Anda di halaman 1dari 30

PENERAPAN STRATEGI KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA PASIEN

SKIZOFRENIA DENGAN MASALAH KEPERAWATAN WAHAM KEBESARAN DI


RSJ WEDIODININGRAT LAWANG

(STUDI KASUS )
KARYA TULIS ILMIAH

EVA YUANITA
NIM. P17220173021

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN LAWANG
2019
PENERAPAN STRATEGI KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA PASIEN
SKIZOFRENIA DENGAN MASALAH KEPERAWATAN WAHAM KEBESARAN DI
RSJ WEDIODININGRAT LAWANG

Karya Tulis Ilmiah Studi Kasus ini disusun sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan
Program Pendidikan Diploma III Keperawatan Lawang
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang

EVA YUANITA
NIM. P17220173021

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN LAWANG
2019
LEMBAR PERSETUJUAN

Karya Tulis Ilmiah “Penerapan Strategi Komunikasi Terapeutik Pada Pasien Skizofrenia
Dengan Masalah Keperawatan Waham Kebesaran Di RSJ Wediodiningrat Lawang ”
oleh Eva Yuanita NIM.P17220173021 telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan.

Malang , 2019
Pembimbing

NIP.
LEMBAR PENGESAHAN

Karya Tulis Ilmiah Studi Kasus oleh Eva Yuanita (NIM.P17220173021), dengan judul
“Penerapan Strategi Komunikasi Terapeutik Pada Pasien Skizofrenia Dengan Masalah
Keperawatan Waham Kebesaran di RSJ Wediodiningrat Lawang” telah dipertahankan di
depan dewan penguji pada tanggal ................................. .

Dewan Penguji

Ketua Penguji Anggota Penguji

NIP. NIP.

Mengetahui,
Ketua Jurusan Keperawatan
Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang

Imam Subekti, S.Kp, M.Kep, Sp.Kom


NIP : 196512051989121001
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama : Eva Yuanita
NIM : P17220173021
Program Studi : D-III Keperawatan Lawang
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah Studi Kasus yang saya tulis ini
benar – benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilan alihan
tulisan atau pikiran orang lain yang saya aku sebagai hasil tulisan atau pikiran saya sendiri.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah Studi.Kasus ini
hasil jiplakan maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Malang , 2019
Yang Membuat Pernyataan

Eva Yuanita
NIM.P17220173021

Mengetahui ,

Pembimbing

NIP.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya

sehingga dapat terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah Studi Kasus dengan judul “Penerapan

Strategi Komunikasi Terapeutik Pada Pasien Skizofrenia Dengan Masalah Keperawatan

Waham Kebesaran” sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan program pendidikan

Diploma III Keperawatan Lawang Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes

Malang. Terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada yang terhormat :

1.Budi Susatia.S.Kp.M.Kes selaku Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang yang

telah memberikan sarana dan prasarana kemudahan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah

Studi Kasus ini.

2.Direktur RS Jiwa yang sudah bersedia memberikan kesempatan kepada peneliti untuk

melaksanakan kegiatan penelitian di RS Jiwa.

3.Imam Subekti,S.Kp,M.Kep,Sp.Kom selaku Ketua Jurusan Politeknik Kesehatan Kemenkes

Malang yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah Studi

Kasus ini.

4.Budiono S.Kp.M.Kep selaku Ketua Program Studi D-III Keperawatan Lawang Politeknik

Kesehatan Kemenkes Malang yang telah memberikan ijin penelitian dalam Karya Tulis

Ilmiah Studi Kasus ini.

5. Selaku pembimbing lahan di RS Jiwa yang sudah bersedia membimbing penelitidalam

kegiatan penelitian di RS Jiwa

6. Selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan bagi peneliti

dan penyusunan untuk pembuatan Karya Tulis Ilmiah Studi Kasus ini.
7. selaku ketua penguji yang telah memberikan saran dan masukkan bagi Karya Tulis Ilmiah

Studi Kasus ini.

8.Klien gangguan jiwa waham kebesaran yang sudah bersedia menjadi responden dalam

penyusunan Karya Tulis Ilmiah Studi Kasus ini.

9.Kedua orang tua saya serta adik saya tercinta selalu mendoakan dan memberi semangat

dalam penyusunan KaryaTulis Ilmiah Studi Kasus ini.

10.Teman-teman angkatan dan Sahabat yang selalu memberi semangat dan dukungan kepada

saya selama proses penyusunan Karya Tulis Ilmiah Studi Kasus.Semoga di berikan balasan

atas amal oleh Alah SWT. Dan semoga Karya Tulis Ilmiah yang disusun ini bisa bermanfaat

untuk diri sendiri danjuga pihak lain untuk menambah wawasan.

