Anda di halaman 1dari 96

PENGARUH SHAME-PRONENESS TERHADAP COUNTERPRODUCTIVE

WORK BEHAVIOR YANG DIMEDIASI OLEH PERSONAL VALUES


DENGAN ETHICAL CLIMATE SEBAGAI MODERATOR PADA PEGAWAI
NEGERI SIPIL DI PEKANBARU

The Effect of Shame-Proneness on Counterproductive Work Behavior Mediated by


Personal Values with Ethical Climate as Moderator on Civil Servants in
Pekanbaru

Oleh

Hijriyati Cucuani
190130180005

RINGKASAN DISERTASI

Guna memperoleh gelar Doktor Psikologi


Pada Universitas Padjadjaran
Dengan Wibawa Rektor Universitas Padjadjaran
Prof. Dr. Rina Indiastuti, SE., M.SIE

PROGRAM STUDI DOKTOR PSIKOLOGI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2022
TELAH DIUJI PADA PENELAAHAN NASKAH DISERTASI

PADA 10-17 JANUARI 2022

Ketua Promotor : Prof. Dr. Hendriati Agustiani, M.Si., Psikolog

Anggota Tim Promotor : Prof. Dr. Diana Harding, M.Si., Psikolog

Dr. Marina Sulastiana, M.Si., Psikolog

Tim Oponen Ahli : Prof. Dr. Disman, M.S.

Dr. Zainal Abidin, M.Si.

Zahrotur Rusyda Hinduan, MOP, Ph.D, psikolog

i
DIUJI PADA SIDANG PROMOSI DOKTOR

PADA TANGGAL 10 FEBRUARI 2022

Ketua Sidang : Zahrotur Rusyda Hinduan, MOP, Ph.D, Psikolog

Sekretaris Sidang : Dr. Marina Sulastiana, M.Si., Psikolog

Ketua Tim Promotor : Prof. Dr. Hendriati Agustiani, M.Si., Psikolog

Anggota Tim Promotor : Prof. Dr. Diana Harding, M.Si., Psikolog

Dr. Marina Sulastiana, M.Si., Psikolog

Tim Oponen Ahli : Prof. Dr. Disman, M.S.

Dr. Zainal Abidin, M.Si.

Zahrotur Rusyda Hinduan, MOP, Ph.D, psikolog

Representasi Guru Besar : Prof. Dr. Wilis Srisayekti, Psikolog

ii
DALIL-DALIL

1. Shame-proneness sebagai sifat yang berkaitan dengan emosi moral, berperan


dalam mencegah keterlibatan pegawai dalam counterproductive work
behavior

2. Orang dengan shame-proneness yang tinggi menahan diri untuk tidak terlibat
counterproductive work behavior karena memprioritaskan nilai social focus
(conservation dan self-transcendence) daripada nilai personal focus (openness
to change dan self-enhancement).

3. Counterproductive work behavior dapat diminimalkan dengan ethical climate


yang positif di dalam organisasi.

4. Kepekaan dan kepedulian terhadap kesulitan dan kesejahteraan orang lain


menjadi kunci terwujudnya pelayanan prima bagi pegawai dalam di instansi
pemerintahan sebagai organisasi pelayanan publik.

5. Pada masyarakat berbudaya kolektif yang menekankan kebersamaan dan


konformitas, persepsi tentang lingkungan kerja berperan besar dalam
membentuk perilaku kerja.

6. Shame-proneness pada orang Melayu mengarahkan pada perilaku positif


terutama karena memuat motivasi untuk mengubah diri menjadi lebih baik.

7. Pendidikan tentang pentingnya sifat malu perlu ditanamkan dalam keluarga


dan diperkuat di pendidikan formal sejak usia dini hingga dewasa.

iii
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh shame-proneness terhadap


counterproductive work behavior melalui personal values dengan moderasi ethical
climate pada pengaruh shame-proneness dan personal values terhadap
counterproductive work behavior. Personal values sebagai variabel yang memediasi
pengaruh shame-proneness terhadap counterproductive work behavior terdiri dari
empat subdimensi yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu conservation, self-
transcendence, openness to change dan self-enhancement
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif untuk menguji model yang diajukan
serta hubungan antara keempat variabel yang diteliti. Pengambilan data dilakukan
dengan menggunakan empat alat ukur. Sebanyak 404 skala yang diisi oleh PNS dari
19 instansi di bawah Pemerintah Provinsi Riau yang dipilih berdasarkan cluster
sampling, diolah menggunakan SEM dengan program Lisrel 8.8.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa model yang diajukan fit. Berdasarkan hasil
analisis diketahui pula bahwa shame-proneness yang tinggi akan meningkatkan
prioritas terhadap nilai conservation dan self-transcendence, yang kemudian
membuat counterproductive work behavior menjadi rendah. Sebaliknya, shame-
proneness yang rendah berpengaruh terhadap prioritas terhadap openness to change
dan self-enhancement yang tinggi, yang kemudian meningkatkan counterproductive
work behaviour. Sementara itu, ethical climate memperkuat pengaruh shame-
proneness baik secara langsung maupun melalui conservation dan self-transcendence
terhadap CWB dan memperlemah pengaruh shame-proneness melalui openness to
change dan self-enhancement terhadap CWB. Hal ini menjelaskan bahwa meskipun
karakter individu merupakan faktor penting dalam menjelaskan perilaku di tempat
kerja sehingga perlu terus dilakukan pengembangan karakter yang positif, lingkungan
kerja dengan ethical climate yang positif tidak kalah penting untuk dibentuk dan
dipertahankan oleh pembuat kebijakan di pemerintahan di Kota Pekanbaru.
Sebagaimana penelitian lain pada umumnya, penelitian ini juga memiliki kelemahan.
Kelemahan utama terkait dengan metodologis yang disebabkan kondisi pengambilan
data dilakukan pada masa Pandemi Covid-19. Namun demikian, beberapa kelemahan
tersebut telah coba diatasi hingga penelitian tetap diupayakan untuk dilakukan dengan
baik. Penelitian selanjutnya diharapkan dapat memperluas dan memperdalam
penelitian ini dengan melibatkan variabel-variabel penting lainnya seperti tingkat
jabatan struktural dan kepemimpinan.
Kata Kunci: counterproductive work behavior, shame-proneness, personal values,
ethical climate

iv
ABSTRACT

This study aims to determine the effect of shame-proneness on counterproductive


work behavior through personal values by moderating ethical climate on the
influence of shame-proneness and personal values on counterproductive work
behavior. Personal values as a variable that mediates the effect of shame-proneness
on counterproductive work behavior consist of four independent sub-dimensions:
conservation, self-transcendence, openness to change, and self-improvement.
This study is quantitative research to examine the proposed model and the
relationship between the four variables studied. Data were collected using four
scales. A total of 404 scales were filled out by civil servants from 19 Riau Provincial
government agencies were selected based on cluster sampling was analyzed using
SEM with the Lisrel 8.8 program.
The results showed that the proposed model fit the data obtained in the field. Based
on the analysis, it is also known that high shame-proneness will increase the priority
to conservation and self-transcendence values, which then decreases CWB. In
contrast, the low of shame-proneness was correlated to high prioritizing openness to
change and self-enhancement values, which then increases CWB. Meanwhile, the
ethical climate strengthens the influence of shame both directly and through
conservation and self-transcendence on the CWB and weakens the influence of
shame-proneness through openness to change and self-enhancement towards the
CWB. This result depicts the importance of individual character in explaining
behaviors at work, so it is necessary to develop positive characters at the workplace
continuously. However, a work environment with a positive ethical climate is a
decisive factor that needs to be established and maintained by policymakers in the
government in Pekanbaru City.
Like other research in general, this research also has weaknesses. The main
drawback is methodological issues due to the data collection conditions carried out
during the Covid-19 Pandemic. However, some of these weaknesses have been
overcome so that research can still be carried out correctly. Therefore, further
research is expected to expand and deepen by involving other essential variables such
as structural positions and leadership.
Keywords: counterproductive work behavior, shame, personal values, ethical climate

v
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang,

atas segala berkah, rahmat, karunia dan izin-Nya lah peneliti dapat menyelesaikan

disertasi yang merupakan proses panjang penelitian dalam studi S3 pada Program

Studi Ilmu Psikologi Universitas Padjadjaran ini. Banyak kesulitan, hambatan, dan

halangan yang peneliti hadapi selama menyelesaikan disertasi ini. Namun, dengan

izin dan kekuatan dari Allah SWT, serta dukungan dan bantuan yang diberikan oleh

banyak pihak, peneliti dapat menyelesaikan setiap tahapan dan proses dalam disertasi

ini.

Pada kesempatan ini, peneliti mengucapkan banyak terimakasih kepada semua

pihak yang telah memberikan perhatian, bantuan dan kemudahan kepada peneliti

dalam perjalanan penyelesaian studi Program Doktor Psikologi di Universitas

Padjadjaran. Dengan penuh rasa hormat peneliti berterimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Rina Indiastuti, SE., M. SIE selaku Rektor Universitas Padjadjaran,

Ibu Prof. Dr. Hendriati Agustiani, M. Si., Psikolog selaku Dekan Fakultas

Psikologi Universitas Padjadjaran sebelumnya, Ibu Zahrotur Rusyda Hinduan,

S. Psi., MOP., Ph. D. selaku Dekan saat ini, Ibu Dr. Marina Sulastiana, M. Si.,

Psikolog selaku Ketua Program Studi Doktor Ilmu Psikologi Fakultas

Psikologi Universitas Padjadjaran yang telah memberikan dukungan dan

arahan serta kemudahan administrasi kepada peneliti sehingga dapat

menyelesaikan studi hingga selesai.

vi
2. Tim Promotor; Ibu Prof. Dr. Hendriati Agustiani, M. Si., Psikolog, Ibu Prof.

Dr. Diana Harding, M. Si., Psikolog dan Ibu Dr. Marina Sulastiana, M. Si.,

psikolog yang banyak memberikan bimbingan dan masukan selama proses

penyelesaian disertasi, memberikan semangat dan arahan disaat peneliti

menghadapi kesulitan, selalu mendorong peneliti untuk terus berkarya,

meyakinkan bahwa segalanya akan dapat dihadapi dan diselesaikan dengan

baik serta senantiasa mendoakan untuk segala kebaikan peneliti. Semoga

Allah SWT memberikan keberkahan atas kebaikan Ibu dalam membimbing

peneliti.

3. Tim pembahas pada saat Seminar Usulan Riset, Seminar Hasil Riset, dan

Penelaahan Naskah Disertasi, Bapak Prof. Disman, MS., Bapak Dr. Zainal

Abidin, M.Si., Ibu Zahrotur Rusyda Hinduan, MOP, Ph.D, psikolog, atas

segala kritikan dan masukan yang membangun, banyak wawasan dan insight

yang peneliti dapatkan dari Bapak dan Ibu sekalian.

4. Semua partisipan penelitian dalam Focus group Discussion dan wawancara

serta responden kuesioner. Partisipasi dari Bapak dan Ibu sekalian sangat

besar artinya dalam penyelesaian disertasi ini. Semoga Allah SWT senantiasa

memudahkan segala urusan Bapak dan Ibu semuanya.

5. Rektor Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau masa jabatan

2018-2020, Prof. Dr. KH. Ahmad Mujahidin, S.Ag., M.Ag dan Rektor

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau masa jabatan 2021-2025

vii
Prof. Dr. Hairunas, M.Ag untuk dukungan yang diberikan dalam penyelesaian

studi peneliti

6. Dekan Fakultas Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Bapak Dr. Kusnadi,

M.Pd., Wakil Dekan Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga, Bapak

Dr. Zuriatul Khairi, M.Ag., M.Si., Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum,

Perencanaan dan Keuangan, Ibu Dr. Vivik Shofiah, M.Si., Wakil Dekan

Bidang Kemahasiswaan Ibu Dr. Yuslenita Muda, S,Si., M.Sc, Ketua Program

Studi S1 Psikologi, Ibu Sri Wahyuni, M.Psi., M.A, psikolog, dan Sekretaris

Program Studi S1 Psikologi, Ibu Ricca Angreini Munte, M.A. untuk

dukungan dan semangat yang senantiasa diberikan kepada peneliti

7. Rekan-rekan sesama pejuang disertasi di Fakultas Psikologi UIN Sultan

Syarif Kasim Riau, Dr. Diana Elfida, M.Si., psikolog, Lisya Chairani, M.A.,

psikolog untuk diskusi hangat, masukan, semangat, dukungan dan sharing

referensi yang sangat membantu peneliti dalam menyelesaikan disertasi.

8. Rekan-rekan dosen Fakultas Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Bu

Yuli, Mbak Anggi, Pak Jhon, Mbak Ning, Pak Mukhlis, Mbak Vivik,

Ikhwanisfiya, Rita dan rekan-rekan baik hati lainnya yang selalu memberikan

perhatian, semangat, keceriaan, serta banyak bantuan dalam penyelesaian

disertasi dan artikel peneliti. Semoga Allah SWT memberikan segala

kebaikan untuk rekan-rekan semuanya.

9. Teman-teman seperjuangan di Program Studi Doktor Psikologi Universitas

Padjadjaran Bandung, Uni Tuti, Mba Dewi, Mba Mel, Dina, Faisal, Kang Ali

viii
dan Pak Win untuk segala pengalaman berharga, canda tawa, bantuan dan

semangat selama perjalanan penyelesaian studi ini. Semoga Allah mudahkan

segala urusan dan tercapai segala yang dicita-citakan.

10. Kakak dan Adik tingkat di Program Studi Doktor Psikologi Universitas

Padjadjaran Bandung yang selalu bersedia mendengarkan dan memberikan

saran serta memberikan banyak pembelajaran kepada peneliti.

11. Bapak dan Ibu tenaga Kependidikan Program Studi Doktor Ilmu Psikologi

yang banyak membantu peneliti dalam hal administrasi.

12. Adik-adik mahasiswa dan Alumni Fakultas Psikologi UIN Suska Riau,

asisten-asisten Pusat Studi Psikologi Indijinus UIN Sultan Syarif Kasim Riau

di bawah laboratorium pengukuran yang diketuai oleh Bapak Ivan M.Agung,

MA. yang telah banyak membantu peneliti dalam pengumpulan data di

lapangan. Terimakasih untuk semangat, kesabaran, kegigihan dan

kerjasamanya, semoga pengalaman ini memberikan banyak manfaat bagi

adik-adik semuanya.

13. Keluarga besar Syuib dan keluarga besar Mawardi dimanapun berada, yang

selalu memberikan dukungan dan bantuan kepada peneliti dalam banyak hal.

14. Keluarga tercinta, Papa H. Elsyukran Syuib, S.Sos dan Mama Radiarty yang

selalu mendoakan, dan membantu peneliti baik secara fisik maupun

psikologis. Terimakasih juga untuk Abang Alm. M.Ario Wahdi Elsye, SE.,

M.E. yang semasa hidupunya selalu dengan ringan tangan memberikan

bantuan untuk penyelesaian disertasi serta Adik Sulas Era Nanda, SE yang

ix
selalu memberikan dukungan untuk peneliti, juga untuk Ipar-ipar, keponakan

dan sepupu peneliti. Papa Mertua H. Amril Abdul Malik dan Mama mertua

Nuraini serta semua keluarga di Bekasi yang selalu mendoakan dan

memberikan banyak dukungan dan bantuan. Terimakasih yang tidak terhingga

juga untuk Suami peneliti Hendri Yuliansyah, S.T, serta anak-anak tercinta

Najla Adilasyifa Andya dan Aqila Khairunisa Andya untuk kesabaran,

perhatian dan dukungan penuh dalam penyelesaian studi peneliti.

15. Semua pihak yang telah berjasa dalam proses penyelesaian disertasi ini, yang

tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu. Semoga Allah SWT membalas

dengan banyak kebaikan atas bantuan yang telah Bapak/Ibu diberikan.

x
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah

Mengacu pada Undang-Undang No.5 tahun 2014, PNS merupakan Pegawai

ASN yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian dan

memiliki nomor induk pegawai secara nasional, yang perilakunya diatur secara rinci

dalam kode etik dan kode perilaku ASN. Perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan

kode etik dan kode perilaku tersebut dapat menghambat pencapaian tujuan dan

mencoreng nama baik bangsa secara umum dan organisasi pemerintahan di

tempatnya bekerja secara khusus. Perilaku-perilaku tersebut juga dapat merugikan

orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Perilaku dari anggota yang bertentangan dengan kepentingan organisasi,

yang dapat merugikan organisasi dan orang-orang di dalamnya disebut dengan

Counterproductive Work Behavior (CWB) (Spector & Fox, 2005). Dalam sebuah

tulisan, Spector & Fox menjelaskan beberapa istilah yang sering dipadankan dengan

CWB seperti; illegal, immoral, dan organizational deviant. Beberapa istilah tersebut

sangat mirip bahkan seringkali dipergunakan secara bergantian dalam menjelaskan

suatu perilaku. Meskipun demikian, menurut Sackett & Devore (2005) setidaknya ada

tiga karakteristik yang membedakan CWB dengan konsep perilaku negatif di tempat

kerja lainnya. Pertama, CWB lebih menekankan pada perilaku, bukan akibat atau

hasil yang ditimbulkan. Kedua, perilaku tersebut bertentangan dengan kepentingan

organisasi. Ketiga, perilaku dilakukan dengan sengaja atau dapat dimaknai dilakukan

dengan kehendak sendiri.

1
Bentuk dari CWB sangat beragam. Robinson & Bennett membaginya

menjadi dua, yaitu; organizational CWB atau yang disebut dengan CWB-O (CWB

toward organization) dan individual CWB disingkat dengan CWB-I atau sering pula

disebut CWB-P (CWB toward people in organization) (Gualandri, 2012; Marcus,

Taylor, Hastings, Sturm, & Weigelt, 2016; Sackett & Devore, 2001; Spector, Fox,

Penney, et al., 2006). Secara umum, CWB-O langsung diarahkan pada organisasi

seperti sabotase, penipuan, pencurian aset kerja, pulang kerja lebih awal,

memperpanjang jam istirahat, dengan sengaja memperlambat penyelesaian tugas,

membuang-buang atau boros dalam menggunakan bahan kerja. Tindakan CWB-P

lebih mengarah kepada orang lain di tempat kerja seperti pelecehan seksual,

kekerasan verbal, pencurian di antara kolega, menyebarkan gosip dan menghina

rekan kerja (Gualandri, 2012).

CWB dapat berdampak pada banyak hal, baik terhadap pelaku, rekan kerja,

konsumen dan organisasi secara umum. Berdasarkan hasil penelitian yang sudah ada,

CWB terkait dengan performance yang rendah (Bagyo, 2018), rendahnya kesuksesan

dalam pengembangan produk karena lemahnya kolaborasi dalam tim kerja (Qiu &

Peschek, 2012), intensi keluar dari perusahaan menjadi tinggi pada pegawai yang

merasa terganggu dengan perilaku tersebut (Roxana, 2013). Selain terkait dengan

produktivitas, Vardi & Weitz (2004) menuliskan bahwa CWB terkait dengan

ketidaknyamanan di antara karyawan ataupun bagian kerja lainnya, rendahnya

kualitas kehidupan kerja, kerugian finansial, bahkan merusak reputasi organisasi.

2
Penelitian mengenai CWB di Indonesia sendiri masih sangat minim. Penelitian

CWB yang sudah ada di Indonesia mengkaitkan CWB dengan employee engagement

dan organizational citizenship behavior (Ariani, 2016), remunerasi (Winurini, 2014),

dan validasi dari beberapa versi alat ukur CWB (Anggraini, 2015; Suyasa, 2018).

