Vol 12 No 1 2012 PDF
Vol 12 No 1 2012 PDF
Analisis Pariwisata terbit sebagai media komunikasi dan informasi ilmiah kepariwisataan, yang
memuat tentang hasil ringkasan penelitian, survei dan tulisan ilmiah populer kepariwisataan. Redaksi
menerima sumbangan tulisan para ahli, staf pengajar perguruan tinggi, praktisi, mahasiswa yang
peduli terhadap pengembangan pariwisata. Redaksi dapat menyingkat atau memperbaiki tulisan yang
akan dimuat tanpa mengubah maksud dan isinya.
Penanggung Jawab
Drs. I Putu Anom, M.Par. (Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)
Penasehat
Dra. Ida Ayu Suryasih, M.Par. (Pembantu Dekan I Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)
Dra. Ni Made Oka Karini, M.Par. (Pembantu Dekan II Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)
I Nyoman Sudiarta, SE., M.Par. (Pembantu Dekan III Fakultas Pariwisata Universitas Udayana)
Penyunting Pelaksana
▪ I Wayan Suardana, SST.Par., M.Par. ▪ I Nyoman Sukma Arida, S.Si., M.Si.
▪ IGA. Oka Mahagangga, S.Sos., M.Si. ▪ Yayu Indrawati, SS., M.Par.
▪ I Made Kusuma Negara, SE., M.Par. ▪ I Gde Indra Bhaskara, SST.Par., M.Sc.
▪ Made Sukana, SST.Par., M.Par., MBA. ▪ I Gst. Bagus Sasrawan Mananda, SST.Par.
Cover Depan Analisis Pariwisata : Pantai Lovina, Kab. Buleleng, Bali (Kusuma, 2008)
© Fakultas Pariwisata Universitas Udayana Denpasar, Juli 2012
Majalah Analisis Pariwisata Volume 12, Nomor 1, Tahun 2012 mengangkat topik, ”Pilihan
Pengembangan Pariwisata” sebagai suatu upaya publikasi temuan dari hasil penelitian terbaru. ”Pilihan
Pengembangan Pariwisata” diarahkan untuk kembali mengingatkan bahwa pariwisata senantiasa dinamis
namun tetap harus dipelajari dan dimaknai proses dari perjalanan kepariwistaan tersebut. Begitu banyak
”pilihan-pilihan” justru mengharuskan para pemegang kebijakan dan para praktisi semakin bijaksana dan
tidak hanya ”taken for granted” tanpa memilah dampak-dampak negatif yang mungkin ditimbulkan.
Tulisan pertama dari I Made Kusuma Negara berjudul ”Potensi Ikan Air Tawar di Danau Batur
sebagai Pengembangan Wisata Alternatif”. Dikatakan Kab. Bangli masih menyimpan potensi pariwisata
yaitu ikan air tawar, jika dikelola dengan baik diyakini akan mampu membantu meningkatkan PAD dari
sektor pariwisata.
Tulisan kedua masih menyinggung wisata alternatif berjudul ”Analisis Kelayakan Desa Bedulu
sebagai Desa Wisata di Kab. Gianyar (Kajian Aspek Pasar dan Pemasaran)” oleh I Gusti Putu Bagus
Sasrawan Mananda. Hasil penelitiannya menunjukkan pentingnya kajian aspek pasar dan pemasaran agar
pengembagan suatu wisata alternatif seperti desa wisata tidak mubazir.
Tulisan ketiga berjudul ”Desa Wisata Berbasis Masyarakat sebagai Model Pemberdayaan
Masyarakat di Desa Pinge” oleh I Made Adikampana. Desa wisata Pinge terletak di Kab. Tabanan dan saat
ini sedang giat menata desa untuk menarik perhatian wisatawan. Tulisan ini menekankan aspek
perencanaan pariwisata dengan perspektif pemberdayaan masyarakat.
Tulisan keempat berjudul ”Karakteristik Restoran India sebagai Sarana Wisata Baru di Kawasan
Wisata, Kuta, Nusa Dua dan Ubud oleh Ni Made Ariani dkk. Pangsa pasar wisatawan sebagai ”the sleeping
giant” menuntut praktisi pariwisata untuk menyiapkan infrastruktur memadai dalam kasus penelitian ini
adalah restoran India di Bali yang memiliki keseragaman karakter.
Tulisan kelima datang dari pulau Borneo berjudul,”Persepsi Pengunjung Terhadap Kualitas
Pelayanan pada Museum Mulawarman Tenggarong” oleh A. Rinto Dwi Atmojo. Disampaikan berdasarkan
persepsi pengunjung, pihak pengelola harus lebih memperhatikan aspek perawatan dan aspek promosi
untuk semakin meningkatkan kunjungan wisatawan lokal maupun mancanegara ke museum Mulawarman.
Tulisan keenam dari I Putu Anom M. Par, berjudul”Potensi Kepariwisataan Provinsi Sulawesi
Selatan” yang mengulas tentang beraneka potensi yang belum tergarap untuk pengembangan
kepariwisataan secara berkelanjutan di Provinsi Sulawesi Selatan.
Tulisan ketujuh dari I Gusti Agung Oka Mahagangga dkk berjudul”Peran dan Kendala Pemulihan
Pariwisata Bali Pascabom (Suatu Kasus Disparda Provinsi Bali)” mengungkapkan secara sintetis-diakronik
mengenai upaya dan kendala pemerintah mengatasi krisis pariwisata pascabom sebagai upaya
pembelajaran jika peristiwa serupa terulang maka sudah disiapkan langkah-langkah strategik untuk
mengatasinya.
Beberapa tulisan ilmiah tersebut diharapkan mampu memenuhi dahaga para akademisi,
mahasiswa dan stakeholders pariwisata termasuk para praktisi yang hingga saat ini masih sulit
mendapatkan literatur-literatur ilmiah bidang pariwisata di Indonesia. Besar harapan tim redaksi agar
kedepannya segenap pihak, yang terjun di sektor primadona ini dapat menyumbangkan banyak
sumbangan pemikiran, kritik, saran dan masukan dalam tulisan ilmiah melalui jurnal majalah analisis
pariwisata, Fakultas Pariwisata-Universitas Udayana.
Redaksi
1. Naskah dapat berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang belum pernah dipublikasikan
sebelumnya.
2. Naskah ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris (abstrak bahasa Inggris). Abstrak tidak
lebih dari 250 kata dengan disertai 3-5 istilah kunci (keywords). Naskah berupa ketikan asli dan
CD dengan jumlah maksimal 15 halaman ketikan A4 spasi 1½, kecuali abstrak, tabel dan
kepustakaan.
3. Naskah ditulis dengan batas 2,5 cm dari kiri dan 2 cm dari tepi kanan, bawah dan atas.
4. Judul singkat, jelas dan informatif serta ditulis dengan huruf besar. Judul yang terlalu panjang
harus dipecah menjadi judul utama dan anak judul.
5. Nama penulis tanpa gelar akademik, alamat e-mail dan asal instansi penulis ditulis lengkap.
6. Naskah hasil penelitian terdiri atau judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, tinjauan pustaka
dan metode, hasil dan pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan.
7. Naskah kajian pustaka terdiri atas judul, nama penulis, abstrak, pendahuluan, masalah,
pembahasan, simpulan dan saran serta kepustakaan.
8. Tabel, grafik, histogram, sketsa dan gambar harus diberi judul serta keterangan yang jelas.
9. Dalam mengutip pendapat orang lain, dipakai sistem nama penulis dan tahun. Contoh : Astina
(1999); Suwena et al. (2001).
10. Kepustakaan memakai “harvard style” disusun menurut abjad nama penulis tanpa nomer urut.
a. Untuk buku : nama pokok dan inisial pengarang, tahun terbit, judul, jilid, edisi, tempat
terbit dan nama penerbit.
Picard, Michael. 1996. Cultural Tourism and Touristic Culture. Singapore: Archipelago
Press.
b. Karangan dalam buku : nama pokok dari inisial pengarang, tahun terbit, judul karangan,
inisial dan nama editor : judul buku, hal permulaan dan akhir karangan, tempat terbitan
dan nama penerbit.
McKean, Philip Frick. 1978. “Towards as Theoretical analysis of Tourism: Economic Dualism
and Cultural Involution in Bali”. Dalam Valena L. Smith (ed). Host and Guests: The
Antropology of Tourism. Philadelphia : University of Pensylvania Press.
c. Untuk artikel dalam jurnal: nama pokok dan inisial pengarang, tahun, judul karangan,
singkatan nama majalah, jilid (nomor), halaman permulaan dan akhir.
Pitana, I Gde. 1998. “Global Proces and Struggle for Identity: A Note on Cultural Tourism in
Bali, Indonesia” Journal of Island Studies, vol. I, no. 1, pp. 117-126.
d. Untuk Artikel dalam format elektronik : Nama pokok dan inisial, tahun, judul, waktu,
alamat situs.
Hudson, P. (1998, September 16 - last update), "PM, Costello liars: former bank chief", (The
Age), Available: http://www.theage.com.au/daily/980916/news/news2.html
(Accessed: 1998, September 16).
11. Dalam tata nama (nomenklatur) dan tata istilah, penulis harus mengikuti cara penulisan yang
baku untuk masing-masing bidang ilmu.
12. Dalam hal diperlukan ucapan terima kasih, supaya ditulis di bagian akhir naskah dengan
menyebutkan secara lengkap : nama, gelar dan penerima ucapan.
Abstract
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pariwisata Bali telah tumbuh dan berkembang sedemikian rupa memberikan
sumbangan yang besar terhadap pembangunan daerah dan masyarakat Bali baik secara
langsung maupun tidak langsung. Meskipun pariwisata Bali diguncang oleh berbagai
fenomena seperti, isu virus SARS, teror Bom Bali dan berbagai permasalahan
keamanan, pariwisata Bali tetap berupaya untuk menjadi daya tarik wisata utama di
Indonesia bahkan di dunia. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, stakeholders
pariwisata, pihak keamanan bahkan oleh masyarakat untuk membuat wisatawan
domestik maupun mancanegara tetap tertarik mengunjungi pulau dewata.
Pariwisata ternyata memberikan peran yang sangat besar bagi penggerak roda
perekonomian masyarakat Bali. Harus disadari Bali tanpa pariwisata maka Bali akan
kehilangan segalanya bahkan mungkin kebudayaannya yang sudah tersohor itu dapat
lenyap begitu saja. Pariwisata Bali dengan demikian sangat mengandalkan destinasi
wisata dan atraksi wisata yang dimiliki untuk tetap menarik perhatian wisatawan.
Pengembangan pariwisata dengan berbagai potensi terus diupayakan untuk tetap
menjaga bahkan semaksimal mungkin memacu pertumbuhan ekonomi dari sektor
pariwisata.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 2
Sebagai salah satu sub sistem agribisnis yaitu sub sektor usaha tani. Budi daya
ikan nila dalam jakapung memiliki potensi yang menjanjikan. Dengan hasil ikan yang
tidak berbau tanah (karena tidak sempat menyentuh tanah), budidaya ikan nila dalam
jakapung dapat dikatakan sebagai produk unggulan daerah yang memiliki daya saing
dengan memanfaatkan keunggulan komparatif yang dimiliki Kabupaten Bangli berupa
potensi Danau Batur.
Jika pembudidayaan ikan nila dalam jakapung telah mencapai angka maksimal,
diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah yakni kemiskinan dan tenaga kerja
khususnya di pedesaan. Kemiskinan disini diartikan sebagai kemiskinan penduduk
terutama di pedesaan, maka dari itu dimaksimalkannya pembudidayaan ikan nila
dalam jakapung dimaksudkan agar petani nelayan tidak menganggur dan masalah
tenaga kerja sedikit demi sedikit teratasi terutama untuk penduduk yang bertempat
tinggal di desa sekitar Danau Batur (dalam lingkup mikro).
Dimaksimalkannya budidaya ikan nila dalam Jakapung diharapkan diikuti dengan
hasil produksi ikannya pun meningkat. Ikan nila Danau Batur yang banyak diminati
karena selain sehat, tidak bau dan tidak kotor ini nantinya bisa diekspor sehingga
pendapatan untuk kabupaten meningkat. Saat ini produksi ikan nila Danau Batur baru
dimanfaatkan oleh penduduk untuk bisnis restoran yang menyediakan menu ikan nila
Danau Batur.
Danau Batur memiliki potensi yang layak diperhitungkan untuk menunjang
kegiatan kepariwisataan. Beberapa petani nelayan sudah mencoba pembudidayaan
ikan air tawar yang hasilnya cukup menjanjikan. Tetapi pembudidayaan ini belum
secara serius digarap untuk kepentingan pariwisata yang seharusnya dapat memberikan
manfaat cukup besar bagi masyarakat lokal dan bagi para wisatawan. Pembudidayaan
ikan nila dalam jakapung di Danau Batur bisa menarik minat wisatawan lokal maupun
mancanegara untuk berkunjung dan melihat kegiatan petani nelayan dalam
memelihara ikan nila. Selain menikmati pemandangan indah Gunung Batur dan Danau
Batur, juga dapat menyaksikan secara langsung bagaimana pembudidayaan ikan nila di
Danau Batur. Wisatawan terutama wisatawan mancanegara dipastikan akan tertarik
untuk mengamati kegiatan tersebut.
Keberadaan restoran-restoran yang menyediakan menu olahan ikan nila Danau
Batur dapat dirancang sebagai finishing kegiatan berwisata di Batur. Adanya potensi
ikan air tawar sebagai pengembangan wisata alternatif di Danau Batur jika dapat
direalisasikan bukan tidak mungkin akan menambah PAD Pemkab Bangli dari sektor
pariwisata. Termasuk pula peran petani nelayan di sekitar Danau Batur tentunya akan
memperoleh peningkatan penghasilan dengan disajikannya berbagai paket tour melalui
pengembangan wisata alternatif seperti wisata alam maupun agrowisata.
dan menghindari dampak negatif dari pembangunan pariwisata berskala besar yang
dijalankan pada suatu area yang tidak terlalu cepat pembangunannya.
Selain itu oleh Saglio, Bilsen, dan Gonsalves dalam Sunarta (2002) menyebutkan
bahwa pariwisata alternatif adalah kegiatan kepariwisataan yang memiliki gagasan
yang mengandung arti sebagai suatu pembangunan yang berskala kecil atau juga
sebagai suatu kegiatan kepariwisataan yang disuguhkan kepada wisatawan, dimana
segala aktivitasnya turut melibatkan masyarakat.
Holden dalam Sunarta (2002), pariwisata alternatif merupakan suatu proses
yang mempromosikan suatu destinasi yang kondisinya memang benar-benar layak dan
pantas diantara komunitas yang berbeda-beda, dimana diperlukan untuk memperoleh
pemahaman, solidaritas, dan kesamaan diantara seluruh komponen.
Middleton (1998), menyebutkan bahwa pariwisata alternatif merupakan suatu
bentuk produk pariwisata yang mempertimbangkan bahkan menuntut lebih akrab
lingkungan dan tidak merusak budaya.
Archer and Cooper (1993), menyatakan bahwa pariwisata alternatif merupakan
suatu pergerakan yang memiliki jalan keluar untuk “mengobati sakit” dari pariwisata
massal (Mass Tourism).
Cohen (1987) dalam Gartner (1996), menyebutkan bahwa pariwisata alternatif
bersumber dari dua pandangan ideologi yang sejaman, yaitu bahwa pariwisata
alternatif merupakan reaksi atas konsumerisme modern, dan pariwisata alternatif
merupakan reaksi dari eksploitasi yang dilakukan negara berkembang.
Butler dalam Gartner (1996) memaparkan dampak yang mungkin terjadi dari
adanya pariwisata alternatif terhadap aspek sosial, lingkungan, dan ekonomi, yaitu
pada Tabel 2.1.
Variasi pariwisata alternatif dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Pariwisata Adventure
Merupakan suatu kegiatan pariwisata alternatif yang bernuansa petualangan
(Adventure). Petualangan dalam skala kecil dapat terdiri dari bird watching, scuba
diving, dalam skala menengah terdiri dari kegiatan yang bernuansa olah raga
seperti canoing, dan rafting. Sedangkan dalam skala besar meliputi kegiatan
petualangan seperti halnya taman safari.
2. Pariwisata Alam
Merupakan kegiatan pariwisata alternatif yang memfokuskan diri pada studi dan
observasi yang berkaitan dengan flora (tumbuhan) dan fauna (binatang), selain itu
juga berkaitan dengan kegiatan landscape.
