Anda di halaman 1dari 97

DIPUBLIKASIKAN OLEH

FAKULTAS PARIWISATA UNIVERSITAS UDAYANA

Analisis Pariwisata terbit sebagai media komunikasi dan informasi ilmiah kepariwisataan, yang
memuat tentang hasil ringkasan penelitian, survei dan tulisan ilmiah populer kepariwisataan. Redaksi
menerima sumbangan tulisan para ahli, staf pengajar perguruan tinggi, praktisi, mahasiswa yang
peduli terhadap pengembangan pariwisata. Redaksi dapat menyingkat atau memperbaiki tulisan yang
akan dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya.

SUSUNAN PENGURUS JURNAL ANALISIS PARIWISATA

Penanggung Jawab
Drs. I Putu Anom, M.Par. (Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)

Penasehat
Dra. Ida Ayu Suryasih, M.Par. (Pembantu Dekan I Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)
Dra. Ni Made Oka Karini, M.Par. (Pembantu Dekan II Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)
I Nyoman Sudiarta, SE., M.Par. (Pembantu Dekan III Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)

Ketua Dewan Penyunting


Drs. Ida Bagus Ketut Astina, M.Si.

Penyunting Ahli (Mitra Bestari)


▪ Prof. Adnyana Manuaba, ▪ Prof. Ir. Wiendu Nuryanti, M.Arch. Ph.D.
M.Hons.F.Erg.S.FIPS,SF. Universitas Gajah Mada
Universitas Udayana ▪ Prof. Dr. Ir. I Gede Pitana, M.Sc.
▪ Prof. Dr. I Wayan Ardika, MA. Universitas Udayana
Universitas Udayana ▪ Prof. Dr. I Made Sukarsa, SE., MS.
▪ Prof. Dr. Michael Hichcoch Universitas Udayana
University of North London ▪ Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH., MS.
▪ Prof. Dae-Sik Je, M.Pd. Universitas Udayana
Young San University – Korsel. ▪ Dr. Hans-Henje Hild
SES Bonn – Germany

Penyunting Pelaksana
▪ I Wayan Suardana, SST.Par., M.Par. ▪ I Nyoman Sukma Arida, S.Si., M.Si.
▪ IGA. Oka Mahagangga, S.Sos., M.Si. ▪ Yayu Indrawati, SS., M.Par.
▪ I Made Kusuma Negara, SE., M.Par. ▪ I Gde Indra Bhaskara, SST.Par., M.Sc.
▪ Made Sukana, SST.Par., M.Par., MBA. ▪ I Gst. Bagus Sasrawan Mananda, SST.Par.

Tata Usaha dan Pemasaran


▪ AA. Ketut Muliatini, S.Pd. ▪ Wayan Sudarma, SH.
▪ AA. Ketut Muliatini, S.Pd. ▪ I Gusti Putu Setiawan, SH.

ALAMAT PENYUNTING DAN TATA USAHA


Fakultas Pariwisata Universitas Udayana
Jl. Dr. R. Goris 7 Denpasar Bali, Telp/Fax : 0361-223798
E-mail : analisispariwisata@par.unud.ac.id

Cover Depan Analisis Pariwisata : Pantai Lovina, Kab. Buleleng, Bali (Kusuma, 2008)
© Fakultas Pariwisata Universitas Udayana Denpasar, Juli 2012

VOL. 12, NO. 1, 2012


PENGANTAR REDAKSI ANALISIS PARIWISATA

Majalah Analisis Pariwisata Volume 12, Nomor 1, Tahun 2012 mengangkat topik, ”Pilihan
Pengembangan Pariwisata” sebagai suatu upaya publikasi temuan dari hasil penelitian terbaru. ”Pilihan
Pengembangan Pariwisata” diarahkan untuk kembali mengingatkan bahwa pariwisata senantiasa dinamis
namun tetap harus dipelajari dan dimaknai proses dari perjalanan kepariwistaan tersebut. Begitu banyak
”pilihan-pilihan” justru mengharuskan para pemegang kebijakan dan para praktisi semakin bijaksana dan
tidak hanya ”taken for granted” tanpa memilah dampak-dampak negatif yang mungkin ditimbulkan.

Tulisan pertama dari I Made Kusuma Negara berjudul ”Potensi Ikan Air Tawar di Danau Batur
sebagai Pengembangan Wisata Alternatif”. Dikatakan Kab. Bangli masih menyimpan potensi pariwisata
yaitu ikan air tawar, jika dikelola dengan baik diyakini akan mampu membantu meningkatkan PAD dari
sektor pariwisata.

Tulisan kedua masih menyinggung wisata alternatif berjudul ”Analisis Kelayakan Desa Bedulu
sebagai Desa Wisata di Kab. Gianyar (Kajian Aspek Pasar dan Pemasaran)” oleh I Gusti Putu Bagus
Sasrawan Mananda. Hasil penelitiannya menunjukkan pentingnya kajian aspek pasar dan pemasaran agar
pengembagan suatu wisata alternatif seperti desa wisata tidak mubazir.

Tulisan ketiga berjudul ”Desa Wisata Berbasis Masyarakat sebagai Model Pemberdayaan
Masyarakat di Desa Pinge” oleh I Made Adikampana. Desa wisata Pinge terletak di Kab. Tabanan dan saat
ini sedang giat menata desa untuk menarik perhatian wisatawan. Tulisan ini menekankan aspek
perencanaan pariwisata dengan perspektif pemberdayaan masyarakat.

Tulisan keempat berjudul ”Karakteristik Restoran India sebagai Sarana Wisata Baru di Kawasan
Wisata, Kuta, Nusa Dua dan Ubud oleh Ni Made Ariani dkk. Pangsa pasar wisatawan sebagai ”the sleeping
giant” menuntut praktisi pariwisata untuk menyiapkan infrastruktur memadai dalam kasus penelitian ini
adalah restoran India di Bali yang memiliki keseragaman karakter.

Tulisan kelima datang dari pulau Borneo berjudul,”Persepsi Pengunjung Terhadap Kualitas
Pelayanan pada Museum Mulawarman Tenggarong” oleh A. Rinto Dwi Atmojo. Disampaikan berdasarkan
persepsi pengunjung, pihak pengelola harus lebih memperhatikan aspek perawatan dan aspek promosi
untuk semakin meningkatkan kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara ke museum Mulawarman.

Tulisan keenam dari I Putu Anom M. Par, berjudul”Potensi Kepariwisataan Provinsi Sulawesi
Selatan” yang mengulas tentang beraneka potensi yang belum tergarap untuk pengembangan
kepariwisataan secara berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan.

Tulisan ketujuh dari I Gusti Agung Oka Mahagangga dkk berjudul”Peran dan Kendala Pemulihan
Pariwisata Bali Pascabom (Suatu Kasus Disparda Provinsi Bali)” mengungkapkan secara sintetis-diakronik
mengenai upaya dan kendala pemerintah mengatasi krisis pariwisata pascabom sebagai upaya
pembelajaran jika peristiwa serupa terulang maka sudah disiapkan langkah-langkah strategik untuk
mengatasinya.

Tulisan kedelapan berjudul”Prilaku Berbahasa Wisatawan Jepang di Bali sebagai Pencerminan


Karakteristik Wisatawan Jepang” oleh I Made Sendra yang disajikan secara komprehensif dan menarik
yang dapat dijadikan pedoman baku bagi para guide Jepang sebagai bekal komunikasi lintas budaya
dalam dunia kepariwisataan.

Beberapa tulisan ilmiah tersebut diharapkan mampu memenuhi dahaga para akademisi,
mahasiswa dan stakeholders pariwisata termasuk para praktisi yang hingga saat ini masih sulit
mendapatkan literatur-literatur ilmiah bidang pariwisata di Indonesia. Besar harapan tim redaksi agar
kedepannya segenap pihak, yang terjun di sektor primadona ini dapat menyumbangkan banyak
sumbangan pemikiran, kritik, saran dan masukan dalam tulisan ilmiah melalui jurnal majalah analisis
pariwisata, Fakultas Pariwisata-Universitas Udayana.

Denpasar, Juli 2012

Redaksi

VOL. 12, NO. 1, 2012


PERSYARATAN NASKAH UNTUK ANALISIS PARIWISATA

1. Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang belum pernah dipublikasikan
sebelumnya.
2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris (abstrak bahasa Inggris). Abstrak tidak
lebih dari 250 kata dengan disertai 3-5 istilah kunci (keywords). Naskah berupa ketikan asli dan
CD dengan jumlah maksimal 15 halaman ketikan A4 spasi 1½, kecuali abstrak, tabel dan
kepustakaan.
3. Naskah ditulis dengan batas 2,5 cm dari kiri dan 2 cm dari tepi kanan, bawah dan atas.
4. Judul singkat, jelas dan informatif serta ditulis dengan huruf besar. Judul yang terlalu panjang
harus dipecah menjadi judul utama dan anak judul.
5. Nama penulis tanpa gelar akademik, alamat e-mail dan asal instansi penulis ditulis lengkap.
6. Naskah hasil penelitian terdiri atau judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, tinjauan pustaka
dan metode, hasil dan pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan.
7. Naskah kajian pustaka terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, masalah,
pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan.
8. Tabel, grafik, histogram, sketsa dan gambar harus diberi judul serta keterangan yang jelas.
9. Dalam mengutip pendapat orang lain, dipakai sistem nama penulis dan tahun. Contoh : Astina
(1999); Suwena et al. (2001).
10. Kepustakaan memakai “harvard style” disusun menurut abjad nama penulis tanpa nomer urut.
a. Untuk buku : nama pokok dan inisial pengarang, tahun terbit, judul, jilid, edisi, tempat
terbit dan nama penerbit.
Picard, Michael. 1996. Cultural Tourism and Touristic Culture. Singapore: Archipelago
Press.
b. Karangan dalam buku : nama pokok dari inisial pengarang, tahun terbit, judul karangan,
inisial dan nama editor : judul buku, hal permulaan dan akhir karangan, tempat terbitan
dan nama penerbit.
McKean, Philip Frick. 1978. “Towards as Theoretical analysis of Tourism: Economic Dualism
and Cultural Involution in Bali”. Dalam Valena L. Smith (ed). Host and Guests: The
Antropology of Tourism. Philadelphia : University of Pensylvania Press.
c. Untuk artikel dalam jurnal: nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul karangan,
singkatan nama majalah, jilid (nomor), halaman permulaan dan akhir.
Pitana, I Gde. 1998. “Global Proces and Struggle for Identity: A Note on Cultural Tourism in
Bali, Indonesia” Journal of Island Studies, vol. I, no. 1, pp. 117-126.
d. Untuk Artikel dalam format elektronik : Nama pokok dan inisial, tahun, judul, waktu,
alamat situs.
Hudson, P. (1998, September 16 - last update), "PM, Costello liars: former bank chief", (The
Age), Available: http://www.theage.com.au/daily/980916/news/news2.html
(Accessed: 1998, September 16).
11. Dalam tata nama (nomenklatur) dan tata istilah, penulis harus mengikuti cara penulisan yang
baku untuk masing-masing bidang ilmu.
12. Dalam hal diperlukan ucapan terima kasih, supaya ditulis di bagian akhir naskah dengan
menyebutkan secara lengkap : nama, gelar dan penerima ucapan.

VOL. 12, NO. 1, 2012


DAFTAR ISI

POTENSI IKAN AIR TAWAR DI DANAU BATUR


SEBAGAI PENGEMBANGAN WISATA ALTERNATIF _________________ (1 – 12)
I Made Kusuma Negara

ANALISIS KELAYAKAN DESA BEDULU SEBAGAI DESA WISATA


DI KABUPATEN GIANYAR (KAJIAN ASPEK PASAR
DAN PEMASARAN) ________________________________________ (13 – 29)
I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda

DESA WISATA BERBASIS MASYARAKAT


SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
DI DESA PINGE ___________________________________________ (30 – 36)
I Made Adikampana

KARAKTERISTIK RESTORAN INDIA SEBAGAI SARANA


WISATA BARU DI KAWASAN WISATA KUTA,
NUSA DUA DAN UBUD _____________________________________ (37 – 46)
Ni Made Ariani, Ni Nyoman Sri Aryanti,
I Gusti Agung Oka Mahagangga

PERSEPSI PENGUNJUNG TERHADAP KUALITAS PELAYANAN


PADA MUSEUM MULAWARMAN TENGGARONG ___________________ (47 – 53)
A. Rinto Dwi Atmojo

POTENSI KEPARIWISATAAN PROVINSI SULAWESI SELATAN _________ (54 – 61)


I Putu Anom

PERAN DAN KENDALA PEMULIHAN PARIWISATA BALI PASCABOM


(SUATU KASUS DISPARDA PROVINSI BALI) ______________________ (62 – 78)
I Gusti Agung Oka Mahagangga, Putu Agus Wikanatha Sagita,
Ida Ayu Ratih

PERILAKU BERBAHASA WISATAWAN JEPANG DI BALI


SEBAGAI PENCERMINAN KARAKTERISTIK
WISATAWAN JEPANG ______________________________________ (79 – 93)
I Made Sendra

VOL. 12, NO. 1, 2012


Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 1

POTENSI IKAN AIR TAWAR DI DANAU BATUR


SEBAGAI PENGEMBANGAN WISATA ALTERNATIF

I Made Kusuma Negara


kusumatourism@gmail.com
Dosen Fakultas Pariwisata Unud

Abstract

Bali is the common destination for foreign traveller as well as domestic


traveller. The problem that often arises is the inequality of economic development of
tourism. Bangli District’s PAD is lowest in Bali and they need to explore their
potential. Batur Lake’s fish are potentially as an alternative tourism. The purpose of
this research is to analyze the public perception related to Batur Lake’s Fishery as an
alternative tourism development.
In order to achieve the purpose of this research, sampling is done by 100
respondents. There are two variables which divided into two parts: physical and non-
physical. Perception index is used in analysing data.
Based on the analysing result, there is one conclusion that the public
perception related to Batur Lake’s Fishery as an alternative tourism development is as
good as what they expected, physicaly and non-physicaly. The potential of Batur
Lake’s fishery are supported by the community. There are work ethic variable’s has
the highest perception index, and location variabel’s have the lowest perception
index.

Key words: public perceptions, tourism potential, and alternative tourism.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pariwisata Bali telah tumbuh dan berkembang sedemikian rupa memberikan
sumbangan yang besar terhadap pembangunan daerah dan masyarakat Bali baik secara
langsung maupun tidak langsung. Meskipun pariwisata Bali diguncang oleh berbagai
fenomena seperti, isu virus SARS, teror Bom Bali dan berbagai permasalahan
keamanan, pariwisata Bali tetap berupaya untuk menjadi daya tarik wisata utama di
Indonesia bahkan di dunia. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, stakeholders
pariwisata, pihak keamanan bahkan oleh masyarakat untuk membuat wisatawan
domestik maupun mancanegara tetap tertarik mengunjungi pulau dewata.
Pariwisata ternyata memberikan peran yang sangat besar bagi penggerak roda
perekonomian masyarakat Bali. Harus disadari Bali tanpa pariwisata maka Bali akan
kehilangan segalanya bahkan mungkin kebudayaannya yang sudah tersohor itu dapat
lenyap begitu saja. Pariwisata Bali dengan demikian sangat mengandalkan destinasi
wisata dan atraksi wisata yang dimiliki untuk tetap menarik perhatian wisatawan.
Pengembangan pariwisata dengan berbagai potensi terus diupayakan untuk tetap
menjaga bahkan semaksimal mungkin memacu pertumbuhan ekonomi dari sektor
pariwisata.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 2

Kehadiran pariwisata yang diikuti oleh berkembangnya sektor industri jasa


pariwisata memberikan multiplayer effect bagi seluruh masyarakat Bali bahkan bagi
beberapa pulau di sekitar Bali hingga ke Jakarta sebagai pusat pemerintahan
Indonesia. Industri jasa pariwisata berkembang hingga ke pelosok-pelosok desa di Bali
yang semula mengandalkan sektor pertanian perlahan berubah bertumpu kepada
sektor pariwisata.
Fakta ini ternyata menimbulkan beberapa permasalahan seperti tidak
meratanya pembangunan ekonomi, terputusnya suatu tradisi masyarakat agraris dan
terjadinya perubahan pola pikir masyarakat bahwa berkecimpung di dunia pariwisata
lebih ”menjanjikan” dari pada harus bergelut dengan lumpur dalam mengolah tanah
persawahan yang mereka miliki.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Bangli, kawasan wisata Kintamani, tepatnya
penyeberangan menuju Desa Trunyan. Pencitraan buruk telah di bangun oleh beberapa
oknum sehingga membuat banyak wisatawan kecewa bahkan trauma. Keadaan ini
membuat hampir seluruh biro perjalanan wisata di Bali memboikot sehingga tidak ada
wisatawan yang berkunjung ke Trunyan. Hingga kini pemulihan nama baik Trunyan
akan sulit dihidupkan kembali karena kebanyakan wisatawan sudah trauma dan
menginformasikan ketika mereka tiba kembali di negaranya bahwa Desa Trunyan tidak
pantas untuk dikunjungi.
Sebagai masyarakat Bali yang sangat mengandalkan pariwisata tentunya tidak
dapat hanya pesimis menindaklanjuti hal tersebut. Pencitraan desa Trunyan akan
dapat dibenahi jika semua komponen terlibat dan duduk bersama mencari pokok
permasalahannya. Kabupaten Bangli yang sejak dulu PAD-nya selalu paling rendah di
Bali harus makin berbenah diri. Potensi yang dimiliki oleh kabupaten berhawa sejuk ini
sangat banyak, namun sayangnya masih belum tertata dengan baik. Sektor pertanian
yang sangat menjanjikan ditambah dengan sumber daya alam seperti Danau Batur yang
berpotensi pula untuk pengembangan sektor perikanan. Secara teoritis, banyak tipe
wisata alternatif yang dapat dikembangkan di Kabupaten Bangli. Seperti misalnya
ekowisata, agrowisata atau wisata alam yang dapat disesuaikan dengan potensi yang
dimiliki.
Pengembangan sektor primer di Bangli masih memiliki potensi besar melalui
usaha intensifikasi, yaitu peningkatan produksi per satuan luas dengan menggunakan
teknologi kimia-biologi seperti penggunaan varietas unggul, pupuk organik/anorganik,
teknologi mekanik dan teknologi budidaya. Kabupaten Bangli yang potensial unggul
adalah komoditas kopi arabika, sapi potong, ayam petelur, dan ikan air tawar. Pilihan
komoditi unggulan ini sesuai dengan potensi serta dukungan iklim dan alam topografi
kabupaten Bangli.
Meski Bangli merupakan satu-satunya kabupaten yang tidak memiliki panorama
pantai seperti halnya kabupaten lain, namun di Bangli terdapat objek Gunung Batur
dan juga Danau Batur yang merupakan danau terluas di Pulau Bali. Selain menawarkan
keindahannya, potensi-potensi alam ini juga dapat dimanfaatkan oleh penduduk
sekitar untuk mengembangkan usaha lain, yaitu membudidayakan ikan air tawar yaitu
ikan nila. Dibudidayakannya ikan nila di danau Batur tidak terlepas dari beberapa
karakteristik yang dimiliki antara lain : (i) cukup tahan terhadap penyakit; (ii) tahan
terhadap kualitas air yang jelek; (iii) memiliki kemampuan untuk beradaptasi pada
berbagai lingkungan; (iv) punya kemampuan untuk membentuk protein dari bahan
organik; dan (v) mudah tumbuh dalam sistem budidaya yang intensif (Bappeda Bangli,
2010).
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 3

Sebagai salah satu sub sistem agribisnis yaitu sub sektor usaha tani. Budi daya
ikan nila dalam jakapung memiliki potensi yang menjanjikan. Dengan hasil ikan yang
tidak berbau tanah (karena tidak sempat menyentuh tanah), budidaya ikan nila dalam
jakapung dapat dikatakan sebagai produk unggulan daerah yang memiliki daya saing
dengan memanfaatkan keunggulan komparatif yang dimiliki Kabupaten Bangli berupa
potensi Danau Batur.
Jika pembudidayaan ikan nila dalam jakapung telah mencapai angka maksimal,
diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yakni kemiskinan dan tenaga kerja
khususnya di pedesaan. Kemiskinan disini diartikan sebagai kemiskinan penduduk
terutama di pedesaan, maka dari itu dimaksimalkannya pembudidayaan ikan nila
dalam jakapung dimaksudkan agar petani nelayan tidak menganggur dan masalah
tenaga kerja sedikit demi sedikit teratasi terutama untuk penduduk yang bertempat
tinggal di desa sekitar Danau Batur (dalam lingkup mikro).
Dimaksimalkannya budidaya ikan nila dalam Jakapung diharapkan diikuti dengan
hasil produksi ikannya pun meningkat. Ikan nila Danau Batur yang banyak diminati
karena selain sehat, tidak bau dan tidak kotor ini nantinya bisa diekspor sehingga
pendapatan untuk kabupaten meningkat. Saat ini produksi ikan nila Danau Batur baru
dimanfaatkan oleh penduduk untuk bisnis restoran yang menyediakan menu ikan nila
Danau Batur.
Danau Batur memiliki potensi yang layak diperhitungkan untuk menunjang
kegiatan kepariwisataan. Beberapa petani nelayan sudah mencoba pembudidayaan
ikan air tawar yang hasilnya cukup menjanjikan. Tetapi pembudidayaan ini belum
secara serius digarap untuk kepentingan pariwisata yang seharusnya dapat memberikan
manfaat cukup besar bagi masyarakat lokal dan bagi para wisatawan. Pembudidayaan
ikan nila dalam jakapung di Danau Batur bisa menarik minat wisatawan lokal maupun
mancanegara untuk berkunjung dan melihat kegiatan petani nelayan dalam
memelihara ikan nila. Selain menikmati pemandangan indah Gunung Batur dan Danau
Batur, juga dapat menyaksikan secara langsung bagaimana pembudidayaan ikan nila di
Danau Batur. Wisatawan terutama wisatawan mancanegara dipastikan akan tertarik
untuk mengamati kegiatan tersebut.
Keberadaan restoran-restoran yang menyediakan menu olahan ikan nila Danau
Batur dapat dirancang sebagai finishing kegiatan berwisata di Batur. Adanya potensi
ikan air tawar sebagai pengembangan wisata alternatif di Danau Batur jika dapat
direalisasikan bukan tidak mungkin akan menambah PAD Pemkab Bangli dari sektor
pariwisata. Termasuk pula peran petani nelayan di sekitar Danau Batur tentunya akan
memperoleh peningkatan penghasilan dengan disajikannya berbagai paket tour melalui
pengembangan wisata alternatif seperti wisata alam maupun agrowisata.

1.2 Rumusan Masalah


Bertolak dari pemikiran diatas maka permasalahan dalam tulisan ini dapat
dirumuskan, yaitu : “Bagaimana persepsi masyarakat terhadap potensi ikan air tawar
di Danau Batur sebagai pengembangan wisata altenatif?”

1.3 Tujuan Penelitian


Adapun tujuan umum penelitian ini adalah sebagai untuk mengetahui persepsi
masyarakat terhadap potensi ikan air tawar di Danau Batur sebagai pengembangan
wisata alternatif.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 4

1.4 Manfaat Penelitian


1. Manfaat bagi pengembangan.
Penelitian ini merupakan kesempatan untuk dapat mengetahui peluang dan
dukungan untuk pengembangan potensi perikanan sebagai wisata alternatif.
2. Manfaat operasional berkaitan dengan kebijakan dan pebisnis pariwisata.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah maupun
swasta untuk pariwisata alternatif sebagai salah satu komponen penting dalam
pengambilan keputusan.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Persepsi
Rangkuti (2005) mengemukakan bahwa persepsi diidentifikasikan sebagai suatu
proses dimana individu memilih, mengorganisasikan, serta mengartikan stimulus yang
diterima melalui alat inderanya menjadi suatu makna. Meskipun demikian, makna dari
proses persepsi tersebut juga dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu individu yang
bersangkutan. Persepsi terhadap produk atau jasa berpengaruh terhadap tiga faktor,
yaitu :
1. Tingkat kepentingan.
Tingkat kepentingan didefinisikan sebagai keyakinan pelanggan sebelum mencoba
atau membeli produk atau jasa, yang akan dijadikan standar acuan dalam menilai
kinerja produk atau jasa tersebut. Terdapat dua tingkat kepentingan pelanggan,
yaitu :
a. Adequate service, yaitu kinerja jasa minimal yang masih dapat diterima
berdasarkan perkiraan jasa yang mungkin akan diterima dan tergantung pada
alternatif yang tersedia.
b. Desired service, yaitu tingkat kinerja jasa yang diharapkan diterima yang
merupakan gabungan dari kepercayaan mengenai apa yang dapat dan harus
diterimanya.
2. Kepuasan.
Kepuasan didefinisikan sebagai respons terhadap ketidaksesuaian antara tingkat
kepentingan sebelumnya dan kinerja aktual yang dirasakannya setelah pemakaian.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan, salah satunya adalah persepsi
mengenai kualitas jasa yang berfokus pada lima dimensi jasa. Selain itu juga
dipengaruhi oleh persepsi kualitas jasa, kualitas produk, harga, dan faktor-faktor
yang bersifat pribadi serta yang bersifat situasi sesaat. Persepsi mengenai kualitas
jasa tidak mengharuskan pelanggan menggunakan jasa tersebut terlebih dahulu
untuk memberikan penilaian.
3. Nilai.
Nilai didefinisikan sebagai pengkajian secara menyeluruh manfaat dari suatu
produk, yang didasarkan pada persepsi atas apa yang telah diterima dan yang telah
diberikan oleh produk tersebut. Pengguna akan semakin loyal apabila produk atau
jasa tersebut semakin bernilai baginya.

2.2 Pariwisata Alternatif


Koslowski dan Travis dalam Sunarta (2002), pariwisata alternatif merupakan
suatu kegiatan kepariwisataan yang tidak merusak lingkungan, berpihak pada ekologis,
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 5

dan menghindari dampak negatif dari pembangunan pariwisata berskala besar yang
dijalankan pada suatu area yang tidak terlalu cepat pembangunannya.
Selain itu oleh Saglio, Bilsen, dan Gonsalves dalam Sunarta (2002) menyebutkan
bahwa pariwisata alternatif adalah kegiatan kepariwisataan yang memiliki gagasan
yang mengandung arti sebagai suatu pembangunan yang berskala kecil atau juga
sebagai suatu kegiatan kepariwisataan yang disuguhkan kepada wisatawan, dimana
segala aktivitasnya turut melibatkan masyarakat.
Holden dalam Sunarta (2002), pariwisata alternatif merupakan suatu proses
yang mempromosikan suatu destinasi yang kondisinya memang benar-benar layak dan
pantas diantara komunitas yang berbeda-beda, dimana diperlukan untuk memperoleh
pemahaman, solidaritas, dan kesamaan diantara seluruh komponen.
Middleton (1998), menyebutkan bahwa pariwisata alternatif merupakan suatu
bentuk produk pariwisata yang mempertimbangkan bahkan menuntut lebih akrab
lingkungan dan tidak merusak budaya.
Archer and Cooper (1993), menyatakan bahwa pariwisata alternatif merupakan
suatu pergerakan yang memiliki jalan keluar untuk “mengobati sakit” dari pariwisata
massal (Mass Tourism).
Cohen (1987) dalam Gartner (1996), menyebutkan bahwa pariwisata alternatif
bersumber dari dua pandangan ideologi yang sejaman, yaitu bahwa pariwisata
alternatif merupakan reaksi atas konsumerisme modern, dan pariwisata alternatif
merupakan reaksi dari eksploitasi yang dilakukan negara berkembang.
Butler dalam Gartner (1996) memaparkan dampak yang mungkin terjadi dari
adanya pariwisata alternatif terhadap aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi, yaitu
pada Tabel 2.1.
Variasi pariwisata alternatif dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Pariwisata Adventure
Merupakan suatu kegiatan pariwisata alternatif yang bernuansa petualangan
(Adventure). Petualangan dalam skala kecil dapat terdiri dari bird watching, scuba
diving, dalam skala menengah terdiri dari kegiatan yang bernuansa olah raga
seperti canoing, dan rafting. Sedangkan dalam skala besar meliputi kegiatan
petualangan seperti halnya taman safari.
2. Pariwisata Alam
Merupakan kegiatan pariwisata alternatif yang memfokuskan diri pada studi dan
observasi yang berkaitan dengan flora (tumbuhan) dan fauna (binatang), selain itu
juga berkaitan dengan kegiatan landscape.
3. Community Tourism
Community Tourism atau pariwisata kerakyatan merupakan suatu kegiatan
pariwisata yang dijalankan oleh rakyat, baik dari perencanaan sampai evaluasi dan
segala manfaat yang diperoleh dari kegiatan tersebut sepenuhnya untuk rakyat
yang bersangkutan.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 6

Tabel 2.1. Dampak yang Mungkin Terjadi dari Adanya Pariwisata Alternatif
Terhadap Aspek Sosial, Lingkungan, dan Ekonomi

Dampak
Sosial Lingkungan Ekonomi

A. Wisatawan
- Jumlah Positif Positif Negatif
- Tingkah Laku Dipertanyakan Sedikit Positif Negatif
- Lokasi Negatif Negatif Negatif
- Waktu Positif Negatif Positif
- Hubungan Negatif - Netral
- Kesamaan Negatif Sedikit Negatif Positif

B. Sumber Daya
- Kerapuhan Netral Negatif Netral
- Keunikan Netral Negatif Netral
- Kapasitas Netral Sedikit Positif Netral

C. Kegiatan Ekonomi
- Merugikan Positif Netral Negatif
- Kebocoran Sedikit Positif Netral Negatif

D. Politik
- Kontrol Lokal Positif Tidak Diketahui Netral
- Perencanaan Sedikit Negatif Tidak Diketahui Netral
Tambahan

Sumber : Butler dalam Gartner (1996)

III. METODE PENELITIAN


3.1 Lokasi dan Obyek Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Songan, Kecamatan Kintamani,
Kabupaten Bangli. Dipilihnya Desa Songan sebagai lokasi penelitian, karena pada lokasi
tersebut banyak ditemui masyarakat yang berorientasi pada ikan air tawar berupa ikan
nila. Obyek penelitian ini adalah masyarakat yang berorientasi pada ikan air tawar
berupa ikan nila.

3.2 Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang dipergunakan adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Data
kuantitatif berupa angka-angka yang berhubungan dengan perikanan air tawar,
sedangkan data kualitatif berupa penjelasan-penjelasan yang menyangkut perikanan
air tawar dan pariwisata di Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli
(Kusmayadi dan Sugiarto, 2000).
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer yaitu
data yang diperoleh berdasarkan observasi. Untuk mencapai tujuan penelitian, objek
penelitian (masyarakat) diajukan pertanyaan melalui kuisioner yang pertanyaannya
telah dipersiapkan sebelumnya (Rangkuti, 2005).
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 7

Selain itu, data sekunder juga dipergunakan dalam penelitian ini, dimana data
sekunder merupakan data yang diperoleh dari publikasi yang diterbitkan oleh berbagai
instansi yang berkaitan dengan perikanan air tawar, seperti BPS, Dinas Peternakan
Kabupaten Bangli, Dinas Pariwisata Kabupaten Bangli serta data sekunder oleh pihak-
pihak lain yang berhubungan dengan perikanan air tawar.

3.3 Penentuan Sampel


Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
purposive sampling (Dajan, 1993)). Besarnya sampel yang diambil sejumlah 100
responden yang terdiri dari masyarakat di Desa Songan, Kecamatan Kintamani,
Kabupaten Bangli.

3.4 Identifikasi Variabel


Untuk dapat menjawab pokok permasalahan tentang persepsi masyarakat
terhadap potensi ikan air tawar di Danau Batur sebagai pengembangan wisata
alternatif. Variabel-variabel yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu keberadaan
berupa potensi fisik dan potensi non fisik, seperti yang tersaji pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Variabel Persepsi Masyarakat terhadap Potensi Ikan Air Tawar
di Danau Batur sebagai Pengembangan Wisata Alternatif

Variabel
Tingkat I Tingkat II
- Jarak
- Lokasi
Potensi Fisik - Aksesibilitas
- Fasilitas penunjang
- Petunjuk dan informasi
- Etos kerja
Potensi Non Fisik - Mentalitas
- Sikap masyarakat
Sumber : Berdasarkan Hasil Observasi, 2011

3.5 Definisi Operasional Variabel


Definisi operasional berbagai variabel dalam penelitian ini yaitu :
1. Potensi fisik, berupa jarak menuju Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten
Bangli, kebersihan lokasi budi daya ikan air tawar, aksesibilitas menuju Desa
Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, fasilitas penunjang berupa
fasilitas keamanan dan kesehatan, serta petunjuk dan informasi fasilitas di lokasi
budi daya ikan air tawar.
2. Potensi non fisik, berupa etos kerja masyarakat sekitar untuk terlibat dalam
pengembangan wisata alternatif ikan air tawar, mentalitas masyarakat sekitar
dalam kesiapannya mengelola wisata alternatif ikan air tawar, dan sikap
masyarakat sekitar untuk terlibat dalam pengembangan wisata alternatif ikan air
tawar.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 8

3.6 Teknik Analisis Data


Guna menjawab pokok permasalahan, maka digunakan analisis deskriptif
kuantitatif dengan indeks persepsi. Sebelum menentukan indeks persepsi, ukuran
persepsi dari responden diukur melalui skala Likert. Skala ini merupakan alat untuk
mengukur sikap dari keadaan yang sangat positif ke jenjang yang sangat negatif, untuk
menunjukkan sejauh mana tingkat penilaiannya terhadap pertanyaan yang diajukan
(Kusmayadi dan Sugiarto, 2000). Dalam penelitian ini, responden harus memilih satu
dari lima alternatif penilaian, yaitu : Skor 1 = Sangat buruk, Skor 2 = Buruk, Skor 3 =
Cukup, Skor 4 = Baik, dan Skor 5 = Sangat baik.
Dari kelima skala penilaian diatas, dapat dirumuskan interval untuk masing-
masing kelas (Dajan, 1993), yaitu : Interval = R / k
dimana : R = Nilai skor tertinggi – nilai skor terendah.
k = Jumlah skala penilaian.
Dari perhitungan dengan menggunakan rumus diatas, dapat diketahui bahwa
interval sebesar 0,8. Berdasarkan interval ini, maka dapat ditentukan skala penilaian
seperti yang disajikan pada Tabel 4.2. Indeks persepsi baik secara parsial maupun
secara simultan yang diperoleh dengan selanjutnya akan diinterpretasikan dengan
berpedoman pada skala penilaian yang terdapat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Interval Kelas yang Dijadikan Dasar Pemikiran

No. Interval Penilaian


1 1,00 – 1,79 Sangat buruk
2 1,80 – 2,59 Buruk
3 2,60 – 3,39 Cukup
4 3,40 – 4,19 Baik
5 4,20 – 5,00 Sangat baik
Sumber : Kusmayadi dan Sugiarto, 2000.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Gambaran Umum Sektor Perikanan dan Pariwisata Kab. Bangli
4.1.1 Sektor Perikanan
Budidaya perikanan di Danau Batur memiliki peranan yang strategis sebagai
sumber pertumbuhan baru dalam upaya meningkatkan perekonomian Kabupaten Bangli
di masa mendatang. Kontribusi perikanan terhadap PDRB 0,44% di tahun 2008 relatif
dibandingkan tahun 2004 sebesar 0,40%. Komoditi perikanan yang paling potensial
untuk dikembangkan di Danau Batur dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA) adalah
ikan nila. Adapun luas lahan yang baru dimanfaatkan rata-rata 0,8 Ha per tahun dari
potensi lahan perairan Danau Batur yang dapat dikembangkan masih sangat luas yaitu
maksimal 5-10% dari luas perairan Danau Batur sebesar 1.607,50 Ha. Adapun benih ikan
yang dihasilkan rata-rata pertahunnya sebesar 8.394.120 ekor/tahun dengan luas
pembenihan rata-rata 5,59 Ha (Pemkab Bangli, 2009).

4.1.2 Sektor Pariwisata


Pariwisata Kabupaten Bangli telah tumbuh dan berkembang dan telah
memberikan sumbangan yang besar terhadap pembangunan masyarakatnya. Dalam
kurun lima tahun, sarana akomodasi sebagai sarana pokok pariwisata telah mampu
menyediakan kamar hotel rata-rata sebanyak 239 kamar. Sebagai pasar wisata yang
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 9

juga diperhitungkan, dalam kurun lima tahun telah mencapai angka 279.464 orang
wisatawan manca negara dan 69.680 orang wisatawan nusantara. Sedangkan komposisi
kunjungan antara wisatawan manca negara dengan nusantara perbandingannya adalah
rata-rata 80% berbanding 20% (BPS, 2010).
Kunjungan wisatawan, baik manca negara maupun nusantara tidak terlepas dari
beragamnya daya tarik wisata yang dimiliki Kabupaten Bangli. Daya tarik tersebut di
katagorikan menjadi tiga, yaitu : (1) daya tarik wisata yang sudah dikembangkan, (2)
daya tarik wisata sedang dikembangkan, dan (3) daya tarik wisata yang belum
dikembangkan. Dari 32 daya tarik wisata yang dimiliki Kabupaten Bangli, terlihat
bahwa sebagian besar atau 68,76% daya tarik wisata tersebut belum dikembangkan
yang tersebar di Kecamatan Bangli, Susut, Tembuku, dan Kintamani. Hanya 18,75%
saja daya tarik wisata di Kabupaten Bangli yang telah dikembangkan dan sebagian
besar berlokasi di Kecamatan Kintamani, dan sisanya berlokasi di Kecamatan Bangli.
Sedangkan daya tarik yang sedang dikembangkan sebesar 12,50%, sebagian besar
berlokasi di Kecamatan Bangli, yaitu : Desa Adat Pengotan, Taman Bali Raja, dan
Kolam Renang Seganing (Bappeda Pemkab Bangli, 2011).

