Uswatun Hasanah
1206195792
Uswatun Hasanah
1206195792
ii
Karya Ilmiah Akhir ini adalah hasil karya saya sendiri dan semua
sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan
benar.
Nama
NPM : Uswatun Ilasanah
: 1206195792
Tanda Tangan
Tanggal
: 26 Juni 2015
Karya Ilmiah ini telah diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing serta telah
dipertahankan di hadapan tim penguji. Karya Ilmiah Akhir Spesialis Keperawatan
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Spesialis
Keperawatan Jiwa pada Program Studi Ners Spesialis Keperawatan, Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia
SUPERVISOR
Disetujui di : Depok
Tanggal
: 26 Juni 2015
iV
DEWAN PENGUJI
Pembimbing
Prof. Achir Yani S. Hamid, MN., DNSc.
Penguji
Ice Yulia Wardani, S.Kp., M.Kep., Sp.Kep. J
Penguji
Ns. Tantri Widyarti Utami, M.Kep., Sp.Kep. I
Penguji
Sri Utami Rahayuningsih, Mpsi., Psi
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 26 Juni
2015
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 26 Juni 2015
Yang menya
UswamnH
V1
Usia remaja sangat labil dalam proses pencarian identitas diri. Hambatan dalam
pencapaian identitas diri dapat menimbulkan perilaku menyimpang. Tujuan penulisan
yaitu menggambarkan hasil pelaksanaan Terapi Kelompok Terapeutik, Latihan Asertif
dan Psikoedukasi Keluarga terhadap peningkatan perkembangan remaja. Terapi
Kelompok Terapeutik adalah terapi spesialis keperawatan jiwa yang membantu
mengembangkan potensi dan meningkatkan kualitas antar anggota kelompok untuk
mengatasi masalah kesehatan. Namun dengan karakteristik dan masalah anggota yang
berbeda diperlukan terapi tambahan sesuai dengan masalah yang dihadapi oleh remaja.
Remaja dengan kesulitan bersikap asertif diberikan tambahan terapi Latihan Asertif
serta diberikan Psikoedukasi keluarga pada keluarga remaja. Evaluasi menunjukkan
terjadi peningkatan aspek dan tugas perkembangan remaja. Analisa dilakukan dengan
menggunakan pendekatan model Stuart dan King. Rekomendasi laporan ini dapat
dijadikan standar terapi spesialis keperawatan jiwa dan disosialisasikan pada tatanan
pelayanan kesehatan jiwa komunitas.
During adolescent age, the teenagers are struggling for their self identity. The obstacle
of teenagers to gain their self identity to some extent can be manifested through their
deviant behaviors. The purpose of this scientific paper was to explore the result of
Therapeutic Group Therapy, Assertiveness Training, and Family Psycho Education to
improve adolescence growth and development. Therapeutic Group Therapy was mental
health-psychiatric nursing specialization treatment with the purpose to assist the
adolescence to develop their potential capacity and to improve the quality of group
members to deal with their health problems. However, the different characteristics and
problems of each group member required additional therapy which was appropriate with
the problems they were facing. Teenagers with a difficulty of being assertive were
given Assertiveness Training and Family Psychoeducation for their family. The results
of these interventions showed the improvement particularl on diferrent aspects and
developmental task of teenagers. Stuart and King Model were used for writing this
scientific paper, and it was recommended that this report would be utilized as a standard
of mental health-psychiatric nursing specialized treatment and to be socialized at all
community mental health care settings.
vi
Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga Karya Ilmiah Akhir yang berjudul “Penerapan
Terapi Spesialis Keperawatan Jiwa Kelompok Terapeutik Remaja, Latihan Asertif
dan Psikoedukasi Keluarga untuk Perkembangan Identitas Diri Remaja
Menggunakan Pendekatan Teori Stuart dan King Di RW 01 dan RW 09
Kelurahan Ciwaringin ” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Ners Spesialis (Sp.1) Keperawatan
Jiwa pada Program Studi Ners Spesialis (Sp.1) Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia.
Penulis banyak mendapat bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak
sehingga penyusunan laporan tesis ini dilakukan. Penulis menyampaikan terimakasih
yang setulusnya atas bantuan, bimbingan, dukungan serta motivasi yang diberikan
selama penyelesaian Karya Ilmiah Akhir ini kepada yang terhormat:
(1) Ibu Junaiti Sahar, S.Kp., M.App.Sc., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia;
(2) Ibu Dr. Novy Helena C.Daulima, S.Kp., M.Sc., selaku Ketua Program Studi
Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
(3) Ibu Prof. Achir Yani S. Hamid, MN., DNSc., selaku Pembimbing I yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan
saya dengan penuh kesabaran dalam rangka penyusunan karya ilmiah akhir ini;
(4) Ibu Dr. Novy Helena C.Daulima, S.Kp., M.Sc., selaku Pemimbing II yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing dan mengarahkan
saya dengan penuh kesabaran dalam rangka penyusunan karya ilmiah akhir ini;
(5) Orang tuaku, suamiku, dan anakku “Kanaya” yang telah memberikan dukungan
moril dan materiil selama penyusunan Karya Ilmiah Akhir ini;
(6) Seluruh Kader Kesehatan Jiwa dan perangkat desa Kelurahan Ciwaringin yang
telah bekerjasama dalam pengembangan program CMHN
(7) Remaja RW 01 dan RW 09 dan keluarganya yang telah bersedia berpartisipasi
selama pelaksanaan praktik residensi;
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua pihak
yang telah membantu. Semoga laporan Karya Ilmiah Akhir ini dapat menjadi awal untuk
melakukan penelitian lebih lanjut dalam mengembangkan terapi keperawatan jiwa
dalam upaya peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan jiwa.
Penulis
Lampiran
1 : Penilaian proses terapi kelompok terapeutik
Lampiran : Jenis-jenis permainan
2 : Data demografi remaja
Lampiran : Kuisioner aspek perkembangan remaja
3
Lampiran
4
Lampiran 5: Instrumen Kemampuan TKT Instrumen Kemampuan AT Instrumen Kemampuan F
Lampiran 6: Modul TKT Remaja Modul AT
Lampiran 7: Modul FPE
Lampiran 8:
Lampiran 9:
Lampiran 10:
Lampiran 11:
xi
xvii
Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat psikologis, emosional dan sosial
yang dapat terlihat dari hubungan antar individu yang memuaskan, koping yang
adaptif, konsep diri yang baik dan kondisi emosional yang stabil (Videbeck,
2008). Menurut WHO (2005) kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sejahtera ketika
seseorang dapat merealisasikan kemampuan yang dimilikinya, memiliki koping
yang baik terhadap stressor, produktif dan mampu berkontribusi terhadap
masyarakat. Berdasarkan tiga pengertian diatas kesehatan jiwa merupakan
kemampuan seseorang untuk menghadapi stressor dengan menggunakan
mekanisme koping yang adaptif sehingga bebas dari rasa ketakutan dan tercapai
keseimbangan baik emosional, psikologis dan sosial sehingga mampu berperan
dalam lingkungannya serta mampu mencapai tugas perkembangan yang
dilaluinya. Bila kondisi keseimbangan tersebut didapatkan maka seseorang akan
mencapai kesehatan jiwa.
1 Universitas Indonesia
Masalah kesehatan jiwa perlu menjadi perhatian utama dalam setiap upaya
peningkatan sumber daya manusia khususnya anak dan remaja, dimana anak dan
remaja merupakan generasi yang perlu disiapkan sebagai aset kekuatan bangsa
(Hamid, 2009). Jika ditinjau dari proporsi penduduk, 40 % total populasi terdiri
dari anak dan remaja berusia 0 – 16 tahun. Sebanyak 13,5 % balita merupakan
kelompok berisiko tinggi mengalami gangguan perkembangan, sementara 11,7 %
anak prasekolah berisiko mengalami gangguan perilaku. Kejadian gangguan
kesehatan jiwa anak dan remaja cenderung akan meningkat sejalan dengan
permasalahan kehidupan yang semakin komplek, oleh karena itu pelayanan
kesehatan jiwa yang memadai sangat dibutuhkan sehingga memungkinkan remaja
untuk mendapatkan kesempatan tumbuh kembang yang baik dan optimal (Walker,
2002).
Universitas
Pada masanya, remaja memiliki keinginan untuk mengetahui berbagai macam hal
serta ingin memiliki kebebasan dalam menentukan apa yang ingin dilakukannya
yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan. Dalam penelitian longitudinal,
Elliott (1998 dalam Tremblay & Cairns, 2000) menemukan bahwa terdapat
peningkatan perilaku kekerasan pada anak laki‐laki maupun perempuan pada usia
12 tahun sampai 17 tahun. Data di Poltabes Yogyakarta tahun 2008 menunjukkan
adanya 78 kasus perilaku kekerasan remaja dan telah diproses secara hukum pada
tahun 2003 hingga 2006, dengan pelanggaran berupa penggunaan senjata tajam,
penganiayaan, pengeroyokan, termasuk pencurian. Data lain menyebutkan bahwa
terdapat 32.8% remaja terlibat dalam perkelahian fisik, 12 % terlibat perkelahian
fisik disekolah dan 5.9 % remaja tidak berangkat ke sekolah karena merasa tidak
aman berada disekolah (Centers for Disease Control and Prevention, 2011).
Banyak remaja yang mengatasi emosi dengan cara yang negatif seperti bertindak
berlebihan di sekolah (bullying, tawuran) hingga tindakan-tindakan kriminal
(seperti mencuri) serta pelanggaran-pelanggaran status seperti kabur dari rumah,
Universitas
Universitas
Universitas
Perilaku kekerasan pada remaja harus segera ditangani karena dampak yang
ditimbulkan seperti kekhawatiran hilangnya generasi penerus bangsa yang
produktif bagi pembangunan negara. Upaya-upaya kesehatan remaja di
masyarakat masih bersifat fisik, sedangkan upaya–upaya kesehatan psikologi
seperti stimulasi perkembangan remaja belum signifikan dilakukan. Selama ini,
upaya yang dilakukan lebih banyak pada upaya peningkatan kesehatan fisik saja,
akan memunculkan remaja yang sehat fisik tetapi rentan terhadap tekanan hidup
(Astuti, 2009). Penanganan pada aspek non fisik yang kurang akan menyebabkan
remaja hanya sehat secara fisiknya saja, namun pada aspek psikologis rentan
terhadap stress. Dibutuhkan keterlibatan berbagai pihak dalam melakukan upaya-
upaya stimulasi tumbuh kembang remaja dalam mencapai diagnosa keperawatan
potensial pencapaian identitas diri remaja.
Universitas
sangat tepat dipilih. Terapi kelompok terapeutik merupakan pilihan ideal dan
penting bagi kelompok umur remaja. Teman sebaya juga dapat memberikan
pengaruh positif pada remaja. Kelompok sebaya yaitu kelompok remaja yang
memiliki usia yang kurang lebih sama yang saling berinteraksi. Mereka menjadi
mampu belajar antar satu sama lain sesuai perkembangan mereka (Wood, 2009),
dapat membantu remaja dalam memenuhi kebutuhannya secara positif, bermakna
bagi kelompok sebaya dan pembentukan identitas diri (Stuart & Laraia, 2009).
Terapi Kelompok Terapeutik remaja telah diteliti oleh Nurlis (2009), terbukti
berpengaruh dalam membentuk perasaan remaja kepada diri mereka sendiri. Hal
ini dapat membuat remaja dapat mengukur kemampuan diri mereka dan
membentuk identitas mereka dan mengelola kehidupannya sendiri. Stimulasi
merupakan upaya yang baik dalam mengembangkan kemampuan seorang anak,
dapat dilakukan secara langsung oleh orang tua atau menciptakan lingkungan
yang baik sehingga remaja merasa nyaman dalam proses pencapaian idenditas
dirinya (Townsend & Mary, 2009). Penelitian senada dilakukan oleh Bahari
(2010) yang meneliti pengaruh terapi kelompok terapeutik pada remaja terhadap
konsep diri remaja. Hasil penelitian membuktikan adanya pengaruh yang
bermakna terhadap peningkatan konsep diri remaja setelah diberikan stimulasi
tumbuh kembang pada 10 aspek perkembangan yaitu biologis, psikoseksual,
kognitif, bahasa, moral, spiritual, emosi, sosiokultural, bakat dan kreativitas.
Banyaknya upaya yang harus dilakukan remaja dalam upaya mencapai identitas
diri yang positif, membutuhkan dukungan dari berbagai pihak untuk memberi
kesempatan dan membina remaja untuk tumbuh dan berkembang di dalam
kelompoknya.
Universitas
pasif dan agresif. Pasif dimana individu tidak mampu menyampaikan apa
keinginan ataupun pendapatnya. Sedangkan perilaku agresif cenderung
menimbulkan perilaku kekerasan. Perilaku agresif diartikan sebagai tindakan yang
dimaksudkan untuk melukai atau menyakiti orang lain, baik fisik maupun psikis
(Berkowitz, 1995; Myers, 2002), yang menimbulkan kerugian atau bahaya bagi
orang lain atau merusak milik orang lain (Franzoi, 2003; Anderson & Huesmann,
2007).
Terapi Latihan Asertif bagi remaja dapat melatih cara berkomunikasi secara
asertif dalam menyampaikan harapan dan keinginan remaja dengan anggota
keluarga di rumah atau di dalam kelompoknya dapat menjawab kebutuhan remaja
akan koping yang adekuat. Remaja akan menjadikan keluarga sebagai tumpuan
harapan, tempat bercerita bila remaja mempunyai masalah (Irwanto, 2002).
Namun, terdapat keluarga yang mengalami kesulitan dalam mendidik dan
menstimulasi anak remajanya.
Universitas
Respon yang sering diperlihatkan orang tua pada anak remajanya seringkali
menyebabkan komunikasi tidak efektif, antara lain mengkritik dan menyalahkan
anaknya. Kritikan tersebut membuat remaja malas berkomunikasi lebih lanjut,
mempertahankan diri, berdebat, dan marah (Irwanto, 2002). Sikap remaja tersebut
merupakan sikap yang tidak asertif. Namun disisi lain terkadang keluarga tidak
memberi kesempatan kepada remaja untuk menyampaikan pendapatnya dengan
asertif. Sikap asertif dibutuhkan agar remaja mampu meningkatkan
kemampuannya untuk menyatakan dan mengekspresikan dirinya dengan nyaman
dalam berbagai situasi sosial serta menghindari kesalahpahaman dari pihak lawan
dalam berkomunikasi.
Terapi yang diberikan pada klien tidak hanya berupa terapi individu, terapi untuk
keluarga berupa Psikoedukasi Keluarga (FPE) yang merupakan salah satu terapi
yang diharapkan dapat membuat keluarga lebih siap menstimulasi perkembangan
remaja. Tindakan yang ditujukan pada keluarga pada remaja menjadi penting
karena pada keluarga merupakan suatu sistem yang paling dekat dengan remaja,
Universitas
Agar keluarga dapat memberikan dampak positif pada remaja maka keluarga
diharapkan dapat berfungsi dan berperan secata kondusif. Menurut Friedman
(2010) terdapat 5 fungsi keluarga bagi anggota keluarganya, yaitu fungsi afektif,
fungsi perawatan kesehatan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan ekonomi.
Masalah pada keluarga dapat muncul sebagai dampak dari fungsi afektif yang
tidak berfungsi, misalnya keluarga tidak saling menghargai, adanya permusuhan
yang akhirnya berdampak pada perkembangan remaja. Menurut Friedman (2010)
keluarga memiliki fungi untuk membantu anggota keluarga menyelesaikan
masalah, demikian juga bila anggota keluarga ada yang memiliki masalah akan
berdampak pada anggota yang lain. Keluarga yang memiliki anggota keluarga
harus dapat menjalankan fungsinya sebagai perawatan kesehatan, untuk itu
keluarga harus mempunyai bekal yang cukup, Psikoedukasi Keluarga merupakan
langkah yang tepat diberikan.
Universitas
Teori stres adaptasi Stuart dan teori King yaitu Interacting Systems Framework
and Theory of Goal Attainment dapat menjadi landasan dalam pencapaian
identitas diri remaja. Model Stress Adaptasi Stuart digunakan sebagai pendekatan
asuhan keperawatan melalui proses pengkajian sampai dengan intervensi secara
menyeluruh. Model Stress adaptasi Stuart memberikan gambaran proses asuhan
keperawatan melalui beberapa aspek yaitu predisposisi, presipitasi, penilaian
terhadap stressor, sumber koping dan mekanisme koping. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan identitas diri remaja terdiri yaitu perilaku
sebelumnya yang melatarbelakangi pembentukan identitas diri remaja (faktor
predisposisi) dan stimulus atau kondisi remaja saat ini (faktor presipitasi) yang
terdiri dari 3 aspek yaitu biologis, psikologis dan sosial. Perilaku yang
dimunculkan remaja adalah mekanisme koping remaja untuk mempertahankan
dirinya terhadap masalah-masalahnya (stressor).