3. Community Tourism
Community Tourism atau pariwisata kerakyatan merupakan suatu kegiatan
pariwisata yang dijalankan oleh rakyat, baik dari perencanaan sampai evaluasi dan
segala manfaat yang diperoleh dari kegiatan tersebut sepenuhnya untuk rakyat
yang bersangkutan.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 6
Tabel 2.1. Dampak yang Mungkin Terjadi dari Adanya Pariwisata Alternatif
Terhadap Aspek Sosial, Lingkungan, dan Ekonomi
Dampak
Sosial Lingkungan Ekonomi
A. Wisatawan
- Jumlah Positif Positif Negatif
- Tingkah Laku Dipertanyakan Sedikit Positif Negatif
- Lokasi Negatif Negatif Negatif
- Waktu Positif Negatif Positif
- Hubungan Negatif - Netral
- Kesamaan Negatif Sedikit Negatif Positif
B. Sumber Daya
- Kerapuhan Netral Negatif Netral
- Keunikan Netral Negatif Netral
- Kapasitas Netral Sedikit Positif Netral
C. Kegiatan Ekonomi
- Merugikan Positif Netral Negatif
- Kebocoran Sedikit Positif Netral Negatif
D. Politik
- Kontrol Lokal Positif Tidak Diketahui Netral
- Perencanaan Sedikit Negatif Tidak Diketahui Netral
Tambahan
Selain itu, data sekunder juga dipergunakan dalam penelitian ini, dimana data
sekunder merupakan data yang diperoleh dari publikasi yang diterbitkan oleh berbagai
instansi yang berkaitan dengan perikanan air tawar, seperti BPS, Dinas Peternakan
Kabupaten Bangli, Dinas Pariwisata Kabupaten Bangli serta data sekunder oleh pihak-
pihak lain yang berhubungan dengan perikanan air tawar.
Tabel 3.1 Variabel Persepsi Masyarakat terhadap Potensi Ikan Air Tawar
di Danau Batur sebagai Pengembangan Wisata Alternatif
Variabel
Tingkat I Tingkat II
- Jarak
- Lokasi
Potensi Fisik - Aksesibilitas
- Fasilitas penunjang
- Petunjuk dan informasi
- Etos kerja
Potensi Non Fisik - Mentalitas
- Sikap masyarakat
Sumber : Berdasarkan Hasil Observasi, 2011
juga diperhitungkan, dalam kurun lima tahun telah mencapai angka 279.464 orang
wisatawan manca negara dan 69.680 orang wisatawan nusantara. Sedangkan komposisi
kunjungan antara wisatawan manca negara dengan nusantara perbandingannya adalah
rata-rata 80% berbanding 20% (BPS, 2010).
Kunjungan wisatawan, baik manca negara maupun nusantara tidak terlepas dari
beragamnya daya tarik wisata yang dimiliki Kabupaten Bangli. Daya tarik tersebut di
katagorikan menjadi tiga, yaitu : (1) daya tarik wisata yang sudah dikembangkan, (2)
daya tarik wisata sedang dikembangkan, dan (3) daya tarik wisata yang belum
dikembangkan. Dari 32 daya tarik wisata yang dimiliki Kabupaten Bangli, terlihat
bahwa sebagian besar atau 68,76% daya tarik wisata tersebut belum dikembangkan
yang tersebar di Kecamatan Bangli, Susut, Tembuku, dan Kintamani. Hanya 18,75%
saja daya tarik wisata di Kabupaten Bangli yang telah dikembangkan dan sebagian
besar berlokasi di Kecamatan Kintamani, dan sisanya berlokasi di Kecamatan Bangli.
Sedangkan daya tarik yang sedang dikembangkan sebesar 12,50%, sebagian besar
berlokasi di Kecamatan Bangli, yaitu : Desa Adat Pengotan, Taman Bali Raja, dan
Kolam Renang Seganing (Bappeda Pemkab Bangli, 2011).
1. Potensi Fisik.
Persepsi masyarakat terhadap jarak, lokasi, aksesibilitas, fasilitas penunjang, dan
petunjuk serta informasi adalah cukup, ini terlihat dari indeks persepsinya sebesar
2,8.
2. Potensi Non Fisik.
Persepsi masyarakat terhadap etos kerja, mentalitas, dan sikap masyarakat adalah
cukup, ini terlihat dari indeks persepsinya sebesar 2,9.
3. Secara Parsial.
Secara parsial dari ke-8 variabel tersebut, ditemui seluruh variabel yaitu : jarak,
lokasi, aksesibilitas, fasilitas penunjang, petunjuk dan informasi, etos kerja,
mentalitas, dan sikap masyarakat, memiliki persepsi yang cukup.
4. Secara Simultan.
Secara simultan, persepsi masyarakat terhadap potensi ikan air tawar di Danau
Batur sebagai pengembangan wisata alternatif adalah cukup, ini terlihat dari
indeks persepsinya sebesar 2,8.
Berdasarkan hasil interpretasi indeks persepsi, mengungkapkan bahwa persepsi
masyarakat terhadap potensi ikan air tawar di Danau Batur sebagai pengembangan
wisata alternatif baik dilihat berdasarkan potensi fisik maupun potensi non fisik,
memiliki persepsi yang cukup. Hal ini mengindikasikan bahwa potensi ikan air tawar di
Danau Batur sebagai pengembangan wisata alternatif cukup didukung oleh masyarakat.
Berdasarkan data Bali Dalam Angka (2010), potensi ikan air tawar seperti ikan nila
untuk dikembangkan di Danau Batur masih memiliki potensi yang luas untuk
dikembangkan, mengingat baru hanya 5-10% saja, perairan Danau Batur yang telah
dimanfaatkan. Rerata jumlah kunjungan wisatawan dalam kurun waktu lima tahun,
baik manca negara maupun nusantara ke Kabupaten Bangli sebesar 349.144 orang,
menunjukkan sangat mendukung pasar bagi ikan air tawar di Danau Batur dalam
pengembangan wisata alternatif.
Tabel 4.1 Persentase Persepsi Masyarakat terhadap Potensi Ikan Air Tawar di
Danau Batur sebagai Pengembangan Wisata Alternatif
Persepsi (%)
Variabel Sangat Sangat
Buruk Cukup Baik
Buruk Baik
Jarak 2 21 69 6 2
Lokasi 4 32 55 8 1
Potensi Aksesibilitas 5 19 67 8 1
Fisik Fasilitas penunjang 5 14 74 6 1
Petunjuk dan 5 22 63 10 0
informasi
Etos kerja 2 17 68 10 3
Potensi
Mentalitas 4 16 65 11 3
Non Fisik
Sikap masyarakat 3 13 75 9 0
Rata-rata 4 19 67 9 1
Sumber : Analisis Data Primer, 2011.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 11
Tabel 4.2 Indeks Persepsi Persepsi Masyarakat terhadap Potensi Ikan Air Tawar
di Danau Batur sebagai Pengembangan Wisata Alternatif
secara Parsial dan Simultan
5.2 Saran
1. Etos kerja masyarakat perlu dipertahankan sebagai benefit yang tak ternilai bagi
pemerintah maupun swasta guna mendukung pengembangan ikan air tawar di
Danau Batur.
2. Lokasi pengembangan ikan air tawar di Danau Batur perlu ditata sedemikian rupa,
untuk lebih menarik minat wisatawan berkunjung.
3. Sosialisasi mengenai wisata alternatif harus mulai dilakukan sebagai upaya
mempersiapkan masyarakat setempat untuk mengenal dan meyakini bahwa wisata
alternatif memiliki karakter berbeda dengan model wisata yang mengandalkan
mass tourism.
4. Dukungan dari segenap pihak seperti Pemkab Bangli dan stakeholders pariwisata
diperlukan untuk pengembangan wisata alternative secara berkelanjutan.
5. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai strategi pengembangan wisata
alternatif dan dampak yang ditimbulkan yang nantinya dapat disinergikan dengan
penelitian ini untuk dapat dijadikan rekomendasi kepada pemegang kebijakan.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 12
KEPUSTAKAAN
Abstract
I. PENDAHULUAN
Pariwisata Bali telah memberikan pangaruh nyata yang besar terhadap
perekonomian regional. Hal inipun diperkuat oleh hasil kajian tim konsultan dari Bali
Management Project dan Comprehensive Tourism Development Plan for Bali dalam
Erawan (1993) yang menyimpulkan bahwa pariwisata telah menjadi generator
penggerak bagi pembangunan Bali, paling tidak dalam dua dasa warsa terakhir. Lebih
lanjut dikatakan bahwa sektor pariwisata akan tetap menjadi sektor pemimpin
(leading sector) dalam pembangunan ekonomi daerah Bali di masa-masa mendatang.
Berkembang pesatnya pariwisata di Bali saat ini dapat dilihat dari peningkatan
fasilitas, objek, dan daya tarik pariwisata yang ada. Meskipun jumlah kedatangan
wisatawan asing yang langsung ke Bali menunjukkan fluktuasi akibat berbagai isu dan
peristiwa yang kurang menguntungkan, berbagai pihak yang berkecimpung di dunia
pariwisata tetap terangsang untuk menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki
untuk kemudian diarahkan pada sektor pariwisata mengingat keterbatasan/ketiadaan
sumberdaya alam seperti migas, hasil hutan, dan manufaktur (Pitana, 2005:156-157).
Sektor pariwisata, model pembangunan bottom up planning, sejalan dengan
paradigma pariwisata yang bercirikan kerakyatan, dan memunculkan berbagai sebutan
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 14
merupakan penelitian yang bertujuan untuk memutuskan apakah sebuah ide bisnis
layak untuk dilaksanakan atau tidak. Sebuah ide bisnis dinyatakan layak untuk
dilaksanakan apabila ide tersebut mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi semua
pihak (stake holder) dibandingkan dampak negatif yang ditimbulkan
2 Pengukuran dengan data impor, ekspor dan produksi dalam negeri. Metode ini
dilakukan dengan cara menghitung besarnya produk yang dihasilkan di daerah
tersebut ditambah dengan produk yang diimpor dari daerah lain dikurangi dengan
produk yang diekspor ke daerah lain ditambah dengan cadangan yang merupakan
selisih antara persediaan awal dan persediaan akhir
3 Metode Rasio Rantai
Metode rasio rantai dilakukan dengan cara membagi komponen-komponen terkecil
dari suatu mata rantai variabel yang berpengaruh terhadap permintaan produk
bersangkutan. Komponen-komponen yang dipandang berpengaruh terhadap
permintaan efektif adalah: jumlah penduduk, pendapatan per kapita,
penghasilan/kapita yang dikomsumsi untuk jenis produk dan penghasilan yang
dikonsumsi oleh jenis produk terkecil.
4 Judgement Method (Non-Statistical Method) merupakan metode untuk
memproyeksikan permintaan atas dasar pendapat. Metode ini dapat dilakukan
dengan cara:
a. Survei niat beli merupakan metode untuk memproyeksikan permintaan yang
akan datang dengan menanyakan kepada calon konsumen (target) pasar
apakah mereka akan membeli atau tidak
b. Pendapat tenaga penjual. Metode ini memproyeksikan permintaan yang akan
datang dengan cara meminta kepada para tenaga penjualan untuk
mengestimasikan penjualan tiap produk untuk daerah mereka masing-masing.
Setelah itu, semua estimasi dari tenaga penjualan dijumlahkan untuk
mendapatkan ramalan penjualan secara keseluruhan.
c. Pendapat para ahli. Metode ini memproyeksikan permintaan yang akan datang
dengan cara meminta pendapat para ahli di bidangnya untuk mengestimasikan
permintaan produk berdasarkan analisis ilmiah.
5. Statistical Method merupakan metode untuk memproyeksikan permintaan atas
dasar perhitungan statistik. Metode ini dapat dilakukan dengan cara:
a. Analisis Tren merupakan metode analisis yang digunakan untuk
memproyeksikan penjualan pada masa yang akan datang dengan berdasarkan
pada data sebelumnya. Metode tren yang paling banyak digunakan untuk
analisis data adalah metode kuadrat terkecil (trend least square method).
b. Analisis Korelasi digunakan untuk mengetahui derajat hubungan linier antar
satu variabel dengan variabel lainnya. Jika arah perubahannya searah maka
kedua variabel akan memiliki korelasi yang positif.
Total rating berada pada rentang 1,0 (rendah) dan 4,0 (tinggi) dan skor rata-rata
adalah 2,5. Skor bobot total sebesar 4,0 mengindikasikan bahwa sebuah organisasi
merespons secara sangat baik peluang dan ancaman yang ada diindustrinya atau
strategi perusahaan secara efektif menarik keuntungan dari peluang yang ada dan
meminimalkan pengaruh negatif potensial dari ancaman eksternal. Skor total sebesar
1,0 menandakan bahwa strategi perusahaan tidak mampu memanfaatkan peluang yang
ada atau menghindari ancaman yang muncul. Analisis CPM ini menggunakan
perusahaan yang diteliti yang kemudian dibandingkan dengan pesaing lainnya. Analisis
menggunakan CPM ini lebih baik dibandingkan dengan Internal matriks (Internal Factor
Evaluation matrix) dan eksternal matriks (External Factor Evaluation matrix) karena
CPM terdiri dari faktor-faktor internal dan eksternal dari perusahaan yang diteliti
dengan pesaing utamanya.
pustaka/kerangka teoritis akan lebih banyak mengutip dari hasil penelitian yang
pernah dilakukan di Bali oleh Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada pada tahun 1992
dan 1994 bekerja sama dengan Direktorat Jendral Pariwisata, Departemen Pariwisata
Pos dan Telekomunikasi.
Kebudayaan merupakan salah satu modal dasar utama di dalam pengembangan
kepariwisataan di Bali. Di dalam jaringan komponen kebudayaan Bali tersebut desa
adat berfungsi sebagai pilar penyangga utama struktur budaya yang ada. Berdasarkan
ilustrasi yang telah disajikan bahwa faktor kunci tolok ukur keberhasilan pembangunan
kepariwisataan di Bali terletak pada keberlangsungan kehidupan budaya desa adat.
Untuk itu diperlukan modal pendekatan pengembangan yang mampu menciptakan
hubungan timbal balik mutualistik (saling menguntungkan) antara perangkat desa adat
dan usaha pembangunan kepariwisataan. Dengan demikian pariwisata akan menjadi
bagian tak terpisahkan dari keutuhan kehidupan masyarakat desa adat.
Dari ilustrasi dasar-dasar pemikiran, program pengembangan Desa Wisata
Terpadu (DWT) merupakan salah satu alternatif jawaban agar usaha kepariwisataan
dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat desa adat. Pengertian Desa
Wisata Terpadu (DWT) yang dikutip dari Penyusunan Rencana Pengembangan Desa
Wisata di Bali adalah :
Sesuai dengan batasan tersebut, maka model produk DWT yang ditawarkan
haruslah mencerminkan “suasana pedesaan Bali” yang diusahakan sedekat mungkin
dengan aslinya.
Desa wisata adalah suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi, dan
fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang
menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti W, 1993). Terdapat dua
konsep utama dalam komponen desa wisata antara lain :
1. Akomodasi, sebagian dari tempat tinggal para penduduk setempat dan atau unit-
unit yang berkembang atas konsep tempat tinggal penduduk.
2. Atraksi, seluruh kehidupan keseharian penduduk setempat beserta setting fisik
lokasi desa yang memungkinkan berintegrasinya wisatawan sebagai partisipasi
aktif seperti kursus tari, bahasa dan lain-lain yang spesifik.
Tengah, Banjar Batulumbang, Banjar Lebah, dan Banjar Goa. Desa Bedulu terletak di
jalur pariwisata Tampaksiring-Penelokan-Trunyan yang sudah terkenal dihubungkan
jalan raya yang baik. Desa ini terletak pada Km. 27 dari Denpasar dan dapat ditempuh
kurang lebih 45 menit. Desa Bedulu yang terdiri dari 5 Banjar dengan jumlah penduduk
723 KK.
Tabel 4.1 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Desa Wisata Bedulu (Agst–Des 2011)
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat diketahui bahwa minat wisatawan yang datang
untuk tinggal di Desa Wisata Bedulu didominasi oleh wisatawan yang berasal dari
Perancis sebesar 83,10 %. Permintaan ini terjadi akibat adanya penawaran dari biro
perjalanan wisata dari beberapa negara-negara Eropa. Hal yang menyebabkan
wisatawan Perancis tertarik mengunjungi Desa Wisata Bedulu adalah keunikan
arkeologi yang terdapat di tempat tersebut secara turun temurun dan adat istiadat
tradisional di Bali.
Kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Bedulu terjadi akibat adanya hubungan
kerja sama dengan perantara, dalam hal ini yaitu biro perjalanan wisata, dan guide
freelance. Hal ini dapat dilihat pada produktivitas dari biro perjalanan wisata yang
mengirim wisatawan ke Desa Wisata Bedulu pada Tabel 4.2.
Berdasarkan Tabel 4.2 dapat diketahui bahwa Biro perjalanan wisata Golden
Kriss Tour & Travel dan Talisman Tour & Travel (biro perjalanan wisata) memiliki
peran yang besar di dalam mengirim wisatawan untuk berkunjung dan menginap di
Desa Wisata Bedulu dengan persentase sebesar 84,98 % dari keseluruhan total jumlah
kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Bedulu dan 15,02 % merupakan wisatawan yang
datang berkunjung atas inisiatif pribadi maupun melalui informasi dari guide freelance
yang datang membawa tamu untuk berkunjung ke Desa Wisata Bedulu.
