Cekungan Migas Di Indonesia
Cekungan Migas Di Indonesia
INDONESIA
Indonesia adalah negara yang sangat besar, hal ini terbukti lebih dari 17.508 pulau
yang saling berjajar rapi dikelilingi bentangan 3,9 juta km² luas lautan. Luas perairan di
seluruh Nusantara sebesar 7,9 juta km² temasuk Zona Ekonomi Eksklusif. Indonesia memiliki
garis pantai terpanjang nomor dua di dunia setelah Kanada dengan panjang 81.000 km. Prof.
Dr. Laode M. Kamaluddin (2002) mengemukakan bahwa Nusantara memiliki
keanekaragaman yang sangat besar. Disamping mempunyai variasi iklim dan terjadi El Nino
serta La Nina, Indonesia mempunyai struktur pinggiran yang berpotensi mengandung
sumber-sumber daya alam seperti mineral, air, uap alam, minyak dan gas alam.
Data Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa sumber
daya minyak bumi di Indonesia pada tahun 2008 sebesar 56,6 milyar barel.
Prakiraan pada temuan awal mengindikasikan potensi cadangan berkisar antara 107 –
320 milyar barrel cadangan minyak / gas bumi.Prakiraan angka terbilang fantastis disaat
semakin langka penemuan sumber minyak bumi & gas di bumi Indonesia, apalagi mengingat
bahwa temuan cadangan minyak bumi & gas terkini yang dimiliki Indonesia di Blok Cepu
Banyuurip, Propinsi Jawa Tengah, adalah 450 juta barrel. Negeri petro-dollar Saudi Arabia
sebagai negara terbesar penyimpan minyak bumi sedunia memiliki cadangan kandungan
minyak & gas bumi sebesar: 264 milyar (setara 20% dari angka cadangan minyak bumi
global).
Ladang sumur dan cadangan minyak di Indonesia paling banyak terdapat di dasar laut atau
biasa disebut offshore, sehingga diperlukan teknologi yang tinggi untuk memproduksi
minyak tersebut. Hal ini belum lagi pengeboran laut dalam yang enggan dilakukan
pemerintah mengingat teknologi offshore relatif muda yaitu pada tahun 2001 pertama kali
diterapkan di Indonesia.
Sebagian besar lokasi cekungan yang menarik untuk pengembangan blok baru tersebut
terletak di kawasan Timur Indonesia dan berlokasi di offshore. Diantara lokasi cekungan
sedimen tersebut adalah di sekitar pulau Sulawesi Offshore, Nusa Tenggara Offshore,
Halmahera dan Maluku, serta Papua Offshore. Disamping rasio penemuan yang kompetitif,
biaya penemuan (Finding ) Cost untuk cekungan di kawasan yang sebagian besar berlokasi di
offshore, juga relatif lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain di Asia Tenggara.
Dengan rata-rata biaya penemuan migas yang rendah, berdampak pada resiko investasi
terutama untuk modal awal yang besar pada lokasi offshore. Dengan kondisi-kondisi diatas,
Indonesia bisa dibilang sebagai wilayah yang sangat menjanjikan bagi investasi migas.
Sampai dengan akhir tahun 2010 status Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) berjumlah
246 KKKS.
Produksi minyak bumi dan kondensat pada tahun 2010 mencapai 346,38 ribu barrel
dengan produksi harian sebesar 944,9 ribu bph, mengalami penurunan sebesar 3.900 bph
dibandingkan produksi minyak bumi dan kondensat tahun 2009 sebesar 948,8 ribu bph.
Penurunan produksi tersebut disebabkan antara lain karena mundurnya jadwal produksi awal
beberapa KKKS, penurunan produksi alamiah, dan permasalahan teknis operasional.