4.2 Karakteristik Responden


Responden dalam penelitian ini sebanyak 100 responden yang terdiri dari
masyarakat di Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli. Dari 100 orang
responden, 43 orang (43%) berjenis kelamin wanita, dan sisanya sejumlah 57 orang
(57%) berjenis kelamin pria. Dilihat dari segi usia, responden dalam penelitian ini
memiliki usia terendah 18 tahun dan tertinggi 67 tahun. Mereka terdiri dari usia 18-22
sejumlah 14 orang (14%), usia 23-27 sejumlah 28 orang (28%), usia 28-32 sejumlah 19
orang (19%), usia 33-37 sejumlah 5 orang (5%), usia 38-42 sejumlah 9 orang (9%), serta
usia 42 tahun keatas sampai dengan 67 tahun sejumlah 25 orang (25%). Tingkat
pendidikan responden terdiri dari sejumlah 21 orang (21%) universitas serta sisanya
sejumlah 79 orang (79%) memiliki latar belakang pendidikan SMA.

4.3 Hasil dan Pembahasan


4.3.1 Frekuensi Persepsi
Berdasarkan 100 responden, mereka memberikan persepsi terhadap potensi ikan
air tawar di Danau Batur sebagai pengembangan wisata alternatif, bahwa rata-rata
sebesar 4% mempunyai persepsi sangat buruk, 19% mempunyai persepsi buruk, 67%
mempunyai persepsi cukup, 9% mempunyai baik, serta 1% mempunyai persepsi sangat
baik. Secara lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 4.1.

4.3.2 Indeks Persepsi


Selanjutnya dilakukan perhitungan indeks persepsi dengan menggunakan
metode rata-rata tertimbang, seperti yang terlihat pada Tabel 4.2. Berdasarkan Tabel
4.2, bahasan akan dibagi menjadi empat bagian, yaitu potensi fisik, potensi non fisik,
persepsi secara parsial, serta persepsi secara simultan. Selanjutnya, masing-masing
bagian ini dibagi menjadi beberapa sub-bagian, yaitu sub-bagian jarak, lokasi,
aksesibilitas, fasilitas penunjang, dan petunjuk serta informasi untuk potensi fisik, sub-
bagian etos kerja, mentalitas, dan sikap masyarakat untuk potensi non fisik. Sedangkan
interpretasi masing-masing indeks persepsi yang akan diuraikan, didasarkan atas
patokan pada Tabel 3.2. Berikut akan dibahas dan diuraikan secara beruntun, yaitu :
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 10

1. Potensi Fisik.
Persepsi masyarakat terhadap jarak, lokasi, aksesibilitas, fasilitas penunjang, dan
petunjuk serta informasi adalah cukup, ini terlihat dari indeks persepsinya sebesar
2,8.
2. Potensi Non Fisik.
Persepsi masyarakat terhadap etos kerja, mentalitas, dan sikap masyarakat adalah
cukup, ini terlihat dari indeks persepsinya sebesar 2,9.
3. Secara Parsial.
Secara parsial dari ke-8 variabel tersebut, ditemui seluruh variabel yaitu : jarak,
lokasi, aksesibilitas, fasilitas penunjang, petunjuk dan informasi, etos kerja,
mentalitas, dan sikap masyarakat, memiliki persepsi yang cukup.
4. Secara Simultan.
Secara simultan, persepsi masyarakat terhadap potensi ikan air tawar di Danau
Batur sebagai pengembangan wisata alternatif adalah cukup, ini terlihat dari
indeks persepsinya sebesar 2,8.
Berdasarkan hasil interpretasi indeks persepsi, mengungkapkan bahwa persepsi
masyarakat terhadap potensi ikan air tawar di Danau Batur sebagai pengembangan
wisata alternatif baik dilihat berdasarkan potensi fisik maupun potensi non fisik,
memiliki persepsi yang cukup. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi ikan air tawar di
Danau Batur sebagai pengembangan wisata alternatif cukup didukung oleh masyarakat.
Berdasarkan data Bali Dalam Angka (2010), potensi ikan air tawar seperti ikan nila
untuk dikembangkan di Danau Batur masih memiliki potensi yang luas untuk
dikembangkan, mengingat baru hanya 5-10% saja, perairan Danau Batur yang telah
dimanfaatkan. Rerata jumlah kunjungan wisatawan dalam kurun waktu lima tahun,
baik manca negara maupun nusantara ke Kabupaten Bangli sebesar 349.144 orang,
menunjukkan sangat mendukung pasar bagi ikan air tawar di Danau Batur dalam
pengembangan wisata alternatif.

Tabel 4.1 Persentase Persepsi Masyarakat terhadap Potensi Ikan Air Tawar di
Danau Batur sebagai Pengembangan Wisata Alternatif

Persepsi (%)
Variabel Sangat Sangat
Buruk Cukup Baik
Buruk Baik
Jarak 2 21 69 6 2
Lokasi 4 32 55 8 1
Potensi Aksesibilitas 5 19 67 8 1
Fisik Fasilitas penunjang 5 14 74 6 1
Petunjuk dan 5 22 63 10 0
informasi
Etos kerja 2 17 68 10 3
Potensi
Mentalitas 4 16 65 11 3
Non Fisik
Sikap masyarakat 3 13 75 9 0
Rata-rata 4 19 67 9 1
Sumber : Analisis Data Primer, 2011.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 11

Tabel 4.2 Indeks Persepsi Persepsi Masyarakat terhadap Potensi Ikan Air Tawar
di Danau Batur sebagai Pengembangan Wisata Alternatif
secara Parsial dan Simultan

Variabel Indeks Indeks Indeks


Tingkat I Tingkat II Tingkat II Tingkat I Simultan
Jarak 2,9
Lokasi 2,7
Potensi
Aksesibilitas 2,8 2,8
Fisik
Fasilitas penunjang 2,8
2,8
Petunjuk dan informasi 2,8
Etos kerja 3,0
Potensi
Mentalitas 2,9 2,9
Non Fisik
Sikap masyarakat 2,9
Sumber : Analisis Data Primer, 2011.

V. SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya,
maka dapat dikemukakan simpulan bahwa persepsi masyarakat terhadap potensi ikan
air tawar di Danau Batur sebagai pengembangan wisata alternatif baik dilihat
berdasarkan potensi fisik (jarak, lokasi, aksesibilitas, fasilitas penunjang, dan petunjuk
serta informasi) maupun potensi non fisik (etos kerja, mentalitas, dan sikap
masyarakat), memiliki persepsi yang cukup. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi
ikan air tawar di Danau Batur sebagai pengembangan wisata alternatif cukup didukung
oleh masyarakat. Dilihat secara parsial, ternyata variabel etos kerja memiliki indeks
persepsi tertinggi, sedangkan variabel lokasi memiliki indeks persepsi terendah.

5.2 Saran
1. Etos kerja masyarakat perlu dipertahankan sebagai benefit yang tak ternilai bagi
pemerintah maupun swasta guna mendukung pengembangan ikan air tawar di
Danau Batur.
2. Lokasi pengembangan ikan air tawar di Danau Batur perlu ditata sedemikian rupa,
untuk lebih menarik minat wisatawan berkunjung.
3. Sosialisasi mengenai wisata alternatif harus mulai dilakukan sebagai upaya
mempersiapkan masyarakat setempat untuk mengenal dan meyakini bahwa wisata
alternatif memiliki karakter berbeda dengan model wisata yang mengandalkan
mass tourism.
4. Dukungan dari segenap pihak seperti Pemkab Bangli dan stakeholders pariwisata
diperlukan untuk pengembangan wisata alternative secara berkelanjutan.
5. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai strategi pengembangan wisata
alternatif dan dampak yang ditimbulkan yang nantinya dapat disinergikan dengan
penelitian ini untuk dapat dijadikan rekomendasi kepada pemegang kebijakan.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 12

KEPUSTAKAAN

Anonim. Badan Pusat Statistik. 2010. Bali Dalam Angka. Denpasar.


______. BAPPEDA Pemkab. Bangli. 2011. Rencana Profil Industri. Bangli :Percetakan
Daerah
______. Dinas Peternakan Perikanan Darat Kabupaten Bangli. 2009. Laporan Tahunan.
Bangli : Percetakan Daerah
Bisnis Bali. 2009, “Prospektif Budi Daya Ikan Nila di Danau Batur”, Edisi 18 Juli 2009.
Cooper, Chris. 1993. Tourism : Principles & Practice. England : Longman Group
Limited.
Dajan, Anto. 1993. Pengantar Metode Statistik. Jakarta : LP3ES.
Diparda Bali. 2011. Statistik Kepariwisataan Bali. Denpasar : Diparda Bali.
Gartner, William C. 1996. Tourism Development : Principles, Processes, and Policies.
United States of America : Thomson.
Kusmayadi dan Sugiarto, Endar. 2000. Metodologi Penelitian dalam Bidang
Kepariwisataan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Middleton, Victor T.C. 1998. Sustainable Tourism : A Marketing Perspective. Oxford :
Butterworth Heinemann.
Rangkuti, Freddy. 2005. Riset Pemasaran. Jakarta : Elex Media Computindo.
Sunartha, Nyoman. 2002. Bahan Mata Kuliah Pariwisata Alternatif pada Fakultas Pasca
Sarjana P.S. Kajian Pariwisata Unud.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 13

ANALISIS KELAYAKAN DESA BEDULU SEBAGAI DESA WISATA


DI KABUPATEN GIANYAR (KAJIAN ASPEK PASAR DAN PEMASARAN)

I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda


gusmananda@gmail.com
Fakultas Pariwisata-Universitas Udayana

Abstract

Bedulu village as one of the newly developed tourist villages is an example of


the empowerment of local communities to introduce Balinese culture to tourists and
to improve their standard of living as a by-product. The purpose of this study is to
analyse the feasibility of developing a Tourism Village Bedulu Village in Gianyar
regency by analysing aspects of markets and marketing, legal, technical and
operational, human resources, economic and financial. Bedulu Tourism Village has a
potential market with the number of visits at 213 people in August-December 2011
consisting of: tourists from France (83.10%), Netherlands (1.41%), Australia (0.94%),
Japan (0.94%) and domestic tourists (13.62%). Through analysis of the three
competitors it can be seen that Bedulu Village has an independent website and
competitive prices among all of them. Marketing strategies undertaken include:
determination of the location strategy, pricing
Strategy with the method of cost plus pricing, and product growth strategies in
which the services of a quality product better or different from other tourist villages,
promotion through the website, the offensive strategy is a strategy which is focused
on change efforts to achieve a better level and training of human resources.

Key words: tourism village potential, strategies, feasibility analysis

I. PENDAHULUAN
Pariwisata Bali telah memberikan pangaruh nyata yang besar terhadap
perekonomian regional. Hal inipun diperkuat oleh hasil kajian tim konsultan dari Bali
Management Project dan Comprehensive Tourism Development Plan for Bali dalam
Erawan (1993) yang menyimpulkan bahwa pariwisata telah menjadi generator
penggerak bagi pembangunan Bali, paling tidak dalam dua dasa warsa terakhir. Lebih
lanjut dikatakan bahwa sektor pariwisata akan tetap menjadi sektor pemimpin
(leading sector) dalam pembangunan ekonomi daerah Bali di masa-masa mendatang.
Berkembang pesatnya pariwisata di Bali saat ini dapat dilihat dari peningkatan
fasilitas, objek, dan daya tarik pariwisata yang ada. Meskipun jumlah kedatangan
wisatawan asing yang langsung ke Bali menunjukkan fluktuasi akibat berbagai isu dan
peristiwa yang kurang menguntungkan, berbagai pihak yang berkecimpung di dunia
pariwisata tetap terangsang untuk menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki
untuk kemudian diarahkan pada sektor pariwisata mengingat keterbatasan/ketiadaan
sumberdaya alam seperti migas, hasil hutan, dan manufaktur (Pitana, 2005:156-157).
Sektor pariwisata, model pembangunan bottom up planning, sejalan dengan
paradigma pariwisata yang bercirikan kerakyatan, dan memunculkan berbagai sebutan
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 14

yaitu : pariwisata inti rakyat, pariwisata kerakyatan, resource community base


management atau community management (Korten,1986). Hingga akhirnya mengarah
pada pengembangan Desa Wisata, Desa Wisata Terpadu, dan Wisata Pedesaan sebagai
salah satu bentuk pengembangan pariwisata berkelanjutan yang memiliki pasar
tersendiri.
Paradigma pariwisata kerakyatan dalam berbagai bentuknya telah lama menjadi
paradigma alternatif sebagai kegagalan model modernisasi yang diterapkan di negara-
negara berkembang termasuk Indonesia yang memiliki banyak kelemahan karena selalu
mengacu pada pertumbuhan dan perkembangan fisik dan kurang memperhatikan
masalah sosial budaya masyarakat. Terkait dengan pemikiran tersebut maka desa-desa
yang memiliki keunikan mulai dilirik untuk dipersiapkan menjadi Desa Wisata maupun
Wisata Pedesaan oleh pemerintah maupun pelaku-pelaku pariwisata (Adhisakti, 2000).
Kabupaten Gianyar yang sudah terkenal di mancanegara terutama Desa Ubud,
Desa Sukawati dan Desa Celuk ternyata masih memiliki banyak potensi yang dapat
dikembangkan bagi sektor kepariwisataan. Salah satu desa di Kabupaten Gianyar yang
memiliki potensi alam dan budaya adalah Desa Bedulu. Desa Bedulu menjadi lokasi
sejarah kerajaan Bali kuno yaitu Kerajaan Bedahulu dengan peninggalan-
peninggalannya yang menjadi ciri khas Desa Bedulu. Pelestarian terhadap budayanya
masih terpelihara dengan baik hingga sekarang. Selain pemandangan yang sangat indah
dan menarik, adat istiadat dan budaya masih dilaksanakan dan ditaati sampai
sekarang.
Untuk meningkatkan kunjungan dan mengurangi kejenuhan wisatawan yang
berkunjung ke Kabupaten Gianyar (terutama ke daya tarik yang sudah terkenal), maka
di buka pangsa pasar yang belum tergarap sejalan dengan konsep alternatif tourism.
Ide kreatif dengan menjadikan dan mengembangkan Desa Bedulu menjadi desa wisata
yang menitik beratkan pada segi budaya selain desa Ubud yang sudah lebih dahulu
dikenal wisatawan.
Untuk mengetahui kelayakan dari desa Bedulu sebagai desa wisata sehingga
menarik wisatawan datang berkunjung kedesa Bedulu, maka perlu dilakukan penelitian
tentang layak apa tidak desa ini dikembangkan sebagai desa wisata, untuk menilainya
dibutuhkan aspek penilaian antara lain : aspek pasar yang berdasarkan atas jumlah
wisatawan nusantara dan mancanegara yang berkunjung ke Bali yang berperan sebagai
demand sedangkan jumlah desa wisata di Bali sebagai supply. Untuk aspek persaingan
tidak terdapat desa wisata sejenis yang berada di sekitar desa Bedulu.
Penelitian ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pengembangan suatu
desa wisata yang stagnan, seperti banyak desa wisata yangsampai sekarang geliatnya
sama sekali belum terlihat. Komitmen pemegang kebijakan pun dipertanyakan karena
desa wisata yang diharapkan menjadi alternatif pariwisata dan diharapkan mampu
memberikan kontribusi bagi masyarakatnya ternyata banyak yang belum layak jual,
karena belum siap dengan sarana pendukung termasuk kegiaatan pemasaran.

II. KAJIAN PUSTAKA


2.1 Pengertian Studi Kelayakan Proyek
Suliyanto (2010:3) menyatakan bahwa kondisi lingkungan yang sangat dinamis
dan intensitas persaingan yang semakin ketat membuat seorang pengusaha tidak cukup
hanya mengandalkan pengalaman dan intuisi saja dalam memulai usahanya. Seorang
pengusaha dituntut untuk melakukan studi kelayakan terhadap ide bisnis yang akan
dijalankan agar tidak terjadi ketelanjuran investasi di kemudian hari. Studi kelayakan
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 15

merupakan penelitian yang bertujuan untuk memutuskan apakah sebuah ide bisnis
layak untuk dilaksanakan atau tidak. Sebuah ide bisnis dinyatakan layak untuk
dilaksanakan apabila ide tersebut mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi semua
pihak (stake holder) dibandingkan dampak negatif yang ditimbulkan

2.2 Aspek Menilai Kelayakan Investasi.


Menurut Husnan dan Muhamad (2008:17), untuk melakukan studi kelayakan,
terlebih dahulu harus ditentukan aspek-aspek apa saja yang akan dipelajari, walaupun
belum ada kesepakatan tentang aspek apa saja yang perlu diteliti, tetapi pada
umumnya penelitian akan dilakukan terhadap aspek-aspek pasar, teknis, finansial,
hukum dan ekonomi negara. Tergantung pada besar kecilnya dana yang tertanam
dalam investasi tersebut, maka terkadang juga ditambah studi tentang dampak sosial.

2.3 Aspek Pasar dan Pemasaran


Sucipto (2010:47) mengemukakan kajian yang dilakukan dalam aspek pasar dan
pemasaran bertujuan untuk menguji sejauh mana pemasaran dari produk yang
dihasilkan perusahaan dapat mendukung pengembangan usaha atau bisnis yang
direncanakan. Agar kajian aspek pasar dan pemasaran sesuai dengan rencana dan
tujuan bagi pelaku bisnis, maka perlu dikaji beberapa faktor yang berkaitan dengan
aspek pasar antara lain potensi pasar, peluang pasar atas produk yang diluncurkan
untuk dimasa datang serta market share yang dapat diserap oleh bisnis tersebut dari
keseluruhan pasar potensial. Kajian aspek pemasaran berkaitan dengan bagaimana
penerapan strategi pemasaran dalam rangka meraih sebagian pasar potensial atau
peluang pasar yang ada dan besaran market share (pangsa pasar) yang ditentukan
dapat diraih sangat bergantung pada penerapan strategi pemasaran yang dipilih.
Terdapat tiga hal pokok yang dapat ditelaah dalam aspek pasar, yaitu potensi pasar,
analisis pesaing, dan strategi pemasaran.

2.3.1 Potensi Pasar


Kotler dan Keller (2009:158) menyatakan bahwa potensi pasar adalah batas
yang didekati oleh permintaan pasar ketika pengeluaran pemasaran industri mendekati
tidak terhingga, untuk lingkungan pemasaran yang sudah tidak menentu.
Dalam menentukan suatu proyek investasi baik dalam bentuk financial assets
maupun real assets, maka diperlukan peramalan untuk mengetahui prospek pada masa
yang akan datang. Salah satu cara yang terbaik untuk meramalkan jumlah permintaan
pada masa yang akan datang adalah dengan menelaah permintaan akan produk
tersebut pada masa lalu hingga kini.
Suliyanto (2010:105) menyebutkan bahwa analisis permintaan (demand)
digunakan untuk mengetahui secara riil jumlah kebutuhan jasa yang akan dihasilkan di
daerah dan periode tertentu. Produk yang dihasilkan harus memiliki potensi pasar yang
cukup untuk menghasilkan keuntungan, sehingga pengukuran potensi permintaan
penduduk dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu:
1 Mengukur permintaan produk dengan menggunakan data impor produk
bersangkutan. Metode ini dilakukan dengan cara menghitung besarnya produk yang
dihasilkan pada suatu daerah ditambah dengan produk yang diimpor dari daerah
lain untuk memenuhi permintaan di daerah terebut. Metode ini digunakan jika
produksi di daerah tersebut belum mampu memenuhi seluruh permintaan di
daerah tersebut.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 16

2 Pengukuran dengan data impor, ekspor dan produksi dalam negeri. Metode ini
dilakukan dengan cara menghitung besarnya produk yang dihasilkan di daerah
tersebut ditambah dengan produk yang diimpor dari daerah lain dikurangi dengan
produk yang diekspor ke daerah lain ditambah dengan cadangan yang merupakan
selisih antara persediaan awal dan persediaan akhir
3 Metode Rasio Rantai
Metode rasio rantai dilakukan dengan cara membagi komponen-komponen terkecil
dari suatu mata rantai variabel yang berpengaruh terhadap permintaan produk
bersangkutan. Komponen-komponen yang dipandang berpengaruh terhadap
permintaan efektif adalah: jumlah penduduk, pendapatan per kapita,
penghasilan/kapita yang dikomsumsi untuk jenis produk dan penghasilan yang
dikonsumsi oleh jenis produk terkecil.
4 Judgement Method (Non-Statistical Method) merupakan metode untuk
memproyeksikan permintaan atas dasar pendapat. Metode ini dapat dilakukan
dengan cara:
a. Survei niat beli merupakan metode untuk memproyeksikan permintaan yang
akan datang dengan menanyakan kepada calon konsumen (target) pasar
apakah mereka akan membeli atau tidak
b. Pendapat tenaga penjual. Metode ini memproyeksikan permintaan yang akan
datang dengan cara meminta kepada para tenaga penjualan untuk
mengestimasikan penjualan tiap produk untuk daerah mereka masing-masing.
Setelah itu, semua estimasi dari tenaga penjualan dijumlahkan untuk
mendapatkan ramalan penjualan secara keseluruhan.
c. Pendapat para ahli. Metode ini memproyeksikan permintaan yang akan datang
dengan cara meminta pendapat para ahli di bidangnya untuk mengestimasikan
permintaan produk berdasarkan analisis ilmiah.
5. Statistical Method merupakan metode untuk memproyeksikan permintaan atas
dasar perhitungan statistik. Metode ini dapat dilakukan dengan cara:
a. Analisis Tren merupakan metode analisis yang digunakan untuk
memproyeksikan penjualan pada masa yang akan datang dengan berdasarkan
pada data sebelumnya. Metode tren yang paling banyak digunakan untuk
analisis data adalah metode kuadrat terkecil (trend least square method).
b. Analisis Korelasi digunakan untuk mengetahui derajat hubungan linier antar
satu variabel dengan variabel lainnya. Jika arah perubahannya searah maka
kedua variabel akan memiliki korelasi yang positif.

2.3.2 Analisis pesaing (Competitor Analysis)


Menurut David (2009:158) mengemukakan Matriks Evaluasi Faktor Eksternal
(External Factor Evaluation-EFE Matrix) memungkinkan para penyusun strategi untuk
meringkas dan mengevaluasi informasi ekonomi, sosial, budaya, demografis,
lingkungan, politik, pemerintahan, hukum, teknologi, dan kompetitif.
Menurut David (2009:160) menyatakan bahwa untuk mengidentifikasi pesaing-
pesaing utama suatu perusahaan serta kekuatan dan kelemahan khusus mereka dalam
hubungannya dengan posisi strategis perusahaan yang diteliti dengan menggunakan
Matriks Profil Kompetitif (Competitive Profile Matrix-CPM). Faktor keberhasilan
penting (critical success) dalam matriks profil kompetitif mencakup baik isu-isu
internal maupun eksternal, oleh sebab itu peringkatnya mengacu pada kekuatan dan
kelemahan, di mana 4 = sangat kuat, 3 = kuat, 2 = lemah, dan 1 = sangat lemah.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 17

Total rating berada pada rentang 1,0 (rendah) dan 4,0 (tinggi) dan skor rata-rata
adalah 2,5. Skor bobot total sebesar 4,0 mengindikasikan bahwa sebuah organisasi
merespons secara sangat baik peluang dan ancaman yang ada diindustrinya atau
strategi perusahaan secara efektif menarik keuntungan dari peluang yang ada dan
meminimalkan pengaruh negatif potensial dari ancaman eksternal. Skor total sebesar
1,0 menandakan bahwa strategi perusahaan tidak mampu memanfaatkan peluang yang
ada atau menghindari ancaman yang muncul. Analisis CPM ini menggunakan
perusahaan yang diteliti yang kemudian dibandingkan dengan pesaing lainnya. Analisis
menggunakan CPM ini lebih baik dibandingkan dengan Internal matriks (Internal Factor
Evaluation matrix) dan eksternal matriks (External Factor Evaluation matrix) karena
CPM terdiri dari faktor-faktor internal dan eksternal dari perusahaan yang diteliti
dengan pesaing utamanya.

2.3.3 Strategi Pemasaran (Marketing Strategy)


1. Matriks Internal-Eksternal (Internal-Eksternal – IE Matrix)
IE Matrix memposisikan berbagai divisi suatu organisasi dalam tampilan sembilan
sel dapat dilihat pada Gambar 2.1.

2.4 Pengertian Desa Wisata


2.4.1 Pengertian Desa Wisata Terpadu
Karena terbatasnya literatur-literatur/pedoman/teori tentang desa wisata atau
landasan yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas, maka dalam tinjauan
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 18

pustaka/kerangka teoritis akan lebih banyak mengutip dari hasil penelitian yang
pernah dilakukan di Bali oleh Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada pada tahun 1992
dan 1994 bekerja sama dengan Direktorat Jendral Pariwisata, Departemen Pariwisata
Pos dan Telekomunikasi.
Kebudayaan merupakan salah satu modal dasar utama di dalam pengembangan
kepariwisataan di Bali. Di dalam jaringan komponen kebudayaan Bali tersebut desa
adat berfungsi sebagai pilar penyangga utama struktur budaya yang ada. Berdasarkan
ilustrasi yang telah disajikan bahwa faktor kunci tolok ukur keberhasilan pembangunan
kepariwisataan di Bali terletak pada keberlangsungan kehidupan budaya desa adat.
Untuk itu diperlukan modal pendekatan pengembangan yang mampu menciptakan
hubungan timbal balik mutualistik (saling menguntungkan) antara perangkat desa adat
dan usaha pembangunan kepariwisataan. Dengan demikian pariwisata akan menjadi
bagian tak terpisahkan dari keutuhan kehidupan masyarakat desa adat.
Dari ilustrasi dasar-dasar pemikiran, program pengembangan Desa Wisata
Terpadu (DWT) merupakan salah satu alternatif jawaban agar usaha kepariwisataan
dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat desa adat. Pengertian Desa
Wisata Terpadu (DWT) yang dikutip dari Penyusunan Rencana Pengembangan Desa
Wisata di Bali adalah :

“Suatu wilayah pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan


keaslian pedesaan Bali baik dari segi kehidupan sosial budayanya, adat-istiadat
keseharian, arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa, serta mempunyai
potensi untuk dikembangkan berbagai komponen kepariwisataan, misalnya: atraksi,
makan minum, cinderamata, dan kebutuhan wisata lainnya”.

Sesuai dengan batasan tersebut, maka model produk DWT yang ditawarkan
haruslah mencerminkan “suasana pedesaan Bali” yang diusahakan sedekat mungkin
dengan aslinya.
Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan
fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang
menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti W, 1993). Terdapat dua
konsep utama dalam komponen desa wisata antara lain :
1. Akomodasi, sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat dan atau unit-
unit yang berkembang atas konsep tempat tinggal penduduk.
2. Atraksi, seluruh kehidupan keseharian penduduk setempat beserta setting fisik
lokasi desa yang memungkinkan berintegrasinya wisatawan sebagai partisipasi
aktif seperti kursus tari, bahasa dan lain-lain yang spesifik.

2.4.2 Pendekatan Pengembangan Desa Wisata


Pengembangan dari desa wisata harus direncanakan secara hati-hati agar
dampak yang timbul dapat dikontrol. Berdasarkan penelitian dan studi dari
UNDP/WTO, dicapai dua pendekatan dalam menyusun konsep kerja dari
pengembangan sebuah desa menjadi desa wisata. Terdapat beberapa pendekatan
pasar pengembangan desa wisata, yaitu :
1. Interaksi tidak langsung
Model pengembangan didekati dengan cara bahwa desa mendapat manfaat tanpa
interaksi langsung dengan wisatawan. Bentuk kegiatan yang terjadi misalnya :
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 19

penulisan buku-buku tentang desa berkembang, kehidupan desa, arsitektur


tradisional, latar belakang sejarah, pembuatan kartu pos dan lain sebagainya.
2. Interaksi setengah langsung
Bentuk-bentuk one day trip yang dilakukan oleh wisatawan, kegiatan-kegiatan
meliputi makan dan melakukan kegiatan bersama penduduk dan kemudian
wisatawan dapat kembali ke tempat akomodasinya. Prinsip model ini adalah
wisatawan hanya singgah dan tidak tinggal bersama penduduk.
3. Interaksi langsung
Wisatawan dimungkinkan untuk tinggal/ bermalam dalam akomodasi yang dimiliki
oleh desa tersebut. Dampak yang terjadi dapat dikontrol dengan berbagai
pertimbangan yaitu daya dukung dan potensi masyarakat setempat.
Kriteria desa wisata pada pendekatan ini diperlukan beberapa kriteria, yaitu :
1. Atraksi wisata yaitu semua yang mencakup alam, budaya, dan hasil ciptaan
manusia. Atraksi yang dipilih adalah yang paling menarik dan atraktif di desa.
2. Jarak tempuh adalah jarak tempuh dari kawasan wisata terutama tempat tinggal
wisatawan dan juga dari jarak tempuh dari ibukota provinsi dan jarak dari ibukota
kabupaten.
3. Besaran desa, menyangkut masalah-masalah jumlah rumah, jumlah penduduk,
karakteristik dan luas wilayah desa. Kriteria ini berkaitan dengan daya dukung
kepariwisataan pada suatu desa.
4. Sistem kepercayaan dan kemasyarakatan merupakan aspek penting mengingat
adanya aturan-aturan khusus pada komunitas suatu desa dan hal yang perlu
dipertimbangkan adalah agama yang menjadi mayoritas dan sistem
kemasyarakatan yang ada.
5. Ketersediaan infrastruktur meliputi fasilitas dan pelayanan transportasi, fasilitas
listrik, air bersih, drainase, telepon dan sebagainya.
Masing-masing kriteria digunakan untuk melihat karakteristik utama suatu desa
untuk kemudian menentukan apakah suatu desa akan menjadi desa dengan tipe
berhenti sejenak, tipe one day trip atau tipe tinggal inap.

III. METODE PENELITIAN


3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh,
Kabupaten Gianyar yang merupakan salah satu desa yang memiliki sejarah Bali kuno
dan memiliki potensi wisata yang dapat dikembangkan, dengan adat-istiadat, daya
tarik budaya dan alam, upacara keagamaan dan adat-istiadat masyarakat masih
dilaksanakan dengan rutin, memiliki keterpaduan objek yang cukup tinggi.

3.2 Penentuan Sumber Data


Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan adalah:
1. Data primer adalah data yang belum dipublikasikan dan yang diperoleh langsung
dari sumber pertama melalui prosedur dan teknik pengambilan dari observasi dan
interview dengan Bendesa Pekraman Bedulu dan tokoh-tokoh masyarakat Desa
Bedulu, usaha pesaing serta pelaku pariwisata yang memahami betul kondisi Desa
Bedulu.
2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang tidak langsung atau
tangan kedua yang telah dikumpulkan oleh orang atau instansi lain. Instansi yang
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 20

dimaksud adalah Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar, dan Dinas Pariwisata


Provinsi Bali.

3.3 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam pengumpulan data adalah
sebagai berikut:
1. Teknik Observasi yaitu mengumpulkan data dengan mengadakan pengamatan
secara langsung ke lokasi penelitian untuk memperoleh gambaran yang jelas
berkenaan dengan potensi yang dimiliki oleh Desa Bedulu dengan pengamatan
yang terlibat yaitu mengumpulkan data dengan berpedoman pada panduan
observasi yang disediakan dan melibatkan diri dalam lingkungan subyek secara
sistematis dan tidak mencolok sehingga akan tercipta suatu interaksi sosial antara
peneliti dengan masyarakat Desa Bedulu yang sedang melaksanakan aktivitasnya
sehari-hari dengan menggunakan tape recorder, kamera dan handycam. Peneliti
dapat menjadikan partisipasi dalam upaya internalisasi tujuan penelitan sambil
mengumpulkan data.
2. Metode angket, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
memberikan kuesioner kepada responden dengan menggunakan instrumen berupa
kuesioner terstruktur.
3. Teknik wawancara mendalam (depth interview) yaitu mengadakan wawancara
mendalam secara langsung dengan informan kunci, seperti aparat desa, aparat
pemerintah, pelaku pariwisata, tokoh tokoh masyarakat dan wisatawan.
Wawancara sendiri merupakan suatu proses tanya jawab antra peneliti dengan
subyek penelitian untuk memperoleh data, keterangan, pandangan atau pendirian
dari subyek tersebut.
4. Studi dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan
mengambil gambar/foto objek dan kegiatan yang berhubungan dengan penelitian
seperti foto rumah tradisional, daya tarik wisata, fasilitas tambahan untuk
menunjang kegiatan kepariwisataan di Desa Bedulu.

3.4 Analisis Data


Ada pun teknik analisis data yang digunakan adalah Analisis SWOT untuk
menemukan strategi dan Analisis aspek pasar sebagai berikut :
1. Mengestimasikan jumlah permintaan pasar yang datang ke Desa Wisata Bedulu dari
bulan Agustus sampai dengan bulan Desember 2012 sehingga memperoleh
occupancy rata-rata yang dipergunakan untuk menghitung proyeksi pendapatan
per tahun.
2. Menganalisis persaingan dengan analisis competitive profile market (CPM) yang
membandingkan antara lingkungan internal eksternal desa wisata Bedulu dengan
desa wisata lainnya yang dianggap pesaing.
3. Menganalisis strategi pemasaran yang terbaik untuk desa wisata dengan
digunakannya metode Analisis Matriks IE

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Gambaran Umum Desa Pakraman Bedulu
Desa Pakraman Bedulu adalah salah satu desa di Kecamatan Blahbatuh,
Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali dengan ketinggian 170 meter diatas permukaan laut.
Desa Pakraman (Desa Adat) Bedulu terdiri dari 5 banjar: Banjar Margabingung, Banjar
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 21

Tengah, Banjar Batulumbang, Banjar Lebah, dan Banjar Goa. Desa Bedulu terletak di
jalur pariwisata Tampaksiring-Penelokan-Trunyan yang sudah terkenal dihubungkan
jalan raya yang baik. Desa ini terletak pada Km. 27 dari Denpasar dan dapat ditempuh
kurang lebih 45 menit. Desa Bedulu yang terdiri dari 5 Banjar dengan jumlah penduduk
723 KK.

4.2 Potensi Pasar Desa Bedulu


Keberhasilan dari suatu desa wisata sangat ditentukan oleh besarnya
permintaan yang akan dihasilkan. Permintaan wisatawan terhadap desa wisata dapat
dilihat dari jumlah kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Bedulu pada bulan Agustus –
Desember 2011 yang dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Desa Wisata Bedulu (Agst–Des 2011)

No. Asal Wisatawan Jumlah (Orang) Distribusi


1 Perancis 177 83,10
2 Belanda 3 1,41
3 Australia 2 0,94
4 Jepang 2 0,94
5 Indonesia 29 13,62
Total 213 100,00
Sumber: Hasil Penelitian, 2011

Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa minat wisatawan yang datang
untuk tinggal di Desa Wisata Bedulu didominasi oleh wisatawan yang berasal dari
Perancis sebesar 83,10 %. Permintaan ini terjadi akibat adanya penawaran dari biro
perjalanan wisata dari beberapa negara-negara Eropa. Hal yang menyebabkan
wisatawan Perancis tertarik mengunjungi Desa Wisata Bedulu adalah keunikan
arkeologi yang terdapat di tempat tersebut secara turun temurun dan adat istiadat
tradisional di Bali.
Kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Bedulu terjadi akibat adanya hubungan
kerja sama dengan perantara, dalam hal ini yaitu biro perjalanan wisata, dan guide
freelance. Hal ini dapat dilihat pada produktivitas dari biro perjalanan wisata yang
mengirim wisatawan ke Desa Wisata Bedulu pada Tabel 4.2.
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa Biro perjalanan wisata Golden
Kriss Tour & Travel dan Talisman Tour & Travel (biro perjalanan wisata) memiliki
peran yang besar di dalam mengirim wisatawan untuk berkunjung dan menginap di
Desa Wisata Bedulu dengan persentase sebesar 84,98 % dari keseluruhan total jumlah
kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Bedulu dan 15,02 % merupakan wisatawan yang
datang berkunjung atas inisiatif pribadi maupun melalui informasi dari guide freelance
yang datang membawa tamu untuk berkunjung ke Desa Wisata Bedulu.
Tingkat kunjungan wisatawan dari bulan Agustus–Desember 2011 ke Desa Wisata
Bedulu dengan menginap di akomodasi yang dimiliki oleh penduduk lokal adalah
sebesar 5,08 %, sehingga diasumsikan dengan kenaikan 27 % maka proyeksi kunjungan
wisatawan lima tahun pada Tabel 4.3.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 22

Tabel 4.2 Sumber Kunjungan Wisatawan ke Desa Wisata Bedulu (Agst-Des 2011)

Golden
Talisman
Deskripsi Kriss % % Individual %
Tour
Tour
Produktivitas 55 47,41 50 43,10 11 9,48
Berdasarkan Jumlah
Kamar / Malam
Produktivitas 91 42,72 92 42,25 32 15,02
berdasarkan Jumlah
Tamu / Orang
Produktivitas 18 43,90 16 39,02 7 17,07
berdasarkan lama
menginap /malam
Sumber : Hasil Penelitian, 2011.

Tabel 4.3 Proyeksi Jumlah Wisatawan ke Desa Wisata Bedulu Tahun 2012–2016

Deskripsi / Tahun 2012 2013 2014 2015 2016


Tingkat 6,45 % 8,19 % 10,41 % 13,22 % 16,78 %
Kunjungan
Wisatawan
dengan asumsi 15
kamar
Proyeksi Jumlah 544 orang 589 orang 650 orang 736 orang 859
Wisatawan /tahun orang
Potensi 36 / orang 39 / 43 / 49/ 57/
Wisatawan yang / tahun orang/ orang/ orang/ orang /
akan menginap tahun tahun tahun tahun
(Asumsi: 15
kamar)
Sumber : Hasil Penelitian, 2011.

Berdasarkan dari Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa dengan asumsi peningkatan
kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Bedulu sebesar 27 % menyebabkan bertambahnya
jumlah wisatawan yang akan menginap di akomodasi yang dimiliki oleh penduduk lokal.

