LP Katarak
LP Katarak
Pengertian
Fraktur adalah diskontinuitas atau kepatahan pada tulang baik bersifat terbuka atau
tertutup. Fraktur Radius ulna terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis
dan luasnya, yang dapat diabsorpsi (Sjamsuhidajat, 2005) Patah tulang terbuka disebut
juga dengan compound fracture tersebur memiliki beberapa definisi dari masing-masing
literatur. Salah satu pengertian yang dikemukakan tersebut adalah keadaan patah tulang
yang terjadi dengan adanya hubungan antara jaringan tulang yang patah tersebut dengan
lingkungan eksternal dari kulit, sehingga dapat mengakibatkan infeksi (Sjamsuhidajat,
2004).
Fraktur antebrachii adalah terputusnya kontinuitas tulang radius ulna, pada anak
biasanya tampak angulasi anterior dan kedua ujung tulang yang patah masih
berhubungan satu sama lain. Gambaran klinis fraktur antebrachii pada orang dewasa
biasanya tampak jelas karena fraktur radius ulna sering berupa fraktur yang disertai
dislokasi fragmen tulang.
1. JENIS FRAKTUR
a. Fraktur komplit : patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami
pergeseran.
b. Fraktur tidak komplit : patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang.
c. Fraktur tertutup : kulit tidak robek
d. Fraktur terbuka : fraktur dengan luka pada kulit atau membrane mukosa sampai
kepatahan tulang.
e. Greenstick : fraktur dengan salah satu sisi tulang patah, sedangkan sisi yang lain
membengkak.
f. Transversal : fraktur sepanjang garis tengah tulang.
g. Kominutif : fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.
h. Depresi : fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedepan.
i. Kompresi : fraktur dimana tulang mengalami kompresi (tulang belakang).
j. Patologik : terjadi pada tulang oleh ligament tendo atau daerah perlekatannya.
2. ETIOLOGI
a. Trauma
b. Gerakan pintir mendadak.
c. Kontraksi otot extreme
d. Keadaan patologik : osteoporosis, neoplasma
e.
3. PATOFISIOLOGI
a. Fraktur kaput radius sering terjadi akibat jatuh dan tangan menyangga dengan
siku ekstensi. Bila terkumpul banyak darah dalam sendi siku (hemarthosis) harus
diaspirasi untuk mengurangi nyeri dan memungkinkan gerakan awal.
b. Bila fraktur mengalami pergeseran dilakukan pembedahan dengan eksisi kaput
radii bila perlu. Paska operasi lengan dimobilisasi dengan bebat gips posterior dan
sling. Fraktur pada batang radius dan ulna (pada batang lengan bawah) biasanya
terjadi pada anak-anak. Baik radius maupun ulna keduanya dapat mengalami
patah. Pada setiap ketinggian, biasanya akan mengalami pergeseran bila kedua
tulang patah.
c. Dengan adanya fraktur dapat menyebabkan atau menimbulkan kerusakan pada
beberapa bagian. Kerusakan pada periosteum dan sumsum tulang dapat
mengakibatkan keluarnya sumsum tulang terutama pada tulang panjang. Sumsum
kuning yang keluar akibat fraktur terbuka masuk ke dalam pembuluh darah dan
mengikuti aliran darah sehingga mengakibatkan emboli lemak. Apabila emboli
lemak ini sampai pada pembuluh darah yang sempit dimana diameter emboli
lebih besar daripada diameter pembuluh darah maka akan terjadi hambatan aliran
darah yang mengakibatkan perubahan perfusi jaringan.
d. Kerusakan pada otot atau jaringan lunak dapat menimbulkan nyeri yang hebat
karena adanya spasme otot di sekitarnya. Sedangkan kerusakan pada tulang itu
sendiri mengakibatkan perubahan sumsum tulang (fragmentasi tulang) dan dapat
menekan persyaratan di daerah tulang yang fraktur sehingga menimbulkan
gangguan syaraf ditandai dengan kesemutan, rasa baal dan kelemahan.
