Anda di halaman 1dari 43

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Keluarga

2.1.1 Definisi Keluarga

Menurut Duval (1972) dalam harnilawati (2013) family atau Keluarga

merupakan satu kelompok atau sekumpulan manusia yang hidup bersama sebagai

satu kesatuan unit masyarakat yang terkecil dan biasanya tidak selalu ada hubungan

darah, ikatan perkawinan, atau ikatan lain. Mereka hidup bersama dalam satu rumah

dibawah asuhan kepala keluarga. keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang

terikat dalam perkawinan, ada hubungan darah atau adopsi yang tinggal dalam satu

rumah (Setiawati, 2008).

Bussard dan ball (1996) mendefinisikan keluarga sebagai lingkungan sosial

yang sangat dekat hubungannya dengan seseorang. Dikeluarga itu seseorang

dibesarkan, bertempat tinggal, berinteraksi satu dengan yang lain, dibentuknya nilai-

nilai, pola pemikiran dan kebiasaannya dan berfungsi sebagai saksi segenap budaya

luar dan mediasi hubungan anak dengan lingkungannya. (Harnilawati, 2013). Menurut

sulistyo (2012) Keluarga merupakan sistem sosial yang terbuka/hidup artinya dalam

keluarga terdiri dari anggota keluarga, terjadi interaksi antar anggota dan

lingkungannya, terorganisir dan mempunyai tujuan/fungsi sehingga setiap keluarga

mempunyai ciri atau sifat yang berbeda dengan keluraga lain. Dukungan keluarga

adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga dengan penderita yang sakit.

Keluarga juga berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggotanya dan anggota

keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan

pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Abdul, 2016).

11
12

Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan secara umum bahwa

keluarga merupakan sekumpulan orang yang memiliki ikatan atau persekutuan

perkawinan yang memiliki hubungan darah dan tinggal bersama dalam satu atap serta

memiliki peran masing-masing antar anggota keluarga (Harnilawati, 2013). Keluarga

merupakan orang terdekat yang mempunyai unsur penting dalam kehidupan, karena

didalamnya terdapat peran dan fungsi dari anggota keluarga tersebut yang saling

berhubungan dan ketergantungan dalam menberikan dukungan, kasih sayang dan

perhatian secara harmonis untuk mencapai tujuan bersama (Friedmen, 2010).

2.1.2 Peran keluarga

Peran adalah sesuatu yang diharapkan secara normatif dari seseorang dalam

situasi sosial tertentu agar dapat memenuhi harapan-harapan. Peran keluarga adalah

tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh seseorang dalam konteks keluarga. Jadi

peranan keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan

yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peran individu

dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan

masyarakat (Harnilawati, 2015)

Dalam UU Kesehatan No. 23 tahun 1992 pasal 5 dalam Harnilawati (2015)

menyebutkan “setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan

meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga dan lingkungan”. Dari pasal di

atas jelas bahwa keluarga berkewajiban menciptakan dan memelihara kesehatan dalam

upaya meningkatkan tingkat derajat kesehatan yang optimal. Setiap anggota keluarga

mempunyai peran masing-masing antara lain adalah:

1. Ayah : Ayah sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai pencari

nafkah, pendidik, pelindung/pengayom,mpemberi rasa aman bagi setiap


13

anggota keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial

tertentu.

2. Ibu : Ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-anak,

pelindung keluarga dan juga sebagai pencari nafkah tambahan keluarga dan

juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu.

3. Anak: Anak berperan sebagai pelaku psikososial sesuai dengan

perkembangan fisik, sosial, mental dan spiritual.

2.1.3 Fungsi keluarga

Friedman (1998) dalam Suprajitno (2010) Secara umum fungsi keluarga

adalah sebagai berikut:

a. Fungsi afektif, adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala

mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain.

b. Fungsi sosialisasi, adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak

untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan

dengan orang lain di luar rumah.

c. Fungsi reproduksi, adalah mempertahankan generasi kelangsungan keluarga.

d. Fungsi ekonomi, adalah keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan

keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan

individu dalam meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan

keluarga.

e. Fungsi perawatan/pemeliharaan kesehatan, yaitu fungsi untuk

mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki

produktivitas tinggi.
14

UU No. tahun 1992 jo PP No. 21 tahun 1994 dalam harnilawati

(2015) Secara umum fungsi keluarga adalah sebagai berikut:

a. Fungsi keagamaan

- Membina norma ajaran-ajaran agama sebagai dasar dan tujuan hidup

seluruh anggota keluarga

- Menerjemahkan agama ke dalam tingkah laku hidup sehari-sehari kepada

seluruh anggota keluarga

- Memberikan contoh konkrit dalam hidup sehari hari dalam pengalaman

dari ajaran agama

- Melengkapi dan menambah proses kegiatan belajar anak tentang

keagamaan yang kurang diperolehnya di sekolah atau masyarakat.

- Membina rasa, sikap dan praktik kehidupan keluarga beragama sebagai

pondasi menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.

b. Fungsi budaya

- Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk meneruskan

norma-norma dan budaya masyarakat dan bangsa yang ingin

dipertahankan.

- Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga untuk menyaring norma

dan budaya asing yang tidak sesuai

- Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya mencari

pemecahan masalah dari berbagai pengaruh negatif globalisasi dunia.

- Membina tugas-tugas keluarga sebagai lembaga yang anggotanya dapat

berperilaku yang baik sesuai dengan norma bangsa Indonesia dalam

menghadapi tantangan globalisasi


15

- Membina budaya keluarga yang sesuai, selaras dan seimbang dengan

budaya masyarakat atau bangsa untuk menjunjung terwujudnya norma

keluarga kecil bahagia sejahtera.

c. Fungsi cinta kasih

- Menumbuhkembangkan potensi kasih sayang yang telah ada antar

anggota keluarga ke dalam simbol-simbol nyata secara optimal dan terus

menerus.

- Membina tingkah laku saling menyayangi baik antar anggota keluarga

secara kuantitatif dan kualitatif. - Membina praktik kecintaan terhadap

kehidupan duniawi dan ukhrowi dalam keluarga secara serasi, selaras dan

seimbang.

- Membina rasa, sikap dan praktik hidup keluarga yang mampu

memberikan dan menerima kasih sayang sebagai pola hidup ideal menuju

keluarga kecil bahagia sejahtera.

d. Fungsi perlindungan

- Memenuhi kebutuhan anggota keluarga baik dari rasa tidak aman yang

timbul dari dalam maupun dari luar keluarga.

- Membina keamanan keluarga baik fisik maupun rasa aman psikis dari

berbagai bentuk ancaman dan tantangan yang dating dari luar.

- Membina dan menjadikan stabilisasi dan keamanan keluarga sebagai

modal menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.

e. . Fungsi reproduksi

- Membina kehidupan keluarga sebagai wahana pendidikan reproduksi

sehat baik anggota keluarga maupun bagi keluarga sekitarnya.


16

- Memberikan contoh pengalaman kaidah-kaidah keluarga pendewasaan

fisik maupun mental.

- Mengamalkan kaidah-kaidah reproduksi sehat, baik yang berkaitan

dengan waktu melahirkan, pembentukan dalam hal usia, jarak antara 2

anak dan jumlah ideal anak yang diinginkan dalam keluarga.

- Mengembangkan kehidupan reproduksi sehat sebagai modal yang

kondusif menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.

f. Fungsi sosialisasi

- Menyadari, merencanakan dan menciptakan lingkungan keluarga sebagai

wahana pendidikan dan sosialisasi anak pertama dan utama.

- Menyadari, merencanakan dan menciptakan kehidupan keluarga sebagai

pusat tempat anak dapat mencari pemecahan dari berbagai konflik dan

permasalahan yang dijumpainya baik di lingkungan sekolah maupun

masyarakat.

- Membina proses pendidikan dan sosialisasi anak tentang hal-hal yang

diperlukan meningkatkan kematangan dan kedewasaan (fisik dan mental),

yang tidak kurang diberikan oleh lingkungan sekolah maupun

masyarakat.

- Membina proses pendidikan dan sosialisasi yang terjadi dalam keluarga

sehingga tidak saja dapat bermanfaat positif bagi anak, tetapi juga bagi

orang tua dalam rangka perkembangan dan kematangan hidup bersama

menuju keluarga kecil bahagia sejahtera.


