Anda di halaman 1dari 30

REFERAT

STRUMA DIFUSA TOKSIK

Pembimbing:
dr. Hakimansyah, Sp.B

Disusun oleh:
Nikolaus Ronald Karnadi (406172068)

Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah

RSUD KRMT Wongsonegoro

Periode 19 Maret – 26 Mei 2018


BAB 1

PENDAHULUAN

Struma disebut juga goiter adalah suatu keadaan pembesaran kelenjar


tiroid apapun sebabnya. Difusa yang berarti bahwa seluruh kelenjar tiroid
membesar.1 Toksik yang berarti adanya sekresi hormon berlebihan menyebabkan
tanda dan gejala hipertirodisme.(Farlex medical dictionary,2012)

Secara klinis struma dapat dibedakan menjadi struma toksik (perubahan


fungsi fisiologis kelenjar tiroid “hipertiroid”) dan struma non toksik (eutiroid).
Struma toksik sendiri dibagi lagi menjadi struma difusa toksik (Graves disesase)
dan struma nodosa toksik (Plummer’s disease). Istilah difusa dan nodusa lebih
mengarah kepada perubahan bentuk anatomi, dimana difusa yang diartikan
sebagai pembesaran yang menyeluruh sedangkan nodusa adalah adanya nodul
pada kelenjar tiroid.1

Hipertiroid merupakan penyakit metabolik yang menempati urutan kedua


terbesar setelah diabetes melitus. Struma diffusa toksik (Graves disease)
merupakan penyebab hipertiroid terbanyak pertama kemudian disusul oleh
Plummer’s disease, dengan perbandingan 60% karena Graves disease dan 40%
karena Plummer’s disease.1

Graves disease (GD) pertama kali dilaporkan oleh Parry pada tahun
1825,kemudian Graves pada tahun 1835 dan disusul oleh Basedow pada tahun
1840. Distribusi jenis kelamin dan umur pada penyakit hipertiroid amat bervariasi
dari berbagai klinik. Perbandingan wanita dan laki-laki yang didapat di RSUP
Palembang adalah 3,1 : 1 di RSCM Jakarta adalah 6 : 1, di RS. Dr. Soetomo 8 :
1dan di RSHS Bandung 10 :1. Sedangkan distribusi menurut umur di RSUP
Palembang yang terbanyak adalah pada usia 21 - 30 tahun (41,73%), tetapi
menurut beberapa penulis lain puncaknya antara 30 – 40 tahun. 2

Jumlah penderita penyakit ini di seluruh dunia pada tahun 1999


diperkirakan 200 juta, 12 juta di antaranya terdapat di Indonesia. Angka kejadian

1
Universitas Tarumanagara
hipertiroid yang didapat dari beberapa klinik di Indonesia berkisar antara 44,44%
– 48,93% dari seluruh penderita dengan penyakit kelenjar gondok. Di AS
diperkirakan 0,4% populasi menderita GD, biasanya sering pada usia di bawah
40tahun.2

Pengobatan penderita hipertiroid sangat komplek, dan masih banyak


perbedaan pendapat dari para ahli tentang cara terbaik dalam pengobatan.
Faktorseks, umur, berat ringannya penyakit, penyakit lain yang
menyertainya,penerimaan penderita serta pengalaman dari pengelolah harus
dipertimbangkan.2

2
Universitas Tarumanagara
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Struma difusa toksik / Graves disease (GD) adalah penyakit autoimun


dimana tiroid terlalu aktif, menghasilkan jumlah yang berlebihan dari hormon
tiroid (ketidakseimbangan metabolisme serius yang dikenal sebagai
hipertiroidisme dan tirotoksikosis) dan kelainannya dapat mengenai mata dan
kulit. Penyakit Graves merupakan bentuk tirotoksikosis yang tersering dijumpai
dan dapat terjadi pada segala usia, lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria.
Sindroma ini terdiri dari satu atau lebih dari gejala tirotoksikosis, goiter,
ophtalmopathy (exopthalmus), dermopathy (pretibial myxedema).3

2.2 Etiologi

GD merupakan suatu penyakit autoimun yaitu saat tubuh menghasilkan


antibodi yang menyerang komponen spesifik dari jaringan itu sendiri, maka
penyakit ini dapat timbul secara tiba-tiba dan penyebabnya masih belum
diketahui. Hal ini disebabkan oleh autoantibodi tiroid (TSHR-Ab) yang
mengaktifkan reseptor TSH (TSHR), sehingga merangsang tiroid mensintesis,
mensekresi hormon, dan menyebabkan gondok mengalami pembesaran difus.3

Saat ini diidentifikasi adanya antibodi IgG sebagai thyroid stimulating


antibodies pada penderita GD yang berikatan dan mengaktifkan reseptor tirotropin
pada sel tiroid yang menginduksi sintesa dan pelepasan hormon tiroid. Beberapa
penulis mengatakan bahwa penyakit ini disebabkan oleh multifaktor antara
genetik, endogen dan faktor lingkungan.3

3
Universitas Tarumanagara
2.3 Faktor Predisposisi 3

Genetik

Riwayat keluarga dikatakan 15 kali lebih besar meningkatkan kemungkinan


terkena penyakit Graves dibandingkan populasi umum. Gen HLA yang berada
pada rangkaian kromosom ke-6 (6p21.3) ekspresinya mempengaruhi
perkembangan penyakit autoimun ini. Molekul HLA terutama klas II yang berada
pada selT di timus memodulasi respons imun sel T terhadap reseptor limfosit T (T
lymphocyte receptor/TcR) selama terdapat antigen. Interaksi ini merangsang
aktivasi T helper limfosit untuk membentuk antibodi. T supresor limfosit atau
faktor supresi yang tidak spesifik (IL-10 dan TGF-β) mempunyai aktifitas yang
rendah pada penyakit autoimun kadang tidak dapat membedakan mana T helper
mana yang disupresi sehingga T helper yang membentuk antibodi yang melawan
sel induk akan eksis dan meningkatkan proses autoimun.

