Anda di halaman 1dari 22

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN, SIKAP PASIEN,

DUKUNGAN KELUARGA DAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN


TERHADAP KETERATURAN MINUM OBAT PADA PASIEN
TUBERKULOSIS PARU DI BP4 YOGYAKARTA TAHUN 2017

Tugas ini disusun guna memenuhi salah satu tugas


Metodologi Penelitian Kuantitatif

Disusun Oleh:
Devi Angreni Batubara
20170301108

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
2018
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular bahkan bisa menyebabkan


kematian, penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi basil
tuberkulosis (Depkes RI, 2013). Dari pengkajian Global Tuberkulosis Report 2015, pada
tahun 2014 angka kejadian TB di seluruh dunia sebesar 9,6 juta dengan kematian akibat
TB sebanyak 1,5 juta orang. Indonesia saat ini berada pada ranking kedua negara dengan
beban TB paru tertinggi di dunia setelah India. Dalam laporan Tuberkulosis Global 2014
yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) disebutkan, insidensi di Indonesia pada
angka 460.000 kasus baru per tahun. Namun, di laporan serupa tahun 2015, angka tersebut
sudah direvisi, yakni naik menjadi 1 juta kasus baru per tahun. Persentase jumlah kasus di
Indonesia pun menjadi 10 persen terhadap seluruh kasus di dunia sehingga menjadi negara
dengan kasus terbanyak kedua bersama dengan Tiongkok. India menempati urutan pertama
dengan persentase kasus 23 persen terhadap yang ada di seluruh dunia (WHO, 2016).
Angka nasional TB paru SP (survei prevalensi) SKRT TB paru mengindikasikan
sebesar 119 per 100.000 dan angka insidensi 110 per 100.000. Bila dirinci secara regional,
maka prevalensi untuk Jawa Bali sebesar 67 per 100.000 dan insidensi sebesar 62 per
100.000 sedangkan luar Jawa Bali masing-masing 198 (prevalensi) dan 172 (insidensi) per
100.000 (Achmadi, 2010). Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di provinsi
dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah
(Ditjen P2P, Kemenkes RI, 2017). Kasus baru Batang Tahan Asam positif (BTA) di tiga
provinsi tersebut hampir sebesar 40% dari jumlah seluruh kasus baru di Indonesia.
Pada tahun 2012 dari hasil penelitian yang dilakukan oleh (Kotouki, 2012) di
Puskesmas Ciomas, kabupaten Bogor lebih dari separuh responden pasien tuberkulosis
berumur 45 tahun sebesar 57,7%, setengah dari separuh tidak tahu dahak dapat menular
sebesar 23,9%, setengah dari separuh tidak patuh minum obat sebesar 25,4%, lebih dari
separuh buang dahak sembarang sebesar 52,1% (Kotouki, 2012). Pada tahun 2011, Hayati
melakukan penelitian di Puskesmas Kecamatan Pancoran Mas Depok. Berdasarkan hasil
penelitiannya terhadap 76 total responden di Puskesmas Kecamatan Pancoran Mas Depok,
ditemukan bahwa jumlah responden yang patuh terhadap pengobatan TB paru lebih besar
dibandingkan dengan responden yang tidak patuh. Responden yang patuh berjumlah 43
responden (56,58%) sedangkan responden yang tidak patuh berjumlah 33 responden
(43,42%) (Hayati, 2011).
Daerah Istimewa Yogyakarta juga tidak lepas dari kasus penyakit TB dimana
terdapat kasus TB suspek mencapai 3855 jiwa. Menurut data dari laporan tahunan Balai
Pengobatan Paru-Paru tahun 2011, kasus terbanyak terdapat di kabupaten Minggiran
dengan jumlah suspek 1312 jiwa, kabupaten Bantul dengan jumlah suspek 768 jiwa, Wates
238 jiwa, Kota Gede 949 jiwa, dan terakhir kabupaten Kalasan 588 jiwa. DIY merupakan
salah satu dari enam provinsi yang belum mencapai target keberhasilan pengobatan yang
telah ditetapkan oleh (WHO) dan MDG’s. Angka keberhasilan pengobatan TB di DIY baru
mencapai 84,2%, sedangkan standar WHO sebesar 85% dan standar MDGs sebesar 95%.
(Depkes, 2011).
Keteraturan minum obat yaitu diminum tidaknya obat-obat tersebut, penting karena
ketidakteraturan berobat menyebabkan timbulnya masalah resistensi. Karena semua tata
laksana yang telah dilakukan dengan baik akan menjadi sia-sia, bila tanpa disertai dengan
sistem evaluasi yang baik pula. Oleh karena itu, peranan pendidikan mengenai penyakit
dan keteraturan berobat sangat penting (Taufan, 2008). Keberhasilan pengobatan
tuberkulosis tergantung pada pengetahuan pasien, dan dukungan dari keluarga. Tidak ada
upaya dari diri sendiri atau motivasi dari keluarga yang kurang memberikan dukungan
untuk berobat secara tuntas akan mempengaruhi kepatuhan pasien untuk mengkonsumsi
obat. Apabila ini dibiarkan, dampak yang akan muncul jika penderita berhenti minum obat
adalah munculnya kuman tuberkulosis yang resisten terhadap obat, jika ini terus terjadi dan
kuman tersebut terus menyebar pengendalian obat tuberkulosis akan semakin sulit
dilaksanakan dan meningkatnya angka kematian terus bertambah akibat penyakit
tuberkulosis (Indan Enjang, 2002).
Faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan pasien dalam minum obat adalah
faktor predisposing meliputi pengetahuan, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, sikap;
faktor enabling meliputi ketersediaan sarana atau fasilitas kesehatan; dan faktor reinforcing
yaitu dukungan keluarga dan sikap petugas kesehatan. Dukungan keluarga merupakan
bagian dari pasien yang paling dekat dan tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, faktor
pengetahuan, sikap, dukungan keluarga, dan mutu pelayanan kesehatan sangat berpengaruh
dalam meningkatkan kepatuhan dan keteraturan minum obat TB paru.
Masih banyak penderita TB yang berhenti di tengah jalan karena interpretasi yang
salah mengenai penyakitnya, menganggap penyakitnya sudah sembuh. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena pengetahuan yang masih kurang dan persepsi atau cara
memandang penyakit TB masih negatif. Persepsi pada hakikatnya adalah merupakan
proses penilaian seseorang terhadap obyek tertentu. Menurut Young dalam Gunadarma
(2011), persepsi merupakan aktivitas mengindera, mengintegrasikan dan memberikan
penilaian pada obyek-obyek fisik maupun obyek sosial, dan penginderaan tersebut
tergantung pada stimulus fisik dan stimulus sosial yang ada di lingkungannya.
Ketidakteraturan penderita TB dalam minum obat menyebabkan angka kesembuhan
penderita rendah, angka kematian tinggi dan kekambuhan meningkat serta yang lebih fatal
adalah terjadinya resisten kuman terhadap beberapa obat anti tuberkulosis atau multi drug
resistence, sehingga penyakit TB paru sangat sulit disembuhkan (Depkes RI, 2007).
Menurut penelitian Avianty (2005) pengetahuan dan sikap menjadi faktor kepatuhan
seseorang dalam minum obat. Berdasarkan uraian tersebut, maka perlu diketahui hubungan
tingkat pengetahuan, sikap pasien, dukungan keluarga dan mutu pelayanan kesehatan
terhadap keteraturan minum obat pada pasien tuberkulosis paru di BP4 (Balai Pengobatan
Penyakit Paru-paru) Yogyakarta tahun 2017.