Sebagian besar dari penelitian mengenai CWB di Indonesia diteliti pada PNS. Hal ini

menunjukkan besarnya perhatian para peneliti akan permasalahan CWB di kalangan

PNS yang terus terjadi dan kian mengkhawatirkan.

Permasalahan CWB pada PNS juga terjadi di kota Pekanbaru. Berdasarkan

Laporan KPK tahun 2017, di tahun 2016 Provinsi Riau di tetapkan sebagai tiga

provinsi darurat korupsi selain Sumatera Utara dan Banten (Tim penyusunan Laporan

Tahunan KPK 2017, 2018). Media memberitakan bahwa Pekanbaru merupakan kota

penyumbang PNS korupsi paling tinggi di Indonesia pada tahun 2018. Dikabarkan

oleh okezone.com tanggal 5 September 2018 bahwa pada tahun 2018 sebanyak 301

orang PNS di Pekanbaru terlibat korupsi, jumlah tersebut di atas jumlah PNS korupsi

di kota Medan dengan jumlah 298 dan Denpasar 292 orang

(www.news.okezone.com). Hal ini mengundang keingintahuan peneliti untuk

menggali lebih lanjut mengenai perilaku kerja PNS di kota Pekanbaru.

Data-data sebagaimana dipaparkan di atas, tentu menimbulkan tanda tanya

mengingat Pekanbaru merupakan kota berbudaya Melayu yang identik dengan nilai-

nilai religius. “Pekanbaru Kota Madani” merupakan julukan baru untuk kota

Pekanbaru yang lahir dari visi kota Pekanbaru pada tahun 2021: “Terwujudnya

Pekanbaru Sebagai Kota Smart City Madani” (www.pekanbaru.go.id). Ajaran agama

3
dijadikan acuan dalam norma sosial yang mengatur masyarakatnya dalam berbagai

aspek kehidupan termasuk dalam kehidupan bekerja. Ajaran agama yang menjadi

landasan dalam nilai-nilai budaya Melayu begitu terasa dalam aturan tertulis, nilai-

nilai dan norma yang berlaku, budaya organisasi dalam instansi pemerintahan daerah

di Kota Pekanbaru.

Perilaku CWB terjadi lebih cepat dari apa yang kita pikirkan, karena perilaku

nya begitu beragam, mudah menyebar dan berkembang dari yang sifatnya minor

kepada yang lebih serius (Yu, 2014). Oleh sebab itu, perlu ditelusuri mengenai

penyebab dari masalah CWB tersebut. CWB secara umum dapat disebabkan oleh

faktor situasional dan personal (Spector & Fox, 2005). Dalam penelitian ini, selain

akan dilihat kaitannya dengan faktor situasional, lebih utamanya peneliti melihatnya

dari faktor personal. Personal traits dan personal values sering diteliti sebagai

karakteristik psikologis yang penting untuk dilihat sebagai prediktor dari berbagai

outcome (Parks-leduc, Feldman, & Bardi, 2015) termasuk perilaku di tempat kerja,

begitupula dalam penelitian ini.

McCrae & Costa mendefinisikan personality trait sebagai deskripsi individu

dalam hal pola perilaku, pikiran, dan emosi yang relatif stabil (Parks-leduc et al.,

2015). Shame-proneness (trait shame) yang akan dieksplorasi dalam penelitian ini

mengenai hubungannya dengan CWB, merupakan suatu sifat yang melekat dan

cenderung konsisten sepanjang kehidupan seseorang (Covert, Tangney, Maddux, &

Heleno, 2003). Covert et al. menjelaskan bahwa shame-proneness adalah

kecenderungan untuk seseorang mengalami shame dalam situasi-situasi tertentu.

4
Situasi tertentu, oleh orang dengan trait shame dapat dipandang sebagai sesuatu yang

dapat menimbulkan malu sementara pada orang lain tidak, atau tidak dalam tingkat

rasa malu yang sama.

Pada masyarakat Melayu, malu sudah diajarkan kepada anak sejak dini

(Collins & Bahar, 2000). Anak diajar untuk malu melakukan hal-hal yang melanggar

kesopanan, aturan dan harapan masyarakat. Sifat malu termasuk ke dalam satu dari

sifat yang dua puluh lima yang ada di dalam Tunjuk Ajar Melayu, yang mengajarkan

tentang sifat-sifat yang dijunjung tinggi oleh orang Melayu (Effendy, 2006). Lebih

rinci, Effendy menjelaskan malu yang dimaksudkan adalah malu berbuat kejahatan,

melakukan pekerjaan tercela, berkata kasar, menyombong, menipu, berkhianat,

berdurhaka, menjilat, mengambil muka, merampas hak orang lain, berbuat semena-

mena, melepas kewajiban dan tanggungjawab, membuka aib orang, menyingkap

keburukan dan tindakan-tindakan negatif lainnya. Sifat malu melakukan perbuatan

seperti dijelaskan di atas, dalam literatur psikologi disebut dengan shame-proneness.

Shame sudah cukup banyak diteliti sebagai emosi negatif yang dipandang

sebagai sebuah faktor dari terjadinya CWB (Fox et al., 2001; Spector & Fox, 2002;

Penney & Spector, 2002; Bauer & Spector, 2015). Dalam The Stressor-Emotion

model of Counterproductive Work Behavior dijelaskan bahwa emosi negatif

memediasi stresor-stresor pekerjaan (diantaranya organization constrain, role

ambiguity, role conflict, interpersonal conflict, dan workload) dengan CWB (Spector

& Fox, 2005). Tingginya stresor yang dipersepsikan oleh pekerja akan menimbulkan

respon emosi negatif yang kemudian dapat menimbulkan CWB.

5
Shame merupakan emosi yang unik karena pemaknaan dan dampaknya terkait

dengan budaya. Sebagian besar peneliti barat menjelaskan shame sebagai hasil

evaluasi negatif terhadap diri yang berdampak negatif (Covert et al., 2003; Tangney

& Dearing, 2002) termasuk terhadap perilaku dalam bekerja (Bauer, Spector, 2015;

Spector, Damagalski, 2006; Bagozzi, Verbeke, & Gavino, 2003). Shame akan

mengarahkan seseorang untuk menghindar, menarik diri, marah, menyalahkan orang

lain dari hal buruk yang membuatnya malu (Fischer & Tangney, 1995).

Sementara itu, masyarakat dengan budaya kolektif di timur memandang

shame secara lebih positif dibandingkan masyarakat berbudaya individual di barat

(Bagozzi et al., 2003; Su, 2010). Bagi masyarakat berbudaya Melayu di Indonesia

sendiri hubungan positif dengan orang lain masih menjadi faktor utama kebahagiaan

(Wulandari & Widyastuti, 2014) karena relasi menjadi sesuatu yang melekat dalam

budaya kolektif. Heine et al. menjelaskan bahwa pada mayarakat berbudaya kolektif,

diri dan orang lain terhubung dalam konteks sosial sehingga masyarakatnya

cenderung fokus pada tanggung jawab dan kewajiban kepada orang lain dan mencoba

menghindari perilaku yang dapat menyebabkan gangguan atau mengecewakan dan

hal itu penting dalam kehidupan mereka (dalam Su, 2010). Oleh karena itu, malu

yang dirasakan karena melanggar aturan bersama justru akan memotivasi untuk

memperbaiki hubungan dengan orang lain (Bagozzi et al., 2003).

Masyarakat kolektif berbudaya Melayu yang kerap dikaitkan dengan agama

Islam, menjadikan nilai-nilai agamanya menjadi dasar dalam berperilaku (Nasilah &

Marettih, 2015). Dalam perspektif agama Islam, malu (yang dalam bahasa Arab

6
disebut Al-Haya’) dipandang sebagai akhlak mulia yang harus dimiliki setiap

pemeluknya, sebab malu merupakan salah satu cabang keimanan (Al-Muqaddam,

2008). Selain itu, Collins & Bahar (2000) menjelaskan dua interpretasi malu dalam

budaya Melayu, yaitu yang pertama untuk mendukung moralitas Islam yang

membedakan antara praktik haram dan halal. Interpretasi lainnya memandang malu

sebagai dasar bagi kesadaran moral yang menanamkan kepedulian terhadap orang

lain dan menghilangkan kepentingan diri yang egois. Hal ini menegaskan bagaimana

nilai-nilai agama sangat kental mewarnai perilaku masyarakat Melayu.

Poulson (2000) mendefinisikan shame sebagai sebuah kekuatan emosi sosial.

Malu dipelajari sebagaimana kita belajar mengenai harapan dan standar yang orang

lain kenakan kepada kita dan diperkuat dengan harapan yang dikembangkan terhadap

diri sendiri. Dalam dunia kerja, Stiles (2008) menjelaskan bahwa rasa malu adalah

emosi yang berguna bagi organisasi untuk memotivasi individu berperilaku pada

tingkat yang wajar. Dari sudut pandang organisasi, malu mendukung tujuan

perusahaan, nilai, dorongan kesetiaan dan keterlibatan kepada tim dan organisasi,

serta kepatuhan terhadap etika.

Piner (dalam Clark, 2012) menjelaskan bahwa meskipun menyakitkan, malu

sebagaimana rasa bersalah, mengajarkan kita untuk berusaha beradaptasi dengan

aturan sosial dan bagaimana memengaruhi orang lain untuk beradaptasi dengan kita.

Kita belajar kapan harus dekat dan menjaga jarak dengan orang lain, bagaimana

untuk tidak tersinggung dan menyinggung orang, menjadi sederhana, bijaksana, peka

dan bersimpati. Dengan demikian, malu dapat menimbulkan efek positif baik bagi

7
individu maupun lingkungannya. Di tempat kerja, shame yang dirasakan pegawai

menandakan adanya kesadaran akan kesalahan sehingga pegawai ingin memperbaiki

perilaku dan hubungan serta patuh pada aturan dan norma sosial. Oleh karena itu,

orang yang memiliki sifat (trait) rentan terhadap malu (shame-proneness) akan lebih

peka dan berusaha menahan diri (mengantisipasi) untuk melakukan perilaku yang

menimbulkan rasa malu, seperti melanggar aturan dan terlibat CWB.

Selain trait, sistem values yang dimiliki seseorang juga mengarahkannya

dalam menentukan perilaku. Values dapat mengarahkan seseorang untuk memilih

atau mengevaluasi perilakunya (Schwartz & Bilsky, 1987). Schwartz menjelaskan

bahwa nilai berfungsi sebagai standar atau kriteria yang memberikan pembenaran

sosial terhadap pilihan dan perilaku (Sagiv & Roccas, 2017).

Personal values adalah besarnya tujuan-tujuan yang mengarahkan cara orang

untuk memilih perilaku, mengevaluasi orang dan peristiwa, serta menjelaskan dan

mengevaluasi tindakan (Schwartz, 1992). Sesuatu yang dianggap penting oleh

seseorang untuk dicapai akan menimbulkan motivasi yang lebih besar baginya untuk

melakukan perilaku-perilaku yang merealisasikan nilai tersebut. Orang akan

bertindak sesuai dengan nilai-nilainya meskipun mereka secara tidak sadar berfikir

demikian (Koivula, 2008). Rohan (2000) menjelaskan bahwa asumsi yang dipegang

luas bahwa prioritas personal values sering memandu perilaku seseorang dengan

mudah, dengan sedikit atau tanpa disadari, terbukti secara empirik.

8
Perilaku seseorang di tempat kerja diarahkan oleh nilai-nilai yang dimilikinya

(Schwartz & Bilsky, 1987). Sayangnya, belum banyak penelitian yang menjelaskan

mengenai hubungan personal values dengan counterproductive work behavior.

Namun di dalam sebuah penelitian, Thomas (2014) menjelaskan secara umum bahwa

nilai personal (personal values) merupakan suatu input dari ethical work behaviors

(ethical behavior yang rendah menunjukkan CWB).

Beberapa penelitian yang mengintegrasikan trait dan values memperlihatkan

trait sebagai antecedent dari values (Wijnen, Vermeir, & Kenhove, 2007). Silfver,

Klaus, Lonnqvist, & Verkasalo (2008) menjelaskan bahwa tendensi emosi secara

perkembangannya mendahului nilai. Hal ini tidak diartikan sebagai nilai-nilai tertentu

dihasilkan oleh tendensi emosi, namun kecenderungan emosional tertentu dapat

memengaruhi prioritas nilai seseorang. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini, personal

values diposisikan sebagai mediator yang akan menghubungkan shame-proneness

dengan CWB. Sebagaimana hasil penelitian Silfver et al. (2008) guilt-proneness

berhubungan positif dengan nilai universalism, benevolence, tradition, dan

conformity dan berhubungan negatif dengan nilai power, hedonism, stimulation, dan

self-direction yang kemudian dalam penelitian ini diprediksi dapat mengarahkan

seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan CWB. selain itu, dalam penelitian

yang akan dilakukan ini, sifat rentan terhadap emosi malu (shame-proneness)

dipandang sama positifnya dengan sifat rentan terhadap emosi bersalah (guilt-

proneness), mengingat fungsinya yang sama sebagai mekanisme kontrol sosial

dengan membantu meregulasi dan membentuk (secara perlahan) perilaku sosial

9
seseorang untuk beradaptasi dengan standar moral sosialnya (Su, 2010). Oleh sebab

itu, shame-proneness dalam penelitian yang akan dilakukan ini dihubungan

sebagaimana guilt-proneness dihubungkan oleh Silfver et al dengan nilai self-

trancendence dan conservation.

Schwartz (1992), berdasarkan studinya terhadap Personal values pada orang-

orang di berbagai negara di dunia, terdapat sepuluh nilai-nilai yang berlaku secara

umum, di antaranya; power, achievement, hedonism, stimulation, self-direction,

universalism, benevolence, tradition, conformity dan security. Dalam menganalisis

konsekuensi sosial, psikologis, dan perilaku dari personal values, Schwartz

menemukan pola melingkar, di mana nilai-nilai yang kompatibel akan terletak saling

berdekatan sementara yang tidak akan terletak berjauhan (Roccas & Sagiv, 2010).

Berdasarkan hal tersebut secara umum personal values dapat dibedakan menjadi; (1)

self-enhencement, yang terdiri dari power dan achievement, (2) self-trancendent

terdiri dari universalism dan benevolence, (3) openness to change yaitu self-direction

dan stimulation, dan (4) conservation yaitu tradition, conformity dan security.

Sementara itu, hedonisme termasuk kedalam self-enhancement dan openness to

change (Silfver et al., 2008).

Lebih lanjut, Schwartz (1992) menjelaskan yang dimaksud dengan Self-

enhancement adalah nilai-nilai yang menekankan pada mengejar apa yang diinginkan

dengan fokus pada mengontrol atau menguasai orang dan sumber-sumber lainnya

atau dengan menunjukkan ambisi dan kompetensinya berdasarkan standar sosial dan

mendapatkan kesuksesan. Self-trancendent menekankan pada orang lain,

10
menunjukkan perhatian dan kepedulian kepada seseorang yang sering berhubungan

atau memperlihatkan penerimaan, toleransi dan perhatian terhadap semua orang

diluar kelompoknya. Sementara itu, openness to change menekankan pada

keterbukaan pada pengalaman-pengalaman baru; kemandirian dalam berfikir dan

bertindak, serta kebaruan dan antusias. Sebaliknya, conservation menekankan pada

status quo, komitmen terhadap keyakinan dan adat istiadat yang sudah ada, mengikuti

norma dan harapan sosial.

Dalam penelitian Schwartz pada sejumlah sampel Israelis, dihasilkan bahwa

70% responden menyatakan bahwa kesuluruhan atau sebagian besar dari item nilai

universalism, benevolence, conformity, tradition dan security sebagai nilai-nilai

moral. Dinilai sebagai nilai moral karena nilai-nilai tersebut menekankan pada

kepedulian dan kesejahteraan orang lain. Sementara itu, untuk aitem dalam nilai self-

enhencement dan openness to change jarang dianggap sebagai nilai moral (Silfver et

al., 2008). Oleh karena itu, berdasarkan pencapaian tujuannya, sepuluh personal

values tersebut dapat dibagi menjadi social focus dan personal focus (Schwartz,

1992), dimana nilai-nilai yang termasuk kedalam conservation dan self-

transcendence merupakan social focus personal values dan self-enhencement dan

openness to change merupakan personal focus personal values.

Berdasarkan penjelasan di atas tampak bahwa orang-orang dengan shame-

proneness yang di dalam penelitian ini dipandang sebagai kecenderungan terhadap

emosi moral akan memiliki pengaruh yang lebih kuat dengan prioritas nilai-nilai

moral. Haidt (2003) menyatakan bahwa malu termasuk ke dalam emosi moral karena

11
ia berhubungan dengan kepentingan dan kesejahteraan sosial secara keseluruhan atau

perorangan. Tidak adanya emosi moral akan membuat seseorang tidak termotivasi

untuk bertindak dengan memperhatikan aturan dan mengupayakan kepentingan

bersama, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya perilaku-perilaku negatif

(Lindebaum, Geddes, & Gabriel, 2017). Jika sifat malu sudah membudaya pada

masayarakat Melayu di Pekanbaru, mengapa CWB masih saja terjadi pada PNS di

Pekanbaru? Malu yang membudaya pada masyarakat Melayu seharusnya berfungsi

mendukung konformitas dan kepatuhan sosial terhadap standar norma yang berlaku.

Harus disadari bahwa organisasi dan industri dapat memberikan pengaruh

kuat pada perilaku negatif anggotanya, bahkan pada pegawai yang awalnya memiliki

standar etika yang cukup kuat. Spector, Fox, & Domagalski (2006) menyatakan

bahwa individual differences tidak dapat secara independen menjelaskan CWB di

tempat kerja, namun membutuhkan keterlibatan faktor situasional untuk dapat

memahaminya. Faktor situasional dari organisasi, seperti ethical climate juga

memiliki peran yang tidak dapat diremehkan dalam pengambilan keputusan pegawai

untuk berperilaku. Ethical climate pada banyak penelitian dikaitkan dengan perilaku

etik dan tidak etik di tempat kerja (Vardi, 2001; Appelbaum et al., 2005; Arnaud,

2006; Saidon, 2012; P. R. Murphy, Free, & Branston, 2012; Pagliaro, Presti,

Barattucci, Giannella, & Barreto, 2018).

Pengertian ethical climate mencakup persepsi bersama dari apa yang dianggap

sebagai perilaku yang benar dan bagaimana isu-isu etika harus ditangani (Victor &

Cullen, 1988). Ethical climate dikonseptualisasikan sebagai persepsi dalam organisasi

12
yang berdampak pada keputusan yang mengandung konten etik.Arnaud (2006),

menjelaskan bahwa positive ethical climate merupakan persepsi pekerja mengenai

norma yang berlaku dilingkungan kerjanya di mana orang-orang dalam memutuskan

tindakan etik melakukan evaluasi apakah tindakan tersebut akan berdampak buruk

terhadap orang lain, mempertimbangkan norma-norma sosial dalam menilai mana

tindakan yang bermoral dan tidak, apakah nilai-nilai moral lebih diprioritaskan

daripada nilai-nilai yang berorientasi pada diri sendiri dan berani serta mau

mempertahankan perilaku etik meskipun tidak dituntut atau justru di bawah tekanan

untuk tidak melakukannya.

