Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer disebut
dengan Tonsilitis. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila fausial), tonsila lingual
(tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil).
Peradangan pada tonsila palatina biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran
infeksi terjadi melalui udara (air borne droplets), dan kontak langsung melalui tangan atau
berciuman.Tonsilitis terjadi pada semua umur, terutama pada anak.1,2
Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk strain
bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus, dan virus
herpes simplex. Salah satu penyebab tersering pada tonsilitis adalah bakteri grup A
Streptococus beta hemolitik (GABHS), 30% dari tonsilitis anak dan 10% kasus dewasa dan
juga merupakan penyebab radang tenggorokan.3
Tonsilitis kronik adalah peradangan pada tonsil yang persisten dan berpotensi
membentuk formasi batu tonsil.4 Tonsilitis kronis merupakan salah satu penyakit yang paling
umum dari daerah oral dan ditemukan terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini karena
peradangan kronis pada tonsil. Data dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis klinis
didefinisikan oleh kehadiran infeksi berulang dan obstruksi saluran napas bagian atas karena
peningkatan volume tonsil. Kondisi ini mungkin memiliki dampak sistemik, terutama ketika
dengan adanya gejala seperti demam berulang, odinofagia, sulit menelan, halitosis dan
limfadenopati servikal dan submandibula.5 Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik
ialah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang
buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.1

1
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Tonsil


Tonsil merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan
ikat dengan kriptus didalamnya. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsila faringeal (adenoid),
tonsil palatina dan tonsila lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut
cincin Waldeyer. Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak didalam fossa
tonsil. Pada kutub atas tonsil sering kali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa
kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah.1

Gambar 1. Cincin Waldeyer 2

Tonsil faringeal atau yang disebut juga adenoid merupakan massa limfoid yang
berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus
atau segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan
celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid
terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan
pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium
tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada umumnya
adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami
regresi.1
Letak Tonsil lingua di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh ligamentum
glosoepiglotica. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada

2
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor
apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkum valata. Tempat ini kadang-kadang
menunjukkan penjalaran duktus tiroglossus dan secara klinik merupakan tempat penting bila
ada massa tiroid lingual (lingual thyroid) dan kista duktus tiroglosus.1

Gambar 2. Struktur tonsil6

Tonsila palatina merupakan dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang terletak
pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsilaris. Tiap tonsila ditutupi membran mukosa
dan permukaan medialnya yang bebas menonjol kedalam faring. Permukaannnya tampak
berlubang-lubang kecil yang berjalan ke dalam kripta tonsilaris yang berjumlah 6-20 kripte.
Pada bagian atas permukaan medial tonsila terdapat sebuah celah intratonsil dalam.
Permukaan lateral tonsila ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut capsula tonsila
palatina, terletak berdekatan dengan tonsila lingualis.1,2Adapun struktur yang terdapat
disekitar tonsila palatina adalah arcus palatoglossus di anterior, arcus palatopharyngeus di
posterior, palatum mole di superior, 1/3 posterior lidah di inferior, ruang orofaring di medial,
dan m. konstrictor faringeus superior di lateral.5,6
Tonsil palatina berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm. Tonsil tidak selalu mengisi
seluruh fossa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fossa supratonsilar.
Tonsil palatina terletak di lateral orofaring. Secara mikroskopik tonsil terdiri atas tiga
komponen yaitu jaringan ikat, folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan
interfolikel (terdiri dari jaringan limfoid).1
Tonsila palatina berada dalam fossa tonsilaris. Fossa tonsilaris adalah sebuah resessus
berbentuk segitiga pada dinding lateral orofaring diantara arcus palatoglossus di depan dan
arcus palatopharyngeus dibelakang.6 Batas lateralnya adalah m.konstriktor faring superior.
Pada batas atas yang disebut kutub atas (upper pole) terdapat suatu ruang kecil yang
dinamakan fossa supra tonsila. Fossa ini berisi jaringan ikat dan biasanya merupakan tempat
3
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor
nanah pecah keluar bila terjadi abses. Fossa tonsila diliputi oleh fasia yang merupakan
bagian dari fasia bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan kapsul.1