17

g. Fungsi ekonomi

- Melakukan kegiatan ekonomi baik di luar maupun di dalam lingkungan

keluarga dalam rangka menopang kelangsungan perkembangan

kehidupan keluarga.

- Mengelola ekonomi keluarga sehingga terjadi keserasian, keselarasan dan

keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran keluarga.

- Mengatur waktu sehingga kegiatan orang tua di luar rumah dan

perhatiannya terhadap anggota keluarga berjalan secara serasi, selaras dan

seimbang.

- Membina kegiatan dan hasil ekonomi keluarga sebagai modal untuk

mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera.

h. Fungsi pelestarian lingkungan

- Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan intern

keluarga.

- Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan ekstern

keluarga.

- Membina kesadaran, sikap dan praktik pelestarian lingkungan yang serasi,

selaras dan seimbang antara lingkungan keluarga dengan lingkungan

hidup masyarakat sekitarnya. sikap praktik pelestarian lingkungan hidup

keluarga.

2.1.4 Bentuk Keluarga

Keluarga terdiri dari dua macam, yaitu keluarga inti (nuclear family) yang

terdiri dari ayam, ibu dan anak-anaknya, dan keluarga besar (extended family). Pada

keluarga besar di dalamnya terdapat orang lain selain keluarga inti, misalnya nenek,
18

kakek, bibi, paman, atau lainnya yang kadang-kadang timbul masalah dalam

pengasuhan anak (Soetjiningsih, 2013).

Selain itu, dalam Sudiharto (2007) juga terdapat beberapa bentuk keluarga

diantaranya:

1. Keluarga inti (nuclear family), adalah keluarga yang dibentuk karena ikatan

perkawinan yang direncanakan yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak,

baik karena kelahiran (natural) maupun adopsi.

2. Keluarga asal (family of origin), merupakan suatu unit keluarga tempat asal

seseorang dilahirkan.

3. Keluarga besar (extended family), keluarga inti ditambah keluarga yang lain

(karena hubungan darah), misalnya kakek, nenek, bibi, paman, sepupu

termasuk keluarga modern, seperti orangtua tunggal, keluarga, tanpa anak,

serta keluarga pasangan sejenis (gay/lesbian families).

4. Keluarga berantai (social family), keluarga yang terdiri dari wanita dan pria yang

menikah lebih dari satu kali dan merupakan keluarga inti.

5. Keluarga duda atau janda, keluarga yang terbentuk karena perceraian

dan/atau kematian pasangan yang dicintai.

6. Keluarga komposit (composite family), keluarga dari perkawinan poligami dan

hidup bersama.

7. Keluarga kohabitasi (cohabitation), dua orang menjadi satu keluarga tanpa

pernikahan, bisa memiliki anak atau tidak.

8. Keluarga inses (incest family), seiring dengan masuknya nilai global dan

pengaruh informasi yang sangat dahsyat, dijumpai bentuk keluarga yang tidak

lazim, misalnya anak perempuan menikah dengan ayah kandungnya, ibu


19

menikah dengan anak kandung laki-laki, paman menikah dengan

keponakannya dan sebagainya.

9. Keluarga tradisonal dan nontradisional, dibedakan berdasarkan ikatan

perkawinan. Keluarga tradisional diikat dengan pernikahan, sementra

nontradisional tidak diikat dengan pernikahan misalnya sekelompok orang

yang tinggal di asrama.

2.1.5 Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan

Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas

dibidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan. Friedman dalam harnilawati

(2015) membagi 5 tugas keluarga dalam bidang kesehatan yang harus dilakukan, yaitu:

a. Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya

Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung

menjadi perhatian dan tanggung jawab keluarga, maka apabila menyadari

adanya perubahan perlu segera dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang

terjadi dan seberapa besar perubahannya

b. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga.

Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan

yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa

diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan untuk

menentukan tindakan keluarga maka segera melakukan tindakan yang tepat

agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi. Jika keluarga

mempunyai keterbatasan seyoganya meminta bantuan orang lain dilingkungan

sekitar keluarga.

c. Memberikan keperawatan anggotanya yang sakit atau yang tidak dapat

membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya terlalu muda. Perawatan
20

ini dapat dilakukan dirumah apabila keluarga memiliki kemampuan melakukan

tindakan untuk pertolongan pertama atau kepelayanan kesehatan untuk

memperoleh tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi.

d. Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan dan

perkembangan kepribadian anggota keluarga.

Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga

kesehatan (pemanfaatan fasilitas kesehatan yang ada).

2.1.6 Struktur Keluarga

Struktur keluarga dapat menggambarkan bagaimana keluarga melakukan

fungsi keluarga di masyarakat sekitarnya. Friedman dalam Setiawati (2008)

mengatakan ada empat elemen struktur keluarga, yaitu:

1. Struktur peran keluarga, menggambarkan peran masing-masing anggota

keluarga dalam keluarga sendiri dan perannya di lingkungan masyarakat atau

peran formal dan informal.

2. Nilai atau norma keluarga, menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari

dan diyakini oleh keluarga, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan.

3. Pola komunikasi keluarga, menggambarkan bagaimanan cara dan pola

komunikasi ayah-ibu (orang tua), orang tua dengan anak, anak dengan anak,

dan anggota keluarga lain (pada keluarga besar) dan keluarga inti.

4. Struktur kekuatan keluarga, menggambarkan kemampuan anggota keluarga

untuk memengaruhi dan mengendalikan orang lain untuk mengubah perilaku

keluarga yang mendukung kesehatan.


21

2.1.7 Keluarga sebagai sistem

Menurut sulistyo (2012) System didefinisikan sebagai suatu unit kesatuan yang

diarahkan pada tujuan, dibentuk dari bagian-bagian yang berinteraksi dan saling

ketergantungan satu dengan yang lainnya dan dapat bertahan dalam waktu tertentu.

System merupakan Kumpulan dari beberapa bagian fungsional yang saling

berhubungan dan tergantung satu dengan yang lain dalam waktu tertentu untuk

mencapai tujuan yang telah ditetapkan. (Suprajitno, 2010).

2.1.8 Sistem keluarga

Keluarga merupakan sistem sosial yang terbuka/hidup artinya dalam keluarga

terdiri dari anggota keluarga, terjadi interaksi antara anggota dan lingkungannya,

terorganisir dan mempunyai tujuan/fungsi sehingga setiap keluarga mempunyai ciri

atau sifat yang berbeda dengan keluarga lain.

Adapun karakteristik sistem keluarga dalam sulistyo (2012) meliputi:

1. Memiliki komponen subsistem pasangan, orang tua-anak, sibling dan

subsistem lain yang berinteraksi dan saling tergantung serta mempunyai

fungsi sendiri-sendiri.

2. Memiliki batas-batas keluarga, artinya dalam keluarga mempunyai filter

terhadap asupan sosial budaya dari masyarakat serta mempengaruhi

masyarakat secara elektif.

3. Keluarga berada dalam sistem yang lenih besar yaitu masyarakat disekitarnya

seperti desa, kota atau wilayah yang lain.

4. Mempunyai pola organisasi yang mempengaruhi fungsi dari keluarga tersebut.

5. Keluarga merupakan suatu sistem terbuka , yaitu terdapat interaksi dengan

lingkungan atau saling mempengaruhi antarsistem.


22

2.1.9 Keluarga sebagai suatu sistem

Keluarga merupakan unit pelayanan dasar di masyarakat dan juga merupakan

perawat utama dalam anggota keluarga. Keluarga akan berperan banyak terutama

dalam menentukan cara asuhan yang diperlukan anggota keluarga. Sebagai satu sistem

akan terjadi saling interaksi, intelerasi, dan interdependensi antara sub-sub sistem di

dalam keluarga. Dengan kata lain salah satu anggota keluarga mengalami gangguan ,

maka sistem keluarga secara keseluruhan akan terganggu (Suprajitno, 2010).

Keluarga sebagai sistem mempunyai karakteristik dasar yang dapat

dikelompokan sebagai berikut:

a. Keluarga sebagai sisem terbuka merupakan suatu sistem yang mempunyai

kesempatan dan mau menerima atau memperhatikan lingkungan (masyarakat)

sekitarnya.

b. Keluarga sebagai sistem tertutup merukana sutau sistem yang kurang

mempunyai kesempatan, kurang mau menerima atau memberi perhatian

kepada lingkungan (masyarakat) sekitarnya.