1.2. RUMUSAN MASALAH

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi perhatian
dunia hingga saat ini. Penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah terinfeksi
oleh basil tuberkulosis. Penanganan yang dilakukan terhadap penderita TB Paru adalah
dengan memberikan pengobatan secara berkala dari fasilitas pelayanan kesehatan serta
pengetahuan yang terkait dengan penyakit Tuberkulosis paru untuk mengetahui bahaya
dari penyakit TB paru dan cara mencegah penularannya.
Permasalahan yang ditemukan di BP4 Yogyakarta adalah kurangnya kesadaran para
penderita TB paru bahwa keteraturan dalam meminum obat merupakan hal penting untuk
mencapai kesembuhan. Hal tersebut dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan
masyarakat mengenai penyakit TB paru, sikap pasien yang menganggap penyakitnya sudah
sembuh, kurang maksimalnya dukungan keluarga, dan belum tersedianya layanan khusus
yang dapat menangani para penderita TB paru. Dampak yang ditimbulkan dari
ketidakteraturan pasien minum obat merupakan salah satu faktor meningkatnya angka
kesakitan dan kematian penderita TB paru. Berdasarkan permasalahan yang ditemukan
maka penelitian ini mengangkat “Hubungan Keterkaitan Tingkat Pengetahuan, Sikap
Pasien, Dukungan Keluarga dan Mutu Pelayanan Kesehatan Terhadap Keteraturan Minum
Obat pada Pasien Tuberkulosis Paru di BP4 (Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru)
Yogyakarta Tahun 2017”.

1.3. PERTANYAAN PENELITIAN

1. Apakah ada hubungan antara tingkat pengetahuan, sikap, dukungan keluarga, dan
mutu pelayanan kesehatan dengan keteraturan minum obat para penderita TB paru
di BP4 Yogyakarta tahun 2017?
2. Bagaimana hubungan tingkat pengetahuan dengan keteraturan minum obat para
penderita TB paru di BP4 Yogyakarta tahun 2017?
3. Bagaimana hubungan sikap penderita dengan keteraturan minum obat TB paru di
BP4 Yogyakarta tahun 2017?
4. Bagaimana hubungan dukungan keluarga dengan keteraturan minum obat para
penderita TB paru di BP4 Yogyakarta tahun 2017?
5. Bagaimana hubungan mutu pelayanan kesehatan dengan keteraturan minum obat
para penderita TB paru di BP4 Yogyakarta tahun 2017?