Jenis Kelamin

Wanita lebih sering terkena penyakit ini karena modulasi respon imun
oleh estrogen. Hal ini disebabkan karena epitope ekstraseluler TSHR homolog
dengan fragmen pada reseptor LH dan homolog dengan fragmen pada reseptor
FSH.

Infeksi

Toxin, infeksi bakteri dan virus. Bakteri Yersinia enterocolitica yang


mempunyai protein antigen pada membran selnya yang sama dengan TSHR pada
sel folikuler kelenjar tiroid diduga dapat mempromosikan timbulnya penyakit
Graves terutama pada penderita yang mempunyai faktor genetik. Kesamaan
antigen bakteri atau virus dengan TSHR atau perubahan struktur reseptor terutama
TSHR pada folikel kelenjar tiroid terjadi karena mutasi atau biomodifikasi oleh
obat, zat kimia atau mediator inflamasi menjadi penyebab timbulnya autoantibodi
terhadap tiroid dan perkembangan penyakit ini.

4
Universitas Tarumanagara
Status Gizi

Status gizi dan berat badan lahir rendah sering dikaitkan dengan prevalensi
timbulnya penyakit autoantibodi tiroid.

2.4 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid

Kelenjar tiroid pada manusia terletak tepat di depan trakea. Sel-sel yang
memproduksi hormon tiroid tersusun dalam folikel-folikel dan
mengkonsentrasikan iodin yang digunakan untuk sintesis hormon tiroid. Hormon
yang bersirkulasi adalah tiroksin (T4) dan tri-iodotironin (T3). Kelenjar paratiroid
menempel pada tiroid dan memproduksi hormon paratiroid (Parathormon ; PTH).
PTH penting dalam pengontrolan metabolisme kalsium dan fosfat. Sel-Sel
parafolikuler terletak dalam tiroid tersebar di antara folikel. Sel-Sel ini
memproduksi kalsitonin yang menghambat resorpsi kalsium tulang.4

Gambar 1. Anatomi Kelenjar Tiroid

Sumber : (Sitorus, 2004)4

5
Universitas Tarumanagara
Kelenjar tiroid juga mengandung clear cell atau sel parafolikuler atau sel C
yang mensintesis kalsitonin. T3 mempengaruhi pertumbuhan, diferensiasi, dan
metabolisme. T3 selain disekresi oleh kelenjar tiroid juga merupakan hasil
deiodinasi dari T4 di jaringan perifer. T3 dan T4 terikat pada 3 protein yang
berbeda : glikopreotein tiroglobulin di dalam koloid dari folikel, prealbumin
pengikat tiroksin dan albumin serum. Hanya sedikit T3 dan T4 yang tidak terikat
terdapat dalam sirkulasi darah.4

Pengaturan sekresi hormon tiroid dilakukan oleh TSH (thyroid-stimulating


hormone) dari hipofisis anterior. Sintesis dan pelepasan TSH dirangsang oleh
TRH (Thyrotropin-releasing hormone) dari hipothalamus. TSH disekresi dalam
sirkulasi dan terikat pada reseptornya pada kelenjar tiroid. TSH mengontrol
produksi dan pelepasan T3 dan T4. Efek TRH dimodifikasi oleh T3, peningkatan
konsentrasi hormon tiroid, mengurangi respons adenohipofisis terhadap TRH
(mengurangi reseptor TRH) sehingga pelepasan TSH menurun dan sebagai
akibatnya kadar T3 dan T4 menurun (umpan balik negatif). Sekresi TRH juga
dapat dimodifikasi tidak hanya oleh T3 secara negatif (umpan balik) tetapi juga
melalui pengaruh persarafan.5

Gambar 2. Fisiologi Kelenjar Tiroid (Hidayat,2009)5

6
Universitas Tarumanagara
Produksi hormon tiroid (T3 dan T4) dalam kelenjar tiroid dipengaruhi oleh
hormon TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang dikeluarkan oleh kelenjar
hipofisis. Sekresi TSH diatur oleh kadar T3 dan T4 dalam sirkulasi melalui
pengaruh umpan balik negatif dan juga oleh Thyrotrophin Releasing Hormone
(TRH) dari hipotalamus. Kadar hormon bebas yang tinggi akan menekan sekresi
TSH oleh kelenjar hipofisis, sehingga produksi T3 dan T4 menurun. Sebaliknya
kadar hormon bebas yang rendah akan meningkatkan sekresi TSH sehingga
meningkatkan produksi T3 dan T4.5

Proses pembentukan T3 dan T4 dalam kelenjar tiroid menempuh


beberapalangkah, yaitu:6

1. Iodida Trapping

Proses ini merupakan transpor aktif (dengan stimulasi TSH) dan


berhubungan dengan Na,K,ATPase dimana sel folikel menarik yodida dari darah
kedalamnya (20 kali lebih kuat dari pada perfusi darah). Minimal dibutuhkan
lebih kurang 100-300 ug yodida untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

2. Organifikasi

Proses ini terdiri dari oksidasi (oleh tiroid peroksidase) dari yodida ke
yodium yang kemudian disusul oleh proses yodinasi dengan tirosin yang berasal
dari residu tirosil, dari pemecahan tiroglobulin untuk kemudian membentuk
monoiodothyrosine (MIT) dan diiodothyrosine (DIT).

