Oleh
Hijriyati Cucuani
190130180005
RINGKASAN DISERTASI
i
DIUJI PADA SIDANG PROMOSI DOKTOR
ii
DALIL-DALIL
2. Orang dengan shame-proneness yang tinggi menahan diri untuk tidak terlibat
counterproductive work behavior karena memprioritaskan nilai social focus
(conservation dan self-transcendence) daripada nilai personal focus (openness
to change dan self-enhancement).
iii
ABSTRAK
iv
ABSTRACT
v
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,
atas segala berkah, rahmat, karunia dan izin-Nya lah peneliti dapat menyelesaikan
disertasi yang merupakan proses panjang penelitian dalam studi S3 pada Program
Studi Ilmu Psikologi Universitas Padjadjaran ini. Banyak kesulitan, hambatan, dan
halangan yang peneliti hadapi selama menyelesaikan disertasi ini. Namun, dengan
izin dan kekuatan dari Allah SWT, serta dukungan dan bantuan yang diberikan oleh
banyak pihak, peneliti dapat menyelesaikan setiap tahapan dan proses dalam disertasi
ini.
pihak yang telah memberikan perhatian, bantuan dan kemudahan kepada peneliti
1. Prof. Dr. Rina Indiastuti, SE., M. SIE selaku Rektor Universitas Padjadjaran,
Ibu Prof. Dr. Hendriati Agustiani, M. Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas
S. Psi., MOP., Ph. D. selaku Dekan saat ini, Ibu Dr. Marina Sulastiana, M. Si.,
vi
2. Tim Promotor; Ibu Prof. Dr. Hendriati Agustiani, M. Si., Psikolog, Ibu Prof.
Dr. Diana Harding, M. Si., Psikolog dan Ibu Dr. Marina Sulastiana, M. Si.,
peneliti.
3. Tim pembahas pada saat Seminar Usulan Riset, Seminar Hasil Riset, dan
Penelaahan Naskah Disertasi, Bapak Prof. Disman, MS., Bapak Dr. Zainal
Abidin, M.Si., Ibu Zahrotur Rusyda Hinduan, MOP, Ph.D, psikolog, atas
segala kritikan dan masukan yang membangun, banyak wawasan dan insight
serta responden kuesioner. Partisipasi dari Bapak dan Ibu sekalian sangat
besar artinya dalam penyelesaian disertasi ini. Semoga Allah SWT senantiasa
5. Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau masa jabatan
2018-2020, Prof. Dr. KH. Ahmad Mujahidin, S.Ag., M.Ag dan Rektor
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau masa jabatan 2021-2025
vii
Prof. Dr. Hairunas, M.Ag untuk dukungan yang diberikan dalam penyelesaian
studi peneliti
6. Dekan Fakultas Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Bapak Dr. Kusnadi,
Dr. Zuriatul Khairi, M.Ag., M.Si., Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum,
Perencanaan dan Keuangan, Ibu Dr. Vivik Shofiah, M.Si., Wakil Dekan
Bidang Kemahasiswaan Ibu Dr. Yuslenita Muda, S,Si., M.Sc, Ketua Program
Studi S1 Psikologi, Ibu Sri Wahyuni, M.Psi., M.A, psikolog, dan Sekretaris
Syarif Kasim Riau, Dr. Diana Elfida, M.Si., psikolog, Lisya Chairani, M.A.,
Yuli, Mbak Anggi, Pak Jhon, Mbak Ning, Pak Mukhlis, Mbak Vivik,
Ikhwanisfiya, Rita dan rekan-rekan baik hati lainnya yang selalu memberikan
Padjadjaran Bandung, Uni Tuti, Mba Dewi, Mba Mel, Dina, Faisal, Kang Ali
viii
dan Pak Win untuk segala pengalaman berharga, canda tawa, bantuan dan
10. Kakak dan Adik tingkat di Program Studi Doktor Psikologi Universitas
11. Bapak dan Ibu tenaga Kependidikan Program Studi Doktor Ilmu Psikologi
12. Adik-adik mahasiswa dan Alumni Fakultas Psikologi UIN Suska Riau,
asisten-asisten Pusat Studi Psikologi Indijinus UIN Sultan Syarif Kasim Riau
adik-adik semuanya.
13. Keluarga besar Syuib dan keluarga besar Mawardi dimanapun berada, yang
selalu memberikan dukungan dan bantuan kepada peneliti dalam banyak hal.
14. Keluarga tercinta, Papa H. Elsyukran Syuib, S.Sos dan Mama Radiarty yang
psikologis. Terimakasih juga untuk Abang Alm. M.Ario Wahdi Elsye, SE.,
bantuan untuk penyelesaian disertasi serta Adik Sulas Era Nanda, SE yang
ix
selalu memberikan dukungan untuk peneliti, juga untuk Ipar-ipar, keponakan
dan sepupu peneliti. Papa Mertua H. Amril Abdul Malik dan Mama mertua
juga untuk Suami peneliti Hendri Yuliansyah, S.T, serta anak-anak tercinta
15. Semua pihak yang telah berjasa dalam proses penyelesaian disertasi ini, yang
x
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
ASN yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan
memiliki nomor induk pegawai secara nasional, yang perilakunya diatur secara rinci
dalam kode etik dan kode perilaku ASN. Perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan
kode etik dan kode perilaku tersebut dapat menghambat pencapaian tujuan dan
Counterproductive Work Behavior (CWB) (Spector & Fox, 2005). Dalam sebuah
tulisan, Spector & Fox menjelaskan beberapa istilah yang sering dipadankan dengan
CWB seperti; illegal, immoral, dan organizational deviant. Beberapa istilah tersebut
suatu perilaku. Meskipun demikian, menurut Sackett & Devore (2005) setidaknya ada
tiga karakteristik yang membedakan CWB dengan konsep perilaku negatif di tempat
kerja lainnya. Pertama, CWB lebih menekankan pada perilaku, bukan akibat atau
organisasi. Ketiga, perilaku dilakukan dengan sengaja atau dapat dimaknai dilakukan
1
Bentuk dari CWB sangat beragam. Robinson & Bennett membaginya
menjadi dua, yaitu; organizational CWB atau yang disebut dengan CWB-O (CWB
toward organization) dan individual CWB disingkat dengan CWB-I atau sering pula
Taylor, Hastings, Sturm, & Weigelt, 2016; Sackett & Devore, 2001; Spector, Fox,
Penney, et al., 2006). Secara umum, CWB-O langsung diarahkan pada organisasi
seperti sabotase, penipuan, pencurian aset kerja, pulang kerja lebih awal,
lebih mengarah kepada orang lain di tempat kerja seperti pelecehan seksual,
CWB dapat berdampak pada banyak hal, baik terhadap pelaku, rekan kerja,
konsumen dan organisasi secara umum. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah ada,
CWB terkait dengan performance yang rendah (Bagyo, 2018), rendahnya kesuksesan
dalam pengembangan produk karena lemahnya kolaborasi dalam tim kerja (Qiu &
Peschek, 2012), intensi keluar dari perusahaan menjadi tinggi pada pegawai yang
merasa terganggu dengan perilaku tersebut (Roxana, 2013). Selain terkait dengan
produktivitas, Vardi & Weitz (2004) menuliskan bahwa CWB terkait dengan
2
Penelitian mengenai CWB di Indonesia sendiri masih sangat minim. Penelitian
CWB yang sudah ada di Indonesia mengkaitkan CWB dengan employee engagement
dan validasi dari beberapa versi alat ukur CWB (Anggraini, 2015; Suyasa, 2018).
Sebagian besar dari penelitian mengenai CWB di Indonesia diteliti pada PNS. Hal ini
Laporan KPK tahun 2017, di tahun 2016 Provinsi Riau di tetapkan sebagai tiga
provinsi darurat korupsi selain Sumatera Utara dan Banten (Tim penyusunan Laporan
Tahunan KPK 2017, 2018). Media memberitakan bahwa Pekanbaru merupakan kota
penyumbang PNS korupsi paling tinggi di Indonesia pada tahun 2018. Dikabarkan
oleh okezone.com tanggal 5 September 2018 bahwa pada tahun 2018 sebanyak 301
orang PNS di Pekanbaru terlibat korupsi, jumlah tersebut di atas jumlah PNS korupsi
mengingat Pekanbaru merupakan kota berbudaya Melayu yang identik dengan nilai-
nilai religius. “Pekanbaru Kota Madani” merupakan julukan baru untuk kota
Pekanbaru yang lahir dari visi kota Pekanbaru pada tahun 2021: “Terwujudnya
3
dijadikan acuan dalam norma sosial yang mengatur masyarakatnya dalam berbagai
aspek kehidupan termasuk dalam kehidupan bekerja. Ajaran agama yang menjadi
landasan dalam nilai-nilai budaya Melayu begitu terasa dalam aturan tertulis, nilai-
nilai dan norma yang berlaku, budaya organisasi dalam instansi pemerintahan daerah
di Kota Pekanbaru.
Perilaku CWB terjadi lebih cepat dari apa yang kita pikirkan, karena perilaku
nya begitu beragam, mudah menyebar dan berkembang dari yang sifatnya minor
kepada yang lebih serius (Yu, 2014). Oleh sebab itu, perlu ditelusuri mengenai
penyebab dari masalah CWB tersebut. CWB secara umum dapat disebabkan oleh
faktor situasional dan personal (Spector & Fox, 2005). Dalam penelitian ini, selain
akan dilihat kaitannya dengan faktor situasional, lebih utamanya peneliti melihatnya
dari faktor personal. Personal traits dan personal values sering diteliti sebagai
karakteristik psikologis yang penting untuk dilihat sebagai prediktor dari berbagai
outcome (Parks-leduc, Feldman, & Bardi, 2015) termasuk perilaku di tempat kerja,
dalam hal pola perilaku, pikiran, dan emosi yang relatif stabil (Parks-leduc et al.,
2015). Shame-proneness (trait shame) yang akan dieksplorasi dalam penelitian ini
mengenai hubungannya dengan CWB, merupakan suatu sifat yang melekat dan
4
Situasi tertentu, oleh orang dengan trait shame dapat dipandang sebagai sesuatu yang
dapat menimbulkan malu sementara pada orang lain tidak, atau tidak dalam tingkat
Pada masyarakat Melayu, malu sudah diajarkan kepada anak sejak dini
(Collins & Bahar, 2000). Anak diajar untuk malu melakukan hal-hal yang melanggar
kesopanan, aturan dan harapan masyarakat. Sifat malu termasuk ke dalam satu dari
sifat yang dua puluh lima yang ada di dalam Tunjuk Ajar Melayu, yang mengajarkan
tentang sifat-sifat yang dijunjung tinggi oleh orang Melayu (Effendy, 2006). Lebih
rinci, Effendy menjelaskan malu yang dimaksudkan adalah malu berbuat kejahatan,
berdurhaka, menjilat, mengambil muka, merampas hak orang lain, berbuat semena-
Shame sudah cukup banyak diteliti sebagai emosi negatif yang dipandang
sebagai sebuah faktor dari terjadinya CWB (Fox et al., 2001; Spector & Fox, 2002;
Penney & Spector, 2002; Bauer & Spector, 2015). Dalam The Stressor-Emotion
ambiguity, role conflict, interpersonal conflict, dan workload) dengan CWB (Spector
& Fox, 2005). Tingginya stresor yang dipersepsikan oleh pekerja akan menimbulkan
5
Shame merupakan emosi yang unik karena pemaknaan dan dampaknya terkait
dengan budaya. Sebagian besar peneliti barat menjelaskan shame sebagai hasil
evaluasi negatif terhadap diri yang berdampak negatif (Covert et al., 2003; Tangney
& Dearing, 2002) termasuk terhadap perilaku dalam bekerja (Bauer, Spector, 2015;
Spector, Damagalski, 2006; Bagozzi, Verbeke, & Gavino, 2003). Shame akan
lain dari hal buruk yang membuatnya malu (Fischer & Tangney, 1995).
