PEMBIMBING:
OLEH :
Nurman
10542051013
2019
i
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Nurman
NIM : 10542051013
Dengan Hipertensi
Januari 2019
Pembimbing,
ii
KATA PENGANTAR
AssalamualaikumWr. Wb.
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan laporan kasus ini dapat
dengan Hipertensi” ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya,
sebagai salah satu syarat untuk dalam menyelesaikan Kepanitraan Klinik di Bagian
Anestesiologi. Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang
mendalam kepada dr. Zulfikar Djafar, M.Kes, Sp.An. Selaku pembimbing yang
telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing,
memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.
Akhir kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat kepada
semua orang.
Januari 2019
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Hipertensi pada periode pra operasi dapat terjadi pada setidaknya 25%
pasien yang menjalani operasi besar. Pasien dengan tekanan darah tinggi beresiko
untuk terjadinya episode hipertensi perioperatif dan keadaan hemodinamik yang
tidak stabil selama proses operasi jauh lebih memungkinkan.Sampai saat ini belum
ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang sudah
tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi. Namun
banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk
mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi.2
1
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 48 tahun
Berat Badan : 71 kg
Agama : Islam
Alamat : Lauwa
No. RM : 23 81 60
Diagnosis : Tumor uterus + Translokasi IUD + Hipertensi
B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Haid tidak teratur
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk Rumah Sakit dengan keluhan Haid tidak teratur dalam 3 bulan
terakhir. Pasien yang biasanya haid hanya sekali dalam sebulan sekarang
bisa sampai 2 kali dalam sebulan. Lama haidnya pun semakin lama bisa
sampai 6 hari atau lebih. Pasien juga bisa ganti pembalut hingga >5x dalam
1 hari. Pasien juga kadang mengeluhkan nyeri perut. Pasien mengaku
memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol sejak 1 bulan terakhir
sejak pasien datang ke puskesmas.
Riwayat alergi : (-)
Riwayat penyakit : asma (-), DM (-), Hipertensi (+) dan tidak berobat
teratur.
Riwayat Operasi : (-)
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalisata : Sakit sedang/Gizi lebih/Composmentis GCS 15
(E4M6V5)
2
2. Tanda Vital :
3. Tekanan darah : 130/80 mmHg (Ketika di IGD maternal
170/120mmHg)
4. Nadi : 85x/menit, reguler
5. Suhu : 36,60C
6. Pernapasan : 20 x/menit, spontan
7. VAS :3
8. Kepala : mata ; konjungtiva anemis (-), pupil isokor
9. Dada : simetris, retraksi (-)
10. Paru : Vesikuler , Rh -/-, wh -/-
11. Jantung : BJI/BJII kesan normal, murni, reguler, ictus cordis
tidak tampak, tidak ada bising jantung.
