PEMBAHASAN
A. Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua
kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
istirahat/tenang.4
B. Klasifikasi5
1
sakit, meskipun pasien harus diminta untuk berkunjung ke praktik umum mereka
sebelumnya sebagai bentuk hadirnya layanan primer dalam penanganan
hipertensi.6
Dokter umum harus merujuk pasien untuk operasi elektif dengan tekanan
darah rata-rata di layanan primer kurang dari 160 mmHg sistolik dan diastolik
kurang dari 100 mmHg. Rumah sakit harus menerima rujukan yang
mendokumentasikan tekanan darah di bawah 160 mmHg sistolik dan diastolik di
bawah 100 mmHg dalam 12 bulan terakhir. penilaian pra-operasi tidak perlu
dilakukan pengukuran tekanan darah pada pasien yang sedang dipersiapkan untuk
operasi elektif yang riwayat tekanan darah sistolik dan diastoliknya di bawah
160/100 mmHg dalam surat rujukan dari layanan primer. Dokter umum harus
merujuk pasien hipertensi untuk operasi elektif setelah pada pengukuran tekanan
darah didapatkan tekanan sistolik kurang dari 160 mmHg dan diastolik kurang
dari 100 mmHg. Pasien dapat dirujuk untuk pembedahan elektif jika mereka tetap
hipertensi meskipun perawatan antihipertensi optimal atau jika mereka menolak
perawatan antihipertensi.7
2
Gambar 1. Penilaian tekanan darah pasien di layanan primer sebelum dirujuk
untuk operasi elektif. * Investigasi dan pengobatan sebaiknya dilanjutkan sampai
mencapai tekanan darah <140/90 mmHg. ABPM dan HBPM, ambulatory and
home blood pressure measurement; DBP and SBP, diastolic and systolic blood.6
3
Gambar 2. Penilaian tekanan darah perawatan sekunder pasien setelah rujukan
untuk operasi elektif. * GP harus memberikan informasi tentang pembacaan
tekanan darah lebih dari 140 mmHg sistolik atau diastolik 90 mmHg, sehingga
diagnosis hipertensi dapat disangkal atau dikonfirmasi dan diselidiki dan diobati
sesuai kebutuhan. DBP dan SBP, tekanan darah diastolik dan sistolik.6
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya
yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya
penundaan anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa
TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan
anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD)
yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat
4
seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai
perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap
bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas
kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari
hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik
dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur
tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan
menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-
25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. Hiprtensi
sedang bukan factor resiko yang dapat berdiri sendiri terhadap komplikasi
kardiovaskular perioperatif. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan penundaan
pembedahan pada hipertensi yang ringan atau sedang dengan tanpa kelainan
metabolic atau kelainan kardiovaskular. Menunda operasi hanya untuk tujuan
mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan
kasus hipertensi yang ringan sampai sedang.3,7
5
hipertensi preoperative yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan
mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol
dengan baik.3
Sementara itu pasien yang harus menjalani operasi elektif idealnya hanya
bisa dilakukan ketika tekanan darah dalam batas normal, pendekatan ini tidak
selalu layak atau selalu diinginkan karena gangguan autoregulasi serebral.
Penurunan tekanan darah yang berlebihan dapat mengganggu perfusi serebral.
Selain itu, keputusan apakah akan menunda atau melanjutkan dengan intervensi
bedah harus bersifat individual, tergantung pada beratnya elevasi tekanan darah
sebelum operasi, kemungkinan iskemi miokard, disfungsi ventrikel atau
komplikasi vaskularisasi serebral atau ginjal, dan pembedahan (jika perubahan
besar yang disebabkan operasi di awal jantung atau afterload yang diperbolehkan).