Tingkat kunjungan wisatawan dari bulan Agustus–Desember 2011 ke Desa Wisata
Bedulu dengan menginap di akomodasi yang dimiliki oleh penduduk lokal adalah
sebesar 5,08 %, sehingga diasumsikan dengan kenaikan 27 % maka proyeksi kunjungan
wisatawan lima tahun pada Tabel 4.3.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 22
Tabel 4.2 Sumber Kunjungan Wisatawan ke Desa Wisata Bedulu (Agst-Des 2011)
Golden
Talisman
Deskripsi Kriss % % Individual %
Tour
Tour
Produktivitas 55 47,41 50 43,10 11 9,48
Berdasarkan Jumlah
Kamar / Malam
Produktivitas 91 42,72 92 42,25 32 15,02
berdasarkan Jumlah
Tamu / Orang
Produktivitas 18 43,90 16 39,02 7 17,07
berdasarkan lama
menginap /malam
Sumber : Hasil Penelitian, 2011.
Tabel 4.3 Proyeksi Jumlah Wisatawan ke Desa Wisata Bedulu Tahun 2012–2016
Berdasarkan dari Tabel 4.3 dapat diketahui bahwa dengan asumsi peningkatan
kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Bedulu sebesar 27 % menyebabkan bertambahnya
jumlah wisatawan yang akan menginap di akomodasi yang dimiliki oleh penduduk lokal.
Berdasarkan Tabel 4.4 dapat diketahui bahwa harga dari Desa Wisata Bedulu
lebih kompetitif dengan manajemen desa wisata yang lebih baik dibanding ketiga
pesaing. Penggunaan iklan dari keempat perusahaan didominasi Desa Wisata Mas yang
secara aktif mempromosikan secara komprehensif melalui internet, biro perjalanan
dalam negeri dan luar negeri, media masa di Bali dan Jakarta, Desa Wisata Bedulu
mempromosikan produknya secara komprehensif melalui website sendiri
(www.dewibedulu.com) dan biro perjalanan wisata di dalam negeri (Golden Kriss Tour
dan Taliman Tour & Travel), Desa Wisata Kendran melakukan promosi melalui blog di
internet, dan Biro Perjalanan Wisata dalam negeri sedangkan Desa Wisata Bona
melakukan promosi melalui media masa, biro perjalanan wisata di dalam negeri dan
melalui mulut ke mulut (words of mouth).
Kualitas produk yang dimiliki oleh keempat desa wisata adalah relatif sama
yaitu produk desa wisata yang unik dan hanya dimiliki oleh masing-masing desa. Desa
Wisata Bedulu memiliki beberapa daya tarik wisata seperti Goa Gajah, Yeh Pulu,
Sejarah tentang Bali Kuno, beberapa atraksi wisata, antara lain : belajar menari, dan
memasak. Desa Wisata Mas memiliki daya tarik dalam mempelajari tentang lukisan Bali
dan topeng, Desa Bona memiliki daya tarik untuk mempelajari tentang peralatan yang
terbuat dari bambu dan Desa Kendran dengan wisata alamnya.
Strategi pemberian harga yang kompetitif diberlakukan oleh Desa Wisata Bedulu
yaitu sebesar Rp 350.000,- per orang untuk semalam termasuk penginapan, makan pagi
dan paket perjalanan.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 24
Manajemen dari Desa Wisata Mas terdiri atas ahli yang berpengalaman dan
memiliki keterampilan untuk mengelola desa wisata memiliki jaringan yang kuat
dibidang perhotelan dan biro perjalanan wisata. Desa Wisata Bona dan Kendran
memiliki tim ahli dibidang perhotelan dan guiding sedangkan Desa Wisata Bedulu hanya
memiliki satu orang ahli yang kompeten dibidangnya sedangkan pengurus yang lain
baru mulai belajar untuk mengelola sebuah desa wisata didaerahnya.
Desa Wisata Bona dan Desa Wisata Kendran memiliki posisi keuangan yang bagus
dengan modal yang memadai dikarenakan memperoleh dana pemberdayaan desa
wisata dari PNPM mandiri. Desa Wisata Mas memiliki orang-orang yang paham dibidang
manajemen dan memiliki kemampuan untuk berdiri sebagai desa wisata yang mandiri,
akan tetapi ketidak kompakan didalam pengeluaran dana oleh masing-masing
masyarakat yang menyebabkan Desa Wisata Mas memiliki permasalahan dalam hal
keuangan. Sedangkan bagi Desa Wisata Bedulu memerlukan dana pembangunan dan
renovasi dengan meminjam melalui Bank BNI sebesar Rp 120.000.000 dengan bunga 14
% dan akan memperoleh dana bantuan dari Bank Indonesia sebesar Rp 225.000.000,-
yang akan dipergunakan sebagai modal kerja dan mengembalikan utang yang dipinjam
sebelumnya. Wisatawan yang berkunjung kemasing-masing Desa Wisata memiliki
keterikatan dan akan melakukan kunjungan kembali atau menginformasikan teman-
temannya untuk datang berkunjung..
Ekspansi global yang terbaik dilakukan oleh Desa Wisata Mas karena beberapa
masyarakat di Desa Mas memiliki biro perjalanan wisata di Bali dan mengundang
beberapa pakar dibidangnya yang berasal dari Amerika Serikat untuk memberikan
pengetahuan dan kesempatan untuk merubah desa wisata menjadi lebih baik. Market
share dari semua Desa Wisata adalah relatif sama dengan mayoritas dikunjungi oleh
wisatawan dari Eropa dan Australia.
Kelemahan (weaknesses)
a. Desa Wisata Bedulu merupakan sebuah Desa Wisata yang baru berdiri sehingga
belum dikenal oleh konsumen.
b. Karyawan bagian manajemen yang belum profesional dan ahli didalam
menangani desa wisata
c. Karyawan dari Desa Wisata Bedulu tidak memiliki pengalaman dan latar
belakang pendidikan dibidang desa wisata karena karyawan yang direkrut
adalah anak SMA yang telah tamat dan tidak melanjutkan pendidikannya
kejenjang selanjutnya yang memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik
terutama bahasa inggris dan memiliki keinginan untuk belajar.
d. Pengambilan keputusan oleh tenaga staf operasional dianggap cukup lambat
sehingga pelanggan banyak yang beralih kepada penginapan yang ada di Ubud.
2. Analisis Lingkungan Eksternal / External Factors Analysis Summary / EFAS
(Peluang dan Tantangan)
Peluang (opportunities)
a. Desa wisata yang memiliki pangsa pasar masih terbatas sehingga terdapat
peluang untuk mengambil pasar .
b. Jumlah kunjungan wisatawan yang melakukan kegiatan semakin meningkat
terutama untuk wisatawan dengan pasar utama seperti Perancis, Belanda,
Australia, Jepang dan Indonesia.
c. Meningkatnya disposible income masyarakat di kawasan Asia Pasifik
d. Hak cuti karyawan yang semakin panjang, dengan rata-rata 3 minggu dalam
satu tahun.
e. Tingkat mobilitas masyarakat yang tinggi sebagai akibat majunya murahnya
transportasi udara membuat jarak antara satu negara dengan negara lain
semakin dekat dan mudah dikunjungi.
f. Pemberian tunjangan sosial yang semakin baik kepada karyawan dan
pensiunan oleh perusahaan-perusahaan swasta, dan negeri.
g. Tumbuhnya kelas menengah yang relatif cukup besar dalam piramida
penduduk dunia sehingga menyebabkan mereka memiliki keinginan untuk
melakukan kegiatan wisata pada saat liburan.
Tantangan (threats)
a. Persaingan dengan Desa Wisata yang memiliki ceruk pasar yang sama
b. Situasi dan kondisi keamanan dan kestabilan politik di Indonesia seperti
ancaman teroris, atau bentrokan antar suku/banjar
c. Keadaan alam dan budaya di Bali yang tidak dijaga dengan oleh masyarakat
Bali dapat menyebabkan wisatawan tidak akan datang berkunjung ke Bali
terutama untuk masalah sampah dan kemacetan lalu lintas yang sering
mengganggu kenyamanan wisatawan ke Bali.
yang menarik sehingga nyaman untuk melakukan kegiatan transaksi penjualan dari
unit bisnis yang dimiliki oleh Desa Wisata ini.
2. Strategi harga yang digunakan oleh Desa Wisata Bedulu adalah metode cost plus
pricing dengan menetapkan margin yang diinginkan oleh Desa Wisata dengan harga
yang lebih rendah dibandingkan dengan pesaing.
3. Product growth strategies di mana Desa Wisata Bedulu memiliki beberapa produk
jasa yang berkualitas lebih baik atau berbeda dengan produk lain, dengan tujuan
agar memiliki kesempatan untuk meningkatkan pangsa pasar dengan menarik
pelanggan yang berbeda.
Strategi W – O
1. Promosi Desa Wisata Bedulu dilakukan melalui website yang memberikan informasi
tentang produk-produk yang dimiliki dan gambaran umum mengenai Bali selain itu
untuk melakukan promosi yang benar dan tepat sasaran dapat diketahui melalui
segmentasi pasar yang dilakukan sebelumnya sebagai berikut:
2. Wisatawan Perancis yang melakukan kegiatan memperoleh informasi mengenai
Bali melalui teman/relasi (67%), agen perjalanan (53%), Perusahaan penerbangan
(15%), dan kedutaan indonesia (8%). Untuk memperoleh calon wisatawan potensial
maka promosi dan pemasaran perlu dilakukan melalui internet dan juga ajang
trade fair seperti Salon Mondiale du Tourisme serta melalui iklan dibeberapa
majalah travel trade and consumer magazines.
3. Bagi konsumen di negara Belanda, pemasaran yang efektif adalah melalui teman-
teman atau konsumen yang puas sebelumnya (word of mouth) dan internet,
sedangkan penjualan secara langsung, promosi lewat koran dan majalah kurang
efektif bagi pasar Belanda. Wisatawan Belanda akan mencari informasi sebelum
perjalanan dan desa wisata masih diperhitungkan sebagai sumber informasi dan
mempengaruhi pilihan daerah tujuan wisata dan biasanya ini terjadi pada
kelompok wisatawan yang lebih tua biasanya membina hubungan baik dengan satu
desa wisata.
Strategi S – T
1. Melakukan offensive strategy merupakan strategi yang lebih menitikberatkan pada
usaha perubahan untuk mencapai tingkat yang lebih baik. Bentuk strategi ini dapat
berupa modifikasi pasar, yaitu dengan menggaet kelompok bukan pemakai (non-
user) mengintensifkan penawaran Desa Wisata Bedulu kepada non-user, dan
merebut konsumen pesaing. Bentuk lain dari strategi ini adalah modifikasi produk,
yaitu mengubah karakteristik produk sedemikian rupa, sehingga semakin menarik
konsumen saat ini untuk membeli dengan cara menawarkan manfaat baru dari
suatu produk kepada konsumen sekarang untuk mendorong kunjungan yang lebih
banyak dan lebih sering dengan melakukan diversifikasi produk terhadap beberapa
aktivitas tur dan paket lainnya yang dapat digabung dengan produk tersebut.
2. Melakukan penurunan terhadap biaya operasi dilakukan dengan melakukan kontrak
perjanjian tentang pembagian komisi dan sistem kerja yang sesuai dengan kedua
belah pihak.
Strategi W – T
1. Melakukan training dibidangnya masing-masing di mana Desa Wisata Bedulu selalu
melakukan pelatihan terhadap karyawan untuk memberikan standar pelayanan
yang berkualitas dengan cepat dengan harga yang murah.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 27
2. Merancang proses kerja yang efisien dan efektif yang mengacu pada SOP (standard
operating procedures). Sistem penanganan reservasi terhadap Desa Wisata
dimasukkan dalam satu website.
5.2 Saran
Terdapat sejumlah saran yang masih sangat diperlukan :
1. Konservasi bangunan tidak dilakukan dengan penyeragaman, melainkan
mempertahankan pola-pola arsitektur dan tatanan khas sesuai tata aturan desa.
2. Dalam menampilkan atraksi hendaknya dapat membedakan antara atraksi yang
sakral, setengah sakral dan yang profan.
3. Bagi manajemen Desa Wisata Bedulu perlu membuat standar kelayakan
perhitungan aspek finansial dan ekonomi dengan memperluas metode yang
dipergunakan.
4. Pengembangan fasilitas seperti akomodasi diharapkan tidak merusak lingkungan
yang ada sebelumnya dan sesuai dengan tata ruang desa.
5. Memperbaiki dan mengembangkan Mandala Wisata Samuan Tiga di Desa Bedulu
sehingga dapat menambah daya tarik dari desa wisata tersebut.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 28
KEPUSTAKAAN
I Made Adikampana
adikampana@yahoo.com
Dosen Fakultas Pariwisata Unud
Abstract
I. PENDAHULUAN
Desa wisata dikembangkan sebagai reaksi atas berbagai dampak negatif
pengembangan pariwisata konvensional, dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas
lingkungan pedesaan dan kualitas hidup masyarakat lokal (Roberts dan Hall, 2001).
Sejalan dengan kecendrungan tersebut, pengembangan desa wisata di Desa Pinge,
Tabanan, Bali, yang selama ini terlupakan, bertujuan untuk menjaga kelestarian
morflogi desa, kehidupan pedesaan dan sebagai alat prioritas untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan pelayanan publik, peluang pekerjaan
dan kesempatan berusaha (Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2002). Namun kenyataannya
masyarakat Desa Pinge mempunyai tingkat sosial ekonomi yang relatif masih rendah.
Hal ini menunjukkan minimnya partisipasi masyarakat dalam pengembangan desa
wisata, akibat dari ketidakberdayaan masyarakat dalam mengidentifikasi peluang
ekonomi pariwisata (Campbell, 1999).
Berdasarkan fenomena tersebut, penelitian tentang model pemberdayaan
masyarakat Desa Pinge dalam pengembangan desa wisata menjadi penting untuk
dikaji. Terutama penemuan suatu model yang diharapkan dapat diterapkan untuk
peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengembangan produk Desa Wisata
Pinge.
objek amatan secara keseluruhan (Altinay dan Paraskevas, 2008). Penelitian kualitatif
ini memiliki beberapa keunggulan. Pertama, penelitian dilatarbelakangi permasalahan
ilmiah untuk objek secara keseluruhan sehingga menggambarkan kondisi yang
sebenarnya. Kedua, mampu menyesuaikan diri dengan realitas dinamis dalam
penelitian, karena tidak bersifat parsial atau membuat objek secara spesifik. Ketiga,
desain penelitian bersifat fleksibel, sehingga dapat diperbaiki dan disempurnakan
selama proses penelitian sedang berlangsung. Keempat, karena mengikuti logika
induksi maka metodologi kualitatif dapat menyumbang teori baru setelah penelitian.
Kelemahan penulisan deskriptif adalah tidak sampai menjelaskan hubungan
kausalitas, latar belakang situasional, serta tidak menjawab pertanyaan "mengapa
sesuatu itu terjadi". Oleh karena itu perlu dilengkapi dengan metode historis.
Penggunaan metode historis dalam studi ini didasari atas keyakinan bahwa setiap
fenomena sosial pasti memiliki akar-akar sejarah yang luas, yang sangat berkaitan
dengan kondisi sekarang dan di masa yang akan datang.
3.1.2 Amenitas
Amenitas atau fasilitas wisata yang terdapat di Desa Wisata Pinge berupa
akomodasi (home stay), tempat coffee break, toilet, arena pementasan kesenian, dan
souvenir shop. Ketersediaan fasilitas tersebut cukup mendukung kepariwisataan Desa
Pinge.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 34
4.2 Saran
Berdasarkan model pemberdayaan masyarakat Desa Pinge, dapat disarankan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Pengembangan potensi, kapasitas, dan partisipasi masyarakat melalui
pengembangan Desa Wisata Pinge.
2. Peningkatan potensi dan kapasitas sumberdaya lokal melalui pengembangan usaha
produktif yang terkait dengan desa wisata.
3. Pengembangan regulasi dan insentif utuk mendorong perkembangan usaha
ekonomi masyarakat Desa Pinge.
4. Penguatan kemitraan melalui pengembangan jejaring desa wisata dan Peran
Pemkab Tabanan dan stakeholders untuk secara serius menggarap desa wisata
yang ada di wilayahnya.
5. Penelitian lanjutan diperlukan untuk menetapkan segmentasi pasar, peluang dan
kendalanya sehingga dapat dijadikan rekomendasi bagi segenap komponen untuk
pengembangan desa wisata secara berkelanjutan
KEPUSTAKAAN
Ni Made Ariani
Ni Nyoman Sri Aryanti
I Gusti Agung Oka Mahagangga
oka_mahagangga@yahoo.com
Dosen Fakultas Pariwisata Unud
Abstract
As the one as the top destination in the world Bali become popular with the
tourist from India. So, Bali must prepare the carrying facility who adapted with
character indian tourist. The Restaurant of India maybe one of the facility that the
tourist needed and that special restaurant has opening in Kuta, Nusa Dua and Ubud.
With Qualitative approach, this research saying that character all of Indian
restaurant in Bali have equal in management, lay out an the food menu aspect. Only
the Indian restaurant at Sunset Road and at Ubud have different think, from capacity
and natural atmosphere aspect.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pariwisata sudah bukan kata asing bagi warga masyarakat dunia saat ini.