Produksi gas bumi pada tahun 2010 sebesar 9.336 MMSCFD , mengalami kenaikan
sebesar 1.034 MMSCFD dari 8.302 MMSCFD pada tahun 2009. Kenaikan produksi tersebut
antara lain karena mulai berproduksinya beberapa lapangan gas baru dan optimalisasi
produks.
Berdasarkan data terakhir yang dikumpulkan dari berbagai sumber, telah diketahui bahwa ada
sekitar 60 basin yang diprediksi mengandung cebakan migas yang cukup potensial.
Diantaranya basin Sumatera Utara, Sibolga, Sumatera Tengah, Bengkulu, Jawa Barat Utara,
Natuna Barat, Natuna Timur, Tarakan, Sawu, Asem-Asem, Banda, dll.
Cekungan Di Paparan Sunda
Pola geologi dan tatanan stratigrafi regional cekungan Sumatra Utara secara umum
telah banyak diketahui berkat hasil aktivitas eksplorasi minyak dan gas alam serta pemetaan
bersistem pulau Sumatra dalam skala 1:250.000. Keith (1981)dalam google.co.id/cekungan
sumatera membuat pembagian stratigraf Tersier Cekungan Sumatra Utara menjadi tiga
kelompok yaitu Kelompok I sebagai fase tektonik, pengangkatan dan pengerosian, berumur
Eosen hingga Oligosen Awal. Kelompok II merupakan fase genang laut yang dimulai dengan
pembentukan formasi-formasi dari tua ke muda yaitu Formasi Butar, Rampong, Bruksah,
Bampo, Peutu dan Formasi Baong. Kelompok III adalah perioda regresif dengan
pembentukan kelompok Lhoksukon.
Penurunan cepat dasar cekungan tersebut merupakan akibat mulainya rifting di laut
Andaman dan pada saat inilah terbentuk serpih laut dalam Formasi Baong yang kaya material
organik dan menjadi salah satu batuan induk potensial di daerah Aru. Periode antara 12.4-
10.2 juta tahun lalu ditandai dengan kecepatan sedimentasi cukup besar tetapi penurunan
dasar sedimen atau cekungan lebih lambat sebagai awal pengangkatan Bukit Barisan atau
dikenal sebagai tektonik Miosen Tengah. Batupasir Baong Tengah terbentuk pada periode ini
dan merupakan salah satu batuan waduk (reservoir) daerah Aru. Pada 9.3-8.3 juta tahun lalu
kecepatan sedimentasi sangat besar tetapi diikuti pula penurunan dasar sedimen atau
cekungan yang sangat besar sehingga penurunan sangat dipengaruhi. oleh pembebanan
sedimen disamping akibat penurunan tektonik. Pada waktu tersebut terbentuk endapan klastik
kasar Keutapang Bawah, diendapkan dalam lingkungan delta atau laut dangkal dan
merupakan juga batuan waduk (reservoir)penting di daerah Aru.
Model penurunan tektonik daerah Aru pada awalnya menunjukkan penurunan lambat
dilanjutkan penurunan sangat cepat antara 12.4-10.2 juta tahun lalu akibat rifting di Laut
Andaman. Pada Miosen Tengah atau antara 12.4-9.3 juta tahun lalu pola penurunan relatif
lambat, stabil atau terjadi pengangkatan akibat tektonik Miosen Tengah. Penurunan kembali
cepat antara 9.3-8.3 juta tahun lalu dan menjadi sangat lambat antara 5.3-4.4 juta tahun lalu
sebelum terjadi pangangkatan Pilo Pleistosen.
Cekungan Sumatra Tengah
Konsolidasi Basement pada zaman Yura, terdiri dari sutur yang berarah Barat laut-Tenggara.
Basement terkena aktivitas magmatisme dan erosi selama zaman Yura akhir dan zaman
Kapur.
