Anda di halaman 1dari 28

BAGIAN ANESTESIOLOGI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS Januari 2019


MUHAMMADIYAH MAKASSAR

MANAJEMEN ANESTESI PADA PASIEN TUMOR


UTERUS DENGAN HIPERTENSI

PEMBIMBING:

dr. Zulfikar Djafar, M.Kes, Sp.An

OLEH :

Nurman

10542051013

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2019

i
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Nurman

NIM : 10542051013

Judul Laporan Kasus : Manajemen Anestesi Pada Pasien Tumor Uterus

Dengan Hipertensi

Telah menyelesaikan Laporan Kasus dalam rangka Kepanitraan Klinik di Bagian

Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.

Januari 2019

Pembimbing,

dr. Zulfikar Djafar, M.Kes, Sp.An

ii
KATA PENGANTAR

AssalamualaikumWr. Wb.

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulisan laporan kasus ini dapat

diselesaikan. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Baginda

Besar Nabi Muhammad SAW.

Laporan kasus berjudul “Manajemen Anestesi Pada Pasien Tumor Uterus

dengan Hipertensi” ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya,

sebagai salah satu syarat untuk dalam menyelesaikan Kepanitraan Klinik di Bagian

Anestesiologi. Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang

mendalam kepada dr. Zulfikar Djafar, M.Kes, Sp.An. Selaku pembimbing yang

telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing,

memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini belum sempurna.

Akhir kata, penulis berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat kepada

semua orang.

Januari 2019

Penulis

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Hipertensi adalah penyakit kardiovaskular progresif yang mempengaruhi


sekitar 30-45% populasi orang dewasa di Eropa. Prevalensinya meningkat tajam
seiring bertambahnya usia. Masyarakat Hipertensi dan Kardiologi Eropa
mendefinisikan hipertensi sebagai SBP persisten setidaknya 140mmHg dan / atau
DBP setidaknya 90mmHg. Kedaruratan hipertensi dan urgensi hipertensi
didefinisikan sebagai SBP akut yang meningkat setidaknya 180mmHg atau DBP
minimal 110mmHg, dengan dan tanpa adanya kerusakan organ akhir, masing-
masing.1

Hipertensi pada periode pra operasi dapat terjadi pada setidaknya 25%
pasien yang menjalani operasi besar. Pasien dengan tekanan darah tinggi beresiko
untuk terjadinya episode hipertensi perioperatif dan keadaan hemodinamik yang
tidak stabil selama proses operasi jauh lebih memungkinkan.Sampai saat ini belum
ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya yang paling tinggi yang sudah
tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi. Namun
banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk
mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi.2

Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah


menjaga kestabilan tekanan darah pasien. Dan pengobatan hipertensi dilakukan
untuk mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk
penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal. Organ-
organ utama yang berisiko dari hipertensi yang sudah lama tidak diobati adalah
jantung, ginjal, dan otak. Pemeriksaan fisik harus mencakup pencarian kerusakan
organ target dan bukti patologi jantung, ginjal, dan serebral terkait.3

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 48 tahun
Berat Badan : 71 kg
Agama : Islam
Alamat : Lauwa
No. RM : 23 81 60
Diagnosis : Tumor uterus + Translokasi IUD + Hipertensi

B. ANAMNESIS
Keluhan utama : Haid tidak teratur
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk Rumah Sakit dengan keluhan Haid tidak teratur dalam 3 bulan
terakhir. Pasien yang biasanya haid hanya sekali dalam sebulan sekarang
bisa sampai 2 kali dalam sebulan. Lama haidnya pun semakin lama bisa
sampai 6 hari atau lebih. Pasien juga bisa ganti pembalut hingga >5x dalam
1 hari. Pasien juga kadang mengeluhkan nyeri perut. Pasien mengaku
memiliki riwayat hipertensi yang tidak terkontrol sejak 1 bulan terakhir
sejak pasien datang ke puskesmas.
Riwayat alergi : (-)
Riwayat penyakit : asma (-), DM (-), Hipertensi (+) dan tidak berobat
teratur.
Riwayat Operasi : (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalisata : Sakit sedang/Gizi lebih/Composmentis GCS 15
(E4M6V5)