12. Abdomen : Tampak normal, peristaltic (+) kesan normal
13. Ektremitas : Tidak tampak keainan
14. Terpasang kateter : Tidak terpasang kateter
15. Berat Badan : 71 kg
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada tanggal 18/08/2018
WBC : 9.0 x 103/µL
RBC : 5.22 x 106/µL
HGB : 12.2 g/dL
HCT : 40.5%
PLT : 255 x 103/µL
GDS : 92 mg/dl
SGOT/ SGPT : 27/30
CT : 7’50”
BT : 3’
HbSAg : Non reaktif
3
Hasil USG tanggal 30/11/2018
E. DIAGNOSA KERJA
Tumor uterus + Translokasi IUD + Hipertensi
F. PENATALAKSANAAN
Jenis Pembedahan : Laparatomy
Jenis Anestesi : Anestesi Spinal
Pre-operasi :
- RL 28 tetes per menit
- Nifedipin 3x1
- Alprazolam 0.5 mg 0-0-1 (Extra)
Operasi :
- O2 3 lpm
- IVFD RL 28 tpm
- Induksi Bupivicaine 15 mg
- Inj Fentanyl 80mcg/IV
Post Operasi :
Terapi Obgyn :
- IVFD RL 28 tpm
- Inj Cefoperazone 1gr/12J/IV
- Inj.Ranitidin 50mg /8J/IV
- Inj.Dexketoprofen 50 mg/8J/IV
- Inj.Asam traneksamat 50mg/8J/IV
- Cek Hb post transfuse
G. KESAN ANESTESI
Pasien perempuan usia 48 tahun dengan diagnosis Tumor uterus +
Translokasi IUD + Hipertensi klasifikasi ASA PS III
4
BAB III
PEMBAHASAN
A. Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua
kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
istirahat/tenang.4
B. Klasifikasi 5
5
diminta untuk berkunjung ke praktik umum mereka sebelumnya sebagai bentuk
hadirnya layanan primer dalam penanganan hipertensi.6
Dokter umum harus merujuk pasien untuk operasi elektif dengan tekanan
darah rata-rata di layanan primer kurang dari 160 mmHg sistolik dan diastolik
kurang dari 100 mmHg. Rumah sakit harus menerima rujukan yang
mendokumentasikan tekanan darah di bawah 160 mmHg sistolik dan diastolik di
bawah 100 mmHg dalam 12 bulan terakhir. penilaian pra-operasi tidak perlu
dilakukan pengukuran tekanan darah pada pasien yang sedang dipersiapkan untuk
operasi elektif yang riwayat tekanan darah sistolik dan diastoliknya di bawah
160/100 mmHg dalam surat rujukan dari layanan primer. Dokter umum harus
merujuk pasien hipertensi untuk operasi elektif setelah pada pengukuran tekanan
darah didapatkan tekanan sistolik kurang dari 160 mmHg dan diastolik kurang dari
100 mmHg. Pasien dapat dirujuk untuk pembedahan elektif jika mereka tetap
hipertensi meskipun perawatan antihipertensi optimal atau jika mereka menolak
perawatan antihipertensi. 7
6
Gambar 1. Penilaian tekanan darah pasien di layanan primer sebelum dirujuk untuk
operasi elektif. * Investigasi dan pengobatan sebaiknya dilanjutkan sampai
mencapai tekanan darah <140/90 mmHg. ABPM dan HBPM, ambulatory and home
blood pressure measurement; DBP and SBP, diastolic and systolic blood. 6
7
Gambar 2. Penilaian tekanan darah perawatan sekunder pasien setelah rujukan
untuk operasi elektif. * GP harus memberikan informasi tentang pembacaan
tekanan darah lebih dari 140 mmHg sistolik atau diastolik 90 mmHg, sehingga
diagnosis hipertensi dapat disangkal atau dikonfirmasi dan diselidiki dan diobati
sesuai kebutuhan. DBP dan SBP, tekanan darah diastolik dan sistolik. 6
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya
yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan
anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau
115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau
operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan
tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan
8
pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan
fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa
hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler
dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi
menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat
menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua.
Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan
menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-
25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. Hiprtensi
sedang bukan factor resiko yang dapat berdiri sendiri terhadap komplikasi
kardiovaskular perioperatif. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan penundaan
pembedahan pada hipertensi yang ringan atau sedang dengan tanpa kelainan
metabolic atau kelainan kardiovaskular. Menunda operasi hanya untuk tujuan
mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus
hipertensi yang ringan sampai sedang.3,7
9
yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai
hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.3
Sementara itu pasien yang harus menjalani operasi elektif idealnya hanya
bisa dilakukan ketika tekanan darah dalam batas normal, pendekatan ini tidak selalu
layak atau selalu diinginkan karena gangguan autoregulasi serebral. Penurunan
tekanan darah yang berlebihan dapat mengganggu perfusi serebral. Selain itu,
keputusan apakah akan menunda atau melanjutkan dengan intervensi bedah harus
bersifat individual, tergantung pada beratnya elevasi tekanan darah sebelum
operasi, kemungkinan iskemi miokard, disfungsi ventrikel atau komplikasi
vaskularisasi serebral atau ginjal, dan pembedahan (jika perubahan besar yang
disebabkan operasi di awal jantung atau afterload yang diperbolehkan). Dalam
banyak kasus, hipertensi saat preoperative terjadi karena ketidakpatuhan pasien
10
dengan pola obat yang diberikan. Dengan sedikit pengecualian, antihipertensi harus
dilanjutkan sampai operasi. Beberapa dokter mempertahankan pemberian ACE
inhibitor di pagi hari sebelum operasi karena hubungannya dengan peningkatan
insiden hipotensi intraoperatif. ACE inhibitor diketahui dapat mencegah terjadinya
risiko hipertensi perioperatif dan mampu mencukupi kebutuhan antihipertensi
parenteral. Operasi pada pasien dengan tekanan diastolik preoperatif lebih besar
dari 110 mmHg, terutama pada pasien yang telah diketahui pasti mengalami
kerusakan organ akhir maka operasi harus ditunda sampai tekanan darah lebih
terkontrol selama beberapa hari.3
11
dipikirkan kemungkinan terjadinya penyakit arteri koroner dan hipertrofi
jantung,sehingga peningkatan tekanan darah yang berlebihan dapat dihindari.
Hipertensi, terutama dalam kaitannya dengan takikardia, dapat memicu terjadinya
iskemia miokard, disfungsi ventrikel bahkan keduanya. Tekanan darah arteri
umumnya harus dijaga dalam 10-20% dari tingkat pra operasi. Jika hipertensi
terjadi sebelum operasi dimana tekanan darah lebih dari 180/120 mmHg, maka
tekanan darah arteri harus dipertahankan dalam batas normal, yaitu 150-140/90-80
mm Hg. 3
Pemantauan
Sebagian besar pasien hipertensi tidak memerlukan pemantauan
intraoperatif khusus. Pemantauan tekanan darah harus terus menerus dilakukan
pada pasien dengan tekanan darah yang tidak stabil dan pasien dengan prosedur
pembedahan utama yang terkait dengan perubahan yang cepat atau ditandai dengan
preload jantung atau afterload. Pemantauan elektrokardiografi bertujuan untuk
mengetahui dengan cepat tanda-tanda iskemia. Produksi urin harus dipantau
melalui kateter urin terutama pada pasien gangguan ginjal yang sedang menjalani
tindakan dan diharapkan dapat bertahan lebih dari 2 jam. Selama pemantauan
hemodinamik invasive dilakukan, pemenuhan kebutuhan ventrikel sering
berkurang terutama pada pasien dengan hipertrofi ventrikel.3
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan
anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu
tinggi. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif
adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperative.
Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran tekanan autoregulasi dari
serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi
penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika tekanan darah diturunkan
secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan mengubah
kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dalam mengukur autoregulasi
serebral dapat digunakan beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:
12
Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal
yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala
hipoperfusi otak.
Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian
stroke.
Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal kurang lebih sama
dengan yang terjadi pada serebral.
Anestesia akan aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan
memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan
volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance
anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena
bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia regional dapat dipilih
sebagai teknik anestesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering
menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien
dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan
yang diberikan, maka penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti
phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm.3
Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menyebabkan gangguan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun
saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi terjadi akibat vasodilatasi
perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga
pemberian cairan sebelumnya penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia
sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi
karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang
dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.
Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan
intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan iskemia miokard.
Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa
13
mencapai 25%. Durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu
meminimalisir terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa
dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya
hipertensi.3
Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama
5-10 menit.
Pemberian opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil
0,5-1 mikrogram/ kgbb).
Pemberian lidokain 1,5 mg/kgbb secara intravena atau intratrakea.
Penggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,
propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
Penggunakan anestesia topikal pada jalan napas.
Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi bervariasi untuk masing-
masing klinisi.