(Bagozzi et al., 2003; Su, 2010). Bagi masyarakat berbudaya Melayu di Indonesia
sendiri hubungan positif dengan orang lain masih menjadi faktor utama kebahagiaan
(Wulandari & Widyastuti, 2014) karena relasi menjadi sesuatu yang melekat dalam
budaya kolektif. Heine et al. menjelaskan bahwa pada mayarakat berbudaya kolektif,
diri dan orang lain terhubung dalam konteks sosial sehingga masyarakatnya
cenderung fokus pada tanggung jawab dan kewajiban kepada orang lain dan mencoba
hal itu penting dalam kehidupan mereka (dalam Su, 2010). Oleh karena itu, malu
yang dirasakan karena melanggar aturan bersama justru akan memotivasi untuk
Islam, menjadikan nilai-nilai agamanya menjadi dasar dalam berperilaku (Nasilah &
Marettih, 2015). Dalam perspektif agama Islam, malu (yang dalam bahasa Arab
6
disebut Al-Haya’) dipandang sebagai akhlak mulia yang harus dimiliki setiap
2008). Selain itu, Collins & Bahar (2000) menjelaskan dua interpretasi malu dalam
budaya Melayu, yaitu yang pertama untuk mendukung moralitas Islam yang
membedakan antara praktik haram dan halal. Interpretasi lainnya memandang malu
sebagai dasar bagi kesadaran moral yang menanamkan kepedulian terhadap orang
lain dan menghilangkan kepentingan diri yang egois. Hal ini menegaskan bagaimana
Malu dipelajari sebagaimana kita belajar mengenai harapan dan standar yang orang
lain kenakan kepada kita dan diperkuat dengan harapan yang dikembangkan terhadap
diri sendiri. Dalam dunia kerja, Stiles (2008) menjelaskan bahwa rasa malu adalah
emosi yang berguna bagi organisasi untuk memotivasi individu berperilaku pada
tingkat yang wajar. Dari sudut pandang organisasi, malu mendukung tujuan
perusahaan, nilai, dorongan kesetiaan dan keterlibatan kepada tim dan organisasi,
aturan sosial dan bagaimana memengaruhi orang lain untuk beradaptasi dengan kita.
Kita belajar kapan harus dekat dan menjaga jarak dengan orang lain, bagaimana
untuk tidak tersinggung dan menyinggung orang, menjadi sederhana, bijaksana, peka
dan bersimpati. Dengan demikian, malu dapat menimbulkan efek positif baik bagi
7
individu maupun lingkungannya. Di tempat kerja, shame yang dirasakan pegawai
perilaku dan hubungan serta patuh pada aturan dan norma sosial. Oleh karena itu,
orang yang memiliki sifat (trait) rentan terhadap malu (shame-proneness) akan lebih
peka dan berusaha menahan diri (mengantisipasi) untuk melakukan perilaku yang
bahwa nilai berfungsi sebagai standar atau kriteria yang memberikan pembenaran
untuk memilih perilaku, mengevaluasi orang dan peristiwa, serta menjelaskan dan
seseorang untuk dicapai akan menimbulkan motivasi yang lebih besar baginya untuk
bertindak sesuai dengan nilai-nilainya meskipun mereka secara tidak sadar berfikir
demikian (Koivula, 2008). Rohan (2000) menjelaskan bahwa asumsi yang dipegang
luas bahwa prioritas personal values sering memandu perilaku seseorang dengan
8
Perilaku seseorang di tempat kerja diarahkan oleh nilai-nilai yang dimilikinya
(Schwartz & Bilsky, 1987). Sayangnya, belum banyak penelitian yang menjelaskan
Namun di dalam sebuah penelitian, Thomas (2014) menjelaskan secara umum bahwa
nilai personal (personal values) merupakan suatu input dari ethical work behaviors
trait sebagai antecedent dari values (Wijnen, Vermeir, & Kenhove, 2007). Silfver,
Klaus, Lonnqvist, & Verkasalo (2008) menjelaskan bahwa tendensi emosi secara
perkembangannya mendahului nilai. Hal ini tidak diartikan sebagai nilai-nilai tertentu
memengaruhi prioritas nilai seseorang. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini, personal
conformity dan berhubungan negatif dengan nilai power, hedonism, stimulation, dan
seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan CWB. selain itu, dalam penelitian
yang akan dilakukan ini, sifat rentan terhadap emosi malu (shame-proneness)
dipandang sama positifnya dengan sifat rentan terhadap emosi bersalah (guilt-
9
seseorang untuk beradaptasi dengan standar moral sosialnya (Su, 2010). Oleh sebab
orang di berbagai negara di dunia, terdapat sepuluh nilai-nilai yang berlaku secara
menemukan pola melingkar, di mana nilai-nilai yang kompatibel akan terletak saling
berdekatan sementara yang tidak akan terletak berjauhan (Roccas & Sagiv, 2010).
Berdasarkan hal tersebut secara umum personal values dapat dibedakan menjadi; (1)
terdiri dari universalism dan benevolence, (3) openness to change yaitu self-direction
dan stimulation, dan (4) conservation yaitu tradition, conformity dan security.
enhancement adalah nilai-nilai yang menekankan pada mengejar apa yang diinginkan
dengan fokus pada mengontrol atau menguasai orang dan sumber-sumber lainnya
atau dengan menunjukkan ambisi dan kompetensinya berdasarkan standar sosial dan
10
menunjukkan perhatian dan kepedulian kepada seseorang yang sering berhubungan
status quo, komitmen terhadap keyakinan dan adat istiadat yang sudah ada, mengikuti
70% responden menyatakan bahwa kesuluruhan atau sebagian besar dari item nilai
moral. Dinilai sebagai nilai moral karena nilai-nilai tersebut menekankan pada
kepedulian dan kesejahteraan orang lain. Sementara itu, untuk aitem dalam nilai self-
enhencement dan openness to change jarang dianggap sebagai nilai moral (Silfver et
al., 2008). Oleh karena itu, berdasarkan pencapaian tujuannya, sepuluh personal
values tersebut dapat dibagi menjadi social focus dan personal focus (Schwartz,
emosi moral akan memiliki pengaruh yang lebih kuat dengan prioritas nilai-nilai
moral. Haidt (2003) menyatakan bahwa malu termasuk ke dalam emosi moral karena
11
ia berhubungan dengan kepentingan dan kesejahteraan sosial secara keseluruhan atau
perorangan. Tidak adanya emosi moral akan membuat seseorang tidak termotivasi
(Lindebaum, Geddes, & Gabriel, 2017). Jika sifat malu sudah membudaya pada
masayarakat Melayu di Pekanbaru, mengapa CWB masih saja terjadi pada PNS di
mendukung konformitas dan kepatuhan sosial terhadap standar norma yang berlaku.
kuat pada perilaku negatif anggotanya, bahkan pada pegawai yang awalnya memiliki
standar etika yang cukup kuat. Spector, Fox, & Domagalski (2006) menyatakan
memiliki peran yang tidak dapat diremehkan dalam pengambilan keputusan pegawai
untuk berperilaku. Ethical climate pada banyak penelitian dikaitkan dengan perilaku
etik dan tidak etik di tempat kerja (Vardi, 2001; Appelbaum et al., 2005; Arnaud,
2006; Saidon, 2012; P. R. Murphy, Free, & Branston, 2012; Pagliaro, Presti,
Pengertian ethical climate mencakup persepsi bersama dari apa yang dianggap
sebagai perilaku yang benar dan bagaimana isu-isu etika harus ditangani (Victor &
12
yang berdampak pada keputusan yang mengandung konten etik.Arnaud (2006),
tindakan etik melakukan evaluasi apakah tindakan tersebut akan berdampak buruk
tindakan yang bermoral dan tidak, apakah nilai-nilai moral lebih diprioritaskan
daripada nilai-nilai yang berorientasi pada diri sendiri dan berani serta mau
mempertahankan perilaku etik meskipun tidak dituntut atau justru di bawah tekanan
Dalam penelitian Chen, Chen, & Liu (2013), dijelaskan bahwa ethical climate
tinggi ethical climate tertentu yang dipersepsi oleh pekerja akan meningkatkan atau
penelitian menggunakan istilah ini untuk menjelaskan CWB). Trait activation Theory
pengekspresian perilaku dari suatu trait memerlukan rangsangan dari trait tersebut
dengan isyarat situasional yang relevan dengan trait. Besarnya hubungan antara NA
dan workplace deviance dapat tergantung pada seberapa ethical climate mendukung
pengekspresian trait tersebut menjadi perilaku yang relevan (dalam hal ini adalah
workplace deviance). Dalam penelitian yang akan dilakukan ini, trait yang akan
dilihat pengaruhnya terhadap CWB adalah trait shame baik secara langsung maupun
13
Masyarakat Melayu di Pekanbaru yang semenjak kecil telah diajarkan untuk
merasa malu jika melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan atau norma
proneness yang tinggi akan mencegah seseorang dari melakukan perilaku yang
dianggap tidak baik seperti CWB di tempat kerja. Hal tersebut dapat terjadi ketika
Indonesia terutama pada PNS membuat permasalahan ini menjadi penting untuk
diteliti. Selain itu, belum tersedia penjelasan ilmiah mengenai keterkaitan malu yang
keterlibatan pegawai dalam CWB. Dengan penelitian ini diharapkan hasilnya dapat
menjelaskan model perilaku CWB pada PNS di Pekanbaru sehingga CWB dapat
14
a. Apakah ada pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh
CWB?
terhadap CWB?
terhadap CWB?
CWB ?
15
dan personal values terhadap CWB, selanjutnya secara lebih rinci dapat diuraikan
sebagai berikut:
CWB.
CWB
CWB
1. CWB yang masih tampak pada perilaku PNS di Pekanbaru dapat dijelaskan
16
tepat. Model dan penjelasan tersebut dapat dijadikan acuan dalam
dengan lebih kompleks melalui trait activation theory. Hasil penelitian ini
shame dengan peran mediasi personal values prioritas pegawai, baik yang
penelitian ini menyediakan sebuah alat ukur baru yang valid dan reliable
17
tingkat shame-proneness dan prioritas personal values calon PNS yang
proneness yang sudah ada pada pegawai dan nilai-nilai moral untuk
demikian malu dapat mulai diajarkan kepada generasi muda sejak dini.