Lawang , 2019

Eva Yuanita
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak
belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis) yang luas, serta
sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial
budaya. Gangguan mental juga akan berpengaruh pada kondisi kesehatan secara fisik,
sosial serta ekonomi dari masyarakat tersebut, semuanya itu merupakan lingkaran yang
tidak bisa dipisahkan karena saling terkait, diantara berbagai macam permasalahan
gangguan jiwa(Hawari, 2010).
Menurut Melinda Herman, mendefinisikan skizofrenia sebagai penyakit
neurologis yang mempengaruhi persepsi klien, cara berfikir, bahasa, emosi, dan perilaku
sosialnya (Yosep, 2007).
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang lebih sering terjadi di negara
industri,terdapat lebih banyak pada kelompok sosial ekonomi rendah. Skizofrenia
merupakan masalah kesehatan umum yang berhubungan dengan banyak orang dan
masalah ekonomi di seluruh dunia.Prevalensi skizofrenia hanya < 1% dari seluruh
populasi dunia. Prevalensi dan keparahan dari penyakit ini lebih tinggi pada daerah
perkotaan dibandingkan daerah pedesaan. Prevalensi juga meningkat pada tingkat
sosioekonomi rendah. Perbandingan pria dan wanita penderita skizofrenia adalah 1:1.
Onset dari penyakit ini paling sering terjadi antara usia 15-35 tahun. Onset pada pria
terjadi lebih awal dibandingkan pada wanita (Kaplan & Sadock’s, 2001).
Skizofrenia berasal dari dua kata “Skizo” yang artinya retak atau pecah dan
“frenia” yang artinya jiwa. Seorang yang menderita gangguan jiwa skizofrenia adalah
orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (Hawari, 2003).
Secara klasik skizofrenia tipe paranoid ditandai dengan gejala yang menyolok
yaitu waham primer, diertai dengan waham-waham sekunder dan halusinasi. Dengan
pemeriksaan yang teliti ternyata terdapat juga adanya gangguan proses berfikir,
gannguan afek emosi dan kemauan (Puspitasari, 2009).
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat/
terus-menerus, tetapi tidak sesuai dengan kenyataaan (Keliat, BA, 2010)
Komunikasi dalam keperawatan disebut juga dengan komunikasi terapeutik,
yang merupakan komunikasi yang dilakukan perawat pada saat melakukan intervensi
keperawatan sehingga memberikan terapi untuk proses penyembuhan pasien dan
membantu pasien mengatasi masalah yang dihadapinya melalui komunikasi. Melalui
komunikasi terapeutik diharapkan perawat dapat menghadapi, mempersepsikan, dan
menghargai keunikan pasien (Nurhasanah, 2009).
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau dirancang
untuk tujuan terapi. Seorang penolong atau perawat dapat membantu klien mengatasi
masalah yang dihadapinya melalui komunikasi, (Suryani 2005). Menurut Purwanto
yang dikutip oleh (Mundakir 2006), komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan
pasien.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan masalah
bagaimanakah penerapan strategi komunikasi terapeutik pada pasien skizofrenia
dengan waham kebesaran ?
1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan strategi komunikasi
terapeutik pada pasien skizofrenia dengan masalah keperawatan waham kebesaran.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
a. Manfaat untuk ilmu pengetahuan adalah dapat mengembangkan
pengetahuan tentang strategi komunikasi terapeutik pada pasien
skizofrenia dengan waham kebesaran .
b. Manfaat untuk penelitian adalah menambah wacana baru dalam
penelitian keperawatan jiwa, serta menambah informasi ilmiah tentang
penerapan strategi komunikasi terapeutik pada pasien skizofrenia
dengan waham kebesaran .

1.4.2 Manfaat Praktis


a. Bagi Klien
Sebagai bahan masukan bagi pasien dalam mengatasi
permasalahan yang dihadapinya dan membantu untuk mampu
memodifikasi cara berfikir, sikap, dan keyakinan sebaik mungkin.
b. Bagi Perawat
Dapat menjadi referensi tambahan bagi perawat untuk
meningkatkan mengetahuan maupun wawasan tentang pelaksanaan
standar keperawatan jiwa dengan memberikan pelayanan komunikasi
terapeutik pada pasien waham dalam meningkatkan kinerja profesional
keperawatan jiwa.
c. Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan
Sebagai bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan dalam
upaya peningkatan kualitas pelayanan keperawatan jiwa dengan
menerapkan strategi komunikasi terapeutik pada pasien skizofrenia
dengan waham kebesaran.
d. Bagi Institusi Pendidikan
Memberikan tambahan informasi guna menunjang pengembangan
pengetahuan mahasiswa keperawatan tetang penerapan komunikasi
terapeutik pada pasien skizofrenia dengan masalah keperawatan waham
somatik.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Skizofrenia


2.1 1 Pengertian Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini
ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan kacau, delusi,
halusinasi, gangguan kognitif dan persepsi; gejala-gejala negatif seperti avolition
(menurunnya minat dan dorongan), berkurangnya keinginan bicara dan miskinnya
isi pembicaraan, afek yang datar; serta terganggunya relasi personal (Arif, 2006).
Skizofrenia merupakan suatu deskripsi sindrom dengan variasi
penyebab dan perjalanan penyakit yang luas, serta sejumlah akibat yang
tergantung pada perimbangan pengaruh genetik, dan sosial budaya (Rusdi
Maslim, 2000 : 46).
Skizofrenia adalah salah satu gangguan yang paling membingungkan,
melemahkan dan memiliki efek mendalam pada kehidupan pasien, keluarga dan
masyakat. (D. Christenson, Jacob; D. Russell Crane; Katherine M. Bell; Andrew
R. Beer & Harvey H. Hillin, 2014). Skizofrenia juga merupakan gangguan jiwa
yang lebih banyak dialami oleh beberapa orang dibandingkan penderita gangguan
jiwa lainnya yang umumnya menyerang pada usia produktif dan merupakan
penyebab utama disabilitas kelompok usia 15-44 tahun (Davison, 2010).
Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya
terbagi atau terpecah dan phrenia yang berarti pikiran. Skizofrenia merupakan
suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran,
persepsi, emosi, gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu.(Videbeck, 2008
dalam Nuraenah, 2012).
Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang
mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif,
mempengaruhi emosional dan tingkah laku (Depkes RI, 2015). Gangguan jiwa
skizofrenia sifatnya adalah ganguan yang lebih kronis dan melemahkan
dibandingkan dengan gangguan mental lain (Puspitasari, 2009).
Stuart (2007) menjelaskan bahwa skizofrenia merupakan penyakit otak
yang persisten dan juga serius yang bisa mengakibatkan perilaku psikotik,
kesulitan dalam memproses informasi yang masuk, kesulitan dalam hubungan
interpersonal, kesulitan dalam memecahkan suatu masalah.
PPDGJ III mengatakan gangguan jiwa adalah gejala pada pola perilaku
seseorang yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress)
di dalam satu atau lebih fungsi penting manusia, yaitu psikologi, perilaku,
biologik, dan hubungan dengan masyarakat (Maramis, 2010).