2.1.10 Alasan keluarga disebut sistem

Alasan keuarga sebagai sistem dalam suprajitno, 2010 sebagai berikut :

a. Keluarga mempunyai sub sistem yaitu : anggota, fungsi, peran,aturan,

budaya,dan lainnya yang dipelajari dan dipertahankan dalam kehidupan

keluarga.

b. Terdapat saling berhubungan dan ketergantungan antar sub sistem.

c. Merupakan unit (bagian) terkecil dari masyarakat yang dapat mempengaruhi

supra sistemnya.

2.1.11 Karakteristik Keluarga Sebagai Sistem.

Karakteristik keluarga sebagai sistem dalam suprajitno, 2010 sebagai berikut :


23

1. Pola komunikasi keluarga

a) Sistem terbuka : Langsung, jelas, spesifik, tulus, jujur, tanpa hambatan.

b) Sistem tertutup : Tidak langsung, tidak jelas, tidak spesifik, tidak selaras,

sering menyalahkan, kacau dan membingungkan.

2. Aturan keluarga

a) Sistem terbuka: Hasil musyawarah, tidak tertinggal zaman, berubah sesuai

kebutuhan keluarga, bebas mengeluarkan pendapat.

b) Sistem tertutup: Ditentukan tanpa musyawarah, tidak sesuai

perkembangan, mengikat, tidak sesuai, kebutuhan dan pendapat terbatas.

3. Perilaku anggota keluarga

a) Sistem terbuka:

Sesuai dengan kemampuan keluarga, memiliki kesiapan, mampu

berkembang sesuai kondisi, harga diri : percaya diri, mengikat, dan

mampu mengembangkan dirinya.

b) Sistem tertutup

Memiliki sikap melawan, kacau, tidak siap (selalu tergantung), tidak

berkembang, harga diri : kurang percaya diri, ragu-ragu dan kurang dapat

dukungan untuk mengembangkan diri.

2.1.12 Komponen sistem keluarga

Keluarga merupakan sistem sosial karena terdiri dari kumpulan dua orang

atau lebih yang mempunyai peran sosial yang berbeda dengan ciri saling berhubungan

dan tergantung antar individu. Seperti pada umumnya keluarga suatu sistem, keluarga

juga mempunyai komponen-komponen sistem dalam Suprajitno (2010) :


24

Lingkungan

Masukan Proses Keluaran

Umpan balik

Gambar 1.1 Komponen dalam sistem keluarga

Gambar diatas dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Masukan atau input, terdiri dari : Anggota keluarga, struktur keluarga,

fungsi keluarga, aturan dari lingkungan (masyarakat) sekitar (luas) budaya,

agama, dan sebagainya.

2) Proses (throughput) merupakan proses yang terjadi dalam melaksanakan

fungsi keluarga.

3) Keluaran (output) adalah hasil dari suatu proses yang berbentuk prilaku

keluarga : perilaku sosial, perilaku kesehatan, perilaku keagamaan, perilaku

sebagai warga negara dan yang lainnya.

4) Umpan balik (feedback) adalah sebagai pengontrol dalam masukan dan

proses yang berasal dari perilaku keluarga yang ditampakkan pada

lingkungan/masyarakat disekitar.

2.2 Konsep Dukungan keluraga

2.2.1 Definisi dukungan

Dukungan adalah menyediakan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan orang

lain. Dukungan juga dapat diartikan sebagai memberikan dorongan / motivasi atau

semangat dan nasihat kepada orang lain dalam situasi pembuat keputusan (Chaplin,
25

2006). Kuntjoro (2002, dalam Fithriany 2011) mengatakan bahwa pengertian dari

dukungan adalah informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan, yang nyata atau

tingkah laku diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek didalam

lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan

keuntungan emosional atau berpengaruh pada tingkah laku penerimanya. Dukungan

ini biasanya didapatkan dari seseorang yang terdekat yang bisa diandalkan,

memberikan kepedulian serta mengasihi dan akan efektif apabila terjalin hubungan

saling percaya. Jadi dukungan keluarga merupakan dorongan, motivasi,memberikan

perhatian/kepedulian, bantuan yang diberikan oleh orang-orang terdekat dalam

menyelesaikan suatu masalah.

Dukungan keluarga adalah suatu bentuk hubungan interpersonal yang

melindungi sesorang dari efek stress yang buruk. Dukungan keluarga adalah sikap,

tindakan penerimaan keluarga terhadap anggota keluarganya, berupa dukungan

informasi, dukungan penilaian, dukungan instrumental, dan dukungan emosional.

Jadi dukungan keluarga adalah suatu bentuk hubungan interpersonal yang meliputi

sikap, tindakan, dan penerimaan terhadap anggota keluarga sehingga anggota

keluarga merasa ada yang memperhatikan (Friedman, 2010). Dalam hal ini orang

yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara emosional merasa lega

diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada dirinya

(silvitasari, 2013).

2.2.2 Bentuk dukungan keluarga

Dalam Silvitasari dkk (2013) mengemukakan bahwa dukungan keluarga

memiliki beberapa bentuk, antara lain:

1) Dukungan Emosional (Emosional Support)


26

Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan

pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi. Meliputi ungkapan

empati, kepedulian dan perhatian terhadap anggota keluarga yang sakit

(misalnya: umpan balik, penegasan).

2. Dukungan Penghargaan (Apprasial Assistance)

Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan

menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas

anggota. Terjadi lewat ungkapan hormat (penghargan) positif untuk penderita,

persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif

penderita dengan penderita lainnya seperti orang-orang yang kurang mampu

atau lebih buruk keadaannya (menambah harga diri).

3. Dukungan Materi (Tangibile Assistance)

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit,

mencakup bantuan langsung seperti dalam bentuk uang, peralatan, waktu,

modifikasi lingkungan maupun menolong dengan pekerjaan waktu mengalami

stress.

4. Dukungan Informasi (informasi support)

Keluarga berfungsi sebagai sebuah koletor dan disse minator (penyebar)

informasi tentang dunia, mencakup memberri nasehat, petunjuk-petunjuk,

saran atau umpan balik. Bentuk dukungan keluarga yang diberikan oleh

keluarga adalah dorongan semangat, pemberian nasehat atau mengawasi

tentang pola makan sehari-hari dan pengobatan. Dukungan keluarga juga

merupakan perasaan individu yang mendapat perhatian, disenangi, dihargai

dan termasuk bagian dari masyarakat.


27

2.2.3 Sumber dukungan keluarga

Dukungan sosial keluarga mengacu pada dukungan sosial yang dipandang

oleh keluarga sebagai suatu yang dapat diakses/diadakan untuk keluarga (dukungan

sosial bisa atau tidak digunakan), tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang

yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika

diperlukan. Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal,

seperti dukungan dari suami/istri atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan

sosial keluarga eksternal (silvitasari, 2013)

2.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga

Menurut purnawan (2008) faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan

keluarga adalah:

1. Faktor Internal

a. Tahap Perkembangan

Artinya dukungan dapat ditentukan oleh faktor usia dalam hal ini

pertumbuhan dan perkembangan, dengan demikian setiap rentang Usia (Bayi-

lansia) memiliki pemahaman dan respon terhadap perubahan kesehatan yang

berbeda-beda.

b. Pendidikan atau Tingkat Pengetahuan

Keyakinan seseorang terhadap adanya dukungan terbentuk oleh variabel

intelektual yang terdiri dari Pengetahuan, latar belakang pendidikan, dan

pengalaman masa lalu. Kemampuan kognitif akan membentuk cara

berfikir seseorang termasuk kemampuan untuk memahami faktor-faktor

yang berhubungan dengan penyakit dan menggunakan pengetahuan

tentang kesehatan untuk menjaga kesehatan dirinya.

c. Faktor emosi
28

Faktor emosional juga mempengaruhi keyakinan terhadap adanya

dukungan dan cara melaksanakannya. Seseorang yang mengalami respon

stres dalam setiap perubahan hidupnya cenderung berespon terhadap

berbagai tanda sakit, mungkin dilakukan dengan cara mengkhawatirkan

bahwa penyakit tersebut dapat mengancam kehidupannya.

d. Spiritual

Aspek spiritual dapat terlihat dari baagaimana seseorang menjalani

kehidupannya mencakup nilai dan keyakinan yang dilaksanakan,

hubungan dengan keluarga atau teman, dan kemampuan mencari harapan

dan arti hidup.

