Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keluhan muskuloskeletal merupakan salah satu gejala klinis yang cukup


sering dikeluhkan oleh pasien. Salah satu masalah muskuloskeletal yang cukup
sering ditemui adalah osteoartritis (IRA, 2014). Osteoartritis (OA) adalah gangguan
sendi kronik yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara degradasi dan sintesis
rawan sendi serta matriks ekstraseluler, kondrosit dan tulang subkondral pada usia
tua (Sjamsuhidayat & de Jong, 2010). OA paling sering mengenai lutut, panggul,
tulang belakang dan pergelangan kaki (IRA, 2014).
Prevalensi penyakit ini meningkat tajam seiring dengan bertambahnya usia
(Sjamsuhidayat & de Jong, 2010). OA diketahui dialami sepertiga populasi di atas
usia 65 tahun dan merupakan satu dari lima penyebab disabilitas utama pada
populasi usia lanjut di Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri kasus OA merupakan
kasus penyakit reumatik yang paling sering ditemui (IRA, 2014). Diperkirakan 1
sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat karena OA. Prevalensi
OA lutut secara radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15.5% pada
pria dan 12.7% pada wanita yang berumur antara 40-60 tahun (Soeroso, Isbagio,
Kalim, Broto, & Pramudiyo, 2014).
OA merupakan penyakit dengan progresifitas yang lambat, dengan etiologi
yang tidak diketahui (IRA, 2014). Namun terdapat beberapa faktor risiko yang
diketahui berperan pada OA, baik faktor risiko yang tidak dapat diubah maupun
yang dapat diubah. Faktor risiko OA yang tidak dapat diubah antara lain riwayat
keluarga, jenis kelamin, suku, dan usia. Sedangkan faktor risiko yang dapat diubah
antara lain obesitas, aktivitas fisik berlebihan, hiperurisemia, dan diet
(Sjamsuhidayat & de Jong, 2010). Selain itu, penyakit metabolik, trauma sendi, dan
kelainan kongenital juga memegang peran sebagai faktor-faktor risiko terjadinya
OA (Felson, 2015).
Keluhan penderita OA sangat beragam, tetapi umumnya gejala yang dominan
adalah nyeri. Nyeri sendi tersebut biasanya timbul ketika bergerak dan berkurang

1
ketika beristirahat (Sjamsuhidayat & de Jong, 2010). Nyeri pada OA juga dapat
berupa penjalaran, misalnya pada kasus OA servikal dan lumbal (Soeroso, et al.,
2014). Selain nyeri, dapat timbul pula kekakuan sendi, keterbatasan gerak, serta
instabilitas sendi (Sjamsuhidayat & de Jong, 2010). Kekakuan sendi sering timbul
ketika bangun di pagi hari atau beberapa saat setelah periode inaktif yang dapat
berlangsung secara prominen, namun seringkali hilang dalam waktu 20 menit
(Felson, 2015).
Sampai saat ini belum ada terapi spesifik yang dapat menyembuhkan OA.
Penatalaksanaan umumnya bersifat simptomatik terutama menghilangkan nyeri,
memperbaiki gerak dan fungsi sendi serta meningkatkan kualitas hidup. Untuk
membantu mengurangi keluhan nyeri pada OA, biasanya digunakan analgetik
seperti nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) (Soeroso, et al., 2014).
Menurut penelitian yang dilakukan Kidd, et al. pada tahun 2007, NSAID
merupakan analgesik yang efektif dalam menangani gejala nyeri pada OA, baik
yang diberikan secara oral maupun topikal. Pernyataan ini didukung oleh penelitian
yang dilakukan oleh van Walsem, et al. pada tahun 2015 yang menyatakan bahwa
penggunaan NSAID jenis diklofenak efektif dalam mengurangi gejala nyeri.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia mengeluarkan sebuah rekomendasi
penatalaksanaan OA pada tahun 2014 yang menyatakan bahwa NSAID menjadi
salah satu pilihan terapi farmakologi lini pertama.
Pemberian terapi NSAID harus dimulai dalam dosis rendah dan dapat
dinaikkan jika dosis awal kurang efektif. Terapi NSAID dapat berisiko
menimbulkan gejala pada saluran cerna apabila diberikan pada kelompok tertentu,
seperti pasien lanjut usia atau pasien dengan riwayat komorbid kelainan pada
saluran cerna (IRA, 2014).
Data pasien yang terdiagnosis OA saat berobat jalan di Poliklinik Ortopedi
dan Traumatologi RSUD Abdul Wahab Sjahranie mencapai angka 200 pasien
selama periode 2016. Namun, peneliti belum menemukan studi yang membahas
mengenai ketepatan pemberian terapi farmakologi pada kasus OA.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai pola pemberian obat NSAID pada kasus OA di Rumah Sakit Umum
Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda pada periode 2015-2016.