2.1 2 Etiologi
Skizofrenia dianggap sebagai gangguan yang penyebabnya multipel dan
saling berinteraksi. Diantara faktor multipel itu dapat disebut :
1) Keturunan
Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar satu
telur angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9-1,8%, bagi saudara kandung 7-15%,
anak dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia 7-16%. Apabila kedua
orang tua menderita skizofrenia 40-60%, kembar dua telur 2-15%. Kembar
satu telur 61-68%. Menurut hukum Mendel skizofrenia diturunkan melalui
genetik yang resesif. (Lumbantobing, 2007).
2) Gangguan Anatomik
Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak berperan, yaitu : Lobus
temporal, system limbic dan reticular activating system. Ventrikel penderita
skizofrenia lebih besar daripada kontrol. Pemeriksaan MRI menunjukkan
hilangnya atau 9 kemungkinan budaya atau adat yang dianggap terlalu berat
bagi seseorang dapat menyebabkan seseorang menjadi gangguan jiwa.
3) Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah
adanya hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna,
putus asa dan tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan koping
dapat mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Anna, 2008). Factor
presipitasi terjadinya gangguan halusinasi adalah :
a. Biologis
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk yang ada di
dalam otak, yang dapat mengakibatkan
b. Stress Lingkungan
c. Sumber Koping
2.1 3 Jenis-jenis Skizofrenia
1) Skizofrenia simpleks
Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa pubertas.
Gejala utama ialah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan
proses berfikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali
terdapat. Jenis ini timbul secara perlahan. Pada permulaan mungkin penderita
kurang memperhatikan keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin
lama ia semakin mundur dalam kerjaan atau pelajaran dan pada akhirnya
menjadi pengangguran, dan bila tidak ada orang yang menolongnya ia akan
mungkin akan menjadi “pengemis”, “pelacur” atau “penjahat” (Maramis,
2008).
2) Skizofrenia hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, menurut Maramis
(2008) permulaannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau
antara 15–25 tahun. Gejala yang menyolok adalah gangguan proses berfikir,
gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti
perilaku kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini. Waham dan halusinasi
banyak sekali.
3) Skizofrenia katatonik
Menurut Maramis (2008) skizofrenia katatonik atau disebut juga
katatonia, timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut
serta sering didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah
katatonik atau stupor katatonik.
a. Stupor katatonik
Pada stupor katatonik, penderita tidak menunjukan perhatian sama sekali
terhadap lingkungannya dan emosinya sangat dangkal. Secara tiba-tiba atau
perlahan-lahan penderita keluar dari keadaan stupor ini dan mulai berbicara
dan bergerak.
b. Gaduh gelisah katatonik
Pada gaduh gelisah katatonik, terdapat hiperaktivitas motorik, tapi tidak
disertai dengan emosi yang semestinya dan tidak dipengaruhi oleh
rangsangan dari luar.
4) Skizofrenia Paranoid
Jenis ini berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam perjalanan penyakit.
Hebefrenia dan katatonia sering lama-kelamaan menunjukkan gejala-gejala
skizofrenia simplek atau gejala campuran hebefrenia dan katatonia. Tidak
demikian halnya dengan skizofrenia paranoid yang jalannya agak konstan
(Maramis, 2008).
5) Episode skizofrenia akut
Gejala skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan pasien seperti keadaan
mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan
seakan-akan dunia luar dan dirinya sendiri berubah. Semuanya seakan-akan
mempunyai arti yang khusus baginya. Prognosisnya baik dalam waktu
beberapa minggu atau biasanya kurang dari enam bulan penderita sudah baik.
Kadangkadang bila kesadaran yang berkabut tadi hilang, maka timbul gejala-
gejala salah satu jenis skizofrenia yang lainnya (Maramis, 2008).
6) Skizofrenia residual
Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan gejala-gejala
primernya Bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan
ini timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia (Maramis, 2008).
7) Skizofrenia skizoafektif
Pada skizofrenia skizoafektif, di samping gejala-gejala skizofrenia
terdapat menonjol secara bersamaan, juga gejala-gejala depresi atau gejala-
gejala mania. Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek, tetapi
mungkin juga timbul lagi serangan (Maramis, 2008).
2.1.1 Pedoman Diagnostik
Berikut ini merupakan pedoman diagnostik untuk Skizofrenia
berdasarkan PPDGJ III :
1) Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :
a) Thought echo : isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,
namun kualitasnya berbeda; atau Thought insertion or withdrawal : isi
pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau
isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal);
dan Thought broadcasting : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya.
b) Delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dariluar; atau Delusion of influence : waham tentang
dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau Delusion
of passivity : waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
sesuatu kekuatan dari luar; dan Delusional perception : pengalaman
inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya,
biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
c) Halusinasi auditorik : suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien; atau mendiskusikan perihal pasien 12
diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara). Jenis
suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d) Waham : waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di
atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
komunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain)
2.1 4 Pedoman Diagnostik
Berikut ini merupakan pedoman diagnostik untuk Skizofrenia
berdasarkan PPDGJ III :
2) Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) :
e) Thought echo : isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,
namun kualitasnya berbeda; atau Thought insertion or withdrawal : isi
pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau
isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal);
dan Thought broadcasting : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang
lain atau umum mengetahuinya.
f) Delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dariluar; atau Delusion of influence : waham tentang
dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau Delusion
of passivity : waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
sesuatu kekuatan dari luar; dan Delusional perception : pengalaman
inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya,
biasanya bersifat mistik atau mukjizat.
g) Halusinasi auditorik : suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien; atau mendiskusikan perihal pasien 12
diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara). Jenis
suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
h) Waham : waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di
atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau
komunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain)
2.1 5 Tanda dan Gejala
Menurut Bleuler dalam Maramis (2008) gejala skizofrenia dapat dibagi
menjadi dua kelompok, yaitu :
1) Gejala primer
Gejala primer terdiri dari gangguan proses berpikir, gangguan emosi,
gangguan kemauan serta autisme.
2) Gejala sekunder