4.3 Analisis Pesaing


Desa Wisata yang dianggap sebagai pesaing adalah Desa Wisata Mas di
Kecamatan Ubud, Desa Wisata Bona di Kecamatan Blahbatuh, dan Desa Wisata Kendran
di Kecamatan Tegalalang. Pemilihan terhadap tiga desa wisata ini didasarkan atas
kedekatan lokasi antara Desa Wisata Bedulu dan tiga desa wisata lainnya yang memiliki
karakteristik yang hampir sama dan berlokasi di Kabupaten Gianyar. Analisis terhadap
ketiga pesaing dilakukan dengan menggunakan analisis Competitive Profile Matrix
(CPM) yang membandingkan antara profil Desa Wisata Bedulu dengan 3 (tiga) pesaing
utamanya dengan critical success factors yang merupakan faktor-faktor kritis dari
masing-masing desa wisata dan memuat faktor-faktor pada lingkungan internal dan
eksternal dari masing-masing desa wisata tersebut. Matriks persaingan dapat dilihat
pada Tabel 4.4.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 23

Tabel 4.4 Competitive Profile Matrix

Desa Wisata Desa Wisata Desa Wisata Desa Wisata


Critical Success Bedulu Mas Bona Kendran
Bobot
Factor
Rating Skor Rating Skor Rating Skor Rating Skor

Advertising 0,20 3 0,40 4 0,60 2 0,20 3 0,60


Kualitas Produk 0,15 3 0,45 3 0,30 3 0,30 3 0,45
Harga yang
Kompetitif 0,10 4 0,40 2 0,20 2 0,20 3 0,30
Manajemen 0,10 2 0,30 4 0,20 3 0,20 3 0,20

Posisi Keuangan 0,15 2 0,45 2 0,30 3 0,30 3 0,45

Customer Loyalty 0,10 3 0,20 3 0,30 3 0,30 3 0,30


Global Expansion 0,15 2 0,30 2 0,45 1 0,15 3 0,45
Market share 0,05 2 0,10 2 0,10 2 0,10 2 0,15
Total 1,00 2,60 2,45 1,75 2,90
Sumber : Hasil Penelitian, 2011

Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa harga dari Desa Wisata Bedulu
lebih kompetitif dengan manajemen desa wisata yang lebih baik dibanding ketiga
pesaing. Penggunaan iklan dari keempat perusahaan didominasi Desa Wisata Mas yang
secara aktif mempromosikan secara komprehensif melalui internet, biro perjalanan
dalam negeri dan luar negeri, media masa di Bali dan Jakarta, Desa Wisata Bedulu
mempromosikan produknya secara komprehensif melalui website sendiri
(www.dewibedulu.com) dan biro perjalanan wisata di dalam negeri (Golden Kriss Tour
dan Taliman Tour & Travel), Desa Wisata Kendran melakukan promosi melalui blog di
internet, dan Biro Perjalanan Wisata dalam negeri sedangkan Desa Wisata Bona
melakukan promosi melalui media masa, biro perjalanan wisata di dalam negeri dan
melalui mulut ke mulut (words of mouth).
Kualitas produk yang dimiliki oleh keempat desa wisata adalah relatif sama
yaitu produk desa wisata yang unik dan hanya dimiliki oleh masing-masing desa. Desa
Wisata Bedulu memiliki beberapa daya tarik wisata seperti Goa Gajah, Yeh Pulu,
Sejarah tentang Bali Kuno, beberapa atraksi wisata, antara lain : belajar menari, dan
memasak. Desa Wisata Mas memiliki daya tarik dalam mempelajari tentang lukisan Bali
dan topeng, Desa Bona memiliki daya tarik untuk mempelajari tentang peralatan yang
terbuat dari bambu dan Desa Kendran dengan wisata alamnya.
Strategi pemberian harga yang kompetitif diberlakukan oleh Desa Wisata Bedulu
yaitu sebesar Rp 350.000,- per orang untuk semalam termasuk penginapan, makan pagi
dan paket perjalanan.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 24

Manajemen dari Desa Wisata Mas terdiri atas ahli yang berpengalaman dan
memiliki keterampilan untuk mengelola desa wisata memiliki jaringan yang kuat
dibidang perhotelan dan biro perjalanan wisata. Desa Wisata Bona dan Kendran
memiliki tim ahli dibidang perhotelan dan guiding sedangkan Desa Wisata Bedulu hanya
memiliki satu orang ahli yang kompeten dibidangnya sedangkan pengurus yang lain
baru mulai belajar untuk mengelola sebuah desa wisata didaerahnya.
Desa Wisata Bona dan Desa Wisata Kendran memiliki posisi keuangan yang bagus
dengan modal yang memadai dikarenakan memperoleh dana pemberdayaan desa
wisata dari PNPM mandiri. Desa Wisata Mas memiliki orang-orang yang paham dibidang
manajemen dan memiliki kemampuan untuk berdiri sebagai desa wisata yang mandiri,
akan tetapi ketidak kompakan didalam pengeluaran dana oleh masing-masing
masyarakat yang menyebabkan Desa Wisata Mas memiliki permasalahan dalam hal
keuangan. Sedangkan bagi Desa Wisata Bedulu memerlukan dana pembangunan dan
renovasi dengan meminjam melalui Bank BNI sebesar Rp 120.000.000 dengan bunga 14
% dan akan memperoleh dana bantuan dari Bank Indonesia sebesar Rp 225.000.000,-
yang akan dipergunakan sebagai modal kerja dan mengembalikan utang yang dipinjam
sebelumnya. Wisatawan yang berkunjung kemasing-masing Desa Wisata memiliki
keterikatan dan akan melakukan kunjungan kembali atau menginformasikan teman-
temannya untuk datang berkunjung..
Ekspansi global yang terbaik dilakukan oleh Desa Wisata Mas karena beberapa
masyarakat di Desa Mas memiliki biro perjalanan wisata di Bali dan mengundang
beberapa pakar dibidangnya yang berasal dari Amerika Serikat untuk memberikan
pengetahuan dan kesempatan untuk merubah desa wisata menjadi lebih baik. Market
share dari semua Desa Wisata adalah relatif sama dengan mayoritas dikunjungi oleh
wisatawan dari Eropa dan Australia.

4.4 Strategi Pemasaran


Berdasarkan temuan di lapangan maka strategi pemasaran yang dapat
direalisasikan adalah sebagai berikut :
1. Analisis Lingkungan Internal / Internal Factors Analysis Summary / IFAS (Kekuatan
dan Kelemahan)
Kekuatan (strengths) Desa Wisata Bedulu
a. Lokasi yang strategis yang terletak didekat daerah tujuan wisata Goa Gajah,
sekitar 10 menit dari Ubud
b. Kualitas pelayanan yang baik dan ramah.
c. Desa Wisata Bedulu memiliki paket wisata dengan harga kompetitif untuk
pasar utama seperti Perancis, Belanda, Australia, Jepang dan Indonesia.
d. Terdapat alternatif paket perjalanan yang dapat menjadi pilihan dari
wisatawan, seperti tur keliling Bali yang dapat dijadikan alternatif tur baik
bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
e. Fasilitas ruangan kantor yang menarik dan memadai. Dengan adanya fasilitas
kantor yang cukup lengkap untuk kepentingan pekerjaan akan mempercepat
dan mempermudah produktivitas dari karyawan. operasional dari Desa Bedulu
didukung oleh peralatan dan sistem komunikasi antara lain: telepon, laptop
dengan saluran internet, dan sebuah mobil pick up.
f. Memiliki kerjasama dengan beberapa biro perjalanan wisata di Bali
g. Kerjasama dengan guide yang memiliki lisensi seperti guide inggris, perancis,
dan jepang.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 25

Kelemahan (weaknesses)
a. Desa Wisata Bedulu merupakan sebuah Desa Wisata yang baru berdiri sehingga
belum dikenal oleh konsumen.
b. Karyawan bagian manajemen yang belum profesional dan ahli didalam
menangani desa wisata
c. Karyawan dari Desa Wisata Bedulu tidak memiliki pengalaman dan latar
belakang pendidikan dibidang desa wisata karena karyawan yang direkrut
adalah anak SMA yang telah tamat dan tidak melanjutkan pendidikannya
kejenjang selanjutnya yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik
terutama bahasa inggris dan memiliki keinginan untuk belajar.
d. Pengambilan keputusan oleh tenaga staf operasional dianggap cukup lambat
sehingga pelanggan banyak yang beralih kepada penginapan yang ada di Ubud.
2. Analisis Lingkungan Eksternal / External Factors Analysis Summary / EFAS
(Peluang dan Tantangan)
Peluang (opportunities)
a. Desa wisata yang memiliki pangsa pasar masih terbatas sehingga terdapat
peluang untuk mengambil pasar .
b. Jumlah kunjungan wisatawan yang melakukan kegiatan semakin meningkat
terutama untuk wisatawan dengan pasar utama seperti Perancis, Belanda,
Australia, Jepang dan Indonesia.
c. Meningkatnya disposible income masyarakat di kawasan Asia Pasifik
d. Hak cuti karyawan yang semakin panjang, dengan rata-rata 3 minggu dalam
satu tahun.
e. Tingkat mobilitas masyarakat yang tinggi sebagai akibat majunya murahnya
transportasi udara membuat jarak antara satu negara dengan negara lain
semakin dekat dan mudah dikunjungi.
f. Pemberian tunjangan sosial yang semakin baik kepada karyawan dan
pensiunan oleh perusahaan-perusahaan swasta, dan negeri.
g. Tumbuhnya kelas menengah yang relatif cukup besar dalam piramida
penduduk dunia sehingga menyebabkan mereka memiliki keinginan untuk
melakukan kegiatan wisata pada saat liburan.
Tantangan (threats)
a. Persaingan dengan Desa Wisata yang memiliki ceruk pasar yang sama
b. Situasi dan kondisi keamanan dan kestabilan politik di Indonesia seperti
ancaman teroris, atau bentrokan antar suku/banjar
c. Keadaan alam dan budaya di Bali yang tidak dijaga dengan oleh masyarakat
Bali dapat menyebabkan wisatawan tidak akan datang berkunjung ke Bali
terutama untuk masalah sampah dan kemacetan lalu lintas yang sering
mengganggu kenyamanan wisatawan ke Bali.

Strategi-strategi yang diperoleh berdasarkan analisis SWOT dapat diuraikan


sebagai berikut :
Strategi S-O
1. Strategi penetapan lokasi atau outlet dilakukan untuk mengenalkan produk Desa
Wisata Bedulu kepada calon wisatawan. Desa Wisata Bedulu memiliki lokasi yang
strategis yang berada dijalur wisata Goa Gajah, Kabupaten Gianyar sehingga
mudah untuk mencapai Desa Wisata ini, memiliki parkir yang cukup dan aman dari
macam-macam gangguan, dan memiliki ruangan AC dengan interior dan eksterior
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 26

yang menarik sehingga nyaman untuk melakukan kegiatan transaksi penjualan dari
unit bisnis yang dimiliki oleh Desa Wisata ini.
2. Strategi harga yang digunakan oleh Desa Wisata Bedulu adalah metode cost plus
pricing dengan menetapkan margin yang diinginkan oleh Desa Wisata dengan harga
yang lebih rendah dibandingkan dengan pesaing.
3. Product growth strategies di mana Desa Wisata Bedulu memiliki beberapa produk
jasa yang berkualitas lebih baik atau berbeda dengan produk lain, dengan tujuan
agar memiliki kesempatan untuk meningkatkan pangsa pasar dengan menarik
pelanggan yang berbeda.
Strategi W – O
1. Promosi Desa Wisata Bedulu dilakukan melalui website yang memberikan informasi
tentang produk-produk yang dimiliki dan gambaran umum mengenai Bali selain itu
untuk melakukan promosi yang benar dan tepat sasaran dapat diketahui melalui
segmentasi pasar yang dilakukan sebelumnya sebagai berikut:
2. Wisatawan Perancis yang melakukan kegiatan memperoleh informasi mengenai
Bali melalui teman/relasi (67%), agen perjalanan (53%), Perusahaan penerbangan
(15%), dan kedutaan indonesia (8%). Untuk memperoleh calon wisatawan potensial
maka promosi dan pemasaran perlu dilakukan melalui internet dan juga ajang
trade fair seperti Salon Mondiale du Tourisme serta melalui iklan dibeberapa
majalah travel trade and consumer magazines.
3. Bagi konsumen di negara Belanda, pemasaran yang efektif adalah melalui teman-
teman atau konsumen yang puas sebelumnya (word of mouth) dan internet,
sedangkan penjualan secara langsung, promosi lewat koran dan majalah kurang
efektif bagi pasar Belanda. Wisatawan Belanda akan mencari informasi sebelum
perjalanan dan desa wisata masih diperhitungkan sebagai sumber informasi dan
mempengaruhi pilihan daerah tujuan wisata dan biasanya ini terjadi pada
kelompok wisatawan yang lebih tua biasanya membina hubungan baik dengan satu
desa wisata.
Strategi S – T
1. Melakukan offensive strategy merupakan strategi yang lebih menitikberatkan pada
usaha perubahan untuk mencapai tingkat yang lebih baik. Bentuk strategi ini dapat
berupa modifikasi pasar, yaitu dengan menggaet kelompok bukan pemakai (non-
user) mengintensifkan penawaran Desa Wisata Bedulu kepada non-user, dan
merebut konsumen pesaing. Bentuk lain dari strategi ini adalah modifikasi produk,
yaitu mengubah karakteristik produk sedemikian rupa, sehingga semakin menarik
konsumen saat ini untuk membeli dengan cara menawarkan manfaat baru dari
suatu produk kepada konsumen sekarang untuk mendorong kunjungan yang lebih
banyak dan lebih sering dengan melakukan diversifikasi produk terhadap beberapa
aktivitas tur dan paket lainnya yang dapat digabung dengan produk tersebut.
2. Melakukan penurunan terhadap biaya operasi dilakukan dengan melakukan kontrak
perjanjian tentang pembagian komisi dan sistem kerja yang sesuai dengan kedua
belah pihak.
Strategi W – T
1. Melakukan training dibidangnya masing-masing di mana Desa Wisata Bedulu selalu
melakukan pelatihan terhadap karyawan untuk memberikan standar pelayanan
yang berkualitas dengan cepat dengan harga yang murah.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 27

2. Merancang proses kerja yang efisien dan efektif yang mengacu pada SOP (standard
operating procedures). Sistem penanganan reservasi terhadap Desa Wisata
dimasukkan dalam satu website.

V. SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan
Berdasarkan analisis pasar dan pemasaran yang dilakukan terhadap
pengembangan Desa Bedulu sebagai desa wisata dapat diambil kesimpulan adalah :
1. Pengembangan Desa Bedulu layak dikembangkan karena memiliki potensi pasar
dengan proyeksi jumlah kunjungan wisatawan untuk tahun 2012 sebesar 544 orang
per tahun, tahun 2013 (589 orang), tahun 2014 (650 orang), tahun 2015 (736
orang) dan tahun 2016 (859 orang) terutama dengan adanya kerjasama dengan
Golden Kriss Tour and Travel dan Talisman Tour & Travel yang turut memberikan
kontribusi untuk mengirim wisatawan menginap dan menikmati tur yang
ditawarkan oleh Desa Wisata Bedulu.
2. Berdasarkan analisis pesaing dapat diketahui bahwa harga dan manajemen dari
Desa Wisata Bedulu lebih murah dibanding ketiga pesaing (Desa Wisata Mas, Bona
dan Kendran)
3. Strategi-strategi yang diperoleh antara lain: Strategi penetapan lokasi atau outlet
dilakukan untuk mengenalkan produk Desa Wisata Bedulu kepada calon wisatawan,
Strategi harga yang digunakan oleh Desa Wisata Bedulu adalah metode cost plus
pricing dengan menetapkan margin yang diinginkan oleh Desa Wisata dengan harga
yang lebih rendah dibandingkan dengan pesaing, Product growth strategies di
mana Desa Wisata Bedulu memiliki beberapa produk jasa yang berkualitas lebih
baik atau berbeda dengan produk lain, dengan tujuan agar memiliki kesempatan
untuk meningkatkan pangsa pasar dengan menarik pelanggan yang berbeda,
Melakukan offensive strategy merupakan strategi yang lebih menitikberatkan pada
usaha perubahan untuk mencapai tingkat yang lebih baik, melakukan training
dibidangnya masing-masing di mana Desa Wisata Bedulu selalu melakukan
pelatihan terhadap karyawan untuk memberikan standar pelayanan yang
berkualitas dengan cepat dengan harga yang murah dan merancang proses kerja
yang efisien dan efektif yang mengacu pada SOP (standard operating procedures).

5.2 Saran
Terdapat sejumlah saran yang masih sangat diperlukan :
1. Konservasi bangunan tidak dilakukan dengan penyeragaman, melainkan
mempertahankan pola-pola arsitektur dan tatanan khas sesuai tata aturan desa.
2. Dalam menampilkan atraksi hendaknya dapat membedakan antara atraksi yang
sakral, setengah sakral dan yang profan.
3. Bagi manajemen Desa Wisata Bedulu perlu membuat standar kelayakan
perhitungan aspek finansial dan ekonomi dengan memperluas metode yang
dipergunakan.
4. Pengembangan fasilitas seperti akomodasi diharapkan tidak merusak lingkungan
yang ada sebelumnya dan sesuai dengan tata ruang desa.
5. Memperbaiki dan mengembangkan Mandala Wisata Samuan Tiga di Desa Bedulu
sehingga dapat menambah daya tarik dari desa wisata tersebut.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 28

KEPUSTAKAAN

Adhisakti, Laterna T. 2000. Strategi Pengembangan Desa Wisata di Indonesia dalam


Makalah Seminar Nasional Pemberdayaan Pariwisata Berbasis Kerakyatan dalam
Menyongsong Otonom Daerah Bali.
Brigham, E.F, Houston, J.F. 2001. Manajemen Keuangan. Buku 1 dan 2. Edisi
Kedelapan. Jakarta: Erlangga
David, F. 2009. Manajemen Strategis Konsep. Buku 1. Edisi 12. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat
Erawan, Nyoman. 1993. Pariwisata dalam Kaitannnya dengan Kepribadian Bangsa.
Dalam TR. Sudarta, dkk (ed). Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Upada
Sastra. Denpasar.
Husnan, S dan Muhamad. 2008. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Keempat. Yogyakarta :
UPP STIM YKPN
Kotler, P dan Keller 2009. Manajemen Pemasaran. Edisi 12 Jilid 1. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Lim, dan Park, 2007. Environmental and Economic Study of a Total Wastewater
Treatment Network System. Journal of Environment Management. Vol.88 No.1.
Lu, Sadler dan Camp, 2005. Economic Feasibility Study of Variable Irrigation of Corn
Production in Southeast Coastal Plain. Journal of Sustainable Agriculture.
Vol.26, No.3.
Nasrullah. 2007. Studi Kelayakan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja Kota Salatiga.
Journal PRESIPITASI. Vol.3. No.2
Mukodim. 2009. Analisis Studi Kelayakan Investasi Pengembangan Usaha PT. Aneka
Andalan Karya. Proceeding PESAT. Vol.3.No.1
Neba, 2010. Developing Rural Tourism as an Alternative Strategy for Poverty
Alleviation in Protected Areas: Example of Oku, Cameroon. International NGO
Journal. Vol.5. No.1
Pitana, Gde. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Penerbit : Bali Post.
Denpasar.
Sartono, 2001. Manajemen Keuangan Teori dan Aplikasi, Edisi Keempat, Yogyakarta,
BPFE.
Satoto, R. 2005. Analisis Kelayakan Investasi Apotek Kimia Farma 82 Kartika Plaza Kuta
Unit Bisnis Area Bali, PT Kimia Farma Apotek (Persero), Tesis, Program Studi
Magister Manajemen UNUD tidak dipublikasikan.
Suratman, 2001. Studi Kelayakan Proyek – teknik dan prosedur penyusunan laporan,
Edisi Pertama, Yogyakarta, J&J Learning.
Suryawan dan Pujaastawa, 2009. Karakter Wisatawan Nusantara Ke Bali, Denpasar:
Puslit Kebudayaan dan Kepariwisataan, UNUD bekerjasama dengan Dinas
Pariwisata Provinsi Bali.
Sucipto, A. 2010. Studi Kelayakan Bisnis – Analisis Integratif dan Studi Kasus. Cetakan
1. Malang: Aditya Media.
Suliyanto. 2010. Studi Kelayakan Bisnis – Pendekatan Praktis. Edisi 1. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
Tista, 1986. Sejarah Bali. Denpasar: Proyek Penyusunan Sejarah Bali Pemerintah
Daerah Tingkat I Bali.
Trejos, B, Chiang L.H. 2009. Local Economic Linkages to Community-Based Tourism in
Rural Costa Rica. Singapore Journal of Tropical Geography. Vol 1. No.1.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 29

Umar, H. 2002. Metode Riset Bisnis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.


Warsika, P.D. 2009. Studi Kelayakan Investasi Bisnis Properti (Studi Kasus: Ciater Riung
Rangga). Jurnal Ilmiah Teknik Sipil. Vol.13. No.1.
Widianto, Handoyo, dan Fajarwati. 2008. Pengembangan Pariwisata Pedesaan (Suatu
Usulan Strategi bagi Desa Ketingan). Jurnal Bumi Lestari. Vol.8. No.2.
Wijaya, B. 2009. Studi Kelayakan Investasi Penambahan Villa Pada PT Bagus Agro
Pelaga di Kabupaten Badung, Tesis, Program Studi Magister Manajemen UNUD
tidak dipublikasikan.
Wilson, S., Fesenmaier, D.R., Van Es, J.C. 2001. Factors for Success in Rural Tourism
Development. Journal of Travel Reseach Vol 40. No.132
Wirawan. 2003. Analisis rencana investasi pada jaringan”shop & ride” di Buleleng dan
Jembrana, Tesis, Program Studi Magister Manajemen UNUD tidak
dipublikasikan.
Zubir, Z, 2006. Kelayakan Usaha untuk Hotel dan Penginapan. Edisi Satu. Jakarta :
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 30

DESA WISATA BERBASIS MASYARAKAT


SEBAGAI MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI DESA PINGE

I Made Adikampana
adikampana@yahoo.com
Dosen Fakultas Pariwisata Unud

Abstract

This study is to formulate a model of community empowerment through


improved local community participation in Pinge’s Village Tourism. The model useful
for solving problems of lack of community participation in village tourism
development, as a result of the powerlessness of the community in identifying
benefits/contributions of tourism.
Based on existing products and potential of community in Pinge, can be
formulated two model of community empowerment in village tourism development.
First; strengthening institutional capacity (institutional building) and the role of
communities in Pinge to participate actively in the process of village tourism
development. Second, strengthening access to and opportunities for communities in
Pinge to enhance the economic benefits of village tourism.

Key words: model, development, ccommunity empowerment, village tourism, tourism


benefit

I. PENDAHULUAN
Desa wisata dikembangkan sebagai reaksi atas berbagai dampak negatif
pengembangan pariwisata konvensional, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas
lingkungan pedesaan dan kualitas hidup masyarakat lokal (Roberts dan Hall, 2001).
Sejalan dengan kecendrungan tersebut, pengembangan desa wisata di Desa Pinge,
Tabanan, Bali, yang selama ini terlupakan, bertujuan untuk menjaga kelestarian
morflogi desa, kehidupan pedesaan dan sebagai alat prioritas untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik, peluang pekerjaan
dan kesempatan berusaha (Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2002). Namun kenyataannya
masyarakat Desa Pinge mempunyai tingkat sosial ekonomi yang relatif masih rendah.
Hal ini menunjukkan minimnya partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa
wisata, akibat dari ketidakberdayaan masyarakat dalam mengidentifikasi peluang
ekonomi pariwisata (Campbell, 1999).
Berdasarkan fenomena tersebut, penelitian tentang model pemberdayaan
masyarakat Desa Pinge dalam pengembangan desa wisata menjadi penting untuk
dikaji. Terutama penemuan suatu model yang diharapkan dapat diterapkan untuk
peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan produk Desa Wisata
Pinge.

II. METODE PENELITIAN


2.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menerapkan metode penelitian kualitatif. Penggunaan metode
kualitatif sebagai prosedur penelitian akan menghasilkan konsepsual penafsiran dari
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 31

objek amatan secara keseluruhan (Altinay dan Paraskevas, 2008). Penelitian kualitatif
ini memiliki beberapa keunggulan. Pertama, penelitian dilatarbelakangi permasalahan
ilmiah untuk objek secara keseluruhan sehingga menggambarkan kondisi yang
sebenarnya. Kedua, mampu menyesuaikan diri dengan realitas dinamis dalam
penelitian, karena tidak bersifat parsial atau membuat objek secara spesifik. Ketiga,
desain penelitian bersifat fleksibel, sehingga dapat diperbaiki dan disempurnakan
selama proses penelitian sedang berlangsung. Keempat, karena mengikuti logika
induksi maka metodologi kualitatif dapat menyumbang teori baru setelah penelitian.
Kelemahan penulisan deskriptif adalah tidak sampai menjelaskan hubungan
kausalitas, latar belakang situasional, serta tidak menjawab pertanyaan "mengapa
sesuatu itu terjadi". Oleh karena itu perlu dilengkapi dengan metode historis.
Penggunaan metode historis dalam studi ini didasari atas keyakinan bahwa setiap
fenomena sosial pasti memiliki akar-akar sejarah yang luas, yang sangat berkaitan
dengan kondisi sekarang dan di masa yang akan datang.

2.2 Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini akan menggunakan beberapa teknik-teknik pengumpulan data
seperti studi pustaka, wawancara mendalam, dan focus group discussion/FGD (Veal,
2006). Teknik wawancara mendalam dan FGD dipilih untuk mendapatkan pemahaman
atas pengetahuan lokal tentang pariwisata dan kegiatan ekonomi masyarakat lokal.

2.3 Bagan Alir Penelitian


Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat digambarkan secara rinci dalam
gambar 2.1 Alur Pikir penelitian berikut :

Gambar 2.1 Alur Pikir

Sumber : Hasil Penelitian, 2011.


Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 32

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Produk Desa Wisata Pinge
3.1.1 Atraksi
Desa Wisata Pinge memiliki hawa sejuk karena terletak pada ketinggian 500
meter di atas permukaan laut. Desa Wisata Pinge terletak 34 Km dari Denpasar.
Lokasinya 17 Km di bagian utara Kota Tabanan. Untuk dapat pengalaman perjalanan
wisata yang tidak terlupakan, maka perjalanan dari Denpasar sebaiknya melalui
Bedugul – Pertigaan Desa Pacung – Jati Luwih – Yeh Panes – Desa Wisata Pinge –
Tabanan – Alas Kedaton. Memiliki potensi alam pedesaan dengan bangunan tradisional
Bali, Desa Wisata Pinge termasuk salah satu daya tarik wisata dengan panorama yang
indah. Tata letak desa yang teratur memanjang dan dibelah oleh satu jalan besar
dengan arsitektur tradisional yang rapi dan sejajar.. Desa Wisata Pinge menyimpan
pula potensi budaya terutama potensi arkeologi di sebuah pura yaitu Pura Natar
Jemeng (Wisata Dewata, 2011).
Wisatawan yang berunjung ke Desa Wisata Pinge ingin menikmati suasana
pedesaan dan keindahan serta hamparan sawah yang luas. Beberapa kegiatan wisata
yang dapat dilakukan di Desa Wisata Pinge diantaranya (Wisata Bali, 2012):
1. Hiking, wisatawan dapat berjalan kaki di dalam desa sambil menikmati suasana
pedesaan dan pertanian. Setelah itu pengunjung dapat beristirahat di rumah-
rumah penduduk sambil menikmati makanan atau minuman yang dipesan
sebelumnya.
2. Tracking, wisatawan dapat menikmati area pertanian Desa Pinge sambil
menikmati atmosfer pedesaan yang nyaman dan tradisional.
3. Cycling, dilakukan wisatawan dengan bersepeda sambil menikmati sauasana
pedesaan.
4. Car touring, wisatawan menikmati suasana Bedugul, Jatiluwih singgah di Pinge dan
Tabanan dengan rute cukup jauh dilakukan dengan memakai mobil seperti VW
safari atau kendaraan unik lainnya.
Mendukung potensi tersebut, Desa Wisata Pinge memiliki kelompok sadar
wisata Pinge Asri yang menangani kegiatan wisata. Kelompok ini mengelola segala
sesuatu berkaitan dengan kepentingan wisatawan, seperti:
1. Memandu wisatawan menikmati pola pemukiman, rumah tradisional, aktivitas
sosial, dan budaya.
2. Memandu kegiatan pertanian.
3. Menjelaskan fasilitas yang tersedia bagi wisatawan.
4. Menawarkan potensi tinggalan arkeologi.
5. Layanan bagi wisatawan yang ingin memanfaatkan fasilitas home stay.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 33

Gambar 2. Sebaran Atraksi Desa Wisata Pinge

Sumber : Hasil Penelitian, 2011.

3.1.2 Amenitas
Amenitas atau fasilitas wisata yang terdapat di Desa Wisata Pinge berupa
akomodasi (home stay), tempat coffee break, toilet, arena pementasan kesenian, dan
souvenir shop. Ketersediaan fasilitas tersebut cukup mendukung kepariwisataan Desa
Pinge.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 34

Gambar 3. Fasilitas Desa Wisata Pinge

Sumber : Hasil Penelitian, 2011.

3.2 Model Pemberdayaan Masyarakat melalui Pengembangan Produk Desa Wisata


Pinge
Pemberdayaan masyarakat atau komunitas lokal merupakan paradigma yang
sangat penting dalam kerangka pengembangan kepariwisataan. Pentingnya
pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan tersebut oleh Murphy (1987)
dikatakan bahwa pariwisata sebagai “community industry”, sehingga keberlanjutan
pembangunan pariwisata sangat tergantung dan ditentukan oleh dukungan,
penerimaan, dan toleransi terutama dari masyarakat di sekitar kegiatan pariwisata
(lokal). Memastikan bahwa pengembangan pariwisata di Desa Wisata Pinge dapat
berkelanjutan, maka hal mendasar yang harus diwujudkan adalah memfasilitasi
keterlibatan luas masyarakat lokal dalam proses pengembangan dan mengoptimalkan
manfaat sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi dari kegiatan desa wisata tersebut.
Dalam rangka memfasilitasi keterlibatan dan optimalisasi manfaat Desa Wisata
Pinge bagi masyarakat lokal, maka model pemberdayaan masyarakat yang akan
dirumuskan dalam pengembangan Desa Wisata Pinge diarahkan pada:
1. Penguatan kapasitas dan peran masyarakat Desa Pinge untuk turut serta aktif
dalam kegiatan dan proses pembangunan desa wisata.
2. Penguatan akses dan kesempatan berusaha bagi masyarakat Desa Pinge untuk
meningkatkan manfaat ekonomi desa wisata.

3.2.1 Penguatan Kapasitas dan Peran Masyarakat Desa Pinge


Pengembangan pariwisata berbasis pemberdayaan masyarakat, berorientasi
kepada penguatan peran dan partisispasi masyarakat dalam proses pengembangan.
Proses pengembangan dimulai dari kegiatan perencanaan, implementasi, dan kontrol
terhadap pengembangan. Dalam kaitan ini, diperlukan partisipasi dan penguatan
lembaga masyarakat Desa Wisata Pinge seperti Kelompok Sadar Wisata Pinge Asri, Desa
Adat dan Dinas Pinge, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok usaha pariwisata
lainnya agar dapat memiliki peran aktif dalam proses pengembangan pariwisata.
Beberapa aspek yang terkandung dalam penguatan kapasitas dan peran masyarakat
dalam pengembangan Desa Wisata Pinge adalah :
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 35

1. Kapasitas institusi masyarakat; aspek ini berhubungan dengan kemampuan dan


keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat dalam hal pengetahuan berorganisasi
dan keahlian untuk pengelolaan dan pengembangan organisasi. Pihak yang
bertanggung jawab dalam aspek ini adalah pemerintah, perguruan tinggi, dan
organisasi non pemerintah.
2. Pelibatan masyarakat dalam proses pengembangan (perencanaan, implementasi,
dan monitoring/evaluasi)
a. Perencanaan; keterlibatan masyarakat Desa Pinge terutama untuk identifikasi
masalah atau persoalan, identifikasi potensi pengembangan, analisis dan
prediksi terhadap kondisi di masa mendatang, dan perumusan alternatif
rencana.
b. Implementasi; bentuk keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program
pengembangan Desa Wisata Pinge.
c. Monitoring/evaluasi; keterlibatan masyarakat dalam tahap pengawasan dan
evaluasi serta memperoleh manfaat untuk kesejahteraan masyarakat Desa
Pinge.

3.2.2 Penguatan Akses dan Kesempatan Berusaha Masyarakat Desa Pinge


Di Desa Wisata Pinge kesempatan berusaha dalam kegiatan desa wisata telah
berkembang. Hal ini ditunjukkan oleh pengembangan usaha masyarakat di bidang
akomodasi (home stay), souvenir shop, dan penyediaan makanan dan minuman
khususnya oleh ibu-ibu yang tergabung dalam PKK. Namun mengingat keberadaan
produk Desa Wisata Pinge yang cukup beragam yaitu atraksi berbasis alam dan budaya,
maka perlu diupayakan keterlibatan lain seperti pemandu wisata lokal dan
menyediakan transportasi lokal.
Penguatan usaha ekonomi masyarakat akan memberikan sejumlah manfaat,
antara lain:
1. Meningkatnya suplai terhadap fasilitas penunjang pariwisata yaitu akomodasi,
makanan dan minuman, serta cindramata.
2. Menyediakan pemasukan tambahan bagi penyedia barang dan jasa layanan
pariwisata
3. Meningkatkan permintaan pasar terhadap produk lokal, sehingga akan mendorong
keberlanjutan adat tradisi masyarakat lokal
4. Menggunakan tenaga kerja dan tenaga ahli lokal misalnya: pemandu wisata,
pelaku seni, dan pekerja home stay.
5. Membuka sumber dana bagi usaha perlindungan atau konservasi sumberdaya alam
dan sumberdaya budaya
6. Menumbuhkan kesadaran masyarakat lokal terhadap nilai-nilai lokalitas budaya
dan keunikan alam.
Penguatan usaha ekonomi masyarakat sebagai salah satu ranah penting dalam
pemberdayaan masyarakat, terutama berkaitan dengan optimalisasi kontribusi
pengembangan desa wisata terhadap ekonomi masyarakat Desa Wisata Pinge.
Sebagaimana telah menjadi prinsip pengembangan pariwisata berbasis masyarakat,
bahwa pengembangan pariwisata harus memberikan manfaat ekonomi yang sebesar-
besarnya bagi masyarakat lokal. Selain itu, pariwisata mempunyai agenda dalam
mengurangi tingkat kemiskinan masyarakat, sehingga akses masyarakat lokal terhadap
manfaat ekonomi Desa Wisata Pinge harus dioptimalkan.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 36

III. SIMPULAN DAN SARAN


4.1 Simpulan
Berdasarkan eksisting produk Desa Wisata Pinge dan potensi masyarakat Desa
Pinge dapat disimpulkan bahwa model pemberdayaan masyarakat dalam
pengembangan desa wisata adalah sebagai berikut
1. Penguatan kapasitas institusi (institutional building) dan peran masyarakat Desa
Pinge untuk turut serta aktif dalam kegiatan dan proses pembangunan desa
wisata.
2. Penguatan akses dan kesempatan berusaha bagi masyarakat Desa Pinge untuk
meningkatkan manfaat ekonomi desa wisata.

4.2 Saran
Berdasarkan model pemberdayaan masyarakat Desa Pinge, dapat disarankan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Pengembangan potensi, kapasitas, dan partisipasi masyarakat melalui
pengembangan Desa Wisata Pinge.
2. Peningkatan potensi dan kapasitas sumberdaya lokal melalui pengembangan usaha
produktif yang terkait dengan desa wisata.
3. Pengembangan regulasi dan insentif utuk mendorong perkembangan usaha
ekonomi masyarakat Desa Pinge.
4. Penguatan kemitraan melalui pengembangan jejaring desa wisata dan Peran
Pemkab Tabanan dan stakeholders untuk secara serius menggarap desa wisata
yang ada di wilayahnya.
5. Penelitian lanjutan diperlukan untuk menetapkan segmentasi pasar, peluang dan
kendalanya sehingga dapat dijadikan rekomendasi bagi segenap komponen untuk
pengembangan desa wisata secara berkelanjutan

KEPUSTAKAAN

Altinay, Levent and Paraskevas, Alexandros, 2008, Planning Research in Hospitality


and Tourism, Elsevier, UK.
Campbell, 1999, Ecotourism in Rural Developing Communities, Annals of Tourism
Research, 26: 534-553.
Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2002, Studi Pengembangan Desa Wisata Pinge
Kecamatan Marga Tabanan, Bali.
Murphy, Peter E., 1987, Tourism A Community Approach, Methuen, New York.
Roberts, Lesley and Hall, Derek, 2001, Rural Tourism and Recreation, CABI Publishing,
UK.
Veal, A. J., 2006, Research Methods for Leisure and Tourism: A Practical Guide,
Prentice Hall, England.
Available From :
http://www.wisatadewata.com, diakses tanggal 16 Januari 2012.
http://bali.panduanwisata.com, diakses tanggal 8 Juli 2012.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 37

KARAKTERISTIK RESTORAN INDIA SEBAGAI SARANA WISATA BARU DI


KAWASAN WISATA KUTA, NUSA DUA DAN UBUD

Ni Made Ariani
Ni Nyoman Sri Aryanti
I Gusti Agung Oka Mahagangga
oka_mahagangga@yahoo.com
Dosen Fakultas Pariwisata Unud

Abstract

As the one as the top destination in the world Bali become popular with the
tourist from India. So, Bali must prepare the carrying facility who adapted with
character indian tourist. The Restaurant of India maybe one of the facility that the
tourist needed and that special restaurant has opening in Kuta, Nusa Dua and Ubud.
With Qualitative approach, this research saying that character all of Indian
restaurant in Bali have equal in management, lay out an the food menu aspect. Only
the Indian restaurant at Sunset Road and at Ubud have different think, from capacity
and natural atmosphere aspect.