2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka didapatkan rumusan masalah
penelitian yaitu bagaimana pola pemberian NSAID pada kasus OA di RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pola pemberian NSAID pada kasus OA di RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda.
1.3.2 Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui karakteristik pasien OA di Poliklinik Ortopedi RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.
2) Untuk mengetahui pola pemberian NSAID pada kasus OA di Poliklinik
Ortopedi dan Traumatologi RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Praktis
1) Sebagai masukan dalam meningkatkan mutu pelayanan medis terhadap
pasien OA, khususnya pada pemberian NSAID.
2) Sebagai sumber informasi kepada pasien OA agar pasien dapat meningkatkan
kualitas hidupnya.
1.4.2 Manfaat Ilmiah
1) Menambah pengetahuan kedokteran di bidang Ilmu Bedah Ortopedi dan
Traumatologi.
2) Menambah wawasan pengetahuan penulis dalam bidang Ilmu Bedah
Ortopedi dan Traumatologi, khususnya tentang OA.
3) Sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya.
1.4.3 Manfaat bagi Peneliti
1) Sebagai tempat mengaplikasikan ilmu yang telah diterima selama masa
preklinik, khususnya dalam bidang metodologi penelitian.
2) Meningkatkan pengalaman dan keterampilan peneliti dalam mencari data dan
menganalisa kasus OA di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Osteoartritis (OA) merupakan kelainan kronis dan degeneratif pada sendi
yang sering mengenai panggul, lutut, dan tangan yang sering memerlukan
pengobatan jangka panjang untuk mengatasi gejala akut dan mencegah komplikasi
jangka panjang (Balmaceda, 2014). Kelainan yang terjadi pada OA meliputi
hilangnya kartilago artikular secara progresif, sklerosis subkondral, pembentukan
osteofit, dan peradangan synovial yang dapat menyebabkan berkurangnya
kemampuan fisik dan menurunnya kualitas hidup seseorang (Zweers, et al., 2011).

2.2 Epidemiologi
OA menjadi penyakit sendi paling sering yang diderita manusia (Felson,
2015). OA diketahui dialami sepertiga populasi di atas usia 65 tahun dan merupakan
satu dari lima penyebab disabilitas utama pada populasi usia lanjut di Amerika
Serikat (IRA, 2014). Karena prevalensi yang cukup tinggi dan bersifat kronik-
progresif, OA mempunyai dampak sosio-ekonomik yang besar, baik di negara maju
maupun di negara berkembang (Soeroso, et al., 2014). OA diperkirakan dialami
oleh 27 juta warga di Amerika Serikat (Balmaceda, 2014). Di Indonesia sendiri
diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia menderita kecacatan karena OA
(Soeroso, et al., 2014). 30-50% pasien OA di dunia akan memerlukan penanganan
lebih lanjut berupa penggantian lutut dalam kurun waktu 10 tahun setelah onset
penyakit ini. (Migliore, Massafra, Bizzi, Vacca, & Martin, 2009)
Prevalensi penyakit ini meningkat tajam seiring dengan meningkatnya usia.
Pada pasien yang berusia dibawah 55 tahun, persebaran distribusi sendi yang
mengalami OA cenderung sama pada laki-laki dan perempuan. Pada pasien yang
lebih tua, OA lutut lebih sering ditemukan pada laki-laki, sedangkan perempuan
lebih sering menderita OA pada sendi ruas-ruas jari dan sendi ibu jari (Felson,
2015). Prevalensi OA lutut radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai
15.5% pada pria dan 12.7% pada wanita (Soeroso, et al., 2014).

