hipersensitivitas sistem syaraf pusat, sehingga nyeri dapat
dirasakan setelah prosedur bedah selesai (Tanra, 2004; Syamsuhidajat & Jong,
2010). Pembedahan merupakan kejadian yang berimplikasi pada pengelolaan
nyeri. Selama dan setelah operasi mengakibatkan sensitivitas susunan syaraf
sensorik menjadi meningkat,sehingga stimulus noksius yang normal bisa
berakibat sangat nyeri (Tanra,2004).
Sehingga dalam penelitian ini diharapkan dengan diberikan terapi
dengan media audio visual serial kartun “Tayo” dapat menurunkan tingkat
nyeri yang dirasakan oleh anak dengan fraktur 1/3 distal tibia fibula di Ruang
anggrek RSUD Ambarawa.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN. A
DENGAN CLOSED FRAKTUR 1/3 DISTAL TIBIA FIBULA DEKSTRA
DI RUANG ANGGREK RSUD AMBARAWA KABUPATEN SEMARANG

I. PENGKAJIAN
A. DATA DEMOGRAFI
1. Klien / Pasien
Tanggal Pengkajian : Sabtu, 29 September 2018 (15.00)
Tanggal Masuk : Sabtu, 29 September 2018
Ruangan : Anggrek
Identitas
 Nama : An. A
 Tanggal Lahir / Umur : 27 Januari 2008/ 10 tahun
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Agama : Islam
 Suku : Sunda
 Diagnosa Medis : Fraktur 1/3 distal tibia fibula
 Penanggung Jawab : Tn. R
2. Orang Tua / Penanggungjawab
a. Ibu
Nama : Ny. R
Umur : 29 tahun
Hubungan dengan Klien : Ibu kandung
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pegawai swasta
Suku : Sunda
Agama : Islam
Alamat : Asinan 1/1 Bawen
No Telpon :-
b. Ayah
Nama : Tn. R
Umur : 31 tahun
Hubungan dengan Klien : Ayah kandung
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Pegawai swasta
Suku : Sunda
Agama : Islam
Alamat : Asinan 1/1 Bawen
No Telepon :-

B. RIWAYAT KLIEN
1. Keluhan Utama : Nyeri kaki kanan
P : Saat digerakkan
Q : Seperti di tusuk benda tajam
R : Kaki kanan bawah
S : Skala 7
T : Menetap
2. Riwayat Penyakit Klien Sekarang :
Klien datang ke IGD RSUD Ambarawa Kabupaten
Semarang pada tanggal 29 September 2018 karena mengalami
kecelakaan lalu lintas terserempet sepeda motor saat berjalan
pulang dari sekolah, kemudian klien langsung dibawa ke IGD
RSUD Ambarawa. Klien mengeluh nyeri kaki kanan, pusing,
dan muntah satu kali, klien mengalami Close fraktur 1/3 distal
tibia fibula dextra dan CKS. KU: Cukup dengan TTV : TD
110/70 mmHg, nadi 96x/menit, RR 20x/menit dan suhu 37ºC.
Kemudian klien dipindahkan ke ruang Anggrek pada pukul
11.30.
3. Riwayat Penyakit Klien Sebelumnya :
Ibu pasien mengatakan sebelumnya pasien pernah dirawat
di rumah sakit karena diare saat umur 5 tahun.
4. Riwayat Kehamilan (ANC, Masalah kesehatan selama
kehamilan, dll)
Prenatal
a. Prenatal
Ibu pasien mengandung anaknya selama 9 bulan dan rutin
memeriksakan ANC ke bidan, dengan ketentuan :
Trimester I : memeriksakan kandungan setiap 1 bulan
sekali.
Trimester II : memeriksakan kandungan setiap 1 bulan
sekali.
Trimester III : memeriksakan kandungan setiap 2 minggu
sekali.
Ibu pasien selama kehamilan mendapat imunisasi TT 2x.
Keluhan waktu hamil :
Trimester I : Lemes, mual, muntah
Trimester II : Tidak ada keluhan
Trimester III : Tidak ada keluhan
b. Natal
Ibu pasien mengatakan melahirkan An. A pada usia cukup
bulan dan melahirkan secara spontan pervagina.
c. Post Natal
Ibu pasien mengatakan pada saat melahirkan tidak
mengalami perdarahan dan An. A tidak mengalami asfiksia.
An. A lahir dengan berat badan 4200 gram dan panjang
badan 50 cm. An. A merupakan anak kedua.
d. Imunisasi
Ibu pasien mengatakan bahwa An. A sudah mendapatkan
imunisasi lengkap sesuai umur yaitu HB0 pada umur 1 hari,
BCG dan Polio I pada umur 1 bulan, DPT 1 dan Polio II
pada umur 2 bulan, DPT II dan Polio III pada umur 3 bulan,
DPT III dan Polio IV pada umur 4 bulan, campak pada umur
9 bulan.
5. Riwayat Pemakaian Obat – Obatan :
Ibu klien mengatakan bila An. A sakit langsung dibawa ke
dokter dan mengkonsumsi obat dari dokter.
6. Riwayat Alergi :
Ibu klien mengatakan bahwa An.A tidak mempunyai
riwayat alergi terhadap obat maupun makanan.

C. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA


1. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga :
Ibu klien mengatakan tidak ada keluarga yang mengalami sakit seperti
yang diderita An.A sekarang.
Genogram :

Keterangan
: Perempuan
: Laki-laki
: Pasien
: Menikah
: Garis Keturunan
-------- : Tinggal satu rumah

D. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG


1. Penampilan Umum
a. Keadaan Umum : sadar, compos mentis
b. Pemeriksaan Tanda – Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/70 mmhg
Pernafasan : 22 x / menit
Suhu : 37 oC
Nadi : 96 x / menit
2. Nutrisi dan Cairan
Sebelum sakit : Ibu klien mengatakan An. A sebelum sakit makan
baik 3-4 kali sehari, minum 6-7 kali/hari
Saat sakit : Ibu klien mengatakan An.A saat ini nafsu makan menurun
karena kondisinya yang sekarang, makanan porsi dari RS tidak habis
BB : 35 kg, TB : 135 cm
3. Istirahat Tidur
a. Lama waktu tidur (24 jam) : 6 - 8 jam
b. Kualitas Tidur : kurang baik, klien mudah terbangun
saat tidur dan sulit memulai tidur
c. Tidur siang : Ya
d. Kebiasaan sebelum tidur : berdampingan dengan ibu
4. Pengkajian Nyeri : klien mengatakan nyeri pada kaki kanan klien
P : Saat digerakkan
Q : Seperti di tusuk benda tajam
R : Kaki kanan bawah
S : Skala 7
T : Menetap
5. Pemeriksaan Fisik (Head to toe) :
a. Keadaan umum : baik
b. Kesadaran : composmentis.
c. GCS : 15 (E4 M6 V5).
d. TTV, S : 37ºC. (normal 36,5 ºC – 37,5 ºC).
N : 96 x/menit (normal 60 - 100x/menit).
RR : 22 x/menit (normal 16 - 24 x/menit).
e. Tinggi Badan : 135 cm.
Berat badan sebelum sakit : 35 kg.
Lingkar lengan atas : 25 cm
Lingkar kepala : 45 cm
f. Kepala : mesochepal, rambut hitam, bersih,
terdapat luka dikepala.
g. Mata : konjungtiva tiidak anemis, sklera
tidak ikterik, fungsi penglihatan baik.
h. Hidung : Bersih, tidak ada massa
i. Gigi dan Mulut :Bentuk bibir
simetris,bibir tampak lembab dan gigi sudah
tumbuh lengkap tidak ada carries.
j. Telinga : simetris, tidak ada serumen, fungsi
pendengaran baik.
k. Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tyroid.
l. Dada, Jantung : Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Perkusi : pekak.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan.
Auskultasi : reguler S1 > S2.
Paru-paru : Inspeksi : simetris, tidak ada retraksi
dinding dada.
Perkusi : sonor
Palpasi : dada kanan-kiri teraba sama
Auskultasi : Tidak ada suara tambahan
m. Abdomen, Inspeksi : supel (kesimetrisan)
Auskultasi : Bising usus 12x/menit
Perkusi : timpani
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
n. Genetalia : Jenis kelamin laki-laki,
Bersih dan tidak ada kelainan pada alat
reproduksi.
o. Ekstremitas :
Atas : tidak ada edema, pada tangan kiri terpasang
infus RL 16 tpm (makro).
Bawah :Terpasang bidai pada kaki kanan akibat
fraktur.
p. Kulit : akral hangat