2
2. Tanda Vital :
3. Tekanan darah : 130/80 mmHg (Ketika di IGD maternal
170/120mmHg)
4. Nadi : 85x/menit, reguler
5. Suhu : 36,60C
6. Pernapasan : 20 x/menit, spontan
7. VAS :3
8. Kepala : mata ; konjungtiva anemis (-), pupil isokor
9. Dada : simetris, retraksi (-)
10. Paru : Vesikuler , Rh -/-, wh -/-
11. Jantung : BJI/BJII kesan normal, murni, reguler, ictus cordis
tidak tampak, tidak ada bising jantung.
12. Abdomen : Tampak normal, peristaltic (+) kesan normal
13. Ektremitas : Tidak tampak keainan
14. Terpasang kateter : Tidak terpasang kateter
15. Berat Badan : 71 kg

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada tanggal 18/08/2018
 WBC : 9.0 x 103/µL
 RBC : 5.22 x 106/µL
 HGB : 12.2 g/dL
 HCT : 40.5%
 PLT : 255 x 103/µL
 GDS : 92 mg/dl
 SGOT/ SGPT : 27/30
 CT : 7’50”
 BT : 3’
 HbSAg : Non reaktif

3
Hasil USG tanggal 30/11/2018

Kesan :Tumor solid uterus + Non visualisasi IUD

E. DIAGNOSA KERJA
Tumor uterus + Translokasi IUD + Hipertensi

F. PENATALAKSANAAN
Jenis Pembedahan : Laparatomy
Jenis Anestesi : Anestesi Spinal
Pre-operasi :
- RL 28 tetes per menit
- Nifedipin 3x1
- Alprazolam 0.5 mg 0-0-1 (Extra)
Operasi :

- O2 3 lpm
- IVFD RL 28 tpm
- Induksi Bupivicaine 15 mg
- Inj Fentanyl 80mcg/IV
Post Operasi :

Terapi Obgyn :

- IVFD RL 28 tpm
- Inj Cefoperazone 1gr/12J/IV
- Inj.Ranitidin 50mg /8J/IV
- Inj.Dexketoprofen 50 mg/8J/IV
- Inj.Asam traneksamat 50mg/8J/IV
- Cek Hb post transfuse
G. KESAN ANESTESI
Pasien perempuan usia 48 tahun dengan diagnosis Tumor uterus +
Translokasi IUD + Hipertensi klasifikasi ASA PS III

4
BAB III

PEMBAHASAN

A. Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua
kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
istirahat/tenang.4

B. Klasifikasi 5

C. Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Pasien Hipertensi


Tekanan darah harus diukur pada layanan primer sebelum dilakukannya
rujukan bedah yang tidak mendesak. Pasien rawat jalan bedah harus mengupayakan
pada layanan primer untuk menyediakan riwayat tekanan darah jika ini belum
didokumentasikan dalam surat rujukan. Tekanan darah harus diukur oleh layanan
primer yang melakukan penilaian pra-operasi pada pasien yang berkunjung ke
layanan primer tanpa catatan tekanan darah dalam 12 bulan terakhir. Pengukuran
harus mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan untuk layanan primer. Tekanan
sistolik kurang dari 180 mmHg dan tekanan diastolik yang kurang dari 110 mmHg
tidak boleh menghalangi operasi elektif di rumah sakit, meskipun pasien harus

5
diminta untuk berkunjung ke praktik umum mereka sebelumnya sebagai bentuk
hadirnya layanan primer dalam penanganan hipertensi.6

Dokter umum harus merujuk pasien untuk operasi elektif dengan tekanan
darah rata-rata di layanan primer kurang dari 160 mmHg sistolik dan diastolik
kurang dari 100 mmHg. Rumah sakit harus menerima rujukan yang
mendokumentasikan tekanan darah di bawah 160 mmHg sistolik dan diastolik di
bawah 100 mmHg dalam 12 bulan terakhir. penilaian pra-operasi tidak perlu
dilakukan pengukuran tekanan darah pada pasien yang sedang dipersiapkan untuk
operasi elektif yang riwayat tekanan darah sistolik dan diastoliknya di bawah
160/100 mmHg dalam surat rujukan dari layanan primer. Dokter umum harus
merujuk pasien hipertensi untuk operasi elektif setelah pada pengukuran tekanan
darah didapatkan tekanan sistolik kurang dari 160 mmHg dan diastolik kurang dari
100 mmHg. Pasien dapat dirujuk untuk pembedahan elektif jika mereka tetap
hipertensi meskipun perawatan antihipertensi optimal atau jika mereka menolak
perawatan antihipertensi. 7

