Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN

PEMERIKSAAN KEBUNTINGAN DAN STERILTY CONTROL


PT LEMBU JANTAN PERKASA

Pembimbing:

Oleh:

Nama NRP
Adelinna Rantai B94184101
Aisyah Alfiatus Shofwan B94184104
Atika Fadhilah B94184109
Bagas Aris Priyono B94184112
Gunasalfus Guzman B94184118
Lee Perng B94184125
Meylina Putri Santri Ardi B94184129
Nobelia Maestri Adani B94184132
Vinka Aftinata Kusumaputri B94184148

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemeriksaan kebuntingan merupakan suatu hal yang sangat penting


dilakukan setelah ternak dikawinkan. Pemeriksaan kebuntingan dini pada ternak
sangat penting bagi sebuah manajemen reproduksi. Menurut Karen et al. ( 2004)
evaluasi yang lebih cepat akan dapat meningkatkan efisiensi reproduksi. Deteksi
kebuntingan dini diperlukan untuk mengindentifikasi ternak yang tidak bunting
dan ternak yang bunting setelah perkawinan atau Inseminasi Buatan (IB). Hal ini
dapat menekan kehilangan waktu produksi karena infertilitas. Pemeriksaan
kebuntingan juga dapat menekan biaya pada breeding program dan membantu
manajemen ternak secara ekonomis (Syaiful 2018).
Deteksi kebuntingan dini pada sapi induk ini dapat meningkatkan efisiensi
reproduksi sehingga sapi induk yang diketahui belum bunting dapat segera
dikawinkan kembali. Hal ini bisa memperpendek masa kosong atau kering dan sapi
induk yang telah secara dini diketahui bunting dapat segera dipelihara secara lebih
baik untuk menjaga dan menyelamatkan kebuntingan sampai lahir dengan selamat
(Syaiful 2018).
Pemerikasaan kebuntingan pada sapi potong sangat penting bagi sebuah
manajemen reproduksi ditinjau dari segi ekonomi. Pemeriksaan kebuntingan dapat
dilakukan dengan palpasi rektal, USG, dan pengukuran hormonal. Metode palpasi
rektal merupakan metode yang paling sederhana dan murah namun membutuhkan
latihan dan keterampilan khusus. Metode hormonal dilakukan dengan mengukur
kadar progesteron dan estrogen dalam darah. Pengukuran kadar hormon dilakukan
dengan menggunakan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan Radio
Immunoassay (RIA) membutuhkan biaya mahal ( Syaiful 2018).
Pemilihan metode tergantung pada spesies, umur kebuntingan, biaya,
ketepatan dan kecepatan diagnosa. Pemeriksaan kebuntingan adalah salah satu cara
untuk menentukan keadaan hewan bunting atau tidak. Menurut Jainudeen dan
Hafez (2000) secara umum diagnosa kebuntingan dini diperlukan dalam hal: 1)
mengindentifikasi ternak yang tidak bunting segera setelah perkawinan atau IB
sehingga waktu produksi yang hilang karena infertilitas dapat ditekan dengan
penanganan yang tepat, 2) sebagai pertimbangan apabila ternak harus di jual atau
di culling, 3) untuk menekan biaya pada program breeding menggunakan teknik
hormonal yang mahal dan 4) membantu manajemen ternak yang ekonomis.
Palpasi rektal paling cepat dilakukan 2-3 bulan setelah IB atau perkawinan
alami. Jika palpasi rektal dilakukan kurang dari dua bulan setelah IB atau
perkawinan alami maka kebuntingan akan sulit dideteksi. Pemeriksaan kebuntingan
secara dini dilakukan dengan teknik palpasi rektal dan USG. Palpasi rektal
dilakukan dengan cara eksplorasi rektal untuk meraba uterus melalui dinding
rektum (anus). Hal ini dilakukan untuk meraba apakah terjadi pembesaran yang
terjadi selama kebuntingan atau adanya membran fetus maupun fetus. Pemeriksaan
USG dapat digunakan untuk mendeteksi kebuntingan secara dini yakni
menggunakan probe yang dapat mendeteksi adanya perubahan di dalam rongga
abdomen yakni bentuk dan ukuran dari comua uteri. Alat ini dapat juga digunakan
untuk mendeteksi adanya gangguan reproduksi, kematian embrio dini, jenis
kelamin pedet maupun abnormalitas pedet, akan tetapi harganya cukup mahal dan
memerlukan operator yang sudah terlatih (Syaiful 2018).
Sterility control adalah pemeriksaan kelainan organ reproduksi pada sapi
betina. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan sapi betina tersebut infertil
atau produktif serta mengetahui detail organ reproduksi. Pemeriksaan diawali
dengan anamnesa yang meliputi riwayat status reproduksi, pengobatan yang
dilakukan, dan perlu diketahui apabila ada sapi yang mengalami gangguan
reproduksi.