18
II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1.Kajian Pustaka
Pada subbab ini akan dibahas tentang kajian teori variabel-variabel yang
deviance (Hollinger & Davis, 2006; Hollinger, Slora, & Terris, 1992; Hollinger &
Clark, 1982). Employee deviance adalah perilaku-perilaku yang tidak sah yang
dimaksudkan untuk merugikan perusahaan (Hollinger & Clark, 1982). Robinson &
hingga serius.
employee deviance dari Hollinger & Clark dan Robinson & Bennett dengan istilah
counterproductive work behavior (Sackett & Devore, 2005; Gruys & Sackett, 2003;
Rotundo & Sackett, 2002). CWB pada level yang paling umum dijelaskan sebagai
beberapa perilaku anggota organisasi yang disengaja, yang dipandang oleh organisasi
bertentangan dengan kepentingannya yang sah (Sackett & Devore, 2001). Spector &
19
merugikan atau disengaja untuk merugikan organisasi ataupun orang-orang di
dalamnya (klien, rekan kerja, konsumen dan atasan). Spector & Fox menjelaskan
bahwa tindakan CWB dapat saja terjadi dengan diniatkan ataupun tanpa diniatkan
untuk merugikan organisasi namun kuncinya adalah perilaku tersebut sengaja dipilih
untuk dilakukan (bukan kecelakaan) dan kemudian dapat merugikan organisasi dan
orang-orang di dalamya.
CWB secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi (Fox et al.,
pencurian aset kerja, pulang kerja lebih awal, memperpanjang jam istirahat,
CWB-P lebih mengarah kepada orang lain di tempat kerja seperti pelecehan
20
Berdasarkan makna malu pada orang melayu, shame didefinisikan sebagai
sebuah emosi di mana seseorang merasa tidak nyaman, merasa tidak enak hati,
merasa bersalah atas kesalahan atau pelanggaran aturan, nilai-nilai agama, dan norma
sosial (Cucuani, Sulastiana, Harding, & Agustiani, 2021). Pengertian ini tidak
mencakup pembatasan shame sebagai public shame semata, namun juga pengalaman
malu yang tidak diketahui oleh orang lain. Dalam penelitian ini shame-proneness
dimaknai sebagaimana yang dijelaskan oleh Leeming & Boyle (2004) dan Tangney &
Dearing (2002), yaitu sebuah kecenderungan untuk mengalami emosi malu dalam
Tangney at al. (dalam Ferguson & Crowley, 1997) menjelaskan bahwa shame-
fokus pada evaluasinya yang negatif terhadap diri secara global. Hal ini yang
2. Withdrawal, atau isolation (menarik diri dari lingkungan yang terkait dengan
hal yang menyebabkan malu). Karena adanya evaluasi yang negatif terhadap
diri secara global, malu dirasakan lebih dalam dan menyakitkan sehingga
timbul hasrat untuk menghilang dengan cara menarik diri atau menghindari
21
Berdasarkan elemen dan aspek-aspek shame yang dijaabarkan di atas, terlihat bahwa
indikator shame sebagaimana yang dijelaskan dalam banyak literatur barat berbeda
dengan yang didapatkan di timur. Oleh sebab itu dalam penelitian ini digali terlebih
terhadap 9 orang Melayu yang bekerja di kota Pekanbaru mengenai apa yang
dirasakan, difikirkan dan dilakukan ketika mengalami malu di tempat kerja, yang di
analisis dengan teknik analisis tematik maka di ketahui bahwa malu pada orang
negatif, menganggap diri buruk karena melakukan sesuatu yang tidak pantas
atau gagal mempertahankan/ mencapai standar diri, baik yang berasal dari
penilaian negatif dari orang lain (Perceiving negative evaluation from others)
22
Schwartz dan Bilsky (1987) menghasilkan sebuah konsep definisi mengenai
nilai yang digabungkannya dari beberapa penjelasan mengenai nilai yang disebutkan
Nilai-nilai adalah;
(1) konsep (concept) atau keyakinan (belief) yang dihubungkan dengan affect.
Begitu nilai diaktifkan maka akan diresapi dengan perasaan. Misalnya, orang
yang memiliki independence sebagai nilai yang penting akan terusik ketika
(2) Merupakan tujuan yang diinginkan (desired) yang memotivasi tindakan. Orang
yang menganggap penting keadilan maka akan termotivasi untuk dapat mencapai
tujuan tersebut.
dianggap penting akan berlaku di mana saja, tidak terbatas pada tindakan, objek
dan situsi spesifik. Misalnya, nilai kejujuran dapat relevan di kantor, sekolah,
(4) Berfungsi sebagai standar atau kriteria. Nilai mengarahkan pemilihan dan
memutuskan apa yang baik dan yang buruk, membenarkan atau mengharamkan,
23
(5) Nilai disusun berdasarkan kepentingan yang relatif bagi satu orang dan yang lain.
(6) Kepentingan yang relatif pada beberapa nilai mengarahkan tindakan. Beberapa
sikap atau perilaku secara khas berimplikasi pada lebih dari satu nilai. Misalnya
terhadap suatu nilai, semakin memungkinkan ia untuk bertindak dengan cara yang
mendukung pencapaian nilai tersebut (Kluckhohn & Others, 1951; Schwartz, 1992)
Personal values oleh Schwartz (1992) diartikan sebagai “the criteria people
use to select and justify actions and to evaluate people (including the self) and
memilih dan membenarkan tindakan dan mengevaluasi orang serta peristiwa. Dari
values dapat mengarahkan seseorang pada suatu tindakan tertentu, dapat pula
24
Berdasarkan hasil penelitiannya, Schwartz (1992) menjelaskan bahwa
dan emosional mereka sendiri dalam arah yang tidak dapat diprediksi dan tidak
pasti versus mempertahankan status quo dan kepastian yang diberikannya dalam
hubungan dengan orang lain yang dekat, lembaga, dan tradisi. Berbeda dengan
masyarakat dengan budaya kolektif lebih menekankan pada sistem relasi di mana
kesejahteraan orang lain (yang dekat dan jauh) dan alam (self-transcendence).
25
hubungan sosial yang harmonis dan mengganggu pencapaian tujuan kelompok
(Bedford, 2004).
dua dimensi di atas, Schwartz (1992) juga menjelaskan jika personal values
kepentingan diri sendiri (personal focus) atau kolektivitas tertentu (social focus).
nilai yang mengatur bagaimana seseorang berhubungan secara sosial terhadap orang
lain dan bagaimana efeknya terhadap orang lain, yang terdiri dari conservation dan
nilai social focus merupakan nilai yang lebih diutamakan oleh masyarakat berbudaya
mengenai nilai-nilai, sikap, perasaan dan perilaku individu-individu yang lazim dalam
suatu system sosial. Sistem sosial tersebut mewakili kolektivitas individu yang
serikat pekerja). Hal ini sebagaimana dijelaskan Arnaud dalam tulisannya bahwa
26
Ethical climate adalah “shared perceptions of the content and strength of the
prevalent values, norms, attitudes, feelings, and behaviors of the members of a social
system, where the social system represents a collectivity of individuals who share a
moral yang digunakan seseorang dalam mengambil keputusan etik, nilai-nilai apa
yang dianggap lebih bermoral, serta kateguhan mereka dalam menyelesaikan masalah
Arnaud (2006a, 2006b) menjelaskan dimensi ethical climate terdiri dari enam
subscale, yaitu:
orang lain.
27
dibenarkan adalah yang berfokus pada kesejahteraan dan kepentingan orang
lain.
merefleksikan apa yang bagi organisasi secara umum dianggap benar secara
yang lazim dari social- system dan apakah nilai moral secara umum
2.2.Kerangka Pemikiran
malu pada situasi-situasi tertentu yang memunculkan malu secara umum (Leeming &
pengalaman serta pembelajaran sejak masa kanak-kanak. Rasa malu menjadi sesuatu
yang penting bagi orang Melayu dalam berinteraksi dan menjaga hubungan baik.
Kewajiban menjaga warwah diri dan keluarga, pemahaman terhadap harapan sosial,
aturan dan nilai-nilai agama menjelaskan megapa malu menjadi sangat penting bagi
28
orang Melayu. Anak-anak mereka dididik untuk menjadi tahu malu dalam
lingkungan sosialnya. Mereka ditekankan bahwa apa yang mereka lakukan membawa
nama keluarga, suku, institusi dan komunitas masyarakat tertentu, untuk itu perilaku
mereka harus selalu dijaga. Banyak aturan dan nasehat secara tertulis maupun tersirat
mengenai sifat malu dalam masyarakat Melayu. Lama-kelamaan malu yang mereka
pelajari dan rasakan menjadikan mereka memiliki sifat rentan atau lebih cenderung
mudah merasakan malu dalam menghadapi situasi yang umumnya menimbulkan rasa
mengindari situasi yang berpotensi menimbulkan malu pada dirinya. Adanya shame-
dilakukannya dapat membuatnya masuk ke dalam situasi yang memalukan atau tidak.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dipaparkan dalam Tunjuk Ajar Melayu yang
mengisyaratkan pentingnya malu pada orang Melayu. Sifat malu akan menjaga diri
seseorang dari sifat-sifat buruk, berhati-hati dalam berperilaku serta menjaga marwah
diri dan orang lain. Dalam tunjuk ajar Melayu, shame dan guilt tidak dibedakan,
karena pada orang yang merasa bersalah menunjukkan adanya malu (Effandi, 2006).
Dansie (2009) juga menjelaskan bahwa rasa penyesalan yang timbul dari rasa
dalam penelitian Fessler (2004), di mana orang Melayu lebih sering menggunakan
29
istilah malu dibandingkan emosi lainnya. Bahkan, pada saat mereka melakukan
kesalahan yang tidak diketahui orang lain pun, selain merasa bersalah mereka juga
merasa malu. Kayakinan bahwa Tuhan selalu melihat apapun yang dilakukan dan di
manapun manusia berada menimbulkan rasa malu dalam diri ketika tindakan tidak
sejalan dengan ajaran agama. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Collins & Bahar
halal dan haram serta mengenyampingkan egoisme. Segala hal yang terkait dengan
apa yang diharamkan dalam agama jika dilakukan akan menimbulkan rasa malu.
dampak yang berbeda dengan apa yang dijelaskan mengenai shame dalam penelitian
pada umumnya di barat. Dalam penelitian di barat, shame dan guilt dibedakan dalam
emosi negatif dan emosi moral namun guilt dianggap adaptif sementara shame adalah
maladaptive. Salah satu penelitian lintas budaya tentang malu menunjukkan adanya
dengan orang lain. Malu pada sales di Philipina mengarahkan upayanya untuk
perilaku altruistic mereka, sementara pada sales di Belanda, malu mengancam diri
30
Bagozzi et al. (2003) menjelaskan bahwa perbedaan self-construal pada orang
berbudaya individual dan kolektif membuat perbedaan konsep tentang shame dan
guilt. Pada orang berbudaya kolektif seperti di Indonesia shame dan guilt tidak begitu
dibedakan karena keduanya memiliki konsekuensi yang adaptif. Selain itu, pelabelan
budaya barat sebagai budaya rasa bersalah (guilt culture) sementara budaya timur
dengan budaya malu (shame culture) menggambarkan bahwa dalam budaya yang
berbeda, rasa bersalah dan malu dapat memainkan peran dalam mendorong perilaku
seseorang untuk tetap mematuhi aturan dan standar (Poulson II, 2000; Su, 2010).