Grade II
Laserasi kulit melebihi 1 cm tetapi tidak terdapat kerusakan jaringan yang hebat
atau avulsi kulit. Terdapat kerusakan yang sedang dan jaringan.
Grade III
kerusakan yang hebat pada jaringan lunak termasuk otot, kulit dan struktur
neovaskuler dengan kontaminasi yang hebat. Dibagi dalam 3 sub tipe: tipe IIIA
yaitu jaringan lunak cukup menutup tulang yang patah, tipe IIIB disertai dengan
kerusakan dan kehilangan jaringan lunak, tulang tidak dapat di cover soft tissue,
tipe IIIC disertai cidera arteri yang memerlukan repair segera. Debridement
merupakan suatu tindakan eksisi yang bertujuan untuk membuang jaringan
nekrosis maupun debris yang mengahalangi proses penyembuhan luka dan
potensial terjadi atau berkembangnya infeksi sehingga merupakan tindakan
pemutus rantai respon inflamasi sistemik dan maupun sepsis. Tindakan ini
dilakukan sejak awal mungkin, dan dapat dilakukan tindakan ulangan sesuai
kebutuhan (Smeltzer & Bare (2002).
4. MANIFESTASI KLINIK
Berikut adalah manifestasi klinik dari fraktur antebrachii menurut Mansjoer (2000) :
1. Fraktur Colles
a. Fraktur metafisis distal radius dengan jarak _+ 2,5 cm dari permukaan sendi
distal radius
b. Dislokasi fragmen distalnya ke arah posterior/dorsal
c. Subluksasi sendi radioulnar distal
d. Avulsi prosesus stiloideus ulna.
2. Fraktur Smith
Penonjolan dorsal fragmen proksimal, fragmen distal di sisi volar pergelangan, dan
deviasi ke radial (garden spade deformity).
3. Fraktur Galeazzi
Tampak tangan bagian distal dalam posisi angulasi ke dorsal. Pada pergelangan
tangan dapat diraba tonjolan ujung distal ulna.
4. Fraktur Montegia
Terdapat 2 tipe yaitu tipe ekstensi (lebih sering) dan tipe fleksi. Pada tipe ekstensi
gaya yang terjadi mendorong ulna ke arah hiperekstensi dan pronasi. Sedangkan
pada tipe fleksi, gaya mendorong dari depan ke arah fleksi yang menyebabkan
fragmen ulna mengadakan angulasi ke posterior.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan radiologis dilakukan untuk menentukan ada/tidaknya dislokasi. Lihat
kesegarisan antara kondilus medialis, kaput radius, dan pertengahan radius.
Pemeriksaan penunjang menurut Doenges (2000), adalah :
1. Pemeriksaan rontgen
2. Scan CT/MRI
3. Kreatinin
4. Hitung darah lengkap
5. Arteriogram
6. PENATALAKSANAAN
Berikut adalah penatalaksanaan fraktur antebrachii menurut Mansjoer (2000):
1. Fraktur Colles Pada fraktur Colles tanpa dislokasi hanya diperlukan imobilisas
dengan pemasangan gips sirkular di bawah siku selama 4 minggu. Bila disertai
dislokasi diperlukan tindakan reposisi tertutup. Dilakukan dorsofleksi fragmen
distal, traksi kemudian posisi tangan volar fleksi, deviasi ulna (untuk mengoreksi
deviasi radial) dan diputar ke arah pronasio (untuk mengoreksi supinasi).
Imobilisasi dilakukan selama 4 - 6 minggu.
2. Fraktur Smith
Dilakukan reposisi dengan posisi tangan diletakkan dalam posisi dorsofleksi
ringan, deviasi ulnar, dan supinasi maksimal (kebalikan posisi Colles). Lalu
diimobilisasi dengan gips di atas siku selama 4 - 6 minggu.