Tujuan

Tujuan dari praktek pemeriksaan kebuntingan adalah untuk mempelajari


diagnosa kebuntingan untuk menentukan usia kebuntingan. Sedangkan praktek dan
sterility control dilakukan untuk memperlajari fase estrus untuk menunjang
manajemen reproduksi atau perngembangbiakan pada hewan besar.

METODE

Waktu dan Tempat

Pemeriksaan kebuntingan dan sterility control dilakukan pada tanggal 12


Januari 2019. Pemeriksaan ini bertempat di PT Lembu Jantan Perkasa, Banten.

Alat dan Bahan

Pemeriksaan ini dilakukan pada 26 ekor sapi betina. Alat yang dibutuhkan
adalah kandang jepit. Sedangkan bahan yang dibutuhkan adalah sabun dan glove.

Cara Kerja

Sapi yang akan diperiksa kebuntingannya biasanya dilakukan restrain


dengan menggunakan kandang jepit yang tidak tajam pada bagian belakangnya.
Tangan yang digunakan untuk palpasi perlu memakai glove dan diberikan sabun
yang tidak mengiritasi mukosa rektum saat tangan melakukan palpasi rektal. Jari
tangan dikuncupkan sewaktu hendak dimasukkan ke dalam rektum. Selanjutnya
tangan didiamkan bila ada kontraksi rektum, dan dimasukkan kembali saat
kontraksi terhenti. Apabila rektum penuh dengan tinja, maka tinja dikeluarkan
terlebih dahulu. Waktu pengeluaran tinja ini sebaiknya tangan tidak dikeluarkan
dari dalam rektum agar rektum tidak menggembung.
Pemeriksaan Kebuntingan

Setelah tangan dimasukkan pada rektum, organ pertama yang dapat teraba
adalah vagina yang terasa seperti saluran lunak, kemudian serviks uteri dengan
tonjolan cincin serviks yang berdinding tebal dan kenyal. Setelah serviks uteri
teraba, tangan digerakkan maju ke depan untuk meraba corpus uteri lalu bifurcatio
uteri. Selanjutnya cornua uteri kiri dan kanan akan teraba. Cornua uteri kiri dan
kanan simetris menandakan tidak bunting. Salah satu cornua uteri yang asimetris
menandakan hewan sedang bunting. Pemeriksaan diteruskan dari cornua uteri
sampai ovarium kiri dan kanan. Jika hewan sedang bunting pemeriksaan organ
reproduksi dihentikan.

Umur
Spesies Perubahan yang Terjadi
Kebuntingan
Alat reproduksi terletak antara rectum-
pelvis
Cornua uteri ukuran dan posisinya
Tidak Bunting simetris
Bifurcatio Uteri teraba
Lendir vagina: tipis / kental sekali
encer / kental → berahi
Cornua uteri tidak simetris
Vagina kering, lengket
1 Bulan
Fetal membrane slip
Ada corpus luteum di Ovarium
Cornua uteri bunting membesar, seperti
balon berisi air, double wall (plasenta –
uterus)
2 Bulan Uterus masih di rongga pelvis
Vesikel amnion terbada
Sapi 5 minggu: Ø = 0.7 cm
7 minggu: Ø = 3.5 cm
Cornua bunting semakin besar
3 Bulan Uterus bunting mulai jatuh ke abdomen
Carunculae teraba berukuran kecil
Fremitus arteri uterina media (0.6 cm)
4 Bulan unilateral sisi bunting teraba lemah
Placentom dapat teraba (1.5-2.5 cm)
Fetus teraba
Fremitus arteri uterine media (0.9 cm)
5 Bulan
berdenyut kuat sampai mendesir ringan
Placentom semakin besar (2.5-4 cm)
Fetus teraba
Placentom teraba jelas (4-5 cm)
6 Bulan Fremitus arteri uterine media (1.2 cm)
pada sisi bunting mendesir kuat, sisi yang
tidak bunting (0.6 cm) berdenyut ringan
Fremitus bilateral sangat jelas (1.5 cm
pada sisi bunting dan 0.9 cm pada sisi
7 Bulan tidak bunting)
Placentom teraba jelas (5-7.5cm)
Fetus mempunyai refleks
Fremitus bilateral sangat jelas
8 Bulan Placentom teraba jelas (6-9 cm)
Fetus mengarah jalan kelahiran
Fetus masuk jalan kelahiran
9 Bulan
Placentom teraba jelas (8-12 cm)
Ligamentum Sacro – Sciatic relaksasi
Sacrum agak mengangkat karena
9 Bulan sampai
relaksasi dari Ligamentum Sacro – Iliaca
menjelang
Basis ekor mengangkat
Kelahiran
Sumbat Cervix mencair
Cervix relaksasi