3. Coupling

Terjadi proses coupling antara MIT dan DIT sehingga terbentuk T3 danT4
yang terikat dengan tiroglobulin; terbentuknya T4 lebih dominan dari pada T3
meskipun efek metaboliknya lebih lemah. Kedua hormon yang terikat ini
disimpan dalam koloid.

7
Universitas Tarumanagara
4. Sekresi

Melalui aktivitas lisosom (bantuan enzim protease), T3 dan T4 terlepas


dari tiroglobulin dan dengan pengaruh TSH, kedua hormon ini masuk aliran darah
dengan perbandingan T3:T4 = 1:5. Selanjutnya terjadi proses deyodinasi (bantuan
hormon diyodotirosinase), dimana MIT dan DIT akan dipecah menjadi yodium
dan residu tirosil. Hanya sebagian kecil MIT danDIT yang dapat lolos masuk
aliran darah (normal tidak terukur). Bentuk bebas T3 dan T4 dalam sirkulasi
hanya sekitar 0,3% dan 0,02% dari totalhormon keseluruhan dengan waktu paruh
1-1,5 hari (T3) dan 7 hari (T4).

Gambar 3. Produksi dan Regulasi Hormon Tiroid

Sumber : (Price and Lorraine,2006)6

8
Universitas Tarumanagara
Belum seluruhnya fisiologi hormon tiroid yang diketahui. Saat ini
diketahui bahwa hormon tiroid berperan penting dalam pembentukan kalori, pada
metabolisme karbohidrat, protein dan kolesterol serta proses pertumbuhan.
Hormon tiroid juga berhubungan erat dengan fungsi katekolamin dalam tubuh.6

- Pembentukan Kalori

Hormon ini bekerja dengan cara meningkatkan komsumsi oksigen pada


hampir semua jaringan tubuh yang aktif dalam metabolisme, kecuali pada otak,
hipofisis anterior, limpa dan kelenjar limfe. Dengan meningkatnya taraf
metabolisme, maka kebutuhan tubuh akan semua zat makanan juga bertambah.
Tiroksin juga berperan dalam proses termogenesis, yaitu dengan meningkatkan
produksinya pada suhu dingin, yang berarti memperbanyak pembentukan kalori
selain dari adanya vasodilatasi perifer dan bertambahnya curah jantung.

- Metabolisme Karbohidrat

Hormon tiroid bekerja dengan mempercepat penyerapan karbohidrat dari


usus dan efek ini tidak bergantung pada pada efek kalorigeniknya. Pada keadaan
hipertiroidisme, simpanan glikogen hati sangat sedikit karena proses katabolisme
yang tinggi disertai bertambahnya sekresi katekolamin(adrenalin). Oleh karena itu
pada penderita hipertiroidisme akan ditemukan gambaran kurva uji toleransi
glukosa oral yang sangat khas.

-Metabolisme Protein

Hormon tiroid (tiroksin) dalam kadar normal akan memperlihatkan efek


anabolik berupa sintesis RNA dan protein yang bertambah. Sebaliknya pada kadar
yang berlebihan, justru akan terjadi hambatan sintesis RNA, sehingga terjadi
keseimbangan nitrogen negatif. Pada kadar sangat tinggi, tiroksin dapat
menimbulkan uncoupling pada proses fosforilasi oksidatif, sehingga ATP
berkurang dan pembentukan panas bertambah.

9
Universitas Tarumanagara
-Metabolisme Lemak dan Kolesterol

Tiroksin akan merangsang proses lipolisis dan pelepasan asam lemak


bebas dari jaringan lemak. Disamping itu juga terdapat rangsangan terhadap sel
hati untuk metabolisme dan sintesis kholesterol. Adanya penurunan kadar
kholesterol disebabkan oleh proses metabolisme melebihi proses sintesisnya.

-Pertumbuhan

Efek hormon tiroid untuk proses pertumbuhan berhubungan erat dengan


pengaruhnya terhadap berbagai jenis enzim, metabolisme karbohidrat,lemak dan
protein.

-Sistem Saraf

Efek yang terjadi mungkin sebagian disebabkan oleh sekresi katekolamin


yang meningkat, sehingga beberapa pusat dalam formasio retikularis menjadi
lebih aktif. Refleks tendon dalam (deep reflex tendon) juga dipengaruhi dan
biasanya akan jauh lebih cepat daripada normal.