Ahli bedah harus meminta dokter umum untuk menyediakan riwayat


tekanan darah pasien di layanan primer dalam 12 bulan terakhir jika pada surat
rujukan tidak dilampirkan. Staf penilai pra-operasi harus mengukur tekanan darah
pasien yang mendatangi rumah sakit tanpa bukti tekanan darah sistolik kurang dari
160 mmHg dan diastolik kurang dari 100 mmHg yang didokumentasikan oleh
layanan primer dalam 12 bulan sebelumnya. Operasi elektif harus dilanjutkan pada
pasien yang datang ke rumah sakit dan pada penilaian pra-operasi tidak ada
dokumentasi normotensi dari layanan primer. jika tekanan darah sistolik mereka
ketika di ukur di rumah sakit kurang dari 180 mmHg dan tekanan diastoliknya
kurang dari 110 mmHg. 6

6
Gambar 1. Penilaian tekanan darah pasien di layanan primer sebelum dirujuk untuk
operasi elektif. * Investigasi dan pengobatan sebaiknya dilanjutkan sampai
mencapai tekanan darah <140/90 mmHg. ABPM dan HBPM, ambulatory and home
blood pressure measurement; DBP and SBP, diastolic and systolic blood. 6

7
Gambar 2. Penilaian tekanan darah perawatan sekunder pasien setelah rujukan
untuk operasi elektif. * GP harus memberikan informasi tentang pembacaan
tekanan darah lebih dari 140 mmHg sistolik atau diastolik 90 mmHg, sehingga
diagnosis hipertensi dapat disangkal atau dikonfirmasi dan diselidiki dan diobati
sesuai kebutuhan. DBP dan SBP, tekanan darah diastolik dan sistolik. 6

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya
yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan
anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau
115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau
operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD) yang dijadikan
tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat seiring dengan

8
pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai perubahan
fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap bahwa
hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler
dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi
menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat
menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur tua.
Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan
menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-
25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. Hiprtensi
sedang bukan factor resiko yang dapat berdiri sendiri terhadap komplikasi
kardiovaskular perioperatif. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan penundaan
pembedahan pada hipertensi yang ringan atau sedang dengan tanpa kelainan
metabolic atau kelainan kardiovaskular. Menunda operasi hanya untuk tujuan
mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus
hipertensi yang ringan sampai sedang.3,7

Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan


hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang
lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya
itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya
kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum
operasi. The American Heart Association / American College of Cardiology
(AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110
mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat
emergensi . Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi emergensi, TD dapat
dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat
antihipertensi yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi
cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada
2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan
postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan
respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperative

9
yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai
hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.3

Anamnesis riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes


laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya perlu dilakukan untuk menilai
factor factor resiko yang dimiliki oleh pasien. . Penilaian status volume cairan tubuh
adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang sebenarnya
ataukah suatu relative hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan diuretika dan
vasodilator).Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan
hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko
terjadinya aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks akan sangat
membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya risiko iskemia
miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.Untuk
evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk
memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal.Jika ditemukan
ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume
plasma perlu diperhatikan.Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat adanya stroke
atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu dicatat.Tujuan pengobatan
hipertensi adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler akibat tingginya TD,
termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit
ginjal.3

Sementara itu pasien yang harus menjalani operasi elektif idealnya hanya
bisa dilakukan ketika tekanan darah dalam batas normal, pendekatan ini tidak selalu
layak atau selalu diinginkan karena gangguan autoregulasi serebral. Penurunan
tekanan darah yang berlebihan dapat mengganggu perfusi serebral. Selain itu,
keputusan apakah akan menunda atau melanjutkan dengan intervensi bedah harus
bersifat individual, tergantung pada beratnya elevasi tekanan darah sebelum
operasi, kemungkinan iskemi miokard, disfungsi ventrikel atau komplikasi
vaskularisasi serebral atau ginjal, dan pembedahan (jika perubahan besar yang
disebabkan operasi di awal jantung atau afterload yang diperbolehkan). Dalam
banyak kasus, hipertensi saat preoperative terjadi karena ketidakpatuhan pasien

