PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia.
Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat
bersifat menetap dan mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktivitas
menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability
(kecacatan), sehingga menambah penurunan produktivitas serta menurunkan
kualitas hidup.Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak
sepenuhnya diikuti dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari
data berbagai negara yang menunjukkan peningkatan kunjungan ke darurat gawat,
rawat inap, kesakitan dan bahkan kematian karena asma.1
Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat
kecenderungan bahwa penderita penderita ini meningkat jumlahnya, meskipun
belakangan ini obat-obatan asma banyak yang dikembangkan. National Health
Interview Survey di Amerika Serikat memperkirakan bahwa setidaknya 7,5 juta
orang penduduk negeri itu mengidap bronkhitis kronik, lebih dari 2 juta orang
menderita emfisema dan setidaknya 6,5 juta orang menderita salah satu bentuk
asma. Saat ini penyakit asma masih menunjukkan prevalensi yang tinggi.
Berdasarkan data dari WHO (2002) dan GINA (2011), diseluruh dunia
diperkirakan terdapat 300 juta prang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan
mencapai 400 juta. Jumlah ini dapat lebih besar mengingat asma merupakan
penyakit yang underdiagnosed. Buruknya kualitas udara dan berubahnya pola
hidup masyarakat diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya penderita asma.
Data dari berbagai negara menunjukkan bahwa prevalensi penyakit asma berkisar
antara 1-18 %. Pada Survey Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992, asma,
bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di
Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruhIndonesia
1
sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/
1000. 2
2
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : NI
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir/Usia : 20-10-1969/49 Tahun
Agama : Islam
Suku : Makassar
Pekerjaan :-
Tanggal MRS : 16 Januari 2019
Jenis operasi : Tumor Mammae Sinistra
Jenis anestesi : Anastesi Umum + anestesi lokal
B. ANAMNESIS
KeluhanUtama : Benjolan di payudara kiri
Anamnesis Terpimpin : Pasien masuk rumah sakit dengan dengan keluhan
terdapat benjolan di payudara kiri yang baru dirasakan sejak 1 bulan yang
lalu.. Benjolannya terasa nyeri yang sifatnya hilang timbul. Riwayattrauma
(-), mual (-), muntah (-), demam (-), BAB dan BAK baik, riwayat penyakit
sistemik HT (-), DM (-), riwayat asma (+) dimana terakhir kali muncul 7
bulan yang lalu dengan durasi yang tidak menentu, menurut pasien asmanya
sering muncul ketika sedang membersihkan rumah dan saat kondisi marah.
Kondisi asma pasien tidak sampai menggannggu tidur karena biasanya akan
hilang ketika pasien mengkonsumsi salbutamol.riwayat alergi : makanan telur
dan bakso, debu.
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalisata : Sakitsedang/Gizi kurang /Composmentis GCS 15
(E4M6V5)
2. Tanda Vital :
Tekanandarah : 110/60 mmHg
Nadi : 85 x/menit, reguler
Suhu : 36,70C
3
Pernapasan : 19x/menit, spontan
3. VAS :3
4. Kepala : mata ; konjungtiva anemis (-), pupil isokor
5. Dada : simetris, retraksi (-), terdapat benjolan di payudara
kiri berukuran 2 cm x 2 cm, terfiksir, dengan konsistensi keras.
6. Paru : Vesikuler , Rh -/-, wh -/-
7. Jantung : BJI/BJII kesan normal, murni, reguler, ictus cordis
tidak tampak, tidak ada bising jantung.