Tektonik ekstensional selama Tersier awal dan Tersier tengah (Paleogen) menghasilkan
sistem graben berarah Utara-Selatan dan Barat laut-Tenggara. Kaitan aktivitas tektonik ini
terhadap paleogeomorfologi di Cekungan Sumatra tengah adalah terjadinya perubahan
lingkungan pengendapan dari longkungan darat, rawa hingga lingkungan lakustrin, dan
ditutup oleh kondisi lingkungan fluvial-delta pada akhir fase rifting.
Selama deposisi berlangsung di Oligosen akhir sampai awal Miosen awal yang
mengendapkan batuan reservoar utama dari kelompok Sihapas, tektonik Sumatra relatif
tenang. Sedimen klastik diendapkan, terutama bersumber dari daratan Sunda dan dari arah
Timur laut meliputi Semenanjung Malaya. Proses akumulasi sedimen dari arah timur laut
Pulau Sumatra menuju cekungan, diakomodir oleh adanya struktur-struktur berarah Utara-
Selatan. Kondisi sedimentasi pada pertengahan Tersier ini lebih dipengaruhi oleh fluktuasi
muka air laut global (eustasi) yang menghasilkan episode sedimentasi transgresif dari
kelompok Sihapas dan Formasi Telisa, ditutup oleh episode sedimentasi regresif yang
menghasilkan Formasi Petani.
Akhir Miosen akhir volkanisme meningkat dan tektonisme kembali intensif dengan
rejim kompresi mengangkat pegunungan Barisan di arah Barat daya cekungan. Pegunungan
Barisan ini menjadi sumber sedimen pengisi cekungan selanjutnya (later basin fill). Arah
sedimentasi pada Miosen akhir di Cekungan Sumatra tengah berjalan dari arah selatan
menuju utara dengan kontrol struktur-struktur berarah utara selatan.
Tektonisme Plio-Pleistosen yang bersifat kompresif mengakibatkan terjadinya inversi-inversi
struktur Basement membentuk sesar-sesar naik dan lipatan yang berarah Barat laut-Tenggara.
Tektonisme Plio-Pleistosen ini juga menghasilkan ketidakselarasan regional antara formasi
Minas dan endapan alluvial kuarter terhadap formasi-formasi di bawahnya.
Geologi Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil kegiatan tektonik yang
berkaitan erat dengan penunjaman Lempeng Indi-Australia, yang bergerak ke arah utara
hingga timurlaut terhadap Lempeng Eurasia yang relatif diam. Zone penunjaman lempeng
meliputi daerah sebelah barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa. Beberapa lempeng
kecil (micro-plate) yang berada di antara zone interaksi tersebut turut bergerak dan
menghasilkan zone konvergensi dalam berbagai bentuk dan arah. Penunjaman lempeng Indi-
Australia tersebut dapat mempengaruhi keadaan batuan, morfologi, tektonik dan struktur di
Sumatera Selatan. Tumbukan tektonik lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan jalur busur
depan, magmatik, dan busur belakang.
Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak – gerak
tensional yang membentuk graben dan horst dengan arah umum utara – selatan.
Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan batuan – batuan Pra –
Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua yang mengontrol pembentukan
Formasi Pra – Talang Akar.
Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio – Plistosen yang menyebabkan pola
pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam pembentukan struktur perlipatan
dan sesar sehingga membentuk konfigurasi geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga
terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar
Semangko yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horisontal
yang terjadi mulai Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan
Sumatera Selatan dan Tengah sehingga sesar – sesar yang baru terbentuk di daerah ini
mempunyai perkembangan hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan
horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada Plio – Plistosen menghasilkan lipatan yang
berarah barat laut – tenggara tetapi sesar yang terbentuk berarah timur laut – barat daya dan
barat laut – tenggara. Jenis sesar yang terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar
mendatar dan sesar normal.
Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat laut –
tenggara sebagai hasil orogenesa Plio – Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang terjadi
dapat dibedakan atas pola tua yang berarah utara – selatan dan barat laut – tenggara serta pola
muda yang berarah barat laut – tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera .
Batuan sedimen tersebut telah mengalami gangguan tektonik sehingga terangkat
membentuk lipatan dan pensesaran. Proses erosi menyebabkan batuan terkikis kemudian
membentuk morfologi yang tampak sekarang. Cekungan Sumatera Selatan dan Cekungan
Sumatera Tengah merupakan satu cekungan besar yang dipisahkan oleh Pegunungan
Tigapuluh. Cekungan ini terbentuk akibat adanya pergerakan ulang sesar bongkah pada
batuan pra tersier serta diikuti oleh kegiatan vulkanik.
Daerah cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi depresi Jambi di utara, Sub
Cekungan Palembang Tengah dan Sub Cekungan Pelembang Selatan atau Depresi Lematang,
masing-masing dipisahkan oleh tinggian batuan dasar (“basement”).Di daerah Sumatera
Selatan terdapat 3 (tiga)antiklinurium utama, dari selatan ke utara: Antiklinorium Muara
Enim, Antiklinorium Pendopo Benakat dan Antiklinorium Palembang. Pensesaaran batuan
dasar mengontrol sedimen selama paleogen. Stratigrafi normal memperlihatkan bahwa
pembentukan batubara utara-selatan dimana pada bagian barat daerah penyelidikan sungai-
sungai mengalir kearah sungai Semanggus, sedangkan pada bagian timur daerah penyelidikan
sungai sungai mengalir ke arah timur dengan Sungai Baung dan Sungai Benakat sebagai
sungai Utama.
Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga dengan Cekungan Tarakan
(IBS, 2006) merupakan salah satu cekungan penghasil hidrokarbon di Kalimantan Timur
bagian utara. Cekungan Tarakan dapat dibagi menjadi 4 sub-cekungan yaitu: Sub-cekungan
Tidung, Sub-cekungan Berau, Sub-cekungan Tarakan, dan Sub-cekungan Muara (Biantoro
dkk., 1996; IBS, 2006). Batas-batas dari empat sub-cekungan tersebut adalah zona-zona sesar
dan tinggian. Bagian utara dari Cekungan Kalimantan Timur Utara dibatasi oleh Tinggian
Samporna yang terletak sedikit ke utara dari perbatasan wilayah Indonesia dan Malaysia.
Bagian barat ke arah Kalimantan dibatasi oleh Punggungan Sekatak-Berau. Sedangkan di
bagian selatan, terdapat Punggungan Mangkalihat yang memisahkan Cekungan Tarakan
dengan Cekungan Kutai. Batas timur dan tenggara dari cekungan ini berupa laut lepas Selat
Makasar.
Proses Rifting berjalan dengan terus menerus disertai dengan adanya pengangkatan
secara lokal di bagian barat dari sub-cekungan mengontrol siklus-siklus pengendapan
sedimen pada sub-cekungan ini. Pengendapan pada sub-cekungan ini dapat dibagi menjadi 4
siklus berhubungan dengan beberapa kejadian tektonik pada regional. Pengendapan sedimen-
sedimen siklus yang pertama (Siklus 1) terjadi pada saat terjadinya pengangkatan pada Eosen
Tengah yang menyebabkan erosi di Tinggian/Punggungan Sekatang.
Pengendapan siklus yang kedua (Siklus 2) dimulai sejak pengangkatan Oligosen Awal
pada fasa transgresif, dengan sedimen yang diendapkan secara tidakselarasan terhadap Siklus
.Fasa ini berubah menjadi regresif ketika proses rifting berakhir dan pengangkatan mencapai
puncaknya pada akhir dair Miosen Akhir. Pengangkatan yang kedua ini berbeda dengan
proses pengangkatan pertama karena berkembang ke arah timur dan menghasilkan
Punggungan Dasin-Fanny. Proses rifting yang kedua ini menghasilkan sesar-sesar normal
yang memiliki arah timurlaut-baratdaya.