Terlebih Bali yang sudah terkenal hingga ke mancanegara dengan berbagai julukan dari
yang eksotis hingga fantastis. Bali merupakan destinasi utama pariwisata di Indonesia
dan bahkan di dunia. Pulau Bali terkenal di seluruh dunia karena memiliki daya tarik
adat-istiadat, tradisi maupun destinasi wisata yang beraneka ragam.
Pariwisata pun telah telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Bali dan
memberikan kontribusi besar dalam pembangunan. Peranan pariwisata tersebut dapat
dilihat dari kontribusinya terhadap Pendapatan Daerah Regional Bruto (PDRB) dan
penyerapan tenaga kerja. Hingga tahun 2000, sektor pariwisata menyumbang 33,19%
untuk PDRB atas dasar harga berlaku. Sedangkan penyerapan tenaga kerja pada tahun
1995 jumlah yang terserap pada sektor pariwisata sebesar 18,57% dan pada tahun 2003
adalah 22,86% (Pitana, 2002 : 11).
Kebudayaan Bali yang unik merupakan faktor utama pesatnya perkembangan
Pariwisata Bali secara umum. Namun tidak dapat dipungkiri tanpa kehadiran sarana
wisata sebagai penunjang kegiatan wisatawan selama berlibur di Bali, tentunya angka
kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali tidak akan meningkat pesat. Kehadiran
sarana akomodasi wisata baik berupa hotel maupun restoran sangat berperan dalam
memberikan kenyamanan kepada wisatawan. Akomodasi wisata yang berkualitas juga
dapat memberikan citra positif terhadap pasar sehingga wisatawan dari mancanegara
tersebut dapat memberikan informasi yang baik ketika kembali ke negaranya masing-
masing.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 38
Tabel 1.2 Jumlah Restoran, Rumah Makan, Bar,Catering dan Jumlah Kursi di Kab.
Badung
Restoran
Rumah Makan Bar Catering
Tahun
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Kursi Kursi Kursi Kursi
2004 97 12.992 413 23.808 287 9.364 1 100
2005 131 15.463 429 25.087 302 9.644 2 200
2006 185 18.449 452 25.980 324 10.343 4 400
2007 192 19.534 446 25.965 322 10.239 4 400
2008 236 22.299 451 26.208 336 11.096 4 400
2009 237 25.281 457 27.188 345 11.452 5 500
Sumber : Disparda Badung, 2010.
Inovasi dalam mengemas produk dan melihat trend pasar dalam pengembangan
sarana wisata seperti restoran tidak dapat dielakkan. Pasar pariwisata Bali yang
dinamis tidak hanya dikunjungi oleh wisatawan asal Eropa, Jepang maupun Australia.
Para praktisi pariwisata pun dituntut cermat melihat peluang dan potensi pasar yang
dinamis. Sebagai pasar baru yang dipandang potensial wisatawan mancanegara yang
berkunjung langsung ke Bali adalah wisatawan asal India. Wisatawan India bagaikan
sleeping giant (raksasa yang sedang tidur). Potensinya sangat luar biasa, mengingat
lebih dari 10 juta orang India berwisata ke penjuru dunia setiap tahunnya. Tempat
yang paling banyak dituju adalah Inggris, Dubai, dan Fiji. Sementara Indonesia tahun
2009 dikunjungi turis dari India sebesar 116.001 orang atau meningkat dibandingkan
tahun 2008 hanya 90.720 orang (Sukamdani, 2010).
Untuk Bali kunjungan wisatawan mancanegara asal India, berdasarkan data awal
yang diperoleh hingga pertengahan tahun 2009, berdasarkan data Kajian Ekonomi
Regional Bali yang diterbitkan Bank Indonesia Denpasar, selama Januari-Mei 2009,
kunjungan wisatawan India ke Pulau Dewata mencapai 10.856 orang. Kunjungan
selama Januari tercatat 1.713 orang, bulan berikutnya sempat turun menjadi 1.629
wisatawan, Maret naik lagi 1.808 orang, April meningkat 2.085 orang dan Mei melonjak
mencapai 3.621 orang. Meningkatnya kunjungan wisatawan India juga didukung
keberadaan sejumlah rumah makan khas negeri itu, seperti Queen`s of India di sebelah
Bali Dynasty, Jalan Kartika Plaza, Tuban, Kuta, dan Queen`s Tandoor di Gallery
Seminyak, Jalan Raya Seminyak (Bagoes Oka, 2009).
Keberadaan restoran atau rumah makan khas India dengan demikian akan
semakin dibutuhkan dengan terus meningkatnya jumlah wisatawan India berkunjung ke
Bali. Restoran India hingga saat ini belum diketahui jumlah pastinya, akan tetapi
berdasarkan penjajagan awal restoran India tersebar di beberapa wilayah seperti di
Legian, Seminyak, Sunset Road, By Pass Nusa Dua dan Ubud.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 39
adalah restoran India yang perkembangannya baru saja dimulai. Hal ini sejalan dengan
mulai diliriknya pasar wisatawan mancanegara asal India tersebut.
yang diperoleh dalam bentuk tulisan, laporan, media massa atau sumber tertulis
lainnya.
II. PEMBAHASAN
2.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah di di Kuta dan Nusa Dua di Kab. Badung dan di Ubud
Kabupaten Gianyar. Kuta adalah kawasan wisata yang sudah terkenal dengan
keindahan pantainya dan saat ini telah diminati pula oleh wisatawan asal India. Nusa
Dua adalah kawasan wisata yang lebih elit dengan sebagian besar wisatawan yang
menginap di sana adalah untuk berbisnis, transit dan berwisata. Kawasan wisata Ubud
dengan keasrian alam pedesaan lebih menarik kunjungan wisatawan yang ingin
menikmati masa liburnya jauh dari hingar bingar keramaian dan Ubud juga ternyata
mulai dilirik oleh wisatawan asal India. Selama ini Ubud lebih sering dikunjungi oleh
wisatawan asal Eropa dan Jepang.
dengan dibantu oleh Putranya yang kini menjadi CEO Gateway of India Mr. Vikram
Kumar Kalra membuka usaha jasa restoran di Kuta dengan “bemo corner” bernama
Gateway of India Kuta.
Restoran ke-2 dibuka dengan alasan untuk menarik perhatian wisatawan yang
hendak ke pantai Kuta. Pertimbangan dibukanya restoran India ke-2 miliknya ini karena
wisatawan asal India terus meningkat dan permintaan bufffet di hotel-hotel semakin
tinggi. Gateway of India kini melayani pula delivery service untuk wilayah Kuta dan
sekitarnya. Disamping itu para asisten chef atau cook telah mendapatkan ilmu
memasak yang cukup dari master chef dan telah siap untuk mandiri. Meskipun untuk
bumbu dasar dan beberapa hal spesifik lainnya masih dikerjakan oleh master chef lalu
didistribusikan ke Gateway of India Kuta. Sebanyak 10 orang tenaga kerja direkrut
menjadi pelayan dan 2 orang direkrut sebagai kasir. Supervisor pelayan adalah senior
mereka dari Gateway of India Seminyak begitu pula terdapat kasir kepala yang semula
bertugas di Gateway of India Seminyak.
Memasuki tahun 2002 Mr. Anil mengembangkan usahanya dengan melirik
kawasan Sanur yang bernama Gateway of India Sanur. Dilanjutkan dengan membuka
restoran India di Ubud bernama Indian Delites tahun 2005, lalu O’India Sunset di Sunset
Road Kuta dan Indian Dhaba di Nusa Dua setelah tahun 2008.
Untuk dua Restoran yang terakhir adalah bertujuan untuk menjaring lebih
banyak tamu dengan bekerja sama melalui travel agent. O’India Sunset dan India
Dhaba memiliki perbedaan tampilan dengan restoran-restoran sebelumnya yang hanya
berkapasitas untuk 25-30 orang tamu dan tempat parker yang kurang memadai. O’India
Sunset dan India Dhaba berkapasitas 150-200 orang dengan parkir yang luas dan
disiapkan untuk bus-bus travel.
Dalam rangka membatasi permasalahan yang diteliti maka ruang lingkup
penelitian ini adalah kepada karakteristik restoran India dengan indikator lama
berdirinya, asal pemiliknya, jumlah tenaga kerja, latar pendidikan tenaga kerja, masa
kerja, jenis makanan, rata-rata pendapatan per hari, rata-rata pendapatan per hari
bila high season, rata-rata harga menu makanan, rata-rata jumlah modal termasuk
pula sumber modal dan kerjasama dengan travel agent.
2.2.1 Lay Out Restoran India di Kuta, Nusa Dua dan Ubud
Restoran merupakan tempat orang-orang mengerjakan berbagai kegiatan mulai
dari mempersiapkan bahan makanan hingga hidangan siap dinikmati oleh para tamu
atau pelanggan. Restoran memerlukan rasa nyaman dengan penyajian yang profesional
dan memperhatikan estetika sehingga diperlukan penataan ruang sesuai dengan ciri
khas yang dimiliki.
Untuk Restoran India di Kuta, Nusa Dua dan Ubud memiliki tata ruang restoran
yang tidak jauh berbeda. Meskipun ada beberapa ciri khas tertentu yang berkaitan
dengan lokasi restoran dan pangsa pasar. Untuk tata letak dekorasi hampir kesemua
restoran bernuansa India dari pernak-pernik, harum wangi dupa dan seragam yang
dikenakan pelayan. Warna cerah seperti merah dan hijau mengisi setiap sudut
restoran.
Table set up yang digunakan adalah penataan meja A’la Carte yang masuk
dalam kategori restoran mewah untuk penyajian lunch maupun dinner. Dalam
penataan A’la Carte di tata peralatan makanan dan minuman di atas meja seperti
serbet makan, piring makanan pembuka, pisau dan garpu makan utama, piring roti dan
mentega, pisau roti dan mentegadan gelas air.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 44
Penataan meja makan pada dasarnya tergantung pada jenis hidangan yang akan
disajikan dan jenis pelayanan yang digunakan. Disertai dengan vas bunga, asbak,
tempat garam dan merica yang kesemuanya di tata di atas meja secara seimbang dan
rapi sehingga menampilkan suasana yang tenang dan asri.
Untuk Restoran Gateway of India Kuta, Seminyak dan Sanur memiliki penataan
yang serupa. Sedangkan O’India dan Indian Dhaba lebih berkesan istemewa dan
eksklusif. Sedangkan Indiaan Delites Ubud sebenarnya mirip dengan di Kuta, Seminyak
dan Sanur namun karena terletak ditengah area persawahan membuat restoran ini
tampak natural dan indah pemandangannya.
Nan merupakan makanan pokok orang India dengan bahan dasar tepung gandum
yang dibentuk bulat-bulat seperti cara membuat martabak dan kemudian dilebarkan
lalu dimasukkan ke dalam tandori. Orang India asli umumnya lebih suka menikmati
plan nan atau garlic nan, sedangkan orang Eropa atau luar India lebih menyukai cheese
nan. Nan akan dinikmati dengan cara menyobek roti tersebut menggunakan tangan
atau pisau/garpu lalu makanan berupa daging seperti kare atau sayur dimasukkan
kedalam sobekan nan tersebut. Pada tabel 4.2 disampaikan berbagai menu utama
makanan India.
Samosa dan Biryani adalah menu favorit wisatawan asal India maupun asal
Inggris yang terkenal di seluruh dunia. Selain menu utama di atas masih terdapat
banyak jenis makanan India, namun pada dasarnya menggunakan cita rasa seperti
keenam makanan di atas seperti untuk sayuran menggunakan kedelai, kare dan
menggunakan alat panggang yang disebut tandori. Selain menu utama di atas makanan
India tidak dapat dipisahkan dari berbagai jenis acar yang terbuat dari daun mint,
mangga, asem dan bawang bombay.
Sebagai hidangan penutup restoran India menawarkan berbagai jenis manisan
seperti tertera pada tabel 4.3.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 45
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian adalah :
1. Mempertahankan karakteristik yang sudah dimiliki dengan selalu memperhatikan
perkembangan pasar.
2. Pengelolaan yang konservatif harus sedikit demi sedikit diubah menuju
pengelolaan yang profesional.
3. Persaingan yang semakin kompetitif harus diwaspadai untuk selalu berusaha
meningkatkan pelayanan dan tidak cepat berpuas diri.
KEPUSTAKAAN
Alamsyah, Yuyun. 2008. Bangkitnya Bisnis Kuliner Tradisional. Jakarta : PT. Gramedia
Arismayanti, Ni Ketut. 2005. Pengembangan Objek Wisata Jatiluwih Sebagai Kawasan
Pelestarian dan Budaya di Kab. Tabanan. Dalam Jurnal ”Analisis Pariwisata”,
Volume 7, Nomor 1, 2005. Denpasar : PS. Pariwisata Unud.
Badudu-Zain. 2001. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.
Bungin, H.M Burhan. 2010. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta : Kencana
Goodman Jr, Raymond J. 2002. F & B Service Management. Jakarta : Erlangga
Marpaung, Happy. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung : Alphabet.
McIntosh/Goeldener. 1986. Tourism, Principles, Philosophis. Canada : JW. Sains Inc.
Pitana, I G. 1996. Balinicia Cybernetica : Pariwisata & Religiusitas Kekinian
Masyarakat Bali. Disampaikan dalam Diskusi Purnama Kedasa dalam Rangka
Karya Agung Eka Dasa Bhuana-Bhatara Turun Kabeh di Besakih, Karangasem.
Poewardarmita. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdiknas. Jakarta : Mutiara.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R & D. Bandung : Alfabeta.
Suryabrata, Sumadi. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Torsina, M. 2000. Usaha Restoran yang Sukses. Jakarta : PT. Bhuana Ilmu Populer.
Yoeti, Oka A. 1982. Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung : PT. Angkasa.
Available from www.kabarbisnis.com. “Indonesia Tak Serius Garap Wisatawan India”.
Available from www.mediaindonesia .com. “Jumlah Wisatawan India ke Bali
Melonjak”.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 47
Abstract
The purpose of this study is to determine the perceptions of visitors about the
condition and service facilities in the museum Mulawarman Tenggarong.
The method used is a quantitative method to convert qualitative data into
quantitative data. This type of study is the observation, interviews, and
questionnaires. The sampling technique used was accidental sampling with a sample
of 20 respondents.
Conclusions obtained in this study were how the visitor's perception of the
quality of service at the museum Mulawarman Tenggarong. Both the aspects of
service, including cleanliness and safety, and a general assessment of the attractions
in the museum Mulawarman Tenggarong and visitor perceptions of service conditions
and facilities at the museum Mulawarman Tenggarong. It was found that most states
have improved the condition and service facilities in the museum Mulawarman
Tenggarong.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Objek wisata di Kabupaten Kutai Kartanegara, Tenggarong beraneka ragam
bentuk dan jenisnya yang membuat wisatawan domestik dan wisatawan Asing tertarik
mengunjunginya. Daya tarik wisata seperti museum kayu, tanjung harapan, hingga
pulau kumala merupakan beberapa daya tarik wisata unggulan yang dimiliki Kabupaten
Kutai Kertanegara. Salah satu daya tarik wisata di Kabupaten Kutai Kertanegara yang
terkenal adalah Museum Mulawarman.
Museum peninggalan zaman Hindu notabene peninggalan Kerajaan Kutai semula
berfungsi sebagai pusat kekuasaan atau istana raja. Kemudian bangunan ini diganti rugi
oleh Pemerintah Daerah Tinggi I Kalimantan Timur kepada pemiliknya yaitu Sultan
Kutai XIX (raja terakhir) bernama Sultan Aji Muhammad Parikesit dengan biaya sebesar
Rp 64.000.000. Secara umum bangunan museum terlihat terawat dengan baik akan
tetapi sangat disayangkan benda-benda koleksinya kurang terawat.
Selain itu tidak adanya pusat informasi yang menunjang untuk wisata
pendidikan, tidak tersedianya alat pendingin udara dan penerangan yang kurang
memadai serta kurangnya informasi yang diberikan oleh pihak Museum Mulawarman
adalah faktor-faktor penghambat memajukan daya tarik wisata ini. Namun, dalam
usaha mengembangkan objek wisata Museum Mulawarman pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur melalui Dinas Pendidikan Kalimantan Timur dan Dinas Pariwisata dan
Budaya Kabupaten Kartanegara selaku pihak pengelola sudah berupaya
mempromosikan objek wisata museum Mulawarman agar dapat dikenal di dalam negeri
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 48
maupun luar negeri dan menjadi wisata pendidikan bagi yang masyarakat luas yang
berminat.
Persepsi Bobot
No Aspek
SB B C KB SKB Persepsi
1 Pelayanan 3 11 4 2 0 75
2 Kebersihan 1 10 6 0 3 66
3 Keamanan 2 11 8 0 0 78
4 Penilaian secara umum 5 11 4 0 0 81
Jumlah 11 43 22 2 3 300
Persentasi 14% 53% 27% 2% 4% 100%
Sumber : Hasil Penelitian, 2011.