4
2.3 Faktor Risiko
OA merupakan penyakit dengan progresifitas yang lambat dengan etiologi
yang tidak diketahui (IRA, 2014). Beberapa faktor risiko yang diduga berperan
penting dalam proses terjadinya OA, yaitu:
1) Usia
Usia merupakan faktor risiko yang paling berpotensi menyebabkan OA.
The National Health and Nutrition Examination Survey menemukan prevalensi
OA pada usia 25 hingga 34 tahun hanya 0.1% dibandingkan dengan usia 55-64
tahun yang mencampai angka 80%. Berdasarkan gambaran radiografi, OA
jarang ditemukan pada usia dibawah 40 tahun (Felson, 2013).
Faktor usia berpengaruh dalam beberapa hal, seperti penurunan respon
kondrosit dan faktor pertumbuhan yang berperan dalam merangsang
penyembuhan, meningkatnya kelenturan dari struktur ligamen, dan
menurunnya respon proprioseptif (Brion & Kalunian, 2010).
2) Jenis Kelamin
Di bawah usia 45 tahun frekuensi OA kurang lebih sama pada laki-laki
dan wanita, tetapi di atas usia 50 tahun (setelah menopause) frekuensi OA lebih
sering ditemukan pada wanita (Soeroso, et al., 2014). Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh defisiensi estrogen pasca menopause yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya OA (Brion & Kalunian, 2010).
3) Genetik
Faktor herediter juga berperan pada timbulnya OA dan persentasenya
berbeda pada masing-masing sendi. Pada OA sendi tangan dan panggul,
persentase herediternya mencapai 50%. Sedangkan pada OA lutut hanya
sekitar 30%, bahkan beberapa penelitian menyatakan tidak menemukan peran
dari faktor herediter (Brion & Kalunian, 2010). Adanya mutasi dalam gen
prokolagen II atau gen-gen struktural lain untuk unsur-unsur tulang rawan
sendi diduga berperan dalam timbulnya kecenderungan familial pada OA
tertentu, khususnya OA sendi multipel. Unsur tulang rawan sendi tersebut
antara lain kolagen tipe IX, XII, dan protein pengikat atau proteoglikan
(Soeroso, et al., 2014).

5
4) Kegemukan
Berat badan berlebih sangat berkaitan dengan peningkatan risiko OA,
baik pada wanita maupun pada pria (Soeroso, et al., 2014). Mekanisme
terjadinya OA akibat kegemukan adalah beban berlebih pada sendi penopang
beban, sehingga akan menginduksi penghancuran kartilago akibat cara berjalan
yang tidak tepat (Brion & Kalunian, 2010). Kegemukan tidak hanya berkaitan
dengan OA pada sendi penopang beban, tapi juga pada OA lain (sendi tangan
atau sternoklavikula) (Soeroso, et al., 2014).
5) Trauma Sendi
Trauma sendi mayor dapat menyebabkan abnormalitas anatomi
sehingga berisiko menyebabkan OA (Felson, 2013). Fraktur permukaan sendi
merupakan faktor prekursor OA sekunder yang dapat menyebabkan
ketidakstabilan pada sendi (Solomon, 2010). Robekan pada ligamen dan
struktur fibrokartilago yang melindungi sendi, seperti ligamen krusiata anterior
dan meniskus pada lutut, dapat meningkatkan kerentanan sendi dan dapat
menyebabkan OA (Felson, 2013).
6) Pekerjaan dan Penggunaan Sendi Berulang
Pekerjaan berat atau penggunaan satu sendi secara terus menerus
berkaitan dengan meningkatnya risiko OA tertentu (Soeroso, et al., 2014).
Terdapat 2 kategori dari penggunaan sendi secara terus menurus, yaitu saat
bekerja dan saat beraktivitas fisik. Sebagai contoh, pekerja yang sering
mengangkat alat-alat berat berisiko menderita OA sendi ekstremitas atas
(Solomon, 2010).
Aktivitas fisik seperti berolahraga juga berisiko menyebabkan OA.
Pelari profesional berisiko tinggi mengalami OA sendi lutut dan OA sendi
panggul (Felson, 2013). Atlet olahraga lain seperti petinju juga berisiko
mengalami OA sendi tangan, sedangkan pemain baseball berisiko mengalami
OA sendi bahu (Solomon, 2010).
7) Kelainan Kongenital
Pada kasus OA sendi panggul, terdapat tiga kelainan pertumbuhan yang
menjadi faktor risiko, yaitu displasia kongenital, penyakit Legg-Perthes, dan
pergeseran epifisis femoral (Felson, 2013).

