Anda di halaman 1dari 44

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Persepsi

2.1.1 Definisi Persepsi

Persepsi merupakan suatu proses yang di dahului oleh proses

penginderaan yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu

melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Namun proses itu tidak

berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses

selanjutnya merupakan proses persepsi. Proses penginderaan akan

berlangsung setiap saat, pada waktu individu menerima stimulus melalui alat

indera yaitu melalui mata sebagai alat penglihatan, lidah sebagai alat

pengecapan, kulit pada telapan tangan sebagai alat perabaan yang kesemuanya

merupakan alat indera yang digunakan untuk menerima stimulus dari luar

individu. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa stimulus diterima oleh

alat indera, yaitu yang dimaksud dengan penginderaan dan melalui proses

penginderaan tersebut stimulus itu menjadi sesuatu yang berarti setelah

diorganisasikan dan diinterpretasikan (Bimo Walgito, 2010 : 100).

Persepsi dapat didefinisikan sebagai proses menerima, menyeleksi,

mengorganisasikan, mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi kepada

rangsangan pencarian atau data. Menurut rumusan yang dikenal dengan teori

rangsangan-tanggapan (stimulus-respon atau SR), persepsi merupakan bagian dari

keseluruhan proses yang menghasilkan tanggapan setelah rangsangan

diterapkan kepada manusia. Persepsi disebut inti komunikasi, karena jika


persepsi kita tidak akurat, kita tidak mungkin berkomunikasi dengan efektif

(Alex, 2013).

Persepai ODHA terhadap obat adalah munculnya paksaan klinis untuk

menghindari kerugian yang akan dialami oleh tubuh. Persepsi dapat

mempengaruhi pengobatan ARV dan perilaku pencegahan untuk HIV.

Persepsi negatif terhadap obat adalah efek sampingnya yang dirasakan oleh

kondisi masing-masing tubuh (Peter, 2014). Untuk persepsi positif yaitu cara

untuk tetap sehat (Akindele, 2014).

2.1.2 Faktor yang Mempengaruhi Adanya Persepsi

Dari hal-hal tersebut dapat dikemukakan bahwa untuk mengadakan

persepsi adanya beberapa faktor, yaitu :

a. Objek yang dipersepsikan.

Objek yang menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau

reseptor. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi,

tetapi juga dapat datang dari dalam diri individu yang bersangkutan yang

langsung mengenai syaraf penerima yang bekerja sebagai reseptor.

Namun sebagaian terbesar stimulus dtang dari luar individu.

b. Alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf.

Alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Di

samping itu juga harus ada syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan

stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf, yaitu otak

sebagai pusat kesadaran. Sebagai alat untuk mengadakan respon

diperlukan syaraf motoris.


c. Perhatian.

Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya

perhatian, yaitu merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan

dalam rangka mengadakan persepi. Perhatian merupakan pemusatan atau

konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukkan kepada

sesuatu atau sekumpulan objek (Bimo Walgito, 2010 : 101).

2.1.3 Proses Terjadinya Persepsi

Proses terjadinya persepsi, yaitu objek yang menimbulkan stimulus

mengenai alat indera atau reseptor. Perlu dikemukakan bahwa antara objek

dan stimulus itu berbeda, tetapi ada kalanya bahwa objek dan stimulus itu

menjadi satu, misalnya dalam hal tekanan. Benda sebagai objek langsung

mengenai kulit, sehingga akan terasa tekanan tersebut.

Proses stimulus mengenai alat indera merupakan proses kealaman

atau proses fisik. Stimulus yang diterima oleh alat indera diteruskan oleh

syaraf sensoris ke otak. Proses ini yang disebut sebagai proses fisiologis.

Kemudian terjadilah proses di otak sebagai pusat kesadaran sehingga individu

menyadari apa yang dilihat, atau apa yang di dengar, atau apa yang diraba.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa taraf terakhir dari proses

persepsi ialah individu menyadari tentang misalnya apa yng dilihat, atau apa

yang di dengar, atau apa yang diraba, yaitu stimulus yang diterima melalui alat

indera. Proses ini merupakan proses terakhir dari persepsi dan merupakan

proses sebenarnya. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh

individu dalam berbagai macam bentuk.

Dalam proses persepsi perlu adanya perhatian sebagai langkah

persiapan dalam persepsi itu. Hal tersebut karena keadaan menunjukkn


bahwa individu tidak hanya dikenai oleh satu stimulus saja, tetapi individu

dikenai berbagai macam stimulus yang ditimbulkan oleh keadaan sekitarnya.

Namun demikian tidak semua stimulus mendapatkan respon individu untuk

di persepsi. Stimulus mana yang akan dipersepsi atau mendapatkan respon

dari individu tergantung pada perhatian individu (Bimo Walgito, 2010 : 102).

2.1.4 Objek Persepsi

Objek yang dipersepsikan sangat banyak, yaitu segala sesuatu yang ada di

sekitar manusia. Manusia itu sendiri dapat menjadi objek persepsi. Orang yang

menjadikan dirinya sendiri sebagai objek persepsi, ini yang disebut sebagai

persepsi diri atau self-perception. Karena sangat banyaknya objek yang dapat

dipersepsi, maka pada umumnya objek persepsi diklsifikasikan. Objek persepsi

dapat dibedakan atas objek nonmanusia dan manusia. Objek persepsi yang

berwujud manusia ini disebut person perception atau juga ada yang menyebutkan

sebagai social pereption, sedangkan persepsi yang berobjekkan nonmanusia, hal

ini sering disebut sebagai nonsocial perception atau juga disebut sebagai thing

perception.

Apabila yang dipersepsikan itu manusia dan yang nonmanusia, maka

adanya kesamaan tetapi juga adanya perbedaan dalam persepsi tersebut.

Persamaannya yaitu apabila manusia dipandang sebagai objek benda yang

terikat pada waktu dan tempat seperti benda-benda yang lain. Walaupun

demikian sebenarnya antara manusia dan nonmanusia itu terdapat perbedaan

yang mendasar. Apabila yang dipersepsi itu manusia maka objek persepsi

mempunyai aspek-aspek yang sama dengan yang mempersepsi, dan hal ini

tidak terdapat apabila yang dipersepsi itu nonmanusia. Pada objek persepsi

manusia, manusia yang dipersepsi mempunyai kemampuan-kemampuan,


perasaan, ataupun aspek-aspek lain seperti halnya pada orang yang

mempersepsi. Orang yang dipersepsi akan dapat mempengaruhi pada orang

yang mempersepsi, dan hal ini tidak akan di jumpai apabila yang dipersepsi itu

nonmanusia. Karena itu pada objek persepsi, yaitu manusia yang dipersepsi,

lingkungan yang melatarbelakangi objek persepsi, dan preseptor sendiri akan

sangat menentukan dalam hasil persepsi (Bimo Walgito, 2010 : 108-109).

2.1.5 Indikator Persepsi

Indikator persepsi menurut Bimo Walgito (2002, dalam Hariyadi

2014) sebagai berikut:

a. Penyerapan terhadap rangsangan atau objek dari luar individu

Rangsangan atau objek tersebut diserap atau diterima oleh panca

indera, baik penglihatan, pendengaran, peraba, pencium, dan pengecap

secara sendiri-sendiri mupun bersama-sama. Hasil penyerapan atau

penerima oleh alat-alat indera tersebut akan mendapatkan gambaran,

tanggapan atau kesan didalam otak. Gambaran tersebut dapat tunggal

maupun jamak, tergantung objek persepsi yang diamati. Di dalam otak

terkumpul gambaran-gambaran atau kesan-kesan, baik yang lama maupun

yang baru saja terbentuk. Jelas tidaknya gambaran tersebut tergantung dari

jelas tidaknya rangsangan, normalitas alat indera dan waktu, baru saja atau

sudah lama.

b. Pengertian dan Pemahaman

Gambaran-gambarran atau kesan-kesan yang terjadi di dalam otak,

maka gambaran tersebut diorganisir, digolong-golongkan (diklasifikasi),

dibandingkan, diiterprestasi, sehingga berbentuk pengertian atau

pemahaman tersebut sangat unik dan cepat. Pengertian yang berbentuk


tergantung juga pada gambaran-gambaran lama yang telah dimiliki individu

sebelumnya (disebut apersepsi).

c. Penilaian atau Evaluasi

Suatu pengertian atau pemahaman yang telah terbentuk, akan

dilanjutkan dengan penilaian dari individu. Individu membandingkan

pengertian atau pemahaman yang baru diperoleh tersebut dengan kriteria

atau norma yang dimiliki individu secara subjektif. Penilaian individu

berbeda-beda meskipun objeknya sama, oleh karena itu persepsi bersifat

individual.