Dalam penelitian Chen, Chen, & Liu (2013), dijelaskan bahwa ethical climate

memoderasi hubungan trait negative affective dengan workplace deviance. Semakin

tinggi ethical climate tertentu yang dipersepsi oleh pekerja akan meningkatkan atau

menurunkan hubungan negative affective (NA) dengan workplace deviance (beberapa

penelitian menggunakan istilah ini untuk menjelaskan CWB). Trait activation Theory

yang digunakan dalam menjelaskan penelitian tersebut menekankan bahwa

pengekspresian perilaku dari suatu trait memerlukan rangsangan dari trait tersebut

dengan isyarat situasional yang relevan dengan trait. Besarnya hubungan antara NA

dan workplace deviance dapat tergantung pada seberapa ethical climate mendukung

pengekspresian trait tersebut menjadi perilaku yang relevan (dalam hal ini adalah

workplace deviance). Dalam penelitian yang akan dilakukan ini, trait yang akan

dilihat pengaruhnya terhadap CWB adalah trait shame baik secara langsung maupun

melalui personal values dengan moderasi ethical climate.

13
Masyarakat Melayu di Pekanbaru yang semenjak kecil telah diajarkan untuk

merasa malu jika melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan aturan atau norma

sosial memiliki kecernderungan terhadap emosi malu (shame-proneness). Shame-

proneness yang tinggi akan mencegah seseorang dari melakukan perilaku yang

dianggap tidak baik seperti CWB di tempat kerja. Hal tersebut dapat terjadi ketika

ethical climate yang dipersepsi positif sehingga memperkuat hubungan negatif

shame-proneness ke CWB. Namun, ketika ethical climate dipersepsi sebaliknya, hal

terebut dapat memperlemah hubungan negatif shame-proneness ke CWB.

Masih minimnya literatur yang membahas ethical climate dengan CWB di

Indonesia terutama pada PNS membuat permasalahan ini menjadi penting untuk

diteliti. Selain itu, belum tersedia penjelasan ilmiah mengenai keterkaitan malu yang

ditinjau dari budaya Melayu orang Indonesia khususnya di Pekanbaru terhadap

keterlibatan pegawai dalam CWB. Dengan penelitian ini diharapkan hasilnya dapat

menjelaskan model perilaku CWB pada PNS di Pekanbaru sehingga CWB dapat

dicegah dan diminimalisasi melalui aspek-aspek yang menimbulkan CWB.

1.2. Rumusan Masalah

Pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah:

1. “Apakah ada pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh

personal values dengan moderasi ethical climate pada pengaruh shame-

proneness dan personal values terhadap CWB?”. Adapun rumusan masalah

secara terperinci sebagai berikut:

14
a. Apakah ada pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh

personal values-conservation, dengan moderasi ethical climate pada

pengaruh shame-proneness dan personal values-conservation terhadap

CWB?

b. Apakah ada pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh

personal values- self-transcendence, dengan moderasi ethical climate pada

pengaruh shame-proneness dan personal values- self-transcendence

terhadap CWB?

c. Apakah ada pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh

personal values- openness to change, dengan moderasi ethical climate pada

pengaruh shame-proneness dan personal values- openness to change

terhadap CWB?

d. Apakah ada pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh

personal values- self-enhancement, dengan moderasi ethical climate pada

pengaruh shame-proneness dan personal values- self-enhancement terhadap

CWB ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan penelitian yang dijelaskan di atas, maka tujuan

penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh

personal values dengan moderasi ethical climate pada pengaruh shame-proneness

15
dan personal values terhadap CWB, selanjutnya secara lebih rinci dapat diuraikan

sebagai berikut:

a. Mengetahui pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh

personal values-conservation, dengan moderasi ethical climate pada pengaruh

shame-proneness dan personal values-conservation terhadap CWB

b. Mengetahui pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh

personal values-self-transcendence, dengan moderasi ethical climate pada

pengaruh shame-proneness dan personal values-self-transcendence terhadap

CWB.

c. Mengetahui pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh

personal values-openness to change, dengan moderasi ethical climate pada

pengaruh shame-proneness dan personal values-openness to change terhadap

CWB

d. Mengetahui pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh

personal values-self-enhancement, dengan moderasi ethical climate pada

pengaruh shame-proneness dan personal values-self-enhancement terhadap

CWB

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat teoretis

1. CWB yang masih tampak pada perilaku PNS di Pekanbaru dapat dijelaskan

dari faktor internal dan eksternal. Hasil penelitian ini memberikan

gambaran dan penjelasan mengenai model keterlibatan CWB yang paling

16
tepat. Model dan penjelasan tersebut dapat dijadikan acuan dalam

pengembangan dan pendalaman konseptual mengenai faktor personal dan

situasional CWB lebih lanjut.

2. Penelitian ini memberikan penjelasan permasalahan CWB pada PNS

dengan lebih kompleks melalui trait activation theory. Hasil penelitian ini

dapat memberikan penjelasan mengenai faktor penyebab CWB terkait trait

shame dengan peran mediasi personal values prioritas pegawai, baik yang

berfokus pada sosial maupun personal, serta bagaimana karakter-karakter

personal tersebut dapat dikuatkan maupun dilemahkan oleh persepsi PNS

mengenai etika yang lazim dilingkungan kerjanya untuk diekspresikan atau

ditahan dalam wujud tindakan CWB.

3. Penelitian ini memberikan konsep yang lebih tepat untuk menjelaskan

shame-proneness pada orang Melayu. Berdasarkan konsep tersebut,

penelitian ini menyediakan sebuah alat ukur baru yang valid dan reliable

untuk mengukur shame-proneness pada pekerja Melayu.

1.4.2. Manfaat Praktis

1. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk pemerintah, khususnya

instansi-instansi pemerintah dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD)

Provinsi Riau dalam merancang kebijakan mengenai manajemen SDM

terkait optimalisasi kinerja PNS. Pemerintah perlu merancang system SDM

dengan perekrutan dan pengembangan pegawai yang mempertimbangkan

17
tingkat shame-proneness dan prioritas personal values calon PNS yang

berpotensi untuk menimbulkan tindakan CWB.

2. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan untuk pemerintah, khususnya

pimpinan instansi di bawah pemerintah provinsi Riau dan Badan

Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Riau dalam merancang kebijakan

mengenai system manajemen yang lebih tepat untuk menciptakan ethical

climate yang mendukung pengekspresian karakter pribadi bermoral dan

meminimalkan potensi terjadinya CWB pada PNS. Dengan demikian,

pemerintah dapat menyusun kebijakan pencegahan hingga kebijakan

reward dan punishment untuk mendukung dan mempertahankan perilaku

kerja positif dan meminimalkan CWB dengan lebih tepat.

3. Hasil penelitian ini dapat dijadikan pedoman pada masing-masing instansi

pemerintahan untuk membuat program yang dapat meningkatkan shame-

proneness yang sudah ada pada pegawai dan nilai-nilai moral untuk

menurunkan atau menghambat CWB.

4. Hasil dari penelitian ini dapat memberikan gambaran shame-proneness

masyarakat Melayu di Pekanbaru serta efeknya di tempat kerja. Dengan

demikian malu dapat mulai diajarkan kepada generasi muda sejak dini.

18
II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1.Kajian Pustaka

Pada subbab ini akan dibahas tentang kajian teori variabel-variabel yang

digunakan dalam penelitian ini.

2.1.1. Teori Counterproductive Work Behavior

Berbagai literatur mengenai Counterproductive Work Behavior (CWB)

menjelaskan bahwa istilah tersebut berkembang dari penelitian mengenai employee

deviance (Hollinger & Davis, 2006; Hollinger, Slora, & Terris, 1992; Hollinger &

Clark, 1982). Employee deviance adalah perilaku-perilaku yang tidak sah yang

dimaksudkan untuk merugikan perusahaan (Hollinger & Clark, 1982). Robinson &

Bennett (1995) menjelaskan deviant workplace behavior perilaku menyimpang yang

ditujukan kepada organisasi (organizational deviance) dan kepada anggota organisasi

(interpersonal deviance) di mana pada keduanya mencakup perilaku yang ringan

hingga serius.

Sackett beserta rekan-rekannya dalam beberapa tulisan menjelaskan konsep

employee deviance dari Hollinger & Clark dan Robinson & Bennett dengan istilah

counterproductive work behavior (Sackett & Devore, 2005; Gruys & Sackett, 2003;

Rotundo & Sackett, 2002). CWB pada level yang paling umum dijelaskan sebagai

beberapa perilaku anggota organisasi yang disengaja, yang dipandang oleh organisasi

bertentangan dengan kepentingannya yang sah (Sackett & Devore, 2001). Spector &

Fox (2005) mendefinisikan CWB sebagai tindakan-tindakan pelanggaran yang

19
merugikan atau disengaja untuk merugikan organisasi ataupun orang-orang di

dalamnya (klien, rekan kerja, konsumen dan atasan). Spector & Fox menjelaskan

bahwa tindakan CWB dapat saja terjadi dengan diniatkan ataupun tanpa diniatkan

untuk merugikan organisasi namun kuncinya adalah perilaku tersebut sengaja dipilih

untuk dilakukan (bukan kecelakaan) dan kemudian dapat merugikan organisasi dan

orang-orang di dalamya.

CWB secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi (Fox et al.,

2001). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. CWB targeting the organization (CWB-O)

CWB-O langsung diarahkan pada organisasi seperti sabotase, penipuan,

pencurian aset kerja, pulang kerja lebih awal, memperpanjang jam istirahat,

dengan sengaja memperlambat penyelesaian tugas, membuang atau boros

dalam menggunakan bahan kerja (Gualandri, 2012). Bentuk lainnya dari

CWB-O yang dijelaskan oleh Spector et al., (2006) termasuk direct

aggression, dengan sengaja tidak mengikuti prosedur atau dengan sengaja

membuat kesalahan kerja dan melanggar norma organisasi.

2. CWB targeting the people (CWB-P).

CWB-P lebih mengarah kepada orang lain di tempat kerja seperti pelecehan

seksual, verbal abuse, pencurian di antara kolega, menyebarkan gosip dan

menghina rekan kerja (Gualandri, 2012).

2.1.2. Teori Shame-Proneness

20
Berdasarkan makna malu pada orang melayu, shame didefinisikan sebagai

sebuah emosi di mana seseorang merasa tidak nyaman, merasa tidak enak hati,

merasa bersalah atas kesalahan atau pelanggaran aturan, nilai-nilai agama, dan norma

sosial (Cucuani, Sulastiana, Harding, & Agustiani, 2021). Pengertian ini tidak

mencakup pembatasan shame sebagai public shame semata, namun juga pengalaman

malu yang tidak diketahui oleh orang lain. Dalam penelitian ini shame-proneness

dimaknai sebagaimana yang dijelaskan oleh Leeming & Boyle (2004) dan Tangney &

Dearing (2002), yaitu sebuah kecenderungan untuk mengalami emosi malu dalam

merespon peristiwa-peristiwa negatif tertentu.

Tangney at al. (dalam Ferguson & Crowley, 1997) menjelaskan bahwa shame-

proneness direpresentasikan pada:

1. Self-criticism (evaluasi negatif terhadap diri). Orang yang merasakan malu

fokus pada evaluasinya yang negatif terhadap diri secara global. Hal ini yang

membedakannya dengan guilt di mana evaluasi dari pelanggaran yang terjadi

lebih difokuskan pada perilaku yang dianggapnya negatif.

2. Withdrawal, atau isolation (menarik diri dari lingkungan yang terkait dengan

hal yang menyebabkan malu). Karena adanya evaluasi yang negatif terhadap

diri secara global, malu dirasakan lebih dalam dan menyakitkan sehingga

timbul hasrat untuk menghilang dengan cara menarik diri atau menghindari

situasi yang membuatnya tidak nyaman.

21
Berdasarkan elemen dan aspek-aspek shame yang dijaabarkan di atas, terlihat bahwa

indikator shame sebagaimana yang dijelaskan dalam banyak literatur barat berbeda

dengan yang didapatkan di timur. Oleh sebab itu dalam penelitian ini digali terlebih

dahulu mengenai aspek-aspek malu pada orang Melayu. Berdasarkan interview

terhadap 9 orang Melayu yang bekerja di kota Pekanbaru mengenai apa yang

dirasakan, difikirkan dan dilakukan ketika mengalami malu di tempat kerja, yang di

analisis dengan teknik analisis tematik maka di ketahui bahwa malu pada orang

Melayu ditunjukkan dari:

1. Penilaian negatif (Negative evaluation) yaitu adanya penilaian diri yang

negatif, menganggap diri buruk karena melakukan sesuatu yang tidak pantas

atau gagal mempertahankan/ mencapai standar diri, baik yang berasal dari

evaluasi diri sendiri (Negative self-evaluation) maupun adanya persepsi

penilaian negatif dari orang lain (Perceiving negative evaluation from others)

karena kesalahan atau pelanggaran yang dilakukannya.

2. Menarik diri (withdrawal), yaitu menyendiri, berusaha menghindari kontak,

bertatap muka atau melakukan kontak mata dengan orang yang

menyebabkannya mengalami kejadian memalukan atau dengan orang yang

mengetahui peristiwa tersebut.

3. Motivasi untuk mengubah diri (motivation to change the self), yaitu

termotivasi untuk mengubah, meningkatkan, memperbaiki diri yang dianggap

berkaitan dengan hal-hal yang menimbulkan malu.

2.1.3. Teori Personal values

22
Schwartz dan Bilsky (1987) menghasilkan sebuah konsep definisi mengenai

nilai yang digabungkannya dari beberapa penjelasan mengenai nilai yang disebutkan

berulang-ulang dalam berbagai literatur dan disempurnakan oleh Schwartz (2012).

Nilai-nilai adalah;

(1) konsep (concept) atau keyakinan (belief) yang dihubungkan dengan affect.

Begitu nilai diaktifkan maka akan diresapi dengan perasaan. Misalnya, orang

yang memiliki independence sebagai nilai yang penting akan terusik ketika

kemandiriannya terancam, ia akan putus asa jika tidak berdaya

mempertahankannya dan senang ketika dapat menikmatinya.

(2) Merupakan tujuan yang diinginkan (desired) yang memotivasi tindakan. Orang

yang menganggap penting keadilan maka akan termotivasi untuk dapat mencapai

tujuan tersebut.

(3) Melampaui situasi tertentu (transcend specific situations), nilai-nilai yang

dianggap penting akan berlaku di mana saja, tidak terbatas pada tindakan, objek

dan situsi spesifik. Misalnya, nilai kejujuran dapat relevan di kantor, sekolah,

politik dan bisnis baik dengan rekan maupun orang asing.

(4) Berfungsi sebagai standar atau kriteria. Nilai mengarahkan pemilihan dan

evaluasi dari tindakan, kebijakan, orang-orang dan peristiwa. Orang-orang akan

memutuskan apa yang baik dan yang buruk, membenarkan atau mengharamkan,

layak dilakukan atau dihindari, berdasarkan konsekuensi yang mungkin untuk

nilai yang dihargai.

23
(5) Nilai disusun berdasarkan kepentingan yang relatif bagi satu orang dan yang lain.

Nilai seseorang membentuk sistem yang disusun berdasarkan prioritas yang

mengkarakteristikan mereka sebagai individu.

(6) Kepentingan yang relatif pada beberapa nilai mengarahkan tindakan. Beberapa

sikap atau perilaku secara khas berimplikasi pada lebih dari satu nilai. Misalnya

pergi kerumah ibadah mungkin mengekspresikan dan mendorong nilai

tradisional dan konformitas dengan mengorbankan nilai hedonis dan stimulasi.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa nilai-nilai merepresentasikan

pemikiran dari motivasi dasar, abstrak, tujuan-tujuan yang diinginkan cenderung

konsisten sepanjang waktu dan berbagai situasi. Personal values bervariasi

kepentingannya bagi setiap orang. Semakin tinggi tingkat kepentingan seseorang

terhadap suatu nilai, semakin memungkinkan ia untuk bertindak dengan cara yang

mendukung pencapaian nilai tersebut (Kluckhohn & Others, 1951; Schwartz, 1992)

Personal values oleh Schwartz (1992) diartikan sebagai “the criteria people

use to select and justify actions and to evaluate people (including the self) and

events”. Personal values merupakan kriteria yang digunakan orang-orang untuk

memilih dan membenarkan tindakan dan mengevaluasi orang serta peristiwa. Dari

pengertian personal values yang dipaparkan di atas, tampak bagaimana personal

values dapat mengarahkan seseorang pada suatu tindakan tertentu, dapat pula

memberikan gambaran mengapa seseorang bertindak sesuatu sementara yang lain

tidak, atau sebaliknya.

24
Berdasarkan hasil penelitiannya, Schwartz (1992) menjelaskan bahwa

terdapat dua dimensi dasar dari nilai, yaitu:

1. Openness to change versus conservation. Dimensi ini membagi nilai berdasarkan

sejauh mana mereka memotivasi orang untuk mengikuti kepentingan intelektual

dan emosional mereka sendiri dalam arah yang tidak dapat diprediksi dan tidak

pasti versus mempertahankan status quo dan kepastian yang diberikannya dalam

hubungan dengan orang lain yang dekat, lembaga, dan tradisi. Berbeda dengan

masyarakat berbudaya individualis yang sangat menekankan kebebasan dan

tanggung jawab dalam memilih tujuan dan sarana untuk mencapainya,

masyarakat dengan budaya kolektif lebih menekankan pada sistem relasi di mana

individu terlibat di dalamnya (Bedford, 2004).

2. Self-enhancement versus self-transcendence. Dimensi ini

menggambarkan sejauh mana nilai-nilai tersebut memotivasi orang untuk

meningkatkan kepentingan pribadi mereka sendiri (bahkan dengan

mengorbankan orang lain) (self- enhancement) dibandingkan sejauh mana nilai-

nilai memotivasi orang untuk mengatasi masalah egois dan mendukung

kesejahteraan orang lain (yang dekat dan jauh) dan alam (self-transcendence).

Masyarakat Melayu yang menjaga harmonisasi lebih mendukung pengaplikasian

dari nilai-nilai self-tanscendence yang mendukung kesejahteraan bersama dan

kurang mendukung self-enhancement karena efek negatifnya yang

menumbuhkan upaya untuk mencapai persetujuan sosial yang dapat mengganggu

25
hubungan sosial yang harmonis dan mengganggu pencapaian tujuan kelompok

(Bedford, 2004).

Selain berdasarkan nilai yang saling berkonflik sebagaimana dijelaskan dalam

dua dimensi di atas, Schwartz (1992) juga menjelaskan jika personal values

dipandang sebagai tujuan-tujuan, maka pencapaiannya akan difokuskan melayani

kepentingan diri sendiri (personal focus) atau kolektivitas tertentu (social focus).

Personal focus personal values merupakan nilai-nilai yang mengatu bagaimana

seseorang mengekspresikan minat dan karakteristik personal, yang terdiri dari

openness to change dan self-enhancement, sementara social focus merupakan nilai-

nilai yang mengatur bagaimana seseorang berhubungan secara sosial terhadap orang

lain dan bagaimana efeknya terhadap orang lain, yang terdiri dari conservation dan

self-transcendence (Schwartz, 2012). Sebagai masyarakat berbudaya kolektif, nilai-

nilai social focus merupakan nilai yang lebih diutamakan oleh masyarakat berbudaya

Melayu karena tujuan akhirnya adalah kesejahteraan dan keharmonisan dalam

kelompok atau masyarakat.

