Anda di halaman 1dari 22

BAB III

PEMBAHASAN

A. Definisi
Hipertensi atau tekanan darah tinggi adalah peningkatan tekanan darah sistolik
lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua
kali pengukuran dengan selang waktu lima menit dalam keadaan cukup
istirahat/tenang.4

B. Klasifikasi5

C. Penilaian Preoperatif dan Persiapan Preoperatif Pasien Hipertensi


Tekanan darah harus diukur pada layanan primer sebelum dilakukannya
rujukan bedah yang tidak mendesak. Pasien rawat jalan bedah harus
mengupayakan pada layanan primer untuk menyediakan riwayat tekanan darah
jika ini belum didokumentasikan dalam surat rujukan. Tekanan darah harus diukur
oleh layanan primer yang melakukan penilaian pra-operasi pada pasien yang
berkunjung ke layanan primer tanpa catatan tekanan darah dalam 12 bulan
terakhir. Pengukuran harus mengikuti prinsip-prinsip yang ditetapkan untuk
layanan primer. Tekanan sistolik kurang dari 180 mmHg dan tekanan diastolik
yang kurang dari 110 mmHg tidak boleh menghalangi operasi elektif di rumah

1
sakit, meskipun pasien harus diminta untuk berkunjung ke praktik umum mereka
sebelumnya sebagai bentuk hadirnya layanan primer dalam penanganan
hipertensi.6

Dokter umum harus merujuk pasien untuk operasi elektif dengan tekanan
darah rata-rata di layanan primer kurang dari 160 mmHg sistolik dan diastolik
kurang dari 100 mmHg. Rumah sakit harus menerima rujukan yang
mendokumentasikan tekanan darah di bawah 160 mmHg sistolik dan diastolik di
bawah 100 mmHg dalam 12 bulan terakhir. penilaian pra-operasi tidak perlu
dilakukan pengukuran tekanan darah pada pasien yang sedang dipersiapkan untuk
operasi elektif yang riwayat tekanan darah sistolik dan diastoliknya di bawah
160/100 mmHg dalam surat rujukan dari layanan primer. Dokter umum harus
merujuk pasien hipertensi untuk operasi elektif setelah pada pengukuran tekanan
darah didapatkan tekanan sistolik kurang dari 160 mmHg dan diastolik kurang
dari 100 mmHg. Pasien dapat dirujuk untuk pembedahan elektif jika mereka tetap
hipertensi meskipun perawatan antihipertensi optimal atau jika mereka menolak
perawatan antihipertensi.7

Ahli bedah harus meminta dokter umum untuk menyediakan riwayat


tekanan darah pasien di layanan primer dalam 12 bulan terakhir jika pada surat
rujukan tidak dilampirkan. Staf penilai pra-operasi harus mengukur tekanan darah
pasien yang mendatangi rumah sakit tanpa bukti tekanan darah sistolik kurang
dari 160 mmHg dan diastolik kurang dari 100 mmHg yang didokumentasikan
oleh layanan primer dalam 12 bulan sebelumnya. Operasi elektif harus dilanjutkan
pada pasien yang datang ke rumah sakit dan pada penilaian pra-operasi tidak ada
dokumentasi normotensi dari layanan primer. jika tekanan darah sistolik mereka
ketika di ukur di rumah sakit kurang dari 180 mmHg dan tekanan diastoliknya
kurang dari 110 mmHg.6

2
Gambar 1. Penilaian tekanan darah pasien di layanan primer sebelum dirujuk
untuk operasi elektif. * Investigasi dan pengobatan sebaiknya dilanjutkan sampai
mencapai tekanan darah <140/90 mmHg. ABPM dan HBPM, ambulatory and
home blood pressure measurement; DBP and SBP, diastolic and systolic blood.6

3
Gambar 2. Penilaian tekanan darah perawatan sekunder pasien setelah rujukan
untuk operasi elektif. * GP harus memberikan informasi tentang pembacaan
tekanan darah lebih dari 140 mmHg sistolik atau diastolik 90 mmHg, sehingga
diagnosis hipertensi dapat disangkal atau dikonfirmasi dan diselidiki dan diobati
sesuai kebutuhan. DBP dan SBP, tekanan darah diastolik dan sistolik.6