10
dengan pola obat yang diberikan. Dengan sedikit pengecualian, antihipertensi harus
dilanjutkan sampai operasi. Beberapa dokter mempertahankan pemberian ACE
inhibitor di pagi hari sebelum operasi karena hubungannya dengan peningkatan
insiden hipotensi intraoperatif. ACE inhibitor diketahui dapat mencegah terjadinya
risiko hipertensi perioperatif dan mampu mencukupi kebutuhan antihipertensi
parenteral. Operasi pada pasien dengan tekanan diastolik preoperatif lebih besar
dari 110 mmHg, terutama pada pasien yang telah diketahui pasti mengalami
kerusakan organ akhir maka operasi harus ditunda sampai tekanan darah lebih
terkontrol selama beberapa hari.3

D. Premedikasi dan manajemen pre operatif


Premedikasi bertujuan mengurangi kecemasan pra operasi dan sangat
dibutuhkan pada pasien hipertensi. Preoperatif hipertensi ringan hingga
menengah sering sembuh setelah pemberian agen anxiolytic, seperti
midazolam. pemberian antihipertensi preoperatif harus dilanjutkan sesuai
jadwal dan dapat diberikan dengan sedikit tegukan air. Seperti disebutkan
sebelumnya, beberapa dokter melanjutkan pemberian ACE inhibitor karena
diketahui dapat mencegah menurunkan tekanan darah intraoperatif. Namun
beberapa dokter tidak memberikan ACE inhibitor dan ARB pada pagi hari
operasi karena adanya keterkaitan dengan peningkatan kejadian hipotensi
intraoperatif; Namun, dengan tidak memberikan obat-obat tersebut bisa
meningkatkan risiko hipertensi perioperatif dan kebutuhan untuk agen
antihipertensi parenteral. 3

E. Manajemen intraoperative Objektif


Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah
menjaga kestabilan tekanan darah pasien. Pasien batas akhir hipertensi dapat diobati
seperti pasien dengan tekanan darah normal. Pada pasien usia lanjut atau pasien
dengan hipertensi yang tidak terkontrol telah terjadi perubahan autoregulasi aliran
darah serebral dimana tekanan darah yang tinggi mempertahankankan aliran darah
otak yang memadai. Pada sebagian besar pasien dengan hipertensi yang lama harus

11
dipikirkan kemungkinan terjadinya penyakit arteri koroner dan hipertrofi
jantung,sehingga peningkatan tekanan darah yang berlebihan dapat dihindari.
Hipertensi, terutama dalam kaitannya dengan takikardia, dapat memicu terjadinya
iskemia miokard, disfungsi ventrikel bahkan keduanya. Tekanan darah arteri
umumnya harus dijaga dalam 10-20% dari tingkat pra operasi. Jika hipertensi
terjadi sebelum operasi dimana tekanan darah lebih dari 180/120 mmHg, maka
tekanan darah arteri harus dipertahankan dalam batas normal, yaitu 150-140/90-80
mm Hg. 3

Pemantauan
Sebagian besar pasien hipertensi tidak memerlukan pemantauan
intraoperatif khusus. Pemantauan tekanan darah harus terus menerus dilakukan
pada pasien dengan tekanan darah yang tidak stabil dan pasien dengan prosedur
pembedahan utama yang terkait dengan perubahan yang cepat atau ditandai dengan
preload jantung atau afterload. Pemantauan elektrokardiografi bertujuan untuk
mengetahui dengan cepat tanda-tanda iskemia. Produksi urin harus dipantau
melalui kateter urin terutama pada pasien gangguan ginjal yang sedang menjalani
tindakan dan diharapkan dapat bertahan lebih dari 2 jam. Selama pemantauan
hemodinamik invasive dilakukan, pemenuhan kebutuhan ventrikel sering
berkurang terutama pada pasien dengan hipertrofi ventrikel.3
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan
anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu
tinggi. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif
adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode preoperative.
Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran tekanan autoregulasi dari
serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi
penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika tekanan darah diturunkan
secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat antihipertensi akan mengubah
kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke normal. Dalam mengukur autoregulasi
serebral dapat digunakan beberapa acuan yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:

12
 Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal
yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
 Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala
hipoperfusi otak.
 Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian
stroke.
 Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal kurang lebih sama
dengan yang terjadi pada serebral.