2.1.4. Teori Ethical climate

Arnaud (2006a) menjelaskan ethical climate sebagai persepsi bersama

mengenai nilai-nilai, sikap, perasaan dan perilaku individu-individu yang lazim dalam

suatu system sosial. Sistem sosial tersebut mewakili kolektivitas individu yang

berbagi struktur formal atau informal (misalnya departemen, organisasi, jaringan,

serikat pekerja). Hal ini sebagaimana dijelaskan Arnaud dalam tulisannya bahwa

26
Ethical climate adalah “shared perceptions of the content and strength of the

prevalent values, norms, attitudes, feelings, and behaviors of the members of a social

system, where the social system represents a collectivity of individuals who share a

formal or informal structure (e.g. department, organization, network, trade-

union)”(Arnaud, 2006b). Arnaud menjelaskan bahwa ethical climate dapat

digambarkan berdasarkan kepekaan Individu-individu terhadap isu-isu etik, penalaran

moral yang digunakan seseorang dalam mengambil keputusan etik, nilai-nilai apa

yang dianggap lebih bermoral, serta kateguhan mereka dalam menyelesaikan masalah

etik berdasarkan apa yang dianggap bermoral.

Arnaud (2006a, 2006b) menjelaskan dimensi ethical climate terdiri dari enam

subscale, yaitu:

1. Norms of Empathetic Concern, yaitu adanya evaluasi atau

mempertimbangkan dampak tindakan atau pengambilan keputusan terhadap

orang lain.

2. Norm of Moral Awarenes, yaitu adanya kesadaran atau kepekaan terhadap

adanya isu dan dilemma moral yang terjadi di lingkungan kerja.

3. Collective Moral Judgement Focus on Self, penalaran moral yang lazim

digunakan untuk memutuskan bahwa tindakan yang secara moral dapat

dibenarkan adalah yang berfokus untuk memberikan keuntungan dan

kesejeahteraan diri sendiri.

4. Collective Moral Judgement Focus on Others, penalaran moral yang lazim

digunakan untuk memutuskan bahwa tindakan yang secara moral dapat

27
dibenarkan adalah yang berfokus pada kesejahteraan dan kepentingan orang

lain.

5. Collective Moral Motivation, : mencakup memeriksa fokus etik apa yang

mendominasi fokus etik lainnya ketika menjelaskan tindakan dan

merefleksikan apa yang bagi organisasi secara umum dianggap benar secara

moral. Secara lebih spesifik, collective moral motivation mencakup nilai-nilai

yang lazim dari social- system dan apakah nilai moral secara umum

diprioritaskan di atas nilai lainnya.

6. Collective Moral Character, mencakup level kegigihan dan keberanian

anggota organisasi yang lazim dari sebuah social-system. Collective moral

character mencakup norma-norma untuk mengimplementasikan sebuah

tindakan yang terencana sebagaimana yang direpresentasikan oleh norma-

norma control diri.

2.2.Kerangka Pemikiran

Shame-proneness adalah sifat pada individu yang lebih rentan merasakan

malu pada situasi-situasi tertentu yang memunculkan malu secara umum (Leeming &

Boyle, 2004; Tangney & Dearing, 2002). Masing-masing individu memiliki

kecenderungan merasakan malu dalam level tertentu. Shame-proneness terbentuk dari

pengalaman serta pembelajaran sejak masa kanak-kanak. Rasa malu menjadi sesuatu

yang penting bagi orang Melayu dalam berinteraksi dan menjaga hubungan baik.

Kewajiban menjaga warwah diri dan keluarga, pemahaman terhadap harapan sosial,

aturan dan nilai-nilai agama menjelaskan megapa malu menjadi sangat penting bagi

28
orang Melayu. Anak-anak mereka dididik untuk menjadi tahu malu dalam

menghadapi situasi-situasi yang tidak diharapkan atau melanggar aturan dalam

lingkungan sosialnya. Mereka ditekankan bahwa apa yang mereka lakukan membawa

nama keluarga, suku, institusi dan komunitas masyarakat tertentu, untuk itu perilaku

mereka harus selalu dijaga. Banyak aturan dan nasehat secara tertulis maupun tersirat

mengenai sifat malu dalam masyarakat Melayu. Lama-kelamaan malu yang mereka

pelajari dan rasakan menjadikan mereka memiliki sifat rentan atau lebih cenderung

mudah merasakan malu dalam menghadapi situasi yang umumnya menimbulkan rasa

malu, seperti saat mereka melanggar aturan dan mengalami kegagalan.

Orang yang memiliki shame-pronenes akan cenderung berusaha untuk

mengindari situasi yang berpotensi menimbulkan malu pada dirinya. Adanya shame-

proneness membuat seseorang dapat mengevaluasi apakah tindakan yang akan

dilakukannya dapat membuatnya masuk ke dalam situasi yang memalukan atau tidak.

Hal tersebut sesuai dengan apa yang dipaparkan dalam Tunjuk Ajar Melayu yang

mengisyaratkan pentingnya malu pada orang Melayu. Sifat malu akan menjaga diri

seseorang dari sifat-sifat buruk, berhati-hati dalam berperilaku serta menjaga marwah

diri dan orang lain. Dalam tunjuk ajar Melayu, shame dan guilt tidak dibedakan,

karena pada orang yang merasa bersalah menunjukkan adanya malu (Effandi, 2006).

Dansie (2009) juga menjelaskan bahwa rasa penyesalan yang timbul dari rasa

bersalah adalah karena adanya rasa malu.

Pentingnya malu dan seringnya orang Melayu merasakan malu dijelaskan

dalam penelitian Fessler (2004), di mana orang Melayu lebih sering menggunakan

29
istilah malu dibandingkan emosi lainnya. Bahkan, pada saat mereka melakukan

kesalahan yang tidak diketahui orang lain pun, selain merasa bersalah mereka juga

merasa malu. Kayakinan bahwa Tuhan selalu melihat apapun yang dilakukan dan di

manapun manusia berada menimbulkan rasa malu dalam diri ketika tindakan tidak

sejalan dengan ajaran agama. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Collins & Bahar

(2000) bahwa orang Melayu menginterprestasikan malu dalam mendukung konsep

halal dan haram serta mengenyampingkan egoisme. Segala hal yang terkait dengan

apa yang diharamkan dalam agama jika dilakukan akan menimbulkan rasa malu.

Mencermati bagaimana malu diposisikan sebagai sifat yang mulia

mencerminkan adanya perbedaan pemaknaan sehingga diduga juga akan memiliki

dampak yang berbeda dengan apa yang dijelaskan mengenai shame dalam penelitian

pada umumnya di barat. Dalam penelitian di barat, shame dan guilt dibedakan dalam

berbagai hal yang pada kesimpulannya menunjukkan bahwa meskipun sama-sama

emosi negatif dan emosi moral namun guilt dianggap adaptif sementara shame adalah

maladaptive. Salah satu penelitian lintas budaya tentang malu menunjukkan adanya

perbedaan tentang bagaimana malu memotivasi individu memperbaiki hubungan

dengan orang lain. Malu pada sales di Philipina mengarahkan upayanya untuk

memulihkan ikatan sosial dengan kolega dan konsumennya dengan meningkatkan

perilaku altruistic mereka, sementara pada sales di Belanda, malu mengancam diri

mereka sehingga menghabiskan energi untuk mempertahankan self-concept nya

daripada hubungannya dengan konsumen (Bagozzi et al’s, 2003).

30
Bagozzi et al. (2003) menjelaskan bahwa perbedaan self-construal pada orang

berbudaya individual dan kolektif membuat perbedaan konsep tentang shame dan

guilt. Pada orang berbudaya kolektif seperti di Indonesia shame dan guilt tidak begitu

dibedakan karena keduanya memiliki konsekuensi yang adaptif. Selain itu, pelabelan

budaya barat sebagai budaya rasa bersalah (guilt culture) sementara budaya timur

dengan budaya malu (shame culture) menggambarkan bahwa dalam budaya yang

berbeda, rasa bersalah dan malu dapat memainkan peran dalam mendorong perilaku

seseorang untuk tetap mematuhi aturan dan standar (Poulson II, 2000; Su, 2010).

Teori evolusi mengenai malu menjelaskan bahwa malu sebagai emosi negatif,

sebagaimana emosi lainnya juga memiliki fungsi adaptif. Dalam beberapa penelitian

dijelaskan sisi terang dari malu dan dampaknya secara lebih adaptif. Malu yang

timbul dari kesadaran akan pelanggaran, dan standar yang ditetapkan baik oleh diri

maupun sosial menunjukkan adanya kepekaan terhadap harapan sosial yang penting

dalam menjaga keharmonisan. Selain itu, individu yang menunjukkan rasa malu lebih

mengundang simpati dan pemaafan dari orang lain dibanding jika individu tidak

menunjukkan adanya rasa malu. Rasa malu yang ditunjukkan oleh orang yang

melakukan pelanggaran merupakan sebuah kesadaran akan tindakan yang seharunya

tidak dilakukan sehingga ia menghukum diri dengan perasaan menyakitkan tersebut

atas kesalahan yang telah dilakukannya.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka keterkaitan shame dan

counterperoductive work behavior pada orang Melayu akan dijelaskan sebagaimana

keterkaitan guilt dengan counterproductive work behavior pada budaya barat. Oleh

31
sebab itu, konsep mengenai shame-proneness dalam penelitian ini mengacu pada

konsep guilt-proneness terkait implikasinya dalam perilaku di tempat kerja. Hasil

penelitian dari Cohen, Panter, & Turan (2013) memperlihatkan bahwa orang yang

memiliki guilt-proneness yang tinggi lebih sedikit terlibat dengan CWB

dibandingkan dengan orang yang memiliki guilt-proneness yang rendah. Guilt-

proneness berkorelasi positif dengan moral personality lainnya, termasuk kejujuran-

kerendahan hati, identitas moral, idealisme/relativisme moral, moralitas

konvensional, pertimbangan konsekuensi di masa depan. Secara keseluruhan, temuan

ini menunjukkan bahwa rasa bersalah cenderung membuat orang berpikir, merasakan,

dan bertindak dengan cara yang relevan secara moral.

Orang Melayu dengan shame-proneness-nya diharapkan akan menunjukkan

tindakan-tindakan yang relevan secara moral. Orang dengan shame-proneness akan

lebih mudah atau lebih intens dalam merasakan malu, sehingga akan menghindari

tindakan yang berpotensi menimbulkan rasa malu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh

Tangney et al. (2007) bahwa individu dengan shame-proneness akan lebih rentan

untuk pengalaman anticipatory shame dibandingkan dengan yang lebih rendah

shame-proneness-nya. Dengan demikian, ia akan menghindari untuk melakukan

tindakan-tindakan yang berlawanan dengan aturan, seperti CWB. Dalam masyarakat

Melayu, orang yang melakukan pelanggaran dengan sengaja, menunjukkan

rendahnya shame-proneness. Bagitulah saat mereka mendengar atau menyaksikan

orang yang melakukan pelanggaran, misalnya korupsi, maka seringkali dikatakan

32
tidak malu, atau tidak tahu malu untuk menjelaskan mengapa orang korupsi. Dengan

demikian, tingginya shame-proneness akan berpengaruh terhadap rendahnya CWB.

Namun tampaknya, shame-proneness pada orang Melayu tidak secara

langsung membuat mereka tidak melakukan CWB. Berdasarkan data baik dari media

maupun laporan KPK, CWB masih menjadi masalah PNS di Kota Pekanbaru, di

mana sebagian besar masyarakatnya bersuku Melayu. Seharusnya, dengan budaya

yang meletakkan sifat malu sebagai hal penting membentuk shame-proneness pada

individu-individunya dan kemudian mencegah mereka dalam melakukan CWB.

dalam penelitian ini diusulkan sebuah dinamika dalam menjelaskan bagaimana

shame-proneness memengaruhi CWB pada PNS di kota pekanbaru berdasarkan Trait

Activation Theory. Shame-proneness dimunculkan dalam perilaku bermoral,

mengikuti aturan, norma kesopanan dan standar yang berlaku sehingga tidak terlibat

dengan CWB dengan mediasi personal values dan moderasi ethical climate.

Selain trait shame (shame-proneness), faktor lainnya yang sering dikaitkan

dengan motivasi tindakan bermoral atau sebaliknya adalah personal values (Silfver et

al., 2008). Tindakan pelanggaran seperti CWB pada PNS dapat dijelaskan oleh

personal values karena perannya yang sangat penting dalam menginspirasi,

mengendalikan dan mengarahkan seseorang di tempat kerja (Mashlah, 2015). Orang-

orang membuat keputusan dan kemudian berperilaku dengan berdasarkan nilai-nilai

mereka. Locke menjelaskan bahwa values adalah elemen yang mengatur dan

memotivasi perilaku seseorang dan ia mengelola perbedaan individu yang kuat

seperti kepribadian (Ertosun & Adiguzel, 2018).

33
Shame-proneness memengaruhi CWB melalui personal values. Meskipun

cenderung stabil, personal values lebih terbuka untuk berubah. Prioritas terhadap

nilai-nilai dapat berubah dari waktu kewaktu untuk memenuhi dan menyesuaikan

dengan kebutuhan (Schwartz & Bilsky, 1987). Trait yang dimiliki seseorang dapat

memengaruhi value nya (Wijnen et al., 2007), begitupula dengan trait shame karena

tendensi emosi secara perkembangannya mendahului nilai. Haidt (2003) menyatakan

bahwa shame termasuk ke dalam emosi moral karena ia berhubungan dengan

kepentingan dan kesejahteraan sosial secara keseluruan atau perorangan sehingga

berpengaruh terhadap prioritas dari nilai-nilai moral. Orang yang memiliki shame-

proneness tinggi akan menempatkan nilai-nilai yang yang memotivasi pemenuhan

kepentingan dan kesejahteraan sosial (nilai-nilai moral/ social focus) pada posisi yang

utama atau prioritas. Schwartz (2005) menjelaskan nilai-nilai yang mengutamakan

social focus, yaitu self-trancendent yang terdiri dari nilai universalism dan

benevolence, serta conservation yang terdiri dari conformity, tradition, dan security

dilabel sebagai nilai moral. Namun, nilai-nilai yang termasuk dalam personal focus,

yaitu self-enhancement dan openness to change jarang dipertimbangkan sebagai nilai

moral.

Parks-leduc et al. (2015) menjelaskan bahwa tinggi rendahnya hubungan trait

dengan value salah satunya ditentukan oleh kemiripan konten pada keduanya. Shame-

proneness merupakan suatu trait sebagai bentuk adanya kesadaran akan harapan

sosial dan keharmonisan dalam kelompok. Shame termasuk ke dalam emosi moral

karena berperan dalam mencegah terjadinya pelanggaran sosial (Silfver-kuhalampi,

34
2008). Oleh sebab itu, shame-proneness sebagai trait dari emosi moral dan

menekankan pada perhatian terhadap kenyamanan orang lain serta keharmonisan

kelompok akan memilliki pengaruh dengan arah yang positif terhadap nilai-nilai

moral, yaitu conservation dan self-transcendence. Arah pengaruh shame-proneness

akan berkebalikan terhadap openness to change dan self enhancement, dimana kedua

sub-dimensi ini jarang dianggap sebagai nilai moral dan berfokus pada diri individu.

Shame-proneness memengaruhi openness to change dan self-enhancement dalam

arah yang negatif.

Pola struktur perilaku yang mengekspresikan nilai-nilai tersebut juga

memperlihatkan struktur yang serupa dengan struktur nilai (Bardi & Schwartz, 2003).

Oleh sebab itu, pengaruh nilai-nilai yang saling berdekatan (compatible) terhadap

perilaku juga akan berdekatan, sementara nilai yang berkonflik juga akan

menunjukkan pengaruhnya terhadap perilaku yang bertolak belakang. Oleh sebab itu,

pengaruh nilai conservation dan self-transcendence akan mirip dengan perilaku

CWB, namun berkebalikan dengan pengaruh openness to change dan self-

enhancement ke CWB.

Nilai conservation dan self-transcendence akan lebih mengarahkan perilaku

seseorang sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di dalam kelompok. Pegawai

yang memiliki nilai conservation akan cenderung tunduk pada aturan dan nilai-nilai

bersama, ada rasa tidak nyaman untuk menjadi berbeda dan melanggar aturan yang

berlaku. Selain itu, nilai self-trancendence mengarahkan pegawai untuk lebih peduli

dan toleran terhadap perbedaan, masalah dan kekurangan orang lain, mengutamakan

35
kebersamaan dan keharmonisan. Pegawai dengan nilai-nilai tersebut akan cenderung

menghindari perilaku melanggar aturan dan menyakiti orang lain. Dengan demikian,

pegawai yang memiliki subdimensi nilai conservation dan self-trancendent yang

tinggi akan menyebabkan orang tidak melakukan CWB.

Sementara itu, self-enhancement yang menekankan pada pencapaian target

dan fokus pada mengontrol lingkungan dengan menunjukkan ambisi akan

mengarahkan seseorang untuk lebih mengutamakan apa yang menjadi keinginannya

serta kurang peduli terhadap dampaknya terhadap orang lain. Orang-orang dengan

prioritas nilai tersebut akan cenderung termotivasi untuk melakukan tindakan yang

menguntungkan diri dan kurang mempertimbangkan aturan seperti CWB. Selain itu,

openness to change yang menekankan pada keterbukaan, keingintahuan dan

menyukai tantangan dan kemandirian cenderung bertindak, berfikir dan merasa

berdasarkan apa yang diinginkan dan disenanginya sehingga abai terhadap norma,

pendapat serta perasaan orang lain, berfikir kritis dan tidak suka mengikuti aturan

begitu saja. Selain itu, mereka akan lebih mengutamakan apa yang dianggapnya dapat

memberikan kesenangan pribadi. Dengan demikian, orang dengan nilai prioritas

openness to change akan berpotensi melakukan CWB.

Namun, CWB yang terjadi pada PNS di Kota Pekanbaru tampaknya tidak

hanya dapat dijelaskan oleh rendahnya shame-proneness, nilai conservation dan self-

transcendence atau tinggi nilai openness to change dan self-enhancement. Shame

terlihat masih dibudayakan dalam masyarakat Melayu, dan dalam instansi

pemerintahan, terlihat dari adanya display-display megenai budaya malu di kantor

36
pemerintahan. Merujuk pada konsep yang dikembangkan Kurt Lewin bahwa

meskipun jelas bahwa individu adalah sumber dari mana respon manusia

dibangkitkan, namun rangsangan situasional lah yang membangkitkan mereka dan

perubahan kondisi turut mengubahnya (Schneider, 1975). PNS yang memiliki trait

shame dan social focus personal values dapat saja melakukan CWB ketika

lingkungannya melemahkannya untuk merealisasikan trait-nya tersebut. Secara lebih

spesifik, Trait Activation Theory menjelaskan bahwa suatu trait hanya merupakan

kecenderungan untuk menimbulkan perilaku, untuk itu ia membutuhkan situasi yang

relevan (Tett & Guterman, 2000). Ketika individu sudah memiliki shame-pronennes

yang tinggi, situasi dan kondisi yang relevan akan menguatkan untuk menimbulkan

perilaku malu untuk melakukan CWB. Sebaliknya, jika situasi dan kondisi

dipersepsikan tidak relevan dengan shame-proneness maka akan melemahkan

dampak shame-proneness terhadap rendahnnya CWB. Dengan demikian, shame-

proneness akan dikuatkan oleh ethical climate yang positif untuk tidak melakukan

CWB.