6. Psikososial Anak dan Keluarga :


a. Respon Hospitalisasi (rewel, tenang) :
An.A tampak rewel karena kesakitan dengan sakitnya yang
sekarang.
b. Kecemasan (anak dan orangtua) :
Orang tua merasa cemas dan sering bertanya tentang penyakit
anaknya.
c. Koping Klien / Keluarga dalam menghadapi masalah :
An. A kooperatif, orang tua senantiasa mendukung dan
merawat An.A, menuruti kemauan An.A dan membantu An.A
dalam melakukan aktifitas saat di rawat di RS
d. Pengetahuan orangtua tentang penyakit anak :
Orang tua tidak paham sakit yang diderita An. A, orang tua
tampak sering cemas dan sering mananyakan sakit yang di alami
An.A dan tindakan medis yang dilakukan pada An.A.
e. Keterlibatan orangtua dalam perawatan anak :
Setiap hari, ibu pasien mendampingi An.A ditempat tidur,
begitupun dengan neneknya, keluarga tampak menyayangi An.A
dan mendukung tindakan perawatan demi kesembuhan An.A.
f. Konsep diri :
An. A terlihat senang saat bermain dan melihat video/film
kartun di Hp, An.A, klien mengatakan suka menonton film kartun.
g. Spiritual (kebiasaan ibadah, keyakinan, nilai, budaya) :
Keluarga An.A selalu berdoa untuk kesembuhan pasien,
dengan menjalankan sholat 5 waktu dan membaca do’a saat pasien
tertidur. An.A saat dirumah diajari sholat dan mengaji.
h. Adakah terapi lain selain medis yang dilakukan : Tidak ada
1. Pemeriksaan penunjang (laboratorium):
a. Hasil Laboratorium pada tanggal 29 September 2018
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal

Darah lengkap

Hemoglobin 12,5 g/dL 10,7 - 13,1

Leukosit 13,5 u/L 6-17

Hematokrit L 34,9 % 40-52

Eritrosit 4,1 10^6/uL 3,6 - 5,2

Trombosit 390 /uL 150-400

MCV L 70,8 fL 82 - 08

MCH L 25,4 pg/cell 27 - 32

MCHC 31,9 % 32 - 37

RDW 12,3 % 10-16


MPV 7,30 fL 7-11

Limfosit 0,582 1.5-6.5 10^3/m

Monosit 0,245 0-0.8 10^3/m

Eosinofil 0,008 0-0.6 10^3/m

Basofil 0.009 0-0.2 10^3/m

Neutrofil H 12.7 1.8-8.0 10^3/m

Limfosit % L4 25-40 %

Monosit % L 1.01 2-6 %

Eosinofil % H 93,7 50-70 %

Basofil % 0.070 0-1 %

Neutrofil % H 93.7 50-70 %

PCT 0.162 0.2-0.5 %

PDW H 19,4 10-18 %

PTT 11.0 9.3-11.4 Detik

INR 1.06

APPT 31.6 24.5-32.8 detik

KIMIA KLINIK
GDS H 109 74-106 Mg/dl

HBsAg Non Reaktif Non Reaktif

b. Hasil X-Rontgen : Fraktur 1/3 distal tibia fibula dekstra


7. Terapi :
a. Obat injeksi :
- Ketorolac 10 mg/ 8 jam
- Ranitidin 25 mg/ 2 jam
- Lameson 62,5 mg/ 6 jam
- Citikolin 2 x 250 mg
- Kalnex 3 x 250 mg
b. Cairan Infus
- RL 16 tpm (makro)

II. ANALISA DATA


NO DATA FOKUS ETIOLOGI PROBLEM
1. Ds : Klien mengeluh pusing, nyeri Agen Injury Nyeri Akut
pada kaki sebelah kanan Fisik
P : Saat digerakan
Q : Seperti di tusuk benda tajam
R : kaki kanan bawah (1/3 distal tibia
fibula dekstra)
S : Skala 7
T : menetap
Do :
Pasien terlihat sering merintih nyeri ke
ibunya
Ekspresi wajah terlihat tegang
menahan nyeri
Kaki kanan klien terpasang bidai
Terdapat luka dikepala
Hasil X-Rontgen : Fraktur 1/3 distal
tibia fibula dekstra

2. Ds : Klien mengatakan tidak bisa Gangguan Hambatan


berjalan, nyeri bila berpindah muskuloskel mobilitas
posisi dan aktifitas dibantu oleh etal fisik
keluarga
Do:
Klien terlihat mempertahankan posisi
kakinya
Klien hanya berbaring ditempat tidur
Klien post KLL patah tulang tibia
fibula dekstra
Kaki kanan terpasang bidai