Anestesia akan aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi dengan
memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia dengan
volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang (balance
anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena
bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia regional dapat dipilih
sebagai teknik anestesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional sering
menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada pasien
dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan
yang diberikan, maka penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti
phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm.3
Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menyebabkan gangguan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun
saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi terjadi akibat vasodilatasi
perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga
pemberian cairan sebelumnya penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia
sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi
karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang
dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker.
Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan
intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan iskemia miokard.
Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa

13
mencapai 25%. Durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu
meminimalisir terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik dibawah ini bisa
dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk menghindari terjadinya
hipertensi.3
 Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama
5-10 menit.
 Pemberian opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil
0,5-1 mikrogram/ kgbb).
 Pemberian lidokain 1,5 mg/kgbb secara intravena atau intratrakea.
 Penggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,
propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
 Penggunakan anestesia topikal pada jalan napas.
 Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi bervariasi untuk masing-
masing klinisi.

Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya


adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi. Untuk pemilihan pelumpuh
otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau
pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi
secara inhalasi. 3

Keunggulan dari setiap obat induksi dan teknik yang dilakukan belum jelas
bagi agen hipertensi. Meskipun dengan anestesi regional, penurunan tekanan darah
yang tajam justru lebih sering terjadi pada pasien hipertensi dibandingkan dengan
pasien normotensi. Barbiturat, benzodiazepin, propofol, dan etomidare adalah
induksi anestesi yang paling aman diberikan pada pasien hipertensi. Pemberian
ketamin merupakan kontraindikasi untuk tindakan operasi karena dapat memicu
terjadinya hipertensi namun hal ini dapat dihilangkan dengan pemberian dosis kecil
bersama dengan agen lainnya, terutama benzodiazepin atau propofol. 3

14
F. Resiko operasi pada pasien hipertensi
Ada sedikit bukti bahwa, jika tekanan sistoliknya kurang dari 180 mmHg dan
diastolik kurang dari 90 mmHg, akan ada kemungkinan peningkatan kejadian peri-
operatif yang merugikan. Posisi ini kurang jelas untuk pasien dengan tekanan di
atas level ini. Studi ini tidak meragukan bahwa hasil peri-operatif berbeda pada
pasien hipertensi dibandingkan dengan pasien normotensi meskipun fakta bahwa
pasien hipertensi dengan tekanan lebih dari 180/110 mmHg cenderung memiliki
ketidakstabilan hemodinamik yang lebih besar, iskemia miokard dan aritmia.
Organ-organ utama yang berisiko dari hipertensi yang sudah lama tidak diobati
adalah jantung, ginjal, dan otak. Pemeriksaan fisik harus mencakup pencarian
kerusakan organ target dan bukti patologi jantung, ginjal, dan serebral terkait.8

 Jantung
Hipertensi menyebabkan peningkatan ketegangan dinding miokard dan
peningkatan kebutuhan oksigen. Bersamaan dengan itu terjadi hipertrofi dan
disfungsi diastolik yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam pasokan dan
kebutuhan oksigen miokard. Ketika otot mengalami hipertrofi dan menjadi kaku,
tekanan diastolik ujung ventrikel kiri (LVEDP) meningkat, yang menyebabkan
penurunan tekanan perfusi koroner. keterkaitan antara hipertensi kronis dan
penyakit jantung koroner menyebabkan terjadinya iskemia dan aritmia
intraoperatif, terutama, jika dikaitkan dengan ketidakstabilan hemodinamik. Waktu
rentan peri-operatif adalah pada saat induksi dan intubasi, segera pasca induksi,
selama pembedahan dan pada akhir prosedur ekstubasi. Intubasi dapat
menyebabkan respons pressor yang berlebihan dan agen seperti opioid kerja
pendek, esmelol, gliseril trinitrate atau magnesium sulfat dapat digunakan untuk
mengontrol respons ini. Perlu diingat bahwa respons tekanan darah yang berlebihan
di dalam operasi mungkin disebabkan oleh phaeochromocytoma yang tidak
terdiagnosis dengan sekresi katekolamin berlebih dan dalam hal ini beta blocker
akan menjadi kontra-indikasi.8

Magnesium sulfat, sebagai bolus empat gram, mungkin merupakan pengobatan lini
pertama teraman dan paling efektif. Setelah induksi, tekanan darah dapat menurun

15
karena kurangnya stimulasi yang mengakibatkan tekanan diastolik rendah dan
perfusi miokard menjadi terbatas. Autoregulasi subendocardial yang juga tidak
normal membuat jantung dengan hipertensi rentan terhadap tekanan darah yang
tidak stabil. Respons pressor yang berlebihan juga dapat terjadi selama pembedahan
dan ekstubasi. 8

