Anda di halaman 1dari 26

BAB III

DISKUSI

Berdasarkan anamnesis, pasien wanita berusia 23 tahun, inpartu kala 1

fase laten dikonsulkan oleh sejawat obstetri untuk dilakukan operasi seksio sesarea

emergensi. Akan tetapi setelah dilakukan pemeriksaan ulang oleh spesialis obstetri,

dinyatakan bahwa pasien dapat partus secara normal sehingga pertolongan partus

dilakukan di ICU. Pasien dengan kejang sebanyak 2 kali di kapal, disertai nyeri

kepala, pandangan kabur, dan nyeri ulu hati. Berdasarkan gejala tersebut, maka

pasien didiagnosis dengan eklampsia. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang

menyatakan bahwa eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan

kejang tiba-tibayang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau

masanifas yang menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya. Kejang disini

bersifatgrand mal dan bukan diakibatkan oleh kelainan neurologis.3,7


Eklampsia dibedakan menjadi eklampsia gravidarum

(antepartum),eklampsia partuirentum (intrapartum), dan eklampsia puerperale

(postpartum),berdasarkan saat timbulnya serangan.Eklampsia banyak terjadi pada

trimesterterakhir dan semakin meningkat saat mendekati kelahiran. Pada kasus

yangjarang, eklampsia terjadi pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu. Sektar

75%kejang eklampsia terjadi sebelum melahirkan, 50% saat 48 jam pertama

setelahmelahirkan, tetapi kejang juga dapat timbul setelah 6 minggu

postpartum.8,9Pasien ini mengalami kejang pada saat inpartu kala 1 fase laten

sehingga dikategorikan mengalami eklampsia partuirentum (intrapartum).


Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi yang disertai proteinuriaterjadi

setelah kehamilan minggu ke-20 sampai minggu ke-6 setelahpersalinan.Hipertensi

1
didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darahsistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan

diastolik ≥ 90 mmHg. Proteinuriadidefinisikan sebagai ekskresi protein dalam urin

dengan kadar 300 mg/dldalam urin tampung 24 jam atau dengan pemeriksaan

kualiatif ≥ 1+ padapengambilan sampel urin secara acak. Berdasarkan waktu

kejadiannyapreeklampsia dibagi menjadi dua, yaitu onset awal, yang terjadi

padakehamilan < 34 minggu, dan onset lanjut, yang terjadi pada kehamilan ≥

34minggu.Preeklampsia dengan onset awal umumnya terkait denganpembatasan

pertumbuhan janin, bentuk gelombang dopler uterus dan arteriumbilikalis yang

abnormal, dan keluaran maternal dan perinatal yang buruk.Akan tetapi

preeklampsia dengan onset lanjut sebagian besar berhubungandengan penyakit

maternal ringan, keterlibatan janin dengan tingkat yang lebihringan, dengan hasil

keluaran yang biasanya menguntungkan.Preeklampsiaberdasarkan gejala klinisnya

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu preeclampsiaringan dan berat.Pada penderita

preeklampsia dapat memberikan gejala atau tanda khassebelum terjadinya kejang

disebut tanda prodromal. 2,8,9 Preeklampsia yangdisertai tanda prodoma ini disebut

sebagai impending eclampsia atauimminent eclampsia.

Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia. Preeklampsia

dibagi menjadi ringan dan berat. Pre-eklampsi berat didefinisikan sebagai pre-

eklampsia dengan hipertensi berat tekanan darah diastolik ≥110 mmHg, tekanan

darah sistolik ≥ 160 mmHg dan/atau dengan gejala, dan/atau gangguan biokimia
Sidhu
dan/atau hematologis. Hal yang sama dialami oleh pasien sesuai dengan

kepustakaan tersebut yaitu pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah

180/100 mmHg. Selain itu, ditemukan adanya pembengkakan pada daerah wajah

2
khususnya sekitar mata dan ekstremitas. Keluhan yang dialami pasien sebelum

kejang seperti nyeri kepala dan nyeri ulu hati juga sesuai dengan kepustakaan

yang menyatakan bahwa gambaran klinis pre-eklampsia berat (selain hipertensi

dan proteinuria) adalah:10



Sakit kepala parah

Pembengkakan wajah, tangan, kaki secara tiba-tiba

Gangguan penglihatan seperti kabur atau berkedip di depan mata

Nyeri epigastrium dan / atau muntah

Tanda-tanda clonus

Papilloedema

Gangguan hati

Jumlah trombosit jatuh di bawah 100 x 106

Enzim hati yang abnormal (ALT atau AST naik hingga di atas 70iu/l)

Sindrom HELLP

Pada umumnya serangan kejang didahului dengan

memburuknyapreeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri kepala di daerah

frontal, gangguanpenglihatan, mual keras, nyeri di daerah epigastrium, dan

hiperrefleksia. Terdapat beberapa perubahan klinis yang memberikan peringatan

gejalasebelum timbulnya kejang, adalah sakit kepala yang berat dan

menetap,perubahan mental sementara, pandangan kabur, fotofobia, iritabilitas,

nyeriepigastrik, mual, muntah. Namun, hanya sekitar 50% penderita yang

mengalamigejala ini. Presentase gejala sebelum timbulnya kejang eklampsia

adaah sakit kepala yang berat dan menetap (50-70%), gangguan penglihatan (20-

30%),nyeri epigastrium (20%), mual muntah (10-15%), perubahan mental

sementara (5-10%).8,11

Tanpa memandang waktu dari onset kejang, gerakan kejang

biasanyadimulai dari daerah mulut sebagai bentuk kejang di daerah wajah.

