Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia.
Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktivitas, akan tetapi dapat
bersifat menetap dan mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktivitas
menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability
(kecacatan), sehingga menambah penurunan produktivitas serta menurunkan
kualitas hidup.Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak
sepenuhnya diikuti dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari
data berbagai negara yang menunjukkan peningkatan kunjungan ke darurat gawat,
rawat inap, kesakitan dan bahkan kematian karena asma.1
Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat
kecenderungan bahwa penderita penderita ini meningkat jumlahnya, meskipun
belakangan ini obat-obatan asma banyak yang dikembangkan. National Health
Interview Survey di Amerika Serikat memperkirakan bahwa setidaknya 7,5 juta
orang penduduk negeri itu mengidap bronkhitis kronik, lebih dari 2 juta orang
menderita emfisema dan setidaknya 6,5 juta orang menderita salah satu bentuk
asma. Saat ini penyakit asma masih menunjukkan prevalensi yang tinggi.
Berdasarkan data dari WHO (2002) dan GINA (2011), diseluruh dunia
diperkirakan terdapat 300 juta prang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan
mencapai 400 juta. Jumlah ini dapat lebih besar mengingat asma merupakan
penyakit yang underdiagnosed. Buruknya kualitas udara dan berubahnya pola
hidup masyarakat diperkirakan menjadi penyebab meningkatnya penderita asma.
Data dari berbagai negara menunjukkan bahwa prevalensi penyakit asma berkisar
antara 1-18 %. Pada Survey Kesehatan Rumah Tangga tahun 1992, asma,
bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di
Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruhIndonesia

1
sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/
1000. 2

Sesuai perkembangan di bidang kedokteran termasuk juga meningkatnya


kemampuan mendiagnosis dan penatalaksanaan penyakit-penyakit yang
memerlukan pembedahan, maka semakin sering dilakukan prosedur operasi
termasuk pada pasien yang dahulu dianggap beresiko tinggi untuk dilakukan
operasi. Termasuk pada mereka dengan Penyakit Paru yang dianggap beresiko
tinggi menerima beban prosedur operasi.salahnya satunya asma. Pengelolaan
pasien dengan penyakit asma selama pembedahan membutuhkan penanganan
khusus berdasarkan pemeriksaan klinis dan laboratorium yang saksama untuk
mengurangi komplikasi selama dan pasca pembedahan. Masalah paru merupakan
penyebab umum morbiditas dan mortalitas selama pembedahan. Komplikasi
terjadinya atelektasis atau pneumonia pada pasien dengan fungsi paru normal
pada pre-operasi hanya 3%, sedangkan pasien dengan penyakit paru obstruktif
kronik yang memiliki perubahan fungsi paru ber-peluang mengalami komplikasi
sebesar 70%. Shnider dan Papper serta Gold dan Helrich melaporkan bahwa
bronkospasme yang terjadi selama operasi ± 6% dari pasien asma.3

2
BAB II
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : NI
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir/Usia : 20-10-1969/49 Tahun
Agama : Islam
Suku : Makassar
Pekerjaan :-
Tanggal MRS : 16 Januari 2019
Jenis operasi : Tumor Mammae Sinistra
Jenis anestesi : Anastesi Umum + anestesi lokal

B. ANAMNESIS
KeluhanUtama : Benjolan di payudara kiri
Anamnesis Terpimpin : Pasien masuk rumah sakit dengan dengan keluhan
terdapat benjolan di payudara kiri yang baru dirasakan sejak 1 bulan yang
lalu.. Benjolannya terasa nyeri yang sifatnya hilang timbul. Riwayattrauma
(-), mual (-), muntah (-), demam (-), BAB dan BAK baik, riwayat penyakit
sistemik HT (-), DM (-), riwayat asma (+) dimana terakhir kali muncul 7
bulan yang lalu dengan durasi yang tidak menentu, menurut pasien asmanya
sering muncul ketika sedang membersihkan rumah dan saat kondisi marah.
Kondisi asma pasien tidak sampai menggannggu tidur karena biasanya akan
hilang ketika pasien mengkonsumsi salbutamol.riwayat alergi : makanan telur
dan bakso, debu.

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalisata : Sakitsedang/Gizi kurang /Composmentis GCS 15
(E4M6V5)
2. Tanda Vital :
Tekanandarah : 110/60 mmHg
Nadi : 85 x/menit, reguler
Suhu : 36,70C

3
Pernapasan : 19x/menit, spontan
3. VAS :3
4. Kepala : mata ; konjungtiva anemis (-), pupil isokor
5. Dada : simetris, retraksi (-), terdapat benjolan di payudara
kiri berukuran 2 cm x 2 cm, terfiksir, dengan konsistensi keras.
6. Paru : Vesikuler , Rh -/-, wh -/-
7. Jantung : BJI/BJII kesan normal, murni, reguler, ictus cordis
tidak tampak, tidak ada bising jantung.
8. Abdomen : Ikut gerak napas, peristaltik (+) kesan normal
9. Ektremitas : Simetris, Edema (-)
10. Terpasang kateter : Tidak Terpasang
11. Berat Badan : 61 kg

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Padatanggal 12/01/2018
1. WBC : 9,8 x 103/µL
2. RBC : 4,47 x 106/µL
3. HGB : 13,7g/dL
4. HCT : 42,0%
5. PLT : 298 x 103/µL
6. GDS : 124 mg/dL
7. SGOT/SGPT : 46/68 U/L
8. Ureum/Kreatinin : 21 /0,6 mg/dL
9. CT : 8’30”
10. BT : 1’45”
11. PT : 12,3
12. APTT : 25,6
13. HbsAg : Non Reaktif

E. KESAN ANESTESI
Pasien usia 49 tahun dengan diagnosis Tumor mammae sinistra, klasifikasi
ASA PS II karena pasien merupakan penderita asma terkontrol

F. PENATALAKSANAAN PRE OPERATIF


1. Informed consent mengenai tindakan operasi.
2. Informed consent mengenai pembiusan dengan general anastesi disertai
local anestesia
3. Informed consent mengenai persiapan pasien dalam hal ini yaitu puasa
dan pemberian obat premedikasi.

G. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik maka dapat disimpulkan:

4
1. Diagnosa Peri Operative : Tumor Mammae sinistra
2. Status Operative : ASA PS II
3. Jenis Operasi : Eksisi Tumor
4. Jenis Anastesi : General Anestesia + lokal anestesia

5
BAB III
LAPORAN ANESTESI

A. PRE OPERATIF
1. Informed consent (+)
2. Pasien puasa selama ± 8 jam sebelum operasi dimulai
3. Tidak memiliki gigi dan tidak memakai gigi palsu
4. Kandung kemih tidak terpasang kateter
5. Sudah terpasang cairan infus RL/NaCl/Asering
6. Diberikan premedikasi alprazolam 0,5 mg
7. Keadaan umum: compos mentis
8. Tanda vital:
Tekanandarah : 110/60 mmHg
Nadi : 85 x/menit, reguler
Suhu : 36,70C
Pernapasan : 19 x/menit, spontan

B. TINDAKAN ANESTESI
General Anestesia + local anestesia

C. PENATALAKSANAAN ANESTESI
Memastikan alat-alat dan medikasi yang dibutuhkan selama proses anestesi
sudah lengkap seperti:
1. Kassa steril
2. Povidon Iodine
3. Plester
4. Lidocaine HCl 2%
5. Spuit 10 cc
6. Sarung tangan steril
7. Lampu
8. Monitor tanda vital
9. Alat-alat resusitasi
10. Medikasi tambahan yang dibutuhkan seperti Sulfa Atropin, ephedrin,
pethidin, fentanil, ketamin, atropin, propofol, dan midazolam

D. INTRA OPERATIF
Pasien diinduksi dengan midazolam 3 mg, kemudian ditambahkan
fentanyl 50 mikrogram, dilakukan anestesi lokal pada payudara kiri sekitar

6
benjolanpada pukul 13.15 WITA menggunakan Lidocaine HCl 2% 200 mg
setelah itu proses eksisi tumor dilakukan.

7
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik saluran pernapasan


yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi kronik ini
menyebabkan saluran pernapasan menjadi hieperresponsif, sehingga
memudahkan terjadi bronkokonstriksi, edema dan hipersekresi kelenjar yang
menghasilkan pembatasan aliran udara di saluran pernapasan dengan
manifestasi klinik yang bersifat parodik berupa mengi, sesak napas, dada terasa
berat, batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini hari/subuh.Gejala ini
berhubungan dengan luasnya informasi, yang derajatnya bervariasi dan bersifat
reversible secara spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan.2

B. Patogenesis
Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot
bronkus, sumbatan mukus, edema, dan inflamasi dinding bronkiolus. Obstruksi
bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologik saluran napas
menyempit pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obstruksi terjebak dan tidak dapat diekspirasi. Pada jalan napas
terjadi peningkatan sel-sel inflamasi terutama eosinofil, sel mast, dan limfosit
Th CD4. Elastic recoil paru berkurang bersama-sama dengan aktifitas persisten
dari otot inspirasi dan ekspirasi. Tekanan alveolar tetap positif hingga akhir
ekspirasi; fenomena ini dikenal sebagai tekanan akhir ekspirasi positif
intrinsik/auto (intrinsic/ auto Positive End Expiration Pressure, PEEP), yang
dapat menyebabkan kompresi dinamik dari jalan napas distal. Frekuensi
ekspirasi paksa (Forced Expiration Volume, FEV) dan kapasitas vital (Vital
Capacity, VC) berkurang. Terperangkapnya udara menyebabkan peningkatan

8
Functional Re-cidual Capacity (FRC) sehingga kapasitas paru total dan usaha
pernapasan meningkat. Hiperinflamasi memperburuk fungsi otot-otot
respiratorik. Resistensi vaskular paru meningkat, dan curah jantung menurun.
Hal ini akan memburuk bila pasien mengalami hipovolemik.3

C. Klasifikasi Asma
Klasifikasi penyakit asma berdasarkan tingkat keparah penyakit berdasrakan
gejala dan pemeriksaan fungsi paru.4

Gambar 1

D. Manajemen Anestesi pada pasien riwayat asma

Manajemen preoperatif
Tujuan penanganan preoperatif pasien dengan asma yaitu untuk
memaksimalkan fungsi paru pasien tersebut. Pasien disarankan berhenti
merokok dua bulan sebelum pembedahan. Evaluasi pasien asma sebelum
tindakan anestesia dan pembedahan sangat penting untuk mencegah ataupun

9
mengendalikan kejadian serangan asma, baik saat intraoperatif maupun
pascaoperatif. Evaluasi yang dilakukan meliputi riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorik, pemeriksaan fungsi paru dan analisis gas darah,
dan foto toraks. Hasil evaluasi akan dipakai untuk menentukan status fisik
praanestesia. The American Society of Anesthesiologists (ASA) menyusun
klasifikasi status fisik praanestesia atas enam kelas, yaitu:3
ASA 1: pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
ASA 2: pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang.
ASA 3: pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa.
ASA 4: pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
secara langsung dapat mengancam kehidupannya.
ASA 5: pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat
yang sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam
pasien akan meninggal.
ASA 6: pasien yang telah dinyatakan mati otak, organnya dikeluarkan untuk
keperluan donor tetapi harus atas ijin pasien atau keluarga.