3. DS : Ibu klien mengatakan cemas Kebutuhan Ansietas


akan tindakan medis yang yang tidak
diberikan pada anaknya, biaya terpenuhi
untuk operasi dan solusi yang
tepat untuk kesehatan anak saya
supaya bisa sembuh dan tidak
cacat
DO :
Keluarga tampak khawatir
Ibu klien tampak cemas
Ibu klien sering menanyakan tindakan
yang baik dan tepat untuk anaknya

III. PROBLEM LIST


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
musculoskeletal
3. Ansietas berhubungan dengan kebutuhan yang tidak terpenuhi
IV. RENCANA KEPERAWATAN
NO DX TUJUAN INTERVENSI
1. I Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 NIC : Pain Managemen
jam, diharapkan nyeri akut dapat teratasi.
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
NOC : Pain Control, dengan kriteria hasil : 2. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
3. Kurangi faktor presipitasi nyeri
NOC : 4. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
1. Nyeri pasien dapat berkurang. 5. Ajarkan tentang teknik non farmakologi : Relakasi terapi
2. kala intensitas nyeri berkurang (0-3) music audio visual
3. Pasien tampak tenang 6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik
untuk mengurangi nyeri
7. Tingkatkan istirahat

2. II Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 NIC : Terapi Latihan: Mobilitas Sendi
jam di harapkan hambatan mobilitas fisik pasien
teratasi. 1. Tentukan level motivasi pasien untuk meningkatkan atau
memelihara pergerakan sendi
NOC : Pengetahuan : Aktivitas yang disarankkan 2. Monitor lokasi dan kecenderungan adanya nyeri dan
ketidaknyamnan selama pergerakan
Kriteria hasil : 3. Bantu pasien mendapatkan posisi tubuh yang optimal
1. Pembatasan aktivitas yang disarankan untuk pergerakan sendi pasif maupun aktif
2. Strategi untuk ambulasi yang aman 4. Dukung pasien untuk duduk di tempat tidur, disamping
3. Strategi untuk mencegah cidera tempat tidur (menjuntai) atau di kursi, sesuai toleransi
4. Strategi untuk meningkatkan aktivitas secara 5. Dukung ambulasi jika memungkinkan tanpa memberi
bertahap beban pada kaki yang dilakukan operasi dengan
menggunakan bantuan kruk dan tidak menapakkan kaki
5. Strategi untuk memantau kemajuan dalam yang dioperasi.
aktivitas yang disrankan 6. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam
mengembangkan dan menerapkan sebuah program latihan

3. III Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 NIC


jam di harapkan kecemasan pasien teratasi.
Anxiety Reduction (penurunan kecemasan)

1. Gunakan pendekatan yang menenangkan


NOC 2. Nyatakan dengan jelas harapan terhadap pelaku pasien
3. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama
1. Anxiety self-control prosedur
2. Anxiety level 4. Pahami prespektif pasien terhadap situasi stres
3. Coping 5. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan
mengurangi takut
6. Dorong keluarga untuk menemani anak
Kriteria Hasil : 7. Lakukan back / neck rub
8. Dengarkan dengan penuh perhatian
1. Klien mampu mengidentifikasi dan 9. Identifikasi tingkat kecemasan
mengungkapkan gejala cemas. 10. Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan
2. Mengidentifikasi, mengungkapkan dan
kecemasan
menunjukkan tehnik untuk mengontol cemas. 11. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan,
3. Vital sign dalam batas normal.
ketakutan, persepsi
4. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh dan
12. Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi
tingkat aktivfitas menunjukkan berkurangnya
kecemasan.
IV. IMPLEMENTASI

Hari/Tanggal No Dx Implementasi Respon

Minggu, 30 I, II, III 1. Mengkaji keluhan pasien DS : Klien mengatakan nyeri pada kaki kanan bawah
september setelah kecelakaan di tabrak motor
2018 DO :
08.00 WIB -Klien tampak rewel menahan nyeri
- Klien terpasang bidai pada kaki kanan
- Ibu klien terlihat mencemaskan kondsi anakya