2.2 Konsep ODHA (Orang dengan HIV/AIDS)

2.2.1 Definisi ODHA

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah satu jenis virus yang

menyerang sel darah putih tau kekebalan. HIV adalah virus penyebab AIDS

(Kemenkes RI, 2011). AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yang dimana

Acquired berarti di dapat, bukan keturunan. Immune terkait dengan sistem

kekebalan tubuh kita. Deficiency berarti kekurangan. Syndrome atau sindrom

berarti penyakit dengan kumpulan gejala, bukan gejala tertentu. Jadi, AIDS

berarti kumpulan gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan

tubuh yang dibentuk setelah kita lahir (Spirita, 2014).

Dalam bahasa Inggris orang yang terinfeksi HIV/AIDS itu disebut

PLWH (People Living with HIV/AIDS), sedangkan itu di Indonesia kategori

ini diberi nama ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) dan OHIDA (Orang

yang Hidup dengan HIV/AIDS) baik keluarga serta lingkungannya. ODHA

atau orang dengan HIV/AIDS merupakan orang yang menderita HIV/AIDS

yang yang secara fisik sama dengan kita yang tidak menderita HIV/AIDS.
Mereka pada umumnya memiliki ciri-ciri yang sama seperti orang yang sehat

sehingga tidak dapat diketahui apakah seseorang itu menderita HIV/AIDS

(Ilyas, 47).

2.2.2 Pengendalian ODHA

Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) termotivasi dari konselor untuk

patuh terhadap ARV. Pendapat penentuan nasib sendiri mengubah perilaku

sepenuhnya untuk menghindari rasa malu dan rasa bersalah, dimana ODHA

menerima tujuan yang didasari oleh perilaku bagian integral diri. ODHA

cenderung mengembangkan hak lebih dan meningkatkan motivasi untuk

patuh (Khaterine, 2014).

2.2.3 Penyebab HIV/AIDS

AIDS disebabkan oleh virus HIV masuk dalam golongan virus retro

yang disebut human immunodeficiency virus. Virus ini diketemukan oleh

Montagner, seseorang ilmuwan dari Perancis (Institute Pasteur Paris, 1983),

yang mengisolasi virus dari seorang penderita dengan gejala limfadenopati,

sehingga saat itu dinamakan (LAV) atau Lymphadenophaty ASSociated Virus

(Sudoyo, Aru. W., dkk. 2009). Penularan HIV/AIDS terjadi melalui cairan

tubuh yang mengandung HIV yaitu melalui hubungan seksual, jarum suntik

pengguna narkoba, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi

HIV kepada bayi yang dilahirkannya (Kemenkes RI, 2011).

2.2.4 Epidemiologi HIV/AIDS

Perkembangan epidemi yang meningkat di awal tahun 2000-an telah

ditanggapi dengan keluarnya Peraturan Presiden nomer 75 Tahun 2006 yang

mengamatkan perlunya intensifikasi penanggulangan AIDS di Indonesia.

Indonesia adalah salah satu negara di Asia dengan epidemi yang berkembang
paling cepat. Sejak tahun 2008, Indonesia mulai menggunakan perangkat

lunak Asian Epidemic Model (AEM) sebagai alat bantu untuk

memproyeksikan dampak epidemi HIV dengan menentukan faktor yang

paling mempengaruhi terjadinya infeksi HIV. Selain AEM, perangkat lunak

Spectrum juga digunakan. Di dalam perangkat lunak Spectrum terdapat

modul untuk membuat estimasi dan proyeksi demografi dan epidemi HIV

dan AIDS (Kemenkes RI, 2013).

Peningkatan penanggulangan HIV dan AIDS yang efektif dan

komprehensif di Indonesia memerlukan pendekatan yang strategik, yang

menangani faktor-faktor struktural melibatkan peran aktif semua sektor.

Tantangan yang dihadapi sungguh besar dilihat secara geografik dan sosial

ekonomi, Indonesia berpenduduk terbesar ke empat di dunia dan terdiri lebih

dari 17.000 pulau, dengan sistem pemerintahan terdesentralisasi mencakup

lebih dari 400 kabupaten atau kota, 33 provinsi. Kasus HIV telah dilaporkan

lebih dari 400 kabupaten atau kota di seluruh 33 provinsi. Mengingat HIV

merupakan suatu tantangan global dan salah satu masalah yang paling rumit,

dewasa ini maka keberhasilan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia,

tidak saja memberikan manfaat bagi Indonesia tetapi juga penanggulangan

AIDS secara global (Kemenkes RI, 2013).

2.2.5 Patofisiologi HIV/AIDS

Infeksi HIV terjadi lewat 3 cara utama yaitu seksual, parenteral dan

perinatal. Hubungan seks, baik anal maupun vaginal, adalah modus yang

paling umum. Kemungkinan penuluaran hubungan seks lewat anal 0,1 – 3 %

atau kontak dan 0,1 – 0,2 % atau kontak seks vaginal. Pada umumnya risiko

meningkat dengan tingkat keparahan partner seks. Individu yang beresiko


tinggi pada hubungan homoseksual adalah seseorang dengan penyakit

menular seks ulseratif, banyak partner seks, partner seks pengguna obat

parentaral (Elin, 2011).

Pengguna jarum atau peralatan suntikan lainnya yang terkontaminasi

oleh pengguna obat terlarang adalah penyebab utama transmisi parenteral dan

akhir-akhir ini jumlahnya seperempat dari kasus AIDS yang dilaporkan di

Amerika. Petugas kesehetan mempunyai risiko yang kecil tertular HIV akibat

pekerjaannya, sebgaian besar penularan karena luka akibat jarum suntik.

Infeksi perinatal atau penularan vertikal, penyabab utama (>90%) pada

infeksi HIV anak. Resiko penularan ibu - anak sekitar 25% terjadi pada kasus

tidak menyusui atau terapi ARV. Pemberian air susu ibu (ASI) dapat juga

menularkan HIV (Elin, 2011).

Partikel virus yang ada dalam tubuh ODHA, akan bergabung dengan

DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup

akan tertap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagaian

berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% brkembang

menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua

orang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal.

Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit kronis, sesuai

dengan perusakan sistem tubuh yang juga bertahap (Burnat, 2014).

2.2.6 Manifestasi Klinis HIV/AIDS

Manifestasi klinis penderita HIV dan AIDS dewasa dapat dibagi

menjadi 4 fase, yaitu :

a. Fase I

1. Asimtomatis.
2. Limfadenopati generalisata persisten.

3. Penampilan klinis derajad I : Asimtomatis dan aktivitas normal.

b. Fase II

1. Penurunan berat badan <10%.

2. Manifestasi mukokutaneus MINOR (dermatis soberreic, prurigo, infeksi

jamur pada kuku, ulserasi pada mulut berulang, cheilitis angulari).

3. Herpes Zoster, dalam 5 tahun terakhir.

4. Infeksi saluran nafas atas berulang (sinusitis bakterial).

5. Penampilan klinis derajat 2 : simtomatis, aktivitas normal.

c. Fase III

1. Penurunan berat badan >10%.

2. Diare kronis dengan penyebab yang tidak jelas >1 bulan.

3. Demam tanpa penyebab yang jelas (Intermittent atau menetap) > 1

bulan.

4. Kandidiasis oral.

5. Tuberkulosis paru dalam 1 tahun terakhir.

6. Terinfeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis).

7. Penampilan klinis derajad 3 : berbaring ditempat tidur, < 50% sehari

dalam 1 bulan terakhir.

d. Fase IV

1. HIV wasting sindrome.

2. Pneumonia pneumokistik karinii.

3. Infeksi toksoplasmosis di otak.

4. Diare karena cryptosporidiosis > 1 bulan.

5. Mengalami infeksi citomegalovirus.


6. Infeksi herpes simpleks, maupun mukokutaneus > 1 bulan.

7. Infeksi mikosis (histoplasmosis, coccidioidomycosis).

8. Kandidiasis esofagus, trakhea, bronkus, maupun paru.

9. Infeksi mikobakteriosis athypical.

10. Sepsis.

11. Tuberkulosis ektrapulmoner.

12. Limfoma maligna.

13. Sarkoma kaposi.

14. Enselopati HIV.

15. Penampilan klinis derajad 4 : berada ditempat tidur, > 50% setiap hari

dalam bulan-bulan terakhir (Kemenkes RI, 2009).

2.2.7 Pemeriksaan HIV/AIDS

a. Anamnesa

Riwayat medis yang perlu ditanyakan :

1. Kapan dan dimana diagnosia terinfeksi HIV ditegakkan.

2. Siapa yang diperkirakan sebagai sumber penularan.

3. Keluhan dan gejala yang dialami akhir-akhir ini.

4. Riwayat medis di masa lalu, keluhan, diagnosis dan terapi yang telah

diberikan.