Keunggulan dari setiap obat induksi dan teknik yang dilakukan belum jelas
bagi agen hipertensi. Meskipun dengan anestesi regional, penurunan tekanan darah
yang tajam justru lebih sering terjadi pada pasien hipertensi dibandingkan dengan
pasien normotensi. Barbiturat, benzodiazepin, propofol, dan etomidare adalah
induksi anestesi yang paling aman diberikan pada pasien hipertensi. Pemberian
ketamin merupakan kontraindikasi untuk tindakan operasi karena dapat memicu
terjadinya hipertensi namun hal ini dapat dihilangkan dengan pemberian dosis kecil
bersama dengan agen lainnya, terutama benzodiazepin atau propofol. 3
14
F. Resiko operasi pada pasien hipertensi
Ada sedikit bukti bahwa, jika tekanan sistoliknya kurang dari 180 mmHg dan
diastolik kurang dari 90 mmHg, akan ada kemungkinan peningkatan kejadian peri-
operatif yang merugikan. Posisi ini kurang jelas untuk pasien dengan tekanan di
atas level ini. Studi ini tidak meragukan bahwa hasil peri-operatif berbeda pada
pasien hipertensi dibandingkan dengan pasien normotensi meskipun fakta bahwa
pasien hipertensi dengan tekanan lebih dari 180/110 mmHg cenderung memiliki
ketidakstabilan hemodinamik yang lebih besar, iskemia miokard dan aritmia.
Organ-organ utama yang berisiko dari hipertensi yang sudah lama tidak diobati
adalah jantung, ginjal, dan otak. Pemeriksaan fisik harus mencakup pencarian
kerusakan organ target dan bukti patologi jantung, ginjal, dan serebral terkait.8
Jantung
Hipertensi menyebabkan peningkatan ketegangan dinding miokard dan
peningkatan kebutuhan oksigen. Bersamaan dengan itu terjadi hipertrofi dan
disfungsi diastolik yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam pasokan dan
kebutuhan oksigen miokard. Ketika otot mengalami hipertrofi dan menjadi kaku,
tekanan diastolik ujung ventrikel kiri (LVEDP) meningkat, yang menyebabkan
penurunan tekanan perfusi koroner. keterkaitan antara hipertensi kronis dan
penyakit jantung koroner menyebabkan terjadinya iskemia dan aritmia
intraoperatif, terutama, jika dikaitkan dengan ketidakstabilan hemodinamik. Waktu
rentan peri-operatif adalah pada saat induksi dan intubasi, segera pasca induksi,
selama pembedahan dan pada akhir prosedur ekstubasi. Intubasi dapat
menyebabkan respons pressor yang berlebihan dan agen seperti opioid kerja
pendek, esmelol, gliseril trinitrate atau magnesium sulfat dapat digunakan untuk
mengontrol respons ini. Perlu diingat bahwa respons tekanan darah yang berlebihan
di dalam operasi mungkin disebabkan oleh phaeochromocytoma yang tidak
terdiagnosis dengan sekresi katekolamin berlebih dan dalam hal ini beta blocker
akan menjadi kontra-indikasi.8
Magnesium sulfat, sebagai bolus empat gram, mungkin merupakan pengobatan lini
pertama teraman dan paling efektif. Setelah induksi, tekanan darah dapat menurun
15
karena kurangnya stimulasi yang mengakibatkan tekanan diastolik rendah dan
perfusi miokard menjadi terbatas. Autoregulasi subendocardial yang juga tidak
normal membuat jantung dengan hipertensi rentan terhadap tekanan darah yang
tidak stabil. Respons pressor yang berlebihan juga dapat terjadi selama pembedahan
dan ekstubasi. 8
Otak
Hipertensi adalah faktor risiko untuk cedera otak iskemik dan hemoragik. Penyakit
karotis juga lebih umum terjadi pada pasien dengan hipertensi, membuat mereka
rentan terhadap kejadian iskemik serebral jika tekanan darah tidak dikontrol secara
tepat pada periode perioperatif. Hipertensi kronis menyebabkan pergeseran kurva
autoregulasi otak ke kanan, membuat aliran perfusi serebral bergantung, selama
hipotensi berat. Normalisasi autoregulasi otak mungkin memerlukan beberapa
minggu untuk kembali ke nilai mendekati normal. 8
Ginjal
Kehilangan autoregulasi pada ginjal pada pasien hipertensi juga akan meningkatkan
risiko gagal ginjal dengan episode hipotensi. Tekanan nadi hipertensi telah terbukti
meningkatkan risiko gagal ginjal pasca pembedahan, stroke, dan secara signifikan
