Anda di halaman 1dari 85

RINGKASAN DISERTASI

SPIRITUAL HEALING DALAM


PARIWISATA BALI: ANALISIS
TENTANG KEUNIKAN,
PENGEMBANGAN, DAN
KONTRIBUSI DALAM PARIWISATA

I GEDE SUTARYA

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016

i
RINGKASAN DISERTASI

SPIRITUAL HEALING DALAM


PARIWISATA BALI: ANALISIS
TENTANG KEUNIKAN,
PENGEMBANGAN, DAN
KONTRIBUSI DALAM PARIWISATA

I GEDE SUTARYA
NIM 1290771005

PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI DOKTOR PARIWISATA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016

ii
SPIRITUAL HEALING DALAM
PARIWISATA BALI: ANALISIS
TENTANG KEUNIKAN,
PENGEMBANGAN, DAN
KONTRIBUSI DALAM PARIWISATA

Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor


pada Program Studi Doktor Pariwisata,
Program Pascasarjana, Universitas Udayana

Dipertahankan di hadapan Rapat Senat Terbuka


Badan Perwakilan Pascasarjana Universitas
Udayana di bawah Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana

Pada hari Rabu, 7 Desember 2016


Pukul: 10.00 Wita - selesai

I GEDE SUTARYA
NIM 1290771005

PROGRAM DOKTOR
PROGRAM STUDI DOKTOR PARIWISATA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016

iii
HALAMAN PERSETUJUAN DISERTASI

Lembar Persetujuan Promotor/Kopromotor

DISERTASI INI TELAH DISETUJUI


PADA TANGGAL 7 DESEMBER 2016

Promotor,
,

Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH.,MS


NIP 19440929 197302 1001

Kopromotor,

Prof.Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt.


NIP 19611205 198603 1004

iv
Disertasi ini telah Diuji pada Ujian Tertutup
Tanggal 21 September 2016
Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana No.: 4546/UN14.4/HK/2016,
Tanggal 14 September 2016

Ketua : Prof. Dr. I Nyoman Sirtha, SH.,MS


Anggota :
1. Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt.
2. Prof. Dr. I Komang Gde Bendesa, M.A.D.E.
3. Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A.
4. Prof. Dr. dr. I Nyoman Adiputra,
MOH., PFK., Sp.Erg.
5. Dr. Ir. Syamsul Alam Paturusi, MSP.
6. Dr. Ir. AAP. Agung Suryawan Wiranatha, MSc.
7. Dr. I Made Suradnya, SE.,M.Sc

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Om Swastyastu,
Puji syukur kepada Ida Sanghyang Widhi
Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan
anugrah sehingga disertasi ini bisa selesai.
Pada kesempatan ini, perkenankan saya
mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. I
Nyoman Sirtha, SH.,MS selaku promotor yang telah
dengan sabar bersedia berdiskusi, dan memberikan
masukan dari tahap gagasan sampai sampai
penulisan disertasi. Terima kasih juga kepada Prof.
Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt selaku
Kopromotor yang telah memberikan banyak
masukan dalam penulisan disertasi, dan dengan
teliti telah mensinkronkan bab demi bab dalam
disertasi ini. Untuk mendiang Dr. I Nyoman
Madiun, M.Sc yang sempat menjadi Kopromotor II
sampai seminar kelayakan naskah disertasi, saya
juga berterima kasih karena pandangan-pandangan
yang komprehensif terhadap berbagai kupasan
teori-teori pariwisata yang ada dalam disertasi ini.
Terima kasih juga atas fasilitas dan bantuannya
kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr.
Ketut Suastika, SpPD-KEMD, Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A.
Raka Sudewi, Sp.S (K), Asisten Direktur I, Prof. Dr.
Made Budiarsa, MA, dan Asisten Direktur II, Prof.
Ir. Made Sudiana Mahendra, MAppsc, Ph.D. Untuk
Ketua Program Studi Doktor Pariwisata, Prof. Dr. I
Komang Gde Bendesa, M.A.D.E dan Sekretaris
Program Studi Doktor Pariwisata, Dr. Ir. AAP.

vi
Agung Suryawan Wiranatha, M.Sc saya ucapkan
terima kasih atas masukan, kritik, saran, dan
fasilitasnya. Terima kasih disampaikan juga kepada
Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A, Prof. Dr. dr. I
Nyoman Adiputra, MOH.,PFK.,Sp.Erg, Dr. Ir.
Syamsul Alam Paturusi, MSP, dan Dr. I Made
Suradnya, SE.,M.Sc selaku penguji yang banyak
memberikan masukan.
Terima kasih juga disampaikan kepada Dirjen
Bimmas Hindu, Prof. I Ketut Widnya,
MA.,M.Fill.,Ph.D, Rektor Institut Hindu Dharma
Negeri (IHDN) Denpasar, Prof. Dr. I Nengah Duija,
M.Si c/q Kementerian Agama RI yang telah
memberikan izin belajar dan kesempatan mengikuti
Sandwich ke KITLV, Leiden pada Oktober sampai
Desember 2014.
Atas inspirasi dan semangat dari mendiang
ayah saya, Drs. I Nyoman Singgin Wikarman saya
juga mengucapkan terima kasih. Terima kasih juga
saya sampaikan kepada ibu saya, Ni Ketut Kantun
dan istri saya, AA.Sagung Sri Darmayanthi, SE
yang telah banyak memberikan semangat dan
dorongan untuk menyelesaikan disertasi ini.
Kepada teman-teman seperjuangan di Program
Doktor Pariwisata, Universitas Udayana, seperti I
Putu Sudana dan I Wayan Duarta, saya juga
mengucapkan terima kasih karena berbagai
diskusinya yang banyak memberikan inspirasi.
Untuk teman-teman sejawat di IHDN Denpasar,
saya juga mengucapkan terima kasih karena
dorongannya yang sangat besar. Ada banyak lagi,
pihak yang membantu yang tak bisa saya sebutkan

vii
satu per satu, untuk itu saya mengucapkan terima
kasih juga.
Semoga Ida Sanghyang Widhi Wasa membalas
semua kebaikan itu.
Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

viii
ix
ABSTRAK

Spiritual Healing dalam Pariwisata Bali:


Analisis Tentang Keunikan,
Pengembangan, dan Kontribusi
dalam Pariwisata
Spiritual healing adalah pembangunan
kesehatan badan, pikiran, dan spirit melalui spiritual
seperti mantra, simbol, energi pernapasan, dan
meditasi. Harapan wisman terhadap spiritual adalah
authenticity (keaslian), tetapi produk-produk
spiritual dari luar Bali mulai banyak dipasarkan
dalam pariwisata Bali. Kesenjangan ini,
memunculkan masalah penelitian yang terdiri dari
keunikan, pengembangan, dan kontribusi spiritual
healing di Bali untuk mewujudkan pariwisata Bali
yang berkelanjutan. Tujuan penelitian tentang
spiritual healing ini adalah mengkaji keunikan,
menganalisis pengembangan, dan merumuskan
kontribusi spiritual healing dalam mewujudkan
pariwisata Bali yang berkelanjutan. Subjek
penelitian ini adalah spiritual healing dalam
pariwisata Bali, sedangkan objek penelitiannya
adalah wisman, healers, agen perjalanan, dan
pemegang kebijakan. Lokasi penelitian ini di
Kawasan Pariwisata Ubud, Gianyar dan Kawasan
Muncan, Karangasem, untuk mewakili dua kawasan
yang berbeda, dari kawasan pariwisata dan non
kawasan pariwisata.

1
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif,
dengan pengumpulan data melalui studi pustaka,
observasi, dan wawancara. Data tersebut dianalisis
secara kualitatif. Masalah-masalah tersebut dibahas
melalui Teori Tourism Products Development untuk
masalah keunikan, Teori Psikoanalisis dan Teori
Tourism Area Life Cycle untuk masalah
pengembangan, dan Teori Pariwisata Berkelanjutan
untuk masalah kontribusi spiritual healing dalam
mewujudkan pariwisata Bali yang berkelanjutan.
Kesenjangan antara harapan tentang authenticity
dan kenyataan tentang produk-produk spiritual
healing dari luar ini belum pernah diteliti sehingga
merupakan penelitian baru.
Keunikan spiritual healing di Bali berbasis
etnis, budaya dan alam. Pola pengembangannya
menggunakan pola gerakan spiritual, pola jalan
tengah, dan pola bisnis murni, yang berbasis
authenticity produk spiritual healing di Bali.
Kontribusi spiritual healing dalam mewujudkan
pariwisata Bali yang berkelanjutan, terletak pada
produk spiritual healing yang berbasis destinasi dan
berorientasi sumber daya dalam destinasi Bali.
Etnis, budaya, dan alam Bali adalah keunikan
spiritual healing di Bali, sehingga
pengembangannya harus berorientasi kepada
destinasi dan sumber daya lokal Bali.
Pengembangan yang berorientasi destinasi dan
sumber daya lokal ini mendukung terwujudnya
pariwisata Bali yang berkelanjutan. Oleh karena itu,
masyarakat Bali disarankan lebih kreatif dalam

2
menggali potensi spiritual healing di Bali untuk
bisa terus dikembangkan dalam pariwisata Bali.

Kata Kunci: Spiritual Healing, Keunikan,


Pengembangan, Kontribusi

3
ABSTRACT

Spiritual Healing in Bali Tourism:


Analysis of Uniqueness, Development, and
Contributions
to Tourism

Spiritual healing is a body, mind, and spirit health


development through spiritual activities such as
chanting mantras, symbol, pranic breathing, and
meditation. Expectations of tourists to the spiritual
are authenticity, but spiritual products from outside
Bali begin to be widely marketed in Bali tourism.
This gap raises issues which consist of unique
research, development, and the contribution of
spiritual healing in Bali to achieve sustainable
tourism in Bali. The research objective is to
examine the spiritual healing uniqueness, to analyze
development, and to formulate contributions of
spiritual healing in realizing sustainable tourism in
Bali. The research subjects were spiritual healing in
Bali tourism, while the research objects were
tourists, healers, travel agents, and policy holders.
The location of this research was Ubud Tourism
Area, Gianyar and Muncan Area, Karangasem, to
represent two different areas, tourism and non-
tourism areas.
This study was a qualitative research, with
data collection through library studies, observations,
and interviews. The data were analyzed
qualitatively. The problems were addressed through
4
the Theory of Tourism Products Development for
the uniqueness problem, Theory of Psychoanalysis
and Theory of Tourism Area Life Cycle for
developmental issues, and the Theory of
Sustainable Tourism for spiritual healing problems
contribution in realizing sustainable tourism in Bali.
The gap between expectations about authenticity
and reality of spiritual healing products from the
outside has not been studied so this is a new study.
The uniqueness of spiritual healing in Bali is
ethnic, cultural, and natural-based. The pattern of
development of spiritual healing used spiritual
movement pattern, the pattern of the middle ground,
and the pattern of pure business, based on spiritual
healing product authenticity in Bali. Contributions
of spiritual healing in realizing sustainable tourism
in Bali lie on the product of spiritual healing and are
based on destination and oriented to resources in
Bali destination. Balinese ethnicity, culture, and
nature are unique to spiritual healing in Bali, so its
development should be oriented to the destination
and Bali local resources. Development oriented to
the destination and local resources supports the
realization of sustainable development of tourism in
Bali. Therefore, the people of Bali are advised to be
more creative in exploring the potential of spiritual
healing in Bali to continue to be developed in Bali
tourism.

Keywords: Spiritual Healing, Uniqueness,


Development, Contributions

5
Ringkasan

Spiritual Healing dalam Pariwisata Bali:


Analisis tentang Keunikan,
Pengembangan, dan Kontribusi dalam
Pariwisata

1.Pendahuluan
Spiritual healing adalah pembangunan
kesehatan badan, pikiran dan spirit yang telah
menjadi pariwisata alternatif yang berskala kecil,
tetapi mampu meningkatkan pendapatan dari
pariwisata dengan menambah lama tinggal, dan
memperbesar pengeluaran wisman. Perbandingan
Indonesia dan India membuktikan bahwa jumlah
kunjungan wisman ke Indonesia yang lebih besar
tidak berbanding lurus dengan pendapatannya,
misalnya pada tahun 2014, Indonesia menerima
kunjungan wisman 9,435 Juta, penerimaannya dari
pariwisata sebesar 9,848 Juta US Dollar. India pada
tahun 2014, menerima kunjungan wisman 7,703
Juta, penerimaannya dari pariwisata adalah 19,700
Juta US Dollar (UNWTO, 2015).
Pariwisata untuk spiritual healing memberikan
sumbangan besar pada pendapatan pariwisata yang
lebih besar ini, sebab lama tinggal wisman untuk
spiritual healing sangat lama, seperti yang yang
terlihat pada penelitian Maddox (2015) yang
menyatakan lama tinggal wisman untuk Yoga
selama satu bulan di Mysore, India. Di Bali,

6
kunjungan wisman untuk spiritual healing
menggunakan waktu tiga minggu untuk wisman
yang melakukan kunjungan kembali, sedangkan
wisman yang pertama kali datang, menggunakan
waktu satu minggu.
Pariwisata untuk spiritual healing
dipromosikan secara luas oleh Novel Eat Pray Love
pada 2006. Beberapa tahun kemudian (2008),
festival Bali Spirit menguatkan posisi Bali sebagai
destinasi spiritual (Kartajaya dan Indro M,
2009:206-207). Promosi luas ini kemudian
menyemarakkan pariwisata dengan tujuan spiritual
healing ke Bali, dengan ditandai pertumbuhan
pelayanan yoga, pengobatan tradisional, dan
Shaking di Bali.
Kawasan Pariwisata Ubud adalah titik sentral
perkembangan ini, dengan perkembangan Yoga
Barn, Radiantly Alive, I Ketut Liyer, Ni Wayan
Nuriasih, Four Season-Sayan, Ubud, Bagus Jati-
Sebatu, Tegallalang, dan yang lainnya. Di luar
Kawasan Pariwisata Ubud ini, Ashram Ratu Bagus
menjadi pusat spiritual healing di bagian timur Bali,
sehingga melengkapi munculnya pelayanan
spiritual healing di berbagai tempat di Karangasem,
seperti di Sidemen, Manggis, dan sekitarnya.
Pencarian wisman terhadap spiritual healing,
berkaitan dengan pencarian terhadap keunikan yang
dalam studi-studi pariwisata berhubungan dengan
pencarian authenticity (Apostolakis, 2003:802).
Cohen (dalam Hall, 2003:287) menyatakan
authenticity dapat diidentifikasi melalui persepsi
wisatawan, dan apa yang disediakan tuan rumah.