2. Faktor external

a. Praktik dikeluarga

Cara bagaimana keluarga memberikan dukungan biasanya mempengaruhi

penderita dalam melaksanakan kesehatannya.

b. Faktor sosioekonomi

Faktor sosial dan psikososial dapat meningkatkan resiko terjadinya

penyakit dan mempengaruhi cara seseorang mendefinisikan dan bereaksi

terhadap penyakitnya. Seseorang biasanya akan mencari dukungan dan

persetujuan dari kelompok sosialnya, hal ini akan mempengaruhi

keyakinan kesehatan dan cara pelaksanaannya. Semakin tinggi tingkat

ekonomi seseorang biasanya akan lebih cepat tanggap terhadap gejala

penyakit yang dirasakan.


29

c. Latar belakang budaya

Latar belakang budaya mempengaruhi keyakinan, nilai dan kebiasaan

individu, dalam memberikan dukungan termasuk cara pelaksanaan

kesehatan pribadi.

2.3 Konsep Kepatuhan terapi ARV

2.3.1 Pengertian kepatuhan

Menurut KBBI (Kamus besar bahasa indonesia), patuh berarti suka menurut

perintah, taat kepada perintah atau aturan dan berdisiplin. kepatuhan berarti bersifat

patuh , ketaatan, tunduk, pada ajaran dan aturan.

Kepatuhan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku

pasien dalam minum obat secara benar tentang dosis, frekuensi, dan waktunya

(Ardhiyanti, 2015). Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis

dari dokter yang mengobatinya (Silvitasari, 2012). Kepatuhan berarti memakai obat

persis sesuai dengan aturan, yaitu obat yang benar, pada waktu yang benar, dengan

cara yang benar (Spiritia, 2014).

Kepatuhan berobat berarti patuh mengikuti petunjuk penggunaan medikasi,

dan lebih dari itu mengadopsi perilaku terupetik dan mempertahankannya.

Kepatuhan dan komitmen terhadap terapi sangat diperlukan. Oleh karena itu perlu

dipertimbangkan kenyamanan dan toleransi terhadap terapi. Hal ini penting karena 36

diharapkan akan lebih meningkatkan tingkat kepatuhan minum obat. Kepatuhan atau

adhrennce harus selalu dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan.

Kegagalan terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi

ARV.
30

Peningkatan kepatuhan berobat akan memberi dampak besar bagi kesehatan

dari pada terapi medik lainnya. Laporan WHO mengatakan akan mudah dan murah

melakukan intervensi kepatuhan berobat secara konsisten dan hasilnya sangat efektif.

Dalam terapi antiretroviral (ARV), kepatuhan berobat merupakan kunci

sukses terapi.[12] Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan tingkat

kepatuhan terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian menunjukan bahwa untuk

mencapai tingkat supresi virus yang optimal setidaknya 90 - 95 % dari semua dosis

tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul jika pasien sering lupa minum

obat. Sebelum mulai terapi, pasien harus memahami program terapi ARV beserta

konsekuensinya. Harus dibuat rencana pengobatan secara rinci bersama pasien untuk

meningkatkan rasa tanggung jawab pasien untuk berobat secara teratur dan terus –

menerus. Penjelasan rinci tentang pentingnya kepatuhan minum obat dan akibat dari

kelalaian perlu dilakukan.

Banyak penelitian menunjukan bahwa dengan kelupaan hanya satu atau dua

dosis saja per minggu, menimbulkan dampak yang besar terhadap keberhasilan

pengobatan ARV

Presentase tingkat kepatuhan dengan viral load tidak terdeteksi

Tingkat kepatuhan viral load tidak terdeteksi

>90% 81%
90-95% 64%
80-90% 50%
70-80% 25%
<70% 6%
Hasil penelitian yang ditujukan pada tabel 2.2 menunjukan bahwa walau dengan 95 %

kepatuhan, hanya 81 % orang mencapai viral load yang tidak terdeteksi. Kepatuhan 95
31

% ini berarti pasien hanya lupa atau terlambat memakai tiga dosis per bulan dengan

jadwal dua kali sehari.

2.3.2 Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan

Menurut Smet (1994) dalam silvitasari (2013) berbagai strategi telah dicoba

untuk meningkatkan kepatuhan adalah :

1) Dukungan profesional kesehatan

Dukungan professional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan

kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut

adalah dengan adanya teknik komunikasi. Komunikasi memegang

peranan penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh professional

kesehatan baik dokter/perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.

2) Dukungan sosial

Dukungan social yang dimaksud adalah keluarga. Para professional

kesehatan yang dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang

peningkatan kesehatan pasien maka ketidakpatuhan dapat dikurangi.

3) Perilaku sehat

Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan

hipertensi diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari

dari komplikasi lebih lanjut apabila sudah menderita hipertensi.

Modifikasi gaya hidup dan control secara teratur atau minum obat anti

hipertensi sangat perlu bagi pasien hipertensi.

4) Pemberian informasi

Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai

penyakit yang dideritanya serta cara pengobatannya.


32

2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan menurut penelitian sugiharti

(2012) yaitu:

1. Motivasi diri

keinginan untuk dapat bertahan hidup dan tidak ingin sakit. Motivasi dari

dalam diri ODHA untuk sembuh atau bertahan hidup merupakan faktor

pendukung kepatuhan yang paling sering dinyatakan oleh responden.16

Faktor utama yang mempengaruhi optimisme hidup ODHA adalah

motivasi hidup yang kuat dalam diri penderita. Dengan adanya

optimisme hidup, ODHA mempunyai semangat untuk bekerja, motivasi

untuk hidup, dan pikiran yang positif.

2. Dukungan dari keluarga

Dukungan dari keluarga (orangtua, suami dan saudara), Bagi ODHA

yang sudah diketahui statusnya oleh keluarga dan keluarganya dapat

menerima kondisi mereka, maka faktor keluarga biasanya menjadi

pendukung utama. Biasanya orang tua, suami/istri, anak menjadi orang-

orang terdekat yang mengingatkan untuk minum obat. Keluarga dalam

hal ini bisa berfungsi menjadi Pengawas Minum Obat (PMO) bagi

ODHA. Akan tetapi ada kondisi keluarga yang justru menghambat

kepatuhan misalnya takut diketahui pasangannya sebagai ODHA

sehingga menjadi berhenti minum obat.

3. Dukungan dari petugas Kesehatan

Dukungan dari petugas kesehatan dan Manager Kasus (MK) adalah

penting karena Pada dasarnya untuk dapat menjalani ARV dengan baik,

maka ODHA sangat membutuhkan dukungan psikososial dari segenap


33

pihak, baik tim profesional kesehatan (dokter, perawat, apoteker, dan

lain-lain). Pemerintah, LSM, dukungan sebaya, keluarga ODHA maupun

segenap masyarakat berkewajiban turut berkontribusi dalam rangka

menjaga hak ODHA untuk memperoleh layanan kesehatan yang baik

dan optimal, utamanya layanan ARV, sehingga dapat hidup sehat, adalah

bagian dari hak asasi manusia itu sendiri.

Berdasarkan pedoman nasional terapi antiretroviral, 2011 mejabarkan Faktor-

faktor yang mempengaruhi kepatuhan antara lain :

1. Fasilitas layanan kesehatan. Sistem layanan yang berbelit, sistem

pembiayaan kesehatan yang mahal, tidak jelas dan birokratik adalah

penghambat yang berperan sangat signifikan terhadap kepatuhan, karena

hal tersebut menyebabkan pasien tidak dapat mengakses layanan

kesehatan dengan mudah. Termasuk diantaranya ruangan yang nyaman,

jaminan kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan

membantu pasien.

2. Karakteristik Pasien. Meliputi faktor sosiodemografi (umur, jenis

kelamin, ras / etnis, penghasilan, pendidikan, buta/melek huruf, asuransi

kesehatan, dan asal kelompok dalam masyarakat misal waria atau pekerja

seks komersial) dan faktor psikososial (kesehatan jiwa, penggunaan

napza, lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan dan perilaku

terhadap HIV dan terapinya).