Gangguan sekunder terdiri dari waham, halusinasi, dan
gejala katatonik maupun gangguan psikomotor yang lain.
2.1 6 Penatalaksanaan
Ada berbagai macam terapi yang bisa kita berikan pada skizofrenia. Hal
ini diberikan dengan kombinasi satu sama lain dan dengan jangka waktu yang
relatif cukup lama. Terapi skizofrenia terdiri dari pemberian obat-obatan,
psikoterapi, dan rehabilitasi. Terapi psikososial pada skizofrenia meliputi: terapi
individu, terapi kelompok, terapi keluarga, rehabilitasi psikiatri, latihan
ketrampilan sosial dan manajemen kasus (Hawari, 2009).
2.2 Konsep Dasar Waham
2.2 1 Pengertian Waham
Menurut (Depkes RI, 2000) Waham adalah suatu keyakinan klien yang
tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi dipertahankan dan tidak dapat diubah
secara logis oleh orang lain. Keyakinan ini berasal dari pemikiran klien yang
sudah kehilangan kontrol (Direja, 2011).
Waham merupakan salah satu jenis gangguan jiwa. Waham sering ditemui
pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering
ditemukan pada penderita skizofrenia. Semakin akut psikosis semakin sering
ditemui waham disorganisasi dan waham tidak sistematis. Kebanyakan pasien
skizofrenia daya tiliknya berkurang dimana pasien tidak menyadari penyakit
serta kebutuhannya terhadap pengobatan, meskipungangguan pada dirinya
dapat dilihat oleh orang lain (Tomb, 2003 dalam purba, 2009).
Waham terjadi karena munculnya perasaan terancam oleh lingkungan,
cemas, merasa sesuatu yang tidak menyenangkan terjadi sehingga individu
mengingkari ancaman dari persepsi diri atau objek realitas dengan menyalah
artikan kesan terhadap kejadian, kemudian individu memproyeksikan pikiran
dan perasaan internal pada lingkungan sehingga perasaan, pikiran, dan
keinginan negatif tidak dapat diterima menjadi bagian eksternal dan akhirnya
individu mencoba memberi pembenaran personal tentang realita pada diri
sendiri atau orang lain (Purba, 2009).
Waham kebesaran adalah individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran
atau kekuasaan khusus yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Misalnya, “Saya ini pejabat di separtemen kesehatan lho!” atau,
“Saya punya tambang emas.”
2.2 2 Proses Terjadinya Waham
Proses terjadinya waham dibagi menjadi enam yaitu :
1. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien
baik secara fisik maupun psikis. Secar fisik klien dengan waham dapat
terjadi pada orang-orang dengan status sosial dan ekonomi sangat
terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan
kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi
terpenuhi tetapi kesenjangan antara Reality dengan selft ideal sangat
tinggi. Misalnya ia seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang
sebagai seorang dianggap sangat cerdas, sangat berpengalaman dn
diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham terjadi karena sangat
pentingnya pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi
juga oleh rendahnya penghargaan saat tumbuh kembang ( life span
history ).
2. Fase lack of self esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya
kesenjangan antara self ideal dengan self reality (kenyataan dengan
harapan) serta dorongan kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan
standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya. Misalnya, saat
lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan teknologi
komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta memiliki
kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self ideal yang
melebihi lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat jauh.
Dari aspek pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh, support
system semuanya sangat rendah.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau
apa-apa yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan
tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi
klien adalah sesuatu yang sangat berat, karena kebutuhannya untuk
diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima lingkungan
menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum
terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien
mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu
tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena
besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan. Lingkungan hanya
menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan
dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam
lingkungannya menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan
klien menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu
kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari sinilah mulai
terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma ( Super
Ego ) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat
berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya
serta menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai
dan mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat
klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering
menyendiri dan menghindar interaksi sosial ( Isolasi sosial ).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi,
setiap waktu keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema
waham yang muncul sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau
kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi ( rantai yang hilang ).
Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat
menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk
mengguncang keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta
memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa apa-apa yang dilakukan
menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi sosial.
2.2 3 Klasifikasi Waham
a) Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau
kekuasaan khusus yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Misalnya, “Saya ini pejabat di separtemen kesehatan lho!” atau,
“Saya punya tambang emas.”
b) Waham curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok
yang berusaha merugikan/mencederai dirinya dan siucapkan berulang kali,
tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Saya tidak tahu seluruh saudara
saya ingin menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan
saya.”
c) Waham agama: individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu
agama secara berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Contoh, “Kalau saya mau masuk surga, saya harus
menggunakan pakaian putih setiap hari.”
d) Waham somatic: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya
terganggu atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak
sesuai dengan kenyataan. Misalnya, “Saya sakit kanker.” (Kenyataannya
pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi
pasien terus mengatakan bahwa ia sakit kanker).
e) Waham nihilistik: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di
dunia/meninggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Misalnya, ”Ini kan alam kubur ya, sewmua yang ada disini
adalah roh-roh”.
2.2 4 Etiologi
Gangguan orientasi realitas menyebar dalam lima kategori utama fungsi
otak Menurut Kusumawati, (2010) yaitu :
1. Gangguan fungsi kognitif dan persepsi menyebabkan
kemampuan menilai dan menilik terganggu.
2. Gangguan fungsi emosi, motorik, dan sosial
mengakibatkan kemampuan berespons terganggu, tampak
dari perilaku nonverbal (ekspresi dan gerakan tubuh) dan
perilaku verbal (penampilan hubungan sosial).
3. Gangguan realitas umumnya ditemukan pada skizofrenia.
4. Gejala primer skizofrenia (bluer) : 4a + 2a yaitu gangguan
asosiasi, efek, ambivalen, autistik, serta gangguan atensi
dan aktivitas.
5. Gejala sekunder: halusinasi, waham, dan gangguan daya
ingat.