Demikian pula dengan prioritas personal values pegawai yang diarahkan

oleh shame-proneness, dimoderasi oleh ethical climate dalam pengaruhnya terhadap

CWB. Meskipun banyak penelitian menyebutkan bahwa nilai dapat memengaruhi

perilaku secara langsung berdasarkan kesesuaian struktur nilai yang dimiliki, namun

dengan penjelasan interaksinya dengan faktor situasional akan dapat lebih

memberikan kejelasan (Bardi & Schwartz, 2003; Benish-Weisman, Daniel, & Knafo-

Noam, 2017; Roccas & Sagiv, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bardi &

37
Schwartz (2003), ada korelasi yang substantive antara sebagian besar nilai dengan

perilaku yang mengekspresikannya, namun kuatnya hubungan nilai dan perilaku

tersebut berbeda-beda. Selain itu, ada nilai-nilai yang tidak terbukti secara empiric

memengaruhi CWB (Bruursema, 2007; Waheeda & Hafidz, 2012), perilaku-perilaku

yang mengekspresikan nilai-nilai yang bertentangan juga dapat saja tidak

bertentangan (Bardi & Schwartz, 2003).

Pegawai yang memiliki prioritas terhadap nilai conservation akan

termotivasi untuk mengekspresikan nilai tersebut dalam perilaku patuh, hormat dan

menjaga ketertiban demi kenyamanan bersama sehingga cenderung menghindari

tindakan-tindakan pelanggaran aturan dan standar saat ia mempersepsikan lingkungan

memberikannya isyarat dan dukungan untuk merealisasikannya. Ethical climate yang

positif menjadi isyarat yang menstimulasi dan menguatkan pegawai untuk tidak

menampilkan CWB. Begitupula dengan pegawai yang memprioritaskan nilai self-

transcendence, dimana ketika pegawai memersepsi ethical climate di lingkungannya

positif, akan menguatkan pegawai dalam mengekspresikan perilaku kerjasama, peduli

dan mengutamakan kesejahteraan bersama. Perilaku tersebut berkebalikan dengan

CWB, sehingga pegawai cenderung tidak melakukan CWB.

Pada sisi sebaliknya, pegawai yang memprioritaskan nilai openness to

change termotivasi untuk mengekspresikan dorongan, hasrat, kebebasan dan

keterbukaan terhadap hal-hal baru dalam perilaku mencari kesenangan, melewati

batasan, dan abai terhadap aturan. Namun, ketika mereka mempersepsikan ethical

climate nya positif, maka ia cenderung untuk menahan pengekspresian nilai tersebut

38
karena ia merasa perilaku tersebut tidak diberi tempat dan tidak dibenarkan oleh

lingkungannya. Begitu pula dengan pegawai yag memprioritaskan nilai self-

enhancement, ethical climate yang positif dapat melemahkan pengengkspresian nilai-

nilai yang menekankan pada pencapaian pribadi dan persaingan serta ambisi berupa

usaha untuk mendapatkan kekuasaan dan prestasi ke dalam tindakan penipuan,

merendahkan orang lain dan pengabaian aturan.

Ethical Climate positif yang dimaksud adalah sebagaimana yang

digambarkan oleh Arnaud (2006), yaitu ketika individu sebagai seorang PNS

memersepsikan nilai, sikap, dan tindakan yang lazim dilingkungan kerjanya kondusif,

di mana sebagian besar orang-orang memiliki kepekaan terhadap adanya isu atau

dilema etik dan mengevaluasi bagaimana tindakan seseorang berdampak terhadap

orang lain, menggunakan framework bahwa fokus terhadap kepentingan banyak

orang lebih utama daripada pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan diri sendiri,

nilai-nilai etis menjadi sesuatu yang lebih dihargai dan diprioritaskan dibandingkan

nilai lain, serta teguh dalam mempertahankan perilaku etik meskipun tidak dituntut

demikian atau justru di bawah tekanan untuk tidak melakukannya. Jika lingkungan

kerja dipersepsi sebaliknya, berarti individu menilai ethical climate di lingkungan

kerjanya negatif.

Ethical climate pada beberapa instansi pemerintahan ataupun di beberapa

bagiannya saat ini memperlihatkan kecenderungan kearah negatif, di mana terjadi

pembiaran beberapa bentuk pelanggaran-pelanggaran. Pembiaran pelanggaran

tersebut lama-kelamaan dapat menjadi sesuatu yang biasa dan umum, sehingga

39
pegawai yang tidak melakukannya justru terlihat aneh, misalnya pegawai yang

menolak menerima tips dari masyarakat untuk mempercepat penyelesaian

administrasi yang mereka butuhkan justru dianggap mempersulit. Pegawai-pegawai

yang tadinya disiplin akhirnya ikut-ikutan datang terlambat, melakukan tugas lain dan

meninggalkan kantor untuk hal yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan karena

kebanyakan orang ditempat kerjanya melakukan hal tersebut tanpa adanya sanksi.

Mereka tidak lagi termotivasi untuk mempertahankan kedisiplinannya karena tidak

ada penghargaan untuk kedisiplinan ataupun hukuman yang jelas untuk pelanggaran.

2.3. Hipotesis

Hipotesis Utama: Ada pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi

oleh personal values dengan moderasi ethical climate pada pengaruh shame-

proneness dan personal values terhadap CWB

Subhipotesis:

1. Ada pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh personal

values- conservation, dengan moderasi ethical climate pada pengaruh shame-

proneness dan personal values- conservation terhadap CWB.

2. Ada pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh personal

values- self-transcendence, dengan moderasi ethical climate pada pengaruh

shame-proneness dan personal values- self-transcendence terhadap CWB.

40
3. Ada pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh personal

values- openness to change, dengan moderasi ethical climate pada pengaruh

shame-proneness dan personal values- openness to change terhadap CWB

4. Ada pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh personal

values- self-enhancement, dengan moderasi ethical climate pada pengaruh

shame-proneness dan personal values- self-enhancement terhadap CWB

41
III. METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk membuktikan model yang diusulkan oleh

peneliti dengan menggunakan penelitian kuantitatif. Tipe penelitian ini digunakan

untuk menguji hubungan antara keempat variabel yang diteliti baik secara

keseluruhan maupun parsial.

3.2. Variabel Penelitian

3.2.1. Counterproductive Work Behavior

Definisi konseptual

Counterproductive work behavior atau yang selanjutnya disebut CWB adalah

“volitional acts that harm or are intended to harm organizations or people in

organizations” (Spector & Fox, 2005). CWB terdiri dari tindakan-tindakan

pelanggaran yang merugikan atau disengaja untuk merugikan organisasi ataupun

orang-orang di dalamnya (klien, rekan kerja, konsumen dan atasan), di mana

tindakannya dapat saja terjadi dengan diniatkan ataupun tanpa diniatkan untuk

merugikan organisasi namun kuncinya adalah perilaku tersebut sengaja dipilih untuk

dilakukan atau disadari dan dapat merugikan organisasi dan orang-orang di dalamnya.

Definisi operasional

Counterproductive work behavior adalah frekuensi perilaku atau tindakan

pelanggaran aturan, standar dan norma yang dilakukan oleh pegawai dengan sengaja

42
di tempat kerja, baik diniatkan ataupun tidak untuk merugikan instansi/negara dan

orang-orang yang terlibat di dalamnya (rekan kerja, atasan, klien dan masyarakat

pengguna jasa). Tinggi rendahnya frekuensi CWB diketahui dari penjumlahan respon

subjek dari seluruh item (skor total) terhadap Skala Counterproductive Work

Behavior-Checklist (CWB-C) berbahasa Indonesia yang diadaptasi dari Skala CWB-

C yang dikembangkan oleh Spector (2006).

3.2.2. Personal values

Definisi konseptual

Values adalah; (a) concepts or beliefs (b) about desirable end states or behaviours (c)

that transcend specific situations, (d) guide selection or evaluation of behaviour and

events, and (e) are ordered by relative importance (Schwartz & Bilsky, 1987).

Values secara umum dijelaskan dengan lima komponen di atas, yaitu merupakan

konsep atau keyakinan, mengenai kondisi akhir atau perilaku yang diinginkan,

berlaku dalam berbagai situasi spesifik, mengarahkan dalam menyeleksi dan

mengevaluasi perilaku dan peristiwa, tersusun berdasarkan tingkat kepentingannya

(Schwartz & Bilsky, 1987). Secara lebih singkat Personal values diartikan sebagai

“the criteria people use to select and justify actions and to evaluate people (including

the self) and events” (Schwartz, 1992). Personal values merupakan kriteria yang

digunakan orang-orang untuk memilih dan membenarkan tindakan dan mengevaluasi

orang serta peristiwa. Berdasarkan konsep yang dikembangkan Schwartz, Personal

values terdiri dari empat subdimensi berdasarkan motivasi yang mendasarinya, yaitu:

43
1. Conservation adalah “values that emphasize order, self- restriction,

preservation of the past, and resistance to change”, yaitu nilai-nilai yang

menekankan keteraturan, pembatasan diri, pelestarian tradisi, dan kurang

terbuka pada perubahan, yang di dalamnya termasuk tradition, conformity dan

security;

2. Openness to change adalah “values that emphasize independence of thought,

action, and feelings and readiness for change” yaitu nilai-nilai yang

menekankan kemandirian berfikir, bertindak, dan merasakan serta kesiapan

untuk berubah, yang di dalamnya termasuk self-direction, stimulation dan

hedonism;

3. Self-trancendental adalah “values that emphasize concern for the welfare and

interests of others” yaitu nilai-nilai yang menekankan perhatian terhadap

kesejahtaraan dan kepentingan orang lain, yang di dalamnya termasuk tipe

nilai universalism dan benevolence;

4. Self-enhancement adalah “values that emphasize pursuit of one's own interests

and relative success and dominance over others”, yaitu nilai-nilai yang

menekankan mengejar kepentingan pribadi, kesuksesan relatif dan dominasi

atas orang lain, yang didalamnya termasuk tipe nilai power dan achievement.

Definisi operasional

Personal values adalah kriteria-kriteria yang digunakan oleh pegawai tentang

apa yang dianggap benar yang dijadikan acuan baginya dalam menentukan tindakan,

mengevaluasi diri, orang lain dan suatu peristiwa. Personal values pegawai tergambar

44
dari nilai apa yang dianggap penting yang kemudian memotivasi nya untuk mencapai

tujuan tertentu. Personal values seseorang ditentukan dari tinggi rendahnya prioritas

untuk tipe-tipe nilai tertentu yang ditunjukkan dari skor total respon subjek terhadap

item-item di dalam masing-masing subdimensi personal values. Personal values

dalam penelitian ini akan diklasisfikasikan kedalam empat subdimensi, yaitu:

1. Conservation, yaitu nilai-nilai yang menekankan pada rasa aman, keteraturan

dan kepatuhan terhadap aturan, tradisi dan nilai-nilai agama. Individu yang

memiliki skor tinggi pada conservation menunjukkan pribadi yang

mengganggap penting serta termotivasi untuk menjaga keamanan keluarga,

keamanan nasional, tatanan sosial, kebersihan, menunjukkan kedisiplinanan,

kesopanan, menghormati orangtua atau yang lebih tua dan bersikap patuh,

ta’at, menghargai tradisi dan rendah hati.

2. Openness to change, yaitu nilai-nilai yang menekankan pada kemandirian,

kebebasan dan kesenangan. Individu yang memiliki skor tinggi pada openness

to change menunjukkan pribadi yang mengganggap penting serta termotivasi

untuk menunjukkan kreatifitas, mendapat kebebasan, kemandirian, memilih

tujuan sendiri dan memiliki rasa ingin tahu, berani, merasakan hidup yang

bervariasi dan menyenangkan, menikmati hidup dan memuaskan diri sendiri.

3. Self-transcendental adalah nilai-nilai yang menekan pada perhatian terhadap

kesejahteraan dan kepentingan terhadap orang lain. Tingginya skor pada

subdimensi ini menunjukkan pribadi yang mengganggap penting serta

termotivasi untuk mencapai keseimbangan, keadilan sosial, kebebasan,

45
berwawasan luas, menjaga lingkungan, kesatuan dengan alam dan keindahan

dunia, suka menolong, jujur, memaafkan, loyal, bertanggungjawab terhadap

orang-orang dekat.

4. Self-enhancement adalah nilai-nilai yang menekankan pada pentingnya

pencapaian diri/pribadi, baik dalam hal prestasi maupun kekuatan/ kekuasaan.

Tingginya skor pada subdimensi ini menunjukkan pribadi yang menganggap

penting serta termotivasi untuk menunjukkan ambisi, mengejar kesuksesan,

menunjukkan kemampuan dan pengaruh, memperoleh otoritas, kekuatan

sosial, kekayaan, dan citra di publik.

3.2.3. Sifat Malu (Shame-Proneness)

Definisi konseptual

Shame-proneness adalah “a tendency to experience the emotion (shame) in response

to specific negative events” (June P. Tangney, 1996) yang dapat diartikan sebagai

sebuah kecenderungan untuk mengalami emosi malu dalam merespon peristiwa-

peristiwa negatif yang spesifik. Adapun definisi malu pada orang Melayu adalah “an

emotion in which a person feels uncomfortable, discouraged, and guilty for mistakes

or violations of regulations, religious values, and social norms” (Cucuani et al.,

2021). Malu adalah sebuah emosi di mana seseorang merasa tidak nyaman, tidak

enak hati, dan merasa bersalah atas kesalahan atau pelanggaran aturan, nilai agama,

dan norma sosial.

Definisi operasional

46
Shame-proneness adalah sifat yang dimiliki pegawai dengan kecenderungan

untuk merasa tidak nyaman, tidak enak hati dan merasa bersalah karena melanggar

peraturan, nilai-nilai agama, dan norma sosial atau tidak memenuhi standar kerja.

Tinggi rendahnya shame-proneness pada seorang pegawai dilihat berdasarkan respon

subjek yang didapatkan dari skala shame-proneness, yaitu jumlah skor total untuk

seluruh item. Skala shame-proneness yang digunakan dalam penelitian ini dibuat

khusus oleh peneliti untuk mengukur shame-proneness pekerja dalam konteks budaya

Melayu.

3.2.4. Ethical climate

Definisi konseptual

Ethical climate adalah “shared perceptions of the content and strength of the

prevalent values, norms, attitudes, feelings, and behaviors of the members of a social

system, where the social system represents a collectivity of individuals who share a

formal or informal structure (e.g. department, organization, network, trade-

union)”(Arnaud, 2006b). Pengertian ini menjelaskan bahwa ethical climate adalah

“persepsi bersama tentang isi dan kekuatan nilai, norma, sikap, perasaan, dan perilaku

yang lazim dari anggota suatu sistem sosial. Sistem sosial tersebut mewakili

kolektivitas individu yang berbagi struktur formal atau informal (misalnya

departemen, organisasi, jaringan, serikat pekerja)”.

Definisi operasional

47
Ethical climate adalah seberapa positif atau negatif persepsi pegawai terhadap

nilai, norma, sikap, perasaan, dan perilaku yang lazim (dilakukan oleh sebagian besar

orang-orang) di dalam unit kerjanya. Ethical climates yang positif ditunjukkan dari

tingginya skor norms of empathetic concern, collective moral judgment focus on

others, collective moral motivation, collective moral character dan skor yang rendah

pada collective moral judgment focus on self oleh karena itu untuk mendapatkan skor

total untuk ethical climate maka dimensi collective moral judgment focus on self di-

reverse sebelum dijumlahkan dengan skor dimensi lainnya.

3.3. Pengukuran Variabel

Dalam penelitian ini, data akan diambil dengan menggunakan empat skala,

yaitu adaptasi dari counterproductive work behavior checklist (CWB-C) dari Spector,

et al., (2006) dengan menggunakan 24 item, Potrait Values Questionnaire (PVQ)

oleh Schwartz & Boehnke (2004) yang terdiri dari 40 item, dan Ethical Climate Index

(ECI) yang dikembangkan oleh Arnaud (2006) dengan menggunakan 18 item. Skala

shame-proneness (24 item) dikembangkan oleh peneliti. Keempat alat ukur telah diuji

sehingga memiliki reliabilitas dan validitas yang baik.

3.4. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah seluruh PNS yang berada di bawah Pemerintah

Provinsi Riau yang bertugas di Kota Pekanbaru yang berjumlah 15.068 orang (data

PNS dari Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Riau bulan Juni 2021). Luasnya kota

Pekanbaru, banyaknya jumlah PNS serta cenderung homogennya keadaan PNS di

48
setiap Instansi di bawah pemerintahan Provinsi Riau menjadi pertimbangan peneliti

untuk menggunakan teknik cluster random sampling. Cluster dalam hal ini adalah

pembagian area berdasarkan Instansi dalam Pemerintah Provinsi Riau di Pekanbaru.

Penentuan jumlah sampel minimal dilakukan dengan bantuan program

UNPAD SAS dengan proporsi 0.5 dan bound of error 0.07 sehingga di dapatkan

jumlah subjek minimal sebanyak 404 orang. Dari 36 instansi diambil 19 instansi yang

ditentukan secara random. Dalam penelitian ini terkumpul data sebayak 472, setelah

data dibersihkan (mengeluarkan subjek yang tidak mengisi keseluruhan skala) maka

didapatkan 404 data (85.4%) yang dapat dianalisis lebih lanjut

3.5. Rancangan Analisis Data

Uji hipotesis dalam penelitian ini akan dilakukan menggunakan Structural

Equation Modeling (SEM). SEM dipilih karena memiliki banyak kelebihan

dibandingkan metode statistik tradisional, yaitu tidak terbatas pada kemampuan untuk

memperhitungkan measurement error; memodelkan beberapa variabel dependen

secara bersamaan; menguji kesesuaian keseluruhan model; menguji hipotesis

kompleks dan spesifik; menangani data yang sulit; menguji model invarian parameter

di beberapa populasi / kelompok, dan melakukan pemodelan campuran untuk

menghadapi heterogenitas populasi (Wang & Wang, 2012). Analisis data SEM dalam

penelitian ini akan dilakukan dengan bantuan program Lisrel 8.8

49
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Berdasarkan analisis deskriptif mengenai data subjek penelitian diketahui

bahwa usia subjek berkisar antara 20 hingga 60 tahun dan rata-rata berumur sekitar

40 tahun. Subjek penelitian sudah bekerja sekurang-kurangnya 1 hingga 37 tahun dan

rata-rata sudah bekerja selama sekitar 13 tahun. Subjek berjenis kelamin perempuan

sedikit lebih banyak (59.5%) dibandingkan laki-laki. Sebagian besar subjek berada

pada golongan 3 (77.4%) dari paling rendah pada golongan satu hingga paling tinggi

pada golongan empat. Pendidikan terakhir subjek bervariasi dari Sekolah Menengah

Atas (SMA) hingga berpendidikan S3, di mana sebagian besarnya berpendidikan S1

(63.4%). Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di pemerintahan Provinsi Riau memiliki

suku beragam, begitu pula yang menjadi sampel penelitian ini. Namun demikian,

sebagian besar subjek penelitian adalah bersuku Melayu (59.9%).