6
2.4 Patogenesis
Patogenesis OA masih kontroversial hingga sekarang. Dahulu OA diduga
akibat dari proses penuaan, namun sekarang banyak teori yang menyatakan OA
disebabkan oleh ketidakseimbangan proses katabolik dan anabolik akibat
kerusakan kartilago secara progresif. Peningkatan proses katabolisme bisa akibat
trauma akut seperti robeknya meniskus atau kejadian mikrotrauma kronis. Pada
awalnya, proses anabolik seperti sintesis proteoglikan dapat menyeimbangi proses
katabolik sehingga kartilago tetap bisa disembuhkan. Namun seiring bertambahnya
usia, proses anabolik mulai menghilang, sedangkan kerusakan kartilago masih
berlanjut bahkan menjadi progresif (Brion & Kalunian, 2010).
OA dapat terjadi akibat dua faktor utama, yaitu kerentanan sendi dan beban
yang ditopang sendi (Felson, 2013). Kerentanan sendi dipengaruhi oleh biomaterial
pada kartilago artikular dan tulang subkondral yang berfungsi sebagai pelindung
sendi (Felson, 2015). Sendi yang rentan akibat disfungsi pada biomaterial dapat
menyebabkan OA walaupun diberikan beban minimal pada sendi, seperti aktivitas
sehari-hari. Pada kasus lain, sendi yang masih memiliki biomaterial lengkap dan
kompeten dapat menyebabkan OA apabila terjadi trauma akut yang berat pada sendi
atau diberikan beban berat repetitif dalam jangka waktu lama (Felson, 2013).
Perubahan paling awal pada kasus OA adalah peningkatan konsentrasi air
dan pembengkakan kartilago (Brion & Kalunian, 2010). Peningkatan konsentrasi
air pada kartilago menyebabkan pengeluaran matriks proteoglikan akibat kegagalan
jaringan kolagen internal untuk menjaga matriks tetap di dalam (Solomon, 2010).
Ketidakseimbangan metabolisme kartilago ini mengakibatkan produk degradasi
matriks kartilago berakumulasi di sendi, menghambat fungsi kartilago, dan akan
mengawali suatu respons imun yang menyebabkan inflamasi sendi (Soeroso, et al.,
2014). Selain itu, kartilago yang membengkak menjadi lebih rentan terhadap
trauma biomekanik dan dapat menimbulkan fragmentasi pada permukaan artikular
yang berakibat pada kerusakan kartilago lebih lanjut. Kondrosit kemudian menjadi
aktif dan terjadi sintesis sitokin proinflamasi seperti Interleukin-1 (IL-1) dan Tumor
Necrosis Factor-a (TNF-a) (Brion & Kalunian, 2010).
Pada tahap selanjutnya, proteoglikan mulai menghilang dan terdapat defek
pada kartilago. Seiring dengan kartilago yang menjadi kurang kaku, terjadi