Kaitannya dengan Teori King (1981, dalam Fitzpatrick & Wall, 1998)
manusia/individu dipandang sebagai sistem terbuka yang berinteraksi dengan
lingkungan. Individu dalam hal ini remaja disebut dengan sistem personal.
Remaja dalam proses pencarian identitas dirinya banyak meniru, menilai dan
mempersepsikan apa yang terjadi disekitarnya. Hal ini sesuai dengan teori King
yang menyatakan bahwa individu sebagai sistem personal memiliki persepsi,
penilaian diri, dan gambaran diri sebagai hasil interaksi dengan orang lain dan
lingkungan sepanjang usia tumbuh kembangnya (Fitzpatrick & Wall, 1998;
Tomey & Alligood, 2006). Aplikasi konsep King menyatakan bahwa manusia
merupakan sistem sosial dikaitkan dengan keberadaan remaja didalam keluarga,
sekolah dan lingkungan tempat tinggalnya. Keluarga, sekolah dan masyarakat
dapat menjadi support system (social support) sekaligus sumber stresor bagi
remaja, demikian juga sekolah maupun masyarakat. Kondisi keluarga yang tidak
Universitas
Melalui model stres adaptasi Stuart dan teori King diharapkan dapat menambah
kemampuan personal remaja (personal ability) dalam mengatasi masalahnya,
seperti dengan terapi kelompok yang menstimulasi perkembangan remaja ke arah
yang positif dipadukan dengan latihan asertif dapat meningkatkan perkembangan
emosi serta Psikoedukasi keluarga yang dapat mendukung pengetahuan dan
kemampuan keluarga dalam menstimulasi perkembangan identitas diri remaja.
Universitas
Universitas
Universitas
Universitas
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Penulisan karya ilmiah ini menggunakan Teori stres adaptasi Stuart dan King
pada remaja yang mendapatkan Terapi Kelompok Terapeutik, Latihan Asertif dan
Psikoedukasi Keluarga. Kerangka teori disusun sebagai landasan teori dalam
penulisan karya ilmiah. Kerangka teori dimulai dengan menjelaskan input, proses
dan output. Input merupakan sistem personal yaitu remaja dimana didalamnya
terdapat data awal atau data dasar pada Remaja dengan menggunakan pendekatan
model stress adaptasi Stuart dan Teori King. Proses merupakan sistem
interpersonal yaitu hubungan antara perawat dan remaja dalam mengatasi
permasalahan yang dialami remaja dalam mencapai identitas dirinya. Aktivitas
pada proses merupakan peristiwa esensial dalam mengatasi masalah yang
ditemukan. Output merupakan hasil yang diharapkan atau pencapaian dari
pelaksanaan kegiatan atau proses yaitu pencapaian tugas perkembangan remaja
dan peningkatan kemampuan 10 aspek perkembangan remaja.
16 Universitas Indonesia
Stimulus yang diterima remaja saat ini (faktor presipitasi) juga mempengaruhi
pencapaian identitas diri remaja. Tercapai atau tidaknya identitas diri remaja
tergantung pada banyaknya stimulus positif yang diterima remaja ketika
memasuki masa remaja, seperti stimulus-stimulus perkembangan dan kesempatan
berkembang yang diberikan lingkungan (keluarga, sekolah dan lingkungan tempat
tinggal) untuk remaja. Faktor presipitasi dapat dilihat dari 3 faktor yaitu biologis,
psikologis dan sosiokultural. Sedangkan perilaku remaja dapat dilihat dari 10
aspek perkembangan (penilaian terhadap stressor).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Sistem interpersonal
Sistem Personal
(Remaja)
Perawat Keluarga
a. Karakteristik Remaja
b. Faktor predisposisi dan
presipitasi
Biologis, psikologis,
sosial
c. Penilaian tressor (Aspek
perkembangan)
Aspek fisik dan Latihan Asertif Terapi Kelompok Terapeutik Psikoedukasi Keluarga
psikoseksual
Aspek kognitif dan
bahasa
Aspek emosi dan
kepribadian
Aspek moral dan
spiritual
Aspek bakat dan Aspek emosi :
Kemampuan orang tua menstimulasi tumbang
1. Tugas perkembangan Remaja
2. Aspek perkembangan remaja : remaja
Mengontrol diri & emosi lebih
Aspek fisik dan psikoseksual
stabil
Aspek kognitif dan bahasa 1. Mengidentifikasi kemampuan keluarga
Tidak menuntut orang
Aspek emosi dan kepribadian terhadap tumbuh kembang remaja
tua memenuhi
Aspek moral dan spiritual 2. Kemampuan dalam perawatan tumbuh
keinginannya
Memiliki prestasi Aspek bakat dan kreatifitas kembang remaja
Menilai kelebihan dan 3. Manajemen stres dan beban keluarga dalam
kekurangan diri menstimulasi tumbang remaja
Mampu bertanggung jawab
Punya tujuan dan cita-cita
Skema 2.1 Kerangka Konsep Aplikasi Asuhan Keperawatan pada Potensial Pembentukan Identitas Diri
Penerapan terapi..., Uswatun Hasanah, FIK UI,
Remaja Menggunakan Pendekatan Model Stuart dan Teori King
Universitas
Skema 2.2
Model Stress Adaptasi Stuart
Universitas
Tabel 2.1
Perilaku remaja sebelumnya yang melatarbelakangi
Pembentukan Identitas Diri Remaja
Universitas
Tabel 2.2
Faktor Presipitasi Pembentukan Identitas Diri Remaja
Universitas
Universitas
Universitas
Universitas
Universitas
Universitas
Universitas
dimulai dari asumsi perawat dalam interaksi dengan klien yang keduanya
merupakan sistem terbuka yang akan selalu berinteraksi dengan lingkungan. Teori
pencapaian tujuan mengambil simbol interaksi yang menggambarkan individu
sebagai anggota masyarakat, yang akan bertindak untuk membangun persepsi dan
komunikasi melalui simbol-simbol (Meleis, 1997).
Perawat dan klien bertemu dalam beberapa situasi, saling mengetahui dan
menerima, saling memberikan pendapat, menunjukkan beberapa sikap mental, dan
saling memberikan persepsi satu sama lain. Aplikasi teori King goal attainment
pada asuhan keperawatan remaja khususnya dengan penerapan terapi kelompok
terapeutik dan terapi latihan asertif sesuai dengan tahapan proses keperawatan.
Sesuai dengan teori King, pengkajian terjadi selama interaksi perawat-klien
melalui komunikasi untuk mengumpulkan data dan informasi tentang status
kesehatan remaja. Pada fase perumusan diagnosa keperawatan, perawat dan
remaja serta keluarga berbagi informasi untuk mengidentifikasi masalah yang
dihadapi remaja. Masalah keperawatan adalah ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan untuk kehidupan sehari-hari atau ketidakmampuan berfungsi dalam
peran (Meleis, 1997).
Universitas
Teori King berfokus pada interaksi perawat - klien dengan pendekatan sistem.
Kekuatan pada model ini adalah partisipasi klien dalam menentukan tujuan yang
akan dicapai, mengambil keputusan, dan interaksi dalam menerima tujuan dari
klien. Teori ini sangat penting pada kolaborasi antara tenaga kesehatan
professional yang juga dapat digunakan pada individu, keluarga, atau kelompok
dengan penekanan pada psikologi, sosialkultural, dan konsep interpersonal.
Sistem sosial akan membatasi peran sosial, perilaku, dan pengembangan praktik
nilai-nilai sebagai mekanisme pengaturan dalam praktik (Meleis, 1997).
Lingkungan adalah sistem sosial dalam kemasyarakatan yang dinamis akan
mempengaruhi perilaku sosial, integrasi sosial, persepsi, dan kesehatan baik di
rumah sakit, klinik, community, sekolah dan kawasan industri (Christensen &
Kenney, 1995). Sistem sosial sangat mempengaruhi remaja dalam
perkembangannya. Keluarga, tetangga, teman dan lingkungan dimana remaja
tinggal sangat mempengaruhi perkembangan remaja. Perilaku yang ditampilkan
Universitas
remaja dapat merupakan akibat dari berinteraksi baik dengan keluarga, tetangga
maupun teman serta lingkungan dimana remaja tinggal.
Universitas
Universitas
Universitas
yang realistis (Gunarsa, 2010). Fase remaja adalah fase mencari tokoh idola
karenanya keluarga dituntut untuk menjadi model bagi remaja sehingga
dapat menjadi sumber informasi dan sumber inspiratif bagi remaja dengan
cara menciptakan rasa nyaman dan pertemanan dengan remaja.
b. Intervensi Spesialis
Terapi spesialis yang diberikan kepada remaja dapat diberikan dalam
bentuk individu maupun kelompok. Kelompok merupakan kumpulan
individu yang mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya, saling
Universitas
Universitas
Universitas
Universitas
2) Latihan Asertif
Perpaduan terapi kelompok terapeutik dengan Terapi latihan asertif
diberikan jika terdapat kondisi emosi remaja yang labil (Townsend &
Mary, 2009). Emosi yang labil pada remaja disebabkan oleh
kemampuan menghadapi dan menyelesaikan konflik sosial masih
kurang, untuk itu dibutuhkan terapi tambahan selain terapi kelompok
terapeutik dalam mengatasi masalah-masalah remaja.
Universitas
Terapi latihan asertif terdiri dari 5 sesi yang diambil dari Novianti
(2010) yaitu :
a) Sesi I : melatih remaja tentang komunikasi asertif, pasif dan agresif
b) Sesi II: melatih kemampuan remaja mengungkapkan pikiran dan
perasaan negatif
c) Sesi III: melatih remaja menyampaikan keinginan dan kebutuhan
d) Sesi IV : melatih remaja menyampaikan rasa kesal yang
dialaminya
e) Sesi V : melatih remaja untuk mengatakan “tidak” pada permintaan
yang kurang rasional
3) Psikoedukasi Keluarga
Terapi spesialis yaang dapat diberikan kepada keluarga adalah
psikoedukasi keluarga. Caregiver remaja dapat melaksanakan
stimulasi pertumbuhan dan perkembangan remaja untuk mencapai
identitas diri yang optimal. Keluarga adalah sistem yang sangat dekat
dengan remaja dan tempat remaja belajar, mengembangkan nilai,
keyakinan, sikap dan perilaku (Keliat, 1995). Orang tua harus belajar
tentang peran mereka dalam perubahan dan permasalahan yang
dihadapi remaja.
Universitas
Universitas
Universitas
Universitas
Universitas
Pada bab ini akan diuraikan tentang pelayanan asuhan keperawatan jiwa di
wilayah Kelurahan Ciwaringin, pelayanan keperawatan jiwa komunitas wilayah
Puskesmas merdeka dan karakteristik wilayah kelurahan Ciwaringin sebagai lahan
praktik. Penjelasan ditujukan untuk melihat penerapan asuhan keperawatan dalam
merawat klien, keluarga dan komunitas khususnya kelompok remaja sehat dengan
diagnosa potensial pembentukan identitas diri di Kelurahan Ciwaringin,
khususnya di RW 01 dan RW 09.
Universitas
Usaha kesehatan jiwa sekolah merupakan bagian dari usaha kesehatan yaitu
segala usaha yang dilakukan untuk meningkatkan kesehatan jiwa remaja usia
sekolah dengan tujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan jiwa Remaja usia
sekolah sedini mungkin. Usaha kesehatan jiwa sekolah dilakukan oleh semua
orang yang berperan didalam proses 51bel ar mengajar termasuk masyarakat yang
berada di lingkungan sekolah. Tujuan Usaha Kesehatan Jiwa Sekolah remaja yaitu
menjelaskan perkembangan normal pada remaja, menjelaskan konsep diri pada
remaja, mengidentifikasi tanda-tanda cemas dan krisis percaya diri pada remaja,
dan melakukan strategi pemecahan masalah pada remaja dengan cara teknik
relaksasi.
Hasil deteksi dini oleh 86 orang kader kesehatan jiwa yang telah dilatih,
teridentifikasi kasus gangguan jiwa sebanyak sebanyak 30 orang, yang berarti
prevalensi gangguan jiwa di Kelurahan Ciwaringin sebesar 16.35% atau lebih
besar dari prevalensi di Jawa Barat yaitu 0,16% (Riskesdas, 2013). Dari 30 orang
yang mengalami gangguan jiwa terdapat 4 orang (3.3%) remaja yang mengalami
gangguan jiwa. Puskesmas Merdeka menyediakan layanan kesehatan jiwa yaitu
poli khusus jiwa di Puskesmas Merdeka setiap hari Kamis dan hari Selasa di
puskesmas pembantu Cimanggu mulai pukul 08.00 WIB sampai 12.00 WIB.
Puskesmas Merdeka menjadi rujukan pertama jika didapatkan terjadi kekambuhan
pada pasien gangguan jiwa.
Universitas
Berdasarkan salah satu misi Puskesmas Merdeka yaitu menjalin kemitraan dengan
semua potensi yang ada di wilayah kerja, Puskesmas merdeka melaksanakan misi
tersebut yaitu Puskesmas sudah melakukan kemitraan lintas sektoral dengan
Kelurahan Ciwaringin untuk membentuk Kelurahan Siaga Sehat Jiwa. Kerjasama
lintas sektoral lain yang telah dilakukan puskesmas Merdeka terkait dengan klien
gangguan jiwa yaitu kerjasama dengan Departemen Sosial dan Tenaga Kerja
untuk kegiatan rehabilitasi klien gangguan jiwa yang sudah mandiri berupa
pelatihan-pelatihan untuk memberikan keterampilan kepada klien seperti
pembuatan telur asin. Puskesmas juga telah melakukan kemitraan lintas program
dengan program Assertive Community Treatment (ACT) BLU RSMM Bogor
untuk penanganan pasien gangguan jiwa di Kelurahan Ciwaringin. Klien
gangguan jiwa yang masih remaja pun diikutsertakan dalam kegiatan rehabilitasi
setiap hari Selasa yang diadakan di Pustu Cimanggu.
Universitas
Universitas
Universitas
gangguan jiwa dengan jumlah melebihi angka nasional untuk provinsi Jawa Barat
saat dilakukan deteksi dini. Selain itu, perlu dilakukan pencegahan agar anggota
masyarakat yang sehat tetap sehat pada semua tumbuh kembang termasuk remaja
karena remaja merupakan generasi penerus bangsa yang harus dioptimalkan
tumbuh kembangnya.
Berikut ini akan diuraikan profil wilayah RW 01 dan 09 yang merupakan wilayah
praktik mahasiswa selama residensi I dan residensi III. Metode pengkajian
meliputi wawancara dan observasi praktek keperawatan jiwa komunitas.
Universitas
Universitas
hanya bersekolah dan kebanyakan pulang sore atau malam karena banyak
pelajaran tambahan atau kegatan ekstrakurikuler yang diikuti.
Universitas
Universitas
BAB 4
PELAKSANAAN ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
Asuhan keperawatan yang diberikan pada remaja dengan potensial pencapaian
identitas diri remaja dengan menggunakan pendekatan teori stres adaptasi Stuart
dan teori King. Penulis mengkaji perilaku sehat remaja di masa lalu, upaya
perilaku sehat yang dilakukan remaja saat ini, hubungannya dengan lingkungan
dan orang lain yang dapat mempengaruhi perilaku sehat. Setelah hasil didapat,
baru dapat ditentukan terapi spesialis apa yang efektif diberikan kepada remaja
dengan karakteristik dan permasalahan yang berbeda-beda.
5 Universitas
yang dilakukan oleh Nurlis (2009), jika aspek fisik, kognitif, emosi, moral dan
sosial mengalami peningkatan, maka akan meningkat pula upaya remaja dalam
mencapai identitas dirinya. Namun, dari hasil pengkajian perlu dilihat lebih lanjut
apakah cukup satu terapi saja bagi remaja untuk mencapai identitas dirinya,
terlebih lagi masing-masing remaja memiliki karakteristik, latar belakang dan
masalah yang saat ini juga berbeda-beda. Berikut akan dipaparkan hasil
pengkajian yang ditemukan oleh penulis.
4.1.1 Karakteristik Remaja
Karakteristik remaja yang melatarbelakangi pencapaian identitas diri dilihat
berdasarkan usia, jenis kelamin, urutan kelahiran, jumlah saudara kandung
dan status ekonomi keluarga. Berikut akan dijelaskan secara umum dari 16
orang remaja yang mengikuti terapi spesialis.