Pada pengelolaan preoperatif pasien dengan asma, sebagai langkah pertama


yaitu menentukan reversibilitas kelainan. Proses obstruksi yang revesibel ialah
bronkospasme, sekret yang terkumpul, dan proses inflamasi jalan napas. Pasien
dengan bronkospasme yang sering harus diobati dengan preparat bronkodilator,
teofilin, dan kortikosteroid.3

Anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh membantuahli anestesi


berupa informasi yang memungkinkan sesuaiidentifikasi tingkat keparahan
penyakit, tingkat pengendalian gejala, danstratifikasi risiko anestesi.
Pembahasan tentang toleransi latihan dasar,kunjungan rumah sakit dari
penderita asma (termasuk apakah intubasi endotrkheal atau infus IV
diperlukan), alergi, dan riwayat bedah / anestesi sebelumnya, semuanya itu

10
sangat penting. Riwayat pengobatan pasienharus ditinjau dan dijadikan
petunjuk penting tentang tingkatkeparahan penyakit. Sebagai contoh, seorang
pasien dengan obat tunggal seperti albuterol inhalasi kemungkinan memiliki
penyakit ringan yang terkontrol sementara pasien lain yangmemerlukan
beberapa kelas obat asma yang berbeda, kemungkinan memiliki penyakit asma
yang lebih parah.Pasien harus ditanyai riwayat minum obat terakhir,
perubahan frekuensi atau dosis obat yang terakhir, dan tingkat control
penyakitpada rejimen pengobatan mereka saat ini. Ulasan menyeluruh
daririwayat asma dan persiapan pra operasi yang tepat(sering dilakukan dengan
pendekatan multidisiplin) dapat secara signifikan mengurangirisiko hasil yang
merugikan.4

Risiko bronkospasme intraoperatif, salah satu yang paling ditakuti


darikomplikasi asma, dapat didentifikasi dengan adanya factor atopi,eksim,
rinitis alergi, dan kondisi peradangan kronis lainnya.Riwayat keluarga asma
dan atopi harus dicarijuga merupakan penanda peningkatan risiko
perioperative. Merokok atau pajananuntuk perokok pasif berkontribusi
terhadap kontrol asma yang buruk dan jugafaktor risiko independen untuk
kejadian pernapasan yang merugikan di bawah anestesi umum. Jika waktu
memungkinkan, pasien disarankan untuk berhentimerokok selama 2 bulan
sebelum operasi elektif.4

Pemeriksaan fisik harus mencakup tanda-tanda vital dan penilaiansuara


nafas, penggunaan otot tambahan, dan tingkat hidrasi. Adanya sesak napas,
penggunaan otot-otot aksesori, dan waktu ekspirasi yang memanjang
menunjukkan asma yang tidak terkontrol. Tes laboratorium tidak diperlukan
secara rutin. Namun, pada asme beratpemeriksaan gas darah arteri udara
mungkin berguna dalam menentukanoksigenasi awal, retensi karbon dioksida,
dan status asam-basa.Pada masa pra-operatif, setidaknya memiliki oksimetri
nadi yang tersedia,yang dapat berfungsi sebagai pengganti yang wajar untuk
analisis gas darah arteri dalam menentukan oksigenasi awal. Rontgen dada
dapat dilakukan untukmenilai hiperinflasi paru dan udara yang terperangkap.

11
Pengukuran aliran puncak udaradirekomendasikan oleh American Lung
Association untuk pemantauan penyakit dan mudah dilakukan di samping
tempat tidur. "Zona" yang disarankan(hijau = 80% atau lebih besar dari
biasanya, kuning = 50-80% dari biasanya, merah <50% daribiasanya)
mengingatkan pasien dengan status pernapasan mereka saat ini . Pemeriksaan
Spirometridapat digunakan untuk menilai volume ekspirasi paksa
(FEV1),yang mencerminkan tingkat obstruksi jalan napas. 4

Penderita asma yang tidak terkontrol atau mengipada saat induksi


anestesi memiliki risiko lebih tinggi terhadap komplikasi perioperatif.
Sebaliknya, penderita asma terkontrol dengan baikasma belum pernah terbukti
menjadi hal yang berisikoterhadap komplikasi intraoperatif atau pasca operasi.5

Anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh,pemeriksaan obyektif,


pemeriksaan fisik, dan anamnesisyang teliti perlu disintesis menjadi gambaran
keseluruhantingkat keparahan dan kontrol penyakit pasien saat ini sehingga
dapat dikelola secara efektif pada kajian perioperatif.4

Pilihan pengobatan sebelum operasi didasarkan pada tingkatkeparahan


penyakit. Seringkali, semua yang dibutuhkan adalah pengobatan jangka
pendek. Penderita asma yang terkontrol mungkin hanya perlu agonis β-2 kerja
pendek sesaat sebelum operasi. pasien dengan asma moderate terkontrol harus
ditambahkan kortikosteroid inhalasi pada pengobatan β-2 agonis mereka dalam
waktu 1minggu sebelum operasi. Penderita asma yang tidak terkontrol
mungkin perlumenambahkankortikosteroid oral untuk rejimen pengobatan
mereka.Penggunaan kortikosteroid oral sebelum operasitelah terbukti menekan
produksi sitokin proinflamasidan penelitian sudah mengkonfirmasi keamanan
pemberian kortikosteroid sistemik perioperative.4