Sterility Control

Pada hewan betina pemeriksaan dimulai dengan inspeksi vulva dan


sekitarnya. Berbagai perubahan pada kelamin bagian luar dan discharge di area
sekitarnya harus diperhatikan. Selanjutnya palpasi dilakukan pada labia lalu
membuka labia sehingga vulva, klitoris dan bagian belakang dari vagina dapat
diinspeksi. Pemeriksaan organ reproduksi dalam dapat dilakukan dengan palpasi
perektal atau alat penunjang seperti ultrasonografi (USG). Organ yang dilihat
adalah ada atau tidak perubahan dari vagina, serviks, corpus uteri, cornua uteri, dan
ovarium.

PEMBAHASAN

Pemeriksaan Kebuntingan

Suatu pemeriksaan kebuntingan secara tepat dan dini sangat penting bagi
program pemuliaan ternak. Pemeriksaan tersebut merupakan dasar manajemen
yang berhubungan dengan penanggulangan dan pencegahan gangguan reproduksi
pada ternak. Pengembangan keterampilan ini memerlukan banyak latihan dan
praktek. Selain kesanggupan menentukan kebuntingan, penentuan umur
kebuntingan serta perkiraan waktu kelahiran juga diperlukan. Kebuntingan harus
dapat di bedakan dari kondisi-kondisi lain seperti pyometra, mummifacio foetus,
mucometra, maceratio foetus, tumor dan metritis. Kebuntingan pada sapi dan
kerbau dapat di diagnosa melalui palpasi rektal atau penentuan kadar progesterone
di dalam serum darah. Darah dapat diambil 21 sampai 24 hari setelah inseminasi
atau perkawinan dan dikirim ke laboratorium endokrinologi untuk ditentukan kadar
progesterone memakai teknik radioimmunoassay (RIA).
Palpasi per-rektal terhadap uterus merupakan cara yang paling praktis dan
cepat untuk menentukan kebuntingan pada sapi dan kerbau di lapangan. Diagnosa
dengan memakai metoda ini dapat di lakukan paling cepat 35 hari sesudah
inseminasi. Ketepatan di atas 95 persen dapat di peroleh sesudah 60 hari umur
kebuntingan. Ketika dipalpasi, serviks atau uterus teraba di tepi pelvis pada hewan
tua, serviks keras serta terdapat cincin serviks pada lantai pelvis atau di kranialnya.
Pada bagian corpus, cornua uteri dan ligamentum intercornualis pada biforcatio
uteri dapat dipalpasi pada hewan yang tidak bunting atau pada kebuntingan muda.
Ovarium dapat teraba di lateral dan agak kranial dari serviks. Sewaktu kebuntingan
berkembang, ovarium tertarik kedepan, terutama ovarium yang berhubungan
dengan cornua bunting dan tidak terjangkau lagi pada kebuntingan 4 sampai 6
bulan. Uterus tidak bunting dan normal pada sapi dara dan pada sapi yang sudah
beranak masing-masing mempunyai diameter 1.25 sampai 2 cm dan 2.5 sampai 6.5
cm dengan panjang 15 sampai 20 cm dan 20 sampai 30 cm (Hafez dan Hafez 2000).
Sebagai indikasi bahwa ternak bunting dapat dikenali melalui tanda-tanda sebagai
berikut:
1. Palpasi perektal terhadap cornua uteri, teraba cornua uteri membesar
karena berisi cairan plasenta (amnion dan alantois).
2. Palpasi perektal terhadap cornua uteri, kantong amnion.
3. Selip selaput fetal, alanto-corion pada penyempitan terhadap uterus
dengan ibu jari dan jari telunjuk secara lues.
4. Perabaan dan pemantulan kembali fetus di dalam uterus yang membesar
yang berisi selaput fetus dan cairan plasenta.
5. Perabaan plasenta.
6. Palpasi arteri uterina media yang membesar, berdinding tipis dan berdesir
(fremitus) (Yulianto dan Saparinto 2014).