7
Karena itu, Apostolakis (2003:801) menyatakan
authenticity dipisahkan menjadi dua yaitu
pengalaman wisatawan (tourist experience) dan
tujuan perjalanan (tour object). Hasil negosiasi
antara kedua pihak itu yaitu wisman dengan tuan
rumah yang wilayahnya menjadi tujuan perjalanan
merupakan authenticity.
Pencarian authenticity sesuai teori-teori
pariwisata tersebut ternyata tidak menjadi
kenyataan di Bali, sebab perkembangan spiritual
healing di Bali, ditandai dengan berdatangannya
jenis spiritual healing dari luar, seperti yang terjadi
di Yoga Barn dan Radiantly Alive. Healers-nya pun
kebanyakan dari luar. Berdasarkan pengamatan,
dari 25 healers yang bekerja di Yoga Barn, Ubud
hanya tiga orang yang berasal dari Bali, sedangkan
sisanya 22 orang berasal dari luar negeri (Yoga
Barn, 2016). Di Radiantly Alive, dari lima healers
yang diperkenalkan hanya satu orang yang berasal
dari Bali (Radiantly Alive, 2016). Dari 25 healers
ini tak satu pun yang mengajarkan healing
tradisional Bali. Kenyataan ini merupakan
kesenjangan dari harapan tentang pencarian
authenticity dan pembangunan pariwisata budaya di
Bali menurut Perda No.2 tahun 2002 yang
menyatakan usaha pariwisata harus bercirikan
budaya Bali, memiliki visi pemeliharaan budaya
Bali, dan berpartisipasi dalam pengembangan
budaya Bali.
Kesenjangan antara harapan dan kenyataan
merupakan masalah baru yang belum pernah
diteliti. Dari kesenjangan antara harapan dan

8
kenyataan tersebut muncul tiga rumusan masalah
dalam penelitian ini yaitu tentang keunikan spiritual
healing di Bali, pengembangan spiritual healing di
Bali, dan kontribusi spiritual healing dalam
pariwisata Bali. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji keunikan spiritual healing di Bali,
menganalisis pengembangan spiritual healing di
Bali, dan merumuskan kontribusi spiritual healing
di Bali dalam mewujudkan pariwisata Bali yang
berkelanjutan.
Masalah-masalah tersebut dibahas melalui
Teori Tourism Products Developmet untuk
menjelaskan keunikan spiritual healing sebagai
pembangun produk pariwisata spiritual healing,
Teori Psikoanalisis untuk menjelaskan pola
pengembangan spiritual healing, Teori Tourism
Area Life Cycle untuk menjelaskan tentang perlunya
diversifikasi produk dalam pola pengembangan
pariwisata Bali pada fase konsolidasi untuk
mencegah kejenuhan (stagnasi), dan Teori
Pariwisata Berkelanjutan untuk menjelaskan
kontribusi spiritual healing dalam mewujudkan
pariwisata Bali yang berkelanjutan dengan melihat
kontribusi spiritual healing pada unsur-unsur
pembangun keberlanjutan, yaitu partisipasi lokal,
ekonomi lokal, dan ketahanan lingkungan.
Berdasarkan beberapa penelitian tentang
spiritual healing di berbagai negara, penelitian ini
menjadi penting sebab meneliti produk yang
berorientasi kepada destinasi dan sumber daya pada
destinasi. Penelitian-penelitian sebelumnya,
meliputi eksplorasi, komodifikasi, motivasi, daya

9
tarik, produk jalan tengah, dan pengembangan
produk. Penelitian tentang produk yang berorientasi
kepada destinasi dan sumber daya pada destinasi,
belum pernah dilakukan, sehingga penelitian
tentang spiritual healing dalam pariwisata Bali ini
merupakan penelitian baru.
Model penelitian ini berangkat dari
perkembangan pariwisata Bali yang memiliki
kecenderungan menjadi pariwisata massal, sehingga
muncul pariwisata alternatif, yaitu wellness tourism
yang memunculkan produk spiritual healing dalam
pariwisata Bali. Dalam pengembangan produk
spiritual healing ini muncul tiga masalah yang lahir
dari kesenjangan harapan dan kenyataan. Masalah-
masalah tersebut adalah tentang keunikan yang
dicari wisman ke Bali untuk spiritual healing
padahal produknya hampir mirip di seluruh dunia,
pengembangan produk spiritual healing di Bali
dalam menghadapi persaingan, dan kontribusi
spiritual healing dalam pariwisata Bali.
Masalah-masalah ini dijelaskan melalui Teori
Tourism Products Development, Psikoanalisis,
Tourism Area Life Cycle, dan Pariwisata
Berkelanjutan. Penelitian ini adalah penelitian
kualitatif, yang pengumpulan datanya melalui studi
pustaka, observasi, dan wawancara. Analisis
datanya menggunakan analisis data kualitatif
melalui klasifikasi data dan interpretasi data. Teknik
penyajiannya bersifat deskriptif melalui penjelasan,
penafsiran, dan penyimpulan.

10
2.Perkembangan Spiritual Healing di Bali
Pencarian wisman terhadap spiritual healing di
Bali mulai pada 1970-1980, sehingga I Ketut
Arsana, Guru Made Sumantra dan yang lainnya
mulai melakukan kegiatan dalam skala kecil di
rumahnya masing-masing dan di hotel-hotel
berbintang berdasarkan undangan pada antara tahun
1970-1980. Pada 1980-1990, kegiatan ini mulai
bertumbuh di rumah-rumah penduduk lokal Bali.
Pertumbuhan ini semakin besar pada 1990 – 2000,
yang mulai berkembang menjadi usaha-usaha yang
lebih profesional. Pada fase 2000-2016 ini,
pertumbuhan spiritual healing sangat pesat,
terutama pasca Novel Eat Pray Love pada 2006.
Pada fase ini tumbuh berbagai pusat-pusat kegiatan
spiritual healing yang mulai sarat modal seperti
Yoga Barn dan Radiantly Alive.
Perkembangan ini juga merambah ke luar
Kawasan Pariwisata Ubud, seperti kawasan Bali
Utara, Jembrana, Karangasem, Bangli, Denpasar,
Badung, dan yang lainnya. Pada penelitian ini
dipilih Kawasan Pariwisata Ubud dan Kawasan
Muncan untuk menjadi perwakilan Bali secara
keseluruhan, sebab kedua kawasan ini telah
mewakili perkembangan di wilayah yang sangat
pesat (Ubud) dan di wilayah yang
perkembangannya masif pada satu ashram yaitu
Ashram Ratu Bagus (Muncan).
Potensi spiritual healing di Bali terletak pada
healers lokal yang disebut dengan Balian Usada,
Balian Kapica, Balian Katakson, Balian Tenung,
dan Balian dengan keahlian khusus (Nala, 2006).

11
Jumlah healers di Bali diperkirakan 1:500
penduduk, atau sekitar 8.316 healers yang tersebar
di desa-desa (McCauley, 1984). Dari teknik-teknik
pengobatan yang ada pada healers lokal tersebut
hanya urut weteng, tenung, malukat, bayu suci, dan
kanda pat yang berkembang dalam pariwisata Bali.
Perkembangan spiritual healing di Bali, didominasi
oleh perkembangan spiritual healing dari luar
negeri seperti holictic healing dan ayurweda. Yoga,
termasuk spiritual healing yang paling populer di
dunia, sehingga semua teknik spiritual healing
disebutkan Yoga, padahal Yoga memiliki batasan-
batasan yang jelas dari asana, pranayama sampai
samadhi (pencapaian meditasi).
Perkembangan spiritual healing dalam dunia
pariwisata Bali merupakan modifikasi dari bentuk-
bentuk aslinya, seperti Asana menjadi senam,
Pranayama menjadi pernapasan, Dyana menjadi
meditasi, Tantra menjadi holistic healing, Usada
menjadi Balinese Holistic Healing, Tenung menjadi
Balinese Astrology, Bayu Suci menjadi Shaking, dan
Malukat menjadi Goddess Within atau Bathing
Ritual. Modifikasi terjadi melalui campur tangan
orang luar negeri seperti Margareth yang
memodifikasi pengobatan Kanda Pat dan Usada Ni
Wayan Nuriasih, dengan pengetahuan pengobatan
herbal modern. Seorang wisman asal Italia juga
memodifikasi Bayu Suci dari Ashram Ratu Bagus
menjadi Shaking yang sesuai dengan perkembangan
dunia.
Modifikasi yang merupakan hasil dialog orang
luar negeri dengan healers Bali ini masih

12
mempertahankan bentuk-bentuk aslinya, yaitu
ritual. Modifikasi ini juga masih mempertahankan
healers lokal sebagai ujung tombak dalam
pengembangan spiritual healing Bali, seperti yang
terjadi pada Ashram Ratu Bagus dan Ni Wayan
Nuriasih, tetapi modifikasi telah menambah
beberapa hal yang tidak ada dalam tradisi Bali,
seperti bentuk latihan dan prosesi tertentu yang
penting bagi kesehatan, misalnya penggunaan air
garam dan pengetahuan herbal pada pengobatan
Kanda Pat dari Ni Wayan Nuriasih.
Kegiatan spiritual healing dalam pariwisata
Bali ini, berkembang secara alami di Bali.
Pemerintah di Bali baru-baru saja menyadari
perkembangan produk spiritual healing ini. Dari
semua kegiatan spiritual healing tersebut, hanya
sebagian kecil yang terdata pemerintah. Pemkab
Gianyar baru mendata sepuluh kegiatan di Kawasan
Pariwisata Ubud. Pemkab Karangasem belum
melakukan pendataan, sehingga tidak memiliki data
jumlah usaha spiritual healing di wilayah
Kabupaten Karangasem tersebut. Secara faktual,
Karangasem memiliki tempat spiritual healing yang
cukup ramai di Desa Muncan, Kecamatan Selat,
Karangasem, yaitu Ashram Ratu Bagus. Wilayah-
wilayah lainnya di Sidemen, Manggis, dan
Candidasa juga sudah mulai berkembang usaha-
usaha spiritual healing.

3.Keunikan Spiritual Healing di Bali


Keunikan spiritual healing di Bali dapat
diklasifikasikan secara tangible dan intangible.

13
Secara tangible dapat dilihat dari penampilan
spiritual healing yang berupa eko-spiritual healing
menampilkan keunikan lingkungan alam seperti
Yoga Barn dan Radianly Alive. Penampilan
budaya-spiritual healing menampilkan keunikan
ritual dan daya dukung budaya Bali. Penampilan
eko-budaya spiritual healing menampilkan
keunikan tradisi ashram dan lingkungan ashram.
Penampilan konstruksi eko-budaya spiritual healing
menampilkan keunikan lingkungan dan budaya
hasil konstruksi seperti produk spiritual healing
mandi di sungai yang merupakan perkembangan
dari tradisi malukat.
Secara intangible, keunikan-keunikan ini
terbangun dari pengetahuan healers dan
pengalaman wisman. Pengetahuan healers yang
mampu membantu kesembuhan stress, penanganan
HIV/AIDS, membangkitkan cakra, dan
menghubungkan wisman dengan energi alam
merupakan keunikan-keunikan spiritual healing di
Bali. Pengalaman wisman yang berupa perasaan
gembira, hilangnya kekhawatiran, perubahan
prilaku, pikiran yang lebih fokus, kebangkitan diri,
dan munculnya perasaan kasih sayang merupakan
keunikan-keunikan setelah menikmati pengalaman
melakukan spiritual healing di Bali.
Keunikan-keunikan ini lahir dari hubungan
wisman dengan guru, komunitas ashram, dan
lingkungan ashram. Keunikan ini mendorong
wisman melakukan kunjungan kembali, sebab
pengalaman tentang kegembiraan dan ketenangan
biasanya bersifat sementara. Ketika wisman