7
kerusakan sekunder pada kondrosit yang menyebabkan pengeluaran enzim-enzim
sel dan hancurnya matriks kartilago (Solomon, 2010). Enzim yang dikeluarkan
adalah stromelisin, yaitu enzim yang bertugas untuk mendegradasi proteoglikan.
Pengeluaran enzim ini seharusnya ditekan oleh faktor pertumbuhan Transforming
Growth Factor-b (TGF-b). Namun akibat inflamasi pada sendi, sel menjadi kurang
sensitif terhadap beberapa faktor pertumbuhan (Soeroso, et al., 2014).
Hilangnya proteoglikan secara progresif menyebabkan kartilago menjadi
lebih tipis dan berfragmen. Fibrokartilago yang disintesis sebagai respon hilangnya
kartilago hyalin dapat memperbaiki fungsi sendi dan melindungi tulang subkondral,
namun masih tidak efesien untuk menahan beban mekanik yang diterima sendi
dibanding dengan kartilago hyalin (Brion & Kalunian, 2010).
Pada pasien OA terjadi peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan
aktivitas fibrinolitik pada kartilago. Proses ini menyebabkan penumpukkan
trombus dan kompleks lipid pada pembuluh darah subkondral sehingga dapat
terjadi iskemia dan nekrosis jaringan subkondral tersebut. Mediator kimiawi seperti
prostaglandin dan interleukin kemudian akan terlepas dan menimbulkan bone
angina melalui tulang subkondral yang diketahui mengandung ujung saraf sensibel
dan menghantarkan rasa sakit (Soeroso, et al., 2014).

2.5 Patologi
Tanda-tanda kardinal yang ditemukan pada OA, yaitu: (1) kerusakan
kartilago secara progresif; (2) pembentukan kista subartikular, dengan (3) sklerosis
di sekitar tulang; (4) pembentukan osteofit; dan (5) fibrosis kapsular (Solomon,
2010). Gambaran kerusakan kartilago dapat dilihat dengan teknik artroskopi yang
juga dapat digunakan untuk melihat perlunakan dan penipisan kartilago, serta
gambaran fibrilasi. Hilangnya kartilago pertama kali terjadi di sendi yang
menopang beban akibat pengaruh mekanis secara berulang (Brion & Kalunian,
2010). Kartilago yang lebih tipis ini akan meningkatkan risiko kerusakan kartilago,
khususnya pada lapisan basal (Felson, 2013). Sedangkan untuk gambaran
pembentukan kista dan osteofit, serta sklerosis tulang subkondral dapat ditemukan
dengan menggunakan pemeriksaan spesimen patologis dan artroskopi (Brion &
Kalunian, 2010).

8
Seiring dengan progresivitas kerusakan kartilago, struktur tulang di
bawahnya mulai terlihat dan beberapa area mengalami eburnasi (tulang tampak
mengkilap) (Felson, 2015). Fibrokartilago mulai tumbuh keluar melalui permukaan
tulang dan pada bagian ujung sendi mulai ditumbuhi osteofit yang diduga berasal
dari hiperplasia kartilago dan ossifikasi pada ujung permukaan artikular. Proses
remodelling tersebut menjadi tanda utama terjadinya OA (Solomon, 2010).

2.6. Klasifikasi
Berdasarkan etiologi, OA dapat terjadi secara primer maupun sekunder
(IRA, 2014). OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak
diketahui dan tidak berhubungan dengan penyakit sistemik maupun proses
perubahan lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya
kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan
makro serta imobilisasi yang terlalu lama (Soeroso, et al., 2014).
OA primer terbagi lagi menjadi dua jenis, yaitu OA generalisata dan OA
lokal. OA generalisata terjadi apabila OA ditemukan pada 3 daerah atau lebih dari
jenis OA lokal (Tabel 2.1).

Tabel 2.1. Klasifikasi OA primer berdasarkan lokasi sendi yang terkena


OA  Nodus Heberben dan OA  Sendi apofiseal
Tangan Bouchard Vertebra  Sendi intervertebral
 Artritis erosif interfalang  Spondilosis
 Karpal-metakarpal I  Hiperostosis
OA  Bony enlargement OA  Eksentrik (superior)
Lutut  Genu valgus Panggul  Konsentrik (aksial, medial)
 Genu varus  Difus (koksa senilis)
OA  Haluks valgus OA  Glenohumeral
Kaki  Haluks rigidus lainnya  Akromioklavikular
 Jari kontraktur  Tibiotalar
 Sakroiliaka

Sumber: Felson, 2015.