5. Keluhan maupun terapi TB sebelumnya.

6. Riwayat kemungkinan penyakit menular seksual.

7. Riwayat kehamilan.

8. Riwayat terapi ARV sebelumnya.

9. Riwayat kontak seksual dan kebiasaan sosial.


b. Pemeriksaan Fisik

1. Pengukuran berat badan.

2. Pemeriksaan kulit : herpes zoster, sarkoma kaposis, dermatitis HIV.

3. Mukosa Orofaring : kandidiasis, sarkoma kaposis.

4. Pemeriksaan jantung dan paru.

5. Pemeriksaan abdomen, terutama kemungkinan adanya perbesaran hati

dan limpa.

6. Pemeriksaan neurologis, psikiatri dan muskuloskeletal : status mental,

defist motorik, defist motorik dan sensorik.

7. Pemeriksaan fundus optik : retinitis, papil edem.

8. Pemeriksaan genitourinarius.

c. Pemeriksaan Laboratorium

1. Pemeriksaan esensial.

2. Serologi HIV.

3. Hitung lomfosit CD4+, atau hitung limfosit total.

4. Pemeriksaan darah lengkap dan profil kimia klinis.

5. Tes kehamilan atas dugaan.

6. HIV-RNA viral load.

d. Pemeriksaan Tambahan atas Indikasi

1. Foto thoraks.

2. Urin untuk pemeriksaan rutin dan mikroskopik.

3. Pemeriksaan serologi hepatitis virus B dan C.

4. Toksoplasmosis, infeksi virus sitomegalo.

5. Histoplasmosis, kandidiasis, kriptokokus.

6. Dan lain-lain yang diperlukan (Kemenkes RI, 2011).


2.2.8 Penatalaksanaan HIV/AIDS

a. Penatalaksanaan Umum

Istirahat cukup guna meminimalkan kondisi hipermatobolik dan

hiperkatobolik. Dukungan nutrisi berbasis mikro dan makro menghindari

makronutrein harus optimal untuk menghindari munculnya sindrom

wasting. Konseling yang memadai merupakan formulasi dukungan

psikobiologis dan psikososial terhadap penderita HIV/AIDS.

b. Penatalaksanaan Khusus

Karena penyebabnya adalah virus, maka pemberian Antiretroviral

Therapy (ART) perlu diberikan secara kombinasi. Terhadap infeksi

oportunistik dan malignasi, terapi disesuaikan dengan manifestasi. Prinsip

dasar penatalaksanaan penderita HIV dan AIDS.

1. Menurunkan angka kesakitan akibat HIV, dan angka kemtian akibat

AIDS.

2. Meningkatkan kualitas hidup penderita.

3. Mempertahankan serta memulihkan status imun penderita.

4. Menekan serta menghambat replikasi HIV semaksimal mungkin (<50

kopi/ml) dan dipertahankan dalam kadar rendah tersebut selama

mungkin (Kemenkes RI, 2011).

2.3 Konsep ARV

2.3.1 Definisi ARV

Antiretroviral (ARV) adalah obat untuk mengatasi AIDS. Obat ini

tidak dapat menyembuhkan AIDS, hanya dapat memperlambat reproduksi

HIV pada tahap awal. ARV telah terbukti mampu memperpanjang masa

hidup penderita dan memperbaiki kualitas hidup penderita. Efek samping


dari minum ARV sangat tidak mengenakan bagi ODHA dan pengobatannya

dilakukan seumur hidup, yang bisa memicu kebosanan dan akhirnya berhenti

dari pengobatan. Padahal, jika pengobatan berhenti, virus akan meningkat

berlipat-lipat dan kemungkinan resisten terhadap obat tersebut bisa lebih

tinggi (Kusman, 2013).

2.3.2 Cara Kerja ARV

Obat–obatan ARV yang beredar saat ini sebagian besar bekerja

berdasarkan siklus replikasi HIV, sementara obat–obat baru lainnya masih

dalam penelitian. Jenis obat–obat ARV mempunyai target yang berbeda pada

siklus replikasi HIV yaitu :

a) Entry (saat masuk). HIV harus masuk ke dalam sel T untuk dapat

memulai kerjanya yang merusak. HIV mula–mula melekatkan diri pada

sel, kemudian menyatukan membran luarnya dengan membran luar sel.

Enzim reverse transcriptase dapat dihalangi oleh obat AZT, ddC, 3TC,

dan D4T, enzim integrase mungkin dihalangi oleh obat yang sekarang

sedang dikembangkan, enzim protease mungkin dapat dihalangi oleh

obat Saquinavir, Ritonivir, dan Indinivir.

b) Early replication. Sifat HIV adalah mengambil alih mesin genetik sel T.

Setelah bergabung dengan sebuah sel, HIV menaburkan bahan–bahan

genetiknya ke dalam sel. Disini HIV mengalami masalah dengan kode

genetiknya yang tertulis dalam bentuk yang disebut RNA, sedangkan

pada manusia kode genetik tertulis dalam DNA. Untuk mengatasi

masalah ini, HIV membuat enzim reverse transcriptase (RT) yang

menyalin RNA–nya ke dalam DNA. Obat Nucleose RT inhibitors

(Nukes) menyebabkan terbentuknya enzim reverse transcriptase yang


cacat. Golongan non–nucleoside RT inhibitors memiliki kemampuan

untuk mengikat enzim reverse transcriptase sehingga membuat enzim

tersebut menjadi tidak berfungsi.

c) Late Replication. HIV harus menggunting sel DNA untuk kemudian

memasukkan DNAnya sendiri ke dalam guntingan tersebut dan

menyambung kembali helaian DNA tersebut. Alat penyambung itu

adalah enzim integrase, maka obat integrase inhibitors diperlukan untuk

menghalangi penyambungan ini.

d) Assembly (perakitan/penyatuan). Begitu HIV mengambil alih bahan–

bahan genetik sel, maka sel akan diatur unyuk membuat berbagai

potongan sebagai bahan untuk membuat virus baru. Potongan ini harus

dipotong dalam ukuran yang benar yang dilakukan enzim protease HIV,

maka pada fase ini, obat jenis protease inhibitors diperlukan untuk

menghalangi terjadinya penyambungan ini (Depkes, 2011).

2.3.3 Saat Memulai Terapi ARV

Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan

jumlah CD4 dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut

adalah untuk menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi

antiretroviral atau belum. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan

jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa memandang stadium klinisnya. Terapi

ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi

Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.


Target Populasi Stadium Klinis Jumlah sel CD4 Rekomendasi

ODHA dewasa Stadium klinis 1 > 350 sel/mm3 Belum mulai

dan 2 terapi. Monitor

gejala klinis dan

jumlah sel CD4

setiap 6-12 bulan

< 350 sel/mm3 Mulai terapi

Stadium klinis 3 Berapapun jumlah Mulai terapi

dan 4 sel CD4

Pasien dengan Apapun Berapapun jumlah Mulai terapi

ko-infeksi TB Stadium klinis sel CD4

Pasien dengan Apapun Berapapun jumlah Mulai terapi

ko-infeksi Stadium klinis sel CD4

Hepatitis B

Kronik aktif

Ibu Hamil Apapun Berapapun jumlah Mulai terapi

Stadium klinis sel CD4

(Depkes, 2011).

2.3.4 Memulai Terapi ARV pada Keadaan Infeksi Oportunistik (IO) yang

Aktif

Infeksi oportunistik dan penyakit terkait HIV lainnya yang perlu

pengobatan atau diredakan sebelum terapi ARV dapat dilihat dalam tabel di

bawah ini.
Jenis Infeksi Opportunistik Rekomendasi

Progresif Multifocal ARV diberikan langsung setelah

Leukoencephalopathy, Sarkoma diagnosis infeksi ditegakkan.

Kaposi, Mikrosporidiosis, CMV,

Kriptosporidiosis.

Tuberkulosis, PCP, Kriptokokosis, ARV diberikan setidaknya 2 minggu

MAC. setelah pasien mendapatkan

pengobatan infeksi opportunistik.

(Depkes, 2011).

2.3.5 Paduan ARV Lini Pertama yang Dianjurkan

Pemerintah menetapkan paduan yang digunakan dalam pengobatan

ARV berdasarkan pada 5 aspek yaitu efektivitas, efek samping atau toksisitas,

interaksi obat, kepatuhan, harga obat. Prinsip dalam pemberian ARV yaitu:

a. Paduan obat ARV harus menggunakan 3 jenis obat yang terserap dan

berada dalam dosis terapeutik. Prinsip tersebut untuk menjamin efektivitas

penggunaan obat.

b. Membantu pasien agar patuh minum obat antara lain dengan mendekatkan

akses pelayanan ARV.

c. Menjaga kesinambungan ketersediaan obat ARV dengan menerapkan

manajemen logistik yang baik.