14
kembali bersentuhan dengan kehidupan sehari-hari,
kegembiraan dan ketenangan tersebut hilang
kembali. Perasaan-perasaan yang seperti
kekhawatiran dan emosi akan kembali. Keinginan
untuk mendapatkan pengalaman yang pernah
dirasakan ini berupa kegembiraan dan ketenangan,
membuat wisman rindu untuk melakukan
kunjungan kembali.
Keinginan untuk melakukan kunjungan
kembali tersebut terbukti dari Ashram Ratu Bagus
dan Ashram Munivara. Di Ashram Ratu Bagus,
wisman yang sudah merasakan Shaking kembali
lagi untuk kunjungan dalam waktu yang lebih lama
untuk tinggal di ashram tersebut. Pada kunjungan
awal, wisman menggunakan waktu satu minggu.
Pada kunjungan berikutnya, waktu kunjungan
menjadi tiga minggu. Di Ashram Munivara, wisman
yang sudah merasakan manisnya pengalaman
spiritual bersama Arsana biasanya kembali untuk
merasakannya lagi dengan tinggal lebih lama di
Ashram Munivara. Kunjungan kembali itu terjadi
karena ketenangan kehidupan dalam ashram
merupakan pencapaian sementara. Jika wisman
kembali kepada kegiatan rutinitas, pengaruh-
pengaruh negatif karena pekerjaan akan membuat
pikirannya tidak stabil lagi. Keadaan tidak stabil ini
membuat wisman rindu untuk kembali kepada
kehidupan ashram yang tenang.
Keunikan-keunikan ini diidentifikasi
berdasarkan faktor-faktor yang menjadi daya tarik
pariwisata (Mill dan Morrison, 2012) yaitu faktor
etnis, budaya, dan alam. Keunikan yang muncul

15
dari eko-spiritual healing terjadi karena faktor
alam, keunikan yang muncul dari budaya-spiritual
healing terjadi karena faktor budaya dan etnis,
keunikan eko-budaya spiritual healing terjadi
karena faktor etnis, budaya dan alam, serta
keunikan konstruksi eko-budaya terjadi karena
faktor alam. Keunikan tangible ini merupakan
explicit intangible dari pencarian terhadap keunikan
intangible yang salah satu contohnya adalah
ketenangan.
Alam, budaya, dan etnis menjadi faktor-faktor
yang membangun keunikan spiritual healing di
Bali. Alam, budaya, dan etnis merupakan faktor-
faktor yang membangun kesehatan dan ketenangan.
Karena itu, core produk pariwisata spiritual healing
di Bali, adalah kesehatan dan ketenangan yang
menjadi kebutuhan dasar setiap manusia. Tangible
produk spiritual healing adalah ashram, healers,
dan tempat-tempat kegiatan spiritual healing, serta
augmented-nya adalah etnis dan budaya asli Bali
yang melahirkan keunikan-keunikan spiritual
healing di Bali.
Augmented products spiritual healing di Bali
ini menjadi pembeda bagi produk spiritual healing
di Bali. Pembeda ini merupakan kekuatan Bali
dalam memasarkan produk spiritual healing pada
pasar pariwisata dunia, sebab produk spiritual
healing di Bali memiliki kekhususan yang
berlatarbelakang etnis dan budaya. Karena itu,
kekhususan etnis dan budaya ini harus dijaga untuk
pengembangan produk pariwisata spiritual healing
di Bali dalam menghadapi persaingan.

16
4.Bisnis Spiritual Healing di Bali
Pengembangan spiritual healing di Bali
terbangun ke dalam pola gerakan spiritual, jalan
tengah, dan bisnis murni. Pola gerakan spiritual
adalah pola pengembangan spiritual healing yang
menggunakan pembangunan jaringan murid-murid
dan jaringan kerja di luar negeri, seperti yang
dilakukan Ashram Ratu Bagus, Agus Indra
Udayana, dan Ambar Ashram. Pola jalan tengah
adalah pola pengembangan yang menggunakan
jaringan murid-murid dan jejaring bisnis pariwisata,
seperti dikembangkan Ashram Munivara, I Ketut
Liyer, Ni Wayan Nuriasih. Pola bisnis murni adalah
pola pengembangan spiritual healing yang
pengembangannya melalui jejaring bisnis
pariwisata, seperti yang dikembangkan Yoga Barn,
Radiantly Alive, Four Seasons, dan Bagus Jati.
Pola pengembangan bisnis spiritual healing ini
dikembangkan untuk diversifikasi produk
pariwisata Bali, sebab pariwisata Bali berdasarkan
kunjungan wisman yang terus meningkat telah
mencapai fase konsolidasi. Pada fase konsolidasi,
pariwisata Bali memerlukan diversifikasi produk
agar tidak mengalami kejenuhan (stagnasi), sebab
kejenuhan ini akan mempercepat penurunan jumlah
kunjungan wisman sesuai Teori Tourism Area Life
Cycle. Penurunan (decline) ini bisa berbahaya bagi
pengembangan destinasi pada masa-masa
berikutnya.
Untuk memperlambat proses kejenuhan ini,
diversifikasi produk harus dilakukan dengan

17
membangun produk baru. Spiritual healing
merupakan salah satu produk baru yang bisa
digunakan sebagai produk diversifikasi setelah
produk-produk budaya lainnya menghadapi
masalah, seperti lukisan, patung, dan kerajinan
tangan. Diversifikasi produk pariwisata spiritual
healing ini dilakukan melalui pembangunan produk
yang memperhatikan keotentikan produk, dengan
menampilkan guru dari masyarakat asli Bali dan
mencari akar-akar budaya dari produk-produk
spiritual healing yang telah berkembang seperti
Yoga.
Pencarian akar-akar budaya Bali terhadap
produk-produk spiritual healing yang telah
berkembang pesat dilakukan Guru Made Sumantra
yang mencarikan akar Yoga dalam tradisi Bali
sehingga Sumantra mengembangkan Bali Yoga. I
Ketut Arsana juga menggali unsur-unsur Tantra
yang asli Bali untuk mengembangkan produk
spiritual healingnya yang bernama Kundalini
Tantra Yoga. Ashram Ratu Bagus juga melakukan
penggalian ini dengan mengembangkan
kepercayaan asli terhadap Wanara Petak, yang
berkembang menjadi Shaking.
Pembangunan keotentikan dengan menggali
akar-akar budaya ini diikuti pembangunan pasar
baru melalui biro perjalanan, jejaring hotel, dan
internet, tetapi pembangunan pasar baru melalui
murid-murid dan jaringan murid-murid yang
membangun tempat kegiatan di luar negeri
merupakan usaha yang paling dominan
mendatangkan wisman, sebab wisman yang datang

18
adalah wisman yang sudah pernah merasakan
spiritual healing tersebut di negara asalnya.
Pengembangan melalui murid-murid dan
jaringan murid-murid di luar negeri, sangat efektif
berlangsung di Ashram Ratu Bagus. Pengembangan
ashram ini melalui murid-murid dan jaringan murid-
murid di luar negeri. Jejaring hotel dan biro
perjalanan ikut memasarkan produk spiritual
healing di Ashram Ratu Bagus, tetapi sepi peminat.
Ashram Gandhi di Pakse Bali juga sempat
dipromosikan salah satu agen perjalanan, tetapi juga
sepi peminat. Karena itu, pengembangan spiritual
healing ini berlangsung sangat masif dengan
jaringan murid-murid dan jaringan kerja di luar
negari. Jaringan murid-murid Ashram Ratu Bagus
yang terus melebar ke 46 negara ini telah membuat
Ashram Ratu Bagus terus menambah fasilitas
ashram, mulai dari kamar sampai villa-villa baru.
Ashram Munivara di Ubud menggunakan
penggabungan jaringan murid-murid dan jejaring
hotel-biro perjalanan, tetapi ashram yang terletak di
Junjungan-Ubud ini lebih banyak menggunakan
promosi melalui murid-murid dan jaringan
kerjanya. Rombongan wisman melalui jaringan biro
perjalanan dan hotel juga datang ke ashram ini,
tetapi biasanya ditampung di hotel Omham Retreat.
Wisman yang serius untuk menjadi murid spiritual
baru mendapatkan tempat di Ashram Munivara.
Karena itu, Ashram Munivara ini menggunakan
pola pengembangan jalan tengah yaitu
pengembangan melalui penggabungan jaringan
murid-murid dan jejaring bisnis pariwisata.

19
Pengembangan dengan bisnis murni dilakukan
dominan melalui jaringan biro perjalanan, hotel, dan
internet. Pengembangan pola bisnis murni ini tidak
mengandalkan guru dan komunitas ashram,
sehingga tidak memiliki murid-murid dan jaringan.
Pengembangan pola bisnis murni hanya menjaring
wisman yang memiliki minat untuk mengikuti
spiritual healing yang berada di lokasi tersebut.
Pola ini dikembangkan Yoga Barn, Radiantly Alive,
Four Seasons-Sayan dan Bagus Jati-Sebatu.
Oleh karena itu, pola pengembangan spiritual
healing dapat dilakukan dalam rangka diversifikasi
produk pariwisata Bali, melalui pengembangan
keotentikan dengan mencari akar-akar budaya
spiritual healing dan pasar baru melalui jaringan
murid-murid. Pengembangan keotentikan dapat
dilakukan dengan menguatkan guru-guru asli Bali
(healers), ashram dan masyarakat Bali sebagai
sumber daripada guru dan budaya spiritual.
Pengembangan pasar baru dapat dilakukan dengan
pembangunan jaringan dan murid-murid di luar
negeri. Jaringan dan murid-murid ini akan
mengembangkan pasar produk spiritual healing di
luar negeri. Pola-pola pengembangan pasar baru ini
telah dilakukan untuk mendatangkan wisman ke
ashram-ashram di Bali.
Pengembangan spiritual healing menjadi
produk pariwisata menghadapi persaingan di rumah
sendiri (Bali) dengan masuknya spiritual healing
dari luar negeri ke Bali serta dengan destinasi
lainnya yang mengembangkan produk sejenis
seperti Thailand, India, Afrika dan Amerika.

20
Thailand misalnya telah mengembangkan meditasi.
India telah mengembangkan Yoga dan Ayurweda.
Afrika mengembangkan pengobatan tradisional
Sangoma dan Amerika juga mengembangkan
pengobatan tradisional Ayahuascha.
Dalam menghadapi persaingan ini, sertifikasi
internasional menjadi sangat diperlukan. Healers
lokal dan pemerintah belum menggarap sertifikasi
internasional ini. Sertifikasi internasional ini bisa
menjadi kendala dalam menghadapi persaingan,
sebab produk-produk pariwisata selalu dikaitkan
dengan sertifikasi untuk membangun produk yang
terjamin keamanannya bagi wisman. Sertifikasi juga
menjamin tentang keamanan produk untuk
dikonsumsi wisman.
Sampai tahun 2016 ini, sertifikasi internasional
dilakukan pihak-pihak dari luar negeri yang
melakukan kegiatan teacher training di Yoga Barn,
Ubud. Orang-orang lokal yang mengikuti kegiatan
teacher training ini mendapatkan sertifikat
internasional, sehingga bisa melakukan praktek di
seluruh dunia. Ketergantungan kepada pihak-pihak
dari luar negeri ini harus segera dikurangi. Guru
Made Sumantra misalnya telah berusaha
mengurangi ketergantungan ini dengan melatih
guru-guru yoga lokal, tetapi sertifikat yang
dikeluarkannya belum berstandar internasional.
Usaha-usaha seperti yang dilakukan Sumantra harus
didorong maju untuk menjadi bersertifikasi
internasional.
Oleh karena itu, healers senior dan pemerintah
harus melakukan kerjasama untuk mewujudkan

21
sertifikasi internasional bagi healers lokal di Bali.
Sertifikasi ini penting untuk menjamin produk
pariwisata Bali yang terjaga kualitasnya dan aman
bagi wisman. Jaminan produk dan keamanan
merupakan langkah-langkah yang perlu dilakukan
untuk menjamin keberlangsung produk spiritual
healing dalam pariwisata Bali.

5.Kontribusi Spiritual Healing terhadap


Pariwisata Bali
Kontribusi spiritual healing terhadap pariwisata
Bali dilihat dari peran spiritual healing dalam
mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan. Dalam
mewujudkan pariwisata berkelanjutan, terdapat tiga
tujuan yang harus terpenuhi yaitu membangun
partisipasi masyarakat lokal sehingga produk
berbasis lokal, memberikan kontribusi besar kepada
ekonomi lokal, dan menjaga ketahanan lingkungan
alam. Ketiga tujuan ini merupakan pilar utama
untuk mewujudkan pembangunan pariwisata Bali
yang berkelanjutan.
Spiritual healing merupakan bentuk pencarian
authenticity sehingga kelokalannya menjadi sangat
tinggi. Produk yang memiliki tingkat kelokalan
yang sangat tinggi cenderung untuk memberikan
kontribusi yang tinggi terhadap ekonomi lokal.
Kontribusi yang tinggi terhadap ekonomi lokal ini
biasanya diikuti kewajiban untuk menjaga
lingkungan sekitar yang menjadi harapan dari
pertumbuhan spiritual healing di Bali.
Produk untuk mewujudkan pariwisata Bali
yang berkelanjutan tersebut ternyata tertuju kepada

22
spiritual healing sebab produk ini yang berbasis
partisipasi lokal, ekonomi lokal, dan menjaga
ketahanan lingkungan. Produk yang berbasis lokal
ini dapat dilihat dari ketergantungan spiritual
healing terhadap pengetahuan lokal dan aset-aset
orang lokal. Karena itu, produk spiritual healing
berorientasi kepada sumber daya dalam destinasi.
Pengetahuan orang lokal terhadap Shaking,
Kundalini Tantra Yoga, Pengobatan Tradisional
Bali, dan Astrologi Bali menjadi kunci utama dari
pengembangan spiritual healing. Aset-aset lokal
pada tempat-tempat malukat seperti yang berlokasi
di Sebatu, Gianyar adalah aset-aset yang harus
dikerjasamakan jika pariwisata massal ingin
bermain pada tempat itu. Karena itu, partisipasi
masyarakat lokal sangat besar dalam pengembangan
spiritual healing. Wisman juga sangat menyukai
suasana dengan orang-orang lokal yang dianggap
sebagai masyarakat spiritual asli. Karena itu, produk
spiritual healing ini sangat berbasis lokal.
Produk yang berbasis lokal, merupakan produk
yang membuka kesempatan kerja dan peluang usaha
bagi masyarakat lokal. Karena itu, sebagai produk
yang berbasiskan lokal maka produk ini sangat
berperan dalam pembangunan ekonomi lokal. Peran
untuk ekonomi lokal ini muncul dari keperluan
bahan-bahan dan sumber daya lokal dalam
pengembangan spiritual healing. Contoh yang
paling nyata adalah bahan-bahan makanan yang
digunakan untuk wisman yang mengikuti spiritual
healing sebagian besar merupakan bahan-bahan
lokal, seperti beras, sayuran, ikan, dan ayam.