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya
yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya
penundaan anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa
TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan
anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD)
yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat

4
seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai
perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap
bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas
kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari
hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik
dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur
tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan
menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-
25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. Hiprtensi
sedang bukan factor resiko yang dapat berdiri sendiri terhadap komplikasi
kardiovaskular perioperatif. Oleh karena itu tidak perlu dilakukan penundaan
pembedahan pada hipertensi yang ringan atau sedang dengan tanpa kelainan
metabolic atau kelainan kardiovaskular. Menunda operasi hanya untuk tujuan
mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan
kasus hipertensi yang ringan sampai sedang.3,7

Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan


hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang
lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya
itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya
kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum
operasi. The American Heart Association / American College of Cardiology
(AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110
mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi
bersifatemergensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensiemergensi, TD
dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian
obat antihipertensi yang bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita
hipertensi cenderung mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode
perioperatif. Ada 2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan
anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat
laringoskopi dan respons hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien

5
hipertensi preoperative yang sudah dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan
mempunyai hemodinamik yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol
dengan baik.3

Anamnesis riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes


laboratorium rutin dan prosedur diagnostik lainnya perlu dilakukan untuk menilai
factor factor resiko yang dimiliki oleh pasien. . Penilaian status volume cairan
tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai merupakan yang
sebenarnya ataukah suatu relative hipovolemia (berkaitan dengan penggunaan
diuretika dan vasodilator).Disamping itu penggunaan diuretika yang rutin, sering
menyebabkan hipokalemia dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan
peningkatan risiko terjadinya aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray
toraks akan sangat membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya
risiko iskemia miokardial akibat ketidak seimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen.Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum kreatinin dan BUN sebaiknya
diperiksa untuk memperkirakan seberapa tingkat kerusakan parenkim ginjal.Jika
ditemukan ternyata gagal ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan
peningkatan volume plasma perlu diperhatikan.Untuk evaluasi serebrovaskuler,
riwayat adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu
dicatat.Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi kardiovaskuler
akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri koroner, stroke, CHF, aneurisme
arteri dan penyakit ginjal.3

Sementara itu pasien yang harus menjalani operasi elektif idealnya hanya
bisa dilakukan ketika tekanan darah dalam batas normal, pendekatan ini tidak
selalu layak atau selalu diinginkan karena gangguan autoregulasi serebral.
Penurunan tekanan darah yang berlebihan dapat mengganggu perfusi serebral.
Selain itu, keputusan apakah akan menunda atau melanjutkan dengan intervensi
bedah harus bersifat individual, tergantung pada beratnya elevasi tekanan darah
sebelum operasi, kemungkinan iskemi miokard, disfungsi ventrikel atau
komplikasi vaskularisasi serebral atau ginjal, dan pembedahan (jika perubahan
besar yang disebabkan operasi di awal jantung atau afterload yang diperbolehkan).

6
Dalam banyak kasus, hipertensi saat preoperative terjadi karena ketidakpatuhan
pasien dengan pola obat yang diberikan. Dengan sedikit pengecualian,
antihipertensi harus dilanjutkan sampai operasi. Beberapa dokter mempertahankan
pemberian ACE inhibitor di pagi hari sebelum operasi karena hubungannya
dengan peningkatan insiden hipotensi intraoperatif. ACE inhibitor diketahui dapat
mencegah terjadinya risiko hipertensi perioperatif dan mampu mencukupi
kebutuhan antihipertensi parenteral. Operasi pada pasien dengan tekanan diastolik
preoperatif lebih besar dari 110 mmHg, terutama pada pasien yang telah diketahui
pasti mengalami kerusakan organ akhir maka operasi harus ditunda sampai
tekanan darah lebih terkontrol selama beberapa hari.3