3. Paduan terapi ARV. Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan,

bentuk paduan (FDC atau bukan FDC), jumlah pil yang harus diminum,

kompleksnya paduan (frekuensi minum dan pengaruh dengan makanan),


34

karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses untuk

mendapatkan ARV.

4. Karakteristik penyakit penyerta. Meliputi stadium klinis dan lamanya

sejak terdiagnosis HIV, jenis infeksi oportunistik penyerta, dan gejala

yang berhubungan dengan HIV. Adanya infeksi oportunistik atau

penyakit lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus

diminum.

5. Hubungan pasien-tenaga kesehatan. Karakteristik hubungan pasien-

tenaga kesehatan yang dapat mempengaruhi kepatuhan meliputi:

kepuasan dan kepercayaan pasien terhadap tenaga kesehatan dan staf

klinik, pandangan pasien terhadap kompetensi tenaga kesehatan,

komunikasi yang melibatkan pasien dalam proses penentuan keputusan,

nada afeksi dari hubungan tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan

kesesuaian kemampuan dan kapasitas tempat layanan dengan kebutuhan

pasien

2.3.4 Variabel yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan

Beberapa variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut Suddart

dan Brunner (2002) dalam silvitasari (2013) adalah :

1) Variabel demografi seperti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status sosio

ekonomi dan pendidikan.

2) Variabel penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat

terapi.

3) Variabel program terapeutik seperti kompleksitas program dan efek

samping yang tidak menyenangkan.


35

4) Varibel psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan,

penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau

budaya dan biaya finansial.

2.3.5 Mengukur Tingkat Kepatuhan

Tingkat ketidakpatuhan seseorang dalam menjalankan terapi dapat diukur

dengan beberapa metode dalam silvitasari (2013) :

1) Metoda pengukuran langsung (pengukuran konsentrasi obat atau

metabolitnya dalam darah atau urin)

2) Metoda pengukuran tidak langsung meliputi wawancara dengan pasien,

penilaian hasil pemeriksaan klinis

2.3.6 Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan

menjadi empat bagian menurut Niven (2002) dalam silvitasari (2013) antara lain :

1) Pemahaman tentang intruksi

Tak seorang pun dapat mematuhi intruksi jika ia salah paham tentang

intruksi yang diberikan kepadanya.

2) Kualitas Interaksi

Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien merupakan

bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.

3) Isolasi sosial dan dukungan keluarga

Keluarga dapat menjadi factor yang sangat berpengaruh dalam

menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat

menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.

4) Keyakinan, sikap dan kepribadian


36

Becker et al (1979) dalam silvitasari (2013) telah membuat suatu usulan

bahwa model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya

ketidakpatuhan.

2.3.7 Akibat ketidakpatuhan

Ketidakpatuhan dapat memberikan akibat pada program terapi yang sedang

dijalankan, diantaranya :

1) Bertambah parahnya penyakit atau penyakit cepat kambuh lagi

2) Terjadinya resistensi

3) Keracunan

2.3.8 Cara Untuk Mengetahui Ketidakpatuhan

Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui

ketidakpatuhan, yaitu :

1) Melihat hasil terapi secara berkala

2) Memonitor pasien kembali datang untuk membeli obat pada periode

selanjutnya setelah obat itu habis

3) Melihat jumlah sisa obat

4) Langsung bertanya kepada pasien mengenai kepatuhannya terhadap

pengobatan.

2.4 Konsep ODHA (Orang dengan HIV/AIDS)

2.4.1 Definisi ODHA

Dalam bahasa inggris orang yang terinfeksi HIV/AIDS disebut PLWHA

(people living with HIV/AIDS), sedangkan diindonesia kategori ini diberi nama

ODHA(orang dengan HIV/AIDS). ODHA atau orang dengan HIV AIDS

merupakan orang yang menderita HIV/AIDS yang secara fisik sama dengan orang

yang tidak menderita HIV/AIDS. Mereka pada umumnya memiliki ciri-ciri yang
37

sama seperti orang sehat sehingga tidak dapat diketahui apakah seseorang itu

menderita HIV/AIDS atau tidak (Ardhiyanti, 2015)

2.4.2 Pengertian HIV/AIDS

HIV (Human immunodeficiency virus) yaitu sejenis virus yang menyerang

sistem kekebalan tubuh manusia, virus yang masuk menyerang dan merusak sel darah

putih sehingga sel darah putih yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi

akan menurun jumlahnya, akibatnya sistem kekebalan tubuh menjadi lemah dan

penderita mudah terkena penyakit (Harnilawati, 2015).

AIDS singkatan dari Acquired immuno deficiency syndrom, yang berarti

didapat, bukan keturunan. Immune terkait dengan sistem kekebalan tubuh. Deficiency

berarti kekurangan. Syndrome berarti penyakit dengan kumpulan gejala, bukan gejala

tertentu. Jadi AIDS merupakan kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan

sistem kekebalan tubuh yang dibentuk setelah kita lahir (Susani, 2015).

2.4.3 Tanda dan gejala

Tada dan gejala HIV/AIDS dalam ardhiyanti (2015) manifestasi klinis

penderita HIV dan AIDS dewasa dapat dibagi menjadi empat stadium :

1) Stadium I

a) Asimtomatis

b) Limfadenopati generalisata persisten

Dengan penampilan klinis derajad I : asimtomatis dan aktivitas normal

2) Stadium II

a) Penurunan berat badan <10%

b) Manifestasi mukokutaneus MINOR (dermatitis seborreic, prurigo,

infeksi jamur pada kuku, ulserasi pada mulut berulang, cheilitis

angularis)
38

c) Herpes Zoster, dalam 5 tahun terakhir

d) Infeksi saluran nafas atas berulang (sinusitis bakterial)

Dengan atau penampilan klinis derajat 2 : simtomatis, aktivitas normal

3) Stadium III

a) Penurunan berat badan > 10%

b) Diare kronis dengan penyebab yang tidak jelas > 1 bulan

c) Demam tanpa penyebab yang jelas (intermittent atau menetap) > 1

bulan

d) Kandidiasis oral

e) Tuberkulosis paru dalam 1 tahun terakhir

f) Terinfeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)

Dengan atau penampilan klinis derajad 3 : berbaring ditempat tidur,

<50% sehari dalam 1 bulan terakhir.

4) Stadium IV

a) HIV wasting sindrome

b) Pneumonia pneumokistik karinii

c) Infeksi toksoplasmosis di otak

d) Diare karena cryptosporidiosis > 1 bulan

e) Mengalami infeksi citomegalovirus

f) Infeksi herpes simpleks, maupun mukokutaneus > 1bulan

g) Infeksi mikosis (histoplasmosis, coccidioidomycosis)

h) Kandidiasis esofagus, trakhea, bronkus, maupun paru

i) Infeksi mikobakteriosis athypical

j) Sepsis

k) Tuberkulosis ektrapulmoner
39

l) Limfoma maligna

m) Sarkoma kaposi

n) Enselopati HIV

Dengan penampilan klinis derajad 4 : berada ditempat tidur, > 50%

setiap hari dalam bulan-bulan terakhir.

Gejala klinis HIV/AIDS Menurut Mayo Foundation for Medical Educstion and

Research (MFMER) 2008 dalam Ardhiyanti (2013) :

1. Fase awal

a) Tidak ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi

b) Kadang-kadang ditemukan, gejala mirip flu seperti: demam, sakit

kepala, sakit tenggorokan, ruam dan pembengkakan kelenjar getah

bening.

c) Dapat menularkan virus kepada orang lain.

2. Fase lanjut

a) Penderita bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun lebih

b) Penderita mulai memperlihatkan gejala yang kronis seperti

pembesaran kelenjar getah bening (gejala khas), diare, berat badan

menurun, demam, batuk, dan pernafasan pendek.