Pasien harus melanjutkan semua obat hingga hari operasi.Agonis β kerja


pendek tambahan diindikasikan terlepas dari tingkat penyakit, sebagai manfaat
menangkal respon konstriksi bronkial terhadap intubasi trakea. pemberian
anxiolytics preoperative seperti midazolam membantu mengurangi kecemasan

12
yang dapat memicubronkospasme. Penggunaan steroid sistemik dalam enam
terakhirbulan merupakan indikasi untuk pemberian dosis tinggi
metilprednisoloniv atau hidrokortison iv.Perhatian juga harus ditujukan dalam
mengevaluasi jenis prosedur bedah.Situs operasi telah terbukti menjadi faktor
risiko untuk komplikasi paru pada pasien asma. Misalnya,operasi jalan nafas
atas atau semua jenis operasi yang melibatkan diafragmamengakibatkan
peningkatan morbiditas paru perioperatif.4

Hiperreaktif bronkus yang terkait dengan asmamerupakan faktor risiko


penting penyebab bronkospasme. Terjadinya hal ini berpotensimengancam jiwa
dalam penanganan anestesidengan insiden bervariasi dari 0,17% hingga
4,2%.Selama anestesi umum, dengan atau tanpaintubasi trakea, ada
pengurangan tonusbaik di otot palatal atau faring disertaioleh pengurangan
volume paru-paru dan augmentasidari lapisan cairan di dinding saluran
napas.Faktor-faktor ini mempengaruhi kondisi jalan nafas yang tidak
stabil,obstruksi aliran udara, dan resistensi jalan nafas yang lebih besar.Refleks
jalan nafas harus ditekan untuk menghindaribronkokonstriksi sebagai respons
terhadap stimulasi mekanikhiperreaktif saluran udara ini. Stimuli yang tidak
biasa dapatmembangkitkan respons jalan napas yang dapat memicu
bronkokonstriksi yang mengancam jiwapada pasien dengan asma.6,7

Instrumentasi jalan nafas menyebabkan reflex bronkokonstriksi


yangdimediasi oleh sistem saraf parasimpatis. Selain itu, bukti
menunjukkanstimulasi mekanis dari saluran udaradapat mengaktifkan serabut-
C afferen. Serabut saraf ini melepaskan zat Pdan neurokinin A, yang dapat
menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, penyempitan otot
polos bronkus, dan vasodilatasi lokal. Target Ahli anestesi adalah
meminimalkan risikopemicu bronkospasme dan untuk menghindari
rangsangan pemicunya.6

Karena hal itu, harus dihindari instrumentasi jalan napas dan intubasi
trakea, anestesi regional merupakan pilihan yang bagusketika situs operasinya

13
cocok. Penggunaan LMA cenderung lebih sedikit menyebabkan
bronkokonstriksidari penggunaan tabung ET. Karena itu pengggunaan
LMAseringkali merupakan metode yang lebih baik dalam manajemen jalan
nafas pada penderita asmayang tidak beresiko tinggi mengalami refluks atau
aspirasi.6

Manajemen Intraoperatif

Tujuan utama dalam anestesi pada pasien asma adalah untuk


menghindaribronkospasme dan mengurangi respons terhadap intubasi trakea.
Bronkospasme berat dapat menyebabkan kejadian fatal atau hampir fatal
sepertikerusakan otak irreversible karena ketidakmampuan untuk ventilasi. Hal
Ini sangat pentingkarena pasien berada pada tingkat anestesi yang dalam
sebelum dimasukkan instrumentjalan napas, seperti intubasi trakea selama
dalam tingkat anestesi ringan bisamenimbulkan bronkospasme. Teknik anestesi
regional seharusnyajadi pertimbangan yang tepat, untuk menghindari
instrumentasi jalan nafas.Risiko komplikasi paru lebih rendah ketika
pembedahan dilakukan dibawah pengaruh anestesi epidural atau spinal.4

Obat-obatan sering dikaitkan dengan pelepasan histamin(misalnya,


atracurium, morfin, dan meperidin)harus dihindari atau diberikan dengan
sangat lambat saat digunakan.5

Lidocaine intravena telah berhasil digunakan untuk


mengurangiiritabilitas jalan napas. Beberapa laporan menganjurkan lidokain
langsungdiberikan pada bagian vocal cord untuk mengurangi risiko
laringospasme,tetapi yang lain melaporkan praktik ini sebenarnya dapat
memicu hiperaktifitas jalan napas;pemberian lidokain intravena mungkin lebih
memungkinkan. Antimuskarinikseperti glikopirrolat dan atropin dapat
menurunkansekresi dan memberikan bronkodilatasi tambahan jika diberikan
dalam waktu yang cukup sebelum induksi.4

Propofol adalah agen induksi pilihan dalam hemodinamikpasien stabil


karena kemampuannya untuk melemahkan respons bronkospastikuntuk

14
intubasi baik pada penderita asma dan non-asma. Focus perhatian harus
ditingkatkan pada pasien dengan depresi fungsi jantung, karena
propofolmengurangi kontraktilitas dan kronisitas jantung. Thiopental atau
etomidatdapat juga digunakan sebagai agen induksi tetapi kurang memiliki
efek bronkodilatasiseperti propofol dan dalam kasus thiopental, dapat
menyebabkanpelepasan histamin yang merugikan. Ketamin adalahobat induksi
yang idealuntuk penderita asma hemodinamik tidak stabil karena
kemampuannya untukmenghasilkan relaksasi otot polos langsung dan
bronkodilatasi tanpamenurunkan tekanan arteri atau resistensi vaskular
sistemik. Namun, efekbronkodilatasi ketamin tidak sebaik seperti
padapropofol.Anestesi volatile adalah pilihan yang sangat baik untuk anestesi
umum,karena mereka menekan refleks jalan nafas dan menghasilkan
relaksasi otot polos secara langsung. Sevoflurane telah muncul sebagai agen
hipnotik gas pilihan, karena penelitian menunjukkan sevofluran memiliki efek
bronkodilatasi yang paling jelasdari semua anestesi volatil. Desfluran
meningkatkan resistensi jalan napas dan harus dihindari pada penderita asma,
khususnya ditingkat anestesi umum yang lebih ringan.4