D. Premedikasidanmanajemen pre operatif


Premedikasi bertujuan mengurangi kecemasan pra operasi dan sangat
dibutuhkan pada pasien hipertensi. Preoperatif hipertensi ringan hingga
menengah sering sembuh setelah pemberian agen anxiolytic, seperti
midazolam. pemberian antihipertensi preoperatif harus dilanjutkan sesuai
jadwal dan dapat diberikan dengan sedikit tegukan air. Seperti disebutkan
sebelumnya, beberapa dokter melanjutkan pemberian ACE inhibitor karena
diketahui dapat mencegah menurunkan tekanan darah intraoperatif.
Namunbeberapa dokter tidak memberikan ACE inhibitor dan ARB pada pagi
hari operasi karena adanya keterkaitan dengan peningkatan kejadian hipotensi
intraoperatif; Namun, dengan tidak memberikan obat-obat tersebut bisa
meningkatkan risiko hipertensi perioperatif dan kebutuhan untuk agen
antihipertensi parenteral. 3

E. Manajemenintraoperative Objektif
Secara keseluruhan tujuan anestesi untuk pasien dengan hipertensi adalah
menjaga kestabilan tekanan darah pasien. Pasien batas akhir hipertensi dapat
diobati seperti pasien dengan tekanan darah normal. Pada pasien usia lanjut atau
pasien dengan hipertensi yang tidak terkontrol telah terjadi perubahan
autoregulasi aliran darah serebral dimana tekanan darah yang tinggi

7
mempertahankankan aliran darah otak yang memadai. Pada sebagian besar pasien
dengan hipertensi yang lama harus dipikirkan kemungkinan terjadinya penyakit
arteri koroner dan hipertrofi jantung,sehingga peningkatan tekanan darah yang
berlebihan dapat dihindari. Hipertensi, terutama dalam kaitannya dengan
takikardia, dapat memicu terjadinya iskemia miokard, disfungsi ventrikel bahkan
keduanya. Tekanan darah arteri umumnya harus dijaga dalam 10-20% dari tingkat
pra operasi. Jika hipertensi terjadi sebelum operasi dimana tekanan darah lebih
dari 180/120 mmHg, maka tekanan darah arteri harus dipertahankan dalam batas
normal, yaitu 150-140/90-80 mm Hg. 3

Pemantauan
Sebagian besar pasien hipertensi tidak memerlukan pemantauan
intraoperatif khusus. Pemantauan tekanan darah harus terus menerus dilakukan
pada pasien dengan tekanan darah yang tidak stabil dan pasien dengan prosedur
pembedahan utama yang terkait dengan perubahan yang cepat atau ditandai
dengan preload jantung atau afterload. Pemantauan elektrokardiografi bertujuan
untuk mengetahui dengan cepat tanda-tanda iskemia. Produksi urin harus dipantau
melalui kateter urin terutama pada pasien gangguan ginjal yang sedang menjalani
tindakan dan diharapkan dapat bertahan lebih dari 2 jam. Selama pemantauan
hemodinamik invasive dilakukan, pemenuhan kebutuhan ventrikel sering
berkurang terutama pada pasien dengan hipertrofi ventrikel.3
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama pemeliharaan
anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi tekanan darah yang terlalu
tinggi. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama periode intraoperatif
adalah sama pentingnya dengan pengontrolan hipertensi pada periode
preoperative. Pada hipertensi kronis akan menyebabkan pergeseran tekanan
autoregulasi dari serebral dan ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan
mudah terjadi penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika tekanan
darah diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat
antihipertensi akan mengubah kembali kurva autregulasi kekiri kembali ke

8
normal. Dalam mengukur autoregulasi serebral dapat digunakan beberapa acuan
yang sebaiknya diperhatikan, yaitu:
 Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas bawah yang maksimal
yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
 Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala
hipoperfusi otak.
 Terapi dengan antihipertensi secara signifikan menurunkan angka kejadian
stroke.
 Pengaruh hipertensi kronis terhadap autoregulasi ginjal kurang lebih sama
dengan yang terjadi pada serebral.