Paduan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk lini pertama adalah 2

NRTI + 1 NNRTI. Mulailah terapi antiretroviral dengan salah satu dari

paduan di bawah ini:


AZT + 3TC + NVP (Zidovudine + Lamivudine + Nevirapine) Atau

AZT + 3TC + EFV (Zidovudine + Lamivudine + Efavirenz) Atau

TDF + 3TC (atau FTC) (Tenofovir + Lamivudine (atau Atau

+ NVP Emtricitabine) + Nevirapine)

TDF + 3TC (atau FTC) (Tenofovir + Lamivudine (atau

+ EFV Emtricitabine) + Efavirenz)

Paduan Lini Pertama yang direkomendasikan pada orang dewasa yang belum

pernah mendapat terapi ARV (treatment-naive).

Populasi Target Pilihan yang Catatan

direkomendasikan

Dewasa dan anak AZT atau TDF + 3TC Merupakan pilihan paduan yang

(atau FTC) + EFV atau sesuai untuk sebagian besar

NVP. pasien.

Gunakan FDC jika tersedia.

Perempuan hamil AZT + 3TC + EFV atau Tidak boleh menggunakan EFV

NVP. pada trimester pertama.

TDF bisa merupakan pilihan.

Ko-infeksi AZT atau TDF + 3TC Mulai terapi ARV segera setelah

HIV/TB (FTC) + EFV. terapi TB dapat ditoleransi

(antara 2 minggu hingga 8

minggu).

Gunakan NVP atau triple NRTI

bila EFV tidak dapat digunakan


Ko-infeksi TDF + 3TC (FTC) + Pertimbangkan pemeriksaan

HIV/Hepatitis B EFV atau NVP. HBsAg terutama bila TDF

kronik aktif merupakan paduan lini pertama.

Diperlukan penggunaan 2 ARV

yang memiliki aktivitas anti-HBV.

(Depkes, 2011).

2.3.6 Berbagai pertimbangan dalam penggunaan dan pemilihan Paduan

terapi ARV

a. Memulai dan Menghentikan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase

Inhibitor (NNRTI)

Nevirapine dimulai dengan dosis awal 200 mg setiap 24 jam selama

14 hari pertama dalam paduan ARV lini pertama bersama AZT atau TDF

+ 3TC. Bila tidak ditemukan tanda toksisitas hati, dosis dinaikkan menjadi

200 mg setiap 12 jam pada hari ke-15 dan selanjutnya. Mengawali terapi

dengan dosis rendah tersebut diperlukan karena selama 2 minggu pertama

terapi NVP menginduksi metabolismenya sendiri. Dosis awal tersebut juga

mengurangi risiko terjadinya ruam dan hepatitis oleh karena NVP yang

muncul dini. Bila NVP perlu dimulai lagi setelah pengobatan dihentikan

selama lebih dari 14 hari, maka diperlukan kembali pemberian dosis awal

yang rendah tersebut. Cara menghentikan paduan yang mengandung

NNRTI, yaitu Hentikan NVP atau EFV, teruskan NRTI (2 obat ARV

saja) selama 7 hari setelah penghentian Nevirapine dan Efavirenz, (ada

yang menggunakan 14 hari setelah penghentian Efavirenz) kemudian

hentikan semua obat. Hal tersebut guna mengisi waktu paruh NNRTI
yang panjang dan menurunkan risiko resistensi NNRTI. Penggunaan NVP

dan EFV, yaitu:

1. NVP dan EFV mempunyai efikasi klinis yang setara.

2. Ada perbedaan dalam profil toksisitas, potensi interaksi dengan obat

lain, dan harga.

3. NVP berhubungan dengan insidensi ruam kulit, sindrom Steven-

Johnson dan hepatotosksisitas yang lebih tinggi dibanding EFV.

4. Dalam keadaan reaksi hepar atau kulit yang berat maka NVP harus

dihentikan dan tidak boleh dimulai lagi.

5. Gunakan NVP atau PI untuk ibu hamil trimester 1 atau triple NRTI jika

NVP dan PI tidak dapat digunakan. Triple NRTI hanya diberikan

selama 3 bulan lalu dikembalikan kepada paduan lini pertama.

6. Perlu kehati-hatian penggunaan NVP pada perempuan dengan CD4

>250 sel/mm3 atau yang tidak diketahui jumlah CD4-nya dan pada

laki-laki dengan jumlah CD4 >400 sel/mm3 atau yang tidak diketahui

jumlah CD4-nya.

7. Perlu dilakukan lead-in dosing pada penggunaan NVP, yaitu diberikan satu

kali sehari selama 14 hari pertama kemudian dilanjutkan dengan 2 kali

sehari.

8. EFV dapat digunakan sekali sehari dan biasanya ditoleransi dengan baik,

hanya saja biayanya lebih mahal dan kurang banyak tersedia

dibandingkan NVP.

9. Toksisitas utama EFV adalah berhubungan dengan sistem saraf pusat

(SSP) dan ada kemungkinan (meski belum terbukti kuat) bersifat

teratogenik bila diberikan pada trimester 1 (tetapi tidak pada triemester


dua dan tiga) dan ruam kulit yang biasanya ringan dan hilang sendiri

tanpa harus menghentikan obat. Gejala SSP cukup sering terjadi, dan

meskipun biasanya hilang sendiri dalam 2-4 minggu, gejala tersebut

dapat bertahan beberapa bulan dan sering menyebabkan penghentian

obat oleh pasien.

10. EFV perlu dihindari pada pasien dengan riwayat penyakit psikiatrik

berat, pada perempuan yang berpotensi hamil dan pada kehamilan

trimester pertama.

11. EFV merupakan NNRTI pilihan pada keadaan ko-infeksi TB/HIV

yang mendapat terapi berbasis Rifampisin.

Dalam keadaan penggantian sementara dari NVP ke EFV selama

terapi TB dengan Rifampisin dan akan mengembalikan ke NVP setelah

selesai terapi TB maka tidak perlu dilakukan lead-in dosing.

b. Pilihan pemberian Triple NRTI

Regimen triple NRTI digunakan hanya jika pasien tidak dapat

menggunakan obat ARV berbasis NNRTI, seperti dalam keadaan berikut:

1. Ko-infeksi TB/HIV, terkait dengan interaksi terhadap Rifampisin.

2. Ibu Hamil, terkait dengan kehamilan dan ko-infeksi TB/HIV.

3. Hepatitis, terkait dengan efek hepatotoksik karena NVP/EFV/PI.

Anjuran paduan triple NRTI yang dapat dipertimbangkan adalah

AZT+3TC +TDF. Penggunaan Triple NRTI dibatasi hanya untuk 3

bulan lamanya, setelah itu pasien perlu di kembalikan pada penggunaan lini

pertama karena supresi virologisnya kurang kuat.

c. Penggunaan AZT dan TDF

1. AZT dapat menyebabkan anemi dan intoleransi gastrointestinal.


2. Indeks Massa Tubuh (IMT / BMI = Body Mass Index) dan jumlah CD4

yang rendah merupakan faktor prediksi terjadinya anemi oleh

penggunaan AZT.

3. Perlu diketahui faktor lain yang berhubungan dengan anemi, yaitu antara

lain malaria, kehamilan, malnutrisi dan stadium HIV yang lanjut.

4. TDF dapat menyebabkan toksisitas ginjal. Insidensi nefrotoksisitas

dilaporkan antara 1% sampai 4% dan angka Sindroma Fanconi sebesar

0.5% sampai 2%.

5. TDF tidak boleh digunakan pada anak dan dewasa muda dan sedikit

data tentang keamanannya pada kehamilan.

6. TDF juga tersedia dalam sediaan FDC (TDF+FTC) dengan pemberian

satu kali sehari yang lebih mudah diterima ODHA.

d. Perihal Penggunaan d4T

Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan

telah digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam

kurun waktu yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak

membutuhkan data laboratorium awal untuk memulai serta harganya yang

relatif sangat terjangkau dibandingkan dengan NRTI yang lain seperti

Zidovudin (terapi ARV), Tenofovir (TDF) maupun Abacavir (ABC).

Namun dari hasil studi didapat data bahwa penggunaan d4T, mempunyai

efek samping permanen yang bermakna, antara lain lipodistrofi dan

neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat asidosis yang

menyebabkan kematian.

Stavudin (d4T) merupakan ARV dari golongan NRTI yang poten dan

telah digunakan terutama oleh negara yang sedang berkembang dalam


kurun waktu yang cukup lama. Keuntungan dari d4T adalah tidak

membutuhkan data laboratorium awal untuk memulai serta harganya yang

relatif sangat terjangkau dibandingkan dengan NRTI yang lain seperti

Zidovudin (terapi ARV), Tenofovir (TDF) maupun Abacavir (ABC).