Sudah suatu kebijaksanaan untuk menghindari instrumentasi jalan nafas


bilamemungkinkan untuk pencegahan bronkospasme. Peningkatan resistensi
saluran napassetelah intubasi endotrakeal terbukti menurun dengan
cepatsetelah pemberian isofluran, yang melibatkan intubasi trakeasebagai
penyebab meningkatnya resistensi. Peningkatan resistensi di jalan napasyang
serupa tidak didapatkan pada penggunaan Laryngeal mask airways. Dengan
demikian, penggunaan Laryngeal mask airway atau bahkan ventilasi
masker,mungkin lebih baik daripada intubasi trakea pada penderita asma.
Keuntungan-keuntungan dari penggunaan laryngeal mask airway harus
seimbang terhadap risiko pada kondisi suatujalan nafas yang tidak aman dan
pada pasien dengan penyakit refluks gastroesofagus yang parah, obesitas,
gastroparesis diabetes, atau asupan oral baru-baru ini, kebutuhan untuk jalan
napas yang aman harus diutamakan.4

15
Jika intubasi endotrakeal dianggap perlu, neuromuskuler bloker yang
menimbulkan pelapasan histamin harus dihindari. Vecuronium,
rocuronium,dan cisatracurium aman untuk digunakan pada penderita asma.
Suksinilkolin,yang melepaskan histamin tingkat rendah, telah digunakan
dengan aman pada penderita asmadengan sedikit morbiditas. Reversal blokade
neuromuskuler denganinhibitor asetilkolinesterase harus digunakan dengan
hati-hati pada penderita asmakarena risiko efek samping muskarinik termasuk
bronkospasme.Sugammadex, agen baru yang merupakan agen stroid
pemnghambat neuromuskuler tanpa efek samping muskarinik, telah
diusulkansebagai obat alternatif untuk pembalikan blokade
neuromuskuler.Namun, studi penggunaan sugammadex pada pasien dengan
penyakit parumenemukan 2,6 % kejadian bronkospasme pada populasi
ini.Dengan demikian, suggamadex tidak sepenuhnya menghilangkan risiko
hiperreaktivitas jalan napas pada pasien dengan penyakit yang mendasarinya.
Meskipun tersediadi negara lain, suggamadex belum tersedia di Amerika
Serikat.4

Tanda-tanda bronkospasme intraoperatif dapat meliputi mengi,


perubahan kapnografi (kenaikan bentuk gelombang CO2, atau menurun / tidak
adagelombang CO2), penurunan volume tidal, atau tekanan inspirasi puncak
yang tinggi. Dokter juga harus menyelidiki diagnosis alternativetermasuk
kegagalan fungsi ventilator, obstruksi endotrakeal(mis. kinking, sumbatan
lendir, bekuan darah), intubasi endobronkial, atau kondisi medis seperti tension
pneumothorax atau pulmonaryembolussebelum membuat diagnosis pasti
bronkospasme.4

Sayangnya, pemberian obat inhalasimelalui tabung endotrakeal mungkin


beresiko. Hanya 12,3% darialbuterol yang diberikan lewat MDI ke pasien yang
bias melewatitabung endotrakeal. Jalur pemberian yang paling efektifadalah
dengan MDI spacer atau nebulizer yang terpasang pada sirkuit ventilator.teknik
lain termasuk (1) memberikan albuterol inhalasi tambahan untuk obat yang
tidak masuk ke tabung endotrakeal dan (2) memasukkan albuteroldi dalam

16
jarum suntik 60 ml, menempelkan jarum suntik sementara kePort pengambilan
sampel CO2 pada siku sirkuit ventilator, dan menekanpendorong beberapa kali.
Banyak dokter yang memiliki banyak idesistem pemberian mereka sendiri
menggunakan item anestesi umum diruang operasi Strategi bronkodilatasi
lainnya termasuk pemberianantikolinergik, steroid intravena, atau β-agonis
subkutan seperti epinefrin. Terbutaline mungkin lebih disukai dibandingkan
epinefrinepinefrin pada pasien hamil karena sifat tokolitiknya.4

Magnesium telah digunakan pada anak-anak yang menderita asma berat


yangtidak responsif terhadap pengobatan tradisional dengan β-agonis
dankortikosteroid. Magnesium sulfat yang dihirup telah disarankansebagai
pengobatan yang bermanfaat untuk eksaserbasi asma berat pada orang dewasa
juga. Meskipun berbagai analisis tidak secara konklusif mendukung
manfaatmagnesium inhalasi yang diberikan kepada orang dewasa dengan
eksaserbasi asma akut,tetapi mereka mendukung penambahan magnesium
intravena untuk mengobati keduanyaorang dewasa dan anak-anak dengan asma
akut. pemberian magnesium sulfat intravena dapat melemahkan takikardia
yang berhubungan karena pemberian β-agonis.4