1.4. TUJUAN

1.4.1 Tujuan Umum


Untuk mengetahui hubungan keterkaitan tingkat pengetahuan, sikap pasien,
dukungan dari keluarga, dan mutu pelayanan kesehatan dengan keteraturan minum
obat pada pasien TB Paru di BP4 Yogyakarta tahun 2017.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan keteraturan minum
obat para penderita TB paru di BP4 Yogyakarta tahun 2017.
2. Untuk mengetahui hubungan sikap penderita dengan keteraturan minum obat
TB paru di BP4 Yogyakarta tahun 2017.
3. Untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan keteraturan minum
obat para penderita TB paru di BP4 Yogyakarta tahun 2017.
4. Untuk mengetahui hubungan mutu pelayanan kesehatan dengan keteraturan
minum obat para penderita TB paru di BP4 Yogyakarta tahun 2017.

1.5. MANFAAT PENELITIAN

1.5.1. Bagi Penulis


Penulisan penelitian ini dapat memberikan manfaat untuk menambah wawasan
mengenai penyakit Tuberkulosis Paru, keterkaitan hubungan antara tingkat
pengetahuan, sikap pasien, dukungan keluarga, dan mutu pelayanan kesehatan
terhadap keteraturan minum obat.
1.5.2. Bagi Unit Pelayanan Kesehatan
Sebagai saran dan bahan pertimbangan untuk kebijakan unit pelayanan kesehatan
khususnya Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Yogyakarta dalam usaha
meningkatkan angka kesembuhan penyakit TB Paru dengan upaya preventif, kuratif
maupun promotif khususnya tingkat pengetahuan penderita dan masyarakat umum
tentang Tuberkulosis Paru terhadap kapatuhan minum obat. Selain itu, penulisan
penelitian ini diharapkan mampu mengurangi angka kematian dan angka
penyebaran yang disebabkan oleh penyakit TB paru.
1.5.3. Bagi Masyarakat dan Penderita
Menambah wawasan mengenai penyakit TB paru dan meningkatkan kesadaran
terhadap pentingnya kepatuhan minum obat antituberkulosis paru (OAT).

1.6. RUANG LINGKUP PENELITIAN

Penulisan proposal mengenai hubungan keterkaitan tingkat pengetahuan, sikap


pasien, dukungan keluarga, dan mutu pelayanan kesehatan dengan keteraturan minum obat
pada pasien TB paru di BP4 Yogyakarta tahun 2017. Kondisi di lapangan masih terdapat
penderita TB paru yang gagal menjalani pengobatan secara lengkap dan teratur, masih
banyak penderita TB yang berhenti di tengah jalan karena interpretasi yang salah mengenai
penyakitnya, menganggap penyakitnya sudah sembuh. Hal ini kemungkinan disebabkan
karena pengetahuan yang masih kurang dan sikap kurang peduli pasien terhadap penyakit
TB paru. Penulisan proposal ini diharapkan mampu mengurangi angka kematian dan angka
penyebaran yang disebabkan oleh penyakit TB paru.
Penelitian menggunakan metode deskriptif korelasi yaitu untuk mengetahui tingkat
hubungan antara dua variabel atau lebih, tanpa melakukan perubahan, tambahan atau
manipulasi terhadap data yang sudah ada (Arikunto, 2010). Pengumpulan data dalam
penelitian dilakukan dengan menggunakan alat kuesioner dan keteraturan minum obat
adalah kartu pengobatan tuberkulosis yang dimiliki oleh pasien.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LANDASAN TEORI

2.1.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular bahkan bisa
menyebabkan kematian, penyakit ini menyebar melalui droplet orang yang telah
terinfeksi basil tuberkulosis (Depkes RI, 2013). Tuberkulosis adalah penyakit
menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis)
(Kemenkes RI, 2013). Tuberkulosis adalah penyakit infeksius yang terutama
menyerang parenkim paru. Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi
dapat juga mengenai organ tubuh lainnya termasuk meninges, ginjal, tulang, dan
nodus limfe (Smeltzer & Bare, 2002). Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri
kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh
pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensifitas
yang diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity) (Wahid dan Suprapto, 2014).

2.1.2 Penyebab Tuberkulosis


Penyakit tuberkulosis disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.
Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam
pada pewarnaan. Oleh karena itu, disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA)
(Depkes RI, 2008). Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan
pemanasan, sinar matahari dan sinar ultraviolet (Nurarif dan Kusuma, 2013), tetapi
dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembap. Dalam
jaringan tubuh, kuman ini dapat dormant atau tertidur selama beberapa tahun
(Depkes RI, 2008). Ada dua macam mikobakteria tuberkulosis yaitu tipe human
dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis
tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara
yang berasal dari penderita TBC terbuka (Nurarif dan Kusuma, 2013).