Key words : character, indian restaurant, food menu, and management.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pariwisata sudah bukan kata asing bagi warga masyarakat dunia saat ini.
Terlebih Bali yang sudah terkenal hingga ke mancanegara dengan berbagai julukan dari
yang eksotis hingga fantastis. Bali merupakan destinasi utama pariwisata di Indonesia
dan bahkan di dunia. Pulau Bali terkenal di seluruh dunia karena memiliki daya tarik
adat-istiadat, tradisi maupun destinasi wisata yang beraneka ragam.
Pariwisata pun telah telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bali dan
memberikan kontribusi besar dalam pembangunan. Peranan pariwisata tersebut dapat
dilihat dari kontribusinya terhadap Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB) dan
penyerapan tenaga kerja. Hingga tahun 2000, sektor pariwisata menyumbang 33,19%
untuk PDRB atas dasar harga berlaku. Sedangkan penyerapan tenaga kerja pada tahun
1995 jumlah yang terserap pada sektor pariwisata sebesar 18,57% dan pada tahun 2003
adalah 22,86% (Pitana, 2002 : 11).
Kebudayaan Bali yang unik merupakan faktor utama pesatnya perkembangan
Pariwisata Bali secara umum. Namun tidak dapat dipungkiri tanpa kehadiran sarana
wisata sebagai penunjang kegiatan wisatawan selama berlibur di Bali, tentunya angka
kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali tidak akan meningkat pesat. Kehadiran
sarana akomodasi wisata baik berupa hotel maupun restoran sangat berperan dalam
memberikan kenyamanan kepada wisatawan. Akomodasi wisata yang berkualitas juga
dapat memberikan citra positif terhadap pasar sehingga wisatawan dari mancanegara
tersebut dapat memberikan informasi yang baik ketika kembali ke negaranya masing-
masing.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 38

Seperti di Kabupaten Badung khususnya di seputaran kawasan wisata Kuta,


pertumbuhan jumlah jasa sarana wisata meningkat cukup signifikan dari tahun ke
tahun. Hal ini sebagai respon terhadap pasar wisatawan yang datang ke Bali semakin
beragam dan memiliki selera yang berbeda pula. Disamping hal tersebut seperti
tampak pada tabel 1.2 terdapat pertambahan jumlah Bar dan Catering yang
menandakan pola konsumsi wisatawan tidak hanya di restoran atau rumah makan
melainkan dapat pula memanfaatkan bar dan jasa catering tersebut.

Tabel 1.2 Jumlah Restoran, Rumah Makan, Bar,Catering dan Jumlah Kursi di Kab.
Badung

Restoran
Rumah Makan Bar Catering
Tahun
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Kursi Kursi Kursi Kursi
2004 97 12.992 413 23.808 287 9.364 1 100
2005 131 15.463 429 25.087 302 9.644 2 200
2006 185 18.449 452 25.980 324 10.343 4 400
2007 192 19.534 446 25.965 322 10.239 4 400
2008 236 22.299 451 26.208 336 11.096 4 400
2009 237 25.281 457 27.188 345 11.452 5 500
Sumber : Disparda Badung, 2010.

Inovasi dalam mengemas produk dan melihat trend pasar dalam pengembangan
sarana wisata seperti restoran tidak dapat dielakkan. Pasar pariwisata Bali yang
dinamis tidak hanya dikunjungi oleh wisatawan asal Eropa, Jepang maupun Australia.
Para praktisi pariwisata pun dituntut cermat melihat peluang dan potensi pasar yang
dinamis. Sebagai pasar baru yang dipandang potensial wisatawan mancanegara yang
berkunjung langsung ke Bali adalah wisatawan asal India. Wisatawan India bagaikan
sleeping giant (raksasa yang sedang tidur). Potensinya sangat luar biasa, mengingat
lebih dari 10 juta orang India berwisata ke penjuru dunia setiap tahunnya. Tempat
yang paling banyak dituju adalah Inggris, Dubai, dan Fiji. Sementara Indonesia tahun
2009 dikunjungi turis dari India sebesar 116.001 orang atau meningkat dibandingkan
tahun 2008 hanya 90.720 orang (Sukamdani, 2010).
Untuk Bali kunjungan wisatawan mancanegara asal India, berdasarkan data awal
yang diperoleh hingga pertengahan tahun 2009, berdasarkan data Kajian Ekonomi
Regional Bali yang diterbitkan Bank Indonesia Denpasar, selama Januari-Mei 2009,
kunjungan wisatawan India ke Pulau Dewata mencapai 10.856 orang. Kunjungan
selama Januari tercatat 1.713 orang, bulan berikutnya sempat turun menjadi 1.629
wisatawan, Maret naik lagi 1.808 orang, April meningkat 2.085 orang dan Mei melonjak
mencapai 3.621 orang. Meningkatnya kunjungan wisatawan India juga didukung
keberadaan sejumlah rumah makan khas negeri itu, seperti Queen`s of India di sebelah
Bali Dynasty, Jalan Kartika Plaza, Tuban, Kuta, dan Queen`s Tandoor di Gallery
Seminyak, Jalan Raya Seminyak (Bagoes Oka, 2009).
Keberadaan restoran atau rumah makan khas India dengan demikian akan
semakin dibutuhkan dengan terus meningkatnya jumlah wisatawan India berkunjung ke
Bali. Restoran India hingga saat ini belum diketahui jumlah pastinya, akan tetapi
berdasarkan penjajagan awal restoran India tersebar di beberapa wilayah seperti di
Legian, Seminyak, Sunset Road, By Pass Nusa Dua dan Ubud.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 39

Karakteristik restoran India di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada


khususnya belum diketahui secara umum, karena kecenderungannya pemilik restoran
tersebut adalah orang India asli. Selain itu restoran India di Bali masih baru
berkembang sehingga sangat ideal dan menarik untuk diketahui karakteristiknya,
sebagai suatu upaya pengembangan restoran India di Bali yang dapat memacu
perkembangan pasar wisatawan India untuk semakin tinggi minatnya berkunjung ke
Bali.
Sebagai sarana wisata yang baru berkembang dengan demikian memiliki ciri
khusus yang mungkin sangat berbeda dengan restoran asing yang sudah terlebih dahulu
berkembang di Bali. Untuk itu diperlukan kajian atau penelitian terapan untuk
mengetahui secara valid dan mendalam tentang karakteristik restoran India sebagai
sarana wisata baru di kawasan wisata Kuta, Nusa Dua dan Ubud. Hal ini penting untuk
dilakukan sebagai upaya mengenal dan memaksimalkan pelayanan restoran India
sebagai industri jasa pariwisata yang memiliki prospek pasar cukup cerah sehingga Bali
tidak akan hanya bergantung kepada pasar tradisonal seperti Jepang dan Australia.

1.2 Perumusan Permasalahan


Bertolak dari pemikiran diatas maka permasalahan dalam tulisan ini dapat
dirumuskan sebagai berikut : ”Bagaimana Karakteristik Restoran India di Kawasan
Wisata Kuta, Nusa Dua dan Ubud?”

1.3 Tujuan Penelitian


Untuk mengetahui Karakteristik Restoran India di Kawasan Wisata Kuta, Nusa
Dua dan Ubud.

1.4 Tinjauan Pustaka


1.4.1 Batasan Karakteristik Restoran India
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian karakterisitk adalah ciri-ciri
khusus yang sifatnya khas sesuai dengan perwatakan tertentu (Poerwadamita, 2001).
Karakteristik dengan demikian memiliki ciri yang membedakan antara benda atau
objek satu dengan yang lainnya. Karakteristik Restoran India dalam penelitian ini
adalah ciri-ciri khusus yang dimiliki beberapa restoran India sebagai industri jasa yang
memberikan pelayanan berupa makanan dan minuman yang memiliki cita rasa
makanan dari Negara India.

1.4.2 Batasan Pengertian Sarana Wisata Baru


Sarana Wisata merupakan kelengkapan daerah tujuan wisata yang diperlukan
untuk melayani kebutuhan wisatawan dalam menikmati perjalanan wisatanya.
Pembangunan sarana wisata di daerah tujuan wisata maupun objek wisata tertentu
harus disesuaikan dengan kebutuhan wisatawan baik secara kuantitatif maupun
kualitatif. Lebih dari itu selera pasar pun dapat menentukan suatu sarana wisata.
Berbagai sarana wisata tersebut adalah hotel, biro perjalanan, alat transportasi,
restoran dan rumah makan (Suwantoro, 2004 : 22).

1.4.3 Batasan Pengertian Restoran


Restoran adalah satu usaha komersil yang menyediakan jasa pelayanan makan
dan minum yang dikelola secara profesional. Sarana wisata baru dalam penelitian ini
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 40

adalah restoran India yang perkembangannya baru saja dimulai. Hal ini sejalan dengan
mulai diliriknya pasar wisatawan mancanegara asal India tersebut.

1.4.4 Batasan Pengertian Pengembangan


Menurut Poerwadarminta (2001) pengembangan adalah suatu proses atau cara
menjadikan sesuatu menjadi maju, baik, sempurna dan berguna, sedangkan menurut
Badudu (1994) pengembangan adalah hal, cara atau hasil kerja mengembangkan. Jadi
pengembangan dalam hal ini dapat diartikan membuat menjadi ada dari yang belum
ada, dari yang sudah ada menjadi lebih baik dan dari sudah baik menjadi lebih baik,
demikian seterusnya (Arismayanti, 2005).
Pengembangan Objek wisata mempunyai tiga faktor menentukan (Yoeti, 1996)
yaitu : 1) Tersedianya objek wisata, yaitu tersedianya objek dan daya tarik wisata; 2)
Adanya fasilitas aksesibilitas, yaitu sarana dan prasarana penunjang sehingga
memungkinkan wisatawan mengunjungi suatu daerah wisata; 3) Tersedianya fasilitas
amenities yaitu sarana kepariwisataan yang dapat memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Pengembangan objek wisata merupakan proses perencanaan strategis
yang terfokus pada implementasi strategi termasuk pengoraganisasian, pengarahan dan
pengendalian secara sederhana. Langkah awal yang harus dilakukan adalah identifikasi
posisi atau prestasi objek wisata kemudian disusun strategi pengembangan sehingga
dapat disusun program-program yang diarahkan untuk dapat mencapai kondisi yang
diharapkan.
Pengembangan dalam penelitian ini adalah upaya dari pengelola restoran India
untuk memajukan usahanya yang baru sesuai dengan target yang dimiliki. Upaya
tersebut mencakup langkah atau strategi dalam mewujudkan visi dan misi yang
dimiliki.

1.5 Metode Penelitian


1.5.1 Lokasi Penelitian
Terdapat beberapa buah restoran India di kawasan Kuta yang tersebar dari
Legian hingga ke Seminyak. Lokasi penelitian ini dengan demikian adalah di Jalan
Legian, di Jalan Seminyak dan jalan Sunset Road.

1.5.2 Definisi Operasional Variabel


Dalam rangka membatasi permasalahan yang diteliti maka ruang lingkup
penelitian ini adalah kepada karakteristik restoran India dengan indikator sejarah
berdirinya, pengelolaan, lay out restoran dan menu makanan yang dijual kepada para
wisatawan.

1.5.3 Jenis dan Sumber Data


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Data Kualitatif adalah data yang berisikan urain informasi terpercaya tentang
objek penelitian yaitu tentang kendala yang dihadapi pengusaha dalam
pengembangan restoran India di kawasan Kuta.
2. Data Kuantitatif berupa angka-angka sebagai hasil dari penelitian di lapangan
tentang karakteristik restoran India sebagai sarana wisata baru di kawasan Kuta.
Sumber data adalah dalam penelitian ini adalah sumber data primer yaitu data
yang diperoleh langsung dari pengelola restoran dan sumber data sekunder yaitu data
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 41

yang diperoleh dalam bentuk tulisan, laporan, media massa atau sumber tertulis
lainnya.

1.5.4 Teknik Pengumpulan Data


Dalam penelitian ini menggunakan beberapa metode teknik pengumpulan data
yaitu :
1. Observasi adalah cara pengumpulan data melalui pengamatan yang terfokus
kepada karakteristik dan kendala pengembangan restoran India di kawasan wisata
Kuta
2. Kuesioner adalah pengumpulan data dengan cara memberikan daftar pertanyaan
yang telah disusun untuk pengelola restoran
3. Studi Kepustakaan adalah pengumpulan data dari literatur, media massa dan
sumber tertulis lainnya yang memiliki relevansi dengan objek penelitian.

1.5.5 Teknik Pengambilan Sampel


Dalam penelitian ini populasinya adalah 8 buah restoran India yang tersebar di
Kawasan Kuta, Nusa Dua dan Ubud yaitu Gateway Of India Sanur, Gateway Of India
Kuta, Gateway Of India Seminyak, Queen`s of India di sebelah Bali Dynasty, Jalan
Kartika Plaza, Tuban, dan Queen`s Tandoor di Gallery Seminyak, Indian Delites Ubud,
O’ India Sunset Road dan India Dhaba, By Pass Nusa Dua.
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang
memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2010 : 117). Populasi dalam
penelitian ini yang tidak lebih dari 10 pengelola restoran, maka peneliti menggunakan
seluruh populasi sebagai objek penelitian. Dengan kata lain, populasi dalam penelitian
ini merupakan populasi kecil sehingga tidak digunakan sampel karena keseluruhan
objek penelitian dapat dijangkau oleh tim peneliti (Bungin, 2010). Dalam istilah
kuantitatif, objek penelitian yang kecil ini disebut sebagai sampel total, yaitu
keseluruhan populasi merangkap sebagai sampel penelitian (Surakhmad, 1978).

1.5.6 Teknik Analisis Data


Penelitian ini menggunakan teknik analisis data deskriptif kualitatif yaitu
menguraikan, menggambarkan dan menjelaskan secara sistematis data yang diperoleh
dilapangan dengan tujuan memperoleh gambaran yang jelas dan objektif. Analisis
deskriptif kualitatif dalam penelitian ini berwujud persentase jawaban dari kuesioner
tentang karakteristik responden yang kemudian diperbandingkan antara satu dengan
yang lainnya. Perbandingan tersebut dilakukan untuk melihat karakter restoran India
secara umum di Kawasan Kuta, Nusa Dua dan Ubud.
Setelah melakukan perbandingan dilakukan analisis data secara kualitatif untuk
melihat kendala yang dihadapi restoran sesuai dengan masing-masing karakternya.
Informasi yang diperoleh dari para pengelola restoran akan diolah yang selanjutnya
menghasilkan suatu data kualitatif. Terakhir Tim Peneliti akan berusaha memberikan
interpretasi secara kualitatif terhadap kendala yang dihadapi tersebut dengan
berlandaskan kepada data kuantitatif dan data kualitatif yang diperoleh selama
penelitian berlangsung.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 42

II. PEMBAHASAN
2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah di di Kuta dan Nusa Dua di Kab. Badung dan di Ubud
Kabupaten Gianyar. Kuta adalah kawasan wisata yang sudah terkenal dengan
keindahan pantainya dan saat ini telah diminati pula oleh wisatawan asal India. Nusa
Dua adalah kawasan wisata yang lebih elit dengan sebagian besar wisatawan yang
menginap di sana adalah untuk berbisnis, transit dan berwisata. Kawasan wisata Ubud
dengan keasrian alam pedesaan lebih menarik kunjungan wisatawan yang ingin
menikmati masa liburnya jauh dari hingar bingar keramaian dan Ubud juga ternyata
mulai dilirik oleh wisatawan asal India. Selama ini Ubud lebih sering dikunjungi oleh
wisatawan asal Eropa dan Jepang.

2.2 Karakteristik Restoran India di Kuta, Nusadua dan Ubud


Dilihat dari pengelolaan dan sistem penyajiannya maka restoran dapat
diklasifikasikan menjadi 3 yaitu formal restoran, informal restoran dan spesial
restoran. Berdasarkan hasil observasi di lapangan terdapat lima restoran India di Kuta,
dua restoran India di Nusa Dua dan satu restoran India di Ubud. Terdapat satu restoran
India pula di Sanur tetapi tidak dibahas dalam penelitian ini.
Restoran India yang pertama kali berdiri adalah Restoran Gateway Of India
sekarang berlokasi di Seminyak. Restoran ini berdiri sekitar tahun 1998 semula
bernama LG Gateway of India berlokasi di Jalan Legian Kuta. Sebagai owner adalah Mr.
Anil Kumar Kalra Warga Keturunan India bekerjasama dengan salah satu restoran India
ternama di Jakarta. Mr. Anil melihat pangsa pasar yang semakin baik untuk wisatawan
India kala itu. Dirinya memberanikan diri berinvestasi di sektor yang sebelumnya tidak
pernah digeluti. Bekerjasama dengan rekan asal India yang sudah berpengalaman di
mengelola restoran Mr. Anil membuka usaha jasa restoran India dengan mengontrak
sebagaian tempat dari Group LG Restoran.
Tidak tanggung-tanggung, Mr. Anil langsung mencoba tipe spesial restoran
dengan ciri khasnya masakan India tepatnya India Utara (Punjab). Saat itu Mr. Anil
survei ke daerah Jawa Barat untuk mencari peralatan restoran seperti, piring,
mangkok, gelas dan cangkir dari tanah liat. Termasuk Tandori (Alat Panggang khas
India dari tanah liat yang berbentuk guci besar). Untuk peralatan dapur lainnya ia
memesan di Denpasar.
Masakan India memiliki rasa yang khas dengan dasar bumbu yang hampir serupa
untuk semua jenis makanan yaitu jinten, bawang bombay dan bawang putih. Beberapa
bumbu penting lainnya didatangkan langsung dari India. Termasuk Master Chef
didatangkan langsung dari India dengan beberapa asisten (cook) dari Jakarta.
Saat itu Mr. Anil merekrut satu orang manager dan 15 orang pelayan yang dibagi
menjadi dua shift terbagi menjadi shift siang dan malam. Latar belakang pendidikan
tidak diutamakan dari sekolah pariwisata atau sejenisnya melainkan yang dicari adalah
kepribadian jujur dan pekerja keras.
Terbukti di masa-masa awal sudah menunjukkan peminat yang cukup tinggi
berkunjung ke restorannya. Selain wisatawan asal India, para ekspatriat asal India juga
menjadi pangsa pasarnya. Ditambah lagi banyak wisatawan asal Eropa terutama asal
Inggris yang sangat fasih dengan masakan India.
Menjelang tahun ke-3 Mr. Anil memisahkan diri dari Group LG Restoran dan
membuka usahanya di Seminyak dengan nama yang sama hingga saat ini dengan
menambahkan kata Seminyak menjadi Gateway of India Seminyak. Tidak lama Mr. Anil
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 43

dengan dibantu oleh Putranya yang kini menjadi CEO Gateway of India Mr. Vikram
Kumar Kalra membuka usaha jasa restoran di Kuta dengan “bemo corner” bernama
Gateway of India Kuta.
Restoran ke-2 dibuka dengan alasan untuk menarik perhatian wisatawan yang
hendak ke pantai Kuta. Pertimbangan dibukanya restoran India ke-2 miliknya ini karena
wisatawan asal India terus meningkat dan permintaan bufffet di hotel-hotel semakin
tinggi. Gateway of India kini melayani pula delivery service untuk wilayah Kuta dan
sekitarnya. Disamping itu para asisten chef atau cook telah mendapatkan ilmu
memasak yang cukup dari master chef dan telah siap untuk mandiri. Meskipun untuk
bumbu dasar dan beberapa hal spesifik lainnya masih dikerjakan oleh master chef lalu
didistribusikan ke Gateway of India Kuta. Sebanyak 10 orang tenaga kerja direkrut
menjadi pelayan dan 2 orang direkrut sebagai kasir. Supervisor pelayan adalah senior
mereka dari Gateway of India Seminyak begitu pula terdapat kasir kepala yang semula
bertugas di Gateway of India Seminyak.
Memasuki tahun 2002 Mr. Anil mengembangkan usahanya dengan melirik
kawasan Sanur yang bernama Gateway of India Sanur. Dilanjutkan dengan membuka
restoran India di Ubud bernama Indian Delites tahun 2005, lalu O’India Sunset di Sunset
Road Kuta dan Indian Dhaba di Nusa Dua setelah tahun 2008.
Untuk dua Restoran yang terakhir adalah bertujuan untuk menjaring lebih
banyak tamu dengan bekerja sama melalui travel agent. O’India Sunset dan India
Dhaba memiliki perbedaan tampilan dengan restoran-restoran sebelumnya yang hanya
berkapasitas untuk 25-30 orang tamu dan tempat parker yang kurang memadai. O’India
Sunset dan India Dhaba berkapasitas 150-200 orang dengan parkir yang luas dan
disiapkan untuk bus-bus travel.
Dalam rangka membatasi permasalahan yang diteliti maka ruang lingkup
penelitian ini adalah kepada karakteristik restoran India dengan indikator lama
berdirinya, asal pemiliknya, jumlah tenaga kerja, latar pendidikan tenaga kerja, masa
kerja, jenis makanan, rata-rata pendapatan per hari, rata-rata pendapatan per hari
bila high season, rata-rata harga menu makanan, rata-rata jumlah modal termasuk
pula sumber modal dan kerjasama dengan travel agent.

2.2.1 Lay Out Restoran India di Kuta, Nusa Dua dan Ubud
Restoran merupakan tempat orang-orang mengerjakan berbagai kegiatan mulai
dari mempersiapkan bahan makanan hingga hidangan siap dinikmati oleh para tamu
atau pelanggan. Restoran memerlukan rasa nyaman dengan penyajian yang profesional
dan memperhatikan estetika sehingga diperlukan penataan ruang sesuai dengan ciri
khas yang dimiliki.
Untuk Restoran India di Kuta, Nusa Dua dan Ubud memiliki tata ruang restoran
yang tidak jauh berbeda. Meskipun ada beberapa ciri khas tertentu yang berkaitan
dengan lokasi restoran dan pangsa pasar. Untuk tata letak dekorasi hampir kesemua
restoran bernuansa India dari pernak-pernik, harum wangi dupa dan seragam yang
dikenakan pelayan. Warna cerah seperti merah dan hijau mengisi setiap sudut
restoran.
Table set up yang digunakan adalah penataan meja A’la Carte yang masuk
dalam kategori restoran mewah untuk penyajian lunch maupun dinner. Dalam
penataan A’la Carte di tata peralatan makanan dan minuman di atas meja seperti
serbet makan, piring makanan pembuka, pisau dan garpu makan utama, piring roti dan
mentega, pisau roti dan mentegadan gelas air.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 44

Penataan meja makan pada dasarnya tergantung pada jenis hidangan yang akan
disajikan dan jenis pelayanan yang digunakan. Disertai dengan vas bunga, asbak,
tempat garam dan merica yang kesemuanya di tata di atas meja secara seimbang dan
rapi sehingga menampilkan suasana yang tenang dan asri.
Untuk Restoran Gateway of India Kuta, Seminyak dan Sanur memiliki penataan
yang serupa. Sedangkan O’India dan Indian Dhaba lebih berkesan istemewa dan
eksklusif. Sedangkan Indiaan Delites Ubud sebenarnya mirip dengan di Kuta, Seminyak
dan Sanur namun karena terletak ditengah area persawahan membuat restoran ini
tampak natural dan indah pemandangannya.

2.2.2 Menu Makanan India


Ciri khas masakan India adalah rasa pedasnya yang bukan hanya karena cabai
melainkan perpaduan rempah-rempah dan cara memasaknya yang unik. Menu masakan
India dapat dilihat dari beragam roti sebagai pengganti nasi, kare, sayuran dan daging
panggang. Selain itu aneka minuman dan manisan India juga diwarnai dengan aroma
serupa seperti cita rasa Yogurt, asam dan manis berlebihan. Kesemuanya memiliki
bumbu dasar yang sama sehingga masakan India apa pun yang dinikamti oleh
wisatawan memiliki aroma yang serupa.
Adapun jenis makanan yang berupa roti yang biasa disantap sebagai pengganti
nasi dengan dimasak di dalam tandori adalah seperti tertera pada tabel 4.1.

Tabel 4.1 Menu Roti India


No. Nama Makanan Penjelasan
1 Plan Nan Roti Gandum
2 Cheese Nan Roti Gandum dan Keju
3 Butter Nan Roti Gandum dan Mentega
4 Garlic Nan Roti Gandum dan Bawang Putih
5 Onion Nan Roti Gandum dan Bawang Bombay
Sumber : Hasil Penelitian, 2011.

Nan merupakan makanan pokok orang India dengan bahan dasar tepung gandum
yang dibentuk bulat-bulat seperti cara membuat martabak dan kemudian dilebarkan
lalu dimasukkan ke dalam tandori. Orang India asli umumnya lebih suka menikmati
plan nan atau garlic nan, sedangkan orang Eropa atau luar India lebih menyukai cheese
nan. Nan akan dinikmati dengan cara menyobek roti tersebut menggunakan tangan
atau pisau/garpu lalu makanan berupa daging seperti kare atau sayur dimasukkan
kedalam sobekan nan tersebut. Pada tabel 4.2 disampaikan berbagai menu utama
makanan India.
Samosa dan Biryani adalah menu favorit wisatawan asal India maupun asal
Inggris yang terkenal di seluruh dunia. Selain menu utama di atas masih terdapat
banyak jenis makanan India, namun pada dasarnya menggunakan cita rasa seperti
keenam makanan di atas seperti untuk sayuran menggunakan kedelai, kare dan
menggunakan alat panggang yang disebut tandori. Selain menu utama di atas makanan
India tidak dapat dipisahkan dari berbagai jenis acar yang terbuat dari daun mint,
mangga, asem dan bawang bombay.
Sebagai hidangan penutup restoran India menawarkan berbagai jenis manisan
seperti tertera pada tabel 4.3.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 45

Tabel 4.2 Menu Utama Makanan India

No Nama Makanan Penjelasan


1 Masala Dosa Balutan tepung gandum yang diddalamnya berisi daging dan
kentang
2 Paneer Jenis sayuran dan kedelai yang dicampur dengan daging
dapat diolah juga dengan dipanggang di dalam tandori
3 Samosa Tepung gandum yang digoreng dapat berisikan kentang,
daging ayam atau daging kambing
5 Chicken Curry Kare Ayam
6 Mutton Tika, Prawn Tika Daging dan ikan Panggang India (tandori)
dan Chicken Tika
7 Biryani Nasi goreng India ; ayam, kambing, ikan laut
Sumber : Hasil Penelitian, 2011.

Tabel 4.3 Jenis Manisan dan Minuman India

No Jenis Manisan/Minuman Penjelasan


1 Gulab Jamun Mirip seperti onde-onde dengan rasa manis yang amat
sangat
2 Gajar Halwa Manisan dari wortel
3 Kulfi Ice Cream India
4 Lassie Minuman yogurt dapat dicampur dengan mangga, gula,
nenas dan garam.
5 Masala Tea Teh India yang dicampur dengan rempah-rempah (kayu
manis dan susu)
Sumber : Hasil Penelitian, 2011.

Sebagian besar wisatawan mengatakan sangat menikmati menu makanan yang


ada karena sangat mirip dengan daerah asalnya yaitu India. Menurut CEO Gateway of
India hingga saat ini master chef yang dimiliki telah bertambah menjadi tiga orang
yang memang didatangkan langsung dari India. Hal ini dilakukan selain untuk
memperluas pangsa pasar dan usahanya juga untuk menjaga keaslian rasa sehingga
pihaknya tidak hanya mengejar kuantitas tetapi juga kualitas.
Menurut pengakuan CEO Mr. Vikram, berbagai terobosan sudah dan akan terus
dilakukan dengan melakukan berbagai inovasi dalam berbagai bidang. Mulai dari
pengembangan restoran dari satu tempat ke tempat lain, perbaikan Sdm, higenitas,
bahan makanan berkualitas hingga pemasaran dengan menggunakan IT. Sebelumnya
pengelolaan Gateway of India masih sangat berhati-hati dalam pengembangan usaha.
Trial and error dilalui secara bertahap hingga menemukan format pengembangan
restoran dengan tidak hanya menunggu pasar melainkan berani untuk menjemput bola.
Gateway of India yakin dengan kemampuan master chef yang dimiliki dan
pengalaman selama lebih dari sepuluh tahun akan tetap mampu bertahan di tengah
persiangan yang semakin kompetitif. Kuncinya menurut Mr. Vikram adalah keuletan
dan kecepatan merebut peluang selain kemampuan managemen secara internal.
Karakteristik Restoran India yang dimilikinya yang berada di Kuta, Nusa Dua dan
Ubud diharapkan akan terus mampu menarik pasar dengan cita rasa khas yang dimiliki.
Selain keaslian, hospitality juga menjadi hal utama dalam melayani para tamu. Oleh
karena itu sedikit berbeda dengan ayahnya sebagai sang perintis, Mr. Vikram
cenderung berinovasi dalam bidang pemasaran dan networking. Rencananya Gateway
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 46

of India akan kembali membuka cabang di lokasi-lokasi strategis yang masih


dirahasiakan tempatnya.

III. SIMPULAN DAN SARAN


3.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Bahwa karakteristik restoran India di Kuta, Nusa Dua dan Ubud cenderung memiliki
kesamaan karena dimiliki oleh satu orang.
2. Perbedaanya hanya pada lokasi terutama di Ubud yang alami dan di Nusa Dua
serta sunset road yang memang peruntukkannya untuk tamu dalam jumlah besar
melalui travel agent.
3. Untuk pengelolaan, penataan restoran dan menu makanan tidak ada perbedaan
karena pengelolaan dilakukan oleh satu managemen, penataan restoran cenderung
menggunakan A’la Carte atau european style dan sebagian besar menu makanan
adalah ciri khas makanan dari India Utara (Punjab)

3.2 Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian adalah :
1. Mempertahankan karakteristik yang sudah dimiliki dengan selalu memperhatikan
perkembangan pasar.
2. Pengelolaan yang konservatif harus sedikit demi sedikit diubah menuju
pengelolaan yang profesional.
3. Persaingan yang semakin kompetitif harus diwaspadai untuk selalu berusaha
meningkatkan pelayanan dan tidak cepat berpuas diri.

KEPUSTAKAAN

Alamsyah, Yuyun. 2008. Bangkitnya Bisnis Kuliner Tradisional. Jakarta : PT. Gramedia
Arismayanti, Ni Ketut. 2005. Pengembangan Objek Wisata Jatiluwih Sebagai Kawasan
Pelestarian dan Budaya di Kab. Tabanan. Dalam Jurnal ”Analisis Pariwisata”,
Volume 7, Nomor 1, 2005. Denpasar : PS. Pariwisata Unud.
Badudu-Zain. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Bungin, H.M Burhan. 2010. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta : Kencana
Goodman Jr, Raymond J. 2002. F & B Service Management. Jakarta : Erlangga
Marpaung, Happy. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung : Alphabet.
McIntosh/Goeldener. 1986. Tourism, Principles, Philosophis. Canada : JW. Sains Inc.
Pitana, I G. 1996. Balinicia Cybernetica : Pariwisata & Religiusitas Kekinian
Masyarakat Bali. Disampaikan dalam Diskusi Purnama Kedasa dalam Rangka
Karya Agung Eka Dasa Bhuana-Bhatara Turun Kabeh di Besakih, Karangasem.
Poewardarmita. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdiknas. Jakarta : Mutiara.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R & D. Bandung : Alfabeta.
Suryabrata, Sumadi. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Torsina, M. 2000. Usaha Restoran yang Sukses. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer.
Yoeti, Oka A. 1982. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung : PT. Angkasa.
Available from www.kabarbisnis.com. “Indonesia Tak Serius Garap Wisatawan India”.
Available from www.mediaindonesia .com. “Jumlah Wisatawan India ke Bali
Melonjak”.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 47

PERSEPSI PENGUNJUNG TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PADA


MUSEUM MULAWARMAN TENGGARONG

A. Rinto Dwi Atmojo


Dosen Politeknik Negeri Samarinda

Abstract

The purpose of this study is to determine the perceptions of visitors about the
condition and service facilities in the museum Mulawarman Tenggarong.
The method used is a quantitative method to convert qualitative data into
quantitative data. This type of study is the observation, interviews, and
questionnaires. The sampling technique used was accidental sampling with a sample
of 20 respondents.
Conclusions obtained in this study were how the visitor's perception of the
quality of service at the museum Mulawarman Tenggarong. Both the aspects of
service, including cleanliness and safety, and a general assessment of the attractions
in the museum Mulawarman Tenggarong and visitor perceptions of service conditions
and facilities at the museum Mulawarman Tenggarong. It was found that most states
have improved the condition and service facilities in the museum Mulawarman
Tenggarong.

Key words: perception, visitors, and service quality.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Objek wisata di Kabupaten Kutai Kartanegara, Tenggarong beraneka ragam
bentuk dan jenisnya yang membuat wisatawan domestik dan wisatawan Asing tertarik
mengunjunginya. Daya tarik wisata seperti museum kayu, tanjung harapan, hingga
pulau kumala merupakan beberapa daya tarik wisata unggulan yang dimiliki Kabupaten
Kutai Kertanegara. Salah satu daya tarik wisata di Kabupaten Kutai Kertanegara yang
terkenal adalah Museum Mulawarman.
Museum peninggalan zaman Hindu notabene peninggalan Kerajaan Kutai semula
berfungsi sebagai pusat kekuasaan atau istana raja. Kemudian bangunan ini diganti rugi
oleh Pemerintah Daerah Tinggi I Kalimantan Timur kepada pemiliknya yaitu Sultan
Kutai XIX (raja terakhir) bernama Sultan Aji Muhammad Parikesit dengan biaya sebesar
Rp 64.000.000. Secara umum bangunan museum terlihat terawat dengan baik akan
tetapi sangat disayangkan benda-benda koleksinya kurang terawat.
Selain itu tidak adanya pusat informasi yang menunjang untuk wisata
pendidikan, tidak tersedianya alat pendingin udara dan penerangan yang kurang
memadai serta kurangnya informasi yang diberikan oleh pihak Museum Mulawarman
adalah faktor-faktor penghambat memajukan daya tarik wisata ini. Namun, dalam
usaha mengembangkan objek wisata Museum Mulawarman pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur melalui Dinas Pendidikan Kalimantan Timur dan Dinas Pariwisata dan
Budaya Kabupaten Kartanegara selaku pihak pengelola sudah berupaya
mempromosikan objek wisata museum Mulawarman agar dapat dikenal di dalam negeri
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 48

maupun luar negeri dan menjadi wisata pendidikan bagi yang masyarakat luas yang
berminat.

1.2 Rumusan Masalah.


Berdasarkan uraian diatas yang dikemukakan oleh penulis, maka perumusan
masalah yang akan di angkat dalam penelitian ini adalah “ Bagaimana Persepsi
Pengunjung Terhadap Kualitas, Kondidi dan Pelayanan Pelayanan pada Museum
Mulawarman Tenggarong?”.

1.3 Tujuan Penelitian.


Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, tujuan Penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana persepsi pengunjung terhadap kualitas pelayanan
dan pada Museum Mulawarman Tenggarong.
2. Untuk mengetahui Persepsi Pengunjung Tentang Kondisi dan Pelayanan Fasilitas di
Museum Mulawarman Tenggarong.

1.4 Metode Penelitian


1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang menggunakan metode penelitian
kuantitatif. Adapun pengertian kuantitatif yaitu bersifat objektif dan bisa di
tafsirkan semua orang yang menekankan validitas. Metode Pengumpulan daya yang
digunakan dalam penelitian ini adalah : (1) Observasi, (2) Angket (Questionnaire ),
dan (3) Penelitian Kepustakaan (Library Research).
2. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel menggunakan metode penarikan contoh secara kebetulan
(Accidental Sampling), dengan metode ini proses pengambilan contoh dilakukan
tanpa perencanaan yang seksama. Responden yang dimintai informasinya benar-
benar diperoleh secara kebetulan tanpa suatu pertimbangan tertentu.
3. Teknik Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul terkait dengan pola pengembangan fasilitas di daya
tarik wisata di Museum Mulawarman Tenggarong dianalisis dengan secara
deskriptif kualitatif. Teknik analisis persepsi wisatawan terhadap pengembangan
fasilitas Museum Mulawarman Tenggarong menggunakan Skala Likert’s yang umum
digunakan dalam kuisioner, dan merupakan skala yang paling banyak digunakan
dalam riset berupa survei yang digunakan untuk pengukuran sikap, prilaku,
pendapat dan persepsi seseorang tentang fenomena sosial. Skor yang diberikan
pada jawaban sering dijumlahkan, maka skala likert’s sering disebut likert’s
summated ratings. Tingkat pengukuran data yang berskala Likert’s adalah ordinal
sehingga apabila akan dianalisis dengan statistik parametik, maka harus dinaikkan
terlebih dahulu menjadi skala interval, biasanya disediakan lima pilihan skala
dengan format seperti dibawah ini : (1) Sangat Setuju : Skor 5, (2) Setuju : Skor 4,
(3) Tidak Ada Pendapat : Skor 3, (4) Tidak Setuju : Skor 2, dan (5) Sangat Tidak
Setuju : Skor 1.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 49

II. HASIL DAN PEMBAHASAN


2.1 Persepsi Pengunjung Tentang Kondisi dan Pelayanan Fasilitas di Museum
Mulawarman Tenggarong.
Persepsi para pengunjung terhadap pelayanan yang ada di Museum Mulawaman
Tenggarong akan sangat memberikan masukan bagi pihak pengelola dalam upaya
pengembangan objek wisata khususnya dari segi fasilitas objek wisata yang merupakan
sesuatu yang mutlak dibutuhkan oleh para pengunjung di suatu daya tarik wisata.
Berdasarkan kuesioner yang diajukan kepada pengunjung sebagai responden yang
berjumlah 20 orang dengan penilaian meliputi pelayanan fasilitas objek wisata,
kebersihan, keamanan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Persepsi Pengunjung Tentang Kondisi dan Pelayanan Fasilitas di


Museum Mulawarman Tenggarong

Persepsi Bobot
No Aspek
SB B C KB SKB Persepsi
1 Pelayanan 3 11 4 2 0 75
2 Kebersihan 1 10 6 0 3 66
3 Keamanan 2 11 8 0 0 78
4 Penilaian secara umum 5 11 4 0 0 81
Jumlah 11 43 22 2 3 300
Persentasi 14% 53% 27% 2% 4% 100%
Sumber : Hasil Penelitian, 2011.