Tabel 4.1
Karakteristik remaja yang mendapatkan terapi spesialis
di RW 01 dan 09 Kelurahan Ciwaringin
Periode Februari – April 2015 (n=16)
Usia remaja terbanyak adalah remaja tengah (14-16 tahun) atau sekitar
56.25%, didominasi oleh remaja laki-laki sebanyak 56.25%. Sebesar 50%
Universitas
Universitas
Tabel 4.3
Faktor predisposisi pada remaja
di RW 01 dan RW 09 Kelurahan Ciwaringin Bogor Tengah
Periode Februari – April 2015 (n=16)
2 Psikologis
Punya cita-cita sejak kecil 16 100
Tidak alami kehilangan orang terdekat 14 87.50
Tidak alami kekerasan rumah tangga 16 100
Belum pernah putus sekolah 16 100
Tidak enggan menceritakan 12 75.00
pengalamannya
Rata-rata 14.80 92.5
Universitas
3 Sosiokultural
Mudah bergaul 15 93.75
Punya hobi yg sama dengan teman 16 100
Punya teman > 2 orang 16 100
Mematuhi aturan dalam rumah / 16 100
sekolah 14 87.5
Mau menerima tugas & tanggung 15 93.75
jawab
Tidak ada labeling negative di
lingkungan keluarga / masyarakat
Rata-rata 15.33 95.83
Universitas
Universitas
Pada faktor biologis, perilaku remaja saat ini yang dapat mengarah pada
pembentukan identitas diri adalah sebanyak 62.50% remaja memiliki
proporsi tubuh yang ideal antara BB dengan TB, 56.25% remaja tidak
merokok/narkoba dan remaja senang akan kegiatan olah raga sebesar
87.50% serta 62.50% remaja memperhatikan perawatan tubuh.
Universitas
Universitas
Universitas
Tabel 4.7
Sumber koping pada remaja
Di RW 01 dan RW 09 Kelurahan Ciwaringin Bogor Tengah
Periode Februari – April 2015 (n=16)
No Sumber Koping Jumlah Prosentase
1 Kemampuan Personal
Tahu tentang perkembangan remaja 8 50.00
Tahu cara stimulasi tumbuh kembang 5 31.25
Tahu sumber informasi 6 37.50
Dapat identifikasi masalah sendiri 8 50.00
Menemukan cara tepat untuk menyelesaikan 7 43.75
masalah
Mengetahui kemampuan diri 12 75.00
Rata-rata 7.6 47.91
2 Dukungan Sosial
Keluarga tahu tumbuh kembang remaja 7 43.75
Keluarga tahu cara stimulasi tumbang remaja 7 43.75
Keluarga memotivasi remaja ikut kegiatan 14 87.50
Keluarga memberi pujian yang realistis 14 87.50
Keluarga menjadi role model yang baik 13 81.25
Keluarga dapat menjadi sumber informasi 13 81.25
Keluarga & lingkungan memberi rasa nyaman 16 100
Rata-rata 14.86 92.86
3 Asset Material
Asuransi kes : Jamkesmas / Jamkesda / BPJS 16 100
Dapat biaya pendidikan dari pemerintah 7 43.75
Penghasilan keluarga mencukupi kebutuhan 7 43.75
Keluarga memiliki tabungan 7 43.75
Keluarga memiliki aset pribadi 7 43.75
(rumah/tanah/kebun)
Pelayanan kesehatan dekat dengan rumah 16 100
(Puskesmas, klinik pengobatan, bidan, dokter)
Rata-rata 10 62.50
4 Keyakinan Positif
Percaya dengan pelayanan kesehatan 16 100
Persepsi yang baik terhadap tenaga kesehatan 16 100
Selalu menggunakan pelayanan kesehatan 16 100
Keyakinan agama yang berhubungan dengan 16
kesehatan
Keyakinan budaya klien & keluarga yang 16 100
berhubungan dengan kesehatan
100
Rata-rata 16 100
Universitas
Sumber koping yang masih kurang berasal dari kemampuan remaja sendiri
yang baru mencapai 47.91%. Terdapat 75.00% remaja telah mengetahui
kemampuan dirinya. Sumber koping yang masih berada dibawah 50%
adalah kesadaran diri remaja akan cara-cara stimulasi tumbuh kembangnya
yaitu hanya 31.25%, mencari sumber informasi 37.50%, hanya 43.75%
remaja mampu mencari solusi yang baik dari masalah yang dihadapi,
mengetahui masalah yang sedang dialami dan mengetahui tentang
perkembangan remaja 50.00%.
Universitas
Tabel 4.8
Kemampuan perkembangan identitas diri remaja
Di RW 01 dan RW 09 Kelurahan Ciwaringin Bogor Tengah
Periode Februari – April 2015 (n=16)
Universitas
Tabel 4.9
Daftar Kelompok TKT
di RW 01 dan RW 09 Kelurahan Ciwaringin Bogor Tengah
Periode Februari – April 2015 (n = 16)
Universitas
Tabel 4.10
Daftar Kelompok TKT
di RW 01 dan RW 09 Kelurahan Ciwaringin Bogor Tengah
Periode Februari – April 2015 (n = 16)
Universitas
ditunjukkan remaja ini adalah ada yang pasif dan menolak dengan berkata
kasar.
Remaj TKT AT
No Waktu
a (kelompok) (individu)
An. Ra Sesi I : Pengetahuan Sesi I dan II 3 Maret
perkembangan remaja -Pemahaman asertif, pasif, 2015
An. Ri Sesi II : agresif 2 Maret
1 2015
Stimulasi perkembangan -Melatih mengungkapkan
An. A biologis/fisik & pikiran dan perasaan 2 Maret
psikoseksual negative 2015
An. Ra Sesi III : 6 Maret
Stimulasi perkembangan 2015
An. Ri kognitif dan bahasa. 5 Maret
2 Evaluasi sesi I dan II 2015
An. A 5 Maret
2015
An. Ra Sesi IV : Sesi III dan IV 13 Maret
Stimulasi perkembangan - Melatih 2015
An. Ri moral dan spiritual menyampaikan keinginan 12 Maret
3 & kebutuhan 2015
An. A - melatih 12 Maret
menyampaikan rasa 2015
kesalnya
An. Ra Sesi V : 17 Maret
Stimulasi perkembangan Evaluasi sesi III dan IV 2015
An. Ri emosi dan psikososial. 16 Maret
4 2015
An. A 16 Maret
2015
An. Ra Sesi VI : Stimulasi Sesi V : 20 Maret
perkembangan bakat Melatih mengatakan “tidak” 2015
An. Ri dan kreativitas untuk permintaan yang 19 Maret
5 2015
kurang rasional
An. A 19Maret
2015
Universitas
Universitas
Universitas
Tabel 4.13
Kombinasi Terapi Spesialis Pembentukan Identitas Diri
Pada Remaja di RW 01 dan RW 09 Kel.Ciwaringin Bogor Tengah (n=16)
Sebelum pelaksanaan TKT, tahap pelaksanaan diawali dengan kegiatan pre test
untuk mengumpulkan data perkembangan remaja, identitas diri, karakteristik
demografi, pola asuh keluarga dan hubungan sosial remaja. Pelaksanaan pre test
didampingi oleh Kader Kesehatan Jiwa. Kelompok I didampingi oleh 1 orang
kader, kelompok II didampingi 2 orang kader. Pelaksanaan terapi secara
keseluruhan dilaksanakan selama kurang lebih lima minggu. Kegiatan TKT
dilakukan sesuai jadwal yang telah disepakati bersama dengan kelompok remaja
dan seluruhnya dilaksanakan pada siang atau sore hari. TKT dilakukan sebanyak 6
pertemuan yang dilakukan 2 kali setiap minggunya. Lama kegiatan rata-rata
berlangsung 60 menit/pertemuan. Remaja pada umumnya berpartisipasi dengan
baik dalam kegiatan ini, karena dukungan orang tua dan kader kesehatan yang
berpartisipasi dalam penggerakan TKT. Kegiatan post-test dilakukan setelah
pertemuan terakhir dari terapi kelompok terapeutik, untuk mengukur kembali
perkembangan dan identitas diri remaja pada kelompok I dan II dengan dibantu
kader kesehatan jiwa.
Proses pelaksanaan terapi kelompok terapeutik remaja mengacu pada modul TKT
remaja berdasarkan hasil Workshop Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu
Keperawatan UI (2014) yang telah melewati beberapa kali penelitian. Panduan
pelaksanaan TKT remaja terdiri dari tujuh sesi pertemuan. Pelaksanaan terapi
kelompok terapeutik dilakukan sendiri oleh penulis pada 2 kelompok. Selama
proses pelaksanaan terapi sebagian besar remaja mampu mengikuti kegiatan.
Universitas
Terapi tambahan latihan asertif (AT) pada 12 remaja yang diberikan secara
individu setiap kali remaja selesai mengikuti 1 pertemuan TKT. Namun, dalam
pelaksanaannya terdapat remaja yang dilakukan terapi latihan asertif tidak sesuai
jadwal karena terkadang remaja harus mengikuti kegiatan tambahan diluar
kegiatan akademiksekolahnya. Kegiatan diberikan sekitar 15 – 20 menit. Dari 12
remaja yang diberikan latihan asertif, terdapat 9 keluarga remaja yang diberikan
terapi psikoedukasi keluarga (FPE). Psikoedukasi keluarga dilakukan secara
individu pada keluarga remaja yang tinggal serumah. Pelibatan keluarga sebagai
sistem pendukung remaja sangat dibutuhkan oleh remaja untuk pembentukan dan
pencapaian identitas diri yang optimal.
Kegiatan FPE dilakukan kurang lebih selama 30-45 menit setiap pertemuan.
Hanya 9 keluarga yang diberikan FPE dikarenakan pada keluarga remaja yang
lain tidak berada dirumah terutama pada pagi sampai sore hari dikarenakan
bekerja. Pelaksanaan tindakan keperawatan pada keluarga dengan remaja dapat
diselesaikan dalam rata-rata 4-5 hari. Hal ini dikarenakan keluarga tinggal
serumah yang memudahkan dalam melatih psikomotor untuk stimulasi pada anak
dan waktunya dapat disesuaikan dengan kegiatan keluarga. Tindakan keperawatan
meliputi memberikan edukasi tentang ciri perkembangan normal dan menyimpang
pada remaja, mendiskusikan cara menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan
remaja dan membantu manajemen stres dan beban keluarga dalam melakukan
stimulasi perkembangan remaja serta membantu keluarga melalui pemberdayaan
masyarakat.
Universitas
Terapi Spesialis
Variabel Identitas Diri TKT TKT + AT TKT + AT + Rata-
(n=4) (n=3) FPE rata
(n=9)
Fisik & Sebelum 95.83 94.44 88.89 93.05
Psikoseksual Sesudah 95.83 100 100 98.61
Selisih - 5.56 7.41 6.49
Kognitif & Sebelum 55.00 40.00 43.70 46.23
Bahasa Sesudah 88.33 88.89 96.29 91.17
Selisih 33.33 48.89 52.59 44.94
Moral & Sebelum 89.28 85.71 71.42 82.14
Spiritual Sesudah 100 95.23 96.82 97.35
Selisih 10.71 9.52 25.39 15.21
Emosi & Sebelum 51.17 38.89 37.04 43.37
Psikososial Sesudah 100 88.89 88.89 92.59
Selisih 45.83 50.00 51.85 49.23
Bakat & Sebelum 75.00 76.19 66.66 72.62
Kreatifitas Sesudah 85.71 90.48 95.24 90.48
Selisih 10.71 11.29 28.58 16.86
Total rata-rata Sebelum 73.26 67.05 67.48 69.26
kemampuan Sesudah 93.97 94.47 95.45 94.63
Selisih 20.71 27.47 28.00 25.39
Berdasarkan tabel 4.14 dapat dilihat bahwa dari beberapa aspek perkembangan,
yang masih kurang sebelum pemberian terapi adalah aspek kognitif dan bahasa
dengan rata-rata 46.23% dan aspek emosi dan psikososial dengan rata-rata
Universitas
Tabel 4.15
Efektifitas TKT Terhadap Pencapaian Identitas Diri
Remaja di RW 01 dan 09 Kel.Ciwaringin Bogor Tengah
Periode Februari – April 2015 (n=4)
Sebelum Sesudah
No Aspek Perkembangan Remaja
Jmh % Jmh %
1 Aspek fisik & psikoseksual
Muncul tanda-tanda pubertas 4 100 4 100
Penambahan berat badan 4 100 4 100
Penambahan tinggi badan 4 100 4 100
Timbul ketertarikan pada lawan jenis 4 100 4 100
Universitas
dianut
Mau menjalankan dan menjauhi larangan-Nya
Rata-rata 3.57 89.28 4 100
4 Aspek Emosi dan Psikososial
Tidak menuntut orang tua secara paksa untuk 1 25.00 4 100
memenuhi keinginannya
Mampu mengontrol diri 2 50.00 4 100
Emosi lebih stabil 2 50.00 4 100
Mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan 2 50.00 4 100
Perhatian terhadap orang lain 3 75.00 4 100
Memiliki prestasi 3 75.00 4 100
Rata-rata 2.17 54.17 4 100
5 Aspek Bakat dan Kreatifitas
Memiliki bakat khusus yang terus 4 100 4 100
berkembang 4 100 4 100
Mengikuti kegiatan tambahan (seperti olah
raga, seni, pengajian, bela diri) 2 50.00 3 75.00
Kritis terhadap orang lain 4 100 4 100
Universitas
Universitas
Universitas
Tabel 4.17
Kemampuan Remaja Sebelum dan Sesudah
AT di RW 01 dan 09 Kel.Ciwaringin Bogor
Tengah Periode Februari – April 2015 (n=3)
Rata-rata 0 0 3 100
Universitas
Tabel 4.18
Efektifitas TKT, AT, dan FPE Terhadap Pencapaian Identitas Diri Remaja
di RW 01 dan 09 Kel.Ciwaringin Bogor Tengah
Periode Februari – April 2015 (n=9)
Sebelum Sesudah
No Aspek Perkembangan Remaja
Jmh % Jmh %
1 Aspek fisik & psikoseksual
Muncul tanda-tanda pubertas 9 100 9 100
Penambahan berat badan 9 100 9 100
Penambahan tinggi badan 9 100 9 100
Timbul ketertarikan pada lawan jenis 8 88.89 9 100
Fantasi/khayalan seksual meningkat 5 55.56 9 100
8 88.89 9 100
Perhatian terhadap penampilan diri
meningkat
Rata-rata 8 88.89 9 100
2 Aspek kognitif & Bahasa
Berpikir sebab dan akibat 5 55.56 9 100
Mampu membuat keputusan 3 33.33 8 88.89
Mampu menggabungkan ide, pikiran dan 2 22.22 9 100
konsep 2 22.22 9 100
Mampu menganalisis 3 33.33 8 88.89
Mampu memahami orang lain 4 44.44 8 88.89
Mampu berpikir sistimatis 9 100
4
Mampu berpikir logis 44.44 7 77.78
3
Mampu berpikir idealistik 2 33.33 9 100
Mampu menyelesaikan masalah 6 22.22 9 100
Optimis menjalankan peran 7 66.67 9 100
Perubahan persepsi diri tentang peran 77.78 9 100
6 66.67
Puas terhadap peran 3 33.33 9 100
Pengetahuan yang baik tentang perannya 4 44.44 9 100
Kemampuan berbahasa meningkat 5 55.55 9 100
Menggunakan istilah-istilah khusus (bahasa
gaul)
Rata-rata 3.9 43.70 8.67 96.29
3 Aspek Moral & Spiritual
Mengerti nilai-nilai etika, norma agama 7 77.78 9 100
Memperhatikan kebutuhan orang lain 6 66.67 9 100
Bersikap santun, menghormati orang tua dan 44.44 9 100
guru 4 66.67 9 100
Bersikap baik terhadap teman 6 88.89 9 100
Mulai taat pada aturan dan tata tertib di 8 77.78 8 88.89
masyarakat 7 77.78 8 88.89
Mulai rajin beribadah sesuai agama yang 7
dianut
Universitas
Universitas
Tabel 4.19
Kemampuan Remaja Sebelum dan Sesudah
AT di RW 01 dan 09 Kel.Ciwaringin Bogor
Tengah Periode Februari – April 2015 (n=9)
Rata-rata 0 0 9 100
Universitas
Tabel 4.20
Kemampuan Keluarga Sebelum dan Sesudah FPE
di RW 01 dan 09 Kel.Ciwaringin Bogor Tengah
Periode Februari – April 2015 (n=9)
Tabel 4.21
Kemampuan identitas diri remaja sebelum dan setelah
Diberikan terapi spesialis di RW 01 dan RW 09 Kelurahan Ciwaringin
Tahun 2015 (n=16)
Terapi Spesialis
Tugas perkembangan TKT TKT + AT TKT + AT + Rata-
(n=4) (n=3) FPE rata
(n=9)
Menilai diri secara Sebelum 75.00 66.67 66.67 69.45
objektif Sesudah 75.00 100.00 100.00 91.67
Selisih - 33.33 33.33 22.22
Universitas
Pada tabel 4.21 terlihat bahwa kemampuan identitas diri remaja yaitu
menilai diri secara objektif 69.45% mengalami peningkatan setelah
diberikan terapi sebesar 91.67%. Peningkatan lebih besar terlihat setelah
pemberian TKT dan latihan asertif sebesar 33.33%. Remaja pada awalnya
hanya 10 orang (62.5%) yang menyukai dirinya, setelah pemberian terapi
meningkat menjadi 100 % dengan peningkatan tertinggi setelah pemberian
terapi AT, TKT dan FPE sebesar 55.56%. Pada kemampuan pengambilan
keputusan juga terjadi peningkatan sebesar 38.89%, dapat berinteraksi
dengan lingkungan meningkat 12.04 %, bertanggung jawab pada remaja
meningkat 7.41%. Pada kemampuan remaja dalam bertanggung jawab
peningkatan sangat terlihat setelah pemberian TKT, AT serta psikoedukasi
keluarga yang mencapai 22.22%. Demikian juga pada kemampuan
merencanakan masa depan remaja meningkat 77.78% setelah diberikan
TKT, AT dan FPE. Total rata-rata peningkatan kemampuan pencapaian
Universitas
tugas perkembangan lebih besar pada remaja yang mendapatkan tiga terapi
yaitu TKT, AT dan FPE sebesar 34.71%, remaja yang mendapat TKT dan
AT meningkat 12.5% dan yang mendapat TKT saja 9.38%
4.6.2 Keluarga
a. Keluarga meneruskan cara menstimulasi perkembangan remaja yang
sudah mampu dilakukan dan terus meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan dalam menstimulasi tumbuh kembang remaja.
b. Keluarga menerapkan teknik komunikasi terbuka terhadap remaja
yaitu dengan menganggap remaja sebagai teman dalam memberikan
stimulasi
c. Keluarga terus meningkatkan pengetahuan dan menjalin komunikasi
yang baik dalam merawat remaja serta menerapkan pola asuh yang
tepat.