Berbagai respon dan ketidakstabilan hemodinamik yang terjadi pada pasien


hipertensi mengakibatkan iskemia intra-operatif. Hal ini dapat di tangani dengan
pengobatan dan membutuhkan pemahaman dan keterampilan yang sesuai dari ahli
anestesi untuk mengatur efek ini. Pasien dengan hipertensi grade 3 atau lebih besar
akan memiliki fluktuasi yang lebih besar dalam tekanan darah selama anestesi dan
karena tingkat hipertensi ini dapat menjadi penanda untuk penyakit jantung koroner
(CAD), maka kontrol tekanan darah sebelum operasi dapat membantu mengurangi
kecenderungan untuk iskemia perioperatif dan morbiditas jantung pasca operasi. 8

 Otak
Hipertensi adalah faktor risiko untuk cedera otak iskemik dan hemoragik. Penyakit
karotis juga lebih umum terjadi pada pasien dengan hipertensi, membuat mereka
rentan terhadap kejadian iskemik serebral jika tekanan darah tidak dikontrol secara
tepat pada periode perioperatif. Hipertensi kronis menyebabkan pergeseran kurva
autoregulasi otak ke kanan, membuat aliran perfusi serebral bergantung, selama
hipotensi berat. Normalisasi autoregulasi otak mungkin memerlukan beberapa
minggu untuk kembali ke nilai mendekati normal. 8

 Ginjal
Kehilangan autoregulasi pada ginjal pada pasien hipertensi juga akan meningkatkan
risiko gagal ginjal dengan episode hipotensi. Tekanan nadi hipertensi telah terbukti
meningkatkan risiko gagal ginjal pasca pembedahan, stroke, dan secara signifikan
meningkatkan risiko infark miokard. Hipertensi dengan tekanan nadi tinggi (lebih
dari 60 mmHg) juga dapat berkontribusi secara signifikan terhadap ketidakstabilan
hemodinamik intraoperatif dan mungkin menjadi prediktor yang lebih penting
daripada disfungsi diastolik. 8

16
G. Hipertensi intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada periode
anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidak berespon
dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi secara
parenteral. Namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi seperti
anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan
terlebih dahulu. Antihipertensi parenteral untuk mengatasi hipertensi akut. Pada
keadaan operasi emergensi, beta bloker bisa dengan cepat mengontrol dan menjaga
stabilitas intraoperatif, sehingga mengurangi jumlah dan durasi episode iskemik
perioperative. 3,7

Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik,


penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit
bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau
efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut. Berikut ini ada beberapa contoh
sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan. 3

 Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien


dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan pada
bronkospastik.
 Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.
 Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering
dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai
onset yang lambat.
 Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada
hipertensi sedang sampai berat.
 Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai terapi
atau pencegahan iskemia miokard.
 Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi
ginjal.

17
 Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset
yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.

H. Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada pasien
yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan kebutuhan
oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard, disritmia
jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan
ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi
menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat

18
penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca operasi ada
banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya yang tidak
teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem respirasi, nyeri,
overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum diputuskan untuk
memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab sekunder tersebut harus
dikoreksi dulu.3

Nyeri merupakan salah satu factor yang paling berkonstribusi menyebabkan


hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri sebaiknya
ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus kontinyu.
Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi secara
farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca
operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah mempunyai
riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap diberikan.
Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi secara
parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk mengatasi
hipertensi dan takikardia yang terjadi. 3

Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika


furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya
diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara
langsung maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker
secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan
sodium nitroprusside. Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral
sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai. 3

19
BAB IV

DISKUSI

Pasien wanita 48 th dengan diagnosis Tumor uterus + Translokasi IUD + Hipertensi


akan dilakukan tindakan histerektomi. Dari data anamnesis didapatkan adanya
penyulit berupa adanya hipertensi pada pasien dengan tekanan darah 130/80 dimana
ketika awal masuk di IGD maternal tekanan darah pasien 170/120.