2.1.3 Cara Penularan Tuberkulosis


Sumber penularan adalah penderita TBC BTA (+) yang ditularkan dari orang
ke orang oleh transmisi melalui udara. Pada waktu berbicara, batuk, bersin, tertawa
atau bernyanyi, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet
(percikan dahak) besar (>100 µ) dan kecil (1-5 µ). Droplet yang besar menetap,
sementara droplet yang kecil tertahan di udara dan terhirup oleh individu yang
rentan (Smeltzer & Bare, 2002). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan
di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan orang dapat terinfeksi kalau
droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan.
Setelah kuman TBC masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan,
kuman TBC tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui
saluran peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran
langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. Daya penularan dari seorang penderita
ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi
derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut (Depkes
RI, 2008). Kemungkinan seseorang terinfeksi TBC ditentukan oleh tingkat
penularan, lamanya pajanan/kontak dan daya tahan tubuh (Kemenkes RI, 2013).
Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler,
sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang
bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila
jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TBC akan
meningkat, dengan demikian penularan TBC di masyarakat akan meningkat pula.
2.1.4 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis
a) Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru
(parenkim paru) tidak termasuk pleura (selaput paru). Berdasarkan hasil
pemeriksaan dahak, menurut Depkes RI (2008), TBC paru dibagi menjadi
tuberkulosis paru BTA positif dan tuberkulosis paru BTA negatif.
b) Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh
lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium)
kelenjar limfe, tulang persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat
kelamin dan lain-lain. TBC ekstra paru dibagi berdasarkan pada tingkat
keparahan penyakit yaitu TBC ekstra paru ringan dan TBC ekstra paru berat.
TBC ekstra paru ringan misalnya TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa
unilateral tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. TBC
ekstra paru berat misalnya meningitis, millier, perikarditis, peritionitis,
pleuritis eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran
kencing dan alat kelamin.
2.1.5 Gejala Tuberkulosis
Gejala utama yang terjadi adalah batuk terus menerus dan berdahak selama
tiga minggu atau lebih. Gejala tambahan yang sering terjadi yaitu batuk darah atau
dahak bercampur darah, sesak nafas, nyeri dada, badan lemas, keletihan, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise),
berkeringat malam walaupun tanpa aktifitas fisik, demam meriang lebih dari
sebulan.
Gejala umum TBC anak adalah sebagai berikut:
a) Berat badan turun selama tiga bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau
berat badan tidak naik dengan adekuat atau tidak naik dalam satu bulan
setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
b) Demam yang lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas
(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam
umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala spesifik
TBC pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum
lain.
c) Batuk lama (≥3 minggu), batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
d) Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multipel,
paling sering di daerah leher, ketiak dan lipatan paha.
e) Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
f) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
g) Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan
baku diare.
2.1.6 Faktor Risiko TBC
Faktor risiko adalah hal-hal atau variabel yang terkait dengan peningkatan
suatu risiko dalam hal ini penyakit tertentu. Faktor risiko di sebut juga faktor
penentu, yaitu menentukan seberapa besar kemungkinan seorang yang sehat
menjadi sakit. Faktor penentu kadang-kadang juga terkait dengan peningkatan dan
penurunan risiko terserang suatu penyakit. Beberapa faktor risiko yang berperan
dalam kejadian penyakit TBC antara lain:
a) Faktor Predisposisi
1. Umur
Tuberkulosis dapat menyebabkan kematian pada kelompok anak-anak
dan pada usia remaja. Kejadian infeksi TBC pada anak usia dibawah 5
tahun mempunyai risiko 5 kali dibandingkan anak usia 5-14 tahun. Di
Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia
produktif yaitu 15-50 tahun (Depkes, 2008).
2. Pendidikan dan pengetahuan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi pengetahuan
seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan
dan pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang
cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup
bersih dan sehat (Lina, 2009)
3. Perilaku
Perilaku seseorang yang berkaitan dengan penyakit TBC adalah perilaku
yang mempengaruhi atau menjadikan seseorang untuk mudah
terinfeksi/tertular kuman TB misalnya kebiasaan membuka jendela setiap
hari, menutup mulut bila batuk atau bersin, meludah sembarangan,
merokok dan kebiasaan menjemur kasur ataupun bantal. Perilaku dapat
terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan penderita TBC
Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara pengobatan
akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku sebagai orang sakit dan
akhirnya berakibat menjadi sumber penularan bagi orang disekelilingnya
(Misnadiarly, 2006).
4. Imunisasi
Proses terjadinya penyakit infeksi dipengaruhi oleh faktor imunitas
seseorang. Anak merupakan kelompok rentan untuk menderita
tuberkulosis, oleh karena itu diberikan perlindungan terhadap infeksi
kuman tuberkulosis berupa pemberian vaksinasi BCG pada bayi berusia
kurang dari dua bulan. Pemberian vaksinasi BCG belum menjamin 100%
seseorang tidak akan terkena infeksi TBC namun setidaknya dapat
menghindarkan terjadinya TBC berat pada anak (Misnadiarly, 2006).
5. Status gizi
Status gizi merupakan variabel yang sangat berperan dalam timbulnya
kejadian TBC Paru, tetapi hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang lainnya seperti ada tidaknya kuman TBC pada paru. Kuman TBC
merupakan kuman yang dapat “tidur” bertahun-tahun dan apabila
memiliki kesempatan “bangun” dan menimbulkan penyakit maka
timbullah kejadian penyakit TBC Paru. Oleh sebab itu salah satu upaya
menangkalnya adalah dengan status gizi yang baik (Achmadi, 2005).
6. Kontak penderita
Seseorang dengan BTA positif sangat berisiko untuk menularkan pada
orang disekelilingnya terutama keluarganya sendiri khususnya anak-
anak. Semakin sering seseorang melakukan kontak dengan penderita
BTA positif maka semakin besar pula risiko untuk tertular kuman
tuberkulosis, apalagi ditunjang dengan kondisi rumah dan lingkungan