Universitas
4.6.4 Kader
a. Kader melanjutkan program RW siaga sehat jiwa yang sudah berjalan
serta meningkatkan kemampuan kader yang sudah dilatih.
b. Melanjutkan kunjungan ke rumah klien untuk mengevaluasi tanda dan
gejala serta kemampuan remaja.
c. Kader meningkatkan kepedulian keluarga untuk merawat remaja dan
berkoordinasi dengan Kader Kesehatan Jiwa kelurahan untuk
meningkatkan keberjalanaan Kelurahan Ciwaringin Siaga Sehat Jiwa.
Universitas
BAB 5
PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang pembahasan manajemen kasus spesialis berupa asuhan
keperawatan pada remaja di RW 01 dan 09 Kelurahan Ciwaringin, manajemen
pelayanan yang menunjang pelaksanaan asuhan keperawatan tersebut, serta
keterbatasan yang ditemukan selama proses pelaksanaan asuhan keperawatan.
Pembahasan manajemen kasus spesialis meliputi hasil pengkajian pada remaja
dan efektifitas manajemen asuhan keperawatan pada remaja. Terapi yang
diberikan meliputi terapi kelompok terapeutik dan latihan asertif serta pada
keluarga diberikan psikoedukasi keluarga menggunakan pendekatan Teori Stuart
dan Teori King Interacting Systems Framework and Theory of Goal Attainment.
Secara keseluruhan penggunaan teori King dalam manajemen kasus ini yaitu
senantiasa berpegang pada prinsip manusia sebagai sistem personal, sistem
interpersonal, dan sistem sosial. Sistem personal dapat difahami dengan
memperhatikan konsep yang berinteraksi yaitu persepsi, diri, gambaran diri,
pertumbuhan dan perkembangan, waktu dan jarak (Meleis, 1997). Sistem personal
dalam karya ilmiah akhir ini yaitu remaja yang merupakan individu yang
merupakan sistem terbuka, saling berinteraksi dengan lingkungannya. Remaja
merupakan individu yang memiliki perasaan dan kemampuan dalam bereaksi,
menerima, dan memiliki keinginan serta harapan tertentu sesuai dengan hak yang
dimilikinya. Dalam perkembangannya untuk mencapai identitas diri, banyak
faktor yang mempengaruhi remaja yang harus dikaji dengan pendekatan Teori
Stuart yaitu mulai dari faktor predisposisi sampai penilaian stressor.
Universitas
Universitas
Remaja pada tahap awal kemampuan berpikir mulai tumbuh dan pada
umumnya sudah mulai berpikir tentang masa depan meskipun masih
terbatas (Browning, 2003). Remaja pada tahap awal mulai berusaha
menunjukkan identitas dirinya, konflik dengan orang tua meningkat,
pengaruh teman sebaya sangat besar, mempunyai perasaan bebas dan
tidak ingin diatur, berperilaku kekanak-kanakan khususnya jika mereka
mengalami stress, sifat moodi meningkat, serta timbul ketertarikan
kepada lawan jenis meningkat (Ali & Asrori, 2009).
Universitas
2. Jenis Kelamin
Jenis kelamin juga merupakan bagian dari aspek sosial budaya faktor
predisposisi dan presipitasi dalam tumbuh kembang individu. Jenis
kelamin yang teridentifikasi dari 16 remaja mayoritas laki-laki, yaitu 9
orang (56.25%). Demikian juga remaja yang mendapat TKT dan AT
juga sebagian besar laki-laki yaitu berjumlah 9 orang (75%) dari 12
remaja. Perbedaan jenis kelamin mempengaruhi kematangan remaja
mencapai kedewasaan dalam berupaya menggali potensi dirinya
mencapai identitas diri positif.
Universitas
Universitas
3. Urutan Kelahiran
Dari 16 orang remaja yang dikelola, paling banyak remaja berada pada
posisi anak pertama yaitu 8 orang (50%). Sedangkan selebihnya berada
pada posisi tengah dan bungsu. Urutan kelahiran pada suatu keluarga
memiliki posisi kekuasaan yang berbeda-beda. Pola emosi antara anak
yang satu dengan yang lainnya dapat berbeda pula. Johnson dan
Medinnus (1974 dalam Hilman, 2002) menyatakan bahwa faktor urutan
kelahiran dalam mempengaruhi perkembangan kepribadian melalui
proses sosialisasi dalam keluarga yang mengembangkan kepribadian.
Universitas
Universitas
b. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Laraia (2009) faktor predisposisi adalah faktor risiko
yang dipengaruhi oleh jenis dan jumlah sumber risiko yang dapat
menyebabkan individu mengalami stres. Beberapa bagian faktor
predisposisi telah dibahas secara terintegrasi dengan karakteristik klien.
Berdasarkan hasil pengkajian pada 16 remaja secara biologis ditemukan
62.5%% remaja telah diimunisasi lengkap, ternyata masih ada remaja yang
imunisasinya belum lengkap. Pada aspek psikologis terdapat 12.5% pernah
mengalami kehilangan orang terdekat yaitu kehilangan salah satu anggota
keluarganya.
Universitas
Kehilangan orang tua karena kematian adalah perubahan hidup yang dapat
menimbulkan stres menurut Yuliawati (2007) dan menuntut individu
berespon dalam melakukan penyesuaikan diri. Setiap individu memiliki
reaksi yang berbeda-beda terhadap peristiwa kematian. Di fase awal orang
yang ditinggalkan akan merasa terkejut, tidak percaya, sering menangis
atau mudah marah (Santrock 2007).
c. Faktor Presipitasi
Hasil pengkajian faktor presipitasi pada remaja secara biologis sebanyak
56.25% remaja tidak merokok dan menggunakan narkoba. Merokok dan
penggunaan NAPZA merupakan beberapa contoh perilaku menyimpang
pada remaja. Terdapat tiga juta remaja menjadi penyalahguna NAPZA di
Indonesia (Hidayat, 2000). Pengguna NAPZA pada tahun 2004 sekitar
40% merupakan remaja (BNN, 2006). Remaja yang menyalahgunakan
NAPZA dimulai dengan penggunaan NAPZA yang seolah-olah legal di
masyarakat yaitu merokok. Penggunaan NAPZA kemudian bertahap
Universitas
Universitas
Aspek fisik dan psikoseksual memiliki nilai yang tinggi sebelum diberikan
terapi dikarenakan sebagian besar komponen aspek fisik dan psikoseksual
sedang dialami remaja yaitu sudah muncul tanda-tanda pubertas,
penambahan berat badan dan tinggi badan, timbul ketertarikan pada lawan
jenis, memiliki fantasi/khayalan seksual, serta mulai memperhatikan
penampilan diri. Pada remaja terjadi pertumbuhan fisik yang pesat, namun
tidak diimbangi oleh perkembangan sosial, psikologis, dan emosional,
dimana pertumbuhan fisik remaja menyamai dan memiliki kemampuan
seperti orang dewasa, namun secara sosial, psikologis, dan emosional
masih labil serta masih memiliki ketergantungan yang tinggi.
Universitas
e. Sumber Koping
Sumber koping yang masih kurang dari 50% adalah kesadaran diri remaja
akan cara-cara stimulasi tumbuh kembangnya yaitu hanya 31.25%,
mencari sumber informasi 37.50%, dan hanya 43.75% remaja mampu
mencari solusi yang baik dari masalah yang dihadapi. Remaja harus
memiliki pengetahuan yang baik terkait proses tumbuh kembang remaja
serta cara menstimulasinya. Kemampuan personal yang penting harus
dimiliki remaja yaitu mengetahui pertumbuhan dan perkembangan yang
terjadi pada remaja serta mengetahui cara menstimulasinya. Sebagaimana
Universitas
Menurut Model Stres Adaptasi Stuart, material aset merupakan salah satu
sumber koping (Stuart & Laraia, 2009). Hanya sebanyak 43.75% keluarga
memiliki tabungan maupun aset pribadi serta memiliki penghasilan yang
mencukupi kebutuhan, namun 100% keluarga telah memiliki jaminan
kesehatan. Seseorang yang memiliki material asset memungkinkan untuk
mengakses pelayanan kesehatan yang dibutuhkan sebagai pemecahan
masalah kesehatan yang sedang dihadapi.
Universitas
Interaksi perawat dengan klien dalam proses pelaksanaan manajemen kasus ini
berdasarkan konsep interacting systems framework King merupakan konsep
sistem interpersonal. Selanjutnya konsep ini lebih dikembangkan lagi oleh
King sebagai teori pencapaian tujuan. Pada teori ini King menggunakan
konsep-konsep interaksi, persepsi, transaksi, komunikasi, pertumbuhan dan
perkembangan, peran, serta pengambilan keputusan.
Saat berinteraksi dengan orang lain atau lingkungan remaja berproses secara
kognitif, mempersepsikan peristiwa yang dialami sehingga remaja akan
melakukan penilaian terhadap diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Hal ini
sesuai dengan teori King yang menyatakan dalam sistem personal manusia
dipandang sebagai individu. King menguraikan bahwa dalam sistem personal
individu memiliki persepsi, penilaian dan gambaran diri sebagai hasil interaksi
dengan orang lain dan lingkungan sepanjang tumbuh kembangnya (Fitzpatrick
& Whall, 1989). Selama interaksi mungkin saja terjadi konflik sehingga
Universitas
Penjelasan lebih lanjut dan rinci tentang Teori dan pendekatan King dalam
laporan ini karena dalam teori King sangat mencerminkan bagaimana remaja
berinteraksi dalam proses pencapaian identitas dirinya yang dipengaruhi oleh
lingkungannya. Sistem personal, sistem interpersonal dan sistem sosial dalam
teori King sangat berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi. Remaja
sebagai sistem personal berinteraksi dengan sistem sosial yaitu lingkungan
termasuk didalamnya keluarga, teman sebaya dan lingkungan tempat remaja
tinggal.
Universitas
Pelaksanaan manajemen kasus pada remaja yang diberikan TKT, AT dan FPE
dengan menerapkan teori King dan Stuart secara umum semakin
memperkokoh landasan dalam melakukan asuhan keperawatan remaja.
Pemberian terapi sesuai kebutuhan remaja dan berdasarkan teori keperawatan
yang tepat memberikan dampak pencapaian identitas diri yang optimal pada
remaja.
Universitas
Universitas
Universitas
Universitas
Terapi Latihan Asertif telah diuji pada penelitian yang dilakukan oleh
Novianti (2010), terbukti dapat melatih respon–respon asertif dalam
berbagai situasi. Penelitian yang dilakukan oleh Sert (2003)
menyatakan bahwa terapi latihan asertif secara signifikan dapat
meningkatkan perilaku asertif anak usia sekolah. Penelitian lain
dilakukan oleh Agbakwuru dan Stella (2011) juga menyatakan hal
senada bahwa terapi latihan asertif memiliki efek positif dalam
meningkatkan ketahanan diri remaja dimana ketahanan diri
mempengaruhi koping seseorang.
Universitas
Universitas
Pada hasil yang ditemukan dalam laporan ini, didapatkan bahwa aspek
kognitif dan emosi saling mempengaruhi satu sama lain yaitu
didapatkan aspek emosi dan aspek kognitif yang sebelumnya memiliki
nilai yang rendah akhirnya mengalami peningkatan setelah dilakukan
terapi. Hasil ini sesuai dengan Soetjiningsih (2010) yang mengatakan
bahwa perkembangan kognitif tidak terlepas dari perkembangan emosi
remaja yang naik turun. Salah satu tugas perkembangan remaja yaitu
kemampuan berpikir secara lebih dewasa dan rasional, memiliki
pertimbangan yang lebih matang dalam penyelesaian masalah,
memiliki tujuan dan merencanakan strategi. Murniati dan Beatrix
(2000) dalam penelitiannya menyatakan bahwa remaja masa sekarang
lebih menekankan pada pemikiran dan tindakan yang mandiri dan
inisiatif pribadi yang juga mengindikasikan kecenderungan untuk
menempatkan kepentingan diri diataskepentingan kelompok. Hal ini
menunjukkan bahwa remaja masih mementingkan aspek ego emosinya
dalam mengambil suatu keputusan. Sehingga aspek kognitif dan emosi
harus ditangani dengan baik karena keduanya saling mempengaruhi.
Kelompok orang tua dan remaja yang diberi TKT, AT dan FPE yang
mencakup 10 aspek perkembangan yang paling rendah sebelum
diberikan terapi yaitu aspek emosi dan psikososial yaitu 37.04%,
Universitas
Universitas
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Ong dan Caron (2008)
mengungkapkan bahwa psikoedukasi keluarga dapat meningkatkan
pengetahuan keluarga dalam merawat remaja yang mengalami
gangguan mood salah satunya gangguan emosi. Seringkali remaja
tidak mampu menyampaikan keinginannya secara asertif, remaja lebih
sering meluapkan keinginan dan harapannya dengan agresif. Hal ini
dapat mengganggu komunikasi antara orang tua dengan remaja.
Universitas
Universitas
Universitas
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan menguraiakan kesimpulan dari penyusunan karya ilmiah akhir
serta saran bagi pihak terkait yang berhubungan dengan praktik klinik
keperawatan jiwa komunitas.
6.1 Kesimpulan
Karya tulis ilmiah ini memberikan gambaran tentang manajemen kasus pada
remaja yang diberikan terapi kelompok terapeutik, latihan asertif dan
psikoedukasi keluarga dengan pendekatan Teori Stuart dan King di RW 01
dan 09 Kelurahan Ciwaringin Bogor Tengah. Kesimpulan yang didapatkan
dari kegiatan tersebut adalah sebagai berikut :
6.1.1 Hasil pengkajian karakteristik remaja di RW 01 dan 09 Kelurahan
Ciwaringin mayoritas berusia remaja tengah (14-16 tahun), jenis
kelamin laki-laki, mayoritas anak pertama dalam keluarganya dengan
jumlah saudara terbanyak yaitu 1-3 orang serta mayoritas keadaan
ekonomi rendah.
6.1.2 Proses Pelaksanaan Asuhan Keperawatan Jiwa
6.1.2.1 Hasil pengkajian faktor predisposisi remaja dengan nilai rata-
rata paling tinggi yaitu pada aspek sosial budaya yang
mencapai 95.83%.