3. Fase akhir

a) Terjadi sekitar 10 tahun atau lebih

b) Geja yang berat mulai timbul

c) Berakhir pada penyakit AIDS

2.4.4 Stadium HIV/AIDS

Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS, sejalan

dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler dan menunjukan
40

gambaran penyakit yang kronis. Penurunan imunitas bisanya diikuti adanya

peningkatan risiko dan derajat keparahan infeksi opportunistik serta penyakit

keganasan. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang menjadi

AIDS pada tiga tahun pertama, 50% menjadi AIDS sesudah sepuluh tahun dan

hampir 100% pasien HIV menunjukna gejala AIDS setelah 13 tahun (Ardhiyanti,

2015).

a. Stadium pertama HIV

Infeksi dengan msuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan serologis

ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi

positif. Rentang waktu sejak HIV menjadi positif disebut window period

antara satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang dapat berlangsung sampai

6 bulan.

b. Stadium kedua : Asimptomatik (tanpa gejala)

Asimptomatik berarti bahwa didalam organ tubuh terdapat HIV tetapi

tubuh tidak menunjukan gejala-gejala. Keadaan ini dapat berlangsung

sekitar 5-10 tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat

ini sudah menularkan HIV kepada orang lain.

c. Stadium ketiga

Pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata (persistent generalized

lymphadenopathy), tidak hanya muncul pada satu tempat saja dan

berlangsung lebih dari satu bulan.

d. Stadium ke empat : AIDS

Keadaan ini disertai adanya bermacam-macam penyakit, antara lain

penyakit konstitusional, penyakit syaraf dan penyakit infeksi sekunder.


41

2.5 Konsep ARV (Antiretroviral )

2.5.1 Definisi ARV

ARV atau antiretroviral adalah obat anti HIV yang dapat menekan

perkembangan virus HIV dalam tubuh (Ardhiyanti, 2015). Antiretroviral

merupakan terapi yang dijalankan pasien dengan mengonsumsi obat seumur

hidup untuk menghentikan aktifitas virus, memulihkan sistem imun dan

mengurangi terjadinya infeksi oportunistik, memperbaiki kualitas hidup dan

mengurangi kecacatan (Nursalam, 2007). Obat ARV perlu diminum sesuai

petunjuk dokter baik dosis maupun waktunya. Mengingat bahwa HIV adalah

virus yang selalu bermutasi, maka jika tidak mematuhi aturan pemakaian obat

ARV, obat yang dikonsumsi tidak bisa lagi memperlambat laju HIV menuju ke

tahap AIDS (Silvitasari, 2013)

2.5.2 Tujuan pemberian ARV

Menurut Ardhiyanti (2015) ARV diberikan pada pasien HIV/AIDS dengan

tujuan:

1) Menghentikan replikasi HIV

2) Memulihkan sistem imun dan mengurangi terjadinya infeksi

opportunistik

3) Memperbaiki kualitas hidup

4) Menurunkan morbiditas dan mortalitas karena infeksi HIV

2.5.3 Cara Kerja ARV

Obat–obatan ARV yang beredar saat ini sebagian besar bekerja berdasarkan

siklus replikasi HIV, sementara obat–obat baru lainnya masih dalam penelitian. Jenis

obat–obat ARV mempunyai target yang berbeda pada siklus replikasi HIV yaitu :
42

a) Entry (saat masuk). HIV harus masuk ke dalam sel T untuk dapat

memulai kerjanya yang merusak. HIV mula–mula melekatkan diri pada

sel, kemudian menyatukan membran luarnya dengan membran luar sel.

Enzim reverse transcriptase dapat dihalangi oleh obat AZT, ddC, 3TC,

dan D4T, enzim integrase mungkin dihalangi oleh obat yang sekarang

sedang dikembangkan, enzim protease mungkin dapat dihalangi oleh

obat Saquinavir, Ritonivir, dan Indinivir.

b) Early replication. Sifat HIV adalah mengambil alih mesin genetik sel T.

Setelah bergabung dengan sebuah sel, HIV menaburkan bahan–bahan

genetiknya ke dalam sel. Disini HIV mengalami masalah dengan kode

genetiknya yang tertulis dalam bentuk yang disebut RNA, sedangkan

pada manusia kode genetik tertulis dalam DNA. Untuk mengatasi

masalah ini, HIV membuat enzim reverse transcriptase (RT) yang

menyalin RNA–nya ke dalam DNA. Obat Nucleose RT inhibitors

(Nukes) menyebabkan terbentuknya enzim reverse transcriptase yang

cacat. Golongan non–nucleoside RT inhibitors memiliki kemampuan

untuk mengikat enzim reverse transcriptase sehingga membuat enzim

tersebut menjadi tidak berfungsi.

c) Late Replication. HIV harus menggunting sel DNA untuk kemudian

memasukkan DNAnya sendiri ke dalam guntingan tersebut dan

menyambung kembali helaian DNA tersebut. Alat penyambung itu

adalah enzim integrase, maka obat integrase inhibitors diperlukan untuk

menghalangi penyambungan ini.

d) Assembly (perakitan/penyatuan). Begitu HIV mengambil alih bahan–

bahan genetik sel, maka sel akan diatur unyuk membuat berbagai
43

potongan sebagai bahan untuk membuat virus baru. Potongan ini harus

dipotong dalam ukuran yang benar yang dilakukan enzim protease HIV,

maka pada fase ini, obat jenis protease inhibitors diperlukan untuk

menghalangi terjadinya penyambungan ini.

2.5.4 Jenis Obat–obatan ARV

Obat ARV terdiri atas beberapa golongan antara lain nucleoside transcriptase

inhibitors, nucleoside reverse transcriptase inhibitors, protease reverse non–

inhibitor, dan fussion inhibitor.

Tabel 1.2 Jenis obat-obatan ARV

Nama Generik Nama Nama lain


Dagang

Zidovudine Retrovir AZT, ZCV


Didanosine Videx ddi
Zalzitabine Hivid ddC,
dideokxycytidine
Stavudine Zerit D4T
Lamivudine Epivir 3TC
Zidovu dine/ Lamividine Combivir Kombinasi AZT
dan 3TC

Abacavir Ziagen ABC


Zidovu Trizivir Kombinasi AZT,
Dine/Lamivudine/Abacavir 3TC dan Abacavir
Tenofovir Viread Bis-poc PMPA
Sumber : (Ardhiyanti, 2015)

1) Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI). Obat ini dikenal sebagai

analog nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi

DNA (proses ini dilakukan oleh virus HIV agar bisa bereplikasi).

2) Nucleotide reverse transcriptase inhibitor (NtRTI). Yang termasuk golongan

ini adalah Tenofovir (TDF).


44

3) Non–nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Golongan ini juga

bekerja dengan menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA dengan

cara mengikat reverse transcriptase sehingga tidak berfungsi.

4) Protease inhibitor (PI, menghalangi kerja enzim protease yang berfungsi

memotong DNA yang dibentuk oleh virus dengan ukuran yang benar untuk

memproduksi virus baru, contoh obat golongan ini adalah indinavir (IDV),

nelvinavir (NFV), squinavir (SQV), ritonavir (RTV), amprenavir (APV), dan

loponavir / ritonavir (LPV/r).

5) Fusion inhibitor. Yang termasuk golongan ini adalah Enfuvirtide (T–20).

2.5.5 Kriteria Memulai Terapi ART

Semakin cepat pengobatan dimulai, semakin baik hasilnya. Obat akan bekerja

dengan baik bila sistem kekebalan juga bekerja dengan baik melawan virus. Namun

demikian, waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan ART diberikan

dalam jangka panjang. Menurut WHO (2015), ART bisa dimulai pada orang dewasa

berdasarkan kriteria sebagai berikut:

a. Pengobatan ARV dapat dimulai lebih dini tanpa melihat jumlah sel CD4,

dengan prioritas pada dewasa dengan gejala klinis HIV yang berat (WHO

stadium klinis 3 atau 4) dan dewasa yang CD4-nya di bawah 350 sel/mm3

(WHO, 2015).

b. Kriteria Inklusi Non–medis

1) Kepatuhan

2) Kesinambungan

3) Pendampingan

4) dan lain–lain
45

Sebelum memulai ARV, hal–hal berikut yang harus diperhatikan:

a. Tentukan HIV positif

b. Lakukan evaluasi klinis:

1) Tentukan stadium sesuai WHO

2) Diagnosa dan pengobatan IO

3) Profilaksis IO dan kepatuhan minum obat

4) Pertimbangkan apakah perlu ARV

c. Pertimbangkan kepatuhan

Indikasi lain pemberian ARV:

a) Profilaksis. Obat ARV diberikan pada orang yang terpapar

dengan cairan tubuh yang mengandung HIV (post–exposure

prophylaxis)

b) Pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi. ARV diberikan

untuk mencegah penularan pada saat proses melahirkan, melalui

ASI ataupun saat kehamilan melalui plasenta.