Manajemen Pasca Operasi

Perawatan pasca operasi dari pasien asma sering ditentukanoleh


prosesintraoperatif. Jika operasi itu lancar, dan rasa sakit,mual, dan status
pernapasan terkontrol dengan baik, penderita asma mungkinbisa dipulangkan
dengan aman ke rumah atau ke unit rawat inap yang sesuaitanpa intervensi
lebih lanjut. Pada waktu selesainya operasi, pasienidealnya harus bebas mengi.
Namun, dalam penanganan yang signifikan terhadap komplikasikomplikasi
intraoperatif seperti bronkospasme berat, perhatian khususharus dilakukan
untuk memastikan keselamatan pasien selama pasca operasiperiode. Ventilasi
pasca operasi harus dipertimbangkan, memberikan waktuuntuk manajemen

17
medis lebih lanjut, pemulihan fungsi jalan nafas, danmetabolisme
neuromuskuler bloker tanpa perlu agen reversal.4

Sudah tepat untuk pemberian ulang B-agonis sepanjang periode


pemulihan pasca operasi sesuai kebutuhan untuk mencegah bronkospasme
berulang. Menjaga posisi kepala up position lebih baikuntuk pencegahan
atelektasis. Pemulihan dan pemeliharaan pertukaran gas ventilasi menjadi
mungkin sebagai rehabilitasi pernapasan dini,mengarah ke pencegahan
komplikasi paru lebih lanjut dan memungkinkanuntuk keluar dari rumah sakit
lebih cepat.4

Singkatnya, pemantauan yang waspada dan rehabilitasi pernapasanpasien


asma sangat penting dalam mencegah komplikasi paru perioperative. Evaluasi
pra operasi yang tepat terhadaptingkat keparahan penyakit dan kepatuhan
berobat,bergandengan dengan strategi perioperatif untuk mencegah
bronkospasme dapatmengurangi komplikasi paru pasca operasi pada penderita
asma.4

18
BAB IV

DISKUSI

Pasien usia 49 tahun dengan diagnosis Tumor mammae sinistra, dilakukan


tindakan eksisi tumor. Dari data anamnesis adanya penyulit berupa pasien
mempunyai riwayat asma.
Tindakan pre-operatif ditujukan untuk menyiapkan kondisi pasien
seoptimal mungkin dalam menghadapi operasi. Visite pre-operasi oleh dokter
spesialis anestesi ataupun tenaga medis lainnya ditujukan agar dapat
mempersiapkan fisik dan mental pasien secara optimal, merencanakan dan
memilih teknik anestesi serta obat-obatan yang dipakai, dan menentukan
klasifikasi pasien berdasarkan ASA. Persiapan pra anestesi yang dilakukan
meliputi persiapan alat, penilaian dan persiapan pasien, serta persiapan obat
anestesi yang diperlukan.Penilaian pasien pre-operatif sangat menunjang
keberhasilan operasi yang akan dilakukan. Peniliaian pre-operatif dalam hal
ini meliputi: riwayat penyakit pasien sekarang dan dahulu berupa penyakit
jantung, respirasi, metabolik dan alergi. Pada saat dilakukan kunjungan
preoperatif anestesi, pasien memiliki riwayat asma terkontrol sehingga
termasuk dalam klasifikasi ASA II ( pasien dengan penyakit sistemik ringan )
.Pada pasien ini, pasien dipuasakan sebelum operasi, tujuannya untuk
pengosongan lambung sebelum anestesi penting untuk mencegah aspirasi isi
lambung karena regurgitasi dan muntah pada pembedahan elektif.Sebelum
dilakukan operasi pada pasien ini dipuasakan selama 8 jam.8
Pilihan Anestesi pada kasus ini adalah anestesi umum dan anestesi
lokal dengan infiltrasi, dimana eksisi pada tumor di payudaradurasinya
singkat dan dilakukan anestesi lokal dengan menggunakan lidokain sebagai
blok saraf. 9

19
Pada pasien ini diberikan premedikasi di ruang perawatan yaitu
Alprazolam 0,5 mg, dan diruang operasi midazolam 3 mg serta fentanyl
50mikrogram.Penggunaan premedikasi pada pasien ini bertujuan untuk
menimbulkan rasa nyaman pada pasien dengan pemberian sedatif dengan
tujuan menghilangkan rasa khawatir dan pemberian obat golongan opioid
untuk meredakan dan menghilangkkan rasa nyeri. Selanjutnya dilakukan
anestesi lokal dengan menggunakan lidocaine 2%. Setelah itu, kemudian
dilakukan eksisi pada daerah lesi.
Alprazolam dan midazolam merupakan obat golongan benzodiazepine
dimana kerja obat ini adalah mengikat neurotransmitter G Aminobutyric Acid
(GABA) meningkatkan permeabilitas membrane neuron terhadap ion klorida
yang akan menyebabkan hiperpolarisasi. Efek dari pemberian benzodiazepine
adalah sedasi, anxiolisis, relaksasi otot, amnesia retrograde, dan
antikonvulsan.Fentanyl adalah obat golongan opioid, dimana reseptor opioid
terkonsentrasi di system limbic, hypothalamus, korpus stratium, system
retikular dan di korda spinalis. Dimana reseptor opioid ada lima tetapi yang
bertugas sebagai reseptor sedasi yaitu µ (mu).9,10
Anestesi lokal termasuk jenis amida yaitu Lidocain bekerja dengan
mencegah terjadi pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya
terutama di membran sel, efeknya pada aksoplasma hanya sedikit saja.
Potensial aksi saraf terjadi karena adanya peningkatan sesaat permeabilitas
membran terhadap ion natrium (Na+) akibat depolarisasi ringan pada
membran. Proses inilah yang dihambat oleh anesteti lokal, hal ini terjadi
akibat adanya interaksi langsung antara zat anestesi lokal dengan kanal Na+
yang peka terhadap adanya perubahan voltase muatan listrik. Dengan
semakin bertambahnya efek anestesi lokal di dalam saraf, maka ambang
rangsang membran akan meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan
potensial aksi menurun, konduksi impuls melambat dan faktor pengaman
konduksi saraf juga berkurang. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan
penurunan kemungkinan menjalarnya potensial aksi, dan dengan demikian
mengakibatkan kegagalan konduksi saraf.11