6.1.2.2 Hasil pengkajian faktor presipitasi remaja dengan nilai rata-rata
paling tinggi yaitu pada aspek sosial budaya yang mencapai
89.58%.
6.1.2.3 Hasil pengkajian penilaian terhadap stresor paling tinggi yaitu
pada aspek bakat dan kreatifitas sebesar 85.71% dan aspek
paling rendah yaitu aspek emosi dan psikososial sebesar
34.37%.
6.1.2.4 Hasil pengkajian sumber koping yaitu 50% remaja mengetahui
tentang perkembangan remaja dan 31.25% remaja mengetahui
cara menstimulasi tumbuh kembang. Hanya 43.75% keluarga
yang mengetahui tentang tumbuh kembang remaja dan cara
114 Universitas Indonesia
Universitas
6.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil karya ilmiah ini maka ada beberapa saran yang
dapat diberikan kepada pihak-pihak terkait dalam rangka meningkatkan
pelayanan kesehatan jiwa khususnya dalam tatanan komunitas.
Universitas
b. Kelurahan Ciwaringin
1. Meningkatkan kerjasama dengan Puskesmas Merdeka dalam
upaya peningkatan dan pengoptimalan kesehatan masyarakat.
2. Memfasilitasi jalannya program Community Mental Health
Nursing (CMHN) dengan instansi terkait seperti Dinas
Kesehatan dan Puskesmas.
Universitas
Universitas
Ali,M & Ansori,M. (2010). Psikologi remaja perkembangan peserta didik. Edisi 6.
Jakarta : PT Bumi Aksara.
Fortinash, K.M. & Holoday, P.A. (2004). Psychiatric mental health nursing. Third
edition, St. Louis Missouri: Mosby – Year Book Inc.
Friedman. (2003) Family of Nursing : Theory and practice. Cnecticut: Appleton &
Lange.
George, Julis B. (1995). Nursing Theories: the base for professional nursing practice,
3rd. Connecticut: Applenton & Lange.
Gunarsa. (2008). Psikologi praktis : Anak, remaja dan keluarga. Edisi 8. Jakarta : PT
BPK Gunung Mulia.
Hockenberry, M., Wilson, D.,Winkelstein, M., & Kline, N.(2003) Nursing Care of
infant and children. 7 ed. St. Louis, Missouri: Mosby Elsevier
Kaplan, H.L., & Saddock, B. J. (2010). Comprensive text book of psychiatry Vol. 1.
6th ed. Baltimore : Williams & Wilkins.
Kellner, M.H., & Bry, B.H. (1999). The effect of anger management groups in a day
school for emotionally disturbed adolescents. Adolescence, 34 (136), 645‐651.
Knorth, E.J., Klomp, M., Van der Bergh, P. M., & Noom, M. J. (2007). Aggressive
adolescents in residential care: A selective review of treatment requirements
and models. Adolescence, 42 (167), 461‐485.
Larson, J. (2008). Angry and aggressive students. Principal Leadership, 8 (5), 12‐ 15.
Lindsay, J.J., & Anderson, C.A. (2000). From antecedent conditions to violent
actions: A general affective aggression model. Personality and Social
Psychology Bulletin, 26 (5), 533‐547.
Meleis Ibrahim A., (2007). Theoretical nursing: development and progress, 3rd
edition, Philadelphia: Lippincott.
Murniati, J. & Beatrix Sophie. (2000). Perbedaan nilai remaja sekarang dengan
generasi sebelumnya. Fakultas Psikologi UI. Jurnal Psikologi Sosial VII: 59-
64
Myers, D.G. (2002). Social psychology. 7th edition. New York. McGraw Hill.
Wilkowski, B.M., & Robinson, M.D. (2008). The cognitive basis of trait
anger and reactive aggression: An integrative analysis. Society for Personality
and Social Psychology, 12 (1), 3‐21.
Papilia, D.E., Sally Wendkos Olds, 1992, Human Development, McGraw-Hill, Inc.,
New York
Purwadi. (2000). Hubungan Gaya Pengasuhan Orang Tua Dengan Eksplorasi Dan
Komitmen Remaja Dalam Domain Pekerjaan. Thesis Tidak Diterbitkan.
Bandung : Universitas Padjadjaran
Safaria,T & Eka,N.S. (2009). Manajemen Emosi. edisi 1. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Sarwono, S.W. (2011). Psikologi remaja. Edisi 14. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada
Smith, D. G., Xiao, L., & Bechara, A. (2012). Decision making in children and
adolescents: Impaired iowa gambling task performance in early adolescence.
Developmental Psychology, 48(4), 1180-1187.
doi:http://dx.doi.org/10.1037/a0026342
Stuart,G.W & Laraia, M.T (2009). Principles and Practice of psychiatric nursing.
(8th edition). St Louis: Mosby
Tomey, M &Alligood (2006). Nursing Theorist and Their Work. 6th edition. St.Louis:
Mosby-Year Book, Inc.
Townsend & Mary (2009). Psychiatric Mental Health Nursing. (6th Ed.).
Philadelphia: F.A. Davis Company
WHO (2005) Adolescence Mental Health Promotion. New Delhi : South East Asia
Regional Office of the World Health Organization
PENILAIAN
PROSES TERAPI KELOMPOK TERAPEUTIK
Kode Nama :
Petunjuk :
Beri tanda cek list ( √ ) pada Kolom Ya atau Tidak sesuai dengan penampilan yang ditunjukkan
peserta
JENIS-JENIS
PERMAINAN
Makna permainan :
peserta diajak untuk saling mengenal peserta lain dengan cara yang lucu dan unik. Mengenali gaya
atau ciri khas orang lain adalah salah satu cara agar bisa cepat akrab.
Sumber : Santosa, V.E., dan Mulyani, I. M. (2008)
2. KESAN PERTAMA
Makna permainan :
Peserta diajak melatih kreativitasnya dalam menyusun pertanyaan terbatas untuk mendapatkan
jawaban tokoh/ idolanya.
Sumber : modifikasi Santosa, V.E., dan Mulyani, I. M. (2008).
Makna permainan :
Melatih diri untuk tidak takut, tidak malu, dan tidak malas tampil didepan orang banyak.
Kemampaun tersebut sangat menentukan bagaimana peserta mengikuti proses
Sumber : Santosa, V.E., dan Mulyani, I. M. (2008).
Makna permainan :
Melatih untuk memahami nilai-nilai yang paling baik dan menghargai nilai-nilai yang dianut orang
lain
Daftar dibawah ini adalah nilai-nilai pribadi yang dapat dimiliki seseorang. Cobalah pikirkan dan
urutkan nilai-nilai yang paling penting atau terbaik sampai tidak penting bagi adik-adik. Selanjutnya
tempatkan nilai yang terpenting dalam hidup adik-adik di nomor 1 sampai nilai yang paling tidak
penting di nomor 10. Silahkan tuliskan di tempat yang telah disediakan dibagian bawah
Disiplin Jujur
Persahabatan Memaksa orang lain
Berbohong Sehat
Pintar Harga diri
Dengki Kasih sayang
1. ……………………………………….
2. ……………………………………….
3. ……………………………………….
4. ……………………………………….
5. ……………………………………….
6. ……………………………………….
7. ……………………………………….
8. ……………………………………….
9. ……………………………………….
10. ……………………………………….
Makna permainan :
Meningkatkan kepercayaan diri, eksplorasi bakat dan kreativitas dan pembentukan identitas diri.
Petunjuk Pengisian :
1. Bacalah dengan teliti pertanyaan berikut
2. Isilah pertanyaan pada tempat yang telah tersedia
3. Cukup dijawab dengan cara Cek List (√) pada pilihat kotak yang telah tersedia
3. Jenis kelamin
( ) Laki-laki
( ) Perempuan
4. Status Pendidikan
( ) Sekolah ( ) Tidak sekolah
5. Urutan Kelahiran :
( ) anak pertama ( ) anak tengah ( ) anak bungsu
1. Jawablah pernyataan dibawah ini dengan memberi tanda silang (X) pada kolom yang
tersedia. Setiap pernyataan hanya berisi satu jawaban
2. Tidak ada jawaban yang salah, semua jawaban yang dipilih adalah benar, asalkan
menjawabnya dengan jujur.
3. Usahakan agar jangan sampai ada nomor yang terlewati untuk dijawab
Sesuai dengan
No Pertanyaan kondisi saya saat ini
YA TIDAK
Aspek Fisik & Psikoseksual
1 Saya dapat menerima rasa ketertarikan pada lawan jenis
2 Saya lebih memperhatikan penampilan diri
3 Saya merasa nyaman dengan perubahan fisik saat ini
4 Saya berusaha meningkatkan kesehatan diri dengan cara olah fisik &
makan teratur
Aspek Kognitif & Bahasa
5 Saya mampu membuat keputusan
6 Saya mampu menyelesaikan masalah yang tengah saya hadapi saat ini
7 Saya memahami pembicaraan orang lain
8 Saya mampu menyampaikan ide, pendapat kepada orang lain
9 Saya mencoba lebih kritis terhadap situasi
10 Saya tidak bingung saat ditanya oleh orang lain
11 Saya berusaha menjawab saat ditanya
12 Saya tidak takut salah dalam berpendapat
13 Tidak memaksakan pendapat kepada anggota keluarga / teman.
14 Saya tidak bingung saat diajak berdiskusi
Aspek Moral & Spiritual
15 Saya paham akan nilai-nilai, etika, norma agama & masyarakat
16 Saya taat pada aturan dan tata tertib masyarakat
17 Saya menjalankan perintah agama (sholat, puasa, dll)
18 Saya berperilaku santun, menghormati orang tua, guru dan bersikap baik
pada teman
19 Saya rajin beribadah sesuai dengan agama yang saya anut
20 Saya peduli dan perhatian terhadap masalah keluarga
Aspek Emosi
21 Disaat marah, saya mampu mengontrol diri dan emosi lebih stabil
22 Saya tidak menuntut orang tua secara paksa untuk memenuhi keinginan
saya
23 Saya memiliki prestasi
24 Saya dapat menilai kelebihan dan kekurangan diri sendiri
25 Saya dapat bertanggung jawab & mampu mengambil keputusan tanpa
tergantung pada keputusan orang tua
26 Saya punya tujuan dan cita-cita masa depan
Sesuai dengan
No Pertanyaan kondisi saya saat ini
YA TIDAK
Aspek Psikososial
27 Saya tidak merasa canggung di lingkungan yang baru
28 Saya perhatian pada masalah dan perasaan orang lain
29 Saya akrab dengan teman sebaya & punya teman curhat
30 Saya sudah mandiri, ketergantungan dengan orang tua berkurang
31 Saya sudah menemukan aspek positif dalam diri saya.
TOTAL
UNIVERSITAS INDONESIA
Oleh:
USWATUN HASANAH
KISSA BAHARI
BUDI ANNA KELIAT
NOVY HELENA C.D.
Universitas Indonesia 1
Penerapan terapi..., Uswatun Hasanah, FIK UI,
kelompok sebaya. Remaja adalah makhluk sosial
yang sedang belajar ketrampilan sosial, mereka
sering lebih mempercayai teman sebaya dibanding
orang yang lebih dewasa (Fleitman, n.d). Identitas
diri remaja dapat dibentuk dari cara dia
memandang dan berespon terhadap orang lain
dalam kelompok (Jonhnson, 1995)
Universitas 2
Penerapan terapi..., Uswatun Hasanah, FIK UI,
BAB II
PEDOMAN TERAPI KELOMPOK
TERAPEUTIK PADA REMAJA
A. Pengertian
Terapi kelompok terapeutik adalah terapi yang
fokus utamanya untuk mencegah gangguan
dengan mengajarkan cara yang efektif untuk
mengatasi stress emosional pada suatu situasi atau
krisis perkembangan (Townsend, 2003).
B. Tujuan
1. Membantu anggota untuk mengidentifikasi
hubungan yang bermasalah dan merubah
perilaku maladaptif,
2. Membantu remaja memenuhi kebutuhannya
secara positif, bermakna terhadap kelompok
sebaya
3. Pembentukan identitas diri,
4. Memberi kesempatan remaja mengekspresikan
emosi atau masalah perilaku
5. Saling memberikan umpan balik terhadap
perilaku yang menjengkelkan atau
menyenangkan,
6. Belajar toleransi dan perilaku baru,
Universitas 3
Penerapan terapi..., Uswatun Hasanah, FIK UI,
7. Meningkatkan kapasitas untuk memperoleh
pengaruh dari pengalaman (positif dan negatif)
8. Meningkatkan kapasitas untuk berempati,
9. Menguatkan identifikasi dengan terapis;
10. Mendorong pola perilaku baru dalam
membantu pemecahan masalah dalam
kelompok dan konflik antar kelompok melalui
cara-cara verbal non-fisikal.
11. Belajar membangun suatu hubungan yang
sehat, terutama dengan lawan jenis,
12. Mendorong kearah kesadaran akan masa
depan,
13. Menciptakan keseimbangan hubungan dalam
keluarga,
14. Membangun keterbukaan, produktif, kasih
sayang dan berbagi hubungan
15. Mencegah konflik, konfrontasi, dan sifat
temperamental
16. Membantu anggota memahami diri,
bagaimana mereka berhubungan dengan orang
lain, apa yang mereka capai dalam siklus
perkembangan, serta bagaimana perasaan dan
perilaku mereka sendiri yang mengganggu.
Universitas 4
Penerapan terapi..., Uswatun Hasanah, FIK UI,
C. Indikasi
Remaja yang mengalami (Kymissis, 1996 dalam
Fleitman, n.d):
1. Berbagai kesulitan dengan orang tua dan
tekanan kelompok sebaya;
2. Masalah komunikasi dengan lingkungan
rumah, sekolah dan sosial;
3. Kekurangan strategi koping dan keterampilan
komunikasi
4. Permasalahan hubungan dengan orang lain
seperti orang tua, guru dan sebaya
5. Perubahan siklus hidup/perkembangan,
6. Remaja yang memerlukan atau menginginkan
kepuasan penyesuaian hidup, ingin belajar
lebih banyak terhadap orang lain, atau untuk
memecahkan permasalahan yang serius
D. Tempat pelaksanaan
Pelaksaanaan terapi kelompok terapeutik ini dapat
dilakukan di klinik maupun komunitas dengan
syarat suasana ruangan tenang bebas dari distraksi
(Stuart & Laraia, 2005; Varcarolis, Carson, &
Shoemaker, 2006)
Universitas 5
Penerapan terapi..., Uswatun Hasanah, FIK UI,
E. Komponen kelompok
Komponen kelompok kecil menurut Stuart &
Laraia, (2005) meliputi:
1. Struktur kelompok, akan mendasari kegiatan
kelompok yang mencakup batasan-batasan,
komunikasi, proses membuat keputusan,
otoritas hubungan, memberikan stabilitas, dan
membantu regulasi prilaku dan pola interaksi.
Struktur kelompok menjaga stabilitas dan
membantu pengaturan pola perilaku dan
interaksi.
2. Ukuran kelompok antara 6 – 10 anggota.
3. Lama sesi yaitu 20 – 40 menit untuk lower
functioning group, dan 60 - 120 menit untuk
higher functioning group.
4. Komunikasi, umpan balik digunakan untuk
membantu mengidentifikasi dinamika
kelompok dan pola komunikasi.
5. Peran, tiga tipe peran dalam kelompok yaitu:
a) pemeliharaan peran, termasuk proses dan
fungsi kelompok yang meliputi encourager :
memberikan pengaruh positif, harmonizer :
membuat perdamaian, compromiser :
meminimalkan konflik dengan mencari
alternatif, gatekeeper : menentukan tingkat
penerimaan kelompok, follower : mengikuti
Universitas 6
Penerapan terapi..., Uswatun Hasanah, FIK UI,
minat peserta, rule maker : membuat standar
perilaku untuk kelompok, problem solver :
memenuhi penyelesaian masalah kelompok dan
bekerja secara kontinyu. b) tugas peran,
menguraikan secara lengkap tugas kelompok
yang meliputi: leader: memimpin, questioner :
menjelaskan isu dan informasi, facilitator :
memelihara fokus kelompok, summarizer:
meringkas hasil kegiatan kelompok, evaluator :
menilai penampilan kelompok, initiator :
memulai diskusi kelompok. c) peran individu,
yang tidak berhubungan dengan tugas dan
pemeliharaan kelompok, mereka berpusat pada
diri yang dapat mendistraksi kelompok, yang
meliputi: victim: mengelakan tanggungjawab
diri, monopolizeer: mengontrol pembicaraan,
seducer: memelihara jarak dan perhatian
pribadi, mute: pasif atau diam, complainer:
meremehkan kerja yang positif dan ventilasi
marah, truant/latecomer: tidak hadir/terlambat,
moralist: melakukan penilaian baik dan benar.