Vaskularisasi

Gambar 3. Vaskularisasi Tonsil6

Tonsil mendapat darah dari arteri palatina asenden, cabang tonsillar dari arteri fasialis,
arteri faring asendens dan arteri lingualis dorsal. Vena-vena menembus m.constrictor
pharyngeus superior dan bergabung dengan vena palatine eksterna, vena pharyngealis, atau
vena facialis.6

Aliran Kelenjar Getah Bening


Pembuluh-pembuluh limfe tonsil bergabung dengan nodi limfoid profundi. Nodus
yang terpenting dari kelompok ini adalah nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan
belakang angulus mandibula6 Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian
getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus
torasikus. 2

4
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor
Gambar 4. Aliran limfatik tonsil 6

Inervasi
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden nervus palatina. 6

Gambar 5. Inervasi Tonsil 6

5
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor
Fungsi Tonsil
Tonsila palatina adalah jaringan limfoepitel yang berperan penting dalam sistem
pertahanan tubuh terutama terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau
masuk ke saluran nafas (virus, bakteri, dan antigen makanan). Mekanisme pertahanan dapat
bersifat spesifik atau non spesifik, apabila patogen menembus lapisan epitel maka sel-sel
fagositik mononuklear pertama-tama akan mengenal dan mengeliminasi antigen.8
Di dalam tosnsil terdapat jaringan limfoid yangmengandung sel limfosit, 0,1-0,2%
dari kesuluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan T pada tonsil
adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil terdapat sistem imun
kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan antigen presenting
cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi APCs
(sintesis immunoglobulin spesifik). Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel
pembawa Ig G. Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi
dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu
menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi
antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.8,9
Tonsil terdiri dari jaringan kelenjar limfe yang berbentuk oval dan terletak pada kedua
sisi belakang tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah terjadinya
infeksi. Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke
tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk memproduksi
antibodi untuk membantu melawan infeksi. Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar
benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi
terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 – 10 tahun. 8,9

2.2 Tonsilitis Kronik


2.2.1. Definisi
Peradangan kronik tonsila palatina lebih dari 3 bulan setelah serangan akut yang
terjadi secara berulang-ulang disebut tonsilitis kronik. Terjadi perubahan histologi pada tonsil
dan terdapat jaringan fibrotik yang menyelimuti mikroabses serta dikelilingi oleh sel-sel
radang.4
Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan tonsil
tampak sehat. Tetapi tidak jarang tonsil diluar serangan terlihat membesar disertai dengan

6
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor
hiperemi rigan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan dapat mengeluarkan
detritus.

2.2.2. Epidemiologi
Insidensi tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak. Tonsilitis yang disebabkan
oleh spesies Streptokokus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan tonsilitis
virus lebih sering terjadi pada anak-anak muda.2,8 Data epidemiologi menunjukkan bahwa
penyakit tonsilitis kronik merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun dan
dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu penelitian prevalensi Streptokokus group A
yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% pada usia 15-44 tahun,
dan 0,6 % pada usia 45 tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia
tersering penderita tonsilitis kronik adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % .
Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita tonsilitis kronik terbanyak
sebesar 62 % pada kelompok usia 5-14 tahun.9

2.2.3. Etiologi
Terdapat beberapa organisme yang dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk
bakteri aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronik, jenis
kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA).
Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun dapat
menjadi patogen infeksius yang memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat
disebabkan Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella
catarrhalis.4,1
Infeksi yang diakibatkan oleh virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan
pengobatan khusus karena dapat ditangani sendiri oleh daya tahan tubuh. Penyebab paling
banyak dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks (pada remaja).
Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi oleh coxackie virus A, yang menyebabkan
timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil. Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi
mononukleosis, dapat menyebabkan pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan
obstruksi jalan napas yang akut.10
Infeksi akibat jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di kalangan
bayi atau pada anak-anak dengan immunocompromised.10

7
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor
2.2.4. Patofisiologi
Proses peradangan mulai terjadi pada satu atau lebih kripta tonsil kemudian karena
proses radang berulang maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan
mengerut sehingga kripta akan melebar. Secara klinis kripta ini akan tampak diisi oleh
dendritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi
kripta berupa eksudat berwarna kekuning kuningan). Proses ini meluas hingga menembus
kapsul dan akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-
waktu kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun.1