6
Dalam banyak kasus, hipertensi saat preoperative terjadi karena ketidakpatuhan
pasien dengan pola obat yang diberikan. Dengan sedikit pengecualian,
antihipertensi harus dilanjutkan sampai operasi. Beberapa dokter mempertahankan
pemberian ACE inhibitor di pagi hari sebelum operasi karena hubungannya
dengan peningkatan insiden hipotensi intraoperatif. ACE inhibitor diketahui dapat
mencegah terjadinya risiko hipertensi perioperatif dan mampu mencukupi
kebutuhan antihipertensi parenteral. Operasi pada pasien dengan tekanan diastolik
preoperatif lebih besar dari 110 mmHg, terutama pada pasien yang telah diketahui
pasti mengalami kerusakan organ akhir maka operasi harus ditunda sampai
tekanan darah lebih terkontrol selama beberapa hari.3
E. Manajemenintraoperative Objektif
Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah
menjaga kestabilan tekanan darah pasien. Pasien batas akhir hipertensi dapat
diobati seperti pasien dengan tekanan darah normal. Pada pasien usia lanjut atau
pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol telah terjadi perubahan
autoregulasi aliran darah serebral dimana tekanan darah yang tinggi
7
mempertahankankan aliran darah otak yang memadai. Pada sebagian besar pasien
dengan hipertensi yang lama harus dipikirkan kemungkinan terjadinya penyakit
arteri koroner dan hipertrofi jantung,sehingga peningkatan tekanan darah yang
berlebihan dapat dihindari. Hipertensi, terutama dalam kaitannya dengan
takikardia, dapat memicu terjadinya iskemia miokard, disfungsi ventrikel bahkan
keduanya. Tekanan darah arteri umumnya harus dijaga dalam 10-20% dari tingkat
pra operasi. Jika hipertensi terjadi sebelum operasi dimana tekanan darah lebih
dari 180/120 mmHg, maka tekanan darah arteri harus dipertahankan dalam batas
normal, yaitu 150-140/90-80 mm Hg. 3
Pemantauan
Sebagian besar pasien hipertensi tidak memerlukan pemantauan
intraoperatif khusus. Pemantauan tekanan darah harus terus menerus dilakukan
pada pasien dengan tekanan darah yang tidak stabil dan pasien dengan prosedur
pembedahan utama yang terkait dengan perubahan yang cepat atau ditandai
dengan preload jantung atau afterload. Pemantauan elektrokardiografi bertujuan
untuk mengetahui dengan cepat tanda-tanda iskemia. Produksi urin harus dipantau
melalui kateter urin terutama pada pasien gangguan ginjal yang sedang menjalani
tindakan dan diharapkan dapat bertahan lebih dari 2 jam. Selama pemantauan
hemodinamik invasive dilakukan, pemenuhan kebutuhan ventrikel sering
berkurang terutama pada pasien dengan hipertrofi ventrikel.3
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan
anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu
tinggi. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif
adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode
preoperative. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran tekanan
autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan
mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika tekanan
darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat
antihipertensi akan mengubah kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke
8
normal. Dalam mengukur autoregulasi serebral dapat digunakan beberapa acuan
yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:
Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal
yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala
hipoperfusi otak.
Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian
stroke.
Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal kurang lebih sama
dengan yang terjadi pada serebral.
9
laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan
iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi
endotrakea bisa mencapai 25%. Durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat
membantu meminimalisir terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik
dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk
menghindari terjadinya hipertensi.3
Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama
5-10 menit.
Pemberian opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil
0,5-1 mikrogram/ kgbb).
Pemberian lidokain 1,5 mg/kgbb secara intravena atau intratrakea.
Penggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,
propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
Penggunakan anestesia topikal pada jalan napas.
Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi bervariasi untuk
masing-masing klinisi.
Keunggulan dari setiap obat induksi dan teknik yang dilakukan belum
jelas bagi agen hipertensi. Meskipun dengan anestesi regional, penurunan tekanan
darah yang tajam justru lebih sering terjadi pada pasien hipertensi dibandingkan
dengan pasien normotensi. Barbiturat, benzodiazepin, propofol, dan etomidare
adalah induksi anestesi yang paling aman diberikan pada pasien hipertensi.
Pemberian ketamin merupakan kontraindikasi untuk tindakan operasi karena
dapat memicu terjadinya hipertensi namun hal ini dapat dihilangkan dengan
10
pemberian dosis kecil bersama dengan agen lainnya, terutama benzodiazepin atau
propofol. 3
Jantung
Hipertensi menyebabkan peningkatan ketegangan dinding miokard dan
peningkatan kebutuhan oksigen. Bersamaan dengan itu terjadi hipertrofi dan
disfungsi diastolik yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam pasokan dan
kebutuhan oksigen miokard. Ketika otot mengalami hipertrofi dan menjadi kaku,
tekanan diastolik ujung ventrikel kiri (LVEDP) meningkat, yang menyebabkan
penurunan tekanan perfusi koroner. keterkaitan antara hipertensi kronis dan
penyakit jantung koroner menyebabkan terjadinya iskemia dan aritmia
intraoperatif, terutama, jika dikaitkan dengan ketidakstabilan hemodinamik.