6. Kekuasaan, adalah kemampuan untuk
mempengaruhi kelompok dan anggota yang
lain.
Universitas 7
Penerapan terapi..., Uswatun Hasanah, FIK UI,
7. Norma, adalah standar perilaku dalam
kelompok yang mempengaruhi komunikasi
dan perilaku dalam kelompok.
8. Kohesif, adalah kekuatan anggota bekerja
bersama dan berhubungan.
F. Perkembangan kelompok
Menurut Stuart and Laraia (2005), perkembangan
kelompok terdiri dari:
1. Fase Pra kelompok, membuat proposal (tujuan
dan rencana), seleksi anggota, menyiapkan
tempat, alat atau bahan,
2. Fase awal kelompok.
Tahap orientasi, pada tahap ini pemimpin
kelompok mengorientasikan anggota pada
tugas utama dan melakukan kontrak yang
terdiri dari tujuan, kerahasiaan, waktu
pertemuan, struktur, kejujuran dan aturan
komunikasi, norma perilaku, rasa memiliki atau
kohesif antara anggota kelompok.
Tahap konflik, pada tahap ini terjadi konflik
peran. Pemimpin mengklarifikasi konflik peran
yang terjadi, Pemimpin memfasilitasi ungkapan
perasaan, baik positif maupun negatif dan
membantu kelompok mengenali penyebab
Universitas 8
Penerapan terapi..., Uswatun Hasanah, FIK UI,
konflik serta mencegah perilaku yang tidak
produktif.
Tahap kohesif, anggota kelompok merasakan
ikatan yang kuat satu sama lain. Pada fase ini
anggota kelompok merasa bebas membuka diri
tentang informasi dan lebih intim satu sama
lain. Tiap anggota kelompok belajar bahwa
perbedaan kelompok merupakan hal yang
biasa, mereka belajar persamaan dan
perbedaan.
3. Fase kerja kelompok, pada fase ini kelompok
menjadi tim, kelompok menjadi stabil dan
realistis. Tugas utama pemimpin adalah
membantu kelompok mencapai tujuan dan
mengurangi dampak dari faktor yang dapat
mengurangi produktifitas kelompok.
4. Fase terminasi, terminasi dapat dilakukan pada
akhir tiap sesi atau beberapa sesi yang
merupakan suatu paket dengan
memperhatikan pencapaian tujuan.
Universitas 9
Penerapan terapi..., Uswatun Hasanah, FIK UI,
klub, ketrampilan, pengajaran dan pelatihan, serta
kelompok kerja, yang menekankan tidak hanya
dalam memecahkan masalah tetapi juga
pengalaman nyata. Kelompok ini untuk
penyesuaian atau merubah gaya hidup (Maclennan
& Dies, 1992 dalam Wood, 2009).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1. Tujuan :
a. Kelompok mengetahui perkembangan
yang dicapai dan masalah yang dihadapi.
b. Kelompok memahami ciri-ciri dan tugas
perkembangan remaja yang sehat
c. Kelompok memahami penyimpangan
perkembangan yang terjadi pada remaja
2. Setting
Terapis dan anggota duduk bersama secara
melingkar, tempat yang nyaman dan tenang
3. Alat dan Bahan
Leaflet stimulasi perkembangan remaja,
lembar balik, alat tulis, lembar evaluasi
4. Metode
Dinamika kelompok, diskusi dan tanya jawab
Universitas 7
Universitas Indonesia
3) Terminasi
a) Evaluasi : Menanyakan perasaan
klien setelah mengikuti TKT sesi
ini, memberikan umpan balik
positif atas kerjasama klien yang
baik.
b) Tindak lanjut: Menganjurkan untuk
mengamati ciri-ciri perkembangan
dan penyimpangan perkembangan
lainnya yang dialami
c) Kontrak yang akan datang :
Menyepakati kegiatan, waktu dan
tempat terapi kelompok terapeutik
sesi 2
Universitas Indonesia
1. Tujuan :
a. Kelompok mengetahui dan mampu
menstimulasi perkembangan biologi dan
psikoseksual
b. Kelompok memahami cara mengontrol diri
sebagai konsekwensi perkembangan
biologi dan psikoseksualnya
c. Kelompok mampu mengeksplorasi dan
membuat komitmen terhadap
perkembangan biologis/fisik dan
psikoseksual
2. Setting
Terapis dan anggota duduk bersama secara
melingkar, tempat yang nyaman dan tenang
3. Alat dan Bahan
Leaflet stimulasi perkembangan remaja,
lembar balik, alat tulis, lembar evaluasi
Universitas 1
Universitas 1
Universitas 1
1. Tujuan:
a. Kelompok mengetahui cara menstimulasi
perkembangan kognitif dan bahasa
b. Kelompok mampu menstimulasi
perkembangan kognitif dan bahasa
c. Kelompok mampu mengeksplorasi dan
membuat komitmen terhadap
perkembangan kognitif dan bahasa
2. Setting
Terapis dan anggota duduk bersama secara
melingkar, tempat yang nyaman dan tenang
Universitas 1
Universitas 1
Universitas 1
Universitas 1
1. Tujuan:
a. Kelompok mengetahui cara menstimulasi
perkembangan moral dan spiritual
b. Kelompok mampu menstimulasi
perkembangan moral dan spiritual
c. Kelompok mampu mengeksplorasi dan
membuat komitmen terhadap
perkembangan moral dan spiritual
2. Setting
Terapis dan anggota duduk bersama secara
melingkar, tempat yang nyaman dan tenang
3. Alat dan Bahan
Leaflet stimulasi perkembangan remaja,
lembar balik, alat tulis, lembar evaluasi
4. Metode
Dinamika kelompok, diskusi dan tanya jawab
5. Langkah-langkah kegiatan
a. Persiapan
1) Mengingatkan kontrak pada klien
2) Mempersiapkan alat
Universitas 1
2) Fase kerja
a) berdiskusi dan berbagi pengalaman
tentang stimulasi perkembangan
moral dan spiritual yang pernah
diperoleh dari keluarga, sekolah,
maupun masyarakat
b) permainan yang diberi nama “The
Best Values” berisi tentang
berbagai nilai-nilai pribadi dari
yang paling penting – kurang
penting, selanjutnya anggota di
instruksikan untuk mengurutkan
serta menyampaikan secara
Universitas 1
Universitas 1
1. Tujuan:
a. Kelompok mengetahui cara
menstimulasi perkembangan emosi dan
psikososial
b. Kelompok mampu menstimulasi
perkembangan emosi dan psikososial
c. Kelompok mampu mengeksplorasi dan
membuat komitmen terhadap
perkembangan emosi dan psikososial
2. Setting
Terapis dan anggota duduk bersama secara
melingkar, tempat yang nyaman dan
tenang
3. Alat dan Bahan
Leaflet stimulasi perkembangan remaja,
lembar balik, alat tulis, lembar evaluasi
4. Metode
Dinamika kelompok, diskusi dan tanya
jawab
5. Langkah-langkah kegiatan
a. Persiapan
1) Mengingatkan kontrak pada klien
Universitas 2
Universitas 2
Universitas 2
1. Tujuan:
a. Kelompok mengetahui cara
menstimulasi perkembangan bakat dan
kreativitas
b. Kelompok mampu menstimulasi
perkembangan bakat dan kreativitas
Universitas 2
Universitas 2
Universitas 2
1. Tujuan:
a. Berbagi pengalaman tentang manfaat yang
dirasakan selama kegiatan 6 sesi
b. Mengetahui perubahan-perubahan yang
terjadi dan kegiatan yang telah dilakukan
Universitas 2
Universitas 2
Universitas 2
Universitas 2
PENUTUP
Universitas 3
Universitas 3
Universitas 3
Universitas 3
Universitas 3
Universitas Indonesia
MODUL
TERAPI ASSERTIVENESS TRAINING (AT) PADA REMAJA
OLEH :
EVIN NOVIANTI, SKp
Dr. BUDI ANNA KELIAT, SKp.MApp.Sc HERNI SUSANTI, SKp.MN
Setiap remaja akan menjalani masa tumbuh kembangnya, yang tanpa disadari
berpengaruh terhadap perkembangan jiwa di masa yang akan datang (Hartono,2009).
Masa perkembangan yang paling mencolok terjadi pada masa remaja remaja dimana
pada masa ini remaja sudah mulai memasuki remaja dasar, suatu kegiatan yang
menuntut kemampuan sosial remaja. Setiap upaya remaja memenuhi tugas tumbuh
kembangnya, remaja kerap mendapat stressor baik secara fisik, psikologis maupun
sosialnya. Usia remaja (11-20 tahun) dianggap tahap yang paling rentan mendapat
stress, dimana kemampuan remaja dalam mengatasi masalahnya masih terbatas
sedangkan interaksi sosial remaja semakin luas dan menuntutnya untuk dapat
berperilaku sesuai dengan keinginan orang lain (teman, guru, orang tua, saudara, dll).
Pada usia remaja pertumbuhan fisik remaja sangat pesat, hal ini juga mempengaruhi
kondisi psikis remaja, dimana remaja dituntut untuk aktif di luar rumah dan
membuktikan bahwa dirinya mampu dan patut dibanggakan. Selain itu perkembangan
emosi juga mulai berkembang, namun di usia remaja ini, remaja belum mampu
mengolahnya secara tepat sehingga remaja lebih rentan untuk berperilaku emosional.
Kondisi yang dapat memunculkan emosi di usia remaja dapat berasal dari kondisi
fisik/kesehatan remaja, suasana rumah, cara orang tua dalam mendidik remaja,
hubungan dengan para anggota keluarga, hubungan dengan teman sebaya, bimbingan
orang tua terhadap remaja dan kemampuan remaja menghadapi dan menyelesaikan
konflik sosialnya. Apabila remaja di usia remaja mengalami tuntutan dari berbagai
pihak ditambah lagi dengan kurangnya pengalaman menyelesaikan konflik, emosi yang
muncul dapat saja berupa ledakan emosi atau bahkan menutup rapat-rapat emosi
tersebut maka remaja cenderung terlihat suka membantah, protes, tidak mau mengikuti
keinginan orang tua, malas mengikuti kegiatan remaja. Agar situasi tersebut tidak
berlangsung terus-menerus, dorang tuatuhkan penataan lingkungan sekitar remaja yaitu
orang tua, guru, pengasuh, teman, nenek, kakek, kakak atau adik.
Komunikasi asertif remaja ke orang tua mempunyai arti berkomunikasi secara terbuka,
menerima penilaian remaja yang berbeda dengan orang tua, menghargai diri sendiri dan
pribadi remaja, menyatakan pendapat pribadi orang tua tanpa mengorbankan perasaan
remaja dan mencari jalan keluar setiap masalah remaja atau orang tua secara bersama-
sama. Melalui komunikasi asertif, terlihat bahwa orang tua sangat menjunjung tinggi
pribadi dan pendapat remaja, remaja akan merasa sangat dihargai dan didengar oleh
orang tua. Cara orang tua dalam mengatasi setiap permasalahan akan ditiru oleh remaja,
karena remaja adalah peniru yang baik dengan daya kognitif mereka yang sedang dalam
tahap perkembangan. Remaja akan mampu mengadopsi cara orang tua dalam
menyelesaikan masalah dan menghadapi perasaan-perasaan yang kurang menyenangkan
bagi remaja.
D. KRITERIA TERAPIS
1) Minimal lulus S2 Keperawatan jiwa
2) Berpengalaman dalam praktek keperawatan jiwa di rumah sakit minimal 2
tahun.
2. Proses kerja
a. Persiapan
1) Melakukan seleksi remaja yang akan diikutsertakan dalam terapi
kelompok Assertiveness Training
2) Membuat kontrak waktu dengan remaja
b. Pelaksanaan
Proses pelaksanaan terapi kelompok Assertiveness Training terdiri dari 5
sesi:
1) Sesi I : melatih remaja memahami perbedaan komunikasi asertif, pasif
dan agresif
2) Sesi II: melatih kemampuan remaja mengungkapkan pikiran dan
perasaan negatif
3) Sesi III: melatih remaja menyampaikan keinginan dan kebutuhan
4) Sesi IV : melatih remaja menyampaikan rasa kesal yang dialaminya
B. WAKTU PELAKSANAAN
Terapi Assertiveness Training terdiri dari 5, sesi masing-masing sesi menggunakan
metode Instruction (menjelaskan tujuan latihan dan perilaku), Modeling (terapis
mencontohkan perilaku yang akan dilatih), Role playing (berlatih perilaku yang
diperagakan di dalam kelompok), Feedback (memberikan umpan balik terhadap
perilaku baru yang telah dipraktekkan) dan Implementation (pelaksanaan latihan
terapi kelompok Assertiveness Training di rumah secara mandiri). Sesi 1 – 4
dilakukan 2 kali, sesi 5dilakukan 1 kali dalam waktu yang sama dilakukan pada sore
hari sesuai kontrak. Waktu yang digunakan untuk pelaksanaan satu sesinya 30 - 45
menit.
C. TEMPAT PELAKSANAAN
Terapi Assertiveness Training dilaksanakan di Rw masing-masing tempat terapi
dilakukan
A. PELAKSANAAN
Sesi I : Melatih remaja memahami perbedaan karakteristik komunikasi asertif,
pasif dan agresif pada orang lain
==============================================================
1. Tujuan : remaja dapat :
a. Membedakan karakteristik gaya komunikasi : asertif, pasif dan agresif
b. Menyepakati komunikasi asertif yang akan dipilih untuk dilatih ke remaja
Setting :
a. Mengkaji situasi yang ada di lapangan / tempat pertemuan
b. Pertemuan dilakukan di ruangan tertutup agar peserta konsentrasi
c. Suasana ruangan nyaman dan tenang
d. remaja dan terapis duduk berhadapan
Alat :
Alat tulis, lembar balik, buku kerja orang tua , buku raport orang tua
Metode :
a. Instruction : terapis menjelaskan materi tentang karakteristik masing-masing gaya
komunikasi pada remaja.
b. Modeling : terapis menampilkan contoh komunikasi asertif, agresif dan pasif
c. Role playing : berlatih komunikasi yang diperagakan
d. Feed back : memberikan umpan balik terhadap komunikasi baru yang telah
dipraktekkan
e. Implementation : pelaksanaan latihan komunikasi asertif di rumah secara mandiri
b. Pelaksanaan
1) Orientasi
a) Salam Terapeutik
Terapis memperkenalkan diri, asal institusi
Menanyakan nama dan panggilan masing-masing anggota (orang tua
dan remaja usia remaja)
b) Evaluasi / validasi :
Menanyakan kondisi, perasaan dan emosi remaja saat ini.
Menanyakan kondisi, perasaan dan emosi remaja saat ini
c) Kontrak :
Menjelaskan tentang AT dan tujuannya yaitu melatih remaja menjalin
komunikasi yang baik dengan remaja-remaja, terutama di saat remaja
menyampaikan keluhan dan emosinya.
Menjelaskan tentang proses pelaksanaan, tugas yang harus dikerjakan
orang tua dan buku kerja yang akan digunakan orang tua dalam
melaksremajaan tugas dan latihannya. Pelaksanaan terapi AT terdiri
atas 5 sesi dan setiap peserta latihan akan melewati semua sesi sampai
selesai. Pada setiap sesi orang tua akan diminta untuk menuliskan tugas
dan hasil latihan kedalam buku kerja yang disediakan oleh terapis.
Buku kerja akan diisi dan dipegang oleh remaja.
Menyepakati pelaksanaan AT yang akan dilaksremajaan dalam 5 sesi,
yaitu melatih orang tua memahami perbedaan karakteristik asertif,
pasif dan agresif pada remaja, melatih kemampuan remaja menjadi
pendengar aktif, melatih menyampaikan perbedaan pendapat remaja ke
orang tua dalam mengambil keputusan, melatih menyampaikan
2) Fase Kerja
a) Terapis mendiskusikan gaya komunikasi yang selama ini dilakukan orang
tua kepada remaja dan mencatatnya pada buku kerja.
b) Terapis menjelaskan tentang perbedaan antara gaya komunikasi asertif,
pasif dan agresif :
(1) Komunikasi asertif :
Terapis menjelaskan komunikasi asertif yaitu
- Pengertian komunikasi asertif adalah menyatakan secara
langsung ide, harapan, keinginan, ketidaksetujuan ke remaja
tanpa menyerang orang lain
- Ciri remaja asertif adalah menunjukkan sikap tegas, jelas,
teguh, tidak takut untuk berkonflik dengan orang lain,
memberi teguran yang positif ke orang lain, mengajukan
keinginan/tuntutan perilaku ke orang lain dengan tegas dan
jelas.