KU : Baik, CM
TD : 110/70 mmHg
N : 96x/menit
RR : 22x/menit
S : 37o C
08.30 WIB I, II, III 2. Mengkaji KU dan TTV DS : Klien mengeluh nyeri pada kaki kanan
P : Saat digerakkan
Q : Seperti di tusuk benda tajam
R : kaki kanan bawah (1/3 distal tibia fibula dekstra)
S : Skala 7
T : menetap
DO :
- Klien tampak rewel
- Klien tampak menahan nyeri
- Kaki kanan terpasang bidai
09.00 WIB I 3. Mengkaji nyeri secara komprehensif DS : Klien mengatakan pelan-pelan karena sakit
DO :
- Kekuatan otot kaki kanan 1, karena klien
hanya dapat menggerakkan ujung ekstremitas
09.15 WIB II 4. Mengkaji kekuatan otot DS : Klien mengatakan nyaman tiduran
DO : klien tiduran sambil bermain handphone
09.30 WIB I 5. Memberikan lingkungan nyaman DS : Klien mengatakan suka menonton kartun : “Tayo
pada klien dan ipin upin” dan musik backsound film kartun
DO : klien tampak kooperatif

10.00 WIB I 6. Mengkaji musik yang disukai dan DS : klien mengatakan skala nyerinya masih 7 Klien
film/kartun yang klien sukai DO :
-klien tampak menahan nyeri
-Klien rewal, dan
-Terpasang bidai

13.00 WIB I 7. Mengkaji tingkat nyeri yang DS : Klien mengatakan senang di RS bisa nonton
dirasakan klien kartun kesukaannya
DO : - Klien kooperatif
- klien tampak ternyesum dah tampak fokus
melihat Kartun dan mendengar suara kartun
yang klien sukai.

13.15 WIB I 8. Melakukan manajemen nyeri : DS : klien mengatakan nyeri berkurang jadi 5
Relakasi distraksi terapi musik audio DO :
visiual - Klien tampak lebih baik ekpresi wajahnya
setelah diberikan relaksasi
- Klien tidak rewel

13.45 WIB I 9. Mengevaluasi tingkat nyeri klien DS : -


setelah diberikan manajemen nyeri : DO : Injeksi IV Ketorolac 10 mg dan Ranitidin 25 mg
Relaksasi diberikan tidak ada tanda-tanda alergi, klien
kooperatif.

16.00 WIB I 10. Kolaborasi pemberian analgetik DS: Klien mengatakan ingin segera sembuh dan bisa
bermain dengan teman-teman lagi
DO: Klien pada masa sekolah yang sedang senang
begaul dengan teman sebaya

18.30 II 11. Mengkaji motivasi klien level DS: Klien dan keluarga mengatakan akan melakukan
motivasi pasien dalam relaksasi saat nyeri dan cemas
meningkatkan atau memelihara DO: Klien kooperatif
pergerakan sendi

20.00 I, III 12. Menganjurkan klien dan keluarga


untuk melakukan tekhnik
relaksasi saat nyeri dan cemas

Senin, 1 I, II, III 1. Mengkaji keluhan klien DS : Klien mengatakan masih terasa nyeri pada kaki
Oktober 2018 kanan bawah setelah kecelakaan di tabrak motor
08.00 DO :
-Klien tampak rewel menahan nyeri
- Klien terpasang bidai pada kaki kanan
- Ibu klien terlihat mencemaskan kondisi anakya
KU : Baik, CM
TD : 110/70 mmHg
N : 96x/menit
RR : 22x/menit
S : 37o C

09.00 I 2. Mengkaji nyeri klien secara DS : Klien mengeluh nyeri pada kaki kanan
komprehensif P : Saat digerakkan
Q : Seperti di tusuk benda tajam
R : kaki kanan bawah (1/3 distal tibia fibula dekstra)
S : Skala 5
T : menetap
DO :
- Klien tampak rewel
- Klien tampak menahan nyeri
- Kaki kanan terpasang bidai

09.30 II. 3. Memposisikan klien dengan nyaman DS : Klien mengatakan nyaman tiduran
untuk berlatih menggerakkan sendi DO : klien tiduran sambil bermain handphone dan
dengan aman latihan sendi

10.00 I, III 4. Mengajarkan teknik relaksasi untuk DS: Klien mengatakan nyaman dan rileks dengan
mengurangi nyeri dan cemas dengan nafas dalam
nafas dalam DO: Klien terlihat rileks

12.00 I. 5. Mengajak klien menonton video DS : Klien mengatakan senang di RS bisa nonton
untuk mengurangi nyeri kartun kesukaannya
DO : - Klien kooperatif
- klien tampak ternyesum dah tampak fokus
melihat Kartun dan mendengar suara kartun
yang klien sukai.
13.00 I. 6. Mengkaji ulang nyeri klien DS : klien mengatakan nyeri berkurang jadi 4
DO :
- Klien tampak lebih baik ekpresi wajahnya
setelah diberikan relaksasi
- Klien tidak rewel

15.00 I, II, III 7. Memberikan obat sesuai advice DS : -


dokter DO : Injeksi IV Ketorolac 10 mg dan Ranitidin 25 mg
diberikan tidak ada tanda-tanda alergi, klien
kooperatif.