20
Setelah operasi selesai pasien dipindahkan keruang pemulihan dan
dievaluasi tanda-tanda vital dan kesadaran serta keluhan jika ada, kemudian
setelah pasien pulih, pasien dipindahkan ke perawatan.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan jika dijumpai pasien rencana
operasi dengan riwayat asma
1. Perlu untuk diperhatikan obat-obat dan bahan-bahan dapat mencetuskan
serangan asma.
2. Pada pasien yang baru mendapat serangan asma dan pasien asma yang
menderita infeksi saluran nafas agar mendapat terapi yang adekuat.Dan
hal-hal lain juga perlu diperhatikan seperti usia pasien,obesitas,pemakaian
steroid jangka panjang serta keadaan malnutrisi yang mengakibatkan
kelemahan otot-otot pernafasan.
3. Menghentikan rokok setidaknya 2 bulan sebelum tindakan operasi
4. Jenis dari operasi,lamanya tindakan operasi dan dilakukannya intubasi
meningkatkan komplikasi dari operasi.

Pada kasus ini terakhir kali asmanya muncul yaitu 7 bulan yang lalu dengan
intensitas asma durasi singkat dan tidak mengganggu tidur pasien dan hilang
setelah pasien mengkonsumsi salbutamol tablet hanya pada saat itu. Saat ini
pasien datang dengan rencana pembedahan eksisi tumor payudara kiri dengan
status asma tanpa gejala, tidak ada gejala setelah 6 bulan terakhir Hal ini
memenuhi kriteria asma terkontrol yaitu :4

 No current symtoms
 No symptoms in the past 6 months
 No therapy

21
Gambar 2.4

berdasarkan kriteria di atas maka pasien tidak perlu ditambahkan premedikasi


berkaitan dengan asmanya untuk dilakukan pembedahan besoknya. sehingga
pada pasien hanya mendapatkan premedikasi berupa alprazolam 0,5
mgdiminum sebelum tidur bertujuan memberikan rasa nyaman pada pasien
sebelumoperasi.

22
Obat – obat Pereda (Reliever) Asma
1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut
pada anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan,
alveolus, sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan
pankreas.
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan
ATP menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas
yang menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan
klirens mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya
pelepasan mediator sel mast.
 Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak
ada β2 agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1,
β2, dan α sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah,
palpitasi, takiaritmia, tremor, dan hipertensi.
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi
efek bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping,
terutama pada jantung dan CNS.
 β2 agonis selektif
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
 Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
 Dosis tebutalin oral: 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
 Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
 Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis
maksimum 5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu
dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
 Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit,
efek puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit,
efek puncak dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.

23
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat : MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena
pada keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan
napas. Efek samping takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1
mcg/kgBB setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit,
dilanjutkan dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala,
agitasi, palpitasi, dan takikardi.

b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist
inhalasi, tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya
sempit, obat ini diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2
agonist dan anticholinergick.
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin
IM harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama.
Umumnya adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan
absorbsi teofilin tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi.
Metilxanthine didistribusikan keseluruh tubuh, melewati plasenta dan
masuk ke air susu ibu. Eliminasinya terutama melalui metabolism hati,
sebagian besar dieksresi bersama urin.
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
 1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
 6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
 1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
 > 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada
konsentrasi yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia.

2. Anticholinergics

24
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis
anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam.
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk
usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek
sampingnya adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik
inhalasi tidak direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak.

3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan :
 Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan
yang cukup lama.
 Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
 Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.

Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk


mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam.
Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon
dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali
sehari.
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat
ini bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat
sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit
lain di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular.
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi
kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek
mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah
1 mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 –
6 jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1
mg/kgBB/hari setiap 6 – 8 jam.

Obat – obat Pengontrol

25
Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan
sistemik glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist,
theofilin, cromones, dan long acting oral β2-agonist.

1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling
efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Intervensi
awal dengan penggunaan inhalasi budesonide berhubungan dengan perbaikan
dalam pengontrolan asma dan mengurangi penggunaan obat-obat tambahan.
Terapi pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu
mengontrol gejala-gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut
dan jumlah rawatan di rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru
dan hiperresponsif bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi
latihan.
Glukokortikosteroid dapat mencegah penebalan lamina retikularis,
mencegah terjadinya neoangiogenesis, dan mencegah atau mengurangi
terjadinya down regulation receptor β2 agonist. Dosis yang dapat digunakan
sampai 400ug/hari (respire anak). Efek samping berupa gangguan
pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat, dan gangguan pada gigi
dan mulut.