9
Sedangkan OA sekunder terbagi menjadi beberapa jenis berdasarkan
penyebabnya, yaitu:
1) Trauma, baik akut maupun kronis.
2) Kelainan kongenital / kelainan perkembangan
- Penyakit terlokalisasi, misalnya Legg-Calve-Perthes dan dislokasi panggul
kongenital.
- Faktor mekanis, misalnya panjang ekstremitas bawah tidak sama, deformitas
valgus / varus, dan sindroma hipermobilitas.
- Displasia tulang, misalnya displasia epifisis dan displasia spondiloepifisis.
3) Kelainan metabolik, misalnya Wilson’s disease, Gaucher’s disease, dan
hemokromatosis.
4) Kelainan endokrin, misalnya akromegali, hiperparatiroid, diabetes mellitus,
obesitas, dan hipotiroid.
5) Penyakit penumpukan kalsium.
6) Penyakit tulang dan sendi lainnya, seperti fraktur, gout, rheumatoid artritis,
Paget’s Disease, dan osteokondrosis (Felson, 2015).

2.7. Manifestasi Klinis


1) Nyeri sendi
Nyeri merupakan keluhan utama yang biasanya bertambah apabila
digerakkan dan sedikit berkurang dengan istirahat (Soeroso, et al., 2014). Nyeri
dapat menyebar dari sendi yang mengalami OA atau dapat berupa nyeri alih dari
sendi lain – misalnya, nyeri pada lutut dapat berasal dari OA sendi panggul
(Solomon, 2010).
Pada awalnya, nyeri bersifat episodik dan timbul satu atau dua hari setelah
penggunaan berlebih pada sendi yang terkena OA, seperti pada pasien OA lutut
yang berolahraga lari jarak jauh baru akan merasakan gejala nyeri beberapa hari
kemudian. Namun seiring dengan progresifitas penyakit ini, nyeri timbul terus
menerus sehingga dapat mengganggu tidur di malam hari (Felson, 2013).
Penyebab terjadinya nyeri berhubungan dengan gejala nyeri yang
dirasakan individu seperti yang terlihat pada Tabel 2.2 berikut.

10
Tabel 2.2. Jenis gejala nyeri pada OA
Gejala nyeri Kemungkinan penyebab timbulnya nyeri
Nyeri saat penggunaan sendi Kerusakan mekanis sendi, enthesopathy
(kelainan hubungan antara tendon-tulang
atau ligamen-tulang)
Nyeri saat istirahat Peradangan yang disertai efusi dan distensi
kapsul sendi
Nyeri saat malam Hipertensi intraosseus
Nyeri yang timbul tiba-tiba Peradangan synovial, robekan pada meniskus

Sumber: Kraus & Doherty, 2010.

Sumber nyeri pada OA dapat berasal dari tulang, kapsul sendi, ataupun
struktur di sekitarnya. Sedangkan kartilago bukan merupakan struktur yang
dapat menimbulkan nyeri karena bersifat avaskular dan tidak memiliki saraf
(Brion & Kalunian, 2010).
2) Kaku sendi
Kaku sendi yang sering dirasakan oleh pasien OA biasanya timbul setelah
periode imobilisasi, namun dapat berkembang menjadi konstan dan progresif
seiring dengan berjalannya waktu (Solomon, 2010). Periode imobilisasi tersebut
seperti duduk dalam waktu yang cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur
(Soeroso, et al., 2014).
Durasi kaku sendi yang sering dialami pasien OA berlangsung dalam waktu
singkat, biasanya kurang dari 30 menit (Felson, 2013). Kejadian ini disebut
dengan gelling phenomenon, yaitu kaku sendi yang timbul setelah periode
imobilisasi akibat penumpukan cairan di dalam sendi yang membentuk seperti
gel dan menyebabkan kesulitan bergerak (Hausmann, 2014).
3) Hambatan gerakan sendi
Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada OA stadium dini (secara
radiologis). Hambatan gerakan sendi ini bertambah berat dengan semakin
beratnya penyakit, hingga sendi hanya bisa digoyangkan dan menjadi
kontraktur. Hambatan gerak dapat bersifat konsentris (seluruh arah gerakan)
maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja) (Soeroso, et al., 2014).