Teori evolusi mengenai malu menjelaskan bahwa malu sebagai emosi negatif,
sebagaimana emosi lainnya juga memiliki fungsi adaptif. Dalam beberapa penelitian
dijelaskan sisi terang dari malu dan dampaknya secara lebih adaptif. Malu yang
timbul dari kesadaran akan pelanggaran, dan standar yang ditetapkan baik oleh diri
maupun sosial menunjukkan adanya kepekaan terhadap harapan sosial yang penting
dalam menjaga keharmonisan. Selain itu, individu yang menunjukkan rasa malu lebih
mengundang simpati dan pemaafan dari orang lain dibanding jika individu tidak
menunjukkan adanya rasa malu. Rasa malu yang ditunjukkan oleh orang yang
keterkaitan guilt dengan counterproductive work behavior pada budaya barat. Oleh
31
sebab itu, konsep mengenai shame-proneness dalam penelitian ini mengacu pada
penelitian dari Cohen, Panter, & Turan (2013) memperlihatkan bahwa orang yang
ini menunjukkan bahwa rasa bersalah cenderung membuat orang berpikir, merasakan,
lebih mudah atau lebih intens dalam merasakan malu, sehingga akan menghindari
tindakan yang berpotensi menimbulkan rasa malu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Tangney et al. (2007) bahwa individu dengan shame-proneness akan lebih rentan
32
tidak malu, atau tidak tahu malu untuk menjelaskan mengapa orang korupsi. Dengan
langsung membuat mereka tidak melakukan CWB. Berdasarkan data baik dari media
maupun laporan KPK, CWB masih menjadi masalah PNS di Kota Pekanbaru, di
yang meletakkan sifat malu sebagai hal penting membentuk shame-proneness pada
mengikuti aturan, norma kesopanan dan standar yang berlaku sehingga tidak terlibat
dengan CWB dengan mediasi personal values dan moderasi ethical climate.
dengan motivasi tindakan bermoral atau sebaliknya adalah personal values (Silfver et
al., 2008). Tindakan pelanggaran seperti CWB pada PNS dapat dijelaskan oleh
mereka. Locke menjelaskan bahwa values adalah elemen yang mengatur dan
33
Shame-proneness memengaruhi CWB melalui personal values. Meskipun
cenderung stabil, personal values lebih terbuka untuk berubah. Prioritas terhadap
nilai-nilai dapat berubah dari waktu kewaktu untuk memenuhi dan menyesuaikan
dengan kebutuhan (Schwartz & Bilsky, 1987). Trait yang dimiliki seseorang dapat
memengaruhi value nya (Wijnen et al., 2007), begitupula dengan trait shame karena
berpengaruh terhadap prioritas dari nilai-nilai moral. Orang yang memiliki shame-
kepentingan dan kesejahteraan sosial (nilai-nilai moral/ social focus) pada posisi yang
social focus, yaitu self-trancendent yang terdiri dari nilai universalism dan
benevolence, serta conservation yang terdiri dari conformity, tradition, dan security
dilabel sebagai nilai moral. Namun, nilai-nilai yang termasuk dalam personal focus,
moral.
dengan value salah satunya ditentukan oleh kemiripan konten pada keduanya. Shame-
proneness merupakan suatu trait sebagai bentuk adanya kesadaran akan harapan
sosial dan keharmonisan dalam kelompok. Shame termasuk ke dalam emosi moral
34
2008). Oleh sebab itu, shame-proneness sebagai trait dari emosi moral dan
kelompok akan memilliki pengaruh dengan arah yang positif terhadap nilai-nilai
akan berkebalikan terhadap openness to change dan self enhancement, dimana kedua
sub-dimensi ini jarang dianggap sebagai nilai moral dan berfokus pada diri individu.
memperlihatkan struktur yang serupa dengan struktur nilai (Bardi & Schwartz, 2003).
Oleh sebab itu, pengaruh nilai-nilai yang saling berdekatan (compatible) terhadap
perilaku juga akan berdekatan, sementara nilai yang berkonflik juga akan
menunjukkan pengaruhnya terhadap perilaku yang bertolak belakang. Oleh sebab itu,
enhancement ke CWB.
seseorang sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di dalam kelompok. Pegawai
yang memiliki nilai conservation akan cenderung tunduk pada aturan dan nilai-nilai
bersama, ada rasa tidak nyaman untuk menjadi berbeda dan melanggar aturan yang
berlaku. Selain itu, nilai self-trancendence mengarahkan pegawai untuk lebih peduli
dan toleran terhadap perbedaan, masalah dan kekurangan orang lain, mengutamakan
35
kebersamaan dan keharmonisan. Pegawai dengan nilai-nilai tersebut akan cenderung
menghindari perilaku melanggar aturan dan menyakiti orang lain. Dengan demikian,
serta kurang peduli terhadap dampaknya terhadap orang lain. Orang-orang dengan
prioritas nilai tersebut akan cenderung termotivasi untuk melakukan tindakan yang
menguntungkan diri dan kurang mempertimbangkan aturan seperti CWB. Selain itu,
berdasarkan apa yang diinginkan dan disenanginya sehingga abai terhadap norma,
pendapat serta perasaan orang lain, berfikir kritis dan tidak suka mengikuti aturan
begitu saja. Selain itu, mereka akan lebih mengutamakan apa yang dianggapnya dapat
Namun, CWB yang terjadi pada PNS di Kota Pekanbaru tampaknya tidak
hanya dapat dijelaskan oleh rendahnya shame-proneness, nilai conservation dan self-
36
pemerintahan. Merujuk pada konsep yang dikembangkan Kurt Lewin bahwa
meskipun jelas bahwa individu adalah sumber dari mana respon manusia
perubahan kondisi turut mengubahnya (Schneider, 1975). PNS yang memiliki trait
shame dan social focus personal values dapat saja melakukan CWB ketika
spesifik, Trait Activation Theory menjelaskan bahwa suatu trait hanya merupakan
relevan (Tett & Guterman, 2000). Ketika individu sudah memiliki shame-pronennes
yang tinggi, situasi dan kondisi yang relevan akan menguatkan untuk menimbulkan
perilaku malu untuk melakukan CWB. Sebaliknya, jika situasi dan kondisi
proneness akan dikuatkan oleh ethical climate yang positif untuk tidak melakukan
CWB.
perilaku secara langsung berdasarkan kesesuaian struktur nilai yang dimiliki, namun
memberikan kejelasan (Bardi & Schwartz, 2003; Benish-Weisman, Daniel, & Knafo-
Noam, 2017; Roccas & Sagiv, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bardi &
37
Schwartz (2003), ada korelasi yang substantive antara sebagian besar nilai dengan
tersebut berbeda-beda. Selain itu, ada nilai-nilai yang tidak terbukti secara empiric
termotivasi untuk mengekspresikan nilai tersebut dalam perilaku patuh, hormat dan
positif menjadi isyarat yang menstimulasi dan menguatkan pegawai untuk tidak
batasan, dan abai terhadap aturan. Namun, ketika mereka mempersepsikan ethical
climate nya positif, maka ia cenderung untuk menahan pengekspresian nilai tersebut
38
karena ia merasa perilaku tersebut tidak diberi tempat dan tidak dibenarkan oleh
nilai yang menekankan pada pencapaian pribadi dan persaingan serta ambisi berupa
digambarkan oleh Arnaud (2006), yaitu ketika individu sebagai seorang PNS
memersepsikan nilai, sikap, dan tindakan yang lazim dilingkungan kerjanya kondusif,
di mana sebagian besar orang-orang memiliki kepekaan terhadap adanya isu atau
orang lebih utama daripada pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan diri sendiri,
nilai-nilai etis menjadi sesuatu yang lebih dihargai dan diprioritaskan dibandingkan
nilai lain, serta teguh dalam mempertahankan perilaku etik meskipun tidak dituntut
demikian atau justru di bawah tekanan untuk tidak melakukannya. Jika lingkungan
kerjanya negatif.
tersebut lama-kelamaan dapat menjadi sesuatu yang biasa dan umum, sehingga
39
pegawai yang tidak melakukannya justru terlihat aneh, misalnya pegawai yang
yang tadinya disiplin akhirnya ikut-ikutan datang terlambat, melakukan tugas lain dan
meninggalkan kantor untuk hal yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan karena
kebanyakan orang ditempat kerjanya melakukan hal tersebut tanpa adanya sanksi.
ada penghargaan untuk kedisiplinan ataupun hukuman yang jelas untuk pelanggaran.
2.3. Hipotesis
oleh personal values dengan moderasi ethical climate pada pengaruh shame-
Subhipotesis:
40
3. Ada pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh personal
41
III. METODE PENELITIAN
untuk menguji hubungan antara keempat variabel yang diteliti baik secara
Definisi konseptual
tindakannya dapat saja terjadi dengan diniatkan ataupun tanpa diniatkan untuk
merugikan organisasi namun kuncinya adalah perilaku tersebut sengaja dipilih untuk
dilakukan atau disadari dan dapat merugikan organisasi dan orang-orang di dalamnya.
Definisi operasional
pelanggaran aturan, standar dan norma yang dilakukan oleh pegawai dengan sengaja
42
di tempat kerja, baik diniatkan ataupun tidak untuk merugikan instansi/negara dan
orang-orang yang terlibat di dalamnya (rekan kerja, atasan, klien dan masyarakat
pengguna jasa). Tinggi rendahnya frekuensi CWB diketahui dari penjumlahan respon
subjek dari seluruh item (skor total) terhadap Skala Counterproductive Work
Definisi konseptual
Values adalah; (a) concepts or beliefs (b) about desirable end states or behaviours (c)
that transcend specific situations, (d) guide selection or evaluation of behaviour and
events, and (e) are ordered by relative importance (Schwartz & Bilsky, 1987).
Values secara umum dijelaskan dengan lima komponen di atas, yaitu merupakan
konsep atau keyakinan, mengenai kondisi akhir atau perilaku yang diinginkan,
(Schwartz & Bilsky, 1987). Secara lebih singkat Personal values diartikan sebagai
“the criteria people use to select and justify actions and to evaluate people (including
the self) and events” (Schwartz, 1992). Personal values merupakan kriteria yang
values terdiri dari empat subdimensi berdasarkan motivasi yang mendasarinya, yaitu:
43
1. Conservation adalah “values that emphasize order, self- restriction,
security;
action, and feelings and readiness for change” yaitu nilai-nilai yang
hedonism;
3. Self-trancendental adalah “values that emphasize concern for the welfare and
and relative success and dominance over others”, yaitu nilai-nilai yang
atas orang lain, yang didalamnya termasuk tipe nilai power dan achievement.