2.2.5. Faktor Resiko


Beberapa faktor resiko timbulnya tonsilitis kronik antara lain:1
1. Rangsangan menahun (kronik) dari rokok dan beberapa jenis makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik
5. Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat

2.2.6 Gejala Klinis


Gejala yang dikeluhkan sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah nyeri
tenggorok yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna atau saluran napas.
Gejala lain yang dapat ditemukan adalah demam, namun tidak mencolok.11,12
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata, kripta
melebar dan beberapa kripta terisi oleh dendritus. Terasa ada yang mengganjal dan kering di
tenggorokan, serta napas yang berbau.1 Pada tonsilitis kronik juga sering disertai pembesaran
nodul servikal.2 Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh
dimasukkan kedalam kategori tonsilitis kronik berupa (a) pembesaran tonsil karena hipertrofi
disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta melebar di atasnya tertutup oleh eksudat yang
purulen. (b) tonsil tetap kecil, biasanya mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam
tonsilar bed dengan bagian tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat
yang purulen.4

8
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor
Gambar 6. Tonsilitis kronik4

Rasio perbandingan tonsil dengan orofaring dapat diukur dengan mengukur jarak antara
kedua pilar anterior dibandingkan dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi :
a. T0 : (tonsil di dalam fossa atau sudah diangkat).
b. T1 : (<25%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas medial
tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar anterior- uvula).
c. T2 : (25-50%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas medial
tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula sampai ½ jarak pilar anterior-uvula).
d. T3 : (50-75%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas medial
tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula).
e. T4 : (>75%, volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring atau batas medial
tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih).4,5,6

Gambar 7. Gambar Pembesaran Tonsil: (A) T1 (B) T2 (C) T3 (D) T410

9
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita tonsilitis kronik:
 Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk mengeradikasi kuman
patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil. Kegagalan mengeradikasi
organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian pemberian antibiotika atau penetrasi
antibiotika yang inadekuat. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam
tonsil. Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diikuti
Staphylokokus aureus.11
 Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turki terhadap 480
spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosis tonsilitis kronis dapat ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria histopatologi yaitu infiltrasi
limfosit ringan sampai sedang, adanya Ugra’s abses dan infitrasi limfosit yang difus.
Kombinasi ketiga hal tersebut dapat dengan jelas menegakkan diagnosa Tonsilitis
Kronis.5

2.2.8. Diagnosis
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsilitis berulang berupa
nyeri tenggorok berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal ditenggorok, ada rasa
kering di tenggorok, napas berbau, dan obstruksi pada saluran cerna atau saluran napas yang
paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala lain yang dapat ditemukan
seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat ditemukan adanya pembesaran
kelenjar limfa submandibular.1,

2.2.9. Diagnosis Banding


1. Tonsilitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang yang
terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin dalam
darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup memberikan
dasar imunitas. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10
tahun dan frekuensi tertinggi pada usia sekitar 5 tahun. Gejala klinik terbagi dalam 3
golongan yaitu: umum, lokal, dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti

10
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor
gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang
tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin
meluas dan bersatu membentuk membran semu (pseudomembran) yang melekat erat
pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan
terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck). Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan
kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan otot palatum
dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.1

Gambar 8. Tonsila Difteri2

2. Faringitis
Merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi,
trauma dan toksin. Infeksi bakteri dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat,
karena bakteri ini melepskan toksin ektraseluler yang dapat menimbulkan demam
reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus
terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen antibodi. Gejala klinis secara umum
pada faringitis berupa demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala. Pada
pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat
di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan
faring. Kelenjar limfa anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.1

11
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor
2.2.10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk tonsilitis kronik terdiri atas terapi medikamentosa dan operatif.