Namun dari hasil studi didapat data bahwa penggunaan d4T, mempunyai

efek samping permanen yang bermakna, antara lain lipodistrofi dan

neuropati perifer yang menyebabkan cacat serta laktat asidosis yang

menyebabkan kematian. Berdasarkan kesepakatan dengan panel ahli, maka

pemerintah memutuskan sebagai berikut:

1. Menggunakan AZT atau TDF pada pasien yang baru memulai terapi

dan belum pernah mendapat terapi ARV sebelumnya.

2. Pada pasien yang sejak awal menggunakan d4T dan tidak dijumpai efek

samping dan/atau toksisitas maka direkomendasikan untuk diganti

setelah 6 bulan.

3. Jika terjadi efek samping akibat penggunaan AZT (anemia), maka

sebagai obat substitusi gunakan TDF.

4. Pada saat sekarang penggunaan Stavudin (d4T) dianjurkan untuk

dikurangi karena banyaknya efek samping. Secara nasional dilakukan

penarikan secara bertahap (phasing out) dan mendatang tidak

menyediakan lagi d4T setelah stok nasional habis.

e. Penggunaan Protease Inhibitor (PI)

Obat ARV golongan Protease Inhibitor (PI) TIDAK dianjurkan

untuk terapi Lini Pertama, hanya digunakan sebagai Lini Kedua. Penggunaan

pada Lini Pertama hanya bila pasien benar-benar mengalami Intoleransi

terhadap golongan NNRTI (Efavirenz atau Nevirapine). Hal ini dimaksudkan


untuk tidak menghilangkan kesempatan pilihan untuk Lini Kedua. mengingat

sumber daya yang masih terbatas.

f. Paduan Obat ARV yang Tidak Dianjurkan

Paduan ARV Alasan tidak dianjurkan

Mono atau dual terapi untuk Cepat menimbulkan resisten.

pengobatan infeksi HIV

kronis.

d4T + AZT. Antagonis (menurunkan khasiat kedua

obat).

d4T + ddI. Toksisitas tumpang tindih (pankreatitis,

hepatitis dan lipoatrofi)

Pernah dilaporkan kematian pada ibu hamil.

3TC + FTC. Bisa saling menggantikan tapi tidak boleh

digunakan secara bersamaan.

TDF + 3TC + ABC atau Paduan tersebut meningkatkan mutasi

TDF + 3TC + ddI. K65R dan terkait dengan seringnya

kegagalan virologi secara dini.

TDF + ddI + NNRTI Seringnya kegagalan virologi secara dini.

manapun.

(Depkes, 2011).

2.3.7 Paduan Terapi ARV Lini Kedua

Pada kasus gagal terapi tindakan yang direkomendasikan adalah

mengganti (switch) paduan lini-pertama menjadi paduan lini-kedua.

Rekomendasi paduan lini kedua adalah 2 NRTI + boosted-PI. Boosted PI

adalah satu obat dari golongan Protease Inhibitor (PI) yang sudah ditambahi
(boost) dengan Ritonavir sehingga obat tersebut akan ditulis dengan kode

..../r (misal LPV/r = Lopinavir/ritonavir). Penambahan (booster) dengan

ritonavir ini dimaksudkan untuk mengurangi dosis dari obat PI-nya karena

kalau tanpa ritonavir maka dosis yang diperlukan menjadi tinggi sekali.

Paduan lini kedua yang direkomendasikan dan disediakan secara gratis oleh

pemerintah yaitu TDF atau AZT + 3TC + LPV/r. Apabila pada lini

pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + (3TC atau FTC)

sebagai dasar NRTI pada paduan lini kedua. Apabila pada lini pertama

menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI sebagai

dasar NRTI pada paduan lini kedua (Depkes, 2011).

2.3.8 Pilihan Terapi ARV Lini Kedua

Populasi Target dan ARV yang Pilihan paduan ARV pengganti

digunakan yang direkomendasikan

Dewasa Bila menggunakan TDF +3TC atau FTC + LPV/r

(termasuk AZT sebagai lini

perempuan pertama

hamil) Bila menggunakan AZT + 3TC + LPV/r

TDF sebagai lini

pertama

Ko-infeksi TB/HIV Mengingat rifampisin tidak dapat

digunakan bersamaan dengan

LPV/r, dianjurkanmenggunakan

paduan OAT tanpa rifampisin. Jika

rifampisin perlu diberikan maka


pilihan lain adalah menggunakan

LPV/r dengan dosis 800 mg/200

mg dua kali sehari). Perlu evaluasi

fungsi hati ketat jika menggunakan

Rifampisin dan dosis ganda LPV/r

Ko-infeksi HIV/HBV AZT + TDF + 3TC (FTC) +

LPV/r

(TDF + (3TC atau FTC)) tetap

digunakan meski sudah gagal di lini

pertama karena pertimbangan efek

anti-HBV dan untuk mengurangi

risiko ‘flare’

(Kemenkes RI, 2011)

2.3.9 Efek Samping

Pasien yang sedang mendapat kan ARV umumnya menderita efek

samping sekitar 25% penderita mnghentikan terapi pada tahun pertama

karena efek samping obat dan 25% penderita tidak meminum dosis yang

dianjurkan karena takut akan efek samping yang ditimbulkan. Efek samping

antiretroviral yang paling lazim dalam spiritia, 2012 yaitu:

1. Kelelahan: Odha sering melaporkan kadang-kadang merasa lelah.

Mengetahui penyebab kelelahan dan menanganinya adalah penting.

2. Anemia: Obat ARV seperti duviral dapat menyebabkan anemia. Anemia

meningkatkan risiko menjadi lebih sakit dengan infeksi HIV. Tes darah

berkala dapat mengetahui adanya anemia, dan anemia dapat diobati.


3. Masalah pencernaan : Banyak obat dapat menimbulkan rasa nyeri pada

perut. Obat dapat menyebabkan mual, muntah, kembung, atau diare.

Tanggapan yang lazim dipakai di rumah termasuk: Daripada tiga kali

makan secara besar, lebih baik makan sedikit tetapi sering. Makan sup dan

makanan lunak, jangan yang pedas-pedas. Teh jahe atau minuman jahe

lain dapat menyamankan perut. Begitu juga bau jeruk segar.

4. Lipodistrofi: termasuk kehilangan lemak pada lengan, kaki dan wajah;

penambahan lemak pada perut atau di belakang leher; dan peningkatan

lemak (kolesterol) dan gula (glukosa) dalam darah. Perubahan ini dapat

meningkatkan risiko serangan jantung atau serangan otak.

5. Tingkat lemak atau gula yang tinggi dalam darah), termasuk kolesterol,

trigliserida dan glukosa. Masalah ini dapat meningkatkan risiko penyakti

jantung.

6. Masalah kulit: Beberapa obat menyebabkan ruam. Sebagian besar bersifat

sementara, tetapi dapat menimbulkan reaksi berat. Periksa ke dokter jika

mengalami ruam. Masalah kulit lain termasuk kulit kering dan rambut

rontok. Pelembab kulit dapat membantu masalah kulit.

7. Neuropati adalah penyakit yang sangat nyeri disebabkan oleh kerusakan

saraf. Penyakit ini biasanya mulai pada kaki dan tangan.

8. Toksisitas mitokondria adalah kerusakan rangka dalam sel. Penyakit ini

dapat menyebabkan neuropati atau kerusakan pada ginjal, dan dapat

meningkatkan asam laktik dalam tubuh.

9. Osteoporosis sering terjadi pada Odha. Mineral tulang dapat hilang dan

tulang menjadi rapuh. Kehilangan aliran darah dapat menyebabkan

masalah pinggul. Pastikan konsumsi cukup zat kalsium dalam makanan


dan suplemen. Olahraga angkat beban atau berjalan kaki dapat

membantu.

Faktor yang menyebabkan timbulnya efek samping ARV menurut

kemenkes 2011, antara lain:

a) Jenis kelamin (contoh: NVP lebih sering menyebabkan reaksi

hipersensitivitas pada wanita dengan jumlah CD4 >250 sel/mm3.

b) Karakteristik obat (contoh: efek samping NVP bersifat dose-related pada

awal pengobatan sehingga diberikan lead in-dose).

c) Digunakannya dua atau lebih obat dengan toksisitas yang sama. Efek

samping antara Rifampisin dengan NVP yang keduanya bersifat

hepatotoksik berpotensi menimbulkan toksisitas ganda

d) Faktor lain yang dapat menyebabkan timbulnya efek samping adalah

karena belum ditemukan dan diobatinya penyakit yang mendasarinya

(underlying disease), misalnya koinfeksi hepatitis C.

e) Terdapat beberapa keadaan yang mempunyai risiko yang lebih sering

mengalami efek samping obat sehingga perlu pemantauan terapi yang lebih

ketat.