meningkatkan risiko infark miokard. Hipertensi dengan tekanan nadi tinggi (lebih
dari 60 mmHg) juga dapat berkontribusi secara signifikan terhadap ketidakstabilan
hemodinamik intraoperatif dan mungkin menjadi prediktor yang lebih penting
daripada disfungsi diastolik. 8
16
G. Hipertensi intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada periode
anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon
dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara
parenteral. Namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi seperti
anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan
terlebih dahulu. Antihipertensi parenteral untuk mengatasi hipertensi akut. Pada
keadaan operasi emergensi, beta bloker bisa dengan cepat mengontrol dan menjaga
stabilitas intraoperatif, sehingga mengurangi jumlah dan durasi episode iskemik
perioperative. 3,7
17
Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset
yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.
H. Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien
yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan
oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia
jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan
ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi
menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat
18
penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada
banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak
teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri,
overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk
memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus
dikoreksi dulu.3
19
BAB IV
DISKUSI
20
Selanjutnya dilakukan penentuan standar kesehatan pasien berdasarkan American
Society of Anesthesia. Adapun pembagian kategori ASA adalah:
Pasien ini baru menyadari mengidap hipertensi sekitar 1 bulan yang lalu
ketika berkunjung ke puskesmas. Dan pasien diberikan pengobatan amlodipine 5
mg namun pasien tidak teratur dalam meminum obat. Karena hipertensi pasien ini
tergolong hipertensi dengan pengobatan tidak tertaur maka pasien ini masuk dalam
kategori ASA III.
Setelah penentuan ASA, kemudian ditentukan pilihan anestesi. Pada pasien
ini, pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis regional anestesi atau lebih
tepatnya spinal anestesi/Subarachnoid Block (SAB). Adapun alasan pemilihan
teknik anestesi tersebut adalah sesuai dengan indikasi anestesi spinal, yaitu:
pembedahan ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan pada rektum-perineum,
bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, dan pada bedah
abdomen atas dan bedah pediatri yang dikombinasikan dengan anestesia umum
ringan. Pada hasil pemeriksaan fisik ataupun laboratorium juga tidak menunjukkan
adanya gangguan yang dapat menjadi kontraindikasi, sehingga anestesi spinal dapat
menjadi pilihan dalam tindakan pada kasus ini.
Keunggulan dari setiap obat induksi dan teknik yang dilakukan belum jelas
bagi agen hipertensi. Meskipun dengan anestesi regional, penurunan tekanan darah
21
yang tajam justru lebih sering terjadi pada pasien hipertensi dibandingkan dengan
pasien normotensi. Meskipun demikian, pemberian induksi anestesia dan intubasi
endotrakea juga sering menyebabkan gangguan hemodinamik pada pasien
hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering
menimbulkan hipertensi.
Sebelum dilakukan anestesi dilakukan pemberian cairan secara cepat.
Tujuan dilakukannya pemberian cairan ini adalah untuk meminimalisir efek
samping dari anestesi spinal berupa hipotensi akibat blokade simpatis dengan cara
menambah volume intravaskuler. Pemberian cairan dapat diberikan baik
menggunakan kristaloid ataupun koloid yang memiliki masa intravaskuler lebih
lama dengan berat molekul yang lebih tinggi. Pada pasien ini, dilakukan pemberian
cairan menggunakan kristaloid Ringer laktat.