Beberapa saatkemuadian seluruh tubuh menjadi kaku karena kontraksi otot yang

3
menyeluruh,fase ini dapat berlangsung 10 sampai 15 detik. Pada saat yang

bersamaan rahangakan terbuka dan tertutup dengan keras, demikian juga hal ini

akan terjadi padakelopak mata, otot-otot wajah yang lain dan akhirnya seluruh

otot mengalamikontraksi dan relaksasi secara bergantian dalam waktu yang cepat.

Keadaan inikadang-kadang begitu hebatnya sehingga dapat mengakibatkan

penderitaterlempar dari tempat tidurnya, bila tidak dijaga. Lidah penderita dapat

tergigitoleh karena kejang otot-otot rahang. Fase ini dapat berlangsung sampai

satumenit, kemudian secara berangsur kontraksi otot menjadi semakin lemah

danjarang dan pada akhirnya penderita tak bergerak.9,12

Setelah kejang diafragma menjadi kaku dan pernapasan berhenti.

Selamabeberapa detik penderita seperti meninggal karena henti napas, namun

kemudianpenderita bernapas panjang dan dalam, selanjutnya pernapasan kembali

normal.Apabila tidak ditangani dengan baik, kejang pertama ini akan diikuti

dengankejang-kejang berikutnya yang bervariasi dari kejang yang ringan sampai

kejangyang berkelanjutan yang disebut status epileptikus.Setelah kejang berhenti,

penderita mengalami koma selama beberapa saat.Lamanya koma setelah kejang

eklampsia bervariasi. Apabila kejang yang terjadi jarang, penderita biasanya

segera pulih kesadarannya segera setelah kejang.Namun, pada kasus-kasus yang

berat, keadaan koma belangsung lama, bahkanpenderita dapat mengalami

kematian tanpa sempat pulih kesadarannya. Padakasus yang jarang, kejang yang

terjadi hanya sekali namun dapat diikuti dengankoma yang lama bahkan

kematian.9,12

4
Frekuensi pernapasan biasanya meningkat setelah kejang eklampsia

dandapat mencapai 50 kali per menit. Hal ini dapat menyebabkan hiperkarbia

dampaiasidosis laktat, tergantung derajat hipoksianya. Pada kasus yang berat

ditemukansianosis. Demam tinggi merupakan keadaan yang jarang terjadi, apabla

haltersebut terjadi maka penyebabnya adalah perdarahan pada susunan saraf

pusat.12

Proteinuria hampir selalu didapatkan, produksi urin berkurang,

bahkankadang – kadang sampai anuria dan pada umumnya terdapat

hemoglobinuria. Sejumlah penelitian telah menggunakan berbagai metode untuk

melakukan pengujian secara biokimia pada urin preeklampsia, termasuk indeks

selektivitas protein, dengan hasil yang bervariasi. Umumnya, urin dari

preeklampsia menunjukkan selektivitas yang buruk dan tidak berbeda secara

signifikan dari bentuk penyakit ginjal primer lainnya. Protein glomerulus dengan

ukuran sedang, seperti albumin, diidentifikasi terdapat dapat urin, dengan atau

tanpa protein tubular lain dengan berbagai ukuran, seperti B2-mikroglobulin, yang

menunjukkan kerusakan tubular yang dapat terjadi pada pre-eklampsia

berat.13Setelah persalinan urin output akan meningkat dan ini merupakan tanda

awalperbaikan kondisi penderita. Proteinuria dan edema menghilang dalam

waktubeberapa hari sampai dua minggu setelah persalinan apabila keadaan

hipertensimenetap setelah persalinan maka hal ini merupakan akibat penyakit

vaskulerkronis.

5
Etiologi pre-eklampsia tidak diketahui secara pasti. Diketahui, ada

beberapa faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian pre-eklampsia

sebagaimana tercantum pada tabel berikut:2

Tabel 1. Etiologi pre-eklampsia2

Berdasarkan tabel tersebut, faktor resiko yang dialami pasien adalah

pesien merupakan nullipara dengan indeks massa tubuh yang dikategorikan

obesitas II. Insiden pre-eklampsia terjadi sekitar 3 – 7 % pada nullipara sehat dan