Anestesia akan aman jika dipertahankan dengan berbagai teknik tapi


dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita inginkan. Anestesia
dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan dengan N2O), anestesia imbang
(balance anesthesia) dengan opioid + N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total
intravena bisa digunakan untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia regional dapat
dipilih sebagai teknik anestesia, namun perlu diingat bahwa anestesia regional
sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini sering dikaitkan pada
pasien dengan keadaan hipovolemia. Jika hipertensi tidak berespon terhadap obat-
obatan yang diberikan, maka penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti
phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm.3
Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menyebabkan gangguan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun
saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi terjadi akibat vasodilatasi
perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga
pemberian cairan sebelumnya penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia
sebelum induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi
sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang
sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor
blocker. Hipertensi yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena

9
laringoskopi dan intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan
iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi
endotrakea bisa mencapai 25%. Durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat
membantu meminimalisir terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa teknik
dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk
menghindari terjadinya hipertensi.3
 Dalamkan anestesia dengan menggunakan gas volatile yang poten selama
5-10 menit.
 Pemberian opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau ramifentanil
0,5-1 mikrogram/ kgbb).
 Pemberian lidokain 1,5 mg/kgbb secara intravena atau intratrakea.
 Penggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5 mg/kgbb,
propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
 Penggunakan anestesia topikal pada jalan napas.
 Pemilihan obat induksi untuk penderita hipertensi bervariasi untuk
masing-masing klinisi.

Propofol, barbiturate, benzodiazepine dan etomidat tingkat keamanannya


adalah sama untuk induksi pada penderita hipertensi.Untuk pemilihan pelumpuh
otot vekuronium atau cis-atrakurium lebih baik dibandingkan atrakurium atau
pankuronium. Untuk volatile, sevofluran bisa digunakan sebagai obat induksi
secara inhalasi. 3

Keunggulan dari setiap obat induksi dan teknik yang dilakukan belum
jelas bagi agen hipertensi. Meskipun dengan anestesi regional, penurunan tekanan
darah yang tajam justru lebih sering terjadi pada pasien hipertensi dibandingkan
dengan pasien normotensi. Barbiturat, benzodiazepin, propofol, dan etomidare
adalah induksi anestesi yang paling aman diberikan pada pasien hipertensi.
Pemberian ketamin merupakan kontraindikasi untuk tindakan operasi karena
dapat memicu terjadinya hipertensi namun hal ini dapat dihilangkan dengan

10
pemberian dosis kecil bersama dengan agen lainnya, terutama benzodiazepin atau
propofol. 3

F. Resiko operasi pada pasien hipertensi


Ada sedikit bukti bahwa, jika tekanan sistoliknya kurang dari 180 mmHg dan
diastolik kurang dari 90 mmHg, akan ada kemungkinan peningkatan kejadian
peri-operatif yang merugikan. Posisi ini kurang jelas untuk pasien dengan tekanan
di atas level ini. Studi ini tidak meragukan bahwa hasil peri-operatif berbeda pada
pasien hipertensi dibandingkan dengan pasien normotensi meskipun fakta bahwa
pasien hipertensi dengan tekanan lebih dari 180/110 mmHg cenderung memiliki
ketidakstabilan hemodinamik yang lebih besar, iskemia miokard dan
aritmia.Organ-organ utama yang berisiko dari hipertensi yang sudah lama tidak
diobati adalah jantung, ginjal, dan otak. Pemeriksaan fisik harus mencakup
pencarian kerusakan organ target dan bukti patologi jantung, ginjal, dan serebral
terkait.8