Sedangkan tanda-tanda kebuntingan pada sapi yang diidentifikasi secara


perektal digambarkan pada Tabel 1.

Tabel 1 Tanda-tanda Kebuntingan pada Sapi.


Bulan Keterangan
3 Kornua sebesar bola voli, letaknya sudah sedikit tertarik ke
rongga perut, arteri uterina media jelas teraba dan terasa seperti
desiran air mengalir, teraba kotiledon sebesar kedelai, membran
fetus teraba.
5 Fetus sudah masuk ke rongga abdomen dan sulit teraba.
Servik teraba seperti selang pipih, karena uterus tertarik ke rongga
perut disebabkan karena berat fetus dan volume amnion bertambah
volumenya. Plasentom teraba sebesar uang seratus rupiah,
fremitus arteria uterina media teraba mendesir dengan pembuluh
darah yang sebesar sedotan.
6 Posisi fetus sudah kembali sejajar dengan pelvis, osifikasi
fetus sudah teraba jelas, teraba adanya fremitus arteria uterina
media. Servik terletak di depan tepi cranial pubis dan hampir tegak
lurus ke bawah.
7 Fetus sudah teraba teracak dan mulut, teraba adanya arteria
uterina media.
9 Ujung kaki depan dan moncong fetus sangat dekat dengan
rongga pelvis, pada akhir masa kebuntingan otot-otot sekitar
tulang panggul kelihatan mengendur, vulva sedikit membengkak
dan lendir banyak keluar. Teracak, mulut, ukuran fetus semakin
membesar dan fremitus arteria uterina media semakin jelas.
Sumber: (Yulianto dan Saparinto 2014)