2.2 5 Tanda dan Gejala


Menurut Kusumawati, (2010) yaitu :
1. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat). Cara berfikir magis
dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk, dan pengorganisasian bicara
(tangensial, neologisme, sirkumtansial).
2. Fungsi persepsi
Depersonalisasi dan halusinasi.
3. Fungsi emosi
Afek tumpul kurang respons emosional, afek datar, afek tidak sesuai,
reaksi berlebihan, ambivalen.
4. Fungsi motorik.
Imfulsif gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotipik gerakan
yang diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang
jelas, katatonia.
5. Fungsi sosial kesepian.
Isolasi sosial, menarik diri, dan harga diri rendah.
6. Dalam tatanan keperawatan jiwa respons neurobiologis yang
sering
muncul adalah gangguan isi pikir: waham dan PSP: halusinasi.
Tanda dan Gejala Menurut Direja, (2011) yaitu :
Tanda dan gejala pada klien dengan Waham Adalah : Terbiasa menolak
makan, tidak ada perhatian pada perawatan diri, Ekspresi wajah sedih dan
ketakutan, gerakan tidak terkontrol, mudah tersinggung, isi pembicaraan tidak
sesuai dengan kenyataan dan bukan kenyataan, menghindar dari orang lain,
mendominasi pembicaraan, berbicara kasar, menjalankan kegiatan keagamaan
secara berlebihan.
2.2 6 Manifestasi Klinik
Perilaku yang dapat ditemukan pada klien dengan Waham antara lain
melakukan percobaan bunuh diri, melakukan tindakan, agresif, destruktif,
gelisah, tidak biasa diam, tidak ada perhatian terhadap kebersihan diri, ada
gangguan eliminasi, merasa cemas, takut. Kadang-kadang panik perasaan
bahwa lingkungan sudah berubah pada klien depersonalisasi (Stuart,2007).
2.3 Konsep Dasar Terapi Terapeutik
2.3 1 Pengertian Komunikasi Terapeutik
Komunikasi terapeutik merupakan respon spesifik yang mendorong
ekspresi perasaan dan ide, serta menyampaikan penerimaan dan penghargaan.
Dibutuhkan latihan berulang-ulang sehingga semakin terampil dan nyaman dalam
mengerjakannya karena kepuasan besar akan timbul dari keberhasilan membentuk
hubungan terapeutik dan pencapaian hasil klien yang diinginkan (Potter & Perry,
2009).
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dilakukan atau
dirancang untuk tujuan terapi. Seorang penolong atau perawat dapat
membantu klien mengatasi masalah yang dihadapinya melalui komunikasi,
(Suryani 2005). Menurut Purwanto yang dikutip oleh (Mundakir 2006),
komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar,
bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien.
Pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi
professional yang mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan pasien, (Siti
Fatmawati 2010). Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk
kesembuhan pasien, Indrawati, dalam Siti Fatmawati, (2010).