16.00 II 8. Menganjurkan klien dan keluarga DS: Klien dan keluarga mengatakan mengerti
untuk mempertahankan imobilisasi DO: Klien kooperatif
pada kaki kanan klien

III 9. Memberitahu akan kondisi klien dan DS: Keluarga mengatakan mencemaskan keadaan
tindakan medis yang akan klien
dilakukann DO: Klien tampak cemas

III 10. Menganjurkan keluarga untuk


melakukan relakasi dengan nafas DS: Keluarga mengatakan lebih rileks dan tenang
dalam dan berdoa untuk mengurangi setelah melakukan relaksasi
cemas DO: Keluarga terlihat lebih rileks

I 11. Menganjurkan klien dan keluarga


untuk menonton video jika klien DS: Klien dan keluarga mengatakan akan
merasa nyeri melakukannya
DO: Klien terlihat antusias dan senang

V. EVALUASI
Tanggal/jam No DX Evaluasi
Senin, 1 1 S : Klien mengatakan nyer berkurang jadi 5
Oktober 2018 P : Saat digerakan
Q : Seperti di tusuk benda tajam
R : kaki kanan bawah (1/3 distal tibia fibula dekstra)
S : Skala 5
T : menetap
O:
- Klien tampak tersenyum senang dan fokus pada terapi audio visual : melihat kartun yang
klien sukai
- Ekspresi wajah klien tampak senang
- Klien koopeartif
A : Masalah nyeri akut belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
2. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri
3. Ajarkan tentang teknik non farmakologi : Relakasi terapi music audio visual
4. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik untuk mengurangi nyeri
Senin, 1 II S : ibu klien mengatakan masih takut bergerak, aktivitas di bantu keluarga dan alat
Oktober 2018 O : - klien terpasang bidai pada kaki kanan
- Klien closed Fraktur 1/3 distal tibia fibula dextra
- Klien hanya bergerak ke posisi duduk di badnya
A : Masalah hambatan mobilitas fisik belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi
1. Tentukan level motivasi pasien untuk meningkatkan atau memelihara pergerakan sendi
2. Monitor lokasi dan kecenderungan adanya nyeri dan ketidaknyamnan selama pergerakan
3. Bantu pasien mendapatkan posisi tubuh yang optimal untuk pergerakan sendi pasif maupun
aktif
4. Dukung pasien untuk duduk di tempat tidur, disamping tempat tidur (menjuntai) atau di
kursi, sesuai toleransi
5. Dukung ambulasi jika memungkinkan tanpa memberi beban pada kaki yang dilakukan
operasi dengan menggunakan bantuan kruk dan tidak menapakkan kaki yang dioperasi.
6. Kolaborasikan dengan ahli terapi fisik dalam mengembangkan dan menerapkan sebuah
program latihan
Senin, 1 3 S : Ibu klien mengatakan masih cemas dengan keadaan anaknya
Oktober 2018 O:
- Ibu klien tampak bingung
- Ibu klien sering bertanya pada perawat tindakan yang tepat untuk anaknya
A : Masalah Ansietas berhubungan dengan kebutuhan yang tidak terpenuhi belum teratasi
P : Lanjutkan Intervensi

1. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur


2. Pahami prespektif pasien terhadap situasi stress
3. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut
4. Dengarkan dengan penuh perhatian
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Dan Pembahasan

EBP telah dilakukan pada tanggal 30 September 2018- 01 Oktober 2018


tentang pemberian terapi musik audio visual terhadap nyeri pada An. A dengan
Close fraktur 1/3 distal tibia fibula dextra. Hasil pemberian musik audio visual :
mendengarkan musik dan menonton kartun dapat menurunkan nyeri pada An.A
dari skala 7 menjadi skala 5. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kustiningsih,
Allenidekania, Happy Hayati tentang Pengaruh Terapi Musik Audio Visual
Terhadap Nyeri Anak Usia Sekolah Pasca Bedah Di Rsup Dr Sardjito Yogyakarta
bahwa terapi musik audio visual dapat menurunkan nyeri pada Anak usia sekolah
pasca bedah di RSUP Sardjito Yogyakarta.