Berdasarkan Tabel 2.1, menunjukkan secara keseluruhan persepsi atau


penilaian responden terhadap kondisi objek wisata Museum Mulawarman Tenggarong
meliputi pelayanan fasilitas objek wisata, kebersihan, keamanan dan penilaian secara
umum di daya tarik wisata adalah Baik. Hal ini dapat dilihat berdasarkan akumulasi
jumlah keseluruhan jawaban responden sebagian besar menilai Baik dengan persentase
sebesar 53% dan sebagian lagi menilai cukup sebesar 27% bahkan ada yang menilai
Sangat Baik yaitu sebesar 14%. Angka ini membuktikan bahwa kondisi dan pelayanan
fasilitas objek wisata saat ini di Museum Mulawarman Tenggarong belum memadai
dalam memenuhi kebutuhan dan menciptakan kenyamanan pengunjung atau
wisatawan selama berwisata di Museum Mulawarman Tenggarong.
Selain ada yang menilai sangat kurang baik dan kurang baik adapula sebanyak
4% sangat kurang baik dan hanya sebesar 2% yang menilai kurang baik. Namun jika
dibandingkan dengan persentase terhadap pengunjung yang menilai baik, cukup dan
sangat baik tentu angka ini jauh berbeda.
Berdasarkan kuesioner responden Museum Mulawarman yang meliputi beberapa
aspek yang meliputi 2 aspek yaitu intangible yaitu aspek pelayanan dan aspek tangible
yaitu aspek kebersihan, keamanan, produk, dan promosi. Penilaian secara umum dari
aspek intangible adalah pelayanan yang diberikan oleh Pengelola Museum Mulawarman
kepada pengunjung Museum Mulawarman Tenggarong sebagian besar pengunjung
menyatakan baik, ini terlihat berdasrkan hasil dari kuesioner baik dari pelayanan
pembelian tiket masuk, pengelola Museum semaksimal mungkin mentertibkan
pengunjung yang datang mengantri untuk membeli tiket masuk dengan memberi
pembatas atau membuat barisan antrian dipenjualan tiket agar terciptanya ketertiban
pengunjung yang baru datang dan pengunjung yang sudah tiba terlebih dahulu di
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 50

Museum Mulawarman. Penitipan barang, barang-barang bawaan pengunjung Museum


Mulawarman sangat diperhatikan oleh petugas atau pengelola Museum Mulawarman
demi terjaganya keamanan serta kenyamanan pengujung saat berada di Museum
Mulawarman. Berdasarkan penilaian secara umum dari aspek tangible adalah sebagai
berikut :
1. Aspek kebersihan yang diberikan oleh pengelola Museum Mulawarman kepada
pengujung Museum Mulawarman Tenggarong, sebagian besar pengujung
menyatakan bahwa kebersihan di Museum Mulawarman baik, ini terlihat
berdasarkan hasil dari kuesioner karakteristik pengujung mengenai kebersihan di
Museum Mulawarman. Pengelola membentuk organisasi kebersihan baik didalam
area Museum maupun di luar Museum guna menjaga kebersihan di objek wisata
budaya Museum Mulawarman, serta pengelola juga menyediakan tempat-tempat
pembuangan sampah disetiap sudut serta menyediakan toilet yang bersih. Fakta
ini sesuai dengan kata pepatah mengatakan bersih itu indah.
2. Aspek keamanan yang diberikan oleh pengelola kepada pengujung Museum
Mulawarman Tenggarong, sebagian besar pengujung menyatakan bahwa keamanan
di Museum Mulawarman Tenggarong baik, ini terlihat dari hasil kuesioner
karakteristik pengujung mengenai keamanan di objek wisata budaya Museum
Mulawarman Tenggarong, baik keamanan didalam Museum yang meliputi kemanan
keselamatan benda-benda dimuseum dari tangan-tangan yang tidak bertanggung
jawab serta keamanan pengujung dari hal-hal yang ditadak diinginkan seperti
perampokan dan keamanan diluar seperti kemanan penitipan barang atau
kendaraan. Keamanan kendaraan juga sangat diperhatikan demi menjaga agar
tidak terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti : pencurian motor/mobil,
pencurian helm dan lain-lain.
3. Aspek produk yang ada di Museum Mulawarman Tenggarong seperti informasi yang
berupa keterangan yang terletak dibawah benda-benda bersejarah, tata letak, dan
pencahayaan yang tepat sehingga informasi dapat disampaikan kepada pengujung.
4. Aspek promosi Adapun pengelola Museum Mulawarman Tenggarong menyediakan
fasilitas yang berguna untuk memenuhi kebutuhan wisatawan seperti toko
souvenir, ini bertujuan selain Museum Mulawarman merupakan wisata budaya yang
menunjukkan benda-benda bersejarah atau peninggalan kerajaan Kutai
Kartanegara toko souvenir ini juga berfungsi mempromosikan hasil dari kerajinan
tangan khas Kalimantan Timur.
Berdasarkan hasil dari kuesioner persepsi pengunjung terhadap kualitas
pelayanan pada Museum Mulawarman Kutai Kartanegara yang meliputi beberapa aspek
yaitu aspek tangible dan intangible dari pelayanan, kebersihan, keamanan, dan
promosi secara umum penilaian diatas rata-rata yang menyatakan bahwa pelayanan di
Museum Mulawarman baik.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 51

Diagram 2.1 Persepsi Pengunjung terhadap Kondisi dan Pelayanan Fasilitas


Museum Mulawarman

2% 4%
SB
14%
27% B
C
53%
KB
SKB

Sumber: Hasil Penelitian, 2011.

Tabel 2.2 Karakteristik Responden Terhadap Kualitas Pelayanan pada Museum


Mulawarman Tenggarong

Persepsi Bobot
No Aspek
SP P TP KP STP Persepsi
1 Pemandu 15 5 0 0 0 95
2 Pencahayaan 16 16 5 3 0 165
3 Lahan parkir 3 10 3 4 0 72
4 Perawatan 7 8 3 2 0 80
5 Sirkulasi udara 8 10 1 1 0 85
6 Fasilitas umum 10 9 1 0 0 89
7 Keramahtamahan 3 6 6 5 0 67
8 Pusat Informasi 16 20 2 2 0 170
Jumlah 78 84 21 17 0 823
Persentasi 39% 42% 10.5% 8.5% 0% 100%
Sumber : Hasil Analisis Data, 2011.

Diagram 2.2 Kualitas Pelayanan pada Museum Mulawarman Tenggarong

45%
40%
35%
30%
25%
20% 39% 42%
15%
10%
5% 10,50% 8,50%
0% 0
SP P TP KP STP
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 52

Diagram 2.2 menunjukkan secara keseluruhan persepsi atau penilaian responden


terhadap kualitas pelayanan pada objek wisata Museum Tenggarong. Hal ini dapat
dilihat berdasarkan akumulasi jumlah keseluruhan jawaban responden sebagian besar
menilai puas dengan persentase sebesar 42%, sebagian lagi menilai sangat puas sebesar
39%, yang menilai tidak puas yaitu sebesar 10,5% dan yang menilai kurang puas sebesar
8,5% Angka ini membuktikan bahwa kondisi dan pelayanan fasilitas objek wisata saat
ini di Museum Mulawarman Tenggarong belum memadai dalam memenuhi kebutuhan
dan menciptakan kenyamanan pengunjung atau wisatawan selama berwisata di
Museum Mulawarman Tenggarong.
Berdasarakan hasil dari kuesioner karakteristik pengujung terhadap kualitas
pelayanan pada Museum Mulawarman Tenggarong dari beberapa kriteria atau
indikator-indikator pengujung merasa puas dengan kualitas pelayan yang diberikan.
Adapun indikator-indikator yang meliputi kualitas pelayan pada Museum Mulawarman
sebagai berikut :
1. Petugas Pemandu, petugas pemandu diobjek wisata sangat diperlukan
dimaksudkan untuk memberikan arahan kepada pengujung tentang informasi
benda-benda peninggalan bersejarah.
2. Pencahayaan, pencahayaan disuatu objek wisata juga sangat diperlukan terlebih
objek wisata yang berada di dalam ruangan.
3. Lahan parkir, lahan parkir juga sangat diperlukan disuatu objek wisata guna tidak
menggagu pengujung yang lain.
4. Perawatan, perawatan yang dimaksudkan adalah perawatan yang meliputi benda-
benda bersejarah dan perawatan gedung.
5. Sirkulasi Udara, diperlukan sirkulasi udara disuatu ruangan guna untuk
memudahkan pergantiannya udara.
6. Fasilitas umum, diadakannya fasilitas umum di suatu objek wisata guna untuk
mempermudah pengujung supaya pengujung merasa nyaman.
7. Pusat informasi, pusat informasi disetiap tempat atau tempat wisata juga sangat
diperlukan, karena multi fungsi dari pusat informasi yaitu menyampaikan berita-
berita atau informasi yang terkait kejadian disuatu tempat tersebut atau
keadaaan diobjek wisata sekitar sehingga pengujung bisa mengambil tindakan atau
antisipasi demi keselamatan bersama.
Beberapa faktor pendukung untuk mendukung supaya terbentuknya mutu
pelayanan yang baik dalam kualitas pelayanan pada Museum Mulawarman Tenggarong,
Sebagai berikut:
1. Sarana fisik terdiri dari dua unsur yaitu tersedianya karyawan yang baik dan
tersedianya sarana dan prasarana yang baik.
2. Tanggung Jawab yaitu dalam menjalakan kegiatan pelayanan, petugas pelayanan
harus mampu bertanggung jawab melayani setiap pengunjung dari awal hingga
selesai.
3. Responsif yaitu seorang petugas pelayanan harus mampu melayani secara cepat
dalam melayani pengunjung.
4. Komunikatif yaitu mampu berkomunikasi artinya petugas pelayanan harus mampu
dengan cepat memahami keinginan pengunjung Museum Mulawarman.
5. Keamanan yaitu mampu menjamin keamanan di area wisata sejarah Museum
Mulawaraman sehingga pengunjung tidak merasa segan untuk berkunjung ke
Museum Mulawarman.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 53

6. Kecakapan yaitu untuk menjadi petugas pelayanan yang khususnya melayani


pengunjung, petugas pelayanan harus memiliki kemampuan dan pengetahuan
tertentu.
7. Pemahaman yaitu berusaha memahami kebutuhan pengunjung artinya petugas
pelayanan harus cepat tanggap terhadap apa yang diinginkan oleh pengunjung.
8. Keramahan yaitu keramahan adalah sikap positif dan perilaku terhormat yang
harus ditunjukkan kepada setiap Pengunjung.

III. SIMPULAN DAN SARAN


3.1 Simpulan
Berdasarkan hasil uraian penelitian diatas maka dapat disimpulkan sebagai
berikut
1. Berdasarkan penilaian pengunjung yang datang ke Museum Mulawarman
Tenggarong merasa pelayanan yang diberikan di Museum sudah cukup baik.
2. Persepsi pengunjung tentang kondisi dan pelayanan fasilitas di Museum
Mulawarman Tenggarong yang meliputi penyediaan pelayanan pemandu wisata,
kondisi pencahayaan, lahan parkir, perawatan benda-benda bersejarah, sirkulasi
udara, fasilitas umum, dan keramahtamahan petugas dalam melayani pengunjung
di Museum dikatakan memenuhi keinginan pengunjung, hal ini terbukti dari hasil
kuisioner yang telah disebarkan dan sebagian besar pengunjung mengatakan puas
dengan pelayan yang diberikan.

3.2 Saran
Adapun saran-saran untuk kemajuan Museum Mulawarman Tenggarong, yaitu :
1. Perlunya pemandu wisata untuk memandu wisata di Museum Mulawarman
Tenggarong.
2. Perlunya dijaga benda-benda besejarah di Museum Mulawarman Tenggarong.
3. Kebersihan Museum Mulawarman perlu di tingkatkan.
4. Diadakannya tempat pembuangan sampah disetiap sudut ruangan.
5. Lebih dibenahi lagi sistem sirkulasi udara dan penerangan didalam ruangan
terutama di ruang bawah tanah.

KEPUSTAKAAN

Anonim. Undang-undang Kepariwisataan No. 21 tahun 2009.


Riduwan. 2003. Dasar-Dasar Statistika. Bandung : Alfabeta.
Tjiptono, Fandy. 2002. Manajemen JASA . Yogyakarta .
http://www.google.com
http://www.kamusbesarbahasaindonesia.com
http://www.kriteriapelayananbaik.com
http://www.accidentalsampling.com
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 54

POTENSI KEPARIWISATAAN PROVINSI SULAWESI SELATAN

I Putu Anom
iputuanom@yahoo.co.id
Dosen Fakultas Pariwisata Unud

Abstract

This paper purpose to find the diversity the tourist object and tourist
attraction in South Sulawesi Province as development to be nature and culture
tourism attractions. According to the result of the research which is use 30
persons/respondens in South Sulawesi Province as key informants ; literatures and
document data, and by using descriptive analysis. The result is that the tourist object
and tourist attraction in South Sulawesi Province as potential to develop the tourism
attractions. The tourism will be exist when the South Sulawesi government plan the
true tourism resort and tourism attraction areas ; to improve direct flight to
Hassanuddin Airport-Makasar, reguler flight from Makasar to Tana Toraja Airport,
local tourist transportation, MICE fasilities, quality of tourism human resources ;
create the hospitality and cross cultural understanding ; community tourism
development and empowerment tourism development.

Key word: the diversity tourism attractions, planning and development tourism.

I. PENDAHULUAN
Garis-Garis Besar Haluan Negara mengamanatkan bahwa pembangunan dan
pengembangan sektor pariwisata bertujuan meningkatkan penerimaan devisa,
meningkatkan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja, memperkenalkan alam dan
budaya nusantara serta mempererat pergaulan antar bangsa.
Adapun visi kepariwisataan Indonesia adalah “Pariwisata Menumbuhkembangkan
Kesejahteraan dan Perdamaian”. Visi ini mengandung pengertian : 1) pariwisata
menjadi andalan pembangunan nasional yang secara seimbang mempertimbangkan
bidang ekonomi dan bidang – bidang lainnya, demi kelangsungan hidup bangsa dan
negara Indonesia; 2) Indonesia menjadi kawasan pariwisata dunia yang mengutamakan
pembangunan pariwisata nusantara dan sekaligus sebagai tujuan wisatawan
mancanegara (Depbudpar, 2000).
Menurut Undang – Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional, maka tujuan pembangunan pariwisata adalah : i) mengembangkan dan
memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional; ii) berbasis pada
pemberdayaan masyarakat, kesenian dan sumber daya (pesona) alam lokal dengan
memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan
hidup setempat dan; iii) mengembangkan serta memperluas pasar pariwisata terutama
pasar luar negeri (Depbudpar, 2000).
Colman dan Nixon (1978) mengatakan bahwa pembangunan yang menyebabkan
peningkatan dibidang ekonomi, bila tidak dibarengi dengan penyebaran yang merata
antar mesyarakat, maka pembangunan tersebut dikatakan gagal. Ini telah terbukti saat
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 55

negara Indonesia tertimpa krisis akibat tidak meratanya dampak positif dari
pembangunan. Konglomerasi telah melemahkan sendi-sendi perekonomian Indonesia.
Konsep pembangunan yang mengagungkan paradigma pertumbuhan, yang percaya
sepenuhnya dengan tricle down effect, konsep dasarnya adalah mengembangkan
industri besar, secara otomatis akan memberikan pengaruh positif pada perusahaan
kecil di bawahnya atau masyarakat di sekitarnya.
Ternyata kajian empiris menunjukkan bahwa asumsi teori pertumbuhan ini tidak
semuanya berjalan dengan baik. Pembangunan pariwisata di Bali, pada tahun 1970-an
dengan memanfaatkan jasa konsultan dari Perancis dengan sponsor UNDP (The United
Nation Development Program) dan The International Bank for Reconstruction and
Development (IBRD), dibangun komplek hotel di Nusa Dua yang menganut teori
pertumbuhan tersebut (Mc. Carthy, 1994). Konsep ini mendapat kritikan yang sangat
tajam dimana pariwisata dituduh sebagai neo – kapitalisme, yang hanya
mengeksploitasi masyarakat lokal, sementara keuntungan atau manfaat dari
pembangunan sebagian besar tersedot ke luar, dinikmati oleh kaum kapitalis.
Pariwisata konglomerasi memberikan porsi yang sangat kecil kepada masyarakat lokal.
Kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan antar lapisan masyarakat makin besar.
Pariwisata konglomerasi juga disinyalemen meningkatkan import barang dan jasa,
serta membutuhkan lahan yang sangat luas, sehingga banyak lahan penduduk lokal
yang sudah berpindah tangan untuk memenuhi kebutuhan sektor pariwisata yang
berskala besar tersebut. Demikian pula kesenjangan pembangunan infrastruktur
semakin tajam antar daerah tujuan wisata dengan daerah non tujuan wisata.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka salah satu responnya adalah
mengubah paradigma pembangunan, yaitu mengurangi fokus pada pariwisata
konglomerasi dan lebih menekankan pada pariwisata kerakyatan dan inipun secara
empiris belum terbukti.
Pariwisata kerakyatan yang salah satu contohnya adalah pariwisata perdesaan,
didorong oleh pemerintah dalam rangka untuk penganekaragaman pendapatan pada
masyarakat (Winter, 1987; OECD, 1988) dan mempertahankan kelestarian lingkungan
(Mathieson and Wall, 1990; Suandra, 1991; Schneider, 1993; Food Crop Department
Bali, 1994). Kemiskinan dan kurangnya lapangan pekerjaan adalah merupakan masalah
klasik pada daerah pedesaan khususnya di negara sedang berkembang. Namun di
negara – negara maju masalah yang utama di daerah pedesaan adalah kelebihan
produksi pertanian yang disebabkan oleh kemajuan teknologi untuk mengganti tenaga
kerja di bidang pertanian, yang ujung – ujungnya memunculkan masalah tenaga kerja.
Menurut Almen.R (1993), pertanian di negara Inggris hanya memerlukan 2,5%
dari total tenaga kerja yang ada, walaupun lahan yang digarap seluas ¾ dari
permukaan negara tersebut. Ini artinya, baik negara yang sedang berkembang maupun
negara yang sudah maju menghadapi problem ekonomi dan tenaga kerja terutama di
daerah pedesaan. Untuk mengatasi permasalahan ini, ditawarkan pariwisata perdesaan
sebagai salah satu solusinya di banyak negara di dunia. Pariwisata yang berkembang di
Bali, rupanya mengalami tudingan yang seirama dengan yang dialami oleh negara lain
yaitu bahwa industri ini dituduh salah satu sebagai penyebab nilai import tinggi.
Demikian juga industri yang gemerlapan ini dituding mengabaikan masyarakat lokal di
dalam penyerapan tenaga kerjanya. Namun rasa optimis harus tetap dikobarkan karena
mengacu pada hasil penelitian bahwa kalau mesin penggerak penyerapan tenaga kerja
pada abad ke – 19 adalah pertanian, pada abad ke – 20 adalah industri manufacturing
dan pada abad ke – 21 adalah pariwisata (Dowid J. Villiers, 1999, dalam Salah Wahab,
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 56

1999 dan Anom, 2004).


Provinsi Sulawesi Selatan adalah salah satu propinsi di kawasan Timur Indonesia
memiliki prasarana bandar udara yang cukup memadai dan bahkan telah ada
penerbangan langsung dari luar negeri. Provinsi yang dikenal sebagai asal dari
Pahlawan Nasional Hasanudin memiliki pelabuhan laut yang banyak
disinggahi/berlabuh kapal-kapal besar. Sehingga berpotensi untuk dikembangkan
kepariwisataan yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan pemerintah pusat
dan daerah, stakeholders dan masyarakat umum.

II. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian pada pendahuluan tersebut di atas maka yang menjadi
rumusan permasalahan dalam tulisan ini adalah :
1. Apakah Potensi yang dimiliki Provinsi Sulawesi Selatan untuk Pengembangan
Kepariwisataan ?
2. Apa Faktor-Faktor Penghambat yang dihadapi Provinsi Sulawesi Selatan dalam
Pengembangan Kepariwisataan ?

III. METODE PENELITIAN


Data yang terkumpul dari penelitian yang meliputi : observasi ; dokumentasi
Pemda Sulawesi Selatan dan beberapa Pemda Kabupaten ; literatur dan wawancara
terstruktur dengan informan kunci sebanyak 30 (tiga puluh) orang responden yang
meliputi pegawai Disparda Propinsi dan Kabupaten di Sulawesi Selatan, tokoh-tokoh
masyarakat khususnya pengelola objek dan daya tarik wisata, pengusaha biro
perjalanan wisata, pengusaha perhotelan dan restoran serta usaha wisata yang lain,
pengurus South Sulawesi Tourism Board, para cendekiawan serta tokoh masyarakat
yang lain. Data tersebut selanjutnya dianalisis dengan analisis deskriptif dan kajian
pustaka.

IV. PEMBAHASAN
4.1 Sarana dan Jasa Pariwisata
Wisatawan yang mengunjungi Daerah Tujuan Wisata (DTW) dengan berbagai
tujuan perjalanannya antara lain : pesiar atau keperluan rekreasi, hiburan, kesehatan,
studi, keagamaan, olah raga, hubungan dagang, sanak keluarga, handaitaulan,
konferensi-konferensi, misi dan sebagainya yang walaupun hanya tinggal sementara di
daerah yang dikunjunginya, namun kehadiran mereka membutuhkan berbagai macam
fasilitas sarana/prasarana maupun jasa pariwisata berupa akomodasi, rumah
makan/restoran, bar, jasa transportasi, biro perjalanan dan pemandu wisata, jasa
konvensi, jasa atraksi wisata, yang tentunya harus tersedia serta mampu memenuhi
kebutuhan wisatawan.

4.1.2 Sarana Pariwisata (Akomodasi, Bar, Rumah Makan/Restoran, Tempat


Pertunjukan Atraksi Wisata dan Fasilitas MICE)
Provinsi Sulawesi Selatan telah tersedia sarana akomodasi, rumah
makan/restoran sebagaimana terlihat pada Tabel 1.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 57

Tabel 1 Jumlah Akomodasi dan Rumah Makan/Restoran di Provinsi Sulawesi


Selatan Tahun 2006

Rumah
Klasifikasi Akomodasi, Hotel Kamar Kursi
No Kabupaten Makan
Rumah makan/Restoran (buah) (buah) (buah)
(buah)
1 Makassar  Hotel Bintang 1 8 317
 Hotel Bintang 2 6 260
 Hotel Bintang 3 6 435
 Hotel Bintang 4 3 249
 Hotel Bintang 5 2 450
 Hotel Melasti 34 761
 Hotel Melasti (Non PHRI) 90 1702
 Restoran 15 4168
 Restoran (Non PHRI) 19 1825
 Rumah Makan 8 405
 Rumah Makan (Non PHRI) 143 429
2 Tana  Hotel Bintang 1 4 152
Toraja  Hotel Bintang 2 3 92
 Hotel Bintang 3 4 250
 Hotel Bintang 4 2 271
 Hotel Melati 67 783
 Rumah Makan 11 910
3. Luwu  Hotel Bintang 1 2 53
 Hotel Melati 26 486
 Restoran 1 105
4. Selayar  Hotel Melati 5 77
 Rumah Makan 18 420
5. Bulukumba  Hotel Melati 24 266
 Rumah Makan 2 80
6. Pare-Pare  Hotel Bintang 1 2 52
 Hotel Melati 15 371
 Rumah Makan 6 344
7. Wajo  Hotel Melati 19 196
 Rumah Makan 2 190
8. Sinjai  Hotel 10 107
 Rumah Makan 2 112
9. Bantaeng  Hotel Melati 5 81
 Rumah Makan 13 342
10. Bone  Hotel Bintang 1 1 33
 Hotel Melati 20 208
 Rumah Makan 7 586
11. Soppeng  Hotel Melati 8 92
 Rumah Makan 1 40
12. Maros  Hotel 5 73
 Rumah Makan 1 200
13. Sidrap  Hotel 8 91
14. Enrekang  Hotel 15 186
 Rumah Makan 14 316
15. Barru  Hotel 10 55
 Rumah Makan 1 548
16. Jenneponto  Hotel 2 60
 Rumah Makan 1 200
Jumlah 406 8209 265 10791
Sumber : BPD PHRI Sulawesi Selatan, 2005.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 58

Dari tabel 1 terlihat bahwa jumlah kamar hotel terbanyak di Kabupaten/Kota


Makassar 4174 buah (50,85%), Kabupaten Tana Toraja 1548 buah (18,86%) dan di
Kabupaten Luwu 539 buah (6,57%). Kunjungan wisatawan mancanegara yang
berkunjung ke Sulawesi Selatan antara tahun 2000-2005 di dominasi wisatawan eropa
(67,3%), kawasan Asia/Pasifik (12,6%), Asean (11,5%), dan sisanya dari negara lain.
Kabupaten yang dikunjungi Tana Toraja (43,25%), Kota Makassar (16,5%) dan
Bulukumba (12,00%) (Disbudpar Sulsel, 2005). Kunjungan wisatawan nusantara ke
Sulawesi Selatan terdistribusi pada seluruh kabupaten/kota dengan 4 (empat) daerah
kabupaten/kota tujuan wisata yang dominan dikunjungi adalah Kota Makassar
(51,25%), Tana Toraja (11,60%), Luwu dan Luwu Utara (4,55%) dan Bulukumba (4,05%)
(Disbudpar Sulsel 2005).
Dilihat dari distribusi kunjungan wisatawan mancanegara dan nusantara ke
daerah tujuan wisata Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan telah sesuai dengan
distribusi ketersediaan kamar hotel di Kabupaten/Kota tersebut, serta telah ditunjang
dengan distribusi ketersediaan rumah makan/restoran akan tetapi kualitasnya masih
perlu ditingkatkan.
Hasil wawancara dengan stakeholders pariwisata Sulawesi Selatan pada tanggal
16 Oktober 2006 di Kantor Disbudpar Sulsel Makassar, terungkap ada rencana Pemda
Sulawesi Selatan menambah jumlah kamar hotel antara 400-700 buah kamar. Hal ini
perlu dikaji secara mendalam agar rencana penambahan jumlah kamar hotel sesuai
dengan kebutuhan kamar. Demikian pula rencana untuk mengembangkan wisata MICE
dengan telah direncanakan pembangunan Selebes MICE Centre, perlu ditunjang dengan
fasilitas yang memadai beserta sumber daya manusianya, ketersediaan tempat
pertunjukkan atraksi wisata yang memadai, penataan objek wisata yang telah ada
serta diversifikasi objek dan daya tarik wisata dengan penyusunan paket wisata.

4.1.3 Jasa Pariwisata (Transportasi, Biro Perjalanan dan Pemandu Wisata, Jasa
Objek dan Atraksi Wisata, Jasa MICE dll)
Provinsi Sulawesi Selatan dalam pengembangan kepariwisataan dibagi menjadi 3
(tiga) klaster daerah pengembangan yang meliputi :
1. Klaster 1, Pengembangan Kota Makassar sebagai wisata MICE dan Marine.
2. Klaster 2, Pengembangan Tana Toraja Sebagai wisata budaya dan alam.
3. Klaster 3, Pengembangan Pulau Selayar dan Kabupaten Bulukumba sebagai wisata
bahari/marine dengan keindahan taman lautnya.
Tana Toraja yang telah terkenal dimancanegara sejak tahun 1974 telah menjadi
daerah tujuan wisata unggulan serta menjadi maskot pariwisata Sulawesi Selatan,
terutama daya tarik budayanya dengan rumah adat Tana Toraja (Tongkonan),
makam/kuburan di bukit-bukit dengan upacara ritual berupa pemotongan kerbau
terutama pada upacara penguburan mayat. Ditunjang pula dengan alam yang sejuk,
atraksi yang terkait dengan alam seperti hiking, trecking, rafting, dll. Akan tetapi
atraksi wisata/entertainment untuk aktifitas di malam hari masih terbatas baik
fasilitas tempat pementasannya maupun jenis atraksinya. Demikian pula halnya di Kota
Makassar yang rencananya dikembangkan sebagai wisata MICE masih memiliki
keterbatasan fasilitas MICE yang walaupun telah direncanakan pembangunan Selebes
MICE Centre yang sampai saat ini pembangunannya belum terwujud sepenuhnya.
Sulawesi Selatan dalam pengembangan kepariwisataan menghadapi beberapa
permasalahan khususnya dibidang transportasi udara dengan keterbatasan
penerbangan langsung/direct flight dari luar negeri karena banyak perusahaan
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 59

penerbangan yang tidak lagi singgah di Makassar yang tentunya perlu dikaji secara
mendalam, demikian pula penerbangan dari airport Makassar ke bandara yang ada di
Tana Toraja hanya 2 (dua) kali dalam seminggu, itupun masih disubsidi pemerintah
daerah Tana Toraja.
Angkutan/transportasi darat khususnya angkutan wisata masih terbatas
terutama dari kota Makassar menuju Tana Toraja dengan lama perjalanan + 8
(delapan) jam harus mempergunakan kendaraan umum atau carteran karena belum
tersedia angkutan bus pariwisata yang memadai dengan kapasitas 20 sampai 30 seat ;
keterbatasan armada angkutan laut/boat penyebrangan dari Bulukumba ke Pulau
Selayar bagi wisatawan yang berminat mengunjungi wisata bahari.
Sulawesi Selatan sudah tersedia 8 (delapan) buah perusahaan biro perjalanan
yang kinerja operasionalya masih perlu ditingkatkan dengan ditunjang kelancaran
transportasi udara sehingga memungkinkan biro perjalanan tersebut untuk
mendatangkan wisatawan terutama wisatawan mancanegara karena dilihat dari sisi
perdagangan luar negeri, wisatawan mancanegara mampu meningkatkan penerimaan
devisa bagi negara, sedangkan wisatawan nusantara merupakan wisatawan yang
bertujuan untuk pengenalan daerah nusantara dengan motto “Kenalilah Negerimu dan
Cintailah Negerimu”. Disamping itu di Sulawesi Selatan juga telah tersedia toko-toko
souvenir dan fasilitas perbankan, informasi dan komunikasi yang mendukung
kepariwisataan. Keberadaan pemandu wisatapun masih terbatas baik dari segi jumlah
maupun kualitasnya yang perlu mendapat pembinaan.
Provinsi Sulawesi Selatan juga memiliki beberapa objek dan daya tarik wisata
yang berpotensi untuk dikembangkan antara lain : Pantai Losari, Tanjung Bunga,
Benteng Rotterdam Makassar, Makam Pangeran Diponogoro, Pelabuhan Laut, dll di
Kota Makassar ; wisata alam perbukitan dan pegunungan yang menawan/eksotik
seperti Buntukabobong di Enrekang ; pemandangan danau tempe ; wisata alam dan
margasatwa ; kapal phinisi / kapal tradisional Makassar di sekitar perairan Pare-Pare
serta pemukiman dan budaya Suku Bugis yang terkenal dengan budaya maritim serta
objek dan daya tarik wisata yang lain baik alam maupun budaya serta buatan namun
masih menghadapi kendala aksessibilitas / kemudahan pencapaian.

4.2 Faktor-Faktor Penghambat Pembangunan Kepariwisataan.


Secara singkat berdasakan hasil penelitian, berikut faktor-faktor penghambat
pembangunan kepariwisataan di Provinsi Sulawesi Selatan :
1. Perlu kajian mendalam agar tidak terjadi kelebihan jumlah kamar yang bisa
mengakibatkan terjadinya perang tarif terutama pada low season.
2. Fasilitas rumah makan/restoran masih perlu ditingkatkan termasuk
keanekaragaman menu makanan maupun teknik penyajiannya.
3. Fasilitas MICE masih sangat terbatas untuk itu perlu secepatnya diwujudkan
Selebes MICE Centre agar tersedia fasilitas MICE yang memadai ditunjang SDM yang
profesional sehingga kota Makassar bisa dikembangkan terutama sebagai kota
dagang, kota maritim dan pusat MICE di kawasan Timur Indonesia.
4. Fasilitas tempat pertunjukan atraksi wisata masih terbatas termasuk pengkemasan
atraksi budaya yang memungkinkan untuk disuguhkan kepada wisatawan.
5. Transportasi baik udara, laut dan darat masih terbatas, untuk itu perlu
ditingkatkan terutama direct flight dari luar negeri ke makassar sehingga
memberikan kesempatan pada biro perjalanan untuk mendatangkan wisatawan
mancanegara, penambahan jadwal penerbangan ke Tana Toraja, penyediaan
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 60

angkutan wisata lewat darat, laut yang memadai ditunjang dengan paket wisata
dengan diversifikasi objek dan daya tarik wisata.
6. Keterbatasan pengkemasan paket wisata, untuk itu perlu penyusunan paket wisata
serta peningkatan kemampuan pramuwisata untuk memberikan informasi yang
memadai perihal objek dan daya tarik wisata.
7. Organisasi-organisasi yang terkait dengan kepariwisataan beserta instansi terkait
koordinasinya masih terbatas, untuk itu perlu peningkatan koordinasi stakeholder
pariwisata dengan baik untuk mengoptimalkan pengembangan kepariwisataan baik
dalam penyusunan RUTRW (Rencana Umum Tata Ruang Wilayah) RIP (Rencana
Induk Pengembangan) kepariwisataan, RDTRW (Rencana Detail Tata Ruang
Wilayah) beserta implementasinya.
8. Dalam pemberdayaan masyarakat lokal terutama dibidang kepariwisataan masih
terbatas untuk itu perlu pembinaan masyarakat lokal dalam pengembangan
kepariwisataan.

V. SIMPULAN DAN SARAN


5.1 Simpulan
Adapun simpulan berdasarkan hasil penelitian sebagai berikut :
1. Propinsi Sulawesi Selatan khususnya kota Makassar terutama potensial untuk
dikembangkan sebagai kota maritim / perniagaan, perdagangan, jasa termasuk
pengembangan wisata MICE sehingga kota Makassar bisa dijadikan pusat MICE di
kawasan Timur Indonesia, ditunjang dengan daya tarik wisata alam, pantai, dan
pulau buatan seperti Tanjung Bunga, wisata budaya dan wisata buatan.
2. Propinsi Sulawesi Selatan berpeluang untuk dikembangkan kepariwisataan
terutama daerah Tana Toraja yang sudah terkenal di mancanegara dengan
budayanya yang unik serta alam yang menawan.

5.2 Saran
1. Potensi wisata buatan yang spesifik seperti kapal phinisi yang merupakan kapal
tradisional yang bisa dijadikan alat transportasi yang memiliki ciri khas tersendiri
yang tidak ada di daerah lain di Indonesia.
2. Beberapa objek dan daya tarik yang lain baik berupa wisata alam, budaya dan
buatan juga berpotensi untuk dikembangkan akan tetapi perlu ditunjang
aksessibilitas yang memadai serta peningkatan kuantitas dan kualitas prasarana
dan sarana kepariwisataan, diversifikasi objek dan daya tarik wisata serta
pembinaan sumber daya manusia, baik sebagai pengelola maupun pekerja
pariwisata dalam upaya pemberdayaan masyarakat.

KEPUSTAKAAN

Anonim, 2000, Panduan Operasional PK PK (Pengembangan Kemampuan Pemerintah


Kabupaten / Kota), Kerjasama DEPDAGRI dengan BAPPENAS.
______ ,Undang-undang Republik Indonesia No. 9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan,
Presiden Republik Indonesia.
______ , Peraturan Daerah Propinsi Bali No. 3 Tahun 1991 Tentang Pariwisata Budaya.
______ ,1999, Pembangunan berbudaya dan Berwawasan Lingkungan (Kumpulan
Makalah) Semiloka Perencanaan Pembangunan Bali 2000–2004, Puslit
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 61

Kebudayaan dan Pariwisata Unud, dengan Bappeda Tingkat I Bali, November


1999, Denpasar.
______ ,Undang-undang No. 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas) Bab VIII.
______ ,2005, Potensi Objek dan Daya Tarik Wisata Kabupaten Tana Toraja, Disbudpar
Tana Toraja.
______ ,2005, Potensi Kepariwisataan Sulawesi Selatan, Disbudpar. Pripinsi Sulawesi
Selatan.
Anom, I Putu, 2004, Pendidikan Pariwisata di Era Globalisasi, Orasi Ilmiah pada Wisuda
Akpar Kupang.
Almen, R. 1993, European Restructuring and Changing Agriculture Policis Rural Self
Identity and Modes of Life in Late Modernity, Agriculture and Human Values
Vol 10 pp.2-12.
Ardika, I Wayan. 2002, Komponen Budaya Bali Sebagai Daya Tarik Wisata, Makalah
Pada Seminar Pariwisata Budaya Berkelanjutan, Universitas Udayana, Denpasar.
Artanegara, I Nyoman, 2002, Korelasi Keragaman Budaya dan Pembangunan
Berkelanjutan Pada Kawasan Desa Candikuning Bedugul, Tesis Pasca Sarjana
Universitas Udayana, Denpasar.
Bappeda Tingkat I Bali, 1994, Data Bali Membangun, Bali Regional Development,
(1994), Bali Development. Data.
Bawa, I Wayan dkk, 2001, Studi Keunggulan Sumber Daya Manusia (SDM) Bali di Bidang
Pariwisata, Unud – STP Bali – BTDC, Denpasar.
Colman, D And Nixon, F. 1978, Economic of Change in Less Development Countries,
Second editor University of Manchester.
Cooper, Chris and Jackson, Stephen. 1997, Distination Life Cycle: The Isle of Man Case
Study, (ed Lesley France) dalam The Eartscan in Sustainable Tourism, MK :
Easthscan Publication Heunited.
Dana, Wayan, 2002, Peluang dan Tantangan Pengelolaan Pariwisata Alternatif (Kasus
Pondok Wisata Sua Bali), Tesis Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar.
Food Crop Departement Bali, 1994, Project Proposal of Agrotourism Expensive in Bali.
Inskeep, Edward, 1991, Tourism Planning and Integrated and Sustainable Development
Approach, Van Non Strand Reinhold, New York.
Mathieson, A, and wall. G, 1990, Tourism, Economic, Physical and Social Impact.
Nelson, J. G Butler, R. Wall. G, 1993, Tourism and Sustainable Development,
Monitoring, Planning, Managing, University of Waterloo : Heritage Resources
Culture.
Palguna, A.A. Ngurah, 2001, Dinamika Masyarakat Menuju Civil Society (Kasus
Pengelolaan Objek Wisata Alas Kedaton di Kabupaten Tabanan), Tesis Pasca
Sarjana Universitas Udayana, Denpasar.
Parining, N, 1998, The Extent to Which Balinese Vegetables Farmers are Able to Meet
the Demands of Local Tourist Hotels for Fresh Vegetables, Master Thesis, Curtin
University of Technology, Australia.
Peace, Douglas G, 1991, Tourism Development, John Walley & Sons, Inc, New York.
Pitana, I Gede dkk, 2000, Daya Dukung Bali Dalam Pariwisata (Kajian dari Aspek
Lingkungan dan Sosial Budaya), Unud – Bappeda Propinsi Bali, Denpasar.
Puja Astawa, IB, dkk, 2000, Pola Pengembangan Pariwisata Terpadu Bertumpu Pada
Model Pemeberdayaan Masyarakat di Wilayah Bali Tengah, Puslit Teknologi dan
Kesenian Unud, Denpasar.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 62

PERAN DAN KENDALA PEMULIHAN PARIWISATA BALI PASCABOM


(SUATU KASUS DISPARDA PROVINSI BALI)

I Gusti Agung Oka Mahagangga


Putu Agus Wikanatha Sagita
oka_mahagangga@yahoo.com
Dosen Fakultas Pariwisata Unud
Ida Ayu Ratih
BAPUSDA Provinsi Bali

Abstract

Bali tourism has had an effect on all aspects of Balinese society by making Bali
vulnerable to security issues. The evidence of that occurred when the Bali bombing
tragedy happened on 12 October 2002 and October 2005, when bombs rocked the
tourism sector is confirmed by a decrease in the number of tourists. The purpose of
this study was to find the role and the constraints faced by the tourism department in
the recovery after the explosions so that the future role of tourism services can be
optimized and all constraints minimized. This study used a qualitative approach based
on primary data and secondary data obtained from the informant (purposive sampling).
The results suggest one role in the recovery of the tourism department after the Bali
bombing was to implement a policy of the central government which established a
recovery team together with Bali’s tourism stakeholders and the public. Constraints in
the department of tourism in Bali can be viewed internally and externally and in
essence, the tourism department in Bali should have greater power to control the
recovery of tourism but is in fact precisely the position of department of tourism sub-
ordinate positions.