23
Bahan-bahan luar (impor) sangat sedikit, terutama
pada lingkungan ashram. Pada kasus di Yoga Barn,
makanan India dan Eropa masih tersedia, tetapi
bahan-bahan lokal masih mendominasi mulai dari
minuman kunyir sampai sayuran.
Penggunaan bahan-bahan lokal ini memberikan
manfaat ikutan untuk para petani sayuran lokal.
Manfaat ekonomi lainnya adalah terbukanya
kesempatan kerja baru dan peluang usaha baru.
Kesempatan kerja baru muncul pada hotel-hotel
berbintang, hotel melati, dan tempat-tempat usaha
spiritual healing untuk menjadi guru yoga. Peluang
usaha baru muncul pada healers lokal untuk
mengembangkan usaha menjadi lebih luas lagi.
Arsana misalnya adalah healers yang telah berhasil
menggunakan peluang ini, sehingga sudah memiliki
usaha hotel Omham Retreat.
Peluang usaha baru ini juga muncul pada
industri rumah tangga untuk membuat kerajinan
lokal sebagai cenderamata. Peluang usaha
cenderamata ini tampak di Ashram Ratu Bagus
yang mana warga sekitar ashram membuat koperasi
untuk menjual buku-buku dan cenderamata di
Ashram Ratu Bagus. Karena itu, spiritual healing
memberikan manfaat langsung kepada hotel,
ashram, healers, dan tempat kegiatan spiritual
healing berupa pendapatan. Manfaat tidak langsung
didapatkan tenaga kerja dan pedagang lokal
penyedia bahan-bahan makan lokal. Manfaat
ikutannya adalah untuk petani yang menanam dan
menjual sayur-sayuran. Karena itu, manfaat
ekonominya memiliki multiplyer effect.

24
Tempat-tempat untuk spiritual healing
memerlukan lingkungan alam yang baik, sehingga
menjadi kewajiban bagi setiap penyedia jasa
spiritual healing untuk memelihara lingkungan
sekitar. Hampir pada setiap ashram, hotel, dan
tempat kegiatan spiritual healing memiliki pola
pengelolaan sampah. Pola pengelolaan sampahnya
ada yang partisipatif dengan wisman seperti yang
dilakukan Ashram Ratu Bagus yang mengajak
wisman untuk melakukan kebersihan secara
bersama-sama. Yoga Barn juga memiliki program
kebersihan dan penghijauan yang mengajak wisman
untuk berpartisipasi, dengan melakukan kegiatan di
luar Ubud.
Radiantly Alive, Four Seasons-Sayan, Ubud,
dan Bagus Jati-Sebatu, Tegallalang juga sangat
tergantung kepada alam sekitar untuk membangun
ketenangan. Radiantly Alive sangat tergantung
dengan suasana hijau dan alami di dekat pusat
kegiatannya di Ubud, Gianyar. Four Season, Sayan,
Ubud sangat tergentung dengan suasana Sungai
Ayung yang rimbun dan alami. Bagus Jati-Sebatu
tergantung kepada kerimbunan lembah Sungai Wos
yang hijau dan alami. Karena itu, usaha-usaha
spiritual healing ini berusaha untuk memelihara
lingkungan sekitarnya dengan baik agar suasana
tempat kegiatannya ini mengandung unsur-unsur
ketenangan yang muncul dari alam. Karena itu,
memelihara ketahanan lingkungan sekitar menjadi
kewajiban bagi penyedia jasa spiritual healing ini.
Berdasarkan fakta-fakta tentang produk
spiritual healing yang berbasiskan partisipasi lokal,

25
ekonomi lokal, dan ketahanan lingkungan ini, maka
spiritual healing berkontribusi dalam mewujudkan
pariwisata yang berkelanjutan. Kontribusi spiritual
healing yang seperti ini menunjukkan bahwa
produk ini layak untuk dikembangkan, untuk
mendukung pariwisata Bali yang berkelanjutan.

6.Simpulan, Temuan, dan Saran


Keunikan spiritual healing di Bali
diklasifikasikan secara tangible dan intangible.
Secara tangible dapat dilihat dari penampilannya,
sedangkan dari segi intangible dapat dilihat dari
pengetahuan healers dan pengalaman wisman.
Keunikan pada penampilan spiritual healing
terletak pada lingkungan alam, budaya ritual, tradisi
ashram, lingkungan hasil konstruksi, dan kontruksi
budaya lokal. Keunikan pada pengalaman wisman
terletak pada hubungan wisman dengan guru,
komunitas, dan lingkungan ashram, yang
membangun ketenangan dan kebahagiaan.
Ketenangan dan kebahagiaan ini menimbulkan
keinginan wisman untuk kembali sebab ketenangan
dan kebahagiaan yang didapatkan tersebut hanya
bersifat sementara. Hubungan kembali dengan
aktivitas rutin akan mengembalikan kekhawatiran
dan emosi yang semula. Karena itu, wisman
biasanya rindu untuk melakukan kunjungan
kembali.
Pola pengembangan spiritual healing di Bali
adalah pola gerakan spiritual yang
pengembangannya melalui murid-murid, jalan
tengah yang pengembangannya melalui murid-

26
murid dan jejaring bisnis pariwisata, dan bisnis
murni yang pengembangannya melalui jejaring
bisnis pariwisata. Pengembangan spiritual healing
yang ideal melalui pembangunan keotentikan
produk dan pengembangan pasar baru melalui
jaringan murid-murid. Pengembangan keotentikan
dapat dilakukan melalui penguatan guru-guru
(healers) asli, ashram, dan masyarakat asli yang
menjadi sumber guru-guru asli (healers asli).
Pengembangan pasar baru dapat dilakukan dengan
pembangunan jaringan dan murid-murid di luar
negeri. Pengembangan ini memiliki kendala
sertifikasi internasional untuk menghadapi
persaingan yang semakin besar.
Kontribusi spiritual healing terhadap pariwisata
Bali terlihat dari produk spiritual healing yang
memenuhi unsur-unsur untuk mewujudkan
pariwisata Bali yang berkelanjutan. Unsur-unsur
produk yang mewujudkan pariwisata Bali yang
berkelanjutan itu adalah pertama, produk yang
berbasiskan partisipasi lokal berupa pengetahuan
lokal dan aset-aset lokal. Kedua, sebagai produk
yang berbasiskan partisipasi lokal, spiritual healing
sangat mendukung ekonomi lokal dari segi
penggunaan bahan-bahan lokal. Ketiga, spiritual
healing juga merupakan produk yang tergantung
kepada lingkungan alam sekitarnya, sehingga
memiliki kecenderungan kuat untuk menjaga
ketahanan lingkungan.
Penelitian ini telah mencakup ruang lingkup
tentang unsur-unsur yang menentukan keunikan
spiritual healing Bali, pola-pola pengembangan

27
spiritual healing, dan kontribusi spiritual healing
dalam mewujudkan pembangunan pariwisata Bali
yang berkelanjutan. Akan tetapi, penelitian ini
belum mengukur keefektifan unsur-unsur
pembangun keunikan dan pola pengembangan
produk dalam meningkatkan kunjungan wisman dan
pendapatan dari wisman yang datang ke Bali.
Penelitian ini juga belum mengukur hal-hal yang
paling signifikan yang berpengaruh terhadap
pembangunan pariwisata Bali yang berkualitas. Hal-
hal yang belum tercakup dalam penelitian ini dapat
dilanjutkan pada penelitian-penelitian lainnya.
Penelitian ini juga telah mencakup usaha untuk
menemukan produk yang berorientasi kepada
destinasi dan sumber daya yang berbasis kepada
destinasi tersebut (Cooper, 2012:101). Dari ruang
lingkup penelitian tersebut, dihasilkan tiga temuan.
Pertama, bahwa hubungan wisman dengan guru
asli, komunitas ashram yang asli, dan lingkungan
ashram merupakan unsur-unsur yang membuat
wisman merasakan ketenangan dan kebahagiaan.
Perasaan ini bersifat sementara, sehingga unsur-
unsur ini yang mengundang wisman melakukan
kunjungan kembali. Temuan hubungan antara
wisman dengan guru asli, komunitas ashram asli,
dan lingkungan ashram melengkapi penelitian
sebelumnya (Lalonde, 2012; Maddox, 2015;
Schedneck, 2014) yang belum mengungkapkan
tentang apa yang membuat wisman merasakan
ketenangan, dan kebahagiaan.
Kedua, dalam penelitian tentang spiritual
healing dalam pariwisata Bali ini, telah ditemukan

28
bahwa ashram-ashram di Bali memiliki basis
pengembangan pasar baru melalui pembangunan
murid-murid dan jaringan di luar negeri. Temuan
pengembangan pasar baru ini telah menguatkan
sebuah wacana arus balik dari pariwisata, yaitu
persebaran budaya-budaya lokal ke negara wisman
dan penghargaan terhadap budaya-budaya lokal.
Pembangunan jaringan melalui murid-murid ini
merupakan temuan yang melengkapi penelitian
Ramstedt (2008) yang mengungkapkan bahwa pada
tahun 1960-an, persebaran Neo-Hindu didanai
pengusaha India ke Eropa dan Amerika, tetapi pada
penelitian spiritual healing di Bali ini ditemukan
bahwa pembangunan jaringan spiritual healing Bali
di luar negeri didanai dari pariwisata.
Ketiga, penelitian ini telah menemukan bahwa
spiritual healing berperan dalam diversifikasi
produk pariwisata Bali, dari perannya untuk
membangun pariwisata Bali yang berkelanjutan,
karena ketergantungan produk ini terhadap
partisipasi lokal yang menguasai aset-aset spiritual
healing dan lingkungan alam sekitarnya.
Ketergantungan ini membangun ekonomi lokal
secara keseluruhan. Karena itu, penelitian ini telah
menemukan bahwa produk spiritual healing
berperan besar dalam mewujudkan pembangunan
pariwisata Bali yang berkelanjutan.
Spiritual healing Bali dalam perkembangannya
memiliki banyak saingan dari berbagai produk
sejenis yang masuk ke Bali dan berada di luar Bali.
Saingan di Bali adalah masuknya produk sejenis ke
Bali. Saingan di luar Bali adalah pengembangan

29
produk-produk spiritual healing pada destinasi-
destinasi di luar Bali, seperti Thailand, India dan
Afrika Selatan. Karena itu, perlu ada usaha-usaha
sadar untuk membangun spiritual healing di Bali ini
sebagai upaya untuk mendukung diversifikasi
produk pariwisata Bali dalam rangka peningkatan
kualitas dan kreativitas masyarakat Bali.
Usaha-usaha sadar yang perlu dilakukan ada
tiga hal. Pertama, healers senior (guru spiritual) di
Bali perlu merumuskan standar-standar spiritual
healing di Bali, yang bisa digunakan untuk
memberikan sertifikat kepada healers lokal yang
sedang bertumbuh, sehingga healers lokal memiliki
keunggulan. Kedua, pemerintah perlu melakukan
inisiatif untuk segera merumuskan standar-standar
sertifikasi bersama healers lokal, untuk menjamin
keamanan wisman dan masyarakat lokal yang
menggunakan jasa healers. Ketiga, potensi spiritual
healing di Bali masih banyak yang belum tergali,
padahal permintaan yang lahir dari pesona agama,
seni, dan alam Bali sangat besar. Karena itu,
masyarakat Bali perlu lebih kreatif lagi untuk
mengembangkan produk spiritual healing sehingga
bisa memberikan kontribusi bagi keberlanjutan
pembangunan pariwisata Bali.

30
Summary

Spiritual Healing in Bali Tourism: An analysis of


uniqueness, development and contributions to
tourism

1.Introduction
Spiritual healing is a body, mind, and spirit
health development that has become a small-scale
alternative tourism, but it is able to increase
revenues from tourism by increasing the length of
stay, and increase spending of foreign tourists.
Comparison of Indonesia and India proves that the
bigger number of foreign tourists visiting Indonesia
is not directly proportional to its income; for
example, in 2014, Indonesia received 9.435 million
foreign tourists visit, revenues from tourism
amounted to 9.848 Million US Dollars. India in
2014 received 7.703 million foreign tourists visit,
revenue from tourism was 19.700 Million US
Dollars (UNWTO, 2015).
Spiritual healing tourism contributes greatly to
the tourism revenue, because the length of stay of
foreign tourists for spiritual healing is longer, as
seen in the study by Maddox (2015) which states
that the length of stay of foreign tourists to do yoga
spend a month in Mysore, India. In Bali, the tourist
visit for spiritual healing uses three weeks for
foreign tourists who make a return visit, while
foreign tourists who make first visit use only one
week.