1 – 3 % pada multipara. 11Wanita nulipara memiliki risiko 3 kali lebih besar

mengalami preeklampsia. Umumnya preklampsia dianggap sebagai penyakit pada

kehamilan pertama.Hal ini diduga berkaitan dengan paparan pertama ibu terhadap

trofoblas yang berasal dari janin. Umumnya kehamilan dengan preeklampsia

terjadi pada primigravida karena secara imunologik pembentukan blocking

antibodies terhadap antigen plasenta pada kehamilan pertama tidak sempurna

sehingga timbul respon imun yang tidak menguntungkan terhadap

6
histoinkompabilitas placenta. Preeklampsia terdapat pada 3-8% ibu hamil,

terutama primigravida pada kehamilan trimester kedua.4

Patofisiologi preeklampsia dibagi menjadi dua tahap, yaitu perubahan

perfusi plasenta dan sindrom maternal. Tahap pertama terjadi selama 20 minggu

pertama kehamilan. Pada fase ini terjadi perkembangan abnormal remodelling

dinding arteri spiralis. Abnormalitas dimulai pada saat perkembangan plasenta,

diikuti produksi substansi yang jika mencapai sirkulasi maternal menyebabkan

terjadinya sindrom maternal. Tahap ini merupakan tahap kedua atau disebut juga

fase sistemik. Fase ini merupakan fase klinis preeklampsia, dengan elemen pokok

respons infl amasi sistemik maternal dan disfungsi endotel.2

Pada kehamilan preeklampsia, invasi arteri uterina ke dalam plasenta

dangkal, aliran darah berkurang, menyebabkan iskemi plasenta pada awal

trimester kedua. Halini mencetuskan pelepasan faktor-faktor plasenta yang

menyebabkan terjadinya kelainan multisistem pada ibu. Pada wanita dengan

penyakit mikrovaskuler, seperti hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit kolagen,

didapatkan peningkatan insiden preeklampsia; mungkin preeklampsia ini

didahului gangguan perfusi plasenta.2

Gambar 1. Hipotesis tentang peranan soluble fms-like tyrosine kinase 1


(sFlt1) pada preeklampsia2

7
Gambar 2. Patofisiologi pre-eklampsia2

Pada patogenesis eklampsia, terdapat dua hipotesis yang terkait tentang

perubahan vaskular. Vasospasme yang menyebabkan iskemia lokal akan

8
menyebabkan arteri menjadi nekrosis dan gangguan sawar darah otak, yang

menyebabkan edema serebral. Studi angiografis menunjukkan adanya edema

serebral dan vasospasme. Sebaliknya,vasokonstriksi mungkin lebih bersifat

melindungi daripada respons patologisterhadap tekanan ekstrem arteri. Hal ini

dapat mencegahpeningkatan perfusi arteri yang tidak terkontrol dan kerusakan

distalsirkulasi mikro. Pada tekanan arteri yang tinggi, pembuluh darah halusotot

dapat mencapai batas kekuatannya dan kemudian melebar. Segmen yang pendek

akan berdilatasi pertama kali. Urutan ini dapat terlihat selamahipertensi

eksperimental. Pelebaran dikaitkan dengan kerusakandinding pembuluh darah,

edema fokal, dan peningkatan pasif darah otakmengalir. Akan tetapi, tidak

diketahui dari mekanisme ini yang bertanggung jawab atas perubahan

dalameklampsia. Edema vasogenik dan sitotoksik ditemukan pada eklampsia.14

Selain adanya keluhan yang ditemukan pada anamnesis dan kelainan

pada pemeriksaan fisik, pada pemeriksaan laboratorium pasien ini, juga

ditemukan adanya ganggguan yaitu pada sistem hematologi yaitu ditemukan

trombositopenia dengan jumlah trombosit 83 x 10 3 dan hematokrit rendah (30.8

%). Selain itu, terdapat peningkatan enzim hati yati SGOT dan SGPT

masing0masing 95 U/L dan 41 U/L. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang

menyatakan bahwa pada pre-eklampsia/eklampsia, dapat terjadi gangguan

multisistemik yaitu:15
a. Neurologis : Ensefalopati hipertensif dan / atau iskemik karena vasokonstriksi

yang dapat menyebabkan kejang eklampsia, tidak berhubungan langsung

dengan vasospasme. Pencitraan kadang-kadang menunjukkan edema serebral

di daerah posterior yang menjelaskan perubahan visual pada preeklampsia

9
sebagai penglihatan kabur, skotoma, kebutaan sementara dan sakit kepala

(didenominasi sebagai sindrom ensefalopati reversibel posterior). Indikator

penting gangguan neurologis adalah hiperrefleksia.


b. Hemodinamik : Vasokonstriksi sistemik yang intens karena hiperaktif

vaskular dengan ketidakseimbangan antara zat vasokonstriktor (endotelin,

tromboksan) dan vasodilator (prostasiklin, nitrit oksida). Karakteristik

penting adalah hemokonsentrasi yang mengurangi toleransi terhadap

kehilangan darah saat melahirkan. Preeklamsia berat menunjukkan

hemokonsentrasi (karena kebocoran kapiler), pola hipodinamik dengan

indeks / output jantung yang rendah dan peningkatan resistensi sistemik

vaskular dengan disfungsi diastolik yang terkait.


c. Ginjal : Vasokonstriksi dengan penurunan perfusi ginjal dapat menyebabkan

nekrosis tubular akut.


d. Hepar : Peningkatan enzim hati disebabkan oleh iskemia, terkait dengan

hematoma subkapsular dan ruptur hati. Biopsi menunjukkan lesi iskemik,

perdarahan periportal, dan deposisi fibrin.


e. Hematologi : Trombositopenia yang berhubungan dengan sindrom

mikroangiopatik dan hemolisis intravaskular yang tampakpada apusan darah

tepi schistocytesin dan pengurangan haptoglobin (karena penyatuannya

dengan hemoglobin bebas plasmatik). Interpretasi hemoglobin basal pada

pasien preeklampsia harus dilakukan dengan hati-hati, hematokrit rendah

harus mengekspresikan hemolisis dan hemoglobin yang lebih tinggi harus

terkait dengan hemokonsentrasi.