Hasil analisis deskriptif terhadap data dari 404 subjek untuk setiap variabel

yang diteliti dalam penelitian ini dijelaskan dalam tabel berikut ini:

Tabel 4 1 Data Deskriptif Variabel penelitian

Variabel Min Max Mean SD


Shame-proneness 19 90 62,78 15,301
CWB 24 120 36,21 12,928
Ethical Climate 30 91 63,25 12,172
Openness to change 10 106 41,41 10,860
Conservative 13 78 60,12 15,098
Self- enhancement 7 42 24,81 7,370
Self-transcendence 10 60 46,22 11,058

50
Berdasarkan uji hipotesis dengan menggunakan SEM, didapatkan hasil

sebagai mana tampak dalam dua gambar berikut ini:

Gambar 4 1. Standardized factor loading uji SEM untuk model utama penelitian

51
Gambar 4 2 Nilai t-value uji SEM untuk model utama penelitian

Adapun indeks kecocokan model dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4 1. Hasil Uji Kecocokan Model Struktural untuk Model Utama Penelitian

Ukuran GOF Target Kecocokan Hasil Estimasi Keterangan


Chi-Square P Value > 0.05 1001.34 (P = No Fit
0.000)
RMSEA < 0.05 atau 0.072 Medium Fit
0.05 ≤ RMSEA < 0.08
NNFI ≥ 0.90 0.96 Good Fit
CFI ≥ 0.90 0.96 Good Fit
SRMR ≤ 0.08 0.072 Good Fit

Nilai chi-square yang besar dengan p-value >0.05 menunjukkan model tidak

fit. Namun, mengingat kerentanan Chi-square terhadap jumlah sampel maka nilai

52
RMSEA merupakan sebuah alternatif penentuan kecocokan model yang dapat

diandalkan (Wang & Wang, 2012). Berdasarkan tabel di atas, nilai RMSEA sebesar

.072 (<0.08) menunjukkan bahwa model dinyatakan medium fit. Hasil ini didukung

oleh indikator-indikator lainnya seperti NNFI, CFI dan SRMR yang memenuhi

standar kecocokan model sebagaimana dipaparkan dalam tabel di atas. Maka

berdasarkan uji model struktural, model utama yang diajukan dalam penelitian ini

tergolong fit (cocok) sehingga Hipotesis utama diterima, yaitu: Ada pengaruh shame-

proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh personal values dengan moderasi

ethical climate pada pengaruh shame-proneness dan personal values terhadap CWB.

Baik conservation maupun self-transcendence memediasi sempurna

pengaruh shame-proneness terhadap CWB, dan ethical climate menunjukkan

interaksi yang kuat pada pengaruh shame-proneness dan conservation serta self-

transcendence terhadap CWB secara signifikan. Berdasarkan hasil tersebut diketahui

bahwa tidak terdapat pengaruh langsung shame-proneness terhadap CWB melainkan

melalui conservation dan self-transcencence serta dimoderasi oleh ethical climate.

Berdasarkan hasil analisis ini maka diketahui bahwa Subhipotesis 1 diterima, yaitu

Ada pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh personal values-

conservation, dengan moderasi ethical climate pada pengaruh shame-proneness dan

personal values- conservation terhadap CWB. Begitu pula dengan Subhipotesis 2

diterima, yaitu Ada pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh

personal values- self-transcendence, dengan moderasi ethical climate pada pengaruh

shame-proneness dan personal values- self-transcendence terhadap CWB.

53
Baik nilai openness to change maupun self-enhancement memediasi shame-

proneness terhadap CWB dengan arah yang sama. Begitupula pola yang ditunjukkan

dari efek moderasi ethical climate terhadap jalur mediasi tersebut. Self-proneness

memengaruhi nilai openness to change dan self-enhancement dalam arah negatif,

sehingga tingginya shame-proneness berdampak pada rendahnya tingkat prioritas

nilai openness to change dan self-enhancement pada pegawai. Selanjutnya kedua

subdimensi nilai tersebut memengaruhi CWB secara searah, dimana rendahnya

prioritas terhadap openness to change dan self-enhancement tersebut akan berdampak

pada rendahnya CWB. Sebaliknya, tingginya openness to change dan self-

enhancement akan berdampak pada tingginya CWB. Namun demikian jika pegawai

memersepsi ethical climate di tempatnya bekerja positif akan melemahkan pengaruh

tingginya prioritas openness to change dan juga self-enhancement terhadap tingginya

CWB. Selain itu, interaksi ethical climate juga ditemukan dalam pengaruh shame-

proneness secara langsung terhadap CWB.

Berdasarkan hasil tersebut maka Subhipotesis 3 diterima, yaitu Ada

pengaruh shame-proneness terhadap CWB yang dimediasi oleh personal values-

openness to change, dengan moderasi ethical climate pada pengaruh shame-

proneness dan personal values- openness to change terhadap CWB. Begitu pula

dengan Subhipotesis 4 diterima, yaitu Ada pengaruh shame-proneness terhadap CWB

yang dimediasi oleh personal values- self-enhancement, dengan moderasi ethical

climate pada pengaruh shame-proneness dan personal values- self-enhancement

54
terhadap CWB. Hasil uji hipotesis yang telah dijelaskan menjawab bahwa semua

hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima.

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa ethical climate menjadi kondisi

yang menjelaskan kuat lemahnya pengaruh shame-proneness terhadap CWB baik

secara langsung dan melalui setiap subdimensi personal values. Tingginya shame-

proneness serta nilai-nilai moral yang berinterakasi ethical climate positif dengan

akan mencegah terjadinya CWB. Berbeda saat shame-proneness dan nilai moral

tersebut berinteraksi dengan ethical climate yang negatif maka dapat menyebabkan

CWB. Rendahnya shame-proneness dalam memunculkan CWB melalui nilai

openness to change dan self-enhancement dilemahkan atau dihambat oleh ethical

climate yang positif. Bagaimana shame-proneness dapat memengaruhi CWB pegawai

tergantung pada ethical climate di unit kerjanya. Ethical climate sebagai variabel

moderator menunjukkan interaksi paling besar pada pengaruh openness to change

terhadap CWB dibanding nilai lainnya. Ethical climate yang dipersepsi positif

melemahkan efek nilai openness to change diekspresikan dalam bentuk CWB. Selain

itu, dari pengujian moderasi ini juga diketahui bahwa terdapat pengaruh dari ethical

climate terhadap CWB dalam arah yang negatif. Secara umum, model yang

melibatkan mediator dan moderator yang digunakan serta hasil dari pengujian yang

telah dilakukan dapat memberikan penjelasan mengenai bagaimana dan bilamana

shame-proneness yang dimiliki dapat memengaruhi tinggi rendahnya CWB PNS di

Kota Pekanbaru.

55
4.2. Pembahasan

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa model yang diajukan diterima, di

mana shame-proneness berpengaruh terhadap counterproductive work behavior

melalui personal values dan interaksinya dengan ethical climate. Model ini

menggambarkan bagaimana counterproductive work behavior dijelaskan melalui

faktor personal dan faktor situasional yang dipersepsi oleh para pegawai.

Tindakan-tindakan counterproductive work behavior pada PNS di Kota

Pekanbaru, secara internal dapat dijelaskan oleh pengaruh shame-proneness (sifat

malu) yang ada pada diri pegawai melalui prioritas nilai-nilai apa yang mereka

anggap penting. Shame-proneness menimbulkan preferensi nilai-nilai tertentu karena

pencapaian motivasi dari nilai-nilai tertentu dapat didorong oleh kecenderungan

individu untuk merasa malu dalam melanggar aturan atau norma dan standar yang

ditetapkan. Tinggi rendahnya shame-proneness yang dimiliki pegawai akan

memengaruhi nilai-nilai yang dianggap penting yang menjadi standar baginya dalam

mengevaluasi peristiwa, diri dan orang lain serta menentukan keputusan dan tindakan

yang dianggap baik. Prioritas terhadap nilai tertentu akan memotivasi individu untuk

melakukan tindakan yang sesuai dan menghindari tindakan yang tidak sesuai dengan

nilai tersebut. Tinggi dan rendahnya shame-proneness secara langsung maupun

melalui nilai conservation, self-transcendence, openness to change dan self-

enhancement memengaruhi CWB, dimoderasi oleh ethical climate di unit kerja.

Pada masyarakat Melayu yang berbudaya kolektif, shame-proneness

dipandang sebagai sifat yang positif dan penting dalam dunia kerja (Cucuani et al.,

56
2021). Shame yang dirasakan menandakan adanya kesadaran individu akan moral dan

etika (Effendy, 2006), pengetahuan tentang haram dan halal (Collins & Bahar, 2000),

kesadaran akan hak dan kewajiban (Chairani, Cucuani, & Priyadi, 2021), serta

kesadaran akan pentingnya menjaga relasi dan keharmonisan kelompok (Murphy &

Kiffin-Petersen, 2017; Wong & Tsai, 2007). Dengan demikian, sebagai sebuah trait

dari emosi moral (Murphy & Kiffin-Petersen, 2017; Wallace, 2013), shame terkait

dengan nilai-nilai moral.

Parks-leduc et al. (2015) menjelaskan bahwa trait dan value berhubungan

ketika memiliki konstruk yang serupa. Shame-proneness memiliki konstruk yang

mirip dengan Conservation dan self- transcendence dan cenderung bertentangan

dengan openness to change dan self-enhancement. Schwartz (2005) menjelaskan

lima dari 10 value yang termasuk kedalam nilai self-transcendence dan conservation

dianggap sebagai nilai moral karena lebih memberikan perhatian dalam

mempromosikan atau menjaga hubungan positif diri dengan orang lain (social focus).

Lima nilai lainnya, yang termasuk kedalam nilai self-enhancement dan openness to

change tidak dianggap nilai moral karena lebih mengutamakan kepedulian

mempromosikan atau mengekspresikan kepentingan diri (personal focus).

Shame-proneness merupakan kecenderungan seseorang untuk merasakan

malu ketika melakukan pelanggaran aturan, norma agama atau standar yang berlaku.

Oleh sebab itu, orang dengan shame-proneness yang tinggi akan menunjukkan

kepatuhan terhadap aturan, menjalankan perintah agama, menjaga hubungan baik

dengan orang lain, menjaga keharmonisan dan ketentraman dalam komunitasnya,

57
menunjukkan kesederhanaan, tidak suka tampil berbeda yang membuatnya terlihat

menonjol, berhati-hati dalam bertindak dan menghindari resiko yang besar. Dengan

demikian, pegawai yang memiliki shame-proneness tinggi akan memberikan prioritas

terhadap nilai conservation yang menekankan keteraturan, loyalitas, rasa hormat pada

orang yang lebih tua, menghargai dan menjalankan tradisi serta ajaran agama,

menjaga keamanan dan keharmonisan kelompok. Selain itu, orang dengan shame-

proneness tinggi juga akan memprioritaskan nilai self-transcendence yang

menekankan menjaga hubungan baik dengan orang lain dan alam semesta dengan

menunjukkan kepedulian dan mendukung pencapaian kesejahteraan orang lain atau

kelompok.

Berdasarkan kemiripan konten antara shame-proneness dengan nilai

conservation dan self-transcendence, maka shame-proneness akan lebih kuat

pengaruhnya dalam arah yang sama dengan nilai tersebut. sementara pengaruh

shame-proneness terhadap nilai openness to change yang berkonflik dengan nilai

conservation serta nilai self-enhancement yang berkonflik dengan nilai self-

transcendence akan memperlihatkan pengaruh yang berkebalikan arahnya. Hal

tersebut dibuktikan dalam hasil penelitian ini. Pengaruh shame-proneness terhadap

self-transcendence adalah yang paling kuat, tidak jauh berbeda dengan conservation.

Sementara pengaruh shame-proneness terhadap openness to change dan self-

enhancement lebih rendah dalam arah yang negatif.

Mashlah (2015) menjelaskan bahwa personal values akan memengaruhi

bagaimana seseorang mengambil keputusan dan berperilaku. Selain itu, personal

58
values juga diyakini akan menghalangi individu untuk melakukan sesuatu yang

bertentangan dengan nilai pribadi. Oleh sebab itu, orang yang memiliki nilai-nilai

moral akan berperilaku sesuai dengan moral dan berusaha untuk menghindari

tindakan yang bertentangan dengan moral seperti counterproductive work behavior.

Nilai-nilai moral yang dimaksud adalah nilai-nilai social focus yang menekankan

pada pengendalian diri dan kepatuhan (conservation) dan yang mendukung

kesejahteraan bersama (self-transcendence). Sementara nilai-nilai yang berfokus pada

pencapaian personal (personal focus), yaitu nilai openness to change dan self-

enhancement dapat mengarahkan individu pada CWB. Hal ini sejalan dengan hasil

penelitian sebelumnya dimana nilai-nilai yang termasuk dalam openness to change

dan self-enhancement terkait dengan beberapa tindakan CWB (Hafidz et al., 2012)

dan keputusan tidak etis (Koivula, 2008).

Karakter yang sudah ada di dalam diri seseorang tidak selalu terwujud dalam

bentuk perilaku. Murphy & Kiffin-Petersen (2017) menyatakan bahwa rasa malu saja

tidak akan menghentikan semua pelanggaran etika di tempat kerja. Perilaku seseorang

tidak dapat dijelaskan hanya melalui karakternya saja, interaksi individu dengan

lingkungannya turut menentukan. Lingkungan memiliki peran dalam menstimulus

individu untuk memberikan respon. Penelitian ini membuktikan bahwa pengaruh

shame-proneness terhadap counterproductive work behavior secara langsung

ditentukan oleh positif/negatifnya ethical climate di lingkungan kerja yang dipersepsi

oleh pegawai. Ethical climate yang positif memperkuat pengaruh shame-proneness

dalam menurunkan CWB, sementara ethical climate yang negatif justru melemahkan

59
pengaruh negatif shame-proneness terhadap CWB. Selain itu, ethical climate yang

positif juga memperkuat prioritas terhadap nilai-nilai yang sesuai dengan shame-

proneness, yaitu conservation dan self-transcendence untuk menghindarkan individu

menampilkan CWB. Sebaliknya, ethical cimate yang positif justru akan melemahkan

prioritas individu terhadap nilai openness to change dan self-enhancement

diekspresikan dalam tindakan CWB.

Pegawai dapat terlibat CWB meskipun shame-proneness-nya tinggi ketika ia

memersepsikan secara umum orang-orang di unit kerjanya tidak menunjukkan moral

sensitifitas, moral judgement, moral motivasi dan moral karakter sebagai acuan

pengambilan keputusan dan menjalankan tugas yang terkait dengan etik. Hal ini

menggambarkan bagaimana individu dengan sifat kecenderungan merasakan malu

ketika melanggar aturan, tetap melakukan pelanggaran ketika ia merasa

lingkungannya tidak mendukung untuk melakukan tindakan yang sesuai dengan

karakternya. Lingkungan yang tidak mendukung tersebut dalam penelitian ini adalah

kelaziman dalam lingkungan unit kerja di mana orang-orang di dalamnya tidak peduli

dengan adanya masalah etik, tidak menunjukkan empati pada kemalangan atau

kesulitan yang dialami orang lain, lebih membenarkan nilai-nilai non moral daripada

nilai moral, mementingkan pemenuhan kepentingan pribadi daripada kepentingan

sosial, serta tidak memiliki karakter moral yang kuat. Misalnya, pegawai dengan

shame-proneness akan merasa malu jika datang terlambat, namun ia datang terlambat

karena perilaku tersebut dianggap lazim di tempatnya bekerja. Hal seperti ini juga

60
terjadi untuk tindakan menerima gratifikasi, menggunakan barang, waktu dan fasilitas

kerja untuk kepentingan pribadi dan bentuk-bentuk CWB lainnya.

Trait activation theory menjelaskan bagaimana ethical climate yang dalam

penelitian ini memoderasi shame-proneness terhadap CWB, terbukti menguatkan

pengaruh tingginya shame-proneness dalam menurunkan CWB. Berdasarkan hal ini,

dapat dijelaskan bahwa shame-proneness dapat menghambat CWB pada saat ethical

climate positif. Ethical climate negatif dapat menjelaskan mengapa orang dengan

shame-proneness sekalipun dapat terlibat CWB. Bagaimana pada umumnya orang-

orang di tempat kerja menyelesaikan tugasnya, menghadapi isu dan mengambil

keputusan yang terkait etik menjadi referensi dalam menjelaskan perilaku apa yang

lebih diterima secara umum. Hal ini menyebabkan pegawai dengan shame-proneness

menjadi malu untuk melakukan CWB jika perilaku tersebut dianggap tidak etis dan

tidak wajar dilakukan, sebaliknya menjadi tidak malu dalam melakukan tindakan

CWB yang wajar dilakukan oleh orang-orang di unit kerjanya.

Relevansi trait dengan isyarat situasional akan menghasilkan intrinsic

reward sebagai kepuasan. Orang-orang dengan shame-proneness merasakan

kepuasan saat ethical climate unit kerjanya mendukungnya mengekspresikan trait

tersebut dalam perilaku kerja. Namun, ada kalanya situasi dengan nilai konsekuensial

eksterinsik dalam hal penghargaan dan hukuman mengalahkan konsekuensial

interinsik. Disaat trait shame-proneness diwujudkan dalam tindakan disiplin dan

berusaha mengikuti aturan justru dinilai secara negatif dari orang-orang yang

melakukan penilaian terhadap kinerjanya, tidak mendapat penghargaan, sementara

61
disisi lain pelanggaran tidak mendapatkan hukuman, maka trait tersebut tidak

diekspresikan dalam bentuk perilaku yang relevan. Hal tersebut dapat berlanjut

hingga menjadi bagian dalam proses adaptasi. Pegawai dengan shame-proneness

lama-kelamaan menyesuaikan perilakunya dengan perilaku sebagian besar orang-

orang di unit kerjanya sebagaimana tergambar dalam ethical climate. Dengan

demikian, orang dengan shame-proneness sekalipun dapat melakukan CWB. Oleh

sebab itu Chen et al. (2013) mengusulkan agar praktisi, atau dalam hal ini manajemen

atau pimpinan instansi untuk memperkuat ethical climate yang kondusif agar

melemahkan efek trait negatif dapat diekspresikan dalam CWB, begitu pula

sebaliknya, untuk menguatkan trait yang relevan (positif) untuk menghambat

terjadinya CWB.

Selain memoderasi shame-proneness secara langsung terhadap CWB, ethical

climate juga memoderasi personal values yang memediasi shame-proneness terhadap

CWB. Sebagaimana activation trait theory menjelaskan bagaimana ethical climate

berinteraksi dengan trait shame untuk diekspresikan kedalam perilaku menahan

CWB, teori ini juga dapat menjelaskan bagaimana ethical climate memperkuat atau

memperlemah personal values untuk dapat diwujudkan dalam perilaku yang sesuai.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai moral yang berfokus pada

kepentingan sosial diperkuat oleh ethical climate yang positif untuk diwujudkan

dalam perilaku disiplin, loyal dan kooperatif dalam bekerja sehingga menunjukkan

CWB yang rendah. Sebaliknya, nilai-nilai yang berfokus pada diri sendiri akan

dilemahkan oleh ethical climate yang positif untuk terwujud dalam tindakan CWB.

62
Dalam pengujian ini juga diketahui bahwa ethical climate memiliki

pengaruh terhadap CWB dalam arah negatif. Artinya, ethical climate yang negatif

akan membuat pegawai lebih sering terlibat CWB, sementara ethical climate yang

positif akan menghambat CWB. Hasil penelitian ini didukung oleh beberapa

penelitian sebelumnya di mana ditemukan bahwa ethical climate adalah penting

dalam menjelaskan CWB (Kanten & Ulker, 2013; Lucia et al., 2021; Pagliaro et al.,

2018) dan perilaku lainnya yang termasuk dalam CWB, seperti korupsi (Gorsira et

al., 2018; Özen, 2018), sex harassment (Tenbrunsel et al., 2019) dan fraud (Murphy

et al., 2012). Hal ini membuktikan bahwa faktor situasional berperan penting karena

turut menentukan apakah pegawai akan melakukan CWB atau tidak.

