Kumpulan Contoh Cerita Fabel Singkat Dan Terbaru
Kumpulan Contoh Cerita Fabel Singkat Dan Terbaru
Contoh cerita hewan atau fabel sangatlah banyak, baik cerita fabel dari
Indonesia maupun dri belahan dunia lainnya. Berikut kami sajikan 30 cerita fabel
yang seru dan penuh makna.
Dahulu kala di suatu desa di tepi hutan, hidup seorang pemuda bernama Si
Parto. Kerjanya mengambil kayu bakar di gunung dan menjualnya ke kota. Uang
hasil penjualan dibelikannya makanan.
Terus seperti itu setiap harinya. Hingga pada suatu hari ketika ia berjalan pulang
dari kota ia melihat sesuatu yang menggelepar di atas hujan.
Ketika terbangun keesokan harinya, gadis itu sudah menyiapkan nasi. Si Parto
berpikir bahwa gadis itu akan segera pergi, ia merasa kesepian. Hujan masih
turun dengan lebatnya. “Tinggallah disini sampai hujan reda.” Setelah lima hari
berlalu hujan mereda. Gadis itu berkata kepada Si Parto, “Jadikan aku sebagai
istrimu, dan biarkan aku tinggal terus di rumah ini.” Si Parto merasa bahagia
menerima permintaan itu. “Mulai hari ini panggillah aku Parti”, ujar si gadis.
Setelah menjadi Istri Si Parto, Parti mengerjakan pekerjaan rumah dengan
sungguh-sungguh. Suatu hari, Parti meminta suaminya, Si Parto,
membelikannya benang karena ia ingin menenun.
Di kota, Sang Saudagar minta dibuatkan kain satu lagi untuk Kimono tuan Putri.
Jika tidak ada maka Si Parto akan dipenggal lehernya. Hal itu diceritakan Si
Parto pada istrinya. “Baiklah akan ku buatkan lagi, tetapi hanya satu helai ya”,
kata Parti.
Karena cemas dengan kondisi istrinya yang makin lemah dan kurus setiap habis
menenun, Si Parto berkeinginan melihat ke dalam ruangan tenun. Tetapi ia
sangat terkejut ketika yang dilihatnya di dalam ruang menenun, ternyata seekor
bangau sedang mencabuti bulunya untuk ditenun menjadi kain. Sehingga badan
bangau itu hampir gundul kehabisan bulu. Bangau itu akhirnya sadar dirinya
sedang diperhatikan oleh Si Parto, bangau itu pun berubah wujud kembali
menjadi Parti. “Akhirnya kau melihatnya juga”, ujar Parti.
“Sebenarnya aku adalah seekor bangau yang dahulu pernah Kau tolong”, untuk
membalas budi aku berubah wujud menjadi manusia dan melakukan hal ini,” ujar
Parti. “Berarti sudah saatnya aku berpisah denganmu”, lanjut Parti. “Maafkan
aku, kumohon jangan pergi,” kata Si Parto. Parti akhirnya berubah kembali
menjadi seekor bangau. Kemudian ia segera mengepakkan sayapnya terabng
keluar dari rumah ke angkasa. Tinggallah Si Parto sendiri yang menyesali
perbuatannya.
Dahulu kala, di suatu desa terpencil, tinggalah sepasang kakek dan nenek yang
miskin. Pekerjaan si kakek adalah mencari ikan di laut. Meski hampir setiap hari
kakek pergi menjala ikan, namun hasil yang didapat hanya cukup untuk makan
sehari-hari saja. Bahkan tidak jarang si kakek pulang dengan tangan hampa,
namun itu semua dijalani si kakek dengan sabar.
Suatu hari ketika si kakek sedang menjala ikan, tiba-tiba jalanya terasa sangat
berat. Seperti ada ikan raksasa yang tersangkut di jalanya. “Ah, pasti ikan yang
sangat besar,” pikir si kakek. Dengan sekuat tenaga si kakek menarik jalanya.
Namun ternyata tidak ada apapun kecuali seekor ikan kecil yang tersangkut di
jalanya. Rupanya ikan kecil itu bukan ikan biasa, badannya berkilau seperti emas
dan bisa berbicara seperti layaknya manusia.
“Setidaknya kau bisa meminta roti untuk kita makan. Pergilah dan minta
padanya!” Maka dengan segan kakek kembali ke tepi pantai dan berseru:
Pergilah kembali ke laut, dan mintalah ikan ajaib memberikan kita meja yang
baru!” kata nenek. Terpaksa si kakek kembali ke tepi laut dan berseru: Wahai
ikan emas ajaib,
Datanglah kemari…
Kabulkan keinginan kami!