Key words: role, constraints, tourism department, tourism recovery.

1.1 LATAR BELAKANG


Pariwisata merupakan keseluruhan kegiatan yang berhubungan dengan gerakan
penduduk di dalam atau di luar suatu negara, kota atau wilayah tertentu atau juga
dikatakan sebagai keseluruhan hubungan dengan gejala-gejala atau peristiwa yang
timbul dari kegiatan penduduk yang melakukan perjalanan tidak untuk menetap dan
tidak untuk mencari nafkah. Pariwisata lebih merupakan gejala yang berkaitan dengan
pergerakan manusia secara temporer dan spontan dalam rangka memenuhi kebutuhan
dan keinginan berekreasi. Upaya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan berwisata
itu biasanya ditunjang oleh kemapanan ekonomi seseorang dan telah terpenuhinya
kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari, sehingga keinginan untuk mendapat
pengalaman baru atau melepaskan diri untuk sementara waktu dari rutinitas hidup
dapat terpenuhi. Pariwisata juga merupakan suatu kegiatan jasa yang dapat membuka
keterisolasian geografis dan sosial melalui bentuk-bentuk sosial dan budaya antara
penduduk lokal atau warga masyarakat dengan para wisatawan yang mengunjungi
wilayah tersebut. Terdapat tiga kekuatan yang mampu membuka keterisolasian suatu
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 63

masyarakat, yaitu pendidikan, perkembangan industri dan kontak budaya (Cholik, 1994
: 70).
Sejak tahun 1960-an pariwisata Indonesia telah tumbuh rata-rata mencapai 10
% (sepuluh persen) lebih setiap tahunnya, sampai dengan awal tahun 1969
perkembangan pariwisata Indonesia berjalan sangat lambat. Hal ini disebabkan karena
pemerintah Indonesia pada waktu itu kurang memperhatikan pariwisata sebagai salah
satu sumber penghasilan negara. Kemudian pada akhir tahun 1969 pemerintah mulai
memperhatikan sektor pariwisata secara teratur agar dapat menambah devisa negara,
di samping devisa dari minyak dan gas bumi (Samsurridjal, 1987 : 58).
Pembangunan Sektor Pariwisata di Bali menjadi sektor andalan yang mampu
meningkatkan devisa, mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat, perluasan
lapangan kerja dan kesempatan berusaha dalam rangka meningkatkan kesejahtraan
masyarakat untuk memupuk rasa cinta tanah air dan memperkaya kebudayaan daerah,
meningkatkan keanekaragaman obyek dan daya tarik wisata serta atraksi wisata, peran
serta aktif masyarakat dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
tetap mempertahankan kelestarian dan mutu lingkungan hidup sangat diperlukan.
Pembangunan Sektor Pariwisata, memberikan manfaat ganda, yaitu bagi
pemerintah, masyarakat dan pihak swasta, sehingga pembangunan sektor pariwisata
selanjutnya harus mendapat dukungan dari pihak masyarakat, pihak swasta dan
pemerintah. Hal ini penting ditekankan, mengingat Provinsi Bali tidak memiliki sumber
daya alam yang dapat diandalkan untuk mendukung perkembangan ekonomi, sehingga
prioritas pembangunan Daerah Bali diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi
dengan titik berat pada pembangunan Sektor Pertanian dalam arti luas ditunjang
dengan pembangunan Sektor Pariwisata dan Industri Kecil.
Pengembangan Sektor Pariwisata di Bali yang merupakan sektor andalan dan
mampu meningkatkan penerimaan devisa, mendorong pertumbuhan ekonomi
masyarakat, perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja dalam rangka
meningkatkan kesejahtraan masyarakat harus mendapat perhatian, karena dewasa ini
pertumbuhan Sektor Pariwisata Bali dapat dikatakan mengalami stagnasi bahkan
mengalami penurunan setelah terjadinya ledakan Bom tanggal 12 Oktober 2002 dan 1
Oktober 2005 di Kuta dan Jimbaran.
Keamanan dan kenyamanan merupakan kunci pokok dalam menarik kunjungan
wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Meski promosi dilakukan dengan
gencar oleh pemerintah maupun pelaku industri pariwisata, jika keamanan belum
dapat diwujudkan hasil promosi tersebut tidak akan mendapatkan hasil maksimal.
Kunjungan wisatawan ke suatu negara juga tidak hanya berkaitan dengan keinginan
mereka pribadi melainkan juga berkaitan dengan hubungan politis antara negara asal
mereka dengan negara yang akan dikunjungi. Hubungan diplomatik antara negara
dalam pariwisata sangat besar pengaruhnya karena mereka tidak ingin warga
negaranya mengalami masalah di negara lain (travel advisory, travel warning, dll).
Apalagi negara tersebut diketahui sedang mengalami konflik (mis. Perang, kerusuhan)
atau wabah penyakit (mis. Virus SARS) yang beresiko terhadap warga negaranya
(Mahagangga, 2008).
Orang asing yang berniat berkunjung ke Bali ketika mengetahui situasi dan
kondisinya tidak aman dari media massa bahwa terjadi bom atau sering terjadi tindak
kriminal, bukannya tidak mungkin mereka akan mengalihkan waktu liburan mereka ke
daerah tujuan wisata lain. Hal ini dilakukan untuk memperkecil resiko terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan (kecopetan, penipuan, pemerkosaan, perampokan, dll). Suatu
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 64

ancaman terhadap keamanan dan kenyamanan sangat berarti bagi setiap wisatawan
karena mereka mencari kepuasan berwisata bukan mencari masalah dalam berwisata
(Mahagangga, 2010).
Pertumbuhan pariwisata Bali dilihat dari angka kunjungan wisatawan setelah
tragedi Bom Bali I menurun tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Padahal
dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan manca-negara ke Indonesia
memberikan banyak peluang bagi bangsa Indonesia untuk menambah usaha dan
mendapatkan pekerjaan dalam rangka meningkatkan kehidupan perekonomiannya.
Tetapi dengan terjadinya Bom Bali I dan Bom Bali II menunjukkan angka penurunan
yang berarti signifikan bagi seluruh aspek kehidupan di Bali khususnya dan di Indonesia
pada umumnya seperti dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara Langsung ke Bali


(2001-2005)

Jumlah Wisman Pertumbuhan


No Tahun
(Orang) (%)
1 2001 1.356.774 -
2 2002 1.285.844 -5,22
3 2003 993.029 -22,77
4 2004 1.458.309 46,85
5 2005 1.386.449 -4,93
6 2006 1.260.317 -9,10
7 2007 1.664.854 32,10
8 2008 1.968.892 18,26
9 2009 2.337.266 18,71
10 2010 2.592.405 10,92
11 2011 2.832.542 9,26
Rata-rata 8,55
Sumber : Disparda Bali, 2012.

Pada Tabel 1.1 menunjukan bahwa kunjungan wisatawan dari tahun 2002-2006
menurun secara signifikan. Penurunan ini diindikasikan sebagai dampak dari terjadinya
Bom Bali I dan II yang mempengaruhi kedatangan wisatawan berlibur ke Bali. Jumlah
kunjungan wisman yang langsung datang ke Bali dari tahun 2003 terjadi penurunan dan
tahun 2004 kembali meningkat. Penurunan yang sangat signifikan di tahun 2003 hampir
mencapai 23 % disebabkan oleh tragedi bom Bali I. Setahun kemudian di tahun 2004
terjadi peningkatan tajam hingga 46,85 % yang sangat melegakan segenap komponen
pariwisata di Bali. Akibat Tragedi Bom II di tahun 2005, tahun 2006 setelah
pemberlakuan travel warning dari beberapa negara maju, terjadi penurunan
kunjungan wisatawan mencapai hampir 10 %. Memasuki tahun 2007 terjadi peningkatan
relatif besar mencapai 32,10 % yang tidak terlepas dari upaya berbagai pihak termasuk
Disparda Provinsi Bali. Selanjutnya di tahun 2008 sampai 2011 terjadi peningkatan
kunjungan wisman yang cukup signifikan meskipun dunia sedang dilanda krisis global.
Peran Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Disparda) sebagai perwakilan pemerintah
daerah menangani bidang kepariwisataan menjadi sangat penting untuk memulihkan
kepariwisataan Bali pascabom. Meskipun demikian, peran tersebut menemui banyak
kendala dalam pelaksanaannya karena pariwisata sebagai suatu sistem tidak hanya
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 65

berhubungan dengan satu elemen saja melainkan saling terkait dengan berbagai
elemen dan tidak dapat dipisahkan dari situasi-kondisi serta fenomena global.
Diperlukan suatu pendekatan bahkan strategi khusus bagi pemerintah daerah
Bali dalam hal ini Disparda Provinsi Bali untuk dapat memulihkan pariwisata Bali
pascabom. Pendekatan, strategi atau upaya Disparda Provinsi Bali dalam tulisan ini
akan dikaji, terutama berfokus kepada peran dan kendala yang dihadapi.

1.2 Rumusan Permasalahan


Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah Peran Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Disparda) dalam Memulihkan
Pariwisata Pascabom Bali?
2. Bagaimana Kendala Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Disparda) dalam Memulihkan
Pariwisata Pascabom Bali?

1.3 Kerangka Konseptual Teoritis


Ada pun teori dan konsep yang digunakan sebagai payung dan pisau analisis
dalam tulisan ini adalah ; Teori Sistem (Parson, 1986), Pariwisata (UU RI No. 10 Tahun
2009), Kebijakan Pariwisata (Pendit, 1999), Kendala dan Pemulihan (Balai Pustaka,
2002), dan Peranan Sosial (Veeger, 1993).

1.4 Metode Penelitian


Tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif sebagai upaya memperoleh
pemahaman makna atas fenomena (Muhadjir, 1998). Unit analisisnya adalah peran dan
kendala Disparda Provinsi Bali dalam memulihkan pariwisata Bali Pascabom. Teknik
penentuan informan dilakukan secara purposive sampling (Koenjaraningrat, 1997),
Teknik Pengumpulan Data menggunakan metode observasi, wawancara dan studi
pustaka (Moloeong, 2005) dan Teknik Analisis Data Kualitatif yang menekankan
interpretasi dari hasil wawancara, hasil observasi, dan catatan lapangan sebagai suatu
data yang terpercaya (Geertz, 1995).

II. PEMBAHASAN
Praktisi pariwisata sangat merasakan penurunan pendapatan mereka setelah
bom Bali I (12 Oktober 2002) dan Bom Bali II (1 Oktober 2005). Pendapatan yang
menurun drastis dirasakan mulai dari pedagang acung, pengusaha art shop hingga
konglomerat yang bergerak di bidang jasa/hospitality (hotel, restoran, dll).
Tragedi Bom Bali tersebut dengan demikian secara nyata diakui mengakibatkan
berbagai hal yang sangat merugikan bagi perkembangan pariwisata Bali, yaitu :
1. Tingkat kunjungan wisatawan, baik wisatawan maca negara maupun wisatawan
domestik menjadi menurun.
2. Tingkat hunian kamar hotel menurun.
3. Banyak terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan pada berbagai usaha di
bidang kepariwisataan (atau paling tidak dirumahkan).
4. Investor tidak berani menanamkan modalnya di Bali karena keamanan tidak
terjamin.
Selain kenyataan tersebut, terjadi pergeseran pangsa pasar dari wisatawan
manca negara dari Eropa seperti Spanyol, Prancis, Inggris dan Jerman. Setelah tragedi
Bom Bali wisatawan manca negara yang lebih banyak berkunjung ke Bali adalah
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 66

wisatawan dari negara-negara Asia seperti Jepang, Cina, Taiwan dan Korea. Untuk itu,
maka segenap komponen masyarakat khususnya komponen pariwisata bersama-sama
dengan pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mengupayakan pemulihan
kehidupan Sektor Pariwisata.
Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam hal ini Dinas Pariwisata sudah melakukan
berbagai upaya dalam pemulihan pariwisata pasca Bom Bali namun belum memberikan
hasil yang optimal. Pembangunan Pariwisata di Provinsi Bali menempati prioritas yang
menentukan, karena memberikan dampak ganda terhadap pembangunan sektor
lainnya, yang selama ini mengalami fluktuasi dalam hal jumlah wisatawan manca
negara yang berkunjung ke Bali.
Kebijakan Umum Anggaran Tahun 2008 Pemerintah Provinsi Bali dikemukakan
mengenai permasalahan yang dihadapi dalam Pengembangan Bidang Kepariwisataan
sebagai berikut :
1. Masih rendahnya daya saing industri pariwisata nasional dan belum optimalnya
sinergi pembangunan pariwisata dengan pembangunan sosial dan budaya.
2. Persaingan yang semakin ketat antara anegara-negara yang menjadi tujuan
wisata.
3. Belum mantapnya keamanan dan kenyamanan pada daerah tujuan wisata.
4. Belum meratanya penyebaran sarana dan prasarana pariwisata yang nenadai di
seluruh kabupaten/kota seperti; transportasi, akses informasi, sanitasi lingkungan
di beberapa obyek dan daya tarik wisata.
5. Kurangnya pengetahuan dan kemampuan tenaga kerja pariwisata atau rendahnya
daya saing sumber daya manusia pariwisata.
6. Belum optimalnya promosi pariwisata.
7. Terbatasnya bahan-bahan promosi pariwisata.
Kunjungan wisatawan ke Bali pasca teror bom Bali I dan II secara kuantitas
memang tidak menunjukkan penurunan berarti, tetapi secara kualitas terjadi
penurunan yang dirasakan oleh komponen pariwisata di Bali. Perkembangan Sektor
Pariwisata di Provinsi Bali sebagai sektor andalan dalam kerangka pembangunan
daerah, merupakan penggerak pembangunan di segala bidang dan sektor-sektor
lainnya, tetapi pascabom Bali mengalami stagnasi, sebagai permasalahan yang perlu
segera ditangani bersama oleh pemerintah, masyarakat dan swasta.

2.1 Peran Disparda Provinsi Bali dalam Memulihkan Keadaan Pascabom


Kunjungan langsung wisatawan ke Bali periode 2000-2004 merupakan tahun-
tahun sulit bagi perkembangan kepariwisataan Bali. Padahal data menunjukkan bahwa
pada tahun 2000 jumlah kunjungan langsung wisatawan mancanegara ke Bali
meningkat 4,21% yaitu sejumlah 1.355.799 orang pada tahun 1999 menjadi 1.412.839
orang pada tahun 2000 (Disparda, 2004). Pada tahun 2000 ini dinyatakan sebagai
kunjungan wisatawan mancanegara terbesar ke Bali secara kuantitas dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya.
Para praktisi pariwisata pun seakan mengalami euphoria dengan harapan
kedepannya kunjungan wisatawan mancanegara akan bertambah jumlahnya. Aktifitas
kepariwisataan meningkat termasuk daya dukungnya yang menyerap tenaga kerja
cukup tinggi. Namun berbagai peristiwa teror yang mengguncang dunia dan Bali
menyurutkan harapan optimis tersebut. bom Bali 12 Oktober 2002 disusul dengan bom
Bali 1 Oktober 2005 mengurangi angka kunjungan langsung wisatawan mancanegara ke
Bali. Beberapa faktor lain diduga sebagai penyebab penurunan kunjungan wisatawan,
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 67

seperti krisis moneter yang melanda dunia dan stabilitas keamanan seperti peperangan
dan aksi terorisme.
Menyikapi situasi tersebut di atas, peran Disparda Provinsi Bali dituntut mampu
memberikan solusi untuk pemulihan pariwisata Bali sesuai dengan Tupoksi yang
dimiliki. Secara hierarki Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali berada di bawah
Gubernur sebagai Kepala Daerah Tingkat I. Seluruh kebijakan yang dikeluarkan
Disparda harus berdasarkan persetujuan Gubernur melalui Sekda atau pun jika seorang
Kepala Dinas mempunyai suatu ide pembangunan pariwisata harus sepengetahuan
Gubernur atau Sekda dalam mengimplementasikan ide atau kebijakan tersebut.
Dalam pembangunan kepariwisataan, Disparda Provinsi Bali mempunyai
kedudukan dan peranan cukup signifikan mewujudkan pembangunan kepariwisataan
berkelanjutan, dengan diikuti oleh penyelanggaraan pemerintah yang akuntabel.
Pemerintah yang akuntabel atau good governance merupakan keharusan yang perlu
dilaksanakan dalam usaha mewujudkan aspirasi serta cita-cita masyarakat dalam
mencapai masa depan yang lebih baik (Lakip Disparda 2004).
Menyikapi tragedi bom, pemerintah berusaha memaksimalkan kinerjanya untuk
dapat meningkatkan angka kunjungan wisatawan mancanegara sebagai roda
pertumbuhan perekonomian di Bali. Kerja keras pemerintah yang mencakup menjaga
keamanan dan kenyaman, upaya promosi dan koordinasi dengan segenap komponen
masyarakat dinilai beragam. Ada yang berasumsi keseriusan Pemerintah Daerah dalam
recovery Bali sudah maksimal namun banyak pula yang mengatakan usaha pemerintah
dalam memulihkan pariwisata Bali tidak optimal sehingga perubahan untuk mencapai
target yang diharapkan berjalan sangat lambat. Kenyataannya, secara kuantitas hasil
yang terlihat pada saat penelitian dilaksanakan angka kunjungan langsung wisatawan
ke Bali sudah mulai pulih kembali (meskipun tidak sebaik kondisi sebelum bom Bali
2002), namun secara kualitas kiranya perlu dilaksanakan penelitian lanjutan yang
secara spesifik membahas permasalahan tersebut.
Kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk memulihkan pariwisata Bali dengan
membentuk tim recovery untuk mengkaji dan memberikan solusi dengan segera untuk
mencegah pariwisata Bali tidak terpuruk. Kebijakan dari Pemerintah Pusat bersifat
umum dalam arti tidak langsung menangani permasalahan ini hingga ke tingkat bawah.
Tugas Pemerintah Provinsi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota mengimplementasikan
kebijakan dari Pemerintah Pusat tersebut.
Kebijakan dari Pemerintah Pusat secara umum dapat dipilah menjadi dua
prioritas yaitu menyangkut keamanan dan promosi Bali sebagai daerah tujuan wisata
utama di Indonesia dan di dunia. Kebijakan dari Pemerintah Pusat dengan demikian
berjalan sesuai dengan koridor birokrasi dari atas ke bawah dan secara horizontal
harus pula dikoordinasikan dengan institusi lain sesuai dengan tugasnya untuk dapat
mewujudkan tujuan yang ingin dicapai bersama. Permasalahan keamanan menjadi
tanggungjawab Kepolisian Daerah Bali bersama-sama masyarakat untuk menciptakan
rasa nyaman bagi wisatawan. Promosi menjadi tanggungjawab Disparda Provinsi Bali
bersama stakeholders dalam mempublikasikan Bali ke dunia luar bahwa Bali sudah
aman dan layak untuk dikunjungi. Pemerintah Pusat juga dapat mengambil peran ini
dengan memanfaatkan kapasitas Hubungan Diplomatik yang dimiliki meyakinkan
kepada dunia bahwa Bali merupakan daerah kunjungan wisatawan yang masih tetap
menawan dan memikat dengan keunikan budaya yang dimiliki.
Kebijakan sangat memegang peranan penting dalam birokrasi moderen.
Implementasi dan koordinasi menjadi landasan birokrat dalam mencapai tujuan yang
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 68

ingin dicapai untuk melayani publik. Pola-pola kekuasaan (hirarki) tersusun sedemikian
untuk dapat memberikan hasil yang efektif dan efisen bahkan bila perlu diusahakan
memperoleh hasil maksimal. Analisis kebijakan adalah sebuah telaah krisis isu
kebijakan tertentu, dilakukan oleh analis dan para pihak yang dipengaruhi kebijakan,
menggunakan ragam pendekatan dan metode yang menghasilkan nasehat atau
rekomendasi kebijakan guna membantu pembuat kebijakan dan para pihak yang akan
dipengaruhi kebijakan dalam mencari solusi yang tepat atas masalah-masalah
kebijakan yang relevan. Wahab juga mengungkapkan ciri-ciri yang menonjol dari
kebijakan publik, yaitu; (1) merupakan rangkaian keputusan politik, (2) melibatkan
seorang aktor politik dan atau sekelompok lain, (3) sebagai proses pemilihan tujuan
dan sarana untuk mencapainya, (4) berlangsung dalam situasi tertentu, dan (5) ada
dalam lingkup atau batas-batas kekuasaan para aktor (Wahab, 1990 : 17). Artinya
kebijakan didesain sebagai tawaran jawaban terhadap masalah yang terjadi dan
dirancang untuk bisa menghasilkan efek sosial yang dikehendaki. Pandangan sebagai
bentuk intervensi sosial, dikembangkan dari pemikiran normatif yang menyepakati
kebijakan bukan sekedar sebagai sistem dimana aspirasi (tuntutan dan dukungan)
diartikulasikan oleh faktor-faktor kebijakan menjadi sebuah keputusan kebijakan
tetapi lebih sebagai bentuk aktivitas birokrasi pemerintah (Siagian, 2000 : 60).
Ada pun upaya kongkrit yang dilakukan Disparda Provinsi Bali dalam pemulihan
pariwisata pasca bom sebagai bagian dari kebijakan yang diterapkan adalah (1) upaya
pemulihan keamanan berkoordinasi dengan Polda , (2) upaya promosi dengan
melibatkan BTB, PHRI, stakeholders, Media Massa dan masyarakat, Tahap
Penyelamatan, Tahap Pemulihan, Tahap Normalisasi dan Tahap Pengembangan.
Peran Disparda Provinsi Bali dalam pemulihan pariwisata pascabom melalui
upaya pemulihan keamanan dan upaya promosi harus berhati-hati karena melibatkan
banyak hierarki birokrasi untuk menghindari benturan yang dapat menghambat kinerja
dan realisasi program. Adanya peran pemerintah pusat, peran aparat keamanan
(Polda), peran lembaga-lembaga pariwisata dan profesi, peran stakeholders
pariwisata, peran masyarakat lokal yang kesemuanya memiliki kepentingan dan tidak
menutup kemungkinan akan berjalan sendiri-sendiri dan sulit dikoordinir. Sangat
beralasan kemungkinan terjadi upaya pemulihan secara partial karena pemulihan
bukan hanya demi Bali tetapi demi usaha jasa yang dimiliki seperti hotel dan restoran.
Jika mereka menunggu upaya pemerintah dan tidak aktif menjemput bola, para
pengusaha takut bisnis mereka akan terancam bangkrut. Seperti hotel yang
berkualifikasi internasional tentunya akan memanfaatkan jejaring yang dimiliki untuk
dapat bertahan ditengah terpuruknya kondisi pariwisata Bali.
Standar kebijakan pariwisata yang diterapkan oleh pemerintah pusat maupun
daerah dengan demikian dituntut untuk mampu secara cepat, tepat dan fleksibel
menyikapi permasalahan pemulihan semacam ini kedepannya. Birokrasi yang terkesan
lamban dengan pola top down harus dikurangi dan disesuaikan dengan kondisi nyata.
Hal ini dapat dilakukan jika segenap pihak memiliki kesamaan visi dan misi serta
program kerja yang jelas sehingga dikemudian hari jika terjadi hal serupa maka akan
cepat dan tepa digunakan langkah-langkah strategis dengan mengandalkan kebijakan-
kebijakan pemerintah yang linear dan dituntut kemampuan pemerintah daerah untuk
berani mengambil keputusan dengan meminimalkan resiko. Hal yang harus dihindari
adalah lahirnya kebijakan-kebijakan yang justru menghambat upaya pemulihan karena
perbedaan persepsi yang justru nantinya akan merugikan segenap pihak.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 69

Koordinasi merupakan kata kunci untuk mencapai keberhasilan dalam upaya


pemulihan pariwisata pascabom Bali. Kebijakan dari Pemerintah Pusat diteruskan oleh
Pemerintah Provinsi Bali melalui Disparda dan instansi terkait lainnya kemudian
dikoordinasikan bersama Pemerintah Kabupaten/Kota di Bali. Dalam kenyataannya
sangat sulit melakukan koordinasi yang baik diantara berbagai komponen karena
perbedaan cara pandang, sistem atau cara bekerja yang berbeda dan perbedaan
sasaran yang ingin dicapai. Disinilah tugas berat Disparda Provinsi agar dapat
mengakomodir perbedaan tersebut dengan meyakinkan segenap pihak tujuan yang
utama dari pemulihan pariwisata adalah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan
mancanegara maupun nusantara ke Bali.
Sejalan dengan UU. No.22 Tahun 1999 dan PP No. 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai daerah Otonom
pembangunan pariwisata pascabom Bali diusahakan berjalan sesuai dengan koridor
tersebut. Pemerintah Provinsi dalam hal ini Disparda Provinsi Bali memiliki wewenang
di bawah Gubernur untuk berkoordinasi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota untuk
memulihkan pariwisata pascabom Bali.
Koordinasi Disparda Provinsi tidak bersifat searah melainkan timbal-balik
sebagai upaya bersama membangun pariwisata Bali. Koordinasi diperlukan untuk dapat
menyusun rencana yang strategis dengan melibatkan stakeholders dan masyarakat
sebagai salah satu metode perencanaan yang terarah. Penyelenggaraan otonomi
daerah pascabom Bali semula dirasakan menimbulkan kesulitan tersendiri karena
pemberlakuan Undang-Undang yang baru sehingga sering terjadi salah interpretasi dan
menimbulkan penyimpangan dalam implementasi di lapangan. Namun berkat
pendekatan yang digunakan oleh Pemerintah Provinsi Bali yang bersifat membina
kesalahpahaman dapat diminimalkan terutama dalam pemulihan pariwisata Bali.
Kebijakan yang turun dari Pemerintah Pusat dengan dibentuknya tim recovery Bali
mengeluarkan langkah-langkah strategis yang dapat dipahami hingga ke tingkat
Pemerintah Kabupaten/Kota. Dalam hal ini Disparda Provinsi Bali selalu membuka diri
untuk menerima masukan dari para stakehloders untuk dapat diteruskan ke
Pemerintah Kabupaten/ Kota sehingga upaya pemulihan pariwisata pascabom tidak
berjalan sendiri-sendiri.
Kesadaran Pemerintah Daerah Bali untuk bersama-sama berusaha meningkatkan
citra pariwisata Bali menjadi senjata ampuh untuk mempercepat pemulihan.
Kabupaten Badung sebagai daerah penyumbang PAD terbesar karena memiliki daerah
kunjungan wisatawan yang terbesar, terlihat sangat aktif berkoordinasi dengan
Pemerintah Provinsi Bali dalam upaya pemulihan pascabom. Hubungan Pemerintah
Kabupaten bersama stakeholders terlaksana dengan baik dengan tidak melupakan
peran masyarakat. Sebagai penyumbang PAD terbesar yang bersumber dari pariwisata
usaha Pemkab Badung juga didukung oleh Pemkab/Kota se- Bali. Mereka menyadari
sepenuhnya bahwa Badung sebagai daerah tujuan wisata utama di Bali yang
memberikan kontribusi besar bagi pembangunan Bali pada umumnya harus didukung
bersama kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Bali maupu Kebijakan
dari Pemerintah Pusat.
Koordinasi dengan pihak keamanan juga telah dilakukan oleh Disparda Provinsi
Bali dengan meyakinkan para stakeholders untuk turut berperan menjaga keamanan di
wilayah kerja masing-masing. Support kepada pihak keamanan diwujudkan pula
melalui bantuan informasi maupun materi sebagai motivator bagi aparat keamanan
untuk dapat bersama-sama bekerja secara maksimal. Pemasangan CCTV di beberapa
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 70

titik sentral yang dipandang rawan juga dikoordinasikan kepada pihak aparat
keamanan. Pemerintah Provinsi Bali melalui Disparda berharap dapat secara optimal
mewujudkan Bali yang aman dan nyaman. Tanpa keamanan yang terjamin dipastikan
citra pariwisata Bali akan semakin merosot yang berdampak kepada penurunan angka
kunjungan wisatawan. Hal ini berarti laju perekonomian Bali akan tersendat yang
berdampak pula kepada kesejahterahaan masyarakat yang semakin menurun.
Koordinasi bersama media massa baik lokal maupun asing dilakukan secara
sinergis untuk dapat memberikan pencitraan positif. Diusulkan kepada media massa
agar melaporkan atau menulis peristiwa positif pascabom Bali bukan sebaliknya
semakin memojokkan citra pariwisata Bali dengan pemberitaan yang tendensius.
Pelaksanaan upacara Kariphubhaya pascabom, toleransi antar etnis/umat beragama
yang harmonis, keindahan objek wisata dan keamanan Bali diharapkan dapat dimuat
sebagai berita yang menyejukkan bagi para calon wisatawan. Bahkan bertujuan pula
bagi negara-negara yang potensial sebagai pangsa pasar wisatawan. Hal ini bertujuan
agar negara-negara besar seperti Amerika Serikat yang semula mengeluarkan travel
warning dapat menurunkan level-nya menjadi travel advisory atau malah mencabut
peringatannya menjadi Bali sudah layak dikunjungi karena pemberitaan yang stabil dan
kondusif.

2.2 Kendala Internal dan Eksternal


Berdasarkan Hierarki dan Tupoksi kerja yang dimiliki, Disparda Provinsi Bali
harus berupaya berperan maksimal mewujudkan pembangunan pariwisata Bali secara
berkelanjutan. Dalam kasus pascabom Bali, peran Disparda Provinsi Bali seperti
disampaikan di atas harus menghindari benturan birokrasi, kebijakan, kepentingan,
dan perbedaan visi dan misi serta program kerja yang berjalan secara partial.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa kendala yang dihadapi Disparda
Provinsi Bali dalam pemulihan pariwisata pascabom. Kendala pemulihan dapat dilihat
secara internal maupun eksternal dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya.
Dalam upaya pemulihan pariwisata oleh Disparda Provinsi Bali kendala internal dan
eksternal tampak selalu berdampingan karena tidak terpisahkan sebagai suatu sistem
yang memerlukan koordinasi dalam menanganinya.
Pengakuan dari beberapa praktisi pariwisata di Bali upaya pemulihan pariwisata
dapat berjalan dengan cepat apabila ada goodwill dari pemerintah dan dukungan dari
segenap komponen. Selain promosi iklim investasi juga harus ditingkatkan sejalan
dengan meningkatnya stabilitas keamanan. Menyatunya persepsi untuk meningkatkan
kembali kunjungan wisatawan dan analisa pasar yang tepat diyakini kondisi pariwisata
Bali akan semakin membaik dari sebelumnya. Peran Disparda Provinsi Bali dapat
dirasakan oleh para stakeholders dengan berbagai kebijakan dan kemudahan yang
diberikan untuk dapat mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya ke Bali.
Ada pun kendala internal adalah alur birokrasi sering menjadi kendala dalam
progress pariwisata khususnya dalam upaya promosi. Pariwisata Bali yang terpuruk
mesti segera dipulihkan karena pariwisata sudah menjadi produk penopang
perekonomian Bali. Bali masih sangat mengandalkan sektor pariwisata sebagai
penggerak perekonomian. Menyikapi hal ini Bali Tourism Board (BTB) pada tahun 2006
telah melakukan langkah pemulihan dengan melakukan road show ke kota-kota di
Australia. Berdasarkan data BTB pemulihan pariwisata pascabom yang dilakukan sejak
tahun 2002 sudah menunjukkan hasil yang cukup baik. Pihak BTB bersama stakeholders
lainnya bekerja keras berkoordinasi dengan Disparda Provinsi Bali bersama masyarakat
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 71

memulihkan kepariwisataan di Bali. Selanjutnya Disparda Provinsi dibawah koordinasi