8. Abdomen : Ikut gerak napas, peristaltik (+) kesan normal
9. Ektremitas : Simetris, Edema (-)
10. Terpasang kateter : Tidak Terpasang
11. Berat Badan : 61 kg
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Padatanggal 12/01/2018
1. WBC : 9,8 x 103/µL
2. RBC : 4,47 x 106/µL
3. HGB : 13,7g/dL
4. HCT : 42,0%
5. PLT : 298 x 103/µL
6. GDS : 124 mg/dL
7. SGOT/SGPT : 46/68 U/L
8. Ureum/Kreatinin : 21 /0,6 mg/dL
9. CT : 8’30”
10. BT : 1’45”
11. PT : 12,3
12. APTT : 25,6
13. HbsAg : Non Reaktif
E. KESAN ANESTESI
Pasien usia 49 tahun dengan diagnosis Tumor mammae sinistra, klasifikasi
ASA PS II karena pasien merupakan penderita asma terkontrol
G. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka dapat disimpulkan:
4
1. Diagnosa Peri Operative : Tumor Mammae sinistra
2. Status Operative : ASA PS II
3. Jenis Operasi : Eksisi Tumor
4. Jenis Anastesi : General Anestesia + lokal anestesia
5
BAB III
LAPORAN ANESTESI
A. PRE OPERATIF
1. Informed consent (+)
2. Pasien puasa selama ± 8 jam sebelum operasi dimulai
3. Tidak memiliki gigi dan tidak memakai gigi palsu
4. Kandung kemih tidak terpasang kateter
5. Sudah terpasang cairan infus RL/NaCl/Asering
6. Diberikan premedikasi alprazolam 0,5 mg
7. Keadaan umum: compos mentis
8. Tanda vital:
Tekanandarah : 110/60 mmHg
Nadi : 85 x/menit, reguler
Suhu : 36,70C
Pernapasan : 19 x/menit, spontan
B. TINDAKAN ANESTESI
General Anestesia + local anestesia
C. PENATALAKSANAAN ANESTESI
Memastikan alat-alat dan medikasi yang dibutuhkan selama proses anestesi
sudah lengkap seperti:
1. Kassa steril
2. Povidon Iodine
3. Plester
4. Lidocaine HCl 2%
5. Spuit 10 cc
6. Sarung tangan steril
7. Lampu
8. Monitor tanda vital
9. Alat-alat resusitasi
10. Medikasi tambahan yang dibutuhkan seperti Sulfa Atropin, ephedrin,
pethidin, fentanil, ketamin, atropin, propofol, dan midazolam
D. INTRA OPERATIF
Pasien diinduksi dengan midazolam 3 mg, kemudian ditambahkan
fentanyl 50 mikrogram, dilakukan anestesi lokal pada payudara kiri sekitar
6
benjolanpada pukul 13.15 WITA menggunakan Lidocaine HCl 2% 200 mg
setelah itu proses eksisi tumor dilakukan.
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
B. Patogenesis
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkiolus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologik saluran napas
menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obstruksi terjebak dan tidak dapat diekspirasi. Pada jalan napas
terjadi peningkatan sel-sel inflamasi terutama eosinofil, sel mast, dan limfosit
Th CD4. Elastic recoil paru berkurang bersama-sama dengan aktifitas persisten
dari otot inspirasi dan ekspirasi. Tekanan alveolar tetap positif hingga akhir
ekspirasi; fenomena ini dikenal sebagai tekanan akhir ekspirasi positif
intrinsik/auto (intrinsic/ auto Positive End Expiration Pressure, PEEP), yang
dapat menyebabkan kompresi dinamik dari jalan napas distal. Frekuensi
ekspirasi paksa (Forced Expiration Volume, FEV) dan kapasitas vital (Vital
Capacity, VC) berkurang. Terperangkapnya udara menyebabkan peningkatan
8
Functional Re-cidual Capacity (FRC) sehingga kapasitas paru total dan usaha
pernapasan meningkat. Hiperinflamasi memperburuk fungsi otot-otot
respiratorik. Resistensi vaskular paru meningkat, dan curah jantung menurun.
Hal ini akan memburuk bila pasien mengalami hipovolemik.3
C. Klasifikasi Asma
Klasifikasi penyakit asma berdasarkan tingkat keparah penyakit berdasrakan
gejala dan pemeriksaan fungsi paru.4
Gambar 1
Manajemen preoperatif
Tujuan penanganan preoperatif pasien dengan asma yaitu untuk
memaksimalkan fungsi paru pasien tersebut. Pasien disarankan berhenti
merokok dua bulan sebelum pembedahan. Evaluasi pasien asma sebelum
tindakan anestesia dan pembedahan sangat penting untuk mencegah ataupun
9
mengendalikan kejadian serangan asma, baik saat intraoperatif maupun
pascaoperatif. Evaluasi yang dilakukan meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorik, pemeriksaan fungsi paru dan analisis gas darah,
dan foto toraks. Hasil evaluasi akan dipakai untuk menentukan status fisik
praanestesia. The American Society of Anesthesiologists (ASA) menyusun
klasifikasi status fisik praanestesia atas enam kelas, yaitu:3
ASA 1: pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
ASA 2: pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang.