yang kurang sehat (Depkes, 2008).
7. Status sosial ekonomi
WHO (2003) menyebutkan penderita TBC Paru didunia menyerang
kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin. Walaupun tidak
berhubungan secara langsung namun dapat merupakan penyebab tidak
langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, perumahan tidak sehat,
dan ekses terhadap pelayanan kesehana juga menurun kemampuannya.
Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang
menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TBC Paru. Menurut
perhitungan rata-rata penderita TBC kehilangan tiga sampai empat bulan
waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan setahun
secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah tangga (Achmadi,
2005).
b) Faktor Pendukung
1. Kepadatan hunian
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan
dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari
kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk rumah sederhana
luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai
minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan,
jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90
cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni oleh lebih dari dua orang, kecuali
untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun (Depkes RI, 2001).
2. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan
tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan
rumah, terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga
merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit-bibit enyakit. Sebaliknya, terlalu banyak cahaya
didalam rumah akan menyebabkan silau dan akhirnya dapat merusakkan
mata (Notoatmodjo, 2003). Cahaya ini sangat penting karena dapat
membunuh bakteri-bakteri patogen di dalam rumah, seperti basil TBC,
karena itu sangat penting rumah untuk mempunyai jalan masuk cahaya
yang cukup.
3. Ventilasi dan kelembapan udara
Rumah yang sehat harus memiliki ventilasi untuk menjaga agar aliran
udara didalam rumah tersebut tetap segar, sehingga keseimbangan
oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
Kurangnya ventilasi juga menyebabkan ke lembapan di dalam ruangan
meningkat. Ke lembapan ini akan menjadi media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri-bakteri patogen / bakteri penyebab penyakit,
misalnya kuman TBC. Kuman TBC Paru akan cepat mati bila terkena
sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam
ditempat yang gelap dan lembap (Achmadi, 2005).
4. Ketinggian
Ketinggian secara umum mempengaruhi ke lembapan dan suhu
lingkungan. Setiap kenaikan 100 meter, selisih udara dengan permukaan
air laut sebesar 0,5oC. Selain itu berkaitan juga dengan kerapatan
oksigen, mycobacterium tiberculosis sangat aerob, sehingga diperkirakan
kerapatan pegunungan akan mempengaruhi viabilitas kuman TBC
(Achmadi, 2005).
c) Faktor Pendorong
1. Keberadaan pengawas menelan obat (PMO)
Tugas PMO mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur
sampai selesai pengobatan memberikan dorongan kepada pasien agar
mau berobat teratur dan mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak
pada waktu yang telah ditentukan. Hal ini dapat membuat penderita TB
paru merasa lebih diperhatikan sehingga teratur berobat. Berdasarkan
penelitian Sugiharti (2007) menyatakan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara keberadaan PMO dengan terjadinya default pengobatan
TB paru, dimana penderita yang tidak mempunyai PMO lebih beresiko
untuk mengalami default dibandingkan yang mempunyai PMO.
2. Jenis pengawas menelan obat (PMO)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bambang Sukena et.al dari
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Ekologi di Tangerang
diketahui bahwa angka ketaatan minum obat penderita TB dengan
memberdayakan tenaga anggota keluarga adalah lebih baik dibandingkan
dengan tanpa pemanfaatan anggota keluarga sebagai tenaga PMO
(digilib.litbang.depkes.go.id, 2001). Hal ini dapat terjadi selain karena
akan lebih sering bertemu, PMO juga akan termotivasi untuk membuat
penderita cepat sembuh dari sakit TB sehingga tidak menulari anggota
keluarga yang lain termasuk PMO sendiri.
2.1.7 Pengobatan Penderita Tuberkulosis
Tujuan pemberian pengobatan menurut Kemenkes RI (2013) adalah:
menyembuhkan, mempertahankan kualitas hidup dan produktivitas pasien,
mencegah kematian akibat TBC aktif atau efek lanjutan, mencegah kekambuhan
TBC, menurunkan tingkat penularan TBC kepada orang lain, mencegah
perkembangan dan penularan resisten obat anti tuberkulosis (OAT).
Jenis OAT terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),
Etambutol (E) dan Streptomisin (S). Pengobatan TBC diberikan dalam dua tahap,
yaitu tahap intensif dan lanjutan. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat
obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu dua minggu.
Sebagian besar penderita TBC BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam
dua bulan. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh
kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia:
a) Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
b) Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE).
c) Kategori Anak: 2HRZ/4HR.
Paduan OAT kategori 1 dan kategori 2 disediakan dalam bentuk paket berupa
obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), yang terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan penderita. Paduan
OAT disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian
obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu
paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan. Paket kombipak adalah
paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol
yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan penderita yang mengalami efek samping OAT KDT.
Paduan OAT Sisipan (HRZE), bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita
baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang
dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat
sisipan (HRZE) setiap hari selama satu bulan (Depkes, 2008).
2.1.8 Tipe Penderita Tuberkulosis
Menurut Depkes RI (2008), ada beberapa tipe pasien berdasarkan riwayat
pengobatan sebelumnya, yaitu:
a) Kasus baru, yaitu pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau pasien
yang sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b) Kasus kambuh (relaps), yaitu pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh. Pasien yang setelah menjalani
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau
kultur) juga dikategorikan sebagai kasus kambuh.
c) Kasus setelah putus berobat (default), yaitu pasien BTA positif yang telah
berobat tetapi tidak melanjutkan selama 2 bulan atau lebih.
d) Kasus setelah gagal (failure), yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya
tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
e) Kasus pindahan (transfer in) yaitu pasien yang dipindahkan dari UPK dengan