Tanda-tanda yang kurang pasti tetapi ikut menentukan diagnose


kebuntingan adalah asimestri cornua uteri yang teraba melalui bifocatio cornua
uteri terutama pada kebuntingan muda, pembesaran ukuran uterus dan penipisan
sertya pengembangan dindingnya, lokasi uterus didalam rongga abdomen, lokasi,
ukuran dan persistensi corpus luteum dan perubahan-perubahan vaginal.
Uterus biasanya terletak di dalam rongga pelvis saat kebuntingan 3 sampai
4 bulan. Pada induk sapi, uterus terletak pada lantai rongga perut sesudah bulan ke
4 periode kebuntingan. Pada sapi dara atau induk muda yang bunting dua sampai 3
bulan, uterus terletak di dalam rongga pelvis dan cornua uteri yang mengandung
foetus menunjukan suatu penonjolan ke arah dorsal. Pada bulan ke 5 dan ke 6 uterus
tertarik kedepan dan ke bawah dalam rongga perut sehingga dalam beberapa kasus
hanya serviks dan arteri uterine media yang dapat di raba melalui rektum. Pada
kebuntingan 6 sampai 7 bulan foetus menjadi cukup besar sehingga dapat di raba
kembali pada palpasi rektal. Pada kebuntingan 8 sampai 9 bulan foetus dapat
terntang ke kauda sehingga dapat hidung dan kakinya tertumpu rongga pelvis.
Sewaktu uterus turun ke depan kedalam rongga perut selama kebuntingan,
mesomentrium merentang dan menebal dan ovarium ikut tertarik ke ventral dan ke
karnial. Ovarium dapat di palpasi sampai bulan ke empat kebuntingan dan bulan ke
lima namun jarang. Selama bulan tersebut, ovarium pada sisi uterus yang berisi
foetus umumnya tertarik jauh kedepan dan tidak terjangkau oleh tangan di dalam
rectum (Toelihere 1993).
Menurut perkiraan Roberst (1999) kemungkinan perabaan foetus adalah
95% pada kebuntingan 3 sampai 4 bulan, 40 sampai 70% pada 5 sampai 6 bulan,
80% pada 7 bulan dan 95% pada 8 sampai 9 bulan. Lebih besar dan lebih dalam
rongga abdomen induk dan lebih panjang mesenterium, lebih sulit untuk meraba
foetus per rectum selama pertengahan masa kebuntingan. Pada sapi dara foetus
dapat di raba selama seluruh periode kebuntingan, apabila foetus tidak teraba, maka
diagnose kebuntingan didasarkan pada posisi uterus, besar dan aktivitas arteri uteri
media, perabaan placenta dan membrane foetus. Sesudah bulan ke enam pergerakan
foetus dapat distimulir dengan menekan terancak, menggenggam dan menarik kaki
foetus, menekan bola mata atau menggenggam hidung foetus baik melalui dinding
rectum maupun melalui dinding vagina. Namun cara tersebut hanya dapat di
lakukan pada bulan terakhir kebuntingan.
Plasentoma terbentuk pada hari ke-60 sampai 70 masa kebuntingan yang
jarang dapat di palpasi sebagai suatu struktur yang pasti. Pada waktu plasenta dapat
teraba pada kornua bunting terdapat daerah-daerah yang lonjong dan menebal.
Placentoma bertambah besar sesuai dengan perkembangan foetus. Pada umumnya
placentoma dibagian tengah cornua bunting dan yang mendekat dengan pertautan
arteri uterine media adalah lebih besar dari 40 pada placentoma di dekak serviks, di
apeks cornua atau dicornua yang tidak bunting. Jadi placetoma yang terbesar mulai
dari kebuntingan bulan ke 5 sampai kelahiran biasanya berada di luar jangkauan
tangan pemeriksa (Roberts 1999).
Perkembangan arteria uterine media erat berhubungan dengan
perkembangan foetus dan umur kebuntingan. Katika kebuntingan berlanjut, suplai
darah ke uterus bertambah. Arteri yang mensuplai darah terbesar ke uterus adalah
arteria uterine media. Pada hewan yang tidak bunting ia berbelok ke kaudal pada
ligamentum lata melewati bagain dorsal batang ilium dalam rongga pelvis. Sewaktu
kebuntingan berkembang, arteri ini dapat diraba 5 sampai 10 cm kranial dari ilium.
Arteri ini sering disamakan dengan arteri iliaca interna yang di pertautkan erat oleh
fascia pada badan illium. Arteri uterine media terletak pada ligamentum lata yang
dapat berpindah-pindah pada jarak 10 sampai 15 cm pada hewan dara. Adanya
perubahan ukuran arteri ini pada cornua bunting dapat di raba paling cepat 60
sampai 75 hari kebuntingan pada diameternya mencapai 0.15 sampai 0.3 cm
(Roberts 1999). Pada hewan yang lebih tua perubahan ukuran arteri uterine media
pada cornua bunting dapat teraba 90 hari sesudah perkawinan, saat diameter arteri
mencapai 0.3 sampai 0.45 cm. Arteri uterine media pada cornua yang tidak bunting
juga membesar, tetapi perubahannya tidak senyata pada cornua yang berisi fetus.
Adanya perubahan ukuran arteri, dinding menipis sehingga adanya desiran atau
fremitus yang di raba, hal ini pertama kali di rasa pada kebuntingan 80 sampai 180
hari, tetapi jangka waktu ini dapat bervariasi. Pada kebuntingan bulan keempat
sampai kelima fremitus dapat teraba, namun masih dalam fremitus denyut atau
desiran awal.