Tahap perkembangan anak usia sekolah (5-13 tahun), sudah mengalami


perkembangan koordinasi dan pengendalian muskuler yang lebih halus. Jenis
permainan yang dipilih anak sudah mulai komplek dan melibatkan aktivitas
fisik yang berat di luar rumah, seperti bermain sepeda. Hal ini meningkatkan
insiden anak terhadap cedera dan dilakukan perawatan di rumah sakit.
Penelitian ini sesuai dengan pernyataan Wong (2009), cedera bermain paling
sering terjadi pada anak-anak usia 3-14 tahun yang menyebabkan banyaknya
insidensi fraktur, cedera otot dan cedera kepala.

Fraktur adalah terputusnya kontuinitas jaringan tulang yang dapat


disebabkan oleh dorongan langsung pada tulang, kondisi patologik, kontraksi otot
yang sangat kuat dan secara tiba-tiba atau dorongan secara tidak langsung
(Pengantar Ilmu Keperawatan anak, A.Azis Alimul Hidayat. 2005. Hal 141).
Adanya cidera fisik yang meneyebabkan fraktur maka akan menimbulkan nyeri.
hal ini dapat menstimulasi hipersensitivitas sistem syaraf pusat, sehingga nyeri
dapat dirasakan setelah injuri fisik terjadi(Tanra, 2004; Syamsuhidajat & Jong,
2010).
Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan
maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi
seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya
(Tamsuri, 2007). Anak usia sekolah mampu mendeskripsikan nyeri mereka
(Marie, 2002). Metode pelaporan sendiri dengan menggunakan skala tingkatan
intensitas nyeri secara numerik telah terbukti bermanfaat untuk anak usia sekolah
(Nelson, 1999). Portenoy dan Tanner (1996) membagi rentang nyeri pada Visual
Analog Scale/ VAS dan Verbal Pain Intensity Scale menjadi: skala 0-1 adalah
rentang tidak nyeri, skala 2-3 nyeri ringan, skala 4-5 nyeri sedang, skala 6-7
nyeri berat, skala 8-9 nyeri sangat berat, skala 10 nyeri tak tertahankan.

Menurut Potter (2005 dalam Apriyani 2010), terapi musik adalah teknik
penyembuhan dengan menggunakan bunyi atau irama tertentu. Musik yang
digunakan dalam penelitian adalah jenis musik atau lagu anak-anak. Penelitian ini
sesuai dengan penelitian Pleaux (2007), yang menggunakan musik atau lagu anak-
anak sebagai terapinya, pada anak gelandangan usia 7-16 tahun yang dilakukan
prosedur medis. Hasil kualitatif dan kuantitatif pada penelitian Pleaux,
menunjukkan bahwa terapi musik mengurangi nyeri dan gangguan perilaku.
Perbedaannya, bahwa pada penelitian Pleaux terapi musik hanya diperdengarkan
atau diberikan secara audio saja, sedangkan penelitian ini musik diberikan
secara audio-visual, artinya anak mendapatkan terapi musik ini dengan cara
mendengarkan (audio) dan melihat video musik (visual). Aktivasi stimulus
musik yang berasal dari dua panca indra (pendengaran dan
pengelihatan) ini, menurut peneliti akan memberikan efek distraksi lebih baik
dalam menurunkan nyeri dan kecemasan anak, daripada hanya diberikan salah
satu saja. Hal ini disebabkan, dari jalur visual dan auditory semakin banyak
stimulus dihantarkan oleh serabut sensori assenden ke neuron Reticular
Activating System (RAS) sampai ke otak. Pengeluaran endorphine dan
enkhepalin sebagai opiat alami yang dihasilkan oleh tubuh dari proses ini, akan
meminimalkan nyeri dan kecemasan yang ada (Turner et. al., 2011).
Jenis musik yang digunakan dalam terapi musik dapat disesuaikan
dengan keinginan (Potter,2006). Menurut Hanser, seorang terapis musik dari
Boston dalam Putri (2012), menyatakan bahwa yang terpenting dari terapi musik
ialah pilihan musik yang didengar. Pasien memiliki rasa keakraban dengan
musik yang didengar dan merasa nyaman dengan selera musik yang dipilih.
Hasil penelitian juga sesuai dengan pendapat Snynder dan Lindquist (2002) dalam
Apriyani (2010), yang menyatakan bahwa terapi musik dapat dilakukan
dengan berbagai metode, mulai dari mendengarkan lagu pilihan, menyanyikan,
memainkan sebuah instrument musik yang disukai, sampai mendengarkan dan
melihat musik secara visual.