register TB ke UPK lainnya untuk melanjutkan pengobatan.
f) Kasus lain, yaitu semua kasus yang tidak memenuhi kriteria diatas. Dalam
kelompok ini termasuk kasus kronik yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.
2.1.9 Pengawas Menelan Obat
Karena pengobatan yang relatif lama dan hilangnya gejala setelah beberapa
bulan berobat, sebagian besar pasien memutuskan untuk berhenti berobat. Untuk
menghindari hal ini, diperlukan seorang pengawas menelan obat. Pada dasarnya
PMO dapat berasal dari tidak hanya tenaga kesehatan seperti perawat, dokter tetapi
dapat berasal dari anggota keluarga, sahabat bahkan tetangga. Namun, orang yang
ditunjuk sebagai PMO sebaiknya adalah orang yang dikenal, disegani, dipercaya,
dan tinggal dekat dengan penderita. Seseorang juga bisa menjadi PMO asalkan
bersedia membantu pasien tanpa pamrih dan bersedia dilatih atau mendapat
penyuluhan bersama-sama dengan pasien (Depkes RI, 2008).
Tugas seorang PMO tidaklah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil
obat dari unit pelayanan kesehatan melainkan untuk mengawasi pasien TB agar
menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. Selain itu, PMO juga
sebaiknya kerap memberikan dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur,
mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak secara teratur pada waktu yang
telah ditentukan. Tidak hanya itu, ada baiknya jika seorang PMO memberikan
penyuluhan pada anggota keluarga pendertia TB yang mempunyai gejala-gejala TB
untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan (Depkes, 2008).
Terkait tugasnya untuk memberikan penyuluhan seputar TB, PMO sebaiknya
tahu informasi apa yang seharusnya diberikan kepada penderita dan keluarganya.
Informasi-informasi yang penting dipahami PMO untuk disampaikan kepada
pasien dan keluarganya meliputi penyembuhan TB dengan berobat teratur,
penyebab kejadian TB yang sesungguhnya, cara penularan TB serta gejala-gejala
yang mencurigakan dan pencegahan TB (Depkes, 2008).
2.1.10 Konsep Perilaku
Dari batasan segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan seorang makhluk
hidup. Dari sudut pandang biologis tersebut semua makhluk hidup berperilaku
karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing yang bisa sama atau bisa
berbeda satu dengan yang lainnya. Dapat diketahui bahwa perilaku manusia adalah
tindakan atau aktivitas dari manusia yang bersangkutan dengan bentangan yang
sangat luas antara lain: berjalan, belajar, menangis, tertawa dan lain-lain. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia
baik yang dapat diamati secara langsung maupun yang tidak dapat diamati secara
langsung oleh pihak luar (Notoadmodjo, 2007).
Teori yang pernah diujicobakan untuk mengungkap faktor-faktor yang
berhubungan dengan perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan
kesehatan adalah teori Lawrence Green (1980). Green (1980) telah
mengembangkan suatu model pendekatan yang dapat digunakan untuk membuat
perencanaan kesehatan yang dikenal sebagai kerangka PRECEDE. PRECEDE ini
merupakan singkatan dari Predisposing, Reinforcing dan Enabling Causes in
Educational Diagnosis and Evaluation. Green dalam Soekidjo (2007) mencoba
menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau
masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavioral
causes) dan faktor di luar perilaku (non-behavioral causes). Selanjutnya perilaku
itu sendiri ditentukan atau dibentuk dari 3 faktor yang merupakan bagian dari
kerangka PRECEDE yaitu:
a) Faktor- faktor predisposisi yang terdiri dari pengetahuan, sikap, kepercayaan,
keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
b) Faktor-faktor pendukung yang terdiri dari lingkungan fisik, tersedia atau tidak
tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan.
c) Faktor-faktor pendorong yang terdiri dari sikap dan perilaku petugas
kesehatan atau petugas lainnya yang merupakan kelompok yang dicontoh
oleh masyarakat.
Ketiga faktor dapat berhubungan dengan kejadian default penderita TB paru,
tetapi dengan ketiga faktor tersebut juga dapat dilakukan intervensi pendidikan
kesehatan guna meningkatkan status kesehatan dan derajat kesehatan yang ingin
dicapai (Mediana, 2002).
2.1.11 Program Penanggulangan TBC Paru di Puskesmas
Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan menyeluruh, puskesmas
menjalankan beberapa program pokok salah satunya adalah Program
Pemberantasan Penyakit Menular (P2M) seperti program penanggulangan TB Paru
yang dilakukan dengan strategi DOTS dan Penyuluhan Kesehatan. Pada tahun
1995, program nasional penanggulangan TB mulai menerapkan strategi DOTS dan
dilaksanakan di Puskesmas secara bertahap. Sejak tahun 2000 strategi DOTS
dilaksanakan secara Nasional di seluruh Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) terutama
Puskesmas yang di integrasikan dalam pelayanan kesehatan dasar (Depkes RI,
2008).
Fokus utama Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) adalah
penemuan dan penyembuhan penderita, prioritas diberikan kepada penderita TBC
tipe menular. Strategi ini akan memutuskan penularan TBC dan dengan demikian
menurunkan insidens TBC di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan
penderita merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TBC. WHO
telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan
TBC sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS sebagai salah satu
intervensi kesehatan yang paling efektif. Integrasi ke dalam pelayanan kesehatan
dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitasnya (Depkes RI, 2008).
Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen yaitu:
a) Komitmen politik dari para pengambil keputusan termasuk dukungan dana.
b) Penemuan penderita dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
c) Pengobatan dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek
dengan pengawasan langsung oleh Pengawas Menelan Obat (PMO).
d) Jaminan tersedianya OAT jangka pendek secara teratur, menyeluruh dan tepat
waktu dengan mutu terjamin.
e) Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian
terhadap hasil pengobatan penderita dan kinerja program secara keseluruhan.
2.1.12 Pencegahan Tuberkulosis
Pencegahan tuberkulosis dapat dilakukan dengan cara:
a) Terapi pencegahan dengan memberikan kemoprofilaksis kepada penderita
HIV atau AIDS. Obat yang digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid
(INH) dengan dosis 5 mg/kg BB (tidak lebih dari 300 mg) sehari selama
minimal 6 bulan (Depkes RI, 2008).
b) Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularan.
c) Pemberian imunisasi BCG pada bayi usia 0-11 bulan untuk meningkatkan
daya tahan tubuh terhadap kuman tuberkulosis. Pemberian proflaksis INH
pada balita sehat yang memiliki kontak dengan pasien TB dewasa dengan
BTA sputum positif (+), namun pada evaluasi dengan tidak didapatkan
indikasi gejala dan tanda klinis TB.
2.2 KERANGKA TEORI