2.3 2 Tujuan Komunikasi Terapeutik


Menurut Suryani (2006) komunikasi terapeutik bertujuan untuk
mengembangkan pribadi klien kearah yang lebih positif atau adaptif dan
diarahkan pada pertumbuhan klien yang meliputi :
1. Realisasi diri, penerimaan diri, peningkatan kesadaran, dan penghargaan diri
2. Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superfisial dan
saling bergantung dengan orang lain dan mandiri
3. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta
mencapai tujuan yang realistis
4. Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri.
2.3 3 Prinsip Dasar Komunikasi Terapeutik
Menurut Nurhasanah (2010) prinsip komunikasi terdiri dari beberapa,
yaitu:
1. Hubungan perawat dengan klien adalah hubungan terapeutik yang saling
menguntungkan
2. Keterbukaan, empati, sifat mendukung, sikap positif, dan kesetaraan
3. Kualitas hubungan perawat dengan klien ditentukan oleh bagaimana perawat
mendefinisikan dirinya sebagai manusia (human)
4. Perawat menggunakan dirinya dengan teknik pendekatan yang khusus untuk
memberi pengertian dan mengubah perilaku klien
5. Perawat harus menghargai keunikan klien karena perawat memahami
perasaan dan perilaku klien dengan melihat latar belakang
6. Komunikasi yang dilakukan harus dapat menjaga harga diri pemberi maupun
penerima pesan
7. Trust harus dicapai terlebih dahulu sebelum identifikasi masalah dan
alternative problem solving
8. Trust adalah kunci dari komunikasi terapeutik.
2.3 4 Karakteristik Komunikasi Terapeutik
Menurut Arwani (2003) karakteristik komunikasi terapeutik adalah :
1. Keikhalasan (genuineness) seorang perawat yang
menyadari tentang nilai, sikap dan perasaan yang
dimiliki klien. Perawat menunjukkan rasa ikhlas
dan tidak akan menolak segala bentuk perasaan
negatif yang dipunyai klien bahkan ia akan
berusaha berinteraksi dengan klien
2. Empati (emphaty) perawat terhadap perasaan yang
dialami klien
3. Kehangatan (warmth) perawat dimana tercipta
hubungan yang saling membantu (helping
relationship) dan memberi kesempatan klien
untuk menceritakan keadaan dan nilai yang
dianutnya secara bebas.
2.3 5 Teknik Komunikasi Terapeutik
Perawat dapat menyampaikan komunikasi terapeutik terhadap klien
dengan mempergunakan teknik komunikasi terapeutik seperti yang di sebutkan
Stuart dan Sundeen ( dalam Dalami, Dahlia, Rochimah 2009) adalah :
a. Mendengarkan (Listening)
Dengan mendengar perawat mengetahui perasaan klien. Beri kesempatan
lebih banyak pada klien untuk bicara. Perawat harus menjadi pendengar
yang aktif. Selama mendengarkan, perawat harus mengikuti apa yang
dibicarakan klien dengan penuh perhatian. Perawat memberikan
tanggapan dengan tepat dan tidak memotong pembicaraan klien.
Tunjukkan perhatian bahwa perawat mempunyai waktu untuk
mendengarkan.
Ketrampilan mendengarkan penuh perhatian adalah dengan:
a. Pandang klien ketika sedang bicara
b. Pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk
mendengarkan
c. Sikap tubuh yang menunjukan perhatian dengan tidak menyilangkan
kaki atau tangan
d. Hindarkan gerakan yang tidak perlu
e. Angkat kepala jika klien membicarakan hal penting atau memerlukan
umpan balik.
f. Condongkan tubuh kearah lawan bicara (pasien).
b. Pertanyaan terbuka (Broad Opening)
Teknik ini memberi kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya
sesuai kehendak klien tanpa membatasi.
Dengan pertanyaan terbuka, perawat mampu mendorong klien
mengekspresikan dirinya Antai-Otong dalam Suryani, (2005).Pertanyaan
tertutup (closed question) digunakan ketika perawat membutuhkan
jawaban yang singkat.
c. Mengulang (Restarting)
Mengulang pokok pikiran yang diungkapkan klien. Gunanya untuk
menguatkan ungkapan klien dan memberi indikasi perawat mengikuti
pembicaraan klien.
Pada saat klarifikasi perawat tidak boleh menginterpretasikan apa yang
dikatakan klien, juga tidak boleh menambahkan informasi Gerald, D dalam
Suryani, (2005). Fokus utama klarifikasi adalah pada perasaan, karena
pengertian terhadap perasaan klien sangat penting dalam memahami klien.
d. Klarifikasi
Bila perawat ragu, tidak mendengar, tidak jelas atau klien berhenti karena
malu mengemukakan informasi atau informasi yang diperoleh tidak lengkap.
e. Refleksi
Reaksi perawat dan klien selama berlangsungnya komunikasi. Teknik
refleksi ini berguna untuk mengetahui dan menerima ide dan perasaan,
mengoreksi, dan memberi keterangan lebih jelas.
Refleksi menganjurkan klien untuk mengungkapkan dan menerima ide
dan perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri. Apabila klien
bertanya apa yang harus ia pikirkan dan kerjakan atau rasakan maka
perawat dapat menjawab; bagaimana menurutmu? Dengan demikian
perawat mengindikasikan bahwa pendapat klien adalah berharga dan klien
mempunyai hak untuk mampu melakukan hal tersebut, maka iapun akan
berpikir bahwa dirinya adalah manusia yang mempunyai kapasitas dan
kemampuan sebagai individu yang terintegrasi dan bukan sebagai bagian
dari orang lain. (Suryani, 2005)
f. Membagi Persepsi
Meminta pendapat klien tentang hal yang perawat rasakan dan pikirkan.
Dengan cara ini perawat dapat meminta umpan balik dan memberi
informasi.
g. Identifikasi Tema
Latar belakang masalah yang dialami klien yang muncul selama
percakapan. Gunanya untuk meningkatkan pengertian dan mengeksplorasi
masalah yang penting.
h. Diam (Silent)
Tujuannya memberi kesempatan berpikir dan memotivasi klien untuk bicara
ketika diberi pertanyaan. Pada klien yang menarik diri, teknik diam berarti
perawat menerima klien.
i. Informing
Memberi informasi dan fakta untuk pendidikan kesehatan.
j. Saran
Memberikan alternatif ide untuk pemecahan masalah. Tepat dipakai pada
fase kerja dan tidak tepat pada fase awal hubungan.
k. Memberikan Pujian
Memberikan pujian (reinforcement) merupakan keuntungan psikologis
yang didapatkan klien ketika berinteraksi dengan perawat.
Reinforcement berguna untuk meningkatkan harga diri dan menguatkan
perilaku klien Gerald, D dalam Suryani, (2005). Reinforcement bias
diungkapkan dengan kata-kata ataupun melalui inyarat nonverbal.
l. Humor
Sullivan dan Deane dalam Suryani,( 2005), melaporkan bahwa humor
merangsang produksi catecholamine dan hormone yang menimbulkan
perasaan sehat, meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit, mengurangi
ansietas, memfasilitasi relaksasi pernafasan dan menggunakan humor
untuk menutupi rasa takut dan tidak enak atau menutupi ketidak
mampuannya untuk berkomunikasi dengan klien