Terapi musik audio visual dapat mengurangi nyeri melalui mekanisme


yang dijelaskan oleh Turner (2010) dalam Apriyani (2010) sebagai berikut, musik
dihasilkan dari stimulus audio dan visual yang dikirimkan dari akson serabut
sensori assenden ke neuron Reticular Activating System (RAS). Stimulus ini akan
ditransmisikan oleh nuclei spesifik dari thalamus melewati area korteks serebral,
sistem limbik dan sistem neuroendokrin. Musik akan merangsang pengeluaran
endhorphine dari gland pituitary yang merupakan opiat alami dalam tubuh
untuk mengurangi nyeri. Pemberian terapi ini sesuai dengan penelitian Chiu
dan Kumar (2008 dalam Sodikin (2012) yang menjelaskan bahwa terapi
musik dapat merangsang pengeluaran endhorphin untuk mengurangi nyeri.

B. Hambatan
Hambatan pada penerapan EBP pada An. A yaitu
1. Ada saat klien kurang kooperatif dilakukan terapi musik audio visual,
seperti klien mudah marah dan rewel bila ada sesuatu yang tidak mampu
terpenuhi
2. Butuh waktu lama membina hubungan saling percaya pada klien\
3. Ibu klien kurang kooperatif saat pemberian terapi musik audio visual
C. Faktor Pendukung
1. Klien menyukai musik dan film yang yang diberikan fasilitator
2. Media mendukung : leptop
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penerapan EBP pada An. A dengan Close fraktur 1/3 distal tibia fibula
dextra dapat disimpulkan bahwa skala nyeri sebelum diberikan terapi musik audio
visual yaitu 7, lalu di lakukan perawatan 2x24 jam untuk mengatasi masalah
keperawatan nyeri akut didapatkan hasil setelah diberikan terapi musik audio
visual : mendengarkan musik pilihan dan menonton kartun skala nyeri menjadi 5,
jadi terapi musik audio visual dapat menurunkan nyeri pada An.A

B. Saran

Untuk tenaga perawat dan orang tua hendaknya memberikan kesempatan untuk
pasien agar dapat memperoleh terapi musik audio visual sebagai terapi anjuran
dalam menurunkan nyeri dan kecemasan anak usia sekolah yang mengalami nyeri
di RSUD Ambarawa Kabupaten Semarang sehingga memberikan rasa aman dan
nyaman pada pasien dan berdampak pada percepatan proses penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Pedomn untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien E. Jakarta :
EGC
Kustiningsih, (2007). Pengaruh terapi musik klasik terhadap intensitas nyeri pada
anak usia sekolah pada saat prosedur invasive di RS PKU
Muhammadiyah Yogyakarta, jurnal Kebidanan dan Keperawatan
STIKES ‘Aisyiyah, 4, 87-96.
Potter dan Perry. (2006), Buku ajar fundamental keperawatan volume 2. Edisi 4,
EGC,Jakarta
. (2010). Buku ajar fundamental keperawatan buku 3. Edisi 7 EGC :
Jakarta
Smelttzer, Suzanne. 1997. Buku Ajar Medikal Bedah Brunner & Suddart. Edisi 8.
Vol. 3. Jakarta : EGC
Taufik, M.(2007). Prinsip-prisip Promosi Kesehatan Dalam Bidang
Keperawatan Untuk Perawat dan Mahasiswa Keperawatan. Infomedika
: Jakarta
Townsend, Mary C. (2009), Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada
KeperawatanPsikiatri Edisi 6, EGC,Jakarta
Tsai, C. (2007), ‘The effect of animal assisted therapy on children’s stress
during hospitalization’. Doctoral Disttertasi of Phylosopy. University
of Marylan, School of Nursing
Wong.et al.(2008),Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 1, EGC,Jakarta
Zydlo, Stanley M. 2009. First Aid Cara Benar Pertolongan Pertama dan
Penanganan Darurat. Yogjakarta : Casmin Book

Anda mungkin juga menyukai