Menurut American College of Obstetrics and Gynecology, diagnosis pre-

eklampsia dibuat jika tekanan darah >140/90 mmHg pada dua kali pengukuran

disertai proteinuria >300 mg/hari.Edema, yang merupakan gambaran klasik

10
preeklampsia, tidak lagi digunakan sebagai dasar diagnosis karena sensitivitas

maupun spesifisitasnya rendah.Pada 20% kasus tidak ditemukan proteinuria atau-

pun hipertensi. Pemeriksaan laboratorium, seperti tes fungsi hepar, pemeriksaan

protein urin, dan kreatinin serum dapat membantu mengetahui derajat kerusakan

target organ, tetapi tidak ada yang spesifik untuk diagnosis preeklampsia.16
Pada 20% wanita preeklampsia berat didapatkan sindrom HELLP

(Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet Count) yang ditandai dengan

hemolisis, peningkatan enzim hepar, trombositopenia akibat kelainan hepar dan

sistem koagulasi. Angka kejadian sindrom HELLP ini sekitar 1 dari 1000

kehamilan. Sekitar 20% sindrom HELLP mengalami koagulasi intravaskuler

diseminata, yang memper buruk prognosis baik ibu maupun bayi.2

Perawatan dasar eklampsi yang utama adalah terapi suporting untuk

stabilisasi fungsi vital, yang meliputi Airway, Breathing, Circulation (ABC),

mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi hipoksemia, dan asidemia mencegah

trauma pada pasien pada waktu kejang, mengandalikan tekanan darah, khususnya

pada waktu krisis hipertensi, serta melahirkan janin pada waktu dan cara yang

tepat. Tujuan utama pengobatan medikamentosa adalah mencegah dan

menghentikan kejang, mencegah dan mengatasi penyulit, khususnya krisis

hipertensi, serta mencapai stabilisasi ibu semaksimal mungkin.9

Pada penderita yang mengalami kejang, tujuan utama pengobatan ialah

mencegah menderita mengalami trauma akibat kejang tersebut. Jangan tinggalkan

pasien sendirian tetapi minta bantuan, termasuk tenaga ahli yang sesuai seperti

spsesialis anestesi dan spesialis obstetri yang senior. Posisikan ibu lateral kiri dan

berikan oksigen. Nilai jalan napas dan pernapasan, serta periksa denyut nadi dan

11
tekanan darah. Penggunaan oksimetri sangat membantu. Perawatan dilakukan di

rangan yang cukup terang, tidak di kamar gelap, sehingga jika terjadi sianosis

dapat segera diketahui. Penderita dibaringkan di tempat tidur yang lebar, dengn

rail tempat tidur yang dipasang dan dikunci rapat. Selanjutnya masukkan sudap

lidah ke dalam mulut penderita dan jangan mencoba melepas sudap lidah tersebut

karena dapat memeatahkan gigi. Kepala direndahkan dan orofaring diisap. Fiksasi

pada pada tempat tidur harus cukup longgar, untuk mencegah terjadinya fraktur.

Setelah stabil, rencanakan persalinan tetapi tidak perlu tergesa-gesa dan

penundaan beberapa jam untuk memastikan perawatan yang tepat telah

diterima,dengan asumsi bahwa tidak ada masalah akut pada janin seperti

bradikardia janin. Kondisi ibu menjadi prioritas dibandingkan janin.9,17

Saat ini magnesium sulfat tetap menjadi pilihan pertama untukantikejang

pada eklampsia. Pemberian magnesium sulfatdapat menurunkan risiko kematian

ibu dan didapatkan 50% dari pemberiannyamenimbulkan efek flusher (rasa

panas). Syarat pemberian MgSO4 yaitu reflek patella normal, frekuensi

pernapasan >16 kali per menit, harus tersediaantidotum yaitu Kalsium Glukonat

10% (1 gram dalam 10 cc) diberikanintravena 3 menit. MgSO4 yang diberikan

dengan jalur intravena dapat diberikan dengan loading dose 4 gram diencerkan

dalam 10 ml cairan aquades diberikan selama 15 hingga 20 menit bolus lambat.

Selanjutnya dapat memulai dosis rumatan MgSO4 6 gram dalam 500 mL cairan

Ringer laktat dengan kecepatan dosis 1gram/jam atau sekitar 28 tetes makro

permenit. Pemberian MgSO4 harus dihentikan jika terjadi intoksikasimaka

diberikan injeksi Kalsium Glukonat 10% (1 gram dalam 10 cc) dansetelah 24 jam

12
pasca persalinan. Bila terjadi refrakterterhadap pemberian MgSO4 maka bisa

diberikan tiopental sodium, sodiumamobarbital, diazepam atau

fenitoin.8,18Kejangmasihmungkinakanterjadiwalautatalaksana MgSO4

telahdiberikan, angka kejadian ini terjadi sekitar 10%dariseluruhkasus. Keadaan

ini dapat diatasi dengan pemberian 2gram bolus MgSO4 atau dapat diberikan

sodium amoborbital 250 mg intra venasecarapelanselama 3 sampai 5 menit.18

Dari berbagai studi menyebutkan kejang yang terjadi setelah tatalaksana

preeklampsia masih belum dimengerti sepenuhnya. Kemungkinan hal ini terjadi

akibat peningkatan jumlah MgSO4 tidak diikuti dengan peningkatan kadar Mg2+

total dan yang terionisasisehingga efek inhibisi terhadap ion Ca2+ tidak terjadi.