Definisi operasional
apa yang dianggap benar yang dijadikan acuan baginya dalam menentukan tindakan,
mengevaluasi diri, orang lain dan suatu peristiwa. Personal values pegawai tergambar
44
dari nilai apa yang dianggap penting yang kemudian memotivasi nya untuk mencapai
tujuan tertentu. Personal values seseorang ditentukan dari tinggi rendahnya prioritas
untuk tipe-tipe nilai tertentu yang ditunjukkan dari skor total respon subjek terhadap
dan kepatuhan terhadap aturan, tradisi dan nilai-nilai agama. Individu yang
kesopanan, menghormati orangtua atau yang lebih tua dan bersikap patuh,
kebebasan dan kesenangan. Individu yang memiliki skor tinggi pada openness
tujuan sendiri dan memiliki rasa ingin tahu, berani, merasakan hidup yang
45
berwawasan luas, menjaga lingkungan, kesatuan dengan alam dan keindahan
orang-orang dekat.
Definisi konseptual
to specific negative events” (June P. Tangney, 1996) yang dapat diartikan sebagai
peristiwa negatif yang spesifik. Adapun definisi malu pada orang Melayu adalah “an
emotion in which a person feels uncomfortable, discouraged, and guilty for mistakes
2021). Malu adalah sebuah emosi di mana seseorang merasa tidak nyaman, tidak
enak hati, dan merasa bersalah atas kesalahan atau pelanggaran aturan, nilai agama,
Definisi operasional
46
Shame-proneness adalah sifat yang dimiliki pegawai dengan kecenderungan
untuk merasa tidak nyaman, tidak enak hati dan merasa bersalah karena melanggar
peraturan, nilai-nilai agama, dan norma sosial atau tidak memenuhi standar kerja.
subjek yang didapatkan dari skala shame-proneness, yaitu jumlah skor total untuk
seluruh item. Skala shame-proneness yang digunakan dalam penelitian ini dibuat
khusus oleh peneliti untuk mengukur shame-proneness pekerja dalam konteks budaya
Melayu.
Definisi konseptual
Ethical climate adalah “shared perceptions of the content and strength of the
prevalent values, norms, attitudes, feelings, and behaviors of the members of a social
system, where the social system represents a collectivity of individuals who share a
“persepsi bersama tentang isi dan kekuatan nilai, norma, sikap, perasaan, dan perilaku
yang lazim dari anggota suatu sistem sosial. Sistem sosial tersebut mewakili
Definisi operasional
47
Ethical climate adalah seberapa positif atau negatif persepsi pegawai terhadap
nilai, norma, sikap, perasaan, dan perilaku yang lazim (dilakukan oleh sebagian besar
orang-orang) di dalam unit kerjanya. Ethical climates yang positif ditunjukkan dari
others, collective moral motivation, collective moral character dan skor yang rendah
pada collective moral judgment focus on self oleh karena itu untuk mendapatkan skor
total untuk ethical climate maka dimensi collective moral judgment focus on self di-
Dalam penelitian ini, data akan diambil dengan menggunakan empat skala,
yaitu adaptasi dari counterproductive work behavior checklist (CWB-C) dari Spector,
oleh Schwartz & Boehnke (2004) yang terdiri dari 40 item, dan Ethical Climate Index
(ECI) yang dikembangkan oleh Arnaud (2006) dengan menggunakan 18 item. Skala
shame-proneness (24 item) dikembangkan oleh peneliti. Keempat alat ukur telah diuji
Populasi penelitian ini adalah seluruh PNS yang berada di bawah Pemerintah
Provinsi Riau yang bertugas di Kota Pekanbaru yang berjumlah 15.068 orang (data
PNS dari Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Riau bulan Juni 2021). Luasnya kota
48
setiap Instansi di bawah pemerintahan Provinsi Riau menjadi pertimbangan peneliti
untuk menggunakan teknik cluster random sampling. Cluster dalam hal ini adalah
UNPAD SAS dengan proporsi 0.5 dan bound of error 0.07 sehingga di dapatkan
jumlah subjek minimal sebanyak 404 orang. Dari 36 instansi diambil 19 instansi yang
ditentukan secara random. Dalam penelitian ini terkumpul data sebayak 472, setelah
data dibersihkan (mengeluarkan subjek yang tidak mengisi keseluruhan skala) maka
dibandingkan metode statistik tradisional, yaitu tidak terbatas pada kemampuan untuk
kompleks dan spesifik; menangani data yang sulit; menguji model invarian parameter
menghadapi heterogenitas populasi (Wang & Wang, 2012). Analisis data SEM dalam
49
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
bahwa usia subjek berkisar antara 20 hingga 60 tahun dan rata-rata berumur sekitar
rata-rata sudah bekerja selama sekitar 13 tahun. Subjek berjenis kelamin perempuan
sedikit lebih banyak (59.5%) dibandingkan laki-laki. Sebagian besar subjek berada
pada golongan 3 (77.4%) dari paling rendah pada golongan satu hingga paling tinggi
pada golongan empat. Pendidikan terakhir subjek bervariasi dari Sekolah Menengah
(63.4%). Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di pemerintahan Provinsi Riau memiliki
suku beragam, begitu pula yang menjadi sampel penelitian ini. Namun demikian,
Hasil analisis deskriptif terhadap data dari 404 subjek untuk setiap variabel
yang diteliti dalam penelitian ini dijelaskan dalam tabel berikut ini:
50
Berdasarkan uji hipotesis dengan menggunakan SEM, didapatkan hasil
Gambar 4 1. Standardized factor loading uji SEM untuk model utama penelitian
51
Gambar 4 2 Nilai t-value uji SEM untuk model utama penelitian
Adapun indeks kecocokan model dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4 1. Hasil Uji Kecocokan Model Struktural untuk Model Utama Penelitian
Nilai chi-square yang besar dengan p-value >0.05 menunjukkan model tidak
fit. Namun, mengingat kerentanan Chi-square terhadap jumlah sampel maka nilai
52
RMSEA merupakan sebuah alternatif penentuan kecocokan model yang dapat
diandalkan (Wang & Wang, 2012). Berdasarkan tabel di atas, nilai RMSEA sebesar
.072 (<0.08) menunjukkan bahwa model dinyatakan medium fit. Hasil ini didukung
oleh indikator-indikator lainnya seperti NNFI, CFI dan SRMR yang memenuhi
berdasarkan uji model struktural, model utama yang diajukan dalam penelitian ini
tergolong fit (cocok) sehingga Hipotesis utama diterima, yaitu: Ada pengaruh shame-
proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh personal values dengan moderasi
ethical climate pada pengaruh shame-proneness dan personal values terhadap CWB.
interaksi yang kuat pada pengaruh shame-proneness dan conservation serta self-
Berdasarkan hasil analisis ini maka diketahui bahwa Subhipotesis 1 diterima, yaitu
Ada pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh personal values-
diterima, yaitu Ada pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh
53
Baik nilai openness to change maupun self-enhancement memediasi shame-
proneness terhadap CWB dengan arah yang sama. Begitupula pola yang ditunjukkan
dari efek moderasi ethical climate terhadap jalur mediasi tersebut. Self-proneness
enhancement akan berdampak pada tingginya CWB. Namun demikian jika pegawai
CWB. Selain itu, interaksi ethical climate juga ditemukan dalam pengaruh shame-
proneness dan personal values- openness to change terhadap CWB. Begitu pula
54
terhadap CWB. Hasil uji hipotesis yang telah dijelaskan menjawab bahwa semua
secara langsung dan melalui setiap subdimensi personal values. Tingginya shame-
proneness serta nilai-nilai moral yang berinterakasi ethical climate positif dengan
akan mencegah terjadinya CWB. Berbeda saat shame-proneness dan nilai moral
tersebut berinteraksi dengan ethical climate yang negatif maka dapat menyebabkan
tergantung pada ethical climate di unit kerjanya. Ethical climate sebagai variabel
terhadap CWB dibanding nilai lainnya. Ethical climate yang dipersepsi positif
melemahkan efek nilai openness to change diekspresikan dalam bentuk CWB. Selain
itu, dari pengujian moderasi ini juga diketahui bahwa terdapat pengaruh dari ethical
climate terhadap CWB dalam arah yang negatif. Secara umum, model yang
melibatkan mediator dan moderator yang digunakan serta hasil dari pengujian yang
Kota Pekanbaru.
55
4.2. Pembahasan
melalui personal values dan interaksinya dengan ethical climate. Model ini
faktor personal dan faktor situasional yang dipersepsi oleh para pegawai.
malu) yang ada pada diri pegawai melalui prioritas nilai-nilai apa yang mereka
individu untuk merasa malu dalam melanggar aturan atau norma dan standar yang
memengaruhi nilai-nilai yang dianggap penting yang menjadi standar baginya dalam
mengevaluasi peristiwa, diri dan orang lain serta menentukan keputusan dan tindakan
yang dianggap baik. Prioritas terhadap nilai tertentu akan memotivasi individu untuk
melakukan tindakan yang sesuai dan menghindari tindakan yang tidak sesuai dengan
dipandang sebagai sifat yang positif dan penting dalam dunia kerja (Cucuani et al.,
56
2021). Shame yang dirasakan menandakan adanya kesadaran individu akan moral dan
etika (Effendy, 2006), pengetahuan tentang haram dan halal (Collins & Bahar, 2000),
kesadaran akan hak dan kewajiban (Chairani, Cucuani, & Priyadi, 2021), serta
kesadaran akan pentingnya menjaga relasi dan keharmonisan kelompok (Murphy &
Kiffin-Petersen, 2017; Wong & Tsai, 2007). Dengan demikian, sebagai sebuah trait
dari emosi moral (Murphy & Kiffin-Petersen, 2017; Wallace, 2013), shame terkait
lima dari 10 value yang termasuk kedalam nilai self-transcendence dan conservation
mempromosikan atau menjaga hubungan positif diri dengan orang lain (social focus).
Lima nilai lainnya, yang termasuk kedalam nilai self-enhancement dan openness to
malu ketika melakukan pelanggaran aturan, norma agama atau standar yang berlaku.
Oleh sebab itu, orang dengan shame-proneness yang tinggi akan menunjukkan
57
menunjukkan kesederhanaan, tidak suka tampil berbeda yang membuatnya terlihat
menonjol, berhati-hati dalam bertindak dan menghindari resiko yang besar. Dengan
terhadap nilai conservation yang menekankan keteraturan, loyalitas, rasa hormat pada
orang yang lebih tua, menghargai dan menjalankan tradisi serta ajaran agama,
menjaga keamanan dan keharmonisan kelompok. Selain itu, orang dengan shame-
menekankan menjaga hubungan baik dengan orang lain dan alam semesta dengan
kelompok.
pengaruhnya dalam arah yang sama dengan nilai tersebut. sementara pengaruh
self-transcendence adalah yang paling kuat, tidak jauh berbeda dengan conservation.