11
4) Pembengkakan sendi
Pembengkakan sendi dapat bersifat intermiten (biasa terjadi pada efusi) atau
bersifat terus menerus (pada penebalan kapsular atau adanya osteofit) (Solomon,
2010). Efusi pada sendi dapat menyebabkan pembengkakan sendi apabila
volumenya mencapai lebih dari 100 cc. Sedangkan adanya osteofit berpengaruh
pada perubahan permukaan sendi sehingga dapat menyebabkan pembengkakan
sendi (Soeroso, et al., 2014).
5) Deformitas
Deformitas dapat timbul akibat kontraktur sendi yang lama, perubahan pada
permukaan sendi, kecacatan, maupun perubahan pada tulang (Soeroso, et al.,
2014). Selain menjadi akibat dari OA, deformitas juga dapat menjadi penyebab
terjadinya OA dan berkontribusi terhadap onset dari OA sendiri, seperti
deformitas vagus dan valrus (Solomon, 2010).

2.8 Penegakkan Diagnosis

Penegakkan diagnosis OA dapat berdasarkan gejala klinis atau pemeriksaan


reumatologi berdasarkan prinsip GALS (gait, arms, legs, spine). Tidak ada
pemeriksaan penunjang khusus yang dapat menentukan diagnosis OA, pemeriksaan
penunjang terutama dilakukan untuk monitoring penyakit dan menyingkirkan
kemungkinan artritis lain. Pemeriksaan radiologi dapat menentukan adanya OA,
namun tidak berhubungan langsung dengan gejala klinis yang muncul (IRA, 2014).
1) Berdasarkan gejala klinis (Yuliasih, 2015):
a. Nyeri dirasakan berangsur-angsur (onset gradual)
b. Tidak disertai adanya inflamasi (kaku sendi dirasakan < 30 menit, bila
disertai inflamasi, umumnya dengan perabaan hangat, bengkak yang
minimal, dan tidak disertai kemerahan pada kulit)
c. Tidak disertai gejala sistemik
d. Nyeri sendi saat beraktivitas
2) Pemeriksaan GALS (Yuliasih, 2015):
a. Pemeriksaan Gaya Berjalan (Gait)
- Apakah penderita memakai alat bantu?
- Apakah ada deformitas atau bengkak sendi?

12
- Apakah jalannya normal atau perlahan-lahan karena menahan sakit?
- Apakah dapat melangkah dengan sempurna?
- Apakah dapat melakukan gerakan memutar dengan baik?
b. Pemeriksaan Tangan (Arms)
- Inspeksi dan palpasi pergelangan tangan serta jari-jari apakah ada tanda
pembengkakan atau deformitas. Untuk memeriksa kedua sendi
pergelangan tangan, pasien diminta melakukan gerakan prayer hand.
- Pemeriksaan pada siku dapat dilakukan dengan meluruskan lengan
secara maksimal.
- Pemeriksaan pada bahu dapat dilakukan dengan menggerakkan bahu ke
seluruh arah sendi, yaitu dengan gerakan rotasi internal, rotasi
eksternal, dan abduksi bahu.
c. Pemeriksaan Kaki (Legs)
- Inspeksi pada lutut apakah ada pembengkakan, kecacatan, atau adanya
atrofi dari otot quadrisep. Evaluasi juga apakah terdapat tanda krepitus.
- Pemeriksaan pada panggul dapat dinilai dengan ekstensi tungkai pada
posisi berbaring, kemudian meminta pasien melakukan gerakan rotasi
internal, rotasi eksternal, abduksi, dan adduksi.
d. Pemeriksaan Tulang Belakang (Spine)
- Inspeksi ketika pasien berdiri, evaluasi apakah ada skoliosis, valgus,
varus, pembengkakan popliteal, dan otot-otot dinding punggung.
- Untuk menilai kekakuan tulang belakang dapat meminta pasien untuk
membungkuk dan menyentu kedua lututnya.
3) Pemeriksaan Radiologi (Yuliasih, 2015):
Pada sebagian besar kasus, radiografi pada sendi dapat memberikan
gambaran diagnostik pada pasien OA, seperti:
- Penyempitan celah sendi yang seringkali asimestris (lebih berat pada
bagian yang menanggung beban)
- Peningkatan densitas (skeloris) tulang subkondral
- Kista tulang
- Osteofit di pinggir sendi
- Perubahan struktur anatomi sendi