3. Fraktur Galeazzi
Dilakukan reposisi dan imobilisasi dengan gips di atas siku, posisi netral untuk
dislokasi radius ulna distal, deviasi ulnar, dan fleksi.
4. Fraktur Montegia
Dilakukan reposisi tertutup. Asisten memegang lengan atas, penolong melakukan
tarikan lengan bawah ke distal, kemudian diputar ke arah supinasi penuh. Setelah
itu, dengan jari kepala radius dicoba ditekan ke tempat semula. Imobilisasi gips
sirkuler dilakukan di atas siku dengan posisi siku fleksi 90° dan posisi lengan
bawah supinasi penuh. Bila gagal, dilakukan reposisi terbuka dengan pemasangan
fiksasi interna Open Reduction Internal Fixatie (ORIF) (plate-screw).
Pada kasus ini menggunakan dua metode operasi yaitu dengan debridement dan
menggunakan internal fixasi karena dengan metode konservatif sudah tidak
mungkin dapat dilakukan, hal ini dikarenakan fragmen fraktur sulit untuk
menyambung dengan baik. Selain itu, penyambungan tulang fragmen langsung
lebih baik dari pada tanpa operasi (Muttaqin, 2009).
7. KOMPLIKASI
Menurut Long (2000), komplikasi fraktur dibagi menjadi :
1. Immediate complication yaitu komplikasi awal dengan gejala
a. Syok neurogenic
b. Kerusakan organ syaraf
2. Early complication
a. Kerusakan arteri
b. Infeksi
c. Sindrom kompartemen
d. Nekrosa vaskule
e. Syok hipovolemik
3. Late complication
a. Mal union
b. Non union
c. Delayed union
Look : Tampak luka, terdapat penonjolan abnormal tulang, oedem (+), terdapat
deformitas (+) pada sepertiga distal, tidak tampak pemendekan dibandingkan
dengan antebrachii dextra, angulasi (+), tak tampak sianosis pada bagian distal
lesi
Feel : Nyeri tekan setempat (+), krepitasi (+), terdapat nyeri ketok sumbu,
sensibilitas (+), suhu rabaan hangat, kapiler refil (+)
Move : Gerakan aktif dan pasif terhambat, sakit bila digerakkan, gangguan persarafan
tidak ada tampak gerakan terbatas (+), sendi-sendi pada bagian distal tidak
dapat digerakkan.
Deferensial Diagnosis
Fraktur Radius Ulna Dextra, kom plit displaced :
- Nyeri yang sangat pada gerakan aktif maupun pasif
- Terdapat pembengkakan
- Deformitas (+)
- Fraktur Radius ulna Dextra, komplit undisplaced.
- Dapat di singkirkan karena pada kasus ini tidak terdapat tanda-tanda
pemendekan tulang.
Fraktur Radius ulna sinistra, inkomplit :
Dislokasi siku :
Tidak terdapat gejala :
- rasa sendi yang keluar.
Akan tetapi terdapat gejala dislokasi yang lain yang berupa :
- trauma nyeri
- Nyeri yang sangat
- Gerak terbatas.
Coles fraktur :
- Tidak ada tanda dinner fork deformity
- Smith fraktur
- Galeazzi fraktur
- Monteggia fraktur
1. Diagnosa Keperawatan
A. Pre-Operasi
1. Nyeri b.d spasme otot, kerusakan akibat fraktur.
2. Ketidakmampuan beraktivitas b.d fraktur dan cidera jaringan sekitar.
3. Resiko tinggi terjadi infeksi b.d fraktur terbuka kerusakan jaringan lunak.
4. Gangguan pola tidur b.d nyeri.
B. Post Operasi
1. Nyeri b.d luka operasi.
2. Risiko tinggi terjadi komplikasi post operasi b.d immobilisasi.
3. Ketidakmampuan beraktivitas b.d pemasangan gips dan fiksasi.
4. Risiko tinggi terjadi infeksi b.d luka post operasi.
5. Kurang pengetahuan klien tentang perubahan tingkat aktivitas yang boleh
dilakukan dan perawatannya saat di rumah.