Kerangka teori penelitian ini dibuat berdasarkan teori Lawrence Green. Faktor-faktor
yang berhubungan dengan kepatuhan dan keteraturan minum obat penderita TB paru yang
diambil dari teori Green adalah faktor predisposisi yaitu umur, pendidikan dan
pengetahuan, perilaku, imunisasi, status gizi, kontak penderita, status sosial ekonomi.
Faktor pendukung seperti kepadatan hunian, pencahayaan, ventilasi dan kelembapan udara,
ketinggian. Faktor pendorong atau penguat seperti keberadaan pengawas menelan obat
(PMO) dan jenis pengawas menelan obat (PMO).

Faktor Predisposisi
1. Umur
2. Pendidikan dan pengetahuan
3. Perilaku
4. Imunisasi
5. Status gizi
6. Kontak penderita
7. Status sosial ekonomi

Faktor Pendukung
1. Kepadatan hunian
Keteraturan minum
2. Pencahayaan
obat pasien TB paru
3. Ventilasi dan kelembapan udara
4. Ketinggian

Faktor Penguat
1. Keberadaan PMO
2. Jenis PMO
2.3 PENELITIAN TERKAIT

Tabel 2.1
Penelitian Terkait
No Nama Judul Variabel Hasil
1 Fitria dan mutia, Hubungan Tingkat Pengetahuan - Pengetahuan 1. Tingkat Pengetahuan
2012 Tentang Tuberculosis Dengan pasien tuberculosis di
- Kepatuhan
Kepatuhan Minum Obat Di Puskesmas Banyuanyar
minum obat
Puskesmas Banyuanyar Surakarta Surakarta dalam minum
Tahun 2012 OAT mayoritas baik.
2. Tingkat kepatuhan
pasien tuberculosis di
Puskesmas Banyuanyar
Surakarta dalam minum
OAT mayoritas cukup.
3. Ada hubungan yang
bermakna antara tingkat
pengetahuan tentang
Tuberkulosis dengan
kepatuhan minum obat
di Puskesmas
Banyuanyar Surakarta,
dengan probabilitas
spearman-rank 0,021
2 Dhewi, Hubungan Antara Pengetahuan, - Pengetahuan, 1. Ada hubungan yang
Armiyati, Sikap, Pasien Dan Dukungan signifikan antara
- Sikap,
Supriyono, 2010 Keluarga Dengan Kepatuhan Minum pengetahuan dengan
Obat Pada Pasien TB Paru Di BKPM - Dukungan kepatuhan minum obat
Pati Tahun 2010 Keluarga TB Paru di BKPM Pati