Gambar 2. Tektonik Sub-Cekungan Tarakan (Modifikasi dari Biantoro dkk., 1996).
Batuan dasar pada cekungan Kalimantan Timur Utara terdiri dari sedimen-sedimen berumur
tua, meliputi Formasi Danau (Heriyanto dkk., 1991) atau disebut juga Formasi Damiu (IBS,
2006), Formasi Sembakung, dan Batulempung Malio. Sedimen-sedimen tersebut telah
terkompaksi, terlipatkan, dan tersesarkan.
Gambar 3. Kolom Stratigrafi Cekungan Kalimantan Timur Utara (kiri: dimodifikasi dari Heriyanto
dkk., 1991; kanan: IBS, 2006)
CEKUNGAN KUTAI
Cekungan Kutai merupakan cekungan dengan luas 165.000 km2 dan memiliki
ketebalan sedimen antara 12.000-14.000 meter. Hal ini menyebabkan Cekungan Kutai
dikatakan sebagai cekungan terluas dan terdalam di Indonesia yang terletak di pantai timur
Kalimantan dan daerah paparan sebelumnya. Cekungan Kutai merupakan cekungan
hidrokarbon yang berumur Tersier dimana
minyak dan gas bumi terperangkap pada batupasir berumur Miosen dan Pleistosen. Cekungan
ini terbentuk pada batupasir berumur Miosen dan Plestosen. Cekungan ini terbentuk dan
berkembang akibat proses-proses pemisahan diri akibat tegangan di dalam lempeng Mikro
Sunda yang menyertai interaksi antara lempeng Sunda dan lempeng Pasifik disebelah timur.
Lempeng Hindia-Australia
di selatan, dan lempeng Laut Cina selatan di utara (Satyana, et. Al., 1999).
Gambar 3.1 Fisiografi Cekungan Kutai (Peterson dkk., 1997 dalam Mora dkk.,2001)
a. Batuan Induk
Batuan induk utama pada Cekungan Kutai adalah batuan berumur Miosen yaitu mudstone,
serpih, lempung, dan batubara. Batuan induk ini terbentuk pada lingkungan pengendapanparalic,
delta, sampai laut dangkal. Analisa geokimia pada serpih, lempung, dan batubara Miosen
menunjukkan bahwa batuan induk ini dapat menghasilkan waxy oil dan gas dari percampuran
kerogen dengan tipe yang berbeda. Nilai TOC berkisar antara 0.14 ± 15.37% dan rata ± rata berkisar
antara 0.5 ± 1.0%. Endapan serpih organic dari delta plain bawah sampai lingkungan delta front
diketahui sebagai batuan induk pada barat laut Kalimantan dan Cekungan Kutai. Serpih memuat 2 ±
3% produksi karbon organic dari kategori tipe III (Anshary, 2008).
b. Batuan Reservoar
Akumulasi minyak dan gas bumi yang terdapat di daerah Mahakam, umumnya ditemukan
pada reservoir yang berumur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir pada Formasi Balikpapan.
Reservoar karbonat tidak terlalu banyak mengandung akumulasi hidrokarbon bernilai ekonomis.
Akumulasi hidrokarbon justru ditemukan dalam endapan turbidit. Pada lapangan minyak yang
berada di darat (onshore), reservoar pada umumnya terdiri dari sedimen ± sedimen fluvial dan
distributary channel, dimana jarak antara tubuh batupasir dan jumlah akomdasi sedimen sangat
mengontrol konektivitas dari reservoar ± reservoar tersebut (Anshary, 2008). Reservoar yang
terdapat pada bagian dalam lepas pantai (inner offshore) terdiri dari sedimen ±sedimen lower delta
plain dan sedimen ±sedimen delta front. Sedimen ± sedimen distributary channel juga hadir dengan
dimensi yang sama denngan reservoar darat namun lebih jarang muncul. Reservoar pada delta front
terdiri dari sedimen ± sedimen mouthbar (Anshary, 2008).