2.5.6 Syarat untuk memulai pengobatan ARV

Syarat-syarat untuk memulai pengobatan ARV di pelayanan kesehatan dalam

Ardhiyanti (2015), antara lain:

a. Infeksi HIV telah dikonfirmasi dengan hasil tes positif yang tercatat

b. Memiliki indikasi medis, jika tidak memenuhi indikasi klinis, jangan memulai

ART. Ulangi pemeriksaan CD4 dalam 4 bulan jika memungkinkan

c. Pasien yang memenuhi kriteria dapat memulai di pelayanan kesehatan

d. Infeksi opportunistik telah diobati dan sudah stabil

e. Pasien telah siap untuk pengobatan ART :


46

1) Pasien memahami terapi ART, dan mengerti efek samping yang

mungkin timbul keterbatasan yang ada, memerlukan kepatuhan tinggi

pasien menginginkan pengobatan

2) Pasien siap untuk patuh berobat

3) Pasien siap berperan aktif untuk merawat dirinya sendiri

4) Adanya dukungan dari keluarga dan masyarakat

5) Jika memungkinkan tersedia kelompok dukungan sebaya

6) Tidak ada kasus ketidakpatuhan berobat yang muncul saat ini (beberapa

kunjungan diperlukan sebelum memulai terapi)

7) Mengenali adanya kemungkinan ketidakpatuhan misalnya kehidupan

sosial yang tidak stabil, ketergantungan alkohol berat, atau gangguan

psikiatri serius.

f. Adanya tim medis AIDS yang mampu memberikan perawatan kronis

g. Persediaan obat yang cukup terjamin Sebelum memulai pengobatan,

sebaiknya penderita diberikan konseling mengenai:

a) Biaya dan konsekuensinya terhadap keuangan keluarga

b) Pentingnya kepatuhan optimal

c) Menginformasikan penggunaan ARV pada anggota keluarga

d) Mendapat dukungan psikososial

e) Informasi obat: tipe, dosis, efek samping, penyimpanan, makanan, interaksi,

dan kartu control

2.5.7 Standar Pengobatan HIV/AIDS

Dalam buku panduan pengobatan HIV/AIDS yang diterbitkan oleh

kemenkes RI (2011) disebutkan bahwa HIV sangat cepat bermutasi sehingga resisten
47

terhadap obat. Untuk mengurangi kemungkinan tersebut maka didalam penanganan

infeksi HIV digunakan terapi antiretriviral yang sangat aktif (highly active antiretroviral

therapy, disingkat HAART). Pilihan terbaik HAART saat ini berupa kombinasi dari

setidaknya tiga obat (disebut “koktail) yang terdiri dari paling sedikit dua macam

bahan antiretrovirus. Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleuside analogue

transcriptase inhibitor (NRTI) yang terdiri dari : zidovudin (AZT/ZDV, lamivudin

(3TC), Tenofovir (TDF), Emtri citabine (FTC) dengan non-nucleoside reverse transcriptase

inhibitor (NNRTI) yang terdiri dari Nevirapin (NVP), Efavirenz (EFV). (Dirjen P3L

Kemenkes RI, 2011)

Tabel 1.3. Saat memulai terapi pada ODHA dewasa

Target Populasi Stadium Klinis Jumlah sel CD4 Rekomendasi

ODHA dewasa Stadium klinis 1 > 350 sel/mm3 Belum mulai terapi.
dan 2 Monitor gejala
klinis dan jumlah
sel CD4 setiap 6-12
bulan
< 350 sel/mm3 Mulai terapi

Stadium klinis 3 Berapapun jumlah Mulai terapi


dan 4 sel CD4
Pasien dengan ko- Apapun Stadium Berapapun jumlah Mulai terapi
infeksi TB klinis sel CD4
Pasien dengan ko- Apapun Stadium Berapapun jumlah Mulai terapi
infeksi Hepatitis B klinis sel CD4
Kronik aktif
Ibu Hamil Apapun Stadium Berapapun jumlah Mulai terapi
klinis sel CD4
Sumber : Pedoman terapi Antiretroviral, 2011

2.5.8 Kegagalan Terapi ARV

Kriteria gagal terapi, ditentukan berdasarkan kriteria klinis, imunologis

maupun virologis. Pada tempat dimana tidak tersedia sarana pemeriksaan CD4 dan

atau viral load, maka diagnosa kegagalan terapi menurut gejala klinis dapat dilakukan.

Sebaliknya pada tempat yang mempunyai sarana pemeriksaan CD4 dan atau viral
48

load, maka diagnosa kegagalan terapi ditegakkan dengan panduan pemeriksaan CD4

dan atau viral load setelah pada pemeriksaan fisik dijumpai tampilan gejala klinis yang

mengarah pada kegagalan terapi. Di bawah akan diulas dua macam kriteri kegagalan

terapi, yang pertama adalah yang menggunakan pemeriksaan CD4 dan VL sebagai

dasar penentuan (kriteria WHO) dan yang menggunakan pemeriksaan klinis sebagai

dasar penentuan gagal terapi (utamanya digunakan pada tempat yang tidak memiliki

sarana pemerikasaan CD4 dan VL). (KEMENKES, 2011).

Tabel 1.4 Definisi Kegagalan Terapi Menurut WHO 2013

Kegagalan Terapi Kriteria Keterangan

Kegagalan Klinis Pasien telah mendapatkan Dalam menggunakan kriteria


terapi ARV selama 6 klinis sebagai metoda untuk
bulan. Kepatuhan pasien waspada terhadap kemungkinan
< 95 % tapi > 80% gagal terapi , kriteria yang harus
Evaluasi ada interaksi obat selalu dimasukkan adalah Pasien
yang menyebabkan mendapatkan terapi ARV dan
penurunan ARV dalam telah mendapatkan pengobatan
darah. PPE atau Prurigo selama 6 bulan, evaluasi
timbul kembali setelah kepatuhan minum obat dan
pemberian ARV selama 6 evaluasi kemungkinan adanya
bulan. Penurunan Hb interaksi obat
sebesar > 1g/dL.
Kegagalan Penurunan CD 4 kembali WHO menyatakan bahwa
imunologis seperti awal sebelum jumlah CD4 bukan merupakan
pengobatan atau prediktor yang baik dalam
Penurunan sebesar 50 % menentukan kegagalan
dari nilai tertinggi CD4pengobatan. Sekitar 8 – 40 %
yang pernah dicapai. dari pasien yang menunjukkan
ATAU kegagalanimunologis, terbukti
masih dalam kondisi virological
suppression dan tidak memerlukan
switch ke lini kedua.
Jumlah CD4 tetap < 100 Kriteria penurunan jumlah CD4
sel/mm3 setelah 1 tahun seperti kondisi sebelum
pengobatan dengan ARV mendapatkan terapi ARV dan
penurunan jumlah CD4 sebesar
50 % dari nilai tertinggi bisa
49

digunakan HANYA JIKA


memiliki data dasar jumlah CD4
sebelum pengobatan
Kegagalan virologis Jika pasien telah Pada tempat layanan yang
mendapatkan terapi ARV memiliki sarana pemeriksaan
setidaknya selama 6 bulan viral load dan pasien mampu
dan pemeriksaan VL menjangkau pemeriksaan viral
diulang 4 – 8 minggu load, maka viral load dapat
kemudian didapat jumlah digunakan sebagai prediktor dari
viral load > 5000 kepatuhan minum obat Viral
copies/ml load diharapkan menjadi
undetectable ( < 50 copies/ml)
dalam waktu 6 bulan dengan
menggunakan paduan yang
direkomendasikan.
Viral load diharapkan akan
turun sebesar 1 – 2 log dalam
waktu 2 bulan pengobatan

2.5.9 Keberhasilan Terapi Antiretroviral (ARV)

Keberhasilan terapi dapat dilihat dari tanda-tanda klinis pasien yang membaik

setelah terapi, salah satunya infeksi oppurtunistik tidak terjadi., BB meningkat, tidak

terjadi resistensi dan CD4 meningkat. Ukuran jumlah sel CD4+ menjadi predictor

terkuat terjadinya komplikasi HIV. Jumlah CD4+ yang menurun diasosiasikan

sebagai perbaikan yang lambat dalam terapi, meski pada kenyataannya pasien yang

memulai terapi pada saat CD4+ rendah, akan menunjukkan perbaikan yang lambat.