31
Tourism for spiritual healing is widely
promoted by the novel Eat Pray Love in 2006. A
few years later (2008), Bali Spirit festival
strengthens the position of Bali as a spiritual
destination (Kartajaya and Indro M, 2009: 206-
207). This wide promotion then enlivens tourism
with the aim of spiritual healing to Bali, marked by
the growth of yoga services, traditional medicine,
and Shaking in Bali.
Ubud tourism area is the central point of this
development, the development of the Yoga Barn,
Radiantly Alive, I Ketut Liyer, Ni Wayan Nuriasih,
Four Season-Sayan, Ubud, Bagus Jati-Sebatu,
Tegallalang, and others. Outside this Ubud Tourism
Area, Ratu Bagus Ashram becomes the center of
spiritual healing in the eastern part of Bali, thus
completing the emergence of spiritual healing
services in various places in Karangasem, such as in
Sidemen, Manggis, and surrounding areas.
Search of tourists for spiritual healing is
associated with the search for uniqueness which in
the study of tourism is linked to the search for
authenticity (Apostolakis, 2003: 802). Cohen (in
Hall, 2003: 287) states authenticity can be identified
through the perception of tourists, and what is
provided by the host. Therefore, Apostolakis (2003:
801) states authenticity is separated into two: the
tourist experience and travel destination (tour
object). Outcome of the negotiations i.e. between
foreign tourists and a host whose territory becomes
travel destination is authenticity.

32
Search for authenticity in accordance with
tourism theories does not become a reality in Bali,
because healing spiritual development in Bali is
characterized by the emergence of the kind of
spiritual healing from outside, as happens at the
Yoga Barn and Radiantly Alive. The healers are
mostly from outside. Based on the observations of
the 25 healers who work at the Yoga Barn, Ubud
only three people come from Bali, while the
remaining 22 are from abroad (Yoga Barn, 2016).
In Radiantly Alive, of the five healers introduced,
only one person comes from Bali (Radiantly Alive,
2016). Of the 25 healers, not one of them teaches
traditional Balinese healing. This fact is a gap of
expectations about the search for authenticity and
development of cultural tourism in Bali according
to the Government Regulation No. 2 of 2002 which
states that tourism business must be characterized
by the culture of Bali, having a vision of
preservation of Balinese culture, and participating
in the development of Balinese culture.
The gap between expectations and reality is a
new problem that has not been investigated. Of the
gap between expectation and reality, there appear
three formulations of the problem in this study; they
are the uniqueness of spiritual healing in Bali, the
development of spiritual healing in Bali, and the
contribution of spiritual healing to Bali tourism.
This research aimed to study the uniqueness of
spiritual healing in Bali, analyze the development of
spiritual healing in Bali, and formulate

33
contributions spiritual healing to Bali in realizing
sustainable tourism.
The problems are addressed through the Theory
of Tourism Products Developmet to explain the
uniqueness of spiritual healing as a builder of
tourism products of spiritual healing, theory of
psychoanalysis to explain the pattern of
development of spiritual healing, Theory of
Tourism Area Life Cycle to explain about the need
for product diversification in tourism development
pattern of Bali in a consolidation phase to prevent
saturation (stagnation), and the Theory of
sustainable tourism to explain the contribution of
spiritual healing in realizing sustainable tourism in
Bali by looking at the contribution of spiritual
healing to the elements of sustainability builders,
namely local participation, local economies, and
environmental resilience.
Based on several studies on spiritual healing in
various countries, this study is important because it
researches products oriented to the destination and
resources on the destination. Previous studies,
including exploration, commodification, motivation,
attraction, middle road products, and product
development. Research on the destination-oriented
products and resources on destinations has never
been done; so the study of spiritual healing in Bali
tourism is a new research.
The research model departs from the
development of tourism in Bali which has a
tendency to be mass tourism, so there emerges an
alternative tourism, i.e. wellness tourism that brings

34
products of spiritual healing in Bali tourism. In
product spiritual healing development there occur
three issues coming from the gap of expectations
and reality. Those problems are about the
uniqueness sought by foreign tourists to Bali for
spiritual healing whereas the product is similar
around the world, the development of spiritual
healing products in the Bali in the face of
competition, and the contribution of spiritual
healing to Bali tourism.
These problems are explained through the
theory of Tourism Products Development,
Psychoanalysis, Tourism Area Life Cycle and
Sustainable Tourism. This study is a qualitative
research and the data collection was through library
study, observation, and interviews. Analysis of data
used qualitative data analysis through data
classification and data interpretation. Presentation
technique was a descriptive through explanations,
interpretations, and conclusions.

2.Development of Spiritual Healing in Bali


Searches of the spiritual healing by foreign
tourists in Bali started in 1970-1980, so I Ketut
Arsana, Guru Made Sumantra and others started
their activities on a small scale in their homes and at
five-star hotels by invitation between 1970 and
1980. Since 1980-1990, efforts have begun to grow
in the homes of Balinese local residents. This
growth was growing higher in 1990 - 2000, which
began to develop into more professional businesses.
In the phase of 2000-2016, the growth of spiritual

35
healing was very rapid, especially after the
publication of the novel Eat Pray Love in 2006. In
this phase, a variety of activity centers of spiritual
healing have grown and required full of capital such
as Yoga Barn Radiantly Alive.
This development also spreads to the outside
Ubud Tourism Area, such as North Bali, Jembrana,
Karangasem, Bangli, Denpasar, Badung, and others.
In the current study Ubud Tourism Area and
Muncan Area are used to be representative of Bali
as a whole, because both of these areas have
represented in the areas which have a very rapid
progress (Ubud) and in the area whose development
is massive at an ashram i.e. Ratu Bagus Ashram
(Muncan).
Spiritual healing potential in Bali lies on the
local healers called Balian Usada, Balian Kapica,
Balian Katakson, Balian Tenung, and Balian with
special expertise (Nala, 2006). The number of
healers in Bali estimated to be 1: 500 people, or
about 8316 healers scattered in the villages
(McCauley, 1984). Techniques of treatment that
exist on the local healers are urut weteng, tenung,
malukat, bayu suci, and kanda pat. Spiritual healing
development in Bali is dominated by the
development of spiritual healing from abroad like
holictic healing and Ayurveda. Yoga, categorized as
the most popular spiritual healing in the world, so
that all the techniques of spiritual healing are called
yoga, but yoga has obvious limitations of asana,
pranayama until samadhi (attainment of
meditation).

36
The development of spiritual healing in the
world of tourism in Bali is a modification of the
forms of the original, such as Asana modified into
gymnastics, Pranayama into breathing, Dyana into
meditation, Tantra into holistic healing, Usada into
Balinese Holistic Healing, Tenung into Balinese
Astrology, Bayu Suci into Shaking, and Malukat
into the Goddess Within or Bathing Ritual.
Modification occurs through the influence of
foreign people like Margaret are modifying Kanda
Pat treatment and Usada of Ni Wayan Nuriasih with
the knowledge of modern herbal medicine. A tourist
from Italy also modifies Bayu Suci of Ratu Bagus
Ashram became Shaking in accordance with the
development of the world treatment.
The modification which is the result of the
dialogue of foreign healers with Balinese healers
still retains their original forms, namely ritual. This
modification also still retain healers locally as the
spearhead in the development of Balinese spiritual
healing, as happens in the Ashram of Ratu Bagus
and Ni Wayan Nuriasih, but modifications have to
add some things that do not exist in the Balinese
tradition, such as the form of exercise and
processions of particular importance to health, such
as the use of salt water and herbal knowledge on the
treatment of Kanda Pat of Ni Wayan Nuriasih.
Spiritual healing activities in Balinese tourism
grow naturally in Bali. Governments in Bali
recently realized development of the spiritual
healing products. Of all the activities of spiritual
healing, only a small part is recorded by the

37
government. Gianyar regency has recorded ten
activities in Ubud Tourism Area. Karangasem
regency has not yet recorded any data of them, so it
does not have data on the number of spiritual
healing businesses in the regency of Karangasem.
Factually, Karangasem has a place of spiritual
healing which is quite crowded in Muncan village,
District of Selat, Karangasem, namely Ratu Bagus
Ashram. Other areas such as Sidemen, Manggis and
Candidasa also begin to develop spiritual healing
businesses.

3.The Uniqueness of Spiritual Healing in Bali


The uniqueness of spiritual healing in Bali can
be classified as tangible and intangible. Tangibly, it
can be seen from the appearance of spiritual healing
in the form of eco-spiritual healing to show the
uniqueness of the natural environment such as the
Yoga Barn and Radianly Alive. Appearance of
cultural-spiritual healing is to show the uniqueness
rituals and Balinese culture carrying capacity. Eco-
cultural spiritual healing performances feature
unique traditions of ashram and ashram
environment. Appearance construction of eco-
cultural spiritual healing feature a unique
environmental and cultural construction results such
as the product of spiritual healing by bathing in the
river which is the development of malukat tradition.
Intangibly, the uniqueness is built from the
healers’ knowledge awakened and experience of
foreign tourists. Healers’ knowledge is able to help
cure stress, HIV/AIDS treatment, cleanse the

38
chakras, and connect tourists with a natural energy
which constitute healing spiritual uniqueness in
Bali. The experience of foreign tourists in the form
of feelings of joy, loss of anxiety, behavioral
changes, more focused mind, the rise of self, and a
sense of compassion is the uniqueness after
enjoying the experience of doing spiritual healing in
Bali.
This uniqueness comes from the relationship of
foreign tourists with teachers, ashram community,
and ashram environment. This uniqueness
encourages tourists to visit again, because the
experience of joy and tranquility are usually
temporary. When tourists come back in contact with
daily life, joy and serenity it disappears again.
Feelings such as fear and emotion will be back. The
desire to gain this experience that has ever been felt
is in the form of excitement and tranquility, making
tourists long for making a return visit.
The desire to make a return visit is evident
from Ratu Bagus Ashram and Munivara Ashram. At
Ashram Ratu Bagus, tourists who have felt Shaking
are back again to visit within a longer time to stay at
the ashram. At the initial visit, tourists spend one
week. On subsequent visits, time of visits extends to
three weeks. At Munivara Ashram, tourists who
have tasted the sweetness of spiritual experience
along Arsana usually go back to taste it again with a
longer stay in the Munivara Ashram. A return visit
was due to the tranquility of life in the ashram is a
temporary achievement. If tourists come back to the
normal routine, negative influences because of the

39
work will make the mind more unstable. The
unstable state is to make tourists long for returning
to the quiet life of the ashram.
This uniqueness is identified based on the
factors that become a tourist attraction (Mill and
Morrison, 2012) which is a factor of ethnicity,
culture, and nature. The uniqueness arising from
eco-spiritual healing occurs due to natural factors,
the uniqueness that emerges from the cultural-
spiritual healing occurs due to cultural factors and
ethnicity; unique eco-cultural spiritual healing
which occurs because of ethnicity, culture and
nature, and the uniqueness of the construction of
eco-cultural happening is due to natural factors.
Tangible uniqueness is an explicit intangible of
intangible search to the uniqueness of which one
example is the quietness.
Nature, culture, and ethnicity are the main
factors that establish the uniqueness of spiritual
healing in Bali. Nature, culture, and ethnicity are
factors that build health and peace. Therefore, the
core tourism spiritual healing products in Bali, is a
health and tranquility which become the basic needs
of every human being. Tangible product of spiritual
healing is the ashram, healers, and places of
spiritual healing activities, as well as its augmented
values are its ethnicness and native Balinese culture
that give birth to the uniqueness of spiritual healing
in Bali.
Augmented products of spiritual healing in Bali
become a differentiator for spiritual healing product
in Bali. This differentiator is the power of Bali in

40
marketing the products of spiritual healing in the
world of tourism market, because the products of
spiritual healing in Bali have specific ethnic and
cultural backgrounds. Therefore, ethnic and cultural
specificities must be maintained for the
development of tourism products in the Bali
spiritual healing in the face of competition.