Walaupun peningkatan jumlah MgSO4 meningkat secara signifikan, tetapi kadar

Ca2+ yang terionisasi tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini

menunjukan bahwa efek MgSO4 tidak melalui modulasi kadar kalsium

Ca2+terionisasi, sehingga hal ini mampu memicu terjadinya kejang walaupun

tatalaksana MgSO4 sudah diberikan.18


Pada wanita hamil terdapat penurunan kadar magnesium darah, walaupun

tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara kehamilan normal dan

preeklampsia ataueklampsia. Penurunan kadar magnesium dalam darah pada

penderita preeklampsia daneklampsia mungkin dapat diterangkanatas dasar

hipervolemia yang fisiologis pada kehamilan.(13,15) Pengaruh yang paling

berbahaya dari ion Mg2+ adalah hambatan pelepasan Asetilkolin.(18)Ion

Magnesium berperan dalam proses pelepasan ion Ca2+, Na+ dan K+ trans

membran pada fase depolarisasi dan repolarisasi, melalui aktivitas enzim Ca-

ATPase dan Na-6ATPase. Defisiensi Mg2+ akan menurunkan konsentrasi Kalium

13
dalam sel dan meningkatkan konsetrasi Na+ dan Ca2+ dalam sel yang pada

akhirnya mengurangi ATP intraseluler, sehingga Mg2+ dianggap sebagai

stabilisator dari berbagai kanal ion tidak berfungsi, dalam keadaan ini penurunan

jumlah ion Mg2+ akan meningkatkan ambang batas eksitasi sehingga dapat

menyebabkan kejang.18,19
Selain penggunaan magnesium sulfat, beberapa obat yang dapat

digunakan untuk mengatasi kejang adalah diazepam dan phenitoin. Magnesium

sulfat lebih baik daripada diazepamtentang kematian ibu yang kritis dan

kekambuhan kejang. Akan tetapi, tidak ada perbedaan statistik antara kedua obat

tersebut untuk terjadinya morbiditas ibu yang serius. Sama halnya dengan

penggunaan phenytoin, magnesium sulfat terbukti menurunkan resiko terjadinya

kejang berulang.5
Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeclampsia yang salah

satunya ditandai dengan adanya hipertensi.Terdapat perbedaan manajemen

hipertensi pada kehamilan dan di luar kehamilan.ESC merekomendasikan jika

tekanan darah sistolik >170 mmHg atau diastolik >110 mmHg pada wanita hamil

diklasifikasikan sebagai emergensi dan merupakan indikasirawat inap.Terapi

farmakologis dengan labetalol intravena, metildopa oral, atau nifedipin sebaiknya

segera diberikan.Obatpilihan untuk preeklampsia dengan edema paru adalah

nitrogliserin (gliseril trinitrat), infus intravena dengan dosis 5 μg/menit dan

ditingkatkan bertahap tiap 3-5 menit hinggadosis maksimal 100

μg/menit.Furosemid intravena dapat digunakan untuk venodilatasi dan diuresis (20-

40 mg bolus intravena selama 2 menit), dapat diulang 40-60 mg setelah 30 menit

14
jika respons diuresis kurang adekuat.Morfin intravena2-3 mg dapat diberikan untuk

venodilator dan ansiolitik. Edema paru berat memerlukan ventilasi mekanik.2,20


Jenis antihipertensi lain yang dapat diberikan adalah:
a. Hidralazin: dimulai dengan 5 mg intravena atau 10 mg intramuskuler, jika

tekanan darah tidak terkontrol diulangi tiap 20 menit, jika tidak berhasil

dengan 20 mg dosis 1 kali pakai secara intravena atau 30 mg intramuskuler

dipertimbangkan penggunaan obat lain. Mekanisme kerjanya dengan

merelaksasi otot padaarteriol sehingga terjadi penurunan tahanan perifer. Jika

diberikan secara intravena efeknya terlihat dalam 5-15 menit. Efek

sampingnya adalah sakit kepala, denyut jantung cepat dan perasaan gelisah,

hidralazin termasuk dalam kategori C (keamanan penggunaannya pada wanita

hamil belum ditetapkan).


b. Labetalol: termasuk dalam beta bloker, mekanismenya menurunkan tahanan

perifer dan tidak menurunkan aliran darah ke otak, jantung dan ginjal. Obat

ini dapat diberikan secara peroral maupun intravena yang dimulai dengan 20

mg secara intravena, jika efek kurang optimal diberikan 40 mg 10 menit

kemudian, penggunaan maksimal 220 mg, jika level penurunan tekanan darah

belum dicapai obat dihentikan dan dipertimbangkan penggunaan obat lain,

“dihindari pemberian Labetalol untuk wanita dengan asma atau gagal jantung

kongestif”, jika diberikan secara intravena efeknya terlihat dalam 2-5 menit

dan mencapai puncaknya setelah 15 menit, obat ini bekerja selama 4 jam.