 Jantung
Hipertensi menyebabkan peningkatan ketegangan dinding miokard dan
peningkatan kebutuhan oksigen. Bersamaan dengan itu terjadi hipertrofi dan
disfungsi diastolik yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam pasokan dan
kebutuhan oksigen miokard. Ketika otot mengalami hipertrofi dan menjadi kaku,
tekanan diastolik ujung ventrikel kiri (LVEDP) meningkat, yang menyebabkan
penurunan tekanan perfusi koroner. keterkaitan antara hipertensi kronis dan
penyakit jantung koroner menyebabkan terjadinya iskemia dan aritmia
intraoperatif, terutama, jika dikaitkan dengan ketidakstabilan hemodinamik.
Waktu rentan peri-operatif adalah pada saat induksi dan intubasi, segera pasca
induksi, selama pembedahan dan pada akhir prosedur ekstubasi. Intubasi dapat
menyebabkan respons pressor yang berlebihan dan agen seperti opioid kerja
pendek, esmelol, gliseril trinitrate atau magnesium sulfat dapat digunakan untuk
mengontrol respons ini. Perlu diingat bahwa respons tekanan darah yang

11
berlebihan di dalam operasi mungkin disebabkan oleh phaeochromocytoma yang
tidak terdiagnosis dengan sekresi katekolamin berlebih dan dalam hal ini beta
blocker akan menjadi kontra-indikasi.8

Magnesium sulfat, sebagai bolus empat gram, mungkin merupakan pengobatan


lini pertama teraman dan paling efektif. Setelah induksi, tekanan darah dapat
menurun karena kurangnya stimulasi yang mengakibatkan tekanan diastolik
rendah dan perfusi miokard menjadi terbatas. Autoregulasi subendocardial yang
juga tidak normal membuat jantung dengan hipertensi rentan terhadap tekanan
darah yang tidak stabil. Respons pressor yang berlebihan juga dapat terjadi selama
pembedahan dan ekstubasi.8

Berbagai respon dan ketidakstabilan hemodinamik yang terjadi pada pasien


hipertensi mengakibatkan iskemia intra-operatif. Hal ini dapat di tangani dengan
pengobatan dan membutuhkan pemahaman dan keterampilan yang sesuai dari ahli
anestesi untuk mengatur efek ini. Pasien dengan hipertensi grade 3 atau lebih
besar akan memiliki fluktuasi yang lebih besar dalam tekanan darah selama
anestesi dan karena tingkat hipertensi ini dapat menjadi penanda untuk penyakit
jantung koroner (CAD), maka kontrol tekanan darah sebelum operasi dapat
membantu mengurangi kecenderungan untuk iskemia perioperatif dan morbiditas
jantung pasca operasi.8

 Otak
Hipertensi adalah faktor risiko untuk cedera otak iskemik dan hemoragik.
Penyakit karotis juga lebih umum terjadi pada pasien dengan hipertensi, membuat
mereka rentan terhadap kejadian iskemik serebral jika tekanan darah tidak
dikontrol secara tepat pada periode perioperatif. Hipertensi kronis menyebabkan
pergeseran kurva autoregulasi otak ke kanan, membuat aliran perfusi serebral
bergantung, selama hipotensi berat. Normalisasi autoregulasi otak mungkin
memerlukan beberapa minggu untuk kembali ke nilai mendekati normal.8

 Ginjal

12
Kehilangan autoregulasi pada ginjal pada pasien hipertensi juga akan
meningkatkan risiko gagal ginjal dengan episode hipotensi. Tekanan nadi
hipertensi telah terbukti meningkatkan risiko gagal ginjal pasca pembedahan,
stroke, dan secara signifikan meningkatkan risiko infark miokard. Hipertensi
dengan tekanan nadi tinggi (lebih dari 60 mmHg) juga dapat berkontribusi secara
signifikan terhadap ketidakstabilan hemodinamik intraoperatif dan mungkin
menjadi prediktor yang lebih penting daripada disfungsi diastolik.8

G. Hipertensiintraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada
periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi intraoperatif yang tidak
berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi
secara parenteral. Namun faktor penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi
seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus
disingkirkan terlebih dahulu. Antihipertensi parenteral untuk mengatasi hipertensi
akut.Pada keadaan operasi emergensi, beta bloker bisa dengan cepat mengontrol
dan menjaga stabilitas intraoperatif, sehingga mengurangi jumlah dan durasi
episode iskemik perioperative.3,7

Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari berat, akut atau kronik,


penyebab hipertensi, fungsi baseline ventrikel, heart rate dan ada tidaknya
penyakit bronkospastik pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari
pengobatannya atau efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut. Berikut
ini ada beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan.3

 Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada pasien


dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra indikasikan
padabronkospastik.
 Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit bronkospastik.