58
values juga diyakini akan menghalangi individu untuk melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan nilai pribadi. Oleh sebab itu, orang yang memiliki nilai-nilai
moral akan berperilaku sesuai dengan moral dan berusaha untuk menghindari
Nilai-nilai moral yang dimaksud adalah nilai-nilai social focus yang menekankan
pencapaian personal (personal focus), yaitu nilai openness to change dan self-
enhancement dapat mengarahkan individu pada CWB. Hal ini sejalan dengan hasil
dan self-enhancement terkait dengan beberapa tindakan CWB (Hafidz et al., 2012)
Karakter yang sudah ada di dalam diri seseorang tidak selalu terwujud dalam
bentuk perilaku. Murphy & Kiffin-Petersen (2017) menyatakan bahwa rasa malu saja
tidak akan menghentikan semua pelanggaran etika di tempat kerja. Perilaku seseorang
tidak dapat dijelaskan hanya melalui karakternya saja, interaksi individu dengan
dalam menurunkan CWB, sementara ethical climate yang negatif justru melemahkan
59
pengaruh negatif shame-proneness terhadap CWB. Selain itu, ethical climate yang
positif juga memperkuat prioritas terhadap nilai-nilai yang sesuai dengan shame-
menampilkan CWB. Sebaliknya, ethical cimate yang positif justru akan melemahkan
sensitifitas, moral judgement, moral motivasi dan moral karakter sebagai acuan
pengambilan keputusan dan menjalankan tugas yang terkait dengan etik. Hal ini
karakternya. Lingkungan yang tidak mendukung tersebut dalam penelitian ini adalah
kelaziman dalam lingkungan unit kerja di mana orang-orang di dalamnya tidak peduli
dengan adanya masalah etik, tidak menunjukkan empati pada kemalangan atau
kesulitan yang dialami orang lain, lebih membenarkan nilai-nilai non moral daripada
sosial, serta tidak memiliki karakter moral yang kuat. Misalnya, pegawai dengan
shame-proneness akan merasa malu jika datang terlambat, namun ia datang terlambat
karena perilaku tersebut dianggap lazim di tempatnya bekerja. Hal seperti ini juga
60
terjadi untuk tindakan menerima gratifikasi, menggunakan barang, waktu dan fasilitas
dapat dijelaskan bahwa shame-proneness dapat menghambat CWB pada saat ethical
climate positif. Ethical climate negatif dapat menjelaskan mengapa orang dengan
keputusan yang terkait etik menjadi referensi dalam menjelaskan perilaku apa yang
lebih diterima secara umum. Hal ini menyebabkan pegawai dengan shame-proneness
menjadi malu untuk melakukan CWB jika perilaku tersebut dianggap tidak etis dan
tidak wajar dilakukan, sebaliknya menjadi tidak malu dalam melakukan tindakan
tersebut dalam perilaku kerja. Namun, ada kalanya situasi dengan nilai konsekuensial
berusaha mengikuti aturan justru dinilai secara negatif dari orang-orang yang
61
disisi lain pelanggaran tidak mendapatkan hukuman, maka trait tersebut tidak
diekspresikan dalam bentuk perilaku yang relevan. Hal tersebut dapat berlanjut
sebab itu Chen et al. (2013) mengusulkan agar praktisi, atau dalam hal ini manajemen
atau pimpinan instansi untuk memperkuat ethical climate yang kondusif agar
melemahkan efek trait negatif dapat diekspresikan dalam CWB, begitu pula
terjadinya CWB.
CWB, teori ini juga dapat menjelaskan bagaimana ethical climate memperkuat atau
memperlemah personal values untuk dapat diwujudkan dalam perilaku yang sesuai.
kepentingan sosial diperkuat oleh ethical climate yang positif untuk diwujudkan
dalam perilaku disiplin, loyal dan kooperatif dalam bekerja sehingga menunjukkan
CWB yang rendah. Sebaliknya, nilai-nilai yang berfokus pada diri sendiri akan
dilemahkan oleh ethical climate yang positif untuk terwujud dalam tindakan CWB.
62
Dalam pengujian ini juga diketahui bahwa ethical climate memiliki
pengaruh terhadap CWB dalam arah negatif. Artinya, ethical climate yang negatif
akan membuat pegawai lebih sering terlibat CWB, sementara ethical climate yang
positif akan menghambat CWB. Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa
dalam menjelaskan CWB (Kanten & Ulker, 2013; Lucia et al., 2021; Pagliaro et al.,
2018) dan perilaku lainnya yang termasuk dalam CWB, seperti korupsi (Gorsira et
al., 2018; Özen, 2018), sex harassment (Tenbrunsel et al., 2019) dan fraud (Murphy
et al., 2012). Hal ini membuktikan bahwa faktor situasional berperan penting karena
eksternal sering menjadi fokus dalam menjelaskan perilaku individu (Dean & Koenig,
berpengaruh terhadap komitmen afektif (Munajah & Purba, 2018), dan meningkatkan
63
demikian, tampak bahwa ethical climate merupakan variabel penting di instansi
pemerintahan untuk membentuk sikap positif dan produktifitas kerja yang optimal.
64
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dari penelitian ini, maka didapatkan
behavior yang dimediasi oleh personal values dengan ethical climate sebagai
65
b. Terdapat pengaruh Shame-proneness terhadap counterproductive work
akan membuat prioritas yang lebih rendah pada personal values- self-
66
dalam counterproductive work behavior namun dapat dilemahkan oleh
personal values dalam arah negatif. Peran moderasi ethical climate dalam
pengaruh personal values terhadap CWB paling besar adalah pada moderasi
berada pada taraf sangat rendah, namun masih ditemukan yang berada pada
taraf sedang hingga sangat tinggi. CWB-O lebih sering dilakukan oleh
67
sedang. Secara umum shame-proneness pegawai adalah tinggi, di mana
dimensi negative evaluation dan motivation to change the self berada pada
Ethical climate berada pada kategori sedang, di mana hampir semua sub
dimensi ada pada kategori tinggi, kecuali focus on self yang berada pada
kategori sedang.
3.2.Saran
tepat sasaran.
68
b. Melibatkan aspek kepemimpinan dalam penelitian selanjutnya sebagai
69
shame-proneness juga diterapkan dalam bagaimana pegawai
akan membuat pekerja jera dan berusaha untuk memperbaiki diri dan
sebagai nilai pribadi yang mencegah pegawai dari CWB. Selain itu,
berlaku.
nilai dasar, prinsip serta kode etik dan kode perilaku ASN
70
memersepsikan norm of empathic concern, norm of moral awareness,
sifat yang penting untuk diajarkan dan dipupuk kuat kepada anak-anak
71
Daftar Pustaka
Al-Muqaddam, M. I. (2008). Fikih Malu: Menghiasi Hidup dengan Malu. Nakhlah
Pustaka. Retrieved from http://files/1219/al-Muqaddam_2008.pdf
Anggraini, N. N. (2015). Uji Validitas Konstruk pada Instrumen Counterproductive
Work Behavior Checklist Dengan Metode Confirmatory Factor. Jurnal
Pengukuran Psikologi Dan Pendidikan Indonesia, IV(2), 133–142.
Appelbaum, S. H., Deguire, K. J., Lay, M., Appelbaum, S. H., Deguire, K. J., & Lay,
M. (2005). The relationship of ethical climate to deviant workplace behaviour.
Coorporate Governance, 5(4), 43–55.
https://doi.org/10.1108/14720700510616587
Ariani, D. W. (2016). The Relationship between Employee Engagement ,
Organizational Citizenship The Relationship between Employee Engagement ,
Organizational Citizenship Behavior , and Counterproductive Work Behavior.
International Journal of Business Administration, 4(2), 46–56.
https://doi.org/10.5430/ijba.v4n2p46
Arnaud, A. (2006a). A New Theory and Measure of Ethical Work Climate : The
Psychological Process Model ( PPM ) and the Ethical Climate Index ( ECI ).
University of Central Florida, Orlando, Florida.
Arnaud, A. (2006b). Conceptualizing and Measuring Ethical Work Climate:
Development and Validation of the Ethical Climate Index (ECI). Academy of
Management Best Conference Paper.
Bagozzi, R. P., Verbeke, W., & Gavino, J. C. (2003). Culture Moderates the Self-
Regulation of Shame and Its Effects on Performance : The Case of Salespersons
in the Netherlands and the Philippines. Journal of Applied Psychology, 88(2),
219–233. https://doi.org/10.1037/0021-9010.88.2.219
Bagyo, Y. (2018). The Effect of Counterproductive Work Behavior ( CWB ) And
Organizational Citizenship Behavior ( OCB ) on Employee Performance With
Employee Engagement As Intervening Variable. IOSR Journal of Business and
Management, 20(2), 83–89. https://doi.org/10.9790/487X-2002048389
Bardi, A., & Schwartz, S. H. (2003). Values and Behavior : Strength and Structure of
Relations. Personality and Social Psychology Bulletin, 29, 1207–1220.
https://doi.org/10.1177/0146167203254602
Bauer, J. A., & Spector, P. E. (2015). Discrete Negative Emotions and
Counterproductive Work Behavior. Human Performance, 28(4), 307–331.
https://doi.org/10.1080/08959285.2015.1021040
Bedford, O. A. (2004). Culture & Psychology The Individual Experience of Guilt and
Shame in Chinese Culture. Culture and Psychology, 10(29).
https://doi.org/10.1177/1354067X04040929
72
Benish-Weisman, M., Daniel, E., & Knafo-Noam, A. (2017). The Relations Between
Values and Aggression: A Developmental Perspective. In S. Roccas & L. Sagiv
(Eds.), Values and Behavior: Taking a Cross Cultural Perspective (pp. 1–255).
https://doi.org/10.1007/978-3-319-56352-7
Bruursema, K. (2007). How individual values and trait boredom interface with job
characteristics and job boredom in their effects on counterproductive work
behavior. College of Arts and Sciences University of South Florida Major.
Chairani, L., Cucuani, H., & Priyadi, S. (2021). Al-Haya’ Instrument Construction:
Shame Measurement Based on the Islamic Concept. Jurnal Psikologi Islam Dan
Budaya, 4(1), 1–14. Retrieved from
https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jpib/article/view/10388/5485
Chaudhuri, A. (2014). Chaudhuri, Arijit-Modern Survey Sampling-CRC Press
(2014). Boca Raton: CRC Press. https://doi.org/10.1080/02664763.2014.991071
Chen, C., Chen, M. Y., & Liu, Y. (2013). Negative affectivity and workplace
deviance : the moderating role of ethical climate. The International Journal of
Human Resource Management, 24(15), 2894–2910.
https://doi.org/10.1080/09585192.2012.753550
Clark, A. (2012). Working with guilt and shame. Advances in Psychiatric Treatment,
18, 137–143. https://doi.org/10.1192/apt.bp.110.008326
Cohen, T. R., Panter, A. T., & Turan, N. (2013). Prediciting counterproductive work
behavior from guilt proneness. Journal of Business Ethics, 114(1), 45–53.
https://doi.org/10.1007/s10551-012-1326-2
Collins, E. F., & Bahar, E. (2000). To Know Shame: Malu and Its Uses in Malay
Societies. Journal of Southeast Asian Studies, 14(1), 35–69. Retrieved from
http://www.jstor.org/stable/40860752 .
Covert, M. V., Tangney, J. P., Maddux, J. E., & Heleno, N. M. (2003). Shame-
proneness, guilt-proneness, and interpersonal problem solving: A social
cognitive analysis. Journal of Social and Clinical Psychology (Vol. 22).