Pemerintah Pusat memberikan persetujuan termasuk pengalokasian dana pemulihan
pariwisata tersebut.
BTB sebagai gabungan dari sejumlah organisasi kepariwisataan di Bali bertujuan
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dengan memfasilitasi industri dan
pemerintah dalam meningkatkan mutu objek wisata dan segenap faktor pendukungnya.
Visi BTB adalah menjadi organisasi yang mengelola daerah tujuan wisata secara
profesional dan memiliki daya saing dengan negara lain. Misi BTB adalah
mempromosikan, membangun dan mengelola Bali sebagai daerah tujuan wisata
unggulan. BTB sudah mengambil langkah-langkah strategis bersama Disparda Provinsi
Bali dengan menyusun rancangan aksi pemasaran, promosi Bali, merangsang
kedatangan wisatawan secara berkesinambungan, meningkatkan kesadaran masyarakat
Bali akan kepariwisataan, menjembatani dan mengaktifkan komunikasi dua arah serta
pertukaran ide antara pemerintah dan sektor swasta.
Seperti pada kasus menegangnya hubungan diplomatik Indonesia-Australia,
pihak BTB langsung mengambil langkah dengan mengadakan pertemuan bersama
praktisi pariwisata dari Australia. BTB Bali bertemu dengan maskapai penerbangan
Australia dan 30 praktisi pariwisata membahas operasional tim promosi Bali termasuk
membicarakan memburuknya hubungan bilateral kedua Negara agar tidak berdampak
kepada kunjungan wisatawan Australia ke Bali.
Upaya yang dilakukan praktisi pariwisata adalah ingin secara cepat dan mantap
memulihkan pariwisata Bali karena berhubungan erat dengan korporasi yang mereka
miliki. Oleh karena itu, tidaklah salah jika mereka juga turut memberikan bantuan
baik moril maupun materil kepada Disparda atau masyarakat untuk segera memulihkan
pariwisata Bali. Dalam banyak kasus para praktisi pariwisata memberikan bantuan
pemikiran maupun materi seperti dalam upaya promosi melalui Pesta Kesenian Bali
(PKB). Ketika pihak Pemerintah Provinsi kesulitan mempromosikan PKB karena alokasi
dana untuk promosi sangat minim, kerjasama dengan para stakeholders mampu
membantu promosi kepada para wisatawan. Para stakeholders mengakui seharusnya
pemerintah menyiapkan anggaran yang cukup untuk mempromosikan event-event
semacam PKB. Biaya promosi yang terbatas akan menyebabkan arah pemasaran
menjadi bias. Para stakeholders seperti ASITA dan PHRI sangat siap men-support
promosi yang arah dan jelas tujuannya. Kemampuan networking yang mereka miliki
terutama di luar negeri diyakini akan sangat membantu promosi Bali.
Kenyataannya, praktisi pariwisata sering bergerak lebih cepat dari pemerintah
karena mereka terdiri dari orang-orang professional yang berpengalaman di bidangnya
(pariwisata) yang secara langsung mempertaruhkan kapitalnya di dunia pariwisata.
Mereka melakukan reaksi cepat karena tidak ingin bangkrut, sehingga modalnya tidak
hilang melainkan dapat bertahan atau segera mendapatkan keuntungan. Seperti
langkah cepat Kamar Dagang dan Industri Bali (KADIN) mengadakan lobi kepada
Pemerintah Pusat dalam pemulihan pariwisata pascabom Bali.
Pihak stakeholders juga memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah
terkait dengan pemulihan kepariwisataan di Bali. Pencairan dana recovery yang sering
terhambat karena masalah birokrasi juga dapat dilihat pada tahun 2006. Praktisi
pariwisata yang tergabung dalam Persatuan Hotel dan Restoran (PHRI) Bali
mengusulkan perlunya daerah memiliki pos dana tak terduga untuk membantu
recovery Bali. Selama ini recovery terbentur oleh minimnya biaya promosi dari pihak
pemerintah. Padahal Menbudpar saat itu sudah berjanji untuk meningkatkan biaya
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 72

promosi dari tahun ke tahun. Pihak pemerintah dalam hal ini Disparda Kabupaten
Badung menyambut positif usulan ini. Namun karena kesulitan membagi pos anggaran
yang kesemuanya sudah dibagi berdasarkan skala prioritas usulan ini sampai sekarang
belum terealisasi.
Apabila upaya yang dilakukan BTB dan PHRI Bali ditunjang oleh pemerataan
pendanaan, kemampuan SDM dan pembangunan pariwisata yang langsung dirasakan
oleh masyarakat setempat, peneliti berasumsi permasalahan seperti perlakuan tidak
sopan kepada wisatawan akan hilang karena masyarakat memperoleh profit dari
kemajuan pariwisata di desanya. Kesadaran masyarakat pun akan meningkat untuk
tetap menjaga keamanan dan kenyamanan di wilayahnya masing-masing.
Disparda Provinsi Bali sejak tahun 2003 menerapkan rencana strategik untuk
dapat bersinergi secara maksimal bersama stakeholders untuk memulihkan pariwisata
Bali. Pada tahun 2004 Disparda mengalokasikan dana sebesar Rp. 125.000.000 untuk
pembinaan usaha sarana pariwisata yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
pengusaha mematuhi ketentuan yang berlaku. Dana sebesar Rp. 200.225.000
dialokasikan untuk pembinaan usaha jasa pariwisata yang bertujuan pula memberikan
pemahaman kepada praktisi usaha jasa pariwisata untuk mematuhi ketentuan yang
berlaku. Pembinaan berupa pelatihan atau sosialisasi diharapkan dapat memperbaiki
kualitas sarana dan jasa pariwisata pascabom Bali.
Program promosi bersama stakeholders juga dilakukan pada tahun 2004 dengan
melakukan promosi dalam dan luar negeri. Alokasi dana untuk promosi ini sebesar
1.935.168.000. Target yang ingin dicapai dalam promosi pariwisata untuk menyebarkan
informasi kepariwisataan untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Selain itu
program pelayanan informasi juga dikembangkan untuk mencetak brosur/cd sehingga
tersusun bahan promosi pariwisata yang mudah diterima oleh para wisatawan.
Hubungan antara Disparda dengan stakeholders sejatinya bersifat timbal balik
dengan menjaga keharmonisan keduabelahpihak. Disparda tidak dapat bergerak
mengambil kebijakan sendiri dalam mengambil keputusan seperti pada tragedi bom
Bali. Melainkan secara hirarki birokrasi mengikuti kebijakan dari Pemerintah Pusat dan
institusi terkait lainnya. Kebijakan dari atas tersebut baru dikondisikan sesuai dengan
keadaan yang di terjadi di Bali. Hal ini sering menjadi penghalang Disparda untuk
dapat mengambil langkah yang cepat dalam kondisi darurat. Banyak pertimbangan
yang mesti dipatuhi dan dilakukan untuk memecahkan suatu permasalahan.
Kesulitan Disparda Provinsi Bali bersama Disparda Kabupaten/Kota dalam
merespon permasalahan yang dihadapi industri pariwisata pascabom dapat diselesaikan
dengan interaksi antara keduabelah pihak. Disparda yang terbelit oleh hirarki birokrasi
dapat dibantu oleh stakeholders dengan langsung melobi ke Pemerintah Pusat.
Profesionalisme dalam berbisnis membuka jaringan ke Pemerintah Pusat maupun ke
jaringan bisnis Internasional.
Disinilah tampak bagaimana hegemoni kekuasaan secara praksis memiliki
kekuatan yag sulit dibendung. Tidak ada kekerasan tetapi yang terjadi adalah
keharusan (mungkin pemaksaaan secara halus) bahwa daerah mutlak menuruti
kebijakan dari Pemerintah Pusat. Di sisi lain Otonomi Daerah mengaburkan
pemerintahan di daerah antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pada tataran ini kembali
hegemoni lahir dalam wujud yang berbeda sehingga sulit menemukan siapa yang
mengendalikan dan apa yang dikendalikan. Hegemoni adalah penghalusan kekuasaan,
artinya dalam kasus ini perang kekuasaan terjadi tanpa menghasilkan siapa
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 73

pemenangnya karena terikat dalam satu kesatuan yang berkesinambungan namun


penuh dengan kekukuhan pada ego sektoral.
Berbeda dengan stakeholders pariwisata yang mandiri dan profesional karena
mereka bergerak di ranah kapital yang menuntut mereka untuk dapat bertahan dalam
kondisi apapun. Perusahaan yang mereka miliki adalah aset dan investasi untuk
memperoleh keuntungan sebesar-besarnya sesuai dengan motif ekonomi. Oleh karena
itu tidaklah heran ketika terjadi tragesi bom mereka pun kebingungan dan berpikir
keras menyelamatkan perusahaan secara internal (efesiensi, inovasi, dll) maupun
eksternal (promosi, merger, dll). Langkah-langkah yang mereka lakukan lebih cepat
dari pihak pemerintah daerah yang terbelit oleh lingkaran birokrasi.
Ketergantungan diantara keduanya sebagai bagian dari suatu sistem menuntut
mereka harus berjalan bergandengan. Permasalahan yang sama dihadapi oleh Disparda
Provinsi dan stakeholders yaitu menurunnya kunjungan wisatawan yang berdampak
domino terhadap pembangunan Bali. Kedua komponen ini pun tidak dapat berjalan
sendiri-sendiri karena akan tetap memerlukan antara satu dengan lainnya.
Disparda Provinsi Bali juga masih menemui kendala dalam berkoordinasi dengan
Disparda Pemerintah Kabupaten/Kota se-Bali dalam kebijakan-kebijakan pariwisata.
Belum jelasnya kewenangan masing-masing pihak sering menimbulkan permasalahan di
lapangan. Kenyataan ini sering membingungkan stakeholders dalam berinvestasi
pascabom Bali. Belum lagi perubahan kebijakan dari pusat yang sewaktu-waktu dapat
merubah kebijakan terdahulu.
Interaksi antara Disparda Provinsi Bali bersama stakeholders pariwisata di Bali
saling menguntungkan keduabelah pihak. Disparda sebagai bagian dari pemerintah
menjalankan tugas dan fungsi di bidang pariwisata dan stakeholders menjalankan tugas
untuk kepentingan bisnis yang secara langsung memberikan kontribusi kepada
perekonomian daerah dan pembangunan di Bali. Hubungan harmonis ini berjalan
berdasarkan kepentingan yang sama yaitu memajukan pariwisata di Bali.
Kendala eksternal yang dihadapi dalam upaya pemulihan pascabom Bali, adalah
menurunnya kepercayaan pasar terhadap pariwisata Bali, koordinasi bersama
stakeholders yang juga terlihat dalam kendala internal di atas, termasuk koordinasi
dengan aparat keamanan dan koordinasi bersama masyarakat.
George Simmel (1994) dengan pendekatan teori interaksi mengidentifikasi dan
menganalisis bentuk yang berulang atau pola-pola sosial, yaitu proses interaksi timbal
balik dalam masyarakat. Pendekatan ini mengusahakan keseimbangan antara
pandangan nominalis (hanya percaya pada individu riil) dan pandangan realis atau teori
organik (realitas sosial bersifat independen dari individu yang membentuknya). Bentuk
dan pola diisoliasi dan proses interaksi dapat dibedakan dari isi kepentingan tujuan
atau maksud yang dicari melalui proses interaksi. Dalam proses sosial interaksi timbal-
balik, apakah terjadi dalam bentuk superordinasi atau subordinasi. Meskipun
superordinat bertujuan mengontrol subordinat dalam hal superordinat
mempertahankan keinginan subordinat.
Dinas Pariwisata Provinsi Bali memiliki tugas memajukan pembangunan
pariwisata sesuai dengan visi dan misi yang dimiliki. Peran Disparda dengan demikian
tidak terlepas dari stakeholders sebagai praktisi pariwisata dan masyarakat sebagai
bagian dari kepariwisataan itu sendiri. Hubungan ini idealnya dibangun berdasarkan
timbal balik yang saling menguntungkan untuk memajukan pariwisata di Bali.
Hasil observasi dan analisis dari peneliti, kemajuan pariwisata Bali sangat
berperan dalam segala aspek kehidupan masyarakatnya. Pemerintah Provinsi Bali
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 74

melalui Disparda memiliki peran superordinat dalam mengatur dan mengembangkan


kepariwisataan di Bali. Peran Disparda Provinsi Bali meliputi kehumasan pariwisata,
pengembangan objek pariwisata, usaha jasa dan sarana pariwisata, promosi dan
kualitas pariwisata dan sumber daya pariwisata.
Secara teori terlihat peran superordinat Disparda Provinsi Bali ini memberikan
kesan yang besar dalam mengatur dan mengembangkan kepariwisataan di Bali.
Stakeholders dan masyarakat terkesan berada pada posisi subordinat yang mengikuti
dan tunduk kepada segala kebijakan yang dilakukan Disparda Provinsi Bali.
Namun secara kondisi real di lapangan Disparda Provinsi Bali tidak dapat
berjalan sendiri dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Stakeholders dan masyarakat
merupakan komponen yang sama pentingnya dengan Disparda sebagai penyelenggara
kepariwisataan. Jika Disparda berada pada posisi regulasi, pengawasan dan
pengembangan maka stakeholders dan masyarakat merupakan komponen yang
bersentuhan langsung dengan wisatawan.
Interaksi antara ketiga komponen dengan demikian saling tergantung antara
satu dengan lainnya. Disparda hanya mampu memberikan kebijakan dan pembinaan
terhadap kepariwisataan. Disparda Provinsi Bali tidak berwenang dan tidak memiliki
kapabilitas untuk menyelenggarakan usaha-usaha kepariwisataan.sedangkan
stakeholders memiliki peran signifikan sebagai penyelenggara kepariwisataan.
Masyarakat secara langsung maupun tidak langsung berhubungan erat dengan
kemajuan kepariwisataan karena pengaruh positif dari pariwisata pada suatu daerah
seyogyanya dirasakan pula oleh masyarakatnya.
Jika dikatakan stakeholders dalam interaksinya dengan Disparda berada pada
posisi subordinat, tampaknya tidak tepat. Dalam banyak hal stakeholders memiliki
kemampuan yang tidak dimiliki oleh Disparda Provinsi Bali. Misalkan dalam penyediaan
dan penyelenggaraan sektor pendukung pariwisata seperti, hotel dan restoran. Untuk
promosi dan kesuksesan usaha tersebut peran Disparda tidaklah terlalu besar dari sisi
praktisnya. Justru stakeholders melalui kemampuan management, Sdm dan promosi
mereka mampu menarik wisatawan untuk memanfaatkan fasilitas yang dimiliki.
Begitu pula dengan masyarakat, mereka memiliki kebebasan dalam
menciptakan dan mengembangkan kepariwisataan di masing-masing daerahnya.
Misalkan masyarakat mengembangkan atraksi wisata seperti seni pertunjukan Barong,
Disparda hanya sebatas memantau, membina dan berusaha mengembangkan melalui
hasil penelitian dan kebijakan yang dimiliki untuk menjaga keberlanjutan atraksi
wisata tersebut. Masyarakat memiliki keleluasaan dalam usaha promosi, hubungan
kerjasama dengan stakeholders dan hubungan langsung pula dengan para wisatawan.
Sangat sulit untuk mencari siapa yang memiliki power dan authority terkuat
dalam hal ini. Ketiga komponen tersebut terikat dalam hubungan yang jelas dan saling
memerlukan dalam melaksanakan masing-masing tugasnya. Keberlangsungan
pariwisata di Bali tidak akan pernah lepas dari peran ketiga kompoenen tersebut,
Disparda Provinsi Bali di tataran kebijakan, stakeholders dan masyarakat di tataran
penerapan kebijakan dan penyelenggaraan pariwisata. Dengan demikian meskipun
Disparda Provinsi Bali memiliki tugas untuk mengawasi kepariwisataan agar tidak
keluar dari visi dan misi yang dimiliki, tetapi dalam prakteknya Disparda tidak
membatasi atau mengurangi peran stakeholders dan masyarakat. Melainkan Disparda
hanya memberikan rambu-rambu yang patut diikuti oleh kedua komponen tersebut
agar kepariwisataan dapat berjalan dengan harmonis.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 75

Hubungan timbal balik, ini merupakan keterkaitan yang tidak terpisahkan untuk
dapat mewujudkan pariwisata Bali yang maju dan berkesinambungan. Kelemahan
interaksi mungkin terdapat di Disparda Provinsi Bali karena dalam pelaksanaannya
sangat sulit mempersatukan stakeholders dan masyarakat untuk bersatu-padu
menjunjung visi dan misi dalam mewujudkan pariwisata Bali yang sejahtera dan
berkelanjutan. Di sisi lain Disparda Provinsi sering kesulitan membuat suatu
perencanaan dan pengembangan kepariwisataan ke depan karena sistem birokrasi yang
rumit dan keterbatasan pengetahuan untuk melihat pangsa pasar pariwisata serta
kecendrungan pendekatan pemasaran klasik masih digunakan , yaitu mengikuti trend
pasar bukan sebaliknya menciptakan produk pasar yang diyakini dapat menarik angka
kunjungan wisatawan.
Di sisi stakeholders terdapat kesulitan mereka dalam berinteraksi dengan
Disparda Provinsi Bali karena sistem kerja professional sangat berbeda dengan sistem
kerja professional. Ketika stakeholders memiliki ide-ide menarik untuk
mengembangkan pariwisata belum tentu dapat segera di fasilitasi oleh Disparda
Provinsi Bali. Sering stakeholders menganggap Disparda Provinsi Bali lambat dalam
mengambil keputusan sehingga berpengaruh kinerja mereka. Kenyataan ini sulit
dihindari karena paradigma antara birokta dan professional jelas berbeda dan titik
temunya adalah komunikasi yang terbuka diantara kedua komponen untuk menemukan
jalan tengah dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Kesulitan interaksi Disparda Provinsi Bali dengan masyarakat terletak pada
kurangnya sosialisasi Disparda dalam suatu kebijakan pariwisata. Masyarakat sering
merasakan ketidakpahaman mereka terhadap kebijakan-kebijakan atau peraturan yang
dianggap menyulitkan peran mereka dalam menjalankan sector kepariwisataan.
Pembinaan dari Disparda Provinsi Bali untuk secara rutin turun ke lapangan bersama
stakeholders secara berkesinambungan sangat diperlukan. Pembinaan kepada
masyarakat terkait sapta pesona misalnya hamper tidak terdengar gaungnya.
Kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan dan keamanan di objek-objek wisata
masih sangat minim. Kesadaran mereka perlu ditingkatkan dengan sosialisasi dan
pembinaan intensif. Kesulitan Disparda dalam hal ini adalah kurangnya dana yang
dimiliki untuk melaksanakan pembinaan yang intens. Namun kesulitan ini sebenarnya
dapat di cari solusi dengan menggandeng stakeholders untuk bersama-sama
memberikan pembinaan dan support kepada masyarakat tentang apa dan bagaimana
memberikan rasa nyaman bagi wisatawan yang berkunjung ke daerah mereka.
Dari deskripsi diatas, mengutip pandangan Gramsci (Dalam Strinati, 2003 : 195)
bahwa hegemoni sebagai hasil kerja para intelektual atau mereka yang berkompeten
untuk mengajak masyarakatnya untuk mengimbangi kekuasaan pihak luar. Dalam
pengertian ini, diungkapkan bahwa seorang pencipta ide, pelaksana ide maupun
penafsir ide sebagai para intelektual yang terlibat dalam usaha mengukuhkan dan
menentang hegemoni yang ada di dalam institusi masyarakat sipil. interaksi antara
Disparda Provinsi Bali, stakeholders dan masyarakat yang terhegemoni adalah ketiga
komponen dalam situasi yang berbeda. Disparda berusaha menghegemoni stakeholders
dan masyarakat namun tidak memiliki peran yang sentral dalam interaksi karena
minimnya kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki termasuk kemampuan SDM-nya.
Disparda pun akhirnya terhegemoni oleh stakeholders sebagai pemegang korporasi
yang menggerakkan pariwisata di Bali. Belum lagi hegemoni dari Pemerintah Pusat
seperti yang disampaikan pada Bab sebelumnya.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 76

Stakeholders sebagai professional merasa memiliki kemampuan menghegemoni


Pemerintah (Disparda) dan masyarakat. Mereka memiliki kapital (modal) dan jejaring
untuk membangun korporasinya. Tetapi di sisi lain secara tidak langsung stakeholders
terhegemoni oleh pasar, artinya mereka juga dibawah kendali korporasi global yang
telah merentangkan sayapnya hingga ke Bali. Stakeholders pun tergantung kepada
korporasi-korporasi internasional yang memegang kendali pasar.
Masyarakat secara teoritis terlihat yang paling terhegemoni, namun seiring
kemajuan zaman, individu-individu di masyarakat semakin kritis sehingga mereka tidak
mau terhegemoni begitu saja. Sebagai kelompok sub ordinat (terpinggirkan)
masyarakat di Bali khususnya yang telah terlibat dalam pariwisata membangun
kekuatannya melalui desa pekraman untuk mengimbangi hegemoni dari Pemerintah
maupun stakeholders.

III. SIMPULAN DAN SARAN


3.1 Simpulan
Dari hasil pembahasan yang telah diuraikan di atas maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Peran Disparda Provinsi Bali dalam pemulihan pariwisata Bali pascabom adalah
mengimplementasikan kebijakan dari pemerintah pusat yang telah membentuk tim
recovery pariwisata Bali. Melalui tim recovery Bali fokus pemulihan adalah upaya
pemulihan keamanan dan upaya pemulihan promosi. Peran Disparda dalam upaya
pemulihan keamanan bekerjasama dengan Polda Bali, praktisi pariwisata dan
masyarakat dan peran Disparda dalam upaya pemulihan promosi bekerjasama
dengan pemkab/pemkot se-Bali, lembaga pariwisata dan profesi, praktisi
pariwisata, dan masyarakat.
2. Kendala Disparda Provinsi Bali dalam menjalankan peran memulihkan pariwisata
Bali dapat dilihat secara internal dan eksternal yang pada intinya secara teori
Disparda Provinsi Bali memiliki kekuatan besar untuk mengendalikan pemulihan
pariwisata namun secara kenyataan justru posisi Disparda menempati posisi sub
ordinat. Mengakomodir berbagai kepentingan dan meng-koordinasikan agar selaras
secara vertikal-hierarkis ke atas dengan pemerintah pusat dan ke bawah dengan
pemkab/pemkot tidak mudah dalam pelaksanaannya. Secara horisontal, untuk
dapat menyamakan visi-misi dan program kerja dengan para praktisi pariwisata
dan masyarakat juga merupakan kendala yang sulit di atasi karena adanya
perbedaaan kepentingan.

3.2 Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan sebagai rekomendasi sebagai hasil
analisis dari penelitian ini adalah :
1. Penyamaan visi-misi dan pembuatan program kerja terhadap segenap komponen
tentang pentingnya pariwisata Bali dari berbagai aspek untuk mencegah terjadinya
degradasi pendapatan utama masyarakat Bali kedepannya. Tanpa pariwisata Bali
akan kehilangan pendapatan utama masyarakatnya yang akan berpengaruh
terhadap PAD, proses pembangunan sektor lainnya dan kehidupan sosio-kultrual
masyarakat Bali pada umumnya.
2. Perlu menata ulang kembali sistem koordinasi yang disepakati bersama dalam
mewujudkan pariwisata Bali yang berkelanjutan sehingga secara teknis
terdeskripsikan Tupoksi/job description masing-masing komponen dengan
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 77

mengedepankan efisensi dan efektifitas kinerja. Hal ini penting untuk


mengantisipasi tragedi serupa sehingga kendala-kendala pemulihan pariwisata
dapat diminimalkan.
3. Pariwisata Bali sangat tergantung oleh pasar internasional dan kemampuan Bali
dalam mengelola kepariwisataannya. Diperlukan penelitian lanjutan mengenai
pemetaan sosial untuk melihat posisi Bali dari berbagai aspeknya sehingga akan
memudahkan segenap komponen menghadapi berbagai permasalahan dari inovasi,
keamanan, promosi hingga koordinasi untuk mewujudkan pembangunan pariwisata
yang dapat memberikan kesejahterahaan kepada masyarakat Bali pada khususnya
dan kepada Indonesia pada umumnya.

KEPUSTAKAAN

Anonim. 2010. Undang-Undang RI tentang Kepariwisatan Nomor 10 Tahun 2009. Jakarta


: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI
______ .2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdiknas. Jakarta : PT. Balai Pustaka
______ .2003.Buletin Informasi, Pemerintah Provinsi Bali No. 3 Edisi Desember
______ . 2004. Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Survai Kepariwisataan Bali di Bali Tahun
2004,Lama Tinggal, pengeluaran dan Karakteristik Wisatawan, Dinas Pariwisata
Provinsi Bali, Denpasar.
Appadurai, 1993. ”Disjuncture and Difference in the Global Cultural Economy” Dalam
Feathersone. Global Culture, Nationalism, Globalization and Modernity, PP:
295-310. London: SAGE Publication.
Agger, Ben, 2003,”Teori Sosial Kritis, Kritik, Penerapan dan Implikasinya” Yogyakarta :
LKPM.
Geertz, Clifford. 1995. Interpretasi Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta.
Ginanjar Kartasasmita. 1997. Pembangunan Untuk Rakyat, Memadukan Pertumbuhan
dan Pemerataan. Jakarta : PT.Pustaka Cidesindo.
Hamid, EA, Cholik. 1994. Pengetahuan Pariwisata. Jakarta : Yayasan Bhakti
Membangun.
Koentjaraningrat. 1997. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Mahagangga, I Gst. Ag. Oka. 2008. Premanisme dan Pariwisata. Jurnal Analisis
Pariwisata. Vol. 8, No. 2. Denpasar : Fak. Pariwisata Unud.
______ . 2010. Premanisme, Pariwisata dan Media Massa. Jurnal Kepariwisataan
Indonesia, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan. Vol. 5 No. 3
September 2010. Jakarta : Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Muhajir, H. Noeng. 1998. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi III cetakan ke delapan.
Jakarta: Rake Sarasin.
Parson, Talcott. 1986. Fungsionarisme Imperatif, terjemahan Soerjono Soekanto, Seri
Pengenalan Sosiologi. Rajawali : Jakarta.
Pendit, N.S. 1999. Ilmu Pariwisata; Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta : Pradnya
Paramita.
Samsurridjal, D Koelang HD. 1987. Peluang dibidang Pariwisata. Jakarta : Pradnya
Paramita.
Simmel, George. 1994. Sosiological Theory. New York : Harper-Collins.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 78

Simon, Roger, 2001 `Gagasan-Gagasan Politik Gramsci`, Yogyakarta : Insist dan


Pustaka Belajar.
Soekamto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Raja Grapindo
Persada.
Tan Melly G, 1994, Penggunaan Data Kuantitatif. dalam Koentjaraningrat, Metode-
metode Penelitian Masyarakat. Jakarta : PT. Gramedia.
Yoeti, Oka A. 2000. Pengantar Ilmu Pariwisata. Jakarta : Pradnya Paramita.
Veeger Karel J. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta : PT Gramedia.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 79

PERILAKU BERBAHASA WISATAWAN JEPANG DI BALI SEBAGAI


PENCERMINAN KARAKTERISTIK WISATAWAN JEPANG

I Made Sendra
Dosen Fakultas Pariwisata Unud

Abstract

Based on the result of research show that there was the correlation between
speech behaviour of Japanese tourists and their charactersistic, such as, ambiguty,
diffidence, etiquette, courtesy, polite, discipline, perfectionist, unsociable and
inflexible person. The Ambiguity and polite characteristic is often appeared in direct
speech act, indirect speech act, lateral indirect speech act. These kind of speech act
have illocutional meaning and perlocutional meaning; and the expressive function of
courtesy and dissatisfaction. The ambiguity characteristic of Japanese make the
Japanese discourse has ambiguity meaning. The purpose of ambiguity meaning on
Japanese discourse is to keep the harmony of their human relation which is can done
by telling peseudo intention or tatemae.
The discipline, perfectionist, unsociable and inflexible characteristic is
appeared in direct speech act, literal speech act, literal direct speech act, non-literal
indirect speech act. These kind of speech act have locutional meaning, ilocutional
meaning and expressive function of traveling, directive function, commissive
function, representative function and declarative function. Based on these
characteristic the Japanese discourse tend not ambiguity. Because this type of
discourse has the same meaning as the lexical meaning. That is to say that, the
Japanese tourist tell about the real intention or honne.

Key Words: speech behavior, illocutional, perlocutional, and discourse.

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa Jepang sebagai sarana untuk berkomunikasi mempunyai dua komponen,
yaitu penutur (Pn) dan petutur (Pt) yang terlibat dan menggunakan bahasa Jepang
sebagai media berkomunikasi. Terdapat hubungan langsung antara pramuwisata (P)
dengan wisatawan Jepang (WJ) dengan menggunkan Bahasa Jepang (BJ) sebagai alat
atau media berkomunikasi. Bahasa sebagai alat ekspresi dapat mengungkapkan aspek-
aspek pikiran, perasaan serta psikomotorik penuturnya (Searle, 1969).
Berkaitan dengan tuturan, dalam tulisan ini akan mendeskripsikan gambaran
prilaku berbahasa (speech behavior) dan memahami sebuah guyub tutur. Guyub tutur
yang dimaksud adalah orang Jepang yang datang ke Bali sebagai wisatawan. Penulis
melihat fenomena yang sangat menarik dalam sikap dan prilaku tuturan WJ ketika PW
memandu mereka yang berbeda dengan wisatawan mancanegara lainnya.
Tuturan ini bisa dilihat dalam hubungan antar personal orang Jepang ketika
mereka sesama wisatawan Jepang yang tidak saling mengenal, menginap pada satu
hotel yang sama, kemudian mereka bertemu di lobby atau di jalan dan mereka jarang
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 80

sekali menyapa dengan memberikan greeting. Demikian juga ketika wisatawan Jepang
sedang berjalan di sebuah obyek wisata, ketika diberikan salam selamat pagi, siang,
sore atau selamat malam, mereka jarang memberikan respon. Wisatawan Jepang
ketika mereka mengalami suatu pengalaman yang tidak menyenangkan, apakah
menyangkut pelayanan yang diberikan oleh staff hotel, pramuwisata, waiter atau
waitress, jarang sekali mengungkapkan complaint mereka secara langsung pada saat
pelayanan itu diberikan dan mereka cendrung diam. Mereka akan mengungkapkan
complaint tersebut ketika sudah pulang ke negaranya lewat travel agent dimana
mereka membeli produk tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan kebiasaan wisatawan
Eropa yang akan complaint langsung apa bila mereka tidak puas terhadap pelayanan
yang sudah diberikan.
Cara bertutur wisatawan Jepang seperti ini, memberikan kesan tersendiri bagi
para pelaku pariwisata khususnya pramuwisata, sehingga menimbulkan suatu persepsi
bahwa, wisatawan Jepang terkesan tertutup, sombong, kaku, tidak homoris, tidak
fleksibel, menjaga jarak (enryoo). Berdasarkan persepsi tersebut, penulis ingin
mengkaji lebih dalam mengenai hubungan tuturan dengan persepsi tentang prilaku
berbahasa (speech behavior) WJ. Melalui analisis tuturan ini, penulis bermaksud untuk
mengungkapkan, mendeskripsikan prilaku berbahasa WJ yang memiliki keunikan jika
dibandingkan dengan wisatawan mancanegara lainnya.
Tuturan WJ dalam pemanduan wisata memiliki variasi bentuk, fungsi dan makna
tertentu. Penelitian ini mengungkap tuturan-tuturan tersebut berdasarkan pemakaian
BJ sesuai dengan konteks, situasi penutur dan petutur, serta latar belakang sosial
budaya WJ dan P. Tuturan WJ dan P akan menghasilkan makna yang interpretatif dan
kompleks. Untuk menghindari hal tersebut, penulis melakukan aplikasi terhadap
makna-makna tuturan yang terjadi antara WJ dan P sesuai dengan konteks situasi
tuturannya.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah tuturan WJ
dalam kaitannnya dengan gambaran prilaku berbahasa dapat dirumuskan sebagai
berikut: “Bagaimanakah Karakteristik Wisatawan Jepang Dilihat dari Sikap dan Prilaku
Berbahasa-Mereka?”

1.3 Kerangka Konsep


1.3.1 Tindak Tutur
Austin (Dalam Berten, 1980:61-62; lihat juga Searle, 1969 ) menyampaikan
pengucapan suatu tuturan selalu merupakan suatu perbuatan (speech act) atau tindak
tutur (TT). Dibedakan tiga macam tindak (perbuatan) yang berperan jika kita
mengucapkan suatu tuturan yaitu, lucutionary act, illocutionary act dan
perlocutionary act. (1) locutionary act adalah penyempaian suatu makna tertentu.
Suatu tuturan menyampaikan isi bahasa yang bermakna (the act of saying something;
(2) illocutionary act adalah pengucapan suatu tuturan menggunakan suatu daya (force)
yang khas (the act of doing something). Penggunaan daya ilokusional ini, maka tuturan
akan menjadi perjanjian, perintah, pernyataan, vonis dan lain-lain. (3) perlocutionary
act adalah tuturan dapat mengakibatkan suatu efek psikologis pada pendengarnya (the
act of effecting someone), misalnya mereka setuju, merasa takut, puas dan lain-lain.
Setiap tuturan paling sedikit mengandung suatu unsur locutionary dan illocutionary act
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 81

1.3.2 Wisatawan Jepang


Wisatawan Jepang adalah wisatawan yang melakukan perjalanan dan menginap
sementara paling sedikit dua malam jauh dari daerah dimana seseorang bertempat
tinggal yang mereka lakukan dengan tujuan utama untuk kepuasan mengisi waktu
senggang, kesenangan atau memenuhi kebutuhan akan rekreasi yang disadari dapat
dipenuhi, daripada di daearah dimana mereka tinggal (Stears, 1994:8).

1.3.3 Pramuwisata
Pramuwisata adalah pelaku pariwisata yang bergerak dalam memberikan jasa
pemanduan wisata ketika wisatawan melakukan aktifitas perjalanan wisata (tour).
Pramuwisata yang dimaksud di sini adalah mereka yang sudah mendapatkan pendidikan
oleh Dinas Pariwisata Provinsi Bali untuk menjadi pramuwisata yang memiliki sertifikat
dan lisensi resmi dalam menjalankan tugas dan kewajiban mereka sebagai pemandu
wisata yang terorganisisr dalam wadah Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bali
(Suyitno, 2001:68).

1.3.4 Prilaku Berbahasa (Speech Behavior)


Prilaku berbahasa (speech behavior) dalam tulisan ini, adalah keunikan-
keunikan tuturan WJ di Bali, dalam bertutur yang dilatarbelakangi oleh konteks situasi
tutur dalam kegiatan pemanduan wisata. Selain itu, tuturan dalam peristiwa tutur
pemanduan wisata juga sangat dipengaruhi oleh latar belakang sosio-kultural yaitu
stereotype WJ.
Konteks merupakan faktor yang secara sistematis menentukan makna, jenis dan
fungsi tindak tutur (TT). Konteks tersebut berupa konteks linguistik dan non linguistik.
Konteks linguistik adalah urutan kata yang membentuk frase atau tuturan, serta unsur-
unsur supra segmental yang menyertainya. Konteks non linguistik adalah aspek di luar
komponen internal bahasa yang berupa konteks situasi dan konteks budaya.
Skala kesantunan untuk menggambarkan prilaku berbahasa wisatawan Jepang
(WJ), digunakan tiga macam skala pengukur tingkat kesantunan. Ketiga macam skala
tersebut adalah (1) skala kesantunan menurut Leech (1993) ; (2) skala kesantunan
menurut Levinson (1987); dan (3) skala kesantunan menurut Lakoff (1992) dan Rahardi
(2005).

1.4 Metode Penelitian


1.4.1 Metode Pengumpulan Data.
Metode observasi yang digunakan adalah observasi partisipasi dan non-
partisipasi. Observasi partisapasi dilakukan ketika melakukan kegiatan memandu
wisatawan Jepang, bertujuan untuk mengetahui minat, kesan, emosi, sifat, keunikan
prilaku berbahasa (speech behavior) dari wisatawan Jepang. (Rahardi: 2001).
Observasi non partisipan dilakukan dengan mengamati persitiwa tutur antara
wisatawan Jepang dengan wisatawan Jepang lainnya. Hasil observasi berupa tuturan
tentang keunikan yang ditunjukkan oleh wisatawan Jepang. Keunikan tuturan
wisatawan Jepang ini dikaitkan dengan data persepsi stereotype wisatawan Jepang
oleh pramuwisata. Dari observasi juga dapat diamati ekspresi non verbal wisatawan
Jepang, berupa gestures (gerak tubuh), seperti mimik yang menyertai tuturan ketika
mereka berbicara. Selanjutnya dilakukan interpretasi untuk mencari makna ekspresi
non verbal tersebut dalam ungkapan bahasa non verbal sesuai dengan tradisi dan
budaya orang Jepang.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 82

Wawancara yang digunakan adalah wawancara terstruktur, dengan cara


mengembangkan daftar pertanyaan dalam bentuk dialog yang lebih mendalam, melalui
tanya-jawab yang direspon secara spontan oleh wisatawan Jepang, saat menjemput di
airport, mengantar ke hotel, mengantar tour ke obyek-obyek wisata, sampai
wisatawan check out kembali ke negaranya. Wawancara secara terstruktur ini
bertujuan untuk memperoleh data-data tentang prilaku berbahasa, emosi, minat, sikap
dan budaya tuturan wisatawan Jepang. Hasil rekaman ini ditranskripsikan dalam
bentuk teks dialog. (Rahardi, 2001).
Metode dokumentasi digunakan untuk medokumentasikan teks-teks bahasa
Jepang. Teks-teks bahasa Jepang ini diambil dari teks-teks yang memuat program-
program tour wisatawan Jepang. Teks-teks yang dimaksud adalah teks-teks program
tour yang ditawarkan oleh biro perjalanan wisata, seperti HIS (Harum Indah Sari), JTB
(Japan Travel Bureau), Rama Tour dan lain-lain. Program tour yang ditawarkan
memuat half-day tour (han nichi tsuaa), full-day tour (ichi nichi tsuaa) dan overland
(rikujoo-tsuaa), roundtrip (kaiyuu ryokoo), (Rahardi, 2001).

1.4.2 Metode Analisis Data


Setelah data dikumpulkan dianalisis kemudian disajikan secara sistimatik baik
dalam bentuk kata, frasa, tuturan maupun teks-teks. Dalam analisis data tuturan
digunakan teori TT dan teori metafora untuk mendeskripsikan TT orang Jepang dalam
memberikan gambaran prilaku berbahasa (speech behavior) orang Jepang yang ada di
Bali. Penganalisaan TT lebih difokuskan untuk mengkaji komponen makna, jenis, dan
fungsi TT; sedangkan teori metafora digunakan untuk mengkaji makna-makna
kontekstual sosial-budaya dibalik TT orang Jepang (Rahardi, 2001).

2.1 Karakteristik Wisatawan Jepang Dilihat Dari Perilaku Berbahasa (Speech


Behaviour) Ketika Berwisata ke Bali
2.1.1 Karakteristik Ambiguity (Aimai).
Karakteristik aimai (ambiguity) wasatawan Jepang, bisa dijelaskan dari sudut
pandang linguistik pragmatik yang mengkaji prilaku berbahasa yang dimotivasi oleh
tujuan-tujuan percakapan. Apa yang dimaksudkan oleh penutur dengan tuturannya
tidak dapat diketahui dengan pasti. Hanya dapat dipahami dari kondisi-kondisi yang
dapat diamati, tuturan dan konteks. Berdasarkan faktor-faktor ini, penutur bertugas
menyimpulkan interpreatasi yang paling mungkin. Namun walaupun demikian,
seseorang tidak akan mampu untuk membuat suatu kesimpulan yang pasti mengenai
maksud penutur karena tuturan wisatawan Jepang sering dikaburkan.
Austin (dalam Leech, 1993) menyatakan bahwa. ’’penutur mengatakan kepada
petutur bahwa X (X adalah kata-kata tertentu yang diucapkan dengan suatu makna dan
acuan tertentu).’’ Austin menyatakan tindak lokusi dengan penyampaian pesan
(komunikasi idesional). Setiap tuturan kesamaran orang Jepang dapat dikaji dari aspek
tersurat dan tersirat. Kajian tindak tutur dari aspek tersurat atau penelahaan teks
berdasarkan makna leksikal yang secara harfiah menggunakan terminologi makna
lokusional.
Para Linguist, seperti Leech (1983), dan Wijana (1996), menjelaskan bahwa
makna lokusional dari tindak tutur bisa sama atau berbeda dengan makna
ilokusionalnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh maksud, niat dan tujuan penutur dalam
bertutur. Selain itu, faktor-faktor budaya penutur, konteks dan lingkungan penutur
sangat menentukan makna sebuah tindak tutur. Kegiatan bertutur wisatawan Jepang
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 83

memiliki keterkaitan tersendiri, tersetruktur dan terpola sedemikian rupa. Peristiwa


tutur wisatawan Jepang berkaitan dengan pesan yang ingin disampaikan, kesan,
kehidupan sosial budaya, mentalitas, etika atau prilaku berbahasa. Makna lokusi
tuturan kesamaran wisatawan Jepang dapat diamati pada penyampaian informasi yang
diberikan oleh wisatawan Jepang (WJ) ketika disapa oleh pramuwisata (P).

Konteks Situasi Tutur 1 (Mizutani,1987:145) :


1. Penutur (Pn) : Kore kara Tanaka-san wa dochira e irasshaimasu ka ? (Sekarang
Tuan Tanaka mau ke mana?)
2. Petutur (Pt) : Ee, chotto sono hen made (Ke sana sebentar).

Dalam tuturan di atas (data 2), WJ sebagai petutur (Pt) hanya mengucapkan
’’ee, chotto sono hen made’’, dengan ungkapan seperti ini penuturpun yang
mendengar merasa ambigu karena tidak tahu sampai ke mana petutur akan pergi.
Petutur tidak mengungkapkan dengan jelas ke mana akan pergi. Begitu juga penutur
tidak mendesak petutur untuk memperjelas kemana akan pergi. Hal ini merupakan
ungkapan yang sifatnya basa-basi, sebagai gambaran adanya hubungan keakraban
antara penutur dan petutur. Pertanyaan tersebut diucapkan oleh P yang ada di hotel
kepada WJ yang baru saja dijemput dan check in di sebuah hotel, ketika wisatawan
akan ke luar sebentar, sebagai ungkapan keramah-tamahan kepada wisatawan.