13
Gambar 2.1. OA sendi tangan. Terlihat sklerosis tulang, pembentukan osteofit, dan
hilangnya ruang sendi.

Gambar 2.2. OA sendi lutut bilateral. Terlihat sklerosis tulang, pembentukan


osteofit, dan penyempitan ruang sendi.

2.9 Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan OA adalah untuk mengurangi gejala nyeri,


meminimalkan terjadinya disabilitas, dan menjaga mobilitas (Felson, 2015). Terapi
komprehensif yang diterapkan terdiri dari terapi nonfarmakologi dan farmakologi.
Pasien dengan gejala ringan dan intermiten dapat dilakukan edukasi atau terapi
nonfarmakologi. Sedangkan pasien dengan keluhan nyeri terus menerus dapat
diberikan terapi nonfarmakologi dan farmakologi (Felson, 2013).

14
1) Terapi Nonfarmakologi
- Edukasi
Edukasi bertujuan agar pasien memiliki pengetahuan tentang
penyakitnya dan cara agar tidak bertambah parah serta persendiannya tetap
dapat dipakai (Soeroso, et al., 2014).
- Terapi fisik
Terapi fisik bertujuan untuk melatih pasien agar persendiannya tetap
dapat dipakai. Latihan penguatan otot kuadrisep dapat mengurangi keluhan
nyeri, mengembalikan fungsi otot yang semula lemah, dan memperbaiki fungsi
proprioseptif. Latihan fisik tersebut dapat disesuaikan dengan kemauan dan
kemampuan pasien, misalnya mengikuti latihan secara berkelompok atau
latihan di rumah (Kraus & Doherty, 2010).
- Penurunan berat badan
Berat badan berlebih merupakan faktor risiko dari OA, sehingga berat
badan harus selalu dijaga agar tidak berlebihan. Pasien OA dengan berat badan
berlebih perlu melakukan penurunan berat badan hingga mendekati berat
badan ideal (Soeroso, et al., 2014).
2) Terapi Farmakologi
Nyeri merupakan keluhan utama yang diderita pasien OA. Terapi
nonfarmakologi yang telah disebutkan sebelumnya dapat mengurangi keluhan nyeri
tersebut, namun pemberian obat-obatan dapat mengatasi keluhan nyeri secara cepat
saat eksaserbasi (Kraus & Doherty, 2010). Beberapa jenis terapi farmakologi yang
dapat diberikan untuk pasien OA dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Jenis dan Dosis Terapi Farmakologi OA


Jenis Terapi Farmakologi Dosis
Asetaminofen 1000 mg, 3 kali sehari (maksimal 3000
mg/hari)
NSAID oral
- Naproxen 375-500 mg, 2 kali sehari
- Salisilat 1500 mg, 2 kali sehari
- Ibuprofen 600-800 mg, 3-4 kali sehari

15
NSAID topikal
- Natrium diklofenak 1% 4000 mg, 4 kali sehari (untuk sendi lutut)
Opiat Bervariasi
Kapsaisin 0.025-0.075% (krim), 3-4 kali sehari
Injeksi intraartikular
- Steroid Bervariasi
- Hialuroid

Sumber: Felson, 2013.

3) Terapi Bedah
Pembedahan hanya diindikasikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil
mengurangi rasa sakit. Selain itu pembedahan juga diperlukan untuk melakukan
koreksi pada deformitas sendi yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari
(Soeroso, et al., 2014). Beberapa jenis pembedahan yang dapat dilakukan pada
kasus OA:
- Arthroscopic debridement dan joint lavage (indikasi pada pasien yang
mengeluhkan mechanical locking)
- Osteotomi
- Artroplasti sendi total

16

Anda mungkin juga menyukai