Lapangan ± lapangan minyak dan gas yang berada di Delta Mahakam memiliki perangkap
struktur dan stratigrafi. Reservoar ± reservoar yang berupa endapan fluvial, distributary channel, dan
mouth bar biasanyaterdapat di bagian sayap dari antikllin dan dapat juga muncul sebagai perangkap
campuran antara struktur dan stratigrafi. Komponen± komponen stratigrafi di bagian utara dan selatan
Sungai Mahakam Modern, dimana paleo-channel-nya miring terhadap sumbu struktur. Perangkap
struktur terbentuk pada Miosen Akhir karena adanya pergerakan tektonik yang mendesak batuan
dasar dan batuan sedimen di atasnya, pergerakan tersebut berarah ke barat menghasilkan
pengangkatan dan erosi 1.000 kaki sedimen berumur Oligosen dan Miosen (Anshary, 2008). Lapisan
penutup yang berada di Delta Mahakam umumnya berupa batulempung-serpih sedangkan di bagian
laut didominasi oleh sejumlah besar mudstone
d. Migrasi
Paleogen Play
Migrasi primer hidrokarbon terjadi pada batuan induk Eosen Tengah ± Eosen
jalur migrasi vertical dari Paleogen Kitchen terjadi sesar ±sesar berarah NNE ± SSW menuju
reservoar lowstand berumur Miosen Tengah ± Miosen Akhir. Migrasi lateral dari daerah mature
kitchen juga difasilitasi melalui reservoar lowstand yang miring ke timur menuju perangkap stratigrafi
atau struktur yang ada pada daerah tersebut.
Neogen Play
Migrasi hidrokarbon dari batuan induk berumur Miosen Awal± Miosen Tengah terjadi setelah
Miosen Tengah. Jalur migrasi pada umumnya vertical dan mungkin memiliki migrasi lateral yang
berasal dari pusat cekungan. Pembentukan perangkap terjadi sejak Miosen Tengah sampai sekarang
(Anshary, 2008).
CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA
Cekungan Jawa Barat Utara (North West Java Basin) merupakan cekungan sedimen Tersier yang
terletak tepat di bagian barat laut Pulau Jawa (Gambar 1) yang sudah terbukti dapat
menghasilkan hidrokarbon. Cekungan ini memiliki penyebaran dari wilayah daratan dan lepas
pantai Serang di sebelah barat membentang ke arah timur sampai Cirebon dan terdiri dari
beberapa sub
Tektonik Regional
Cekungan Jawa Barat Utara secara geodinamik saat ini berada pada posisi belakang busur dari
jalur vulkanik Jawa yang merupakan hasil dari subduksi lempeng India-Australia di selatan
terhadap lempeng Eurasia (Paparan Sunda) di utara. Beberapa peristiwa tektonik yang terjadi
sejak Tersier mempengaruhi pembentukan struktur dan pola sedimentasi pada cekungan ini.
Gambar 2. Jalur subduksi Meratus (Kapur Akhir-Tersier Awal) dan jalur subduksi Tersier Akhir
(Hutchison, 1982). Panah hijau menunjukan arah tegasan utama (kompresif) pada masing-masing
periode subduksi.
Selama periode Kapur Akhir sampai Eosen Awal*1, berlangsung subduksi yang dikenal dengan
subduksi Meratus pada batas selatan Paparan Sunda dengan jalur gunung apinya melewati
Cekungan Jawa Barat Utara (Gambar 2). Menurut Gresko dkk. (1995), keberadaan subduksi
Meratus tersebut mempengaruhi keadaan geologi cekungan. Terjadinya metamorfisme regional
pada Kapur Akhir, deformasi pada Paleosen, serta vulkanisme sampai Oligosen Awal
diperkirakan berhubungan dengan kegiatan subduksi Meratus. Metamorfisme dan magmatisme
yang berlangsung menghasilkan batuan metamorf dan intrusi batuan beku yang kemudian
menyusun batuan dasar pada Cekungan Jawa Barat Utara, sedangkan deformasi yang terjadi
menyebabkan pengangkatan dan erosi pada Kala Paleosen.