Labetalol termasuk dalam kategori C (keamanannya pada wanita hamil belum

ditetapkan). Sebuah penelitian yang membandingkan antara penggunaan

labetolol dan hidralazin pada wanita dengan hipertensi berat, tidak ditemukan

adanya perbedaan yang signifikan dari kedua obat tersebut.

15
c. Beta-bloker (Atenolol, Metoprolol, Nadolol, Pindolol, Propranolol), obat-obat

tersebut berhubungan dengan peningkatan insiden dari kemunduran

intrauterine fetalgrowthdan tidak direkomendasikan untuk penggunaan jangka

panjang pada kehamilan, dosis Propranolol biasa digunakan >160 mg/hari.

Tabel 2. Obat untuk kontrol cepat hipertensi pada kehamilan2

16
Bagan 1. Algoritma tatalaksana hipertensi pada pre-eklamsia/eklampsia

Berdasarkan hasil laboratorium, pasien mengalami trombositopenia

dengan jumlah tromnbosit 83.000 mm3. Pada kasus dengan trombositopenia

(<100.000/mm3), harus dipertimbangkan pemberian deksametason sesuai dengan

pengalaman dokter, misalnya 8mg intravena (IV)/8 jam atau 10mg IV/12h, yang

tujuannya adalah untuk memberikan ≥ 20mg dalam 24 jam selama 2 hari atau

lebih. Tidak dianjurkan untuk memulai transfusi konsentrat trombosit jika

trombosit > 50.000/mm3, kecuali dalam penurunan cepat atau hemolisis penting.15

17
Kortikosteroid telah digunakan dalam sindrom HELLP. Bukti saat ini

menunjukkan pemberian kortikosteroid mengarah ke perbaikan gangguan

biokimia dan hematologis yang lebih cepat tetapi tidak ada bukti obat tersebut

dapat mengurangai morbiditas.RCOG Sebelas uji coba (550 wanita) membandingkan

terapi kortikosteroid (deksametason, bethamethasone atau prednisolone) dengan

plasebo atau tidak mendapat perawatan dan dua percobaan (76 wanita)

membandingkan deksametason dengan bethamethasone. Ketika kortikosteroid

dibandingkan dengan plasebo atau tanpa perawatan untuk wanita dengan Sindrom

HELLP, tidak ada perbedaan statistik dalam hasil terkait terjadinya eklampsia.5

Indikasi pemberian antibiotik pada pasien ini adalah karena pasien

mengalami ketuban pecah dini. Antibiotik yang digunakan pada pasien ini adalah

cefotaxim 1 gram setiap 12 jam intravena yang kemudian diganti dengan

menggunakan meropenem 1 gram setiap 12 jam intravena, dan metronidazole 500

mg setiap 12 jam secara intravena. Meropenem merupakan antibiotik golongan β-

laktam. Kombinasi dari antibiotik β-laktam (sefalosporin, penisilin, dan

meropenem) dengan metronidazol memiliki sifat sinergis atau aditif karena

keduanya bersifat sebagai bakterisid. Antibiotik β-laktam bekerja dengan cara

menginhibisi tahap akhir pada sintesis peptidoglikan dengan mengalkilasi

transpeptidase atau Penisilin Binding Protein (PBP) lainnnya sehingga bakteri

mengalami lisis akibat aktivitas enzim autolisis dinding sel ketika penyusunan

dinding sel dihambat. Metronidazol termasuk antibakteri sekaligus antiparasit

yang bekerja dengan berinteraksi dengan DNA setelah proses difusi ke dalam

18
organisme sehingga DNA akan kehilangan struktur helix dan kerusakan untai.

Akibatnya terjadi inhibisi sintesis protein dan kematian sel organisme sasaran.21

Pemberian obat-obatan lain seperti curcuma diindikasikan untuk

memperbaiki fungsi hati (terdapat peningkatan enzim hati pada pasien),

allopurinol untuk mengatasi peningkatan asam urat (11,8 mg/dl), ketorolac yang

merupakan obat golongan nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAID) yang

bekerja dengan memblok produksi substansi alami tubuh yang menyebabkan

inflamasi. Efek ini membantu mengurangi bengkak, nyeri, atau demam, dan

ranitidin untuk mengatasi nyeri ulu hati serta mencegah efek samping dari

antibiotik yang diberikan.

Pada pasien dengan pre-eklampsia/eklampsia, pembatasan cairan

disarankan untuk mengurangi risiko kelebihan cairan pada periode intrapartum

dan postpartum. Dalam keadaan biasa, total cairan harus dibatasi hingga 80

ml/jam atau 1 ml/kg/jam. Selama 20 tahun terakhir, edema paru telah menjadi

penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas pada kehamilan, di tandai dengan

sesak nafas mendadak, dapat disertai agitasi, dan merupakan manifestasi klinis

proses penyakit yang berat. Hal ini terjadi dikaitkan dengan manajemen cairan

yang tidak tepat. Tidak ada bukti manfaat cairan ekspansi dan pembatasan cairan

dikaitkan dengan hasil klinis yang baik pada ibu. Terapi meliputi oksigenasi,

ventilasi, dan kontrol sirkulasi dengan venodilator.2,10

Persalinan merupakan satu-satunya pengobatan yang efektif untuk pre-

eklmapsia/eklampsia dan gejala klinis serta kelainan laboratorium biasanya

menurun beberapa jam setelah persalinan, meskipun resiko komplikasi masih ada

19
setelah beberapa jam pasca persalinan.11Keputusan untuk melahirkan harus dibuat