“Uuuups!” ikan emas muncul, “Apa lagi yang kau inginkan, kek?” “Nenek
menyuruhku memintamu agar memberikan kami meja yang baru,” pinta kakek.
“Baiklah,” kata ikan. “Kau boleh memiliki meja baru juga.”
Si kakek pun kembali pulang. Belum lagi menginjak halaman, si nenek sudah
menghadangnya. “Pergilah lagi! Mintalah pada si ikan emas untuk membuatkan
kita sebuah rumah baru. Kita tidak bisa tinggal di sini terus, rumah ini sudah
hampir roboh. ”Maka si kakek pun kembali ke tepi laut dan berseru:
Wahai ikan emas ajaib,
Datanglah kemari…
Kabulkan keinginan kami!
Dalam sekejap ikan emas itu muncul di hadapan si kakek, “apa yang kau
inginkan lagi, kakek?” “Buatkanlah kami rumah baru!” pinta kakek, “istriku sangat
marah, dia tidak ingin tinggal di rumah kami yang lama karena rumah itu sudah
hampir roboh.” “Tenanglah kek! Pulanglah! Keinginanmu sudah kukabulkan.”
“Hallooo istriku,” sapa si kakek. “Betapa tidak sopannya,” kata si nenek. “Berani
sekali kau mengaku sebagai suamiku. Pelayan! Bawa dia ke gudang dan beri dia
40 cambukan!” Segera saja beberapa pelayan menyeret si kakek ke gudang dan
mencambuknya sampai si kakek hampir tidak bisa berdiri. Hari berikutnya
istrinya memerintahkan kakek untuk bekerja sebagai tukang kebun. Tugasnya
adalah menyapu halaman dan merawat kebun. “Dasar perempuan jahat!” pikir si
kakek. “Aku sudah memberikan dia keberuntungan tapi dia bahkan tidak mau
mengakuiku sebagai suaminya.”
Lama kelamaan si nenek bosan menjadi nyonya bangsawan, maka dia kembali
memanggil si kakek: “Hai lelaki tua, pergilah kembali kepada ikan emasmu dan
katakan ini padanya: aku tidak mau lagi menjadi nyonya bangsawan, aku mau
menjadi ratu.” Maka kembalilah si kakek ke tepi laut dan berseru”
Setelah sekian lama, si nenek kembali bosan menjadi seorang ratu. Maka dia
memerintahkan para jendral untuk menemukan si kakek dan membawanya ke
hadapannya. Seluruh istana sibuk mencari si kakek. Akhirnya mereka
menemukan kakek di kebun dan membawanya menghadap ratu.
“Dengar lelaki tua! Kau harus pergi menemui ikan emasmu! Katakan padanya
bahwa aku tidak mau lagi menjadi ratu. Aku mau menjadi dewi laut sehingga
semua laut dan ikan-ikan di seluruh dunia menuruti perintahku.”
Kakek terkejut mendengar permintaan istrinya, dia mencoba menolaknya. Tapi
apa daya nyawanya adalah taruhannya, maka dia terpaksa kembali ke tepi laut
dan berseru:
Si ikan emas terdiam dan tanpa mengatakan apapun dia kembali menghilang ke
dalam laut. Si kakek pun terpaksa kembali pulang. Dia hampir tidak percaya
pada penglihatannya ketika menyadari bahwa istana yang megah dan semua
isinya telah hilang. Kini di tempat itu, berdiri sebuah gubuk reot yang dulu
ditinggalinya. Dan di dalamnya duduklah si nenek dengan pakaiannya yang
compang-camping. Mereka kembali hidup seperti dulu. Kakek kembali melaut.
Namun seberapa kerasnya pun dia bekerja. hasil yang didapat hanya cukup
untuk makan sehari-hari saja.
Pada Zaman dahulu kala, di suatu desa kecil di Negara Jepang tinggalah
sepasang kakek dan nenek. Kakek adalah seorang yang sangat baik hati dan
pekerja keras. Sebaliknya nenek adalah seorang penggerutu dan senang
mencaci maki, sikapnya juga kasar dan buruk. Itulah sebabnya kakek lebih suka
menghabiskan waktunya dengan bekerja di ladang dari pagi hingga petang.