1. Medikamentosa
Terapi ini ditujukan pada keadaan higiene mulut dengan cara berkumur atau obat
isap, pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi gigi atau oral.1
Pemberian antibiotika pada penderita Tonsilitis kronis eksaserbasi akut cephaleksin
ditambah metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononukleosis atau
abses), amoksisilin dengan asam klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis).12
2. Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil (tonsilektomi).
Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal. 13
Indikasi absolut. Indikasi tonsilektomi yang hampir absolut adalah berikut ini :

1. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang kronis.


2. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur.
3. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan penurunan berat badan
penyerta.
4. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).
5. Abses peritonsilar berulang atau abses yang meluas pada jaringan sekitarnya.

Indikasi relatif. Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi dianggap relatif. Indikasi
yang paling sering adalah episode berulang dari infeksi streptokokus beta hemolitikus grup
A. Selain itu indikasi relatifnya antara lain :

1. Serangan tonsilitis berulang (4-5x/tahun) walaupun pemberian terapi adekuat.


2. Tonsilitis carier misalnya tonsilitis difteri.
3. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional.
4. Riwayat demam rematik dengan kerusakan jantung yang berhubungan dengan
tonsilitis yang berulang.
5. Hipertrofi tonsil / adenoid.
6. Tonsilitis kronik menetap yang respon penatalaksanaan medisnya tidak berhasil
7. Tonsilitis kronik yang berhubungan dengan adenopati servikal persisten.1
Keputusan akhir untuk melakukan tonsilektomi tergantung pada kebijaksanaan dokter
yang merawat pasien. Maka sebaiknya menyadari kenyataan bahwa tindakan ini merupakan

12
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor
prosedur pembedahan mayor yang bahkan hari ini masih belum terbebas dari komplikasi-
komplikasi yang serius.

Kontraindikasi tonsilektomi

1. Infeksi pernapasan bagian atas yang berulang


2. Infeksi sistemis atau kronis
3. Demam yang tidak diketahui penyebabnya
4. Pembesaran tonsil tanpa gejala obstruksi
5. Rhinitis alergika
6. Asma
7. Diskrasia darah
8. Ketidakmampuan yang umum atau kegagalan untuk tumbuh
9. Tonus otot yang lemah
10. Sinusitis 14

Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat. Jumlah
perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor operatornya
sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut yang berlebihan atau
adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil. Pada operator yang lebih
berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan kerusakan jaringan
lebih sedikit sehingga perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan yang terjadi karena pembuluh
darah kapiler atau vena kecil yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan
tampon tekan. Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah
yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara di
atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam kemudian pilar
anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis
eksterna.13
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu
immediate, intermediate dan late complication.
Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa perdarahan
dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera atau disebut juga
perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama pasca bedah.
Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi obat bius dan refleks batuk

13
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor
belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan napas menyebabkan asfiksi.
6
Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak cermat atau terlepasnya ikatan.
Perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan meletakkan ice collar dan
mengkonsumsi makanan lunak dan minuman dingin. 6
Komplikasi yang terjadi kemudian (intermediate complication) dapat berupa
perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia.
Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah. Umumnya
terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah infeksi serta trauma
akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang
menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di
bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya
berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama dengan perdarahan
primer.
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem. Nekrosis
uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral pembuluh darah
yang mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi melalui bakteremia dapat
mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau mungkin dapat terjadi endokarditis.
Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih dari fosa tonsil, tetapi kadang-kadang
merupakan gejala otitis media akut karena penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius. Abses
parafaring akibat tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil
berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi, komplikasi paru
jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau potongan jaringan tonsil.
Komplikasi Lambat (Late complication) pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan
parut di palatum mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia.
Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak menimbulkan
gejala, tetapi bila cukup banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil.
Komplikasi tonsilektomi lainnya dapat berupa :
 Postoperative Airway Compromise : Jarang terjadi, biasanya disebabkan oleh
terlepasnya bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan adenotonsilar, edema oropharingeal,
atau hematom retropharyngeal.
 Dehidrasi
 Pulmonary Edema : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba jalan napas yang
obstruksi karena hipertropi adenotonsilar yang lama, mengakibatkan penurunan

14
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor
mendadak tekanan intratorakal, peningkatan volume darah paru, dan peningkatan
tekanan hidrostatik yang dapat terjadi segera atau beberapa jam setelah pembebasan
jalan napas.
 Nasopharyngeal Stenosis : komplikasi yang jarang dari jaringan parut
 Eustachian Tube Dysfunction
 Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari bekuan darah