Sterility Control

Pada pelaksanaan pemeriksaan sterility control pada 26 ekor sapi betina


ditemukan beberapa ekor sapi yang mengalami hipofungsi ovarium. Kondisi ini
merupakan gangguan reproduksi yang paling sering ditemukan pada ternak diikuti
dengan corpus luteum persisten dan endometritis.. Hipofungsi ovarium adalah suatu
kejadian di mana ovarium mengalami penurunan fungsinya sehingga tidak terjadi
perkembangan folikel dan tidak terjadi ovulasi. Sel telur yang dihasilkan pada
kondisi ini umumnya memiliki fertilitas yang rendah sehingga sulit atau tidak dapat
dibuahi walaupun spermatozoa berkualitas baik (Sutiyono et al. 2017). Hipofungsi
ovarium biasanya terjadi pada sapi perah dengan produksi tinggi, indukan yang
baru pertama kali beranak, dan sapi yang masih menyusui pedetnya. Menurut Hafez
(2000) bahwa anestrus akibat hipofungsi ovari sering berhubungan dengan
gagalnya sel-sel folikel menanggapai rangsangan hormonal, adanya perubahan
kuantitas maupun kualitas sekresi hormonal, menurunnya rangsangan yang
berhubungan dengan fungsi hipotalamus-pituitariaovarium yang akan
menyebabkan menurunnya sekresi gonadotropin, sehingga tidak ada aktivitas
ovarium setelah melahirkan. Kekurangan nutrisi juga dapat mempengaruhi fungsi
hipofise anterior sehingga produksi dan sekresi hormon Follicle Stimulating
Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH) rendah, yang menyebabkan
ovarium tidak berkembang ataupun mengalami hipofungsi (Suartini et al. 2013)
Sedangkan ovari inaktif dapat terjadi karena kondisi fisiologis seperti penuaan,
penggunaan steroid anabolis, abnormalitas kromosom, folikel tidak berovulasi,
hematoma, kebuntingan, dan tumor (Frazer 2003).
Hipofungsi ovarium yang terjadi pada sapi pada periode postpartum
biasanya disebabkan oleh kekurangan dan ketidakseimbangan hormonal sehingga
terjadi anestrus atau birahi tenang (silent heat) dan estrus yang tidak disertai
ovulasi. Pada keadaan hipofungsi, ovarium berukuran normal namun
permukaannya licin sewaktu dipalpasi per rektal yang artinya tidak ada folikel
dominan yang siap untuk ovulasi. Kondisi semacam ini menandakan bahwa pada
ovarium tidak ada aktivitas pertumbuhan folikel maupun corpus luteum. Untuk
mengatasi kondisi ovarium seperti ini maka dapat dilakukan melalui penyuntikan
hormon GnRH (Pemayun, 2009).
Faktor predisposisi yang mempengaruhi terjadinya hipofungsi ovarium
diantaranya dapat terjadi akibat lamanya pedet menyusui sehingga menyebabkan
kekurusan terhadap induk sehingga kondisi tubuh yang harusnya mencukupi untuk
melakukan aktifitas hormonal dialihkan ke sistem perbaikan kondisi tubuh sehingga
kejadian hipofungsi ovarium sangat rentan terjadi terhadap hewan yang kurang
nutrisi (Gitonga 2010).
Gejala klinis yang dapat diamati pada ternak yang mengalami hipofungsi
ovarium yaitu tidak terlihatnya gejala estrus (anestrus) atau menampakkan silent
heat dalam jangka waktu yang lama, karena estrogen yang berperan dalam gejala
birahi dihasilkan dalam jumlah sedikit dimana belum mencapai batas yang
dibutuhkan. Selain itu, ternak betina tidak terlihat bunting setelah dilakukan
inseminasi buatan (IB) berulang-ulang kali (Deden 2000). Sedangkan gejala klinis
jika dilakukan palpasi perektal maka kondisi ovarium berukuran normal, tetapi
permukaannya teraba licin (Herry 2015).
Hewan yang mengalami kelainan hipofungsi ovarium dapat diagnosa
dengan cara pemeriksaan palpasi rektal yang dilakukan dokter hewan atau petugas
kesehatan hewan, ovarium teraba kecil, rata dan halus (Deden, 2000). Untuk
meneguhkan diagnosis, pemeriksaan palpasi rektal kedua dapat dilakukan pada hari
ke 10 setelah pemeriksaan pertama, jika ovarium tersebut hipofungsi maka tidak
akan ada perubahan yang terjadi dari pemeriksaan pertama, namun jika ovarium
tersebut normal, maka akan terbentuk CL (Deden 2000). Diferensial diagnosa dari
kelainan hipofungsi ovarium yaitu adalah sistik ovari, korpus luteum persisten,
mumifikasi, hipoplasia ovari, pyometra, dan endometritis subklinis.
Terapi pengobatan yang dapat dilakukan yaitu dengan perbaikan pakan dan
nutrisi hewan, khususnya peningkatan asupan energi, untuk rekondisi berat badan
ternak dan menjaga kestabilan metabolism tubuhnya. Obat-obatan yang dapat
diberikan pada saat penanganan kasus ini yaitu pemberian GnRH seperti lutrelin,
fertirelin, deslorelin, leuprolide, dan buserelin untuk menginduksi estrus. Hormon2
tersebut berfungsi merangsang pelepasan gonadotropin FSH dan LH dari hipofisa
anterior sehingga terjadi pertumbuhan dan perkembangan folikel (Suartini et al
2013). Sedangkan menurut Niken (2017) terapi suportif dengan menggunakan
multivitamin A,D,E, obat cacing klosentel, dan premiks dalam pakan selama 4
minggu mampu mengurangi kejadian hipofungsi ovarium pada sapi peranakan
Ongole, Limosin, dan Simental.
SIMPULAN