Mereka tidak dikaruniai anak, tapi kakek memiliki seekor burung pipit yang selalu
menghiburnya. Dia sangat cantik dan diberi nama Suzume. Kakek sangat
menyayanginya. Setiap petang sepulangnya dari ladang, kakek akan membuka
kandang Suzume, membiarkannya terbang di dalam rumah, lalu mengajaknya
bermain, berbicara, dan mengajarinya trik-trik yang dengan cepat dipelajarinya.
Suatu hari, saat kakek pergi bekerja, nenek mulai membereskan rumah. Kemarin
nenek sudah menyiapkan bubur tepung beras untuk melicinkan pakaian yang
sudah dicuci. Bubur itu disimpannya di atas meja. Tapi kini mangkuk buburnya
telah kosong. Rupanya kakek lupa menutup kandang Suzume, sehingga dia
terbang di sepanjang rumah dan memakan bubur tepung beras nenek. Saat si
nenek kebingungan mencari siapa yang menghabiskan buburnya, Suzume
terbang menghampiri nenek. Dia membungkuk memberi hormat lalu kicaunya:
“Sayalah yang memakan bubur tepung beras nenek. Saya pikir itu adalah
makanan untukku. Saya mohon maafkanlah saya. Twit! Twit! Twit……!”
Nenek sangat marah mendengar pengakuan si burung pipit. Memang nenek
tidak pernah menyukai Suzume. Baginya keberadaan Suzume hanya mengotori
rumah saja. Ini adalah kesempatan si nenek untuk melampiaskan
kemarahannya. Maka keluarlah cacian dari mulut nenek.
Tidak cukup sampai disitu nenek yang kalap merenggut Suzume yang malang
dan memotong lidahnya hingga putus. “Ini adalah pelajaran buatmu!” kata nenek,
“karena dengan lidah ini kamu memakan bubur tepung berasku! Sekarang
pergilah dari sini! Aku tak mau melihatmu lagi!” Suzume hanya bisa menangis
menahan sakit, dan terbang jauh ke arah hutan.
Sore harinya kakek pulang dari ladang. Seperti biasa kakek menghampiri
kandang Suzume untuk mengajaknya bermain. Tapi ternyata kandang itu sudah
kosong. Dicarinya Suzume di sekeliling rumah dan dipangilnya, namun Suzume
tidak juga muncul. Kakek merasa yakin bahwa neneklah yang telah membuat
Suzume pergi. Maka kakek pun menghampiri nenek dan bertanya: “Kemana
Suzume? Kau pasti tahu dimana dia.” “Burung pipitmu?” kata nenek, “Aku tidak
tahu dimana dia. Aku tidak melihatnya sepanjang hari ini. Oh, mungkin dia jenis
burung yang tidak tahu berterima kasih. Makanya dia kabur dan tak ingin kembali
meskipun kau sangat menyayanginya.” Kakek tentu saja tidak percaya dengan
perkataan nenek. Dia memaksanya untuk berbicara jujur. Akhirnya nenek
mengaku telah mengusir Suzume dan memotong lidahnya.
Itu hukuman karena dia telah berbuat nakal” kata nenek. “Kenapa kau begitu
kejam?” kata kakek. Dia sebenarnya sangat marah, tapi dia terlalu baik untuk
menghukum istrinya yang kejam. Namun dia tidak bisa berhenti
mengkhawatirkan Suzume yang pasti sangat menderita. “Betapa malangnya
Suzume. Dia pasti kesakitan. Dan tanpa lidahnya dia mungkin tidak bisa
berkicau lagi,” pikir kakek. Dia bertekad untuk mencari Suzume sampai ketemu
besok pagi.
Esoknya, pagi-pagi sekali kakek sudah berkemas dan bersiap pergi untuk
mencari Suzume. Dia pergi ke bukit lalu ke dalam hutan. Di setiap rumpunan
bambu yang ditemuinya, dia akan berhenti dan mulai memanggilnya:
“Suzume pasti bukan burung biasa,” pikir kakek. Kakek mengikuti Suzume
memasuki rumpunan bambu. Rumah Suzume ternyata sangat indah. Dindingnya
terbuat dari bambu berwarna putih cerah. Karpetnya sangat lembut, bantal yang
didudukinya sangat empuk dan dilapisi sutra yang sangat halus. Ruangannya
sangat luas dan dihiasi ornamen-ornamen yang cantik. Kakek disuguhi berbagai
makanan dan minuman yang sangat lezat, juga tarian burung pipit yang sangat
menakjubkan. Kakek juga diperkenalkan kepada seluruh anggota keluarga
Suzume. Mereka semua sangat berterima kasih pada kakek yang telah merawat
Suzume dengan baik. Sebaliknya kakek pun memohon maaf atas perlakuan
istrinya yang kejam terhadap Suzume.