2.5 Patofisiologi

Hipertiroid adalah suatu keadaan klinik yang ditimbulkan oleh sekresi


berlebihan dari hormon tiroid yaitu tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3).
Didapatkan pula peningkatan produksi triiodotironin (T3) sebagai hasil
meningkatnya konversi tiroksin (T4) di jaringan perifer.2

Dalam keadaan normal hormon tiroid berpengaruh terhadap metabolisme


jaringan, proses oksidasi jaringan, proses pertumbuhan dan sintesa
protein.Hormon-hormon tiroid ini berpengaruh terhadap semua sel-sel dalam
tubuhmelalui mekanisme transport asam amino dan elektrolit dari cairan
ekstraselulerkedalam sel, aktivasi/sintesa protein enzim dalam sel dan
peningkatan proses-proses intraseluler.2

10
Universitas Tarumanagara
Dengan meningkatnya kadar hormon ini maka metabolisme jaringan,
sintesa protein terpengaruh, keadaan ini secara klinis akan terlihat dengan adanya
palpitasi, takikardi, fibrilasi atrium, kelemahan, banyak keringat, nafsu makan
yang meningkat, berat badan yang menurun. Kadang - kadang gejala klinis yang
ada hanya berupa penurunan berat badan, payah jantung, kelemahan otot serta
sering buang air besar yang tidak diketahui sebabnya.2

Patogenesis GD masih belum jelas diketahui. Diduga peningkatan kadar


hormon tiroid ini disebabkan oleh suatu aktivator tiroid yang bukan TSH yang
menyebabkan kelenjar tiroid hiperaktif. Aktivator ini merupakan antibodi
terhadap reseptor TSH, sehingga disebut sebagai antibodi reseptor TSH. Antibodi
ini sering juga disebut sebagai thyroid stimulating immunoglobulin(TSI). Dan
ternyata TSI ini ditemukan pada hampir semua penderita GD.2

Selain itu pada GD sering pula ditemukan antibodi terhadap tiroglobulin


dan anti mikrosom. Penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa kedua antibodi ini
mempunyai peranan dalam terjadinya kerusakan kelenjar tiroid. Antibodi
mikrosom ini bisa ditemukan hampir pada 60 -70% penderita PG, bahkan dengan
pemeriksaan radioassay bisa ditemukan pada hampir semua penderita, sedangkan
antibodi tiroglobulin bisa ditemukan pada 50% penderita. Terbentuknya
autoantibodi tersebut diduga karena adanya efek dari kontrol immunologik
(immunoregulation) defek ini dipengaruhi oleh faktor genetik seperti HLA dan
faktor lingkungan seperti infeksi atau stress.7

11
Universitas Tarumanagara
Gambar 4. Patogenesis Graves Disease (Paulev dan Zubieta)8

Gambar 5. TSH dan Kelenjar Tiroid Orang Sehat dan Penderita Graves
Disease

Sumber : (Toft, 2001)7

12
Universitas Tarumanagara
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya penyakit Grave memiliki 4 gejala utama
yaitu tirotoksikosis, goiter, opthalmopati, dan dermopati. Adapun patogenesis dari
masing-masing gejala sebagai berikut :

-Tirotoksikosis

Hampir semua patogenesis penyakit ini melibatkan faktor immunologi.


Hiperaktivitas terjadi karena tersensitasinya T-helper. Tersensitasinya T-helper ini
akan berespon terhadap antigen yang terdapat pada tiroid, yang selanjutnya
memacu sel B untuk membentuk antibodi TSI (Thyroid-stimulating
immunoglobulin) yang menurut hipotesis para ahli dapat meningkat cAMP
sehingga memacu terjadinya tirotoksikosis, TgAb (thyroglobulin antibody) yang
dapat meningkatkan tiroglobulin dan TPO Ab (Thyroperoksidase antibody) yang
dapat memacu kerja enzimperoksidase.

- Ophtalmopathy

Diantara otot-otot mata dan dinding tulang orbita terdapat space yang diisi
oleh jaringan lemak yang disebut sebagai retrobulbar fat (corpus adiposum
orbitae) berfungsi sebagai bantalan apabila mata terkena trauma. Akibat proses
autoimun terbentuk antibodi yang menyerang otot retrobular dan jaringan lemak
tersebut menyebabkan terjadinya proses inflamasi disertai pembengkakan.
Pembengkakan tersebut menyebabkan bola mata terdorong ke arah luar
(eksoftalmus) dan menjepit otot-otot mata (menyebabkan orbital myositis).9,10

- Takikardi, anxietas, berkeringat

Hormon thyroid merangsang medulla adrenal untuk mensekresikan


katekolamin. Jumlah epinefrine normal tetapi ada peningkatan pada norepinefrine
yang bekerja pada sistem saraf simpatik. Terangsangnya sistem saraf simpatik
ternyata memberikan efek perangsangan pada daerah hipotalamus dan ganglia
basalis. Seperti yang diketahui bahwa hipotalamus berfungsi sebagai regulator
vegetatif (detak jantung, pernafasan, sekresi kelenjar,berkeringat, dll) pada tubuh
dan ganglia basalis (sebagai pusat emosi danpusat nafsu makan).