Gambar 3. Peta struktur dan tektonik Oligosen Awal Cekungan Jawa Barat Utara (Gresko dkk.,
1995).
Jalur subduksi Meratus yang berarah relatif baratdaya-timurlaut memberikan tegasan utama
kompresif yang berarah baratlaut-tenggara, menghasilkan struktur sesar-sesar normal (turun)
berarah baratlaut-tenggara di daerah penelitian. Pemekaran (rifting) yang diakibatkan
pergerakan dari sesar-sesar turun tersebut menyebabkan terbentuknya daerah-daerah
rendahan (Gambar 3) yang kemudian diisi oleh endapan-endapan yang dihasilkan oleh kegiatan
vulkanisme yang sedang berlangsung (Formasi Jatibarang).
Gambar 4. Pergerakan fragmen benua dari selatan dari Kapur sampai Eosen Awal(kanan) yang
kemudian menumbuk batas selatan Paparan Sunda (Sribudiyani dkk., 2003).
Pemekaran pada Cekungan Jawa Barat Utara kemudian berhenti pada Oligosen Awal*. Menurut
Sribudiyani dkk. (2003), sebuah fragmen benua yang berasal dari selatan bergerak menuju ke
jalur subduksi Meratus dan mulai menumbuk jalur subduksi tersebut pada Eosen Awal.
Tumbukan tersebut mengakibatkan berhentinya aktivitas magmatisme sebelumnya (periode
Subduksi Meratus) dan terjadinya pengangkatan kompleks subduksi membentuk Pegunungan
Meratus di Kalimantan dan Kompleks Melange Luk Ulo di Jawa Tengah (Gambar 4), serta
menyebabkan berhentinya pemekaran di Cekungan Jawa Barat Utara.
Setelah berlangsungnya tumbukan fragmen benua dengan tepi tenggara paparan Sunda, jalur
subduksi baru yang dikenal dengan jalur subduksi Jawa yang berarah barat-timur kemudian
muncul. Jalur subduksi Jawa ini berada di selatan jalur subduksi Meratus dan menghasilkan jalur
gunung api yang berada di selatan terhadap jalur gunung api akibat subduksi Meratus, sehingga
Cekungan Jawa Barat Utara berada di belakang busur sejak Oligosen (Gambar 2).
Gambar 5. Cekungan-cekungan pull apart yang terbentuk pada Eosen Tengah danOligosen Akhir
(Daly dkk., 1987). Biru: pull apart basin yang terbentuk pada masing-masing periode
Daly dkk. (1987) menyatakan bahwa konvergensi India dengan Asia sejak Eosen Akhir
menyebabkan ekstrusi Asia Tenggara melalui beberapa sesar geser utama. Sesar geser Bangka
(Bangka Shear) dan zona sesar Sumatra (SFZ) merupakan dua sesar geser utama yang dianggap
berperan dalam menimbulkan fase transtensional yang berperan dalam membentuk cekungan-
cekungan di regional Sumatra dan Jawa (Sribudiyani dkk., 2003). Rendahan-rendahan yang
diakibatkan pergerakan sesar-sesar normal utama berarah relatif utara-selatan muncul di
Sumatera pada Eosen Tengah*3/40jtl dan di Jawa Barat Utara pada Oligosen/30jtl (Gambar 5).
Cekungan Jawa Barat Utara berkembang menjadi pull apart basin yang terdapat di belakang
busur sejak Oligosen.
Gambar 6. Penampang barat-timur Cekungan Jawa Barat Utara (Patmosukismo dan Yahya, 1974)