Waktu berlalu tanpa terasa. Malam pun semakin larut. Akhirnya kakek meminta
diri dan berterima kasih atas sambutan keluarga Suzume yang hangat. Suzume
memohon supaya kakek menginap satu atau dua malam, namun kakek
bersikeras untuk pulang karena pasti nenek kebingungan mencarinya. Kakek
berjanji akan sering-sering mengunjungi suzume lain waktu. Sebelum pulang
Suzume memaksa kakek untuk memilih kotak hadiah untuk dibawanya pulang.
Ada dua buah kotak yang ditawarkan. Satu kecil dan satu lagi besar. Kakek
memilih kotak kecil. “Aku sudah tua dan lemah,” katanya. “Aku tidak akan kuat
jika harus membawa kotak yang besar.”
Suzume dan keluarganya mengantarkan kakek sampai keluar dari rumpunan
bambu dan sekali lagi membungkukan kepalanya memberi hormat.
“Saya tidak akan membuang waktumu. Aku datang kesini hanya untuk meminta
kotak yang kemarin ditolak oleh kakek. Setelah itu aku akan pergi.” Suzume
memberikan kotak yang diminta, dan tanpa mengucapkan terima kasih, nenek
segera meninggalkan tempat itu. Kotak itu sangat berat. Dengan terseok-seok
nenek memanggulnya. Semakin lama kotak itu semakin berat, seolah-olah berisi
ribuan batu. “Kotak ini pasti berisi harta karun yang sangat banyak,” pikir nenek.
Dia sudah tidak sabar ingin mengetahui isi kotak tersebut. Maka dia menurunkan
kotak itu dari punggungnya dan lalu membukanya. Wuuuuush……!!! Dari dalam
kotak itu keluar ribuan makhluk yang menyeramkan dan mengejar nenek yang
langsung lari terbirit-birit. Beruntung nenek bisa sampai di rumahnya meski
jantungnya serasa mau putus. Kepada kakek dia menceritakan apa yang
dialaminya. “Itulah hukuman bagi orang yang serakah,” kata kakek. “Semoga ini
menjadi pelajaran buatmu.” Sejak saat itu nenek tidak pernah lagi mengeluarkan
kata-kata kasar dan selalu berlaku baik pada orang lain. Dan mereka berdua
hidup bahagia selamanya.
Setelah menempuh perjalanan yang tidak begitu jauh, akhirnya Babi hutan
sampai di rumah Monyet. Saat itu terlihat Monyet sedang berbaring sambil
bersiul di serambi rumahnya. Babi hutan berkata, “Monyet, kudengar kau
binatang paling bijaksana di rimba belantara. Benarkah itu?” Sahut monyet,
“Kata warga rimba, memang demikian.”, kata Babi Hutan. “Bolehkah aku
meminta nasihat padamu?” kata Babi hutan lebih lanjut.
“Oh silahkan, memangnya kamu ada masalah apa, aku lihat kamu baik-baik
saja”, kata Monyet. “Begini, Monyet. Aku tidak pernah merasa bahagia dalam
hidup ini. Apa gerangan sebabnya?” Apakah aku terkena kutukan dari dewa?
Tanya Babi hutan kemudian.
“Buah Bonga? Aku baru mendengar sekarang. Di mana terdapat pohon buah
itu?” Semudah itukah untuk merasakan bahagia?” Tanya Babi hutan. “Sudahlah,
ikuti saja petunjukku.” Jawab Monyet. “Pergi saja kamu dan bertanyalah kepada
penduduk hutan ini dimana tempatnya pohon Bonga berada”, kata Monyet
kemudian. Babi hutan menjawab, “ Baiklah Monyet, akan aku ikuti nasihatmu.”
Esoknya Babi hutan bergegas pergi berkelana di hutan belantara untuk mencari
buah kebahagiaan itu. Kesana kemari babi hutan mencari buah itu, dia bertanya
kepada para penghuni hutan untuk minta tahu dimana gerangan pohon Bonga
berada.
Pada suatu sore menjelang malam di tepi danau Babi hutan bertemu dengan
Kerbau. “Hai Kerbau yang baik hati, tahukah kamu dimana pohon Bonga
berada?” Tanya Babi hutan. “Pohon Bonga?” aku belum pernah mendengarnya.”