13
Universitas Tarumanagara
2.6 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesis

Gambaran klinik hipertiroid dapat ringan dengan keluhan-keluhan yang


sulit dibedakan dari reaksi kecemasan, tetapi dapat berat sampai mengancam jiwa
penderita karena timbulnya hiperpireksia, gangguan sirkulasi dan kolaps. Keluhan
utama biasanya berupa salah satu dari meningkatnya nervositas, berdebar-debar
atau kelelahan. Dari penelitian pada sekelompok penderita didapatkan 10 gejala
yang menonjol yaitu:2

- Nervositas

− Kelelahan atau kelemahan otot-otot

− Penurunan berat badan sedang nafsu makan baik

− Diare atau sering buang air besar

− Intoleransi terhadap udara panas

− Keringat berlebihan

− Perubahan pola menstruasi

− Tremor

− Berdebar-debar

− Penonjolan mata dan leher

Gejala-gejala hipertiroid ini dapat berlangsung dari beberapa hari sampai


beberapa tahun sebelum penderita berobat ke dokter, bahkan sering seorang
penderita tidak menyadari penyakitnya.2

14
Universitas Tarumanagara
Pemeriksaan Fisik

Yang perlu dinilai pada Graves disease :

 Inspeksi
◦ cemas / gelisah
◦ Tubuh hiperaktif
◦ Clubbing pada jari tangan
◦ Peripheral tremor
◦ Telapak tangan apakah tampak basah
◦ Palmar eritema
 Pulse Rate
◦ >100 x/menit
 Inspeksi wajah
◦ Berkeringat
◦ Lid retraction
◦ Eksoftalmus
 Eye Movement
◦ H Test  Nyeri saat menggerakan bola mata, penglihatan ganda
◦ Lid Lag  keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti arah
pergerakan bola mata
 Inspeksi Kelenjar Tiroid dan sekitarnya
◦ Pembengkakan pada leher (lokasi, ukuran , jumlah, bentuk).
◦ Naik turun saat sedang menelan ?
◦ Apakah nampak pulsasi ?
 Palpasi Kelenjar Tiroid
o Perluasan dan tepi
o Gerakan saat menelan
o Limfonodi dan jaringan sekitarnya
 Palpasi Trakea
o Deviasi trakea

15
Universitas Tarumanagara
 Auskultasi kelenjar Tiroid
o Bruit atau bising
 Inspeksi kaki
o pre tibial myxodema
 Test Khusus
o Pumberton’s sign: mengangkat kedua tangan ke atas, muka
menjadi merah.

Gambar 6. Eksoftalmus pada Penderita Graves Disease

Sumber: (Toft.2001)7

Untuk daerah di mana pemeriksaan laboratorik yang spesifik untuk


hormontiroid tak dapat dilakukan, penggunaan indeks Wayne atau Indeks New
Castle sangat membantu menegakkan diagnosis hipertiroid.3

16
Universitas Tarumanagara
Tabel 1. Indeks New Castle dan Wayne
Sumber : (Shahab,2002)3

17
Universitas Tarumanagara
Untuk konfirmasi diagnosis perlu dilakukan pemeriksaan hormon tirid
(thyroid function test), seperti kadar T4 dan T3, kadar T4 bebas atau free
thyroxine index (FT4). Adapun pemeriksaan lain yang dapat membantu
menegakkan diagnosis antara lain: pemeriksaan antibodi tiroid yang meliputi anti
tiroglobulin dan anti mikrosom, pengukuran kadar TSH serum, test penyimpanan
yodium radioaktif (radioactive iodine uptake) dan pemeriksaan sidik tiroid
(thyroid scanning).3

2.7 Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan TSH merupakan pemeriksaan hemat biaya, sensitif dan


spesifik. Pada penyakit Graves disease kadarnya akan lebih rendah dari nilai
normal.

FT 4 merupakan pemeriksaan yang sensitif, dan peningkatan kadarnya


pada Graves disease memperlihatkan keperparahan penyakit.11

Diagnosis sudah dapat ditegakkan dengan adanya penurunan kadar TSH


dan peningkatan kadar FT4, walaupun penyebab tidak diketahui. Apabila dari
hasil pemeriksaan didapatkan kadar FT4 dalam batas normal, maka sebaiknya
boleh dilakukan pengulangan 1 kali untuk menghindari kesalahan dan
ditambahkan dengan pemeriksaan FT3.11

T4 tidak menjadi pilihan pertama karena tidak sensisitf. Pada keadaan


dimana serum protein yang mengikat T4 mengalami depresi yang dapat
diakibatkan oleh penyakit berat, hasilnya dapat normal pada pasien dengan
tirotoksikosis.11

T3 merupakan pemeriksaan sekunder yang berguna, tetapi secara umum


tidak diperlukan karena bisa menjadi tidak sensitif pada keadaan : penyakit hati,
malnutrisi dan pengguna steroid / propanolol karena ketiga keadaan tersebut dapat

18
Universitas Tarumanagara
menginhibisi deiodenasi T4 menjadi T3 pada perifer. Kemudian pada keadaan
ketoasidosis diabetikum, T3 dapat ditemukan normal pada pasien tirotoksikosis.11

FT3 memiliki keefektifitasan yang sama dengan FT4. FT3 banyak


digunakan di Eropa , sedangkan di Amerika Serikat lebih sering menggunakan
FT4.11