2% 4%
SB
14%
27% B
C
53%
KB
SKB
Persepsi Bobot
No Aspek
SP P TP KP STP Persepsi
1 Pemandu 15 5 0 0 0 95
2 Pencahayaan 16 16 5 3 0 165
3 Lahan parkir 3 10 3 4 0 72
4 Perawatan 7 8 3 2 0 80
5 Sirkulasi udara 8 10 1 1 0 85
6 Fasilitas umum 10 9 1 0 0 89
7 Keramahtamahan 3 6 6 5 0 67
8 Pusat Informasi 16 20 2 2 0 170
Jumlah 78 84 21 17 0 823
Persentasi 39% 42% 10.5% 8.5% 0% 100%
Sumber : Hasil Analisis Data, 2011.
45%
40%
35%
30%
25%
20% 39% 42%
15%
10%
5% 10,50% 8,50%
0% 0
SP P TP KP STP
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 52
3.2 Saran
Adapun saran-saran untuk kemajuan Museum Mulawarman Tenggarong, yaitu :
1. Perlunya pemandu wisata untuk memandu wisata di Museum Mulawarman
Tenggarong.
2. Perlunya dijaga benda-benda besejarah di Museum Mulawarman Tenggarong.
3. Kebersihan Museum Mulawarman perlu di tingkatkan.
4. Diadakannya tempat pembuangan sampah disetiap sudut ruangan.
5. Lebih dibenahi lagi sistem sirkulasi udara dan penerangan didalam ruangan
terutama di ruang bawah tanah.
KEPUSTAKAAN
I Putu Anom
iputuanom@yahoo.co.id
Dosen Fakultas Pariwisata Unud
Abstract
This paper purpose to find the diversity the tourist object and tourist
attraction in South Sulawesi Province as development to be nature and culture
tourism attractions. According to the result of the research which is use 30
persons/respondens in South Sulawesi Province as key informants ; literatures and
document data, and by using descriptive analysis. The result is that the tourist object
and tourist attraction in South Sulawesi Province as potential to develop the tourism
attractions. The tourism will be exist when the South Sulawesi government plan the
true tourism resort and tourism attraction areas ; to improve direct flight to
Hassanuddin Airport-Makasar, reguler flight from Makasar to Tana Toraja Airport,
local tourist transportation, MICE fasilities, quality of tourism human resources ;
create the hospitality and cross cultural understanding ; community tourism
development and empowerment tourism development.
Key word: the diversity tourism attractions, planning and development tourism.
I. PENDAHULUAN
Garis-Garis Besar Haluan Negara mengamanatkan bahwa pembangunan dan
pengembangan sektor pariwisata bertujuan meningkatkan penerimaan devisa,
meningkatkan kesempatan berusaha dan kesempatan kerja, memperkenalkan alam dan
budaya nusantara serta mempererat pergaulan antar bangsa.
Adapun visi kepariwisataan Indonesia adalah “Pariwisata Menumbuhkembangkan
Kesejahteraan dan Perdamaian”. Visi ini mengandung pengertian : 1) pariwisata
menjadi andalan pembangunan nasional yang secara seimbang mempertimbangkan
bidang ekonomi dan bidang – bidang lainnya, demi kelangsungan hidup bangsa dan
negara Indonesia; 2) Indonesia menjadi kawasan pariwisata dunia yang mengutamakan
pembangunan pariwisata nusantara dan sekaligus sebagai tujuan wisatawan
mancanegara (Depbudpar, 2000).
Menurut Undang – Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan
Nasional, maka tujuan pembangunan pariwisata adalah : i) mengembangkan dan
memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional; ii) berbasis pada
pemberdayaan masyarakat, kesenian dan sumber daya (pesona) alam lokal dengan
memperhatikan kelestarian seni dan budaya tradisional serta kelestarian lingkungan
hidup setempat dan; iii) mengembangkan serta memperluas pasar pariwisata terutama
pasar luar negeri (Depbudpar, 2000).
Colman dan Nixon (1978) mengatakan bahwa pembangunan yang menyebabkan
peningkatan dibidang ekonomi, bila tidak dibarengi dengan penyebaran yang merata
antar mesyarakat, maka pembangunan tersebut dikatakan gagal. Ini telah terbukti saat
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 55
negara Indonesia tertimpa krisis akibat tidak meratanya dampak positif dari
pembangunan. Konglomerasi telah melemahkan sendi-sendi perekonomian Indonesia.
Konsep pembangunan yang mengagungkan paradigma pertumbuhan, yang percaya
sepenuhnya dengan tricle down effect, konsep dasarnya adalah mengembangkan
industri besar, secara otomatis akan memberikan pengaruh positif pada perusahaan
kecil di bawahnya atau masyarakat di sekitarnya.
Ternyata kajian empiris menunjukkan bahwa asumsi teori pertumbuhan ini tidak
semuanya berjalan dengan baik. Pembangunan pariwisata di Bali, pada tahun 1970-an
dengan memanfaatkan jasa konsultan dari Perancis dengan sponsor UNDP (The United
Nation Development Program) dan The International Bank for Reconstruction and
Development (IBRD), dibangun komplek hotel di Nusa Dua yang menganut teori
pertumbuhan tersebut (Mc. Carthy, 1994). Konsep ini mendapat kritikan yang sangat
tajam dimana pariwisata dituduh sebagai neo – kapitalisme, yang hanya
mengeksploitasi masyarakat lokal, sementara keuntungan atau manfaat dari
pembangunan sebagian besar tersedot ke luar, dinikmati oleh kaum kapitalis.
Pariwisata konglomerasi memberikan porsi yang sangat kecil kepada masyarakat lokal.
Kesenjangan pendapatan dan kesejahteraan antar lapisan masyarakat makin besar.
Pariwisata konglomerasi juga disinyalemen meningkatkan import barang dan jasa,
serta membutuhkan lahan yang sangat luas, sehingga banyak lahan penduduk lokal
yang sudah berpindah tangan untuk memenuhi kebutuhan sektor pariwisata yang
berskala besar tersebut. Demikian pula kesenjangan pembangunan infrastruktur
semakin tajam antar daerah tujuan wisata dengan daerah non tujuan wisata.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka salah satu responnya adalah
mengubah paradigma pembangunan, yaitu mengurangi fokus pada pariwisata
konglomerasi dan lebih menekankan pada pariwisata kerakyatan dan inipun secara
empiris belum terbukti.
Pariwisata kerakyatan yang salah satu contohnya adalah pariwisata perdesaan,
didorong oleh pemerintah dalam rangka untuk penganekaragaman pendapatan pada
masyarakat (Winter, 1987; OECD, 1988) dan mempertahankan kelestarian lingkungan
(Mathieson and Wall, 1990; Suandra, 1991; Schneider, 1993; Food Crop Department
Bali, 1994). Kemiskinan dan kurangnya lapangan pekerjaan adalah merupakan masalah
klasik pada daerah pedesaan khususnya di negara sedang berkembang. Namun di
negara – negara maju masalah yang utama di daerah pedesaan adalah kelebihan
produksi pertanian yang disebabkan oleh kemajuan teknologi untuk mengganti tenaga
kerja di bidang pertanian, yang ujung – ujungnya memunculkan masalah tenaga kerja.
Menurut Almen.R (1993), pertanian di negara Inggris hanya memerlukan 2,5%
dari total tenaga kerja yang ada, walaupun lahan yang digarap seluas ¾ dari
permukaan negara tersebut. Ini artinya, baik negara yang sedang berkembang maupun
negara yang sudah maju menghadapi problem ekonomi dan tenaga kerja terutama di
daerah pedesaan. Untuk mengatasi permasalahan ini, ditawarkan pariwisata perdesaan
sebagai salah satu solusinya di banyak negara di dunia. Pariwisata yang berkembang di
Bali, rupanya mengalami tudingan yang seirama dengan yang dialami oleh negara lain
yaitu bahwa industri ini dituduh salah satu sebagai penyebab nilai import tinggi.
Demikian juga industri yang gemerlapan ini dituding mengabaikan masyarakat lokal di
dalam penyerapan tenaga kerjanya. Namun rasa optimis harus tetap dikobarkan karena
mengacu pada hasil penelitian bahwa kalau mesin penggerak penyerapan tenaga kerja
pada abad ke – 19 adalah pertanian, pada abad ke – 20 adalah industri manufacturing
dan pada abad ke – 21 adalah pariwisata (Dowid J. Villiers, 1999, dalam Salah Wahab,
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 56
II. PERMASALAHAN
Berdasarkan uraian pada pendahuluan tersebut di atas maka yang menjadi
rumusan permasalahan dalam tulisan ini adalah :
1. Apakah Potensi yang dimiliki Provinsi Sulawesi Selatan untuk Pengembangan
Kepariwisataan ?
2. Apa Faktor-Faktor Penghambat yang dihadapi Provinsi Sulawesi Selatan dalam
Pengembangan Kepariwisataan ?
IV. PEMBAHASAN
4.1 Sarana dan Jasa Pariwisata
Wisatawan yang mengunjungi Daerah Tujuan Wisata (DTW) dengan berbagai
tujuan perjalanannya antara lain : pesiar atau keperluan rekreasi, hiburan, kesehatan,
studi, keagamaan, olah raga, hubungan dagang, sanak keluarga, handaitaulan,
konferensi-konferensi, misi dan sebagainya yang walaupun hanya tinggal sementara di
daerah yang dikunjunginya, namun kehadiran mereka membutuhkan berbagai macam
fasilitas sarana/prasarana maupun jasa pariwisata berupa akomodasi, rumah
makan/restoran, bar, jasa transportasi, biro perjalanan dan pemandu wisata, jasa
konvensi, jasa atraksi wisata, yang tentunya harus tersedia serta mampu memenuhi
kebutuhan wisatawan.
Rumah
Klasifikasi Akomodasi, Hotel Kamar Kursi
No Kabupaten Makan
Rumah makan/Restoran (buah) (buah) (buah)
(buah)
1 Makassar Hotel Bintang 1 8 317
Hotel Bintang 2 6 260
Hotel Bintang 3 6 435
Hotel Bintang 4 3 249
Hotel Bintang 5 2 450
Hotel Melasti 34 761
Hotel Melasti (Non PHRI) 90 1702
Restoran 15 4168
Restoran (Non PHRI) 19 1825
Rumah Makan 8 405
Rumah Makan (Non PHRI) 143 429
2 Tana Hotel Bintang 1 4 152
Toraja Hotel Bintang 2 3 92
Hotel Bintang 3 4 250
Hotel Bintang 4 2 271
Hotel Melati 67 783
Rumah Makan 11 910
3. Luwu Hotel Bintang 1 2 53
Hotel Melati 26 486
Restoran 1 105
4. Selayar Hotel Melati 5 77
Rumah Makan 18 420
5. Bulukumba Hotel Melati 24 266
Rumah Makan 2 80
6. Pare-Pare Hotel Bintang 1 2 52
Hotel Melati 15 371
Rumah Makan 6 344
7. Wajo Hotel Melati 19 196
Rumah Makan 2 190
8. Sinjai Hotel 10 107
Rumah Makan 2 112
9. Bantaeng Hotel Melati 5 81
Rumah Makan 13 342
10. Bone Hotel Bintang 1 1 33
Hotel Melati 20 208
Rumah Makan 7 586
11. Soppeng Hotel Melati 8 92
Rumah Makan 1 40
12. Maros Hotel 5 73
Rumah Makan 1 200
13. Sidrap Hotel 8 91
14. Enrekang Hotel 15 186
Rumah Makan 14 316
15. Barru Hotel 10 55
Rumah Makan 1 548
16. Jenneponto Hotel 2 60
Rumah Makan 1 200
Jumlah 406 8209 265 10791
Sumber : BPD PHRI Sulawesi Selatan, 2005.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 58
4.1.3 Jasa Pariwisata (Transportasi, Biro Perjalanan dan Pemandu Wisata, Jasa
Objek dan Atraksi Wisata, Jasa MICE dll)
Provinsi Sulawesi Selatan dalam pengembangan kepariwisataan dibagi menjadi 3
(tiga) klaster daerah pengembangan yang meliputi :
1. Klaster 1, Pengembangan Kota Makassar sebagai wisata MICE dan Marine.
2. Klaster 2, Pengembangan Tana Toraja Sebagai wisata budaya dan alam.
3. Klaster 3, Pengembangan Pulau Selayar dan Kabupaten Bulukumba sebagai wisata
bahari/marine dengan keindahan taman lautnya.
Tana Toraja yang telah terkenal dimancanegara sejak tahun 1974 telah menjadi
daerah tujuan wisata unggulan serta menjadi maskot pariwisata Sulawesi Selatan,
terutama daya tarik budayanya dengan rumah adat Tana Toraja (Tongkonan),
makam/kuburan di bukit-bukit dengan upacara ritual berupa pemotongan kerbau
terutama pada upacara penguburan mayat. Ditunjang pula dengan alam yang sejuk,
atraksi yang terkait dengan alam seperti hiking, trecking, rafting, dll. Akan tetapi
atraksi wisata/entertainment untuk aktifitas di malam hari masih terbatas baik
fasilitas tempat pementasannya maupun jenis atraksinya. Demikian pula halnya di Kota
Makassar yang rencananya dikembangkan sebagai wisata MICE masih memiliki
keterbatasan fasilitas MICE yang walaupun telah direncanakan pembangunan Selebes
MICE Centre yang sampai saat ini pembangunannya belum terwujud sepenuhnya.
Sulawesi Selatan dalam pengembangan kepariwisataan menghadapi beberapa
permasalahan khususnya dibidang transportasi udara dengan keterbatasan
penerbangan langsung/direct flight dari luar negeri karena banyak perusahaan
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 59
penerbangan yang tidak lagi singgah di Makassar yang tentunya perlu dikaji secara
mendalam, demikian pula penerbangan dari airport Makassar ke bandara yang ada di
Tana Toraja hanya 2 (dua) kali dalam seminggu, itupun masih disubsidi pemerintah
daerah Tana Toraja.
Angkutan/transportasi darat khususnya angkutan wisata masih terbatas
terutama dari kota Makassar menuju Tana Toraja dengan lama perjalanan + 8
(delapan) jam harus mempergunakan kendaraan umum atau carteran karena belum
tersedia angkutan bus pariwisata yang memadai dengan kapasitas 20 sampai 30 seat ;
keterbatasan armada angkutan laut/boat penyebrangan dari Bulukumba ke Pulau
Selayar bagi wisatawan yang berminat mengunjungi wisata bahari.
Sulawesi Selatan sudah tersedia 8 (delapan) buah perusahaan biro perjalanan
yang kinerja operasionalya masih perlu ditingkatkan dengan ditunjang kelancaran
transportasi udara sehingga memungkinkan biro perjalanan tersebut untuk
mendatangkan wisatawan terutama wisatawan mancanegara karena dilihat dari sisi
perdagangan luar negeri, wisatawan mancanegara mampu meningkatkan penerimaan
devisa bagi negara, sedangkan wisatawan nusantara merupakan wisatawan yang
bertujuan untuk pengenalan daerah nusantara dengan motto “Kenalilah Negerimu dan
Cintailah Negerimu”. Disamping itu di Sulawesi Selatan juga telah tersedia toko-toko
souvenir dan fasilitas perbankan, informasi dan komunikasi yang mendukung
kepariwisataan. Keberadaan pemandu wisatapun masih terbatas baik dari segi jumlah
maupun kualitasnya yang perlu mendapat pembinaan.
Provinsi Sulawesi Selatan juga memiliki beberapa objek dan daya tarik wisata
yang berpotensi untuk dikembangkan antara lain : Pantai Losari, Tanjung Bunga,
Benteng Rotterdam Makassar, Makam Pangeran Diponogoro, Pelabuhan Laut, dll di
Kota Makassar ; wisata alam perbukitan dan pegunungan yang menawan/eksotik
seperti Buntukabobong di Enrekang ; pemandangan danau tempe ; wisata alam dan
margasatwa ; kapal phinisi / kapal tradisional Makassar di sekitar perairan Pare-Pare
serta pemukiman dan budaya Suku Bugis yang terkenal dengan budaya maritim serta
objek dan daya tarik wisata yang lain baik alam maupun budaya serta buatan namun
masih menghadapi kendala aksessibilitas / kemudahan pencapaian.
angkutan wisata lewat darat, laut yang memadai ditunjang dengan paket wisata
dengan diversifikasi objek dan daya tarik wisata.
6. Keterbatasan pengkemasan paket wisata, untuk itu perlu penyusunan paket wisata
serta peningkatan kemampuan pramuwisata untuk memberikan informasi yang
memadai perihal objek dan daya tarik wisata.
7. Organisasi-organisasi yang terkait dengan kepariwisataan beserta instansi terkait
koordinasinya masih terbatas, untuk itu perlu peningkatan koordinasi stakeholder
pariwisata dengan baik untuk mengoptimalkan pengembangan kepariwisataan baik
dalam penyusunan RUTRW (Rencana Umum Tata Ruang Wilayah) RIP (Rencana
Induk Pengembangan) kepariwisataan, RDTRW (Rencana Detail Tata Ruang
Wilayah) beserta implementasinya.