Jawab Kerbau. Mereka berdua terlibat pembicaraan mengenai pohon Bonga.
Sampai akhirnya matahari hampir tenggelam Kerbau mengajak Babi hutan untuk
bermalan di rumahnya. Akhirnya malam itu Babi hutan menginap di rumah
Kerbau, sampai larut malam mereka berdiskusi tentang pohon Bonga sampai
tanpa terasa keduanya tertidur pulas.
Sampai tak terasa sudah satu tahun Babi hutan berkelana dan akhirnya ia tiba di
rimba tempat ia lahir. Monyet menyambut kedatangan babi hutan, yang kini
wajahnya segar dan ceria. Tanya monyet, “sudahkah kau temukan buah
Bonga?”
Babi hutan menjawab, “Aku menikmati perjalanan itu. Di mana mana aku
menjalin persahabatan. Setiap hari ada hal hal baru yang kulihat. Nah, ternyata
dengan banyak bersahabat dan melihat luasnya dunia, hati kita menjadi
bahagia.” Monyet mengangguk angguk mengiyakan. SEKIAN.
“Aduh biyuuungg, kakiku sakit buangeeet!” teriak Sang Kancil yang tubuhnya
hanya kelihatan kepalanya karena terendam air — sambil mulutnya nyengir-
nyengir menahan sakit. Meskipun dirinya terjatuh di air, karena air sumur tak
seberapa dalam maka kakinya terasa nyeri yang hebat akibat benturan. Lalu
dengan terpincang-pincang Sang Kancil berenang menepi dan duduk di batu
besar yang menyembul di tepi sumur.
Sang Kancil termenung memikirkan nasibnya. Sumur ini ada di tepi hutan.
Jarang sekali ada binatang yang berani bepergian sampai ke tepi hutan. Paling-
paling sekawanan Gajah yang sedang menjajaki rute baru, kawanan Babi Hutan
yang hendak mencari jagung atau Serigala yang sedang mencari-cari makanan
tambahan karena sudah bosan dengan makanan yang ada di dalam hutan. Itu
artinya dirinya harus lama menunggu sampai ada binatang yang menemukan
dirinya di dalam sumur.
dongeng binatang dongeng si kancil dan gajahSetelah tiga hari tiga malam
terjebak, pada hari keempat barulah muncul sekawanan Babi Hutan yang
melongok dari bibir sumur. Mereka kehausan dan sedang mencari-cari sumber
air minum yang memang jarang ada di tepi hutan itu. Sang Kancil berteriak
kegirangan melihat Babi Hutan.
“Woooiiii beib, bantu aku keluar dari sini duuuuuuung!!!” teriaknya sekuat tenaga.
Tapi alih-alih menolong Sang Kancil, para Babi Hutan malahan lari terbirit-birit
mendengar suara menggelegar dari dasar sumur. Dikiranya ada monster
penunggu sumur yang akan memakan mereka.
Sang Kancil kesal bukan main. Dianggapnya para Babi Hutan itu sungguh terlalu
takut pada bayangan monster dalam pikiran mereka sendiri. Mereka terlalu
percaya pada cerita-cerita monster sehingga apa saja yang aneh dan
menakutkan langsung dianggap monster.
Pada hari kelima muncul lagi seekor binatang lain. Kali ini datang seekor keledai
yang baru saja meloloskan diri dari majikannya. Dengan hati riang senang-
senang dia bersiul-siul menyusuri tepi hutan. Sampailah dia di bibir sumur
tempat Sang Kancil terperosok. Tentu saja dia haus dan penasaran, apakah bisa
minum dari sumur tersebut. Belajar dari pengalaman ketakutan para Babi Hutan,
kali ini Sang Kancil tidak berteriak. Dia hanya menyapa pelan pada Keledai yang
tengah melongokkan kepala.
“Wahai teman, Tolonglah aku. Aku terperosok di dalam sumur tanpa bisa keluar
lagi” kata Sang Kancil.
Sang Kancil kembali ditinggal seorang diri di dalam sumur. Pada hari keenam
muncullah sekelompok orang membawa pedati yang beristirahat di tempat itu.
Mereka mendirikan tenda-tenda dan mulai memasak. Nampaknya mereka
adalah kafilah pedagang yang sedang mampir beristirahat.