Gambar 7. Kelainan Laboratorium Pada Keadaan Hipertiroidisme


Sumber : (Shahab,2002)3

Tirotropin Reseptor Assay (TSIs) berfungsi untuk menegakkan diagnosis Grave


disease. Tes faal hati untuk monitoring kerusakan hati karena penggunaan obat
antitiroid seperti thioamides. Pemeriksaan Gula darah pada pasien diabetes,
penyakit grave dapatmemperberat diabetes, sebagai hasilnya dapat terlihat kadar
A1C yang meningkat dalam darah. Kadar antibodi terhadap kolagen XIII
menunjukan Grave Oftalmopati yang sedang aktif.3

19
Universitas Tarumanagara
B. Pemeriksaan Radiologi

Foto Polos Leher mendeteksi adanya kalsifikasi, adanya penekananpada


trakea, dan mendeteksi adanya destruksi tulang akibat penekanankelenjar yang
membesar.3

Radio Active Iodine (RAI) scanning dan memperkirakan kadar uptake


iodium berfungsi untuk menentukan diagnosis bandingpenyebab hipertiroid.3

USG murah dan banyak digunakan sebagai pemeriksaan radiologi pertama


pada pasien hipertiroid dan untuk mendukung hasilpemeriksaan laboratorium.3

CT Scan evaluasi pembesaran difus maupun noduler, membedakan massa


dari tiroid maupun organ di sekitar tiroid, evaluasi laring, trakea(apakah ada
penyempitan, deviasi dan invasi).3

MRI untuk evaluasi Tumor tiroid (menentukan diagnosis banding kasus


hipertiroid).3

Radiografi nuklir dapat digunakan untuk menunjang diagnosis jugasebagai


terapi.3

C. Pemeriksaan Jarum Halus

Pemeriksaan sitologi nodul tiroid diperoleh dengan aspirasi jarum halus.


Pemeriksaan ini berguna untuk menetapkan diagnosis pasti secara histologi.

20
Universitas Tarumanagara
2.8 Diagnosis Banding

Thyrotoxicosis factitia

Disebabkan oleh penggunaan T4 atau analognya, paling sering karena pemberian


hormon pengganti yang berlebihan. Temuan khasnya adalah kelenjar tiroid
normal atau kecil, serapan rendah131-I, TG serum rendah, dan, kurangnya respon
terhadap terapi obat antitiroid.11

Toxic nodular goiter

Biasanya dibedakan dengan pemeriksaan fisik yang teliti dan riwayat gondok
selama bertahun-tahun sebelum gejala hipertiroidisme berkembang.
Tirotoksikosis datang secara diam-diam, dan sering pada orang tua. Hasil tes
untuk antibodi antitiroid termasuk TRAb biasanya negatif.11

Hyperfunctioning solitary adenoma

Dicurigai pada temuan fisik nodul teraba di kelenjar normal, dan dibuktikan oleh
scintiscan yang menunjukkan akumulasi radioisotop dalam nodul. Jenis adenoma
ini harus dibedakan dari ketiadaan kongenital salah satu lobus tiroid. Nodul toksik
biasanya muncul pada orang dewasa dengan hipertiroidisme yang berkembang
secara bertahap dan nodul > 3 cm. Nodul ini biasanya disebabkan oleh aktivasi
mutasi somatik di TSH-R, yang memberi mereka fungsi yang sedikit meningkat,
dibandingkan dengan jaringan normal, bahkan tanpa adanya TSH. Pada orang
dewasa nodul toksik sangat jarang diakibatkan oleh keganasan. Jarang, fungsi
karsinoma tiroid menghasilkan tirotoksikosis. Diagnosis dibuat oleh riwayat
ketiadaan tiroid normal, dan biasanya metastasis luas di paru-paru atau tulang.

21
Universitas Tarumanagara
2.9 Penatalaksanaan

Istirahat

Hal ini diperlukan agar hipermetabolisme pada penderita tidak makin


meningkat. Penderita dianjurkan tidak melakukan pekerjaan yang
melelahkan/mengganggu pikiran balk di rmah atau di tempat bekerja. Dalam
keadaan berat dianjurkan bed rest total di Rumah Sakit.3

Diet

Diet harus tinggi kalori, protein, multivitamin serta mineral. Hal ini antara
lain karena : terjadinya peningkatan metabolisme, keseimbangan nitrogen yang
negatif dan keseimbangan kalsium yang negatif.3

Obat penenang

Mengingat pada GD sering terjadi kegelisahan, maka obat penenang dapat


diberikan. Di samping itu perlu juga pemberian psikoterapi.3

Obat Antitiroid

Obat-obat yang termasuk golongan ini adalah thionamide, yodium,lithium,


perchlorat dan thiocyanat. Obat yang sering dipakai dari golongan thionammide
adalah propylthiouracyl (PTU), 1 – methyl – 2 mercaptoimidazole(methimazole,
tapazole, MMI), carbimazole. Obat ini bekerja menghambat sintesis hormon
tetapi tidak menghambat sekresinya, yaitu dengan menghambatterbentuknya
monoiodotyrosine (MIT) dan diiodotyrosine (DIT), serta menghambat coupling
diiodotyrosine sehingga menjadi hormon yang aktif. PTU juga menghambat
perubahan T4 menjadi T3 di jaringan tepi, serta harganya lebih murah sehingga
pada saat ini PTU dianggap sebagai obat pilihan.3

Obat antitiroid diakumulasi dan dimetabolisme di kelenjar gondok


sehingga pengaruh pengobatan lebih tergantung pada konsentrasi obat dalam
kelenjar dari pada di plasma. MMI dan carbimazole sepuluh kali lebih kuat dari
pada PTU sehingga dosis yang diperlukan hanya satu persepuluhnya.3