6. Gangguan harga diri b.d perubahan peran dan perubahan bentuk fisik
atau tubuh.
2. Perencanaan Keperawatan
A. Pre-Operasi
1. Nyeri b.d spasme otot, kerusakan akibat fraktur.
Tujuan dan kriteria hasil : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 2 X 24 jam :
Nyeri berkurang atau terkontrol
Klien mengatakan nyeri berkurang.
Ekspresi wajah tenang.
Intervensi
1. Observasi tanda-tanda vital (TD, S, N, P)
R/ Peningkatan tanda-tanda vital menunjukkan adanya nyeri.
2. Kaji keluhan nyeri klien : lokasi, intensitas, karakteristik.
R/ Menentukan tindakan yang tepat sesuai kebutuhan klien.
3. Beri posisi yang nyaman sesuai anatomi tubuh manusia.
R/ Posisi sesuai anatomi tubuh membantu relaksasi sehingga
mengurangi rasa nyeri.
4. Ajarkan teknik relaksasi nafas dalam.
R/ Nafas dalam mengendorkan ketegangan syaraf.
5. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips.
R/ Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang yang
cedera.
6. Beri therapi analgetik sesuai program medik.
R/ Analgetik menghambat pembentukan prostaglandin pada otak dan
jaringan perifer.
3. Resiko tinggi terjadi infeksi b.d fraktur terbuka kerusakan jaringan lunak.
Infeksi tidak terjadi
Tidak ada kemerahan, pus, peradangan
Leukosit dalam batas normal
Tanda-tanda vital stabil.
Intervensi:
1. Observasi tanda-tanda vital (S, TD, N, P)
R/ Peningkatan tanda-tanda vital menunjukkan adanya infeksi.
2. Jaga daerah luka tetap bersih dan kering.
R/ Luka yang kotor dan basah menjadi media yang baik bagi
perkembangbiakan bakteri.
3. Tutup daerah luka dengan kasa steril.
R/ Kasa steril menghambat masuknya kuman ke dalam luka.
4. Rawat luka fraktur dengan teknik aseptik.
R/ Mencegah dan menghambat perkembangbiakan bakteri.
5. Beri therapi antibiotik sesuai program medik.
R/ Antibiotik menghambat hidup dan berkembang biaknya bakteri.
B. Post-Operasi
1. Nyeri b.d luka operasi
Nyeri berkurang sampai dengan hilang.
Ekspresi wajah tenang.
Intervensi:
1. Observasi tanda-tanda vital (TD, S, N, P)
R/ Peningkatan tanda-tanda vital menunjukkan adanya nyeri.
2. Kaji keluhan, lokasi, intensitas dan karakteristik nyeri.
R/ Menentukan tindakan yang tepat sesuai kebutuhan klien.
3. Ajarkan tehnik relaksasi nafas dalam.
R/ Nafas dalam dapat mengendorkan ketegangan sehingga dapat
mengurangi rasa nyeri.
4. Beri posisi yang nyaman pada tulang yang fraktur sesuai anatomi.
R/ Posisi anatomi membuat rasa nyaman dan melancarkan sirkulasi
darah.
5. Anjurkan klien untuk imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah
baring.
R/ Mengurangi nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang.
6. Beri therapi analgetik sesuai program medik.
R/ Menghambat dan menekan rangsang nyeri ke otak.
Brunner and Suddarth (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 volume 3,
Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Black, Joyce M (1997). Medical Surgical Nursing, Clinical Management for Continuity of
Care. 5th edition, 3rd volume. Philadelphia. W.B Saunders Company.
Carpenito, Lynda Jual (1997). Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis. Edisi
keenam, Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Evelyn. C. Pearce (1999). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Cetakan ke-22, Jakarta.
Penerbit PT. Gramedia Pustaka Umum.
Price, Sylvia. A (1995). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4 buku
2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.