Pada masyarakat kolektif yang memprioritaskan social consern, atribusi

eksternal sering menjadi fokus dalam menjelaskan perilaku individu (Dean & Koenig,

2019). Aspek lingkungan sosial memberikan alasan mengapa seseorang berfikir,

merasakan, bersikap, mengambil keputusan dan kemudian menampilkan perilaku

tertentu. Begitupula dalam penelitian ini yang coba mengungkap pengaruh

disposition attribution dalam menjelaskan CWB, di mana ethical climate terbukti

berperan dalam mengekspresikan atau menghambat aspek disposisi terwujud kedalam

perilaku yang sesuai.

Selain terkait CWB, penelitian-penelitian sebelumnya di lingkungan

pemerintahan di Indonesia, menunjukkan bahwa, ethical climate juga terbukti

berpengaruh terhadap komitmen afektif (Munajah & Purba, 2018), dan meningkatkan

kinerja pelayanan publik (Tamar, Pangemanan, & Tompodung, 2017). Dengan

63
demikian, tampak bahwa ethical climate merupakan variabel penting di instansi

pemerintahan untuk membentuk sikap positif dan produktifitas kerja yang optimal.

64
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang diperoleh dari penelitian ini, maka didapatkan

beberapa kesimpulan yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian yang

diajukan serta beberapa hasil penting lainnya sebagai berikut:

1. Terdapat pengaruh Shame-proneness terhadap counterproductive work

behavior yang dimediasi oleh personal values dengan ethical climate sebagai

moderator pada pengaruh shame-proneness dan personal values terhadap

CWB. Shame-proneness yang ada pada diri pegawai akan menentukan

prioritas personal values-nya yang kemudian akan memengaruhi perilaku

dalam bentuk frekuensi keterlibatan pegawai terhadap counterproductive work

behavior dengan moderasi ethical climate, di samping juga tinggi rendahnya

pengaruh shame-proneness terhadap counterproductive work behavior secara

langsung ditentukan oleh ethical climate.

a. Terdapat pengaruh Shame-proneness terhadap counterproductive work

behavior yang dimediasi oleh personal values-conservation, dengan

moderasi ethical climate pada pengaruh shame-proneness dan

personal values-conservation terhadap CWB. Shame-proneness akan

membuat prioritas yang lebih tinggi pada personal values-

conservation yang kemudian akan menghambat pegawai untuk terlibat

dalam counterproductive work behavior yang diperkuat oleh ethical

climate unit kerja yang positif.

65
b. Terdapat pengaruh Shame-proneness terhadap counterproductive work

behavior yang dimediasi oleh personal values- self-transcendence,

dengan moderasi ethical climate pada pengaruh shame-proneness dan

personal values- self-transcendence terhadap CWB. Tingginya shame-

proneness akan membuat prioritas yang lebih tinggi pada personal

values- self-transcendence yang kemudian akan menghambat pegawai

untuk terlibat dalam counterproductive work behavior yang diperkuat

oleh ethical climate unit kerja yang positif.

c. Terdapat pengaruh Shame-proneness terhadap counterproductive work

behavior yang dimediasi oleh personal values- openness to change,

dengan moderasi ethical climate pada pengaruh shame-proneness dan

personal values- openness to change terhadap CWB. shame-proneness

akan membuat prioritas yang lebih rendah pada personal values-

openness to change yang kemudian akan menghambat pegawai untuk

terlibat dalam counterproductive work behavior namun dapat

dilemahkan oleh ethical climate unit kerja yang positif.

d. Terdapat pengaruh Shame-proneness terhadap counterproductive work

behavior yang dimediasi oleh personal values- self-enhancement,

dengan moderasi ethical climate pada pengaruh shame-proneness dan

personal values- self-enhancement terhadap CWB. shame-proneness

akan membuat prioritas yang lebih rendah pada personal values- self-

enhancement yang kemudian akan menghambat pegawai untuk terlibat

66
dalam counterproductive work behavior namun dapat dilemahkan oleh

ethical climate unit kerja yang positif.

2. Keempat subdimensi personal values berperan sebagai mediator pada

pengaruh shame-proneness terhadap counterproductive work behavior. Dari

empat subdimensi tersebut, self-transcendence dan conservation (social focus

of personal value) adalah yang paling tinggi perannya dalam memediasi

pengaruh shame-proneness terhadap counterproductive work behavior.

3. Ethical climate berperan dalam memperkuat dan memperlemah pengaruh

personal characteristic (shame-proneness dan personal values) terhadap

CWB. Sebagaimana memoderasi shame-proneness terhadap CWB, ethical

climate memoderasi pengaruh social focus of personal values dalam arah

positif. Sebaliknya, ethical climate memoderasi pengaruh personal focus of

personal values dalam arah negatif. Peran moderasi ethical climate dalam

pengaruh personal values terhadap CWB paling besar adalah pada moderasi

ethical climate pada pengaruh openness to change dibandingkan nilai lainnya

terhadap counterproductive work behavior.

4. Counterproductive work behavior PNS di kota Pekanbaru secara umum

berada pada taraf sangat rendah, namun masih ditemukan yang berada pada

taraf sedang hingga sangat tinggi. CWB-O lebih sering dilakukan oleh

pegawai dibandingkan CWB-P. Prioritas terhadap personal values self-

transcendence dan conservation berada pada kategori sangat tinggi, sementara

openness to change dan self-enhancemant ada pada kategori tinggi cenderung

67
sedang. Secara umum shame-proneness pegawai adalah tinggi, di mana

dimensi negative evaluation dan motivation to change the self berada pada

kategori sangat tinggi, sementara withdrawal berada pada kategori sedang.

Ethical climate berada pada kategori sedang, di mana hampir semua sub

dimensi ada pada kategori tinggi, kecuali focus on self yang berada pada

kategori sedang.

3.2.Saran

Berdasarkan keterbatasan serta temuan-temuan yang didapatkan dari

penelitian ini, peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Saran kepada Peneliti lain:

a. Mempertimbangkan jabatan struktural sebagai suatu variabel kontrol

dalam teknik pengambilan sampel dan analisis data. Peneliti

selanjutnya dapat menggunakan teknik penentuan sampel penelitian

dengan combined strategy sampling/ multistage random sampling

(stratified cluster random sampling) dengan menjadikan jabatan

struktural sebagai penjenjangan stratifikasi dan instansi sebagai

kluster. Dengan demikian, selain didapatkan subjek penelitian yang

lebih proporsional dan representatif, didapatkan pula hasil analisis

yang lebih tajam sehingga memberikan manfaat penelitian yang lebih

tepat sasaran.

68
b. Melibatkan aspek kepemimpinan dalam penelitian selanjutnya sebagai

aspek yang cukup penting dalam menentukan climate dan perilaku

kerja pegawai dalam instansi pemerintahan di Provinsi Riau.

2. Saran kepada Pemerintah:

a. Mengembangkan budaya malu untuk melanggar aturan, dengan

pendidikan dan sosialisasi mengenai pentingnya shame di tempat kerja

pada pegawai di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Riau. Untuk

saat ini pada beberapa instansi Pemerintah Daerah Provinsi Riau,

budaya malu telah disosialisasikan dengan cara memajang poster/

flayer peringatan-peringatan untuk malu berbuat buruk di tempat kerja.

Namun budaya malu perlu dibentuk lebih awal pada pegawai,

misalnya dengan memasukkan pendidikan pentingnya malu kedalam

sebuah materi ajar dalam diklat kepegawaian. Selanjutnya, pemimpin

perlu terus menyampaikannya secara lisan dalam berbagai kesempatan

serta memberikan contoh dalam perilaku malu melanggar aturan agar

budaya malu dapat terus bertahan. Selain itu, pempimpin perlu

mengapresiasi shame-proneness yang diekspresikan pegawai pada

perilaku disiplin, menjaga sopan santun, berhati-hati dalam bertindak

serta menjalankan ajaran agama, salah satunya dengan memberikan

evaluasi positif untuk Standar Kinerja Pegawai (SKP) terkait aspek-

aspek tersebut. Kesederhanaan sebagai salah satu cerminan dari

69
shame-proneness juga diterapkan dalam bagaimana pegawai

seharusnya berpenampilan, bersikap dan berperilaku selama bekerja.

b. Memanfaatkan kecenderungan pegawai dalam merasakan malu agar

tidak melakukan CWB dengan memberlakukan kebijakan yang benar-

benar diterapkan secara konsisten, termasuk dalam menyusun

kebijakan mengenai mekanisme reward dan pusnishment dengan tetap

mempertimbangkan etika. Malu dalam menerima sanksi diharapkan

akan membuat pekerja jera dan berusaha untuk memperbaiki diri dan

perilakunya. Kebijakan yang diberlakukan secara tegas dan konsisten

akan membentuk perilaku kerja yang konsisten pula.

c. Mengembangkan nilai-nilai self-transcendence dan conservation

sebagai nilai penting organisasi yang kemudian diserap oleh pegawai

sebagai nilai pribadi yang mencegah pegawai dari CWB. Selain itu,

pimpinan dan pembuat kebijakan perlu memberikan batasan yang jelas

dalam berperilaku agar pekerja dapat menyesuaikan pengekspresian

nilai openness to change dan self-enhancement dengan aturan yang

berlaku.

d. Menciptakan dan menjaga ethical climate yang positif, di mana asas,

nilai dasar, prinsip serta kode etik dan kode perilaku ASN

sebagaimana tertera dalam UU Republik Indonesia Nomor 5 tahun

2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang juga mengatur etika di

tempat kerja benar-benar diterapkan. Dengan demikian pegawai akan

70
memersepsikan norm of empathic concern, norm of moral awareness,

focus on self, focus on others, collective moral motivation, collective

moral character secara lebih positif sehingga menghindarkan pegawai

dari counterproductive work behavior.

e. Memasukkan pendidikan moral dan budaya sebagaimana yang

dipromosikan dalam tunjuk ajar Melayu, di mana sifat malu termasuk

sifat yang penting untuk diajarkan dan dipupuk kuat kepada anak-anak

melalui pendidikan formal dan non-formal.

71
Daftar Pustaka
Al-Muqaddam, M. I. (2008). Fikih Malu: Menghiasi Hidup dengan Malu. Nakhlah
Pustaka. Retrieved from http://files/1219/al-Muqaddam_2008.pdf
Anggraini, N. N. (2015). Uji Validitas Konstruk pada Instrumen Counterproductive
Work Behavior Checklist Dengan Metode Confirmatory Factor. Jurnal
Pengukuran Psikologi Dan Pendidikan Indonesia, IV(2), 133–142.
Appelbaum, S. H., Deguire, K. J., Lay, M., Appelbaum, S. H., Deguire, K. J., & Lay,
M. (2005). The relationship of ethical climate to deviant workplace behaviour.
Coorporate Governance, 5(4), 43–55.
https://doi.org/10.1108/14720700510616587
Ariani, D. W. (2016). The Relationship between Employee Engagement ,
Organizational Citizenship The Relationship between Employee Engagement ,
Organizational Citizenship Behavior , and Counterproductive Work Behavior.
International Journal of Business Administration, 4(2), 46–56.
https://doi.org/10.5430/ijba.v4n2p46
Arnaud, A. (2006a). A New Theory and Measure of Ethical Work Climate : The
Psychological Process Model ( PPM ) and the Ethical Climate Index ( ECI ).
University of Central Florida, Orlando, Florida.
Arnaud, A. (2006b). Conceptualizing and Measuring Ethical Work Climate:
Development and Validation of the Ethical Climate Index (ECI). Academy of
Management Best Conference Paper.
Bagozzi, R. P., Verbeke, W., & Gavino, J. C. (2003). Culture Moderates the Self-
Regulation of Shame and Its Effects on Performance : The Case of Salespersons
in the Netherlands and the Philippines. Journal of Applied Psychology, 88(2),
219–233. https://doi.org/10.1037/0021-9010.88.2.219
Bagyo, Y. (2018). The Effect of Counterproductive Work Behavior ( CWB ) And
Organizational Citizenship Behavior ( OCB ) on Employee Performance With
Employee Engagement As Intervening Variable. IOSR Journal of Business and
Management, 20(2), 83–89. https://doi.org/10.9790/487X-2002048389
Bardi, A., & Schwartz, S. H. (2003). Values and Behavior : Strength and Structure of
Relations. Personality and Social Psychology Bulletin, 29, 1207–1220.
https://doi.org/10.1177/0146167203254602
Bauer, J. A., & Spector, P. E. (2015). Discrete Negative Emotions and
Counterproductive Work Behavior. Human Performance, 28(4), 307–331.
https://doi.org/10.1080/08959285.2015.1021040
Bedford, O. A. (2004). Culture & Psychology The Individual Experience of Guilt and
Shame in Chinese Culture. Culture and Psychology, 10(29).
https://doi.org/10.1177/1354067X04040929

72
Benish-Weisman, M., Daniel, E., & Knafo-Noam, A. (2017). The Relations Between
Values and Aggression: A Developmental Perspective. In S. Roccas & L. Sagiv
(Eds.), Values and Behavior: Taking a Cross Cultural Perspective (pp. 1–255).
https://doi.org/10.1007/978-3-319-56352-7
Bruursema, K. (2007). How individual values and trait boredom interface with job
characteristics and job boredom in their effects on counterproductive work
behavior. College of Arts and Sciences University of South Florida Major.
Chairani, L., Cucuani, H., & Priyadi, S. (2021). Al-Haya’ Instrument Construction:
Shame Measurement Based on the Islamic Concept. Jurnal Psikologi Islam Dan
Budaya, 4(1), 1–14. Retrieved from
https://journal.uinsgd.ac.id/index.php/jpib/article/view/10388/5485
Chaudhuri, A. (2014). Chaudhuri, Arijit-Modern Survey Sampling-CRC Press
(2014). Boca Raton: CRC Press. https://doi.org/10.1080/02664763.2014.991071
Chen, C., Chen, M. Y., & Liu, Y. (2013). Negative affectivity and workplace
deviance : the moderating role of ethical climate. The International Journal of
Human Resource Management, 24(15), 2894–2910.
https://doi.org/10.1080/09585192.2012.753550
Clark, A. (2012). Working with guilt and shame. Advances in Psychiatric Treatment,
18, 137–143. https://doi.org/10.1192/apt.bp.110.008326
Cohen, T. R., Panter, A. T., & Turan, N. (2013). Prediciting counterproductive work
behavior from guilt proneness. Journal of Business Ethics, 114(1), 45–53.
https://doi.org/10.1007/s10551-012-1326-2
Collins, E. F., & Bahar, E. (2000). To Know Shame: Malu and Its Uses in Malay
Societies. Journal of Southeast Asian Studies, 14(1), 35–69. Retrieved from
http://www.jstor.org/stable/40860752 .
Covert, M. V., Tangney, J. P., Maddux, J. E., & Heleno, N. M. (2003). Shame-
proneness, guilt-proneness, and interpersonal problem solving: A social
cognitive analysis. Journal of Social and Clinical Psychology (Vol. 22).
Retrieved from https://e-
resources.perpusnas.go.id:2057/docview/224856784/fulltextPDF/A71CFC873F
5C47F9PQ/1?accountid=25704
Cucuani, H., Sulastiana, M., Harding, D., & Agustiani, H. (2021). The Meaning of
Shame for Malay People in Indonesia and Its Relation to Counterproductive
Work Behaviors in the Fourth Industrial Revolution. In C.-H. Mayer, E.
Vanderheiden, & P. T. P. Wong (Eds.), Shame 4.0: Investigating an Emotion in
Digital Worlds and the Fourth Industrial Revolution (pp. 73–86). Springer.
https://doi.org/https://doi.org/10.1007/978-3-030-59527-2_4
Dansie, E. J. (2009). An empirical investigation of the adaptive nature of shame.

73
ProQuest Dissertations and Theses. Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/305016046?accountid=17192
Dean, K. K., & Koenig, A. M. (2019). Cross-Cultural Differences and Similarities in
Attribution. In K. D. Keith (Ed.), Cross-Cultural Psychology (Contemporary
Themes and Perspectives) (pp. 575–597). Willey-Blackwell.
https://doi.org/10.1002/9781119519348.ch28
Effendy, T. (2006). Tunjuk Ajar Melayu: Butir-butir Budaya Melayu. Yogyakarta:
Adicita.
Ertosun, O. G., & Adiguzel, Z. (2018). Leadership , Personal Values and
Organizational Culture. In Startegic Design and Innovative Thinking in Business
Operations: The Role of Business Culture and Risk Management.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-77622-4
Ferguson, T. J., & Crowley, S. L. (1997). Measure for Measure : A Multitrait-
Multimethod Analysis of Guilt and Shame. Journal of Personality Assessment,
64(2), 425–441. https://doi.org/10.1207/s15327752jpa6902
Fessler, D. M. T. (2004). Shame in two cultures: Implications for evolutionary
approaches. Journal of Cognition and Culture, 4(2), 207–262.
https://doi.org/10.1163/1568537041725097
Fischer, K. W., & Tangney, J. P. (1995). Self Conscious Emotion and The Affect
Revolution: Framework and Overview. In June Price Tangney & K. W. Fischer
(Eds.), Self-Cosncious Emotions: The PSychology of Shame, Guilt,
Embarrassment, and Pride (pp. 3–24). New York: The Guildford press.
Fox, S., Spector, P. E., & Miles, D. (2001). Counterproductive Work Behavior
(CWB) in Response to Job Stressors and Organizational Justice: Some Mediator
and Moderator Tests for Autonomy and Emotions. Journal of Vocational
Behavior, 59(3), 291–309. https://doi.org/10.1006/jvbe.2001.1803
Gorsira, M., Steg, L., Denkers, A., & Huisman, W. (2018). administrative sciences
Corruption in Organizations : Ethical Climate and Individual Motives.
Administrative Sciences, 8(4). https://doi.org/10.3390/admsci8010004
Gruys, M. L., & Sackett, P. R. (2003). Investigating the dimensionality of
counterproductive work behavior. International Journal of Selection and
Assessment, 11(1), 30–42. https://doi.org/10.1111/1468-2389.00224
Gualandri, M. (2012). Counterproductive Work Behaviors and Moral
Disengagement. Sapienza Universita Di Roma.
Hafidz, S. W. ., Hoesni, S. M., & Omar, F. (2012). The Relationship between
Organizational Citizenship Behavior and Counterproductive Work Behavior.
Asian Social Science, 9(9), 31–37. https://doi.org/10.5539/ass.v8n9p32

74
Haidt, J. (2001). The Emotional Dog and ts Rational Tail : A Social Intuitionist
Approach to Moral Judgment. Psichological Review, 108(4), 814–834.
Hollinger, R., & Clark, J. (1982). Employee Deviance: A Response to The Perceived
Quality of The Work Experiaence. Work and Occupations, 9(1), 97–114.
https://doi.org/0803973233
Hollinger, R., & Davis, J. L. (2006). Employee Theft and Staff Dishonesty. In
M.L.Gill (Ed.), The Handbook of Security (pp. 203–228). Basingstoke: Palgrave
Macmillan.
Hollinger, R., Slora, K. B., & Terris, W. (1992). Deviance in the fast‐food restaurant:
Correlates of employee theft, altruism, and counterproductivity. Deviant
Behavior, 13(2), 155–184. https://doi.org/10.1080/01639625.1992.9967906
Kanten, P., & Ulker, F. E. (2013). The Effect of Organizational Climate on
Counterproductive Behaviors: An Empirical Study on the Employees of
Manufacturing Enterprises. The Macrotheme Review, 2(4), 144–160.
Kluckhohn, C., & Others. (1951). Values and Value-Orientations in the Theory of
Action: An Exploration in Definition and Classification. In A General Theory of
Action (pp. 388–433).
Koivula, N. (2008). Basic Human Values in the Workplace. (K. Helkama, K. M.
Vesala, K. Liebkind, A.-M. Pirttilä-Backman, M. Wager, & I. Jasinskaja-Lahti,
Eds.). Helsinki: Department of Social Psychology, University of Helsinki.
Leeming, D., & Boyle, M. (2004). Shame as a social phenomenon: A critical analysis
of the concept of dispositional shame. Psychology and Psychotherapy: Theory,
Research & Practice, 77(3), 375–396.
https://doi.org/10.1348/1476083041839312
Lindebaum, D., Geddes, D., & Gabriel, Y. (2017). Moral Emotions and Ethics in
Organisations : Introduction to the Special Issue. Journal of Business Ethics,
141(4), 645–656. https://doi.org/10.1007/s10551-016-3201-z
Lucia Bellora-Bienengräbera, R.Radtke, R., & K.Widener, S. (2021).
Counterproductive work behaviors and work climate: The role of an ethically
focused management control system and peers’ self-focused behavior.
Accounting, Organizations and Society.
https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.aos.2021.101275
Marcus, B., Taylor, O. A., Hastings, S. E., Sturm, A., & Weigelt, O. (2016). The
Structure of Counterproductive Work Behavior: A Review, a Structural Meta-
Analysis, and a Primary Study. Journal of Management, 42(1), 203–233.
https://doi.org/10.1177/0149206313503019
Mashlah, S. (2015). The Role oF People’ s Personal Values in The Workplace.
International Journal of Management and Applied Science, 1(9), 158–164.