4.Business of Spiritual Healing in Bali


The development of spiritual healing in Bali is
built into the spiritual movement pattern, the middle
ground, and the pure business. Spiritual movement
pattern is the pattern of development of spiritual
healing that uses the discipleship network building
and working network abroad, as done by the
Ashram Ratu Bagus, Agus Indra Udayana, and
Ambar Ashram. The pattern of the middle ground is
a development pattern that uses a network of
disciples and tourism business networks, such as the
one developed by Ashram Munivara, I Ketut Liyer,
and Ni Wayan Nuriasih. Pure business pattern is the
pattern of development of spiritual healing that is
developed through a network of tourism businesses,
such as those developed by Yoga Barn, Radiantly
Alive, Four Seasons, and Bagus Jati.
This pattern of business development of
spiritual healing was developed for Bali tourism
product diversification because Bali tourism based
on increasing foreign tourists’ visit has reached a
phase of consolidation. In the consolidation phase,
Bali tourism requires diversified products so as not
to undergo saturation (stagnation), because this

41
saturation will accelerate the decline in the number
of foreign tourists’ visit in accordance with Tourism
Area Life Cycle Theory. The decline can be
dangerous for destination development in
subsequent periods.
To slow this saturation process, product
diversification should be done by building a new
product. Spiritual healing is one of the new products
that can be used as product diversification after
other cultural products face problems, such as
paintings, sculptures, and crafts. Diversification of
tourism products of spiritual healing is done
through the development of products that pay
attention to the authenticity of the product by
presenting gurus of the indigenous people of Bali
and search for cultural roots of spiritual healing
products that have been developed such as Yoga.
Search for roots of Balinese culture to the
products of spiritual healing that has been growing
rapidly is conducted by Guru Made Sumantra that
finds the roots of Yoga in the Balinese tradition so
Sumantra develops Bali Yoga. A figure by the name
of I Ketut Arsana also explores the elements of the
Balinese original Tantra to develop his spiritual
healing product named Kundalini Tantra Yoga.
Ratu Bagus Ashram also does this exploration to
develop a genuine trust in Vanara Petak, which
evolves into Shaking.
Development of authenticity by exploring the
cultural roots is followed by the development of
new markets through a travel agency, hotel
networking, and the internet, but the development

42
of new markets through the disciples and
discipleship networking which build activities
abroad is a business is the most dominant business
to bring foreign tourists for foreign tourists who
come are tourists who have felt the spiritual healing
in his home country.
The development through disciples and
discipleship networking abroad effectively takes
place in Ratu Bagus Ashram. The development of
this ashram is through disciples and discipleship
networking abroad. Hotel networking and travel
agency market the products of spiritual healing in
the Ashram Ratu Bagus, but results in a very few
enthusiasts. Gandhi Ashram in Pakse Bali has also
been promoted by a travel agent, but also resulted in
a very few enthusiasts. Therefore, the development
of spiritual healing is going to be very massive with
a dicipleship network and working networks
abroad. Discipleship network in Ratu Bagus
Ashram which is ever-widening to 46 countries has
made Ratu Bagus Ashram continue to expand its
facilities, ranging from rooms to new villas.
Munivara Ashram in Ubud uses a convergence
of discipleship networking and hotel-travel agency
networking, but this ashram which is located in
Junjungan Ubud uses its promotion more through
its disciples and working networks. The delegation
of tourists through a network of travel agencies and
hotels have also come to this ashram, but usually
accommodated in the hotel Omham Retreat.
Tourists who are serious to become the new
spiritual disciples get their place in the Munivara

43
Ashram. Therefore, this Munivara Ashram uses a
development pattern that is developing a middle
way through the convergence discipleship
networking and tourism business networking.
Pure business development is predominantly
done through a network of travel agencies, hotels
and internet. The development of this pure business
pattern does not rely on gurus and ashram
community, so it has no disciples and network.
Development of pure business patterns encompass
only tourists who have an interest to follow the
spiritual healing that is in that location. This pattern
is developed by Yoga Barn, Radiantly Alive, Four
Seasons-Sayan and Bagus Jati-Sebatu.
Therefore, the development pattern of spiritual
healing can be done in order to diversify tourism
products in Bali through the development of the
authenticity of the search for cultural roots of
spiritual healing and new markets through a
network of disciples. Development can be done to
strengthen the authenticity of the gurus of native
Balinese (healers), the ashram and the Balinese
people as a source rather than a guru and spiritual
culture. New market development can be done with
the network and disciples abroad. Networks and
these disciples will develop spiritual healing
product markets abroad. The patterns of this new
market development have been done to bring
tourists to the ashrams in Bali.
Spiritual healing development into tourism
products faces competition in their own homes
(Bali) with the inclusion of spiritual healing from

44
abroad to Bali as well as to other destinations which
are developing similar products such as Thailand,
India, Africa and the Americas. Thailand for
instance has developed a meditation. India has
developed Yoga and Ayurveda. African traditional
medicine Sangoma develops and America is also
developing traditional medicine Ayahuascha.
In the face of this competition, international
certifications have become indispensable. Local
healers and the government have not been working
on this international certification. This international
certification could be an obstacle in the face of
competition because tourism products have always
been associated with the certification to build
products that guarantees safety for tourists.
Certification also ensures product safety for
consumption by foreign tourists.
Until 2016, the international certification is
made by parties from abroad who are conducting
teacher training at Yoga Barn, Ubud. The local
people who participate in the teacher training are to
get an international certificate, so they can practice
all over the world. Dependence on the parties from
abroad must be reduced. Guru Made Sumantra, for
example, has been trying to reduce this dependence
by training local yoga teachers, but the certificate
that is issued is not of an international standard.
Such efforts made by Sumantra should be
encouraged to make the training internationally
certified.
Therefore, senior healers and the government
should cooperate to achieve international

45
certifications for local healers in Bali. This
certification is important to ensure the Bali tourism
product keep its standard quality and safe for
tourists. Product guarantees and security are the
steps that need to be made to ensure the
sustainability of spiritual healing products in the
Bali tourism.

5.Contribution of Spiritual Healing to Bali


Tourism
Contributions of spiritual healing to the Bali
tourism are seen from spiritual healing role in
realizing sustainable tourism. In realizing
sustainable tourism, there are three objectives that
must be met, they are to build the participation of
local communities so that the products are local-
based, a major contribution to the local economy,
and maintain the resilience of the natural
environment. The third main pillar of this goal is to
achieve sustainable development of Bali tourism.
Spiritual healing is a form of the search of
authenticity so its locality becomes very high.
Products that have a very high level of localities
tend to give a higher contribution to the local
economy. High contribution to the local economy is
usually followed by an obligation to preserve the
surrounding environment which becomes the
expectations of growth of spiritual healing in Bali.
Products to achieve sustainable tourism in Bali
apparently drawn point to spiritual healing because
these products are based on local participation, local
economy, and maintain environmental

46
sustainability. This locally-based product can be
seen from spiritual healing reliance on local
knowledge and assets of local people. Therefore,
spiritual healing product is oriented to the resource
within a destination. The knowledge of local people
about Shaking, Kundalini Tantra Yoga, Balinese
Traditional Medicine and Balinese Astrology is the
key factor of the development of spiritual healing.
Local assets in malukat places such as the one
located in Sebatu, Gianyar are assets that should be
cooperated with if mass tourism wants to play at
that place. Therefore, the participation of local
people is very large in the development of spiritual
healing. Tourists also really like the atmosphere
with local people regarded as genuine spiritual
community. Therefore, spiritual healing product is
very locally based.
The products based locally are products that
open job opportunities and business opportunities
for local communities. Therefore, as the products
are based locally then they are very involved in
local economic development. The role for the local
economy is emerging from the requirement for
materials and local resources in the development of
spiritual healing. The most obvious example is the
ingredients that are used by tourists who follow the
spiritual healing are mostly local ingredients, such
as rice, vegetables, fish, and chicken. Materials
coming from abroad (imported) are very little,
especially in the ashram environment. In the case of
Yoga Barn, Indian and European food is still

47
available, but local materials still dominate ranging
from kunyir drinks to vegetables.
The use of local materials can give side benefits
to the local vegetable farmers. Other economic
benefits are opening up new employment
opportunities and new business opportunities. New
employment opportunities arise at the luxury hotels,
budget hotels, and places of spiritual healing
businesses to become a yoga teacher. New business
opportunities are emerging at the local healers to
develop a business more widely. Arsana, for
example, is a healer who has successfully used this
opportunity, so he already has a business hotel
Omham Retreat.
New business opportunities have also emerged
on the domestic industry to make local handicrafts
as souvenirs. This gift business opportunity appears
at Ratu Bagus Ashram in which people around the
ashram set up a cooperative to sell books and
souvenirs at Ratu Bagus Ashram. Therefore, the
spiritual healing gives a direct benefit to hotels,
ashrams, healers, and spiritual healing activities in
the form of revenue. Indirect benefits obtained labor
and local merchants provider eat local ingredients.
The side benefits are for farmers who grow and sell
vegetables. Therefore, the economic benefits have a
multiplier effect.
Places for spiritual healing require a good
natural environment, so that they become an
obligation for every spiritual healing service
providers to preserve the environment. Almost in
every ashram, hotel, and activities of spiritual

48
healing has a pattern of waste management. The
pattern of waste management involves participation
of tourists as is done by Ratu Bagus Ashram which
invites tourists to do cleanliness together. Yoga
Barn also has a cleanliness and greening program
that invites tourists to participate, to engage in
activities outside Ubud.
Radiantly Alive, Four Seasons-Sayan, Ubud,
and Bagus Jati-Sebatu, Tegallalang are also highly
dependent on the natural surroundings to build
tranquility. Radiantly Alive depends on the
radiantly green and natural atmosphere near the
center of its activities in Ubud, Gianyar. Four-
Season Sayan, Ubud quite depends on Ayung River
with lush and natural atmosphere. Bagus Jati-Sebatu
depends on the shade of the Wos River valley
which is green and natural. Therefore, the business
of spiritual healing is trying to preserve the
surrounding environment well so that the
atmosphere of the place of these activities contains
peace elements that emerged from the nature.
Therefore, maintaining the resilience of the
surrounding environment is an obligation for
service providers of spiritual healing.
Based on the facts about spiritual healing
products based on local participation, local
economies, and environmental sustainability, then
the spiritual healing contributes to realizing
sustainable tourism. Contributions spiritual healing
like this indicates that this product deserves to be
developed, to support sustainable tourism in Bali.

49
6.Conclusions, Findings, and Suggestions
The uniqueness of spiritual healing in Bali is
classified as tangible and intangible. Tangibly it can
be seen from its performances, whereas in terms of
intangible healers can be seen from the knowledge
and experience of tourists. The uniqueness of the
appearance of spiritual healing lies in the natural
environment, cultural rituals, traditions of ashram,
outcomes of environment construction, and
construction of local culture. The uniqueness of the
experience lies in the relation of foreign tourists
with teachers, community, and ashram environment,
which establish tranquility and happiness.
Tranquility and happiness raise the desire of tourists
to come back because the tranquility and happiness
obtained are only temporary. Reconnecting with
regular activity will restore the original concerns
and emotions. Therefore, tourists usually long for
making a return visit.
The pattern of development of spiritual healing
in Bali is a spiritual movement pattern that is
developed through disciples, middle path whose
development is through the disciple and the tourism
business networking, and business development
through pure tourism business networking.
Development of an ideal spiritual healing is through
the authenticity of the product development and the
development of new markets through a network of
disciples. Development of authenticity can be done
through the strengthening of native teachers
(healers), ashrams, and the indigenous people are
the source of the native healers. New market

50
development can be done through the network
development and students abroad. This
development has obstacles of international
certification for the face increasingly large
competions.
Contributions of spiritual healing to the Bali
tourism can be seen from spiritual healing products
that meet the elements to achieve sustainable
tourism in Bali. The elements of the product that
embodies sustainable tourism in Bali are first, the
products are based on local participation in the form
of local knowledge and local assets. Second, as the
products based on local participation, spiritual
healing is very supportive of the local economy in
terms of the use of local ingredients. Third, spiritual
healing is also a product that depends on the
surrounding natural environment, so it has a strong
tendency to maintain environmental sustainability.
This study has covered the scope of the
elements that determine the uniqueness of Balinese
spiritual healing, development of spiritual healing
patterns, spiritual healing and contribution to
realizing the sustainable development of tourism in
Bali. However, this research has not measured the
effectiveness of uniqueness building elements and
patterns of product development to improve
tourists’ visits and revenue from foreign tourists
coming to Bali. The study has not measured things
that have the most significant influence on the
development of quality tourism in Bali. Things that
have not been covered in this research can be
continued in other studies.

51
This research also has included efforts to find a
product that is oriented to the destination and
resource-based to these destinations (Cooper, 2012:
101). From the scope of the study, three findings are
produced. First, that the relationship between
tourists and native teachers, original ashram
community, and ashram environment are the
elements that make tourists feel the tranquility and
happiness. These feelings are temporary, so these
elements that invite tourists to make a return visit.
The findings of the relationship between tourists
and native teachers, original ashram community,
and the ashram environment complements previous
studies (Lalonde, 2012; Maddox, 2015; Schedneck,
2014) which has not been revealed about what
makes tourists feel the calmness and happiness.
Second, in the study of spiritual healing in Bali
tourism, it has been found that the ashrams in Bali
have a basis for the development of new markets
through the development of disciples and overseas
network. The discovery of this new market
development has strengthened a reverse flow of the
discourse of tourism, namely the distribution of the
local cultures of foreign tourists to the country and
respect for local cultures. Network development
through these disciples are finding that
complements the research by Ramstedt (2008),
which revealed that in the 1960s, the spread of Neo-
Hindu was funded by Indian businessmen to Europe
and America, but the study of spiritual healing in
Bali finds that the development of spiritual healing

52
networks of Balinese abroad is funded from
tourism.
Third, this study has found that spiritual healing
has a role in the diversification of Balinese tourism
products, on its role to build a sustainable tourism in
Bali, because of the dependency of these products
to the participation of local control of the assets of
spiritual healing and the surrounding natural
environment. This dependence builds the local
economy as a whole. Therefore, this study has
found that spiritual healing products play a major
role in realizing the sustainable development of
tourism in Bali.
Balinese spiritual healing, in the development,
has a lot of rivals from a wide range of similar
products that go to Bali and outside Bali. The rival
in Bali is the entry of similar products to Bali.
Rivals outside Bali are the development of spiritual
healing products on destinations outside Bali, such
as Thailand, India and South Africa. Therefore,
there should be conscious efforts to build spiritual
healing in Bali as an effort to support the
diversification of tourism products in Bali in order
to improve the quality and creativity of the people
of Bali.
There are three conscious efforts that need to be
done. First, senior healers (spiritual teacher) in Bali
need to formulate standards of spiritual healing in
Bali, which can be used to grant certificates to
growing local healers, so the local healers have
advantages. Second, the government needs to take
the initiative to immediately formulate certification

53
standards together with local healers, to ensure the
safety of tourists and local people who use the
services of healers. Third, many potentials for
spiritual healing in Bali are still untapped, while the
demand born of the charm of religion, art, and
nature of Bali is very large. Therefore, the people of
Bali need to be more creative to develop spiritual
healing products that can contribute to a sustainable
development of tourism in Bali.