Namun jumlah CD4+ di bawah 100 sel/mm3 menunjukkan resiko yang signifikan

untuk terjadinya penyakit HIV yang progresif. Maka, kegagalan imunologik

(Silvitasari, 2013).

2.5.10 Aturan dan Dosis obat Antiretroviral untuk Dewasa

Hampir semua orang kadang-kadang lupa atau terlambat minum obat, akan

tetapi ada perbedaan antara sekali-kali melupakan dan lupa beberapa minggu. Jika

sering terlambat atau lupa, mungkin lebih baik berhenti ARV sampai penderita benar-

benar lebih mampu minum obat sesuai jadwal. Ini akan menghindari kemungkinan
50

timbulnya resistensi. Obat ARV diminum setiap hari, jika penderita ingat bahwa lupa

satu dosis sebaiknya langsung diminum segera setelah ingat. Namun jika lupa maka

pada waktu selanjutnya obat ARV jangan di gandakan dosisnya, karena tidak ada

manfaat minum dua dosis bersamaan. (Spiritia, 2012)

Tabel 1.5 Dosis obat Antiretroviral untuk Dewasa

Golongan/ Nama Dosis Penyimpanan


Nucleoside RTI
Abacavir (ABC) 300 mg setiap 12 jam atau 600 Dalam suhu kamar
mg

Zidovudine (ZDV 250 atau 300 mg setiap 12 jam. Dalam suhu kamar
atau AZT)
Dosis 250 mg sementara tidak
tersedia di Indonesia
Emtricitabine (FTC) 200 mg setiap 24 jam Dalam suhu kamar

Didanosine (ddI) [b] Bb > 60 kg : 400 mg setiap 24 Tablet dan kapsul dalam
(tablet bufer atau jam. suhu kamar. Puyer harus
kapsul enteric BB < 60 kg : 250 mg setiap 24 dalam refrigerator, suspensi
coated) jam orall formula pediatrik
(250 mg setiap 24 jam bila dapat tahan hingga 30 hari
diberikan bersama TDF) bila disimpan dalam lemari
es.
(Diminum 2 jam setelah makan
atau 1 jam setelah makan).

Lamivudine (3TC) 150 mg setiap 12 jam atau 300 Dalam suhu kamar
mg setiap 24 jam (sesudah
makan)
Stavudine (d4T) 30 mg setiap 12 jam (setelah Dalam suhu kamar.
makan) Suspensi oral harus
disimpan di lemari es dan
stabil hingga 30 hari
Nucleotide RTI

Tenofovir 300 mg setiap 24 jam, Dalam suhu kamar


disoproxil
fumarat (TDF) (Catatan: Interaksi obat dengan
ddI perlu mengurangi dosis ddI)
Non-nucleoside Dalam suhu kamar
RTI
Efavirenz (EFV) 600 mg setiap 24 jam (malam Dalam suhu kamar
hari, hindari makanan berlemak)
51

Nevirapine (NVP) 200 mg setiap 24 jam selama 14 Dalam suhu kamar


hari, kemudian 200 mg setiap 12
jam
Protease
inhibitors
Atazanavir/ritonavir 300 mg /100 mg setiap 24 jam Dalam suhu kamar
(ATV/ r) [c]
Fosamprenavir/ 700 mg/ 100 mg setiap 24 jam Dalam suhu kamar
ritonavir (FVP/ r)
Indinavir/ ritonavir 800 mg/100 mg setiap 12 jam. Dalam suhu kamar
(IDV/ r) [d]
Lopinavir/ ritonavir Kapsul lopinavir 133,3 mg + Untuk penyimpanan lama
(LPV/ r) [e] ritonavir 33,3 mg: perlu
400 mg/100 mg setiap 12 jam. refrigerator
533 mg/133 mg setiap 12 jam
bila dikombinasi dengan EFV
atau NVP

Tablet heat stable lopinavir Dalam suhu kamar


200
mg + ritonavir 50 mg:
400 mg/100 mg setiap 12 jam.
600 mg/ 150 mg setiap 12 jam
bila dikombinasi dengan EFV
atau NVP
Nelfinavir (NFV) 5 tablet 250 mg setiap 12 jam Dalam suhu kamar
(Dipakai dengan makanan)

Saquinavir/ 1000 mg/100 mg setiap 12 jam Dalam suhu kamar


ritonavir atau
(SQV/r) [e] 1600 mg/200 mg sekali
Sehari.
Darunavir (DRV/ r) 600 mg/ 100 mg setiap 12 Dalam suhu kamar
Jam

Sumber : Pedoman terapi Antiretroviral, 2011 dan 2007

2.5.11 Efek samping Anti retroviral

Pasien yang sedang mendapat kan ARV umumnya menderita efek samping

sekitar 25% penderita mnghentikan terapi pada tahun pertama karena efek samping

obat dan 25% penderita tidak meminum dosis yang dianjurkan karena takut akan efek

samping yang ditimbulkan. Efek samping antiretroviral yang paling lazim dalam

spiritia, 2012 yaitu:


52

Nama Generik Efek Samping


Abacavir (ABC) Reaksi hipersensitifitas (dapat fatal)
Demam, rash, kelemahan umum
Mual, muntah, nafsu makan
menurun, gangguan saluran
pernafasan (nyeri tenggorok, batuk),
Asidosis laktat dengan dengan
hepatic stenosis.
Didanosine (ddi) Pankretitis, neuropati perifer, mual, diare,
asidosis lactat dengan hepatic stenosis
Lamivudin (3TC) Tokisisitas minimal, asidosis laktat
dengan hepatic stenosis
Stavudine (d4T) Pankreatitis, neuropati perifer, asidosis
laktat dengan hepatic stenosis,
lipoartrophy
Zidovudine Anemia, neutropeni, intoleransi
(ZDV,AZT) gastrointestinal, sakit kepala, insomnia,
miopati, asidosis laktat dengan hepatic
steatosis
Nevirapine (NVP) Rash kulit, sindrom steven-johnson,
peningkatan kadar serum transaminase,
hepatitis
Keluhan mengenai CNS : dizziness,
somnolen, insomnia, confusion,
halusinasi, agitasi
Peningkatan kadar serum transaminase,
rash kulit
53

DAFTAR PUSTAKA

Ardhiyanti, yulrina.,novita,lusiana.,kiki, megasari. (2015).Buku ajar AIDS pada


Asuhan kebidanan. Yogyakarta: budi utama

Andarmoyo, sulistyo (2012). Keperawatan keluarga. konsep teori dan praktik


keperawatan. Yogyakarta: Graha ilmu

Consolidated guidelines onthe use of antiretroviral drugs for treating and preventing
hiv infection Recommendations for a public health approach. 2016. WHO.
Second edition.

Friedman, marlyn, M (2010). Buku ajar keperawatan keluarga riset, teori dan praktek,
ed 2. Jakarta: EGC

Harnilawati (2013). Konsep dan proses keperawatan keluarga. Makasar: Pustaka as


salam

Ika Silvitasari dkk (2013). Efektivitas Dukungan Keluarga Terhadap Kepatuhan


Pengobatan Arv Pada Odha Di Kelompok Dukungan Sebaya
Kartasura.surakarta

Lembaran informasi tentang HIV dan AIDS untuk ODHA. Jakarta:Yayasan spiritia

Muhith, abdul., sandu siyoto (2016). Pendidikan keperawatan gerontik. Yogyakarta

Nursalam, kurniawan ninuk, (2007). Asuhan keperawatan pada pasien terinfeksi HIV
AIDS. Jakarta: Salemba medika

Pedoman Nasional tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi antiretroviral pada orang
dewasa, kemenkes RI, 2011

Pedoman Nasional tatalaksana klinis infeksi HIV dan terapi antiretroviral pada orang
dewasa, kemenkes RI, 2007

Susana murni. (2015). Hidup dengan HIV dan AIDS. Jakarta:Yayasan spiritia

Suprajitno (2010)., Asuhan keperawatan keluarga aplikasi dalam praktik.,Jakarta:


EGC

Setiawati santun, agus citra dermawan (2008). Penuntun praktis asuhan keperawatan
keluarga ed 2. Jakarta: Trans info media.

Sudiharto. (2007). Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan.jakarta: EGC

Wojowasito.,tito,wasito. (2007). Kamus lengkap Inggris-indonesia. Malang: HASTA


Bandung

Anda mungkin juga menyukai