- Kepatuhan 2. Ada hubungan yang


minum obat signifikan antara sikap
dengan kepatuhan
minum obat TB Paru di
BKPM Pati
3. Ada hubungan yang
signifikan antara
dukungan keluarga
dengan kepatuhan
minum obatu TB Paru di
BKPM Pati
3 Sholikhah, 2012 Hubungan Antara Tingkat - Pengetahuan 1. Pengetahuan penderita
Pengetahuan Dan Mutu Pelayanan TB Paru di Puskesmas
- Mutu Pelayanan
Kesehatan Terhadap Kepatuhan Gatak tentang TB Paru
Kesehatan
Minum Obat Penderita Tuberculosis sebagian besar baik.
Paru Di Puskesmas Gatak Tahun - Kepatuhan
2. Mutu pelayanan
2012 minum obat
kesehatan Puskesmas
Gatak terhadap penderita
TB Paru tentang TB Paru
sebagian besar baik.
3. Kepatuhan minum obat
pada penderita TB Paru
di Puskesmas Gatak
sebagian besar patuh.

Anda mungkin juga menyukai

  • Kebijakan PTM Di Indonesia
    Kebijakan PTM Di Indonesia
    Dokumen37 halaman
    Kebijakan PTM Di Indonesia
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Laporan Pendahuluan ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HIV
    Laporan Pendahuluan ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HIV
    Dokumen20 halaman
    Laporan Pendahuluan ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN HIV
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Jurnal TBC
    Jurnal TBC
    Dokumen3 halaman
    Jurnal TBC
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • LP Bayi Baru Lahir
    LP Bayi Baru Lahir
    Dokumen39 halaman
    LP Bayi Baru Lahir
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • TB
    TB
    Dokumen14 halaman
    TB
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Tugas Frisca 20170301142
    Tugas Frisca 20170301142
    Dokumen1 halaman
    Tugas Frisca 20170301142
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Tugas
    Tugas
    Dokumen17 halaman
    Tugas
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Kiki
    Kiki
    Dokumen8 halaman
    Kiki
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Kiki
    Kiki
    Dokumen8 halaman
    Kiki
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Kristen2 Asti
    Kristen2 Asti
    Dokumen10 halaman
    Kristen2 Asti
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Family Centered Care
    Family Centered Care
    Dokumen12 halaman
    Family Centered Care
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Kelompok Genap
    Jurnal Kelompok Genap
    Dokumen7 halaman
    Jurnal Kelompok Genap
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Strategi Pelaksanaan Ronde
    Strategi Pelaksanaan Ronde
    Dokumen4 halaman
    Strategi Pelaksanaan Ronde
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Rencana Harian Kepala Ruangan
    Rencana Harian Kepala Ruangan
    Dokumen7 halaman
    Rencana Harian Kepala Ruangan
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Utilisasi
    Utilisasi
    Dokumen2 halaman
    Utilisasi
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Fraud
    Fraud
    Dokumen6 halaman
    Fraud
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Manusia Dalam Kristen
    Manusia Dalam Kristen
    Dokumen14 halaman
    Manusia Dalam Kristen
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • BAB 1 KUALITATIF Riana
    BAB 1 KUALITATIF Riana
    Dokumen8 halaman
    BAB 1 KUALITATIF Riana
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Asuhan Keperawatan
    Asuhan Keperawatan
    Dokumen14 halaman
    Asuhan Keperawatan
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Uas Kep Keluarga
    Uas Kep Keluarga
    Dokumen4 halaman
    Uas Kep Keluarga
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Utilisasi
    Utilisasi
    Dokumen2 halaman
    Utilisasi
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Fraud
    Fraud
    Dokumen6 halaman
    Fraud
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • SEGMENTASI PASAR KESEHATAN
    SEGMENTASI PASAR KESEHATAN
    Dokumen12 halaman
    SEGMENTASI PASAR KESEHATAN
    Faisal Tamvans Katanye
    Belum ada peringkat
  • Tugas Isu Akk
    Tugas Isu Akk
    Dokumen3 halaman
    Tugas Isu Akk
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • SESI-2 (1) SDM Pak Dandi
    SESI-2 (1) SDM Pak Dandi
    Dokumen24 halaman
    SESI-2 (1) SDM Pak Dandi
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • SEGMENTASI PASAR KESEHATAN
    SEGMENTASI PASAR KESEHATAN
    Dokumen12 halaman
    SEGMENTASI PASAR KESEHATAN
    Faisal Tamvans Katanye
    Belum ada peringkat
  • SESI-3 (1) SDM Pak Dandi
    SESI-3 (1) SDM Pak Dandi
    Dokumen41 halaman
    SESI-3 (1) SDM Pak Dandi
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • Mini Skripsi Fix-1
    Mini Skripsi Fix-1
    Dokumen37 halaman
    Mini Skripsi Fix-1
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat
  • BAB VI Revisi Terakhirr
    BAB VI Revisi Terakhirr
    Dokumen17 halaman
    BAB VI Revisi Terakhirr
    Delyn Kora Juga Sairlela
    Belum ada peringkat