Pada kasus ini dilakukan premedikasi berupa pemberian alprazolam 0,5 mg
diminum sebelum tidur bertujuan memberikan rasa nyaman pada pasien sebelum
operasi. Dan untuk menangani hipertensinya pasien diberikan nifedipin 10 mg 3x1.
Anestesi spinal (blokade subarakhnoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan agen anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid dibawah
vertebra lumbal 2 dengan tujuan menghindari cedera medulla spinalis. Penentuan
posisi ditentukan oleh kenyamanan pasien dan kesanggupan spesialis anestesi. Pada
pasien ini, posisi yang digunakan adalah Left Lateral Decubitus. Setelah penentuan
tempat penyuntikan dan disinfeksi, anestesi spinal dapat dilakukan. Adapun
beberapa pilihan jarum spinal, dikenal ada jenis dengan ujung seperti bambu
runcing (Quincke atau Greene) dan seperti ujung pensil (Whitacre dan Sprotte).
Jenis jarum dengan ujung pensil lebih banyak digunakan dengan pertimbangan
lebih jarang menyebabkan kejadian postdural puncture headache (PDPH) atau
nyeri kepala setelah penyuntikan. Walau demikian, pada anestesi kali ini, jarum
yang digunakan pada pasien adalah jarum Quincke namun dengan ukuran kecil 25G
yang diharapkan meminimalisir efek tersebut.
Kemudian, anestesi dapat dilanjutkan dengan dilakukan tindakan aseptik
area tempat penyuntikan yaitu daerah kulit punggung pasien. Penyuntikan jarum
spinal dilakukan pada bidang medial dengan sudut 10-30° terhadap bidang
22
horizontal ke arah kranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater
dan lapisan subaraknoid. Cabut stilet setelah dirasakan jarum memasuki ruang
intratekhal ditandai dengan keluarnya cairan serebrospinal. Suntikkan obat
anestetik lokal yang telah dipersiapkan ke dalam ruang subaraknoid. Kadang-
kadang untuk memperpanjang durasi kerja obat dapat ditambahkan vasokonstriktor
seperti adrenalin.
Obat–obatan yang dapat digunakan sebagai agen anestesi lokal secara
umum terbagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan Ester, seperti prokain, kokain,
dan tetrakain; dan golongan Amide seperi prilokain, lidokain, bupivacaine, dan
lain-lain. Perbedaan penting dari keduanya adalah mekanisme yang diakibatkan
oleh metabolitnya, dimana golongan amide lebih sedikit dimetabolisme karena
lebih stabil dan cenderung berakumulasi dalam plasma. Adapun obat-obatan
anestetik lokal yang digunakan di Indonesia adalah prokain, lidokain, dan
bupivakain.
Bupivakain secara kimia dan farmakologisnya mirip dengan lidokain.
Toksisitasnya setara dengan tetrakain. Untuk infiltrasi dan blok saraf perifer
dipakai larutan 0,25-0,75%. Dosis maksimal tanpa vasokontriktor adalah 2,5
mg/kgBB dan dengan vasokontriktor mencapai 3 mg/kgBB. Durasi kerja obat
mencapai 2-4 jam tanpa vasokontriktor dan dapat mencapai 4-8 jam dengan
vasokontriktor. Konsentrasi efektif minimal 0,125%. Setelah suntikan kaudal,
epidural atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai dalam 45 menit. Kemudian
menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam. Pada kasus ini dengan berat badan 71 kg,
dosis maksimum yang dapat diberikan tanpa vasokontriktor adalah 177.5 mg.
Pasien menerima bupivakain 0,5% sebanyak 15 mg sehingga tidak melebihi dosis
maksimum.
23
BAB V
KESIMPULAN
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya
yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan
anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau
115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau
operasi kecuali operasi emergensi.3
24
DAFTAR PUSTAKA
25