22
Universitas Tarumanagara
Dosis obat antitiroid dimulai dengan 300 - 600 mg perhari untuk PTU atau
30 - 60 mg per hari untuk MMI/carbimazole, terbagi setiap 8 atau 12 jam atau
sebagai dosis tunggal setiap 24 jam. Dalam satu penelitian dilaporkan bahwa
pemberian PTU atau carbimazole dosis tinggi akan memberi remisi yang lebih
besar.3

Yodium

Pemberian yodium akan menghambat sintesa hormon secara akut


tetapidalam masa 3 minggu efeknya akan menghilang karena adanya escape
mechanism dari kelenjar yang tiroid, sehingga meski sekresi terhambat sintesa
tetap ada. Akibatnya terjadi penimbunan hormon dan pada saat yodium dihentikan
timbul sekresi berlebihan dan gejala hipertiroidi menghebat. Pengobatan dengan
yodium digunakan untuk memperoleh efek yang cepat seperti pada krisis tiroid
atau untuk persiapan operasi. Sebagai persiapan operasi, biasanya digunakan
dalam bentuk kombinasi. Dosis yang diberikan biasanya 15 mg perhari dengan
dosis terbagi yang diberikan 2 minggu sebelum dilakukan pembedahan. 3

B Blocker

Terjadinya keluhan dan gejala hipertiroidi diakibatkan oleh adanya


hipersensitivitas pada sistim simpatis. Meningkatnya rangsangan sistem simpatis
ini diduga akibat meningkatnya kepekaan reseptor terhadap katekolamin.
Penggunaan obat-obatan golongan simpatolitik diperkirakan akan menghambat
pengaruhnya. Reserpin, guanetidin dan penyekat beta (propranolol) merupakan
obat yang masih digunakan. Berbeda dengan reserpin/guanetidin, propranolol
lebih efektif terutama dalam kasus-kasus yang berat. Biasanya dalam 24 - 36 jam
setelah pemberian akan tampak penurunan gejala. Akan timbul efek penurunan
denyut jantung permenit, penurunan cardiac output, pengurangan nervositas,
pengurangan produksi keringat dan pengurangan tremor.

Di samping pengaruh pada reseptor beta, propranolol dapat menghamba


tkonversi T4 ke T3 di perifer. Bila obat tersebut dihentikan, maka dalam waktu ±
4- 6 jam hipertiroid dapat kembali lagi. Hal ini penting diperhatikan, karena
penggunaan dosis tunggal propranolol sebagai persiapan operasi dapat

23
Universitas Tarumanagara
menimbulkan krisis tiroid sewaktu operasi. Penggunaan propranolol antara lain
sebagai: persiapan tindakan pembedahan atau pemberian yodium radioaktif,
mengatasi kasus yang berat dan krisis tiroid.3

Tindakan Pembedahan

Indikasi utama untuk melakukan tindakan pembedahan adalah mereka


yang berusia muda dan gagal atau alergi terhadap obat-obat antitiroid. Tindakan
pembedahan berupa tiroidektomi subtotal juga dianjurkan pada penderita dengan
keadaan yang tidak mungkin diberi pengobatan dengan I 131. (wanita hamil atau
yang merencanakan kehamilan dalam waktu dekat). Indikasi lain adalah mereka
yang sulit dievaluasi pengobatannya, penderita yang keteraturannya minum obat
tidak terjamin atau mereka dengan struma yang sangat besar dan mereka yang
ingin cepat eutiroid atau bila strumanya diduga mengalami keganasan, dan alasan
kosmetik. Untuk persiapan pembedahan dapat diberikan kombinasi antara
thionamid, yodium atau propanolol guna mencapai keadaan eutiroid. Thionamid
biasanya diberikan 6 - 8 minggu sebelum operasi, kemudian dilanjutkan dengan
pemberian larutan Lugol selama 10 - 14 hari sebelum operasi. Propanolol dapat
diberikan beberapa minggu sebelum operasi, kombinasi obat ini dengan Yodium
dapat diberikan 10 hari sebelum operasi. Tujuan pembedahan yaitu untuk
mencapai keadaan eutiroid yang permanen. 3

Ablasi Dengan Yodium

Sejak ditemukannya I 131 terjadi perubahan dalam bidang pengobatan


hipertiroid. Walaupun dijumpai banyak komplikasi yang timbul setelah
pengobatan, namun karena harganya murah dan pemberiannya mudah, cara ini
banyak digunakan.3

Penetapan dosis I 131 didasarkan atas derajat hiperfungsi serta besar dan
beratnya kelenjar gondok. Dosis yang dianjurkan ± 140 - 160 micro Ci/gramatau
dengan dosis rendah ± 80 micro Ci/gram.3

24
Universitas Tarumanagara
2.10 Komplikasi

Krisis Tiroid

Krisis tiroid adalah hipertiroidisme akut dan mengancam jiwa, ditandai


dengan eksaserbasi gejala dan tanda-tanda hipertiroidisme, dengan demam tinggi,
dehidrasi, takikardia atau takiaritmia, gagal jantung, hepatomegali, gangguan
pernapasan, sakit perut, delirium, kemungkinan kejang . Ini dapat terjadi pada
pasien hipertiroid pasca tiroidektomi, pengobatan yodium radioaktif, atau sebagai
konsekuensi dari infeksi pada pasien hipertiroid. 12

Orbitopati Graves

Gravesopathy (GO) adalah manifestasi extrathyroidal utama dan paling


sering dari penyakit Grave, meskipun mungkin lebih jarang terjadi pada pasien
dengan tiroiditis Hashimoto atau tampaknya tanpa kelainan tiroid (disebut
penyakit Graves Euthyroid).12

Gambar 8. Kelainan Laboratorium Pada Keadaan


Hipertiroidisme. Perhatikan pembengkakan periorbital, injeksi pembuluh
konjungtiva, proptosis, retraksi tutup ditandai, dan proptosis.