75
Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/305568080%0ATHE
Munajah, A., & E. Purba, D. (2018). Pengaruh Kepemimpinan Etis dan Iklim Etis
terhadap Komitmen Afektif. Jurnal Psikologi, 14(1), 30.
https://doi.org/10.24014/jp.v14i1.4456
Murphy, P. R., Free, C., & Branston, C. (2012). The Role of Ethical Climate in
Fraud. Queen’s University.
Murphy, S. A., & Kiffin-Petersen, S. (2017). The Exposed Self: A Multilevel Model
of Shame and Ethical Behavior. Journal of Business Ethics, 141, 657–675.
https://doi.org/10.1007/s10551-016-3185-8
Nasilah, S., & Marettih, A. K. E. (2015). Integrasi Diri Sebagai Konsep Sehat Mental
Orang Melayu Riau. Jurnal Psikologi UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 11(Juni),
37–48.
Özen, F. (2018). On the Intermediary Effect of Organizational Policy : The Effect of
Perceived Ethical Climate on Corruption Behavior of Teachers. Journal of
Education and Training Studies, 6(8), 52–65.
https://doi.org/10.11114/jets.v6i8.3238
Pagliaro, S., Presti, A. Lo, Barattucci, M., Giannella, V. A., & Barreto, M. (2018). On
the Effects of Ethical Climate ( s ) on Employees ’ Behavior : A Social Identity
Approach. Original Research, 9(960), 1–10.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.00960
Parks-leduc, L., Feldman, G., & Bardi, A. (2015). Personality Traits and Personal
Values : A Meta-Analysis. Personality and Social Psychology Review, 19(1), 3–
29. https://doi.org/10.1177/1088868314538548
Penney, L. M., & Spector, P. E. (2002). Narcissism and Counterproductive Work
Behavior: Do Bigger Egos Mean Bigger Problems? International Journal of
Selection and Assessment, 10(1&2), 126–134. https://doi.org/10.1111/1468-
2389.00199
Poulson II, C. F. (2000). Shame and Work. In W. Ashkanazy, N., Hartel, C. and
Zerbe (Ed.), Emotions in the workplace: Research, theory, and practice (pp.
250–271).
Qiu, T., & Peschek, B. S. (2012). The Effect of Interpersonal Counterproductive
Work Behaviors on the Performance of New Product Development Teams.
American Journal of Management, 12(1), 21–33.
Robinson, S., & Bennett, R. (1995). A Typology of Deviant Workplace Behaviors: A
Multidimensional Scaling Study. The Academy OfManagement Journal, 38(2),
555–572. https://doi.org/10.2307/256693
Roccas, S., & Sagiv, L. (2010). Personal Values and Behavior : Taking the Cultural

76
Context into Account. Social and Personality Psychology Compass, 4(1), 30–41.
Rohan, M. J. (2000). A Rose by Any Name ? The Values Construct. Personality and
Social Psychology Review, 4(3), 255–277.
Rotundo, M., & Sackett, P. R. (2002). The Relative Importance of Task , Citizenship
, and Counterproductive Performance to Global Ratings of Job Performance : A
Policy-Capturing Approach, 87(1), 66–80. https://doi.org/10.1037//0021-
9010.87.1.66
Roxana, A.-C. (2013). Antecedents and Mediators of Employees’ Counterproductive
Work Behavior and Intentions to Quit. Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 84, 219–224. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.06.538
Sackett, P. R., & Devore, C. J. (2001). Counterproductive Behaviors at Work. In N.
Anderson, D. S. Ones, H. K. Sinangil, & C. Viswesvaran (Eds.), Handbook of
Industrial, Work on Organizational Psychology (pp. 145–164). London: SAGE
Publications Inc.
Sagiv, L., & Roccas, S. (2017). What Personal Values Are and What They Are Not:
Taking a Cross-Cultural Perspective. In S. Roccas & L. Sagiv (Eds.), Values and
Behavior: Taking a Cross Cultural Perspective (pp. 3–14). Cham, Switzerland:
Springer.
Saidon, I. M. (2012). Moral Disengagement in Manufacturing: A Malaysian Study of
Antecedents and Outcomes Intan Marzita Saidon. Curtin University.
Schneider, B. (1975). Organizational Climates: An Essay. Personnel Psychology, 28,
447–479.
Schwartz, S. H. (1992). Universals in The Content and Stucture of Values:
Theoritical Advances and Empirical Tests in 20 Countries. Advances in
Experimental Social Psychology, 25, 1–65.
Schwartz, S. H. (2005). Universalism values and the inclusiveness of our moral
universe.
Schwartz, S. H. (2012). An Overview of the Schwartz Theory of Basic Values.
Psychology and Culture, 2(11), 1–20.
Schwartz, S. H., & Bilsky, W. (1987). Toward A Universal Psychological Structure
of Human Values. Journal of Personality and Social Psychology, 53(3), 550–
562.
Silfver-kuhalampi, M. (2008). The sources of moral motivation – studies on empathy
, guilt , shame and values. (K. Helkama, I. Jasinskaja-Lahti, K. Liebkind, A.-M.
Pirttila, K. M. Vesala, M. Wager, & J. Lipponen, Eds.). Helsinki: Department of
Social Psychology, University of Helsinki.
Silfver, M., Klaus, H., Lonnqvist, J.-E., & Verkasalo, M. (2008). The relation

77
between value priorities and proneness to guilt , shame , and empathy.
Motivation and Emotion, 32, 68–80. https://doi.org/10.1007/s11031-008-9084-2
Spector, P. E., & Fox, S. (2002). An emotion-centered model of voluntary work
behavior: Some parallels between counterproductive work behavior and
organizational citizenship behavior. Human Resource Management Review,
12(2), 269–292. https://doi.org/10.1016/S1053-4822(02)00049-9
Spector, P. E., & Fox, S. (2005). The Stressor-Emotion Model of Counterproductive
Work Behavior. In S. Fox & P. E. Spector (Eds.), Counterproductive work
behavior: Investigations of actors and targets. (pp. 151–174). Washington.
https://doi.org/10.1037/10893-007
Spector, P. E., Fox, S., & Domagalski, T. (2006). Emotions, Violence, and
Counterproductive Work Behavior. In E. K. Kelloway, J. Barling, & J. J. H. Jr.
(Eds.), Handbook of Workplace Violence (pp. 29–46). Tampa: Sage
Publications. https://doi.org/10.4135/9781412976947.n3
Spector, P. E., Fox, S., Penney, L. M., Bruursema, K., Goh, A., & Kessler, S. (2006).
The dimensionality of counterproductivity: Are all counterproductive behaviors
created equal? Journal of Vocational Behavior, 68(3), 446–460.
https://doi.org/10.1016/j.jvb.2005.10.005
Stiles, P. (2008). The negative side of motivation: the role of shame. Cambridge.
Su, C. (2010). A Cross-Cultural Study on the Experience and Self-Regulation of
Shame and Guilt. Soil Science. Toronto.
Suyasa. (2018). Convergent evidence : Construct validation of an Indonesian version
of interpersonal and organisational deviance scales. In Ariyanto (Ed.), Diversity
in Unity: Perspectives from Psychology and Behavioral Sciences. London:
Taylor & Francis Group.
Tamar, M. A., Pangemanan, S., & Tompodung, J. (2017). Etika Pemerintahan dalam
Meningkatkan Kinerja Aparatur Sipil Negara (Studi di Kantor Kecamatan Siau
Barat Selatan Kabupaten Sitaro). Jurnal Eksekutif, 2(2).
Tangney, June P. (1996). Conceptual and Methodological Issues in The Assessment
of Shame and Guilt. Behav.Res. Ther, 34(9), 741–754.
Tangney, June Price, & Dearing, R. L. (2002). Shame and Guilt. (P. Salovey, Ed.).
New York: The Guilford Press.
Tangney, June Price, Stuewig, J., & Mashek, D. J. (2007). Moral Emotions and Moral
Behavior. The Annual Review of Psychology, 58, 345–372.
https://doi.org/10.1146/annurev.psych.56.091103.070145
Tenbrunsel, A. E., Rees, M. R., & Diekmann, K. A. (2019). Sexual Harassment in
Academia: Ethical Climates and Bounded Ethicality. Annual Review of

78
Psychology, 70(August), 245–270. https://doi.org/10.1146/annurev-psych-
010418-102945
Tett, R. P., & Guterman, H. A. (2000). Situation Trait Relevance , Trait Expression ,
and Cross-Situational Consistency : Testing a Principle of Trait Activation
Borne of the long-standing debate over traits and situations as sources of
behavioral variance ( Bowers , 1973 ; Ekehammar , 1974 ; Journal of Research
in Personality, 34, 397–423. https://doi.org/10.1006/jrpe.2000.2292
Thomas, T. P. (2013). The effect of personal values, organizational values, and
person-organization fit on ethical behaviors and organizational commitment
outcomes among substance abuse counselors: A preliminary investigation.
Dissertation Abstracts International Section A: Humanities and Social Sciences.
University of Lowa.
Tim penyusunan Laporan Tahunan KPK 2017. (2018). Laporan Tahunan 2017: Demi
Indonesia untuk Indonesia. Retrieved November 23, 2018, from
www.kpk.go.id/Laporan Tahunan KPK 2017
Urbina, S. (2004). Essentials of Psychological Testing. (A. S. Kaufman & N. L.
Kaufman, Eds.). Canada: Jhon Wiley & Sons, Inc.
Vardi, Y. (2001). The Effects of Organizational and Ethical Climates on Misconduct
at Work. Journal of Business Ethics, 29, 325–337.
Vardi, Y., & Weitz, E. (2004). Misbehavior in Organizations: Theory, Research and
Management. New Jarsey: Lawrence Erlbaum Associates, Inc.
Victor, B., & Cullen, J. B. (1988). The Organizational Bases of Ethical Work
Climates. Administrative Science Quarterly, 33(1), 101–125.
Waheeda, S., & Hafidz, M. (2012). Individual Differences as Antecedents of
Counterproductive Work Behaviour. Asian Social Science, 8(13), 220–226.
https://doi.org/10.5539/ass.v8n13p220
Wallace, B. (2013). The Effect of Shame and Guilt Types on Helping Behaviors. East
Carolina University.
Wang, J., & Wang, X. (2012). Structural Equation Modeling. (H. Balding, D.J.,
Cressie, N.A.C., Fitzmaurice, G.M., Goldtein, Ed.). India: Wiley.
Wijnen, K., Vermeir, I., & Kenhove, P. Van. (2007). The relationships between traits
, personal values , topic involvement , and topic sensitivity in a mail survey
context. Personality and Individual Differences, 42, 61–73.
https://doi.org/10.1016/j.paid.2006.06.021
Winurini, S. (2014). Mengatasi Perilaku Kontraproduktif Aparatur Negara melalui
Sistem Remunirasi (sebuah Review Mengenai Keadilan Organisasi). Aspirasi:
Jurnal Permasalahan-Permasalahan Sosial, 5(1).

79
Wong, Y., & Tsai, J. (2007). Cultural Models of Shame and Guilt. In J. L. Tracy, R.
W. Robins, & J. P. Tangney (Eds.), The self-conscious emotions: Theory and
research (pp. 209–223). New York, NY, US: Guilford Press.
Wulandari, S., & Widyastuti, A. (2014). Faktor - Faktor Kebahagiaan Di Tempat
Kerja. Jurnal Psikologi, 10(1), 49–60.
Yu, C. (2014). The reality of counterproductive work behaviours. Retrieved from
https://www.organisationalpsychology.nz/_content/14_12_10_Counterproductiv
e_Work_Behaviours_White_Paper_Christine_Yu .pdf

80
RIWAYAT HIDUP

IDENTITAS DIRI
Nama : Hijriyati Cucuani, M.Psi
NIP/NIK : 19821018 200901 2 007
Tempat dan Tanggal Lahir : Pekanbaru, 18 Oktober 1982
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Golongan / Pangkat : Lektor / III d
Jabatan Akademik : Dosen
Perguruan Tinggi : UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Telp./HP : 076132144/ 082384581486
Alamat e-mail : hijriyati.cucuani@uin-suska.ac.id

RIWAYAT PENDIDIKAN
Jurusan/
Tahun
Program Pendidikan Perguruan Tinggi Program
Lulus
Studi
2004 S 1 Psikologi Universitas Islam Psikologi
Indonesia Yogyakarta
2006 S 2 Profesi Psikologi Universitas Indonesia Psikologi
Depok Industri dan
Orgasnisasi
2022 S3 Ilmu Psikologi Universitas Padjadjaran Psikologi
Bandung Industri dan
Orgasnisasi

RIWAYAT PEKERJAAN

81
Tahun
Instansi Jabatan

2006-2007 PT. Mitra Pijar Harapan (Jakarta) Recruiter


2008-2010 PT. Maxima Performa Indonesia cabang Direktur
Pekanbaru
2009-skrg Fakultas Psikologi UIN Suska Riau Dosen Tetap

KARYA ILMIAH
Buku/Bab Buku/Jurnal
Tahun Judul Penerbit/Jurnal
2009 Hubungan Persepsi Pengembangan Karir Jurnal Psikologi UIN
dengan Motivasi Kerja Pekerja PT. Pertamina SUSKA Riau
(PERSERO) UPMS I Medan
2011 Hubungan Self Efficacy dengan Motivasi Jurnal Psikologi UIN
Menyelesaikan Skripsi pada Mahasiswa SUSKA Riau
Fakultas Psikologi UIN Suska Riau
2012 Perbedaan Efektifitas Metode Pembelajaran Jurnal Psikologi UIN
Melalui Metode Mandiri, Ceramah dan FGD SUSKA Riau
dengan Prestasi Belajar
2013 Kompetensi Tidak Sempurna Tanpa Integritas Jurnal Psikologi UIN
pada Pemimpin SUSKA Riau
2013 Konflik Peran Ganda: Memahami Coping Jurnal Sosial Budaya
Strategi pada Wanita Bekerja LPPM UIN Suska
Riau
2013 Problem Focus Coping pada Perempuan Jurnal Puanri: Sumber
Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga Data & Informasi
Perempuan Riau

2013 Metoda Pengukuran Minat dan Kepribadian Buku Daras, Fakultas


Psikologi UIN Suska
Riau

82
Tahun Judul Penerbit/Jurnal
2014 Psikologi Industri dan Organisasi Buku Daras, Fakultas
Psikologi UIN Suska
Riau
2014 Hubungan kualitas persahabatan dan empati Jurnal Psikologi UIN
dengan pemaafan pada remaja akhir Suska Riau
2015 Perilaku Organisasi Buku Daras, Fakultas
Psikologi UIN Suska
Riau
2016 Manajemen Sumber Daya Manusia Buku Daras, Fakultas
Psikologi UIN Suska
Riau
2017 Hubungan Family Supportive Supervisor Jurnal Marwah UIN
Behaviors di Tempat Kerja dengan Work Suska Riau
Family Enrichment pada Perempuan Bekerja
2018 Psikologi di Tempat Kerja Buku Daras, Fakultas
Psikologi UIN Suska
Riau
2020 Adaptation and Validation of the Indonesian Talent Development &
Version of Counterproductive Work Behavior Excellence Vol.12,
Checklist (CWB-C): In Association with No. 1, 2020, 5955-
Customer-Oriented Organizational Citizenship 5965
Behavior on Indonesian Public Sector-
Employees
2021 Al-Haya’ Instrument Construction: Shame Jurnal Psikologi Islam
Measurement Based on the Islamic Concept dan Budaya (JPIB),
2021, Vol.4 (1),1-14

2021 The Meaning of Shame for Malay People in Chapter 4,


Indonesia and Its Relation to Counterproductive Buku:Shame 4.0:
Work Behaviors in the Fourth Industrial Investigating an
Revolution Emotion in Digital
Worlds and the Fourth

83
Tahun Judul Penerbit/Jurnal
Industrial Revolution
2021 Mengapa Punya Sifat Malu Tetapi Melakukan Jurnal Psikologi UIN
Perilaku Kerja Kontraproduktif?: Peran Suska Riau. 2021. Vol
Moderasi Iklim Etik di Tempat Kerja 17 (2):157-168.
2021 Pengaruh Ethical Climate Terhadap Jurnal Riset Aktual
Counterproductive Work Behavior Dalam Psikologi (RAP),
Instansi Pemerintahan Daerah 2011. Vol.11 No.2,
135-148

JABATAN DALAM PENGELOLAAN INSTITUSI


Peran/Jabatan Institusi( Univ,Fak,Jurusan,Lab,studio, Tahun ... s.d. ...
Manajemen Sistem Informasi Akademik
dll)
Manager Divisi Diklat Fakultas Psikologi UIN SUSKA Riau 2011-2013
Biro Konsultasi
Psikologi Harmoni
Sekretaris Bagian Fakultas Psikologi UIN SUSKA Riau 2009-2013
Psikologi Industri,
Organisasi dan sosial
Ketua Bagian Fakultas Psikologi UIN SUSKA Riau 2014-2016
Psikologi Industri,
Organisasi dan Sosial
Ketua Program Studi Fakultas Psikologi UIN SUSKA Riau 2017- 2018
S1 Psikologi

ORGANISASI PROFESI/ILMIAH
Jabatan/jenjang
Tahun Jenis/ Nama Organisasi
keanggotaan
2010-2015 HIMPSI Riau Wakil Ketua Bidang
Sertifikasi dan Ijin

84
Praktik Psikologi
2016-sekarang API (Asosisasi Psikologi Islam) wilayah Sekretaris
Riau

Pekanbaru, Januari 2022


Yang menyatakan,

( Hijriyati Cucuani, M.Psi)

85

Anda mungkin juga menyukai