Retrieved from https://e-
resources.perpusnas.go.id:2057/docview/224856784/fulltextPDF/A71CFC873F
5C47F9PQ/1?accountid=25704
Cucuani, H., Sulastiana, M., Harding, D., & Agustiani, H. (2021). The Meaning of
Shame for Malay People in Indonesia and Its Relation to Counterproductive
Work Behaviors in the Fourth Industrial Revolution. In C.-H. Mayer, E.
Vanderheiden, & P. T. P. Wong (Eds.), Shame 4.0: Investigating an Emotion in
Digital Worlds and the Fourth Industrial Revolution (pp. 73–86). Springer.
https://doi.org/https://doi.org/10.1007/978-3-030-59527-2_4
Dansie, E. J. (2009). An empirical investigation of the adaptive nature of shame.
73
ProQuest Dissertations and Theses. Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/305016046?accountid=17192
Dean, K. K., & Koenig, A. M. (2019). Cross-Cultural Differences and Similarities in
Attribution. In K. D. Keith (Ed.), Cross-Cultural Psychology (Contemporary
Themes and Perspectives) (pp. 575–597). Willey-Blackwell.
https://doi.org/10.1002/9781119519348.ch28
Effendy, T. (2006). Tunjuk Ajar Melayu: Butir-butir Budaya Melayu. Yogyakarta:
Adicita.
Ertosun, O. G., & Adiguzel, Z. (2018). Leadership , Personal Values and
Organizational Culture. In Startegic Design and Innovative Thinking in Business
Operations: The Role of Business Culture and Risk Management.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-77622-4
Ferguson, T. J., & Crowley, S. L. (1997). Measure for Measure : A Multitrait-
Multimethod Analysis of Guilt and Shame. Journal of Personality Assessment,
64(2), 425–441. https://doi.org/10.1207/s15327752jpa6902
Fessler, D. M. T. (2004). Shame in two cultures: Implications for evolutionary
approaches. Journal of Cognition and Culture, 4(2), 207–262.
https://doi.org/10.1163/1568537041725097
Fischer, K. W., & Tangney, J. P. (1995). Self Conscious Emotion and The Affect
Revolution: Framework and Overview. In June Price Tangney & K. W. Fischer
(Eds.), Self-Cosncious Emotions: The PSychology of Shame, Guilt,
Embarrassment, and Pride (pp. 3–24). New York: The Guildford press.
Fox, S., Spector, P. E., & Miles, D. (2001). Counterproductive Work Behavior
(CWB) in Response to Job Stressors and Organizational Justice: Some Mediator
and Moderator Tests for Autonomy and Emotions. Journal of Vocational
Behavior, 59(3), 291–309. https://doi.org/10.1006/jvbe.2001.1803
Gorsira, M., Steg, L., Denkers, A., & Huisman, W. (2018). administrative sciences
Corruption in Organizations : Ethical Climate and Individual Motives.
Administrative Sciences, 8(4). https://doi.org/10.3390/admsci8010004
Gruys, M. L., & Sackett, P. R. (2003). Investigating the dimensionality of
counterproductive work behavior. International Journal of Selection and
Assessment, 11(1), 30–42. https://doi.org/10.1111/1468-2389.00224
Gualandri, M. (2012). Counterproductive Work Behaviors and Moral
Disengagement. Sapienza Universita Di Roma.
Hafidz, S. W. ., Hoesni, S. M., & Omar, F. (2012). The Relationship between
Organizational Citizenship Behavior and Counterproductive Work Behavior.
Asian Social Science, 9(9), 31–37. https://doi.org/10.5539/ass.v8n9p32
74
Haidt, J. (2001). The Emotional Dog and ts Rational Tail : A Social Intuitionist
Approach to Moral Judgment. Psichological Review, 108(4), 814–834.
Hollinger, R., & Clark, J. (1982). Employee Deviance: A Response to The Perceived
Quality of The Work Experiaence. Work and Occupations, 9(1), 97–114.
https://doi.org/0803973233
Hollinger, R., & Davis, J. L. (2006). Employee Theft and Staff Dishonesty. In
M.L.Gill (Ed.), The Handbook of Security (pp. 203–228). Basingstoke: Palgrave
Macmillan.
Hollinger, R., Slora, K. B., & Terris, W. (1992). Deviance in the fast‐food restaurant:
Correlates of employee theft, altruism, and counterproductivity. Deviant
Behavior, 13(2), 155–184. https://doi.org/10.1080/01639625.1992.9967906
Kanten, P., & Ulker, F. E. (2013). The Effect of Organizational Climate on
Counterproductive Behaviors: An Empirical Study on the Employees of
Manufacturing Enterprises. The Macrotheme Review, 2(4), 144–160.
Kluckhohn, C., & Others. (1951). Values and Value-Orientations in the Theory of
Action: An Exploration in Definition and Classification. In A General Theory of
Action (pp. 388–433).
Koivula, N. (2008). Basic Human Values in the Workplace. (K. Helkama, K. M.
Vesala, K. Liebkind, A.-M. Pirttilä-Backman, M. Wager, & I. Jasinskaja-Lahti,
Eds.). Helsinki: Department of Social Psychology, University of Helsinki.
Leeming, D., & Boyle, M. (2004). Shame as a social phenomenon: A critical analysis
of the concept of dispositional shame. Psychology and Psychotherapy: Theory,
Research & Practice, 77(3), 375–396.
https://doi.org/10.1348/1476083041839312
Lindebaum, D., Geddes, D., & Gabriel, Y. (2017). Moral Emotions and Ethics in
Organisations : Introduction to the Special Issue. Journal of Business Ethics,
141(4), 645–656. https://doi.org/10.1007/s10551-016-3201-z
Lucia Bellora-Bienengräbera, R.Radtke, R., & K.Widener, S. (2021).
Counterproductive work behaviors and work climate: The role of an ethically
focused management control system and peers’ self-focused behavior.
Accounting, Organizations and Society.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.aos.2021.101275
Marcus, B., Taylor, O. A., Hastings, S. E., Sturm, A., & Weigelt, O. (2016). The
Structure of Counterproductive Work Behavior: A Review, a Structural Meta-
Analysis, and a Primary Study. Journal of Management, 42(1), 203–233.
https://doi.org/10.1177/0149206313503019
Mashlah, S. (2015). The Role oF People’ s Personal Values in The Workplace.
International Journal of Management and Applied Science, 1(9), 158–164.
75
Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/305568080%0ATHE
Munajah, A., & E. Purba, D. (2018). Pengaruh Kepemimpinan Etis dan Iklim Etis
terhadap Komitmen Afektif. Jurnal Psikologi, 14(1), 30.
https://doi.org/10.24014/jp.v14i1.4456
Murphy, P. R., Free, C., & Branston, C. (2012). The Role of Ethical Climate in
Fraud. Queen’s University.
Murphy, S. A., & Kiffin-Petersen, S. (2017). The Exposed Self: A Multilevel Model
of Shame and Ethical Behavior. Journal of Business Ethics, 141, 657–675.
https://doi.org/10.1007/s10551-016-3185-8
Nasilah, S., & Marettih, A. K. E. (2015). Integrasi Diri Sebagai Konsep Sehat Mental
Orang Melayu Riau. Jurnal Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 11(Juni),
37–48.
Özen, F. (2018). On the Intermediary Effect of Organizational Policy : The Effect of
Perceived Ethical Climate on Corruption Behavior of Teachers. Journal of
Education and Training Studies, 6(8), 52–65.
https://doi.org/10.11114/jets.v6i8.3238
Pagliaro, S., Presti, A. Lo, Barattucci, M., Giannella, V. A., & Barreto, M. (2018). On
the Effects of Ethical Climate ( s ) on Employees ’ Behavior : A Social Identity
Approach. Original Research, 9(960), 1–10.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.00960
Parks-leduc, L., Feldman, G., & Bardi, A. (2015). Personality Traits and Personal
Values : A Meta-Analysis. Personality and Social Psychology Review, 19(1), 3–
29. https://doi.org/10.1177/1088868314538548
Penney, L. M., & Spector, P. E. (2002). Narcissism and Counterproductive Work
Behavior: Do Bigger Egos Mean Bigger Problems? International Journal of
Selection and Assessment, 10(1&2), 126–134. https://doi.org/10.1111/1468-
2389.00199
Poulson II, C. F. (2000). Shame and Work. In W. Ashkanazy, N., Hartel, C. and
Zerbe (Ed.), Emotions in the workplace: Research, theory, and practice (pp.
250–271).
Qiu, T., & Peschek, B. S. (2012). The Effect of Interpersonal Counterproductive
Work Behaviors on the Performance of New Product Development Teams.
American Journal of Management, 12(1), 21–33.
Robinson, S., & Bennett, R. (1995). A Typology of Deviant Workplace Behaviors: A
Multidimensional Scaling Study. The Academy OfManagement Journal, 38(2),
555–572. https://doi.org/10.2307/256693
Roccas, S., & Sagiv, L. (2010). Personal Values and Behavior : Taking the Cultural
76
Context into Account. Social and Personality Psychology Compass, 4(1), 30–41.
Rohan, M. J. (2000). A Rose by Any Name ? The Values Construct. Personality and
Social Psychology Review, 4(3), 255–277.
Rotundo, M., & Sackett, P. R. (2002). The Relative Importance of Task , Citizenship
, and Counterproductive Performance to Global Ratings of Job Performance : A
Policy-Capturing Approach, 87(1), 66–80. https://doi.org/10.1037//0021-
9010.87.1.66
Roxana, A.-C. (2013). Antecedents and Mediators of Employees’ Counterproductive
Work Behavior and Intentions to Quit. Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 84, 219–224. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.06.538
Sackett, P. R., & Devore, C. J. (2001). Counterproductive Behaviors at Work. In N.
Anderson, D. S. Ones, H. K. Sinangil, & C. Viswesvaran (Eds.), Handbook of
Industrial, Work on Organizational Psychology (pp. 145–164). London: SAGE
Publications Inc.
Sagiv, L., & Roccas, S. (2017). What Personal Values Are and What They Are Not:
Taking a Cross-Cultural Perspective. In S. Roccas & L. Sagiv (Eds.), Values and
Behavior: Taking a Cross Cultural Perspective (pp. 3–14). Cham, Switzerland:
Springer.
Saidon, I. M. (2012). Moral Disengagement in Manufacturing: A Malaysian Study of
Antecedents and Outcomes Intan Marzita Saidon. Curtin University.
Schneider, B. (1975). Organizational Climates: An Essay. Personnel Psychology, 28,
447–479.
Schwartz, S. H. (1992). Universals in The Content and Stucture of Values:
Theoritical Advances and Empirical Tests in 20 Countries. Advances in
Experimental Social Psychology, 25, 1–65.
Schwartz, S. H. (2005). Universalism values and the inclusiveness of our moral
universe.
Schwartz, S. H. (2012). An Overview of the Schwartz Theory of Basic Values.
Psychology and Culture, 2(11), 1–20.
Schwartz, S. H., & Bilsky, W. (1987). Toward A Universal Psychological Structure
of Human Values. Journal of Personality and Social Psychology, 53(3), 550–
562.
Silfver-kuhalampi, M. (2008). The sources of moral motivation – studies on empathy
, guilt , shame and values. (K. Helkama, I. Jasinskaja-Lahti, K. Liebkind, A.-M.