ASA 3: pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa.
ASA 4: pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
secara langsung dapat mengancam kehidupannya.
ASA 5: pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat
yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam
pasien akan meninggal.
ASA 6: pasien yang telah dinyatakan mati otak, organnya dikeluarkan untuk
keperluan donor tetapi harus atas ijin pasien atau keluarga.
10
sangat penting. Riwayat pengobatan pasienharus ditinjau dan dijadikan
petunjuk penting tentang tingkatkeparahan penyakit. Sebagai contoh, seorang
pasien dengan obat tunggal seperti albuterol inhalasi kemungkinan memiliki
penyakit ringan yang terkontrol sementara pasien lain yangmemerlukan
beberapa kelas obat asma yang berbeda, kemungkinan memiliki penyakit asma
yang lebih parah.Pasien harus ditanyai riwayat minum obat terakhir,
perubahan frekuensi atau dosis obat yang terakhir, dan tingkat control
penyakitpada rejimen pengobatan mereka saat ini. Ulasan menyeluruh
daririwayat asma dan persiapan pra operasi yang tepat(sering dilakukan dengan
pendekatan multidisiplin) dapat secara signifikan mengurangirisiko hasil yang
merugikan.4
11
Pengukuran aliran puncak udaradirekomendasikan oleh American Lung
Association untuk pemantauan penyakit dan mudah dilakukan di samping
tempat tidur. "Zona" yang disarankan(hijau = 80% atau lebih besar dari
biasanya, kuning = 50-80% dari biasanya, merah <50% daribiasanya)
mengingatkan pasien dengan status pernapasan mereka saat ini . Pemeriksaan
Spirometridapat digunakan untuk menilai volume ekspirasi paksa
(FEV1),yang mencerminkan tingkat obstruksi jalan napas. 4
12
yang dapat memicubronkospasme. Penggunaan steroid sistemik dalam enam
terakhirbulan merupakan indikasi untuk pemberian dosis tinggi
metilprednisoloniv atau hidrokortison iv.Perhatian juga harus ditujukan dalam
mengevaluasi jenis prosedur bedah.Situs operasi telah terbukti menjadi faktor
risiko untuk komplikasi paru pada pasien asma. Misalnya,operasi jalan nafas
atas atau semua jenis operasi yang melibatkan diafragmamengakibatkan
peningkatan morbiditas paru perioperatif.4
Karena hal itu, harus dihindari instrumentasi jalan napas dan intubasi
trakea, anestesi regional merupakan pilihan yang bagusketika situs operasinya
13
cocok. Penggunaan LMA cenderung lebih sedikit menyebabkan
bronkokonstriksidari penggunaan tabung ET. Karena itu pengggunaan
LMAseringkali merupakan metode yang lebih baik dalam manajemen jalan
nafas pada penderita asmayang tidak beresiko tinggi mengalami refluks atau
aspirasi.6
Manajemen Intraoperatif
14
intubasi baik pada penderita asma dan non-asma. Focus perhatian harus
ditingkatkan pada pasien dengan depresi fungsi jantung, karena
propofolmengurangi kontraktilitas dan kronisitas jantung. Thiopental atau
etomidatdapat juga digunakan sebagai agen induksi tetapi kurang memiliki
efek bronkodilatasiseperti propofol dan dalam kasus thiopental, dapat
menyebabkanpelepasan histamin yang merugikan. Ketamin adalahobat induksi
yang idealuntuk penderita asma hemodinamik tidak stabil karena
kemampuannya untukmenghasilkan relaksasi otot polos langsung dan
bronkodilatasi tanpamenurunkan tekanan arteri atau resistensi vaskular
sistemik. Namun, efekbronkodilatasi ketamin tidak sebaik seperti
padapropofol.Anestesi volatile adalah pilihan yang sangat baik untuk anestesi
umum,karena mereka menekan refleks jalan nafas dan menghasilkan
relaksasi otot polos secara langsung. Sevoflurane telah muncul sebagai agen
hipnotik gas pilihan, karena penelitian menunjukkan sevofluran memiliki efek
bronkodilatasi yang paling jelasdari semua anestesi volatil. Desfluran
meningkatkan resistensi jalan napas dan harus dihindari pada penderita asma,
khususnya ditingkat anestesi umum yang lebih ringan.4
15
Jika intubasi endotrakeal dianggap perlu, neuromuskuler bloker yang
menimbulkan pelapasan histamin harus dihindari. Vecuronium,
rocuronium,dan cisatracurium aman untuk digunakan pada penderita asma.