54
DAFTAR PUSTAKA

Aldridge. 1993. Does Research Evidence Exist for


Spritual Healing. The Journal of Mind-Body
Health. 9 (4):1-21.
Antara. 2011. Bali Deklarasikan Hari Vegan
Organik Dunia. (Berita).
m.antaranews.com/berita/251595/bali-
deklarasikan-hari-vegan-organik. Diakses 19
Juli 2016.
Apostolakis, Alexandros. 2003. The Convergence
Process in Heritage Tourism. Annal of Tourism
Research. 30 (4): 795-812
Ariawan, Putu Alex. 2009. Daya Tarik Utama
Ashram Ratu Bagus sebagai Tujuan Pariwisata
Spiritual dan Manfaatnya terhadap Wisatawan
Mancanegara di Desa Muncan, Kecamatan
Selat, Kabupaten Karangasem. (Tesis).
Denpasar: Universitas Udayana.
Arida, Sukma. 2008. Krisis Lingkungan Bali.
Jurnal Ekonomi dan Sosial INPUT. 1 (2).
ojs.unud.ac.id.
Bagus Jati. 2016. Bagus Jati-Health Wellbeing
Resort in Bali.
http://www.bagusjati.com/Yoga.php#tabs-2.
Diakses 29 Februari 2016.
Bank Indonesia Provinsi Bali. 2015. Kajian
Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Bali
55
Triwulan II Tahun 2015. Denpasar: Bank
Indonesia Provinsi Bali.
Bappenas. 2009. Data dan Informasi Kebudayaan,
Pariwisata, Pemuda, dan Olah Raga. Jakarta:
Bappenas.
Begum, Shaik Shahazadi. 2013. Medical and
Wellness Tourism: Opportunities and
Challenges-Marketing ‘Brand India’. Research
Journal of Management Sciences. 2 (1).
Binsbergen, Wim Van. 1999. We are in this for the
money. (Paper). Amsterdam: International
Conference Commodification and Identities.
Biro Pusat Statistik. 2016. Statistik Indonesia. BPS
(Online). (Dikutip pada 29 Maret 2016)
available from www.bps.go.id.
Boekstein. 2012. Revitalising The Healing
Tradition-Health Tourism Potential of Thermal
Springs in the Western Cape. (Thesis). Cape
Town: Cape Paninsula University of
Technology.
Bookman, Milica Z and Karla R Bookman. 2007.
Medical Tourism in Developing Countries,
England: Palgrave Macmillan.
BPS Bali. 2014. Bali dalam Angka 2013. Badan
Pusat Statistik Provinsi Bali (online). (Dikutip
pada 11 September 2014) available from
www.baliprov.bps.go.id.
56
Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif.
Jakarta: Kencana.
Bungin, Burhan. 2013. Metodelogi Penelitian Sosial
& Ekonomi. Jakarta: Kencana.
Bunten, Alexis Celeste. 2010. More like Ourselves:
Indegenous Capitalism through Tourism.
American Indian Quarterly. 34 (3): 285-311.
Butler, R.W. 2011. Contemporary Tourism
Reviews. Woodeaton: Goodfellow Publishers
Limited
(http://www.goodfellowpublishers.com).
Candee, Helen Churchill. 1927. New Journeys in
Old Asia. New York: Frederick A Stokes
Company MCM XXVII.
Carey, Simon dkk. 2012. Capital City Museums and
Tourism Flows: an Empirical Study of the
Museum of New Zealand Te Papa Tongarewa.
International Journal of Tourism Research,
_____
Carney, Gerald T. 2007. From Ashram to Condo.
Southeasth Review of Asian Studies. 29:137-
156.
Carrette, Jeremy R. 1999. Agama, Seksualitas dan
Kebudayaan, Esai Kuliah, dan Wawancara
Terpilih Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.

57
Chawdhri, Dr.L.R. 2003. Rahasia Yantra, Mantra,
& Tantra (Terj. Gede Sanjaya). Surabaya:
Paramita.
Chen, Shu-Chuan. 2004. Self Healing in a Spiritual
Millieu in Contemporary Taiwan-the Case of
the New Age Group, The “Course in Light”.
Taiwan: The International Association of
Historians of Asia 18th Conference-Academia,
Sinica.
Cobuild, Collins. 1997. English Distionary.
London: HarperCollinsPublisher.
Cohen. 2003. The Price of Everything, The Value of
Nothing: Reframing the Commodification
Debate. Cohen-Booksfroops: 689-710.
Cohen, Erik dan Scott A Cohen. 2012.
Authentication: Hot And Cool. Annals of
Tourism Research. 39 (3): 1295-1314.
Collison, Fredrick M and Daniel L. Spears. 2010.
Marketing Cultural and Heritage Tourism: the
Marshall Islands. International Journal of
Culture, Tourism and Hospitality Research..4
(2):130-142.
Cooper, Chris. 2012. Essentials Of Tourism.
England: Pearson.
Dallary, Fiorella. 2012. Territorial Management of
Italian Catholic Church: Between Pilgrimages

58
and Religious Culture. European Journal of
Tourism. 3 (2): 109-134.
Desa Muncan. 2015. Profile Desa Muncan Tahun
2015. Karangasem: Desa Muncan.
Four Seasons Resort Bali at Sayan. 2016. Four
Seasons Resort Bali at Sayan.
http://www.fourseasons.com/sayan/spa/full_mo
on_yoga. Diakses 16 Januari 2016.
Fuller, Robert C. 2001. Spiritual But Not Religius
Understanding Unchurched America. New
York: Oxford University Press.
Gao, Bo Wendy dkk. 2011. Phantasmal Destination:
A Post Modernist Perspective, Annal of
Tourism Research. 39 (1): 197-220.
Gdirdligil, Ahmet. 2008. A Contemporary
Hammam: Wellness Centre in Bodrum,
Turkey. International Journal of Architectural
Research. 2 (3): 150-154.
Gerberich, Victoria L. 2006. An Evaluation of
Sustainable American Indian Tourism.
Advances in Tourism Research Series. 75-86.
Getz, Donald. 1992. Tourism Planning and
Destination Life Cycle. Annal of Tourism
Research. 19: 752-770.
Gilbert, Elizabeth, 2006, Eat Pray Love: One
Women’s Search for Everything Across Italy,
India and Indonesia. USA: Viking Pinguin.
59
Gulo, W. 2004. Metodelogi Penelitian. Jakarta:
Gramedia.
Hall, Colin Michael. 2003. Introduction to Tourism:
Dimensions and Issues. Australia: Hospitality
Press.
Hall, James. 2009. Sangoma: My Odyssey into the
Spirit World of Africa. London: Sterling
Publisting Company Inc.
Haska, Helmi. 2012. Lagak Hippies dan “New
Ager” di Ubud. Journal Bali.com (Dikutip 4
Agustus, 2014). Available From URL:
http:/www.journalbali.com/cover.
Herdiansyah, Haris. 2013. Wawancara, Observasi,
dan Fokus Groups. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Herrald, Angela Katherine. 2006. Spiritual
Itineraries: Journeying to Self via “Sacred
India”. (Dissertation). United State: Syacuse
University.
Hitchcock, Michael dan I Nyoman Darma Putra.
2007. Tourism, Development and Terrorism in
Bali. England: ASHGATE.
Hobart, Angela. 2003. Healing Performances of
Bali Between Darkness and Light. New York:
Berghahn Books Oxford.
Hollinshead, Keith. 1999.‘Tourism as Public
Culture: Horne’s Ideological Commentary on
60
the Legerdemain of Tourism’. International
Journal of Tourism Research. Juli/August: 267-
292.
Holman, Christine. 2011. Surfing For A Shaman:
Analyzing an Ayahuasca Website. Annals of
Tourism Research. 38 (1): 90-109.
Ivakhiv, Adrian. 2006. Power Trips: Making Sacred
Space Through New Age Pilgrimage. KEMP.
F14: 263-286.
Jaggi, O.P. 1973. Yogic and Tantric Medicine.
Delhi: Atma Ram and Sons.
Jennings, Gayle. 2001. Tourism Research. Sydney:
Wiley.
Jokilehto, Jukka. 2006. Considerations on
Authenticity and Integrity in World Heritage
Context. URL:http://www.ct.ceci-br.org
(diakses 5 Juni 2016).
Jyotish and V.K Janardhanan. 2009. Service Quality
in Health Tourism: An Evaluation of the Health
Tourism Providers of Kerala (India). South
Asia Journal of Tourism and Heritage. 2 (1):
77-82.
Kabar Dewata. 2015. Bali Target Tembus
Kunjungan Wisman 10 Juta Tahun 2019.
Denpasar: Kabar Dewata.
Kaelan, MS. 2005. Metode Penelitian Kualitatif.
Yogyakarta: Paradigma.
61
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2014. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. (cited 3 Maret 2014, 30
April 2014) available from http://kbbi.web.id.
Kartajawa, Herman dan Bembi Dwi Indro M. 2009.
Ubud, the Spirit of Bali. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.
Kantor Desa Muncan. 2014. Sejarah Desa Muncan.
(cited 16 Februari 2016) available
https://desamuncan1.wordpress.com.
Kompas.Com. 2011. 2015 Bali Krisis Air Bersih.
Kompas.Com (online), (Dikutip 27 Mei 2013)
available from Kompas.com.htm.
Kleiweg, J.P. dan C.Lekkerker. 1923. De Oesada
Sari, Een Balineesch Genesskundig
Handschrift. Amsterdam: JH De Bussy.
Kreiner, N. Collins. 2010. Researching Pilgrimage
Continuity and Transformation. Annals of
Tourism Research. 37(2):440-456.
Kulkarni, Sonali. 2008. Medical Tourism in India.
Jaypur: Book Enclave Jain Bhavan.
Lalonde, Angelique Maria Gabrielle. 2012.
Embodying asana in All New Places:
Transformational Ethics, Yoga Tourism and
Sensual Awakening. (Dissertation). Canada:
University of Victoria.

62
Lee, Chung-Chieh. 2013. Influence of Wellness
Tourism Participation on the Elderly. Storage
Management Solutions. 6: 209-231.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Teori dan Metodologi
Ilmu Pengetahuan Sosial Budaya Kontemporer.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Maddox, Callie Batts. 2015. Studying at the Source:
Asthangga Yoga Tourism and the Search for
Authenticity in Mysore, India. Journal of
Tourism and Culture Change. 13 (4): 330-343.
Man, Richard. 2015. Healing in Bali. Gateway
Books International.
www.gatewaybooksinternational.com
Mason, Su. 2010. Spritual Healing: What is it?
Does it work and does it have a place in
modern healthcare? New York: NFSH The
Healing Trust.

McCauley, Ann P. 1984. Healing as A Sign of


Power and Status in Bali. Social Science
Medicine. 18 (2):167-172.

McCauley, Ann P. 1988. Healing Texts and Healing


Techniques in Indigenous Balinese Medicine.
Social Science Medicine. 27 (8):779-787.

Metro Bali. 2014. Gubernur Bali Siapkan Gugatan


UU Desa. (Berita). Denpasar: Metro Bali.

63
Mill, Christine Robert dan M Alastair Morrison.
2012. The Tourism System. USA: Kendall
Hunt.

Moleong, Lexy J. 2011. Metodelogi Penelitian


Kualitatif. Bandung: Rosda.

Mulyana, Deddy. 2003. Metodelogi Penelitian


Kualitatif. Bandung: Rosda.

Nala, Ngurah. 2006. Aksara Bali dalam Usada.


Surabaya: Paramita.

Naraindas, Harish and Cristiana Bastos. 2011.


Introduction, Special Issue for Anthropology &
Madecine Healing Holidays? Intinerant
patients, therapeutic, locales and the quest for
health. Anthropology & Medicine. 18 (1): 1-6.

Narottama, Nararya. 2012. Wisata Spiritual: Studi


Kasus Partisipasi Orang Asing dalam Upacara
Pitra Yadnya di Desa Pakraman Muncan,
Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem.
(Tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Norman, Alex. 2012. The Varieties of the Spiritual


Tourist Experience. Literature & Aesthetics. 22
(1): 20-37.

Oxford University Press. 2004. Oxford Leaner’s


Dictionary. New York: Oxford University
Press.

64
Peraturan Daerah Provinsi Bali. 2009. Peraturan
Daerah Provinsi Bali No.16 Tahun 2009
Tentang Rencana Ruang Wilayah Provinsi
Bali. Denpasar: Sekretaris Daerah Provinsi
Bali.

Peraturan Daerah Provinsi Bali. 2012. Peraturan


Daerah Provinsi Bali Nomor 2 tahun 2012
tentang Kepariwisataan Budaya Bali.
Denpasar: Sekretaris Daerah Provinsi Bali.
Picard, Michel. 2006. Bali: Pariwisata Budaya,
Budaya Pariwisata. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.