13
 Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual sering
dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang mempunyai
onset yang lambat.
 Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi intraoperatif pada
hipertensi sedang sampai berat.
 Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan sebagai
terapi atau pencegahan iskemia miokard.
 Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga fungsi
ginjal.
 Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga punya onset
yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon takikardia.

14
H. Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada
pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi menyebabkan iskemia miokard,
disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan
perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat
berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga
menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca
operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit hipertensinya
yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem
respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum
diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi, penyebab-penyebab
sekunder tersebut harus dikoreksi dulu.3

Nyeri merupakan salah satu factor yang paling berkonstribusi


menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko, nyeri
sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin epidural secara infus
kontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun nyeri sudah teratasi, maka
intervensi secara farmakologi harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa

15
meskipun pasca operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah
mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca bedah tetap
diberikan. Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi dengan obat antihipertensi
secara parenteral misalnya dengan betablocker yang terutama digunakan untuk
mengatasi hipertensi dan takikardia yang terjadi. 3

Apabila penyebabnya karena overload cairan, bisa diberikan diuretika


furosemid dan apabila hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya
diberikan ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara
langsung maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan beta-blocker
secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat sebaiknya segera diberikan
sodium nitroprusside. Apabila penderita sudah bisa makan dan minum secara oral
sebaiknya antihipertensi secara oral segera dimulai. 3

16
BAB IV

DISKUSI

Pasien wanita 48 th dengan diagnosis Tumor uterus + Translokasi IUD +


Hipertensi akan dilakukan tindakan histerektomi. Dari data anamnesis didapatkan
adanya penyulitberupa adanya hipertensi pada pasien dengan tekanan darah
130/80 dimanaketikaawalmasuk di IGD maternal tekanandarahpasien 170/120.

Pada dasarnya urutan dalam anestesi terdiri atas:


1. Persiapan
2. Premedikasi
3. Induksi/anestesi
4. Maintenance Monitoring
5. Terminasi (menutup gas-gas anestesi)
6. Ke RR/Recovery Room (ruang pemulihan) Monitoring

Pada persiapan operasi maupun persiapan anestesi, dilakukan informed


consent. Tujuan dari informed consent ini menjelaskan tujuan, komplikasi dan
konsekuensi dari operasi ini.
Kemudian pemeriksaan fisik dilakukan untuk menyingkirkan
kontraindikasi seperti skoliosis, kifosis, ataupun infeksi. Pemeriksaan yang
diperlukan untuk operasi antara lain pemeriksaan laaboratorium dan EKG dan dari
hasil tersebut tidak didapatkan kelainan.
Acuan The American Heart Association / American College of Cardiology
(AHA/ACC), menyebutkan bahwa TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110 mmHg
dan didapatkan tanda tanda kerusakan organ sebaiknya dikontrol sebelum
dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat urgensi. Berdasarkan acuan tersebut
makaPadapasieninitidakperluuntukdilakukanpenundaankarena TDS 130 dan TDD
80 dantidakdidapatkantandakerusakan target organ.

17
Selanjutnya dilakukan penentuan standar kesehatan pasien berdasarkan American
Society of Anesthesia. Adapun pembagian kategori ASA adalah:

I : Pasien normal dan sehat fisis dan mental


II :Pasien dengan penyakit sistemik ringan dan tidak ada keterbatasan
fungsional
III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang hingga berat yang
menyebabkan keterbatasan fungsi
IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat yang mengancam hidup
dan menyebabkan ketidakmampuan fungsi
V : Pasien yang tidak dapat hidup/bertahan dalam 24 jam
dengan atau tanpa operasi
VI : Pasien mati otak yang organ tubuhnya dapat diambil.