8. Dalam pemberdayaan masyarakat lokal terutama dibidang kepariwisataan masih
terbatas untuk itu perlu pembinaan masyarakat lokal dalam pengembangan
kepariwisataan.
5.2 Saran
1. Potensi wisata buatan yang spesifik seperti kapal phinisi yang merupakan kapal
tradisional yang bisa dijadikan alat transportasi yang memiliki ciri khas tersendiri
yang tidak ada di daerah lain di Indonesia.
2. Beberapa objek dan daya tarik yang lain baik berupa wisata alam, budaya dan
buatan juga berpotensi untuk dikembangkan akan tetapi perlu ditunjang
aksessibilitas yang memadai serta peningkatan kuantitas dan kualitas prasarana
dan sarana kepariwisataan, diversifikasi objek dan daya tarik wisata serta
pembinaan sumber daya manusia, baik sebagai pengelola maupun pekerja
pariwisata dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
KEPUSTAKAAN
Abstract
Bali tourism has had an effect on all aspects of Balinese society by making Bali
vulnerable to security issues. The evidence of that occurred when the Bali bombing
tragedy happened on 12 October 2002 and October 2005, when bombs rocked the
tourism sector is confirmed by a decrease in the number of tourists. The purpose of
this study was to find the role and the constraints faced by the tourism department in
the recovery after the explosions so that the future role of tourism services can be
optimized and all constraints minimized. This study used a qualitative approach based
on primary data and secondary data obtained from the informant (purposive sampling).
The results suggest one role in the recovery of the tourism department after the Bali
bombing was to implement a policy of the central government which established a
recovery team together with Bali’s tourism stakeholders and the public. Constraints in
the department of tourism in Bali can be viewed internally and externally and in
essence, the tourism department in Bali should have greater power to control the
recovery of tourism but is in fact precisely the position of department of tourism sub-
ordinate positions.
masyarakat, yaitu pendidikan, perkembangan industri dan kontak budaya (Cholik, 1994
: 70).
Sejak tahun 1960-an pariwisata Indonesia telah tumbuh rata-rata mencapai 10
% (sepuluh persen) lebih setiap tahunnya, sampai dengan awal tahun 1969
perkembangan pariwisata Indonesia berjalan sangat lambat. Hal ini disebabkan karena
pemerintah Indonesia pada waktu itu kurang memperhatikan pariwisata sebagai salah
satu sumber penghasilan negara. Kemudian pada akhir tahun 1969 pemerintah mulai
memperhatikan sektor pariwisata secara teratur agar dapat menambah devisa negara,
di samping devisa dari minyak dan gas bumi (Samsurridjal, 1987 : 58).
Pembangunan Sektor Pariwisata di Bali menjadi sektor andalan yang mampu
meningkatkan devisa, mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat, perluasan
lapangan kerja dan kesempatan berusaha dalam rangka meningkatkan kesejahtraan
masyarakat untuk memupuk rasa cinta tanah air dan memperkaya kebudayaan daerah,
meningkatkan keanekaragaman obyek dan daya tarik wisata serta atraksi wisata, peran
serta aktif masyarakat dalam meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
tetap mempertahankan kelestarian dan mutu lingkungan hidup sangat diperlukan.
Pembangunan Sektor Pariwisata, memberikan manfaat ganda, yaitu bagi
pemerintah, masyarakat dan pihak swasta, sehingga pembangunan sektor pariwisata
selanjutnya harus mendapat dukungan dari pihak masyarakat, pihak swasta dan
pemerintah. Hal ini penting ditekankan, mengingat Provinsi Bali tidak memiliki sumber
daya alam yang dapat diandalkan untuk mendukung perkembangan ekonomi, sehingga
prioritas pembangunan Daerah Bali diletakkan pada pembangunan bidang ekonomi
dengan titik berat pada pembangunan Sektor Pertanian dalam arti luas ditunjang
dengan pembangunan Sektor Pariwisata dan Industri Kecil.
Pengembangan Sektor Pariwisata di Bali yang merupakan sektor andalan dan
mampu meningkatkan penerimaan devisa, mendorong pertumbuhan ekonomi
masyarakat, perluasan lapangan kerja dan kesempatan kerja dalam rangka
meningkatkan kesejahtraan masyarakat harus mendapat perhatian, karena dewasa ini
pertumbuhan Sektor Pariwisata Bali dapat dikatakan mengalami stagnasi bahkan
mengalami penurunan setelah terjadinya ledakan Bom tanggal 12 Oktober 2002 dan 1
Oktober 2005 di Kuta dan Jimbaran.
Keamanan dan kenyamanan merupakan kunci pokok dalam menarik kunjungan
wisatawan baik domestik maupun mancanegara. Meski promosi dilakukan dengan
gencar oleh pemerintah maupun pelaku industri pariwisata, jika keamanan belum
dapat diwujudkan hasil promosi tersebut tidak akan mendapatkan hasil maksimal.
Kunjungan wisatawan ke suatu negara juga tidak hanya berkaitan dengan keinginan
mereka pribadi melainkan juga berkaitan dengan hubungan politis antara negara asal
mereka dengan negara yang akan dikunjungi. Hubungan diplomatik antara negara
dalam pariwisata sangat besar pengaruhnya karena mereka tidak ingin warga
negaranya mengalami masalah di negara lain (travel advisory, travel warning, dll).
Apalagi negara tersebut diketahui sedang mengalami konflik (mis. Perang, kerusuhan)
atau wabah penyakit (mis. Virus SARS) yang beresiko terhadap warga negaranya
(Mahagangga, 2008).
Orang asing yang berniat berkunjung ke Bali ketika mengetahui situasi dan
kondisinya tidak aman dari media massa bahwa terjadi bom atau sering terjadi tindak
kriminal, bukannya tidak mungkin mereka akan mengalihkan waktu liburan mereka ke
daerah tujuan wisata lain. Hal ini dilakukan untuk memperkecil resiko terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan (kecopetan, penipuan, pemerkosaan, perampokan, dll). Suatu
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 64
ancaman terhadap keamanan dan kenyamanan sangat berarti bagi setiap wisatawan
karena mereka mencari kepuasan berwisata bukan mencari masalah dalam berwisata
(Mahagangga, 2010).
Pertumbuhan pariwisata Bali dilihat dari angka kunjungan wisatawan setelah
tragedi Bom Bali I menurun tajam dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Padahal
dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan manca-negara ke Indonesia
memberikan banyak peluang bagi bangsa Indonesia untuk menambah usaha dan
mendapatkan pekerjaan dalam rangka meningkatkan kehidupan perekonomiannya.
Tetapi dengan terjadinya Bom Bali I dan Bom Bali II menunjukkan angka penurunan
yang berarti signifikan bagi seluruh aspek kehidupan di Bali khususnya dan di Indonesia
pada umumnya seperti dapat dilihat pada Tabel 1.1.
Pada Tabel 1.1 menunjukan bahwa kunjungan wisatawan dari tahun 2002-2006
menurun secara signifikan. Penurunan ini diindikasikan sebagai dampak dari terjadinya
Bom Bali I dan II yang mempengaruhi kedatangan wisatawan berlibur ke Bali. Jumlah
kunjungan wisman yang langsung datang ke Bali dari tahun 2003 terjadi penurunan dan
tahun 2004 kembali meningkat. Penurunan yang sangat signifikan di tahun 2003 hampir
mencapai 23 % disebabkan oleh tragedi bom Bali I. Setahun kemudian di tahun 2004
terjadi peningkatan tajam hingga 46,85 % yang sangat melegakan segenap komponen
pariwisata di Bali. Akibat Tragedi Bom II di tahun 2005, tahun 2006 setelah
pemberlakuan travel warning dari beberapa negara maju, terjadi penurunan
kunjungan wisatawan mencapai hampir 10 %. Memasuki tahun 2007 terjadi peningkatan
relatif besar mencapai 32,10 % yang tidak terlepas dari upaya berbagai pihak termasuk
Disparda Provinsi Bali. Selanjutnya di tahun 2008 sampai 2011 terjadi peningkatan
kunjungan wisman yang cukup signifikan meskipun dunia sedang dilanda krisis global.
Peran Dinas Pariwisata Provinsi Bali (Disparda) sebagai perwakilan pemerintah
daerah menangani bidang kepariwisataan menjadi sangat penting untuk memulihkan
kepariwisataan Bali pascabom. Meskipun demikian, peran tersebut menemui banyak
kendala dalam pelaksanaannya karena pariwisata sebagai suatu sistem tidak hanya
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 65
berhubungan dengan satu elemen saja melainkan saling terkait dengan berbagai
elemen dan tidak dapat dipisahkan dari situasi-kondisi serta fenomena global.
Diperlukan suatu pendekatan bahkan strategi khusus bagi pemerintah daerah
Bali dalam hal ini Disparda Provinsi Bali untuk dapat memulihkan pariwisata Bali
pascabom. Pendekatan, strategi atau upaya Disparda Provinsi Bali dalam tulisan ini
akan dikaji, terutama berfokus kepada peran dan kendala yang dihadapi.
II. PEMBAHASAN
Praktisi pariwisata sangat merasakan penurunan pendapatan mereka setelah
bom Bali I (12 Oktober 2002) dan Bom Bali II (1 Oktober 2005). Pendapatan yang
menurun drastis dirasakan mulai dari pedagang acung, pengusaha art shop hingga
konglomerat yang bergerak di bidang jasa/hospitality (hotel, restoran, dll).
Tragedi Bom Bali tersebut dengan demikian secara nyata diakui mengakibatkan
berbagai hal yang sangat merugikan bagi perkembangan pariwisata Bali, yaitu :
1. Tingkat kunjungan wisatawan, baik wisatawan maca negara maupun wisatawan
domestik menjadi menurun.
2. Tingkat hunian kamar hotel menurun.
3. Banyak terjadinya pemutusan hubungan kerja karyawan pada berbagai usaha di
bidang kepariwisataan (atau paling tidak dirumahkan).
4. Investor tidak berani menanamkan modalnya di Bali karena keamanan tidak
terjamin.
Selain kenyataan tersebut, terjadi pergeseran pangsa pasar dari wisatawan
manca negara dari Eropa seperti Spanyol, Prancis, Inggris dan Jerman. Setelah tragedi
Bom Bali wisatawan manca negara yang lebih banyak berkunjung ke Bali adalah
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 66
wisatawan dari negara-negara Asia seperti Jepang, Cina, Taiwan dan Korea. Untuk itu,
maka segenap komponen masyarakat khususnya komponen pariwisata bersama-sama
dengan pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mengupayakan pemulihan
kehidupan Sektor Pariwisata.
Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam hal ini Dinas Pariwisata sudah melakukan
berbagai upaya dalam pemulihan pariwisata pasca Bom Bali namun belum memberikan
hasil yang optimal. Pembangunan Pariwisata di Provinsi Bali menempati prioritas yang
menentukan, karena memberikan dampak ganda terhadap pembangunan sektor
lainnya, yang selama ini mengalami fluktuasi dalam hal jumlah wisatawan manca
negara yang berkunjung ke Bali.
Kebijakan Umum Anggaran Tahun 2008 Pemerintah Provinsi Bali dikemukakan
mengenai permasalahan yang dihadapi dalam Pengembangan Bidang Kepariwisataan
sebagai berikut :
1. Masih rendahnya daya saing industri pariwisata nasional dan belum optimalnya
sinergi pembangunan pariwisata dengan pembangunan sosial dan budaya.
2. Persaingan yang semakin ketat antara anegara-negara yang menjadi tujuan
wisata.
3. Belum mantapnya keamanan dan kenyamanan pada daerah tujuan wisata.
4. Belum meratanya penyebaran sarana dan prasarana pariwisata yang nenadai di
seluruh kabupaten/kota seperti; transportasi, akses informasi, sanitasi lingkungan
di beberapa obyek dan daya tarik wisata.
5. Kurangnya pengetahuan dan kemampuan tenaga kerja pariwisata atau rendahnya
daya saing sumber daya manusia pariwisata.
6. Belum optimalnya promosi pariwisata.
7. Terbatasnya bahan-bahan promosi pariwisata.
Kunjungan wisatawan ke Bali pasca teror bom Bali I dan II secara kuantitas
memang tidak menunjukkan penurunan berarti, tetapi secara kualitas terjadi
penurunan yang dirasakan oleh komponen pariwisata di Bali. Perkembangan Sektor
Pariwisata di Provinsi Bali sebagai sektor andalan dalam kerangka pembangunan
daerah, merupakan penggerak pembangunan di segala bidang dan sektor-sektor
lainnya, tetapi pascabom Bali mengalami stagnasi, sebagai permasalahan yang perlu
segera ditangani bersama oleh pemerintah, masyarakat dan swasta.
seperti krisis moneter yang melanda dunia dan stabilitas keamanan seperti peperangan
dan aksi terorisme.
Menyikapi situasi tersebut di atas, peran Disparda Provinsi Bali dituntut mampu
memberikan solusi untuk pemulihan pariwisata Bali sesuai dengan Tupoksi yang
dimiliki. Secara hierarki Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali berada di bawah
Gubernur sebagai Kepala Daerah Tingkat I. Seluruh kebijakan yang dikeluarkan
Disparda harus berdasarkan persetujuan Gubernur melalui Sekda atau pun jika seorang
Kepala Dinas mempunyai suatu ide pembangunan pariwisata harus sepengetahuan
Gubernur atau Sekda dalam mengimplementasikan ide atau kebijakan tersebut.
Dalam pembangunan kepariwisataan, Disparda Provinsi Bali mempunyai
kedudukan dan peranan cukup signifikan mewujudkan pembangunan kepariwisataan
berkelanjutan, dengan diikuti oleh penyelanggaraan pemerintah yang akuntabel.
Pemerintah yang akuntabel atau good governance merupakan keharusan yang perlu
dilaksanakan dalam usaha mewujudkan aspirasi serta cita-cita masyarakat dalam
mencapai masa depan yang lebih baik (Lakip Disparda 2004).
Menyikapi tragedi bom, pemerintah berusaha memaksimalkan kinerjanya untuk
dapat meningkatkan angka kunjungan wisatawan mancanegara sebagai roda
pertumbuhan perekonomian di Bali. Kerja keras pemerintah yang mencakup menjaga
keamanan dan kenyaman, upaya promosi dan koordinasi dengan segenap komponen
masyarakat dinilai beragam. Ada yang berasumsi keseriusan Pemerintah Daerah dalam
recovery Bali sudah maksimal namun banyak pula yang mengatakan usaha pemerintah
dalam memulihkan pariwisata Bali tidak optimal sehingga perubahan untuk mencapai
target yang diharapkan berjalan sangat lambat. Kenyataannya, secara kuantitas hasil
yang terlihat pada saat penelitian dilaksanakan angka kunjungan langsung wisatawan
ke Bali sudah mulai pulih kembali (meskipun tidak sebaik kondisi sebelum bom Bali
2002), namun secara kualitas kiranya perlu dilaksanakan penelitian lanjutan yang
secara spesifik membahas permasalahan tersebut.
Kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk memulihkan pariwisata Bali dengan
membentuk tim recovery untuk mengkaji dan memberikan solusi dengan segera untuk
mencegah pariwisata Bali tidak terpuruk. Kebijakan dari Pemerintah Pusat bersifat
umum dalam arti tidak langsung menangani permasalahan ini hingga ke tingkat bawah.
Tugas Pemerintah Provinsi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota mengimplementasikan
kebijakan dari Pemerintah Pusat tersebut.
Kebijakan dari Pemerintah Pusat secara umum dapat dipilah menjadi dua
prioritas yaitu menyangkut keamanan dan promosi Bali sebagai daerah tujuan wisata
utama di Indonesia dan di dunia. Kebijakan dari Pemerintah Pusat dengan demikian
berjalan sesuai dengan koridor birokrasi dari atas ke bawah dan secara horizontal
harus pula dikoordinasikan dengan institusi lain sesuai dengan tugasnya untuk dapat
mewujudkan tujuan yang ingin dicapai bersama. Permasalahan keamanan menjadi
tanggungjawab Kepolisian Daerah Bali bersama-sama masyarakat untuk menciptakan
rasa nyaman bagi wisatawan. Promosi menjadi tanggungjawab Disparda Provinsi Bali
bersama stakeholders dalam mempublikasikan Bali ke dunia luar bahwa Bali sudah
aman dan layak untuk dikunjungi. Pemerintah Pusat juga dapat mengambil peran ini
dengan memanfaatkan kapasitas Hubungan Diplomatik yang dimiliki meyakinkan
kepada dunia bahwa Bali merupakan daerah kunjungan wisatawan yang masih tetap
menawan dan memikat dengan keunikan budaya yang dimiliki.
Kebijakan sangat memegang peranan penting dalam birokrasi moderen.