2.3.10 Keberhasilan Terapi Antiretroviral (ARV)

Keberhasilan terapi dapat dilihat dari tanda-tanda klinis pasien yang

membaik setelah terapi, salah satunya infeksi oppurtunistik tidak terjadi., BB

meningkat, tidak terjadi resistensi dan CD4 meningkat. Ukuran jumlah sel

CD4+ menjadi predictor terkuat terjadinya komplikasi HIV. Jumlah CD4+

yang menurun diasosiasikan sebagai perbaikan yang lambat dalam terapi,

meski pada kenyataannya pasien yang memulai terapi pada saat CD4+

rendah, akan menunjukkan perbaikan yang lambat. Namun jumlah CD4+ di


bawah 100 sel/mm3 menunjukkan resiko yang signifikan untuk terjadinya

penyakit HIV yang progresif. Maka, kegagalan imunologik (Silvitasari, 2013).

2.3.11 Aturan dan Dosis obat Antiretroviral untuk Dewasa

Hampir semua orang kadang-kadang lupa atau terlambat minum obat,

akan tetapi ada perbedaan antara sekali-kali melupakan dan lupa beberapa

minggu. Jika sering terlambat atau lupa, mungkin lebih baik berhenti ARV

sampai penderita benar-benar lebih mampu minum obat sesuai jadwal. Ini

akan menghindari kemungkinan timbulnya resistensi. Obat ARV diminum

setiap hari, jika penderita ingat bahwa lupa satu dosis sebaiknya langsung

diminum segera setelah ingat. Namun jika lupa maka pada waktu selanjutnya

obat ARV jangan di gandakan dosisnya, karena tidak ada manfaat minum dua

dosis bersamaan (Spiritia, 2012).

Tabel 1.5 Dosis obat Antiretroviral untuk Dewasa

Golongan/ Nama Dosis Penyimpanan


Nucleoside RTI
Abacavir (ABC) 300 mg setiap 12 jam atau 600 Dalam suhu kamar
mg
Zidovudine (ZDV 250 atau 300 mg setiap 12 jam. Dalam suhu kamar
atau AZT) Dosis 250 mg sementara tidak
tersedia di Indonesia
Emtricitabine (FTC) 200 mg setiap 24 jam Dalam suhu kamar

Didanosine (ddI) [b] Bb > 60 kg : 400 mg setiap 24 Tablet dan kapsul dalam
(tablet bufer atau jam. suhu kamar. Puyer harus
kapsul enteric BB < 60 kg : 250 mg setiap 24 dalam refrigerator, suspensi
coated) jam orall formula pediatrik
(250 mg setiap 24 jam bila dapat tahan hingga 30 hari
diberikan bersama TDF) bila disimpan dalam lemari
es.
(Diminum 2 jam setelah makan
atau 1 jam setelah makan).

Lamivudine (3TC) 150 mg setiap 12 jam atau 300 Dalam suhu kamar
mg setiap 24 jam (sesudah
makan)
Stavudine (d4T) 30 mg setiap 12 jam (setelah Dalam suhu kamar.
makan) Suspensi oral harus
disimpan di lemari es dan
stabil hingga 30 hari
Nucleotide RTI

Tenofovir 300 mg setiap 24 jam, Dalam suhu kamar


disoproxil
fumarat (TDF) (Catatan: Interaksi obat dengan
ddI perlu mengurangi dosis
ddI)
Non-nucleoside Dalam suhu kamar
RTI
Efavirenz (EFV) 600 mg setiap 24 jam (malam Dalam suhu kamar
hari, hindari makanan
berlemak)

Nevirapine (NVP) 200 mg setiap 24 jam selama 14 Dalam suhu kamar


hari, kemudian 200 mg setiap
12 jam
Protease
inhibitors
Atazanavir/ritonavir 300 mg /100 mg setiap 24 jam Dalam suhu kamar
(ATV/ r) [c]
Fosamprenavir/ 700 mg/ 100 mg setiap 24 jam Dalam suhu kamar
ritonavir (FVP/ r)
Indinavir/ ritonavir 800 mg/100 mg setiap 12 jam. Dalam suhu kamar
(IDV/ r) [d]
Lopinavir/ ritonavir Kapsul lopinavir 133,3 mg + Untuk penyimpanan lama
(LPV/ r) [e] ritonavir 33,3 mg: perlu
400 mg/100 mg setiap 12 jam. refrigerator
533 mg/133 mg setiap 12 jam
bila dikombinasi dengan EFV
atau NVP
Tablet heat stable lopinavir Dalam suhu kamar
200
mg + ritonavir 50 mg:
400 mg/100 mg setiap 12 jam.
600 mg/ 150 mg setiap 12 jam
bila dikombinasi dengan EFV
atau NVP
Nelfinavir (NFV) 5 tablet 250 mg setiap 12 jam Dalam suhu kamar
(Dipakai dengan makanan)

Saquinavir/ 1000 mg/100 mg setiap 12 jam Dalam suhu kamar


ritonavir atau
(SQV/r) [e] 1600 mg/200 mg sekali
Sehari.
Darunavir (DRV/ r) 600 mg/ 100 mg setiap 12 Dalam suhu kamar
Jam

Sumber : Pedoman terapi Antiretroviral, 2011 dan 2007

2.4 Konsep Kepatuhan

2.4.1 Definisi Kepatuhan

Menurut KBBI (Kamus besar bahasa indonesia), patuh berarti suka

menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan dan berdisiplin. kepatuhan

berarti bersifat patuh , ketaatan, tunduk, pada ajaran dan aturan. Kepatuhan

adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perilaku pasien dalam

minum obat secara benar tentang dosis, frekuensi, dan waktunya (Ardhiyanti,

2015). Kepatuhan adalah derajat dimana pasien mengikuti anjuran klinis dari

dokter yang mengobatinya (Silvitasari, 2012). Kepatuhan berarti memakai

obat persis sesuai dengan aturan, yaitu obat yang benar, pada waktu yang

benar, dengan cara yang benar (Spiritia, 2014).

Kepatuhan berobat berarti patuh mengikuti petunjuk penggunaan

medikasi, dan lebih dari itu mengadopsi perilaku terupetik dan

mempertahankannya. Kepatuhan dan komitmen terhadap terapi sangat

diperlukan. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan kenyamanan dan toleransi

terhadap terapi. Hal ini penting karena diharapkan akan lebih meningkatkan

tingkat kepatuhan minum obat. Kepatuhan atau adhrennce harus selalu

dipantau dan dievaluasi secara teratur pada setiap kunjungan. Kegagalan


terapi ARV sering diakibatkan oleh ketidakpatuhan pasien mengkonsumsi

ARV.

Peningkatan kepatuhan berobat akan memberi dampak besar bagi

kesehatan dari pada terapi medik lainnya. Laporan WHO mengatakan akan

mudah dan murah melakukan intervensi kepatuhan berobat secara konsisten

dan hasilnya sangat efektif.

Dalam terapi antiretroviral (ARV), kepatuhan berobat merupakan

kunci sukses terapi. Untuk mencapai supresi virologis yang baik diperlukan

tingkat kepatuhan terapi ARV yang sangat tinggi. Penelitian menunjukan

bahwa untuk mencapai tingkat supresi virus yang optimal setidaknya 90 - 95

% dari semua dosis tidak boleh terlupakan. Resiko kegagalan terapi timbul

jika pasien sering lupa minum obat. Sebelum mulai terapi, pasien harus

memahami program terapi ARV beserta konsekuensinya. Harus dibuat

rencana pengobatan secara rinci bersama pasien untuk meningkatkan rasa

tanggung jawab pasien untuk berobat secara teratur dan terus – menerus.

Penjelasan rinci tentang pentingnya kepatuhan minum obat dan akibat dari

kelalaian perlu dilakukan.

Banyak penelitian menunjukan bahwa dengan kelupaan hanya satu

atau dua dosis saja per minggu, menimbulkan dampak yang besar terhadap

keberhasilan pengobatan ARV

Presentase tingkat kepatuhan dengan viral load tidak terdeteksi

Tingkat kepatuhan viral load tidak terdeteksi

>90% 81%
90-95% 64%
80-90% 50%
70-80% 25%
<70% 6%
Hasil penelitian yang ditujukan pada tabel 2.2 menunjukan bahwa

walau dengan 95 % kepatuhan, hanya 81 % orang mencapai viral load yang

tidak terdeteksi. Kepatuhan 95 % ini berarti pasien hanya lupa atau terlambat

memakai tiga dosis per bulan dengan jadwal dua kali sehari.