Pasien ini baru menyadari mengidap hipertensi sekitar 1 bulan yang lalu
ketika berkunjung ke puskesmas. Dan pasien diberikan pengobatan amlodipine 5
mg namun pasien tidak teratur dalam meminum obat. Karena hipertensi pasien ini
tergolong hipertensi dengan pengobatan tidak tertaur maka pasien ini masuk
dalam kategori ASA III.
Setelah penentuan ASA, kemudian ditentukan pilihan anestesi. Pada
pasien ini, pilihan anestesi yang dilakukan adalah jenis regional anestesi atau lebih
tepatnya spinal anestesi/Subarachnoid Block (SAB). Adapun alasan pemilihan
teknik anestesi tersebut adalah sesuai dengan indikasi anestesi spinal, yaitu:
pembedahan ekstremitas bawah, bedah panggul, tindakan pada rektum-perineum,
bedah obstetri-ginekologi, bedah urologi, bedah abdomen bawah, dan pada
bedah abdomen atas dan bedah pediatri yang dikombinasikan dengan anestesia
umum ringan. Pada hasil pemeriksaan fisik ataupun laboratorium juga tidak
menunjukkan adanya gangguan yang dapat menjadi kontraindikasi, sehingga
anestesi spinal dapat menjadi pilihan dalam tindakan pada kasus ini.
Keunggulan dari setiap obat induksi dan teknik yang dilakukan belum
jelas bagi agen hipertensi. Meskipun dengan anestesi regional, penurunan tekanan

18
darah yang tajam justru lebih sering terjadi pada pasien hipertensi dibandingkan
dengan pasien normotensi. Meskipun demikian, pemberian induksi anestesia dan
intubasi endotrakea juga sering menyebabkan gangguan hemodinamik pada
pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun saat intubasi sering
menimbulkan hipertensi.
Sebelum dilakukan anestesi dilakukan pemberian cairan secara cepat.
Tujuandilakukannya pemberian cairan ini adalah untuk meminimalisir efek
samping dari anestesi spinal berupa hipotensi akibat blokade simpatis dengan cara
menambah volume intravaskuler. Pemberian cairan dapat diberikan baik
menggunakankristaloid ataupun koloid yang memiliki masa intravaskuler lebih
lama dengan berat molekul yang lebih tinggi. Pada pasien ini, dilakukan
pemberian cairan menggunakan kristaloid Ringer laktat.
Pada kasus ini dilakukan premedikasi berupa pemberian alprazolam 0,5
mg diminum sebelum tidur bertujuan memberikan rasa nyaman pada pasien
sebelum operasi. Dan untuk menangani hipertensinya pasien diberikan nifedipin
10 mg 3x1.
Anestesi spinal (blokade subarakhnoid) adalah anestesi regional dengan
tindakan penyuntikan agen anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid dibawah
vertebra lumbal 2 dengan tujuan menghindari cedera medulla spinalis. Penentuan
posisi ditentukan oleh kenyamanan pasien dan kesanggupan spesialis anestesi.
Pada pasien ini, posisi yang digunakan adalah Left Lateral Decubitus. Setelah
penentuan tempat penyuntikan dan disinfeksi, anestesi spinal dapat dilakukan.
Adapun beberapa pilihan jarum spinal, dikenal ada jenis dengan ujung seperti
bambu runcing (Quincke atau Greene) dan seperti ujung pensil (Whitacredan
Sprotte). Jenis jarum dengan ujung pensil lebih banyak digunakan dengan
pertimbangan lebih jarang menyebabkan kejadian postdural puncture
headache(PDPH) atau nyeri kepala setelah penyuntikan. Walau demikian, pada
anestesi kali ini, jarum yang digunakan pada pasien adalah jarum Quincke namun
dengan ukuran kecil 25G yang diharapkan meminimalisir efek tersebut.
Kemudian, anestesi dapat dilanjutkan dengan dilakukan tindakan aseptik
areatempat penyuntikan yaitu daerah kulit punggung pasien. Penyuntikan jarum