- Secara non verbal, remaja yang asertif menunjukkan perilaku
menjadi pendengar yang baik, postur tubuh lurus, tenang,
bicara relaks, suara tenang, baik, menyakinkan,
mempertahankan kontak mata
- Secara verbal, remaja yang asertif bicara jelas, langsung, jujur
pada perasaan, menggunakan pesan “saya”
- Akibat/dampak terhadap remaja adalah remaja belajar
mempercayai perasaan mereka, mengatur emosi diri sendiri
3) Terminasi
a) Evaluasi
- Menanyakan perasaan remaja setelah melatih ketiga gaya
komunikasi.
- Menanyakan ciri komunikasi asertif
- Memberikan reinforcement positif atas kerjasama dan kemampuan
remaja selama proses kegiatan.
b) Tindak lanjut
- Terapis meminta remaja melatih kemampuan mengidentifikasi
beberapa situasi orang tua dan remaja di rumah apakah termasuk
asertif, pasif atau agresif
- Mencatat situasi tersebut ke dalam buku kerja orang tua.
c) Kontrak yang akan datang
- Menyepakati kegiatan selanjutnya yaitu melatih kemampuan
remaja menjadi pendengar aktif terhadap keluhan orang lain.
- Menyepakati waktu dan tempat pertemuan
Setting :
a. Mengkaji situasi yang ada di lapangan / tempat pertemuan
b. Pertemuan dilakukan di ruangan tertutup agar peserta konsentrasi
c. Suasana ruangan nyaman dan tenang
d. remaja dan terapis duduk berhadapan
Alat :
Alat tulis, lembar balik, buku kerja orang tua , buku raport orang tua
Metode :
a. Instruction : terapis menjelaskan materi tentang cirri-ciri pendengar aktif
b. Modeling : terapis menampilkan contoh pendengar aktif
c. Role playing : berlatih menjadi pendengar aktif di dalam kelompok
d. Feedback : terapis memberikan umpan balik terhadap cara orang tua menjadi
pendengar aktif.
e. Implementation : bersama dengan remaja melakukan latihan komunikasi asertif
menjadi pendengar aktif di rumah secara mandiri
Langkah-langkah kegiatan :
a. Persiapan
1) Mengingatkan kontrak yang telah disepakati 1 hari sebelumnya.
2) Mempersiapkan diri, tempat dan waktu
b. Pelaksanaan
1) Orientasi
a) Salam Terapeutik : terapis memberikan salam kepada orang tua dan remaja
b) Evaluasi / validasi :
Menanyakan kondisi, perasaan dan emosi remaja saat ini.
Meminta orang tua membuka buku kerja untuk melihat pelaksanaan
latihan mengidentifikasi gaya komunikasi orang tua dan remaja selama
di rumah.
Menanyakan kesulitan remaja membedakan komunikasi asertif, agresif
dan pasif selama di rumah
Memberikan reinforcement positif atas kemampuan remaja
mengidentifikasi kejadian / peristiwa yang dialami dan perasaannya
c) Kontrak :
Menyepakati topik pertemuan pada sesi 2 yaitu melatih remaja
memahami cirri-ciri pendengar aktif, tujuannya agar remaja mampu
menerima perasaan negative remaja dan menanggapi secara asertif.
Lama waktu pertemuan 30-45 menit di ruangan yang dirasa nyaman
oleh klien dan terapis
Mengingatkan kembali peraturan terapi yaitu remaja diharapkan
berpartisipasi dalam diskusi dan mengikuti sesi dari awal sampai akhir.
2) Fase Kerja
a) Terapis dan remaja mendiskusikan pengalaman orang tua ketika
menghadapi emosi/keluhan remaja, apa yang orang tua lakukan,
bagaimana verbal dan non verbal remaja.
b) Terapis menanyakan apa yang orang tua rasakan ketika berhadapan dengan
keluhan remaja
c) Terapis menanyakan apa yang remaja rasakan ketika keluhan mereka tidak
ditanggapi oleh remaja
3) Terminasi
a) Evaluasi
Menanyakan perasaan remaja setelah mempelajari ketrampilan menjadi
pendengar aktif secara non verbal dan verbal selama mendengarkan
keluhan remaja.
Menanyakan ciri-ciri pendengar aktif secara verbal dan non verbal
Menanyakan manfaat atau kegunaan menjadi pendengar aktif bagi
remaja
Memberikan reinforcement positif atas kerjasama remaja yang baik dan
kemampuan orang tua berlatih menjadi pendengar aktif.
b) Tindak lanjut
Menganjurkan remaja melatih ketrampilan menjadi pendengar aktif di
rumah secara verbal dan nonverbal
Mencatat situasi tersebut ke dalam buku kerja
c) Kontrak yang akan datang
Menyepakati kegiatan selanjutnya yaitu melatih menyampaikan
harapan orang tua mengubah perilaku negatif remaja.
Menyepakati waktu dan tempat pertemuan
Dilakukan
No Kegiatan Ya Tidak
1 Menyepakati kontrak kegiatan
2 Menyampaikan pengalaman
mendengarkan keluhan remaja secara non
verbal
3 Menyampaikan pengalaman menanggapi
keluhan remaja secara verbal
4 Menyampaikan perasaan orang tua selama
menghadapi emosi remaja di rumah
5 Mampu melakukan cara non verbal
mendengarkan keluhan remaja
6 Mampu melakukan memberi tanggapan
secara verbal selama mendengarkan
keluhan remaja
7 Mampu mengungkapkan manfaat atau
kegunaan menjadi pendengar aktif bagi
orang tua dan remaja
8 Mampu mengungkapkan perasaan setelah
mempelajari menjadi pendengar aktif.
9 Aktif dalam diskusi
Keterangan :
Isilah Ya = jika orang tua melakukan, Tidak = jika remaja tidak melakukan.
Setting :
a. Mengkaji situasi yang ada di lapangan / tempat pertemuan
b. Pertemuan dilakukan di ruangan tertutup agar peserta konsentrasi
c. Suasana ruangan nyaman dan tenang
d. Orang tua, remaja dan terapis duduk melingkar di dalam kelompok
Alat :
Alat tulis, lembar balik, buku kerja, buku raport
Metode :
a. Instruction : terapis menjelaskan materi tentang perbedaan pendapat dan cara
menyampaikan perbedaan pendapat
b. Modeling : terapis memberi contoh cara menyampaikan perbedaan pendapat
c. Role playing : orang tua dan remaja berlatih menyampaikan pendapat di dalam
kelompok
d. Feedback : terapis memberikan umpan balik terhadap cara orang tua menyampaikan
pendapatnya ke remaja dan dalam menyepakati keputusan bersama remaja.
e. Implementation : bersama dengan remaja melakukan latihan komunikasi asertif:
menyampaikan perbedaan pendapat di rumah secara mandiri
b. Pelaksanaan
1) Orientasi
a) Salam Terapeutik : terapis mengucapkan salam kepada orang tua dan remaja.
b) Evaluasi / validasi :
Menanyakan kondisi, perasaan dan emosi orang tua dan remaja saat ini.
Menanyakan kemampuan orang tua mengidentifikasi gaya komunikasi
asertif, agresif, pasif.
Meminta orang tua membuka buku kerja untuk melihat pelaksanaan
latihan menjadi pendengar aktif di rumah.
Menanyakan kesulitan orang tua menjadi pendengar aktif selama di
rumah
Memberikan reinforcement positif atas kemampuan orang tua menjadi
pendengar aktif
c) Kontrak :
Menyepakati topik pertemuan pada sesi 3 yaitu melatih remaja
menyampaikan perbedaan pendapat ke orang tua/orang lain, tujuannya
agar orang tua mampu menerima perbedaan pendapat dengan remaja,
menyampaikan dengan baik pendapat orang tua, tidak memaksakan
pendapat orang tua dan menyepakati keputusan bersama dengan remaja.
Lama waktu pertemuan 30-45 menit di ruangan yang dirasa nyaman oleh
klien dan terapis
Mengingatkan kembali peraturan terapi yaitu orang tua dan remaja
diharapkan berpartisipasi dalam diskusi dan mengikuti sesi dari awal
sampai akhir.
3) Terminasi
a) Evaluasi
Menanyakan perasaan orang tua setelah mempelajari ketrampilan
mengungkapkan perbedaan pendapat.
Menanyakan tahap-tahap menyampaikan perbedaan pendapat dengan
remaja.
Menanyakan manfaat atau kegunaan mengungkapkan perbedaan
pendapat secara asertif
Memberikan reinforcement positif atas kerjasama orang tua dan remaja
yang baik dan kemampuan orang tua berlatih.
b) Tindak lanjut
Menganjurkan orang tua melatih ketrampilan menjadi mengungkapkan
perbedaan pendapat di rumah.
Format Evaluasi
Sesi III Terapi Assertiveness Training : mengungkapkan perbedaan
pendapat
Setting :
a. Mengkaji situasi yang ada di lapangan / tempat pertemuan
b. Pertemuan dilakukan di ruangan tertutup agar peserta konsentrasi
c. Suasana ruangan nyaman dan tenang
d. remaja duduk berhadapan
Alat :
Alat tulis, lembar balik, buku kerja orang tua , buku raport orang tua
Metode :
a. Instruction : terapis menjelaskan materi tentang menyampaikan harapan/keinginan
orang tua.
b. Modeling : terapis memberi contoh cara menyampaikan harapan/keinginan
c. Role playing : orang tua dan remaja berlatih menyampaikan harapan/keinginan di
dalam kelompok
d. Feedback : terapis memberikan umpan balik terhadap cara orang tua menyampaikan
harapan/keinginan ke remaja.
f. Implementation : bersama dengan remaja melakukan latihan komunikasi asertif :
menyampaikan harapan/keinginan orang tua di rumah secara mandiri
Langkah-langkah kegiatan :
b. Pelaksanaan
1) Orientasi
a) Salam Terapeutik : terapis mengucapkan salam kepada orang tua dan remaja.
b) Evaluasi / validasi :
Menanyakan kondisi, perasaan dan emosi orang tua dan remaja saat ini.
Menanyakan kemampuan orang tua mengidentifikasi gaya komunikasi
yang digunakan di rumah : asertif, pasif, agresif.
Menanyakan kemampuan orang tua mendengar keluhan remaja secara
verbal dan nonverbal
Meminta orang tua membuka buku kerja untuk melihat pelaksanaan
latihan mengungkapkan perbedaan pendapat di rumah.
Menanyakan kesulitan orang tua mengungkapkan perbedaan pendapat di
rumah
Memberikan reinforcement positif atas kemampuan orang tua
mengungkapkan perbedaan pendapat
c) Kontrak :
Menyepakati topik pertemuan pada sesi 4 yaitu melatih orang tua
menyampaikan harapan/keinginan orang tua, tujuannya agar orang tua
mampu mengungkapkan keinginan/harapan secara asertif tanpa
menyudutkan perasaan remaja sehingga perilaku negative remaja dapat
diubah.
Lama waktu pertemuan 30-45 menit di ruangan yang dirasa nyaman oleh
klien dan terapis
Mengingatkan kembali peraturan terapi yaitu orang tua dan remaja
diharapkan berpartisipasi dalam diskusi dan mengikuti sesi dari awal
sampai akhir.
2) Fase Kerja
3) Terminasi
a) Evaluasi
Menanyakan perasaan remaja setelah mempelajari ketrampilan
mengungkapkan keinginan dan harapan.
Menanyakan cara mengungkapkan keinginan remaja ke orang tua
Menanyakan manfaat atau kegunaan mengungkapkan keinginan dan
harapan secara asertif
Memberikan reinforcement positif atas kerjasama orang tua dan remaja
yang baik dan kemampuan orang tua berlatih.
d) Tindak lanjut
Menganjurkan remaja melatih ketrampilan mengungkapkan keinginan
dan harapan merubah perilaku remaja di rumah.
Mencatat situasi tersebut ke dalam buku kerja
Keterangan :
Isilah Ya = jika orang tua melakukan, Tidak = jika orang tua tidak
melakukan.
Setting :
a. Mengkaji situasi yang ada di lapangan / tempat pertemuan
b. Pertemuan dilakukan di ruangan tertutup agar peserta konsentrasi
c. Suasana ruangan nyaman dan tenang
d. remaja dan terapis duduk berhadapan
Alat :
Alat tulis, lembar balik, buku kerja orang tua , buku raport remaja
Metode :
a. Instruction : terapis menjelaskan materi menolak permintaan orang lain yang kurang
rasioanl
b. Modeling : terapis memberi contoh cara menolak permintaan orang lain yang kurang
rasional
c. Role playing : remaja berlatih mengatakan kata ”tidak” pada permintaan orang lain
yang kurang rasional di dalam kelompok
d. Feedback : terapis memberikan umpan balik terhadap cara remaja mengatakan
”tidak” pada orang lain
e. Implementation : bersama dengan remaja melakukan latihan komunikasi asertif
mengatakan ”tidak” untuk permintaan remaja yang kurang rasional di rumah secara
mandiri
b. Pelaksanaan
1) Orientasi
a) Salam Terapeutik : terapis mengucapkan salam kepada orang tua dan remaja.
b) Evaluasi / validasi :
Menanyakan kondisi, perasaan dan emosi orang tua dan remaja saat ini.
Menanyakan kemampuan remaja mengidentifikasi gaya komunikasi
yang digunakan di rumah : asertif, pasif, agresif.
Menanyakan kemampuan remaja mendengar keluhan orang lain secara
verbal dan nonverbal
Menanyakan kemampuan remaja menyampaikan perbedaan pendapat ke
orang lain.
Menanyakan kemampuan remaja mengungkapkan keinginan dan harapan
Meminta remaja membuka buku kerja untuk melihat pelaksanaan latihan
mengungkapkan keinginan dan harapan remaja di rumah.
Menanyakan kesulitan remaja mengungkapkan keinginan dan harapan di
rumah
Memberikan reinforcement positif atas kemampuan remaja
mengungkapkan keinginan dan harapan ke remaja secara asertif
c) Kontrak :
Menyepakati topik pertemuan pada sesi 5 yaitu melatih remaja
mengatakan “tidak” untuk menolak permintaan orang lain yang kurang
rasional, tujuannya agar orang tua mampu menolak permintaan remaja
secara asertif tanpa menyudutkan perasaan remaja sehingga perilaku
negative remaja dapat dan emosi remaja dapat diatasi.
Lama waktu pertemuan 30-45 menit di ruangan yang dirasa nyaman oleh
klien dan terapis
40
MODUL PANDUAN
Oleh :
Hasmila Sari, S.Kep, Ns
Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp, M.App.Sc Novi Helena CD, S.Kp, M.Sc
Herni Susanti, S.Kp, M.N
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga merupakan salah satu sasaran dalam meningkatkan kesehatan mental, karena
keluarga merupakan bagian terkecil dari masyarakat yang berperan dalam
meningkatkan kesehatan keluarganya untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal
baik secara fisik maupun mental. Keluarga didefinisikan sebagai dua orang atau lebih
yang disatukan oleh ikatan-ikatan kebersamaan dan ikatan emosional yang
mengidentifikasikan diri mereka sebagai bagian dari keluarga (Friedman, 1998). Pada
keluarga tidak dapat dipisahkan oleh apapun karena dalam suatu keluarga ada suatu
ikatan emosional yang tidak dapat diputuskan oleh seorangpun, walaupun terkadang
secara fisik terpisah tetapi ikatan emosional tidak dapat dihilangkan.
Kesehatan keluarga terdiri dari kesehatan fisik dan mental yang saling ketergantungan.
Kesehatan fisik dan mental tidak dapat dipisahkan karena saling mempengaruhi.
Kesehatan fisik akan mempengaruhi kesehatan mental, begitu pula sebaliknya.
Kesehatan mental keluarga, merupakan sebuah interaksi. Kesehatan keluarga
menunjukkan kepada keadaan dimana terjadi proses internal atau dinamika, seperti
hubungan interpersonal keluarga. Fokusnya terletak pada hubungan antara keluarga
dan subsistem-subsistemnya, seperti subsistem orang tua atau keluarga dan para
anggotanya (Friedman, 1998).
Untuk menghilangkan praktek anak remaja yang masih banyak terjadi di masyarakat
perlu adanya kesadaran dari keluarga yang dapat diintervensi dengan melakukan terapi
keluarga. Salah satu terapi keluarga yang dapat dilakukan adalah psikoedukasi
keluarga. Terapi keluarga ini dapat memberikan support kepada anggota keluarga.