2. Leukotriene Receptor Antagonist (LTRA)


Secara hipotesis obat ini dikombinasikan dengan steroid hirupan dan
mungkin hasilnya lebih baik. Sayangnya, belum ada percobaan jangka panjang
yang membandingkannya dengan steroid hirupan + LABA. Keuntungan
memakai LTRA adalah sebagai berikut :
 LTRA dapat melengkapi kerja steroid hirupan dalam menekan cystenil
leukotriane;
 Mempunyai efek bronkodilator dan perlindungan terhadap
bronkokonstriktor;
 Mencegah early asma reaction dan late asthma reaction

26
 Dapat diberikan per oral, bahkan montelukast hanya diberikan sekali per
hari., penggunaannya aman, dan tidak mengganggu fungsi hati;
sayangnya preparat montelukast ini belum ada di Indonesia;
 Mungkin juga mempunyai efek menjaga integritas epitel, yaitu dengan
meningkatkan kerja epithel growth factor (EGF) dan menekan
transforming growth factor (TGF) sehingga dapat mengendalikan
terjadinya fibrosis, hyperplasia, dan hipertrofi otot polos, serta diharapkan
mencegah perubahan fungsi otot polos menjadi organ pro-inflamator.

Ada 2 preparat LTRA :


a. Montelukast
Preparat ini belum ada di Indonesia dan harganya mahal. Dosis per oral 1
kali sehari.(respiro anak) Dosis pada anak usia 2-5 tahun adalah 4 mg qhs.
(GINA)
b. Zafirlukast
Preparat ini terdapat di Indonesia, digunakan untuk anak usia > 7 tahun
dengan dosis 10 mg 2 kali sehari.
Leukotrin memberikan manfaat klinis yang baik pada berbagai tingkat
keparahan asma dengan menekan produksi cystenil leukotrine. Efek samping
obat dapat mengganggu fungsi hati (meningkatkan transaminase) sehingga
perlu pemantauan fungsi hati.
3. Long acting β2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.
Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi
serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya
hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada
dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol
(Seretide), budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI
sedangkan Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan
obat dan meningkatkan kepatuhan memakai obat.
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama
kortikosteroid yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis

27
pemeliharaan glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala,
stimulasi ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang,
perdarahan lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari
10mg/kgBB/hari, oleh karena itu terapi dimulai pada dosis inisial
5mg/kgBB/hari dan secara bertahap diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.

28
BAB V

KESIMPULAN

Prevalensi asma jumlahnya meningkat di Indonesia,hal ini akan


mempengaruhi meningkatnya pasien asma yang akan menjalani operasi.Maka
penting pemahaman mengenai pasien asma yang akan dioperasi untuk
menghindari atau mengurangi komplikasi paru pasca operasi.Asma mempunyai
sifat yang rentan ditandai dengan hiperaktivitas,inflamasi dan obstruksi saluran
nafas terhadap pemicu terhadap obat-obat yang dipakai selama tindakan operasi
maupun sesudah operasi.
Dilaporkan di masyarakat umum kejadian bronkospasme selama operasi
terjadi pada 1,6 kejadian setiap 1000 operasi, sedangkan pada pasien asma
berkisar antara 6,5 – 7,1%.Walaupun umumnya dapat diatasi dengan baik data
diatas menunjukan perlu adanya pemahaman pasien-pasien yang akan
dioperasi.Sedangkan jenis anestesi tidak dapat ditentukan sebagai merupakan
faktor resiko karena komplikasi dari general aneatesi maupun regional anestesi
adalah sama.

Sebelum dilakukan anestesia dan operasi elektif pada pasien dengan riwayat
asma terlebih dahulu harus dikontrol keadaan asmanya apakah pasien sedang atau
tidak menderita infeksi atau serangan asma. Penelitian menunjukan pada asma
terjadinya komplikasi paru meningkat bila pasien masih dijumpai mengi ataui arus
puncak eksiprasi < 80% dari nilai terbaiknya atau prediksi. Risiko terjadinya
bronkospasme pada masa perioperatif rendah bila asma dalam keadaan stabil atau
terkontrol dan kalaupun terjadinya komplikasi biasanya ringan.Oleh karena itu
pasien asma yang akan menjalani operasi diupayakan secepatnya dalam keadaan
terkontrol

29
DAFTAR PUSTAKA

1. PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia), 2003, Program


penatalaksanaan asma, Konsensus Asma.
2. Kementerian kesehatan RI. INFODATIN Pusat Data dan Informasi
Kemeterian Kesehatan RI Penyakit Asma Bronkhial. 2015.
3. Suhartono dkk. Penanganan Perioperatif pada Asma. Bagian Anestesiologi
dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Manado. 2013
4. Applegate Richard et al. The Preoperative Management of Asthma.
Departement of Anesthesiology Loma Linda University School of
Medicine, USA. 2013
5. F Butterworth, Jhon. C Mackey, David. D Wasnick, Jhon. Morgan &
Mikhail’s Clinical Anesthesiology. Ed 5. London: McGraw-Hill
Education. A Langen Medical Book. 2013.
6. Burburan et al. Anaesthetic Management is Asthma. Division of
Anesthesiology, Fderal University of Rio de Jeneiro. 2007
7. Hevesi, Z.G. Stoelting’s Anesthesia and Co-Existing Disease, 5th ed.,
edited by Hines, R.L. & Marschall, K.E., Elsevier Inc. 2018.
8. Pramono A. Buku Kuliah Anastesi. Jakarta : EGC. 2015
9. Malamed, SF. Hand book of local anaesthesia. 6th ed. Mosby. ST. Louis,
Missouri. 2013.
10. J. Murray, Michael. A. Harriso, Barry. T. Muller, Jeff. Etc. Faust’s
Anesthesiology Review. Ed 4. Amerika Serikat : Elsevier Saunders. 2015.
11. Euliano TY, Gravenstein. Essential Anesthesia From Science to Practice.
USA : Cambridge University Press. 2004.
12. Suherman S K, Ascobat P., 2007, Farmakologi dan Terapi, edisi 5, FKUI,
Jakarta

30

Anda mungkin juga menyukai