2.3 6 Fase-fase Komunikasi Terapeutik


Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Dalami dkk., 2009) fase komunikasi
terapeutik dibagi 4 yaitu:
1. Pra interaksi dimulai sebelum kontak pertama dengan klien, perawat
mengeksplorasi perasaan, fantasi dan ketakutannya, sehingga kesadaran dan
kesiapan perawat untuk melakukan hubungan dengan klien dapat
dipertanggungjawabkan. Tugas tambahan pada fase ini adalah mendapatkan
informasi tentang klien dan menentukan kontak pertama.
2. Perkenalan atau orientasi dimulai saat bertemu dengan klien. Hal utama yang
perlu dikaji adalah alasan klien meminta pertolongan yang akan
mempengaruhi terbinanya hubungan perawat-klien. Tugas perawat adalah
mengeksplorasi pikiran, perasaan, perbuatan klien dan mengidentifikasi
masalah serta merumuskan tujuan bersama klien.
3. Fase kerja dimulai ketika perawat mengeksplorasi stressor dan mendorong
perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi, pikiran,
perasaan dan perbuatan klien.Perawat membantu klien mengatasi kecemasan,
meningkatkan kemandirian dan tanggung jawab diri sendiri.
4. Terminasi merupakan akhir dari pertemuan perawat dan klien dimana
perawat mengevaluasi pencapaian tujuan dan perasaan klien setelah
berinteraksi.
2.3 7 Sikap Perawat dalam Komunikasi Terapeutik
Elsa Roselina, 2009 mengidentifikasikan lima sikap atau cara untuk dapat
menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi komunikasi
terapeutik:
1. Berhadapan
Posisi ini memiliki arti bahwa saya siap untuk anda.
2. Mempertahankan kontak mata
Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai klien dan
menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi
3. Membungkuk kearah klien
Pada posisi ini menunjukkan keinginan untuk menyatakan atau
mendengarkan sesuatu.
4. Memperlihatkan sikap terbuka
Dalam posisi ini diharapkan tidak melipat kaki atau tangan untuk
menyatakan atau mendengarkan sesuatu
5. Tetap rileks
Tetap dapat mengendalikan keseimbangan, antara ketegangan dan relaksasi
dalam memberikan respons kepada pasien, meskipun dalam situasi yang
kurang menyenangkan.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dikategorikan dalam
penelitian deskriptif kualitatif yaitu mengemukakan gambaran atau pemahaman
(understanding) mengenai bagaimana dan mengapa suatu gejala atau realitas
komunikasi terjadi (Pawito, 2007:35). Menurut Kriyantono penelitian kualitatif
menjelaskan fenomena dengan sedalam-dalamnya melalui pengumpulan data yang
lebih kepada kualitas bukan kuantitas data. Suatu metode yang diharapkan dapat
menemukan kemungkinan dan untuk memecahkan masalah yang aktual dengan jalan
mengumpulkan data, menyusun dan mengklarifikasinya (Kriyantono, 2006:58)