Sumber : (Bartalena,2000)12

Dermopathy thyroid

Dermopati tiroid (juga disebut myxedema pretibial atau myxedema terlokalisasi)


merupakan manifestasi ekstrathyroidal yang jarang dari penyakit Grave. Lesi kulit
adalah plak edematous dan menebal, biasanya terlokalisir di area pretibial; namun

25
Universitas Tarumanagara
lebih jarang ditemukan di area kulit lainnya, seperti kaki, jari kaki, ekstremitas
atas, bahu, punggung atas, hidung. 12

Gambar 9. Dermopathy thyroid


Sumber : (Bartalena,2000)12

26
Universitas Tarumanagara
BAB III

KESIMPULAN

1. Graves Disease adalah penyakit autoimun dimana tiroid terlalu aktif,


menghasilkan jumlah yang berlebihan dari hormon tiroid (ketidak seimbangan
metabolisme serius yang dikenal sebagai hipertiroidisme dan tirotoksikosis) dan
kelainannya dapat mengenai mata dan kulit.
2.Angka kejadian Graves Disease pada wanita sebanyak 5 kali lipat dari pada
laki-laki dengan usia bervariasi antara 20-40 tahun (perempuan: laki-laki dari
kejadian 5:01-10:01).
3.Patogenesis Graves Disease diduga peningkatan kadar hormon tiroid ini
disebabkan oleh suatu aktivator tiroid yang bukan TSH yang menyebabkan
kelenjar tiroid hiperaktif.
4.Penegakan diagnosis meliputi anamnesia (keluhan yang berhubungan dengan
tirotoksikosis), pemeriksaan fisik ditemukan gejala utama berupa goiter,
opthalmopati, & dermopati, dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
laboratorium (peningkatan kadar T3 dan T4) dan pemeriksaan radiologi yang
meliputi foto polos leher, radio active iodine (RAI), USG, CT scan, dan MRI
5.Pengobatan Graves Disease terdiri dari pengobatan umum (istirahat, diet,
danobat penenang), pengobatan khusus (obat antitiroid, yodium, penyekat
beta,dan ablasi kelenjar gondok), dan pengobatan dengan penyulit (kehamilan
dengan Graves disease, eksoftalmus, dan krisis tiroid).

27
Universitas Tarumanagara
DAFTAR PUSTAKA

1. Jasalim, Umar. 2011. Struma Difusa Toksik. FK Universitas


Mulawarman.Samarinda.
2. Hermawan, A. G. 2000. Pengelolahan dan Pengobatan Hipertiroid. FK
Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
3. Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis
danPenatalaksanaannya, Bulletin PIKKI : Seri Endokrinologi-Metabolisme,Edisi
Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002 : hal 9-184.
4. Sitorus, M. S. 2004. Anatomi Klinis Kelenjar Thyroid . FK USU. Medan.
5. Hidayat, N. Y. 2009. Sistem Hormon. Tanggal 21 September 2012available
fromhttp://yusnia-bio.blogspot.com/2009/04/sistem-hormon-hormon-adalah-zat-
kimia.html
6. Price, S. A. dan Lorraine, M. W. 2006. Konsep Klinis Proses-ProsesPenyakit.
EGC. Jakarta.
7. Toft AD, Subclinical hyperthyroidism[Clinical Practice], N. Engl. J. Med.
345:512-516, 2001
8. Paulev and Zubieta. Thyroid Hormones and Disorders. Tanggal 21September
2012 available fromhttp://www.zuniv.net/physiology/book/chapter28.html.
9. Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono T H,et al. Buku Ajar Ilmu
Bedah (Edisi 3) . Jakarta : EGC (2010). 1083 halaman : 807.
10. Exophtalmus (bulging eyes). National Health Service from united kingdom
(internet). Available from: https://www.nhs.uk/conditions/bulging-eyes/.
11. DeGroot LJ. Diagnosis and Treatment of Graves’ Disease. In: De Groot LJ,
Chrousos G, Dungan K, Feingold KR, Grossman A, Hershman JM, et al., editors.
Endotext [Internet]. South Dartmouth (MA): MDText.com, Inc.; 2000 [cited 2018
May 13]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK285548/
12. Bartalena L. Graves’ Disease: Complications. In: De Groot LJ, Chrousos G,
Dungan K, Feingold KR, Grossman A, Hershman JM, et al., editors. Endotext

28
Universitas Tarumanagara
[Internet]. South Dartmouth (MA): MDText.com, Inc.; 2000 [cited 2018 May 13].
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK285551/

29
Universitas Tarumanagara

Anda mungkin juga menyukai