setelah kondisi ibu stabil dan spesialis senior telah ada. Jika janin kurang dari 34

minggu kehamilan maka persalinan dapat ditunda, kortikosteroid

seharusnyadiberikan, meskipun setelah 24 jam manfaat dari manajemen

konservatif harus dinilai kembali.Manajemen konservatif pada usia kehamilan

sangat dini dapat meningkatkan hasil perinatal tetapi harus tetap memantau

kondisi kesejahteraan ibu.Cara persalinan harus ditentukan setelah

mempertimbangkan presentasi dan kondisi janin, bersama dengan kemungkinan

keberhasilan induksi persalinan setelah penilaian serviks.17

Dalam semua situasi, persalinan terencana harus disepakati oleh ahli

terkait. Persalinan pervaginamumumnya lebih disukai tetapi, jika kehamilan di

bawah 32 minggu, operasi caesar lebih mungkin dilakukan dimana keberhasilan

induksi berkurang. Setelah 34 minggu dengan presentasi kepala, persalinan

pervaginamseharusnya dipertimbangkan. Spesialisobstetri harus mendiskusikan

cara persalinan dengan ibu. Perawatan anti-hipertensiharus dilanjutkan selama

penilaian dan persalinan.17

Pada kasus ini, pasien datang dengan kala 1 fase laten. Pada

pemeriksaan obstetri, ditamukan denyut jantung janin (-). Awalnya pasien

direncanakan untuk mendapatkan seksio sesarea emergensi, akan tetapi setelah

dilakukan pemeriksaan ulang dan dengan kondisi ibu yang stabil maka

persalinan dilakukan secara normal.

Pada pasien ini, dilakukan induksi dengan menggunakan oksitosin oleh

sejawat obstetri. Induksi persalinan diperlukan apabila ketuban pecah dini,

20
kehamilan lewat waktu, oligohidramnion, korioamnionitis, preeklampsi

berat/eklampsia, intrauterine fetal death (IUFD) dan pertumbuhan janin

terhambat (PJT), insufisiensi plasenta, dan perdarahan antepartum. Induksi

diindikasikan hanya untuk pasien yang kondisi kesehatannya atau kesehatan

janinnya berisiko jika kehamilan berlanjut. Induksi persalinan mungkin

diperlukan untuk menyelamatkan janin dari lingkungan intra uteri yang potensial

berbahaya pada kehamilan lanjut untuk berbagai alasan atau karena kelanjutan

kehamilan membahayakan ibu. Pasien ini termasuk indikasi dilakukannya induksi

persalinan karena adanya ketuban pecah dini, eklampsi, serta IUFD.22

Pre-eklampsia-eklampsia merupakan penyebab utama mortalitas dan

morbiditas utama pada bayi. Pada eklampsia, hipoksemia ibu dan hiperkarbia

menyebabkan denyut jantung janin dan aktivitas uterus berubah selama dan segera

setelah kejang akibat berkurangnya aliran darah uterus. Pelacakan detak jantung

janin dapat menunjukkan bradikardia, deselerasi lambat sementara, menurunkan

variabilitas beat-to-beat, dan takikardia kompensasi. Perubahan ini biasanya

menghilang secara spontan dalam 3 hingga 10 menit setelah penghentian kejang

dan koreksi hipoksemia ibu. Ini bukan saatnya untuk melahirkan janin secara

darurat. Interval waktu optimal antara kejang dan persalinan belum diklarifikasi.

Kekhawatiran tentang keterlambatan persalinan dapat menyebabkan komplikasi

multiorgan, sistem saraf pusat ibu, dan solusio plasenta.8

Setelah persalinan, tanda-tanda vital wanita dengan eklampsia harus

dipantau ketat, asupan dan keluaran cairan, serta gejala selama setidaknya 48 jam.

Magnesium sulfat intravena umumnya berlanjut selama 24-48 jam, dan obat

21
antihipertensi tetap digunakan digunakan jika TD sistolik setidaknya 155mm Hg

atau jika diastolik setidaknya 105mm Hg. Selama periode postpartum, terdapat

mobilisasi cairan ekstraseluler, dengan peningkatan risiko edema paru dan

hipertensi berat postpartum, terutama dalam kasus-kasus dengan solusio plasenta,

fungsi ginjal abnormal, dan riwayat hipertensi kronis sebelumnya.8

Pada periode post partum, pasien diberikan asam traneksamat 1 gram

setiap 8 jam. Penggunaan asam traneksamat secara intravena dapat mengurangi

risiko kematian ibu akibat perdarahan post partum. Panduan dari World Health

Organization (WHO) 2017 menyatakan bahwa asam traneksamat (1 gram secara

intravena) sebaiknya diberikan sesegera mungkin setelah onset perdarahan dan

sebelum 3 jam. Rekomendasi ini dianjurkan untuk segala jenis perdarahan post

partum tanpa memedulikan penyebabnya. Hal ini berbeda dengan rekomendasi

sebelumnya (WHO 2012) yang menyatakan bahwa asam traneksamat digunakan

untuk kasus trauma jalan lahir atau atonia uteri yang tidak berhenti dengan obat

golongan uterotonik.23

Secara umum, manajemen eklmapsia dapat dilihat pada bagan berikut.