Keluarga dapat mengekspresikan beban yang dirasakan seperti masalah keuangan,
sosial dan psikologis dalam memberikan perawatan yang lama untuk anggota
keluarganya. Tujuan umum dari psikoedukasi keluarga adalah menurunkan intensitas
emosi dalam keluarga sampai pada tingkatan yang rendah sehingga dapat
meningkatkan pencapaian pengetahuan keluarga tentang penyakit dan mengajarkan
keluarga tentang upaya membantu mereka melindungi keluarganya dengan
mengetahui gejala-gejala perilaku serta mendukung kekuatan keluarga (Stuart &
Laraia, 2005).
B. Tujuan
Setelah mempelajari modul ini diharapkan perawat mampu:
1. Melakukan psikoedukasi keluarga pada keluarga dengan anak remaja
2. Melakukan evaluasi psikoedukasi keluarga pada keluarga dengan anak remaja
3. Melakukan pendokumentasian
A. Pengertian
Family Psychoeducation therapy adalah salah satu elemen program perawatan
kesehatan jiwa keluarga dengan cara pemberian informasi dan edukasi melalui
komunikasi yang terapeutik. Program psikoedukasi merupakan pendekatan yang
bersifat edukasi dan pragmatik (Stuart & Laraia, 2005 ).
Sedangkan menurut Carson (2000), psikoedukasi merupakan alat terapi keluarga yang
makin popular sebagai suatu strategi untuk menurunkan faktor-faktor resiko yang
berhubungan dengan perkembangan gejala-gejala perilaku. Jadi pada prinsipnya
psikoedukasi dapat membantu anggota keluarga dalam meningkatkan pengetahuan
tentang penyakit melalui pemberian informasi dan edukasi yang dapat mendukung
pengobatan dan rehabilitasi pasien dan meningkatkan dukungan bagi anggota keluarga
itu sendiri.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan utama psikoedukasi keluarga adalah untuk berbagi informasi tentang
perawatan kesehatan jiwa (Varcarolis, 2006). Sedangkan menurut Levine (2002),
tujuan psikoedukasi keluarga adalah untuk mencegah kekambuhan klien gangguan
jiwa, dan untuk mempermudah kembalinya klien ke lingkungan keluarga dan
masyarakat dengan memberikan penghargaan terhadap fungsi sosial dan okupasi
klien gangguan jiwa. Tujuan lain dari program ini adalah untuk memberi dukungan
2. Tujuan Khusus
a) Meningkatkan pengetahuan anggota keluarga tentang pertumbuhan dan
perkembangan anak remaja
b) Meningkatkan kemampuan keluarga dalam upaya menstimulasi tumbuh
kembang remaja
c) Mengurangi beban keluarga
d) Melakukan penelitian yang berkelanjutan tentang perkembangan keluarga
e) Melatih keluarga untuk lebih bisa mengungkapkan perasaan, bertukar
pandangan antar anggota keluarga dan orang lain
E. Tempat
Family psychoeduction dapat dilakukan di rumah sakit baik rumah sakit umum maupun
rumah sakit jiwa dengan syarat ruangan harus kondusif. Dapat juga dilakukan di rumah
keluarga sendiri. Rumah dapat memberikan informasi kepada perawat tentang
bagaimana gaya interaksi yang terjadi dalam keluarga, nilai–nilai yang dianut dalam
keluarga dan bagaimanan pemahaman keluarga tentang kesehatan.
F. Kriteria Terapis
1. Minimal lulus S2 Keperawatan Jiwa
2. Berpengalaman dalam praktek keperawatan jiwa
G. Metode Terapi,
Metode Family psychoeducation terapy dapat dilakukan dengan modifikasi beberapa
metode antara lain dengan diskusi atau tanya jawab, dinamika kelompok atau
demonstrasi tergantung kebutuhan terapi.
H. Alat Terapi
Alat terapi tergantung metode yang dipakai. Antara lain alat tulis dan kertas, leaflet,
booklet, poster dan lain sebagainya. Namun alat yang paling utama adalah diri perawat
sebagai terapis. Sebagai terapis, perawat harus bisa menjadi role model bagi keluarga.
I. Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan pada family psychoeducation therapy disesuaikan dengan
tujuan setiap sesi. Hal yang diharapkan tersebut adalah:
1. Keluarga bersedia menyepakati kontrak, mengetahui tujuan, dapat mengungkapkan
masalah pribadi dan masalah yang dirasakan dalam merawat anggota keluarga
dengan gangguan jiwa khususnya dengan anak remaja dan dapat menyampaikan
keinginan dan harapannya selama mengikuti program psikoedukasi keluarga.
2. Keluarga mengetahui informasi dan cara merawat gangguan jiwa yang dialami oleh
anggota keluarga khususnya dengan anak remaja.
3. Keluarga mengetahui dan mampu melakukan manajemen stres keluarga.
4. Keluarga mengetahui dan mampu melakukan manajemen beban keluarga.
J. Proses Pelaksanaan
Meski tidak ada satupun program bisa menjelaskan struktur umum yang dapat
memodifikasi kebutuhan pertemuan individu keluarga, tetapi yang paling penting dari
program Family Psyhcoeducation adalah bertemu keluarga berdasarkan pada
kebutuhan, dan keluarga mendapat kesempatan untuk bertanya, bertukar pandangan
dan bersosialisasi dengan anggota yang lain dan tenaga kesehatan jiwa profesional.
2. Pelaksanaan
Berdasarkan uraian tujuan khusus yang akan dicapai kelompok, pencapaian terapi
Family Psyhcoeducation dapat dilakukan dalam 4 sesi :
Sesi 1 : Mengenal masalah yang dialami keluarga dalam menghadapi remaja.
Sesi 2 : Melakukan cara perawatan atau cara menstimulasi pertumbuhan dan
perkembangan remaja.
Sesi 3 : Manajemen stres dan beban keluarga dalam menstimulasi tumbuh
kembang remaja
Sesi 4 : Melakukan pemberdayaan masyarakat untuk membantu keluarga
dalam menstimulasi tumbuh kembang remaja.
B. SETTING
Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalam posisi yang nyaman
C. ALAT DAN BAHAN
Papan tulis, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan dokumentasi)
D. METODE
Curah pendapat, ceramah, diskusi, dan tanya jawab.
E. LANGKAH – LANGKAH :
1. PERSIAPAN
a. Mengingatkan keluarga 2 hari sebelum pelaksanaan terapi
b. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan
2. PELAKSANAAN
Fase Orientasi :
a. Salam terapeutik : salam dari terapis.
b. Memperkenalkan nama dan panggilan terapis.
c. Menanyakan nama dan panggilan peserta.
d. Validasi :
Menanyakan bagaimana perasaan peserta dalam mengikuti program psikoedukasi
keluarga saat ini.
Fase Kerja :
a. Menanyakan tentang apa yang dirasakan keluarga selama ini terkait dengan
menstimulasi anggota keluarga dengan anak remaja.
1) Masalah pribadi yang dirasakan anggota keluarga sendiri.
2) Masalah dalam merawat anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa.
3) Keluarga menuliskan masalahnya pada buku kerja keluarga.
4) Terapis menuliskan pada buku kerja sendiri.
b. Menanyakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam keluarga dengan adanya
salah satu anggota keluarga yaitu remaja.
1) Setiap anggota keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan perubahan-
perubahan yang dialami dalam keluarga.
c. Menanyakan keinginan dan harapan keluarga selama mengikuti psikoedukasi
keluarga.
d. Memberikan kesempatan keluarga untuk mengajukan pertanyaan terkait dengan
hasil diskusi yang sudah dilakukan.
Fase Terminasi :
a. Evaluasi :
1. Menyimpulkan hasil diskusi sesi I
2. Menanyakan perasaan keluarga setelah selesai sesi I
3. Memberikan umpan balik positif atas kerjasama dan kemampuan keluarga
dalam menyampaikan apa yang dirasakan
b. Tindak Lanjut :
1. Menganjurkan keluarga untuk menyampaikan dan mendiskusikan pada anggota
keluarga yang lain tentang masalah yang dihadapi keluarga dan perubahan-
Format Evaluasi
Sesi I Psikoedukasi Keluarga : Pengkajian Masalah
Keterangan :
Isilah Ya = jika keluarga melakukan, Tidak = jika keluarga tidak melakukan.
2. Dokumentasi Kemampuan
Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan
oleh keluarga yaitu masalah pribadi yang dirasakan anggota keluarga dan masalah
yang dialami selama menstimulasi remaja, perubahan– perubahan yang terjadi
dalam keluarga.
Format Dokumentasi
Sesi I Psikoedukasi Keluarga : Pengkajian Masalah
Penyebab Anak
Pengalaman/ Perubahan yang
No Nama Keluarga remaja oleh
beban keluarga terjadi pada keluarga
keluarga
1.
2.
B. SETTING
Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalam posisi yang nyaman
C. ALAT
Papan tulis, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan dokumentasi)
D. METODE
Ceramah, diskusi, curah pendapat dan tanya jawab
E. LANGKAH – LANGKAH
1. PERSIAPAN
a. Mengingatkan keluarga minimal 2 hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
2. PELAKSANAAN
Fase Orientasi
a. Salam terapeutik : salam dari terapis.
b. Evaluasi : menanyakan perasaan keluarga hari ini dan menanyakan apakah
keluarga mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, misalnya tentang
masalah yang dialami oleh anggota keluarga yang lain.
c. Kontrak : menyepakati waktu dan lama sesi.
Fase Kerja
a. Mendiskusikan tentang perkembangan remaja
b. Anggota keluarga menyampaikan pengalamannya selama ini
Fase Terminasi
1. Evaluasi
a. Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi II selesai
b. Memberikan umpan balik positif atas kerjasama peserta yang baik
2. Tindak lanjut : menganjurkan keluarga untuk menyampaikan tentang materi
tumbang remaja yang telah dijelaskan kepada anggota keluarga yang lain
3. Kontrak : menyepakati topik sesi berikutnya, waktu dan tempat untuk pertemuan
berikutnya.
Format Evaluasi
Sesi II Psikoedukasi Keluarga : Perawatan Klien Gangguan Jiwa (Anak remaja)
No Kegiatan Keluarga
Ya Tidak
1 Hadir dalam terapi
2 Menyebutkan pengertian gangguan
jiwa
3 Menjelaskan gangguan jiwa yang
2. Dokumentasi
Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan
oleh keluarga yaitu tentang gangguan jiwa yang dialami oleh anggota keluarga.
Format Dokumentasi
Sesi II Psikoedukasi Keluarga : Perawatan Klien Gangguan Jiwa (Anak remaja)
1. Keluarga mampu berbagi pengalaman dengan anggota keluarga lain tentang stres
yang dirasakan akibat tidak mengetahui cara menstimulasi remaja
2. Keluarga mendapatkan informasi tentang cara menstimulasi remaja dalam keluarga.
3. Keluarga mampu mendemonstrasikan cara mengatasi stres.
4. Keluarga dapat mengatasi hambatan dalam mengurangi stres.
B. SETTING
Peserta (keluarga) duduk berhadapan dengan terapis dalam posisi yang nyaman
C. ALAT
Papan tulis, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan dokumentasi)
D. METODE
Ceramah, diskusi, curah pendapat, Role play (bermain peran) dan tanya jawab
E. LANGKAH – LANGKAH
1. PERSIAPAN
a. Mengingatkan keluarga minimal 2 hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
2. PELAKSANAAN
Fase Orientasi
a. Salam terapeutik : salam dari terapis
b. Validasi : menanyakan perasaan keluarga hari ini dan menanyakan apakah
keluarga mempunyai pertanyaan dari pertemuan sebelumnya, yaitu tentang materi
tumbang anak remaja di rumah.
c. Kontrak : menyepakati lama waktu terapi (sesi) serta materi yang akan
disampaikan.
Fase Kerja
a. Menanyakan pada keluarga terkait stres yang mereka alami denganadanya anak
remaja di rumah.
1) Anggota keluarga menyampaikan pengalaman mereka
2) Memberikan pujian/penghargaan atas kemampuan anggota keluarga
menyampaikan pendapat/perasaannya.
Fase Terminasi
a. Evaluasi
1. Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi III selesai
2. Memberikan umpan balik positif atas kerjasama peserta yang baik
b. Tindak lanjut : menganjurkan keluarga untuk berlatih cara mengurangi stres.
c. Kontrak : menyepakati topik sesi berikutnya, waktu dan tempat untuk pertemuan
berikutnya.
Format Evaluasi
Sesi III Psikoedukasi Keluarga : Manajemen Stres Keluarga
No Kegiatan Keluarga
Ya Tidak
1 Hadir dalam terapi
2 Menyebutkan tanda-tanda stres yang dialami
keluarga
3 Menyebutkan cara mengatasi stress dalam
merawat klien gangguan jiwa (khususnya
dengan anak remaja)
4 Memperagakan cara mengatasi stres yang telah
diajarkan
5 Aktif dalam diskusi
A. TUJUAN SESI V :
1. Keluarga dapat mengungkapkan hambatan dalam merawat anak remaja di rumah.
2. Keluarga dapat mengungkapkan hambatan dalam berhubungan dengan tenaga
kesehatan dan mengetahui cara mengatasi hambatan dalam berkolaborasi.
3. Keluarga dapat berdiskusi dengan tenaga kesehatan dari Puskesmas tentang sistem
rujukan
B. SETTING
Peserta (keluarga), terapis dan tenaga kesehatan dari Puskesmas duduk berhadapan
dengan posisi melingkar.
C. ALAT
Papan tulis, modul, dan buku kerja keluarga (format evaluasi dan dokumentasi)
D. METODE
Ceramah, diskusi, curah pendapat dan tanya jawab
E. LANGKAH – LANGKAH
1. PERSIAPAN
a. Mengingatkan kembali 2 hari sebelumnya
b. Mempersiapkan diri, tempat dan peserta
2. PELAKSANAAN
Fase Orientasi
Fase Kerja
a. Menanyakan hambatan yang dirasakan selama merawat anak remaja di rumah
1) Masing – masing keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat
2) Memberi kesempatan kepada keluarga lain untuk menanggapi
b. Menanyakan hambatan dalam berhubungan dengan tenaga kesehatan selama ini
1) Masing-masing keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat
2) Memberi kesempatan kepada keluarga lain untuk menanggapi
c. Menjelaskan kepada keluarga bagaimana seharusnya hubungan keluarga dengan
tenaga kesehatan
d. Menjelaskan kepada keluarga bagaimana cara mengatasi hambatan dalam
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan
e. Memberi kesempatan keluarga untuk berdiskusi dengan tenaga kesehatan dari
Puskesmas tentang sistem rujukan,
1) Masing – masing keluarga diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat
2) Memberikan kesempatan pada keluarga untuk bertanya
3) Memfasilitasi dialog antara keluarga dengan pihak Puskesmas
4) Menyimpulkan hasil diskusi
Fase Terminasi
1. Evaluasi
a. Menanyakan perasaan keluarga setelah sesi V selesai
b. Memberikan umpan balik positif atas kerjasama peserta yang baik
2. Tindak lanjut
a. Menganjurkan keluarga untuk tetap menerapkan apa yang telah dilakukan
selama terapi yaitu merawat klien dengan gangguan jiwa (khususnya anak
remaja) di rumah, menyarankan keluarga untuk memanfaatkan sistem rujukan
yang telah ada, menjalankan kelompok swabantu yang akan difasilitasi oleh
pihak puskesmas dan disepakati oleh keluarga
Format Evaluasi
Sesi V Psikoedukasi Keluarga : Pemberdayaan Komunitas Membantu Keluarga
No Kegiatan Kode Peserta
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Hadir dalam terapi
2 Menyampaikan hambatan yang dialami
dalam merawat klien gangguan jiwa
(khususnya dengan anak remaja)
3 Menyampaikan hambatan yang dialami
dalam berhubungan dengan tenaga
kesehatan
4 Menyebutkan cara mengatasi hambatan
dalam merawat klien gangguan jiwa
(khususnya dengan anak remaja) dan dalam
berhubungan dengan tenaga kesehatan
5 Mengetahui sistem rujukan
6 Menyepakati adanya kelompok swabantu
yang akan difasilitasi oleh Puskesmas
7 Aktif dalam diskusi
2. Dokumentasi
Pada dokumentasi dituliskan ungkapan secara singkat apa yang telah disampaikan
oleh keluarga, yaitu hambatan yang dialami dalam merawat klien dan dalam
berhubungan dengan tenaga kesehatan, menyebutkan cara mengatasi hambatan
Format Dokumentasi
Sesi V Psikoedukasi Keluarga : Pemberdayaan Komunitas Membantu Keluarga
Menyebutkan hambatan
dalam merawat klien & Menyebutkan cara
No Nama Keluarga
dalam berhubungan mengatasi hambatan
dengan tenaga kesehatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10