Pada pemeriksaan kebuntingan dan sterility control yang dilakukan pada 26


sapi betina, didapatkan mayoritas sapi berada pada usia kebuntingan awal (3 bulan).
Sapi yang dipastikan sedang mengalami kebuntingan kemudian direkomendasikan
untuk diberi tanda atau kandang khusus untuk memudahkan manajemen.
Sedangkan, pada pemeriksaan ini pun ditemukan sapi yang mengalami gangguan
reproduksi berupa hipofungsi ovari. Sapi yang mengalami hipofungsi ovari ini
kemudian direkomendasikan untuk diafkir dari program breeding.

DAFTAR PUSTAKA

Deden S. 2000. Teknik Masage Ovari dan Penggunaan Potahormon pada Kasus
Hipofungsi Ovarium Sapi Perah Di Kabupaten Bogor.[Skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Frazer GS. 2003. Evaluation of the equine ovary. Di dalam: Robinson NE, editor.
Current Therapy in Equine Medicine. 5th ed. Philadelphia (US): Saunders.
Gitonga PN. 2010. Pospartum reproductive performance of dairy cows in medium
and large scale farms in Kiambu and Nakuku Districts of Kenya. Thesis.
University of Nairobi Faculty of Veterinary Medicine
Hafez ESE and Hafez B. 2000. Reproduction In Farm Animal. 7th edition.
Philadelphia: Leafebiger.
Hafez SE. 2000. Reproduction in Farm Animals 7th Edition. Philadelphia (US) :
Lea and Febiger.
Herry AH.2015. Pemberantasan Kasus Kemajiran Pada Ternak Menuju
Kemandirian Dibidang Kesehatan Reproduksi Hewan Dan Ketahanan 24
Pangan Di Indonesia.Makalah. Dalam: Pidato Guru Besar Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, 25 April.
Jainudeen, M.R. and Hafez. E.S.E. 2000. Pregnancy Diagnosis, dalam Hafez,
E.S.E and Hafez, B. 2000. Reproduction in Farm Animals. 7ed. Lippincott
Williams & Wilkins. Philadelphia.
Karen, A., K. Szabadoz, J. Reiczigel, J.F. Beckers and O. Szenci. 2004. Accuracy
of transrectal ultrasonography for determination of pregnancy in sheep :
effect of fasting and handling of the animals. Theriogenology 61(7– 8):
1291 – 1298.
Niken W. Beda I R. Wijayanti A D. 2017. Efektifitas terapi multivitamin, obat
cacing dan premiks pada sapi terdiagnosa hipofungsi ovarium di wilayah
kecamatan prambanan, yogyakarta. Jurnal sain veteriner. 35 (2): 230-235.
Pemayun TGO. 2007. Kadar Prostaglandin F2α pada cairan vesikula seminalis dan
produk sel monolayer vesikula seminalis sapi bali. J Veteriner. 8(4):167-
172.
Roberst SJ. 1999.Veterinary Obstetrichand genital Disiases (Theriogenology), Ed.
2. Ann Arbor-Mich: Edwar Bross Inc.
Suartini NK, Trilaksana IGHB,Pemanyun TGO. 2013. Kadar estrogen dan
munculnya estrus setelah pemberian Buserelin(Agonis GnRH) pada sapi
Bali yang mengalami anestrus postpartum akibat hipofungsi ovarium.
Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan
Sutiyono, Samsudewa D, Suryawijaya A. 2017. Identification of reproductive
disorders in female cattle at local farms. J Vet. 18(4):585.
Syaiful 2018. Diseminasi teknologi deteksi kebuntingan dini “deea gestdect”
terhadap sapi potong di kinali Kabupaten pasaman barat. Jurnal Hilirisasi
IPTEK. 1(3):19-26
Toelihere M. R. 1993. Inseminasi Buatan Pada Ternak. Bandung: Angkasa
Bandung.
Yulianto P dan Saparinto C. 2014. Beternak Sapi Limousin: Panduan Pembibitan,
Pembesaran dan Penggemukan. Jakarta (ID): Penebar Swadaya

Anda mungkin juga menyukai