Bagan. Manajemen eklampsi17

22
KESIMPULAN

23
Preeklampsia/eklampsia merupakan penyebab utama morbiditas dan

mortalitas ibu dan bayi di dunia khususnya negara-negara sedang berkembang.

Oleh karena itu, preeklampsia-eklampsia perlu mendapatkan perawatan intensif

antepartum, intrapartum juga pascapersalinan.Perawatan dasar eklampsi yang

utama adalah terapi suporting untuk stabilisasi fungsi vital, yang meliputi Airway,

Breathing, Circulation (ABC), mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi

hipoksemia, dan asidemia mencegah trauma pada pasien pada waktu kejang,

mengandalikan tekanan darah, khususnya pada waktu krisis hipertensi, serta

melahirkan janin pada waktu dan cara yang tepat.

DAFTAR PUSTAKA
1. Motiang M. Obstetric patients admitted to theintensive care unit ofDr George
Mukhari cademic Hospital, Ga-Rankuwa,South Africa.S Afr J Crit
Care2017;33(1):12-14.
2. Myrtha R. Penatalaksanaan Tekanan Darah pada Preeklampsi. CDK,
2015:42(4):262-66.
3. Saphiro J.M. Critical Care of Obstetric Patient. Sage, Augs 2006:278-86.

24
4. Fatmawati L, Sulistyono A, Notobroto HB. Pengaruh Stratus Kesehatan Ibu
Terhadap Derajat Preeklampsia/Eklpampsia di Kabupaten Gresik. Buletin
Penelitian Sistem Kesehatan, 2017:20(2);52-58
5. World Health Organization. WHO Recommendation for Prevention and
Treatment fo Pre-eclampsia and Eclampsia. 2011
6. Kansaria J, Parulekar S. Critical Care in Preeclampsi – Eclampsia. Bombay
Hospital Journal, 2008:50(1);19-25
7. Roberts J et all. Hypertension in Pregnancy. The American Collage and
Obstetrician and Gynecologyst. 2013
8. Gasnier R. Eclampsia: an Overview Clinical Presentation, Diagnosis, and
Managemant. MOJ Women’s Health, 2016:3(2);182-7.
9. Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta: PT Bina Pustaka.
2010
10. Sidhu H, Harper A, Atamney MC, et all. Managemant of Severe Pre-
eclampsia and Eclampsia. Gain, 2012.
11. Uzan J, Carbonnel M, Piconne O, Asmar R, Ayoubi J. Pre-Eclampsia:
Patophysiology, Diagnosis, and Management. Vaskular Health and Risk
Managemant 2011:7;467-74
12. Cunningham, F.G.et al. Hipertensive Disorder in Pregnancy. In: Williams
Obstetrics-22nd Edition. USA: Mc Graw Hill co. 2005.
13. Hladunewich M, Karumanchi A, Lafayette R. Pathophysiology of The
Clinical Manifestations of Preeclampsi. Clin J Am Soc Nephrol, 2007:2;543-
49.
14. Williams KP, Galarneau F. Patophysiology of Eclampsia. Clinics Mother
Child Health, 2015:12(4).
15. Soto JAV, Narváes CMV, Vega CB, et all. Severe Pre-Eclampsia: Obstetrics
Critical Care Unit of Hospital General De Mexico. Experience During 2014.
Obstet Gynecol Int J. 2015:2(6).
16. Powe CE, Levine RJ, Karumanchi SA. Pre-eclampsia, A Disease of the
Maternal Endothelium: The Role of Antiangiogenic Factors and Implications
for Later Cardiovascular Disease. Circulation 2011:123;2856-69.
17. RCOG. The Management of Severe Preeclmpsia/Eclampsia. RCOG Guidline,
2010:10(A)
18. Andalas M, Ramadhan A, Rudiyanto. Eklampsia Post Partum: Sebuah
Tinjauan Kasus. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala, 2017:17(1);33-37.

25
19. ACOG. ACOG Practice Bulletin: Diagnosis and Management of
Preeclampsia and Eclampsia. The American College of Obstetricians and
Gynecologists Number 33.2002:1
20. Dennis AT, Solnordal CB. Acute Pulmonary Oedema in Pregnant Women.
Anaesthesia. 2012;67:646-59.
21. Zazuli Z, Sukandar E, Lisni I. Evaluasi Penggunaan Obat Pada Pasien Bedah

di Rumah Sakit Swasta di Bandung. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, Juni

2015:4(2);87-97.
22. Nyoman N, Weking JM, Fauziah N. Kajian Penggunaan Misoprostol dan

Oksitosin Sebagai Penginduksi Persalinan di RSUD Kota Bandung. Jurnal

Kesehatan Bakti Tunas Husada, 2017:17(2);253-60


23. Livia P. Efektivitas dan Keamanan Asam Traneksamat untuk Perdarahan Post

Partum. Mark Oniffrey; Wikimedia Commons. 2017

26

Anda mungkin juga menyukai