Pada dasarnya urutan dalam anestesi terdiri atas:


1. Persiapan
2. Premedikasi
3. Induksi/anestesi
4. Maintenance Monitoring
5. Terminasi (menutup gas-gas anestesi)
6. Ke RR/Recovery Room (ruang pemulihan) Monitoring

Pada persiapan operasi maupun persiapan anestesi, dilakukan informed


consent. Tujuan dari informed consent ini menjelaskan tujuan, komplikasi dan
konsekuensi dari operasi ini.
Kemudian pemeriksaan fisik dilakukan untuk menyingkirkan
kontraindikasi seperti skoliosis, kifosis, ataupun infeksi. Pemeriksaan yang
diperlukan untuk operasi antara lain pemeriksaan laaboratorium dan EKG dan dari
hasil tersebut tidak didapatkan kelainan.
Acuan The American Heart Association / American College of Cardiology
(AHA/ACC), menyebutkan bahwa TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110 mmHg
dan didapatkan tanda tanda kerusakan organ sebaiknya dikontrol sebelum
dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Berdasarkan acuan tersebut
maka Pada pasien ini tidak perlu untuk dilakukan penundaan karena TDS 130 dan
TDD 80 dan tidak didapatkan tanda kerusakan target organ.

20
Selanjutnya dilakukan penentuan standar kesehatan pasien berdasarkan American
Society of Anesthesia. Adapun pembagian kategori ASA adalah:

I : Pasien normal dan sehat fisis dan mental


II :Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan
fungsional
III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang
menyebabkan keterbatasan fungsi
IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup
dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi
V : Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam
dengan atau tanpa operasi
VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil.

Pasien ini baru menyadari mengidap hipertensi sekitar 1 bulan yang lalu
ketika berkunjung ke puskesmas. Dan pasien diberikan pengobatan amlodipine 5
mg namun pasien tidak teratur dalam meminum obat. Karena hipertensi pasien ini
tergolong hipertensi dengan pengobatan tidak tertaur maka pasien ini masuk dalam
kategori ASA III.
Setelah penentuan ASA, kemudian ditentukan pilihan anestesi. Pada pasien
ini, pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis regional anestesi atau lebih
tepatnya spinal anestesi/Subarachnoid Block (SAB). Adapun alasan pemilihan
teknik anestesi tersebut adalah sesuai dengan indikasi anestesi spinal, yaitu:
pembedahan ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan pada rektum-perineum,
bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, dan pada bedah
abdomen atas dan bedah pediatri yang dikombinasikan dengan anestesia umum
ringan. Pada hasil pemeriksaan fisik ataupun laboratorium juga tidak menunjukkan
adanya gangguan yang dapat menjadi kontraindikasi, sehingga anestesi spinal dapat
menjadi pilihan dalam tindakan pada kasus ini.
Keunggulan dari setiap obat induksi dan teknik yang dilakukan belum jelas
bagi agen hipertensi. Meskipun dengan anestesi regional, penurunan tekanan darah

21
yang tajam justru lebih sering terjadi pada pasien hipertensi dibandingkan dengan
pasien normotensi. Meskipun demikian, pemberian induksi anestesia dan intubasi
endotrakea juga sering menyebabkan gangguan hemodinamik pada pasien
hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering
menimbulkan hipertensi.
Sebelum dilakukan anestesi dilakukan pemberian cairan secara cepat.
Tujuan dilakukannya pemberian cairan ini adalah untuk meminimalisir efek
samping dari anestesi spinal berupa hipotensi akibat blokade simpatis dengan cara
menambah volume intravaskuler. Pemberian cairan dapat diberikan baik
menggunakan kristaloid ataupun koloid yang memiliki masa intravaskuler lebih
lama dengan berat molekul yang lebih tinggi. Pada pasien ini, dilakukan pemberian
cairan menggunakan kristaloid Ringer laktat.
Pada kasus ini dilakukan premedikasi berupa pemberian alprazolam 0,5 mg
diminum sebelum tidur bertujuan memberikan rasa nyaman pada pasien sebelum
operasi. Dan untuk menangani hipertensinya pasien diberikan nifedipin 10 mg 3x1.
Anestesi spinal (blokade subarakhnoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan agen anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid dibawah
vertebra lumbal 2 dengan tujuan menghindari cedera medulla spinalis. Penentuan
posisi ditentukan oleh kenyamanan pasien dan kesanggupan spesialis anestesi. Pada
pasien ini, posisi yang digunakan adalah Left Lateral Decubitus. Setelah penentuan
tempat penyuntikan dan disinfeksi, anestesi spinal dapat dilakukan. Adapun
beberapa pilihan jarum spinal, dikenal ada jenis dengan ujung seperti bambu
runcing (Quincke atau Greene) dan seperti ujung pensil (Whitacre dan Sprotte).
Jenis jarum dengan ujung pensil lebih banyak digunakan dengan pertimbangan
lebih jarang menyebabkan kejadian postdural puncture headache (PDPH) atau
nyeri kepala setelah penyuntikan. Walau demikian, pada anestesi kali ini, jarum
yang digunakan pada pasien adalah jarum Quincke namun dengan ukuran kecil 25G
yang diharapkan meminimalisir efek tersebut.
Kemudian, anestesi dapat dilanjutkan dengan dilakukan tindakan aseptik
area tempat penyuntikan yaitu daerah kulit punggung pasien. Penyuntikan jarum
spinal dilakukan pada bidang medial dengan sudut 10-30° terhadap bidang