Waktu rentan peri-operatif adalah pada saat induksi dan intubasi, segera pasca
induksi, selama pembedahan dan pada akhir prosedur ekstubasi. Intubasi dapat
menyebabkan respons pressor yang berlebihan dan agen seperti opioid kerja
pendek, esmelol, gliseril trinitrate atau magnesium sulfat dapat digunakan untuk
mengontrol respons ini. Perlu diingat bahwa respons tekanan darah yang
11
berlebihan di dalam operasi mungkin disebabkan oleh phaeochromocytoma yang
tidak terdiagnosis dengan sekresi katekolamin berlebih dan dalam hal ini beta
blocker akan menjadi kontra-indikasi.8
Otak
Hipertensi adalah faktor risiko untuk cedera otak iskemik dan hemoragik.
Penyakit karotis juga lebih umum terjadi pada pasien dengan hipertensi, membuat
mereka rentan terhadap kejadian iskemik serebral jika tekanan darah tidak
dikontrol secara tepat pada periode perioperatif. Hipertensi kronis menyebabkan
pergeseran kurva autoregulasi otak ke kanan, membuat aliran perfusi serebral
bergantung, selama hipotensi berat. Normalisasi autoregulasi otak mungkin
memerlukan beberapa minggu untuk kembali ke nilai mendekati normal.8
Ginjal
12
Kehilangan autoregulasi pada ginjal pada pasien hipertensi juga akan
meningkatkan risiko gagal ginjal dengan episode hipotensi. Tekanan nadi
hipertensi telah terbukti meningkatkan risiko gagal ginjal pasca pembedahan,
stroke, dan secara signifikan meningkatkan risiko infark miokard. Hipertensi
dengan tekanan nadi tinggi (lebih dari 60 mmHg) juga dapat berkontribusi secara
signifikan terhadap ketidakstabilan hemodinamik intraoperatif dan mungkin
menjadi prediktor yang lebih penting daripada disfungsi diastolik.8
G. Hipertensiintraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada
periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidak
berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi
secara parenteral. Namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi
seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus
disingkirkan terlebih dahulu. Antihipertensi parenteral untuk mengatasi hipertensi
akut.Pada keadaan operasi emergensi, beta bloker bisa dengan cepat mengontrol
dan menjaga stabilitas intraoperatif, sehingga mengurangi jumlah dan durasi
episode iskemik perioperative.3,7
13
Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering
dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai
onset yang lambat.
Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada
hipertensi sedang sampai berat.
Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai
terapi atau pencegahan iskemia miokard.
Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi
ginjal.
Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset
yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.
14
H. Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada
pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard,
disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan
perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat
berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga
menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca
operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya
yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem
respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum
diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab
sekunder tersebut harus dikoreksi dulu.3
15
meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah
mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap
diberikan. Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi
secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk
mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. 3
16
BAB IV
DISKUSI
17
Selanjutnya dilakukan penentuan standar kesehatan pasien berdasarkan American
Society of Anesthesia. Adapun pembagian kategori ASA adalah:
Pasien ini baru menyadari mengidap hipertensi sekitar 1 bulan yang lalu
ketika berkunjung ke puskesmas. Dan pasien diberikan pengobatan amlodipine 5
mg namun pasien tidak teratur dalam meminum obat. Karena hipertensi pasien ini
tergolong hipertensi dengan pengobatan tidak tertaur maka pasien ini masuk
dalam kategori ASA III.
Setelah penentuan ASA, kemudian ditentukan pilihan anestesi. Pada
pasien ini, pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis regional anestesi atau lebih
tepatnya spinal anestesi/Subarachnoid Block (SAB). Adapun alasan pemilihan
teknik anestesi tersebut adalah sesuai dengan indikasi anestesi spinal, yaitu:
pembedahan ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan pada rektum-perineum,
bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, dan pada
bedah abdomen atas dan bedah pediatri yang dikombinasikan dengan anestesia
umum ringan. Pada hasil pemeriksaan fisik ataupun laboratorium juga tidak
menunjukkan adanya gangguan yang dapat menjadi kontraindikasi, sehingga
anestesi spinal dapat menjadi pilihan dalam tindakan pada kasus ini.
Keunggulan dari setiap obat induksi dan teknik yang dilakukan belum
jelas bagi agen hipertensi. Meskipun dengan anestesi regional, penurunan tekanan
18
darah yang tajam justru lebih sering terjadi pada pasien hipertensi dibandingkan
dengan pasien normotensi. Meskipun demikian, pemberian induksi anestesia dan
intubasi endotrakea juga sering menyebabkan gangguan hemodinamik pada
pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering
menimbulkan hipertensi.