3.2 Subjek Penelitian


Subjek penelitian merupakan sumber utama data penelitian, yaitu memiliki data
mengenai variabel – variabel yang diteliti (Azwar,2009:34-35).
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian
3.3.1 Tempat PenelitianPenelitian dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Wediodiningrat
Lawang
3.3.2 Waktu PenelitianPenelitian dilakukan selama 5 hari
3.4 Fokus Studi Kasus
Fokus studi adalah karakteristik yang diamati yang mempunyai variasinilai
dan merupakan operasionalisasi dari suatu konsep agar dapat ditelitisecara empiris
atau ditentukan tingkatannya (Setiadi, 2013). Fokus studi kasus pada penelitian ini
adalah untuk menerapkan strategi komunikasi terapeutik pada pasien skizofrenia
dengan waham kebesaran.
3.5 Metode Pengumpulan Data
Penelitian kualitatif pengumpulan data melalui beberapa cara yaitu:
a. Observasi
Observasi atau pengamatan adalah kegiatan keseharian manusia dengan
menggunakan pancaindera sebagai alat bantu. Metode pengumpulan data
observasi ini adalah menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan
penginderaan. (Bungin, 2007:115)
Observasi yang dilakukan oleh peneliti adalah dengan terjun langsung ke
lokasi observasi untuk mengetahui secara langsung komunikasi terapeutik antara
perawat dan pasien yang sudah terlaksana di RS Jiwa guna peneliti dapat
melakukan pengembangan terhadapat strategi komunikasi terapeutik.
b. Wawancara
Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara
dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan
interview guide, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan
sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam
adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. (Bungin, 2007:108).
Disamping metode observasi, penelitian ini juga menggunakan metode
wawancara (interview) untuk memperoleh gambaran yang memadai dan akurat
mengenai komunikasi terapeutikyang sudah terlaksana antara perawat dan pasien
skizofrenia di RS Jiwa .Jenis wawancara dalam penelitian ini adalah wawancara
dengan menggunakan interview guide atau sering juga disebut wawancara
mendalam (indepth interview).
3.5.1 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian dalam penelitian ini menggunakan :
1. Lembar wawancara pre test dan post testyng di buat oleh peneliti untuk
mendapatkan keriteria komunikasi
2. Lembar observasi yang di buat peneliti untuk mengetahui evaluasi
hasil dilakukannya komunikasi terapeutik
3. Lembar Metode Tiga Kolom yang dibuat peneliti untuk mengetahui
pemikiran positif klien , distorsi kognitif dan pemikiran rasional klien
4. Lembar aktivitas harian pasien yang dibuat peneliti sebagai sarana
bantu klien waham kebesaran untuk dapat menuangkan masalahnya dan
mengalihkannya dengan aktivitas yang telah tersturuktur dalam lembar aktivitas
harian
5. SOP (Standar Operational Procedure)
6. Camera Handphone untuk mendokumentasikan kegiatan pengambilan
data dan sebagai media untuk merekam hasil wawancara.

3.5.2 Pengumpulan Data


Langkah yang digunakan dalam pengumpulan data antara lain:
Tahap Awal
1. Peneliti mengurus surat pengantar di Jurusan Keperawatan Poltekkes
Kemenkes Malang Prodi Lawang
2. Peneliti menyerahkan surat ijin studi pendahuluan ke RS Jiwa
3. Setelah mendapatkan surat izin, peneliti melakukan studi pendahuluan
untuk mengetahui jumlah klien waham kebesaran di RS Jiwa
Tahap Pelaksanaan
1. Menentukan subjek penelitian sesuai kriteria yang ditetapkan melalui
dokumen subjek dan wawancara pre test dengan pasien.
2. Setelah mendapatkan subjek sesuai kriteria peneliti memberikan
penjelasan kepada subjek penelitian tentang tujuan, Kerahasiaan data,
manfaat dari penelitian yang dilakukan terhadap subjek.
3. Peneliti menjelaskan penerapan strategi komunikasi terapeutik dengan
masalah skizofrenia waham kebesaran.
4. Setelah mendapatkan penjelasan, peneliti meminta persetujuan kepada
subjek penelitian untuk menandatangani Informed Consent sebagai bukti
bersedia dilibatkan dalam penelitian dan subjek menandatangani lembar
pertanggung jawaban peneliti untuk mengantisipasi hal yang terjadi diluar
batas peneliti.
5. Melakukan kontrak waktu dengan subjek tentang kegiatan komunikaasi .
Kegiatan pengambilan data dilakukan selama 5 hari. Peneliti bekerja sama
dengan pihak RS Jiwa.
6. Peneliti mendampingi dalam tahap penerapan setiap sesi dan
mengobservasi serta mengevaluasi.
7. Peneliti mendokumentasikan semua hasil observasi danevaluasi di tulis
dalam lembar observasi dan lembar evaluasiuntuk kemudian dilakukan
pengolahan dan analisa dari data yang telah didapatkan kemudian
dideskripsikan.
3.6 Etika Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan etika penelitian sebagai berikut :
1. Prinsip manfaat
a. Bebas dari penderitaan Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibakan
penderitaankepada subjek khususnya jika menggunakan tindakan khusus.
b. Bebas dari eksploitasi. Partisipasi subjek dalam penelitian harus dihindari dari
keadaan yang tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan bahwa
partisipasinya dalam peneitian atau informasi yang telah diberikan, tidak akan
dipergunakan dalam hal-hal yang dapat merugikan subjek dalam bentuk
asupan.
c. Resiko (Benefist Ratio) Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan resiko dan
keuntunganyangakan berakibat kepada subjek pada setiap tindakan.
2. Prinsip menghargai hak asasi manusia (Respect Human Dignity)
a. Hak untuk ikut atau tidak menjadi subjek (Right to Self Determination) Subjek
harus diperlakukan secara manusiawi. Subjek mempunyai hak memutuskan
apakah mereka bersedia menjadi subjek ataupun tidak,tanpa adanya sangsi
apapun atau akan berakibat terhadap kesembuhannya, jika mereka seorang klien.
b. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (Right to Full
Disclouser). Seorang peneliti harus memberikan penjelasan secararinci serta
bertanggung jawab jika ada sesuatu yang terjadi kepada subjek.
c. Informed consent Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang
tujuan penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak untuk bebas
berpartisipasi atau menolak menjadi subjek. Pada informed consent jika perlu
dicantumkan bahwa data yang diperoleh hanya akan digunakan untuk
pengembangan ilmu.
3. Prinsip keasilan (Right to Justice)
Untuk menjamin kerahasiaan atas data atau informasi yang telah
diberikan subjek, untuk itu perlu adanya tanpa nama (Anonymiti) dan rahasia
(Confidentiality).

Anda mungkin juga menyukai