Implementasi dan koordinasi menjadi landasan birokrat dalam mencapai tujuan yang
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 68
ingin dicapai untuk melayani publik. Pola-pola kekuasaan (hirarki) tersusun sedemikian
untuk dapat memberikan hasil yang efektif dan efisen bahkan bila perlu diusahakan
memperoleh hasil maksimal. Analisis kebijakan adalah sebuah telaah krisis isu
kebijakan tertentu, dilakukan oleh analis dan para pihak yang dipengaruhi kebijakan,
menggunakan ragam pendekatan dan metode yang menghasilkan nasehat atau
rekomendasi kebijakan guna membantu pembuat kebijakan dan para pihak yang akan
dipengaruhi kebijakan dalam mencari solusi yang tepat atas masalah-masalah
kebijakan yang relevan. Wahab juga mengungkapkan ciri-ciri yang menonjol dari
kebijakan publik, yaitu; (1) merupakan rangkaian keputusan politik, (2) melibatkan
seorang aktor politik dan atau sekelompok lain, (3) sebagai proses pemilihan tujuan
dan sarana untuk mencapainya, (4) berlangsung dalam situasi tertentu, dan (5) ada
dalam lingkup atau batas-batas kekuasaan para aktor (Wahab, 1990 : 17). Artinya
kebijakan didesain sebagai tawaran jawaban terhadap masalah yang terjadi dan
dirancang untuk bisa menghasilkan efek sosial yang dikehendaki. Pandangan sebagai
bentuk intervensi sosial, dikembangkan dari pemikiran normatif yang menyepakati
kebijakan bukan sekedar sebagai sistem dimana aspirasi (tuntutan dan dukungan)
diartikulasikan oleh faktor-faktor kebijakan menjadi sebuah keputusan kebijakan
tetapi lebih sebagai bentuk aktivitas birokrasi pemerintah (Siagian, 2000 : 60).
Ada pun upaya kongkrit yang dilakukan Disparda Provinsi Bali dalam pemulihan
pariwisata pasca bom sebagai bagian dari kebijakan yang diterapkan adalah (1) upaya
pemulihan keamanan berkoordinasi dengan Polda , (2) upaya promosi dengan
melibatkan BTB, PHRI, stakeholders, Media Massa dan masyarakat, Tahap
Penyelamatan, Tahap Pemulihan, Tahap Normalisasi dan Tahap Pengembangan.
Peran Disparda Provinsi Bali dalam pemulihan pariwisata pascabom melalui
upaya pemulihan keamanan dan upaya promosi harus berhati-hati karena melibatkan
banyak hierarki birokrasi untuk menghindari benturan yang dapat menghambat kinerja
dan realisasi program. Adanya peran pemerintah pusat, peran aparat keamanan
(Polda), peran lembaga-lembaga pariwisata dan profesi, peran stakeholders
pariwisata, peran masyarakat lokal yang kesemuanya memiliki kepentingan dan tidak
menutup kemungkinan akan berjalan sendiri-sendiri dan sulit dikoordinir. Sangat
beralasan kemungkinan terjadi upaya pemulihan secara partial karena pemulihan
bukan hanya demi Bali tetapi demi usaha jasa yang dimiliki seperti hotel dan restoran.
Jika mereka menunggu upaya pemerintah dan tidak aktif menjemput bola, para
pengusaha takut bisnis mereka akan terancam bangkrut. Seperti hotel yang
berkualifikasi internasional tentunya akan memanfaatkan jejaring yang dimiliki untuk
dapat bertahan ditengah terpuruknya kondisi pariwisata Bali.
Standar kebijakan pariwisata yang diterapkan oleh pemerintah pusat maupun
daerah dengan demikian dituntut untuk mampu secara cepat, tepat dan fleksibel
menyikapi permasalahan pemulihan semacam ini kedepannya. Birokrasi yang terkesan
lamban dengan pola top down harus dikurangi dan disesuaikan dengan kondisi nyata.
Hal ini dapat dilakukan jika segenap pihak memiliki kesamaan visi dan misi serta
program kerja yang jelas sehingga dikemudian hari jika terjadi hal serupa maka akan
cepat dan tepa digunakan langkah-langkah strategis dengan mengandalkan kebijakan-
kebijakan pemerintah yang linear dan dituntut kemampuan pemerintah daerah untuk
berani mengambil keputusan dengan meminimalkan resiko. Hal yang harus dihindari
adalah lahirnya kebijakan-kebijakan yang justru menghambat upaya pemulihan karena
perbedaan persepsi yang justru nantinya akan merugikan segenap pihak.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 69
titik sentral yang dipandang rawan juga dikoordinasikan kepada pihak aparat
keamanan. Pemerintah Provinsi Bali melalui Disparda berharap dapat secara optimal
mewujudkan Bali yang aman dan nyaman. Tanpa keamanan yang terjamin dipastikan
citra pariwisata Bali akan semakin merosot yang berdampak kepada penurunan angka
kunjungan wisatawan. Hal ini berarti laju perekonomian Bali akan tersendat yang
berdampak pula kepada kesejahterahaan masyarakat yang semakin menurun.
Koordinasi bersama media massa baik lokal maupun asing dilakukan secara
sinergis untuk dapat memberikan pencitraan positif. Diusulkan kepada media massa
agar melaporkan atau menulis peristiwa positif pascabom Bali bukan sebaliknya
semakin memojokkan citra pariwisata Bali dengan pemberitaan yang tendensius.
Pelaksanaan upacara Kariphubhaya pascabom, toleransi antar etnis/umat beragama
yang harmonis, keindahan objek wisata dan keamanan Bali diharapkan dapat dimuat
sebagai berita yang menyejukkan bagi para calon wisatawan. Bahkan bertujuan pula
bagi negara-negara yang potensial sebagai pangsa pasar wisatawan. Hal ini bertujuan
agar negara-negara besar seperti Amerika Serikat yang semula mengeluarkan travel
warning dapat menurunkan level-nya menjadi travel advisory atau malah mencabut
peringatannya menjadi Bali sudah layak dikunjungi karena pemberitaan yang stabil dan
kondusif.
promosi dari tahun ke tahun. Pihak pemerintah dalam hal ini Disparda Kabupaten
Badung menyambut positif usulan ini. Namun karena kesulitan membagi pos anggaran
yang kesemuanya sudah dibagi berdasarkan skala prioritas usulan ini sampai sekarang
belum terealisasi.
Apabila upaya yang dilakukan BTB dan PHRI Bali ditunjang oleh pemerataan
pendanaan, kemampuan SDM dan pembangunan pariwisata yang langsung dirasakan
oleh masyarakat setempat, peneliti berasumsi permasalahan seperti perlakuan tidak
sopan kepada wisatawan akan hilang karena masyarakat memperoleh profit dari
kemajuan pariwisata di desanya. Kesadaran masyarakat pun akan meningkat untuk
tetap menjaga keamanan dan kenyamanan di wilayahnya masing-masing.
Disparda Provinsi Bali sejak tahun 2003 menerapkan rencana strategik untuk
dapat bersinergi secara maksimal bersama stakeholders untuk memulihkan pariwisata
Bali. Pada tahun 2004 Disparda mengalokasikan dana sebesar Rp. 125.000.000 untuk
pembinaan usaha sarana pariwisata yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran
pengusaha mematuhi ketentuan yang berlaku. Dana sebesar Rp. 200.225.000
dialokasikan untuk pembinaan usaha jasa pariwisata yang bertujuan pula memberikan
pemahaman kepada praktisi usaha jasa pariwisata untuk mematuhi ketentuan yang
berlaku. Pembinaan berupa pelatihan atau sosialisasi diharapkan dapat memperbaiki
kualitas sarana dan jasa pariwisata pascabom Bali.
Program promosi bersama stakeholders juga dilakukan pada tahun 2004 dengan
melakukan promosi dalam dan luar negeri. Alokasi dana untuk promosi ini sebesar
1.935.168.000. Target yang ingin dicapai dalam promosi pariwisata untuk menyebarkan
informasi kepariwisataan untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan. Selain itu
program pelayanan informasi juga dikembangkan untuk mencetak brosur/cd sehingga
tersusun bahan promosi pariwisata yang mudah diterima oleh para wisatawan.
Hubungan antara Disparda dengan stakeholders sejatinya bersifat timbal balik
dengan menjaga keharmonisan keduabelahpihak. Disparda tidak dapat bergerak
mengambil kebijakan sendiri dalam mengambil keputusan seperti pada tragedi bom
Bali. Melainkan secara hirarki birokrasi mengikuti kebijakan dari Pemerintah Pusat dan
institusi terkait lainnya. Kebijakan dari atas tersebut baru dikondisikan sesuai dengan
keadaan yang di terjadi di Bali. Hal ini sering menjadi penghalang Disparda untuk
dapat mengambil langkah yang cepat dalam kondisi darurat. Banyak pertimbangan
yang mesti dipatuhi dan dilakukan untuk memecahkan suatu permasalahan.
Kesulitan Disparda Provinsi Bali bersama Disparda Kabupaten/Kota dalam
merespon permasalahan yang dihadapi industri pariwisata pascabom dapat diselesaikan
dengan interaksi antara keduabelah pihak. Disparda yang terbelit oleh hirarki birokrasi
dapat dibantu oleh stakeholders dengan langsung melobi ke Pemerintah Pusat.
Profesionalisme dalam berbisnis membuka jaringan ke Pemerintah Pusat maupun ke
jaringan bisnis Internasional.
Disinilah tampak bagaimana hegemoni kekuasaan secara praksis memiliki
kekuatan yag sulit dibendung. Tidak ada kekerasan tetapi yang terjadi adalah
keharusan (mungkin pemaksaaan secara halus) bahwa daerah mutlak menuruti
kebijakan dari Pemerintah Pusat. Di sisi lain Otonomi Daerah mengaburkan
pemerintahan di daerah antara Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pada tataran ini kembali
hegemoni lahir dalam wujud yang berbeda sehingga sulit menemukan siapa yang
mengendalikan dan apa yang dikendalikan. Hegemoni adalah penghalusan kekuasaan,
artinya dalam kasus ini perang kekuasaan terjadi tanpa menghasilkan siapa
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 73
Hubungan timbal balik, ini merupakan keterkaitan yang tidak terpisahkan untuk
dapat mewujudkan pariwisata Bali yang maju dan berkesinambungan. Kelemahan
interaksi mungkin terdapat di Disparda Provinsi Bali karena dalam pelaksanaannya
sangat sulit mempersatukan stakeholders dan masyarakat untuk bersatu-padu
menjunjung visi dan misi dalam mewujudkan pariwisata Bali yang sejahtera dan
berkelanjutan. Di sisi lain Disparda Provinsi sering kesulitan membuat suatu
perencanaan dan pengembangan kepariwisataan ke depan karena sistem birokrasi yang
rumit dan keterbatasan pengetahuan untuk melihat pangsa pasar pariwisata serta
kecendrungan pendekatan pemasaran klasik masih digunakan , yaitu mengikuti trend
pasar bukan sebaliknya menciptakan produk pasar yang diyakini dapat menarik angka
kunjungan wisatawan.
Di sisi stakeholders terdapat kesulitan mereka dalam berinteraksi dengan
Disparda Provinsi Bali karena sistem kerja professional sangat berbeda dengan sistem
kerja professional. Ketika stakeholders memiliki ide-ide menarik untuk
mengembangkan pariwisata belum tentu dapat segera di fasilitasi oleh Disparda
Provinsi Bali. Sering stakeholders menganggap Disparda Provinsi Bali lambat dalam
mengambil keputusan sehingga berpengaruh kinerja mereka. Kenyataan ini sulit
dihindari karena paradigma antara birokta dan professional jelas berbeda dan titik
temunya adalah komunikasi yang terbuka diantara kedua komponen untuk menemukan
jalan tengah dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Kesulitan interaksi Disparda Provinsi Bali dengan masyarakat terletak pada
kurangnya sosialisasi Disparda dalam suatu kebijakan pariwisata. Masyarakat sering
merasakan ketidakpahaman mereka terhadap kebijakan-kebijakan atau peraturan yang
dianggap menyulitkan peran mereka dalam menjalankan sector kepariwisataan.
Pembinaan dari Disparda Provinsi Bali untuk secara rutin turun ke lapangan bersama
stakeholders secara berkesinambungan sangat diperlukan. Pembinaan kepada
masyarakat terkait sapta pesona misalnya hamper tidak terdengar gaungnya.
Kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan dan keamanan di objek-objek wisata
masih sangat minim. Kesadaran mereka perlu ditingkatkan dengan sosialisasi dan
pembinaan intensif. Kesulitan Disparda dalam hal ini adalah kurangnya dana yang
dimiliki untuk melaksanakan pembinaan yang intens. Namun kesulitan ini sebenarnya
dapat di cari solusi dengan menggandeng stakeholders untuk bersama-sama
memberikan pembinaan dan support kepada masyarakat tentang apa dan bagaimana
memberikan rasa nyaman bagi wisatawan yang berkunjung ke daerah mereka.
Dari deskripsi diatas, mengutip pandangan Gramsci (Dalam Strinati, 2003 : 195)
bahwa hegemoni sebagai hasil kerja para intelektual atau mereka yang berkompeten
untuk mengajak masyarakatnya untuk mengimbangi kekuasaan pihak luar. Dalam
pengertian ini, diungkapkan bahwa seorang pencipta ide, pelaksana ide maupun
penafsir ide sebagai para intelektual yang terlibat dalam usaha mengukuhkan dan
menentang hegemoni yang ada di dalam institusi masyarakat sipil. interaksi antara
Disparda Provinsi Bali, stakeholders dan masyarakat yang terhegemoni adalah ketiga
komponen dalam situasi yang berbeda. Disparda berusaha menghegemoni stakeholders
dan masyarakat namun tidak memiliki peran yang sentral dalam interaksi karena
minimnya kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki termasuk kemampuan SDM-nya.
Disparda pun akhirnya terhegemoni oleh stakeholders sebagai pemegang korporasi
yang menggerakkan pariwisata di Bali. Belum lagi hegemoni dari Pemerintah Pusat
seperti yang disampaikan pada Bab sebelumnya.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 76
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat disampaikan sebagai rekomendasi sebagai hasil
analisis dari penelitian ini adalah :
1. Penyamaan visi-misi dan pembuatan program kerja terhadap segenap komponen
tentang pentingnya pariwisata Bali dari berbagai aspek untuk mencegah terjadinya
degradasi pendapatan utama masyarakat Bali kedepannya. Tanpa pariwisata Bali
akan kehilangan pendapatan utama masyarakatnya yang akan berpengaruh
terhadap PAD, proses pembangunan sektor lainnya dan kehidupan sosio-kultrual
masyarakat Bali pada umumnya.
2. Perlu menata ulang kembali sistem koordinasi yang disepakati bersama dalam
mewujudkan pariwisata Bali yang berkelanjutan sehingga secara teknis
terdeskripsikan Tupoksi/job description masing-masing komponen dengan
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 77
KEPUSTAKAAN
I Made Sendra
Dosen Fakultas Pariwisata Unud
Abstract
Based on the result of research show that there was the correlation between
speech behaviour of Japanese tourists and their charactersistic, such as, ambiguty,
diffidence, etiquette, courtesy, polite, discipline, perfectionist, unsociable and
inflexible person. The Ambiguity and polite characteristic is often appeared in direct
speech act, indirect speech act, lateral indirect speech act. These kind of speech act
have illocutional meaning and perlocutional meaning; and the expressive function of
courtesy and dissatisfaction. The ambiguity characteristic of Japanese make the
Japanese discourse has ambiguity meaning. The purpose of ambiguity meaning on
Japanese discourse is to keep the harmony of their human relation which is can done
by telling peseudo intention or tatemae.
The discipline, perfectionist, unsociable and inflexible characteristic is
appeared in direct speech act, literal speech act, literal direct speech act, non-literal
indirect speech act. These kind of speech act have locutional meaning, ilocutional
meaning and expressive function of traveling, directive function, commissive
function, representative function and declarative function. Based on these
characteristic the Japanese discourse tend not ambiguity. Because this type of
discourse has the same meaning as the lexical meaning. That is to say that, the
Japanese tourist tell about the real intention or honne.
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bahasa Jepang sebagai sarana untuk berkomunikasi mempunyai dua komponen,
yaitu penutur (Pn) dan petutur (Pt) yang terlibat dan menggunakan bahasa Jepang
sebagai media berkomunikasi. Terdapat hubungan langsung antara pramuwisata (P)
dengan wisatawan Jepang (WJ) dengan menggunkan Bahasa Jepang (BJ) sebagai alat
atau media berkomunikasi. Bahasa sebagai alat ekspresi dapat mengungkapkan aspek-
aspek pikiran, perasaan serta psikomotorik penuturnya (Searle, 1969).
Berkaitan dengan tuturan, dalam tulisan ini akan mendeskripsikan gambaran
prilaku berbahasa (speech behavior) dan memahami sebuah guyub tutur. Guyub tutur
yang dimaksud adalah orang Jepang yang datang ke Bali sebagai wisatawan. Penulis
melihat fenomena yang sangat menarik dalam sikap dan prilaku tuturan WJ ketika PW
memandu mereka yang berbeda dengan wisatawan mancanegara lainnya.