Suksinilkolin,yang melepaskan histamin tingkat rendah, telah digunakan
dengan aman pada penderita asmadengan sedikit morbiditas. Reversal blokade
neuromuskuler denganinhibitor asetilkolinesterase harus digunakan dengan
hati-hati pada penderita asmakarena risiko efek samping muskarinik termasuk
bronkospasme.Sugammadex, agen baru yang merupakan agen stroid
pemnghambat neuromuskuler tanpa efek samping muskarinik, telah
diusulkansebagai obat alternatif untuk pembalikan blokade
neuromuskuler.Namun, studi penggunaan sugammadex pada pasien dengan
penyakit parumenemukan 2,6 % kejadian bronkospasme pada populasi
ini.Dengan demikian, suggamadex tidak sepenuhnya menghilangkan risiko
hiperreaktivitas jalan napas pada pasien dengan penyakit yang mendasarinya.
Meskipun tersediadi negara lain, suggamadex belum tersedia di Amerika
Serikat.4
16
jarum suntik 60 ml, menempelkan jarum suntik sementara kePort pengambilan
sampel CO2 pada siku sirkuit ventilator, dan menekanpendorong beberapa kali.
Banyak dokter yang memiliki banyak idesistem pemberian mereka sendiri
menggunakan item anestesi umum diruang operasi Strategi bronkodilatasi
lainnya termasuk pemberianantikolinergik, steroid intravena, atau β-agonis
subkutan seperti epinefrin. Terbutaline mungkin lebih disukai dibandingkan
epinefrinepinefrin pada pasien hamil karena sifat tokolitiknya.4
17
medis lebih lanjut, pemulihan fungsi jalan nafas, danmetabolisme
neuromuskuler bloker tanpa perlu agen reversal.4
18
BAB IV
DISKUSI
19
Pada pasien ini diberikan premedikasi di ruang perawatan yaitu
Alprazolam 0,5 mg, dan diruang operasi midazolam 3 mg serta fentanyl
50mikrogram.Penggunaan premedikasi pada pasien ini bertujuan untuk
menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian sedatif dengan
tujuan menghilangkan rasa khawatir dan pemberian obat golongan opioid
untuk meredakan dan menghilangkkan rasa nyeri. Selanjutnya dilakukan
anestesi lokal dengan menggunakan lidocaine 2%. Setelah itu, kemudian
dilakukan eksisi pada daerah lesi.
Alprazolam dan midazolam merupakan obat golongan benzodiazepine
dimana kerja obat ini adalah mengikat neurotransmitter G Aminobutyric Acid
(GABA) meningkatkan permeabilitas membrane neuron terhadap ion klorida
yang akan menyebabkan hiperpolarisasi. Efek dari pemberian benzodiazepine
adalah sedasi, anxiolisis, relaksasi otot, amnesia retrograde, dan
antikonvulsan.Fentanyl adalah obat golongan opioid, dimana reseptor opioid
terkonsentrasi di system limbic, hypothalamus, korpus stratium, system
retikular dan di korda spinalis. Dimana reseptor opioid ada lima tetapi yang
bertugas sebagai reseptor sedasi yaitu µ (mu).9,10
Anestesi lokal termasuk jenis amida yaitu Lidocain bekerja dengan
mencegah terjadi pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya
terutama di membran sel, efeknya pada aksoplasma hanya sedikit saja.
Potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat permeabilitas
membran terhadap ion natrium (Na+) akibat depolarisasi ringan pada
membran. Proses inilah yang dihambat oleh anesteti lokal, hal ini terjadi
akibat adanya interaksi langsung antara zat anestesi lokal dengan kanal Na+
yang peka terhadap adanya perubahan voltase muatan listrik. Dengan
semakin bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf, maka ambang
rangsang membran akan meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan
potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat dan faktor pengaman
konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan
penurunan kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan dengan demikian
mengakibatkan kegagalan konduksi saraf.11
20
Setelah operasi selesai pasien dipindahkan keruang pemulihan dan
dievaluasi tanda-tanda vital dan kesadaran serta keluhan jika ada, kemudian
setelah pasien pulih, pasien dipindahkan ke perawatan.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika dijumpai pasien rencana
operasi dengan riwayat asma
1. Perlu untuk diperhatikan obat-obat dan bahan-bahan dapat mencetuskan
serangan asma.
2. Pada pasien yang baru mendapat serangan asma dan pasien asma yang
menderita infeksi saluran nafas agar mendapat terapi yang adekuat.Dan
hal-hal lain juga perlu diperhatikan seperti usia pasien,obesitas,pemakaian
steroid jangka panjang serta keadaan malnutrisi yang mengakibatkan
kelemahan otot-otot pernafasan.
3. Menghentikan rokok setidaknya 2 bulan sebelum tindakan operasi
4. Jenis dari operasi,lamanya tindakan operasi dan dilakukannya intubasi
meningkatkan komplikasi dari operasi.
Pada kasus ini terakhir kali asmanya muncul yaitu 7 bulan yang lalu dengan
intensitas asma durasi singkat dan tidak mengganggu tidur pasien dan hilang
setelah pasien mengkonsumsi salbutamol tablet hanya pada saat itu. Saat ini
pasien datang dengan rencana pembedahan eksisi tumor payudara kiri dengan
status asma tanpa gejala, tidak ada gejala setelah 6 bulan terakhir Hal ini
memenuhi kriteria asma terkontrol yaitu :4
No current symtoms
No symptoms in the past 6 months
No therapy
21
Gambar 2.4
22
Obat – obat Pereda (Reliever) Asma
1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut
pada anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan,
alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan
pankreas.
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan
ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas
yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan
klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya
pelepasan mediator sel mast.
Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak
ada β2 agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1,
β2, dan α sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah,
palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi
efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping,
terutama pada jantung dan CNS.
β2 agonis selektif
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral: 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis
maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu
dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit,
efek puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit,
efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
23
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena
pada keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan
napas. Efek samping takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1
mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit,
dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala,
agitasi, palpitasi, dan takikardi.
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist
inhalasi, tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya
sempit, obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2
agonist dan anticholinergick.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin
IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama.
Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan
absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi.
Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan
masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati,
sebagian besar dieksresi bersama urin.
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada
konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.
2. Anticholinergics
24
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis
anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam.
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk
usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek
sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik
inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan :
Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan
yang cukup lama.
Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
25
Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan
sistemik glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist,
theofilin, cromones, dan long acting oral β2-agonist.
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling
efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi
awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan
dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan.
Terapi pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu
mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut
dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru
dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi
latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,
mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi
terjadinya down regulation receptor β2 agonist. Dosis yang dapat digunakan
sampai 400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa gangguan
pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi
dan mulut.
26
Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per
hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;
sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan
transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan
terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan
mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.
27
pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala,
stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang,
perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari
10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial
5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.
28
BAB V
KESIMPULAN
Sebelum dilakukan anestesia dan operasi elektif pada pasien dengan riwayat
asma terlebih dahulu harus dikontrol keadaan asmanya apakah pasien sedang atau
tidak menderita infeksi atau serangan asma. Penelitian menunjukan pada asma
terjadinya komplikasi paru meningkat bila pasien masih dijumpai mengi ataui arus
puncak eksiprasi < 80% dari nilai terbaiknya atau prediksi. Risiko terjadinya
bronkospasme pada masa perioperatif rendah bila asma dalam keadaan stabil atau
terkontrol dan kalaupun terjadinya komplikasi biasanya ringan.Oleh karena itu
pasien asma yang akan menjalani operasi diupayakan secepatnya dalam keadaan
terkontrol
29
DAFTAR PUSTAKA
30