Polak, Drs.J.B.A.F. 1996. Patanjali Raja Yoga.


Surabaya: Paramita.

Powel, Hickman. 1987. The Last Paradise An


American’s “Discovery” of Bali in the 1920’s.
New York: Singapore Oxford University Press.
Radiantly Alive. 2016. Teachers and Therapis.
http://radiantlyalive.com/teachers-and-
therapists/. Diakses 29 Juni 2016.
Ramstedt, Martin. 2008. Hindu Bonds at Work:
Spiritual and Commercial Ties between India
and Bali. The Journal of Asian studies. 67 (4):
1227-1250.

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodelogi


Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
65
Riduwan dan Engkos Achmad Kuncoro. 2013. Cara
Menggunakan dan Memaknai Path Analisis
(Analisis Jalur). Bandung: Alfabeta.
Ritzer, George dan Barry Smart. 2014. Handbook
Teori Sosial. (Terjemahan). Bandung:
Nusamedia.
Salazar, Noel B. 2012. Tourism Imaginaries: A
Conceptual Approach. Annal of Tourism
Research. 39 (2): 863-882.
Schedneck, Brook. 2014. Meditation for Tourist in
Thailand: Commodifying a Universal and
National Symbol. Journal of Contemporary
Religion. 29 (3): 436-456.
Seaton, A.V dan M.M. Bennett. 1996. Marketing
Tourism Products; Concepts, Issues, Cases.
London: Thomson Business Press.
Sharpley, Richard dan Jepson Deborah. 2011. Rural
Tourism: A Spritual Experience?. Annal of
Tourism Research. 38 (1): 52-71.
Sharpley, Richard dan Priya Sundaram. 2005.
Tourism: a Sacred Journey? The Case of
Ashram Tourism, India. International Journal
of Tourism Research. 7: 161-171.
Singh, Shalini. 2006. Secular Pilgrimages and
Sacred Tourism in the Indian Himalayas.
GeoJournal-Springer. 64: 215-223.

66
Smith, Linda dan William Raeper. 2000. Ide-ide
Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang.
Yogyakarta: Kanisius.
Smith, Melanie and Laszlo Puczko. 2010. Taking
your Life into your own Hands? New Trends in
European Health Tourism. Tourism Recreation
Research. 35(2): 161-172.
Smith, Stephen L.J. 1994. The Tourism Product.
Annal Tourism Research. 21 (3): 582-595.
Stancioiu, Aurelia-Felicia. 2013. Conceptual
Aspects Regarding Balneotheraphy Tourism
Marketing in Romania. Theoretical and
Applied Economics. XX (2): 145-158.
Sunyoto, Danang, 2013, Perilaku Konsumen
(Panduan Riset Sederhana untuk Mengenali
Konsumen). Yogyakarta: CAPS.
Supapol, Atipol Bhanich and David Barrows. 2007.
Canadian Health and Wellness Tourism:
Obstacles Impeding International
Competitiveness. The Innovation Journal. 12
(3): Artikel 12.
Suprapti, Ni Wayan Sri. 2010. Perilaku Konsumen,
Pemahaman Dasar dan Aplikasinya dalam
Strategi Pemasaran. Denpasar: Udayana
University Press.
Suradnya, I Made. 2011. Strategi Pemasaran
Destinasi Pariwisata Berkelanjutan. Jurnal
67
Ilmiah Menejemen dan Akuntansi STIE Triatma
Mulya. 16 (2): 42-53.
Susanti, Putu Herny. 2009. Pengembangan
Pasraman Seruling Dewata sebagai Daya Tarik
Wisata Spiritual di Desa Bantas, Kecamatan
Selemadeg Timur, Kabupaten Tabanan. (Tesis).
Denpasar: Universitas Udayana.
Suryawardani, I Gusti Ayu Oka. 2014. Tourism
Leaked From The Accommodation in Bali
(Dissertation Summary). Denpasar: Udayana
University.
Sutarya, I Gede. 2007. Kawasan Suci Besakih:
Suatu Kajian Sosiologi Agama (Tesis).
Denpasar: IHDN Denpasar.
Sutarya, I Gede. 2013. Pariwisata Astrologi, Dari
Komodifikasi Menuju Penghargaan Terhadap
Budaya Lokal. (Hasil Penelitian). Denpasar:
IHDN Denpasar.
Sutarya, I Gede. 2015. I Nyoman Singgin: Rakawi,
Politisi dan Agamawan. Denpasar: Media Bali
Online.
Sutarya, I Gede. 2015. Daya Tarik Yoga dalam
Pariwisata Wellness. (Hasil Penelitian).
Denpasar: IHDN Denpasar.
Sutcliffe, Steven J. 2003. Children of the New Age,
A History of Spiritual Practices. London and
New York: Routledge.
68
The World Bank Group. 2014. International
Tourism, Number of Arrival. The World Bank
Group (online), (Dikutip 11 September 2014)
available from International tourism, number of
arrivals _ Data _ Table.htm.
Tezak dkk. 2009. Influence of Wellness in Selecting
Tourism Destination. Croatia: Intitute of
Agriculture, Department of Touris.
Tripadvisor. 2016. Bagus Jati Health & Wellbeing
Retreat.
http://www.tripadvisor.com/Hotel_review-
g297695-d307182-revi.... Diakses 7 Maret
2016.
Undang-Undang Republik Indonesia. 2009.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10
tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Jakarta:
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Uno, Hamzah B. 2012. Teori Motivasi dan
Pengukurannya. Jakarta: Bumi Akasara.
UNWTO. 2015. UNWTO Tourism Higlight.
UNWTO Publications (Online). (Dikutip pada
23 September 2015) available from
www.unwto.org.
Uriely, Natan dkk. 2011. Psycoanalytic sociology of
deviant tourist behavior. Annal Tourism
Journal Research. 38 (3): 1051-1069.

69
Vickers, Andrian. 1989. Bali, A Paradise Created.
New Zealand: Pinguin Books

Vickers, Andrian. 2012. Bali Tempo Doeloe.


Jakarta: Komunitas Bambu.
VivaNews.Com. 2011. Atasi Gunung Sampah, Bali
Meniru Singapura. (Berita). VivaNews.Com
(online), (Dikutip 27 Mei 2013) available from
VivaNews.Com.
Yamamura, Takayoshi. 2006. Dongba Art in
Lijiang, China: Indigenous Culture, Local
Community and Tourism. Advance in Tourism
Research Series. 181-200.
Yang, Li. 2011. Ethnic Tourism and Cultural
Representation. Annals of Tourism Research.
38 (2): 561-585.
Yoga Barn. 2016. Ubud Yoga Classes at the Yoga
Barn.
http://www.theyogabarn.com/schedule.html.
Diakses 29 Juni 2016.
Yoga House. 2016. Ubud Yoga House Yoga for
Every Body. http://ubudyogahouse.com/about-
us.html. Diakses 3 Agustus 2016.
Weaver, David B. 1991. Alternative to Mass
Tourism in Dominica. Annals of Tourism
Research. 18: 414-432.

70
Weaver, David. 2008. Ecotourism. Australia: John
Wiley & Sons Australia, Ltd.
Wellness Tourism Worldwide. 2011. 4WR:
Wellness for Whom, Where and What?
Wellness Tourism 2020. (Full Research
Report). Hungary: Hungarian National Tourism
Plc.
Wijaya, Ida Bagus Putra dan Made Dwi Setyadhi
Mustika. 2014. Pengaruh Jumlah Kunjungan
Wisatawan, Lama Tinggal dan Pengeluaran
Wisatawan Mancanegara Terhadap Pendapatan
Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran
(PHR) Provinsi Bali Tahun 2000-2012. E-
Jurnal EP Unud. 3(4): 124-133.
Wikipedia. 2014. Findhorn Foundation. Wikipedia
(online). (Dikutip 4 Agustus 2014) available
from www.wikipidea.org/wiki/Findhorn.
Wikipedia. 2014. Theory of Commodification.
WikiPedia Exclopedia (online), (Dikutip 5
Maret 2014) available from
www.wikipidea.org.
Williams, Stephen. 2009. Tourism Geography A
New Synthesis. London and New York:
Routhledge
Winkelman, Michael. 2005. Drug Tourism or
Spiritual Healing? Ayahuasca Seekers in
Amazona. Journal of Psycoactive Drugs. 37
(2): 209-2018.
71
Winkler, Andrea Sylvia dkk. 2010. Attitudes
Towards African Traditional Medicine and
Christian Spiritual Healing Regarding
Treatment of Epilepsy in A Rural Community
of Northern Tanzania. AJTCAM Research
Paper. 7 (2): 162-170.
Wirth, Daniel P. 1995. The Significance of Belief
and Expectancy Within the Spiritual Healing
Encounter. Pergamon. 41 (2): 249-260
Wong, Cora Un In dkk. 2013. Buddhism and
Tourism Perceptions of the Monastic
Community at Pu-Tuo-Shan, Cina. Annal
Tourism Research. 40: 213-234.
Zhang, Yining. 2011. Culture Tourism Products: A
Case Study in the Xi’an City. Las Vegas:
UNLV.
Zhu, Yujie. 2012. Performing Heritage: Rethinking
Authenticity in Tourism. Annals of Tourism
Research. 39 (3): 1495-1513
Zima, Peter V. 2010. Modern/Post Modern Society,
Philosophy, Literature. London: Continuum
International Publishing Group.
Zimmer, Henry R. 1962. Hindu Medicine:
Edelstein, Ludwig, editor. USA: The Johns
Hopkins Press.
Zimmer, Heinrich. 2003. Sejarah Filsafat India.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
72
BIODATA PENELITI

Data Pribadi
Nama I Gede Sutarya,
SST.Par.,M.Ag
NIP 197211082209011005
Pekerjaan PNS/Dosen
Jabatan Lektor
Pangkat/Golongan IIIc/Penata Tk I
Tempat/Tanggal Penida Kaja, Bangli, 8
Lahir November 1972
Alamat rumah Jalan Patih Nambhi Perum
Grya Nambhi Permai III/15
Denpasar
Jalan Brigjen Ngurah Rai
Gang VIIIA No.4 Bangli,
Telp.0336.92018
Alamat Kantor Jalan Ratna No.51, Tatasan
Denpasar Telp. (0366)
226656
Ayah (Mendiang) Drs. I Nyoman
Singgin Wikarman
Ibu Ni Ketut Kantun
Istri AA. Sagung Sri
73
Darmayanthi, SE
Putri (Anak I) Rai Dhanwantari Haripatni
Putra I Made Oka Somanatha
Mahavira Abasan
Saudara Kandung Ni Luh Made Ariyani
I Nyoman Jati Karmawan
Ni Luh Putu Rupini Dewi,
SE
Riwayat Pekerjaan
Wartawan Bali Post Tahun 1995 – 1999
Wartawan Tahun 2000 – 2003
(Redaktur Halaman
Bali Timur) Harian
Nusa
Wartawan Tahun 2012
(Redaktur Bali
Tribune)
Anggota KPU Tahun 2003 – 2008
Kabupaten Bangli
Dosen Tetap IHDN Tahun 2009 – sekarang
Denpasar
Pimpinan Redaksi 2016 – sekarang
Jurnal Pariwisata
Budaya Jurusan
Pariwisata Budaya
Fakultas Dharma
Duta IHDN
Denpasar
Ketua Senat IHDN 2016 – sekarang
Denpasar
Karya-karya
Karya tulis populer 93 Artikel Budaya dan
74
pariwisata di Bali Post, Bali
Tribune, Metro Bali online
tahun 2003 – 2016
2 Artikel dimuat di Harian
Kompas
Pengasuh Rubrik “Wariga
Sari” Harian Radar Bali
tahun 2015 – 2016
Karya Sastra Kumpulan Cerita “Ki Layu
Menedeng” diterbitkan
Panakom tahun 2010
Karya Ilmiah Kawasan Suci Besakih:
Kajian Sosiologi Agama
tahun 2007 (Tesis)
Astrologi dalam Pariwisata
Bali tahun 2013
Daya Tarik Yoga dalam
Pariwisata Wellness tahun
2015
The Analysis on the
Uniqueness of Spiritual
Healing as Product
Differentiation in the Bali
Tourism. Published IJMER
Volume 5 (10), October
2016
Karya Buku Puspanjali 80 Tahun Ibu
Gedong Bagoes Oka
Editor Buku “Bangli Tempo
Doeloe” tahun 2003
Pendidikan
SDN No.5 Kawan, Bangli
75
tamat tahun 1985
SMP PGRI Bangli tamat
tahun 1988
SMAN 1 Bangli tamat tahun
1991
PS D4 Pariwisata Universitas
Udayana tamat tahun 1998
Program Studi Brahma
Widya PPS IHDN Denpasar
tamat tahun 2007
Pengalaman
Internasional
Hindi Program pada Kendrya
Hindu Sansthan, Agra, India,
tahun 1999 – 2000
Pertukaran Pemuda Hindu
Indonesia ke Malaysia pada
17 – 20 Agustus 2005
Presenter pada seminar
internasional Tourism in
Indonesia 24 – 27 Maret
2014
Program Sandwich
kerjasama Dirjen Bimmas
Hindu dengan KITLV ke
Leiden, Belanda Oktober –
Desember 2014

76

Anda mungkin juga menyukai