Tuturan ini bisa dilihat dalam hubungan antar personal orang Jepang ketika
mereka sesama wisatawan Jepang yang tidak saling mengenal, menginap pada satu
hotel yang sama, kemudian mereka bertemu di lobby atau di jalan dan mereka jarang
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 80
sekali menyapa dengan memberikan greeting. Demikian juga ketika wisatawan Jepang
sedang berjalan di sebuah obyek wisata, ketika diberikan salam selamat pagi, siang,
sore atau selamat malam, mereka jarang memberikan respon. Wisatawan Jepang
ketika mereka mengalami suatu pengalaman yang tidak menyenangkan, apakah
menyangkut pelayanan yang diberikan oleh staff hotel, pramuwisata, waiter atau
waitress, jarang sekali mengungkapkan complaint mereka secara langsung pada saat
pelayanan itu diberikan dan mereka cendrung diam. Mereka akan mengungkapkan
complaint tersebut ketika sudah pulang ke negaranya lewat travel agent dimana
mereka membeli produk tersebut. Hal ini sangat berbeda dengan kebiasaan wisatawan
Eropa yang akan complaint langsung apa bila mereka tidak puas terhadap pelayanan
yang sudah diberikan.
Cara bertutur wisatawan Jepang seperti ini, memberikan kesan tersendiri bagi
para pelaku pariwisata khususnya pramuwisata, sehingga menimbulkan suatu persepsi
bahwa, wisatawan Jepang terkesan tertutup, sombong, kaku, tidak homoris, tidak
fleksibel, menjaga jarak (enryoo). Berdasarkan persepsi tersebut, penulis ingin
mengkaji lebih dalam mengenai hubungan tuturan dengan persepsi tentang prilaku
berbahasa (speech behavior) WJ. Melalui analisis tuturan ini, penulis bermaksud untuk
mengungkapkan, mendeskripsikan prilaku berbahasa WJ yang memiliki keunikan jika
dibandingkan dengan wisatawan mancanegara lainnya.
Tuturan WJ dalam pemanduan wisata memiliki variasi bentuk, fungsi dan makna
tertentu. Penelitian ini mengungkap tuturan-tuturan tersebut berdasarkan pemakaian
BJ sesuai dengan konteks, situasi penutur dan petutur, serta latar belakang sosial
budaya WJ dan P. Tuturan WJ dan P akan menghasilkan makna yang interpretatif dan
kompleks. Untuk menghindari hal tersebut, penulis melakukan aplikasi terhadap
makna-makna tuturan yang terjadi antara WJ dan P sesuai dengan konteks situasi
tuturannya.
1.3.3 Pramuwisata
Pramuwisata adalah pelaku pariwisata yang bergerak dalam memberikan jasa
pemanduan wisata ketika wisatawan melakukan aktifitas perjalanan wisata (tour).
Pramuwisata yang dimaksud di sini adalah mereka yang sudah mendapatkan pendidikan
oleh Dinas Pariwisata Provinsi Bali untuk menjadi pramuwisata yang memiliki sertifikat
dan lisensi resmi dalam menjalankan tugas dan kewajiban mereka sebagai pemandu
wisata yang terorganisisr dalam wadah Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bali
(Suyitno, 2001:68).
Dalam tuturan di atas (data 2), WJ sebagai petutur (Pt) hanya mengucapkan
’’ee, chotto sono hen made’’, dengan ungkapan seperti ini penuturpun yang
mendengar merasa ambigu karena tidak tahu sampai ke mana petutur akan pergi.
Petutur tidak mengungkapkan dengan jelas ke mana akan pergi. Begitu juga penutur
tidak mendesak petutur untuk memperjelas kemana akan pergi. Hal ini merupakan
ungkapan yang sifatnya basa-basi, sebagai gambaran adanya hubungan keakraban
antara penutur dan petutur. Pertanyaan tersebut diucapkan oleh P yang ada di hotel
kepada WJ yang baru saja dijemput dan check in di sebuah hotel, ketika wisatawan
akan ke luar sebentar, sebagai ungkapan keramah-tamahan kepada wisatawan.
berbicara seperti: Ee.. (data 4 dan 6); juga Ee, atau Hai sou desu ne dan Naruhodo.
Aizuchi dipakai untuk memberikan tanda kepada lawan bicara bahwa pendengar
Aizuchi memperhatikan dan mengerti maksud dari penutur dan memberikan
kesempatan kepada penutur untuk meneruskan pembicaraannnya.
Di dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, jawaban ’’ya’’ bila bersifat
afirmatif dan jawaban ’’tidak’’ bila bersifat negasi (menolak). Di dalam bahasa
Jepang, jawaban ’’ya’’ dan ’’tidak’’ tergantung dari sudut pandang petutur (lawan
berbicara) apakah ia setuju terhadap pertanyaan yang diajukan oleh penutur
(pembicara). Apabila petutur setuju terhadap konten pertanyaan tersebut maka akan
dijawab dengan’’ hai’’ (ya) (data 8 Pt 1) yang berarti menolak (negasi); dan sebaliknya
apabila petutur (lawan berbicara) tidak setuju dengan isi pertanyaan yang dajukan,
maka akan dijawab ’’Iie’’/tidak (data 8 Pt), yang berarti kebalikan dari isi pertanyaan
yang diajukan.
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 85
oleh-oleh dengan harga miring, yang segera dipahami oleh petutur (Pramuwisata),
yaitu membeli dengan harga ada discountnya (bisa ditawar); Tingkah laku yang bersifat
enryou ini, ditandai pula dengan pemenggalan tuturan yang memakai kata penghubung
’’…..node’’, mengandung maksud implisit yang memiliki makna perlokusional agar
petutur mengantarkan penutur ke tempat berbelanja yang murah.
makna lokusi yang sama dengan makna ilokusi yaitu selamat datang. Secara psikologis
tuturan ini menimbulkan makna parlokusi yaitu perasaan dihormati, dihargai ketika
baru tiba di bandara. Secara pragmatik Irasshaimase sebagai tuturan yang sifatnya
basa-basi bermakna kesopanan dalam konteks situasi tutur ketika menyambut WJ di
bandara.
Pada tuturan (data 12) di atas, P menggunakan tuturan halus meninggikan mitra
tutur (WJ) yang dibentuk secara sintaksis dari nomina hormat yaitu menambahkan
awalan o pada nomina (kata benda), seperti o-namae to o-tomari no tokoro wo onegai
shimasu (tolong nama dan tempat anda menginap) sebagai makna lokusi; sedangkan
makna ilokusinya adalah WJ mengatakan atau memberitahu namanya dan tempat atau
hotel ia menginap.
Pada data tuturan (13) P memperkenalkan diri yang secara pragmatik bermakna
kesopanan ketika pertama kali bertemu dengan WJ dengan menyebutkan identitas diri.
Tuturan ini memiliki makna lokusi dan ilokusi yang sama; makna parlokusinya adalah
WJ menjadi tahu nama P yang akan mengantar mereka selama berwisata di Bali. P
menggunakan tuturan bahasa halus merendah (kenjougo), sesuai dengan skala
kesantunan menurut Leech (1993) yaitu adanya jarak peringkat sosial (social rank)
antara P dan WJ; juga sesuai dengan skla kesantunan menurut Brown dan Levinson
(1987) yaitu adanya hubungan asimetris antara P dan WJ karena adanya perbedaan
peringkat kekuasaan (power rating). Semakin jauh jarak peringkat sosial dan peringkat
kekuasaan antara penutur dan mitra tutur, maka akan semakin santunlah tuturan
tersebut. P menggunakan tuturan bahasa halus merendah, seperti Arya to
moushimasu. ~to moushimasu (saya bernama….) secara leksikal bermakna disebut
atau dinamai sebagai bentuk tuturan merendah dari verba iu.
Pada data (14) P menggunakan tuturan halus meninggikan yang secara sintaksis
menggunakan pola o+~masu kudasai pada kalimat ’’shibaraku kochira de o-machi
kudasai’’. Tuturan ini mempunyai makna lokusi dan ilokusi yang sama yang meminta
WJ untuk menunggu sebentar. Modus tuturannya adalah permintaan/permohonan
secara halus dengan konteks situasi tuituran di bandara. Demikian juga pada data (15)
’’kuruma ni o-nori kudasai’’ juga memakai modus permintaan/permohonan yang
mempunyai makna lokusi dan ilokusi yang sama yaitu meminta WJ untuk naik ke mobil.
Pada data (15) ’’O-matase itashimashita’’. P memakai tuturan bahas halus
merendah (kenjougo) yang secara sintaksis dibentuk dari pola kalimat o + ~masu
+shimasu/itashimasu. ’’Matase’’ berasal dari kata matsu (menunggu) dijadikan bentuk
kausatif (shieki) menjadi ’’mataseru’’ yang artinya membuat menunggu, sehingga o-
matase itashimashita mempunyai makna lokusi dan ilokusi yang sama yaitu ’’Maaf
saya telah membuat anda menunggu’’ yang diucapkan oleh P kepada WJ ketika
diminta menunggu mobil yang akan menjemput. Demikian juga pada tuturan ’’Kuruma
ga mairimasu node….…’’data (15), P menggunakan verba halus merendah (kenjougo)
’’mairimasu’’ berasal dari verba ’’kuru’’ yang mempunyai arti leksikal datang. Verba
halus merendah tidak hanya dipakai untuk mengungkapkan atau menuturkan aktifitas
yang dilakukan oleh pelaku (agent) dari suatu perbuatan; tetapi juga untuk
mengungkapkan benda atau berbagai hal yang dimiliki oleh P termasuk perusahaan
tempat ia bekerja yang dikatagorikan sebagai uchi no mono (in group). Oleh karena itu
P menggunakan tuturan halus merendah dalam menuturkan aktifitas datangnya mobil
(milik perusahaan) yang akan menjemput WJ. Dengan demikian dalam tuturan ’’O-
matase itashimashita. Kuruma ga mairimashita node, wasuremono nai you douzo
kuruma ni o-nori kudasai mempunyai makna lokusi meminta maaf telah membuat WJ
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 89
menunggu; dan WJ supaya berhati-hati agar tidak ada barang-barang mereka yang
ketinggalan. Makna parlokusinya adalah memberikan pengaruh secara psikologis
kepada WJ supaya selalu berhati-hati sebelum naik ke mobil untuk menghitung barang-
barang mereka supaya tidak ada yang ketinggalan/hilang.
Dari data (16) dan (17) WJ menggunakan TT langsung literal yang dituturkan
dengan modus dan makna yang sama dengan maksud tuturan. Selain memiliki modus
tuturan yang sama dengan maksud penuturnya, TT langsung literal mempunyai muatan
makna yang sama dengan muatan makna kata-kata yang menyusun tuturan tersebut.
Dalam hal ini WJ ingin mengemukakan pendapatnya tentang kenyataan yang disaksikan
yaitu banyaknya sampah yang menyumbat aliran sungai dan air sungai yang berwarna
sebagai akibat dari pembuangan limbah sembarangan ke sungai
Menurut Wijana (1996:18) menyatakan bahwa tindak ilokusional merupakan
tuturan yang berfungsi, baik untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu
maupun untuk melakukan sesuatu. Pada tuturan (16), WJ bertutur dengan maksud
untuk mengajak supaya memelihara kebersihan lingkungan dengan tidak membuang
sampah dan limbah ke sungai Dilihat dari modus dan makna tuturan (16) di atas, secara
implisit menjelaskan tentang karaktersitik wisatawan Jepang yang sangat disiplin untuk
menjaga dan memelihara lingkungan alam sekitarnya.
Data tuturan (17), WJ bertutur dengan menggunakan jenis TT langsung literal
yang dituturkan dengan modus yang sama dengan maksud tuturan. Dalam hal ini WJ
menegaskan program tour yang sudah dibeli yaitu fullday tour seharian ke Pura
Besakih. Dilihat dari tuturan tersebut memiliki makna perlokusional yang berupa
dampak yang timbul akibat dari sebuah tuturan. Ini berarti makna perlokusional
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 90
dampak atau akibat yang diharapkan dari makna tindak tutur ilokusional. Daya atau
pengaruh TT perlokusinal dapat bersifat sengaja atau tidak disengaja tergantung oleh
cara penutur bertutur.
Dampak atau akibat dari tindak ilokusional tuturan (17) adalah Wisatawan
Jepang sangat menghargai waktu. Mereka selalu tepat waktu dalam setiap program
perjalanan yang sudah dipraktekkan. Makna perlokusionalnya adalah pengaruh atau
efek psikologis terhadap P adalah setiap menjemput WJ harus tepat waktu sesuai
dengan permintaan WJ atau schedule-nya. Hal ini mengindikasikan bahwa WJ sangat
disiplin dalam memanfaatkan waktu libur yang sangat singkat di Bali dengan jadwal
tour yang sangat padat dan perfeksionis.
Data tuturan (18) dan (19) di atas menggunakan modus TT Langsung Tidak
Literal. TT langsung tidak lieteral merupakan TT yang memuat modus tuturan yang
sesuai dengan susunan sintaksis tuturannya, tetapi kata-kata yang menyusunnya
tuturan tersebut tidak memiliki kesesuaian semantik dengan maksud penuturnya. WJ
bertutur secara langsung mengatakan ’’Dame da’’ Doushite komakai otsuri ga kyandii
ni torikaesu no? (Janganlah! Mengapa kembalian recehan saya ditukar dengan permen?
), mengungkapkan kekecewaan, kekesalan, kejengkelan. Maksudnya WJ ingin
mengungkapkan kalau berbelanja di negaranya seberapapun kembalian yang berupa
uang recehan harus dikembalikan dengan uang recehan pula. Tidak boleh ditukar
dengan barang seperti permen. Hal ini menunjukkan bahwa berbelanja di Indonesia
tidak ada perlindungan terhadap hak-hak konsumen; Apakah seandainya pembeli
kekurangan uang ketika berbelanja di Matahari Department Store bisa membayar
dengan permen? Inilah pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh seorang WJ terhadap
P yang mengantarkannya.
Dilihat dari tuturan tersebut memiliki makna perlokusional yang berupa dampak
yang timbul akibat dari sebuah tuturan. Ini berarti makna perlokusional dampak atau
akibat yang diharapkan dari makna tindak tutur ilokusional. Daya atau pengaruh TT
perlokusinal dapat bersifat sengaja atau tidak disengaja tergantung oleh cara oenutur
bertutur. Dampak atau akibat dari tindak ilokusional tuturan (18) di atas, adalah P
ketika mengajak WJ berbelanja harus memberikan penjelasan terlebih dahulu sebelum
Vol. 12 No. 1 Th. 2012, Hal. 91
Wisatawan Eropa seperti terlihat dalam gambar di atas, memiliki inti dalam
(kejiwaan) dengan kulit luar yang mudah ditembus. Oleh karena itu mudah
mengadakan pendekatan terhadap wisatawan Eropa, serta akan menjadi akrab dalam
waktu relatif singkat. Wisatawan Eropa dapat melakukan amae kepada setiap orang,
walaupun barusaja berkenalan. Namun inti dalam (kejiwaan) yang keras serta besar
pada wisatawan Eropa, tidak memungkinkan seseorang membuka dan mengeluarkan
semua beban kejiwaannya. Betapapun dekatnya hubungan wisatawan Eropa, bahkan
suami-istri, hanya sedikit yang dapat menyatakan bahwa mereka dapat memahami satu
sama lainnya.
Perbedaan denngan wisatawan Jepang, cenderung untuk bersikap skeptis
bahkan mengacuhkan orang lain, sebelum mereka dapat menjalin hubungan amae.
Seperti dilihat dalam gambar di atas, wisatawan Jepang memiliki inti dalam (kejiwaan)
yang mudah pecah, dengan dua rintangan luar, yang secara anatomi kejiwaan untuk
menghindari orang yang belum memiliki hubungan amae dengannya. Rintangan yang
pertama tebal dan kuat, dan rintangan yang kedua juga tebal dan terpecah-pecah,
menggambarkan bahwa sangat sulit untuk menumbuhkan amae pada wisatawan
Jepang, dan diperlukan waktu untuk menimbulkan perasaan amae terhadap orang lain
yang baru dikenalnya. Karena itu wisatawan Jepang akan cendrung menjaga jarak
(enryoo) dengan orang yang belum dikenal. Manurut Takeo Doi, apabila wisatawan
Jepang tidak dapat menunjukkan amae-nya yang merupakan unsur utama bagi
perkembangan kepercayaan serta keyakinan terhadap orang lain, akibatnya akan
timbul rasa uramu (dendam), (Boye De Mente, 1986: 18).
3.2 Saran
Penelitian ini merupakan studi pragmatik dikaitkan dengan karakteristik
wisatawan Jepang ketika berlibur di Bali. Diharapkan agar dengan memahami
karakteristik wisatawan Jepang, pramuwisata dapat memberikan pelayanan yang lebih
baik, sesui dengan harapan (ekspektasi) wisatawan. Selain itu, studi ini diharapkan
dapat memberikan motivasi untuk melakukan penelitian yang lebih lanjut terhadap
tingkah laku wisatawan Jepang (tourist behaviour), dilihat dari latar belakang sosial,
budaya dan psikologi.
KEPUSTAKAAN