2.4.2 Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan menurut penelitian

sugiharti (2012) yaitu:

a. Motivasi Diri

keinginan untuk dapat bertahan hidup dan tidak ingin sakit. Motivasi dari

dalam diri ODHA untuk sembuh atau bertahan hidup merupakan faktor

pendukung kepatuhan yang paling sering dinyatakan oleh responden.16

Faktor utama yang mempengaruhi optimisme hidup ODHA adalah

motivasi hidup yang kuat dalam diri penderita. Dengan adanya

optimisme hidup, ODHA mempunyai semangat untuk bekerja, motivasi

untuk hidup, dan pikiran yang positif.

b. Dukungan dari Keluarga

Dukungan dari keluarga (orangtua, suami dan saudara), Bagi ODHA

yang sudah diketahui statusnya oleh keluarga dan keluarganya dapat

menerima kondisi mereka, maka faktor keluarga biasanya menjadi

pendukung utama. Biasanya orang tua, suami/istri, anak menjadi orang-

orang terdekat yang mengingatkan untuk minum obat. Keluarga dalam

hal ini bisa berfungsi menjadi Pengawas Minum Obat (PMO) bagi

ODHA. Akan tetapi ada kondisi keluarga yang justru menghambat


kepatuhan misalnya takut diketahui pasangannya sebagai ODHA

sehingga menjadi berhenti minum obat.

c. Dukungan dari Petugas Kesehatan

Dukungan dari petugas kesehatan dan Manager Kasus (MK) adalah

penting karena Pada dasarnya untuk dapat menjalani ARV dengan baik,

maka ODHA sangat membutuhkan dukungan psikososial dari segenap

pihak, baik tim profesional kesehatan (dokter, perawat, apoteker, dan

lain-lain). Pemerintah, LSM, dukungan sebaya, keluarga ODHA maupun

segenap masyarakat berkewajiban turut berkontribusi dalam rangka

menjaga hak ODHA untuk memperoleh layanan kesehatan yang baik

dan optimal, utamanya layanan ARV, sehingga dapat hidup sehat, adalah

bagian dari hak asasi manusia itu sendiri.

Berdasarkan pedoman nasional terapi antiretroviral, 2011 mejabarkan

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan antara lain :

a. Fasilitas layanan kesehatan. Sistem layanan yang berbelit, sistem

pembiayaan kesehatan yang mahal, tidak jelas dan birokratik adalah

penghambat yang berperan sangat signifikan terhadap kepatuhan, karena

hal tersebut menyebabkan pasien tidak dapat mengakses layanan

kesehatan dengan mudah. Termasuk diantaranya ruangan yang nyaman,

jaminan kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan

membantu pasien.

b. Karakteristik Pasien. Meliputi faktor sosiodemografi (umur, jenis

kelamin, ras / etnis, penghasilan, pendidikan, buta/melek huruf, asuransi

kesehatan, dan asal kelompok dalam masyarakat misal waria atau pekerja

seks komersial) dan faktor psikososial (kesehatan jiwa, penggunaan


napza, lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan dan perilaku

terhadap HIV dan terapinya).

c. Paduan terapi ARV. Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan,

bentuk paduan (FDC atau bukan FDC), jumlah pil yang harus diminum,

kompleksnya paduan (frekuensi minum dan pengaruh dengan makanan),

karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses untuk

mendapatkan ARV.

d. Karakteristik penyakit penyerta. Meliputi stadium klinis dan lamanya

sejak terdiagnosis HIV, jenis infeksi oportunistik penyerta, dan gejala

yang berhubungan dengan HIV. Adanya infeksi oportunistik atau

penyakit lain menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus

diminum.

e. Hubungan pasien-tenaga kesehatan. Karakteristik hubungan pasien-

tenaga kesehatan yang dapat mempengaruhi kepatuhan meliputi:

kepuasan dan kepercayaan pasien terhadap tenaga kesehatan dan staf

klinik, pandangan pasien terhadap kompetensi tenaga kesehatan,

komunikasi yang melibatkan pasien dalam proses penentuan keputusan,

nada afeksi dari hubungan tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan

kesesuaian kemampuan dan kapasitas tempat layanan dengan kebutuhan

pasien.

Faktor yang mempengaruhi kepatuhan menurut Yuniar (2012), antara

lain

a. Faktor internal

i. Motivasi diri : Motivasi dalam diri ODHA untuk hidup lebih

berkualitas, pemahaman dan kesadaran yang tinggi akan fungsi dan


manfaat ARV, strategi menganggap obat sebagai vitamin atau obat

biasa.

ii. Persepsi : persepsi ODHA terhadap keparahan penyakit dan

keyakinan akan manfaat ARV mempengaruhi kepatuhan dalam

minum ARV. Walter juga menyatakan bahwa ODHA yang mampu

mengatur pengobatan dan merasakan hasil positif dari pengobatan

menjadi lebih patuh minum ARV.

iii. Tingkat pengetahuan : ODHA dengan tingkat pengetahuan tinggi

biasanya lebih patuh karena mereka sudah tahu keparahan penyakit

yang mereka alami dan kepatuhan terapi ARV telah mem-berikan

perbaikan bagi kualitas hidup mereka baik secara fisik,

b. Faktor eksternal utama yang me-ningkatkan kepatuhan minum ARV

adalah

i. Masalah ekonomi , keterjangkauan obat ARV : merupakan salah

satu faktor penyebab ketidakpatuhan karena pe-ngobatan HIV

AIDS membutuhkan waktu lama dengan konsekuensi biaya yang

harus dikeluarkan menjadi besar termasuk untuk pemeriksaan

laboratorium dan pengobatan infeksi oportunistik sehingga banyak

ODHA yang harus mencari pinjaman dana atau men-jual barang

berharga. Peningkatan kemam-puan finansial dan bantuan dana

misalnya untuk biaya transport akan meringankan biaya yang harus

ditanggung ODHA

ii. Dukungan sosial dari keluarga, teman dan Tenaga kesehatan

memberikan pengaruh penting terhadap kepatuhan ODHA dalam

minum ARV. Bagi ODHA yang sudah diketahui statusnya oleh


keluarga dan keluarganya dapat menerima kondisi mereka, maka

faktor keluarga biasanya menjadi pen-dukung utama. Biasanya

orang tua, suami, istri, anak menjadi orang-orang terdekat yang

mengingatkan untuk minum obat. Keluarga dalam hal ini bisa

berfungsi menjadi Pengawas Minum Obat (PMO) bagi ODHA..

iii. Meningkatkan keterlibatan keluarga, KDS, LSM dan tenaga

kesehatan untuk memotivasi ODHA agar hidup lebih berkualitas

dan minum ARV secara teratur. Meningkatkan akses dan ke-

terjangkauan biaya pemeriksaan laboratorium dan obat-obat IO

(Infeksi Oportunistik).

iv. Meningkatkan edukasi kemasyarakat untuk mengurangi atau

menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA,

meningkatkan kepedulian terhadap ODHA khususnya ODHA

anak-anak.

2.4.3 Faktor Penentu Derajat Kepatuhan

Derajat kepatuhan ditentukan oleh kompleksitas prosedur pengobatan,

derajat perubahan gaya hidup/lingkungan kerja yang dibutuhkan, lamanya

waktu dimana perawat mematuhi prosedur tersebut, apakah prosedur

tersebut berpotensi menyelamatkan hidup, dan keparahan penyakit yang

dipersepsikan sendiri oleh pasien bukan petugas kesehatan (Niven, 2009).

2.4.4 Strategi untuk Meningkatkan Kepatuhan

Menurut Smet (1994) dalam Viven (2009) yang dikutip dri Rahmi

(2011), berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan, antara

lain:

a. Dukungan Profesional Kesehatan


Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan

kepatuhan, contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut

adalah dengan adanya teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan

penting karena komunikasi yang baik diberikan oleh profesional kesehatan

baik dokter atau perawat dapat menanamkan ketaatan bagi pasien.

b. Dukungan Sosial

Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Pasien dan keluarga yang

percaya pada tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh perawat dapat

menunjang peningkatan kesehatan pasien, sehingga perawat dapat bekerja

dengan percaya diri dan ketidakpatuhan pasien dapat dikurangi.

c. Perilaku Sehat

Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan, misalnya kepatuhan perawat

untuk selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh pasien atau

melakukan tindakan asuhan keperawatan.

d. Pemberian Informasi

Pemberian informasi yang jelas tentang pentingnya pemberian asuhan

keperawatan berdasarkan prosedur yang ada akan membantu

meningkatkan kepatuhan perawat, hal ini dapat dilakukan dengan

memberikan pelatihan-pelatihan kesehatan yang diadakan oleh pihak

rumah sakit ataupun instansi kesehatan lain.