2.2.11. Komplikasi
Tonsilitis kronik dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa rhinitis
kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara
hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis, uvetis
iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.1
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke daerah
sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari tonsil. Adapun berbagai
komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai berikut :
1. Komplikasi sekitar tonsila
a. Peritonsilitis. Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya
trismus dan abses.
b. Abses Peritonsilar (Quinsy). Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang
peritonsil. Sumber infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami
supurasi, menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.
c. Abses Parafaringeal. Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah
bening atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus
paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os petrosus.
d. Abses Retrofaring Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya
terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring masih berisi
kelenjar limfe.
e. Kista Tonsil. Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan
fibrosa dan ini menimbulkan kista berupa tonjolan pada tonsil berwarna putih dan
berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.
f. Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil). Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium
karbonat dalam jaringan tonsil yang membentuk bahan keras seperti kapur.

15
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor
2. Komplikasi Organ jauh
a. Demam rematik dan penyakit jantung rematik
b. Glomerulonefritis
c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
d. Psoriasiseritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
e. Artritis dan fibrositis.3,8

2.2.12. Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat penderita
Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika
tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan bila
penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada
dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi
yang sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang,
Tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.6

16
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor
BAB III
KESIMPULAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Peradangan pada tonsil dapat disebabkan oleh bakteri atau virus, termasuk strain
bakteri streptokokus, adenovirus, virus influenza, virus Epstein-Barr, enterovirus, dan virus
herpes simplex. Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca,
kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Penatalaksanaan tonsilitis
kronik mencakup medikamentosa dan operatif. Tonsilitis memiliki prognosis kesembuhan
yang baik.

17
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Efiaty A. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher ed Ketujuh. FKUI Jakarta: 2012. P199-203.
2. Udayan KS. Tonsillitis and peritonsillar Abscess. [online]. 2011. [cited, 2018 December
3]. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/
3. John PC, William CS. Tonsillitis and Adenoid Infection. [online].2011 [cited, 2018
December 3]. Available from: URL: http://www.medicinenet.com
4. Adnan D, Ionita E. Contributions To The Clinical, Histological, Histochimical and
Microbiological Study Of Chronic Tonsillitis. Pdf.
5. Hansen JT. Head and Neck. NETTER’S CLINICAL ANATOMY. 2nd ed. USA:
Saunders, Elsevier 2010.
6. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: ECG,
1997. p263-340
7. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam Malik Medan
Tahun 2009. 2011.pdf
8. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Tonsillitis, Tonsillectomy, and Adenoidectomy. In:
Head&Neck Surgery-Otolaryngology, 4th edition. 2006.
9. Indo Sakka, Raden Sedjawidada, Linda Kodrat, Sutji Pratiwi Rahardjo. Lapran
Penelitian : Kadar Imunoglobulin A Sekretori Pada Penderita Tonsilitis Kronik Sebelum
Dan Setelah Tonsilektomi. Pdf.
10. Ellen Kvestad, Kari Jorunn Kværner, Espen Røysamb, et all. Heritability of Reccurent
Tonsillitis. [online].2005.[cited, 2018 December 3]. Available from: URL: http://www.
Archotolaryngelheadnecksurg.com
11. Cayonu M, Salihoglu M, Altundag A, Tekeli H, Kayabasoglu Gr. Grade 4 tonsillar
hypertrophy associated with decreased retronasal olfactory function: a pilot study. Eur
Arch Otorhinolaryngol. 2014(271):2311-6
12. Andrews BT, Hoffman HT, Trask DK. Pharyngitis/Tonsillitis. In: Head and Neck
Manifestations of Systemic Disease. USA:2007.p493-508
13. Uğraş, Serdar & Kutluhan, Ahmet. Chronic Tonsillitis Can Be Diagnosed With
Histopathologic Findings. In: European Journal of General Medicine, Vol. 5, No. 2.

18
Universitas Tarumanagara
RSUD Ciawi Bogor

Anda mungkin juga menyukai