Sebelum dilakukan anestesi dilakukan pemberian cairan secara cepat.
Tujuandilakukannya pemberian cairan ini adalah untuk meminimalisir efek
samping dari anestesi spinal berupa hipotensi akibat blokade simpatis dengan cara
menambah volume intravaskuler. Pemberian cairan dapat diberikan baik
menggunakankristaloid ataupun koloid yang memiliki masa intravaskuler lebih
lama dengan berat molekul yang lebih tinggi. Pada pasien ini, dilakukan
pemberian cairan menggunakan kristaloid Ringer laktat.
Pada kasus ini dilakukan premedikasi berupa pemberian alprazolam 0,5
mg diminum sebelum tidur bertujuan memberikan rasa nyaman pada pasien
sebelum operasi. Dan untuk menangani hipertensinya pasien diberikan nifedipin
10 mg 3x1.
Anestesi spinal (blokade subarakhnoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan agen anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid dibawah
vertebra lumbal 2 dengan tujuan menghindari cedera medulla spinalis. Penentuan
posisi ditentukan oleh kenyamanan pasien dan kesanggupan spesialis anestesi.
Pada pasien ini, posisi yang digunakan adalah Left Lateral Decubitus. Setelah
penentuan tempat penyuntikan dan disinfeksi, anestesi spinal dapat dilakukan.
Adapun beberapa pilihan jarum spinal, dikenal ada jenis dengan ujung seperti
bambu runcing (Quincke atau Greene) dan seperti ujung pensil (Whitacredan
Sprotte). Jenis jarum dengan ujung pensil lebih banyak digunakan dengan
pertimbangan lebih jarang menyebabkan kejadian postdural puncture
headache(PDPH) atau nyeri kepala setelah penyuntikan. Walau demikian, pada
anestesi kali ini, jarum yang digunakan pada pasien adalah jarum Quincke namun
dengan ukuran kecil 25G yang diharapkan meminimalisir efek tersebut.
Kemudian, anestesi dapat dilanjutkan dengan dilakukan tindakan aseptik
areatempat penyuntikan yaitu daerah kulit punggung pasien. Penyuntikan jarum
19
spinal dilakukan pada bidang medial dengan sudut 10-30° terhadap bidang
horizontal ke arah kranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan
duramater dan lapisan subaraknoid. Cabut stilet setelah dirasakan jarum
memasuki ruang intratekhal ditandai dengan keluarnya cairan serebrospinal.
Suntikkan obat anestetik lokal yang telah dipersiapkan ke dalam ruang
subaraknoid. Kadang-kadang untuk memperpanjang durasi kerja obat dapat
ditambahkan vasokonstriktor seperti adrenalin.
Obat–obatan yang dapat digunakan sebagai agen anestesi lokal
secaraumum terbagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan Ester, seperti prokain,
kokain, dan tetrakain; dan golongan Amide seperi prilokain, lidokain,
bupivacaine, dan lain-lain. Perbedaan penting dari keduanya adalah mekanisme
yang diakibatkan oleh metabolitnya, dimana golongan amide lebih sedikit
dimetabolisme karenalebih stabil dan cenderung berakumulasi dalam plasma.
Adapun obat-obatan anestetik lokal yang digunakan di Indonesia adalah prokain,
lidokain, dan bupivakain.
Bupivakain secara kimia dan farmakologisnya mirip dengan lidokain.
Toksisitasnya setara dengan tetrakain. Untuk infiltrasi dan blok saraf
perifer dipakai larutan 0,25-0,75%. Dosis maksimal tanpa vasokontriktor adalah
2,5 mg/kgBB dan dengan vasokontriktor mencapai 3 mg/kgBB. Durasi kerja obat
mencapai 2-4 jam tanpa vasokontriktor dan dapat mencapai 4-8 jam dengan
vasokontriktor. Konsentrasi efektif minimal 0,125%. Setelah suntikan kaudal,
epidural atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai dalam 45 menit. Kemudian
menurunperlahan-lahan dalam 3-8 jam. Pada kasus ini dengan berat badan 71 kg,
dosis maksimum yang dapat diberikan tanpa vasokontriktor adalah 177.5 mg.
Pasien menerima bupivakain 0,5% sebanyak 15 mg sehingga tidak melebihi dosis
maksimum.
20
BAB V
KESIMPULAN
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya
yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya
penundaan anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa
TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan
anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi.3
21
DAFTAR PUSTAKA
22