22
horizontal ke arah kranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater
dan lapisan subaraknoid. Cabut stilet setelah dirasakan jarum memasuki ruang
intratekhal ditandai dengan keluarnya cairan serebrospinal. Suntikkan obat
anestetik lokal yang telah dipersiapkan ke dalam ruang subaraknoid. Kadang-
kadang untuk memperpanjang durasi kerja obat dapat ditambahkan vasokonstriktor
seperti adrenalin.
Obat–obatan yang dapat digunakan sebagai agen anestesi lokal secara
umum terbagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan Ester, seperti prokain, kokain,
dan tetrakain; dan golongan Amide seperi prilokain, lidokain, bupivacaine, dan
lain-lain. Perbedaan penting dari keduanya adalah mekanisme yang diakibatkan
oleh metabolitnya, dimana golongan amide lebih sedikit dimetabolisme karena
lebih stabil dan cenderung berakumulasi dalam plasma. Adapun obat-obatan
anestetik lokal yang digunakan di Indonesia adalah prokain, lidokain, dan
bupivakain.
Bupivakain secara kimia dan farmakologisnya mirip dengan lidokain.
Toksisitasnya setara dengan tetrakain. Untuk infiltrasi dan blok saraf perifer
dipakai larutan 0,25-0,75%. Dosis maksimal tanpa vasokontriktor adalah 2,5
mg/kgBB dan dengan vasokontriktor mencapai 3 mg/kgBB. Durasi kerja obat
mencapai 2-4 jam tanpa vasokontriktor dan dapat mencapai 4-8 jam dengan
vasokontriktor. Konsentrasi efektif minimal 0,125%. Setelah suntikan kaudal,
epidural atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai dalam 45 menit. Kemudian
menurun perlahan-lahan dalam 3-8 jam. Pada kasus ini dengan berat badan 71 kg,
dosis maksimum yang dapat diberikan tanpa vasokontriktor adalah 177.5 mg.
Pasien menerima bupivakain 0,5% sebanyak 15 mg sehingga tidak melebihi dosis
maksimum.

23
BAB V

KESIMPULAN

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya
yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya penundaan
anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau
115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau
operasi kecuali operasi emergensi.3

Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar


risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi
diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi
yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya stroke
dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi
antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke
sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung
diturunkan sampai lebih dari 50%. Menunda operasi hanya untuk tujuan
mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan kasus
hipertensi yang ringan sampai sedang.3

Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan


hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang
lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya
itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya
kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum
operasi. The American Heart Association / American College of Cardiology
(AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110
mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat
urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi.3

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Lapage K, Wouters P. The patient with hypertension undergoing surgery.


Wolters Kluwer Health, Inc 2016; 29:1.
2. Hazzi R, Mayock R. Perioperative management of hypertension. J
Xiangya Med 2018;3:1.
3. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with
cardiovaskular disease. Clinical Anesthesiology. 5th ed. New York:
McGraw-Hill;2013.
4. Kementerian kesehatan RI. Infodatin Hipertensi. Kementerian Kesehatan
RI. Jakarta. 2014.
5. Bell K, et al. Hypertension: The Silent Killer: Updated JNC-8 Guideline
Recommendations. Alabama Pharmacy Association 2018 ;4.
6. Hartle et al. Wouters P. The measurement of adult blood pressure and
management of hypertension before elective surgery. Anaesthesia 2016;
327.
7. Moreland N, Adams A. Anesthesia for the high-risk patient . 2nd ed. New
York: Cambridge University;2009.
8. Lines D. Hypertension and anaethesia. S Afr Fam Pract 2014; 56:S6-S7.

25

Anda mungkin juga menyukai