Sang Kancil menyadari bahwa dirinya juga harus menghindar dari tangkapan
mereka. Maka cepat-cepatlah dia masuk ke sebuah rongga yang ada di dinding
sumur dan bersembunyi di situ karena takut ditangkap dan dijadikan sate kancil
yang tersohor kegurihannya.
Untunglah para pedagang itu jarang melongok ke dalam sumur sehingga tidak
memergoki Sang Kancil. Mereka hanya sesekali saja pergi ke sumur itu untuk
mengambil air dengan ember yang diikat dengan tali. Air itu dipergunakan untuk
memasak, mencuci dan mandi. Keesokan harinya mereka telah meninggalkan
tempat itu. Dari suara-suara mereka, tahulah Sang Kancil bahwa para pedagang
itu membuang ember bertali di dekat sumur karena dianggapnya sudah usang.
Pada hari ketujuh muncullah sekelompok gajah yang melintas di dekat sumur.
Mereka meneliti dasar sumur karena kehausan. Tak sengaja terlihat oleh mereka
Sang Kancil tengah tertidur di sana. Para Gajah itu saling berbisik membicarakan
binatang yang tengah terbaring di dasar sumur. Kemudian mereka berteriak
memanggil Sang Kancil.
Sang Kancil kaget oleh teriakan para Gajah dan terbangun. Dilihatnya ada
beberapa kepala gajah menyembul di bibir sumur. Diam-diam dia sedang
berpikir keras cara minta bantuan mereka untuk keluar dari sumur. Akhirnya dia
memutuskan untuk membantu para Gajah, baru kemudian minta tolong pada
mereka. Memberi dulu baru kemudian menerima pertolongan.
“Wahai Gajah kita adalah sobat yang harus tolong menolong” kata Kancil. Para
Gajah mengangguk-angguk sambil bergumam tanda setuju. Mereka tak sadar
jika Sang Kancil berada di dalam sumur karena terjatuh.
“Aku tahu kalian kehausan. Aku akan membantu kalian mengambil air dari dalam
sumur. Coba lihat adakah ember dan tali yang diletakkan di dekat sumur.
Kemarin kudengar para kafilah membuang ember beserta talinya karena sudah
punya ember baru. Walaupun butut ember itu masih berguna bagi kalian.
Turunkan ember ke dalam sumur, pegang ujung talinya. Aku akan membantumu
menciduk air sumur” teriak Sang Kancil.
Para Gajah yang tengah kehausan dengan antusias mencari-cari barang yang
disebutkan Sang Kancil. Sampai akhirnya mereka menemukan tak jauh dari bibir
sumur tergeletak ember butut yang diikat dengan tali yang tak kalah bututnya
dan penuh sambungan. Kemudian mereka menurunkan ember ke dalam sumur.
Sang Kancil membantu menciduk air dan menyuruh gajah menarik ember yang
sudah terisi air ke atas.
Begitulah berulang kali air diambil dari dasar sumur. Dengan girangnya para
Gajah bergantian minum dan mandi dari air dalam ember yang diambil dari
dalam sumur. Maklum sudah dari kemarin mereka kesulitan mencari sumber air.
Setelah semua Gajah selesai mandi, barulah Sang Kancil berteriak untuk minta
dikeluarkan dari dasar sumur.
Merasa Sang Kancil telah membantu mereka mendapatkan air, para Gajah
dengan senang hati membantu Sang Kancil keluar dari dasar sumur. Sang
Kancil berpegangan erat pada ember saat dia ditarik keluar dari dasar sumur.
Setelah satu malam menginap di tempat itu dengan dijaga para Gajah, Sang
Kancil merasa dirinya cukup kuat untuk melanjutkan perjalanan menuju pantai
selatan samas untuk bertemu dengan keluarga Paus biru. Keluarga mamalia laut
raksasa itu mengundang Sang Kancil untuk mengajari mereka tentang
perubahan angin, cuaca dan iklim di Samudera Hindia agar mereka tidak
terdampar di pantai yang dangkal karena kesalahan memperkirakan sifat-sifat
lautan.
Kancil berterimakasih pada para Gajah yang telah membantunya. Para Gajah
juga merasa sangat berhutang budi pada Sang Kancil yang telah memberi tahu
teknik sederhana mengambil air dari dalam sumur. Sengaja mereka membawa
ember butut bertali ke rumah mereka di tengah hutan. Di sana terdapat sumur
yang tidak pernah dimanfaatkan karena para Gajah tidak tahu cara mengambil
air dari sumur yang dalam. (SELESAI).