Konteks Situasi Tutur 2


Tuturan ini berlangsung di hotel di antara wisatawan Jepang, menceritakan
tentang kunjungannya ke salah satu obyek wisata yang ada Bangli yaitu Kintamani.
Penutur (Pn) :Sakunen Kintamani e ikimashitara,…(Tahun lalu saya pergi ke
Kintamani).
Petutur (Pt) : Ee,…….(Ya).
3. Penutur (Pn) : Nagame ga kirei deshita ga,…(Pemandangannya indah tapi,…….).
4. Petutur (Pt) :Ee, ee,…….(Ya, ya).
Penutur (pn) : Tachiurimono ga ookute,…(Ada banyak pedagang acungnya).
Penutur (Pn): Taihen deshitayo. (Sangat mengganggu lho).
5. Petutur (Pn) :Sou desu ka. Jitsu wa watashi mo kyounen Kintamani e ikimashita
ga,…..(Oo..begitu ya. Sebenarnya saya juga sudah pergi ke Kintamani, tahun lalu,
tapi……)
6. Penutur (Pn) :Ee, ee….(Ya,ya).

Tuturan di atas (data 3) memunculkan makna lokusional. Makna yang muncul


adalah makna leksikal ungkapan-ungkapan tersebut. Maksud penutur hanya untuk
memberikan informasi tentang liburannya ke Kintamani. Wisatawan Jepang
menghindari pengungkapan pikiran secara lengkap dengan memotong kalimat yang
diucapkan dengan menggunakan ungkapan desu ga,….(data 3) atau …masu ga (data 5),
sehingga makna tuturannya menjadi samar-samar (aimai) Sekalipun penutur
mempunyai kelonggaran untuk mengungkapkan semua tanggapan, pendapat, komentar
secara lengkap dan berkelanjutan, tetapi hal itu tidak dilakukan oleh penutur. Hal ini
merupakan salah satu etika dan norma kesopanan bertutur wisatawan Jepang.
Selain itu dalam tuturan wisatawan Jepang, sering terdapat ungkapan untuk
memberikan respon terhadap tuturan yang disebut aizuchi. Dalam percakapan
wisatawan Jepang, sering ditemui ungkapan singkat ketika merespon jawaban lawan
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 84

berbicara seperti: Ee.. (data 4 dan 6); juga Ee, atau Hai sou desu ne dan Naruhodo.
Aizuchi dipakai untuk memberikan tanda kepada lawan bicara bahwa pendengar
Aizuchi memperhatikan dan mengerti maksud dari penutur dan memberikan
kesempatan kepada penutur untuk meneruskan pembicaraannnya.

Konteks Situasi Tutur 3


Seorang guide menanyakan kepada tamunya tentang acara (schedule) apakah ia
akan tamasya ke Tanah Lot.
Penutur (Pn) : Suzuki-san wa Tanah Lot ni ryokou ni narimasu ka. (Apakah Bapak
Suzuki akan jadi bertamasya ke Tanah Lot?).
7. Petutur : Iku kamoshiremasen. (Mungkin saya akan pergi ke sana).

Petutur memberikan jawaban dengan menggunakan kamoshiremasen (data 7),


terlihat bahwa petutur tidak mengetahui apakah akan pergi ke Tanah Lot atau tidak.
Jawaban lain yang bisa diperoleh adalah ’’Mungkin saya akan pergi’’. Arti tambahan
dapat diperoleh dengan memperhatikan bahwa, informasi yang diberikan oleh petutur
kurang daripada yang dibutuhkan oleh penutur. Kesamaran karena disjungsi terlihat
jelas dalam tuturan di atas. Dengan ungkapan di atas petutur terlihat mentaati maksim
kualitas dengan menambahkan kata ’’mungkin’’ pada jawabannya. Penjelasan ini akan
bisa diterima sebagai penjelasan yang taat akan kerjasama. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa petutur tidak mengetahui apakah ia akan pergi atau tidak ke Tanah
Lot.
Strategi ini terdiri dari usaha: (a) merumuskan hipotesa yang paling mungkin;
(b) menguji hipotesa tersebut dan bila tidak teruji; (c) merumuskan hipotesa
berikutnya dan sebagainya. Jenis strategi ini merupakan strategi yang lazim digunakan
manusia untuk memecahkan masalah-masalah penafsiran atau interpreatsi (Leech,
1993: 46-47).

Konteks Situasi Tutur 4


Salah satu karakteristik bahasa Jepang adalah pemakaian bentuk negatif untuk
bertanya secara halus (hormat). Wisatawan Jepang biasanya menjawab hai (ya) yang
bisa konotasinya (tidak/negasi) dan jawaban Iie (tidak) bisa konotasinya (ya/afirmatif),
seperti tuturan di bawah ini.
Penutur :Sukawati Aato Maketto e kaimoni ni ikimasen ka. (Apakah anda akan
pergi ke Pasar Seni Sukawati untuk Shopping?).
8. Petutur1 (Pt1) : Hai, ikimasen.(Ya, saya tidak pergi).
Petutur 2 (Pt 2) : Iie, ikimasu. (Tidak, saya pergi).

Di dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, jawaban ’’ya’’ bila bersifat
afirmatif dan jawaban ’’tidak’’ bila bersifat negasi (menolak). Di dalam bahasa
Jepang, jawaban ’’ya’’ dan ’’tidak’’ tergantung dari sudut pandang petutur (lawan
berbicara) apakah ia setuju terhadap pertanyaan yang diajukan oleh penutur
(pembicara). Apabila petutur setuju terhadap konten pertanyaan tersebut maka akan
dijawab dengan’’ hai’’ (ya) (data 8 Pt 1) yang berarti menolak (negasi); dan sebaliknya
apabila petutur (lawan berbicara) tidak setuju dengan isi pertanyaan yang dajukan,
maka akan dijawab ’’Iie’’/tidak (data 8 Pt), yang berarti kebalikan dari isi pertanyaan
yang diajukan.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 85

Tuturan ini mencerminkan bahwa karakteristik wisatawan Jepang dalam


tuturan, apabila menjawab ’’hai’’/ya, tidak selalu berkonotasi positif; dan jawaban
’’Iie’’/tidak; tidak selalu berkonotasi negatif. Pertanyaan bentuk negatif juga sering
muncul dalam Bahasa Jepang sebagai cara untuk memperlembut sikap kurang sopan.

2.1.2 Karakteristik Wisatawan Jepang Bersifat Enryou (Menjaga Muka).


Ilokusi mengacu pada tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan. Dalam
komunikasi yang berorientasi pada tujuan, meneliti makna sebuah tuturan merupakan
usaha untuk merekonstruksi tindakan apa yang menjadi tujuan penutur ketika ia
memproduksi tuturannya. Menurut Austin (1960), tindakan ilokusional merupakan
penyampaian wacana (komunikasi) interpersonal; dan tujuan ilokusi dibedakan dengan
tujuan-tujuan sosial lainnya. Di antara tujuan-tujuan sosial ini adalah mempertahankan
kerjasama, sopan santun dan sebagainya. Ilokusi melibatkan sopan santun untuk
memperlembut sifat tidak sopan yang secara intrinsik terkandung di dalam tujuan itu.
Tujuan lainnya adalah mengurangi ketidakharmonisan yang tersirat dalam kompetisi
antara apa yang ingin dicapai oleh penutur dengan apa yang dituntut oleh sopan
santun.
Mengelak mengucapkan tuturan yang bersifat langsung merupakan contoh
ketidaklangsungan yang sopan. Dalam tuturan seperti itu, penutur seolah-olah hanya
dapat memulai percakapan sopan dengan petutur apabila memakai taktik mengelak
dan membayangkan bahwa petutur sebagai pendengar tetapi bukan orang yang disapa.
Hal ini dapat menjelaskan kearifan yang ada di dalam permintaan-permintaan tak
langsung tuturan wisatawan Jepang.
Dalam mengungkapkan ide atau pikiran, wisatawan Jepang sering tidak
melanjutkan kalimatnya dalam penyampaian ungkapan yang tidak langsung dan
samara-samar. Untuk memahami tuturan tersebut maka harus dilihat dari konteks dan
situasi tuturannya, seperti terlihat di bawah ini.

Konteks Situasi Tutur 5.


Penutur merupakan seorang WJ yang sedang diantar oleh P. Wisatawan Jepang
ingin membeli oleh-oleh untuk dibawa ke negeranya.
9. Penutur (Pn) : Watashi wa tegoro na nedan de kaimono shitain desu ga,………(Saya
ingin membeli oleh-oleh dengan harga yang lumayan)
Petutur (Pt) : Tegoro na nedan nara, Kumbasari Aato Maketto ga ii to omoimasu.
(Kalau harga yang lumayan cocok sebaiknya beli di Pasar Seni Kumbasari)

Dengan menyimak tuturan di atas, penutur (wisatawan) menyampaikan bahwa


ia ingin membeli oleh-oleh sebelum pulang ke negaranya. Dalam tuturan di atas
wisatawan bermaksud agar P mengantarkannya ke tempat berbelanja yang ada
memberikan discount atau bisa ditawar. Kalimat yang diucapkan oleh penutur diakhiri
dengan kata ’’…node’’(data 9), mencerminkan karakteristik enryou (menjaga muka)
yang dilakukan dengan cara pemenggalan kalimat yang di dalamnya terdapat tujuan
implisit dari penutur tetapi tidak melanjutkan kalimatnya. Petutur dengan cepat dapat
menangkap maksud dari tuturan tersebut. Hal ini berpedoman pada pemahaman
terhadap norma-norma tuturan bahasa Jepang.
Penutur (wisatawan) yang bersifat enryou (menjaga muka), tidak menggunakan
kata-kata yasui nedan de (dengan harga murah), tetapi menggunakan ungkapan tegoro
na nedan de yang secara makna lokusional berupa penyampaian pesan ingin membeli
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 86

oleh-oleh dengan harga miring, yang segera dipahami oleh petutur (Pramuwisata),
yaitu membeli dengan harga ada discountnya (bisa ditawar); Tingkah laku yang bersifat
enryou ini, ditandai pula dengan pemenggalan tuturan yang memakai kata penghubung
’’…..node’’, mengandung maksud implisit yang memiliki makna perlokusional agar
petutur mengantarkan penutur ke tempat berbelanja yang murah.

2.1.3 Karaktersitik Wisatawan Jepang Menjunjung Tinggi Etika dan Kesopanan.


Tingkah laku yang mencerminkan etika dan kesopanan diungkapkan melalui
tuturan yang berupa pernyataan yang secara tidak langsung mengharapkan (memohon)
agar petutur melakukan suatu tindakan. Dalam budaya Jepang memohon orang lain
untuk melakukan sesuatu secara langsung dianggap kurang sopan. Hal ini bisa dilihat
dari konteks situai tuturan ketika seorang guide (Pramuwisata) berada dalam suatu
ruangan bersama wisatawan Jepang.

Konteks Situasi Tutur 6


10. Penutur (Pn) : Kyou wa iya na atsui ne. (Hari ini panas sekali ya).
Petutur (Pt) :Hai, doumo ki ga tsukimasende,…(Ya, maaf saya kurang tanggap).

Dalam tuturan di atas selain mempunyai makna lokusional melalui pernyataan


dari penutur yang mengungkapkan udara dalam ruangan sangat panas (data 10). Makna
ilokusional terlihat ketika terdapat pesan implisit yang ingin disampaikan penutur,
sehingga petutur bereaksi untuk menyalakan air conditioner merupakan makna
perlokusional. Penutur berasumsi bahwa petutur memahami pesannya dengan
melakukan tindakan yang dibutuhkan. Tuturan di atas merepresentasikan pencapaian
tujuan secara tidak langsung, sebagai suatu cara untuk menunjukkan kesopanan dan
etika. melaui tindak ujar tak langsung.
Tindak ujar tidak langsung, dapat dianggap sebagai salah satu cara untuk
melakukan tindak ujar langsung. Dalam tindak kesopanan bertutur, seseorang
mengutarakan maksudnya tetapi tidak mengucapkan secara langsung dalam
tuturannya. Atau dengan kalimat tertentu seseorang menghendaki sesuatu yang
sebenarnya tidak tersurat dalam tuturannya. Dengan ambiguitasnya tuturan tersebut di
atas, petutur harus bisa memahami apakah ilokusi tersebut mengandung daya perintah
untuk melakukan sesuatu atau tidak. Penutur menggunkana strategi yang tidak
langsung untuk mencapai tujuannya. Ini merupakana salah satu cara untuk mentaati
prinsip kesopanan dalam tuturan bahasa Jepang, sehingga hubungah sosial dapat
dipelihara dengan baik.

2.1.4 Karakteristik Wisatawan Jepang Sangat Santun Dalam Tuturan Berbahasa.


Rahardi (2005:69-70), menyebutkan bahwa kesantunan pemakaian tuturan oleh
P terhadap WJ juga berkaitan dengan norma kesantunan yang berlaku pada masyarakat
tuturnya. Norma kesantunan pemakaian bahasa Jepang dibedakan menjadi: (a) tuturan
dengan pemakaian bentuk tuturan biasa (futsuugo); (b) tuturan dengan menggunakan
tuturan bahasa sopan (teineigo); (c) tuturan dengan menggunakan bahasa halus
(keigo). Tuturan bahasa halus (keigo) dibedakan lagi menjadi dua yaitu (a) tuturan
dengan menggunakan bahasa hormat merendah (kenjougo); dan (b) tuturan dengan
menggunakan bahasa hormat meninggikan yaitu menghormat dengan meninggikan
status/kedudukan mitra berbicara (sonkeigo).
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 87

Kesantunan tuturan ketika pramuwisata menjemput wisatawan Jepang di air


port bisa dilihat dari tuturan berikut ini:

Konteks Situasi Tutur 7 (Sumber: JTB Indonesia, 2002: 1-3)


11. Penutur (Pn) :Irasshaimase. (Selamat datang)
Petutur (Pt) : Arigatou Gozaimasu. Onegaishimasu. (Terimakasih. Tolong bantuan
anda selama saya ada di Bali)
12. Penutur (Pn) : O-namae to o-tomari no hoteru wo onegaishimasu. (Tolong nama
dan tempat anda menginap)
13. Penutur (Pn):Watakushi wa JTB gaido no Arya to moushimasu. Douzo yoroshiku
onegai itashimasu.(Nama saya Arya dari guide JTB. Senang bertemu dengan anda).
14. Penutur (Pt) : Kore kara kuruma ga yobimasu node, shibaraku kechira de o-machi
kudasai (Karena sekarang saya akan panggil mobilnya, tolong anda tunggu di sini
sebentar).
15. Penutur (Pn) : O-matase itashimashita. Kuruma ga mairimasu node, wasuremono
naiyou douzo kuruma ni o-nori kudasai. (Maaf saya telah membuat anda
menunggu. Karena mobilnya sudah datang, tolong hati-hati supaya tidak ada
barang yang ketinggalan)

Berdasarkan skala kesantunan Levinson (1987), maka kesantunan tuturan yang


terjadi antara P dengan WJ ditentukan oleh faktor-faktor seperti: (a) peringkat status
sosial antara penutur pramuwisata (P) dengan wisatawan Jepang (WJ) atau sering
disebut peringkat kekuasaan (power rating) yang didasarkan atas hubungan asimetrik
antara P sebagai pihak yang memberikan pelayanan dengan WJ sebagai pihak yang
diberikan pelayanan. Perbedaan status atau kedudukan antara P dengan WJ ketika
terjadinya tuturan bisa dilihat dari skala kesantunan menurut Leech (1993), yaitu
dilihat dari authority scale atau skala keotoritasan yaitu menunjuk kepada hubungan
status sosial antar penutur dengan mitra tutur. Semakin jauh jarak peringkat sosial
(social rank) yaitu P sebagai pelayan dengan WJ diberikan pelayanan maka tuturan
yang digunakan oleh P akan semakin santun.
Jika tuturan di atas di analisis dengan menggunakan konsep skala kesantunan
berdasarkan skala peringkat kekuasaan (power rating), skala otoritas (authority scale)
yang mengacu pada skala jarak peringkat sosial (social rank) dan aturan norma
kesantunan yang berlaku dalam masyarakat Jepang, maka P sebagai pihak yang
memberikan pelayanan memiliki status yang lebih rendah jika dibandingkan dengan
wisatawan Jepang (WJ) sebagai orang yang diberikan pelayanan memiliki
peringkat/status sosial yang lebih tinggi. Sesuai dengan kesantunan dalam tuturan
bahasa Jepang, P sebagai orang yang memiliki peringkat sosial yang lebih rendah harus
menggunakan tuturan halus meninggikan kepada WJ dalam memberikan pelayanan,
sebaliknya P sendiri menggunakan bahasa halus merendah sebagai orang yang
memberikan pelayanan, seperti diperlihatkan dalam analisis leksikal dan sintaksis dari
tuturan tersebut, di bawah ini.
Pada tuturan di atas (data 11) P menggunakan tuturan dengan bahasa halus
meninggikan kedudukan mitra tutur untuk menyambut wisatawan Jepang ketika baru
tiba di airport dengan mengucapkan Irasshaimase (selamat datang). Irasshaimase
adalah tuturan bahasa halus dari verba kuru (datang) yang meninggikan
status/kedudukan WJ. Verba kuru secara leksikal memiliki pilihan kosa kata lain yaitu
kimasu (tuturan sopan) dan orimasu (tuturan halus merendah). Irasshaimase memiliki
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 88

makna lokusi yang sama dengan makna ilokusi yaitu selamat datang. Secara psikologis
tuturan ini menimbulkan makna parlokusi yaitu perasaan dihormati, dihargai ketika
baru tiba di bandara. Secara pragmatik Irasshaimase sebagai tuturan yang sifatnya
basa-basi bermakna kesopanan dalam konteks situasi tutur ketika menyambut WJ di
bandara.
Pada tuturan (data 12) di atas, P menggunakan tuturan halus meninggikan mitra
tutur (WJ) yang dibentuk secara sintaksis dari nomina hormat yaitu menambahkan
awalan o pada nomina (kata benda), seperti o-namae to o-tomari no tokoro wo onegai
shimasu (tolong nama dan tempat anda menginap) sebagai makna lokusi; sedangkan
makna ilokusinya adalah WJ mengatakan atau memberitahu namanya dan tempat atau
hotel ia menginap.
Pada data tuturan (13) P memperkenalkan diri yang secara pragmatik bermakna
kesopanan ketika pertama kali bertemu dengan WJ dengan menyebutkan identitas diri.
Tuturan ini memiliki makna lokusi dan ilokusi yang sama; makna parlokusinya adalah
WJ menjadi tahu nama P yang akan mengantar mereka selama berwisata di Bali. P
menggunakan tuturan bahasa halus merendah (kenjougo), sesuai dengan skala
kesantunan menurut Leech (1993) yaitu adanya jarak peringkat sosial (social rank)
antara P dan WJ; juga sesuai dengan skla kesantunan menurut Brown dan Levinson
(1987) yaitu adanya hubungan asimetris antara P dan WJ karena adanya perbedaan
peringkat kekuasaan (power rating). Semakin jauh jarak peringkat sosial dan peringkat
kekuasaan antara penutur dan mitra tutur, maka akan semakin santunlah tuturan
tersebut. P menggunakan tuturan bahasa halus merendah, seperti Arya to
moushimasu. ~to moushimasu (saya bernama….) secara leksikal bermakna disebut
atau dinamai sebagai bentuk tuturan merendah dari verba iu.
Pada data (14) P menggunakan tuturan halus meninggikan yang secara sintaksis
menggunakan pola o+~masu kudasai pada kalimat ’’shibaraku kochira de o-machi
kudasai’’. Tuturan ini mempunyai makna lokusi dan ilokusi yang sama yang meminta
WJ untuk menunggu sebentar. Modus tuturannya adalah permintaan/permohonan
secara halus dengan konteks situasi tuituran di bandara. Demikian juga pada data (15)
’’kuruma ni o-nori kudasai’’ juga memakai modus permintaan/permohonan yang
mempunyai makna lokusi dan ilokusi yang sama yaitu meminta WJ untuk naik ke mobil.
Pada data (15) ’’O-matase itashimashita’’. P memakai tuturan bahas halus
merendah (kenjougo) yang secara sintaksis dibentuk dari pola kalimat o + ~masu
+shimasu/itashimasu. ’’Matase’’ berasal dari kata matsu (menunggu) dijadikan bentuk
kausatif (shieki) menjadi ’’mataseru’’ yang artinya membuat menunggu, sehingga o-
matase itashimashita mempunyai makna lokusi dan ilokusi yang sama yaitu ’’Maaf
saya telah membuat anda menunggu’’ yang diucapkan oleh P kepada WJ ketika
diminta menunggu mobil yang akan menjemput. Demikian juga pada tuturan ’’Kuruma
ga mairimasu node….…’’data (15), P menggunakan verba halus merendah (kenjougo)
’’mairimasu’’ berasal dari verba ’’kuru’’ yang mempunyai arti leksikal datang. Verba
halus merendah tidak hanya dipakai untuk mengungkapkan atau menuturkan aktifitas
yang dilakukan oleh pelaku (agent) dari suatu perbuatan; tetapi juga untuk
mengungkapkan benda atau berbagai hal yang dimiliki oleh P termasuk perusahaan
tempat ia bekerja yang dikatagorikan sebagai uchi no mono (in group). Oleh karena itu
P menggunakan tuturan halus merendah dalam menuturkan aktifitas datangnya mobil
(milik perusahaan) yang akan menjemput WJ. Dengan demikian dalam tuturan ’’O-
matase itashimashita. Kuruma ga mairimashita node, wasuremono nai you douzo
kuruma ni o-nori kudasai mempunyai makna lokusi meminta maaf telah membuat WJ
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 89

menunggu; dan WJ supaya berhati-hati agar tidak ada barang-barang mereka yang
ketinggalan. Makna parlokusinya adalah memberikan pengaruh secara psikologis
kepada WJ supaya selalu berhati-hati sebelum naik ke mobil untuk menghitung barang-
barang mereka supaya tidak ada yang ketinggalan/hilang.

2.1.5 Karakteristik Wisatawan Jepang Disiplin dan Perfeksionis.


Kesan disiplin dan perfeksionis ini diperoleh melalui interview atau wawancara
yang dilakukan di lapangan terhadap beberapa P yang menghandle WJ. Kedisiplinan ini
meliputi: kedisiplinan menghargai waktu, mentaati program/schedule perjalanan,
disiplin menjaga kebersihan lingkungan, disiplin di objek-objek wisata, hotel dan
bandara dan lain-lain. Kedisiplinan ini bisa dilihat dari tuturan P dengan WJ selama
mereka berlibur di Bali.
Situasi dan konteks tuturan berikut berlangsung ketika P mengantarkan WJ
berkunjung ke objek wisata Hutan Mangrove yang ada di wilayah Suwung Kauh Desa
Pemogan. Ketika WJ menyaksikan bayak sekali terdapat sampah-sampah yang
menyumbat aliran sungai Tukad Badung yang bermuara di kawasan hutan mangrove
tersebut.

Konteks Situasi Tutur 8


16. Penutur (Pn) : Kitanai desu ne. Kawa no mizu wa yogorete iru shi, sore ni gomi ga
suiro wo fusaide iru. Haieki ni yotte kasen ya umi ga osensare, sakana ni suisen ga
chikuseki sareta. (Jorok ya. Air sungai sangat kotor, lagi pula sampah-sampah
menyumbat aliran sungai. Limbah cair mengalir ke sungai dan laut, menyebabkan
ikan-ikan mengandung racun)
17. Penutur (Pn) : Ashita no puroguramu wa ichinichijuu kankou de, Busakii jiin wo
kenbutsu shitain desu ga,…..Jaa, robii de 8 ji han ni mattemasu. (Program besok
adalah tamasya seharian mengunjungi Pura Besakih, tetapi……., Kalau begitu saya
tunggu di lobby jam 8.30)

Dari data (16) dan (17) WJ menggunakan TT langsung literal yang dituturkan
dengan modus dan makna yang sama dengan maksud tuturan. Selain memiliki modus
tuturan yang sama dengan maksud penuturnya, TT langsung literal mempunyai muatan
makna yang sama dengan muatan makna kata-kata yang menyusun tuturan tersebut.
Dalam hal ini WJ ingin mengemukakan pendapatnya tentang kenyataan yang disaksikan
yaitu banyaknya sampah yang menyumbat aliran sungai dan air sungai yang berwarna
sebagai akibat dari pembuangan limbah sembarangan ke sungai
Menurut Wijana (1996:18) menyatakan bahwa tindak ilokusional merupakan
tuturan yang berfungsi, baik untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu
maupun untuk melakukan sesuatu. Pada tuturan (16), WJ bertutur dengan maksud
untuk mengajak supaya memelihara kebersihan lingkungan dengan tidak membuang
sampah dan limbah ke sungai Dilihat dari modus dan makna tuturan (16) di atas, secara
implisit menjelaskan tentang karaktersitik wisatawan Jepang yang sangat disiplin untuk
menjaga dan memelihara lingkungan alam sekitarnya.
Data tuturan (17), WJ bertutur dengan menggunakan jenis TT langsung literal
yang dituturkan dengan modus yang sama dengan maksud tuturan. Dalam hal ini WJ
menegaskan program tour yang sudah dibeli yaitu fullday tour seharian ke Pura
Besakih. Dilihat dari tuturan tersebut memiliki makna perlokusional yang berupa
dampak yang timbul akibat dari sebuah tuturan. Ini berarti makna perlokusional
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 90

dampak atau akibat yang diharapkan dari makna tindak tutur ilokusional. Daya atau
pengaruh TT perlokusinal dapat bersifat sengaja atau tidak disengaja tergantung oleh
cara penutur bertutur.
Dampak atau akibat dari tindak ilokusional tuturan (17) adalah Wisatawan
Jepang sangat menghargai waktu. Mereka selalu tepat waktu dalam setiap program
perjalanan yang sudah dipraktekkan. Makna perlokusionalnya adalah pengaruh atau
efek psikologis terhadap P adalah setiap menjemput WJ harus tepat waktu sesuai
dengan permintaan WJ atau schedule-nya. Hal ini mengindikasikan bahwa WJ sangat
disiplin dalam memanfaatkan waktu libur yang sangat singkat di Bali dengan jadwal
tour yang sangat padat dan perfeksionis.

2.1.6 Karakteristik yang Kurang Ramah dan Tidak Fleksibel.


Kesan kurang ramah dan tidak fleksibel ini terungkap dari tindak tutur (speech
action) WJ selama diantar oleh P ketika berwisata di Bali. Karakteristik yang kurang
fleksibel ini ditunjukkan ketika P mengantar WJ berbelanja di Matahari Depatment
Store. Sudah menjadi kebiasaan dalam sistem pembayaran uang kembalian (otsuri)
jumlah nominal seratus sampai sembilan ratusan dengan menggunakan permen
(kyandii). Kebiasaan pembayaran uang kembalian dengan menggunakan permen ini,
tidak dikenal dalam kebiasaan berbelanja di Jepang, sehingga WJ sering tidak puas
ataupun komplin. Tuturan ini bisa dilihat dalam tuturan sebagai berikut.

Konteks Situasi Tutur 9.


18. Penutur (Pn) : Dame da….., doshite komakai otsuri wa kyandii de torikaeshita no?
Hen da ne. (Jangan….Mengapa kembalian uang recehannya ditukar dengan
permen. Aneh ya.)
Penutur (Pn) : Ohayou gozaimasu.お はようご ざいま)(Selamat pagi).

19. Petutur (Pt) : Eeeeeee…..Dare kashira? (Eeeee…Siapa ya?).

Data tuturan (18) dan (19) di atas menggunakan modus TT Langsung Tidak
Literal. TT langsung tidak lieteral merupakan TT yang memuat modus tuturan yang
sesuai dengan susunan sintaksis tuturannya, tetapi kata-kata yang menyusunnya
tuturan tersebut tidak memiliki kesesuaian semantik dengan maksud penuturnya. WJ
bertutur secara langsung mengatakan ’’Dame da’’ Doushite komakai otsuri ga kyandii
ni torikaesu no? (Janganlah! Mengapa kembalian recehan saya ditukar dengan permen?
), mengungkapkan kekecewaan, kekesalan, kejengkelan. Maksudnya WJ ingin
mengungkapkan kalau berbelanja di negaranya seberapapun kembalian yang berupa
uang recehan harus dikembalikan dengan uang recehan pula. Tidak boleh ditukar
dengan barang seperti permen. Hal ini menunjukkan bahwa berbelanja di Indonesia
tidak ada perlindungan terhadap hak-hak konsumen; Apakah seandainya pembeli
kekurangan uang ketika berbelanja di Matahari Department Store bisa membayar
dengan permen? Inilah pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh seorang WJ terhadap
P yang mengantarkannya.
Dilihat dari tuturan tersebut memiliki makna perlokusional yang berupa dampak
yang timbul akibat dari sebuah tuturan. Ini berarti makna perlokusional dampak atau
akibat yang diharapkan dari makna tindak tutur ilokusional. Daya atau pengaruh TT
perlokusinal dapat bersifat sengaja atau tidak disengaja tergantung oleh cara oenutur
bertutur. Dampak atau akibat dari tindak ilokusional tuturan (18) di atas, adalah P
ketika mengajak WJ berbelanja harus memberikan penjelasan terlebih dahulu sebelum
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 91

berbelanja di Super Market di Indonesia. Karena ada kebiasaan untuk mengembalikan


uang kembalian recehan ditukar dengan permen; Dengan demikian tidak menimbulkan
kekecewaan atau komplin bagi WJ. Hal ini menunjukkan bahwa WJ memiliki karakter
yang kurang fleksibel untuk menerima sesuatu kenyataan yang menurut orang
Indonesia dianggap remeh atau masalah kecil.
Data tuturan (19) menggunakan modus TT langsung. TT langsung terjadi apabila
tuturan yang membangun tuturan tersebut memiliki kesesuaian dengan modus tuturan,
seperti modus introgatif untuk bertanya, deklaratif untuk memberitahukan, imperatif
untuk memerintah. Data tuturan (19) yang bermodus introgatif (bertanya) yaitu
’’Eeee…dare kahira? (Siapa gerangan ya?). Jika dilihat dari jenis tindak tutur data (19)
termasuk pada TT tidak langsung literal. TT tutur tidak langsung literal merupakan
tindak tutur yang modus tuturannya tidak sesuai dengan maksud penuturnya, tetapi
makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh
penuturnya.
Pada tuturan (19) ketika ada Penutur (Pn) menyapa WJ dengan salam ’’Ohayou
Gozaimasu’’ (Selamat pagi); tetapi wisatawan Jepang tidak menjawab. Malahan
mereka diam tertegun sejenak sambil mengucapkan kata-kata tuturan ’’Eeee…dare
kashira? (Siapa gerangan orang yang menyapa saya). Seolah-olah bertanya dalam
dirinya sendiri. Pertanyaan yang selanjutnya muncul dalam benak WJ itu sendiri adalah
’’Apakah dia kenal saya’’ atau ’’Apakah saya pernah bertemu dengan dia?. Di Jepang
orang jarang bertegur sapa atau mengucapkan basa-basi terhadap orang yang tidak
dikenal. Dengan demikian tuturan (19) di atas menimbulkan makna perlokusinal yaitu
efek atau implikasi dari makna ilokusional berupa suatu stereotype bahwa WJ bersifat
kurang ramah, tidak fleksibel, individualistis, jaga jarak, tertutup (introvert).
Kehidupan di Jepang sangat begitu bersifat individualis termasuk orang Jepang
yang sangat bersifat tertutup dan manusia pendiam. Mereka lebih banyak menunjukkan
sesuatu dengan cara berbuat bukan dengan kata-kata (ungkapan verbal). Ada banyak
ahli psikologi yang meneliti tentang kepribadian orang Jepang, seperti Earle Okumura
menggunakan dua lingkaran konsentris variabel untuk menerangkan perbedaan dasar
dalam kejiwaan dan kepribadian wisatawan Jepang dan wisatawan Eropa.

Gambar 3.6.1 Perbedaan dasar Kepribadian Wisatawan Jepang dan Wisatawan


Eropa.

Wisatawan Eropa Wisatawan Jepang

Sumber :(Boye De Mente, 1986:20)


Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 92

Wisatawan Eropa seperti terlihat dalam gambar di atas, memiliki inti dalam
(kejiwaan) dengan kulit luar yang mudah ditembus. Oleh karena itu mudah
mengadakan pendekatan terhadap wisatawan Eropa, serta akan menjadi akrab dalam
waktu relatif singkat. Wisatawan Eropa dapat melakukan amae kepada setiap orang,
walaupun barusaja berkenalan. Namun inti dalam (kejiwaan) yang keras serta besar
pada wisatawan Eropa, tidak memungkinkan seseorang membuka dan mengeluarkan
semua beban kejiwaannya. Betapapun dekatnya hubungan wisatawan Eropa, bahkan
suami-istri, hanya sedikit yang dapat menyatakan bahwa mereka dapat memahami satu
sama lainnya.
Perbedaan denngan wisatawan Jepang, cenderung untuk bersikap skeptis
bahkan mengacuhkan orang lain, sebelum mereka dapat menjalin hubungan amae.
Seperti dilihat dalam gambar di atas, wisatawan Jepang memiliki inti dalam (kejiwaan)
yang mudah pecah, dengan dua rintangan luar, yang secara anatomi kejiwaan untuk
menghindari orang yang belum memiliki hubungan amae dengannya. Rintangan yang
pertama tebal dan kuat, dan rintangan yang kedua juga tebal dan terpecah-pecah,
menggambarkan bahwa sangat sulit untuk menumbuhkan amae pada wisatawan
Jepang, dan diperlukan waktu untuk menimbulkan perasaan amae terhadap orang lain
yang baru dikenalnya. Karena itu wisatawan Jepang akan cendrung menjaga jarak
(enryoo) dengan orang yang belum dikenal. Manurut Takeo Doi, apabila wisatawan
Jepang tidak dapat menunjukkan amae-nya yang merupakan unsur utama bagi
perkembangan kepercayaan serta keyakinan terhadap orang lain, akibatnya akan
timbul rasa uramu (dendam), (Boye De Mente, 1986: 18).

III. SIMPULAN DAN SARAN


3.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap wisatawan Jepang yang berlibur ke Bali
maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Prilaku berbahasa (speech behaviour) wisatawan Jepang ketika berlibur di Bali
mencerminkan karakteristik orang Jepang dilihat dari konteks situasi tutur, semua
tuturan wisatawan Jepang di Bali memiliki jenis, makna dan fungsi. Komponen
makna tindak tutur wisatawan Jepang di Bali adalah lokusional, ilokusional dan
perlokusional. Makna lokusional muncul pada jenis tindak tutur langsung. Jenis
tindak tutur langsung mempunyai fungsi ekspresif tentang liburan, sapaan
(kesantunan) dan keheranan. Selain itu, makna ilokusional dan perlokusional juga
ditemukan dalam tuturan wisatawan Jepang di Bali. Kedua komponen makna ini,
muncul pada tuturan wisatawan Jepang secara tidak langsung. Tindak tutur tidak
langsung dipakai oleh wisatawan Jepang (penutur) untuk memperhalus ujaran atau
membuat pembicaraan lebih sopan.
2. Prilaku berbahasa memunculkan stereotype tentang orang Jepang yang bersifat
ambiguity (aimai), enryo (diffident), menjunjung tinggi etika (sahou) dan
kesopanan ( teinei), santun dalam tuturan (reigitadashii), disiplin (kiritsutadashii)
dan perfeksionis (kanzenshugisha), kurang ramah (unsociable/fushakoutekina) dan
tidak fleksibel (fuchouseina).
3. Berdasarkan karakteristik tersebut di atas, tuturan wisatawan Jepang tidak
bermakna ambiguity; karena tuturan tersebut memiliki makna yang sama dengan
kata-kata yang menyusun tuturan tersebut. Wisatawan Jepang bertutur dengan
mengatakan hal yang sesungguhnya yang disebut dengan honne (real intention).
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 93

3.2 Saran
Penelitian ini merupakan studi pragmatik dikaitkan dengan karakteristik
wisatawan Jepang ketika berlibur di Bali. Diharapkan agar dengan memahami
karakteristik wisatawan Jepang, pramuwisata dapat memberikan pelayanan yang lebih
baik, sesui dengan harapan (ekspektasi) wisatawan. Selain itu, studi ini diharapkan
dapat memberikan motivasi untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut terhadap
tingkah laku wisatawan Jepang (tourist behaviour), dilihat dari latar belakang sosial,
budaya dan psikologi.

KEPUSTAKAAN

Austin. 1960. How To Do Thing With Words. New York: Doubleday.


Bertens. K.1980. Filsafat Barat Dalam Abad XX. Jakarta PT Gramedia.
JTB Indoneshia. 2002. Bari Kankou Annai Tekisuto Nihongo Gaidoyou: Teks Informasi
Pariwisata Bali Untuk Guide Jepang. Jakarta: PT JTB Indonesia.
Lakoff, G. 1992. The Contemporary Theory of Metaphor. Cambridge: Cambridge
University Press.
Leech, Geoffrey.1993. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Terjemahan M.D.D. Oka. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Levinson, C. Stephen. 1989. Pragmatic. Cambridge: Cambridge University Press.
Mente, Boye De. 1986. Bisnis Cara Jepang. Diterjemahkan Candra Hasan. The Japanese
Way of Doing Business. Jakarta: PT Pantja Simpati.
Mizutani, Osamu (et.al). 1987. How Tobe Polite In Japanese. Tokyo: The Japan Time.
Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode dan Alih Kode. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
______ . 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Searle, JR. 1969. Speech Act: An Essay in The Philosophy of Language. Cambridge:
Cambridge University Press.
Stears, L.1994. Key Features of Tourism System for Tourism Management Studies.
University of Technology, Sydney.
Suyitno. 2001. Perencanaan Wisata: Tour Planning. (Yogyakarta: 2001).
Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta. Andi Offset.

Anda mungkin juga menyukai