Pirttila, K. M. Vesala, M. Wager, & J. Lipponen, Eds.). Helsinki: Department of
Social Psychology, University of Helsinki.
Silfver, M., Klaus, H., Lonnqvist, J.-E., & Verkasalo, M. (2008). The relation
77
between value priorities and proneness to guilt , shame , and empathy.
Motivation and Emotion, 32, 68–80. https://doi.org/10.1007/s11031-008-9084-2
Spector, P. E., & Fox, S. (2002). An emotion-centered model of voluntary work
behavior: Some parallels between counterproductive work behavior and
organizational citizenship behavior. Human Resource Management Review,
12(2), 269–292. https://doi.org/10.1016/S1053-4822(02)00049-9
Spector, P. E., & Fox, S. (2005). The Stressor-Emotion Model of Counterproductive
Work Behavior. In S. Fox & P. E. Spector (Eds.), Counterproductive work
behavior: Investigations of actors and targets. (pp. 151–174). Washington.
https://doi.org/10.1037/10893-007
Spector, P. E., Fox, S., & Domagalski, T. (2006). Emotions, Violence, and
Counterproductive Work Behavior. In E. K. Kelloway, J. Barling, & J. J. H. Jr.
(Eds.), Handbook of Workplace Violence (pp. 29–46). Tampa: Sage
Publications. https://doi.org/10.4135/9781412976947.n3
Spector, P. E., Fox, S., Penney, L. M., Bruursema, K., Goh, A., & Kessler, S. (2006).
The dimensionality of counterproductivity: Are all counterproductive behaviors
created equal? Journal of Vocational Behavior, 68(3), 446–460.
https://doi.org/10.1016/j.jvb.2005.10.005
Stiles, P. (2008). The negative side of motivation: the role of shame. Cambridge.
Su, C. (2010). A Cross-Cultural Study on the Experience and Self-Regulation of
Shame and Guilt. Soil Science. Toronto.
Suyasa. (2018). Convergent evidence : Construct validation of an Indonesian version
of interpersonal and organisational deviance scales. In Ariyanto (Ed.), Diversity
in Unity: Perspectives from Psychology and Behavioral Sciences. London:
Taylor & Francis Group.
Tamar, M. A., Pangemanan, S., & Tompodung, J. (2017). Etika Pemerintahan dalam
Meningkatkan Kinerja Aparatur Sipil Negara (Studi di Kantor Kecamatan Siau
Barat Selatan Kabupaten Sitaro). Jurnal Eksekutif, 2(2).
Tangney, June P. (1996). Conceptual and Methodological Issues in The Assessment
of Shame and Guilt. Behav.Res. Ther, 34(9), 741–754.
Tangney, June Price, & Dearing, R. L. (2002). Shame and Guilt. (P. Salovey, Ed.).
New York: The Guilford Press.
Tangney, June Price, Stuewig, J., & Mashek, D. J. (2007). Moral Emotions and Moral
Behavior. The Annual Review of Psychology, 58, 345–372.
https://doi.org/10.1146/annurev.psych.56.091103.070145
Tenbrunsel, A. E., Rees, M. R., & Diekmann, K. A. (2019). Sexual Harassment in
Academia: Ethical Climates and Bounded Ethicality. Annual Review of
78
Psychology, 70(August), 245–270. https://doi.org/10.1146/annurev-psych-
010418-102945
Tett, R. P., & Guterman, H. A. (2000). Situation Trait Relevance , Trait Expression ,
and Cross-Situational Consistency : Testing a Principle of Trait Activation
Borne of the long-standing debate over traits and situations as sources of
behavioral variance ( Bowers , 1973 ; Ekehammar , 1974 ; Journal of Research
in Personality, 34, 397–423. https://doi.org/10.1006/jrpe.2000.2292
Thomas, T. P. (2013). The effect of personal values, organizational values, and
person-organization fit on ethical behaviors and organizational commitment
outcomes among substance abuse counselors: A preliminary investigation.
Dissertation Abstracts International Section A: Humanities and Social Sciences.
University of Lowa.
Tim penyusunan Laporan Tahunan KPK 2017. (2018). Laporan Tahunan 2017: Demi
Indonesia untuk Indonesia. Retrieved November 23, 2018, from
www.kpk.go.id/Laporan Tahunan KPK 2017
Urbina, S. (2004). Essentials of Psychological Testing. (A. S. Kaufman & N. L.
Kaufman, Eds.). Canada: Jhon Wiley & Sons, Inc.
Vardi, Y. (2001). The Effects of Organizational and Ethical Climates on Misconduct
at Work. Journal of Business Ethics, 29, 325–337.
Vardi, Y., & Weitz, E. (2004). Misbehavior in Organizations: Theory, Research and
Management. New Jarsey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Victor, B., & Cullen, J. B. (1988). The Organizational Bases of Ethical Work
Climates. Administrative Science Quarterly, 33(1), 101–125.
Waheeda, S., & Hafidz, M. (2012). Individual Differences as Antecedents of
Counterproductive Work Behaviour. Asian Social Science, 8(13), 220–226.
https://doi.org/10.5539/ass.v8n13p220
Wallace, B. (2013). The Effect of Shame and Guilt Types on Helping Behaviors. East
Carolina University.
Wang, J., & Wang, X. (2012). Structural Equation Modeling. (H. Balding, D.J.,
Cressie, N.A.C., Fitzmaurice, G.M., Goldtein, Ed.). India: Wiley.
Wijnen, K., Vermeir, I., & Kenhove, P. Van. (2007). The relationships between traits
, personal values , topic involvement , and topic sensitivity in a mail survey
context. Personality and Individual Differences, 42, 61–73.
https://doi.org/10.1016/j.paid.2006.06.021
Winurini, S. (2014). Mengatasi Perilaku Kontraproduktif Aparatur Negara melalui
Sistem Remunirasi (sebuah Review Mengenai Keadilan Organisasi). Aspirasi:
Jurnal Permasalahan-Permasalahan Sosial, 5(1).
79
Wong, Y., & Tsai, J. (2007). Cultural Models of Shame and Guilt. In J. L. Tracy, R.
W. Robins, & J. P. Tangney (Eds.), The self-conscious emotions: Theory and
research (pp. 209–223). New York, NY, US: Guilford Press.
Wulandari, S., & Widyastuti, A. (2014). Faktor - Faktor Kebahagiaan Di Tempat
Kerja. Jurnal Psikologi, 10(1), 49–60.
Yu, C. (2014). The reality of counterproductive work behaviours. Retrieved from
https://www.organisationalpsychology.nz/_content/14_12_10_Counterproductiv
e_Work_Behaviours_White_Paper_Christine_Yu .pdf
80
RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS DIRI
Nama : Hijriyati Cucuani, M.Psi
NIP/NIK : 19821018 200901 2 007
Tempat dan Tanggal Lahir : Pekanbaru, 18 Oktober 1982
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Golongan / Pangkat : Lektor / III d
Jabatan Akademik : Dosen
Perguruan Tinggi : UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Telp./HP : 076132144/ 082384581486
Alamat e-mail : hijriyati.cucuani@uin-suska.ac.id
RIWAYAT PENDIDIKAN
Jurusan/
Tahun
Program Pendidikan Perguruan Tinggi Program
Lulus
Studi
2004 S 1 Psikologi Universitas Islam Psikologi
Indonesia Yogyakarta
2006 S 2 Profesi Psikologi Universitas Indonesia Psikologi
Depok Industri dan
Orgasnisasi
2022 S3 Ilmu Psikologi Universitas Padjadjaran Psikologi
Bandung Industri dan
Orgasnisasi
RIWAYAT PEKERJAAN
81
Tahun
Instansi Jabatan
KARYA ILMIAH
Buku/Bab Buku/Jurnal
Tahun Judul Penerbit/Jurnal
2009 Hubungan Persepsi Pengembangan Karir Jurnal Psikologi UIN
dengan Motivasi Kerja Pekerja PT. Pertamina SUSKA Riau
(PERSERO) UPMS I Medan
2011 Hubungan Self Efficacy dengan Motivasi Jurnal Psikologi UIN
Menyelesaikan Skripsi pada Mahasiswa SUSKA Riau
Fakultas Psikologi UIN Suska Riau
2012 Perbedaan Efektifitas Metode Pembelajaran Jurnal Psikologi UIN
Melalui Metode Mandiri, Ceramah dan FGD SUSKA Riau
dengan Prestasi Belajar
2013 Kompetensi Tidak Sempurna Tanpa Integritas Jurnal Psikologi UIN
pada Pemimpin SUSKA Riau
2013 Konflik Peran Ganda: Memahami Coping Jurnal Sosial Budaya
Strategi pada Wanita Bekerja LPPM UIN Suska
Riau
2013 Problem Focus Coping pada Perempuan Jurnal Puanri: Sumber
Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Data & Informasi
Perempuan Riau
82
Tahun Judul Penerbit/Jurnal
2014 Psikologi Industri dan Organisasi Buku Daras, Fakultas
Psikologi UIN Suska
Riau
2014 Hubungan kualitas persahabatan dan empati Jurnal Psikologi UIN
dengan pemaafan pada remaja akhir Suska Riau
2015 Perilaku Organisasi Buku Daras, Fakultas
Psikologi UIN Suska
Riau
2016 Manajemen Sumber Daya Manusia Buku Daras, Fakultas
Psikologi UIN Suska
Riau
2017 Hubungan Family Supportive Supervisor Jurnal Marwah UIN
Behaviors di Tempat Kerja dengan Work Suska Riau
Family Enrichment pada Perempuan Bekerja
2018 Psikologi di Tempat Kerja Buku Daras, Fakultas
Psikologi UIN Suska
Riau
2020 Adaptation and Validation of the Indonesian Talent Development &
Version of Counterproductive Work Behavior Excellence Vol.12,
Checklist (CWB-C): In Association with No. 1, 2020, 5955-
Customer-Oriented Organizational Citizenship 5965
Behavior on Indonesian Public Sector-
Employees
2021 Al-Haya’ Instrument Construction: Shame Jurnal Psikologi Islam
Measurement Based on the Islamic Concept dan Budaya (JPIB),
2021, Vol.4 (1),1-14
83
Tahun Judul Penerbit/Jurnal
Industrial Revolution
2021 Mengapa Punya Sifat Malu Tetapi Melakukan Jurnal Psikologi UIN
Perilaku Kerja Kontraproduktif?: Peran Suska Riau. 2021. Vol
Moderasi Iklim Etik di Tempat Kerja 17 (2):157-168.
2021 Pengaruh Ethical Climate Terhadap Jurnal Riset Aktual
Counterproductive Work Behavior Dalam Psikologi (RAP),
Instansi Pemerintahan Daerah 2011. Vol.11 No.2,
135-148
ORGANISASI PROFESI/ILMIAH
Jabatan/jenjang
Tahun Jenis/ Nama Organisasi
keanggotaan
2010-2015 HIMPSI Riau Wakil Ketua Bidang
Sertifikasi dan Ijin
84
Praktik Psikologi
2016-sekarang API (Asosisasi Psikologi Islam) wilayah Sekretaris
Riau
85