2.4.5 Pengukuran Kepatuhan

Pengukuran kepatuhan dapat dilakukan menggunakan kuisioner yaitu

dengan cara mengumpulkan data yang diperlukan untuk mengukur indikator-

indikator yang telah dipilih. Indikator tersebut sangat diperlukan sebagai

ukuran tidak langsung mengenai standar dan penyimpangan yang diukur


melalui sejumlah tolak ukur atau ambang batas yang digunakan oleh

organisasi merupakan penunjuk derajat kepatuhan terhadap standar tersebut.

Suatu indikator merupakan suatu variabel (karakteristik) terukur yang dapat

digunakan untuk menentukan derajat kepatuhan terhadap standar atau

pencapaian mutu. Disamping itu indikator juga memiliki karakteristik yang

sama dengan standar, misalnya karakteristik itu harus reliabel, valid, jelas,

mudah diterapkan, sesuai dengan kenyataan, dan juga dapat diukur (Al-Assaf,

2010).

2.4.6 Cara untuk Mengetahui Kepatuhan

Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui

kepatuhan, yaitu :

a. Melihat hasil terapi secara berkala.

b. Memonitor pasien kembali datang untuk membeli obat pada periode

selanjutnya setelah obat itu habis.

c. Melihat jumlah sisa obat.

d. Langsung bertanya kepada pasien mengenai kepatuhannya terhadap

pengobatan.

2.4.7 Kepatuhan Minum Obat

Kepatuhan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan

perilaku pasien dalam minum obat secara benar tentang dosis, frekuensi dan

waktunya. Supaya patuh, pasien dilibatkan dalam memutuskan apakah minum

atau tidak. Sedangkan compliance adalah pasien mengerjakan apa yang telah

diterangkan oleh dokter/apotekernya (Ardhiyanti, 2015). Kepatuhan ini amat

penting dalam pelaksanaan ART, karena :


a. Bila obat tidak mencapai konsentrasi optimal dalam darah maka akan

memungkinkan berkembangnya resistensi.

b. Meminum dosis obat tepat waktu dan meminumnya secara benar (misalnya

bersama makanan) penting untuk mencegah resistensi.

c. Derajat kepatuhan sangat berkorelasi dengan keberhasilan dalam

mempertahankan supresi virus.

Terdapat korelasi positif antara kepatuhan dengan keberhasilan, ART

sangat efektif bila diminum sesuai aturan. Hal ini berkaitan dengan:

a. Resistensi obat. Semua obat antiretroviral diberikan dalam bentuk

kombinasi, di samping meningkatkan efektivitas juga penting dalam

mencegah resistensi Kepatuhan terhadap aturan pemakaian obat juga sangat

membantu mencegah terjadinya resistensi. Virus yang resisten terhadap obat

akan berkembang cepat dan berakibat bertambah buruknya perjalanan

penyakit.

b. Menekan virus secara terus-menerus. Obat-obatan ART harus diminum

seumur hidup secara teratur, berkelanjutan dan tepat waktu. Cara terbaik

untuk menekan virus secara terus-menerus adalah dengan meminum obat

secara tepat waktu dan mengikuti petunjuk berkaitan dengan makanan.

c. Kiat penting untuk mengingat minum obat :

1) Minumlah obat pada waktu yang sama setiap hari. o Harus selalu

tersedia obat dimana penderita berada, misalnya di kantor, di rumah,

dan lain lain.

2) Bawa obat kemanapun pergi (dikantong, tas, dan lain-lain).

3) Pergunakan peralatan (jam, HP yang ada alarm yang bias diatur agar

berbunyi setiap waktunya minum obat).


4) Pergunakan pelayanan pager untuk mengingatkan waktu saatnya

minum obat.

Klien yang minum obat harus mengetahui :

I. Obat yang benar : mereka mengambil medikasi yang cocok untuk

penyakitnya. Ketika mereka mencampur obatnya dalam satu wadah

atau kemasan untuk pagi, malam misalnya, mereka harus paham betul

nama obat, warna dan bentuk, dosis, agar tak terjadi kebingungan.

II. Cara yang benar : Obat harus digunakan dengan cara yang benar,

apakah sebelum atau sesudah makan atau harus dikunyah terlebih

dahulu.

III. Jumlah yang benar : dosis obat harus tepat, jangan lebih atau kurang

dari aturannya.

IV. Waktu yang tepat : mereka harus minum obat pada jam yang ditentukan

misal setiap empat jam. Lebih baik jika dituliskan waktu minum obat

agar tidak membingungkan misal pukul 10.00, 12.00, 16.00, 20.00.

2.4.8 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan

Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan

menjadi empat bagian menurut Niven (2002) dalam silvitasari (2013) antara

lain :

a. Pemahaman tentang Intruksi

Tak seorang pun dapat mematuhi intruksi jika ia salah paham tentang

intruksi yang diberikan kepadanya.

b. Kualitas Interaksi

Kualitas interaksi antara professional kesehatan dan pasien merupakan

bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.


c. Isolasi Sosial dan Dukungan Keluarga

Keluarga dapat menjadi factor yang sangat berpengaruh dalam

menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta juga dapat

menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima.

d. Keyakinan, Sikap dan Kepribadian

Becker et al (1979) dalam silvitasari (2013) telah membuat suatu usulan

bahwa model keyakinan kesehatan berguna untuk memperkirakan adanya

ketidakpatuhan.

2.4.9 Akibat Ketidakpatuhan

Ketidakpatuhan dapat memberikan akibat pada program terapi yang

sedang dijalankan, diantaranya :

a. Bertambah parahnya penyakit atau penyakit cepat kambuh lagi.

b Terjadinya resistensi.

c. Keracunan.
2.3.2 Pengetahuan ODHA tentang ARV

Sebelum dilakukannya terapi ARV, ODHA melakukan konseling

terlebih dahulu terkait dengan ARV. ODHA harus mendapatkan informasi

yang lebih mengutamakan manfaat terapi ARV sebelum terapi dimulai. Bila

informasi dan rawatan HIV dimulai lebih awal sebelum memerlukan terapi

ARV maka pasien mempunyai kesempatan lebih panjang untuk

mempersiapkan diri demi keberhasilan terapi ARV jangka panjang, melalui

konseling pra-terapi ARV yang meliputi cara dan ketepatan minum obat, efek

samping yang mungkin terjadi, interaksi dengan obat lain, pemantauan

keadaan klinis dan pemantauan pemeriksaan laboratorium secara berkala

termasuk pemeriksaan jumlah CD4 (Sarah, 2010).

a. Fasilitas layanan kesehatan. Sistem layanan yang berbelit, sistem

pembiayaan kesehatan yang mahal, tidak jelas dan birokratik adalah

penghambat yang berperan sangat signifikan terhadap kepatuhan, karena

hal tersebut menyebabkan pasien tidak dapat mengakses layanan

kesehatan dengan mudah. Termasuk diantaranya ruangan yang nyaman,

jaminan kerahasiaan dan penjadwalan yang baik, petugas yang ramah dan

membantu pasien.

b. Karakteristik Pasien. Meliputi faktor sosiodemografi (umur, jenis kelamin,

ras atau etnis, penghasilan, pendidikan, buta atau melek huruf, asuransi

kesehatan, dan asal kelompok dalam masyarakat misal waria atau pekerja

seks komersial) dan faktor psikososial (kesehatan jiwa, penggunaan napza,

lingkungan dan dukungan sosial, pengetahuan dan perilaku terhadap HIV

dan terapinya).
c. Paduan terapi ARV. Meliputi jenis obat yang digunakan dalam paduan,

bentuk paduan (FDC atau bukan FDC), jumlah pil yang harus diminum,

kompleksnya paduan (frekuensi minum dan pengaruh dengan makanan),

karakteristik obat dan efek samping dan mudah tidaknya akses untuk

mendapatkan ARV.

d. Karakteristik penyakit penyerta. Meliputi stadium klinis dan lamanya sejak

terdiagnosis HIV, jenis infeksi oportunistik penyerta, dan gejala yang

berhubungan dengan HIV. Adanya infeksi oportunistik atau penyakit lain

menyebabkan penambahan jumlah obat yang harus diminum.

e. Hubungan pasien-tenaga kesehatan. Karakteristik hubungan pasien-tenaga

kesehatan yang dapat mempengaruhi kepatuhan meliputi: kepuasan dan

kepercayaan pasien terhadap tenaga kesehatan dan staf klinik, pandangan

pasien terhadap kompetensi tenaga kesehatan, komunikasi yang

melibatkan pasien dalam proses penentuan keputusan, nada afeksi dari

hubungan tersebut (hangat, terbuka, kooperatif, dll) dan kesesuaian

kemampuan dan kapasitas tempat layanan dengan kebutuhan pasien

(Kemenkes RI, 2011).

Anda mungkin juga menyukai