19
spinal dilakukan pada bidang medial dengan sudut 10-30° terhadap bidang
horizontal ke arah kranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum
supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan
duramater dan lapisan subaraknoid. Cabut stilet setelah dirasakan jarum
memasuki ruang intratekhal ditandai dengan keluarnya cairan serebrospinal.
Suntikkan obat anestetik lokal yang telah dipersiapkan ke dalam ruang
subaraknoid. Kadang-kadang untuk memperpanjang durasi kerja obat dapat
ditambahkan vasokonstriktor seperti adrenalin.
Obat–obatan yang dapat digunakan sebagai agen anestesi lokal
secaraumum terbagi menjadi 2 golongan, yaitu golongan Ester, seperti prokain,
kokain, dan tetrakain; dan golongan Amide seperi prilokain, lidokain,
bupivacaine, dan lain-lain. Perbedaan penting dari keduanya adalah mekanisme
yang diakibatkan oleh metabolitnya, dimana golongan amide lebih sedikit
dimetabolisme karenalebih stabil dan cenderung berakumulasi dalam plasma.
Adapun obat-obatan anestetik lokal yang digunakan di Indonesia adalah prokain,
lidokain, dan bupivakain.
Bupivakain secara kimia dan farmakologisnya mirip dengan lidokain.
Toksisitasnya setara dengan tetrakain. Untuk infiltrasi dan blok saraf
perifer dipakai larutan 0,25-0,75%. Dosis maksimal tanpa vasokontriktor adalah
2,5 mg/kgBB dan dengan vasokontriktor mencapai 3 mg/kgBB. Durasi kerja obat
mencapai 2-4 jam tanpa vasokontriktor dan dapat mencapai 4-8 jam dengan
vasokontriktor. Konsentrasi efektif minimal 0,125%. Setelah suntikan kaudal,
epidural atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai dalam 45 menit. Kemudian
menurunperlahan-lahan dalam 3-8 jam. Pada kasus ini dengan berat badan 71 kg,
dosis maksimum yang dapat diberikan tanpa vasokontriktor adalah 177.5 mg.
Pasien menerima bupivakain 0,5% sebanyak 15 mg sehingga tidak melebihi dosis
maksimum.

20
BAB V

KESIMPULAN

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya
yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya
penundaan anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa
TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan
anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi.3

Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih besar


risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler dibandingkan hipertensi
diastolik. Pendapat ini muncul karena dari hasil studi menunjukkan bahwa terapi
yang dilakukan pada hipertensi sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya stroke
dan MCI pada populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi
antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka kejadian stroke
sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan angka kegagalan jantung
diturunkan sampai lebih dari 50%. Menunda operasi hanya untuk tujuan
mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi khususnya pada pasien dengan
kasus hipertensi yang ringan sampai sedang.3

Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan


hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang
lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya
itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya
kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum
operasi. The American Heart Association / American College of Cardiology
(AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110
mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat
urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi.3

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Lapage K, Wouters P. The patient with hypertension undergoing surgery.


Wolters Kluwer Health, Inc 2016; 29:1.
2. Hazzi R, Mayock R. Perioperative management of hypertension. J
Xiangya Med 2018;3:1.
3. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with
cardiovaskular disease. Clinical Anesthesiology. 5th ed. New York:
McGraw-Hill;2013.
4. Kementeriankesehatan RI. InfodatinHipertensi. KementerianKesehatan RI.
Jakarta. 2014.
5. Bell K, et al. Hypertension: The Silent Killer: Updated JNC-8 Guideline
Recommendations. Alabama Pharmacy Association 2018 ;4.
6. Hartle et al. Wouters P. The measurement of adult blood pressure and
management of hypertension before elective surgery. Anaesthesia 2016;
327.
7. Moreland N, Adams A. Anesthesia for the high-risk patient . 2nd ed. New
York: Cambridge University;2009.
8. Lines D. Hypertension and anaethesia. S Afr Fam Pract 2014; 56:S6-S7.

22

Anda mungkin juga menyukai